Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 02
ANG-MO NIOCU yang
tadinya bersikap manis dan ramah sekali kepada pemuda itu, kini memandang
kepadanya dengan muka merah dan mata bersinar marah. "Bagus, Bu Kong Liang!
Baru saja aku membantumu menghadapi pengeroyokan pasukan Mancu, dan sekarang
engkau malah menentangku dan membela gadis ini?" bentaknya.
"Niocu, yang kubela adalah kebenaran.
Dalam urusan ini, Huang-ho Sian-li mempertahankan pendiriannya dan ia tidak salah, akan tetapi hendak memaksakan kehendakmu agar diikuti orang lain, maka engkaulah yang bersalah, Niocu."
Dalam urusan ini, Huang-ho Sian-li mempertahankan pendiriannya dan ia tidak salah, akan tetapi hendak memaksakan kehendakmu agar diikuti orang lain, maka engkaulah yang bersalah, Niocu."
"Biarlah Bu-twako, agaknya Niocu yang tadi
membantumu tanpa kau undang bukan menolongmu, melainkan memberi hutang dan kini
menagih! Kalau ia hendak memaksakan kehendaknya, aku tetap menolak, dan apa pun
akibatnya, akan kuhadapi ! Aku tidak menentang siapa pun, akan tetapi kalau ada
yang menantangku, aku tidak akan mundur selangkah pun!
" Thian Hwa yang memang pada dasarnya memiliki watak
pemberani, jujur dan keras itu berkata dengan nada tegas, matanya mencorong
memandang kepada Ang-mo Niocu. "Kau...! Kau...!" Ang-mo Niocu marah
sekali dan agaknya kedua orang gadis itu segera akan saling serang.
Melihat ini, Bu Kong Liang melangkah maju menghadapi Ang-mo
Niocu dan berkata,
"Niocu, kuharap engkau menyadari bahwa kedatanganmu dari selatan ke sini bukan untuk memusuhi para pendekar yang tidak sehaluan denganmu."
"Niocu, kuharap engkau menyadari bahwa kedatanganmu dari selatan ke sini bukan untuk memusuhi para pendekar yang tidak sehaluan denganmu."
Mendengar ucapan pemuda itu, Ang-mo Niocu menekan kemarahannya.
"Huh, kalian menjemukan!" Setelah berkata demikian, ia memutar tubuhnya
dan berkelebat pergi dengan gerakan cepat, sebentar saja menghilang dari situ.
Kini Thian Hwa berhadapan dengan Bu Kong Liang dan ia berkata,
"Bu-twako, sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku."
"Nanti dulu, Sian-li. Engkau hendak ke Thian-cin,
bukan"
Aku pun hendak ke sana, karena tujuanku ke kota raja.
Kalau engkau tidak merasa keberatan, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama"
Aku ingin membicarakan denganmu tentang banyak hal, tentu saja kalau engkau
suka, karena aku tidak ingin memaksakan kehendakku padamu seperti yang
dilakukan Ang-mo Niocu tadi."
Karena sikap pemuda itu sopan dan kata-katanya mengandung
kejujuran, Thian Hwa tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersama.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke utara, menyusuri tepi Terusan menuju ke
Thian-cin sambil bercakap-cakap.
Mereka berjalan seenaknya, tidak tergesa-gesa. "Sian-li,
aku tertarik sekali ketika engkau mengatakan kepada Ang-mo Niocu, bahwa
sekarang belum muncul pemimpin rakyat yang sejati untuk memimpin rakyat melawan
pasukan penjajah Mancu.
Padahal, semua orang mengetahui bahwa sekarang, pemimpin
yang dengan terang-terangan menentang Kerajaan Ceng (Mancu), hanyalah Jenderal
Wu Sam Kwi.
Mengapa engkau tidak menganggap jenderal itu sebagai
pemimpin perjuangan yang sejati?"
Thian Hwa menghela napas. Ia sudah banyak mendengar dari
Thian Bong Sianjin tentang perlawanan terhadap bangsa Mancu yang dulu dilakukan
oleh Pemimpin Laskar Rakyat Li Cu Seng dan Wu Sam Kwi yang jenderal.
"Aku mendengar dari guruku, bahwa sejarah merupakan saksi
betapa orang-orang yang tadinya memimpin rakyat untuk menggulingkan sebuah
pemerintahan, setelah perjuangan itu berhasil dan dia diangkat menjadi kaisar,
lalu luntur kepem impinannya, dan dia hanya menggunakan kekuasaannya untuk
memakmurkan dirinya dan keluarganya saja. Mereka lalu menjadi gila kekuasaan
dan lupa akan rakyat yang sejak dulu mendukung perjuangannya, lupa bahwa rakyatlah
yang memungkinkan dia menjadi kaisar.
Hidup dia dan keluarganya makin mewah berlebihan,
kekayaan ditumpuk sebanyaknya dan tidak mengenal puas, sementara itu rakyat
atau lebih tepat sebagian besar dari rakyat hidup serba kekurangan. Hanya
segerombolan orang yang dekat dengan kaisar, yang mau menjilat dan mencari muka
saja yang kebagian hidup makmur."
"Aduh, keras sekali penilaianmu terhadap para
pemimpin pejuang, Sian-li!" Bu Kong Liang berseru sambil menahan senyum.
"Pemimpin-pemimpin yang terakhir menentang masuknya pasukan Mancu adalah Li Cu Seng dan Jenderal Wu Sam Kwi.
Nah, mengapa sekarang engkau menganggap mereka berdua itu bukan pemimpin sejati?"
"Pemimpin-pemimpin yang terakhir menentang masuknya pasukan Mancu adalah Li Cu Seng dan Jenderal Wu Sam Kwi.
Nah, mengapa sekarang engkau menganggap mereka berdua itu bukan pemimpin sejati?"
"Aku sendiri tidak mengenal mereka, akan tetapi aku mendengar
banyak, tentang mereka, dari guruku. Dahulunya, Li Cu Seng merupakan pemimpin
Laskar Rakyat yang bijaksana dan cita-citanya besar. Dia memulai sebagai
seorang pahlawan bangsa, seorang patriot sejati.
Akan tetapi setelah dia berhasil memimpin rakyat
menduduki Peking dan mengakhiri Kerajaan Beng yang ketika itu dipimpin para penguasa
yang lalim dan korup, dia juga menjadi gila kekuasaan, sehingga banyak di
antara para pendukungnya yang terdiri dari para pendekar yang gagah perkasa meninggalkannya.
Kemudian, dia pun
diserbu oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang bekerja sama dengan bangsa Mancu, terusir
dan mati dalam pelarian.
Jelas Li Cu Seng tidak dapat mempertahankan kemurniannya sebagai seorang pemimpin sejati. Dia bahkan pernah tergila-gila kepada seorang wanita yang tadinya menjadi selir tercinta Jenderal Wu Sam Kwi.
Jelas Li Cu Seng tidak dapat mempertahankan kemurniannya sebagai seorang pemimpin sejati. Dia bahkan pernah tergila-gila kepada seorang wanita yang tadinya menjadi selir tercinta Jenderal Wu Sam Kwi.
Kemudian ketahuan bahwa Jenderal Wu Sam Kwi menyerang Li
Cu Seng karena terdorong untuk membalas dendam dan merampas kembali selirnya
itu. Jenderal Wu Sam Kwi merampas Peking atas bantuan bangsa Mancu yang
kemudian mempertahankan kota raja itu sebagai milik mereka. Jenderal Wu
melarikan diri ke Barat Daya, akan tetapi di sana pun dia hidup sebagai raja
kecil.
Mereka semua bukanlah pemimpin sejati yang benar-benar
berjuang demi rakyat dan tidak menjadi gila kekuasaan lalu menggendutkan perut
sendiri sebagai hasil kemenangannya yang sesungguhnya merupakan kemenangan
rakyat jelata."
Mendengar Thian Hwa bicara panjang lebar, Bu Kong Liang memandang
penuh kagum, lalu menghela napas panjang dan berkata.
"Ah, tidak kusangka engkau akan dapat mengemukakan pandangan yang demikian luas, Sian-li.
"Ah, tidak kusangka engkau akan dapat mengemukakan pandangan yang demikian luas, Sian-li.
Memang kukira pendapatmu itu tidak menyimpang terlalu
jauh dari kenyataannya. Para suhu di Siauw-lim-pai juga sering kali mengatakan
bahwa betapa pun gagah perkasanya seorang laki-laki, dia harus berhati-hati
terhadap tiga hal yang akan mempengaruhi wataknya, yaitu Kekuasaan, Kekayaan,
dan Wanita.
Tiga kekuatan ini dapat menyelewengkan seorang yang gagah
perkasa dan patriotik menjadi lalim dan mengejar kesenangan diri pribadi."
"Ah, jangan memujiku, Twako. Sesungguhnya aku hanya mengetahuinya
dari keterangan guruku."
"Kalau begitu aku yakin bahwa gurumu pasti seorang
yang selain sakti, juga amat bijaksana. Sian-Ii, tadi sudah kuceritakan bahwa
aku hendak pergi ke kota raja untuk memenuhi perintah para suhu di
Siauw-lim-pai, yaitu melihat keadaan hidupnya rakyat di desa sampai di kota
raja, setelah kini pemerintahan dipegang Kerajaan Ceng (Mancu).
Kalau boleh aku
mengetahui, apakah engkau mempunyai tujuan
dalam perjalananmu ini?"
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, Twako, aku ingin
bertanya lebih dulu. Apakah engkau juga anti Kerajaan Mancu dan menentangnya
seperti halnya Ang-mo Niocu?"
"Ah, tidak, Sian-li. Keadaanku tiada bedanya
denganmu.
Para suhu di Siauw-lim-pai juga tidak ingin mengadakan permusuhan
secara terbuka menentang Kerajaan Ceng,karena hal itu akan sia-sia belaka.
Tidak mungkin Siauw-lim- pai yang hanya memiliki beberapa ratus anggota mampu menandingi
pasukan Mancu yang ratusan ribu jumlahnya.
Tidak, aku hanya disuruh menyelidiki dan melakukan tugas sebagai
murid Siauw-lim-pai, yaitu menentang kejahatan dan membela yang lemah
tertindas."
"Kalau begitu, mengapa tadi engkau diserang pasukan Mancu
yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong- bu Pangcu Louw Cin?"
"Eh" Engkau mengenal dua orang yang memimpin
pasukan itu, Sian-li?"
"Aku mengenal mereka, akan tetapi jawab dulu pertanyaanku
tadi, Bu-twako."
"Seperti sudah kuceritakan tadi, aku sendiri tidak
tahu mengapa aku diserang pasukan Mancu. Dengan tiba-tiba saja mereka
menyerangku. Ini menguatkan dugaan para pimpinan Siauw-lim-pai bahwa Pemerintah
Mancu diam-diam mencurigai para perkumpulan persilatan besar, terutama sekali
Siauw-lim- pai.
Karena ketika terjadi perlawanan terhadap balatentara Mancu,
banyak terdapat ahli-ahli silat, pendekar-pendekar, di antaranya banyak pendekar
Siauw-lim-pai berada di pihak Kerajaan Beng. Mungkin saja ada mata-mata mereka
yang mengetahui bahwa aku seorang murid Siauw-lim-pai, maka mereka langsung
mengeroyokku."
Thian Hwa mulai percaya kepada pemuda itu, akan tetapi untuk
mengaku sebenarnya tentang dirinya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran, ia
masih belum mau.
Maka untuk menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberitahu sebagian saja. "Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan perjalananku.
Maka untuk menjawab pertanyaan pemuda itu tadi, ia lalu memberitahu sebagian saja. "Bu-twako, engkau tadi menanyakan tujuan perjalananku.
Aku juga hendak pergi ke kota raja, akan mencari kakekku
yang dulu berada di kota raja, bekerja sebagai pelayan pada sebuah keluarga
pangeran. Dan mengenai dua orang yang memimpin pasukan yang menyerangmu, memang
aku mengenal mereka, bahkan aku pernah bentrok dengan mereka.
Hui-eng-to Phang
Houw dan Louw Cin Ketua Liong-bu-pang itu adalah kaki tangan seorang pangeran
lain yang agaknya mempunyai ambisi hendak merampas kedudukan Kaisar yang sudah
tua.
Begitulah, Bu-twako, apa yang dapat kuterangkan kepadamu
sementara ini dan harap engkau tidak bertanya lagi tentang itu."
Bu Kong Liang mengangguk-angguk. Diam-diam pemuda itu
merasa kagum kepada Thian Hwa dan dia menduga bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan
oleh gadis itu. Gadis yang begini cantik jelita, sederhana, memiliki ilmu yang
tinggi akan tetapi seperti ada rahasia yang menyelubungi dirinya.
Gadis ini agaknya mengenal keadaan para pangeran di kota raja
sehingga mengetahui akan adanya pangeran yang hendak ingin merampas tahta kerajaan
yang berarti pemberontakan dan pernah bentrok dengan kaki tangan pemberontak
itu.
Gadis aneh yang agaknya menyembunyikan pula namanya, hanya
memperkenalkan diri dengan julukannya, Huang-ho Sian-li! Akan tetapi dia menahan
keinginan tahunya, khawatir kalau-kalau akan menyinggung gadis itu dan
membuatnya marah.
Dia ingin mengenal
gadis itu lebih baik lagi yang dia percaya tentu seorang gadis pribumi Han
mengingat akan keterangannya tadi bahwa ia cucu seorang yang bekerja sebagai
pelayan di sebuah keluarga pangeran.
Pada waktu itu,yang bekerja sebagai pelayan keluarga
bangsawan Mancu pastilah seorang pribumi Han!
"Terima kasih, Sian-li. Keteranganmu itu sudah cukup
dan terima kasih atas kepercayaanmu padaku. Aku senang sekali dapat melakukan
perjalanan bersamamu ke kota raja karena engkau tentu sudah mengenal kota raja,
sedangkan aku belum pernah melihatnya."
"Aku pun baru satu kali berkunjung ke sana, hampir
dua tahun yang lalu," kata Thian Hwa, merasa lega bahwa pemuda itu tidak
mendesak dan bertanya lebih jauh tentang riwayat dirinya. Ia merasa semakin
suka kepada Bu Kong Liang yang agak pendiam, berwibawa, sopan dan bersikap
hormat itu.
Mereka melanjutkan perjalanan ke utara, menuju kota Thian-cin.
Dusun Kia-jung terletak di dekat Terusan, hanya sekitar dua puluh mil jauhnya
dari kota Thian-cin. Karena letaknya di tepi Terusan dan dekat kota besar, maka
dusun itu ramai dan menjadi pusat pengumpulan hasil bumi yang akan dikirim ke Thian-cin,
bahkan ada yang dikirim ke Peking.
Penduduknya memiliki kehidupan yang cukup makmur dan
biarpun di dusun itu tidak terdapat pasukan keamanan yang besar, hanya terjaga
keamanannya oleh belasan orang pemuda penduduk dusun itu sendiri, namun selama
ini keamanannya cukup baik.
Tidak pernah terjadi gangguan keamanan yang besar. Yang pernah
ada hanyalah pencurian kecil-kecilan.
Sore hari itu, keadaan dusun Kia-jung sudah mulai sepi.
Kesibukan perdagangan hasil bumi terjadi dari pagi sampai
siang tadi, dan pada sore hari ini orang-orang sudah mengaso setelah lelah
bekerja pada pagi dan siang harinya. Dua belas orang pemuda malas-malasan
berada di gardu penjagaan yang berada di pintu gerbang dusun sebelah selatan.
Mereka bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tua.
Laki-laki tua itu berusia sekitar enam puluh enam tahun, pakaiannya biarpun sederhana,
namun lebih rapi dan bersih dibandingkan pakaian seorang kakek dusun. Juga ketika
dia bicara, cara bicaranya juga menunjukkan bahwa dia sudah biasa bicara halus
dan sopan. Akan tetapi dia ramah sekali dan agaknya disuka oleh para pemuda itu
yang menghujani pertanyaan kepadanya tentang segala hal yang belum mereka
ketahui.
Ternyata kakek itu pandai sekali bercerita, terutama
cerita mengenai kehidupan di kota raja. Agaknya dia tahu benar keadaan di kota
raja, bahkan dia dapat menceritakan keadaan di istana-istana para pangeran.
Ketika dia bercerita betapa dia pernah mengiringkan seorang pangeran berkunjung
ke istana kaisar,para pemuda itu mendengarkan dengan penuh kekaguman.
Kakek itu pandai sekali menggambarkan keadaan dan kemewahan
istana kaisar yang belum pernah mereka bayangkan dalam mimpi sekalipun!
"Sam Lopek (Paman Tua Sam), benarkah para puteri
istana itu memiliki kecantikan seperti bidadari dari langit?" seorang di antara
mereka bertanya dan pertanyaan ini disambut tawa ria para pemuda itu.
"Tolong gambarkan kecantikan mereka,
Lopek!" kata yang lain, dan riuh rendahlah para pemuda itu minta agar kakek itu suka menggambarkan kecantikan para puteri istana yang sudah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan.
Lopek!" kata yang lain, dan riuh rendahlah para pemuda itu minta agar kakek itu suka menggambarkan kecantikan para puteri istana yang sudah mereka dengar namun belum pernah mereka saksikan.
Kakek yang dipanggil Sam Lopek itu tersenyum dan tampak deretan
giginya yang tidak utuh lagi, sudah terdapat ompong di sana-sini sehingga wajahnya
yang masih memiliki bekas ketampanan itu tampak lucu.
"Heh-heh, para pemuda itu di mana-mana sama saja. Di
kota maupun desa, yang tinggal di istana maupun yangtinggal gubuk, semua sama.
Selalu bersemangat kalau mendengar tentang wanita cantik!" katanya,
dan ucapan ini disambut sorak dan tawa para pemuda itu.
dan ucapan ini disambut sorak dan tawa para pemuda itu.
Kembali kakek itu tersenyum. "Wah, puteri-puteri
istana memang cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi bagi aku,para dayang
istana, gadis-gadis yang menjadi pelayan istana bahkan lebih cantik manis
dibandingkan para puterinya."
"Eh, benarkah itu, Lopek" Masa pelayannya lebih
cantik daripada majikannya?" seorang pemuda bertanya tak percaya.
"Sebetulnya mereka itu sama-sama cantiknya, hanya bedanya,
kalau puteri-puteri istana yang menjadi majikan itu memakai bedak terlalu tebal,
gincu terlalu merah dan celak terlalu hitam, sehingga kecantikan mereka seperti
topeng,sebaliknya para gadis dayang atau pelayan itu, yang tidak diperbolehkan
berias terlampau tebal, malah tampak kecantikan aselinya.
Kalau boleh diumpamakan bunga, para puteri itu adalah
bunga kertas, sedangkan para pelayan itu bunga murni!"
Para pemuda itu kembali tertawa riuh. Tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh munculnya belasan orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah seram.
Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan di pinggang mereka tergantung
senjata tajam seperti pedang atau golok atau ruyung.
Melihat ini, dua belas orang pemuda itu berlompatan dengan
kaget, akan tetapi mereka siap, biarpun para pemuda yang melakukan penjagaan
itu hanya mempunyai sebatang tongkat di tangan masing-masing. Akan tetapi kakek
itu memberi isyarat kepada para pemuda untuk mundur.
Dia melihat bahwa
belasan orang bertampang seram itu berbahaya sekali kalau dihadapi dengan
kekerasan, maka dia pun melangkah maju dan mengangkat tangan depan dada memberi
hormat kepada seorang di antara mereka yang jelas menunjukkan diri sebagai pemimpin.
Orang ini bermuka hitam, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya berbeda dengan yang
lain.
Pakaiannya lebih mentereng dan di pinggangnya tergantung
sepasang golok besar. Kumisnya panjang melingkar, tanpa jenggot dan sepasang
matanya lebar,memandang bengis.
"Selamat datang di dusun Kia-jung kami! Apakah yang dapat
kami bantu untuk Cu-wi (Anda Sekalian)?"
Tiba-tiba Si Muka Hitam itu menggerakkan tangan kirinya dan
tahu-tahu dia sudah mencengkeram baju kakek itu, dan sekali angkat, tubuh kakek
itu pun terangkat ke atas!
"Kamu ini anjing tua antek para pangeran penjajah
Mancu!
Orang-orang di s ini tentu sudah engkau pengaruhi!"
Melihat kakek itu diangkat, beberapa orang pemuda maju hendak
menolong. Akan tetapi kakek itu dibanting ke atas tanah sedemikian kerasnya
sehingga seketika pingsan di depan kaki Si Muka Hitam yang galak itu. Si Muka
Hitam lalu mencabut sebuah golok,
menempelkan golok pada leher kakek yang pingsan itu sambil membentak.
menempelkan golok pada leher kakek yang pingsan itu sambil membentak.
"Kalian berani melawan kami" Kakek ini akan
kubunuh dulu sebelum kami membunuh kalian dan seisi dusun kalau beranimelawan
kami!"
Mendengar ini, belasan orang pemuda itu terkejut dan menjadi
jerih. Mereka bukanlah jagoan-jagoan dan kini berhadapan dengan sekitar tujuh
belas orang yang tinggi besar, berwajah bengis menyeramkan dan semua membawa senjata
tajam, tentu saja mendengar gertakan itu, hilang keberanian mereka. Baru
melihat mereka itu membawa senjata tajam dengan terang-terangan saja mereka
sudah jerih.
Pada waktu itu, Pemerintah Mancu melarang orang membawa
senjata tajam di tempat umum, dan sekitar tujuh belas orang ini demikian
terang-terangan membawa senjata tajam, padahal dusun Kia-jung letaknya dekat
kota raja Thian-cin dan tidak begitu jauh dari kota raja Peking. Ini saja menunjukkan
bahwa mereka pasti bangsa perampok atau segerombolan penjahat.
Melihat para pemuda itu mundur-mundur ketakutan, kepala gerombolan
itu lalu berseru kepada anak buahnya. "Hayo cepat kumpulkan sumbangan dari
para penduduk dusun ini.
Kalau mereka tidak mau menyerahkan sumbangan yang cukup demi
perjuangan kita, berarti mereka itu antek Mancu dan kalian bunuh saja!"
Belasan orang itu mulai bergerak memasuki rumah-rumah penduduk.
Akan tetapi mereka memilih dan hanya rumah yang kelihatan besar dan kelihatan
sebagai tempat tinggal keluarga kaya saja yang mereka masuki.
Segera terdengar jerit ketakutan dari rumah-rumah itu dan
para anggota gerombolan itu keluar dari rumah sambil membawa kantung kantung
yang sudah diduga tentu berisi uang atau benda berharga yang lain.
Akan tetapi baru enam rumah mereka jarah rayah, tiba-tiba
pemimpin gerombolan bermuka hitam itu berteriak memanggil mereka. Enam belas orang
anak buahnya sambil membawa kantung-kantung jarahan berlari-lari kembali ke
pintu gerbang selatan itu.
Apa yang terjadi sehingga kepala gerombolan yang bermuka
hitam itu memanggil anak buahnya" Kiranya ketika enam belas orang anak buah
gerombolan itu sedang sibuk merampasi barang-barang berharga dari beberapa buah
rumah besar di sepanjang jalan raya, dan kepala gerombolan bermuka hitam itu
masih berdiri dengan sikap sombong di sana, tak jauh dari tubuh kakek yang
masih pingsan, sedangkan belasan orang pemuda dusun itu berdiri agak jauh dengan
penasaran akan tetapi juga ketakutan, datang ke tempat itu seorang pemuda dan
seorang gadis yang bukan lain adalah Bu Kong Liang dan Thian Hwa!
Begitu melihat beberapa orang pemuda dusun berdiri ketakutan
dan melihat pula seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam dan bengis
berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan lagaknya sombong,
sedangkan seorang kakek rebah menelungkup pingsan tak jauh dari kaki laki-laki muka hitam itu, Bu Kong Liang segera bertanya kepada para pemuda itu. "Apa yang terjadi?"
sedangkan seorang kakek rebah menelungkup pingsan tak jauh dari kaki laki-laki muka hitam itu, Bu Kong Liang segera bertanya kepada para pemuda itu. "Apa yang terjadi?"
Seorang di antara pemuda itu menggerakkan muka ke arah laki-laki
muka hitam sambil berbisik, "Dia dan anak buahnya sedang merampok
rumah-rumah penduduk kita."
Mendengar ini, tanpa banyak cakap lagi Thian Hwa lalu menghampiri
laki-laki muka hitam dan Bu Kong Liang cepat mengikutinya. Laki-laki muka hitam
itu dengan alis berkerut dan sikap memandang rendah melotot kepada gadis dan pemuda
yang berani menghampirinya itu.
"Kalian mau apa" Apakah kalian hendak membela
para antek Mancu?" tanyanya dengan suara membentak galak.
Mendengar ini, Bu Kong Liang merasa heran. Sebelum Thian
Hwa berkata atau berbuat sesuatu, dia cepat bertanya.
"Sobat, kami tidak ingin membela antek Mancu.
Siapakah engkau?" Pertanyaan Bu Kong Liang dilakukan dengan sikap dan
suara lembut, dan Si Muka Hitam itu membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.
"Hemm, mau mengenal aku" Aku adalah Tiat-thou
Hek-go (Buaya Hitam Kepala Besi) yang memimpin seregu pejuang yang gagah perkasa!"
"Hemm, apa yang terjadi dengan orang tua itu?"
Thian Hwa menuding ke arah tubuh kakek yang telungkup di atas tanah.
"Huah-ha-ha, dia adalah antek Mancu. Ketika tadi kami datang, dia
menceritakan kepada para pemuda itu tentang pangeran dan istana. Aku
menamparnya!"
"Dan apa yang dilakukan anak buahmu itu?"
tanya Bu Kong Liang, menahan kemarahannya.
tanya Bu Kong Liang, menahan kemarahannya.
"Kami minta sumbangan kepada penduduk. Yang tidak
mau menyumbang berarti mereka itu antek Mancu dan akan kami basmi semua! Kami
pejuang rakyat, patriot-patriot bangsa yang menentang penjajah Mancu dan semua
anteknya!" Si Muka Hitam itu semakin berlagak, apalagi dihadapi T hian Hwa
yang cantik jelita, aksinya makin hebat, mulutnya senyum- senyum, matanya
melirik-lirik dan dadanya diangkat membusung. Thian Hwa merasa muak melihat
betapa orang itu melirik-lirik sambil cengar-cengir kepadanya.
Bu Kong Liang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Si Muka Hitam lalu berkata dengan nyaring.
Bu Kong Liang tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Si Muka Hitam lalu berkata dengan nyaring.
"Beginikah macamnya pejuang rakyat" Kamu ini bukan lain hanyalah perampok yang bertopeng pejuang! Orang macam kamu ini yang mengotorkan dan menodai nama pejuang dan patriot! Manusia tak bermalu!"
Si Muka Hitam terbelalak dan matanya yang melotot menjadi
merah saking marahnya.
Akan tetapi sebelum dia mampu membuka mulut atau bergerak, Thian Hwa sudah menyambung dengan ucapan yang lebih ketus lagi.
Akan tetapi sebelum dia mampu membuka mulut atau bergerak, Thian Hwa sudah menyambung dengan ucapan yang lebih ketus lagi.
"Yang macam begini bukan manusia lagi, melainkan
buaya yang kotor dan jahat, yang tidak patut dibiarkan hidup. Kamu buaya kepala
besi" Aku berani bertaruh, kepalamu tidak sekeras besi melainkan selunak
tahu, sekali pukul juga hancur !
" Sepasang mata itu semakin me lotot seperti mau
melompat keluar dari kelopaknya, hidung dan mulutnya seolah mengeluarkan asap
panas saking marahnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang,raksasa
muka hitam yang berjuluk Buaya Hitam Berkepala Besi itu menerkam ke arah Thian
Hwa. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu hendak merangkul dari kanan
kiri dan agaknya gadis itu tidak akan dapat menghindarkan diri lagi.
Akan tetapi menghadapi serangan kasar yang hanya mengandalkan
kekuatan otot itu tentu saja merupakan ancaman kecil sekali bagi Thian Hwa.
Dengan kedua tangan terbuka, ia menyambut dua lengan itu dengan pukulan tangan miring
untuk menangkis dan pada saat itu juga, kaki kirinya mencuat ke arah perut
lawan.
"Plak-plak, bukk...!" Tubuh kepala rombongan
itu terjengkang dan terbanting roboh. Rasa kepalanya seperti tujuh keliling
karena kedua lengannya terasa nyeri seperti ditangkis besi, perutnya mulas
dicium ujung sepatu kaki kiri Thian Hwa, ditambah lagi belakang kepalanya
terbanting ke atas tanah. Akan tetapi saking marahnya, dia tidak mau merasakan
semua kenyerian itu dan cepat bangkit berdiri lalu memanggil anak buahnya!
Kini tujuh belas orang laki-laki tinggi besar itu
mengepung Thian Hwa dan Bu Kong Liang dan mereka sudah mencabut senjata mereka,
pedang, golok, atau ruyung. Kini yang menonton tak jauh dari situ bukan hanya
dua belas orang pemuda dusun Kia-jung, akan tetapi bertambah menjadi dua puluh
orang lebih, semuanya laki-laki tua muda yang tertarik dan berdatangan ke situ.
Akan tetapi mereka semua tidak berani menentang tujuh belas
orang yang tampak kuat dan bengis itu, dan kini mereka memandang dengan penuh
kekhawatiran akan nasib gadis cantik dan pemuda tampan yang tidak mereka kenal
itu. Kakek Sam telah mereka angkat dan kini direbahkan di tepi jalan, masih
dalam keadaan pingsan.
Akan tetapi dua orang yang amat dikhawatirkan penduduk dusun
itu, Thian Hwa dan Bu Kong Liang, tenang-tenang saja walaupun dikepung dan
diancam tujuh belas orang yang tampaknya buas dan kejam itu.
"Bagaimana, Twako. Akan kita apakah para pejuang patriotik
ini?" tanya Thian Hwa.
"Pejuang" Huh, gerombolan perampok mengaku
patriot pejuang! Kita hajar mereka baru tahu rasa!" kata Bu Kong Liang.
Thian Hwa mengangguk setuju, dan tiba-tiba tujuh belas orang itu menerjang
maju, menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi Thian Hwa dan Bu Kong Liang
maklum dari gerakan mereka bahwa mereka itu hanya bertenaga kuat saja, sama
sekali tidak memiliki ilmu silat yang berarti.
Maka tubuh gadis dan pemuda ini berkelebatan cepat dan
para pengeroyok menjadi kacau! Mereka merasa kehilangan dua orang yang mereka
keroyok, yang tiba-tiba berubah menjadi bayangan yang berkelebatan dan semua
serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran.
Bahkan kini terdengar teriakan-teriakan mereka, dan
senjata di tangan mereka terlepas dari pegangan dan terlempar ke sana-sini.
Melihat ini, para penduduk, terutama pemudanya, tidak merasa
takut lagi. Timbul semangat mereka dan mereka pun datang menyerbu. Celakalah
tujuh belas orang perampok itu.
Setiap ada yang roboh oleh tendangan atau tamparan Thian Hwa
atau Kong Liang,
penduduk menyerbu, membawa pentungan atau senjata-senjata tajam memukul dan membacok para perampok yang berserakan dan habislah tubuh perampok yang roboh itu, hancur dihujani bacokan dan pukulan.
penduduk menyerbu, membawa pentungan atau senjata-senjata tajam memukul dan membacok para perampok yang berserakan dan habislah tubuh perampok yang roboh itu, hancur dihujani bacokan dan pukulan.
Dalam waktu singkat saja tujuh belas orang perampok
bertopeng pejuang itu pun mati semua dikeroyok penduduk! Ketika para penduduk
mencari dua orang yang telah menyelamatkan mereka itu, mereka tidak menemukan
gadis dan pemuda tadi! Juga Kakek Sam tidak tampak di s itu. Kakek yang tadinya
masih pingsan itu kini lenyap!
Akan tetapi para penduduk tidak sempat memikirkan ke mana
perginya gadis dan pemuda gagah perkasa itu, juga mengira bahwa Kakek Sam sudah
siuman dan pulang ke rumahnya. Mereka kini sibuk menyambut sepasukan tentara Mancu
yang kebetulan lewat di dusun Kia-jung, datang dari Thian-cin dan tadi dilapori
seorang penduduk.
Akan tetapi ketika pasukan yang terdiri dari dua losin
prajurit itu tiba di tempat pertempuran, tujuh belas orang gerombolan perampok itu
telah mati semua! Karena gerombolan perampok itu mengaku sebagai pejuang yang
menentang Pemerintah Kerajaan Ceng, tentu saja penduduk Kia-jung mendapat
pujian dari komandan pasukan.
Ke manakah perginya Thian Hwa dan Kong Liang" Dan ke
mana pula menghilangnya Kakek Sam" Tadi, setelah merobohkan semua penjahat
dan penduduk membantai para penjahat yang sudah roboh terluka oleh tamparan dan
tendangan Thian Hwa dan Kong Liang, tiba-tiba Thian Hwa mendengar suara
panggilan.
"Cucuku Thian Hwa...!"
Thian Hwa terkejut dan cepat memandang. Kiranya Kakek Sam
yang tadinya roboh pingsan terpukul kepala gerombolan, telah siuman dan ketika
dia melihat Thian Hwa, dia segera mengenalnya sebagai cucunya!
Kiranya kakek itu adalah Cui Sam yang ketika menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong disebut Lo Sam. Thian Hwa juga segera mengenal kakeknya, maka ia cepat menghampiri dan karena ia tidak ingin dirinya dikenal banyak orang, ia lalu mengajak Cui Sam pergi dari situ.
Kiranya kakek itu adalah Cui Sam yang ketika menjadi pengawal Pangeran Cu Kiong disebut Lo Sam. Thian Hwa juga segera mengenal kakeknya, maka ia cepat menghampiri dan karena ia tidak ingin dirinya dikenal banyak orang, ia lalu mengajak Cui Sam pergi dari situ.
Bu Kong Liang mengikuti dari belakang. Thian Hwa menggandeng
tangan kakeknya dan karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat, kakek itu
merasa dirinya seolah dibawa terbang!
Setelah tiba jauh di luar dusun Kia-jung, Thian Hwa menghentikan
larinya. Kong Liang juga berhenti dan dia memandang kepada gadis itu dengan
heran, lalu menoleh kepada kakek itu. Kakek Cui Sam menghela napas panjang dan
karena masih merasa pening setelah baru saja siuman dari pingsan diajak
"terbang" oleh cucunya, dia lalu duduk di atas sebuah batu yang
banyak terdapat di tepi jalan itu.
Thian Hwa me lihat betapa Kong Liang memandangnya dengan
mata mengandung pertanyaan dan keheranan, maka setelah tadi ia menyaksikan
sepak terjang Kong Liang menghadapi para perampok yang mengaku pejuang, ia
tidak ragu lagi untuk memperkenalkan diri sebenarnya. Selama beberapa hari
melakukan perjalanan bersama pemuda itu, ia mendapat kenyataan bahwa Kong Liang
seorang pemuda yang selain gagah perkasa dan ramah, juga jujur dan sopan.
"Perkenalkan, Twako, ini adalah kakekku, ayah dari
ibuku, bernama Cui Sam." Lalu gadis itu berkata kepada kakeknya.
"Kong-kong (Kakek), ini adalah Twako (Kakak) Bu Kong
Liang, seorang pendekar dari Siauw-lim-pai, sahabatku."
Ciu Sam cepat membalas penghormatan Bu Kong Liang dan dia
berkata, "Terima kasih kepada Bu Thaihiap (Pendekar Besar Bu) yang telah
menolong penduduk Kia-jung membasmi para perampok tadi."
"Ah, Paman Cui Sam, yang banyak merobohkan para perampok
adalah Sian-li ini."
"Sian-li" Ah, engkau maksudkan cucuku ini"
Aih, kalau tidak melihat sendiri setelah saya siuman tadi, saya tidak dapat percaya bahwa cucu saya sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi!"
Aih, kalau tidak melihat sendiri setelah saya siuman tadi, saya tidak dapat percaya bahwa cucu saya sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi!"
"Wah, bukan tinggi lagi, Paman. Ia malah terkenal
sebagai Huang-ho Sian-li!" kata Kong Liang sambil tersenyum senang melihat
kebanggaan kakek itu akan kehebatan cucunya.
"Sudahlah, Twako, jangan terlalu memuji. Sekarang
hari sudah hampir gelap, kita harus mencari tempat penginapan.
Kong-kong kelelahan dan perlu beristirahat. Kota
Thian-cin tidak jauh lagi, mari kita cepat melanjutkan perjalanan ke sana agar
jangan terlalu malam tiba di T hian-cin."
"Biar Paman Cui Sam kugendong saja agar perjalanan dapat
dilakukan lebih cepat," kata Kong Liang.
Thian Hwa menyetujui dan kini kakek itu digendong di punggung
Kong Liang, dan mereka berdua menggunakan ilmu berlari cepat sehingga yang
tampak hanya berkelebatnya dua bayangan. Apa lagi cuaca mulai remang, maka
andaikata ada orang melihat mereka, tentu hanya mengira bayangan pohon atau
burung yang lewat. Yang menjadi terkagum-kagum bercampur takut adalah Cui Sam.
Biarpun dia mengetahui bahwa terdapat banyak ahli silat yang pandai dan
memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, namun baru tadi ketika digandeng
Thian Hwa dia merasakan, apalagi sekarang dengan digendong, pemuda itu dapat
berlari secepatnya
sehingga dia merasa seolah-olah dibawa terbang ke
angkasa!
Setibanya di Thian-cin,mereka menyewa tiga buah kamar,
dan melihat
kakeknya kelelahan, Thian Hwa tidak mau mengganggunya.
Setelah mereka makan malam,Kakek Cui Sam lalu memasuki kamarnya dan tidur.
"Besok saja kita bicara,"
kata Thian Hwa dan biarpun Kong Liang ingin benar mengetahui lebih banyak tentang kakek itu, dia maklum bahwa dia harus bersabar sampai besok.
kata Thian Hwa dan biarpun Kong Liang ingin benar mengetahui lebih banyak tentang kakek itu, dia maklum bahwa dia harus bersabar sampai besok.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sete lah mandi, Thian
Hwa memasuki kamar kakeknya. Cui Sam juga telah membersihkan diri dan setelah
menutupkan daun pintu kamar itu, mereka lalu duduk bercakap-cakap.
"Kong-kong, aku ingin sekali mendengar ceritamu
tentang ibu dan ayah kandungku."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang, Thian Hwa,ketika
kita bicara dulu, baru sedikit kuceritakan kepadamu tentang mereka karena
Pangeran Cu Kiong muncul."
"Sekarang lebih dulu beritahukan, mengapa Kong-kong berada
di dusun itu" Bukankah engkau bekerja di gedung
Pangeran Cu?"
"Aku dikeluarkan setelah terjadi keributan denganmu dahulu
itu, Thian Hwa. Masih baik dia tidak menggangguku, hanya memecat dan mengusirku.
Setelah pergi dari kota raja,aku kembali ke dusun Kia-jung yang menjadi kampung
halamanku ketika aku masih muda."
"Nah, sekarang ceritakan dari permulaan sejak ibu kandungku
menjadi isteri Pangeran Ciu Wan Kong. Aku ingin sekali mendengar semuanya
tentang kehidupan ibu dan ayahku." Kakek Cui Sam lalu bercerita. Di waktu
mudanya, Cui Sam adalah penduduk dusun Kia-jung. Dia hidup dengan isterinya dan
mereka mempunyai seorang anak perempuan yang mereka namakan Cui Eng.
Akan tetapi
keluarga ini tertimpa malapetaka ketika terjadi perang yang berkecamuk di
daerah Cina terutama di bagian utara pada waktu Kerajaan Cengmulai berdiri
sebagai kejayaan jaman Mancu yang semakin berkembang. Dalam keributan perang,
isteri Cui Sam saking terkejut dan ketakutan karena harus berlari mengungsi
dari satu ke lain tempat, jatuh sakit sampai meninggal dunia.
Tinggal Cui Sam seorang diri bersama puterinya, Cui Eng
yang baru berusia sepuluh tahun.
Cui Sam lalu mengembara ke utara dan sampai ke Peking.
Dia lalu menghambakan diri, menjadi pelayan di gedung Pangeran
Ciu Wan Kong dan keluarganya. Ketika dia diterima menjadi pelayan, Pangeran Ciu
Wan Kong berusia dua puluh tahun. Pangeran tua Ciu, ayah Pangeran Ciu Wan Kong
dan semua keluarga itu suka kepada Cui Sam yang rajin dan pandai membawa diri
sehingga mereka memperkenankan Cui Sam membawa Cui Eng tinggal di kamar-kamar
pelayan dari gedung itu. Setelah Cui Eng menjadi dewasa, ia amat cantik jelita
dan ia pun ikut bekerja sebagai pelayan bagian dalam, membersihkan kamar-kamar,
melayani makan dan sebagainya.
Akhirnya terjalin perasaan saling mencinta antara Pangeran
Ciu Wan Kong yang tampan dengan Cui Eng. Niat Cui Sam untuk menjodohkan
puterinya, selalu ditentang Pangeran Ciu Wan Kong. Bahkan diam-diam pangeran
muda dan gadis pelayan itu mengadakan hubungan. Ketika Cui Eng berusia dua
puluh satu tahun, Pangeran Ciu Wan Kong memberitahu ayah ibunya bahwa dia ingin
mengangkat Cui Eng menjadi isterinya.
Tentu saja Pangeran Tua Ciu dan isterinya tidak
menyetujui niat putera mereka! Bahkan ketika Pangeran Ciu Wan Kong mohon agar
diperbolehkan mengambil Cui Eng sebagai selirnya, orang tuanya, terutama ibunya
menyatakan tidak setuju.
"Wan Kong, bagaimana engkau dapat melakukan hal yang
memalukan itu" Seorang pangeran mengambil pelayan yang rendah derajatnya,
pelayan keluarga sendiri lagi" Ah, nama kita akan tercemar dan menjadi
bahan gunjingan para bangsawan.
Tidak, aku tidak setuju! Banyak wanita yang dapat
kauambil menjadi selirmu, akan tetapi jangan pelayan sendiri!" Akan
tetapi, ketika Ciu Wan Kong memberitahu bahwa Cui Eng sedang mengandung hasil
hubungannya dengan dia, orang tuanya terpaksa tidak dapat menolak lagi. Akan
tetapi ibunya yang amat menjaga nama dan kehormatan kebangsawanan mereka,
mengajukan sebuah syarat.
"Baik, engkau boleh mengambil Cui Eng sebagai selir,
akan tetapi setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki! Kalau nanti ia
melahirkan seorang anak perempuan, engkau tidak boleh mengakuinya dan ia harus
minggat dari s ini!"
Keputusan ibunya itu tidak dapat diganggu-gugat lagi.
Bahkan ayahnya juga tidak berdaya. Akhirnya Cui Eng melahirkan
dan... yang terlahir adalah seorang anak perempuan! Tanpa ampun lagi, dan tanpa
mempedulikan puteranya yang menangis, ibu Pangeran Ciu Wan Kong mengusir Cui
Sam dan Cui Eng dari gedung itu dengan memberi uang pesangon sekadarnya.
Diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong yang tidak berdaya itu memberi bekal uang yang
cukup banyak kepada Cui Sam.
Demikianlah, Cui Sam membawa anaknya, Cui Eng, dan cucunya,
pergi dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka menyeberangi Sungai Huang-ho,
datang badai mengamuk dan perahu mereka terbalik.
"Aku tidak melihat lagi anakku Cui Eng dan bayinya.
Kuanggap mereka itu telah hanyut atau tenggelam dan
tewas.
Sungguh tak kusangka, ketika engkau menjadi tamu Pangeran
Cu Kiong, yang menjadi majikanku setelah aku hidup sendiri dan kembali ke kota
raja, engkau menceritakan riwayatmu dan aku yakin bahwa engkau adalah cucuku,
anak Cui Eng karena wajahmu persis wajah ibumu!"
"Kong-kong, kalau engkau dapat menyelamatkan diri
dari Sungai Kuning (Huang-ho), dan aku yang masih bayi saja dapat ditolong
orang yang kemudian menjadi guruku, juga kakek angkatku, apakah tidak mungkin
ibuku itu dapat diselamatkan orang dan sekarang masih hidup?"
Kakek itu menghela napas panjang.
"Bertahun-tahun aku mengharapkan hal itu terjadi, akan tetapi sete lah hampir dua puluh tahun ini tidak ada kabar darinya, aku sudah putus asa dan menganggap bahwa anakku Cui Eng sudah meninggal dunia. Kalau ia dapat terbebas dari kematian, tidak mungkin selama ini ia tidak memberi kabar kepadaku."
"Bertahun-tahun aku mengharapkan hal itu terjadi, akan tetapi sete lah hampir dua puluh tahun ini tidak ada kabar darinya, aku sudah putus asa dan menganggap bahwa anakku Cui Eng sudah meninggal dunia. Kalau ia dapat terbebas dari kematian, tidak mungkin selama ini ia tidak memberi kabar kepadaku."
Thian Hwa merasa kecewa, akan tetapi ia tidak putus asa tentang
ibunya. Sebelum ia mendapat bukti atau mendengar saksi akan kematian ibunya, ia
masih mempunyai harapan.
"Kong-kong, sebetulnya siapakah namaku" Nama
yang diberi Ibu padaku?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Ketika itu, kami
pergi meninggalkan kota raja dalam keadaan tenggelam ke dalam duka. Sampai
beberapa kali aku menyinggung tentang pemberian nama padamu, namun ibumu hanya
menangis dan mengatakan belum memikirkan hal itu. Maka, sampai terjadinya
kecelakaan yang mengakibatkan engkau hilang, engkau belum diberi nama oleh
ibumu. Oleh karena itu,pakailah nama pemberian gurumu, Thian Hwa. Nama itu sudah
bagus sekali."
"Akan tetapi aku adalah keturunan marga Ciu,
sedangkan marga Thian adalah marga suhuku."
"Hemm, kalau begitu pakai saja keduanya dan namamu menjadi
Ciu Thian Hwa. Bagus, bukan?"
"Baiklah, Kong-kong. Aku mulai sekarang bernama Ciu Thian
Hwa. Kong-kong, benarkah wajah ibuku sama dengan aku?"
"Serupa benar, seperti kembar. Hanya bedanya, di atas bibir ujung kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam."
"Serupa benar, seperti kembar. Hanya bedanya, di atas bibir ujung kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam."
Thian Hwa tertegun. Dan gurunya dahulu bermimpi melihat wanita
bertahi lalat seperti itu yang menitipkan anaknya kepadanya. Ia merasa khawatir
sekali. Bukankah yang dapat menampakkan diri dalam mimpi itu arwah seorang yang
sudah mati" "Kong-kong,
sekarang ceritakan tentang Ayah kandungku itu. Bagaimanakah watak Pangeran Ciu Wan Kong itu" Apakah dia jahat seperti para pangeran yang pernah kukenal?"
sekarang ceritakan tentang Ayah kandungku itu. Bagaimanakah watak Pangeran Ciu Wan Kong itu" Apakah dia jahat seperti para pangeran yang pernah kukenal?"
"Ah, sama sekali tidak, Cucuku! Pangeran Ciu Wan Kong
sejak mudanya adalah seorang yang baik budi, hanya agak lemah terhadap orang
tuanya, terutama terhadap ibunya yang keras. Dan dia amat mencinta ibumu, Thian
Hwa. Setelah ibumu diusir ibunya, dia sering termenung dan berduka.
Bahkan sampai sekarang tidak mau menikah, tidak mempunyai
isteri yang resmi, bahkan kabarnya dia memulangkan semua selirnya.
Dia juga tidak mau memegang jabatan walaupun dia amat setia kepada Sribaginda Kaisar.
Dia juga tidak mau memegang jabatan walaupun dia amat setia kepada Sribaginda Kaisar.
Hidupnya kesepian, seringkali melancong seorang diri,
mabok- mabokan dan yang paling akhir... aku mendengar bahwa dia terkadang
kelihatan seperti orang... sinting...."
Tak terasa lagi kedua mata Thian Hwa menjadi basah. Ia merasa
terharu dan iba sekali kepada ayah kandungnya, juga senang mendengar bahwa ayah
kandungnya tidak jahat seperti para pangeran lain.
"Setelah sekarang ayah ibunya meninggal dunia,
Pangeran Ciu Wan Kong hidup seorang diri di gedungnya, hanya dikelilingi para
pelayan. Bahkan dia tidak mempunyai pasukan pengawal seperti halnya para
pangeran lain."
Thian Hwa mengangguk-angguk. "Dan bagaimana dengan Pangeran
Cu Kiong itu, Kong-kong?"
"Pangeran muda Cu Kiong" Hemm, dia juga
termasuk seorang pangeran yang baik. Kalau dia jahat, mana mungkin aku
menghambakan diri padanya" Pangeran Cu Kiong itu adalah putera Sribaginda
dari selir ke tiga. Sesudah Putera Mahkota, Pangeran Kang Shi yang masih kecil,
maka Pangeran Cu Kiong merupakan orang pertama yang berhak menggantikan
kedudukan Kaisar."
"Hemm, kalau dia orang baik-baik, mengapa dia menghinaku,
merendahkan aku yang hanya akan diambil sebagai selirnya?"
"Hal itu karena dia tidak tahu bahwa engkau
keturunan Pangeran Ciu Wan Kong, Cucuku. Kalau dia tahu, aku yakin dia mau
menjadikan engkau isterinya, bukan sekadar selirnya.
Akan tetapi sesungguhnya dia sendiri telah ditunangkan
sejak kecil dengan seorang puteri dari keluarga Pangeran Bouw.
Itulah sebab-sebabnya mengapa dia tidak dapat
mengangkatmu sebagai isterinya."
"Hemm, dia hendak memperalat aku untuk memusuhi Pangeran
Leng Kok Cun, hendak menggunakan aku untuk dapat mencapai cita-citanya. Apakah
dia bukan bermaksud merampas kekuasaan di istana Kaisar?"
"Kukira tidak, Thian Hwa. Dia memang mengharapkan kedudukan
Kaisar, akan tetapi hanya sebagai wakil, atau sementara adiknya Pangeran Kang
Shi yang putera mahkota itu masih kecil. Dia memang memusuhi Pangeran Leng Kok Cun,
karena Pangeran Leng agaknya mengumpulkan banyak orang pandai dan dicurigai
akan merebut tahta dengan kekerasan."
"Hemm, betapapun juga, aku benci Pangeran Cu Kiong.
Dia bahkan hendak membunuhku dengan mengerahkan pengawal-pengawalnya, yaitu
Kim-keng Chit-sian."
"Mungkin hal itu dia lakukan karena engkau
memusuhinya dan karena dia khawatir engkau kelak akan menjadi pembantu Pangeran
Leng."
"Apa pun alasannya, aku benci padanya, Kong-kong.
Sekarang setelah aku mendengar akan riwayat Ibu dan Ayah darimu,
kuharap engkau pulang dulu ke Kia-jung. Aku hendak melanjutkan perjalananku ke
kota raja. Akan kuselidiki keadaan ayah kandungku itu."
"Akan tetapi, Thian Hwa. Kapan engkau akan datang ke
Kia-jung, menjenguk kakekmu yang kini hidup sebatang kara ini?"
"Jangan khawatir, Kong-kong. Kelak aku pasti akan datang menengokmu. Nah,
berangkatlah, Kong-kong, selagi harimasih pagi. Ini sedikit uang boleh
Kong-kong bawa untuk bekal."
Thian Hwa menyerahkan beberapa potong uang, akan tetapi Cui Sam menolak dan berkata, "Aku tidak memerlukan uang, Thian Hwa. Ketahuilah bahwa ketika dulu, Pangeran Ciu memberi banyak emas kepada aku dan ibumu sehingga sampai sekarang aku tidak pernah kekurangan.
Thian Hwa menyerahkan beberapa potong uang, akan tetapi Cui Sam menolak dan berkata, "Aku tidak memerlukan uang, Thian Hwa. Ketahuilah bahwa ketika dulu, Pangeran Ciu memberi banyak emas kepada aku dan ibumu sehingga sampai sekarang aku tidak pernah kekurangan.
O ya, aku ingat.
Ibumu dulu, sebelum perahu kami terbalik, menyerahkan perhiasan-perhiasannya
padaku. Ada sebuah perhiasan yang dulu amat disayang ibumu, dan barang itu pemberian
ayah kandungmu sebagai tanda kasih. Barang itu tidak pernah berpisah dariku,
sebagai kenangan akan ibumu, ke mana-mana kubawa. Mari, Thian Hwa, terima lah
barang ini, barang peninggalan ibumu yang paling ia sayang."
Kakek itu mengeluarkan sebuah hiasan rambut berbentuk burung
Hong kecil dari emas dan bermata intan. Ukiran hiasan rambut itu halus dan
indah bukan main.
Thian Hwa menerima dengan terharu, lalu mencium benda itu.
Thian Hwa menerima dengan terharu, lalu mencium benda itu.
"Terima kasih, Kong-kong."
Cui Sam lalu meninggalkan rumah penginapan itu,langsung
keluar dari kota Thian-cin menuju ke selatan, ke dusun Kia-jung. Hati kakek itu
gembira bukan ma in. Dia merasa berbahagia sekali telah bertemu lagi dengan
cucunya dan tentu saja dia merasa amat bangga melihat cucunya, puteri Cui Eng,
kini menjadi seorang gadis pendekar yang sakti! Bahkan yang telah menolong
penduduk Kia-jung kemarin!
Sementara itu, Thian Hwa juga merasa lega. Ternyata ayah kandungnya
bukan orang jahat, bukan seburuk yang tadinya ia duga. Yang jahat dan mengusir
ibunya adalah orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama ibu pangeran itu.
Akan tetapi kedua orang tua itu telah wafat dan kini ayah
kandungnya hidup kesepian seorang diri, bahkan saking sedihnya kehilangan
ibunya, sampai sekarang, walaupun telah lewat hampir dua puluh tahun, ayah
kandungnya itu masih merasa berduka! Diam-diam ia merasa bangga akan kasih sayang
yang sedemikian besar dari ayahnya terhadap ibunya dan ia merasa iba sekali kepada
pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu.
"Selamat pagi, Sian-li!" kata Kong Liang ketika
dia melihat gadis itu duduk termenung di atas bangku yang berada di depan
kamarnya.
Thian Hwa memandang. Pemuda itu sudah mandi dan berganti
pakaian kuning yang baru. "Selamat pagi, Twako." "Sian-li, mana
Paman Cui Sam" Apakah dia belum bangun dari tidurnya?"
"Dia sudah pergi, Twako. Pagi sekali tadi Kong-kong
telah berangkat, pulang ke dusun Kia-jung."
"Ah, mengapa begitu tergesa-gesa"
Sebetulnya aku ingin berkenalan lebih baik dengan kakekmu, Sian-li."
Sebetulnya aku ingin berkenalan lebih baik dengan kakekmu, Sian-li."
"Dia ingin segera kembali ke Kia-jung untuk mengurus
sawah ladangnya, Twako. Dan aku sendiri pagi ini hendak melanjutkan
perjalananku ke kota raja."
"Ah, kalau begitu mari kita berangkat. Akan tetapi sebaiknya
kita sarapan lebih dulu, Sian-li. Tadi aku sudah pesan kepada pelayan untuk
menyediakan makan pagi untuk kita bertiga. Akan tetapi karena Paman Cui Sam
sudah pergi, mari kita makan berdua saja."
Thian Hwa tidak dapat menolak, maka mereka lalu pergi ke ruangan
depan di mana memang dibuka sebuah rumah makan untuk melayani keperluan makan
para tamu rumah penginapan itu. Setelah makan bersama, Thian Hwa dan Kong Liang
segera meninggalkan rumah penginapan itu untuk melanjutkan perjalanan mereka
menuju Peking.
Mereka berdua melakukan perjalanan dengan santai. Dua
hari kemudian, pada suatu pagi mereka meninggalkan kota Gu-an yang terletak di
sebelah selatan sungai.
"Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan dengan menggunakan
perahu?"
Bu Kong Liang mengajukan usul. Usul ini bagaikan penawaran kepada seekor domba untuk mengambil jalan me lalui padang rumput bagi Thian Hwa. Ia memang sudah rindu untuk me lakukan perjalanan di atas air yang mudah, tidak melelahkan, lancar dan ia dapat menikmati suara gemerciknya air dan pemandangan yang amat dikenalnya di sepanjang tepi sungai.
Bu Kong Liang mengajukan usul. Usul ini bagaikan penawaran kepada seekor domba untuk mengambil jalan me lalui padang rumput bagi Thian Hwa. Ia memang sudah rindu untuk me lakukan perjalanan di atas air yang mudah, tidak melelahkan, lancar dan ia dapat menikmati suara gemerciknya air dan pemandangan yang amat dikenalnya di sepanjang tepi sungai.
Setelah tiba di tepi sungai mereka hendak mencari perahu.
Bu Kong Liang ingin menyewa perahu, akan tetapi T hian
Hwa mencegahnya. "Twako, lebih baik membeli saja sebuah perahu. Tidak
leluasa kalau mengajak tukang perahu, bahkan kalau ada apa-apa malah
merepotkan."
"Wah, membeli sebuah perahu" Tentu mahal
harganya, Sian-li!" "Tidak mahal, Twako. Kita membeli perahu tua yang
buruk dan sederhana saja. Itu di sana ada perahu tua, tentu tidak mahal kalau
kita beli."
Kong Liang memandang yang ditunjuk dan dia melihat seorang
kakek sedang membetulkan perahunya yang tua dan agaknya bocor. "Wah,
perahu seperti ini jangan-jangan akan terbalik di sungai dan kita akan hanyut
atau tenggelam!
Aku sama
sekali tidak pernah mendayung perahu, Sian-li, dan berenang pun aku hanya bisa
sedikit sekali, sekedar tidak tenggelam!" Thian Hwa tersenyum.
"Twako, agaknya engkau lupa bahwa aku dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku dibesarkan di Sungai Kuning (Huang-ho) dan sejak kecil sudah biasa bermain-main di air yang dalam. Aku dapat mendayung dan jangan khawatir."
"Twako, agaknya engkau lupa bahwa aku dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku dibesarkan di Sungai Kuning (Huang-ho) dan sejak kecil sudah biasa bermain-main di air yang dalam. Aku dapat mendayung dan jangan khawatir."
Kong Liang
diam saja dan menurut. Dia khawatir kalau dia membantah, mungkin Thian Hwa akan
nekat melanjutkan perjalanan dengan perahu dan meninggalkannya! Setelah melakukan
perjalanan bersama gadis itu, Bu Kong Liang merasa bahwa akan berat sekali
baginya untuk berpisah dari gadis itu.
Dia mengalam
i perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Benar saja, kakek pemilik
perahu butut itu menyerahkan perahunya dengan harga murah. Mereka berdua lalu melanjutkan
perjalanan dengan perahu. Perahu itu kecil dan begitu me langkah ke atas perahu,
Kong Liang menjadi agak cemas karena perahu itu terayun-ayun ke kanan kiri.
Perahu itu
biasanya dipergunakan kakek pemiliknya untuk mencari ikan dengan jalan mengail.
Keadaannya sederhana sekali dan butut. Ada dua buah dayung butut di situ. Ada
pula batu besar yang diikat tali yang dipergunakan untuk menghentikan perahu,
pengganti jangkar, kalau kakek itu ingin berhenti di suatu tempat di tengah
sungai untuk memancing ikan. Tempat duduk di bagian depan dan belakang, untuk
dua orang saja, hanya terbuat dari papan yang dipasang melintang di atas perahu.
Masih baik
bahwa perahu itu dilengkapi atap anyaman bambu di bagian tengahnya sehingga
penumpangnya dapat berlindung di bawahnya kalau panas amat terik dan kalau turun
hujan .
Dengan petunjuk Thian Hwa, Kong Liang membantu dengan sebatang dayung, mendayung di bagian belakang perahu. Thian Hwa mendayung di kepala perahu, sekalian mengemudikan perahu dengan dayungnya. Saking gembiranya bertemu perahu dan air sungai, Thian Hwa mendayung dengan kuat sehingga perahu meluncur cepat.
Dengan petunjuk Thian Hwa, Kong Liang membantu dengan sebatang dayung, mendayung di bagian belakang perahu. Thian Hwa mendayung di kepala perahu, sekalian mengemudikan perahu dengan dayungnya. Saking gembiranya bertemu perahu dan air sungai, Thian Hwa mendayung dengan kuat sehingga perahu meluncur cepat.
Biarpun dia
seorang murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, tidak pernah gentar menghadapi
lawan yang kuat dan banyak, namun kali ini Kong Liang mengerutkan alisnya dan memandang
ke air yang agak bergelombang dengan jantung berdebar. Kalau perahu butut ini
terbalik, dia masih meragukan kemampuannya apakah dia akan dapat berenang ke
tepi menyelamatkan diri dari ancaman maut di dalam air!
Namun
melihat betapa tangkasnya Thian Hwa menguasai perahu dengan dayungnya, lambat
laun hati Kong Liang menjadi tenang. Bahkan dia mulai mempelajari dari gadis
itu cara mendayung yang benar dan cara menguasai dan mengemudikan perahu itu.
Perahu kini
me luncur dengan mulus dan hati Kong Liang mulai merasa tenang, bahkan mulai
timbul kegembiraannya karena dia mulai merasakan betapa lancar, tidak me
lelahkan,dan amat menyenangkan melakukan perjalanan dengan perahu. Mereka
meluncur terus sampai matahari naik tinggi dan perahu mereka tiba di daerah
yang sunyi dan di kanan kirinya tumbuh hutan lebat.
Tiba-tiba
terdengar bentakan-bentakan dari belakang mereka. "Minggir!
Minggir!"
Minggir!"
"Hayo
minggir! Apa kalian sudah bosan hidup?"
"Kena
ditabrak perahu kami mampus kamu!"
Mendengar
bentakan-bentakan ini, Kong Liang dan Thian Hwa menoleh ke belakang. Kiranya
dari belakang datang meluncur sebuah perahu besar yang dihias indah, diikuti
oleh dua belas buah perahu kecil yang masing-masing ditumpangi dua orang
prajurit Mancu! Di atas perahu besar itu berdiri pula enam prajurit, masing-masing
memegang tombak dan mereka berdiri menjaga, tiga di kanan dan tiga di kiri
perahu. Thian Hwa tidak ingin mencari keributan. Pula, tidak ada alasannya
untuk bermusuhan dengan para prajurit Mancu itu.
Maka, ia
lalu cepat mendayung perahunya ke sisi agar tidak menghalangi perahu besar dan
dua belas perahu kecil yang mengawalnya itu. Akan tetapi, ketika perahu besar
mendekat,Thian Hwa mendengar tangis wanita. Ia bangkit berdiri untuk dapat
menjenguk ke atas perahu besar yang mewah itu.
Dan setelah
ia berdiri, ia melihat ada suami isteri setengah tua duduk dengan kaki tangan
terikat di atas dek, dan muka laki- laki setengah tua itu bengkak-bengkak.
Tangis wanita itu terdengar dari balik perahu yang pintunya tertutup.
Melihat ini,
bangkit jiwa kependekaran Si Dewi Huang-ho!
Ia mengambil
batu besar pengganti jangkar, lalu menurunkannya ke dalam air. Perahu segera
berhenti, tidak hanyut terbawa air karena tertahan tali yang diikatkan pada batu
besar yang kini sudah tiba di dasar sungai.
"Hai,
mengapa berlabuh di s ini, Sian-li?"
"Tenanglah,
Twako. Engkau tunggu saja di sini, aku harus tolong mereka yang agaknya
ditangkap di perahu itu," kata Thian Hwa sambil sibuk mematahkan papan
tempat duduk perahu itu, lalu cepat mengikatkan dua batang papan itu di bawah
telapak kakinya yang bersepatu kulit. Karena tidak tahu apa artinya semua itu,
Kong Liang hanya memandang dengan heran. Setelah papan yang dipergunakan
sebagai terompah peluncur itu terikat kuat-kuat di bawah sepatunya, T hian Hwa mengambil
pedang dari buntalan pakaian dan menyelipkannya di bawah jubahnya.
"Tunggu
saja di sini, Bu Twako!" kata Thian Hwa dan ia langsung melompat keluar
dari perahu.
Kong Liang
terbelalak memandang tubuh gadis itu yang berdiri tegak di atas air, kemudian
gadis itu menggerakkan dayung yang dibawanya dan tubuhnya meluncur ke permukaan
air, mengejar perahu-perahu itu! Hampir dia tidak percaya kepada penglihatannya
sendiri. Benarkah gadis itu meluncur di atas air seperti seekor angsa
saja" Akan tetapi Kong Liang kini merasa khawatir akan keselamatan gadis
itu.
Dia tadi
melihat bahwa perahu besar itu terjaga enam orang prajurit sedangkan yang mengawalnya
ada dua losin orang prajurit. Bagaimana mungkin Huang-ho Sian-li yang seorang diri,
hanya menggunakan sepasang papan untuk dapat mengapung di atas air, akan mampu
menandingi mereka yang berada di perahu-perahu itu" Tanpa ragu lagi, Bu
Kong Liang menarik batu penahan perahu itu ke atas, kemudian dia mendayung
perahu itu melakukan pengejaran.
Thian Hwa
bersilancar dengan cepat sekali sehingga sebentar saja ia sudah dapat menyusul
perahu-perahu itu.
Dua losin
prajurit dalam selosin perahu yang mengawal di belakang perahu besar memandang
heran melihat seorang gadis cantik seolah berdiri di atas air dan meluncur
dengan cepatnya sambil mendorong air dengan sebatang dayung!
Mereka belum
pernah menyaksikan hal seperti itu, maka mereka terheran-heran dan menjadi
kurang waspada sehingga mereka diam saja tidak mencoba menghalangi, mungkin karena
selain kagum dan heran mereka juga sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu
akan menghampiri perahu besar.
Baru setelah
tubuh Thian Hwa melompat ke atas perahu besar, dua losin prajurit pengawal itu
menjadi gempar dan mereka mendekatkan perahu kecil mereka mengepung perahu besar.
Begitu me lompat ke atas perahu dan tiba di dek, Thian Hwa cepat melepaskan kakinya
dari ikatan pada dua buah papan.
Enam orang
pengawal yang tadi berdiri di atas kanan kiri perahu, kini lari menghampiri dan
mengepung T hian Hwa. Akan tetapi karena gadis itu tidak me lakukan gerakan menyerang,
maka mereka pun hanya mengepung saja. Tiba-tiba pintu bilik perahu besar itu
terbuka dan muncul dua orang laki-laki.
Dari pintu
yang terbuka Thian Hwa dapat melihat seorang gadis berusia sekitar enam belas
tahun sedang menangis di sudut ruangan itu. Ia lalu mencurahkan perhatiannya
kepada dua orang yang muncul itu.
Yang seorang
adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, mukanya gemuk
perutnya besar sekali.
Mukanya bulat kekanak-kanakan, hidung pesek mata sipit sehingga mukanya seperti muka babi. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, tanda bahwa dia adalah seorang pembesar. Yang muncul bersama dia adalah seorang laki-laki tinggi besar, mukanya brewok sehingga tampak bengis dan tangannya memegang senjata Long-ge-pang (Toya Bergigi Srigala). Begitu membuka pintu, pembesar gendut itu berseru,
Mukanya bulat kekanak-kanakan, hidung pesek mata sipit sehingga mukanya seperti muka babi. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali, tanda bahwa dia adalah seorang pembesar. Yang muncul bersama dia adalah seorang laki-laki tinggi besar, mukanya brewok sehingga tampak bengis dan tangannya memegang senjata Long-ge-pang (Toya Bergigi Srigala). Begitu membuka pintu, pembesar gendut itu berseru,
suaranya
terdengar marah.
"Heii...
ada apa ini ribut-ribut menggangguku saja...." Akan tetapi kata-katanya
terhenti dan matanya yang sipit dilebar- lebarkan agaknya agar dapat melihat
lebih jelas gadis cantik jelita yang berdiri di perahunya, dikepung enam orang
prajurit pengawal.
"Ehh...
Nona cantik seperti bidadari... siapakah engkau dan apa yang dapat kubantu
untukmu, Nona manis?"
Mendengar
ucapan dan melihat sikap ceriwis ini sudah cukup membuat Thian Hwa marah dan ingin
ia menampar Si Muka Babi itu. Akan tetap ia menahan sabar dan sambil memandang
kepada laki-laki dan perempuan setengah tua yang terikat kaki tangannya, yang
laki-laki bengkak-bengkak mukanya dan menunduk lemas sedangkan yang perempuan sesenggukan
menangis tanpa berani mengeluarkan suara, lalu ia memandang ke dalam kamar di
mana gadis remaja itu duduk menangis di sudut bilik, lalu ia bertanya.
"Tidak
penting aku siapa, aku hanya ingin tahu mengapa dua orang ini diikat di sini,
dan mengapa pula gadis itu menangis di dalam bilik?"
"Ha-ha-ha,
jangan salah sangka, Nona manis. Mari kenallah dulu siapa aku. Aku adalah Jaksa
Bong Sun Kok yang bertugas di T hian-cin. Suami isteri ini adalah
pemberontak-pemberontak yang seharusnya kujatuhi hukuman mati. Akan tetapi
karena aku seorang yang baik hati, aku hendak membawa mereka ke kota raja
berikut anak perempuan mereka.
Aku percaya Pangeran Leng Kok Cun akan suka memaafkan mereka dan mengambil mereka berikut anak perempuan mereka menjadi pelayannya."
Aku percaya Pangeran Leng Kok Cun akan suka memaafkan mereka dan mengambil mereka berikut anak perempuan mereka menjadi pelayannya."
Thian Hwa
mengerutkan alisnya dan kini ia pun mengenal laki-laki berpakaian sebagai
perwira yang bertubuh tinggi besar dan memegang senjata Long-ge-pang itu. Ia
tidak mengenal namanya, akan tetapi ia ingat bahwa orang itu adalah seorang di
antara Kam-keng Chit-sian (T ujuh Dewa dari Kam-keng) yang dulu menjadi
pengawal Pangeran Cu Kiong! Empat orang di antara mereka yang berjumlah tujuh
itudapat roboh tewas di tangan ia dan Ui Yan Bun, sedangkan yang tiga orang,
termasuk orang ini, dapat melarikan diri.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment