Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Pusaka Naga Putih
Jilid 02
SEMENJAK
terculik oleh Liok-tee Sin-mo Hong In dibawa ke puncak Gunung Kam-hong-san dan
dapat pula kata sepakat antara keempat orang kakek yang kini menjadi gurunya,
Han Liong lalu diserahkan dalam asuhan Yo Leng In. Bibinya ini selain tangkas
dalam ilmu silat, iapun ahli pula dalam kesusasteraan, pandai menulis
sajak-sajak dan pernah membaca habis kitab-kitab kuno.
Yo Toanio
yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan penuh kasih sayang,
mengajar anak itu bercakap-cakap. Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu,
memukulinya dari perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil
memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan obat buatan
Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula dalam ilmu pengobatan.
Dengan
rawatan luar biasa ini, kulit dan daging anak itu tumbuh dengan baik dan
mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus
karena tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan bedak batu
kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san.
Ketika Han
Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima pelajaran-pelajaran pokok
dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio mengajar dengan cara halus dan
sewajarnya, tidak dengan paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang
sekali mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakan-gerakan kaki
bibinya dengan gembira. Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena
dalam beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam gerakan-gerakan
bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan kuda-kuda yang sulit dengan
sempurna!
Setahun
kemudian, dalam usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak
ke sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk 'pou' gerakan
perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal dan faham benar akan
segala cara menggunakan tangan dan jari dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw
Ciu (gerakan jari telunjuk dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam
Ciat Ciu dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui dan
lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan sebagainya, dan ia
mengerti pula cara yang bermacam-macam dari kepalan tangan (koan).
Sampai
sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio membimbingnya dalam pokok dasar
ilmu silat dan kini mulai mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam
mata pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia dapat
menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali menghapal, seperti
huruf-huruf itu sudah tercetak dalam ingatannya hingga tak bisa lupa lagi!
Setelah Han
Liong paham benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna,
maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong In, karena ilmu
silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng In sendiri, seperti
yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.
Si Iblis
Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan napas (khikang) sampai
kepada ilmu meringankan tubuh dan lari cepat. Dasar ia memang berbakat
pendekar, dalam setahun saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh
dasar-dasar kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun kemudian,
kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kim-chie-piao telah ia pahami pula.
Tentu saja baru dasar-dasarnya dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan
praktek.
Karena masih
ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa bahwa Han Liong
sudah mewarisi seluruh pokok dasar kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke
dalam asuhan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih.
Beng-san
Tojin Pouw Kim Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han
Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan tulang. Ia
mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan mengajarnya ilmu le Kin Keng
dan cara bagaimana untuk Siulian (semadhi) memperkuat ketabahan batin.
Kemudian,
selang setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat tangan
kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouw-wan cianghoat (Ilmu
Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah seratus delapan jurus, Thai Kek Touw
dan seratus dua puluh jurus Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari
Siauw-lim dan Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik.
Gurunya yang
terakhir ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang tiada
taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu mengajarnya pula ilmu
ciptaannya sendiri, ialah gabungan permainan golok dan pedang. Ilmu ini dapat
digunakan baik dengan golok maupun dengan pedang dan gerakan-gerakannya sulit
sekali.
Sementara
itu, Han Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat menyurat
dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti sediakala. Keempat orang
gurunya masih terus memberi petunjuk-petunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia
berusia lima belas tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu
mewaiisi kepandaian silat campuran yang sangat hebat.
Demikianlah
penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh Han Liong dengan bercucuran
air mata. Lebih-lebih ketika ia mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib
ibunya. Ia menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya
guru-gurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia bersumpah untuk
melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan sakit hati orang tuanya.
"Han
Liong," berkata Pauw Kim Kong, "Biarpun kini engkau sudah memiliki
kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali engkau takabur dan
menganggap dirimu sendiri yang terpandai di dunia Ini. Di dalam dunia masih
banyak terdapat orang-orang pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka
engkau akan terjeblos!"
"Lagi,
jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk menindas kaum yang lemah,
Liong. Ingatlah selalu bahwa kami memberi pelajaran padamu ialah untuk
digunakan menolong sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan
membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan kepandaianmu untuk
keuntungan sendiri, maka kau tak akan selamat," sambung Siauw lo-ong Hee
Ban Kiat.
"Pesanku
padamu ialah, jangan terlampau mudah membunuh orang, muridku. Jauhkanlah golok
dan pedangmu sedapat mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat
terpaksa, janganlah membunuh orang secara serampangan," ujar Bie Kong
Hosiang.
"Dan
berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus selalu merendahkan
diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat, Liong, sepanjang pengalamanku, yang
tidak boleh dipandang ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah,
misalnya kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orang-orang lain
yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang sangat berbahaya itu adalah
mereka yang kelihatan lemah itu, tapi di dalamnya tersembunyi kekuatan dan
kepandaian tinggi. Karena tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali
memandang sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang lemah
itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya," kata Hong In si
Iblis Daratan.
Han Liong
menghaturkan terima kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji
akan memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara,
"Han
Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk menyuruh engkau turun gunung
hari ini juga. Kau perlu mencari pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari
ibumu. Tentang sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu
adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak terjangmu dilakukan
atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau sudah tahu ke mana harus mencari
ibumu. Tapi, sekali lagi kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau
jangan mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari ternyata
berobah menjadi anak durhaka dan murid yang mencemarkan nama baik guru-gurumu,
maka kami berlima tentu akan mencarimu!"
Pada saat
itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur keras menggelegar dan satu tenaga besar
menggetarkan bumi yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki
kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung. Semua orang heran
karena hari itu langit bersih dan tiada tanda-tanda kemungkinan ada guntur.
Kemudian terdengar ledakan keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu
bukan sekali-kali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir
gunung.
Suara
'krek-krek' terdengar dan keenam orang itu segera berlompatan keluar pondok.
Ternyata pondok itu menjadi miring dan belum lama mereka berada di luar, pondok
itu roboh dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu
mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum apa yang telah
terjadi.
Ketika tanah
yang mereka injak tadi tergetar membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali,
kenyataan sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok mereka
juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah dan batu-batu gunung
yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh ke dalam jurang. Debunya masih
tampak hebat! Tanpa mufakat lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari
menuju ke kiri di mana nampak debu mengepul tinggi.
"Hati-hati!"
Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai di sebuah tikungan, dari
atas turun menimpa beberapa buah batu besar yang rupanya terlepas dari
sandarannya di atas puncak dan berguling-guling ke bawah.
Untungnya
mereka telah waspada dan segera meloncat ke belakang menjauhi tempat bencana
itu. Betapapun tinggi kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang
berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka!
Han Liong
yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali melihat sesuatu yang masih asing
baginya, tak terasa maju mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh.
Tiba-tiba ia melihat sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak
diantara tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat.
Tiba-tiba
benda panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan serangan benda
itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula dikelit olehnya. Maka terpaksa ia
mengibaskan tangan kirinya untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda
itu tidak terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.
"Aduh!"
hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh pingsan. Guru-gurunya dan
bibinya dengan terkejut lari memburu. Bukan main khawatir mereka melihat
keadaan anak muda itu. Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak
digosok menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di
jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh anak muda itu.
Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau. Mulutnya terkancing, matanya tertutup
dan nafasnya sengal-sengal, tinggal satu-satu!
Yo Toanio
tak dapat menahan getaran hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil
menjerit-jerit! Guru-guru Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong
yang agak tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat ular yang
masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih sedih daripada yang
lain-lain.
"Bagaimana,
Pauw-suhu?' tanya Bie Kong Hosian ketika melihat Pauw Kim Kong berdiri putus
asa dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas.
"Ular
berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat racun ular demikian
luar biasa!"
Sambil
menangis keras Yo Toanio mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang
masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok ular itu putus kepalanya dan
Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya tubuh ular itu berkali-kali
hingga hancur menjadi berpotong-potong. Kemudian, setelah menubruk dan
menangisi keponakannya sekali lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke
lehernya sendiri!
Untunglah
Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan cepat memegang pergelangan Yo Toanio
yang memegang pedang hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!
"Sabar,
Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati," kata Hee Ban Kiat
menghibur.
"Belum
mati? Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua. Siapa bisa memberi obat?
Kan, bertahun-tahun kita didik ia, dari anak-anak sampai dewasa. Pengharapan
kita semua digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia
harus mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia berangkat
mati... Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)?"
Tiba-tiba,
bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu, terdengar desis keras
di dekat mereka. Mereka terkejut dan menengok ke arah suara itu. Alangkah
terperanjat dan marahnya mereka ketika melihat seekor ular lain
menggeleser-geleser mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan
belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya. Kelihatannya ganas benar dan
beracun pula!
"Kau...
binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga??"
Yo Leng In
dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah diletakkan di tanah oleh Hee Ban
Kiat, lalu melompat ke arah ular hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan
menanti serangan Yo Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular senduk,
tapi lebih tinggi lagi!
Kedua
matanya mencorong dan lidahnya yang merah menjilat-jilat. Yo Leng ln
mengayunkan pedangnya memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular
itu bukan main gesitnya dan dapat mengelak, Yo Leng In makin marah dan dengan
nafas sesak ia memancung berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak
mengenai sasaran.
Bie Kong
Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya ia membantu Yo Toanio untuk
membinasakan ular itu, sungguh aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak
mudah dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh ular
itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan Hee Ban Kiat
terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu!
Karena
dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah dapat dipastikan
nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi ia tentu akan hancur menjadi
berpotong-potong, kalau tidak, hancur sama sekali. Tapi, tiba-tiba terdengar
deruan angin dan disusul suara yang angker,
"Siancai,
siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!"
Suara itu
sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular
itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana
ke mari di antara hujan senjata tadi!
Suara yang
berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan
bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya
yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya ia berjalan
perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka
sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Cuwi
yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu."
Kemudian
tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak
bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir.
Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi
tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke
arah ular hitam tadi.
Yo Toanio
dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular
itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong. Tiba-tiba ular hitam itu
melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia
berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali,
dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata.
Sikapnya
jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari
orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar
mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia
bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi.
Tiba-tiba
orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong
dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan
jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan
tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang
di depannya.
Setelah hal
ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia
berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras
dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah
untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah
terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu.
Yang
diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan
anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan
anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi.
Yo Toanio
yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat
betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di
situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan
hatinya,
"Siluman
tua, apa yang kau lakukan?"
Dengan penuh
kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan
pedang itu dengan sekuat tenaganya. Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah
menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan
kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli
akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya!
Yo Toanio
dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua
itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan
melanjutkan pekerjaannya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher
ular!
Sejenak
kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan
mudah saja ia mencabut gigitan ular-ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang
ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di
bibirnya.
"Siancai,
siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong
jiwanya." Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya.
"Maafkan pinto, kim ouw-coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan
dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas
dengan kematian." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Alangkah
kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah,
mengalahlah kali ini, ouw-coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan
menebus dosa!"
Kemudian
dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali
pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu!
Yo Toanio
dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu,
lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya
ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk
pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati
mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan
menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur!
Segera
mereka berebut menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando,
mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.
"Ah,
cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak
layak menerima kehormatan ini."
Kata-kata
ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga
mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat.
"Maafkan
kami yang buta tak mengenal orang pandai," kata Pauw Kim Kong mewakili
kawan-kawannya bicara, "Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang
dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya.
Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?"
"Ah,
pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama?
Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto
katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah
dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk
mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu
untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk
berjumpa dengan Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja
mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini
menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih yang penuh
dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat
di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu.
Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im,
maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih,
racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang
mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat
yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian.
Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua
ular ini."
Tak perlu
dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar
keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio
memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera
berlutut.
"Nah,
cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua
ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun
depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali."
Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong.
Yo Toanio
penasaran. "Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong
adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya
mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku
menjadi tenteram."
"Ha ha
ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah
ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku
hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong
Siansu. Nah, selamat tinggal!"
Sebelum
mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan
membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo
Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.
"Jangan,
toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si enghiong
itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung
ini?"
Yo Toanio
mulai sadar, "Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah
bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si enghiong. Ya Tuhan,
syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti
sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!"
Semua
menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata.
"Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong
sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang tua itu seperti bukan
manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini."
"Jangan
gegabah, Hee koanjin," tegur Hong In. "Orang tua itu sudah tinggi
sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang
yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna
telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak
dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di
tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi
itu."
Kemudian
mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti
yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan
kembali ke tempat masing-masing.
***************
Sekarang
marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia
dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena
kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat
cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena
jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya!
Tiba-tiba
kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik,
"Pegang dahan pohon di bawah itu!"
Han Liong
waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya. Pohon di
bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah
yang sedang melayang turun dengan cepatnya. Bagaikan bersayap, kakeknya dapat
menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon.
Orang tua
itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong
memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi
malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya
telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak
ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya!
Keringat
dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke
bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup
jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya
berada di tanah gunung yang curam.
"Lompat
ke situ!" kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri.
Ketika Han
Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah
gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga
dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan
gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya
terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat.
Han Liong
mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di
dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata
bahwa di atas gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan
menerangi gua itu. Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela.
Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjjadi sangat
kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela!
Tamasya alam
yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan
berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular
ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan
seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru
karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga
gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh
lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa
segar dan sedap.
"Han
Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu," kata kakeknya
tiba-tiba.
Han Liong
terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah
putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya
yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta
merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi
delapan)
Wajah yang
agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak bearti. Dengan
penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh
hormat,
"Teccu
menghaturkan hormat..."
Kam Hong
Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata
kanak-kanak. "Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan
tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah
pengetahuanmu."
Han Liong
memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana
tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi, di mana tersedia
sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh
mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu!
Demikianlah,
tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat
memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat
gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam
Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar
biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak
terduga.
Petunjuk-petunjuk
yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke
dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat. Kam
Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu
tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat tangan kosong yang dipetiknya
dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu.
Ilmu pukulan
ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya
terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya.
Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin
yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat
tinggi.
Pada suatu
hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari
logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat
dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada
Han Liong sambil berkata,
“Anakku, kau
berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang
Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka
untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun
ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu.”
Dengan
sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah. “Teecu akan menjunjung
tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang
lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk
maksud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri,
biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!”
Kam Hong
Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu. “Han Liong, ketahuilah
olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya.
Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi
muridku.”
Han Liong
segera berlutut dan menyebut. “Suhu!”
“Muridku, di
dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah
Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam
(Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang,
sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata
yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun
jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang
dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya,
jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi
Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya.”
“Bolehkah
teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula
yang memilikinya?” tanya Han Liong.
“Ouw
liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah,
sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut
padamu. Belajarlah dengan rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya
mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada
manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira,
takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang
barangkali dapat menandingi!”
Mengenai
riwayat Pek-Liong-pokiam dan Ouw-liong pokiam silahkan baca Kisah Sepasang Naga
Han Liong
yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima
kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih
dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula.
Pagi hari di
musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata
pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim
Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun
ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.
“Aku bertapa
di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam
menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu.
Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti,
seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga
sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan
rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri
hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali
melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah
mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat.
Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga
itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat
semacam obat yang jahat dan manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang
pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua
naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi
mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga
batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka
berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah
sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu
membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena
dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan
mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang
pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang
gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah
penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw
liong-Pokiam.”
“Kongkong
(kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa
aneh itu?”
Kakeknya
tertawa. “Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau
tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu
telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat
mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun,
sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat
berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-hatilah dan waspadalah
terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat
dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu
sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari
kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung
dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di
tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu.”
Han Liong
berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat
oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya.
Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan
kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat.
Ternyata
keempat suhunya dan ie-ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk
keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak
lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia
tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang
itu.
Han Liong
dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan
pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong
menghela napas.
“Tidak
percuma Si Kim Pauw lo enghiong menjadi menteri setia dan Si-enghiong menjadi
seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa. Ternyata
keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami
hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan
berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang
tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat
sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang
lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas,
tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang
tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa,
usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu,
melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami.”
“Betul kata
Pauw suhu, Liong,” menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang.
“Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu
Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya.”
Dengan
segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat,
indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi,
hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana kemari dengan cepatnya.
Tidak sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu
merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak,
bagaikan tertiup angin gunung!
Empat orang
guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan
dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat
hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan
cara demikian sulit. Serta merta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong
menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata,
“Semua ini
berkat didikan suhu sekalian dan ie-ie. Teccu tak tahu bagaimana harus
membalasnya!”
“Anak baik,”
kata Yo Toanio, “asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan
pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap
kami.”
Kemudian
Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia
mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya
kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw
Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam
perjalanannya menemui mereka itu. Lain-lain guru tidak mempunyai murid lain
kecuali Han Liong.
Setelah
menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong
bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa
potong perak dan emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan
hati terharu.
***************
Si Han Liong
yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di
mana ibunya dan musuh besarnya tinggal. Tapi alangkah kecewa hatinya ketika
tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah
beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya.
Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda
kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air
sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu.
Karena
memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar
bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil
keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal
di dekat Sungai Lien-ho.
Perkampungan
itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang
khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk
menyeberang sungai yang lebar itu.
“Kalau tuan
mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih.
Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu,” kata seorang
nelayan tua sambil menawarkan perahunya. “Tuan hendak pesiar ke mana?”
Han Liong
tersenyum. “Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku
ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?”
“Ke kota
Hong-lung cian?” Nelayan tua itu geleng-geleng kepala. “Ah, lebih baik jangan
tuan.”
“He, apa
maksudmu? Kenapa?” tanya Han Liong.
“Dengar tuan
muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang
terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian
orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama
pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini,
belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong
mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh,
tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani.”
“Mengapa?
Ada apakah di Hong-lung cian?” tanya Han Liong.
"Di
Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!” jawab kakek itu, “tapi perjalanan
dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan
rimba raya. Sungai Lien-ho ini di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh
sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan
pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga
oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh
Oei-coa-tai-ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman
dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi
tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-coa-tai-ong si
Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau
masih ingin hidup.”
Mendengar
keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau
bahaya rakyat ini, pikirnya. “Lopek yang baik,” katanya tertawa, “kiranya
daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?”
“Tentu saja
bisa.”
“Dan berapa
biayanya?”
“Hm, paling
sedikit tujuh tail perak.”
Han Liong
merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak. “Nah, ambilah uang
ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah
satu tail lagi.” sambung Han Liong.
“Eh, eh,
lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san…”
“Aku sudah
tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun
takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!”
Kakek
nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri
sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari
tangannya menyodok batu itu.
“Nah
lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok
kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?”
Lo Sam tak
mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan
heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan
jari anak muda itu. Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.
“Kau rupanya
seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak.”
“Jangan
khawatir, Lopek yang baik.”
Akhirnya Lo
Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun
sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnya pun baru saja diganti hingga jika
turun hujan tidak bocor.
Betul
sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawanya
pun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam
ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa
kesepian.
Setelah
perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua
pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan
mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.
“Hati-hatilah,
kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san...”
Belum habis
Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas
kepala mereka!
“Celaka,
kongcu!!” Lo Sam mengeluh.
Tapi Han
Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum
saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung
maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang
di atas kepala mereka, kini lebih rendah.
“Bagaimana
baiknya, kongcu?” Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.
“Kayuhlah
perahu ke tengah,” berkata Han Liong yang masih tenang.
Perahu
didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang
tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya
mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping
dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak
disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat
anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar
ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.
“Masuklah
saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu,” kata Han Liong.
Tawaran ini
ditolak keras oleh Lo Sam, “Apa kongcu kira aku ini orang yang
serendah-rendahnya? Biar usiaku sudah tua, biar tenagaku sudah lenyap, biarpun
telah kukatakan terus terang bahwa aku sangat ketakutan, tani aku tidak sudi
meninggalkan kewajibanku!” Dan ia terus mendayung, kini ia mulai berani,
agaknya diperkuat oleh pernyataannya yang bersemangat itu.
Kemudian
dari arah pantai tampak tiga buah perahu dangan sangat cepat mengejar mereka.
Ketiga perahu itu bercat hitam dan bergambar ular dan kepala perahunya pun
merupakan kepala ular yang sedang membuka lebar mulutnya. Dengan cepatnya
perahu itu dapat mengejar perahu Lo Sam, dan sekarang terlihat bahwa di tiap
perahu duduk tiga orang tinggi besar memegang golok. Perahu pertama berada
paling dekat dan di situ berdiri seorang berpakaian hijau membolak-balikkan
goloknya.
“He, perahu
di depan, ayoh berhenti dan kepinggir! Tinggalkan dulu barang-barangmu,” teriak
bajak itu.
“Yang ada
hanya barangku sendiri, kenapa harus ditinggalkan? Kami kan tidak punya hutang
padamu.” jawab Han Liong.
“Jangan
banyak mulut kau, anjing kecil,” bajak itu mengancam.
“Mulutku
hanya satu, anjing besar.” Han Liong mempermainkan bajak itu, hingga ia menjadi
marah.
Karena
perahu mereka kini hanya terpisah paling jauh satu tombak, bajak itu mengayun
kakinya meloncat ke arah perahu Han Liong sambil mengangkat goloknya!
Han Liong
tekankan tangan kirinya pada kepala perahunya yang segera meluncur ke samping
seakan-akan terdorong dari sisi oleh tenaga yang kuat sekali. Tidak heran bahwa
ketika kaki bajak yang melompat itu turun, ia mencebur ke dalam air karena
perahu itu seakan-akan berkelit!
Kawan-kawan
bajak itu merasa heran, bahkan ada beberapa orang diantara mereka melihat
pemimpin mereka begitu bodoh hingga melompat ke perahu begitu dekatpun tidak
becus! Sama sekali mereka tidak sangka bahwa bukan pemimpin mereka yang tak
dapat melompat, tapi adalah tenaga Han Liong yang kuat telah membuat perahu
seakan-akan menyingkir.
“Ayoh
serbu!” teriak seorang bajak lain yang segera meloncat pula ke arah perahu Han
Liong. Tapi kembali ia menginjak tempat kosong dan mencebur juga ke dalam air.
Sementara
itu Lo Sam terheran-heran dan berkaki-kali berteriak, “eh, eh, eh!!” dikala
perahunya kelihatan seperti berjiwa dan dapat bergerak ke sana ke mari berkelit
menghindarkan kaki para bajak yang melompat. Akhirnya semua bajak yang
berjumlah sembilan orang itu masuk ke dalam air.
“Teruskan
dayung, Lo Sam.” kata Han Liong.
Tapi di saat
itu pemimpin bajak sambil menggigit goloknya telah berenang mendekat dan hendak
menggunakan tangannya memegang pinggiran perahu. Lo Sam melihat ini segera
mengangkat dayungnya dan memukul tangan yang memegang pinggiran perahunya itu,
hingga si bajak menjerit kesakitan karena jari-jari tangannya dipukul keras!
“Bagus, Lo
Sam, kau sungguh gagah,” Han Liong memuji dan Lo Sam dengan wajah bangga segera
mendayung perahunya laju ke depan, meninggalkan para bajak itu berenang kembali
ke arah perahu mereka dan segera mengejar kembali dengan secepat mungkin.
“Cepat, Lo
Sam, gunakan seluruh tenagamu. Mereka datang mengejar!” kata Han Liong yang
lalu mengambil dayung cadangan yang kecil dari dalam perahu dan mulai membantu
dengan perlahan.
“Ayoh bantu,
jangan perlahan begitu, kuat-kuat!” teriak Lo Sam yang sibuk juga melihat
bajak-bajak dengan pakaian basah kuyup itu membalapkan perahu mereka mengejar.
“Aku tidak
biasa, kaulah yang harus mendayung kuat-kuat,” jawab Han Liong, tapi sementara
itu ia mengerahkan tenaganya.
Lo Sam juga
menggunakan seluruh kepandaian dan tenaganya yang sudah tua untuk membuat
perahu mereka meluncur cepat. Sebentar saja perahu mereka dengan laju dan cepat
maju ke muka, dan meninggalkan para bajak itu berteriak-teriak.
“Kau kuat
sekali, Lo Sam,” Han Liong memuji dan kendurkan tenaganya. Perahu menjadi
perlahan majunya dan Lo Sam mengaso dengan napas terengah-engah.
“Kalau cuma
bajak-bajak kecil itu saja mana bisa mengejarku,” katanya sombong.
“He, Lo Sam,
mengapa bajak-bajak itu berhenti mengejar?” tiba-tiba Han Liong bertanya.
Lo Sam
menengok ke belakang, tapi matanya yang tua hanya melihat titik-titik hitam
jauh di belakang. “Kau tidak tahu, kongcu, sekarang kita sudah memasuki daerah
yang dikuasai Oei-coa-tai-ong, maka kita harus hati-hati. Bajak-bajak yang tadi
adalah anak buah Hek Sam Ong.”
Betul saja,
ketika perahu mereka sampai di sebuah tikungan, ternyata di depan telah
menghadang sepuluh buah perahu besar yang memenuhi sungai. Tiap perahu memuat
lebih kurang dua kelas orang berpakaian kuning yang semuanya memegang senjata
tajam. Yang terdepan adalah sebuah perahu besar warna kuning pula, di mana
berdiri seorang pendek gemuk yang berwajah seperti kanak-kanak. Di pinggang
orang ini tergantung pedang.
“Awas, itu
dia Oei-tai-ong sendiri mencegat kita,” Lo Sam berbisik dengan suara gemetar.
Han Liong
melihat bahwa perahunya tak mungkin lewat, bangun berdiri lalu menjura kepada
kepala bajak itu. “Maafkan kami tai-ong, apakah sebabnya maka tai-ong, mencegat
kami?”
Kepala bajak
itu tersenyum dan balas menjura, “Hohan, kami sudah mendengar akan sepak
terjangmu ketika diganggu oleh anak buah Hek sute tadi. Maka kini siauwte
sendiri mengundangmu untuk singgah sebentar belajar kenal.”
Han Liong
heran akan keluar biasaan orang ini. Demikian cepat ia telah tahu akan
peristiwa tadi dan dapat menduga bahwa ia adalah seorang yang berkepandaian.
Maka tak ragu-ragu lagi ia menjura sambil menjawab,
“Baiklah,
tai-ong, dan terima kasih atas budimu ini.”
Dengan
ketakutan, tapi bercampur terheran-heranan. Lo Sam menurut saja ketika
perahunya ditarik ke pinggir. Dengan tenang Han Liong melangkah turun lalu
bersama-sama Oei-coa-tai-ong Si Ular Kuning, berjalan menuju ke tengah rimba.
Di sepanjang jalan menuju ke kemah raja sungai itu nampak barisan bajak berdiri
rapi berjajar sambil memegang golok atau tombak, merupakan barisan kehormatan.
Ternyata Hek
Sam Ong sendiri juga berada di situ. Ia adalah seorang tinggi besar, berkulit
hitam dan cambang bauknya lebat menakutkan. Dialah yang mendahului datang ke
situ dengan anak buahnya untuk ikut mencegat anak muda yang istimewa itu.
Di dalam
ruangan kemah telah tersedia meja penuh hidangan. Oei-coa-tai-ong duduk di
kursi tuan rumah, di kanannya duduk Hek Sam Ong dan di kirinya disediakan kursi
untuk Han Liong. Masih ada dua orang lagi duduk di meja itu, ialah Kong Tat dan
Kong Ta yang dijuluki orang Sepasang Garuda Sungai Lien-ho dan menjadi pembantu
kedua bajak sungai itu.
Hek Sam Ong
mengambil sepasang sumpit lalu menghampiri Han Liong. Ia tancapkan sumpit itu
di depan Han Liong sambil berkata, “Terimalah sumpit untukmu, tuan yang gagah.”
Sepasang sumpit itu menancap di meja sampai satu dim lebih.
Han Liong
tersenyum melihat demonstrasi tenaga dalam ini dan ia menepuk-nepuk meja sambil
berseru, “Bagus! Bagus!”
Sungguh
ajaib, biarpun ia hanya menepuk perlahan saja, namun sepasang sumpit gading
yang tertancap di atas meja itu berlompatan ke atas dan jatuh kembali tepat di
atas lobang yang tadi hingga tetap berdiri di atas meja.
Hek Sam Ong
menjura dan mundur, lalu duduk kembali ke atas kursinya. Tiba-tiba terdengar
suara ketawa Oei-coa-tai-ong yang bangun berdiri, sambil menjura ke arah Han
Liong.
“Saudara
masih muda tapi berilmu tinggi, bolehkah kiranya saya mengetahui namamu?”
“Siauwte
yang rendah bernama Han Liong she Si, harap tai-ong tidak tertawakan kebodohan
siauwte,” jawab Han Liong.
“Ah, ah,
sudah pandai, sopan santun pula. Jarang menjumpai seorang muda seperti kau, Si
enghiong. Aku yang kasar sudah sepatutnya memberi hormat dengan secawan arak.”
Ia menutup
kata-katanya ini dengan menuangkan arak dari guci secawan penuh. Arak di cawan
itu penuh sekali hingga hampir melimpah, tapi aneh benar, seakan-akan ada
tenaga yang menahan arak itu hingga tak sampai tumpah, si pendek gemuk itu lalu
maju selangkah ke arah Han Liong,
“Terimalah
hormatku melalui secawan arak ini, Si enghiong.” Ia berikan cawan arak itu
kepada Han Liong, tapi diam-diam ia mengerahkan tenaga Iweekangnya menekan ke
bawah.
Ketika Han
Liong menerima cawan itu, ia merasa suatu tenaga besar menekan ke bawah. Ia
tersenyum dan ingin unjuk kepandaiannya, karena kalau sampai tangannya tertekan
dan arak yang hampir melimpah itu tumpah, ia akan mendapat malu. Dengan tenang
ia terima cawan itu dan pada saat itu juga Oei-coa-tai-ong diam-diam merasa
terkejut sekali, karena ia merasa cawannya itu seakan-akan menyentuh kapas,
namun demikian seakan-akan dasar cawan lekat pada tangan pemuda itu!
Oei-coa-tai-ong
kerahkan tenaganya makin keras, tapi kali ini ia merasa tangannya sakit sekali
karena tenaganya sendiri membalik hingga terasa sampai ke tulang-tulangnya!
Terpaksa ia lepaskan cawan itu. Han Liong dengan senyum di bibir mengangkat
cawan arak itu ke arah mulutnya lalu memiringkan cawan itu untuk menuangkan
arak itu ke mulutnya.
“Ah, arakmu
terlalu kental, tai ong,” kata Han Liong.
Semua orang
heran melihat arak itu melimpah ke sisi cawan, tapi tidak juga jatuh atau
tumpah. Han Liong tanpa minum araknya meletakkan kembali cawan itu ke atas
meja. Ketika ia melepaskan tangannya, maka arak itu tumpah dan membasahi meja.
Oei-coa-tai-ong
tersenyum menyindir, “Rupanya kau pandai ilmu iweekang, anak muda. Entah
bagaimana pula ilmu silatmu!”
“Siauwte
hanya bisa satu dua jurus ilmu pukulan yang tidak berarti saja,” jawab Han
Liong tetap merendah.
“Jangan
banyak tingkah. Marilah kau coba ilmu silatmu dengan kami dua saudara Garuda
Sungai Lien-ho,” tiba-tiba Kong Tat menantang.
“Satu sama
satu juga aku tidak mungkin menang, apa lagi dikeroyok dua.” kata Han Liong,
tapi ia bangun juga berdiri dengan sabar. Tiba-tiba di sudut dilihatnya Lo Sam
duduk dengan beberapa orang pemimpin laskar bajak yang sedang menggodanya dan
melolohnya dengan arak.
“He, Lo Sam,
kesinilah kau!” teriak Han Liong.
Tapi ketika
Lo Sam hendak berdiri, beberapa orang bajak memegang lengannya dan memaksanya
duduk kembali. Han Liong segera bertindak menghampiri dan memegang lengan Lo
Sam untuk diajaknya pindah duduk. Tapi lengan Lo Sam yang sebelah lagi masih
dipegang oleh dua orang berandal.
Han Liong
menyambar sumpit Lo Sam dan menggunakan sumpit itu untuk mengetok dengan
perlahan tangan orang-orang yang memegangi Lo Sam. Terdengar jeritan-jeritan
ngeri dan dua orang itu berjingkrak-jingkrak kesakitan sambil memegang
lengannya yang terketok sumpit itu. Mulut mereka tiada hentinya mengeluh.
“Aduh,
aduh!” Tiga orang bajak lain merasa penasaran dan dengan golok mereka menyerang
Han Liong. Han Liong menggunakan sumpit kayu itu menangkis dengan sekali kebut.
“Traang!!”
Tiga buah golok itu terpental jauh, bahkan sebuah diantaranya meluncur cepat
melukai kaki seorang bajak lain!
Melihat
kelihaian pemuda ini para bajak sungai itu menjadi takut dan tak berani
bergerak. Dengan tenang Han Liong menggandeng tangan Lo Sam dan kembali ke
tempatnya. Kemudian ia menghadapi Sepasang Garuda Sungai Lien-ho yang
menantangnya tadi sambil tersenyum.
“Bagaimanakah,
jiwi, apakah jiwi ingin maju satu-satu atau terpaksa mengeroyok!”
“Kalau kau
takut melawan kami sepasang, kami akan maju satu-satu!” kata Kong Tat dengan
kesal.
“Bagaimana,
Lo Sam? Beranikah kiranya aku sekali tempur melayani kedua enghiong ini?”
Lo Sam kini
percaya penuh akan kegagahan Han Liong. Hatinya telah menjadi tetap dan timbul
sifat sombongnya. “Jangankan baru mereka berdua, biar semua maju sekali
serentak, kurasa kongcu masih sanggup melayaninya.” Demikian ia membual agar
jangan 'kalah muka' dengan para bajak yang dibencinya itu.
“Mari maju
kemari!” Kong Tat menjadi marah mendengar ini, ia menantang Han Liong sambil
menuju ke tempat yang lapang dengan Kong Ta, lalu berdiri memasang kuda-kuda
dengan berjejer, di tangan masing-masing memegang sepasang golok besar.
Han Liong
bertindak tenang menghampiri kedua orang itu dengan tangan kosong. Lo Sam melihat
jagonya maju tak bersenjata, segera ingat betapa tangkasnya Han Liong tadi
memainkan sumpit melayani tiga orang bajak bersenjata golok. Ia meloncat ke
arah meja dan memilih sepasang sumpit gading. Diambilnya sumpit itu lalu ia
lari ke arah Han Liong.
“Kongcu, kau
tak bersenjata, ini senjatamu!” Ia sangka bahwa Han Liong memang biasa
bersenjata sumpit!
Han Liong
tersenyum dan menerima sumpit itu sambil berkata, “Terima kasih, Lo Sam.”
Sepasang
Garuda Sungai Lien-ho sangat kesal dan marah melihat betapa lawan mereka itu
sangat memandang rendah kepada mereka.
“Kau hanya
bersenjata sepasang sumpit? Jangan menyesal kalau nyawamu melayang karena
keangkuhanmu ini, anak muda!” kata Kong Ta dengan mata merah.
“Silakan
maju menyerang, jiwi enghiong.” tantang Han Liong...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment