Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 16
Sarah
menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu
berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya
terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan
lagi dan melompat turun.
"Eh,
kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya.
Wajah Hay
Hay seperti kepiting direbus.
"Tidak
apa-apa, aku….. aku hanya kasihan kepada kudamu…… lebih baik aku berjalan
saja."
Sarah
menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang
bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia
dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan
yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu.
"Sarah,
kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?"
Sarah
menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya.
"Engkau
memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang
ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan
dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, akupun akan berjalan kaki. Kenapa
sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?"
Hay Hay
tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang
tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku
betapa himpitan tubuh diantara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan
gejolak berahinya.
"Tidak
apa-apa, Sarah, hanya…… tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor
kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda
ini."
Tiba-tiba
Sarah tertawa lagi.
"Aih,
Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?"
Sarah
menggeleng kepalanya.
"Hay
Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan
pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa.
"Dongeng
apa?"
Hay Hay
cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan
urusan berboncengan itu.
"Dongeng
tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka
adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami
mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di
tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami
isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu
diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan
suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri
segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang
isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan
dengan seorang wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami
isteri itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya
berjalan kaki sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan
betapa tidak pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya
ke atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi.
Akan tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan
dengan marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan
kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini,
suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat
empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan
tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka
disoraki dan ditertawakan orang!"
Sarah
mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa.
"Hay
Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak
untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda,
sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan
sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu
dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan
lucunya!" kata Sarah.
Hay Hay juga
tertawa.
"Sarah,
rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng."
"Kalau
begitu aku yang membonceng!”
Hay Hay
menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat
ini.
"Baiklah
engkau yang membonceng."
Diapun
melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke
belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat
di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay
tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti
berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang
berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan
kekuatan batinnya untuk melawan.
Untuk
membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya,
Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan
penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai
kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota
raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang
Portugis. Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan
Sarah.
"Sarah,
setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah."
Kedua lengan
yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin
berpisah darinya.
"Akan
tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat
membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan
demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini
dapat berlanjut selamanya……”
“Sarah, hal
itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak
akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang
teramat penting bagimu."
Sarah adalah
seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa
setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat
dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis.
"Katakan,
pesan apakah itu?"
"Engkau
tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan
persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut
Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini
sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti
Cang-couw akan diserbu."
Sarah
terkejut.
"Ah,
begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah
mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw
menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu
berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" .
"Hemm,
itu pemutar balikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti.
Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah
ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi
perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu."
"Bagaimana
mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……"
"Nah,
bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan disini hanya karena
engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan
pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin
mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia
dengan kekasihmu itu disana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi
korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping
pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……”
Sarah tidak
sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung
mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh
Kapten Armando dan Kapten Gonsalo!
Kapten
Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan
membentak.
"Jahanam
busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru
pistolku!"
"Kapten
Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah
dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah
menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan
mulutmu!"
"Hemm,
mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!"
Gonsalo
masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil
tersenyum.
"Kapten
Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando.
"Sarah, turunlah dan kesinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan
ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat."
Sarah tidak
mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka
bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan
dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu.
"Sarah,
turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi."
"Tapi,
Hay Hay….. aku khawatir mereka mengganggumu……"
“Jangan
khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah
menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya.
Sarah
percaya kepada Hay Hay dan iapun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang
juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa
kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh
kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah
tentang ciuman dan diapun tersenyum.
"Jahanam
biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan
mengacungkan pistolnya.
"Gonsalo,
jangan…..!” Sarah menjerit.
Hay Hay
tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo.
"Kapten
Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?"
Gonsalo
tertegun.
“Ular……?
Ehhh….. ular….!!"
Matanya
terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya
tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desis dan siap mematuk
hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu
dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya.
Semua orang
yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi
terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu
melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan!
Sarah lalu
cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo
dan iapun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang
terdengar oleh semua orang.
"Kapten
Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau
engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo,
majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!"
"Sarah…..!"
teriak Kapten Armando kaget.
"Biarlah
dulu, Ayah!"
Sarah
berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini
tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini.
Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak
kepalanya!
"Sarah,
aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata.
Sarah
menahan kendali kuda dan membiarkan kudanya berjalan congklang. Ketika kuda itu
berjalan congklang seperti itu, Hay Hay merasa semakin tersiksa. Tubuhnya
terangkat angkat seperti diadu dengan tubuh Sarah! Dia tidak dapat bertahan
lagi dan melompat turun.
"Eh,
kenapa?" tanya Sarah sambil menahan dan menghentikan kudanya.
Wajah Hay
Hay seperti kepiting direbus.
"Tidak
apa-apa, aku….. aku hanya kasihan kepada kudamu…… lebih baik aku berjalan
saja."
Sarah
menatap wajah Hay Hay penuh perhatian, dan tiba-tiba ia tertawa, tawa yang
bebas lepas. Hay Hay mengerutkan alisnya, dan dari pandang mata gadis itu dia
dapat menduga bahwa agaknya Sarah tentu dapat mengerti apa yang menyiksanya dan
yang memaksanya turun. Dia semakin tersipu.
"Sarah,
kenapa engkau tertawa? Apakah engkau mentertawakan aku, Sarah?"
Sarah
menghentikan tawanya dan tersenyum kepadanya.
"Engkau
memang lucu, Hay Hay. Lihat, kudaku tidak apa-apa, kenapa engkau yang
ribut-ribut? Kudaku ini kuat sekali. Naiklah, mari kita lanjutkan perjalanan
dengan naik kuda. Kalau engkau berjalan kaki, akupun akan berjalan kaki. Kenapa
sih kalau berboncengan dengan aku? Apakah engkau malu?"
Hay Hay
tersenyum, di dalam hatinya mengeluh. Gadis ini memang aneh, agaknya memang
tidak akan sungkan-sungkan lagi dengannya. Tentu saja dia malu untuk mengaku
betapa himpitan tubuh diantara mereka tadi membuat dia tidak dapat menahan
gejolak berahinya.
"Tidak
apa-apa, Sarah, hanya…… tidak enak dilihat orang kalau kita menunggangi seekor
kuda berdua, akan dianggap tidak mempunyai perasaan kasihan kepada kuda
ini."
Tiba-tiba
Sarah tertawa lagi.
"Aih,
Sarah, benar-benarkah engkau mentertawakan aku?"
Sarah
menggeleng kepalanya.
"Hay
Hay, ucapanmu itu mengingatkan aku akan dongeng kuno yang pernah diceritakan
pelayan kami kepadaku," katanya menahan tawa.
"Dongeng
apa?"
Hay Hay
cepat menyambut karena dia mendapatkan bahan percakapan lain untuk mengalihkan
urusan berboncengan itu.
"Dongeng
tentang dua orang, seperti kita ini, yang hanya mempunyai seekor kuda, mereka
adalah suami isteri yang melakukan perjalanan, seperti kita pula. Nah, si suami
mendesak agar isterinya naik kuda sendirian, dan dia yang menuntun kuda. Di
tengah perjalanan, mereka bertemu seorang laki-laki setengah tua. Melihat suami
isteri itu, laki-laki tadi mengomel, mengatakan betapa isteri itu tidak tahu
diri, tidak kasihan kepada suami, enak-enak nongkrong di atas kuda sedangkan
suaminya berjalan sampai bermandi peluh. Nah, mendengar omelan itu, sang isteri
segera turun dan mendengar agar suaminya saja yang kini menunggang kuda. Sang
isteri kini yang berjalan menuntun kuda. Tak lama kemudian mereka berpapasan dengan
seorang wanita setengah tua yang menggeleng-geleng kepala melihat suami isteri
itu, lalu mencela betapa kejamnya suami itu membiarkan isterinya berjalan kaki
sedangkan dia sendiri enak-enak menunggang kuda dan mengatakan betapa tidak
pantasnya sikap suami itu. Mendengar ini, sang suami lalu menarik isterinya ke
atas punggung kuda dan mereka berdua kini berboncengan, seperti kita tadi. Akan
tetapi kembali mereka bertemu seorang kakek tua yang menyumpah-nyumpah dan
dengan marah menegur mereka sebagai suami isteri yang berhati kejam, membiarkan
kuda mereka tersiksa menanggung beban dua orang. Mendengar celaan terakhir ini,
suami lsteri itu menjadi jengkel. Mereka turun dan mencari bambu, mengikat
empat buah kaki kuda itu, lalu memikul kuda mereka dengan kaki ke atas dan
tubuh di bawah. Mereka tidak perduli lagi walaupun di sepanjang jalan mereka
disoraki dan ditertawakan orang!"
Sarah
mengakhiri ceritanya dengan tertawa geli. Hay Hay juga tertawa.
"Hay
Hay tidakkah sama benar keadaan Itu dengan keadaan kita kalau engkau menolak
untuk berboncengan? Kalau engkau jalan kaki, aku tidak mau naik kuda,
sebaliknya kalau aku yang berjalan kaki, jelas engkau tidak mau naik kuda. Dan
sekarang engkau menolak untuk berboncengan. Apakah sebaiknya kita mencari bambu
dan memikul kuda ini seperti suami isteri itu? Heh-heh-hi-hik, alangkah akan
lucunya!" kata Sarah.
Hay Hay juga
tertawa.
"Sarah,
rasanya tidak pantas kalau aku sebagai laki-laki harus membonceng."
"Kalau
begitu aku yang membonceng!”
Hay Hay
menghela napas. Sukar untuk membantah gadis yang lincah dan pandai berdebat
ini.
"Baiklah
engkau yang membonceng."
Diapun
melompat ke atas punggung kuda, ke depan Sarah yang sudah menggeser duduknya ke
belakang. Mereka melanjutkan perjalanan dan biarpun tubuh Sarah menempel ketat
di belakangnya dan kedua lengan gadis itu merangkul pinggangnya, namun Hay Hay
tidak merasa begitu tersiksa seperti tadi. Bagaimanapun juga, setan seperti
berbisik-bisik, mengingatkan dia akan perasaan aneh di tubuh belakangnya yang
berhimpitan dengan tubuh Sarah, sehingga terpaksa dia harus mengerahkan
kekuatan batinnya untuk melawan.
Untuk
membuyarkan perhatiannya yang selalu terarah kepada perasaan di punggungnya,
Hay Hay mengajak Sarah bercakap-cakap. Dia tahu bahwa setelah berhasil dengan
penyelidikannya, dia akan ke kota raja menyerahkan surat laporan Yu Siucai
kepada Menteri Yang Ting Hoo atau Cang Ku Ceng. Dan tentu pemerintah di kota
raja akan merigirim pasukan untuk menggempur Cang-cow dan mengusir orang-orang Portugis.
Akan tetapi perang menumpas para pemberonrak. Dia amat mengkhawatirkan Sarah.
"Sarah,
setelah engkau kembali kepada ayahmu, kita akan saling berpisah."
Kedua lengan
yang memeluk pinggangnya itu semakin kuat, seolah gadis itu tidak ingin berpisah
darinya.
"Akan
tetapi, bukankah engkau hendak mencari pekerjaan, Hay Hay? Aku dapat
membantumu, aku dapat minta kepada ayah agar engkau diberi pekerjaan. Dengan
demikian, kita akan dapat selalu berdekatan. Aku ingin persahabatan kita ini
dapat berlanjut selamanya……”
“Sarah, hal
itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak
akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang
teramat penting bagimu."
Sarah adalah
seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa
setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat
dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis.
"Katakan,
pesan apakah itu?"
"Engkau
tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan
persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut
Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini
sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti
Cang-couw akan diserbu."
Sarah
terkejut.
"Ah,
begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah
mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw
menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu
berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?" .
"Hemm,
itu pemutar balikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti.
Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah
ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi
perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu."
"Bagaimana
mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron……"
"Nah,
bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan disini hanya karena
engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan
pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin
mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia
dengan kekasihmu itu disana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi
korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping
pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah……”
Sarah tidak
sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung
mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh
Kapten Armando dan Kapten Gonsalo!
Kapten
Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan
membentak.
"Jahanam
busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru
pistolku!"
"Kapten
Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!" bentak Sarah
dengan marah sekali. "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah
menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan
mulutmu!"
"Hemm,
mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!"
Gonsalo
masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil
tersenyum.
"Kapten
Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan," kata Kapten Armando.
"Sarah, turunlah dan kesinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan
ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat."
Sarah tidak
mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka
bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan
dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu.
"Sarah,
turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi."
"Tapi,
Hay Hay….. aku khawatir mereka mengganggumu……"
“Jangan
khawatir, aku mampu menjaga diri," kata Hay Hay yang sejak tadi telah
menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya.
Sarah
percaya kepada Hay Hay dan iapun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang
juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa
kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh
kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah
tentang ciuman dan diapun tersenyum.
"Jahanam
biadab, sekarang terimalah hukumanmu!" Kapten Gonsalo membentak dan
mengacungkan pistolnya.
"Gonsalo,
jangan…..!” Sarah menjerit.
Hay Hay
tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo.
"Kapten
Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?"
Gonsalo
tertegun.
“Ular……?
Ehhh….. ular….!!"
Matanya
terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya
tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desis dan siap mematuk
hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu
dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya.
Semua orang
yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi
terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu
melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan!
Sarah lalu
cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo
dan iapun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang
terdengar oleh semua orang.
"Kapten
Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau
engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo,
majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!"
"Sarah…..!"
teriak Kapten Armando kaget.
"Biarlah
dulu, Ayah!"
Sarah
berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini
tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini.
Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak
kepalanya!
"Sarah,
aku hanya bermaksud membelamu……" dia berkata.
"Membelaku?
Engkau manusia kasar, sombong dan kepala besar! Ketika aku ditawan gerombolan
penjahat, kemana saja engkau minggat? Engkau melarikan diri seperti pengecut.
tidak memperdulikan aku yang ditawan penjahat. Kemudian, setelah aku
diselamatkan oleh pendekar ini, yang mati-matian membelaku dan berhasil
membebaskan aku, engkau malah memaki-maki dia dan hendak menembaknya? Aku yang
akan membelanya, kalau perlu dengan nyawaku!"
Tentu saja
semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Kapten Armando sendiri
sampai terlongong dan tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi Kapten Gonsalo
marah bukan main, merasa dihina.
"Sarah,
engkau sungguh tidak adil! Ketika kita dikepung penjahat, aku membelamu
mati-matian sampai terluka dan terpaksa aku pergi, bukan karena takut melainkan
untuk mencari bala bantuan karena pihak lawan terlalu banyak. Aku sampai
terluka akan tetapi pagi ini sejak semalam terus ikut mencarimu, dan engkau
kini bahkan memaki aku? Engkau tidak adil, atau apakah engkau sudah dipengaruhi
jahanam ini? Sejauh manakah hubunganmu dengan dia? Kulihat tadi kalian
berpelukan di atas kuda! Sarah, sungguh aku merasa malu……."
“Cukup,
Kapten Gonsalo!" tiba-tiba nampak seorang pemuda Portugis yang turun dari
kudanya, meloncat ke depan Gonsalo.
Dia seorang
perajurit muda yang bertubuh tegap jangkung, rambutnya hitam kemerahan dan
matanya tajam penuh keberanian. Wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu
nampak kekanakan dan tampan, namun dagunya berlekuk tanda bahwa dia seorang
yang pemberani.
"Sebagai
seorang yang sopan, engkau tidak pantas menghina Sarah dan mengeluarkan ucapan
yang kotor, tuduhan yang keji itu!"
Gonsalo
membelalakkan mata memandang kepada pemuda itu.
"Kau……!
Asron, kamu ini perajurit biasa, berani menentang kaptenmu? Kau hendak
memberontak?"
Dengan sikap
gagah dan tenang Asron menjawab,
"Tidak
ada perajurit menentang kaptennya, tidak ada yang hendak memberontak. Aku
berhadapan dengan engkau sebagai seorang jantan berhadapan dengan seorang
laki-laki, engkau menghina seorang wanita terhormat dan aku membela wanita yang
kucinta. Ini urusan pribadi!"
Hay Hay
tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi mendengar pemuda itu
disebut Aaron, tahulah dia bahwa pemuda itu kekasih Sarah dan dia kagum melihat
sikap perajurit muda yang berani menentang atasannya untuk membela kekasihnya
itu. Dia dapat menduga bahwa tentu Gonsalo mengeluarkan kata-kata yang tidak
berkenan di hati Asron yang maju membela kekasihnya.
"Bagus!
Ini urusan pribadi dan aku akan menghajarmu!" bentak Gonsalo dan dia sudah
menyerang dengan tinjunya.
Asron
menangkis dan balas menyerang. Mereka segera bertanding, bertinju dan saling
serang dengan ganas.
"Cukup!
Hentikan semua kegilaan ini!"
Kapten
Armando membentak, akan tetapi Sarah menjawab dengan suara yang tidak kalah
lantangnya.
"Biarkan
mereka, Ayah! Aku ingin melihat bukti kesetiaan Asron kepadaku! Biarkan mereka
bertanding dan kita lihat saja siapa yang lebih jantan!"
"Sarah,
perajurit itu akan dihajar oleh Gonsalo." kata Kapten Armando agak lirih.
"Hemm,
biarlah kalau memang begitu. Akan tetapi aku tidak percaya laki-laki sombong
macam dia akan mampu menghajar Asron." Lalu dara ini menoleh kepada Hay
Hay sambil berkata, "Hay Hay, lihat betapa kekasihku Asron membelaku. Dan
aku percaya bahwa Asron akan mampu membersihkan namaku dan menang dalam
pertandingan ini!"
Hay Hay
mengangguk, tersenyum dan meloncat turun dari atas kudanya. Dia maklum maksud
yang tersembunyi di dalam ucapan Sarah tadi. Gadis itu ingin melihat kekasihnya
menang dan sengaja memberitahu kepadanya. Baik, dia akan menjamin agar Aaron
menang dalam pertandingan adu tinju itu.
Dua orang
itu berkelahi semakin seru. Karena Kapten Gonsalo memang seorang jago tinju
yang kuat, dua kali Aaron sempat tercium kepalan tangannya, membuat pemuda itu
terpelanting. Akan tetapi dia tidak mengeluh, juga segera bangkit berdiri dan
melawan lagi.
"Pukul
dia, Aaron. Demi aku, hajar orang kurang ajar itu!"
Teriakan-teriakan
Sarah ini mendatangkan semangat yang berkobar dan Aaron mengerahkan seluruh
tenaganya utuk melawan. Diapun bukan seorang pemuda lemah. Dia telah belajar
ilmu berkelahi, pandai bertinju, bermain pedang dan juga merupakan seorang
penembak jitu.
Namun,
menghadapi Gonsalo, dia kalah pengalaman. Gonsalo mempunyai banyak gerak tipu
yang licik, suka mencuri dengan sikunya, dengan lututnya sehingga Aaron nampak
terdesak. Pemuda yang sudah berdarah di tepi bibirnya itu melawan mati-matian.
Tiba-tiba saja, entah megapa, Gonsalo terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan
oleh Aaron untuk mengayun tinjunya, dengan cepat sekali ayunan tinju kanannya
meledak di rahang Gonsalo yang terhuyung.
"Dess….!"
Gonsalo
terjengkang. Pukulan itu keras sekali dan tadi tanpa sebab tertentu, tiba-tiba
saja kaki kirinya seperti kram dan dia terhuyung sehingga terpukul lawan. Akan
tetapi dia memang kuat. Begitu tubuhnya terjengkang dia sudah melompat bangkit
kembali dan bagaikan seekor harimau, dia menggereng dan menerjang lagi. Akan
tetapi kembali terjadi keanehan. Tiba-tiba saja kedua lutut kakinya lemas dan
diapun jatuh berlutut. Aaron. sudah datang dengan tinju kanan kiri, dua kali
dia rneninju pangkal telinga dan dagu.
"Dess!
Desss……!!” dan kini Gonsalo roboh dan biarpun dia berusaha untuk rnerangkak
bangun, kepalanya pening dan iapun roboh lagi, lalu bangkit duduk dan
rnengguncang-guncang kepala.
Terdengar
sorak-sorai dan ternyata banyak diantara para perajurit yang memihak Asron
karena banyak yang diam-diam tidak suka kepada Gonsalo yang sombong dan keras
terhadap bawahannya itu.
"Cukup,
hentikan perkelahian!!"
Tiba-tiba
Kapten Armando berseru. Sarah lalu menghampiri Aaron dan mereka berpelukan.
Sarah rnengusap sedikit darah dari tepi bibir kekasihnya, lalu mereka berciuman
di depan Armando dan semua perajurit. Kembali terdengar teriakan gembira.
Kapten
Armando menghela napas panjang dan merasa dikalahkan puterinya. Kini semua
orang tahu bahwa puterinya saling mencinta dengan Aaron, dan pemuda yang
berpangkat perajurit biasa itu ternyata dapat membuktikan bahwa dia lebih
jantan daripada Gonsalo.
"Asron,
ketahuilah bahwa Hay Hay yang membantumu sehingga engkau tadi menang,"
Sarah
berbisik di dekat telinga kekasihnya. Aaron membelalakkan mata memandang Hay
Hay yang juga memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Kini mengertilah
Aaron. Tadi dia juga merasa heran mengapa Gonsalo terhuyung sehingga dia dapat
memukulnya, kemudian Gonsalo bahkan berlutut sehingga dia dapat menalukkannya.
Dia tahu
bahwa hal ini tidak wajar, kecuali kalau Gonsalo terserang penyakit mendadak.
Kini mendengar ucapan Sarah, mengertilah dia. Diapun sudah banyak mendengar
tentang adanya "pendekar" di negeri asing ini.
Gonsalo
dibantu berdiri oleh anak buahnya. Kesempatan ini dipergunakan Sarah untuk
menghampiri ayahnya dan dengan lantang ia berkata,
"Ayah,
kalau tidak ada Hay Hay, tentu saat ini aku tidak dapat bertemu kembali dengan
Ayah. Karena itu, aku minta agar jangan ada yang mengganggu Hay Hay."
Kapten
Armando memandang kepada Hay Hay. Dia melihat betapa pemuda itu memiliki wajah
yang cerah dan ramah, akan tetapi mata itu sungguh mengejutkan, seperti mata
harimau, mencorong!
"Baiklah,
dia boleh pergi. Akan tetapi kami akan menyerbu sarang perampok yang telah
menawanmu."
"Terserah
kepada Ayah. Ada satu lagi permintaanku, Ayah."
"Apa
lagi? Katakan dan cepat kembali ke benteng."
"Ayah,
setelah peristiwa ini, aku tidak suka lagi tinggal disini. Aku ingin pulang ke
negeri kita, aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi."
Kapten
Armando mengangguk-angguk. Kalau tidak ada puterinya disitu, dia akan merasa
lebih bebas dan tidak khawatir. Puterinya terlalu nakal dan berandal, telah
mendatangkan banyak kepusingan kepadanya.
“Boleh,
boleh. Dalam kesempatan pertama engkau boleh berlayar pulang ke negeri
kita."
"Aku
minta diantar Aaron!" seru pula Sarah.
"Tapi
dia seorang perajurit yang bertugas disini." bantah ayahnya.
"Tidak,
Ayah. Setelah peristiwa ini, tentu dia akan diancam oleh Kapten Gonsalo. Pula,
dia bukan perajurit biasa, dia calon mantumu Ayah. Di negeri kita, dia dapat
bekerja, daripada disini selama hidup dia hanya menjadi perajurit saja yang
tidak pernah dinaikkan pangkatnya!"
Kapten
Armando kembali merasa dikalahkan. Jelas bahwa puterinya memprotes dan diapun
merasa salah karena memang sengaja dia tidak menaikkan pangkat Aaron karena
memang dia tidak setuju puterinya berpacaran dengan perajurit itu. Kini, Sarah
membuka semua itu di depan banyak perajurit dan dia akan nampak buruk sekali
kalau dia berkeras.
"Baiklah,
dia akan mengantarmu pulang.” kata Kapten Armando.
"Terima
kasih, Ayah…..!"
Sarah
berteriak dan diapun melepaskan Aaron, lari kepada ayahnya, memeluk ayahnya dan
menciumi kedua pipi ayahnya. Mau tidak mau Kapten Armando merasa terharu juga.
Setelah
menciumi ayahnya, Sarah kembali menghampiri Aaron.
"Aaron,
kalau tidak ada Hay Hay, mungkin aku sudah mati atau setidaknya, tidak mungkin
kita akan dapat berjodoh. Semua ini berkat pertolongannya. Kau menyadari hal
ini?"
Aaron
mengagguk, lalu menggandeng tangan Sarah dan menghampiri Hay Hay yang masih
berdiri sambil memandang semua itu dengan hati gembira. Dia semakin kagum.
Sarah memang hebat, pandai sekali memanfaatkan keadaan sehingga terkabullah semua
keinginannya. Juga hatinya lega melihat Sarah telah berbaik kembali dengan
ayahnya. Walaupun dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun melihat
sikap mereka, diapun dapat menduga bahwa Sarah telah berhasil.
Dia
menyambut Sarah yang bergandengan tangan dengan Aaron itu dengan wajah cerah.
"Berhasilkah
engkau, Sarah?" tanyanya menyambut mereka.
"Berkat
bantuanmu, semua berhasil baik Hay Hay. Ayah membolehkan aku pulang ke negeri
kami diantar oleh Aaron."
Aaron juga
mengulurkan tangan kepada Hay Hay.
"Terima
kasih," katanya.
Itulah
satu-satunya kata yang dikenalnya dari bahasa daerah. Hay Hay menyambut uluran
tangan itu dengan hangat.
"Kalau
begitu, aku mengucapkan selamat, Sarah." kata Hay Hay mengulurkan tangan
kepada gadis itu.
Akan tetapi
Sarah tidak menyambut uluran tangan itu.
"Aaron,
engkau tidak keberatan kalau aku mencium penyelamat kita?"
Aaron
tersenyum dan menggeleng kepalanya. Sarah lalu menghampiri Hay Hay yang masih
mengulurkan tangannya, kemudian ia merangkul, menarik leher Hay Hay sehingga
mukanya menunduk, lalu Sarah menciumnya. Bukan di dahi bukan di pipi, melainkan
di bibir. Ciuman yang hangat, yang mesra dan dilakukan dengan seluruh luapan
perasaan yang berterima kasih. Hay Hay merasakan ini, dan diapun merasa betapa
pipinya basah oleh air mata gadis itu.
Sarah
mengendurkan rangkulannya dan berbisik,
"Hay
Hay, demi aku, perlihatkan kepandaianmu dan menghilang dari sini agar mereka
percaya."
Ia
melepaskan rangkulannya dan berkata dengan suara lantang,
"Hay
Hay, selamat berpisah dan selama hidupku, aku tidak akan melupakanmu!" Ia
mengusap air matanya.
Hay Hay
terharu.
"Semoga
Tuhan selalu membimbingmu dan memberkahimu hidup berbahagia bersama Aaron,
Sarah. Selamat tinggal!"
Tiba-tiba
Hay Hay meloncat ke atas, tinggi seperti terbang saja. Semua orang terbelalak
memandang. Pemuda itu seperti seekor burung saja melayang ke atas pohon dan
begitu dia membuat salto, diapun lenyap diantara pohon-pohon! Tentu saja hal
ini membuat semua orang merasa kagum, dan kini semua orang, termasuk Gonsalo
sendiri dan juga Armando, percaya akan cerita Sarah bahwa yang menolongnya
adalah seorang pendekar sakti!
Sarah lalu
mengajak Aaron untuk pulang ke benteng, sedangkan Kapten Armando dibantu oleh
Kapten Gonsalo bersama pasukanya, melanjutkan perjalanan menyerbu sarang
gerombolan di bukit berguha-guha. Gonsalo agaknya hendak melampiaskan sakit
hatinya kepada mereka dan segera terdengar letusan-letusan senjata api ketika
sarang itu diserbu. Terjadilah pembantaian dan hanya sedikit saja diantara
gerombolan itu yang lolos. Lima orang Harimau Cakar Besi yang menjadi pemimpin
mereka tewas.
Peristiwa
ini disusul oleh amukan orang-orang Portugis yang sejak terjadinya penyerbuan
ke sarang perampok itu memperlihatkan sikap mereka yang asli. Mereka menjadi
ganas dan kejam, dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka merasa diri kuat,
apalagi karena mereka telah berhasil mengikat para pembesar daerah untuk
bersekutu, dibantu pula oleh para bajak laut Jepang yang mempergunakan
kesempatan itu untuk membonceng demi keuntungan diri sendiri.
Sarah dan
Aaron segera berangkat dengan kapal pertama yang membawa barang dagangan,
meninggalkan Cang-cow dan berlayar ke tanah airnya. Disana telah menanti suatu
kehidupan baru yang cemerlang, yang jauh bedanya dengan kehidupan di Cang-cow,
hidup dalam benteng yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan.
Kini kedua
orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap
hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang
baik sekali, dipercaya oleh Menteri Cang, seorang diantara semua menteri yang
paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali
meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua
adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan
tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat
menyakitkan.
Biarpun
mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan
puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak. Mereka ingin
agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka,
walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi
secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi
disitu terdapat Mayang.
Gadis ini
agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang
kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus
berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi
tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik,
tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada
orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi
mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka.
Biarpun
bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini
dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya
untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotarajapun ia kadang
mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua
pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow dimana para
pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut
Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw.
Ia bahkan
sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis
pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu
kepada kaisar di kotaraja. Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat
laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu
persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas
surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar.
Mendengar
ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan
untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu,
orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang
membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang
Ting Hoo.
Pada suatu
hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri
Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja. Taman
bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat disini agar leluasa
bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah
berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang
menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara.
Mereka
berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga
mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak
akan dapat didengar orang lain. Juga disekitar situ ada tempat persembunyian
yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara
sembunyi-sembunyi.
Liong Bi
nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata
dengan wajah bersungut-sungut,
"Sialan!
Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh
merupakan penghalang besar bagi kita."
"Bersabarlah,
Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua
perintahku."
"Hemmm,
sampai kapan? Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk
rayuanmu, lalu bagaimana? Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan
kekerasanpun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita,
sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa
bergerak. Lihat, untuk berundingpun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak
berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus
menyingkirkannya." kata , Liong Bi.
Ia dan Liong
Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak
kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab
dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung
disebut adik.
Sim Ki Liong
atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu,
"Singkirkan
Mayang? Apa maksudmu?"
"Bunuh
ia dan lenyapkan. Apa lagi?" jawab Liong Bi singkat.
Liong Ki terkejut
dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah
sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan
tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui
bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau
sampai Mayang dibunuh.
"Gila
kau!" desisnya. "Aku mencintanya!"
Liong Bi
menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya.
"Cinta
? Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, kemana larinya
cintamu itu? Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam
kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau
tetap akan mencintanya? Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya ? Konyol
dan tolol!"
Bagi seorang
wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, didalam kehidupan ini
tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang
ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan,
ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan,
ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada
seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang
mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.
"Jangan
berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku
sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya,
bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya ?”
Sebetulnya,
tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki
juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja.
Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang
membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin
memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya
rela untuk mengubah jalan hidupnya.
Akan tetapi
semua itupun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang
karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan.
Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apapun. Akan tetapi itu
bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau
bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang
dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi
padam dan hanya tinggal asapnya saja.
Nafsu dalam
bentuk apapun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar
dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah
terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari
yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian
seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram
dan tidak berdaya. Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan
mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak
menarik lagi dan membosankan.
Nafsu
menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga
terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan
kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal
rohaniah.
Ketika Liong
Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak
jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima
orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang
kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan
marah kepada seorang hwesio berjubah kuning. Mereka berdua tertarik sekali dan
mendekat.
Hwesio itu
berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali.
Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di
bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua
tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam
kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan
mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong!
Hwesio itu
tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan
dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas
tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa
mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci
besar arak disitu.
"Hwesio
tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?" teriak seorang
diantara lima pemuda berpakaian mewah itu.
"Engkau
ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas
dari kami!" teriak orang ke dua.
"Orang
tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?"
"Hayo
pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!"
Menghadapi
kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja.
Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum
menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi
makanan di mulutnya, barulah dia mejawab.
"Omitohud,
kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa? Sepantasnya kalian bersyukur bahwa
makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan
mendatangkan barkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?"
Lima orang
pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang
laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap
mereka, jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda
itu.
"Seret
dia pergi dari sini!" perintah seorang diantara lima orang pemuda itu.
"Pendeta tua itu perlu dihajar!"
Tiga orang
jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa
sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga,
biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus
menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka
disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang
diantara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap
hormat dia berkata.
"Losuhu,
harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan
mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini.”
"Omitohud,
kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini,
jangan mengurangi selera makan pinceng." kata hwesio itu dengan senyum
lebar dan suaranya mengandung ejekan.
"Losuhu,
kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami
takut menyeretmu keluar dari taman ini!" bentak jagoan kedua.
"Heh-heh-heh,
kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa ?"
"Kami
akan terpaksa menyeretmu pergi!" bentak si muka kuning yang sudah
kehilangan kesabarannya.
"Ha-ha-ha,
anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!" hwesio itu
tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya.
Mendengar
ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak
mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan
itu.
"Pergilah
kalian anjing-anjing penjilat!" hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan
seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya
membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak.
Tiga orang
jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang
tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka
terus terguling-guling seperti diseret angin yang amat kuat.
Liong Ki dan
Liong Bi, dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa
debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan
beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah
daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering
itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang
jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan
dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu.
"Hemm,
kalian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang
kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh
bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!" kata pula hwesio itu
sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong
ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat
tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh.
Dan
tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka
seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung
dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan.
Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam
kolam berenang ketakutan.
Liong Ki dan
Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka
berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat
kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti
jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak
mampu menandinginya.
"Dia
lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat
berguna." bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa
yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya.
Mereka
berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang
pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan
taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran
setelah tadi ikut menjadi penonton.
Kini Liong
Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi
hormat.
Liong Ki
berkata dengan sikap menghormat,
"Locianpwe,
lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar
karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan
hartawan, namun kami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi
menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah
makan Lok-an yang terkenal di kota raja ini."
Hwesio itu
bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang
Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau
India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka
melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan
Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita,
dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang
mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah
sekali.
Ketua kuil
Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka
dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk
memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan
Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan
melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai
Siangkoan Ci Kang.
Dapat
dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara
seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas.
Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu,
memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di
kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang.
Tepat
seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan
Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin
Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si
sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia
sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada
di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali
dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay!
Ketika Hek
Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan
memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini
mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta
Lama.
Tiga orang
pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah
saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang Lama itu adalah Gunga Lama,
Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak
ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa
tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan
mendendam.
Mereka sudah
menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di
tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san,
sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan
seorang pemuda bernama Tang Hay!
Mereka
segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini
tidak menyangkal ketika ditanya dan iapun melakukan perlawanan dengan gigih
ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian
mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal
masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim
Mo Siankouw roboh dan tewas!
Dua orang
hwesio itu lalu melakukan perjalanan pulang ke timur untuk mencari musuh mereka
yang kedua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di
kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga
untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus
membalas kematian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu.
Kini Hek Tok
Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di
kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan
hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak
menawarkan kepadanya, diapun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya
akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan
mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada
mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka.
Ketika Liong
Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah
makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah
kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat
mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia
tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.
"Ha-ha-ha,
orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut
pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas,
ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta
seperti pinceng, omitohud…..!”
Hek Tok
Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti
Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat
dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam
pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air,
Liong Ki berkata kepada mereka.
"Jadikan
pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. Aku adalah
perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau
kalian menghabiskan urusan itu sampai disini saja."
Mendengar
bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda
hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan
mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata,
"Mohon
Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."
"Omitohud,
kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian
dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?"
Dia tertawa
dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman. Lima orang hartawan muda
dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta
gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat
lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang
pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa
lagi!
Hek Tok
Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang
lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa
saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara
apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil
tertawa.
Kemudian dia
dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan
hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan
ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan
merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng
Hok Hwesio.
Ketua
Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah
nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang mereka telah kuasai,
mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam
ilmu keagamaan Budha.
Demikianlah,
dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan
memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu
dengan banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lalu memperdalam ilmu
silat mereka pula. Bukan hanya ilmu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu
tentang racun!
Dan dalam
hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada
agama yang asli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu
menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti
seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat
bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat
menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu.
Hek Tok
Siansu yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak perduli lagi akan
baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua berbuatnya benar. Dia
selalu menuruti dorongan batinnya yang berada dalam gelombang pertentangan yang
tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi
kesenangan.
Kedua
keinginan itu nampaknya berlawanan namun sesungguhnya masih merupakan nafsu
yang sama. Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa
terselubungpun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih,
tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak perduli
melakukan kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil
kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan
kesenangan dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu
ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh,
melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu
kesenangan yang dikejar-kejar.
Nafsu selalu
menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan antara manusia
menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan
pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu
bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu manusia,
saling mempertahankan “kebaikan” berpamrih tadi.
Orang
menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat yang
dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa
lingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Kalau hendak
menyehatkan lingkungan, seharusnya menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi
sehat, lingkunganpun otomatis menjadi sehat.
Orang boleh
bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari
keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan
dan meyalahkan nafsunya senndiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan inipun
merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih dalam lingkaran setan,
masih terdorong nafsu.
Selama ada
dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar
berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih,
dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian,
kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi “kesenangan”.
Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak
dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa
yang kita anggap sebagai kebaikan. Tidak pernah kita bertanya kepada diri
sendiri : Andaikata sorga itu tidak menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu
tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang kita paksakan itu? Lalu
untuk apa?
Kebaikan
adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan yang
disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka disitu pasti
terkandung suatu harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekalipun.
Matahari
merupakan kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan
cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon
memberikan bunga-bunga harum, buah-buahan segar, kayu dan kulitnya pun
bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing
dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja dan tidak
mengharapkan imbalan......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment