Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 02
"Aku
Cia Kong Liang bukan orang yang takut mati! Kau boleh siksa, kau boleh bunuh
aku, jangan harap kalian akan dapat memaksaku bicara tentang pusaka dan ilmu
rahasia Cin-ling-pai!" kata Cia Kong Liang dan dia membuang muka, tidak
sudi lagi memandang wajah wanita itu.
"Hemm,
kita sama lihat saja, kakek berkepala batu!" teriak Bi Hwa, akan tetapi
kakek itu sama sekali tidak mau memandang kepadanya, bahkan memejamkan kedua
matanya, seolah hendak menyatakan bahwa dia tidak lagi sudi bicara dengannya.
"Tarr-tarrr…….
!" Terdengar suara cambuk meledak-ledak di susul jerit kesakitan dari
mulut anak kecil.
Cia Kong
Liang terkejut dan menoleh. Matanya terbelalak ketika melihat betapa cucunya,
dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, dicambuki oleh wanita itu. Ujung
cambuk panjang yang kecil itu melecut baju anak itu robek dan segera nampak
darah membasahi baju Kui Bu. Terkena lecutan dua kali saja, kulit tubuh Kui Bu
sudah pecah-pecah dan darah mengalir. Anak itu menjerit-jerit kesakitan dan
menangis.
"Tahan…..!!”
teriak Cia Kong Liang.
Bi Hwa
menoleh kepadanya dan tersenyum penuh kemenangan, lalu menghampiri dan duduk
kembali di atas bangku yang tadi. Sedangkan tiga orang pendeta Pek-lian-kauw
yang menjadi gurunya, masih duduk bersila seperti orang-orang yang acuh saja,
padahal diam-diam mereka memperhatikan. Mereka merasa yakin bahwa murid mereka
yang cerdik itu akan dapat memaksa tokoh Cin-ling-pai itu membuat pengakuan.
"Hemm,
agaknya engkau mulai dapat melihat kenyataan, kakek Cia. Pedang Kayu Harum itu
hanya sebuah benda, Thi-khi-i-beng hanya sebuah ilmu. Tidak pantas ditukar
dengan nyawa cucumu, bukan? Nah, kami siap mendengarkan keteranganmu!"
Mata Cia
Kong Liang masih memandang cucunya yang merintih-rintih.
"Rawat
dia dulu, baru aku mau bicara, dan berjanjilah bahwa kalian tidak akan
megganggunya lagi," katanya lirih.
Dengan
senyumnya yang genit, Su Bi Hwa berkata kepada Ciok Gun yang berdiri tak
bergerak seperti arca itu.
"Ciok
Gun, kau rawat dan obati luka cambukan anak itu, ganti pakaiannya dan beri dia
makan dan minum. Bawa keluar dari ruangan ini!"
Sambil
menghadap ke arah wanita itu, Ciok Gun memberi hormat dengan membungkuk dan
berkata, suaranya datar dan kosong.
"Baik
Su Siocia!" dan dia lalu menghampiri Kui Bu dan memondong anak yang masih
merintih itu, membawanya keluar.
Diam-diam
Cia Kong Liang cemas sekali melihat keadaan Ciok Gun. Sebagai seorang pendekar
yang banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa murid Cin-ling-pai itu bersikap
tidak wajar dan ada suatu kekuatan aneh yang mencengkeram dan menguasainya. Dia
menarik napas panjang. Cin-ling-pai dalam bahaya, pikirnya.
Akan tetapi
kalau mengingat bahwa .puteranya, Cia Hui Song, dan mantunya, Ceng Sui Cin,
berada di Cin-ling-pai, hatinya menjadi tenang. Puteranya dan mantunya yang
memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan tinggal diam, tentu mereka akan
mencari putera mereka dan menemukannya disini. Empat orang jahat ini tentu akan
dapat dibasmi oleh Cin-ling-pai di bawah pimpinan putera dan mantunya.
“Aku mau
bicara, akan tetapi ada dua syarat,” katanya. "Kalau kalian tidak memenuhi
syarat itu, aku tidak mau bicara."
Bi Hwa
tersenyum mengejek. Ia tahu bahwa ucapan itu hanya gertakan kosong belaka.
Kalau ia menyiksa Cia Kui Bu di depan mata kakek itu, apapun yang ia minta
tentu akan dipenuhi olehnya!
"Hemmm,
apakah dua syarat itu?" tanyanya untuk mempermudah pengakuan Cia Kong
Liang.
"Pertama,
engkau harus berjanji untuk membebaskan Cia Kui Bun."
"Baik,
aku berjanji akan membebaskan cucumu itu kalau kami sudah memperoleh
Siang-bhok-Kiam dan Thi-khi-i-beng!"
"Dan ke
dua, sebelum aku memberi keterangan, kalian harus memperkenalkan diri dan
menerangkan mengapa kalian memusuhi Cin-ling-pai!"
Bi Hwa tertawa
dan memandang ke arah tiga orang suhunya. Matanya yang genit itu berkijap-kijap
bermain mata dengan mereka, kemudian iapun menjawab.
"Sudah
sepatutnya engkau mengenal siapa kami. Lihat, tiga orang itu adalah
guru-guruku, yang pertama Lam Hwa Cu, ke dua Siok Hwa Cu, dan ke tiga Kim Hwa
Cu."
"Aku
tidak mengenal nama-nama itu……." kata Cia Kong Liang sambil
mengingat-ingat.
"Mereka
bertiga di dunia kang-ouw dikenal sebagai Pek-lian Sam-kwi."
"Ahhh………!
Kiranya orang-orang Pek-lian-kauw!"
Cia Kong
Liang terkejut bukan main dan kini mengertilah dia mengapa mereka mengganggu
Cin-ling-pai. Pek-lian-kauw akan mengganggu siapa saja tanpa pandang bulu, demi
kepentingan perkumpulan sesat itu.
"Bagus
kalau engkau sudah tahu. Dan aku sendiri seorang anggauta Pek-lian-kauw pula,
murid mereka, namaku Su Bi Hwa dan lebih dikenal dengan julukan Tok-ciang Bi
Mo-li."
"Hemmm………"
Cia Kong
Liang maklum bahwa Cin-ling-pai benar-benar berada di dalam bahaya. Akan tetapi
dia dibuat tidak berdaya dengan ditawannya cucunya. Pula, kalau dia memberi
keterangan tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan ilmu Thi-khi-i-beng kepada
merekapun tidak akan merugikan Cin-ling-pai dan terutama sekali untuk
menyelamatkan cucunya.
“Nah,
sekarang katakan dimana adanya Siang-bhok-kiam?” tanya Bi Hwa dan kini tiga
orang pendeta Pek-lian-kauw itupun membuka mata yang tadi mereka pejamkan.
Mereka memandang ke arah kakek itu dengan pandang mata penuh harap.
"aku
tidak tahu……”
Cia Kong Liang
menggeleng kepalanya. Bi Hwa melompat berdiri dari bangkunya dan mukanya
berubah merah sekali, matanya mendelik dan kedua tangannya terkepal.
"Tua
bangka busuk! Engkau menipuku dan melanggar janji? Apa kau melihat cucumu itu
kusembelih perlahan-lahan di depan matamu, kemudian daging dan darahnya akan
kumasak dan kuahnya akan kupaksa masuk ke dalam perutmu?"
Cia Kong
Liang bergidik. Dia sudah cukup mengenal kekejaman orang-orang Pek-lian-kauw
dan dia tahu bahwa ancaman itu bukan hanya gertakan belaka. Kalau perlu, wanita
itu tentu akan dapat melaksanakan ancamannya itu dengan darah dingin!
"Anak
perempuan calon penghuni neraka! Aku bukanlah seorang yang suka menipu, tak
pernah pula melanggar janji! Kalau kukatakan bahwa aku tidak tahu dimana
Siang-bhok-kiam berada, hal itu bukanlah bohong! Aku memang benar tidak tahu,
bahkan aku belum pernah melihat pedang pusaka nenek moyangku itu!"
"Bohong!
Tidak mungkin! Engkau adalah keturunan keluarga Cia, pimpinan Cin-ling-pai.
Betapa mungkin engkau tidak tahu tentang Siang-bhok-kiam? Hayo ceritakan
semuanya dengan jelas. Awas kalau engkau membohong, aku tidak mau mengancam
untuk kedua kalinya!"
Cia Kong
Liang menarik napas panjang.
"Pedang
pusaka Siang-bhok-kiam milik nenek moyang keluarga Cia memang benar tidak ada
lagi. Bahkan mendiang ayahku, Cia Bun Houw, tidak tahu dimana pusaka itu kini
berada. Pernah kutanyakan dahulu kepada ayahku, dan dia hanya mengatakan bahwa
yang terakhir kalinya, pedang itu berada di tangan kakek Cia Keng Hong, ketua
Cin-ling-pai yang dahulu. Kemudian, mendiang ayah tidak pernah tahu lagi dimana
pedang pusaka itu disimpan. Pernah ayah mengatakan bahwa kakek Cia Keng Hong
sengaja menyembunyikah pedang itu dan melarang pusaka itu untuk dijadikan
senjata. Pusaka itu hanya dikenal namanya saja sebagai benda pusaka
Cin-ling-pai. Aku sendiri melihatpun belum, apalagi memilikinya.”
Su Bi Hwa
mengerutkan alisnya.
"Karena
Cia Keng Hong itu ketua Cin-ling-pai, tentu pedang pusaka itu disembunyikan di
perkampungan Cin-ling-pai! Tidakkah begitu?"
"Mungkin
saja, akan tetapi sejak mendiang ayahku berada di Cin-ling-pai, sampai aku
menjadi ketua kemudian dilanjutkan puteraku dan sekarang dipegang oleh cucuku,
keluarga kami belum pernah mencarinya." ,
"Kenapa?"
"Mengingat
pesan ayah dahulu bahwa kakek tidak menghendaki pedang pusaka itu muncul
sebagai senjata. Hanya namanya saja yang kami ingat sebagai pusaka
Cin-ling-pai, dan nama itu diabadikan dalam bentuk ilmu pedang
Siang-bhok-kiamsut."
Su Bi Hwa
mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada tiga orang gurunya dan ia berkata lirih,
"Kita
bisa mencarinya nanti….” Tiga orang pendeta Pek-lian-kauw itu mengangguk.
"Sekarang
tentang ilmu Thi-khi-i-beng. Hayo ceritakan yang sebenarnya tentang ilmu itu.
Kami ingin memilikinya!” kata pula Bi Hwa dengan suara galak karena
kekecewaannya mendengar tentang Siang-bhok-kiam tadi.
"Seperti
juga pedang pusaha Siang-bhok-kiam, ilmu Thi-khi-i-beng sudah lama menghilang
dari keluarga kami, bahkan dari Cin-ling-pai. Aku sendiri tidak menguasai ilmu
itu."
“Aku tahu!”
bentak Bi Hwa galak. "Kalau engkau menguasai ilmu itu, tentu tidak mudah
tertawan oleh kami! Yang kutanyakan adalah kitabnya, kitab pelajaran ilmu
Thi-khi-i-beng itu! Dimana kitab itu?”
Cia Kong
Liang memandang wajah wanita muda itu. Di dalam hatinya, diam-diam dia merasa
senang. Yang dicari orang-orang jahat ini tidak ada, dan tidak mungkin dapat
mereka miliki.
"Ketahuilah,
Moli (Iblis Betina), Thi-khi-i-beng tidak pernah ada kitab pelajarannya."
katanya dengan suara hampir ramah karena hatinya merasa senang.
"Bohong!
Semua ilmu yang hebat tentu ada kitabnya!"
"Sudah
kukatakan aku tidak pernah berbohong. Semua ilmu silat dari Cin-ling-pai tidak
ada kitabnya. Kami sudah melihat pengalaman perkumpulan silat yang lain. Selalu
kitab mereka diperebutkan orang, dicuri atau dirampas. Karena itu, sejak
pendiri Cin-ling-pai pertama, kami tidak pernah mencatat ilmu-ilmu kami dalam
kitab. Kami mengajarkan ilmu-ilmu kami secara langsung, dari guru ke
murid."
"Dan
Thi-khi-i-beng?"
"Tidak
ada lagi orang Cin-ling-pai yang menguasainya. Ilmu itu bukan ilmu sembarangan
yang dapat dipelajari oleh sembarang orang!" Ucapan ini mengandung
kebanggaan.
"Hemm,
jadi engkau tidak mempelajarinya karena engkau tidak berbakat?" Bi Hwa
mengejek.
"Pertama,
karena bakatku tidak cukup, kedua karena tidak ada yang mengajarkannya
kepadaku. Bahkan ayahku sendiripun tidak menguasai ilmu Thi-khi-i-beng itu.
Hanya kakek yang menguasainya."
Bi Hwa
saling pendang dengan tiga orang gurunya. Mereka benar-benar merasa kecewa
bukan main. Siang-bhok-kiam lenyap. Thi-khi-i-beng juga lenyap!
"Jadi
di dunia ini tidak ada lagi orang yang menguasai Thi-khi-i-beng dan kitabnyapun
tidak ada?"
Tiba-tiba
Cia Kong Liang merasa jantungnya berdebar. Mengapa tidak? Bukan sekedar membuka
rahasia, akan tetapi kalau dia boleh mengharapkan pertolongan bagi
Cin-ling-pai, maka yang diharapkan adalah dari pulau Teratai Merah!
"Kurasa
di dunia ini hanya seorang saja yang kini masih menguasainya, yaitu besanku,
Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah."
"Pendekar
Sadis.……..??” Empat orang itu serempak berseru kaget.
Cia Kong
Liang tersenyum senang!
"Benar,
hanya dialah yang menguasai ilmu itu. Nah, sekarang aku telah membuka semua
rahasia tentang Siang-bhok-kiam dan Thi-khi-i-beng, aku harap engkau suka
segera membebaskan cucuku Cia Kui Bu."
"Heh-heh,
jangan harap! Dia dan engkau masih akan menjadi tawanan kami, sebagai
sandera!" kata Bi Hwa.
"Kau……
kau…….. melanggar janji! Engkau jahat, curang, pengecut hina……!"
"Plakkk!"
Tangan Bi Hwa bergerak dan kakek itu terkulai pingsan.
"Suhu
bertiga telah mendengar sendiri. Kita harus mengganti siasat." kata Bi Hwa
dan kembali ia dan tiga orang gurunya berunding, mengatur siasat selanjutnya
setelah langkah pertama itu mengecewakan hati mereka.
Suami isteri
itu berdiri di pekarangan depan rumah induk perkampungan Cin-ling-pai. Alis
mereka berkerut ketika mereka memandang ke luar dalam cuaca yang sudah redup
karena senja telah tiba.
Pria itu
adalah Cia Hui Song, berusia empat puluh empat tahun, tubuhnya tegap dan
wajahnya yang tampan itu selalu cerah, sepasang matanya mencorong dan lincah
sedang mulutnya selalu mengandung senyum. Dia putera Cia Kong Liang, bekas
ketua Cin-ling-pai yang sudah mengundurkan diri walau usianya belum tua benar
karena dia lebih suka bebas merantau bersama isterinya.
Wanita itu
isterinya, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembila tahun. Dalam usia menjelang
tua itu, ia masih nampak manis, matanya tajam bersinar-sinar. Dalam hal ilmu
silat, ia tidak kalah jauh oleh suaminya karena wanita ini adalah puteri dari
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah.
Selain
keturunan orang-orang pandai, juga suami isteri ini dahulu pernah menerima
gemblengan dari tokoh-tokoh sakti. Cia Hui Song pernah menjadi murid mendiang
Siangkiang Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. sedangkan Ceng Sui Cin, di
samping mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, juga pernah digembleng oleh
mendiang Wum Yi Lojin, juga seorang diantara Delapan Dewa. Maka, dapat
dibayangkan betapa lihainya mereka.
Baru kemarin
suami isteri ini kembali ke Cin-ling-pai bersama putera mereka, Cia Kui Bu yang
berusia lima tahun. Selama berbulan-bulan mereka tinggal di pulau Teratai
Merah. Dan sore hari itu, mereka berada di pekarangan itu dengan hati agak
khawatir. Putera mereka, Cia Kui Bu, sejak pagi pergi berjalan-jalan dengan
kakeknya, yaitu kakek Cia Kong Liang dan sampai matahari hampir tenggelam,
kakek dan cucu itu belum juga pulang.
"Sungguh
aneh, kemanakah ayah mengajak Kui Bu pergi? Kalau hanya jalan-jalan, kenapa
sampai sehari dan belum juga pulang?" untuk ke sekian kalinya Cia Hui Song
mengomel.
"Apakah
malam tadi beliau tidak mepesan sesuatu kepadamu?" tanya isterinya.
“Tidak,
hanya mengatakan bahwa dia ingin berjalan-jalan pagi hari ini dengan Kui Bu.
Apakah pagi tadi engkau bertemu dengan ayah?"
"Pagi-pagi
sekali Kui Bu sudah bangun dan setelah mandi dia berpamit untuk mengunjungi
kakeknya karena sudah berjanji akan berjalan-jalan pagi tadi. Aku hanya
mendengar suara ketawanya bersama kong-kongnya di pekarangan ini ketika mereka
berangkat pagi tadi."
Dari
bangunan tempat tinggal Gouw Kian Sun, di sebelah kiri bangunan induk itu,
muncul Kian Sun bersama seorang wanita. Agaknya mereka berdua memang bermaksud
mengunjungi bangunan induk. Ketika melihat Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin
berdiri di pekarangan, Gouw Kian Sun segera menghampiri mereka dan memberi
hormat. Wanita itupun memberi hormat dan ternyata ia seorang wanita yang
usianya kurang lebih dua puluh lima tahun dan wajahnya nampak gelisah, bahkan
ia seperti baru menangis. Hui Song dan isterinya mengenalnya sebagai isteri Koo
Ham, yang tinggal di bagian belakang.
"Kebetulan
sekali, suheng dan toa-so berada disini. Kami memang ingin menghadap ji-wi
(kalian berdua)." Kata Kian Sun setelah rnemberi hormat.
"Hemm,
ada urusan apakah, sute?" tanya Hui Song sambil memandang kepada wanita
itu karena dia menduga bahwa tentu urusan itu mengenai wanita ini.
Kalau tidak
begitu, tidak mungkin isteri Koo Ham datang bersama Kian Sun, dan suaminya
tidak nampak bersama mereka.
"Suheng,
isteri Koo Ham ini amat mengkhawatirkan suaminya, juga saya sendiri merasa
heran mengapa dia, Ciok Gun dan Teng Sin belum juga pulang sejak kemarin
pagi."
"Hemm,
kemanakah mereka bertiga pergi?"
"Mereka
bertiga pergi berburu. Biasanya kalau rnereka pergi berburu, tidak pernah
bermalam. Kalaupun terpaksa bermalam, maka pada keesokan paginya pasti pulang.
Akan tetapi sampai sekarang mereka belum juga pulang. Hal ini memang aneh dan
isteri Koo Ham ini merasa gelisah sekali karena malam tadi ia bermimpi
buruk."
Hui Song dan
isterinya saling pandang dan mereka tersenyum. Agaknya isteri Koo Ham ini
percaya akan mimpi yang biasanya hanya merupakan bunga dari tidur saja.
"Engkau
mimpi apakah?" Ceng Sui Cin bertanya kepada wanita itu.
"Saya…..
saya melihat suami saya mandi dengan…… darah…… "
Biarpun
mereka bukan orang yang percaya tahyul dan mimpi, namun suami isteri pendekar
ini saling pandang dan merasa ngeri.
“Kian Sun
sute, apakah engkau tadi melihat ayah?" tiba-tiba Hui Song bertanya.
"Tidak,
suheng. Bukankah pagi tadi suhu pergi berjalari-jalan dengan puteramu? Apakah
belum pulang?"
Hui Song
menahan kegelisahan hatinya agar jangan nampak pada wajahnya. Dia memandang
isterinya.
"Aku
akan pergi mencari mereka! Juga sekalian mencari Ciok Gun dan dua orang
sutenya."
Sui Cin
mengangguk. la percaya bahwa seperti juga tiga orang murid Cin-ling-pai itu
yang tentu mampu melindungi diri sendiri, lebih-lebih ayah mertuanya tentu akan
menjaga anaknya dengan baik dan selama ini di Cin-ling-san tidak pernah terjadi
sesuatu yang mengkhawatirkan. Keadaan di tempat itu selalu aman dan tenteram.
Setelah suaminya pergi, ia lalu menghibur isteri Koo Ham dan menyuruhnya pulang
dan menanti suaminya di rumah.
Setelah
keluar dari perkampungan Cin-ling-pai, Hui Song lalu mempergunakan
kepandaiannya berlari cepat mencari-cari ayahnya dan anaknya. Dia lari mendaki
sebuah puncak bukit terdekat, berteriak memanggil nama puteranya dengan
pengerahan khi-kang agar suaranya terdengar sampai jauh.
Setelah
menanti jawaban yang tak kunjung ada, dia menuruni bukit dan lari mendaki bukit
lain. Pendekat ini tidak tahu bahwa sejak tadi ada beberapa pasang mata
mengikuti gerak-geriknya, dan beberapa pasang telinga mendengarkan teriakannya
yang melengking nyaring ketika ia memanggil puteranya itu. Dan pemilik mata dan
telinga ini saling pandang dengan kaget dan penuh kagum, juga agak gentar.
Mereka adalah Pek-lian Sam-kwi dan murid mereka, Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa
yang mengintai dari puncak bukit tempat mereka bersembunyi.
Selagi Hui
Song hendak mendaki bukit berikutnya, tiba-tiba ada bayangan orang muncul dari
dalam hutan di lereng bukit itu dan orang ini berlari turun memapakinya.
"Suhu……!”
Orang itu
bukan lain adalah Ciok Gun yang cepat membungkuk dengan sikap hormat kepada Cia
Hui Song.
"Ciok
Gun, engkau? Kemana saja engkau dan mana pula dua orang sutemu? Dan apakah
engkau melihat ayah dan puteraku?”
"Suhu,
panjang ceritanya. Akan tetapi, marilah suhu ikut saya. Teecu (murid)
mengetahui dimana adanya su-kong (kakek guru) dan sute Kui Bu. Mari…..!”
Dan Ciok Gun
lalu membalikkan tubuhnya berlari mendaki bukit itu. Tentu saja Hui Song segera
mengikutinya. Senja telah mendatang dan akan semakin sukar mencari ayah dan
puteranya kalau malam tiba. Dia merasa gembira mendengar bahwa Ciok Gun
mengetahui dimana adanya mereka, akan tetapi juga timbul keheranan dan
kekhawatiran melihat sikap murid Cin-ling-pai yang tidak wajar ini.
Seperti juga
yang dialami kakek Cia Kong Liang, Hui Song merasa terkejut dan heran ketika
dia diajak Ciok Gun menuju ke sebuah pondok yang berada dihutan dekat puncak
bukit itu. Seingatnya, tidak pernah ada pondok disitu!
"Pondok
siapakah ini?" tanyanya ketika Ciok Gun berhenti. Akan tetapi Ciok Gun
memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulut.
"Ssttt……
teecu melihat ayah dan putera suhu di sebuah ruangan. Mari…….!" bisiknya
dan diapun menyelinap masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu samping
kecil yang terbuka.
Hui Song
juga menyelinap masuk dengan sikap hati-hati. Sebagai seorang pendekar yang
berpengalaman, dia telah dapat "merasakan" adanya sesuatu yang tidak
beres, maka diapun siap siaga menghadapi segala kemungkinan yang mengancam
dirinya.
Mereka tiba
di ruangan belakang dan Ciok Gun memheri isyarat kepada Hui Song untuk
mendekat. Hui Song ikut mengintai dari jendela. Kamar di dalam itu diberi
penerangan lampu gantung sehingga cukup terang. Dan begitu dia mengintai ke
dalam, dia terkejut dan juga girang. Ayahnya dan puteranya berada dalam kamar
itu. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah karena keduanya terbelenggu
kaki tangannya.
"Ayah!
Kui Bu……!”
Dia berseru
dan sekali tubuhnya bergerak, terdengar suara keras dan daun jendela itu telah
jebol dan tubuhnya melayang ke dalam ruangan yang luas itu. Akan tetapi, dari
kanan kiri berkelebat bayangan orang dan kini di depannya menghadang empat
orang. Tiga orang laki-laki berjubah pendeta yang usianya antara lima puluh
sampai enam puluh tahun dan seorang wanita muda berusia dua puluh lima tahun
yang cantik dan pesolek, bersikap genit dengan senyum dan pandang matanya.
Hui Song
juga melihat betapa Ciok Gun juga sudah memasuki ruangan itu, bahkan mendekati
ayahnya dan puteranya. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya, murid Cin-ling-pai
itu sama sekali tidak bersikap melindungi atau ingin menolong mereka. Bahkan
dia duduk di atas bangku di sudut dengan tenang dan dingin, seperti sebuah
patung saja!
“Selamat
datang, pendekar besar Cia Hui Song!" kata wanita itu sambil tersenyum
manis dengan gaya yang memikat. "Kiranya tidak bohong berita yang kudengar
bahwa pendekar Cia Hui Song adalah seorang pria yang gagah dan ganteng!"
Hui Song
mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita
yang amat jahat dan cabul. Ketika dia melirik ke arah ayahnya, dia melihat
betapa orang tua itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu bersuara, hanya
matanya saja yang memandang kepadanya dengan nampak khawatir. Juga puteranya
rebah miring dalam keadaan terbelenggu dan tidak bersuara. Tentu saja dia
merasa gelisah sekali melihat keadaan mereka.
"Siapakah
kalian?” Suaranya terdengar tegas, juga mengandung getaran kuat karena dia
sedang marah. “Apakah kalian yang menawan ayahku dan puteraku?”
Bi Hwa
tersenyum.
"Mereka
menjadi tamu kami, seperti juga engkau, Cia Hui Song. Kami ingin bicara
denganmu, maka kami mengutus Ciok Gun untuk mengundangmu kesini.”
“Ciok
Gun…….? Dia…… dia…….. hemm, bebaskan dulu ayahku dan puteraku!”
"Nanti
setelah kita bicara, pendekar yang tampan!”
"Keparat
akan kubebaskan sendiri mereka!"
Dan Hui Song
bergerak ke depan untuk menghampiri ayahnya dan puteranya. Melihat ini, Su Bi
Hwa yang memang ingin menguji kepandaian orang yang paling terkenal di
Cin-ling-pai itu, maju menghalang.
"Minggir
kau, perempuan iblis!" bentak Hui Song dan diapun mendorong ke arah Bi
Hwa. Wanita itu sengaja menyambut dengan tangannya ,sambil mengerahkan
tenaganya.
"Dukkk…….!
Aihhh……!" Bi Hwa terdorong dan terjengkang sampai terguling-guling.
Akan tetapi
ketika Hui Song yang diam-diam terkejut juga merasakan betapa kuatnya tenaga
wanita itu hendak maju, tiga orang tosu itu sudah berdiri di depannya
menghadang. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi pengeroyokan mereka sebelum
dapat membebaskan ayahnya dan puteranya. Tempat itu cukup luas untuk berkelahi
keroyokan. Yang membuat dia khawatir hanyalah keadaan ayahnya dan puteranya.
"Ciok
Gun, bebaskan sukongmu dan sutemu!" bentaknya kepada Ciok Gun.
Akan tetapi
sekali ini, Ciok Gun tetap duduk diam seperti patung, tidak bergerak sama
sekali seolah tidak mendengar perintah itu.
“Hemm,
kalian iblis-iblis jahat. Berani kalian mengacau Cin-ling-pai!" bentaknya
dan diapun menyerang orang terdekat, yaitu Siok Hwa Cu yang bertubuh gendut
pendek dan bermuka hitam.
Dengan
tenaga Thian-te Sin-ciang, tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan yang
pendek gendut itu. Siok Hwa Cu mengerahkan tenaganya dan mengangkat kedua
lengannya menangkis.
"Dukkk
……..!!"
Hui Song
merasa betapa tubuhnya tergetar oleh tangkisan itu. Akan tetapi Siok Hwa Cu
terhuyung dan diapun cepat menjatuhkan dirinya dan bergulingan. Melihat ini,
Kim Hwa Cu sudah menyerang dari samping, menghantam ke arah lambung Hui Song.
Pendekar ini mengelak dengan loncatan ke belakang dan pada saat itu, Lan Hwa Cu
yang tinggi besar sudah mengirim pukulan pula ke arah kepalanya. Maka diapun
menangkis sambil mengerahkah tenaga sepenuhnya.
"Dukkk!"
Kembali dia
tergetar hebat walaupun lawannya juga terpental kebelakang. Diam-diam Hui Song
terkejut. Kiranya empat orang lawan ini memiliki kepandaian yang tinggi dan
dalam hal tenaga sin-kang, tidak kalah jauh olehnya! Melawan mereka satu per
satu, dia sama sekali tidak gentar dan pasti akan menang. Akan tetapi kalau
mereka maju bersama, berat juga baginya. Padahal dia harus menyelamatkan
ayahnya dan puteranya.
Yang lebih
kaget adalah tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu. Biarpun mereka sudah menduga
bahwa Cia Hui Song tentu lihai sekali, lebih lihai daripada ayahnya yang sudah
tua, namun tak mereka sangka pria itu akan mampu membuat mereka terpental. Hal
ini adalah karena mereka bertiga ini, sudah terbiasa memandang diri sendiri
terlalu tinggi.
“Hyaaatttt…………..!”
Hui Song
mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan
kuatnya. Tiga orang tosu mengepung ketat, namun mereka tidak berani terlalu
mendesak dekat karena kedua tangan pendekar itu mengeluarkan hawa pukulan yang
amat kuat. Hui Song mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa
perkelahian itu akan menentukan tertolong atau tidaknya ayah dan puteranya.
Tiba-tiba
terdengar suara wanita itu.
"Tahan,
hentikan perkelahian. Suhu semua mundur!"
Karena yakin
akan kecerdikan Bi Hwa, tiga orang tosu itu berlompatan mundur. Juga Hui Song
menahan gerakannya karena khawatir terjebak. Dia melihat tiga orang tosu itu
berdiri di dekat wanita itu, menghalangi dia menghampiri ayahnya dan puteranya.
Sedangkan wanita itu sudah menodongkan pedangnya ke atas leher Cia Kong Liang
dan Cia Kui Bu yang rebah berdampingan!
"Cia
Hui Song, lihat baik-baik. Kalau engkau masih hendak menggunakan kekerasan,
terpaksa aku akan menggorok leher ayahmu dan puteramu!"
Sebelumnya,
Bi Hwa yang cerdik telah memulihkan gerak leher kedua orang kakek dan cucu itu
sehingga kini keduanya dapat mengeluarkan suara.
"Ayah…….!
Ayah………!!”
Kui Bu
memanggil dan menangis sesenggukan. Anak itu amat menderita, sakit-sakit
tubuhnya karena dicambuki dan juga ketakutan.
Akan tetapi
ayahnya membentak nyaring.
"Hui
Song, serang mereka! Bunuh mereka yang amat jahat itu! Cin-ling-pai berada
dalam bahaya. Bunuh mereka, jangan pedulikan aku!" ,
"Ayah……..,
Kui Bu dalam bahaya……"
Hui Song
menjadi lemas karena dia tahu bahwa ancaman seorang yang kejam seperti wanita
itu bukan hanya gertak kosong belaka. Wanita itu tentu akan tega menggorok
leher Kui Bu dan ayahnya seperti yang diancamkannya tadi.
"Lawan
mereka! Kalau engkau menyerahpun percuma, akhirnya mereka akan membunuhmu,
membunuh aku dan Kui Bu juga. Lawan dan bunuh mereka, Hui Song!" kembali
Cia Kong Liang berteriak-teriak.
."Dukk!"
Kim Hwa Cu
menotok dan kakek itupun terkulai pingsan. Melihat ini, Hui Song marah sekali,
akan tetapi dia tidak berani bergerak karena leher puteranya masih ditodong
pedang wanita itu.
"Bagairnana,
Cia Hui Song, engkau mau berdamai dan menyerah ataukah kubunuh dulu ayahmu dan
puteramu, kemudian kami keroyok engkau?" Bi Hwa bertanya dan nada suaranya
penuh kemenangan.
Lemas
seluruh tubuh Hui Song. Mungkin hatinya masih dapat tega melihat ayahnya yang
sudah tua terbunuh, karena ayahnya akan tewas sebagai orang gagah. Akan tetapi
bagaimana mungkin dia tega melihat puteranya yang baru berusia lima tahun itu
disembelih di depannya?
"Katakan
dulu, apa kehendakmu kalau aku tidak melawan." katanya, suaranya masih
berwibawa, namun sudah tidak lantang dan tegas lagi seperti tadi.
"Kami
hanya akan menjadikan engkau sebagai tawanan…… eh, maksudku tamu kami seperti
ayahmu dan puteramu. Kami tidak akan membunuh kalian asal, engkau mentaati
permintaan-permintaan kami."
"Hemm,
harus dilihat dulu apa permintaan itu. Dan sebetulnya siapakah kalian dan apa
maksud kalian melakukan semua ini?"
"Cia
Hui Song, engkau tawanan kami, tidak perlu banyak menuntut. Kami tidak membunuh
ayahmu dan anakmu, dan engkau menjadi tawanan kami. Nah, engkau berjanji tidak
akan melawan? Kamipun berjanji tidak akan membunuh kalian bertiga."
Hui Song
memandang ayahnya yang masih pingsan, kepada anaknya yang masih menangis lirih,
lalu kepada tiga orang pendeta itu.
"Aku
mau berjanji, akan tetapi kalian berempat harus mengucapkan janji kalian untuk
tidak mengganggu ayahku dan puteraku. Kalau hanya engkau saja yang berjanji,
nona, terus terang aku tidak percaya."
"Baik,
kami berjanji. Suhu, berjanjilah kalian!" kata Bi Hwa.
Dengan heran
Hui Song melihat betapa tiga orang tosu yang disebut suhu oleh gadis itu
demikian taat. Mereka mengangguk dan serentak mereka berkata sambil memandang
kepadanya.
"Cia
Hui Song, kami berjanji tidak akan membunuh ayahmu dan puteramu kalau engkau
menyerah dan tidak melawan."
Hui Song
tidak habis mengerti bagaimana tiga orang guru begitu taat kepada muridnya,
padahal murid itu seorang wanita muda dan melihat kekuatan mereka, dia tahu
bahwa murid itu tidak lebih kuat daripada mereka bertiga? Akan tetapi dia tidak
perduli.
Dia tidak
tahu bahwa karena kecerdikannya, Tok-Ciang Bi Moli Su Bi Hwa oleh pimpinan
Pek-lian-kauw diangkat menjadi pimpinan dari rombongan pelaksana tugas itu
sehingga di dalam tugas itu, tiga orang gurunya adalah orang-orang bawahannya
atau pembantu-pembantunya. Di samping itu, memang biasanya mereka itu kalah
pengaruh oleh Bi Hwa, apalagi Kim Hwa Cu dan Siok Hwa Cu yang menganggap gadis
itu sebagai kekasih mereka.
"Akupun
berjanji tidak akan rnelawan dan akan memenuhi permintaan kalian, asalkan
permintaan itu tidak berlawanan dengan hatiku dan tidak melakukan kejahatan!”
“Tentu
saja!” kata Bi Hwa. "Ciok Gun, bawa kakek dan cucunya itu ke kamar tahanan
hijau!"
"Baik,
Su Siocia!" kata Ciok Gun dan bagaikan patung yang baru saja dapat
bergerak, dia bangkit, menghampiri kakek Cia Kong Liang dan memanggulnya,
kemudian mengempit tubuh Kui Bu yang masih menangis itu dibawa keluar dari
situ.
"Ayah……!”
"Kui
Bu, diamlah dan jangan cengeng! Kau jaga kong-kong baik-baik." kata Hui
Song menabahkan hatinya yang rasanya seperti diremas-remas.
"Awas
kalian berempat. Kalau sampai ayahku atau anakku diganggu, aku bersumpah akan
membunuh kalian!" katanya setelah Ciok Gun membawa kedua orang itu pergi.
"Hi-hik,
kami tidak akan begitu bodoh Cia-taihiap (pendekar besar Cia)!" kata Bi
Hwa sambil tersenyum manis.
Kini ia
menyebut tai-hiap kepada Hui Song, sebutan yang amat menyakitkan hati pendekar
itu karena pada saat itu dia sama sekali tidak merasa sebagai seorang pendekar,
apalagi pendekar yang besar. Dia merasa dirinya seperti seorang pengecut yang
sudi menyerah begitu saja kepada orang-orang jahat! Akan tetapi, apa daya?
Puteranya dalam bahaya. Kalau dia tidak menyerah, tentu iblis-iblis itu
membunuh anaknya dan ayahnya.
"Kami
tidak bermaksud membunuh siapa-siapa, bahkan kami tidak ingin memusuhi
Cin-ling-pai. Sekarang, engkau menjadi tamu kami, dan marilah kami antarkan
engkau ke kamarmu.” kata pula wanita itu dengan sikap genit sekali.
Tanpa bicara
apa-apa lagi Hui Song mengikuti Bi Hwa yang ,berjalan di depannya, sedangkan
tiga orang tosu itu berjalan di belakangnya. Kalau dia mau, sekali serang dia
tentu akan dapat membunuh wanita yang berada di depannya itu, dan diapun akan
mampu melawan mati-matian kalau dikeroyok tiga orang tosu di belakangnya.
Akan tetapi,
perbuatannya itu andaikata dapat membunuh mereka berempat, tetap saja anaknya
dan ayahnya terancam bahaya maut. Dia tidak tahu berapa banyak anak buah
mereka, dan disana ada pula Ciok Gun yang agaknya telah berada dalam
cengkeraman kekuasaan mereka. Maka diapun menahan gejolak hatinya dan mengikuti
dengan patuh ketika dia dibawa memasuki sebuah pintu rahasia yang membuka
sebuah lorong bawah tanah! Orang-orang ini ternyata telah membuat persiapan,
pikirnya. Mereka bahkan telah membuat lorong rahasia di bawah pondok itu.
![cerita silat online karya kho ping hoo](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjExKMCMxytazKB2t23rkFbH7i7o-CtPAh3uiefxIYNE6lfyYDU5awhbS43Q8rQ_o-X0HLbUj84DIUAdUyJ4Zp9bo0SukyttDyzg4vMBRVexsfWwcUVYjOOrGjvICtoxSkqYyM5j6q7JGE/s320/Jodoh+Si+Mata+Keranjang-790133.jpg)
Lorong itu
cukup panjang, ada seratus meter panjangnya. Dia lalu disuruh masuk ke dalam
sebuah kamar bawah tanah. Dari kamar itu, yang mempunyai jendela beruji besi
yang kokoh kuat, dia dapat melihat betapa kurang lebih lima puluh meter dari
situ, anaknya dan ayahnya rebah di atas pembaringan, di sebuah kamar lain.
"Nah,
ini kamarnya, Cia-taihiap, lengkap dengan tempat mandi dan kakus. Dan yang
lebih baik lagi, lihat disana itu. Engkau dapat melihat keadaan ayahmu dan
anakmu, maka tenangkan hatimu dan jangan sekali-kali mencoba untuk memberontak
kalau engkau tidak ingin ayah dan anakmu tewas."
Setelah
berkata demikian, wanita itu bersama tiga orang tosu meninggalkan kamar tahanan
dan menutupkan pintunya yang juga terbuat dari besi.
“Nanti
dulu!" Tiba-tiba Hui Song berkata melalui jeruji besi di atas daun pintu.
“Siapakah kalian sesungguhnya dan apa yang kalian kehendaki dari
Cin-ling-pai?"
Wanita muda
itu tersenyum.
"Namaku
Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, dan mereka ini adalah guru-guruku bernama Kim Hwa
Cu, Siok Hwa Cu, dan Lan Hwa Cu ……..”
Hui Song
memandang terbelalak. Tosu-tosu yang memakai nama bunga itu mengingatkan dia
akan tokoh-tokoh Pek-lian-kauw.
"Kiranya
kalian bertiga adalah Pek-lian Sam-kwi?”
Tiga orang
tosu itu diam saja, akan tetapi Bi Hwa yang tertawa.
"Hi-hik,
engkau cerdik, tai-hiap. Engkau gagah, ganteng dan cerdik. Dugaanmu benar. Aih,
kalau saja engkau tidak begitu berbahaya, tentu aku akan suka sekali menemanimu
dalam kamarmu ini, hi-hik!"
Hui Song tidak
menjawab dan tidak mau bicara lagi, membalikkan tubuhnya dari pintu. Dia
mendengar mereka pergi sambil tertawa-tawa, dan tak lama kemudian dia melihat
belasan orang di luar pintu kamar-kamar tahanan bawah tanah itu. Hemm, kiranya
mereka mempunyai belasan orang anak buah, pikirnya. Dan mungkin masih ada lebih
banyak lagi yang berada di luar.
Dugaan Hui
Song memang benar. Ada tiga puluh orang-anak buah Pek-lian-kauw yang
dipersiapkan empat orang itu. Mereka telah merencanakan semua dengan baik
sekali. Mereka melarang semua anggauta Pek-lian-kauw untuk bergerak atau
memperlihatkan diri dan mereka sendiri yang turun tangan menjebak para pimpinan
Cin-ling-pai, melalui Ciok Gun yang sudah berada dalam cengkeraman mereka.
Ciok Gun
telah dibius dan disihir sehingga dia kehilangan semangat, kehilangan kemauan
sendiri dan patuh sekali kepada Bi Hwa, seperti mayat hidup saja. Apapun yang
diperintahkan Bi Hwa akan dia lakukan dengan patuh dan dengan taruhan nyawa.
Biarpun dia masih mengenal tokoh-tokoh Cin-ling-pai, namun pengenalannya itu
seperti hafalan saja, ditekankan oleh Bi Hwa. Segala sikapnya diatur oleh Bi
Hwa karena sebetulnya Ciok Gun sudah tidak ingat apa-apa lagi kecuali taat
kepada wanita muda yang dianggapnya amat baik, amat menyenangkan dan amat mencintanya
itu!
Akan tetapi,
belasan orang penjaga di luar itu bersikap acuh dan seolah-olah tidak
memperdulikan dia atau ayah dan anaknya yang berada di kamar seberang. Bahkan
yang berada di depan kamar tahanan mereka hanya lima orang saja, dan yang
menjaga di depan kamar tahanannya lebih banyak.
Kamar
tahanan itu kokoh kuat, dindingnya tak mungkin ditembus karena berada di bawah
tanah, jendela dan pintunya juga kokoh dan kuat daripada besi. Dan andaikata
dia mampu menjebol pintu atau jendela dan membunuh para penjaga, tidak berarti
bahwa dia sudah bebas. Di masih berada di lorong bawah tanah yang jalan
satu-satunya hanya melalui pintu rahasia dalam pondok itu. Dan di atas masih
ada empat orang musuh yang lihai itu. Tidak, dia tidak akan menggunakan kekerasan
sebelum merasa yakin akan dapat membebaskan ayahnya dan puteranya.
"Hui
Song…..!”
Pendekar itu
menengok. Ayahnya telah siuman, bahkan telah berdiri di depan jendela beruji
menghadap ke arah kamarnya. Ayahnya tidak terbelenggu lagi dan agaknya dalam
keadaan sehat saja.
"Ayah
……..!"
Kui Bu juga
berdiri di atas bangku sehingga dapat menjenguk keluar jeruji jendela dan
memandang kepadanya, juga anaknya tidak menangis lagi dan nampaknya sehat saja.
Hatinya merasa lega.
"Ayah
dan Kui Bu, kalian baik-baik saja, bukan?" tanyanya dengan suara lega.
"Hui
Song, lihat apa akibatnya. Engkau menyerah dan ditawan! Sekarang siapa yang
akan membasmi mereka?"
"Ayah,
yang penting kita masih hidup dan sehat. Kalau sudah mati tidak akan dapat
berbuat sesuatu." jawab Hui Song dan jawaban ini agaknya menyadarkan kakek
itu bahwa puteranya terpaksa menyerah untuk menyelamatkan dia dan cucunya dari
maut.
Biarpun
hatinya merasa penasaran, ketika teringat akan cucunya yang masih kecil, diapun
dapat memaklumi sikap puteranya.
"Engkau
benar. Kita harus menjaga kesehatan, dan kekuatan, tidak boleh putus asa."
Dan dia pun merangkul cucunya. "Jangan khawatir, Kui Bu berada disini
bersamaku."
"Ayah,
aku akan menjaga kakek!" kata Kui Bu, kini suaranya mengandung ketabahan.
Agaknya
karena melihat ayahnya berada disitu dan tadi ditegur agar tidak cengeng dan
agar dia menjaga kakeknya, semangat anak itu timbul dan memang pada dasarnya
Kui Bu bukan seorang anak yang lemah atau cengeng.
Demikianlah,
dengan sabar dan tenang Hui Song, ayahnya, dan anaknya tidak membuat ulah di
dalam kamar tahanan mereka, diam-diam tentu saja mereka mempersiapkan diri dan
menanti terbukanya kesempatan untuk membebaskan diri. Kalau ada penjaga
menyodorkan hidangan dan minuman melalui jeruji besi di atas pintu, mereka
menerimanya dan makan tanpa banyak ribut lagi.
"Ayah…….!”
Suara itu melengking nyaring menembus kesunyian malam.
"Kui
Buuuu…….!!”
Kembali
suara yang sama melengking nyaring menuruni bukit, seolah suara itu datang dari
bulan tiga perempat yang memberi penerangan yang cukup. Namun, seperti juga
tadi, tidak ada suara jawaban terdengar.
"Song-ko
(kanda Song) ………!!" kembali suara itu melengking dan sia-sia, karena tidak
ada jawaban.
Bahkan suara
jengkerik dan belalang malam yang tadinya meramaikan malam, segera terhenti
sejenak karena terkejut oleh suara melengking itu. Beberapa saat kemudian,
barulah kerik jengkerik dan belalang terdengar lagi.
Ceng Sui Cin
menuruni bukit itu. Hatinya cemas bukan main. Yang aneh-aneh terjadi di
Cin-ling-pai sejak pulangnya kesitu dari pulau Teratai Merah kemarin.
Mula-mula, Ciok Gun, Teng Sin dan Koo Ham, tiga orang murid Cin-ling-pai yang
pergi berburu, sampai dua hari semalam belum pulang.
Kemudian,
sejak pagi tadi Kui Bu dan kakeknya pergi berjalan-jalan juga sampai malam ini
belum pulang. Dan yang terakhir, sore tadi suaminya pergi mencari mereka dan
sampai kini, menjelang tengah malam, suaminyapun belum kembali! Maka, setelah
memesan agar Gouw Kian Sun, sute dari suaminya menyuruh anak buah membuat
penjagaan yang lebih ketat, ia sendiri lalu keluar dari perkampungan
Cin-ling-pai untuk mencari mereka.
Sudah sejak
tadi ia mencari-cari, memanggil-manggil ayah mertuanya, suaminya, dan anaknya,
namun tidak ada yang menjawab. Padahal, ketika berteriak memanggil, ia sudah
mengerahkan khi-kang sehingga suaranya tentu akan terdengar sampai jauh.
Setidaknya, suaminya tentu mendengarnya dan kalau begitu, kenapa suaminya tidak
menjawab? Hati wanita perkasa ini mulai merasa gelisah.
Untung bulan
cukup terang dan di angkasa tidak ada mendung sehingga ia dapat mempergunakan
ilmunya berlari cepat yang amat hebat untuk berlari-lari mencari. Ilmu ginkang
(meringankan tubuh) nyonya ini memang hebat. Ia memiliki ilmu Bu-eng-hui-teng
(Lari Terbang Tanpa Bayangan) yang membuat ia mampu bergerak sedemikian
cepatnya sehingga bayangannya saja berkelebat dan sukar ditangkap pandangan
mata!
Hatinya
menjadi semakin gelisah setelah tiga bukit didaki dan dituruni belum juga ia
berhasil menemukan orang-orang yang dicarinya. Ketika ia mendaki sebuah bukit,
tiba di luar hutan, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul empat orang yang
menghadang di tengah jalan. Tiga orang tosu dan seorang wanita muda yang
cantik.
"Selamat
malam, pendekar wanita Ceng Sui Cin!" Gadis itu menyalaminya dengan senyum
simpul.
Sui Cin
terkejut dan merasa heran. Ia memandang penuh perhatian akan tetapi merasa
tidak pernah mengenal mereka. Dan mereka telah mengetahui namanya! Jantungnya
berdebar tegang karena ada firasat yang tidak enak terasa di hatinya. Seperti
ada bisikan bahwa kemunculan empat orang asing ini tentu ada hubungannya dengan
lenyapnya mertuanya, anaknya, suaminya dan tiga orang murid Cin-ling-pai itu.
"Siapakah
kalian?" tanyanya.
"Lihiap
(pendekar wanita), kami adalah tuan dan nyonya rumah, dan engkau adalah tamu
kami. Mari silakan ikut dengan kami!" kata Bi Hwa.
Sui Cin
mengerutkan alisnya.
"Apa
maksudmu? Aku tidak mengenal kalian dan tidak akan menjadi tamu kalian."
Kecurigaannya semakin menebal.
"Aihh,
Nyonya Cia Hui Song, bukankah engkau sedang mencari suamimu, anakmu dan ayah
mertuamu?"
Sui Cin
terkejut. Ternyata apa yang dikhawatirkannya benar. Mereka ini tahu tentang
keluarganya yang hilang!
"Dimana
mereka? Siapa kalian?" bentaknya.
Bi Hwa
tersenyum.
"Siapa
adanya kami tidaklah penting bagimu, li-hiap. Yang penting, kami mengundangmu
untuk menjadi tamu kami, dan kami berjanji bahwa engkau pasti akan dapat
berjumpa dengan Kakek Cia, suamimu, dan puteramu dalam keadaan selamat."
***************
Wajah Sui
Cin seketika menjadi merah saking marahnya.
"Aku
tidak sudi menjadi tamu kalian! Jadi kalian telah menawan keluargaku? Katakan,
benarkah itu?"
Kembali Bi
Hwa tersenyum, merasa menang.
“Bukan
menawan. Mereka menjadi tamu-tamu kami, tamu terhormat."
"Hayo
bebaskan mereka sekarang juga!" bentak Sui Cin sambil mengepal kedua tinju
tangannya.
"Hemmm,
engkau galak benar, li-hiap. Bagaimana kalau kami tidak mau membebaskan
mereka?"
"Keparat,
berarti kalian sudah bosan hidup! Akan kusiksa kalian, akan kubunuh kalian
kalau tidak segera membebaskan Kakek Cia, suamiku, dan puteraku!"
“Ho-ho-ha-ha,
betapa sombongnya perempuan ini!"
Siok Hwa Cu
sudah melangkah ke depan dan memandang Sui Cin dengan sikap mengejek, akan
tetapi diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja suaranya
yang menggetar penuh kekuatan sihir itu membentak, matanya menatap tajam wajah
Sui Cin.
"Ceng
Sui Cin, engkau bertemu dengan orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi. Hayo
engkau cepat berlutut dan memberi hormat kepada kami!"
Diam-diam
Kim Hwa Cu dan Lan Hwa cu juga mengerahkan kekuatan sihir mereka melalui
pandang mata, untuk membantu usaha Siok Hwa Cu menundukkan nyonya lihai itu
dengan sihir.
Sui Cin
tiba-tiba merasa betapa tubuhnya tergetar, jantungnya terguncang dan
semangatnya melayang. Hampir saja kedua kakinya berlutut. Akan tetapi ia segera
tahu bahwa lawan menggunakan kekuatan sihir. Tidak percuma ia menjadi puteri
Pendekar Sadis, dan ibunya Toan Kim Hong pernah menjadi seorang datuk besar
berjuluk Lam Sin.
Maka, tentu
saja dari ayah ibunya selain ilmu silat, ia telah dibekali kekuatan batin untuk
menghadapi serangan sihir. Ia mengerahkan tenaga itu untuk menolak dan getaran
pada tubuhnya menghilang, juga dorongan untuk bertekuk lutut lenyap.
Sebaliknya, dengan marah sekali ia lalu menyerang tosu muka hitam yang gendut
pendek itu. Karena ia marah sekali, maka begitu menyerang, Ceng Sui Cin sudah
menggunakan sebuah jurus dari Hek-liong Sin-ciang!
Ilmu silat
sakti ini hanya terdiri dari delapan jurus saja, namun karena ilmu ini
merupakan ilmu andalan ayahnya yang mempelajarinya dari Bu-beng Hud-couw, maka
hebatnya bukan main. Dahsyat sekali!
Begitu
tubuhnya merendah, wanita cantik ini menerjang ke depan dan kedua tangannya
melakukan gerakan mendorong. Siok Hwa Cu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw
yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi, maka dia agak memandang rendah
kepada wanita ini. Sebetulnya, dia juga sudah mendengar akan kelihaian pendekar
wanita Ceng Sui Cin, akan tetapi, sudah menjadi ciri orang yang menjadi budak
nafsu, yang selalu mengejar kesenangan melalui cara kekerasan, dia memandang
diri sendiri terlalu tinggi sehingga memandang rendah orang lain.
Melihat
wanita itu tidak terpengaruh oleh ilmu sihirnya saja, sebetulnya sudah
merupakan peringatan yang cukup untuknya. Akan tetapi, dia menganggap gerakan
serangan Ceng Sui Cin itu sebagai gerakan serangan yang tidak ada artinya, maka
dengan sombong dia menghadapi dengan kedua tangan menyambar, maksudnya untuk
menangkap pergelangan kedua tangan lawannya itu.
"Desssssss
…….!”
Pertemuan
antara kedua pasang lengan itu hebat sekali. Kim Hwa Cu dan Lan Hwa Cu hendak
memperingatkan saudara mereka, namun terlambat. Tubuh Siok Hwa Cu terjengkang
dan terbanting keras. Ketika dia dibantu kedua orang saudaranya bangkit dia
muntah darah!
Akan tetapi
Sui Cin tidak berhenti sampai disitu saja. Ia kini tahu bahwa tentu keluarganya
ditawan oleh orang-orang jahat ini, maka setelah tosu gendut pendek itu roboh,
iapun terus menyerang lagi, kini ia menyerang wanita cantik yang tadi menjadi
juru bicara.
Kembali Sui
Cin mempergunakan jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Penakluk Naga),
dan kini kedua tangannya bukan mendorong seperti tadi, melainkan menyerang dari
atas dan bawah, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala, tangan kanan
mencengkeram ke arah perut. Bukan hanya cengkeraman itu yang berbahaya, akan
tetapi terutama sekali tenaga yang terkandung dalam serangan inilah yang amat
kuat sehingga tadi ketika Siok Hwa Cu menangkis, seketika dia terjengkang dah
muntah darah!
Akan tetapi
biarpun ilmu kepandaian Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tidak lebih tinggi dari
kepandaian Siok Hwa Cu atau dua orang gurunya yang lain, kecerdikannya jauh
lebih menang. Wanita ini maklum betapa dahsyatnya serangan Ceng Sui Cin, maka
dia tidak sebodoh gurunya kedua tadi. Ia tidak berani langsung menghadapi
serangan itu, melainkan cepat melompat jauh ke belakang dan begitu tangan
kirinya bergerak, sinar lembut menyambar ke arah penyerangnya. Namun,
jarum-jarum itu runtuh tertiup hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Sui
Cin.
"Jahanam!
Kubunuh, kalian semua kalau tidak cepat membebaskan semua keluargaku!"
Sui Cin
membentak dan biarpun ia masih tetap nampak cantik, namun kini empat orang
musuhnya menjadi gentar juga. Pendekar wanita itu bagaikan seekor naga betina
yang marah.
"Tahan
dulu!" Su Bi Hwa membentak nyaring.
“Perempuan
rendah, mau bicara apalagi engkau?" Cui Sin memandang marah. “Bebaskan
mereka atau kubunuh kalian! Tidak ada urusan lain!"
"Lihiap,
harap tenang dulu. Kami bukan bermaksud buruk, tidak ingin bermusuhan denganmu.
Sekali lagi, kami mengundangmu baik-baik sebagai tamu kami, dan kami berjanji
tidak akan mengganggu keluargamu. Akan tetapi kalau engkau hendak menggunakan
kekerasan, terpaksa kami akan lebih dulu membunuh Kakek Cia, suamimu dan
puteramu!"
"Bedebah!
Engkau mengancam dan memerasku?" ..
"Bukan
mengancam kosong atau memeras, melainkan merupakan pilihan bagimu. Engkau
menyerah baik-baik dan keluargamu selamat atau engkau memusuhi kami dan
keluargamu akan kami bunuh lebih dulu."
Akan tetapi,
sekali ini mereka berhadapan dengan Ceng Sui Cin, puteri dan anak tunggal
Pendekar Sadis! Wanita ini tidak mungkin dapat diancam dan digertak!
"Siluman
betina dan kalian tosu-tosu palsu, bukalah telingamu dan dengar baik-baik.
Nyawa keluargaku berada di tangan Tuhan! Bukan di tangan-tangan kotor kalian.
Bagiku, aku lebih senang melihat mereka itu tewas sebagai orang-orang gagah,
daripada hidup menyerah kepada kalian iblis-iblis busuk! Nah, sekarang bebaskan
mereka, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami akan dapat mengampuni
kalian atau tidak!"
Bukan main
kerasnya ucapan ini, dan tahulah Bi Hwa bahwa ia dan tiga orang gurunya tidak
mungkin dapat membujuk wanita ini, tidak mungkin menundukkannya dengan sikap
halus atau dengan ancaman. Wanita seperti ini hanya dapat ditundukkan dengan
kekerasan!
Akan tetapi,
biarpun mereka mengeroyoknya berempat dan pasti akan mampu merobohkan wanita
itu, mereka masih terancam bahaya bahwa seorang diantara mereka mungkin akan
tewas atau terluka parah menghadapi amukan pendekar wanita yang nekat ini!
"Kalau
begitu, sekarang juga kami akan membunuh puteramu dan suamimu!" Bi Hwa
berseru jengkel.
"Iblis
betina, engkau yang akan kubunuh lebih dahulu!"
Sui Cin
membentak dan menyerang dengan dahsyat. Bi Hwa sudah mengelak cepat, namun
gerakannya kalah cepat dan hawa pukulan dahsyat dari Hok-liong Sin-ciang
membuat ia terhuyung. Tiga orang gurunya sudah menyerang Sui Cin dengan senjata
mereka. Terutama sekali Siok Hwa Cu yang tadi sudah terpukul dan terluka dalam,
kini dengan marah menyerang dengan golok besarnya yang berat.
Kim Hwa Cu
menyerang dengan siang-kiam (sepasang pedang). Lan Hwa Cu menggunakan sehelai
sabuk yang kedua ujungnya berupa bola dan bintang baja. Sedangkan Su Bi Hwa
juga sudah mencabut sebatang pedang.
Biarpun ia
sendiri bertangan kosong, dikeroyok empat orang yang memegang senjata tajam,
sedangkan tingkat empat orang itu tidak berada di sebelah bawah tingkat
kepandaiannya, Sui Cin sama sekali tidak menjadi gentar.
Wanita ini
memang terlatih, dan selain ia telah mewarisi ilmu-ilmu pilihan, juga
semangatnya besar bukan main, pantang mundur, apalagi sekarang ia berusaha
untuk menyelamatkan ayah suaminya, puteranya dan suaminya, tentu saja ia
mengamuk mati-matian.
Untuk
menghindarkan diri dari sambaran empat senjata lawan, ia telah mengerahkan
gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dipelajarinya dari ibunya, seorang ahli
gin-kang yang sukar dicari tandingannya, juga ia memainkan gerakan kaki yang
berdasarkan ilmu Bu-eng Hui-teng (Ilmu Terbang Tanpa Bayangan) yang
dipelajarinya dari mendiang Wu Yi Lojin, seorang diantara Delapan Dewa. Maka,
tubuhnya berkelebatan dan kadang-kadang lenyap dari pandangan mata empat orang
pengetoyoknya! Biarpun ia sendiri tidak mendapat banyak kesempatan untuk
membalas, namun Sui Cin membuat empat orang pengeroyok itu terkejut dan gentar.
Tiba-tiba
yang biarpun menjadi murid selalu merupakan pimpinan mereka, berseru,
“Pergi
…….!!”
Ini
merupakan isyarat kepada tiga orang gurunya. Mereka berloncatan pergi dan pada
saat itu Ceng Sui Cin hendak mengejar, Lan Hwa Cu melemparkan sebuah benda ke
atas tanah dan terdengar ledakan disusul asap hitam yang membuat tempat itu
menjadi gelap.
Sui Cin
terkejut, karena khawatir kalau asap itu beracun, terpaksa ia melompat jauh ke
belakang untuk menghindarkan diri dari pengaruh asap. Akan tetapi ternyata asap
itu tidak beracun, dan ketika ia mencari-cari, empat orang itu sudah lenyap,
tak nampak lagi bayangan mereka. Sui Cin membanting-banting kakinya dengan
marah sekali. Ia menyumpah-nyumpah dan memaki mereka mencari ke sana-sini. Ia
memasuki hutan yang gelap itu, akan tetapi karena tidak tahu kemana arah yang
ditempuh empat orang tadi, ia menjadi bingung.
Selagi ia
menyusup-nyusup di dalam kegelapan malam di hutan lebat itu, dimana sinar bulan
sama sekali tidak mampu memberi penerangan, meraba-raba dan tidak tahu arah
kemana ia bergerak. Akhirnya Sui Cin terpaksa berhenti di bawah sebatang pohon
besar. Kecerdikannya belaka yang mencegah ia melanjutkan pencariannya. Di dalam
hutan yang gelap itu, amat berbahaya melakukan pencarian kepada empat orang
yang lihai dan curang itu. Ia akan mudah terjebak, mudah diserang dari
kegelapan.
Biarpun ia
mengenal benar tempat ini, karena ketika masih muda ia sering bermain-main di
bukit-bukit sekitar Cin-ling-san, namun dalam kegelapan malam ini ia tidak akan
mampu membela diri dengan baik kalau diserang dari kegelapan. Ia duduk bersila,
mengatur pernapasan dan mengumpulkan hawa murni. Ia harus mengumpulkan tenaganya
dan besok pagi ia harus segar kembali karena ia membutuhkan kekuatan untuk
mencari keluarganya sampai dapat, untuk melawan pihak musuh yang kuat.
Akan tetapi,
baru saja ia bersamadhi belum dua jam, dan waktu kurang lebih baru jam tiga
pagi, keadaan masih gelap, sinar matahari masih belum nampak, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara orang.
"Su-pek-bo
(uwa guru)......!"
Sui Cin
membuka mata dan menoleh ke arah datangnya suara. Ia melihat sinar obor
dipegang oleh seseorang yang menuju ke tempat itu. Ia tidak mengenal suara itu,
maka cepat ia meloncat dan menyusup di balik semak-semak, mendekati pembawa
obor. Setelah dekat, baru ia melihat bahwa pemegang obor itu bukan lain adalah
Ciok Gun!
Ciok Gun
terhitung pembantu dan murid Gouw Kian Sun, maka menyebut suaminya supek (uwa
guru), dan menyebut ia supek-bo. Sekali menggerakkan kaki, ia meloncat dan tiba
di depan Ciok Gun yang nampak kaget karena munculnya Ceng Sui Cin begitu
tiba-tiba.
"Su-pek-bo......"
"Ciok
Gun, dari mana saja engkau? Dan dimana....... "
"Ssttt,
supek-bo, jangan terlalu keras bicara. Teecu (murid) tahu dimana mereka menawan
su-kong (kakek guru), supek, dan sute (adik seperguruan)." Dia berbisik.
"Bagus
……..!" Sui Cin berseru girang, juga dengan berbisik. "Dimana mereka?
Apakah mereka semua selamat?"
"Mereka
selamat. Mari, supek-bo, kita harus cepat membebaskan mereka."
Sui Cin
tentu saja tidak mau banyak cakap lagi dan dengan hati tegang namun gembira, ia
mengikuti Ciok Gun yang menyusup-nyusup melalui hutan itu, mendaki ke puncak
bukit. Akan tetapi sebelum sampai ke puncak, di tengah hutan, Ciok Gun
berhenti. Tak jauh dari situ, di depan mereka, nampak sebuah bangunan besar
tersembunyi di antara pohon-pohon. Ada beberapa buah lampu tergantung di sudut
bangunan.
Sui Cin
merasa heran sekali. Seingatnya, di bukit ini tidak terdapat rumah orang,
apalagi sebuah bangunan yang cukup besar itu! Akan tetapi ia tidak banyak
bertanya karena ia melihat Ciok Gun memadamkan obornya dan murid keponakan
suaminya ini memberi isyarat dengan telunjut ke depan bibir agar ia tidak
bicara. Dengan isyarat tangan, Ciok Gun mengajak supek-bo itu menghampiri
bangunan dari samping dan dia membisikkan ucapan lirih sekali.
"Supek-bo,
teecu tahu dimana mereka ditawan. Harap supek-bo mengikuti teecu saja."
Sui Cin
mengangguk. Sedikitpun tentu saja ia tidak mencurigai murid Cin-ling-pai yang
sudah dipercaya oleh ayah mertuanya sehingga diangkat menjadi pembantu dari
Gouw Kian Sun ini. Ia hanya waspada terhadap ancaman yang mungkin datang dari
luar, dan dengan berindap-indap ia mengikuti murid keponakan itu yang meloncati
pagar halaman rumah gedung itu, kemudian mereka menuju ke belakang bangunan.
Sebuah pintu
kecil dari kayu bukan merupakan halangan berat bagi Ciok Gun. Dia mempergunakan
tenaganya mendorong dan daun pintu itupun terbuka. Mereka masuk dan Ciok Gun
memberi isyarat kepada supek-bonya agar mengikutinya.
***************
Kini sinar
subuh sudah mulai mengusir kegelapan malam. Akan tetapi lampu penerangan di
bagian belakang rumah itu masih bernyala terang. Agaknya penghuni rumah itu
masih tidur, kalaupun ada penghuninya. Namun Sui Cin tetap waspada sehingga
andaikata saat itu ia diserang senjata rahasia sekalipun, tentu ia akan mampu
menghindarkan diri.
Karena
hatinya tegang bercampur gembira akan bertemu kembali dengan suaminya,
puteranya dan ayah mertuanya dalam keadaan selamat, kepercayaaan Sui Cin
terhadap Ciok Gun itu agak berlebihan. Dalam keadaan tegang gembira itu, ia
kehilangan kewaspadaan.
Dalam
keadaan biasa, wanita yang biasanya amat cerdik ini tentu merasa curiga melihat
betapa Ciok Gun dapat memasuki bangunan itu dengan begitu leluasa, bahkan kini
membawanya melalui lorong yang panjang dan berliku. Penawan keluarganya adalah
orang-orang pandai, bagaimana mungkin seorang dengan tingkat kepandaian seperti
Ciok Gun dapat menemukan keluarganya yang ditawan oleh para penjahat lihai itu?
Namun, saat itu ia sama sekali tidak menaruh curiga terhadap Ciok Gun.
Ciok Gun
berhenti di depan sebuah pintu beruji besi yang terbuka. Ruangan itu kosong,
ukurannya kurang lebih delapan kali sepuluh meter dan terdapat sebuah lampu
gantung di tengah-tengah. Di seberang sana terdapat pula sebuah Pintu jeruji
besi yang juga terbuka.
"Supek-bo,
di belakang kamar inilah ruangan tahanan. Kita menyeberang kesana. supek-bo
dulu, teecu takut ……."
Masih juga
Sui Cin belum curiga. Ia mengangguk dan dengan hati-hati ia melangkah masuk
lewat pintu yang terbuka itu. Ia bersiap-siap mehghadapi jebakan, kalau-kalau
lantai itu terbuka atau ada senjata rahasia menyerang dari kanan kiri, atau
atas bawah. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan iapun melangkah terus. Ciok
Gun melangkah di belakangnya. Ketika mereka tiba di tengah ruangan itu,
tiba-tiba Ciok Gun menunjuk ke atas.
Sui Cin
melihat ke atas, akan tetapi tidak terjadi sesuatu disana. Terdengar suara keras
beradunya besi dengan besi dan kedua pintu besi di depan dan belakangnya itu
kini telah tertutup! Mereka terjebak, terkurung ke dalam kamar itu.
"Ciok
Gun, mari kita jebol pintu itu!" teriaknya kepada Ciok Gun.
Akan tetapi
tiba-tiba nampak sebuah benda dilempar dari luar dan sebuah pula dari belakang,
terdengar dua kali ledakan dan kamar itu penuh asap putih!
"Awas,
Ciok Gun. Tahan napas, jebol pintu …….!" teriak Sui Cin, akan tetapi
terlambat.
Ia melihat
Ciok Gun terhuyung lalu terbatuk-batuk dan roboh. Ia sendiri lalu mengerahkan
tenaga dan menubruk pintu belakang untuk membobol pintu yang tertutup. Akan
tetapi, terpaksa ia menarik diri lagi karena melalui jeruji besi, ada
senjata-senjata golok dan pedang yang menyambutnya!
Ia membalik
dan hendak menjebol pintu depan. Akan tetapi kembali ia harus mundur karena
dari pintu itu pun nampak senjata ditodongkan, siap menyambutnya. Ia segera
membuka jubah luarnya, memutar-mutar jubah itu untuk mengusir asap keluar dari
kamar melalui jeruji besi.
Akan tetapi,
kembali ada ledakan-ledakan dan asap semakin menebal. Betapapun gigihnya Sui
Cin mempertahankan diri, tentu saja ia tidak mungkin dapat menahan napas
terlalu lama. Akhirnya terpaksa ia terengah, asap terhisap dan ia
terbatuk-batuk, kepalanya pening, pandang matanya gelap dan pendekar wanita
yang gigih inipun akhirnya roboh pingsan di dekat Ciok Gun.
Setelah
siuman dari pingsannya, Sui Cin mendapatkan dirinya rebah di atas sebuah
pembaringan, dalam sebuah kamar yang berpintu baja tebal dengan jeruji baja
amat kuatnya. Ia merasa lega bahwa tubuhnya tidak terluka, dan iapun tidak
dibelenggu. Ketika ia bangkit duduk, ia mendengar suara lirih.
“Sui Cin
…….!”
Ia menoleh
dan cepat meloncat ke dekat jendela beruji baja itu. Kiranya suaminya berada
disana, di dalam ruangan lain, terpisah beberapa meter dari jendela itu. Juga
suaminya berdiri di balik jendela beruji baja.
"Mana
ayah dan Kui Bu?"
Sui Cin
bertanya. Keadaan suaminya tak perlu ia tanya lagi. Suaminya jelas selamat dan
sehat, hanya tertawan seperti dirinya.
"Mereka
di kamar sebelah. Dalam sebuah kamar, kami dapat saling melihat dan bicara.
Mereka selamat." kata Hui Song. "Bagaimana mereka dapat
menawanmu?"......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment