Tuesday, February 26, 2019

Cerita Silat Serial Kisah Si Pedang Terbang Jilid 01.


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Pedang Terbang 
           Jilid 01


Sungainya bagaikan pita sutera biru,
Gunungnya laksana tusuk sanggul kemala!"


Demi kianlah pujian yang ditulis dalam dua baris atau sebait sajak oleh Han Ji (768 824), seorang di, antara para pujangga besar di jaman Dinasti Tang (618 907) i tu. Sebait sajak yang sederhana, namun jelas menggambar kan keindahan alam dari lembah Sungai Li yang dilihat dari puncak Gunung Teratai Biru.


memang, kebesaran alam dengan segala keindahannya terbentang luas di sekitar Kuilin, Propinsi Juangsi itu. Dan Sungai Li merupakan penunjang kuat untuk segala keindahan ini, kesuburan tanahnya, kemakmuran rakyatnya. Sungai Li ini dikenal pula dengan sebutan Sungai Kui atau Sungai Haijang, sebagai sungai yang bermata air dari Gunung Haijang. 


Gunung Haijang berdiri tegak menjulang di antara dua propinsi, yaitu di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari gunung ini mengalir dua batang sungai, yaitu Sungai Li yang mengalir masuk ke daerah Propinsi Kuangsi, sedangkan yang mengalir ke daerah Hunan adalah Sungai Siang.

Dari daerah Kuilin sampai ke da erah Yangsuo terbentang keindahan alam yang tiada habishabisnya, yang sa tu lebih menarik dan lebih indah dari pada yang lain. Namun, seperti banyak ditulis para penyair dan dilukis oleh para pelukis, yang terindah di antara semuanya adalah pemandangan alam di Yangsuo.


Di daerah ini, Gunung Teratai Biru mencakar langit, seringkali puncaknya terselimut kabut tipis, nampak seperti wajah jelita seorang puteri mengintai dari balik tirai putih yang tipis. Indah bukan main! Dari jauh, gunung ini nampak seperti bentuk sekuntum bunga teratai yang menguncup, segar dan indah kebiruan. 


Di kaki gunung ini terdapat dusundusun yang tenang tenteram, dihuni para petani merangkap nelayan yang hidupnya tak pernah kekurangan karena tanah di situ subur dan Sungai Li mengandung banyak ikan. Dan di lereng gunung itu, terpencil sunyi namun penuh kedamaian, berdiri sebuah kuil tua yang indah. Itulah Kuil Cian yang seolah menjadi lambang ketenteraman, mengamati kehidupan rakyat pedusunan yang berada di bawah. 

Dari kuil ini kita dapat menikmati tamasya alam yang berubahubah keindahannya dari pagi sampai senja. Bahkan di waktu malam, kalau bulan muncul bersih tidak terhalang awan, pemandangan di situ amat mempesonakan.

Kota Yangsuo seolah menjadi pusat dari semua keindahan itu, bagaikan sekuntum bunga teratai biru, dikitari berlapisIapis pegunungan yang hijau zamrud, seperti setangkai bunga yang terllndung dalam pelukan daundaun bunga.


Di daerah itu, kedua tepi Sungai Li terjaga pegunungan, dari Gunung Teratai Biru, kalau kita menyusur ke hilir sungai, akan nampaklah Gunung Pela yan Pelajar. Gunung ini memperoleh namanya dari bentuknya yang seperti seorang pelayan pelajar, tenang, diam dan patuh, duduk tegak lurus membantu sang pelajar mendeklamasikan sajak buatan majikannya. 


Dari sisi lain, dia nampak seperti sedang membungkuk, siap menerima tugas dari sang pelajar, Di antara puncakpuncak pegunungan itu, yang terkenal adalah Puncak Singa' Kembar di Gunung Besi. Memang puncak itu mirip sekali sepasang singa yang duduk dengan tenangnya nampak gagah dan jinak, tidak membayangkan keganasan.

Air Sungai Li itu sendiri amat jernih karena belum melalui kotakota besar di mana penduduknya tak segansegan mengotorinya. Airnya jernih tembus pandang sampai ke dasarnya yang terben tuk dari batubatu cadas. Di kanan kiri sungai nampak pegunungan, jurang dan palung-palung buatan alam. Ada dongeng rakyat setempat bahwa di sana pernah terjadi peristiwa hebat, yaitu ketika Sembilan Naga Berlumba Menyeberangi Sungai! Dongeng ini timbul karena adanya garisgaris timbul yang berliku di dasar sungai, sehingga nampak seolah ada sembilan ekor naga berlumba melintasi sungai.


Tak jauh di sebelah .depan lagi nampak di kejauhan dua pegunungan yang berhadapan dan nampak seperti dua pasukan saling berhadapan dengan seragam putih dan merah. Itulah Pegunungan Tebing Putih, dan Pegunungan Tebing Merah. 


Pemandangan pegunungan yang kehijauan bertahtakan tebingtebing putih dan merah !

Maju sedikit Iagi, di daerah Singping di tepi Sungai Li, terdapat Pegunungan Lima Puncak, dan Gunung Lukisan. Keindahan di daerah ini menggerakkan hati banyak penyair untuk datang berkunjung dan menuliskan pujian hati mereka melalui sajaksajak indah, juga tiada habisnya para pelukis kenamaan mencoba untuk menggoreskan suara hati mereka mengutip semua keindahan itu.


Terdapat dongeng rekyat pula di daerah itu bahwa demikian indahnya pemandangnya alam di situ sehingga seorang dewapun tergerak hatinya, dan pada suatu hari, sang dewa itu duduk di atas sepetak rumput menikmati keindahan sambil minum arak dan bersajaklah sang dewa itu. Hal ini sudah terjadi ribuan tahun yang lalu (sajak dari abad ke duabelas sebelum Masehi).


Senja menjelang tiba embun mulai mengelimuti rumput
penuhilah lagi cawan cakrawala
sebelummalam menghapus semua keindahanini! Sepanjang malam kabut menutupi
semua keindahan menakjubkan ini
namun itupuntakkan lama
kabutakan mengering malam akanberakhir!


Hampir semua penyair di jaman itu, yaitu dalam dinasti Tang (618-907) pernah berkunjung dan mengagumi keindahan pemandangan alam di sepanjang Sungai Li, terutama di daerah Kuangsi ini. Di antara mereka adalah pa ra penyair besar seperti Han Ji, Liu Cung Yuen, Huang Ting Ciang, Ji Fu, Fan Ceng Ta, Wang Wei dan terutama sekali Li Tai Po, Tu Fu dan masih banyak lagi. Kabarnya, Li Tai Po sendiri pernah naik perahu seorang diri di' Sungai Li, minum arak dan pada malam terang bulan purnama, penyair besar ini mengenang pengalamannya dengan bersajak. 

Sajaknya itu amat terkenal, terutama di daerah yang dialiri Sungai Li. 

Seperti kebanyakan sajaknya, penyair ini lebih suka menulis tentang perasaan dan kehi dupan manusia melalui dirinya sendiri dari pada sekedar memuji keindahan alam.

Dengan cawan anggur di tangan
dikelilingi bunga, aku minum sendiri tanpa seorangpun menemaniku.
Kuangkat cawan anggurku kepada bulan kuminta bulan mendatangkan bayanganku dan membuat kami menjadi bertiga.


Namun,bulan tidak dapat minum
dan bayanganku tertinggal. hampa;
betapapun mereka adalah kawanka
wanku menamaniku sepanjang musim semi?"

Aku bernyanyi. Bulan tersenyum padaku.

Aku berjoget. Bayanganku

mendampingiku.
Kutahu, kami adalah sahabat-sahabat baik,ketika aku mabok,kami saling kehilangan.


Dapatkah kemauan baik bertahan"
Kutatap jalan panjang Sungai Bintang-bintang!


Di kaki Bukit Ayam Emas yang ter masuk daerah Yuangsuo, terdapat beberapa buah dusun yang bertebaran di sekeliling bukit itu. Di antaranya ada?lah dusun Libun yang terletak di tepi sungai Li. Dusun ini hanya berpenduduk sekitar limapuluh keluarga saja, agak jauh dari dusun lain, paling dekat sepuluh li dari dusun lain dan nampak te nang dan tenteram. Para penghuninya be kerja sebagai petani dan juga nelayan dan di tepi sungai nampak banyak perahu dan rakit dari bambu tertambat. Mereka yang keadaannya agak mampu memiliki sebuah perahu, yang lebih sederha na cukup dengan rakit yang mereka buat sendiri dari bambu.


Pada umumnya, penghuni dusun Libun merasa cukup. Memang sesungguhnya, kaya atau miskin tak dapat diukur dari isi saku atau harta milik. Betapapun besar dan banyak harta milik yang dipunyai seseorang, kalau dia masih mera sa kurang atau belum cukup, sama saja artinya dengan seorang yang miskin dan dia tidak akan dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. Sebaliknya, biarpun seseorang hidup sederhana, namun kalau dia sudah merasa cukup, sama saja halnya dengan seorang kaya raya dan dia dapat menikmati apa yang telah dimilikinya. 


Jadi letak ukurannya bukan di saku atau di gudang harta, melainkan di dalam hatinya. Seperti para penduduk dusun Libun. Karena mereka tinggal di dusun sederhana, maka kebutuhan hidup merekapun tidak banyak, sekedar sandang, pangan dan papan yang sederhana cukuplah. Tidak terdapat banyak godaan terhadap mereka, seperti dalam kota di mana terdapat toko-toko yang men jual barang-barang mewah dan indah, rumah-rumah makan dengan masakan yang mahal, dan rumahrumah indah, juga tontonan-tontonan yang kesemuanya itu membutuhkan uang banyak sehingga tentu saja kehidupan di kota mendatangkan banyak keinginan dan kebutuhan.

Berbahagialah manusia yang dapat menikmati apa yang ada, menikmati apa yang dimilikinya. Namun, selama kita masih dicengkeram nafsu, kita takkan pernah dapat menikmati apa yang kita miliki karena kita selalu menjangkau yang belum kita miliki, yang kita anggap akan lebih indah dari pada apa yang telah kita miliki. 


Sifat nafsu adalah selalu mencari yang lebih dan hanya sejenak saja menikmati apa yang kita dapatkan lalu terganti kebosanan karena kita sudah mengejar yang kita anggap lebih menyenangkan lagi. Dan untuk dapat menjadi manusia berbahagia seperti itu, satu-satunya jalan keluar hanyalah dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih Kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan, kita tidak akan mengeluh dan selalu akan bersukur kepa da Tuhan, dalam keadaan apapun kita berada. 

Kalau segala peristiwa kita sambut sebagai sesuatu yang telah dikehendaki Tuhan, kita tidak akan mengeluh lagi, karena kita yakin bahwa semua kehendak Tuhan pasti terjadi, dan apapun yang ditimpakan kepada kita pasti memillki hikmah karena Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempergunakan atau memanfaatkan semua anggauta tubuh ini termasuk hati akal pikiran kita untuk kesejahteraan hidup ini, dari diri pribadi sampai lingkungan yang makin meluas, keluarga masyarakat, bangsa, dan seluruh manusia. 

Semua usaha itu didasari penyerahan dan keyakinan bahwa semua hasil usaha kita, baik yang bagi kita menyenangkan maupun menyusahkan, terjadi atas kehen dak dan bimbingan Tuhan. Karena itu, hanya puji syukurlah yang keluar dari hati dan mulut kita kepada Tuhan Maha Pengasih.

Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi seolah menggugah semua yang terlelap di malam yang baru lewat, dan memberi kehidupan kepada setiap tumbuh tumbuhan, besar maupun kecil, memberi kehidupan kepada semua mahluk, merupakan satu di antara berkah Tuhan yang berlimpahan kepada ciptaanNya, alam beserta seluruh isinya. 


Permukaan Sungai Li amat tenang dan jernihnya. Kecuali apa bila hujan turun yang membawa banyak tanah dan daun kering mengotori air sungai, air itu selalu jernih dan pagi hari yang cerah Itu, air sungai nampak jernih seperti kaca dan matahari pagi membuat garis-garis perak dipermukaannya.

Sebuah rakit kecil yang hanya terbuat dari beberapa batang bambu, meluncur perlahan menyeberang sungai. Rakit itu membawa seorang anak laki-laki yang dengan gerakan kuat karena sudah terbiasa, mendorong rakit meluncur dengan sebatang dayung. Setelah tiba di seberang, anak laki-laki itu menempelkan rakitnya di tepi sungai, lalu meloncat ke darat dan mengikatkan tali rakitnya pada sebatang pohon bambu yang besar. Tepi sungai dimana dia mendarat itu memang merupakan sebuah kebun bambu yang lebat, di mana terdapat banyak sekali rumpun bambu yang bermacammacam bentuknya. Diapun meninggalkan rakitnya, memasuki hutan bambu membawa sebuah golok dalam sarunq kulit yang dia selipkan di pinggangnya.


Anak itu berpakaian sederhana, seperti pakaian anak-anak dusun di daerah itu, bercelana panjang sampai ke bawah lutut, sepatunya dari kulit kasar, bajunya berlengan pendek, berwarna hitam seperti yang biasa dipakai semua anak di situ karena warna hitam ini awet tidak lekas kotor. Biarpun pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian anak-anak lain di. dusun itu, sederhana namum wajahnya memiliki sesuatu yang tidak biasa didapatkan pada wajah anak anak di situ. Wajahnya amat tampan, dengan kulit yang bersih dan segar kemerahan. Wajah itu berbentuk keras, memperl ihatkan kejantanan pada rahang dan dagunya, namun matanya lebar dan bersinar tajam, hidungnya dan mulutnya mengandung wibawa dan membuat dia nampak anggun, rambut yang hitam dan subur itu dipotong pendek. 


Tubuhnya tinggi tegap, me]ebih bentuk tubuh anak-anak yang berusia tujuh tahun, namun wajah dan tubuh yang membayangkan kegagahan itu di.perlembut oleh senyumnya yang se lalu menghias mulut dan matanya.

Tidaklah terlalu mengherankan melihat anak laki-laki yang demlkian tampan dan gagah walapun berpakaian seperti anak dusun kalau orang mengetahui latar belakang yang amat mengejutkan dari anak laki-laki itu. Ibu kandungnya adalah puteri seorang Menteri Utama Kerajaan Tang, dan ayah kandungnya bahkan pernah menjadi kaisar, walaupun hanya untuk waktu selama sembilan tahun! Ibunya bernama Yang Kui Bi, puteri mendiang .Yang Kok Tiong, menteri utama kerajaan Tang ketika dipimpin Kaisar Hsuan Tsung (Beng Ong, 712 - 755) Adapun ayah kandungnya adalah Sia Su Beng, seorang panglima dari pasukan yang dipimpin pemberontak An Lu Shan. 


Seperti dapat diketahui dalam catatan sejarah, An Lu Shan memberontak dalam tahun 755 dan berhasil merebut tahta kerajaan dari tangan Kaisar Hsuan Tsung yang melarikan diri ke barat. An Lu Shan yang mengangkat diri menjadi kaisar, saling berebut kekuasa an dengan puteranya sendiri yang berna ma An Kong dan An Lu Shan dibunuh oleh puteranya sendiri. Dalam keadaan yang kacau itu, Sia Su Beng, dibantu oleh kekasihnya, yaitu Yang Kui Bi, berhasil menyingkirkan An Kong dan Sia Su Beng mengangkat diri menjadi kaisar Kerajaan Tang! 

Akan tetapi , Kaisar Hsuan Tsung yang lari ke barat, menghimpun kekuatan, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yaitu puteranya yang kemudian menjadi Kaisar Su Tsung, dan pasukan gabungan dari barat itu menyerbu untuk merebut tahta kerajaan yang kini telah berada di tangan Sia Su Beng. Perang itu berjalan selama sembilan tahun dan sementara itu, Sia Su Beng yang telah menjadi kaisar menikah dengan kekasihnya, Yang Kui Bi dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Sia Han Lin.

Akhirnya, ketika Sia Han Lin berusia lima tahun, pasukan Tang yang menyerbu dari barat itu berhasil merebut Tianoan, kota raja dan dalam pertempuran yang hebat, Sia Su Beng dan isterinya, Yang Kui Bi, bertempur sampai tewas. Akan tetapi sebelum mereka maju bertempur, mereka lebih dahulu menyerahkan putera mereka kepada seorang pengasuh, seorang wanita setengah baya yang setia dan yang mengasuh Sia Han Lin sejak bayi, dan minta kepada wanita itu untuk membawa lari Sia Han Lin, mengungsi keluar dari kota raja bersama rakyat.


Demikianlah, bocah berusia tujuh tahun itu adalah Sia Han Lin, putera dari suami isteri mendiang Sia Su Beng dan Yang Kui Bi, suami isteri yang berdarah bangsawan dan tewas gugur dalam perang dalam usia muda. Mereka itu adalah suami isteri yang memiliki ilmu silat tinggi dan gagah perkasa. Sayang bahwa ambisi yang berlebihan, pengejaran kekuasaan, membuat mereka tewas dalam pertempuran.


Liu Ma, yaitu janda yang menjadi pelayan pengasuh keluarga Sia Su Beng, adalah seorang janda yang telah menjadi pelayan pengasuh sejak Han Lin dilahi rkan. la amat setia dan amat sayang kepada Han Lin, karena janda ini sendiri tidak mempunyai anak. la kini berusia empatpuluh tujuh tahun. Dua tahun yang lalu, ketika ia menerima tugas yang berat, ia segera membawa Han Lin yang ketika itu berusia lima tahun, melarikan diri mengungsi ke luar kota raja. Tak seorangpun mengira bahwa anak laki-laki yang mengenakan pakaian biasa dan ditariktarik tangannya oleh Liu Ma, berbaur dengan para pengungsi itu adalah putera Sia Su Beng yang menjadi kaisar!


Liu Ma harus pandaipandai membu juk karena Han Lin selalu rewel dan ta dinya berkeras tidak mau meninggalkan ayah ibunya. Namun, dia sudah cukup besar untuk mengerti bahwa kota raja diserbu musuh dan dia terancam bahaya maut kalau tidak mau diajak melarikan diri.


"Akan tetapi, ayah dan ibu tidak pergi!" Dia membantah ketika dia ditariktarik Liu Ma keluar dari kota raja. "Ayah ibumu tidak takut karena mereka berjuang, mereka melawan musuh," kata Liu Ma yang terpaksa harus menggunakan kalimat biasa, tidak seperti biasanya ia bersikap sebagai seorang pelayan terhadap seorang pangeran! Mulai saat itu, ia harus memperla kukan Han Lin seperti anak biasa, dan mengakuinya sebagai anaknya. Itulah jalan satusatunya untuk menyelamatkan anak yang dikasihinya itu.


"Akupun tidak takut!" kata Han Lin, berusaha melepaskan pegangantangan Liu Ma pada pergelangan tangannya. "Akupun ingin membantu ayah dan ibu melawan musuh!"


"Stt.....!" Liu Ma memondong anak itu dan mendekap mulutnya, lalu berbisik dekat telinganya, "Pangeran, lupakah paduka akan pesan Sribaginda dan Permaisuri" Paduka harus patuh kepada hamba dan jangan menehtang, ini semua merupakan perintah beliau yang tidak boleh kita bantah. Ingatkah paduka?"


Mendengar ini, Han Lin menangis di atas pundak Liu Ma. Memang sejak kecil dia dekat dengan pengasuh ini dan sekarang, diingatkan perintah dan pesan terakhir ayah ibunya, diapun merasa sedih dan menangis.


"Liu Ma, kenapa ayah dan ibu me nyuruh aku pergi...." Kenapa aku harus berpisah dari mereka....?" 

isaknya. 

"Stttt...., pesan mereka sudah jelas, bukan" Mulai saat ini, kita harus merahasiakan bahwa paduka adalah pangeran. Paduka muiai sekarang harus mengaku sebagai anak hamba, dan maafkan, hamba tidak akan lagi bersikap dan berbicara seperti biasa. 

Dan maafkan kalau mulai sekarang hamba akan menyebut paduka dengan nama paduka saja karena ingat, paduka adalah anak hamba."

Han Lin mengangguk dan diapun tidak meronta lagi ketika diturunkan dan tangannya digandeng Liu Ma. 


Demikianlah, Liu Ma mengajak Sia Han Lin mengungsi ke daerah selatan, kembali ke dusun yang menjadi tempat kelahirannya Ketika masih kecil Liu Ma lahir dan tinggal di dusun Libun, termasuk wilayah Kweilin propinsi Kuangsi. Karena ketika pergi meninggalkan istana ia dibekali emas permata yang cukup banyak, maka ia dapat membeli rumah sederhana dan sawah ladang, juga ternak dan ia hidup tidak kekurangan dengan Han Lin yang semua orang menerimanya sebagai putera Liu Ma.

Liu Ma menaati pesan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi. Dengan uangnya, ia membayar seorang penduduk yang cukup berpendidikan untuk mengajarkan ilmu membaca dan menulis kepada Han Lin. Ternyata anak itu cerdas sekali dan selama dua tahun kurang mempelajari sastra, ia kini sudah pandai membaca dan menulis, membuat para anak di dusun itu merasa kagum karena sebagian besar anak-anak dusun itu buta huruf.


Han Lin memang tidak pernah bertanya kepada Liu Ma tentang ayah bunda nya lagi sejak dia mendengar dari Liu Ma bahwa menurut berita yang sampai di dusun itu, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi telah tewas, gugur dalam pertempuran. Semalam suntuk Han Lin tidak tidur, merenung dan menangis, akan tetapi sejak hari itu, dia tidak pernah lagi bertanya tentang mereka kepada Liu Ma, membuat bekas pelayan yang kini menjadi ibunya merasa lega hatinya. 


Akan tetapi, janda ini sama sekali tidak tahu bahwa Han Lin tidak pernah melupakan ayah ibunya, tidak pernah lupa bahwa ayah dan ibunya tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam pertempuran. Dia tidak pernah dan tidak akan pernah melupakan kenyataan itu!

Seperti anak-anak lain di dusun Libun, Han Lin juga bekerja membantu ibunya yang menggunakan dua orang tenaga kerja. 


Dia membantu bertani, menggembala ternak, juga mencari ikan sehingga dalam usia tujuh tahun itu, dia sudah pandai sekali menjala atau mengail ikan. Juga karena hidup dekat sungai, bersama anak-anak lain dia suka mandi di sungai sehingga dia pandai berenang dan gagah pula mendayung perahu a tau rakit.

Pada hari yang cerah itu, seorang diri Han Lin pergi berakit mencari bambu yang terbaik untuk dibuat menjadi joran pancingnya. Joran pancing yang baik adalah yang panjang, tidak berat, lentur dan tidak mudah patah, juga sekecil mungkin. Tidak mudah men cari bambu yang baik untuk itu, dan ka lau hendak mencari bambu, ke mana lagi kalau bukan ke hutan bambu di seberang sungai itu"


Han Lin berjalan perlahan, memandang ke kanan kiri mencari bambu yang dibutuhkannya. la mengenal hutan ini karena sering dia bersama temanteman atau seorang diri berkeliaran di sini, juga dia mengenal banyak macam bambu yang tumbuh di.hutan itu. Guru sastra nya adalah seorang yang ahli perbambuan, mengenal namanama dan sifat banyak bambu sehingga diapun mengenal banyak bambu yang beraneka bentuk dan tumbuh disitu.


Ada bambu yang disebut Bambu Dawai Kecapi, batangnya lurus dan ruasnya agak berjauhan, tidak. bermiang dan warna dasarnya kuning dengan garis-garis lurus berwarna kehijauan. Bambu ini yang biasa disebut pula Bambu Kuning. 


Akan tetapi jenis ini ada yang dasarnya berwarna hijau muda dengan garis-garis hijau tua kehitaman.

Ada pula bambu yang disebut Bambu Berbintik, juga ada yang menamakannya Bambu Selir Siang! 


Tentang nama yang yang ke dua ini ada dongengnya. Di jaman purba terdapat seorang kaisar yang meninggal dunia karena sakit keti ka dia sedang melakukan perjalanan ke selatan. Selirnya yang terkasih demikian sedihnya dan putus asa karena kematian kaisar ini dan selir itupun terjun ke dalam sungai dan kabarnya menjelma menjadi dewi sungai. Batang bambu itu menjadi berbintikbintik terkena air mata selir itu. 

Karena sungai di mana selir membunuh diri itulah ada lah Sungai Siang, maka bambu itu dinamakan Bambu Selir Siang. Pada ruasnya seringkali tumbuh cabang berkelompok, dasar warnanya abuabu kuning dan bintikbintiknya yang tidak rata dan lebih tebal di dekat ruas itu berwarna coklat.

Ada pula bambu yang disebut bambu Muka Manusia karena bentuk ruasnya yang mirip muka manusia, ada juga bambu Tak Berlubang yang batangnya hanya sebesar jari. Bambu Persegi adalah bambu yang aneh, tidak bundar dan kuIit batangnya keras sekali. Ada lagi Bambu Manis yang daunnya amat lebar, menjadi kebalikan dari Bambu Cina yang daunnya kecilkecil sehingga perbandingan daun antara kedua jenis bambu ini sama dengan limapuluh berbanding satu! Ada bambu yang dapat berbunga semerbak harum, di antaranya adalah Bambu Pahit dan Bambu Hitam Berduri. 


Bambu yang terakhir ini tidak terlalu hitam, akan tetapi pada bukubukunya antara ruas terdapat duriduri hitam mengeliliinginya, seolah bukubuku itu dipasangi roda bergigi. Ada pula Bambu Bermiang, ketika mudanya penuh dengan miang yang dapat membuat kulit manusia gatalgatal. Di antara semua bambu itu, Han Lin paling suka mengagumi bamboo yang dinamakan Bambu Sisik Naga! 

Memang bambu ini luar biasa sekali. Batangnya bundar dan gemuk, kokoh dan berlikuli ku seperti tubuh naga, dan ruasnya juga aneh sekali, berselangseling dengan bukubuku menyerong seperti sisik ular atau sisik naga.

Han Lin menghampiri bambu yang dicarinya, yaitu Bambu Tak berlubang. Bambu jenis inilah yang peling cocok untuk dijadikan joran pancingnya. Hanya sebesar ibu jari, tidak berlubang dan lentur sekali. 


Dengan menggunakan goloknya, Han Lin menebang lima batang yang dipilihnya, tidak terlalu tua agar tidak kaku dan cukup lentur, dan tidak terlalu muda agar tidak getas. Dia membersihkan cabang dan daun lima batang bambu itu, kemudian membawa lima batangnya keluar dari dalam hutan bambu. 

Seperti biasa kalau bermain di tempat itu, dia duduk di luar hutan, di tepi sungai di mana rakitnya ditambatkan, dan dia menikmati pemandangan yang amat disenanginya. Memang luar bi asa sekali suasana di tempat yang sunyi itu. Seluruh panca indera kita seperti dibelai dan dimanjakan kalau ki ta berada situ. Hidung mencium keharuman yang khas dari tanah, daun dan bunga. Telinga menikmati gemersik daun daun bambu dihembus angin semilir, bagaikan musik dan nyanyian sorga, dan mata yang. paling banyak mendapat limpahan keindahan. 

Tidak mengherankan kalau para penyair memujimuji "keindahan daundaun bambu yang selalu menarinari, dengan pucuk batangnya yang meli ukliuk, juga para pelukis tak pernah bosan melukis daundaun bambu yang nampak kacau namun indah serasi itu. Kacau namun serasi, itulah keadaan daundaun bambu. Andaikata diatur tangan manusia dan tidak kacau mencuat ke sana sini, bahkan menjadi tidak serasi dan tidak indah.

Seperti biasa, kalau berada seorang diri di situ, mendengar dendang merdu gemercik air di tepi sungai dan gemersik daundaun bambu, disentuh kelembutan semilir angin, Han Lin tenggelam dalam lamunan. Seperti terbayang semua peristiwa yang .telah lalu, mengingatkan dia bahwa dia pernah hidup sebagai seorang pangeran! 


Hidup di dalam istana yang megah di mana setiap orang menghormati dan memuliakannya, dibelai kasih sayang ayah ibunya. Dan sekarang" Semua itu telah musna. Dia menjadi seorang anak yatim piatu yang terpaksa mengakui Liu Ma sebagai ibunya. Dla telah mendengar bahwa ayah ibunya gugur di dalam pertempuran. Dia telah kehilangan segalagalanya.

Akan tetapi tidak! Dia membantah renungannya sendiri. Dia tidak kehilangan segalanya. Dia masih memiliki dirinya! Kalimat ini seperti telah men jadi dasar untuk menghidupkan gairah dan semangatnya. Ibunya menyertakan seheLai surat untuknya dan surat itu selalu disimpan baikbaik oleh Liu Ma. 


Setelah dia pandai membaca, beberapa bulan yang lalu surat itu diberikan Liu Ma kepadanya. Dan kalimat pertama dalam surat ibunya kepada berbunyi: "Jangan putus asa, Han Lin puteraku. Engkau masih memiliki dirimu!"

Kalimat itulah yang selama ini menjadi pegangannya dan selalu berdengung di telinganya setiap kali dia termenung dan kedukaan mulai menyelinap di hatinya. Kemudian, di dalam surat itu ibunya memesan kepadanya agar kelak dia mencari anggauta keluarga ibunya, yaitu kakak ibunya yang bernama Yang Cin Han, dan enci ibunya bernama Yang Kui Lan. Ibunya tidak tahu mereka berada di mana, dan dia sendiri belum pernah bertemu mereka. Akan tetapi kedua nama itu telah terukir dalam hatlnya dan dia berjanji kepada diri sendi ri bahwa sekali waktu, dia pasti akan pergi mencari mereka, paman dan bibinya itu.


Sampai lama Han Lin melamun di situ, tidak .tahu bahwa sebuah perahu meluncur ke tepi sungai, dekat rakitnya dan dua orang yang tadi duduk di dalam perahu, melompat ke darat, kemudian sekali tarik, perahu itu telah terseret ke daratan pula. 


Agaknya dua orang itu kini mulai bercekcok dan barulah Han Lin sadar dari lamunannya ke tika mendengar mereka berdua bicara degan suara nyaring karena marah. Dia cepat menoleh dan dia terbelalak memandang kepada dua orang yang sedang ribut mulut itu. Yang seorang bertubuh pendek gendut, mukanya hitam arang, matanya besar lebar dan mulutnya selalu tersenyum mengarah tawa. Bajunya terbuka di bagian dada, memperl ihatkan dadanya yang penuh gajih. 

Adapun orang ke dua tidak kalah anehnya, bahkan agaknya merupakan kebalikan dari orang pertama karena orang ke dua ini bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat seperti kapur, matanya sipit hampir terpejam dan mulutnya selalu mewek seperti orang menangis. Usia kedua orang aneh ini sekitar limapuluh tahun dan kini mereka bertengkar, didengarkan oleh Han Lin yang merasa terheranheran.

"Hek Bin (Muka hitam), jangan sombong kau! Mentangmentang sudah belasan tahun bertapa di kutub utara, kaukira kini ilmu kepandaianmu tidak ada yang dapat menandingi" Apa kaukira selama belasan tahun ini aku tinggal menganggur saja" Hemm, kautahu, akupun memperdalam ilmuku dan aku yakin engkau tidak akan mampu menandingiku!" kata si muka putih.


Si gendut bermuka hitam itu tertawa bergelak, mengangkat muka ke atas dan ketika tertawa. perut gendutnya bergerakgerak seperti bergelombang. Hahahaha, Pek Bin (Muka Putih), engkau yang tekebur! Engkau selama belasan tahun bertapa di kutub Selatan" Hehehheh, kita dahulu memang setingkat, akan tetapi sekarang, jangan harap engkau akan mampu menandingiku. Lebih baik engkau mengangkat aku menjadi guru dan saudara tua agar aku dapat membimbingmu, hahaha!"


"Wah, gendut muka hitam sombong. kita uji, tidak perlu banyak bica Kita buktikan siapa di antara kita yang lebih kuat dan lebih pantas menja saudara tua! kata si tinggi kurus muka putih.


"Baik, majulah! Mereka berdua lalu berkelahi! Han Lin masih terlalu kecil dan asing dengan ilmu silat untuk dapat menqetahui bahwa dua orang itu bukan hanya berkelahi biasa saja, melainkan bertanding dengan menggunakan ilmuilmu yang dahsyat sekali! 


Gerakan kaki tangan mereka mendatangkan angin bersiutan, debu mengepul dan nampak batu batu beterbangan terlanda angin tendangan kaki mereka, dan rumpun bambu terdekat seperti dilanda angin besar! Mereka itu kadang bergerak sedemikian cepatnya sehingga tidak nampak bentuk tubuh mereka, hanya nampak dua bayangan saja yang seperti bergu]at menjadi satu, dan kadang nampak gerakan mereka per lahanlahan seperti orang bermain-main. 

Namun, sesungguhnya ketika bertanding dengan gerakan perlahan itu mereka amat berbahaya karena keduanya mengandalkan sinkang yang amat kuat.

Han Lin merasa khawatir sekali melihat dua orang itu bertanding seperti itu. Kenapa orangorang tua itu demi kian pandir, tanpa hujan tanpa angin hanya untuk pamer kepandaian dan tidak mau kalah, saling hantam seperti itu" Dia khawatir kalaukalau seorang di antara mereka akan terluka atau tewas, maka dia lalu bangkit dan lain menghampiri, untuk melerai.


Pada saat itu, dua orang aneh yang merasa penasaran karena belum dapat mendesak lawan, dalam benturan kedua tangan, keduanya meloncat ke belakang dan kini keduanya mengerahkan seluruh tenaga melalui kedua tangan yang didorongkan ke depan, saling serang dengan pukulan jarak jauh.


"Tahan....! Harap kedua paman berhenti berkelahi!" Han Lin berlari di antara kedua orang itu. Dia tidak tahu bahwa dia berada di antara dua pukulan jarak jauh yang saling menghantam! Kedua orang itupun terkejut, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli dengan munculnya seorang anak laki-laki di antara mereka dan mereka melanjutkan dorongan mereka.


Han Lin yang sedang berlari itu tibatiba tertahan larinya dan dia terbelalak. Dia berdiri presis di antara kedua orang itu, menghadap ke arah si pendek gendut muka hitam. Dia merasa Han Lin dihimpit dua tenaga
dahsyat, bukan saja tenaga
sinkang kedua orang itu kuat
bukan main, akan tetapi juga
keduanya mengandung hawa
betapa dadanya diterpa hawa dingin seperti es yang membuat tubuhnya seperti kaku membeku, akan tetapi pada saat yang bersamaan, punggungnya dihantam hawa yang amat panas seperti api. 


Han Lin dihimpit dua tenaga dahsyat, bukan saja tenaga sinkang kedua orang itu kuat bukan main, akan tetapi juga keduanya mengandung hawa beracun yang mematikan! Hawa racun dingin dari si muka hitam itu dapat membuat darah menja di beku, sedangkan hawa racun panas dari si muka putih dapat membuat seluruh isi tubuh menjadi hangus terbakar!

Seorang ahli silat yang tangguh sekalipun tidak akan kuat menerima hantaman dari kedua pihak dengan tenaga sinkang beracun seperti itu, apa lgi tubuh Han Lin, anak berusia tujuh tahun yang belum pernah belajar ilmu silat sama sekali. 


Tubuhnya berkelojotan dan matanya melotot, kaki tangannya terpetang seperti disambar halilintar , rambutnya berdiri semua, jarijari tangannya terpentang.

Agaknya kedua orang aneh itu tidak memperdulikannya, bahkan merasa jengkel dan menganggap anak itu menjadi pengganggu saja, maka sekali keduanya menggerakkan lengan, tubuh Han Lin terlempar ke dalam hutan bambu dan jatuh ke dalam rumpun bambu. Dua orang aneh itu tidak memperdulikan lagi kepadanya karena mereka berdua merasa yakin bahwa anak itu tentu sudah mati. 


Biar seorang ahli silat tangguh sekali pun, sukar untuk dapat bertahan hidup terkena pukulan seorang saja dari mereka, apa lagi anak kecil i tu menerima pukulan dari mereka berdua! Mereka melanjutkan adu tenaga dan ternyata keduanya seimbang sampai akhirnya mereka berdua samasama lemas dan mengakhiri adu tenaga itu dan cepat duduk bersila untuk menghimpun tenaga. Kemudian mereka bangkit lagi .

"Hekbin yang gendut, engkau ternyata hebat!" kata si muka putih. "Engkaupun hebat, Pekbin. Ternyata kita masih juga seimbang sekarang, maka biarlah kita menjadi seperti dahulu, tidak ada yang lebih tua tidak ada yang lebih muda, tidak ada yang lebih kuat atau lebih lemah." Si gendut tertawa bergelak.


"Bagus, kalau begitu, mari kita bersama mencari rejeki!" kata si muka putih. Mereka berdua lalu berkelebat dan tahutahu mereka sudah berada di atas perahu lagi yang diluncurkan cepat ke tengah sungai. Mereka sudah lupa lagi kepada anak yang menjadi korban adu tenaga mereka tadi. Dua orang itu memang bukan orang sembarangan. Belasan" 

tahun yang lalu mereka sudah terkenal sebagai Hek Pek Moong (Raja Hitam dan Putih) sepasang datuk yang berilmu tinggi akan tetapi sesat. 

Akhirnya, para pendekar bangkit dan mereka itu terusir dari dunia kangouw. Keduanya lalu merantau, seorang ke selatan seorang ke utara dan selama belasan tahun mereka bersembunyi sambil memperda lam ilmu mereka. Kini mereka telah turun kembali ke dunia ramai sebagai dua orang tokoh yang' ilmu kepandaiannya he bat sekali. Yang gendut muka hi tam ber juluk Hekbin Moong (Raja Iblis Muka Hitam), sedangkan yang kurus kering mu ka putih berjuluk Pekbin Moong (Raja Iblis Muka Putih). Dunia persilatan pasti akan menjadi gempar dengan turunnya dua orang datuk sesat ini dari tempat persembunyian mereka.

Tubuh Han Lin bergerakgerak, berkelojotan dalam sekarat_. Anak berusia tujuh tahun itu telah diserang pukulan ampuh dari depan dan belakang, dengan hawa beracun dingin dari depan dan hawa beracun panas dari beiakang. Kalau saja dia terkena satu saja dari dua pukulan itu, tentu dia telah tewas seketika.


Kalau terkena pukulan dingin saja, tentu semua darah di tubuhnya sudan membeku, atau kalau terkena pukulan panas saja, tubuhnya sudah hangus. Akan tetapi justeru karena pukulan itu datang dari depan dan belakang, tubuhnya seperti terhimpit dua pukulan yang saling menolak. Hal ini membuat dia tidak sampai tewas seketika. Namun, hawa beracun panas dan dingin itu telah menyusup ke dalam tubuhnya, membuat tubuh itu berkelojotan dalam sekarat, mati tidak hiduppun enggan.

Sejak lahir sampai mati, kita tidak dapat mengatur atau menguasai kehidupan kita sendiri. Kita dilahirkan begitu saja di luar kehendak kita, kemudian selama hidup kitapun tidak tahu apa akan terjadi dengan hidup
kita, kemudian kematian datang tanpa dapat kita tolak atau minta. 


Mati atau hidup sepenuhnya berada di tangan Tuhan, dalam kekuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki kita mati, tidak ada tempat persembunyian bagi kita untuk menghindarkan diri. Biar kita bersembunyi ke lubang semut, maut tetap akan datang men jemput. 

Sebaliknya, apa bila Tuhan belum menghendaki kita mati, biarpun dihujani seribu batang anak panah, kita akan terhindar dari pada maut.

Betapa banyaknya manusia, yang diakuinya maupun tidak, merasa takut akan kematian. Pada lahirnya boleh membual dan berlagak tidak takut mati, namun jauh di sebelah dalam, lubuk hatinya, dia merasa ngeri dan takut! Mengapa takut akan sesuatu sudah pasti terjadi, akan sesuatu yang tidak mungkin terelakkan lagi, sesuatu yang akan menimpa setiap orang di dunia ini, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, pandai atau bodoh" 


Kenapa takut menghadap sesuatu yang tidak dapat kita ketahui keadaannya, sesuatu yang tidak kita kenal" Sesungguhnya, kita tidak mungkin takut kepada suatu keadaan yang tidak kita ketahui. Yang kita takuti adalah suatu keadaan yang kita ketahui melalui kepercayaan, dongeng dan penuturan tentang keadaan sesudah mati. Yang kita takuti adalah kenyataan bahwa kalau kita mati, kita meninggalkan semua yang kita sukai dan cintai. 

Meninggalkan harta benda, meninggalkan keluarga meninggalkan segala macam kesenangan hidup di dunia ini.

Berbahagialah orang yang menyerah kepada Tuhan secara menyeluruh, lahir batin, pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Baginya, kematian bukanlah suatu akhiran, melainkan suatu kelanjutan dari pada kehidupan di dunia ini. Dan, baik hidup di dunia ataupun kelanjutannya yang dinamakan mati, selama kita menyerah kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai dan memiliki seluruh alam beserta isinya, berarti yang memiliki dan menguasai diri kita, maka tidak ada rasa takut terhadap kehidupan maupun kematian .


Menyerah kepada Tuhan sama sekali bukan berarti acuh, pasip, ataupun mandeg. Sama sekali bukan! Itu bukan pasrah namanya kalau kita hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa mau berusaha sesuatu! Tuhan telah melahirkan kita dengan alat yang paling sempuma dan lengkap, tangan kaki, hati akal pikiran, semua itu tentu untuk dimanfaatkan, dikerjakan sekuat kemampuan masingmasing, demi kesejahteraan hidup di dunia ini, demi kelangsungan hidup dan penjagaan diri. 


Bekerja! Itu lah hidup, karena hidup berarti gerak, dan gerakan kita berarti bekerja. Namun semua pekerjaan, usaha dan ikhtiar kita itu dilandasi kepasrahan mutlak kepada Tuhan, karena hanya Tuhan yang dapat menentukan, apa yang akan kita alami dalam kehidupan ini maupun dalam kelanjutannya setelah kita meninggalkan dunia. Kalau sudah begitu, apa lagi yang perlu ditakuti" Adakah yang lebih membahagiakan bagi setetes air dari pada kembali ke samudera tempat dia berasal"

Demikianlah pula dengan Han Lin yang tubuhnya nyangkut di antara rebung bambu di rumpun itu. 


Tubuhnya ber kelojotan, kaki tangannya bergerak-gerak. Tanpa disadarinya, kaki kanannya menendang seekor ular yang sedang melingkar di rumpun bambu itu. Ular itu adalah seekor ular senduk kepala putih yang amat berbisa. Karena tertendang kaki yang berkelojotan, ular itu menjadi marah dan lehernya mekar, mulutnya mendesis, lalu leher itu terangkat tinggi, matanya mencorong mengikuti gerakan kaki yang masih menendangnendang. Mungkin dia mengira bahwa kaki itu sengaja hendak menyerangnya, maka tibatiba saja kepalanya bergerak . dan pada detik lain, moncongnya telah meng gigit betis Han Lin yang kiri.

"Capp!" Gigigigi kecil runcing terhunjam di dalam daging betis itu dan liur beracun memasuki jalan darah di betis Han Lin. Akan tetapi ular itu menggeliatgeliat, tidak dapat melepas kan lagi moncongnya dan hanya sebentar dia mengeliat lalu tak bergerak, mati dengan gigi masih menancap ke dalam betis Han Lin. Kini terjadi perubahan pada tubuh Han Lin. Kaki tangannya tidak berkelojotan lagi, melainkan terdiam dan diapun rebah di antara rebung bambu, menggeletak miring dan sama sekali tidak bergerakgerak Iagi.


Matikah dia seperti ular senduk itu"
"Omitohud !" Suara pujian ini keluar dari mulut seorang hwesio yang berdiri di dekat rumpun bambu, memandang kearah tubuh Han Lin yang tidak bergerak. Hwesio ini berusia lanjut, sedikitnya tentu sudah tujuhpuluh tahun, tubuhnya gendut seperti patung Jilaihud, namun wajahnya yang gemuk itu seperti wajah seorang anak kecil, segar kemerahan dan sinar matanya begitu terang. Jubahnya kuning sederhana, sepatunya dari kulit kayu dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu ular kuning, semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, seperti' Bambu Sisik Naga yang terdapat di hutan itu akan tetapi lebih kecil.


Hwesio itu kini berjongkok, memeriksa keadaan Han Lin, menyentuh nadinya dan melihat ular senduk yang masih menggigit betis anak itu. lalu diatertegun, menggelenqgeleng kepalanya dan menarik napas panjang, merangkap kedua tangan depan dada, lalu berseru penuh ketakjuban. "Omitohud, suatu mujijat telah terjadi pada diri anak ini "


Dengan teliti dia membuka baju Han Lin, memeriksa dada, leher, dan kembali 'memeriksa denyut nadinya . dan memeriksa bekas gigitan ular pada betis setelah dia melepaskan gigitan ular itu dan memeriksa pula tubuh ular yang wamanya berubah kehitaman.


"Omitohud !" berulangulang dia berseru, menganggukanggukkan kepalanya yang gundul, lalu tersenyum lebar, "Bukan main, belum pemah aku melihat hal yang begini kebetulan! Mujijat-mujijat....! Dalam tubuh anak ini terdapat hawa beracun, dingin dan hawa beracun panas, akan tetapi ke dua hawa beracun itu kehilangan kekuatannya oleh racun ular senduk kepala putih! Justeru perpaduan antara racun dingin dan racun panas itu, ketika bertemu racun ular, menjadi jinak dan tidak merenggut nyawa anak ini. Sungguh, nya wa anak ini tadi hanya bergantung kepada sehelai rambut yang halus sekali. Bukan main!"


Akan tetapi, hwesio tua itu lalu memandang ke sekeliling dengan penuh kewaspadaan.. "Orang yang dapat memukul dengan hawa beracun dingin atau panas seperti itu, sungguh merupakan orang yang amat berbahaya dan lihai." katanya kepada diri sendiri. Hatinya lega setelah melihat bahwa di situ tidak terdapat orang lain dan kembali perhatiannya tertuju kepada Han' Lin. Anak itu mengeluarkan suara keluhan lirih dan tubuhnya mulai bergerak. Ketika dia membuka mata, yang per tama kali dilihatnya adalah dua buah rebung Bambu Persegi. Rebung ini enak sekali kalau dibuat sayur, rasanya gurih dan seringkali dia mengambil rebung Bambu Persegi ini untuk dimasak ibunya. Han Lin sekarang sudah hampir lupa bahwa Liu Ma bukan ibunya, saking terbiasa menyebut ibu kepada wanita yang amat mengasihinya itu.


"Sukurlah engkau tidak apa-apa,nak." Han Lin terkejut mendengar suara itu dan ketika dia menoieh melihat seorang hwesio tua bersila di dekat situ, dia cepat merangkak bangun, akan tetapi dia mengeluh dan memejamkan matanya karena tibatiba dia merasa pening dan ingin muntah. Dia merasa sebuah tangan yang lebar dan hangat menempel di punggungnya dan suara lembut tadi berkata lagi, "Anak baik, duduklah bersila dan pejamkan matamu, tenangkan hatimu. Engkau telah terlepas dari bahaya maut. Biarkan hawa hangat dari tangan pinceng memasuki tubuhmu dan membantumu membersihkan sisa hawa beracun yang menyerangmu."


Han Lin tidak mengerti apa arti semua katakata itu, akan tetapi dia teringat akan peristiwa yang dialaminya tadi dan dia dapat menduga bahwa hwesio tua ini tentu bermaksud menolongnya, maka diapun menaati. Dia menahan kepeningan kepalanya, lalu bersila dan dia membiarkan hawa hangat yang te rasa memasuki punggungnya itu menjalar masuk ke seluruh tubuhnya. Tak lama ke mudian, pening kepalanya hilang, juga rasa mual hendak muntah. Dia tidak melihat betapa dari kepalanya mengepul uap tipis hi tam !.


"Omitohud.... sungguh ajaib, ini namanya bahaya maut berubah menjadi berkah yang amat besar! Bukan saja engkau terbebas dari maut akan tetapi kini tubuhmu akan kebal terhadap serangan racun. Bukan main!"


Han Lin belum mengerti benar kecuali hanya bahwa hwesio tua itu telah menyelamatkannya, maka diapun berlutut di depan hwesio itu.

"Losuhu, terima kasih atas perto longan losuhu kepada saya," katanya. 

"Omitohud....!" Hwesio tua itu kembali memandang heran. Anak ini memang berpakaian seperti anak dusun, akan tetapi wajahnya jelas bukan anak biasa, dan begitu mengerti tata susila, juga ucapannya teratur seperti seorang anak yang terpelajar. "Anak baik, apakah yang telah terjadi denganmu tadi" Pinceng menemukan engkau tergigit seekor ular dan tubuhmu penuh dengan hawa beracun."

"Ular" Saya saya tidak tahu, losuhu," kata Han Lin dan melihat bangkai ular tak jauh dari kakinya, bangkai ular yang kering seperti terbakar kehitaman, diapun memandang heran. "Tadi saya melihat dua orang kakek berkelahi, saya bermaksud untuk melerai dan mencegah mereka berkelahi. Tibatiba saja saya merasa dada saya amat dingin dan punggung saya amat panas dan tubuh saya terlempar ke sini, lalu saya tidak ingat apaapa lagi."


"Omitohud..., engkau tentu bertemu dengan dua orang sakti yang sedang mengadu tenaga sinkang! Mereka itu lihai bukan main. Seperti apakah mereka itu?"


"Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan muka hitam, orang ke dua tinggi kurus bermuka putih seperti kapur. Yang muka hitam arang itu disebut oleh kawannya Hekbin oleh kawannya dan yang muka putih kapur disebut Pekbin."


"Hemmm, berapa usia mereka?" "Kirakira limapuluh tahun, losuhu ."
"Hemm.... mungkinkah mereka...?" 


Setelah belasan tahun menghilang, mungkinkah mereka kini muncul kembali?" "Siapakah mereka, losuhu?" "Kelak engkau akan mengetahui, sekarang yang penting, siapakah engkau, di mana rumahmu dan siapa pula orang tuamu?" .

"Losuhu, nama saya Sia Han Lin, rumah saya di seberang sungai, dusun Libun, dan orang tua saya, hanya ibu saya yang berada di rumah. Saya tidak mempunyai ayah lagi."


"Omitohud, engkau yang sekecil ini telah kehilangan ayah. Han Lin, pinceng melihat engkau bukan seperti anak dusun biasa. Ingin pinceng berkenalan dan bicara dengan ibumu. Bolehkah pinceng mengantarmu pulang agar pinceng dapat bicara dengan ibumu?"


"Tentu saja boleh, losuhu!" ka'ca Han Lin gembira. "Ibu tentu akan merasa gembira dan berterima kasih sekali karena losuhu telah menolong saya."


"Omitohud. bukan pinceng yang menolongmu, Han Lin. Engkau tertolong oleh suatu kebetulan, suatu keadaan yang amat aneh. Pada saat bersamaan, engkau terkena pukulanpukulan yang me matikan, agaknya ketika engkau melerai dua orang yang sedang betanding tadi. 


Karena dua macam pukulan mengandung daya yang saling bertentangan, maka engkau tidak jadi tewas, padahal setiap pukulan itu sudah cukup untuk menewaskan seorang dewasa yang tangguh sekali pun. Namun, karena dua hawa pukulan beracun itu saling meluruhkan. Biarpun begitu, tubuhmu dipenuhi dua macam hawa beracun dan pada saat itu, sungguh menakjubkan sekali, muncul ular senduk kepala putih menggigit betismu. 

Pada hal, gigitan ular itu akan mematikan seorang yang tangguh sekalipun! Dan racun gigitan ular itulah yang membebaskanmu dari kematian karena pengaruh dua
Liu Ma menyambut pulangnya Han Lin dengan terheranheran karena anak itu bergandeng tangan dengan seorang hwesio tua yang, bertubuh gendut dan berwajah seperti anak kecil hawa beracun itu. Engkau selamat, bukan oleh pinceng, bukan pula oleh ular, melainkan oleh Pemberi Kehidupan yang agaknya belum menghendaki engkau mati. Nah, mari antar aku berkunjung ke rumah ibumu, Han Lin."


Mereka lalu menggunakan rakit me nyeberangi sungai. Hwesio tua itu agak nya sengaja membiarkan Han Lin yang mendayung rakit menyeberangi sungai dan diamdiam dia memandang dengan wajah ramah dan hati kagum karena anak itu sedikitpun tidak lagi nampak menderita, dan biarpun rakit yang ditumpangi dua orang itu cukup berat, namun Han Lin mendayung dengan penuh semangat. Anak ini jelas memiliki semangat yang amat tinggi, pantang menyerah, tabah dan juga sama sekali tidak cengeng!


Liu Ma menyambut pulangnya H an Lin dengan terheranheran karena anak itu bergandeng tangan dengan seorang hwesio tua yang bertubuh gendut dan berwajah seperti anak kecil, kulitnya putih kemerahan dan segar.


"Han Lin, apa yang terjadi dan siapakah losuhu ini?" tanya janda itu dengan pandang mata khawatir. Apapun yang terjadi kepada anak itu, selalu mendatangkan perasaan khawatir di hati nya. la selalu gelisah nemikirkan nasib anak itu, takut kalaukalau ada yang tahu bahwa Han Li" adalah putera Sia Su Beng yang pernah menjadi kaisar !


'Omitohud, harap nyonya tidak khawatir. Putera nyonya baikbaik saja dan karena pinceng tertarik sekali melihat pribadinya, maka pinceng ingin sekali bertemu dengan nyonya yang demi kian pandainya mendidik puteranya. Sungguh pinceng merasa kagum dan hormat kepada nyonya karena nyonya telah mendidik seorang putera dengan demikian baiknya."


Liu Ha t ersenyum juga wajahnya berubah kemerahan karena tentu saja ia merasa bangga menerima pujian dari seorang hwesio tua. Siapa tahu, arwah ayah ibu kandung Han Lin akan dapat mendengarkan suara seorang pendetatua ini bahwa ia telah benarbenar setia dan patuh me laksanakan tugas yang dibebankan kepadanya, yaitu merawat dan mendidik Han Lin dengan penuh kasih sayang dan kesungguhan hati.


"Ibu," kata Han Lin dengan hati tegang karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa aneh tadi, "Tadi aku bertemu dua orang manusia aneh dan aku hampir mati karena pertemuan itu. Juga kakiku digigit ular senduk kepala putih yang sangat beracun. akan tetapi aku tidak mati. Losuhu ini yang telah menyelamatkan nyawaku
Wajah wanita itu seketika m enjadi pucat, matanya terbelalak dan dengan menahan jeritnya, ia merangkul Han Lin. "Han Lin apa yang terjadi, nak" Bagaimana perasaanmu sekaranq" 


Apanya yang terasa sakit?" Dengan penuh kasih sayang wanita itu memeriksa tubuh anaknya dan tampak gugup ketika melihat bekas gigitan ular pada betis anak itu. 

"Kau.... kau harus cepat kuperiksakan pada tabib"






"Omitohud..., harap nyonya tidak 
khawatir. Ha n Lin telah terhindar 
dari bahaya maut, bukan karena 
pinceng, melainkan karena memang 
dia belum waktunya meninggalkan 
dunia ini."

"Benar, ibu. Aku tidak apaapa, ibu 

jangan khawatir." "Ah, kalau begitu, 
kami berhutang budi kepada lo suhu," dan wanita itu cepat menjatuhkan 
diri berlutut di depan hwesio tua itu. 

Hwesio itu tergopoh menyuruhnya 
bangkit dan diamdiam dia semakin 
heran. Wanita inipun bukan seperti 
wanita dusun, melainkan seorang 
yang lemah lembut dan mengerti tata susila seperti orangorang 
berpendidikan. Dia tidak tahu bahwa tentu saja Liu Ma mengerti tatasusila 
karena ia pemah menjadi seorang 
hamba di dalam istana, melayani 
keluarga kaisar!

Setelah disuruh bangun , Liu Ma 

bangkit berdiri lalu dengan sikap 
hormat sekali ia mempersil akan 
hwesio itu untuk duduk di ruangan 
dalam. la segera sibuk menyuruh 
pembantunya untuk mempersiapkan 
makanan yang tidak mengandung 
daging, juga membuatkan minuman 
dari sari buah untuk menjamu hwesio itu makan minum. Hwesio tua itu 
memperkenalkan diri sebagai Kong Hwi Hosiang kepada Liu Ma dan dia tidak menolak jamuan makan yang 
diadakan oleh Liu Ma untuk 
menghormatInya. 

Dan hidangan makan minum itu 
menambah rasa kagumnya kepada 
wanita itu karena temyata nyonya 
rumah itu menjaga benar agar tidak 
ada daging dalam semua hidangan. Seorang wanita yang pandai 
membawa diri dan cermat. Pantas 
saja memiliki seorang putera seperti Han Lin. Dan diapun semakin tertarik kepada Han Lin dan semakin kuat 
keinginannya untuk mengambil anak itu menjadi muridnya.

Kong Hwi Hosiang adala h seorang 

hwesio berilmu tinggi yang sejak 
muda mempunyai kesukaan 
merantau, tidak menetap di dalam 
sebuah kuil. Dia merantau sambil 
mengajarkan agama Buddha, di 
samping itu, karena dia seorang ahli 
silat yang tangguh, diapun bertindak sebagai seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan. 

Namanya dikenal di dunia persilatan, 
dan selama puluhan tahun merantau 
dia memperdalam ilmuilmunya 
sehingga menjadi seorang yang sakti. 

Karena dia suka merantau, maka 
selama hidupnya, dia hanya 
mempunyai dua orang saja murid 
wanita dan muridmuridnya itu bukan lain adalah ibu kandunq Han Lin 
sendiri yang bemama Yang Kui Bi 
dan encinya, yaitu Yang Kui Lan!

Memang sungguh aneh sekali jalan 
hidup Han Lin. Bukan saja dia secara 
aneh dan kebetulan terhindar dari 
maut terpukul dua orang datuk sesat lalu digigit ular beracun, bahkan dia 
lalu mendapatkan kekebalan dalam 
tubuhnya terhadap racun. juga secara aneh dan tidak disengaja, guru 
mendiang ibunya sendiri yang lewat 
di tempat itu dan menolongnya! Kong 
Hosiang sendiri tidak pemah 
menduga bahwa anak yang 
dikaguminya dan membuat dia ingin 
sekali mengambilnya sebagai murid 
itu bukan lain adalah putera seorang 
di antara kedua orang muridnya! 

Semenjak enci adik itu selesai belajar 
dan berpisah darinya, Kong Hwi 
Hosiang sudah tidak pernah 
berhubungan lagi dengan mereka, 
juga tidak tahu bagaimana keadaan 
kedua orang muridnya itu. Hwesio 
tua ini sudah mencapai suatu tingkat 
kehidupan di mana dia tidak terikat 
lagi dengan apapun.

Setelah makan, dilayani sendiri oleh 

Liu Ma dan ditemani pula oleh Han 
Lin, Kong Hwi Hosiang minta kepada nyonya rumah untuk dapat bicara 
empat mata dengannya. Liu Ma 
memandang heran, akan tetapi ia 
segera menyuruh Han Lin untuk 
meninggalkan ruangan tamu agar ia 
dan tamunya dapat bicara berdua 
saja. Dengan patuh Han Lin 
mengundurkan diri .

Setelah duduk berdua saja, 

berhadapan dengan nyonya rumah, 
Kong Hwi Ho hwesio berkata dengan suaranya yang lembut, "Sebelumnya 
pinceng mengharapkan maaf apa bila apa yang hendak pinceng utarakan ini tidak berkenan di hati nyonya. Secara tidak disengaja, nasib telah 
mempertemukan pinceng dengan 
putera nyonya, dan begitu 
melihatnya, pinceng merasa tertarik 
sekali. Putera nyonya itu mempunyai 
darah dan tulang yang baik, berbakat sekali untuk mempe lajari ilmuilmu 
yang tinggi, juga kiranya akan baik 
kalau dia memperdalam ilmu sastera dan keagamaan untuk bekal 
hidupnya kelak. Pinceng tertarik 
sekali dan kalau nyonya merelakan 
dan tidak berkeberatan, pinceng akan merasa bersukur sekali untuk 
mengambilnya sebagai murid 
pinceng."

Mendengar ucapan ini , wajah Liu Ma 

berseri sehingga legalah hati hwesio itu. "Saya akan berterima kasih dan 
merasa girang sekali kalau losuhu 
suka mendidik Han Lin sebagai murid suhu. Akan tetapi, di manakah suhu 
tinggal, di kelenteng mana, dan 
jauhkah dari sini ?"

Kong Hwi Hwesio menggeleng kepala dan tersenyum lebar sehingga 

nampak mulutnya yang ompong 
tanpa gigi lagi sehingga wajahnya 
makin mirip wajah bayi yang belum 
bergigi! "Omitohud pinceng tidak 
pernah mempunyai kelenteng, tidak 
pernah tinggal di suatu tempat yang 
tetap. Pinceng adalah seorang hwesio 
pengembara, nyonya."

Wanita itu mengerutkan alisnya. 

"Akan tetapi, baga imana suhu hendak mengambil anak saya sebagai murid 
kalau losuhu tidak mempunyai 
tempat tinggal"

Apakah ..... apakah suhu hendak 

membawa anak saya pergi 
mengembara pula, tidak tentu tempat tinggalnya?" Ketika hwesio tua itu 
mengangguk, Liu Ma se gera 
menyatakan keberatannya. "Harap 
losuhu sudi mengampuni saya. Saya 
akan berterima kasih sekali kalau 
anak saya dapat menjadi murid lo 
suhu, akan tetapi sebaliknya, saya 
tidak akan dapat hidup dijauhkan 
darinya. Hendaknya losuhu ketahui 
bahwa hidup saya hanyalah untuk 
Han Lin seorang, bagaimana 
mungkin sekarang dia akan losuhu 
bawa pergi mengembara" Saya hanya 
mempunyai dia seorang, losuhu."

"Omitohud...., pinceng juga tidak ingin membuat nyonya yang baik hati 

berduka. Akan tetapi, pinceng adalah 
seorang hwesio yang miskin dan tidak mempunyai harta secuilpun, tentu 
tidak dapat mengadakan tempat 
tinggal....."

"Ah, saya teringat, losuhu! Bagaimana ka lau diatur sehingga kebutuhan kita berdua terpenuhi dan kita sama sama merasa enak dan senang" Maksud 

saya, losuhu tetap dapat menjadi guru anak saya, sedangkan saya dapat 
tetap tidak kehilangan Han Lin, tidak 
berjauhan darinya?"

Hwesio tua itu merangkap kedua 

tangan depan dada. 
"Omitohud.....pinceng yakin bahwa 
hati nyonya bersih, dan maksud hati nyonya baik sekali. Akan tetapi, demi menjaga nama baik nyonya, tidak 
mungkin pinceng tinggal di sini. 

Biarpun pinceng sudah tua renta, 
akan tetapi nyonya adalah seorang 
wanita janda, maka tidak baik 
sekali...."

Liu Ma tersenyum geli, membuat 

Kong Hwi Hwesio tidak melanjutkan 
ucapannya dan memandang heran. 
"Losuhu salah paham, bukan maksud 
saya minta kepada losuhu untuk 
tinggal di sini. Akan tetapi di dekat 
puncak Bukit Ayam Emas di sana 
itu terdapat sebuah kuil tua yang 
kosong dan tidak dipergunakan lagi. 

Kabarnya, puluhan tahun yang lalu 
kuil itu menjadi tempat tinggal 
seorang tosu, dan pertapa itu 
kemudian meninggal dunia di kuil 
dan dimakamkan di pekarangan kuil. 

Dan sejak itu, kuil itu tidak ada 
penghuninya dan rusak karena tidak terawat. Bagaimana kalau saya minta ijin kepada kepa tidakla dusun, 
memperbaiki kuil tu dan losuhu 
tinggal di sana, mendirikan sebuah 
kelenteng dan dengan demikian, 
losuhu dapat mendidik Han Lin dan 
setiap saat saya dapat 
menjenguknya?"


          **********


Wajah hwesio itu berseri. 'Omitohud 

semua. agaknya telah digariskan 
dengan lurus dan tepat! Pinceng akan merasa senang sekali, nyonya, dan 
sebelumnya, pinceng mengucapkan 
banyak terima kasih atas budi 
kebaikan nyonya ."

Ucapan hwesio tua itu bukan sekedar 

untuk menyenangkan hati Liu Ma. 
Ketika dia melakukan perantauan 
dan tiba di daerah itu, hatinya sudah merasa tertarik sekali akan 
keindahan alam di situ. Dia merasa dirinya sudah terlalu tua untuk 
mengembara Iagi, dan timbul 
keinginannya tinggal di daerah yang amat indah itu, untuk menghabiskan sisa hidupnya. 

Selain itu, juga dia 
ingin sekali meninggalkan 
ilmuilmunya kepada seorang murid 
yang berbakat, di samping apa yang 
telah dia ajarkan kepada Yang Kui 
Lan dan Yang Kui Bi. Maka, dapat 
dibayangkan betapa senang rasa 
hatinya bahwa semua keinginan 
hatinya itu ternyata terkabul 
sedemikian mudahnya. 

Tanpa disengaja, ketika dia 
menikmati keindahan alam di dekat 
hutan bambu, dia bertemu dengan 
Han Lin yang segera dipilihnya 
sebagai calonmuridnya. Kemudian 
dia bertemu ibu anak itu yang dengan senang. hati hendak memperbaiki 
kuil tua untuk menjadi tempat 
tinggalnya! Semua begitu kebetulan, begitu tepat memenuhi 
kebutuhannya.

Ketika ditany a pendapatnya, Han Lin menyambut dengan gembira sekali ke inginan Kong Hwi Hosiang yang 

hendak mengangkat dia sebagai 
muridnya. Segera dia menjatuhkan 
diri berlutut didepan kaki hwesio itu 
dan menyebut suhu" berkali-kali, 
Hwesio tua itu tertawa bergelak, dan 
Liu Ma juga tertawa senang karena ia 
percaya bahwa dibawah bimbingan 
seorang hwesio tua yang demikian 
ramah dan baik, tentu Han Lin kelak 
akan menjadi seorang yang berguna. 
Dengan demikian, tentuia akan 
merasa berbahagia dan puas bahwa 
ia telah dapat memenuhi kewajiban 
dengan baik.

Kuil tua itu ternyata masih memiliki 

dinding yang kokoh. Hanya lantai dan atapnya saja yang membutuhkan 
perbaikan. Liu Ma menjual beberapa 
buah perhiasan yang ia terima dari 
orang tua Han Lin, dijualnya ke kota 
dan iapun memperbaiki kuil itu 
sehingga menjadi perhatian yang 
menggembirakan bagi para penduduk Li-bun Akan tetapi ketika perbaikan 
atap mulai dilakukan, terjadilah hai-hal yang mendatangkan perasaan 
ngeri dan takut kepada para pekerja 
yang terdiri dari penghuni dusun Li-
bun sendiri. Memang hal-hal yang 
amat aneh terjadi. 

Begitu atap di pugar, dua orang 
pekerja jatuh dari atas atap dan 
keduanya menceritakan 
pengalamannya yang sama, yaitu 
bahwa mereka didorong oleh seorang berpakaian tosu dari atas atap. 
Untung mereka hanya menderita 
patah tulang kaki saja, tidak sampai 
tewas. 

Mulamula, peristiwa itu masih 
dianggap sebagai hal yang terjadi 
karena kekurang hati-hatian dua 
orang pekerja itu, Akan tetapi ketika 
mereka hendak memasang atap baru, seorang pekerja tiba-tiba saja terkulai dan berkelojotan seperti orang sedang sekarat. Ketika teman-temannya 
datang menolong, orang itu menjadi 
beringas, matanya melotot, mututnya 
berbuih dan diapun berteriak-teriak 
kacau, dan suaranya terdengar parau.

"Pergi kalian semua! Pergi ja-ngan 

mengganggu tempatku! Akan kucekik kalian semua!" demikian orang itu 
berteriak-teriak dan meronta-ronta 
karena kaki tangannya dipegangi 
banyak orang. Para penduduk dusun 
yang masih mudah sekali 
dipengaruhi tahyul itu menjadi 
ketakutan dan segera Kong Hwi 
Hosiang diundang. Hwesio itu datang diikuti oleh Liu Ma dan juga Han Lin.

Ketika Kong Hw i Hosiang memasuki kuil itu dan melihat seorang pekerja 

rebah di atas lantai, kaki tangannya 
dipegangi banyak orang dan semua 
pekerja berhenti bekerja dan 
merubung orang itu yang berteriak-
teriak mengusir mereka, dia lalu 
mendekati, diikuti oleh Liu Ma yang 
takut-takut dan Han Lin yang 
terheran-heran.

"Omitohud...., saudara seka lian, 

harap lepaskan saja dia," katanya 
dengan lembut. Para pekerja 
melepaskan orang itu dan cepat 
mundur ketakutan, khawatir kalau 
orang yang mereka tahu kesurupan 
(kemasukan roh jahat) itu akan 
mengamuk.

Ketika orang itu dilepaskan, dia pun 

meloncat bangkit, matanya melotot 
liar, mulutnya berbuih, dan dia 
memandang kepada Kong Hwi 
Hosiang lalu bertolak pinggang, 
sikapnya menantang! "Huh, kiranya ini biang keladinya. Hwe sio gendut 
tua bangka, engkau menggunduli 
kepala dan mengenakan jubah 
kuning, akan tetapi masih bertindak 
semena-mena, mengganggu dan 
hendak merampas tempatku, ya?"

Kong Hwi Hosiang merangkap kedua tangan depan dada dan berkata 

dengan suaranya yang lembut penuh 
kesabaran, "Omitohud, tuduhaninu 
itu menjadi keba-likan dari 
kenyataannya. Tidak ada seorangpun manusia yang mengganggumu, dan 
bangunan ini sama sekali bukan 
menjadi tempat tinggalmu. Bangunan ini tempat tinggal manusia yang 
masih mempunyai badan jasmani. 

Engkaulah yang salah memilih 
tempat. Sebaiknya engkau mencari 
tempat yang jauh dari manusia, dan 
mohon ampunlah kepada Yang Maha 
Kasih agar engkau dapat 
memperoleh kebebasan 
kesempurnaan."

Akan tetapi, pekerja yang masih muda dan tubuhnya keka r itu kelihatan 

semakin marah. Dia mengeluarkan 
suara yang serak dan tidak begitu 
jelas, akan tetapi dia membuat 
gerakan seolah hendak mencekik 
Kong Hwi Hosiang. Melihat ini, Liu 
Ma yang berada di belakang hwesio 
itu menjadi gemetar ketakutan, dan 
Han Lin memegang tangannya.

Anak ini juga merasa ngeri, akan teta pi dia tidak takut, percaya bahwa 

guru nya tentu akan mampu 
mengalahkan iblis yang memasuki 
tubuh pekerja itu.

Kong Hwi Hosiang dengan sikap 

tenang, memandang wajah pekerja 
itu. Suaranya masih lembut, namun 
menggetar penuh kewibawaan ketika dia berkata, "Roh penasaran! 
Perbuatanmu ini akan menambah 
dosamu dan memberatkan 
penderitaanmu. Pergilah engkau!"

Kong Hwi Hosiang lalu membaca 
mantram dan menggerakkan kedua 
tangannya seperti mendorong dan 
pekerja itu mengeluarkan teriakan 
nyaring, lalu terkulai roboh.

Akan tetapi begitu roboh, dia bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheranan. "Aih, apa yang 

telah terjadi" Kenapa aku" Dan kalian mengapa berhenti bekerja?"

Setelah melihat bahwa pekerja i-tu sudah biasa lagi menunjukkan bahwa roh penasaran yang tadi menyusup ke dalam dirinya telah pergi, teman-

temannya berani menghampiri dan ada yang memberinya minum 
sebelum menceritakan ?"

Kong Hwi Hosiang lalu membaca 
mantra dan menggerakkan kedua 
tangannya seper ti mendorong dan 
pekerja itu mengeluar kan teriakan 
nyaring, lalu terkulai roboh.

bahwa dia tadi kesurupan. Pekerja 

kuil itu bergidik, lalu meninggal kan 
pekerjaannya itu, palang dan tidak 
berani kembali lagi, dan 
perbuatannya ini dan beberapa orang yang merasa ketakutan.

Biarkan mereka pulang kata Kong 

Hwi Hos iang-kepada Li Ma yang 
hendak menegur mereka Kalau 
mereka memang takut, lebih baik 
tidak usah ikut membantu dan kita 
mencari saja orang yang tidak takut
Demikianlah, perbaikan kuiI itu 

dalanjutkan dan yang bekeria adalah orang-orang yang tidak gentar 
terhadap gangguan roh jahat. Dan 
anehnya, sejak peristiwa itu, tidak ada lagi gangguan sampai pembangunan itu selesai.

Berdirilah sebuah kelenteng baru di 

dekat puncak itu. Dan mulailah Kong Hwi Hosiang menyebarkan 
keagamaan dan kelenteng itu mulai 
dikunjungi orang, untuk mempelajari agama, juga untuk bersembahyang. 

Han Lin tinggal di kelenteng itu 
sebagai murid Kong Hwi Hosiang, dan anak yang ingin mengetahui
Han Lin pada suatu hari bertanya 

tentang peristiwa kesurupan yang 
membuat banyak orang ketakutan 
Suhu, apa sih artinya peristiwa itu" 

Benarkah roh halus itu bias 
memasuki tubuh manusia Kong Hwi 
Hosiang tersenyum, girang bahwa 
muridnya, biarpun masih kanak-
kanak, tidak takut dan tidak 
dicengkeram tahyul, hal ini saja 
menunjukkan bahwa dia memang 
memiliki dasar watak yang kuat. 

"Engkau telah melihat sendiri, Han 
Lin. Orang itu jelas tidak berpura-
pura, dan tidak pula sakit. Dia 
memang telah dirasuki roh 
penasaran yang tidak ingin kuil itu 
diperbaiki karena kuil itu telah 
menjadi tempat tinggalnya."

"Suhu, apakah setiap orang manusia dapat dimasuki roh seperti itu?" Kong Hwi Hosiang menggeleng kepala. 


"Omitohud, tidak begitu mudah bagi 
roh jahat untuk memasuki diri 
seorang manusia, Han Lin. Hanya 
manusia yang lemah batinnya, 
manusia yang percaya dan tunduk 
kepada kekuasaan setan, dan manusia yang berada pada saat-saat lemah 
batinnya seperti kalau dia sedang 
dikuasai nafsu, sedang marah, sedang bersedih, pendeknya dicengkeram 
nafsu, dialah yang seolah-olah 
terbuka bagi roh jahat unttk 
memasukinya. 

Sebaliknya dia yang kuat batinnya, yang tidak sedikitpun mau menyerah terhadap kekua saan nafsu, tidak 
tunduk terhadap pengaruh roh jahat, dia yang menyadari bahwa 
kedudukan manusia lebih tinggi dari pada roh-roh jahat, dia yang 
menyerah kepada kekuasaan Yang 
Maha Kasih, tidak mungkin dapat 
dimasuki roh jahat."

"Suhu, apakah mantram-mantram itu 

dapat mengusir roh jahat?" tanya pu la Han Lin. "Mantram adalah doa 
keyakinan manusia terhadap 
kekuasaan Yang Maha Kuasa, namun 
bukan mantramnya itu yang ampuh, melainkan batin manusianya. Segala kekuatan datang dari kekuasaan Yang Maha Kuasa, kalau kita menyerah 
dengan penuh kepasrahan, kita akan terlindung oleh Kekuasaan itu, dan 
tidak ada kekuasaan gelap manapun yang akan mampu mengganggu kita ."

Dengan penuh kasih sayang , Kong 

Hwi Hosiang mulai mengajarkan iImu kepada Han Lin yang baru berusia 
tujuh tahun. Dia digembleng dengan 
dasar ilmu silat tinggi, dilatih cara 
menghimpun tenaga sinkang tanpa 
paksaan agar tidak menghambat 
pertumbuhan tubuhnya, juga dia 
disuruh membaca banyak kitab kuno dan kebiasaan membaca ini dengan 
sendirinya memperdalam 
pengetahuannya tentang sastra. 

Dan seperti yang dapat nampak oleh hwesio tua itu pada pertemuan 
pertama, benar saja bahwa Han Lin memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat. Dia memiliki keluwesan 
gerakan, kelincahan dan mudah 
menangkap inti suatu gerakan.

Biarpun Han Lin tinggal di kelenteng, namun Liu Ma tidak merasa 

kehilangan. Ia dapat bertemu dengan 
anak itu kapan saja ia kehendaki dan sering ia datang berkunjung, bahkan Han Lin selalu mendapat perkenan 
suhunya setiap kali dia hendak turun bukit menengok ibunya.

Tiga tahun kemudian, pada suatu 

pagi, Kong Hwi Hosiang sudah keluar dari kelenteng dan berjalan-jalan ke 
puncak. Usianya sudah tujuhpuluh 
tiga tahun lebih, dan biarpun dia 
masih nampak segar, namun harus 
diakuinya bahwa usia telah 
menggerogoti kekuatan tubuhnya. 

SegaIa sesuatu di permukaan bumi ini akhirnya akan menyerah kalah 
terhadap waktu, pikIirnya sambil 
tersenyum ketika dia melangkah 
mendaki puncak bukit. Akan tetapi 
dia tidak pernah mau menyerah 
terhadap waktu, karena dia mengenal waktu. 

Baginya yang ada hanyalah saat ini, 
sekarang, tidak mau dipengaruhi 
waktu lalu ataupun waktu 
mendatang. Waktu lalu hanya 
mendatangkan kenangan, waktu 
mendatang hanya menimbulkan 
bayangan. Waktu lalu sudah mati dan 
waktu mendatang hanya mimpi, Saat ini yang penting, saat ini yang 
menentukan.

Ketika akhirnya tiba di puncak, dia 

melihat muridnya sudah berada 
dipuncak pula, dan agaknya telah 
mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar. Akan tetapi muridnya itu sedang menggunakan sebatang 
ranting dan menggerakgerakkan 
ranting itu seperti orang bersilat. 

Bukan gerakan silat dasar seperti 
yang dia ajarkan, melainkan gerakan 
silat yang membuat hwesio tua itu 
terbelalak. Tentu saja dia mengenal 
gerakan itu, karena itu adalah satu di 
antara ilmu silatnya sendiri yang dia 
andalkan. Kong-in Sin-pang (Tongkat 
Sakti Angin dan Awan)! ltulah 
gerakan yang dilakukan Han Lin, 
walaupun hanya sepotong-sepotong 
dan tidak sempurna! 

Bagaimana mungkin anak itu dapat 
melakukan gerakan itu" Pada hal , 
dia ingat benar bahwa dia belum 
pernah mengajarkan ilmu tongkat itu, walaupun sedikit, dan dia tidak 
percaya di daerah itu ada yang 
mampu memainkan ilmu silat 
tongkat itu.

Ketika Han Lin kebetulan 

membalikkan tubuhnya dan melihat 
gurunya, segera dia melepaskan 
ranting itu dan berlari menghampiri 
kakek itu. "Suhu"...,! Sepagi ini suhu 
sudah mendaki ke puncak?"

Kong Hwi Hosiang menghapus peluh 

dari dahinya dengan ujung lengan 
bajunya yang lebar, tersenyum, 
Omitohud.. ..kalau usia sudah tua 
mendaki sebegini saja sudah 
berkeringat, Han Lin apakah engkau 
sudah cukup mengumpulkan kayu 
bakar?".

"Sudah, suhu. Itu sudah teecu (murid) 

ikat semua. Dia menuding ke arah 
ranting-ranting kering seikat besar. 

Bagus, dan pinceng tadi melihat 
engkau bersilat dengan ranting kayu. 
Dari mana engkau mempelajarinya" 
Tanya hwesio itu sambil lalu, seolah 
tidak menaruh perhatian. Wajah 
anak itu berubah kernerahan dan dia 
tersenyum.

"Aih, suhu, teecu hanya main-main 

sembarangan saja......" "Han Lin, 
gerakanmu tadi bukan main-main, 
melainkan semacam ilmu tongkat. 
Nah, katakan saja sejujurnya, dari 
siapa engkau mempelajari ilmu 
tongkat itu" Atau kalau engkau 
meniru gerakan .orang lain, siapa 
yang kaulihat memainkan ilmu 
tongkat itu?"

Han lin nampak salah tingkah dan 

diam-diam hwesio tua itu merasa 
heran. Belum pernah selama tiga 
tahun ini dia melihat muridnya 
bersikap seperti itu, penuh keraguan, 
penuh kepanikan.

"Teecu...... ah, teecu " "Han Lin, 

engkau tentu masih ingat bahwa di 
antara kita tidak pernah ada rahasia, 
dan bahwa amat tidak baik untuk 
berbohong, apa lagi terhadap 
pinceng , bukan?"

Kini Han Lin mengambil sikap tegas. 

Dengan berani dia menentang lagi 
sinar mata suhunya. "Teecu ingat, dan teecu tidak akan pernah 
melanggarnya, suhu. Akan tetapi 
teecu juga ingat bahwa seorang laki-
laki haruslah selalu memegang teguh janjinya. Mengingkari janji 
merupakan perbuatan yang pengecut, dan teecu yakin bahwa suhu tidak 
ingin melihat teecu melanggar janji.

Hwesio itu mengangguk-angguk. Anak ini memang hebat, pikirnya. Dan 

kepada siapa lagi anak ini berjanji, 
kalau bukan kepada dia sendiri atau kepada ibunya" Hanya mereka 
berdua sajalah yang agaknya patut 
menerima janji Han Lin. Dan agaknya memang terdapat suatu rahasia 
antara Han Lin dan ibunya itu. Kini dia mulai melihat betapa pandang 
mata nyonya janda itu terhadap 
puteranya, selain pandang penuh 
kasih sayang, juga pandang yang 
mengandung penghormatan! Pasti 
ada suatu rahasia di antara mereka, 
dan rahasia itu pula yang 
menyangkut gerakan ilmu tongkat 
tadi !

"Sudahlah, Han Lin, kalau engkau 

tidak dapat menceritakan kepada 
pinceng, tidak mengapa, Memang 
seorang laki-laki harus memegang 
teguh janjinya, karena itu mengenai 
kehormatan. Nah, mari kita kembali 
ke kelenteng."

Kong Hwi Hosiang yang bijaksana 

tidak pernah bertanya lagi kepada 
muridnya tentang ilmu tongkat itu, 
akan tetapi ketika dia mendapat. 
kesempatan bertemu dengan Liu Ma 
dan-bicara empat mata, diapun 
mengajukan pertanyaan kepada 
Liu Ma.

Dengan pertanyaan pinceng ini. 
Beberapa pekan yang lalu, pinceng 
memergoki Han Lin bermain silat 
tongkat di puncak bukit dan pinceng 
heran sekali mengenal ilmu tongkat 
itu. Ketika pinceng bertanya dari 
mana dia mempelajari ilmu silat 
tongkat itu, dia tidak berani 
mengaku, mengatakan bahwa dia 
tidak boleh melanggar janjinya. 

Nah, sekarang pinceng mohon 
kepadamu, nyonya, agar suka 
berterus terang kepada pinceng. 
Pinceng tahu bahwa nyonya amat 
menyayangnya, juga pinceng 
menyayangnya. Akan tetapi, sungguh 
tidak baik kalau terdapat rahasia di 
antara kita, seolah ada jurang yang 
memisahkan. Pula, pinceng yakin 
bahwa nyonya tentu percaya kepada 
pinceng.

Liu Ma menundukkan mukanya, 

Terjadi perang di dalam hatinya. 
Tentu saja ia percaya sepenuhnya 
kepada Kong Hwi Hosiang. Pendeta 
ini selama tiga tahun ini telah 
menunjukkan bahwa dia seorang 
yang berhati baik, bijaksana dan 
penuh belas kasihan kepada manusia 
lain.

Sudah banyak sekali orang sakit yang diobatinya, dan dia tidak pernah mau menerima imbalan apapun. Juga 

menurut pengakuan Han Lin, hwesio itu amat sayang kepada Han Lin, dan anak itupun memperoleh banyak 
ilmu darinya. Ia tidak akan khawatir 
lagi tentang pendidikan.anak itu! 
Akan tetapi, haruskah ia membuka 
rahasia anak itu kepada hwesio ini" Ia masih bimbang ragu.

"Memang terdapat rahasia besar 

dalam diri Han Lin, losuhu. Akan 
tetapi perlukah losuhu 
mengetahuinya" Rahasia itu selama 
ini terpendam di dalam lubuk hati 
kami berdua dan sudah kami anggap terkubur. Apa gunanya kalau saya 
ceritakan kepada losuhu" Dan apa 
perlunya pula losuhu mengetahui 
rahasia pribadi Han Lin" Bukankah 
selama ini dia menjadi murid yang 
baik dan patuh"

'Omitohud, pinceng bukanlah orang 

yang suka usil dan mencampuri 
urusan orang lain, bukan pula orang 
yang suka mengetahui urusan pribadi orang lain. Akan tetapi dalam urusan 
yang menyangkut pribadi Han Lin 
terdapat sesuatu yang pinceng yakin 
ada hubungannya dengan pinceng. 

Sebaiknya kalau pinceng katakan 
terus terang menga pa tibatiba 
pinceng ingin mengetahui latar 
belakang kehidupan atau rahasia 
Han Lin, nyonya Liu. Ketahuilah 
bahwa selama hidupku, pinceng 
hanya mempunyai dua orang murid 
dan hanya kepada mereka berdua itu saja pinceng mengajarkan ilmu 
tongkat pinceng. Dan nyonya tentu 
merasa heran sekali melihat betapa 
pinceng melihat Han Lin memainkan 
ilmu tongkat itu, walaupun tidak 
sempurna. Nah, pinceng yakin bahwa 
anak itu mempunyai hubungan, atau setidaknya pernah melihat, seorang di antara kedua orang murid pinceng 
itu."

Liu Ma memandang heran. Usia 

wanita ini sekitar limapuluh tahun, 
namun ia nampak lebih tua karena 
selama ini ia mengalami hal-hal yang 
menyedih kan dan menegangkan. 
"Losuhu, bolehkah saya mengetahui 
nama kedua orang murid losuhu itu?"

"Tentu saja boleh. Mereka adalah dua orang bersaudara, enci dan adik, 

puteri mendiang Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Utama Kaisar Beng 
Ong yang melarikan di kebarat. 

Mereka bernama Yang Kui Lan dan 
Yang Kui Bi dan eh, nyonya, ada 
apakah?" Kong Hwi Hosiang 
memandang penuh perhatian melihat betapa wanita itu memandang ke 
padanya dengan mata terbelalak 
lebar dan mukanya menjadi pucat
"Nyonya Liu, tenanglah. Ada apakah?"


 Akan tetapi wanita itu kini menangis, menutupi mukanya dengan kedua 
tangan dan ia terisak-isak. Kong Hwi 
Hosiang merangkap kedua tangan 
depan dada dan berkemak-kemik, 
membiarkan wanita itu menangis 
dulu sepuasnya untuk mencairkan 
sesuatu yang membeku dan 
mengganjal dihatinya.

Setelah hatinya terasa ringan karena tangisnya akhirnya Liu Ma dapat 

menghapus air matanya dan dengan 
mata kemerahan ia memandang 
kepada hwesio itu. "Losuhu, ternyata 
memang benar dugaan losuhu. 

Ketahuilah,losuhu,bahwa sebenarnya Han Lin adalah Pangeran Sia Han Lin yang Jolos dari istana ketika "istana diserbu musuh. Ayahnya adalah 
mendiang Sia Su Beng dan ibunya 
adalah mendiang Permaisuri Yang 
Kui Bi...!!!

"Omitohud !" Kong Hwi Hosiang 

berseru keheranan, bukan hanya 
heran mendengar bahwa Han Lin 
ternyata putera kandung muridnya 
sendiri, Yang Kui Bi, akan tetapi juga 
heran mendengar bahwa muridnya 
itu telah menjadi isteri pemherontak 
Sia Su Beng yang telah mengangkat 
diri menjadi kaisar akan tetapi 
kemudian kekuasaannya dirobohkan 
dan dia tewas da lam pertempuran. 

"Jadi kalau begitu, Han Lin adalah 
putera murid pinceng sendiri . . " 
Akan tetapi, dia telah ikut denganmu, bagaimana dapat memainkan ilmu 
tongkat itu"

Kami melarikan diri dari istana ketika Han Lin berusia lima tahun, losuhu. 

Agaknya dia masih ingat kepada 
ibunya kalau ibunya berlatih silat dan sekarang, setelah dia belajar silat ke 
pada losuhu, dia mencoba untuk 
memainkan ilmu silat yang pernah 
dilihatnya dimainkan ibunya itu."

"Omitohud...... tidak salah lagi, benar 

seperti yang nyonya katakana itu" Dia termenung dan semakin kagum. 
Tentu Han Lin sudah mengetahui 
bahwa dia adalah bekas seorang 
pangeran! Akan tetapi anak itu begitu pandai membawa diri, bahkan 
sikapnya demi kian hormat dan 
sayang kepada Liu Ma, memegang 
janji dan sama sekali tidak nampak 
congkak.

"Sebelum ayah ibunya maju perang, 

mereka menitipkan Han Lin kepada 
saya, losuhu. Saya adalah pelayan 
pengasuh keluarga itu dan saya yang 
mengasuh Han Lin sejak kecil . Saya 
mengajak Han Lin melarikan diri 
mengungsi dan tinggal di dusun Li-
bun ini, dusun yang menjadi 
kampung halaman saya. Dengan jelas Liu Ma lalu menceritakan semua yang telah dialaminya semenjak ia 
membawa Han Lin melarikan diri 
dari kota raja Tiang-an dan 
mengungsi ke dusun itu.

Hwesio itu menghela napas panjang, 

"Betapa aneh jalan hidup anak itu .. 
Tanpa disengaja seolah dia 
dipertemukan dengan pinceng. 

Engkau telah melaksanakan tugas 
dengan baik, nyonya. Sebaiknya, kita 
biarkan saja keadaan seperti 
sekarang, tidak perlu memberitahu 
kepada Han Lin bahwa pinceng telah 
mengetahui riwayatnya.

Demikianlah, mulai hari itu, dengan 

tekun Kong Hwi Hosiang 
mengajarkan ilmu silat tongkat Hong-in Sin-pang kepada Han Lin. Anak ini tentu saja girang bukan main 
mengenaI ilmu tongkat seperti yang 
dahulu sering dia lihat dimainkan 
ibunya, akan tetapi tentu saja ilmu ini lebih lengkap dan lebih dahsyat. 

Disamping menggembleng muridnya 
dengan ilmu silat, juga Kong Hwi 
Hosiang lebih tekun mengajarkan 
sastra dan terutama tentang inti 
pelajaran agama. Dengan dongeng, 
perumpaan dan contoh-contoh 
kehidupan para bijaksana jaman 
dahulu, Kong Hwi Hosiang berusaha 
untuk menghapus dendam dari hati 
muridnya itu.

"Ingat baik-baik, Han Lin. Musuh 

utama bagi seorang pendekar adalah 
perasaan dendam. Dan perasaan ini 
memang amat sukar untuk 
dikalahkan, karena dendam timbul 
dari berkembangnya rasa ciri. Begitu rasa diri disinggung dan Terasa 
dirugikan, disakiti, dihina atau 
dibikin sedih karena kehilangan, 
maka dendam akan timbul meracuni hati dan pikiran. Dan kalau dendam 
sudah mencengkeram hati dan piki 
ran, maka tindakanmu tidak mungkin lurus melalui jalan yang harus dilalui seorang pendekar lagi . Dendam akan menyeretmu ke arah perbuatan yang semata-mata didorong kebencian dan sakit hati, dan kalau sudah begitu, 
sama sekali sudah tidak adil dan tidak benarlagi . "

Mendengar ucapan gurunya itu, Han 

Lin teringat akan kematian ayah 
bundanya. Seringkali, kalau dia 
terkenang akan kematian mereka, 
timbul dendamnya kepada Kaisar, 
bahkan kepada Kerajaan Kini, 
mendengar ucapan gurunya dia 
mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, 
suhu, kalau kita tidak membenci 
penjahat, bagaimana kita akan 
membasmi mereka yang jahat" 

Bukankah menurut dongeng sejak 
jaman dahulu, orang bijaksana dan 
para pendekar selalu menentang 
kejahatan dan membela kebenaran 
dan keadilan" Kalau kita tidak boleh 
mendendam dan membenci penjahat, bagai mana kita dapat bertindak 
terhadap mereka?"

"Omitohud....! Kalau hati sudah 

diracuni dendam, bagaimana 
mungkin kita membela keadilan" 
Dendam dan kebencian menghapus 
keadilan, karena perbuatan yang 
didasari kebencian, bagaimana 
mungkin dapat adil lagi" Kebencian 
melenyapkan pertimbangan dan satu-satu nya keinginan hanyalah 
melampiaskan dendam kebencian."

"Kalau begitu, kita tidak boleh 

memusuhi siapapun, suhu?" 
"Omitohud, pertanyaan itu tepat 
sekali. Kita memang tidak boleh 
memusuhi siapapun! Yang ditentang seorang pendekar bukanlah 
manusianya, melainkan 
kejahatannya. Perbuatan jahat 
sewenang-wenang yang mengganggu orang lain patut kita tentang, akan 
tetapi dasarnya bukan kebencian 
terhadap siapapun. Mengertikah 
engkau?"

Melihat anak berusia belasan tahun 

itu masih juga belum mengerti betul, 
perlahan-lahan Kong Hwi Hosiang 
lalu memberi penjelasan tentang 
dendam kembencian. Dendam 
kebencian memang membuat orang 
kehilangan pertimbangan lagi. 

Dendam kebencian merupakan nafsu 
yang selalu hanya ingin mendapat 
kepuasan, dan kepuasan dari nafsu 
dendam hanyalah membalas dan 
mencelakai orang yang dibenci dan 
didendamnya. Dendam timbul karena adanya aku yang merasa dirugikan. 

Aku dipukul balas memukul, aku di 
benci balas membenci, bahkan 
biasanya, pembalasan harus lebih 
berat, lebih hebat dari pada 
penyebab dendam. Maka tImbullah 
dendam mendendam, balas 
membalas yang tiada berkesudahan, 
kebencian yang mendarah-daging dan terjadilah perang, pembunuhan, 
pembantaian dan segala macam 
kekejaman yang tidak layak 
dilakukan oleh manusia, mahluk yang katanya paling sempurna dan tinggi 
derajatnya itu. 

Mata kita selalu ditujukan kepada 
orang lain, menilai perbuatan orang 
lain sehingga segala kesalahan orang 
lain, betapapun kecil pun, akan 
nampak oleh kita.Kalau saja kita 
suka membalikkan pandangan kita, 
mengamati diri sendiri, akan nampak bahwa kita ini tidaklah lebih baik dari pada orang lain yang kita anggap 
jahat atau buruk itu. Pengamatan ini 
akan menyadarkan kita bahwa 
kitapun bukan manusia sempurna, 
bahwa kitapun tidak lepas dari pada dosa. Kalau kita sudah merasa kotor, 
maka melihat orang lain kotor, tentu kita tidak akan memandang jijik. 

Kalau kita sudah melihat jelas bahwa 
kita sendiri penuh dosa , maka 
melihat orang lain berdosa, tentu 
akan mudah sekali bagi kita untuk 
memaafkan orang lain. Kita tidaklah 
lebih baik dari orang lain, dan dunia 
ini menjadi kacau balau bukan hanya karena ulah orang lain, melainkan 
karena ulah kita bersama! 

Kita sendiri, masingmasing dari kita 
ikut bertanggung jawab. Hanya orang yang suka mengamati diri sendiri, 
hanya orang yang tahu bahwa diri 
nya kotor timbul usaha dalam dirinya untuk membersihkan diri dari 
kekotoran itu. Sebaliknya, orang yang 
hanya melihat kekotoran pada diri 
orang lain dan merasa diri nya sendiri bersih, orang seperti ini tidak akan 
pernah mau mela kukan usaha 
membersihkan dirinya dari kekotoran dan diluar kesadarannya, dia terus 
menumpuk kekotoran dalam dirinya 
sendiri.

Kalau ada orang memukul kita lalu 

kita membalas dan memukulnya, lalu apa bedanya antara kita dan orang 
itu" Kalau ada orang membunuh, lalu 
kita balas membunuh, berarti kita 
semua sama-sama menjadi 
pembunuh Kalau orang menipu kita dan kita balas menipu, kita sama-
sama menipu. Dendam membuat kita lupa diri, kehilangan pertimbangan, 
kehilangan keseimbangan dan tidak 
tahu membedakan lagi mana benar 
dan mana tidak benar.

Waktu bergerak seperti siput. Kalau 

kita perhatikan, merangkak lambat 
sekali, akan tetapi kalau tidak kita 
perhatikan, tahu-tahu sudah jauh! 
Kalau kita tidak memperhatikan, 
bertahun tahun lewat seperti 
beberapa hari saja rasanya, 
sebaliknya kalau kita menanti sesuatu dan selalu memperhati kan waktu, 
beberapa jam rasanya seperti 
beberapa tahun.

Lima tahun lewat bagaikan terbang 

saja semenjak Kong Hwi Hosiang 
mendengar tentang riwayat Han Lin 
dari Liu Ma. Dia menggembleng 
muridnya itu dengan penuh 
kesungguhan, dan Han Lin juga 
belajar dengan tekunnya sehingga 
kini, Han Lin telah menjadi seorang 
remaja berusia limabelas tahun yang 
gagah tegap dan memiliki ilmu 
kepandaian yang hebat! Berkat 
pertemuan hawa beracun dingin dan 
panas, lalu ditambah racun ular 
senduk kepala putih, di dalam 
tubuhnya terkandung kekuatan yang 
aneh, dan tubuhnyapun kebal 
terhadap racun. 

Semua ini dimanfaatkan oleh Kong 
Hwi Hosiang yang mengajarkan ilmu-ilmu simpanannya, termasuk Hong-in Sin pang, ilmu silat tangan kosong 
Pat-kwa kun, dan juga ilmu 
menghimpun tenaga sakti Im-yang 
Sin-kang. Tentu saja karena dia masih amat muda, biarpun dia sudah 
menguasai semua ilmu itu dengan 
baik sekali, namun latihannya masih 
belum matang, apa lagi dia masih 
belum mempunyai pengalaman 
bertanding dengan orang lain.

Kalau Han Lin tumbuh semakin besar dan semakin kuat, sebaliknya Kong 

Hwi Hosiang menjadi semakin tua 
dan semakin lemah. Proses ketuaan 
ini melanda seluruh umat manusia di 
dunia ini. Tidak ada seorangpun 
manusia, betapapun kuatnva, yang 
akhirnya tidak tunduk kepada 
ketuaan dan kelemahan. Demikian 
pula Kong Hwi Hosiang. Dalam usia 
yang hampir delapanpuluh tahun, 
dia mulai lemah walaupun 
semangatnya tidak pernah nampak 
merosot. 

Wajahnya masih nampak segar, 
senyumnya masih selalu membuat 
wajahnya berseri. Namun, di waktu 
dia mengajak Han Lin berlatih silat, 
muridnya itu melihat betapa gerakan 
gurunya kini semakin lambat dan 
tenaganyapun berkurang, terutama 
tenaga otot.

Pada suatu pagi yang cerah! Seperti 

biasa, Han Lin sudah sejak subuh 
bangun dari tidurnya. Gurunya 
mengajar kanbahwa mengawali hari 
sebaiknya dimulai dengan bangun 
yang pagi sekali, sebelum fajar 
menyingsing, pada waktu ayam 
Jantan berkokok. Sejak pagi tadi, Han Lin telah bangun tidur, berlatih si]at 
lalu mandi dan kini dia sudah sibuk 
membantu dua orang hwesio lain 
yang sibuk di dapur. 

Sudah dua tahun ini, di kelenteng itu 
terdapat dua orang hwesio lain, 
pendatang dari lain tempat yang 
menetap di situ menjadi pembantu 
Kong Hwi Hosiang. Cun Hwesio dan Kun Hwesio adalah dua orang hwesio berusia limapuluhan tahun yang 
rajin. Dari dua orang hwesio ini, Han Lin juga mendapatkan dua macam 
iImu yang amat berguna baginya. 

Biarpun kedua orang hwesio itu tidak memiliki ilmu silat yang terlalu tinggi, namun Cun Hwe sio adalah seorang ahli gin-kang sehingga dalam hal ilmu berlari cepat dan berlonca tinggi , dia masih lebih lihai di banding kan Kong Hwi Hosiang sekalipun. Dan Kun 
Hwesio adalah seorang hwesio yang memiliki keahlian dalam hal ilmu 
menolak dan mengusir setan juga 
pandai mempergunakan kekuatan 
sihir. Dari kedua orang hwesio ini, 
yang merasa sayang pula kepada Han Lin, pemuda ini menerima 
gemblengan.

Melihat persediaan kayu bakar 

menipis, tanpa diperintah lagi Han 
Lin lari keluar dari dapur dan 
menuruni puncak menuju ke hutan 
untuk mencari kayu bakar. Dia tidak 
tahu betapa tak lama setelah dia 
meninggalkan kuil, muncul tiga orang laki-laki berusia antara limapuluh 
sampai enampuluh tahun di' 
pekarangan kelenteng itu.

Seorang di antara mereka yang 

tubuhnya pendek gendut seperti 
katak, mukanya kuning seperti dicat, yang tertua di antara mereka, 
berseru dan suaranya parau lantang 
seolah menggetarkan atap kelenteng 
itu.

'Hei ! , para hwesio penghuni 

kelenteng! Keluarlah kalian, kami 
ingin bicara!" Sikap dan kata-katanya 
sungguh kasar memerintah, tidak 
memakai tata susila. Adapun dua 
orang temannya yang juga berdiri di 
situ, hanya menunggu dengan sikap 
congkak. Seorang di antara mereka 
juga gendut pendek bermuka hitarn, 
adapaun orang ke dua tinggi kurus 
bermuka putih dan usia mereka 
limapuluh lebih, agak lebih muda 
dibandingkan si gendut muka kuning.

Mendengar teriakan itu, Cun Hwesio 

dan Kun Hwesio bergegas keluar dan mereka berdua terheran-heran 
melihat tiga orang asing yang berdiri 
di pekarangan kelenteng itu. Akan 
tetapi sebagai pendeta-pendeta yang 
sopan dan lembut, mereka cepat 
mengangkat kedua tangan depan -
dada member! normat, dan Cun 
Hwesio menyambut dengan katakata 
halus.

"Omitohud...., siapakah sam-si (anda 

bertiga) dan ada keperluan apa 
kiranya berkunjung ke kelenteng 
kami yang buruk"

Si gendut muka kuning menyeringai. "Hemm, kami ingin bicara dengan 

ketua kelenteng. Siapa di antara 
kalian yang menjadi ketua kelenteng 
ini?"

"Ketua kami sedang bersembahyang 

dan bersamadhi," jawab Cun Hwesio. "Ha-ha-ha, para hwesio gundul ini 
memang orang-orang pemalas. Selalu menggunakan doa dan samadhi 
sebagai alasan, pada hal itu tidur 
mendengkur, ha-ha-ha!" Dua orang 
lainnya juga ikut tertawa. Cun Hwesio saling pandang dengan Kun Hwesio akan tetapi mereka masih bersabar.

"Omitohud, pinceng tidak tidur, sudah bangun sejak pagi tadi," tiba-tiba 

terdengar suara ketua mereka, 
membuat kedua orang hwesio 
pembantu itu bernapas lega. Tiga 
orang itu kini berhadapan dengan 
Kong Hwi Hosiang yang ber topang 
pada tongkat bambu ular kuningnya. 

Karena yang berdiri paling dekat 
dengannya adalah laki-laki gendut 
bermuka hitam arang, Kong Hwi 
Hosiang bertanya sambil memandang kepadanya. "Siapakah sam-wi dan 
kepentingan apakah yang membuat 
sam-wi datang berkunjung "'

Si gendut muka hitam arang itu 

segera memperkenalkan diri dengan 
sikap angkuh, "Aku disebut orang 
Hek-bin Moong!"

"Omi tohud !" Kong Hwi Hosiang 

berseru heran dan memandang 
kepada mereka bertiga bergantian. 
"Kalaubegitu, pinceng berhadapan 
dengan Sam Mo-ong (Tiga Raja IbIis)" Akan tetapi, pinceng pernah 
berjumpa dengan Hek-bin.

Mo-ong dan seingat pinceng, Hek-bin Mo-ong adalah seorang yang 

bertubuh tinggi besar tidak seperti 
engkau yang bertubuh pendek.

'Hwesio sombong! Kaukira tubuhmu itu tinggi ramping" Engkau pun tidak banyak bedanya dengan aku, pendek dan gendut!" Hek-bin Mo-ong berkata marah.


"Omitohud !" Kong Hwi Hosiang yang 

memang biasanya selalu tersenyum, kini tertawa gembira. 
"Bagaimanapun juga, pinceng pernah bertemu dengan Sam Mo-ong dan 
jelas mereka itu bukan sam-wi."

"Hwesio, ketahuilah bahwa memang 

kami bukan Sam Moong. Akan tetapi 
Sam Mo-ong adalah guru-guru kami 
bertiga. Aku disebut orang Kwi-jiauw Lo-mo (iblis Tua Cakar Setan) , dan 
aku murid mendiang suhu Toat-beng Mo-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)."

"Dan aku disebut Pek-bin Mo-ong 

(Raja Iblis Muka Putih), guruku 
adalah mendiang Siauw-bin Mo-ong 
(Raja Iblis Muka Tertawa)," kata orang yang tinggi kurus muka putih kapur dengan mulut mewek-mewek seperti hendak menangis. Sungguh aneh 
orang yang mukanya seperti selalu 
menangis ini menjadi murid Raja Iblis Muka Tertawa, yang selalu tertawa 
itu.

"Mendiang guruku adalah Hek-bin, 

Mo-ong, dan untuk menghormati 
beliau, akupun menggunakan nama 
Julukan guruku itu!" kata yang gendut muka hitam arang.

"Omitohud, sekarang pinceng 

mengerti. Kirahya sam-wi adalah 
murid-murid Sam Mo-ong, diam-diam Kong Hwi Hosiang merasa terkejut 
dan heran. Kalau dia tidak salah ingat akan cerita muridnya, dua orang 
aneh yang pernah menyerang muridn yaitu agaknya Hek-bin Mo-ong dan 
Pek-bin Mo-ong, dua orang di antara 
mereka bertiga itu. Dan mereka 
semua mengaku murid-murid Sam 
Mo-ong . 

Akan tetapi, kenapa ilmu kepandaian mereka demikian hebat, me lebihi 
tingkat Sam Mo-ong yang pernah 
dikenal kepandaiannya"!

"Hwesio tua, siapakah engkau dan 

apakah engkau ketua kelenteng ini?" 
tanya Kwi-jiauw Lo-mo. Kong Hwi 
Hosiang tidak mau memperkenalkan 
namanya karena bagaimanapun, 
namanya sudah dikenal didunia 
persilatan dan dia tidak ingin dikenal 
tiga orang ini . "Pinceng memang 
pengurus kelenteng ini bersama dua orang saudara pinceng ini. Kami 
bertiga pengurus kelenteng ini. Akan 
tetapi, ada kepentingan apakah sam-
wi datang berkunjung?"

"Hwesio tua, kami bertiga 

membutuhkan kelenteng ini, maka 
kami harap kalian bertiga suka pergi 
meninggalkan kelenteng ini. Kami 
memerlukan tempat dan kelenteng ini memenuhi syarat," kata Kwi-jiauw Lo-mo tanpa sungkansungkan lagi.

Cun Hwesio dan Kun Hwesio 

mengerutkan alisnya, akan tetapi 
Kong Hwi Hosiang bersikap tenang 
dan tetap sabar. "Tiga orang sahabat 
yang baik, kalau kalian bertiga 
hendak tinggal di kelenteng ini 
sebagai tamu kami, silakan . Dibagian belakang masih terdapat kamar-
kamar yang boleh samwi tempati. 
Kami selalu menerima tamu dengan 
hati dan tangan terbuka ."

"Hemm, kami tidak ingin menjadi 

tamu, melainkan ingin mengambil 
kelenteng ini sebagai tempat tinggal 
kami. Kalian bertiga harus pergi dari sini, sekarang juga !"

"Omitohud , kenapa sam-wi' bersikap 

begini" Kelenteng ini bukan milik 
kami, melainkan milik penduduk 
dusun Li - bun, kami bertiga hanya 
sekedar menjadi pengurus kelenteng "

"Hwesio tua, karena melihat kalian 

adalah hwesio-hwesio, maka kami 
masih berlaku ramah dan lembut dan dengan baikbaik meminta kalian 
pergi. Apakah kalian menghendaki 
kami bersikap keras dan melempar 
kalian bertiga keluar dari tempat InI" 
bentak Pek-bin Mo-ong yang selalu 
berwajah muram.

"Omitohud, kiranya kalian ini bukan hanya manusiamanusia yang 

menggunakan nama julukan iblis, 
melainkan iblis sendiri yang 
menyamar manusia . 

Jahat sekali ! bentak Cun Hwesio yang sudah tidak mampu menahan 
kemarahannya lagi sambil 
menudingkan telunjuknya kearah 
muka Pek-bin Mo-ong. 

Sementara itu, Kun Hwesio yang juga sudah merasa penasaran sekali, diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya dan melangkah maju.

"Hei !, kalian bertiga murid Sam Mo-

ong! teriakan Kun Hwesio ini 
melengking penuh wibawa, membuat tiga orang itu mau tidak mau terpaksa menengok dan memandang 
kepadanya. Kun Hwesio 
menggerakkan kedua tangannya ke 
atas lalu dihadapkan kepada mereka sambil berseru lagi, kini suaranya 
menggetar kuat, "Kalian bertiga 
berlututlah!"

Terjadi keanehan. Tiga orang 

yang tadinya bersikap bengis dan 
galak itu, tiba-tiba saja menekuk 
kedua lutut kaki mereka dan mereka 
berlutut menghadap Kun Hwesio! 

Biarpun mereka bertiga kelihatan 
terkejut dan heran, terbelalak, 
namun mereka tetap saja berlutut 
dengan sikap hormat. Kalau saja 
Kong Hwi Hosiang dan kedua orang 
pembantunya merupakan orang-
orang yang mencari kemenangan, 
ketika tiga orang itu sedang berlutut, tentu akan mudah sekali menyerang 
dan merobohkan. mereka. 

Akan tetapi, Kong Hwi Hosiang dan dua orang pembantunya adalah tiga orang pendeta yang menaati hukum agama mereka. Mereka memang tidak meninggalkan kewajiban membela 
diri, namun mereka sama sekali tidak berani melanggar pantangan 
membunuh. Membunuh hewanpun 
mereka pantang, apa lagi membunuh manusia. 

Selain hukum agama, juga mereka 
tidak mau melanggar hukum tak 
tertulis dari para pendekar yang 
pantang menyerang lawan yang tidak dapat melawan. Melihat betapa tiga 
orang itu berada di bawah pengaruh 
kekuatan sihir dari Kun Hwesio, Kong 
Hw i Hosiang laIu berkata lembut.

"Nah, harap kalian pergi dan jangan 

mengganggu kami lagi." Akan tetapi, 
tiga orang datuk itu telah memiliki 
tingkat kepandaian tinggi dan 
merekapun memiliki sinkang (tenaga 
sakti) yang amat kuat. Kalau tadi 
mereka dapat dipengaruhi kekuatan 
sihir Kun Hwesio, hal itu adalah 
karena mereka sama sekali tidak 
menyangka dan mereka tidak 
bersikap menyambut serangan 
kekuatan sihir itu. 

Hanya sebentar mereka terpengaruh dan ucapan lembut Kong Hwi Hosiang telah menyadarkan mereka kembali. Hek-bin Mo-ong yang gendut 
bermuka hitam masih berlutut, akan tetapi matanya terangkat ke atas dan dia melirik ke arah Kun Hwe?sio yang tadi membentak agar mereka 
berlutut. Dia tahu bahwa hwesio itu 
yang menyerang dengan sihir, maka tiba tiba saja, kedua tangannya yang pendek besar itu didorongkan ke arah Kun Hwe?sio dan dia mengeluarkan 
bentakan nyaring.

"Hyaaaaahhhh ... '.!" Pada detik 

berikutnya, Kwi-jiauw Lo-mo telah 
meloncat dan menyerang Kong Hwi 
Hosiang dengan senjatanya yang 
menyeramkan, yaitu sepasang cakar 
setan yang telah disambungkan 
dengan kedua tangannya, dan Pek-bin Mo-ong juga sudah menyerang 
Cun Hwesio. Tentu saja kedua orang hwesio itu tidak sempat nenolong Kun Hwesio yang diserang oleh si muka 
hitam.

"Desss....! ! Tubuh Kun Hwesio 

terlempar ke belakang ketika terkena 
hantaman kedua telapak tangan Hek-bin Moong. Memang dalam.hal iImu 
silat, dua orang hwesio pembantu itu 
kalah jauh di bandingkan para 
penyerang itu yang kesemuanya 
adalah datuk-datuk sesat yang tentu 
saja amat lihai. 

Begitu terkena hantaman kedua 
tangan Hek-bin Mo-ong, tubuh Kun 
Hwesio terbanting ke ras dan tubuh itu kin" menggigil kedinginan, lalu 
tubuh itu menjadi kaku dan diapun 
tewas seketika karena darah di 
tubuhnya menjadi beku!

Tidak seperti Kun Hwesio, Cun 

Hwesio yang ahli gin-kang tidak 
mudah dirobohkan Pek-bin Mo-ong. 

Biarpun si kurus muka putih kapur 
itu menghujankan serangan, namun 
dengan lincah sekali Cun Hwesio 
dapat berloncatan keSana sini dan 
selalu dapat menghindarkan diri dari semua serangan itu! Tubuhnya 
bagaikan seekor burung walet saja, 
gerakannya ringan dan cepat 
berkelebatan mengejutkan Pek-bin 
Mo-ong yang mengira bahwa 
lawannya ini memiliki kepandaian 
yang amat tinggi. 

Melihat ginkang nya, tentu hwesio ini jauh lebih lihai darinya, Akan tetapi, ketika diserang bertubi-tubi itu Cun 
Hwesio hanya mengelak saja tak 
pernah menangkis apa lagi balas 
menyerang, Pek-bin Mo-ong dapat 
menduga bahwa hwesio ini hanya 
ahli gin-kang saja akan tetapi bukan 
ahli silat tinggi. Maka diapun 
menyerang terus dengan gencar.

Yang mampu mengimbangi serangan lawan hanyalah Kong Hwi Hosiang. 


Dengan tongkat bambunya, hwesio 
tua renta ini ternyata masih tangguh 
bukan main. Ilmu tongkatnya. Hongin Sin-pang membuat sepasang cakar 
setan di tangan Kwi jiauw Lo-mo tak pernah berhasil me ngenai sasaran, 
bahkan hwesio tua itu membalas tak kalah dahsyatnya, membuat Kwijiauw Lo-mo harus berhati-hati. Tak 
disangkanya bahwa hwesio tua itu 
demikian lihainya. Kalau saja dia tahu bahwa yang dilawannya adalah Kong Hwi Hosiang, tentu dia tidak akan 
merasa heran dan tidak berani 
memandang rendah.

Hek-bin Mo-ong tertawa melihat 

lawannya yang pandai sihir tadi telah 
tewas sedemikian. mudahnya di 
tangannya. Dia melihat betapa lawan Pek-bin Mo-ong memiliki ginkang 
istimewa, akan tetapi diapun tidak 
bodoh. Melihat hwesio itu hanya 
berloncatan ke sana sini tanpa 
membalas, diapun dapat menduga 
bahwa hwesio itu hanya pandai gin-kang saja namun tidak memiliki ilmu 
silat yang akan membahayakan 
rekannya. 

Sebaliknya, dia melihat 
Kwi-jiauw Lo-mo agak repot 
menghadapi Kong HwiHosiang, maka 
diapun meloncat ke depan 
membantu rekan ini mengeroyok 
Kong Hwi Hosiang..

Tentu saja Kong Hwi Hosiang semakin repot. Melawan Kwijiauw Lo-mo saja, dia harus mengerahkan seluruh 

tenaga untuk mengimbanginya, apa 
lagi dikeroyok oleh Hek-bin Moong 
yang memiliki kepandaian setingkat 
dengan datuk pertama itu. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak 
berkurang, dan napasnya juga sudah tidak setahan dahulu. Namun, hwesio tua ini memang hebat. Karena ilmu 
kepandaiannya sudah matang, sudah mendarah daging, biar dikeroyok dua orang datuk yang demikian 
tangguhnya, dia masih mampu 
membela diri dan tongkatnya yang 
berbentuk ular kuning dari bambu 
yang khas itu selalu dapat menangkis 
sepasang cakar setan Kwi-jiauw Lo-
mo dan pukulan tangan dingin Hek-
bin Mo-ong.

Sampai belasan jurus, Cun Hwesio 

masih mampu menghindarkan diri 
dari serangan Pek-bin Mo-ong yang 
bertubi-tubi. Karena serangannya 
selalu luput,Pek-bin Mo-ong merasa 
penasaran sekali dan memperhebat 
serangan pukulan yang berhawa 
panas itu. 

Akan tetapi , ketika melihat betapa 
Kun Hwes io tewas sedang kan Kong 
Hwi Hos i ang d i keroyok dua dan 
keadaannya juga terdesak, dia merasa khawatir sekali dan kegelisahannya, 
di tambah lagi kini dia memecah 
perhatian untuk melihat ke arah Kong Hwi Hos i-ang, Cun Hwes io kurang 
waspada dan lambungnya terkena 
sambaran pukulan Pek-bin Mo-ong.

Plakk!" Sekali saja terkena pukulan 

ampuh itu pada lambungnya, Cun 
Hwes io terpelanting dan roboh 
berkelojotan sebentar lalu tewas 
dengan tubuh kehitaman seperti 
terbakar!

Pek-bin Mo-ong tidak lagi 

memperdulikan lawan yang dia yakin tentu telah tewas. Dia menoleh ke 
arah rekan-rekannya dan mendengus marah melihat betapa dua rekan yang mengeroyok hwe?sio itu masih juga belum mampu merobohkannya. 
Diapun meloncat dan dengan 
bentakan nyaring, diapun terjun 
kedalam perkelahian, ikut 
mengeroyok Kong Hwi Hosiang!

Kong Hwi Hosiang mencoba untuk 

melawan sekuatnya, namun dia 
sudah tua dan tingkat kepandaian tiga orang itu tidak banyak selisihnya 
dengan tingkatnya, maka dikeroyok 
tiga, tentu saja dia tidak mampu 
bertahan lebih lama lagi. Sebuah 
tamparan tangan beracun dingin dari Hek-bin Mo-ong mengenai 
punggungnya . 

Dia terhuyung dan menggigil 
kedinginan, lalu datang 
pukulan Pek-bin Mo-ong yang 
berhawa panas. Selagi Kong Hwi 
Hosiang terhuyung, cakaran tangan 
kiri Kwi-j iauw Lo-mi mengenai 
dadanya dan hwesio tua itupun roboh dan tidak bergerak lagi, mukanya 
hitam keracunan dan diapun tewas 
seketika.

Tiga orang datuk itu memeriksa 

ketiga hwe io dan setelah merasa 
yakin bahwa mereka itu tewas semua, mereka lalu menyerbu kedalam 
kelenteng mencari kalau-kalau masih terdapat penghuni kelenteng yang 
lain. Akan tetapi ternyata tidak ada orang lain lagi di dalam kelenteng.
"Hemmm, di mana Seng Gun?" tiba- tiba Kwi-jiauw lo-mo bertanya kepada kedua orang rekannya.


"Bukankah tadi dia naik ke pun-cak"!l kata Pek-bin Mo-ong. Pemandangan alam disini amat indahnya, tentu dia pergi berjalan-jalan. Biar aku 

mencarinya!" kata Hek-bin Mo-ong. 
Ketlka Kwi-jiauw Lo-mo mengangguk, Hek-bih Mo-ong tertawa lalu 
tubuhnya yang gendut bundar itu 
seperti menggelinding pergi dengan 
cepat sekali.

Dewa maut berpesta pora d! 

pekarangan kelenteng itu dan 
mengambil korban nyawa.tiga orang 
hweslo yang selama ini hidup 
tenteram penuh damai dan pekerjaan mereka hanyalah berdoa dan 
menolong para penduduk dusun-
dusun di sekitar daerah Itu. Akan 
tetapi mengapa mereka bertiga 
mengalami nasib sedemikian 
buruknya"

Sejak jaman dahulu, orang selalu 

bertanya-tanya tentang kenyataan 
ini, yaitu bahwa betapa banyaknya 
manusia yang semasa hidupnya 
nampak begitu balk hati, dermawan, 
suka menolong sesamanya, juga 
beribadat, namun kenyataan nya 
tertimpa malapetaka, bahkan banyak juga yang tewas secara menyedihkan, baik melalui kecalakaan mengerikan, bencana alam, atau juga dibunuh orang. 

Banyak orang yang hidupnya nampak baik dan saleh, semua orang 
menganggap dia seorang budiman, 
namun hidupnya miskin, 
berpenyakitan, dan tertimpa 
malapetaka pula sehingga mengalami 
kematian yang menyedihkan, 
Sebaliknya, banyak pula orang yang pada umumnya dianggap jahat, 
kejam, kikir, tidak pernah suka 
menolong sesamanya, bahkan 
mengingkari Tuhan, namun hidupnya nampak bergelimang kekayaan, selalu nampak senang dan bahkan berumur panjang!

Kenyataan ini merupakan satu di 

antara rahasia-rahasia kehidupan 
yang tidak dapat dimengerti 
manusia, Banyak yang mencoba 
untuk mengungkap rahasia ini 
dengan berbagai teori dan dalih.

Ada yang menganggap 'bahwa hal itu merupakan hukum karma atau 

hukum sebab akibat atau hukum 
menanggung akibat perbuatan 
sendiri, memetik buah dari pohon 
yang ditanamnya sendiri. Tanaman 
pohon ini mungkin dilakukan dalam 
kehidupan masa lalu, atau ditanam 
oleh orang tua, nenek moyang dan 
selanjutnya, 

Ada pula yang berpendapat bahwa 
semua keadaan yang tidak 
menyenangkan itu adalah perbuatan setan yang selalu berusaha untuk 
menyengsarakan manusia. Namun, 
semua itu hanyalah anggapan dan 
perkiraan belaka yang tidak dapat 
dibuktikan kebenarannya. Hati akal 
pikiran manusia terlalu terbatas 
untuk dapat mengungkap pekerjaan 
Tuhan yang maha besar dan maha 
rumit.

Ada orang berpendapat bahwa segala yang menyengsarakan manusia, 
termasuk pekerjaan setan yang selalu ingin menyengsarakan manusia. 
Benarkah ini" Ada pula yang 
beranggapan bahwa hal ini tidak 
mungkin karena bukankah penyakit disebabkan kuman-kuman, dan 
kuman adalah mahluk hidup yang 
berarti ciptaan Tuhan pula" 

Kalau Tuhan Maha Pencipta, berarti bahwa semua kuman dan apa saja 
yang dapat menyebabkan manusia 
sakit, baik itu hewan maupun 
tanaman, adalah ciptaan Tuhan. 
Berarti bahwa semua yang menimpa manusia dapat terjadi kalau sudah 
dikehendaki Tuhan. Benarkah ini" 

Tidak ada yang akan dapat 
menjawab, karena semua 
jawabanpun, seperti semua perkiraan tadi, hanya merupakan pendapat 
belaka, hanya perkiraan dan tidak 
akan dapat dibuktikan. 

Pengertian manusia amat terbatas, 
terbatas untuk melayani dan 
mencukup kebutuhan manusia hidup 
di dunia saja, karena itu, alat berupa 
hati akal pikiran tidak dapat kita 
pergunakan untuk menguak dan 
menjenguk rahasia yang lebih dari 
pada kebutuhan kita......



BERSAMBUNG KE JILID 02





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12