Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Sungai Kuning
Jilid 06
Thian Hwa
merasakan betapa seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya berdebar. Mukanya
terasa panas dan kepalanya pening. Ia hendak menarik tangannya, tapi tak kuasa
menggerakkan tangan itu dan terasa olehnya betapa lembut dan mesra tangan
pemuda itu memegang tangannya.
Tiba-tiba
telinganya yang tajam dapat menangkap tindakan kaki orang, maka cepat sekali
Thian Hwa menarik tangannya dan meloncat menghadapi orang yang datang itu.
Alangkah kagetnya melihat bahwa yang datang adalah Pat-chiu Lo-mo dan tiga
orang lain dengan senjata di tangan dan sikap mengancam.
Melihat ini,
terkejutlah Cu Kiong dan dia segera bertepuk tangan tiga kali. Tapi para
pembantunya tidak muncul dan Iblis Bongkok itu tertawa mengejek.
"Ha,
ha! Kaki tanganmu tak mungkin datang, mereka sendiri sibuk membela diri dan
menjaga agar nyawa mereka jangan melayang!" Kemudian Pat-chiu Lo-mo segera
maju dan menggerakkan tongkatnya ke arah Cu Kiong. Tapi Thian Hwa berseru
nyaring dan ia maju menotok iga iblis itu dengan hebat. Terpaksa Si Bongkok
menarik kembali tongkatnya dan melayani Thian Hwa. Kemudian tiga orang lainnya
yang bersenjata pedang maju pula mengeroyok Thian Hwa sehingga gadis itu sibuk
sekali, tapi ia masih ingat berseru kepada Cu Kiong.
"Kongcu,
lekas kau pergi, biar aku menahan mereka ini!" Thian Hwa khawatir
kalau-kalau pangeran itu mendapat celaka karena ia maklum bahwa kepandaian
pemuda itu masih terlampau rendah untuk melayani para penyerbu yang ternyata
berkepandaian tinggi ini.
Tapi Chu
Kiong tidak mempedulikan teriakan Thian Hwa, bahkan dia lalu mengangkat sebuah
bangku yang terdapat di kolam itu dan menggunakan barang ini sebagai senjata.
Dia meloncat menerjang pengeroyok Thian Hwa sambil berseru.
"Niocu,
jangan takut, aku bantu kau!"
Thian Hwa
menjadi sibuk sekali karena untuk menjaga diri sendiri dengan tangan kosong
terhadap empat pengeroyok saja sudah sukar baginya, apalagi kini dengan ikut
campurnya Cu Kiong, gerakannya makin kalut karena ia harus menjaga pemuda itu
pula!
"Kongcu,
pergilah kau!" teriaknya sekali lagi, tapi Cu Kiong bahkan menyerang
Pat-chiu Lo-mo dengan hebat! Si Bongkok itu melihat datangnya serangan bangku,
cepat menangkis dengan tongkatnya sedemikian rupa sehingga bangku itu terpental
kembali dan menghantam dada Cu Kiong yang terpental jauh dan tercebur ke dalam
kolam!
Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat sehingga mata para lawannya kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok kena tertotok pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh.
Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam. Ia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam dan cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan.
Melihat ini, hampir saja Thian Hwa menjerit ngeri dan ia lalu mengeluarkan pukulan Kwan Im yang hebat. Dengan gerakan yang tak terduga sama sekali oleh lawan-lawannya, tubuhnya bergerak secepat kilat sehingga mata para lawannya kabur dan tahu-tahu seorang pengeroyok kena tertotok pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan roboh.
Pengeroyok yang lain menjadi terkejut dan meloncat mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Hwa untuk meloncat terjun ke dalam kolam. Ia menyelam dan memegang tubuh Cu Kiong yang telah lemas dan tenggelam dan cepat mengangkat pemuda itu keluar dari kolam. Karena para lawannya tidak pandai berenang, maka mereka hanya menanti dengan senjata di tangan.
Melihat ini,
Thian Hwa lalu melihat ke kanan kiri dan ia melihat sebuah besi tempat
gantungan lampu di tengah kolam. Besi itu sengaja dipasang untuk dipakai
menggantung lampu dan memperindah kolan itu. Thian Hwa lalu menggunakan tangan
kanannya mencabut besi itu dan dengan tangan kiri memeluk tubuh Cu Kiong yang
pingsan, ia lalu berenang ke tepi kolam.
Tapi musuh-musuhnya telah menanti di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali. Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak tampak oleh musuhnya. Tahu-tahu, ia telah muncul di lain tepi dan mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir dan ia sendiri meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan.
Tapi musuh-musuhnya telah menanti di situ dengan senjata mengancam sehingga ia menjadi sibuk sekali. Tiba-tiba Thian Hwa membawa tubuh pemuda itu menyelam sehingga tidak tampak oleh musuhnya. Tahu-tahu, ia telah muncul di lain tepi dan mengangkat tubuh Cu Kiong ke pinggir dan ia sendiri meloncat ke tepi dengan besi itu melintang di kedua tangan.
Pat-chiu
Lo-mo dan kawan-kawannya lalu mengejar dan kini Thian Hwa dapat melayani mereka
dengan baik, karena besi itu merupakan sebatang tongkat yang hebat. Karena
bingung dan marah sekali melihat Cu Kiong terluka, ia mengamuk hebat dan
mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya ia berhasil menyerampang kaki seorang lawan dan sebelum mereka hilang kagetnya, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-ciajip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah ia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas. Serangan ini hebat sekali karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis.
Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang, tapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit telah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu. Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit maupun menangkis, sudah tidak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, maka dia lalu mengumpulkan lweekangnya di bagian dada sambil menahan napas.
Dengan gerakan-gerakan kilat akhirnya ia berhasil menyerampang kaki seorang lawan dan sebelum mereka hilang kagetnya, tahu-tahu ujung besi di tangannya dengan gerak tipu Heng-ciajip-te atau Kauw-ce-thian Masuk ke Dalam Tanah ia menyerang lutut Pat-chiu Lo-mo dari atas. Serangan ini hebat sekali karena menyambarnya besi sukar untuk ditangkis.
Terpaksa Si Bongkok yang menjadi kaget sekali itu meloncat tinggi untuk menghindarkan kaki atau lututnya dari serangan orang, tapi pada saat tubuhnya masih di tengah udara, Thian Hwa yang menjadi sengit telah memutar tongkatnya dan menggunakan ujung yang sebelah lagi menghantam dada Si Bongkok yang lihai itu. Pat-chiu Lo-mo tak dapat berkelit maupun menangkis, sudah tidak keburu karena gerakan gadis itu luar biasa cepatnya, maka dia lalu mengumpulkan lweekangnya di bagian dada sambil menahan napas.
"Buk!"
ujung besi yang melanggar dada itu menjadi bengkok! Tapi tubuh Si Bongkok itu
terpental jauh dan roboh pingsan karena dia mendapat luka di dalam dadanya!
Kedua pengeroyok lain melihat hal ini lalu meloncat mundur karena jerih, tapi
Thian Hwa tidak mempedulikan mereka lagi. Ia lalu menghampiri Cu Kiong yang
masih rebah dengan memejamkan mata.
"Kongcu....
Kongcu..." Thian Hwa dengan bingung menggoyang-goyang tubuh Cu Kiong, tapi
pemuda itu tidak bergerak dan wajahnya pucat" sekali. Thian Hwa tidak tahu
bahwa kedua musuhnya yang belum roboh masing-masing memondong seorang kawan
yang terluka dan telah meninggalkan tempat itu karena jerih terhadapnya.
Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan dan memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu. Ia bernapas lega karena dada itu hanya mendapat luka di kulit saja sehingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah tenggelam ke dalam air tadi.
Dengan bingung dan sedih gadis itu lalu memondong tubuh Cu Kiong dan membawa lari ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh itu di atas pembaringan dan memeriksa dadanya setelah merobek baju pemuda itu. Ia bernapas lega karena dada itu hanya mendapat luka di kulit saja sehingga mengeluarkan sedikit darah dan menjadi matang biru. Yang membuat pemuda itu pingsan adalah tenggelam ke dalam air tadi.
Thian Hwa
memanggil-manggil pelayan tapi tak seorang pun muncul, karena semua pelayan
agaknya telah lari bersembunyi! la lalu melenyapkan semua perasaan malu dan
menggunakan kain tilam pembaringan yang dirobeknya untuk membalut dada pemuda
itu. Ia bingung sekali karena pakaian pemuda itu dan pakaiannya sendiri basah
kuyup.
Pada saat
itu Cu Kiong siuman dari pingsannya. Di heran dan bingung sekali, tapi dia
segera teringat akan kejadian tadi. Cepat sekali dia meloncat bangun dan
melihat ke arah dadanya yang telanjang dan yang kini telah dibalut. Lalu
memandang Thian Hwa yang juga basah kuyup pakaiannya, sama dengan pakaiannya
sendiri.
"Thian
Hwa... Nona... kau... kau telah menolong jiwaku....?"
"Sudahlah
jangan ribut-ribut, kau perlu istirahat." kata Thian Hwa dengan wajah
merah dan mendekati pemuda itu yang segera ia pegang pundaknya untuk didorong
agar tidur kembali.
"Eh, di
manakah Kamkeng-chit-sian, mengapa mereka tidak muncul?" tiba-tiba Cu
Kiong teringat akan para pengawalnya yang benar saja tidak muncul. Thian Hwa
lalu teringat juga.
"Bukankah
Si Bongkok tadi berkata bahwa mereka juga diserang" Tentu terjadi
pertempuran hebat di atas gedung! Biar aku pergi melihatnya!"
Tapi Cu
Kiong cepat memegang tangan Thian Hwa sambil berkata lirih. "Biarlah,
Moi-moi, jangan tinggalkan aku lagi...."
Sekali lagi
gadis itu menjadi lemas dan kepalanya terasa pening, tak kuasa melepaskan diri
dari pegangan tangan pemuda itu.
"Kongcu,
kau perlu berganti pakaian yang kering, kau bisa sakit dalam pakaian basah
ini." katanya perlahan.
"Kau
sendiri bagaimana?" kata Cu Kiong berbisik. "Pakaianmu juga basah
kuyup." Suaranya mengandung kasih sayang yang memabukkan kepala Thian Hwa.
Pada saat itu
terdengar suara seorang di antara Kamkeng-chit-sian di luar pintu kamar.
"Thaijin, apakah kau selamat saja?"
Tanpa
membuka pintu atau bangun dari pembaringan Cu Kiong menjawab. "Aku tidak
apa-apa, bagaimana kalian?"
"Musuh
telah terusir pergi, hanya seorang di antara kami mendapat luka."
"Sudahlah,
besok saja kita bicarakan!" pangeran itu berkata dan semua pengawal itu
pergi lagi ke kamar masing-masing.
Keesokan
harinya, ketika matahari telah naik tinggi, Thian Hwa bangun dari tidurnya
dengan kepala terasa berat. Tapi ia lalu duduk bersamadhi dan mengatur napas
sehingga sebentar saja ia merasa sehat dan segar kembali. Pintu kamarnya
diketuk dari luar dan ia lalu turun membuka pintu.
Pelayan-pelayan yang kemarin itu masuk sambil membawa segala keperluan untuk mandi dan berganti pakaian. Thian Hwa minta mereka keluar dan ia sendiri lalu berganti pakaian dan mencuci muka. Kemudian ia keluar dan ternyata hidangan pagi telah disediakan. Para pelayan itu dengan ributnya bercerita betapa malam tadi datang orang-orang jahat yang baiknya dapat diusir oleh para pengawal.
Pelayan-pelayan yang kemarin itu masuk sambil membawa segala keperluan untuk mandi dan berganti pakaian. Thian Hwa minta mereka keluar dan ia sendiri lalu berganti pakaian dan mencuci muka. Kemudian ia keluar dan ternyata hidangan pagi telah disediakan. Para pelayan itu dengan ributnya bercerita betapa malam tadi datang orang-orang jahat yang baiknya dapat diusir oleh para pengawal.
"Kalian
ke mana saja malam tadi, mengapa tidak muncul?" Thian Hwa bertanya.
"Siapa
yang berani keluar, Siocia. Kami bersembunyi di bawah pembaringan kami, menjadi
satu dan tak berani bergerak." jawab seorang pelayan dan yang lain
menyambung. "Jangankan bergerak, bernapas pun kami tidak berani."
Setelah
selasai makan, tiba-tiba datang Losam, kakek pelayan yang kemarin melayaninya.
Setelah memberi salam dan memberes-bereskan makanan, Losam berkata kepada Thian
Hwa. "Siocia, harap kausuruh pergi dulu semua pelayan ini. Aku ingin
bicara empat mata dengan Siocia."
Thian Hwa
heran, tapi ia menyuruh semua pelayan pergi. Pelayan-pelayan itu setelah
melotot secara main-main kepada Losam, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Siocia,
kalau aku tidak salah, kau kemarin berkata kepada Thaijin bahwa kau mencari
Ibumu?"
Thian Hwa
berdebar hatinya dan ia segera mengangguk.
"Coba
kaukatakan lagi riwayatmu secara singkat, mungkin aku dapat memberi keterangan
padamu." Dan kedua mata yang tua itu memandang Thian Hwa dengan mesra dan
terharu.
Thian Hwa
lalu menceritakan riwayatnya, betapa ia ditolong oleh Thian Bong Sianjin dari bencana
air dan bahwa ibunya adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tahi
lalat kecil di atas bibir kiri.
Tiba-tiba
Losam gemetar bibirnya dan pucat wajahnya. "Benar... benar... tidak salah
lagi... kau... kau adalah anak Cui Eng... kau adalah cucuku sendiri...."
Terkejutlah
Thian Hwa mendengar ini. Ia meloncat berdiri dan memegang kedua lengan orang
tua itu. "Apa katamu" Hayo kauceritakan yang betul!" Wajah gadis
itu pucat, matanya bersinar-sinar.
"Benar,
benar! Seperti pinang dibelah dua! Cui Eng juga begini ketika masih gadis dulu,
sama benar dengan kau!"
Setelah
dapat menenteramkan gelora hatinya, kakek itu bercerita. Dulu, sebelum dia
menjadi pelayan dari Pangeran Cu Kiong, dia adalah seorang kepala pelayan dari
seorang pangeran she Ciu.
Selain itu,
anak perempuannya yang bernama Cui Eng dan sangat cantik, juga menjadi pelayan
di gedung itu. Ternyata antara Cui Eng dan Pangeran Cui yang masih muda belia
dan cakap, terjalin tali asmara yang erat, sehingga mereka telah berjanji
sehidup semati. Tapi sungguh celaka, orang tua Pangeran Ciu tidak suka menerima
Cui Eng sebagai menantu mereka. Pangeran Ciu yang sangat mencintai Cui Eng
mempertahankan kekasihnya dan membujuk orang tuanya untuk menerima gadis itu
sebagai selir.
Orang tuanya, terutama ibunya, berkeras tidak setuju karena dianggap rendah sekali jika puteranya mengambil selir dari keluarga pelayan sendiri. Kemudian, setelah di-beritahu bahwa dari hubungannnya itu Cui Eng telah mengandung, ibu Pangeran Ciu berjanji bahwa jika Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia diterima menjadi selir, jika melahirkan anak perempuan, ia harus pergi dari gedung itu!
Celakanya, ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan! Gadis yang malang nasibnya itu terpaksa diusir keluar dari gedung dan membawa anaknya yang masih bayi! Losam sebagai ayahnya tidak tega melihat Cui Eng dan mengantar gadis itu untuk pulang saja ke kampung, yaitu di selatan.
Tapi nasib memang sangat kejam. Ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, ternyata tempat itu merupakan kuburan bagi Cui Eng dan anaknya, karena pada saat itu Sungai Huang-ho sedang buas dan besar sehingga perahu yang ditumpanginya terbawa air dan terbalik! Untung Losam masih dapat menyelamatkan diri dan dengan hati sedih kembali ke kota raja dan bekerja pada keluarga Pangeran Ciu, sedang Cui Eng dan anaknya ia anggap telah mati!
Orang tuanya, terutama ibunya, berkeras tidak setuju karena dianggap rendah sekali jika puteranya mengambil selir dari keluarga pelayan sendiri. Kemudian, setelah di-beritahu bahwa dari hubungannnya itu Cui Eng telah mengandung, ibu Pangeran Ciu berjanji bahwa jika Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia diterima menjadi selir, jika melahirkan anak perempuan, ia harus pergi dari gedung itu!
Celakanya, ternyata Cui Eng melahirkan seorang anak perempuan! Gadis yang malang nasibnya itu terpaksa diusir keluar dari gedung dan membawa anaknya yang masih bayi! Losam sebagai ayahnya tidak tega melihat Cui Eng dan mengantar gadis itu untuk pulang saja ke kampung, yaitu di selatan.
Tapi nasib memang sangat kejam. Ketika menyeberangi Sungai Huang-ho, ternyata tempat itu merupakan kuburan bagi Cui Eng dan anaknya, karena pada saat itu Sungai Huang-ho sedang buas dan besar sehingga perahu yang ditumpanginya terbawa air dan terbalik! Untung Losam masih dapat menyelamatkan diri dan dengan hati sedih kembali ke kota raja dan bekerja pada keluarga Pangeran Ciu, sedang Cui Eng dan anaknya ia anggap telah mati!
Setelah
mendengar cerita ini, Thian Hwa tidak ragu lagi. Ia menubruk kakeknya itu dan
menangis terisak-isak. Kemudian ia menjadi marah sekali dan berkata.
"Kong-kong, lekas kau tunjukkan aku di mana adanya Pangeran Ciu yang telah
merusak hidup Ibuku itu. Orang macam itu harus dibunuh mampus!"
"Kau
benar, Cucuku. Memang aku pun sangat sakit hati terhadap mereka! Tapi Ayah Ibu
pangeran itu telah meninggal, dan yang ada kini hanya Pangeran Ciu itu saja.
Dia tetap saja tidak beristeri, hanya biasa saja sebagaimana semua pangeran, ia
memelihara selir."
Pada saat
itu muncullah Cu Kiong dengan pakaian yang indah. Lukanya agaknya telah sembuh,
karena wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya yang jernih itu
bersinar-sinar, tampak cakap sekali. Ketika melihat pangeran ini, Thian Hwa
lalu menundukkan muka, tapi matanya mengerling dan bibirnya tersenyum.
"Moi-moi,
biarlah hari ini aku akan mengerahkan semua orang mencari keterangan tentang
orang tuamu."
"Koko...
eh, Kongcu...." Thian Hwa buru-buru mengubah sebutan itu sambil memandang
kepada kakeknya, "Tak usah Kongcu repot-repot karena aku telah mendapat
keterangan yang sangat penting dari Kakekku ini." Kemudian ia menceritakan
kembali cerita Losam tadi. Cu Kiong girang sekali.
"Ah,
kau hendak membalas dendam ibumu" Memang, memang jahat sekali mereka itu,
jahat kejam terhadap Ibumu. Sudah sepantasnya kalau mereka itu kau bunuh!
Tapi...." Pangeran itu mengerling ke arah Losam dan menyuruh pelayan itu pergi.
Setelah
Losam pergi, Cu Kiong memegang kedua tangan Thian Hwa.
"Moi-moi,
perkara membalas dendammu kepada keluarga Ciu adalah soal mudah karena Pangeran
Ciu itu adalah seorang yang tidak mau memelihara pengawal sehingga mudah saja
memasuki gedungnya. Tapi yang membuat aku selalu bingung adalah keadaan
Pangeran Leng. Dia ini jahat sekali dan banyak kaki tangannya. Kau sendiri
telah mengetahui betapa ia membenci dan memusuhi-ku. Aku ingin sekali minta
pertolonganmu, Moi-moi."
Thian Hwa
memandang wajah yang tampan itu dengan pandangan mesra. "Katakanlah, Koko.
Apa yang kaukehen-daki?"
"Moi-moi,
aku menghendaki serupa barang dari Pangeran Leng itu. Yakni sebuah kotak berisi
surat-surat penting yang akan dapat membuka rahasianya dan menjatuhkannya di
hadapan Kaisar. Kalau kau bisa menolong aku mendapatkan barang itu, ah...
Moi-moi, selama hidupku aku akan selalu berterima kasih kepadamu!"
Kembali
gadis itu runtuh menghadapi kecakapan Cu Kiong dan sikap yang lemah lembut
penuh kasih mesra dari pemuda itu. Ia dimabuk cinta dan agaknya untuk membalas
dan menyenangkan hati Cu Kiong, ia rela mengorbankan apa saja.
Pada malam
harinya, setelah mendapatkan petunjuk-petunjuk yang perlu, Thian Hwa lalu pergi
menuju gedung Pangeran Ciu yang berada di sebelah utara kota raja. Gedung itu
sederhana, tapi cukup besar dan kokoh kuat. Benar saja, di situ tidak terdapat
pengawal-pengawal bersenjata sebagaimana biasa terdapat di gedung-gedung
pangeran dan bangsawan tinggi. Dan gedung itu sunyi saja.
Thian Hwa
melihat sebuah kamar yang masih terang sinar lampunya, maka ia segera mengintai
dari jendela. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua duduk
membelakanginya dan laki-laki itu sedang memandang sehelai gambar, yakni gambar
seorang wanita yang kertasnya sudah kuning, tapi gambar itu tidak tampak nyata
dari luar jendela.
Laki-laki itu lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dan tampak susah sekali, karena berkali-kali dia menghela napas panjang.
Laki-laki itu lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja dan tampak susah sekali, karena berkali-kali dia menghela napas panjang.
Melihat
pakaian orang itu, Thian Hwa tidak ragu-ragu lagi bahwa inilah Pangeran Ciu
yang telah merusak kehidupan ibunya dulu. Ia lalu menggunakan kedua tangan
menolak daun jendela dan sekali meloncat ia telah berada dalam kamar itu.
Laki-laki
itu mendengar suara jendela terbuka, cepat meloncat bangun dan berdiri, lalu
membalikkan tubuh memandang Thian Hwa. Tiba-tiba kedua matanya terbelalak dan
mulutnya ternganga heran. Dia mengucek-ucek mata seakan-akan takut kalau-kalau
telah menipunya, tapi benar-benar yang berada didepannya adalah seorang gadis
muda yang cantik jelita dan sedang manatapnya dengan mata tajam dan berapi-api.
"Kau...
kau....?"" laki-laki itu berkata dan Thian Hwa juga heran terkejut
karena mengenal bahwa orang ini bukan lain Pangeran Ciu Wan Kong yang dulu
pernah ditolongnya dari serangan ular air! Tapi pada saat itu Thian Hwa tidak
mempunyai perasaan apa-apa selain benci dan dendam terhadap orang tua ini!
Ia tersenyum
mengejek dan berkata perlahan. "Ya... aku... dan kenalkah kau kepada Cui
Eng....?"
Wajah
pangeran itu tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat dan ia terhuyung-huyung
limbung lalu berpegang pada sebuah kursi. Bibirnya gemetar dan matanya
terbelalak.
"Kau...
Cui Eng... ah... sudah kuduga... gadis itu... gadis itu tentu Cui Eng sendiri,
Cui Engku... Cui Eng kau... kau datang padaku....?"
Makin
gemaslah hati Thian Hwa. "Ya, aku Cui Eng dan aku hendak membalas dendamku
karena perbuatanmu yang pengecut!" Sambil berkata demikian, Thian Hwa
mencabut pedangnya dan perlahan-lahan bertindak maju. Tapi sebaliknya daripada
takut pangeran itu kini tampak segar kembali. Dia berdiri gagah dan memajukan
dadanya kepada Thian Hwa.
"Cui
Eng, boleh... boleh...! Kau tusuklah dadaku, awas jangan meleset, tusuklah
sebelah kiri, ke arah jantung ini agar aku lekas mati! Ha, ha, ha, Cui Eng,
kenapa kau ragu-ragu" Tusuklah, kekasihku, tusuklah dadaku, memang aku
tahu pasti kau akan datang membawaku ke sana. Cui Eng... ha, ha, ha!"
Tiba-tiba
wajah orang tua itu berubah, ia tertawa terbahak-bahak dan kedua matanya
memandang seakan-akan Thian Hwa tidak berada di situ lagi, seakan-akan benar-benar
dia melihat Cui Eng di situ. Pangeran Ciu Wan Kong telah menjadi gila! Melihat
keadaan orang yang sebenarnya ayahnya sendiri ini, Thian Hwa tidak kuat menahan
gelora keharuan hatinya. Ia memasukkan pedangnya di sarung pedang kembali dan
ia menubruk ayahnya. Tapi ayahnya membentak,
"Pergi
kau! Jangan halang-halangi aku bertemu dengan Cui Eng. Eh, Cui Eng....!
Tunggu....! Mau ke mana, kekasihku?"" Dan dengan terhuyung-huyung orang tua itu meninggalkan gadis yang tadi berlutut memeluk kakinya. Thian Hwa segera berdiri dan melihat ke atas meja. Ternyata yang tadi dipandang ayahnya adalah gambar seorang wanita cantik yang serupa benar dengan dia dan di atas bibir kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambahkan manisnya!
Tunggu....! Mau ke mana, kekasihku?"" Dan dengan terhuyung-huyung orang tua itu meninggalkan gadis yang tadi berlutut memeluk kakinya. Thian Hwa segera berdiri dan melihat ke atas meja. Ternyata yang tadi dipandang ayahnya adalah gambar seorang wanita cantik yang serupa benar dengan dia dan di atas bibir kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambahkan manisnya!
"Ibu...
Ibuku... kau telah membalas dendammu sendiri...." demikian ia berbisik dan
setelah menggulung lukisan itu ia lalu keluar dan meloncat ke atas genteng dan
meninggalkan tempat itu! Ia hendak kembali ke gedung Pangeran Cu Kiong, tapi
tiba-tiba ia teringat akan pesan pemuda itu.
Ia berhenti
di atas sebuah wuwungan rumah dan termenung. Cu Kiong adalah seorang pemuda
yang baik dan sangat mencintainya, ia juga mencintai pemuda bangsawan itu. Tapi
bukankah ia telah berlaku sembrono menyerahkan cintanya begitu saja kepada
seorang pemuda yang samasekali belum diketahuinya" Apakah pemuda itu
benar-benar patut menjadi jodohnya
" Ah, ia tak perlu ragu-ragu karena ia tahu pasti bahwa pemuda itu sangat mencintanya! Dengan hati ringan dan gembira ia lalu menuju ke gedung Pangeran Leng untuk menjalankan pesan kekasihnya.
" Ah, ia tak perlu ragu-ragu karena ia tahu pasti bahwa pemuda itu sangat mencintanya! Dengan hati ringan dan gembira ia lalu menuju ke gedung Pangeran Leng untuk menjalankan pesan kekasihnya.
Gedung itu
masih terjaga ketat, tapi karena Pat-chiu Lo-mo yang paling lihai telah terluka
dan pulang ke tempat sendiri untuk berobat maka mudah saja bagi Thian Hwa untuk
mencuri masuk. Ia menotok seorang penjaga dan menyeretnya ke dalam kebun dan di
situ ia memaksa untuk mendapat keterangan tentang kotak terisi surat-surat
penting.
Dengan kecewa ia mendapat keterangan bahwa kotak itu telah dititipkan kepada Pat-chiu Lo-mo yang pulang ke kampungnya dan ia tahu dari pengawal ini bahwa surat-surat itu adalah surat-surat untuk menghubungi orang-orang yang disiapkan untuk segera bergerak dari segenap penjuru bila waktunya tiba untuk merebut mahkota kerajaan!
Dengan kecewa ia mendapat keterangan bahwa kotak itu telah dititipkan kepada Pat-chiu Lo-mo yang pulang ke kampungnya dan ia tahu dari pengawal ini bahwa surat-surat itu adalah surat-surat untuk menghubungi orang-orang yang disiapkan untuk segera bergerak dari segenap penjuru bila waktunya tiba untuk merebut mahkota kerajaan!
Thian Hwa
lalu meninggalkan tempat itu dan ia menjadi bingung. Mengapa ada segala macam
urusan yang ruwet ini" Dan mengapa pula Cu Kiong ikut campur dalam perkara
ini" Ia menganggap perkara berebut kekuasaan diantara kalangan bangsawan ini
sangat menjemukan dan kotor, maka ia kecewa sekali mendapat kenyataan bahwa
kekasihnya agaknya juga ikut bermain dalam persaingan itu.
Ketika ia
telah tiba di atas genteng gedung Cu Kiong, tiba-tiba ia ingin menyelidiki
keadaan rumah kekasihnya ini. Ia tidak lekas meloncat turun, tapi dengan
hati-hati sekali ia membuka genteng dan mengintai. Kebetulan sekali yang ia
buka adalah genteng di atas ruang dalam di bangunan tengah yang belum pernah
dilihatnya. Di situ ia melihat Cu Kiong bersama ketujuh pengawalnya sedang
duduk mengelilingi meja dan bercakap-cakap.
"Thaijin,
mengapa kau menyuruh dia yang pergi melakukan pencurian itu" Dan mengapa
pula ia harus membunuh Pangeran Ciu, ayahnya sendiri?" seorang di antara
Kamkeng-chit-sian berkata. "Kami rasa Thaijin terlalu mempercayainya. Ia
masih sangat muda dan orang baru, bagaimana kalau ia nanti membuka rahasia
kepada orang lain?"
Wajah Cu
Kiong yang tampan itu tertawa manis sekali. "Kalian jangan khawatir. Gadis
itu lihai ilmu silatnya dan dia bisa dipercaya. Pula, ia akan menjadi seorang
selirku yang tercinta! Ia harus membunuh Pangeran Ciu karena pangeran itu
terlalu jujur sehingga tidak mau memihak kepada kita. Ia tak dapat dipercaya
maka lebih baik ia mati, dan oleh tangan anaknya sendiri pula!
Tentang pencurian barang di gedung Pangeran Leng, itu memang kusengaja. Gadis itu mencintaku, tapi aku hendak menguji kesetiaannya dulu. Kalau ia benar-benar setia, maka pantaslah ia menjadi selirku nomor satu."
Tentang pencurian barang di gedung Pangeran Leng, itu memang kusengaja. Gadis itu mencintaku, tapi aku hendak menguji kesetiaannya dulu. Kalau ia benar-benar setia, maka pantaslah ia menjadi selirku nomor satu."
Ketujuh
pengawal itu mengangguk-angguk dan pada saat itu Thian Hwa merasa betapa
tubuhnya menjadi lemas. Hampir saja ia tidak dapat menahan tangisnya karena
semua kata-kata yang keluar dari mulut Cu Kiong itu terdengar oleh telinganya
bagaikan kata-kata yang sangat keji dan menghina, sehingga rasanya bagaikan ujung
pisau yang menusuk-nusuk jantungnya. Tapi ia dapat menguasai dirinya dan dengan
hati-hati sekali ia turun ke kamarnya.
Ia segera
memanggil pelayan dan memerintahkan memberitahu pada Pangeran Cu Kiong bahwa ia
telah datang dan meminta bertemu. Dengan wajah pucat Thian Hwa menanti
datangnya Cu Kiong ke kamarnya. Ia merasa terhina sekali. Menjadi selir yang
tercinta" Diuji kesetiaannya baru pantas menjadi selir" Selir?"
Bangsat benar! Alangkah hinanya!
Ia masih
dapat menetapkan gelora hatinya ketika Cu Kiong bertindak masuk ke dalam
kamarnya sambil tersenyum-senyum dan ketika pemuda itu hendak memeluknya, ia
segera mencegahnya.
"Koko,
coba katakan dengan terus terang, apakah kau sudah kawin?" tanyanya dengan
suara sedapat-dapatnya dibuat tenang.
Cu Kiong terkejut
sekali melihat perubahan sikap gadis ini. Dia tersenyum dan duduk di atas
sebuah kursi sambil memandang wajah Thian Hwa yang bersandar ke dinding.
"Kau tahu bahwa aku belum kawin."
"Tapi...
tapi kau sudah mempunyai selir?"
Cu Kiong
tertawa keras. "Ha, ha, Niocu! Apakah kau cemburu" Itu kan hal biasa,
tiap pangeran mempunyai selir! Tapi selirku tidak sebanyak mereka, hanya ada
lima orang dan kau...."
"Dan
aku akan kaujadikan selir" Selir ke berapakah?" Suaranya terdengar
menyeramkan dan tangis telah memenuhi kerongkongannya.
Cu Kiong
berdiri dan hendak memegang tangannya, tapi Thian Hwa menolaknya sehingga
pangeran itu duduk lagi. "Thian Hwa, kau tahu bahwa aku cinta padamu. Kau
tentu akan menjadi selirku nomor satu!"
"Dan
kau kata akan menjadi isteri-mu."
"Apakah
bedanya, Niocu" Untuk menjadi isteri pertama, tak mungkin, karena aku
sudah bertunangan semenjak kecil dengan puteri seorang bangsawan dalam
keraton."
Merahlah
wajah Thian Hwa. "Bagus sekali! Jadi kau pun hanya seorang bangsat rendah
yang berkedok bangsawan belaka!"
"Moi-moi!
Apa katamu" Mengapa demikian" Sudah lazimnya seorang pangeran
mempunyai banyak selir, kau tak perlu cemburu!"
"Bangsat,
siapa yang cemburu?" Thian .Hwa mengulur tangan menampar dan karena tak
sempat berkelit, maka pipi Cui Kong kena tampar keras sekali. "Kalau aku
tidak ingat bahwa semua ini terjadi karena kebodohanku sendiri, kau tentu akan
kubunuh!"
"Niocu,
jangan begitu. Bukankah kita saling mencinta" Kalau kau kehendaki, biarlah
kau menjadi selirku yang sah, Isteri ke dua!"
Thian Hwa
merasa tertusuk sekali hatinya dan ia tak tahan lagi sehingga air matanya
mengucur deras. "Kau... kau... menghinaku! Kau kira aku ingin mendapat
kedudukan sebagai isteri pangeran" Kau kira aku mencinta kau karena
pangkatmu, karena hartamu
" Ah... manusia rendah budi, kukira tadinya bahwa cintamu semurni cintaku, tak tahunya, kau hanya tukang mempermainkan hati wanita belaka... kau gunakan wajahmu yang tampan itu untuk menutup wajah aslimu yang sebenarnya hanyalah seekor srigala yang kejam dan jahat! Nasib Ibu terulang lagi...."
" Ah... manusia rendah budi, kukira tadinya bahwa cintamu semurni cintaku, tak tahunya, kau hanya tukang mempermainkan hati wanita belaka... kau gunakan wajahmu yang tampan itu untuk menutup wajah aslimu yang sebenarnya hanyalah seekor srigala yang kejam dan jahat! Nasib Ibu terulang lagi...."
Cu Kiong
maju dan hendak merayu, tapi Thian Hwa mencabut pedangnya. "Pergi! Pergi
sebelum kutebas batang lehermu!"
Tapi Cu
Kiong berkata. "Thian Hwa, aku cinta padamu dan harus menahanmu. Aku cinta
padamu dan aku akan mendapatkan dirimu, biarpun harus kugunakan kekerasan untuk
itu!"
"Bangsat
besar!" Tapi pada saat itu Cu Kiong sudah meloncat keluar dan bertepuk
tangan. Ketika Thian Hwa tiba di luar, ketujuh pengawal berada di situ
mengurungnya.
"Thian
Hwa, kau tidak boleh pergi."
"Cu
Kiong, dengarlah baik-baik! Aku tidak membunuhmu karena aku menyesali
kebodohanku sendiri. Aku pun cinta padamu, biarlah ketujuh kaki tanganku ini
mendengar dan menjadi saksi.
Tapi aku bukanlah perempuan serendah yang kau-duga. Aku lebih baik mati daripada duduk di sampingmu dan menderita karena pengertian bahwa kau hanya mempermainkan diriku! Terkutuklah semua lelaki semacammu ini!"
Tapi aku bukanlah perempuan serendah yang kau-duga. Aku lebih baik mati daripada duduk di sampingmu dan menderita karena pengertian bahwa kau hanya mempermainkan diriku! Terkutuklah semua lelaki semacammu ini!"
"Thian Hwa,
aku sudah berlaku baik kepadamu, apakah kau ini akan mengkhianatiku"
Manakah barang yang kau rampas dari Pangeran Leng?"
"Hm,
kau masih menduga serendah itu! Aku tidak sudi mencampuri urusanmu yang kotor!
Barang yang hendak kaurampas itu telah dibawah pergi oleh Pat-chiu Lo-mo!
Kaucarilah sendiri. Nah, aku pergi dan selama hidup akan kukutuk
kepalsuanmu!"
Thian Hwa
lalu meloncat ke atas, tapi Cu Kiong berteriak kepada pengawalnya.
"Tangkap dia!"
Thian Hwa
lalu dikurung oleh ketujuh pengawal itu. Ternyata kepandaian ketujuh orang itu
hebat juga dan tidak heran mereka dijuluki Kamkeng-chit-sian atau Tujuh Dewa
dari Kamkeng.
Pedang mereka dimainkan bergabung menjadi satu dan benar-benar Thian Hwa sibuk dan terdesak. Apalagi pada saat itu, perasaan hati gadis itu sedang hancur luluh karena asmara gagal, maka gerakannya menjadi lemah dan kurang gesit. Kedukaan hatinya yang patah cinta itu membuat Thian Hwa kurang bersemangat. Maka ia segera terdesak hebat oleh ketujuh orang pengeroyoknya yang tangguh.
Pedang mereka dimainkan bergabung menjadi satu dan benar-benar Thian Hwa sibuk dan terdesak. Apalagi pada saat itu, perasaan hati gadis itu sedang hancur luluh karena asmara gagal, maka gerakannya menjadi lemah dan kurang gesit. Kedukaan hatinya yang patah cinta itu membuat Thian Hwa kurang bersemangat. Maka ia segera terdesak hebat oleh ketujuh orang pengeroyoknya yang tangguh.
Selagi ia
terdesak dan keadaannya gawat sekali, terancam maut, tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring.
"Moi-moi,
aku datang membantumu!" Sesosok bayangan hitam berkelebat dan dengan
gerakan yang amat cepat dan kuat dia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga
kepungan tujuh orang Kamkeng-chit-sian menjadi kacau, apalagi ketika seorang
pengeroyok tertusuk pundaknya roboh sambil menjerit, akan tetapi pedang Si
Bayangan Hitam itu berkelebat dan orang itu pun tak dapat bergerak lagi,
lehernya terbabat pedang dan dia tewas seketika!
Thian Hwa
menjadi girang sekali ketika mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Ui
Yan Bun, putera Ui Hauw, pemuda yang menjadi sahabat dan juga kakak
seperguruannya karena pemuda itu juga menerima gemblengan Thian Bong Sianjin.
"Bun-ko
(Kakak Bun), kau datang?" seru Thian Hwa dan kini semangatnya bangkit
kembali.
Mereka berdua lalu menggerakkan pedang dengan dahsyat sehingga permainan pedang lawan yang tinggal enam orang itu menjadi kacau. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pedang di tangan Thian Hwa sudah merobohkan dua orang pengeroyok dan pedang Yan Bun telah merobohkan seorang lagi. Melihat betapa dalam waktu singkat empat orang kawan mereka roboh dan tewas, tiga orang yang lain menjadi jerih dan mereka berlompatan melarikan diri. Yan Bun melompat dan mengejar Pangeran Cu Kiong yang hendak lari ke dalam.
Dia dapat mencengkeram lengan pangeran yang tampan itu. Akan tetapi sebelum ia turun tangan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Thian Hwa berseru keras.
Mereka berdua lalu menggerakkan pedang dengan dahsyat sehingga permainan pedang lawan yang tinggal enam orang itu menjadi kacau. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pedang di tangan Thian Hwa sudah merobohkan dua orang pengeroyok dan pedang Yan Bun telah merobohkan seorang lagi. Melihat betapa dalam waktu singkat empat orang kawan mereka roboh dan tewas, tiga orang yang lain menjadi jerih dan mereka berlompatan melarikan diri. Yan Bun melompat dan mengejar Pangeran Cu Kiong yang hendak lari ke dalam.
Dia dapat mencengkeram lengan pangeran yang tampan itu. Akan tetapi sebelum ia turun tangan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar Thian Hwa berseru keras.
"Twako,
jangan bunuh dia!" Yan Bun melepaskan lengan pemuda itu dan memandang
kepada Thian Hwa dengan heran.
"Bukankah
dia majikan mereka?" tanya Yan Bun. Akan tetapi Thian Hwa tidak menjawab,
hanya melompat ke depan Pangeran Cu Kiong dan menatap wajah pangeran itu.
Pemuda bangsawan itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil ketakutan,
sedangkan Thian Hwa memandang dengan kedua mata penuh air mata dan ia menggigit
bibir sendiri menahan tangis. Kemudian, setelah memandang lama sekali, ia lalu
membalikkan tubuh dan meloncat ke atas genteng sambil berkata dengan suara
terisak.
"Twako....
hayo... kita pergi!"
Mendengar
ini, Yan Bun segera melompat dan mengikuti gadis itu dengan hati menduga-duga.
Thian Hwa
dan Yan Bun berdiri di atas air Sungai Huang-ho. Mereka seakan-akan berdiri di
atas air padahal sebenarnya mereka menginjak sepasang papan terompah air. Thian
Hwa, seperti biasa mengenakan pakaian serba putih seperti pakaian berkabung.
Biarpun ia sudah bertemu dengan ayah kandungnya, namun ia masih menganggap dirinya yatim piatu sehingga ia akan berkabung selama hidupnya. Yan Bun mengenakan pakaian serba biru, warna kesukaannya sejak dulu. Wajah Thian Hwa yang cantik jelita itu muram, diJiputi kesedihan. Memang hati gadis itu mengalami kenyataan yang menyedihkan.
Pertama ia sudah menemukan ayah kandungnya, akan tetapi ayah kandung macam apa! Ayah kandungnya adalah seorang pangeran, namun seorang laki-laki yang menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya diusir dan hanyut di Sungai Huang-ho! Dan kini ayah kandungnya itu malah menjadi gila! Pukulan batin ini ditambah pukulan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Ia jatuh cinta kepada Pangeran Cu Kiong yang ternyata merupakan laki-laki yang sama palsunya dengan Pangeran Ciu Wan Kong, ayah kandungnya yang telah menyia-nyiakan ibunya!
Pangeran Cu Kiong yang dicinta-nya itu pun ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya, untuk dijadikan seorang selir yang tenaganya dapat membantunya untuk bersaing dan saling berebut kekuasaan dengan para pangeran lain. Ia merasa terhina sekali dan terjadi pertentangan hebat dalam hatinya antara cinta dan benci terhadap Pangeran Cu Kiong.
Dalam usianya yang delapan belas tahun ini, baru pertama kalinya ia jatuh cinta, yaitu kepada Pangeran Cu Kiong, namun ternyata ia telah salah pilih dan kegagalan cintanya ini sungguh menyakitkan sekali!
Biarpun ia sudah bertemu dengan ayah kandungnya, namun ia masih menganggap dirinya yatim piatu sehingga ia akan berkabung selama hidupnya. Yan Bun mengenakan pakaian serba biru, warna kesukaannya sejak dulu. Wajah Thian Hwa yang cantik jelita itu muram, diJiputi kesedihan. Memang hati gadis itu mengalami kenyataan yang menyedihkan.
Pertama ia sudah menemukan ayah kandungnya, akan tetapi ayah kandung macam apa! Ayah kandungnya adalah seorang pangeran, namun seorang laki-laki yang menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya diusir dan hanyut di Sungai Huang-ho! Dan kini ayah kandungnya itu malah menjadi gila! Pukulan batin ini ditambah pukulan lain yang lebih menyakitkan hatinya. Ia jatuh cinta kepada Pangeran Cu Kiong yang ternyata merupakan laki-laki yang sama palsunya dengan Pangeran Ciu Wan Kong, ayah kandungnya yang telah menyia-nyiakan ibunya!
Pangeran Cu Kiong yang dicinta-nya itu pun ternyata hanya ingin memanfaatkan dirinya, untuk dijadikan seorang selir yang tenaganya dapat membantunya untuk bersaing dan saling berebut kekuasaan dengan para pangeran lain. Ia merasa terhina sekali dan terjadi pertentangan hebat dalam hatinya antara cinta dan benci terhadap Pangeran Cu Kiong.
Dalam usianya yang delapan belas tahun ini, baru pertama kalinya ia jatuh cinta, yaitu kepada Pangeran Cu Kiong, namun ternyata ia telah salah pilih dan kegagalan cintanya ini sungguh menyakitkan sekali!
"Hwa-moi
(Adik Hwa), benar-benarkah engkau akan meninggalkan aku dan tidak akan
kembali?" tanya Yan Bun dengan alis berkerut membayangkan kekecewaan dan
kedukaan atas keputusan gadis yang dicintanya itu.
Thian Hwa
mengangguk. "Benar, Bun-ko, aku hendak mencari Kong-kong (Kakek) Thian
Bong Sianjin dan mengajak dia merantau sepanjang Sungai Huang-ho."
"Hwa-moi...
maafkan kalau aku bicara lancang, akan tetapi... sesungguhnya... aku dan Ayahku
mengharapkan agar engkau... dapat menjadi... kawan hidupku untuk
selamanya."
Thian Hwa
memandang wajah pemuda itu dengan terharu. Dalam hatinya ia harus mengakui
bahwa Yan Bun adalah seorang pemuda yang baik sekali. Sulitlah mencari seorang
pemuda sebaik dia. Akan tetapi luka di hatinya karena kegagalan cinta pertama
masih terasa nyeri dan ia tidak ingin mengulang kesalahanya telah jatuh cinta
kepada seorang pemuda kepada seorang laki-laki setelah melihat betapa palsunya
cinta laki-laki seperti cinta ayah kandungnya terhadap ibunya dan cinta
Pangeran Cu Kiong terhadap dirinya.
"Maafkan
aku, Twako. Menyesal sekali bahwa terpaksa aku tidak dapat menerimanya,
Bun-twako, engkau adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah dan berbudi
mulia, sedangkan aku... aku tidak berharga... aku yatim piatu, tidak pantas
menjadi pendampingmu...."
"Ah,
jangan merendahkan diri seperti itu, Hwa-moi. Kata-katamu menikam perasaanku.
Bagiku, engkau adalah seorang gadis yang paling mulia di dunia ini. Dan engkau
tentu mengetahui dan merasakan bahwa aku... aku mencintamu, Hwa-moi."
"Ah, Twako. Harapanku, agar engkau jangan berpikir tentang itu karena aku... aku sama sekali belum berpikir tentang cinta dan jodoh, Twako. Maafkan aku."
"Hwa-moi,
harap engkau suka berterus terang. Apakah engkau... mencinta pangeran muda
itu" Katakanlah terus terang, aku akan dapat memaklumi dan tidak
menyalahkanmu!" Wajah pemuda itu berubah agak pucat ketika dia menyambung,
"Maaf, Hwa-moi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."
"Maaf, Hwa-moi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."
Thian Hwa
tersenyum getir, menghela napas lalu berkata dengan suara tegas. "Memang
benar, Twako. Aku cinta padanya, akan tetapi aku juga benci padanya! Nah,
selamat tinggal, Twako!"
Thian Hwa
menggerakkan tubuhnya dan papan terompah yang menjadi semacam papan selancar
itu meluncur dengan cepatnya, mengikuti aliran Sungai Huang-ho dan sebentar
saja sudah jauh dan hanya tampak seperti sebuah titik putih.
Yan Bun
berdiri memandang ke arah titik putih itu sampai akhirnya titik itu menghilang.
Ketika dia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke perkampungan ayahnya, kedua mata pemuda itu basah dan mukanya pucat!
Ketika dia membalikkan tubuhnya untuk kembali ke perkampungan ayahnya, kedua mata pemuda itu basah dan mukanya pucat!
T A M A T
Serial Selanjutnya : Kemelut Kerajaan Mancu
***** Sahabat Karib.com *****
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment