Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 01
MATAHARI memuntahkan panasnya melalui cahayanya yang
membakar seluruh permukaan bumi. Hari menjadi amat cerah, langit bersih seolah semua
awan ketakutan menyingkir dari cahaya matahari. Namun Sungai Kuning (Huang-ho) seolah
tidak merasakan teriknya matahari.
Di sepanjang sungai dan kedua tepinya yang dihias
pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan subur itu tampak hijau dan sejuk. Seolah sungai
yang lebar itu menyerap semua hawa panas yang mengandung kehidupan itu.
Burung-burung dan binatang lain mencari perlindungan di
bawah pohon-pohon dan di antara daun-daun yang sejuk. Bahkan para nelayan yangbiasanya
menjala atau memancing ikan, pada siang hari yangterik itu pergi mengaso, tidak
kuat menahan panasnya sinar matahari. Huang-ho (Sungai Kuning) tampak sepi pada
siang hari itu.
Tiba-tiba dari jauh tampak meluncur seorang, wanita di atas
air sungai. Kalau ada yang melihatnya pada saat itu, tentu dia akan tercengang
keheranan, mungkin lari ketakutan dan mengira bahwa wanita itu adalah setan
yang dapat berjalan di atas air! Akan tetapi kalau dilihat dari jarak agak dekat,
tentu dia akan mengira bahwa yang meluncur di atas air itu adalah seorang Dewi
atau Bidadari.
Ia memang cantik jelita. Rambutnya yang digelung ke atas itu
agak terurai karena hembusan angin sehingga beberapa gumpalan anak rambut
bermain-main di dahi dan pipinya.
Rambut yang hitam lembut panjang dan agak berikal. Mukanya
berbentuk bulat te lur, sepasang matanya mencorong tajam dan memiliki daya
tarik yang memikat, hidungnya mancung dan mulutnya bersaing indah dengan
matanya,memiliki daya pikat yang akan menimbulkan gairah dalam hati setiap
orang pria yang melihatnya.
Apalagi di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipi yang
amat manis. Kulitnya putih bersih dan kini kedua pipinya kemerahan karena panas
matahari. Ia bukanlah seorang dewi apalagi setan penunggu sungai.
Ia seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun, bertubuh
sintal denok dan berwajah cantik jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan kalau
ia tampak seperti orang berjalan di atas air sesungguhnya ia sedang meluncur
dengan cepat di atas air! Bukan berdiri di atas kedua kakinya, melainkan ia menggunakan
terompah papan selancar.
Dengan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang sudah
tinggi tingkatnya, ia dapat berdiri di atas papan lalu dengan pengerahan
khi-kang ia dapat mendorong kedua kaki yang menginjak papan itu sehingga ia
meluncur dengan cepat di atas air!
Gadis itu bernama Ciu Thian Hwa, seorang pendekar wanita yang
selain cantik jelita juga amat lihai. Ia malang melintang di dunia kang-ouw, membela
kebenaran dan keadilan,menentang kejahatan dengan keras sehingga ia terkenal dengan
julukan Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning).
Setelah mengalam i banyak hal yang menimbulkan kepahitan dan
kekecewaan hati yang membuat hatinya terasa sedih, akhirnya ia mengambil keputusan
untuk mencari gurunya yang juga menjadi kakek angkatnya.
Gurunya adalah Thian Bong Sianjin yang dulu sebelum
bertobat menjadi pendeta berjuluk Huang-ho Sui-mo (Setan Air Sungai Kuning).
Thian Hwa makin mempercepat luncuran papan selancarnya di
atas air. Setelah berada di atas Sungai Huang- ho kembali, ia merasa gembira
dan sedikit demi sedikit lenyaplah segala kekecewaan dan kepahitan yang
dideritanya.
Ia merasa telah kembali ke tempat yang sesuai dan cocok baginya,
yaitu Sungai Huang-ho dan karena ia tahu bahwa ia seolah kembali di sungai itu,
dan ibu kandungnya lenyap pula di situ, maka ia merasa seolah-olah kini ia
berada dekat dengan ibunya. Ia merasa seakan-akan ia telah mendapatkan kembali
ibunya, yakni sungai dengan airnya yang luas itu!
Ia meluncur dan memandang permukaan air dengan hati terharu,
dan dengan cekatan ia membungkuk untuk menggunakan tangannya menyendok air lalu
air ia siramkan ke mukanya! Angin Sungai Huang-ho meniup mukanya yang menjadi
segar dan nyaman.
Lenyaplah segala kesedihannya!
Lenyaplah segala kesedihannya!
Ketika air Sungai Huang-ho mulai sukar ditempuh karena banyak
terdapat air terjun dan terkadang penuh dengan batu-batuan Thian Hwa lalu mendarat
dan berlari cepat menyusuri Lembah Sungai Huang-ho. Setiap kali bertemu dusun
nelayan ia bertanya-tanya barangkali ada yang melihat Thian Bong Slari-jin.
Beberapa kali ia mendapat keterangan bahwa kakek itu menuju ke hulu Sungai
Huang-ho, ke arah barat.
Maka ia pun melanjutkan perjalanan menyusuri pantai ke
hulu, daerahyang belum pernah ia jelajahi.
Setelah melakukan perjalanan selama sebulan lebih, pada suatu
hari tibalah la disebuah dusun di tepi sungai. Dusun Itu cukup ramai dihuni
oleh para petani dan nelayan sebanyak sekitar lima puluh rumah atau keluarga.
Di dusun ini Thian Hwa mendengar bahwa tiga hari yang
lalu seorang kakek membasmi gerombolan perampok yang mengganggu dusun itu.
Hatinya girang bukan main mendengar bahwa kakek itu berusia sekitar lima puluh
enam tahun, berpakaian serba putih, pakaian pendeta To dan mukanya tanpa kumis
atau jenggot dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Gambaran itu adalah gambaran kong-kongnya! Ia lalu
mencari keterangan ke mana kakek itu pergi dan seorang penduduk dusun
menceritakan bahwa dia melihat kakek penolong mereka itu tinggal di sebuah, kuil
tua yang tidak terpakai lagi,di puncak sebuah bukit kecil di tepi sungai.
Thian Hwa cepat mendaki bukit itu dan kagum melihat keindahan
pemandangan alam di atas bukit itu. Melihat keadaan bukit yang tanahnya subur
dan hawanya sejuk itu ia merasa betah dan senang sekali. Apalagi ketika ia
menemukan kuil kosong di puncak bukit dan melihat Thian Bong Sianjin duduk
bersila di atas sebuah batu depan kuil!
"Kong-kong....!" Ia berseru dan berlari cepat
menghampiri.
Thian Bong Sianjin memandang gadis itu dan tersenyum dengan
wajah berseri.
"Aha, Thian Hwa, akhirnya engkau datang juga! Bagaimana hasilnya dengan penyelidikan selama
beberapa bulan ini?"
Ditanya demikian, Thian Hwa teringat akan semua pengalamannya
dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah depan kakek itu dan tak
dapat menahan diri lagi menangis terisak-isak!
"Aih, inikah cucuku yang biasanya gembira,
pemberani,
keras hati dan jujur itu" Mengapa kini menjadi
cengeng?"
Kakek itu lalu turun dari atas batu dan membungkuk,mengelus
rambut kepala Thian Hwa. Gadis itu bangkit berdiri dan merangkul, menangis di atas
dada kakek yang selama ini ia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu. Thian
Bong Sianjin membiarkan gadis itu menangis sehingga air matanya membasahi jubah
bagian dadanya, hanya mengelus kepalagadis yang amat dikasihinya itu.
Dia maklum bahwa cara terbaik bagi seorang untuk
melepaskan himpitan duka dalam hati adalah melalui cucuran air matanya.
Setelah tangis Thian Hwa mereda, kakek itu berkata halus.
"Tenangkan hatimu, Cucuku.
Duduklah di atas batu di depanku ini dan ceritakan
semuanya kepadaku. Tidak ada perkara apa pun di dunia ini yang tidak dapat kit
atasi,asalkan kita menerimanya sebagai suatu kenyataan yang wajar. Tidak ada
masalah dalam hidup ini kecuali kalau kita menerima suatu peristiwa sebagai
masalah.
Kita sendiri yang membuat
masalah dan kita pula yang mengakhiri masalah itu." Thian Hwa sudah menumpahkan
semua ganjalan hati melalui air matanya. Kini dadanya terasa lapang dan ia memperoleh
kembali ketenangannya. Ia menggunakan sehelai saputangan untuk mengusap sisa
air mata dari mata dan mukanya sampai kering, baru ia menaati ucapan kakeknya dan
duduk bersila di atas sebuah batu di depan kakek itu yang kini sudah duduk
kembaii di tempat semula.
"Nanti dulu, Kong-kong," katanya dan kini
suaranya sudah tenang dan biasa kembali. "Sebelum aku menceritakan semua pengalamanku,
aku ingin tahu lebih dulu apa maksud Kong- kong ketika mengatakan bahwa tidak
ada masalah dalam hidup ini. Bagaimana mungkin tidak ada masalah kalau dalam kehidupan
ini banyak terjadi peristiwa menimpa kita yang mendatangkan kekecewaan,
penasaran, dan kedukaan?"
Kakek itu tersenyum ramah, matanya yang bersinar tajam
namun lembut itu menatap wajah cucunya dengan penuh pengertian.
"Hidup ini sendiri akan menjadi masalah kalau kita menerimanya sebagai
masalah. Peristiwa apa pun yang terjadi para diri kita merupakan suatu
kenyataan yang tidak dapat diubah pula. Kenyataan apa adanya itu adalah suatu kewajaran.
Biasanya, nafsu
yang mengaku-aku dan selalu mementingkan diri sendiri, mengejar kesenangan
sendiri itulah yang menimbulkan penilaian terhadap apa yang terjadi, lalu timbul
apa yang disebut menyenangkan atau menyusahkan.
Kalau merugikan, lalu dianggap sebagai suatu masalah yang
menimbulkan rasa khawatir, takut, penasaran, kecewa, benci atau duka."
Thian Hwa mengerutkan alisnya, merasa bingung.
"Kong- kong, tolong diberi contoh agar aku tidak menjadi bingung."
"Misalnya hujan lebat turun. Peristiwa yang menimpa
kita ini adalah satu kenyataan yang tak dapat diubah oleh siapa pun juga.
Baikkah atau burukkah peristiwa ini" Menjadi masalah ataukah suatu
kewajaran"
Tergantung bagaimana kita menerimanya.
Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran,maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin kita sehingga kita dapat mengatasinya, misalnya dengan ber-teduh, bahkan dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan menyalurkan airnya dan sebagainya.
Kalau kita terima sebagai hal yang merugikan kita, timbullah kekecewaan dan kedukaan. Kalau kita terima sebagai kenyataan apa adanya, suatu kewajaran,maka akan timbullah kebijaksanaan dalam batin kita sehingga kita dapat mengatasinya, misalnya dengan ber-teduh, bahkan dapat memanfaatkan peristiwa itu membuat bendungan menyalurkan airnya dan sebagainya.
Demikian sebaliknya kalau hari panas sekali. Kita dapat
berlindung dari sengatan sinar matahari dan dapat memanfaatkan sinar yang panas
itu untuk menjemur dan se-bagainya, bukan menerimanya sebagai suatu masalah
yang menimbulkan nafsu marah, kecewa, penasaran, takut yang mendatangkan duka.
Mengertikah engkau, Thian Hwa?"
Thian Hwa diam sejenak, lalu mengangguk-angguk perlahan.
"Ah, aku
mulai mengerti, Kong-kong. Jadi, apa pun yang menimpa diri kita, dari yang
paling menyenangkan sampai yang paling tidak menyenangkan, seperti penyakit dan
ke-matiah, adalah suatu hal yang wajar dan tidak dapat diubah lagi, suatu kenyataan sehingga kita
harus menerimanya tanpa menjadikannya suatu masalah.
Begitukah"
Akan tetapi bagaimana mungkin manusia dapat hidup tanpa dipengaruhi segala
macam perasaan, terutama susah senang itu"
Manusia hidup tanpa perasaan menjadi seperti mati!"
"Bukan demikian, Cucuku. Manusia hidup memang tidak mungkin
mematikan atau menghilangkan nafsu.
Nafsu menjadi
peserta manusia dalam hidupnya di alam fana ini.
Yang terpenting adalah keseimbangan, menjaga agar nafsu jangan
memperhamba kita, melainkan menjadi peserta dan pembantu kita. Ada pelajaran
dari Guru Besar Khong Cu yang bijaksana dalam Kitab Tiong Yong, begini
bunyinya: HI HOU Al LOK CI BI HOAT, WI Cl TIONG. HOAT JI KAI TIONG CIAT, WI CI
HO.
Artinya: Sebelum perasaan
Girang Marah Duka dan Suka timbul, batin berada dalam keadaan Tegak Lurus.
Apabila berbagai perasaan itu timbul namun mengenal batas
(dapat mengendalikan), batin berada dalam keadaan selaras (seimbang)."
Gadis itu mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti,
Kong-kong."
"Nah, sekarang ceritakanlah apa saja yang kaualami sehingga
engkau hampir kehilangan keseimbanganmu."
Dengan lancar dan tabah Thian Hwa menceritakan semua pengalamannya.
Betapa ia bertemu dengan Cui Sam atau yang sebutannya Lo Sam, kakeknya atau
ayah dari ibunya yang kini bekerja sebagai pelayan Pangeran Cu Kiong.
Dari kakeknya ini ia mengetahui" bahwa ibunya
bernama Cui Eng yang menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, kemudian ketikamelahirkan
anak perempuan, yaitu dirinya, ibunya itu diusir oleh keluarga Pangeran Ciu Wan
Kong. Menurut cerita kakeknya, Kakek Cui Sam dan Cui Eng hendak kembali ke kampung
halaman mereka di selatan, akan tetapi ketika menyeberangi Sungai Huang-ho,
perahu mereka terbalik dan Cui Sam, Cui Eng dan bayinya hanyut.
"Kakek Cui Sam dapat menyelamatkan diri, akan tetapi
dia kehilangan ibu dan aku yang dia kira tentu tewas tenggelam." kata
Thian Hwa melanjutkan ceritanya. "Aku merasa sakit hati sekali kepada
Pangeran Ciu Wan Kong dan pada suatu malam kudatangi gedungnya, akan kubunuh
untuk membalaskan kematian Ibu kandungku
.Akan tetapi ketika tiba di kamarnya dan melihat dia
berduka cita mengamati gambar Ibuku, aku menjadi tidak tega. Apalagi dia ketika
melihat aku mengira bahwa aku adalah Ibuku, dan dia... dia... tertawa menangis seperti
orang gila!"
"Siancai....! Kekuasaan Thian (Tuhan) Yang Maha Adil
tak pernah berhenti bekerja. Setiap orang manusia takkan terhindar dari akibat
perbuatannya sendiri. Siapa menanam,dia akan memetik buahnya.
Hukum ini berlaku di seluruh alam semesta dan sudah wajar
dan adil! Lanjutkan ceritamu, T hian Hwa." Thian Hwa melanjutkan ceritanya,
betapa sebelumnya, ia juga telah menolong Pangeran Ciu Wan Kong yang ternyata ayah
kandungnya sendiri itu dari serangan ular air.
Kemudian betapa ia terlibat perkara dengan Pangeran Leng
Kok Cun yang merencanakan pemberontakan. Akhirnya ia ketahuan bahwa ia hanya
seorang penyelundup dan dikeroyok para jagoan dan ia melarikan diri berlindung
ke gedung Pangeran Cu Kiong yang dianggap saingan Pangeran Leng Kok Cun.
"Hemm, ternyata terjadi perebutan kekuasaan di
antara para pangeran! Ha-ha-ha, penyakit lama itu selalu terdapat dalam setiap
pemerintahan kerajaan.
Agaknya Kerajaan Mancu tidak terkecuali, diam-diam
terjadi perebutan
kekuasaan di antara mereka sendiri. Lalu bagaimana, Thian
Hwa?" "Setelah aku mengalami guncangan akibat pertemuanku dengan Ayah
kandungku, aku mengalami guncangan kedua yang amat menyakitkan hati, Kong-kong.
Pangeran Cu Kiong yang masih muda, tampan dan halus budi bahasanya itu amat baik
kepadaku, bahkan dia mengaku cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku. Aku
bodoh sekali, Kong-kong, aku terpikat dan tertarik kepadanya.
Aku percaya padanya. Baru kemudian aku mendengar dia
bicara dengan tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit-sian, dan baru aku
ketahui bahwa dia hanya ingin mempergunakan tenagaku. Dia bermaksud mengambil aku
sebagai seorang selirnya dan memanfaatkan tenagaku untuk membantu dia dalam perebutan
kekuasaan itu.
Aih, Kong-kong,
perasaan ku sakit sekali. Bahkan ketika aku hendak pergi meninggalkan dia,Pangeran
Cu Kiong hendak menahanku dengan paksa,mengerahkan tujuh orang pengawalnya
untuk mengeroyok dan menangkap aku. Aku melawan akan tetapi nyaris aku celaka
di tangan tujuh orang yang cukup tangguh itu kalau tidak muncul Bun-ko yang
membantuku."
"Ah, jadi Yan Bun menyusulmu dan dapat
menolongmu?"
"Benar, Kong-kong. Dengan bantuan Bun-ko akhirnya
kami dapat merobohkan empat dari tujuh orang Kam-keng Chit-sian itu. Kemudian
kami meninggalkan gedung Pangeran Cu Kiong dan aku lalu pergi mencarimu,
Kong-kong."
"Hemm, lalu bagaimana dengan Pangeran Cu Kiong"
Engkau tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya?"
Thian Hwa menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tega membunuhnya."
"Hemm, engkau masih mencintanya, Thian Hwa?"
Tanya
kakek itu dengan alis berkerut.Thian Hwa menghela napas
lagi. "Aku memang mencintanya, Kong-kong, akan
tetapi aku juga membencinya!"
"Siancai....! Kasihan, Cucuku mulai menjadi
permainan cinta. Dan bagaimana dengan Yan Bun" Setelah dia menolongmu,
lalu di mana dia?"
"Kami berpisah, Kong-kong dan Bun-ko... dia pun
berterus terang bahwa dia dan Paman Ui Hauw mengharapkan agar aku menjadi
jodohnya. Akan tetapi aku menolak, Kong-kong,karena selain aku sama sekali
tidak mempunyai perasaan lain terhadap Bun-ko kecuali merasa dia sebaga
kakakku, juga aku merasa muak kepada laki-laki yang cintanya palsu seperti kutemui
pada diri Ayah kandungku sendiri dan pada Pangeran Cu Kiong! Aku merasa jera
untuk jatuh cinta lagi, Kong-kong!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku dapat memahami perasaanmu,
Thian Hwa. Dikecewakan dalam hubungan cinta memang menyakitkan sekali dan
membuat kita merasa jera.
Akan tetapi, perasaan itu sama sekali tidak benar, T hian
Hwa.
Aku sendiri sudah merasakan. Karena jera akibat cinta
gagal, aku membujang selama hidup dan akibatnya, aku tidak mempunyai keturunan.
Untung aku menemukan engkau,kalau tidak, di masa tuaku ini aku akan hidup
sebatang kara dan bukan tidak mungkin matiku nanti akan terlantar karena tidak
ada keluarga yang merawat."
"Kong-kong! Jadi Kong-kong juga pernah gagal dalam cinta"
Bagaimana riwayatnya, Kong-kong" Siapa wanita yang pernah engkau
cinta?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Sesungguhnya
cerita lama itu sudah tak pernah kuingat lagi, Thian Hwa. Akan tetapi agar
dapat engkau jadikan bahan pertimbangan, boleh juga kau ketahui. Dua puluh tahun
lebih yang lalu aku pernah saling mencinta dengan seorang pendekar wanita yang
lihai.
Ilmu silatnya setingkat denganku dan kami sudah saling berjanji
untuk menjadi suami isteri."
"Siapakah nama pendekar wanita itu, Kong-kong?"
"Namanya" Aih, mengapa engkau menanyakan
namanya segala" Baiklah, namanya Souw Lan Hui, murid Bu-tongpai dan di dunia
kang-ouw ia mendapat julukan Sin Hong-cu (Burung Hong Sakti)."
"Uih! T entu ia secantik burung Hong!"
Thian Bong Sianjin menghela napas. 'Siancai! Ia memang cantik
dan pada waktu itu aku merasa bangga dan bahagia sekali. Akan tetapi segala sesuatu
tidaklah abadi. Pada suatu hari kami bertemu dengan seorang pangeran muda.
Begitu bertemu, mereka saling tergila-gila dan kami pun berpisah.
Ia menikah dengan
pangeran itu!"
"Ihh! Kenapa begitu" Cintanya kepada Kong-kong
hanya palsu!" seru Thian Hwa penasaran. "Siapa sih pangeran itu"
Hemm, tidak urung dia akan disia-siakan seperti halnya
Ibu kandungku!"
"Tak perlu diketahui siapa pangeran itu. Dugaanmu
keliru.
Siapa orangnya berani mempermainkan Si Burung Hong
Sakti"
Kalau pangeran itu berani mengambil seorang selir saja,
pasti dia akan menjadi korban siang-kiam (sepasang pedang) Souw Lan Hui!
Apalagi sampai berani menyia-ny iakan! Dan tentang kepalsuan cinta, Cucuku, semua
cinta yang dimiliki manusia dan yang didorong nafsu semuanya berpamrih,
semuanya palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang suka mempermainkan cinta, wanita pun ada.
semuanya palsu. Engkau tahu sekarang, bukan hanya laki-laki saja yang suka mempermainkan cinta, wanita pun ada.
Jadi, jangan menganggap
semua laki-laki itu tukang mempermainkan cinta dan wanita!
Sudahlah, sekarang engkau masih amat muda, baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran Ciu Wan Kong itu jelas adalah
Sudahlah, sekarang engkau masih amat muda, baru delapan belas tahun. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kita membicarakan orang tuamu. Pangeran Ciu Wan Kong itu jelas adalah
Ayah kandungmu dan engkaubermarga Ciu, keturunan seorang
pangeran!"
"Aku tidak sudi menggunakan marga pangeran yang
jahat dan yang mengusir Ibu kandungku, menyebabkan kematian Ibuku!" T hian
Hwa berkata ketus.
"Nanti dulu, Thian Hwa. Melihat dia masih berduka
dan mengingat Ibumu, berarti dia mencinta Ibumu. Perlu kauketahui dulu mengapa
Ibumu dulu diusir dan siapa yang mengusirnya. Mungkin Cui Sam, Kakekmu itu
dapat menceritakannya. Selain itu, belum tentu pula kalau Ibumu sudah
mati."
"Eh" Apa maksudmu, Kong-kong?"
"Dulu, ketika aku menemukan engkau yang masih bayi,kupikir
tentu ada orang-orang dewasa yang hanyut pula.
Mungkin orang tuamu. Maka aku sudah berusaha mencari,akan
tetapi tidak menemukan sebuah pun mayat terapung.Bukan mustahil kalau Ibumu
juga dapat menyelamatkan diri seperti Kakekmu itu, atau mungkin juga
diselamatkan orang,seperti engkau kuselamatkan."
"Ahh....!" Wajah gadis itu berseri, matanya
bersinar-sinar penuh harapan. "Kalau begitu, aku akan mencarinya, Kong-kong!"
"Tenang dulu, Thian Hwa. Agaknya, untuk menyelidiki tentang Ibumu, engkau
harus mulai dari kota raja, menemui Kakekmu. Dan mengingat akan pengalamanmu di
kota raja, di sana sedang terjadi pertentangan dan persaingan dalam memperebutkan
kekuasaan dan di sana terdapat orang-orang pandai yang mungkin akan mengancam
keselamatanmu.
Oleh karena itu, sebelum engkau pergi lagi, perlu sekali
engkau memperdalam ilmu kepandaianmu. Akan kuajarkan semua ilmu yang kukuasai
agar kepandaianmu meningkat dan tidak mudah engkau tertimpa bencana."
Thian Hwa tidak berani membantah dan ia memang maklum
bahwa di kota raja banyak terdapat orang pandai yang jahat, maka perlu ia membekali
diri dengan kepandaian yang tinggi. Maka mulai hari itu, ia tekun memperdalam ilmunya
dibawah gemblengan Thian Bong Sianjin yang amat mengasihinya.
Sejak jaman kuno sekali, Cina memang memiliki kebudayaan
yang sangat tinggi.
Maka tidaklah mengherankan apabila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, sepertibangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, setelah menjajah Cina mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina. Para penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih banyak dari pada jumlah rakyat penjajah.
Maka tidaklah mengherankan apabila bangsa-bangsa yang pernah menjajah Cina, sepertibangsa Kin dan bangsa Mongol dahulu, setelah menjajah Cina mereka itu malah terseret oleh kebudayaan Cina. Para penjajah itu tidak mungkin dapat mengubah kebudayaan dan dari rakyat Cina yang jumlahnya berpuluh kali lipat lebih banyak dari pada jumlah rakyat penjajah.
Karena kebudayaan Cina memang lebih tinggi, pula untuk
dapat menyesuaikan diri sehingga cepat menarik hati dan menguasai rakat Cina dengan
baik, para penjajah itu mengubah diri menjadi Cina,baik budayanya, adat istiadat,
sastra dan bahasanya, bahkan namanya!
Demikian pula dengan bangsa Mancu. Biarpun bangsa Mancu
telah menguasai sebagian besar daratan Cina bagian utara, yaitu dengan perbatasan
Sungai Yang-ce ke utara,sedangkan bagian selatan Surgai Yang-ce masih dikuasai
sisa pendukung Kerajaan Beng yang dipimpin oleh Wu Sam Kwi di barat daya dengan
ibu kota Yunnan-hu dan dua orang pemimpin rakyat lain yang tidak begitu besar
kekuatannya,namun tetap saja penjajah Mancu juga menyesuaikan diri dengan tata-cara
hidup bangsa pribumi Han.
Bahkan terkenal ejekan di antara para pendekar pejuang
pribumi Han bahwa para pangeran, bangsawan dan pembesar tinggi penjajah
Mancu itu menjadi "lebih Cina daripada pribumi Cina
sendiri"!
Namun, siasat penjajah Mancu ini memang berhasil, karena dengan
membaurkan diri dengan pribumi Han, Kerajaan Ceng (Mancu) ini menarik simpati
orang-orang Han. Kerajaan Ceng menghargai orang-orang pribumi yang memiliki
kepandaian tinggi, memberi mereka kedudukan penting.
Pemerintah Mancu memang mengharuskan rakyat yang
laki-laki memelihara rambut yang dikuncir, akan tetapi mereka sendiri, para
pangeran dan bangsawan, juga menggunakan kebiasaan ini sehingga rakyat Han tidak
merasa terhina. Pula, para bangsawan itu sengaja mengubah nama Mancu menjadi
nama Cina sehingga sukarlah diketahui apakah seorang pembesar itu berdarah
Mancu ataukah Han, apalagi karena orang-orang Mancu itu juga memakai bahasa Han
dan tata-cara hidup dan kebudayaan Han!
Pada waktu kisah ini terjadi, yang menjadi kaisar
Kerajaan Ceng (Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661). Ketika Thian Hwa
memperdalam ilmu-ilmunya di atas bukit di Lembah Huang-ho, pada waktu itu
Kaisar Shun Chi sudah tua.
Kaisar ini memang berwatak lemah sehingga dia mudah dipengaruhi
oleh para Thaikam (Sida-sida, orang kebiri), yang menjadi pengurus terpercaya
dalam istana. Kaisar Shun Chi bagaikan boneka dan jalannya pemerintahan seolah dikendalikan
para Thaikam
. Pada waktu itu, Kepala Thaikam yang menjadi penasehat
utama kaisar adalah seorang Sida-sida bernama Boan Kit yang berusia lima puluh
tahun. Boan Kit yang biasa disebut Boan Thaijin (Pembesar Boan) adalah seorang
yang amat cerdik. Dia pandai membawa diri, bersikap merendah dan menjilat di
depan Kaisar Shun Chi akan tetapi bersikap agung dan berwibawa di depan para
pembesar sehingga mereka semua segan dan tunduk padanya. Selain pandai dan
cerdik, juga Boan Kit yang peranakan Mancu/Han ini adalah seorang ahli silat
yang amat lihai dan juga dia memiliki kemampuan ilmu sihir.
Karena pengaruh sihirnya itulah maka Kaisar Shun Chi semakin
tunduk dan percaya padanya.
Kaisar Shun Chi menjadi semakin lemah dan tidak mengacuhkan
urusan pemerintahan ketika dia semakin tertarik dengan pelajaran Agama Buddha.
Dia menganggap bahwa semua urusan duniawi hanya menyeretnya ke dalam pertentangan,
kemelekatan dan duka nestapa.
Yang lebih sering dilakukan hanyalah berdoa dan
bermeditasi.Inilah sebab utama terjadinya persaingan di antara para pangeran
untuk memperebutkan tahta kerajaan itu. Kaisar Shun Chi lemah dan tidak
mempedulikan, bahkan agaknya pernah mengatakan siapa yang akan menggantikannya.
Kekuasaan berada di tangan para Thai-kam, atau lebih
tepat lagi, di tangan Thaikam Boan atau Boan Thaijin!
Thaikam Boan Kit bukan seorang bodoh. Tidak, dia cerdik bukan
main. Tentu saja dia maklum bahwa, sebagai seorang Thaikam, tidak mungkin dia
akan dapat menggantikan kedudukan Kaisar.
Kalau dia merampas kedudukan Kaisar, semua pangeran pasti
akan mengeroyok dan menumpasnya. Maka dia harus mengadakan pilihan, kiranya siapa
yang patut dijagokan sebagai pengganti kaisar yang sudah tua itu, tentu saja seorang
kaisar baru yang akan dapat dia kuasai pula!
Dan sudah sejak beberapa bulan dia menjatuhkan pilihannya
kepada Pangeran Leng Kok Cun! Pangeran Leng Kok Cun yang berusia empat puluh
tahun itu adalah putera seorang selir kaisar yang ke tujuh.
Menurut urut-urutan para pangeran,tidak mungkin dia yang
akan diberi hak menggantikan ayahandanya kelak. Pangeran Leng Kok Cun berambisi
besar untuk kelak menggantikan kedudukan kaisar dan tentu saja dia menjadi
semakin bersemangat ketika Thaikam Boan Kit mengulurkan tangan untuk mengadakan
kerja sama.
Tentu saja dengan perjanjian kelak Thaikam Boan Kit yang
akan menjadi penasehat utama atau istilahnya Kok-su (Guru Negara) yang akan
mengatur semua politik yang dikeluarkan kaisar yang berkuasa! Dengan penuh
semangat,
Pangeran Leng Kok Cun lalu mengerahkan segala daya untuk
memperkuat diri. Dia bahkan mengundang orang-orang yang sakti untuk
membantunya, dan menyerahkan kepada Pat-chiu Lo-mo untuk menghubungi para
jagoan itu.
Selain Pangeran Leng Kok Cun, yang ingin sekali dapat mewarisi
tahta kerajaan adalah Pangeran Cu Kiong, putera dari selir ke tiga dari Kaisar
Shun Chi. Tidak seperti Pangeran Leng Kok Cun yang tidak mempunyai harapan
untuk menjadi kaisar kecuali dia melakukan pemberontakan atau merebut dengan
kekerasan, Pangeran Cu Klong lebih banyak harapan.
Saingannya hanya seorang saja, yaitu Pangeran Kang Shi,putera
Kaisar Shun Chi dari permaisuri. Akan tetapi saingan utamanya ini, yang tentu
saja berhak menjadi putera mahkota, baru berusia sembilan tahun! Dan selir ke
dua hanya mempunyai seorang puteri.
Maka, dia mempunyai harapanbesar, setidaknya menjadi
penjabat kaisar atau untuk sementara mewakili kaisar yang - masih belum cukup
umur!
Karena itu, Pangeran Cu Kiong berusaha sedapat mungkin untuk
menyenangkan hati ayahandanya Kaisar Shun Chi dan tentu saja dia menentang
gerakan Pangeran Leng Kok Cun!
Adapun Pangeran Kang Shi yang berusia sembilan tahun itu sejak
berusia lima tahun oleh Kaisar Shun Chi telah diserahkan kepada adiknya untuk
mendidiknya. Kaisar mengenal adiknya,
Pangeran Bouw Hun Ki yang kini berusia sekitar lima puluh
dua tahun, sebagal seorang pangeran yang jujur, ahli sastra dan tata-negara,
juga saling mengasihi dengan dia.
Selain itu, Pangeran Bouw Hun Ki memiliki seorang putera
yang terkenal sebagai seorang ahli silat yang amat tangguh sehingga tidak pernah
ada orang-orang jahat berani mengganggu Pangeran Bouw Hun Ki sekeluarga. Putera
Pangeran Bouw Hun Ki ini bernama Bouw Kun Liong, berusia sekitar dua puluh tiga
tahun dan orang-orang mengenalnya sebagai Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw) dan
semua orang segan dan menghormatinya karena pemuda ini biarpun terkenal lihai, sikapnya
ramah dan lembut.
Biarpun dia sendiri lemah dan tidak mengacuhkan pemerintahan,
agaknya Kaisar Shun Chi merasa bahwa di antara para pangeran terjadi
pertentangan secara diam-diam.
Sebagai seorang ayah dia dapat merasakan hal ini. Untuk urusan
pemerintahan dia memang lebih condong menuruti nasehat Thaikam Boan Kit. Akan
tetapi untuk urusan keluarga dia lebih percaya kepada adiknya, yaitu Pangeran
Bouw Han Ki.
Pada suatu malam diam-diam dia mengundang Pangeran Bouw
Hun Ki datang ke istana dan diajak bicara empat mata dalam kamarnya. Dalam
kamar itu, tanpa didengar atau dilihat orang lain, Kaisar Shun Chi memesan
wanti-wanti kepada adiknya itu agar membimbing, melindungi dan membela Pangeran
Kang Shi sebagai putera mahkota yang kelak berhak penuh untuk menggantikan dia
sebagai kaisar.
Dalam kesempatan ini, Pangeran Bouw Hun Ki bersumpah
setia untuk mentaati perintah kaisar. Setelah meninggalkan pesan ini,barulah
hati Ka isar Shun Chi menjadi tenang.Pangeran Ciu Wan Kong adalah adik Kaisar
Shun Chi dan adik Pangeran Bouw Hun Ki pula. Biarpun kini Pangeran Ciu Wan Kong
tidak mau memegang jabatan dan tampak lemah, namun dia juga seorang pangeran
yang setia-kepada Kaisar
Shun Chi.
Beberapa kali Pangeran Leng Kok Cun mencoba untuk
membujuknya agar pamannya itu suka menjadi pendukungnya seperti beberapa orang
pangeran dan bangsawan lain yang dapat dia pengaruhi. Dukungan Pangeran Ciu Wan
Kong tentu saja amat penting karena sebagai adik kaisar, tentu saja suara
pangeran ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat.
Namun Pangeran Ciu Wan Kongbukan saja menolak keras
bujukan itu, bahkan dia sering menegur keponakannya yang ambisius itu. Tentu
saja hal ini membuat Pangeran Leng Kok Cun membenci pamannya itu dan menganggap
bahwa Pangeran Ciu Wan Kong merupakan seorang di antara mereka yang menjadi
penghalang ambisinya. Sang Waktu lewat seperti biasa, wajar dan sesungguhnya cepat
atau lambat tergantung kepada kita yang merasakan dan menilainya.
Akan tampak lama
sekali kalau kita tergesa-gesa menantikan sesatu dan memperhatikan waktu,sebaliknya
akan tampak cepat bukan main kalau kita tidak memperhatikannya.
Karena tidak diperhatikan, Sang Waktu melesat dengan cepatnya
sehingga tahu-tahu setahun telah lewat semenjak Thian Hwa tinggal bersama Thian
Bong Sianjin di bukit kecil di Lembah Huang-ho. Bukit itu dinamai Yang-liu-san
(Bukit Pohon Cemara) karena di situ banyak ditumbuhi pohon cemara beraneka macam.
Karena memang sesungguhnya Thian Hwa telah mencapai tingkat
tinggi dalam ilmu silatnya, maka yang masih dapat diajarkan Thian Bong Sianjin
hanya sedikit, namun yang sedikit itu menyempurnakan ilmu kepandaian Thian Hwa.
Kini, setelah selama setahun ia digembleng dan berlatih dengan tekun tak
mengenal jenuh dan lelah, akhirnya tingkat kepandaian gadis yang kini berusia sembilan
belas tahun itu sudah seimbang dengan tingkat yang dikuasai Thian Bong Sianjin
sendiri! Ilmu pedang Kwan-im.
Kiam-hoat yang dikuasa inya semakin dahsyat, juga ilmu pedang
Huang-ho Kiam-hoat yang merupakan hasil gubahan Thian Bong Sianjin sendiri,
telah dikuasai dengan amat baiknya. Selain kedua ilmu pedang andalannya ini,
juga ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan
Sembilan) merupakan ilmu yang amat cepat gerakannya sehingga kalau ia mainkan,
seolah-olah ia memiliki sembilan buah lengan! Di samping itu semua, Sin-kang (Tenaga
Sakti), Khi-kang (T enaga Hawa Murni), Lwee-kang (Tenaga Dalam), dan Gin-kang
(Ilmu Meringankan Tubuh) telah diperkuat dengan latihan yang tekun siang malam.
Masih ada sebuah
ilmu andalannya, yaitu menggunakan Pek-hwa-
ciam (Jarum Bunga Putih), yang berupa senjata rahasia
jarum
dengan kepala bunga putih kecil.
Pada hari itu, Thian Bong Sianjin dihadap murid yang juga
cucu angkatnya ini. Mereka duduk bersila berhadapan di atas bangku di ruangan
depan kuil yang kini menjadi tempat tinggal Thian Bong Sianjin. Thian Hwa
mengenakan pakaian putih sehingga ia tampak bersih dan cantik segar, dengan pedang
tergantung di punggungnya dan sebuah buntalan pakaian berada di atas meja.
Kiranya gadis ini sudah siap untuk melakukan perjalanan dan kini ia menerima
pesan dan nasehat gurunya atau juga kakek angkatnya.
"Thian Hwa, kiranya semua pesan dan nasehatku yang
lalu masih engkau ingat semua. Yang perlu kuulangi lagi agar tidak akan
kaulupakan ialah agar engkau selalu bertindak sebagai seorang pendekar sejati.
Ingat baik-baik, Thian Hwa.
Sekarang bukan waktunya lagi untuk memperjuangkan tanah air
dari tangan penjajah. Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu) terlalu kuat dan
agaknya, pemberontakan tidak akan berhasil.
Lihat saja betapa kini kekuatan Wu Sam Kwi makin me lemah
dan dia, seperti juga para raja kecil di selatan, bukan lagi memperjuangkan
kemerdekaan tanah air, melainkan memperjuangkan kekuasaan dan kesenangan diri
masing- masing. Aku mendengar bahwa bangsa Mancu menghargai kebudayaan Han,
bahkan mereka seolah melebur diri menjadi sama dengan bangsa pribumi.
Ini pertanda yang baik. Kalau memang mereka merupakan penguasa
yang adil dan mencinta rakyat, juga suka mempergunakan tenaga pribu.ni untuk mengatur
negara, maka kita tidak perlu menentang mereka.
Engkau bertindak saja seperti seorang pendekar pembela keadilan
dan kebenaran. Siapa yang jahat, tidak peduli dia bangsa dan golongan apa,
sepatutnya engkau tentang.
Sebaliknya, belalah mereka yang lemah tertindas, tidak
peduli dia bangsa apa. Ingat, engkau sendiri pun mempunyai darah Mancu, bahkan
Ayah kandungmu seorang Pangeran Mancu, akan tetapi Ibumu seorang wanita Han.
Maka, jangan
biarkan dirimu terseret ke dalam pertentangan antar bangsa,melainkan
tempatkanlah dirimu di pihak kebenaran. Dan ingat,Cucuku, bagaimanapun juga,
Pangeran Ciu Wan Kong adalah Ayah kandungmu. Bersikaplah bijaksana terhadap
Ayah kandungmu.
Kalau dia ternyata seorang yang baik budi,andaikata dia
dulu bersalah terhadap Ibumu, bersikaplah untuk memaafkannya. Sebaliknya kalau
dia terperosok ke dalam kejahatan, sudah menjadi kewajibanmu sebagai anak yang
berbakti, engkau harus menyadarkan dan mengingatkannya. Jangan lupakan pesanku
ini, Thian Hwa."
"Baik, Kong-kong. Aku akan selalu menaati semuapesanmu.
Selama aku pergi, harap Kong-kong suka menjaga diri baik-baik."
"Jangan khawatir, Thian Hwa. Tanah di sini subur dan
sungainya mengandung banyak ikan. Aku tidak akan kekurangan. Agaknya, aku sudah
bosan merantau dan akan menetap di Bukit Cemara ini. Aku akan selalu berada di
sini kalau engkau ingat padaku dan ingin menemuiku."
Setelah berpamit dari kakeknya, Thian Hwa menuruni Bukit Cemara.
Pagi itu cerah dan pemandangan dari atas bukit itu amat indahnya. Dari puncak
tampak Sungai Huang-ho yang amat lebar. Airnya memantulkan s inar matahari pagi
sehingga menyilaukan mata. Thian Hwa kini berusia sembilan belas tahun.
Pakaiannya tetap serba putih, dari sutera. Rambutnya disanggul
secara sederhana, diikat tali sanggul berwarna merah muda. Ikat pinggangnya
seperti akan membelah pinggangnya yang ramping. Menaati pesan Thian Bong Sianjin,
kini disembunyikan nya pedangnya dalam buntalan pakaian.
Memang pada jaman itu, Pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu)
melarang orang membawa senjata tajam, maka untuk menjaga agar jangan memancing
keributan, Thian Hwa oleh gurunya dipesan agar tidak membawa pedangnya secara mencolok.
Buntalan pakaiannya itu digendong di belakang punggung dan ia tampak cantik
jelita ketika menuruni puncak Yang-liu-san. Bagaikan setangkai bunga sedang
mekar, Thian Hwa memang cantik menarik. Wajahnya berbentuk bulat telur berkulit
putih mulus, di sana sini kemerahan tanda sehat.
Rambutnya hitam lebat dan panjang, halus seperti benang sutera
dan terawat bersih. Anak rambut halus berjuntai di atas dahinya dan melingkar
di kedua pelipisnya, membuat sepasang telinga yang bentuknya indah itu tampak
semakin manis. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis hasil lukisan
alam yang sewajarnya tidak dibuat tangan manusia namun amat indahnya.
Sepasang matanya bening dan jeli, sinarnya tajam dan
terkadang mencorong membayangkan keberanian dan wibawa yang kuat. Bulu matanya
panjang lentik membuat bayang-bayang di bawah matanya.
Hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak menjungat ke
atas berkesan agung. Mulutnya merupakan bagian yang paling menarik. Mulutnya
menggairahkan, dengan sepasang bibir yang lembut dan penuh, kulitnya tipis
bagaikan buah yang masak, merah tanpa gincu.
Kalau tersenyum tampak kilatan gigi yang berderet rapi
dan putih seperti mutiara.
Lebih manis lagi mulut itu karena ada lesung pipi di
kanan kirinya dan dagunya agak meruncing.
Bentuk tubuh dara ini menambah daya tarik yang
menggairahkan. Ramping padat dengan lekuk lengkung sempurna seorang wanita yang
sedang tumbuh dewasa!
Seperti terbang cepatnya ia lari menuruni Bukit Cemara
dan tak lama kemudian ia telah berdiri di tepi Sungai Huang-ho.
Beberapa lamanya ia berdiri di tepi sungai yang sunyi
itu, menanti kalau-kalau ada perahu lewat.
Akan tetapi setelah cukup lama menanti dan tidak ada
perahu yang dapat ditumpanginya ke hilir, Thian Hwa lalu memotong batang pohon
cemara yang cukup besar, membuat sepasang kayu papan peluncur dan sebatang
ranting panjang untuk dayung.
Setelah terompah peluncur itu selesa i dibuatnya, ia lalu
melanjutkan perjalanan dengan bersilancar di atas air dengan amat cepatnya.
Karena kini ia me lakukan perjalanan bersilancar mengikuti arus sungai ke
hilir, maka tentu saja ia tidak perlu menggunakan banyak tenaga.
Beberapa hari kemudian Thian Hwa tiba di Terusan Besar yang
menghubungkan Sungai Huang-ho ke utara. Ia lalu melanjutkan perjalanan melalui
daratan, menyusuri sepanjang Terusan ke utara karena di Terusan itu terdapat
banyak perahu dan ia tidak ingin menarik perhatian orang dengan bersilancar.
Pada suatu pagi, setelah me lewatkan malam di sebuah dusun,
Thian Hwa me lanjutkan perjalanan dan kota besar Thian-cin sudah tinggal
belasan mil lagi. Ia melalui jalan yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar suara
ribut-ribut di depan
ketika ia memasuki daerah berhutan. Karena suara
ribut-ribut itu seperti suara orang berkelahi, Thian Hwa mempercepat langkahnya
menuju ke arah suara.
Setelah tiba di tempat perkelahian yang agak jauh dari jalan
sepanjang Terusan, Thian Hwa mengintai dari balik pohon besar, dan melihat seorang
pemuda berpakaian serba kuning dikeroyok oleh dua orang dan ada dua belas orang
berpakaian tentara Mancu berjaga-jaga dan mengepung dalam lingkaran besar.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh empat tahun,
bertubuh sedang dan wajahnya tampan.
Dengan memegang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak)
pendek pemuda itu menghadapi pengeroyokan dua orang dan gerakannya mantap dan
kokoh.
Dari kedudukan kuda-kuda
kaki dan gerakan silatnya, Thian Hwa yang sudah mendapat banyak petunjuk dari
Thian Bong Sianjin segera mengenal bahwa pemuda gagah itu tentu seorang murid Siauw-pim-pai
yang tangguh.
Akan tetapi ketika ia memandang kepada dua orang yang mengeroyok
pemuda itu, ia mengerutkan alisnya. Ia segera mengenal dua orang itu. Yang
seorang berusia sekitar empat puluh dua tahun, bertubuh gemuk pendek dan
berwajah sombong, yang bukan lain adalah Phang Houw yang berjuluk Hui-eng-to
(Si Goiok Elang Terbang) orang yang pernah bertempur dengannya ketika
mengunjungi Perkumpulan Liong-bu-pang di kota Tui-lok sekitar satu setengah
tahun yang lalu.
Adapun orang ke dua yang mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai
itu adalah Louw Cin, Ketua Liong-bu-pang! Ia tahu betul bahwa dua orang itu
adalah kaki tangan atau para pendukung Pangeran Leng Kok Cun dan melihat se
losin orang tentara Mancu mengepung tempat perkelahian itu, tahulah ia bahwa
pemuda Siauw-lim-pai itu tentu dianggap musuh pula oleh mereka.
Kagum juga hati Thian Hwa melihat sepak terjang pemuda Siauw-lim-pai
itu. Dengan gagahnya dia melawan dua orang pengeroyoknya. Phang Houw yang
bersenjata golok besar dan berat itu ia anggap tidak berbahaya, hanya sombong
saja.
Akan tetapi Ketua Liong-bu-pang, yaitu Louw Cin yang
tinggi kurus dan berusia empat puluh tahun lebih itu merupakan lawan yang cukup
berbahaya. Ketua Liong-bu-pang ini memegang senjata sebatang ruyung yang
berduri dan terbuat dari baja sehingga tampak berat dan menyeramkan.
Akan tetapi pemuda Siauw-lim-pai itu me lakukan
perlawanan gigih.
Sepasang tombak cagaknya yang hanya sepanjang lengan digerakkan
dengan mantap sekali. Setiap kali dia menangkis serangan lawan, terdengar suara
berdentang nyaring dan bunga api berpijar berhamburan. Phang Houw selalu tampak
tergetar setiap kali goloknya tertangkis tombak cagak, menunjukkan bahwa dia kalah
kuat. Akan tetapi Louw Cin dapat mengimbangi tenaga pemuda Siauw-lim-pai itu.
Pertandingan satu lawan dua itu berlangsung amat serunya dan
setiap serangan kedua pihak merupakan ancaman maut.
Biarpun di dalam hatinya Tl.ian Hwa tentu saja berpihak kepada
pemuda Siauw-lim-pai karena ia memang tidak suka kepada para pendukung Pangeran
Leng Kok Cun yang hendak membentak itu, namun melihat betapa pemuda
Siauw-lim-pai itu cukup tangguh, untuk membela diri, maka Thian Hwa juga tidak
turun tangan membantu pemuda itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Louw Cin memberi komando kepada pasukan
Mancu yang terdiri dari selosin perajurit itu dan segera pasukan itu maju
mengeroyok Si Pemuda! Melihat ini, tentu
saja Thian Hwa merasa penasaran dan ia sudah siap untuk terjun ke dalam pertempuran
membantu pemuda Siauw-lim-pai yang kini dikeroyok empat belas orang itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan
tampak sesosok bayangan berkelebat didahului sinar merah. Thian Hwa menahan
diri tidak jadi turun tangan membantu dan ia melihat betapa sinar merah
bergulung-gulung dan menyambar-nyambar, mengamuk di antara para perajurlt
Mancu.
Ke mana pun sinar merah menyambar, tentu ada seorang
perajurit yang roboh! Ketika ia memperhatikan,Thian Hwa melihat bahwa bayangan
dengan sinar merah itu adalah seorang wanita muda cantik jelita yang memegang sebuah
payung berwarna merah.
Hebat bukan main wanita itu, payung merahnya yang indah
itu setiap kali menyambar,tentu merobohkan seorang perajurit dan ternyata bahwa
gagang payung merah itu merupakan sebatang pedang yang ujungnya menonjol di
atas payung! Wanita itu usianya sekitar dua puluh satu atau dua puluh dua
tahun, tampak masih muda dan cantik sekali walaupun sikap,pandang mata dan senyumnya
yang mengandung ejekan itu menunjukkan bahwa ia seorang yang telah matang dalam
pengalaman hidup.
Tubuhnya ramping dan menggairahkan, agak tinggi.
Rambutnya digelung ke atas model rambut puteri bangsawan. Pakaiannya juga indah
mewah, dengan perhiasan lengkap, anting-anting, tusuk sanggul emas permata,
kalung, gelang kemala, cincin permata, pendeknya serba lengkap, mewah dan
indah.
Akan tetapi T hian Hwa harus mengakui bahwa wanita itu
lihai bukan main.
Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagaipelengkap dandanannya karena payung itu merah dan berbentuk indah, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.
Senjatanya berupa payung pedang itu dapat dipakai sebagai pelindung sinar matahari dan hujan, juga sebagaipelengkap dandanannya karena payung itu merah dan berbentuk indah, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Payung itu dapat dipergunakan sebagai perisai merangkap pedang dan amat berbahaya bagi lawan.
Dengan lincahnya gadis berpayung merah itu mengamuk dan
dua belas orang perajurit Mancu itu kocar-kacir! Sebentar saja sudah enam orang
perajurit roboh oleh gadis itu. Melihat ini, para perajurit yang tinggal enam
orang lagi menjadi jerih.Juga Louw Cin dan Phang Houw agaknya menjadi gentar
juga.
Baru mengeroyok pemuda Siauw-lim-pai itu saja sudah sukar
untuk mengalahkannya, sekarang muncul gadis yang aneh dan lihai bukan main itu!
Maka, maklum akan bahaya yang mengancam mereka, Louw Cin dan Phang Houw lalu berloncatan
jauh meninggalkan lawannya. Enam orang tentara Mancu juga mengambil langkah
seribu mengikuti dua orang pemimpin mereka.
Tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda. Agaknya
mereka menambatkan kuda mereka tak jauh dari situ ketika menghadang dan
menyerang pemuda Siauw- lim-pai tadi dan kini mereka kabur menunggang kuda, meninggalkan
enam orang anggauta pasukan yang telah tewas di tangan wanita bersenjata payung
itu!
Pemuda Siauw-lim-pai itu kini berdiri berhadapan dengan penolongnya.
Dia menggantungkan kembali siang-kek di punggungnya dan mengangkat kedua
tangannya menjura kepada gadis berpayung itu.
"Bantuan Nona yang amat berharga telah menyelamatkan
nyawaku dan aku Bu Kong Liang mengucapkan banyak terima kasih." Gadis
berpakaian sutera hijau berkembang merah itu tersenyum dan senyumnya amat
manis, matanya yang jeli seperti mata Burung Hong itu mengerling dengan agak
genit.
"Bu-enghiong (Pendekar Bu), tidak enak bicara di
depan mayat-mayat ini, mari kita mencari tempat yang bersih di mana kita bicara
dengan nyaman." kata gadis itu sambil memanggul payungnya untuk melindungi
wajah dan lehernya dari sinar matahari yang mulai menghangat. Kemudian ia berjalan
cepat meninggalkan hutan itu ke utara.
Pemuda itu mengikutinya. Thian Hwa juga membayangi dari
jauh. Ia sendiri juga sedang menuju ke utara, maka perjalanan mereka searah dan
ia. memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda dan gadis itu dan mengapa mereka
bertentangan dengan anak buah Pangeran Leng Kok Cun.
Ketika melihat dua orang, itu berhenti di tepi Sungai Terusan,
di tempat yang sunyi, Thian Hwa juga berhenti dan bersembunyi di balik sebuah
batu besar. Mereka telah meninggalkan tempat tadi sejauh sekitar dua mil.
Pemuda itu duduk
di atas batu di tepi sungai, akan tetapi wanita cantik itu masih berdiri,
menutup payungnya karena tempat itu cukup teduh, sinar matahari terhalang
daun-daun pohon. Tiba-tiba gadis itu menggerakkan kakinya mencokel sebuah batu sebesar
kepalan tangan dan batu itu dengan amat cepatnya meluncur ke arah kepala Thian
Hwa yang keluar dari balik batu besar!
"Wuuuuuttt...
plakk!" Batu itu kini berada di tangan kiri Thian Hwa yang menyambut sambitan
itu. Wanita itu tertawa, tawanya merdu, terkekeh seperti mengandung ejekan.
"Adik yang manis, mengapa mengikuti kami sejak
tadi"
Kalau ingin bicara, keluarlah menemui kami!"
katanya.
Thian Hwa merasa malu karena ternyata perbuatannya membayangi
sejak tadi telah ketahuan. Mungkin sejak tadi wanita itu juga mengetahui ketika
ia mengintai pemuda Siauw-iim-pai yang dikeroyok orang. Ia pun keluar dan sengaja
ia meremas hancur batu yang di-sambitkan tadi,
Diremas dalam tangannya yang mungil, batu itu hancur dan Thian
Hwa menyebarkan debunya ke atas tanah. Lalu ia melangkah dengan dada terangkat
dan kepala ditegakkan,menghampiri dua orang itu.
Gadis berpakaian sutera hijau berkembang-kembang merah itu
tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Bagusi Adik
yang manis, gin-kangmu (ilmu meringankan tubuh) ketika
membayangi kami cukup hebat dan sin-kangmu (tenaga saktimu)
ketika meremas hancur batu juga hebat. Tidak tahu di pihak manakah engkau berdiri"
Ka lau engkau kawan antek- antek Mancu tadi, jangan buang waktu lagi, seranglah
aku!"
Ditantang begitu, Thian Hwa membalas senyuman gadis itu.
Tentu saja ia tidak sudi berpihak kepada orang-orang nya
Pangeran Leng Kok Cun.
"Aku tidak berpihak siapa pun. Aku kebetulan lewat
dan menonton pertempuran. Karena tertarik kepada kalian maka aku mengikuti
kalian." katanya, jujur dan bersahaja ?.
"Bagus, kalau begitu mari kita bertiga saling
berkenalan.
Silakan duduk, Adik manis." Gadis itu duduk di atas
batu di depan pemuda Siauw-lim-pai dan Thian Hwa juga mengambil tempat duduk di
atas batu depan mereka. Biarpun ia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang
tampaknya seperti bangsawan, dan dengan seorang pemuda pendekar Siauw-lim-pai,
namun Thian Hwa tidak mau bersikap rendah diri.
Gurunya atau
kakeknya sering memesan kepadanya agar menjadi seorang gagah ia jangan
sekali-kali bersikap tinggi hati, akan tetapi juga jangan sekali-kali merasa
rendah diri.
Tinggi hati mendatangkan kesombongan dan suka sewenang-wenang
terhadap orang lain yang direndahkan, sebaliknya rendah diri mendatangkan rasa
takut dan menjadi penjilat yang di atas. Ia harus selalu rendah hati akan
tetapi harus pula menjaga tinggi harga dirinya.
Maka, berhadapan dengan dua orang muda itu, ia bersikap tenang
dan biasa saja, tidak menganggap mereka lebih tinggi atau lebih rendah.
Sejenak mereka bertiga hanya duduk diam dan saling pandang.
T hian Hwa kini dapat melihat jelas wajah dan sikap pemuda itu. Seorang pemuda
yang sikapnya gagah perkasa namun sederhana, baik pakaian maupun sikapnya.
Matanya membayangkan keteguhan hati,dan biarpun jarang tersenyum
namun wajahnya cerah. Usianya sekitar dua puluh empat tahun.
Pakaiannya berwarna kuning, dari kain kasar sederhana,
namun bersih. Gadis cantik itu sebaliknya, memiliki wajah yang penuh senyum dan
gembira, dengan sinar mata yang tajam dan nakal, mulut dengan senyumnya itu
seolah mengejek. Namun harus diakui bahwa gadis itu memiliki daya tarik yang
kuat.
"Nah, sekarang kita berkenalan dan memberitahukan
nama masing-masing. Twako (Kakak) ini bernama Bu Kong Liang seperti yang tadi
dia akui, dan aku hanya dikenal sebagai Ang-mo Niocu (Nona Berpayung Merah) dan
engkau, Adik manis, siapakah namamu?"
Karena gadis itu tidak memperkenalkan nama, hanya memperkenalkan
julukannya, maka ia pun menirunya.
"Aku biasa disebut Huang-ho Sian-li."
"Hemm, dengan julukan Dewi Sungai Huang-ho, engkau tentu
memiliki kepandaian yang hebat, Nona." kata pemuda murid Siauw-lim-pai
yang bernama Bu Kong Liang itu, ucapannya jujur dan tidak mengandung maksud
lain.
Ang-mo Niocu terkekeh. "Hi-hik, bagus sekali
julukanmu, Sian-li. Sebaiknya aku menyebutmu Sian-li saja, engkau setuju?"
Thian Hwa mengangguk, "Boleh, dan aku akan menyebutmu Niocu saja."
"He-he-heh! Bagus, engkau terbuka dan jujur, seperti
juga Bu-twako ini, aku suka itu! Nah, sekarang setelah kita berkenalan, perlu
kita menceritakan keadaan kita masing- masing, bukan" Apa artinya
mempunyai kenalan tanpa mengetahui keadaannya" Bisa menimbulkan sa lah
paham dan pertentangan. Hayo, engkau yang laki-laki sepatutnya mengalah dan
ceritakan dulu keadaan dirimu, Bu-twako!"
Bu Kong Liang tersenyum. "Baiklah, memang tidak ada rahasia
tentang diriku. Namaku Bu Kong Liang, sebatang kara di dunia ini, yatim piatu
sejak kecil. Sejak berusia lima tahun aku telah menjadi kacung dan murid di
Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim).
Setelah tamat belajar, para Suhu di Siauw-lim-pai mengutus
aku untuk pergi ke kota raja, menyelidiki keadaan kota raja setelah
pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng. Dan tadi, ketika aku sedang berjalan
menyusuri Terusan, tiba-tiba saja aku dihadang pasukan Kerajaan Ceng (Mancu)
yang hendak menangkap aku dengan tuduhan hendak melakukan pemberontakan.
Sungguh aneh! Mungkin mereka tahu dari para penyelidik
bahwa aku murid Siauw-lim-pai dan mereka mencurigai aku."
"Bagus! Biarpun riwayat itu pendek saja, namun sudah
dapat menjelaskan bahwa Bu-twako adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang
tentu saja tidak akan merendahkan diri menjadi antek penjajah Mancu! Sekarang,
bagaimana dengan engkau, Sian-li" Tiba giliranmu untuk menceritakan
keadaanmu agar kami dapat lebih mengenalmu dengan baik.
Aku percaya bahwa engkau pasti murid seorang yang amat pandai
sehingga semuda ini engkau telah memiliki gin-kang dan sin-kang sedemikian
hebatnya,"
Thian Hwa menjawab dengan tegas. "Niocu, engkau tadi
minta agar Bu-twako yang pertama memperkenalkan diri dan keadaannya, itu sudah
tepat karena memang dia yang paling tua dan sudah sepatutnya mengalah.
Sekarang, karena engkau lebih tua daripada aku, Niocu, sebaiknya engkau yang lebih
dulu menceritakan keadaanmu."
"He-he-heh, engkau ini anak yang cerdik, Sian-li. Tentu
engkau belum percaya benar padaku karena belum mengetahui siapa aku dan bagaimana
latar belakangku.
Baiklah, aku akan menceritakan keadaanku dengan
sejujurnya karena aku yakin bahwa Bu-twako dan engkau sendiri bukanlah
antek-antek penjajah Mancu, bukan orang-orang di pihak musuhku. Aku datang dari
Barat-daya, dari kota raja Yunnan-hu, dan aku adalah seorang puteri kepala suku
bangsa Yao.
Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan guruku
yang terakhir adalah Suhu Lam Hai Cinjin yang di selatan terkenal sebagai Datuk
Selatan dan kini menjabat sebagai Koksu (Guru Negara) yang membantu usaha
gerakan pasukan Jenderal Wu menentang penjajah Mancu."
"Hemm, kalau begitu engkau adalah seorang pejuang
dari selatan, Niocu?" tanya Bu Kong Liang sambil memandang kagum. Pada
waktu itu, bagi para pendekar, terutama yang datang dari selatan nama Wu Sam
Kwi merupakan nama seorang pemimpin pejuang yang patriotik, menentang penjajah
Mancu.
Ang-mo Niocu tersenyum girang dan mengangguk. "Dapat
dianggap demikian, Twako. Aku diutus oleh Jenderal Wu untuk melihat-lihat keadaan
pemerintah Kerajaan Ceng (Mancu). Maka, ketika tadi aku melihat seorang pemuda dikeroyok
tentara Mancu, tanpa ragu lagi aku membantumu.
Nah, demikianlah riwayat diriku, agar kalian berdua mengetahui
bahwa aku adalah orang yang bekerja untuk jenderal Wu Sam Kwi yang dengan gigih
hendak mempertahankan sebagiar tanah air daerah Baratdaya dan bercita-cita
membebaskan seluruh tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu.
Sekarang tiba giliranmu, Sian-li. Cerita tentang dirimu
tentu jauh lebih menarik daripada riwayat Bu- twako dan riwayatku."
"Nanti dulu, Niocu, engkau belum menceritakan apakah
Ayah Ibumu masih ada dan tinggal di mana?" tanya
Thian Hwa. Ang-mo Niocu terkekeh.
"Hi-hik! Tadi sudah kuceritakan bahwa Ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah dan Ibu masih ada dan tinggal di Yunnan-hu. Mengapa engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?"
"Hi-hik! Tadi sudah kuceritakan bahwa Ayahku adalah seorang kepala suku bangsa Yao. Ayah dan Ibu masih ada dan tinggal di Yunnan-hu. Mengapa engkau menanyakan orang tuaku, Sian-li?"
Thian Hwa menghela napas panjang. Tentu saja ia tidak dapat
menceritakan keadaan dirinya yang sesungguhnya. Dua orang ini agaknya adalah pendekar-pendekar
pejuang rakyat yang anti penjajah Mancu. Ia sendiri keturunan seorang Pangeran
Mancu, ayahnya,
Pangeran Ciu Wan Kong, adalah adik Kaisar Shun Chi yang
sekarang masih berkuasa.
Walaupun ibunya seorang wanita Han pribumi akan tetapi kalau
ia mengaku ayah kandungnya seorang Pangeran Mancu, dua orang ini pasti akan
mencurigainya, bahkan mungkin sekali akan memandangnya seperti seorang musuh!
"Niocu, riwayatku lebih tidak menarik lagi. Engkau
masih beruntung karena mempunyai orang tua. Aku, seperti Bu Twako, juga hidup
seorang diri, sebatang kara. Sejak kecil aku menjadi murid Suhu Thian Beng
Sianjin dan hidup di sepanjang Sungai Kuning (Huang-ho), menentang kejahatan dan
membela yang lemah tertindas sehingga orang-orang menyebut aku Huang-ho
Sian-li.
" Thian Hwa merasa lega karena agaknya dua orang
sahabat barunya itu tidak mengenal nama gurunya.
Bu Kong Liang bertanya, "Sian-li, tadi aku sudah menceritakan
bahwa aku diutus para Suhu di Siauw-lim-pai untuk menyelidiki keadaan di kota
raja sete lah pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu). Juga Niocu sudah menceritakan
bahwa ia menjadi utusan Jenderal Wu Sam Kwi untuk menyelidiki keadaan Kerajaan
Ceng di kota raja.
Nah,sekarang engkau sendiri hendak ke manakah" Dan apa
yang hendak kaulakukan?"
Thian Hwa menjawab dengan tegas, tanpa ragu. "Aku meninggalkan
Lembah Huang-ho untuk merantau ke tempat- tempat ramai untuk mencari pengalaman
kini sedang menuju ke kota Thian-cin."
"Kalau begitu, Sian-li, mari kita melakukan
perjalanan bersama! Engkau dapat membantu aku karena aku percaya engkau tentu
seorang pendekar wanita yang menentang penjajah Mancu!" kata Ang-mo Niocu.
Thian Hwa menggelengkan kepalanya. "Tidak, Niocu.
Aku tidak ingin melibatkan diri dalam perang. Aku hanya akan menentang mereka
yang melakukan kejahatan dan membela yang lemah tertindas, tidak peduli siapa
atau golongan mana.
Sekarang tidak ada perang lagi dan yang terpenting bagiku
adalah membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan di antara rakyat."
Ang-mo Niocu mengerutkan alisnya, tampak tak senang mendengar
ucapan Thian Hwa. "Mengapa begitu, Sian-li"
Sudah jelas bahwa bangsa Mancu itu jahat sekali, menjajah
tanah air kita. Setiap orang pendekar seharusnya menentang Kerajaan Ceng yang
menjajah!"
"Tidak, Niocu. Sekarang belum saatnya bagi rakyat
untuk bangkit melawan Kerajaan Ceng. Nanti kalau muncul seorang pemimpin
patriot sejati yang menghimpun pasukan rakyat untuk menentang dan memerangi
penjajah, barulah mungkin aku akan membantunya. Sekarang aku hanya menjadi penentang
kejahatan, bukan penentang pemerintah Kerajaan Ceng, seperti yang dipesan
Guruku."
"Ah!. Bukankah Jenderal Wu Sam Kwi merupakan pemimpin
patriot sejati" Setiap orang gagah harus membantunya untuk membebaskan
tanah air dari penjajah Mancu." Ang-mo Niocu. bicara penuh semangat.
"Kalau tidak, maka orang gagah itu membiarkan dirinya menjadi
pengkhianat!"
"Sesukamulah engkau hendak bicara apa saja, Niocu!
Akan tetapi bagiku, terus terang saja aku sekarang belum melihat adanya seorang
pemimpin sejati yang patut menghimpun kekuatan rakyat!"
"Kalau begitu engkau menghina Jenderal Besar Wu Sam Kwi,
Sian-li! Sikapmu ini dapat menimbulkan permusuhan antara kita berdua!"
"Terserah kepadamu, Niocu. Pendirianku sudah tetap
dan tidak dapat diubah lagi. Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun,
akan tetapi juga tidak akan menolak kalau ada yang memusuhi aku!"
Kata-kata Thian Hwa juga mengandung kekerasan karena ia pun sudah marah mendengar
ucapan Ang-mo Niocu yang nadanya menentang tadi.
Melihat dua orang gadis cantik itu berdiri dengan sikap seperti
dua ekor singa betina siap untuk saling serang, Bu Kong Liang cepat menengahi.
"Aih, bagaimana sih kalian ini" Baru saja saling
berkenalan sekarang sudah ribut dan bertengkar" Niocu, kukira orang bebas
untuk menentukan jalan pikiran dan pendapatnya masing-masing. Yang penting kita
mempunyai satu sasaran, yaitu menentang kejahatan. Engkau tidak boleh memaksakan
kehendakmu agar orang lain menyetujui dan mengikuti pendapatmu sendiri."...
No comments:
Post a Comment