Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Gelang Kemala
Jilid 01
Bangsa Mancu
merupakan bangsa yang gagah berani dan sepak terjang mereka ketika menaklukkan
dan menguasai seluruh Cina sungguh menakjubkan.
Sulit untuk dapat dipercaya bahwa bangsa yang dibandingkan dengan jumlah rakyat bangsa yang dijajahnya itu amat kecil dapat berkembang sedemikian cepatnya. Semua itu karena mereka memiliki pemimpin-pemimpin yang pandai.
Sulit untuk dapat dipercaya bahwa bangsa yang dibandingkan dengan jumlah rakyat bangsa yang dijajahnya itu amat kecil dapat berkembang sedemikian cepatnya. Semua itu karena mereka memiliki pemimpin-pemimpin yang pandai.
Dimulai dari
Raja Nurhacu yang dalam tahun 1616 mulai bangkit, dalam beberapa tahun saja
menguasai seluruh Mancuria.
Kemudian dalam tahun 1637, dengan bantuan bangsa Mongolia merebut Korea.
Penggantinya adalah Kaisar Abahai yang rnenggerakkan pasukannya ke selatan, menyerbu Shantung dan bahkan mendekati Peking.
Dalam usaha ini, Kaisar Abahai meninggal dan karena puteranya masih amat muda, maka kekuasaan dipegang oleh saudaranya, Pangeran Dorgan.
Kerajaan Beng waktu itu amat lemahnya dan biarpun ada beberapa orang panglimanya berusaha untuk menahan gelombang serangan bangsa Mancu, namun usaha itu sia-sia belaka. Peking diduduki dan bangsa Mancu mendirikan dinasti Ceng.
Kemudian dalam tahun 1637, dengan bantuan bangsa Mongolia merebut Korea.
Penggantinya adalah Kaisar Abahai yang rnenggerakkan pasukannya ke selatan, menyerbu Shantung dan bahkan mendekati Peking.
Dalam usaha ini, Kaisar Abahai meninggal dan karena puteranya masih amat muda, maka kekuasaan dipegang oleh saudaranya, Pangeran Dorgan.
Kerajaan Beng waktu itu amat lemahnya dan biarpun ada beberapa orang panglimanya berusaha untuk menahan gelombang serangan bangsa Mancu, namun usaha itu sia-sia belaka. Peking diduduki dan bangsa Mancu mendirikan dinasti Ceng.
Ketika
Kaisar Kang Hsi (1663-1722) bertahta, Kaisar Mancu ini mengeluarkan
peraturan-peraturan yang amat bijaksana sekali. Bintang KeraJaan Ceng naik
dengan pesat di bawah pemerintahannya.
Pemerintah Mancu berusaha keras untuk membaurkan diri dengan rakyat yang dijajahnya. Memang, pemerintah ini memaksa rakyat untuk memelihara ram-but mereka menjadi panjang dan menguncir rambut itu seperti kebiasaan bangsa Mancu, bahkan juga
mengharuskan penduduk pribumi berpakaian seperti mereka.
Akan tetapi di lain pihak mereka sendiri,mereka ipenyesuaikan diri dengan kebiasaan bangsa pribumi.
Bahkan dalam banyak hal bangsa Mancu bersikap lebih Cina daripada bangsa pribumi Cina sendiri! Di rumah pun mereka berbahasa Cina, mendidik anak-anak mereka dengan kebudayaan Cina.
Bukan itu saja, kaum cendekiawan, para cerdik pandai di seluruh Tiongkok diundang dan ditawari kedudukan di pemerintahan sehingga lima puluh persen dari para pejabat tingg. Dan menengah di Peking dan daerahnya terdiri dari bangsa pribumi. Di selatan, jumlah pejabat pribumi ada dua puluh lima prosen dari jumlah seluruh pejabat.
Kaum terpelajar ahli sastra dan ahli silat semua dipersilakan menduduki jabatan penting.
Banyak kaum
cerdik pandai berbondong datang memenuhi undangan dan menghambakan diri kepada
pemerintah penjajah itu.
Hal ini tidaklah mengherankan. Sejak dipegang Kaisar Kang Hsi, pemerintah telah melakukan banyak hal yang menarik hati rakyat jelata yang dijajah. Para penjahat dan pemberontak dibasmi bersih sehingga negara menjadi aman dan ini menyenangkan hati rakyat.
Juga pemerintah Mancu pandai mengambil hati para bangsawan Beng, dan para tuan tanah dan pedagang. Tidak terjadi perampasan tanah.
Milik mereka sama sekali tidak diganggu dan ini menumbuh-kan kepercayaan dari rakyat kepada pemerintahyang baru itu.
Juga korupsi dan penyuapan, suatu kebiasaan buruk yang sudah dikenal rakyat selama kekuasaan Beng memegang pemerintahan, diberantas.
Pemerintah menyusun pemerintahan yang sehat dan jujur di kota raja Peking, bebas dari pengaruh golongan-golongan yang suka mencari keuntungan sendiri dan saling berebutan pengaruh dan kekuasaan. Inilah yang dulu melemahkan pemerintah Beng.
Hal ini tidaklah mengherankan. Sejak dipegang Kaisar Kang Hsi, pemerintah telah melakukan banyak hal yang menarik hati rakyat jelata yang dijajah. Para penjahat dan pemberontak dibasmi bersih sehingga negara menjadi aman dan ini menyenangkan hati rakyat.
Juga pemerintah Mancu pandai mengambil hati para bangsawan Beng, dan para tuan tanah dan pedagang. Tidak terjadi perampasan tanah.
Milik mereka sama sekali tidak diganggu dan ini menumbuh-kan kepercayaan dari rakyat kepada pemerintahyang baru itu.
Juga korupsi dan penyuapan, suatu kebiasaan buruk yang sudah dikenal rakyat selama kekuasaan Beng memegang pemerintahan, diberantas.
Pemerintah menyusun pemerintahan yang sehat dan jujur di kota raja Peking, bebas dari pengaruh golongan-golongan yang suka mencari keuntungan sendiri dan saling berebutan pengaruh dan kekuasaan. Inilah yang dulu melemahkan pemerintah Beng.
Karena
pandainya para pimpinan Mancu menyusun pemerintahan yang hebat dan jujur, juga
memberantas kejahatan, mengundang dan memberi kedudukan kepada pribumi yang
pandai-pandai, maka
sebentar saja rakyat mulai lupa bahwa mereka dijajah oleh bangsa Mancu!
Apalagi kebudayaan rakyat diserap oleh bangsa Mancu, bahkan para bangsawan Mancu mulai menggunakan nama Cina!
Semua ini mendapat sambutan hangat dan rakyat merasa puas.
Apalagi kebudayaan rakyat diserap oleh bangsa Mancu, bahkan para bangsawan Mancu mulai menggunakan nama Cina!
Semua ini mendapat sambutan hangat dan rakyat merasa puas.
Kaisar Kang
Hsi berhasil menindas gerombolan-gerombolan bersenjata, mengembalikan keamanan.
Memang benar bahwa di antara gerombolan ini terdapat patriot-patriot yang
berjuang untuk mengusir penjajah, yang menentang pemerintah Mancu demi cintanya
pada tanah air dan bangsa, akan tetapi sebagian besar dari
gerombolan-gerombolan itu terdiri dari kaum perampok.
Pada umurnnya mereka itu mengganggu keamanan dan merugikan kaum bangsawan, pedagang bahkan petani.
Karena itu, mereka menyambut dengan gembira ketika pemerintah Mancu menghancurkan mereka, dan hal ini memperkuat pemerintah Man-cu karena kebencian rakyat kepada pen-jah Mancu menghilang dengan munculnya kepercayaan bahwa Pemerintah Ceng menguntungkan dan memakmurkan kehidupan mereka.
Pada umurnnya mereka itu mengganggu keamanan dan merugikan kaum bangsawan, pedagang bahkan petani.
Karena itu, mereka menyambut dengan gembira ketika pemerintah Mancu menghancurkan mereka, dan hal ini memperkuat pemerintah Man-cu karena kebencian rakyat kepada pen-jah Mancu menghilang dengan munculnya kepercayaan bahwa Pemerintah Ceng menguntungkan dan memakmurkan kehidupan mereka.
Kaisar
sendiri yang menganjurkan agar para pejabat menyesuaikan diri dan membaur
dengan rakyat jelata, mempergunakan kebudayaan Cina yang lebih tinggi itu ke
dalam kehidupan mereka sehari-hari, Anak-anak mereka berbicara berbahasa
pribuml sehingga dalam waktu beberapa puluh tahun saja, anak-anak Mancu sudah
tidak pandai berbicara bahasa Mancu lagi!
Pemimpin
negara yang baik selalu memberi contoh dengan perbuatan, bukan sekedar
mengeluarkan perintah saja.
Rakyat di manapun juga tidak mudah ditipu dengan slogan kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja keras, para pemimpin harus bekerja keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus lebih dulu berhemat.
Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau para pemimpinnya melakukan penyelewengan, berkorupsi, bagaimana dapat mengharapkan rakyat tertib dan jujur"
Rakyat di manapun juga tidak mudah ditipu dengan slogan kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja keras, para pemimpin harus bekerja keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus lebih dulu berhemat.
Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau para pemimpinnya melakukan penyelewengan, berkorupsi, bagaimana dapat mengharapkan rakyat tertib dan jujur"
Para
pimpinan Kerajaan Ceng melakukan hal ini, memberi contoh yang baik maka tldak
mengherankan apabila pemerintah mereka berjalan baik dan rakyat pun taat kepada
mereka.
Setelah
pemerintah dipegang oleh Kaisar Kang Hsi selama lima puluh sembilan tahun,
Kerajaan Ceng mengalami masa gemilang dan jaya. Walaupun para penggantlnya
tidak secakap dia memegang pemerintahan, akan tetapi bintang Kerajaan Ceng naik
kembali dengar cepatnya ketika pemerintah dikuasai oleh cucunya yang bernama
Kian Liong (1736-1796).
Kaisar Kian Liong ini sejak kanak-kanak telah hidup sebagai seorang pemuda pribumi. Pengetahuannya tentang sastra dan kebudayaan Cina amat mendalam dan sejak muda dia gemar berkeliling dan bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar. Maka tidak mengherankan setelah dia menjadi kaisar, para sastrawan dan para pendekar dengarn senang hati membantunya sehingga pemerintahannya menjadi semakin kuat.
Kaisar Kian Liong ini sejak kanak-kanak telah hidup sebagai seorang pemuda pribumi. Pengetahuannya tentang sastra dan kebudayaan Cina amat mendalam dan sejak muda dia gemar berkeliling dan bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar. Maka tidak mengherankan setelah dia menjadi kaisar, para sastrawan dan para pendekar dengarn senang hati membantunya sehingga pemerintahannya menjadi semakin kuat.
Kisah ini
terjadi ketika Kaisar Kian Liong berkuasa. Biarpun keadaan dalam negeri aman,
namun jauh di perbatasan terjadi pergerakan-pergerakan.
Daerah barat bergolak dan memberontak terhadap kekuasaan Mancu.
Kaisar Kian Liong segera mengirim pasukan besar diperkuat oleh para panglimanya yang terdiri dari ahli silat dan ahli perang, dan daerah barat itu ditundukkan kembali, lalu diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru) yang langsung dimasukkan dalam wilayah kerajaan.
Daerah barat bergolak dan memberontak terhadap kekuasaan Mancu.
Kaisar Kian Liong segera mengirim pasukan besar diperkuat oleh para panglimanya yang terdiri dari ahli silat dan ahli perang, dan daerah barat itu ditundukkan kembali, lalu diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru) yang langsung dimasukkan dalam wilayah kerajaan.
Di Tibet
juga timbul kerusuhan dengan adanya serbuan bangsa Gurkha dari Nepal. Kaisar
Kian Liong mengirim pasukan besar ke Tibet dan kerusuhan dapat dipadamkan.
Bahkan pasukan Mancu melintasi Pegunungan Himalaya dan menyerbu Nepal! Bangsa
Gurkha dapat ditundukkan dan dipaksa mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng.
Bahkan ketika di Birma memasuki daerah Yunnan bagian barat-daya, Kaisar Kian Liong mengirim pasukan pula untuk menyerbu Birma.
Bahkan ketika di Birma memasuki daerah Yunnan bagian barat-daya, Kaisar Kian Liong mengirim pasukan pula untuk menyerbu Birma.
Biarpun di
perbatasari yang jauh terjadi pergolakan sehingga harus ditundukkan, namun di
dalam negeri suasana aman dinikmati oleh rakyat jelata.
Biarpun
demikian, masih banyak terdapat pribumi yang menganggap diri mereka bangsa Han dan Kerajaan
Ceng adalah Kerajaan Mancu, kerajaan yang menjajah bangsa mereka. Mereka ini
diam-diam membenci Pemerintah Ceng.
Di dusun Teng-sia-bun terdapat seorang pendekar bernama Bu Cian.
Bu Cian seorang murid perguruan Bu-tong-pai, berusia tiga puluh tahun.
Pekerjaannya sebagai pemburu binatang
hutan dan
dia seorang yang berwatak keras, namun disegani oleh penduduk dusun karena dia bersikap
baik sekali kepada semua orang, bahkan suka menolong.
Dan karena adanya pendekar inilah maka keadaan dusun Teng-sia-bun terasa aman, tidak ada penjahat yang berani sembarangan melakukan kejahatan di situ.
Kepala dusun juga amat menghormati Bu
Dan karena adanya pendekar inilah maka keadaan dusun Teng-sia-bun terasa aman, tidak ada penjahat yang berani sembarangan melakukan kejahatan di situ.
Kepala dusun juga amat menghormati Bu
Cian. Bu
Cian sudah hampir dua tahun menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang dusun
Teng-sia-bun.
Setelah menikah dengan gadis itu, Bu Cian lalu menetap di dusun itu,hidup berbahagia dengan isteri tercinta.
Kebahagiaannya bertambah ketika isterinya melahirkan seorang anak perempuan, tiga bulan yang lalu. Anak itu diberi nama Cin Lan, Bu Cin Lan.
Pada suatu pagi, datanglah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih ke rumah pendekar Bu Cian. Kebetulan pendekar itu berada di rumah dan melihat kedatangan pria itu,dia melompat bangun dan dengan gembira menyambut.
Pria itu adalah seorang sa-habat
Setelah menikah dengan gadis itu, Bu Cian lalu menetap di dusun itu,hidup berbahagia dengan isteri tercinta.
Kebahagiaannya bertambah ketika isterinya melahirkan seorang anak perempuan, tiga bulan yang lalu. Anak itu diberi nama Cin Lan, Bu Cin Lan.
Pada suatu pagi, datanglah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih ke rumah pendekar Bu Cian. Kebetulan pendekar itu berada di rumah dan melihat kedatangan pria itu,dia melompat bangun dan dengan gembira menyambut.
Pria itu adalah seorang sa-habat
baiknya,
juga seorang pendekar murid Kun-lun-pai yang berdagang rempa-rempa di kota
raja.
Dusun
Teng-sia-bun juga terletak tidak jauh dari kota raja Peking. Sahabatnya itu pun
tinggal di dusun,
yaitu dusun Tung-sin-bun yang letaknya di sebelah barat kota raja.
Dari dusunlah rempa-rempa itu
dikumpulkan untuk dijual ke kota raja.
Dari dusunlah rempa-rempa itu
dikumpulkan untuk dijual ke kota raja.
"Song-toako, apa kabar"
Girang sekali engkau datang berkunjung!" kata Bu Cian setengah
berteriak.
Mereka saling memberi hormat, ialu saling rangkul.
"Bu-te,
lama kita tidak berjumpa, sejak engkau menikah!
Sudah dua tahun lebih, betapa
Sudah dua tahun lebih, betapa
cepatnya terbangnya
waktu.
Dan aku mendengar bahwa engkau mempunyai seorang anak perempuan, karena itu aku sengaja datang hari ini untuk menengokmu dan keluargamu!" kata Song Tek Kwi dengan girang.
Dan aku mendengar bahwa engkau mempunyai seorang anak perempuan, karena itu aku sengaja datang hari ini untuk menengokmu dan keluargamu!" kata Song Tek Kwi dengan girang.
Dengan
gembira Bu Cian lalu meng-ajak isteri dan anak mereka keluar untuk menemui Song Tek Kwi. Tek
Kwi adalah seorang sahabat baik sekali dari Bu Cian, dan ketika mudanya mereka
berdua suka berburu bersama.
Dan keduanya adalah orang-orang yang berjiwa patriot,yang merasa tidak suka kepada pemerintah penjajah Mancu.
Juga dalam hal ilmu silat keduanya memiliki tingkat yang se-imbang, oleh karena itu keduanya dapat menjadi sahabat yang akrab. Melihat anak perempuan Bu Cian, Song Tek Kwi merasa kagum.
Dan keduanya adalah orang-orang yang berjiwa patriot,yang merasa tidak suka kepada pemerintah penjajah Mancu.
Juga dalam hal ilmu silat keduanya memiliki tingkat yang se-imbang, oleh karena itu keduanya dapat menjadi sahabat yang akrab. Melihat anak perempuan Bu Cian, Song Tek Kwi merasa kagum.
"Anakmu
sehat, mungil dan manis sekaii!" katanya memuji.
"Aih,
engkau terlalu memuji. Dan aku mendengar engkau pun sudah mempunyai seorang anak
laki-laki.
Berapa usianya sekarang dan mengapa tidak kauajak dia ke sini?"
Berapa usianya sekarang dan mengapa tidak kauajak dia ke sini?"
"Anak
kami sudah setahun usianya, terlalu kecil untuk diajak bepergian tanpa
ibunya," jawab Tek Kwi.
Karena girangnya menerima kunjungan sahabat karibnya, Bu Cian lalu menyuruh
isterinya menyediakan
masakan dan mengajak sahabatnya itu makan minum untuk merayakan pertemuan
itu hamba makan minum dengan gembira, dan setelah minum arak cukup banyak,
Song Tek Kwi
tertawa gembira.
"Ha-ha-ha,
pertemuan ini mengingatkan aku akan persahabatan kita yang lalu. Penuh kegembiraan!"
katanya.
"Engkau
memang sahabatku yang baik, Song-toako," kata Bu Cian.
"Kalau
begitu, mengapa klta tidak mengekalkan persahabatan ini menjadi pertalian
keluarga"
Aku dan
isteriku telah mengambil keputusan ketika kami nnendengar bahwa engkau mernpuhyai
seorang anak perempuan. Bu-te, bagaimana pendapatmu dan isterimu kalau kita
ikatkan tali
perjodohan antara anak kita"
Dengan demikian, persahabatan kita tidak akan putus selamanya!"
"Bagus sekali!
Aku akan memanggil isteriku untuk mendengarkan usulmu yang amat baik
Dengan demikian, persahabatan kita tidak akan putus selamanya!"
"Bagus sekali!
Aku akan memanggil isteriku untuk mendengarkan usulmu yang amat baik
ini!"
kata Bu Cian gembira dan dia segera inemanggll isterinya. Karena sudah lama
mendengar
dari suaminya bahwa Song Tek Kwi adalah seorang sahabat yang amat baik, juga seorang
saudagar rempa-rempa yang berhasil? maka mendengar usul perjodohan anaknya itu,isteri Bu
Cian juga tidak merasa berkeberatan.
"Kalian
setuju" Ha-ha-ha, bagus!
Kedatanganku ternyata mendapat sambutan yang baik sekali. Anakku bernama Song Thian Lee, dan siapakah nama anak kalian?"
Kedatanganku ternyata mendapat sambutan yang baik sekali. Anakku bernama Song Thian Lee, dan siapakah nama anak kalian?"
"Anakku bernama Bu Cin Lan"
Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang kemala dari saku bajunya.
"Lihat, aku memang sudah
mempersiapkan segalanya.
Gelang kemala ini adalah milik isteriku. la
menyuruh aku
membawanya dengan pesan kalau kalian menyetujui usul perjodohan ini, agar yang sebuah
diberikan kepada anak kalian. Gelang ini serupa benar tidak mungkin ada gelang
lain di
dunia ini yang serupa seperti sepasang gelang kemala ini.
Nah, ini merupakan tanda pengikat.
Biarlah yang sebuah dipakai anakmu, yang sebuah lagi disimpan anakku sebagai tanda bahwa mereka sudah terikat perjodohan."
Nah, ini merupakan tanda pengikat.
Biarlah yang sebuah dipakai anakmu, yang sebuah lagi disimpan anakku sebagai tanda bahwa mereka sudah terikat perjodohan."
"Bagus
sekali, kami setuju!" kata Bu Cian yang segera menerima pemberian sebuah
gelang itu.
Gelang kemala itu merupakan gelang kembar, yang persis sama ukirannya dan bahkan warnanya yang hijau kecoklatan."
Gelang kemala itu merupakan gelang kembar, yang persis sama ukirannya dan bahkan warnanya yang hijau kecoklatan."
Bu Cian menyerahkan gelang itu kepada isterinya yang menerimanya sambil tersenyum girang.
Pada saat itu terdengar teriakan suara kanak-kanak di luar rumah, "Paman Bu,
toloonggg....!
" Mendengar teriakan ini, Bu Cian dan isterinya berlari keluar, diikuti Song Tek Kwi.
Dari luar,seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun menerobos masuk dan begitu melihat Bu Cian dia segera menghamplri dan menangis.
"Paman Bu, tolonglah enciku....!
" Mendengar teriakan ini, Bu Cian dan isterinya berlari keluar, diikuti Song Tek Kwi.
Dari luar,seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun menerobos masuk dan begitu melihat Bu Cian dia segera menghamplri dan menangis.
"Paman Bu, tolonglah enciku....!
Enci Kim
dipaksa naik kereta, dibawa pergi orang... tolonglah Paman Bu....!"
Mendengar
ini, Bu Cian lalu berlarl' keluar diikuti Song Tek Kwi. Bu Cian mengenal anak
itu dan mengenal
pula encinya, seorang gadis manis puteri te-tangga sebelah.
Begitu dia lari ke rumah sebelah, dia melihat sebuah kereta dan dari dalam kereta itu jelas terdengar tangis
Begitu dia lari ke rumah sebelah, dia melihat sebuah kereta dan dari dalam kereta itu jelas terdengar tangis
seorang
wanlta. Cepat dia melompat dan membuka pintu kereta dengan paksa.
Dia melihat dua orang pengawal kereta hendak melarangnya, akan tetapi dua kali dia menggerakkan tangannya, dua orang itu terlempar dan dia membuka pintu kereta.
Di dalamnya duduk empat orang gadis dusun yang cantik-cantik. Di antara mereka duduk Kim Hong yang menangis,
Dia melihat dua orang pengawal kereta hendak melarangnya, akan tetapi dua kali dia menggerakkan tangannya, dua orang itu terlempar dan dia membuka pintu kereta.
Di dalamnya duduk empat orang gadis dusun yang cantik-cantik. Di antara mereka duduk Kim Hong yang menangis,
dihibur oleh
tiga orang gadis yang lain.
"Kim
Hong, hayo keluarlah kalau engkau tldak mau dibawa'" kata Bu Cian sambil
membantu gadis itu
keluar dan turun dari kereta.
Pada saat
itu muncul seorang yang berpakaian bangsawan. Usianya sudah empat puluhan tahun dan
bangsawan ini menudingkan telunjuknya kepada Bu Cian sambil membentak,"Siapa
engkau berani mencampuri urusanku" Hayo suruh naik kembali gadis
itu!"
Pada
dasarnya Bu Cian memang membenci bangsawan Mancu. Kini meli-hat bangsawan Mancu
bersikap demikian sombong, dia pun menghardik, "Siapapun juga tidak boleh membawa
paksa gadis ini'"
"Bangsat,
tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
"Tidak
peduli siapa. Biar raja iblis sekalipun aku tidak takut dan tetap akan melarang membawa
pergi gadis ini de-ngan paksa!" jawab Bu Cian tegas.
Bangsawan
itu menjadi marah sekali. Dia menoleh ke belakangnya di mana terdapat selosin orang
pengawalnya.
"Tangkap dan hajar orang kurang ajar ini!" teriaknya.
"Tangkap dan hajar orang kurang ajar ini!" teriaknya.
Dua belas
orang pengawal itu lalu mengepung Bu Cian dan segera serentak menyerangnya dengan
pukulan. Akan tetapi Bu Cian melawan dan dalan beberapa menit dia sudah merobohkan
empat orang pengawal.
Para pengawal itu menjadi marah dan mereka semua mencabut senjata golok mereka. Melihat Bu Cian dikeroyok dua belas orang yang sudah mencabut senjata, Song Tek Kwi tidak tinggal diam.
Dia pun meloncat dan membantu
Para pengawal itu menjadi marah dan mereka semua mencabut senjata golok mereka. Melihat Bu Cian dikeroyok dua belas orang yang sudah mencabut senjata, Song Tek Kwi tidak tinggal diam.
Dia pun meloncat dan membantu
sahabatnya
mengamuk. Amukan dua orang pendekar ini membuat para pengawal kocar-kacir.
Biarpun dua orang itu tidak
memegang senjata, namun dengan kaki tangan mereka yang ampuh, mereka dapat membuat para
pe-ngeroyok jatuh bangun dan sebagian golok mereka telempar!
Melihat ini
bangsawan itu menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri, Bu Cian meninggalkan
para pengeroyoknya dan sekali meloncat dia sudah dapat mengejar dan mencengkeram
tengkuk bangsawan itu.
Sekali menampar dengan tangannya, bangsawan itu terpelanting dan bibirnya berdarah. Bu Cian sudah akan memberi hajaran ketika seorang laki-laki berusia lima puluh tahun menarik bajunya dari belakang.
Dia membalik dan melihat bahwa yang menarik bajunya adalah tetangganya, yaitu ayah dari gadis Kim Hong itu.
Sekali menampar dengan tangannya, bangsawan itu terpelanting dan bibirnya berdarah. Bu Cian sudah akan memberi hajaran ketika seorang laki-laki berusia lima puluh tahun menarik bajunya dari belakang.
Dia membalik dan melihat bahwa yang menarik bajunya adalah tetangganya, yaitu ayah dari gadis Kim Hong itu.
"Bu-sicu, jangan... jangan pukuli dia....!"
"Akan tetapi dia yang hendak memaksa anak perempuanmu untuk ikut, paman!" bantah Bu Cian.
"Tidak ada paksaan, Sicu. Kami telah menyetujui anak kami dibawa ke kota raja, menjadi selir Pangeran." Bu Cian tertegun.
"Paman sudah setuju....?"
"Tentu saja!
Siapa tidak setuju anak perempuannya menjadi selir seorang pangeran" Martabat
kami akan
terangkat. Hayo, Kim Hong!
Cepat naik kembali ke kereta!" Orang itu membentak kepada anaknya dan gadis itu dengan sesengguk-an berjalan menghampiri kereta lalu naik tanpa mengeluarkan sepatah pun kata bantahan.
Melihat ini, Bu Cian hanya tertegun dan tidak dapat melarang lagi. Sementara itu, mendengar percakapan antara
sahabatnya dan ayah gadis itu, Song Tek Kwi juga menghentikan amukannya dan para pengawal yang babak belur itu pun mengundurkan diri, merasa jerih terhadap dua orang pendekar yang tangguh itu.
Sang bangsawan yang ternyata adalah seorang pangeran dari kota raja itu mengusap bibirnya yang berdarah dengan saputangan, memandang tajam kepada dua orang pendekar itu.
Dia lalu naik pula ke dalam kereta dan berkata kepada para pengawalnya, "Hayo cepat berangkat!"
Cepat naik kembali ke kereta!" Orang itu membentak kepada anaknya dan gadis itu dengan sesengguk-an berjalan menghampiri kereta lalu naik tanpa mengeluarkan sepatah pun kata bantahan.
Melihat ini, Bu Cian hanya tertegun dan tidak dapat melarang lagi. Sementara itu, mendengar percakapan antara
sahabatnya dan ayah gadis itu, Song Tek Kwi juga menghentikan amukannya dan para pengawal yang babak belur itu pun mengundurkan diri, merasa jerih terhadap dua orang pendekar yang tangguh itu.
Sang bangsawan yang ternyata adalah seorang pangeran dari kota raja itu mengusap bibirnya yang berdarah dengan saputangan, memandang tajam kepada dua orang pendekar itu.
Dia lalu naik pula ke dalam kereta dan berkata kepada para pengawalnya, "Hayo cepat berangkat!"
Kereta pun
bergerak pergi dikawal dua belas orang perajurit itu. Bu Cian dan Song Tek Kwi tidak dapat
berbuat apa-apa, hanya di dalam hati mereka menyesal mengapa ada orang tua
yang menjual
anak gadisnya kepada pembesar Mancu!
"Paman,
kenapa Paman menjual puteri Paman kepada bangsawan itu?" Bu Cian masih penasaran
bertanya kepada tetangganya.
Tetangga itu
menghela napas. "Bukan menjual, Sicu, melainkan dengan sukarela kami berikan
ketika pangeran itu memilih anak kami sebagai satu di antara para gadis yang
terpilih
untuk
menjadi selir Pangeran.
Orang tua mana yang tidak akan menyerahkan puterinya menjadi selir Pangeran" Cucu kami kelak akan menjadi putera dan puteri Pangeran, menjadi
Orang tua mana yang tidak akan menyerahkan puterinya menjadi selir Pangeran" Cucu kami kelak akan menjadi putera dan puteri Pangeran, menjadi
bangsawan!
Hati siapa tidak akan senang" Sicu terburu nafsu memukuli para pengawal,
Hati siapa tidak akan senang" Sicu terburu nafsu memukuli para pengawal,
bahkan
memukul sang Pangeran!"
Song Tek Kwi
menggandeng tangan sahabatnya diajak pulang.
"Sungguh
penasaran sekali!" Bu Cian mengomel. "Bangsa kita sudah tidak
memiliki harga diri lagi.
Begitu saja menyerahkan anak gadisnya menjadi, selir seorang pangeran
Mancu!"
"Aih,
kenyataan ini memang pahit, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan"
Rakyat agaknya sudah lupa bahwa bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang menjajah kita. Akan tetapi aku
Rakyat agaknya sudah lupa bahwa bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang menjajah kita. Akan tetapi aku
merasa
khawatir, Bu-te. Kita telah melawan pasukan pengawal, bahkan engkau telah memukuli
seorang pangeran."
"Aku
tidak takut, Song-toako. Para bangsawan Mancu itu memang sudah sepantasnya dihajar!"
"Aku juga tidak takut, Bu-te. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan waspada.
Siapa tahu Pangeran itu tidak akan tinggal diam menyudahi urusan itu sampai di sini saja."
"Aku juga tidak takut, Bu-te. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan waspada.
Siapa tahu Pangeran itu tidak akan tinggal diam menyudahi urusan itu sampai di sini saja."
"Biarkan
dia mau apa! Akan kulayani dia!" kata Bu Cian dengan nada suara penasaran.
Peristiwa
itu mendatangkan suasana yang tidak enak dan Song Tek Kwi segera berpamit kepada Bu
Cian dan isterinya.
Apa yang dikhawatirkan Song Tek Kwi memang menjadi kenyataan. Bahkan kepala dusun Teng-sia-bun yang mendengar akan peristiwa pemukulan terhadap seorang pangeran yang
dilakukan
oleh Bu Cian, mendatangi pendekar itu dan menyatakan kekhawatirannya,
"Bu-sicu, sebaikhya kalau engkau membawa keluarga meninggalkan dusun ini sebelum terjadi apa-apa. Kami merasa khawatir sekali kalau-kalau pangeran itu akan membalas dendam kepadamu," bujuk Sang Kepala Dusun.
"Apa"
Pergi melarikan diri dari anjing itu"
Aku tidak akan lari, biar anjing itu menggonggong keras. Kalau dia berani menggigit akan kutendang moncongnya!" jawab Bu Cian yang masih merasa pena-saran dan marah kepada pangeran itu.
Aku tidak akan lari, biar anjing itu menggonggong keras. Kalau dia berani menggigit akan kutendang moncongnya!" jawab Bu Cian yang masih merasa pena-saran dan marah kepada pangeran itu.
Kepala dusun
itu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dan pergi.
Hatinya merasa tidak enak sekali, khawatir kalau-kalau terjadi keributan di dusunnya yang biasanya tenteram dan aman.
Gara-gara Pangeran yang mencari gadis-gadis dusun yang manis-manis
Hatinya merasa tidak enak sekali, khawatir kalau-kalau terjadi keributan di dusunnya yang biasanya tenteram dan aman.
Gara-gara Pangeran yang mencari gadis-gadis dusun yang manis-manis
maka
terjadilah keributan ini.
Dan tiga hari kemudian, seorang panglima dengan lima puluh orang perajuritnya, memasuki dusun Teng-sia-bun.
Pasukan itu mengepung rumah Bu Cian dan panglima itu, di depan pintu rumah berteriak,lantang, "Atas perintah kejak-saan di kota raja, Bu Cian dinyatakan sebagai pemberontak dan diminta untuk menyerah!
Kalau tidak mau menyerah, kami terpaksa menggunakan kekerasan!
" Di dalam rumah terdengar tangis bayi. Bu Cian berdiri dengan pedang di tangan, dirangkul isterinya yang mena"
"Jangan melawan....! Suamiku, menyerahlah saja dan mintalah ampun kepada Pangeran agar engkau dibebaskan.
Aku juga akan mintakan ampun untuku ....!" Sang isteri menangis dengan
gelisan
sekali, tidak mempedulikan puterinya yang menjerit-jerit di atas pembaringan.
"Bwe
Si, jangan bersikap pengecut! Engkau tahu, aku bukan seorang penakut.
Lebih baik engkau pondong anak kita itu, dan kaurawatlah baik-baik anak kita. Aku harus menghajar pasukan itu!" Dia me-maksa diri lepas dari rangkulan isterinya lalu melompat keluar dari pintu dan mengamuk dengan pedangnya!
Lebih baik engkau pondong anak kita itu, dan kaurawatlah baik-baik anak kita. Aku harus menghajar pasukan itu!" Dia me-maksa diri lepas dari rangkulan isterinya lalu melompat keluar dari pintu dan mengamuk dengan pedangnya!
Panglima itu
terkena tendangan Bu Cian dan terlempar ke belakang. Dia menjadi marah sekali.
"Bunuh pemberontak'" Dan Bu Cian lalu dikeroyok, Pendekar ini memang gagah
"Bunuh pemberontak'" Dan Bu Cian lalu dikeroyok, Pendekar ini memang gagah
perkasa. Dia
mengamuk bagaikan seekor harima dan pedangnya sudah merobohkan beberapa orang.
Dengan ilmu pedang "Sin-Kiam-jip-pek-to" atau Pedang Sakti Menasuki Seratus
Dengan ilmu pedang "Sin-Kiam-jip-pek-to" atau Pedang Sakti Menasuki Seratus
Golok dia
mengamuk dan setelah melalui suatu pertempuran yang amat seru, sedikitnya dua belas orang
penge-royok telah roboh mandi darah disambar pedangnya!
Akan tetapi pihak musuh terlampau
banyak. Apalagi, ilmu golok Panglima itu pun cukup lihai maka akhirnya Bu Cian terkena sambaran golok dan tubuhnya sudah penuh dengan luka-luka. Akan tetapi dia tetap mengamuk.
Ketika golok Panglima itu menyambar dan tidak dapat dielakkan lagi,
Akan tetapi pihak musuh terlampau
banyak. Apalagi, ilmu golok Panglima itu pun cukup lihai maka akhirnya Bu Cian terkena sambaran golok dan tubuhnya sudah penuh dengan luka-luka. Akan tetapi dia tetap mengamuk.
Ketika golok Panglima itu menyambar dan tidak dapat dielakkan lagi,
terpaksa dia
menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kiri sebatas pergelangan menjadi putus
disambar golok, akan tetapi pada saat itu, dengan jurus Burung Walet Keluar
Guha,pedangnya
sudah meluncur ke depan menembusi dada seorang pengeroyok dan kakinya
mencuat ke
samping menendang dada Panglima itu sehingga untuk kedua kalinya Panglima itu
terjengkang.
Akan tetapi pada saat itu, tiga batang golok menyambar mengenai tubuh
Akan tetapi pada saat itu, tiga batang golok menyambar mengenai tubuh
belakang Bu
Cian dan robohlah pendekar itu dengan badan mandi darahnya sendiri.
"Suamiku....!!"
Lu Bwe Si, sambil menggendong anaknya, tanpa mempedulikan para perajurit,
lari dan menubruk tubuh suaminya yang mandi darah.
la merintih dan menjerit memanggil suaminya. Bu Cian membuka matanya.
"Bwe Si... jaga... anak kita... baik-baik...." katanya dan tubuh itu pun diam, matanya masih terbuka seolah pendekar itu mati dalam keadaan penasaran.
la merintih dan menjerit memanggil suaminya. Bu Cian membuka matanya.
"Bwe Si... jaga... anak kita... baik-baik...." katanya dan tubuh itu pun diam, matanya masih terbuka seolah pendekar itu mati dalam keadaan penasaran.
Lu Bwe Si
menjerit dan terguling pingsan. Anak dalam gendongannya juga menjerit-jerit dalam
tangisnya. "Bawa perempuan dan anaknya itu.
Keluarga pemberontak harus dihadapkan ke pengadilan!"kata Sang Panglima dan tubuh Lu Bwe Si yang pingsan lalu diangkat dan dimasukkan dalam
Keluarga pemberontak harus dihadapkan ke pengadilan!"kata Sang Panglima dan tubuh Lu Bwe Si yang pingsan lalu diangkat dan dimasukkan dalam
gerobak
tahanan yang sedianya diperuntukkan suaminya.
Kepala dusun dipanggil dan oleh
Kepala dusun dipanggil dan oleh
panglima
diperintahkan untuk me-ngurus mayat-mayat yang bergelimpangan.
Kemudian,panglima itu membawa pasukannya yang mendorong gerobak tahanan meninggalkan dusun Teng-sia-bun, kembali ke kota raja.
Kemudian,panglima itu membawa pasukannya yang mendorong gerobak tahanan meninggalkan dusun Teng-sia-bun, kembali ke kota raja.
Setibanya di
luar kota raja, rombongan pasukan itu bertemu dengan rombongan lain, yaitu selosin
pengawal yang mengiringkan sebuah kereta yang indah.
Yang berada di dalam kereta itu adalah Pangeran Tang Gi Su, yang hendak berburu binatang di luar kota raja. Ketika
Yang berada di dalam kereta itu adalah Pangeran Tang Gi Su, yang hendak berburu binatang di luar kota raja. Ketika
Pangeran
Tang Gi Su mendengar tangis wanita dari dalam gerobak tahanan yang dikawal puluhan
orang perajurit, dia ter-tarik sekali dan menyuruh pengawal menghentikan
pasukan itu.
Panglima pasukan lalu menghampiri kereta dan ketika dia mengetahui siapa yang berada dalam kereta, dia pun berdiri tegak menunggu dengan sikap hormat.
Panglima pasukan lalu menghampiri kereta dan ketika dia mengetahui siapa yang berada dalam kereta, dia pun berdiri tegak menunggu dengan sikap hormat.
Seorang
laki-laki yang jangkung kurus keluar dari dalam kereta. Laki-laki itu berusia
kurang lebih empat
puluh tahun, wajahnya lembut dan tampan berwibawa, matanya bersinar tajam
menunjukkan
kecerdikannya.
Inilah Pangeran Tang Gi Su yang memegang jabatan sebagai seorang pengawas terhadap para pejabat, pembantu Kaisar. Karena kedudukannya ini,Pangeran Tang Gi Su disegani oleh para pejabat tinggi. Kalau ada pejabat tinggi, yang menyeleweng melakukan penyelewengan dalam tugasnya, maka pangeran inilah yang akan memeriksanya dan kalau bersalah, mengajukannya ke pengadilan di istana yang dipimpin Kaisar sendiri.
Inilah Pangeran Tang Gi Su yang memegang jabatan sebagai seorang pengawas terhadap para pejabat, pembantu Kaisar. Karena kedudukannya ini,Pangeran Tang Gi Su disegani oleh para pejabat tinggi. Kalau ada pejabat tinggi, yang menyeleweng melakukan penyelewengan dalam tugasnya, maka pangeran inilah yang akan memeriksanya dan kalau bersalah, mengajukannya ke pengadilan di istana yang dipimpin Kaisar sendiri.
Panglima
pasukan ini cepat memberi hormat kepada Pangeran Tang Gi Su.
"Siapa
dalam gerobak tahanan itu dan mengapa ia ditahan?" tanya Sang Pangeran,
sambil menghampiri
gerobak itu. Dia melihat seorang wanita menggendong bayinya sedang
menangis dan
hatinya tergerak oleh pemandangan ini.
"la
isteri seorang pemberontak, Pangeran. Pemberontaknya sendiri telah berhasil
kami bunuh dan kami
menangkap isteri dan anaknya untuk dihadapkan ke pengadilan.
"Di
mana ada pemberontak?" "Di dusun Teng-sia-bun, Pangeran."
"Hemm,
berapa banyak jumlah pemberontak?"
"Hanya
satu orang, Pangeran."
"Apa"
Hanya seorang dan kalian membawa pasukan sekian banyaknya?"
"Pemberontak
itu lihai sekali dan kami kehilangan belasan orang perajurit, Pangeran."
"Bagaimana
mungkin pemberontakan hanya dilakukan oleh seorang saja"
Dalam hal apa dia memberontak?" "Tiga hari yang lalu, ketika Pangeran Bian Kun mengambil beberapa orang gadis dusun itu untuk dijadikan selir, Pangeran Ban Kun dipukul oleh pemberontak itu,
Pangeran.
Dia melapor kepada jaksa dan kami diutus menangkap si pemberontak akan tetapi dia, melawan sehingga terjadi pertempuran dan dia tewas."
Dalam hal apa dia memberontak?" "Tiga hari yang lalu, ketika Pangeran Bian Kun mengambil beberapa orang gadis dusun itu untuk dijadikan selir, Pangeran Ban Kun dipukul oleh pemberontak itu,
Pangeran.
Dia melapor kepada jaksa dan kami diutus menangkap si pemberontak akan tetapi dia, melawan sehingga terjadi pertempuran dan dia tewas."
Mendengar
nama Pangeran Bian Kun, Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk. Dia sudah mengenal
watak Pangeran yang mata keranjang itu.
"Hemm,
pelanggaran itu belum dapat dinamakan pemberontakan. Dan ketika terjadi pertempuran,
apakah wanita ini pun ikut bertempur melawan pasukan?"
"Tidak, Pangeran."
"Kalau begitu, mengapa ia ditangkap" Apa kesalahannya" Suaminya itu hanya melawan seorang pangeran, bukan pemberontak. Bebaskan wanita ini dan anaknya!"
"Tetapi,
Pangeran...."
"Jangan membantah. Bebaskan dan aku yang bertanggung jawab!"
"Baik, Pangeran." Panglima itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuka gerobak tahanan dan membiarkan Bwe Si keluar menggendong anaknya. Kemudian, atas perintah
Sang
Pangeran, panglima itu melanjutkan perjalanannya bersama ke kota.
Demikian
baikkah hati Pangeran Tang Gi Su" Memang pangeran ini terkenal sebagai
seorang yang
memegang kedilan dan tegas, akan tetapi dalam hal ini ada sesuatu yang
mendorongnya menolong Lu
Bwe Si.
Ketika dia melongok ke dalam gerobak tahanan, dia melihat wajah
Ketika dia melongok ke dalam gerobak tahanan, dia melihat wajah
Bwee Si dan
hatinya tergerak. Timbul perasaan iba dan juga suka sekali kepada wanita yang menjadi ibu
muda itu. Dalam panjang matanya, wajah itu demikian jelita dan patut disayang dan
dikasihani; dan bentuk tubuh ibu muda itu demikian menggairahkan hatinya
sehingga dia
mengambil
keputusan untuk melindungi dan menolong wanita ini!
Kita
menganggap bahwa sudah semestinya pertolongan itu berpamrih.
Akan tetapi, benarkah itu dapat dinamakan pertolongan kalau berpamrih" Ataukah perbuatan yang dinamakan pertolongan itu bukan sekedar cara untuk mendapatkan pamrih yang diinginkannya"
Pada mulanya, Pangeran Tang Gi Su memang tidak mempunyai keinginan apa-apa sebagai pamrih atas perbuatannya. Dia hanya terdorong rasa iba dan ingin menegakkan keadilan
belaka seperti yang sering kali dilakukannya.
Akan tetapi begitu dia melihat wajah dan bentuk tubuh Lu Bwee Si timbul keinginan di hatinya untuk memilikl wanita itu dan keinginan itu menjadi
Akan tetapi, benarkah itu dapat dinamakan pertolongan kalau berpamrih" Ataukah perbuatan yang dinamakan pertolongan itu bukan sekedar cara untuk mendapatkan pamrih yang diinginkannya"
Pada mulanya, Pangeran Tang Gi Su memang tidak mempunyai keinginan apa-apa sebagai pamrih atas perbuatannya. Dia hanya terdorong rasa iba dan ingin menegakkan keadilan
belaka seperti yang sering kali dilakukannya.
Akan tetapi begitu dia melihat wajah dan bentuk tubuh Lu Bwee Si timbul keinginan di hatinya untuk memilikl wanita itu dan keinginan itu menjadi
pamrih
pertolongannya. "Nyonya, masuklah ke dalam keretaku. Jangan khawatir lagi,
kalau ada aku di sampingmu,tak seorang
pun akan berani mengganggu selembar rambutmu!" kata pangeran itu sambil
menuntun
Bwee Si memasuki keretanya.
Setelah duduk di dalam kereta bersama pangeran itu,Bwe Si baru teringat untuk menghaturkan terima kasih.
Setelah duduk di dalam kereta bersama pangeran itu,Bwe Si baru teringat untuk menghaturkan terima kasih.
"Hamba
menghaturkan terima kasih "atas pertolongan Paduka, akan tetapi suami
hamba...ahhh....!"
Bwe Si lalu menangis sambil memeluk puterinya.
"Jangan
menangis, Nyonya. Suamimu telah meninggal dunia ditangisi pun tidak ada gunanya lagi. Engkau
harus ingat kepada anakmu. Kalau sampai engkau jatuh sakit, anakmu akan ikut sakit pula.
Sekarang engkau ikutlah tinggal di ru-mahku...."
Sekarang engkau ikutlah tinggal di ru-mahku...."
"Saya...
hamba... ingin pulang, mengurus jenazah suami hamba dan ber-kabung...."
Bwe Si terisak.
"Nyonya, kalau engkau kembali ke rumahmu, tentu engkau akan ditangkap lagi oleh perwira itu. Suamimu dituduh pemberontak dan ketahuilah, keluarga pemberontak harus ditangkap pula.
Kalau tidak ada aku yang menanggung, apa kaukira dapat dibebaskan demikian
"Nyonya, kalau engkau kembali ke rumahmu, tentu engkau akan ditangkap lagi oleh perwira itu. Suamimu dituduh pemberontak dan ketahuilah, keluarga pemberontak harus ditangkap pula.
Kalau tidak ada aku yang menanggung, apa kaukira dapat dibebaskan demikian
mudahnya"
Satu-satunya jalan agar engkau tidak ditangkap hanya ikut aku pulang."
Bwe Si
menjadi bingung sekali. "Akan tetapi... suamiku... rumahku...."
"Jangan
khawatir, Nyonya. Aku akan mengutus orang-orangku untuk mengurus jenazah suamimu,
memakamkannya dengan baik-baik dan aku akan menyuruh ambil semua milikmu dari
rumahmu.
Akan tetapi untuk sementara engkau harus tinggal di rumahku kalau engkau
Akan tetapi untuk sementara engkau harus tinggal di rumahku kalau engkau
tidak ihgin
ditangkap lagi."
Bwe Si masih
meragu dan pangeran itu berkata, "Ingat, Nyonya harus mengingat akan keselamatan
anakmu andaikata Nyonya tidak mempedulikan keselamatan sendiri.
Bagaimana nasib anakmu, kalau engkau dihukum" Alangkah sengsaranya, kasihan sekali...."
Bagaimana nasib anakmu, kalau engkau dihukum" Alangkah sengsaranya, kasihan sekali...."
Bwe Si
mendekap puterinya dan menangis. Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali
menurut saja diajak
pergi ke rumah Pangeran Tang Gi Su. la tidak tahu bahwa ia bagaikan seekor
domba gemuk
dan muda masuk ke dalam rumah Jagal!.
Song Tek Kwi
pulang dengan hati yang tidak enak sekali. Dia mengkhawa-tirkan keselamatan sahabatnya.
Dan pada keesokan harinya baru dia mendengar berita menyedihkan itu, yaitu tentang
diserbunya rumah Bu Cian oleh pasukan yang mengakibatkan matinya sahabatnya
itu.
"Celaka,
sudah kukhawatirkan hal itu akan terjadi. Kita harus cepat
meninggalkan dusun ini,isteriku!" katanya kepada isterinya yang menggendong Song Thian Lee, putera mereka yang baru berusia setahun. Isteri Song Tek Kwi bernama Kwa Siang dan wanita ini tidaklah lemah seperti Lu Bwe Si.
meninggalkan dusun ini,isteriku!" katanya kepada isterinya yang menggendong Song Thian Lee, putera mereka yang baru berusia setahun. Isteri Song Tek Kwi bernama Kwa Siang dan wanita ini tidaklah lemah seperti Lu Bwe Si.
Kwa Siang
sejak kecil mempelajari ilmu silat dan setelah menjadi isteri Song Tek Kwi,kepandaiannya
bertambah cepat karena ajaran suaminya. Kini ia merupakan seorang wanita
yang gagah
perkasa dan tangguh ilmu silatnya.
"Suamiku,
kenapa kita harus pergi" Siapa yang akan mengancam kita?" tanyanya
dengan tenang,
sedikit pun tidak menjadi gugup.
"Kemarin
Bu Cian menghajar para pengawal pangeran itu bersama aku. Sekarang Bu Cian dibunuh,
tentu mereka akan mencari aku pula. Mari kita berkemas dan pergi secepatnya
dari
tempat
ini!" Suami isteri itu berkemas membawa harta mereka yang ringkas, lalu
keduanya, pergi dari dusun itu.
Kwa Siang menggendong anaknya, dan suaminya menggendong buntalan besar.
Akan tetapi, baru saja mereka tiba di luar dusun, mereka telah berhadapan dengan pasukan yang mengepung mereka!
Kiranya sejak tadi sudah ada pasukan datang ke dusun Tung-sin-bun, jumlah mereka lima puluh orang dipimpin oleh dua orang perwira yang bertubuh tinggi
besar.
Melihat ini, Song Tek Kwi mencabut pedangnya, juga isterinya, Kwa Siang telah
mencabut pedangnya
dan memperkuat ikatan gendongan puteranya.
Suami isteri ini sudah bertekad
Suami isteri ini sudah bertekad
untuk
membela diri. "Pemberontak Song Tek Kwi! Lebih baik engkau dan isterimu
menyerah untuk kami tangkap dan bawa ke
kota raja daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata seorang di
antara dua orang
perwira itu. "Aku bukan pemberontak, dan aku tidak akan menyerah!"
kata Song Tek Kwi dengan suara lantang.
Akan tetapi diam-diam pendekar ini, mengkhawatirkan keadaan puteranya dalam orgendongan is-terinya, maka dia lalu berkata kepada isterinya, "Lari!
Cepat, selamatkan anak kita'" Kwa Siang tidak takut menghadapi pasukan itu untuk membela suaminya, akan tetapi ia pun memikirkan keselamatan puteranya.
Oleh karena itu, seruan suaminya membuat ia bimbang.
Akan tetapi diam-diam pendekar ini, mengkhawatirkan keadaan puteranya dalam orgendongan is-terinya, maka dia lalu berkata kepada isterinya, "Lari!
Cepat, selamatkan anak kita'" Kwa Siang tidak takut menghadapi pasukan itu untuk membela suaminya, akan tetapi ia pun memikirkan keselamatan puteranya.
Oleh karena itu, seruan suaminya membuat ia bimbang.
la tidak
tega meninggalkan suaminya seorang diri menghadapi pasukan itu, akan tetapi
kalau dia tidak
pergi, berarti ia mendatangkan bahaya maut bagi
anaknya. Mementingkan suaminya,
anaknya. Mementingkan suaminya,
atau
anaknya" Setelah ditimbang-timbang, ia memilih menyelamatkan anaknya.
Kalau ia meninggalkan suaminya belum tentu suaminya akan celaka. Mungkin suaminya juga akan dapat membebaskan diri. Akan tetapi kalau ia kukuh membantu suaminya, besar kemungkinan anak dalam gendongan itu akan celaka terkena senjata lawan yang demikian
Kalau ia meninggalkan suaminya belum tentu suaminya akan celaka. Mungkin suaminya juga akan dapat membebaskan diri. Akan tetapi kalau ia kukuh membantu suaminya, besar kemungkinan anak dalam gendongan itu akan celaka terkena senjata lawan yang demikian
banyaknya.
Sementara itu, mendengar suami yang menganjurkan isterinya untuk melarikan diri itu, dua orang perwira itu lalu memberi aba-aba agar anak buahnya menyerang.
Mulailah pengeroyokan terjadi dan suami isteri itu menggerakkan pedangnya melawan mati-matian. Kwa Siang yang
Sementara itu, mendengar suami yang menganjurkan isterinya untuk melarikan diri itu, dua orang perwira itu lalu memberi aba-aba agar anak buahnya menyerang.
Mulailah pengeroyokan terjadi dan suami isteri itu menggerakkan pedangnya melawan mati-matian. Kwa Siang yang
berusaha
melarikan diri, menyerang dengan dahsyat ke satu jurusan, membubarkan pengepung di
jurusan itu dan merobohkan empat orang. Suaminya juga mengamuk,pedangnya
berkelebat seperti angin topan dan enam orang berpelantingan disambar pedangnya.
Melihat kehebatan pendekar yang mereka pandang sebagai pemberontak itu, dua orang perwira lalu mencabut pedang mereka dan keduanya mengeroyok Song Tek Kwi, dibantu
Melihat kehebatan pendekar yang mereka pandang sebagai pemberontak itu, dua orang perwira lalu mencabut pedang mereka dan keduanya mengeroyok Song Tek Kwi, dibantu
pula oleh
banyak anak buah. Song Tek Kwi melawan dengan nekat karena yang 'terutama baginya
adalah membiarkan isterinya lolos.
"Siang-mo,
pergilah....!" teriaknya dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang mereka
yang mengepung
isterinya sehlngga terbuka jalan bagi Kwa Siang.
"Kwi-ko, jaga dirimu baik-baik!" kata Kwa Siang, lalu wanita ini memutar pe-dangnya dan ketika pengeroyoknya mundur, ia lalu meloncat jauh. Di depannya sudah ada beberapa orang
perajurit
lagi dan ia mengamuk lagi.
Setelah mendapatkan kesempatan ia nnelompat lagi dan akhirnya ia berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri memasuki hutan.
Setelah mendapatkan kesempatan ia nnelompat lagi dan akhirnya ia berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri memasuki hutan.
Melihat ini,
Song Tek Kwi menjadl lega sekali dan dia pun mengamuk lebih hebat lagi.
Namun,
bagaimana mungkin satu orang melawan puluhar? orang pera-.jurit, apalagi di
situ terdapat
dua'orang perwira yang cukup lihai ilmu pedang-nya"
Setelah merobohkan belasan orang pengeroyok, akhirnya Song Tek Kwi roboh juga dengan tubuh penuh luka.
Dia tewas sebagai seorang gagah perkasa, hal yang selalu diidamkan oleh para pendekar. Dua orang perwira lalu mengerahkan para perajuritnya untuk melakukan pengejaran terhadap Kwa
Setelah merobohkan belasan orang pengeroyok, akhirnya Song Tek Kwi roboh juga dengan tubuh penuh luka.
Dia tewas sebagai seorang gagah perkasa, hal yang selalu diidamkan oleh para pendekar. Dua orang perwira lalu mengerahkan para perajuritnya untuk melakukan pengejaran terhadap Kwa
Siang, akan
tetapi ibu muda itu telah lenyap dan tidak berada lagi dalam hutan itu.
Tepaksa pasukan itu lalu kembali membawa teman-teman yang terluka dan menyuruh kepala dusun Tung-sin-bun agar mengerahkan pendu-duknya untuk mengubur semua jenazah para perajurit.
Jauh dari dusun Tung-sin-bun, di dalam sebuah hutan di lereng bukit, Kwa Siang duduk memangku puteranya, dan ia menangis terisak-isak.
Setelah tadi ber-hasil melarikan diri, ia
Tepaksa pasukan itu lalu kembali membawa teman-teman yang terluka dan menyuruh kepala dusun Tung-sin-bun agar mengerahkan pendu-duknya untuk mengubur semua jenazah para perajurit.
Jauh dari dusun Tung-sin-bun, di dalam sebuah hutan di lereng bukit, Kwa Siang duduk memangku puteranya, dan ia menangis terisak-isak.
Setelah tadi ber-hasil melarikan diri, ia
tidak segera
pergi melainkan mengintai dari dalam hutan, melihat kalau-kalau suaminya akan dapat
melarikan diri pula.
Akan tetapi apa yang dilihatnya" Suaminya merobohkan belasan
Akan tetapi apa yang dilihatnya" Suaminya merobohkan belasan
orang
perajurit dan kemudian roboh dengan tubuh penuh luka dan tewas di bawah hujan senjata.
Terpaksa ia lalu melarikan diri dengan cepat. Yang terngiang dalam telinganya
Terpaksa ia lalu melarikan diri dengan cepat. Yang terngiang dalam telinganya
hanyalah
pesan terakhir suaminya agar ia menye-lamatkan anaknya.
Kini,
setelah jauh dari tempat itu dan tidak ada lagi yang mengejarnya, wanita itu
duduk di atas akar
pohon dan menangis dengan sedih, menangisi kematian suaminya. Baru saja ia
masih
bersama suaminya, dalam keadaan sehat dan hidup. Dan kini, suaminya telah tewas tanpa ia
dapat menolongnya!
Kalau saja di situ tidak ada Thian Lee, tidak mungkin ia akan melarikan-diri. la tentu akan membela suaminya dan kalau perlu mati bersama suaminya.
Kalau saja di situ tidak ada Thian Lee, tidak mungkin ia akan melarikan-diri. la tentu akan membela suaminya dan kalau perlu mati bersama suaminya.
"Ohh,
suamiku..., anakku....!" la mendekap Thian Lee dan anak itu seolah
mengerti kedukaan ibunya dan
ikut menangis.
Khawatir kalau tangis puteranya yang nyaring itu akan terdengar orang, Kwa Siang menghentikan tangisnya dan meng-hibur puterinya sehingga anak itu berhenti menangis.
Hancur luluh
rasa hati Kwa Siang.
Mengapa nasib sedemikian buruknya menimpa dirinya"
Mengapa nasib sedemikian buruknya menimpa dirinya"
Nasib berada
di tangan Tuhan dan di-tentukan oleh kekuasaan Tuhan. Memang benar. Akan tetapi baik
buruknya nasib tergantung dari si manusia sendiri.
Manusia diberi peralatan
Manusia diberi peralatan
selengkapnya
untuk berusaha memperbaiki keadaan dirinya. Tidak mempergunakan segala daya yang
ada padanya berarti menyia-nyiakan pemberian anugerah dari Tuhan berupa
kehidupan
sempurna itu.
Nasib yang rnenimpa seseorang pasti ada sebabnya dan sebab itu
Nasib yang rnenimpa seseorang pasti ada sebabnya dan sebab itu
berada di
tangan si manusia sendiri.
Setiap orang akan memetik bunuh dari hasil tanamannya sendiri. Karena itu, orang yang mengerti benar akan nikmat ini, selalu menanam bibit yang
Setiap orang akan memetik bunuh dari hasil tanamannya sendiri. Karena itu, orang yang mengerti benar akan nikmat ini, selalu menanam bibit yang
baik, yaitu
melakukan semua perbuatan yang baik sehingga buahnya kelak pun baik.
Sebaliknya,
kalau tertimpa suatu peristiwa, menyenangkan atau menyusahkan, tidak akan
menyesal
karena maklum bahwa semua itu adalah hasil tanaman-nya sendiri.
Wajarlah kalau yang bersalah menerima hukumannya. Mengapa menye-sal"
Penyesalan yang perlu kita
Wajarlah kalau yang bersalah menerima hukumannya. Mengapa menye-sal"
Penyesalan yang perlu kita
.miltki
adalah bertaubat atas kesalahannya dan tidak akan mengulang kembali. Tidak akan menanam
bibit yang buruk lagi, melainkan menanam bibit yang baik-baik saja tanpa
pamrih,
yaitu pamrih
untuk kesenangan diri sendiri. Pamrih adalah harapan mendapatkan sesuatu, dan hanya orang
yang mengharapkan mendapat sesuatu sajalah yang akan merasa kecewa.
Kecewa kalau
yang diharapkan itu tidak tercapai, kemudian menjadi bosan dan tidak puas kalau
harapan itu terpenuhi, karena yang diharapkan itu kemudian setelah tercapai
tidaklah seindah
seperti yang dibayangkan semula.
Duka datang
bersama perasaan iba diri. Aku ditinggal, aku kehilangan, aku kesepian, aku dirugikan
dan semua kenangan mengenai aku yang dirugikan itulah yang mendatangkan rasa
iba diri dan
menjurus kepada kedukaan.
Duka ini dapat pula memperbesar rasa benci terhadap sesuatu yang rnenjadi penyebab datangnya kerugian itu.
Duka ini dapat pula memperbesar rasa benci terhadap sesuatu yang rnenjadi penyebab datangnya kerugian itu.
Demikian pula dengan Kwa Siang. Ibu muda ini akhirnya menggendong putera-nya dan meninggalkan tempat itu, men-daki bukit dan hatinya penuh dengan duka, penuh dengan dendam. Kalau bisa, ingin ia membunuh semua pangeran Man-cu yang ada!
Bahkan menghancurkan kekuasaan penjajah Mancu. "Kau yang kelak akan melakukannya, Thian Lee.
Kelak engkau
yang akan membalaskan kcmatian ayahmu!" bisiknya kepada anak-nya sambil memeluk anak
itu dan melanjutkan perjalanannya. Suaminya benar Kalau ia tidak lari, tentu
ia akan
tewas pula bersama Thian Lee.
Dan, kalau hal itu terjadi, siapa yang akan
Dan, kalau hal itu terjadi, siapa yang akan
membalaskan
sakit hati ini" la harus merawat Thian Lee dan mendidiknya sampai dia
kelakm menjadi
seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dapat melaksanakan pembalasan dendam
ini.
Dengan pikiran itu, langkahnya semakin tegap dan kedukaannya pun terhibur oleh harapan baru. Biarpun harapan akhirnya mendatangkan kekecewaan atau ketidak-puasan,namun dalam keadaan hati direndam duka, harapan tu menjadi teramat penting. Harapan
Dengan pikiran itu, langkahnya semakin tegap dan kedukaannya pun terhibur oleh harapan baru. Biarpun harapan akhirnya mendatangkan kekecewaan atau ketidak-puasan,namun dalam keadaan hati direndam duka, harapan tu menjadi teramat penting. Harapan
bagaikan
sepucuk obor yang menerangi batin yang sedang digelapkan duka.
Dengan adanya harapan, maka timbul semangat baru untuk meninggalkan duka dan menghadapi kehidupan selanjutnya.
Dalam pakaian wanita bangsawan, dengan dandanan rambut digelung ke atas dan dihias tusuk rambut dari emas memang Lu Bwe Si nampak cantik sekali.
Cantik lembut dan anggun, memang wanita ini pantas menjadi seorang wanita bangsawan. la tidak dapat menolak semua pemberian Pangeran Tang Gi Su kepadanya berupa pakaian dan perhiasan.
Dengan adanya harapan, maka timbul semangat baru untuk meninggalkan duka dan menghadapi kehidupan selanjutnya.
Dalam pakaian wanita bangsawan, dengan dandanan rambut digelung ke atas dan dihias tusuk rambut dari emas memang Lu Bwe Si nampak cantik sekali.
Cantik lembut dan anggun, memang wanita ini pantas menjadi seorang wanita bangsawan. la tidak dapat menolak semua pemberian Pangeran Tang Gi Su kepadanya berupa pakaian dan perhiasan.
"Engkau
telah tinggal dl sini, harus menyesuaikan dandananmu agar jangan membikin malu kepadaku,
Bwe Si," kata pangeran itu yang kini tidak menyebut nyonya kepadanya,melainkan
nama kecilnya.
"Akan tetapi saya bukanlah anggauta keluarga,. saya hanyalah seorang tamu yang sementara tinggal di sini, Pangeran," bantah Lu Bwe Si.
"Akan tetapi saya bukanlah anggauta keluarga,. saya hanyalah seorang tamu yang sementara tinggal di sini, Pangeran," bantah Lu Bwe Si.
"Bukan
hanya tamu sementara, Bwe Si. Ingatlah baik-baik, engkau dapat pergi ke mana kecuali
tinggal di sini" Begitu engkau keluar darl perlindunganku, engkau akan
ditangkap sebagai
seorang keluarga pemberontak."
"Aduh,
kalau begitu bagaimana baiknya, Pangeran" Bagaimana dengan diri saya dan
anak saya"
Apakah selamanya saya tidak dapat memperoleh kebebasan dan selalu menjadi
buruan pemerintah?"
keluh Lu Bwe Si sambil mendekap anaknya, tidak dapat menangis lagi karena air matanya
telah habis ditumpahkan selama satu bulan berada di gedung pangeran itu.
"Tentu
saja, selama engkau masih menjadi Nyonya Bu Cian, engkau akan selalu menjadi orang
buruan. Kebebasan hanya bisa kaudapatkan di sini, Bwe Si.
Dan pemerintah akan menghentikan buruan itu kalau engkau sudah menjadi selirku dan tinggal di sini, menjadi
Dan pemerintah akan menghentikan buruan itu kalau engkau sudah menjadi selirku dan tinggal di sini, menjadi
keluargaku."
Bwe Si terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa di balik pertolongan yang
diberikan oleh pangeran
yang baik hati ini kepadanya tersembunyi niat untuk memperisterinya, untuk
mengambilnya
sebagai selir!
"Akah
tetapi, Pangeran. Saya isteri Bu Cian....!"
"Dia
sudah mati, Bwe Si."
"Ya,
saya adalah seorang janda dan mempunyai seorang anak lagi."
"Apa
salahnya: Engkau akan menjadi isteriku, dan anak ini akan menjadi
anakku.
Namanya Cin Lan, bukan" la akan menjadi Tang Cin Lan, seorang isteri pangeran!"
anakku.
Namanya Cin Lan, bukan" la akan menjadi Tang Cin Lan, seorang isteri pangeran!"
"Tapi,
Pangeran.... "Pikirkan baik-baik dan jangan ragu, Bwe Si. Aku cinta
padamu.
Sejak pertemuan pertama kali aku sudah tertarik sekali kepadamu, kecantikanmu, sikap dan kelembutanmu. Aku ingin
Sejak pertemuan pertama kali aku sudah tertarik sekali kepadamu, kecantikanmu, sikap dan kelembutanmu. Aku ingin
engkau
selamanya tinggal di sini bersama anakmu, engkau menjadi selirku dan Cin Lan menjadi
anakku.
Sekarang, aku beri waktu semalann ini. Pikirkanlah baik-baik. Engkau lebih
Sekarang, aku beri waktu semalann ini. Pikirkanlah baik-baik. Engkau lebih
suka keluar
dari sini menjadi buruan pemerintah, kalau tertangkap menjadi orang hukuman,mungkin dihu-kum
mati bersama anakmu, atau tinggal di sini menjadi selirku dan anakmu itu
menjadi
puteri pangeran.
Nah, besok pagi-pagi engkau harus sudah mengambil keputusan,mau tinggal di sini atau keluar dari rumah ini!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi
Nah, besok pagi-pagi engkau harus sudah mengambil keputusan,mau tinggal di sini atau keluar dari rumah ini!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi
Su
meninggal-kan wanita itu yang mulai menangis sesenggukan sambil mendekap
anaknya.
Malam itu
teramat menyiksa bagi Bwe Si. Terjadi perang dalam otaknya, dalam hatinya.
Baru saja ia ditinggal suaminya, mati dalam keadaan demikian sengsara.
Bahkan la tidak diberi kesempatan untuk berkabung atas kematian suami yang dicintanya itu, dan malah dilamar
Baru saja ia ditinggal suaminya, mati dalam keadaan demikian sengsara.
Bahkan la tidak diberi kesempatan untuk berkabung atas kematian suami yang dicintanya itu, dan malah dilamar
menjadi
selir pangeran!
Hatinya berontak. Tidak ingin la menjadi selir pangeran atau isteri siapapun juga.
Ia ingin bersetia kepada suaminya sampai mati. Akan tetapi, bagaimana
Hatinya berontak. Tidak ingin la menjadi selir pangeran atau isteri siapapun juga.
Ia ingin bersetia kepada suaminya sampai mati. Akan tetapi, bagaimana
dengan
anaknya. Suaminya, dalam saat terakhir pesan kepadanya agar ia menyelamatkan
anak mereka dan
menjaganya baik-baik kalau ia nekat menolak lamaran llalu harus keluar dari
rumah itu,
pasti ia ditangkap dan dihukum. Lalu bagaimana dengan anaknya".
Cin Lan
aahh, Cin Lan, apa yang harus ibu lakukan, Nak....?" la memeluk, menciumi
anaknya sambil
menangis. Ia meratapi suaminya seolah minta petunjuk, akan tetapi tiada
jawaban. Dan
malam
rasanya demikian cepat berlalu, tahu tahu sudah terdengar ayam jantan
berkeruyuktanda bahwa
pagi telah menJelang tiba.
Dan pagi
yang menakutkan itu pun tiba. Dengan hati berdebar-debar Bwe Si menunggu,masih belum
dapat mengambil keputusan. Akan tetapi yang jelas, ia tidak ingm melihat anaknya ikut
terhukum dan mati.
Tidak, ia sendiri tidak takut dihukum, tidak takut menyusul suaminya mati. Akan tetapi, ia amat takut kalau membayangkan nasib Cin Lan puterinya.
Ia rela berbuat apa saja bahkan lebih dari kematian, demi menyelamatkan Cin Lan.
Tidak, ia sendiri tidak takut dihukum, tidak takut menyusul suaminya mati. Akan tetapi, ia amat takut kalau membayangkan nasib Cin Lan puterinya.
Ia rela berbuat apa saja bahkan lebih dari kematian, demi menyelamatkan Cin Lan.
Dengan pakaian pagi yang indah, sudah nampak segar habis mandi, Pangeran Tang Gi Su memasuki kamar itu, seorang diri. Biasanya, kalau pangeran itu datang, Bwe Si pasti menyambutnya dengan salam hormat. Akan tetapi sekali ini Bwe Si tidak dapat bergerak,tidak pula dapat mengeluarkan sepatah pun kata.
la terdiam dan memandang pangeran itu
bagaikan telah
berubah menjadi putung'
Pangeran
Tang Gi Su memandangnya dan alisnya berkerut melihat wajah yang pucat, rambut yang kusut
dan mata yang agak bengkak kemerahan bekas tangis itu.
Dia melangkah maju menghampiri lalu berkata, "Bwe Si, kenapa engkau menyiksa dirimu sendiri begini rupa"
Dia melangkah maju menghampiri lalu berkata, "Bwe Si, kenapa engkau menyiksa dirimu sendiri begini rupa"
Agaknya
semalam engkau tidak tidur!
Begitu sulitkah menerimaku sebagai suamimu, Bwe Si" Begitu burukkah rupaku atau kelakuanku bagimu sehingga engkau tidak sudi menjadi isteriku" Engkau memilih dihukum mati daripada hidupseba-gai isteriku7"
Begitu sulitkah menerimaku sebagai suamimu, Bwe Si" Begitu burukkah rupaku atau kelakuanku bagimu sehingga engkau tidak sudi menjadi isteriku" Engkau memilih dihukum mati daripada hidupseba-gai isteriku7"
Akhirnya Bwe
Si dapat menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Pangeran, saya tidak takut mati, akan tetapi saya tidak ingin melihat anak saya ikut mati...."
"Pangeran, saya tidak takut mati, akan tetapi saya tidak ingin melihat anak saya ikut mati...."
"Jadi...
lalu apa jawabanmu terhadap lamaranku" Maukah engkau menjadi
isteriku?"
Kembali Bwe
Si menghela riapas panjang. "Pangeran, demi keselamatan anakku, aku tidak dapat
menolak....." "Bapus!
Untuk sementara engkau boleh menerimaku demi anakmu. Cinta datangnya perlahan-lahan bagi wanita yang berkeadaan sepertimu. Akan tetapi kelak aku mengharapkan cinta itu akan datang padamu terhadap diriku. Nah, mulai hari ini engkau adalah selirku dan
Untuk sementara engkau boleh menerimaku demi anakmu. Cinta datangnya perlahan-lahan bagi wanita yang berkeadaan sepertimu. Akan tetapi kelak aku mengharapkan cinta itu akan datang padamu terhadap diriku. Nah, mulai hari ini engkau adalah selirku dan
Cin Lan
adalah anakku. Dalam keadaan seperti sekarang, air susumu tidak sehat bagi Cin
Lan.
Aku tidak
ingin melihat anakku menjadi sakit karena minum air susumu. Biarlah wanita pengasuh
yang akan menyusuinya dan merawatnya, seperti anak-anakku yang lain. Cin Lana akan menjadi
seorang anak yang sehat dan kuat."
Pangeran
Tang Gi Su lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu mengutusnya memanggil inang
pengasuh yang segera datang. Pangeran berkata, "Rawat baik-baik anakku ini
agar ia sehat dan
kuat seperti kakak-kakaknya. Ia adalah anakku, mengerti?"
Tergopoh-gopoh
inang pengasuh mene-runa anak. itu dari tangan ibunya dan membawanya pergi.
Setelah mereka semua pergi, Pangeran Tang Gi Su lalu memegang kedua tangan Bwe
Si,
mendekatkan mukanya dan mencium dahi yang putih halus terhias anak rambut itu,
lalu berkata,
"Nah, sayang.
Sekarang engkau tidurlah. Engkau harus mengaso karena semalam
Sekarang engkau tidurlah. Engkau harus mengaso karena semalam
engkau tidak
tidur. jangan sampai engkau jatuh sakit." Pangeran itu menuntunnya ke pembaringan,
mendesaknya untuk rebah dan dia sendiri yang menutupi tubuh Bwe Si dengan sehelai
selimut, dengan sikap dan gerakan menyayang sekali.
"Tidurlah,
Bwe Si dan senangkan hatimu. Cin Lan berada di tangan pengasuh yang ahli.
Engkau dan
anakmu aman di sini dan kehidupan yang tenteram bahagia dan terhormat menanti
kalian berdua. Tidurlah." Pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan
menutupkan
daun
pintunya dari luar. Bwe Si menangis. la merasa telah berkhianat terhadap
almarhum suaminya. Ia telah
menyerahkan
dirinya kepada pangeran itu.
Akan tetapi ini demi Cin Lan, anak kita, suamiku,demikian bisiknya berulang kali akhirnya ia lalu membayangkan kembal sikap pangeran itu yang demikian penyayang dan lembut.
Akan tetapi ini demi Cin Lan, anak kita, suamiku,demikian bisiknya berulang kali akhirnya ia lalu membayangkan kembal sikap pangeran itu yang demikian penyayang dan lembut.
Setelah ia
menerima pinangan, pangeran itu tidak segera melampiaskan berahinya kepadanya melainkan
bersikap baik dan sopan sekali, amat menyayangnya. Hal ini mengharukan hatlnya dan sedikit
menghiburnya. la merasa terhormat setelah tadi merasa terhina karena merasa berkhianat
terhadap suaminya.
Tidak, ia tidak berkhianat. la melakukan demi keselamatan Cin Lan. Dan pangeran itu pun bukan seorang yang kasar, tidak ingin mengambilnya sebagai selir
Tidak, ia tidak berkhianat. la melakukan demi keselamatan Cin Lan. Dan pangeran itu pun bukan seorang yang kasar, tidak ingin mengambilnya sebagai selir
hanya karena
nafsunya, melainkan nampaknya pangeran itu benar-benar cinta kepadanya.
Akhirnya, ia
pun tertidur nyenyak dan sampai siang hari baru terbangun.
Mulai hari itu, Lu Bwe Si menjadi selir Pangeran Tang Gi Su. Tidak terlalu berat bagi Bwe Si untuk melayani suami-nya yang baru karena Sang Pangeran , benar-benar bersikap lembut dan penuh kaslh sayang kepadanya. Juga sikap suaminya terhadap Cin Lan nampak begitu
menyayang,
tidak berbeda dengan anak-anaknya yang lain.
Hal ini lebih-lebih menggembirakan hati Bwe Si sehingga tak lama kemudian, ia sudah melupakan bahwa Cin Lan adalah puteri suan inya yang dahulu. Bahkan sudah Jarang teringat kepada mendiang Bu Cian.
Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak mungkin hal itu dalam satu keadaanfl terus menerus tanpa perubahan. Duka tidak dapat mengekang hati terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan itu sudah terganti oleh perasaan lain.
Hal ini lebih-lebih menggembirakan hati Bwe Si sehingga tak lama kemudian, ia sudah melupakan bahwa Cin Lan adalah puteri suan inya yang dahulu. Bahkan sudah Jarang teringat kepada mendiang Bu Cian.
Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak mungkin hal itu dalam satu keadaanfl terus menerus tanpa perubahan. Duka tidak dapat mengekang hati terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan itu sudah terganti oleh perasaan lain.
Karena itu,
tidak keliru kalau ada yang menga-takan bahwa pada saat suka menduduki hati,duka sudah
antri di belakangnya dan demikian sebaliknya. Suka dan duka lewat bagaikan
angin lalu,
semua akan tei-lena oleh Sang Waktu.
Pangeran
Tang Gi Su memang men-cinta Bwe Si dan lambat laun, belum genap setahun, telah mulai
tunnbuh perasaan cinta dalam hati Bwe Si terhadap suaminya yang baru itu. Kini
ia
tidak lagi
melayani suaminya karena terpaksa, demi keselamatan Cin Lan, melainkan dengan gairah yang
menggelora karena api cinta kasih mulai menyala dalam dadanya terhadap
pangeran
yang menjadi suaminya dan yang memberinya segala-galanya itu.
Ia menjadi seorang wanita terhormat, bebas tidak diburu lagi, berkecukupan bahkan mewah. Juga Cin Lan terawat dengan baik, sekarang nampak gemuk dan sehat dan sewaktu-waktu dapat saja
Ia menjadi seorang wanita terhormat, bebas tidak diburu lagi, berkecukupan bahkan mewah. Juga Cin Lan terawat dengan baik, sekarang nampak gemuk dan sehat dan sewaktu-waktu dapat saja
memerintahkan
pengasuh membawa anaknya kepadanya. Bahagia, itulah yang dirasakan oleh Bwe Si.
Sa-lahkah sikap Bwe Si ini"
Kalau ada yang menyalahkannya dan menganggapnya rendah, anggapan seperti itu tidaklah adil. Tidakkah sebagai seorang manusia, Bwe Si juga
Kalau ada yang menyalahkannya dan menganggapnya rendah, anggapan seperti itu tidaklah adil. Tidakkah sebagai seorang manusia, Bwe Si juga
berhak untuk
meraih kebahagiaannya"
Kalau ia mendapatkan itu sebagai isteri muda pangeran, apa salahnya" 5uarrunya sudah tiada, dan ia dapat pula membahagiakan puterinya,
Kalau ia mendapatkan itu sebagai isteri muda pangeran, apa salahnya" 5uarrunya sudah tiada, dan ia dapat pula membahagiakan puterinya,
di sampine
membahagiakan diri sendiri. Roh suaminya tentu akan senang melihat orang-orang yang
dikasihinya ity dalam keadaan bahagia!
Biarpun
merasa amat berterima kasih kepada suaminya yang baru, Bwe Si tidak melupakan kenyataan
bahwa puterinya itu adalah ariak seorang pendekar.
Karena itu, setelah Cin Lan berusia lima tahun, di samping memberi pelajaran baca tulis, ia pun memanggil seorang guru silat untuk puterinya. Dan Pangeran Tang Gi Su juga tidak berkeberatan, apalagi ketika guru silat menyatakan kekagumannya akan bakat ilmu silat yang ada pada diri anak itu. Pangeran
Karena itu, setelah Cin Lan berusia lima tahun, di samping memberi pelajaran baca tulis, ia pun memanggil seorang guru silat untuk puterinya. Dan Pangeran Tang Gi Su juga tidak berkeberatan, apalagi ketika guru silat menyatakan kekagumannya akan bakat ilmu silat yang ada pada diri anak itu. Pangeran
Tang Gi Su
bahkan mendorong dengan mengundang guru silat yang lebih pandai untuk mengajar
puterinya. Kwa Siang, atau nyonya janda Song Tek Kwi, adalah seorang
wanita yang penuh semangat
dan
pemberani. Biarpun ketika melarikan diri ia tidak membawa banyak bekal karena
bekal itu
kebanyakan berada daiam buntalan suaminya yang terpaksa ditinggalkan, namun ia
tidak takut. la
mengembara sambil meiarikan diri. khawatir kalau-kalau akan dikejar oleh
pasukan.
la
berpindah-pindah dari satu ke lain dusun, terus menjauhkan diri dari kota raja
sampai jauh ke selatan.
Akhirnya, setahun kemudian ia sudah tiba di tepi Sungai Kuning. la tinggal di sebuah dusun
kecil yang dihuni beberapa ratus kepala keluarga yang bekerja sebagai petani
dan nelayan.
la pun bekerja sebagai nelayan mencari ikan untuk menghidupi dirinya dan Thian Lee,
puteranya.
Setelah Thian Lee berusia lima tahun, mulailah ibu muda ini menggembleng puteranya dengan ilmu silat dan betapa girang hatinya melihat bahwa Thian Lee memiliki bakat yang baik sekali.
Dalam hidupnya selama ini, banyak terjadi gangguan terhadap dirinya, dari para pria hidung belang dan mata keranjang, namun berkat ilmu silatnya, ia menghajar setiap orang laki-laki yang berani kurang ajar kepadanya.
Demikian pula di dusun tepi sungai itu, setelah semua penduduk mengetahui bahwa janda muda beranak satu ini pandai ilmu silat, tidak ada se-orang pun berani mengganggunya.
Setelah Thian Lee berusia lima tahun, mulailah ibu muda ini menggembleng puteranya dengan ilmu silat dan betapa girang hatinya melihat bahwa Thian Lee memiliki bakat yang baik sekali.
Dalam hidupnya selama ini, banyak terjadi gangguan terhadap dirinya, dari para pria hidung belang dan mata keranjang, namun berkat ilmu silatnya, ia menghajar setiap orang laki-laki yang berani kurang ajar kepadanya.
Demikian pula di dusun tepi sungai itu, setelah semua penduduk mengetahui bahwa janda muda beranak satu ini pandai ilmu silat, tidak ada se-orang pun berani mengganggunya.
Ketika Thian
Lee berusia sepuluh tahun, terpaksa Kwa Siang rriengajak anaknya
menyeberangi
sungai dan melarikan diri ke selatan.
Pada suatu hari ia melihat serombongan
Pada suatu hari ia melihat serombongan
pasukan
lewat di dusun itu dan ia menjadi curiga. Jangan-jangan mereka itu sudah
mendengar bahwa ia
tinggal di dusun itu!
Maka sebelum terjadi sesuatu, diam-diam ia lalu naik perahu menyeberangi sungai dan melarikan diri, membawa segala miliknya berupa pakaian dan
Maka sebelum terjadi sesuatu, diam-diam ia lalu naik perahu menyeberangi sungai dan melarikan diri, membawa segala miliknya berupa pakaian dan
sedikit uang
yang berhasil ia kumpulkan selama bekerja sebagai nelayan di tepi sungai itu.
Akhirnya ia
merasa suka dengan dusun Nan-kiang-jung, sebuah dusun yang makmur karena tanahnya
subur dan berada di sebelah selatan Sungai Kuning, di luar kota Lok-yang.
Dengan
uangnya, Kwa Sing membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah pondok sederhana,
lalu mulai hidup bagai petani.
Thian Lee
sudah berusia sepuluh tahun menjadi seorang anak yang tinggi tegap dan cerdas.
Pada suatu
malam, Thian Lee bertanya kepada ibunya, "Ibu, sejak dulu kalau aku
bertanya kepada Ibu
tentang Ayah, Ibu mengatakan bahwa Ayah telah meninggal dunia.
Hatiku merasa penasaran sekali, Ibu. Ibu masih muda, tentu Ayah masih muda pula. Kenapa Ayah telah meninggal dunia di waktu masih muda" Penyakit apakah yang membuat Ayah meninggal dunia di dalam usia muda, Ibu?"
Hatiku merasa penasaran sekali, Ibu. Ibu masih muda, tentu Ayah masih muda pula. Kenapa Ayah telah meninggal dunia di waktu masih muda" Penyakit apakah yang membuat Ayah meninggal dunia di dalam usia muda, Ibu?"
Ditanya demikian
Kwa Siang menghela napas panjang, dan ia menarik tangan puteranya, lalu mengelus
kepalanya dengan pehuh kasih sayang. "Thian Lee, engkau sekarang sudah
berusia
sepuluh
tahun, agaknya sudah pantas untuk me-ngetahui segalanya. Duduklah di sini.
Anakku, dan dengarkan penuturanku tentang ayahmu."
Anakku, dan dengarkan penuturanku tentang ayahmu."
Thian Lee
dtiduk di depan ibunya, wajahnya diangkat dan sepasang mata yang jernih tajam itu mengati wajah ibunya penuh perhatian.
"Ayahmu
Song Tek Kwi, adalah seorang pendekar yang masih muda ketika dia meninggal dunia. Dia
seorang pendekar, seorang patriot sejati yang tidak dapat tinggal diam kalau
terjadi perbuatan
sewenang-wenang dari pembesar atau siapapun juga.
Ketika engkau berusia kurang lebih setahun, pada suatu hari ayahmu pergi berkunjung ke rumah sahabatnya yang
Ketika engkau berusia kurang lebih setahun, pada suatu hari ayahmu pergi berkunjung ke rumah sahabatnya yang
bernama Bu
Cian di dusun Teng-sia-bun dekat kota raja. Di sana ayahmu bersama Bu Cian telah
menghajar seorang pangeran yang melakukan pe-maksaan terhadap seorang
gadis" yang
hendak
dijadikan selir. Melihat ini, ayahmu dan sahabatnya itu tidak dapat tinggal
diam dan menghajar
pangeran itu dan para pengawalnya.
Peristiwa itu berakibat panjang. Pada
Peristiwa itu berakibat panjang. Pada
keesokan
harinya, sejumlah pasukan menyerbu Teng-sia-bun dan membunuh Bu Cian sebagai pemberontak,"
ibu muda itu berhenti dan menghela napas panjang.
"Lalu
bagaimana Ibu" Apa yang terjadi kepada Ayah?"
"Mendengar
akan hal itu, ayahmu mengajakku untuk melarikan diri. Aku menggendongmu dan kita
melarikan diri dari dusun Tung-si-bun. Akan tetapi di luar dusun itu, kita
bertemu
rombongan
perajurit. Aku dan ayahmu dikeroyok, ayahmu minta agar aku menyelamatkanmu,maka aku
lalu melarikan diri sambil menggendongmu.
Aku sempat mengintai bagaimana
Aku sempat mengintai bagaimana
keadaan
ayahmu." Dia mengamuk, merobohkan belasan orang akan tetapi dia sendiri
roboh di bawah hujan
senjata para pengeroyok dan tewas dengan gagah perkasa.
Demikianlah, Thian-lee, ayahmu tewas sebagai seorang pendekar sejati."
Demikianlah, Thian-lee, ayahmu tewas sebagai seorang pendekar sejati."
Jilid
2________ Thian Lee mengerutkan alisnya dan mengepal tinju yang kecil.
"Akan
tetapi, Ibu. Kenapa mereka mengeroyok Ibu dan Ayah" Kenapa mereka membunuh Ayah?"
"Karena ayahmu membantu Bu Cian ketika menghajar pangeran dan para
pengawalnya.
Seperti juga
Bu Cian, ayahmu dituduh sebagai pemberontak."
"Ah,
akan tetapi Ayah tidak memberontak. Ayah hanya memberi hajaran kepada orang
yang
memaksa
seorang gadis!"
"Benar,
akan tetapi sungguh tidak kebetulan sekali, orang itu adalah seorang pangeran.
Jadi,ayahmu
dituduh memukul seorang pangeran, dianggap melawan pemerintah dan memberontak."
"Ayah mati penasaran, Ibu!"
"Memang
penasaran sekali, dan engkau belajarlah baik-baik agar kelak menjadi seorang p endekar
yang lihai untuk membalas dendam kematian ayahmu.
Kalau bisa, basmi semua pangeran yang ada!" Thian Lee mengerutkan alisnya.
Sekecil itu dia sudah pandai membaca dan ibunya sudah banyak memberi dia bacaan kitab sejarah orang-orang gagah, maka dia dapat mempertimbangkan bahwa pesan ibunya itu tidak adil.
Kalau bisa, basmi semua pangeran yang ada!" Thian Lee mengerutkan alisnya.
Sekecil itu dia sudah pandai membaca dan ibunya sudah banyak memberi dia bacaan kitab sejarah orang-orang gagah, maka dia dapat mempertimbangkan bahwa pesan ibunya itu tidak adil.
"Akan
tetapi, Ibu. Yang menjadi sebab kematian Ayah hanyalah satu orang pangeran.
Pangeran
yang memaksa gadis itulah yang bersalah, dan dia yang akan kucari, bukan semua pangeran."
"Semua pangeran adalah bangsawan Mancu, penjajah tanah air dan bangsa
kita, Thian Lee.
Semua
pangeran harus dibasmi dan pemerintah penjajah Mancu harus dibasmi!" kata
ibunya penuh
semangat sehingga Thian Lee tidak membantah lagi.
Thian Lee
meraba gelang kemala yang diikatkan di lehernya dengan tali, yang sejak dia
masih kecil selalu
tergantung di lehernya.
"Dan gelang ini, Ibu. Kenapa aku harus selalu memakainya sebagai kalung" Ibu selalu hanya mengatakan bahwa ini merupakan pesan Ayah dan aku harus selalu memakainya. Akan tetapi mengapa seorang anak laki-laki diberi gelang
"Dan gelang ini, Ibu. Kenapa aku harus selalu memakainya sebagai kalung" Ibu selalu hanya mengatakan bahwa ini merupakan pesan Ayah dan aku harus selalu memakainya. Akan tetapi mengapa seorang anak laki-laki diberi gelang
kemala?"
"Hal itu pun engkau boleh mengetahui sekarang, Thian Lee. Biarpun usiamu baru sepuluh tahun, akan tetapi aku percaya bahwa engkau telah dapat memaklumi kehendak ayahmu.
"Hal itu pun engkau boleh mengetahui sekarang, Thian Lee. Biarpun usiamu baru sepuluh tahun, akan tetapi aku percaya bahwa engkau telah dapat memaklumi kehendak ayahmu.
Ketahuilah
bahwa gelang kemala ini adalah tanda ikatan perjodohanmu."
"Ehh"
Bodoh, Ibu" Perjodohanku bagaimana maksud Ibu?"
"Thian
Lee, sejak berusia satu tahuh engkau telah diikat dengan perjodohan oleh ayahmu
dan sahabatnya,
yaitu mendiang Bu Cian yang mempunyai seorang anak perempuan, ketika itu
baru berusia
tiga bulan.
Atas persetujuan ayahmu dan Bu Cian, engkau dijodohkan dengan anak perempuan itu, namanya Bu Cin Lan. Aku rnemiliki sepasang gelang kemala
Atas persetujuan ayahmu dan Bu Cian, engkau dijodohkan dengan anak perempuan itu, namanya Bu Cin Lan. Aku rnemiliki sepasang gelang kemala
peninggalan
ibuku, sepasang gelang kemala yang serupa benar.
Nah, sebuah di antara sepasang gelang itu oleh ayahmu diberikan kepada anak Bu Cian itu sebagai pengikatan perjodohan. Yang sebelah lagi adalah yang kaupakai itu, Thian Lee. Kelak, engkau harus
Nah, sebuah di antara sepasang gelang itu oleh ayahmu diberikan kepada anak Bu Cian itu sebagai pengikatan perjodohan. Yang sebelah lagi adalah yang kaupakai itu, Thian Lee. Kelak, engkau harus
mencari
tunanganmu itu.
Gadis yang mempunyai gelang kemala yang persis dengan gelang yang kaupakai sebagai kalung itulah tunanganmu."
Gadis yang mempunyai gelang kemala yang persis dengan gelang yang kaupakai sebagai kalung itulah tunanganmu."
Thian Lee
tertegun. "Aihh, baru berusia setahun sudah dijodohkan?" Dia berkata
lirih dan perlahan,
seperti orang tidak percaya.
"Itu
adalah kehendak ayahmu, Thian Lee. Dan sudah selayaknya engkau taat kepada
pesan mendiang
ayahmu kalau engkau ingin menjadi seorang anak yang berbakti.
Karena itu gelang ini kuberi tali agar dapat engkau kalungkan di lehermu sampai tiba saatnya engkau bertemu
Karena itu gelang ini kuberi tali agar dapat engkau kalungkan di lehermu sampai tiba saatnya engkau bertemu
dengan
tunanganmu itu kelak setelah engkau dewasa."
Thian Lee
tidak berani membantah biarpun di dalam hatinya dia merasa penasaran sekali.
Memang sudah
semestinya dia mentaati pesan ayah ibunya, akan tetapi dalam hal perjodohan,suatu
perkara yang dia sama sekali tidak tahu menahu, sama sekali belum terpikirkan
olehnya,mengapa
ayahnya telah memberl penentuan"
Dia pun tidak mempedulikan lagi dan
Dia pun tidak mempedulikan lagi dan
melupakan
urusan yang dlanggapnya tidak penting itu, Maklumlah, dia baru berusia sepuluh tahun sama
sekali belum mengerti dan tidak mau memikirkan tentang perjodohan.
Biarpun Kaisar Kian Liong melanjutkan pimpinan kakeknya yang memegang keras
peraturan dan
bertindak keras ter-hadap pembesar yang menyalahgunakan kekuasaanmu, namun hal
itu hanya dapat
diawasi terhadap para pembesar di kota raja saja.
Terhadap perbuatan para pembesar di luar kotaraja, apalagi para pembesar daerah, tidak dapat dilakukan pengawasan ketat.
Karena itu, tetap saja banyak pembesar dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang,mengandalkan kedudukan dan wewenang mereka.
Terhadap perbuatan para pembesar di luar kotaraja, apalagi para pembesar daerah, tidak dapat dilakukan pengawasan ketat.
Karena itu, tetap saja banyak pembesar dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang,mengandalkan kedudukan dan wewenang mereka.
Sudah
menjadi kelemahan manusia pada umumnya terhadap harta kekayaan dan terhadap kekuasaan.
Mereka yang kebetulan memiliki kekuasaan,
kebanyakan menjadi mabuk kekuasaan dan menyalahgunakan wewenang untuk bertindak menuruti hasrat hati sendiri.
kebanyakan menjadi mabuk kekuasaan dan menyalahgunakan wewenang untuk bertindak menuruti hasrat hati sendiri.
Mereka
mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi dan untuk mencapai itu, mereka
tidak segan
mempergunakan wewenang dan kekuasaan mereka.
Maka tidaklah mengherankan kalau seorang kepala dusun bertindak dan bersikap seperti seorang ma-haraja kecil yang melakukan tindakan sesuka hatinya terhadap rakyat di daerah kekuasaannya.
Seperti seorang raja lalim, apa yang dikehendaki sang kepala dusun harus terlaksana.
Maka tidaklah mengherankan kalau seorang kepala dusun bertindak dan bersikap seperti seorang ma-haraja kecil yang melakukan tindakan sesuka hatinya terhadap rakyat di daerah kekuasaannya.
Seperti seorang raja lalim, apa yang dikehendaki sang kepala dusun harus terlaksana.
Memang ada
pula pejabat yang jujur dan adil, yang benar-benar menjadi pemimpin rakyat yang baik,
yang melakukan segala sesuatu demi kemajuan dusunnya, demi kepentingan
rakyatnya.
Pamrihnya bukan untuk kesenangan diri pribadi, inelainkan memenuhi tugas
Pamrihnya bukan untuk kesenangan diri pribadi, inelainkan memenuhi tugas
sebaiknya,
yaitu sebagai kepala dusun memperhatikan kepentingan dusun dan penduduknya.
Akan tetapi
dibandingkan dengan mereka yang menyalahgunakan wewenang dan
menyeleweng,
jumlah mereka yang jujur dan adil sediklt sekali.
Kepala Dusun
Nam-kiang-jung adalah seorang pejabat yang buruk itu. Dia memerintah dusunnya
seperti seorang raja lalim. Dan sudah menjadi ciri seorang pembesar yang tidak baik bahwa
dia selalu menjilat ke atas dan menginjak ke bawah.
Bermuka-muka kepada atasan, akan tetapi menekan dan menginjak bawahan untuk memperlihatkan kekuasaannya.
Bermuka-muka kepada atasan, akan tetapi menekan dan menginjak bawahan untuk memperlihatkan kekuasaannya.
Bouw-cungcu
(Lurah Bouw), demikian nama kepala dusun Nam-kiang-jung, mempunyai tukang-tukang
pukul untuk membela kepentingannya dan untuk menegakkan kekuasaannya.
Dua losin
tukang pukul ini disebutnya sebagai pasukan keamanan dusun dan sebagai orang yang
berkuasa, dia
mempunyai pula penjilat-penjilat yang bermuka-muka dan menjadi anteknya untuk menyenangkan hatinya;
mempunyai pula penjilat-penjilat yang bermuka-muka dan menjadi anteknya untuk menyenangkan hatinya;
Pada suatu
hari, ketika Bouw-cungcu sedang duduk menghisap cangklong tembakau bercampur
madat, datanglah A-keng, seorang anteknya, menghadap. A-keng tersenyum-senyum
gembira dan setelah memberi hormat dia berkata,
"Selamat, Taijin, selamat!"
"Selamat, Taijin, selamat!"
Bouw-cungcu
memang selalu menghendaki agar orang-orang menyebutnya taijin (orang besar),
sebutan yang biasa dipakai orang terhadap seorang pembesar tinggi!
"He,
apa engkau sudah gila" Aku sedang menghisap cangklong, tidak mendapat
keuntungan apa-apa dan
engkau datang-datang memberi selamat. Apa-apaan ini?"
"Saya
menghaturkan selamat karena dusun ini kedatangan seorang bidadari, Taijin. Dan
ia sekarang
menjadi warga dusun ini. Apakah Taijin tidak menjadi girang mempunyai warga seorang
bidadari?" "Eh" Siapa maksudmu"
Katakan cepat," kata Sang Kepala Dusun penuh perhatian sampai dia
Katakan cepat," kata Sang Kepala Dusun penuh perhatian sampai dia
lupa
menghisap cangklongnya.
"Apakah
Taijin belum mendengar bahwa di ujung barat dusun itu kini tinggal seorang penghuni
baru" Seorang wanita dengan seorang anaknya?"
"Ahhh,
seorang wanita dengan anaknya. Apa yang menarik" Tentu sudah tua dan ada suaminya!"
"Wah, keliru, Taijin! Ia adalah seorang janda"
"Ah,
janda tua apa artinya" Sudah beranak pula."
"Eh,
sama sekali tidak tua! Bahkan kelihatan seperti gadis dua puluh tahun saja. Dan cantiknya!
Cantik, muda dan sudah janda pula! Apakah tidak menarik?"
Kini kepala
dusun itu menjadi penuh perhatian dan meletakkan cangklongnya ke atas meja.
"Benarkah"
Masih muda dan cantik janda itu?"
"Seperti
bidadari! Tidak mungkin menemui seorang wanita secantik itu di dusun ini,
bahkan di kota pun
jarang terdapat. Anaknya laki-laki baru berusia sepuluh tahun dan melihat keadaan
mereka yang sederhana, mereka tentu miskin dan mudah didapatkan, Taijin!"
"Benarkah"
Ah, janda muda secantik bidadari! A-keng, cepat kau pergi kepadanya dan katakan
bahwa aku, kepala dusun di sini, akan datang berkunjung karena sebagai kepala
dusun, aku
harus mengenal setiap orang penduduk baru!"
"Baik,
Taijin!" kata A-keng dengan girang karena dia mengharapkan urusan ini
berjalan dengan mulus
sehingga dia akan memperoleh hadiah besar dari kepala dusun yang kaya raya itu.
"Eh, kalau sudah ke sana, cepat kembali ke sini untuk mengantar aku berkunjung".
"Baik,
Taijin!"
Tak lama
kemudian A-keng sudah tiba di rumah Kwa Siang. Melihat ada orang datang berkunjung,
janda muda ini me-nyambutnya dengan ramah.
"Siapakah
saudara dan ada keperluan apa denganku?" tanyanya sambil menyongsong di depan pintu,
tanpa mempersilakan tamunya masuk karena merasa tidak enak memasukkan
seorang tamu
laki-laki yang tidak dikenalnya.
A-keng
tersenyum dan membusungkan dadanya.
"Perkenalkan,
Nyonya Aku bernama A-keng dan aku adalah pembantu kepala dusun. Bouw-taijin
mengutus aku datang menemui nyonya dan memberi tahu bahwa sebentar lagi Bouw-tai-jin akan
datang berkunjung ke sini."
"Bouw-taijin"
Siapa itu?"
"Kepala
dusun ini."
"Ah,
kepala dusun. Ada keperluan apa dia hendak berkunjung ke rumah kami?"
"Aih,
Nyonya. Bouw-taijin adalah kepala dusun kami yang bijaksana dan baik hati.
Mendengar
bahwa ada seorang penduduk baru, tentu saja beliau ingin sekali berkenalan dan mengetahui
keadaan warga dusunnya yang baru."
"0oh,
begitukah" Baiklah kalau begitu, kami akan menyambut kedatangannya dengan
baik."
A-keng lalu
berpamit dan tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkari seorang laki-laki berusia
kurang lebih lima puluh tahun yang bertubut tinggi kurus dan matanya liar,senyumnya
mengejek dan giginya menghitam karena terlalu banyak menghisap tembakau dan
madat. Orang
ini mengenakan pakaian yang mewah dan lagaknya seperti se-orang bangsawan tinggi. Baru
melihat penampilannya saja Kwa Siang sudah me-rasa sebal, dan dari pengalamannya
ia dapat menduga bahwa orang ini tidak memiliki watak yang baik.
"Inilah
beliau, kepala dusun kami, Bouw-taijin." A-keng memperkenalkan kepada Kwa Siang."
"Ah, Bouw-cungcu (kepala Dusuh Bouw), silakan masuk dan mari silakan
duduk," kata Kwa Siang.
Bagaimanapun juga, ia tinggal di dusun itu dan sudah seharusnya ia menghormati kepala dusun. "Heh-heh-heh, baik... baik....!" kepala dusun Bouw itu melangkah masuk sambil mengipasi
Bagaimanapun juga, ia tinggal di dusun itu dan sudah seharusnya ia menghormati kepala dusun. "Heh-heh-heh, baik... baik....!" kepala dusun Bouw itu melangkah masuk sambil mengipasi
dadanya
dengan sebatang kipas yang indah" "Engkau tinggal di sini dengan
siapa, Nona?"
"Bouw-cungcu,
saya bukan nona." kata Kwa Siang.
"Heh-heh,
engkau masih pantas dise-s but nona," kata Sang Kepala Desa sambil meraba dagunya yang
berjenggot hanya beberapa helai. "Engkau masih muda dan cantik. Nah,dengan siapa
engkau tinggal di sini?"
"Saya
tinggal berdua dengan anak saya."
"Di
mana anakmu itu" Aku ingin melihat dan mengenalnya."
"Dia
berada di belakang. Biar kupanggil dia," Kwa Siang lalu berseru memanggil
anaknya yang berada
di belakang.
Muncullah Thian Lee dan anak ini segera memberi hormat kepada Sang Kepala Dusun memenuhi perintah ibunya.
Muncullah Thian Lee dan anak ini segera memberi hormat kepada Sang Kepala Dusun memenuhi perintah ibunya.
"Haa,
anakmu sudah besar. Berapa usianya?"
"Sepuluh
tahun," jawab Kwa Siang.
"Heran,
engkau nampak masih begini muda, tidak pantas mempunyai putera sebesar ini! Dan bagaimana
semuda ini sudah menjanda" Di mana suamimu?"
Kwa Siang
mengerutkan alisnya. Sudah diduga sebelumnya bahwa kepala dusun ini seorang laki-laki
yang menyebalkan.
Akan tetapi ia menjawab juga, "Suami saya sudah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu."
Akan tetapi ia menjawab juga, "Suami saya sudah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu."
"Sembilan
tahun menjanda?" Kepala dusun Bouw menggeleng kepalanya dan memicingkan matanya.
"Aduh kasihan sekali....! Nona, siapakah namamu?"
"Nama
saya Kwa Siang dan anak saya bernama Song Thian Lee," kata ibu muda itu
sambil mengerutkan
alisnya. "Kwa Siang, suruh anakmu kebelakang dulu.
Aku ingin bicara penting padamu," kata Sang Lurah dan dia pun memberi isarat kepada A-keng agar pembantunya itu keluar dari ruangan itu. Biarpun merasa heran, Kwa Siang lalu menyuruh puteranya ke belakang sehingga kini
Aku ingin bicara penting padamu," kata Sang Lurah dan dia pun memberi isarat kepada A-keng agar pembantunya itu keluar dari ruangan itu. Biarpun merasa heran, Kwa Siang lalu menyuruh puteranya ke belakang sehingga kini
mereka hanya
berdua saja.
"Begini,
Kwa Siang. Aku sungguh merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau seorang janda muda dengan
seorang anak, hidupmu susah. Begitu melihatmu, aku merasa suka dan kasihan kepadamu.
Engkau dan anakmu ikut saja denganku, engkau menjadi selirku dan anakmu itu
Engkau dan anakmu ikut saja denganku, engkau menjadi selirku dan anakmu itu
akan menjadi
anak tiriku. Bagaimana manis?"
Ucapan ini
saja sudah membuat hati Kwa Siang marah sekali, apalagi kini kepala dusun itu bangkit dari
tempat du-duknya, lalu menghampirinya dan hendak merangkulnya!
Kwa Siang
hampir tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi ia masih mengelak dan cepat
mundur. "Cung-cu, harap jangan begitu. Aku tidak mau menjadi selirmu atau
menjadi
isteri siapa
pun. Aku tidak ingin menikah lagi. Harap engkau suka pergi meninggalkan rumah ini!"
Dengan marah Kwa Siang menudingkan teiunjuknya ke arah pintu.
Akan tetapi
kepala dusun Bouw yang tidak tahu diri itu tertawa menyeringai, "Heh-heh,jangan
menjual mahal, Kwa Siang. Aku tahu, seorang janda muda sepertimu ini tentu merindukan
seorang laki-laki. Hayolah jangan banyak lagak, nanti kubikin hidupmu makmur
dan
senang!" Dan kembali kepala dusun itu menubruk hendak merangkul wanita
yang membuatnya
bangkit gairahnya itu.
Sekali ini Kwa Siang tidak lagi dapat menahan kesabarannya. Melihat lurah itu menubruk dan hendak merangkulnya, ia dengan gerakan kakinya yang mencuat ke depan.
Sekali ini Kwa Siang tidak lagi dapat menahan kesabarannya. Melihat lurah itu menubruk dan hendak merangkulnya, ia dengan gerakan kakinya yang mencuat ke depan.
"Dukk....!"
Tubuh kepala dusun itu terjengkang menubruk kursi dan dia pun roboh. Akan tetapi dia
bangkit kembali dan kini matanya melotot, mukanya merah, telunjuknya menuding-nuding.
"Kau... kau berani menolakku dan menendangku!" bentaknya dan kini dia nekat menerjang maju hendak merangkul. Kwa Siang menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
"Kau... kau berani menolakku dan menendangku!" bentaknya dan kini dia nekat menerjang maju hendak merangkul. Kwa Siang menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
"Plak!
Plak'." Dan kepala dusun Bouw itu terhuyung ke belakang dua tangan
memegangi kedua
pipinya yang menjadi bengkak dan membiru, nyerinya bukan kepalang, giginya
terasa seperti
rontok semua. "Aduhh... aduhhh... A-keng... tolong....!" Dia
berteriak-teriak. A-keng yang tersenyum-senyurn di
bagian depan rumah itu terkejut mendengar teriakan majikannya. Dia cepat
berlari masuk dar
melihat kepala dusun itu memegangi mukanya sambil mengaduh-aduh.
"Kenapa,
Taijin?"
"la...
ia... berani memukulku...." kepala dusun itu berkata terengah-engah.
"Heii,
kenapa engkau berani memukul Bouw-taijin?" A-keng membentak dan menegur
Kwa Siang.
"Engkau pun layak dipukul!" kata Kwa Siang yang tahu benar orang
macam apa adanya penjilat ini
dan tangannya sudah bergerak menampar.
"Plakk!"
Tamparan itu cukup keras, membuat bibir A-keng berdarah dan dia mengaduh-aduh.
Kemudian dia
menyambar tangan majikannya dan dibawa lari keluar dari rumah itu. Para tetangga
yang mendengar suara ribut-ribut segera berdatangan dan bertanya kepada Kwa
Siang apa
yang telah terjadi, mengapa kepala dusun berlari keluar dari rumah itu sambil memegangi
mukanya ya.Rg bengkak-bengkak.
"Aku
telah menghajarnya. Jahanam itu hendak kurang ajar kepadaku!" kata Kwa
Siang marah.
Beberapa orang tetangga menyatakan kegembiraan hati mereka bahwa ada orang yang
berani
melawan
kepala dusun itu. Akan tetapi seorang tetangga yang setengah tua segera
berkata,
"Toanio,
engkau berada dalam bahaya. Sebaiknya engkau bawa lari anakmu dari tempat ini.
Kepala dusun
tentu ini tidak akan ting-gal diam saja!"
"Aku
tidak takut. Biar dia datang lagi kalau berani, akan kuhancurkan mulutnya yang
busuk!"
Kwa Siang
menantang. Tiba-tiba tampak serombongan orang berlari ke tempat itu dan para
tetangga segera kembali
bersembunyi
di rumah masing-masing karena mereka mengenal siapa rombongan yang datang itu.
Para tukang puku! kepala dusun!
Dua losin
orang tukang pukul itu telah berada di depan rumah Kwa Siang dan wanita itu pun berdiri di
depan pintu dengan sikap gagah. Thian Lee juga su-dah keluar dari belakang dan berdiri di
belakang ibunya. Anak ini memiliki keta-bahan seperti ibunya dan dia sediklt
pun
tidak
kelihatan takut, biarpun berhadapan dengan dua losin orang laki-laki yang
nampaknya bengis.
Kepala dusun Bouw sendiri berdiri di belakang gerombolan itu dan terdengar dia
berteriak,
"|1||| orangnya! Tangkap perempuan itu!"
Mendengar
teriakan ini, dua lusln orang tukang pukul seperti berlomba untuk meringkus Kwa Siang yang
antik. Akan tetapi wanita ini menyambur mereka dengan pukuian dan tendangar.
Melihat ibunya mengamuk dan dikeroyok, Thian Lee hanya berdiri di pintu sambil memandang dengan sepasang matanya terbelalak. Ibunya rnerobohkan banyak pengeroyok
dengan
tamparan dar tendangan dan dia merasa bangga sekali kepada ibunya.
Ibunya seorang wanita yang gagah perkasa, pikirnya.
Ibunya seorang wanita yang gagah perkasa, pikirnya.
Akan tetapi,
betapa pun lihainya Kwa Siang, menghadapi pengeroyokan dua losin orang laki-laki yang
kuat-kuat, akhirnya ia dapat diringkus setelah me-robohkan delapan orang.
"Ikat
kaki tangannya, dan bawa masuk ke sini!" kata Kepala Dusun Bouw yang
mendahului masuk. Thian
Lee menyelinap ke belakang pintu, memandang dengan hati khawatir melihat ibunya kini
sudah diikat kaki tangannya, lalu atas perintah kepala dusun, ibunya dilempar
di atas
pembaringan di dalam kamar. Melihat ini, Thian Lee tidak dapat menahan diri
lagi.
Sambil
berteriak keras, dia lalu melompat maju hendak membebaskan ibunya dari ikatan.
Akan tetapi
dia disambut tamparan seorang tukang pukul. Tubuh anak itu terpelanting dan jatuh
bergulingan, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini Thian Lee mengamuk,
menyerang para tukang pukul
itu. Repot juga para tukang pukul menghadapi anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang
mengamuk seperti anak harimau itu, akan tetapi akhirnya mereka menggunakan kekerasan
dan tubuh Thian Lee menerima tendangan dan pukulan keras, membuat anak itu
terlempar ke
sudut dan pingsan!
"Kalian
keluarlah dan jaga di luar, aku mau membalas dendam kepada perempuan binal
ini!"
kata Kepala
Dusun Bouw kepada anak buahnya. Para tukang pukul itu tersenyum-senyum dan mereka pun
keluar. Semua orang melupakan Thian Lee yang sudah miring dan pingsan
disudut
ruangan. "Ha-ha-ha, perempuan liar! Inilah jadinya kalau engkau tidak
menuruti kehendakku. Engkau berani
memukulku, ya" Hemm, sekarang
rasakan. Aku tetap akan mendapatkan dirimu, walau dengan kekerasan!"
Setelah berkata demikian, kepala dusun itu menghampiri Kwa Siang dan
rasakan. Aku tetap akan mendapatkan dirimu, walau dengan kekerasan!"
Setelah berkata demikian, kepala dusun itu menghampiri Kwa Siang dan
terdengar
kain robek ketika dia merenggut dan merobeki pakaian yang menutupi tubuh wanita
itu.
Kwa Siang menyadari sepenuhnya bahaya apa yang mengancam dirinya. la meronta dan berusaha melepaskan dirinya, akan tetapi ikatan pada keciua kaki tangannya itu terlampau
Kwa Siang menyadari sepenuhnya bahaya apa yang mengancam dirinya. la meronta dan berusaha melepaskan dirinya, akan tetapi ikatan pada keciua kaki tangannya itu terlampau
kuat
sehingga ia tidak dapat membebaskan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha,
engkau boleh meronta-ronta, ha-ha-ha!" kepala dusun itu mengejek dan kedua tangannya
mulai menggerayangi tubuh Kwa Siang. Wanita ini tahu benar bahwa ia akan diperkosa.
la tidak akan membiarkan kehormatannya dihina, maka ketika kepala dusun itu
menundukkan mukanya untuk menciumnya, tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya dan sebelum kepala dusun itu menyadari apa yang terjadi, Kwa Hong telah menggigit tenggorokannya. Kepala
Dusun Bouw meronta, akan tetapi gigitan itu makin dalam dan semakin kuat. Dia
menundukkan mukanya untuk menciumnya, tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya dan sebelum kepala dusun itu menyadari apa yang terjadi, Kwa Hong telah menggigit tenggorokannya. Kepala
Dusun Bouw meronta, akan tetapi gigitan itu makin dalam dan semakin kuat. Dia
mengeluarkan
teriakan, akan tetapi karena tenggorokannya digigit, yang keluar dari mulutnya hanya suara
aneh seperti kerbau disembelih. Dia meronta dalam sekarat sehingga tubuh mereka
berdua terguling dari pembaringan ke atas lantai.
Namun, gigitan Kwa Siang tidak pernah melepaskan tenggorokan itu. Darah mulai mengycur dan tenggorokan itu robek.
Namun, gigitan Kwa Siang tidak pernah melepaskan tenggorokan itu. Darah mulai mengycur dan tenggorokan itu robek.
Mendengar suara gedebukan dan teriakan aneh para tukang pukul menjadi curiga dan mereka mendorong pintu ka mar. Mereka terbelalak melihat wanita yang terikat kaki tangannya itu
kini dengan
pakaian terlepas semua, menggigit leher kepala usun yang berkelojotan.
Seorang tukang pukul berusaha menarik tubuh Kwa Slang darl atas tubuh kepala dusun, namun tidak berhasil karena gigitan itu sama sekali tidak dapat dllepaskan lagi. Dengan marah seorang
Seorang tukang pukul berusaha menarik tubuh Kwa Slang darl atas tubuh kepala dusun, namun tidak berhasil karena gigitan itu sama sekali tidak dapat dllepaskan lagi. Dengan marah seorang
tukang pukul
mencabut pedangnya dan menikam Kwa Siang dari atas.
"Crapp....!"
Pedang itu menembus punggung Kwa Siang. Wanita ini mengeluh, gigitannya terlepas dan
ia terpelanting miring, tak bergerak lagi.
Akan tetapi ketika para tukang pukul
Akan tetapi ketika para tukang pukul
meme-riksa
keadaan kepala dusun, mereka te-kejut karena kepala dusun juga sudah tewas dengan
kerongkongan remuk tergigit. Sekali lagi ada pedang menusuk tubuh Kwa Siang,
akan tetapi
wanita ini sudah tidak bergerak lagi.
Para tukang
pukul dengan cemas lalu membawa jenazah Kepala Dusun Bouw kembali ke rumah kepala
dusun itu, me-ninggalkan jenazah Kwa Siang yang telanjang di dalam lantai kamarnya.
Setelah semua tukang pukul pergi, Thian Lee siuman dari pingsannya. Dia
Setelah semua tukang pukul pergi, Thian Lee siuman dari pingsannya. Dia
bergerak dan
merasa betapa tubuhnya sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan tadi. Akan tetapi
begitu teringat kepada ibunya, dia dapat bangkit dan berseru,
"Ibu....!" dan dia lari ke dalam kamar mereka di mana tadi ibunya dilempar ke atas pembaringan. Dan dia terbelalak!
"Ibu....!" dan dia lari ke dalam kamar mereka di mana tadi ibunya dilempar ke atas pembaringan. Dan dia terbelalak!
Ibunya sudah
menggeletak miring di atas lantai, mandi darah dan dengan tubuh tanpa pakaian,kaki tangan
masih terikat.
"Ibuuuu....!" Dia menjerit-jerit dan memeluki tubuh ibunya yang masih hangat. Melihat ibunya telanjang bulat, dia lalu menyambar sehelai selimut dan menutupi tubuh itu dengan selimut sambil menangis. Tetangga berdatangan dan mereka merasa ngeri melihat Kwa Siang sudah tewas mandi darah.
Akan tetapi di antara mereka tadi ada yang mengintai dari dalam rumah dan melihat betapa kepala Dusun Bouw digotong oleh para tukang a pukulnya.
Tetangga tua yang tadi menganjurkan Kwa Siang melarikan diri, kini mendekati Thian Lee.
"Anak
yang baik, percayalah nasihatku. Mereka tentu akan kembali dan nyawamu berada dalam
bahaya. Kalau mereka melihat engkau masih hidup, tentu mereka akan mengejar dan
membunuhmu.
Mungkin ibumu telah membunuh kepala Dusun Bouw, dan mereka tentu tidak mau
sudah
begitu saja.
Pergilah, Nak. Pergilah cepat meninggalkan dusun ini dan
bersembunyilah."
bersembunyilah."
"Tapi...
tapi, Paman. Jenazah Ibuku..."
Thian Lee berkata dengan sedih sekali.
Thian Lee berkata dengan sedih sekali.
"Jangan
khawatir, Nak. Jenazah ibumu akan kami urus dan kami kuburkan dengan baik.
Sekarang
pergilah cepat sebelum terlambat."
Para
tetangga yang lain juga membujuk agar Thian Lee cepat melarikan diri.
Akhirnya anak itu membawa buntal-an pakaiannya dan setelah berulang kali dia menubruk dan menangisi ibunya, akhirnya mereka berhasil membujuknya pergi melarikan diri keluar dari dusun
Nam-Kiang-jung. Dia keluar dari pintu gerbang dusun sebelah selatan dan terus memasuki sebuah hutan di luar dusun itu. Bajunya sudah robek-robek dan sepatunya juga berlubang dipakal melarikan diri menyusup-nyusup ke dalam hutan.
Napasnya terangah-engah, akan tetapi Thian Lee tidak berani berhenti. Dia mendengar suara banyak orang
mengejarnya! Akhirnya dia menembus hutan itu dan tiba di padang rumput, akan tetapi para pengejarnya masih terus berada di belakangnya.
Akhirnya anak itu membawa buntal-an pakaiannya dan setelah berulang kali dia menubruk dan menangisi ibunya, akhirnya mereka berhasil membujuknya pergi melarikan diri keluar dari dusun
Nam-Kiang-jung. Dia keluar dari pintu gerbang dusun sebelah selatan dan terus memasuki sebuah hutan di luar dusun itu. Bajunya sudah robek-robek dan sepatunya juga berlubang dipakal melarikan diri menyusup-nyusup ke dalam hutan.
Napasnya terangah-engah, akan tetapi Thian Lee tidak berani berhenti. Dia mendengar suara banyak orang
mengejarnya! Akhirnya dia menembus hutan itu dan tiba di padang rumput, akan tetapi para pengejarnya masih terus berada di belakangnya.
Bahkan
setelah kini dia keluar dari dalam hutan, dia dapat terlihat oleh para
pengejarnya.
Belasan
orang kelihatan mengejarnya dan rnereka itu adalah para tukang pukul tadi.
Benar seperti
dikhawatirkan kakek yang tetang-ganya itu, tak lama setelah dia melarikan diri,
para tukang pukul
itu menda-tangi rumah ibunya dan menanyakan di mana adanya anak laki-laki tadi. Semua
tetangga menyatakan tidak tahu dan mereka lalu melakukan pengejaran.
Thian Lee
yang menggendong buntalan itu tiba-tiba kehilangan akal lagi ketika di depannya terhalang
oleh sebuah anak sungai. Dia tidak dapat lari lagi dan para pengejarnya sudah semakin
dekat. Biar aku melawan mereka, demikian dia me-ngambil keputusan nekat.
Biar aku mengamuk membalaskan kematian Ibu, dan kalau perlu aku mati menyusul Ibu!
Biar aku mengamuk membalaskan kematian Ibu, dan kalau perlu aku mati menyusul Ibu!
Tujuh belas
orang tukang pukul itu segera mengepung ketika melihat anak yang mereka kejar-kejar itu
kini berdiri tegak dengan sikap gagah, sama sekali tidak kelihatan takut,
pakaiannya robek-robek
dan napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal tinju!
"Nah,
ini dia! Ini anak siluman itu!" terdengar seorang di antara mereka
ber-seru.
Mendengar
ibunya disebut siluman, Thian Lee marah. "Ibuku bukan siluman!
Kalian adalah iblis-iblis yang keji dan jahat!" katanya dan dia segera mengamuk, menyerang mereka yang
Kalian adalah iblis-iblis yang keji dan jahat!" katanya dan dia segera mengamuk, menyerang mereka yang
terdekat
dengan pukulan-pukulannya.
Biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi sejak berusia lima tahun dia sudah mempelajari ilmu silat dari ibunya, maka biarpun baru berusia sepuluh tahun, gerakannya cukup gesit dan pukulannya juga mengan-dung tenaga.
Seorang di antara tukang-tukang pukul itu memandang rendah. Ketika Thian Lee memukul, cepat dia menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi dengan cepat sekali Thian Lee memutar lengannya dan kaki-nya menendang, mengenal lutut orang itu. Orang itu terkejut kesakitan dan membungkuk, akan tetapi dagunya. bertemu dengan pukulan tangan Thian Lee sehingga dia terjengkang! Teman-temannya menjadi marah dan mereka lalu mengeroyok
Biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi sejak berusia lima tahun dia sudah mempelajari ilmu silat dari ibunya, maka biarpun baru berusia sepuluh tahun, gerakannya cukup gesit dan pukulannya juga mengan-dung tenaga.
Seorang di antara tukang-tukang pukul itu memandang rendah. Ketika Thian Lee memukul, cepat dia menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi dengan cepat sekali Thian Lee memutar lengannya dan kaki-nya menendang, mengenal lutut orang itu. Orang itu terkejut kesakitan dan membungkuk, akan tetapi dagunya. bertemu dengan pukulan tangan Thian Lee sehingga dia terjengkang! Teman-temannya menjadi marah dan mereka lalu mengeroyok
anak itu
tanpa malu-malu lagi dan tubuh Thian Lee menjadi semacam bola di antara mereka yang
menendang dan memukulinya.
Pada saat
itu, seorang di antara mereka sudah mengangkat goloknya ke atas.
"Lepaskan dia,biar kuhabiskan riwayatnya!" katanya sambil mengayun golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
"Lepaskan dia,biar kuhabiskan riwayatnya!" katanya sambil mengayun golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
teriakan
mengerikan dan Si Pemegang Golok itu terjengkang roboh jan tewas seketika
dengan dahi
ditembus sebatang ranting yang meluncur seperti anak panah!
Tentu saja
para pengeroyok menjadi terkejut sekali. Tiba-tiba terdengar suara orang,"Siancai...
belasan ekor anjing srigala mengeroyok seekor harimau yang masih kecil. Sungguh tidak tahu
malu!"
Para pengeroyok cepat membalikkan tubuhnya dan mereka melihat seorang kakek yang usianya tentu sudah lewat enam puluh tahun berdiri dl situ. Melihat pakaiannya dan rambutnya yang digelung ke atas, mudah diketahui bahwa kakek ini seorang tosu. Pada waktu
Para pengeroyok cepat membalikkan tubuhnya dan mereka melihat seorang kakek yang usianya tentu sudah lewat enam puluh tahun berdiri dl situ. Melihat pakaiannya dan rambutnya yang digelung ke atas, mudah diketahui bahwa kakek ini seorang tosu. Pada waktu
itu, para
pendeta Agama To ini tidak dihargai oleh pemerintah. Kaisar dan Pemerintah
Mancu lebih
menghargai para hwesio dan mengembangkan ajaran
Nabi Khongcu, sehingga para tosu
Nabi Khongcu, sehingga para tosu
yang
dianggap sebagai dukun klenik menjadi tersisih. Karena itu, para tukang pukul
juga tidak
menghargai pendeta berjubah kuning itu, apa-lagi mereka melihat $eorang
kawannya tewas.
"Siapa engkau" Berani engkau mem-bunuh seorang kawan kami!"
bentak pemimpin
rombongan
tukang pukul itu.
"Kalian
tidak cukup berharga untuk mengetahui siapa pinto, akan tetapi kalau kalian melanjutkan
pengeroyokan terhadap anak itu, kalian semua akan mati di tangan pinto."
Ucapan tosu
itu memandang rendah sekali dan mulutnya tersenyum mengejek, sikapnya angkuh
sekali.
Jumlah para tukang pukul itu masih ada enam belas orang. Tentu saja mereka tidak gentar menghadapi seorang tosu tua yang tubuhnya nampak loyo.
Jumlah para tukang pukul itu masih ada enam belas orang. Tentu saja mereka tidak gentar menghadapi seorang tosu tua yang tubuhnya nampak loyo.
"Engkau
yang sudah bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan dengan golok
di tangan dia
menerjang ke arah tosu itu. Akan tetapi, belum sempat golok dibacokkan, tosu
itu menggerakkan
tangannya mendorong dan orang itu ter-jengkang roboh dan tidak dapat bangkit
kembali. Kini para tukang pukul menjadi marah dan mereka serentak maju menghujankan
senjata mereka. Akan tetapi, begitu kakek itu menggerakkan kedua tangannya secara berturut-turut, berja-tuhanlah para pe igeroyok. Dalam waktu singkat saja enam
orang
telah roboh
dan tidak mampu, bergerak lagi.. Melihat ini, sisanya menjadi gentar dan melarikan
diri tunggang-langgang seperti melihat setan!
Thian Lee
sudah setengah mati keadaannya. Akan tetapi dia nnasih mampu merangkak menghampiri
tosu itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Terima kasih,
Locianpwe...."
katanya lemah.
Tosu itu
menundukkan muka memandang anak itu. Sinar matanya menyatakan kekagumannya.
"Engkau mau ikut pinto?"
Thian Lee
hampir tidak kuat bicara. Tubuhnya nyeri dari kepala sampai ke kaki dan tenaganya
habis. Akan tetapi dia cepat memberi hormat sambil berlu-tut dan mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Hayo ikuti pinto!" Setelah berkata demikian, tosu itu lalu berjalan pergi. Thian Lee mengerahkan seluruh tenaga-nya, bangkit berdiri dan mengikuti kakek itu. Beberapa kali dia tersaruk dan terjungkal jatuh, akan tetapi dia mengeras-kan hatinya, bangkit lagi dan
"Hayo ikuti pinto!" Setelah berkata demikian, tosu itu lalu berjalan pergi. Thian Lee mengerahkan seluruh tenaga-nya, bangkit berdiri dan mengikuti kakek itu. Beberapa kali dia tersaruk dan terjungkal jatuh, akan tetapi dia mengeras-kan hatinya, bangkit lagi dan
melangkah
lagi di belakang kakek itu.
Hanya dengan menggunakan kemauan yang nekat sajalah anak itu. dapat bertahan untuk mengikuti tosu itu. Dan tosu itu pun terus melang-kah,
Hanya dengan menggunakan kemauan yang nekat sajalah anak itu. dapat bertahan untuk mengikuti tosu itu. Dan tosu itu pun terus melang-kah,
menengok
satu kali pun tidak, seolah dia sudah melupakan bahwa ada anak yang
mengikutinya!
Thlan Lee melangkah terus, mengepal kedua tinju dan menggigit bibirnya agar
tidak keluar
keluhan dari
mulutnya.
Akan tetapi ketahanan tubuh ada batasnya dan akhirnya dia pun
Akan tetapi ketahanan tubuh ada batasnya dan akhirnya dia pun
terguling
roboh dalam keadaan pingsan!
Thian Lee
merasa betapa ada getaran hebat yang terasa hangat memasuki tubuhnya. Dia membuka
matanya dan men-dapatkan dirinya sedang rebah telentang dan tosu itu duduk bersila di
dekatnya, tangan kanan tosu itu
menempel di da-danya dan dari telapak tangan itulah masuknya getaran hangat itu.
Getaran itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, lalu berkumpul di pusarnya dan menghilang ketika tosu itu
mengangkat ta-ngannya. Dia
menempel di da-danya dan dari telapak tangan itulah masuknya getaran hangat itu.
Getaran itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, lalu berkumpul di pusarnya dan menghilang ketika tosu itu
mengangkat ta-ngannya. Dia
tersenyum
ketika melihat anak itu sudah membuka matanya.
"Sudah
hilang lelahmu?" tanyanya sambil bangkit berdiri. Thian Lee merasakan
tubuhnya segera dan
biarpun kelelahan itu masih terasa, namun dia menguatkan dirinya dan bangkit berdiri.
Dipandangnya kakek itu dan tahulah dia bahwa kakek itu adalah seorang sakti seperti yang dia sering mendengar penu-turan ibunya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan.
Dipandangnya kakek itu dan tahulah dia bahwa kakek itu adalah seorang sakti seperti yang dia sering mendengar penu-turan ibunya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan.
Maka, tanpa
ragu lagi karena kakek itu juga sudah menyelarnat-kan nyawanya, dia lalu menjatuhkan
dirinya berlutut di depan kaki orang tua"Locianpwe,
saya mohon diterima menjadi murid
Locianpwe."
Locianpwe."
Orang tua
itu tersenyum mengejek, "Hemm, tidak mudah begitu saja untuk menjadi murid Liok-te
Lo-mo (Iblis Bumi) yang selamanya belum pernah mernpunyai murid."
"Locianpwe,
saya akan menaatisemua petunjuk Locianpwe, akan melakukan apa saja yang locianpwe
perintahkan dan akan menjadi murid yang taat dan rajin."
"Siapa
namamu?"
"Nama
saya Song Thian Lee."
"Di
mana orang tuamu?"
"Ayah
meninggal dunia sembilan tahun yang lalu dan Ibu... Ibu... baru tadi pagi
Ibu...meninggal
dunia...." Thian Lee menelan tangisnya ketika teringat akan ibunya.
Terbayang dalam
benaknya tubuh ibunya yang terikat kaki tangannya, telanjang bulat, rebah miring
mandi darah
dan tak bernyawa lagi di lantai kamar mereka di pondok baru yang sederhaa itu.
"Bagaimana
ibumu mati?"
"Dibunuh
oleh jahanam-jahanam tadi Locianpwe," kata Thian Lee sambil mengepal
tinjunya.
"Baru
tadi ibumu mati dan sekarang engkau hendak turut dengan pinto menjadi murid
pinto"
Bagus,
bagus! Memang tidak perlu lagi menyusahkan yang sudah mati, apalagi matinya ibumu karena
kesalahannya sendiri. Kalau ia pandai menjaga diri, tentu ia akan dapat melawan dan mengalahkan semua anjing tadi. Orang hidup harus pandai menjage diri dan
mengalahkan
semua tantangan yang datang. Kalau kalah dan mati, yaitu sudah salahnya sendiri,"
kata tosu itu tanpa perasaan kasihan sedikit pun. "Dan kalau engkau ingin
menjadi muridku,
pertama kali engkau harus pantang menangis dan berduka. Mengerti?"
Bukan main
girangnya hati Thian Lee. Biarpun dia harus menelan semua kedukaannya, akan tetapi
jawaban kakek itu menunjukkan bahwa dia diterima menjadi murid. Dia lalu
memberi
hormat
sambil berlutut. "Teecu (murid) mengerti, Suhu, dan teecu akan
menaatinya."
"Bagus,
kalau begitu, ikuti pinto."
Kembali
kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Bergegas Thian Lee mengambil
buntalan pakaiannya, menggendongnya dan mengikuti gurunya pergi meninggalkan
tempat itu. Mereka tiba di tepi Sungai Kuning dan gurunya melihat seorang yang
berperahu.
Perahu itu kecil saja dan orang itu agaknya seorang nelayan. Gurunya berteriak memanggil dan menggapaikan tangannya. Si Nelayan Tua mendayung perahunya ke tepi.
Perahu itu kecil saja dan orang itu agaknya seorang nelayan. Gurunya berteriak memanggil dan menggapaikan tangannya. Si Nelayan Tua mendayung perahunya ke tepi.
"Ada
apakah, Totiang?" tanya nelayan itu setelah dia mendar'at dan menarik tali
perahunya ke tepi. Tosu
yang tadi mengaku bernama Liok-te Lo-mo itu berkata, "Pinto ingin meminjam
perahumu
untuk menyeberangi sungai."
"Ah,
mana bisa, Totiang" Aku akan mempergunakannya untuk mencari ikan!"
bantah nelayan itu sambil
menggeleng kepala.
"Kau
tidak dapat membantah!" kata tosu itu sambil menghampiri dan sekali
tangannya bergerak,
nelayan tua itu roboh tertotok. "Nanti kau boleh ambil kembali perahumu di seberang
sana! Ha-yo Thian Lee, kita naik perahu."
Diam-diam
Thian Lee. merasa terkejut dan tidak senang melihat cara gurunya meminjam perahu, akan
tetapi dia tidak berani membantah, hanya merasa kasihan kepada nelayan tua itu
yang hanya
dapat memandang dengan mata terbelalak. Guru dan muri itu naik perahu dan ketika tosu
itu nienggerakkan dayungnya perahu meluncur cepat sekali.
Thian Lee
duduk termenung di dalam perahunya, diam-diam memikirkan tentang gurunya.
Teringat
olehnya betapa dengan mudahnya tosu itu merobohkan dan membunuhi tukang-tukang pukul
dusun itu, kemudian betapa tosu itu dengan kejinya merampas perahu dari nelayan tua.
Tentu saja dia merasa tidak setuju sama sekali dan bertanya-tanya, orang macam apa gurunya
ini. Memang kesaktiannya tidak perlu disangsikan lagi, akan tetapi sikap dan tindakannya
sungguh luar biasa, bahkan kejam.
Biarlah, kemu-dian dia mengambil keputusan,aku ikut dia untuk belajar ilmu silat, bukan mencontoh perbuatannya yang tidak benar.
Biarlah, kemu-dian dia mengambil keputusan,aku ikut dia untuk belajar ilmu silat, bukan mencontoh perbuatannya yang tidak benar.
Setelah tiba
di seberang, tosu itu meninggalkan perahu begitu saja di daratan dan karena
hari telah
berganti malam, tosu itu mengajak Thian Lee untuk melewatkan malam di sebuah
kuil ,
tua kosong
yang berada di tepi sungai. Tosu itu memberikan beberapa keping uang kepada Thian Lee
sambil berkata lembut,
"Di
sebelah utara, tak jauh dari sini terdapat sebuah dusun. Pergi kau ke sana dan
cari makanan
untuk makan malam.
Dan ini tempat arakku sudah kosong, beli dan isilah sampaipenuh." Tosu itu menyerahkan sebuah guci arak yang kosong.
Dan ini tempat arakku sudah kosong, beli dan isilah sampaipenuh." Tosu itu menyerahkan sebuah guci arak yang kosong.
"Makanan
apakah yang Suhu inginKan" Maksudku, apakah Suhu juga makan daging?"
"Tentu
saja, aku tidak pantang makan apa pun!" kata tosu itu sambll tertawa.
Thian Lee
membawa uang dan guci arak itu, lalu berjalan cepat menuju ke utara.
Benar saja,tak lama kemudian tibalah dia di sebuah dusun nelayan. Dari para nelayan itu dia dapat membeli dua ekor ikan yang sebesar betisnya, juga garam dan bumbu, lalu dari sebuah kedai
Benar saja,tak lama kemudian tibalah dia di sebuah dusun nelayan. Dari para nelayan itu dia dapat membeli dua ekor ikan yang sebesar betisnya, juga garam dan bumbu, lalu dari sebuah kedai
minuman
kecil, dia membeli arak dan mengisi guci gurunya dengan arak sampai penuh.
Kemudian,
bergegas dia kembali ke kuil itu.
Gurunya
girang sekali melihat gucinya penuh arak. Dia mencicipi araknya dan mengangguk-angguk.
"Arak yang cukup baik! Dan apa yang kaubeli itu" Bagai-mana
memasaknya Kita tidak
mempunyai prabot masak Tosu itu menceia.
"Teecu
sudah membeli garam dan bumbu, dan teecu akan membakar ikan ini menjadi ikan panggang."
"Bagus kalau begitu. Engkau pandai juga! Cepat, perutku sudah lapar."
Thian Lee
mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Kemudian Liok-te Lo-mo memberinya
sebuah pisau belati dan dia lalu membersihkan dua ekor ikan itu, memberinya bumbu dan
garam dan tak lama kemudian dia sudah memanggang ikan itu di atas api. Bau
sedap ikan
panggang itu membuat perut Liok-te Lo-mo berkeruyuk dan diam-diam dia merasa senang
kepada Thian Lee.
Muridnya itu agaknya seorang anak yang pintar, rajin dan penuh akal. Setelah dua ekor ikan itu matang, Liok-te Lo-mo makan daglng ikan sambil minum arak.
Muridnya itu agaknya seorang anak yang pintar, rajin dan penuh akal. Setelah dua ekor ikan itu matang, Liok-te Lo-mo makan daglng ikan sambil minum arak.
Dua ekor
ikan itu cukup besar sehingga dagingnya cukup untuk dimakan mereka berdua.
Kemudian
inereka mengaso. Tosu itu tidak merebahkan diri, melainkan duduk bersila dan agaknya dia
tidur sambil bersila. Thian Lee tidur sannbil rebah miring, akan tetapi hanya setengah
tidur karena dla harus menjaga agar api unggun tidak padam dengan selalu
menambahkan
kayu kering. Udara amat dingin-nya dan hanya dengan adanya api unggun yang besar
maka hawa menjadi hangat dan nyaman.
Lewat tengah
malam, ketika Thian Lee kembali bangun untuk menambah kayu kering pada api unggun
sehinggc api unggun membesar kembali, tiba-tiba dia melihat beberapa bayangan
orang
berkelebat di luar kuil. Thlan Lee menjadi kaget dan heran sekali. Apakah para
jagoan itu
mengejarnya sampai ke tempat ini" Dia menoleh kepada suhunya. Suhunya
masih duduk bersila
kembali memejamkan matanya.
Tidurkah suhunya" Dia tldak berani
mengganggunya walau-pun ingin dia memberi tahu tentang bayangan-bayangan orang itu. Dia tidak rebah
Tidurkah suhunya" Dia tldak berani
mengganggunya walau-pun ingin dia memberi tahu tentang bayangan-bayangan orang itu. Dia tidak rebah
tidur lagi
melainkan duduk di dekat api unggun, memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba
sesosok bayangan hitam meloncat dan tahu-tahu di depan pintu kuil itu berdiri seorang yang
berpakaian serba hitam dan mengenakan kedok hitam dari kain pula. Tangan
kanannya
memegang sebatang golok yang berkilauan. Melihat ini, Thian Lee cepat mengambil
sebatang kayu yang ujungnya sedang terbakar menyala, lalu dia melontarkan kayu berapi itu
ke arah orang berpakaian serba hitam itu. Akan tetapi orang itu menangkis
dengan
goloknya dan
kayu berapi itu terbacok putus dan apinya padam.
Lalu orang itu menggerakkan tangan kirinya. Sinar-sinar hitam menyambar ke arah tubuh Liok-te Lo-mo yang masih duduk bersila. Tosu itu yangt nampaknya tidur sambil bersila, tiba-tiba
menggerakkan kedua tangan
Lalu orang itu menggerakkan tangan kirinya. Sinar-sinar hitam menyambar ke arah tubuh Liok-te Lo-mo yang masih duduk bersila. Tosu itu yangt nampaknya tidur sambil bersila, tiba-tiba
menggerakkan kedua tangan
dan dia
sudah menangkap empat batang paku dalam jepitan jari-jari tangannya! Kemudian,tanpa
menengok sedikit pun, dia menggerakkan kedua tangannya berulang kali. Thian Lee melihat
bayangan hitam di depan pintu itu terpelanti.ng dan ter-dengar suara gedobrakan
dan mengaduh di
jendela yang terbuka dan di pintu belakang.
Kiranya suhunya telah menyerang,
Kiranya suhunya telah menyerang,
bukan saja
orang yang berada di depan pintu, akan tetapi agaknya ada pula orang-orang lain di pintu
belakang dan jendela. Setelah itu lalu sunyi, hanya terdengar langkah kaki yang
berat
meninggalkan
kuil. Thian Lee menoleh dan melihat suhunya masih seperti tadi, bersila dengan
kedua mata terpejam.
Bukan main rasa kagum dan heran rasa hati Thian Lee. Dalam keadaan bersila
Bukan main rasa kagum dan heran rasa hati Thian Lee. Dalam keadaan bersila
dengan mata
terpejam, tanpa
menggerakkan kaki, hanya dengan gerakan tangan, suhunya telah berhasil mengusir beberapa orang musuh yang agaknya datang untuk melakukan
menggerakkan kaki, hanya dengan gerakan tangan, suhunya telah berhasil mengusir beberapa orang musuh yang agaknya datang untuk melakukan
pembunuhan!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa lagi. Liok-te Lo-mo membuka matanya dan bangkit berdiri, seperti tidak pernah terjadi sesuatu semalam.
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa lagi. Liok-te Lo-mo membuka matanya dan bangkit berdiri, seperti tidak pernah terjadi sesuatu semalam.
"Di
belakang kuil itu terdapat sebuah sumber mata air, kita dapat membersihkan
tubuh di s urana, Thian
Lee," kata Liok-te Lo-mo sambil melangkahkan kakinya menuju ke belakang
kuil di ikuti oleh
Thian Lee. Air itu jernih dan dinginnya bukan main.
Sampai menggigil Thian Lee ketika mencuci mukanya di situ. Akan tetapi gurunya mandi dan membenamkan kepala di dalam air yang merupakan kolam kecil itu. Sedikit pun gurunya tidak kelihatan kedinginan. Mereka
Sampai menggigil Thian Lee ketika mencuci mukanya di situ. Akan tetapi gurunya mandi dan membenamkan kepala di dalam air yang merupakan kolam kecil itu. Sedikit pun gurunya tidak kelihatan kedinginan. Mereka
menlnggalkan
mata air itu dalam keadaan segar.
Setelah
mereka berjalan lagi, Thian Lee menggendong buntalan pakaiannya yang disatukan dengan
pakaian bekal milik gurunya, anak itu memberanikan dirinya bertanya, "Suhu peristiwa
semalam itu...."
"Hemm, hanya beberapa ekor anjing yang mengganggu. Akan tetapi kepalanya tentu akan muncul. Engkau diam sajalah dan jangan melakukan sesuatu kalau mereka muncul nanti.
Bagimu,
nnereka itu berbahaya sekali."
Thian Lee
tidak berani bertanya lagi akan tetapi jantunp'iya berdebar tegang.
Agaknya dengan menjadi murid tosu ini, dia telah terjun ke dalam keadaan yang penuh dengan pertentangan dan bahaya seperti yang belum pernah dia alami sebelumnya. Gurunya ini orang sakti yang aneh, wataknya sukar ditebak. Yang jelas dia lihai sekali seperti telah dibuktikan ketika menghajar para tukang pukul dusun Nam-kiang-jung dan ketika semalam mengusir penyerang-penyerang gelap tanpa membuka mata dan tanpa menggerakkan tubuh, hanya
Agaknya dengan menjadi murid tosu ini, dia telah terjun ke dalam keadaan yang penuh dengan pertentangan dan bahaya seperti yang belum pernah dia alami sebelumnya. Gurunya ini orang sakti yang aneh, wataknya sukar ditebak. Yang jelas dia lihai sekali seperti telah dibuktikan ketika menghajar para tukang pukul dusun Nam-kiang-jung dan ketika semalam mengusir penyerang-penyerang gelap tanpa membuka mata dan tanpa menggerakkan tubuh, hanya
kedua
tangannya saja yang seperti menangkap sinar-sinar hitam lalu bergerak
melontarkan
sesuatu ke
segala jurusan!
Diam-diam Thian Lee merasa gembira sekali. Dia tentu akan banyak menyaksikan pertandingan yang seru dan menyaksikan lebih lanjut kelihaian gurunya itu.
Mereka mendaki sebuah bukit. Ketika tiba di lereng bukit, di sebuah tanah datar penuh batu gunung yang besar-besar, tiba-tiba saja muncul dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya pendek gemuk sehingga nampaknya bulat. Dua puluh lebih orang itu berpakaian serba hitam, akan tetapi tidak memakai kedok kain seperti orang semalaman.
Diam-diam Thian Lee merasa gembira sekali. Dia tentu akan banyak menyaksikan pertandingan yang seru dan menyaksikan lebih lanjut kelihaian gurunya itu.
Mereka mendaki sebuah bukit. Ketika tiba di lereng bukit, di sebuah tanah datar penuh batu gunung yang besar-besar, tiba-tiba saja muncul dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya pendek gemuk sehingga nampaknya bulat. Dua puluh lebih orang itu berpakaian serba hitam, akan tetapi tidak memakai kedok kain seperti orang semalaman.
Pemimpin
mereka itu pun mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya yang dikuncir tebal itu digulung
ke atas dan ditutup dengan topi kain, juga hitam. Orang ini berusia kurang
lebih
lima puluh
tahun dan semua ang-gauta tubuh orang ini nampaknya bulat.
Matanya,hidungnya, mukanya dan mulutnya, semua serba bundar dan tubuhnya yang pendek gemuk
Matanya,hidungnya, mukanya dan mulutnya, semua serba bundar dan tubuhnya yang pendek gemuk
itu nampak
kuat sekali. Di punggungnya yang pendek tergantung sebatang pedang.
"Liok-te
Lo-mo!" bentak Si Gemuk Pendek. "Akhirnya kami dapat menemukan kau di
sini.
Tentu engkau
tahu mengapa kami menghadangmu!"
"Siancai,
kiranya kalian dari Hek-i-pang (Perkumpulan Baju Hitam) yang semalam mencoba untuk
mengganggu pinto di kuil tua" Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan
hidup."
"Liok-te
Lo-mo, engkau telah mem-bunuh adikku dan merampas sekantung emas darinya.
Aku,
Hek-i-pangcu (Ketua Hek-i-pang) Lauw Ki Seng tidak dapat membiarkannya begitu saja. Engkau
harus menyerahkan kembali sekantung emas itu berikut nyawamu!"
"Ha-ha-ha,
seperti engkau tidak tahu saja peraturan di dunia kang-ouw. Dalam
memperebutkan
sesuatu, dia yang lebih kuat tentu yang menang dan berhak mendapatkan.
Ha-ha-ha,
engkau hendak merebut sekantung emas itu" Boleh, boleh!" Liok-te
Lo-mo lalu mengambil
sebuah kantung dari dalam buntalan yang digendong Thian Lee lalu melemparkan
kantung itu
ke atas tanah. "Inikah yang hendak kaurebut" Boleh, asal engkau dapat mengalahkan
pinto, seperti peraturan dalam dunia kang-ouw kita.
Nah, siapa yang berani
Nah, siapa yang berani
mengambil
kantung itu, ambillah!"
Melihat
kantung yang dijadikan rebutan itu, Lauw Ki Seng terbelalak. Lalu dia memberi
isarat anggukan
kepala ke-pada dua orang pembantunya.
Dua orang pembantu itu lalu menubruk
Dua orang pembantu itu lalu menubruk
maju untuk
mengamil kantung itu sedangkan Lauw Ki Seng mencabut pedangnya lalu menyerang
Liok-te Lo-mo! Entah dari mana datangnya, mungkin diambilnya dari balik
jubahnya yang pan-jang, tahu-tahu Liok-te
Lo-mo telah memegang sebatang pedang dan pedang itu menangkis bacokan
Lauw Ki Seng
dengan amat kerasnya sehingga pedang Ketua Hek-i-pang itu terpental.
Dan pada saat itu juga, kaki Liok-te Lo-mo bergerak dua kali dan dua orang pembantu yang menubruk untuk merampas kantung emas itu terjengkang ke belakang.
"Ha-ha-ha, tidak mudah untuk merampas kantung ini dari tangan pinto!" kata Liok-te Lo-mo sambil tertawa dan dia sudah menyimpan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar, kemudian sekali
Dan pada saat itu juga, kaki Liok-te Lo-mo bergerak dua kali dan dua orang pembantu yang menubruk untuk merampas kantung emas itu terjengkang ke belakang.
"Ha-ha-ha, tidak mudah untuk merampas kantung ini dari tangan pinto!" kata Liok-te Lo-mo sambil tertawa dan dia sudah menyimpan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar, kemudian sekali
tangannya
bergerak, pedangnya juga sudah lenyap ke balik jubahnya.
Akan tetapi, Liok-te Lo-mo tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Hek-i-pang itu. Dengan isyaratnya, tiba-tiba empat orang anak buahnya telah menu-bruk dan menangkap Thian Lee.
Bocah ini berusaha melawan, memukul dan menendang, akan tetapi dia tidak mampu melawan empat orang yang bertubuh kuat itu dan dia segera dapat diringkus.
Kini Si Pendek
Gendut itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, Liok-te Lo-mo Aku tidak percaya bahwa hanya
untuk sekantung emas engkau akan nnembiarkan muridmu ini terbunuh.
Serahkan kantung emas itu kalau engkau tidak menghendaki muridmu kupenggal lehernya'"
Thian Lee
yang sudah diringkus mengharapkan agar suhunya menyerahkan" sekantung emas
itu untuk
menyelamatkannya, demikian pula Lauw Ki Seng sudah merasa yakin bahwa dia akan dapat
memaksa musuhnya menyerahkan sekantung emas itu kembali kepadanya.
Kantung emas
itu adalah hasil pencurian adiknya yang terkenal sebagai seorang pencuri yang pandai. Akan
tetapi pada malam itu, setelah berhasil mencuri emas, adiknya bertemu dengan
Liok-te
Lo-mo dan dalam perebutan emas itu adiknya terluka parah dan sebelum mati
adiknya memberi tahu
bahwa yang melu-kainya dan merampas kantung emasnya adalah Liok-te Lo-mo.
Kini dia yakin tosu itu akan mengembalikan emas itu demi menyelamatkan muridnya.
Kini dia yakin tosu itu akan mengembalikan emas itu demi menyelamatkan muridnya.
Akan tetapi
baik Thian Lee maupun Ketua Hek-i-pang itu kecelik dan mereka memandang heran ketika
melihat tosu itu tertawa mengejek,"Heh-heh-heh,
seratus kali kalian boleh membunuh anak itu, pinto tidak merasa rugi apa pun!
Akan tetapi
karena kalian telah berani mengancan pinto, kalau anak itu dibunuh, kaliar
semua akan mampus
di tanganku, tak seorang pun akan tinggal hidup!
Hek-pangcu, engkau adalah.........
Hek-pangcu, engkau adalah.........
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment