Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Gelang Kemala
Jilid 02
seorang
gagah, terkenal sebagai Ketua Hek-i-pang, apakah engkau tidak memiliki
keberanian untuk
mem-perebutkan kantung emas ini dengan pinto" Mari kita bertanding satu
lawan satu dan pinto
akan menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau pinto kalah, pinto akan menyerahkan
sekantung emas ini, sebaliknya kalau engkau yang kalah,engkau harus melepaskan
anak itu.
Nah, beranikah engkau menyambut tantanganku!"
Nah, beranikah engkau menyambut tantanganku!"
Ditantang di
depan para anak buahnya seperti itu, tentu saja Lauw Ki Seng sebagai Ketua Hek-i-pang
merasa malu dan tidak enak kalau menolak. Menolak beracti mengaku kalah dan menyatakan
takut, padahal dla pun terkenal sebagai seorang jagoan yang selama beberapa
tahun
menjadi Ketua Hek-i-pang belum pernah bertemu tanding. Apalagi tosu itu
menantangnya
untuk melawan dengan tangan kosong! Betapa sombongnya! Dan dia memiliki ilmu pedang
yang disebut Liu-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Kilat)!
"Baik,
dan engkau tidak akan mampu ingkar janji!" bentaknya dan tiba-tiba saja
dia sudah menyerang
dengan pedangnya.
Serangan ini saja sudah menunjukkan bahwa Ketua Hek-i-pang itu ada-lah seorang yang licik. Serangan men-dadak tanpa peringatan lagi seperti layaknya orang yang mengadu ilmu silat.
Biasanya dalam suatu pertandingan silat, dia yang mulal menyerang akan menge-luarkan ucapan yang sifatnya memper-ingatkan dan sebagai pembukaan serangan.
Akan tetapi Lauw Ki Seng langsung menyerang menyambung kata-katanya dan serangannya memang dahsyat.
Sesuai dengan nama ilmu pedangnya "Sinar Kilat!" pedang itu menyambar dengan cepat sekali sehingga yang nampak hanya si-narnya saja
Serangan ini saja sudah menunjukkan bahwa Ketua Hek-i-pang itu ada-lah seorang yang licik. Serangan men-dadak tanpa peringatan lagi seperti layaknya orang yang mengadu ilmu silat.
Biasanya dalam suatu pertandingan silat, dia yang mulal menyerang akan menge-luarkan ucapan yang sifatnya memper-ingatkan dan sebagai pembukaan serangan.
Akan tetapi Lauw Ki Seng langsung menyerang menyambung kata-katanya dan serangannya memang dahsyat.
Sesuai dengan nama ilmu pedangnya "Sinar Kilat!" pedang itu menyambar dengan cepat sekali sehingga yang nampak hanya si-narnya saja
yang
berkilat. Kilat itu me-nyambar ke arah dada Liok-te Lo-mo.
Akan tetapi
jauh sebelum Ketua Hek-i-pang itu menyerang, Liok-te Lo-mo su-dah dapat menduganya
dan sejak tadi dia sudah waspada. Maka begitu sinar pedang itu menyambar dengan
tusukan ke arah dadanya, dia dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya dan
dengan
tangan
terbuka dia menepiskan pedang itu se-hingga tusukan itu luput. Tangan yang menepis pedang itu
berputar menjadi cengkeraman ke arah
pergelangan tangan yang memegang
pergelangan tangan yang memegang
pedang,
sedangkan ta-ngan kiri mencengkeram dari atas ke arah kepala Lauw Ki Seng.
Gerakan ini
serba otomatis dan cepatnya bukan main.
Lauw Ki Seng
merasa terkejut sekali. Tadi dia menyerang, malah kini berbalik dia
menghadapi
serangan pada pergelangan tangan dan kepalanya!
"Heiiit....!"
Dia membentak sambil anelompat jauh ke belakang sambil memutar pedangnya untuk
melindungi tubuhnya. Kemudian, dia menerjang ke depan lagi dengan penyerangan
yang lebih
dahsyat. Kini pedang itu menyambar-nyambar untuk membabat ke arah lawan.
Namun,
dengan ringannya tubuh tosu itu bergerak dan berkelebatan di antara sambaran
sinar pedang.
Gerakan tosu itu sedemikian cepatnya sehingga betapapun ketua Hek-i-pang itu mempercepat
serangannya, pedangnya tldak pernah dapat menyentuh tubuh tosu itu. Bahkan
tosu itu
dapat pula membalas serangan yang tidak kalah hebatnya. Setiap tamparan atau tendangan
tosu itu, kalau mengenai sasaran, tentu akan merobohkan lawan.
Mulailah
Ketua Hek-i-pang menjadi terkejut sekali. Pantas saja adiknya tewas di tangan
tosu ini, kiranya
memang tosu ini seorang yang amat tangguh. Dia mengeluarkan seruan keras lagi.
"Aaaattt...."
Dan tubuhnya merendah, pedangnya menyambar ke arah kedua kaki tosu itu,Liok-te
Lo-mo meloncat ke atas membiarkan pedang lewat di bawah kakinya. Ketika kedua kakinyaa
turun, lawan telah menyerangnya dengantusukan pedang ke arah dadanya.
Dia mengelak ke samping sambil memutar tubuh dan tusukan itu kembali telah mengejarnya dengan tusukan berikutnya, demikian cepatnya pedang bergerak sehingga tosu itu tidak
Dia mengelak ke samping sambil memutar tubuh dan tusukan itu kembali telah mengejarnya dengan tusukan berikutnya, demikian cepatnya pedang bergerak sehingga tosu itu tidak
sempat lagi
nam-paknya untuk menghindarkan diri.
Akan tetapi dia masih memiringkan
Akan tetapi dia masih memiringkan
tubuhnya dan
pedang itu lewat di dekat dada. Liok-te Lo-mo menggerakkan lengannya menJepit
pedang itu di bawah ketiaknya dan tangannya terjulur ke depan seperti seekor
ular,tahu-tahu
jari tangannya mencengkeram ke arah tangan Jawan yang memegang pedang!
"Ahhh....!"
Lauw Ki Seng terkejutt sekali. Tadi ketika pedangnya terjepit lengan dan dada,
dia sudah girang
sekal! karena pedangnya yang tajam tentu dapat, dia gerakan untuk melukai dada dan
lengan itu, akan tetapi tidak disangka-sangkanya tangan lawan telah menyan-cam
tangannya
yang memegang pedang. Untuk menolong tangannya, tangan kirinya menangkisan tetapi pada
saat itu, tangan kiri Liok-te Lo-mo telah memukulnya dengan tangan terbuka.
"Desss....!"
dorongan tangan kiri itu sempat mengenai dada Lauw Ki Seng.
Ketua Hek-i-pang ini merasa dadanya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Dia terlempar ke belakang
Ketua Hek-i-pang ini merasa dadanya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Dia terlempar ke belakang
dan terpaksa
melepaskan pedangnya yang tertinggal dalam jepitan ketiak lawan!
Dia jatuh terjengkang dengan keras dan dadanya terasa sesak sehingga napasnya terengah-engah.
Dia jatuh terjengkang dengan keras dan dadanya terasa sesak sehingga napasnya terengah-engah.
Semua anak
buahnya memandang terbelalak seolah tidak percaya akan pandang mata sendiri.
Pimpinan
mereka yang mereka banggakan itu, dengan ber-senjata pedang, kalah sedemikian
mudah-nya
oleh tosu itu yang bertangan kosong!
Lauw Ki Seng
juga tahu diri. Dia maklum bahwa lawannya itu lihai sekali dan tosu itu pun tidak peduli
kalau dia membunuh muridnya. Akan tetapi kalau dia membunuh muridnya yang
tidak ada
gunanya itu, tentu mereka semua akan dibasmi dan dibunuh oleh tosu itu dan ini bukan
sekedar gertakan kosong.
Dengan ilmu kepandaiannya yang setinggi itu, bukan hal yang mustahil kalau mereka semua akan dapat terbunuh olehnya.
Dengan ilmu kepandaiannya yang setinggi itu, bukan hal yang mustahil kalau mereka semua akan dapat terbunuh olehnya.
"Lepaskan
anak itu!" katanya dengan napas terengah. Para anak buahnya membebaskan
Thian Lee yang
segera menghampiri suhunya.
"Heh-heh-heh,
engkau baru mengenal kelihaianku'" kata Liok-te Lo-mo sambil memegang pedang yang
tadi terjepit di ketiaknya. Kemudian sambil melontarkan pedang itu kepada pemiliknya
dia berka-ta, "Nih, pinto kembalikan pedangmu!"
Lontaran itu kuat sekali dan
Lontaran itu kuat sekali dan
pedang meluncur bagaikan anak panah cepatnya. Lauw Ki Seng yang masih terengah-engah itu mencoba
untuk menghindarkan diri-nya, namun tetap saja pahanya ter usuk pedangnya
sendiri
sampai tembus dan dia pun roboh lagi'
Darah mengaJir dari pa-hanya membasahi celananya dan ketua itu merintih kesakitan.
Darah mengaJir dari pa-hanya membasahi celananya dan ketua itu merintih kesakitan.
"Heh-heh-ha-ha-ha!"
Liok-te Lo-mo tertawa bergelak, kemudian berkata kepada Thian Lee.
"Mari
kita pergi!" dan dia pun melenggang seenaknya tanpa menengok lagi, diikuti
oleh Thian Lee
dan beiakang.
Anak ini merasa semakin tidak senang kepada gurunya. Gurunya telah membunuhi banyak tukang pukul dusun dengan kejam, kemudian merampas perahu nelayan tua yang tidak berdaya.
Dan sekarang, setelah menang adu kepandalan, dia masih melukai Ketua Hek-i-pang yang sudah kalah. Gurunya ini sungguh seorang yang kejam dan
Anak ini merasa semakin tidak senang kepada gurunya. Gurunya telah membunuhi banyak tukang pukul dusun dengan kejam, kemudian merampas perahu nelayan tua yang tidak berdaya.
Dan sekarang, setelah menang adu kepandalan, dia masih melukai Ketua Hek-i-pang yang sudah kalah. Gurunya ini sungguh seorang yang kejam dan
tidak
mempedulikan penderitaan orang lain, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri.
Padahal,
sejak kecil dalam benak Thian Lee telah ditanamkan watak dan sifat pendekar oleh ibunya. Dia
tidak boleh membenci, dan menentang kejahatan bukan karena benci kepada orangnya.
Kebencian akan menimbulkan tindakan kejam. Apalagi dia tidak boleh merampas
Kebencian akan menimbulkan tindakan kejam. Apalagi dia tidak boleh merampas
hak milik
lain orang. Dan Liok-te Lo-mo ini sudah merampas perahu nelayan, bahkan merampas
pula sekantung emas dari orang-orang Hek-i-pang. Guru ma-cam apa yang dia temukan
ini"
Akan tetapi karena tosu itu telah menyelamat-kan nyawanya, maka mau tidak mau dia haruslah menyatakan terima kasihnya de-ngan menaatinya. Pula, dia ingin memetik ilmu-ilmu dari tosu ini, bukan mencontoh kejahatan dan kekejamannya.
Akhirnya perjalanan mereka sampai Nam-bun-tiang, sebuah kota di sebelah barat kota Pao-ting dan berada di kaki
Akan tetapi karena tosu itu telah menyelamat-kan nyawanya, maka mau tidak mau dia haruslah menyatakan terima kasihnya de-ngan menaatinya. Pula, dia ingin memetik ilmu-ilmu dari tosu ini, bukan mencontoh kejahatan dan kekejamannya.
Akhirnya perjalanan mereka sampai Nam-bun-tiang, sebuah kota di sebelah barat kota Pao-ting dan berada di kaki
Pegunungan
Tai-hang-san. Tosu tu berhenti di kota ini untuk berbelanjd. Beberapa guci
besar arak, daging
kering dan terigu, juga bumbu-bumbu masak.
Setelah itu, dia mengajak Thian Lee untuk mendaki Bukit Tai-hang-san melalui lereng-lereng yang terjal. Thian Lee kelelahan karena dia diharuskan memikul barang-barang belanjaan
tadi.
Setelah tiba di sebuah iereng yang rata, di mana terdapat sebuah bangunan yang menyendiri,
tosu itu mengajaknya berhenti di depan rumah itu. Liok-te Lo-mo membu-ka pintu rumah
dan ternyata itulah ru-mah tinggalnya. Sebuah pondok yang lumayan besarnya,dan ternyata
lengkap dengan prabot rumah tangga yang serba baru.
"Nah,
itulah rumah pinto. Thian Lee, rumah ini sudah lama pinto tinggalkan.
Lihat kotor sekali. Hayo cepat bersihkan rumah ini agar enak ditempati."
Lihat kotor sekali. Hayo cepat bersihkan rumah ini agar enak ditempati."
Thian Lee
menanti perintah gurunya.
Dari pagi itu sampai sore, sehari penuh ia
Dari pagi itu sampai sore, sehari penuh ia
membersihkan
rumah itu, mengebut, menggosok dan menyapu sehingga rumah. itu kini nampak
bersih semua dinding dan lantainya, juga perabot-perabotnya.
Senanglah hati Liok-te Lo-mo melihat ke-rajinan muridnya yang tentu akan menjadi pembantu yang amat berguna
Senanglah hati Liok-te Lo-mo melihat ke-rajinan muridnya yang tentu akan menjadi pembantu yang amat berguna
baginya. Dan
memang demikianlah.
Setiap hari Thian Lee bekerja keras untuk keperluan suhunya. Membersihkan rumah dan halaman, menyirami tanaman bunga dan tanaman obat,mencuci pakaian, memasak, pendeknya semua pekerjaan dia la-kukan. Dan tak pernah dia mengeluh dalam mengerjakan semua itu.
Hal ini agaknya memuaskan hati Thian-te Lo-mo dan mulailah dia merasa suka kepada Thian Lee. Dia mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu
Setiap hari Thian Lee bekerja keras untuk keperluan suhunya. Membersihkan rumah dan halaman, menyirami tanaman bunga dan tanaman obat,mencuci pakaian, memasak, pendeknya semua pekerjaan dia la-kukan. Dan tak pernah dia mengeluh dalam mengerjakan semua itu.
Hal ini agaknya memuaskan hati Thian-te Lo-mo dan mulailah dia merasa suka kepada Thian Lee. Dia mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu
silat tinggi
yang dikua-sainya dan lebih girang lagi hatinya melihat betapa anak berusia sepuluh
tahun itu memiliki dasar yang kuat dan baik sekali.
Ketika musim
salju tiba, Thian Lee melihat betapa suhunya suka merendam kedua lengan sampai ke
siku ke dalam air yang membeku menjadi air es sampai berjam-jam!
Setelah itu,suhunya memanggang kedua lengannya itu di atas api unggun besar yang panas sekali!
Dan untuk permulaan, dia pun diharuskan merendam kedua lengannya ke dalam air membeku.
Setelah itu,suhunya memanggang kedua lengannya itu di atas api unggun besar yang panas sekali!
Dan untuk permulaan, dia pun diharuskan merendam kedua lengannya ke dalam air membeku.
Tentu saja
dia merasa tersiksa sekali.
Rasa dingin menyusup sampai ke tulang sumsum,sampai ke hatinya, dan setelah dia hampir tidak kuat bertahan, baru gurunya membolehkan dan membebaskan tangannya dari selimutan air es itu. Akan tetapi setelah setiap hati di-latih,sebelum musim salju lewat, Thian Lee mulai dapat menahannya dengan me-nyalurkan hawa dari tian-tan (bawah pusar) ke kedua lengannya sehingga biarpun direndam es, kedua lengan
Rasa dingin menyusup sampai ke tulang sumsum,sampai ke hatinya, dan setelah dia hampir tidak kuat bertahan, baru gurunya membolehkan dan membebaskan tangannya dari selimutan air es itu. Akan tetapi setelah setiap hati di-latih,sebelum musim salju lewat, Thian Lee mulai dapat menahannya dengan me-nyalurkan hawa dari tian-tan (bawah pusar) ke kedua lengannya sehingga biarpun direndam es, kedua lengan
terasa
hangat dan dia dapat bertahan sampai berjam-jam!
Di luar tahunya, dia telah mulai
Di luar tahunya, dia telah mulai
melatih diri
dengan sinkang yang amat kuat.
Pada tahun ke dua, dia mulai dilatih
Pada tahun ke dua, dia mulai dilatih
memanggang
kedua lengan di atas api unggun. Mula-mula memang tak tertahankan, kulit kedua
lengannya sampai menjadi kemerahan. Akan tetapi sebelum kulitnya melepuh,
gurunya
sudah
menghentikannya dan memarami kedua lengannya dengan daun obat.
Setelah dilatih terus menerus, mulailah dia dapat melawan hawa panas itu dengan saluran sin-kang yang
Setelah dilatih terus menerus, mulailah dia dapat melawan hawa panas itu dengan saluran sin-kang yang
membuat
kedua lengannya dingin seperti kalau direndam dalam es. Dan mulailah dia dapat bertahan
memanggang kedua lengannya sampai berjam-jam di atas api!
Jilid
3________ Selama dua tahun menjadi murid Liok-te Lo-mo, dia hanya diajar
langkah-langkah dan kuda-kuda sebagai
dasar ilmu silat, dan latihan sinkang menggunakan es dan api itu. Sama sekali
belum diajar
ilmu silat. Karena itu, apabila ingin melatih silat, Thian Lee melatih ilmu
silat yang pernah
diajarkan ibunya, yaitu ilmu silat mendiang ayahnya yang menjadi tokoh Kun-
lun-pai.
Dan dia mendapat kenyataan betapa ilmu silat Kun-lun-pai ini sekarang dapat dia main-kan dengan lebih mantap.
Gerakannya mantap dan kuat.
Dan dia mendapat kenyataan betapa ilmu silat Kun-lun-pai ini sekarang dapat dia main-kan dengan lebih mantap.
Gerakannya mantap dan kuat.
Pada suatu
sore setelah selesai semua pekerjaannya, seperti biasa Thian Lee berlatih silat
di pekarangan
belakang, bersilat dengan ilmu silat Kun-lun-pai.
Yang
dimainkannya itu adalah Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) yang gerakannya gagah dan kedua
lengan seolah men-jadi sayap burung elang, dipentang ke kanan kiri dan setiap
pukulan
seperti tamparan sayap burung itu, setiap tendangan seperti cakaran burung elang.
Ilmu silat
ini hanya terdiri dari delapan belas jurus dan semua jurus telah di-malnkan
Thian Lee dengan
bersungguh-sungguh. Pukulan dan tendangan anak berusia dua belas tahun ini
mendatangkan
angin menyambar
nyambar, dan ini ada-lah berkat sin-kang yang dimilikinya ketika melatih diri dengan air beku dan api.
nyambar, dan ini ada-lah berkat sin-kang yang dimilikinya ketika melatih diri dengan air beku dan api.
Baru saja
dia rnenyelesaikan jurus ter-akhir, tiba-tiba terdengar suara orang di
belakangnya,
"Hemmm,
bagus. Cuma herannya mengapa Liok-te mengajarkan silat Kun-lun-pai kepada muridnya"
Tidak tahu malu sekali tosu kurus kering itu, mencuri ilmu Kun-lun-pai dan
diajarkan
kepada orang lain."
Thian Lee
terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata di situ telah berdiri seorang
kakek yang usianya
tentu tidak lebih muda dari Liok-te Lo-mo. Apalagi melihat kakek yang rambutnya
dibiarkan panjang riap-riapan itu sudah tidak mempunyai gigi lagi dan juga
rambut,
jenggot dan kumisnya sudah putih semua.
Dan kakek itu memegang seba-tang
Dan kakek itu memegang seba-tang
tongkat
bambu kuning yang dipergu-nakannya untuk menopang tubuhnya yang agak bongkok.
"Saya tidak menerima ilmu silat Kun- lun-pai ini dari Suhu Liok-te
Lo-mo," kata Thian Lee.
"Locianpwe
ini siapakah dan ada kepe.rluan apakah datang ke sini?"
Kakek itu
tidak menjawab melainkan memandang Thian Lee dengan penuh per-hatian.
Kemudian dia
berkata, "Anak baik, coba engkau pertahankan dirimu dari seranganku
ini!"
Dan tanpa
banyak cakap. lagi tosu itu lalu menyerang de-ngan tongkat bambunya! Tongkat itu menusuk
ke arah mata Thian Lee.
Thian Lee
terkejut sekali dan tentu saja dia tidak ingin matanya ditusuk. Dia lalu
menggerakkan
tubuhnya dan otomatis dia bersilat dengan ilmu silat Elang Ter-bang yang dikuasainya.
Tangan kirinya menangkis tongkat.
Akan tetapi tongkat itu gerakannya cepat
Akan tetapi tongkat itu gerakannya cepat
sekali,
begitu di-tangkis tangan kiri tahu-tahu sudah me-nyodok ke arah perut! Thian
Lee menangkis
lagi berturut-turut tongkat itu menyerang bertubi-tubi, Thian Lee sama sekali
tidak
mendapat
kesempatan untuk balas menyerang karena tongkat itu bergerak cepat sekali.
Thian Lee tidak sem-pat mengelak, maka dia nnenggunakan kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Dan kakek itu memang agaknya hendak menguji tenaga anak
Thian Lee tidak sem-pat mengelak, maka dia nnenggunakan kedua tangannya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Dan kakek itu memang agaknya hendak menguji tenaga anak
itu karena
setiap menyerang dia pun menambah tenaga dalam serangannya tongkatnya.
Serangan itu
semakin cepat dan kuat dan akhirnya, tanpa dapat ditangkis lagi, sebuah totokan ujung
tongkat mengenai pundak Thian Lee dan anak itu pun tidak mampu bergerak lagi!
"Ha-ha-ha,
bagus, bagus sekali. Eng-kau anak yang baik, tulang dan otot yang baik!"
kakek itu berkata
dan sekali tongkatnya bergerak, dia baskan Thian Lee dari totokan.
Thian Lee
memandang dengan mata-nya yang mencorong. "Locianpwe siapa dan apa maksud Locianpwe
menyerang saya"
Ada keperluan apakah Locianpwe datang ke sini?"
Ada keperluan apakah Locianpwe datang ke sini?"
"Aku
hanya kebetulan lewat dan me-lihat engkau berlatih. Siapa namamu, Nak?"
"Nama
saya Song Thian Lee."
"Engkau
murid Liok-te Lo-mo?"
"Benar."
"Akan tetapi belum diajar silat.
Sudah berapa lama engkau menjadi murid-nya?"
Sudah berapa lama engkau menjadi murid-nya?"
"Baru
dua tahun."
"Sudah
dua tahun belum diajar silat, padahal engkau memiliki bakat yang baik sekali.
Lebih baik engkau
turut denganku saja, Thian Lee dan engkau akan kuajari ilmu silat yang lebih baik
daripada yang dapat diajarkan Liok-te Lo-mo Kepadamu."
Thian Lee
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya tidak ingin ikut
Loclanpwe,saya lebih
senang menjadi murid Suhu Liok-te Lo-mo."
"Ha-ha,
sekali aku mengeluarkan keputusan, siapa dapat mengubahnya"
Eng-kau harus
Eng-kau harus
menjadi
muridku, Thian Lee."
"Hemm,
perlahan dulu, Jeng-ciang-kwi (Setan Seribu Tangan)!" tiba-tiba terdengar
bentakan dan
muncullah Liok-te Lo-mo di tempat itu. "Berani engkau hendak merampas
muridku?"
"Ha-ha,
Liok-te Lo-mo. Tidak perlu' murid diperebutkan. Akan tetapi anak ini memiliki
bakat yang baik,
pantas menerima guru terpandai!"
"Jadi
engkau anggap aku ini guru yang kurang pandai?"
"Aku
melihat muridmu ini memainkan ilmu silat Kun-lun-pai. Itu membuktikan bahwa engkau tidak
becus mengajarnya, inaka biarkan aku yang menjadi gurunya."
"Jeng-ciang-kwi,
engkau menganggap dirimu lebih berharga menjadi guru daripada pinto?"
"Tentu
saja! Boleh kau uji!"
"Baik.
Sekarang begini saja. Kita mengadu llmu kepandaian dan siapa yang menang dialah yang berhak
menjadi guru Thian Lee!" kata Liok-te Lo-mo yang memiliki watak tidak mau kalah oleh
siapa pun, sungguhpun dia tahu bahwa kakek dl depannya ini adalah seorang sakti
yang lihai
sekali. Sudah lama dia mengenal kakek yang berjuluk Setan Se-Cibu Tangan itu,akan tetapi
belum pernah mencoba ilmu kepandaiannya, maka kini dia mendapatkan jalan
untuk
menco-banya.
"Bagus! Memang aku pun ingin mengusulkan demikian. Mari kita main-main sebentar, Liok-te Lo-mo!" kata kakek yang berambut putih itu sambil melin-tangkan tongkat bambunya di
"Bagus! Memang aku pun ingin mengusulkan demikian. Mari kita main-main sebentar, Liok-te Lo-mo!" kata kakek yang berambut putih itu sambil melin-tangkan tongkat bambunya di
depan dada.
Llok-te Lo-mo menggerakkan tangan ke balik jubahnya dan nampaklah dia memegang
sebatang
pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu
melihat Liok-te Lo-rno, memegang pedang, kakek yang berjuluk Jeng-ciang-kwi itu sudah
menyerangkan tong-katnya dengan dahsyat sekali.
Tongkat itu menotok belasan jalan
Tongkat itu menotok belasan jalan
darah di
sebelah depan tubuh Liok-tek Lo-mo secara bertubi-tubi. Melihat serangan yang cepat dan
dahsyat ini, Lo-mo memutar pedang-nya untuk melindungi tubuhnya.
Berkah-kali tongkat bertemu pednng. Anehnya, tongkat yang hanya terbuat dari bambu kuning itu tidak
Berkah-kali tongkat bertemu pednng. Anehnya, tongkat yang hanya terbuat dari bambu kuning itu tidak
patah
bertemu dengan pedang yang demikian tajamnya, walaupun mengeluarkan suara
nyaring.
Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Setan Seribu Tangan itu.
Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Setan Seribu Tangan itu.
Thian Lee
kini terbelalak menonton pertandingan itu. Sekali ini gurunya ber-temu tanding sehingga
pertandingan itu tidak seperti yang pernah ditontonnya, di mana suhunya dengan amat
mudahnya merobohkan lawan-lawannya.
Tongkat dan pedang itu seolah telah berubah menjadi banyak sekali sehingga pening dia yang menjadi penonton.
Bahkan tak lama kemudian, pedang dan tongkat lenyap ben-tuknya dan yang nampak olehnya hanya gulungan
Tongkat dan pedang itu seolah telah berubah menjadi banyak sekali sehingga pening dia yang menjadi penonton.
Bahkan tak lama kemudian, pedang dan tongkat lenyap ben-tuknya dan yang nampak olehnya hanya gulungan
dua macam
sinar, putih dan ku-ning, bagaikan dua ekor naga yang ber-main-main di angkasa.
Bahkan tubuh
dua orang itu pun tidak nampak lagl, terbungkus bleh dua gulungan sinar itu.
Pertandingan
itu memang seru bukan main. Keduanya adalah orang-orang sakti yang ilmu kepandaiannya
sudah tinggi.
Mereka itu saling serang dan mencoba untuk merobohkan lawan
Mereka itu saling serang dan mencoba untuk merobohkan lawan
dengan
serangan jurus-jurus terampuh.
Namun semua serangan dapat dihindarkan lawan
Namun semua serangan dapat dihindarkan lawan
sehingga
pertandingan berjalan sampai dua ratus jurus belym Juga ada yang menang atau kalah.
Akan tetapi akhirnya ternyata bahwa kakek itu sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan gerak dibandingkan Liok-te Lo-mo dan lewat dua ratus jurus, mulai-lah dia mendesak.
Bagi Thian Lee yang menonton pertandingan itu sebagai saksi tunggal, dia hanya melihat betapa gulungan sinar kuning tadi menjadi lebih lebar dan mnlai menggulung sinar putih. Tiba-tiba
Akan tetapi akhirnya ternyata bahwa kakek itu sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan gerak dibandingkan Liok-te Lo-mo dan lewat dua ratus jurus, mulai-lah dia mendesak.
Bagi Thian Lee yang menonton pertandingan itu sebagai saksi tunggal, dia hanya melihat betapa gulungan sinar kuning tadi menjadi lebih lebar dan mnlai menggulung sinar putih. Tiba-tiba
sinar putih
yang mengecil itu mencuat ke belakang dan narnpaklah gurunya berdiri dengan pedang
dilintangkan depan dada.
Wajahnya nampcik agak pucat dan jubah di bagian dadanya terobek lebar. Sinar kuning pun lenyap dan nampaklah kakek berambut putih itu
Wajahnya nampcik agak pucat dan jubah di bagian dadanya terobek lebar. Sinar kuning pun lenyap dan nampaklah kakek berambut putih itu
berdiri
sambil tersenyum.
"Bagaimana,
Lo-mo?" tanya kakek itu sambil bertopang pada tortgkat bambunya.
"Jeng-ciang-kwi,
engkau semakin tua semakin hebat saja. Hari ini terpaksa aku mengakui keungguianmu
dan engkau boieh membawa Thian Lee bersamamu."
"Ha-ha-ha,
bagus! Itu tandanya bahwa engkau benar-benar mengakui keunggul-anku. Hayo,Thian Lee,
bawa pakaianmu. Engkau ikut bersamaku!"
"Tidak!
Tadi sudah saya katakan ke-padamu, Locianpwe, bahwa saya tetap akan ikut Suhu dan tidak
mau berguru kepadamu," kata Thian Lee dan sikap anak ini mengejutkan kedua
orang tua
itu. Mereka tidak tahu bahwa Thian Lee bersikap demikian sesuai dengan ajaran mendiang
ibunya yang selalu berpesan agar dia menjadi seorang yang setia.
Kesetiaan adalah ciri khas seorang ga-gah, demikian pesan ibunya. Tanpa kese-tiaan, maka orang akan menjadi pengecut.
Demi kesetiaan dia harus berani menghadapi apa pun, karena mati dalam kesetiaan lebih berharga daripada hidup tidak memiliki kesetiaan. Inilah sebabnya dia menolak keras menjadi murid kakek rambut putih karena dengan demikian dia harus meninggalkan suhunya
Kesetiaan adalah ciri khas seorang ga-gah, demikian pesan ibunya. Tanpa kese-tiaan, maka orang akan menjadi pengecut.
Demi kesetiaan dia harus berani menghadapi apa pun, karena mati dalam kesetiaan lebih berharga daripada hidup tidak memiliki kesetiaan. Inilah sebabnya dia menolak keras menjadi murid kakek rambut putih karena dengan demikian dia harus meninggalkan suhunya
yang selama
ini bersikap baik kepadanya.
Gurunya pernah menyelamatkan nyawanya, sudah mendidiknya, bagaimana mungkin dia
meninggalkannya begitu saja. untuk ikut Jeng-ciang-kwi walaupun kakek rambut putih itu, menang berebutan dengan su-hunya"
Gurunya pernah menyelamatkan nyawanya, sudah mendidiknya, bagaimana mungkin dia
meninggalkannya begitu saja. untuk ikut Jeng-ciang-kwi walaupun kakek rambut putih itu, menang berebutan dengan su-hunya"
"Engkau
tidak mau ikut" Heh, sekali aku memutuskannya, engkau pun tidak bisa
mengubahnya!"
Tiba-tiba tongkat itu meluncur dan tubuh Thian Lee sudah tidak mampu bergerak
lagi. Dia tentu sudah roboh dengan lemas kala kakek rambut putih itu tidak
cepat
menyambar
tubuhnya dan memanggul di atas pundak-nya..
Kemudian dia pergi dengan langkah lebar tanpa menoleh lagi kepada Liok-te Lo-mo yang memandang dengan muka pucat.
Liok-te Lo-mo merasa kehilangan sekali setelah Thian Lee dibawa pergi. Akan tetapi untuk mencegah tidak mungkin. Selain dia sudah mengadakan perjanjian dengan Jeng-ciang-kwi dan dia kalah, dia pun merasa tidak mampu merebut Thian Lee dari tangan kakek sakti itu.
Sementara itu, Thian Lee sama sekali tidak berdaya dalam pondongan kakek berambut putih.
Kemudian dia pergi dengan langkah lebar tanpa menoleh lagi kepada Liok-te Lo-mo yang memandang dengan muka pucat.
Liok-te Lo-mo merasa kehilangan sekali setelah Thian Lee dibawa pergi. Akan tetapi untuk mencegah tidak mungkin. Selain dia sudah mengadakan perjanjian dengan Jeng-ciang-kwi dan dia kalah, dia pun merasa tidak mampu merebut Thian Lee dari tangan kakek sakti itu.
Sementara itu, Thian Lee sama sekali tidak berdaya dalam pondongan kakek berambut putih.
Dan ia
memejamkan mata ketika melihat betapa kakek itu berlari cepat bagaikan terbang
saja.
Angin
bertiup di mukanya dan rambut putih kakek itu pun menyapu-nyapu pipi-nya.
Tahulah dia bahwa
dia tidak mung-kin lagi menolak karena dalam tangan kakek rambut putih ini, dia tidak
ber-daya sama sekali.
Bagaimanapun juga dia tidak melanggar kesetiaannya, apalagi karena Liok-te Lo-mo juga tidak mence-gahnya dibawa pergi Jeng-ciang-kwi.
Bagaimanapun juga dia tidak melanggar kesetiaannya, apalagi karena Liok-te Lo-mo juga tidak mence-gahnya dibawa pergi Jeng-ciang-kwi.
"Locianpwe,
ke mana engkau hendak membawa aku?" tanya Thian Lee ketika dia terbebas dari
totokan. Mereka telah pergi jauh sekali dari tempat tinggal Liok-te Lo-mo.
"Eh,
engkau telah terbebas" Bagus, .ini menunjukkan bahwa tubuhmu memiliki
kekuatan,"
kata kakek
itu lalu meni.runkan Thian Lee. Akan tetapi kakek itu nenge-rutkan alisnya.
"Wah,engkau sama
sekali tidak membawa bekal pakaian. Salahmu sendiri, engkau tidak mau
kubawa...."
"Locianpwe...."
"Tolol!
Sebut aku Suhu! Aku adalah gurumu, engkau boleh mau atau tidak.
Aku gurumu dan engkau harus menyebut aku suhu, atau aku akan menotokmu lagi sampai engkau tidak bisa
Aku gurumu dan engkau harus menyebut aku suhu, atau aku akan menotokmu lagi sampai engkau tidak bisa
bangkit
kembali untuk selamanya."
Thian Lee
seorang anak yang cerdik. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang lebih
aneh, mungkin lebih kejam dibandlngkan Liok-te Lo-mo.
Dia belum ingin mati sedemikian mudahnya. Oleh larena itu, dia mengalah.
Dia belum ingin mati sedemikian mudahnya. Oleh larena itu, dia mengalah.
"Suhu,
mengapa Suhu berkeras mengambil murid padaku" Dan ke mana Suhu hendak membawaku?"
.
"Pendeknya, ke manapun engkau ikut saja. Aku akan membawamu menonton keramaian di puncak Luliang-san. Semua tokoh kang-ouw akan hadir di sana untuk memilih seorang bengcu." "Apakah bengcu itu, Suhu?" Thian Lee tertarik mendengar bahwa tokoh-tokoh kang-ouw
"Pendeknya, ke manapun engkau ikut saja. Aku akan membawamu menonton keramaian di puncak Luliang-san. Semua tokoh kang-ouw akan hadir di sana untuk memilih seorang bengcu." "Apakah bengcu itu, Suhu?" Thian Lee tertarik mendengar bahwa tokoh-tokoh kang-ouw
akan
berkumpul dan dia akan diajak menonton keramain itu.
"Bengcu
adalah pimpinan dunia kang-ouw, dan mungkin akan diadakan pertandingan silat disana untuk
menentukan siapa yang akan dipilih menjadi bengcu. Sudah, tidak perlu banyak bertanya,
sekarang kita pergi mencari pakalan untuk-mu dan juga untukku."
Mereka
memasuki sebuah kota dan kakek itu ternyata memiliki banyak uang emas dan
perak.
Dia membeli
beberapa potong pakaian untuk Thian Lee dan diri-nya sendiri, membungkus dalam sebuah
buntalan dan menyuruh Thian Lee meng-gendong buntalan itu. Thian Lee merasa agak
lega hatinya.
Setidaknya, gurunya yang baru ini tidak mencuri seperti yang dilakukan Liok-te Lo-mo. Setelah makan dan membeli pula makanan kering untuk bekal di
perjalanan, Jeng-ciang-kwi mengajak Thian Lee mulai melakukan perjalanan ke barat,menuju Luliang-san. Sudah menjadi kebiasaan di dunia kang-ouw pada waktu itu bahwa setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang tokoh kang-ouw yang dihormati dan dipandang tingg, oleh seluruh dunia kang-ouw.
Tokoh bengcu ini memang diperlukan oleh mereka,bukan saja untuk menjadi pemimpin dalam se-mua urusan yang terjadi mengenai tokoh-tokoh
Setidaknya, gurunya yang baru ini tidak mencuri seperti yang dilakukan Liok-te Lo-mo. Setelah makan dan membeli pula makanan kering untuk bekal di
perjalanan, Jeng-ciang-kwi mengajak Thian Lee mulai melakukan perjalanan ke barat,menuju Luliang-san. Sudah menjadi kebiasaan di dunia kang-ouw pada waktu itu bahwa setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang tokoh kang-ouw yang dihormati dan dipandang tingg, oleh seluruh dunia kang-ouw.
Tokoh bengcu ini memang diperlukan oleh mereka,bukan saja untuk menjadi pemimpin dalam se-mua urusan yang terjadi mengenai tokoh-tokoh
kang-ouw,
bahkan juga untuk mewakili seluruh tokoh kang-ouw dalam urusan menghadapi pemerintah.
Kalau pemerintah hendak mengumumkan sesuatu kepada para tokoh kang-ouw atau per-kumpulan persilatan, pemerintah hanya menghubungi bengcu ini saja dan bengcu ini yang akan menyebar-luaskan pengumuman itu. Juga kalau ada persoalan timbul di antara
Kalau pemerintah hendak mengumumkan sesuatu kepada para tokoh kang-ouw atau per-kumpulan persilatan, pemerintah hanya menghubungi bengcu ini saja dan bengcu ini yang akan menyebar-luaskan pengumuman itu. Juga kalau ada persoalan timbul di antara
warga dunia
kang-ouw sendiri, untuk mendapatkan keadilan dan keputusan, maka orang-orang itu
pergi melapor kepada bengcu.
Maka, teramat penting kedudukan bengcu ini bagi dunia kang-ouw.
Pada waktu itu, kedudukan bengcu lowong karena bengcu yang tadinya me-megang pimpinan, yaitu Ouw Hui Sian, seorang pendekar tua sakti yang terkenal dengan julukan Si golok Sakti telah me-ninggal dunia karena usia tua. Maka para tokoh kang-ouw lalu mengadakan perun-dingan untuk mengadakan pertemuan di puncak Luliang-san, untuk memilih se-orang bengcu baru.
Maka, teramat penting kedudukan bengcu ini bagi dunia kang-ouw.
Pada waktu itu, kedudukan bengcu lowong karena bengcu yang tadinya me-megang pimpinan, yaitu Ouw Hui Sian, seorang pendekar tua sakti yang terkenal dengan julukan Si golok Sakti telah me-ninggal dunia karena usia tua. Maka para tokoh kang-ouw lalu mengadakan perun-dingan untuk mengadakan pertemuan di puncak Luliang-san, untuk memilih se-orang bengcu baru.
Pada hari
yang ditentukan itu, ber-bondong-bondonR para wakll dari perkum-pulan-perkumpulan
silat, juga tokoh-tokoh perorangan, mendaki Gunung Luliang-san untuk
menghadiri
pemilihan bengcu.
Bahkan dari pihak pemerintah juga da-tang seorang wakil yang terkenal karena panglima yang datang ini dahulunya juga seorang pendekar dan terkenal di
Bahkan dari pihak pemerintah juga da-tang seorang wakil yang terkenal karena panglima yang datang ini dahulunya juga seorang pendekar dan terkenal di
dunia
kang-ouw sebagai seorang ahli pedang bernama Gui Tiong In yang berjuluk
Hok-liong-kiam (Pedang
Penaluk Naga). Gui-ciangkun datang bersama tiga orang pembantunya.
Karena
pertemuan ini untuk memilih bengcu baru merupakan pertemuan amat penting, maka banyak
sekali yang datang hadir. Wakil dari Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan
Khong-tong-pai juga hadir,
belum lagi dari peirkumpulan-perkumpulan orang gagah dan perguruan-perguruan
silat, namun
diwakili tokoh-tokoh mereka.
Para pendekar perorangan juga banyak yang hadir sehingga jumlah mereka yang ber-kumpul di situ tidak kurang dari seratus orang!
Para pendekar perorangan juga banyak yang hadir sehingga jumlah mereka yang ber-kumpul di situ tidak kurang dari seratus orang!
Setelah
semua orang berkumpuj, dengan suara bulat mereka menunjuk Gui-ciangkun untuk menjadi
ketua pemilihan bengcu. Semua orang setuju karena bia-sanya, dalam pemilihan bengcu,
sering kali terjadi perebutan dan pertentangan.
Dengan adanya orang dari pemerintah
Dengan adanya orang dari pemerintah
yang
memimpin pemilihan, diharapkan tidak akan terjadi pertentangan dan pe-milihan
akan berjalan
tertib tanpa tindak kekerasan dari pihak mana pun. Gui-ciangkun yang mengerti
akan
pentingnya
pemilihan ini bagi pemerintahnya, setuju dan demikianlah, Gui-ciangkun bersama
para
pimpinan perkumpulan yang diang-eap sebagai kaum tua yang berkedudukan lebih
tinggi,
duduk di panggung, sedang-kan para undangan lain duduk di bawah panggung.
Gui-ciangkun
bangkit berdiri dan setelah memberi hormat kepada para locian-pwe yang duduk di
panggung kehormatan, dia lalu berkata kepada hadirin dengan suara lantang,
"Cu-wi (Saudara
Sekalian) yang hadir, terima kasih atas kepercaya-an yang diberikan kepada saya
untuk
memimpin pemilihan ini. Untuk memben kebebasan memilih kepada Cu-wi, seperti biasanya,
sebaiknya kalau Cu-wi memilih calon masing-masing untuk kemudian dari sekian calon itu
kini memilih bengcu berdasarkan suara terbanyak.
Silakan Cu-wi mengajukan nama
Silakan Cu-wi mengajukan nama
calon
masing-masing."
Semua yang
hadir kini sibuk bicara sendiri, agaknya untuk merundingkan de-ngan kelompok masing-masing
siapa yang akan mereka angkat sebagai calon.
Akan tetapi wakil dari Bu-tong-
Akan tetapi wakil dari Bu-tong-
pai, yaitu
Tong Bu Leng yang bertubuh tinggi besar bangkit berdiri dan terdengar suaranya yang
lantang, "Gui-ciangkun, kami dari Bu-tong-pai berpendapat bahwa kalau
terlalu banyak
diajukan
calon merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Biasanya dalam pemilihan yang lalu, makin
banyak calon, menjadi semakin kacau karena terjadi perebutan dan persaingan.
Oleh karena
itu, kami usulkan agar mengang-kat satu dua orang calon saja yang be-nar-benar pantas untuk
menjadi bengcu, kemudian dilakukan pemilihan bengcu!"
"Saya
setuju sekali dengan usul Tong-enghiong dari Bu-tong-pai. Bagaimana pendapat
Cu-wi yang
hadir" Setujukah dengan usul itu untuk mengangkat atau menunjuk satu dua
orang calon saja agar
pemilihan bengcu menjadi lebih sederhana dan cepat, tidak sampai menimbulkan perebutan
dan persaingan?"
Serentak
semua orang menyatakan pendapatoya, "Setuju....!"
Kemudian
terdengar suara nyaring seorang tosu yang bangkit berdiri dari tempat duduknya
di panggung
kehormat-an?
"Pinto merasa setuju sekali.
Memang tidak semestinya kalau setiap
"Pinto merasa setuju sekali.
Memang tidak semestinya kalau setiap
golongan
memilih calon bengcu dari kalangan sendiri sehingga terjadi perebutan dan persaingan.
Kita semua memilih bengcu bukan untuk kepentingan kelompok sen-diri, melainkan untuk
kepentingang dunia kang-ouw pada umumnya. Pinto mengu-sulkan agar Im Yang Sengcu dari
Kun-lun-pai ditunjuk sebagai calon.
Beliau pantas menjadi bengcu karena
Beliau pantas menjadi bengcu karena
kedudukan
beliau sebagai Ketua Kun-lun-pai yang merupakan partai besar dan kuat, juga mengingat
pengalaman beliau yang sudah berusia lanjut serta kesaktian beliau yang tiada bandingannya.
Bagaimana pendapat Cu-wi" Setujukah kalau kita ajukan Im Yang Sengcu
Bagaimana pendapat Cu-wi" Setujukah kalau kita ajukan Im Yang Sengcu
sebagai
calon?"
Yang bicara ini adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus.
Dia adalah Ciong Jin Tosu, berusia lima puluh tahun, tokoh Kong-thong-pai yang rnewakili perkumpulannya hadir di situ dan mendapat tempat duduk di panggung kehormatan pula.
Yang bicara ini adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus.
Dia adalah Ciong Jin Tosu, berusia lima puluh tahun, tokoh Kong-thong-pai yang rnewakili perkumpulannya hadir di situ dan mendapat tempat duduk di panggung kehormatan pula.
Yang
ditunjuk itu adalah Im Yang Sengcu, Ketua Kun-lun-pai yang kebetul-an hadir
pula disitu. Dia
seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, bersikap tenang
dan anggun
de-ngan jenggot panjang putih. Kumis dan rambutnya masih hitam akan tetapi yang
mencolok
adalah alisnya yang sudah putih semua.
Karena alisnya itulah dia men-dapat
Karena alisnya itulah dia men-dapat
sebutan
Pek-bi Lo-jin (Orang Tua Beralis Putih). Ketua Kun-lun-pai ini ter-kenal
sebagai seorang yang
gagah perka-sa dan bijaksana, ilmu silatnya tinggi dan dia disegani oleh
seluruh tokoh
kang-ouw.
Mendengar dirinya ditunjuk sebagai calon bengcu, Im Yang Sengcu bangkit berdiri dari kursinya dan cepat dia mem-beri hormat kepada semua orang dengan mengangkat kedua tangan di depan dada-nya.
Mendengar dirinya ditunjuk sebagai calon bengcu, Im Yang Sengcu bangkit berdiri dari kursinya dan cepat dia mem-beri hormat kepada semua orang dengan mengangkat kedua tangan di depan dada-nya.
"Siancai,
siancai....!" Suaranya halus lembut namun dapat menembus kegaduh-an itu
sehingga semua orang
berdiam diri untuk mendengarkan.
Tadinya semua orang ribut menyatakan
Tadinya semua orang ribut menyatakan
dukungan
mereka dan persetujuan mereka dengan Jiangkat-nya Im Yang Sengcu menjadi calon. Kini
setelah tosu itu bicara, mereka semua diam mendengarkan penuh perhatian.
"Terlma
kasih atas kepercayaan Cu-wi menunjuk pinto menjadi calon. Akan tetapi sungguh pinto merasa
tidak sang-gup. Kedudukan bengcu adalah kedudukan yang istimewa pentingnya,
sedangkan pinto adalah seorang ketua perkumpulan yang sudah sibuk sekali
dengan tugas
pinto dalam perkumpulan.
Juga pinto merasa tidak sanggup mewakili dunia kang-ouw untuk menghadapi urusan besar. Karena itu, pinto usulkan agar mengang-kat
Juga pinto merasa tidak sanggup mewakili dunia kang-ouw untuk menghadapi urusan besar. Karena itu, pinto usulkan agar mengang-kat
sahabat
pinto, yaitu Hui Sian Hwesio yang kini hadir di sini. Dia adalah wakil Ketua
Siauw-lim-pai,
selain cakap dan memiliki tingkat kepandaian tinggi, juga kita semua mengetahui bahwa
hubungan antara Siauw-lim-pai dan pemerintah amatlah dekatnya.
Dengan mengangkat wakil Siauw-lim-pai sebagai bengcu, ma-ka semua urusan dengan pemerintah akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagai-mana pendapat Cu-wi, setujukah dengan usul
Dengan mengangkat wakil Siauw-lim-pai sebagai bengcu, ma-ka semua urusan dengan pemerintah akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagai-mana pendapat Cu-wi, setujukah dengan usul
pinto
ini?
" Hui Sian Hwesio yang tinggi gendut seperti Jilaihud itu juga seorang tokoh yang amat terkenal. Biarpun dia hanya wakil ketua, akan tetapi untuk urusan luar, Ketua Siauw-lim-pai sendiri., tidak pernah maju. Hui Sian Hwesio inilah yang mewakili ketua maju dalam setiap
" Hui Sian Hwesio yang tinggi gendut seperti Jilaihud itu juga seorang tokoh yang amat terkenal. Biarpun dia hanya wakil ketua, akan tetapi untuk urusan luar, Ketua Siauw-lim-pai sendiri., tidak pernah maju. Hui Sian Hwesio inilah yang mewakili ketua maju dalam setiap
urusan
keluar, sehingga namanya lebih terkenal.
Dan pada waktu itu, memang Agama Buddha lebih diterima permerintah Mancu daripada Agama To, maka semua orang yang mendengar ucapan Im Yang Sengcu itu serentak menyatakan setuju.
Dan pada waktu itu, memang Agama Buddha lebih diterima permerintah Mancu daripada Agama To, maka semua orang yang mendengar ucapan Im Yang Sengcu itu serentak menyatakan setuju.
Hui Sian
kini bangkit berdiri dan mu-kanya yang penuh senyum lebar itu amat menyenangkan hati orang
yang ikut-ikut tersenyum.
"Omitohud!
Sungguh elok sekali. Lima tahun yang lalu, ketika diadakan pemilih-an bengcu di Thai-san,
masih terjadi per-saingan dan perebutan, seolah kedudukan bengcu merupakan
kedudukan
yang ber-harga untuk dimiliki, seolah anenjadi sumber rejeki sarana nama besar.
Akan tetapi
apa yang pinceng lihat sekarang" Yang ditunjuk malah tidak mau meneri-ma
dan mengoperkan
kepeda orang lain!"
Kalau
begitu, harap Losuhu tidak mengoperkan pula kepada orang lain!"
Terdengar teriakan dan semua orang tertawa sambil berteriak-teriak menyetujui ucapan itu.
Terdengar teriakan dan semua orang tertawa sambil berteriak-teriak menyetujui ucapan itu.
"Omitohud,
bukan maksud pinceng untuk mengelak. Pinceng hanya menjelas-kan keadaan saja.
Keadaan yang berbeda sekarang ini di mana tidak mendapat perebutan dan
persaingan,menunjukkan
dengan jelas bahwa yang hadir semua ini adalah para pendekar yang tidak haus
akan
kedudukan.
Dahulu, kalau diadakan pemilihan bengcu, golongan sesat selalu ikut
Dahulu, kalau diadakan pemilihan bengcu, golongan sesat selalu ikut
mencampuri
dan merekalah yahg berdaya upaya keras untuk merebut ke-dudukan bengcu agar
kepentingan golongan mereka terjarnin. Sekarang keadaan lain lagi karena itu
kita harus
memilih
dengan bijaksana jangan sampai salah pilih. Apa yang diucapkan oleh sahabat Im Yang Sengcu
tadi rrlemang betul se-kali. Kedudukan bengcu amat penting untuk kita semua,karena itu
kita harus memilih seorang yang benar-benar tepatj untuk kedudukan itu."
Losuhu, yang
paling tepat untuk menjadi bengcu!" terdengar seseorang berteriak dan
teriakan ini diikuti
pula suara setuju.
Hui Sian
Hwesio mengangkat tangan ke atas dan semua orang diam. "Omito-hud, bukan semata-mata
pinceng menolak, akan tetapi adalah karena alasan ' yang amat kuat.
Cu-wi mengetahui bahwa pinceng adalah wakil ketua per-kumpulan yang besar sekali, bukan sajaengurus urusan umum dengan dunia kang-ouw, akan tetapi juga urusan penyebaran agama.
Cu-wi mengetahui bahwa pinceng adalah wakil ketua per-kumpulan yang besar sekali, bukan sajaengurus urusan umum dengan dunia kang-ouw, akan tetapi juga urusan penyebaran agama.
Menjadi
bengci atau pemimpin naruslah seorang yang jujur, setia dan dapat mencurahkan seluruh
tenaga dan pikiran untuk jabatannya itu. Dia tidak boleh memiliki kedudukan rangkap,
karena dengan demikian dia tentu tidak akan dapat mencurahkan tenaga
scluruhnya.
Pinceng
mempunyai seorang calon dan Cu-wi tentu akan se-tuju dengan calon yang pinceng usulkan itu.
Mengenal ilmu silat, dia jauh lebih hebat dari pinceng. Mengenai pengalaman, dia
Mengenal ilmu silat, dia jauh lebih hebat dari pinceng. Mengenai pengalaman, dia
sudah malang
melintang di dunia kang-ouw selama puluhan tahun. Dan namanya yang besar juga bersih
sebagai seorang pendekar budiman yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Pemimpin
haruslah seorang yang tidak me-mentingkan diri sendiri dan calon pinceng ini memenuhi
semua persyaratan itu. Dia masih muda, berpengalaman di dunia kang-ouw,
selama ini
sepak terjangnya sebagai seorang pendekar meyakinkan, dan namanya pun baik di mata
pemerintah.
Pinceng usulkan Taihiap (Pendekar Besar) Souw Tek Bun untuk menjadi
Pinceng usulkan Taihiap (Pendekar Besar) Souw Tek Bun untuk menjadi
ketua!"
Kini riuh rendah orang bersorak me-nyambut nama yang diusulkan oleh wakil Ketua
Siauw-lim-pai itu.
Siapa yang ti-dak mengenal pendekar Souw Tek Bun"
Dia berjuluk Sin-kiam Hok-mo (Pedang Sakti Penakluk Iblis), seorang pendekar yang memiliki ilmu pedang turunan
Dia berjuluk Sin-kiam Hok-mo (Pedang Sakti Penakluk Iblis), seorang pendekar yang memiliki ilmu pedang turunan
dari
keluarga Souw. Nenek moyang Souw Tek Bun adalah Souw Cian, seorang pendekar
sakti ratusan
tahun yang lalu, yang telah merangkai ilmu pedang Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Penakluk
Iblis) yang hanya dipelajari oleh keturunannya. Souw Tek Bun sudah terkenal sebagai
seorang pendekar budiman, membantu pemerintah membasmi para. penjahat sehingga
lama-nya
dihormati semua tokoh kang-ouw dan juga dihormati pemerintah.
Bahkan Kaisar sendiri berkenan memberi hadiah sebatang pedang kepadanya!
Bahkan Kaisar sendiri berkenan memberi hadiah sebatang pedang kepadanya!
"Hidup
Souw-taihiap!" Terdengar sorakan mereka.
Di antara
tamu yang duduk di panggung kehormatan, seorang pria bangkit berdiri dengan tenang. Dia
bertubuh tegap, berwajah tampan berwibawa, usianya sekitar empat puluh tahun
dan
pakaian-nya yang sederhana itu ringkas. Sebatang pedang tergantung di
punggungnya.
Wajahnya
yang segi empat itu gagah sekali, dengan sepasang alis tebal, mata menco-rong dan mulut
selalu tersenyum tenang dan sabar, namun lekuk di dagunya yang tidak berjenggot
itu
menunjukkan kekerasan hatinya.
Inilah dia Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hok-mo. Pedang di punggungnya itu adalah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), pedang pusaka
Inilah dia Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hok-mo. Pedang di punggungnya itu adalah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), pedang pusaka
hadiah dari
Kaisar Kian Liong kepadanya karena jasanya membasmi banyak gerom-bolan penjahat.
Perjaka yang tinggal seorang diri di puncak Hong-san.
Souw Tek Bun
memang hidup seba-tang kara, kedua orang tuanya telah tiada, ayahnya juga seorang
pendekar tewas oleh pengeroyoknya banyak tokoh sesat.
Ibunya menyusul ayahnya
Ibunya menyusul ayahnya
setelah
sakit berat sehingga Souw Tek Bun hidup sebatang kara. Sampai berusia empat
puluh tahun, dia
tidak mau menikah dan tinggal seorang diri di puncak Hong-san, hanya ditemani
oleh seorang
pelayan pria yang usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Mendengar dirinya dipilih sebagai bengcu seperti diusulkan oleh wakil Ke-tua Siauw-lim-pai,Souw Tek Bun lalu bangkit berdiri dengan sikap tenang sam-bil tersenyum, mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isarat agar semua orang diam.
Setelah suara gaduh itu terhenti,
terdengar
suaranya yang mantap, lembut namun mengandung wibawa,"Cu-wi
yang terhormat! Saya tidak perlu berpura-pura.
Memang sudah men-"|S jadi
Memang sudah men-"|S jadi
kewajiban
kita semua untuk meng-galang persatuan di antara semua tokoh kang-ouw demi keamanan
negara dan kesejahteraan rakyat. Dan kalau memang benar Cu-wi memilih saya,maka saya
pun tidak akan berani menolak. Hanya perlu diingat bahwa saya yang muda ,
masih kurang
pengalaman, oleh ?arena itu saya baru berani menjadi bengcu kalau dua orang Locianpwe
yan.c saya sebutkan namanya ini suka menjad) penasehat sehingga dalam memutuskan
semua perkara, saya lebih dulu mendapatkan nasihat mereka.
Kedua Locianpwe yang saya mohon menjadi penasihat adalah pertama Locianpwe Pek Bi Lojin atau Im Yang
Kedua Locianpwe yang saya mohon menjadi penasihat adalah pertama Locianpwe Pek Bi Lojin atau Im Yang
Sengcu Ketua
Kun-lun-pai, dan kedua adalah Locianpwe Hui Sian Hwesio dari Siauw-lim-pai.
Bagaimana, apakah Cu-wi setuju dengan permintaan saya ini" Dan terutama
sekali,apakah Ji-wi
Locianpwe (Dua Orang Gagah Perkasa) dapat menerima permohonan saya"'
Mendengar
ucapan yang tegas itu, semua orang bersorak mendukungnya. Im Yang Sengcu tertawa
ketika mendengar ucapan itu dan dia bangkit dari kursinya. Semua orang terdiam,ingin
mendengar-kan bagaimana pendapat tosu yang di-angkat menjadi penasihat itu.
"Siancai....!
Kalau Souw-taihiap yang menjadi bengcu, tentu dengan gembira sekali pinto suka menjadi
penasihatnya. Pinto yakin bahwa sepak terjang Souw-taihiap selalu menurut jalan
kebenaran. Pinto setuju!"
"Omitohud,
benar apa yang diucapkan oleh Im Yang Sengcu, pinceng juga setuju saja menjadi
penasihat mendampingi Souw-taihiap yang menjadi bengcu!"
Semua orang
menyambut dengan gem-bira. Mendengar semua ini, Gui-ciangkun tersenyum dan dia pun
bangkit berdiri sambil mengacungkan tangan minta ke-pada semua orang untuk tenang.
"Kami sungguh merasa gembira sekali. Baru sekali ini pemilihan bengcu berjalan
demikian
lancar, mudah dan semua suara menyetujui, tidak ada pertentangan sama sekali.
Oleh karena
itu, kami, sebagai pimpinan pemilihan bengcu ini, dengan ini menyatakan bahwa Tai-hiap
Souw Tek Bun, menurut hasil pemilihan yang sah, ditetapkan menjadi...."
"Ha-ha-ha-heh-heh,
tunggu duiu! Tidak semudah itu orang menjadi bengcu, memimpin seluruh
dunia kang-ouw. Tidak, semudah itu!"
Semua orang
terkejut. Suara itu lirih dan lembut, akan tetapi terdengar jelas dan nada suaranya
mengandung ejekan.
Melihat bahwa yang mengeluarkan suara celaan menghentikan u capan tadi adalah seorang kakek yang bongkok kurus ber-jenggot putih, Gui Tiong In atau
Melihat bahwa yang mengeluarkan suara celaan menghentikan u capan tadi adalah seorang kakek yang bongkok kurus ber-jenggot putih, Gui Tiong In atau
Gui-ciangkun
adalah seorang panglima yang dahulunya juga seorang pendekar yang terkenal,tentu saja
pengalamannya sudah banyak di dunia kang-ouw dar banyak pula tokoh kang-ouw yang
dikenalnya.
Akan tetapi dia merasa tidak mengenal kakek ini, maka dia segera memberi
hormat,
mengangkat tangan ke depan dada dan berkata dengan suara hormat,
"Locianpwe siapakah dan mengapa berkata demikian" Pemilihan ini dilakukan dengan sah dan sudah menurut keputusan rapat."
"Ha-ha-ha,
rapat yang diputuskan hanya karena pemungutan suara terba-nyak bukanlah rapat orang gagah!
Pemilihan bengcu biasanya dilakukan bukan dengan mengadu suara, melainkan
Pemilihan bengcu biasanya dilakukan bukan dengan mengadu suara, melainkan
mengadu
senjata dan siapa yang paling gagah dan menang, dialah yang pantas menjadi bengcu. Apa
jadinya kalau seorang beng-cu yang memlmpin orang-orang gagah hanya seorang yang
lemah"
Bisa menjadi tertawaan dunia'"
Bisa menjadi tertawaan dunia'"
"Locianpwe, pandangan Locianpwe ini keliru sama sekali," kata Gui-ciangkun.
"Tidak sesuai dengan pandangan pemerin-tah. Seorang bengcu haruslah seorang yang gagah perkasa,memang, akan tetapi bukan seorang jagoan yang menduduki jabatan bengcu karena
kekerasan.
Kalau demikian, dia akan memimpin dengan kekerasan pula.
Seorang bengcu haruslah seorang yang bijaksana, berhati jujur dan bersih, menentang kejahatan dan kepalsuan, menegakkan kebenaran dan keadilan, selalu berusaha untuk mensejahterakan
Seorang bengcu haruslah seorang yang bijaksana, berhati jujur dan bersih, menentang kejahatan dan kepalsuan, menegakkan kebenaran dan keadilan, selalu berusaha untuk mensejahterakan
kehidupan
rakyat, bukan sebaliknya menindas rakyat dan melakukan kejahatan mengganggu ketenteraman.
Karena Souw - taihlap memilih semua syarat itu, maka kaml memilihnya
Karena Souw - taihlap memilih semua syarat itu, maka kaml memilihnya
sebagai bengcu."
"He-he-he, Ciangkun. Itu adalar pan-danganmu sebagai seorang pejabat peme-rintah.
Akan tetapi pandangan seorang kang-ouw lain lagi. Seorang bengcu haruslah nomor satu di dunia,baru dia berhak menjadi bengcu!
"He-he-he, Ciangkun. Itu adalar pan-danganmu sebagai seorang pejabat peme-rintah.
Akan tetapi pandangan seorang kang-ouw lain lagi. Seorang bengcu haruslah nomor satu di dunia,baru dia berhak menjadi bengcu!
Tiba-tiba
Hui San Hwesio bangk't dari kursinya dan menudingkan telunjukrya ke arah kakek bongkok yang
memegang tong-kat bambu kuning itu.
"Omitohud, kalau . pinceng tidak
"Omitohud, kalau . pinceng tidak
keliru,
melihat tongkat bambu kuning itu, engkau adalah Jeng-ciang-kwi, benarkah"
Apa maksudmu da-tang ke tempat pertemuan ini" Bengcu sudah terpilih, apa kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha. Hui Sian Hwesio darl Siauw-lim-pai bersikap angkuh! Aku tidak menghendaki apa-apa, hanya aku ingin mengatakan bahwa aku baru mau menga-kui adanya seorang bengcu
Apa maksudmu da-tang ke tempat pertemuan ini" Bengcu sudah terpilih, apa kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha. Hui Sian Hwesio darl Siauw-lim-pai bersikap angkuh! Aku tidak menghendaki apa-apa, hanya aku ingin mengatakan bahwa aku baru mau menga-kui adanya seorang bengcu
dunia
kang-ouw kalau bengcu itu mampu mengalah-kanku!"
Semua orang
yang hadir kini meman-dang dengan hati tegang. Biarpun belum pernah bertemu dengan
orangnya, akan tetapi mereka semua sudah mengenal nama Jeng-ciang-kwi, seorang
datuk se-sat
yang namanya annat terkenal, akan tetapl jarang dapat ditemui orang itu.
Sementara
itu, Thian Lee yang tadi da-tang dan berdiri di belakang gurunya mendengarkan dan
memandang dengan penuh perhatian. Dia dapat menduga bahwa orang-orang yang hadir
di situ
adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang tentu memiliki kepandaian tinggi, akan
tetapi
gurunya yang
seorang diri itu agaknya hendak menentang mereka!
Dan mendengar perbantahan itu, dia mengang-gap gurunya benar. Menjadi pemlmpin para tokoh persilatan
Dan mendengar perbantahan itu, dia mengang-gap gurunya benar. Menjadi pemlmpin para tokoh persilatan
tentu saja
haruslah seorang yang ilmu silatnya tanpa tanding.
"Jeng-ciang-kwi,
apakah maksudmu menantang bengcu baru terpilih ini untuk merampas kedudukan
bengcu"
Apakah engkau bermaksud ingin menjadi bengcu dengan jalan kekerasan, mengadu ilmu silat?"
Apakah engkau bermaksud ingin menjadi bengcu dengan jalan kekerasan, mengadu ilmu silat?"
"Ho-ho-ha-ha,
siapa mau menjadi bengciu, mengikatkan kaki tangannya ke-pada kedudukan"
Tidak, aku
tidak ingin merampas kedudukan bengcu. Akan tetapl aku tetap berpendirian,bahwa siapa
yang menjadi bengcu haruslah dapat mengalah-kan aku, kalau tidak mana aku mau
mengakuinya sebagai bengcu" Juga semua rekanku tidak akan sudi mengakuinya
sebagai bengcu.
Nah, aku tantang bengcu pilihan kalian itu. Ataukah dia tidak be-rani menyambut
Nah, aku tantang bengcu pilihan kalian itu. Ataukah dia tidak be-rani menyambut
tantanganku
mengadu ilmu" Seorang bengcu yang ketakutan menghadapi tantangan"
Ha-ha-ha,
alang-kah lucunya!"
Sejak tadi
Souw Tek Bun sudah meff rasa penasaran sekali. Dia pun pernah mendengar nama besar
Jeng-ciang-kwi, akan tetapi belum pernah bertanding de-ngannya. Tentu saja dia
tidak
menjadi
gentar, hanya tadi menahan kesabaran agar jangan terjadi keributan.
Sekarang,mendengar tantangan dan ejekan bahwa dia takut menghadapi tantangan itu, dia tidak dapat
Sekarang,mendengar tantangan dan ejekan bahwa dia takut menghadapi tantangan itu, dia tidak dapat
menahan
sabar lagi dan banekit dari tempat duduknya. Kemudian dengan langkah lebar dia menuju ke
te-ngah panggung dan memberi hormat ke arah Jeng-ciang-kwi yang masih berada
di bawah
panggung. "Aku Souw Tek Bun bukanlah seorang pengecut. Aku sudah lama
mendengar nama besar
Jeng-ciang-kwi
dan kalau Jene-ciang-kwi menantangku, sudah tentu akan kulayani untuk membuktikan
bahwa aku bukan seorang pengecut walaupun dalam ilmu silat tentu aku bukan lawan
Jeng-ciang-kwi yang amat tersohor itu!
"Bagus sekali, ini baru namanya se-orang calon bengcu yang gagah," kata Jeng-ciang-kwi dan sekali tongkatnya me-notol tanah, tubuhnya sudah melayang naik ke atas panggung.
"Jeng-ciang-kwi,
ketahuilah bahwa bukan aku yang minta menjadi bengcu melainkan para Locianpwe
dan udara yang berada di sini yang mermlih aku untuk menjadi bengcu. Lalu apa
kehendakmu
sekarang?"
"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi.
Engkau
menjadi bengcu baik-baik saja, akan tetapi untuk dapat menerima pe-ngakuanku
dan pengakuan
orang-orang kang-ouw yang saat ini tidak ikut hadir, engkau harus lebih dulu mengalahkan
aku."
"Aku tidak pernah menolak tantangan, apalagi di antara kita tidak pernah ada permusuhan,hanya merupakan tantangan mengadu ilmu saja. Silakan, Jeng-ciang-kwi, aku sudah siap
untuk
melayanimu!" kata Souw Tek Bun dan sekali tangan kanannya bergerak ke
belakang tangan itu
kini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan mengeluarkan sinar hijau.
Itulah
Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian Kaisar Kian Liong kepadanya.
"Ho-ho,
pokiam (pedang pusaka) yang bagus!" kata kakek itu memuji.
"Ini adalah Ceng-liong-kiam, pemberi-an Sri Baginda Kaisar untuk membasmi kejahatan!"
jawab Souw
Tek Bun dengan gagah.
"Ha-ha-ha, asal saja jangan anggap aku seorang penjahat yang patut dibasmi" kata kakek itu tertawa mengejek.
"Tergantung dari sepak terjangmu, Jeng-ciang-kwi.
Nah, aku sudah siap menghadapi
tantanganmu'."
jawab Souw Tek Bun dengan suara tegas.
"Heh-heh,
saudara sekalian menjadi saksi apakah dia pantas menjadi bengcu ataukah tidak.
Sin-kiam
Hok-mo, demi-kian julukanmu, bukan" Ha-ha, biarlah aku menjadi Lo-mo
(Iblis Tua) apakah
benar pedangmu itu dapat menundukkan iblis! Sambutlah seranganku ini!"
Kakek itu
menggerakkan tongkatnya. Dengan lambat saja tongkat itu menyambar, akan tetapi angin
pukulannya terasa oleh mereka yang jarak duduknya tidak terlalu jauh sehingga semua orang
terkejut. Souw Tek Bun maklum akan kelihaian kakek itu, maka dia pun sudah
memasang kuda-kuda yang kuat
dan begitu tongkat bambu kuning itu menyambar, dia langsung saja menangkis dengan
bacokan kuat untuk mematahkan tongkat itu.
Agaknya Jeng-ciang-kwi juga khawatir
Agaknya Jeng-ciang-kwi juga khawatir
kalau
tong-kat bambunya terpotong oleh pedang yang ampuh itu, maka sebelum tongkatnya bertemu
pedang tiba-tiba saja tong-kat itu ditarik kembali dan kini tongkat itu
melanjutkan serangan
dengan totokan bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah yang mematikan di sebelah
depan tubuh
lawan. Souw Tek Bun cepat berlompaian untuk mengelak dan kadang menangkis
serangkaian serangan
yang berbahaya 'tu.
Dan dia pun berusaha untuk membalas serangan.
Akan tetapi ilmu tongkat Ni-kek itu memang aneh sekali dan luar biasa. Daya serangan tongkat itu seperti
Dan dia pun berusaha untuk membalas serangan.
Akan tetapi ilmu tongkat Ni-kek itu memang aneh sekali dan luar biasa. Daya serangan tongkat itu seperti
bersambung-sambung
tiada habisnya, se-tiap kali dielakkan atau ditangkis fong-kat itu sudah melayang
lagi dengan ujungnya yang lain sehingga serangan menjadi bertubi-tubi dan Souw Tek Bun sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas.
Maka, akhirnya Souw Tek Bun hanya dapat memutar pedangnya menjadi perisai gulungan sinar yang ne-.lindungi
Maka, akhirnya Souw Tek Bun hanya dapat memutar pedangnya menjadi perisai gulungan sinar yang ne-.lindungi
tubuhnya
dari hujan serangan itu.
Melihat ini, kakek itu mengendurkan serangan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Souw Tek Bun untuk balas me-nyerang dengan tusukan kilat.
Kakek itu nampak lambat gerakannya
menghindar
sehingga pedang itu menyerempet dada-nya dan merobek bajunya, akan tetapi pada saat
itu tongkatnya sudah dua kali menotok, mengenai kedua paha Souw Tek Bun dan
pendekar ini
tak dapat dicegah lagi sudah jatuh berlutut!
Jeng-ciang-kwi
menghentikan serang-annya dan tertawa, "Ha-ha-ha, kalian lihat. Belum apa-apa dla
sudah bertekuk lutut kepadaku, apakah yang begini pan-tas menjadi bengcu dunia kang-ouw?"
Thian Lee merasa gembira sekali melihat gurunya dapat mengalahkan lawan dan ini membuktikan bahwa gurunya memang seorang yang lihai sekali. Un-tunglah dia mempunyai
Thian Lee merasa gembira sekali melihat gurunya dapat mengalahkan lawan dan ini membuktikan bahwa gurunya memang seorang yang lihai sekali. Un-tunglah dia mempunyai
seorang guru
yang demikian tangguh, yang tentu akan mengajarkan ilmu-ilmu hebat kepadanya.
Tak terasa lagi saking gembiranya dia bertepuk tangan memuji. Kakek itu menoleh dan
tersenyum kepadanya.
Dalam keadaan itu, tak seorang pun memihak padanya kecuali muridnya dan hal ini menyenangkan hatinya.
Dalam keadaan itu, tak seorang pun memihak padanya kecuali muridnya dan hal ini menyenangkan hatinya.
"Omitohud, Jeng-ciang-kwi sungguh sombong. Biarpun Souw-taihiap kalah dalam ilmu silat olehmu, tetap saja dia seratus kali lebih pantas menjadi bengcu daripada kamu. Kalau pinceng
tetap
memilih dia sebagai bengcu, habis engkau mau apa?"
"Ha-ha-ha,
bengcunya tidak bisa apa-apa, tentu pemilihnya tidak becus lagi. Hui Sian
Hwesio,seharusnya
engkau me-milih bengcu yang cakap dan pantas, setidaknya yang dapat menandingi
aku.
Kalau tidak demikian, pilihanmu hanya menyatakan kebodohanmu dan akan
Kalau tidak demikian, pilihanmu hanya menyatakan kebodohanmu dan akan
men-jadi
bahan tertawaan dunia kang-ouw saja."
"Jeng-ciang-kwi,
apakah ini berarti bahwa engkau juga menantang pinceng?"
"Engkau dan siapa saja boleh mencoba-coba menandingiku, agar kalian baru terbuka mata bahwa pilihan kalian itu sama sekali keliru. Carilah orang yang setidak-nya setingkat dengan
kepandaianku."
"Kau sombong!"
Pendeta Siauw-lim-pai itu membentak dan tubuhnya sudah melayang ke
"Kau sombong!"
Pendeta Siauw-lim-pai itu membentak dan tubuhnya sudah melayang ke
depan
Jeng-ciang-kwi, se-mentara itu Souw Tek Bun yang jelas sudah kalah itu terpaksa mundur
sambil menyimpan pedangnya.
Wajahnya agak kemerahan karena merasa penasaran.
Wajahnya agak kemerahan karena merasa penasaran.
Hui Sian Hwesio sudah berdiri berha-dapan dengan Jeng-ciang-kwi, tangan ka-nannya memegang sebatang tongkat pen- deta setlnggi tubuhnya.
"Hemm, wakil Ketua Siauw-lim-pai hendak turun tangan sendiri menguji kepandaianku?" Kata Jeng-ciang-kwi de-ngan suara mengejek,"Tidak perlu membawa-bawa nama Siauw-lim-pai dalam urusan ini. Karena semua memilih
Souw-taihiap
memang sebagai wakil' dari perkumpulan masing-masing, akan tetapi kini pinceng
meng-hadapimu sebagai Hui Sian Hwesio pribadi.
Kalau sebagai wakil Ketua Siauw-lim-pai tentu pinceng tidak sudi berurus-an dengan orang seperti engkau. Kita |gg| berdua berdiri berhadapan sebagai pribadi-pribadi yang saling membela kebenaran sendiri.
Nah,pinceng sudah siap, mulailah!"
Kalau sebagai wakil Ketua Siauw-lim-pai tentu pinceng tidak sudi berurus-an dengan orang seperti engkau. Kita |gg| berdua berdiri berhadapan sebagai pribadi-pribadi yang saling membela kebenaran sendiri.
Nah,pinceng sudah siap, mulailah!"
"Bagus, hendak kulihat sampai di mana kehebatan Lo-han-pang (Ilmu Tong-kat Orang Tua) darimu.
Sambutlah!" Jeng-cian-kwi sudah menggerakkan tong-kat bambu kuningnya melakukan serangan. Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya lalu membalas dan dalam be-berapa menit keduanya sudah saling se-rang dengan hebatnya. Tongkat dan ba-tang
bambu itu
menyambar-nyambar ba-gaikan dua ekor naga yang bermain di angkasa.
Setiap kali bertemu mendatang-kan getaran yang terasa oleh semua yang hadir di situ, menandakan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga Iwee-kang (tenaga dalam) yang amat dahsyat. Dan
Setiap kali bertemu mendatang-kan getaran yang terasa oleh semua yang hadir di situ, menandakan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga Iwee-kang (tenaga dalam) yang amat dahsyat. Dan
kadang-kadang
kedua tongkat itu kalau bertemu mengeluarkan bunyi nyaring, kadang-kadang tidak
berbunyi sama sekali seolah kedua senjata itu terbuat dari bahan yang lunak.
Bukan main
serunya pertandingan an-tara kedua orang tokoh tua yang kepandaiannya sudah mencapai
tingkat tinggi itu.
Bahkan sebagian besar para penonton tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik karena kadang gerakan ke-duanya demikian cepat sehingga
Bahkan sebagian besar para penonton tidak dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik karena kadang gerakan ke-duanya demikian cepat sehingga
yang nampak
hanyalah gulungan sinar kuning dan putih yang panjang melingkar-lingkar.
Akan tetapi
ada kalanya mereka bergerak lambat sekali dan mengadu tenaga sin-kang melalui tongkat
mereka. Setelah lewat seratus jurus lebih, tiba-tiba Jeng-ciang-kwi
mengeluarkan suara bentakan
melengking
dan kedua tangannya memegang bambu kuning itu mendorong ke depan.
Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya dan ter-dengar suara keras ketika tongkatnya patah menjadi dua potong! Terpaksa dia melompat ke belakang.
Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya dan ter-dengar suara keras ketika tongkatnya patah menjadi dua potong! Terpaksa dia melompat ke belakang.
"Omitohud....!
Engkau memang tangguh sekali, Jeng-ciang-kwi!" terpaksa dia mengakui keunggulan
lawan.
"Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak bertanding dengan aku" Kulihat Im Yang Sengcu berada disini. Selain dia, kiranya tidak ada yang pantas menjadi lawanku, ha-ha-ha!"
"Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak bertanding dengan aku" Kulihat Im Yang Sengcu berada disini. Selain dia, kiranya tidak ada yang pantas menjadi lawanku, ha-ha-ha!"
Im Yang
Sengcu adalah seorang ketua dari perkumpulan besar Kun-lun-pai.
Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding begitu saja di depan umum melawan seorang yang tidak ada
Tentu saja dia merasa segan untuk bertanding begitu saja di depan umum melawan seorang yang tidak ada
urusan
apa-apa dengan dirinya pribadi atau dengan Kun-lun-pai, maka dia merasa serba
salah.
Akan tetapi
melihat Hui Sian Hwesio sudah dikalahkan, Im Yang Sengcu juga merasa tidak enak kalau
diam saja. Dia lalu bangkit berdiri menghampin Jeng-ciane-kwi dan setelah berhadapan,
dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan
berkata,
"Siancai, plnto Ketua Kun-lun-pai tidak mempunyai alasan untuk bertanding
denganmu.
Akan tetapi pinto merasa kagum sekali atas kepandaianmu yang tinggi, Jeng-ciang-kwi. Terimalah hormat pinto.
Akan tetapi pinto merasa kagum sekali atas kepandaianmu yang tinggi, Jeng-ciang-kwi. Terimalah hormat pinto.
Ketika tosu itu memberi hormat dengan mengacungkan kedua tangan depan dada, ada serangkum hawa yang me-nyambar dari kedua tangannya ke depan. Jeng-ciang-kwi segera maklum bahwa tosu itu hendak menguji kekuatan sin-kangnya, maka dia pun cepat membalas
penehormatan
itu dengan merangkap kedua tangan ke depan dada dan mendorongnya ke depan sambil
mengerahkan sin-kang.
Terjadi adu tenaga sakti yang amat dahsyat di udara.
Terjadi adu tenaga sakti yang amat dahsyat di udara.
Mereka yang
berada agak dekat dapat merasakan getaran itu dan otomatis mereka meiangkah mundur. Dan
dalam adu tenaga sakti itu, Ketua Kun-lun-pai tergetar dan kedudukan kakinya
berubah,
akan tetapi sebaliknya Jeng-ciang-kwi melangkah mundur dua kali.
Ini merupakan tanda bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Iblis Tangan Seribu itu masih kalah setingkat. Dia
Ini merupakan tanda bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Iblis Tangan Seribu itu masih kalah setingkat. Dia
terkejut
sekali dan merasa beruntung bahwa Ketua Kun-lun-pai itu menjaga martabat dan tidak mau
mengadu Imu kepandaian dengannya, karena kalau demikian halnya, besar kemungkinan
dia akan katah melawan Ketua Kun-lun-pai itu.
Sementara
itu, Gui Tiong In sidah bangkit dan melangkah maju menghadapi Jeng-ciang-kwi tunggan suaranya
terdengar menggeledek ketika dia berkata, "Jeng-ciang-kwi, kami minta
engkau suka mun-dur
dan jangan membikin kacau pemilih-an bengcu yang sudah berjalan tertib ini.
Kalau engkau tidak mau menghentikan pengacauanmu, engkau akan berhadapan dengan pemerintah!
" Jeng-ciang-kwi merasa jerih ditantang seperti itu. Bagaimanapun juga, kalau sampai dia dianggap musuh oleh pemerintah dan harus menghadapi pasukan besar yang kokoh kuat,
tentu dia
tidak akan merasa aman lagi hidupnya. Ke manapun dia pergi, dia akan menjadi orang buruan
dan akhirnya tentu dia akan tertawan juga, atau terbunuh.
"Ha-ha-ha,
siapa yang membikin kacau"
Aku hanya ingin menguji kepandaian bengcu dan sekarang juga aku akan pergi.
Hanya lucu sekali kalau pemerintah mulai mencampuri urusan
Aku hanya ingin menguji kepandaian bengcu dan sekarang juga aku akan pergi.
Hanya lucu sekali kalau pemerintah mulai mencampuri urusan
dunia
kang-ouw. Thian Lee, mari kita pergi!" Dia lalu memutar tubuhnya, melompat
turun dari
panggung dan melangkah pergi diikuti oleh Thian Lee.
Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mengatasi kesukaran dalam kehi-dupan, untuk mencari kesejahteraan dan kebahagiaan, seperti alat-alat lain yang ada pada diri manusia.
Ilmu
tidaklah jahat ataupun baik, semua itu tergantung kepada pemakainya, kepada
manusia.
Baik dan
buruknya ilmu sebagai alat manusia, tergantung kepada manusianya.
Kalau ilmu dipergunakan untuk berbuat jahat, tentu saja ilmu itu menjadi ilmu jahat, sebaliknya ilmu apa
Kalau ilmu dipergunakan untuk berbuat jahat, tentu saja ilmu itu menjadi ilmu jahat, sebaliknya ilmu apa
pun kalau
di-pergunakan, untuk berbuat kebaikan, ilmu itu menjadi ilmu yang baik.
Yang baik atau jahat bukanlah ilmunya, bukanlah alatnya, melainkan manusianya. Dan betapa pun
Yang baik atau jahat bukanlah ilmunya, bukanlah alatnya, melainkan manusianya. Dan betapa pun
tinggi ilmu,
betapa pun baik-nya, apa artinya apabila ilmu tidak diamalkan untuk berbuat kebaikan"
ilmu yang dipergunakan untuk berbuat jahat, akhirnya akan menceiakakan
manusianya
sendlri.
Orang seperti Jeng-ciang-kwi menganggap ilmu untuk menang-menangan, untuk bersaing dan menonjolkan diri sebagai jagoan tak terkaiahkan. Dengan sendirinya pendapat seperti ini
Orang seperti Jeng-ciang-kwi menganggap ilmu untuk menang-menangan, untuk bersaing dan menonjolkan diri sebagai jagoan tak terkaiahkan. Dengan sendirinya pendapat seperti ini
hanya
mendatangkan permusuhan belaka.
Bagaimanapun juga, orang yang dikalahkan tentu akan mendendam dan akan mempelajari ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kekalahannya.
Bagaimanapun juga, orang yang dikalahkan tentu akan mendendam dan akan mempelajari ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kekalahannya.
Dan orang
begini tentu selalu memandang diri sendiri yang terpandai, tak terkalahkan,merendahkan
orang lain sehingga terpupuk kesombong-an dalam hatinya.
Setelah
Jeng-ciang-kwi pergi, rapat pertemuan itu dilanjutkan dan akhirnya diambil
keputusan bahwa yang
menjadl bengcu adalah Souw Tek Bun. Pendekar ini bertempat tinggal di puncak Hong-san,
tinggal seorang diri karena dalam usianya yang empat puluh tahun itu dia masih
membujang.
Biarpun tingkat ke-pandaian pendekar ini belum mencapai puncaknya dan masih dikalahkan
Oleh Jeng-ciang-kwi, akan tetapi kedudukannya seba-gai bengcu cukup kuat karena dia
men-dapat dukungan wakil-wakil partai besar, tokoh-tokoh kang-ouw ternama dan
ter-utama
sekali mendapat dukungan dari pemerintah Ceng.
Kerajaan Ceng, terutama ketika dipegang oleh Kaisar Kian Liong, memang pandai mengambil hati orang-orang pandai.
Kerajaan Ceng, terutama ketika dipegang oleh Kaisar Kian Liong, memang pandai mengambil hati orang-orang pandai.
Karena dunia kang-ouw juga sudah dirangkulnya, maka tentu saja para pendekar tidak lagi memiliki semangat untuk memberontak, tidak ada pikiran untuk berjuang membebaskan
rakyat dari
penjajahan.
Apalagi karena sang penjajah mementingkan kebutuhan rakyat, tidak
Apalagi karena sang penjajah mementingkan kebutuhan rakyat, tidak
menekan,
bahkan lebih baik daripada ketika rakyat diperintah oleh bangsa sendiri, maka rakyat pun
merasa lega dan tidak mempunyai keinginan untuk memberontak.
Kalau pemerintah sudah mendapat dukungan rakyat terbanyak, tentu saja pemerintah itu menjadi kuat. Jeng-ciang-kwi membawa muridnya ke tempat tinggalnya, yaitu di Bukit Kwi-san yang
Kalau pemerintah sudah mendapat dukungan rakyat terbanyak, tentu saja pemerintah itu menjadi kuat. Jeng-ciang-kwi membawa muridnya ke tempat tinggalnya, yaitu di Bukit Kwi-san yang
berada di
utara.
Di Kwi-san ini terdapat sebuah lembah yang disebut Lembah Iblis dan di
Di Kwi-san ini terdapat sebuah lembah yang disebut Lembah Iblis dan di
tengah
lembah itu terdapat sebuah guha yang dari jauh bentuknya mirip tengkorak
manusia,karena itu
disebut Guha Tengkorak.
Di Lembah Iblis ini, Jeng-ciang-kwi tinggal sebagai majikannya dan dia mempunyai selosin anak buah yang selalu menjaga tempat itu. Jalan
Di Lembah Iblis ini, Jeng-ciang-kwi tinggal sebagai majikannya dan dia mempunyai selosin anak buah yang selalu menjaga tempat itu. Jalan
masuk ke
tempat ting-gal Jeng-ciang-kwi hanya satu, yaitu melalui guha yang seperti tengkorak
itu.
Ketika Thian Lee tiba di situ bersama gurunya, dia merasa ngeri melihat guha
Ketika Thian Lee tiba di situ bersama gurunya, dia merasa ngeri melihat guha
yang mirip
tengkorak itu. Kemudian ber-munculan dua belas orang yang berpakaian serba hitam dan
mereka itu kelihatan bengis dan bertubuh kuat.
Mereka semua memberi hormat
Mereka semua memberi hormat
kepada
Jeng-ciang-kwi sambil berlutut di kanan kiri guha.
"Terjadi
apakah selama aku pergi?" tanya Jeng-ciang-kwi.
"Tidak
terjadi sesuatu yang penting, Kokcu (Majikan Lembah)," seorang di antara
mereka melapor.
"Bagus! Kalian lihat baik-baik, anak ini adalah Song Thian Lee, muridku
yang baru.
Kalian harus bersikap baik-baik kepadanya. Dan Thian Lee, mereka ini adalah para pelayanku, juga
Kalian harus bersikap baik-baik kepadanya. Dan Thian Lee, mereka ini adalah para pelayanku, juga
murid-murid-ku
dan anak buahku.
Engkau harus meng-hormati mereka."
Engkau harus meng-hormati mereka."
"Baik,
Suhu. Para suheng, kalian baik-baik sajakah?" tegur Thian Lee kepada
mereka. Dua belas orang
itu hanyai mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Aku
ingin merayakan kepulanganku bersama Thian Lee, sediakan arak dan,
makanan," kata pula
Jeng-ciang-kwi dan dia mengajak Thian Lee memasuki guha tengkorak.
Ternyata guha itu besar dan dalam. Dan di sebelah dalamnya merupa-kan terowongan yang lebar dan panjang yang menembus ke sebuah taman yang luas pula. Dan di tengah-tengah aman itu
Ternyata guha itu besar dan dalam. Dan di sebelah dalamnya merupa-kan terowongan yang lebar dan panjang yang menembus ke sebuah taman yang luas pula. Dan di tengah-tengah aman itu
berdirilah
sebuah bangunan yang me-gah dan besar.
Kiranya kakek itu memiliki tempat
Kiranya kakek itu memiliki tempat
tinggal yang
besar dan bagus, pikir Thian Lee terheran. Mereka memasuki rumah itu dan Thian Lee
mendapat-kan sebuah kamar di tengah.
Dua belas orang itu memiliki kamar-kamar di ba-gian belakang rumah besar itu.
Dua belas orang itu memiliki kamar-kamar di ba-gian belakang rumah besar itu.
Demikianlah,
mulai hari itu Thia Lee tinggal di rumah besar Jeng-ciang-kwi.
Dan mulai pula dia menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya. Karena Thian Lee sudah memiliki pengetahuan dasar ilmu silat tinggi yang dipelajari selama dua tahun dari Liok-te Lo-mo, dan ka-rena memang dia berbakat baik, maka dengan mudah dia dapat berlatih sesuai dengan
Dan mulai pula dia menerima pelajaran ilmu silat dari gurunya. Karena Thian Lee sudah memiliki pengetahuan dasar ilmu silat tinggi yang dipelajari selama dua tahun dari Liok-te Lo-mo, dan ka-rena memang dia berbakat baik, maka dengan mudah dia dapat berlatih sesuai dengan
pelajaran
yang diberikan Jeng-ciang-kwi.
Juga Iwee-kang yang pernah dilatihnya dari Liok-te Lo-mo dengan cara merendam tangan di dalam es, lalu memanggang di atas api, telah menda-
Juga Iwee-kang yang pernah dilatihnya dari Liok-te Lo-mo dengan cara merendam tangan di dalam es, lalu memanggang di atas api, telah menda-
tangkan
sin-kang yang lumayan.
Selama setengah tahun menjadi murid Jeng-ciang-kwi, Thian Lee merasa bahwa apa yang diajarkan Jeng-ciang-kwi amat-lah lambat. Dan selain menjadi mund dan belajar silat,waktunya dihabiskan untuk bekerja di dalam rumah itu. Mem-bersihkan semua perabotan,
menyapu
lantai dan segala macam pekerjaan yang dia lakukan setiap hari.
Ada satu hal yang membuat Thian Lee merasa penasaran. Di dalam rumah itu terdapat sebuah kamar yang pintunya selalu tertutup.
Gurunya melarang dia memasuki kamar itu, apalagi membersih-kannya. Sudah lajim bagi siapa saja, hal yang dilarang itu bahkan menarik hati.
Karena
dilarang memasuki kamar itu, Thian Lee merasa penasaran dan ingin sekali dia melihat apa
sebetulnya yang berada di kamar itu.
Pada suatu
hari, Jeng-ciang-kwi
memanggil Thian Lee, "Thian Lee aku akan meninggalkan rumah barang tiga hari.
Engkau jaga rumah baik-baik dan jangan lupa untuk melatih jurus yang baru ku-ajarkan kepadamu kemarin. Juga jangan lupa membersihkan rumah.
Ingat,jangan keluar dari dalam guha kalau aku sedang tidak berada di rumah."
memanggil Thian Lee, "Thian Lee aku akan meninggalkan rumah barang tiga hari.
Engkau jaga rumah baik-baik dan jangan lupa untuk melatih jurus yang baru ku-ajarkan kepadamu kemarin. Juga jangan lupa membersihkan rumah.
Ingat,jangan keluar dari dalam guha kalau aku sedang tidak berada di rumah."
"Baik, Suhu." kata Thian Lee.
Setelah
gurunya pergi, dia menyapu lantai rumah yang luas itu seperti biasa.
Ketika dia menyapu tiba di depan kamar yang terlarang itu, dia berhenti dan termenung memandangi pintu kamar.
Apa sih yang berada di dalam kamar ini, pikirnya ingin sekall tahu. Gurunya
Ketika dia menyapu tiba di depan kamar yang terlarang itu, dia berhenti dan termenung memandangi pintu kamar.
Apa sih yang berada di dalam kamar ini, pikirnya ingin sekall tahu. Gurunya
sedang tidak
berada di rumah dan para anak buah gurunya juga tidak berada di rumah itu.
Mereka itu
selalu berada dl luar rumah untuk bekerja mengurus keperluan sehari-hari dan
juga untuk
berjaga rumah di sebelah luar. Kalau tidak dipanggil oleh
Jeng-ciang-kwi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani memasukl rumah.
Jeng-ciang-kwi, tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani memasukl rumah.
Tidak ada
orang lain di dalam rumah, pikir Thian Lee. Kalau aku menjenguk ke dalam kamar,apa
salahnya" Karena keinginan tahu yang amat mendesak, yang timbul dari
larangan suhunya,
akhirnya Thian Lee mendorong daun pintu.
Daun pintu itu tidak dikunci dan biarpun
Daun pintu itu tidak dikunci dan biarpun
agars'
berat, dapat juga terbuka. Dan ternyata, kamar itu penuh dengan kitab!
Berderet-deret di rak buku dan juga kotor ber-debu!
Berderet-deret di rak buku dan juga kotor ber-debu!
Thian Lee
adalah seorang penggemar membaca kitab. Maka melihat demikian banyaknya kitab,
hatinya menjadi girang sekali. Kalau hanya kitab-kitab isi kamar ini, mengapa dirahasiakan
oleh gurunya"'
Melihat kitab-kitab itu demikian kotor, Thian Lee segera membersihkannya dengan pengebut bulu. Juga lantainya kotor" bukan main. Dia mengebut
Melihat kitab-kitab itu demikian kotor, Thian Lee segera membersihkannya dengan pengebut bulu. Juga lantainya kotor" bukan main. Dia mengebut
lalu menyapu
lantainya sehingga kamar itu bersih.
Akan tetapi selain itu, dia tidak dapat
Akan tetapi selain itu, dia tidak dapat
mehahan
keinginan hatinya untuk melihat-lihat kitab itu. Ada sebuah kitab yang
kelihatan sudah tua
sekali.
Dibukanya kitab itu dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran silat.
Dibukanya kitab itu dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran silat.
Judul kitab itu "Pat-kwa-sin-kun" (Ilmu Silat Sakti Delapan Segi) dan segera dibacanya.
Membaca satu
bagian Thian Lee mengnafalnya di luar kepala, lalu dia mengembalikan kitab itu dan keluar
dari dalam kamar.
Malamnya, di dalam kamarnya, dia mengingat kembali apa yang telah dibacanya dan mencoba untuk memainkan jurus ilmu silat yang telah dibacanya.
Malamnya, di dalam kamarnya, dia mengingat kembali apa yang telah dibacanya dan mencoba untuk memainkan jurus ilmu silat yang telah dibacanya.
Ternyata
lebih mengasyikkan daripada apa yang telah dipejari dari gurunya.
Sekali membaca bagian pertama, Thian Lee .rnenjadi penasaran dan setiap kali terdapat kesempatan, dia selalu menyelinap masuk ke dalam kamar pustaka dan membaca kitab Pat-
kwa-sin-kun.
Sedikit demi sedikit dia membaca dan menghafalkan lalu melatih dirinya di
Sedikit demi sedikit dia membaca dan menghafalkan lalu melatih dirinya di
dalam kamar.
Sebetulnya ilmu silat Pak-kwa-sin-kun yang dipelajari Thian Lee itu hanyalah ilmu silat biasa saja, akan tetapi karena dia mempelajari sambil sembunyi
sembunyi, maka menarik sekali dan
Sebetulnya ilmu silat Pak-kwa-sin-kun yang dipelajari Thian Lee itu hanyalah ilmu silat biasa saja, akan tetapi karena dia mempelajari sambil sembunyi
sembunyi, maka menarik sekali dan
dia merasa
seolah menemukan suatu ilmu rahasia yang hebat.
. Akan
tetapi pada suatu hari, ketika dia sedang membaca kitab di dalam ka-mar
tiba-tiba terdengar
tindakan kaki di luar kamar! Dan terdengar suara gurunya,
"Benarkah bahwa dia
"Benarkah bahwa dia
sering kali
memasuki kamar ini?"
"Benar, Kokcu. Saya tidak berani berbohong!" terdengar suara seorang anak buah.
Mendadak
kamar itu terbuka. Gurunya sudah berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut dan mata
mencorong marah Thian Lee yang sedang membaca kitab itu menjadi demikian kaget
sehingga kitab itu terjatuh ke atas lantai.
"Kau....!
Berani engkau melanggar laranganku?" bentak Jeng-ciang-kwi.
Karena sudah
ketahuan, Thian Lee tidak dapat membela diri.
Dia hanya menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Ampunkan teecu, Suhu!"
Dia hanya menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Ampunkan teecu, Suhu!"
"Enak saja minta ampun. Hayo keluar!" Bentak gurunya. Thian Lee keluar dan pintu kamar itu kembali ditutup oleh Jeng-ciang-kwi.
Kemudian dia menarik Thian Lee diajak pergi keluar dan ru-mah, terus melalui terowongan dari keluar dari dalam guha tengkorak.
Seperti terbang kakek itu lari sambil menggandeng tangan Thian Lee yang tergantung | dan seperti diterbangkan saja. Setelah tiba di kaki bukit, barulah kakek itu berhenti. "Engkau tahu dosamu?"
"Teecu
mengaku salah, Suhu," kata Thian Lee dan dalam suaranya terkandung
ketakutan melihat
wajah gurunya yang demikian bengisnya.
"Engkau
pantas dihukum mati! Belum pernah ada orang yang melanggar larang-anku!"
Dia mengeluarkan
sehelai tali yang agaknya dibawanya sejak tadi dan , sekali dia melempar tali itu, tubuh
Thian Lee sudah terlibat dan terikat tali.
"Maafkan teecu Suhu," kata Thian Lee. Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, melainkan dengan satu hentakan tubuh Thian Lee yang sudah terikat tali "itu melayang ke atas pohon dan di lain saat dia telah tergantung dari pohon dengan kedua tangan terikat pada tubuhnya.
Dia digantung di situ sehingga kepalanya berada di bawah kakinya di atas, sama sekali tidak mampu meronta karena kedua lengan dan kaki terbelit-belit tali yang kuat sekali. Dia tergantung kira-kita satu meter dari tanah dan kakek itu mengikatkan ujung tali pada batang
pohon.
"Aku akan membiarkan engkau di sini sampai ada harimau atau binatang buas lain memakanmu!
Inilah hukumanmu!" kata kakek itu dan dia segera pergi dari situ meninggalkan
"Aku akan membiarkan engkau di sini sampai ada harimau atau binatang buas lain memakanmu!
Inilah hukumanmu!" kata kakek itu dan dia segera pergi dari situ meninggalkan
Thian Lee
tergantung dari pohon itu.
Thian Lee merasa ngeri. Dia tahu bahwa di sekitar tempat ini memang banyak terdapat binatang buas sepepti harimau, ular dan semacam srigala yang buas.
"Suhu, lepaskan teecu...." Berulang dia memohon akan tetapi tidak ada suara jawaban.
Agaknya
kakek itu sudah meninggalkan dia dalam keadaan tidak berdaya. Kalau benar muncul
harimau atau binatang liar lainnya, tentu dia akan mudah dijadikan mangsa
binatang itu tanpa
dapat melawan atau melarikan diri sama sekali
"Suhuu" Sampai serak tenggorokannya memanggil gurunya, akan tetapi sia-sia saja.
Bahkan yang muncul bukan gurunya, melainkan seekor harimau hitam!
Harimau itu mengendus-endus dengan mulutnya, mencium bau manusia dan akhirnya dilihatnya pemuda remaja yang
"Suhuu" Sampai serak tenggorokannya memanggil gurunya, akan tetapi sia-sia saja.
Bahkan yang muncul bukan gurunya, melainkan seekor harimau hitam!
Harimau itu mengendus-endus dengan mulutnya, mencium bau manusia dan akhirnya dilihatnya pemuda remaja yang
tergantung
di situ. Berindap-indap harimau itu menghampiri, mengeluarkan suara auman mengerikan.
Kemudian dia mendekam dan mengambil ancang-ancang untuk menubruk Thian
Lee. Tentu
saja anak itu merasa ngeri bukan main.
"Suhu....! Tolonglah teecu...!" Dia berteriak dan teriakannya mengejutkan harimau itu akan tetapi tidak menbuatnya takut, hanya agaknya menunda terkamannya.
Sejenak harimau itu menunggu, akan tetapi karena tidak terjadi sesuatu, dia lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk melompat dan menerkam mangsa itu.
"Suhu....! Tolonglah teecu...!" Dia berteriak dan teriakannya mengejutkan harimau itu akan tetapi tidak menbuatnya takut, hanya agaknya menunda terkamannya.
Sejenak harimau itu menunggu, akan tetapi karena tidak terjadi sesuatu, dia lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk melompat dan menerkam mangsa itu.
Thian Lee terbelalak memandang harimau itu. Mati aku sekarang, pikirnya dan otomatis mulutnya berseru, "Ibu, tolonglah aku....!"
Pada saat itu harimau melompat dan menerkam. Thian Lee memejamkan matanya, menanti saat dia diterkam.
Akan tetapi terdengar suara gedebukan dan harimau itu menggereng keras.
Ketika dia membuka mata, dia melihat harimau itu bergulingan dan sebatang kayu sebesar lengan telah menancap di perut harimau itu. Kemudian harimau itu melarikan diri sambil membawa kayu yang masih menancap di perutnya.
Agaknya ada yang menolongnya dan
menyerang
harimau itu dengan tombak kayu! Tentu gurunya yang menolongnya.
Nampak Jeng-ciang-kwi muncul keluar entah dari mana dan dia pun marah-marah.
"Jahanam keparat!
Siapa yang berani lancang membunuh harimau dan menolong anak setan ini?"
Thian Lee masih tidak mengerti, mengira gurunya berpura-pura karena selain gurunya, siapa dapat menolongnya tadi dan membuat harinnau itu terluka dan melarikan diri" Dia hanya dapat memandang sambil bergantung di tali itu.
"Jeng-ciang-kwi, engkau yang jahanam keparat!
Kembalikan jiwa suteku."
Terdengar bentakan nyaring suara wanita dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang wanita yang menyeramkan sekali. Wanita itu sebetulnya tidak buruk wajahnya, bahkan dapat dibilang
cantik akan
tetapi muka itu pucat seperti muka mayat, akan tetapi sepasang matanya mencorong
seperti mata harimau.
Tubuhnya tinggi kurus, usianya kurang lebih empat puluh tahun dan bajunya serba merah!
Di tangan wanita itu terpegang seekor ular merah yang panjangnya
Tubuhnya tinggi kurus, usianya kurang lebih empat puluh tahun dan bajunya serba merah!
Di tangan wanita itu terpegang seekor ular merah yang panjangnya
hanya
setengah meter dan besarnya seibu jari kaH. Ular itu melingkar di lengan
kanannya.
Melihat
wanita itu, Jeng-ciang-kwi memandang tajam lalu tertawa, "Ha-ha-ha, tentu
engkau yang bernama
Ang-tok Mo-li (Iblis Wanita Racun Merah)."
Mungkin julukan itu karena ia
Mungkin julukan itu karena ia
berpakaian
serba merah, dan melihat julukannya pakai racun dapat diduga bahwa ular yang berada di
tangannya itu tentu juga beracun!
"Sudah
mengenal namaku, engkau harus rnembayar hutangmu atas kematian suteku!"
"Hemm,
sutemu itu tentu Hek-kak-liong, bukan" Ketahullah, Hek-kak-liong (Naga
Tanduk Hitam)
berani menentangku dan kanru berkelahi. Karena kepandaiannya yang belum
seberapa berani
menen-tangku, dan dalam perkelahian dia tewas, apa lagi yang harus
diributkah?"
"Dia
adalah suteku yang tercinta, sekarang telah kaubunuh, engkau harus mengganti nyawanya!"
bentak wanita itu, suaranya nyaring melengking.
"Heh-heh-heh,
adik seperguruanmu ataukah kekasihmu" Ha-ha, aku sudah mendengar bahwa Hek-kak-liong
itu seorang mata keranjang dan engkau iblis betina ini juga tidak jelek."
"Keparat,
engkau harus marasai tanganku!" bentak wanita itu marah dan ia pun sudah menubruk
maju dan menyerang kakek itu dengan cakaran tangaf kirinya yang berkuku runcing.
Jeng-ciang-kwi terkejut juga melihat serangan ini yang mendatangkan angin keras dan dia
mencium bau amis, tanda bahwa tangan wanita itu, mungkin kukunya, mengan-dung racun yang
berbahaya.
Maka dia pun melompat ke belakang lalu mengayun tongkat bambunya menyerang. Akan te-tapi wanlta itu dapat bergerak dengan gesit, mengelak dari
Maka dia pun melompat ke belakang lalu mengayun tongkat bambunya menyerang. Akan te-tapi wanlta itu dapat bergerak dengan gesit, mengelak dari
sambaran
tongkat bambu, lalu menyerang lagi, kini lebih hebat karena dia menggunakan tangan kanan
dan ular yang tadi melingkar di lengan kanannya itu tiba-tiba terulur dan menggigit ke
arah pundak Jeng-ciang-kwi. Kakek ini mendengus dan mengelak sambil
memutar
tongkat bambunya. Me-reka segera saling serang dengan seru dan hebatnya.
Sementara
itu,thian Lee yang masih tergantung itu tiba-tiba melihat seorang artak
perempuan menghampirinya.
Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, cantik manis dengan rambut dikepang menjadi dua kuncir dan memakai pita merah. Pakaiannya
berkembang-kembang
dan tangan kirinya juga mem-bawa seekor ular hitam. Dia mendekati Thian Lee
dan bertanya,
"Engkau ini kenapakah diikat dan digantung di sini" Hi-hik, kau lucu
"Engkau ini kenapakah diikat dan digantung di sini" Hi-hik, kau lucu
sekali,
seperti seekor monyet yang tertangkap jebakan, hi-hik."
Thian Lee
mengerutkan alisnya. Ucap-an anak perempuan itu menyakitkan hati-nya.
Kalau tadinya dia ingin minta to-long agar dilepaskan, ketika mendengar ucapan itu, maksudnya minta tolong diibatalkan.
Kalau tadinya dia ingin minta to-long agar dilepaskan, ketika mendengar ucapan itu, maksudnya minta tolong diibatalkan.
"Aku
diikat di sini, apa pedulimu"
Pergilah, tak perlu engkau mengejek
Pergilah, tak perlu engkau mengejek
aku!"
kata Thian Lee.
Anak
perempuan ilu tertawa. "Aku tahu, engkau tentu hendak dibunuh oleh kakek
jahat itu.
Tadi kalau
tidak ada aku yang menyambitkan tombak kayu kepada harimau itu, engkau kini
tentu sudah
berada di dalam perut harimau dan tidak dapat bersikap angkuh seperti
ini." Thian Lee
terkejut.
Jadi bocah inikah yang tadi telah menyelamatkan nyawanya dari terkaman
Jadi bocah inikah yang tadi telah menyelamatkan nyawanya dari terkaman
harimau"
Dia menyesal telah bersikap tidak bersahabat. "Ah, engkau yang tadi
menolongku"
Terima kasih
kalau begitu," katanya dan mukanya berubah merah.
"Engkau belum menjawab pertanyaan-ku. Kenapa engkau terikat disini?"
"Suhu yang mengikat aku di sini."
"Suhumu" Siapa suhumu?"
"Jeng-ciang-kwi itulah suhuku."
"Dan dia mengikat muridnya sendiri untuk dimakan harimau" Bagaimana ini"
Mana ada suhu mengancam begitu?" "Aku yang bersalah. Aku mencuri baca kitab milik Suhu dan aku dihukum."
"Tidak pantas! Kalau murld membaca kitab gurunya, hal itu sudah semestinya.
Menghukum boleh saja, akan tetapi se-ngaja mengorbankan murid untuk dimakan harimau" Itu sungguh
mengerikan
dan keji sekali. Mari kubebaskan engkau, maukah?"
"Tentu saja mau."
Bocah itu lalu mengalungkan ular hitam di lehernya sehingga kini kuncirnya bertambah satu karena seekor ular itu berjuntai seperti kuncir rambut. Kemudi-an sepuluh jari tangannya yang
kecil mungil
mulai membuka ikatan pada tubuh Thian Lee sehingga akhirnya Thlan Lee terlepas dan
jatuh ke atas tanah. Dia merasa kaki tangannya bekas gigitan ikatan tali itu
nyeri-nyeri dan
kini dia bangkit memandang kepada gadis cilik itu.
Anak
perempuan itu hanya setinggi pundaknya. Diam-diam dia kaget sekali. Masih
begitu kecil sudah
dapat membuat harimau tadi terluka parah dan melarikan diri, mungkin mati
karena
perutnya ter-tembus kayu. Hebat sekali! ", "Apakah engkau murid
wanita yang bertempur
melaWan guruku itu?"
"Benar, namaku Bu Lee Cin. Engkau siapa?"
"Namaku
Song Thian Lee. Lee Cih, terima kasih atas pertolonganmu yang dua kali itu.
Membunuh
harimau dan mernbebaskan aku dari ikatan. Mudah-mudahan lain waktu aku dapat
membalas pertolonganmu ini."
"Hemm,
tidak bisa. Agaknya kita sekarang harus tertanding, saling serang. Hayo,
mulailah"anak
perempuan itu sudah memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang Thian Lee.
"Eh" Apa-apaan engkau ini" Mengapa kita harus saling serang?"
"Lihat
gurumu dan guruku sudah bertanding. Kita sebagai murid-murid mereka harus membela
guru, maka marilah kita bertanding."
"Tidak, engkau sudah menolongku, untuk apa aku bertanding" Kalau engkau tadi tidak menolongku, aku sudah mati diterkam harimau. Kalau kini engkau hendak menagih, ambillah
nyawaku.
Bunuhlah aku, aku tidak akan melawan."
Gadis itu tidak
jadi memasang kuda-kuda. "Lho, engkau ini bagaimana sih" Apakah
engkau tidak hendak
membantu gurumu?"
"Tidak,
kalau pembelaan itu mengharuskan aku bertanding denganmu. Engkau seorang gadis
yang baik,
aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuh."
"Kalau begitu, mari kita menonton saja. Kaukira siapa yang akan menang" Guruku atau gurumu?" tanya Lee Cin.
"Tongkat bambu kuning guruku lihai sekali, gurumu tidak akan menang," kata Thian Lee sambil menonton pertempuran yang masih berlangsung seru itu.
"Belum tentu! Engkau tidak tahu. Ular yang dibawa guruku itu adalah ular merah yang racunnya ampuh sekali.
Sekali terkena gigitan ular itu, gurumu akan mampus!" jawab Lee Cin
tidak mau
kalah. Pertandingan itu memang hebat bukan main. Baru sekarang Jeng-ciang-kwi
ber-temu tanding yang
setingkat. Memang, permainan tongkat bambu kuning di tangannya membuat lawannya
terdesak,
akan tetapi Ang-tok Mo-li memiliki ge-rakan yang gesit sekali sehingga biarpun terdesak,
tubuhnya berkelebatan di anta-ra gulungan sinar tongkat yang kekuning-kuningan.
Sementara itu, ,beberapa kali ularnya hampir dapat menggigit lengan kakek itu sehingga kakek itu rnenjadi lebih hati-hati memutar tongkatnya, tidak memberi lubang sama sekali bagi
ular itu
untuk mematuk. Ular itu adalah Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah), bukan saja beracun
hebat sekali, akan tetapi juga memiliki gerakan yang gesit.
Setiap kali ujung tongkat bambu mengancam kepalanya, ular itu dapat mengelak sendiri.
Ekornya membelit pergelangan tangan wanita tua itu dan kepalanya kadang meluncur untuk menyerang. Biar-pun ada ular di lengannya, Ang-tok Mo" li masih dapat menggunakan
tangan
ka-nan itu untuk menyerang dan kedua ta" ngannya yang membentuk cakar itu
juga mengandung
racun yang hebat sehingga Jeng-ciang-kwi harus berhati-hati sekali karena
sekali saja
terkena goresan kuku atau gigitan ular, akibatnya akan berbahaya bagi dirinya.
Perkelahian
itu sudah berlangsung hampir dua ratus jurus dan belum ada yang menang atau kalah. Dua
orang anak yang menonton itu duduk berdampingan seperti dua orang sahabat
baik. Katau
ada orang melihatnya tentu sama sekali tidak akan mengira bahwa mereka adalah murid-murid
dari dua orang yang berkelahi mati-matian nampak begitu akur!
"Bagaimana kalau gurumu nanti kalah dan mati, Thian, Lee?" tanya Bu Lee Cin.
''Hemm, aku akan pergi merantau dan hidup sebatang kara di kolong langit ini."
"Kau sudah tidak mempunyai ayah ibu dan saudara?"
"Tidak sama sekali, hanya seorang diri sebatang kara."
"Sama saja. Aku pun demikian. Hanya ada Subo disampingku."
"Hemm, bagaimana kalau, subomu yang kalah dan tewas?"
"Aku pun akan merantau' seorang diri. Aih, alangkah senangnya kalau kita dapat pergi merantau berdua, Thian Lee!"
"Ya, senang sekali. Hemm, bagaimana mungkin" Engkau murid subomu dan aku murid suhuku."' "Engkau tidak menyesal Walau suhumu kalah dan tewas?"
"Apa
yang disesalkan" Suhu tadi juga hampir membunuhku. Kalau dia kalah dan
tewas,adalah
kesalahannya sendiri mengapa dia sampai kalah. Bagaimana kalau subomu yang tewas"
Apakah engkau tidak menyesal?"
"Tentu
saja. Aku akan Belajar lebih' tekun dan kelak membalas kematian suboku."
Terdengar suara melengking keras yang menghentikan percakapan mereka karena mereka kini memperhatikan lagi jalannya pertandingan yang terlalu cepat bagi mereka. Kadang mereka tidak dapat membedakan mana guru masing-masing kalau kedua orang itu bergerak
cepat.
Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan bentakan nyaring, "Kena....!
" Dari ujung tongkatnya
" Dari ujung tongkatnya
benar saja
telah berhasil menotok pundak lawan. Ang-tok Mo-li menjerit dan tangan kirinya bergerak,
tiba-tiba ular merahnya meloncat dan seperti terbang meluncur ke depan,
tahu-tahu
sudah
menempel di lengan Jeng-ciang-kwi dan menggigit sekali, lalu mencelat lagi
kembali ke tangan
Ang-tok Mo-li.
Ang-tok Mo-li terhuyung ke belakang dan rnuntah darah,, sebaliknya Jeng-ciang-kwi juga terhuyung lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya rnengerah-kan sin-kang untuk melawan racun ular yang telah menggigit lengannya. Ang-tok Mo-li juga ambruk dan bersila.
Ang-tok Mo-li terhuyung ke belakang dan rnuntah darah,, sebaliknya Jeng-ciang-kwi juga terhuyung lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya rnengerah-kan sin-kang untuk melawan racun ular yang telah menggigit lengannya. Ang-tok Mo-li juga ambruk dan bersila.
Ke-dua orang
itu sama-sama telah terluka parah, entah siapa yang lebih parah. Ang-tok Mo-li yang
tertotok pundaknya ataukah jeng-ciang-kwi yang tergigit ular merah. Ang-hwa-coa memang
mempunyai racun yang hebat sekali dan orang yang terkena gigitannya akan sukar
mendapat-kan
obatnya. Ang-tok Mo-li juga terkena totokan di pundaknya yang membuatnya terluka
hebat di sebelah dalam dadanya.
Jeng-ciang-kwi
cepat menotok siku dan pangkal lengannya untuk menghenti-kan jalan darahnya
agar racun tidak menjalar naik, akan tetapi dia menderita nyeri yang bukan
main.
Lengannya
seper-ti dibakar.
Thian Lee
lari menghampiri gurunya, lalu memapahnya untuk diajak pergi dari situ, untuk kembali ke
rumah di puncak Kwi-san. Dan Lee Cin juga memapah gurunya, diajak pergi meninggalkan
tempat itu.
Kedua orang yang sudah terluka itu menurut saja dipapah muridnya
Kedua orang yang sudah terluka itu menurut saja dipapah muridnya
ka-rena
mereka khawatir kalau tidak cepat pergi dan lawan dapat menyerang selagi mereka terluka,
tentu mereka tidak akan dapat melawan lagi.
Thian Lee memapah gurunya yang bersandar kepadanya dan berjalan terta-tih-tatih. "Jangan...jangan bawa aku pu-lang.... bawa ke sana, ke barat, ke hutan itu."
"Akan
tetapi, Suhu, kenapa tidak pulang dan mau apa ke hutan itu?" tanya Thian
Lee heran.
"Aku
mendengar dari para suhengrrtu bahwa di sana terdapat seorang tabib sedang mengumpulkan
daun-daun dan akar obat. Mungkin dia akan dapat menolong dan mengobatiku."
"Baik, Suhu." Thian Lee lalu menuju ke hutan dan suhunya tetap
berpegang pada pundaknya dan
melangkah perlahan-lahan menahan nyeri.
"Thian
Lee...." "Ya, Suhu?"
"Kenapa
engkau mau menolongku" Aku hampir saja membunuhmu, membiar-kanmu menjadi mangsa
harimau." "Teecu telah bersalah mencuri baca kitab dan Suhu telah
menghukum teecu, itu sudah
sepantasnya.
Kini Suhu terluka dan teecu menolong Suhu, juga sudah sepatutnya."
"Thian Lee, engkau anak yang baik, terlalu baik. Kelak kebaikanmu malah akan menyusahkan dirimu sendiri."
Akan tetapi Thian Lee sudah tidak mau mem-j pedulikan lagi kepada suhunya dan me-langkah terus memasuki hutan.
Tak lama kemudian benar saja dia
melihat
seorang yang berpakaian longgar sedang mencari daun-daun di antara semak
belukar.
"Locianpwe....!"
Thian Lee memanggil! dan orang itu menengok, melihat anak yang memapah
seorang kakek bongkok kurus.
"Eh,
.siapakah engkau, Nak" Ada urusan apa mencari dan memanggil pinto?"
Kiranya orang itu seorang tosu, maka Thian Lee cepat memberi hormat. "To-tiang, kami datang mencari Totiang untuk memohon pertolongan Totiang."
"Pertolongan apa yang dapat pinto berikan?"
Kini
Jeng-ciang-kwi yang berkata,
"Sobat, aku mohon pertolonganmu untuk mengobati aku. Seekor ular menggigit lenganku dan nyerinya bukan kepalang.
Ular itu tentu berbisa sekali."
Tosu itu kelihatan kaget mendengar iifgK dan cepat dia menghampiri Jeng-ciang-kwi. Dia menyuruh kakek itu duduk, kemudian diperiksanya luka di lengan itu. Ketika dia melihat
denyut
nadinya, tahulah dia bahwa jalan darah telah dihentikan di bagian siku dan
pangkal lengan.
"Untung jalan darahmu dihentikan, kalau tidak tentu sudah menjalar ke
atas. Akan tetapi,
racun ini
hebat bukan main. Seperti apakah bentuk dan warna ular itu?"'
"Ularnya berwafna reerah, sebesar jari dan panjangnya setengah meter." kata Jeng-cian-kwi.
"Siancai....!
Sudah kuduga. Tentu ular itu Ang-hwa-coa yang racunnya luar biasa sekali hebatnya!
Akan tetapi agak-nya Thian belum menghendaki engkau tewas maka engkau bertemu
dengan pin-to.
Sungguh kebetulan sekali baru kema-rin ini pinto menemukan buah
Sungguh kebetulan sekali baru kema-rin ini pinto menemukan buah
Coa-cu
(Mestika Ular) yang dapat memunahkan racun Ang-hwa-coa.
Padahal buah seperti ini amat langka. Agaknya Thian mem-benkan kepada pinto justeru untuk me-nolongmu, sobat.
Padahal buah seperti ini amat langka. Agaknya Thian mem-benkan kepada pinto justeru untuk me-nolongmu, sobat.
Nah, kaumakanlah buah iru, rasanya pahit dan getir dan merupakan obat mujarab untuk menolong nyawamu.
Dengan penuh semangat Jeng-ciane-kwi menerima dan makan buah sebesar kepalan tangan itu. Rasanya amat pahit dan getir, akan tetapi sambil memejamkan matanya dimakannya
semua buah
itu sampai habis dan terasa perutnya panas.
.sekarang
pinto harus melukai lenean yang tergigit untuk mengeluarkan darah yang sudah keracunan,"
kata tabib itu dan dia mengeluarkan sebilah pisau motong daun yang tajam lalu ditorehnya
luka di lengan yang tergigit ular itu, selebar dua senti sampai mengenai
urat-nya.
Lalu dia
mengurut-urut lengan itu dan darah bercucuran dari lukanya. Da-rah yang menghitam!
Setelah beberapa saat lamanya, dia berkata, "Nah, sekarang sudah selamat,
engkau boleh mengalirkan
darahmu kem-bali ke lengan yang terluka," katanya sambil membubuhkan obat bubuk ke
atas luka itu yang sebentar saja mengering. Jeng-ciang-kwi lalu menggunakan
jari
tangan kiri
untuk membebaskan totokan iengan kanannya sehingga darahnya ber- , jalan lancar
kembaii. Rasa panas di pe-rutnya makin lama makin menghilang dan dia tidak merasakan
nyeri lagi pada lengannya.
Setelah
menggerak-gerakkan lengannya yang sudah pulih kembali kekuatannya, Jeng-ciang-kwi
memandang kepada tosu itu. Tosu itu pun memandang kepadanya dan berkata,
"Siancai,engkau
memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi masih saja dapat dikalahkan musuh.
Entah
sam-pai bagaimana hebatnya kepandaian mu-suhmu itu."
"Siapa
kalah" Aku tidak kalah!" bentak Jeng-ciang-kwi. "Engkau yang
me-ngira bahwa aku dikalahkan
orang harus kubunuh agar jangan menyebar berita bohong itu!" Berkata
demikian,
Jeng-ciang-kwi
sudah mengangkat tangan untuk menyerang tabib itu.
Melihat ini,
Thian Lee menjadi pena-saran sekali. Dia meloncat ke depan gurunya untuk menghalangi
gurunya me-nyerang tabib itu dan berteriak, "Suhu , tidak boleh berbuat
seperti itu!"
"Heh, engkau berani menghalangi ke-hendakku?"
"Tentu
saja teecu berani karena Su-hu memang bertindak salah besar. To-tiang ini telah menyelamatkan
nyawa Suhu, sepatutnya Suhu bersukur dan ber-terima kasih kepadanya,bukan malah
hendak membunuhnya!"
"Kalau
engkau beram menghalangi, aku tidak segan untuk membunuhmu pula!" bentak
Jeng-ciang-kw
marah. "Setelah teecu bersusah payah menolong Suhu dan mencarikan tabib,
Suhu malah hendak membunuhnya.
Me-mang kami berdua tidak dapat melawan Suhu, akan tetapi kalau Suhu membunuh
kami, maka kami akan mati penasaran dan roh kami akan selalu mengutuk dan mengejar
Suhu!" bantah Thian Lee dengan sikap menantang, sama sekali tidak takut,
Anehnya, kini Jeng-ciang-kwi yang merasa ngeri. Dia tidak takut melawan manusia yang mana pun, akan tetapi kalau benar nanti roh kedua orang itu akan selalu mengutuk
dan mengganggunya, bagaimana dia akan dapat melawan roh yang penasaran"
"Huh, aku tidak sudi itiempunyai mu-rid sepertimu lagi. Pergilah kalian!"
Mendadak dia mengamuk, kedua tangannya memukul dari jarak jauh ke arah Thian Lee dan tabib itu. Kedua
orang ini
ter-jengkang karena dilanda hawa pukulan yang amat dahsyat, bahkan Thian Lee yang berdiri
di depan, langsung pingsan sedangkan tosu itu muntah darah.
"Ha-ha-ha,
kalian tidak perlu rnenjadi setan penasaran, kubiarkan hidup agar lain kali aku dapat
memukul kalian lagi kalau berjumpa!" kata Jeng-ciang-kwi dan dia pun lalu
pergi berkelebat
dari situ.
Thian Lee siuman ketika rnerasa ke-pala dan mukanya diguyur air dingin. Kiranya dia sudah berada di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih sekali dan tosu tabib itu sudah duduk di dekatnya, sedangkan dia rebah telentang di iatas rumput.
Thian Lee siuman ketika rnerasa ke-pala dan mukanya diguyur air dingin. Kiranya dia sudah berada di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih sekali dan tosu tabib itu sudah duduk di dekatnya, sedangkan dia rebah telentang di iatas rumput.
Thian Lee
hendak bangkit duduk, akan tetapi dia merasa dadanya sesak dan rebah kembali.
"Jangan
bangkit dulu, rebah sajalah. Engkau menderita luka dalam yang cukup
parah."
Thlan Lee
teringat akan perbuatan Jeng-ciang-kwi yang tadi memukul me-reka dari jarak jauh.
"Dan Totiang sendiri...."
Bukankah tadi juga terpukul....?"
Bukankah tadi juga terpukul....?"
"Pinto sudah menelan obat, luka pinto sydah hampir sembuh. Tinggal engkau yang harus menelan obat ini untuk me-nyembuhkan luka dalam di dadarnu.
Nah, lima butir pel ini telanlah dan minumlah dengan air ini." Tosu itu memasukkan lima pel ke dalam mulut Thian Lee lalu memberinya minum air dari daun yang lebar. Setelah menelan lima butir pel itu,Thian Lee merasa dadanya hangat dan rasa nyeri banyak berkurang. Dia lalu bangkit duduk
dan memberi
hormat kepada tabib itu.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Totiang."
"Tidak
ada tolong menolong, tidak perlu berterima kasih. Perbuatan yang dianggap pertolongan,
bukanlah perbuatan baik lagi. Perbuatan yang mengandung pamrih adalah
perbuatan
palsu dan buruk sekali."
Mereka duduk di tepi anak sungai.
Agaknya tosu itu membawa Thian Lee ke anak sungai.
Pemandangan
di situ indah sekali, dan udaranya sejuk. Suara air gemercik itu sungguh mendatangkan
rasa tenang dan tenteram.
"Kalau
begitu, apa yang dinamakan kebaikan itu, Totiang?" tanya Thian Lee
tertarik. Kalau perbuatan
baik dianggap pertolongan bukan perbuatan baik lagi, lalu yang disebut kebaikan
itu yang
bagaimana" "Orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa dia
melakukan kebaikan, maka dia terjerumus
ke dalam kepalsuan dan timbullah pamrih dalam batinnya untuk mendapatkan imbalan dari
perbuatannya itu.
Kalau ada perbuatan yang disebut baik, maka hal ini akan mendorong orang untuk menjadi munafik, untuk berbuat yang baik-baik dengan menyembunyikan pamrih untuk kesenangan' diri pribadi.
Mungkin pamrih itu berupa keinginan
Kalau ada perbuatan yang disebut baik, maka hal ini akan mendorong orang untuk menjadi munafik, untuk berbuat yang baik-baik dengan menyembunyikan pamrih untuk kesenangan' diri pribadi.
Mungkin pamrih itu berupa keinginan
agar
dianggap atau disebut baik oleh orang lain, keinginan untuk mendapatkan imbalan
jasa
dari yang
ditolongnya, atau bahkan keinginari untuk mendapatkan berkah atau pahala cari Tuhan karena
perbuatan baik kita.
Semua keinginan itu, adalah pamrih yang tersembunyi dan apa pun macamnya pamrih itu, tiada lain hanya demi kesenangan diri pribadi. Jadi
Semua keinginan itu, adalah pamrih yang tersembunyi dan apa pun macamnya pamrih itu, tiada lain hanya demi kesenangan diri pribadi. Jadi
perbuatannya
itu hanya merupakan cara untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Bukankah perbuatan begini palsu adanya dan munafik?"
Bukankah perbuatan begini palsu adanya dan munafik?"
"Kalau
begitu perbuatan yang baik itu bagaimana, Totiang?"
"Tidak
ada perbuatan baik bagi si pelaku bijaksana. Yang ada hanyalah per-buatan yang
benar dan ini
dianggapnya sebagai suatu kewajiban dalam hidup. Hidup haruslah ada kasih
sayang
di anta-ra
manusia dan dari kasih sayang inilah timbul perasaan iba yang mendorong kita berbuat
benar dan membantu siapa yang berada dalam kesukaran. Perbuatan yang didorong
oleh kasih
ini sama sekali tidak berpamrih, bahkan si pelaku tidak menya-dari bahwa perbuatannya
itu baik atau ti-dak. Dia hanya yakin bahwa apa yang dilakukannya itu adalah
benar karena
menurutkan dorongan kasih sayang antara manusia."
"Kakau begitu, kita tidak perlu mem-balas kebaikan orang kepada kita, Totiang?"
"Hutang budi sama saja dengan hutang dendam. Keduanya menuntut balasan.
Balas budi atau balas dendam. Ini dapat terjadi pada hati yang tidak me-ngenal kasih sayang. Bagi orang yang
mengenal
kasih sayang, tidak ada me-lepas budi atau hutang budi, tidak ada melepas
hutang yang
menimbulkan den-dam dan tidak ada pula dendam."
"Akan tetapi, Totiang, bagaimana mungkin kita hidup terbebas dari budi dan dendam?"
"Terserah
kepada pribadi masing-ma-sing akan membiarkan dirinya terbebas ataukah tidak.
Akan tetapi
siapo masih terbelenggu budi dan dendam, pastilah dia akan mengalami duka
sengsara.
Kedua perasaan itu, budi dan dendam, adalah racun yang menggelapkan mata
hati."
"Mengapa
begitu, Totiang?"
"Contohnya.
Orang yang berhutang budi pada seseorang dan ingin membalas budi itu, tentu menganggap
orang yang dihutangi budi itu seorang yang benar dan baik walaupun semua
orang
meng-anggap dia seorang yang jahat.
Sebaliknya, orang yang mendendam kepada seseorang dan ingin membalas dendam itu, tentu menganggap orang yang hutang den-dam itu
Sebaliknya, orang yang mendendam kepada seseorang dan ingin membalas dendam itu, tentu menganggap orang yang hutang den-dam itu
seorang yang
salah dan jahat walaupun semua orang menganggap dla seorang yang budiman.
Sudahlah,
engkau masih terlalu muda untuk dapat mengerti semua itu. Siapakah namamu,Nak?"
"Nama saya Song Thian Lee, Totiang. Oan bolehkah saya mengetahul nama
Totiang?"
"Hemm, orang-orang menyebut pinto Kim-sim Yok-sian (Dewa Obat Berhati Emas), padahal pinto hanyalah seorang tukang obat biasa saja. Jadi engkau adalah murid orang tadi. Siapakah
dia
itu?" "Dia berjuluk Jeng-ciang-kwi, Totiang."
"Siancai....!
Kiranya datuk sesat itu. Pantas sikapnya seperti itu. Dan engkau muridnya"
Aneh,mengapa dia
malah hendak mebunuhmu" Dan mengapa eng-kau berbeda sekall dengan gurumu?"
"Saya belum lama menjadi muridnya dan ini pun karena dia memaksa saya, Totiang. Dia marah kepada saya karena saya mencuri baca kitab pelajaran silat miliknya, maka hendak membunuh saya."
Lalu Thian Lee menceritakan bagaimana dia digantung oleh gurunya itu akan tetapi ditolong oleh seorang anak perem-puan murid Ang-tok Mo-li. Kemudian betapa gurunya berkelahl dengan Ang-tok Mo-li dan tergigit ular merah.
"Saya belum lama menjadi muridnya dan ini pun karena dia memaksa saya, Totiang. Dia marah kepada saya karena saya mencuri baca kitab pelajaran silat miliknya, maka hendak membunuh saya."
Lalu Thian Lee menceritakan bagaimana dia digantung oleh gurunya itu akan tetapi ditolong oleh seorang anak perem-puan murid Ang-tok Mo-li. Kemudian betapa gurunya berkelahl dengan Ang-tok Mo-li dan tergigit ular merah.
"Dan
sekarang, setelah gurumu meninggalkanmu, engkau hendak ke mana" Sebaiknya
kalau
engkau
kembali kepada orang tuamu. Di mana mereka tinggal?"
"Totiang, kedua orang tuaku telah meninggal dunia. Saya hldup sebatang kara, tidak memiliki keluarga lagi, tidak memiliki tempat tinggal."
"Dan sekarang engkau hendak kemana" Sungguh kasihan, sekecil ini sudah hidup sebatang kara." "Saya tidak mempunyai tujuan tetap, Totiang. Saya akan pergi merantau ke mana kaki saya
membawa
saya, dan saya ingin belajar silat agar kelak tidak akan tertekan oleh orang
jahat,juga saya
akan mampu mempergunakan ilmu silat untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan,
menentang kejahatan!" kata Thian, Lee penuh semangat."
"Siancai....!" Tosu itu menjadi semakin heran mendengar niat seperti itu diucapkan oleh murid seorang datuk seperti Jeng-ciang-kwi. "Aku heran mendengar ucapanmu, Thian Lee.
"Siancai....!" Tosu itu menjadi semakin heran mendengar niat seperti itu diucapkan oleh murid seorang datuk seperti Jeng-ciang-kwi. "Aku heran mendengar ucapanmu, Thian Lee.
Coba kauceritakan riwayatmu."
Thian Lee
tidak ragu lagi untuk men-ceritakan riwayatnya kepada kakek yang sudah menyelamatkan
nyawanya itu.
Diceritakannya betapa ibunya tewas oleh orang-orang jahat dan dia melarikan diri agar jangan dibunuh pula. Betapa ayah-nya juga telah tewas ketika dia
Diceritakannya betapa ibunya tewas oleh orang-orang jahat dan dia melarikan diri agar jangan dibunuh pula. Betapa ayah-nya juga telah tewas ketika dia
masih kecil.
"Bagaimana ayahmu tewas dalam usia muda itu?" tanya Yok-sian
tertarik.
"Ayah
saya tewas dikeroyok pasukan pemerintah dengan tuduhan memberontak karena Ayah
berani
menghajar seorang pangeran yang memaksa seorang gadis dusun, demikian menurut cerita
mendiang Ibu."
Kemudian Thian Lee bercerita be-tapa dia bertemu Liok-te Lo-mo dan
Kemudian Thian Lee bercerita be-tapa dia bertemu Liok-te Lo-mo dan
menjadi
murid kakek itu selama dua tahun.
"Murid
Liok-te Lo-mo?" Tosu itU terbelalak. "Hebat, bagaimana seorang anak
seperti engkau menjadi
murid datuk-datuk yang sesat dan sakti" Lalu bagaimana" Lanjutkan
ceritamu." Yok-sian semakin
tertarik. Thian Lee lalu bercerita betapa dia diperebutkan antara Liok-te Lo-mo
dan Jeng-ciang-kwi dan akhirnya
perebutan itu dimenangkan oleh Jeng-ciang-kwi se-hingga dia dibawa kakek iblis itu
untuk menjadi muridnya sampai mereka ber-temu dengan Ang-tok Mo-li yang menolongnya
ketika dia digantung oleh Jeng-ciang-kwi.
"Demikianlah, Totiang. Guru saya yang ke dua itu memang lihai bukan main. Dia pernah mengajak saya untuk menga-caukan pemilihan bengcu dan tidak ada yang mampu menandinginya. Akan tetapi dia terluka keracunan ketika bertanding melawan Ang-tok Mo-li,walaupun dia juga melukai wanita itu.
Bagaimanapun juga, dia adalah guruku maka saya memapahnya untuk mencari Totiang dan minta agar Totiang suka mengobatinya. Sungguh tidak saya sangka dia sedemikian jahatnya, setelah disembuhkan Totiang berbalik malah hendak membunuh Totiang." Yok-sian menghela napas panjang. "Memang demikianlah sepak terjang para datuk sesat.
Sungguh
pengalamanmu hebat sekali, bertemu dengan mereka bah-kan dijadikan murid. Ahh,sedikit
banyak engkau tentu telah mempelajari ilmu silat mereka. Apakah engkau benar
ingin
belajar ilmu
silat, Thian Lee?"
"Benar, Totiang. Saya ingin belajar ilmu silat dengan sungguh-sungguh. Me-nurut pesan mendiang Ibu, saya harus menjadi seorang pendekar seperti juga mendiang ayahku. Kalau Totiang sudi menerima saya sebagai murid, saya akan berterima kasih sekali."
"Siancai....!
Aku hanya tukang obat! Akan tetapi pinto mempunyai seorang suheng.
Guru kami memang memiliki dua macam ilmu, yaitu ilmu silat dan Umu pengobatan dan beliau mengajarkan kepa-da kami sesuai dengan bakat karni.
Pinto berbakat dalam ilmu pengobatan
Guru kami memang memiliki dua macam ilmu, yaitu ilmu silat dan Umu pengobatan dan beliau mengajarkan kepa-da kami sesuai dengan bakat karni.
Pinto berbakat dalam ilmu pengobatan
maka Suhu
mengajarkan ilmu pengobatan, sebaliknya suheng pinto berbakat dalam ilmu silat dan dia
digembleng ilmu silat tinggi. Kalau engkau suka, pinto akan mengajakmu
menghadap Suheng,
mudah-mudahan dia mau menerimamu sebagai murid."
"Saya akan senang sekali, Totiang."
"Baiklah. Mulai sekarang engkau mem-bantuku mencari daun obat sambil melakukan perjalanan ke barat. Suhengku itu kini menjadi seorang pertapa di Peau-nungan Hlmalaya dan kita harus melaku-kan perjalanan jauh sekali untuk menca-pai tempat tinggalnya." "Saya akan melayani Totiang dengan baik dan saya sanggup melakukan perja-lanan jauh,"
kata Thian
Lee dengan gi-rang dan tosu itu lalu mengajak dia me-ninggalkan tempat itu.
Thian Lee
yang mengikuti Kim-sim Yok-sian merantau ke barat dan setelah lewat waktu hampir
setahun, barulah keduanya tiba di Pegunungan Himalaya! Akan tetapi perjalanan
itu merupakan
pengalaman yang amat berguna bagi Thian Lee.
Bukan saja membuka matanya
Bukan saja membuka matanya
melihat
keadaan hidupnya suku-suku bangsa di barat, akan tetapi juga setiap harinya dia membantu
Yok-sian yang se-ring kali berhenti di sebuah dusun yang dilanda wabah penyakit untuk
menolong orang. Dan sedikit demi sedikit dia men-dapat pula pengajaran pengobatan
dari Dewa
Obat itu, terutama sekali menge-nai pengobatan luka-luka dan penyakit biasa
yang sering kali
diderita manusia.
Suheng dari
Kim-sim Yok-sian adalah seorang biasa, bukan pendeta, seorang laki-laki berpakaian
siucai (sastrawan) berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan sikapnya
tenang penuh kesabaran. Dia tinggal di sebuah puncak di antara sekian banyak puncak-puncak
Pegunungan Himalaya, sebuah puncak yang tidak terlalu tinggi akan tetapi
hawanya
cukup dingin dan tempatnya sunyi. Dia memiliki sebuah pondok sederhana dengan kebun yang
luas.
Nama pendekar yang mengenakan jubah sastrawan ini adalah Tan Jeng Kun.
Nama pendekar yang mengenakan jubah sastrawan ini adalah Tan Jeng Kun.
Berbeda dengan sutenya, Kim-sim Yok-sian yang me nper-oleh nama julukan karena dia berkecim-pung di dunia kang-ouw, Tan Jeng Kun ini tidak dikenal orang kang-ouw karena semenjak muda dia mengasingkan diri dan bertapa seperti seorang yang sudah menjauhkan
diri dari
dunia ramai.
Ketika Yok-sian dan Thian Lee tiba di tempat itu, mereka melihat tuan ru-mah yang hidup menyendiri itu sedang memasak air di atas api unggun yang dibuatnya di halaman depan rumahnya.
Ketika melihat Yok-sian, orang itu ter-belalak gembira, lalu bangkit berdiri dan
Ketika Yok-sian dan Thian Lee tiba di tempat itu, mereka melihat tuan ru-mah yang hidup menyendiri itu sedang memasak air di atas api unggun yang dibuatnya di halaman depan rumahnya.
Ketika melihat Yok-sian, orang itu ter-belalak gembira, lalu bangkit berdiri dan
kedua kakak
beradik seperguruan ini lalu saling memberi hormat, kemudian saling
merangkul.
"Sute, angin apakah yang meniupmu sampai ke sini" Sudah sepuluh tahun berpisah, baru harl ini tiba-tiba engkau muncul, betapa senangnya hatiku'" kata Tan Jeng Kun sambil tertawa
"Sute, angin apakah yang meniupmu sampai ke sini" Sudah sepuluh tahun berpisah, baru harl ini tiba-tiba engkau muncul, betapa senangnya hatiku'" kata Tan Jeng Kun sambil tertawa
gembira.
"Suheng, setelah berpisah sepuluh tahun kini engkau kelihatan makin muda
dan gagah saja.
Agaknya selama ini eng-kau tidak menyia-nyiakan ilmumu dan berlatih terus!" jawab Yok-sian. Tan Jeng Kun menghela napas pan-jang mendengar ucapan sutenya itu. "Nah, itulah tidak
enaknya
belajar silat, Sute. Aku sekarang merasa menyesal sekali mengapa dulu aku tidak mempela-jari
saja llmu pengobatan seperti engkau. Sekali paham ilmu pengobatan, tidak usah berlatih
setiap hari. Berbeda dengan ilmu silat, kalau tidak dilatih larna-lama akan
lenyap atau berkurang
tingkatnya. Juga, ilmu silat hanyalah untuk memukul orang, sedangkan ilmu pengobatan
untuk menolong dan menyembuhkan orang.
Aih, Sute, engkau jauh lebih
Aih, Sute, engkau jauh lebih
beruntung
daripada aku. Eh, siapakah anak ini" Engkau" malah sudah mempunyai
seorang murid?"
"Anak ini bernama Song Thian Lee, seorang anak yatim piatu dan sebatang
kara yang
kebetulan
bertemu dengan pinto di jalan.
Sejak menjadi yatim piatu, berulang kali dia terjatuh ke tangan datuk sesat, bahkan pernah dipaksa men-jadi murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-
Sejak menjadi yatim piatu, berulang kali dia terjatuh ke tangan datuk sesat, bahkan pernah dipaksa men-jadi murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-
kwi! Akan
tetapi karena pada da-sarnya dia berjiwa baik maka dia tidak suka menjadi murid mereka."
Yok-sian lalu menceritakan sedikit riwayat Thian Lee kepada sutenya itu.
"Kalau
begitu engkau mendapatkan murid yang baik, Sute," kata Tan Jeng Kun!
"Tidak,
Suheng. Dia saya bawa ke sini agar menjadi muridmu. Anak ini kulihat memiliki dasar yang
luar biasa, maka sudah sepatutnya kalau menjadi murid-mu. Thian Lee, berilah hormat
kepada suhengku."
Thian Lee
segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada sastrawan itu. Akan tetapi
sastrawan itu memandang dengan alis berkerut.
"Menjadi muridku" Ah, Sute, untuk apa menjadi muridku" Aku tidak suka mengajarkan ilmu kepada orang lain yang kelak hanya akan dia pergunakan untuk melukai atau membunuh
orang saja.
Engkau tahu kenapa aku bersembunyi di tempat sunyi ini" Agar jangan
terpancing berkelahi
dengan orang. Tidak aku tidak suka mengajarkan silat kepada siapa pun!"......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment