Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Sungai Kuning
Jilid 03
Tetapi,
kakek tua yang tampak tenang-tenang saja itu tiba-tiba mengebutkan kedua lengan
bajunya ke arah tangan Lauw Keng Hwesio yang meluncur maju dan tepat sekali
ujung lengan bajunya menyambar ke arah jalan darah di pergelangan lengan hwesio
itu!
Bukan main terkejutnya Lauw Keng Hwesio sehingga dia buru-buru menarik kembali kedua tangannya, karena kalau diteruskan, belum sampai kepalannya mendarat di kepala lawan, dia akan tertotok terlebih dulu. Dia tahu betapa hebat ujung lengan baju itu, karena anginnya telah terasa dan membuat urat tangannya kesemutan. Diam-diam dia mengeluarkan keringat dingin karena maklum bahwa kakek itu benar-benar berilmu tinggi sekali.
Bukan main terkejutnya Lauw Keng Hwesio sehingga dia buru-buru menarik kembali kedua tangannya, karena kalau diteruskan, belum sampai kepalannya mendarat di kepala lawan, dia akan tertotok terlebih dulu. Dia tahu betapa hebat ujung lengan baju itu, karena anginnya telah terasa dan membuat urat tangannya kesemutan. Diam-diam dia mengeluarkan keringat dingin karena maklum bahwa kakek itu benar-benar berilmu tinggi sekali.
Thian Bong
Sianjin tersenyum sabar sambil berkata perlahan.
"Eh,
hwesio, kau mau apakah?"
Lauw Keng
Hwesio meloncat mundur dengan malu, dan pada saat itu Thian Hwa maju dan
memakinya. "Bangsat gundul jangan kau berani mengganggu Kakekku!"
Kepala
gundul itu menjadi marah dan dia melepaskan sabuknya yang ternyata terbuat
daripada baja lemas dan merupakan joan-pian yang kuat. Tanpa banyak kata lagi
dia lalu menyerang Thian Hwa yang sudah siap dengan pedang di tangan. Dan pada
saat itu juga, Ma Tek San juga sudah mulai bertempur dengan Ui Yan Bun.
Ma Tek San
dan Lauw Keng Hwesio memang memiliki kepandaian yang tinggi dan ganas, ditambah
lagi tenaga mereka besar. Tetapi kini mereka menghadapi dua orang muda
gemblengan Thian Bong Sianjin yang telah menurunkan ilmu silat tinggi kepada
kedua muridnya itu, maka baru bertempur beberapa puluh jurus saja keduanya
telah terdesak hebat oleh pedang Thian Hwa dan Yan Bun!
Ma Tek San
yang selalu berpikir jahat, ketika mendapat kenyataan bahwa kedua lawannya itu
benar-benar lihai, segera berseru kepada anak buahnya yang masih berdiri
mengelilingi lapangan pertempuran itu.
"Hayo
kamu semua lekas bantu menangkap dua setan ini!" Suara Ma Tek San yang
keras terdengar berpengaruh dan tidak seorang pun di antara anak buahnya yang
berani menentang atau mengabaikan perintah ini, karena mereka sudah mengenal
kekejaman Ma Tek San. Dengan senjata-senjata tajam di tangan, mereka bergerak
maju untuk mengeroyok.
Tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras sekali.
"Kalian
semua mundur!" Inilah bentakan Thian Bong Sianjin yang masih duduk di
dalam perahunya. Suaranya lebih keras dan nyaring dibanding suara Ma Tek San
sehingga para bajak terkejut dan sebagian besar mundur. Tapi sebagian lagi
tetap maju karena mereka lebih takut kepada pimpinan mereka yang kejam.
"Mundur
kalian! Kalau tidak, tangan Huang-ho Sui-mo ikut berbicara!'
Ancaman ini
berhasil juga, karena lebih dua puluh orang yang pernah mendengar nama ini
segera mundur dan melihat ke arah orang tua itu dengan hormat, tapi masih ada
juga yang berani maju dengan maksud mengeroyok Thian Hwa dan Yan Bun. Tapi
Thian Bong Sianjin mengangkat tangan dan mengayunkan tangannya ke arah mereka
dan pada saat itu juga beberapa orang bajak berteriak-teriak sambil melepaskan
senjata mereka, karena ternyata sambil duduk di perahunya kakek itu telah
meraup segenggam pasir kasar dan mempergunakan pasir itu sebagai senjata
rahasia!
Ternyata pasir kasar yang hampir menyerupai kerikil itu telah memecahkan kulit tubuh mereka yang tersambit sehingga mengeluarkan darah dan rasanya perih sekali! Melihat kelihaian orang tua itu, para bajak menjadi ketakutan dan tidak berani maju lagi.
Ternyata pasir kasar yang hampir menyerupai kerikil itu telah memecahkan kulit tubuh mereka yang tersambit sehingga mengeluarkan darah dan rasanya perih sekali! Melihat kelihaian orang tua itu, para bajak menjadi ketakutan dan tidak berani maju lagi.
Sementara
itu, Thian Hwa yang memainkan pedangnya secara cepat sekali telah berhasil
mengurung Lauw Keng Hwesio sehingga hwesio itu hanya dapat menangkis saja tanpa
dapat membalas sedikitpun juga.
"Thian
Hwa, jangan membunuhnya!" Thian Bong Sianjin berteriak dan Thian Hwa lalu
mengubah gerakan pedangnya dengan secepat kilat! Dia menggunakan ujung pedang
menusuk ke arah jalan darah di tenggorokan lawan dengan gerak tipu Burung
Kepinis Mematuk Ikan.
Karena gerakan ini cepat sekali, maka Lauw Keng Hwesio hampir saja tak dapat mengelakkan diri, tetapi masih ingat untuk melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, tapi terhindar dari maut.
Pada saat dia belum dapat memperbaiki kedudukannya, sepasang kaki Thian Hwa bergerak cepat dan joan-pian-nya telempar karena tendangan kaki kiri Thian Hwa, sedangkan ujung sepatu kanan gadis itu mampir di pundaknya menendang jalan darahnya sehingga dia berteriak keras dan merasa betapa pundaknya sakit sekali sampai meresap ke ulu hati!
Karena gerakan ini cepat sekali, maka Lauw Keng Hwesio hampir saja tak dapat mengelakkan diri, tetapi masih ingat untuk melempar diri ke belakang sehingga dia terjengkang, tapi terhindar dari maut.
Pada saat dia belum dapat memperbaiki kedudukannya, sepasang kaki Thian Hwa bergerak cepat dan joan-pian-nya telempar karena tendangan kaki kiri Thian Hwa, sedangkan ujung sepatu kanan gadis itu mampir di pundaknya menendang jalan darahnya sehingga dia berteriak keras dan merasa betapa pundaknya sakit sekali sampai meresap ke ulu hati!
Masih untung
bagi Lauw Keng Hwesio bahwa Thian Bong Sianjin dalam saat yang tepat telah
mencegah cucunya untuk menghabiskan jiwa hwesio itu sehingga gadis itu tidak
menggunakan ujung sepatu untuk menendang tempat kematian, maka hwesio itu hanya
menderita luka dalam dan patah tulang pundak saja. Tapi rasa sakit cukup
membuat dia roboh pingsan!
Sementara
itu, Ui Yan Bun juga berhasil merobohkan lawannya. Pemuda ini merasa sakit hati
dan marah sekali kepada Ma Tek San yang telah berlaku kejam membunuh dua orang
anak buah ayahnya, maka dia tidak mau memberi hati sedikit pun.
Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat dan mendesak terus sehingga lawannya bertempur sambil mundur berputar-putar. Napas Ma Tek San telah terengah-engah dan wajahnya telah menjadi pucat.
Pada saat yang tepat, Yah Bun memutar pedangnya sedemikian rupa dalam gerak tipu Air Ombak Menampar Karang dan serangan yang dahsyat dan ganas ini datang bergulung-gulung bagaikan ombak samudera sehingga tak dapat ditangkis lagi oleh Thiat-thou-kim-gq Ma Tek San. Dengan teriakan menyeramkan, kepala bajak yang jahat itu roboh terguling setelah tertembus pedang Yan Bun! Maka binasalah orang she Ma ini!
Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat dan mendesak terus sehingga lawannya bertempur sambil mundur berputar-putar. Napas Ma Tek San telah terengah-engah dan wajahnya telah menjadi pucat.
Pada saat yang tepat, Yah Bun memutar pedangnya sedemikian rupa dalam gerak tipu Air Ombak Menampar Karang dan serangan yang dahsyat dan ganas ini datang bergulung-gulung bagaikan ombak samudera sehingga tak dapat ditangkis lagi oleh Thiat-thou-kim-gq Ma Tek San. Dengan teriakan menyeramkan, kepala bajak yang jahat itu roboh terguling setelah tertembus pedang Yan Bun! Maka binasalah orang she Ma ini!
Para anak
buah bajak laut melihat betapa kedua kepala mereka dengan mudah terbunuh oleh
Thian Hwa dan Yan Bun segera mengangkat senjata hendak mengeroyok, tapi
lagi-lagi Thian Bong Sianjin membentak keras.
"Kalian
masih belum takluk" Siapa melawan berarti mati!" setelah berkata
demikian, kakek itu berdiri dan tubuhnya yang tinggi tampak angker menakutkan.
Memang nama Huang-ho Sui-mo sudah merupakan sesuatu yang menakutkan mereka,
apalagi melihat betapa kepandaian tiga orang itu hebat sekaU, maka para bajak
itu segera menjatuhkan diri berlutut meminta ampun!
"Kalian
dengarkan baik-baik! Berpuluh tahun yang lalu aku telah adakan aturan-aturan
dan larangan-larangan bagi para bajak di Huang-ho untuk bekerja dengan mengenal
aturan dan memilih orang yang patut dijadikan korban!
Tapi orang she Ma ini telah melanggarnya, dan lihat, apa yang menjadi akibatnya saat ini!
Harus kalian ketahui bahwa jika ada yang tidak mentaati aturan dan bertindak sewenang-wenang, tak usah aku sendiri turun tangan, pasti ada saja yang akan mewakili aku memberi hajaran kepada pelanggar itu!
Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang kesemuanya siap sedia membasmi kejahatan! Nah, kalian sekarang boleh memilih kepala baru, tapi awas, jangan sekali-kali pelanggaran seperti yang telah dilakukan orang she Ma ini kalian ulangi!"
Tapi orang she Ma ini telah melanggarnya, dan lihat, apa yang menjadi akibatnya saat ini!
Harus kalian ketahui bahwa jika ada yang tidak mentaati aturan dan bertindak sewenang-wenang, tak usah aku sendiri turun tangan, pasti ada saja yang akan mewakili aku memberi hajaran kepada pelanggar itu!
Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang gagah yang kesemuanya siap sedia membasmi kejahatan! Nah, kalian sekarang boleh memilih kepala baru, tapi awas, jangan sekali-kali pelanggaran seperti yang telah dilakukan orang she Ma ini kalian ulangi!"
Setelah
memberi nasehat-nasehat kepada para bajak, Thian Bong Sianjin mengajak Thian
Hwa dan Yan Bun untuk kembali ke kampung. Mereka disambut Ui Hauw yang
mendengarkan cerita puteranya dengan girang dan bangga sekali.
Setelah
bermalam di situ beberapa hari lagi, Thian Bong Sianjin lalu mengajak cucunya
meninggalkan kampung itu.
Mereka
berdua memang tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berpindah-pindah dan
sebagian besar dari waktu mereka digunakan untuk mendayung perahu, menangkap
ikan dan mengunjungi kawan-kawan dan orang-orang kampung yang tinggal di
sepanjang Sungai Huang-ho yang panjang itu.
Beberapa
bulan kemudian, ketika Thian Bong Sianjin dan Thian Hwa sedang menjalankan biduk
mereka perlahan di sepanjang tepi sungai yang airnya tenang dan hawa udara pada
pagi hari itu sangat baiknya, Thian Hwa kembali mengulangi pertanyaannya yang
telah berkali-kali diajukan kepada kakeknya itu.
"Kong-kong,
kuharap kali ini Rongkong menaruh kasihan kepadaku. Dulu Kong-kong berjanji
akan membuka rahasia ini kepadaku setelah aku dewasa dan memiliki kepandaian.
Nah, sekarang aku telah berusia tujuh belas tahun, dan tentang kepandaian,
kiranya tidak sia-sia Kong-kong mengajar padaku. Kong-kong,
beritahukanlah kepadaku siapa sebenarnya Ayah dan Ibuku...."
Pada kalimat terakhir ini suara Thian Hwa menjadi perlahan dan mengharukan sehingga Thian Bong Sianjin menghela napas sedih, karena dia bingung sekali. Bagaimana dia harus menceritakan kalau dia sendiri pun tidak mengenal dan tidak tahu siapa orang tua gadis itu" Dia teringat betapa dulu pernah bertemu dengan wanita cantik dalam mimpi, maka karena tiada jawaban lain, dia menjawab.
beritahukanlah kepadaku siapa sebenarnya Ayah dan Ibuku...."
Pada kalimat terakhir ini suara Thian Hwa menjadi perlahan dan mengharukan sehingga Thian Bong Sianjin menghela napas sedih, karena dia bingung sekali. Bagaimana dia harus menceritakan kalau dia sendiri pun tidak mengenal dan tidak tahu siapa orang tua gadis itu" Dia teringat betapa dulu pernah bertemu dengan wanita cantik dalam mimpi, maka karena tiada jawaban lain, dia menjawab.
"Thian
Hwa, cucuku! Sebetulnya kalau menurut kehendakku, tak usah kau pergi mencari
orang tuamu karena aku sangat merasa ragu apakah kau akan berhasil. Tapi, kalau
aku larang kau melakukan hal ini, berarti bahwa aku adalah seorang yang tidak
berbudi dan hanya mementingkan diri sendiri saja." Kakek itu menghela
napas lagi dan melanjutkan kata-katanya sambil menatap wajah cucunya yang
sangat dikasihinya itu.
"Thian Hwa, terus terang saja aku ulangi, bahwa aku selama hidup belum pernah bertemu muka dengan kedua orang tuamu. Tapi aku pernah bermimpi dan melihat Ibumu...."
Sepasang
mata gadis itu berkilat dan wajahnya berseri. "Ibuku....!" kata-kata
"ibu" ini sangat asing baginya dan sangat mesra. "Bagaimana
rupanya dan di mana dia, Kong-kong?" tanyanya cepat.
"Ibumu
adalah seorang wanita yang cantik sekali dan di atas bibirnya sebelah kiri
terdapat sebuah tanda tahi lalat hitam yang kecil. Wajah Ibumu itu seperti...
seperti... kau sendiri, Thian Hwa, dan melihat dari pakaian yang dipakainya, ia
adalah seorang bangsawan."
"Kong-kong,
kenapakah aku harus mencarinya?" tanya Thian Hwa.
"Thian Hwa, inilah yang sangat menyusahkan hatiku. Kalau aku sendiri mengetahui dimana adanya orang tuamu, agaknya sudah dulu-dulu kucari mereka. Tapi aku hanya bertemu dengan Ibumu dalam mimpi, dan aku tidak tahu di mana tempat tinggal mereka." kakek tua ini lalu menundukkan muka dan tidak berani menentang wajah cucunya, karena dia maklum betapa kata-katanya ini sangat menusuk hati dan menghancurkan pengharapan gadis itu.
Dia hanya mendengar isak tangis Thian Hwa yang berusaha sekuat tenaga menekan perasaan dan menahan tangisnya.
"Kong-kong...
bukankah para bangsawan... bertempat tinggal di kota raja saja?" akhirnya
gadis itu bertanya setelah mereka diam untuk beberapa lama.
Kini barulah
kakek itu berani mengangkat muka memandang wajah cucunya dan hatinya seperti
dikerat pisau ketika melihat betapa wajah cucunya tampak pucat dan di kedua
pipinya mengalir air mata yang bening.
"Thian
Hwa, memang di kota raja banyak sekali terdapat bangsawan tinggi, tapi di
antara ribuan para bangsawan itu, yang manakah keluarga yang kita
maksudkan" Ahh, seakan-akan mencari setitik air dalam Sungai
Huang-ho!"
Semenjak
terjadinya percakapan ini, wajah Thian Hwa nampak suram-muram dan tidak
bergembira sedikit pun seperti biasanya sehingga diam-diam Thian Bong Sianjin
merasa khawatir sekali.
Malam hari itu mereka bermalam dalam sebuah bio rusak yang telah lama kosong, dan yang berdiri di pinggir sungai dalam sebuah hutan yang sunyi.
Malam hari itu mereka bermalam dalam sebuah bio rusak yang telah lama kosong, dan yang berdiri di pinggir sungai dalam sebuah hutan yang sunyi.
Karena
hatinya sedih dan terharu melihat cucunya, maka Thian Bong Sianjin tekun
bersamadhi untuk menenteramkan hati dan pikiran sehingga seakan-akan mati duduk
dan tak bergerak bagaikan sebuah patung batu.
Ketika pada keesokan harinya dia sadar, dia merasa tidak enak hati seakan-akan ada sesuatu yang terjadi. Dan benar saja, karena Thian Hwa, cucunya yang semenjak berusia tiga hari tak pernah terpisah darinya itu, telah pergi dengan diam-diam! Gadis yang dikasihinya itu pergi dengan nekad hendak mencari orang tuanya, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang kini dia pegang di dalam kedua tangannya yang gemetar dan keriputan, sambil dibacanya dengan terharu.
Ketika pada keesokan harinya dia sadar, dia merasa tidak enak hati seakan-akan ada sesuatu yang terjadi. Dan benar saja, karena Thian Hwa, cucunya yang semenjak berusia tiga hari tak pernah terpisah darinya itu, telah pergi dengan diam-diam! Gadis yang dikasihinya itu pergi dengan nekad hendak mencari orang tuanya, dan hanya meninggalkan sepucuk surat yang kini dia pegang di dalam kedua tangannya yang gemetar dan keriputan, sambil dibacanya dengan terharu.
Kong-kong,
Mohon beribu ampun bahwa aku terpaksa pergi karena tak tahan melawan desakan
hati untuk mencari Ibu dan Ayahku. Aku pergi ke kota raja dan takkan kembali
sebelum bertemu dengan mereka!
Cucumu Thian
Hwa
Thian Bong
Sianjin menghela napas dalam-dalam. Hasrat hatinya hendak segera menyusul, tapi
dia menggeleng-geleng kepala tanda tidak menyetujui kehendak hati sendiri ini.
Kalau dia menyusul, maka gadis itu tentu akan kecewa dan menganggap dia
menghalang-halangi maksudnya. Pula, Thian Hwa sudah memiliki kepandaian tinggi
dan dia tak perlu mengkhawatirkan keselamatannya.
Yang dia cemaskan adalah bahwa gadis itu takkan mungkin bertemu dengan kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak percaya bahwa wanita yang dilihatnya dalam mimpi itu benar-benar ibu Thian Hwa! Gadis itu tentu takkan dapat menemukan orang tuanya di kota raja dan akan kecewa hati. Inilah yang dikhawatirkan.
Kini Thian Bong Sianjin merasa sunyi, sunyi sepi yang biasanya mengamankan hati menyedapkan perasaan itu kini berubah menjadi sunyi yang menyayat hati, yang menimbulkan kenangan-kenangan sedih, kesunyian seorang yang kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat dikasihaninya! Kakek tua yang gagah perkasa itu akhirnya menundukkan kepala dan memejamkan mata sambil menahan napas untuk melawan gelora yang mengamuk di dalam dirinya dan membuatnya lemas.
Yang dia cemaskan adalah bahwa gadis itu takkan mungkin bertemu dengan kedua orang tuanya, karena dia sendiri tidak percaya bahwa wanita yang dilihatnya dalam mimpi itu benar-benar ibu Thian Hwa! Gadis itu tentu takkan dapat menemukan orang tuanya di kota raja dan akan kecewa hati. Inilah yang dikhawatirkan.
Kini Thian Bong Sianjin merasa sunyi, sunyi sepi yang biasanya mengamankan hati menyedapkan perasaan itu kini berubah menjadi sunyi yang menyayat hati, yang menimbulkan kenangan-kenangan sedih, kesunyian seorang yang kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat dikasihaninya! Kakek tua yang gagah perkasa itu akhirnya menundukkan kepala dan memejamkan mata sambil menahan napas untuk melawan gelora yang mengamuk di dalam dirinya dan membuatnya lemas.
Kira-kira
setengah bulan kemudian, Thian Bong Sianjin mengunjungi Ui Hauw dan kepala
bajak ini kaget sekali mendengar tentang perginya Thian Hwa.
"Ah,
mengapa Suhu tidak menahannya" Ke manakah anak itu pergi" Ahh,
bagaimana kalau terjadi sesuatu?""
Thian Bong
Sianjin hanya tersenyum. Setelah beberapa hari lewat, orang tua ini dapat juga
menetapkan hatinya dan melenyapkan rasa sedih yang menyerangnya. "Ia akan
selamat. Kepandaiannya cukup untuk menjaga diri."
Sementara
itu, ketika mendengar tentang perginya Thian Hwa ke kota raja, Yan Bun merasa
terkejut sekali. Ia merasa seakan-akan hatinya terbawa pergi oleh gadis itu.
Dengan lemas ia meninggalkan Thian Bong Sianjin dan ayahnya, tanpa berkata
sesuatu, dan masuk ke kamarnya. Tiba-tiba saja dia merasa bahwa gadis itu
sungguh merupakan arti yang besar sekali baginya.
Dan pada
keesokan harinya, semua orang kaget dan bingung karena Yan Bun tahu-tahu telah
pergi dengan sebuah biduk tanpa memberitahukan sesuatu kepada semua orang. Tapi
Ui Hauw dan Thian Bong Sianjin saling pandang dengan penuh pengertian. Mereka
ini tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, telah dapat menduga bahwa Yan Bun
tentu pergi menyusul Thian Hwa dan mereka tahu pula apa artinya perbuatan
pemuda itu.
Diam-diam Ui Hauw menarik napas dan dia berkata kepada Thian Bong Sianjin.
Diam-diam Ui Hauw menarik napas dan dia berkata kepada Thian Bong Sianjin.
"Alangkah
baiknya kalau dulu-dulu kita jodohkan kedua anak itu!"
Thian Bong
Sianjin hanya tersenyum dan berkata perlahan. "Ui Hauw, jodoh tak dapat
dipaksakan. Kita orang-orang tua menunggu saja dan melihat perkembangan
terlebih jauh. Sementara itu, biarlah kita doakan agar mereka dapat bertemu dan
dijauhkan dari segala bencana."
Thian Hwa
pergi melakukan perjalanannya dengan hanya membawa sebungkus pakaian dan
sebatang pedang. Ia pernah diberitahu kakeknya bahwa letak kota raja adalah di
sebelah utara, maka ia langsung menuju ke utara dengan menggunakan ilmu lari
cepat. Karena ia biasanya melakukan perjalanan dengan berperahu dan di
sepanjang Sungai Huang-ho, kini melalui gunung-gunung dan lembah-lembah yang
penuh dengan tamasya alam yang jauh bedanya dengan pemandangan di sepanjang sungai,
hatinya tertarik dan gembira "sekali, seperti seorang kanak-kanak yang
mendapat barang permainan baru.
Setelah
berjalan dua hari, ia tiba di sebuah kampung yang makmur, dengan rumah-rumah
yang bagus. Ternyata bahwa tanah di sekitar kampung itu subur dan menghasilkan
banyak palawija sehingga memakmurkan para petani di kampung itu.
Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tiada terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang dan para petaninya hanya buruh tani belaka.
Di kampung Luncwan ini, para petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan semua keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang sangat menyenangkan mereka. Kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri.
Ada juga pendatang dari keturunan lain, tapi pendatang-pendatang baru ini pun taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada dan menambah kekuatan dan persatuan kampung.
Tanah-tanah di sekitar kampung itu terbagi rata di antara para petani sehingga di situ tiada terjadi pemerasan tenaga seperti halnya di kampung-kampung yang terdapat tuan tanah yang menguasai seluruh sawah ladang dan para petaninya hanya buruh tani belaka.
Di kampung Luncwan ini, para petani memiliki sedikit tanah yang hasilnya cukup untuk menghidupkan semua keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan damai, saling tolong, dan membuat kampung itu menjadi sebuah tempat kediaman yang sangat menyenangkan mereka. Kampung itu hanya didiami keluarga-keluarga Tan dan Ong yang masih terikat kekeluargaan pula karena pemuda-pemudi kedua turunan ini banyak yang terikat sebagai suami isteri.
Ada juga pendatang dari keturunan lain, tapi pendatang-pendatang baru ini pun taat dan tunduk kepada kerukunan yang telah ada dan menambah kekuatan dan persatuan kampung.
Kepala
kampung di situ adalah seorang tua bernama Tan Hok San yang terkenal adil dan bijaksana
sehingga dicintai dan dihormati orang-orang kampung. Akan tetapi, setelah
beberapa pekan ini terjadi perubahan hebat sekali di kampung itu. Sebetulnya
yang sangat berubah dan membuat orang-orang kampung merasa heran dan penasaran
adalah kepala kampung itu sendiri.
Tanpa mengetahui sebab-sebabnya orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa. Kepala kampung yang bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas.
Dia menetapkan pajak hasil sawah yang sangat berat karena tujuh bagian hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. 3uga peternak-peternak dikenakan pajak besar sekali, sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu menjadi berbeda sekali. Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan.
Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tapi hasilnya orang itu sendiri ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah!
Tanpa mengetahui sebab-sebabnya orang-orang kampung melihat betapa Tan Hok San sekarang berubah menjadi pemeras rakyat yang luar biasa. Kepala kampung yang bertahun-tahun dianggap sebagai seorang pemimpin yang cakap dan baik, tiba-tiba berubah menjadi seekor srigala yang ganas.
Dia menetapkan pajak hasil sawah yang sangat berat karena tujuh bagian hasil sawah harus diserahkan kepadanya dengan alasan untuk disetorkan kepada pembesar atasan di kota raja. 3uga peternak-peternak dikenakan pajak besar sekali, sehingga dalam beberapa pekan saja keadaan kampung itu menjadi berbeda sekali. Kegembiraan lenyap digantikan oleh kedukaan dan keheranan.
Tiada seorang pun berani menegur, karena pernah seorang mencoba untuk menegur kepala kampung itu tapi hasilnya orang itu sendiri ditahan dan katanya dikirim ke kota raja karena dianggap memberontak terhadap pemerintah!
Ketika
hendak memasuki kampung itu Thian Hwa melewati sebuah hutan dan di situ ia
melihat mayat seorang laki-laki tua yang sudah rusak karena diganggu binatang
hutan. Karena pemandangan ini maka ia berlaku hati-hati dan menganggap bahwa
kampung yang dimasukinya ini tentu bukan kampung yang aman dan baik. Ia mencoba
mencari rumah penginapan, tapi sungguh mengherankan, dua buah rumah penginapan
kecil yang biasa dibuka, kini tertutup dan tidak menerima tamu.
"Maaf,
Nona, rumah penginapan tidak dibuka lagi," kata seorang bekas pelayan
rumah penginapan itu.
"Mengapa
tidak?"
"Kami
tidak kuat membayar pajak!"
Demikian
pun, ketika Thian Hwa hendak pesan makanan di sebuah rumah makan yang telah
ditutup, ia mendapat jawaban serupa. Keadaan kampung itu membuat ia merasa
curiga dan menduga pasti ada apa-apa. Ia bertanya kepada seorang yang tampak
muram dan duduk di depan rumahnya.
"Maaf,
Lopeh, aku baru saja mendengar bahwa orang-orang takut berusaha-karena
dikenakan pajak. Sebetulnya siapakah yang mengadakan pajak-pajak besar itu,
Lopeh?"
Orang tua
itu memandangnya dengan mata terbelalak, kemudian setelah ia menengok ke kanan
kiri, dia segera mempersilakan Thian Hwa masuk, lalu mengunci pintu rumahnya!
"Siocia,
kau agaknya seorang luar kampung dan agaknya kau seorang yang biasa merantau
karena kau membawa-bawa pedang di punggung. Di kampung ini jangan kaubicarakan
sembarangan saja."
"Ada
apakah, Lopeh?" tanya Thian Hwa heran.
Orang tua
itu lalu menceritakan betapa kepala kampung yang tadinya berbudi dan adil itu
kini berubah menjadi pemeras rakyat yang kejam. Thian Hwa lalu menceritakan
bahwa ia telah melihat mayat di dalam hutan. Ketika empek itu mendengar tentang
hal ini, dia segera bertanya tentang keadaan mayat itu, tentang pakaian dan
lain-lain. Setelah mendengar keterangan Thian Hwa bahwa mayat itu memakai baju
biru dan celana abu-abu, orang tua itu menjadi pucat dan berseru. "Kalau
begitu, dia adalah Cun Sam!"
"Cun
Sam" Siapakah Cun Sam itu, Lopeh?"
Tiba-tiba
kakek itu menangis dan isterinya yang juga berada di situ ikut pula menangis.
"Cun Sam adalah adikku...." Kemudian kakek itu menceritakan betapa
Cun Sam ditangkap karena berani mencela kepala kampung dan katanya dikirim ke
kota raja diadukan karena dianggap pemberontak.
"Kalau
begitu semua itu bohong belaka...." kakek itu mengeluh. "Cun Sam
bukan dibawa ke kota raja, tapi dibawa ke hutan dan dibunuhnya." Kemudian
kakek itu lalu berlari keluar untuk mengajak kawan-kawan mengambil dan mengubur
mayat adiknya itu.
Sementara
itu, Thian Hwa merasa gemas dan marah sekali. Ia menganggap perbuatan kepala
kampung itu sewenang-wenang dan mau tidak mau ia harus turun tangan dan
mencampuri perkara penasaran ini. Dengan hati panas ia lalu mencari rumah
kepala kampung itu. Tapi ternyata bahwa gedung kepala kampung yang bercat
kuning itu pun tertutup pintunya. Ia mengetuk dengan keras dan pintu dibuka
oleh seorang pengawal bersenjata golok yang bertubuh tinggi besar dan
membentaknya.
"Bangsat
kurang ajar dari mana berani mengganggu rumah kami?"
Tapi ketika
ia telah membuka pintu dan melihat bahwa yang datang adalah seorang gadis yang
cantik sekali, wajah yang tadinya tampak kejam itu berubah dan kini orang
tinggi besar itu terse-nyum-senyum ceriwis dan menyebalkan.
"Eh,
Nona... kau hendak mencari siapakah?"
Thian Hwa
merasa curiga sekali melihat orang ini. Terang bahwa ia bukan orang baik-baik,
mengapa bisa menjadi pengawal di tempat ini" Pula, orang ini tadi menyebut
"rumah kami" yang sudah tidak selayaknya bagi seorang pengawal
menyebut rumah seorang kepala kampung. Ia hendak menerjang, tapi dapat
mengendalikan nafsu marahnya, lalu bertanya.
"Kau
siapakah?"
Orang tinggi
besar itu memperlebar senyumnya. "Aku adalah seorang penjaga keamanan di
sini. Apakah Nona hendak bertemu dengan Chungcu?"
Thian Hwa
mengangguk. "Ya, tolong panggil keluar Chungcu kampung ini, aku hendak
bertemu dengan dia."
Orang tinggi
besar itu tersenyum lagi. "Tunggu sebentar, Nona, hendak kulapor-kan ke
dalam."
Dewi Sungai
Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo di
http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah
berkata demikian, dia masuk ke dalam dan tak lama kemudian keluar dan berkata. "Kau
dipersilakan masuk menghadap di dalam, Nona."
Thian Hwa
mengikuti penjaga itu memasuki ruang dalam dan berlaku hati-hati karena ia
tetap menaruh kecurigaan besar. Mereka tiba di ruang dalam yang cukup luas dan
di atas sebuah kursi di belakang mejanya duduk seorang laki-laki tua.
Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya.
Ketika melihat ia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah ia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.
Dengan memandangnya sekilas saja Thian Hwa tahu bahwa orang itu adalah seorang terpelajar dan baik hati, tapi sepasang matanya redup dan layu seakan-akan menderita hebat di dalam batinnya.
Ketika melihat ia datang, orang tua itu bersikap sombong dan angkuh, tapi Thian Hwa yang bermata tajam sering menerima wejangan dari kakeknya dapat mengenal wajah dan sifat manusia, maka tahulah ia bahwa sikap itu adalah paksaan belaka.
"Siocia,
kau siapakah, datang dari mana dan ada keperluan apa mencari aku?" tanya
Tan-chungcu dengan suara angkuh.
"Chungcu,
maafkan kalau aku mengganggumu. Aku adalah seorang perantau yang kebetulan
lewat di kampung ini, tapi keadaan ganjil yang terjadi di kampungmu membuat aku
merasa tidak enak dan aku harus menegurmu."
Wajah kepala
kampung itu berubah pucat, agaknya merasa cemas dan marah. "Siocia, kau
seorang muda janganlah mencampuri urusan pemerintahan. Lebih baik pergilah dari
kampungku dengan aman."
"Tan-chungcu!
Kau berlaku kejam sekali dengan memeras rakyatmu sendiri, menghisap orang-orang
kampung yang mengangkatmu menjadi kepala! Tidak tahukah kau bahwa dengan
peraturanmu yang sewenang-wenang menjatuhkan pajak besar itu membuat banyak
orang-orangmu menderita kelaparan" Tidak dengarkah kau betapa mereka mengeluh
dan menangis karena peluh dan darah yang mereka peras di ladang ternyata
kaurampas hasilnya
" Apakah ini adil" Kau sebagai seorang pemimpin seharusnya membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, tapi kau bahkan menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain!"
" Apakah ini adil" Kau sebagai seorang pemimpin seharusnya membimbing mereka ke jalan kebahagiaan, tapi kau bahkan menggunakan hak dan kekuasaanmu untuk memburu nafsu, mengenakkan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain!"
"Diamlah....
diamlah! Kau... kau keluar dari sini!" Tan-chungcu berteriak keras
sedangkan wajahnya makin pucat.
"Tidak!
Aku takkan keluar sebelum bicara habis, sebelum kau mengubah kelakuanmu yang
tiada bedanya dengan seorang perampok rendah! Kau bahkan berani menangkap
seorang kampung yang memperingatkanmu dan membunuhnya!"
"Apa"
Kau membohong! Aku tak pernah membunuh orangku."
Bibir gadis
itu tersenyum sindir.
"O, begitukah" Di manakah Cun Sam sekarang" Coba kauterangkan!" kata Thian Hwa.
"O, begitukah" Di manakah Cun Sam sekarang" Coba kauterangkan!" kata Thian Hwa.
Tan-chungcu
berkata sungguh-sungguh. "Cun Sam" Ah, dia... dia telah memberontak,
maka dikirim ke kota raja agar diadili."
"Ah,
jangan berpura-pura! Kau bukan mengirim dia ke kota raja, tapi kau mengirim dia
ke hutan dan kau bunuh dia di sana. Kau telah menyuruh orang-orangmu
membunuhnya. Aku sendiri melihat jenazahnya di hutan!"
"Apa?"
Tan-chungcu berteriak dengan wajah pucat dan mata terbelalak. "Dia...
di... dibunuh....?"" Dan pada saat itu, dari balik pintu sebelah
dalam keluarlah berloncatan lima orang, dan orang tinggi besar yang tadi
membuka pintu untuk Thian Hwa terdapat juga di antara mereka.
Seorang
pendek gemuk yang matanya juling berkata. "Chungcu, budak perempuan ini
kurang ajar dan memberontak apakah harus ditawan?"
Tapi
Tan-chungcu berdiri dengan tubuh gemetar dan bahkan bertanya kepada... Si Gemuk
Pendek itu.
"Kau...
kau apakan Si Cun Sam?""
Si Gemuk
Pendek tersenyum dingin. "Nanti saja kita bicarakan soal itu, sekarang
kita bereskan dulu budak hina ini!" katanya.
"Tidak,
tidak! Kau... kau pembunuh kejam... kau perampok jahat....!"
Si Gemuk
Pendek itu membelalakkan matanya dan secepat kilat tubuhnya yang gemuk itu
bergerak dan pedangnya berkilauan meluncur ke arah dada Tan-chungcu ! Tapi
Thian Hwa telah siap sedia, maka ia mendahului Si Gemuk itu, dan sekali
berkelebat ia berhasil menyambar tangan Tan-chungcu dan menariknya sehingga
terluput dari tusukan Si Gemuk Pendek. Tan-chungcu segera bersembunyi di
belakang tubuh gadis itu karena tahu bahwa Thian Hwa adalah seorang gadis
pendekar yang mungkin akan dapat menolongnya.
"Li-hiap,
kau berhati-hatilah. Mereka adalah perampok-perampok kejam dan ganas yang telah
lama menguasai dan mengancamku!" kata Kepala Kampung itu.
Thian Hwa
mengangguk-angguk dan bertolak pinggang sambil menghadapi lima orang yang
berwajah ganas itu. "Hm, hm! Sudah kuduga begitu. Jadi kamu
perampok-perampok hina ini dengan secara pengecut sekali telah memaksa Chungcu
melakukan semua pemerasan ini" Sungguh rendah, tapi hari ini aku tentu
akan menamatkan riwayatmu yang kotor ini!"
"Budak
hina! Tidak tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?" teriak orang tinggi
besar yang menjadi pengawal tadi.
"Tentu saja
aku tahu. Kalian berlima adalah calon-calon makanan api neraka!"
"Perempuan
sombong! Kau masih begini muda tapi mau besar kepala. Ketahuilah, kami adalah
Bweesan Ngo-heng, Lima Raja dari Gunung Bweesan, maka jangan harap kau akan
dapat keluar dari gedung ini dengan selamat!" kata Si Gemuk Pendek yang
agaknya menjadi pemimpin mereka.
Thian Hwa
tersenyum menyindir. "Siapa takut pada siluman dari Bweesan" Hari ini
kalian lima ekor siluman bertemu dengan aku, Huang-ho Sian-li, dan akulah yang
akan mengirim kalian pulang ke asalmu!"
"Bangsat
perempuan sombong!" Si Tinggi Besar meloncat maju kedua tangan terulur
dengan maksud hendak menubruk dan memeluk gadis jelita itu dan membuatnya malu.
Tapi dengan cepat Thian Hwa meloncat berputar ke kiri dan kaki kanannya cepat
menendang ke arah lambung kanan lawan. Si Tinggi Besar terkejut sekali karena
sama sekali tidak menduga bahwa gadis cilik itu dapat bergerak secepat itu
sehingga hampir saja lambungnya berkenalan dengan ujung sepatu.
Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut dan menangkap kaki Thian Hwa, tapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka. Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, ia cepat memutar ujung kakinya dan dengan dua jari tangan dikembangkan ia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!
Cepat tangan kanannya bergerak hendak menyaut dan menangkap kaki Thian Hwa, tapi ternyata tendangan itu hanya pancingan belaka. Ketika tangan kanan Si Tinggi Besar itu bergerak hendak menangkap kakinya, ia cepat memutar ujung kakinya dan dengan dua jari tangan dikembangkan ia menusuk kedua mata lawan! Sekali lagi Si Tinggi Besar terkejut dan buru-buru meloncat mundur dengan keringat dingin membasahi jidatnya!
Melihat
betapa anak perempuan itu benar-benar lihai, Kelima Raja Gunung Bweesan itu
mencabut senjata mereka dan maju menyerang! Kini mereka tidak ada hasrat untuk
menangkap gadis cantik itu lagi, mereka hanya ingin membunuhnya secepat mungkin
karena gadis ini merupakan bahaya dan halangan besar bagi usaha mereka!
Tapi Thian Hwa tidak menjadi takut, bahkan ia merasa
gembira sekali melihat berkeredepannya senjata-senjata musuh. Ia cepat mencabut
pedangnya sendiri dan sebentar saja sinar pedangnya menari-nari dan
bergulung-gulung mengurung kelima perampok itu!
Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat, ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka itu repot sekali. Kemudian Thian Hwa mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat. Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luai biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, tapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan......
Dengan ilmu pedang Kwan Im Kiam-hoat, ia dapat melayani kelima lawannya dengan baik, bahkan dapat membuat mereka itu repot sekali. Kemudian Thian Hwa mengubah permainannya dan mainkan ilmu pedang gubahan kakeknya yang disebut Huang-ho Kiam-hoat. Ilmu pedang ini tampaknya tenang-tenang saja tapi mendatangkan tenaga yang luai biasa kuatnya, dan kadang-kadang tampak buas dan bergulung-gulung, lalu tenang-tenang lagi, sehingga sama dengan sifat dan pergerakan aliran air sungai Huang-ho, tapi yang di dalamnya mengandung gerak tipu mematikan......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment