Sunday, January 13, 2019

Cerita Silat Serial Gelang Kemala Jilid 03.


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
     Serial Gelang Kemala
               Jilid 03




"Suheng, kenapa berkata demikian" 
Semua ilmu ada manfaat masing-masing. 
Baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakan ilmu itu. Bagai-mana andaikata ada orang

jahat melaku-kan kejahatan kepada orang lain" Apa yang dapat kita lakukan kalau kita lemah dan tidak memiliki ilmu silat" 

Dan bagaimana mungkin orang dapat membasmi kejahatan,

mempertahankan kebenaran dan keadilan tanpa memiliki kekuatan untuk itu"'


"Hemmm, bicara memang mudah, Sute. Lihat aku ini. Jauh sekali aku ber-sembunyi, tetap saja ada orang-orang yang mencariku untuk mengajak bertanding! Kalau aku tidak

mempunyai ilmu silat, tentu tidak ada orang akan mencari gara-gara mengajak berkelahi.


Tidak, Sute, sekali lagi aku tidak mau meng-angkat murid."


"Tapi, Suheng. Anak ini sudah kuajak ke sini, melakukan perjalanan yang nne-makan waktu hampir satu tahun!" "Itu adalah urusanmu sendiri, Sute. Aku tidak menyuruhmu. Sudahlah, mari kita bicarakan urusan lain saja. Akan halnya anak ini, biarlah dia menjadi muridmu saja. Kelak dia dapat mengamalkan ilmunya itu untuk menolong banyak orang seperti yang telah kaulakukan."


Pada saat itu, terdengar teriakan lantang sekali dari luar rumah. Mereka cadi sudah memasuki rumah ketika Tan Jeng Kun menyambut kedatangan sutenya. Suara dari luar itu terdengar

nyaring sekali, membuat pondok itu seolah tergetar.


"Tan Jeng Kun, kalau engkau memang laki-laki keluarlah dan lawanlah aku!"

Tan Jeng Kun menghela napas. "Nah,, kau lihat sendiri, Sute! Mereka adalah , orang-orang yang selalu mencariku untuk mengajak adu ilmu. Kalau yang satu kalah muncul yang lain dengan dalih menebus kekalahan saudara atau kawannya. Apakah ini tidak tolol" Apakah aku di suruh mengajarkan ilmu seperti ini ,kepada seorang murid agar kelak murid itu pun mengalami hal seperti aku" Tidak, Sute!"


"Haiii, Tan Jeng Kun, jangan sembu-nyi seperti perempuan! Keluarlah!" kem-bali terdengar teriakan itu dan Tan Jeng Kun melangkah keluar, diikuti oleh Kim-sim Yok-sian dan Thian Lee. Setelah tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki berusia lima puluh ta-hun yang

tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dengan perut gendut sekali, mukanya hitam dan tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Orang ini segalanya serba bundar dan besar, kepala-nya, matanya, hidungnya, mulutnya dan telinganya, serba besar. Rambutnya

diikat ke atas dengan semacam kain kuning dan bajunya berwarna biru. Di punggungnya terdapat sebatang ruyung yang menggiriskan, besar dan berduri-duri.


Akan tetapi sebelum Tan Jeng Kun menghampirinya, tiba-tiba dari belakang batang-batang pohon bermunculan empat orang dan mereka ini segera mengepung Si Raksasa Hitam sambil

berteriak marah, "Hek-bin Mo-ko (Setan Bermuka Hitam), engkau harus membayar hutang nyawamu terhadap saudara kami!"

Raksasa yang disebut Hek-bin Mo-Ko itu memandang dan memutar tubuhnya untuk memandangi empat orang yang mengepungnya itu, lalu dia tertawa ber-gelak, "Ha-ha-ha-ha,agaknya kalian ini adalah empat orang dari Toat-beng Ngo-houw (Lima Harimau Pencabut
Nyawa)" Ha-ha-ha, saudaramu mampus di tanganku karena dia berani menentangku.

 Kalau kalian ingin sekali menyusulnya ke neraka, mari kalian boleh maju bersama!"

Empat orang itu sudah marah sekali. Mereka berempat mencabut golok masing-masing dan langsung saja mereka maju mengeroyok dengan golok mereka.

Melihat ini, Thian Lee berseru pena-saran, "Pengecut, tidak adil sekali empat orang mengeroyok seorang!" Akan tetapi empat orang itu tidak peduli dan golok mereka sudah menyambar-nyambar men-cari korban.

 Namun ternyata raksasa muka hitam itu lihai bukan main. Biar-pun tubuhnya tinggi besar dan perutnya gendut, namun dia dapat bergerak dengan gesit dan beberapa kali kakinya melangkah dan tubuhnya berkelebatan, empat batang golok yang menyambar itu luput semua.

Di lain saat dla telah mencabut ruyung dan terdengar suara berdesing ketika ruyung itu dia gerakkan dengan kekuatan dahsyat. Empat orang itu de-ngan
nekat menyerbu dan ketika golok mereka bertemu ruyung, berturut-turut golok mereka terpentaJ dan terdengar bentakan Si Raksasa Hitam empat kal! dan ruyungnya menyambar empat kali.

Nampak darah muncrat dan empat orang pengeroyok itu sudah terpelanting dan
jatuh satu demi satu dengan kepala pe-cah dan tewas seketika!

"Siancai....!" Kim-sim Yok-sia.h ber-seru ngeri dengan wajah agak pucat dan suaranya gemetar.

Akan tetapi Thian Lee rtiemandang kagum. Bukan main ijaksasa itu. Empat orang pengeroyok yang demikian tangguhnya dibikin roboh dalam waktu beberapa " gebrakan saja!

" Dan kini raksasa yang berjuluk Hek-bin Mo-ko itu memanggul ruyungnya menghadapi Tan Jeng Kun.

"Ha'-ha-ha, Tan Jeng Kun.

 Engkau beruntung sekali, sebelum mampus telah ada yang mene-maninya, bahkar) sekaligus empat orang.

Hayo cepat ambil pedangmu dan lawan
aku!" "Hek-bin Mo-ko, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa hari ini engkau mencari dan menantangku berkelahi"

Dan engkau malah telah membikin kotor tempatku dengan pembu-nuhan ini! Engkau seharusnya malu!"

"Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa Tan Jeng Kun adalah seorang jagoan yang mengasingkan diri. Lupakah engkau bah-wa tiga bulan yang laiu engkau telah mengalahkan seorang pengemis tua di sini"

 Dia adalah seorang sahabatku, se-telah mendengar bahwa sahabatku itu
kalah olehmu, aku merasa penasaran dan ingin mencoba kepandalanmu! Hayo lawan aku kalau engkau bukan perempuan!"

Tan Jeng Kun melangkah maju meng-hadapi raksasa itu dan menarik napas panjang beberapa kali. "Sobat, pengemis tua itu datang tanpa sebab dan langsung saja menantangku mengadu ilmu. Kalah atau menang dalam adu ilmu sudahlah wajar, kertapa engkau merasa penasaran?"

"Karena seorang sahabat baikku telah kalah, tentu saja aku merasa penasaran dan hari ini aku menantangmu untuk mengadu ilmu. Hayolah, majulah, atau aku akan hancurkan kepalamu
dengan ruyung ini!" Si Raksasa itu mengancam.

Kini pandang mata Tan Jeng Kun mencorong marah. "Hemm, Hek-bin Mo-ko, tidak usah engkau menantang. Baru perbuatanmu melakukan pembunuhan di pekaranganku ini saja sudah merupakan suatu pelanggaran besar. Aku bukan saja menerima tantanganmu, bahkan
aku pun harus memberi hajaran kepadamu aear engkau bertaubat."

"Ha-ha-ha, sombong benar engkau? . Jangan mengira bahwa setelah engkau mengalahkan sahabatku Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti), engkau akan mampu mengalahkan aku' Nah, cepat ambil pedangmu'"

"Seperti ketika aku melawan tongkat Sin-ciang Mo-kai, aku pun bertangan kosong. 

Maka aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mo-ko. Aku tidak bernafsu membunuh seperti engkau yang kejam!"

"Engkau sendiri yang mengatakan hendak bertangan kosong. Jangan menyesal kalau kepalamu sudah hancur oleh ruyungku!" bentak raksasa hitam itu dan dia pun mengeluarkan terlakan meleng-king, lalu menyerang dengan dahsyatnya, Thian Lee sendiri merasakan
sambaran angin yang telah
menghancurkan kepala empat orang itu. 

Ruyung itu masih berlumuran darah dan kini menghantam ke arah kepala Tan Jeng Kun.

Akan tetapi, suheng dari Kim-sim Yok-sian itu bersikap tenang saja. Ketika ruyung sudah menyambar dekat, dla menundukkan kepala dan ruyung menyambar ke atas kepalanya.

Pada saat itu, dia sudah menggerakkan tangan meluncur ke depan, menotok ke arah siku kanan lawan. Hek-bin Mo-ko tekejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang sambil
menarik lengan kanannya, kemudian me-mutar pergelangan tangan sehingga ruyungnya menyambar balik ke arah dada lawan.

Tan Jeng Kun miringkan tubuhnya dan dengan lengan kanan menangkis ruyung yang terpental ketika bertemu lengan tangan siucai itu. Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran sekali dan dia sudah memutar ruyungnya dengan hebat sekali sambil mengeluarkan bentakan-bentakan menye-rang bertubi-tubi sambil berusaha mendesak lawan yang bertangan kosong.

Namun Tan Jeng Kun dapat bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sambaran ruyung dan tak pernah benda^ berat
itu menyen-tuh tubuhnya. 

Sebaliknya, totokan-totok-annya membuat Hek-bin Mo-ko sibuk sekali.

Dengan senjata berat itu, tentu saja gerakannya tidak dapat ringan dan cepat seperti lawannya sehingga dari mendesak, akhirnya dialah yang terdesak oleh lawan.

Setiap pukulan,totokan, dan tendangan lawan datangnya demikian cepat sehingga beberapa kali raksasa hitam
itu terpaksa melempar tubuh belakang dan berjungkir balik untuk
menghindarkan diri dari
serangan yang demikian cepatnya.

Setelah lewat iima puluh jurus, Hek-bin Mo-ko menjadi terdesak hebat dan tiba-tiba dia melompat ke belakang, kemudian dia mengerahkan tenaga ke arah kedua tangannya,menjatuhkan ru-yungnya dan menggunakan kedua tangan yang terisi tenaga sin-kang dahsyat untuk memukul lawan dari jarak jauh!

 Meng-hadapi serangan ini, Tan Jeng Kun juga memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya ke depan. Inilah kesa-lahan Hek-bin Mo-ko.

Dalam mengadu kekuatan sin-kang, dia mempercepat ke-kalahannya karena
tingkat kekuatan sin-kang lawannya masih lebih tinggi di atasnya. Begitu kedua tangan yang me-ngandung sin-kang itu berseru, tubuh Hek-bin Mo-ko tergetar hebat dan tak lama kemudian dia terpental ke belakang dan jatuh terjengkang!

Masih untung bagi Hek-bin Mo-ko bahwa Tan Jeng Kun sania sekali tidak bermaksud untuk membunuhnya. Maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan
mengalami luka da-lam yang membuat dia muntah darah. Dia merasa bahwa dia tidak mampu melawan lagi, maka dia mengambil ruyung-nya, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan
sepatah pun kata, juga tanpa menoleh lagi kepada lawan.

Tan Jeng Kun menghela napas pan-jang dan memandang empat mayat yang berserakan disitu. "Nah, kaulihat seridiri apa yang kumaksudkan, Sute! Beginilah kalau orang mempelajari ilmu silat.

Pertempuran dan kematian selalu membayanginya. Aku tidak ingin bocah ini kelak hanya akan mendatangkan musuh-musuh seperti yang kaulihat tadi."

"Akan tetapi, Locianpwe," tiba-tiba Thian Lee berkata dengan suara mem-bantah penasaran,"Kalau orang yang datang hendak menantang berkelahi dengan Locianpwe, itu bukan berarti
Lo-cianpwe yang bersalah, melainkan kesa-lahan mereka sendiri. Untung Locianpwe memiliki ilmu silat yang lihai, tidak demikian, tentu Locianpwe yang menggeletak mati seperti mereka berem-pat. Ilmu silat ada gunanya untuk membela diri."

"Apa yang dikatakan Thian Lee ada benarnya, Suheng," bujuk pula Kim-sim Yok-sian.

"Justeru dengan adanya para pendekar yang berkepandaian tinggi maka sepak terjang dan ulah orang-orang sesat itu dapat dibendung. Bayangkan saja, Suheng, andaikata di dunia
kang-ouw ini tidak ada para pendekar, maka tentu orang-orang sesat akan semakin meraja-lela, dan mereka melaksanakan hukum nmba seenak perutnya sendlri. Thian Lee bercita-cita
menjadi pendekar untuk me-nentang mereka yang menggunakan ilmu silat untuk berbuat kejahatan.

 Dengan demikian maka keadaan antara baik dan buruk dapat seimbang. Pinto kira keada-anmu tidak jauh bedanya dengan keadaan pinto. Pinto mempelajari ilmu pengobatan untuk menentang serangan penyakit terhadap manusia, dan Suheng mempelajari ilmu silat
untuk menentang serangan orang jahat terhadap manusia pula. Apa bedanya" 

Karena itu,Suheng, biarpun Suheng menyia-nyiakan ilmu silat dengan mengasingkan diri di sini, biarlah
Suheng mempunyai murid yang kelak akan memanfaatkan ilmu silat untuk menentang kaum penjahat." Tan Jeng Kun menghela napas lagi. Ucapan Thian Lee dan sutenya itu agak-nya membuka
hatinya.

Dia lalu bekerja menggali lubang, dibantu oleh Thian Lee dan Kim-sim Yok-sian,dan menguburkan empat mayat itu dengan sepantasnya. Kemudian mereka memasuki rumah kembali. "Telah kupikirkan masak-masak ketika kita bekerja tadi," katanya kepada Thian Lee dan sutenya.

"Baiklah, aku dapat menerima Thian Lee sebagai muridku, akan tetapi hanya dengan syarat-syarat yang harus dia janji dengan sumpah untuk kelak dia penuhi."
Kim-sim Yok-sian gembira sekali mendengar ini dan dia berkata kepada Thian Lee, "Thian Lee, cepat memberi hormat kepada gurunnu dan katakan bahwa engkau siap menerima syarat
apa pun darinya." Thian Lee lalu maju berlutut dan memben hormat kepada Tan Jeng Kun. buhu, teecu akan
menaati semua petunjuk Suhu dan berjanji akan melaksanakan semua syarat dari Suhu."

"Bagus, dan sekarang, disaksikan oleh susiokmu Kim-sim Yok-sian, ucapkan sumpahmu bahwa kelak engkau tidak boleh menonjolkan ilmu silatmu, engkau harus berpura-pura tidak
mampu ilmu silat, menyembunyikan ilmu silatmu agar tidak ada yang tahu bahwa engkau pandai silat, dan hanya menggunakan ilmu silatmu dalam keadaan terpaksa saja untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."

Dengan suara lantang Thian Lee mengucapkan sumpahnya, "Teecu bersum-pah bahwa kelak teecu tidak menonjolkan. nmu silat dan menyembunyikan ilmu silat teecu dan hanya menggunakan dalam keadaan terpaksa saja!"

"Bagus, sekarang berl hormat kepada susiokmu!"

Thian Lee lalu berlutut di depan Dewa Obat dan menyebut, "Susiok, terimalah hormat teecu."

Kim-sim Yok-sian menjadi girang sekali. "Aku pun akan tinggal di sini barang setahun untuk memberi pelajaran ilmu pengobatan kepadamu agar kelak dapat kaupergunakan demi keselamatan orang-orang lain, Thian Lee," katanya.

Demikianlah, mulal harl itu, Thian Le menerima pelajaran ilmu silat dar Tan Jeng Kun dan ilmu pengobatan dari Kim-sim Yok-sian.

Selain llmu sllat dan ilmu pengobatani Thian Lee juga memperdalam ilmu sastra dari kedua orang gurunya itu, dan mulai membaca kitab-kitab kuno tentang seja-rah dan Agama To dan Agama Buddha, juga tentang pelajaran Nabi Khong-cu.

Dari Dewa Obat, dia menerima
banyak nasihat tentang kehidupan.
Hidup adalah belajar, demikian antara lain kata Kim-sim Yok-sian. Siapa yang tidak mau belajar dari kehidupan, dia orang yang bodoh. Dalam kehidupan se-hari-hari, kalau kita mau membuka ma ta, maka terdapat pelajaran tentang hidup dan pengalaman merupakan guru
terbaik. Uhat di sekelilingmu dan engkau akan menemukan contoh-contoh yang jelas sekali.

Di samping mempelajari semua itu setiap hari Thian Lee juga bekerja dengan rajin. 

Mencuci,membersihkan pondok, mencari kayu bakar dan segala pe-kerjaan Jain untuk melayani kedua orang tua itu. Di waktu musim semi dan m" simpanas, dia mencangkul dan menanam sayur-
sayuran dan segala macam tanaman yang dapat dimakan. Kalau tiba musim rontok dan musim salju, dia pergi sampai Jauh untuk berburu dan memancing.

Pendeknya, Thian Lee rajin sekali
sehingga kedua orang tua itu amat menyayangnya karena dalam pelajaran pun dia maju pesat.

Terutama dalam ilmu silat, Tan Jeng Kun percaya akan kebenaran sutenya bahwa Thian Lee adalah seorang anak yang memiliki bakat yang hebat. Selama tiga tahun mempeiajari ilmu
silat, Thian Lee telah matang dalam gerakan dasar dan, bahkan telah mempunyai sin-kang yang lumayan.

Tubuhnya memang kuat, apalagi setiap hari dipakai bekerja keras maka dia
telah berhasil menghimpun tenaga yang kuat sekali.

Pada suatu hari di musim rontok, Thian Lee pergi meninggalkan pondok untuk berburu binatang. Usianya kini sudah lima belas tahun dan tubuhnya tinggi tegap. Biarpun usianya baru tingkat remaja, namun wajahnya sudah tampak dewasa karena sejak kecil dia sudah
biasa berdikari, bahkan dia bekerja untuk keperluan mereka bertiga. Dengan senjata sebatang busur dan beberapa batang anak panah, dia pergi berburu.

Akan tetapi sampai jauh
meninggalkan pondok, dia belum bertemu binatang buruan seperti kelinci dan sebagainya.

Akhirnya terpaksa dia mendaki puncak yang lebih tinggi. Padahal gurunya pernah menceritakan bahwa puncak itu berbahaya dan kabarnya ada semacam binatang ajaib dipuncak itu yang amat ganas sehingga tidak pernah ada orang yang berani naik ke puncakitu.

Menurut penuturan Tan Jeng Kun, makhluk yang berada di puncak itu memang aneh, mirip manusia bagi yang pernah melihatnya dari jauh, berjalan dengan kedua kaki belakang akan
tetapi tubuhnya berbulu abu abu kecoklatan mirip biruang. Penduduk Tibet menyebutnya dengan Yeti dan menganggapnya sebagai manusia salju yang dikeramatkan dan dianggap
sebagai dewa yang berada di puncak-puncak yang tinggi.

Thian Lee yang penah mendengar cerita itu tidak takut. Kenapa takut kalau dia tidak mempunyai niat buruk " Dia hanya akan mencari binatang buruan untuk dimakan. Kalau benar ada manusia salju, dia tidak akan mengganggunya. Biarpun musin salju belum tiba,namun di puncak itu sudah tertutup oleh salju.

 Bahkan di waktu musim panas sekalipun,puncak paling atas dari bukit itu sudah tertutup salju.
Sungguh sial hari itu bagi Thian Lee.

Setelah masuk keluar hutan, belum juga dia menemukan binatang buruan. Dia mendaki terus sampai akhirnya dia tiba di bagian yang bersalju. Tiba-tiba dia berhenti dan bertiarap. Dia melihat beruang. Biarpun selama ini dia belum pernah mendapatkan beruang, dan kadang timbul rasa ngeri melihat besarnya binatang itu, akan
tetapi sekali ini dia bermaksud merobohkan seekor beruang yang tampak di depan itu.

Beruang itu sedang mendekam diatas salju dan menghadapi sebuah lubang. 

Ternyata di depan beruang itu kalau musin panas menjadi sebuah telaga kecil dan kini sudah tertutup salju
seluruhnya dan beruang itu membuat lubang, agaknya untuk mencari ikan. 

Kadang-kadang tangannya menyambar ke lubang dan seekor ikan dapat ditangkapnya. Dia sudah mendapatkan beberapa ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar diatas salju.

Thian Lee memasang sebatang anak panah dan merayap mendekati. Setelah jaraknya cukup dekat, tinggal belasan meter lagi dia lalu mementang busurnya dan melepaskan anak panah
mengarah dada binatang yang mendekam itu.

" Seeerrr ??. Cappp ????. Panah itu tampaknya menancap di dada biruang itu dan binatang besar itu jatuh terjengkang.

Bukan main girangnya hati Thian Lee dan dia lalu berlari-lari menghampiri biruang yang sudah menggeletak miring di atas salju itu.

 Akan tetapi, Thian Lee terbelalak dengan kaget bukan main ketika dia sudah tiba dekat, biruang itu meloncat berdiri dan berhadapan dengan dia. Ternyata yang disangkanya biruang itu bukan biruang.

Makhluk itu tinggi sekali, dua kali
lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, dan mukanya seperti manusia, atau seperti kera, tubuhnya berbulu kelabu kecoklatan, matanya berkedip-kedip dan anak panah tadi sama sekali tidak
menancap di dadanya melainkan dijepit di bawah lengannya atau terjepit ketiak. 

Kini makhluk itu mengambil anak panah tadi dan sekali jari-jarinya menekuk, anak panah itu patah menjadi dua dan dibuang ke atas lantai bersalju.

Saking kagetnya Thian Lee sampai tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. 

Mulutnya lalu berkata gugup, ??Maafkan aku ?? maafkan aku karena aku tadinya mengira bahwa engkau adalah seekor biruang ????!

Dia lalu teringat bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang manusia, dan teringat dia akan cerita gurunya tentang Yeti, Si

Manusia Salju. Dia dapat menduga bahwa cerita itu bukan dongeng belaka dan yang dihadapi kini tentulah Si Manusia Salju dalam dongeng itu. Dan Yeti itu agaknya mengerti apa yang dia katakana, mengeluarkan suara seperti gerengan dan matanya mengamati Thian Lee dari kepada sampai ke kaki.

Thian Lee berpikir bahwa kalau makhluk itu menyerangnya, akan berbahayalah baginya.

Makhluk setinggi itu tentulah memiliki tenaga yang dahsyat. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya hendak melarikan diri. Akan tetapi baru dua langkahdia pergi, tiba-tiba tubuhnya
ditangkap dari belakang dan sekali Yeti itu menariknya, diapun roboh terjengkang.

Celaka, piker Thian Lee,. Binatang atau makhluk ini menyerangku dan benar saja tenaganya luar biasa sekali. Karena tidak ingin mati konyol tanpa melawan, Thian Lee lalu meloncat bangun berdiri dan memasang kuda-kuda , siap menghadapi serangan makhluk itu.

Akan tetapi tetap saja dia menanti pesan gurunya, antara lain bahwa dia sama sekali tidak boleh menyerang lebih dahulu. Dia menanti sampai makhluk itu menyerangnya, dan siap menghadapinya dengan busur di tangan. Tidak ada lain senjata kecuali busur dari kayu itu,
dan menghadapi lawan yang begini kuatnya dia memerlukan senjata.

Maafkan aku, aku tidak sengaja memanahmu, kukira biruang dan kami membutuhkan daging binatang buruan.

Maafkan aku !!!

Entah mengerti atau tidak makhluk itu, akan tetapi tiba-tiba saja kedua tangannya menubruk ke depan! Thian Lee menangkis dengan busurnya, akan tetapi sekali renggut, busur itu
terampas dan dibuang jauh-jauh, kemudian kembali makhluk itu menubruk dan biarpun Thian
Lee sudah mengelak cepat, tetap saja pinggangnya dapat dirangkul dan tubuhnya diangkat tinggi, dipanggul dan dibawa lari cepat sekali.

Thian Lee merasa ngeri. Makhluk itu lari mendaki puncak yang penuh salju. Kalau dia meronta atau memukul sehingga makhluk itu roboh, tentu ia akan ikut pula terjatuh, padahal di kanan kiri terdapat jurang menganga lebar! Dia pun diam saja, bahkan tidak berani bergerak, membiarkan dirinya dibawa lari diatas pundak makhluk itu.

Akhirnya makhluk itu tiba di depan sebuah gua di antara puncak bukit bersalju dan masuk ke dalam gua. Thian Lee lalu diturunkan dengan perlahan.

Jelas bahwa makhluk itu tidak berniat
untuk melukainya. Akan tetapi ketika tubuhnya berada di atas lantai yang berbatu, dia terkejut sekali karena didepannya terdapat kerangka manusia yang masih dusuk bersila.

Dia merasa serem sekali. Kerangka itu masih utuh, dan mengapa ada kerangka tidak runtuh terlepas melainkan masih dalam keadaan bersila seolah antara tulang-tulangnya terdapat sambungan atau saling melekat" Juga tengkorak itu masih utuh, hanya giginya sudah tidak
ada lagi, mulut itu terbuka seolah tertawa. 

Dia merasa ngeri akan tetapi juga menaruh hormat karena dapat menduga bahwa tentu kerangka ini milik seorang yang dahulunya sakti sekali.

Dan dia melihat makhluk Yeti itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kerangka itu.

Melihat ini, tiba-tiba timbul rasa hormat dalam hati Thian Lee terhadap kerangka itu dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kerangka itu. Karena merasa dirinya terancam dan tak ada yang dapat menolongnya dari tangan Yeti itu maka dia timbul niatnya minta
tolong kepada kerangka itu yang jelas dihormati makhluk itu.

Locianpwe, mohon pertolongan locianpwe dan teecu suka menjadi murid locianpwe. Katanya sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai di depan kaki kerangka itu.

Dan terjadilah keanehan. Ketika dia membenturkan dahinya sebanyak delapan kali untuk menghormati kerangka itu sebagai gurunya, mendadak lantai yang terbentur kepalanya itu

bergerak dan runtuh ke bawah sehingga tubuhnya ikut pula terjatuh ke sebuah lubang. 

Cepat Thian Lee mengerahkan tenaganya untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang dan untung dia telah memiliki tenaga singkang yang cukup sehingga dia tidak terbanting keras dan tidak
terluka. Ternyata disitu muncul lubang dan terdapat anak tangga turun ke bawah dimana terdapat ruangan lain yang besar sama dengan besar gua diatas. Dan sambil mengeluarkan suara menguik-nguik aneh makhluk itu pun menuruni tangga dan berdiri didekat Thian Lee.

Kini Thian Lee merasa yakin bahwa makhluk itu tidak bermaksud jahat. Dia pun menoleh kepada makhluk itu dan bertanya ?? Saudara yang baik, apa artinya semua ini ??".


Makhluk itu mengulurkan tangannya dan mendorong-dorong tubuh Thian Lee pada
punggungnya, menyuruh pemuda remaja itu untuk maju. Thian Lee mengangkat muka memandang. Ketika matanya sudah dapat menembus cuaca yang remeng-remang dalam ruangan bawah gua itu dan dia melihat sebuah meja berdiri di sudut ruangan. Dan diatas meja
itu terdapat sebatang pedang dan dua buah kitab diatas meja. Jantungnya berdebar tegang.

Agaknya makhluk itu mendorongnya kea rah meja agar dia mengambil pedang dan kitab-kitab itu. Akan tetapi, sejak kecil Thian Lee sudah diajar sopan santun oleh ibunya dan kemudian oleh
Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dia pun diajar bagaimana menjadi seorang pemuda yang baik dan bersusila. Maka dia pun tidak berani lancing mengambil benda-benda bukan miliknya begitu saja dengan lancing. 

Setelah berpikir sejenak, diapun menjatuhkan diri berlutut di depan meja itu untuk memberi hormat. Ketika berlutut itulah dia melihat tulisan
kecil-kecil terukir di lantai batu. Kalau dia tidak berlutut, tidak mungkin tulisan itu dapat nampak dalam keadaan berdiri. Dia lalu membacanya.

Aku menerimamu menjadi murid. 

Engkau boleh mengambil kitab dan pedang, akan tetapi lebih dahulu tekan tombol ini sebanyak sembilan kali.

Tulisan ini tidak menyebutkan siapa penulisnya dan dibawah tulisan itu terdapat sebuah tombol besi. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Thian Lee menekan tombol besi itu.


Ditekan sekali tidak terjadi apa-apa. Dua kali, tiga kali, tetap tidak terjadi sesuatu. 

Akan tetapi ketika tekanan sampai ke sembilan kalinya, terdengar suara keras dan dari meja itu meluncur banyak sekali paku dan jarum yang menyerang ke berbagai penjuru, lalu menancap pada
dinding batu. 

Thian Lee terkejut dan ketika dia menengok, diapun melihat makhluk itu sudah pula berlutut seperti dia. Untung makhluk itu melakukan itu, kalau tidak tentu sudah menjadi korban senjata rahasia yang berhamburan tadi.

Kini mengertilah Thian Lee. Hanya orang yang berlutur didepan meja itu yang akan dapat mengambil pedang dan kitab. Siapa yang lancing mengambilnya begitu saja, tak dapat dihinarkan lagi tentu akan tewas terkena senjata rahasia.

Dia bergidik ngeri kalau membayangkan itu. Untung dia selalu ingat nasehat-nasehat ibunya dan kedua orang gurunya yang terakhir. 


Kalau menurutkan watak dua orang gurunya yang pertama, Liok te Lomo atau Jeng ciang kwi, tentu mereka itu akan langsungsaja mengambil pedang dan kitab. Setelah kembali memberi hormat untuk menghaturkan terima kasih, dia pun berkata,


"Locianpwe, harap maafkan teecu kalau teecu berani lancing mengambil pedang dan dua buah kitab itu". Barulah dia bangkit berdiri dan ternyata makhluk itu pun sudah berdiri dibelakangnya. 

Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang kegirangan atau tertawa yang
aneh ketika dia menjulurkan tangan mengambil sebuah kitab, lalu dibukanya kulit kitab itu.

Sebuah kitab yang kuno sekali dan di lembar pertama tertulis judulnya : THIAN-TE SIN-KANG (Tenaga Sakti Langit Bumi) dan ketika dia membuka lembar berikutnya, ternyata banyak diantara huruf dalam kitab itu yang tidak diketahuinya. 


Tanpa bantuan orang pandai,
agaknya akan sulit sekali baginya mempelajari isi kitab itu. Kitab kedua diambil dan dibukanya, ternyata merupakan kitab pelajaran ilmu pedang yang tertulis judulnya : JIT-GOAT KIAM-SUT (Ilmu Pedang Matahari dan Bulan). 

Seperti halnya dengan kitab pertama,
kitab kedua inipun mengandung banyak huruf yang tidak diketahui, semacam huruf kuno.

Dia girang sekali dan dia lalu mengambil pedang itu. Dicabutnya pedang itu dari sarungnya dan segera dimasukkanya kembali saking kagetnya karena begitu dicabut, nampak sinar seperti
kilat menyambar. Dia mencabut lagi perlahan-lahan dan ternyata pedang itu mengkilat,berkilauan padahal di ruangan itu hanya masuk sedikit saja sinar dari luar. 

Dan dipangkal pedang itu terdapat ukiran huruf JIT-GOAT SIN=KIAM (Pedang Pusaka Matahari dan Bulan). Setelah melihat ketiga benda pusaka itu, Thian Lee kembali menjatuhkan diri berlutut kepada meja itu untuk menghaturkan terima kasihnya.


Kemudian dia berkata kepada Yeti yang masih berdiri disampingnya, ??Saudara yang baik,semua ini adalah atas kebaikan budimu yang membawa aku ke tempat ini, maka aku menghaturkan terima kasih kepadamu?. 

Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menjatuhkan diri berlutut kepadanya, memberi hormat seorang manusia memberi hormat kepada gurunya atau kepada majikannya. Thian Lee terkejut dan bingung sekali. Akan tetapi dia memegang kedua pundak Yeti itu dan membangunkannya.


Saudara tidak semestinya engkau berlutut kepadaku, akan tetapi akulah yang seharusnya berlutut kepadamu?. Dia mengajak makhluk itu keluar, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan kerangka,agak jauh di luar lubang. Dan sungguh aneh sekali, begitu dia berlutut, agaknya terguncangketika lubang itu runtuh, tiba-tiba saja kerangka itupun runtuh terlepas dan menjadi
setumpuk tulang dan tengkoraknya jatuh diatas tumpukan tulang.!

Melihat makhluk itu kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan suara nguik-nguik
seperti orang menangis kemudian dia memunguti tulan itu satu demi satu dengan hormat sekali dan membawanya turun ke bawah. 

Melihat ini Thian Liong tidak tinggal diam diapun memunguti sisa tulang dan tengkorak, dan membawanya masuk ke dalam ruangan di bawah gua. Mereka berdua menaruh tulang-tulang dan tengkorak itu diatas meja dimana kitab dan pedang tadi berada, kemudian setelah kembali memberi hormat, Thian Liong mengajak Yeti itu keluar. 


Setiba di luar gua, diatas ruangan itu, Yeti lalu mengambil batu besar. Sungguh hebat sekali tenaga Yeti itu. Batu besar yang belum tentu dapat digerakkan oleh sepuluh orang itu dapat digulingkan oleh Yeti memasuki gua dan menutup lubang itu.


"Saudara yang baik, sekarang aku harus kembali ke rumah guruku. Mereka tentu akan cemas sekali menanti aku pulang?. 

Mendengar ini, Yeti itu lalu menjatuhkan diri lagi di depan kaki Thian Liong. Thian Liong merasa terharu. Kini dia mengerti mengapa makhluk itu begitu

menghormatinya. "Ah, saudaraku yang baik. Mendiang suhu tentu orang yang luar biasa bijaksananya sehingga
engkau yang menjadi temannya begitu setia kepadanya. 

Tentu engkau menganggap akusebagai murid atau ahli warisnya maka engkau begitu menghormatiku, mengingat akan
mendiang suhu. Arwah suhu yang entah siapa namanya itu tentu akan tersenyum di alam baka melihat kesetianmu. Engkau bukan manusia, akan tetapi jarang sekali ada manusia yang memiliki kesetian seperti engkau. 

Thian Liong lalu merangkul leher makhluk itu dengan kasih sayang sepenuh hatinya. Dia merasa sayang sekali kepada makhluk itu dan merasa terharu melihat kesetiaan yang demikian besarnya.


Nah, saudaraku, sekarang aku harus pergi. Atau maukah engkau ikut dengan aku" Kedua orang guruku tentu akan senang sekali menerimamu?.

Akan tetapi makhluk itu sekali ini menggelengkan kepala dan duduk diatas batu besar seolah dia hendak menjaga tempat itu selamanya. Thian Liong maklum akan hal ini karena telah
melihat kesetiaan makhluk itu yang demikian luar biasa. Ketika Thian Liong hendak pergi,tiba-tiba makhluk itu melompat turun, memegang tangan Thian Liong dan diajaknya pergi
kesamping gua. Disitu banyak tumbuh jamur yang belang-belang, dan makhluk itu lalu mencabut beberapa batang jamur, lalu memakannya begitu saja dan dia menawarkan kepada Thian Liong untuk ikut makan jamur itu.

Thian Liong sudah mempelajari ilmu pengobatan, maka dia mencium jamur itu. Tidak ada tanda beracun, akan tetapi dari baunya yang keras diatahu bahwa jamur itu mengandung obat yang keras sekali, entah untuk menyembuhkan penyakit apa, hal ini perlu diselidiki.akan
tetapi karena dia melihat makhluk itu juga makan, untuk tidak membuat hati makhluk itu kecewa, diapun makan sebatang jamur. 

Eh, rasanya manis dan gurih. Karena perutnya memang lapar, dia lalu mencabut agak banyak dan makan dengan enaknya. Anehnya melihat
Thian Liong makan banyak jamur, makhluk itu berjingkrak-jingkrak seperti merasa kegirangan sekali. Perut Thian Liong menjadi kenyang setelah
menghabiskan banyak jamur.

Akan tetapi tiba-tiba ada rasa panas luar biasa pada perutnya. Ada hawa panas yang berputar fi perutnya. Dia merasa dadanya sesak, terhimpit hawa dari perut itu dan cepat dia meletakkan kitab dan pedang diatas lantai dan dia menekan perutnya yang rasanya hendak meledak. 


Makhluk itu lalu membimbing tangannya dan kemudian makhluk itu bersila. Thian Lee maklum bahwa makhluk itu mgajarkan dia dusuk bersila, maka diapun duduk bersila lalu melatih pernapasan seperti kalau dia melatih ilmu menghimpun tenaga dalam dari gurunya,Tan Jeng Kun. 


Dan perlahan-lahan dia dapat menguasai gejolak dalam perutnya itu, dapat
menguasai hawa yang amat kuat dan yang hendak mecuat ke sana sini, kemudian menekan kebawah perut untuk mengumpulkan hawa itu pada tan tian (titik empat cm dibawah pusar).

Akhirnya, setelah duduk bersila selam tiga jam, dapat juga dia menenangkan hawa panas yang amat kuat itu ke dalam tan tian.

Akhirnya dia dapat bangkit berdiri dan dia segera mencabut banyak jamur untk dibawa pulang. Dibungkusnya jamur itu ke dalam bajunya dan dia sendiri bertelanjang baju karena tubuhnya masih terasa panas sekali yang timbul dari bawah perutnya. Kemudian dia
melambaikan tangan kepada Yeti dan sekali ini Yeti balas melambaikan tangan.

"Sekali lagi terima kasih, saudara yang baik. Lain kali aku pasti akan dating menjengukmu kesini". Setelah berkata demikian, pergilah dia. Aneh sekali, ketika melangkah dia merasa tubuhnya
demikian ringan seolah-olah tubuhnya terisi hawa yang membuat dia seperti hendak mengudara. Setelah hari menjadi malam, akhirnya tibalah dia di pondok gurunya dan ternyata dua orang
gurunya telah menanti di depan pondok dengan wajah agak gelisah.

"Thian Lee, kemana saja engkau seharian ini?", tegur Tan Jeng Kun, dengan suara yang agek keren dia merasa tidak senang muridnya telah membuat mereka berdua kawatir.

"Eh, apa yang terjadi dengan dirimu, Thian Lee". Tanya Kim Sim Yok Sian yang melihat muridnya itu bertelanjang dada, membawa sesuatu yang dibuntal dengan pakaian, juga membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.

"Suhu dan Susiok, teecu mengalami hal yang luar biasa sekali. Suhu dan Susiok mungkin tidak percaya akan apa yang teecu alami di puncak dimana tinggal makhluk manusia salju itu".

 "Engkau kesana" Sudah kularang engkau kesana?" Tegur Tan Jeng Kun.


"Apa yang telah terjadi" Cepat ceritakan. Mari kita semua masuk ke dalam" kata Kim Sim Yok Sian yang lebih sabar daripada gurunya.

Mereka semua masuk dan Thian Lee meletakkan pedang dan dua buah kitab keatas meja, juga buntalan pakaian yang terisi jamur ajaib.

Dengan jelas dia menceritakan semua pengalamannya di puncak bukit itu, didengarkan oleh Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dengan mata terbelalak saking herannya.

Setelah Thian Lee selesai bercerita dengan jelasnya, dua orang itu segera sibuk memeriksa.

Tan Jeng Kun memeriksa pedang dan kitab, sedangkan Kim Sim Yok Sian memeriksa jamur belang dan keduanya mengeluarkan seruan kaget dan juga gembira.

"Ya Tuhan, engkau memang berjodoh menjadi ahli waris perguruan kami, Thian Lee". Tan Jeng Kun berseru girang setelah melihat pedang dan kedua buah kitab.

"Siancai "! Jamur ini adalah jamur ular belang yang langka. Nampaknya tidak beracun, akan tetapi mengandung racun yang halus sekali. Dan engkau telah memakannya Thian Lee".

"Benar, Susiok. Teecu makan banyak sekali. Rasanya manis dan gurih. Makhluk manusia salju itu yang menyuruhku makan dan teecu lalu mengalami gejolak hawa panas di perut teecu yang menyiksa. 

Akan tetapi manusia salju itu

mengajarkan agar teecu bersila dan lalu
teecu melakukan latihan seperti yang diajarkan Suhu dan akhirnya teecu dapat menyimpan hawa itu ke dalam tan tian".

"Siancai "! Ini luar biasa sekali. Engkau telah memperoleh kekuatan yang luar biasa, Thian Lee. Untung sekali ada manusia salju yang mengajarimu. 


Andaikata ketika engkau diserang
hawa panas bergejolak itu engkau tidak berdiam diri menghimpun tenaga dalam, dan kau pakai untuk lari atau
menggunakan tenaga, mungkin engkau telah roboh dan tewas kalau
hawa itu menyerang ke dalam kepalamu. 

Sebaliknya, dengan menyimpannya ke dalam tantian, engkau akan memperoleh kemajuan pesat dalam hal tenaga sin kang". Kata Kim Sim Yok Sian setelah dia memegang pergelangan tangan pemuda remaja itu untuk memeriksa
keadaan kesehatannya.

 Dan kitab itu. Sute, coba kau lihat kitab dan pedang ini. Kata Tan Jeng Kun kepada sutenya.


Kim Sim Yok Siam membuka-buka kitab itu. Wajahnya tampak tegang dan ketika dia mencabut pedang Jit goat Sin kiam, matanya terbelalak.

"Siancai ". Bagaimana bisa terjadi suatu kebetulan seperti ini" Tentu sudah dikehendaki olehThian. Tahukah engkau siapa kerangka itu, Thian Lee".

"Teecu, tidak tahu Susiok".
"Itu .. adalah kerangka sucouwmu (buyut gurumu)!

"Ahhh"!" Thian Lee berseru kaget sekali. Tentu saja dia sama sekali tidak menduga bahwa kerangka itu adalah kerangka buyut gurunya! "Susiok dan Suhu, apa yang terjadi dengan sucouw", "Su kong (kakek guru) kami berjuluk Thian te Seng jin (Orang Sakti Langit Bumi), dan ketika
guru kami masih hidup, sukong kami itu menghilang dari dunia kang ouw. Tidak ada seorang pun yang mengetahui dimana sukong kami berada, bahwa suhu kami juga tidak mengetahui.

Dia dianggap lenyap dari permukaan bumi. Siapa tahu, dia tidak berada jauh dari sini, bahkan berada di puncak yang dianggap menjadi tempat tinggal manusia salju dimana tidak ada orang
berani datang. Dan lebih tidak terduga lagi, kiranya engkau yang menjadi ahli warisnya! 

Dan betapa berbahayanya ketika engkau hendak mengambil kitab dan pedang itu.


 Pinto yakin,setiap jarun dan paku itu mengandung racun yang akan mencabut nyawa siapa saja yang terkena olehnya. 


Ini menunjukkan bahwa sudah ditakdirkan engkau yang berhak mempelajari ilmu baru yang ditinggalkannya itu dan memiliki pedang pusakanya".


"Akan tetapi susiok. Bagaimana teecu dapat mempelajari kitab itu". Ketika teecu
memeriksanya, terdapat banyak huruf yang tidak teecu kenal."

"Ha ha ha, apa percuma saja gurumu seorang sastrawan" Memang tulisan itu memakai huruf kuno, akan tetapi suhumu tentu dapat membantumu. Dan lebih beruntung lagi, engkau juga
telah makan jamur ular belang sehingga engkau akan mendapatkan kekuatan yang hebat. Dan masih ada sebanyak ini. 

Engkau harus memakannya sedikit demi sedikit agar tidak membahayakan kesehatanmu".


"Suhu dan Susiok, teecu telah makan banyak jamur. Maka biarlah jamur ini untuk suhu dan susiok saja". "Heh heh heh, pinto ini tukang mengobati, untuk apa jamur yang mendatangkan tenaga sin-kang" Tidak, pinto tidak
memerlukannya", kata si Tabib Dewa.

"Kalau begitu, biar dimakan oleh suhu". Kata Thian Lee.


Suhunya mengerutkan keningnya, "Aku sudah tua, untuk apa segala macam obat kuat"

Biarlah engkau yang memakannya sampai habis, akan tetapi benar seperti kata susiokmu,harus dimakan sedikit demi sedikit. Dan kitab pelajaran ilmu sin-kang Thian te Sin-kang ini tentu cocok dengan orang yang memakan jamur itu sehingga engkau akan dapat menguasai
tenaga sakti itu dengan baik. Tentang ilmu pedang Jit goat Kiam sut ini, dan isi kitab, jangan kawatir, aku akan
menerangkan dan menjelaskan isi dan artinya. 

Akan tetapi engkau harus
berlatih sendiri karena aku tidak berhak mempelajarinya, juga aku sudah tua, tidak ingin mempelajari ilmu silat apapun lagi".

Demikianlah, mulai hari itu, selain menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong dari gurunya,
Thian Lee mulai berlatih sin-kang dari kitab Thian te Sin kang dan mempelajari ilmu pedang ari kitab Jit goat Kiam sut, mempergunakan pedang Jit goat Sin Kiam. Memang pada dasarnya dia memiliki bakat yang amat baik, darah bersih dan tulang yang kuat, apalagi
ditambah khasiat luar biasa dari jamur ular belang, maka Thian Lee mendapat kemajuan pesat sekali. 

Kim Sim Yok Sian hanya tinggal setahun disitu, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk merantau dan melanjutkan tugasnya, yaitu melawan wabah penyakit dan mengobati orang-
orang sakit. 

Dalam waktu setahun itu, dia sudah mengajarkan ilmu pengobatan yang lumayan bagi Thian Lee. 


 Kita tinggalkan dulu Thian Lee yang dengan tekun digembleng oleh Tan Jeng Kun di sebuah puncak dari Pegunungan Himalaya dan marilah tengok keadaan " Tang Cin Lan dan ibunya,Lu Bwe Si. Hidup sebagai selir pangeran yang tercinta, Lu Bwe Si merasa cukup bahagia. 


Demikian pula Cin Lan yang dengan sendirinya mendapat nama marga Tang, yaitu marga pangeran yang
menjadi ayahnya, anak itu hidup serba kecukupan dan terhormat. Karena ibunya dan juga ayahnya, memanggilkan guru-guru silat untuk puteri ini, maka Cin Lan menjadi seorang gadis remaja yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. 

Dara ini yang kini telah berusia lima
belas tahun pan-dai menunggang kuda, menggunakan anak panah dan bersilat memainkan delapan belas macam senjata dengan baik!

Memang Lu Bwe Si yang diuruk ker mewahan dan kesenangan oleh suaminya, telah dapat melupakan suaminya yang dahulu. 

Akan tetapi, jika melihat puterinya yang memiliki mata dan mulut mirip ayah kandungnya, ia teringat kembali dan setiap kali teringat akan suaminya,
membayangkan kematian suaminya, ia merasa kasihan dan untuk menebus rasa bersalahnya terhadap suami itu, sedikitnya tiga bulan sekali Lu Bwe Si mengajak anaknya untuk bersembahyang ke kuil terbesar, di kota raja yang dipimpin oleh Tiong Hwi Nikouw, karena
kuil itu memang kuil wanita. 

Di kuil inilah nyonya selir pangeran itu bersembahyang,menyembahyangi arwah mendiang Bu Cian suaminya yang pertama, atau ayah kandung Cin Lan. 


Tentu saja Cin Lan tidak tahu bahwa ibunya menyembahyangi ayah kandungnya, karena ibunya tidak pernah bicara tentang ini. Juga kepada para nikouw, Lu Bwe Si berkata bahwa ia
hendak menyembahyangi orang tua dan para leluhurnya.

Setelah berusia lima belas tahun, Ci Lan menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita.

Apalagi sebagai puteri pangeran, kesehatannya terawat sekali, pakaiannya serba indah, maka ia nampak makin menarik. 

Setiap orang pria tentu akan menengok untuk memandang lagi kalau kebetulan melihat dara jelita inl. 


Pada suatu pagi Cin Lan dan ibunya me-nunggang kereta pergi ke kuil. Ketika naik kereta, tidak ada orang yang dapat melihat mereka.


 Akan tetapi ketika turun dari kereta hendak memasuki kuil banyak mata memandang dara semua
orang merasa kagum bukan main. Dara remaja itu mengenakan pakaian serba merah muda,rambutnya yang hitam pan-jang itu digelung seperti para puteri bangsawan, melingkar-lingkar
tinggi di atas kepala, dihias tusuk rambut dari emas permata. Anak rambut yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipis itu sungguh amat manis. 

Anting-anting emas bermata Intan
menghias telinganya. Alisnya hitam kecil melengkung tanpa dicukur dan tan-pa ditambah penghitam alis. Sepasang matanya amat tajam dan memandang berani, tidak malu-malu seperti mata gadis kebanyakan, bahkan mata itu kadang mencorong. Hidungnya kecil
mancung, dan di bawah hidungnya terdapat mulut yang menjadi bagian paling menari dari mukanya. Bibirnya merah membasah tanpa gincu, dengan lekukan-lekukan manis di sekitar
mulut dan kalau ia tersenyum nampak lesung pipit di pipi kirinya. Kulitnya demikian putih mulus.

 Tubuhnya masih belum matang benar, masih agak kekanakan, akan tetapi sudah
kelihatan betapa pinggangnya amat ramping dan lehernya juga panjang. 

Pangeran Tang Gi Su sendiri merasa amat bangga kepada puteri ini karena kecantikannya dan kepandaiannya
bersilat, walaupun hanya puteri tiri.

Akan tetapi, karena Lu Bwe Si mem-bawa anak ketika untuk pertama kali ia dibawa masuk ke istana pangeran, tentu saja bukan merupakan rahasia lagi bahwa Cin Lan bukan puteri kandung Pangeran Tang Gi Su, melainkan anak tiri. 


Dan hal ini tidak mungkin dapat ditutup-
tutupi Akan tetapi sampai berusia lima belas tahun Cin Lan belum mendengar akan rahasia itu, dan Sang Pangeran memperingatkan para pelayannya agar jangan membocorkan rahasia itu kepada Cin Lan dengan ancaman hukuman berat, Bwe Si sendiri juga tidak ingin
membuka rahasia itu kepada puterinya. 

Akan tetapi ia menyuruh Bwe Si memakai gelang kemala yang menjadi tanda ikatan perjodohan puterinya dengan putera Song Tek Kwi sebagai apa yang dipesankan mendiang suaminya. 


Akan tetapi ia tidak menceritakan hal itu kepada Cin Lan, hanya mengatakan bahwa Cin Lan harus menjaga baik-baik gelang kemala itu karena walaupun harganya tidak terlalu mahal bagi keluarga pangeran, namun gelang itu
adalah peninggalan ibunya.

"Ibuku atau nenekku juga menerima gelang ini dari ibunya, maka gelang yang sudah turun-temurun ini harus kaujaga baik-baik dan dapat dijadikan jimat penolak bencana," demikian ia
memberitahu anaknya dan Cin Lan selalu menjaga gelang yang melingkari lengan kirinya itu.

Ketika anak dan ibu ini turun dari kereta, terdapat dua orang pengemls muda yang berada di depan kuil dan mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga menyaksikan
kecan-tikan gadis remaja itu dan mereka lalu berbisik-bisik. 

Memang di halaman kuil itu biasanya terdapat beberapa orang pengemis yang mengharapkan sedekah dari para
pengunjung kuil. Biasanya, orang-orang yang berkunjung ke kuil, suka lepas tangan dan murah hati dalam membert sumbangan kepada para fakir miskin. 

Demikianlah memang watak
manusia. Ketika memasuki kuil atau tempat pemujaan lainnya, manusia selalu meng-ajukan permohonan kepada Tuhan atau kepada kekuasaan lain agar mencapai apa yang dikehendaki.

Dan untuk memperkuat permohonan mereka itu, mereka suka "berbuat baik" dengan memberi sedekah agar permohonannya terkabul. Betapa palsunya perbuatan baik semacam ini. 

Bukan berbuat baik namanya, melainkan menyalah-gunakan apa yang dinamakan perbuatan baik dengan menjadikannya sebagai cara untuk memperoleh apa yang diharapkan, seolah merupakan penyuapan atau penyogokan! 


Demikianlah, keinginan untuk memperoleh sesuatu biasanya menggelapkan pikiran, meniadakan pertirnbangan, membuat orang buta terhadap yang benar dan yang salah, dan meng-gunakan segala daya upaya demi tercapainya apa yang diinginkan itu. 


Kalau perlu, manusia tidak segan menghalalkan segala cara yang busuk demi memperoleh keinginannya itu.

Namun, kita sudah lupa akan kenyata-an ini dan kita pun terbawa oleh kebiasaan umum, yaitu suka menderma sehabis keluar dari tempat-tempat pemujaan dan dengan pemberian sedekah itu kita mera-sa diri bersih, suci dan baik hati! 


Tanpa ;merasa kita sudah terseret ke dalam kebiasaan yang salah namun dibenarkan oleh umum ini. Dan para pengemis tahu akan hal ini,maka berderetlah mereka di tempat-tempat seperti itu, memancing ,ikan di air yang keruh atau lebih tepat mencari hasil selagi pikiran manusia dalam kekeruhan!

Lu Bwe Si bersembahyang dan Cin Lan Juga ikut, bersembahyang. Mereka merupakan tamu agung, karena me, jad! keluarga pangeran, maka dilayani sendiri oleh Tiong Hwi Nikouw,kepala nikouw di kuil itu.


 Ini pun merupakan suatu kebiasaan yang sudah lajim. Mungkin sekali Tiong Hwi Nikouw bukan seorang yang mata duitan, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan bahwa tamu-tamu terhormat biasanya meninggalkan dermaan yang besar
jumlahnya kepada kuil, maka mereka juga disambut dan dilayani secara istimewa" Kembali contoh dan kepalsuan manusia yang sudah menjadi kebiasaan!

Cin Lan bersembahyang untuk arwah leluhur ibunya, tidak tahu bahwa ia bersembahyang pula untuk arwah ayah kandungnya! 


Setelah selesai sembahyang dan bercakap-cakap sebentar dengan Tione Hwi Nikouw, seorang nlkouw tua berusia enam puluh tahun yang masih
bertubuh sehat dan kuat, minum air teh yane di suguhkan, Lu Bwe Si berpamit setelah memberi uang sedekah kepada kuil itu bersama Cin Lan mereka melangkah keluar, diiringkan oleh Tiong Hwi Nikouw.

 Baru saja mereka menuruni anak tangga, mereka dihadang oleh tiga orang pengemis muda yang tersenyum-senyum menjulurkan tangan minta sedekah. Lu Bwe Si mengerutkan alisnya melihat sikap menyeringai rnereka dan ia pun memberi beberapa keping uang kepada mereka.


Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak mau pergi.

"Nona belum memberi," kata mereka dan kini mereka menjulurkan tangan kepada CAn Lan sambil mendekati nona itu.

Cin Lan merasa tidak senang. "Pergi kalian! Bukankah Ibu sudah memberi kepada kalian?"bentaknya. Seorang di antara mereka berkata, "Aih, jangan galak-galak, Nona. Berilah kami sedikit
sedekah dari tangan Nona yang indah itu."

"Kurang ajar kalian! Tidak tahukah dengan siapa kalian berhadapan" Aku adalah puteri Pangeran Tang Gi Su!" bentak pula Cin Lan.

Akan tetapi tiga orang pengemis it|U tertawa. "Dengar, kawan-kawan. la bilang puteribPangeran Tang Gi Su! Ha-ha-ha, sungguh lucu. 

Engkau hanya anak tirl pangeran itu, jangan berpura-pura menjual lagak, Nona!" Pengemis itu lalu tiba-tiba menangkap lengan kiri Cin Lan dan sebelum Cin Lan sempat mengelak dia sudah merenggut gelang kemala dari lengan kiri itu. 


Gelang itu memang agak terlalu besar untuk lengan Cin Lan yang kecil, maka dengan mudah dapat dirampas, dan telah dimasukkan saku oleh pengemis muka bopeng itu.

"Jahanam, kembalikan gelangku!" Cin Lan kini melompat dan memukul. Pengemis itu ternyata dapat bersilat juga. Dia menangkis dan balas memukul. 

Akan tetapi Cin Lan mengelak dan sekali kakinya mencuat, pengemis itu telah terten-dang perutnya dan jatuh

terjengkang. 

Dua orang pengemis yang lain lalu mengeroyok. Mereka berani karena tahu
bahwa gadis itu bukanlah puteri pangeran, melainkan hanya anak tiri. 

Akan tetapi Cin Lan mengamuk. la menggunakan semua ilmu silat yang selama ini la pelajari dan dalam beberapa
gebrakan saja tiga orang pengemis itu telah menjadi bulan-bulan tamparan dan tendangan kakinya. 

Tiga orang pengemis itu terkejut dan heran, akhirnya menjadi ketakutan dan
melarikan diri sambll membawa gelang kemala. Cin Lan hendak mengejar, akan tetapi tiga orang pengemis itu lari cerai-berai dan ibunya melarang ia mengejar.

"Sudahlah, jangan dikejar, Cm Lan, kata Lu Bwe Si dengan suara mengandung kegelisahan.


la gelisah karena men-dengar perngemis itu tadi membuka ra-hasia anaknya.

"Benar, Siocia (Nona). Tidak perlu. ?iitanggapi pengemis-pengemis kurang ajar itu. Kalau mereka berani datang lagi ke sini akan pinni (aku) usir mereka," kata Tiong Hwi Nikouw.


"Marilah kita pularrg, Cin Lan," kata ibunya sambil menggandeng tangan anaknya menghampiri kereta. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras,

"Perlahan dulu!" Dan muncullah seorang pengemis berusia lima puluh tahunan. Orangnya pendek gendut dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Karena jelas bahwa dia menegur
Lu Bwe Si, maka nyonya ini memandang dengan alis berkerut.

"Engkau mau apa?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, perlahan dulu, Toanio. Tadi tiga orang muridku telah dihajar oleh nona ini, maka aku datang untuk membalaskan mereka.

 Hayo Nona, kalau memang engkau seorang yang berkepandaian, lawanlah tongkat hitamku!" Dan dia memutar-mutar tongkatnya yang terbuat dari baja itu sehingga terdengar suara berngiukan.

"Siapa takut padamu?" bentak Cin Lan sambil melompat maju. "Murid-muridmu pencuri kurang ajar, gurunya lentu lebih brengsek lagi! 


Majulah kalau engkau minta dihajar!" Cin Lan memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding melawan pengemis pendek gendut yang memegang tongkat hitam itu.


"Nah, rasakan kehebatan tongkatku!" bentak pengemis itu dan dia pun mulai menyerang dengan ganas. Diam-diam Cin Lan terkejut. 

Serangan orang ini tidak dapat disamakan dengan tiga orang pe-ngemis tadi. Serangan tongkatnya itu cepat dan mengandung tenaga yang kuat sekali. la menggunakan kelincahannya untuk mengelak sambil membalas dengan tendangan,akan tetapi terpaksa ia me-narik kembali kakinya karena tongkat itu menangkis dengan kuat sekali. Dan pe-ngemis itu pun tidak mau memberi hati, langsung menghujankan serangannya.

Untung bagi Cin Lan bahwa ia memiliki gerakan yang amat gesit sehingga ia dapat mengelak ke sana sini. Akan tetapi segera ia terdesak hebat karena permainan tongkat pengemis itu
memang sudah tinggi tingkatnya. 

Suara angin berdesir menyambar-nyambar dan biarpun sampai belasan jurus Cin Lan mampu mengelak dan tubuhnya berkelebatan di antara
sambaran tongkat, namun ia sudah terdesak mundur dan kalau pertandingan itu dilanjutkan bukan tidak mungkin ia akan terkena pukulan tongkat.

Ketika tongkat itu dengan dahsysatnya menyambar ke arah kepala Cin Lan dan gadis ini mengelak, terdengar bunyi keras dan tongkat itu ternyata telah ditangkis oleh sebatang tongkat lain, yaitu tongkat yang berada di tangan Tiong Hwi Ni-kouw! 


Nikouw ini ketika melihat betapa Cin Lan terdesak, sudah mengambil tong-katnya dan kini ia maju menangkis tongkat pengemis itu. "Tang-siocia, mundurlah, biarkan pinni yang menghajar pengemis tak tahu diri ini'" katanya dan Cin Lan yang merasa kewalahan segera mundur mendekati ibunya yang kelihatan

khawatir sekali. 

Kini terjadi pertandingan antara Tiong Hwi Nikouw dan pengemis pendek gendut itu.


Keduanya mempergunakan tongkat dan ternyata tongkat di tangan Tiong Hwi Nikouw itu lihai sekall gerakannya. Nikouw inl pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, maka tentu saja permainan tongkatnya juga tangguh sekali. Dan perlahan-lahan ia mulai meridesak pengemis pendek itu dengan tongkatnya sehingga Si Pengemis kini hanya mampu menangkis tidak mampu balas menyerang. Melihat ini, Cin Lan kagum dan girang sekali.

Akan tetapi pada saat itu, muncul seorang pengemis tinggi besar yang juga memegang sebatang tongkat hitam dan begitu tiba di situ, pengemis tinggi besar itu membentak, "Siapa berani menentang Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)?" Dan tanpa
banyak cakap lagi dia segera terjun ke dalam perkelahian itu, mengeroyok Tiong Hwi Nikouw! 

Dan ilmu tongkat Si Tinggi Besar ini ternyata lebih hebat danpada ilmu tongkat Si pendek Gendut. Begitu Si Tinggi Besar ini menggerakkan tong-katnya menyerang, berbalik nenek itu yang terdesak hebat dan karena ia dikeroyok dua, maka kini Tiong Hwi Nikouw hanya mampu menangkis sambil berlon-catan mundur. Cin Lan merasa khawatir sekali karena dara ini maklum bahwa nikouw itu tentu akan kalah dalam waktu singkat.


"Beginikah kelakuan orang-orang Hek-tung Kai-pang?" Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah seorang pengemis lain. Pengemis ini sudah tua, usianya tentu sudah mendekati tujuh puluh tahun, pakaiannya serba putih walaupun penuh tambalan namun nampak bersih.

Pengemis ini pun memegang sebatang tongkat bambu yang butut, akan tetapi begitu dia menggerakkan tongkat bambunya menangkis, dua orang pengemis itu terhuyung ke belakang.

Pengemis tua berbaju putih itu lalu memberi hormat kepada Tiong Hwi Ni-kouw, "Maafkan dua orang pengemis yang tidak tahu diri ini dan biarkan aku yang tua memberi hajaran kepada
mereka!

" Adapun dua orang pengemis tongkat hitam menjadi marah sekali melihat munculnya pengemis baju putih yang sama sekali tidak mereka kenal. 


Si Tinggi besar maju dan menudingkan telunjuk kirinya. "Engkau ini pengemis macam apa" Tidak setia kawan
membantu sesama pengemis malah menentang kami" Apakah tidak tahu bahwa kami dari Hek-tung Kai-pang di kota raja dan sekitarnya menjadi pimpinan para pengemis?"

Pengemis tua itu tersenyum. "Ingin aku melihat bagaimana sikap ketua kalian kalau melihat sikap dan mendengar suara kalian ini. Sebagai pengemis yang pekerjaannya meminta belas kasihan orang lain, kenapa kalian menggunakan kekerasan" Kalau pengemis menggunakan kekerasan, apa bedanya dengan perampok" Ketahuilah, hai pengemis yang tidak tahu diri.

Penggunaan kekerasan tidak
menguntungkan, bahkan akan mencelaka-kan diri kalian sendiri.
Hayo cepat berlutut minta maaf kepada nikouw ini dan juga kepada Toanio dan Siocia itu!"

"Pengemis tua busuk! Kau tidak tahu siapa kami, ya" Kau pantas dihajar!" 

Bentak Si Tinggi besar dan bersama Si Pendek Gendut dia lalu menyerang kalang-kabut kepada pengemis baju
putih.

 Akan tetapi pengemis baju putih ini berdiri tegak saja dan ketika dua orang
penyerangnya sudah menerjang dekat, per-lahan pula dia menggerakkan tongkatnya akan tetapi sungguh aneh, tongkatnya itu dapat mendorong kedua orang itu sehingga terjengkang!



 

  



Dua orang itu meloncat bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kembali mereka terjengkang

karena dari tongkat bambu itu keluar hawa yang amat kuat mendorong mereka. 

Untuk ke tiga

kalinya mereka bangkit dan menyerang, akan tetapi makin hebat serangan mereka, makin

hebat pula mereka terlempar dan akhirnya mereka tidak berani lagi menyerang, maklum

bahwa mereka berhadapan dengan orang pandai. 

Mereka hendak melarikan diri, akan 

tetapi kakek berpakaian putih itu menggerakkan tangan seperti menggapai dan mereka jatuh

tergulingan lagi. "Sebelum minta ampun kepada Ni-kouw, pinto dan Siocia, jangan harap kalian akan dapat

meninggalkan tempat ini," kata pengemis tua itu.


Akhirnya dua orang pengemis Hek-tung Kai-pang itu berlutut dan minta ampun kepada Tiong Hwi Nikouw, Lu Bwe Si dan Tang Cin Lan, mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam mematuk gabah padi. "Nah, kalian berdua ingat baik-baik.

 Jangan membiarkan anak buah kalian melakukan perbuatan jahat, terutama sekali jangan menggunakan kekerasan. 


Lain hari aku akan bertemu

dengan ketua kalian untuk menegurnya.

Apakah kalian ingin dibasmi oleh pasukan pemerintah" Atau setidaknya dibasmi oleh para pendekar" Nah, pergilah dan jangan ulangi perbuatan kalian!


" Dua orang pengemis itu memberi hormat dan segera pergi tanpa banyak

cakap lagi. 
Orang-orang yang menonton pertandingan itu menjadi gembira dan kagum. 

Para pengemis Hek-tung Kai-pang memang suka mengganggu orang, terutama para wanita. Dan mereka itu

agaknya tidak takut terhadap para petugas penjaga keamanan, karena mereka itu merupakan orang-orang kepercayaan dari Pangeran Bian Kun. 

Karena adanya Pangeran Bian Kun yang

selalu membela mereka, maka para anggauta Hek-tung kai-pang menjadi besar kepala dan setiap kali para petugas keamanan bertindak keras kepada mereka, tentu petugas keamanan

ditegur keras oleh Pangeran Bian Kun. 

Kini, melihat dua orang tokoh Hek-tung Kai-pang dihajar oleh seorang pengemis tua yang menasihati agar mereka tidak menggunakan kekerasan melakukan kejahatan, tentu saja para penonton ity menjadi gembira sekali.



Cin Lan juga kagum sekali melihat kesaktian pengemis tua baju putih itu. Ia mendekati Tiong Hwi Nikouw yang sudah dikenalnya dengan baik. "Su-kouw," bisiknya. "Aku ingin sekali belajar ilmu silat dari Locianpwe itu. 

Tanyakanlah kepadanya, Su-kouw, tolonglah...."



Nikouw itu tersenyum dan mengangguk, lalu ia menghampiri pengemis itu dain memberi hormat. "Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Mohon tanya, siapakah Locianpwe dan datang dari mana?"


Pengemis itu tersenyum. "orang menyebutku Pek I Lokai (Pengemis Tua Baju Putih). Aku sudah lupa akan namaku, maaf...."

"Locianpwe, karena Locianpwe sudah menyelamatkan pinni dan juga Toanio dan Siocia ini,maka pinni persilakan Lo-cianpwe untuk singgah sebentar dan bercakap-cakap di dalam."

Pengemis itu menoleh dan memandang kepada Lu Bwe Si dan Cin Lan, kemudian dia mengangguk dan berjalan perlahan mengikuti nikouw itu memasuki Kuil Kwan-im-bio. Lu Bwe Si hendak mengajak puterinya pulang, akan tetapi dara itu malah menarik tangan ibunya diajak masuk kembali ke kuil.

Mereka duduk menghadapi meja de-ngan hidangan tanpa daging dan tanpa arak. Pengemis itu tanpa malu-malu lagi menyantap hidangan yang disuguhkan kepadanya.
 Setelah selesai makan, dia mengangguk-angguk dan tersenyum.

Pada saat itu, Lu Bwe Si dan Cin Lan memasuki ruangan itu. Tiong Hwi Nikouw lalu bangkit berdiri dan berkata kepada pengemis itu, "Locianpwe, toanio ini adalah isteri dari Pangeran
Tang Gi Su dan nona ini adalah Tang-siocia. 

Nah, Tang-siocia tadi melihat kelihaian
 Locianpwe dan ingin sekali belajar Umu silat dari Locianpwe."

Pengemis itu tersenyum dan memandang kepada Cin Lan, memandang dari kepala sampai kekaki dan diam-diam dia kagum. Gadis remaja inl memang berbakat baik sekali.

"Nona sudah pernah mempelajari ilmu silat sampai cukup baik, untuk apa ingin belajar lagi?

"Locianpwe, biarpun sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi buktinya tadi ketika menghadapl pengemis .pendek gendut, aku tidak mampu mengalahkannya. Karena itu
melihat ke-saktian Locianpwe, aku ingin sekali men-jadi murid Locianpwe. Harap engkau orang tua tidak menolak!" Setelah berkata demikian, membuat kaget hati ibunya, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu!

Tentu saja Lu Bwe Si terkejut
sekali, akan tetapi ia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Melihat puterinya, puteri pangeran,berlutut di depan kaki seorang kakek pengemis! Bagaimana kalau hal seperti ini dilihat orang
lain" Untung di situ hanya ada ia dan Tiong Hwi Nikouw!

Pengemis itu mengangkat mukanya dan tertawa bergelak, kemudian dengan tongkat bambunya dia menusuk bawah ketiak kiri Cin Lan lalu mengangkatnya.
Cin Lah merasa ada tenaga raksasa tongkat itu yang mengangkatnya. la hendak menguji dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawannya akan tetapi tetap saja ia terangkat dalam
keadaan masih berlutut! 

Kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, sin-kangmu boleh juga, Nona. Cin Lan lalu menurunkan kakinya dan ia bertanya,

"Bagaimana, Locianpwe sudikah engkau menerimaku sebagai murid?" "Aku seorang kakek pengemis perantau, bagaimana dapat menjadi gurumu, Nona"

Dan aku pun tidak suka tinggal d! rumah pangeran yang seperti istana, terlalu mewah bagiku."

Tiba-tiba Tiong Hwi Nikouw berkata, "Kalau Locianpwe menghendaki, dapat saja melatih Tang-slocia di kuil ini."

"Bagus, kalau begitu baru bagus do.ir? aku setuju!" kata kakek itu gemblra.
"Terima kasih, Suhu!" kata Cin lan gembira.

"Eh, nanti dulu, Nona. Engkau harus memperoleh ijin dari Ibumu'" kata kakek itu,Lu Bwe Si segera berkata, "Kami memang tahu akan kesukaan puteri kami dan kami tidak berkeberatan kalau Lo-cianpwe suka menjadi guru Cin Lan."

"Wah, semua beres kalau begitu. Nah, seminggu sekali Nona boleh datang ke sini. Selama sehari Nona akan kuajar ilmu silat, kemudian melatihnya di rumah Nona sendiri selama seminggu.

Setiap seminggu sekali kita bertemu di sini dan dimulai dengan besok pagi-pagi
sekali," kata Pek I Lokai kepada Cin Lan.

"Baik Suhu. Besok pagi-pagi sekali teecu akan datang ke kuil ini," kata Cin Lan. Kemudian ia mengikuti ibunya naik kembali ke dalam kereta dan kembali ke rumah mereka Cin Lan dan ibunya tidak menceritakan tentang peristiwa tadi kepada Pangeran Tang Gi Su.

Akan tetapi begitu berada bedua saja di dalam kamarnya, Cin Lan berkata kepada ibunya dengan suara menuntut, "Ibu, sejak tadi perasaan ini kutahan-tahan saja.

 Sekarang harap Ibu suka menceritakan
tentang ucapan pengemis kurang ajar tadi. Apa artinya ucapannya itu, Ibu?"

"Ucapan yang bagaimana, Anakku?" tanya ibu itu dengan hati gelisah, karena tentu saja ucapan pengemis muda tadi tak pernah ia lupakan.

"Pengemis tadi mengatakan bahwa. aku hanyalah anak tiri dari Ayah Pangeran. 

Apa artinya ini, Ibu" Kalau Ibu tidak mau berterus terang, aku akan melakukan penyelidikan sendiri dengan bertanya-tanya kepada orang luaran."
Sang Ibu menundukkan mukanya 

Rahasia itu bagaimanapun juga tidak mungkin disimpan terus. Orang luar semua tahu belaka bahwa ketika menjadi selir pangeran, ia sudah membawa
seorang anak. Semua orang tahu belaka bahwa Cin Lan adalah puteri tiri Sang Pangeran.

"Baiklah, Cin Lan. Engkau sekarang sudah menjelang dewasa dan engkau perlu
mengetahuinya. Lebih baik engkau mendengar dari mulutku sendiri daripada engkau mendengar darl mulut orang lain. Memang sebenarnyalah engkau bukan puteri kandung
ayahmu Pangeran. Engkau adalah anak tirinya."

Cin Lan menekan perasaannya. la sudah siap menghadapi kenyataan ini, dan hanya wajahnya saja yang nampak agak pucat.

"Akan tetapi, Anakku, apakah engkau merasa dianaktirikan"

Tidak, bukan" Ayahmu amat mencintamu, tidak berbeda dengan anak-anaknya sendiri. Juga saudara-saudaramu menyayangimu, tidak menganggapmu sebagai saudara tiri."

"Akan tetapi mengapa Ibu selama ini merahasiakannya?"

"Belum waktunya, Cin tan. Kalau engkau masih kecil dan mendengar kenyataan ini tentu amat tidak baik bagimu. Sekarang engkau sudah dewasa, maka tidak ada halangannya untuk kau dengar rahasia ini."

"Ibu, di mana ayah kandungku?"
"Ayah kandungmu sudah meninggal dunia sejak engkau masih kecil sekali," baru berusia beberapa bulan, Cin Lan.

Kalau ayah kandungmu tidak meninggal dunia, tentu aku tidak akan menjadi isteri Pangeran Tang Gi Su. Setelah ayahmu meninggal dunia, aku bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su dan dia melamarku.

Demikianlah, aku menjadi isterinya dan engkau menjadi puterinya. Dan kita
harus mengakui bahwa dia baik sekali, Cin Lan. Engkau juga dianggapnya sebagai puterinya sendiri." Cin Lan berdiam diri sampai lama, termenung.

Memang ia tidak perlu me-rasa penasaran.

Pangeran Tang amat menyayangnya dan ia tidak pernah merasa dianaktirikan.

"Siapa nama ayah kandungku, Ibu?"
"Namanya Cian, she Bu."
"Hemm, Bu Cin Lan ....." gumam dara itu.

"Cin Lan, demi kebaikanmu sendiri dan kehormatan ayahmu pangeran, sebaiknya kalau engkau tetap memakai nama marga Tang. Tidak perlu orang lain tahu bahwa engkau anak seorang she Bu. Pula, apa yang dapat kita lakukan untuk membalas kebaikan keluarga Tang,kecuali kalau engkau menggunakan nama marga mereka" Penuhilah pesan ibumu ini,

Anakku. Jangan memakai nama mar-ga Bu, melainkan pakailah terus she Tang. Kalau tidak,maka hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran tentu akan menjadi retak dan kita akan
dianggap . tidak mengenal budi."
"Baiklah, Ibu."

"Masih ada sebuah rahasia lagi yang perlu sekarang juga kuceritakan kepadamu."

"Rahasia tentang apa, Ibu?"

"Tentang gelang kemala itu."

"Gelang kemala" Ah, yang dirampas oleh pengemis itu?" tanya Cin Lan ter-kejut dan juga menyesal mengingat bahwa gelang itu telah hilang. "Bukankah itu gelang pemberian Nenek"
Ada rahasia apakah dengan gelang itu?"

"Gelang itu bukan peninggalan nenekmu. Gelang itu adalah... tanda ikatan perjodohanmu!"
Sepasang mata yang tajam indah itu terbelalak memandang wajah ibunya pe-nuh selidik,.
"Ikatan perjodohan" Apa artinya ini, Ibu?"

"Dahulu, ketika ayahmu masih hidup, bahkan pada hari ayahmu akan meninggal dunia, kami kedatangan seorang sahabat baik ayahmu bernaina Song Tek Kwi. Song Tek Kwi mempunyai
seorang anak laki-laki yang baru berusia satu tahun dan ayahmu menyetujui usul Song Tek Kwi untuk menjodohkan anak masing-masing. Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang kemala yang serupa benar, tiada bedanya sedikitpun juga.

Dia menyerahkan sebuah
gelang kemala kami untukmu sebagai tanda ikatan perjodohan."

"Ah, baru berusia beberapa bulan sudah dijodohkan?" seru Cin Lan penasaran.

"Antara ayahmu dan Song Tek Kwi terjalin persahabatan yang erat sekali, Cin Lan. Mereka keduanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa.

Karena mengingat bahwa ayah
kandungmu se-orang pendekar yang mencita-citakan bahwa engkau juga harus menjadi seorang ahii silat yang pandai, maka aku sengaja memanggil guru-guru silat untuk mengajarmu dan ayahmu pangeran juga me-nyetujui. Nah, karena hubungan yang erat itulah
maka ikatan perjodohanmu dibuat."

"Hemmm, jadi... laki-laki yang dijodohkan denganku itu pun memiliki sebuah gelang kemala persis kepunyaanku itu?"

"Benar, Cin Lan. Akan tetapi aku sudah lupa lagi siapa nama anak itu. Se-telah berpisah,ayahmu meninggal dunia dan aku mengalami banyak penderitaan batin sehingga nama yang baru satu kali kudengar dari Song Tek Kwi itu kulupakan lagi."

"Tidak mengapa kau lupakan, Ibu. Ba-gaimanapun juga, tidak seharusnya aku menjadi jodohnya! Aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang selamanya belum pernah kulihat
atau kukenal. Bagaimana kalau dia menjadi seorang yang jahat dan bagaimana kalau melihatnya aku merasa tidak suka kepadanya" Pula, gelang kemala milikku itu sudah hilang,
tidak perlu dipikirkan lagi perjodohan kanak-kanak itu."

"Cin Lan, jangan bicara begitu Arwah ayah kandungmu akan merasa penasaran mendengar ucapanmu." "Hemm, bagaimanapun juga, pernikahan adalah urusan orang yang menikah, harus ada
persetujuan kedua pihak yang akan berjodoh barulah benar dan baik. 

Sudahlah, Ibu. Aku
ingin tahu, bagaimana Ayah yang masih muda dan juga seorang pendekar yang tentu kuat tubuhnya itu sampai meninggal dunia" Di mana kuburannya"

Aku ingin menengok dan bersembahyang di kuburannya... ah, sekarang aku mengerti mengapa Ibu sering
bersembahyang di kuil. Tentu menyembahyangi arwah ayah kandungku, bukan?"

Dengan mata basah ibunya mengang-guk. Diam-diam ibu ini menjadi bingung. Kalau ia berbohong dan anaknya pergi bersembahyang ke dusunnya, tentu anak itu akan mendengar tentang kematian ayahnya. Ah, Cin Lan sudah dewasa, menjadi seorang gadis yang gagah,
tidak perlu menyimpan rahasia lagi.

"Dengarlah Anakku. Ibumu akan menceritakan segalanya. Tadi sudah kuceritakan bahwa Song Tek Kwi datang berkunjung, menyerahkan gelang kemala sebagai tanda ikatan perjodohan antara engkau dan puteranya.

Selagi kami bercakap-cakap, terdengar suara ribut-ribut dan datang laporan bahwa ada gadis dipaksa oleh seorang pangeran untuk menjadi isterinya.

Ayahmu adalah seorang pendekar, mendengar ini dia lalu berlari keluar diikuti Song Tek Kwi yang juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Setelah tiba di luar mereka melihat
seorang gadis dipaksa naik kereta untuk dijadikan selir seorang pangeran. 

Ayahmu dan Song Tek Kwi menjadi marah dan Jnengamuk, merobohkan tukang-tukang pukul pange-ran itu
bahkan memberi hajaran kepada pangeran mata keranjang yang suka me-maksa anak gadis orang." "Wah, Ayah seorang pemberani yang gagah perkasa!" kata Cin Lan gembira.

"Akan tetapi peristiwa itu berekor panjang, Anakku.

Pada lain harinya, datang pasukan untuk
menangkap kami karena ayahmu yang berani memukul seorang pangeran itu dianggap pemberontak. Ayahmu tidak mau menyerah dan terjadi perkelahian.

Ayahmu dikeroyok banyak orang dan akhirnya ayahmu tewas. Aku yang sedang menggendongmu juga menjadi
tawanan."

"Ahhh....! Mereka kejam sekali!" bentak Cin Lan sambil mengepal tinju.

"Sebetulnya ayahmu terlalu keras hati, Cin Lan. Tentu saja menghajar seorang pangeran dianggap sebagai pemberontak.

Dan sudah menjadi peraturannya bahwa keluarga seorang pemberontak harus ditangkap semua. Maka, aku pun ditangkap.

Dan pada saat itu muncul Pangeran Tang Gi Su yang menolong kita. Berkat kekuasaan Pangeran Tang Gi Su maka aku dibebaskan dan diajak ke rumahnya.

Kemudian dia... dia melamarku. Aku tidak melihat jalan lain. Kalau aku menolak dan aku berada di luar, tentu aku akan ditangkap sebagai keluarga pemberontak.

Kalau aku menjadi selirnya, maka aku dan engkau akan selamat dan terlindung.
Sungguh mati, pada waktu itu aku hanya ingat akan keselamatanmu, Cin Lan. 

Maka aku...aku menerima pinangannya. Begitulah ceritanya, Cin Lan.

"Hemm, siapakah pangeran yang suka memaksa gadis itu, Ibu?"

Bwe Si merasa lebih baik tidak menceritakan nama pangeran itu agar puterinya tidak melakukan tindakan yang gegabah. "Aku tidak tahu namanya, Cin Lan. Akan tetapi gadis-gadis yang dipilih itu kebanyakan adalah gadis dusun dan orang tua si gadis malah bangga
menyerahkan gadisnya untuk diajak pergi seorang pangeran dan menjadi selirnya."

"Dan di mana Ayah dikubur, Ibu?"
"Kami dulu tinggal di dusun Teng-sia-bun tak jauh dari kota raja dan tentu ayahmu dikubur disana pula oleh penduduk dusun. Aku sendiri tidak mengetahui karena aku terus ditangkap
bersamamu." "Dan Ibu tidak pernah berkunjung ke kuburan itu?"'

"Bagaimana mungkin, Anakku" Tentu semua orang akan mengetahui. Tidak, ibu hanya bersembahyang di kuil untuk ayah kandungmu."

"Kalau begitu aku yang akan berkunjung ke sana, Ibu!"

"Cin Lan, ingat pesanku. Jangan sekali-kali engkau mengaku bukan putera Pangeran Tang Gi Su kalau engkau tidak ingin melihat hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran menjadi retak."

"Tidak, Ibu. Dan lagi, apa gunanya kalau aku mengaku she Bu. Lain halnya, kalau Ayah kandungku masih hidup."

Akan tetapi semenjak membuka rahasia itu kepada puterinya, Lu Bwe Sl sering kali merasa gelisah dan khawatir sekali.

Mengenai ikatan perjodohan puterinya itulah yang amat menggelisahkan hatinya. Di dalam lubuk hatinya, ingin ia memenuhi kehendak mendiang
suaminya untuk menjodohkan puterinya dengan putera Song Tek Kwi. 

Akan tetapi bagaimana caranya" Bahkan kepada suaminya yang sekarang pun ia tldak berani bicara tentang hal itu.

Dan sekarang, gelang kemala puterinya telah hilang, dan bahkan puterinya sendiri tidak setuju dengan ikatan perjodohan itu!

la hanya dapat menangis seorang diri dan mengeluh kepada mendiang suaminya yang pertama.

Duka timbul dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari bayangan masa depan. Kalau kita hanya menghadapi masa kini, saat ini dengan penuh penerimaan,kepasrahan, kesabaran dan ketawakalan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka
segala macam kedukaan dan kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan.

Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Tidak ada kekuasaan lain yang mampu mengubahnya.

Kalau sudah pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang menimpa diri kita, akan kita hadapi tanpa menge-luh karena kita tahu bahwa kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya.

Bukan berarti bahwa kita menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama sekali bukan. Kita berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada kekuasaan
Tuhan. Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk melandasi semua daya upaya kita dengan kepasrahan yang mutlak dan lengkap.

Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha
Murah. Tuhan lebih dari mengerti apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita yang tidak sempurna akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah dengan sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagl sekali, Cin Lan sudah meninggalkan gedung tempat tinggalnya. la mengenakan pakaian yang ringkas dan menunggang seekor kuda yang bagus.

Sudah sering kali ia menunggang kuda dan pergi berbun binatang, maka orang-orang yang melihatnya di jalan tidak merasa heran, hanya memandang dengan kagum.

Dara remaja yang berusia lima belas tahun itu pandai sekali menunggang kuda. Tubuhnya tegak dan demikian
santainya ia menunggang kuda menuju ke Kwan-im-bio.

Setelah ia tiba di pekarangan kuil, ia menambatkan kudanya di batang pohon dan meloncat turun, Tiong Hwi Nikouw, yang sepagi itu sudah bangun dan habis sembahyang membaca doa, lalu keluar menyambutnya,

"Selamat pagi, Tang-siocia."

"Selamat pagi, Sukouw. Apakah Suhu sudah datang?"

"Sudah, dia sudah menanti di ruangan belakang. Mari engkau langsung saja menemuinya disana," kata nikouw itu dan Cin Lan segera memasuki kuil dan langsung menuju ke ruangan belakang.

Pek I Lokai menyambutnya dengan senyum.

"Bagus, engkau datang pagi sekali, Nona."

"Suhu, harap jangan sebut teecu de-ngan sebutan nona. Nama saya teecu Tang Cin Lan dan sebagai guruku, Suhu sebaiknya menyebut nama teecu saja" kata Cin Lan dengan akrab.

Pek I Lokai tertawa. "Sebagai seorang puteri pangeran, sikapmu sungguh rendah hati, Cin Lan. Baiklah, kalau sedang berdua, aku akan menyebutmu Cin Lan saja.

Akan tetapi. pagi ini aku belum akan melatih ilmu silat kepadamu, karena aku harus pergi dulu menemui Ketua
Hek tung Kai-pang, untuk menegurnya agar dia dapat mengatur anak buahnya agar jangan melakukan kejahatan."

"Kebetulan sekali kalau begitu, Suhu Teecu juga ingin mencari pengemis muda yang kemarin telah merampas gelang kemala teecu. Teecu harus mendapatkannya kembali karena gelang itu penting sekali bagi teecu." Cin Lan sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan gelang itu kembali, dan kelak kalau ia dapat bertemu dengan orang yang dica-lonkan menjadi
suaminya, gelang itu akan dikembalikannya sebagai pembatalan?, ikatan perjodohan itu.

"Baik sekali kalau begitu, mari kita pergi bersama." Pengemis tua itu bangkit berdiri dan membawa tongkat bambunya.

"Suhu, teecu membawa seekor kuda. Suhu pakailah kuda teecu itu."

"Tidak, kita berjalan kaki saja, Cin Lan. Bukankah tempat perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu tidak terlalu jaun dari sini?"

"Tidak, Suhu. Tempatnya berada di sudut kota."

"Nah, kita berjalan kaki saja. Marilah'"

Mereka berdua keluar dari kuil dan ketika bertemu dengan Tiong Hwi Ni-kouvy mereka berdua berpamit kepada nikouw itu. Cin Lan tidak mempedulikan pandang mata orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan heran melihat ia puteri seorang pangeran, berjalan bersama seorang kakek pengemis yang bertongkat bambu butut!

Rumah perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu cukup besar, merupakan sebuah gedung yang besar. Hal ini tidaklah mengherankan karena perkumpulan pengemis ini akhir-akhir ini
berpengaruh dan terutama sekali semenjak Pangeran Bian Kun berhubungan dekat dengan
ketuanya, maka pangeran itulah yang memperkuat perbendaharaannya sehingga perkumpulan itu dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar.

Apakah sebenarnya hubungan antara
Hek-tung Koai-ong (Raja Pengemis Tongkat Hitam), ketua dari perkumpulan itu dengan Pangeran Bian Kun yang besar kekuasaannya" Sebetulnya, hubungan itu dimulai ketikabPangeran Bian Kun beberapa tahun yang lalu terancam bahaya ketika serombongan pendekar
hendak membunuhnya karena pa-ngeran ini merebut puteri seorang pendekar sehingga puteri itu kemudian membunuh diri, memilih mati daripada ternoda oleh pangeran itu.

Ketika pangeran itu terancam bahaya maut, Hek-tung Kai-ong muncul dan menolongnya. Karena pertolongan ini, Pangeran Bian Kun menghargainya, bahkan menganggap ketua itu sebagai
seorang jagoannya. Dan bukan hanya itu, dia juga menyerahkan puteranya yang bernama Bian Hok untuk menjadi murid Hek-tung Kai-ong.

Sebetulnya, Hek-tung Kai-ong bukanlah seorang jahat, walaupun wataknya kasar dan pemarah. Kalaupun anak buahnya kini bertindak sewenang-wenang, itu terjadi di luar tahunya.

Para anak buahnya merasa sombong karena perkumpulan mereka seolah dilindungi oleh Pangeran Bian Kun, maka mereka bertindak sewenang-wenang.

Kalau ketua mereka mengetahui akan hal itu, tentu dia akan marah sekali karena Hek-tung Kai-ong adalah seorang yang tergolong datuk dan tidak perhah melakukan perbuatan sesat.

Ketika Cin Lan dan Pek I Lokai tiba di depan rumah gedung perkumpulan Hek-tung Kai-pang, yang berjaga di depan segera mengenalnya.

Berita tentang dihajarnya tiga orang
anggauta Hek-tung Kai-pang, bahkan kemudian dihajarnya dua orang pimpinan mereka, yaitu murid-murid dari ketua mereka, sudah mereka dengar dan kini mereka dapat menduga siapa
adanya gadis cantik dan kakek pengemis berpakaian putih itu. 

Maka, mereka mengambil sikap bermusuhan dan sudah siap dengan tongkat mereka mengepung. Jumlah mereka ada belasan orang.

Pek I Lokai mengangkat tangan ke atas, "Tenanglah, kami datang dengan maksud baik. Cepat panggilkan ketua kalian, kami ingin bicara dengan ketua kalian!" kata Pek I Lokai dengan suara tenang dan sabar.

Sementara itu Cin Lan memandangi mereka mencari-cari pengemis muda yang kemarin merampas gelangnya. Akan tetapi ia tidak melihat orang itu di antara mereka.

Seorang di antara para anggauta Hek-tung Kai-pang sudah lari ke dalam untuk melaporkan kepada ketua mereka. Hek-tung Kai-ong tentu saja tidak pernah dilapori tentang perkelahian
kemarin, maka dia merasa heran ketika mendengar bahwa di luar ada seorang gadis dan seorang kakek pengemis berpakaian putih hendak menemuinya.

"Persilakan mereka memasuki ruangan samping!" katanya singkat. Hek-tung Kai-ong adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi besar dan pada saat itu dia sedang melatih seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang tampan dan berpakaian indah.

Pemuda ini adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun yang menjadi murid ketua pengemis itu. "Suhu, bolehkah aku ikut mendengarkan pertemuan itu?" tanya Bian Hok yang merasa
tertarik juga mendengar bahwa ada seorang gadis dan seorang kakek hendak menemui gurunya.

"Tentu saja boleh, Bian-kongCu. Mari kita ke ruangan samping." Ruangan samping itu merupakan ruangan tamu yang luas dan biasa juga suka dipakai untuk mengadakan perternuan besar dengan para anggauta.

Mereka berdua tiba lebih dulu di ruangan itu dan duduk menanti. Setelah menanti sebentar,masuklah Cin Lan dan Pek I Lokai diiringkan beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang.

Dan ketika Cin Lan melihat Bian Hok, ia mengerutkan alisnya diam-diam terkejut. la sudah mengenal pemuda itu dan beberapa kali pernah bertemu karena ayah mereka keduanya adalah
pangeran. 

Sebaliknya, Bian Hok juga heran dan kaget melihat bahwa gadis itu bukan lain
adalah Tang Cin Lan, gadis remaja yang sudah lama digandrunginya.

"Hai, Adik Tang Cin Lan! Kiranya engkau yang datang?" serunya dengan girang.
Cin Lan menanggapi sambutan gembira itu dengan dingin. saja. 

"Aku pun  tidak mengira bahwa engkau akan berada di sini, Bian-kongcu!" la sengaja menyebut kongcu, sebutan yang
menunjukkan bahwa ia tidak bersedia bersikap akrab dengan pemuda itu. 

Memang, ayahnya dahulu pernah menganjurkan agar ia menyebut twako, akan tetapi karena menemukan
pemuda ini di sarang pengemis-pengemis yang kurang ajar itu, hatinya tidak senang dia sengaja menyebut kongcu.

Akan tetapi, agaknya Bian Hok tidak merasakan ini dan dia berkata girang kepada gurunya,"Suhu, nona ini adalah Tang Cin Lan-siocia, puteri dari Paman Pangeran Tang Gi Su!"

Mendengar ucapan ini, Hek-tung Kai-ong lalu memberi hormat kepada Cin Lan dan berkata,"Maafkan karena tidak tahu akan kunjungan Siocia, kami terlambat nnenyambut. Silakan duduk Siocia."

Dengan sikap yang angkuh Cin Lan mengangguk, lalu duduk dan menarik ta-ngan Pek I Lokai sambil berkata,

"Duduklah, Suhu."

Kini tiba giliran Bian Hok yang memandang heran. Dia tahu bahwa Cin Lan adalah seorang gadis yang gagah, yang diajar silat oleh para jagoan dari istana.

Akan tetapi dia tidak mengira
bahwa gadis itu kini mempunyai guru seorang kakek pengemis pula.

Pek I Lokai duduk pula walaupun belum dipersilakan tuan rumah. Melihat sikap sederhana dari kakek berpakaian putih itu, Hek-tung Kai-ong tidak berani memandang rendah. Sambil duduk dia pun memberi hormat dan berkata, "Tidak tahu siapakah saudara tua ini" Dari
golongan mana dan siapakah namanya" 

Ada keperluan apa datang berkunjung ke gubuk kami?" Pek I Lokai tersenyum dan meman-dang ke sekeliling. Lucu juga rumah se-besar ini disebut gubuk! "Aku bukan dari golongan mana-mana dan orang menyebutku Pek I Lokai."
Hek-tung Kai-ong nampak terkejut.

Dia pun pernah mendengar nama besar Pek I Lokai di selatan dan baru sekarang dia bertemu dengan orangnya.

"Ah, kiranya Pek I Lokai yang nama-nya terkenal di sepanjang Sungai Kuning"

Selamat datang di tempat kami. Dan ada urusan penting apakah yang membawa Lokai datang berkunjung?" Pek I Lokai memandang tajam.

"Engkau tentu Ketua Hek-tung Kai-pang, bukan?"

"Benar, orang menyebutku Hek-tung Kai-ong," kata ketua itu dengan suara merendah, tanpa merasa bangga atau sombong.

 Agaknya dia seorang yang jujur.
"Pantas, seorang kai-ong (raja pengemis) menempati istana seperti ini! Begini, Kai-ong,kedatanganku ini untuk mernberi teguran kepadamu atas tindakan anak buahmu yang sungguh di luar kepantasan!"

Sepasang mata yang besar itu terbelalak, wajah yang keren itu menjadi kemerahan dan hidung yang besar itu kembang-kempis. Tentu saja Hek-tung Kai-ong marah sekali mendengar ucapan itu. "Pek I Lokai, engkau hendak mengatakan bahwa aku telah mengajar kepada anak
buahku untuk bertindak tidak pantas, begitu?"

"Beberapa orang murid dan anak buahmu memang bertindak tidak pantas sekali, habis Suhu harus berkata bagaimana?" Tiba-tiba Cin Lan yang sejak tadi menahan kemarahannya
berseru. Hek-tung Kai-ong kini nnemandang kepadanya. "Siocia, perbuatan tidak pantas yang
manakah dilakukan anak buahku" 

Pekerjaan mereka hanya minta sedekah dari orang-orang yang murah hati, apakah perbuatan itu dapat disebut tidak pantas?"

Cin Lan mendahului suhunya, "Kalau hanya minta sedekah, hal itu adalah hal biasa dan kami tidak akan
mempersoalkan lagi. Akan tetapi kemarin ketika aku , bersama ibuku pergi ke Kuil
Kwan-im-bio, tiga orang anak buahmu yang masih muda-muda bersikap kurang ajar kepada-ku.

Mereka bukan hanya minta sedekah, bahkan berani mereka merampas gelang kemala yang kupakai, kemudian bahkan  berani mengeroyok aku. Apakah perbuatan ini pantas,Hek-tung Kai-pangcu" Hayo jawab, apakah ini pantas?"

Menghadapi serangan kata-kata dari Cin Lan, Hek-tung Kai-ong tertegun. 

"Benarkah kejadian seperti itu?" tanyanya perlahan dan dengan nada suara khawatir kalau-kalau berita itu benar
adanya. 

"Apa kaukira aku berbohong kepada-mu" 

Tiga orang anak buahmu itu menge-royokku, dan dapat kuhajar mereka lari tunggang-langgang, membawa lari gelang kemalaku.

Akan tetapi lalu datang Si Pendek Gendut yang menyerangku dengan tongkatnya!"

 "Ahh....!" Hek-tung Kai-ong berseru kaget.

"Untung ada Tiong Hwi Nikouw yang membantuku. Kemudian datang lagi seorang muridmu yang tinggi besar mengeroyok Tiong Hwi Nikouw. Kalau saja Suhu tidak cepat datang dan
mengusir mereka, tentu aku dan Tiong Hwi Ni-kouw telah celaka. 

Nah, Pangcu, katakan apakah perbuatan anak buahmu ini pantas" Merampas gelang dan menyerang wanita, juga
nikouw?" Melihat gurunya nampak bingung, Bian Hok lalu berkata, "Siauw-moi, harap tenang dulu.

Urusan ini harus diselidiki dulu kebenarannya, baru Suhu dapat mengambil keputusan."

Hek-tung Kai-ong sudah begitu marahnya sehingga dia mengeluarkan teriakan keras sekali memanggil anak buahnya yang berada di luar. Dua orang anak buah tergopoh-gopoh lari berdatangan ke dalam ruangan itu.

"Tahu kalian siapa diantara dua orang muridku yahg berkelahi di depan Kuil Kwan-im-bio?"bentaknya. Dua orang anak buah itu ketakutan, dan seorang di antara mereka menjawab dengan suara gemetar,"

"Saya... saya hanya mendengar saja, Pangcu. Kabarnya Ciu-twako dan Thio-twako yang berkelahi." "Cepat cari mereka dan panggil ke sini menghadap, sekarang juga'."

"Baik... baik... Pangcu....!" Dua orang itu lalu berlari keluar.

Setelah mereka berdua keluar, Cin Lan berkata kepada Hek-tung Kai-ong, "Pangcu, aku pun menuntut agar gelang kemalaku dikembalikan.

Awas, kalau tidak dikembalikan, aku akan minta kepada Ayah agar mengerahkan pasukan untuk membasmi Hek-tung Kai-pang yang berkedok pengemis akan tetapi melakukan perbuatan seperti perampok!" Pedas sekali ucapan gadis itu dan Hek-tung Kai-ong menjadi semakin gelagapan.

Bian Hok lalu tersenyum dan sambil berkata, "Aih, Siauw-moi, harap bersabar dulu. Apa yang dilakukan anak buah itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Suhu, yaitu Ketua Hek-tung Kai-pang.

Dan kalau benar mereka berbuat kesalahan, percayalah, Suhu tentu
akan, menghukum mereka. Urusan sekecil ini perlu apa harus memusingkan ayahmu, Paman Pangeran Tang" Bisa menjadi buah tertawaan orang banyak.

Kalau benar gelangmu dirampas,tentu akan dapat kau terima kembali."

"Kalau benar, kalau benar! Engkau beberapa kali mengatakan kalau benar. 

Memangnya kau anggap omonganku semua itu bohong belaka?" bentak Cin Lan sambil melototkan matanya kepada Bian Hok. "Cin Lan-siocia, bersabarlah.

Urusan ini dapat diurus dengan sabar, bukan de-ngan kemarahan," kata Pek I Lokai, menyebut siocia karena berada di depan orang lain.

"Biarlah kita melihat bagaimana Hek-tung Kai-pangcu menangani urusan ini. Dan kepadamu, Hek-tung Kai-ong, ini merupakan pelajaran yang amat berharga.

Agaknya engkau kurang ketat
mengamati kelakuan para muridmu hingga engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan diluar.

Para pengemis hidup dari belas kasihan orang, belas kasihan masyarakat. Karena itu,sudah menjadi kewajiban setiap orang pengemis untuk membalas budi kebaikan masyarakat itu. Dengan cara apa" Dengan menjaga agar kehidupan masyarakat tenteram, membantu dengan menjaga agar jangan ada kejahatan terjadi di masyarakat. Kalau ada pengemis
membuat keja-hatan di masyarakat, itu namanya tidak tahu diri, sudah ditolong malah membalas dengan kejahatan."

Bian Hok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pek I Lokai, lalu berkata angkuh,"Pek I Lokai, sudah kukatakan tadi, perlu diselidiki lebih dulu duduknya perkara.

 Jangan terlalu mendesak Suhu yang sebetulnya tidak tahu apa-apa. Kalau memang ada anak buah Hek-tung Kai-pang yang bersalah, Suhu tentu akan menghukum mereka dan meminta maaf
kepada Adik Tang Cin Lan."

Terdengar langkah-langkah kaki di luar lalu muncullah dua orang pengemis.

Cin Lan mengenal mereka sebagai Si Pendek Gendut dan Si Tinggi Besar yang lihai, yang kemarin mengeroyok Tiong Hwi Nikouw dan kemudian dikalahkan oleh Pek I Lokai.

Dua orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ketua mereka yang juga guru mereka dengan sikap takut.

 Mata Hek-tung Kai-ong melotot ketika melihat dua orang murid ini berlutut di depannya.

Dengan suara mengguntur dia berkata, "Apa yang kalian lakukan di depan Kuil Kwan-im-bio kemarin" Hayo ceritakan yang sebenarnya, kalau berbohong akan kuhancurkan kepala kalian!

" Ketua itu menggebrak meja dengan marah.

Si Pendek Gendut dengan suara gemetar lalu berkata, "Harap Suhu mengampuni teecu. 

Teecu tidak berani berbohong. Kemarin, selagi teecu berjalan melakukan tugas, datang tiga orang mu-rid teecu yang melapor bahwa rnereka dihajar oleh seorang nona di depan Kuil Kwan-im-
bio. 

Melihat tiga orang murid teecu luka-luka, teecu menjadi marah dan cepat teecu pergi kedepan kuil itu. Teecu melihat nona itu...."

"Akulah nona itu!" teriak Cin Lan. Pengemis itu menoleh dan kembali menundukkan mukanya.

"Nona ini berada di depan kuil dan teecu segera menantangnya, untuk
membalaskan tiga orang murid teecu yang dipukuli. Nona ini menerima tantangan teecu dan kami berkelahi. Lalu nikouw dari kuil itu maju melawan teecu dan ketika teecu terdesak, lalu
datang Thio-suheng membantu... hanya itulah kejadian yang sesungguhnya, Suhu."

"Hayo kau ceritakan hal yang sebenarnya bagaimana!" kata ketua itu kepada pengemis yang tinggi besar. Pengemis itu lalu menunduk dan bercerita, suaranya tidaklah takut seperti sutenya karena dia merasa tidak bersalah.

"Teecu kebetulan lewat di depan kuil dan melihat Ciu-sute sedang bertanding dan terdesak hebat oleh nikouw tua itu. Lalu teecu membantu Sute.

Setelah kami berdua hampir
mengalahkannya, muncul seorang kakek berpakaian putih...."

"Suhuku inilah orangnya!" kembali Cin Lan membentak. Si Tinggi Besar melirik ke arah Pek I Lokai lalu dia menunduk lagi.

"Teecu berdua lalu bertanding mela-wan kakek berpakaian putih itu dai kami mengalami kekalahan. Hanya itulah yang terjadi, Suhu. Teecu berani bersumpah."

"Hemm, tahukah kalian mengapa tiga orang anggauta itu dihajar oleh Tang-siocia" Dan tahukah kalian siapa Tang-siocia ini" la adalah puteri dari Pangeran Tang Gi Su.

 Engkau, Cui Sek, berani engkau menyerang puteri pangeran?"

Si Gendut itu menjadi pucat wajahnya, 

"Sungguh mati... teecu tidak tahu, teecu hanya tahu bahwa tiga orang murid teecu dipukuli seorang nona..." Suaranya seperti meratap.

"Dan engkau tahu mengapa rnurid-muridmu dipukuli?"

"Teecu tidak tahu...."

"Tidak kautanyakan kepada murid-muridmu?"

"Teecu keburu marah... eh, maaf teecu tidak sempat....

"Keparat! Cepat panggil murid-muridmu itu ke sini. Cepat! Ketiganya harus dihadapkan kesini sekarang juga!"

"Baik, Suhu!" Si Gendut Pendek lalu menggelinding dari tempat itu. Demikian cepat larinya seolah dia menggelinding saking gendutnya.

"Hemm, baru sekarang ketahuan ya. Ingin aku melihat, bagaimana caranya Ketua Hek-tung Kai-pang menghukum murid-muridnya yang brengsek!" kata Cin Lan dengan suaramengejek. Tak lama kemudian terdengar suara bergedebukan dan tiga orang anggauta Hek-tung Kai-
pang itu berjatuhan ke dalam didorong oleh guru mereka sendiri. 

Cin Lan segera mengenal mereka sebagai tiga orang yang kemarin dihajarnya. Be-kas tangannya masih nampak, ada
yang benjol kepalanya ada yang bengkak biru pipinya. Ingin ia menghardik mereka, akan tetapi tangannya dipegang dengan halus oleh gurunya dan ia pun berdiam diri karena suhunya
berkedip kepadanya. 

Diam-diam Pek I Lokai merasa suka kepada Ketua Hek-tung Kai-pang itu yang agaknya dapat bersikap jujur dan adil.

"Hei, kalian bertiga. Apa yang kalian lakukan kemarin di depan Kuil Kwan-im-bio terhadap seorang nona?" Tiga orang itu saling pandang dan mereka tidak berani mengeluarkar kata-kata! Karena
mereka tahu telah berbuat suatu pelanggaran besar, maka mereka kini hanya menundukkan kepalanya.

"Ampunilah hamba, Pangcu", terdengar suara mereka lirih. Karena mereka tidak menjawab Hek-tung Kai-ong menjadi semakin marah. Dia lalu memandang kepada Cin Lan. "Siocia,harap suka katakan tuduhan Siocia kepada mereka," katanya.

Dengan suara lantang Cih Lan berkata, "Ketika aku dan ibuku berada di luar kuil, tiga orang jembel busuk ini minta sedekah. Ibu telah memberinya, akan tetapi secara kurang ajar mereka
minta supaya aku juga memberi sedekah. 

Aku tidak mau karena ibu sudah memberi. Lalu yang kurus berbibir tebal berhidung pesek seperti monyet itu, tiba-tiba merenggut gelang kemalaku dan mengantonginya. Aku menjadi marah dan kami berkelahi. Kuhajar mereka dan
akhirnya mereka melarikan diri."

Setelah Cin Lan berhenti bercerita, ketua itu membentak, "Kalian sudah mendengar semua itu" Benarkah apa yang dituduhkan nona itu kepada kalian?"

Tiga orang itu lalu menelungkup di atas lantai. "Ampunkan kami, Pangcu...., kami tidak berani berbuat demikian lagi....
Hek-tung Kai-ong melotot dan
memandang kepada Ciu Sek yang menjadi pucat sekali wajahnya mendengar apa yang telah dilakukan oleh tiga orang murid mereka, Merampas
gelang, dari seorang puteri pangeran lagi!

"Ciu Sek, engkau mendengar sendiri kelakuan tiga orang muridmu! Hayo kau-laksanakan hukumannya agar semua orang melihat bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan perampok dan penjahat"

"Baik, Suhu" kata Si Gendut dan dia lalu memanggil tiga orang muridnya itu, "Kalian kesini, merangkak cepat!"

Dengan tubuh gemetaran tiga orang itu merangkak menghampiri guru mereka. Si Gendut itu memandang kepada murid yang kurus dan berhidung pesek yang merampas gelang kemala milik Cin Lan.

"Engkau yang merampas gelang kemala"

"Be... benar, Suhu... ampun, Suhu" kata Si Kurus.

"Di mana sekarang gelang itu"
Kembalikan!"

"Tidak... tidak mungkin, Suhu... sudah dirampas orang lain"

"Bangsat! Julurkan tanganmu! Si Gendut mengambil sebatang golok dari punggungnya dan siap untuk membabat putus lengan tangan perampas gelang kemala itu.

Akan tetapi sebelum golok yang terayun itu mengenai pergelangan lengan tangan, nampak sinar hitam berkelebat.

"Tranggg...!" Golok itu terpental. Ternyata yang menangkis golok itu adalah tongkat bambu di tangan Pek I Lo-kai. "Nanti dulu....!" kata Pek I Lokai.

"Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah orang ini."

Semua orang memandang kepada perampas gelang itu dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan wajahnya berubah menghitam dan ketika diperiksa, ternyata dia telah tewas!

Tentu saja semua orang merasa heran dan Hek-tung Kai-ong bertanya kepada dua orang anggota yang lain, "Kemarin setelah dia merampas gelang kemala, lalu apa yang terjadi dengan dia?" "Pangcu, dia lari ke pasar untuk menjual gelang itu, akan tetapi dia bertemu dengan seorang siluman betina... yang, merampas gelang kemala itu...."

"Hayo cerita yang jelas. Siluman betina yang bagaimana dan apa yang telah terjadi?" bentak Sang Ketua yang tidak sabar. Dia heran dan juga penasaran sekali melihat bahwa pundak
anggauta yang tewas itu terdapat sebuah titik merah dan agaknya itulah yang membuatnya tewas seperti yang keracunan.

Dua orang itu, bantu-membantu, lalu bercerita. Ketika mereka melarikan diri karena kalah oleh Cin Lan, mereka bertemu guru mereka, Ciu Sek dan mereka melapor bahwa mereka
dipukuli seorang nona di depan Kuil Kwan-im-bio. Setelah melapor dan guru mereka lari ke arah kuil, mereka bertiga lalu pergi ke pasar dengan maksud menjual gelang kemala dan membagi uang penjualannya.

Ketika mereka tiba di pasar dan sedang menawarkan gelang kemala kepada seorang saudagar di tempat terbuka, tiba-tiba terdengar suara wanita dari atas!

"Ha-ha-ha, gelang curian, jangan di-beli. Pembelinya bisa masuk penjara se-bagai tukang tadah!" demikian suara itu.

Tiga orang pengemis itu terkejut sekali dan saudagar itu pun pergi,tidak jadi membeli. Ketika mereka melihat ke atas pohon di dekat situ, mereka melihat
seorang gadis cantik duduk nongkrong di dahan pohon, mereka tadinya mengira gadis itu Cin Lan yang tadi menghajar mereka.

Mereka hendak lari dan gadis itu berseru, "Heii, pencuri bisik, hendak lari ke mana engkau?"

Tiga orang itu berhenti dan karena mendengar suara gadis itu berbeda, seperti nada suara orang selatan, mereka segera mengenal bahwa gadis itu sama sekali bukan Cin Lan, biarpun
gadis itu juga cantik jelita.

Marahlah mereka, ter-utama sekali Si Perampas Gelang. Mereka baru saja dihajar seorang gadis, maka kini melihat ada gadis lain berani mempermainkan
mereka, tentu saja kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis di atas pohon itu.

"Hei, siluman busuk, turun kau kalau berani!" bentak Si Pencuri Gelang.

"Baik, aku turun, hendak ku lihat engkau mau apa?" gadis itu melompat dengan ringan sekali ke depan Si Pencuri Gelang dan sekali ia menggerakkan tangannya, ia telah dapat merampas gelang kemala itu dari tangan Si Hidung Pesek.

Pengemis ini marah, lalu menubruk dan
berhasil merangkul pinggang Si Gadis, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak dan roboh terpelanting. Gadis itu tertawa dan mengambil seekor ular merah dari kalungan lehernya. Ternyata ular itu
telah menggigit pundak Si Hidung Pesek dan melihat gadis itu memegang ular, Si Hidung Pesek yang merasa kesakitan lalu meloncat bangun dan melarikan dirl, dikejar oleh dua orang kawannya.

"Demikianlah, Pangcu, apa yang kami alami kemarin. Tadinya A-siong hanya merasa gatal-gatal di pundaknya saja dan sama sekali kami tidak menyangka akan begini hebat racun itu."

"Ciu Sek, A-siong sudah mendapatkan hukumannya sendiri atas perbuatannya yang jahat.

Tinggal dua orang muridmu belum kau hukum," kata Ketua Hek-tung Kai-pang dengan suara bengis. Agaknya ketua ini belum merasa puas kalau semua yang bersalah belum dihukum.

Ciu Sek yang sudah kehilangan se-orang muridnya yang tewas secara me-ngerikan itu, lalu berkata kepada dua orang muridnya. "Kalian tidak merampok, akan tetapi juga membantu perbuatan A-siong yang tidak baik, maka harus dihukum pula. Ulurkan tangan kiri kalian!"

Dua orang murid itu dengan takut-takut mengulur tangan kiri mereka dan tiba-tiba Ciu Sek menggerakkan tangannya membuat gerakan membacok dua kali.

Terdengar suara krek-krek dua kali dan tulang lengan kiri kedua orang murid itu patah!

"Bagus, dan sekarang kalian dua orang muridku yang lancang menyerang puteri pangeran,membela murid-murid yang bersalah, tidak lepas dari hukuman pula.
Ulurkan tanganmu, aku sendiri yang akan mematahkan lenganmu!"

Pada saat itu, Bian Hok bangkit ber-diri dan berkata kepada gurunya, "Suhu, kesalahan Ciu-suheng dan Thio-suheng tidaklah seberat itu. Mereka tidak ber-buat jahat, hanya kurang teliti saja. Maka, harap Suhu suka melihat mukaku dan memberi ampun kepada mereka. Asalkan........























Terima kasih telah membaca Serial ini.


 


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12