Tuesday, February 19, 2019

Cerita Silat Serial Kisah Si Pedang Kilat Jilid 11


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
  Serial Kisah Si Pedang Kilat

            Jilid 11



bukanlah pemburu, tentu kurang 
pengalaman, dan kurang 
perlengkapan untuk memanggang 
daging binatang buruan. 

Kami membawa bekal bumbu yang 
lengkap dan kami sudah terbiasa 
membuat daging binatang hutan 
menjadi hidangan lezat. 

Kalau ji-wi suka kami akan 
membantu ji-wi, menguliti hasil 
buruan itu, memberi bumbu dan 
memanggang dagingnya, dan ji-wi 
tinggal menikmatinya saja."

Bi Moli sekarang memandang kepada si brewok dan bibir yang selalu dihias senyum itu kini melebar, matanya 
mencorong. "Kalian bertiga adalah 
pemburu-pemburu yang sama sekali tidak kami kenal.

Mengapa kalian bersikap baik dan manis kepada kami?"
Si brewok itu juga tersenyum. "Toanio tentu mencurigai kami dan ingin 

mengetahui pamrih dari kami"

Memang ada pamrihnya. Pertama, kami juga sudah lapar, sejak malam tadi tidak makan apapun, dan kedua, tidak mungkin ji-wi dapat menghabiskan semua daging ini, maka selain mengharapkan dapat ikut makan, kamipun mengharapkan mendapat sisa daging untuk kami jadikan dendeng dan kami bawa
pulang." 


Kini Bi Moli dan Ling Ay saling 
pandang, lalu tertawa. Bagaimanapun juga, menguliti dan memanggang 
daging di tempat itu tanpa 
perlengkapan memang bukan 
merupakan pekerjaan mudah. Daging itu tidak akan enak kalau hanya 
dipanggang dan diberi garam saja, 
satu-satunya bumbu yang mereka 
bawa sebagai bekal dari rumah tadi.

"Baiklah, kami memang tidak suka 
ditolong orang tanpa imbalan. Nah, 
kalian panggangkan daging-daging itu dan semua sisanya boleh kalian 
ambil." kata Ling Ay. Iapun mencari 
tempat yang bersih untuk duduk, tak jauh dari gurunya. Mereka hanya 
duduk dan melihat kesibukan tiga 
orang itu. 

Mereka itu menguliti kijang dan dua ekor kelinci, membuang isi 
perutnya, membuat api, 
mengeluarkan bumbu yang lengkap, dan ada yang mencari air dengan 
panci yang memang sudah mereka 
bawa sebagai perlengkapan. 

Mereka dapat bekerja cepat dan 
nampak jelas bahwa ke tiga orang itu 
memang sudah terbiasa menyiapkan 
makanan dalam hutan.

Sambil memanggang daging yang 

mengeluarkan aroma sedap karena
diberi bumbu yang lengkap, tiga
orang itu tiada hentinya 

menceritakan keadaan mereka 
sebagai pemburu-pemburu yang 
miskin dan tinggal jauh di dusun yang terletak di pegunungan sebelah barat Nan-king. 

Mereka juga memuji-muji 
pemerintahan dari kerajaan Chi, dan seperti sambil lalu mereka juga 
menanyakan kedudukan dua orang wanita itu di dalam istana kaisar. 
Karena sikap mereka yang biasa ramah dan tidak mencurigakan, Ling 
Ay menceritakan dengan sejujurnya 
bahwa baru beberapa bulan saja gurunya bekerja menjadi pelatih silat di istana, dan ia sendiri menjadi 
seorang perwira pengawal 
permaisuri.

Setelah panggang daging itu matang, 

tiga orang pemburu menghidangkan 
bagian-bagian yang paling
lunak dan lezat kepada Ling Ay dan gurunya, dan merekapun 

mengeluarkan seguci besar anggur 
yang baunya harum sekali. Tentu saja guru dan murid itu menjadi gembira, dan mereka tidak menolak ketika 
disuguhi anggur di dalam cawan-
cawan bersih yang memang sudah 
dipersiapkan tiga orang pemburu
itu. 

Bi Moli sendiri tidak menaruh curiga 
karena tiga orang itu pun minum 
anggur dari guci yang sama.
Kalau anggur itu diberi racun, tentu tiga orang itu akan roboh lebih 

dahulu karena mereka yang lebih 
dulu minum.

Tiga orang itu tidak membual. 

Panggang daging itu sungguh lezat sekali. Lunak dan ada rasa bumbu 
asing yang aneh, namun yang 
membuat daging itu sedap. 

Guru dan murid itu makan sampai 
kenyang dan mereka masing-masing 
menghabiskan tiga cawan anggur.
"Hemm, kalian memang pandai sekali memasak," kata Bi Moli dengan 
senang dan ia menyusut bibirnya 
dengan saputangan. "Semua sisa 
dagingnya boleh kalian ambil, kami tidak memerlukan lagi. Ling Ay, mari kita kembali, matahari sudah naik tinggi."

"Baik, subo," kata Ling Ay sambil 

bangkit berdiri dan menghampiri dua ekor kuda mereka yang masih makan rumput. 

Akan tetapi, tiba-tiba pandang 
matanya berkunang dan 
sekelilingnya seperti berputar.
Ling Ay mengeluh dan menggunakan tangan untuk memegang kepalanya, 

namun ia terhuyung. Ia masih
sampat melihat betapa subonya 

meloncat berdiri dan gurunya itu 
membuat gerakan untuk menyerang
tiga orang pemburu tadi, akan tetapi gurunya mengeluh dan terguling 
roboh. 

Ling Ay tak dapat menahan 
kemarahannya karena ia dapat 
menduga bahwa ia dan gurunya telah keracunan.

"Kalian ...!" Ia melompat untuk 
menyerang, namun iapun terguling 
karena pening dan roboh di dekat 
gurunya. Ia masih sempat melihat 
munculnya belasan orang yang 
berpakaian serba hitam di tempat itu, 
lalu semua menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apalagi.

Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman luas.
Kalau tadi ia sampai terkecoh dan minum anggur yang sudah dicampuri obat bius adalah karena ia menaruh 

kepercayaan melihat tiga orang 
pemburu itu juga minum anggur dari 
guci yang sama. 

Tentu saja ia tidak menduga bahwa 
tiga orang itu mempersiapkan 
segalanya, dan sebelum minum 
anggur,sudah lebih dahulu minum obat penawar racun atau pembius itu sehingga mereka tidak terpengaruh.

Begitu ia bangkit dan merasa pening, ia pun maklum bahwa ia dan 
muridnya keracunan, maka ia hendak menyerang tiga orang itu. Akan tetapi, ia segera teringat bahwa gerakan 
yang mengerahkan sin-kang akan 
membuat racun di dalam perutnya 
bekerja lebih cepat, maka iapun 
sengaja membuat dirinya
terpelanting roboh. 


Diam-diam ia mengerahkan tenaga 
sakti dalam perutnya, dan 
menggunakan telunjuknya untuk 
dimasukkan ke dalam mulut, 
menyentuh kerongkongannya. 

Seketika ia muntah-muntah, dan 
dengan penambahan dorongan 
tenaga sin-kang, maka tenaga 
muntahan itu menjadi semakin kuat 
dan semua yang berada di dalam 
pencernaannya tertuang keluar 
melalui mulutnya! 

Juga anggur yang mengandung obat pembius itu.
Yang tinggal di dalam perutnya hanya sedikit dan yang sedikit itu tidak lagi mempengaruhi tubuhnya yang sudah terlatih dan kuat.

Ia melihat betapa muncul belasan orang yang berpakaian hitam-hitam maka iapun menanti sampai mereka bergerak mendekatinya. Tiba-tiba ia meloncat dan mengeluarkan suara 

melengking panjang, membuat 
belasan orang berpakaian hitam-
hitam dan tiga orang pemburu tadi 
terkejut setengah mati karena di 
dalam lengkingan itu terkandung 
getaran yang membuat mereka semua tergetar seperti lumpuh! 

Agaknya, belasan orang itu bukan 
orang-orang sembarangan. 
Terdengar seruan seorang di antara
mereka, "Sumbat telinga dan tangkap ia! Ia menggunakan tenaga sihir!"

Belasan orang itu menggunakan alat kecil penyumbat telinga, agaknya 

mereka memang sudah
mempersiapkan segala kemungkinan, dan kini mengepung Bi Moli Kwan 
Hwe Li dan dari gerakan dan
sikap mereka, datuk wanita ini 

maklum bahwa mereka bukanlah 
orang-orang lemah. 

Melihat ia dikepung belasan orang 
laki-laki yang berpakaian serba 
hitam, Bi Moli Kwan Hwe Li segera
menggerakkan pedangnya. Ia tidak merasa perlu untuk bicara lagi karena mereka semua telah menyumbat 

telinga mereka sehingga mereka tidak akan mendengar apa yang ia 
katakan. 

Dengan marah ia memutar 
pedangnya dan para pengepungnya 
terkejut sekali melihat gulungan sinar pedang yang menyelimuti tubuh 
wanita cantik itu. 

Mereka memperlebar kepungan dan mengeroyok dari sekelilingnya 
sehingga Bi Moli terpaksa harus 
melindungi tubuhnya dari gulungan 
sinar pedang, tanpa mendapat 
banyak kesempatan untuk 
menyerang. 
Ternyata bahwa belasan orang itu 
rata-rata memiliki ilmu silat yang 
cukup tangguh.

Ketika seorang di antara mereka memberi isarat dengan mengeluarkan sebuah benda seperti gulungan kain, yang lain juga segera mengeluarkan benda yang sama. 


Tiba-tiba, seorang yang berdiri di belakangnya menggerakkan benda itu ke atas dan benda itu ternyata sehelai jaring hitam yang menyambar dan 
menubruk ke arah Bi Moli. Wanita ini 
cepat mengelak ke samping dan 
biarpun ia dapat menghindarkan diri dari terkaman jaring itu, ia disambut sambaran jaring lain. 

Ia mengelak dan menggerakkan 
pedang untuk menangkis, akan tetapi akhirnya, sehelai jaring 
menerkamnya dari belakang atas. Bi Moli mengerahkan tenaga 
menggerakkan pedangnya. 

Ternyata jaring itu terbuat dari bahan yang kuat dan ulet, yang tidak 
menjadi putus oleh sabetan 
pedangnya. 

Ketika Bi Moli bagaikan seekor ikan terjaring, menggerakkan tenaga 
meronta-ronta dan tangan 
kirinya yang menangkap jaring itu 
berhasil merenggut putus beberapa helai tali jaring, jaring kedua sudah menerkam di atas jaring pertama!

Bi Moli terkejut, maklum bahwa kalau banyak jaring menimpanya, ia tidak akan mampu lolos lagi. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar 
suara mengaung-ngaung dan dua 
orang pengeroyok terpelanting dan jaring-jaring itu ditarik kembali, 
hanya tinggal dua helai yang masih 
menyelimuti dirinya. 

Akan tetapi karena dua orang 
pemegang tali jaring itu diserang oleh seorang pemuda yang memegang 
sebatang pedang sehingga mereka 
terdesak mundur dan dengan mudah Bi Moli lalu meronta melepaskan diri 
dari dua helai jaring itu.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Dari pakaiannya 

yang ringkas saja dapat diduga bahwa dia seorang pemuda kang-ouw yang perkasa. Pedang di tangannya diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Moli menjadi gembira dan cepat iapun memutar pedangnya menerjang para pengeroyok.
Agaknya para pengepung maklum bahwa pemuda itu seorang yang lihai. 


Apalagi dua orang di antara
mereka telah roboh oleh pedang di tangan pemuda itu. Mereka 

mengangkat dua orang kawan 
mereka yang terluka. dan melarikan diri menghilang ke dalam hutan.
Bi Moli tidak mengejar, dan pemuda itupun tidak melakukan pengejaran. 


Mereka berdiri saling berhadapan 
dan berpandangan dengan penuh 
selidik. Bi Moli tersenyum, 
memandang kagum karena
pemuda itu memang gagah perkasa dan tampan.


"Aih, kalau aku tidak salah duga, bukankah engkau ini putera atau murid dari Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman?"
Pemuda itu memberi hormat. Dia 
memang benar Ouwyang Toan, putera tunggal Bu-eng-kim (Pedang Tanpa 
Bayangan) Ouwyang Sek. 

Dia meninggalkan Lembah Bukit Siluman dalam perjalanannya 
mencari Tiauw Hui Hong, murid atau anak tiri ayahnya yang pergi 
meninggalkan lembah untuk mencari ayah.kandungnya. 

Ouwyang Toan ini jatuh cinta kepada adik seperguruan atau adik tirinya 
sendiri dan dia bertekad untuk 
memperisteri Hui Hong. Dalam 
perjalanannya nenuju ke kota raja 
Nan-king dalam usaha mencari Hui Hong, dia melihat betapa Bi Moli dikeroyok oleh belasan orang, maka diapun segera memberi bantuan. 

Dia tidak mengenal wanita itu, akan 
tetapi melihat seorang wanita 
dikeroyok belasan orang pria dan 
keadaannya terancam, tentu dia tidak dapat membiarkannya begitu saja. 
Apalagi wanita itu demikian 
cantiknya, dan ada seorang nona 
cantik lain rebah pingsan di atas 
rumput.

"Toanio (nyonya) sungguh lihai dan bermata tajam, memang benar 

dugaan toanio, aku bernama
Ouwyang Toan dan ayahku adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Ayahku pernah bercerita tentang seorang
datuk wanita yang lihai dan selalu nampak cantik dan muda, juga ia seorang ahli sihir. 


Tadi toanio menggunakan kekuatan 
sihir, apakah toanio yang bernama Bi Moli Kwan Hwe Li?"
Bi Moli tertawa girang. "Aih, engkau sungguh mengagumkan, tidak 

mengecewakan menjadi putera 
Bueng-kiam! Engkau gagah perkasa, 
tampan dan cerdik."

"Bibi Kwan terlalu memuji," kata 

Ouwyang Toan merendah, kini tanpa 
ragu lagi menyebut bibi karena 
ayahnya mengatakan bahwa ayahnya mengenal baik wanita yang dianggap setingkat dan segolongan
dengan ayahnya itu. "Akan tetapi, siapakah nona yang masih tak sadar itu, bibi?"


"Aih, aku sampai lupa! Ia adalah muridku dan tadi kami tertipu oleh 

tiga orang pemburu yang 
mencampurkan racun pembius dalam anggur yang mereka suguhkan." Bi Moli menghampiri muridnya
yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan, diikuti oleh 

Ouwyang Toan yang diam-diam
memandang kagum kepada wanita 

muda yang cantik itu.

"Bibi, aku mempunyai obat penawar segala macam racun. Kalau boleh, 

biarkan aku yang menyadarkannya," 
kata Ouwyang Toan. Bi Moli 
memandang wajah pemuda itu dan mengangguk sambil tersenyum! 

Sebagai seorang wanita 
berpengalaman, ia tahu bahwa 
pemuda putera datuk dari Lembah
Bukit Siluman ini tertarik kepada muridnya. 


Mengapa tidak, pikirnya! Kalau 
muridnya dapat menjadi mantu 
Ouwyang Sek, berarti ia mempunyai sekutu yang amat kuat.
Setelah mendapatkan persetujuan Bi Moli Ouwyang Toan dengan girang lalu berlutut di dekat tubuh
yang terlentang itu. 


Jantungnya berdebar keras karena dengan berlutut di dekat tubuh itu, dia dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh yang ramping padat itu, wajah yang cantik manis. Dia bukan seorang yang ber watak mata keranjang, akan 
tetapi Ling Ay memang memiliki kecantikan yang mampu menarik hati pria yang pendiam sekalipun!

Ouwyang Toan mengambil dua butir pel merah dari sebuah bungkusan, lalu menghancurkan dua butir
pel itu ke dalam secawan arak. Setelah itu, dia menotok jalan darah di kedua pundak dan tengkuk Ling Ay. 


Gadis itu belum siuman, akan tetapi 
sudah mengeluh dan dapat bergerak tanpa membuka mata karena masih dipengaruhi racun pembius. Karena ia sudah mampu bergerak, Ouwyang Toan merangkulnya dengan lengan 
kiri, membantunya bangkit duduk, 
lalu memaksanya minum obat 
penawar racun dari cawan. 

Biarpun tidak mudah, namun setelah Ouwyang Toan meniup ke hidung Ling Ay,wanita ini gelagapan dan terpaksa dapat menelan semua isi 
cawan. Ouwyang Toan 
merebahkannya kembali dan dengan jari-jari tangan penuh gairah, dia memijit-mijit pundak dan tengkuk Ling Ay, merasa betapa lembut kulit itu, betapa hangat dan berisi.

Tak lama kemudian, Ling Ay 
mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat ada seorang laki-laki berlutut di dekatnya dan laki-laki itu meraba-raba dan memijit-mijit tengkuk dan pundaknya, ia mengeluarkan seruan nyaring dan sambil meloncat berdiri, ia mengirim pukulan ke arah muka laki-laki itu.

"Wuuuuttt ... plakkk!" Ouwyang Toan menangkis tamparan yang amat kuat itu dan diapun melompat berdiri. Ling Ay sudah siap untuk 

melanjutkan serangannya, akan tetapi gurunya segera melangkah maju dan
menangkap lengannya.


"Tenanglah, Ling Ay dan jangan salah mengerti. Pemuda ini tidak berniat 

buruk, bahkan dia yang telah 
mengobatimu dan menyadarkanmu dari pengaruh racun pembius." kata Bi Moli kepada muridnya.

Mendengar ini, Ling Ay terkejut dan mundur dua langkah, memandang kepada pemuda itu dan kedua
pipinya berubah kemerahan.


"Ahhh ... maafkan aku ... " katanya gagap dan malu telah menyerang orang tanpa bertanya dulu sehingga hampir ia memukul penolongnya!


"Tidak mengapa, nona. "kata Ouwang Toan.
"Ling Ay, dia adalah Ouwyang Toan, putera dari Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Kalau dia tidak datang, tentu akupun tadi akan terancam bahaya dari tangan orang-orang berpakaian hitam itu. Ouwyang Toan,
kenalkan, muridku ini bernama Cia Ling Ay."


Ling Ay yang menyadari 

kesalahannya tadi, segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut dan ramah, "Terima kasih atas bantuan Ouwyang Tai-hiap."

Ouwyang Toan tersenyum. "Ahhh, harap nona jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)!"


Bi Moli tertawa. "Engkau sendiri menyebut Ling Ay nona. Ketahuilah, ia bukan nona, melainkan nyonya muda, ia sudah janda tanpa anak ... "

"Subo ... " kata Ling Ay dan mukanya berubah kemerahan. Ia menganggap memalukan untuk memperkenalkan 
dirinya sebagai seorang janda muda tanpa anak.

"Aihh, Ling Ay. Ouwyang Toan ini adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang kuanggap sebagai 

segolongan dan sahabat sendiri, maka diapun dapat kita anggap orang 
serdiri. Engkau tidak perlu
sungkan dan sebut saja dia toako, dan engkau menyebut siauw-moi kepada Ling Ay, Ouwyang Toan."


Kedua orang muda itu kembali saling pandang dan dengan sikap malu-malu karena mata pemuda itu
menjelajahi seluruh tubuhnya, Ling Ay berkata, "Ouwyang toako!"

"Cia-moi, di antara kita memang tidak perlu sungkan seperti apa yang dikatakan bibi Kwan."

"Kulihat Bibi Kwan dan Adik Ling Ay berpakaian seperti perwira kerajaan. Benarkah dugaanku ini?"


"Tidak salah, Ouwyang Toan. Aku bekerja di istana sebagai guru silat yang melatih para perwira dan para puteri, sedangkan Ling Ay bekerja 

sebagai perwira pasukan pengawal 
permaisuri."

"Ah, kiranya bibi dan adik telah 

menjadi orang-orang penting di 
istana! Sungguh mengagumkan 
sekali!"

"Tidak perlu memuji, Ouwyang Toan. Kami hanya perwira-perwira kecil. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan ayahmu di Lembah Bukit Siluman?"


"Terima kasih, bibi. Ayah baik-baik 

saja. Dan aku sendiri sedang mencari ... adikku yang pergi dari rumah."
"Siapakah adikmu itu" Dan, kalau tidak salah, Bu-eng kiam mempunyai seorang anak perempuan. itukah yang kau maksudkan" Siapa lagi namanya, aku sudah lupa."


"Benar, bibi. Namanya Hui Hong ... eh, ada apakah, adik Ling Ay" Kenalkah engkau dengan adikku, atau apakah engkau melihat ia di kota raja !"


Ling Ay menggeleng kepala. "Aku ... rasanya aku pernah melihatnya dan mendengar namanya, yaitu kurang lebih empat tahun yang lalu ... "


"Sebelum engkau menjadi muridku?" tanya gurunya.
Ling Ay sudah dapat menenangkan hatinya. ia ingat bahwa gadis 

bernama Hui Hong itu adalah gadis
yang membuat hatinya merasa tidak enak dan cemburu karena gadis itu datang bersama Bun Houw dan
mereka nampak demikian akrab, ia merasa tidak perlu bicara tentang itu dan iapun berkata tenang.


"Akan tetapi, sejak empat tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi 

melihatnya."

"Mari ikut bersama kami, Ouwyang Toan. Kami akan membantu mencari keterangan. Kalau memang
benar adikmu berada di kota raja, kami tentu akan dapat 

menemukannya. Kami harus cepat kembali ke kota raja untuk 
melaporkan tentang adanya 
gerombolan berpakaian hitam yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi itu. 


Mereka harus cepat dibasmi dan kami akan minta kepada panglima pasukan
keamanan untuk menggerebek 

mereka di hutan ini."

Ouwyang Toan merasa girang, bukan saja karena akan mendapat bantuan menemukan Hui Hong,melainkan juga karena dia akan berdekatan 

dengan Ling Ay yang cantik manis, 
dan juga Bi Moli yang biarpun 
usianya sudah setengah abad, masih nampak jelita itu. 

Mereka lalu berangkat ke Nan-king. Bi Moli berboncengan satu kuda dengan muridnya dan kuda yang seekor lagi diberikan kepada Ouwyang Toan ...!"

Karena yang membawanya Bi Moli dan Ling Ay, tentu saja Ouwyang Toan tidak dilarang memasuki istana dan dia mendapatkan sebuah kamar 
dalam sebuah gedung di samping 
agak terpisah dari gedung induk, 
yaitu gedung yeng memang 
disediakan bagi para tamu istana. Bi 

Mo-li sendiri segera menghubungi 
panglima pasukan keamanan yang 
mengirim pasukan untuk 
menggerebek gerombolan berpakaian hitam yang tadi mengeroyok Bi Moli. 

Akan tetapi, pasukan itu tidak 
menemukan apa-apa.Pasukan itu 
tidak menemukan seorang pun 
anggauta gerombolan walaupun di 
tengah hutan didapatkan
pondok-pondok darurat dan ada tanda-tanda bahwa baru saja banyak orang meninggalkan tempat itu.

Memenuhi janjinya, Bi Moli juga 
menyebar penyelidik untuk mencari 
seorang gadis bernama Ouwyang
Hui Hong, namun sampai beberapa hari lamanya, pencarian mereka itu tidak berhasil menemukan gadis yang dicari. 

.
Sementara itu, Ouwyang Toan tinggal sebagai tamu terhormat di 
lingkungan istana, dan walaupun 
tempat itu dijaga para pengawal dan dia tidak dapat berkeliaran di dalam istana, namun di sekeliling gedung tamu itu terdapat taman yang luas dan indah sehingga membuat pemuda ini merasa betah tinggal di situ. 

Apalagi di waktu malam, seringkali Bi Moli dan Ling Ay datang berkunjung dan hubungan mereka telah akrab.
Karena sikap Ouwyang Toan memang baik terhadap dirinya, dan ia tahu 
bahwa pemuda itu seorang
yang berkepandaian tinggi, maka ketika gurunya menyindirkan bahwa pemuda itu akan menjadi 
jodohnya 
yang baik, Ling Ay tersipu dan 
menundukkan mukanya yang 
berubah kemerahan.

"Ling Ay, pemuda itu seorang yang baik dan akan sukarlah mencari 
seorang calon suami yang melebihi dia. Dia lihai, tampan, gagah, putera seorang tokoh besar ... "

"Subo! Subo tahu bahwa aku seorang janda, dan aku ... aku hanya mencinta seorang ... "


"Bodoh! Jangan engkau meniru sikap hidupku yang membuat aku merana sampai setua ini! Apa artinya 

mencinta seorang pria mati-matian, 
padahal pria itu sendiri tidak 
mencintamu" Engkau akan 
menderita!

Aku sudah bersikap bodoh ketika 

muda. Sebetulnya tidak seharusnya 
aku bersikap seperti itu,
mengharapkan seorang pria menjadi jodohku sampai aku harus 

mengorbankan diri, bersetia sampai
puluhan tahun, pada hal pria itu tidak mau menjadi jodohku! 


Seharusnya kita menempuh dua 
jalan,pertama, kita harus 
menggunakan segala daya upaya 
untuk mendapatkan pria yang kita cinta itu, baik secara halus maupun 
kasar. Kalau itu gagal, kita mencari pria lain dan melupakan yang 
pertama! 

Nah, untuk apa engkau 
mengharapkan kekasih pertamamu itu. padahal dia tidak mencintamu lagi, bahkan engkau pernah menikah dengan orang lain" Sekarang ada 
Ouwyang Toan, dan kurasa dia tidak 
kalah dibandingkan dengan pria 
manapun."

"Subo, dia serdiri belum tentu mau denganku. Aku hanya seorang janda, dan dia putera seorang datuk dan ... "
"Aku yakin dia pasti mau 

memperisteri dirimu."

"Bagaimana mungkin subo tahu?"
Bi Moli tersenyum. "Aku dapat 

melihat bahwa dia tertarik padamu, Ling Ay, baik dari pandang matanya 
dan sikapnya kalau bicara 
denganmu."
"Aih, subo hanya menduga-duga saja."

Demikianlah, sejak percakapan itu, 
Ling Ay semakin memperhatikan 
Ouwyang Toan bahkan kalau kini
berhadapan dengan pemuda itu, ia 

merasa betapa jantungnya berdebar 
tegang dan ia merasa sungkandan tersipu. 

Pada suatu sore, beberapa hari 
setelah Ouwyang Toan tinggal di 
lingkungan istana sebagai tamu, Ling Ay mencari gurunya. 

Ketika mendengar dari pelayan 
gurunya bahwa Bi Moli sejak tadi 
pergi, Ling Ay menduga bahwa tentu 
subonya pergi mengunjungi Ouwyang Toan, seperti yang dilakukannya
setiap hari setiap kali ada 
kesempatan. Iapun pergi menyusul. 

Pada waktu itu, gedung tempat
penginapan tamu itu kebetulan 

kosong dan hanya ada sedikit saja
tamu yang menginap di situ. Kamar Ouwyang Toan berada di bagian 
belakang dan Ling Ay langsung saja menuju ke kamar pemuda itu. 

Para penjaga di depan gedung itu 
tentu saja mengenal Ling Ay, dan 
mereka memberi hormat ketika 
perwira pengawal wanita itu masuk.
Tentu saja Ling Ay tidak berani mengetuk kamar pemuda itu. Hal itu tidak sopan. Bahkan belum pernah ia datang berkunjung sendirian saja, selalu bersama subonya. Kinipun ia bukan bermaksud datang berkunjung, melainkan menyusul dan mencari 
subonya. 

Maka, iapun menghampiri kamar itu dengan langkah ringan dan tidak 
menimbulkan suara sedikitpun. Tiba tiba, ketika ia berada di luar jendela, ia menghentikan langkahnya. Ada 
suara percakapan berbisik-bisik 
keluar dari jendela itu dan ia 
mengenal suara subonya! 

Subonya berada di dalam kamar 
seorang diri saja bersama pemuda itu, dan mereka bicara berbisik-bisik, 
diselingi tawa lirih gurunya, tawa 
aneh karena terdengar genit! 

Iapun menahan napas dan 
mengerahkan seluruh kekuatan 
pendengarannya, menangkap 
percakapan bisik-bisik itu.
"Bibi, kita telah berjanji, kuharap 
kelak engkau tidak akan melanggar janjimu kepadaku," terdengar suara Ouwyang Toan berbisik.

"Ihh, anak bandel! Kaukira Bi Moli tukang bohong" Akan tetapi kau juga harus selalu ingat. Biarpun Ling Ay telah menjadi milikmu, engkau harus tidak pernah menyia-nyiakan diriku. Kalau kelak engkau melupakan aku, maka aku pasti akan membunuh 

engkau dan Ling Ay!"

Tentu saja Ling Ay yang 

mendengarkan dari luar, seketika 
menjadi pucat wajahnya dan matanya
terbelalak. Ingin ia meloncat dan 

pergi, akan tetapi kedua kakinya 
seperti lumpuh dan ia ingin
mendengarkan lagi, ingin tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan, "Aku melupakanmu" 

Ah,engkau begini cantik, begini 
pandai menyenangkan hatiku, sampai matipun aku tidak akan
melupakanmu, bibi yang manis. Akan tetapi kalau engkau melanggar janji, tidak mengusahakan agar ia menjadi milikku, aku akan meninggalkanmu dan mengadu kepada ayah dan kami akan memusuhimu."

"Jangan khawatir, laki-laki ganteng. Aku tidak begitu pelit untuk membagi dirimu dengan muridku sendiri."

"Akan tetapi, ia kelihatan begitu 
pendiam dan angkuh. Rasanya aku 
tidak akan sanggup untuk berhasil 
merayu dan memikatnya, bibi. Aku 
tidak pandai merayu."

"Apa sih sukarnya" Aku dapat 

mempergunakan kekuatan sihirku untuk menundukkannya."

"Dan aku mempunyai obat pembius 

dan racun perangsang untuk 
membantu kalau-kalau kekuatan
sihirmu kurang berhasil." Lalu 

terdengar kedua orang itu cekikikan menahan tawa. Ling Ay bergidik.

Ingin ia menjerit dan memaki, 

wajahnya sebentar merah sebentar 
pucat dan ia lalu memaksa diri untuk berlari meninggalkan tempat itu, 
menuju ke kamarnya, mengambil 
pakaian dan sore hari itu juga
meninggalkan istana. 


Ketika ia berlari, karena ia marah sekali. ia kurang hati-hati dan kakinya
menimbulkan suara yang tentu saja mengejutkan dua orang yang, sedang berbuat mesum di dalam kamar itu. Ling Ay mendengar suaranya 

dipanggil, akan tetapi ia tidak perduli dan setelah berhasil membawa
buntalan pakaian, iapun keluar dari dalam istana, terus menuju ke pintu gerbang kota raja untuk
melarikan diri. 


Ia tidak akan sanggup melawan 
gurunya dan Ouwyang Toan, dan 
kalau ia tidak melarikan diri. tentu ia akan menjadi korban niat yang hina dan kotor dari kedua orang itu. Lebih baik ia mati dari pada menyerah kepada mereka!

Setelah keluar dari pintu gerbang bagian barat kota raja, Ling Ay terus melarikan diri secepatnya menuju ke barat, ke arah sungai Yang-ce-kiang karena ia bermaksud melarikan diri dengan menyewa perahu agar tidak mudah dapat dikejar dan ditangkap gurunya yang pasti akan melakukan pengejaran.


Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya ia tiba di tepi sungai Yang-ce. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak ada tukang perahu, bahkan tidak ada perahu di sungai yang dekat, semua yang nampak
adalah perahu-perahu nelayan yang jauh dari tepi itu. 


Akan tetapi tiba-tiba meluncur 
sebuah perahu yang ditumpangi 
seorang laki-laki yang muka dan 
kepalanya tertutup sebuah caping 
lebar. Perahu itu berhenti di sebuah belokan yang teduh dan laki-laki itu 
melempar kailnya.

Pada saat itu terdengar suara gurunya memanggilnya! Gurunya belum 

nampak, akan tetapi suaranya
sudah sampai di situ, tanda bahwa 

gurunya berteriak dengan kekuatan khi kang. 

Wajah Ling Ay menjadi pucat. Kalau sampai ia terlihat gurunya, tidak akan ada harapan lagi!
"Paman tukang perahu ...!" teriaknya ke arah tukang perahu yang 
bercaping lebar dan sedang 
memancing ikan itu. 

"Tolonglah aku, tukang perahu! 
Tolong seberangkan aku ke sana ... cepat, tolonglah aku ...!!"

Akan tetapi, tukang perahu yang sedang memancing ikan itu agaknya tidak mendengarnya, atau memang 

tidak perduli atau mungkin juga dia 
bukan tukang perahu yang suka 
menyeberangkan orang
melainkan seorang yang mempunyai kesenangan mengail.


"Tukang perahu ...!" Ling Ay berteriak lagi, akan tetapi terlambat. Tukang perahu itu tidak bergerak, dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan subonya Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah berdiri di depannya! Pemuda itu tersenyum mengejek, dan Bi Moli memandang dengan mata mencorong marah.


"Ling Ay, apa yang kaulakukan ini" Engkau minggat, pergi meninggalkan istana tanpa pamit" Apa yang kau 

kehendaki?" tanya Bi Moli dengan 
nada suara marah ... .

Ling Ay terkenang apa yang 

didengarnya dalam kamar tadi, maka ia bergidik. "Subo biarkan aku pergi, aku tidak akan mengganggu kalian, 
akan tetapi harap kalian juga jangan menggangguku." kata Ling Ay, 
suaranya gemetar.

"Ling Ay, gilakah engkau" Kenapa engkau hendak meninggalkan aku" Hayo kembali bersamaku!"
"Tidak, subo, aku tidak mau kembali. Harap subo jangan memaksaku untuk menjadi permainan Ouwyang Toan!"
"Kau ... ?


"Subo, aku sudah mendengar semua. Kalian hendak memaksaku, Ouwyang Toan hendak menggunakan racun 

pembius dan perangsang, subo 
sendiri hendak mempengaruhi aku dengan sihir. 

Tidak, lebih baik aku mati dari pada menuruti kemauan kalian yang kotor dan hina!" Kini Ling Ay marah, 
teringat betapa subonya, orang yang selama ini dihormati dan 
disayangnya, ternyata telah berubah menjadi iblis betina yang akan 
menjerumuskan murid sendiri, ia merasa heran mengapa subonya yang berdarah bangsawan dan biasanya angkuh itu, bahkan yang selama ini setia mempertahankan cintanya 
kepada Tiauw Sun Ong, telah berubah seperti itu!

"Ling Ay, engkau berani mengintai 
dan mendengar percakapan kami" 
Sungguh engkau murid durhaka!"
bentak Bi Moli, marah sekali karena merasa malu membayangkan betapa muridnya telah mengetahui
semua rahasianya dengan Ouwyang Toan.


Melihat kemarahan Bi Moli, 

Ouwyanng Toan berkata, "Bibi, 
kiranya tidak perlu ribut-ribut di sini. Kita tangkap saja dan membawanya kembali ke istana. Biar kutangkap ia 
untukmu, bibi." Setelah berkata 
demikian, Ouwyang Toan sudah 
menerjang ke depan, kedua 
lengannya dikembangkan, bagaikan seekor biruang yang hendak 
menangkap kelinci.

Dengan marah Ling Ay mengelak 

dengan loncatan ke samping dan 
menggerakkan kakinya menendang
ke arah pusar pemuda itu. Tendangan itu cukup berbahaya, maka terpaksa Ouwyang Toan menghindarkan diri 

dari tendangan itu dengan elakan ke belakang. 

Bi Moli marah melihat muridnya
melawan, maka iapun menerjang dari samping dan tangannya menyambar. Ling Ay berusaha mengelak,
akan tetapi pundaknya terkena 

sentuhan jari tangan gurunya dan 
iapun terpelanting! 

Akan tetapi,kiranya gurunya hanya hendak menakut-nakutinya saja dan tidak melukainya maka iapun bangkit lagi, mukanya pucat saking 
marahnya.

"Singg ...!!" Ling Ay mencabut 

pedangnya dan menghadapi kedua orang itu. "Subo, sudah kukatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada harus kembali ke sana. Dan terpaksa aku akan melawan mati-matian 
mempertahankan kehormatanku!" Ia mengangkat pedangnya, melintang di depan dada!

"Tahan pedangnya, biar aku 

merobohkan dan menangkapnya!" 
kata Bi Moli kepada Ouwyang Toan.
"Bibi, jangan bunuh Ling Ay ... " kata Ouwyang Toan. "Aku terlalu sayang padanya!"


"Aku tidak akan membunuhnya, 

melukai pun tidak asal engkau dapat menahan pedangnya dan memberi kesempatan kepadaku untuk 
merobohkannya."

Ouwyang Toan mencabut pedangnya dan, diapun menyerang dengan 

putaran pedangnya cepat sekali.
Terpaksa Ling Ay menggerakkan 

pedang pula untuk membela diri. Ia berusaha untuk lebih banyak
mengelak sambil memutar pedang karena maklum bahwa sedikit saja ada lowongan karena ia harus
menghadapi pedang Ouwyang Toan, maka gurunya akan dengan mudah merobohkannya dengan totokan. 


"Trangg ...!" Kembali ia menangkis ketika pedang Ouwyang Toan membacok dari atas, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya melekat pada pedang pemuda itu, tidak dapat dilepaskan kembali.
Tentu saja ia dalam keadaan terbuka dan gurunya tentu akan mudah merobohkannya.
Bi Moli mergeluarkan suara tawa mengejek dan sudah bergerak ke depan, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan dan sebuah caping 

menyambar sambil berputar seperti gasing, menyambar ke arah Bi Moli.

Tentu saja iblis betina yang cantik ini terkejut bukan main dan ia sudah mengurungkan totokannya kepada muridnya, melainkan membalik dan menghantam ke arah caping yang menyambarnya dari samping itu. 


"Prakkk !" Caping itu hancur berkeping-keping, akan tetapi Bi Moli merasa betapa tangannya perih, 
tanda bahwa caping itu dilontarkan 
dengan tenaga sin-kang yang kuat. 

Kini di depannya telah berdiri 
seorang pemuda. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, 
tubuhnya sedang saja, wajahnya
tampan namun sederhana, tidak 

pesolek, bahkan pakaiannya juga 
bersahaja. 

Demikian pula sikapnya, nampak 
ramah namun wajar bahkan agak 
acuh. Ling Ay terkejut dan juga 
wajahnya berubah kemerahan. 

Kiranya ini adalah tukang perahu 
yang tidak menanggapi seruannya 
tadi, dan setelah tidak bercaping lagi, 
ia melihat wajah yang amat 
dikenalnya, wajah yang selama 
bertahun-tahun ini tidak pernah 
meninggalkan lubuk hatinya. Kwa 
Bun Houw!

Memang pemuda itu adalah Kwa Bun Houw, pemuda yatim piatu yang menjadi murid Tiauw Sun Ong.


Pemuda yang berbakat baik ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Tiauw Sun Ong. akan tetapi kini tingkat ilmu 

kepandaiannya bahkan melebihi 
gurunya karena secara kebetulan dia telah makan Akar Bunga Gurun Pasir, obat mujijat yang pernah 
diperebutkan semua tokoh dunia 
persilatan. 

Obat mujijat itu yang membuat 
tubuhnya menjadi kuat sekali. Baru pengaruh daya obat luar biasa itu saja sudah mendatangkan kemajuan hebat dalam diri Bun Houw, apalagi secara kebetulan pula dia berhasil
mempelajari dan menguasai ilmu langka yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. maka dia memperoleh
kemajuan pesat sekali dalam ilmu 
silat. 

Kini Bun Houw sedang dalam 
perjalanan yang membawa dua
macam tugas yang diberikan gurunya kepadanya. 


Pertama, dia mencari Tiauw Hui 
Hong, puteri gurunya yang tadinya 
menjadi anak yang diakui sebagai 
anak sendiri oleh Bu-eng-kiam 
Ouwyang Sek. Dia tidak tahu ke mana Hui Hong pergi, maka dapat 
dibayangkan betapa sukarnya 
mencari seorang gadis tanpa
diketahui ke mana perginya. 

Adapun tugas kedua dari gurunya 
adalah agar dia mengamati dan 
meneliti bagaimana perkembangan 
keadaan setelah kerajaan Lui-sung 
jatuh dan kaisarnya diganti kaisar 
Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi.

Dia sedang menuju ke Nan-king 

dengan perahu dan pada sore hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Ling Ay terancam oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan.

Tentu saja dia segera mengenal Ling Ay ketika wanita itu tadi 

memanggilnya sebagai tukang 
perahu. Dia mengenal suara Ling Ay, dan ketika dia mengerling dan 
mengintai dari bawah capingnya, dia mengenal benar wajah wanita yang pernah menjadi kekasih dan 
tunangannya itu. 

Akan tetapi dia pura-pura tidak 
perduli. Pertama, dia tidak ingin Ling 
Ay tahu bahwa dialah tukang perahu 
itu, dan ke dua, dia merasa heran dan ingin melihat apa yang terjadi 
sehingga Ling Ay berada di tepi sungai itu dengan sikap yang 
ketakutan. 

Ketika dia melihat Ouwyang Toan, dia terkejut, apalagi melihat sikap 
Ouwyang Toan dan wanita cantik itu terhadap Ling Ay dan mendengar 
percakapan mereka. 

Dari percakapan itu dia tahu bahwa wanita cantik itu guru Ling Ay yang kini mendadak saja menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu 
kepandaian silat. 

Bagaimana mungkin seorang guru 
hendak memaksa muridnya menjadi
permainan Ouwyang Toan seperti 
dikatakan Ling Ay tadi" Bun Houw 
sudah siap siaga, akan tetapi dia 
masih ingin melihat 
perkembangannya dan 
mempertimbangkan apakah dia perlu melindungi dan membantu Ling Ay.

Baru setelah dia melihat Ling Ay 
terancam dan nyaris dirobohkan, dia melempar capingnya untuk
menggagalkan serangan Bi Moli dan dia sendiri meloncat ke darat dan kini dia sudah berhadapan dengan Bi 

Moli.

"Kakak Bun Houw ... !" Ling Ay tak dapat menahan mulutnya menyebut nama bekas tunangannya itu.


"Adik Ling Ay, tenanglah, biar aku menghadapi mereka." kata Bun Houw.
"Kwa Bun Houw, engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Ouwyang Toan marah sekali.


Andaikan dia seorang diri harus 

menghadapi Bun Houw, tentu dia 
merasa gentar karena dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi 
pemuda itu. 

Akan tetapi di situ terdapat Bi Moli Kwan Hwe Li yang lihai, maka tentu saja dia menjadi berani.

"Hemm, Ouwyang Toan, agaknya di mana-mana engkau hendak 
menyebar benih busuk dengan
perbuatanmu!" Berkata demikian, Bun Houw melangkah maju dan otomatis Ling Ay cepat mundur dan berdiri di belakang bekas tunangan itu.


"Bibi, ini adalah Kwa Bun Houw, 

murid bekas pangeran Tiauw Sun 
Ong!"

"Ahhh ...!" Bi Moli tertegun. Tak disangkanya dia bertemu dengan seorang pemuda yang pernah disebut-sebut muridnya sebagai bekas kekasih dan tunangan muridnya, juga yang 

menjadi murid Tiauw Sun Ong, bekas kekasihnya.

"Bibi, dia musuh besarku sejak 

dahulu, bahkan dia mengajak 
gurunya untuk memusuhi ayahku. 

Bantulah aku untuk membunuhnya, bibi. Baru kita dapat menangkap Ling Ay." kata pula Ouwyang Toan.

Mendengar bahwa pemuda itu murid bekas kekasihnya, hati Bi Moli merasa kurang enak. "Orang muda, sebaiknya engkau tidak mencampuri urusan 

kami. Ini merupakan urusan, guru 
dan murid. 

Ling Ay adalah muridku dan engkau 
sebagai orang luar tidak berhak 
mencampurinya. Ling Ay, hayo 
engkau ikut denganku!" "Tidak, subo. Sampai mati aku tidak akan suka ikut subo kembali ke istana!" kata Ling Ay berkeras, "Subo telah bersekongkol dengan Ouwyang Toan untuk 
mempermainkan aku. Aku tidak 
sudi!"

"Locianpwe, saya tidak suka 

mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, sudah menjadi tugas saya untuk mencampuri urusan yang menyangkut kejahatan yang 
menindas siapa saja, sudah menjadi
tugas saya untuk membela yang 

benar dan menentang yang salah. 

Adik Cia Ling Ay ini sudah jelas
menyatakan bahwa ia tidak mau ikut lo-cianpwe karena hendak dipaksa menjadi permainan Ouwyang Toan. 


Kalau lo-cianpwe dan Ouwyang Toan hendak memaksanya, sudah tentu saya akan membelanya!"
kata Bun Houw dengan tegas.

Bi Moli tersenyum mengejek, "Engkau hanya murid Tiauw Sun Ong, berani bersikap begini kepadaku"
Berani engkau menentangku" 

Menentang aku sama saja dengan menentang gurumu sendiri!"

"Maaf, lo-cianpwe. Menurut pelajaran yang saya terima dari suhu, yang 

ditentang bukanlah orangnya, 
melainkan perbuatannya yang keliru. Bahkan guru sendiri atau orang tua sendiripun kalau melakukan 
perbuatan yang jahat, pernuatan itu harus ditentang, pelakunya harus disadarkan dari kesesatannya."
"Bocah sombong! Engkau hendak 
mengatakan bahwa perbuatanku 
sesat?" bentak Bi Moli marah.
"Kalau lo-cian-pwe hendak memaksa 
Ling Ay untuk dipermainkan 
Ouwyang Toan di luar kehendaknya, sudah jelas perbuatan itu sesat dan harus ditentang."

"Jahanam! Engkau tidak tahu siapa 

aku! Lihat baik-baik Kwa Bun Houw, aku adalah seorang yang harus kau muliakan dan kau sembah. 

Berlututlah engkau!" Suaranya 
terdengar menggetar penuh wibawa 
dan mata itu mencorong seperti 
menembus di dahi Bun Houw antara kedua alisnya.

Seketika Bun Houw merasa tubuhnya menggetar hebat dan ada tenaga yang amat kuat dalam suara itu yang 

memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bun Houw cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya 
yang kini menjadi amat kuat setelah dia makan obat Akar Bunga Gurun 
Pasir, dan mengerahkan tenaga itu dari pusar ke atas sesuai dengan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
dikuasainya. 

Hawa yang hangat menjalar di 
seluruh tubuhnya sampai ke ubun-
ubun dan dorongan tenaga aneh yang memaksanya untuk berlutut tadi, 
lenyap bagaikan kabut ditimpa sinar 
matahari.

"Maaf kalau saya mengecewakan lo-cian-pwe, saya tidak akan pernah 

tunduk terhadap kejahatan.
Sebaliknya lo-cianpwe dan Ouwyang Toan segera meninggalkan adik Ling 

Ay dan jangan mengganggunya lagi."
Bi Moli Kwan Hwee Li menjadi 
semakin marah karena merasa 
penasaran dan malu bahwa kekuatan
sihirnya sama sekali tidak 

mempengaruhi pemuda itu. Ia 
mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya sudah ke depan dan ia mengirim pukulan dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada Bun 
Houw. 

Angin yang dahsyat menyambar ke 
arah Bun Houw yang maklum akan 
datangnya serangan dahsyat itu 
maka diapun dengan jurus Im-yang 
Bu-tek Cin-keng menekuk kedua 
lututnya, kedua tangan di rangkap depan dada seperti menyembah, lalu kedua tangan itu didorongkan ke 
depan dengan telapak tangan di muka untuk menyambut serangan lawan.

"Wuuuuttt ... dessss ...!" Dua pasang telapak tangan itu belum saling 
sentuh, akan tetapi di antara mereka seperti ada angin kuat yang saling 
bertumbukan dan membuat 
keduanya terpental kebelakang.

Akan tetapi kalau Bun Houw 
terpental hanya mundur dua langkah, sebaliknya Bi Moli Kwan Hwe Li
terhuyung dan hampir roboh 

telentang kalau saja Ouwyang Toan tidak cepat menahannya dari
belakang. 

Bi Moli merasa terkejut dan malu, membuatnya marah dan ia 
melepaskan tangan Ouwyang
Toan yang menyangga punggung dan pinggulnya.


"Kwa Bun Houw, kalau aku 

menandingimu, sama dengan aku 
menghina gurumu. Baik akan 
kulaporkan kelakuanmu yang kurang ajar kepadaku ini kepada Tiauw Sun Ong!" 

Setelah berkata demikian, Bi Moli memberi isarat kepada Ouwyang Toan untuk meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Toan tentu saja merasa terkejut dan heran. Dia memang tahu bahwa Bun Houw amat lihai.

Bahkan ayahnya pernah kalah oleh pemuda itu. Akan tetapi tadi di tidak melihat Bi Moli sudah dikalahkan, hanya terhuyung ke belakang, kenapa wanita sakti yang menjadi datuk persilatan ini nampak jerih untuk melanjutkan perlawanannya 

terhadap Kwa Bun Houw" Baru dia tahu setelah mereka tiba diluar pintu gerbang kota raja dan melihat Bi Moli muntahkan sedikit darah, bahwa datuk itu ternyata telah menderita luka dalam akibat adu tenaga sin-kang jarak jauh tadi! 

Tentu saja dia terkejut, akan tetapi tidak berani bertanya-tanya.
Biarpun dalam hati ia marah dan membenci Ling Ay, akan tetapi pada lahirnya Bi Moli Kwan Hwe Li
terpaksa menghadap Permaisuri dan mohon maaf bahwa muridnya Cia Ling Ay pergi meninggalkan
istana tanpa pamit karena mendengar bahwa seorang pamannya meninggal dunia dan pengawal itu
malam-malam harus pergi 

meninggalkan kota raja dan tidak sempat mohon diri dari Permaisuri.

Karena yang mintakan maaf dan melaporkan adalah Bi Moli Kwan Hwe Li, guru silat istana dan juga guru diri Ling Ay, maka Permaisuri menerima permintaan maaf itu dan tidak terjadi keributan apapun di 
dalam istana. Bi Moli terpaksa 
menghadap permaisuri demi dirinya sendiri karena kalau Kaisar dan keluarganya memarahi Ling Ay, ia sebagai gurunya tentu akan terlibat juga.

Atas permintaan Ouwyang Toan, Bi Moli akhirnya berhasil 

memperkenalkan Ouwyang Toan 
sebagai murid keponakannya dan setelah melalui ujian ilmu silat, Ouwyang Toan diterima sebagai seorang perwira pengawal pasukan penjaga keamanan istana. Dengan kedudukan ini. mereka berdua dapat
bekerjasama dan dapat selalu 

berhubungan, dan Ouwyang Toan 
mempergunakan kesempatan itu untuk menyebar anak buahnya untuk mencari Hui Hong!

Mereka berdua, Bun Houw dan Ling Ay duduk di perahu kecil yang 

dibiarkan hanyut terbawa arus sungai oleh Bun Houw yang menggunakan dayung untuk mengemudikan perahu yang meluncur perlahan-lahan
sambil bercakap-cakap dengan Ling Ay.


"Houw-ko, kalau tidak ada engkau 

yang menolong, tentu sekarang aku 
sudah mati membunuh diri karena 
tidak mungkin aku mampu 
menandingi mereka dan aku tidak 
sudi dipaksa menjadi isteri Ouwyang Toan." Ling Ay berkata dengan 
terharu sambil menatap wajah bekas tunangannya.

Bun Houw menghela napas panjang, "Orang yang benar dan baik akan selalu dilindungi Tuhan, Ay-moi.

Betapa cepatnya waktu meluncur lewat. Rasanya baru kemarin dulu kita saling jumpa dalam peristiwa di Nan-king itu dan sekarang, tahu-tahu engkau telah menjadi seorang ahli silat tangguh, murid Bi Moli!"

"Aih, nasib telah mempermainkan 

diriku sedemikian rupa, Hou-ko, 
bahkan sampai saat ini akupun masih selalu dirundung nasib yang malang."

"Adik Ling Ay, aku sudah 

mendengar malapetaka yang 
menimpa ayah ibumu. Ketika aku
meninggalkan rumah kalian untuk 
mencari Hui Hong, aku tidak dapat 
menemukan jejaknya dan ketika
aku kembali ke Nan-king, aku 

mendengar betapa ayah ibumu telah terbunuh oleh utusan pemberontak.

Aku mendengar pula bahwa engkau 

diculik penjahat yang berjuluk Hek-
coa, akan tetapi engkau ditolong oleh Bi Moli, semua keterangan itu 
kudapatkan dari Souw Ciangkun, 
panglima di Nan-king yang
kemudian menangkapi para 

pemberontak."

Ling Ay menghela napas panjang, "Ya, siapa tahu akan nasib kita" Akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa guruku yang selamanya begitu baik kepadaku, menolongku dari 

penjahat yang menculikku, kemudian melihat aku telah kehilangan 
segalanya lalu mengajakku merantau 
dan mengambil aku sebagai murid, mengajarku ilmu dengan sungguh-sungguh, mendadak berubah sama
sekali setelah ia bertemu dengah 

Ouwyang Toan." 

Ling Ay lalu menceritakan semua 
pengalamannya, tentang percakapan antara Bi Moli dan Ouwyang Toan yang melakukan hubungan gelap dan yang merencanakan untuk 
memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan sehingga ia melarikan diri dan dikejar sampai ke tepi-sungai.

"Hemm, akupun heran mengapa 

Ouwyang Toan ingin memperisterimu setelah dia menjadi kekasih Bi Moli. 
Padahal, Ouwyang Toan juga agaknya ingin memaksa Hui Hong yang 
tadinya menjadi adik tirinya, juga 
adik seperguruan, untuk menjadi 
isterinya. 

Mereka memang jahat sekali. 
Ouwyang Sek, ayahnya, dahulu 
menolong ibu Hui Hong dalam 
perjalanan pembuangan, akan tetapi hanya untuk dipaksa untuk
menjadi isterinya. Untuk 
menyelamatkan anak dalam 
kandungannya, wanita itu terpaksa 
mau menjadi isteri Ouwyang Sek. 

Ahh, para datuk itu agaknya terlalu 
mabok akan kekuatan sendiri 
sehingga mereka menjadi sewenang-
wenang, mengandalkan kepandaian 
untuk memaksakan kehendak 
mereka.

Sekarang, setelah engkau 

meninggalkan pekerjaanmu di istana, bahkan tidak berani kembali lagi ke kota raja, lalu engkau akan pergi ke 
mana, Ay-moi?"

Ditanya demikian, tiba-tiba saja Ling Ay menangis. Ia sendiri merasa heran dengan tangisnya. Sejak ia menjadi murid Bi Moli, ia tidak pernah 

menangis. Gurunya menganggap pantang untuk menangis,karena 
tangis hanya kebiasaan orang-orang 
lemah. Akan tetapi kini, di depan Bun Houw, ia merasa lemah sekali, lemah dan perasa sehingga begitu ditanya ke mana ia akan pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan tersedu-
sedu.

Bun Houw tertegun. Dia sudah 

mengarahkan perahunya ke 
seberang. 
Tidak akan mudah dikejar dan
dicari orang, kalau-kalau Bi Moli 
mengerahkan pasukan mengejarnya, ia lalu minggirkan perahunya dan 
menghentikan perahu itu di pinggir dengan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon. Tempat itu
sunyi. 


Mereka duduk di dalam perahu dan 
dia membiarkan Ling Ay 
menumpahkan semua perasaan
dukanya keluar melalui air matanya.


Setelah melihat wanita itu mereda tangisnya, dengan hati-hati Bun Houw bertanya, "Ling Ay, kenapa engkau menangis" Apakah engkau tidak ingin kembali ke Nan-ping, ke kampung 

halamanmu?"

Wanita itu sudah berhenti menangis dan mendengar pertanyaan itu, ia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda itu dengan kedua mata basah. "Houw-ko, apakah engkau juga akan pulang ke Nan-ping?" dalam 

ucapannya terkandung harapan yang memancar pula dari pandang 
matanya.

Bun Houw menggeleng kepala. "Aku masih harus melaksanakan tugas 
yang diberikan suhu kepadaku.
Akan tetapi kalau engkau ingin 
pulang ke Nan-ping, biar aku akan 
mengantarmu sampai ke sana
sebelum aku melanjutkan tugasku."


Kini sepasang mata itu seperti 

bergantung kepada mata Bun Houw, penuh harapan. "Kalau begitu, biar 
aku menemanimu melaksanakan 
tugasmu, Houw-ko. Aku akan 
membantumu sekuat tenagaku! 
Ijinkan aku ikut denganmu, Houw-
ko!"

Bun Houw tersenyum dan 
menggeleng kepala. 
"Maaf, Ay-moi. 
Tugasku ini merupakan urusan 
pribadi, tidak dapat dibantu oleh 
siapapun. Aku tidak dapat 
membawamu bersamaku, adik Ling Ay."

Hening sejenak. Bun Houw 

sebetulnya merasa iba sekali kepada 
bekas tunanganya ini, akan tetapi dia 
tahu bahwa memang tidak mungkin dia mengajak Ling Ay, maka dia 
memutar tubuh membelakanginya
agar tidak melihat wajah cantik yang nampak amat berduka itu.


"Bunga itu kekeringan dan hampir 

layu," terdengar Ling Ay berkata lirih, "ia merindukan datangnya embun 
yang akan membawa sedikit 
kesejukan, yang akan dapat 
menghidupkannya ... Houw-ko, aku ...
aku selalu mengharapkan uluran 

tangan dan hatimu, apakah ... apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan tidak teringat akan ... cinta kasih antara kita dahulu ...?" 

Ia sudah memberanikan diri sekuat 
hatinya, mengenyahkan semua 
perasaan rikuh, sungkan dan malu. Ia telah menjadi seorang wanita yang 
tidak tahu malu lagi, seperti 
membujuk agar pemuda itu mau 
menerimanya kembali sebagai 
kekasihnya!

"Adik Ling Ay, engkau masih muda, 

cantik, pandai, dan bahkan kini 
memiliki ilmu silat yang tinggi.
Engkau memang berhak untuk 

membentuk rumah tangga kembali, menemukan seorang suami yang
baik, akan tetapi ... bukan aku, Ay-moi. Sebaiknya aku berterus terang kepadamu. Aku telah dijodohkan oleh suhuku dengan puteri suhu sendiri yaitu adik Tiauw Hui Hong dan kami berdua sudah saling mencinta."

Bun Houw mengeluarkan ucapan 
lirih itu tanpa memutar tubuhnya, 
dan ia mendengar keluhan lirih dari 
wanita itu.

"Adik Ling Ay, maafkanlah aku, 

agaknya memang kita tidak berjodoh ... " Akan tetapi dia mendengar gadis itu meloncat pergi. Dia menoleh dan benar saja Ling Ay sudah lari 
meninggalkannya dengan cepat sekali dan masih tertinggal suara isakan 
yang dibawa pergi. 

Dia merasa iba sekali, akan tetapi 
hanya memandang dan menahan 
dirinya agar tidak memanggilnya. 
Memang beginilah yang terbaik, 
pikirnya.
Harus dia akui bahwa perasaan kasihnya terhadap Ling Ay tidak pernah lenyap, akan tetapi tidak
mungkin dia menuruti perasaan itu karena dia sudah terikat lahir batin dengan Hui Hong. Ikatan batin yang timbul karena dia saling mencinta dengan gadis itu, dan ikatan lahirnya adalah karena dia sudah menerima keputusan gurunya agar dia berjodoh dengan gadis itu.



          **********


Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, 

datuk golongan sesat yang menjadi 
majikan dari Bukit Bayangan Setan, dengan girang sekali menerima berita dari puteranya bahwa puteranya kini telah berhasil menghambakan diri 
kepada bekas kaisar Cang Bu, bahkan di jodohkan dengan adik perempuan kaisar atau bekas kaisar itu yang kini sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan oleh kerajaan baru Chi. 

Dia segera datang berkunjung ke 
perkampungan dilembah Yang-ce, tak jauh dari kota Kui-cu yang menjadi markas bekas kaisar itu menyusun 
kekuatan.

Suma Koan diterima dengan penuh 

penghormatan dan mulai saat itu, 
Suma Koan dan puteranya, Suma
Hok, bukan saja menjadi pembantu-pembantu utama bekas kaisar itu, 

melainkan juga menjadi anggauta 
keluarga, karena Suma Hok segera menikah dengan Liu Kiok Lan, bekas puteri yang menganggap dirinya telah diperkosa oleh mendiang Pouw Cin! 

Tentu saja ia sama sekali tidak tahu 
bahwa yang memperkosanya adalah laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.

Suma Koan menyarankan kepada 

bekas kaisar Cang Bu yang kini 
menggunakan nama samaran Siauw
Tek, agar suka bersekongkol dengan kerajaan Wei di utara yang sejak lama memusuhi kerajaan diselatan. 


"Ah, bagaimana paman Suma Koan mengusulkan hal seperti itu" 




Sejak puluhan tahun sejak kerajaan Liu-sung berdiri, kerajaan Wei selalu menjadi musuh utama kami! 

Kerajaan Wei yang merupakan musuh
besar, musuh bebuyutan sejak 

dahulu, bagaimana mungkin kini kita ajak bekerja sama" Ini merupakan suatu pengkhianatan cita-cita para pendahuluku!" Siauw Tek memrotes. 

Kalau mendiang Jenderal Pauw Cin masih hidup, tentu panglima tua itupun akan memrotes keras.

Suma Koan tersenyum. Kakek yang kecil kurus ini lalu berkata dengan 
tenang, "Harap kongcu 
pertimbangkan pendapatku ini," Dia menyebut kongcu sesuai dengan 
kehendak bekas kaisar itu yang 
sedang menyamar, dan memang 
sudah menjadi watak datuk sesat ini untuk tidak memperdulikan
segala macam adat sopan santun 

maka diapun enak saja bersikap kasar kepada bekas kaisar itu. 

"Kita haruslah dapat menyesuaikan 
diri dengan keadaan. Di waktu kita kuat, kita dapat mengandalkan
kekuatan kita untuk menundukkan musuh. Akan tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan, kalau kita kalah kuat, kita harus dapat 
mempergunakan daya lain, kita harus memakai kecerdikan untuk
memperoleh kemenangan. 


Kongcu hendak melawan sebuah 
kerajaan yang memiliki balatentara besar dan kuat, kalau kita 
menggunakan pasukan, aku khawatir kita akan gagal. 

Karena itu, kita harus cerdik dan 
kalau kita dapat bersekutu dengan 
kerajaan Wei di utara, besar 
kemungkinan usaha kongcu akan 
berhasil."

Bekas kaisar itu mengerutkan alisnya dan dia dapat melihat kebenaran 
ucapan itu. 

"Akan tetapi, kerajaan Wei selama aku menjadi kaisar, adalah musuhku, 
bagaima mungkin mereka itu kini 
mau bersekutu dengan kita?"

"Setiap kerajaan akan selalu 
mendasari gerakan mereka dengan 
perhitungan rugi untung. 

Kalau sekarang bersekutu dengan 
kongcu untuk menentang kerajaan 
baru Chi dianggap menguntungkan
kerajaan Wei, kenapa mereka tidak akan mau" Kalau kita bersekutu dengan Wei, maka kedua pihak
akan mendapat untung. Kongcu harus cerdik."


"Hemm ... memang usulmu baik 

sekali. Akan tetapi, kalau kelak 
pasukan kerajaan Wei bersama
pasukanku berhasil menumbangkan kerajaan Chi, lalu mereka tidak mau kembali ke utara dan hendak
menguasai pula kerajaanku, 

bagaimana?"

"Harus diadakan dulu perjanjian yang menguntungkan mereka, kongcu. 


Selama ini, daerah yang luas antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce merupakan daerah tak bertuan yang selalu menjadi perebutan dan medan pertempuran. 

Kalau kongcu menjanjikan bahwa 
kalau persekutuan ini berhasil
menumbangkan kerajaan Chi, dan 
kerajaan Liu-sung dapat dibangun 
kembali, aku akan menyerahkan
daerah itu kepada Wei, tentu mereka akan menerimanya dengan girang 

sekali."

"Tapi, bagaimana kalau mereka 

menolak dan mencurigai kita" 
Bagaimana kita akan dapat 
mengadakan kontak dengan mereka" Belum apa-apa mereka tentu akan mencurigai kita."

"Harap kongcu jangan khawatir." kata Si Suling Setan. "Aku mengenal tokoh-tokoh kerajaan Wei dan kalau kongcu memberi surat dengan tanda cap 

kekuasaan kongcu, aku yang akan 
menghubungi mereka." 

Bekas kaisar itu girang sekali dan 
ternyata Suma Koan tidak membual. 

Setelah membawa surat bekas kaisar itu, dia segera melakukan perjalanan ke utara, memasuki daerah tak bertuan yang berbahaya itu.

Di daerah antara Huang-ho dan Yang-ce, dua batang sungai terbesar dan terpanjang di Cina, terdapat 

kehidupan yang aneh. 

Daerah tak bertuan ini merupakan 
daerah yang selalu menjadi 
perebutan antara kerajaan utara dan selatan, bahkan menjadi daerah 
pertempuran dan daerah di mana 
para mata-mata ke dua pihak, para 
penjahat buruan, saling bersaing. 

Memang terdapat dusun-dusun di 
daerah ini, akan tetapi di dusun-
dusun inipun berlaku hukum rimba. 

Tidak ada pejabat pemerintah 
manapun yang duduk sebagai 
pemimpin di dusun-dusun itu. Yang 
ada hanyalah para jagoan yang hidup 
sebagai raja kecil!

Karena kekuasaan yang didapat ini 
merupakan kekuasaan dari kekuatan 
badan, maka sering kali terjadi 
perebutan kekuasaan, bentrokan dan 
perkelahian. 

Kepala dusun silih berganti, yang 
kalah tunduk atau mati, yang 
menang menjadi pemimpin baru. 

Namun, karena para jagoan yang 
menjadi pemimpin ini juga 
membutuhkan adanya penduduk, 
mereka tidak membunuhi para 
penduduk dusun. 

Apa artinya berkuasa di sebuah 
dusun yang tidak ada penduduknya" 
Karena itu, mereka yang berkuasa 
bahkan melindungi penduduk agar 
dia dapat memperoleh dukungan.

Dusun Tai-bun adalah sebuah di 
antara dusun-dusun yang berada di dalam wilayah tak bertuan itu. Tai-bun berada di sebelah selatan, lebih dekat di perbatasan wilayah kerajaan Chi, dan dusun ini cukup ramai karena Tai-bun merupakan satu di antara dusun-dusun yang 
penduduknya suka berkunjung ke
wilayah Chi untuk berdagang. 


Akan tetapi pada suatu pagi, 
serombongan orang yang jumlahnya 
dua puluh orang lebih memasuki 
dusun itu. 

Yang menyolok pada dua puluh orang lebih ini adalah pakaian mereka yang kesemuanya serba hitam! Dan yang 
lebih menggemparkan lagi adalah 
perbuatan mereka,karena begitu 
memasuki dusun itu, mereka segera membunuh siapa saja yang mereka jumpai! 

Cara mereka membunuh 
menunjukkan bahwa mereka terdiri 
dari orang-orang lihai. Sekali mereka
menggerakkan tangan, tentu seorang penduduk yang bertemu dengan 

mereka, roboh dan tewas seketika! 

Gegerlah dusun yang penduduknya 
hanya sekitar dua ratus orang itu. 
Para jagoan yang memimpin
dusun itu segera mengerahkan tenaga dan puluhan orang lalu mengeroyok para penyerbu pakaian hitam itu. 


Akan tetapi, mereka yang melakukan penyerbuan itu amat lihai dan 
sebentar saja, orang-orang yang 
mempertahankan dusun mereka 
bergelimpangan, banyak yang tewas, 
ada yang luka-luka dan tidak sampai dua jam kemudian, dusun itu telah 
kosong, ditinggal lari mengungsi 
mereka yang belum menjadi korban! 

Dan sejak hari itu, dusun Tai-bun 
telah dikuasai kelompok orang yang
berpakaian serba hitam dan setelah mereka semua datang, jumlah mereka ada kurang lebih seratus orang. 


Gerombolan berpakaian hitam yang menguasai dusun Tai-bun ini bukan lain adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, perkumpulan baru yang 
didirikan oleh Bu-tek Sam-kwi dan 
yang bertugas menimbulkan
kekacauan di kerajaan Chi yang baru. 


Mereka membutuhkan 
perkampungan yang dapat menjadi 
pusat gerakan mereka ke selatan dan setelah memilih-milih, dusun Tai-bun mereka rebut untuk di jadikan 
markas besar mereka. 

Dusun ini amat baik untuk di jadikan perkampungan mereka karena 
merupakan dusun terdekat dengan 
daerah musuh yang tidak berada 
dalam kekuasaan kerajaan Chi, 
melainkan wilayah daerah tak 
bertuan.

Serbuan yang menewaskan hampir seratus orang penduduk Tai-bun, dan mengalahkan para jagoan yang
memimpin di situ, segera tersiar ke seluruh daerah tak bertuan itu dan 

semua orang tahu bahwa di situ kini berkuasa gerombolan yang 
menamakan diri mereka 
perkumpulan Thian-te Kui-pang. 

Ada beberapa orang pemimpin 
gerombolan lain yang mencoba untuk merebut perkampungan itu namun 
satu demi satu mereka dikalahkan 
oleh Thian-te Kui-pang sehingga 
akhirnya tak seorangpun berani 
mengganggu gerombolan berpakaian 
hitam itu.

Beberapa pekan kemudian, pada 

suatu siang, para anggauta Thian-te
Kui-pang yang melakukan penjagaan di pintu gerbang dusun Tai-bun, 
menghadang dan menghentikan 
seorang laki-laki yang hendak 
memasuki dusun itu. 

Semenjak dusun itu dikuasai Thian-te Kui-pang, tak seorangpun bukan
anggauta diperbolehkan 
memasukinya dan siang malam pintu gerbang dusun dijaga ketat. 

Dusun itu berubah seperti sebuah 
benteng saja!


          **********



"BERHENTI! Harap melapor dulu 

siapa engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki dusun kami."
kata kepala jaga dan sepuluh orang penjaga sudah mengepung pemuda itu dengan sikap yang galak.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. tubuhnya sedang dan 
wajahnya tampan, sikapnya lembut, 
pakaiannya indah dan mewah seperti seorang pemuda hartawan. 

Dia bersikap tenang dan
tersenyum melihat sikap galak 
sepuluh orang itu.

"Kalian laporkan kepada Bu-tek Sam-kui bahwa Tok-siauw-kwi (Setan 

Suling Beracun) Suma Hok
mewakili ayahnya, Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Setan) Suma Koan, ingin bertemu dengan mereka bertiga."


Mendengar ucapan pemuda itu, 

sepuluh orang anggauta Thian-te Kui-pang terkejut dan sikap mereka
segera berubah sama sekali.


"Harap kongcu suka menanti 

sebentar." kata kepala jaga dan para anak buahnya mempersilakan 
pemuda itu duduk di dalam gardu 
penjagaan, sementara menanti kepala jaga yang berlari masuk untuk 
membuat laporan.

Tak lama kemudian, muncul ah tiga 

orang pimpinan Thian-te Kui-pang, 
yaitu tiga orang kakak beradik 
seperguruan yang disebut Bu-tek Sam-kui (Tiga Setan Tanpa Tanding) dengan sikap ramah. 

Tiga orang ini adalah Pek-thian-kui 
yang bertubuh gendut bulat, Huang-ho-kui yang tinggi kurus, dan Toat-beng-kui yang paling muda, berusia empat puluhan tahun dan wajahnya tampan.

"Kiranya Suma Kongcu yang datang, maafkan karena tidak tahu, kami 

terlambat menyambut."

Melihat sikap pimpinan mereka, para penjaga itupun berdiri tegak dengan sikap hormat. Suma Hok tersenyum dan membalas penghormatan 

mereka.

"Ayahku mewakilkan kepadaku 

sebagai utusan Kaisar kami untuk 
membicarakan urusan kita."

"Silakan, kongcu, mari kita bicara di dalam." 


Bu-tek Sam-kui mempersilakan 
pemuda itu memasuki dusun dan 
mereka segera mengadakan 
pembicaraan yang 
serius di dalam sebuah ruangan 
tertutup.

Sebelum Suma Hok, berkunjung ke 

dusun yang menjadi sarang Thian-te 
Kui-pang, sudah lebih dulu ayahnya, 
Suma Koan, menghubungi Bu-tek 
Sam-kui dan dengan perantaraan Bu-tek Sam-kui, Suma Koan 
menyampaikan uluran tangan bekas Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajaan Wei di utara. 

Kaisar Cang Bu yang sudah terguling tahtanya itu minta bintuan kerajaan Wei untuk menyerang ke selatan dan merebut kembali tahta kerajaannya dari Kaiasar Siauw Bian Ong yang mendirikan kerajaan Chi, dengan janji kalau berhasil akan menyerahkan 
daerah tak bertuan antara Huang-ho dan Yang-ce-kiang kepada kerajaan 
Wei. 

Kaisar Thai Wu dari kerajian Wei menerima baik uluran tangan itu dan akan memberi keputusan setelah itu diperbincangkan dahulu dengan para pembantunya. Dan hari itu, Suma Hok ditugaskan ayahnya untuk 
mewakilinya minta berita keputusan Kaisir Thai Wu, sekalian 
membicarakan rencana kerja 
bersama itu. 

"Paman bertiga tentu sudah maklum apa maksud kunjunganku ini," kata Suma Hok setelah menerima 
hidangan selamat datang dari Bu-tek Sam-kui. "Atas nama Sribaginda Kasar Cang Bu, ayah mengharapkan keputusan dari 
kerajaan Wei, dan juga ingin
mendengar rencana siasat yang akan kita atur bersama."


"Kami gembira sekali. Suma Kongcu," kata Pek-thian-kui. "Semula, kami membentuk Thian-te Kui-pang untuk melaksanakan tugas mengacau kerajaan baru Chi di selatan. Ketika kaisar kami menerima surat uluran tangan Kaisar Cang Bu, beliau merasa gembira dan menyatakan setuju. Ini kami membawa surat dari kaisar kami untuk Kaisar Cang Bu mengenai persetujuan kerja sama itu."


Dengan girang Suma Hok menerima surat itu dan menyimpan di balik jubahnya. "Terima kasih, paman.


Nah, sekarang kita bicarakan tenting usaha kerja sama itu. Kami telah mempersiapkan sekitar lima ribu orang pasukan yang siap tempur. Kaisar Cang Bu mengharapkan agar secepatnya kerajaan Wei
mengirim pasukan untuk minta bantuan pasukan kami menggempur Nan-ping."


Toat beng-kui, orang termuda dari Bu-tek Sam-kui, tersenyum dan dia yang menjawab, "Wah, tidak semudah itu, kongcu! Apa artinya pasukan yang hanya lima ribu orang banyaknya" 


Kalau menyerang kerajaan Chi begitu saja dengan kekuatan pasukan, maka akan terjadi perang besar yang 
menimbulkan banyak kerugian di pihak kerajaan kami karena kami yang menjadi penyerang dari tempat jauh, pada hal kekuatan antara kedua kerajaan berimbang. Belum tentu kita akan menang."

Suma Hok mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, apa artinya persekutuan ini" Apa yang
direncanakan oleh Kaisar Wei Tay Wu untuk membantu kami?"


"Kongcu, kaisar kami telah 

menyerahkan kerja sama dengan 
Kaisar Cang Bu kepada kami. Kami 
yang akan mengatur semua rencana, dan kami hanya akan mengacaukan kerajaan baru Chi dari dalam. Kalau perlu, kami dapat membunuh kaisar dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada pangeran yang tertinggal. 

Dengan keadaan yang kacau, kerajaan Chi akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan dikalahkan. Selain 
mencoba membunuh Kaisar Siauw 
Bian Ong dan keluarga serta 
sekutunya, kitapun
harus dapat menguasai dunia kang-ouw sehingga kalau saatnya yang baik tiba, kita dapat mengerahkan tenaga mereka untuk membantu kita. 


Bagaimana pendapat Suma Kongcu?"
Suma Hok mengangguk-angguk. Ayahnya sendiri sudah berpendapat bahwa kekuatan yang dihimpun
bekas Kaisar Cang Bu masih terlalu lemah untuk dapat merebut kembali tahta kerajaan, oleh karena itu ayahnya menganjurkan Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajian Wei di utara.


"Rencana itu baik sekali," katanya. "Dan tentang penguasaan dunia kang-ouw di daerah selatan, harap jangan khawatir. Ayahku telah melakukan usaha itu dan sudah menghubungi banyak tokoh kang-ouw.
Bahkan kini Datuk wanita Kwan Im Sianli telah menjadi sahabat baik ayahku."


"Bagaimana dengan datuk yang menjadi majikan Lembah Bukit Siluman?" tanya Huang-ho-kui, orang ke dua Bu-tek Sam-kui.

Suma Hok mengerutkan alisnya. Dia telah mendengar berita tentang datuk yang tadinya akan menjadi ayah mertuanya, ketika dia mengharapkan Hui Hong, puteri angkat datuk itu, menjadi isterinya. Bahkan sampai sekarangpun dia masih merindukan gadis itu. 

Akan tetapi, berita yang diterimanya sungguh amat tidak menyenangkan, yaitu bahwa kini Ouwyang Toan, 
putera datuk itu, telah menjadi 
pengawal anggauta pasukan 
keamanan di istana Kaisar Siauw Bian Ong, bersama Bi Moli yang telah 
menjadi pengawal permaisuri kaisar itu. 

Dengan sendirinya Ouwyang Sek tentu akan berpihak kepada 
puteranya, berarti berpihak kepada kerajaan Chi yang baru itu.
"Ah, sukar mengharapkan kerja sama dengan dia," katanya. "Puteranya, 
Ouwyang Toan, kini telah menjadi pengawal kerajaan Chi, bersama Bi Moli Kwan Hwe Li. Dari kedua orang datuk itu, Bi Moli (Iblis Betina Cantik) Kwan Hwe Li dan juga dari Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) 
Ouwyang Sek kita tidak dapat 
mengharapkan kerja sama, bahkan 
mereka akan menjadi penghalang 
karena mereka berpihak kepada 
Kaisar Siauw Bian Ong."

Bu-tek Sam-kui tertawa dan Suma Hok memandang heran, juga 

penasaran. "Kenapa paman bertiga
malah tertawa?"
"Kenapa kongcu tidak dapat melihat kesempatan yang teramat baik ini" Kita harus dapat memanfaatkan segala macam keadaan demi keuntungan kita! Kami juga sudah mendengar tentang Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja di istana Kaisar Siauw Bian Ong. Dan itu justeru bagus sekali! Kami mengenal dua orang datuk itu. Bi Moli dan Bu-eng-kiam, mereka bukanlah orang yang suka dianggap pahlawan atau pendekar. 


Mereka akan bertindak demi keuntungan, mereka bukan orang bodoh. Kalau kita menawarkan keuntungan yang lebih besar, kedudukan yang lebih baik, mustahil mereka akan memilih menjadi pengawal kerajaan Chi saja. Ha-haha ha!" Pek-thian-kui tertawa bergelak, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak seperti hidup.

Kembali Suma Hok mengangguk-

angguk setuju. "Baiklah, aku akan 
melaporkan hasil pertemuan kita ini kepada ayah dan Sribaginda Kaisar Cang Bu. Sebaiknya kita membagi tugas. 

Paman bertiga yang menghubungi 
Paman Ouwyang Sek dan Bi Moli 
Kwan Hwe Li, sedangkan kami akan menghubungi Kwan Im Sianli dan tokoh-tokoh lain di daerah barat. Kami akan mengerahkan kepada para tokoh kang-ouw di daerah kerajaan selatan agar mengadakan pemilihan seorang beng-cu (pemimpin rakyat) 
dunia kangouw. Kalau beng-cu itu 
dapat kita kuasai, dan berpihak kepada kita, tentu mudah 
mengerahkan para tokoh kang-ouw membantu kita kelak."

"Bagus Sekali!" Pek-thian-kui berkata girang, "Selain tugas itu, juga kami akan menyuruh orang-orang kami untuk menundukkan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw di wilayah Chi bagian utara ini,


sedangkan untuk menguasai begian selatan, kami serahkan kepadamu, kongcu. Sebaiknya kalau mareka itu semua dapat dibujuk, kalau ada yang menentang, sebaiknya ditundukkan dengan kekerasan. Paling lama dalam waktu setengah tahun, kita harus sudah berhasil membasmi kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya dan 

termasuk semua sekutunya, lalu 
mengepung Nan-king dan membasmi pasukan yang mempertahankan 
kerajaan Chi."

Setelah berunding matang dan 

bermalam semalam di dusun Tai-bun, pada keesokan harinya Suma Hok
meninggalkan tempat itu untuk 

kembali ke daerah Kui-cu, di lembah sungai di mana bekas kaisar Cang Bu bersama adiknya tinggal.

Sebuah persekutuan telah diatur, 

persekutuan yang merupakan 
ancaman bahaya bagi kerajaan Chi,
karena persekutuan itu amat kuat. Di satu pihak bekas kaisar Cang Bu yang dibantu adik iparnya, Suma Hok dan datuk sesat Suma Koan, telah 

menghimpun pasukan yang 
berjumlah lima ribu orang. 

Di lain pihak ada kerajaan Wei di 
utara yang mau bekerja sama dan 
telah menyerahkan kerja sama itu 
kepada Bu-tek Sam-kui yang 
membentuk pasukan Thian-te Kui-pang yang terdiri diri orang-orang 
berkepandaian tinggi. Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat membujuk Bi Moli dan Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya memang terancam 
bahaya maut, karena dua orang tokoh kang-ouw ini sekarang 
telih menduduki jabatan pengawal 
dalam istana! "

Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-pang. Tuan rumah, ketua Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh 

tahun, bertubuh tinggi besar dan 
pakaiannya sederhana dan ringkas seperti pakaian seorang pesilat, 
Wajahnya terhias brewok yang
membuat dia nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah,bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan. 


Akan tetapi dia bukanlah seorang pengemis tua biasa, karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang 
(Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya 
adalah Hek-tung Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya kurus dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang dapat menduga bahwa dia bukanlah orang biasa.

"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk menaluk kepada
mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk sesat" Sekarang, setelah kerajaan Liu-sung jatuh dan Kaisar Cang melarikan diri, dia berpura-pura muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."


"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga 

mereka ancam. Akan tetapi kami 
tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang. "Kita semua melihat betapa 
bijaksananya Kaisar Siauw Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas 
orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja yang akan membantu pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan 
memakmurkan kehidupan rakyat. 

Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita tentang" Dan mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya mengejar kesenangan itu ke atas tahta"
Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya
sendiri dengan memperalat bekas kaisar muda itu."


"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini ikut pula bekerja di dalam istana?"


Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada 

pencemis tua. "Lokai, siapa yang 
engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."


"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan 

matanya. "Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu adalah seorang puteri bangsawan, 
bahkan kini ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak 
mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana kaisar. Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman" Hemmm, ini
berbahaya sekali!"


"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus 

menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong" Tiga hari lagi dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."

"Takut apa, Lo-kai" Kalau dia 

memaksa kita melawan untuk 
mempertahankan nama dan 
kehormatan."kata ketua Thian-beng-pang itu.

"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu" Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang
takluk padanya dan mau bekerja sama."


"Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.


Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah mengumpulkan anak buahnya 

sebanyak dua ratus orang lebih. 

Thian beng-pangcu Ciu Tek 
menyambut sahabatnya itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma Koan.
Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang biarpun di situ
berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. 


Baik Hek-tung Lo-kai Kam Cu maupun Thian-beng-pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini
merupakan urusan mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau sampai 

minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua anak buah kedua perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-ber g-pang yang berdiri di 
tereng sebuah bukit. 

Dari tereng itu. kini nampak 
serombongan orang tidak begitu 
besar jumlahnya, hanya sekitar tiga puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak Suma Hok 
puteranya, dan seorang yang 
bertubuh gendut bulat. 

Yang ke tiga itu adalah Pak-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat rombongan Suma Koan karena mereka sudah
mendengar bahwa perkumpulan 

Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak membangkang terhadap perintah mereka.

Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak buahnya, didampingan Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak buahnya, dengan golok besar siap dipinggang. Suma Koan tersenyum mengejek 

setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua itu. 

"Selamat pagi, Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut kami. Langsung saja kami ingin mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami sampaikan tiga hari yang lalu."

"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-

pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan 

langkah sendiri!" kata pula Hek-tung Lo-kai.

"Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap kami musuh. 

Kalau begitu, permusuhan ini kita 
selesaikan secara laki-laki sejati. Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu.

Beranikah kalian menyambut 

tantangan kami, ataukah kalian 
begitu pengecut untuk mengerahkan anak buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju mendampingi Suma Koan.


"Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju 

untuk membela ketua mereka,
akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar mereka 

mundur.

"Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan 

nyawapun, kami adalah laki-laki 
sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan satu lawan satu," kata mereka.

"Ha-ha-ha, bagus! Majulah kalian 

berdua dan bersiaplah untuk mati!" Kata Suma Koan sambil mencabut sebatang suling dari ikat 
pinggangnya.

"Tahan ...!!!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ, di sebelah kanan kedua orang ketua itu, telah berdiri seorang pemuda, yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Melihat pemuda itu, Suma Koan dan Suma Hok terkejut, bahkan wajah Suma Hok berubah agak pucat. 


"Kau...! Kwa Bun Houw, apakah 
engkau tidak tahu malu mencampuri urusan kami" Kami hanya berurusan dengan Thian-beng-pang dan Kek-tung Kai-pang, dan engkau tidak ada sangkut pautnya dengan mereka atau kami! Hei , Kam-pangcu dan Ciu-
pangcu, apakah kalian sudah begitu pengecut untuk mengundang jagoan dari luar perkumpulan kalian untuk 
melindungi kalian?"

Disudutkan seperti itu, tentu saja kedua orang ketua itu merasa 

kehormatan mereka tersinggung. 
"Kui-siauw Giam-ong, jangan 
sembarangan menuduh!" bentak 
Thian-bengcu Ciu Tek, "Kami sama 
sekali tidak mengenal pemuda ini dan tidak mengundangnya untuk 
membantu kami!"

Sementara itu, Hek-tung Lo-kai sudah menghadapi Bun Houw dan dia memberi hormat. "Orang muda yang gagah, harap engkau tidak 

mencampuri urusan kami. Kami ditantang oleh mereka, kami harus
menghadapi secara jantan!"


Bun Houw melangkah maju. "Ji-wi pang-cu, harap dengarkan sebentar, dan semua saudara anggauta Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang, harap ikut dengarkan apa yang kukatakan. Ketahuilah bahwa kedua pang-cu ini telah terjebak oleh kecurangan dan kelicikan Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!


Karena persekutuan itu tidak berhasil membujuk kedua orang pang-cu 

untuk bekerja sama, maka kini 
mereka datang dan menantang, 
dengan perhitungan bahwa mereka pasti menang. 

Kalau kedua pang-cu melawan 
dengan alasan menjaga kehormatan karena ditantang, maka berarti 
mereka terkena jebakan.
Mereka tentu akan tewas seperti banyak dialami oleh para pimpinan perkumpulan yang bernasib sama.


Karena itu, tidak semestinya kalau 

tantangan itu dilayani, bahkan 
sebaiknya kalau seluruh anggauta 
kedua perkumpulan bergerak 
mengusir pengacau brengsek ini dari tempat ini, dan aku akan membantu kalian menghadapi Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!"

Mendengar seruan ini, para anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang yang memang sejak tadi sudah marah kepada para penyerbu, bersorak penuh semangat.


Pek-thian-kui, orang pertama di Bu-tek Sam-kui yang belum mengenal Bun Houw, memandang rendah
pemuda itu. "Bocah pengacau ini biar kusingkirkan lebih dulu!" bentaknya dan tubuhnya yang bulat itu seperti sebuah bola besar menggelinding ke arah Bun Houw dan ternyata dia telah mengirim pukulan jarak jauh dengan kedua tangan didorongkan ke arah pemuda itu dan angin dahsyat menyambar ke arah Bun Houw.
Pemuda ini sudah siap siaga. 


Dia tahu bahwa kakek gendut itu lihai sekali, maka diapun sudah 
mengerahkan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, mendorong pula dengan 
kedua tangan terbuka untuk
menyambut serangan yang 
sepenuhnya mengandalkan hawa sin-kang (tenaga sakti) itu.

"Wuuuuttt ... desas ...!!" Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu dan 

akibatnya, tubuh yang gendut bundar itu terlempar ke belakang dan 
bergulingan! 

Akan tetapi, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini memang kebal dan kuat. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan sudah meloncat berdiri. Mukanya menjadi merah sekali 
saking marahnya. Dia, orang pertama dari Tiga Setan Tanpa Tanding, sekali 
mengadu tenaga, dalam segebrakan 
saja sudah terguling-guling oleh 
seorang pemuda tak ternama!

"Singg ...!!" Diapun sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam. "Bocah keparat, pedangku 

akan minum darahmu!"

Akan tetapi Bun Houw tersenyum. "Bukankah engkau ini Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui. Aku mendengar bahwa kok-su (guru negara) dari kerajaan Wei yang berjuluk Thian-te Seng-jin amat lihai dan bahwa di antara para muridnya terdapat Bu-tek Sam-kui. Sebaiknya kalau engkau kembali saja ke utara, tidak membuat kekacauan di daerah selatan sini!"


"Bocah sombong, majulah. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Si gendut yang merasa malu karena 

kekalahannya tadi, menantang untuk 
mengangkat kembali namanya yang 
tentu akan jatuh karena di depan 
banyak orang dia dikalahkan dalam 
segebrakan! "Baik, aku menyambut 
tantanganmu.

Pek-thian-kui!" Dan begitu tangan kanan Bun Houw bergerak, nampak kilat menyambar dan semua orang menjadi silau oleh sinar pedang Lui-kong-kiam!


Pek-thian-kui terbelalak, akan tetapi dia sudah menerjang dengan 

pedangnya yang bersinar hitam. Bun Houw mengerahkan tenaga lagi dan menggerakkan Lui-kong-kiam, 
menangkis dan sengaja mengadu
tenaga lewat pedang.


"Trakkk ...!" terdengar suara nyaring dan si gendut kembali meloncat ke belakang dengan muka pucat 

memandang pedang hitamnya yang sudah buntung, patah ketika bertemu dengan pedang di tangan Bun
Houw. Kini dia tidak ragu lagi.

"Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) ...!!" serunya gentar. Dahulu, pedang itu pernah menjadi rebutan para tokoh persilatan, akan tetapi akhirnya terjatuh ke tangan Tiauw Sun Ong pendekar buta yang amat lihai.
Bun Houw tersenyum dan 

menyimpan kembali pedangnya. 

"Apakah engkau masih ingin 
melanjutkan perkelahian, Pek-thian-kui" Atau engkau yang akan maju, 
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan" Dan
bagaimana dengan engkau, Suma Hok?" Bun Houw sengaja menantang untuk membikin panas hati ayah
dan anak itu. Sementara itu, kedua orang pangcu hanya menonton 

dengan hati penuh kagum dan diam-diam bersukur bahwa ada bintang 
penolong datang. 

Kalau tidak, mungkin mereka berdua akan tewas di tangan masuh. Suma 
Hok memandang dengan muka 
merah, akan tetapi tidak berani 
menyambut tantangan itu,sedangkan 
Suma Koan yang melihat betapa 
mudahnya orang pertama Bu-tek 
Sam-kui dikalahkan Bun Houw, juga menjadi ragu. 

Dia sendiri gentar terhadap Tiauw Sun Ong, akan tetapi tadinya masih memandang remeh murid Tiauw Sun Ong ini. 
Setelah tadi dia melihat betapa Bun 
Houw dengan mudah
mengalahkan Pek-thian-kui, dia 

maklum bahwa dia tidak akan 
mampu menandingi Si Pedang Kilat.

"Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang telah mengundang murid hekas pangeran Tiauw Sun Ong, mulai 
sekarang, kalian adalah musuh-
musuh kami. Lain kali kami akan 
datang membikin perhitungan!"

Setelah berkala demikian, Suma Koan memberi isarat dan bersama Suma Hok dan Pek-thian-kui yang
merasa tidak akan mampu menang, dia meninggalkan tempat itu, diikuti semua anak buah mereka yang juga sudah merasa gentar melihat 

demikian banyaknya anak buah 
kedua perkumpulan itu yang agaknya sudah dipanaskan hatinya oleh 
ucapan Bun Houw tadi.

Sebetulnya, tiga puluh orang anak buah penyerbu itu adalah orang-

orang Thian-te Kui-pang, dan mereka terdiri dari orang-orang yang lihai 
dan mereka tidak akan gentar 
melawan anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang. Akan 
tetapi menyaksikan kelihaian Si 
Pedang Kilat, mereka menjadi gentar juga.

Pemimpin mereka saja, yang juga merupakan guru mereka, dalam segebrakan dikalahkan pemuda itu,
apa lagi mereka!


"Kejar mereka! Banuh!" Terdengar teriakan-teriakan anak buah kedua perkumpulan, akan tetapi Bun Houw mengangkat tangan. "Jangan! Biarkan mereka pergi!"


Juga ketua dari dua perkumpulan itu mencegah anak buah mereka untuk melakukan pengejaran. Kara
Cu dan Ciu Tek maklum bahwa tanpa bantuan Kwa Bun Houw, mereka 

berdua bersama anak buah
mereka tidak akan mampu 

mengalahkan rombongan penyerbu itu. Keduanya lalu menghadapi Bun
Houw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
'Terima kasih atas bantuan tai-hiap." kata Hek-tung Lo-kai.


"Kalau tidak tai-hiap yang muncul, pasti kami berdua telah tewas dan entah bagaimana jadinya dengan perkumpulan kami." kata pula Thian-beng-pang Ciu Tek.
"Sudahlah, ji-wi pang-cu (ketua berdua) telah kena dijebak oleh Suma Koan. Dia memang licik sekali.

Kalau ji-wi tidak menghadapi tantangan mereka, akan tetapi mengerahkan semua anak buah ji-wi,
kiranya tidak, akan mudah bagi mereka untuk menggertak. Juga, kalau ji-wi menghubungi pasukan
keamanan, tentu akan mendapatkan bantuan karena pasukan keamanan pemerintah kini amat
memperhatikan keamanan 

daerahnya."

"Tai-hiap, mari kita bicara di dalam. Kami merasa kagum kepada tai-hiap yang masih begini muda telah memiliki kepandaian tinggi. Pantas sekali julukan Si Pedang Kilat bagi tai-hiap." kata pula tuan rumah, ketua Thian-beng-pang.


"Benar, silakan tai-hiap. Kami juga ingin sekali mendengar tentang 

keadaan sekarang ini dan apa pula 
yang mendorong tindakan mereka 
tadi," kata Hek-tung Lo-kai.

Bun Houw merasa tidak enak untuk menolak dan diapun mengikuti 

mereka berdua memasuki pusat
perkumpulan Thian-beng-pang itu. 

Diam-diam dia tersenyum dalam 
hatinya. Kedua orang ketua ini tadi mendengar seruan Pek-thian-kui 
nama pedangnya yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan menganggap
bahwa itu adalah nama julukannya. 


Akan tetapi dia diam saja dan tidak menyangkal. Apa salahnya kalau dia dikenal sebagai Si Pedang Kilat"
Setelah mereka memasuki rumah 

Thian-beng-pangcu Ciu Tek, mereka lalu bercakap-cakap sambil
menikmati hidangan yang 

dikeluarkan tuan rumah untuk 
menyambut pemuda itu.

"Dapatkah Kwa-taihiap menerangkan mengapa seorang datuk seperti Suma Koan, tiba-tiba saja menaklukkan 

banyak perkumpulan, bahkan 
memaksa mereka takluk kalau tidak mau dibujuk" Apa yang
tersembunyi di balik tindakannya itu?" tanya Ciu Tek.


"Tadinya aku menganggap bahwa dia hanya ingin mengangkat diri menjadi beng-cu di dunia persilatan, akan tetapi setelah tadi aku melihat dia muncul bersama Pek-thian-kui, aku merasa curiga sekali.


Ketahuilah, ji-wi pangcu. sekarang Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, membantu bekas kaisar Cang Bu yang bersiap-siap untuk merampas 

kembali tahta kerajaan."

"Ahhh ...!!" kedua orang pang-cu itu berseru kaget. Bun Houw menghela napas panjang. "Sebetulnya, orang-orang seperti kita ini yang hanya berkewajiban mempertahankan 

kebenaran dan keadilan,membela 
rakyat kecil yang tertindas, tidak 
perlu mencampurkan diri ke dalam perebutan kekuasaan itu.

Adalah hak bekas kaisar Cang Bu untuk mencoba merampas kembali tahta kerajaan. Akan tetapi kalau dia melakukan hal itu, berarti terjadi lagi perang dan kembali rakyat yang akan menderita sebagai akibat perang. 

Apalagi mengingat betapa dahulu, ketika kaisar Cang Bu masih 
berkuasa, dia terlalu lemah sehingga hampir semua pejabat 
menyelewengkan kekuasaan masing-masing dengan tindakan korupsi
dan kesewenang-wenangan, dan 

sekarang kita melihat sendiri betapa baiknya kaisar yang baru
memegang pemerintahan, tegas, adil dan juga memperhatikan nasib rakyat jelata. 


Aku sendiri tidak ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, akan tetapi sekarang aku melihat gejala yang amat tidak haik. Munculnya Suma Koan bersama Pek-Thian-kui sungguh mencurigakan. 

Pek-thian-kui adalah orang pertama dari Bu-tek Sam-kui, yang merupakan tokoh-tokoh dan jagoan dari istana kerajaan Wei diutara, sedangkan 
Suma Koan jelas membantu bekas 
kaisar Cang Bu. Besar 
kemungkinannya, bekas
kaisar Cang Bu agaknya kini 

bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mereka bermaksud 
menguasai dunia kang-ouw untuk persiapan perang mereka terhadap kerajaan Chi yang baru."

"Ah, kalau begitu berbahaya sekali, taihiap!" kata Ciu Tek ketua Thian-beng-pai. "Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk mencegah terjadinya hal itu?"


"Tidak ada jalan lain, kita harus menentang mereka menguasai dunia persilatan. Sebaiknya kalau ji-wi mengusahakan agar dapat 

berhubungan dengan para ketua perkumpulan persilatan lain yang tidak mau mereka peralat dan kita bersama mendirikan kubu yang kuat. Kalau perlu, kita mengadakan pemilihan beng-cu tandingan."

"Bagus sekali itu !" kata Hek-tung Kai-pang. "Aku akan menghubungi 

seluruh kai-pang di negeri ini agar mendukung Si Pedang Kilat untuk menjadi bengcu!"
"Benar, kamipun mendukung Kwa-taihiap menjadi bengcu!" kata pula Ciu Tek.


Bun Houw mengangkat tangan ke atas. "Harap ji-wi tidak salah duga. Aku sama sekali tidak ingin menjadi beng-cu. Aku hanya ingin menentang dan menjaga agar kedudukan beng-cu tidak dipegang orang yang dapat diperalat 
persekutuan antara bekas kaisar Cang Bu dan kerajaan Wei. Kalau kerajaan Wei dari utara hendak menyerang selatan, bagaimanapun juga kita harus menentangnya!"

"Kami akan mengerjakan usul taihiap. Akan tetapi, bagaimana caranya kalau kami hendak menghubungi taihiap" Kalau muncul suatu persoalan dan kami ingin minta petunjuk tai-hiap, bagaimana kami dapat 

menghubungimu?"

"Aku yang akan datang ke sini, pang-cu. Aku akan berada di sekitar Nan-king dan kalau, ada keperluan 

mendadak, mungkin aku bertemu 
dengan anak buah Hek-tung Kai-pang dan melalui mereka pang-cu
dapat menghubungiku."


Selagi mereka bercakap-cakap, 

seorang anggauta Thian-beng-pang 
mengetuk pintu ruangan itu. Ketika dia disuruh masuk, dia memberi 
hormat, "Maafkan gangguan saya, 
pang-cu. Akan tetapi di luar datang seorang tamu yang katanya 
mempunyai keperluan penting untuk Hek-tung Kai-pangcu."

"Hemm, siapakah dia dan dari 

mana?" tanya ketua perkumpulan 
pengemis itu.
"Mengatakan datang dari kota raja, diutus oleh Thai-kam (Sida-sida) 

Koan." jawab anggauta Thian-beng-
pang itu.

Mendengar ini, ketua Hek-tung Kai-pang nampak bergairah. "Ah. kalau begitu, minta dia masuk sekarang juga!" Setelah orang itu pergi, dia memberitahu kepada Ciu Tek dan Bun Houw, "Thai-kam Koan adalah sahabatku yang bekerja di istana kaisar. Dari dialah aku dapat mengetahui semua keadaan dalam istana, dan kini dia mengutus seseorang datang kepadaku, tentu ada berita penting dari istana."


Mendengar itu, sahabatnya, ketua 

Thian-beng-pang, mengangguk-
angguk, Bun Houw juga kagum.
Kiranya Kam Cu, biarpun hanya 
pemimpin para pengemis, 
mempunyai hubungan yang luas 
sampai dapat mengetahui keadaan 
dalam istana kaisar Siauw Bian Ong. 

Tak lama kemudian, masuklah 
seorang laki-laki tua yang pakaiannya seperti seorang buruh kecil, sederhana dan bahkan butut. Dia memberi hormat kepada tiga orang itu.

"Harap memaafkan kalau saya mengganggu sam-wi. Saya perlu bertemu dengan Hek-tung Lo-kai ... "
"A-sin, ada kepentingan apakah sampai engkau menyusulku ke sini?" tanya Hek-tung Lo-kai yang sudah mengenal orang itu.


"Maaf, pang-cu. Tadi aku pergi ke markas Hek-tung-kaipang, di sana kosong dan aku, mendengar bahwa pangcu berada di sini, maka aku 

langsung menyusul ke sini karena Koan-thaikam memesan agar
suratnya dapat secepat mungkin 

kuserahkan kepada pang-cu." Dia 
mengeluarkan segulung surat dari
dalam saku bajunya dan 

menyerahkannya kepada ketua Hek-tung Kai-pang itu. 

Ketua itu menerimanya
dan membuka gulungan, lalu 

membacanya. Alisnya berkerut dan matanya terbelalak lalu tanpa banyak cakap dia menyerahkan surat itu kepada Ciu Tek.
Ketua Thian-beng-pang inipun membacanya dan wajahnya berubah pucat.


"Tai-hiap, silakan baca surat ini. Penting sekali!" katanya dan Kam Cu mengangguk menyetujui.
Bun Houw yang tadinya tidak 

memperhatikan karena mengira bahwa surat itu merupakan urusan
pribadi, menyambut dan membaca surat itu. 


Dalam surat itu, secara ringkas dikabarkan bahwa Kwan
Hwe Li dan Ouwyang Toan telah mengundang Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ke istana dan bahkan diterima
oleh Kaisar Siauw Bian Ong. 


Akan tetapi bukan itu yang 
terpenting, melainkan bahwa mereka bertiga itu membentuk persekutuan dengan orang-orang dari kerajaan Wei. mengadakan persekongkolan untuk membunuh Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarga berikut para 
pembantu yang setia kepada kaisar baru ini!

Dan bahwa Koan-thaikam 

mengharapkan bantuan sahabatnya, Hek-tung Lo-kai untuk membantu dan
menyelamatkan kaisar dari ancaman bahaya itu.


"Hemm, kiranya keluarga Ouwyang telah dapat pula menyelundup ke istana?" kata Bun Houw, mengerutkan alisnya karena kalau ayah dan anak itu di sana, berarti memang ancaman bahaya bagi keselamatan kaisar.


"Bukan mereka saja, akan tetapi juga Kwan Hwe Li bekerja di sana sebagai pengawal permaisuri," kata Hek-tung Lo-kai. "Memang di istana terdapat banyak jagoan istana yang tangguh, akan tetapi kalau mereka itu terlalu dekat dengan kaisar, tentu akan sulit untuk menjamin keselamatan kaisar. Jalan satu-satunya 

adalah mengharapkan bantuanmu Kwa-taihiap!"

"Hemm, aku siap menghadapi 
kejahatan mereka. Akan tetapi 
bagaimana aku dapat melindungi 
kaisar?" tanya pemuda ini ragu.
"Kalau tai-hiap muncul seperti biasa dan persekutuan itu mengetahui, 

tentu mereka akan menjadi waspada 
dan keadaan menjadi semakin 
berbahaya. 

Sebaiknya thai-hiap menyamar dan 
biar oleh Koan-thaikam dihadapkan sribaginda agar thai-hiap dapat 
diterima menjadi pengawal pribadi. Tentang penyamaran, harap jangan khawatir karena kami mempunyai 
ahli-ahli penyamaran yang akan 
dapat menyulap tai-hiap menjadi 
orang lain." kata-Hek-tung Lo-kai.

Demikianlah, pada hari itu juga Hek-tung Lo-kai memberi kabar kepada Koan-thaikam melalui A-sin agar 

thaikam itu dapat membuat 
persiapan menyambut Bun Houw di istana. 

Setelah semua siap, Bun Houw
dipertemukan dengan Koan thaikam dan diajak masuk istana. Kini tak 

seorangpun akan dapat mengenal 
Bun Houw karena wajahnya telah berubah sama sekali. Muka yang 
biasanya halus tampan itu berubah
menjadi muka yang ternoda bopeng (bekas cacar), juga bentuk hidung dan matanya berubah. Orang
yang terdekat sekalipun dengan Bun Houw, akan sukar dapat mengenalnya.

Sebelumnya. Koan-thaikam telah memberi tahu kepada Kaisar bahwa dia mempunyai seorang keponakan yang memiliki ilmu silat tinggi dan dapat diandalkan untuk menjadi 
pengawal pribadi kaisar, atau menambah lagi pasukan pengawal 
pribadi. Kaisar amat percaya kepada Koan-thaikam yang memang amat 
setia kepadanya itu, maka pada hari itu, kaisar berjanji akan menerima 
keponakan Koan-thaikam yang 
bernama Koan Jin itu.

Ketika pada pagi hari itu Koan-
thaikam menghadapkan seorang 
pemuda yang wajahnya bopeng dan
tidak mengesankan, kaisar 

menerimanya dengan alis berkerut dan nampak kecewa. Keponakan 
Thaikam kepercayaannya itu sungguh tidak mengesankan, selain mukanya tidak menarik juga penampilannya tidak dapat membayangkan seorang yang kuat. 

Bahkan pasukan pengawal yang berjaga di ruangan itu, yang dipimpin Ouwyang Toan sebagai perwira 
pasukan pengawal, melirik dengan
senyum mengejek. Mereka sudah mendengar dari para thai-kam bahwa Koan-thaikam akan memasukkan 

keponakannya sebagai calon 
anggauta pengawal pribadi kaisar! 

Pada hal selama Ouwyang Toan 
berada di situ, dialah yang sudah 
memasukkan enam orang pengawal baru yang telah diuji kepandaiannya dan kini menjadi anak buah pasukan pengawal istana. 

Biarpun hatinya merasa panas
karena ada thaikam berani 

mengajukan keponakannya sendiri sebagai calon pengawal, akan tetapi
Ouwyang Toan tidak berani 

memperlihatkan ketidaksenangan hatinya. Dia tahu bahwa Koan-
thaikam adalah seorang thaikam 
kepercayaan kaisar, sedangkan dia 
sendiri adalah seorang perwira 
pengawal yang masih baru. 

Akan tetapi dia sudah bersepakat dengan anak buahnya untuk menggagalkan keponakan 
thaikam itu menjadi pengawal, dan dalam ujian ilmu silat, mereka dapat membuat keponakan thaikam itu dan Koan-thaikam sendiri mendapat malu. Apalagi ketika melihat calon
pengawal itu masuk dengan sikap takut-takut dari dusun, mereka saling pandang dan tersenyum mengejek. 


Setelah mengamati sejenak pemuda yang nampak tidak mengesankan itu, Sribaginda Kaisar Siauw Bian Ong, yang juga merupakan seorang ahli silat yang cukup tangguh, karena ketika dia masih bernama Souw Hui Kong, dia adalah seorang petualang yang telah mempelajari banyak ilmu sehingga akhirnya dia berhasil menumbangkan kerajaan Liu-sung yang telah menjadi lemah dan mendirikan kerajaan Chi, berkata kepada thaikam kepercayaannya dengan nada menegur, "Koan 
thaikam, tidak kelirukah
permohonanmu untuk memasukkan keponakanmu ini sebagai seorang pengawal istana" 


Engkau tentu tahu bahwa seorang pengawal istana harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi sebagai 
pengawal pribadi kami yang 
melindungi keselamatan kami, 
haruslah seorang yang benar-benar 
tangguh dan sakti." 

"Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak keliru, karena keponakan hamba ini, Koan Ji, sejak kecil telah berguru kepada ratusan orang guru silat yang pandai dan kini dia telah memiliki ilmu kepandaian silat yang ampuh."

Kembali para anggauta pasukan pengawal tersenyum simpul dan kebetulan Kaisar memandang kepada
mereka sehingga tanpa disengaja kaisar melihat mereka bersenyum simpul mengejek. Hal ini membuat kaisar merasa tidak senang kepada mereka.


"Koen-thaikam, apakah keponakanmu ini siap untuk diuji kepandaiannya?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Dia sudah siap untuk menghadapi ujian."


Kembali kaisar memandang kepada Bun Houw. Wajah yang tidak 

meyakinkan dan tidak menarik. Akan
tetapi, hal ini malah menguntungkan. 


Sebaiknya memang pasukan 
pengawal istana terdiri dari laki-laki yang wajahnya buruk dan tidak 
menarik bagi wanita untuk mencegah terjadinya hal-hal yang akan menodai nama dan kehormatan istana kalau sampai ada wanita istana jatuh cinta kepada seorang anggauta pasukan pengawal. 

Untuk mencegah perjinaan seperti itulah maka semua petugas istana yang pria diharuskan menjadi sida-sida, karena seorang thai-kam sudah bukan pria normal lagi, tidak dapat lagi berjina dengan wanita.

"Koan Ji, beranikah engkau kami suruh melawan seorang di antara para perajurit pengawal itu?" Dia menuding ke arah para pengawal yang berdiri tegak dalam barisan di, bagian luar ruangan itu.


Koan Ji yang berlutut itu memberi hormat. "Siapa saja yang mengancam keamanan paduka dan seisi istana, pasti akan hamba lawan mati-matian, Yang Mulia!" kata Kwa-Bun Houw dengan sikap seperti seorang dusun. Kaisar Siauw Bian Ong tertawa. "Ha-ha. maksud kami bukan melawan sebagai musuh. 


Mereka adalah anggauta pasukan pengawal dan mereka semua sudah lulus ujian ketangkasan. Engkau akan kami uji dengan bertanding ilmu silat melawan seorang di antara mereka. Yang mana kaupilih?"

Bun Houw menoleh ke arah selusin perajurit pengawal yang dikepalai Ouwyang Toan, lalu dia memberi hormat lagi, "Yang mana pun akan hamba hadapi, Yang Mulia."


"Bagus! Ouwyang-ciangkun pilihkan seorang di antara anak buahmu untuk menguji apakah keponakan Koan-thaikam ini pantas menjadi pengawal pribadi kami."


"Maaf, Yang Mulia. Untuk menjadi anggauta pasukan pengawal istana, memang cukup dapat menandingi 

seorang di antara anak buah hamba. 

Akan tetapi untuk menjadi pengawal pribadi paduka, dia haruslah seorang yang benar-benar tangguh dan sedikitnya memiliki tingkat kepandaian dua kali lipat dari tingkat seorang perajurit pengawal istana. Karena itu, 
sebaiknya kalau calon ini dapat 
menghadapi dan menandingi 
pengeroyokan dua atau tiga orang 
perajurit pengawal." kata Ouwyang Toan.

Kaisar itu mengangguk-angguk dan kembali berkata kepada Bun Houw yang maklum bahwa Ouwyang
Toan jelas tidak menghendaki ada pengawal pribadi kaisar yang baru. 


"Bagaimana, Koan Ji. Beranikah engkau melawan dua atau tiga orang perajuril pengawal istana" Kalau 
engkau merasa tidak sanggup, 
katakan saja. Kami tidak ingin 
bersikap sewenang-wenang, hanya 
ingin menguji kemampuanmu."

"Kalau paduka memerintahkan, biar menghadapi berapa saja lawan, hamba siap untuk menandinginya, Yang Mulia." kata Bun Houw dengan sikap bersahaja.
Kaisar Siauw Bian Ong kembali tertawa gembira.


"Ha-ha ha, baru semangatmu saja sudah menyenangkan hati kami, Koan Ji. Nah, Ouwyang-ciangkun, engkau sudah mendengar sendiri. Calon pengawal pribadi ini berani 

menghadapi pengeroyokan tiga
orang anak buahmu."


"Baik, Yang Mulia. Hamba akan memilih tiga orang di antara mereka."
Ouwyang Toan memilih tiga orang anak buahnya yang paling jagoan. 
Tiga orang ini bukan sembarangan orang. 

Mereka adalah jagoan-jagoan dari Thian-te Kui pang dan tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkat Ouwyang Toan! 

Biar Ouwyang Toan sendiri, agaknya tidak akan mungkin menang 
menghadapi pengeroyokan tiga orang anak buahnya ini dan kini dia 
mengajukan mereka untuk.....



BERSAMBUNG KE JILID 12





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12