Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Gelang Kemala
Jilid 03
"Suheng,
kenapa berkata demikian"
Semua ilmu ada manfaat masing-masing.
Baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakan ilmu itu. Bagai-mana andaikata ada orang
Semua ilmu ada manfaat masing-masing.
Baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakan ilmu itu. Bagai-mana andaikata ada orang
jahat
melaku-kan kejahatan kepada orang lain" Apa yang dapat kita lakukan kalau
kita lemah dan tidak
memiliki ilmu silat"
Dan bagaimana mungkin orang dapat membasmi kejahatan,
Dan bagaimana mungkin orang dapat membasmi kejahatan,
mempertahankan
kebenaran dan keadilan tanpa memiliki kekuatan untuk itu"'
"Hemmm,
bicara memang mudah, Sute. Lihat aku ini. Jauh sekali aku ber-sembunyi, tetap saja ada
orang-orang yang mencariku untuk mengajak bertanding! Kalau aku tidak
mempunyai
ilmu silat, tentu tidak ada orang akan mencari gara-gara mengajak berkelahi.
Tidak, Sute,
sekali lagi aku tidak mau meng-angkat murid."
"Tapi,
Suheng. Anak ini sudah kuajak ke sini, melakukan perjalanan yang nne-makan
waktu hampir satu
tahun!" "Itu adalah urusanmu sendiri, Sute. Aku tidak menyuruhmu.
Sudahlah, mari kita bicarakan urusan lain
saja. Akan halnya anak ini, biarlah dia menjadi muridmu saja. Kelak dia dapat mengamalkan
ilmunya itu untuk menolong banyak orang seperti yang telah kaulakukan."
Pada saat itu, terdengar teriakan lantang sekali dari luar rumah. Mereka cadi sudah memasuki rumah ketika Tan Jeng Kun menyambut kedatangan sutenya. Suara dari luar itu terdengar
nyaring
sekali, membuat pondok itu seolah tergetar.
"Tan
Jeng Kun, kalau engkau memang laki-laki keluarlah dan lawanlah aku!"
Tan Jeng Kun
menghela napas. "Nah,, kau lihat sendiri, Sute! Mereka adalah ,
orang-orang yang selalu
mencariku untuk mengajak adu ilmu. Kalau yang satu kalah muncul yang lain dengan dalih
menebus kekalahan saudara atau kawannya. Apakah ini tidak tolol" Apakah
aku di suruh
mengajarkan ilmu seperti ini ,kepada seorang murid agar kelak murid itu pun mengalami
hal seperti aku" Tidak, Sute!"
"Haiii,
Tan Jeng Kun, jangan sembu-nyi seperti perempuan! Keluarlah!" kem-bali
terdengar teriakan itu
dan Tan Jeng Kun melangkah keluar, diikuti oleh Kim-sim Yok-sian dan Thian Lee. Setelah
tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki berusia lima puluh ta-hun yang
tubuhnya
tinggi besar seperti raksasa dengan perut gendut sekali, mukanya hitam dan tubuhnya
nampak kokoh kuat seperti batu karang. Orang ini segalanya serba bundar dan besar,
kepala-nya, matanya, hidungnya, mulutnya dan telinganya, serba besar. Rambutnya
diikat ke
atas dengan semacam kain kuning dan bajunya berwarna biru. Di punggungnya terdapat
sebatang ruyung yang menggiriskan, besar dan berduri-duri.
Akan tetapi
sebelum Tan Jeng Kun menghampirinya, tiba-tiba dari belakang batang-batang pohon
bermunculan empat orang dan mereka ini segera mengepung Si Raksasa Hitam sambil
berteriak
marah, "Hek-bin Mo-ko (Setan Bermuka Hitam), engkau harus membayar hutang nyawamu
terhadap saudara kami!"
Raksasa yang
disebut Hek-bin Mo-Ko itu memandang dan memutar tubuhnya untuk memandangi
empat orang yang mengepungnya itu, lalu dia tertawa ber-gelak,
"Ha-ha-ha-ha,agaknya
kalian ini adalah empat orang dari Toat-beng Ngo-houw (Lima Harimau Pencabut
Nyawa)"
Ha-ha-ha, saudaramu mampus di tanganku karena dia berani menentangku.
Kalau kalian ingin sekali menyusulnya ke neraka, mari kalian boleh maju bersama!"
Kalau kalian ingin sekali menyusulnya ke neraka, mari kalian boleh maju bersama!"
Empat orang
itu sudah marah sekali. Mereka berempat mencabut golok masing-masing dan langsung
saja mereka maju mengeroyok dengan golok mereka.
Melihat ini, Thian Lee berseru pena-saran, "Pengecut, tidak adil sekali empat orang mengeroyok seorang!" Akan tetapi empat orang itu tidak peduli dan golok mereka sudah menyambar-nyambar men-cari korban.
Namun ternyata raksasa muka hitam itu lihai bukan main. Biar-pun tubuhnya tinggi besar dan perutnya gendut, namun dia dapat bergerak dengan gesit dan beberapa kali kakinya melangkah dan tubuhnya berkelebatan, empat batang golok yang menyambar itu luput semua.
Di lain saat dla telah mencabut ruyung dan terdengar suara berdesing ketika ruyung itu dia gerakkan dengan kekuatan dahsyat. Empat orang itu de-ngan
nekat
menyerbu dan ketika golok mereka bertemu ruyung, berturut-turut golok mereka terpentaJ
dan terdengar bentakan Si Raksasa Hitam empat kal! dan ruyungnya menyambar empat kali.
Nampak darah muncrat dan empat orang pengeroyok itu sudah terpelanting dan
Nampak darah muncrat dan empat orang pengeroyok itu sudah terpelanting dan
jatuh satu
demi satu dengan kepala pe-cah dan tewas seketika!
"Siancai....!"
Kim-sim Yok-sia.h ber-seru ngeri dengan wajah agak pucat dan suaranya gemetar.
Akan tetapi Thian Lee rtiemandang kagum. Bukan main ijaksasa itu. Empat orang pengeroyok yang demikian tangguhnya dibikin roboh dalam waktu beberapa " gebrakan saja!
Akan tetapi Thian Lee rtiemandang kagum. Bukan main ijaksasa itu. Empat orang pengeroyok yang demikian tangguhnya dibikin roboh dalam waktu beberapa " gebrakan saja!
" Dan
kini raksasa yang berjuluk Hek-bin Mo-ko itu memanggul ruyungnya menghadapi Tan Jeng Kun.
"Ha'-ha-ha, Tan Jeng Kun.
Engkau beruntung sekali, sebelum mampus telah ada yang mene-maninya, bahkar) sekaligus empat orang.
Hayo cepat ambil pedangmu dan lawan
"Ha'-ha-ha, Tan Jeng Kun.
Engkau beruntung sekali, sebelum mampus telah ada yang mene-maninya, bahkar) sekaligus empat orang.
Hayo cepat ambil pedangmu dan lawan
aku!"
"Hek-bin Mo-ko, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa hari
ini engkau mencari dan
menantangku berkelahi"
Dan engkau malah telah membikin kotor tempatku dengan pembu-nuhan ini! Engkau seharusnya malu!"
Dan engkau malah telah membikin kotor tempatku dengan pembu-nuhan ini! Engkau seharusnya malu!"
"Ha-ha-ha,
aku mendengar bahwa Tan Jeng Kun adalah seorang jagoan yang mengasingkan diri.
Lupakah engkau bah-wa tiga bulan yang laiu engkau telah mengalahkan seorang pengemis tua
di sini"
Dia adalah seorang sahabatku, se-telah mendengar bahwa sahabatku itu
Dia adalah seorang sahabatku, se-telah mendengar bahwa sahabatku itu
kalah
olehmu, aku merasa penasaran dan ingin mencoba kepandalanmu! Hayo lawan aku kalau engkau
bukan perempuan!"
Tan Jeng Kun
melangkah maju meng-hadapi raksasa itu dan menarik napas panjang beberapa kali.
"Sobat, pengemis tua itu datang tanpa sebab dan langsung saja menantangku
mengadu ilmu. Kalah
atau menang dalam adu ilmu sudahlah wajar, kertapa engkau merasa
penasaran?"
"Karena
seorang sahabat baikku telah kalah, tentu saja aku merasa penasaran dan hari
ini aku menantangmu
untuk mengadu ilmu. Hayolah, majulah, atau aku akan hancurkan kepalamu
dengan
ruyung ini!" Si Raksasa itu mengancam.
Kini pandang
mata Tan Jeng Kun mencorong marah. "Hemm, Hek-bin Mo-ko, tidak usah engkau
menantang. Baru perbuatanmu melakukan pembunuhan di pekaranganku ini saja sudah
merupakan suatu pelanggaran besar. Aku bukan saja menerima tantanganmu, bahkan
aku pun
harus memberi hajaran kepadamu aear engkau bertaubat."
"Ha-ha-ha, sombong benar engkau? . Jangan mengira bahwa setelah engkau mengalahkan sahabatku Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti), engkau akan mampu mengalahkan aku' Nah, cepat ambil pedangmu'"
"Seperti
ketika aku melawan tongkat Sin-ciang Mo-kai, aku pun bertangan kosong.
Maka aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mo-ko. Aku tidak bernafsu membunuh seperti engkau yang kejam!"
"Engkau sendiri yang mengatakan hendak bertangan kosong. Jangan menyesal kalau kepalamu sudah hancur oleh ruyungku!" bentak raksasa hitam itu dan dia pun mengeluarkan terlakan meleng-king, lalu menyerang dengan dahsyatnya, Thian Lee sendiri merasakan
Maka aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mo-ko. Aku tidak bernafsu membunuh seperti engkau yang kejam!"
"Engkau sendiri yang mengatakan hendak bertangan kosong. Jangan menyesal kalau kepalamu sudah hancur oleh ruyungku!" bentak raksasa hitam itu dan dia pun mengeluarkan terlakan meleng-king, lalu menyerang dengan dahsyatnya, Thian Lee sendiri merasakan
sambaran
angin yang telah
menghancurkan kepala empat orang itu.
Ruyung itu masih berlumuran darah dan kini menghantam ke arah kepala Tan Jeng Kun.
menghancurkan kepala empat orang itu.
Ruyung itu masih berlumuran darah dan kini menghantam ke arah kepala Tan Jeng Kun.
Akan tetapi,
suheng dari Kim-sim Yok-sian itu bersikap tenang saja. Ketika ruyung sudah menyambar
dekat, dla menundukkan kepala dan ruyung menyambar ke atas kepalanya.
Pada saat itu, dia sudah menggerakkan tangan meluncur ke depan, menotok ke arah siku kanan lawan. Hek-bin Mo-ko tekejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang sambil
Pada saat itu, dia sudah menggerakkan tangan meluncur ke depan, menotok ke arah siku kanan lawan. Hek-bin Mo-ko tekejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang sambil
menarik
lengan kanannya, kemudian me-mutar pergelangan tangan sehingga ruyungnya menyambar balik
ke arah dada lawan.
Tan Jeng Kun
miringkan tubuhnya dan dengan lengan kanan menangkis ruyung yang terpental
ketika bertemu lengan tangan siucai itu. Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran sekali dan dia
sudah memutar ruyungnya dengan hebat sekali sambil mengeluarkan bentakan-bentakan
menye-rang bertubi-tubi sambil berusaha mendesak lawan yang bertangan kosong.
Namun Tan Jeng Kun dapat bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sambaran ruyung dan tak pernah benda^ berat
itu
menyen-tuh tubuhnya.
Sebaliknya, totokan-totok-annya membuat Hek-bin Mo-ko sibuk sekali.
Dengan senjata berat itu, tentu saja gerakannya tidak dapat ringan dan cepat seperti lawannya sehingga dari mendesak, akhirnya dialah yang terdesak oleh lawan.
Setiap pukulan,totokan, dan tendangan lawan datangnya demikian cepat sehingga beberapa kali raksasa hitam
Sebaliknya, totokan-totok-annya membuat Hek-bin Mo-ko sibuk sekali.
Dengan senjata berat itu, tentu saja gerakannya tidak dapat ringan dan cepat seperti lawannya sehingga dari mendesak, akhirnya dialah yang terdesak oleh lawan.
Setiap pukulan,totokan, dan tendangan lawan datangnya demikian cepat sehingga beberapa kali raksasa hitam
itu terpaksa
melempar tubuh belakang dan berjungkir balik untuk
menghindarkan diri dari
menghindarkan diri dari
serangan
yang demikian cepatnya.
Setelah lewat iima puluh jurus, Hek-bin Mo-ko menjadi terdesak hebat dan tiba-tiba dia melompat ke belakang, kemudian dia mengerahkan tenaga ke arah kedua tangannya,menjatuhkan ru-yungnya dan menggunakan kedua tangan yang terisi tenaga sin-kang dahsyat untuk memukul lawan dari jarak jauh!
Meng-hadapi serangan ini, Tan Jeng Kun juga memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya ke depan. Inilah kesa-lahan Hek-bin Mo-ko.
Dalam mengadu kekuatan sin-kang, dia mempercepat ke-kalahannya karena
tingkat kekuatan
sin-kang lawannya masih lebih tinggi di atasnya. Begitu kedua tangan yang me-ngandung
sin-kang itu berseru, tubuh Hek-bin Mo-ko tergetar hebat dan tak lama kemudian dia
terpental ke belakang dan jatuh terjengkang!
Masih untung
bagi Hek-bin Mo-ko bahwa Tan Jeng Kun sania sekali tidak bermaksud untuk membunuhnya.
Maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan
mengalami
luka da-lam yang membuat dia muntah darah. Dia merasa bahwa dia tidak mampu melawan
lagi, maka dia mengambil ruyung-nya, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan
sepatah pun
kata, juga tanpa menoleh lagi kepada lawan.
Tan Jeng Kun
menghela napas pan-jang dan memandang empat mayat yang berserakan disitu.
"Nah, kaulihat seridiri apa yang kumaksudkan, Sute! Beginilah kalau orang
mempelajari ilmu silat.
Pertempuran dan kematian selalu membayanginya. Aku tidak ingin bocah ini kelak hanya akan mendatangkan musuh-musuh seperti yang kaulihat tadi."
Pertempuran dan kematian selalu membayanginya. Aku tidak ingin bocah ini kelak hanya akan mendatangkan musuh-musuh seperti yang kaulihat tadi."
"Akan tetapi, Locianpwe," tiba-tiba Thian Lee berkata dengan suara mem-bantah penasaran,"Kalau orang yang datang hendak menantang berkelahi dengan Locianpwe, itu bukan berarti
Lo-cianpwe
yang bersalah, melainkan kesa-lahan mereka sendiri. Untung Locianpwe memiliki
ilmu silat yang lihai, tidak demikian, tentu Locianpwe yang menggeletak mati seperti
mereka berem-pat. Ilmu silat ada gunanya untuk membela diri."
"Apa
yang dikatakan Thian Lee ada benarnya, Suheng," bujuk pula Kim-sim
Yok-sian.
"Justeru
dengan adanya para pendekar yang berkepandaian tinggi maka sepak terjang dan ulah
orang-orang sesat itu dapat dibendung. Bayangkan saja, Suheng, andaikata di
dunia
kang-ouw ini
tidak ada para pendekar, maka tentu orang-orang sesat akan semakin meraja-lela, dan
mereka melaksanakan hukum nmba seenak perutnya sendlri. Thian Lee bercita-cita
menjadi
pendekar untuk me-nentang mereka yang menggunakan ilmu silat untuk berbuat kejahatan.
Dengan demikian maka keadaan antara baik dan buruk dapat seimbang. Pinto kira keada-anmu tidak jauh bedanya dengan keadaan pinto. Pinto mempelajari ilmu pengobatan untuk menentang serangan penyakit terhadap manusia, dan Suheng mempelajari ilmu silat
Dengan demikian maka keadaan antara baik dan buruk dapat seimbang. Pinto kira keada-anmu tidak jauh bedanya dengan keadaan pinto. Pinto mempelajari ilmu pengobatan untuk menentang serangan penyakit terhadap manusia, dan Suheng mempelajari ilmu silat
untuk
menentang serangan orang jahat terhadap manusia pula. Apa bedanya"
Karena itu,Suheng, biarpun Suheng menyia-nyiakan ilmu silat dengan mengasingkan diri di sini, biarlah
Karena itu,Suheng, biarpun Suheng menyia-nyiakan ilmu silat dengan mengasingkan diri di sini, biarlah
Suheng
mempunyai murid yang kelak akan memanfaatkan ilmu silat untuk menentang kaum penjahat."
Tan Jeng Kun menghela napas lagi. Ucapan Thian Lee dan sutenya itu agak-nya
membuka
hatinya.
Dia lalu bekerja menggali lubang, dibantu oleh Thian Lee dan Kim-sim Yok-sian,dan menguburkan empat mayat itu dengan sepantasnya. Kemudian mereka memasuki rumah kembali. "Telah kupikirkan masak-masak ketika kita bekerja tadi," katanya kepada Thian Lee dan sutenya.
"Baiklah, aku dapat menerima Thian Lee sebagai muridku, akan tetapi hanya dengan syarat-syarat yang harus dia janji dengan sumpah untuk kelak dia penuhi."
Dia lalu bekerja menggali lubang, dibantu oleh Thian Lee dan Kim-sim Yok-sian,dan menguburkan empat mayat itu dengan sepantasnya. Kemudian mereka memasuki rumah kembali. "Telah kupikirkan masak-masak ketika kita bekerja tadi," katanya kepada Thian Lee dan sutenya.
"Baiklah, aku dapat menerima Thian Lee sebagai muridku, akan tetapi hanya dengan syarat-syarat yang harus dia janji dengan sumpah untuk kelak dia penuhi."
Kim-sim
Yok-sian gembira sekali mendengar ini dan dia berkata kepada Thian Lee,
"Thian Lee, cepat
memberi hormat kepada gurunnu dan katakan bahwa engkau siap menerima syarat
apa pun
darinya." Thian Lee lalu maju berlutut dan memben hormat kepada Tan Jeng
Kun. buhu, teecu akan
menaati
semua petunjuk Suhu dan berjanji akan melaksanakan semua syarat dari
Suhu."
"Bagus,
dan sekarang, disaksikan oleh susiokmu Kim-sim Yok-sian, ucapkan sumpahmu bahwa kelak
engkau tidak boleh menonjolkan ilmu silatmu, engkau harus berpura-pura tidak
mampu ilmu
silat, menyembunyikan ilmu silatmu agar tidak ada yang tahu bahwa engkau pandai
silat, dan hanya menggunakan ilmu silatmu dalam keadaan terpaksa saja untuk
menegakkan
kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."
Dengan suara
lantang Thian Lee mengucapkan sumpahnya, "Teecu bersum-pah bahwa kelak teecu tidak
menonjolkan. nmu silat dan menyembunyikan ilmu silat teecu dan hanya menggunakan
dalam keadaan terpaksa saja!"
"Bagus,
sekarang berl hormat kepada susiokmu!"
Thian Lee
lalu berlutut di depan Dewa Obat dan menyebut, "Susiok, terimalah hormat
teecu."
Kim-sim
Yok-sian menjadi girang sekali. "Aku pun akan tinggal di sini barang
setahun untuk memberi
pelajaran ilmu pengobatan kepadamu agar kelak dapat kaupergunakan demi keselamatan
orang-orang lain, Thian Lee," katanya.
Demikianlah, mulal harl itu, Thian Le menerima pelajaran ilmu silat dar Tan Jeng Kun dan ilmu pengobatan dari Kim-sim Yok-sian.
Selain llmu
sllat dan ilmu pengobatani Thian Lee juga memperdalam ilmu sastra dari kedua orang
gurunya itu, dan mulai membaca kitab-kitab kuno tentang seja-rah dan Agama To
dan Agama
Buddha, juga tentang pelajaran Nabi Khong-cu.
Dari Dewa Obat, dia menerima
Dari Dewa Obat, dia menerima
banyak
nasihat tentang kehidupan.
Hidup adalah
belajar, demikian antara lain kata Kim-sim Yok-sian. Siapa yang tidak mau belajar dari
kehidupan, dia orang yang bodoh. Dalam kehidupan se-hari-hari, kalau kita mau membuka ma ta, maka terdapat pelajaran tentang hidup dan pengalaman merupakan guru
terbaik.
Uhat di sekelilingmu dan engkau akan menemukan contoh-contoh yang jelas sekali.
Di samping
mempelajari semua itu setiap hari Thian Lee juga bekerja dengan rajin.
Mencuci,membersihkan pondok, mencari kayu bakar dan segala pe-kerjaan Jain untuk melayani kedua orang tua itu. Di waktu musim semi dan m" simpanas, dia mencangkul dan menanam sayur-
Mencuci,membersihkan pondok, mencari kayu bakar dan segala pe-kerjaan Jain untuk melayani kedua orang tua itu. Di waktu musim semi dan m" simpanas, dia mencangkul dan menanam sayur-
sayuran dan
segala macam tanaman yang dapat dimakan. Kalau tiba musim rontok dan musim salju, dia
pergi sampai Jauh untuk berburu dan memancing.
Pendeknya, Thian Lee rajin sekali
Pendeknya, Thian Lee rajin sekali
sehingga
kedua orang tua itu amat menyayangnya karena dalam pelajaran pun dia maju
pesat.
Terutama
dalam ilmu silat, Tan Jeng Kun percaya akan kebenaran sutenya bahwa Thian Lee adalah
seorang anak yang memiliki bakat yang hebat. Selama tiga tahun mempeiajari ilmu
silat, Thian
Lee telah matang dalam gerakan dasar dan, bahkan telah mempunyai sin-kang yang
lumayan.
Tubuhnya memang kuat, apalagi setiap hari dipakai bekerja keras maka dia
Tubuhnya memang kuat, apalagi setiap hari dipakai bekerja keras maka dia
telah
berhasil menghimpun tenaga yang kuat sekali.
Pada
suatu hari di musim rontok, Thian Lee pergi meninggalkan pondok untuk berburu binatang.
Usianya kini sudah lima belas tahun dan tubuhnya tinggi tegap. Biarpun usianya baru tingkat
remaja, namun wajahnya sudah tampak dewasa karena sejak kecil dia sudah
biasa
berdikari, bahkan dia bekerja untuk keperluan mereka bertiga. Dengan senjata
sebatang busur dan
beberapa batang anak panah, dia pergi berburu.
Akan tetapi sampai jauh
Akan tetapi sampai jauh
meninggalkan
pondok, dia belum bertemu binatang buruan seperti kelinci dan sebagainya.
Akhirnya
terpaksa dia mendaki puncak yang lebih tinggi. Padahal gurunya pernah menceritakan
bahwa puncak itu berbahaya dan kabarnya ada semacam binatang ajaib dipuncak itu
yang amat ganas sehingga tidak pernah ada orang yang berani naik ke puncakitu.
Menurut
penuturan Tan Jeng Kun, makhluk yang berada di puncak itu memang aneh, mirip manusia bagi
yang pernah melihatnya dari jauh, berjalan dengan kedua kaki belakang akan
tetapi
tubuhnya berbulu abu abu kecoklatan mirip biruang. Penduduk Tibet menyebutnya dengan Yeti
dan menganggapnya sebagai manusia salju yang dikeramatkan dan dianggap
sebagai dewa
yang berada di puncak-puncak yang tinggi.
Thian Lee
yang penah mendengar cerita itu tidak takut. Kenapa takut kalau dia tidak mempunyai
niat buruk " Dia hanya akan mencari binatang buruan untuk dimakan. Kalau benar ada
manusia salju, dia tidak akan mengganggunya. Biarpun musin salju belum tiba,namun di
puncak itu sudah tertutup oleh salju.
Bahkan di waktu musim panas sekalipun,puncak paling atas dari bukit itu sudah tertutup salju.
Bahkan di waktu musim panas sekalipun,puncak paling atas dari bukit itu sudah tertutup salju.
Sungguh sial
hari itu bagi Thian Lee.
Setelah masuk keluar hutan, belum juga dia menemukan binatang buruan. Dia mendaki terus sampai akhirnya dia tiba di bagian yang bersalju. Tiba-tiba dia berhenti dan bertiarap. Dia melihat beruang. Biarpun selama ini dia belum pernah mendapatkan beruang, dan kadang timbul rasa ngeri melihat besarnya binatang itu, akan
Setelah masuk keluar hutan, belum juga dia menemukan binatang buruan. Dia mendaki terus sampai akhirnya dia tiba di bagian yang bersalju. Tiba-tiba dia berhenti dan bertiarap. Dia melihat beruang. Biarpun selama ini dia belum pernah mendapatkan beruang, dan kadang timbul rasa ngeri melihat besarnya binatang itu, akan
tetapi
sekali ini dia bermaksud merobohkan seekor beruang yang tampak di depan itu.
Beruang itu
sedang mendekam diatas salju dan menghadapi sebuah lubang.
Ternyata di depan beruang itu kalau musin panas menjadi sebuah telaga kecil dan kini sudah tertutup salju
Ternyata di depan beruang itu kalau musin panas menjadi sebuah telaga kecil dan kini sudah tertutup salju
seluruhnya
dan beruang itu membuat lubang, agaknya untuk mencari ikan.
Kadang-kadang tangannya menyambar ke lubang dan seekor ikan dapat ditangkapnya. Dia sudah mendapatkan beberapa ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar diatas salju.
Kadang-kadang tangannya menyambar ke lubang dan seekor ikan dapat ditangkapnya. Dia sudah mendapatkan beberapa ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar diatas salju.
Thian Lee
memasang sebatang anak panah dan merayap mendekati. Setelah jaraknya cukup dekat,
tinggal belasan meter lagi dia lalu mementang busurnya dan melepaskan anak
panah
mengarah
dada binatang yang mendekam itu.
" Seeerrr ??.
Cappp ????. Panah itu tampaknya menancap di dada biruang itu dan binatang besar itu jatuh
terjengkang.
Bukan main girangnya hati Thian Lee dan dia lalu berlari-lari menghampiri biruang yang sudah menggeletak miring di atas salju itu.
Akan tetapi, Thian Lee terbelalak dengan kaget bukan main ketika dia sudah tiba dekat, biruang itu meloncat berdiri dan berhadapan dengan dia. Ternyata yang disangkanya biruang itu bukan biruang.
Makhluk itu tinggi sekali, dua kali
Bukan main girangnya hati Thian Lee dan dia lalu berlari-lari menghampiri biruang yang sudah menggeletak miring di atas salju itu.
Akan tetapi, Thian Lee terbelalak dengan kaget bukan main ketika dia sudah tiba dekat, biruang itu meloncat berdiri dan berhadapan dengan dia. Ternyata yang disangkanya biruang itu bukan biruang.
Makhluk itu tinggi sekali, dua kali
lebih tinggi
dari tubuhnya sendiri, dan mukanya seperti manusia, atau seperti kera, tubuhnya berbulu
kelabu kecoklatan, matanya berkedip-kedip dan anak panah tadi sama sekali tidak
menancap di
dadanya melainkan dijepit di bawah lengannya atau terjepit ketiak.
Kini makhluk itu mengambil anak panah tadi dan sekali jari-jarinya menekuk, anak panah itu patah menjadi dua dan dibuang ke atas lantai bersalju.
Kini makhluk itu mengambil anak panah tadi dan sekali jari-jarinya menekuk, anak panah itu patah menjadi dua dan dibuang ke atas lantai bersalju.
Saking
kagetnya Thian Lee sampai tidak dapat menggerakkan kedua kakinya.
Mulutnya lalu berkata gugup, ??Maafkan aku ?? maafkan aku karena aku tadinya mengira bahwa engkau adalah seekor biruang ????!
Mulutnya lalu berkata gugup, ??Maafkan aku ?? maafkan aku karena aku tadinya mengira bahwa engkau adalah seekor biruang ????!
Dia lalu
teringat bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang manusia, dan teringat dia akan cerita
gurunya tentang Yeti, Si
Manusia Salju. Dia dapat menduga bahwa cerita itu bukan dongeng belaka dan yang dihadapi kini tentulah Si Manusia Salju dalam dongeng itu. Dan Yeti itu agaknya mengerti apa yang dia katakana, mengeluarkan suara seperti gerengan dan matanya mengamati Thian Lee dari kepada sampai ke kaki.
Manusia Salju. Dia dapat menduga bahwa cerita itu bukan dongeng belaka dan yang dihadapi kini tentulah Si Manusia Salju dalam dongeng itu. Dan Yeti itu agaknya mengerti apa yang dia katakana, mengeluarkan suara seperti gerengan dan matanya mengamati Thian Lee dari kepada sampai ke kaki.
Thian Lee
berpikir bahwa kalau makhluk itu menyerangnya, akan berbahayalah baginya.
Makhluk
setinggi itu tentulah memiliki tenaga yang dahsyat. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya
hendak melarikan diri. Akan tetapi baru dua langkahdia pergi, tiba-tiba
tubuhnya
ditangkap
dari belakang dan sekali Yeti itu menariknya, diapun roboh terjengkang.
Celaka,
piker Thian Lee,. Binatang atau makhluk ini menyerangku dan benar saja
tenaganya luar biasa
sekali. Karena tidak ingin mati konyol tanpa melawan, Thian Lee lalu meloncat bangun
berdiri dan memasang kuda-kuda , siap menghadapi serangan makhluk itu.
Akan tetapi tetap saja dia menanti pesan gurunya, antara lain bahwa dia sama sekali tidak boleh menyerang lebih dahulu. Dia menanti sampai makhluk itu menyerangnya, dan siap menghadapinya dengan busur di tangan. Tidak ada lain senjata kecuali busur dari kayu itu,
Akan tetapi tetap saja dia menanti pesan gurunya, antara lain bahwa dia sama sekali tidak boleh menyerang lebih dahulu. Dia menanti sampai makhluk itu menyerangnya, dan siap menghadapinya dengan busur di tangan. Tidak ada lain senjata kecuali busur dari kayu itu,
dan
menghadapi lawan yang begini kuatnya dia memerlukan senjata.
Maafkan aku, aku tidak sengaja memanahmu, kukira biruang dan kami membutuhkan daging binatang buruan.
Maafkan aku !!!
Entah mengerti atau tidak makhluk itu, akan tetapi tiba-tiba saja kedua tangannya menubruk ke depan! Thian Lee menangkis dengan busurnya, akan tetapi sekali renggut, busur itu
terampas dan
dibuang jauh-jauh, kemudian kembali makhluk itu menubruk dan biarpun Thian
Lee sudah
mengelak cepat, tetap saja pinggangnya dapat dirangkul dan tubuhnya diangkat tinggi,
dipanggul dan dibawa lari cepat sekali.
Thian Lee
merasa ngeri. Makhluk itu lari mendaki puncak yang penuh salju. Kalau dia meronta atau
memukul sehingga makhluk itu roboh, tentu ia akan ikut pula terjatuh, padahal di kanan
kiri terdapat jurang menganga lebar! Dia pun diam saja, bahkan tidak berani bergerak,
membiarkan dirinya dibawa lari diatas pundak makhluk itu.
Akhirnya
makhluk itu tiba di depan sebuah gua di antara puncak bukit bersalju dan masuk
ke dalam gua.
Thian Lee lalu diturunkan dengan perlahan.
Jelas bahwa makhluk itu tidak berniat
Jelas bahwa makhluk itu tidak berniat
untuk
melukainya. Akan tetapi ketika tubuhnya berada di atas lantai yang berbatu, dia
terkejut sekali
karena didepannya terdapat kerangka manusia yang masih dusuk bersila.
Dia merasa
serem sekali. Kerangka itu masih utuh, dan mengapa ada kerangka tidak runtuh terlepas
melainkan masih dalam keadaan bersila seolah antara tulang-tulangnya terdapat sambungan
atau saling melekat" Juga tengkorak itu masih utuh, hanya giginya sudah
tidak
ada lagi,
mulut itu terbuka seolah tertawa.
Dia merasa ngeri akan tetapi juga menaruh hormat karena dapat menduga bahwa tentu kerangka ini milik seorang yang dahulunya sakti sekali.
Dia merasa ngeri akan tetapi juga menaruh hormat karena dapat menduga bahwa tentu kerangka ini milik seorang yang dahulunya sakti sekali.
Dan dia
melihat makhluk Yeti itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
kerangka itu.
Melihat ini, tiba-tiba timbul rasa hormat dalam hati Thian Lee terhadap kerangka itu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kerangka itu. Karena merasa dirinya terancam dan tak ada yang dapat menolongnya dari tangan Yeti itu maka dia timbul niatnya minta
Melihat ini, tiba-tiba timbul rasa hormat dalam hati Thian Lee terhadap kerangka itu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kerangka itu. Karena merasa dirinya terancam dan tak ada yang dapat menolongnya dari tangan Yeti itu maka dia timbul niatnya minta
tolong
kepada kerangka itu yang jelas dihormati makhluk itu.
Locianpwe,
mohon pertolongan locianpwe dan teecu suka menjadi murid locianpwe. Katanya sambil
membentur-benturkan dahinya ke atas lantai di depan kaki kerangka itu.
Dan
terjadilah keanehan. Ketika dia membenturkan dahinya sebanyak delapan kali
untuk menghormati
kerangka itu sebagai gurunya, mendadak lantai yang terbentur kepalanya itu
bergerak dan
runtuh ke bawah sehingga tubuhnya ikut pula terjatuh ke sebuah lubang.
Cepat Thian Lee mengerahkan tenaganya untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang dan untung dia telah memiliki tenaga singkang yang cukup sehingga dia tidak terbanting keras dan tidak
Cepat Thian Lee mengerahkan tenaganya untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang dan untung dia telah memiliki tenaga singkang yang cukup sehingga dia tidak terbanting keras dan tidak
terluka.
Ternyata disitu muncul lubang dan terdapat anak tangga turun ke bawah dimana terdapat
ruangan lain yang besar sama dengan besar gua diatas. Dan sambil mengeluarkan suara
menguik-nguik aneh makhluk itu pun menuruni tangga dan berdiri didekat Thian
Lee.
Kini Thian Lee merasa yakin bahwa makhluk itu tidak bermaksud jahat. Dia pun menoleh kepada makhluk itu dan bertanya ?? Saudara yang baik, apa artinya semua ini ??".
Makhluk itu
mengulurkan tangannya dan mendorong-dorong tubuh Thian Lee pada
punggungnya,
menyuruh pemuda remaja itu untuk maju. Thian Lee mengangkat muka memandang.
Ketika matanya sudah dapat menembus cuaca yang remeng-remang dalam ruangan
bawah gua itu dan dia melihat sebuah meja berdiri di sudut ruangan. Dan diatas
meja
itu terdapat
sebatang pedang dan dua buah kitab diatas meja. Jantungnya berdebar tegang.
Agaknya
makhluk itu mendorongnya kea rah meja agar dia mengambil pedang dan kitab-kitab itu.
Akan tetapi, sejak kecil Thian Lee sudah diajar sopan santun oleh ibunya dan
kemudian oleh
Tan Jeng Kun
dan Kim Sim Yok Sian dia pun diajar bagaimana menjadi seorang pemuda yang baik
dan bersusila. Maka dia pun tidak berani lancing mengambil benda-benda bukan miliknya
begitu saja dengan lancing.
Setelah berpikir sejenak, diapun menjatuhkan diri berlutut di depan meja itu untuk memberi hormat. Ketika berlutut itulah dia melihat tulisan
Setelah berpikir sejenak, diapun menjatuhkan diri berlutut di depan meja itu untuk memberi hormat. Ketika berlutut itulah dia melihat tulisan
kecil-kecil
terukir di lantai batu. Kalau dia tidak berlutut, tidak mungkin tulisan itu
dapat nampak dalam
keadaan berdiri. Dia lalu membacanya.
Aku
menerimamu menjadi murid.
Engkau boleh mengambil kitab dan pedang, akan tetapi lebih dahulu tekan tombol ini sebanyak sembilan kali.
Engkau boleh mengambil kitab dan pedang, akan tetapi lebih dahulu tekan tombol ini sebanyak sembilan kali.
Tulisan ini tidak menyebutkan siapa penulisnya dan dibawah tulisan itu terdapat sebuah tombol besi. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Thian Lee menekan tombol besi itu.
Ditekan
sekali tidak terjadi apa-apa. Dua kali, tiga kali, tetap tidak terjadi sesuatu.
Akan tetapi ketika tekanan sampai ke sembilan kalinya, terdengar suara keras dan dari meja itu meluncur banyak sekali paku dan jarum yang menyerang ke berbagai penjuru, lalu menancap pada
Akan tetapi ketika tekanan sampai ke sembilan kalinya, terdengar suara keras dan dari meja itu meluncur banyak sekali paku dan jarum yang menyerang ke berbagai penjuru, lalu menancap pada
dinding
batu.
Thian Lee terkejut dan ketika dia menengok, diapun melihat makhluk itu sudah pula berlutut seperti dia. Untung makhluk itu melakukan itu, kalau tidak tentu sudah menjadi korban senjata rahasia yang berhamburan tadi.
Thian Lee terkejut dan ketika dia menengok, diapun melihat makhluk itu sudah pula berlutut seperti dia. Untung makhluk itu melakukan itu, kalau tidak tentu sudah menjadi korban senjata rahasia yang berhamburan tadi.
Kini mengertilah Thian Lee. Hanya orang yang berlutur didepan meja itu yang akan dapat mengambil pedang dan kitab. Siapa yang lancing mengambilnya begitu saja, tak dapat dihinarkan lagi tentu akan tewas terkena senjata rahasia.
Dia bergidik ngeri kalau membayangkan itu. Untung dia selalu ingat nasehat-nasehat ibunya dan kedua orang gurunya yang terakhir.
Kalau menurutkan watak dua orang gurunya yang pertama, Liok te Lomo atau Jeng ciang kwi, tentu mereka itu akan langsungsaja mengambil pedang dan kitab. Setelah kembali memberi hormat untuk menghaturkan terima kasih, dia pun berkata,
"Locianpwe,
harap maafkan teecu kalau teecu berani lancing mengambil pedang dan dua buah kitab
itu". Barulah dia bangkit berdiri dan ternyata makhluk itu pun sudah
berdiri dibelakangnya.
Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang kegirangan atau tertawa yang
Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang kegirangan atau tertawa yang
aneh ketika
dia menjulurkan tangan mengambil sebuah kitab, lalu dibukanya kulit kitab itu.
Sebuah kitab yang kuno sekali dan di lembar pertama tertulis judulnya : THIAN-TE SIN-KANG (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan ketika dia membuka lembar berikutnya, ternyata banyak diantara huruf dalam kitab itu yang tidak diketahuinya.
Tanpa bantuan orang pandai,
agaknya akan
sulit sekali baginya mempelajari isi kitab itu. Kitab kedua diambil dan dibukanya,
ternyata merupakan kitab pelajaran ilmu pedang yang tertulis judulnya : JIT-GOAT
KIAM-SUT (Ilmu Pedang Matahari dan Bulan).
Seperti halnya dengan kitab pertama,
Seperti halnya dengan kitab pertama,
kitab kedua
inipun mengandung banyak huruf yang tidak diketahui, semacam huruf kuno.
Dia girang sekali dan dia lalu mengambil pedang itu. Dicabutnya pedang itu dari sarungnya dan segera dimasukkanya kembali saking kagetnya karena begitu dicabut, nampak sinar seperti
Dia girang sekali dan dia lalu mengambil pedang itu. Dicabutnya pedang itu dari sarungnya dan segera dimasukkanya kembali saking kagetnya karena begitu dicabut, nampak sinar seperti
kilat
menyambar. Dia mencabut lagi perlahan-lahan dan ternyata pedang itu mengkilat,berkilauan
padahal di ruangan itu hanya masuk sedikit saja sinar dari luar.
Dan dipangkal pedang itu terdapat ukiran huruf JIT-GOAT SIN=KIAM (Pedang Pusaka Matahari dan Bulan). Setelah melihat ketiga benda pusaka itu, Thian Lee kembali menjatuhkan diri berlutut kepada meja itu untuk menghaturkan terima kasihnya.
Dan dipangkal pedang itu terdapat ukiran huruf JIT-GOAT SIN=KIAM (Pedang Pusaka Matahari dan Bulan). Setelah melihat ketiga benda pusaka itu, Thian Lee kembali menjatuhkan diri berlutut kepada meja itu untuk menghaturkan terima kasihnya.
Kemudian dia
berkata kepada Yeti yang masih berdiri disampingnya, ??Saudara yang baik,semua ini
adalah atas kebaikan budimu yang membawa aku ke tempat ini, maka aku menghaturkan
terima kasih kepadamu?.
Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menjatuhkan diri berlutut kepadanya, memberi hormat seorang manusia memberi hormat kepada gurunya atau kepada majikannya. Thian Lee terkejut dan bingung sekali. Akan tetapi dia memegang kedua pundak Yeti itu dan membangunkannya.
Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menjatuhkan diri berlutut kepadanya, memberi hormat seorang manusia memberi hormat kepada gurunya atau kepada majikannya. Thian Lee terkejut dan bingung sekali. Akan tetapi dia memegang kedua pundak Yeti itu dan membangunkannya.
Saudara
tidak semestinya engkau berlutut kepadaku, akan tetapi akulah yang seharusnya berlutut
kepadamu?. Dia mengajak makhluk itu keluar, kemudian dia menjatuhkan diri
berlutut di depan kerangka,agak jauh di
luar lubang. Dan sungguh aneh sekali, begitu dia berlutut, agaknya terguncangketika
lubang itu runtuh, tiba-tiba saja kerangka itupun runtuh terlepas dan menjadi
setumpuk
tulang dan tengkoraknya jatuh diatas tumpukan tulang.!
Melihat makhluk itu kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan suara nguik-nguik
seperti
orang menangis kemudian dia memunguti tulan itu satu demi satu dengan hormat sekali dan
membawanya turun ke bawah.
Melihat ini Thian Liong tidak tinggal diam diapun memunguti sisa tulang dan tengkorak, dan membawanya masuk ke dalam ruangan di bawah gua. Mereka berdua menaruh tulang-tulang dan tengkorak itu diatas meja dimana kitab dan pedang tadi berada, kemudian setelah kembali memberi hormat, Thian Liong mengajak Yeti itu keluar.
Setiba di luar gua, diatas ruangan itu, Yeti lalu mengambil batu besar. Sungguh hebat sekali tenaga Yeti itu. Batu besar yang belum tentu dapat digerakkan oleh sepuluh orang itu dapat digulingkan oleh Yeti memasuki gua dan menutup lubang itu.
Melihat ini Thian Liong tidak tinggal diam diapun memunguti sisa tulang dan tengkorak, dan membawanya masuk ke dalam ruangan di bawah gua. Mereka berdua menaruh tulang-tulang dan tengkorak itu diatas meja dimana kitab dan pedang tadi berada, kemudian setelah kembali memberi hormat, Thian Liong mengajak Yeti itu keluar.
Setiba di luar gua, diatas ruangan itu, Yeti lalu mengambil batu besar. Sungguh hebat sekali tenaga Yeti itu. Batu besar yang belum tentu dapat digerakkan oleh sepuluh orang itu dapat digulingkan oleh Yeti memasuki gua dan menutup lubang itu.
"Saudara
yang baik, sekarang aku harus kembali ke rumah guruku. Mereka tentu akan cemas sekali
menanti aku pulang?.
Mendengar ini, Yeti itu lalu menjatuhkan diri lagi di depan kaki Thian Liong. Thian Liong merasa terharu. Kini dia mengerti mengapa makhluk itu begitu
menghormatinya. "Ah, saudaraku yang baik. Mendiang suhu tentu orang yang luar biasa bijaksananya sehingga
Mendengar ini, Yeti itu lalu menjatuhkan diri lagi di depan kaki Thian Liong. Thian Liong merasa terharu. Kini dia mengerti mengapa makhluk itu begitu
menghormatinya. "Ah, saudaraku yang baik. Mendiang suhu tentu orang yang luar biasa bijaksananya sehingga
engkau yang
menjadi temannya begitu setia kepadanya.
Tentu engkau menganggap akusebagai murid atau ahli warisnya maka engkau begitu menghormatiku, mengingat akan
Tentu engkau menganggap akusebagai murid atau ahli warisnya maka engkau begitu menghormatiku, mengingat akan
mendiang
suhu. Arwah suhu yang entah siapa namanya itu tentu akan tersenyum di alam baka melihat
kesetianmu. Engkau bukan manusia, akan tetapi jarang sekali ada manusia yang memiliki
kesetian seperti engkau.
Thian Liong lalu merangkul leher makhluk itu dengan kasih sayang sepenuh hatinya. Dia merasa sayang sekali kepada makhluk itu dan merasa terharu melihat kesetiaan yang demikian besarnya.
Thian Liong lalu merangkul leher makhluk itu dengan kasih sayang sepenuh hatinya. Dia merasa sayang sekali kepada makhluk itu dan merasa terharu melihat kesetiaan yang demikian besarnya.
Nah,
saudaraku, sekarang aku harus pergi. Atau maukah engkau ikut dengan aku"
Kedua orang guruku
tentu akan senang sekali menerimamu?.
Akan tetapi
makhluk itu sekali ini menggelengkan kepala dan duduk diatas batu besar seolah dia hendak
menjaga tempat itu selamanya. Thian Liong maklum akan hal ini karena telah
melihat
kesetiaan makhluk itu yang demikian luar biasa. Ketika Thian Liong hendak
pergi,tiba-tiba
makhluk itu melompat turun, memegang tangan Thian Liong dan diajaknya pergi
kesamping
gua. Disitu banyak tumbuh jamur yang belang-belang, dan makhluk itu lalu mencabut
beberapa batang jamur, lalu memakannya begitu saja dan dia menawarkan kepada Thian Liong
untuk ikut makan jamur itu.
Thian Liong
sudah mempelajari ilmu pengobatan, maka dia mencium jamur itu. Tidak ada tanda
beracun, akan tetapi dari baunya yang keras diatahu bahwa jamur itu mengandung
obat yang keras
sekali, entah untuk menyembuhkan penyakit apa, hal ini perlu diselidiki.akan
tetapi
karena dia melihat makhluk itu juga makan, untuk tidak membuat hati makhluk itu kecewa,
diapun makan sebatang jamur.
Eh, rasanya manis dan gurih. Karena perutnya memang lapar, dia lalu mencabut agak banyak dan makan dengan enaknya. Anehnya melihat
Eh, rasanya manis dan gurih. Karena perutnya memang lapar, dia lalu mencabut agak banyak dan makan dengan enaknya. Anehnya melihat
Thian Liong
makan banyak jamur, makhluk itu berjingkrak-jingkrak seperti merasa kegirangan
sekali. Perut Thian Liong menjadi kenyang setelah
menghabiskan banyak jamur.
menghabiskan banyak jamur.
Akan tetapi tiba-tiba ada rasa panas luar biasa pada perutnya. Ada hawa panas yang berputar fi perutnya. Dia merasa dadanya sesak, terhimpit hawa dari perut itu dan cepat dia meletakkan kitab dan pedang diatas lantai dan dia menekan perutnya yang rasanya hendak meledak.
Makhluk itu lalu membimbing tangannya dan kemudian makhluk itu bersila. Thian Lee maklum bahwa makhluk itu mgajarkan dia dusuk bersila, maka diapun duduk bersila lalu melatih pernapasan seperti kalau dia melatih ilmu menghimpun tenaga dalam dari gurunya,Tan Jeng Kun.
Dan perlahan-lahan dia dapat menguasai gejolak dalam perutnya itu, dapat
menguasai
hawa yang amat kuat dan yang hendak mecuat ke sana sini, kemudian menekan kebawah perut
untuk mengumpulkan hawa itu pada tan tian (titik empat cm dibawah pusar).
Akhirnya,
setelah duduk bersila selam tiga jam, dapat juga dia menenangkan hawa panas
yang amat kuat
itu ke dalam tan tian.
Akhirnya dia
dapat bangkit berdiri dan dia segera mencabut banyak jamur untk dibawa pulang.
Dibungkusnya jamur itu ke dalam bajunya dan dia sendiri bertelanjang baju
karena tubuhnya
masih terasa panas sekali yang timbul dari bawah perutnya. Kemudian dia
melambaikan
tangan kepada Yeti dan sekali ini Yeti balas melambaikan tangan.
"Sekali lagi terima kasih, saudara yang baik. Lain kali aku pasti akan dating menjengukmu kesini". Setelah berkata demikian, pergilah dia. Aneh sekali, ketika melangkah dia merasa tubuhnya
demikian
ringan seolah-olah tubuhnya terisi hawa yang membuat dia seperti hendak mengudara.
Setelah hari menjadi malam, akhirnya tibalah dia di pondok gurunya dan ternyata
dua orang
gurunya
telah menanti di depan pondok dengan wajah agak gelisah.
"Thian
Lee, kemana saja engkau seharian ini?", tegur Tan Jeng Kun, dengan suara
yang agek keren dia
merasa tidak senang muridnya telah membuat mereka berdua kawatir.
"Eh,
apa yang terjadi dengan dirimu, Thian Lee". Tanya Kim Sim Yok Sian yang
melihat muridnya itu
bertelanjang dada, membawa sesuatu yang dibuntal dengan pakaian, juga membawa dua buah
kitab dan sebatang pedang.
"Suhu
dan Susiok, teecu mengalami hal yang luar biasa sekali. Suhu dan Susiok mungkin tidak
percaya akan apa yang teecu alami di puncak dimana tinggal makhluk manusia
salju itu".
"Engkau kesana" Sudah kularang engkau kesana?" Tegur Tan Jeng Kun.
"Engkau kesana" Sudah kularang engkau kesana?" Tegur Tan Jeng Kun.
"Apa
yang telah terjadi" Cepat ceritakan. Mari kita semua masuk ke dalam"
kata Kim Sim Yok Sian
yang lebih sabar daripada gurunya.
Mereka semua
masuk dan Thian Lee meletakkan pedang dan dua buah kitab keatas meja, juga buntalan
pakaian yang terisi jamur ajaib.
Dengan jelas
dia menceritakan semua pengalamannya di puncak bukit itu, didengarkan oleh Tan Jeng Kun
dan Kim Sim Yok Sian dengan mata terbelalak saking herannya.
Setelah
Thian Lee selesai bercerita dengan jelasnya, dua orang itu segera sibuk
memeriksa.
Tan Jeng Kun
memeriksa pedang dan kitab, sedangkan Kim Sim Yok Sian memeriksa jamur belang dan
keduanya mengeluarkan seruan kaget dan juga gembira.
"Ya
Tuhan, engkau memang berjodoh menjadi ahli waris perguruan kami, Thian
Lee". Tan Jeng Kun
berseru girang setelah melihat pedang dan kedua buah kitab.
"Siancai
"! Jamur ini adalah jamur ular belang yang langka. Nampaknya tidak
beracun, akan tetapi
mengandung racun yang halus sekali. Dan engkau telah memakannya Thian
Lee".
"Benar,
Susiok. Teecu makan banyak sekali. Rasanya manis dan gurih. Makhluk manusia salju itu
yang menyuruhku makan dan teecu lalu mengalami gejolak hawa panas di perut teecu yang
menyiksa.
Akan tetapi manusia salju itu
mengajarkan agar teecu bersila dan lalu
Akan tetapi manusia salju itu
mengajarkan agar teecu bersila dan lalu
teecu melakukan
latihan seperti yang diajarkan Suhu dan akhirnya teecu dapat menyimpan hawa itu ke
dalam tan tian".
"Siancai "! Ini luar biasa sekali. Engkau telah memperoleh kekuatan yang luar biasa, Thian Lee. Untung sekali ada manusia salju yang mengajarimu.
Andaikata ketika engkau diserang
hawa panas
bergejolak itu engkau tidak berdiam diri menghimpun tenaga dalam, dan kau pakai untuk
lari atau
menggunakan tenaga, mungkin engkau telah roboh dan tewas kalau
menggunakan tenaga, mungkin engkau telah roboh dan tewas kalau
hawa itu
menyerang ke dalam kepalamu.
Sebaliknya, dengan menyimpannya ke dalam tantian, engkau akan memperoleh kemajuan pesat dalam hal tenaga sin kang". Kata Kim Sim Yok Sian setelah dia memegang pergelangan tangan pemuda remaja itu untuk memeriksa
Sebaliknya, dengan menyimpannya ke dalam tantian, engkau akan memperoleh kemajuan pesat dalam hal tenaga sin kang". Kata Kim Sim Yok Sian setelah dia memegang pergelangan tangan pemuda remaja itu untuk memeriksa
keadaan
kesehatannya.
Dan kitab itu. Sute, coba kau lihat kitab dan pedang ini. Kata Tan Jeng Kun kepada sutenya.
Dan kitab itu. Sute, coba kau lihat kitab dan pedang ini. Kata Tan Jeng Kun kepada sutenya.
Kim Sim Yok
Siam membuka-buka kitab itu. Wajahnya tampak tegang dan ketika dia mencabut
pedang Jit goat Sin kiam, matanya terbelalak.
"Siancai
". Bagaimana bisa terjadi suatu kebetulan seperti ini" Tentu sudah
dikehendaki olehThian.
Tahukah engkau siapa kerangka itu, Thian Lee".
"Teecu,
tidak tahu Susiok".
"Itu ..
adalah kerangka sucouwmu (buyut gurumu)!
"Ahhh"!"
Thian Lee berseru kaget sekali. Tentu saja dia sama sekali tidak menduga bahwa kerangka itu
adalah kerangka buyut gurunya! "Susiok dan Suhu, apa yang terjadi dengan sucouw",
"Su kong (kakek guru) kami berjuluk Thian te Seng jin (Orang Sakti Langit
Bumi), dan ketika
guru kami
masih hidup, sukong kami itu menghilang dari dunia kang ouw. Tidak ada seorang pun yang
mengetahui dimana sukong kami berada, bahwa suhu kami juga tidak mengetahui.
Dia dianggap
lenyap dari permukaan bumi. Siapa tahu, dia tidak berada jauh dari sini, bahkan berada di puncak
yang dianggap menjadi tempat tinggal manusia salju dimana tidak ada orang
berani datang. Dan lebih tidak terduga lagi, kiranya engkau yang menjadi ahli warisnya!
Dan betapa berbahayanya ketika engkau hendak mengambil kitab dan pedang itu.
Pinto yakin,setiap jarun dan paku itu mengandung racun yang akan mencabut nyawa siapa saja yang terkena olehnya.
Ini menunjukkan bahwa sudah ditakdirkan engkau yang berhak mempelajari ilmu baru yang ditinggalkannya itu dan memiliki pedang pusakanya".
berani datang. Dan lebih tidak terduga lagi, kiranya engkau yang menjadi ahli warisnya!
Dan betapa berbahayanya ketika engkau hendak mengambil kitab dan pedang itu.
Pinto yakin,setiap jarun dan paku itu mengandung racun yang akan mencabut nyawa siapa saja yang terkena olehnya.
Ini menunjukkan bahwa sudah ditakdirkan engkau yang berhak mempelajari ilmu baru yang ditinggalkannya itu dan memiliki pedang pusakanya".
"Akan
tetapi susiok. Bagaimana teecu dapat mempelajari kitab itu". Ketika teecu
memeriksanya,
terdapat banyak huruf yang tidak teecu kenal."
"Ha ha
ha, apa percuma saja gurumu seorang sastrawan" Memang tulisan itu memakai
huruf kuno, akan
tetapi suhumu tentu dapat membantumu. Dan lebih beruntung lagi, engkau juga
telah makan
jamur ular belang sehingga engkau akan mendapatkan kekuatan yang hebat. Dan masih ada
sebanyak ini.
Engkau harus memakannya sedikit demi sedikit agar tidak membahayakan kesehatanmu".
Engkau harus memakannya sedikit demi sedikit agar tidak membahayakan kesehatanmu".
"Suhu
dan Susiok, teecu telah makan banyak jamur. Maka biarlah jamur ini untuk suhu
dan susiok
saja". "Heh heh heh, pinto ini tukang mengobati, untuk apa jamur yang
mendatangkan tenaga sin-kang"
Tidak, pinto tidak
memerlukannya", kata si Tabib Dewa.
memerlukannya", kata si Tabib Dewa.
"Kalau begitu, biar dimakan oleh suhu". Kata Thian Lee.
Suhunya
mengerutkan keningnya, "Aku sudah tua, untuk apa segala macam obat
kuat"
Biarlah
engkau yang memakannya sampai habis, akan tetapi benar seperti kata susiokmu,harus dimakan
sedikit demi sedikit. Dan kitab pelajaran ilmu sin-kang Thian te Sin-kang ini tentu cocok
dengan orang yang memakan jamur itu sehingga engkau akan dapat menguasai
tenaga sakti
itu dengan baik. Tentang ilmu pedang Jit goat Kiam sut ini, dan isi kitab, jangan kawatir, aku
akan
menerangkan dan menjelaskan isi dan artinya.
Akan tetapi engkau harus
menerangkan dan menjelaskan isi dan artinya.
Akan tetapi engkau harus
berlatih
sendiri karena aku tidak berhak mempelajarinya, juga aku sudah tua, tidak ingin mempelajari
ilmu silat apapun lagi".
Demikianlah,
mulai hari itu, selain menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong dari
gurunya,
Thian Lee
mulai berlatih sin-kang dari kitab Thian te Sin kang dan mempelajari ilmu
pedang ari kitab
Jit goat Kiam sut, mempergunakan pedang Jit goat Sin Kiam. Memang pada dasarnya dia
memiliki bakat yang amat baik, darah bersih dan tulang yang kuat, apalagi
ditambah
khasiat luar biasa dari jamur ular belang, maka Thian Lee mendapat kemajuan
pesat sekali.
Kim Sim Yok Sian hanya tinggal setahun disitu, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk merantau dan melanjutkan tugasnya, yaitu melawan wabah penyakit dan mengobati orang-
Kim Sim Yok Sian hanya tinggal setahun disitu, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk merantau dan melanjutkan tugasnya, yaitu melawan wabah penyakit dan mengobati orang-
orang sakit.
Dalam waktu setahun itu, dia sudah mengajarkan ilmu pengobatan yang lumayan bagi Thian Lee.
Kita tinggalkan dulu Thian Lee yang dengan tekun digembleng oleh Tan Jeng Kun di sebuah puncak dari Pegunungan Himalaya dan marilah tengok keadaan " Tang Cin Lan dan ibunya,Lu Bwe Si. Hidup sebagai selir pangeran yang tercinta, Lu Bwe Si merasa cukup bahagia.
Demikian pula Cin Lan yang dengan sendirinya mendapat nama marga Tang, yaitu marga pangeran yang
Dalam waktu setahun itu, dia sudah mengajarkan ilmu pengobatan yang lumayan bagi Thian Lee.
Kita tinggalkan dulu Thian Lee yang dengan tekun digembleng oleh Tan Jeng Kun di sebuah puncak dari Pegunungan Himalaya dan marilah tengok keadaan " Tang Cin Lan dan ibunya,Lu Bwe Si. Hidup sebagai selir pangeran yang tercinta, Lu Bwe Si merasa cukup bahagia.
Demikian pula Cin Lan yang dengan sendirinya mendapat nama marga Tang, yaitu marga pangeran yang
menjadi
ayahnya, anak itu hidup serba kecukupan dan terhormat. Karena ibunya dan juga ayahnya,
memanggilkan guru-guru silat untuk puteri ini, maka Cin Lan menjadi seorang
gadis remaja yang
memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Dara ini yang kini telah berusia lima
Dara ini yang kini telah berusia lima
belas tahun
pan-dai menunggang kuda, menggunakan anak panah dan bersilat memainkan delapan
belas macam senjata dengan baik!
Memang Lu
Bwe Si yang diuruk ker mewahan dan kesenangan oleh suaminya, telah dapat melupakan
suaminya yang dahulu.
Akan tetapi, jika melihat puterinya yang memiliki mata dan mulut mirip ayah kandungnya, ia teringat kembali dan setiap kali teringat akan suaminya,
Akan tetapi, jika melihat puterinya yang memiliki mata dan mulut mirip ayah kandungnya, ia teringat kembali dan setiap kali teringat akan suaminya,
membayangkan kematian suaminya, ia merasa kasihan dan untuk menebus rasa
bersalahnya terhadap
suami itu, sedikitnya tiga bulan sekali Lu Bwe Si mengajak anaknya untuk bersembahyang
ke kuil terbesar, di kota raja yang dipimpin oleh Tiong Hwi Nikouw, karena
kuil itu
memang kuil wanita.
Di kuil inilah nyonya selir pangeran itu bersembahyang,menyembahyangi arwah mendiang Bu Cian suaminya yang pertama, atau ayah kandung Cin Lan.
Tentu saja Cin Lan tidak tahu bahwa ibunya menyembahyangi ayah kandungnya, karena ibunya tidak pernah bicara tentang ini. Juga kepada para nikouw, Lu Bwe Si berkata bahwa ia
Di kuil inilah nyonya selir pangeran itu bersembahyang,menyembahyangi arwah mendiang Bu Cian suaminya yang pertama, atau ayah kandung Cin Lan.
Tentu saja Cin Lan tidak tahu bahwa ibunya menyembahyangi ayah kandungnya, karena ibunya tidak pernah bicara tentang ini. Juga kepada para nikouw, Lu Bwe Si berkata bahwa ia
hendak
menyembahyangi orang tua dan para leluhurnya.
Setelah
berusia lima belas tahun, Ci Lan menjadi seorang gadis remaja yang cantik
jelita.
Apalagi
sebagai puteri pangeran, kesehatannya terawat sekali, pakaiannya serba indah,
maka ia nampak
makin menarik.
Setiap orang pria tentu akan menengok untuk memandang lagi kalau kebetulan melihat dara jelita inl.
Pada suatu pagi Cin Lan dan ibunya me-nunggang kereta pergi ke kuil. Ketika naik kereta, tidak ada orang yang dapat melihat mereka.
Akan tetapi ketika turun dari kereta hendak memasuki kuil banyak mata memandang dara semua
Setiap orang pria tentu akan menengok untuk memandang lagi kalau kebetulan melihat dara jelita inl.
Pada suatu pagi Cin Lan dan ibunya me-nunggang kereta pergi ke kuil. Ketika naik kereta, tidak ada orang yang dapat melihat mereka.
Akan tetapi ketika turun dari kereta hendak memasuki kuil banyak mata memandang dara semua
orang merasa
kagum bukan main. Dara remaja itu mengenakan pakaian serba merah muda,rambutnya
yang hitam pan-jang itu digelung seperti para puteri bangsawan,
melingkar-lingkar
tinggi di
atas kepala, dihias tusuk rambut dari emas permata. Anak rambut yang melingkar-lingkar di
dahi dan pelipis itu sungguh amat manis.
Anting-anting emas bermata Intan
Anting-anting emas bermata Intan
menghias
telinganya. Alisnya hitam kecil melengkung tanpa dicukur dan tan-pa ditambah penghitam
alis. Sepasang matanya amat tajam dan memandang berani, tidak malu-malu seperti mata
gadis kebanyakan, bahkan mata itu kadang mencorong. Hidungnya kecil
mancung, dan
di bawah hidungnya terdapat mulut yang menjadi bagian paling menari dari mukanya.
Bibirnya merah membasah tanpa gincu, dengan lekukan-lekukan manis di sekitar
mulut dan
kalau ia tersenyum nampak lesung pipit di pipi kirinya. Kulitnya demikian putih mulus.
Tubuhnya masih belum matang benar, masih agak kekanakan, akan tetapi sudah
Tubuhnya masih belum matang benar, masih agak kekanakan, akan tetapi sudah
kelihatan
betapa pinggangnya amat ramping dan lehernya juga panjang.
Pangeran Tang Gi Su sendiri merasa amat bangga kepada puteri ini karena kecantikannya dan kepandaiannya
Pangeran Tang Gi Su sendiri merasa amat bangga kepada puteri ini karena kecantikannya dan kepandaiannya
bersilat,
walaupun hanya puteri tiri.
Akan tetapi, karena Lu Bwe Si mem-bawa anak ketika untuk pertama kali ia dibawa masuk ke istana pangeran, tentu saja bukan merupakan rahasia lagi bahwa Cin Lan bukan puteri kandung Pangeran Tang Gi Su, melainkan anak tiri.
Dan hal ini tidak mungkin dapat ditutup-
tutupi Akan
tetapi sampai berusia lima belas tahun Cin Lan belum mendengar akan rahasia itu, dan
Sang Pangeran memperingatkan para pelayannya agar jangan membocorkan rahasia itu kepada
Cin Lan dengan ancaman hukuman berat, Bwe Si sendiri juga tidak ingin
membuka
rahasia itu kepada puterinya.
Akan tetapi ia menyuruh Bwe Si memakai gelang kemala yang menjadi tanda ikatan perjodohan puterinya dengan putera Song Tek Kwi sebagai apa yang dipesankan mendiang suaminya.
Akan tetapi ia tidak menceritakan hal itu kepada Cin Lan, hanya mengatakan bahwa Cin Lan harus menjaga baik-baik gelang kemala itu karena walaupun harganya tidak terlalu mahal bagi keluarga pangeran, namun gelang itu
Akan tetapi ia menyuruh Bwe Si memakai gelang kemala yang menjadi tanda ikatan perjodohan puterinya dengan putera Song Tek Kwi sebagai apa yang dipesankan mendiang suaminya.
Akan tetapi ia tidak menceritakan hal itu kepada Cin Lan, hanya mengatakan bahwa Cin Lan harus menjaga baik-baik gelang kemala itu karena walaupun harganya tidak terlalu mahal bagi keluarga pangeran, namun gelang itu
adalah
peninggalan ibunya.
"Ibuku
atau nenekku juga menerima gelang ini dari ibunya, maka gelang yang sudah
turun-temurun ini
harus kaujaga baik-baik dan dapat dijadikan jimat penolak bencana,"
demikian ia
memberitahu
anaknya dan Cin Lan selalu menjaga gelang yang melingkari lengan kirinya itu.
Ketika anak
dan ibu ini turun dari kereta, terdapat dua orang pengemls muda yang berada di depan kuil
dan mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga menyaksikan
kecan-tikan
gadis remaja itu dan mereka lalu berbisik-bisik.
Memang di halaman kuil itu biasanya terdapat beberapa orang pengemis yang mengharapkan sedekah dari para
Memang di halaman kuil itu biasanya terdapat beberapa orang pengemis yang mengharapkan sedekah dari para
pengunjung
kuil. Biasanya, orang-orang yang berkunjung ke kuil, suka lepas tangan dan murah hati
dalam membert sumbangan kepada para fakir miskin.
Demikianlah memang watak
Demikianlah memang watak
manusia.
Ketika memasuki kuil atau tempat pemujaan lainnya, manusia selalu meng-ajukan permohonan
kepada Tuhan atau kepada kekuasaan lain agar mencapai apa yang dikehendaki.
Dan untuk
memperkuat permohonan mereka itu, mereka suka "berbuat baik" dengan
memberi sedekah agar
permohonannya terkabul. Betapa palsunya perbuatan baik semacam ini.
Bukan berbuat baik namanya, melainkan menyalah-gunakan apa yang dinamakan perbuatan baik dengan menjadikannya sebagai cara untuk memperoleh apa yang diharapkan, seolah merupakan penyuapan atau penyogokan!
Demikianlah, keinginan untuk memperoleh sesuatu biasanya menggelapkan pikiran, meniadakan pertirnbangan, membuat orang buta terhadap yang benar dan yang salah, dan meng-gunakan segala daya upaya demi tercapainya apa yang diinginkan itu.
Kalau perlu, manusia tidak segan menghalalkan segala cara yang busuk demi memperoleh keinginannya itu.
Bukan berbuat baik namanya, melainkan menyalah-gunakan apa yang dinamakan perbuatan baik dengan menjadikannya sebagai cara untuk memperoleh apa yang diharapkan, seolah merupakan penyuapan atau penyogokan!
Demikianlah, keinginan untuk memperoleh sesuatu biasanya menggelapkan pikiran, meniadakan pertirnbangan, membuat orang buta terhadap yang benar dan yang salah, dan meng-gunakan segala daya upaya demi tercapainya apa yang diinginkan itu.
Kalau perlu, manusia tidak segan menghalalkan segala cara yang busuk demi memperoleh keinginannya itu.
Namun, kita sudah lupa akan kenyata-an ini dan kita pun terbawa oleh kebiasaan umum, yaitu suka menderma sehabis keluar dari tempat-tempat pemujaan dan dengan pemberian sedekah itu kita mera-sa diri bersih, suci dan baik hati!
Tanpa ;merasa kita sudah terseret ke dalam kebiasaan yang salah namun dibenarkan oleh umum ini. Dan para pengemis tahu akan hal ini,maka berderetlah mereka di tempat-tempat seperti itu, memancing ,ikan di air yang keruh atau lebih tepat mencari hasil selagi pikiran manusia dalam kekeruhan!
Lu Bwe Si bersembahyang dan Cin Lan Juga ikut, bersembahyang. Mereka merupakan tamu agung, karena me, jad! keluarga pangeran, maka dilayani sendiri oleh Tiong Hwi Nikouw,kepala nikouw di kuil itu.
Ini pun merupakan suatu kebiasaan yang sudah lajim. Mungkin sekali Tiong Hwi Nikouw bukan seorang yang mata duitan, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan bahwa tamu-tamu terhormat biasanya meninggalkan dermaan yang besar
jumlahnya
kepada kuil, maka mereka juga disambut dan dilayani secara istimewa"
Kembali contoh dan
kepalsuan manusia yang sudah menjadi kebiasaan!
Cin Lan bersembahyang untuk arwah leluhur ibunya, tidak tahu bahwa ia bersembahyang pula untuk arwah ayah kandungnya!
Setelah selesai sembahyang dan bercakap-cakap sebentar dengan Tione Hwi Nikouw, seorang nlkouw tua berusia enam puluh tahun yang masih
bertubuh
sehat dan kuat, minum air teh yane di suguhkan, Lu Bwe Si berpamit setelah memberi uang
sedekah kepada kuil itu bersama Cin Lan mereka melangkah keluar, diiringkan oleh Tiong
Hwi Nikouw.
Baru saja mereka menuruni anak tangga, mereka dihadang oleh tiga orang pengemis muda yang tersenyum-senyum menjulurkan tangan minta sedekah. Lu Bwe Si mengerutkan alisnya melihat sikap menyeringai rnereka dan ia pun memberi beberapa keping uang kepada mereka.
Baru saja mereka menuruni anak tangga, mereka dihadang oleh tiga orang pengemis muda yang tersenyum-senyum menjulurkan tangan minta sedekah. Lu Bwe Si mengerutkan alisnya melihat sikap menyeringai rnereka dan ia pun memberi beberapa keping uang kepada mereka.
Akan tetapi
tiga orang pengemis itu tidak mau pergi.
"Nona
belum memberi," kata mereka dan kini mereka menjulurkan tangan kepada CAn
Lan sambil
mendekati nona itu.
Cin Lan merasa tidak senang. "Pergi kalian! Bukankah Ibu sudah memberi kepada kalian?"bentaknya. Seorang di antara mereka berkata, "Aih, jangan galak-galak, Nona. Berilah kami sedikit
sedekah dari
tangan Nona yang indah itu."
"Kurang
ajar kalian! Tidak tahukah dengan siapa kalian berhadapan" Aku adalah
puteri Pangeran
Tang Gi Su!" bentak pula Cin Lan.
Akan tetapi
tiga orang pengemis it|U tertawa. "Dengar, kawan-kawan. la bilang puteribPangeran
Tang Gi Su! Ha-ha-ha, sungguh lucu.
Engkau hanya anak tirl pangeran itu, jangan berpura-pura menjual lagak, Nona!" Pengemis itu lalu tiba-tiba menangkap lengan kiri Cin Lan dan sebelum Cin Lan sempat mengelak dia sudah merenggut gelang kemala dari lengan kiri itu.
Gelang itu memang agak terlalu besar untuk lengan Cin Lan yang kecil, maka dengan mudah dapat dirampas, dan telah dimasukkan saku oleh pengemis muka bopeng itu.
Engkau hanya anak tirl pangeran itu, jangan berpura-pura menjual lagak, Nona!" Pengemis itu lalu tiba-tiba menangkap lengan kiri Cin Lan dan sebelum Cin Lan sempat mengelak dia sudah merenggut gelang kemala dari lengan kiri itu.
Gelang itu memang agak terlalu besar untuk lengan Cin Lan yang kecil, maka dengan mudah dapat dirampas, dan telah dimasukkan saku oleh pengemis muka bopeng itu.
"Jahanam,
kembalikan gelangku!" Cin Lan kini melompat dan memukul. Pengemis itu ternyata
dapat bersilat juga. Dia menangkis dan balas memukul.
Akan tetapi Cin Lan mengelak dan sekali kakinya mencuat, pengemis itu telah terten-dang perutnya dan jatuh
terjengkang.
Dua orang pengemis yang lain lalu mengeroyok. Mereka berani karena tahu
Akan tetapi Cin Lan mengelak dan sekali kakinya mencuat, pengemis itu telah terten-dang perutnya dan jatuh
terjengkang.
Dua orang pengemis yang lain lalu mengeroyok. Mereka berani karena tahu
bahwa gadis
itu bukanlah puteri pangeran, melainkan hanya anak tiri.
Akan tetapi Cin Lan mengamuk. la menggunakan semua ilmu silat yang selama ini la pelajari dan dalam beberapa
Akan tetapi Cin Lan mengamuk. la menggunakan semua ilmu silat yang selama ini la pelajari dan dalam beberapa
gebrakan
saja tiga orang pengemis itu telah menjadi bulan-bulan tamparan dan tendangan kakinya.
Tiga orang pengemis itu terkejut dan heran, akhirnya menjadi ketakutan dan
Tiga orang pengemis itu terkejut dan heran, akhirnya menjadi ketakutan dan
melarikan
diri sambll membawa gelang kemala. Cin Lan hendak mengejar, akan tetapi tiga orang
pengemis itu lari cerai-berai dan ibunya melarang ia mengejar.
"Sudahlah, jangan dikejar, Cm Lan, kata Lu Bwe Si dengan suara mengandung kegelisahan.
la gelisah
karena men-dengar perngemis itu tadi membuka ra-hasia anaknya.
"Benar, Siocia (Nona). Tidak perlu. ?iitanggapi pengemis-pengemis kurang ajar itu. Kalau mereka berani datang lagi ke sini akan pinni (aku) usir mereka," kata Tiong Hwi Nikouw.
"Marilah
kita pularrg, Cin Lan," kata ibunya sambil menggandeng tangan anaknya menghampiri
kereta. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Perlahan dulu!" Dan muncullah seorang pengemis berusia lima puluh tahunan. Orangnya pendek gendut dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Karena jelas bahwa dia menegur
Lu Bwe Si,
maka nyonya ini memandang dengan alis berkerut.
"Engkau
mau apa?" bentaknya.
"Ha-ha-ha,
perlahan dulu, Toanio. Tadi tiga orang muridku telah dihajar oleh nona ini,
maka aku datang
untuk membalaskan mereka.
Hayo Nona, kalau memang engkau seorang yang berkepandaian, lawanlah tongkat hitamku!" Dan dia memutar-mutar tongkatnya yang terbuat dari baja itu sehingga terdengar suara berngiukan.
Hayo Nona, kalau memang engkau seorang yang berkepandaian, lawanlah tongkat hitamku!" Dan dia memutar-mutar tongkatnya yang terbuat dari baja itu sehingga terdengar suara berngiukan.
"Siapa takut padamu?" bentak Cin Lan sambil melompat maju. "Murid-muridmu pencuri kurang ajar, gurunya lentu lebih brengsek lagi!
Majulah kalau engkau minta dihajar!" Cin Lan memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding melawan pengemis pendek gendut yang memegang tongkat hitam itu.
"Nah,
rasakan kehebatan tongkatku!" bentak pengemis itu dan dia pun mulai
menyerang dengan
ganas. Diam-diam Cin Lan terkejut.
Serangan orang ini tidak dapat disamakan dengan tiga orang pe-ngemis tadi. Serangan tongkatnya itu cepat dan mengandung tenaga yang kuat sekali. la menggunakan kelincahannya untuk mengelak sambil membalas dengan tendangan,akan tetapi terpaksa ia me-narik kembali kakinya karena tongkat itu menangkis dengan kuat sekali. Dan pe-ngemis itu pun tidak mau memberi hati, langsung menghujankan serangannya.
Serangan orang ini tidak dapat disamakan dengan tiga orang pe-ngemis tadi. Serangan tongkatnya itu cepat dan mengandung tenaga yang kuat sekali. la menggunakan kelincahannya untuk mengelak sambil membalas dengan tendangan,akan tetapi terpaksa ia me-narik kembali kakinya karena tongkat itu menangkis dengan kuat sekali. Dan pe-ngemis itu pun tidak mau memberi hati, langsung menghujankan serangannya.
Untung bagi Cin Lan bahwa ia memiliki gerakan yang amat gesit sehingga ia dapat mengelak ke sana sini. Akan tetapi segera ia terdesak hebat karena permainan tongkat pengemis itu
memang sudah
tinggi tingkatnya.
Suara angin berdesir menyambar-nyambar dan biarpun sampai belasan jurus Cin Lan mampu mengelak dan tubuhnya berkelebatan di antara
Suara angin berdesir menyambar-nyambar dan biarpun sampai belasan jurus Cin Lan mampu mengelak dan tubuhnya berkelebatan di antara
sambaran
tongkat, namun ia sudah terdesak mundur dan kalau pertandingan itu dilanjutkan bukan tidak
mungkin ia akan terkena pukulan tongkat.
Ketika tongkat itu dengan dahsysatnya menyambar ke arah kepala Cin Lan dan gadis ini mengelak, terdengar bunyi keras dan tongkat itu ternyata telah ditangkis oleh sebatang tongkat lain, yaitu tongkat yang berada di tangan Tiong Hwi Ni-kouw!
Nikouw ini ketika melihat betapa Cin Lan terdesak, sudah mengambil tong-katnya dan kini ia maju menangkis tongkat pengemis itu. "Tang-siocia, mundurlah, biarkan pinni yang menghajar pengemis tak tahu diri ini'" katanya dan Cin Lan yang merasa kewalahan segera mundur mendekati ibunya yang kelihatan
khawatir sekali.
Kini terjadi pertandingan antara Tiong Hwi Nikouw dan pengemis pendek gendut itu.
Keduanya
mempergunakan tongkat dan ternyata tongkat di tangan Tiong Hwi Nikouw itu lihai sekall
gerakannya. Nikouw inl pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, maka tentu saja permainan
tongkatnya juga tangguh sekali. Dan perlahan-lahan ia mulai meridesak pengemis pendek itu
dengan tongkatnya sehingga Si Pengemis kini hanya mampu menangkis tidak mampu balas
menyerang. Melihat ini, Cin Lan kagum dan girang sekali.
Akan tetapi
pada saat itu, muncul seorang pengemis tinggi besar yang juga memegang sebatang
tongkat hitam dan begitu tiba di situ, pengemis tinggi besar itu membentak,
"Siapa berani
menentang Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)?" Dan
tanpa
banyak cakap
lagi dia segera terjun ke dalam perkelahian itu, mengeroyok Tiong Hwi Nikouw!
Dan ilmu tongkat Si Tinggi Besar ini ternyata lebih hebat danpada ilmu tongkat Si pendek Gendut. Begitu Si Tinggi Besar ini menggerakkan tong-katnya menyerang, berbalik nenek itu yang terdesak hebat dan karena ia dikeroyok dua, maka kini Tiong Hwi Nikouw hanya mampu menangkis sambil berlon-catan mundur. Cin Lan merasa khawatir sekali karena dara ini maklum bahwa nikouw itu tentu akan kalah dalam waktu singkat.
Dan ilmu tongkat Si Tinggi Besar ini ternyata lebih hebat danpada ilmu tongkat Si pendek Gendut. Begitu Si Tinggi Besar ini menggerakkan tong-katnya menyerang, berbalik nenek itu yang terdesak hebat dan karena ia dikeroyok dua, maka kini Tiong Hwi Nikouw hanya mampu menangkis sambil berlon-catan mundur. Cin Lan merasa khawatir sekali karena dara ini maklum bahwa nikouw itu tentu akan kalah dalam waktu singkat.
"Beginikah
kelakuan orang-orang Hek-tung Kai-pang?" Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah
seorang pengemis lain. Pengemis ini sudah tua, usianya tentu sudah mendekati tujuh puluh
tahun, pakaiannya serba putih walaupun penuh tambalan namun nampak bersih.
Pengemis ini pun memegang sebatang tongkat bambu yang butut, akan tetapi begitu dia menggerakkan tongkat bambunya menangkis, dua orang pengemis itu terhuyung ke belakang.
Pengemis tua berbaju putih itu lalu memberi hormat kepada Tiong Hwi Ni-kouw, "Maafkan dua orang pengemis yang tidak tahu diri ini dan biarkan aku yang tua memberi hajaran kepada
mereka!
" Adapun dua orang pengemis tongkat hitam menjadi marah sekali melihat munculnya pengemis baju putih yang sama sekali tidak mereka kenal.
Si Tinggi besar maju dan menudingkan telunjuk kirinya. "Engkau ini pengemis macam apa" Tidak setia kawan
" Adapun dua orang pengemis tongkat hitam menjadi marah sekali melihat munculnya pengemis baju putih yang sama sekali tidak mereka kenal.
Si Tinggi besar maju dan menudingkan telunjuk kirinya. "Engkau ini pengemis macam apa" Tidak setia kawan
membantu
sesama pengemis malah menentang kami" Apakah tidak tahu bahwa kami dari Hek-tung
Kai-pang di kota raja dan sekitarnya menjadi pimpinan para pengemis?"
Pengemis tua
itu tersenyum. "Ingin aku melihat bagaimana sikap ketua kalian kalau
melihat sikap dan
mendengar suara kalian ini. Sebagai pengemis yang pekerjaannya meminta belas kasihan
orang lain, kenapa kalian menggunakan kekerasan" Kalau pengemis menggunakan kekerasan,
apa bedanya dengan perampok" Ketahuilah, hai pengemis yang tidak tahu
diri.
Penggunaan
kekerasan tidak
menguntungkan, bahkan akan mencelaka-kan diri kalian sendiri.
menguntungkan, bahkan akan mencelaka-kan diri kalian sendiri.
Hayo cepat
berlutut minta maaf kepada nikouw ini dan juga kepada Toanio dan Siocia itu!"
"Pengemis
tua busuk! Kau tidak tahu siapa kami, ya" Kau pantas dihajar!"
Bentak Si Tinggi besar dan bersama Si Pendek Gendut dia lalu menyerang kalang-kabut kepada pengemis baju
Bentak Si Tinggi besar dan bersama Si Pendek Gendut dia lalu menyerang kalang-kabut kepada pengemis baju
putih.
Akan tetapi pengemis baju putih ini berdiri tegak saja dan ketika dua orang
Akan tetapi pengemis baju putih ini berdiri tegak saja dan ketika dua orang
penyerangnya
sudah menerjang dekat, per-lahan pula dia menggerakkan tongkatnya akan tetapi
sungguh aneh, tongkatnya itu dapat mendorong kedua orang itu sehingga
terjengkang!
Dua orang
itu meloncat bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kembali mereka terjengkang
karena dari
tongkat bambu itu keluar hawa yang amat kuat mendorong mereka.
Untuk ke tiga
Untuk ke tiga
kalinya
mereka bangkit dan menyerang, akan tetapi makin hebat serangan mereka, makin
hebat pula
mereka terlempar dan akhirnya mereka tidak berani lagi menyerang, maklum
bahwa mereka
berhadapan dengan orang pandai.
Mereka hendak melarikan diri, akan
Mereka hendak melarikan diri, akan
tetapi kakek
berpakaian putih itu menggerakkan tangan seperti menggapai dan mereka jatuh
tergulingan
lagi. "Sebelum minta ampun kepada Ni-kouw, pinto dan Siocia, jangan harap
kalian akan dapat
meninggalkan
tempat ini," kata pengemis tua itu.
Akhirnya dua
orang pengemis Hek-tung Kai-pang itu berlutut dan minta ampun kepada Tiong Hwi Nikouw,
Lu Bwe Si dan Tang Cin Lan, mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam mematuk
gabah padi. "Nah, kalian berdua ingat baik-baik.
Jangan membiarkan anak buah kalian melakukan perbuatan jahat, terutama sekali jangan menggunakan kekerasan.
Lain hari aku akan bertemu
Jangan membiarkan anak buah kalian melakukan perbuatan jahat, terutama sekali jangan menggunakan kekerasan.
Lain hari aku akan bertemu
dengan ketua
kalian untuk menegurnya.
Apakah kalian ingin dibasmi oleh pasukan pemerintah" Atau setidaknya dibasmi oleh para pendekar" Nah, pergilah dan jangan ulangi perbuatan kalian!
" Dua orang pengemis itu memberi hormat dan segera pergi tanpa banyak
Apakah kalian ingin dibasmi oleh pasukan pemerintah" Atau setidaknya dibasmi oleh para pendekar" Nah, pergilah dan jangan ulangi perbuatan kalian!
" Dua orang pengemis itu memberi hormat dan segera pergi tanpa banyak
cakap lagi.
Orang-orang yang menonton pertandingan itu menjadi gembira dan kagum.
Para pengemis Hek-tung Kai-pang memang suka mengganggu orang, terutama para wanita. Dan mereka itu
Orang-orang yang menonton pertandingan itu menjadi gembira dan kagum.
Para pengemis Hek-tung Kai-pang memang suka mengganggu orang, terutama para wanita. Dan mereka itu
agaknya
tidak takut terhadap para petugas penjaga keamanan, karena mereka itu merupakan orang-orang
kepercayaan dari Pangeran Bian Kun.
Karena adanya Pangeran Bian Kun yang
Karena adanya Pangeran Bian Kun yang
selalu
membela mereka, maka para anggauta Hek-tung kai-pang menjadi besar kepala dan setiap kali
para petugas keamanan bertindak keras kepada mereka, tentu petugas keamanan
ditegur
keras oleh Pangeran Bian Kun.
Kini, melihat dua orang tokoh Hek-tung Kai-pang dihajar oleh seorang pengemis tua yang menasihati agar mereka tidak menggunakan kekerasan melakukan kejahatan, tentu saja para penonton ity menjadi gembira sekali.
Kini, melihat dua orang tokoh Hek-tung Kai-pang dihajar oleh seorang pengemis tua yang menasihati agar mereka tidak menggunakan kekerasan melakukan kejahatan, tentu saja para penonton ity menjadi gembira sekali.
Cin Lan juga
kagum sekali melihat kesaktian pengemis tua baju putih itu. Ia mendekati Tiong Hwi Nikouw
yang sudah dikenalnya dengan baik. "Su-kouw," bisiknya. "Aku
ingin sekali belajar ilmu
silat dari Locianpwe itu.
Tanyakanlah kepadanya, Su-kouw, tolonglah...."
Tanyakanlah kepadanya, Su-kouw, tolonglah...."
Nikouw itu
tersenyum dan mengangguk, lalu ia menghampiri pengemis itu dain memberi hormat.
"Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Mohon tanya, siapakah
Locianpwe dan datang
dari mana?"
Pengemis itu
tersenyum. "orang menyebutku Pek I Lokai (Pengemis Tua Baju Putih). Aku sudah lupa
akan namaku, maaf...."
"Locianpwe,
karena Locianpwe sudah menyelamatkan pinni dan juga Toanio dan Siocia ini,maka pinni
persilakan Lo-cianpwe untuk singgah sebentar dan bercakap-cakap di dalam."
Pengemis itu
menoleh dan memandang kepada Lu Bwe Si dan Cin Lan, kemudian dia mengangguk
dan berjalan perlahan mengikuti nikouw itu memasuki Kuil Kwan-im-bio. Lu Bwe Si
hendak mengajak puterinya pulang, akan tetapi dara itu malah menarik tangan ibunya diajak masuk
kembali ke kuil.
Mereka duduk
menghadapi meja de-ngan hidangan tanpa daging dan tanpa arak. Pengemis itu tanpa
malu-malu lagi menyantap hidangan yang disuguhkan kepadanya.
Setelah selesai makan, dia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Setelah selesai makan, dia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Pada saat
itu, Lu Bwe Si dan Cin Lan memasuki ruangan itu. Tiong Hwi Nikouw lalu bangkit berdiri dan
berkata kepada pengemis itu, "Locianpwe, toanio ini adalah isteri dari
Pangeran
Tang Gi Su
dan nona ini adalah Tang-siocia.
Nah, Tang-siocia tadi melihat kelihaian
Locianpwe dan ingin sekali belajar Umu silat dari Locianpwe."
Nah, Tang-siocia tadi melihat kelihaian
Locianpwe dan ingin sekali belajar Umu silat dari Locianpwe."
Pengemis itu tersenyum dan memandang kepada Cin Lan, memandang dari kepala sampai kekaki dan diam-diam dia kagum. Gadis remaja inl memang berbakat baik sekali.
"Nona
sudah pernah mempelajari ilmu silat sampai cukup baik, untuk apa ingin belajar
lagi?
"Locianpwe,
biarpun sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi buktinya tadi ketika
menghadapl pengemis .pendek gendut, aku tidak mampu mengalahkannya. Karena itu
melihat
ke-saktian Locianpwe, aku ingin sekali men-jadi murid Locianpwe. Harap engkau orang tua
tidak menolak!" Setelah berkata demikian, membuat kaget hati ibunya, gadis
itu lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu!
Tentu saja Lu Bwe Si terkejut
Tentu saja Lu Bwe Si terkejut
sekali, akan
tetapi ia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Melihat puterinya, puteri pangeran,berlutut di
depan kaki seorang kakek pengemis! Bagaimana kalau hal seperti ini dilihat
orang
lain"
Untung di situ hanya ada ia dan Tiong Hwi Nikouw!
Pengemis itu
mengangkat mukanya dan tertawa bergelak, kemudian dengan tongkat bambunya dia
menusuk bawah ketiak kiri Cin Lan lalu mengangkatnya.
Cin Lah
merasa ada tenaga raksasa tongkat itu yang mengangkatnya. la hendak menguji dan mengerahkan
tenaga sin-kang untuk melawannya akan tetapi tetap saja ia terangkat dalam
keadaan
masih berlutut!
Kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, sin-kangmu boleh juga, Nona. Cin Lan lalu menurunkan kakinya dan ia bertanya,
"Bagaimana, Locianpwe sudikah engkau menerimaku sebagai murid?" "Aku seorang kakek pengemis perantau, bagaimana dapat menjadi gurumu, Nona"
Dan aku pun tidak suka tinggal d! rumah pangeran yang seperti istana, terlalu mewah bagiku."
Kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, sin-kangmu boleh juga, Nona. Cin Lan lalu menurunkan kakinya dan ia bertanya,
"Bagaimana, Locianpwe sudikah engkau menerimaku sebagai murid?" "Aku seorang kakek pengemis perantau, bagaimana dapat menjadi gurumu, Nona"
Dan aku pun tidak suka tinggal d! rumah pangeran yang seperti istana, terlalu mewah bagiku."
Tiba-tiba
Tiong Hwi Nikouw berkata, "Kalau Locianpwe menghendaki, dapat saja melatih Tang-slocia
di kuil ini."
"Bagus,
kalau begitu baru bagus do.ir? aku setuju!" kata kakek itu gemblra.
"Terima
kasih, Suhu!" kata Cin lan gembira.
"Eh,
nanti dulu, Nona. Engkau harus memperoleh ijin dari Ibumu'" kata kakek
itu,Lu Bwe Si
segera berkata, "Kami memang tahu akan kesukaan puteri kami dan kami tidak berkeberatan
kalau Lo-cianpwe suka menjadi guru Cin Lan."
"Wah, semua beres kalau begitu. Nah, seminggu sekali Nona boleh datang ke sini. Selama sehari Nona akan kuajar ilmu silat, kemudian melatihnya di rumah Nona sendiri selama seminggu.
Setiap seminggu sekali kita bertemu di sini dan dimulai dengan besok pagi-pagi
sekali,"
kata Pek I Lokai kepada Cin Lan.
"Baik Suhu. Besok pagi-pagi sekali teecu akan datang ke kuil ini," kata Cin Lan. Kemudian ia mengikuti ibunya naik kembali ke dalam kereta dan kembali ke rumah mereka Cin Lan dan ibunya tidak menceritakan tentang peristiwa tadi kepada Pangeran Tang Gi Su.
Akan tetapi begitu berada bedua saja di dalam kamarnya, Cin Lan berkata kepada ibunya dengan suara menuntut, "Ibu, sejak tadi perasaan ini kutahan-tahan saja.
Sekarang harap Ibu suka menceritakan
tentang
ucapan pengemis kurang ajar tadi. Apa artinya ucapannya itu, Ibu?"
"Ucapan yang bagaimana, Anakku?" tanya ibu itu dengan hati gelisah, karena tentu saja ucapan pengemis muda tadi tak pernah ia lupakan.
"Pengemis
tadi mengatakan bahwa. aku hanyalah anak tiri dari Ayah Pangeran.
Apa artinya ini, Ibu" Kalau Ibu tidak mau berterus terang, aku akan melakukan penyelidikan sendiri dengan bertanya-tanya kepada orang luaran."
Apa artinya ini, Ibu" Kalau Ibu tidak mau berterus terang, aku akan melakukan penyelidikan sendiri dengan bertanya-tanya kepada orang luaran."
Sang Ibu
menundukkan mukanya
Rahasia itu bagaimanapun juga tidak mungkin disimpan terus. Orang luar semua tahu belaka bahwa ketika menjadi selir pangeran, ia sudah membawa
Rahasia itu bagaimanapun juga tidak mungkin disimpan terus. Orang luar semua tahu belaka bahwa ketika menjadi selir pangeran, ia sudah membawa
seorang
anak. Semua orang tahu belaka bahwa Cin Lan adalah puteri tiri Sang Pangeran.
"Baiklah,
Cin Lan. Engkau sekarang sudah menjelang dewasa dan engkau perlu
mengetahuinya.
Lebih baik engkau mendengar dari mulutku sendiri daripada engkau mendengar
darl mulut orang lain. Memang sebenarnyalah engkau bukan puteri kandung
ayahmu
Pangeran. Engkau adalah anak tirinya."
Cin Lan
menekan perasaannya. la sudah siap menghadapi kenyataan ini, dan hanya wajahnya saja yang
nampak agak pucat.
"Akan tetapi, Anakku, apakah engkau merasa dianaktirikan"
"Akan tetapi, Anakku, apakah engkau merasa dianaktirikan"
Tidak,
bukan" Ayahmu amat mencintamu, tidak berbeda dengan anak-anaknya sendiri.
Juga saudara-saudaramu
menyayangimu, tidak menganggapmu sebagai saudara tiri."
"Akan tetapi mengapa Ibu selama ini merahasiakannya?"
"Belum waktunya, Cin tan. Kalau engkau masih kecil dan mendengar kenyataan ini tentu amat tidak baik bagimu. Sekarang engkau sudah dewasa, maka tidak ada halangannya untuk kau dengar rahasia ini."
"Ibu,
di mana ayah kandungku?"
"Ayah
kandungmu sudah meninggal dunia sejak engkau masih kecil sekali," baru
berusia beberapa
bulan, Cin Lan.
Kalau ayah kandungmu tidak meninggal dunia, tentu aku tidak akan menjadi isteri Pangeran Tang Gi Su. Setelah ayahmu meninggal dunia, aku bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su dan dia melamarku.
Demikianlah, aku menjadi isterinya dan engkau menjadi puterinya. Dan kita
Kalau ayah kandungmu tidak meninggal dunia, tentu aku tidak akan menjadi isteri Pangeran Tang Gi Su. Setelah ayahmu meninggal dunia, aku bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su dan dia melamarku.
Demikianlah, aku menjadi isterinya dan engkau menjadi puterinya. Dan kita
harus
mengakui bahwa dia baik sekali, Cin Lan. Engkau juga dianggapnya sebagai
puterinya sendiri."
Cin Lan berdiam diri sampai lama, termenung.
Memang ia tidak perlu me-rasa penasaran.
Memang ia tidak perlu me-rasa penasaran.
Pangeran
Tang amat menyayangnya dan ia tidak pernah merasa dianaktirikan.
"Siapa nama ayah kandungku, Ibu?"
"Namanya
Cian, she Bu."
"Hemm,
Bu Cin Lan ....." gumam dara itu.
"Cin Lan, demi kebaikanmu sendiri dan kehormatan ayahmu pangeran, sebaiknya kalau engkau tetap memakai nama marga Tang. Tidak perlu orang lain tahu bahwa engkau anak seorang she Bu. Pula, apa yang dapat kita lakukan untuk membalas kebaikan keluarga Tang,kecuali kalau engkau menggunakan nama marga mereka" Penuhilah pesan ibumu ini,
Anakku. Jangan memakai nama mar-ga Bu, melainkan pakailah terus she Tang. Kalau tidak,maka hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran tentu akan menjadi retak dan kita akan
dianggap .
tidak mengenal budi."
"Baiklah,
Ibu."
"Masih ada sebuah rahasia lagi yang perlu sekarang juga kuceritakan kepadamu."
"Rahasia
tentang apa, Ibu?"
"Tentang gelang kemala itu."
"Gelang kemala" Ah, yang dirampas oleh pengemis itu?" tanya Cin Lan ter-kejut dan juga menyesal mengingat bahwa gelang itu telah hilang. "Bukankah itu gelang pemberian Nenek"
Ada rahasia
apakah dengan gelang itu?"
"Gelang itu bukan peninggalan nenekmu. Gelang itu adalah... tanda ikatan perjodohanmu!"
Sepasang
mata yang tajam indah itu terbelalak memandang wajah ibunya pe-nuh selidik,.
"Ikatan perjodohan" Apa artinya ini, Ibu?"
"Ikatan perjodohan" Apa artinya ini, Ibu?"
"Dahulu, ketika ayahmu masih hidup, bahkan pada hari ayahmu akan meninggal dunia, kami kedatangan seorang sahabat baik ayahmu bernaina Song Tek Kwi. Song Tek Kwi mempunyai
seorang anak
laki-laki yang baru berusia satu tahun dan ayahmu menyetujui usul Song Tek Kwi untuk
menjodohkan anak masing-masing. Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang
kemala yang serupa benar, tiada bedanya sedikitpun juga.
Dia menyerahkan sebuah
Dia menyerahkan sebuah
gelang
kemala kami untukmu sebagai tanda ikatan perjodohan."
"Ah, baru berusia beberapa bulan sudah dijodohkan?" seru Cin Lan penasaran.
"Antara ayahmu dan Song Tek Kwi terjalin persahabatan yang erat sekali, Cin Lan. Mereka keduanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa.
Karena mengingat bahwa ayah
kandungmu
se-orang pendekar yang mencita-citakan bahwa engkau juga harus menjadi seorang ahii
silat yang pandai, maka aku sengaja memanggil guru-guru silat untuk mengajarmu
dan ayahmu pangeran juga me-nyetujui. Nah, karena hubungan yang erat itulah
maka ikatan
perjodohanmu dibuat."
"Hemmm,
jadi... laki-laki yang dijodohkan denganku itu pun memiliki sebuah gelang kemala persis
kepunyaanku itu?"
"Benar, Cin Lan. Akan tetapi aku sudah lupa lagi siapa nama anak itu. Se-telah berpisah,ayahmu meninggal dunia dan aku mengalami banyak penderitaan batin sehingga nama yang baru satu kali kudengar dari Song Tek Kwi itu kulupakan lagi."
"Tidak
mengapa kau lupakan, Ibu. Ba-gaimanapun juga, tidak seharusnya aku menjadi jodohnya!
Aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang selamanya belum pernah kulihat
atau
kukenal. Bagaimana kalau dia menjadi seorang yang jahat dan bagaimana kalau melihatnya
aku merasa tidak suka kepadanya" Pula, gelang kemala milikku itu sudah
hilang,
tidak perlu
dipikirkan lagi perjodohan kanak-kanak itu."
"Cin
Lan, jangan bicara begitu Arwah ayah kandungmu akan merasa penasaran mendengar ucapanmu."
"Hemm, bagaimanapun juga, pernikahan adalah urusan orang yang menikah,
harus ada
persetujuan
kedua pihak yang akan berjodoh barulah benar dan baik.
Sudahlah, Ibu. Aku
Sudahlah, Ibu. Aku
ingin tahu,
bagaimana Ayah yang masih muda dan juga seorang pendekar yang tentu kuat tubuhnya itu
sampai meninggal dunia" Di mana kuburannya"
Aku ingin menengok dan bersembahyang di kuburannya... ah, sekarang aku mengerti mengapa Ibu sering
Aku ingin menengok dan bersembahyang di kuburannya... ah, sekarang aku mengerti mengapa Ibu sering
bersembahyang
di kuil. Tentu menyembahyangi arwah ayah kandungku, bukan?"
Dengan mata basah ibunya mengang-guk. Diam-diam ibu ini menjadi bingung. Kalau ia berbohong dan anaknya pergi bersembahyang ke dusunnya, tentu anak itu akan mendengar tentang kematian ayahnya. Ah, Cin Lan sudah dewasa, menjadi seorang gadis yang gagah,
tidak perlu
menyimpan rahasia lagi.
"Dengarlah Anakku. Ibumu akan menceritakan segalanya. Tadi sudah kuceritakan bahwa Song Tek Kwi datang berkunjung, menyerahkan gelang kemala sebagai tanda ikatan perjodohan antara engkau dan puteranya.
Selagi kami bercakap-cakap, terdengar suara ribut-ribut dan datang laporan bahwa ada gadis dipaksa oleh seorang pangeran untuk menjadi isterinya.
Ayahmu adalah seorang pendekar, mendengar ini dia lalu berlari keluar diikuti Song Tek Kwi yang juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Setelah tiba di luar mereka melihat
seorang
gadis dipaksa naik kereta untuk dijadikan selir seorang pangeran.
Ayahmu dan Song Tek Kwi menjadi marah dan Jnengamuk, merobohkan tukang-tukang pukul pange-ran itu
Ayahmu dan Song Tek Kwi menjadi marah dan Jnengamuk, merobohkan tukang-tukang pukul pange-ran itu
bahkan
memberi hajaran kepada pangeran mata keranjang yang suka me-maksa anak gadis orang."
"Wah, Ayah seorang pemberani yang gagah perkasa!" kata Cin Lan
gembira.
"Akan
tetapi peristiwa itu berekor panjang, Anakku.
Pada lain harinya, datang pasukan untuk
Pada lain harinya, datang pasukan untuk
menangkap
kami karena ayahmu yang berani memukul seorang pangeran itu dianggap pemberontak.
Ayahmu tidak mau menyerah dan terjadi perkelahian.
Ayahmu dikeroyok banyak orang dan akhirnya ayahmu tewas. Aku yang sedang menggendongmu juga menjadi
Ayahmu dikeroyok banyak orang dan akhirnya ayahmu tewas. Aku yang sedang menggendongmu juga menjadi
tawanan."
"Ahhh....! Mereka kejam sekali!" bentak Cin Lan sambil mengepal tinju.
"Ahhh....! Mereka kejam sekali!" bentak Cin Lan sambil mengepal tinju.
"Sebetulnya ayahmu terlalu keras hati, Cin Lan. Tentu saja menghajar seorang pangeran dianggap sebagai pemberontak.
Dan sudah menjadi peraturannya bahwa keluarga seorang pemberontak harus ditangkap semua. Maka, aku pun ditangkap.
Dan pada saat itu muncul Pangeran Tang Gi Su yang menolong kita. Berkat kekuasaan Pangeran Tang Gi Su maka aku dibebaskan dan diajak ke rumahnya.
Kemudian dia... dia melamarku. Aku tidak melihat jalan lain. Kalau aku menolak dan aku berada di luar, tentu aku akan ditangkap sebagai keluarga pemberontak.
Kalau aku menjadi selirnya, maka aku dan engkau akan selamat dan terlindung.
Sungguh
mati, pada waktu itu aku hanya ingat akan keselamatanmu, Cin Lan.
Maka aku...aku menerima pinangannya. Begitulah ceritanya, Cin Lan.
Maka aku...aku menerima pinangannya. Begitulah ceritanya, Cin Lan.
"Hemm, siapakah pangeran yang suka memaksa gadis itu, Ibu?"
Bwe Si
merasa lebih baik tidak menceritakan nama pangeran itu agar puterinya tidak melakukan
tindakan yang gegabah. "Aku tidak tahu namanya, Cin Lan. Akan tetapi
gadis-gadis yang
dipilih itu kebanyakan adalah gadis dusun dan orang tua si gadis malah bangga
menyerahkan
gadisnya untuk diajak pergi seorang pangeran dan menjadi selirnya."
"Dan di
mana Ayah dikubur, Ibu?"
"Kami
dulu tinggal di dusun Teng-sia-bun tak jauh dari kota raja dan tentu ayahmu
dikubur disana pula
oleh penduduk dusun. Aku sendiri tidak mengetahui karena aku terus ditangkap
bersamamu."
"Dan Ibu tidak pernah berkunjung ke kuburan itu?"'
"Bagaimana
mungkin, Anakku" Tentu semua orang akan mengetahui. Tidak, ibu hanya bersembahyang
di kuil untuk ayah kandungmu."
"Kalau
begitu aku yang akan berkunjung ke sana, Ibu!"
"Cin
Lan, ingat pesanku. Jangan sekali-kali engkau mengaku bukan putera Pangeran
Tang Gi Su kalau
engkau tidak ingin melihat hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran menjadi retak."
"Tidak, Ibu. Dan lagi, apa gunanya kalau aku mengaku she Bu. Lain halnya, kalau Ayah kandungku masih hidup."
"Tidak, Ibu. Dan lagi, apa gunanya kalau aku mengaku she Bu. Lain halnya, kalau Ayah kandungku masih hidup."
Akan tetapi semenjak membuka rahasia itu kepada puterinya, Lu Bwe Sl sering kali merasa gelisah dan khawatir sekali.
Mengenai ikatan perjodohan puterinya itulah yang amat menggelisahkan hatinya. Di dalam lubuk hatinya, ingin ia memenuhi kehendak mendiang
suaminya
untuk menjodohkan puterinya dengan putera Song Tek Kwi.
Akan tetapi bagaimana caranya" Bahkan kepada suaminya yang sekarang pun ia tldak berani bicara tentang hal itu.
Akan tetapi bagaimana caranya" Bahkan kepada suaminya yang sekarang pun ia tldak berani bicara tentang hal itu.
Dan sekarang, gelang kemala puterinya telah hilang, dan bahkan puterinya sendiri tidak setuju dengan ikatan perjodohan itu!
la hanya dapat menangis seorang diri dan mengeluh kepada mendiang suaminya yang pertama.
Duka timbul
dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari bayangan masa depan. Kalau
kita hanya menghadapi masa kini, saat ini dengan penuh penerimaan,kepasrahan,
kesabaran dan ketawakalan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka
segala macam
kedukaan dan kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan.
Segala
kehendak Tuhan pun jadilah! Tidak ada kekuasaan lain yang mampu mengubahnya.
Kalau sudah
pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang menimpa diri kita, akan kita hadapi tanpa
menge-luh karena kita tahu bahwa kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya.
Bukan
berarti bahwa kita menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama
sekali bukan. Kita
berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada kekuasaan
Tuhan.
Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk melandasi semua daya upaya kita
dengan kepasrahan yang mutlak dan lengkap.
Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha
Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha
Murah. Tuhan
lebih dari mengerti apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita yang tidak
sempurna akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah dengan
sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagl sekali, Cin Lan sudah meninggalkan gedung tempat tinggalnya. la mengenakan pakaian yang ringkas dan menunggang seekor kuda yang bagus.
Sudah sering
kali ia menunggang kuda dan pergi berbun binatang, maka orang-orang yang melihatnya
di jalan tidak merasa heran, hanya memandang dengan kagum.
Dara remaja yang berusia lima belas tahun itu pandai sekali menunggang kuda. Tubuhnya tegak dan demikian
Dara remaja yang berusia lima belas tahun itu pandai sekali menunggang kuda. Tubuhnya tegak dan demikian
santainya ia
menunggang kuda menuju ke Kwan-im-bio.
Setelah ia
tiba di pekarangan kuil, ia menambatkan kudanya di batang pohon dan meloncat turun, Tiong
Hwi Nikouw, yang sepagi itu sudah bangun dan habis sembahyang membaca doa, lalu
keluar menyambutnya,
"Selamat pagi, Tang-siocia."
"Selamat pagi, Sukouw. Apakah Suhu sudah datang?"
"Sudah,
dia sudah menanti di ruangan belakang. Mari engkau langsung saja menemuinya disana,"
kata nikouw itu dan Cin Lan segera memasuki kuil dan langsung menuju ke ruangan belakang.
Pek I Lokai menyambutnya dengan senyum.
Pek I Lokai menyambutnya dengan senyum.
"Bagus,
engkau datang pagi sekali, Nona."
"Suhu, harap jangan sebut teecu de-ngan sebutan nona. Nama saya teecu Tang Cin Lan dan sebagai guruku, Suhu sebaiknya menyebut nama teecu saja" kata Cin Lan dengan akrab.
Pek I Lokai
tertawa. "Sebagai seorang puteri pangeran, sikapmu sungguh rendah hati,
Cin Lan.
Baiklah, kalau sedang berdua, aku akan menyebutmu Cin Lan saja.
Akan tetapi. pagi ini aku belum akan melatih ilmu silat kepadamu, karena aku harus pergi dulu menemui Ketua
Akan tetapi. pagi ini aku belum akan melatih ilmu silat kepadamu, karena aku harus pergi dulu menemui Ketua
Hek tung
Kai-pang, untuk menegurnya agar dia dapat mengatur anak buahnya agar jangan melakukan
kejahatan."
"Kebetulan sekali kalau begitu, Suhu Teecu juga ingin mencari pengemis muda yang kemarin telah merampas gelang kemala teecu. Teecu harus mendapatkannya kembali karena gelang itu penting sekali bagi teecu." Cin Lan sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan gelang itu kembali, dan kelak kalau ia dapat bertemu dengan orang yang dica-lonkan menjadi
suaminya,
gelang itu akan dikembalikannya sebagai pembatalan?, ikatan perjodohan itu.
"Baik
sekali kalau begitu, mari kita pergi bersama." Pengemis tua itu bangkit
berdiri dan membawa
tongkat bambunya.
"Suhu,
teecu membawa seekor kuda. Suhu pakailah kuda teecu itu."
"Tidak, kita berjalan kaki saja, Cin Lan. Bukankah tempat perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu tidak terlalu jaun dari sini?"
"Tidak, Suhu. Tempatnya berada di sudut kota."
"Nah,
kita berjalan kaki saja. Marilah'"
Mereka berdua keluar dari kuil dan ketika bertemu dengan Tiong Hwi Ni-kouvy mereka berdua berpamit kepada nikouw itu. Cin Lan tidak mempedulikan pandang mata orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan heran melihat ia puteri seorang pangeran, berjalan bersama seorang kakek pengemis yang bertongkat bambu butut!
Rumah perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu cukup besar, merupakan sebuah gedung yang besar. Hal ini tidaklah mengherankan karena perkumpulan pengemis ini akhir-akhir ini
berpengaruh
dan terutama sekali semenjak Pangeran Bian Kun berhubungan dekat dengan
ketuanya,
maka pangeran itulah yang memperkuat perbendaharaannya sehingga perkumpulan itu dapat
membangun sebuah rumah yang cukup besar.
Apakah sebenarnya hubungan antara
Apakah sebenarnya hubungan antara
Hek-tung
Koai-ong (Raja Pengemis Tongkat Hitam), ketua dari perkumpulan itu dengan Pangeran
Bian Kun yang besar kekuasaannya" Sebetulnya, hubungan itu dimulai ketikabPangeran
Bian Kun beberapa tahun yang lalu terancam bahaya ketika serombongan pendekar
hendak
membunuhnya karena pa-ngeran ini merebut puteri seorang pendekar sehingga
puteri itu kemudian
membunuh diri, memilih mati daripada ternoda oleh pangeran itu.
Ketika pangeran itu terancam bahaya maut, Hek-tung Kai-ong muncul dan menolongnya. Karena pertolongan ini, Pangeran Bian Kun menghargainya, bahkan menganggap ketua itu sebagai
Ketika pangeran itu terancam bahaya maut, Hek-tung Kai-ong muncul dan menolongnya. Karena pertolongan ini, Pangeran Bian Kun menghargainya, bahkan menganggap ketua itu sebagai
seorang
jagoannya. Dan bukan hanya itu, dia juga menyerahkan puteranya yang bernama Bian Hok
untuk menjadi murid Hek-tung Kai-ong.
Sebetulnya,
Hek-tung Kai-ong bukanlah seorang jahat, walaupun wataknya kasar dan pemarah.
Kalaupun anak buahnya kini bertindak sewenang-wenang, itu terjadi di luar tahunya.
Para anak buahnya merasa sombong karena perkumpulan mereka seolah dilindungi oleh Pangeran Bian Kun, maka mereka bertindak sewenang-wenang.
Kalau ketua mereka mengetahui akan hal itu, tentu dia akan marah sekali karena Hek-tung Kai-ong adalah seorang yang tergolong datuk dan tidak perhah melakukan perbuatan sesat.
Para anak buahnya merasa sombong karena perkumpulan mereka seolah dilindungi oleh Pangeran Bian Kun, maka mereka bertindak sewenang-wenang.
Kalau ketua mereka mengetahui akan hal itu, tentu dia akan marah sekali karena Hek-tung Kai-ong adalah seorang yang tergolong datuk dan tidak perhah melakukan perbuatan sesat.
Ketika Cin
Lan dan Pek I Lokai tiba di depan rumah gedung perkumpulan Hek-tung Kai-pang, yang
berjaga di depan segera mengenalnya.
Berita tentang dihajarnya tiga orang
Berita tentang dihajarnya tiga orang
anggauta
Hek-tung Kai-pang, bahkan kemudian dihajarnya dua orang pimpinan mereka, yaitu murid-murid
dari ketua mereka, sudah mereka dengar dan kini mereka dapat menduga siapa
adanya gadis
cantik dan kakek pengemis berpakaian putih itu.
Maka, mereka mengambil sikap bermusuhan dan sudah siap dengan tongkat mereka mengepung. Jumlah mereka ada belasan orang.
Pek I Lokai mengangkat tangan ke atas, "Tenanglah, kami datang dengan maksud baik. Cepat panggilkan ketua kalian, kami ingin bicara dengan ketua kalian!" kata Pek I Lokai dengan suara tenang dan sabar.
Sementara itu Cin Lan memandangi mereka mencari-cari pengemis muda yang kemarin merampas gelangnya. Akan tetapi ia tidak melihat orang itu di antara mereka.
Maka, mereka mengambil sikap bermusuhan dan sudah siap dengan tongkat mereka mengepung. Jumlah mereka ada belasan orang.
Pek I Lokai mengangkat tangan ke atas, "Tenanglah, kami datang dengan maksud baik. Cepat panggilkan ketua kalian, kami ingin bicara dengan ketua kalian!" kata Pek I Lokai dengan suara tenang dan sabar.
Sementara itu Cin Lan memandangi mereka mencari-cari pengemis muda yang kemarin merampas gelangnya. Akan tetapi ia tidak melihat orang itu di antara mereka.
Seorang di
antara para anggauta Hek-tung Kai-pang sudah lari ke dalam untuk melaporkan kepada ketua
mereka. Hek-tung Kai-ong tentu saja tidak pernah dilapori tentang perkelahian
kemarin,
maka dia merasa heran ketika mendengar bahwa di luar ada seorang gadis dan seorang
kakek pengemis berpakaian putih hendak menemuinya.
"Persilakan mereka memasuki ruangan samping!" katanya singkat. Hek-tung Kai-ong adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi besar dan pada saat itu dia sedang melatih seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang tampan dan berpakaian indah.
Pemuda ini adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun yang menjadi murid ketua pengemis itu. "Suhu, bolehkah aku ikut mendengarkan pertemuan itu?" tanya Bian Hok yang merasa
tertarik
juga mendengar bahwa ada seorang gadis dan seorang kakek hendak menemui gurunya.
"Tentu saja boleh, Bian-kongCu. Mari kita ke ruangan samping." Ruangan samping itu merupakan ruangan tamu yang luas dan biasa juga suka dipakai untuk mengadakan perternuan besar dengan para anggauta.
"Tentu saja boleh, Bian-kongCu. Mari kita ke ruangan samping." Ruangan samping itu merupakan ruangan tamu yang luas dan biasa juga suka dipakai untuk mengadakan perternuan besar dengan para anggauta.
Mereka
berdua tiba lebih dulu di ruangan itu dan duduk menanti. Setelah menanti
sebentar,masuklah Cin
Lan dan Pek I Lokai diiringkan beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang.
Dan ketika Cin Lan melihat Bian Hok, ia mengerutkan alisnya diam-diam terkejut. la sudah mengenal pemuda itu dan beberapa kali pernah bertemu karena ayah mereka keduanya adalah
pangeran.
Sebaliknya, Bian Hok juga heran dan kaget melihat bahwa gadis itu bukan lain
Sebaliknya, Bian Hok juga heran dan kaget melihat bahwa gadis itu bukan lain
adalah Tang
Cin Lan, gadis remaja yang sudah lama digandrunginya.
"Hai, Adik Tang Cin Lan! Kiranya engkau yang datang?" serunya dengan girang.
Cin Lan
menanggapi sambutan gembira itu dengan dingin. saja.
"Aku pun tidak mengira bahwa engkau akan berada di sini, Bian-kongcu!" la sengaja menyebut kongcu, sebutan yang
"Aku pun tidak mengira bahwa engkau akan berada di sini, Bian-kongcu!" la sengaja menyebut kongcu, sebutan yang
menunjukkan
bahwa ia tidak bersedia bersikap akrab dengan pemuda itu.
Memang, ayahnya dahulu pernah menganjurkan agar ia menyebut twako, akan tetapi karena menemukan
Memang, ayahnya dahulu pernah menganjurkan agar ia menyebut twako, akan tetapi karena menemukan
pemuda ini
di sarang pengemis-pengemis yang kurang ajar itu, hatinya tidak senang dia sengaja
menyebut kongcu.
Akan tetapi, agaknya Bian Hok tidak merasakan ini dan dia berkata girang kepada gurunya,"Suhu, nona ini adalah Tang Cin Lan-siocia, puteri dari Paman Pangeran Tang Gi Su!"
Akan tetapi, agaknya Bian Hok tidak merasakan ini dan dia berkata girang kepada gurunya,"Suhu, nona ini adalah Tang Cin Lan-siocia, puteri dari Paman Pangeran Tang Gi Su!"
Mendengar
ucapan ini, Hek-tung Kai-ong lalu memberi hormat kepada Cin Lan dan berkata,"Maafkan
karena tidak tahu akan kunjungan Siocia, kami terlambat nnenyambut. Silakan duduk
Siocia."
Dengan sikap yang angkuh Cin Lan mengangguk, lalu duduk dan menarik ta-ngan Pek I Lokai sambil berkata,
"Duduklah, Suhu."
Dengan sikap yang angkuh Cin Lan mengangguk, lalu duduk dan menarik ta-ngan Pek I Lokai sambil berkata,
"Duduklah, Suhu."
Kini tiba
giliran Bian Hok yang memandang heran. Dia tahu bahwa Cin Lan adalah seorang gadis yang
gagah, yang diajar silat oleh para jagoan dari istana.
Akan tetapi dia tidak mengira
Akan tetapi dia tidak mengira
bahwa gadis
itu kini mempunyai guru seorang kakek pengemis pula.
Pek I Lokai duduk pula walaupun belum dipersilakan tuan rumah. Melihat sikap sederhana dari kakek berpakaian putih itu, Hek-tung Kai-ong tidak berani memandang rendah. Sambil duduk dia pun memberi hormat dan berkata, "Tidak tahu siapakah saudara tua ini" Dari
golongan
mana dan siapakah namanya"
Ada keperluan apa datang berkunjung ke gubuk kami?" Pek I Lokai tersenyum dan meman-dang ke sekeliling. Lucu juga rumah se-besar ini disebut gubuk! "Aku bukan dari golongan mana-mana dan orang menyebutku Pek I Lokai."
Hek-tung Kai-ong nampak terkejut.
Ada keperluan apa datang berkunjung ke gubuk kami?" Pek I Lokai tersenyum dan meman-dang ke sekeliling. Lucu juga rumah se-besar ini disebut gubuk! "Aku bukan dari golongan mana-mana dan orang menyebutku Pek I Lokai."
Hek-tung Kai-ong nampak terkejut.
Dia pun pernah mendengar nama besar Pek I Lokai di selatan dan baru sekarang dia bertemu dengan orangnya.
"Ah, kiranya Pek I Lokai yang nama-nya terkenal di sepanjang Sungai Kuning"
Selamat datang di tempat kami. Dan ada urusan penting apakah yang membawa Lokai datang berkunjung?" Pek I Lokai memandang tajam.
"Engkau tentu Ketua Hek-tung Kai-pang, bukan?"
"Benar,
orang menyebutku Hek-tung Kai-ong," kata ketua itu dengan suara merendah,
tanpa merasa
bangga atau sombong.
Agaknya dia seorang yang jujur.
Agaknya dia seorang yang jujur.
"Pantas,
seorang kai-ong (raja pengemis) menempati istana seperti ini! Begini, Kai-ong,kedatanganku
ini untuk mernberi teguran kepadamu atas tindakan anak buahmu yang sungguh di luar
kepantasan!"
Sepasang
mata yang besar itu terbelalak, wajah yang keren itu menjadi kemerahan dan
hidung yang besar
itu kembang-kempis. Tentu saja Hek-tung Kai-ong marah sekali mendengar ucapan itu.
"Pek I Lokai, engkau hendak mengatakan bahwa aku telah mengajar kepada
anak
buahku untuk
bertindak tidak pantas, begitu?"
"Beberapa
orang murid dan anak buahmu memang bertindak tidak pantas sekali, habis Suhu harus
berkata bagaimana?" Tiba-tiba Cin Lan yang sejak tadi menahan kemarahannya
berseru.
Hek-tung Kai-ong kini nnemandang kepadanya. "Siocia, perbuatan tidak
pantas yang
manakah
dilakukan anak buahku"
Pekerjaan mereka hanya minta sedekah dari orang-orang yang murah hati, apakah perbuatan itu dapat disebut tidak pantas?"
Pekerjaan mereka hanya minta sedekah dari orang-orang yang murah hati, apakah perbuatan itu dapat disebut tidak pantas?"
Cin Lan
mendahului suhunya, "Kalau hanya minta sedekah, hal itu adalah hal biasa
dan kami tidak akan
mempersoalkan lagi. Akan tetapi kemarin ketika aku , bersama ibuku pergi ke Kuil
mempersoalkan lagi. Akan tetapi kemarin ketika aku , bersama ibuku pergi ke Kuil
Kwan-im-bio,
tiga orang anak buahmu yang masih muda-muda bersikap kurang ajar kepada-ku.
Mereka bukan hanya minta sedekah, bahkan berani mereka merampas gelang kemala yang kupakai, kemudian bahkan berani mengeroyok aku. Apakah perbuatan ini pantas,Hek-tung Kai-pangcu" Hayo jawab, apakah ini pantas?"
Mereka bukan hanya minta sedekah, bahkan berani mereka merampas gelang kemala yang kupakai, kemudian bahkan berani mengeroyok aku. Apakah perbuatan ini pantas,Hek-tung Kai-pangcu" Hayo jawab, apakah ini pantas?"
Menghadapi serangan kata-kata dari Cin Lan, Hek-tung Kai-ong tertegun.
"Benarkah kejadian seperti itu?" tanyanya perlahan dan dengan nada suara khawatir kalau-kalau berita itu benar
adanya.
"Apa kaukira aku berbohong kepada-mu"
Tiga orang anak buahmu itu menge-royokku, dan dapat kuhajar mereka lari tunggang-langgang, membawa lari gelang kemalaku.
Akan tetapi lalu datang Si Pendek Gendut yang menyerangku dengan tongkatnya!"
"Apa kaukira aku berbohong kepada-mu"
Tiga orang anak buahmu itu menge-royokku, dan dapat kuhajar mereka lari tunggang-langgang, membawa lari gelang kemalaku.
Akan tetapi lalu datang Si Pendek Gendut yang menyerangku dengan tongkatnya!"
"Ahh....!" Hek-tung Kai-ong berseru kaget.
"Untung ada Tiong Hwi Nikouw yang membantuku. Kemudian datang lagi seorang muridmu yang tinggi besar mengeroyok Tiong Hwi Nikouw. Kalau saja Suhu tidak cepat datang dan
mengusir
mereka, tentu aku dan Tiong Hwi Ni-kouw telah celaka.
Nah, Pangcu, katakan apakah perbuatan anak buahmu ini pantas" Merampas gelang dan menyerang wanita, juga
Nah, Pangcu, katakan apakah perbuatan anak buahmu ini pantas" Merampas gelang dan menyerang wanita, juga
nikouw?"
Melihat gurunya nampak bingung, Bian Hok lalu berkata, "Siauw-moi, harap
tenang dulu.
Urusan ini
harus diselidiki dulu kebenarannya, baru Suhu dapat mengambil keputusan."
Hek-tung
Kai-ong sudah begitu marahnya sehingga dia mengeluarkan teriakan keras sekali memanggil
anak buahnya yang berada di luar. Dua orang anak buah tergopoh-gopoh lari berdatangan
ke dalam ruangan itu.
"Tahu
kalian siapa diantara dua orang muridku yahg berkelahi di depan Kuil
Kwan-im-bio?"bentaknya.
Dua orang anak buah itu ketakutan, dan seorang di antara mereka menjawab dengan suara
gemetar,"
"Saya...
saya hanya mendengar saja, Pangcu. Kabarnya Ciu-twako dan Thio-twako yang berkelahi."
"Cepat cari mereka dan panggil ke sini menghadap, sekarang juga'."
"Baik...
baik... Pangcu....!" Dua orang itu lalu berlari keluar.
Setelah
mereka berdua keluar, Cin Lan berkata kepada Hek-tung Kai-ong, "Pangcu,
aku pun menuntut
agar gelang kemalaku dikembalikan.
Awas, kalau tidak dikembalikan, aku akan minta kepada Ayah agar mengerahkan pasukan untuk membasmi Hek-tung Kai-pang yang berkedok pengemis akan tetapi melakukan perbuatan seperti perampok!" Pedas sekali ucapan gadis itu dan Hek-tung Kai-ong menjadi semakin gelagapan.
Awas, kalau tidak dikembalikan, aku akan minta kepada Ayah agar mengerahkan pasukan untuk membasmi Hek-tung Kai-pang yang berkedok pengemis akan tetapi melakukan perbuatan seperti perampok!" Pedas sekali ucapan gadis itu dan Hek-tung Kai-ong menjadi semakin gelagapan.
Bian Hok
lalu tersenyum dan sambil berkata, "Aih, Siauw-moi, harap bersabar dulu.
Apa yang
dilakukan anak buah itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Suhu,
yaitu Ketua
Hek-tung Kai-pang.
Dan kalau benar mereka berbuat kesalahan, percayalah, Suhu tentu
Dan kalau benar mereka berbuat kesalahan, percayalah, Suhu tentu
akan,
menghukum mereka. Urusan sekecil ini perlu apa harus memusingkan ayahmu, Paman Pangeran
Tang" Bisa menjadi buah tertawaan orang banyak.
Kalau benar gelangmu dirampas,tentu akan dapat kau terima kembali."
Kalau benar gelangmu dirampas,tentu akan dapat kau terima kembali."
"Kalau benar, kalau benar! Engkau beberapa kali mengatakan kalau benar.
Memangnya kau anggap omonganku semua itu bohong belaka?" bentak Cin Lan sambil melototkan matanya kepada Bian Hok. "Cin Lan-siocia, bersabarlah.
Urusan ini dapat diurus dengan sabar, bukan de-ngan kemarahan," kata Pek I Lokai, menyebut siocia karena berada di depan orang lain.
"Biarlah kita melihat bagaimana Hek-tung Kai-pangcu menangani urusan ini. Dan kepadamu, Hek-tung Kai-ong, ini merupakan pelajaran yang amat berharga.
Agaknya engkau kurang ketat
mengamati
kelakuan para muridmu hingga engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan diluar.
Para pengemis hidup dari belas kasihan orang, belas kasihan masyarakat. Karena itu,sudah menjadi kewajiban setiap orang pengemis untuk membalas budi kebaikan masyarakat itu. Dengan cara apa" Dengan menjaga agar kehidupan masyarakat tenteram, membantu dengan menjaga agar jangan ada kejahatan terjadi di masyarakat. Kalau ada pengemis
Para pengemis hidup dari belas kasihan orang, belas kasihan masyarakat. Karena itu,sudah menjadi kewajiban setiap orang pengemis untuk membalas budi kebaikan masyarakat itu. Dengan cara apa" Dengan menjaga agar kehidupan masyarakat tenteram, membantu dengan menjaga agar jangan ada kejahatan terjadi di masyarakat. Kalau ada pengemis
membuat
keja-hatan di masyarakat, itu namanya tidak tahu diri, sudah ditolong malah membalas
dengan kejahatan."
Bian Hok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pek I Lokai, lalu berkata angkuh,"Pek I Lokai, sudah kukatakan tadi, perlu diselidiki lebih dulu duduknya perkara.
Jangan terlalu mendesak Suhu yang sebetulnya tidak tahu apa-apa. Kalau memang ada anak buah Hek-tung Kai-pang yang bersalah, Suhu tentu akan menghukum mereka dan meminta maaf
kepada Adik
Tang Cin Lan."
Terdengar
langkah-langkah kaki di luar lalu muncullah dua orang pengemis.
Cin Lan mengenal mereka sebagai Si Pendek Gendut dan Si Tinggi Besar yang lihai, yang kemarin mengeroyok Tiong Hwi Nikouw dan kemudian dikalahkan oleh Pek I Lokai.
Dua orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ketua mereka yang juga guru mereka dengan sikap takut.
Mata Hek-tung Kai-ong melotot ketika melihat dua orang murid ini berlutut di depannya.
Dengan suara
mengguntur dia berkata, "Apa yang kalian lakukan di depan Kuil Kwan-im-bio kemarin"
Hayo ceritakan yang sebenarnya, kalau berbohong akan kuhancurkan kepala kalian!
" Ketua itu menggebrak meja dengan marah.
" Ketua itu menggebrak meja dengan marah.
Si Pendek
Gendut dengan suara gemetar lalu berkata, "Harap Suhu mengampuni teecu.
Teecu tidak berani berbohong. Kemarin, selagi teecu berjalan melakukan tugas, datang tiga orang mu-rid teecu yang melapor bahwa rnereka dihajar oleh seorang nona di depan Kuil Kwan-im-
Teecu tidak berani berbohong. Kemarin, selagi teecu berjalan melakukan tugas, datang tiga orang mu-rid teecu yang melapor bahwa rnereka dihajar oleh seorang nona di depan Kuil Kwan-im-
bio.
Melihat tiga orang murid teecu luka-luka, teecu menjadi marah dan cepat teecu pergi kedepan kuil itu. Teecu melihat nona itu...."
Melihat tiga orang murid teecu luka-luka, teecu menjadi marah dan cepat teecu pergi kedepan kuil itu. Teecu melihat nona itu...."
"Akulah
nona itu!" teriak Cin Lan. Pengemis itu menoleh dan kembali menundukkan mukanya.
"Nona ini berada di depan kuil dan teecu segera menantangnya, untuk
"Nona ini berada di depan kuil dan teecu segera menantangnya, untuk
membalaskan
tiga orang murid teecu yang dipukuli. Nona ini menerima tantangan teecu dan kami
berkelahi. Lalu nikouw dari kuil itu maju melawan teecu dan ketika teecu
terdesak, lalu
datang
Thio-suheng membantu... hanya itulah kejadian yang sesungguhnya, Suhu."
"Hayo
kau ceritakan hal yang sebenarnya bagaimana!" kata ketua itu kepada
pengemis yang tinggi
besar. Pengemis itu lalu menunduk dan bercerita, suaranya tidaklah takut
seperti sutenya
karena dia merasa tidak bersalah.
"Teecu
kebetulan lewat di depan kuil dan melihat Ciu-sute sedang bertanding dan
terdesak hebat oleh
nikouw tua itu. Lalu teecu membantu Sute.
Setelah kami berdua hampir
mengalahkannya, muncul seorang kakek berpakaian putih...."
Setelah kami berdua hampir
mengalahkannya, muncul seorang kakek berpakaian putih...."
"Suhuku
inilah orangnya!" kembali Cin Lan membentak. Si Tinggi Besar melirik ke
arah Pek I Lokai lalu
dia menunduk lagi.
"Teecu
berdua lalu bertanding mela-wan kakek berpakaian putih itu dai kami mengalami kekalahan.
Hanya itulah yang terjadi, Suhu. Teecu berani bersumpah."
"Hemm, tahukah kalian mengapa tiga orang anggauta itu dihajar oleh Tang-siocia" Dan tahukah kalian siapa Tang-siocia ini" la adalah puteri dari Pangeran Tang Gi Su.
Engkau, Cui Sek, berani engkau menyerang puteri pangeran?"
Si Gendut
itu menjadi pucat wajahnya,
"Sungguh mati... teecu tidak tahu, teecu hanya tahu bahwa tiga orang murid teecu dipukuli seorang nona..." Suaranya seperti meratap.
"Sungguh mati... teecu tidak tahu, teecu hanya tahu bahwa tiga orang murid teecu dipukuli seorang nona..." Suaranya seperti meratap.
"Dan
engkau tahu mengapa rnurid-muridmu dipukuli?"
"Teecu
tidak tahu...."
"Tidak
kautanyakan kepada murid-muridmu?"
"Teecu
keburu marah... eh, maaf teecu tidak sempat....
"Keparat!
Cepat panggil murid-muridmu itu ke sini. Cepat! Ketiganya harus dihadapkan kesini
sekarang juga!"
"Baik, Suhu!" Si Gendut Pendek lalu menggelinding dari tempat itu. Demikian cepat larinya seolah dia menggelinding saking gendutnya.
"Hemm,
baru sekarang ketahuan ya. Ingin aku melihat, bagaimana caranya Ketua Hek-tung Kai-pang
menghukum murid-muridnya yang brengsek!" kata Cin Lan dengan suaramengejek.
Tak lama kemudian terdengar suara bergedebukan dan tiga orang anggauta Hek-tung
Kai-
pang itu
berjatuhan ke dalam didorong oleh guru mereka sendiri.
Cin Lan segera mengenal mereka sebagai tiga orang yang kemarin dihajarnya. Be-kas tangannya masih nampak, ada
Cin Lan segera mengenal mereka sebagai tiga orang yang kemarin dihajarnya. Be-kas tangannya masih nampak, ada
yang benjol
kepalanya ada yang bengkak biru pipinya. Ingin ia menghardik mereka, akan tetapi
tangannya dipegang dengan halus oleh gurunya dan ia pun berdiam diri karena
suhunya
berkedip
kepadanya.
Diam-diam Pek I Lokai merasa suka kepada Ketua Hek-tung Kai-pang itu yang agaknya dapat bersikap jujur dan adil.
Diam-diam Pek I Lokai merasa suka kepada Ketua Hek-tung Kai-pang itu yang agaknya dapat bersikap jujur dan adil.
"Hei,
kalian bertiga. Apa yang kalian lakukan kemarin di depan Kuil Kwan-im-bio
terhadap seorang
nona?" Tiga orang itu saling pandang dan mereka tidak berani mengeluarkar
kata-kata! Karena
mereka tahu
telah berbuat suatu pelanggaran besar, maka mereka kini hanya menundukkan kepalanya.
"Ampunilah hamba, Pangcu", terdengar suara mereka lirih. Karena mereka tidak menjawab Hek-tung Kai-ong menjadi semakin marah. Dia lalu memandang kepada Cin Lan. "Siocia,harap suka katakan tuduhan Siocia kepada mereka," katanya.
"Ampunilah hamba, Pangcu", terdengar suara mereka lirih. Karena mereka tidak menjawab Hek-tung Kai-ong menjadi semakin marah. Dia lalu memandang kepada Cin Lan. "Siocia,harap suka katakan tuduhan Siocia kepada mereka," katanya.
Dengan suara
lantang Cih Lan berkata, "Ketika aku dan ibuku berada di luar kuil, tiga
orang jembel busuk
ini minta sedekah. Ibu telah memberinya, akan tetapi secara kurang ajar mereka
minta supaya
aku juga memberi sedekah.
Aku tidak mau karena ibu sudah memberi. Lalu yang kurus berbibir tebal berhidung pesek seperti monyet itu, tiba-tiba merenggut gelang kemalaku dan mengantonginya. Aku menjadi marah dan kami berkelahi. Kuhajar mereka dan
Aku tidak mau karena ibu sudah memberi. Lalu yang kurus berbibir tebal berhidung pesek seperti monyet itu, tiba-tiba merenggut gelang kemalaku dan mengantonginya. Aku menjadi marah dan kami berkelahi. Kuhajar mereka dan
akhirnya
mereka melarikan diri."
Setelah Cin
Lan berhenti bercerita, ketua itu membentak, "Kalian sudah mendengar semua itu"
Benarkah apa yang dituduhkan nona itu kepada kalian?"
Tiga orang
itu lalu menelungkup di atas lantai. "Ampunkan kami, Pangcu...., kami
tidak berani
berbuat demikian lagi....
Hek-tung
Kai-ong melotot dan
memandang kepada Ciu Sek yang menjadi pucat sekali wajahnya mendengar apa yang telah dilakukan oleh tiga orang murid mereka, Merampas
memandang kepada Ciu Sek yang menjadi pucat sekali wajahnya mendengar apa yang telah dilakukan oleh tiga orang murid mereka, Merampas
gelang, dari
seorang puteri pangeran lagi!
"Ciu Sek, engkau mendengar sendiri kelakuan tiga orang muridmu! Hayo kau-laksanakan hukumannya agar semua orang melihat bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan perampok dan penjahat"
"Baik,
Suhu" kata Si Gendut dan dia lalu memanggil tiga orang muridnya itu,
"Kalian kesini,
merangkak cepat!"
Dengan tubuh gemetaran tiga orang itu merangkak menghampiri guru mereka. Si Gendut itu memandang kepada murid yang kurus dan berhidung pesek yang merampas gelang kemala milik Cin Lan.
"Engkau yang merampas gelang kemala"
"Be... benar, Suhu... ampun, Suhu" kata Si Kurus.
"Di
mana sekarang gelang itu"
Kembalikan!"
Kembalikan!"
"Tidak... tidak mungkin, Suhu... sudah dirampas orang lain"
"Bangsat!
Julurkan tanganmu! Si Gendut mengambil sebatang golok dari punggungnya dan siap untuk
membabat putus lengan tangan perampas gelang kemala itu.
Akan tetapi sebelum golok yang terayun itu mengenai pergelangan lengan tangan, nampak sinar hitam berkelebat.
Akan tetapi sebelum golok yang terayun itu mengenai pergelangan lengan tangan, nampak sinar hitam berkelebat.
"Tranggg...!"
Golok itu terpental. Ternyata yang menangkis golok itu adalah tongkat bambu di tangan
Pek I Lo-kai. "Nanti dulu....!" kata Pek I Lokai.
"Aku
melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah orang ini."
Semua orang
memandang kepada perampas gelang itu dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan wajahnya
berubah menghitam dan ketika diperiksa, ternyata dia telah tewas!
Tentu saja
semua orang merasa heran dan Hek-tung Kai-ong bertanya kepada dua orang anggota
yang lain, "Kemarin setelah dia merampas gelang kemala, lalu apa yang
terjadi dengan dia?"
"Pangcu, dia lari ke pasar untuk menjual gelang itu, akan tetapi dia
bertemu dengan seorang siluman
betina... yang, merampas gelang kemala itu...."
"Hayo
cerita yang jelas. Siluman betina yang bagaimana dan apa yang telah
terjadi?" bentak Sang Ketua
yang tidak sabar. Dia heran dan juga penasaran sekali melihat bahwa pundak
anggauta
yang tewas itu terdapat sebuah titik merah dan agaknya itulah yang membuatnya tewas
seperti yang keracunan.
Dua orang
itu, bantu-membantu, lalu bercerita. Ketika mereka melarikan diri karena kalah oleh Cin
Lan, mereka bertemu guru mereka, Ciu Sek dan mereka melapor bahwa mereka
dipukuli
seorang nona di depan Kuil Kwan-im-bio. Setelah melapor dan guru mereka lari ke arah kuil,
mereka bertiga lalu pergi ke pasar dengan maksud menjual gelang kemala dan membagi uang
penjualannya.
Ketika mereka tiba di pasar dan sedang menawarkan gelang kemala kepada seorang saudagar di tempat terbuka, tiba-tiba terdengar suara wanita dari atas!
Ketika mereka tiba di pasar dan sedang menawarkan gelang kemala kepada seorang saudagar di tempat terbuka, tiba-tiba terdengar suara wanita dari atas!
"Ha-ha-ha, gelang curian, jangan di-beli. Pembelinya bisa masuk penjara se-bagai tukang tadah!" demikian suara itu.
Tiga orang pengemis itu terkejut sekali dan saudagar itu pun pergi,tidak jadi membeli. Ketika mereka melihat ke atas pohon di dekat situ, mereka melihat
seorang
gadis cantik duduk nongkrong di dahan pohon, mereka tadinya mengira gadis itu
Cin Lan yang
tadi menghajar mereka.
Mereka hendak lari dan gadis itu berseru, "Heii, pencuri bisik, hendak lari ke mana engkau?"
Mereka hendak lari dan gadis itu berseru, "Heii, pencuri bisik, hendak lari ke mana engkau?"
Tiga orang
itu berhenti dan karena mendengar suara gadis itu berbeda, seperti nada suara orang
selatan, mereka segera mengenal bahwa gadis itu sama sekali bukan Cin Lan,
biarpun
gadis itu juga cantik jelita.
Marahlah mereka, ter-utama sekali Si Perampas Gelang. Mereka baru saja dihajar seorang gadis, maka kini melihat ada gadis lain berani mempermainkan
Marahlah mereka, ter-utama sekali Si Perampas Gelang. Mereka baru saja dihajar seorang gadis, maka kini melihat ada gadis lain berani mempermainkan
mereka,
tentu saja kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis di atas pohon itu.
"Hei,
siluman busuk, turun kau kalau berani!" bentak Si Pencuri Gelang.
"Baik, aku turun, hendak ku lihat engkau mau apa?" gadis itu melompat dengan ringan sekali ke depan Si Pencuri Gelang dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah dapat merampas gelang kemala itu dari tangan Si Hidung Pesek.
Pengemis ini marah, lalu menubruk dan
berhasil
merangkul pinggang Si Gadis, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak dan roboh terpelanting.
Gadis itu tertawa dan mengambil seekor ular merah dari kalungan lehernya.
Ternyata ular itu
telah
menggigit pundak Si Hidung Pesek dan melihat gadis itu memegang ular, Si Hidung Pesek yang
merasa kesakitan lalu meloncat bangun dan melarikan dirl, dikejar oleh dua
orang kawannya.
"Demikianlah, Pangcu, apa yang kami alami kemarin. Tadinya A-siong hanya merasa gatal-gatal di pundaknya saja dan sama sekali kami tidak menyangka akan begini hebat racun itu."
"Demikianlah, Pangcu, apa yang kami alami kemarin. Tadinya A-siong hanya merasa gatal-gatal di pundaknya saja dan sama sekali kami tidak menyangka akan begini hebat racun itu."
"Ciu
Sek, A-siong sudah mendapatkan hukumannya sendiri atas perbuatannya yang jahat.
Tinggal dua
orang muridmu belum kau hukum," kata Ketua Hek-tung Kai-pang dengan suara bengis.
Agaknya ketua ini belum merasa puas kalau semua yang bersalah belum dihukum.
Ciu Sek yang
sudah kehilangan se-orang muridnya yang tewas secara me-ngerikan itu, lalu berkata
kepada dua orang muridnya. "Kalian tidak merampok, akan tetapi juga
membantu perbuatan
A-siong yang tidak baik, maka harus dihukum pula. Ulurkan tangan kiri
kalian!"
Dua orang
murid itu dengan takut-takut mengulur tangan kiri mereka dan tiba-tiba Ciu Sek menggerakkan
tangannya membuat gerakan membacok dua kali.
Terdengar suara krek-krek dua kali dan tulang lengan kiri kedua orang murid itu patah!
Terdengar suara krek-krek dua kali dan tulang lengan kiri kedua orang murid itu patah!
"Bagus,
dan sekarang kalian dua orang muridku yang lancang menyerang puteri pangeran,membela
murid-murid yang bersalah, tidak lepas dari hukuman pula.
Ulurkan tanganmu, aku sendiri yang akan mematahkan lenganmu!"
Ulurkan tanganmu, aku sendiri yang akan mematahkan lenganmu!"
Pada saat
itu, Bian Hok bangkit ber-diri dan berkata kepada gurunya, "Suhu,
kesalahan Ciu-suheng dan
Thio-suheng tidaklah seberat itu. Mereka tidak ber-buat jahat, hanya kurang
teliti saja. Maka,
harap Suhu suka melihat mukaku dan memberi ampun kepada mereka. Asalkan........
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment