Sunday, October 14, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Sungai Kuning Jilid 05



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Dewi Sungai Kuning

                 Jilid 05


Si Gemuk yang tidak melihat bagaimana caranya cawan di tangannya itu tahu-tahu menjadi pecah, lalu tersenyum dan sambil berdiri dia mengambil secawan arak lain lalu diangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata. "Aku harap Saudara yang tadi membikin pecah cawanku suka mengulangi lagi perbuatannya sehingga kita semua dapat melihatnya, jangan berlaku sembunyi-sembunyi seperti tindakan seorang pengecut!"

Si Gemuk itu adalah seorang yang ahli ilmu golok dan kepandaian silatnya tergolong tinggi juga, maka dia merasa penasaran telah dipermainkan orang. 

Kini dia siap sedia untuk membuat malu orang yang mengganggunya itu. Dia yakin bahwa kini orang takkan mudah begitu saja membuat pecah cawan di tangannya, dan jika orang itu berani lagi mencoba, tentu ia akan dapat mengelak dan orang itu akan mendapat malu.

Tiba-tiba Thian Hwa tertawa nyaring dan sambil memperlihatkan sebutir kacang tanah ia berkata. "Eh, tuan yang gemuk, aku datang-datang telah mendengar kata-katamu yang mengejek Pat-chiu Lo-mo dan memandang rendah padaku. Aku habiskan perkara itu karena mengingat bahwa aku sedang mabok. Tapi jangan harap kau akan mencegah aku memecahkan setiap cawan arak yang hendak kau minum, karena aku tidak senang melihat kau semakin mabuk bicara tak karuan! Lihat ini!" Dengan jari telunjuknya. 

Thian Hwa menyentil kacang tanah itu yang meluncur cepat sehingga tak terlihat ke arah cawan di tangan Si Gemuk. Si Gemuk itu telah menduga akan datangnya senjata rahasia yang aneh ini dan yang cukup berbahaya, maka cepat dia menggerakkan tangan yang memegang cawan itu ke bawah. 

Dia merasa betapa benda kecil itu menyambar di dekat lengannya dan tidak mengenai sasaran! Ia merasa girang sekali dan membuka mulut untuk mentertawakan, tapi pada saat itu juga terdengar suara "prak!" dan cawan di tangannya itu pecah sehingga araknya tumpah membasahi lengan dan tangan kanannya! Ternyata bahwa Thian Hwa menggunakan dua butir kacang tanah yang dilepas bergiliran. Yang pertama hanya untuk memancing saja dan pada saat ia berkelit, ia lepaskan pula yang kedua sehingga tepat mengenai sasarannya!

Tentu saja kepandaian ini membuat semua orang merasa kagum. Mereka yang terdiri dari ahli-ahli silat berilmu tinggi maklum bahwa untuk dapat menggunakan kacang tanah itu memecahkan cawan dengan hanya disentil dengan jari tangan, orang harus mempunyai tenaga lweekang yang sangat tinggi dan latihan yang sempurna. Mereka tidak tahu bahwa sentilan jari telunjuk Thian Hwa sering dilatih untuk menggunakan benda-benda kecil apa pun saja disentilkan ke arah ikan-ikan di Sungai Huang-ho dan betapa dalam pun ikan itu berenang, sekali terkena benda yang disentilkan dari atas perahu oleh Thian Hwa pasti akan mati dan terapung!

Si Gemuk itu kini tak dapat menahan lagi marahnya. Dia memang terkenal berangasan dan sangat mengagungkan kepandaiannya bermain golok. Memang dia pandai sekali bermain Hui-eng To-hoat yakni Ilmu Golok Elang Terbang. Goloknya besar dan berat sehingga permainan goloknya yang istimewa itu sangat ditakuti orang. 

Namanya adalah Phang Houw dan dia dijuluki orang Si Golok Elang Terbang. Kini melihat betapa seorang gadis muda yang masih hijau berani menghinanya sedemikian rupa di muka orang banyak, dia memukul meja sehingga cawan arak berhamburan dan membentak keras dengan kemarahan yang ditahan-tahan.

"Nona, kau sebagai utusan Pat-chiu Lo-mo seharusnya mengenal dan tahu bahwa aku Hui-eng-to bukan orang yang mudah saja menerima hinaan! 
Tapi, mengingat nama Pan-chiu Lo-mo dan melihat muka para saudara di sini, aku masih mau mengampuni perbuatanmu tadi karena kau masih begini muda dan bodoh. 

Akan tetapi untuk menerima kau sebagai penghubung sebagaimana yang diusulkan oleh orang tua she Cio itu, sungguh aku masih sangsi! Sekarang kau cabutlah senjatamu dan coba kaulayani golokku. Jika kau sanggup bertahan sampai lima puluh jurus, barulah aku orang she Phang mau menerimanya sebagai penghubung."

Thian Hwa sebenarnya marah sekali melihat lagak Si Gemuk itu dan kalau menuruti hatinya ingin benar ia sekali serang merobohkan orang angkuh itu.
 Tapi karena ia teringat akan kepentingannya sendiri, yakni untuk menghubungi pangeran dan mencari orang tuanya, maka ia menahan kemarahannya dan segera berdiri sambil menjawab.

"Baik sekali, kawan. Aku pun tidak suka menghina orang asalkan orang jangan mengganggu aku lebih dahulu! Biarlah kuperlihatkan bahwa tidak sia-sia Pat-chiu Lo-mo mempercayaiku. Silakan kau menggunakan golokmu!" Gadis itu lalu maju ke ruang yang luas itu dan mencabut pedangnya.

Phang Houw mencabut goloknya yang lebar, berat dan berkilauan itu, sehingga sangat mengerikan tampaknya, lalu dengan tindakan bebas dia menghampiri Thian Hwa. Sebelum dia mulai menyerang, dia menjura ke arah tuan rumah dan berkata. "Lauw Pangcu, maafkan aku kalau aku terpaksa menguji Nona ini, karena ini untuk kepentingan urusan kita."

Lauw Cin berkata tenang. "Memang itu patut sekali, Phang-hiante, asal saja kau berhati-hati dan ingat bahwa Lihiap ini adalah utusan Cio-locianpwe!" Kata-kata ini membuat Thian Hwa heran karena agaknya Iblis Tua Tangan Delapan itu sangat dihormat dan ditakuti.

Kemudian Phang Houw berseru keras. "Nona, kau lihat golokku!" Golok besar itu segera menyambar sehingga mendatangkan angin. Serangan pertama ini cukup hebat karena tiba-tiba Phang Houw menggunakan tipu gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan. 
Datangnya serangan sangat keras dan golok besar itu berputar-putar menebas dari kanan ke kiri ke arah leher Thian Hwa dan ketika gadis itu berkelit mundur, golok itu melayang dari kiri ke kanan berkali-kali dan kini menyabet ke pinggang gadis itu dengan gerakan yang sangat cepat sekali! 

Thian Hwa dapat menduga bahwa kalau ia berkelit terus, golok itu juga terus akan mengejar dan menyerangnya karena gerakan Elang Terbang Menyambar Ikan memang terus-menerus bergerak menyerang dari kanan ke kiri dan sebaliknya sehingga golok itu terus menerus diobat-abitkan dengan gerakan cepat dan berbahaya sekali. Thian Hwa lalu berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia menggunakan gerak tipu Tiang - khing - king - thian atau Pelangi Panjang Melengkung di Langit menyerang dari atas ke arah ubun-ubun kepala lawannya!

Serangan ini berbahaya sekali karena ujung pedang itu kalau ditangkis dapat diubah gerakannya menjadi serangan melintang menyabet leher. Phang Houw terkejut sekali dan ia meloncat mundur lalu bersamaan menyerang lagi ketika tubuh lawannya yang ringan bagaikan burung itu telah menginjak tanah. Mereka bertempur lagi dengan hebat. 

Kini Thian Hwa tidak mau berlaku ragu-ragu dan ia mengeluarkan kepandaiannya dan bersilat dengan ilmu pedang Kwan-im Kiam-hoat. Gerakannya sebentar lemas dan lemah-gemulai, tapi kadang-kadang berubah ganas dan cepat sekali sehingga setelah mereka bertempur lebih dari lima puluh jurus, Phang Houw mulai merasa kepalanya pening dan tak mampu menyerang lagi, hanya dapat menangkis dan berkelit karena pedang lawannya bagaikan telah berubah menjadi puluhan banyaknya!

Pada suatu saat Phang Houw merasa begitu terdesak sehingga dia menjadi nekad dan mengeluarkan gerakan mengadu jiwa. Ketika dia merasa betapa ujung pedang lawannya mengancam dadanya sebelah kanan, dia barengi menubruk maju dengan goloknya .untuk mengadu jiwa dan mati bersama! 

Tentu saja Thian Hwa tidak sudi melayani kehendak lawannya ini, dan segera menggunakan pedangnya menangkis. Kali ini karena kedua senjata digerakkan dengan sekuat tenaga, maka dua tenaga beradu keras sekali dan kesudahannya membuat Phang Houw berteriak kaget karena dia merasa betapa telapak tangannya sakit sekali sehingga tak kuasa lagi mempertahankan goloknya yang terlepas dan terpental ke atas. 

Ketika golok yang besar dan berat itu meluncur ke bawah dan tepat menuju ke arah di mana Thian Hwa berdiri, gadis itu dengan tenang sekali menggunakan pedangnya menyambut dan memutar pedang itu sedemikian rupa sehingga golok besar itu terputar-putar dengan ujungnya seakan-akan menempel di pedang Thian Hwa!

Pertunjukan ini sungguh hebat dan indah sehingga semua orang menjadi sangat kagum dan bertepuk tangan memuji. Bahkan Phang Houw sendiri berdiri bengong karena heran. Thian Hwa lalu mengulur tangan kiri dan menangkap gagang golok lawannya itu, lalu dengan tersenyum ia mengembalikan golok itu kepada Phang Houw.

Si Gemuk itu kini menjadi tunduk betul, dia menghela napas berulang-ulang dan berkata. "Seumur hidupku belum pernah aku bertemu dengan seorang muda yang selihai kau ini, Nona. Siapakah namamu yang mulia dan siapa pula Suhumu yang terhormat?"

Semua orang juga ingin tahu nama dan suhu dan gadis lihai itu. Thian Hwa menjawab sederhana. "Aku bernama Thian Hwa dan orang di sebelah selatan menyebutku Huang-ho Sian-li. Suhuku adalah Huang-ho Sui-mo."

Semua orang belum pernah mendengar nama Huang-ho Sian-li, tapi nama Huang-ho Sui-mo pernah mereka dengar, maka mereka mengangguk-angguk dan menyatakan kagum.

"Memang patut sekali Lihiap diserahi tugas ini." kata Louw Cin dengan girang.
"Jika Cu-wi sudah cukup percaya kepadaku, harap urusan ini lekas diterangkan dengan jelas kepadaku, karena sesungguhnya Pat-chiu Lo-mo tak pernah memberitahu apa-apa, hanya minta aku supaya datang saja ke sini." kata Thian Hwa.

Maka Louw Cin lalu menerangkan duduknya persoalan. Ternyata bahwa di lingkungan kerajaan kaisar, terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan di antara para bangsawan tinggi. Mereka berlumba untuk merebut hati Kaisar yang sudah tua, dan sementara itu, dengan diam-diam mereka menggunakan segala daya untuk menyingkirkan bangsawan lain yang dianggap sebagai saingan terbesar. 

Di antara para pembesar itu, terdapat seorang pangeran yang bernama Leng Kok Cun. Pangeran ini mempunyai kekuatan dan pengaruh besar juga karena dia adalah putera seorang selir yang tercinta.

 Tapi pangeran ini mempunyai watak yang buruk dan dia bahkan mengandung niat untuk merampas kedudukan Kaisar jika Kaisar tua itu telah meninggal dunia. Dia mengumpulkan banyak ahli-ahli silat berkepandaian tinggi untuk menjadi sahabat dan kaki tangannya. Di antaranya adalah Louw Cin yang sudah dipercayainya benar-benar.

Beberapa waktu yang lalu, Pangeran Leng minta agar dikirim seorang penghubung yang pandai dan yang datang dari luar kota, karena para bangsawan lain telah menaruh curiga dan tidak baik kalau penghubung yang mendatangi rumah pangeran itu orang-orang yang tinggal di kota raja.

 Hal ini akan mudah mereka ketahui. Karena inilah maka Louw Cin lalu minta tolong Pat-chiu Lo-mo yang juga telah terbujuk olehnya untuk mengabdi kepada Pangeran Leng, untuk mengirim seorang yang pandai.

"Dan demikianlah, maka ternyata Cio-locianpwe telah mengirim Lihiap ke sini, yakni untuk membantu Pangeran Leng dan menjalankan perintah-perintah rahasia dari sana. Kalau tidak salah, Pangeran Leng hendak memberi perintah-perintah kepada para pembantunya di barat dan selatan untuk bersiap sedia, maka lebih baik Lihiap segera mendatangi gedungnya dengan membawa surat dari kami."

Mengertilah kini Thian Hwa bahwa dengan tak disengaja ia telah melibatkan diri sendiri dengan urusan negara yang ruwet. Maka segera ia minta surat itu, lalu setelah mendapat petunjuk di mana letak gedung Pangeran Leng, ia segera menuju ke sana.
Gedung pangeran itu ternyata besar dan mewah sekali, tapi terjaga keras. 

Setelah memberitahu bahwa ia datang dari Lian-bu-pang, barulah ia diperkenankan masuk ke dalam sebuah kamar dan menanti di situ. Thian Hwa merasa bahwa dari balik pintu dalam tentu ada mata orang mengintai, maka ia pura-pura tidak tahu dan diam saja, karena ia dapat menduga bahwa pangeran itu agaknya curiga kepadanya.
Tak lama kemudian, masuklah seorang laki-laki yang berpakaian mewah.

 Dia berusia kurang lebih empat puluh tahun, mukanya licin dan sepasang matanya yang sipit itu hampir-hampir tertutup. Tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah sekali. Inilah Pangeran Leng Kok Cun.

Thian Hwa berdiri dan memberi hormat sepantasnya, lalu ia menyerahkan surat itu. Setelah pangeran itu membaca nya, dia merasa sangat heran mengapa orang mengirim seorang gadis muda lagi cantik untuk menjadi penghubung" Tapi ketika melihat pedang di punggung Thian Hwa, dia dapat menduga bahwa ilmu silat gadis ini tentu hebat, kalau tidak, Laouw Cin takkan begitu gila mengirimnya ke situ.

"Nona, sungguh tak kusangka bahwa kau yang semuda ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga dipercaya oleh Louw Cin. Nona, kau mendapat kamar di bangunan sebelah kiri dan malam nanti akan kuberi tugas pertama padamu. Sekarang beristirahatlah!"

Thian Hwa tidak senang melihat orang ini. Sikapnya demikian memerintah dan tidak mengindahkan orang lain. Gagallah maksudnya hendak mendengar sesuatu tentang orang tuanya dari orang sekaku ini. Maka untuk sementara waktu ia harus menurut saja, dan pergilah ia ke tempat yang disediakan untuknya itu. Ternyata ia mendapat kamar yang cukup mewah dan menyenangkan. 

Dengan hati-hati sekali Thian Hwa memeriksa jendela dan pintu kamar itu, tapi ternyata tidak ada sesuatu yang mencurigakan, maka ia beristirahat di atas pembaringan yang indah dan bersih itu.
Malamnya, setelah keadaan di luar gelap, ia dipanggil ke ruang dalam di mana Pangeran Leng telah menantinya.

"Duduklah, Nona. Sebetulnya aku mempunyai sesuatu yang sangat penting dan rahasia untuk disampaikan ke luar kota dan kaulah yang telah dipilih untuk melakukan tugas berat ini. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang menghendaki barang yang kuserahkan padamu itu dan mungkin kau akan mendapat rintangan di jalan. 

Maka agar hatiku tenteram, dan untuk mengujimu, lebih dulu kau malam ini harus melakukan sesuatu untukku. Kau pergilah ke gedung Pangeran Ciu Kiong di sebelah timur kota. Dia ini adalah musuhku yang paling besar dan kau harus dapat membunuhnya! Dan kalau bisa malam ini juga!"

Terkejutlah Thian Hwa. mendengar ini. Celaka sekali, ia harus memasuki urusan yang kotor dan ruwet. Datang-datang ia disuruh membunuh orang begitu saja. Dan sikap pangeran ini demikian tinggi, seakan-akan ia memang bujangnya yang setiap waktu diperintah sesukanya!

Sebelum ia sempat membantah, tiba-tiba dari atas terdengar seruan orang.
"Taijin, awas, gadis itu adalah mata-mata musuh!" Dan berbareng dengan itu, dari atas melayang tiga batang huito atau golok terbang menyambar ke arah Thian Hwa!

Gadis itu loncat menyingkir dan tertawa geli. "Sudahlah, kalian orang-orang rendah! Aku tak perlu mencampuri urusanmu yang kotor!" Lalu ia meloncat keluar. Tapi Pangeran Leng sudah berteriak.

"Tangkap penjahat!" Sehingga para pengawalnya telah maju mengejar. Juga dari luar datang Louw Cin dan seorang tua bongkok dan wajahnya buruk sekali dan memegang sebatang tongkat, serta di punggungnya yang bongkok tampak tempat golok-golok kecil, maka tahulah Thian Hwa bahwa yang melepas golok terbang tadi adalah Si Bongkok itu!

"Setan perempuan, berhenti!" Louw Cin yang mencegat didepannya membentak. "Mengakulah terus terang, siapakah engkau dan apa kehendakmu memalsukan surat dari Cio-locianpwe?"

"Aku sudah mengaku tadi dan namaku sudah kuterangkan pula. Tentang memalsu, aku tidak memalsu hanya menyampaikan surat yang kutemukan dari seorang maling kecil!"

Tiba - tiba Si Bongkok menuding. "Hemm, jadi kau yang telah melukai muridku?"
Thian Hwa melengak. "Eh, eh, kau yang disebut Iblis Tua Tangan Delapan" Pantas, pantas...."

Marahlah orang itu. "Kau lancang mulut, rasakan tanganku!" kakek bongkok ini maju menyerang dengan tongkatnya. Sambaran tongkatnya demikian hebatnya, sehingga Thian Hwa terkejut sekali karena ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi seorang lawan yang benar-benar perkasa, la cepat berkelit dan meloncat, mundur sambil mencabut pedangnya.
Mereka berdua lalu bertempur seru sekali, ditonton oleh Pangeran Leng dan kawan-kawannya.

Setelah bertempur seratus jurus lebih, diam-diam Thian Hwa mengeluh karena lawannya ini benar-benar hebat dan tangguh. Sebaliknya Pat-chiu Lo-mo juga penasaran dan malu karena belum pernah ada seorang lawan yang sanggup bertahan melawan dia sampai seratus jurus lebih tanpa dia dapat melukainya sedikit pun.

Sementara itu, Louw Cin dan kawan-kawannya sangat kagum melihat pertempuran itu. Tidak mereka sangka sedikit pun bahwa gadis muda itu demikian pandai sehingga sanggup menandingi Si Tua Bongkok yang lihai.

 Pangeran Leng merasa penasaran lalu berteriak agar orang membantu Si Bongkok itu. Maka majulah beberapa pahlawan mengeroyok Thian Hwa! Gadis itu merasa sibuk juga dan sambil berseru nyaring ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa sehingga lawan-lawannya terpaksa mundur beberapa tindak.

 Kesempatan ini ia pergunakan untuk meloncat keluar dari kalangan dan berlari cepat! Tiga buah golok terbang yang dilepas oleh Pat-chiu Lo-mo dengan mudah dapat ia tangkis dan kelit tanpa menoleh, kemudian ia menghilang ke dalam gelap.




Pat-chiu Lo-mo merasa penasaran sekali lalu mengejar, juga Louw Cin dan beberapa pengawal yang berkepandaian tinggi ikut mengejar. Mereka ini semuanya mempunyai kepandaian lari cepat yang boleh juga sehingga dapat juga mengejar Thian Hwa dari jauh.

 Biarpun sebenarnya ginkang gadis itu lebih tinggi, tapi karena ia belum mengenal jalan dan tempat itu masih asing baginya, ia tidak dapat maju cepat. Ia hanya menuju ke timur karena ia teringat akan pesan Pangeran Leng padanya untuk membunuh seorang pangeran lain. 

Kalau Pangeran Leng dan kaki tangannya jahat, maka Pangeran Cu Kiong yang dimusuhinya itu tentu orang baik. Biasanya, yang dimusuhi oleh orang jahat tentu orang-orang baik dan sebaliknya! Karena inilah, maka Thian Hwa lari ke juruan timur sambil mencari-cari.

Akhirnya, ia sampai juga ke sebuah gedung yang tinggi dan besar, bahkan lebih tinggi daripada gedung Pangeran Leng. Inikah gedung Pangeran Cu Kiong itu" Baru saja kakinya menginjak genteng, tiba-tiba di sebelah kirinya berkelebat bayangan putih. Ia mengangkat pedang menyerang ke kiri, tapi bayangan itu demikian gesitnya dan cepat dapat berkelit.

"Sabar, Nona. Aku bukan lawan, tapi kawan. Mari kita hadapi mereka yang mengejarmu!" Bayangan yang berpakaian putih itu lalu berdiri menanti datangnya para pengejar. Ketika Si Bongkok dan Louw Cin tiba di situ, bayangan putih itu menegur.
"Apakah Pangeran Leng sudah tidak tahu adat menyuruh kaki tangannya membikin kotor genteng rumahku?"

Louw Cin terkejut ketika melihat siapa yang menegur mereka. Ia buru-buru memberi hormat dan berkata, "Mohon beribu maaf, Thaijin. Kami hanya mengejar seorang penjahat perempuan."

"Jangan kurang ajar! Tidak ada penjahat perempuan di sini, yang ada ialah tamuku ini dan kalian pergilah dari sini. Atau kalian sengaja hendak mengacau?"

Si Bongkok perdengarkan suara menyindir. "Hm, jadi setan itu telah menjadi kaki tangan Pangeran Cu" Bagus! Mari kita pergi, Louw Cin!" Dan pergilah para pahlawan Pangeran Leng itu.

Si Baju Putih itu lalu berkata kepada Thian Hwa dengan suaranya yang halus dan sopan. "Nona, kau sungguh gagah perkasa sehingga sanggup seorang diri membuat pusing Si Iblis Tua Tangan Delapan! Sudilah kau mampir sebentar ke pondokku."
Kagetlah Thian Hwa mendengar ini. "Apa" Jadi kau adalah... Pangeran Cu Kiong?"
Orang itu menjura dengan hormat dan berkata. "Dugaanmu tepat, Nona. Marilah kita bicara di bawah."

Thian Hwa tidak merasa keberatan, bahkan timbul harapan baru dalam hatinya untuk minta bantuan pangeran yang sopan dan halus ini mencari keterangan tentang orang tuanya. Ia lalu ikut meloncat turun dan ketika mereka tiba di tempat terang dan saling memandang maka kedua-duanya terkejut dan kagum. Thian Hwa melihat bahwa Si Baju Putih itu, yang sebenarnya Pangeran Cu Kiong sendiri, ternyata adalah seorang pria muda yang berwajah sangat tampan.

 Mukanya bulat putih dengan sepasang mata yang lebar dan terang, dihias sepasang alis mata yang panjang hitam berbentuk golok sehingga paras yang cakap itu tampak gagah sekali. 

Pakaiannya yang putih itu pinggirnya disulam dengan benang emas indah sekali dan sikap serta gerak gayanya lemah lembut menandakan bahwa dia seorang terpelajar. Thian Hwa kagum sekali karena biarpun tampaknya demikian sopan santun dan lemah lembut lagi masih muda, namun dari gerakannya ketika mengelit serangannya tadi ia tahu bahwa pangeran itu pun memiliki kepandaian yang tidak rendah.

Sebaliknya Pangeran Cu Kiong ketika melihat wajah Thian Hwa di bawah sinar penerangan lampu, menjadi kagum sekali dan menatap wajah yang cantik itu dengan hati tertarik. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis pendekar yang gagah perkasa itu ternyata masih sangat muda dan memiliki kecantikan yang luar biasa pula.

Karena dua-duanya saling pandang, maka akhirnya mereka sama-sama menundukkan muka dan wajah Thian Hwa menjadi merah karena segan dan malu. Heran sekali! Belum pernah ia merasa malu di bawah pandang mata laki-laki dan ia merasa betapa dadanya berdebar aneh!

"Lihiap silakan duduk." kata Cu Kiong dengan ramah dan cepat-cepat dia perintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan.

"Jangan berlaku sungkan, Kongcu." kata Thian Hwa dengan sikap hormat, lalu ia duduk di atas sebuah bangku yang terukir indah, menghadapi meja, dan Cu Kiong duduk di hadapannya.

"Kongcu, bagaimana bisa tahu bahwa aku telah bertempur dengan iblis tua itu?" tiba-tiba Thian Hwa bertanya, karena ia tadi memang heran mendengar kata-kata pangeran itu yang seakan-akan tahu akan kejadian-kejadian yang dialaminya di gedung Pangeran Leng.

"Tentu saja aku tahu, Nona. Bahkan aku tahu pula bahwa kau diperintah oleh Pangeran Leng untuk membunuhku!" katanya dengan senyum.

"Aku... aku tidak menyanggupinya'" Thian Hwa cepat memotong.
Cu Kiong perlihatkan senyumnya yang menarik. "Tentu saja. Aku pun takkan percaya bahwa seorang seperti kau ini dapat berwatak sekejam itu, membunuh aku yang tak kau kenal sama sekali!"

Mendengar pujian ini, kembali Thian Hwa merada dadanya berdebar.
"Tapi, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Kongcu?"

"Kau ingin tahu" Nah, mari kuperkenalkan kau dengan para pembantuku!" Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba dari segenap penjuru, melalui pintu, jendela dan juga melayang turun dari atas genteng, muncullah tujuh orang setengah tua yang mempunyai gerakan gesit dan ringan sekali. Thian Hwa terkejut karena maklum bahwa kepandaian ketujuh orang ini sangat tinggi!

"Perkenalkanlah, inilah Kam-keng-chit-sian, Tujuh Dewa dari Kamkeng!" kata Cu Kiong dan ketujuh orang itu dengan tersenyum menjura di depan Thian Hwa yang segera berdiri membalas hormat mereka. Ia belum pernah mendengar nama ini, tapi ia dapat menduga bahwa mereka ini tentu tokoh-tokoh ternama di daerah utara.

"Lihiap, ilmu pedangmu sungguh membuat kami takluk dan tidak kosonglah nama Huang-ho Sui-mo, Suhumu yang tersohor itu!" kata seorang di antara mereka.

Pangeran Cu Kiong lalu mempersilakan mereka semua duduk dan malam itu diadakan perjamuan makan minum untuk menghormat Thian Hwa. Mereka bercakap-cakap gembira sekali dan Thian Hwa mendapat kesan baik dari mereka. Ia menganggap bahwa ketujuh orang itu bersikap baik dan sopan, sedangkan pangeran muda yang tampan itu betul-betul telah memikat hatinya dan membuat ia tertarik sekali. 

Pada kesempatan ini ia diberitahu bahwa Cu Kiong banyak dimusuhi bangsawan-bangsawan yang menjadi durna dan penjilat kaisar, dan bahwa pangeran muda ini telah beberapa kali hendak dibunuh. Oleh karena inilah maka ia mempelajari ilmu silat dan bahkan mengundang Kamkeng-chit-sian untuk menjadi pengawalnya. Kemudian pangeran yang masih muda dan tampan itu memerintahkan para pengawalnya untuk mengundurkan diri dan dia bercakap-cakap, berdua dengan Thian Hwa. Sikapnya selalu ramah tamah dan sopan sehingga Thian Hwa merasa betah di situ.

"Lihiap, kau seorang gadis muda yang berasal dari daerah selatan, mengapa sampai bisa datang di kota raja" Dan mengapa pula kau sampai dapat berhubungan dengan orang-orang macam Pangeran Leng itu?"

Thian Hwa lalu menceritakan riwayatnya dengan terus terang. Ia menganggap bahwa pangeran ini sangat baik dan jujur, maka pantaslah kalau ia minta tolong dan mendapat kepercayaannya.

"Demikianlah," ia mengakhiri ceritanya. "Aku yang muda dan bodoh ini sampai menjadi nekad dan datang ke kota besar ini untuk mencari kedua orang tuaku."

Cu Kiong memandangnya dengan penuh keheranan terbayang pada wajahnya yang putih. "Kaukatakan tadi bahwa orang tuamu adalah bangsawan di kota raja ini?"
Thian Hwa mengangguk. "Demikianlah menurut penuturan Kakekku. Katanya bahwa Ibuku adalah seorang puteri bangsawan yang cantik dengan tanda bintik kecil hitam di atas bibir sebelah kiri. Sayang sekali Kakekku tidak tahu siapa Ibuku atau Ayahku...." kata Thian Hwa sedih.

Ketika ia menceritakan hal ini, kebetulan sekali pelayan laki-laki yang sudah tua dan sangat hormat sikapnya sedang membersihkan meja dan mengangkut semua sisa makanan atas perintah Cu Kiong. Tadinya kakek tua ini bekerja sambil menundukkan muka, tapi ketika ia mendengar cerita Thian Hwa, agaknya dia menjadi terharu dan mengangkat mukanya memandang. Kebetulan Thian Hwa tak sengaja memandangnya. 

Untuk sesaat pelayan itu membelalakkan matanya, kemudian dia menunduk kembali dan Thian Hwa melihat wajah yang baik dan sabar, bahkan ia merasa seakan-akan wajah orang tua itu tidak asing baginya.

Setelah orang tua itu mengangkut pergi semua sisa makanan, Cu Kiong berkata. 

"Nona, percayalah kau kepadaku. Aku akan memerintahkan orang-orangku untuk mencari keterangan perihal puteri bangsawan yang mempunyai tahi lalat kecil di bibir kiri, barangkali saja usahaku ini akan berhasil baik."

Thian Hwa buru-buru berdiri dan menjura sambil mengucapkan terima kasih.
"Sekarang harap Kongcu maafkan aku, karena aku harus pergi. Tidak baik kalau mengganggumu dan besok sore aku akan datang lagi mendengar hasil pertolonganmu itu."

Cu Kiong buru-buru mencegah. "Jangan kau pergi, Nona. Apakah bedanya kalau kau menginap di dalam gedung ini" Pula, kau telah menjadi musuh Pangeran Leng, dan kau tidak akan aman tinggal di luar. Kau tinggallah untuk sementara waktu di gedung ini sampai kau dapat bertemu dengan orang tuamu. Jangan khawatir, aku mempunyai banyak kamar, di sini dan kau akan terjamin. Anggaplah ini sebagai rumah sendiri atau sebagai rumah saudaramu!" Sambil berkata demikian, pangeran itu tersenyum ramah.
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Thian Hwa tak dapat menolak lagi dengan girang sekali Cu Kiong memanggil pelayan. "Lo Sam....!"

Pelayan tua yang tadi membersihkan meja muncul dari pintu samping dan menghampiri mereka.

"Losam, tolong kauantar Nona ini ke kamar tamu di bagian kiri. Berikan kamar yang paling baik di ujung itu, dan selanjutnya suruh pelayan-pelayan wanita melayani segala keperluannya. Ingat Sio-cia ini harus dilayani baik-baik agar betah tinggal di sini."

Thian Hwa menghaturkan terima kasih dan ikut pelayan itu menuju ke bangunan sebelah kiri yang besar dan di depannya penuh kembang-kembang indah di dalam taman kecil yang mengitari bangunan itu.

 Ketika mereka tida di situ, Losam disambut oleh beberapa orang pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik dan dihujani pertanyaan. Losam dengan suara sabar memperkenalkan Thian Hwa dengan menyampaikan pesan majikannya. Pelayan-pelayan wanita itu dengan hormat dan ramah lalu mengajak Thian Hwa memasuki kamarnya sehingga gadis itu merasa malu dan berterima kasih sekali.

Pangeran Cu Kiong demikian baik hati terhadap Thian Hwa sehingga dia memerlukan mengirimkan beberapa stel pakaian yang indah kepada gadis itu, dan dia minta kepada Losam untuk mengantarkannya. Thian Hwa merasa malu dan tak enak hati melihat segala kebaikan ini. Ia terima pakaian itu tapi tidak mau memakainya dan tetap memakai pakaiannya sendiri yang sederhana.

Ketika malam hari itu Thian Hwa keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan di taman bunga, ternyata bahwa di belakang semua bangunan besar itu masih terdapat sebuah kebun bunga yang sangat luas dan indah, bahkan di tengah-tengah terdapat kolam air yang lebar dan dalam serta airnya jernih sekali.

Thian Hwa adalah seorang gadis yang semenjak kecil tumbuh besar di atas air Sungai Huang-ho, maka kini melihat air yang jernih itu, tak dapat menahan lagi keinginan hatinya untuk mandi. Ia melihat betapa keadaan di situ sunyi tiada orang, maka segera ia tanggalkan pakaian luar dan kini hanya memakai pakaian mandi yang ringkas. 

Setelah itu, ia lalu terjun ke dalam air yang dingin itu! Ia berenang ke sana ke mari dan menangkapi ikan emas yang menjadi kaget dan ketakutan karena tiba-tiba saja tempat mereka terganggu oleh suatu mahluk aneh yang menangkapi mereka lalu dilepas lagi berulang-ulang! Thian Hwa merasa gembira sekali dan ia tersenyum-senyum sambil memetik setangkai bunga teratai putih yang mekar berseri di permukaan kolam itu.

 Ia tidak tahu mengapa hatinya begitu girang dan bahagia. Ia merasa seakan-akan ada sesuatu yang mendatangkan rasa nikmat di dalam hatinya dan bayangan Pangeran Cu Kiong yang tampan dan tersenyum-senyum itu tak pernah meninggalkan bulu matanya! Ah, alangkah baiknya orang-orang bangsawan ini, pikirnya. Tentu ayah ibunya juga sebaik Cu Kiong, dan dia percaya penuh pangeran yang baik hati itu tentu akan sanggup mencari keterangan tentang ayah ibunya.

Ia tidak tahu bahwa dari balik sebatang pohon, sepasang mata memandangnya dengan penuh gairah dan kagum. Kemudian orang yang mengintai itu keluar, seakan-akan tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia bertindak mendekati kolam, lalu berseru kaget.

"Ah, Thian Lihiap! Kiranya kau, sungguh aku kaget sekali kukira siapa yang pada malam sekali begini mandi di sini!"

Thian Hwa terkejut sekali dan menengok. Ternyata Cu Kiong sedang berdiri dan" memandangnya dengan mata kagum. Biarpun pada saat itu yang tampak hanya kepalanya saja, namun Thian Hwa merasa begitu malu sehingga buru-buru ia menyelam! Cu Kiong tertawa geli dan membalikkan tubuh memandang ke lain jurusan, tapi masih berdiri di tempat itu.

Di dalam air, Thian Hwa merasa betapa dadanya berdebar keras dan napasnya terengah-engah. Ia merasa malu sekali untuk muncul lagi. Tapi akhirnya ia tidak kuat menahan napasnya lalu munculkan kepalanya dengan perlahan dan hati-hati di belakang daun dan bunga teratai. Ia melihat betapa Cu Kiong berdiri membelakanginya dan pemuda itu berkata.

"Nona, kalau kau sudah muncul lagi, katakan apakah aku harus pergi" Sebenarnya aku ingin sekali bicara dengan kau! Tapi kalau kau menghendaki supaya aku pergi, aku akan segera meninggalkan tempat ini."

Thian Hwa berkata dengan suara lemah. "Kongcu, jangan kau melihat ke sini dulu!"
Terdengar pemuda itu tertawa dan menjawab. "Kauanggap aku orang rendah macam apakah?"

Thian Hwa girang sekali mendengar ini. Ternyata bahwa pemuda itu benar-benar orang sopan dan baik. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia keluar dari air dan cepat-cepat berganti pakaian di balik pohon kembang dekat kolam itu. Pakaiannya yang basah ia letakkan di atas sebuah batu yang merupakan patung barongsai. Kemudian, setelah mengenakan pakaiannya, ia keluar dan berkata sambil tertawa.

"Sekarang kau boleh melihat, aku sudah selesai."

Cu Kiong cepat memutar tubuhnya dan memandang gadis itu dengan mata kagum. Sinar bulan telah menyinari wajah yang ayu itu. Thian Hwa menggunakan teratai yang dipetiknya tadi untuk menghias rambutnya yang diikat secara sembarangan ke atas sehingga kecantikannya yang aseli benar-benar mempesonakan.

Cu Kiong maju beberapa tindak dengan perlahan. Setelah dekat dengan gadis itu, dia berhenti dan menatap wajahnya sambil berkata berbisik. "Nona kau... kau... cantik sekali...."

Kalau saja yang berkata itu orang lain, tentu Thian Hwa akan marah sekali, tetapi yang memujinya adalah pemuda yang memang selalu membayang di depan matanya, pula Cu Kiong telah mengucapkan pujian itu dengan sungguh-sungguh, bukan dengan maksud kurang ajar, maka Thian Hwa hanya menundukkan muka dengan malu-malu.
Cu Kiong maju setindak lagi dan tahu-tahu dengan halus perlahan ia pegang kedua tangan Thian Hwa dan berkata. "Sungguh, Nona, selama hidupku belum pernah aku melihat seorang secantik kau...."

























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12