Sunday, October 14, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Sungai Kuning Jilid 02



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Dewi Sungai Kuning

                 Jilid 02


Setelah lewat lama sekali, barulah tampak Yan Bun muncul ke permukaan air sambil terengah-engah karena terlalu lama dia menahan napas! 

Anak-anak perempuan yang menjagoi Thian Hwa bersorak riuh karena munculnya Yan Bu ini mereka anggap sebagai kemenangan bagi Thian Hwa yang. ternyata lebih kuat bertahan di bawah permukaan air! 

Tapi sampai lama ditunggu, belum juga Thian Hwa tampak muncul! Yan Bun merasa heran sekali, karena mungkinkah gadis itu dapat bertahan selama itu di dalam air"

 Ah, tidak mungkin! Andaikata lwee-kang gadis itu sudah sangat tinggi dan kuat, rasanya tidak mungkin ia dapat menahan napas selama itu. Tapi, karena dalam hal bertahan diri di dalam air dia merasa dikalahkan, Yan Bun lalu keluarkan kepandaian berenangnya yang paling cepat untuk mendahului tiba di tepi. Benar saja, ia dapat mencapai tepi lebih dahulu dengan disambut sorakan ramai.

Tapi kini orang-orang gelisah karena Thian Hwa belum juga tampak muncul! Bahkan Ui Hauw sendiri menjadi gelisah dan tidak tahan lagi untuk tidak bertanya kepada Thian Bong Sianjin. "Suhu, apakah benar-benar Thian Hwa dapat bertahan sedemikian lamanya?" Karena Ui Hauw Si Ular Air sendiri tak sanggup untuk berdiam di dalam air sedemikian lamanya!

Thian Bong Sianjin yang semenjak tadi hanya tersenyum saja, ketika mendengar kata-kata Si Ular Air ini tertawa terkekeh-kekeh, lalu menuding ke arah air sambil berkata. "Ha, kau juga kena dikelabuhi" Lihatlah batang jerami itu! Pernahkan melihat batang jerami bisa berenang?"

Ui Hauw memandang dan dia pun ikut tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian, batang jerami yang menonjol di permukaan air dan semenjak tadi bergerak ke arah tepi, telah tiba di tepi dan tampaklah kini kepala Thian Hwa yang segera muncul. Wajah gadis itu berseri-seri dan pada mulutnya tergigit sebatang jerami panjang. Jadi ternyata gadis yang sangat cerdik ini telah mengalahkan Yan Bun dalam bertahan di bawah air dengan menggunakan akal, yakni ia menggigit batang jerami yang berlubang dan dengan telentang ia dapat berenang di bawah air seenaknya karena dapat bernapas melalui batang jerami yang berlubang itu!

Semua orang tertawa dan memuji gadis itu, terutama Ui Hauw merasa kagum dan gembira sekali.

"Suhu, bukankah cucumu itu cocok sekali kalau kelak menjadi jodoh putera teecu?" katanya perlahan. Thian Bong Sianjin hanya tertawa saja, tapi tidak menjawab sesuatu, karena pada saat itu dia belum memikirkan tentang hal itu.

Karena sayang dan suka kepada Yan Bun, sejak saat itu Thian Bong Sianjin sering sekali datang ke kampung Ui Hauw untuk memberi pelajaran silat kepada Yan Bun, sehingga boleh dibilang semenjak saat itu murid Thian Bong Sianjin menjadi dua orang, yakni Thian Hwa sendiri dan Yan Bun. Kakek tua itu tidak pilih kasih dan ia memberi pelajaran kepada Yan Bun dengan sungguh-sungguh, bahkan pelajaran yang diterima oleh Yan Bun jauh lebih banyak daripada yang pernah dia berikan kepada Ui Hauw. Yan Bun memang berotak terang, maka dia dapat menguasai semua pelajaran yang diberikan itu dengan baik sehingga mendapat kemajuan pesat sekali. Malah kini dia dapat ikut bersilat di atas air dengan menggunakan papan terompah air bermain-main dengan Thian Hwa.

Hubungan kedua anak itu menjadi erat, karena Thian Hwa suka kepada Yan Bun yang bersikap lemah-Iembut, sopan-santun dan pandai pula berkelakar. Sebaliknya, sudah semenjak pertemuan pertama, Yan Bun kagum sekali kepada Thian Hwa yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak ada nomor duanya di dunia ini!

Berkali-kali, apabila melihat hubungan kedua anak itu demikian baiknya, Ui Hauw mengutarakan pikirannya untuk menjodohkan keduanya, tapi selalu Thian Bong Sianjin tidak mau menyatakan persetujuannya, walaupun dia juga tidak menyatakan ketidaksukaannya akan usul ini. Hanya satu kali pernah dia berkata kepada Ui Hauw, 

"Tentang hal itu, aku tidak berpendirian kukuh. Biarlah hal itu diputuskan sendiri oleh Thian Hwa. Anak itu berdiri sendiri di dunia ini, maka segala hal yang menyangkut dirinya, biarlah dia sendiri mengambil keputusan, aku orang tua yang hanya sebentar lagi berada di dunia ini cukup mengamat-amati saja."

Mendengar keterangan yang bersifat pernyataan isi hati kakek ini, Ui Hauw maklum. Dia tahu bahwa Thian Hwa bukanlah cucu gurunya sendiri, sedangkan dia tahu pula bahwa kakek tua itu berhati mulia dan penuh belas kasih hingga untuk kebahagiaan orang lain, dia sendiri rela berkorban. Apalagi untuk menjaga kebahagiaan Thian Hwa yang dikasihi, dia tentu tidak perdulikan perasaan hatinya sendiri dan menyerahkan saja kepada anak itu agar tidak sampai salah pilih.

Telah beberapa kali Thian Hwa bertanya kepada kakeknya tentang ayah ibunya, karena gadis ini setelah besar mengerti bahwa selain kakeknya, ia tentu mempunyai seorang ibu dan ayah. Jika ditanya kakeknya selalu memberi jawaban menyimpang sehingga Thian Hwa menjadi penasaran.

 Pernah gadis itu berkata, "Kong-kong, kalau memang ayah ibuku telah meninggal dunia, katakanlah saja. Tapi kalau mereka masih hidup, bawalah aku bertemu dengan mereka." Gadis yang semenjak kecilnya tidak pernah menangis ini ketika mengajukan pertanyaan, dari kedua matanya mengalir air mata membasahi pipinya. Tapi ia dapat menetapkan hatinya yang keras untuk tidak menangis tersedu-sedu.

Thian Bong Sianjin ketika ditanya dan mendengar sesalan cucunya ini, menghela napas panjang. Memang dari dulu dia telah maklum bahwa pada suatu saat pasti datang pertanyaan ini dan kalau sudah tiba waktunya, tak mungkin lagi dia dapat membohongi anak itu. Dia memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua Thian Hwa, tapi pada malam dia menolong dan merawat Thian Hwa, dia bermimpi bertemu dengan seorang wanita muda yang menangis sedih dan berlutut kepadanya sambil berkata, "Inkong, peliharalah anakku baik-baik....

" Thian Bong Sianjin masih ingat betul bahwa wanita muda itu wajahnya cantik dan di atas bibirnya terdapat tahi lalat hitam. Tapi hal itu disimpannya sebagai rahasia sendiri dan tidak pernah menuturkannya kepada orang lain.

Setelah usia Thian Hwa meningkat sehingga sukar untuk dibohongi lagi, terpaksa dia menjawab. "Thian Hwa, memang kau masih mempunyai ayah dan ibu!"

"Mendengar kata-kata itu, gadis itu berdiri dan merangkul kakeknya untuk menyembunyikan matanya yang telah basah di pundak kakeknya itu. Dan terbayanglah lagi wajah wanita muda di depan mata Thian Bong Sianjin. Dia masih teringat bahwa wanita itu memakai pakaian yang mewah seperti orang berpangkat.

"Di mana mereka, Kong-kong" Di mana7" Thian Hwa bertanya sambil tersenyum dan wajah yang berseri-seri.

"Sabarlah, Thian Hwa. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka itu' Ketahuilah, aku... aku bukanlah kakekmu sejati. Kau kutemukan di... dan... dan aku pun tidak tahu siapa orang tuamu."

Wajah yang berseri-seri itu tiba-tiba menjadi muram bagaikan api bernyala disumbu lilin tiba-tiba tertiup padam. "Kalau begitu... Kong-kong... mari kita cari mereka...."

Thian Bong Sianjin lalu memeluk muridnya yang baru berusia tiga belas tahun itu. "Thian Hwa, kau sabarlah. Apa kau-kira aku tidak suka melihat kau berjumpa dengan kedua orang tuamu" Aku mendidik kau menjadi orang pandai juga dengan maksud agar kelak kau dapat mencari mereka! Tapi nanti, kalau kau sudah dewasa dan sudah memiliki kepandaian tinggi.

 Sekarang kau belajarlah dengan tekun dan rajin, kelak tentu akan tiba masanya aku melepaskan kau pergi mencari orang tuamu."

Tubuh Thian Hwa menggigil dalam pelukan kakeknya, tanda bahwa anak itu menggunakan seluruh tenaganya untuk menahan isak tangisnya. Thian Bong Sianjin menghela napas. 

Sungguh hebat luar biasa sekali anak ini, pikirnya dengan kagum.

Semenjak itu, Thian Hwa tekun mempelajari ilmu silat tinggi, bersama-sama Yan Bun sehingga tingkat kepandaian mereka saling susul dan tidak berbeda jauh. Yan Bun tumbuh menjadi seorang pemuda yang sabar, hati-hati dan sebelum bertindak selalu mengadakan perhitungan tepat dan cermat, tapi Thian Hwa menjadi seorang gadis yang sangat pemberani dan bebas. 

Mungkin hal ini terjadi karena memang semenjak kecil ia hidup berdua dengan kakeknya, lepas bebas sebagai seekor burung di udara, dan dalam pada itu, selalu segala macam bahaya dan kesukaran ia pecahkan sendiri karena memang disengaja oleh Thian Bong Sianjin untuk membiarkan gadis itu menghadapi segala kesukaran dengan tenaga sendiri, dan baru ditolongnya kalau memang perlu ditolong! Karena inilah, maka watak Thian Hwa selain keras dan jujur, juga sangat pemberani dan percaya penuh akan kemampuannya sendiri.

Pada suatu hari, ketika seperti biasanya Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa mengunjungi perkampungan Ui Hauw, mereka mendapatkan kampung itu dalam persiapan dan Ui Hauw ta.mpak berwajah muram. Thian Bong Sianjin merasa heran sekali dan baru saja dia dan cucunya mendarat, Ui Hauw menyambutnya dengan penuturan sebuah peristiwa yang membuat Thian Hwa menjadi marah sekali.

Semenjak Thian Bong Sianjin mengundurkan diri dan mencuci tangan dari pekerjaannya sebagai bajak tunggal, maka peraturan yang dia tetapkan bagi semua bajak di Sungai Huang-ho tetap diindahkan dan ditaati semua bajak besar kecil. 

Terutama karena mereka semua itu mendengar bahwa Si Ular Air Ui Hauw yang dianggap sebagai pengganti Thian Bong Sianjin yang dulu disebut Huang-ho Sui-mo atau Setan Air Sungai Huang-ho, terkenal sebagai seorang gagah yang mengutamakan keadilan dan kegagahan dan tetap mentaati peraturan yang ada.

Akan tetapi, karena Ui Hauw kini jarang sekali meninggalkan perkampungannya yang kini menjadi kampung tetap, dan boleh dikata tak pernah kepala bajak itu mendayung perahunya lagi menjelajah sepanjang sungai, lambat laun kekuatan para bajak makin lemah dan di sana-sini terjadi pelanggaran-pelanggaran. Ada kumpulan bajak yang sengaja mengganggu perahu-perahu nelayan dan merampas hasil-hasil yang didapatnya, bahkan ada yang merampok ikan-ikan yang didapat dengan bekerja keras sehari semalam oleh tukang-tukang ikan itu!

Baru beberapa bulan akhir-akhir ini, di permukaan Sungai Huang-ho timbullah nama baru yang cukup menggemparkan dan yang seakan-akan mendesak ke samping nama Ui Hauw yang telah lama seakan-akan tidak aktif lagi itu. Memang, sudah lama sekali Ui Hauw mengajar anak buahnya untuk mendapatkan hasil dengan cara menangkap ikan dan bertani di pinggir sungai yang tanahnya subur itu, sehingga mereka kini boleh dibilang menjadi nelayan-nelayan dan petani-petani yang pandai dan hidup damai! 

Nama baru ini ialah Ma Tek San yang digelari orang Tiat-thou-kim-go atau Buaya Emas Kepala Besi! Orang she Ma ini tadinya adalah seorang perampok, tetapi karena kekurangan hasil, lalu menceburkan diri dalam kalangan pembajakan dan menjadi seorang bajak yang ganas. Karena kepandaian silatnya yang tinggi, ditambah pula memang dia pernah mempelajari ilmu dalam air, maka sebentar saja dia dapat mengangkat dirinya menjadi kepala dan pengikut-pengikutnya adalah orang-orang yang sifatnya sesuai dengan dia, yakni kejam dan berani mati.

Karena baru saja muncul dari bidang pekerjaan lain, yakni merampok, maka Ma Tek San tidak pernah bertemu muka dengan Ui Hauw dan karenanya tidak menaruh hormat sedikitpun juga. Dia membajak sesuka hatinya, bahkan berani melanggar wilayah atau daerah dari bajak-bajak lain hingga terjadi pertempurran-pertempuran. Tetapi selama ini belum pernah ada bajak lain yang sanggup mengalahkannya, maka sebentar saja namanya menjadi terkenal dan sangat ditakuti. Walaupun demikian, Ma Tek San juga mendengar tentang nama besar Ui Hauw sehingga dia belum berani main-main atau coba-coba mengganggu wilayah orang she Ui itu.

Tapi pada dua hari yang lalu, mulailah Si Buaya Emas itu beraksi! Dan sekali ia beraksi, dia tidak mau kepalang-tanggung lagi! Dia telah mengganggu dan merampas semua ikan dari empat orang nelayan yang bukan lain adalah anak buah Ui Hauw sendiri! Ini masih belum hebat, yang lebih menyakitkan hati ialah bahwa dua orang di antara yang empat itu telah mati terbunuh, sedangkan yang dua lagi kalau tidak memiliki kepandaian berenang yang cukup tinggi, tentu akan terbunuh pula. Mereka inilah yang datang memberi laporan kepada Ui Hauw dan menceritakan betapa Ma Tek San dengan sombongnya menantang.

"Kalau kalian memang betul anak buah bajak kecil Ui Hauw itu, katakan padanya bahwa kalau dia ingin tahu keberanian Tiat-thou-kim-go, biarlah kutunggu dia di Tikungan Maut!"

Ternyata bahwa rombongan bajak baru yang dipimpin oleh Ma Tek San ini telah menjelajah sampai di Tikungan Maut dan agaknya hendak menguasai dan merampas daerah yang subur di mana Ui Hauw dan anak buahnya tinggal. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan besar sekali, karena tidak saja Ma Tek San telah melanggar pantangan merampok dan membunuh nelayan, juga telah berani membunuh anak buah Ui Hauw dan mengeluarkan tantangan! Juga semua anak buah Ui Hauw marah sekali dan mereka bersiap untuk menyerbu ke Tikungan Maut.

Mendengar berita ini, Thian Bong Sianjin yang sudah tua itu menggunakan tangan kanan mengusap-usap jenggotnya dan tersenyum getir.

"Aku orang tua sudah tiada guna, maka ada orang yang berani berlaku sewenang-wenang dan menjalankan kejahatan di depan mataku. Kalau hal ini kudiamkan saja, maka akan kotorlah Sungai Huang-ho dan percuma saja aku hidup puluhan tahun di permukaan air ini! Biarlah aku mewakili kalian menghajar buaya kecil itu."

"Suhu, yang dihina oleh buaya itu adalah teecu, maka biarkanlah teecu sendiri yang mencoba sampai di mana keperkasaan buaya yang sombong itu. Suhu tidak usah mencapaikan diri turun tangan sendiri." kata Ui Hauw yang merasa sangat sakit hati terhadap orang she Ma itu.

"Ayah, ada aku anakmu di sini, mengapa kau orang tua hendak turun tangan sendiri" Kurasa, kalau hanya orang macam dia itu saja, aku yang telah menerima pelajaran dari Ayah dan Sukong masih sanggup melawannya." kata Yan Bun dengan gagah. "Berilah aku beberapa orang saudara yang pandai dan gagah berani, dan aku akan tangkap buaya itu dan menyeretnya ke sini."

"Kong-kong dan Ui Peh-peh. Memang betul kata Ui-twako tadi. Hal seremeh ini tak perlu harus membuat Kong-kong atau Peh-peh kesal hati. Untuk memukul anjing kecil tak perlu memakai tongkat besar. Dan juga, kurasa tak perlu Ui-twako harus repot-repot membawa banyak kawan. Hal ini hanya akan merendahkan nama kita saja. Cukup Ui-twako dan saya pergi dan tanggung bereslah beberapa ekor buaya kecil itu!" demikianlah kata Thian Hwa yang sangat jumawa dan berani itu.

Ui Hauw maklum bahwa kepandaian Yan Bun dan Thian Hwa telah melampaui kepandaiannya sendiri dan jauh lebih tinggi, maka kalau kedua anak muda itu yang pergi, akan lebih kuat daripada kalau dia sendiri yang pergi, tetapi dia merasa tidak enak hati untuk melepas kedua anak muda yang belum berpengalaman itu menghadapi seorang penjahat licin seperti Ma Tek San. Karena inilah, maka dia merasa ragu-ragu.

Tiba-tiba Thian Bong Sianjin tertawa besar.

 "Ha-ha-ha! Sikap kalian ini membuat aku teringat akan masa mudaku ketika kami beberapa hohan menjadi barisan gerilya mengacau pertahanan kubu-kubu tentara Manchu. Tiap kali ada pekerjaan mengadu nyawa, kami selalu berebut untuk melakukannya! Sekarang kalian berebut untuk mencari pahala, ha-ha! Memang beginilah seharusnya laku orang-orang gagah! Ui Hauw, biarlah. Kaulepaskan kedua anak muda ini, biar mereka mendapat pengalaman baru."

"Tapi, Suhu. Mereka ini masih belum berpengalaman, teecu merasa khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak oleh tipu muslihat buaya itu."

"Jangan cemas, aku sendiri akan mengamat-amati mereka, sekalian melihat siapakah sebenarnya orang kurang ajar itu." Mendengar bahwa orang tua itu sendiri hendak ikut pergi dengan kedua anak muda itu, tenanglah pikiran Ui Hauw. Tetapi, biarpun dia dan anak buahnya tak berani membantah, namun di dalam hati mereka itu kurang puas karena tidak dapat menghantam musuh yang dibenci itu dengan tangan sendiri.

Sementara itu, Yan Bun dan Thian Hwa segera pergi ke sungai bersama Thian Bong Sianjin. Mereka bertiga naik perahu kecil yang biasa dinaiki Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa. Kakek tua itu duduk di tengah-tengah sambil berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan Yan Bun di belakang dan Thian Hwa di depan mengayuh biduk kecil itu dengan cepat sekali menuju ke Tikungan Maut.

Kedatangan biduk kecil yang ditumpangi oleh seorang kakek dan dua orang anak muda itu cepat sekali diketahui oleh Ma Tek San yang telah menyebar mata-matanya di sepanjang sungai. Dia lalu bersiap karena mendengar bahwa yang datang itu adalah utusan-utusan dari Ui Hauw hingga dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian. 

Tetapi sedikit pun dia tidak takut, karena sesungguhnya yang membuat dia berani mengganggu anak buah Ui Hauw adalah karena kedatangan suhengnya yang ikut menggabungkan diri padanya. 
Suhengnya ini adalah seorang hwesio gundul bernama Lauw Keng Hwesio. Karena melakukan pekerjaan terkutuk, di antaranya mengganggu anak bini orang dan merampok, dia dimusuhi oleh orang-orang gagah dari kotanya sehingga terpaksa dia melarikan diri.

 Kemudian pendeta palsu ini mendengar tentang adik seperguruannya yang kini menjadi kepala bajak yang makmur, maka segera dia menyusul dan ikut membonceng adik seperguruannya itu. Tentu saja Ma Tek San merasa girang sekali karena dengan adanya suhengnya ini, kedudukannya semakin kuat sehingga dia tak perlu lagi takut kepada Ui Hauw.




Thian Bong Sianjin dan kedua anak muda yang naik biduk kecil itu tahu bahwa biarpun tikungan itu nampak sunyi-sunyi saja, namun di kedua tebing sungai yang curam itu, di atas batu-batu karang yang tinggi di kanan kiri, tampak bergerak orang-orang bersembunyi di balik batu. 

Tetapi baik kakek tua itu dan kedua anak muda itu, mereka tenang-tenang saja seakan-akan tidak ada sesuatu yang mengancam keselamatan mereka. Kalau dulu Thian Hwa masih harus menggunakan seluruh kepandaian untuk membawa biduknya melalui Tikungan Maut itu dengan selamat, kini gadis itu sudah biasa lewat di situ dan dapat melalui segala bahaya tikungan itu dengan mudah. 

Apalagi sekarang ada Yan Bun yang membantunya, maka ketika biduk kecil melewati tikungan itu, biarpun air datang menghantam dari depan sangat cepat dan kuatnya, namun keduanya dapat membawa biduk menerjang aliran air dan menikung dengan selamat. Bahkan putaran-putaran air itu tak berdaya mengganggu biduk yang didayung oleh dua orang muda yang memiliki kepandaian dan tenaga yang terlatih hebat. 

Melewati sungai yang penuh batu-batu karang, biduk itu sedikit pun tidak bergoncang hingga Thian Bong Sianjin yang tampak tidur sambil duduk di tengah-tengah perahu sama sekali tidak merasa apa-apa!

Puluhan pasang mata mengintai biduk kecil itu dari kedua tebing sungai, di atas batu-batu karang yang tinggi. Mereka kagum dan heran sekali mengapa ada biduk kecil yang dapat menerjang arus sungai dan mudik melalui tikungan yang demikian berbahaya, sedangkan untuk membawa perahu dengan selamat ke hilir saja adalah pekerjaan yang dapat mendatangkan maut!

Tiba-tiba dari kedua tebing tinggi jatuh batu-batu berhamburan menimpa biduk kecil itu. Ini adalah akal keji dari Ma Tek San yang hendak menghancurkan utusan musuhnya dengan sekali serang. Memang keadaan mereka bertiga dalam biduk itu sangat berbahaya. Datangnya batu-batu yang dilemparkan ke bawah bagaikan hujan! Jangan kata mereka dapat bahaya, terkena batu saja pun tidak. Andaikata biduknya sampai terbalik, sukarlah menolong jiwa penumpangnya di tempat bahaya itu.

Tetapi biarpun keadaan demikian berbahaya, Thian Bong Sianjin masih saja berpeluk tangan dan memejamkan mata, sedangkan kedua anak muda itu dengan tenang lalu memperlihatkan kepandaiannya. 

Thian Hwa melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan lebar, lalu menggunakan sutera ini untuk diputar sedemikian rupa di atas kepala mereka bertiga sehingga dari atas putaran sabuk itu merupakan perisai putih ber-bentuk bundar yang kuat sekali, karena setiap batu yang jatuh menimpa putaran itu lalu terpental jauh! Inilah tenaga lweekang yang tinggi, hingga sabuk sutera itu merupakan senjata penangkis yang sangat kuat dapat menangkis setiap batu yang datang menimpa mereka. Dengan adanya payung sabuk ini, maka Yan Bun dapat bekerja dengan tenang. 

Dia dayung terus biduk kecil itu lewat di antara batu-batu karang yang menonjol.

Akhirnya anak buah Ma Tek San yang menghujani batu itu menghentikan serangan mereka dan kini tiba-tiba di depan biduk kecil itu muncullah puluhan perahu cat hitam dipasang malang-melintang memenuhi permukaan sungai. Mereka muncul dari belakang rumput sungai yang tumbuh di kanan kiri sungai. 

Di tiap perahu duduk empat orang yang semuanya berikat kepala hitam dan berbekal senjata tajam. Sikap mereka ganas dan menakutkan.

Thian Bong Sianjin membuka kedua matanya dan memandang sambil tersenyum. Dia lalu berkata kepada Yan Bun dan Thian Hwa.

"Lebih baik tinggalkan aku sendiri di dalam perahu dan kalian boleh menyambut mereka." Habis berkata demikian, Thian Bong Sianjin mengambil tombak pendek dan diikatnya dengan tali yang kuat yang sudah tersedia di dalam biduk,

Kemudian dengan menjepit tombak itu di antara dua jarinya, dia luncurkan tombak ke bawah. Tombak itu meluncur cepat ke dalam air dan menancap di dasar sungai. Inilah cara Thian Bong Sianjin melepas jangkar perahu untuk menahan perahu itu hanyut terbawa air. Kemudian kakek itu duduk saja di situ dengan seenaknya, sambil memandang sepak terjang kedua muridnya.

Yan Bun dan Thian Hwa lalu mengeluarkan papan terompah air mereka dan sebentar kemudian semua anggauta bajak itu berseru kaget dan terheran-heran ketika melihat betapa pemuda dan gadis yang di dalam perahu itu kini berlari-lari cepat di atas air menuju ke tempat mereka! Memang dari jauh papan di bawah kaki kedua anak muda itu tidak tampak dan mereka seolah-olah berlari atau melayang di permukaan air.

Ketika sudah datang dekat, tahulah mereka bahwa kedua anak muda itu menggunakan papan sehingga mereka menjadi takjub sekali. Dari dalam perahu bajak yang terbesar, berdirilah dua orang yang bertubuh tinggi besar. Seorang di antaranya adalah Ma Tek San yang berpakaian serba hitam dengan golok besar di tangannya, sedang di sebelahnya berdiri seorang hwesio gundul yang matanya jelilatan ke sana kemari, sedangkan mulutnya tersenyum menyeringai. Kedua orang ini biarpun kagum juga melihat pertunjukan ginkang luar biasa ini, namun mereka tidak mau memperlihatkan kekagumannya seperti anak buah mereka.

"Hai, kalian anak-anak muda yang berada di depan apakah utusan dari Ui Hauw Si Ular Air?" terdengar Ma Tek San membentak dengan sombong.

"Kami memang utusannya." jawab Yan Bun, tetapi Thian Hwa lalu menambahkan cepat-cepat.

"Kami datang mewakili Ui Peh-peh untuk, menyeret buaya kecil yang mengotorkan perairan Huang-ho!"

Kata-kata ini disambut oleh luncuran enam batang tombak ke arah kedua anak muda itu dari kanan kiri!

"Bagus!" seru Thian Hwa dan Yan Bun berbareng, dan Yan Bun segera miringkan tubuh berkelit dari serangan sebatang tombak, kemudian menangkap sebatang tombak ke dua dan yang ke tiga ia sam-pok dengan tangan kanan jatuh ke dalam air! Tetapi Thian Hwa tidak mau berlaku sungkan. 

Gadis ini menggunakan kedua tangan menangkap dua batang tombak dan tombak ke tiga yang menyerang perutnya ia tendang hingga terpental ke atas dan ketika tombak itu meluncur turun, ia sabet dengan tombak yang terpegang olehnya hingga meluncur cepat kembali ke tempat ia dilepas dan menancap ke sebuah perahu dengan kencangnya!

Tentu saja ketangkasan kedua anak muda itu tak tersangka-sangka oleh mereka semua, maka kembali dari mulut para anak buah bajak itu terdengar seruan kagum.

"Dan kau yang berbaju hitam apakah buaya kecil she Ma?

" Thian Hwa balas bertanya.
Ma Tek San mengangkat dada dan berkata. 

"Aku adalah Tiat-thou-kim-go Ma Tek San dan ini adalah suhengku Lauw Kang Hwesio!

" Dan. kata-kata ini disambut oleh Yan Bun dan Thian Hwa dengan lontaran tombak di tangan mereka. Yan Bun melontarkan tombaknya ke arah perahu yang memuat pelontar tombak yang menyerangnya tadi, sedangkan Thian Hwa pun menggunakan sebatang tombak untuk mengirim kembali kepada penyerangnya tadi.

 Lemparan mereka jauh lebih cepat dan hebat daripada tadi, juga gerakan mereka sangat cepat hingga tidak terduga, maka segera terdengar teriakan-teriakan ngeri dari kedua perahu itu yang menyatakan bahwa serangan itu mendatangkan korban!

Bukan main marahnya Ma Tek San melihat hal ini. Dia perintahkan orangnya mendayung maju perahunya dan sambil menggunakan golok untuk menuding ia berseru, "Bangsat kecil tak tahu diri! Kalau belum mampus kalian kena golok ini aku belum akan puas!"

"Kau bangsat besar yang bermulut besar pula! Terimalah tombak ini!" Thian Hwa melempar tombaknya ke arah orang she Ma itu dengan keras. Tetapi ternyata bahwa Buaya Emas Kepala Besi itu tangkas dan kuat juga, Dengan goloknya yang berat dan besar dia tangkis tombak itu hingga meleset ke pinggir dan masuk ke dalam air. Melihat kepala mereka mulai beraksi, semua perahu bajak bergerak cepat dan mengurung kedua anak muda itu.

"Bangsat-bangsat kecil, sebelum darahmu mengalir dengan air Sungai Huang-ho, beritahukan dulu nama kalian." teriak Ma Tek San.

 YAN BUN menjawab dengan tenang. "Aku adalah Ui Yan Bun, putera dari Ui Hauw, dan aku datang mewakili Ayahku. Dan ini...."

Tetapi Thian Hwa mendahuluinya. "Dan aku adalah Huang-ho Sian-li, Dewi Sungai Huang-ho yang datang hendak menangkap buaya kecil berkepala busuk!"

"Perempuan rendah, kau akan kubunuh lebih dulu!" teriak Ma Tek San dengan marah sekali.

Yan Bun yang lebih berhati-hati dan tahu bahwa dengan sampokan ketika menangkis lontaran tombak Thian Hwa tadi maka ternyata bahwa kepala bajak itu memiliki tenaga besar dan kepandaian yang luar biasa juga, maka dia merasa bahwa kalau harus melayani pengeroyokan itu di atas papan terompah air, mereka tidak akan leluasa sekali. 

Maka dia lalu berkata kepada Thian Hwa, "Thian-moi, marilah kita mendarat saja."

Sebenarnya, gadis itu tidak jerih sama sekali walaupun harus melayani mereka semua di atas papan terompah air, tetapi karena ia maklum bahwa Yan Bun memang belum mahir seperti dia menggunakan kepandaian itu, dan untuk membantahnya ia takut kalau-kalau membikin malu Yan Bun, maka ia lalu berkata keras, "Hei, bajak-bajak kecil, kalau mau tahu kegagahan kami, kalian naiklah ke darat!"

"Kalian telah terkurung, bagaimana hendak mendarat?" Ma Tek San tertawa mengejek dan memberi isyarat untuk menyerbu. Maka perahu-perahu itu meluncur datang dan ujung-ujung senjata mereka digerakkan untuk menyerang Thian Hwa dan Yan Bun. Kedua anak muda itu telah bersiap dan keduanya telah mencabut pedang mereka. 

Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air, maka kedua anak muda itu lalu menggerakkan tubuh dan melompati perahu yang telah kosong itu untuk melepaskan diri dari kepungan, lalu dengan enak sekali mereka menuju ke tepi!

Ma Tek San dengan marah mengejar ke tepian bersama suhengnya. Ketika kepala bajak itu dan suhengnya serta orang-orangnya telah berada di tepi sungai, tiba-tiba seorang anak buah bajak menunjuk ke arah perahu Thian Bong Sianjin.

Ma Tek San yang memang berwatak curang dan licin segera memberi perintah kepada orang-orangnya, "Tangkap orang tua itu dan bawa dia ke sini, tapi jangan lukai dia!" 

Kepala bajak she Ma ini telah dapat menduga bahwa kedua anak muda utusan dari Ui Hauw itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat, maka ia telah mengambil keputusan jika dia dan suhengnya kalah, akan mengeroyoknya. Tetapi orang tua dalam perahu itu mungkin akan kabur dan memberi laporan kepada Ui Hauw hingga datang bala-bantuan, karena itu lebih baik orang tua itu ditawan lebih dulu!

Dengan beberapa kali gerakan pedang saja, Yan Bun dan Thian Hwa telah membuat empat orang bajak tercebur ke dalam air.

Mendengar perintah Ma Tek San ini, beberapa orang bajak dalam tiga buah perahu segera mendayung perahu ke arah perahu kecil di mana Thian Bong Sianjin masih duduk berpeluk tangan tak bergerak. Ui Yan Bun dan Thian Hwa melihat hal ini hanya tersenyum saja dan saling pandang.

Para bajak segera mengurung kedua anak muda itu dan merupakan lingkaran besar, sedangkan kedua anak muda itu berdiri di tengah-tengah dengan sikap tenang sekali. Ma Tek San lalu maju dan membentak.

"Apakah kalian masih berkeras kepala dan ingin mampus di sini?"
Ui Yan Bun pun maju dan berkata sabar, 

"Orang muda she Ma! Kau ini benar-benar tidak memakai peraturan dan kesopanan sesama kaum sungai telaga! Tanpa alasan dan sebab kau telah memusuhi Ayahku, bahkan kaubunuh dua orang kami yang sedang mencari ikan. Bukankah hal ini sangat merendahkan namamu?"

"Memang aku sengaja membunuh orangmu, habis kau mau apa?" kata Ma Tek San ketus, sedangkan suhengnya dan para anak buahnya terkekeh mentertawakan.

"Perbuatanmu itu berarti kau menantang fihak kami, maka sekarang aku mewakili ayah datang ke sini hendak mencoba sampai di mana kekuatanmu maka kau berani berlaku sewenang-wenang. 

Apakah kau hendak melakukan pengeroyokan atau kau berani melayani aku secara laki-laki?"

Marahlah Ma Tek San mendengar tantangan ini. "Eh, anak kecil sombong, jangan kaukira kepandaianmu sudah tiada lawannya dengan hanya memiliki ginkang dan permainan kanak-kanak di atas air itu saja! Majulah kau kalau hendak berkenalan dengan Tiat-thou-kim-go!" Setelah berkata demikian orang she Ma itu mencabut golok besarnya yang berkilauan karena tajamnya.

Tetapi sebelum kedua musuh itu bertempur, tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai dari arah sungai. Mereka semua memandang dan terkejut melihat bahwa yang ramai-ramai itu adalah beberapa orang anak buah bajak datang sambil memikul biduk kecil di atas mana Thian Bong Sianjing masih saja duduk berseda-kap tak bergerak sambil memejamkan mata!

"Eh, mengapa kalian berbuat segila ini?" Ma Tek San membentak kepada seorang bajak yang berjalan paling depan.

Bajak itu segera minta maaf kepada pemimpinnya dan menceritakan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak sanggup mengeluarkan kakek itu dari perahunya! Telah dicoba oleh banyak orang tetapi tak seorang pun sanggup menggerakkan tubuh yang bagaikan membatu itu keluar dari perahu. Maka, untuk mentaati perintah Ma Tek San, dia dan kawan-kawannya lalu menggusur saja biduk itu ke tepi lalu mengangkat kakek itu dengan perahunya!

Yan Bun dan Thian Hwa tertawa geli. Ma Tek San marah sekali dan mendekati Thian Bong Sianjin di dalam perahunya yang kini telah diletakkan di atas tanah. 

"He, orang tua, siapakah engkau sebenarnya?"

Thian Bong Sianjin membuka matanya perlahan dan menjawab dengan tak acuh, "Namaku Thian Bong, kalian hendak membawaku ke manakah?"

Thian Hwa dengan keras berkata, "Orang she Ma, ketahuilah, dulu Kakekku ini disebut orang Huang-ho Sui-mo!"

Terkejutlah Ma Tek San mendengar ini, juga semua anak buah bajak. Lebih-lebih para bajak yang tadi memaksa Thian Bong Sianjin mendarat, mereka ini menggigil dan wajah mereka pucat sekali, bahkan tiga orang anak buah bajak yang telah lama menjalankan pekerjaan itu dan cukup kenal dengan nama Huang-ho Sui-mo, segera maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Bong Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala minta ampun!

Lauw Keng Hwesio melihat lagak tiga orang bajak itu menjadi sangat sebal dan dia yang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sui-mo lalu memajukan kaki dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke arah kepala Thian Bong Sianjin dari kanan kiri! 

Lauw Keng Hwesio hendak memperlihatkan kepandaiannya dan ingin sekali memukul mati kakek yang agaknya terkenal dan ditaati itu, maka datang-datang dia mengirimkan serangan maut dalam gerak tipu Dewa Mabuk Menuangkan Arak!....
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12