Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Pusaka Naga Putih
Jilid 03
Dengan
mengeluarkan bentakan keras, Kong Tat mengayun golok di tangan kanan menyerang
dengan sabetan Garuda Menerkam Ular. Kong Tat menimpali serangan kakaknya
dengan menusukkan goloknya ke arah pinggang lawan dalam tipu Garuda Menyambar
Kelinci.
Han Liong
dengan tenang mengangkat kedua sumpitnya, sumpit kiri menyampok golok yang akan
mengenai leher dan sumpit kanan menolak tusukan golok ke pinggangnya. Kedua
saudara Kong merasa telapak tangan mereka sakit ketika golok mereka terpental
oleh tangkisan anak muda itu. Mereka menjadi hati-hati dan mengurung Han Liong
dari kiri kanan.
Serangan-serangan
mereka diatur bertubi-tubi dan berpasangan. Kalau dari kiri menyerang bagian
atas, dari kanan menyerang bagian bawah, kalau yang kiri menyerang bagian kanan,
yang kanan menyerang bagian kiri, hingga Han Liong seakan-akan terkurung oleh
empat buah golok di semua bagian!
Tak percuma
kedua saudara Kong itu mendapat julukan Sepasang Garuda Sungai Lien-ho, karena
gerakan-gerakan mereka yang cepat dan bertenaga serta ganas itu memang
seakan-akan merupakan dua ekor garuda yang menyambar-nyambar dan mencakar-cakar
dengan empat caka mereka!
Tapi sekali
ini mereka malang sekali berjumpa dengan Han Liong, seorang muda yang tubuhnya
terlatih semenjak kanak-kanak dan dikuatkan oleh darah Ouw-pek coa, kemudian
menerima pelajaran dari empat orang guru-guru yang sangat tinggi ilmunya,
sekaligus, lalu dimatangkan pula oleh bimbingan Kam Hong Siansu, seorang
pertapa berilmu paling tinggi yang jarang ada taranya di masa itu.
Empat buah
golok mereka tak berdaya sama sekali terhadap Han Liong. Gerakan anak muda itu
terlampau cepat bagi mereka, ditambah dengan gerakan-gerakan ilmu silat yang
aneh dan tak terduga pecahannya. Suara trang-treng-trong beradunya golok dengan
sumpit makin sering terdengar dan mata kedua saudara Kong itu menjadi silau
melihat bayangan Han Liong berkelebat ke sana ke mari diantara sambaran golok
mereka.
Han Liong
melayani mereka dengan gunakan Ouw-wan-ciang-hoat warisan gurunya Siauw-lo-ong
Hee Ban Kiat si mata satu. Sebenarnya ilmu ini adalah ilmu pukulan tangan
kosong, tapi karena Han Liong sudah mendapat bimbingan Kam Hong Siansu, maka ia
dapat mainkan itu dengan menggunakan sumpit. Bahkan sumpitnya balas menyerang
dengan selalu tertuju ke arah jalan darah musuh dengan gerakan Su-sat-chiu.
Baru saja
pertempuran berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, kedua saudara Kong itu
sudah menjadi sangat sibuk menangkis serangan balasan Han Liong, karena mereka
merasa yang menyerang mereka seakan-akan bukan dua batang sumpit, tapi lebih
dari enam sumpit!
Tiba-tiba,
ketika Kong Tat dari kanan menyambar kaki Han Liong dengan golok kanan, pemuda
itu tidak mengelak atau menangkis, tapi bahkan memapaki golok itu dengan
kakinya! Gerakannya demikian cepat dan sebelum Kong Tat tahu bagaimana cara Han
Liong melakukan itu, tiba-tiba saja jari tangan kanannya yang memegang golok
telah tertendang hingga terpaksa ia melepaskan goloknya dan terlempar jauh!
Kemudian
menyusul sebuah sumpit menotok tulang pundak kirinya dan ia berteriak keras,
golok di tangan kirinya terlepas dan sebelah lengan kirinya menjadi lumpuh!
Kong Ta menolong saudaranya dengan memutar goloknya seperti baling-baling
menyerang lawannya, tapi tiba-tiba Han Liong membalikkan tubuhnya dengan ilmu Oei-liong-coan-sin
atau Naga Kuning Memutar Tubuh, satu gerakan dari warisan gurunya Bie Kong
Hosiang.
Gerakan
inipun seharusnya dilakukan dengan menggunakan golok atau pedang, tapi pada
saat itu, kekuatan sepasang sumpit Han Liong sudah cukup untuk menggantikan dua
macam senjata panjang itu. Terdengar suara benda beradu keras sekali dan tanpa
terduga sepasang golok Kong Ta terlempar ke atas, lalu terdengar teriakan Kong
Ta karena Han Liong secepat kilat menotok iganya hingga ia terjungkal untuk tak
dapat bangun kembali!
Kawanan
bajak yang dipimpin oleh Oei-coa-tai-ong berteriak-teriak marah dan mengurung
anak muda itu, lalu atas isyarat kepalanya, mereka menyerbu dengan senjata
golok, tombak dan toya! Lo Sam menjadi ketakutan dan bersembunyi di tempat aman.
"He,
Oei-tai-ong, mengapa tindakanmu rusuh begini?" tegur Han Liong sambil
menangkis puluhan tombak dan golok itu.
Tapi
musuhnya tak menjawab, bahkan segera ikut menyerang dengan pedangnya. Juga Hek
Sam Ong memutar toya besinya yang menerbitkan angin menderu-deru karena
tenaganya yang besar. Han Liong melayani mereka dengan tenang sebentar saja
lima orang bajak tertendang olehnya sampai jatuh bangun.
Tiba-tiba di
luar kepungan itu terjadi keributan dan beberapa orang bajak menjerit-jerit
kesakitan. Ketika Han Liong melirik, ternyata di sana terdapat seorang gadis
muda yang berpakaian cara laki-laki tengah mengamuk dengan siang-kiam (sepasang
pedang) yang gerakannya sangat gesit dan lincah. Kemudian gadis itu memburu ke
arah Han Liong yang sedang dikeroyok dan berteriak nyaring.
"Hei,
bangsat Oei-coa dan Hek Sam! Kembali kamu memperlihatkan sifat pengecut!"
Kedua kepala
bajak itu heran dan segera membentak semua orangnya agar berhenti. Han Liong
yang dilepaskan dari kepungan juga memandang gadis itu dengan berdiri tenang.
Lo Sam keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Han Liong.
"Eh,
eh. Gadis kecil dari manakah berani datang mengacau?" Oei-coa-tai-ong
menegur.
"Ketahuilah
olehmu kepala bajak jahat. Beberapa hari yang lalu ketika pegawai ayahku lewat
di sini, kamu telah membajaknya dan barang-barangku juga terbawa dalam
rampasanmu. Kamu tidak tahu siapa ayahku dan tidak tahu pula kelihaianku, ya?
Nah, hari ini aku datang untuk menghukummu!"
"Hm,
anjing betina tak tahu malu!" Hek Sam Ong memaki karena perasaan tak puas
melihat lagak gadis itu. "Kau kira kami takut padamu?"
Han Liong
memandang gadis itu dengan kagum akan keberaniannya, tapi ia berbareng tak
senang melihat kelancangan gadis semuda itu berani datang mengantarkan diri
memancing bahaya di gua harimau.
Mendengar
makian keji itu mata gadis yang bening dan bagus seperti mata burung Hong itu
bersinar-sinar marah dan seperti hendak mengeluarkan api.
"Kurang'ajar!"
hanya demikian ia berseru lalu kedua kakinya bergerak. Kegesitannya hebat juga
karena tahu-tahu ia telah melompat ke depan Hek Sam Ong dan menyerangnya dengan
tusukan maut!
Hek Sam Ong
adalah seorang yang telah banyak pengalaman dalam bertempur, dan toyanya adalah
toya besi besar dan berat, ditambah pula dengan tenaganya yang sekuat kerbau,
maka ia merupakan lawan yang bukan ringan. Segera ia menangkis dengan toyanya
dengan sepenuh tenaga.
Tapi gadis
itu ternyata lihai benar, karena dari sambaran toya ia telah maklum akan
kekuatan tenaga lawan, maka ia menarik kembali pedangnya agar jangan sampai
beradu dengan toya, lalu pedang kiri menyabet leher dan pedang kanan yang
ditarik mundur sudah bergerak maju pula menusuk lambung!
"Bagus!"
diam-diam Han Liong memuji karena gerakan pedang Taufan Mengamuk di Lautan ini
dimainkan dengan gaya indah sekali, Hek Sam Ong tundukkan kepala dan loncat
mundur untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya itu dan si nona
mendesak maju.
Dua orang
bajak yang tak senang melihat gadis itu dan berbareng kagum melihat
kecantikannya, menggunakan gagang tombak mereka untuk memukul dari belakang ke
arah dua lengan tangan gadis itu. Tapi tiba-tiba si gadis melompat ke atas dan
turun kembali sambil kedua pedangnya berkelebat ke kanan dan ke kiri, tahu-tahu
kedua bajak itu menjerit sambil roboh karena leher mereka tertusuk pedang
sampai tembus!
"Serbu!
Tangkap!!" Demikian terdengar teriakan-teriakan dan semua bajak yang
tadinya mengeroyok Han Liong, kini berbalik mengepung nona itu dengan
teriakan-teriakan riuh rendah.
Oei-coa-tai-ong
menghampiri Han Liong sambil menjura, "Sobat muda, sekarang lebih baik kau
pergi saja, karena urusanmu sudah beres dan kami sedang sibuk dengan kuda
betina liar ini!" katanya.
Diam-diam
Han Liong merasa geli karena ia tahu akan kelicinan kepala bajak ini. Setelah
tahu bahwa Han Liong bukan makanan lunak dan tidak membawa harta, maka kepala
yang pintar itu mengambil kesempatan ketika semua orang tidak melihat, sehingga
ia tidak akan hilang muka, minta Han Liong pergi saja dari tempat itu! Tapi Han
Liong bukannya pergi malahan mengambil sebuah kursi dan duduk dengan enak.
"Aku
mau nonton dulu," katanya. "Gampang saja pergi kalau tontonan bagus
ini sudah selesai."
Oei-coa-tai-ong
tidak perdulikan ia lebih jauh karena ia harus membantu Hek Sam Ong yang nampak
payah, sedangkan beberapa orangnya telah rebah mandi darah menjadi korban
sepasang pedang yang ganas dari nona itu.
Karena
banyaknya korban, maka akhirnya para bajak hina itu tidak berani lagi mendekati
nona yang sedang mengamuk seperti singa betina itu, takut kepada sepasang
pedangnya yang berbahaya dan tajam. Mereka hanya melihat dari tempat aman
bagaimana kedua tai-ong mereka dengan dibantu tiga orang pemimpin yang agak
tinggi ilmu silatnya, mengeroyok gadis itu.
Hek Sam Ong
memainkan toyanya dengan ilmu toya dari cabang Siauw-lim yang sudah berobah,
tapi masih cukup berbahaya, sedangkan Oei-coa-tai-ong memainkan pedangnya
dengan ilmu silat pedang campuran antara ilmu pedang dari Pek-lian-kauw (Agama
Teratai Putih) dan kiam-hoat dari Gobi.
Permainan
silat kedua tai ong ini memang bagus sekali, ditambah dengan tiga pemimpin lain
yang lumayan juga permainan goloknya, maka perlahan-lahan si nona terdesak juga
dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Tapi gadis itu meskipun usianya
masih sangat muda tapi semangat dan keberaniannya besar sekali. Ia kertakkan gigi
dan memutar siang-kiamnya bagaikan kitiran.
Pada saat
itu dengan gerakan Burung Kepinis Bermain di Angkasa ia melompat ke atas
menghindari sapuan toya dan tikaman pedang kedua tai-ong itu, lalu dengan
mengandalkan ginkangnya yang tinggi, ia melayang secepat kilat sambil
menikamkan pedangnya ke arah leher seorang daripada tiga pemimpin yang
mengeroyoknya.
Hek Sam Ong
menggerakkan toyanya untuk menangkis dan menolong kawannya, tapi tiba-tiba ia
merasakan toyanya seakan-akan terbentur sesuatu dan terpental balik, hingga
serangan nona itu tidak ada yang menghalangi. Terdengar teriakan ngeri
dibarengi dengan tersungkurnya kepala bajak tadi karena lehernya hampir putus
oleh pedang si nona!
Sisa
pengeroyoknya yang tinggal empat orang itu menjadi hilang akal juga melihat
kehebatan gadis itu, terutama Hek Sam Ong merasa heran karena tidak mengerti
apakah yang telah membentur toyanya tadi. Karena merasa kebingungan ini,
permainan toyanya menjadi kacau dan kesempatan baik itu digunakan oleh si gadis
untuk menyerang dengan hebat dalam gerakan tipu Siauw-liong-tiam-jiauw atau
Naga Kecil Ulur Cakarnya. Sepasang pedangnya bersamaan menyerang ke arah dada
dan leher lawan.
Namun
ternyata gadis itu sangat terburu nafsu, mungkin karena kelelahan dan ingin
segera menghabiskan musuh-musuhnya secepat mungkin hingga ia kurang berlaku
hati-hati. Tipu silat yang ia jalankan itu sungguhpun sangat berbahaya bagi
seorang lawan, namun demikian berbahaya pula bagi dirinya sendiri karena ia
sedang menghadapi keroyokan.
Ia tidak ingat
bahwa tipu itu hanya boleh dimainkan jika menghadapi lawan seorang saja. Dengan
menyerang dengan kedua pedangnya, ia memberi kesempatan terbuka bagi lain
pengeroyoknya. Dan Oei-coa-tai-ong melihat pula hal ini. Dengan sangat girang,
ia menubruk maju sambil menusukkan pedangnya dari belakang nona itu.
Pada saat
yang sangat berbahaya bagi nona itu kembali Han Liong mempergunakan batu-batu
koral kecil yang sejak tadi ia main-mainkan di tangan. Tadi ia telah gunakan
sebutir koral untuk menahan toya Hek Sam Ong, kini terlihat ia menggerakkan
tangan kiri dan kanannya dua kali.
Batu pertama
tepat mengenai jidat Hek Sam Ong hingga si tinggi besar ini tidak berdaya sama
sekali ketika pedang nona itu mengarah dadanya. Ia berteriak ngeri dan roboh,
dari dadanya mengalir darah segar. Batu kedua tepat menyerang betis kaki
Oei-coa-tai-ong, hingga biarpun ia memakai kaos kaki duri kulit, namun masih
saja betisnya merasa sangat perih dan sakit hingga ia terpaksa berhenti
mengejar nona itu dan memegang-megang kakinya dengan rasa takjub.
Ketika itu,
si nona sudah membalikkan tubuh dan ia makin bersemangat karena musuhnya kini
tinggal tiga lagi. Betapapun juga, ia sudah amat lelah dan mandi keringat,
sedangkan di antara semua lawannya. Oei-coa-tai-ong adalah yang paling tangguh.
Han Liong melihat gerakannya mulai lemah merasa kasihan juga dan kembali ia
mengayun tangannya arah lengan tai-ong yang pendek itu. Oei-coa-tai-ong berseru
kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan!
Saat itu
pedang kiri si nona membabat pundaknya hingga tanpa ampun lagi ia terguling
dengan pundak hampir terbelah dua! Nona muda itu makin ganas dan mendesak dua
kepala bajak dengan keras. Tentu saja kedua orang itu bukan tandingannya, maka
sebentar saja mereka terdesak sekali.
Tiba-tiba
seorang di antara mereka melempar goloknya dan berlutut tanda takluk.
Kawan-kawannyapun buru-buru turut perbuatan kawannya. Gadis itu agaknya tak
hendak ambil perduli, bahkan mengangkat kedua pedangnya untuk membacok.
"Nona,
tahan!" Han Liong berteriak.
Gadis itu
menangguhkan bacokannya dan menengok dengan wajah membenci. "Bagus! Aku
datang menolongmu, sebaliknya kini kau mau membela dua jahanam ini. Ini namanya
air susu dibalas dengan air tuba!"
"Bukan
begitu, nona," Han Liong membantah. "Aku merasa berterima kasih
sekali mendapat pertolonganmu, karena kalau kau tidak segera datang, tentu aku
telah menjadi bangkai! Tapi lihatlah, mereka semua telah menyerah, apakah kau
sampai hati dan begitu kejam untuk membunuh orang demikian banyak itu?" Han
Liong menunjuk ke sekitar tempat itu.
Gadis itu
menengok dan melihat betapa berpuluh-puluh anak buah bajak itu mencontoh pula
perbuatan dua pemimpin mereka dan berlutut sambil melepaskan senjata
masing-masing.
"Kau
hendak mengampuni mereka, tapi kalau di belakang hari mereka membuat onar lagi
dan mengganggu rakyat, jangan kau menyesal," nona itu menggerutu, lalu
duduk di atas sebuah kursi dengan muka merengut. Agaknya ia baru merasa
lelahnya di saat itu, dan ia duduk meluruskan kakinya untuk menghilangkan
lelah.
"Saudara-saudara
sekalian," kata Han Liong sambil menghadap kepada semua sisa anggota bajak
itu. "Lihiap ini telah begitu baik hati untuk mengampuni kalian. Kalau ia
berlaku kejam, mungkin kalian pada saat ini telah dibasmi habis dan kalian telah
melihat sendiri betapa tangkasnya lihiap. Maka biarlah ini menjadi satu
pelajaran bagi kalian bahwa betapapun juga, perbuatan jahat itu selalu akan
hancur. Kalian adalah lelaki-lelaki sehat dan kuat, mengapa memilih jalan
sesat? Kalian menjadi bajak untuk merampok rakyat jelata tanpa pilih bulu.
Lebih baik kalian mencari jalan benar dan bekerja mencari makan dengan cara
halal."
Seorang
daripada pemimpin bajak yang menakluk tadi segera menjura dan membantah,
"Tapi, bagaimana kami harus bekerja? Kemiskinan merajalela dan demikian
pula para pembesar dan kaum hartawan. Mereka toh kerjanya hanya menindas dan
menghisap rakyat miskin. Lapangan pekerjaan amat sempit dan orang yang mencari
makan dengan cara halal banyak yang kelaparan."
Han Liong
bingung karena sebenarnya ia belum tahu jelas tentang keadaan penghidupan
rakyat jelata pada masa itu. Tiba-tiba gadis itu berdiri dan membantunya,
"He,
kamu sekalian! Memang benar bahwa sekarang banyak penghisap rakyat, tapi aku
tidak larang jika kamu mengganggu para pembesar jahat dan hartawan penghisap
darah rakyat. Tapi janganlah merampok tak pilih bulu. Pula, tidak semua
hartawan dan pembesar jahat, ada juga yang masih tahu akan perikemanusiaan.
Juga, tanah kita lebar dan luas, tenaga kamu sekalian masih dibutuhkan."
Semua bajak
bungkam tak ada yang berani membantah.
"Sekarang,
bagaimana harus mengatur semua orang ini, lihiap?" tanya Han Liong dengan
hormat.
Gadis itu
tidak menjawab pertanyaan Han Liong, tapi berkata pula kepada semua orang itu.
"Nah, sekarang kamu semua harus bubarkan sarang bajak ini agar jalan
sungai di daerah ini menjadi aman. Semua harta yang terdapat di sini boleh kamu
bagi rata dipakai modal, dan sarang bajakmu harus dibakar habis. Awas, lain
kali kalau aku lewat sini masih terdapat pengganggu keamanan, jangan katakan
aku keterlaluan jika kucabut pedangku dan tidak ada ampunan lagi bagimu!"
Bajak-bajak
itu menyatakan terima kasih dan bubar untuk segera melakukan perintah itu.
Sekejap kemudian keadaan di situ menjadi sunyi.
Han Liong
merasa kagum sekali melihat sepak terjang gadis itu yang cepat dan tepat. Dalam
pandangannya gadis itu ternyata baru berusia paling banyak enam belas tahun,
bertubuh ramping dan tampak makin ramping pinggangnya dalam pakaian pria yang
serba ringkas itu. Bajunya berwarna merah dan celananya biru. Sepatunya
dilapisi besi di bawahnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sutera
merah pula. Wajahnya cantik dan menarik.
Han Liong
masih asing dengan pergaulan, lebih-lebih dengan kaum wanita, maka ia tak dapat
banyak bicara. Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sam dan matanya mencari-cari.
Ternyata kakek nelayan itu telah bersembunyi di bawah sebuah meja ketika
terjadi pertempuran hebat antara gadis itu dan para kepala bajak tadi!
"He, Lo
Sam! Keadaan telah aman, keluarlah!" kata Han Liong dan gadis itu tertawa
geli melihat tingkah Lo Sam.
Kakek itu
merayap keluar dan mengusap-usap dadanya. "Nah, baru kali ini aku yang tua
ini melihat peristiwa sehebat ini. Seorang gadis muda dengan kedua tangan membasmi
dua gerombolan bajak! Hebat, hebat!" Ia lalu menjura kepada gadis itu dan
bertanya hormat. "Lihiap yang gagah perkasa. Perkenankanlah aku yang tua
mengetahui nama lihiap agar dapat kudongengkan kepada anak cucuku tentang
kejadian ini."
Gadis itu tertawa.
"Aku dipanggil orang Hong Ing dan she Lie."
Lo Sam
memperkenalkan diri tanpa ditanya. "Aku adalah nelayan tua Lo Sam dan tuan
muda ini... eh... namanya..." ia memandang Han Liong dengan bingung karena
sesungguhnya ia belum tahu nama pemuda itu.
Han Liong
tersenyum dan menyambung. "Namanya Si Han Liong..."
"Bolehkah
aku bertanya, kemanakah lihiap kini hendak pergi?" tanya Lo Sam pula.
"Aku
hendak pergi ke Hong-lung cian."
"He
Hong-lung cian? Kebetulan sekali, lihiap, kami berdua juga sedang menuju ke
sana ketika dicegat oleh para bajak tadi," kata Lo Sam.
"Kalau
lihiap sudi, silakan ikut dengan perahu kami, bersama-sama pergi ke Hong-lung
cian." Han Liong menawarkan.
Lie Hong Ing
tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Han Liong yang belum ada pengalaman
itu merasa malu-malu selama di dalam perjalanan membisu saja. Tapi baiknya Lie
Hong Ing adalah seorang gadis kota yang terpelajar, hingga tanpa ragu-ragu
gadis ini mengajaknya bercakap-cakap dan lama kelamaan pemuda itu hilang rasa
malunya.
Ternyata
Hong lng selain pandai ilmu silat, juga luas pandangannya tentang ilmu sastera.
Gadis ini menganggap bahwasanya Han Liong hanyalah seorang sasterawan yang
hanya kenal sedikit ilmu silat saja, maka pembicaraannya kebanyakan mengenai
ilmu kesusasteraan, dan mungkin Hong Ing hendak membanggakan kesusasteraannya!
Karena
perahu itu tidak berapa besar, maka Han Liong mempersilakan Hong lng menempati
tempat tidur satu-satunya di dalam perahu itu yang hanya terbuat daripada
jerami dibungkus kain, dan ia sendiri duduk di luar kamar perahu mengobrol
dengan Lo Sam sambil membantu mendayung.
Malam hari
itu dilewatkan tanpa kejadian sesuatu. Hong Ing agaknya sangat lelah barangkali
setelah pertempuran itu, karena ia pulas dan nyenyak sekali sampai esok harinya.
Setelah matahari tinggi, mereka memasuki kolong jembatan pintu kota
Hong-lung-cian. Lie Hong Ing ketika mereka sampai di jembatan kedua, lalu
menyatakan terima kasihnya dan turun dari perahu.
"Si
toako, selamat berpisah sampai berjumpa pula," kata gadis itu sambil
menunduk hormat, tiba-tiba saja ia menggunakan sebutan yang lebih akrab, ialah
toako atau kakak.
"Lihiap
telah banyak memberi petunjuk padaku yang bodoh ini, aku ucapkan banyak terima
kasih pula," jawab, Han Liong.
Setelah
gadis itu pergi, Lo Sam mengomel pada Han Liong, "Ah, kongcu, lihiap sebut
kau toako, kenapa kau masih sebut ia lihiap?"
"Habis
bagaimana, Lo Sam?"
"Seharusnya
kau sebut ia moi-moi atau siauw-moi..."
Han Liong
diam saja, tapi mukanya terasa panas karena ia merasa malu kalau harus menyebut
demikian. Atas petunjuk Lo Sam yang telah beberapa kali datang ke kota itu dan
mengenal semua jalanannya. Han Liong mendapat kamar di rumah penginapan
Cit-seng.
Kemudian,
setelah menambah uang setail perak, tapi ditolak oleh Lo Sam, kakek nelayan itu
kembali ke kampungnya, dan kebetulan ada seorang yang hendak ke Lam-ciu hingga
ia mendapat penumpang lagi.
Sepeninggal
Lo Sam, Han Liong terkenang kepada Hong Ing yang amat menarik hatinya itu. Ia
kagum mengenangkan kecerdikan, pengertian dan kepandaian silat gadis itu.
Begitu muda tapi sudah demikian luas pengalamannya, pikirnya. Ia baru saja
turun gunung lalu mendapat kawan seperjalanan yang menarik seperti Lo Sam yang
peramah dan Hong Ing yang pandai itu, betapa genbira hatinya selama dalam
perjalanan, tapi sekarang mereka harus berpisah. Dan tinggallah Han Liong
seorang diri di kota yang masih asing baginya. Kini ia merasa sangat kesepian.
Kemudian,
setelah makan siang, ia keluar dari penginapan, berjalan-jalan melihat-lihat
kota sembari memasang telinga ingin tahu di mana gerangan tempat tinggal musuh
besarnya, yaitu Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Tapi alangkah
herannya ketika ternyata tak seorangpun di kota itu yang ditanyainya, kenal
kepada Tiat-kak-liong Lie Ban.
Atas
petunjuk beberapa orang yang ditanyainya, ia mendatangi beberapa cabang atas
dan guru silat di kota itu untuk mencari keterangan. Tapi para jagoan di kota
inipun tidak kenal nama Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Salah seorang guru silat
yang berperawakan tinggi besar tapi sombong dengan angkuh menjawab
pertanyaannya dengan ketawa.
"Naga
Tanduk Besi? Ah, anak muda, barangkali kau salah dengar. Apakah kau mencarinya
hendak belajar silat?"
Han Liong
mengangguk, menyatakan ya. "Kalau begitu, barangkali yang kau cari itu
bukan Tiat-kak-liong, tapi Tiat-thou-liong si Naga Kepala Besi."
"Kiat-thou-liong?
Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?" Han Liong bertanya penuh
harap.
"Ha,
ha, ha! Kalau kau berguru kepadanya, maka kau takkan kecewa, kongcu."
Tiba-tiba guru silat itu bicara sopan dan ramah, "Pun, ongkos
belajarnyapun tidak begitu mahal, pendeknya cukup murah kalau dibandingkan
dengan pelajaran ilmu silat tinggi yang akan kau terima."
Biarpun
tidak tertarik akan percakapan ini, namun Han Liong terpaksa menunjukkan muka
tertarik. "Di mana tempat tinggalnya?" ulasnya lagi.
"Lihat
ini!" tiba-tiba guru silat itu berkata sambil memungut dua potong bata
merah lalu memukulkan dua bata itu ke atas kepalanya! Terdengar suara...
"Prok!
Prak!" batu bata itu pecah, hancur menjadi beberapa potong kecil!
"Nah,
lihatlah kekuatan kepalaku. Akulah yang dipanggil orang Naga Kepala Besi. Jadi
yang kau cari untuk kau jadikan gurumu tiada lain orangnya ialah aku
sendiri!"
Han Liong
merasa kecewa dan mendongkol sekali. "jadi kau sendirikah kauwsu itu?
Baik, aku mau menjadi muridmu dan berapa saja bayaran pelajarannya akan
kubayar, tapi aku harus mencoba sendiri kekuatan kepalamu itu."
"Baik,
baik. Silakan!"
Han Liong
memungut sepotong bata kecil, pecahan dari bata tadi. "Aku hanya ingin
melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa kuatnya kepalamu. Aku akan
menggunakan bata kecil ini untuk menyambit kepalamu," katanya.
Si Naga
Kepala Besi tertawa berkakakan karena melihat lengan Han Liong yang halus
kulitnya itu bagaikan lengan wanita, membikin ia menjadi geli, mengapa pemuda
itu demikian bodoh untuk mencoba kepalanya dengan sepotong bata kecil. Bukankah
tadi dua buah bata besar menjadi hancur ketika beradu dengan kepalanya? Berapa
kekuatan bata sekecil itu? Ia segera memasang kepalanya ke arah Han Liong dan
menantang,
"Nah,
lemparlah bata itu sekuat tenagamu!"
Karena jemu
dan mendongkol, Han Liong menjepit bata itu diantara jari-jari tangannya, lalu
menggunakan telunjuknya untuk menyentil bata itu ke arah kepala Naga Kepala
Basi itu. Sengaja pemuda itu tidak menggunakan semua tenaga lweekangnya, karena
maksudnya hanya memberi sekedar pelajaran untuk kesombongannya. Bata kecil itu
melesat dan...
"Pletakkk!"
menghantam si kepala besi.
Sungguh
aneh, bata itu tidak pecah, tapi sebaliknya si Naga Kepala Besi bagaikan
menerima pukulan palu baja yang keras! Ia berteriak "Aduh!" dan kedua
tangannya memegang kepalanya dan terhuyung-huyung, akhirnya jatuh di atas
sebuah kursi sambil meringis-ringis. Ia merasa kepalanya sakit sekali sehingga
tidak tertahan, kedua matanya mengeluarkan air!
Ia meramkan
mata menahan sakit. Untungnya rasa sakit itu hanya sebentar saja, dan ketika ia
menggunakan jarinya meraba-raba, ternyata di batok kepalanya tumbuh tanduk
alias bengkak! Ia sangat heran dan membuka matanya, tapi keheranannya bertambah
ketika dilihatnya bahwa pemuda itu sudah tidak berada di hadapannya lagi!
Diam-diam dia maklum ia baru berhadapan dengan seorang ahli Iweekeh yang tinggi
ilmu silatnya. Maka berjanjilah ia dalam hati untuk tidak bersikap sombong
dilain kali.
Dengan hati
kecewa Han Liong berjalan ke sana ke mari di dalam kota Hong-lung-cian. Ia
merasa putus asa. Ke mana lagi ia harus mencari musuh besarnya itu? Kakinya
membawanya ke sebuah tempat yang ramai, merupakan pasar kecil di mana banyak
terdapat orang-orang berdagang barang-barang yang datang dari luar kota. Secara
iseng-iseng ia masuk ke situ dan berdesak-desakan dengan banyak orang.
Tiba-tiba ia
merasa ada orang meraba-raba kantongnya yang tergantung di pinggangnya. Cepat
sekali gerakan tangan itu hingga tahu-tahu kantongnya telah terlepas dari
ikatan! Tapi tangan Han Liong lebih cepat lagi. Pencopet yang licik ttu tanpa
disadarinya, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang kantong tadi telah
dipegang oleh tangan korbannya. Ia berusaha melepaskan pegangannya, tapi
sia-sia.
Bahkan
ketika ia kerahkan tenaganya, ia merasa pergelangan tangannya begitu sakit
seakan-akan hendak patah. Mata dengan muka merah dan kebingungan ia menurut
saja ketika Han Liong menariknya ke tempat yang agak sunyi. Mereka berdua
berjalan seakan-akan dua sahabat karib saling bergandengan tangan. Setelah tiba
di sebuah gang sepi Han Liong melepaskan cekalannya.
Orang itu
mengembalikan kantong yang dicopetnya itu sambil menunduk memberi hormat.
“Kongcu maafkan siauwte yang telah berlaku tak sepatutnya padamu,” katanya.
Han Liong
melihat orang itu masih muda, kira-kira berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya
kecil tapi tampak kuat dan dari gerak-geriknya dapat kita ketahui bahwa ia
mengerti ilmu silat.
“Tidak apa,”
jawabnya, “Tapi barangkali kau bisa menolongku,” kata Han Liong.
Orang itu
memandang heran. “Kongcu, aku Tan Sam dijuluki orang Si Copet Tangan Seribu.
Belum pernah tanganku gagal, tapi kali ini kongcu telah membuat aku takluk
benar-benar, karena tidak sembarang orang dapat memegang lenganku tanpa aku
dapat berdaya sama sekali. Aku orang miskin dan tentang kepandaian, kongcu jauh
lebih tinggi dariku, maka pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepada
kongcu?”
“Aku tidak
inginkan pertolongan tenaga maupun uang,” kata Han Liong. “Hanya aku
membutuhkan keterangan tentang seorang di kota ini.”
“Oo, kalau
soal itu saja, jangan kongcu khawatir, karena tidak ada seorang juapun di kota
ini yang tidak kukenal, kecuali kalau ia orang luar kota.”
“Nah, kalau
begitu, kenalkan kau seorang bernama Lie Ban yang disebut orang si Naga Tanduk
Besi?”
Tan Sam
mengerutkan dahinya memikir- mikir. “Lie Ban Naga Tanduk Besi? Sungguh heran,
tidak ada rasanya orang yang bernama itu di sini, kongcu.”
Han Liong
kecewa, tapi masih mencoba menerangkan. “Ia belum lama ini pindah dengan
keluarganya dari Lam-ciu.”
“Dari
Lam-ciu katamu, kongcu? Ada seorang she Lie yang baru pindah dari Lam-ciu, tapi
namanya adalah Lie Wan-gwa. Tapi aku tidak tahu apakah hartawan itu bernama Lie
Ban. Lagi pula, masakan seorang hartawan mempunyai nama julukan seperti seorang
ahli silat demikian? Tapi, nanti dulu! terus terang kukatakan bahwa aku pernah
mencoba memasuki gedungnya, tapi gagal, aku mendapat genteng yang
dilemparkannya padaku yang menyebabkan hampir saja aku dapat ditawannya
dan...!”
“Dan...
bagaimana maksudmu?” Han Liong tertarik.
“Aku tidak
berhasil apa-apa, bahkan hampir aku mati terbunuh!”
“Bagaimana
bisa terjadi?”
“Tidak
kuketahui bahwa di gedung wan-gwe itu ada setannya! Baru saja aku mendarat di
atas genteng, tiba-tiba sebuah genteng terbang menyambar kepalaku. Berkali-kali
genteng terbang menyambarku hingga tubuh dan kepalaku luka dan mencucurkan
darah! Anehnya, sama sekali aku tidak melihat orangnya yang menyambit itu.
Maka, kalau bukan setan, siapakah lagi?”
Han Liong
tak dapat menahan senyumnya, “Hm, kalau begitu maukah kau menolong aku untuk
menyelidiki, apakah hartawan Lie itu yang bernama Lie Ban atau bukan?”
“Baik,
kongcu, baik. Sore nanti akan kukirim berita hasil penyelidikanku padamu.”
Mereka lalu berpisah
dan Han Liong kembali ke kamarnya. Ia masih ragu-ragu apakah hartawan itu
benar-benar musuh besarnya yang dicari-carinya itu? Ia harus bertindak dengan
hati-hati jangan sampai gegabah yang bisa mencelakakan orang lain yang tak
bersalah, karena salah alamat. Sore harinya, betul saja Tan Sam datang, dengan
muka berseri-seri, ia menceritakan hasil penyelidikannya.
“Tidak
percuma kau minta tolong dan mempercayaiku, kongcu! Hartawan she Lie itu
betul-betul Lie Ban Naga Tanduk Besi!”
“Bagaimana
kau tahu begitu pasti?” tanya Han Liong teliti.
“Karena aku
yakin, untuk dapat masuk ke gedung itu tipis benar harapan, karena sangat
berbahaya, maka aku gunakan akal. Aku pancing-pancing keterangan di antara
pelayan-pelayan gedung itu, dan dari mereka aku tahu bahwa semua pelayannya
berasal dari kota ini, di antaranya terdapat seorang pelayan tua yang dibawa
oleh Lie wan-gwe dari Lam-ciu. Kebetulan sekali pelayan tua itu keluar dari
gedung lalu kuculik. Setelah kupaksa, akhirnya pelayan tua itu mengaku juga, bahwa
Lie-wan-gwe itu ialah Lie Ban si Naga Tanduk Besi itu sendiri! Ia bekas
panglima perang yang kini telah berhenti. Tapi kalau kau hendak memusuhi orang
she Lie ini, hati-hatilah, kongcu, karena aku mendengar bahwa baru beberapa
hari ini di rumahnya kedatangan kawan-kawannya yang terdiri dari ahli-ahli
silat terkemuka. Bahkan sejak mereka pindah ke sini, selalu gedung itu dijaga
oleh adiknya sendiri Oei-kak-liong Lie Kong dan dua saudara Jie-pa-cu yang
bernama Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw. Mereka ini merupakan penjaga-penjaga
yang kuat dan tinggi ilmu silatnya, kini ditambah lagi dengan tamu-tamunya yang
datang itu, maka gedung orang she Lie itu merupakan sarang harimau-harimau
galak yang tidak mudah dikalahkan. Hm, kalau kuingat aku masih merasa sakit
hati, kongcu. Tidak heran ketika aku coba-coba datang ke sana dulu,
genteng-genteng beterbangan melukaiku. Aku tidak tahu bahwa di situ bersarang
jagoan-jagoan besar. Ah, untung mereka masih mengampuni aku dan tidak
membunuhku!”
Alangkah
lega dan girang hati Han Liong mendengar keterangan-keterangan ini. Ia sekarang
tidak ragu-ragu lagi, karena ternyata Oei-kak-liong Lie Kong adik Lie Ban dan
dua saudara macan tutul itupun berada di situ, tepat seperti yang diceritakan
oleh gurunya Liok-tee-sin-mo Hong In, yang menolong dirinya juga ketika itu
bertempur dengan mereka berempat ini di masa lalu!
Mendengar
penjagaan yang kuat itu, sedikitpun ia tidak gentar, bahkan semangatnya
bertambah. Ia yakin, dengan berkumpulnya orang-orang itu, maka pembalasannya akan
menjadi lengkap. Ia mengucapkan terima kasih kepada Tan Sam dan memberinya
potongan uang emas, tapi hadiah ini ditolak oleh Tan Sam dengan manis.
“Kongcu, kau
adalah orang baik. Aku tahu benar bahwa kau seorang berbudi luhur yang pernah
kucopet. Aku senang membantumu, kongcu. Jika kau ada apa-apa, carilah aku di
jembatan kelima jalan barat sana!” Kemudian ia pergi.
***************
Malam itu
kebetulan tanggal empat belas dan sore-sore sang ratu malam telah menampakkan
diri, bulan purnama memancarkan sinarnya terang benderang seolah-olah tersenyum
manis pada setiap mahluk dan segala benda yang ada di permukaan bumi. Tidak
tampak sedikitpun awan gelap yang mengganggu.
Suasana
tampak menggembirakan, penuh damai dan tenteram, sehingga tak seorang juapun
menyangka bahwa di malam itu akan terjadi suatu peristiwa besar yang
mengerikan. Di atas genteng-genteng rumah-rumah yang berjajar-jajar di bagian
kota itu tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali. Jika ada orang yang
kebetulan berada di atas genteng rumahnya ia akan melihat bayangan saja yang
berpusing tanpa terlihat orangnya, tentu ia akan menyangka bahwa bayangan itu
adalah bayangan burung terbang.
Sebetulnya
adalah Han Liong sendiri yang berpakaian putih dengan ikat pinggang warna
kuning panjang berkibar-kibar di belakangnya. Langsung Han Liong menuju ke
rumah Lie Ban yang besar dan mewah itu. Setibanya di luar gedung, Han Liong
mengencangkan ikat pinggangnya dan kemudian mengayunkan tubuhnya ke atas
genteng.
Tindakan
kakinya demikian ringan hingga sedikitpn tak mengeluarkan suara. Ia berhenti di
atas sebuah kamar besar di mana menyala api lilin yang dipasang lebih dari
empat tempat hingga menerangi seluruh kamar. Diam-diam ia membuka genteng dan
mengintip ke dalam.
Di
tengah-tengah kamar itu terdapat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja
bundar. Kelihatan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap duduk di
kepala meja. Di kanan kiri dan depannya duduk lima orang laki-laki yang
semuanya bertubuh kuat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang ahli silat
yang pandai.
Ternyata
mereka tengah asyik bercakap-cakap dan dari kata-kata mereka, Han Liong
mendapat kesan bahwa orang-orang itu adalah orang baik-baik yang berbicara
tentang silat dan tempat-tempat indah di berbagai tempat. Pemuda itu ragu-ragu,
lalu loncat ke tempat lain melanjutkan penyelidikannya, tiba-tiba ia mendengar
suara wanita sedang bercakap-cakap. Hatinya berdebar-debar, karena bukankah
nyonya Lie Ban adalah ibunya sendiri?
Teringat ini
hatinya menjadi perih, karena selalu ia mengenangkan ibunya dengan dua perasaan
menjadi satu, perasaan cinta dan kecewa. Ia segera melakukan pengintaian lagi.
Kamar itu lebih kecil daripada kamar yang lain. Di situ hanya terdapat sebuah
lilin yang kecil sehingga keadaan dalam kamar suram. Tampak olehnya seorang
wanita setengah tua tengah berbaring dan di sampingnya duduk seorang perempuan
muda yang memijat-mijat kakinya.
“Anakku,”
terdengar suara wanita setengah tua itu dengan suara halus penuh kasih sayang
hingga Han Liong yang mendengarkannya merasa terharu. “Kurangilah kebiasaanmu
pergi merantau. Kau adalah anak perempuan seorang bekas pembesar, seorang cian
kim siocia yang sepatutnya berdiam di rumah belajar pekerjaan halus-halus.
Kalau kau bertemu dan berkenalan dengan segala bangsa kasar, derajatmu dengan
sendirinya akan turun.”
“Ah, ibu.
Aku bosan kalau terus-terusan berada di dalam rumah. Aku ingin meluaskan
pandangan dan menambah pengalaman,” jawab anak perempuan tadi sambil
mengelus-elus kaki ibunya.
“Dasar anak
sekarang. Tapi, hati-hatilah, nak, karena menurut pengalamanku, lebih banyak
orang jahat daripada orang baik. Nah, sekarang mengasolah, ibumu hendak tidur.”
Han Liong
tidak dapat melihat tegas wajah mereka karena cahaya lilin sangat suram. Ia
mellat betapa wanita muda itu turun dari pembaringan dan meninggalkan ibunya,
memasuki kamar lain dan wanita itu bangun dari pembaringan lalu duduk di kursi.
Ia nampak kurus dan tua.
Karena ingin
kepastian, Han Liong tidak ragu-ragu lagi lalu melompat turun di depan pintu
kamar itu, dan menolak daun pintu perlahan-lahan. Perempuan itu menengok,
agaknya terkejut melihat pemuda yang tidak dikenal itu. Tapi ia segera dapat
menetapkan hatinya.
“Siapa kau?”
tanyanya dengan suara tenang.
Han Liong melihat
ada sebuah lilin yang agak besar belum dipasang di atas meja, maka tanpa
menjawab pertanyaan itu, dengan cepat ia mengambil lilin itu dibakarnya dengan
lilin kecil yang masih menyala itu. Kamar menjadi terang dan dengan sekilas
pandang Han Liong dapat melihat wajah yang membayangkan kesedihan itu, dan
dapat pula dilihatnya dengan nyata bahwa muka itu persis seperti bekas wajah
wanita cantik. Kemudian sambil memandang dengan tajam, ia menjawab lemah.
“Namaku Han
Liong... Si Han Liong!!”
Wanita itu
terkejut bagai disentakkan oleh tenaga gaib. Kedua tangannya diulurkannya,
sepasang matanya terbelalak memandang seakan-akan melihat setan, penuh pancaran
tidak percaya, kedua kakinya tiba-tiba gemetar dan bergerak maju tanpa
disengaja. Kemudian secepat kilat ia menangkap tangan kiri Han Liong dan
membalikkan telapak tangan anak muda itu.
Ia
membiarkan saja. Terlihat di nadi Han Liong sebuah titik hitam. Wanita itu
memandang Han Liong pula dari kepala sampai ke kaki, kedua matanya yang
terbelalak lebar perlahan-lahan menjadi basah dan air mata menetes turun di
sepanjang pipinya. Kemudian ia mundur terhuyung-huyung, tapi kedua lengannya
terbuka seakan-akan hendak memeluk.
“Han
Liong... Han Liong... anakku...!!” Ia mengharapkan puteranya itu maju menubruk dan
memeluknya, tapi Han Liong diam saja, berdiri tegak laksana patung.
“Han
Liong...!” nyonya tua itu merasa seluruh anggota tubuhnya lemah dan tangannya
meraba-raba ke sandaran kursi mencari pegangan untuk menahan tubuhnya yang
hendak roboh karena kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Beberapa saat berlalu
sunyi, hanya terdengar suara pernapasan wanita itu yang terengah-engah berat.
“Han
Liong... kau datang mencari ibumu...?” tanyanya lemah.
“Bukan,”
jawab pemuda itu tegas tanpa pikir lagi, sehingga ia sendiri menjadi heran akan
kata-katanya karena mengapa sedang hatinya bagaikan hancur luluh melihat ibu
kandungnya sendiri yang sudah lama dirindukannya, dengan seluruh hasratnya yang
menggelora ingin memeluk kaki ibunya dan ingin pula menjatuhkan kepalanya di
pangkuan ibunya, maka tiba-tiba mengeluarkan kata-kata ketus.
“Aku datang
hendak mencari pembunuh ayahku. Ibu tentu sudah lupa ayahku orang she Si yang
terbunuh oleh suami ibu yang sekarang ini. Tapi aku tidak lupa, dan aku ingin
menuntut balas!” Suaranya makin keras dan lantang, semua diucapkannya diluar
kesadarannya.
Mendengar
kata-kata yang bagaikan pisau tajam menusuk hatinya dan yang penuh pernyataan
penyesalan dari anak kepada ibunya ini. Yo Lu Hwa, wanita itu, mendekap dadanya
dan menjerit ngeri, lalu roboh tak sadar diri!
Buyar
seketika semua kekerasan hati Han Liong melihat ibunya pingsan. Ia maju dengan
lemah lembut diangkatnya tubuh ibunya ke atas pembaringan. Yo Lu Hwa mulai
sadar tapi masih merasa pening dan matanya memandang gelap, lalu dipeluknya
leher anaknya dengan hati hancur. Tapi Han Liong melepaskan pelukan ibunya
karena pada saat itu ia mendengar suara langkah kaki memasuki kamar.
Ia hendak
meloncat keluar, tapi ibunya memegang tangannya seakan-akan hendak menahannya,
sehingga hal ini membuatnya terlambat untuk keluar dan pada saat itu pintu kamar
terpentang lebar. Orang yang memasuki kamar itu adalah seorang gadis muda yang
tadi berbicara dengan ibunya, dan ketika ia melihat tegas, hampir saja ia
berteriak karena heran. Karena yang berdiri di depannya memegang sepasang
pedang itu tiada lain ialah Lie Hong Ing sendiri, gadis gagah yang baru pagi
tadi meninggalkan perahunya!
“Ibu... ada
apa, ibu?” kata gadis itu melihat ibunya dengan cemas. Ibunya yang terserang
tekanan batin hebat itu hanya dapat menuding ke arah Han Liong sambil berkata
lemah, “Ia... ia...” lalu menangis tersedu-sedu.
Hong Ing
cepat menengok dan ketika ia melihat Han Liong, kedua alis matanya
bergerak-gerak tercengang. “Kau...?? Kau... datang ke sini mengganggu ibuku?
Berani benar kau!”
Segera ia
menusuk dengan pedang kanan ke arah leher Han Liong. Pemuda itu kini maklum
bahwa Hong Ing adalah anak ibunya dan Lie Ban! Hebat rasanya kenyataan ini.
Hong Ing adalah anak musuh besarnya, tapi adalah adiknya sendiri, adik seibu.
Dan kini adiknya itu menyerangnya dengan tusukan maut!
“Hong Ing...
ia... kakakmu...!”
Yo Lu Hwa
masih sempat berbisik, tapi tak terdengar oleh Hong Ing yang sedang marah
sekali. Tusukannya dapat dikelit Han Liong yang segera turut mundur keluar
dengan cepat.
“Bangsat,
jangan lari!!” teriak Hong Ing lalu menyusul.
Han Liong
melompat ke atas genteng, disusul oleh nona itu. Untuk sesaat Han Liong ingin
berlari pergi karena ia segan melawan nona itu, tapi sifat jantannya melarang
ia pergi sebelum ia membatas sakit hati ayahnya. Maka ia berdiri menanti dengan
tenang. Ketika Hong Ing yang tertinggal karena kalah gesit itu tiba di hadapan
Han Liong, gadis itu menahan serangannya dan bertanya dengan suara ketus,
“Tak
kusangka kau adalah golongan orang jahat! Sekarang terangkan maksud
kedatanganmu sebelum kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!”
Mau tak mau
Han Liong memainkan senyum di bibirnya mendengar kecongkakan gadis itu. “Kau
hendak tahu maksud kedatanganku? Baiklah aku berterus terang. Kepadamu aku tak
bermaksud apa-apa, maka baiknya panggil saja ayahmu keluar. Bukankah ayahmu
adalah Lie Ban si Naga Tanduk Besi?”
“Ada urusan
apa kau mau berjumpa dengan ayahku?” tanya Hong Ing.
“Ia adalah
pembunuh ayahku dan aku datang hendak membalas dendam dan membunuhnya!”
“Bangsat
kecil! Kau hendak membunuh ayahku? Bagus, besar sekali nyalimu. Tak perlu
ayahku keluar untuk membereskan kau, cukup aku sendiri dengan sepasang pedangku
ini!” Terus ia menyerang kembali dengan hebat.
“Apa boleh
buat! Kau sendiri yang mencari celaka!” kata Han Liong dan tiba-tiba Hong Ing
merasa matanya kabur ketika pemuda itu berkelit menghindari serangannya sambil
mencabut Pek liong pokiam yang bersinar putih melepak dan menyilaukan mata
ketika ditimpa sinar bulan!
Tapi Hong
Ing tidak takut, ia segera menyerang kembali dengan gerak tipu Dua Dewa Kecil
Bermain-main. Pedang kanannya diputar-putar seperti baling-baling lalu
diarahkan ke leher lawan, sedangkan yang kiri langsung menusuk perut lawannya
itu. Han Liong kelit tusukan dan menangkis sabetan pada lehernya.
"Tranggg!"
dan tahu-tahu pedang kanan Hong Ing telah putus!
Hong Ing
terkejut tapi tidak mau mengalah. Pedang kiri segera pindah tangan, lalu ia
menyerang pula dengan hebat. Tapi kali ini ia berlaku hati-hati karena pedang
lawan luar biasa tajamnya sehingga sebilah pedangnya sendiri yang terbuat dari
baja tulen pun dengan mudah dipatahkan lawan. Han Liong banyak mengalah dan
berkelit ke sana sini mengandalkan kegesitan tubuhnya yang diwarisinya dari si
Iblis Bumi.
Tiba-tiba
dari bawah melayang keluar enam bayangan dengan sangat gesitnya dan terdengar
suaranya berseru, “Tangkap bangsat itu!”
Ternyata
mereka ini adalah Lie Ban Naga Tanduk Besi sendiri, diikuti oleh adiknya Lie
Kong. Sepasang Macan Tutul she Beng, dan dua orang tua tamu Lie Ban yang
dilihat oleh Han Liong tadi ketika keenam orang itu tengah duduk
bercakap-cakap.
Melihat enam
orang itu telah berada di depannya, Han Liong gunakan pokiamnya memapas pedang
Hong Ing sehingga terdengar suara “trang” untuk kedua kalinya dan gadis itu
kehilangan pedangnya! Hong Ing menjadi marah sekali, tapi sebelum ia dapat
berbuat sesuatu, Han Liong berteriak. Tunggu!!” sambil lompat mundur setindak
lebih.
“Bangsat
dari mana berani membikin kacau di sini?” teriak Lie Ban dengan marah.
“Yang mana
di antara kalian yang bernama Lie Ban Naga Tanduk Besi?” tanya Han Liong.
“Aku
sendirilah Lie Ban! Kau mau apa?” jawab si Naga Tanduk Besi.
Sepasang
mata Han Liong menyinarkan penuh kebencian. Ia gunakan ketika itu untuk
memandang musuh besarnya dengan teliti. Hm, jadi inikah pengrusak rumah tangga
orang tuaku? Inikah orangnya yang membunuh ayahku dan kemudian menawan ibuku
serta memaksanya menjadi isterinya?
“Hm, tua
bangka she Lie yang rendah budi! Dengarlah baik-baik, aku adalah Si Han Liong!!
Ingatkah kau nama ini??”
Lie Ban
terkejut. “Han Liong?? Kau anakku! Ibumu selalu mengharapkan kedatanganmu.”
“Siluman
tua! Jangan sebut-sebut nama ibuku untuk meredakan sakit hatiku! Ayahku telah
kau bunuh dan sekarang aku anaknya harus mengambil kepalamu untuk dipakai
sembahyang di depan arwah ayahku!”
“Tapi...
tapi...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong
pokiam telah menyambar ke arah lehernya!
Namun Lie
Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka
dengan melompat ke samping ia dapat menghindarkan dirinya dari tusukan walaupun
keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang
begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!
“Jangan
banyak tingkah!” berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu
toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk
Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya
bersuara.
Dengan
sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu
terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.
“Haya!”
teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam
lawan, segera memegang senjata masing-masing dan maju mengeroyok!
Kedua
saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat
atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh
Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan
kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban
Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja,
maju pula menyerang Han Liong.
“Bagus!”
teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat
sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya
cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari,
sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa
sekali!
Baru
berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu
berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung
pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena
pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh
Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan
hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang.
Gerakan
mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang
Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan
Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu!
Sedangkan ilmu golok Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi
ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin. Sungguh kali ini Han
Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh.
Namun, tak
percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah
dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat
lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia
mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang!
Tiba-tiba
dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera
dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri!
Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun
membawa-bawa pedang!
Perih sekali
rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri,
ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan
membunuhnya? Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya
agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya
yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat
lagi.
Han Liong
melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia
dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri
memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan
memberi isyarat supaya ia pergi!
Hatinya
menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja
dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat mengenai pundak kiri Han Liong. Ia
terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah
demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging,
meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja. Namun darahnya
keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan.
Han Liong
mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan
dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam
Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat.
Tiba-tiba
saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba
saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya
begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari
Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari
pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua
orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!
“Han Liong,
tahan, nak!!” tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu
dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya
sambil memandang tajam.
“Ibu mau
apa?” tanyanya ketus.
“Sudahilah
pertumpahan darah ini, Liong.”
“Tidak, ibu.
Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak
mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!” katanya gagah.
Sementara
itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu
menyebut ibunya sendiri 'ibu'. Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya
mempunyai seorang anak lain!
“Han Liong,
dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan
membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban
itu, bukan kau!
Tiba-tiba
saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang
ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka
serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang
isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!
“Ayah!!”
Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya.
Pada saat
itu Yo Lu Hwa berseru, “Ampuni aku, suamiku!” dan tiba-tiba pedangnya sendiri
menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!
“Ibu!!” Han
Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.
Ma Kui dan
Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut
dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang
ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian
silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi
dari mereka, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan
ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala.
Hong Ing
ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan
kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya
hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan.
“Ayah...
ibu... ayah... ibu...!” tangisnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan.
Kedua orang
tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak
gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis
tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong
memangku kepalanya.
“Han
Liong... alangkah... alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah...
seperti ayahmu...”
Lalu matanya
mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya. “Hong
Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa
ibu...”
“Liong...
kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah
yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh
ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang...”
Sampai di
sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat
pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya,
yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah
menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan
kata-katanya lagi dengan lebih nyata,
“Pembunuhan
dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa
ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh...
cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga...
menjaga kau, Liong. Ayahmu seorang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya
bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang
berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak...”
Han Liong
tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya. “Ibu... ibu...
bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri
hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku
sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang... sekarang, karena akulah
maka ibu membunuh diri...”
“Tidak,
Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah
mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat
perhitungan masing-masing. Hanya...” ia memandang Hong Ing yang masih menangis.
“pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu,
Liong... Ing... selamat tinggal...”
Nyonya yang
banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam
pelukan kedua anaknya!
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment