Sunday, October 14, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Sungai Kuning Jilid 03



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Dewi Sungai Kuning

                 Jilid 03


Tetapi, kakek tua yang tampak tenang-tenang saja itu tiba-tiba mengebutkan kedua lengan bajunya ke arah tangan Lauw Keng Hwesio yang meluncur maju dan tepat sekali ujung lengan bajunya menyambar ke arah jalan darah di pergelangan lengan hwesio itu!

 Bukan main terkejutnya Lauw Keng Hwesio sehingga dia buru-buru menarik kembali kedua tangannya, karena kalau diteruskan, belum sampai kepalannya mendarat di kepala lawan, dia akan tertotok terlebih dulu. Dia tahu betapa hebat ujung lengan baju itu, karena anginnya telah terasa dan membuat urat tangannya kesemutan. Diam-diam dia mengeluarkan keringat dingin karena maklum bahwa kakek itu benar-benar berilmu tinggi sekali.

Thian Bong Sianjin tersenyum sabar sambil berkata perlahan.
"Eh, hwesio, kau mau apakah?"

Lauw Keng Hwesio meloncat mundur dengan malu, dan pada saat itu Thian Hwa maju dan memakinya. "Bangsat gundul jangan kau berani mengganggu Kakekku!"

Kepala gundul itu menjadi marah dan dia melepaskan sabuknya yang ternyata terbuat daripada baja lemas dan merupakan joan-pian yang kuat. Tanpa banyak kata lagi dia lalu menyerang Thian Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan. Dan pada saat itu juga, Ma Tek San juga sudah mulai bertempur dengan Ui Yan Bun.

Ma Tek San dan Lauw Keng Hwesio memang memiliki kepandaian yang tinggi dan ganas, ditambah lagi tenaga mereka besar. Tetapi kini mereka menghadapi dua orang muda gemblengan Thian Bong Sianjin yang telah menurunkan ilmu silat tinggi kepada kedua muridnya itu, maka baru bertempur beberapa puluh jurus saja keduanya telah terdesak hebat oleh pedang Thian Hwa dan Yan Bun!

Ma Tek San yang selalu berpikir jahat, ketika mendapat kenyataan bahwa kedua lawannya itu benar-benar lihai, segera berseru kepada anak buahnya yang masih berdiri mengelilingi lapangan pertempuran itu.

"Hayo kamu semua lekas bantu menangkap dua setan ini!" Suara Ma Tek San yang keras terdengar berpengaruh dan tidak seorang pun di antara anak buahnya yang berani menentang atau mengabaikan perintah ini, karena mereka sudah mengenal kekejaman Ma Tek San. Dengan senjata-senjata tajam di tangan, mereka bergerak maju untuk mengeroyok.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras sekali.

"Kalian semua mundur!" Inilah bentakan Thian Bong Sianjin yang masih duduk di dalam perahunya. Suaranya lebih keras dan nyaring dibanding suara Ma Tek San sehingga para bajak terkejut dan sebagian besar mundur. Tapi sebagian lagi tetap maju karena mereka lebih takut kepada pimpinan mereka yang kejam.

"Mundur kalian! Kalau tidak, tangan Huang-ho Sui-mo ikut berbicara!'

Ancaman ini berhasil juga, karena lebih dua puluh orang yang pernah mendengar nama ini segera mundur dan melihat ke arah orang tua itu dengan hormat, tapi masih ada juga yang berani maju dengan maksud mengeroyok Thian Hwa dan Yan Bun. Tapi Thian Bong Sianjin mengangkat tangan dan mengayunkan tangannya ke arah mereka dan pada saat itu juga beberapa orang bajak berteriak-teriak sambil melepaskan senjata mereka, karena ternyata sambil duduk di perahunya kakek itu telah meraup segenggam pasir kasar dan mempergunakan pasir itu sebagai senjata rahasia!

 Ternyata pasir kasar yang hampir menyerupai kerikil itu telah memecahkan kulit tubuh mereka yang tersambit sehingga mengeluarkan darah dan rasanya perih sekali! Melihat kelihaian orang tua itu, para bajak menjadi ketakutan dan tidak berani maju lagi.

Sementara itu, Thian Hwa yang memainkan pedangnya secara cepat sekali telah berhasil mengurung Lauw Keng Hwesio sehingga hwesio itu hanya dapat menangkis saja tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

"Thian Hwa, jangan membunuhnya!" Thian Bong Sianjin berteriak dan Thian Hwa lalu mengubah gerakan pedangnya dengan secepat kilat! Dia menggunakan ujung pedang menusuk ke arah jalan darah di tenggorokan lawan dengan gerak tipu Burung Kepinis Mematuk Ikan. 

Karena gerakan ini cepat sekali, maka Lauw Keng Hwesio hampir saja tak dapat mengelakkan diri, tetapi masih ingat untuk melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, tapi terhindar dari maut.

 Pada saat dia belum dapat memperbaiki kedudukannya, sepasang kaki Thian Hwa bergerak cepat dan joan-pian-nya telempar karena tendangan kaki kiri Thian Hwa, sedangkan ujung sepatu kanan gadis itu mampir di pundaknya menendang jalan darahnya sehingga dia berteriak keras dan merasa betapa pundaknya sakit sekali sampai meresap ke ulu hati!

Masih untung bagi Lauw Keng Hwesio bahwa Thian Bong Sianjin dalam saat yang tepat telah mencegah cucunya untuk menghabiskan jiwa hwesio itu sehingga gadis itu tidak menggunakan ujung sepatu untuk menendang tempat kematian, maka hwesio itu hanya menderita luka dalam dan patah tulang pundak saja. Tapi rasa sakit cukup membuat dia roboh pingsan!

Sementara itu, Ui Yan Bun juga berhasil merobohkan lawannya. Pemuda ini merasa sakit hati dan marah sekali kepada Ma Tek San yang telah berlaku kejam membunuh dua orang anak buah ayahnya, maka dia tidak mau memberi hati sedikit pun. 

Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat dan mendesak terus sehingga lawannya bertempur sambil mundur berputar-putar. Napas Ma Tek San telah terengah-engah dan wajahnya telah menjadi pucat. 

Pada saat yang tepat, Yah Bun memutar pedangnya sedemikian rupa dalam gerak tipu Air Ombak Menampar Karang dan serangan yang dahsyat dan ganas ini datang bergulung-gulung bagaikan ombak samudera sehingga tak dapat ditangkis lagi oleh Thiat-thou-kim-gq Ma Tek San. Dengan teriakan menyeramkan, kepala bajak yang jahat itu roboh terguling setelah tertembus pedang Yan Bun! Maka binasalah orang she Ma ini!

Para anak buah bajak laut melihat betapa kedua kepala mereka dengan mudah terbunuh oleh Thian Hwa dan Yan Bun segera mengangkat senjata hendak mengeroyok, tapi lagi-lagi Thian Bong Sianjin membentak keras.

"Kalian masih belum takluk" Siapa melawan berarti mati!" setelah berkata demikian, kakek itu berdiri dan tubuhnya yang tinggi tampak angker menakutkan. Memang nama Huang-ho Sui-mo sudah merupakan sesuatu yang menakutkan mereka, apalagi melihat betapa kepandaian tiga orang itu hebat sekaU, maka para bajak itu segera menjatuhkan diri berlutut meminta ampun!

"Kalian dengarkan baik-baik! Berpuluh tahun yang lalu aku telah adakan aturan-aturan dan larangan-larangan bagi para bajak di Huang-ho untuk bekerja dengan mengenal aturan dan memilih orang yang patut dijadikan korban! 
Tapi orang she Ma ini telah melanggarnya, dan lihat, apa yang menjadi akibatnya saat ini!

 Harus kalian ketahui bahwa jika ada yang tidak mentaati aturan dan bertindak sewenang-wenang, tak usah aku sendiri turun tangan, pasti ada saja yang akan mewakili aku memberi hajaran kepada pelanggar itu!

 Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang kesemuanya siap sedia membasmi kejahatan! Nah, kalian sekarang boleh memilih kepala baru, tapi awas, jangan sekali-kali pelanggaran seperti yang telah dilakukan orang she Ma ini kalian ulangi!"

Setelah memberi nasehat-nasehat kepada para bajak, Thian Bong Sianjin mengajak Thian Hwa dan Yan Bun untuk kembali ke kampung. Mereka disambut Ui Hauw yang mendengarkan cerita puteranya dengan girang dan bangga sekali.

Setelah bermalam di situ beberapa hari lagi, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya meninggalkan kampung itu.

Mereka berdua memang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berpindah-pindah dan sebagian besar dari waktu mereka digunakan untuk mendayung perahu, menangkap ikan dan mengunjungi kawan-kawan dan orang-orang kampung yang tinggal di sepanjang Sungai Huang-ho yang panjang itu.

Beberapa bulan kemudian, ketika Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa sedang menjalankan biduk mereka perlahan di sepanjang tepi sungai yang airnya tenang dan hawa udara pada pagi hari itu sangat baiknya, Thian Hwa kembali mengulangi pertanyaannya yang telah berkali-kali diajukan kepada kakeknya itu.

"Kong-kong, kuharap kali ini Rongkong menaruh kasihan kepadaku. Dulu Kong-kong berjanji akan membuka rahasia ini kepadaku setelah aku dewasa dan memiliki kepandaian. Nah, sekarang aku telah berusia tujuh belas tahun, dan tentang kepandaian, kiranya tidak sia-sia Kong-kong mengajar padaku. Kong-kong, 
beritahukanlah kepadaku siapa sebenarnya Ayah dan Ibuku...." 

Pada kalimat terakhir ini suara Thian Hwa menjadi perlahan dan mengharukan sehingga Thian Bong Sianjin menghela napas sedih, karena dia bingung sekali. Bagaimana dia harus menceritakan kalau dia sendiri pun tidak mengenal dan tidak tahu siapa orang tua gadis itu" Dia teringat betapa dulu pernah bertemu dengan wanita cantik dalam mimpi, maka karena tiada jawaban lain, dia menjawab.

"Thian Hwa, cucuku! Sebetulnya kalau menurut kehendakku, tak usah kau pergi mencari orang tuamu karena aku sangat merasa ragu apakah kau akan berhasil. Tapi, kalau aku larang kau melakukan hal ini, berarti bahwa aku adalah seorang yang tidak berbudi dan hanya mementingkan diri sendiri saja." Kakek itu menghela napas lagi dan melanjutkan kata-katanya sambil menatap wajah cucunya yang sangat dikasihinya itu.

"Thian Hwa, terus terang saja aku ulangi, bahwa aku selama hidup belum pernah bertemu muka dengan kedua orang tuamu. Tapi aku pernah bermimpi dan melihat Ibumu...."

Sepasang mata gadis itu berkilat dan wajahnya berseri. "Ibuku....!" kata-kata "ibu" ini sangat asing baginya dan sangat mesra. "Bagaimana rupanya dan di mana dia, Kong-kong?" tanyanya cepat.

"Ibumu adalah seorang wanita yang cantik sekali dan di atas bibirnya sebelah kiri terdapat sebuah tanda tahi lalat hitam yang kecil. Wajah Ibumu itu seperti... seperti... kau sendiri, Thian Hwa, dan melihat dari pakaian yang dipakainya, ia adalah seorang bangsawan."

"Kong-kong, kenapakah aku harus mencarinya?" tanya Thian Hwa.

"Thian Hwa, inilah yang sangat menyusahkan hatiku. Kalau aku sendiri mengetahui dimana adanya orang tuamu, agaknya sudah dulu-dulu kucari mereka. Tapi aku hanya bertemu dengan Ibumu dalam mimpi, dan aku tidak tahu di mana tempat tinggal mereka." kakek tua ini lalu menundukkan muka dan tidak berani menentang wajah cucunya, karena dia maklum betapa kata-katanya ini sangat menusuk hati dan menghancurkan pengharapan gadis itu.

 Dia hanya mendengar isak tangis Thian Hwa yang berusaha sekuat tenaga menekan perasaan dan menahan tangisnya.

"Kong-kong... bukankah para bangsawan... bertempat tinggal di kota raja saja?" akhirnya gadis itu bertanya setelah mereka diam untuk beberapa lama.
Kini barulah kakek itu berani mengangkat muka memandang wajah cucunya dan hatinya seperti dikerat pisau ketika melihat betapa wajah cucunya tampak pucat dan di kedua pipinya mengalir air mata yang bening.

"Thian Hwa, memang di kota raja banyak sekali terdapat bangsawan tinggi, tapi di antara ribuan para bangsawan itu, yang manakah keluarga yang kita maksudkan" Ahh, seakan-akan mencari setitik air dalam Sungai Huang-ho!"

Semenjak terjadinya percakapan ini, wajah Thian Hwa nampak suram-muram dan tidak bergembira sedikit pun seperti biasanya sehingga diam-diam Thian Bong Sianjin merasa khawatir sekali. 

Malam hari itu mereka bermalam dalam sebuah bio rusak yang telah lama kosong, dan yang berdiri di pinggir sungai dalam sebuah hutan yang sunyi.
Karena hatinya sedih dan terharu melihat cucunya, maka Thian Bong Sianjin tekun bersamadhi untuk menenteramkan hati dan pikiran sehingga seakan-akan mati duduk dan tak bergerak bagaikan sebuah patung batu.

 Ketika pada keesokan harinya dia sadar, dia merasa tidak enak hati seakan-akan ada sesuatu yang terjadi. Dan benar saja, karena Thian Hwa, cucunya yang semenjak berusia tiga hari tak pernah terpisah darinya itu, telah pergi dengan diam-diam! Gadis yang dikasihinya itu pergi dengan nekad hendak mencari orang tuanya, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang kini dia pegang di dalam kedua tangannya yang gemetar dan keriputan, sambil dibacanya dengan terharu.

Kong-kong, Mohon beribu ampun bahwa aku terpaksa pergi karena tak tahan melawan desakan hati untuk mencari Ibu dan Ayahku. Aku pergi ke kota raja dan takkan kembali sebelum bertemu dengan mereka!

Cucumu Thian Hwa
Thian Bong Sianjin menghela napas dalam-dalam. Hasrat hatinya hendak segera menyusul, tapi dia menggeleng-geleng kepala tanda tidak menyetujui kehendak hati sendiri ini. Kalau dia menyusul, maka gadis itu tentu akan kecewa dan menganggap dia menghalang-halangi maksudnya. Pula, Thian Hwa sudah memiliki kepandaian tinggi dan dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatannya. 

Yang dia cemaskan adalah bahwa gadis itu takkan mungkin bertemu dengan kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak percaya bahwa wanita yang dilihatnya dalam mimpi itu benar-benar ibu Thian Hwa! Gadis itu tentu takkan dapat menemukan orang tuanya di kota raja dan akan kecewa hati. Inilah yang dikhawatirkan.

 Kini Thian Bong Sianjin merasa sunyi, sunyi sepi yang biasanya mengamankan hati menyedapkan perasaan itu kini berubah menjadi sunyi yang menyayat hati, yang menimbulkan kenangan-kenangan sedih, kesunyian seorang yang kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat dikasihaninya! Kakek tua yang gagah perkasa itu akhirnya menundukkan kepala dan memejamkan mata sambil menahan napas untuk melawan gelora yang mengamuk di dalam dirinya dan membuatnya lemas.

Kira-kira setengah bulan kemudian, Thian Bong Sianjin mengunjungi Ui Hauw dan kepala bajak ini kaget sekali mendengar tentang perginya Thian Hwa.
"Ah, mengapa Suhu tidak menahannya" Ke manakah anak itu pergi" Ahh, bagaimana kalau terjadi sesuatu?""

Thian Bong Sianjin hanya tersenyum. Setelah beberapa hari lewat, orang tua ini dapat juga menetapkan hatinya dan melenyapkan rasa sedih yang menyerangnya. "Ia akan selamat. Kepandaiannya cukup untuk menjaga diri."

Sementara itu, ketika mendengar tentang perginya Thian Hwa ke kota raja, Yan Bun merasa terkejut sekali. Ia merasa seakan-akan hatinya terbawa pergi oleh gadis itu. Dengan lemas ia meninggalkan Thian Bong Sianjin dan ayahnya, tanpa berkata sesuatu, dan masuk ke kamarnya. Tiba-tiba saja dia merasa bahwa gadis itu sungguh merupakan arti yang besar sekali baginya.

Dan pada keesokan harinya, semua orang kaget dan bingung karena Yan Bun tahu-tahu telah pergi dengan sebuah biduk tanpa memberitahukan sesuatu kepada semua orang. Tapi Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin saling pandang dengan penuh pengertian. Mereka ini tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, telah dapat menduga bahwa Yan Bun tentu pergi menyusul Thian Hwa dan mereka tahu pula apa artinya perbuatan pemuda itu.

 Diam-diam Ui Hauw menarik napas dan dia berkata kepada Thian Bong Sianjin.
"Alangkah baiknya kalau dulu-dulu kita jodohkan kedua anak itu!"

Thian Bong Sianjin hanya tersenyum dan berkata perlahan. "Ui Hauw, jodoh tak dapat dipaksakan. Kita orang-orang tua menunggu saja dan melihat perkembangan terlebih jauh. Sementara itu, biarlah kita doakan agar mereka dapat bertemu dan dijauhkan dari segala bencana."

Thian Hwa pergi melakukan perjalanannya dengan hanya membawa sebungkus pakaian dan sebatang pedang. Ia pernah diberitahu kakeknya bahwa letak kota raja adalah di sebelah utara, maka ia langsung menuju ke utara dengan menggunakan ilmu lari cepat. Karena ia biasanya melakukan perjalanan dengan berperahu dan di sepanjang Sungai Huang-ho, kini melalui gunung-gunung dan lembah-lembah yang penuh dengan tamasya alam yang jauh bedanya dengan pemandangan di sepanjang sungai, hatinya tertarik dan gembira "sekali, seperti seorang kanak-kanak yang mendapat barang permainan baru.

Setelah berjalan dua hari, ia tiba di sebuah kampung yang makmur, dengan rumah-rumah yang bagus. Ternyata bahwa tanah di sekitar kampung itu subur dan menghasilkan banyak palawija sehingga memakmurkan para petani di kampung itu. 

Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tiada terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang dan para petaninya hanya buruh tani belaka. 

Di kampung Luncwan ini, para petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan semua keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang sangat menyenangkan mereka. Kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri. 

Ada juga pendatang dari keturunan lain, tapi pendatang-pendatang baru ini pun taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada dan menambah kekuatan dan persatuan kampung.




Kepala kampung di situ adalah seorang tua bernama Tan Hok San yang terkenal adil dan bijaksana sehingga dicintai dan dihormati orang-orang kampung. Akan tetapi, setelah beberapa pekan ini terjadi perubahan hebat sekali di kampung itu. Sebetulnya yang sangat berubah dan membuat orang-orang kampung merasa heran dan penasaran adalah kepala kampung itu sendiri. 

Tanpa mengetahui sebab-sebabnya orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa. Kepala kampung yang bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas.

 Dia menetapkan pajak hasil sawah yang sangat berat karena tujuh bagian hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. 3uga peternak-peternak dikenakan pajak besar sekali, sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu menjadi berbeda sekali. Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan. 

Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tapi hasilnya orang itu sendiri ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah!

Ketika hendak memasuki kampung itu Thian Hwa melewati sebuah hutan dan di situ ia melihat mayat seorang laki-laki tua yang sudah rusak karena diganggu binatang hutan. Karena pemandangan ini maka ia berlaku hati-hati dan menganggap bahwa kampung yang dimasukinya ini tentu bukan kampung yang aman dan baik. Ia mencoba mencari rumah penginapan, tapi sungguh mengherankan, dua buah rumah penginapan kecil yang biasa dibuka, kini tertutup dan tidak menerima tamu.

"Maaf, Nona, rumah penginapan tidak dibuka lagi," kata seorang bekas pelayan rumah penginapan itu.

"Mengapa tidak?"

"Kami tidak kuat membayar pajak!"

Demikian pun, ketika Thian Hwa hendak pesan makanan di sebuah rumah makan yang telah ditutup, ia mendapat jawaban serupa. Keadaan kampung itu membuat ia merasa curiga dan menduga pasti ada apa-apa. Ia bertanya kepada seorang yang tampak muram dan duduk di depan rumahnya.

"Maaf, Lopeh, aku baru saja mendengar bahwa orang-orang takut berusaha-karena dikenakan pajak. Sebetulnya siapakah yang mengadakan pajak-pajak besar itu, Lopeh?"

Orang tua itu memandangnya dengan mata terbelalak, kemudian setelah ia menengok ke kanan kiri, dia segera mempersilakan Thian Hwa masuk, lalu mengunci pintu rumahnya!

"Siocia, kau agaknya seorang luar kampung dan agaknya kau seorang yang biasa merantau karena kau membawa-bawa pedang di punggung. Di kampung ini jangan kaubicarakan sembarangan saja."

"Ada apakah, Lopeh?" tanya Thian Hwa heran.
Orang tua itu lalu menceritakan betapa kepala kampung yang tadinya berbudi dan adil itu kini berubah menjadi pemeras rakyat yang kejam. Thian Hwa lalu menceritakan bahwa ia telah melihat mayat di dalam hutan. Ketika empek itu mendengar tentang hal ini, dia segera bertanya tentang keadaan mayat itu, tentang pakaian dan lain-lain. Setelah mendengar keterangan Thian Hwa bahwa mayat itu memakai baju biru dan celana abu-abu, orang tua itu menjadi pucat dan berseru. "Kalau begitu, dia adalah Cun Sam!"

"Cun Sam" Siapakah Cun Sam itu, Lopeh?"

Tiba-tiba kakek itu menangis dan isterinya yang juga berada di situ ikut pula menangis. "Cun Sam adalah adikku...." Kemudian kakek itu menceritakan betapa Cun Sam ditangkap karena berani mencela kepala kampung dan katanya dikirim ke kota raja diadukan karena dianggap pemberontak.

"Kalau begitu semua itu bohong belaka...." kakek itu mengeluh. "Cun Sam bukan dibawa ke kota raja, tapi dibawa ke hutan dan dibunuhnya." Kemudian kakek itu lalu berlari keluar untuk mengajak kawan-kawan mengambil dan mengubur mayat adiknya itu.

Sementara itu, Thian Hwa merasa gemas dan marah sekali. Ia menganggap perbuatan kepala kampung itu sewenang-wenang dan mau tidak mau ia harus turun tangan dan mencampuri perkara penasaran ini. Dengan hati panas ia lalu mencari rumah kepala kampung itu. Tapi ternyata bahwa gedung kepala kampung yang bercat kuning itu pun tertutup pintunya. Ia mengetuk dengan keras dan pintu dibuka oleh seorang pengawal bersenjata golok yang bertubuh tinggi besar dan membentaknya.

"Bangsat kurang ajar dari mana berani mengganggu rumah kami?"

Tapi ketika ia telah membuka pintu dan melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang cantik sekali, wajah yang tadinya tampak kejam itu berubah dan kini orang tinggi besar itu terse-nyum-senyum ceriwis dan menyebalkan.

"Eh, Nona... kau hendak mencari siapakah?"

Thian Hwa merasa curiga sekali melihat orang ini. Terang bahwa ia bukan orang baik-baik, mengapa bisa menjadi pengawal di tempat ini" Pula, orang ini tadi menyebut "rumah kami" yang sudah tidak selayaknya bagi seorang pengawal menyebut rumah seorang kepala kampung. Ia hendak menerjang, tapi dapat mengendalikan nafsu marahnya, lalu bertanya.

"Kau siapakah?"

Orang tinggi besar itu memperlebar senyumnya. "Aku adalah seorang penjaga keamanan di sini. Apakah Nona hendak bertemu dengan Chungcu?"
Thian Hwa mengangguk. "Ya, tolong panggil keluar Chungcu kampung ini, aku hendak bertemu dengan dia."

Orang tinggi besar itu tersenyum lagi. "Tunggu sebentar, Nona, hendak kulapor-kan ke dalam."


Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian, dia masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar dan berkata. "Kau dipersilakan masuk menghadap di dalam, Nona."

Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki ruang dalam dan berlaku hati-hati karena ia tetap menaruh kecurigaan besar. Mereka tiba di ruang dalam yang cukup luas dan di atas sebuah kursi di belakang mejanya duduk seorang laki-laki tua.

 Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya. 

Ketika melihat ia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah ia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.
"Siocia, kau siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apa mencari aku?" tanya Tan-chungcu dengan suara angkuh.

"Chungcu, maafkan kalau aku mengganggumu. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan lewat di kampung ini, tapi keadaan ganjil yang terjadi di kampungmu membuat aku merasa tidak enak dan aku harus menegurmu."

Wajah kepala kampung itu berubah pucat, agaknya merasa cemas dan marah. "Siocia, kau seorang muda janganlah mencampuri urusan pemerintahan. Lebih baik pergilah dari kampungku dengan aman."

"Tan-chungcu! Kau berlaku kejam sekali dengan memeras rakyatmu sendiri, menghisap orang-orang kampung yang mengangkatmu menjadi kepala! Tidak tahukah kau bahwa dengan peraturanmu yang sewenang-wenang menjatuhkan pajak besar itu membuat banyak orang-orangmu menderita kelaparan" Tidak dengarkah kau betapa mereka mengeluh dan menangis karena peluh dan darah yang mereka peras di ladang ternyata kaurampas hasilnya

" Apakah ini adil" Kau sebagai seorang pemimpin seharusnya membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, tapi kau bahkan menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain!"

"Diamlah.... diamlah! Kau... kau keluar dari sini!" Tan-chungcu berteriak keras sedangkan wajahnya makin pucat.

"Tidak! Aku takkan keluar sebelum bicara habis, sebelum kau mengubah kelakuanmu yang tiada bedanya dengan seorang perampok rendah! Kau bahkan berani menangkap seorang kampung yang memperingatkanmu dan membunuhnya!"

"Apa" Kau membohong! Aku tak pernah membunuh orangku."

Bibir gadis itu tersenyum sindir.

 "O, begitukah" Di manakah Cun Sam sekarang" Coba kauterangkan!" kata Thian Hwa.

Tan-chungcu berkata sungguh-sungguh. "Cun Sam" Ah, dia... dia telah memberontak, maka dikirim ke kota raja agar diadili."

"Ah, jangan berpura-pura! Kau bukan mengirim dia ke kota raja, tapi kau mengirim dia ke hutan dan kau bunuh dia di sana. Kau telah menyuruh orang-orangmu membunuhnya. Aku sendiri melihat jenazahnya di hutan!"

"Apa?" Tan-chungcu berteriak dengan wajah pucat dan mata terbelalak. "Dia... di... dibunuh....?"" Dan pada saat itu, dari balik pintu sebelah dalam keluarlah berloncatan lima orang, dan orang tinggi besar yang tadi membuka pintu untuk Thian Hwa terdapat juga di antara mereka.

Seorang pendek gemuk yang matanya juling berkata. "Chungcu, budak perempuan ini kurang ajar dan memberontak apakah harus ditawan?"

Tapi Tan-chungcu berdiri dengan tubuh gemetar dan bahkan bertanya kepada... Si Gemuk Pendek itu.

"Kau... kau apakan Si Cun Sam?""

Si Gemuk Pendek tersenyum dingin. "Nanti saja kita bicarakan soal itu, sekarang kita bereskan dulu budak hina ini!" katanya.

"Tidak, tidak! Kau... kau pembunuh kejam... kau perampok jahat....!"

Si Gemuk Pendek itu membelalakkan matanya dan secepat kilat tubuhnya yang gemuk itu bergerak dan pedangnya berkilauan meluncur ke arah dada Tan-chungcu ! Tapi Thian Hwa telah siap sedia, maka ia mendahului Si Gemuk itu, dan sekali berkelebat ia berhasil menyambar tangan Tan-chungcu dan menariknya sehingga terluput dari tusukan Si Gemuk Pendek. Tan-chungcu segera bersembunyi di belakang tubuh gadis itu karena tahu bahwa Thian Hwa adalah seorang gadis pendekar yang mungkin akan dapat menolongnya.

"Li-hiap, kau berhati-hatilah. Mereka adalah perampok-perampok kejam dan ganas yang telah lama menguasai dan mengancamku!" kata Kepala Kampung itu.

Thian Hwa mengangguk-angguk dan bertolak pinggang sambil menghadapi lima orang yang berwajah ganas itu. "Hm, hm! Sudah kuduga begitu. Jadi kamu perampok-perampok hina ini dengan secara pengecut sekali telah memaksa Chungcu melakukan semua pemerasan ini" Sungguh rendah, tapi hari ini aku tentu akan menamatkan riwayatmu yang kotor ini!"

"Budak hina! Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?" teriak orang tinggi besar yang menjadi pengawal tadi.

"Tentu saja aku tahu. Kalian berlima adalah calon-calon makanan api neraka!"
"Perempuan sombong! Kau masih begini muda tapi mau besar kepala. Ketahuilah, kami adalah Bweesan Ngo-heng, Lima Raja dari Gunung Bweesan, maka jangan harap kau akan dapat keluar dari gedung ini dengan selamat!" kata Si Gemuk Pendek yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Thian Hwa tersenyum menyindir. "Siapa takut pada siluman dari Bweesan" Hari ini kalian lima ekor siluman bertemu dengan aku, Huang-ho Sian-li, dan akulah yang akan mengirim kalian pulang ke asalmu!"

"Bangsat perempuan sombong!" Si Tinggi Besar meloncat maju kedua tangan terulur dengan maksud hendak menubruk dan memeluk gadis jelita itu dan membuatnya malu. Tapi dengan cepat Thian Hwa meloncat berputar ke kiri dan kaki kanannya cepat menendang ke arah lambung kanan lawan. Si Tinggi Besar terkejut sekali karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis cilik itu dapat bergerak secepat itu sehingga hampir saja lambungnya berkenalan dengan ujung sepatu. 

Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut dan menangkap kaki Thian Hwa, tapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka. Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, ia cepat memutar ujung kakinya dan dengan dua jari tangan dikembangkan ia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!

Melihat betapa anak perempuan itu benar-benar lihai, Kelima Raja Gunung Bweesan itu mencabut senjata mereka dan maju menyerang! Kini mereka tidak ada hasrat untuk menangkap gadis cantik itu lagi, mereka hanya ingin membunuhnya secepat mungkin karena gadis ini merupakan bahaya dan halangan besar bagi usaha mereka!

Tapi Thian Hwa tidak menjadi takut, bahkan ia merasa gembira sekali melihat berkeredepannya senjata-senjata musuh. Ia cepat mencabut pedangnya sendiri dan sebentar saja sinar pedangnya menari-nari dan bergulung-gulung mengurung kelima perampok itu! 

Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat, ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka itu repot sekali. Kemudian Thian Hwa mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat. Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luai biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, tapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan......
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12