Tuesday, February 26, 2019

Cerita Silat Serial Kisah Si Pedang Terbang Jilid 02


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Pedang Terbang 
           Jilid 02


Pendapat kita, betapapun indah mengemukakannya, betapa kuat alasan-alasannya, tetap saja hanya berupa pendapat. Dan pendapat itu sudah pasti dilandasi. perhitungan untung rugi, Kita pernah mengutuk binatang ular, terutama yang berbisa, sebagai mahluk yang paling jahat, bahkan alat setan, kita kutuk dan kita menasihati anak cucu kita untuk memusuhinya/ membunuhnya setiap kali melihatnya. 

Akan tetapi, setelah kini diketahui kegunaan bisa ular, untuk menqobatan, bahkan mungkin dapat menyelamatkan nyawa manusia, setelah kini daging ular dimasak dan dimakan, kulit ular dibuat dompet, tas dan sebagainya, masihkah kita mengumpat dan mengutuk binatang itu" Semua pendapat memang tak lepas dari pada perhitungan untung rugi bagi kita. 

Hujanpun dianggap baik alau menguntungkan dan buruk kalau merugikan., demikin pula panasnya matahari dan segala saja yang berhubungan dengan kehidupan kita.

Pembantaian yang di lakukan tiga orang datuk murid mendiang Sam Mo-ong itu tidak diketahui oleh Han Lin yang sedang mengumpulkan kayu bakar dihutan. Dia sudah mengumpulkan dengan cukup dan mengikatnya. Ketika dia sudah bersiap untuk kembali ke kelehteng, tiba tiba terdengar suara suling ditiup orang. Suara suling itu demikian indah, merdu dan melengking-lengking, tanda bahwa peniupnya ahli. 


Datangnya suara suling itu dan puncak bukit. Han Lin tertarik dan segera dia mendaki puncak untuk melihat siapa gerangan yang meniup suling seindah itu, Setahunya, di sekitar situ tidak ada orang yang pandai meniup suling seperti itu.

Setelah tiba di puncak, Han Lin tertegun. Dia melihat seorang anak la-ki-laki remaja, sebaya dengannya, berpakaian sutera putih-putih dengan pita rambut merah dan ikat pinggang sutera biru, nampak anggun dan tampan sekali, seperti seorang putera bangsawan atau hartawan, Pemuda remaja itu berwajah bundar, dengan hidung mancung besar, matanya lebar dan dia sedang meniup sebatang suling perak yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. 


Pantas saja suara suling itu demikian nyaring melengking, tidak lembut seperti suara suling bambu, pikir Han Lin. Dia sendiri suka meniup suling, dan dia sudah mahir pula, akan tetapi biasanya dia meniup sebatang suling bambu. Melihatpun baru sekarang sebatang suling perak seperti yang sedang ditiup pemuda remaja itu. Karena tertarik, diapun mendekat. akan tetapi tidak menegurnya karena pemuda itu masih asyik meniup suling.

Setelah lagu yang dimainkan pemuda itu selesai dan dia menghentikan tiupan sulingnya , barulah Han Lin bertepuk tangan memuji. Pemuda itu, yang tadinya duduk di atas batu, bangkit berdiri dan memandang Han Lin. Pemuda itu bertubuh tinggi tegap, wajahnya yang tampan itu dihias senyum dingin dan pandang matanya membayangkan ketinggian hati.


"Bagus sekali sobat, kata Han Lin kagum tiupan sulingmu sungguh bagus dan merdu sekali!" Sepasang mata yang lebar dan tajam itu mengamati Han Lin dari kepala sampai ke kakinya yang mengenakan sepatu kasar, alisnya berkerut, matanya yang lebar tajam itu nampak tak senang.


Namun Han lin juga memperlihatkan kema hirannya. Dengan mudah dia dapat menge lak dan totokan ketiga ditangkisnya dengan tangan miring dari samping.

"Tidak pantas engkau menyebut a
(Maaf ada halaman yang hilang)
menyerang orang. Kalau yang diserangnya benar-benar pemuda dusun yang tidak mempunyai kepandaian silat, tentu kepalanya hancur dan akan tewas seketika. 


Ahhh...! Dia berseru dan cepat dia mengelak kebelakang sehingga sambaran suling itu lewat di depannya. Akan tetapi elakan Han Lin itu membuat pemuda itu menjadi penasaran dan semakin marah. Dia menyerang lagi, kini sulingnya menotok ke arah leher, lalu menurun ke dada dan perut! Sungguh merupakan jurus serangan maut yang amat dahsyat. Namun, Han Lin juga memperlihatkan kemahirannya . 

Dengan mudah dia dapat mengelak dan totokan ketiga ditangkisnya dengan tangan miring dari samping.


          **********


Keduanya terkejut karena masing-masing merasa betapa tangan mereka tergetar "Aha, kiranya engkau bukan bocah dusun petani busuk biasa ! Engkau pandai iImu siIat, keparat!" bentak pemuda itu.

'Dan engkau seorang pemuda sombong dan kejam!" kata Han Lin yang sudah mulai marah. "Mampuslah!" Pemuda itu membentak dan kembali dia menyerang dengan sulingnya, sekarang dia menyerang dengan pengerahan tenaga dan menggunakan jurus maut yang berbahaya karena dia tahu bahwa yang diserangnya bukan bocah dusun sembarangan.


"Engkau patut dihajar!" kata Han Lin dan diapun mengelak, lalu membalas dengan jurus pukulan dari ilmu silat Pat-kwakun (Silat Segi Delapan). 


Namun, pemuda itupun dapat mengelak dan dengan marah sekali dia menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga seolah-olah dia bukan memegang sebatang, melainkan belasan batang suling yang menyerang Han Lin bertubi-tubi. 

Biarpun dengan langkahlangkah dalam Pat-kwa-kun Han Lin mampu menghindarkan semua serangan, namun dia kewalahan dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri bergulingan, di kejar oleh lawannya.

Ketika Han Lin meloncat berdiri lagi, tangannya sudah memegang sebatang ranting kayu dan inilah senjatanya yang istimewa. Dia memang ketika dilatih Hong-in Sin-pang oleh gurunya, dibiasakan untuk menggunakan segala macam ranting kayu untuk pengganti tongkat. Ranting atau cabang kayu yang bagaimanapun menjadi senjata ampuh di tangan Han Lin yang sudah menguasai Hong-in Sin-pang cukup baik.


Segera terdengar suara nyaring berulang kali ketika suling bertemu ranting dan sekali ini, pemuda itu yang terkejut bukan main. Ranting kayu ditangan bocah dusun itu lihai bukan main, membuat permainan sulingnya menjadi kacau.


"Sing-singg.... !!" Beberapa kali pemuda itu meniup dan dari suling peraknya meluncur banyak jarum halus yang menyambar ke arah seluruh tubuh Han Lin. Namun, Han Lin yang sudah waspada, memutar tongkatnya sambil melompat ke atas dan jarum-jarum itupun run tuh ke atas tanah. Dari atas, tubuh Han Lin menukik turun dan rantingnya bergerak cepat, berhasil menotok pundak pemuda itu yang mengeluarkan seruan kaget dan terpelanting, Akan tetapi dia dapat meloncat bangun kembali dengan muka berubah pucat karena kini dia tahu bahwa lawannya si bocah dusun itu benar-benar lihai bukan main.


Pada saat itu, selagi Han Lin menyambut serangan suling yang semakin ganas dengan rantingnya, ada angin dahsyat menyambar. Han Lin meloncat untuk mengelak dari serangan gelap yang dilakukan orang dari arah belakangnya itu, namun terlambat. Serangan itu dahsyat bukan main dan cepat sehingga punggung nya terkena sambaran hawa yang dingin sekali. Han Lin roboh dan sebelum dia sempat bergerak, pundaknya sudah ditotok orang dan diapun tidak mampu bergerak lagi!


Pemuda yang memegang suling itu ketika melihat Han Lin tidak mampu bergerak lagi, menggerakkan sulingnya menghantam kearah kepala Han Lin. Pemuda ini tidak mampu bergerak, maka diapun hanya dapat memandang dengan melotot, siap menghadapi kematian. Dia sudah digembleng matang oleh Kong Hwi Hosiang sehingga tidak gentar menghadapi kematian yang dengan penuh keyakinan dikatakan gurunya itu bahwa kematian bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan didunia ini.


"PIakk!ll Suling itu terpenpal dan hampir terlepas dari tangan pemuda itu ketika tertangkis ujung lengan baju Hekbin Mo-ong. Kiranya Hek-bin Mo-ong yang tadi datang dan merobohkan Han Lih dan kakek gendut muka hitam arang ini yang mencegah si pemuda membunuh Han Lin.


"Susiok Hek-bin (Paman Guru Muka Hitam), kenapa engkau mencegah aku membunuh jahanam dusun ini?" Pemuda itu bertanya penuh penasaran.


"Seng Gun, bagaimanapun juga, golongan kita pantang membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti pemuda dusun ini. Pula, dia masih kita perlukan Kaukira siapa yang akan menjadi pelayan kita untuk menjamu para tamu nanti " Siapa pula yang akan mencari kan tenaga pelayan dan mencarikan semua keperluan kita?"


"Hek-bin Susiok, apakah kita telah mendapatkan tempat yang baik untuk....." "Sudah, mari kita pergi, ayahmu dan Pek-bin Susiok telah menanti disana," kata pula Hek-bin Mo-ong. Kemudian Hekbin Mo-ong memandang kepada Han Lin. Pemuda ini sejak tadi telah mengenalnya. 


Seorang di antara dua orang aneh yang pernah memukulnya tujuh
delapan tahun yang lalu, pikirnya. Dan orang itu tadi menyebut-nyebut nama Pek-bin susiok untuk pemuda itu, tentu yang di maksudkan orang bermuka putih kapur itu. Dan pemuda ini adalah murid keponakannya.


"Susiok, pemuda ini cukup Iihai, dia akan membahayakan kita kalau tidak dibunuh." kata Seng Gun. Pemuda ini memang cerdik sekali" Namanya Tong Seng Gun dan dia adalah putera dari Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui, datuk tertua diantara tiga datuk murid mendiang Sam Mo-ong itu.


"Tentu saja dia memiliki sedikit kepandaian karena dia tentulah murid hwesio pengurus kelenteng di bawah puncak itu. Bukankah benar begitu, orang muda?"


Di dalam hatinya, Han Lin marah sekali kepada mereka ini dan tahu bahwa mereka ini adalah orang-orang yang jahat sekali. Akan tetapi dia teringat akan semua nasihat gurunya. Dia harus mengetahui keadaan dan bertindak sesuai dengan keadaan itu, demikian antara lain nasihat gurunya. 


Seorang pendekar haruslah tabah dan berani, akan tetapi bukan berani dengan nekat, melainkan berani dengan perhitungan. Nekat melawan secara membuta dan mati konyol bukanlah keberanian namanya, melainkan kebodohan. Dan sekarang dia tahu bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tidak akan mampu dia kalahkan. Berusaha menyelamatkan diri dalam keadaan seperti sekarang ini bukanlah suatu sifat pengecut, melainkan suatu kecerdikan dan tahu diri.

"Benar, locianpwe. Kong Hwi Ho siang adalah guruku," jawabnya, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut, juga tidak membayangkan kemarahan. Akan tetapi dia merasa heran juga melihat betapa orang gendut muka hitam arang itu menjadi terkejut mendengar jawabannya.


"Kong Hwi Hosiang, katamu" Aha, jadi dia adalah Kong Hwi Hosiang yang amat terkenal itu" Pantas dia lihai, sayang sudah tua renta, ha-ha-ha! Siapa namamu?"


"Namaku Han Lin," kata Han Lin sejujurnya, dan hatinya berdebar. tegang mendengar ucapan si muka hitam ini tentang gurunya. "Nah, Han Lin, engkau belum bosan hidup, bukan" MuIai sekarang engkau harus menaati perintah kami dan tidak melawan, dan kami tidak akan membunuhmu. Bangunlah," tangan Hek-bin Mo-ong menyambar ke arah pundaknya dan Han Lin mengeluarkan seruan tertahan. Rasa nyeri yang amat sangat menusuk pundaknya. Dia kini mampu bergerak, akan tetapi perasaan nyeri di pundaknya itu seperti menembus ke jantungnya. Dia memejamkan matanya dan seperti dalam mimpi mendengar suara Hek-bin Mo-ong.


"Ha-ha-ha-ha, Han Lin. Pukulanku tadi adalah pukulan yang memasukan hawa beracun ke dalam tubuhmu. Engkau sudah keracunan dan dalam waktu sebulan, kalau tidak kuberi obat, engkau akan mati! Nah, kalau engkau bersikap baik, menaati semua perintahku, sebelum sebulan tentu engkau akan kuobati sampai sembuh.


Akan tetapi kalau engkau melarikan diri atau membangkang, engkau akan kubunuh, atau kalau engkau dapat lolos sekalipun, engkau akan mati karena selain aku, tidak akan ada orang yang mampu mengobatimu sampai sembuh.

Akan tetapi, dari bawah pusar di perut Han Lin muncul hawa yang hangat dan sebentar saja rasa nyeri di pundaknya itu lenyap. Han Lin adalah seorang yang cerdik sekali . Dia tahu bahwa menurut keterangan gurunya, tubuhnya kebal terhadap racun, maka hawa beracun itupun hanya sebentar saja mempengaruhinya. Namun, dia pura-pura masih kesakitan, masih menyeringai kesakitan.


"Aku.... aku akan taat," katanya lirih, Bagi dia, bahaya yang mengancam bukan datang dari hawa beracun di tubuhnya itu, melainkan dari orang-orang jahat ini. Sekali dia dapat meloloskan diri, dia tentu akan selamat. Yang penting, dia harus memperlihatkan ketaatan agar dipercaya, karena diapun ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan orang-orang jahat yang aneh ini.


Han Lin, hayo kau ikut kami ke kelenteng, kata Hek-bin Mo-ong, dan Han Lin mengangguk, lalu mengikuti mereka kembali ke kelenteng dengan hati merasa tidak enak dan berdebar tegang. Apa yang telah terjadi dengan suhunya"


Ketika mereka tiba di depan kelenteng dan memasuki pekarangan, Han Lin terbelalak melihat Kong Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio sudah menggeletak menjadi mayat, berserakan di pekarangan itu.


"Suhu !n Dia lari menubruk jenazah suhunya. "Suhu...., Cun Suhu..... Kun Suhu!" Dia meratap dan menangis. 


"Heh-heh-heh, Han Lin, hentikan tangismu seperti anak perempuan yang cengeng saja. Dan kalau engkau tidak menaati kami , engkaupun akan segera menyusul mereka!" kata Seng Gun. Han Lin mengepal tinju dan harus menekan gerahamnya agar tidak sampai didorong menjadi nekad oleh kemarahan dan dendam. Tidak, pikirnya. Sekarang bukan saatnya untuk melawan mereka. Dia akan kalah. Amukannya tidak akan ada gunanya, sama dengan bunuh diri. 

Tiga orang hwesio itu telah dibunuh mereka, hal ini saja membuktikan mereka adalah lawan yang amat tangguh, Dia bukan takut melawan mereka, bukan takut mati, hanya tidak ingin mati konyol dan sia-sia. 
Dia harus memperkuat dirinya untuk kelak menentang kejahatan yang luar biasa kejamnya ini.

"Cukup, Han Lin. Tidak perlu banyak menangis lagi. Sekarang, angkat ketiga jenazah itu dan bawa ke kebun belakang. Kita kubur mereka di sana," kata Hek-bin Mo-ong dan pada saat itu, muncullah Pek-bin Mo-ong yang segera dikenal oleh Han Lin. Orang yang kurus tinggi bermuka putih kapur itu adalah orang kedua orang yang dahulu pernah menyerangnya bersama Hek-bin Mo-ong. Yang seorang lagi, lebih tua dan juga tubuhnya pendek gendut seperti katak, tidak dikenalnya, akan tetapi melihat sikapnya, agaknya dia menjadi pimpinan mereka berempat. 


Diapun dapat menduga bahwa Seng Gun tentulah putera dari si katak gendut itu.

"Hemm, siapa bocah itu dan mengapa engkau bawa dia ke sini, .Hek-bin sute?" tanya Kwi jauw Lo-mo sambil mengerutkan alisnya. Mereka mempunyaI tugas rahasia yang penting, maka sungguh bodoh kalau sutenya itu membawa seorang pemuda asing ke situ.


"Ayah, tadi aku hendak membunuh saja bocah ini, akan tetapi Hek-bin Susiok melarangku, kata Seng Gun kepada ayahnya dan sikap ini saja menunjukkan bahwa dla seorang anak yang manja dan mengandalkan ayahnya sehingga dia tidak menghormati susioknya.


"Twa-suheng (Kakak seperguruan tertua), kata Hek-bin Moong sambil tersenyum menyeringai. "Dia adalah murid hwesio tua itu dan tahukah twasuheng siapa hwesio tua yang baru saja tewas ditangan kita ini " Dia adalah Kong Hwi Hosiang !"


"Ahhh ?" Kwi-jiauw Lo-mo dan Pek-bin Mo-ong mengeluarkan seruan kaget. "Kalau begitu, lebih perlu lagi anak itu harus segera dibunuh!" kata Kwi-iauw Lo-mo yang merasa jerih juga mendengar bahwa korban mereka adalah Kong Hwi Hosiang yang memiliki hubungan luas dan nama besar didunia persilatan. Dia khawatir kalau banyak pendekar akan membela kematian tokoh itu.


Hek-bin Mo-ong tertawa. "Ha-ha-ha jangan khawatir. Dia sudah kupukul dengan pukulan beracun. Kalau dia membangkang dan melawan, dia akan mati keracunan. Kita dapat mempergunakan dia untuk keperluan kita disini, twasuheng".


Kwi-jiauw Lo-mo mengangguk-angguk. "Baiklah, akan tetapi engkau bertanggungjawab mengawasi dia, Hek-bin sute." 


Han Lin tidak memperdulikan mereka lagi, tidak memperdulikan apa-apa kecuali mengurus jenazah tiga orang hwesio itu . Mula-mula dia memondong jenazah Kong Hwi Hosiang dan sambil terisak-isak dia membawa jenazah itu ke dalam kelenteng, terus menuju ke kebun belakang seperti yang diperintahkan Hek-bin Mo-ong.


Tanpa banyak cakap diapun menggali tiga buah lubang, ditonton dan dijaga oleh Hek-bin Mo-ong dan Tong Seng Gun yang tidak mau membantunya sama sekali. Akan tetapi Han Lin merasa lebih" senang tidak di.bantu mereka. Sebaiknya dia sendiri, dengan kedua tangannya sendiri menggali lubang kuburan untuk tiga orang hwesio itu, tidak, dikotori tangan orang-orang jahat itu. 


Tanpa mengenal lelah, dia menggali lubang dan dia kadang-kadang dengan sengaja merintih seperti menahan sakit agar tidak menimbulkan kecurigaan kedua. orang itu yang menyangka bahwa dia masih dipengaruhi hawa beracun pukulan Hek-bin Mo-ong tadi. Kemudian dia mengubur tiga buah jenazah itu dan setelah menguruk lubang-lubang itu dengan tanah, dia lalu berlutut sampai lama di depan kuburan gurunya.

"Sudah, cukup! Hayo ikut dengan kami ke kelenteng. Engkau harus membuatkan makanan untuk kami berempat," kata Hek-bin Mo-ong. 


"Setelah itu, kauca rikan tenaga bantuan dari dusun di bawah sana sebanyak lima sampai sepuluh orang. 

Kami akan menerima beberapa orang tamu penting malam ini di kelenteng
Han Lin tidak menjawab, akan tetapi diapun menurut saja, memberi hormat untuk yang penghabisan kepada makam gurunya lalu dia bangkit dan mengikuti dua orang itu kembali ke kelenteng
Ketika mereka memasuki kelenteng dari pintu belakang, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Han Lin mendengar. suara gaduh di ruangan depan, dan terdengar pula suara Liu Ma! 


Sebelum melihat mereka, Han Lin dapat menduga bahwa tentu ibunya itu bersama beberapa penduduk dusun Li-bun, datang kekelenteng untuk bersembahyang seperti yang kadang mereka lakukan pada hari hari tertentu. Diapun bergegas menuju ke ruangan depan dan di situ memang sedang terjadi keributan.

"Kalian ini siapakah" terdengar suara Ibunya berkata dan agaknya sembilan orang penghuni dusun itu tadi bercekcok dengan Pek-bin Mo-ong dan Kwi-jiauw Lo-mo. "Kelenteng Ini adalah milik kami penduduk dusun, dan kami hendak bersembahyang, kenapa kalian melarang dan menghalangi" Biarkan kami bertemu dengan losuhu, kami hendak bicara dengan dia !"


Ucapan ini dibenarkan oleh yang lain sehingga kembali suasana menjadi gaduh. Melihat.'betapa di antara para pendatang itu terdapat seorang wanita muda yang cukup manis, Hek-bin Mo-ong lalu cepat menghampiri mereka dan dengan mukanya yang selalu tertawa lebar itu dia bertanya, MHeii, ada apa sih ribut-ribut ini?" 


Dia menoleh kepada kedua orang rekannya dan berkata. "Sungguh kebetulan sekali. Kita membutuhkan bantuan tenaga dan mereka ini datang secara suka rela! Dan nonamanis ini dapat menemaniku minum arak heh-heh-heh !" Setelah berkata demikian, sekali menggerakkan tangan kirinya, tubuh wanita itu seperti terbetot dan tahu-tahu telah terhuyung ke arah Hek-bin Moong dan dirangkulnya !

Wanita muda itu menjerit-jerit dan meronta hendak melepaskan diri, menggunakan kedua tangan untuk memukul dan mencakar ketika sambil terkekeh hek-bin Mo-ong mendekatkan mukanya hendak menciuminya begitu saja di depan-banyak orang! Melihat ini, Liu Ma menjadi marah sekali dan iapun sudah mendekati si gendut bundar muka hitam itu.


"Engkau ini laki-laki biadab dan jahat! Lepaskan wanita ini! Ia sudah mempunyai suami, lepaskan!" Liu Ma hendak menarik lepas wanita muda itu, dan teman-temannya yang tadinya gentar menjadi berani. 


Merekapun mendekati Hek-bin Mo-ong untuk memaksanya melepaskan wanita muda yang dirangkulnya itu.
Melihat kenekatan ibunya, Han lin terbelalak dengan wajah pucat karena dia tahu bahwa ibunya terancam bahaya maut berani menentang Hek-bin Mo-ong seperti itu. Maka, diapun cepat melompat, mendekati ibunya.
"Ibu, jangan, . .. !,Dan dia menyambar tubuh ibunya dan dipondongnya tubuh Liu Ma dan dibawanya keluar dari kelenteng itu. Dia harus menyelamatkan ibunya, harus membawanya lari jauh-jauh dari manusia-manusia berwatak iblis itu.


Peristiwa itu terjadi demikian cepatnya sehingga semua orang tertegun. Tiga orang datuk itu sendiri tidak menyangka bahwa Han Lin akan berani melarikan wanita Itu.


"Hek-bin, mereka itu tanggung-jawabmu! kata Kwi-jiauw Lo-mo marah. Mendengar ini, Hek-bin Mo-ong melepaskan wanita muda yang di rangkulnya tadi dan diapun melakukan pengejaran keluar kelenteng, diikuti pula oleh Seng Gun yang juga merasa penasaran melihat perbuatan Han Lin tadi.


Han Lin maklum bahwa ibunya terancam bahaya maut, hanya itu saja yang dia perhatikan maka dia harus dapat mengajak ibunya melarikan diri. Setelah tiba di luar kelenteng, dia menurunkan ibunya yang berkeras minta diturunkan.


"Han Lin, apa-apaan engkau ini " Kenapa engkau" " "Nanti saja, ibu, penje]asannya, Sekarang kita harus melarikan diri. "Hayo cepat, bahaya maut mengancam kita" katanya dan dia menggandeng tangan ibunya, diajak lari sekuatnya, melalui kebun dan memasuki hutan yang berada di dekat situ, Dia sudah hafal dengan keadaan di situ dan dia tidak mengambil jalan umum, melainkan menerobos semak dan hutan sehingga Liu Ma beberapa kali mengaduh dan mengeluh karena kakinya tertusuk duri semak belukar.


"Han Lin, berhenti kau, keparat!" terdengar teriakan di belakang mereka itu adalah suara Seng Gun yang sudah dekat di belakang, dan disusul suara tawa Hek-bin Mo-ong. "Ha-ha-ha, bocah tolol, engkau hendak lari ke mana?"


Mendengar suara mereka, Liu Ma berbisik kepada anaknya, "Han Lin, mereka siapa dan mau apa. ... . . ."


"Sstt, ibu, orang-orang jahat itu telah membunuh ketiga suhu." Liu Ma terbelalak dan mukanya pucat sekali dan ketakutan hebat membuat wanita ini seperti mendapatkan tenaga baru untuk berlari cepat. Han Lin yang menggandeng tangan ibunya menariknya dan mereka mengambil jalan dekat jurang yang tertutup oleh alang tinggi.


Akan tetapi, dua orang pengejarnya itu sudah cepat dapat menyusul dan kini berada di belakangnya. Han Lin maklum bahwa tidak mungkin ibunya dapat meloloskan diri, maka diapun berkata, "Ibu, cepat ibu menyusup terus, melarikan diri dan bersembunyi, biar aku yang menahan mereka." Pemuda itu melepaskan tangan ibunya dan membalik, memasang kuda-kuda dan nekat untuk menyerang agar ibunya dapat lolos.


"Han Lin" ibunya berbisik.
"Pergilah, ibu. Dan cepat....!"
Pada saat itu, Hek-bin Moong telah datang dekat dan di belakangnya nampak Seng Gun yang tersenyum mengejek. Han Lin tidak banyak cakap iagi, lalu maju menerjang dan menyerang Hek-bin Mo-ong, menggunakan,sebatang ranting yang tadi dipungutnya dalam pelarian untuk dipakai sebagai senjata. 


Ilmu tongkat Hong-in Sin-pang yang dikuasai Han Lin memang hebat dan tadi telah membuat Seng Gun kewalahan, akan tetapi menghadapi seorang datuk seperti Hek-bin Moong, kepandaiannya itu belum ada artinya. Serangan tongkat Han Lin itu disambut tangan kiri Hek-bin Mo-ong yang tertawa-tawa.

"Krakkk!" Ranting itu patah-patah dan sebelum Han Lin dapat menghindar, si gendut muka hitam itu menggerakkan tangan kanan dan hawa dingin yang amat dahsyat menyambar ke arah. Han Lin. Pemuda ini, tidak mampu bertahan lagi dan diapun terlempar dan terjungkal ke dalam jurang!


Pada saat itu, Liu Ma yang tidak mau pergi meninggalkan anaknya begitu saja dan mengintai dari balik ilalang, ketika melihat Han Lin terjungkal ke dalam jurang, segera berlari keluar dan menuju tepi jurang.


"Han Liiiinnn.. anakkuuu...!" Dan wanita itupun melompat ke dalam jurang menyusul pemuda yang amat dikasihinya dan telah dianggap sebagai anaknya sendiri itu.


Lengkingan teriakan Liu Ma terdengar panjang dan bergema, lalu terdiam dan disusul kesunyian yang mencekam. pek-bin Mo-ong dan Seng Gun menjenguk ke bawah jurang dan mereka tertawa. Mereka yakin bahwa dua orang itu sudah pasti telah tewas dengan tubuh remuk karena jurang itu amat dalam dan curam. Mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke kelenteng.


Jauh di bawah, di lereng jurang yang curam, Han Lin bergantung kepada sebatang pohon. Dia menggigit bibir memejamkan matanya ketika Liu Ma meloncat ke dalam jurang. Air matanya bercucuran melalui kedua pipinya akan tapi dia menahan diri agar tidak mengeluarkan suara tangis. 


Setelah menanti agak lama, barulah dia menuruni lereng jurang yang curam itu, berpegang kepada batu-batu dan akarakar yang me nonjol keluar dan akhirnya dia tiba di dasar jurang. Dia menubruk tubuh Liu Ma yang telah menjadi mayat di dasar jurang itu dan menangis. Kadang-kadang dia mengepal tinju dan mengeluarkan suara geraman penuh kedukaan, kemarahan, sakit hati dan dendam. 

Tiga orang hwesio itu telah dibunuh, dan sekarang wanita yang telah dianggapnya sebagai pengganti orang tuanya, dibunuh pula. Biarpun dia tahu bahwa ibunya mati membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang, namun penyebab kematiannya adalah manusia-manusia iblis itu.

Akan tetapi dalam keadaan amarahnya berkobar seperti api itu, terngianglah di telinganya nasihat-nasihat Kong Hwi Hosiang bahwa dendam kebencian dan kemarahan adalah racun bagi diri sendiri. 


Dendam kebencian dan kemarahan adalah nafsu yang mendorong orang melakukan perbuatan kejam demi membalas dendam, dan perbuatan yang kejam, yang didasari kebencian, adalah perbuatan jahat. Perbuatan jahat bagian bibit pohon beracun yang kelak buahnya akan dimakan sendiri oleh si pembuat!

"Tidak, aku tidak boleh mendendam.. ah, ibu.... ibuuuu...." dia meratap-ratap, lalu dia memaksa diri menggunakan batu yang runcing untuk menggali lubang di dasar jurang itu. Dia menguburkan jenazah Liu Ma dengan sederhana namun penuh khidmat, dengan curan air mata, kemudian dia berlutut di depan makam yang hanya merupakan segundukan tanah berbatu-batu.


"Liu Ma yang setia, engkau telah menjadi ibu bagiku ibu yang penuh kasih sayang, penuh kesetiaan, semoga engkau mendapatkan tempat yang layak disana "


Setelah penguburan selesai, barulah dia merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit, lengan kanannya nyeri bukan main kalau dia gerakkan. Agaknya lengan itu terkilir. Ketika tadi tubuhnya melayang ke bawah jurang, entah bagaimana, kebetulan sekali tangannya mencengkeram ke sanasini dan tangan kanannya berhasil mencengkeram batang pohon yang tumbuh di lereng tebing jurang sehingga tertahan dan dia selamat Kini, baru terasa betapa lengan kanannya itu agak membengkak dan nyeri sekali, terutama di bagian sambungan lengan di pundak. Juga, pukulan Hek-bin Mo-ong tadi masih terasa, membuat dadanya terasa sesak dan dingin..


Semua itu ditambah Lagi pengerahan tenaganya ketika menggali tanah berbatu di dasar jurang untuk membuat lubang kuburan. Kini, dia kehabisan tenaga dan mengeluh panjang, lalu terkulai pingsan di depan gundukan tanah kuburan Liu Ma.



          **********


Sepuluh tahun yang lalu, dalam tahun 766, kekuasaan Kerajaan Tang dapat berdiri kembaLi di kota raja Tiang an, setelah selama sepuluh atau sebelas tahun (755 - 766) kerajaan itu dikuasai para pemberontak, dimulai dengan pemberontakan An Lu Shan, kemudian puteranya, An Kong, dan terakhir di kuasai oleh Sia Su Beng. Kaisar Hsuan Tsung (712 - 755) melarikan diri mengungsi ketika dalam tahun 755 An Lu
Shan, seorang panglima yang dipercayanya dan yang bertugas menjaga perbatasan utara, melakukan pemberontakan dan menduduki ibu kota atau kota raja Tiangan. 


Kaisar Hsuan Tsung mengungsi ke barat, dan setahun kemudian menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya, pangeran mahkota yang kemudian menjadi penggantinya, yaitu Kaisar Su Tsung.

Dengan adanya panglima besar Kok Cu It yang setia dan pandai, maka Kerajaan Tang itu tidak pernah patah semangat. Panglima Kok Cu It menyusun kekuatan di barat, dan dengan bantuan banyak suku bangsa barat dan utara, di antaranya bangsa Tibet, Turki dan banyak Lagi suku bangsa kecil-kecil, akhirnya dalam tahun 766, Kaisar Su Tsung berhasil menguasai kembali kota raja Tiangan dan pemberontakan dapat dipadamkan. Tentu saja semua ini adalah jasa Panglima Kok Cu It.


Namun, berhasiLnya Kerajaan Tang bangkit kembaLi ini tidak disambut dengan gembira oleh rakyat. Banyak penyair menuliskan syair yang menggambarkan keadaan Kerajaan Tang sebagai "mengusir harimau dengan bantuan segerombolan srigala!" Gambaran ini memang tidak terlalu berlebihan. Ketika Kerajaan Tang dijatuhkan oleh para pemberontak, maka yang berkuasa adalah pemberontak yang bagaimanapun masih merupakan gabungan bangsa Han dan bangsa Khitan. 


Setidaknya, yang berkuasa adalah bangsa sendiri. Kemudian, Kerajaan Tang berkuasa kembali dengan bantuan orang orang asing dan setelah kota raja berhasil diduduki dan pemberontak dapat dibasmi, orang-orang asing ini tidak mau lagi meninggalkan daerah pedalaman yang subur, dengan kota-kotanya yang indah, dengan adanya segala macam kesenangan yang tidak dapat mereka temukan di tempat tinggal mereka yang tandus dan terbelakang! 

Bagi rakyat, keadaan kehidupan mereka jauh lebih baik ketika dikuasai pemberontak An Lu Shan sampai Sia Su Beng dibandingkan sekarang karena mereka dirongrong oleh orangorang Tibet, Gurkha, Turki, Biauw, dan masih banyak lagi Ada pula orang-orang Mongol dan Mancu. Dan mereka ini seperti seriga-serigaLa kelaparan yang memasuki kandang domba. TerjadiLah kekerasan di mana-mana, perampokan, penganiayaan, perkosaan sehingga rakyat amat menderita.

Panglima Kok Cu-It sendiri kewalahan menghadapi keadaan seperti itu. Kalau ditindak dengan keras, tentu tidak enak sekali mengingat bahwa orang-orang asing itu telah berjasa nembantu Kerajaan Tang memperoleh kembali kekuasaannya. 


Kalau dibiarkan, rakyat yang menderita. Akhirnya, perLahanLahan sehingga berlarut-larut sampai sepuluh tahun lebih lamanya, baru Kerajaan Tang berhasil membujuk para pimpinan suku-suku asing itu untuk " meninggalkan wilayah Kerajaan Tang"' tentu saja setelah mereka itu di berikan yang banyak berupa barang-barang berharga, bahkan gadis-gadis cantik. Kerajaan Tang sampai menguras habis kekayaannya untuk diberikan kepada mereka sebagai bekal !

Biarpun geromboLan-geromboLan suku asing itu telah pergi, dan kota raja Tiang-an tidak dipenuhi lagi orang-orang asing yang berkeliaran, namun Kerajaan itu masih tidak lepas dari rongrongan para suku bangsa asing itu di sebelah barat dan utara. 


Terutama sekali dari bangsa Tibet dan Mongol. Juga, kelemahan kerajaan ini membuat para pejabat tinggi daerah banyak yang bertindak sewenang-wenang, hidup sebagai raja kecil dan ada kecenderungan untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat di Tiang-an.

Kelemahan pemerintah mendatangkan kekacauan pula di dunia kangouw, juga di dunia persilatan, para pendekar seolah saling bersaing dan hal ini didukung pula oleh perkumpulanperkumpulan agama yang kini bangkit kembali secara liar setelah dahulu pernah ditertibkan oleh Kaisar Hsuan Tsung atau Beng Ong. Kini semua aliran agama bermunculan seperti cendawan di musim hujan, di antaranya, perkumpulan atau aliran agama yang terbesar, tidak termasuk puluhan macam yang kecil-kecil, adalah seperti berikut :


Aliran agama Ru, dengan nabi atau guru pertamanya Khong-cu (Confucius, 551 - 479 sebelum Masehi), Aliran ini mengutamakan Li (upacara, aturan), menganjurkan tatamasyarakat feodal, menggolong-golongkan manusia dengan kedudukannya dan tugasnya di tempat masing-masing. Ada atasan dan ada pula bawahan, ada pihak tua dan pihak muda dengan sikap menurut cara yang ditentu kan oleh Li. Bahkan rajapun mempunyai atasan yaitu langit sebagai pengganti kekuasaan Tuhan. 


Dan rajapun mendapat sebutan Putera Langit. Di samping Li, juga Khong-cu menganjurkan Jin (Kemanu siaan) dan Gi (Keadilan). Terutama sekali raja diharuskan memiliki semua ini karena raja merupakan panutan rakyat. Biarpun aliran Ru ini bukan merupakan agama dengan upacara tertentu, tidak mempersoaLkan keadaan sesudah mati, tidak pula menyinggung tentang Ketuhanan melainkan lebih condong kepada Kemanusiaan, namun karena kebudayaan yang dibawanya telah meresap ke dalam kalangan atas, dari raja sampai kepada para bangsawan tinggi, maka tetap berpengaruh.

Aliran agama Mo menganggap Mo Ti (49O - 403 sebelum Masehi) sebagai guru besarnya. Pada dasarnya aliran Mo Ti ini mengutamakan cinta kasih sesama, mencari kebahagiaan batin bukan karena duniawi, oleh karena itu menganjurkan agar kita menjauhi kemewahan. Bahkan mereka menentang upacara-upacara yang memboroskan, menentang musik, juga menentang perang antara manusia. Mereka lebih condong untuk mengejar dan memperdalam ilmu pengetahuan. 


Pada umumnya, anggauta aliran ini amat setia dan taat kepada pimpinan mereka, bahkan siap mengorbankan nyawa apa bila hal itu dikehendaki sang pemimpin. Justeru karena berlumba dan bersaing dalam ilmu, termasuk ilmu silat, banyak di antara para anggautanya bahkan terperosok ke dalam pertentangan dan permusuhan dengan kelompok lain, karena tidak mau kalah.

Aliran agama To, mereka menganggap Lo-cu (diperkirakan sejaman dengan Khong-cu) sebagai nabi mereka. Agama ini menganjurkan persatuan dengan alam, dan tunduk terhadap hukum alam. Aliran ini, sebaliknya dari aliran Ru yang mengikuti ajaran Khong-cu, mengesampingkan urusan kehidupan di dunia, melainkan lebih menerawang tentang kekuasaan yang mereka hanya namakan To yang sesungguhnya tidak bernama. 


Mereka menamakan To sebagai yang terahasia, yang mencakup segalanya, mengatur segalanya dan hidup di dunia ini seyogianya membiarkan To bekerja. Karena To dapat diartikan mirip dengan yang kita namakan Kekuasaan Tuhan, maka agama To ini lebih condong kepada Ketuhanan. 

Namun, karena banyak rahasia terkandung di dalamnya, maka dengan sendirinya berkembanglah suatu cara untuk memperoleh kekuatan yang ajaib, dan aliran ini membentuk banyak manusia aneh yang memiliki ilmu kepandaian yang aneh-aneh pula. Mereka juga mempelajarj perbintangan, dan banyak di antara mereka yang menjadi peramal, ahli sihir dan sebagainya.

Aliran agama Beng (Beng kauw) berasal dari Persia (Iran) dan pendiri nya yang dianggap guru besar mereka adalah seorang putera bangsawan Persia bernama Mani. Oleh karena itu, Bengkauw (Agama Terang) juga disebut Manichaeism. Agama ini masuk di Cina Barat setelah abad kedua Masehi. Di dalam agama ini, seperti juga keadaan pendirinya, terdapat pengaruh agama Kristen Mithraism, dan juga Magism dari Persia. Mani sendiri menamakan dirinya Duta Terang, dan menurut ajarannya, dalam alam semesta terdapat dua kekuasaan, Terang dan Gelap yang bertentangan. Setan terlahir di Kekuasaan Gelap. 


Dalam aliran ini juga berkembang aturan-aturan aneh yang bagi orang biasa terasa amat ganjil. Apa lagi kalimat yang biasa mereka ucapkan, sungguh membuat orang menjadi bingung. Memang kata-kata mereka terkadang membuat orang yang mendengar menjadi kacau . pikirannya. Mereka suka mempergunakan kalimat dengan arti yang berlawanan seperti "kuda putih bukan kuda", anjing hitam adalah putih" dan sebagainya. 

Namun, para penganutnya, terutama para pimpinannya, banyak yang memiliki ilmu kepandaian silat yang aneh dan tinggi, maka Bengkauw ini cukup disegani, dan oleh banyak kalangan dianggap sebagai golongan sesat karena keanehan mereka..

Aliran Im Yang (positip dan negatip) menganggap alam terbentuk. atas ngo-heng (lima unsur) yang menjadikan imyang (positip dan negatip). Dua kekuatan ini yang membuat segala sesuatu berputar dan bergerak, yang menimbulkan kekuatan. Di antara semua aliran, aliran inilah yang melahirkan banyak sekali ahli nujum dan peramal yang kenamaan, karena aliran ini paling tekun dan mendalam mempelajari tentang peredaran matahari, bulan, bintang, musim dan gejala aneh termasuk bencana alam. Juga ilmu silat mereka dipengaruhi pelajaran ini.


Aliran Fa, juga berkembang sekitar abad ke empat sebelum Masehi, merupakan aliran yang sesuai dengan namanya, yaitu Fa (Hukum). Menurut aliran ini, seluruh alam maya pada dapat bergerak dan berjalan secara teratur dan lancar berkat adanya Hukum. Oleh karena itu, sebuah kerajaan haruslah" menegakkan hukum, karena hanya hukum yang akan mampu mengatur pemerintahan sehingga berjalan dengan lancar dan baik. 


Dengan adanya hukum, maka kedudukan raja akan menjadi kokoh kuat, berwibawa, dan rakyat jelata hidup makmur karena semua orang menaati hukum yang berlaku. Aliran Fa ini banyak dipergunakan oleh kerajaan-kerajaan yang lalu, di antaranya Kerajaan Cin yang dikuasai oleh Tsin Shih Huang-ti (221 - 210 sebelum Masehi). 

Shih Huang-ti ini mempergunakan aliran Fa, dengan segala kekerasan menjalankan hukum sehingga akhirnya dia berhasil menundukkan seluruh negeri dan berhasil menggalang persatuan melalui kekerasan. Justeru disini letak kekuatan aliran Fa, jaitu menegakkan hukum dengan kekerasan.

Demikianlah beberapa di antara aliran-aliran yang besar dan berpengaruh. Masih terdapat banyak aliran yang merupakan perpecahan dari aliran-aliran besar. Tentu saja selain beberapa aliran itu, masih terdapat agama Buddha yang amat besar pengaruhnya, juga agama Kristen yang mengalami perkembangan yang bercampur dengan filsafat tradisionil. 


Karena Kerajaan Tang dalam keadaan lemah, dan banyak gerombolan pengacau mempergunakan kesempatan mengail di air keruh, maka aliran-aliran itupun mendapat angin. Banyak pula di antara mereka yang dimasuki gerombolan dari suku-suku dari barat dan utara, berlumba untuk mengeduk keuntungan dan kekuasaan.

Tiga orang datuk murid Sam-mo-ong juga tidak lepas dari pada pengaruh kelompok orang Mongol yang berhasil menarik mereka menjadi kaki tangan kepala suku Mongol. Karena maklum hanya mempergunakan kekuatan anak buah saja mereka tidak akan dapat menguasai pedalaman, maka orangorang Mongol itu lalu mengutus tiga orang datuk untuk mengadakan hubungan dengan para pemimpin aliran Fa atau Hoat, mengharapkan bahwa aliran itu akan dapat membantu mereka menguasai daerah perbatasan di utara, untuk kemudian, kalau keadaan memungkinkan, mengembangkan dan memperluas daerah kekuasaan mereka jauh ke selatan.


Demikianiah, kemunculan Kwi-jiauw Lo-mo, Hek-bin Moong dan Pek-bin Mo-ong di Bukit Ayam Emas itu ada hubungannya dengan tugas mereka mengadakan hubungan dengan para pimpinan Hoatkauw yang berpusat di propinsi Kuang-si. Mereka mencari tempat yang aman dan cukup sepi, dan tempat itu mereka merasa cocok, jauh dari pasukan keamanan pemerintah, juga di situ mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman, tidak diketahui oleh golongan lain. 


Selain itu, juga orang-orang dusun itu mudah mereka paksa untuk membantu mereka menjamu para pimpinan Hoat-kauw.

Orang-orang yang datang bersem bahyang melihat betapa Liu Ma dan Han Lin lenyap, dan mereka ketakutan sekali, terutama setelah wanita muda yang tadi dirangkul Hek-bin Mo-ong, setelah dilepaskan, saking takutnya wanita itu lalu lari menubruk dinding, sengaja membenturkan kepalanya pada dinding dan iapun roboh dan tewas dengan kepala retak berlumuran darah.


Kwi-jiauw Lo-mo mengerutkan alisnya, tak senang dengan adanya gangguan itu yang semua disebabkan ulah Hek-bin Mo-ong yang mata keranjang. "Kalian semua harus menaati kami, kalau tidak, kalian semua akan kami siksa seorang demi seorang sampai mati!"


Mendengar ini, tujuh orang pengunjung kelenteng itu, dua orang wanita setengah tua dan lima orang pria, menjadi ketakutan dan mereka menjatuhkan diri berlutut.


"Kami..., kami tidak berani
kami akan taat...." kata seorang diantara mereka, yang laki-laki dan yang masih mampu mengeluarkan suara. "Bagus begitu!" kata Kwi-jiauw Lo-mo. "Sekarang, kalian lima orang laki-laki cepat bawa mayat ini ke kebun belakang dan kubur di sana, dan kalian dua orang wanita, cepat pergi ke dusun dan carikan kami daging ayam dan babi, juga sayur-sayuran, beras dan minuman arak. 


Nih uangnya dan cepat kalian kembali ke sini, minta bantuan orang dusun untuk membawakan semua itu. Beli sebanyak yang cukup untuk menjamu sepuluh orang dan awas, jangan macam-macam. Kalau kalian tidak menaati perintah kami, kepala kalian akan menjadi seperti ini!" Kwi-jiauw Lo-mo menepuk singa-singaan batu dengan tangan kirinya dan kepala singa-singaan batu itu hancur berkeping-keping. 

Tentu saja tujuh orang itu menjadi pucat dan semakin ketakutan. "Dan kalau kalian mengajak penduduk dusun untuk menentang kami, dusun Li-bun akan kami bakar dan semua penghuninya kami lemparkan ke dalam api!"

Dua orang wanita itu hanya mengangguk-angguk, tidak berani mengeluarkan suara saking takutnya. 


Mereka menerima beberapa potong perak dari Kwi-jiauw Lomo lalu pergi meninggalkan kelenteng, sedangkan lima orang pria itu segera mengangkat jenazah wanita yang membunuh diri dan membawanya ke kebun belakang untuk dikubur.

Dusun Li-bun menjadi geger ketika dua orang wanita itu pulang sambil menangis dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di kelenteng, betapa Liu Ma dan Han Lin dikejar kakek gendut muka hitam dan lenyap, betapa wanita muda itu dihina olehnya dan membunuh diri dengan membenturkan kepala kedinding, dan lima orang pria ditahan di sana dan disuruh mengubur jenazah wanita yang membunuh diri. Suami wanita itu menangis dan hendak nekat pergi ke kelenteng, membalaskan kematian isterinya. 


Akan tetapi dua orang wanita itu memegangi tangannya sambil menangis, melarangnya pergi karena tiga orang kakek dan seorang pemuda yang kini menguasai kelenteng nampaknya bukan orang biasa.

"Kakek yang gendut seperti katak itu tadi menampar kepala singa-singaan batu dan kepala singa itu hancur berantakan. Kami takut sekali dan kalau engkau nekat kesana, berarti hanya mengantar nyawa."!


Kepala dusun itu segera datang dan dan mendengar laporan dua orang wanita itu, dia mengerutkan alisnya. 


"Dan di mana adanya tiga orang losuhu yang mengurus kelenteng?" 
tanyanya. "Kami tidak tahu , mereka tidak nampak. Akan tetapi menurut pendengaran kami dari percakapan manusia-manusia iblis itu, agaknya tiga orang losuhu juga sudah mereka bunuh. Dan kamipun khawatir sekali akan nasib Liu Ma. 

Ia dilarikan anaknya ketika itu, kemudian dikejar oleh si gendut muka hitam dan kami mendengar teriakan mengerikan dari Liu Ma yang memanggil anaknya, kemudian tidak terdengar apa-apa lagi." Dua orang wanita itu lalu menceritakan betapa mereka berdua diberi perak dan disuruh berbelanja untuk membuat masakan, untuk menjamu sepuluh orang di kelenteng itu.

"Aku harus membalas kematian isteriku!" Suami yang kehilangan isterinya itu berseru dan teman-temannya juga mendukung nya. Kepala dusun ya.ig sudah setengah tua itu mengangkat kedua tangan minta agar warganya .tenang.


"Memang kita tidak ,dapat. membiarkan saja orang jahat menguasai kelenteng kita itu. Akan tetapi menurut keterangan dua orang ini, mereka adalah orang-orang yang tangguh dan lihai oleh karena itu, kita tidak boleh gegabah dan menyerang begitu saja. Kita harus menghimpun tenaga yang ada, karena hanya dengan jumlah yang banyak saja kita akan mampu menandingi dan mengusir mereka dari sini ."


Semua orang menyatakan setuju dan setelah semua lakilaki di dusun Li-bun dikumpulkan, jumlah mereka ada tigapuluh orang lebih, dari yang berusia duapuluh sampai empatpuluh tahun. Yang usianya kurang dari duapuluh dan lewat empatpuluh, dilarang ikut pergi oleh kepala dusun. 


Kemudian, berbondong-bondong mereka mendaki bukit itu menuju kelenteng, dipimpin sendiri oleh kepala dusun Can. Kepala dusun Can adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan usianya sekitar empatpuluh lima tahun, namun dia seorang pemberani dan dibandingkan para penghuni dusun lainnya, dia merupakan seorang terpelajar karena pernah lama tinggal di kota dan juga pernah mempelajari. sastera sampai cukup. Lurah ini pula yang oleh Liu Ma diminta untuk mendidik Han Lin dalam iImu sastera.

Hari telah menjelang senja ketika rombongan penghuni dusun Li-bun tiba di luar pekarangan kelenteng yang nampak sunyi itu. Akan tetapi sebetulnya tempat orang yang kini menguasai kelenteng itu memandang kepada rombongan orang itu dengan senyum mengejek, sedangkan Iima orang penduduk dusun yang tadi mengubur jenazah wanita muda yang membunuh diri, terbelalak dan khawatir sekali melihat para rekan sedusun berbondong-bondong naik ke situ. 


Karena ngeri membayangkan ancaman para datuk sesat itu bahwa kalau orang dusun Li-bun berani menentang mereka, dusun Li-bun akan dibakar dan semua penghuni nya akan dibunuh, lima orang itu lalu berlari ke pekarangan dan mengangkat ke dua tangan tingi-tinggi ke atas untuk mencegah mereka melakukan penyerbuan.

"Can chung-cu (Lurah Can), perlahan dulu ....!" teriak lima orang itu. Lurah Can segera maju menghadapi mereka. 


"Kenapa kalian menahan kami" Kalau kelenteng kami dirampas orang, dan ada penduduk dusun yang tewas, kami tidak mungkin dapat berdiam diri saja. Sepatutnya kalian berlima juga membantu kami !"

"Tidak, Jangan" lalu lima orang itu berbisik-bisik, memberitahu bahwa tiga orang hwesio pengurus kelenteng juga sudah tewas terbunuh dan jenazah mereka sudah dikubur di kebun kelenteng di belakang. Juga bahwa empat orang itu bukan orang-orang sembarangan, namun memiliki ilmu kepandaian seperti iblis .


Sementara itu, Seng Gun tidak sabar melihat rombongan orang dusun berkerumun di luar pekarangan kelenteng itu. "Ayah, monyet-monyet dusun itu sudah bosan hidup, biar aku yang membasmi mereka semua!"


Akan tetapi Kwi-jiauw Lo-mo meng geleng kepala. "Mereka itu tidak ada harganya dibunuh semua, hanya orang-orang dusun dan kalau dibunuh semua hanya akan merepotkan saja, Kesempatan ini baik sekali untuk menguji kepandaianmu, Seng Gun. Aku menghendaki engkau membunuh dua tiga orang pimpinan mereka saja, dan mengalahkan mereka akan tetapi tidak membunuh agar mereka semua selanjutnya patuh dan tidak berani lagi mengganggu kita."


"Baik, ayah!" kata Seng Gun gembira dan pemuda ini lalu meloncat keluar dan menyambut tigapuluh orang lebih itu di pekarangan kelenteng yang luas.


Sementara itu, para penghuni dusun ketika mendengar keterangan lima orang rekan mereka bahwa tiga orang hwesio kelenteng itu telah dibunuh oleh para penjahat yang menguasai kelenteng, menjadi semakin penasaran dan marah. Kepala dusun Can juga tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Dia melangkah maju bersama dua orang pembantunya yang di dusun itu terkenal sebagai orang-orang yang tangguh dan bantuan mereka itulah yang membuat kepala dusun Can dapat memimpin dusunnya dengan adil. 


Kepala dusun agak ragu melihat bahwa yang muncul menyambut mereka ada lah seorang pemuda remaja berusia belasan tahun yang berpakaian sastrawan serba putih dan lagaknya anggun dan angkuh. Pemuda itu berdiri di pekarangan sambil bertolak pinggang dan wajahnya yang tampan tersenyum mengejek. Karena pemuda remaja itu nampak tampan dan seperti bangsawan, sama sekali bukan seperti penjahat, kepala dusun Can bersikap hati-hati .

"Orang muda, siapakah engkau dan kami ingin bicara dengan mereka yang telah membunuh hwesio dan beberapa orang penduduk dusun kami."


Seng Gun tersenyum akan tetapi pandang matanya yang tajam, itu memandang dingin. "Anggap saja aku yang telah membunuhi mereka karena mereka menentang kami. Nah, kalau kalian tidak ingin mengalami nasib seperti mereka, pergilah dan jangan menentang kami !"


Tentu saja kepala dusun Can terbelalak mendengar ucapan itu. 


Bocah begini tampan dan nampak terpelajar, kenapa dapat bersikap begini sombong dan kejam" Dia mendengar laporan dari dua orang wanita tadi bahwa iblis-iblis itu adalah tiga orang kakek lihai, dan pemuda tampan ini tentulah murid mereka. 

Tiba-tiba dia mendapat pikiran yang dianggapnya amat baik. Kalau mereka menawan pemuda ini, tentu tanpa kekerasan mereka dapat menjadikan" pemuda ini sebagai sandera dan minta kepada tiga orang kakek itu untuk menyerahkan diri untuk diseret ke pengadilan!






"Kita tangkap pemuda ini!' 
katanya kepada dua orang 
pembantunya. 
Dua orang pembantu itu boleh 
diandalkan. Mereka berdua 
memiliki tenaga besar dan juga 
pandai silat. 
Pendeknya, untuk dusun Li-bun 
dan sekitarnya, dua orang 
pembantu kepala dusun Can ini 
merupakan orang-orang yang 
tangguh.

Sambil membentak nyaring, dua 

orang itu menubruk dari kanan 
kiri untuk menangkap Seng Gun, 
dan kepala dusun Can juga 
menerjang ke depan untuk 
membantu mereka menangkap 
pemuda itu untuk dijadikan 
sandera. Akan tetapi, 
pemuda yang mereka tubruk itu 
tiba-tiba saja lenyap dari depan 
mereka karena sudah meloncat ke 
atas 
dengan gerakan yang ringan sekali. 

Mereka terkejut dan cepat 
memandang ke atas. Tubuh Seng Gun 
yang tadinya meloncat ke atas, kini 
menukik ke bawah dan sebatang 
suling perak telah berada di 
tangannya dan ujung suling itu 
menempel di mulutnya.

"Serrr !!" Tiupan itu amat kuat dan 

nampak sinar hitam menyambar 
kebawah, ke arah kepala desa Can 
dan dua orang pembantunya. 

Serangan itu demikian mendadak dan tidak terduga-duga. Apa lagi kepala 
desa Can, sedangkan dua orang 
pembantunya saja tidak menduga 
sama sekali dan sinar hitam itu 
menyambar dari jarak dekat, dari atas dan dengan kecepatan kilat, maka 
merekapun tidak sempat 
menghindarkan diri. Tiga orang itu tiba-tiba saja terpelanting dan 
berkelojotan, lalu terdiam dan tewas 
dalam keadaan mengerikan karena 
muka mereka berubah kehitaman. 

Kereka telah menjadi korban jarum-jarum beracun yang ditiupkan 
melalui suling dan mengenai muka 
dan leher mereka.

Melihat betapa kepala dusun Can 

bersama dua orang pembantunya 
tewas, para penduduk dusun Li-bun 
terkejut dan marah bukan main. 

Karena merasa bersedih merekapun menjadi nekat dan sambil berteriak-
teriak mereka mau mengeroyok Seng 
Gun dengan segala macam senjata 
yang mereka bawa dari rumah, yaitu alat-alat bertani dan berkebun seperti cangkul, parang, linggis, kapak dan 
sebagainya. Dan Seng Gun lalu 
mengamuk. 

Pemuda ini merasa gembira sekali 
mendapatkan kesempatan untuk 
menguji kepandaiannya. Dia menaati pesan ayahnya dan tidak melakukan 
pembunuhan Dengan suling peraknya di tangan, dia mengamuk, 
menyambut terjangan puluhan orang itu dan dia menangkis dengan 
pengerahan tenaga, membuat banyak senjata para pengeroyok terpental 
dan terlempar, dan dia merobohkan 
mereka satu demi satu dengan 
tendangan. tamparan tangan kiri, 
juga totokan sulingnya tanpa 
pengerahan tenaga yang terlalu kuat sehingga tidak ada di antara mereka 
yang sampai tewas. 

Dalam waktu singkat saja, kurang 
lebih tigapuluh orang itu sudah roboh semua dan biarpun tidak ada yang 
menderita luka parah, namun mereka menjadi jerih dan tidak berani lagi 
melanjutkan pengeroyokan.

Kini, tiga orang kakek itu keluar dan Kwi-jiauw Lo-mo tertawa senang 

melihat kemajuan puteranya. "Bagus, Seng Gun." Pemuda itu berdtri 
dengan mulut tersenyum dan wajah berseri. Hek bin Mo-ong lalu berseru 
dengan suara nyaring kepada semua 
orang yang. masih nampak terkejut, 
jerih dan juga gelisah itu.

"Kalian masih diampuni, akan tetapi 

kalau kami melihat penduduk Li-bun masih berani menentang kami, dusun itu akan kami bakar dan kalian 
semua beserta seluruh keluarga 
kalian akan kami bunuh! Nah, bawa 
pergi mayat-mayat ini dan jangan 
sekali-kali berani ke sini kalau tidak kami panggil!"

Para penduduk dusun itu tidak berani banyak cakap lagi. Mereka 
menggotong mayat tiga orang itu dan menuruni bukit dengan wajah 
muram. Lima orang warga dusun 
yang pertama tidak berani pergi 
karena mereka telah diberi tugas 
untuk bekerja melayani para datuk 
itu, dan dua orang wanita yang 
menerima tugas memasak dan 
menyediakan bahan masakan, sudah datang dan dibantu oleh beberapa 
orang menggotong semua bahan 
masakan yang mereka beli.

Pada malam hari, setelah matahari 

tenggelam di kaki langit barat dan 
hari berubah menjadi gelap, 
muncullah tamu-tamu yang dinanti 
oleh tiga orang datuk sesat itu. Dan 
kemunculan lima orang tamu inipun seperti setan saja. 'Tahu-tahu mereka 
telah muncul di pekarangan 
kelenteng itu. Seng Gun yang oleh 
ayahnya ditugaskan berjaga di 
ruangan depan kelenteng, terkejut 
dan kagum. 

Lima orang tamu itu benar-benar 
hebat, tanpa mengeluarkan suara, 
juga tidak nampak bayangan mereka datang, tahu-tahu sudah berdiri 
disitu, berjajar bagaikan patung, tidak mengeluarkan suara, namun mereka berdiri tegak dengan sikap 
berwibawa. Inilah lima orang yang 
oleh ayahnya dan dua orang 
susioknya disebut sebagai Bu-tek Ngo Sin-liong (Lima Naga Sakti Tanpa 
Tanding)! 

Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari perkumpulan atau aliran Hoat-kauw dan kabarnya mereka memiliki 
tingkat ilmu kepandaian yang hebat, bahkan menurut ayahnya, tingkat 
mereka sudah sebanding tingkat 
ayahnya dan dua orang susioknya! 
Bukan main! 

Padahal, selama ini dia selalu 
beranggapan bahwa di dunia. 
persilatan, ayahnya dan dua orang 
susioknya merupakan datuk-datuk 
tanpa tanding! Apa lagi setelah 
melihat perwujutan mereka, hatinya 
meragu. Dia sudah mendapat 
keterangan jelas dari ayahnya 
mengenai lima orang tokoh ini dan 
setelah kini mereka berada di 
pekarangan, wajah mereka disinari 
lampu-lampu gantung di depan 
kelenteng, dia dapat mengenal 
mereka satu demi satu .

Orang pertama dari Lima Naga Sakti 

itu adalah Ang-sinliong (Naga Sakti 
Merah) Yu Kiat, seorang laki-laki 
berusia empatpuluh lima tahun, 
bertubuh tinggi tegap dan berwajah 
tampan, sikapnya tinggi hati dan 
pakaiannya serba merah. Di 
pinggangnya terselip sebatang goiok 
yang punggungnya seperti gergaji .

Orang ke dua bernama Tiat-sin-liong (Naga Sakti Besi) Lai Cin, yang berusia sekitar empatpuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan muka pucat. 


Nanpaknya saja orang ini 
berpenyakitan dan Iemah, akan tetapi sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang manusia besi alias kebal 
tubuhnya, keras seperti besi. Dia 
memegang sebatang konce (tombak 
cagak) yang beronce biru.

Orang ketiga seurang wanita bernama Hwi-sin-liong (Naga Sakti Terbang) 

Mo Hwa, berusia tigapuluh tahun, 
cantik dan anggun, dengan sikap yang angkuh galak, pandang matanya 
dingin, tubuhnya ramping dan di 
punggungnya nampak siangkiam 
(sepasang pedang). Sesuai dengan 
julukannya, wanita ini memiliki 
ginkang (ilmu meringankan tubuh) 
yang hebat sehingga ia dijuluki Naga 
Sakti Terbang.

Orang ke empat bernama Lam-hai 
Sin-liong Kwa Him, berusia duapuluh 
tujuh tahun, tubuhnya tinggi besar 
dan mukanya merah, gagah sekali. 

Sesuai dengan julukannya Lam-hai 
Sin-liong (Naga Sakti Laut Seiatan) dia memang memiliki keahlian dalam air seperti seekor naga laut, dan di 
samping keahlian dalam air, juga Kwa Kim ini terkenal memiliki tenaga 
gajah.

Orang ke lima adalah adik dari Kwa 

Him ini, seorang gadis berusia dua 
puluh tiga tahun yang bernama Bi-
sin-liong (Naga Sakti Cantik) Kwa 
Lian. Wajahnya cantik manis, 
terutama sekali mata dan mulutnya 
yang nampak menantang dan genit, 
tubuhnya ramping sekali dengan 
pinggang yang kecil dan pinggul 
besar. Sebatang pedang nampak di 
punggungnya, dengan ronce merah.

Akan tetapi melihat mereka, apa lagi orang ke tiga, ke empat dan ke lima, 

Seng Gun mengerutkan alisnya. 

Orang-orang seperti itu dikatakan 
amat lihai oleh ayahnya" Dia tidak 
percaya! Terutama sekali orang 
termuda, Bi-sin-liong Kwa Lian. Gadis 
cantik yang nampak lembut itu 
bagaimana mungkin dapat memiliki ilmu kepandaian tinggi" Timbul 
keinginan hatinya untuk menguji Dia lalu turun dari ruangan depan, ke 
pekarangan menghampiri lima orang yang berdiri bagaikan patung itu.

Seng Gun mengangkat kedua tangan 

depan dada memberi hormat. 
Pemuda remaja yang berpakaian 
sutera putih ini memang tampan dan 
pandai membawa diri sehingga 
sikapnya yang menghormat itu 
menyenangkan. Akan tetapi lima 
orang itu tidak bergerak.

"Kalau boleh saya mengetahui, si 

apakah ngo-wi (anda berlima) dan 
ada keperluan apakah datang ke 
kelenteng ini?" tanya Seng Gun 
dengan sikap menjajagi.

Bin-sin-liong Kwa Li an adalah 

seorang gadis cantik yang memiliki 
satu kelemahan, yaitu dia mudah 
terpikat oleh pria yang halus dan 
tampan. Kini, melihat Seng Gun, 
biarpun pemuda itu masih remaja, 
paling banyak enambelas tahun 
usianya, seketika ia terpikat. Pemuda 
itu memang tampan menarik. 

Mendengar pertanyaan Seng Gun, 
Kwa Lian lalu melangkah maju, 
mewakili empat orang rekannya 
tanpa minta persetujuan lagi dan ia 
memandang kepada Seng Gun sambil tersenyum manis dan pandang 
matanya mengerling tajam.

"Kami Bu-tek Ngo Sin-liong, 

memenuhi undangan Kwi-jiauw 
Lomo. Siapakah engkau, adik 
tampan" 
Kalau Kwi-jiauw Lomo berada di 
kelenteng, tolong panggil dia keluar 
menemui kami. Dan engkau sendiri 
siapakah?"

"Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui adalah 

ayahku dan namaku Tong Seng Gun. 
Aku memang ditugaskan ayah untuk 
menyambut Bu-tek Ngo Sin-liong akan tetapi melihat ngo-wi, aku menjadi 
ragu apakah benar aku berhadapan 
dengan Butek Ngo Sin-liong. 

Apa lagi melihat engkau, enci, yang 
masih begini muda, cantik dan 
kelihatan lemah. Pada hal, menurut 
yang kudengar, Lima Naga Sakti 
adalah orang-orang yang memiliki 
ilmu kepandaian hebat."

Kalau empat orang yang lain 

mengerutkan alis mereka 
memandang kepada Seng Gun dengan tak senang, sebaliknya Bi-sin-liong 
Kwa Lian terkekeh genit. "Hi-hi-hik, 
katakan saja engkau menguji kami, 
adik tampan! Baiklah, sebagai putera Kwi-jiauw Lo-mo, tentu engkaupun 
bukan anak sembarangan. Nah, untuk meyakinkan hatimu bahwa nama 
kami bukan hanya nama kosong 
belaka, majulah dan kalau daIam 
sepuluh jurus sulingmu dapat 
menyentuhku dan aku masih belum 
dapat menundukkanmu, biar aku 
berganti julukan saja, hi-hik!"

Kini Seng Gun yang merasa mukanya panas karena penasaran. Memang 

dia pernah terdesak oleh murid 
mendiang Kong Hwi Hosiang, akan 
tetapi dengan seorang diri saja dia 
mampu merobohkan tigapuluhan 
orang! Bagaimana mungkin hanya 
sepuluh-jurus saja dia akan kalah oleh gadis yang usianya hanya beberapa 
tahun lebih tua darinya itu" "Baik, 
enci Kalau dalam sepuluh jurus 
engkau dapat menundukkan aku, 
nanti di dalam aku akan memberi 
hormat dan menyuguhkan tiga cawan arak kepadamu. Akan tetapi 
bagaimana kalau aku mampu 
bertahan sampai sepuluh jurus?"

Kembali wanita itu terkekeh dan kini senyumnya yang melebar membuat 

deretan giginya yang terpelihara rapi dan putih bersih nampak manis 
sekali. "Kalau engkau mampu 
bertahan sampai sepuluh jurus, aku mengaku kalah dan aku akan 
memberi ciuman tiga kali padamu!"

Wajah Seng Gun berubah kemerahan akan tetapi hatinya girang bukan 

main. Dicium wanita biasa, 
betapapun cantiknya ia, masih belum ada artinya, akan tetapi dicium Bi-sin-liong Kwa Lian" Sungguh merupakan kebanggaan tersendiri ! '

"Baik, aku akan mulai, enci!" katanya sambil mencabut suling perak dari 

sabuknya. "Bagus, aku sudah siap!" 
kata pula Kwa Lian gembira. Seng 
Gun yang tentu saja ingin 
mendapatkan kemenangan segera 
menyerang dengan sulingnya. Suling 
itu menjadi sinar putih kemilauan 
yang menyambar diiringi suara 
ngaung yang nyaring, dan sudah 
meluncur ke arah leher wa Lian 
untuk menotok jalan darah.

"Bagus!" kata Kwa Lian, dan dengan 

gerakan ringan sekali, ia mengelak. 
Seng Gun tidak melanjutkan 
serangannya. Dia teringat bahwa 
taruhannya adalah bahwa dia harus 
mampu bertahan sampai sepuluh 
jurus, maka sikap paling 
menguntungkan baginya adalah sikap berjaga diri dan mencurahkan 
seluruh daya untuk mencegah agar 
dia tidak sampai dikalahkan dalam 
sepuluh jurus. Satu jurus telah lewat 
dan dia tidak mau menyia-nyiakan 
jurus-jurus selebihnya untuk 
menyerang karena dengan 
menyerang, penjagaan dirinya tentu 
kurang kuat. Setiap kali menyerang, 
tentu ada bagian tubuhnya yang 
terbuka dan pertahanannya lemah. 
Maka, kini dia hanya memutar suling 
menjadi gulungan sinar perak dan 
dia tidak melakukan serangan!

Melihat ini, Kwa Lian tertawa. "Heh-

heh-heh, engkau adik yang tampan 
dan cerdik. Lihat, encimu mulai 
menyerang!" Mulailah wanita itu 
menyerang, dengan cengkeram dan 
totokan, sambil menghitung jurus-
jurusnya. Gerakannya aneh namun 
indah, dan bau harum yang keluar 
dari kedua tangannya kalau ia 
menyerang, membuat Seng Gun 
merasa agak pening. Dia terkejut dan 
mengerahkan sinkang karena 
maklum bahwa bau harum itu bukan 
sembarang bau, melainkan racun 
atau hawa beracun! 

Diapun mengelak dan menggerakkan 
suling untuk menangkis kelebatan 
tangan yang mencengkeram atau 
menotok. Sampai hitungan ke 
delapan, dia mampu bertahan dan 
hatinya sudah merasa qirang bukan 
main. Dia akan mendapal hadiah tiga 
kali ciuman, dan ada rasa bangga 
bahwa dia telah dapat membuat 
orang ke lima dari Bu-tek Ngo Sin-
liong kalah bertaruh!


          **********


Awas, jurus, ke sembilan! terdengar 

suara Kwa Lian dan kedua tangannya 
melakukan totokan dari kanan kiri! 

Melihat ini, Seng Gun menggerakkan sulingnya untuk menyambut tangan 
kiri gadis itu dengan totokan pada 
telapak tangan, sedangkan tangan 
kirinya siap menangkis totokan lawan dengan tangan kanan. Tiba-tiba 
wanita itu mengeluarkan suara 
terkekeh, kepalanya bergerak dan 
tiba-tiba nampak sinar hitam 
menyambar dari atas kepalanya. 

Itulah rambutnya yang hitam dan 
panjang, yang merupakan senjata 
ampuh wanita itu di samping 
pedangnya. Rambut itu, sekali ia 
menggerakkan' kepala dengan 
sentakan tertentu, telah terlepas dari 
sanggulnya dan rambut yang hitam 
panjang itu kini menyambar ke arah 
Senq Gun, terpecah menjadi dua 
gumpal dan tahu-tahu dua gumpal 
rambut itu telah melibat kedua 
pergelangan tangan Seng Gun! 
Demikian kuat libatannya sehingga 
pemuda remaja itu merasa kedua 
lengannya lumpuh.

"Nan, dalam sembilan jurus aku telah 

mengalahkanmu, adik tampan!" ka-ta 
Kwa Lian. Seng Gun mengerahkan 
tenaga, berusaha melepaskan kedua 
tangannya yang terlibat rambut, 
namun gagal. Muka wanita itu 
demikian dekat dengan muka mereka sehingga dia dapat merasakan 
hembusan napas dari hidung wanita 
itu ke mukanya, akan tetapi dia sudah gagal untuk mendapatkan ciuman 
kemenangan. Dia menghela napas 
kecewa.

"Baiklah, aku mengaku kalah dan aku akan memberi hormat kepadamu 

dengan cawan arak," katanya lemas. 

"Hi-hik, engkau tampan dan cerdik, 
sudah sepatutnya kuberi hadiah 
ciuman, biarpun hanya satu kali," 
kata Kwa Lian dan tanpa melepaskan libatan rambutnya. ia menggunakan 
kedua tangan merangkul leher 
pemuda itu, menariknya dan di lain 
saat, mulutnya telah mencium mulut 
Seng Gun. Pemuda ini, hampir 
pingsan rasanya ketika merasakan 
betapa bibir yang lunak dan lembut, 
hangat dan penuh gairah itu 
menghisap bibirnya. Setelah Kwa Lian melepaskan ciumannya, Seng Gun 
terengah dan mukanya menjadi 
merah sekali.

Bi-sin-liong Kwa Lian melepaskan 

libatan rambutnya sambil tertawa. 
Sementara itu, Ang-sin-liong Yu Kiat, orang "tertua yang menjadi pemimpin Bu-tek Ngo-sin- liong , segera berseru 
dengan suara berwibawa ke arah 
kelenteng.

"Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau 

tidak cepat keluar menyambut kami?" Dari dalam kelenteng segera 
terdengar suara tawa dan jawaban 
Kwi-ji-auw Lo-mo segera terdengar. 

"Aha, maaf kan kami, Bu-tek Ngo-sin-liong! Kami sudah menyuruh 
puteraku menyambut, agaknya dia 
yang masih muda suka bermainmain. Maafkan kami!" Tiga orang datuk itu 
berjalan keluar dengan kedua tangan 
terangkap di depan dada, menyambut dengan gembira.

"Hi-hik, Lo-mo! .Puteramu ini 

menyenangkan juga!" kata Kwa Lian kepada Kwi-jiauw Lo-mo. Datuk yang gendut seperti katak itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, tentu saja. Anak siapa" Akan tetapi usianya baru enam belas 
tahun. 

Nona Kwa, maka . kuharap engkau 
jangan menyeret dia!" Kedua nya 
tertawa, dan Kwa Lian menjawab 
dengan suara mengejek.

"Hemm, aku bukan wanita yang suka 

memperkosa seperti engkau! Dan 
kalau saja puteramu ini seperti 
engkau, seperti seekor katak, aku 
tidak akan mengatakan dia 
menyenangkan," kembali mereka 
tertawa-tawa. Melihat sikap orang-
orang itu, diam-diam Seng Gun 
merasa heran. Kiranya lima orang 
tamu itu tidak banyak bedanya dalam hal sikap dibandingkan ayahnya dan 
kedua orang susioknya. Pada hal, 
bukankah mereka itu tokoh-tokoh 
besar dari Hoat-kauw" 

Dan sepanjang pengetahuannya, 
Hoat-kauw adalah suatu aliran yang 
menjaga keras peraturan! Menjaga 
keras tegaknya hukum dan keadilan! 

Tadinya dia sudah khawatir 
mendengar ayahnya dan dua orang 
susioknya yang menjadi kepercayaan 
dan utusan orang-orang Mongol, 
hendak mengadakan hubungan dan 
kerjasama dengan Hoat-kauw. Dia 
khawatir kalau-kalau ayahnya tidak 
akan cocok dengan orang-orang yang 
kabarnya menegakkan hukum dan 
keadilan dengan kekerasan. Siapa 
kira, sikap mereka itu ugal-ugalan 
dan tidak mengenal peraturan seperti 
juga sikap ayahnya, susioknya dan 
segolongan mereka.

Tentu saja seorang pemuda berusia 

enambelas tahun seperti Seng Gun, 
apa lagi yang sejak kecil hidup di 
tengah lingkungan orang-orang sesat, tidak dapat menangkap keadaan yang nampaknya bertentangan itu. Dia 
tahu bahwa seperti juga semua aliran dan ajaran kebatinan, bahkan ajaran agama, merupakan ajaran yang baik, menjadi penuntun bagi manusia agar hidup bermanfaat bagi kemanusiaan, bagi dunia, agar hidup sebagai orang yang selalu membela kebenaran, 
keadilan dan menumbuhkan cinta 
kasih di antara manusia. 

Tidak ada ajaran agama atau aliran 
kebatinan yang mengajarkan orang 
untuk berbuat jahat dan kejam. 
Namun, ajaran tetap merupakan 
ajaran, sesuatu yang mati . Yang 
hidup dan yang menentukan adalah 
manusianya, penganut ajaran itu. 
Baik dan buruknya bukan terletak di da lam ajaran itu, melainkan di dalam pelaksanaannya dalam kehidupan, di dalam langkah hidup dan 
perbuatannya. 

Betapa pun suci teorinya, kalau 
prakteknya kotor, maka perbuatan 
atau praktek itu hanya akan menodai dan mengotori teorinya. Betapa 
banyaknya terjadi pertentangan 
agama, pertentangan aliran. 

Sesungguhnya, bukan ajaran-ajaran itu yang bertentangan, karena tidak ada ajaran yang menganjurkan 
manusia saling bertentangan, 
melainkan ulah si manusia sendirilah yang mempertentangkannya. Ajaran aliran dan keagamaan diada kan 
untuk manusia di dunia tanpa pilih 
bulu. 

Kalau ajaran itu sudah dimonopoli, 
menjadi milikku, milik golongan atau kelompokku, milik bangsaku, maka 
timbullah pertentangan antara 
milikku dan milikmu , agamaku dan 
agamamu.

Apapun diperebutkan oleh kita 
manusia ini. Kebenaran 
diperebutkan, bahkan Tuhan 
diperebutkan!

Aliran Hoat-kauw mempunyai ajaran agar manusia menaati hukum dan 

keadilan. Akan tetapi, bagaimana 
kenyataannya" Manusia tetap 
manusia dengan segala macam nafsu daya rendah yang menguasai dirinya. 

Kenyataannya, seperti yang dilihat 
Seng Gun, hukum itu hanya berlaku 
bagi mereka yang kalah, mereka yang berada di bawah. Mereka itulah yang harus menaati hukum. Bagi yang 
menang dan yang berkuasa" 
Merekalah hukum! Merekalah 
pembuataan penggaris hukum! 

Merekalah yang benar dan apapun 
yang mereka lakukan adalah adil dan benar. Mereka adalah penegak 
hukum, yaitu menegakkan hukum 
agar ditaati bawahan. Merekalah 
lambang hukum, kebenaran dan 
keadilan. Yang salah adalah orang 
lain, terutama orang bawahan. 

Sesungguhnya, kalau kita mau 
melihat keadaan sebagaimana 
adanya, hukum rimbalah yang 
berlaku di mana-mana. Yang kuat dia menang, yang menang dia berkuasa, 
yang berkuasa dia benar dan baik! 

Tentu saja hukum rimba ini 
diselubungi berbagai macam 
peraturan yang nampaknya beradab dan baik sehingga tidak nampak lagi. 

Karena yang kuasa selalu benar, 
maka di dunia ini manusia saling 
berlumba memperebutkan 
kekuasaan. Dalam keluarga, di antara teman, dalam masyarakat, dalam 
perkumpulan, dalam pemerintahan.

Di mana saja orang memperebutkan kekuasaan karena kekuasaan sumber kesenangan.' kekuasaan 
memungkinkan orang memperoleh 
apapun yang dikehendaki nya.

Kini empat 'orang pihak tuan rumah 

dan lima orang tamu mereka itu 
duduk menghadapi meja dan 
menikmati jamuan makan yang 
dibuat oleh orang-orang dusun yang dipaksa menjadi pembantu di 
kelenteng itu.

Kwi-jiauw Lo-mo menyatakan 

keinginan kepala suku Mongol untuk mengajak Hoat-kauw bersekutu agar mereka dapat bersama-sama 
menguasai seluruh negara. "Menurut Ku-ma-khan, kepala suku Mongol, 
sekaranglah waktunya yang tepat 
untuk menguasai Kerajaan Tang yang semakin lemah. 

Orang-orang Mongol sudah 
menghimpun kekuatan dan siap 
untuk melakukan penyerbuan 
ketimur dan selatan. Dan melihat 
bahwa Hoat-kauw merupakan 
perkumpulan yang besar dan 
mempunyai banyak orang pandai, 
maka Ku-ma khan mengulurkan 
tangan mengajak bekerja sama. Kalau kelak berhasil, maka Ho at-kauw yang akan menjadi satu-satu aliran agama yang harus dipejuk oleh seluruh 
rakyat."

Ang-sin-liong Yu Kiat minum arak 

dari cawannya dan tersenyum lebar. 

"Ha ha agaknya kepala suku Mongol seorang yang bijaksana dan pandai. Mungkin beliau teringat betapa 
ratusan tahun yang lalu, aliran Hoat-kauw kami yang berhasil 
memperkuat Kerajaan Cin dan 
menguasai seluruh wllayah negeri. 

Memang, hanya dengan memegang 
teguh ajaran aliran kamilah maka 
suatu pemerintahan akan berhasil!" Ucapan terakhir ini bernada 
sombong.

Kwi-jiauw Lo-mo tidak mau kalah. 

"Akan tetapi , sobat. Hanya 
mengandal-kan peraturan ketat saja, tanpa adanya kekuatan pasukan, juga tidak akan mampu menghasilkan 
kekuasaan. Oleh karena itulah, kepala suku kami mengajak Hoat ka uw 
bergabung, agar dengan kekuatan 
pasukan Mongol, ditambah lagi 
penyebaran aliran Hoat-kauw, maka 
perjuangan akan berhasil.

Ang-sin-liong mengangguk-angguk. 

"Pendapatmu memang benar, Lo-mo. 
Akan tetapi, untuk mencapai hasil 
yang baik, merupakan jalan panjang 
dan tidak mudah. Kami mendengar 
bahwa bukan hanya bangsa Mongol 
yang melakukan gerakan untuk 
merampas kekuasaan, akan tetapi 
juga banyak suku bangsa lain, 
terutama sekali suku bangsa Tibet 
dengan para Lama Jubah Merah. Dan kami kira, kita harus membagi tugas 
kalau hendak bekerja sama. 

Kami akan mencoba untuk 
mengalahkan aliran-aliran yang ada, sedangkan pihak Mongol berusaha 
untuk menalukkan suku-suku bangsa yang melakukan gerakan. Kalau kita kedua pihak su dah dapat menguasai suku-suku bangsa yang 
memberontak, menghimpun pula 
aliran-aliran di bawah satu bendera, 
yaitu bendera Hoat-kauw, barulah 
kita mempunyai kekuatan untuk 
bertindak."

"Tepat sekaii," kata Hek-bin Mo-ong 

sambil tersenyum lebar. "Kita 
memang harus membagi tugas. "Akan 
tetapi, menghadapi orang-orang Tibet 
kita harus 'bersatu padu karena 
mereka itu merupakan gerakan 
gabungan antara pasukan Tibet yang 
dipimpin pula oleh para pendeta 
Lama yang hendak menyebar agama 
mereka."

"Memang sebaiknya demikian. Bangsa Tibet cukup kuat. Bukan saja mereka 

mempunyai banyak pendeta Lama 
yang sakti, akan tetapi juga suku 
bangsa Yi an Miao termasuk suku 
yang tunduk kepada mereka dan 
menjadi sekutu mereka."

"Hemm, untuk menghadapi pasukan 

mereka, kami tidak akan gentar," kata Kwi-jiauw Lo-mo. "Bangsa Mongol 
juga mempunyai banyak kawan dari suku-suku bangsa yang berada di utara, seperti suku Mancu, Hui dan peranakan Han dengan kedua suku itu. Seperti juga kami bertiga ini. "Aku sendiri peranakan Mongol, Hek-bin 
Mo-ong peranakan Mancu, dan Pek-
bin Mo-ong peranakan Hui."

Demikianlah, delapan orang itu 

bercakap-cakap dan membagi siasat 
dan memutuskan bahwa kelenteng di Bukit Ayam Emas itu mereka jadikan tempat pertemuan. Ketika Kwijiauw 
Lo-mo mengusulkan agar Hoat-kauw mengambil alih kelenteng itu dan 
membuka cabang di situ agar tempat itu terjaga, Bu-tek Ngo sin-liong 
setuju. Memang tempat itu in dah 
sekali, juga cukup sepi dan jauh dari 
kota besar.

"Baik, kami akan mengirim anak 

buah ke sini dan sementara menjaga 
tempat ini agar tidak lagi dikunjungi 
orang dusun," kata Ang-sin-liong Yu 
Ki-at.

Ketika perundingan itu berlangsung, Seng Gun hanya mendengarkan saja, tidak pernah mencampuri. Akan 

tetapi ada suatu rahasia yang hanya 
diketahui dia dan tiga orang datuk 
besar itu saja, rahasia besar tentang 
dirinya dan tentang cita-cita Kwi-
jiauw Lo mo. Sepuluh tahun yang lalu, atau lebih sedikit, dia berusia enam 
tahun dia dilarikan dari istana 
kerajaan di Tiang-an ketika di istana 
terjadi perebutan kekuasaan secara 
besar-besaran dengan terbunuhnya 
Kaisar An Lu Shan karena keracunan. Seng Gun sebetulnya bermarga An, 
karena dia adalah putera An Lu Shan, dan ibunya adalah puteri Kwi-jiauw 
Lo-mo Tong Lui. 

Melihat betapa puteri dan cucunya 
terancam oleh perebutan kekuasaan, 
Kwi-jiauw Lomo menggunakan 
kepandaiannya untuk 
menyelamatkan mereka keluar dari 
istana. Akan tetapi, puterinya tidak 
mau, bahkan saking sedihnya karena kematian suaminya, sebagai seorang 
selir tercinta yang sebagai peranakan Mongol dahulu banyak membantu 
pemberontakan An Lu Shan sehingga berhasil, puterinya itu, Tong Kiauw 
Ni., membunuh diri Terpaksa Kwi-
jiauw Lo-mo hanya melarikan 
cucunya saja, dan semenjak itu, untuk menjaga agar tidak ada yang 
mengenal Seng Gun sebagai putera 
Kaisar An Lu Shan, dia mengakui 
Seng Gun sebagai puteranya sendiri 
dan mengganti marga An di depan 
nama Seng Gun menjadi marganya 
sendiri, yaitu Tong. 

Biarpun ketika itu usianya baru enam tahun, Seng Gun mengerti akan 
semua peristiwa yang ter jadi dan 
menyadari bahwa demi keselamatan 
dirinya, dia harus mengakui kakek 
luarnya itu sebagai ayahnya.

Perundingan yang dilakukan tiga 

orang datuk dengan para pimpinan 
atau tokoh Hoat-kauw itu diikuti 
dengan penuh perhatian oleh Seng 
Gun, akan tetapi dia tidak 
mencampurinya sama sekali, hanya 
menjadi pendengar saja. Akan tetapi 
dia tahu benar bahwa kakeknya yang 
kini diakuinya sebagai ayahnya itu 
sedang mengatur suatu rencana 
untuk dirinya! Ya, dia tahu benar 
bahwa Kwi-jiauw Lo-mo berusaha 
keras untuk mengembalikan dia ke 
tempatnya semula, yaitu di istana 
kota raja, kalau mungkin sebagai 
kaisar baru! 

Sebagai penerus kekuasaan An Lu 
Shan yang telah hancur dan diambil 
alih oleh Sia Su Beng.

Han Lin merasa seperti melayang di 

angkasa! Awan berarak di sekeliling 
nya seperti asap putih yang tebal. 
Tubuhnya terasa ringan sekali dan 
setiap ada angin berhembus, 
tubuhnya hanyut dalam aliran angin itu . Dan dia mendengar percakapan 
antara dua suara yang tidak nampak orangnya, suara yang kecil dan suara 
yang parau besar. Begitu jauh 
bedanya antara kedua suara itu 
sehingga tanpa melihat si pembicara sekalipun. Han Lin dapat 
membayangkan bahwa sepantasnya 
pemilik suara kecil itu seorang yang 
kurus dan pemilik suara besar 
seorang yang tinggi gemuk.

Suara kecil bertanya, "Tahukah 

engkau dengan sesungguhnya bahwa segala sesuatu adalah sama saja?" 
Suara besar menjawab dengan 
pertanyaan pula, "Bagaimana saya 
bisa tahu?" "Tahukah engkau apa 
yang engkau tidak tahu?"

"Bagaimana saya bisa tahu?"
"Kalau begitu tidak ada seorangpun 

tahu?"

"Bagaimana saya bisa tahu?" 

terdengar pula suara besar, lalu 
suara Itu melanjutkan, "Bagaimana 
juga, akan saya coba menerangkan 
padamu. Bagaimana dapat diketahui 
bahwa yang saya katakan tahu itu 
sesungguhnya tidak tahu, dan apa 
yang saya katakan tidak tahu itu 
sebetulnya tahu" Mungkin yang 
dikatakan salah itu benar dan yang 
dikatakan benar itu salah. Seorang 
manusia yang tidur di tempat basah 
akan jatuh sakit dan mati. 

Akan tetapi bagaimana dengan seekor belut" Dan hidup di atas puncak 
pohon adalah berbahaya dan 
menegangkan syaraf. Akan tetapi 
bagaimana dengan seekor monyet" Di antara manusia, belut dan monyet itu, tempat tinggal siapakah yang lebih 
benar dan tepat" Manusia makan 
daging , rusa makan rumput, burung 
makan ulat, kucing makan tikus. Dari mereka semua itu, selera manakah 
yang lebih benar dan tepat" Monyet 
jantan bergaul dengan monyet betina, rusa jantan dengan rusa betina, belut dengan ikan, sedangkan manusia pria mengagumi ,Dewi Mo Clang dan Dewi Li Ci, pada hal melihat kedua wanita ini, ikan-ikan bersembunyi menyelam dan burung-burung ketakutan 
terbang, kijang lari ketakutan pula. 

Lalu siapakah dapat mengatakan 
yang manakah ukuran kecantikan" 
itu" Saya kira, pelajaran tentang 
kemanusiaan dan keadilan dan 
loronglorong dari benar dan salah 
demikian kacau balau sehingga tidak mungkin diselami dan diketahui."

"Kalau begitu, Manusia Sempurna tidak tahu akan baik dan buruk?" "Manusia Sempurna adalah mahluk suci. Bahkan andaikata lautan mendidih, dia tidak akan merasa kepanasan. Apa bila sungai-sungai membeku, dia tidak akan merasa kedinginan. Apa bila gunung-gunung dibelah halilintar, dan lautan-lautan diamuk badai, dia tidak akan gemetar ketakutan. Maka, dia seolah mendaki awan-awan di langit, menggembala matahari dan bulan di depannya, dan melewati batas-batas dari keberadaan duniawi. Mati' dan hidup tidak lagi menguasai dia. Sama sekali dia ti dak lagi memperdulikan untung atau rugi."
Mendengar percakapan antara dua suara kecil dan besar itu, Han Lin tersenyum dan diapun berkata, "Percakapan antara Yeh Cia dan Wang Yi, pelajaran bagi Mahaguru Juangce!"
Sebagai jawaban ucapannya itu, terdengar suara tawa yang aneh. "Heh-heh-heh-ha-ha-hihihik!! " Seolah yang tertawa ada beberapa orang. Suara tawa itu seperti menyentakkan Han Lin ke dalam kesadaran. Seperti orang baru bangun tidur, dia menggosok kedua mata, membuka mata dan bangkit duduk. Dia masih berada di depar gundukan makam Liu Ma, cuaca gelap dan hanya remang-remang diterangi bintang di langit. Han Lin segera teringat segalanya dan diapun memutar tubuh dan nampak gundukan tanah kuburan ibu angkatnya, Liu Ma. Dan teringatlah dia akan peristiwa di kelenteng, betapa tiga orang hwesio telah terbunuh, dan ibu angkatnya juga tewas membunuh diri ke dalam jurang ini karena melihat dia terjerumus ke dalam jurang.
Teringat akan ini, Han Lin men-jatuhkan diri tiarap di depan gundukan tanah itu dan menangis lagi, menangisi" kematian. Liu Ma yang telah mengorbankan nyawanya karena amat menyayangnya. Kini terkenang semua kebaikan hati Liu Ma yang menyayangnya seperti anak sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara tawa aneh tadi, disusul kata-kata yang lembut. "Betapa indahnya sangkar emas penuh makanan, burung akan tetap berusaha meloloskan diri. Setelah burung terbang bebas, lepas dari sangkarnya, pantaskah ditangisi?"
Han Lin menghentikan tangisnya, merangkak bangun dan membalikkan tubuh Dia tadi tidak mimpi ! Suara kecil berlawanan dengan suara besar, suara tawa aneh itu, tanyajawab seperti dua orang memainkan ajaran Juang-ce, semua itu bukan mimpi! Dan dia meiihat seorang kakek berdiri di depannya! Cuaca memang remang-remang, akan tetapi entah bagaimana, dia dapat melihat wajah itu dengan jelas sekal i. Apakah wajah itu mengandung cahaya sehingga demikian jelas" Dia tidak tahu. Wajah seorang kakek yang tubuhnya sedang tingginya namun agak kurus. Wajah itu nampak putih kemerahan, matanya seperti sepasang bintang, rambutnya, kumis dan
jenggotnya, seperti benang sutera putih. Pakaiannya dari kain kasar berwar na putih kekuningan, namun bersih. Sepatunya dari kulit kayu, merupakan pelindung telapak kaki saja. Sukar menaksir usianya, bisa saja sudah tua sekali lebih dari seratus tahun, akan tetapi wajah dan terutama matanya seperti masih amat muda. Ketuaannya itu diperkuat dengan adanya sebatang tongkat
bambu yang dipegangnya, seolah menjadi penopang tubuhnya. "Heh-heh-heh, engkau mengenal ajaran Mahaguru Juangce, bagus memang, akan tetapi alangkah lebih bagusnya ka lau engkau tidak hafal akan semua ajaran mahaguru yang manapun juga."
Tentu saja ucapan yang berlawanan ini membuat Han Lin mengerutkan alisnya. Dia sudah duduk bersila menghadap gurunya, seperti kalau dia menghadap mendiang Kong Hwi Hosiang di kelenteng.
"Maafkan saya, lo-cian-pwe. Saya kira pendapat lo-cianpwe tadi membingungkan dan berlawanan. Lo-cian-pwe mengatakan bagus bahwa saya mengenal ajaran Juang-ce, lalu menambahkan akan lebih bagus kalau' saya tidak mengenal semua ajaran."
Kembali kakek itu tertawa, kini suara tawanya lembut sekali. "Memang sebaiknya kalau mengenal semua ajaran para bijaksana itu dengan membaca kitabnya, namun hanya sekedar mengenal saja untuk menambah pengertian. Namun, semua ujar-ujar dan nasihat yang ribuan banyaknya itu tidak ada manfaatnya kalau hahya dihafal saja."
"Maaf, lo-cian-pwe. Bukankah ajaran-ajaran itu baik sekali untuk pedoman kita hidup di dunia ini" Ajaran-ajaran itu dapat menuntun kita melalui jalan kebenaran dalam hidup, membuat kita mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang benar dan mana yang salah."
"Ha-ha-ha, di situlah letak kesalahannya, anak yang baik. Kalau orang menjalani hidup ini disesuaikan dengan ajaranajaran itu, melakukan perbuatan yang sesuai dengan petunjuk ajaran, maka kebaikan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa itu adalah kebaikan bukanlah kebaikan lagi namanya! Perbuatan seperti itu palsu, anakku, karena perbuatan seperti itu hanya merupakan suatu cara untuk mencapai sesuatu, bukan merupakan suatu keadaan yang wajar, yang dengan sendirinya sudah merupakan suatu keadaan tanpa membutuhkan cara untuk mencapainya lagi."
Han Lin menjadi pening tujuh keliling ! "Wah, saya tidak mengerti, locianpwe. Apa artinya semua itu" Mohon penjelasan."
"Sudah jelas, anak baik. Perbuat an baik yang dilakukan dengan pamrih meraih sesuatu hasil dari perbuatan itu, adalah perbuatan palsu, hanya merupakan suatu cara mendapatkan sesuatu. Perbuatan apapun itu, dinilai baik ataupun buruk, kalau dilakukan karena digerakkan pamrih memperoleh hasil sesuatu, adalah palsu! Munafik, topeng kebaikan untuk mendapatkan keuntungan, sama seperti harimau bertopeng domba, tidak lebih baik dari pada harimau tanpa topeng. Dan ajaran-ajaran kebaikan itu seringkali menjadi topeng domba bagi harimau-harimau yang berkeliaran."
"Wah, saya menjadi semakin bingung. Kalau perbuatan baik menurut ajaran dianggap palsu, lalu yang baik itu bagaimana, locianpwe?" Han Lin mengejar dengan hati penasaran. Alangkah bedanya pendapat kakek aneh ini di bandingkan ajaran yang dia terima dari Kong Hwi Hosiang yang selalu mengajarkan bahwa hidup haruslah melalui jalan kebenaran, memupuk kebaikan dan menjauhi perbuatan jahat. Dan kakek ini mengatakan bahwa perbuatan baik menurut ajaran adalah palsu dan sama saja dengan perbuatan jahat. Bagaimana ini"
"Kebaikan dan kejahatan itu sama saja, hanya penilaian, seperti siang dan malam, kanan dan kiri, benar dan tidak benar dan selanjutnya, dan selama kita dikuasai oleh im-yang (positif negatif) ini, maka biduk kehidupan tak kan pernah merasakan ketenangan, dipermainkan ombak kanan kiri."
"Tapi, apa yang narus kita laku ke dalam kehidupan ini, locianpwe?" "Lakukan apa saja yang harus kau lakukanl Yang dinamakan kebenaran, kebajikan dan sebagainya, sesungguhnya merupakan suatu keadaan batin, tidak dinilai dari kata dan perbuatannya. Selama batin masih dicengkeram nafsu, maka daya-daya rendah yang menjadi dasar setiap kata dan perbuatan, karenanya palsu . "
"Lalu sikap apa yanq harus kita ambil dalam hidup?" "Lihatlah bulan, bintang, matahari, awan dan seluruh alam ini. Mereka semua bergerak, mereka semua bekerja, dan memang demikianlah keharusan dan keadaan mereka. Tidak baik tidak buruk, tidak benar tidak salah, dan itu adalah karena mereka itu wajar. Bunga mawar berduri dan harum, itulah kewajaran. Bunga anggrek indah dan tidak harum, itulah kewajaran. Wajar itulah indah, wajar itulah kenyataan, wajar itulah To (Jalan, atau Kekuasaan Mutlak). Seyogianya kita menjadi manusia wajar."
"Akan tetapi, dari mana timbulnya rangsangan kejahatan yang membuat manusia melakukan perbuatan kejam dan jahat?"
"Nafsu daya rendah yang mendorong manusia melakukan perbuatan merugikan sesamanya. Nafsu selalu mendorong, ingin ini, ingin itu, berpamrih demi pemuasan diri, demi kesenangan, karena itu, perbuatan yang didorongnya selalu berpamrih. Dan pamrih tetap pamrih, bisa berpakaian bersih dan indah atau berpakaian butut kotor, tetap pamrih dan selama ada pamrih, setiap perbuatan adalah palsu. Sudahlah, Han Lin, kelak engkau akan mengerti sendiri kalau engkau mulai saat ini suka menjadi temanku."
Han Lin terbelalak. "Bagaimana lo-cian-pwe dapat mengetahui nama saya?"
"Ha-ha, apa artinya nama" Karena engkau bernama, maka aku mengetahu-nya."
"Maksud lo-cian-pwe, mulai sekarang saya menjadi murid lo-cian-pwe?" "Bukan murid, melainkan teman, sahabat. Tidak ada guru manusia lain dalam kehidupan ini, mengenai soal kehidupan karena kita sendiri masing-masing adalah gurunya, juga muridnya. Bimbingan utama datang dari dalam diri sendiri, To (Kekuasaan Tuhan) telah berada dalam diri setiap orang manusia dan Dialah yang menjadi Pembimbing. Tentu saja kalau engkau ingin mempelajari ilmu jasmaniah yang dikuasai, engkau dapat belajar dariku."
Mendengar ini, langsung saja Han Lin menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. "Suhu yang mulia, mulai malam ini, teecu (murid) Han Lin akan menaati semua petunjuk suhu!"
Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih halus dan tertawa gembira. "Ha-ha-ha,: bukan kehendakku engkau menjadi muridku, Han Lin, bukan kehendakku, melainkan sudah digariskan dari semula!" Kakek itu menengadah memandang langit, seolah hendak mencari rahasia kejadian itu di antara bintang di langit. .
"Suhu, kalau boleh teecu mengeta hui, suhu siapakah?" "Heh-heh, tidak tahukah engkau" Aku juga seorang manusia seperti engkau, hanya bedanya, aku lebih lama berada di dunia ini dibandingkan engkau."
Han Lin tertegun. Jawaban itu memang tentu saja benar, namun begitu sederhana, seperti percakapan antara kanakkanak saja. "Maksud teecu, suhu. Siapakah nama suhu yang mulia?"
"Hemm, apakah artinya nama" Nama tidak sama dengan yang dinamakan. Sebutan bulan bukanlah bendanya, sebutan Han Lin bukanlah orangnya."
Han Lin sudah banyak membaca. kitab-kitab kuno, maka ucapan ini tidak membuatnya heran. "Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi, tanpa adanya nama atau sebutan, tentu tidak ada percakapan, tidak ada hubungan antar manusia. Maksud teecu, .sebutan teecu dengan kata "suhu" juga merupakan nama, bukan" Nah, maksud teecu, nama suhu, bukan sebutannya, siapakah?"
"Ha-ha, kalau hendak menyebutku, sebut saja Lo-jin (Orang tua), karena memang aku seorang yang sudah tua!" Diapun tertawa-tawa seperti merasa geli mendengar ucapannya sendiri.
"Ingat suhu. Nama Lo-jin itupun dapat menjadi nama, dan Lo-jin bukanlah orangnya!" Kini guru dan murid itu tertawa-tawa geli dan sungguh aneh sekali kalau ada orang lain melihatnya. Seorang pemuda remaja dan seorang kakek, di tengah malam penuh bintang didasar jurang depan gundukan tanah kuburan baru, tertawatawa seperti digelitik perutnya!
"Sudahlah, hayo ikut aku. Pegang ujung tongkatku," kata kakek itu sambil menyodorkan tongkat bambunya. Han Lin memegang ujung tongkat bambu itu dan kakek itu lalu bergerak melangkah. Dan terjadilah sesuatu yang "membuat Han Lin terbelalak dan tengkuknya terasa dingin. Dia merasa seperti dalam mimpi ketika dia setengah tertarik ketika memegangi ujung tongkat, mengikuti kakek itu mendaki jurang yang amat curam, tebing yang berlawanan dengan tebing di mana dia terjatuh. Menurut nalar, agaknya tidak mungkin mendaki tebing secara itu, apa lagi dalam malam yang remang-remang. Akan tetapi Han Lin merasa seperti seekor cecak saja, atau lebih tepat lagi dia terbetot dan terseret naik oleh tongkat bambu itu. Dia merasa ngeri dan memejamkan kedua matanya, menurut saja diseret ke atas, kedua kakinyapun asal melangkah saja, akan tetapi dia memegangi ujung tongkat dengan pengerahan seluruh tenaganya karena sekali tongkat itu terlepas dari tangannya, tentu dia akan meluncur ke bawah dan tidak akan ada yang mampu menyelamatkannya. Akhirnya mereka tiba di atas tebing. akan tetapi kakek itu masih terus saja monariknya. Demikian kuatnya tenaga yang tersalur melalui tongkat bambu itu sehing ga Han Lin merasa seolah-olah tubuhnya diterbangkan. Cuaca kadang gelap, kadang terang, namun mereka meiuncur terus. Han Lin merasa seperti dalam mimpi dan kembali dia memejamkan mata, menyerah saja penuh keyakinan bahwa kakek itu bukan manusia biasa, bahkan mungkin pula bukan manusia! Ataukah ka kek itu petugas menjemputnya meninggalkan dunia ini" Apakah dia sudah mati"
Langit di ufuk timur mulai terbakar oleh cahaya kemerahan. Sinar cerah sang matahari mulai mengusir kegelapan walaupun mataharinya sendiri beium nampak. Seluruh permukaan bumi agaknya menyambut kemunculan Sang Surya ini dengan penuh kegembiraan. Bayang-bayang hitam kegelapan mulai memudar, terganti cahaya yang.mulai menghidupkan segala sesuatu. Pohon-pohon dan semua tumbuh-tumbuhan sampai rumput, seolah baru bangkit dari tidur lelap diselimuti kegelapan malam. Burung-burung berkicau riang, ayam hutan berkokok bangga. Kabut pagi mulai menyingkir perlahan dihembus semilir angin, dihalau cahaya matahari pagi. Embun bergantungan pada pucuk daun dan rumput, di bibir bunga-bunga, nampak tak rela melepaskan pegangan terakhir sebelum akhirnya terle pas dan terhempas ke tanah pula. Segala sesuatu nampak segar gemilang.
Han Lin duduk bersila. Baru saja kakek itu menghentikan gerakannya dan melihat kakek itu duduk bersila di atas batu datar halus diapun ikut duduk di atas rumput kering. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit yang sepi sekali, di tengah perbukitan yang amat luas. Dia tidak berani mengganggu karena kakek itu duduk bersila dengan ke dua mata terpejam dan pernapasannya seperti orang yang sedang tidur. Melihat kakek itu beristirahat, Han Lin tidak berani mengganggu dan diapun memperhatikan kakek aneh itu. Melihat wajah kakek itu, dia teringat kepada mendiang Kong Hwi Hosiang yang mempunyai wajah seperti wajah anak kecil. Wajah kakek inipun segar kemerahan dan tidak terhias keriput walaupun tubuhnya tidak gemuk seperti Kong Hwi Hosiang. Tubuh kakek ini tegap dan kurus. Rambut, kumis dan jenggotnya putih seperti benang sutera putih.
Karena baru saja dia nyaris tewas, juga telah terpukul, kemudian semalam suntuk mengikuti kakek itu melakukan perjalanan seperti terbang, Han Lin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan lelah sekali, maka diapun mencontoh kakek di depannya dan memejamkan mata, beristirahat.
Ketukan tongkat pada batu membangunkan Han Lin dan ternyata hari telah menjelang siang. Matahari telah naik tinggi dan kakek itu memandang kepadanya dengan senyum aneh. Senyum itu seperti sinar matahari pagi yang menghidupkan, hangat dan menimbulkan gairah hidup, penuh kepasrahan, kesabaran, kewajaran.
"Suhu !" kata Han Lin dan diapun mengubah kedudukan kakinya yang tadi bersila kini berlutut. . "Han Lin, duduklah bersila seperti tadi dan sekarang ceritakan segalanya tentang dirimu," terdengar kakek yang hanya dikenalnya dengan' sebutan Lo-jin (Orang tua) itu berkata dengan lembut. Snaranya bagaikan desir angin bermain-main di antara daun pohon dan ujung rumput.
Han Lin menaati perintah gurunya dan kembali duduk bersila, lalu berkata, "Teecu kira suhu sudah pasti telah mengetahui hal mengenai diri teecu. Perlukah lagi teecu menceritakannya sendiri ?"
Suara tawa kakek itu mempunyai daya tular yang kuat sehingga Han Lin juga ikut tertawa. Tawa maupun tangis merupakan suara aseli dari semua manusia di dunia ini. Biarpun bahasa antara bangsa berbeda, namun tawa dan tangis semua bangsa tidak ada bedanya ka rena suara tawa dan tangis itu mengandung seluruh perasaan, maka mudah sekali menular kepada orang lain. Demikian pula tawa kakek itu yang wajar, tidak di buat-buat, tidak pula mengandung sesuatu yang lain, seperti tawa seorang bayi yang mendatangkan rasa gembira da lam hati setiap orang.yang mendengarnya, maka Han Lin tidak dapat menahan diri untuk. tidak ikut tersenyum lebar.
"Ha-ha-ha-heh-heh, Han Lin. orang yang mengaku tahu adalah orang yang tidak tahu! Ceritakanlah semuanya sejak engkau kecil sampai sekarang ini ."
Tiba-tiba Han Lin menyadari. Kakek ini jelas bukan manusia biasa. Kalau tanpa diberitahu kakek ini sudah mengetahui namanya, tentu telah mengetahu segala tentang dirinya. Kenapa masih bertanya dan menginginkan dia bercerita" Tentu untuk mengujinya, menguji kejujurannya! Maka, tanpa ragu-ragu lagi diapun bercerita tentang dirinya, semenjak dia hidup sebagai seorang "pangeran" kecil, putera Sia Su Beng dan Yang Kui Bi sampai terjadinya penyerbuan pasukan Tang yang memasuki kota raja dan kedua orang tuanya ikut bertempur. Betapa dia diungsikan oleh Liu Ma yang kemudian dianggap sebagai ibunya. Betapa dia menjadi murid Kong Hwi Hosiang di kelenteng dekat puncak Bukit Ayam Emas itu dan tentang munculnya tiga orang datuk sesat bersama seorang pemuda, dan betapa Kong Hwi Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio terbunuh oleh para datuk sesat itu. Kemudian tentang ibunya yang melempar diri ke dalam jurang menyusul dirinya yang terpukul dan terjungkal ke dalam jurang itu .
"Agaknya Tuhan belum menghendaki mati, suhu, maka teecu berhasil menangkap cabang pohon dan tidak terbantingke dasar jurang. Akan tetapi ibu Liu Ma ia tewas dan teecu kubur jenazahnya di dasar jurang itu."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Belum kauceritakan tentang keadaan tubuh mu. Pukulan yang membuatmu terjungkal ke jurang itu adalah pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi engkau tidak keracunan. Nah, bagaimana hal itu dapat terjadi?"
"Ah, maafkan teecu, suhu. Teecu sampai lupa," kata Han Lin, pada hal dia sengaja melewatkan bagian itu untuk melihat apakah kakek itu mengetahui akan keadaan tubuhnya yang telah menjadi kebal terhadap racun itu. Dengan tersipu karena ternyata kakek itu mengetahui segalanya,.diapun menceritakan dengan jelas akan peristiwa pertemuannya dengan Hek-bin Mo-ong dan Pek-bin Mo-ong yang pertama kalinya, ketika dia terkena pukulan dari depan dan belakang oleh kedua orang datuk itu, ditambah lagi gigitan ular senduk kepala putih yang membuat tubuhnya dimasuki tiga macam racun sekaligus.
"Menurut keterangan mendiang suhu Kong hwi Hosiang, akibat tiga racun itu, tubuh teecu menjadi kebal terhadap racun." Demikian dia mengakhiri ceritanya dan kakek itupun mengangguk-angguk senang.
Demikianlah, mulai hari itu, Han Lin menjadi murid kakek yang hanya dikenal sebagai Lo-jin. Dan ternyata kemudian oleh pemuda remaja ini bahwa kakek itu adalah seorang manusia yang amat sederhana, juga aneh sekali. Kadang hanya cukup hidup sehari dengan beberapa helai daun dan seteguk air saja, kadang tidak ada entah ke mana sampai beberapa hari, lalu muncul kembali. Akan tetapi dia menganggap. semua itu wajar karena memang demikianlah ke adaan Lo-jin. Dan dia mulai menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Namun, Lo-jin mengatakan bahwa semua ilmu yang diajarkannya itu adalah ilmu untuk mempertahankan keselamatan jasmani, dan ilmu-ilmu itu adalah ilmu untuk dipergunakan selagi hidup di dunia ini dan kelak ilmu-ilmu itu akan musna bersama raga. Karena itu. dia tidak boleh terikat kepada ilmu-ilmu itu, dan untuk dapat membebaskan diri dari segala sesuatu, dia harus memiliki dasar yang satu, yaitu kewajaran yang berarti penyerahan! Menyerah sebagai dasar semua ikhtiar hidup, menyerah secara mutlak kepada Sang Maha Pencipta, seperti halnya bumi, matahari, bulan, bintang dan segala mahluk di alam ini yang tidak dikuasai nafsu daya rendah dan hidup selaras dengan To (Kekuasaan Tuhan) .
Dara itu berusia delapanbelas tahun. Cantik jelita bagaikan setangkai bunga mawar rimba. Mukanya berbentuk bulat telur dan kulit mukanya halus putih kemerahan. Wajah yang bentuknya indah itu dihias rambut bagaikan mahkotanya, rambut yang halus lebat dan hitam mengkilat, digelung ke atas, di ikat dengan,pita sutera kuning dan dihias tusuk sanggul dari batu kemala. Sepasang matanya lebar dan sinarnya tajam. Hidungnya mancung dengan cuping hidung tipis yang dapat berkembang kempis dengan lucunya. Mulutnya penuh gairah hidup dan selalu tersenyum bersama matanya, senyum yang amat manis, apa lagi kalau lesung pipit di kedua pipinya nampak. Tubuhnya padat dan ramping, dan di balik kelembutannya sebagai seorang dara remaja, terkandung suatu kekuatan yang hebat, yang dapat nampak pada lekukan di dagu dan tubuh yang tegak dan dada yang membusung. Gerak geriknya lincah, matanya memandang penuh gairah dan kejenakaan.
la berdiri di bawah sebatang pohon, pungggungnya hanya terpisah seperempat meter saja dari batang pohon dan ia berdiri tegak, dengan mata dan mulut tersenyum ke arah wanita yang berdiri dalam jarak sekitar limapuluh kaki. Dan di atas ubun-ubun kepalanya, di depan sanggulnya, terletak sebutir buah apel merah.
Mei Li! kaulepas saja sanggulmu yang tinggi itu agar jangan sampai ada yang terbabat Hui-kiam (pedang terbang)!" kata wanita yang berada di depannya dalam jarak limapuluh kaki itu. Wanita itu berusia kurang lebih tigapuluh sembilan tahun walaupun nampak jauh lebih muda, pakaiannya sutera serba hitam, wajahnya juga cantik dan mirip sekali dengan wajah gadis itu, tubuhnya masih padat ramping dengan pinggang kecil dan pinggul besar. Wanita cantik ini nampak gagah perkasa dan di balik kecantikannya dan kelembutannya sebagai seorang wanita tersembunyi sifat gagah yang mudah dilihat dari sinar matanya yang tajam mencorong. Ia memang bukan wanita sambarangan. Ia adalah seorang pendekar wanita yang pernah menggegerkan dunia persilatan karena sepak terjangnya yang menggiriskan lawan mengagumkan kawan. Namanya Can Kim Hong dan ia ibu kandung gadis jelita itu yang bernama Yang Mei Li. Can Kim Hong ini isteri Yang Cin Han, putera bangsawan tinggi yang pernah menjadi perdana menteri, yaitu mendiang Yang Kok Tiong, Seperti isterinya, Yang Cin Han juga seorang pendekar yang tangguh karena dia adalah murid dari Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang datuk dunia persilatan yang terkenal. Namun, isterinya, Can Kim Hong, lebih hebat lagi karena isterinya ini murid Hek-liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu seorang pendekar sakti yang aneh, yang telah merangkai ilmu pedang yang amat hebat, yaitu ilmu pedang Hek-liong Hui-kiam (Pedang Terbang Naga Hitam). Dapat dibayangkan betapa bahagianya Yang Mei Li, gadis berusia delapanbelas tahun yang suka belajar ilmu silat itu karena ia langsung dibimbing oleh ayah ibu nya yang keduanya memiliki ilmu kepardaian silat yang tinggi. Dan pada sore hari itu, mereka melakukan latihan ilmu silat dan ibunya memberi petunjuk dan contoh cara menggunakan ilmu huikiam (pedang terbang).
Mendengar ucapan ibunya, Mei Li lalu melepas sanggulnya membiarkan rambutnya yang hitam lebat itu terurai lepas, panjang sampai ke pinggulnya. Kini buah apel itu terletak di atas rambut yang padat menutup ubun-ubun kepalanya.
"Jangan bergoyang!" terdengar nyonya cantik itu berseru dan ia menggerakkan tangan kanannya. Sebatang pedang kecil yang berada di tangannya meluncur bagaikan anak panah cepatnya, berubah bentuknya menjadi sinar kilat menyambar ke atas kepala Mei Li.
"Singgg.... cappp...!!" Pedang kecil itu meluncur dan tepat sekali membabat putus buah itu pada tengah-tengah dan pedangnya menancap di batang pohon. Apel terpotong menjadi dua, bagian atasnya terlempar jatuh dan bagian bawahnya masih berada di atas kepala Mei Li !
Mei Li menggerakkan kepala sehingga potongan apel itu terlempar jatuh pula dari atas kepalanya dan iapun bertepuk tangan memuji. "Hebat, ibu memang hebat!" serunya gembira.
Can Kim Hong tersenyum dan kedua pipinya kemerahan. "Aih, anak nakal, engkau hendak menggoda ibumu" Apa sih hebatnya memotong buah apel itu dengan hui-kiam (pedang terbang)" Aku yakin engkaupun akan mampu melakukannya. Aku tadi hanya memberi contoh bagaimana untuk bersikap agar tanganmu mantap dan tidak ragu sedikitpun."
"Aih, ibu! Mana aku berani menggoda ibu" biarpun mungkin saja aku dapat melakukan seperti yang ibu lakukan tadi, akan tetapi dipaksa bagaimanapun juga, aku tidak akan berani menyambit apel dengan hui-kiam kalau apel itu di taruh di atas kepala ibu. Hih, meleset sedikit saja ke bawah " Dara itu memejamkan kedua matanya dan menggerak gerakkan kedua pundaknya seperti orang yang merasa kengerian.
"Hemm, karena itulah maka aku sengaja memberi contoh padamu tadi, Mei Li. Ilmu mempergunakan hui-kiam bukan hanya tergantung kepada kemahiran tangan saja, melainkan terutama sekali keteguhan hati. Kalau hatimu seteguh baja, bidikanmu takkan meleset serambutpun dan jari-jari tanganmu akan mantap dan tidak tergetar sedikitpun juga."
Gadis manis itu menjulurkan lidah, ujung lidah yang merah itu mengintai dari sepasang bibirnya dan iapun menjawab, "Aku tahu, ibu memiliki ketabahan hati seteguh baja! Ayah juga sering menceritakan kepadaku dan memuji-muji ibu. Mungkin aku yang telah berlatih dengan tekun memiliki kemahiran itu, akan tetapi keteguhan hati tak dapat dilatih, ibu. Betapapun keras hati ku, bagaimana mungkin aku berani membidik apel di atas kepala ibu" Sekarang tolong ibu lemparkan sebuah apel ke atas, aku akan mencoba denqan jurus Siang-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mestika) dengan sepasang pedangku."
Can Kim Hong tersenyum, lalu mengambil sebuah apel dari dalam keranjang yang memang dipersiapkan untuk latihan, kemudian ia melempar buah itu ke atas.
Mei Li dengan gerakan cepat sekali sudah mencabut keluar sepasang pedang yang bentuknya indah dan merupakan sepasang pedang pendek yang berkilauan saking tajamnya, dan pedang-pedang itu diberi tali sutera merah yang cukup panjang dan digulung dan dibelitkan di ujung gagang pedang. Sekali gadis itu mengeluarkan bentakan halus dan menggerakkan sepasang pedangnya, maka nampak dua sinar menyambar ke atas menyerang apel tadi dan meluncur dengan menyilang membabat buah apel.
Buah apel itu terpotong menjadi empat oleh sepasang pedang, dan potongannya berjatuhan di atas tanah sedangkan sepasang pedang itu meluncur kembali ke arah kedua tangan Mei Li ketika ia menarik tali sutera itu. Dan cepat sekali, begitu sepasang pedang telah berada di kedua tangannya, sukar diikuti pandang mata saking cepatnya sepasang pedang itu telah kembali ke dalam sarungnya, hampir berbareng saatnya dengan jatuhnya empat potong apel itu.
"Cukup bagus!" puji ibunya, 'Sekarang coba perl ihatkan siang-hui-kiam sut (Ilmu Sepasang Pedang Terbang) yang telah digabung dengan Sian-li Ki-am-sut (Ilmu Pedang Dewi). Berlatihlah yang sungguh-sungguh, karena aku akan menyerangmu dengan apel-apel ini, dan aku akan menyerang dengan sungguh-sungguh!"......



BERSAMBUNG KE JILID 03





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12