Friday, October 12, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 03



























                Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Pusaka Naga Putih

                 Jilid 03


Dengan mengeluarkan bentakan keras, Kong Tat mengayun golok di tangan kanan menyerang dengan sabetan Garuda Menerkam Ular. Kong Tat menimpali serangan kakaknya dengan menusukkan goloknya ke arah pinggang lawan dalam tipu Garuda Menyambar Kelinci.

Han Liong dengan tenang mengangkat kedua sumpitnya, sumpit kiri menyampok golok yang akan mengenai leher dan sumpit kanan menolak tusukan golok ke pinggangnya. Kedua saudara Kong merasa telapak tangan mereka sakit ketika golok mereka terpental oleh tangkisan anak muda itu. Mereka menjadi hati-hati dan mengurung Han Liong dari kiri kanan.

Serangan-serangan mereka diatur bertubi-tubi dan berpasangan. Kalau dari kiri menyerang bagian atas, dari kanan menyerang bagian bawah, kalau yang kiri menyerang bagian kanan, yang kanan menyerang bagian kiri, hingga Han Liong seakan-akan terkurung oleh empat buah golok di semua bagian!

Tak percuma kedua saudara Kong itu mendapat julukan Sepasang Garuda Sungai Lien-ho, karena gerakan-gerakan mereka yang cepat dan bertenaga serta ganas itu memang seakan-akan merupakan dua ekor garuda yang menyambar-nyambar dan mencakar-cakar dengan empat caka mereka!

Tapi sekali ini mereka malang sekali berjumpa dengan Han Liong, seorang muda yang tubuhnya terlatih semenjak kanak-kanak dan dikuatkan oleh darah Ouw-pek coa, kemudian menerima pelajaran dari empat orang guru-guru yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus, lalu dimatangkan pula oleh bimbingan Kam Hong Siansu, seorang pertapa berilmu paling tinggi yang jarang ada taranya di masa itu.

Empat buah golok mereka tak berdaya sama sekali terhadap Han Liong. Gerakan anak muda itu terlampau cepat bagi mereka, ditambah dengan gerakan-gerakan ilmu silat yang aneh dan tak terduga pecahannya. Suara trang-treng-trong beradunya golok dengan sumpit makin sering terdengar dan mata kedua saudara Kong itu menjadi silau melihat bayangan Han Liong berkelebat ke sana ke mari diantara sambaran golok mereka.

Han Liong melayani mereka dengan gunakan Ouw-wan-ciang-hoat warisan gurunya Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu. Sebenarnya ilmu ini adalah ilmu pukulan tangan kosong, tapi karena Han Liong sudah mendapat bimbingan Kam Hong Siansu, maka ia dapat mainkan itu dengan menggunakan sumpit. Bahkan sumpitnya balas menyerang dengan selalu tertuju ke arah jalan darah musuh dengan gerakan Su-sat-chiu.

Baru saja pertempuran berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, kedua saudara Kong itu sudah menjadi sangat sibuk menangkis serangan balasan Han Liong, karena mereka merasa yang menyerang mereka seakan-akan bukan dua batang sumpit, tapi lebih dari enam sumpit!

Tiba-tiba, ketika Kong Tat dari kanan menyambar kaki Han Liong dengan golok kanan, pemuda itu tidak mengelak atau menangkis, tapi bahkan memapaki golok itu dengan kakinya! Gerakannya demikian cepat dan sebelum Kong Tat tahu bagaimana cara Han Liong melakukan itu, tiba-tiba saja jari tangan kanannya yang memegang golok telah tertendang hingga terpaksa ia melepaskan goloknya dan terlempar jauh!

Kemudian menyusul sebuah sumpit menotok tulang pundak kirinya dan ia berteriak keras, golok di tangan kirinya terlepas dan sebelah lengan kirinya menjadi lumpuh! Kong Ta menolong saudaranya dengan memutar goloknya seperti baling-baling menyerang lawannya, tapi tiba-tiba Han Liong membalikkan tubuhnya dengan ilmu Oei-liong-coan-sin atau Naga Kuning Memutar Tubuh, satu gerakan dari warisan gurunya Bie Kong Hosiang.

Gerakan inipun seharusnya dilakukan dengan menggunakan golok atau pedang, tapi pada saat itu, kekuatan sepasang sumpit Han Liong sudah cukup untuk menggantikan dua macam senjata panjang itu. Terdengar suara benda beradu keras sekali dan tanpa terduga sepasang golok Kong Ta terlempar ke atas, lalu terdengar teriakan Kong Ta karena Han Liong secepat kilat menotok iganya hingga ia terjungkal untuk tak dapat bangun kembali!

Kawanan bajak yang dipimpin oleh Oei-coa-tai-ong berteriak-teriak marah dan mengurung anak muda itu, lalu atas isyarat kepalanya, mereka menyerbu dengan senjata golok, tombak dan toya! Lo Sam menjadi ketakutan dan bersembunyi di tempat aman.

"He, Oei-tai-ong, mengapa tindakanmu rusuh begini?" tegur Han Liong sambil menangkis puluhan tombak dan golok itu.

Tapi musuhnya tak menjawab, bahkan segera ikut menyerang dengan pedangnya. Juga Hek Sam Ong memutar toya besinya yang menerbitkan angin menderu-deru karena tenaganya yang besar. Han Liong melayani mereka dengan tenang sebentar saja lima orang bajak tertendang olehnya sampai jatuh bangun.

Tiba-tiba di luar kepungan itu terjadi keributan dan beberapa orang bajak menjerit-jerit kesakitan. Ketika Han Liong melirik, ternyata di sana terdapat seorang gadis muda yang berpakaian cara laki-laki tengah mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) yang gerakannya sangat gesit dan lincah. Kemudian gadis itu memburu ke arah Han Liong yang sedang dikeroyok dan berteriak nyaring.

"Hei, bangsat Oei-coa dan Hek Sam! Kembali kamu memperlihatkan sifat pengecut!"

Kedua kepala bajak itu heran dan segera membentak semua orangnya agar berhenti. Han Liong yang dilepaskan dari kepungan juga memandang gadis itu dengan berdiri tenang. Lo Sam keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Han Liong.

"Eh, eh. Gadis kecil dari manakah berani datang mengacau?" Oei-coa-tai-ong menegur.

"Ketahuilah olehmu kepala bajak jahat. Beberapa hari yang lalu ketika pegawai ayahku lewat di sini, kamu telah membajaknya dan barang-barangku juga terbawa dalam rampasanmu. Kamu tidak tahu siapa ayahku dan tidak tahu pula kelihaianku, ya? Nah, hari ini aku datang untuk menghukummu!"

"Hm, anjing betina tak tahu malu!" Hek Sam Ong memaki karena perasaan tak puas melihat lagak gadis itu. "Kau kira kami takut padamu?"

Han Liong memandang gadis itu dengan kagum akan keberaniannya, tapi ia berbareng tak senang melihat kelancangan gadis semuda itu berani datang mengantarkan diri memancing bahaya di gua harimau.

Mendengar makian keji itu mata gadis yang bening dan bagus seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar marah dan seperti hendak mengeluarkan api.

"Kurang'ajar!" hanya demikian ia berseru lalu kedua kakinya bergerak. Kegesitannya hebat juga karena tahu-tahu ia telah melompat ke depan Hek Sam Ong dan menyerangnya dengan tusukan maut!

Hek Sam Ong adalah seorang yang telah banyak pengalaman dalam bertempur, dan toyanya adalah toya besi besar dan berat, ditambah pula dengan tenaganya yang sekuat kerbau, maka ia merupakan lawan yang bukan ringan. Segera ia menangkis dengan toyanya dengan sepenuh tenaga.

Tapi gadis itu ternyata lihai benar, karena dari sambaran toya ia telah maklum akan kekuatan tenaga lawan, maka ia menarik kembali pedangnya agar jangan sampai beradu dengan toya, lalu pedang kiri menyabet leher dan pedang kanan yang ditarik mundur sudah bergerak maju pula menusuk lambung!

"Bagus!" diam-diam Han Liong memuji karena gerakan pedang Taufan Mengamuk di Lautan ini dimainkan dengan gaya indah sekali, Hek Sam Ong tundukkan kepala dan loncat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya itu dan si nona mendesak maju.

Dua orang bajak yang tak senang melihat gadis itu dan berbareng kagum melihat kecantikannya, menggunakan gagang tombak mereka untuk memukul dari belakang ke arah dua lengan tangan gadis itu. Tapi tiba-tiba si gadis melompat ke atas dan turun kembali sambil kedua pedangnya berkelebat ke kanan dan ke kiri, tahu-tahu kedua bajak itu menjerit sambil roboh karena leher mereka tertusuk pedang sampai tembus!

"Serbu! Tangkap!!" Demikian terdengar teriakan-teriakan dan semua bajak yang tadinya mengeroyok Han Liong, kini berbalik mengepung nona itu dengan teriakan-teriakan riuh rendah.

Oei-coa-tai-ong menghampiri Han Liong sambil menjura, "Sobat muda, sekarang lebih baik kau pergi saja, karena urusanmu sudah beres dan kami sedang sibuk dengan kuda betina liar ini!" katanya.

Diam-diam Han Liong merasa geli karena ia tahu akan kelicinan kepala bajak ini. Setelah tahu bahwa Han Liong bukan makanan lunak dan tidak membawa harta, maka kepala yang pintar itu mengambil kesempatan ketika semua orang tidak melihat, sehingga ia tidak akan hilang muka, minta Han Liong pergi saja dari tempat itu! Tapi Han Liong bukannya pergi malahan mengambil sebuah kursi dan duduk dengan enak.

"Aku mau nonton dulu," katanya. "Gampang saja pergi kalau tontonan bagus ini sudah selesai."

Oei-coa-tai-ong tidak perdulikan ia lebih jauh karena ia harus membantu Hek Sam Ong yang nampak payah, sedangkan beberapa orangnya telah rebah mandi darah menjadi korban sepasang pedang yang ganas dari nona itu.

Karena banyaknya korban, maka akhirnya para bajak hina itu tidak berani lagi mendekati nona yang sedang mengamuk seperti singa betina itu, takut kepada sepasang pedangnya yang berbahaya dan tajam. Mereka hanya melihat dari tempat aman bagaimana kedua tai-ong mereka dengan dibantu tiga orang pemimpin yang agak tinggi ilmu silatnya, mengeroyok gadis itu.

Hek Sam Ong memainkan toyanya dengan ilmu toya dari cabang Siauw-lim yang sudah berobah, tapi masih cukup berbahaya, sedangkan Oei-coa-tai-ong memainkan pedangnya dengan ilmu silat pedang campuran antara ilmu pedang dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan kiam-hoat dari Gobi.

Permainan silat kedua tai ong ini memang bagus sekali, ditambah dengan tiga pemimpin lain yang lumayan juga permainan goloknya, maka perlahan-lahan si nona terdesak juga dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Tapi gadis itu meskipun usianya masih sangat muda tapi semangat dan keberaniannya besar sekali. Ia kertakkan gigi dan memutar siang-kiamnya bagaikan kitiran.

Pada saat itu dengan gerakan Burung Kepinis Bermain di Angkasa ia melompat ke atas menghindari sapuan toya dan tikaman pedang kedua tai-ong itu, lalu dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi, ia melayang secepat kilat sambil menikamkan pedangnya ke arah leher seorang daripada tiga pemimpin yang mengeroyoknya.

Hek Sam Ong menggerakkan toyanya untuk menangkis dan menolong kawannya, tapi tiba-tiba ia merasakan toyanya seakan-akan terbentur sesuatu dan terpental balik, hingga serangan nona itu tidak ada yang menghalangi. Terdengar teriakan ngeri dibarengi dengan tersungkurnya kepala bajak tadi karena lehernya hampir putus oleh pedang si nona!

Sisa pengeroyoknya yang tinggal empat orang itu menjadi hilang akal juga melihat kehebatan gadis itu, terutama Hek Sam Ong merasa heran karena tidak mengerti apakah yang telah membentur toyanya tadi. Karena merasa kebingungan ini, permainan toyanya menjadi kacau dan kesempatan baik itu digunakan oleh si gadis untuk menyerang dengan hebat dalam gerakan tipu Siauw-liong-tiam-jiauw atau Naga Kecil Ulur Cakarnya. Sepasang pedangnya bersamaan menyerang ke arah dada dan leher lawan.

Namun ternyata gadis itu sangat terburu nafsu, mungkin karena kelelahan dan ingin segera menghabiskan musuh-musuhnya secepat mungkin hingga ia kurang berlaku hati-hati. Tipu silat yang ia jalankan itu sungguhpun sangat berbahaya bagi seorang lawan, namun demikian berbahaya pula bagi dirinya sendiri karena ia sedang menghadapi keroyokan.

Ia tidak ingat bahwa tipu itu hanya boleh dimainkan jika menghadapi lawan seorang saja. Dengan menyerang dengan kedua pedangnya, ia memberi kesempatan terbuka bagi lain pengeroyoknya. Dan Oei-coa-tai-ong melihat pula hal ini. Dengan sangat girang, ia menubruk maju sambil menusukkan pedangnya dari belakang nona itu.

Pada saat yang sangat berbahaya bagi nona itu kembali Han Liong mempergunakan batu-batu koral kecil yang sejak tadi ia main-mainkan di tangan. Tadi ia telah gunakan sebutir koral untuk menahan toya Hek Sam Ong, kini terlihat ia menggerakkan tangan kiri dan kanannya dua kali.

Batu pertama tepat mengenai jidat Hek Sam Ong hingga si tinggi besar ini tidak berdaya sama sekali ketika pedang nona itu mengarah dadanya. Ia berteriak ngeri dan roboh, dari dadanya mengalir darah segar. Batu kedua tepat menyerang betis kaki Oei-coa-tai-ong, hingga biarpun ia memakai kaos kaki duri kulit, namun masih saja betisnya merasa sangat perih dan sakit hingga ia terpaksa berhenti mengejar nona itu dan memegang-megang kakinya dengan rasa takjub.

Ketika itu, si nona sudah membalikkan tubuh dan ia makin bersemangat karena musuhnya kini tinggal tiga lagi. Betapapun juga, ia sudah amat lelah dan mandi keringat, sedangkan di antara semua lawannya. Oei-coa-tai-ong adalah yang paling tangguh. Han Liong melihat gerakannya mulai lemah merasa kasihan juga dan kembali ia mengayun tangannya arah lengan tai-ong yang pendek itu. Oei-coa-tai-ong berseru kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan!

Saat itu pedang kiri si nona membabat pundaknya hingga tanpa ampun lagi ia terguling dengan pundak hampir terbelah dua! Nona muda itu makin ganas dan mendesak dua kepala bajak dengan keras. Tentu saja kedua orang itu bukan tandingannya, maka sebentar saja mereka terdesak sekali.

Tiba-tiba seorang di antara mereka melempar goloknya dan berlutut tanda takluk. Kawan-kawannyapun buru-buru turut perbuatan kawannya. Gadis itu agaknya tak hendak ambil perduli, bahkan mengangkat kedua pedangnya untuk membacok.

"Nona, tahan!" Han Liong berteriak.

Gadis itu menangguhkan bacokannya dan menengok dengan wajah membenci. "Bagus! Aku datang menolongmu, sebaliknya kini kau mau membela dua jahanam ini. Ini namanya air susu dibalas dengan air tuba!"

"Bukan begitu, nona," Han Liong membantah. "Aku merasa berterima kasih sekali mendapat pertolonganmu, karena kalau kau tidak segera datang, tentu aku telah menjadi bangkai! Tapi lihatlah, mereka semua telah menyerah, apakah kau sampai hati dan begitu kejam untuk membunuh orang demikian banyak itu?" Han Liong menunjuk ke sekitar tempat itu.

Gadis itu menengok dan melihat betapa berpuluh-puluh anak buah bajak itu mencontoh pula perbuatan dua pemimpin mereka dan berlutut sambil melepaskan senjata masing-masing.

"Kau hendak mengampuni mereka, tapi kalau di belakang hari mereka membuat onar lagi dan mengganggu rakyat, jangan kau menyesal," nona itu menggerutu, lalu duduk di atas sebuah kursi dengan muka merengut. Agaknya ia baru merasa lelahnya di saat itu, dan ia duduk meluruskan kakinya untuk menghilangkan lelah.

"Saudara-saudara sekalian," kata Han Liong sambil menghadap kepada semua sisa anggota bajak itu. "Lihiap ini telah begitu baik hati untuk mengampuni kalian. Kalau ia berlaku kejam, mungkin kalian pada saat ini telah dibasmi habis dan kalian telah melihat sendiri betapa tangkasnya lihiap. Maka biarlah ini menjadi satu pelajaran bagi kalian bahwa betapapun juga, perbuatan jahat itu selalu akan hancur. Kalian adalah lelaki-lelaki sehat dan kuat, mengapa memilih jalan sesat? Kalian menjadi bajak untuk merampok rakyat jelata tanpa pilih bulu. Lebih baik kalian mencari jalan benar dan bekerja mencari makan dengan cara halal."

Seorang daripada pemimpin bajak yang menakluk tadi segera menjura dan membantah, "Tapi, bagaimana kami harus bekerja? Kemiskinan merajalela dan demikian pula para pembesar dan kaum hartawan. Mereka toh kerjanya hanya menindas dan menghisap rakyat miskin. Lapangan pekerjaan amat sempit dan orang yang mencari makan dengan cara halal banyak yang kelaparan."

Han Liong bingung karena sebenarnya ia belum tahu jelas tentang keadaan penghidupan rakyat jelata pada masa itu. Tiba-tiba gadis itu berdiri dan membantunya,

"He, kamu sekalian! Memang benar bahwa sekarang banyak penghisap rakyat, tapi aku tidak larang jika kamu mengganggu para pembesar jahat dan hartawan penghisap darah rakyat. Tapi janganlah merampok tak pilih bulu. Pula, tidak semua hartawan dan pembesar jahat, ada juga yang masih tahu akan perikemanusiaan. Juga, tanah kita lebar dan luas, tenaga kamu sekalian masih dibutuhkan."

Semua bajak bungkam tak ada yang berani membantah.

"Sekarang, bagaimana harus mengatur semua orang ini, lihiap?" tanya Han Liong dengan hormat.

Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Han Liong, tapi berkata pula kepada semua orang itu. "Nah, sekarang kamu semua harus bubarkan sarang bajak ini agar jalan sungai di daerah ini menjadi aman. Semua harta yang terdapat di sini boleh kamu bagi rata dipakai modal, dan sarang bajakmu harus dibakar habis. Awas, lain kali kalau aku lewat sini masih terdapat pengganggu keamanan, jangan katakan aku keterlaluan jika kucabut pedangku dan tidak ada ampunan lagi bagimu!"

Bajak-bajak itu menyatakan terima kasih dan bubar untuk segera melakukan perintah itu. Sekejap kemudian keadaan di situ menjadi sunyi.

Han Liong merasa kagum sekali melihat sepak terjang gadis itu yang cepat dan tepat. Dalam pandangannya gadis itu ternyata baru berusia paling banyak enam belas tahun, bertubuh ramping dan tampak makin ramping pinggangnya dalam pakaian pria yang serba ringkas itu. Bajunya berwarna merah dan celananya biru. Sepatunya dilapisi besi di bawahnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sutera merah pula. Wajahnya cantik dan menarik.

Han Liong masih asing dengan pergaulan, lebih-lebih dengan kaum wanita, maka ia tak dapat banyak bicara. Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sam dan matanya mencari-cari. Ternyata kakek nelayan itu telah bersembunyi di bawah sebuah meja ketika terjadi pertempuran hebat antara gadis itu dan para kepala bajak tadi!

"He, Lo Sam! Keadaan telah aman, keluarlah!" kata Han Liong dan gadis itu tertawa geli melihat tingkah Lo Sam.

Kakek itu merayap keluar dan mengusap-usap dadanya. "Nah, baru kali ini aku yang tua ini melihat peristiwa sehebat ini. Seorang gadis muda dengan kedua tangan membasmi dua gerombolan bajak! Hebat, hebat!" Ia lalu menjura kepada gadis itu dan bertanya hormat. "Lihiap yang gagah perkasa. Perkenankanlah aku yang tua mengetahui nama lihiap agar dapat kudongengkan kepada anak cucuku tentang kejadian ini."

Gadis itu tertawa. "Aku dipanggil orang Hong Ing dan she Lie."

Lo Sam memperkenalkan diri tanpa ditanya. "Aku adalah nelayan tua Lo Sam dan tuan muda ini... eh... namanya..." ia memandang Han Liong dengan bingung karena sesungguhnya ia belum tahu nama pemuda itu.

Han Liong tersenyum dan menyambung. "Namanya Si Han Liong..."

"Bolehkah aku bertanya, kemanakah lihiap kini hendak pergi?" tanya Lo Sam pula.

"Aku hendak pergi ke Hong-lung cian."

"He Hong-lung cian? Kebetulan sekali, lihiap, kami berdua juga sedang menuju ke sana ketika dicegat oleh para bajak tadi," kata Lo Sam.

"Kalau lihiap sudi, silakan ikut dengan perahu kami, bersama-sama pergi ke Hong-lung cian." Han Liong menawarkan.

Lie Hong Ing tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Han Liong yang belum ada pengalaman itu merasa malu-malu selama di dalam perjalanan membisu saja. Tapi baiknya Lie Hong Ing adalah seorang gadis kota yang terpelajar, hingga tanpa ragu-ragu gadis ini mengajaknya bercakap-cakap dan lama kelamaan pemuda itu hilang rasa malunya.

Ternyata Hong lng selain pandai ilmu silat, juga luas pandangannya tentang ilmu sastera. Gadis ini menganggap bahwasanya Han Liong hanyalah seorang sasterawan yang hanya kenal sedikit ilmu silat saja, maka pembicaraannya kebanyakan mengenai ilmu kesusasteraan, dan mungkin Hong Ing hendak membanggakan kesusasteraannya!

Karena perahu itu tidak berapa besar, maka Han Liong mempersilakan Hong lng menempati tempat tidur satu-satunya di dalam perahu itu yang hanya terbuat daripada jerami dibungkus kain, dan ia sendiri duduk di luar kamar perahu mengobrol dengan Lo Sam sambil membantu mendayung.

Malam hari itu dilewatkan tanpa kejadian sesuatu. Hong Ing agaknya sangat lelah barangkali setelah pertempuran itu, karena ia pulas dan nyenyak sekali sampai esok harinya. Setelah matahari tinggi, mereka memasuki kolong jembatan pintu kota Hong-lung-cian. Lie Hong Ing ketika mereka sampai di jembatan kedua, lalu menyatakan terima kasihnya dan turun dari perahu.

"Si toako, selamat berpisah sampai berjumpa pula," kata gadis itu sambil menunduk hormat, tiba-tiba saja ia menggunakan sebutan yang lebih akrab, ialah toako atau kakak.

"Lihiap telah banyak memberi petunjuk padaku yang bodoh ini, aku ucapkan banyak terima kasih pula," jawab, Han Liong.

Setelah gadis itu pergi, Lo Sam mengomel pada Han Liong, "Ah, kongcu, lihiap sebut kau toako, kenapa kau masih sebut ia lihiap?"

"Habis bagaimana, Lo Sam?"

"Seharusnya kau sebut ia moi-moi atau siauw-moi..."

Han Liong diam saja, tapi mukanya terasa panas karena ia merasa malu kalau harus menyebut demikian. Atas petunjuk Lo Sam yang telah beberapa kali datang ke kota itu dan mengenal semua jalanannya. Han Liong mendapat kamar di rumah penginapan Cit-seng.

Kemudian, setelah menambah uang setail perak, tapi ditolak oleh Lo Sam, kakek nelayan itu kembali ke kampungnya, dan kebetulan ada seorang yang hendak ke Lam-ciu hingga ia mendapat penumpang lagi.

Sepeninggal Lo Sam, Han Liong terkenang kepada Hong Ing yang amat menarik hatinya itu. Ia kagum mengenangkan kecerdikan, pengertian dan kepandaian silat gadis itu. Begitu muda tapi sudah demikian luas pengalamannya, pikirnya. Ia baru saja turun gunung lalu mendapat kawan seperjalanan yang menarik seperti Lo Sam yang peramah dan Hong Ing yang pandai itu, betapa genbira hatinya selama dalam perjalanan, tapi sekarang mereka harus berpisah. Dan tinggallah Han Liong seorang diri di kota yang masih asing baginya. Kini ia merasa sangat kesepian.

Kemudian, setelah makan siang, ia keluar dari penginapan, berjalan-jalan melihat-lihat kota sembari memasang telinga ingin tahu di mana gerangan tempat tinggal musuh besarnya, yaitu Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Tapi alangkah herannya ketika ternyata tak seorangpun di kota itu yang ditanyainya, kenal kepada Tiat-kak-liong Lie Ban.

Atas petunjuk beberapa orang yang ditanyainya, ia mendatangi beberapa cabang atas dan guru silat di kota itu untuk mencari keterangan. Tapi para jagoan di kota inipun tidak kenal nama Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Salah seorang guru silat yang berperawakan tinggi besar tapi sombong dengan angkuh menjawab pertanyaannya dengan ketawa.

"Naga Tanduk Besi? Ah, anak muda, barangkali kau salah dengar. Apakah kau mencarinya hendak belajar silat?"

Han Liong mengangguk, menyatakan ya. "Kalau begitu, barangkali yang kau cari itu bukan Tiat-kak-liong, tapi Tiat-thou-liong si Naga Kepala Besi."

"Kiat-thou-liong? Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?" Han Liong bertanya penuh harap.

"Ha, ha, ha! Kalau kau berguru kepadanya, maka kau takkan kecewa, kongcu." Tiba-tiba guru silat itu bicara sopan dan ramah, "Pun, ongkos belajarnyapun tidak begitu mahal, pendeknya cukup murah kalau dibandingkan dengan pelajaran ilmu silat tinggi yang akan kau terima."

Biarpun tidak tertarik akan percakapan ini, namun Han Liong terpaksa menunjukkan muka tertarik. "Di mana tempat tinggalnya?" ulasnya lagi.

"Lihat ini!" tiba-tiba guru silat itu berkata sambil memungut dua potong bata merah lalu memukulkan dua bata itu ke atas kepalanya! Terdengar suara...

"Prok! Prak!" batu bata itu pecah, hancur menjadi beberapa potong kecil!

"Nah, lihatlah kekuatan kepalaku. Akulah yang dipanggil orang Naga Kepala Besi. Jadi yang kau cari untuk kau jadikan gurumu tiada lain orangnya ialah aku sendiri!"

Han Liong merasa kecewa dan mendongkol sekali. "jadi kau sendirikah kauwsu itu? Baik, aku mau menjadi muridmu dan berapa saja bayaran pelajarannya akan kubayar, tapi aku harus mencoba sendiri kekuatan kepalamu itu."

"Baik, baik. Silakan!"

Han Liong memungut sepotong bata kecil, pecahan dari bata tadi. "Aku hanya ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa kuatnya kepalamu. Aku akan menggunakan bata kecil ini untuk menyambit kepalamu," katanya.

Si Naga Kepala Besi tertawa berkakakan karena melihat lengan Han Liong yang halus kulitnya itu bagaikan lengan wanita, membikin ia menjadi geli, mengapa pemuda itu demikian bodoh untuk mencoba kepalanya dengan sepotong bata kecil. Bukankah tadi dua buah bata besar menjadi hancur ketika beradu dengan kepalanya? Berapa kekuatan bata sekecil itu? Ia segera memasang kepalanya ke arah Han Liong dan menantang,

"Nah, lemparlah bata itu sekuat tenagamu!"

Karena jemu dan mendongkol, Han Liong menjepit bata itu diantara jari-jari tangannya, lalu menggunakan telunjuknya untuk menyentil bata itu ke arah kepala Naga Kepala Basi itu. Sengaja pemuda itu tidak menggunakan semua tenaga lweekangnya, karena maksudnya hanya memberi sekedar pelajaran untuk kesombongannya. Bata kecil itu melesat dan...

"Pletakkk!" menghantam si kepala besi.

Sungguh aneh, bata itu tidak pecah, tapi sebaliknya si Naga Kepala Besi bagaikan menerima pukulan palu baja yang keras! Ia berteriak "Aduh!" dan kedua tangannya memegang kepalanya dan terhuyung-huyung, akhirnya jatuh di atas sebuah kursi sambil meringis-ringis. Ia merasa kepalanya sakit sekali sehingga tidak tertahan, kedua matanya mengeluarkan air!

Ia meramkan mata menahan sakit. Untungnya rasa sakit itu hanya sebentar saja, dan ketika ia menggunakan jarinya meraba-raba, ternyata di batok kepalanya tumbuh tanduk alias bengkak! Ia sangat heran dan membuka matanya, tapi keheranannya bertambah ketika dilihatnya bahwa pemuda itu sudah tidak berada di hadapannya lagi! Diam-diam dia maklum ia baru berhadapan dengan seorang ahli Iweekeh yang tinggi ilmu silatnya. Maka berjanjilah ia dalam hati untuk tidak bersikap sombong dilain kali.

Dengan hati kecewa Han Liong berjalan ke sana ke mari di dalam kota Hong-lung-cian. Ia merasa putus asa. Ke mana lagi ia harus mencari musuh besarnya itu? Kakinya membawanya ke sebuah tempat yang ramai, merupakan pasar kecil di mana banyak terdapat orang-orang berdagang barang-barang yang datang dari luar kota. Secara iseng-iseng ia masuk ke situ dan berdesak-desakan dengan banyak orang.

Tiba-tiba ia merasa ada orang meraba-raba kantongnya yang tergantung di pinggangnya. Cepat sekali gerakan tangan itu hingga tahu-tahu kantongnya telah terlepas dari ikatan! Tapi tangan Han Liong lebih cepat lagi. Pencopet yang licik ttu tanpa disadarinya, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang kantong tadi telah dipegang oleh tangan korbannya. Ia berusaha melepaskan pegangannya, tapi sia-sia.

Bahkan ketika ia kerahkan tenaganya, ia merasa pergelangan tangannya begitu sakit seakan-akan hendak patah. Mata dengan muka merah dan kebingungan ia menurut saja ketika Han Liong menariknya ke tempat yang agak sunyi. Mereka berdua berjalan seakan-akan dua sahabat karib saling bergandengan tangan. Setelah tiba di sebuah gang sepi Han Liong melepaskan cekalannya.

Orang itu mengembalikan kantong yang dicopetnya itu sambil menunduk memberi hormat. “Kongcu maafkan siauwte yang telah berlaku tak sepatutnya padamu,” katanya.

Han Liong melihat orang itu masih muda, kira-kira berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya kecil tapi tampak kuat dan dari gerak-geriknya dapat kita ketahui bahwa ia mengerti ilmu silat.

“Tidak apa,” jawabnya, “Tapi barangkali kau bisa menolongku,” kata Han Liong.

Orang itu memandang heran. “Kongcu, aku Tan Sam dijuluki orang Si Copet Tangan Seribu. Belum pernah tanganku gagal, tapi kali ini kongcu telah membuat aku takluk benar-benar, karena tidak sembarang orang dapat memegang lenganku tanpa aku dapat berdaya sama sekali. Aku orang miskin dan tentang kepandaian, kongcu jauh lebih tinggi dariku, maka pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepada kongcu?”

“Aku tidak inginkan pertolongan tenaga maupun uang,” kata Han Liong. “Hanya aku membutuhkan keterangan tentang seorang di kota ini.”

“Oo, kalau soal itu saja, jangan kongcu khawatir, karena tidak ada seorang juapun di kota ini yang tidak kukenal, kecuali kalau ia orang luar kota.”

“Nah, kalau begitu, kenalkan kau seorang bernama Lie Ban yang disebut orang si Naga Tanduk Besi?”

Tan Sam mengerutkan dahinya memikir- mikir. “Lie Ban Naga Tanduk Besi? Sungguh heran, tidak ada rasanya orang yang bernama itu di sini, kongcu.”

Han Liong kecewa, tapi masih mencoba menerangkan. “Ia belum lama ini pindah dengan keluarganya dari Lam-ciu.”

“Dari Lam-ciu katamu, kongcu? Ada seorang she Lie yang baru pindah dari Lam-ciu, tapi namanya adalah Lie Wan-gwa. Tapi aku tidak tahu apakah hartawan itu bernama Lie Ban. Lagi pula, masakan seorang hartawan mempunyai nama julukan seperti seorang ahli silat demikian? Tapi, nanti dulu! terus terang kukatakan bahwa aku pernah mencoba memasuki gedungnya, tapi gagal, aku mendapat genteng yang dilemparkannya padaku yang menyebabkan hampir saja aku dapat ditawannya dan...!”

“Dan... bagaimana maksudmu?” Han Liong tertarik.

“Aku tidak berhasil apa-apa, bahkan hampir aku mati terbunuh!”

“Bagaimana bisa terjadi?”

“Tidak kuketahui bahwa di gedung wan-gwe itu ada setannya! Baru saja aku mendarat di atas genteng, tiba-tiba sebuah genteng terbang menyambar kepalaku. Berkali-kali genteng terbang menyambarku hingga tubuh dan kepalaku luka dan mencucurkan darah! Anehnya, sama sekali aku tidak melihat orangnya yang menyambit itu. Maka, kalau bukan setan, siapakah lagi?”

Han Liong tak dapat menahan senyumnya, “Hm, kalau begitu maukah kau menolong aku untuk menyelidiki, apakah hartawan Lie itu yang bernama Lie Ban atau bukan?”

“Baik, kongcu, baik. Sore nanti akan kukirim berita hasil penyelidikanku padamu.”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Mereka lalu berpisah dan Han Liong kembali ke kamarnya. Ia masih ragu-ragu apakah hartawan itu benar-benar musuh besarnya yang dicari-carinya itu? Ia harus bertindak dengan hati-hati jangan sampai gegabah yang bisa mencelakakan orang lain yang tak bersalah, karena salah alamat. Sore harinya, betul saja Tan Sam datang, dengan muka berseri-seri, ia menceritakan hasil penyelidikannya.


“Tidak percuma kau minta tolong dan mempercayaiku, kongcu! Hartawan she Lie itu betul-betul Lie Ban Naga Tanduk Besi!”

“Bagaimana kau tahu begitu pasti?” tanya Han Liong teliti.

“Karena aku yakin, untuk dapat masuk ke gedung itu tipis benar harapan, karena sangat berbahaya, maka aku gunakan akal. Aku pancing-pancing keterangan di antara pelayan-pelayan gedung itu, dan dari mereka aku tahu bahwa semua pelayannya berasal dari kota ini, di antaranya terdapat seorang pelayan tua yang dibawa oleh Lie wan-gwe dari Lam-ciu. Kebetulan sekali pelayan tua itu keluar dari gedung lalu kuculik. Setelah kupaksa, akhirnya pelayan tua itu mengaku juga, bahwa Lie-wan-gwe itu ialah Lie Ban si Naga Tanduk Besi itu sendiri! Ia bekas panglima perang yang kini telah berhenti. Tapi kalau kau hendak memusuhi orang she Lie ini, hati-hatilah, kongcu, karena aku mendengar bahwa baru beberapa hari ini di rumahnya kedatangan kawan-kawannya yang terdiri dari ahli-ahli silat terkemuka. Bahkan sejak mereka pindah ke sini, selalu gedung itu dijaga oleh adiknya sendiri Oei-kak-liong Lie Kong dan dua saudara Jie-pa-cu yang bernama Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw. Mereka ini merupakan penjaga-penjaga yang kuat dan tinggi ilmu silatnya, kini ditambah lagi dengan tamu-tamunya yang datang itu, maka gedung orang she Lie itu merupakan sarang harimau-harimau galak yang tidak mudah dikalahkan. Hm, kalau kuingat aku masih merasa sakit hati, kongcu. Tidak heran ketika aku coba-coba datang ke sana dulu, genteng-genteng beterbangan melukaiku. Aku tidak tahu bahwa di situ bersarang jagoan-jagoan besar. Ah, untung mereka masih mengampuni aku dan tidak membunuhku!”

Alangkah lega dan girang hati Han Liong mendengar keterangan-keterangan ini. Ia sekarang tidak ragu-ragu lagi, karena ternyata Oei-kak-liong Lie Kong adik Lie Ban dan dua saudara macan tutul itupun berada di situ, tepat seperti yang diceritakan oleh gurunya Liok-tee-sin-mo Hong In, yang menolong dirinya juga ketika itu bertempur dengan mereka berempat ini di masa lalu!

Mendengar penjagaan yang kuat itu, sedikitpun ia tidak gentar, bahkan semangatnya bertambah. Ia yakin, dengan berkumpulnya orang-orang itu, maka pembalasannya akan menjadi lengkap. Ia mengucapkan terima kasih kepada Tan Sam dan memberinya potongan uang emas, tapi hadiah ini ditolak oleh Tan Sam dengan manis.

“Kongcu, kau adalah orang baik. Aku tahu benar bahwa kau seorang berbudi luhur yang pernah kucopet. Aku senang membantumu, kongcu. Jika kau ada apa-apa, carilah aku di jembatan kelima jalan barat sana!” Kemudian ia pergi.


                  ***************


Malam itu kebetulan tanggal empat belas dan sore-sore sang ratu malam telah menampakkan diri, bulan purnama memancarkan sinarnya terang benderang seolah-olah tersenyum manis pada setiap mahluk dan segala benda yang ada di permukaan bumi. Tidak tampak sedikitpun awan gelap yang mengganggu.

Suasana tampak menggembirakan, penuh damai dan tenteram, sehingga tak seorang juapun menyangka bahwa di malam itu akan terjadi suatu peristiwa besar yang mengerikan. Di atas genteng-genteng rumah-rumah yang berjajar-jajar di bagian kota itu tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali. Jika ada orang yang kebetulan berada di atas genteng rumahnya ia akan melihat bayangan saja yang berpusing tanpa terlihat orangnya, tentu ia akan menyangka bahwa bayangan itu adalah bayangan burung terbang.

Sebetulnya adalah Han Liong sendiri yang berpakaian putih dengan ikat pinggang warna kuning panjang berkibar-kibar di belakangnya. Langsung Han Liong menuju ke rumah Lie Ban yang besar dan mewah itu. Setibanya di luar gedung, Han Liong mengencangkan ikat pinggangnya dan kemudian mengayunkan tubuhnya ke atas genteng.

Tindakan kakinya demikian ringan hingga sedikitpn tak mengeluarkan suara. Ia berhenti di atas sebuah kamar besar di mana menyala api lilin yang dipasang lebih dari empat tempat hingga menerangi seluruh kamar. Diam-diam ia membuka genteng dan mengintip ke dalam.

Di tengah-tengah kamar itu terdapat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja bundar. Kelihatan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap duduk di kepala meja. Di kanan kiri dan depannya duduk lima orang laki-laki yang semuanya bertubuh kuat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang ahli silat yang pandai.

Ternyata mereka tengah asyik bercakap-cakap dan dari kata-kata mereka, Han Liong mendapat kesan bahwa orang-orang itu adalah orang baik-baik yang berbicara tentang silat dan tempat-tempat indah di berbagai tempat. Pemuda itu ragu-ragu, lalu loncat ke tempat lain melanjutkan penyelidikannya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita sedang bercakap-cakap. Hatinya berdebar-debar, karena bukankah nyonya Lie Ban adalah ibunya sendiri?

Teringat ini hatinya menjadi perih, karena selalu ia mengenangkan ibunya dengan dua perasaan menjadi satu, perasaan cinta dan kecewa. Ia segera melakukan pengintaian lagi. Kamar itu lebih kecil daripada kamar yang lain. Di situ hanya terdapat sebuah lilin yang kecil sehingga keadaan dalam kamar suram. Tampak olehnya seorang wanita setengah tua tengah berbaring dan di sampingnya duduk seorang perempuan muda yang memijat-mijat kakinya.

“Anakku,” terdengar suara wanita setengah tua itu dengan suara halus penuh kasih sayang hingga Han Liong yang mendengarkannya merasa terharu. “Kurangilah kebiasaanmu pergi merantau. Kau adalah anak perempuan seorang bekas pembesar, seorang cian kim siocia yang sepatutnya berdiam di rumah belajar pekerjaan halus-halus. Kalau kau bertemu dan berkenalan dengan segala bangsa kasar, derajatmu dengan sendirinya akan turun.”

“Ah, ibu. Aku bosan kalau terus-terusan berada di dalam rumah. Aku ingin meluaskan pandangan dan menambah pengalaman,” jawab anak perempuan tadi sambil mengelus-elus kaki ibunya.

“Dasar anak sekarang. Tapi, hati-hatilah, nak, karena menurut pengalamanku, lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Nah, sekarang mengasolah, ibumu hendak tidur.”

Han Liong tidak dapat melihat tegas wajah mereka karena cahaya lilin sangat suram. Ia mellat betapa wanita muda itu turun dari pembaringan dan meninggalkan ibunya, memasuki kamar lain dan wanita itu bangun dari pembaringan lalu duduk di kursi. Ia nampak kurus dan tua.

Karena ingin kepastian, Han Liong tidak ragu-ragu lagi lalu melompat turun di depan pintu kamar itu, dan menolak daun pintu perlahan-lahan. Perempuan itu menengok, agaknya terkejut melihat pemuda yang tidak dikenal itu. Tapi ia segera dapat menetapkan hatinya.

“Siapa kau?” tanyanya dengan suara tenang.

Han Liong melihat ada sebuah lilin yang agak besar belum dipasang di atas meja, maka tanpa menjawab pertanyaan itu, dengan cepat ia mengambil lilin itu dibakarnya dengan lilin kecil yang masih menyala itu. Kamar menjadi terang dan dengan sekilas pandang Han Liong dapat melihat wajah yang membayangkan kesedihan itu, dan dapat pula dilihatnya dengan nyata bahwa muka itu persis seperti bekas wajah wanita cantik. Kemudian sambil memandang dengan tajam, ia menjawab lemah.

“Namaku Han Liong... Si Han Liong!!”

Wanita itu terkejut bagai disentakkan oleh tenaga gaib. Kedua tangannya diulurkannya, sepasang matanya terbelalak memandang seakan-akan melihat setan, penuh pancaran tidak percaya, kedua kakinya tiba-tiba gemetar dan bergerak maju tanpa disengaja. Kemudian secepat kilat ia menangkap tangan kiri Han Liong dan membalikkan telapak tangan anak muda itu.

Ia membiarkan saja. Terlihat di nadi Han Liong sebuah titik hitam. Wanita itu memandang Han Liong pula dari kepala sampai ke kaki, kedua matanya yang terbelalak lebar perlahan-lahan menjadi basah dan air mata menetes turun di sepanjang pipinya. Kemudian ia mundur terhuyung-huyung, tapi kedua lengannya terbuka seakan-akan hendak memeluk.

“Han Liong... Han Liong... anakku...!!” Ia mengharapkan puteranya itu maju menubruk dan memeluknya, tapi Han Liong diam saja, berdiri tegak laksana patung.

“Han Liong...!” nyonya tua itu merasa seluruh anggota tubuhnya lemah dan tangannya meraba-raba ke sandaran kursi mencari pegangan untuk menahan tubuhnya yang hendak roboh karena kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Beberapa saat berlalu sunyi, hanya terdengar suara pernapasan wanita itu yang terengah-engah berat.

“Han Liong... kau datang mencari ibumu...?” tanyanya lemah.

“Bukan,” jawab pemuda itu tegas tanpa pikir lagi, sehingga ia sendiri menjadi heran akan kata-katanya karena mengapa sedang hatinya bagaikan hancur luluh melihat ibu kandungnya sendiri yang sudah lama dirindukannya, dengan seluruh hasratnya yang menggelora ingin memeluk kaki ibunya dan ingin pula menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya, maka tiba-tiba mengeluarkan kata-kata ketus.

“Aku datang hendak mencari pembunuh ayahku. Ibu tentu sudah lupa ayahku orang she Si yang terbunuh oleh suami ibu yang sekarang ini. Tapi aku tidak lupa, dan aku ingin menuntut balas!” Suaranya makin keras dan lantang, semua diucapkannya diluar kesadarannya.

Mendengar kata-kata yang bagaikan pisau tajam menusuk hatinya dan yang penuh pernyataan penyesalan dari anak kepada ibunya ini. Yo Lu Hwa, wanita itu, mendekap dadanya dan menjerit ngeri, lalu roboh tak sadar diri!

Buyar seketika semua kekerasan hati Han Liong melihat ibunya pingsan. Ia maju dengan lemah lembut diangkatnya tubuh ibunya ke atas pembaringan. Yo Lu Hwa mulai sadar tapi masih merasa pening dan matanya memandang gelap, lalu dipeluknya leher anaknya dengan hati hancur. Tapi Han Liong melepaskan pelukan ibunya karena pada saat itu ia mendengar suara langkah kaki memasuki kamar.

Ia hendak meloncat keluar, tapi ibunya memegang tangannya seakan-akan hendak menahannya, sehingga hal ini membuatnya terlambat untuk keluar dan pada saat itu pintu kamar terpentang lebar. Orang yang memasuki kamar itu adalah seorang gadis muda yang tadi berbicara dengan ibunya, dan ketika ia melihat tegas, hampir saja ia berteriak karena heran. Karena yang berdiri di depannya memegang sepasang pedang itu tiada lain ialah Lie Hong Ing sendiri, gadis gagah yang baru pagi tadi meninggalkan perahunya!

“Ibu... ada apa, ibu?” kata gadis itu melihat ibunya dengan cemas. Ibunya yang terserang tekanan batin hebat itu hanya dapat menuding ke arah Han Liong sambil berkata lemah, “Ia... ia...” lalu menangis tersedu-sedu.

Hong Ing cepat menengok dan ketika ia melihat Han Liong, kedua alis matanya bergerak-gerak tercengang. “Kau...?? Kau... datang ke sini mengganggu ibuku? Berani benar kau!”

Segera ia menusuk dengan pedang kanan ke arah leher Han Liong. Pemuda itu kini maklum bahwa Hong Ing adalah anak ibunya dan Lie Ban! Hebat rasanya kenyataan ini. Hong Ing adalah anak musuh besarnya, tapi adalah adiknya sendiri, adik seibu. Dan kini adiknya itu menyerangnya dengan tusukan maut!

“Hong Ing... ia... kakakmu...!”

Yo Lu Hwa masih sempat berbisik, tapi tak terdengar oleh Hong Ing yang sedang marah sekali. Tusukannya dapat dikelit Han Liong yang segera turut mundur keluar dengan cepat.

“Bangsat, jangan lari!!” teriak Hong Ing lalu menyusul.

Han Liong melompat ke atas genteng, disusul oleh nona itu. Untuk sesaat Han Liong ingin berlari pergi karena ia segan melawan nona itu, tapi sifat jantannya melarang ia pergi sebelum ia membatas sakit hati ayahnya. Maka ia berdiri menanti dengan tenang. Ketika Hong Ing yang tertinggal karena kalah gesit itu tiba di hadapan Han Liong, gadis itu menahan serangannya dan bertanya dengan suara ketus,

“Tak kusangka kau adalah golongan orang jahat! Sekarang terangkan maksud kedatanganmu sebelum kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!”

Mau tak mau Han Liong memainkan senyum di bibirnya mendengar kecongkakan gadis itu. “Kau hendak tahu maksud kedatanganku? Baiklah aku berterus terang. Kepadamu aku tak bermaksud apa-apa, maka baiknya panggil saja ayahmu keluar. Bukankah ayahmu adalah Lie Ban si Naga Tanduk Besi?”

“Ada urusan apa kau mau berjumpa dengan ayahku?” tanya Hong Ing.

“Ia adalah pembunuh ayahku dan aku datang hendak membalas dendam dan membunuhnya!”

“Bangsat kecil! Kau hendak membunuh ayahku? Bagus, besar sekali nyalimu. Tak perlu ayahku keluar untuk membereskan kau, cukup aku sendiri dengan sepasang pedangku ini!” Terus ia menyerang kembali dengan hebat.

“Apa boleh buat! Kau sendiri yang mencari celaka!” kata Han Liong dan tiba-tiba Hong Ing merasa matanya kabur ketika pemuda itu berkelit menghindari serangannya sambil mencabut Pek liong pokiam yang bersinar putih melepak dan menyilaukan mata ketika ditimpa sinar bulan!

Tapi Hong Ing tidak takut, ia segera menyerang kembali dengan gerak tipu Dua Dewa Kecil Bermain-main. Pedang kanannya diputar-putar seperti baling-baling lalu diarahkan ke leher lawan, sedangkan yang kiri langsung menusuk perut lawannya itu. Han Liong kelit tusukan dan menangkis sabetan pada lehernya.

"Tranggg!" dan tahu-tahu pedang kanan Hong Ing telah putus!

Hong Ing terkejut tapi tidak mau mengalah. Pedang kiri segera pindah tangan, lalu ia menyerang pula dengan hebat. Tapi kali ini ia berlaku hati-hati karena pedang lawan luar biasa tajamnya sehingga sebilah pedangnya sendiri yang terbuat dari baja tulen pun dengan mudah dipatahkan lawan. Han Liong banyak mengalah dan berkelit ke sana sini mengandalkan kegesitan tubuhnya yang diwarisinya dari si Iblis Bumi.

Tiba-tiba dari bawah melayang keluar enam bayangan dengan sangat gesitnya dan terdengar suaranya berseru, “Tangkap bangsat itu!”

Ternyata mereka ini adalah Lie Ban Naga Tanduk Besi sendiri, diikuti oleh adiknya Lie Kong. Sepasang Macan Tutul she Beng, dan dua orang tua tamu Lie Ban yang dilihat oleh Han Liong tadi ketika keenam orang itu tengah duduk bercakap-cakap.

Melihat enam orang itu telah berada di depannya, Han Liong gunakan pokiamnya memapas pedang Hong Ing sehingga terdengar suara “trang” untuk kedua kalinya dan gadis itu kehilangan pedangnya! Hong Ing menjadi marah sekali, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Han Liong berteriak. Tunggu!!” sambil lompat mundur setindak lebih.

“Bangsat dari mana berani membikin kacau di sini?” teriak Lie Ban dengan marah.

“Yang mana di antara kalian yang bernama Lie Ban Naga Tanduk Besi?” tanya Han Liong.

“Aku sendirilah Lie Ban! Kau mau apa?” jawab si Naga Tanduk Besi.

Sepasang mata Han Liong menyinarkan penuh kebencian. Ia gunakan ketika itu untuk memandang musuh besarnya dengan teliti. Hm, jadi inikah pengrusak rumah tangga orang tuaku? Inikah orangnya yang membunuh ayahku dan kemudian menawan ibuku serta memaksanya menjadi isterinya?

“Hm, tua bangka she Lie yang rendah budi! Dengarlah baik-baik, aku adalah Si Han Liong!! Ingatkah kau nama ini??”

Lie Ban terkejut. “Han Liong?? Kau anakku! Ibumu selalu mengharapkan kedatanganmu.”

“Siluman tua! Jangan sebut-sebut nama ibuku untuk meredakan sakit hatiku! Ayahku telah kau bunuh dan sekarang aku anaknya harus mengambil kepalamu untuk dipakai sembahyang di depan arwah ayahku!”

“Tapi... tapi...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong pokiam telah menyambar ke arah lehernya!

Namun Lie Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka dengan melompat ke samping ia dapat menghindarkan dirinya dari tusukan walaupun keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!

“Jangan banyak tingkah!” berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya bersuara.

Dengan sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.

“Haya!” teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam lawan, segera memegang senjata masing-masing dan maju mengeroyok!

Kedua saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja, maju pula menyerang Han Liong.

“Bagus!” teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari, sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa sekali!

Baru berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang.

Gerakan mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu! Sedangkan ilmu golok Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin. Sungguh kali ini Han Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh.

Namun, tak percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang!

Tiba-tiba dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri! Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun membawa-bawa pedang!

Perih sekali rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri, ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan membunuhnya? Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat lagi.

Han Liong melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan memberi isyarat supaya ia pergi!

Hatinya menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat mengenai pundak kiri Han Liong. Ia terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging, meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja. Namun darahnya keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan.

Han Liong mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat.

Tiba-tiba saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!

“Han Liong, tahan, nak!!” tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya sambil memandang tajam.

“Ibu mau apa?” tanyanya ketus.

“Sudahilah pertumpahan darah ini, Liong.”

“Tidak, ibu. Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!” katanya gagah.

Sementara itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu menyebut ibunya sendiri 'ibu'. Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya mempunyai seorang anak lain!

“Han Liong, dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban itu, bukan kau!

Tiba-tiba saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!

“Ayah!!” Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya.

Pada saat itu Yo Lu Hwa berseru, “Ampuni aku, suamiku!” dan tiba-tiba pedangnya sendiri menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!

“Ibu!!” Han Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.

Ma Kui dan Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi dari mereka, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala.

Hong Ing ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan.

“Ayah... ibu... ayah... ibu...!” tangisnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan.

Kedua orang tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong memangku kepalanya.

“Han Liong... alangkah... alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah... seperti ayahmu...”

Lalu matanya mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya. “Hong Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa ibu...”

“Liong... kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang...”

Sampai di sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya, yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan kata-katanya lagi dengan lebih nyata,

“Pembunuhan dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh... cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga... menjaga kau, Liong. Ayahmu seorang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak...”

Han Liong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya. “Ibu... ibu... bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang... sekarang, karena akulah maka ibu membunuh diri...”

“Tidak, Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat perhitungan masing-masing. Hanya...” ia memandang Hong Ing yang masih menangis. “pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu, Liong... Ing... selamat tinggal...”

Nyonya yang banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan kedua anaknya!


                     ***************
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12