Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Pedang Terbang
Jilid 01
Sungainya bagaikan pita sutera biru,
Gunungnya laksana tusuk sanggul kemala!"
Demi kianlah pujian yang ditulis dalam dua baris atau sebait sajak oleh Han Ji (768 824), seorang di, antara para pujangga besar di jaman Dinasti Tang (618 907) i tu. Sebait sajak yang sederhana, namun jelas menggambar kan keindahan alam dari lembah Sungai Li yang dilihat dari puncak Gunung Teratai Biru.
memang, kebesaran alam dengan segala keindahannya terbentang luas di sekitar Kuilin, Propinsi Juangsi itu. Dan Sungai Li merupakan penunjang kuat untuk segala keindahan ini, kesuburan tanahnya, kemakmuran rakyatnya. Sungai Li ini dikenal pula dengan sebutan Sungai Kui atau Sungai Haijang, sebagai sungai yang bermata air dari Gunung Haijang.
Gunung Haijang berdiri tegak menjulang di antara dua propinsi, yaitu di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari gunung ini mengalir dua batang sungai, yaitu Sungai Li yang mengalir masuk ke daerah Propinsi Kuangsi, sedangkan yang mengalir ke daerah Hunan adalah Sungai Siang.
Dari daerah Kuilin sampai ke da erah Yangsuo terbentang keindahan alam yang tiada habishabisnya, yang sa tu lebih menarik dan lebih indah dari pada yang lain. Namun, seperti banyak ditulis para penyair dan dilukis oleh para pelukis, yang terindah di antara semuanya adalah pemandangan alam di Yangsuo.
Di daerah ini, Gunung Teratai Biru mencakar langit, seringkali puncaknya terselimut kabut tipis, nampak seperti wajah jelita seorang puteri mengintai dari balik tirai putih yang tipis. Indah bukan main! Dari jauh, gunung ini nampak seperti bentuk sekuntum bunga teratai yang menguncup, segar dan indah kebiruan.
Di kaki gunung ini terdapat dusundusun yang tenang tenteram, dihuni para petani merangkap nelayan yang hidupnya tak pernah kekurangan karena tanah di situ subur dan Sungai Li mengandung banyak ikan. Dan di lereng gunung itu, terpencil sunyi namun penuh kedamaian, berdiri sebuah kuil tua yang indah. Itulah Kuil Cian yang seolah menjadi lambang ketenteraman, mengamati kehidupan rakyat pedusunan yang berada di bawah.
Dari kuil ini kita dapat menikmati tamasya alam yang berubahubah keindahannya dari pagi sampai senja. Bahkan di waktu malam, kalau bulan muncul bersih tidak terhalang awan, pemandangan di situ amat mempesonakan.
Kota Yangsuo seolah menjadi pusat dari semua keindahan itu, bagaikan sekuntum bunga teratai biru, dikitari berlapisIapis pegunungan yang hijau zamrud, seperti setangkai bunga yang terllndung dalam pelukan daundaun bunga.
Di daerah itu, kedua tepi Sungai Li terjaga pegunungan, dari Gunung Teratai Biru, kalau kita menyusur ke hilir sungai, akan nampaklah Gunung Pela yan Pelajar. Gunung ini memperoleh namanya dari bentuknya yang seperti seorang pelayan pelajar, tenang, diam dan patuh, duduk tegak lurus membantu sang pelajar mendeklamasikan sajak buatan majikannya.
Dari sisi lain, dia nampak seperti sedang membungkuk, siap menerima tugas dari sang pelajar, Di antara puncakpuncak pegunungan itu, yang terkenal adalah Puncak Singa' Kembar di Gunung Besi. Memang puncak itu mirip sekali sepasang singa yang duduk dengan tenangnya nampak gagah dan jinak, tidak membayangkan keganasan.
Air Sungai Li itu sendiri amat jernih karena belum melalui kotakota besar di mana penduduknya tak segansegan mengotorinya. Airnya jernih tembus pandang sampai ke dasarnya yang terben tuk dari batubatu cadas. Di kanan kiri sungai nampak pegunungan, jurang dan palung-palung buatan alam. Ada dongeng rakyat setempat bahwa di sana pernah terjadi peristiwa hebat, yaitu ketika Sembilan Naga Berlumba Menyeberangi Sungai! Dongeng ini timbul karena adanya garisgaris timbul yang berliku di dasar sungai, sehingga nampak seolah ada sembilan ekor naga berlumba melintasi sungai.
Tak jauh di sebelah .depan lagi nampak di kejauhan dua pegunungan yang berhadapan dan nampak seperti dua pasukan saling berhadapan dengan seragam putih dan merah. Itulah Pegunungan Tebing Putih, dan Pegunungan Tebing Merah.
Pemandangan pegunungan yang kehijauan bertahtakan tebingtebing putih dan merah !
Maju sedikit Iagi, di daerah Singping di tepi Sungai Li, terdapat Pegunungan Lima Puncak, dan Gunung Lukisan. Keindahan di daerah ini menggerakkan hati banyak penyair untuk datang berkunjung dan menuliskan pujian hati mereka melalui sajaksajak indah, juga tiada habisnya para pelukis kenamaan mencoba untuk menggoreskan suara hati mereka mengutip semua keindahan itu.
Terdapat dongeng rekyat pula di daerah itu bahwa demikian indahnya pemandangnya alam di situ sehingga seorang dewapun tergerak hatinya, dan pada suatu hari, sang dewa itu duduk di atas sepetak rumput menikmati keindahan sambil minum arak dan bersajaklah sang dewa itu. Hal ini sudah terjadi ribuan tahun yang lalu (sajak dari abad ke duabelas sebelum Masehi).
Senja menjelang tiba embun mulai mengelimuti rumput
penuhilah lagi cawan cakrawala
sebelummalam menghapus semua keindahanini! Sepanjang malam kabut menutupi
semua keindahan menakjubkan ini
namun itupuntakkan lama
kabutakan mengering malam akanberakhir!
Hampir semua penyair di jaman itu, yaitu dalam dinasti Tang (618-907) pernah berkunjung dan mengagumi keindahan pemandangan alam di sepanjang Sungai Li, terutama di daerah Kuangsi ini. Di antara mereka adalah pa ra penyair besar seperti Han Ji, Liu Cung Yuen, Huang Ting Ciang, Ji Fu, Fan Ceng Ta, Wang Wei dan terutama sekali Li Tai Po, Tu Fu dan masih banyak lagi. Kabarnya, Li Tai Po sendiri pernah naik perahu seorang diri di' Sungai Li, minum arak dan pada malam terang bulan purnama, penyair besar ini mengenang pengalamannya dengan bersajak.
Sajaknya itu amat terkenal, terutama di daerah yang dialiri Sungai Li.
Seperti kebanyakan sajaknya, penyair ini lebih suka menulis tentang perasaan dan kehi dupan manusia melalui dirinya sendiri dari pada sekedar memuji keindahan alam.
Dengan cawan anggur di tangan
dikelilingi bunga, aku minum sendiri tanpa seorangpun menemaniku.
Kuangkat cawan anggurku kepada bulan kuminta bulan mendatangkan bayanganku dan membuat kami menjadi bertiga.
Namun,bulan tidak dapat minum
dan bayanganku tertinggal. hampa;
betapapun mereka adalah kawanka
wanku menamaniku sepanjang musim semi?"
Aku bernyanyi. Bulan tersenyum padaku.
Aku berjoget. Bayanganku
mendampingiku.
Kutahu, kami adalah sahabat-sahabat baik,ketika aku mabok,kami saling kehilangan.
Dapatkah kemauan baik bertahan"
Kutatap jalan panjang Sungai Bintang-bintang!
Di kaki Bukit Ayam Emas yang ter masuk daerah Yuangsuo, terdapat beberapa buah dusun yang bertebaran di sekeliling bukit itu. Di antaranya ada?lah dusun Libun yang terletak di tepi sungai Li. Dusun ini hanya berpenduduk sekitar limapuluh keluarga saja, agak jauh dari dusun lain, paling dekat sepuluh li dari dusun lain dan nampak te nang dan tenteram. Para penghuninya be kerja sebagai petani dan juga nelayan dan di tepi sungai nampak banyak perahu dan rakit dari bambu tertambat. Mereka yang keadaannya agak mampu memiliki sebuah perahu, yang lebih sederha na cukup dengan rakit yang mereka buat sendiri dari bambu.
Pada umumnya, penghuni dusun Libun merasa cukup. Memang sesungguhnya, kaya atau miskin tak dapat diukur dari isi saku atau harta milik. Betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia masih mera sa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang yang miskin dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat menikmati apa yang telah dimilikinya.
Jadi letak ukurannya bukan di saku atau di gudang harta, melainkan di dalam hatinya. Seperti para penduduk dusun Libun. Karena mereka tinggal di dusun sederhana, maka kebutuhan hidup merekapun tidak banyak, sekedar sandang, pangan dan papan yang sederhana cukuplah. Tidak terdapat banyak godaan terhadap mereka, seperti dalam kota di mana terdapat toko-toko yang men jual barang-barang mewah dan indah, rumah-rumah makan dengan masakan yang mahal, dan rumahrumah indah, juga tontonan-tontonan yang kesemuanya itu membutuhkan uang banyak sehingga tentu saja kehidupan di kota mendatangkan banyak keinginan dan kebutuhan.
Berbahagialah manusia yang dapat menikmati apa yang ada, menikmati apa yang dimilikinya. Namun, selama kita masih dicengkeram nafsu, kita takkan pernah dapat menikmati apa yang kita miliki karena kita selalu menjangkau yang belum kita miliki, yang kita anggap akan lebih indah dari pada apa yang telah kita miliki.
Sifat nafsu adalah selalu mencari yang lebih dan hanya sejenak saja menikmati apa yang kita dapatkan lalu terganti kebosanan karena kita sudah mengejar yang kita anggap lebih menyenangkan lagi. Dan untuk dapat menjadi manusia berbahagia seperti itu, satu-satunya jalan keluar hanyalah dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih Kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kita tidak akan mengeluh dan selalu akan bersukur kepa da Tuhan, dalam keadaan apapun kita berada.
Kalau segala peristiwa kita sambut sebagai sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan, kita tidak akan mengeluh lagi, karena kita yakin bahwa semua kehendak Tuhan pasti terjadi, dan apapun yang ditimpakan kepada kita pasti memillki hikmah karena Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempergunakan atau memanfaatkan semua anggauta tubuh ini termasuk hati akal pikiran kita untuk kesejahteraan hidup ini, dari diri pribadi sampai lingkungan yang makin meluas, keluarga masyarakat, bangsa, dan seluruh manusia.
Semua usaha itu didasari penyerahan dan keyakinan bahwa semua hasil usaha kita, baik yang bagi kita menyenangkan maupun menyusahkan, terjadi atas kehen dak dan bimbingan Tuhan. Karena itu, hanya puji syukurlah yang keluar dari hati dan mulut kita kepada Tuhan Maha Pengasih.
Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi seolah menggugah semua yang terlelap di malam yang baru lewat, dan memberi kehidupan kepada setiap tumbuh tumbuhan, besar maupun kecil, memberi kehidupan kepada semua mahluk, merupakan satu di antara berkah Tuhan yang berlimpahan kepada ciptaanNya, alam beserta seluruh isinya.
Permukaan Sungai Li amat tenang dan jernihnya. Kecuali apa bila hujan turun yang membawa banyak tanah dan daun kering mengotori air sungai, air itu selalu jernih dan pagi hari yang cerah Itu, air sungai nampak jernih seperti kaca dan matahari pagi membuat garis-garis perak dipermukaannya.
Sebuah rakit kecil yang hanya terbuat dari beberapa batang bambu, meluncur perlahan menyeberang sungai. Rakit itu membawa seorang anak laki-laki yang dengan gerakan kuat karena sudah terbiasa, mendorong rakit meluncur dengan sebatang dayung. Setelah tiba di seberang, anak laki-laki itu menempelkan rakitnya di tepi sungai, lalu meloncat ke darat dan mengikatkan tali rakitnya pada sebatang pohon bambu yang besar. Tepi sungai dimana dia mendarat itu memang merupakan sebuah kebun bambu yang lebat, di mana terdapat banyak sekali rumpun bambu yang bermacammacam bentuknya. Diapun meninggalkan rakitnya, memasuki hutan bambu membawa sebuah golok dalam sarunq kulit yang dia selipkan di pinggangnya.
Anak itu berpakaian sederhana, seperti pakaian anak-anak dusun di daerah itu, bercelana panjang sampai ke bawah lutut, sepatunya dari kulit kasar, bajunya berlengan pendek, berwarna hitam seperti yang biasa dipakai semua anak di situ karena warna hitam ini awet tidak lekas kotor. Biarpun pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian anak-anak lain di. dusun itu, sederhana namum wajahnya memiliki sesuatu yang tidak biasa didapatkan pada wajah anak anak di situ. Wajahnya amat tampan, dengan kulit yang bersih dan segar kemerahan. Wajah itu berbentuk keras, memperl ihatkan kejantanan pada rahang dan dagunya, namun matanya lebar dan bersinar tajam, hidungnya dan mulutnya mengandung wibawa dan membuat dia nampak anggun, rambut yang hitam dan subur itu dipotong pendek.
Tubuhnya tinggi tegap, me]ebih bentuk tubuh anak-anak yang berusia tujuh tahun, namun wajah dan tubuh yang membayangkan kegagahan itu di.perlembut oleh senyumnya yang se lalu menghias mulut dan matanya.
Tidaklah terlalu mengherankan melihat anak laki-laki yang demlkian tampan dan gagah walapun berpakaian seperti anak dusun kalau orang mengetahui latar belakang yang amat mengejutkan dari anak laki-laki itu. Ibu kandungnya adalah puteri seorang Menteri Utama Kerajaan Tang, dan ayah kandungnya bahkan pernah menjadi kaisar, walaupun hanya untuk waktu selama sembilan tahun! Ibunya bernama Yang Kui Bi, puteri mendiang .Yang Kok Tiong, menteri utama kerajaan Tang ketika dipimpin Kaisar Hsuan Tsung (Beng Ong, 712 - 755) Adapun ayah kandungnya adalah Sia Su Beng, seorang panglima dari pasukan yang dipimpin pemberontak An Lu Shan.
Seperti dapat diketahui dalam catatan sejarah, An Lu Shan memberontak dalam tahun 755 dan berhasil merebut tahta kerajaan dari tangan Kaisar Hsuan Tsung yang melarikan diri ke barat. An Lu Shan yang mengangkat diri menjadi kaisar, saling berebut kekuasa an dengan puteranya sendiri yang berna ma An Kong dan An Lu Shan dibunuh oleh puteranya sendiri. Dalam keadaan yang kacau itu, Sia Su Beng, dibantu oleh kekasihnya, yaitu Yang Kui Bi, berhasil menyingkirkan An Kong dan Sia Su Beng mengangkat diri menjadi kaisar Kerajaan Tang!
Akan tetapi , Kaisar Hsuan Tsung yang lari ke barat, menghimpun kekuatan, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yaitu puteranya yang kemudian menjadi Kaisar Su Tsung, dan pasukan gabungan dari barat itu menyerbu untuk merebut tahta kerajaan yang kini telah berada di tangan Sia Su Beng. Perang itu berjalan selama sembilan tahun dan sementara itu, Sia Su Beng yang telah menjadi kaisar menikah dengan kekasihnya, Yang Kui Bi dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sia Han Lin.
Akhirnya, ketika Sia Han Lin berusia lima tahun, pasukan Tang yang menyerbu dari barat itu berhasil merebut Tianoan, kota raja dan dalam pertempuran yang hebat, Sia Su Beng dan isterinya, Yang Kui Bi, bertempur sampai tewas. Akan tetapi sebelum mereka maju bertempur, mereka lebih dahulu menyerahkan putera mereka kepada seorang pengasuh, seorang wanita setengah baya yang setia dan yang mengasuh Sia Han Lin sejak bayi, dan minta kepada wanita itu untuk membawa lari Sia Han Lin, mengungsi keluar dari kota raja bersama rakyat.
Demikianlah, bocah berusia tujuh tahun itu adalah Sia Han Lin, putera dari suami isteri mendiang Sia Su Beng dan Yang Kui Bi, suami isteri yang berdarah bangsawan dan tewas gugur dalam perang dalam usia muda. Mereka itu adalah suami isteri yang memiliki ilmu silat tinggi dan gagah perkasa. Sayang bahwa ambisi yang berlebihan, pengejaran kekuasaan, membuat mereka tewas dalam pertempuran.
Liu Ma, yaitu janda yang menjadi pelayan pengasuh keluarga Sia Su Beng, adalah seorang janda yang telah menjadi pelayan pengasuh sejak Han Lin dilahi rkan. la amat setia dan amat sayang kepada Han Lin, karena janda ini sendiri tidak mempunyai anak. la kini berusia empatpuluh tujuh tahun. Dua tahun yang lalu, ketika ia menerima tugas yang berat, ia segera membawa Han Lin yang ketika itu berusia lima tahun, melarikan diri mengungsi ke luar kota raja. Tak seorangpun mengira bahwa anak laki-laki yang mengenakan pakaian biasa dan ditariktarik tangannya oleh Liu Ma, berbaur dengan para pengungsi itu adalah putera Sia Su Beng yang menjadi kaisar!
Liu Ma harus pandaipandai membu juk karena Han Lin selalu rewel dan ta dinya berkeras tidak mau meninggalkan ayah ibunya. Namun, dia sudah cukup besar untuk mengerti bahwa kota raja diserbu musuh dan dia terancam bahaya maut kalau tidak mau diajak melarikan diri.
"Akan tetapi, ayah dan ibu tidak pergi!" Dia membantah ketika dia ditariktarik Liu Ma keluar dari kota raja. "Ayah ibumu tidak takut karena mereka berjuang, mereka melawan musuh," kata Liu Ma yang terpaksa harus menggunakan kalimat biasa, tidak seperti biasanya ia bersikap sebagai seorang pelayan terhadap seorang pangeran! Mulai saat itu, ia harus memperla kukan Han Lin seperti anak biasa, dan mengakuinya sebagai anaknya. Itulah jalan satusatunya untuk menyelamatkan anak yang dikasihinya itu.
"Akupun tidak takut!" kata Han Lin, berusaha melepaskan pegangantangan Liu Ma pada pergelangan tangannya. "Akupun ingin membantu ayah dan ibu melawan musuh!"
"Stt.....!" Liu Ma memondong anak itu dan mendekap mulutnya, lalu berbisik dekat telinganya, "Pangeran, lupakah paduka akan pesan Sribaginda dan Permaisuri" Paduka harus patuh kepada hamba dan jangan menehtang, ini semua merupakan perintah beliau yang tidak boleh kita bantah. Ingatkah paduka?"
Mendengar ini, Han Lin menangis di atas pundak Liu Ma. Memang sejak kecil dia dekat dengan pengasuh ini dan sekarang, diingatkan perintah dan pesan terakhir ayah ibunya, diapun merasa sedih dan menangis.
"Liu Ma, kenapa ayah dan ibu me nyuruh aku pergi...." Kenapa aku harus berpisah dari mereka....?"
isaknya.
"Stttt...., pesan mereka sudah jelas, bukan" Mulai saat ini, kita harus merahasiakan bahwa paduka adalah pangeran. Paduka muiai sekarang harus mengaku sebagai anak hamba, dan maafkan, hamba tidak akan lagi bersikap dan berbicara seperti biasa.
Dan maafkan kalau mulai sekarang hamba akan menyebut paduka dengan nama paduka saja karena ingat, paduka adalah anak hamba."
Han Lin mengangguk dan diapun tidak meronta lagi ketika diturunkan dan tangannya digandeng Liu Ma.
Demikianlah, Liu Ma mengajak Sia Han Lin mengungsi ke daerah selatan, kembali ke dusun yang menjadi tempat kelahirannya Ketika masih kecil Liu Ma lahir dan tinggal di dusun Libun, termasuk wilayah Kweilin propinsi Kuangsi. Karena ketika pergi meninggalkan istana ia dibekali emas permata yang cukup banyak, maka ia dapat membeli rumah sederhana dan sawah ladang, juga ternak dan ia hidup tidak kekurangan dengan Han Lin yang semua orang menerimanya sebagai putera Liu Ma.
Liu Ma menaati pesan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi. Dengan uangnya, ia membayar seorang penduduk yang cukup berpendidikan untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada Han Lin. Ternyata anak itu cerdas sekali dan selama dua tahun kurang mempelajari sastra, ia kini sudah pandai membaca dan menulis, membuat para anak di dusun itu merasa kagum karena sebagian besar anak-anak dusun itu buta huruf.
Han Lin memang tidak pernah bertanya kepada Liu Ma tentang ayah bunda nya lagi sejak dia mendengar dari Liu Ma bahwa menurut berita yang sampai di dusun itu, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi telah tewas, gugur dalam pertempuran. Semalam suntuk Han Lin tidak tidur, merenung dan menangis, akan tetapi sejak hari itu, dia tidak pernah lagi bertanya tentang mereka kepada Liu Ma, membuat bekas pelayan yang kini menjadi ibunya merasa lega hatinya.
Akan tetapi, janda ini sama sekali tidak tahu bahwa Han Lin tidak pernah melupakan ayah ibunya, tidak pernah lupa bahwa ayah dan ibunya tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam pertempuran. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah melupakan kenyataan itu!
Seperti anak-anak lain di dusun Libun, Han Lin juga bekerja membantu ibunya yang menggunakan dua orang tenaga kerja.
Dia membantu bertani, menggembala ternak, juga mencari ikan sehingga dalam usia tujuh tahun itu, dia sudah pandai sekali menjala atau mengail ikan. Juga karena hidup dekat sungai, bersama anak-anak lain dia suka mandi di sungai sehingga dia pandai berenang dan gagah pula mendayung perahu a tau rakit.
Pada hari yang cerah itu, seorang diri Han Lin pergi berakit mencari bambu yang terbaik untuk dibuat menjadi joran pancingnya. Joran pancing yang baik adalah yang panjang, tidak berat, lentur dan tidak mudah patah, juga sekecil mungkin. Tidak mudah men cari bambu yang baik untuk itu, dan ka lau hendak mencari bambu, ke mana lagi kalau bukan ke hutan bambu di seberang sungai itu"
Han Lin berjalan perlahan, memandang ke kanan kiri mencari bambu yang dibutuhkannya. la mengenal hutan ini karena sering dia bersama temanteman atau seorang diri berkeliaran di sini, juga dia mengenal banyak macam bambu yang tumbuh di.hutan itu. Guru sastra nya adalah seorang yang ahli perbambuan, mengenal namanama dan sifat banyak bambu sehingga diapun mengenal banyak bambu yang beraneka bentuk dan tumbuh disitu.
Ada bambu yang disebut Bambu Dawai Kecapi, batangnya lurus dan ruasnya agak berjauhan, tidak. bermiang dan warna dasarnya kuning dengan garis-garis lurus berwarna kehijauan. Bambu ini yang biasa disebut pula Bambu Kuning.
Akan tetapi jenis ini ada yang dasarnya berwarna hijau muda dengan garis-garis hijau tua kehitaman.
Ada pula bambu yang disebut Bambu Berbintik, juga ada yang menamakannya Bambu Selir Siang!
Tentang nama yang yang ke dua ini ada dongengnya. Di jaman purba terdapat seorang kaisar yang meninggal dunia karena sakit keti ka dia sedang melakukan perjalanan ke selatan. Selirnya yang terkasih demikian sedihnya dan putus asa karena kematian kaisar ini dan selir itupun terjun ke dalam sungai dan kabarnya menjelma menjadi dewi sungai. Batang bambu itu menjadi berbintikbintik terkena air mata selir itu.
Karena sungai di mana selir membunuh diri itulah ada lah Sungai Siang, maka bambu itu dinamakan Bambu Selir Siang. Pada ruasnya seringkali tumbuh cabang berkelompok, dasar warnanya abuabu kuning dan bintikbintiknya yang tidak rata dan lebih tebal di dekat ruas itu berwarna coklat.
Ada pula bambu yang disebut bambu Muka Manusia karena bentuk ruasnya yang mirip muka manusia, ada juga bambu Tak Berlubang yang batangnya hanya sebesar jari. Bambu Persegi adalah bambu yang aneh, tidak bundar dan kuIit batangnya keras sekali. Ada lagi Bambu Manis yang daunnya amat lebar, menjadi kebalikan dari Bambu Cina yang daunnya kecilkecil sehingga perbandingan daun antara kedua jenis bambu ini sama dengan limapuluh berbanding satu! Ada bambu yang dapat berbunga semerbak harum, di antaranya adalah Bambu Pahit dan Bambu Hitam Berduri.
Bambu yang terakhir ini tidak terlalu hitam, akan tetapi pada bukubukunya antara ruas terdapat duriduri hitam mengeliliinginya, seolah bukubuku itu dipasangi roda bergigi. Ada pula Bambu Bermiang, ketika mudanya penuh dengan miang yang dapat membuat kulit manusia gatalgatal. Di antara semua bambu itu, Han Lin paling suka mengagumi bamboo yang dinamakan Bambu Sisik Naga!
Memang bambu ini luar biasa sekali. Batangnya bundar dan gemuk, kokoh dan berlikuli ku seperti tubuh naga, dan ruasnya juga aneh sekali, berselangseling dengan bukubuku menyerong seperti sisik ular atau sisik naga.
Han Lin menghampiri bambu yang dicarinya, yaitu Bambu Tak berlubang. Bambu jenis inilah yang peling cocok untuk dijadikan joran pancingnya. Hanya sebesar ibu jari, tidak berlubang dan lentur sekali.
Dengan menggunakan goloknya, Han Lin menebang lima batang yang dipilihnya, tidak terlalu tua agar tidak kaku dan cukup lentur, dan tidak terlalu muda agar tidak getas. Dia membersihkan cabang dan daun lima batang bambu itu, kemudian membawa lima batangnya keluar dari dalam hutan bambu.
Seperti biasa kalau bermain di tempat itu, dia duduk di luar hutan, di tepi sungai di mana rakitnya ditambatkan, dan dia menikmati pemandangan yang amat disenanginya. Memang luar bi asa sekali suasana di tempat yang sunyi itu. Seluruh panca indera kita seperti dibelai dan dimanjakan kalau ki ta berada situ. Hidung mencium keharuman yang khas dari tanah, daun dan bunga. Telinga menikmati gemersik daun daun bambu dihembus angin semilir, bagaikan musik dan nyanyian sorga, dan mata yang. paling banyak mendapat limpahan keindahan.
Tidak mengherankan kalau para penyair memujimuji "keindahan daundaun bambu yang selalu menarinari, dengan pucuk batangnya yang meli ukliuk, juga para pelukis tak pernah bosan melukis daundaun bambu yang nampak kacau namun indah serasi itu. Kacau namun serasi, itulah keadaan daundaun bambu. Andaikata diatur tangan manusia dan tidak kacau mencuat ke sana sini, bahkan menjadi tidak serasi dan tidak indah.
Seperti biasa, kalau berada seorang diri di situ, mendengar dendang merdu gemercik air di tepi sungai dan gemersik daundaun bambu, disentuh kelembutan semilir angin, Han Lin tenggelam dalam lamunan. Seperti terbayang semua peristiwa yang .telah lalu, mengingatkan dia bahwa dia pernah hidup sebagai seorang pangeran!
Hidup di dalam istana yang megah di mana setiap orang menghormati dan memuliakannya, dibelai kasih sayang ayah ibunya. Dan sekarang" Semua itu telah musna. Dia menjadi seorang anak yatim piatu yang terpaksa mengakui Liu Ma sebagai ibunya. Dla telah mendengar bahwa ayah ibunya gugur di dalam pertempuran. Dia telah kehilangan segalagalanya.
Akan tetapi tidak! Dia membantah renungannya sendiri. Dia tidak kehilangan segalanya. Dia masih memiliki dirinya! Kalimat ini seperti telah men jadi dasar untuk menghidupkan gairah dan semangatnya. Ibunya menyertakan seheLai surat untuknya dan surat itu selalu disimpan baikbaik oleh Liu Ma.
Setelah dia pandai membaca, beberapa bulan yang lalu surat itu diberikan Liu Ma kepadanya. Dan kalimat pertama dalam surat ibunya kepada berbunyi: "Jangan putus asa, Han Lin puteraku. Engkau masih memiliki dirimu!"
Kalimat itulah yang selama ini menjadi pegangannya dan selalu berdengung di telinganya setiap kali dia termenung dan kedukaan mulai menyelinap di hatinya. Kemudian, di dalam surat itu ibunya memesan kepadanya agar kelak dia mencari anggauta keluarga ibunya, yaitu kakak ibunya yang bernama Yang Cin Han, dan enci ibunya bernama Yang Kui Lan. Ibunya tidak tahu mereka berada di mana, dan dia sendiri belum pernah bertemu mereka. Akan tetapi kedua nama itu telah terukir dalam hatlnya dan dia berjanji kepada diri sendi ri bahwa sekali waktu, dia pasti akan pergi mencari mereka, paman dan bibinya itu.
Sampai lama Han Lin melamun di situ, tidak .tahu bahwa sebuah perahu meluncur ke tepi sungai, dekat rakitnya dan dua orang yang tadi duduk di dalam perahu, melompat ke darat, kemudian sekali tarik, perahu itu telah terseret ke daratan pula.
Agaknya dua orang itu kini mulai bercekcok dan barulah Han Lin sadar dari lamunannya ke tika mendengar mereka berdua bicara degan suara nyaring karena marah. Dia cepat menoleh dan dia terbelalak memandang kepada dua orang yang sedang ribut mulut itu. Yang seorang bertubuh pendek gendut, mukanya hitam arang, matanya besar lebar dan mulutnya selalu tersenyum mengarah tawa. Bajunya terbuka di bagian dada, memperl ihatkan dadanya yang penuh gajih.
Adapun orang ke dua tidak kalah anehnya, bahkan agaknya merupakan kebalikan dari orang pertama karena orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat seperti kapur, matanya sipit hampir terpejam dan mulutnya selalu mewek seperti orang menangis. Usia kedua orang aneh ini sekitar limapuluh tahun dan kini mereka bertengkar, didengarkan oleh Han Lin yang merasa terheranheran.
"Hek Bin (Muka hitam), jangan sombong kau! Mentangmentang sudah belasan tahun bertapa di kutub utara, kaukira kini ilmu kepandaianmu tidak ada yang dapat menandingi" Apa kaukira selama belasan tahun ini aku tinggal menganggur saja" Hemm, kautahu, akupun memperdalam ilmuku dan aku yakin engkau tidak akan mampu menandingiku!" kata si muka putih.
Si gendut bermuka hitam itu tertawa bergelak, mengangkat muka ke atas dan ketika tertawa. perut gendutnya bergerakgerak seperti bergelombang. Hahahaha, Pek Bin (Muka Putih), engkau yang tekebur! Engkau selama belasan tahun bertapa di kutub Selatan" Hehehheh, kita dahulu memang setingkat, akan tetapi sekarang, jangan harap engkau akan mampu menandingiku. Lebih baik engkau mengangkat aku menjadi guru dan saudara tua agar aku dapat membimbingmu, hahaha!"
"Wah, gendut muka hitam sombong. kita uji, tidak perlu banyak bica Kita buktikan siapa di antara kita yang lebih kuat dan lebih pantas menja saudara tua! kata si tinggi kurus muka putih.
"Baik, majulah! Mereka berdua lalu berkelahi! Han Lin masih terlalu kecil dan asing dengan ilmu silat untuk dapat menqetahui bahwa dua orang itu bukan hanya berkelahi biasa saja, melainkan bertanding dengan menggunakan ilmuilmu yang dahsyat sekali!
Gerakan kaki tangan mereka mendatangkan angin bersiutan, debu mengepul dan nampak batu batu beterbangan terlanda angin tendangan kaki mereka, dan rumpun bambu terdekat seperti dilanda angin besar! Mereka itu kadang bergerak sedemikian cepatnya sehingga tidak nampak bentuk tubuh mereka, hanya nampak dua bayangan saja yang seperti bergu]at menjadi satu, dan kadang nampak gerakan mereka per lahanlahan seperti orang bermain-main.
Namun, sesungguhnya ketika bertanding dengan gerakan perlahan itu mereka amat berbahaya karena keduanya mengandalkan sinkang yang amat kuat.
Han Lin merasa khawatir sekali melihat dua orang itu bertanding seperti itu. Kenapa orangorang tua itu demi kian pandir, tanpa hujan tanpa angin hanya untuk pamer kepandaian dan tidak mau kalah, saling hantam seperti itu" Dia khawatir kalaukalau seorang di antara mereka akan terluka atau tewas, maka dia lalu bangkit dan lain menghampiri, untuk melerai.
Pada saat itu, dua orang aneh yang merasa penasaran karena belum dapat mendesak lawan, dalam benturan kedua tangan, keduanya meloncat ke belakang dan kini keduanya mengerahkan seluruh tenaga melalui kedua tangan yang didorongkan ke depan, saling serang dengan pukulan jarak jauh.
"Tahan....! Harap kedua paman berhenti berkelahi!" Han Lin berlari di antara kedua orang itu. Dia tidak tahu bahwa dia berada di antara dua pukulan jarak jauh yang saling menghantam! Kedua orang itupun terkejut, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli dengan munculnya seorang anak laki-laki di antara mereka dan mereka melanjutkan dorongan mereka.
Han Lin yang sedang berlari itu tibatiba tertahan larinya dan dia terbelalak. Dia berdiri presis di antara kedua orang itu, menghadap ke arah si pendek gendut muka hitam. Dia merasa Han Lin dihimpit dua tenaga
dahsyat, bukan saja tenaga
sinkang kedua orang itu kuat
bukan main, akan tetapi juga
keduanya mengandung hawa
betapa dadanya diterpa hawa dingin seperti es yang membuat tubuhnya seperti kaku membeku, akan tetapi pada saat yang bersamaan, punggungnya dihantam hawa yang amat panas seperti api.
Han Lin dihimpit dua tenaga dahsyat, bukan saja tenaga sinkang kedua orang itu kuat bukan main, akan tetapi juga keduanya mengandung hawa beracun yang mematikan! Hawa racun dingin dari si muka hitam itu dapat membuat darah menja di beku, sedangkan hawa racun panas dari si muka putih dapat membuat seluruh isi tubuh menjadi hangus terbakar!
Seorang ahli silat yang tangguh sekalipun tidak akan kuat menerima hantaman dari kedua pihak dengan tenaga sinkang beracun seperti itu, apa lgi tubuh Han Lin, anak berusia tujuh tahun yang belum pernah belajar ilmu silat sama sekali.
Tubuhnya berkelojotan dan matanya melotot, kaki tangannya terpetang seperti disambar halilintar , rambutnya berdiri semua, jarijari tangannya terpentang.
Agaknya kedua orang aneh itu tidak memperdulikannya, bahkan merasa jengkel dan menganggap anak itu menjadi pengganggu saja, maka sekali keduanya menggerakkan lengan, tubuh Han Lin terlempar ke dalam hutan bambu dan jatuh ke dalam rumpun bambu. Dua orang aneh itu tidak memperdulikan lagi kepadanya karena mereka berdua merasa yakin bahwa anak itu tentu sudah mati.
Biar seorang ahli silat tangguh sekali pun, sukar untuk dapat bertahan hidup terkena pukulan seorang saja dari mereka, apa lagi anak kecil i tu menerima pukulan dari mereka berdua! Mereka melanjutkan adu tenaga dan ternyata keduanya seimbang sampai akhirnya mereka berdua samasama lemas dan mengakhiri adu tenaga itu dan cepat duduk bersila untuk menghimpun tenaga. Kemudian mereka bangkit lagi .
"Hekbin yang gendut, engkau ternyata hebat!" kata si muka putih. "Engkaupun hebat, Pekbin. Ternyata kita masih juga seimbang sekarang, maka biarlah kita menjadi seperti dahulu, tidak ada yang lebih tua tidak ada yang lebih muda, tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah." Si gendut tertawa bergelak.
"Bagus, kalau begitu, mari kita bersama mencari rejeki!" kata si muka putih. Mereka berdua lalu berkelebat dan tahutahu mereka sudah berada di atas perahu lagi yang diluncurkan cepat ke tengah sungai. Mereka sudah lupa lagi kepada anak yang menjadi korban adu tenaga mereka tadi. Dua orang itu memang bukan orang sembarangan. Belasan"
tahun yang lalu mereka sudah terkenal sebagai Hek Pek Moong (Raja Hitam dan Putih) sepasang datuk yang berilmu tinggi akan tetapi sesat.
Akhirnya, para pendekar bangkit dan mereka itu terusir dari dunia kangouw. Keduanya lalu merantau, seorang ke selatan seorang ke utara dan selama belasan tahun mereka bersembunyi sambil memperda lam ilmu mereka. Kini mereka telah turun kembali ke dunia ramai sebagai dua orang tokoh yang' ilmu kepandaiannya he bat sekali. Yang gendut muka hi tam ber juluk Hekbin Moong (Raja Iblis Muka Hitam), sedangkan yang kurus kering mu ka putih berjuluk Pekbin Moong (Raja Iblis Muka Putih). Dunia persilatan pasti akan menjadi gempar dengan turunnya dua orang datuk sesat ini dari tempat persembunyian mereka.
Tubuh Han Lin bergerakgerak, berkelojotan dalam sekarat_. Anak berusia tujuh tahun itu telah diserang pukulan ampuh dari depan dan belakang, dengan hawa beracun dingin dari depan dan hawa beracun panas dari beiakang. Kalau saja dia terkena satu saja dari dua pukulan itu, tentu dia telah tewas seketika.
Kalau terkena pukulan dingin saja, tentu semua darah di tubuhnya sudan membeku, atau kalau terkena pukulan panas saja, tubuhnya sudah hangus. Akan tetapi justeru karena pukulan itu datang dari depan dan belakang, tubuhnya seperti terhimpit dua pukulan yang saling menolak. Hal ini membuat dia tidak sampai tewas seketika. Namun, hawa beracun panas dan dingin itu telah menyusup ke dalam tubuhnya, membuat tubuh itu berkelojotan dalam sekarat, mati tidak hiduppun enggan.
Sejak lahir sampai mati, kita tidak dapat mengatur atau menguasai kehidupan kita sendiri. Kita dilahirkan begitu saja di luar kehendak kita, kemudian selama hidup kitapun tidak tahu apa akan terjadi dengan hidup
kita, kemudian kematian datang tanpa dapat kita tolak atau minta.
Mati atau hidup sepenuhnya berada di tangan Tuhan, dalam kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki kita mati, tidak ada tempat persembunyian bagi kita untuk menghindarkan diri. Biar kita bersembunyi ke lubang semut, maut tetap akan datang men jemput.
Sebaliknya, apa bila Tuhan belum menghendaki kita mati, biarpun dihujani seribu batang anak panah, kita akan terhindar dari pada maut.
Betapa banyaknya manusia, yang diakuinya maupun tidak, merasa takut akan kematian. Pada lahirnya boleh membual dan berlagak tidak takut mati, namun jauh di sebelah dalam, lubuk hatinya, dia merasa ngeri dan takut! Mengapa takut akan sesuatu sudah pasti terjadi, akan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi, sesuatu yang akan menimpa setiap orang di dunia ini, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, pandai atau bodoh"
Kenapa takut menghadap sesuatu yang tidak dapat kita ketahui keadaannya, sesuatu yang tidak kita kenal" Sesungguhnya, kita tidak mungkin takut kepada suatu keadaan yang tidak kita ketahui. Yang kita takuti adalah suatu keadaan yang kita ketahui melalui kepercayaan, dongeng dan penuturan tentang keadaan sesudah mati. Yang kita takuti adalah kenyataan bahwa kalau kita mati, kita meninggalkan semua yang kita sukai dan cintai.
Meninggalkan harta benda, meninggalkan keluarga meninggalkan segala macam kesenangan hidup di dunia ini.
Berbahagialah orang yang menyerah kepada Tuhan secara menyeluruh, lahir batin, pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Baginya, kematian bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan di dunia ini. Dan, baik hidup di dunia ataupun kelanjutannya yang dinamakan mati, selama kita menyerah kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai dan memiliki seluruh alam beserta isinya, berarti yang memiliki dan menguasai diri kita, maka tidak ada rasa takut terhadap kehidupan maupun kematian .
Menyerah kepada Tuhan sama sekali bukan berarti acuh, pasip, ataupun mandeg. Sama sekali bukan! Itu bukan pasrah namanya kalau kita hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa mau berusaha sesuatu! Tuhan telah melahirkan kita dengan alat yang paling sempuma dan lengkap, tangan kaki, hati akal pikiran, semua itu tentu untuk dimanfaatkan, dikerjakan sekuat kemampuan masingmasing, demi kesejahteraan hidup di dunia ini, demi kelangsungan hidup dan penjagaan diri.
Bekerja! Itu lah hidup, karena hidup berarti gerak, dan gerakan kita berarti bekerja. Namun semua pekerjaan, usaha dan ikhtiar kita itu dilandasi kepasrahan mutlak kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan, apa yang akan kita alami dalam kehidupan ini maupun dalam kelanjutannya setelah kita meninggalkan dunia. Kalau sudah begitu, apa lagi yang perlu ditakuti" Adakah yang lebih membahagiakan bagi setetes air dari pada kembali ke samudera tempat dia berasal"
Demikianlah pula dengan Han Lin yang tubuhnya nyangkut di antara rebung bambu di rumpun itu.
Tubuhnya ber kelojotan, kaki tangannya bergerak-gerak. Tanpa disadarinya, kaki kanannya menendang seekor ular yang sedang melingkar di rumpun bambu itu. Ular itu adalah seekor ular senduk kepala putih yang amat berbisa. Karena tertendang kaki yang berkelojotan, ular itu menjadi marah dan lehernya mekar, mulutnya mendesis, lalu leher itu terangkat tinggi, matanya mencorong mengikuti gerakan kaki yang masih menendangnendang. Mungkin dia mengira bahwa kaki itu sengaja hendak menyerangnya, maka tibatiba saja kepalanya bergerak . dan pada detik lain, moncongnya telah meng gigit betis Han Lin yang kiri.
"Capp!" Gigigigi kecil runcing terhunjam di dalam daging betis itu dan liur beracun memasuki jalan darah di betis Han Lin. Akan tetapi ular itu menggeliatgeliat, tidak dapat melepas kan lagi moncongnya dan hanya sebentar dia mengeliat lalu tak bergerak, mati dengan gigi masih menancap ke dalam betis Han Lin. Kini terjadi perubahan pada tubuh Han Lin. Kaki tangannya tidak berkelojotan lagi, melainkan terdiam dan diapun rebah di antara rebung bambu, menggeletak miring dan sama sekali tidak bergerakgerak Iagi.
Matikah dia seperti ular senduk itu"
"Omitohud !" Suara pujian ini keluar dari mulut seorang hwesio yang berdiri di dekat rumpun bambu, memandang kearah tubuh Han Lin yang tidak bergerak. Hwesio ini berusia lanjut, sedikitnya tentu sudah tujuhpuluh tahun, tubuhnya gendut seperti patung Jilaihud, namun wajahnya yang gemuk itu seperti wajah seorang anak kecil, segar kemerahan dan sinar matanya begitu terang. Jubahnya kuning sederhana, sepatunya dari kulit kayu dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu ular kuning, semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, seperti' Bambu Sisik Naga yang terdapat di hutan itu akan tetapi lebih kecil.
Hwesio itu kini berjongkok, memeriksa keadaan Han Lin, menyentuh nadinya dan melihat ular senduk yang masih menggigit betis anak itu. lalu diatertegun, menggelenqgeleng kepalanya dan menarik napas panjang, merangkap kedua tangan depan dada, lalu berseru penuh ketakjuban. "Omitohud, suatu mujijat telah terjadi pada diri anak ini "
Dengan teliti dia membuka baju Han Lin, memeriksa dada, leher, dan kembali 'memeriksa denyut nadinya . dan memeriksa bekas gigitan ular pada betis setelah dia melepaskan gigitan ular itu dan memeriksa pula tubuh ular yang wamanya berubah kehitaman.
"Omitohud !" berulangulang dia berseru, menganggukanggukkan kepalanya yang gundul, lalu tersenyum lebar, "Bukan main, belum pemah aku melihat hal yang begini kebetulan! Mujijat-mujijat....! Dalam tubuh anak ini terdapat hawa beracun, dingin dan hawa beracun panas, akan tetapi ke dua hawa beracun itu kehilangan kekuatannya oleh racun ular senduk kepala putih! Justeru perpaduan antara racun dingin dan racun panas itu, ketika bertemu racun ular, menjadi jinak dan tidak merenggut nyawa anak ini. Sungguh, nya wa anak ini tadi hanya bergantung kepada sehelai rambut yang halus sekali. Bukan main!"
Akan tetapi, hwesio tua itu lalu memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan.. "Orang yang dapat memukul dengan hawa beracun dingin atau panas seperti itu, sungguh merupakan orang yang amat berbahaya dan lihai." katanya kepada diri sendiri. Hatinya lega setelah melihat bahwa di situ tidak terdapat orang lain dan kembali perhatiannya tertuju kepada Han' Lin. Anak itu mengeluarkan suara keluhan lirih dan tubuhnya mulai bergerak. Ketika dia membuka mata, yang per tama kali dilihatnya adalah dua buah rebung Bambu Persegi. Rebung ini enak sekali kalau dibuat sayur, rasanya gurih dan seringkali dia mengambil rebung Bambu Persegi ini untuk dimasak ibunya. Han Lin sekarang sudah hampir lupa bahwa Liu Ma bukan ibunya, saking terbiasa menyebut ibu kepada wanita yang amat mengasihinya itu.
"Sukurlah engkau tidak apa-apa,nak." Han Lin terkejut mendengar suara itu dan ketika dia menoieh melihat seorang hwesio tua bersila di dekat situ, dia cepat merangkak bangun, akan tetapi dia mengeluh dan memejamkan matanya karena tibatiba dia merasa pening dan ingin muntah. Dia merasa sebuah tangan yang lebar dan hangat menempel di punggungnya dan suara lembut tadi berkata lagi, "Anak baik, duduklah bersila dan pejamkan matamu, tenangkan hatimu. Engkau telah terlepas dari bahaya maut. Biarkan hawa hangat dari tangan pinceng memasuki tubuhmu dan membantumu membersihkan sisa hawa beracun yang menyerangmu."
Han Lin tidak mengerti apa arti semua katakata itu, akan tetapi dia teringat akan peristiwa yang dialaminya tadi dan dia dapat menduga bahwa hwesio tua ini tentu bermaksud menolongnya, maka diapun menaati. Dia menahan kepeningan kepalanya, lalu bersila dan dia membiarkan hawa hangat yang te rasa memasuki punggungnya itu menjalar masuk ke seluruh tubuhnya. Tak lama ke mudian, pening kepalanya hilang, juga rasa mual hendak muntah. Dia tidak melihat betapa dari kepalanya mengepul uap tipis hi tam !.
"Omitohud.... sungguh ajaib, ini namanya bahaya maut berubah menjadi berkah yang amat besar! Bukan saja engkau terbebas dari maut akan tetapi kini tubuhmu akan kebal terhadap serangan racun. Bukan main!"
Han Lin belum mengerti benar kecuali hanya bahwa hwesio tua itu telah menyelamatkannya, maka diapun berlutut di depan hwesio itu.
"Losuhu, terima kasih atas perto longan losuhu kepada saya," katanya.
"Omitohud....!" Hwesio tua itu kembali memandang heran. Anak ini memang berpakaian seperti anak dusun, akan tetapi wajahnya jelas bukan anak biasa, dan begitu mengerti tata susila, juga ucapannya teratur seperti seorang anak yang terpelajar. "Anak baik, apakah yang telah terjadi denganmu tadi" Pinceng menemukan engkau tergigit seekor ular dan tubuhmu penuh dengan hawa beracun."
"Ular" Saya saya tidak tahu, losuhu," kata Han Lin dan melihat bangkai ular tak jauh dari kakinya, bangkai ular yang kering seperti terbakar kehitaman, diapun memandang heran. "Tadi saya melihat dua orang kakek berkelahi, saya bermaksud untuk melerai dan mencegah mereka berkelahi. Tibatiba saja saya merasa dada saya amat dingin dan punggung saya amat panas dan tubuh saya terlempar ke sini, lalu saya tidak ingat apaapa lagi."
"Omitohud..., engkau tentu bertemu dengan dua orang sakti yang sedang mengadu tenaga sinkang! Mereka itu lihai bukan main. Seperti apakah mereka itu?"
"Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan muka hitam, orang ke dua tinggi kurus bermuka putih seperti kapur. Yang muka hitam arang itu disebut oleh kawannya Hekbin oleh kawannya dan yang muka putih kapur disebut Pekbin."
"Hemmm, berapa usia mereka?" "Kirakira limapuluh tahun, losuhu ."
"Hemm.... mungkinkah mereka...?"
Setelah belasan tahun menghilang, mungkinkah mereka kini muncul kembali?" "Siapakah mereka, losuhu?" "Kelak engkau akan mengetahui, sekarang yang penting, siapakah engkau, di mana rumahmu dan siapa pula orang tuamu?" .
"Losuhu, nama saya Sia Han Lin, rumah saya di seberang sungai, dusun Libun, dan orang tua saya, hanya ibu saya yang berada di rumah. Saya tidak mempunyai ayah lagi."
"Omitohud, engkau yang sekecil ini telah kehilangan ayah. Han Lin, pinceng melihat engkau bukan seperti anak dusun biasa. Ingin pinceng berkenalan dan bicara dengan ibumu. Bolehkah pinceng mengantarmu pulang agar pinceng dapat bicara dengan ibumu?"
"Tentu saja boleh, losuhu!" ka'ca Han Lin gembira. "Ibu tentu akan merasa gembira dan berterima kasih sekali karena losuhu telah menolong saya."
"Omitohud. bukan pinceng yang menolongmu, Han Lin. Engkau tertolong oleh suatu kebetulan, suatu keadaan yang amat aneh. Pada saat bersamaan, engkau terkena pukulanpukulan yang me matikan, agaknya ketika engkau melerai dua orang yang sedang betanding tadi.
Karena dua macam pukulan mengandung daya yang saling bertentangan, maka engkau tidak jadi tewas, padahal setiap pukulan itu sudah cukup untuk menewaskan seorang dewasa yang tangguh sekali pun. Namun, karena dua hawa pukulan beracun itu saling meluruhkan. Biarpun begitu, tubuhmu dipenuhi dua macam hawa beracun dan pada saat itu, sungguh menakjubkan sekali, muncul ular senduk kepala putih menggigit betismu.
Pada hal, gigitan ular itu akan mematikan seorang yang tangguh sekalipun! Dan racun gigitan ular itulah yang membebaskanmu dari kematian karena pengaruh dua
Liu Ma menyambut pulangnya Han Lin dengan terheranheran karena anak itu bergandeng tangan dengan seorang hwesio tua yang, bertubuh gendut dan berwajah seperti anak kecil hawa beracun itu. Engkau selamat, bukan oleh pinceng, bukan pula oleh ular, melainkan oleh Pemberi Kehidupan yang agaknya belum menghendaki engkau mati. Nah, mari antar aku berkunjung ke rumah ibumu, Han Lin."
Mereka lalu menggunakan rakit me nyeberangi sungai. Hwesio tua itu agak nya sengaja membiarkan Han Lin yang mendayung rakit menyeberangi sungai dan diamdiam dia memandang dengan wajah ramah dan hati kagum karena anak itu sedikitpun tidak lagi nampak menderita, dan biarpun rakit yang ditumpangi dua orang itu cukup berat, namun Han Lin mendayung dengan penuh semangat. Anak ini jelas memiliki semangat yang amat tinggi, pantang menyerah, tabah dan juga sama sekali tidak cengeng!
Liu Ma menyambut pulangnya H an Lin dengan terheranheran karena anak itu bergandeng tangan dengan seorang hwesio tua yang bertubuh gendut dan berwajah seperti anak kecil, kulitnya putih kemerahan dan segar.
"Han Lin, apa yang terjadi dan siapakah losuhu ini?" tanya janda itu dengan pandang mata khawatir. Apapun yang terjadi kepada anak itu, selalu mendatangkan perasaan khawatir di hati nya. la selalu gelisah nemikirkan nasib anak itu, takut kalaukalau ada yang tahu bahwa Han Li" adalah putera Sia Su Beng yang pernah menjadi kaisar !
'Omitohud, harap nyonya tidak khawatir. Putera nyonya baikbaik saja dan karena pinceng tertarik sekali melihat pribadinya, maka pinceng ingin sekali bertemu dengan nyonya yang demi kian pandainya mendidik puteranya. Sungguh pinceng merasa kagum dan hormat kepada nyonya karena nyonya telah mendidik seorang putera dengan demikian baiknya."
Liu Ha t ersenyum juga wajahnya berubah kemerahan karena tentu saja ia merasa bangga menerima pujian dari seorang hwesio tua. Siapa tahu, arwah ayah ibu kandung Han Lin akan dapat mendengarkan suara seorang pendetatua ini bahwa ia telah benarbenar setia dan patuh me laksanakan tugas yang dibebankan kepadanya, yaitu merawat dan mendidik Han Lin dengan penuh kasih sayang dan kesungguhan hati.
"Ibu," kata Han Lin dengan hati tegang karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa aneh tadi, "Tadi aku bertemu dua orang manusia aneh dan aku hampir mati karena pertemuan itu. Juga kakiku digigit ular senduk kepala putih yang sangat beracun. akan tetapi aku tidak mati. Losuhu ini yang telah menyelamatkan nyawaku
Wajah wanita itu seketika m enjadi pucat, matanya terbelalak dan dengan menahan jeritnya, ia merangkul Han Lin. "Han Lin apa yang terjadi, nak" Bagaimana perasaanmu sekaranq"
Apanya yang terasa sakit?" Dengan penuh kasih sayang wanita itu memeriksa tubuh anaknya dan tampak gugup ketika melihat bekas gigitan ular pada betis anak itu.
"Kau.... kau harus cepat kuperiksakan pada tabib"
"Omitohud..., harap nyonya tidak
khawatir. Ha n Lin telah terhindar
dari bahaya maut, bukan karena
pinceng, melainkan karena memang
dia belum waktunya meninggalkan
dunia ini."
"Benar, ibu. Aku tidak apaapa, ibu
jangan khawatir." "Ah, kalau begitu,
kami berhutang budi kepada lo suhu," dan wanita itu cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan hwesio tua itu.
Hwesio itu tergopoh menyuruhnya
bangkit dan diamdiam dia semakin
heran. Wanita inipun bukan seperti
wanita dusun, melainkan seorang
yang lemah lembut dan mengerti tata susila seperti orangorang
berpendidikan. Dia tidak tahu bahwa tentu saja Liu Ma mengerti tatasusila
karena ia pemah menjadi seorang
hamba di dalam istana, melayani
keluarga kaisar!
Setelah disuruh bangun , Liu Ma
bangkit berdiri lalu dengan sikap
hormat sekali ia mempersil akan
hwesio itu untuk duduk di ruangan
dalam. la segera sibuk menyuruh
pembantunya untuk mempersiapkan
makanan yang tidak mengandung
daging, juga membuatkan minuman
dari sari buah untuk menjamu hwesio itu makan minum. Hwesio tua itu
memperkenalkan diri sebagai Kong Hwi Hosiang kepada Liu Ma dan dia tidak menolak jamuan makan yang
diadakan oleh Liu Ma untuk
menghormatInya.
Dan hidangan makan minum itu
menambah rasa kagumnya kepada
wanita itu karena temyata nyonya
rumah itu menjaga benar agar tidak
ada daging dalam semua hidangan. Seorang wanita yang pandai
membawa diri dan cermat. Pantas
saja memiliki seorang putera seperti Han Lin. Dan diapun semakin tertarik kepada Han Lin dan semakin kuat
keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi muridnya.
Kong Hwi Hosiang adala h seorang
hwesio berilmu tinggi yang sejak
muda mempunyai kesukaan
merantau, tidak menetap di dalam
sebuah kuil. Dia merantau sambil
mengajarkan agama Buddha, di
samping itu, karena dia seorang ahli
silat yang tangguh, diapun bertindak sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Namanya dikenal di dunia persilatan,
dan selama puluhan tahun merantau
dia memperdalam ilmuilmunya
sehingga menjadi seorang yang sakti.
Karena dia suka merantau, maka
selama hidupnya, dia hanya
mempunyai dua orang saja murid
wanita dan muridmuridnya itu bukan lain adalah ibu kandunq Han Lin
sendiri yang bemama Yang Kui Bi
dan encinya, yaitu Yang Kui Lan!
khawatir. Ha n Lin telah terhindar
dari bahaya maut, bukan karena
pinceng, melainkan karena memang
dia belum waktunya meninggalkan
dunia ini."
"Benar, ibu. Aku tidak apaapa, ibu
jangan khawatir." "Ah, kalau begitu,
kami berhutang budi kepada lo suhu," dan wanita itu cepat menjatuhkan
diri berlutut di depan hwesio tua itu.
Hwesio itu tergopoh menyuruhnya
bangkit dan diamdiam dia semakin
heran. Wanita inipun bukan seperti
wanita dusun, melainkan seorang
yang lemah lembut dan mengerti tata susila seperti orangorang
berpendidikan. Dia tidak tahu bahwa tentu saja Liu Ma mengerti tatasusila
karena ia pemah menjadi seorang
hamba di dalam istana, melayani
keluarga kaisar!
Setelah disuruh bangun , Liu Ma
bangkit berdiri lalu dengan sikap
hormat sekali ia mempersil akan
hwesio itu untuk duduk di ruangan
dalam. la segera sibuk menyuruh
pembantunya untuk mempersiapkan
makanan yang tidak mengandung
daging, juga membuatkan minuman
dari sari buah untuk menjamu hwesio itu makan minum. Hwesio tua itu
memperkenalkan diri sebagai Kong Hwi Hosiang kepada Liu Ma dan dia tidak menolak jamuan makan yang
diadakan oleh Liu Ma untuk
menghormatInya.
Dan hidangan makan minum itu
menambah rasa kagumnya kepada
wanita itu karena temyata nyonya
rumah itu menjaga benar agar tidak
ada daging dalam semua hidangan. Seorang wanita yang pandai
membawa diri dan cermat. Pantas
saja memiliki seorang putera seperti Han Lin. Dan diapun semakin tertarik kepada Han Lin dan semakin kuat
keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi muridnya.
Kong Hwi Hosiang adala h seorang
hwesio berilmu tinggi yang sejak
muda mempunyai kesukaan
merantau, tidak menetap di dalam
sebuah kuil. Dia merantau sambil
mengajarkan agama Buddha, di
samping itu, karena dia seorang ahli
silat yang tangguh, diapun bertindak sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Namanya dikenal di dunia persilatan,
dan selama puluhan tahun merantau
dia memperdalam ilmuilmunya
sehingga menjadi seorang yang sakti.
Karena dia suka merantau, maka
selama hidupnya, dia hanya
mempunyai dua orang saja murid
wanita dan muridmuridnya itu bukan lain adalah ibu kandunq Han Lin
sendiri yang bemama Yang Kui Bi
dan encinya, yaitu Yang Kui Lan!
Memang sungguh aneh sekali jalan
hidup Han Lin. Bukan saja dia secara
aneh dan kebetulan terhindar dari
maut terpukul dua orang datuk sesat lalu digigit ular beracun, bahkan dia
lalu mendapatkan kekebalan dalam
tubuhnya terhadap racun. juga secara aneh dan tidak disengaja, guru
mendiang ibunya sendiri yang lewat
di tempat itu dan menolongnya! Kong
Hosiang sendiri tidak pemah
menduga bahwa anak yang
dikaguminya dan membuat dia ingin
sekali mengambilnya sebagai murid
itu bukan lain adalah putera seorang
di antara kedua orang muridnya!
Semenjak enci adik itu selesai belajar
dan berpisah darinya, Kong Hwi
Hosiang sudah tidak pernah
berhubungan lagi dengan mereka,
juga tidak tahu bagaimana keadaan
kedua orang muridnya itu. Hwesio
tua ini sudah mencapai suatu tingkat
kehidupan di mana dia tidak terikat
lagi dengan apapun.
Setelah makan, dilayani sendiri oleh
Liu Ma dan ditemani pula oleh Han
Lin, Kong Hwi Hosiang minta kepada nyonya rumah untuk dapat bicara
empat mata dengannya. Liu Ma
memandang heran, akan tetapi ia
segera menyuruh Han Lin untuk
meninggalkan ruangan tamu agar ia
dan tamunya dapat bicara berdua
saja. Dengan patuh Han Lin
mengundurkan diri .
Setelah duduk berdua saja,
berhadapan dengan nyonya rumah,
Kong Hwi Ho hwesio berkata dengan suaranya yang lembut, "Sebelumnya
pinceng mengharapkan maaf apa bila apa yang hendak pinceng utarakan ini tidak berkenan di hati nyonya. Secara tidak disengaja, nasib telah
mempertemukan pinceng dengan
putera nyonya, dan begitu
melihatnya, pinceng merasa tertarik
sekali. Putera nyonya itu mempunyai
darah dan tulang yang baik, berbakat sekali untuk mempe lajari ilmuilmu
yang tinggi, juga kiranya akan baik
kalau dia memperdalam ilmu sastera dan keagamaan untuk bekal
hidupnya kelak. Pinceng tertarik
sekali dan kalau nyonya merelakan
dan tidak berkeberatan, pinceng akan merasa bersukur sekali untuk
mengambilnya sebagai murid
pinceng."
Mendengar ucapan ini , wajah Liu Ma
berseri sehingga legalah hati hwesio itu. "Saya akan berterima kasih dan
merasa girang sekali kalau losuhu
suka mendidik Han Lin sebagai murid suhu. Akan tetapi, di manakah suhu
tinggal, di kelenteng mana, dan
jauhkah dari sini ?"
Kong Hwi Hwesio menggeleng kepala dan tersenyum lebar sehingga
nampak mulutnya yang ompong
tanpa gigi lagi sehingga wajahnya
makin mirip wajah bayi yang belum
bergigi! "Omitohud pinceng tidak
pernah mempunyai kelenteng, tidak
pernah tinggal di suatu tempat yang
tetap. Pinceng adalah seorang hwesio
pengembara, nyonya."
Wanita itu mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, baga imana suhu hendak mengambil anak saya sebagai murid
kalau losuhu tidak mempunyai
tempat tinggal"
Apakah ..... apakah suhu hendak
membawa anak saya pergi
mengembara pula, tidak tentu tempat tinggalnya?" Ketika hwesio tua itu
mengangguk, Liu Ma se gera
menyatakan keberatannya. "Harap
losuhu sudi mengampuni saya. Saya
akan berterima kasih sekali kalau
anak saya dapat menjadi murid lo
suhu, akan tetapi sebaliknya, saya
tidak akan dapat hidup dijauhkan
darinya. Hendaknya losuhu ketahui
bahwa hidup saya hanyalah untuk
Han Lin seorang, bagaimana
mungkin sekarang dia akan losuhu
bawa pergi mengembara" Saya hanya
mempunyai dia seorang, losuhu."
"Omitohud...., pinceng juga tidak ingin membuat nyonya yang baik hati
berduka. Akan tetapi, pinceng adalah
seorang hwesio yang miskin dan tidak mempunyai harta secuilpun, tentu
tidak dapat mengadakan tempat
tinggal....."
"Ah, saya teringat, losuhu! Bagaimana ka lau diatur sehingga kebutuhan kita berdua terpenuhi dan kita sama sama merasa enak dan senang" Maksud
saya, losuhu tetap dapat menjadi guru anak saya, sedangkan saya dapat
tetap tidak kehilangan Han Lin, tidak
berjauhan darinya?"
Hwesio tua itu merangkap kedua
tangan depan dada.
"Omitohud.....pinceng yakin bahwa
hati nyonya bersih, dan maksud hati nyonya baik sekali. Akan tetapi, demi menjaga nama baik nyonya, tidak
mungkin pinceng tinggal di sini.
Biarpun pinceng sudah tua renta,
akan tetapi nyonya adalah seorang
wanita janda, maka tidak baik
sekali...."
Liu Ma tersenyum geli, membuat
Kong Hwi Hwesio tidak melanjutkan
ucapannya dan memandang heran.
"Losuhu salah paham, bukan maksud
saya minta kepada losuhu untuk
tinggal di sini. Akan tetapi di dekat
puncak Bukit Ayam Emas di sana
itu terdapat sebuah kuil tua yang
kosong dan tidak dipergunakan lagi.
Kabarnya, puluhan tahun yang lalu
kuil itu menjadi tempat tinggal
seorang tosu, dan pertapa itu
kemudian meninggal dunia di kuil
dan dimakamkan di pekarangan kuil.
Dan sejak itu, kuil itu tidak ada
penghuninya dan rusak karena tidak terawat. Bagaimana kalau saya minta ijin kepada kepa tidakla dusun,
memperbaiki kuil tu dan losuhu
tinggal di sana, mendirikan sebuah
kelenteng dan dengan demikian,
losuhu dapat mendidik Han Lin dan
setiap saat saya dapat
menjenguknya?"
**********
Wajah hwesio itu berseri. 'Omitohud
semua. agaknya telah digariskan
dengan lurus dan tepat! Pinceng akan merasa senang sekali, nyonya, dan
sebelumnya, pinceng mengucapkan
banyak terima kasih atas budi
kebaikan nyonya ."
Ucapan hwesio tua itu bukan sekedar
untuk menyenangkan hati Liu Ma.
Ketika dia melakukan perantauan
dan tiba di daerah itu, hatinya sudah merasa tertarik sekali akan
keindahan alam di situ. Dia merasa dirinya sudah terlalu tua untuk
mengembara Iagi, dan timbul
keinginannya tinggal di daerah yang amat indah itu, untuk menghabiskan sisa hidupnya.
Selain itu, juga dia
ingin sekali meninggalkan
ilmuilmunya kepada seorang murid
yang berbakat, di samping apa yang
telah dia ajarkan kepada Yang Kui
Lan dan Yang Kui Bi. Maka, dapat
dibayangkan betapa senang rasa
hatinya bahwa semua keinginan
hatinya itu ternyata terkabul
sedemikian mudahnya.
Tanpa disengaja, ketika dia
menikmati keindahan alam di dekat
hutan bambu, dia bertemu dengan
Han Lin yang segera dipilihnya
sebagai calonmuridnya. Kemudian
dia bertemu ibu anak itu yang dengan senang. hati hendak memperbaiki
kuil tua untuk menjadi tempat
tinggalnya! Semua begitu kebetulan, begitu tepat memenuhi
kebutuhannya.
Ketika ditany a pendapatnya, Han Lin menyambut dengan gembira sekali ke inginan Kong Hwi Hosiang yang
hendak mengangkat dia sebagai
muridnya. Segera dia menjatuhkan
diri berlutut didepan kaki hwesio itu
dan menyebut suhu" berkali-kali,
Hwesio tua itu tertawa bergelak, dan
Liu Ma juga tertawa senang karena ia
percaya bahwa dibawah bimbingan
seorang hwesio tua yang demikian
ramah dan baik, tentu Han Lin kelak
akan menjadi seorang yang berguna.
Dengan demikian, tentuia akan
merasa berbahagia dan puas bahwa
ia telah dapat memenuhi kewajiban
dengan baik.
Kuil tua itu ternyata masih memiliki
dinding yang kokoh. Hanya lantai dan atapnya saja yang membutuhkan
perbaikan. Liu Ma menjual beberapa
buah perhiasan yang ia terima dari
orang tua Han Lin, dijualnya ke kota
dan iapun memperbaiki kuil itu
sehingga menjadi perhatian yang
menggembirakan bagi para penduduk Li-bun Akan tetapi ketika perbaikan
atap mulai dilakukan, terjadilah hai-hal yang mendatangkan perasaan
ngeri dan takut kepada para pekerja
yang terdiri dari penghuni dusun Li-
bun sendiri. Memang hal-hal yang
amat aneh terjadi.
Begitu atap di pugar, dua orang
pekerja jatuh dari atas atap dan
keduanya menceritakan
pengalamannya yang sama, yaitu
bahwa mereka didorong oleh seorang berpakaian tosu dari atas atap.
Untung mereka hanya menderita
patah tulang kaki saja, tidak sampai
tewas.
Mulamula, peristiwa itu masih
dianggap sebagai hal yang terjadi
karena kekurang hati-hatian dua
orang pekerja itu, Akan tetapi ketika
mereka hendak memasang atap baru, seorang pekerja tiba-tiba saja terkulai dan berkelojotan seperti orang sedang sekarat. Ketika teman-temannya
datang menolong, orang itu menjadi
beringas, matanya melotot, mututnya
berbuih dan diapun berteriak-teriak
kacau, dan suaranya terdengar parau.
"Pergi kalian semua! Pergi ja-ngan
mengganggu tempatku! Akan kucekik kalian semua!" demikian orang itu
berteriak-teriak dan meronta-ronta
karena kaki tangannya dipegangi
banyak orang. Para penduduk dusun
yang masih mudah sekali
dipengaruhi tahyul itu menjadi
ketakutan dan segera Kong Hwi
Hosiang diundang. Hwesio itu datang diikuti oleh Liu Ma dan juga Han Lin.
Ketika Kong Hw i Hosiang memasuki kuil itu dan melihat seorang pekerja
rebah di atas lantai, kaki tangannya
dipegangi banyak orang dan semua
pekerja berhenti bekerja dan
merubung orang itu yang berteriak-
teriak mengusir mereka, dia lalu
mendekati, diikuti oleh Liu Ma yang
takut-takut dan Han Lin yang
terheran-heran.
"Omitohud...., saudara seka lian,
harap lepaskan saja dia," katanya
dengan lembut. Para pekerja
melepaskan orang itu dan cepat
mundur ketakutan, khawatir kalau
orang yang mereka tahu kesurupan
(kemasukan roh jahat) itu akan
mengamuk.
Ketika orang itu dilepaskan, dia pun
meloncat bangkit, matanya melotot
liar, mulutnya berbuih, dan dia
memandang kepada Kong Hwi
Hosiang lalu bertolak pinggang,
sikapnya menantang! "Huh, kiranya ini biang keladinya. Hwe sio gendut
tua bangka, engkau menggunduli
kepala dan mengenakan jubah
kuning, akan tetapi masih bertindak
semena-mena, mengganggu dan
hendak merampas tempatku, ya?"
Kong Hwi Hosiang merangkap kedua tangan depan dada dan berkata
dengan suaranya yang lembut penuh
kesabaran, "Omitohud, tuduhaninu
itu menjadi keba-likan dari
kenyataannya. Tidak ada seorangpun manusia yang mengganggumu, dan
bangunan ini sama sekali bukan
menjadi tempat tinggalmu. Bangunan ini tempat tinggal manusia yang
masih mempunyai badan jasmani.
Engkaulah yang salah memilih
tempat. Sebaiknya engkau mencari
tempat yang jauh dari manusia, dan
mohon ampunlah kepada Yang Maha
Kasih agar engkau dapat
memperoleh kebebasan
kesempurnaan."
Akan tetapi, pekerja yang masih muda dan tubuhnya keka r itu kelihatan
semakin marah. Dia mengeluarkan
suara yang serak dan tidak begitu
jelas, akan tetapi dia membuat
gerakan seolah hendak mencekik
Kong Hwi Hosiang. Melihat ini, Liu
Ma yang berada di belakang hwesio
itu menjadi gemetar ketakutan, dan
Han Lin memegang tangannya.
Anak ini juga merasa ngeri, akan teta pi dia tidak takut, percaya bahwa
guru nya tentu akan mampu
mengalahkan iblis yang memasuki
tubuh pekerja itu.
Kong Hwi Hosiang dengan sikap
tenang, memandang wajah pekerja
itu. Suaranya masih lembut, namun
menggetar penuh kewibawaan ketika dia berkata, "Roh penasaran!
Perbuatanmu ini akan menambah
dosamu dan memberatkan
penderitaanmu. Pergilah engkau!"
Kong Hwi Hosiang lalu membaca
mantram dan menggerakkan kedua
tangannya seperti mendorong dan
pekerja itu mengeluarkan teriakan
nyaring, lalu terkulai roboh.
Akan tetapi begitu roboh, dia bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheranan. "Aih, apa yang
telah terjadi" Kenapa aku" Dan kalian mengapa berhenti bekerja?"
Setelah melihat bahwa pekerja i-tu sudah biasa lagi menunjukkan bahwa roh penasaran yang tadi menyusup ke dalam dirinya telah pergi, teman-
temannya berani menghampiri dan ada yang memberinya minum
sebelum menceritakan ?"
Kong Hwi Hosiang lalu membaca
mantra dan menggerakkan kedua
tangannya seper ti mendorong dan
pekerja itu mengeluar kan teriakan
nyaring, lalu terkulai roboh.
bahwa dia tadi kesurupan. Pekerja
kuil itu bergidik, lalu meninggal kan
pekerjaannya itu, palang dan tidak
berani kembali lagi, dan
perbuatannya ini dan beberapa orang yang merasa ketakutan.
Biarkan mereka pulang kata Kong
Hwi Hos iang-kepada Li Ma yang
hendak menegur mereka Kalau
mereka memang takut, lebih baik
tidak usah ikut membantu dan kita
mencari saja orang yang tidak takut
Demikianlah, perbaikan kuiI itu
dalanjutkan dan yang bekeria adalah orang-orang yang tidak gentar
terhadap gangguan roh jahat. Dan
anehnya, sejak peristiwa itu, tidak ada lagi gangguan sampai pembangunan itu selesai.
Berdirilah sebuah kelenteng baru di
dekat puncak itu. Dan mulailah Kong Hwi Hosiang menyebarkan
keagamaan dan kelenteng itu mulai
dikunjungi orang, untuk mempelajari agama, juga untuk bersembahyang.
Han Lin tinggal di kelenteng itu
sebagai murid Kong Hwi Hosiang, dan anak yang ingin mengetahui
Han Lin pada suatu hari bertanya
tentang peristiwa kesurupan yang
membuat banyak orang ketakutan
Suhu, apa sih artinya peristiwa itu"
Benarkah roh halus itu bias
memasuki tubuh manusia Kong Hwi
Hosiang tersenyum, girang bahwa
muridnya, biarpun masih kanak-
kanak, tidak takut dan tidak
dicengkeram tahyul, hal ini saja
menunjukkan bahwa dia memang
memiliki dasar watak yang kuat.
"Engkau telah melihat sendiri, Han
Lin. Orang itu jelas tidak berpura-
pura, dan tidak pula sakit. Dia
memang telah dirasuki roh
penasaran yang tidak ingin kuil itu
diperbaiki karena kuil itu telah
menjadi tempat tinggalnya."
"Suhu, apakah setiap orang manusia dapat dimasuki roh seperti itu?" Kong Hwi Hosiang menggeleng kepala.
"Omitohud, tidak begitu mudah bagi
roh jahat untuk memasuki diri
seorang manusia, Han Lin. Hanya
manusia yang lemah batinnya,
manusia yang percaya dan tunduk
kepada kekuasaan setan, dan manusia yang berada pada saat-saat lemah
batinnya seperti kalau dia sedang
dikuasai nafsu, sedang marah, sedang bersedih, pendeknya dicengkeram
nafsu, dialah yang seolah-olah
terbuka bagi roh jahat unttk
memasukinya.
Sebaliknya dia yang kuat batinnya, yang tidak sedikitpun mau menyerah terhadap kekua saan nafsu, tidak
tunduk terhadap pengaruh roh jahat, dia yang menyadari bahwa
kedudukan manusia lebih tinggi dari pada roh-roh jahat, dia yang
menyerah kepada kekuasaan Yang
Maha Kasih, tidak mungkin dapat
dimasuki roh jahat."
"Suhu, apakah mantram-mantram itu
dapat mengusir roh jahat?" tanya pu la Han Lin. "Mantram adalah doa
keyakinan manusia terhadap
kekuasaan Yang Maha Kuasa, namun
bukan mantramnya itu yang ampuh, melainkan batin manusianya. Segala kekuatan datang dari kekuasaan Yang Maha Kuasa, kalau kita menyerah
dengan penuh kepasrahan, kita akan terlindung oleh Kekuasaan itu, dan
tidak ada kekuasaan gelap manapun yang akan mampu mengganggu kita ."
Dengan penuh kasih sayang , Kong
Hwi Hosiang mulai mengajarkan iImu kepada Han Lin yang baru berusia
tujuh tahun. Dia digembleng dengan
dasar ilmu silat tinggi, dilatih cara
menghimpun tenaga sinkang tanpa
paksaan agar tidak menghambat
pertumbuhan tubuhnya, juga dia
disuruh membaca banyak kitab kuno dan kebiasaan membaca ini dengan
sendirinya memperdalam
pengetahuannya tentang sastra.
Dan seperti yang dapat nampak oleh hwesio tua itu pada pertemuan
pertama, benar saja bahwa Han Lin memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat. Dia memiliki keluwesan
gerakan, kelincahan dan mudah
menangkap inti suatu gerakan.
Biarpun Han Lin tinggal di kelenteng, namun Liu Ma tidak merasa
kehilangan. Ia dapat bertemu dengan
anak itu kapan saja ia kehendaki dan sering ia datang berkunjung, bahkan Han Lin selalu mendapat perkenan
suhunya setiap kali dia hendak turun bukit menengok ibunya.
Tiga tahun kemudian, pada suatu
pagi, Kong Hwi Hosiang sudah keluar dari kelenteng dan berjalan-jalan ke
puncak. Usianya sudah tujuhpuluh
tiga tahun lebih, dan biarpun dia
masih nampak segar, namun harus
diakuinya bahwa usia telah
menggerogoti kekuatan tubuhnya.
SegaIa sesuatu di permukaan bumi ini akhirnya akan menyerah kalah
terhadap waktu, pikIirnya sambil
tersenyum ketika dia melangkah
mendaki puncak bukit. Akan tetapi
dia tidak pernah mau menyerah
terhadap waktu, karena dia mengenal waktu.
Baginya yang ada hanyalah saat ini,
sekarang, tidak mau dipengaruhi
waktu lalu ataupun waktu
mendatang. Waktu lalu hanya
mendatangkan kenangan, waktu
mendatang hanya menimbulkan
bayangan. Waktu lalu sudah mati dan
waktu mendatang hanya mimpi, Saat ini yang penting, saat ini yang
menentukan.
Ketika akhirnya tiba di puncak, dia
melihat muridnya sudah berada
dipuncak pula, dan agaknya telah
mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar. Akan tetapi muridnya itu sedang menggunakan sebatang
ranting dan menggerakgerakkan
ranting itu seperti orang bersilat.
Bukan gerakan silat dasar seperti
yang dia ajarkan, melainkan gerakan
silat yang membuat hwesio tua itu
terbelalak. Tentu saja dia mengenal
gerakan itu, karena itu adalah satu di
antara ilmu silatnya sendiri yang dia
andalkan. Kong-in Sin-pang (Tongkat
Sakti Angin dan Awan)! ltulah
gerakan yang dilakukan Han Lin,
walaupun hanya sepotong-sepotong
dan tidak sempurna!
Bagaimana mungkin anak itu dapat
melakukan gerakan itu" Pada hal ,
dia ingat benar bahwa dia belum
pernah mengajarkan ilmu tongkat itu, walaupun sedikit, dan dia tidak
percaya di daerah itu ada yang
mampu memainkan ilmu silat
tongkat itu.
Ketika Han Lin kebetulan
membalikkan tubuhnya dan melihat
gurunya, segera dia melepaskan
ranting itu dan berlari menghampiri
kakek itu. "Suhu"...,! Sepagi ini suhu
sudah mendaki ke puncak?"
Kong Hwi Hosiang menghapus peluh
dari dahinya dengan ujung lengan
bajunya yang lebar, tersenyum,
Omitohud.. ..kalau usia sudah tua
mendaki sebegini saja sudah
berkeringat, Han Lin apakah engkau
sudah cukup mengumpulkan kayu
bakar?".
"Sudah, suhu. Itu sudah teecu (murid)
ikat semua. Dia menuding ke arah
ranting-ranting kering seikat besar.
Bagus, dan pinceng tadi melihat
engkau bersilat dengan ranting kayu.
Dari mana engkau mempelajarinya"
Tanya hwesio itu sambil lalu, seolah
tidak menaruh perhatian. Wajah
anak itu berubah kernerahan dan dia
tersenyum.
"Aih, suhu, teecu hanya main-main
sembarangan saja......" "Han Lin,
gerakanmu tadi bukan main-main,
melainkan semacam ilmu tongkat.
Nah, katakan saja sejujurnya, dari
siapa engkau mempelajari ilmu
tongkat itu" Atau kalau engkau
meniru gerakan .orang lain, siapa
yang kaulihat memainkan ilmu
tongkat itu?"
Han lin nampak salah tingkah dan
diam-diam hwesio tua itu merasa
heran. Belum pernah selama tiga
tahun ini dia melihat muridnya
bersikap seperti itu, penuh keraguan,
penuh kepanikan.
"Teecu...... ah, teecu " "Han Lin,
engkau tentu masih ingat bahwa di
antara kita tidak pernah ada rahasia,
dan bahwa amat tidak baik untuk
berbohong, apa lagi terhadap
pinceng , bukan?"
Kini Han Lin mengambil sikap tegas.
Dengan berani dia menentang lagi
sinar mata suhunya. "Teecu ingat, dan teecu tidak akan pernah
melanggarnya, suhu. Akan tetapi
teecu juga ingat bahwa seorang laki-
laki haruslah selalu memegang teguh janjinya. Mengingkari janji
merupakan perbuatan yang pengecut, dan teecu yakin bahwa suhu tidak
ingin melihat teecu melanggar janji.
Hwesio itu mengangguk-angguk. Anak ini memang hebat, pikirnya. Dan
kepada siapa lagi anak ini berjanji,
kalau bukan kepada dia sendiri atau kepada ibunya" Hanya mereka
berdua sajalah yang agaknya patut
menerima janji Han Lin. Dan agaknya memang terdapat suatu rahasia
antara Han Lin dan ibunya itu. Kini dia mulai melihat betapa pandang
mata nyonya janda itu terhadap
puteranya, selain pandang penuh
kasih sayang, juga pandang yang
mengandung penghormatan! Pasti
ada suatu rahasia di antara mereka,
dan rahasia itu pula yang
menyangkut gerakan ilmu tongkat
tadi !
"Sudahlah, Han Lin, kalau engkau
tidak dapat menceritakan kepada
pinceng, tidak mengapa, Memang
seorang laki-laki harus memegang
teguh janjinya, karena itu mengenai
kehormatan. Nah, mari kita kembali
ke kelenteng."
Kong Hwi Hosiang yang bijaksana
tidak pernah bertanya lagi kepada
muridnya tentang ilmu tongkat itu,
akan tetapi ketika dia mendapat.
kesempatan bertemu dengan Liu Ma
dan-bicara empat mata, diapun
mengajukan pertanyaan kepada
Liu Ma.
Dengan pertanyaan pinceng ini.
Beberapa pekan yang lalu, pinceng
memergoki Han Lin bermain silat
tongkat di puncak bukit dan pinceng
heran sekali mengenal ilmu tongkat
itu. Ketika pinceng bertanya dari
mana dia mempelajari ilmu silat
tongkat itu, dia tidak berani
mengaku, mengatakan bahwa dia
tidak boleh melanggar janjinya.
Nah, sekarang pinceng mohon
kepadamu, nyonya, agar suka
berterus terang kepada pinceng.
Pinceng tahu bahwa nyonya amat
menyayangnya, juga pinceng
menyayangnya. Akan tetapi, sungguh
tidak baik kalau terdapat rahasia di
antara kita, seolah ada jurang yang
memisahkan. Pula, pinceng yakin
bahwa nyonya tentu percaya kepada
pinceng.
Liu Ma menundukkan mukanya,
Terjadi perang di dalam hatinya.
Tentu saja ia percaya sepenuhnya
kepada Kong Hwi Hosiang. Pendeta
ini selama tiga tahun ini telah
menunjukkan bahwa dia seorang
yang berhati baik, bijaksana dan
penuh belas kasihan kepada manusia
lain.
Sudah banyak sekali orang sakit yang diobatinya, dan dia tidak pernah mau menerima imbalan apapun. Juga
menurut pengakuan Han Lin, hwesio itu amat sayang kepada Han Lin, dan anak itupun memperoleh banyak
ilmu darinya. Ia tidak akan khawatir
lagi tentang pendidikan.anak itu!
Akan tetapi, haruskah ia membuka
rahasia anak itu kepada hwesio ini" Ia masih bimbang ragu.
"Memang terdapat rahasia besar
dalam diri Han Lin, losuhu. Akan
tetapi perlukah losuhu
mengetahuinya" Rahasia itu selama
ini terpendam di dalam lubuk hati
kami berdua dan sudah kami anggap terkubur. Apa gunanya kalau saya
ceritakan kepada losuhu" Dan apa
perlunya pula losuhu mengetahui
rahasia pribadi Han Lin" Bukankah
selama ini dia menjadi murid yang
baik dan patuh"
'Omitohud, pinceng bukanlah orang
yang suka usil dan mencampuri
urusan orang lain, bukan pula orang
yang suka mengetahui urusan pribadi orang lain. Akan tetapi dalam urusan
yang menyangkut pribadi Han Lin
terdapat sesuatu yang pinceng yakin
ada hubungannya dengan pinceng.
Sebaiknya kalau pinceng katakan
terus terang menga pa tibatiba
pinceng ingin mengetahui latar
belakang kehidupan atau rahasia
Han Lin, nyonya Liu. Ketahuilah
bahwa selama hidupku, pinceng
hanya mempunyai dua orang murid
dan hanya kepada mereka berdua itu saja pinceng mengajarkan ilmu
tongkat pinceng. Dan nyonya tentu
merasa heran sekali melihat betapa
pinceng melihat Han Lin memainkan
ilmu tongkat itu, walaupun tidak
sempurna. Nah, pinceng yakin bahwa
anak itu mempunyai hubungan, atau setidaknya pernah melihat, seorang di antara kedua orang murid pinceng
itu."
Liu Ma memandang heran. Usia
wanita ini sekitar limapuluh tahun,
namun ia nampak lebih tua karena
selama ini ia mengalami hal-hal yang
menyedih kan dan menegangkan.
"Losuhu, bolehkah saya mengetahui
nama kedua orang murid losuhu itu?"
"Tentu saja boleh. Mereka adalah dua orang bersaudara, enci dan adik,
puteri mendiang Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Utama Kaisar Beng
Ong yang melarikan di kebarat.
Mereka bernama Yang Kui Lan dan
Yang Kui Bi dan eh, nyonya, ada
apakah?" Kong Hwi Hosiang
memandang penuh perhatian melihat betapa wanita itu memandang ke
padanya dengan mata terbelalak
lebar dan mukanya menjadi pucat
"Nyonya Liu, tenanglah. Ada apakah?"
Akan tetapi wanita itu kini menangis, menutupi mukanya dengan kedua
tangan dan ia terisak-isak. Kong Hwi
Hosiang merangkap kedua tangan
depan dada dan berkemak-kemik,
membiarkan wanita itu menangis
dulu sepuasnya untuk mencairkan
sesuatu yang membeku dan
mengganjal dihatinya.
Setelah hatinya terasa ringan karena tangisnya akhirnya Liu Ma dapat
menghapus air matanya dan dengan
mata kemerahan ia memandang
kepada hwesio itu. "Losuhu, ternyata
memang benar dugaan losuhu.
Ketahuilah,losuhu,bahwa sebenarnya Han Lin adalah Pangeran Sia Han Lin yang Jolos dari istana ketika "istana diserbu musuh. Ayahnya adalah
mendiang Sia Su Beng dan ibunya
adalah mendiang Permaisuri Yang
Kui Bi...!!!
"Omitohud !" Kong Hwi Hosiang
berseru keheranan, bukan hanya
heran mendengar bahwa Han Lin
ternyata putera kandung muridnya
sendiri, Yang Kui Bi, akan tetapi juga
heran mendengar bahwa muridnya
itu telah menjadi isteri pemherontak
Sia Su Beng yang telah mengangkat
diri menjadi kaisar akan tetapi
kemudian kekuasaannya dirobohkan
dan dia tewas da lam pertempuran.
"Jadi kalau begitu, Han Lin adalah
putera murid pinceng sendiri . . "
Akan tetapi, dia telah ikut denganmu, bagaimana dapat memainkan ilmu
tongkat itu"
Kami melarikan diri dari istana ketika Han Lin berusia lima tahun, losuhu.
Agaknya dia masih ingat kepada
ibunya kalau ibunya berlatih silat dan sekarang, setelah dia belajar silat ke
pada losuhu, dia mencoba untuk
memainkan ilmu silat yang pernah
dilihatnya dimainkan ibunya itu."
"Omitohud...... tidak salah lagi, benar
seperti yang nyonya katakana itu" Dia termenung dan semakin kagum.
Tentu Han Lin sudah mengetahui
bahwa dia adalah bekas seorang
pangeran! Akan tetapi anak itu begitu pandai membawa diri, bahkan
sikapnya demi kian hormat dan
sayang kepada Liu Ma, memegang
janji dan sama sekali tidak nampak
congkak.
"Sebelum ayah ibunya maju perang,
mereka menitipkan Han Lin kepada
saya, losuhu. Saya adalah pelayan
pengasuh keluarga itu dan saya yang
mengasuh Han Lin sejak kecil . Saya
mengajak Han Lin melarikan diri
mengungsi dan tinggal di dusun Li-
bun ini, dusun yang menjadi
kampung halaman saya. Dengan jelas Liu Ma lalu menceritakan semua yang telah dialaminya semenjak ia
membawa Han Lin melarikan diri
dari kota raja Tiang-an dan
mengungsi ke dusun itu.
Hwesio itu menghela napas panjang,
"Betapa aneh jalan hidup anak itu ..
Tanpa disengaja seolah dia
dipertemukan dengan pinceng.
Engkau telah melaksanakan tugas
dengan baik, nyonya. Sebaiknya, kita
biarkan saja keadaan seperti
sekarang, tidak perlu memberitahu
kepada Han Lin bahwa pinceng telah
mengetahui riwayatnya.
Demikianlah, mulai hari itu, dengan
tekun Kong Hwi Hosiang
mengajarkan ilmu silat tongkat Hong-in Sin-pang kepada Han Lin. Anak ini tentu saja girang bukan main
mengenaI ilmu tongkat seperti yang
dahulu sering dia lihat dimainkan
ibunya, akan tetapi tentu saja ilmu ini lebih lengkap dan lebih dahsyat.
Disamping menggembleng muridnya
dengan ilmu silat, juga Kong Hwi
Hosiang lebih tekun mengajarkan
sastra dan terutama tentang inti
pelajaran agama. Dengan dongeng,
perumpaan dan contoh-contoh
kehidupan para bijaksana jaman
dahulu, Kong Hwi Hosiang berusaha
untuk menghapus dendam dari hati
muridnya itu.
"Ingat baik-baik, Han Lin. Musuh
utama bagi seorang pendekar adalah
perasaan dendam. Dan perasaan ini
memang amat sukar untuk
dikalahkan, karena dendam timbul
dari berkembangnya rasa ciri. Begitu rasa diri disinggung dan Terasa
dirugikan, disakiti, dihina atau
dibikin sedih karena kehilangan,
maka dendam akan timbul meracuni hati dan pikiran. Dan kalau dendam
sudah mencengkeram hati dan piki
ran, maka tindakanmu tidak mungkin lurus melalui jalan yang harus dilalui seorang pendekar lagi . Dendam akan menyeretmu ke arah perbuatan yang semata-mata didorong kebencian dan sakit hati, dan kalau sudah begitu,
sama sekali sudah tidak adil dan tidak benarlagi . "
Mendengar ucapan gurunya itu, Han
Lin teringat akan kematian ayah
bundanya. Seringkali, kalau dia
terkenang akan kematian mereka,
timbul dendamnya kepada Kaisar,
bahkan kepada Kerajaan Kini,
mendengar ucapan gurunya dia
mengerutkan alisnya. "Akan tetapi,
suhu, kalau kita tidak membenci
penjahat, bagaimana kita akan
membasmi mereka yang jahat"
Bukankah menurut dongeng sejak
jaman dahulu, orang bijaksana dan
para pendekar selalu menentang
kejahatan dan membela kebenaran
dan keadilan" Kalau kita tidak boleh
mendendam dan membenci penjahat, bagai mana kita dapat bertindak
terhadap mereka?"
"Omitohud....! Kalau hati sudah
diracuni dendam, bagaimana
mungkin kita membela keadilan"
Dendam dan kebencian menghapus
keadilan, karena perbuatan yang
didasari kebencian, bagaimana
mungkin dapat adil lagi" Kebencian
melenyapkan pertimbangan dan satu-satu nya keinginan hanyalah
melampiaskan dendam kebencian."
"Kalau begitu, kita tidak boleh
memusuhi siapapun, suhu?"
"Omitohud, pertanyaan itu tepat
sekali. Kita memang tidak boleh
memusuhi siapapun! Yang ditentang seorang pendekar bukanlah
manusianya, melainkan
kejahatannya. Perbuatan jahat
sewenang-wenang yang mengganggu orang lain patut kita tentang, akan
tetapi dasarnya bukan kebencian
terhadap siapapun. Mengertikah
engkau?"
Melihat anak berusia belasan tahun
itu masih juga belum mengerti betul,
perlahan-lahan Kong Hwi Hosiang
lalu memberi penjelasan tentang
dendam kembencian. Dendam
kebencian memang membuat orang
kehilangan pertimbangan lagi.
Dendam kebencian merupakan nafsu
yang selalu hanya ingin mendapat
kepuasan, dan kepuasan dari nafsu
dendam hanyalah membalas dan
mencelakai orang yang dibenci dan
didendamnya. Dendam timbul karena adanya aku yang merasa dirugikan.
Aku dipukul balas memukul, aku di
benci balas membenci, bahkan
biasanya, pembalasan harus lebih
berat, lebih hebat dari pada
penyebab dendam. Maka tImbullah
dendam mendendam, balas
membalas yang tiada berkesudahan,
kebencian yang mendarah-daging dan terjadilah perang, pembunuhan,
pembantaian dan segala macam
kekejaman yang tidak layak
dilakukan oleh manusia, mahluk yang katanya paling sempurna dan tinggi
derajatnya itu.
Mata kita selalu ditujukan kepada
orang lain, menilai perbuatan orang
lain sehingga segala kesalahan orang
lain, betapapun kecil pun, akan
nampak oleh kita.Kalau saja kita
suka membalikkan pandangan kita,
mengamati diri sendiri, akan nampak bahwa kita ini tidaklah lebih baik dari pada orang lain yang kita anggap
jahat atau buruk itu. Pengamatan ini
akan menyadarkan kita bahwa
kitapun bukan manusia sempurna,
bahwa kitapun tidak lepas dari pada dosa. Kalau kita sudah merasa kotor,
maka melihat orang lain kotor, tentu kita tidak akan memandang jijik.
Kalau kita sudah melihat jelas bahwa
kita sendiri penuh dosa , maka
melihat orang lain berdosa, tentu
akan mudah sekali bagi kita untuk
memaafkan orang lain. Kita tidaklah
lebih baik dari orang lain, dan dunia
ini menjadi kacau balau bukan hanya karena ulah orang lain, melainkan
karena ulah kita bersama!
Kita sendiri, masingmasing dari kita
ikut bertanggung jawab. Hanya orang yang suka mengamati diri sendiri,
hanya orang yang tahu bahwa diri
nya kotor timbul usaha dalam dirinya untuk membersihkan diri dari
kekotoran itu. Sebaliknya, orang yang
hanya melihat kekotoran pada diri
orang lain dan merasa diri nya sendiri bersih, orang seperti ini tidak akan
pernah mau mela kukan usaha
membersihkan dirinya dari kekotoran dan diluar kesadarannya, dia terus
menumpuk kekotoran dalam dirinya
sendiri.
Kalau ada orang memukul kita lalu
kita membalas dan memukulnya, lalu apa bedanya antara kita dan orang
itu" Kalau ada orang membunuh, lalu
kita balas membunuh, berarti kita
semua sama-sama menjadi
pembunuh Kalau orang menipu kita dan kita balas menipu, kita sama-
sama menipu. Dendam membuat kita lupa diri, kehilangan pertimbangan,
kehilangan keseimbangan dan tidak
tahu membedakan lagi mana benar
dan mana tidak benar.
Waktu bergerak seperti siput. Kalau
kita perhatikan, merangkak lambat
sekali, akan tetapi kalau tidak kita
perhatikan, tahu-tahu sudah jauh!
Kalau kita tidak memperhatikan,
bertahun tahun lewat seperti
beberapa hari saja rasanya,
sebaliknya kalau kita menanti sesuatu dan selalu memperhati kan waktu,
beberapa jam rasanya seperti
beberapa tahun.
Lima tahun lewat bagaikan terbang
saja semenjak Kong Hwi Hosiang
mendengar tentang riwayat Han Lin
dari Liu Ma. Dia menggembleng
muridnya itu dengan penuh
kesungguhan, dan Han Lin juga
belajar dengan tekunnya sehingga
kini, Han Lin telah menjadi seorang
remaja berusia limabelas tahun yang
gagah tegap dan memiliki ilmu
kepandaian yang hebat! Berkat
pertemuan hawa beracun dingin dan
panas, lalu ditambah racun ular
senduk kepala putih, di dalam
tubuhnya terkandung kekuatan yang
aneh, dan tubuhnyapun kebal
terhadap racun.
Semua ini dimanfaatkan oleh Kong
Hwi Hosiang yang mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya, termasuk Hong-in Sin pang, ilmu silat tangan kosong
Pat-kwa kun, dan juga ilmu
menghimpun tenaga sakti Im-yang
Sin-kang. Tentu saja karena dia masih amat muda, biarpun dia sudah
menguasai semua ilmu itu dengan
baik sekali, namun latihannya masih
belum matang, apa lagi dia masih
belum mempunyai pengalaman
bertanding dengan orang lain.
Kalau Han Lin tumbuh semakin besar dan semakin kuat, sebaliknya Kong
Hwi Hosiang menjadi semakin tua
dan semakin lemah. Proses ketuaan
ini melanda seluruh umat manusia di
dunia ini. Tidak ada seorangpun
manusia, betapapun kuatnva, yang
akhirnya tidak tunduk kepada
ketuaan dan kelemahan. Demikian
pula Kong Hwi Hosiang. Dalam usia
yang hampir delapanpuluh tahun,
dia mulai lemah walaupun
semangatnya tidak pernah nampak
merosot.
Wajahnya masih nampak segar,
senyumnya masih selalu membuat
wajahnya berseri. Namun, di waktu
dia mengajak Han Lin berlatih silat,
muridnya itu melihat betapa gerakan
gurunya kini semakin lambat dan
tenaganyapun berkurang, terutama
tenaga otot.
Pada suatu pagi yang cerah! Seperti
biasa, Han Lin sudah sejak subuh
bangun dari tidurnya. Gurunya
mengajar kanbahwa mengawali hari
sebaiknya dimulai dengan bangun
yang pagi sekali, sebelum fajar
menyingsing, pada waktu ayam
Jantan berkokok. Sejak pagi tadi, Han Lin telah bangun tidur, berlatih si]at
lalu mandi dan kini dia sudah sibuk
membantu dua orang hwesio lain
yang sibuk di dapur.
Sudah dua tahun ini, di kelenteng itu
terdapat dua orang hwesio lain,
pendatang dari lain tempat yang
menetap di situ menjadi pembantu
Kong Hwi Hosiang. Cun Hwesio dan Kun Hwesio adalah dua orang hwesio berusia limapuluhan tahun yang
rajin. Dari dua orang hwesio ini, Han Lin juga mendapatkan dua macam
iImu yang amat berguna baginya.
Biarpun kedua orang hwesio itu tidak memiliki ilmu silat yang terlalu tinggi, namun Cun Hwe sio adalah seorang ahli gin-kang sehingga dalam hal ilmu berlari cepat dan berlonca tinggi , dia masih lebih lihai di banding kan Kong Hwi Hosiang sekalipun. Dan Kun
Hwesio adalah seorang hwesio yang memiliki keahlian dalam hal ilmu
menolak dan mengusir setan juga
pandai mempergunakan kekuatan
sihir. Dari kedua orang hwesio ini,
yang merasa sayang pula kepada Han Lin, pemuda ini menerima
gemblengan.
Melihat persediaan kayu bakar
menipis, tanpa diperintah lagi Han
Lin lari keluar dari dapur dan
menuruni puncak menuju ke hutan
untuk mencari kayu bakar. Dia tidak
tahu betapa tak lama setelah dia
meninggalkan kuil, muncul tiga orang laki-laki berusia antara limapuluh
sampai enampuluh tahun di'
pekarangan kelenteng itu.
Seorang di antara mereka yang
tubuhnya pendek gendut seperti
katak, mukanya kuning seperti dicat, yang tertua di antara mereka,
berseru dan suaranya parau lantang
seolah menggetarkan atap kelenteng
itu.
'Hei ! , para hwesio penghuni
kelenteng! Keluarlah kalian, kami
ingin bicara!" Sikap dan kata-katanya
sungguh kasar memerintah, tidak
memakai tata susila. Adapun dua
orang temannya yang juga berdiri di
situ, hanya menunggu dengan sikap
congkak. Seorang di antara mereka
juga gendut pendek bermuka hitarn,
adapaun orang ke dua tinggi kurus
bermuka putih dan usia mereka
limapuluh lebih, agak lebih muda
dibandingkan si gendut muka kuning.
Mendengar teriakan itu, Cun Hwesio
dan Kun Hwesio bergegas keluar dan mereka berdua terheran-heran
melihat tiga orang asing yang berdiri
di pekarangan kelenteng itu. Akan
tetapi sebagai pendeta-pendeta yang
sopan dan lembut, mereka cepat
mengangkat kedua tangan depan -
dada member! normat, dan Cun
Hwesio menyambut dengan katakata
halus.
"Omitohud...., siapakah sam-si (anda
bertiga) dan ada keperluan apa
kiranya berkunjung ke kelenteng
kami yang buruk"
Si gendut muka kuning menyeringai. "Hemm, kami ingin bicara dengan
ketua kelenteng. Siapa di antara
kalian yang menjadi ketua kelenteng
ini?"
"Ketua kami sedang bersembahyang
dan bersamadhi," jawab Cun Hwesio. "Ha-ha-ha, para hwesio gundul ini
memang orang-orang pemalas. Selalu menggunakan doa dan samadhi
sebagai alasan, pada hal itu tidur
mendengkur, ha-ha-ha!" Dua orang
lainnya juga ikut tertawa. Cun Hwesio saling pandang dengan Kun Hwesio akan tetapi mereka masih bersabar.
"Omitohud, pinceng tidak tidur, sudah bangun sejak pagi tadi," tiba-tiba
terdengar suara ketua mereka,
membuat kedua orang hwesio
pembantu itu bernapas lega. Tiga
orang itu kini berhadapan dengan
Kong Hwi Hosiang yang ber topang
pada tongkat bambu ular kuningnya.
Karena yang berdiri paling dekat
dengannya adalah laki-laki gendut
bermuka hitam arang, Kong Hwi
Hosiang bertanya sambil memandang kepadanya. "Siapakah sam-wi dan
kepentingan apakah yang membuat
sam-wi datang berkunjung "'
Si gendut muka hitam arang itu
segera memperkenalkan diri dengan
sikap angkuh, "Aku disebut orang
Hek-bin Moong!"
"Omi tohud !" Kong Hwi Hosiang
berseru heran dan memandang
kepada mereka bertiga bergantian.
"Kalaubegitu, pinceng berhadapan
dengan Sam Mo-ong (Tiga Raja IbIis)" Akan tetapi, pinceng pernah
berjumpa dengan Hek-bin.
Mo-ong dan seingat pinceng, Hek-bin Mo-ong adalah seorang yang
bertubuh tinggi besar tidak seperti
engkau yang bertubuh pendek.
'Hwesio sombong! Kaukira tubuhmu itu tinggi ramping" Engkau pun tidak banyak bedanya dengan aku, pendek dan gendut!" Hek-bin Mo-ong berkata marah.
"Omitohud !" Kong Hwi Hosiang yang
memang biasanya selalu tersenyum, kini tertawa gembira.
"Bagaimanapun juga, pinceng pernah bertemu dengan Sam Mo-ong dan
jelas mereka itu bukan sam-wi."
"Hwesio, ketahuilah bahwa memang
kami bukan Sam Moong. Akan tetapi
Sam Mo-ong adalah guru-guru kami
bertiga. Aku disebut orang Kwi-jiauw Lo-mo (iblis Tua Cakar Setan) , dan
aku murid mendiang suhu Toat-beng Mo-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)."
"Dan aku disebut Pek-bin Mo-ong
(Raja Iblis Muka Putih), guruku
adalah mendiang Siauw-bin Mo-ong
(Raja Iblis Muka Tertawa)," kata orang yang tinggi kurus muka putih kapur dengan mulut mewek-mewek seperti hendak menangis. Sungguh aneh
orang yang mukanya seperti selalu
menangis ini menjadi murid Raja Iblis Muka Tertawa, yang selalu tertawa
itu.
"Mendiang guruku adalah Hek-bin,
Mo-ong, dan untuk menghormati
beliau, akupun menggunakan nama
Julukan guruku itu!" kata yang gendut muka hitam arang.
"Omitohud, sekarang pinceng
mengerti. Kirahya sam-wi adalah
murid-murid Sam Mo-ong, diam-diam Kong Hwi Hosiang merasa terkejut
dan heran. Kalau dia tidak salah ingat akan cerita muridnya, dua orang
aneh yang pernah menyerang muridn yaitu agaknya Hek-bin Mo-ong dan
Pek-bin Mo-ong, dua orang di antara
mereka bertiga itu. Dan mereka
semua mengaku murid-murid Sam
Mo-ong .
Akan tetapi, kenapa ilmu kepandaian mereka demikian hebat, me lebihi
tingkat Sam Mo-ong yang pernah
dikenal kepandaiannya"!
"Hwesio tua, siapakah engkau dan
apakah engkau ketua kelenteng ini?"
tanya Kwi-jiauw Lo-mo. Kong Hwi
Hosiang tidak mau memperkenalkan
namanya karena bagaimanapun,
namanya sudah dikenal didunia
persilatan dan dia tidak ingin dikenal
tiga orang ini . "Pinceng memang
pengurus kelenteng ini bersama dua orang saudara pinceng ini. Kami
bertiga pengurus kelenteng ini. Akan
tetapi, ada kepentingan apakah sam-
wi datang berkunjung?"
"Hwesio tua, kami bertiga
membutuhkan kelenteng ini, maka
kami harap kalian bertiga suka pergi
meninggalkan kelenteng ini. Kami
memerlukan tempat dan kelenteng ini memenuhi syarat," kata Kwi-jiauw Lo-mo tanpa sungkansungkan lagi.
Cun Hwesio dan Kun Hwesio
mengerutkan alisnya, akan tetapi
Kong Hwi Hosiang bersikap tenang
dan tetap sabar. "Tiga orang sahabat
yang baik, kalau kalian bertiga
hendak tinggal di kelenteng ini
sebagai tamu kami, silakan . Dibagian belakang masih terdapat kamar-
kamar yang boleh samwi tempati.
Kami selalu menerima tamu dengan
hati dan tangan terbuka ."
"Hemm, kami tidak ingin menjadi
tamu, melainkan ingin mengambil
kelenteng ini sebagai tempat tinggal
kami. Kalian bertiga harus pergi dari sini, sekarang juga !"
"Omitohud , kenapa sam-wi' bersikap
begini" Kelenteng ini bukan milik
kami, melainkan milik penduduk
dusun Li - bun, kami bertiga hanya
sekedar menjadi pengurus kelenteng "
"Hwesio tua, karena melihat kalian
adalah hwesio-hwesio, maka kami
masih berlaku ramah dan lembut dan dengan baikbaik meminta kalian
pergi. Apakah kalian menghendaki
kami bersikap keras dan melempar
kalian bertiga keluar dari tempat InI"
bentak Pek-bin Mo-ong yang selalu
berwajah muram.
"Omitohud, kiranya kalian ini bukan hanya manusiamanusia yang
menggunakan nama julukan iblis,
melainkan iblis sendiri yang
menyamar manusia .
Jahat sekali ! bentak Cun Hwesio yang sudah tidak mampu menahan
kemarahannya lagi sambil
menudingkan telunjuknya kearah
muka Pek-bin Mo-ong.
Sementara itu, Kun Hwesio yang juga sudah merasa penasaran sekali, diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya dan melangkah maju.
"Hei !, kalian bertiga murid Sam Mo-
ong! teriakan Kun Hwesio ini
melengking penuh wibawa, membuat tiga orang itu mau tidak mau terpaksa menengok dan memandang
kepadanya. Kun Hwesio
menggerakkan kedua tangannya ke
atas lalu dihadapkan kepada mereka sambil berseru lagi, kini suaranya
menggetar kuat, "Kalian bertiga
berlututlah!"
Terjadi keanehan. Tiga orang
yang tadinya bersikap bengis dan
galak itu, tiba-tiba saja menekuk
kedua lutut kaki mereka dan mereka
berlutut menghadap Kun Hwesio!
Biarpun mereka bertiga kelihatan
terkejut dan heran, terbelalak,
namun mereka tetap saja berlutut
dengan sikap hormat. Kalau saja
Kong Hwi Hosiang dan kedua orang
pembantunya merupakan orang-
orang yang mencari kemenangan,
ketika tiga orang itu sedang berlutut, tentu akan mudah sekali menyerang
dan merobohkan. mereka.
Akan tetapi, Kong Hwi Hosiang dan dua orang pembantunya adalah tiga orang pendeta yang menaati hukum agama mereka. Mereka memang tidak meninggalkan kewajiban membela
diri, namun mereka sama sekali tidak berani melanggar pantangan
membunuh. Membunuh hewanpun
mereka pantang, apa lagi membunuh manusia.
Selain hukum agama, juga mereka
tidak mau melanggar hukum tak
tertulis dari para pendekar yang
pantang menyerang lawan yang tidak dapat melawan. Melihat betapa tiga
orang itu berada di bawah pengaruh
kekuatan sihir dari Kun Hwesio, Kong
Hw i Hosiang laIu berkata lembut.
"Nah, harap kalian pergi dan jangan
mengganggu kami lagi." Akan tetapi,
tiga orang datuk itu telah memiliki
tingkat kepandaian tinggi dan
merekapun memiliki sinkang (tenaga
sakti) yang amat kuat. Kalau tadi
mereka dapat dipengaruhi kekuatan
sihir Kun Hwesio, hal itu adalah
karena mereka sama sekali tidak
menyangka dan mereka tidak
bersikap menyambut serangan
kekuatan sihir itu.
Hanya sebentar mereka terpengaruh dan ucapan lembut Kong Hwi Hosiang telah menyadarkan mereka kembali. Hek-bin Mo-ong yang gendut
bermuka hitam masih berlutut, akan tetapi matanya terangkat ke atas dan dia melirik ke arah Kun Hwe?sio yang tadi membentak agar mereka
berlutut. Dia tahu bahwa hwesio itu
yang menyerang dengan sihir, maka tiba tiba saja, kedua tangannya yang pendek besar itu didorongkan ke arah Kun Hwe?sio dan dia mengeluarkan
bentakan nyaring.
"Hyaaaaahhhh ... '.!" Pada detik
berikutnya, Kwi-jiauw Lo-mo telah
meloncat dan menyerang Kong Hwi
Hosiang dengan senjatanya yang
menyeramkan, yaitu sepasang cakar
setan yang telah disambungkan
dengan kedua tangannya, dan Pek-bin Mo-ong juga sudah menyerang
Cun Hwesio. Tentu saja kedua orang hwesio itu tidak sempat nenolong Kun Hwesio yang diserang oleh si muka
hitam.
"Desss....! ! Tubuh Kun Hwesio
terlempar ke belakang ketika terkena
hantaman kedua telapak tangan Hek-bin Moong. Memang dalam.hal iImu
silat, dua orang hwesio pembantu itu
kalah jauh di bandingkan para
penyerang itu yang kesemuanya
adalah datuk-datuk sesat yang tentu
saja amat lihai.
Begitu terkena hantaman kedua
tangan Hek-bin Mo-ong, tubuh Kun
Hwesio terbanting ke ras dan tubuh itu kin" menggigil kedinginan, lalu
tubuh itu menjadi kaku dan diapun
tewas seketika karena darah di
tubuhnya menjadi beku!
Tidak seperti Kun Hwesio, Cun
Hwesio yang ahli gin-kang tidak
mudah dirobohkan Pek-bin Mo-ong.
Biarpun si kurus muka putih kapur
itu menghujankan serangan, namun
dengan lincah sekali Cun Hwesio
dapat berloncatan keSana sini dan
selalu dapat menghindarkan diri dari semua serangan itu! Tubuhnya
bagaikan seekor burung walet saja,
gerakannya ringan dan cepat
berkelebatan mengejutkan Pek-bin
Mo-ong yang mengira bahwa
lawannya ini memiliki kepandaian
yang amat tinggi.
Melihat ginkang nya, tentu hwesio ini jauh lebih lihai darinya, Akan tetapi, ketika diserang bertubi-tubi itu Cun
Hwesio hanya mengelak saja tak
pernah menangkis apa lagi balas
menyerang, Pek-bin Mo-ong dapat
menduga bahwa hwesio ini hanya
ahli gin-kang saja akan tetapi bukan
ahli silat tinggi. Maka diapun
menyerang terus dengan gencar.
Yang mampu mengimbangi serangan lawan hanyalah Kong Hwi Hosiang.
Dengan tongkat bambunya, hwesio
tua renta ini ternyata masih tangguh
bukan main. Ilmu tongkatnya. Hongin Sin-pang membuat sepasang cakar
setan di tangan Kwi jiauw Lo-mo tak pernah berhasil me ngenai sasaran,
bahkan hwesio tua itu membalas tak kalah dahsyatnya, membuat Kwijiauw Lo-mo harus berhati-hati. Tak
disangkanya bahwa hwesio tua itu
demikian lihainya. Kalau saja dia tahu bahwa yang dilawannya adalah Kong Hwi Hosiang, tentu dia tidak akan
merasa heran dan tidak berani
memandang rendah.
Hek-bin Mo-ong tertawa melihat
lawannya yang pandai sihir tadi telah
tewas sedemikian. mudahnya di
tangannya. Dia melihat betapa lawan Pek-bin Mo-ong memiliki ginkang
istimewa, akan tetapi diapun tidak
bodoh. Melihat hwesio itu hanya
berloncatan ke sana sini tanpa
membalas, diapun dapat menduga
bahwa hwesio itu hanya pandai gin-kang saja namun tidak memiliki ilmu
silat yang akan membahayakan
rekannya.
Sebaliknya, dia melihat
Kwi-jiauw Lo-mo agak repot
menghadapi Kong HwiHosiang, maka
diapun meloncat ke depan
membantu rekan ini mengeroyok
Kong Hwi Hosiang..
Tentu saja Kong Hwi Hosiang semakin repot. Melawan Kwijiauw Lo-mo saja, dia harus mengerahkan seluruh
tenaga untuk mengimbanginya, apa
lagi dikeroyok oleh Hek-bin Moong
yang memiliki kepandaian setingkat
dengan datuk pertama itu. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak
berkurang, dan napasnya juga sudah tidak setahan dahulu. Namun, hwesio tua ini memang hebat. Karena ilmu
kepandaiannya sudah matang, sudah mendarah daging, biar dikeroyok dua orang datuk yang demikian
tangguhnya, dia masih mampu
membela diri dan tongkatnya yang
berbentuk ular kuning dari bambu
yang khas itu selalu dapat menangkis
sepasang cakar setan Kwi-jiauw Lo-
mo dan pukulan tangan dingin Hek-
bin Mo-ong.
Sampai belasan jurus, Cun Hwesio
masih mampu menghindarkan diri
dari serangan Pek-bin Mo-ong yang
bertubi-tubi. Karena serangannya
selalu luput,Pek-bin Mo-ong merasa
penasaran sekali dan memperhebat
serangan pukulan yang berhawa
panas itu.
Akan tetapi , ketika melihat betapa
Kun Hwes io tewas sedang kan Kong
Hwi Hos i ang d i keroyok dua dan
keadaannya juga terdesak, dia merasa khawatir sekali dan kegelisahannya,
di tambah lagi kini dia memecah
perhatian untuk melihat ke arah Kong Hwi Hos i-ang, Cun Hwes io kurang
waspada dan lambungnya terkena
sambaran pukulan Pek-bin Mo-ong.
Plakk!" Sekali saja terkena pukulan
ampuh itu pada lambungnya, Cun
Hwes io terpelanting dan roboh
berkelojotan sebentar lalu tewas
dengan tubuh kehitaman seperti
terbakar!
Pek-bin Mo-ong tidak lagi
memperdulikan lawan yang dia yakin tentu telah tewas. Dia menoleh ke
arah rekan-rekannya dan mendengus marah melihat betapa dua rekan yang mengeroyok hwe?sio itu masih juga belum mampu merobohkannya.
Diapun meloncat dan dengan
bentakan nyaring, diapun terjun
kedalam perkelahian, ikut
mengeroyok Kong Hwi Hosiang!
Kong Hwi Hosiang mencoba untuk
melawan sekuatnya, namun dia
sudah tua dan tingkat kepandaian tiga orang itu tidak banyak selisihnya
dengan tingkatnya, maka dikeroyok
tiga, tentu saja dia tidak mampu
bertahan lebih lama lagi. Sebuah
tamparan tangan beracun dingin dari Hek-bin Mo-ong mengenai
punggungnya .
Dia terhuyung dan menggigil
kedinginan, lalu datang
pukulan Pek-bin Mo-ong yang
berhawa panas. Selagi Kong Hwi
Hosiang terhuyung, cakaran tangan
kiri Kwi-j iauw Lo-mi mengenai
dadanya dan hwesio tua itupun roboh dan tidak bergerak lagi, mukanya
hitam keracunan dan diapun tewas
seketika.
Tiga orang datuk itu memeriksa
ketiga hwe io dan setelah merasa
yakin bahwa mereka itu tewas semua, mereka lalu menyerbu kedalam
kelenteng mencari kalau-kalau masih terdapat penghuni kelenteng yang
lain. Akan tetapi ternyata tidak ada orang lain lagi di dalam kelenteng.
"Hemmm, di mana Seng Gun?" tiba- tiba Kwi-jiauw lo-mo bertanya kepada kedua orang rekannya.
"Bukankah tadi dia naik ke pun-cak"!l kata Pek-bin Mo-ong. Pemandangan alam disini amat indahnya, tentu dia pergi berjalan-jalan. Biar aku
mencarinya!" kata Hek-bin Mo-ong.
Ketlka Kwi-jiauw Lo-mo mengangguk, Hek-bih Mo-ong tertawa lalu
tubuhnya yang gendut bundar itu
seperti menggelinding pergi dengan
cepat sekali.
Dewa maut berpesta pora d!
pekarangan kelenteng itu dan
mengambil korban nyawa.tiga orang
hweslo yang selama ini hidup
tenteram penuh damai dan pekerjaan mereka hanyalah berdoa dan
menolong para penduduk dusun-
dusun di sekitar daerah Itu. Akan
tetapi mengapa mereka bertiga
mengalami nasib sedemikian
buruknya"
Sejak jaman dahulu, orang selalu
bertanya-tanya tentang kenyataan
ini, yaitu bahwa betapa banyaknya
manusia yang semasa hidupnya
nampak begitu balk hati, dermawan,
suka menolong sesamanya, juga
beribadat, namun kenyataan nya
tertimpa malapetaka, bahkan banyak juga yang tewas secara menyedihkan, baik melalui kecalakaan mengerikan, bencana alam, atau juga dibunuh orang.
Banyak orang yang hidupnya nampak baik dan saleh, semua orang
menganggap dia seorang budiman,
namun hidupnya miskin,
berpenyakitan, dan tertimpa
malapetaka pula sehingga mengalami
kematian yang menyedihkan,
Sebaliknya, banyak pula orang yang pada umumnya dianggap jahat,
kejam, kikir, tidak pernah suka
menolong sesamanya, bahkan
mengingkari Tuhan, namun hidupnya nampak bergelimang kekayaan, selalu nampak senang dan bahkan berumur panjang!
Kenyataan ini merupakan satu di
antara rahasia-rahasia kehidupan
yang tidak dapat dimengerti
manusia, Banyak yang mencoba
untuk mengungkap rahasia ini
dengan berbagai teori dan dalih.
Ada yang menganggap 'bahwa hal itu merupakan hukum karma atau
hukum sebab akibat atau hukum
menanggung akibat perbuatan
sendiri, memetik buah dari pohon
yang ditanamnya sendiri. Tanaman
pohon ini mungkin dilakukan dalam
kehidupan masa lalu, atau ditanam
oleh orang tua, nenek moyang dan
selanjutnya,
Ada pula yang berpendapat bahwa
semua keadaan yang tidak
menyenangkan itu adalah perbuatan setan yang selalu berusaha untuk
menyengsarakan manusia. Namun,
semua itu hanyalah anggapan dan
perkiraan belaka yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Hati akal
pikiran manusia terlalu terbatas
untuk dapat mengungkap pekerjaan
Tuhan yang maha besar dan maha
rumit.
hidup Han Lin. Bukan saja dia secara
aneh dan kebetulan terhindar dari
maut terpukul dua orang datuk sesat lalu digigit ular beracun, bahkan dia
lalu mendapatkan kekebalan dalam
tubuhnya terhadap racun. juga secara aneh dan tidak disengaja, guru
mendiang ibunya sendiri yang lewat
di tempat itu dan menolongnya! Kong
Hosiang sendiri tidak pemah
menduga bahwa anak yang
dikaguminya dan membuat dia ingin
sekali mengambilnya sebagai murid
itu bukan lain adalah putera seorang
di antara kedua orang muridnya!
Semenjak enci adik itu selesai belajar
dan berpisah darinya, Kong Hwi
Hosiang sudah tidak pernah
berhubungan lagi dengan mereka,
juga tidak tahu bagaimana keadaan
kedua orang muridnya itu. Hwesio
tua ini sudah mencapai suatu tingkat
kehidupan di mana dia tidak terikat
lagi dengan apapun.
Setelah makan, dilayani sendiri oleh
Liu Ma dan ditemani pula oleh Han
Lin, Kong Hwi Hosiang minta kepada nyonya rumah untuk dapat bicara
empat mata dengannya. Liu Ma
memandang heran, akan tetapi ia
segera menyuruh Han Lin untuk
meninggalkan ruangan tamu agar ia
dan tamunya dapat bicara berdua
saja. Dengan patuh Han Lin
mengundurkan diri .
Setelah duduk berdua saja,
berhadapan dengan nyonya rumah,
Kong Hwi Ho hwesio berkata dengan suaranya yang lembut, "Sebelumnya
pinceng mengharapkan maaf apa bila apa yang hendak pinceng utarakan ini tidak berkenan di hati nyonya. Secara tidak disengaja, nasib telah
mempertemukan pinceng dengan
putera nyonya, dan begitu
melihatnya, pinceng merasa tertarik
sekali. Putera nyonya itu mempunyai
darah dan tulang yang baik, berbakat sekali untuk mempe lajari ilmuilmu
yang tinggi, juga kiranya akan baik
kalau dia memperdalam ilmu sastera dan keagamaan untuk bekal
hidupnya kelak. Pinceng tertarik
sekali dan kalau nyonya merelakan
dan tidak berkeberatan, pinceng akan merasa bersukur sekali untuk
mengambilnya sebagai murid
pinceng."
Mendengar ucapan ini , wajah Liu Ma
berseri sehingga legalah hati hwesio itu. "Saya akan berterima kasih dan
merasa girang sekali kalau losuhu
suka mendidik Han Lin sebagai murid suhu. Akan tetapi, di manakah suhu
tinggal, di kelenteng mana, dan
jauhkah dari sini ?"
Kong Hwi Hwesio menggeleng kepala dan tersenyum lebar sehingga
nampak mulutnya yang ompong
tanpa gigi lagi sehingga wajahnya
makin mirip wajah bayi yang belum
bergigi! "Omitohud pinceng tidak
pernah mempunyai kelenteng, tidak
pernah tinggal di suatu tempat yang
tetap. Pinceng adalah seorang hwesio
pengembara, nyonya."
Wanita itu mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, baga imana suhu hendak mengambil anak saya sebagai murid
kalau losuhu tidak mempunyai
tempat tinggal"
Apakah ..... apakah suhu hendak
membawa anak saya pergi
mengembara pula, tidak tentu tempat tinggalnya?" Ketika hwesio tua itu
mengangguk, Liu Ma se gera
menyatakan keberatannya. "Harap
losuhu sudi mengampuni saya. Saya
akan berterima kasih sekali kalau
anak saya dapat menjadi murid lo
suhu, akan tetapi sebaliknya, saya
tidak akan dapat hidup dijauhkan
darinya. Hendaknya losuhu ketahui
bahwa hidup saya hanyalah untuk
Han Lin seorang, bagaimana
mungkin sekarang dia akan losuhu
bawa pergi mengembara" Saya hanya
mempunyai dia seorang, losuhu."
"Omitohud...., pinceng juga tidak ingin membuat nyonya yang baik hati
berduka. Akan tetapi, pinceng adalah
seorang hwesio yang miskin dan tidak mempunyai harta secuilpun, tentu
tidak dapat mengadakan tempat
tinggal....."
"Ah, saya teringat, losuhu! Bagaimana ka lau diatur sehingga kebutuhan kita berdua terpenuhi dan kita sama sama merasa enak dan senang" Maksud
saya, losuhu tetap dapat menjadi guru anak saya, sedangkan saya dapat
tetap tidak kehilangan Han Lin, tidak
berjauhan darinya?"
Hwesio tua itu merangkap kedua
tangan depan dada.
"Omitohud.....pinceng yakin bahwa
hati nyonya bersih, dan maksud hati nyonya baik sekali. Akan tetapi, demi menjaga nama baik nyonya, tidak
mungkin pinceng tinggal di sini.
Biarpun pinceng sudah tua renta,
akan tetapi nyonya adalah seorang
wanita janda, maka tidak baik
sekali...."
Liu Ma tersenyum geli, membuat
Kong Hwi Hwesio tidak melanjutkan
ucapannya dan memandang heran.
"Losuhu salah paham, bukan maksud
saya minta kepada losuhu untuk
tinggal di sini. Akan tetapi di dekat
puncak Bukit Ayam Emas di sana
itu terdapat sebuah kuil tua yang
kosong dan tidak dipergunakan lagi.
Kabarnya, puluhan tahun yang lalu
kuil itu menjadi tempat tinggal
seorang tosu, dan pertapa itu
kemudian meninggal dunia di kuil
dan dimakamkan di pekarangan kuil.
Dan sejak itu, kuil itu tidak ada
penghuninya dan rusak karena tidak terawat. Bagaimana kalau saya minta ijin kepada kepa tidakla dusun,
memperbaiki kuil tu dan losuhu
tinggal di sana, mendirikan sebuah
kelenteng dan dengan demikian,
losuhu dapat mendidik Han Lin dan
setiap saat saya dapat
menjenguknya?"
**********
Wajah hwesio itu berseri. 'Omitohud
semua. agaknya telah digariskan
dengan lurus dan tepat! Pinceng akan merasa senang sekali, nyonya, dan
sebelumnya, pinceng mengucapkan
banyak terima kasih atas budi
kebaikan nyonya ."
Ucapan hwesio tua itu bukan sekedar
untuk menyenangkan hati Liu Ma.
Ketika dia melakukan perantauan
dan tiba di daerah itu, hatinya sudah merasa tertarik sekali akan
keindahan alam di situ. Dia merasa dirinya sudah terlalu tua untuk
mengembara Iagi, dan timbul
keinginannya tinggal di daerah yang amat indah itu, untuk menghabiskan sisa hidupnya.
Selain itu, juga dia
ingin sekali meninggalkan
ilmuilmunya kepada seorang murid
yang berbakat, di samping apa yang
telah dia ajarkan kepada Yang Kui
Lan dan Yang Kui Bi. Maka, dapat
dibayangkan betapa senang rasa
hatinya bahwa semua keinginan
hatinya itu ternyata terkabul
sedemikian mudahnya.
Tanpa disengaja, ketika dia
menikmati keindahan alam di dekat
hutan bambu, dia bertemu dengan
Han Lin yang segera dipilihnya
sebagai calonmuridnya. Kemudian
dia bertemu ibu anak itu yang dengan senang. hati hendak memperbaiki
kuil tua untuk menjadi tempat
tinggalnya! Semua begitu kebetulan, begitu tepat memenuhi
kebutuhannya.
Ketika ditany a pendapatnya, Han Lin menyambut dengan gembira sekali ke inginan Kong Hwi Hosiang yang
hendak mengangkat dia sebagai
muridnya. Segera dia menjatuhkan
diri berlutut didepan kaki hwesio itu
dan menyebut suhu" berkali-kali,
Hwesio tua itu tertawa bergelak, dan
Liu Ma juga tertawa senang karena ia
percaya bahwa dibawah bimbingan
seorang hwesio tua yang demikian
ramah dan baik, tentu Han Lin kelak
akan menjadi seorang yang berguna.
Dengan demikian, tentuia akan
merasa berbahagia dan puas bahwa
ia telah dapat memenuhi kewajiban
dengan baik.
Kuil tua itu ternyata masih memiliki
dinding yang kokoh. Hanya lantai dan atapnya saja yang membutuhkan
perbaikan. Liu Ma menjual beberapa
buah perhiasan yang ia terima dari
orang tua Han Lin, dijualnya ke kota
dan iapun memperbaiki kuil itu
sehingga menjadi perhatian yang
menggembirakan bagi para penduduk Li-bun Akan tetapi ketika perbaikan
atap mulai dilakukan, terjadilah hai-hal yang mendatangkan perasaan
ngeri dan takut kepada para pekerja
yang terdiri dari penghuni dusun Li-
bun sendiri. Memang hal-hal yang
amat aneh terjadi.
Begitu atap di pugar, dua orang
pekerja jatuh dari atas atap dan
keduanya menceritakan
pengalamannya yang sama, yaitu
bahwa mereka didorong oleh seorang berpakaian tosu dari atas atap.
Untung mereka hanya menderita
patah tulang kaki saja, tidak sampai
tewas.
Mulamula, peristiwa itu masih
dianggap sebagai hal yang terjadi
karena kekurang hati-hatian dua
orang pekerja itu, Akan tetapi ketika
mereka hendak memasang atap baru, seorang pekerja tiba-tiba saja terkulai dan berkelojotan seperti orang sedang sekarat. Ketika teman-temannya
datang menolong, orang itu menjadi
beringas, matanya melotot, mututnya
berbuih dan diapun berteriak-teriak
kacau, dan suaranya terdengar parau.
"Pergi kalian semua! Pergi ja-ngan
mengganggu tempatku! Akan kucekik kalian semua!" demikian orang itu
berteriak-teriak dan meronta-ronta
karena kaki tangannya dipegangi
banyak orang. Para penduduk dusun
yang masih mudah sekali
dipengaruhi tahyul itu menjadi
ketakutan dan segera Kong Hwi
Hosiang diundang. Hwesio itu datang diikuti oleh Liu Ma dan juga Han Lin.
Ketika Kong Hw i Hosiang memasuki kuil itu dan melihat seorang pekerja
rebah di atas lantai, kaki tangannya
dipegangi banyak orang dan semua
pekerja berhenti bekerja dan
merubung orang itu yang berteriak-
teriak mengusir mereka, dia lalu
mendekati, diikuti oleh Liu Ma yang
takut-takut dan Han Lin yang
terheran-heran.
"Omitohud...., saudara seka lian,
harap lepaskan saja dia," katanya
dengan lembut. Para pekerja
melepaskan orang itu dan cepat
mundur ketakutan, khawatir kalau
orang yang mereka tahu kesurupan
(kemasukan roh jahat) itu akan
mengamuk.
Ketika orang itu dilepaskan, dia pun
meloncat bangkit, matanya melotot
liar, mulutnya berbuih, dan dia
memandang kepada Kong Hwi
Hosiang lalu bertolak pinggang,
sikapnya menantang! "Huh, kiranya ini biang keladinya. Hwe sio gendut
tua bangka, engkau menggunduli
kepala dan mengenakan jubah
kuning, akan tetapi masih bertindak
semena-mena, mengganggu dan
hendak merampas tempatku, ya?"
Kong Hwi Hosiang merangkap kedua tangan depan dada dan berkata
dengan suaranya yang lembut penuh
kesabaran, "Omitohud, tuduhaninu
itu menjadi keba-likan dari
kenyataannya. Tidak ada seorangpun manusia yang mengganggumu, dan
bangunan ini sama sekali bukan
menjadi tempat tinggalmu. Bangunan ini tempat tinggal manusia yang
masih mempunyai badan jasmani.
Engkaulah yang salah memilih
tempat. Sebaiknya engkau mencari
tempat yang jauh dari manusia, dan
mohon ampunlah kepada Yang Maha
Kasih agar engkau dapat
memperoleh kebebasan
kesempurnaan."
Akan tetapi, pekerja yang masih muda dan tubuhnya keka r itu kelihatan
semakin marah. Dia mengeluarkan
suara yang serak dan tidak begitu
jelas, akan tetapi dia membuat
gerakan seolah hendak mencekik
Kong Hwi Hosiang. Melihat ini, Liu
Ma yang berada di belakang hwesio
itu menjadi gemetar ketakutan, dan
Han Lin memegang tangannya.
Anak ini juga merasa ngeri, akan teta pi dia tidak takut, percaya bahwa
guru nya tentu akan mampu
mengalahkan iblis yang memasuki
tubuh pekerja itu.
Kong Hwi Hosiang dengan sikap
tenang, memandang wajah pekerja
itu. Suaranya masih lembut, namun
menggetar penuh kewibawaan ketika dia berkata, "Roh penasaran!
Perbuatanmu ini akan menambah
dosamu dan memberatkan
penderitaanmu. Pergilah engkau!"
Kong Hwi Hosiang lalu membaca
mantram dan menggerakkan kedua
tangannya seperti mendorong dan
pekerja itu mengeluarkan teriakan
nyaring, lalu terkulai roboh.
Akan tetapi begitu roboh, dia bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheranan. "Aih, apa yang
telah terjadi" Kenapa aku" Dan kalian mengapa berhenti bekerja?"
Setelah melihat bahwa pekerja i-tu sudah biasa lagi menunjukkan bahwa roh penasaran yang tadi menyusup ke dalam dirinya telah pergi, teman-
temannya berani menghampiri dan ada yang memberinya minum
sebelum menceritakan ?"
Kong Hwi Hosiang lalu membaca
mantra dan menggerakkan kedua
tangannya seper ti mendorong dan
pekerja itu mengeluar kan teriakan
nyaring, lalu terkulai roboh.
bahwa dia tadi kesurupan. Pekerja
kuil itu bergidik, lalu meninggal kan
pekerjaannya itu, palang dan tidak
berani kembali lagi, dan
perbuatannya ini dan beberapa orang yang merasa ketakutan.
Biarkan mereka pulang kata Kong
Hwi Hos iang-kepada Li Ma yang
hendak menegur mereka Kalau
mereka memang takut, lebih baik
tidak usah ikut membantu dan kita
mencari saja orang yang tidak takut
Demikianlah, perbaikan kuiI itu
dalanjutkan dan yang bekeria adalah orang-orang yang tidak gentar
terhadap gangguan roh jahat. Dan
anehnya, sejak peristiwa itu, tidak ada lagi gangguan sampai pembangunan itu selesai.
Berdirilah sebuah kelenteng baru di
dekat puncak itu. Dan mulailah Kong Hwi Hosiang menyebarkan
keagamaan dan kelenteng itu mulai
dikunjungi orang, untuk mempelajari agama, juga untuk bersembahyang.
Han Lin tinggal di kelenteng itu
sebagai murid Kong Hwi Hosiang, dan anak yang ingin mengetahui
Han Lin pada suatu hari bertanya
tentang peristiwa kesurupan yang
membuat banyak orang ketakutan
Suhu, apa sih artinya peristiwa itu"
Benarkah roh halus itu bias
memasuki tubuh manusia Kong Hwi
Hosiang tersenyum, girang bahwa
muridnya, biarpun masih kanak-
kanak, tidak takut dan tidak
dicengkeram tahyul, hal ini saja
menunjukkan bahwa dia memang
memiliki dasar watak yang kuat.
"Engkau telah melihat sendiri, Han
Lin. Orang itu jelas tidak berpura-
pura, dan tidak pula sakit. Dia
memang telah dirasuki roh
penasaran yang tidak ingin kuil itu
diperbaiki karena kuil itu telah
menjadi tempat tinggalnya."
"Suhu, apakah setiap orang manusia dapat dimasuki roh seperti itu?" Kong Hwi Hosiang menggeleng kepala.
"Omitohud, tidak begitu mudah bagi
roh jahat untuk memasuki diri
seorang manusia, Han Lin. Hanya
manusia yang lemah batinnya,
manusia yang percaya dan tunduk
kepada kekuasaan setan, dan manusia yang berada pada saat-saat lemah
batinnya seperti kalau dia sedang
dikuasai nafsu, sedang marah, sedang bersedih, pendeknya dicengkeram
nafsu, dialah yang seolah-olah
terbuka bagi roh jahat unttk
memasukinya.
Sebaliknya dia yang kuat batinnya, yang tidak sedikitpun mau menyerah terhadap kekua saan nafsu, tidak
tunduk terhadap pengaruh roh jahat, dia yang menyadari bahwa
kedudukan manusia lebih tinggi dari pada roh-roh jahat, dia yang
menyerah kepada kekuasaan Yang
Maha Kasih, tidak mungkin dapat
dimasuki roh jahat."
"Suhu, apakah mantram-mantram itu
dapat mengusir roh jahat?" tanya pu la Han Lin. "Mantram adalah doa
keyakinan manusia terhadap
kekuasaan Yang Maha Kuasa, namun
bukan mantramnya itu yang ampuh, melainkan batin manusianya. Segala kekuatan datang dari kekuasaan Yang Maha Kuasa, kalau kita menyerah
dengan penuh kepasrahan, kita akan terlindung oleh Kekuasaan itu, dan
tidak ada kekuasaan gelap manapun yang akan mampu mengganggu kita ."
Dengan penuh kasih sayang , Kong
Hwi Hosiang mulai mengajarkan iImu kepada Han Lin yang baru berusia
tujuh tahun. Dia digembleng dengan
dasar ilmu silat tinggi, dilatih cara
menghimpun tenaga sinkang tanpa
paksaan agar tidak menghambat
pertumbuhan tubuhnya, juga dia
disuruh membaca banyak kitab kuno dan kebiasaan membaca ini dengan
sendirinya memperdalam
pengetahuannya tentang sastra.
Dan seperti yang dapat nampak oleh hwesio tua itu pada pertemuan
pertama, benar saja bahwa Han Lin memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat. Dia memiliki keluwesan
gerakan, kelincahan dan mudah
menangkap inti suatu gerakan.
Biarpun Han Lin tinggal di kelenteng, namun Liu Ma tidak merasa
kehilangan. Ia dapat bertemu dengan
anak itu kapan saja ia kehendaki dan sering ia datang berkunjung, bahkan Han Lin selalu mendapat perkenan
suhunya setiap kali dia hendak turun bukit menengok ibunya.
Tiga tahun kemudian, pada suatu
pagi, Kong Hwi Hosiang sudah keluar dari kelenteng dan berjalan-jalan ke
puncak. Usianya sudah tujuhpuluh
tiga tahun lebih, dan biarpun dia
masih nampak segar, namun harus
diakuinya bahwa usia telah
menggerogoti kekuatan tubuhnya.
SegaIa sesuatu di permukaan bumi ini akhirnya akan menyerah kalah
terhadap waktu, pikIirnya sambil
tersenyum ketika dia melangkah
mendaki puncak bukit. Akan tetapi
dia tidak pernah mau menyerah
terhadap waktu, karena dia mengenal waktu.
Baginya yang ada hanyalah saat ini,
sekarang, tidak mau dipengaruhi
waktu lalu ataupun waktu
mendatang. Waktu lalu hanya
mendatangkan kenangan, waktu
mendatang hanya menimbulkan
bayangan. Waktu lalu sudah mati dan
waktu mendatang hanya mimpi, Saat ini yang penting, saat ini yang
menentukan.
Ketika akhirnya tiba di puncak, dia
melihat muridnya sudah berada
dipuncak pula, dan agaknya telah
mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar. Akan tetapi muridnya itu sedang menggunakan sebatang
ranting dan menggerakgerakkan
ranting itu seperti orang bersilat.
Bukan gerakan silat dasar seperti
yang dia ajarkan, melainkan gerakan
silat yang membuat hwesio tua itu
terbelalak. Tentu saja dia mengenal
gerakan itu, karena itu adalah satu di
antara ilmu silatnya sendiri yang dia
andalkan. Kong-in Sin-pang (Tongkat
Sakti Angin dan Awan)! ltulah
gerakan yang dilakukan Han Lin,
walaupun hanya sepotong-sepotong
dan tidak sempurna!
Bagaimana mungkin anak itu dapat
melakukan gerakan itu" Pada hal ,
dia ingat benar bahwa dia belum
pernah mengajarkan ilmu tongkat itu, walaupun sedikit, dan dia tidak
percaya di daerah itu ada yang
mampu memainkan ilmu silat
tongkat itu.
Ketika Han Lin kebetulan
membalikkan tubuhnya dan melihat
gurunya, segera dia melepaskan
ranting itu dan berlari menghampiri
kakek itu. "Suhu"...,! Sepagi ini suhu
sudah mendaki ke puncak?"
Kong Hwi Hosiang menghapus peluh
dari dahinya dengan ujung lengan
bajunya yang lebar, tersenyum,
Omitohud.. ..kalau usia sudah tua
mendaki sebegini saja sudah
berkeringat, Han Lin apakah engkau
sudah cukup mengumpulkan kayu
bakar?".
"Sudah, suhu. Itu sudah teecu (murid)
ikat semua. Dia menuding ke arah
ranting-ranting kering seikat besar.
Bagus, dan pinceng tadi melihat
engkau bersilat dengan ranting kayu.
Dari mana engkau mempelajarinya"
Tanya hwesio itu sambil lalu, seolah
tidak menaruh perhatian. Wajah
anak itu berubah kernerahan dan dia
tersenyum.
"Aih, suhu, teecu hanya main-main
sembarangan saja......" "Han Lin,
gerakanmu tadi bukan main-main,
melainkan semacam ilmu tongkat.
Nah, katakan saja sejujurnya, dari
siapa engkau mempelajari ilmu
tongkat itu" Atau kalau engkau
meniru gerakan .orang lain, siapa
yang kaulihat memainkan ilmu
tongkat itu?"
Han lin nampak salah tingkah dan
diam-diam hwesio tua itu merasa
heran. Belum pernah selama tiga
tahun ini dia melihat muridnya
bersikap seperti itu, penuh keraguan,
penuh kepanikan.
"Teecu...... ah, teecu " "Han Lin,
engkau tentu masih ingat bahwa di
antara kita tidak pernah ada rahasia,
dan bahwa amat tidak baik untuk
berbohong, apa lagi terhadap
pinceng , bukan?"
Kini Han Lin mengambil sikap tegas.
Dengan berani dia menentang lagi
sinar mata suhunya. "Teecu ingat, dan teecu tidak akan pernah
melanggarnya, suhu. Akan tetapi
teecu juga ingat bahwa seorang laki-
laki haruslah selalu memegang teguh janjinya. Mengingkari janji
merupakan perbuatan yang pengecut, dan teecu yakin bahwa suhu tidak
ingin melihat teecu melanggar janji.
Hwesio itu mengangguk-angguk. Anak ini memang hebat, pikirnya. Dan
kepada siapa lagi anak ini berjanji,
kalau bukan kepada dia sendiri atau kepada ibunya" Hanya mereka
berdua sajalah yang agaknya patut
menerima janji Han Lin. Dan agaknya memang terdapat suatu rahasia
antara Han Lin dan ibunya itu. Kini dia mulai melihat betapa pandang
mata nyonya janda itu terhadap
puteranya, selain pandang penuh
kasih sayang, juga pandang yang
mengandung penghormatan! Pasti
ada suatu rahasia di antara mereka,
dan rahasia itu pula yang
menyangkut gerakan ilmu tongkat
tadi !
"Sudahlah, Han Lin, kalau engkau
tidak dapat menceritakan kepada
pinceng, tidak mengapa, Memang
seorang laki-laki harus memegang
teguh janjinya, karena itu mengenai
kehormatan. Nah, mari kita kembali
ke kelenteng."
Kong Hwi Hosiang yang bijaksana
tidak pernah bertanya lagi kepada
muridnya tentang ilmu tongkat itu,
akan tetapi ketika dia mendapat.
kesempatan bertemu dengan Liu Ma
dan-bicara empat mata, diapun
mengajukan pertanyaan kepada
Liu Ma.
Dengan pertanyaan pinceng ini.
Beberapa pekan yang lalu, pinceng
memergoki Han Lin bermain silat
tongkat di puncak bukit dan pinceng
heran sekali mengenal ilmu tongkat
itu. Ketika pinceng bertanya dari
mana dia mempelajari ilmu silat
tongkat itu, dia tidak berani
mengaku, mengatakan bahwa dia
tidak boleh melanggar janjinya.
Nah, sekarang pinceng mohon
kepadamu, nyonya, agar suka
berterus terang kepada pinceng.
Pinceng tahu bahwa nyonya amat
menyayangnya, juga pinceng
menyayangnya. Akan tetapi, sungguh
tidak baik kalau terdapat rahasia di
antara kita, seolah ada jurang yang
memisahkan. Pula, pinceng yakin
bahwa nyonya tentu percaya kepada
pinceng.
Liu Ma menundukkan mukanya,
Terjadi perang di dalam hatinya.
Tentu saja ia percaya sepenuhnya
kepada Kong Hwi Hosiang. Pendeta
ini selama tiga tahun ini telah
menunjukkan bahwa dia seorang
yang berhati baik, bijaksana dan
penuh belas kasihan kepada manusia
lain.
Sudah banyak sekali orang sakit yang diobatinya, dan dia tidak pernah mau menerima imbalan apapun. Juga
menurut pengakuan Han Lin, hwesio itu amat sayang kepada Han Lin, dan anak itupun memperoleh banyak
ilmu darinya. Ia tidak akan khawatir
lagi tentang pendidikan.anak itu!
Akan tetapi, haruskah ia membuka
rahasia anak itu kepada hwesio ini" Ia masih bimbang ragu.
"Memang terdapat rahasia besar
dalam diri Han Lin, losuhu. Akan
tetapi perlukah losuhu
mengetahuinya" Rahasia itu selama
ini terpendam di dalam lubuk hati
kami berdua dan sudah kami anggap terkubur. Apa gunanya kalau saya
ceritakan kepada losuhu" Dan apa
perlunya pula losuhu mengetahui
rahasia pribadi Han Lin" Bukankah
selama ini dia menjadi murid yang
baik dan patuh"
'Omitohud, pinceng bukanlah orang
yang suka usil dan mencampuri
urusan orang lain, bukan pula orang
yang suka mengetahui urusan pribadi orang lain. Akan tetapi dalam urusan
yang menyangkut pribadi Han Lin
terdapat sesuatu yang pinceng yakin
ada hubungannya dengan pinceng.
Sebaiknya kalau pinceng katakan
terus terang menga pa tibatiba
pinceng ingin mengetahui latar
belakang kehidupan atau rahasia
Han Lin, nyonya Liu. Ketahuilah
bahwa selama hidupku, pinceng
hanya mempunyai dua orang murid
dan hanya kepada mereka berdua itu saja pinceng mengajarkan ilmu
tongkat pinceng. Dan nyonya tentu
merasa heran sekali melihat betapa
pinceng melihat Han Lin memainkan
ilmu tongkat itu, walaupun tidak
sempurna. Nah, pinceng yakin bahwa
anak itu mempunyai hubungan, atau setidaknya pernah melihat, seorang di antara kedua orang murid pinceng
itu."
Liu Ma memandang heran. Usia
wanita ini sekitar limapuluh tahun,
namun ia nampak lebih tua karena
selama ini ia mengalami hal-hal yang
menyedih kan dan menegangkan.
"Losuhu, bolehkah saya mengetahui
nama kedua orang murid losuhu itu?"
"Tentu saja boleh. Mereka adalah dua orang bersaudara, enci dan adik,
puteri mendiang Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Utama Kaisar Beng
Ong yang melarikan di kebarat.
Mereka bernama Yang Kui Lan dan
Yang Kui Bi dan eh, nyonya, ada
apakah?" Kong Hwi Hosiang
memandang penuh perhatian melihat betapa wanita itu memandang ke
padanya dengan mata terbelalak
lebar dan mukanya menjadi pucat
"Nyonya Liu, tenanglah. Ada apakah?"
Akan tetapi wanita itu kini menangis, menutupi mukanya dengan kedua
tangan dan ia terisak-isak. Kong Hwi
Hosiang merangkap kedua tangan
depan dada dan berkemak-kemik,
membiarkan wanita itu menangis
dulu sepuasnya untuk mencairkan
sesuatu yang membeku dan
mengganjal dihatinya.
Setelah hatinya terasa ringan karena tangisnya akhirnya Liu Ma dapat
menghapus air matanya dan dengan
mata kemerahan ia memandang
kepada hwesio itu. "Losuhu, ternyata
memang benar dugaan losuhu.
Ketahuilah,losuhu,bahwa sebenarnya Han Lin adalah Pangeran Sia Han Lin yang Jolos dari istana ketika "istana diserbu musuh. Ayahnya adalah
mendiang Sia Su Beng dan ibunya
adalah mendiang Permaisuri Yang
Kui Bi...!!!
"Omitohud !" Kong Hwi Hosiang
berseru keheranan, bukan hanya
heran mendengar bahwa Han Lin
ternyata putera kandung muridnya
sendiri, Yang Kui Bi, akan tetapi juga
heran mendengar bahwa muridnya
itu telah menjadi isteri pemherontak
Sia Su Beng yang telah mengangkat
diri menjadi kaisar akan tetapi
kemudian kekuasaannya dirobohkan
dan dia tewas da lam pertempuran.
"Jadi kalau begitu, Han Lin adalah
putera murid pinceng sendiri . . "
Akan tetapi, dia telah ikut denganmu, bagaimana dapat memainkan ilmu
tongkat itu"
Kami melarikan diri dari istana ketika Han Lin berusia lima tahun, losuhu.
Agaknya dia masih ingat kepada
ibunya kalau ibunya berlatih silat dan sekarang, setelah dia belajar silat ke
pada losuhu, dia mencoba untuk
memainkan ilmu silat yang pernah
dilihatnya dimainkan ibunya itu."
"Omitohud...... tidak salah lagi, benar
seperti yang nyonya katakana itu" Dia termenung dan semakin kagum.
Tentu Han Lin sudah mengetahui
bahwa dia adalah bekas seorang
pangeran! Akan tetapi anak itu begitu pandai membawa diri, bahkan
sikapnya demi kian hormat dan
sayang kepada Liu Ma, memegang
janji dan sama sekali tidak nampak
congkak.
"Sebelum ayah ibunya maju perang,
mereka menitipkan Han Lin kepada
saya, losuhu. Saya adalah pelayan
pengasuh keluarga itu dan saya yang
mengasuh Han Lin sejak kecil . Saya
mengajak Han Lin melarikan diri
mengungsi dan tinggal di dusun Li-
bun ini, dusun yang menjadi
kampung halaman saya. Dengan jelas Liu Ma lalu menceritakan semua yang telah dialaminya semenjak ia
membawa Han Lin melarikan diri
dari kota raja Tiang-an dan
mengungsi ke dusun itu.
Hwesio itu menghela napas panjang,
"Betapa aneh jalan hidup anak itu ..
Tanpa disengaja seolah dia
dipertemukan dengan pinceng.
Engkau telah melaksanakan tugas
dengan baik, nyonya. Sebaiknya, kita
biarkan saja keadaan seperti
sekarang, tidak perlu memberitahu
kepada Han Lin bahwa pinceng telah
mengetahui riwayatnya.
Demikianlah, mulai hari itu, dengan
tekun Kong Hwi Hosiang
mengajarkan ilmu silat tongkat Hong-in Sin-pang kepada Han Lin. Anak ini tentu saja girang bukan main
mengenaI ilmu tongkat seperti yang
dahulu sering dia lihat dimainkan
ibunya, akan tetapi tentu saja ilmu ini lebih lengkap dan lebih dahsyat.
Disamping menggembleng muridnya
dengan ilmu silat, juga Kong Hwi
Hosiang lebih tekun mengajarkan
sastra dan terutama tentang inti
pelajaran agama. Dengan dongeng,
perumpaan dan contoh-contoh
kehidupan para bijaksana jaman
dahulu, Kong Hwi Hosiang berusaha
untuk menghapus dendam dari hati
muridnya itu.
"Ingat baik-baik, Han Lin. Musuh
utama bagi seorang pendekar adalah
perasaan dendam. Dan perasaan ini
memang amat sukar untuk
dikalahkan, karena dendam timbul
dari berkembangnya rasa ciri. Begitu rasa diri disinggung dan Terasa
dirugikan, disakiti, dihina atau
dibikin sedih karena kehilangan,
maka dendam akan timbul meracuni hati dan pikiran. Dan kalau dendam
sudah mencengkeram hati dan piki
ran, maka tindakanmu tidak mungkin lurus melalui jalan yang harus dilalui seorang pendekar lagi . Dendam akan menyeretmu ke arah perbuatan yang semata-mata didorong kebencian dan sakit hati, dan kalau sudah begitu,
sama sekali sudah tidak adil dan tidak benarlagi . "
Mendengar ucapan gurunya itu, Han
Lin teringat akan kematian ayah
bundanya. Seringkali, kalau dia
terkenang akan kematian mereka,
timbul dendamnya kepada Kaisar,
bahkan kepada Kerajaan Kini,
mendengar ucapan gurunya dia
mengerutkan alisnya. "Akan tetapi,
suhu, kalau kita tidak membenci
penjahat, bagaimana kita akan
membasmi mereka yang jahat"
Bukankah menurut dongeng sejak
jaman dahulu, orang bijaksana dan
para pendekar selalu menentang
kejahatan dan membela kebenaran
dan keadilan" Kalau kita tidak boleh
mendendam dan membenci penjahat, bagai mana kita dapat bertindak
terhadap mereka?"
"Omitohud....! Kalau hati sudah
diracuni dendam, bagaimana
mungkin kita membela keadilan"
Dendam dan kebencian menghapus
keadilan, karena perbuatan yang
didasari kebencian, bagaimana
mungkin dapat adil lagi" Kebencian
melenyapkan pertimbangan dan satu-satu nya keinginan hanyalah
melampiaskan dendam kebencian."
"Kalau begitu, kita tidak boleh
memusuhi siapapun, suhu?"
"Omitohud, pertanyaan itu tepat
sekali. Kita memang tidak boleh
memusuhi siapapun! Yang ditentang seorang pendekar bukanlah
manusianya, melainkan
kejahatannya. Perbuatan jahat
sewenang-wenang yang mengganggu orang lain patut kita tentang, akan
tetapi dasarnya bukan kebencian
terhadap siapapun. Mengertikah
engkau?"
Melihat anak berusia belasan tahun
itu masih juga belum mengerti betul,
perlahan-lahan Kong Hwi Hosiang
lalu memberi penjelasan tentang
dendam kembencian. Dendam
kebencian memang membuat orang
kehilangan pertimbangan lagi.
Dendam kebencian merupakan nafsu
yang selalu hanya ingin mendapat
kepuasan, dan kepuasan dari nafsu
dendam hanyalah membalas dan
mencelakai orang yang dibenci dan
didendamnya. Dendam timbul karena adanya aku yang merasa dirugikan.
Aku dipukul balas memukul, aku di
benci balas membenci, bahkan
biasanya, pembalasan harus lebih
berat, lebih hebat dari pada
penyebab dendam. Maka tImbullah
dendam mendendam, balas
membalas yang tiada berkesudahan,
kebencian yang mendarah-daging dan terjadilah perang, pembunuhan,
pembantaian dan segala macam
kekejaman yang tidak layak
dilakukan oleh manusia, mahluk yang katanya paling sempurna dan tinggi
derajatnya itu.
Mata kita selalu ditujukan kepada
orang lain, menilai perbuatan orang
lain sehingga segala kesalahan orang
lain, betapapun kecil pun, akan
nampak oleh kita.Kalau saja kita
suka membalikkan pandangan kita,
mengamati diri sendiri, akan nampak bahwa kita ini tidaklah lebih baik dari pada orang lain yang kita anggap
jahat atau buruk itu. Pengamatan ini
akan menyadarkan kita bahwa
kitapun bukan manusia sempurna,
bahwa kitapun tidak lepas dari pada dosa. Kalau kita sudah merasa kotor,
maka melihat orang lain kotor, tentu kita tidak akan memandang jijik.
Kalau kita sudah melihat jelas bahwa
kita sendiri penuh dosa , maka
melihat orang lain berdosa, tentu
akan mudah sekali bagi kita untuk
memaafkan orang lain. Kita tidaklah
lebih baik dari orang lain, dan dunia
ini menjadi kacau balau bukan hanya karena ulah orang lain, melainkan
karena ulah kita bersama!
Kita sendiri, masingmasing dari kita
ikut bertanggung jawab. Hanya orang yang suka mengamati diri sendiri,
hanya orang yang tahu bahwa diri
nya kotor timbul usaha dalam dirinya untuk membersihkan diri dari
kekotoran itu. Sebaliknya, orang yang
hanya melihat kekotoran pada diri
orang lain dan merasa diri nya sendiri bersih, orang seperti ini tidak akan
pernah mau mela kukan usaha
membersihkan dirinya dari kekotoran dan diluar kesadarannya, dia terus
menumpuk kekotoran dalam dirinya
sendiri.
Kalau ada orang memukul kita lalu
kita membalas dan memukulnya, lalu apa bedanya antara kita dan orang
itu" Kalau ada orang membunuh, lalu
kita balas membunuh, berarti kita
semua sama-sama menjadi
pembunuh Kalau orang menipu kita dan kita balas menipu, kita sama-
sama menipu. Dendam membuat kita lupa diri, kehilangan pertimbangan,
kehilangan keseimbangan dan tidak
tahu membedakan lagi mana benar
dan mana tidak benar.
Waktu bergerak seperti siput. Kalau
kita perhatikan, merangkak lambat
sekali, akan tetapi kalau tidak kita
perhatikan, tahu-tahu sudah jauh!
Kalau kita tidak memperhatikan,
bertahun tahun lewat seperti
beberapa hari saja rasanya,
sebaliknya kalau kita menanti sesuatu dan selalu memperhati kan waktu,
beberapa jam rasanya seperti
beberapa tahun.
Lima tahun lewat bagaikan terbang
saja semenjak Kong Hwi Hosiang
mendengar tentang riwayat Han Lin
dari Liu Ma. Dia menggembleng
muridnya itu dengan penuh
kesungguhan, dan Han Lin juga
belajar dengan tekunnya sehingga
kini, Han Lin telah menjadi seorang
remaja berusia limabelas tahun yang
gagah tegap dan memiliki ilmu
kepandaian yang hebat! Berkat
pertemuan hawa beracun dingin dan
panas, lalu ditambah racun ular
senduk kepala putih, di dalam
tubuhnya terkandung kekuatan yang
aneh, dan tubuhnyapun kebal
terhadap racun.
Semua ini dimanfaatkan oleh Kong
Hwi Hosiang yang mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya, termasuk Hong-in Sin pang, ilmu silat tangan kosong
Pat-kwa kun, dan juga ilmu
menghimpun tenaga sakti Im-yang
Sin-kang. Tentu saja karena dia masih amat muda, biarpun dia sudah
menguasai semua ilmu itu dengan
baik sekali, namun latihannya masih
belum matang, apa lagi dia masih
belum mempunyai pengalaman
bertanding dengan orang lain.
Kalau Han Lin tumbuh semakin besar dan semakin kuat, sebaliknya Kong
Hwi Hosiang menjadi semakin tua
dan semakin lemah. Proses ketuaan
ini melanda seluruh umat manusia di
dunia ini. Tidak ada seorangpun
manusia, betapapun kuatnva, yang
akhirnya tidak tunduk kepada
ketuaan dan kelemahan. Demikian
pula Kong Hwi Hosiang. Dalam usia
yang hampir delapanpuluh tahun,
dia mulai lemah walaupun
semangatnya tidak pernah nampak
merosot.
Wajahnya masih nampak segar,
senyumnya masih selalu membuat
wajahnya berseri. Namun, di waktu
dia mengajak Han Lin berlatih silat,
muridnya itu melihat betapa gerakan
gurunya kini semakin lambat dan
tenaganyapun berkurang, terutama
tenaga otot.
Pada suatu pagi yang cerah! Seperti
biasa, Han Lin sudah sejak subuh
bangun dari tidurnya. Gurunya
mengajar kanbahwa mengawali hari
sebaiknya dimulai dengan bangun
yang pagi sekali, sebelum fajar
menyingsing, pada waktu ayam
Jantan berkokok. Sejak pagi tadi, Han Lin telah bangun tidur, berlatih si]at
lalu mandi dan kini dia sudah sibuk
membantu dua orang hwesio lain
yang sibuk di dapur.
Sudah dua tahun ini, di kelenteng itu
terdapat dua orang hwesio lain,
pendatang dari lain tempat yang
menetap di situ menjadi pembantu
Kong Hwi Hosiang. Cun Hwesio dan Kun Hwesio adalah dua orang hwesio berusia limapuluhan tahun yang
rajin. Dari dua orang hwesio ini, Han Lin juga mendapatkan dua macam
iImu yang amat berguna baginya.
Biarpun kedua orang hwesio itu tidak memiliki ilmu silat yang terlalu tinggi, namun Cun Hwe sio adalah seorang ahli gin-kang sehingga dalam hal ilmu berlari cepat dan berlonca tinggi , dia masih lebih lihai di banding kan Kong Hwi Hosiang sekalipun. Dan Kun
Hwesio adalah seorang hwesio yang memiliki keahlian dalam hal ilmu
menolak dan mengusir setan juga
pandai mempergunakan kekuatan
sihir. Dari kedua orang hwesio ini,
yang merasa sayang pula kepada Han Lin, pemuda ini menerima
gemblengan.
Melihat persediaan kayu bakar
menipis, tanpa diperintah lagi Han
Lin lari keluar dari dapur dan
menuruni puncak menuju ke hutan
untuk mencari kayu bakar. Dia tidak
tahu betapa tak lama setelah dia
meninggalkan kuil, muncul tiga orang laki-laki berusia antara limapuluh
sampai enampuluh tahun di'
pekarangan kelenteng itu.
Seorang di antara mereka yang
tubuhnya pendek gendut seperti
katak, mukanya kuning seperti dicat, yang tertua di antara mereka,
berseru dan suaranya parau lantang
seolah menggetarkan atap kelenteng
itu.
'Hei ! , para hwesio penghuni
kelenteng! Keluarlah kalian, kami
ingin bicara!" Sikap dan kata-katanya
sungguh kasar memerintah, tidak
memakai tata susila. Adapun dua
orang temannya yang juga berdiri di
situ, hanya menunggu dengan sikap
congkak. Seorang di antara mereka
juga gendut pendek bermuka hitarn,
adapaun orang ke dua tinggi kurus
bermuka putih dan usia mereka
limapuluh lebih, agak lebih muda
dibandingkan si gendut muka kuning.
Mendengar teriakan itu, Cun Hwesio
dan Kun Hwesio bergegas keluar dan mereka berdua terheran-heran
melihat tiga orang asing yang berdiri
di pekarangan kelenteng itu. Akan
tetapi sebagai pendeta-pendeta yang
sopan dan lembut, mereka cepat
mengangkat kedua tangan depan -
dada member! normat, dan Cun
Hwesio menyambut dengan katakata
halus.
"Omitohud...., siapakah sam-si (anda
bertiga) dan ada keperluan apa
kiranya berkunjung ke kelenteng
kami yang buruk"
Si gendut muka kuning menyeringai. "Hemm, kami ingin bicara dengan
ketua kelenteng. Siapa di antara
kalian yang menjadi ketua kelenteng
ini?"
"Ketua kami sedang bersembahyang
dan bersamadhi," jawab Cun Hwesio. "Ha-ha-ha, para hwesio gundul ini
memang orang-orang pemalas. Selalu menggunakan doa dan samadhi
sebagai alasan, pada hal itu tidur
mendengkur, ha-ha-ha!" Dua orang
lainnya juga ikut tertawa. Cun Hwesio saling pandang dengan Kun Hwesio akan tetapi mereka masih bersabar.
"Omitohud, pinceng tidak tidur, sudah bangun sejak pagi tadi," tiba-tiba
terdengar suara ketua mereka,
membuat kedua orang hwesio
pembantu itu bernapas lega. Tiga
orang itu kini berhadapan dengan
Kong Hwi Hosiang yang ber topang
pada tongkat bambu ular kuningnya.
Karena yang berdiri paling dekat
dengannya adalah laki-laki gendut
bermuka hitam arang, Kong Hwi
Hosiang bertanya sambil memandang kepadanya. "Siapakah sam-wi dan
kepentingan apakah yang membuat
sam-wi datang berkunjung "'
Si gendut muka hitam arang itu
segera memperkenalkan diri dengan
sikap angkuh, "Aku disebut orang
Hek-bin Moong!"
"Omi tohud !" Kong Hwi Hosiang
berseru heran dan memandang
kepada mereka bertiga bergantian.
"Kalaubegitu, pinceng berhadapan
dengan Sam Mo-ong (Tiga Raja IbIis)" Akan tetapi, pinceng pernah
berjumpa dengan Hek-bin.
Mo-ong dan seingat pinceng, Hek-bin Mo-ong adalah seorang yang
bertubuh tinggi besar tidak seperti
engkau yang bertubuh pendek.
'Hwesio sombong! Kaukira tubuhmu itu tinggi ramping" Engkau pun tidak banyak bedanya dengan aku, pendek dan gendut!" Hek-bin Mo-ong berkata marah.
"Omitohud !" Kong Hwi Hosiang yang
memang biasanya selalu tersenyum, kini tertawa gembira.
"Bagaimanapun juga, pinceng pernah bertemu dengan Sam Mo-ong dan
jelas mereka itu bukan sam-wi."
"Hwesio, ketahuilah bahwa memang
kami bukan Sam Moong. Akan tetapi
Sam Mo-ong adalah guru-guru kami
bertiga. Aku disebut orang Kwi-jiauw Lo-mo (iblis Tua Cakar Setan) , dan
aku murid mendiang suhu Toat-beng Mo-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)."
"Dan aku disebut Pek-bin Mo-ong
(Raja Iblis Muka Putih), guruku
adalah mendiang Siauw-bin Mo-ong
(Raja Iblis Muka Tertawa)," kata orang yang tinggi kurus muka putih kapur dengan mulut mewek-mewek seperti hendak menangis. Sungguh aneh
orang yang mukanya seperti selalu
menangis ini menjadi murid Raja Iblis Muka Tertawa, yang selalu tertawa
itu.
"Mendiang guruku adalah Hek-bin,
Mo-ong, dan untuk menghormati
beliau, akupun menggunakan nama
Julukan guruku itu!" kata yang gendut muka hitam arang.
"Omitohud, sekarang pinceng
mengerti. Kirahya sam-wi adalah
murid-murid Sam Mo-ong, diam-diam Kong Hwi Hosiang merasa terkejut
dan heran. Kalau dia tidak salah ingat akan cerita muridnya, dua orang
aneh yang pernah menyerang muridn yaitu agaknya Hek-bin Mo-ong dan
Pek-bin Mo-ong, dua orang di antara
mereka bertiga itu. Dan mereka
semua mengaku murid-murid Sam
Mo-ong .
Akan tetapi, kenapa ilmu kepandaian mereka demikian hebat, me lebihi
tingkat Sam Mo-ong yang pernah
dikenal kepandaiannya"!
"Hwesio tua, siapakah engkau dan
apakah engkau ketua kelenteng ini?"
tanya Kwi-jiauw Lo-mo. Kong Hwi
Hosiang tidak mau memperkenalkan
namanya karena bagaimanapun,
namanya sudah dikenal didunia
persilatan dan dia tidak ingin dikenal
tiga orang ini . "Pinceng memang
pengurus kelenteng ini bersama dua orang saudara pinceng ini. Kami
bertiga pengurus kelenteng ini. Akan
tetapi, ada kepentingan apakah sam-
wi datang berkunjung?"
"Hwesio tua, kami bertiga
membutuhkan kelenteng ini, maka
kami harap kalian bertiga suka pergi
meninggalkan kelenteng ini. Kami
memerlukan tempat dan kelenteng ini memenuhi syarat," kata Kwi-jiauw Lo-mo tanpa sungkansungkan lagi.
Cun Hwesio dan Kun Hwesio
mengerutkan alisnya, akan tetapi
Kong Hwi Hosiang bersikap tenang
dan tetap sabar. "Tiga orang sahabat
yang baik, kalau kalian bertiga
hendak tinggal di kelenteng ini
sebagai tamu kami, silakan . Dibagian belakang masih terdapat kamar-
kamar yang boleh samwi tempati.
Kami selalu menerima tamu dengan
hati dan tangan terbuka ."
"Hemm, kami tidak ingin menjadi
tamu, melainkan ingin mengambil
kelenteng ini sebagai tempat tinggal
kami. Kalian bertiga harus pergi dari sini, sekarang juga !"
"Omitohud , kenapa sam-wi' bersikap
begini" Kelenteng ini bukan milik
kami, melainkan milik penduduk
dusun Li - bun, kami bertiga hanya
sekedar menjadi pengurus kelenteng "
"Hwesio tua, karena melihat kalian
adalah hwesio-hwesio, maka kami
masih berlaku ramah dan lembut dan dengan baikbaik meminta kalian
pergi. Apakah kalian menghendaki
kami bersikap keras dan melempar
kalian bertiga keluar dari tempat InI"
bentak Pek-bin Mo-ong yang selalu
berwajah muram.
"Omitohud, kiranya kalian ini bukan hanya manusiamanusia yang
menggunakan nama julukan iblis,
melainkan iblis sendiri yang
menyamar manusia .
Jahat sekali ! bentak Cun Hwesio yang sudah tidak mampu menahan
kemarahannya lagi sambil
menudingkan telunjuknya kearah
muka Pek-bin Mo-ong.
Sementara itu, Kun Hwesio yang juga sudah merasa penasaran sekali, diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya dan melangkah maju.
"Hei !, kalian bertiga murid Sam Mo-
ong! teriakan Kun Hwesio ini
melengking penuh wibawa, membuat tiga orang itu mau tidak mau terpaksa menengok dan memandang
kepadanya. Kun Hwesio
menggerakkan kedua tangannya ke
atas lalu dihadapkan kepada mereka sambil berseru lagi, kini suaranya
menggetar kuat, "Kalian bertiga
berlututlah!"
Terjadi keanehan. Tiga orang
yang tadinya bersikap bengis dan
galak itu, tiba-tiba saja menekuk
kedua lutut kaki mereka dan mereka
berlutut menghadap Kun Hwesio!
Biarpun mereka bertiga kelihatan
terkejut dan heran, terbelalak,
namun mereka tetap saja berlutut
dengan sikap hormat. Kalau saja
Kong Hwi Hosiang dan kedua orang
pembantunya merupakan orang-
orang yang mencari kemenangan,
ketika tiga orang itu sedang berlutut, tentu akan mudah sekali menyerang
dan merobohkan. mereka.
Akan tetapi, Kong Hwi Hosiang dan dua orang pembantunya adalah tiga orang pendeta yang menaati hukum agama mereka. Mereka memang tidak meninggalkan kewajiban membela
diri, namun mereka sama sekali tidak berani melanggar pantangan
membunuh. Membunuh hewanpun
mereka pantang, apa lagi membunuh manusia.
Selain hukum agama, juga mereka
tidak mau melanggar hukum tak
tertulis dari para pendekar yang
pantang menyerang lawan yang tidak dapat melawan. Melihat betapa tiga
orang itu berada di bawah pengaruh
kekuatan sihir dari Kun Hwesio, Kong
Hw i Hosiang laIu berkata lembut.
"Nah, harap kalian pergi dan jangan
mengganggu kami lagi." Akan tetapi,
tiga orang datuk itu telah memiliki
tingkat kepandaian tinggi dan
merekapun memiliki sinkang (tenaga
sakti) yang amat kuat. Kalau tadi
mereka dapat dipengaruhi kekuatan
sihir Kun Hwesio, hal itu adalah
karena mereka sama sekali tidak
menyangka dan mereka tidak
bersikap menyambut serangan
kekuatan sihir itu.
Hanya sebentar mereka terpengaruh dan ucapan lembut Kong Hwi Hosiang telah menyadarkan mereka kembali. Hek-bin Mo-ong yang gendut
bermuka hitam masih berlutut, akan tetapi matanya terangkat ke atas dan dia melirik ke arah Kun Hwe?sio yang tadi membentak agar mereka
berlutut. Dia tahu bahwa hwesio itu
yang menyerang dengan sihir, maka tiba tiba saja, kedua tangannya yang pendek besar itu didorongkan ke arah Kun Hwe?sio dan dia mengeluarkan
bentakan nyaring.
"Hyaaaaahhhh ... '.!" Pada detik
berikutnya, Kwi-jiauw Lo-mo telah
meloncat dan menyerang Kong Hwi
Hosiang dengan senjatanya yang
menyeramkan, yaitu sepasang cakar
setan yang telah disambungkan
dengan kedua tangannya, dan Pek-bin Mo-ong juga sudah menyerang
Cun Hwesio. Tentu saja kedua orang hwesio itu tidak sempat nenolong Kun Hwesio yang diserang oleh si muka
hitam.
"Desss....! ! Tubuh Kun Hwesio
terlempar ke belakang ketika terkena
hantaman kedua telapak tangan Hek-bin Moong. Memang dalam.hal iImu
silat, dua orang hwesio pembantu itu
kalah jauh di bandingkan para
penyerang itu yang kesemuanya
adalah datuk-datuk sesat yang tentu
saja amat lihai.
Begitu terkena hantaman kedua
tangan Hek-bin Mo-ong, tubuh Kun
Hwesio terbanting ke ras dan tubuh itu kin" menggigil kedinginan, lalu
tubuh itu menjadi kaku dan diapun
tewas seketika karena darah di
tubuhnya menjadi beku!
Tidak seperti Kun Hwesio, Cun
Hwesio yang ahli gin-kang tidak
mudah dirobohkan Pek-bin Mo-ong.
Biarpun si kurus muka putih kapur
itu menghujankan serangan, namun
dengan lincah sekali Cun Hwesio
dapat berloncatan keSana sini dan
selalu dapat menghindarkan diri dari semua serangan itu! Tubuhnya
bagaikan seekor burung walet saja,
gerakannya ringan dan cepat
berkelebatan mengejutkan Pek-bin
Mo-ong yang mengira bahwa
lawannya ini memiliki kepandaian
yang amat tinggi.
Melihat ginkang nya, tentu hwesio ini jauh lebih lihai darinya, Akan tetapi, ketika diserang bertubi-tubi itu Cun
Hwesio hanya mengelak saja tak
pernah menangkis apa lagi balas
menyerang, Pek-bin Mo-ong dapat
menduga bahwa hwesio ini hanya
ahli gin-kang saja akan tetapi bukan
ahli silat tinggi. Maka diapun
menyerang terus dengan gencar.
Yang mampu mengimbangi serangan lawan hanyalah Kong Hwi Hosiang.
Dengan tongkat bambunya, hwesio
tua renta ini ternyata masih tangguh
bukan main. Ilmu tongkatnya. Hongin Sin-pang membuat sepasang cakar
setan di tangan Kwi jiauw Lo-mo tak pernah berhasil me ngenai sasaran,
bahkan hwesio tua itu membalas tak kalah dahsyatnya, membuat Kwijiauw Lo-mo harus berhati-hati. Tak
disangkanya bahwa hwesio tua itu
demikian lihainya. Kalau saja dia tahu bahwa yang dilawannya adalah Kong Hwi Hosiang, tentu dia tidak akan
merasa heran dan tidak berani
memandang rendah.
Hek-bin Mo-ong tertawa melihat
lawannya yang pandai sihir tadi telah
tewas sedemikian. mudahnya di
tangannya. Dia melihat betapa lawan Pek-bin Mo-ong memiliki ginkang
istimewa, akan tetapi diapun tidak
bodoh. Melihat hwesio itu hanya
berloncatan ke sana sini tanpa
membalas, diapun dapat menduga
bahwa hwesio itu hanya pandai gin-kang saja namun tidak memiliki ilmu
silat yang akan membahayakan
rekannya.
Sebaliknya, dia melihat
Kwi-jiauw Lo-mo agak repot
menghadapi Kong HwiHosiang, maka
diapun meloncat ke depan
membantu rekan ini mengeroyok
Kong Hwi Hosiang..
Tentu saja Kong Hwi Hosiang semakin repot. Melawan Kwijiauw Lo-mo saja, dia harus mengerahkan seluruh
tenaga untuk mengimbanginya, apa
lagi dikeroyok oleh Hek-bin Moong
yang memiliki kepandaian setingkat
dengan datuk pertama itu. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak
berkurang, dan napasnya juga sudah tidak setahan dahulu. Namun, hwesio tua ini memang hebat. Karena ilmu
kepandaiannya sudah matang, sudah mendarah daging, biar dikeroyok dua orang datuk yang demikian
tangguhnya, dia masih mampu
membela diri dan tongkatnya yang
berbentuk ular kuning dari bambu
yang khas itu selalu dapat menangkis
sepasang cakar setan Kwi-jiauw Lo-
mo dan pukulan tangan dingin Hek-
bin Mo-ong.
Sampai belasan jurus, Cun Hwesio
masih mampu menghindarkan diri
dari serangan Pek-bin Mo-ong yang
bertubi-tubi. Karena serangannya
selalu luput,Pek-bin Mo-ong merasa
penasaran sekali dan memperhebat
serangan pukulan yang berhawa
panas itu.
Akan tetapi , ketika melihat betapa
Kun Hwes io tewas sedang kan Kong
Hwi Hos i ang d i keroyok dua dan
keadaannya juga terdesak, dia merasa khawatir sekali dan kegelisahannya,
di tambah lagi kini dia memecah
perhatian untuk melihat ke arah Kong Hwi Hos i-ang, Cun Hwes io kurang
waspada dan lambungnya terkena
sambaran pukulan Pek-bin Mo-ong.
Plakk!" Sekali saja terkena pukulan
ampuh itu pada lambungnya, Cun
Hwes io terpelanting dan roboh
berkelojotan sebentar lalu tewas
dengan tubuh kehitaman seperti
terbakar!
Pek-bin Mo-ong tidak lagi
memperdulikan lawan yang dia yakin tentu telah tewas. Dia menoleh ke
arah rekan-rekannya dan mendengus marah melihat betapa dua rekan yang mengeroyok hwe?sio itu masih juga belum mampu merobohkannya.
Diapun meloncat dan dengan
bentakan nyaring, diapun terjun
kedalam perkelahian, ikut
mengeroyok Kong Hwi Hosiang!
Kong Hwi Hosiang mencoba untuk
melawan sekuatnya, namun dia
sudah tua dan tingkat kepandaian tiga orang itu tidak banyak selisihnya
dengan tingkatnya, maka dikeroyok
tiga, tentu saja dia tidak mampu
bertahan lebih lama lagi. Sebuah
tamparan tangan beracun dingin dari Hek-bin Mo-ong mengenai
punggungnya .
Dia terhuyung dan menggigil
kedinginan, lalu datang
pukulan Pek-bin Mo-ong yang
berhawa panas. Selagi Kong Hwi
Hosiang terhuyung, cakaran tangan
kiri Kwi-j iauw Lo-mi mengenai
dadanya dan hwesio tua itupun roboh dan tidak bergerak lagi, mukanya
hitam keracunan dan diapun tewas
seketika.
Tiga orang datuk itu memeriksa
ketiga hwe io dan setelah merasa
yakin bahwa mereka itu tewas semua, mereka lalu menyerbu kedalam
kelenteng mencari kalau-kalau masih terdapat penghuni kelenteng yang
lain. Akan tetapi ternyata tidak ada orang lain lagi di dalam kelenteng.
"Hemmm, di mana Seng Gun?" tiba- tiba Kwi-jiauw lo-mo bertanya kepada kedua orang rekannya.
"Bukankah tadi dia naik ke pun-cak"!l kata Pek-bin Mo-ong. Pemandangan alam disini amat indahnya, tentu dia pergi berjalan-jalan. Biar aku
mencarinya!" kata Hek-bin Mo-ong.
Ketlka Kwi-jiauw Lo-mo mengangguk, Hek-bih Mo-ong tertawa lalu
tubuhnya yang gendut bundar itu
seperti menggelinding pergi dengan
cepat sekali.
Dewa maut berpesta pora d!
pekarangan kelenteng itu dan
mengambil korban nyawa.tiga orang
hweslo yang selama ini hidup
tenteram penuh damai dan pekerjaan mereka hanyalah berdoa dan
menolong para penduduk dusun-
dusun di sekitar daerah Itu. Akan
tetapi mengapa mereka bertiga
mengalami nasib sedemikian
buruknya"
Sejak jaman dahulu, orang selalu
bertanya-tanya tentang kenyataan
ini, yaitu bahwa betapa banyaknya
manusia yang semasa hidupnya
nampak begitu balk hati, dermawan,
suka menolong sesamanya, juga
beribadat, namun kenyataan nya
tertimpa malapetaka, bahkan banyak juga yang tewas secara menyedihkan, baik melalui kecalakaan mengerikan, bencana alam, atau juga dibunuh orang.
Banyak orang yang hidupnya nampak baik dan saleh, semua orang
menganggap dia seorang budiman,
namun hidupnya miskin,
berpenyakitan, dan tertimpa
malapetaka pula sehingga mengalami
kematian yang menyedihkan,
Sebaliknya, banyak pula orang yang pada umumnya dianggap jahat,
kejam, kikir, tidak pernah suka
menolong sesamanya, bahkan
mengingkari Tuhan, namun hidupnya nampak bergelimang kekayaan, selalu nampak senang dan bahkan berumur panjang!
Kenyataan ini merupakan satu di
antara rahasia-rahasia kehidupan
yang tidak dapat dimengerti
manusia, Banyak yang mencoba
untuk mengungkap rahasia ini
dengan berbagai teori dan dalih.
Ada yang menganggap 'bahwa hal itu merupakan hukum karma atau
hukum sebab akibat atau hukum
menanggung akibat perbuatan
sendiri, memetik buah dari pohon
yang ditanamnya sendiri. Tanaman
pohon ini mungkin dilakukan dalam
kehidupan masa lalu, atau ditanam
oleh orang tua, nenek moyang dan
selanjutnya,
Ada pula yang berpendapat bahwa
semua keadaan yang tidak
menyenangkan itu adalah perbuatan setan yang selalu berusaha untuk
menyengsarakan manusia. Namun,
semua itu hanyalah anggapan dan
perkiraan belaka yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya. Hati akal
pikiran manusia terlalu terbatas
untuk dapat mengungkap pekerjaan
Tuhan yang maha besar dan maha
rumit.
Ada orang berpendapat bahwa segala yang menyengsarakan manusia,
termasuk pekerjaan setan yang selalu ingin menyengsarakan manusia.
Benarkah ini" Ada pula yang
beranggapan bahwa hal ini tidak
mungkin karena bukankah penyakit disebabkan kuman-kuman, dan
kuman adalah mahluk hidup yang
berarti ciptaan Tuhan pula"
Kalau Tuhan Maha Pencipta, berarti bahwa semua kuman dan apa saja
yang dapat menyebabkan manusia
sakit, baik itu hewan maupun
tanaman, adalah ciptaan Tuhan.
Berarti bahwa semua yang menimpa manusia dapat terjadi kalau sudah
dikehendaki Tuhan. Benarkah ini"
Tidak ada yang akan dapat
menjawab, karena semua
jawabanpun, seperti semua perkiraan tadi, hanya merupakan pendapat
belaka, hanya perkiraan dan tidak
akan dapat dibuktikan.
Pengertian manusia amat terbatas,
terbatas untuk melayani dan
mencukup kebutuhan manusia hidup
di dunia saja, karena itu, alat berupa
hati akal pikiran tidak dapat kita
pergunakan untuk menguak dan
menjenguk rahasia yang lebih dari
pada kebutuhan kita......
termasuk pekerjaan setan yang selalu ingin menyengsarakan manusia.
Benarkah ini" Ada pula yang
beranggapan bahwa hal ini tidak
mungkin karena bukankah penyakit disebabkan kuman-kuman, dan
kuman adalah mahluk hidup yang
berarti ciptaan Tuhan pula"
Kalau Tuhan Maha Pencipta, berarti bahwa semua kuman dan apa saja
yang dapat menyebabkan manusia
sakit, baik itu hewan maupun
tanaman, adalah ciptaan Tuhan.
Berarti bahwa semua yang menimpa manusia dapat terjadi kalau sudah
dikehendaki Tuhan. Benarkah ini"
Tidak ada yang akan dapat
menjawab, karena semua
jawabanpun, seperti semua perkiraan tadi, hanya merupakan pendapat
belaka, hanya perkiraan dan tidak
akan dapat dibuktikan.
Pengertian manusia amat terbatas,
terbatas untuk melayani dan
mencukup kebutuhan manusia hidup
di dunia saja, karena itu, alat berupa
hati akal pikiran tidak dapat kita
pergunakan untuk menguak dan
menjenguk rahasia yang lebih dari
pada kebutuhan kita......
BERSAMBUNG KE JILID 02
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment