Tuesday, February 19, 2019

Cerita Silat Serial Kisah Si Pedang Kilat Jilid 10


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
  Serial Kisah Si Pedang Kilat

            Jilid 10



Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda bahwa gadis itu mulai tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan bahwa mau atau tidak mau, bekas puteri istana ini akan menjadi isterinya! 

Bagaikan seekor laba-laba 
yang memasang jerat, dia telah 
melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!

"Akan tetapi, bagaimana caranya, 
nona" Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat 
marah dari Kongcu."

"Jangan takut, aku yang tanggung 

kalau sampai koko mengetahui dan 
memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah 
saja. 

Kita tentukan waktunya, kemudian 
setelah semua orang tidur dan 
keadaan sunyi, kita ketemu di 
pondok dan melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"

"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang 
akan bertanggung jawab kalau 
sampai kakakmu mengetahui dan 
marah?"

"Tentu saja. Dan pula, kita berdua 

hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir 
Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih 
sukar ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain, 
tentu tidak sesukar itu dia 
menundukkannya, Liu Kiok Lan ini 
seorang gadis yang tegas, berani, 
memiliki harga diri yang tinggi. 

Seorang gadis seperti ini, walau 
misalnya sudah tertarik dan jatuh 
cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan, 
amat menghargai kehormatannya 
sebagai seorang bekas puteri istana. 

Buktinya, gadis itu begitu benci 
kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong 
adalah pamannya sendiri. 

Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan 
sebaik mungkin agar tidak sampai 
gagal. 

Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu 

untuk melaksanakan latihan itu. 
Suma Hok memilih waktu tiga malam
lagi. 


Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya 
bulan sedikitpun sehingga tentu 
malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan 
mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan 
akan dibiarkan tidak terkunci daun 
pintunya.

Tiga malam kemudian. Malam itu 

memang gelap seperti sudah 
diperhitungkan Suma Hok. Agaknya
keadaan malam itu membantu 

rencana siasatnya. 

Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam 
gelap pekat dan udara dingin, 
membuat orang segan untuk keluar pintu. 

Taman rumah besar bekas kaisar 
itupun sunyi sekali. Yang terdengar 
hanya bunyi kerik jangkerik dan 
belalang malam.

Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat 

terhenti sejenak dua kali karena 
adanya orang yang lewat memasuki 
taman menuju ke pondok dalam 
waktu yang sebentar saja selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik 
terganggu dan terhenti.

"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu 

pondok. Dia sudah berada di situ 
lebih dahulu. 

Ruangan pondok itu cukup luas, 
dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di 
ruangan itu karena memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.

Melihat pemuda yang menjadi guru 

tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia 
mereka malam itu!

"Selamat malam, toako. Sukurlah, 

engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako." 

Bagaimanapun juga, berada berdua 
saja dengan pemuda itu di dalam 
pondok yang hanya diterangi lampu 
gantung dari luar sehingga keadaan 
ruangan itu remang-remang, pada 
malam hari pula, mendatangkan 
perasaan rikuh di hatinya, maka ia 
pun hendak menutupi perasaan itu 
dengan cepat-cepat melaksanakan 
latihan yang dijanjikan Suma Hok 
kepadanya.

"Nanti dulu, nona. Seperti telah 
kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau 
simpanan yang biasanya hanya 
diajarkan kepada anggauta keluarga 
turun temurun, dan yang melatih
ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan.


Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti 
lajimnya, lalu minum ramuan obat 
yang sudah kupersiapkan."

"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah 

cawan dan sebungkus obat bubuk.
Dia menuangkan isi guci yang 

menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian
memasukkan bubuk putih dari 
bungkusan.

"Nona, mari kita berlutut untuk 

mengucapkan janji seperti yang 
diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.

"Nah, peganglah cawan ini dan 

tirukan ucapanku, nona." katanya. 
Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.

"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji 

akan merahasiakan ilmu Lui-kong 
ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain 
kecuali anggauta keluarga Suma.
Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga 
Suma!" Lalu Suma Hok memberi 
isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.

Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan keras, 

membuat ia tersedak, akan tetapi isi 
cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima kembali cawan kosong dan berkata lembut.

"Engkau akan merasa pening sedikit, 

akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau 
peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam
samadhi harus seperti ini, dan 
pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk 
itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening maka 
cepat ia bangkit dan menghampiri 
dipan, lalu duduk bersila di atas 
dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok juga 
bangkit dan pemuda itu agaknya 
duduk di kursi.

Tak lama kemudian, pemuda itu 

bertanya, "Apakah peningnya sudah 
hilang, nona?"

"Susudah ... toako ... " kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu 

berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya! 

Dia tahu benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah 
mempengaruhi seluruh tubuh dan 
juga hati dan pikiran gadis itu, 
membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat 
tanpa penolakan sedikitpun!

"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya, 

dan kedua telapak tangannya dia 
tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata, "Sekarang, tariklah napas 
perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran 
hawa dari kedua tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah 
menghimpun tenaga sakti Lui-kong-
ciang!"

Kiok Lan yang sudah tidak merasa 

pening kini merasa seperti dalam 
mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti 
terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main, 
seperti diayun-ayun, kemudian ia 
merasa betapa dua telapak tangan 
yang menempel di punggungnya, 
mengeluarkan hawa yang hangat
dan mendatangkan getaran yang 

menggetarkan seluruh tubuhnya, 
membuat ia merasa seperti digelitik 
dan mula-mula bulu tengkuknya 
meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan. 

Sedikit demi sedikit, bagaikan api 
yang mulai membakar, ia merasakan 
suatu rangsangan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya 
panas, makin lama semakin panas
seperti dibakar.


"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ... " ia mulai mengeluh, napasnya 

memburu dan suaranya seperti 
merintih.

Dan suara yang halus lembut itu 

terdengar dekat sekali dengan 
telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus, 

"Kalau panas dan gerah 
mengganggumu engkau boleh 
membuka pakaianmu, agar terasa 
nyaman, agar tidak mengganggu
latihanmu ... "


Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi keinginan 

hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang 
membuat ia berkeringat.

Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan 

melepaskan pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam 
pondok itu terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar 
teriakan, "Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin.

Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir balik. 

Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-goyang dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga. 

Gadis itu terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan,gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan. 

Kemudian Pouw Cin membalikkan 
tubuh karena dia mendengar angin 
menyambar dahsyat. Dia cepat 
membuat gerakan menangkis,namun terlambat. 

Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari 
belakang terbuka dan perhatiannya 
masih tercurah kepada Kiok Lan 
sehingga tangkisannya agak 
terlambat.

"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.


"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat. 


Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri, matanya 
terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.

"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali, 

perlawanannya tidak berarti bagi 
Suma Hok. 

Berulang kali ujung sulingnya 
menemui sasaran dan tubuh Pouw 
Cin kembali terjengkang atau 
terpelanting beberapa kali. 

Akhirnya, sebuah hantaman suling 
yang mengenai kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu 
bangkit kembali. Mukanya berubah 
kehitaman karena keracunan, dari 
mata, telinga, mulut dan hidungnya 
keluar darah. 

Akan tetapi matanya masih melotot 
memandang kepada Suma Hok, dan 
bibirnya masih bergerak-gerak, "kau ... kau ... terkutuk kau ... " dan diapun terkulai, seorang jenderal atau 
panglima besar yang amat setia 
kepada rajanya, menemui kematian secara menyedihkan sekali.

Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis! 

Dia masih tersenyum ketika 
menghampiri dipan sambil kedua
tangannya membuka kancing 

bajunya, matanya berkilat dan 
senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh 
penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok
berteriak-teriak, "Ada pembunuh ...! 


Ada penjahat keji ...!!"
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang
yang bertugas menjadi pengawalnya. 


Mereka melihat Suma Hok berdiri di 
depan pondok dengan suling di 
tangan dan muka babak belur, 
pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan. 

Begitu melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.

"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"

Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi mereka. 


"Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!"

Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur tangis dia berkata, "Kongcu malapetaka 

telah menimpa orang yang paling 
Kongcu percaya ... "

"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan 

mengguncangnya tidak sabar. 
Guncangan ini agaknya membuat 
Suma Hok menjadi tenang.

"Kongcu, harap perintahkan semua 

orang mundur, dan marilah kongcu 
bersama saya saja yang masuk melihat ... "

Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua 

pembantunya untuk menjauh,
kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.


Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu

penerangan dari luar masuk, 
membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh.
Suma Hok cepat memegang 

lengannya.

"Kuatkan hati paduka, Kongcu ... " katanya hormat, "dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua 

orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang 
mengetahuinya ... "

Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah! 


Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh. 

Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan 
pakaian.setengah telanjang pula, 
telentang di atas dipan dan sekilas 
pandang saja tahulah dia bahwa 
adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan 
atau tidur.

"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.


"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan 

orang lain sebelum ia sadar dari 
pingsannya."

"Ia ... ia tidak mati ... ?"
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.

Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggil-manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.

Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut, 

memandang kepada Suma Hok. "Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.

"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan 

yang masih agak nanar itu 
memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok. "Toako, apa yang telah terjadi" Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?"
Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan.
Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!

"Ihhh ... aku ... kenapa ..." Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya, 
wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.


"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas 

karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw 
mempunyai ilmu silat tinggi dan
bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan 

percaya kalau dikabarkan bahwa
yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi. 


Dengan demikian, tidak akan
terjadi banyak dugaan dan 

kecurigaan."

Kakak beradik itu hanya dapat 

mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi 
Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal
mengerikan pada dirinya!"


Suma Hok lalu membuka pintu 

pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik. 


Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam 
rumah. Di dalam ruangan sebelah 
dalam yang tertutup, dimana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak beradik itu 
mendesak agar Suma Hok 
menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara 
tenang. "Kongcu, sebelumnya saya 
harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi. 

Nona Liu sedang berlatih semacam 
ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui 
jendela. 

Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak 
dapat menjaga diri dan sayapun 
roboh tertotok dan tidak mampu 
bergerak sama sekali." Dia 
memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak. 

"Ketika itu, saya sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu 
Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan 
merobohkan saya dengan totokan."


          **********



MELIHAT Suma Hok berhenti 

bercerita dan kelihatan sedih dan 
bingung Kiok Lan yang sudah
menduga hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya, "Lalu bagaimana, toako" Teruskan ...!!"

Kembali Suma Hok nampak 
kebingungan, sebentar memandang 
kepada gadis itu, lalu kepada Siauw Tek, dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.

"Toako, ceritakan, apa yang 

selanjutnya terjadi?" Siauw Tek 
mendesak pula.

"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak berhasil 

karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur. 

Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ...
saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya 

memejamkan mata ... "

"Apa yang dia lakukan" Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu 

pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.


Kiok Lan membentak, mukanya 

sebentar merah, sebentar pucat, "Dia menggunakan kesempatan selagi saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ... dia ... binatang itu telah melakukan hal keji terhadap dirimu nona ... "

Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis. " ... jahanam busuk, keparat terkutuk ...?" ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.


Kakaknya cepat bangkit dan 

merangkulnya, mencoba untuk 
menghiburnya. Namun sia-sia, Kiok Lan terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu membiarkannya melepas kedukaannya melalui
tangisnya dan setelah agak mereda. Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya menundukkan mukanya.


"Suma-toako, lalu apa yang terjadi" Bagaimana jahanam terkutuk itu 

dapat mampus?" Mendengar 
pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok Lan ikut mendengarkan.

"Saya berusaha keras untuk 

membebaskan diri dari pengaruh 
totokan, Kongcu. Akan tetapi memang totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong Nona Liu. 

Kemudian, jahanam busuk itu 
mengakhiri perbuatannya yang 
terkutuk dan agaknya hendak 
membunuh saya agar rahasianya 
tidak sampai bocor. Akan tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh 
saya dengan totokan maut, saya dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan 
menyerangnya. 

Kami berkelahi dan akhirnya saya 
dapat merobohkan dan menewaskan 
manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara 

mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, iapun berlari keluar 
dari ruangan itu.

"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu, memalangnya dari dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.


"Kongcu, saya kira lebih baik kalau 

sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan 
kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini menyentuh lengan bekas kaisar itu.

Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh. "Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami sekeluarga" Aih, aku dapat membayangkan 

betapa hancurnya hati adikku. Kini ia ternoda, lalu bagaimana nanti masa depannya" 

Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya 
nampak bersedih sekali.

"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur.


Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek 

menutupkan daun pintu dan kini
mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui orang lain.


"Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih" Tanpa kusangka, malapetaka hebat menimpa diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa 

orang, dan pembantuku yang paling 
baik, ternyata seorang jahanam dan 
kini telah tewas! 

Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang setia." "Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri. 

Kongcu kehilangan pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk 
membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah besar, dan saya rela mengorbankan jiwa raga untuk 
membantu Kongcu sampai tercapai 
cita-cita Kongcu menumbangkan 
kerajaan Chi dan membangun 
kembali kerajaan Liu-sung!"

Wajah Siauw Tek yang tadinya 
muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam wajah Suma Hok.

"Terima kasih, Suma-toako. Agak 

terhibur hatiku dengan kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu suka pula untuk bekerja sama. Akan tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang menimpa adikku! Bagaimana aku tidak akan bersedih?"

"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari jalan keluarnya, memang sudah menjadi 

kenyataan, walaupun hanya kita 
bertiga yang mengetahuinya, bahwa Nona Liu tertimpa aib yang akan menghancurkan masa depannya, 
akan tetapi hal itupun kiranya masih dapat ditemukan jalan keluarnya."

Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Bagaimana 

mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"

"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
"Menikah" Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian" Justeru di situlah letak persoalannya.


Adikku, juga aku, tentu akan 

menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ... "
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada."


"Hemm, siapa yang akan mau" pria mana. yang akan suka berkorban 

seperti itu, menikahi seorang gai s 
yang sudah ... "

"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ..."! !" Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam pandang matanya. "Engkau, toako" Tapi ... engkau sendiri tahu. bahkan menjadi saksi tunggal ... "


"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia 

untuk menutupi aib itu, dengan 
segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi 
menerima saya dan kalau paduka 
menyetujui. ... "

"Aku" Tentu saja aku setuju 

sepenuhnya, bahkan aku akan 
berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan tentang adikku, 
bagaimana mungkin ia akan 
menolak" 

Pengorbananmu ini akan 
menolongnya,melepaskannya dari aib dan mendatangkan sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan
segera menyampaikan kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."


Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui 

adiknya di dalam kamar adiknya.

Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya
memasuki kamar. ia lalu 

menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas kaisar itu dan menangis.

Siauw Tek mengangkat bangun 

adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan dan dia duduk di
tepi pembaringan. 
"Tenangkahatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan menchindarkan engkau dari aib ini."

Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah, memandang kakaknya. Ia masih 

belum dapat mengeluarkan kata-kata 
akan tetapi pandang matanya sudah mengajukan pertanyaan apa yang 
dimaksudkan kakaknya dengan 
ucapan itu.

"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah mendapatkan bintang penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia untuk 

menikah denganmu, menjadi 
suamimu yang sah."

"Koko! Bagaimana mungkin aku ... "
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan semua itu. Dia adalah Suma Hok ... "


"Ahh ...!" Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya ketika, ia dalam keadaan pingsan,
diperkosa oleh Pouw Cin!"


"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu, bukankah dia pula yang telah membalaskan 

sakit hatimu, telah membunuh 
jahanam yang berbuat keji terhadap 
dirimu?"

"Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk 

menolongku?" Ia meragu karena 
masih bimbang, tidak tahu harus 
mengambil keputusan bagaimana 
semua peristiwa ini terjadi demikian tiba-tiba dan mengejutkan. 

Tadinya, ia sebagai seorang gadis 
yang lincah gembira, yang masih 
remaja karena usianya baru tujuh 
belas tahun, tiba-tiba saja telah 
dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa yang dihadapkan pada 
pernikahan!

"Dia merasa iba kepadaku, dan 

kepadamu, siauw-moi, dan dia 
menawarkan diri selain untuk
menggantikan Pouw Cin menjadi, 

pembantuku yang setia, dia juga 
bersedia untuk menutupi aibmu dan menjadi suamimu. 

Bukankah itu hebat sekali, siauw-moi" Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua menjadi beres, melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang ama tbaik. dan engkau 
mendapatkan seorang suami yang 
baik pula."

"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum 
mempunyai keinginan untuk 
berumah tangga, koko, usiaku juga baru tujuh belas tahun ... "
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...!


Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan" Aku harus memberi 

keputusan kepada Suma-toako
sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam membantuku."


"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."

"Baiklah, adikku. Aku menunggu 
dengan sabar, dan engkau harus ingat juga keadaanku, karena aku amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau menolak, mungkin dia akan merasa tersinggung. Dia 
menawarkan diri untuk menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah kepadanya."

"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."


Demikianlah, baru dua hari 

kemudian, setelah mata gadis itu 
tidak lagi membengkak dan merah, setelah lenyap bekas-bekas tangis 
dukanya, ia memberi kesempatan 
kepada Suma Hok untuk bertemu
dengannya di ruangan tamu. Ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman.


Semenjak terjadinya peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi Kiok Lan.


Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega dan juga kagum melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka. 


Namun ada suatu perubahan terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira, bahkan masih agak kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang pendiam dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.

"Nona Liu ... " kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua pasang mata 

bertemu pandang,bertaut dan 
akhirnya Kiok Lan lebih dahulu 
menundukkan mukanya, kedua 
pipinya agak kemerahan karena 
kembali ia teringat akan peristiwa, 
yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda didepannya ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika 
dengan suara lirih.

"Suma-toako, aku telah mendengar 
dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ... " Ia berhenti, sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau 
menganggap aku lancang. 
Sesungguhnya, aku memang tidak 
cukup berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ... " Suma Hok dengan cerdik mengambil sikap
rendah hati. 


"Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan 
itu karena engkau merasa iba 
kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib. Benarkah itu?"

"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok 

cepat. "Aku merasa amat iba 
kepadamu, aku ingin membebaskan engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin melenyapkan aib 
yang kauderita."

Hening sebentar dan setelah 

menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan mengangkat muka menatap
wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik. 


"Hanya itu saja alasannya" Engkau 
hendak menikahiku hanya karena 
ingin menolongku, hanya karena 
engkau merasa iba kepadaku?" 

Sepasang mata itu memandang tanpa berkedip. "Tidak ada alasan lain?"
Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan utamanya bukan menutup aib, 

bukan pula iba, melainkan sama 
sekali berlainan. 

Dia ingin memperisteri gadis itu 
selain untuk mendapatkan seorang 
isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat derajatnya dan akan memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi! 

Sama sekali dia tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau gadis yang manapun juga di 
dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun 
pertanyaan itu diam-diam 
mengejutkan hatinya, hanya sebentar saja dia tertegun. Segera dia 
tersenyum malu-malu dan berkata dengan suara lirih menggetar.

"Nona. sebetulnya aku tidak berani 
mengatakan hal yang sejak dulu 
menjadi bisikan hatiku ini, akan tetapi ... karena sekarang engkau 
bertanya, terpaksa aku 
memberanikan diri untuk mengaku terus terang. 

Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya 
maafkan aku, akan tetapi ... sejak 
pertama kali kita berjumpa, sejak aku membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu! 

Nah, lega hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini" Nona adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas, kaisar, seorang puteri bangsawan, 
dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai
matipun aku tidak akan berani 

menyatakan cintaku kepadamu. 

Kemudian, sungguh jahanam Pouw Cin itu! Kemudian terjadilah 
malapetaka itu menimpa dirimu, nona. Karena tidak melihat jalan 
keluar lain untuk menolongmu, maka aku memberanikan diri untuk 
menyatakan kesediaanku 
menikahimu tentu saja kalau nona 
sudi menerimaku."

Terjadi perubahan sedikit demi 
sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan, mata itu bersinar dan wajahnya 
berseri, mulutnya dihias senyum yang ditahan-tahan. 

Pengakuan cinta Suma Hok sungguh merupakan obat amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih di hati gadis itu. Kalau 
pemuda itu hendak menikahinya 
hanya karena iba, hanya untuk 
menolongnya, maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar dan seperti permainan 
sandiwara belaka. 

Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi! Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda itu, yang memang sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan adanya kasih sayang itu. 

Melihat gadis itu hanya 
menundukkan mukanya yang kini kemerahan, mata itu tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga tersenyum senang dan 
bangga, penuh kemenangan. Dia 
menanti sampai beberapa saat 
lamanya, dan melihat gadis itu 
agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona" 
Percayalah andaikata nona merasa 
terlalu tinggi untuk menjadi
jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah selamanya 

tidak akan menikah dengan wanita 
lain. 

Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan membahagiakanmu, nona, dan aku akan membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama,
yaitu membangun kembali kerajaan Liu-sung.'


Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan memejamkan mata sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat
betapa pandang mata kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!


"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku 

berterima kasih kepadamu. Akan 
tetapi, aku minta agar urusan 
perjodohan ini ditunda sampai 
setahun lagi. 

Setahun kemudian, barulah aku 
bersedia untuk melangsungkan 
pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan 
kecewa. 

"Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti sampai satu tahun lagi" Apa yang menjadi 
halangannya?"

"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu, walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau aku sekarang menerima, hal itu 

kulakukan penuh kesadaran dan
keikhlasan. 

Akan tetapi, aku pernah mengambil keputusan bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam waktu itu, aku juga ingin dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun, 
karena bukan gairah berahi yang
mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah, kalau dia sudah menjadi tunangan gadis ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat.


Apalagi kalau dia menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu baginya!
"Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda") Lan-moi?" Dia tersenyum.


Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan kegembiraan hati. "Tentu saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko. Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu silat, ya, koko?"


"Tentu saja. Lan-moi. Aku akan mengajarkan seluruh apa saja yang kumiliki kepadamu. Bukankah
engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek, menggantikan kedudukan Pouw Cin. 


Semua perwira diperkenalkan 
kepadanya, bahkan seluruh pasukan 
yang jumlahnya tidak kurang dari 
lima ribu orang besarnya itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin telah tewas oleh mata-mata 
musuh, dan kini yang menjadi 
panglima adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang terkenal sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan). 

Para perwia juga sudah diberitahu 
bahwa panglima atau komandan 
mereka adalah calon suami nona Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini
membuat mereka lebih tunduk dan hormat kepada Suma Hok. 

Pemuda yang amat cerdik inipun dapat bertahan, mengekang 
gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi. 

Dia tidak berani main-main dan tidak pernah dia mencoba untuk 
membujuk calon isterinya itu 
menyerahkan diri kepadanya. Dia akan bersabar sampai waktu setahun lewat, sampai mereka dinikahkan 
secara resmi.

Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia 

bahkan mengajarkan ilmu silat 
tambahan kepada para perwira dan 
memerintahkan agar semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga setiap orang 
perajurit merupakan tenaga yang 
tangguh. 

Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar kepada ayahnya yang menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh lima tahun yang lalu. 

Dengan senang hati diapun 
menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek
semakin gembira dan bersemangat.

          **********


Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja dari kerajaan baru, yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong. 

Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong memihak Agama To dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan dari Agama Buddha yang memiliki banyak 
pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong 
membuka pintu lebar-lebar bagi 
kedua agama itu. 

Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap 
memusuhi para hwesio (pendeta
Buddha) yang dianggap sebagai 

orang-oran gasing. 

Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke selatan,
menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi. Di selatan ini. 


Agama Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar 
Siauw Bian Ong membuat 
permusuhan yang terjadi antara para pengikut Agama To dan pengikut 
Agama Buddha tidak terbawa ke 
selatan. 

DI kerajaan ini, kedua pengikut 
agama itu dihargai dan dihormati, 
penyebaran agama mereka diterima
secara bebas oleh rakyat.


Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai. Keamanan jauh lebih baik dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja menumbuhkan 

perdagangan. 

Pedagang keluar masuk kota raja 
Nan-king. dan tentu saja akibatnya 
banyak dibangun rumah-rumah 
penginapan dan rumah-rumah 
makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu. 

Pasukan keamanan kota raja
Nan-king juga. terkenal dengan 

jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan 
untuk menjaga ketertiban dan 
keamanan di kota raja itu. 

Tidak ada penjahat berani banyak 
lagak di kota raja ini, dan suasana 
yang terjamin keamanannya itulah 
yang membuat para pedagang 
menjadi semakin bersemangat 
melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan 
gembira. 

Apalagi golongan penjahat kecil, 
bahkan para tokoh kang-ouw, baik 
golongan hitam atau putih, baik para
penjahat maupun pendekar, tidak ada yang berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja Nanking. 


Kaisar Siauw Bian Ong adalah 
seorang kaisar yang bijaksana dan 
pandai, tidak seperti bekas Kaisar 
Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang 
hanya mementingkan kesenangan 
diri pribadi belaka, kurang 
memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga pemerintahannya 
dicengkeram oleh para pembesar 
yang korup. 

Para pembesar seperti itu, bukan 
hanya tidak memperhatikan nasib 
rakyat, bahkan lebih celaka lagi, 
sebaliknya dari pada mengayomi 
rakyat, mereka bahkan menekan 
rakyat dengan berbagai cara
untuk memenuhi gudang harta 

mereka sendiri.

Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi 

baik" Kalau para penjahat tinggi 
korup, bagaimana mungkin 
mengharapkan para penjahat 
rendahan akan bersikap jujur" Dan 
pembesar tinggi yang menjadi 
pengawas sendiri bertindak korup, 
bagaimana mungkin dia berani 
meindak bawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil" 

Kalau yang di atasan jujur, sudah, 
pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya tentu akan menghantamnya. 

Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai keturunan keluarga Siauw 
yang besar yang terkenal sejak nenek moyang mereka yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan
Han (tahun 206 S.M. - 8 A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan 

kokoh kuat kalau mendapatkan 
dukungan rakyat jelata. 

Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat. kalau tidak 
mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat, 
maka kekuatan pasukan itu tidak 
akan banyak manfaatnya. 

Dan satu-satunya cara untuk 
memperoleh dukungan rakyat 
hanyalah kalau pemerintah dapat 
mendatangkan kemakmuran bagi 
rakyat jelata. 

Kalau rakyat merasa 
puas.dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari pohon tanaman
pemerintah, kalau rakyat dapat 
ditingkatkan taraf hidupnya, maka 
rakyat tentu akan mencintai
pemerintah dan akan membela mati-matian kalau pemerintah yang 

mendatangkan kebahagiaan itu
sampai terancam oleh kekuasaan lain. 


Dan satu-satunya cara untuk 
mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat jelata hanyalah dengan 

pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan pekerjaan,
menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja dengan gembira karena merasa aman
dan tenteram, mengatur sedemikian rupa dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat jelata terpenuhi semua kebutuhan pokok hidup mereka. 


Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang memegang kemudi 
pemerintahan, terdiri dari orang-
orang bijaksana yang tidak 
memetingkan diri sendiri, tidak 
melakukan korupsi, tidak menekan 
rakyat, maka cita-cita untuk 
memakmurkan kehidupan rakyat 
bukan sekedar menjadi slogan dan 
mimpi kosong belaka.

Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke 

arah itu. Maka, tidaklah 
mengherankan apabila kini, setelah lima tahun dia mendirikan dinasti 
Chi, kota raja Nan-king menjadi 
sebuah kota kerajaan yang besar, 
ramai dan perdagangan maju dalam 
segala bidang.

Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para bangsawan, bahkan keluarga 

dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang sering kali melakukan pembersihan, 
membunuhi seluruh keluarga raja 
yang ditaklukkan, bahkan
membunuhi para pejabat tinggi 
kerajaan yang kalah karena takut 
kalau-kalau mereka akan 
mengadakan pembalasan dan 
pemberontakan.

Hal ini mungkin karena memang 

masih ada hubungan keluarga antara keluarga Siauw dan keluarga Liu, 
yaitu keturunan raja-raja yang 
memerintah kerajaan Liu-sung. 

Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar Siauw Bian Ong ingin agar para cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu
pemerintahannya, dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah kerajaan yang telah jatuh itu.


Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang
baru adalah keluarga bangsawan 

Kwan yang telah turun temurun menjadi bangsawan yang memegang
jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun 

memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah
seorang sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut. 


Karena dia seorang yang mencintai pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak pernah menjadi seorang pembesar
yang korup dan sewenang-wenang seperti banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan 

kekuasaannya, apalagi karena 
jabatannya mengurus kebudayaan, 
maka jabatannya sendiri tidak
memberi banyak kesempatan 

kepadanya untuk melakukan 
tindakan yang menyimpang dari 
kebenaran.

Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan penyelewengan.

Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya 
melarikan diri seperti banyak 
pembesar lainnya. 

Akan tetapi, diapun tidak lalu 
menyerah kepada penguasa baru. Dia bukan seorang pengkhianat, bukan 
pula penakut. Kalau dia tidak 
mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi, hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu
ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bu, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi yang hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa 

memperdulikan keadaan rakyat, 
bahkan lengah terhadap
gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan tetapi protes ini bahkan membuat kaisar
marah-marah kepadanya. 


Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah bersama keluarganya. Dia 
sama sekali tidak merasa takut,
karena dia tidak pernah merasa 
bersalah.

Kalau penguasa baru akan 

membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin ken mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri bernama Kwan Hwe Li,
akan tetapi keluarga itu telah 

kehilangan puteri ini sejak kurang 
lebih tiga puluh tahun yang lalu! 

Sampai sekarang, keluarga itu belum pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah.
Kwan-taijin dan isterinya merasa 

prihatin bukan main, apalagi ketika 
mereka mendengar bahwa puteri 
mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!

Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan tahun dan telah menjadi 

seorang hakim di kota Bi-ciu, dan 
setelah pergantian pemerintahan, di 
kerajaan Chi diapun masih tetap 
menjadi hakim, karena dia terkenal 
sebagai seorang hakim yang 
bijaksana dan adil sehingga 
pemerintah yang baru tetap 
mengangkat Kwan Hwe TJn ini 
menjadi hakim di Bi-ciu.

Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita 
inipun jatuh sakit karena kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua 
kekhawatirannya bahwa
keluarganya akan tertimpa 

malapetaka sebetulnya tidak terjadi. 

Suaminya tidak diganggu oleh 
penguasa baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan 
untuk tetap memegang jabatan 
lamanya.

Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu tua untuk bekerja, apalagi semenjak 

kematian isterinya, dia sudah tidak 
mempunyai semangat lagi, dan hanya ingin menghabiskan sisa usianya 
untuk bersamadhi dan melepaskan 
diri dari semua ikatan
keduniawian. 


Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia kepadanya, 
dan empat orang pembantu rumah 
tangga. 

Hanya kadang saja, beberapa bulan atau setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang
berkunjung, rumah gedung itu 

menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang
terdengar bunyi yang-kim (kecapi) 

yang dimainkan oleh seorang di 
antara selirnya.

Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung tua yang sunyi itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut. 


Adapun wanita yang ke dua 
nampaknya berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya juga cantik, 
pesolek dengan pakaian indah, 
mulutnya selalu tersenyum mengejek dan sikapnya anggun dan angkuh. 

Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang cantik itu bersama 
gurunya. Bi Moli Kwan Hwe Li yang usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan 
cantik.

Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana dalam rumah itu sudah
jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di situ sebagai seorang gadis. 


Tidak lagi seperti rumah bangsawan dengan pengawal dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat 
suasana rumah itu, melihat pakaian 
pelayan wanita yang keluar 
menyambut, tiada bedanya dengan 
ramah orang biasa.

Pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk menanyakan keperluan 
kedua orang wanita cantik itu datang
berkunjung. "Ji-wi sio-cia (Nona 

berdua) hendak mencari siapakah?" tanyanya dengan sikap hormat.

Kwan Hwe Li tidak mengenal pelayan itu, tentu seorang pelayan baru. Dan memang, ketika ia meninggalkan 
rumah ini, hal itu telah lewat kurang lebih tiga puluh tahun, dan ketika kerajaan Liu-sung jatuh, semua 
pelayan dari keluarga Kwan ikut pula lari mengungsi bersama banyak 
penduduk Nan-king yang lain, 
meninggalkan keluarga majikan 
mereka.

"Aku ingin bertemu dengan Kwan-loya (tuan tua Kwan)," kata Hwe Li, menahan getaran hatinya. Biarpun selama ini ia telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan telah menjadi 

datuk kang-ouw yang terkenal sekali, keras hati dan berwibawa, tidak 
urung hatinya tergetar ketika ia 
berada di rumah keluarga orang tuanya di mana ia dibesarkan, dan akan bertemu dengan ayah 
kandungnya. 

Ia sudah mendengar bahwa
ibu kandungnya meninggal dunia ketika terjadi perang saudara dan bahwa kini yang tinggal di rumah itu tinggal ayahnya seorang diri. Ia tahu pula dari keterangan anak buahnya bahwa kakak tunggalnya kini masih menjadi hakim di Bi-ciu.

"Maaf, nona. Saya tidak berani 

menggangu lo-ya, karena pada saat sepagi ini, lo-ya masih duduk 
bersamadhi dalam kamarnya dan tak seorangpun dari kami diperbolehkan mengganggunya."




Hwe Li teringat bahwa menurut 
keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus melakukan
penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi seingatnya, ayahnya dahulu 
mempunyai empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang
sekarang masih menemani ayahnya tinggal di situ.


"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin 

bicara." katanya tak sabar.

"Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian) 

menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang 
tamunya duduk di ruangan tamu 
yang berada di samping kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay
memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang 

bentuknya kran. 

Diam-diam Kwan Hwe Li terharu 
melihat keadaan kamar itu. Semua 
perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai nampak tua dan 
butut. 

Ruangan itu, yang dahulu nampak 
mewah, kini kehilangan 
kemewahannya dan
bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang 
semestinya minta ganti yang baru
dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang tua dan buruk.


Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu menengok, memandang ke arah pintu sebelah dalam yang terbuka. 


Seorang wanita berusia enam 
puluhan tahun muncul di ambang 
pintu dan biarpun wanita itu sudah kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengenalnya. 

Inilah ibu tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit! 

Namun, di antara para ibu tirinya, 
wanita inilah yang sikapnya paling 
ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.

"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh keraguan.


Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun yang lalu!


"Kau ... kau ... Hwe Li ...!" Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak dari Hwe Li! 


Bagaimana ibumu sekarang, nak" 
Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan ramahnya menghampiri 
dan merangkul pundak Hwe Li. 
Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa terharu. 

Wanita ini, biarpun sekarang sudah 
tua dan keluarganya jatuh miskin, 
masih tetap ramah dan periang 
seperti dahulu. Pantas saja ayahnya 
masih mempertahankannya untuk 
menemanimu di situ.

"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.


"Ehh ...?"" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin!


Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana 

mungkin engkau Hwe Li?"

"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah. Bagaimana dengan ayah" Aku ingin sekali bertemu dengannya."


"Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li" Kami sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang wanita sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi tua?"


Hwe Li tersenyum, merangkul 

pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab seperti sahabat baik 
dengannya. "Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan" Oh, aku sampai lupa, Ibu, ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke Tiga."

Ling Ay cepat membungkuk dan 

memberi hormat. Wanita tua itu 
memandang, terheran-heran. "Kalau engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali! Engkau masih 
secantik dan semuda dahulu, dan 
engkau bahkan seperti kakak beradik 
saja dengan muridmu ini."

"Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak jauh dari ruangan tengah. Setelah mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik, "Hwe Li, biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani mengganggunya."


"Ibu, biarlah aku yang memangil 

ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk 
daun pintu, lalu mengerahkan khi 
kang sehingga biar suaranya hanya 
lirih, namun suara itu menembus ke 
dalam kamar dan akan terdengar 
dengan jelas sekali oleh orang yang berada di dalam kamar. 

"Ayah, aku Kwan Hwe Li datang untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan 
terdengar suara kaget dari dalam. 
Suara Hwe Li yang didorong kekuatan khi-kang itu terdengar jelas sekali 
oleh kakek Kwan yang bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ... " Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun 
pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas 

karena terharu melihat ayahnya kini 
telah menjadi seorang kakek tua 
renta! 

Biarpun dahulu, tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya seorang laki-laki yang lemah dan tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun 
ayahnya yang lemah lembut itu 
memiliki gairah hidup yang timbul 
karena jiwa seninya. 

Kini, hanya sepasang mata itu yang masih nampak hidup bersemangat, 
akan tetapi tubuhnya sudah lemah 
dan gemetaran!

"Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua 

lengannya merangkul, ia merasakan 
betapa kedua lengannya memeluk 
kerangka, seolah tubuh itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.


"Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya 

yang ke tiga tadi, dia mendorong 
tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan 
penuh keheranan.

"Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"


Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan kebiasaan kaum wanita.


Biasanya, perasaan wanita amatlah 

halus dan peka, dan hal ini membuat 
mereka emosionil dan air mata 
mereka selalu siap untuk dicucurkan 
dalam tangis. 

Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li 
bukan wanita biasa lagi. Hatinya 
sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit. Hatinya tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi 
tangis. 

Namun kini, hampir ia tidak dapat 
menahan untuk tidak terisak 
menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada sebutir dua air mata yang sempat meloncat keluar.

"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."


"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke ruangan tengah di mana mereka duduk 

dengan penuh kegembiraan. 

Kakek Kwan meneriaki para
pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu menyuruh mereka 
mempersiapkan pesta seadanya
untuk merayakan pulangnya puteri itu.


"Ayah, ini adalah Cia Ling Ay, 

muridku. Ling Ay, inilah ayahku, 
sekarang telah tua sekali." Ling Ay 
cepat memberi hormat kepada orang tua itu.

Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada 

hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia berkata, "Hwe Li, ketika kami mendengar berita bahwa 
engkau telah menjadi seorang tokoh 
dunia persilatan, dan kabar itu amat 
menggelisahkan hatiku karena 
engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang berwatak iblis. 

Aku membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita 
setengah tua yang menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang membenci keluarga kita. 

Engkau ternyata masih tetap Hwe Li yang dahulu, dan engkau tidak seperti iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi meninggalkan rumah itu.

"Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, bahkan aku harus mengakui dia lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu. 


Beliau juga menawarkan kedudukan 
lama kepadaku, akan tetapi aku 
sudah merasa terlalu tua untuk 
bekerja, Hwe Li. 

Aku lebih suka menghabiskan sisa 
hidupku dengan mempelajari kitab-
kitab agama dan bersamadhi. Aku 
tidak bersemangat lagi untuk 
mencampuri urusan dunia yang 
penuh dengan pertentangan. Lalu 
sekarang ceritakan semua 
pengalamanmu setelah engkau pergi meninggalkan rumah ini, anakku."

Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay 
juga ingin sekali mendengarkan 
karena selama ini, gurunya belum 
pernah menceritakan dengan jelas 
tentang latar belakang 
kehidupannya. 

Pada saat itu, selir ke dua dari kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia 
pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia 
segera mengenali Hwe Li. 

Segera iapun ikut pula duduk di 
ruangan itu dan mereka semua kini 
menanti Hwe Li menceritakan 
pengalamannya yang tentu akan
menarik sekali.

"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?" Setelah menghela napas 

panjang Hwe Li bertanya dan 
memandang kepada ayahnya dan kedua orang ibu tirinya.

Ayahnya mengangguk dan diapun 

menarik napas panjang. "Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa itu" Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong,melakukan perbuatan yang memalukan itu, engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi
meninggalkan keluargamu tanpa 

pamit!"

"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang sudah lolos dari sebagai seorang buta.


Tekadku untuk membunuhnya 

karena ia telah menghancurkan 
kebahagiaan hatiku, telah
mengkhianatiku, dan kami saling 

mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak
senonoh dengan selir kaisar. 


Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw, aku mempelajari ilmu silat 
dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan 
menghela napas panjang. "Eehhh, 
kenapa engkau menuruti nafsu
amarah" Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan dendam sakit hati, anakku" 


Sekali kita membiarkan nafsu 
merajalela di hati, nama kita akan 
diperhamba dan nafsu akan menjadi 
pembimbing kita yang akan 
menyelewengkan jalan hidup kita."
Kwan Hwe Li tersenyum simpul 
mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang dengan segala macam
petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara macam pelajaran tentang kebatinan dan 

agama. 

Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya hancur oleh 
perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia kang-ouw. ia makin 
jauh meninggalkan segala yang 
berbau pelajaran kebatinan itu. 

Kini ia mendengar lagi petuah 
ayahnya, dan betapa hambarnya 
semua itu. ia maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu 
banyak perbuatan dilakukan tanpa 
memperhitungkan baik buruknya. 

Kalau perbuatannya dianggap kotor, maka kotoran itu telah sedemikian 
tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan 
pengetahuan kebatinan, tidak akan dapat membersihkannya! 

Bukannya ia tidak tahu bahwa ia 
telah menjadi seorang datuk sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua 
perbuatannya selama ini oleh umum dianggap jahat,berdosa dan 
sebagainya. 

Akan tetapi ia tidak mampu 
meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.

"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu 
kepada Pangeran Tiauw Sun Ong?"
tanya ibu tirinya yang ke dua.


Wajah Hwe Li berubah muram dan 

 menggeleng kepala. "Berkali-kali aku mencobanya, akan tetapi jahanam itu ternyata setelah menjadi buta, 
memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga semua 
percobaanku gagal. 

Aku tidak pernah dapat menang 
dalam pertandingan melawannya. Dia
memang lihai bukan main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan bahwa kalau aku menyerangnya 

dengan niat membunuh, sebaliknya 
dia yang selalu mengalahkan aku,
tidak pernah mencoba untuk 

membunuhku, bahkan melukaikupun belum pernah!"

"Siancai ...!" Kakek Kwan berseru 

dengan suara pujian. "Itu 
menandakan bahwa dia masih sayang kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya sehingga 
tidak mau melukaimu, anakku.
Engkau seharusnya berterima kasih karena ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan telah 
menjadi buta matanya itu ternyata 
tidak buta hatinya."

"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia mencintaku, karena aku telah membujuknya 

untuk hidup bersama akan tetapi dia selalu menolak. 

Tidak, dia sengaja memamerkan 
kepandaiannya untuk mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi. 
Akan tetapi sekarang aku merasa 
puas, ayah. 

Aku telah menemukan jalan untuk 
membuat dia menderita seperti aku, tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara tawanya merdu,
namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik karena dalam suara 
tawa itu terkandung sesuatu yang 
mengerikan.

"Siancai ... semoga Tuhan akan 
menyadarkanmu, anakku. Dan 
setelah engkau pulang, kami harap 
engkau dan muridmu akan terus 
tinggal di sini. 

Engkau mau menemaniku ayahmu 
yang tidak akan lama lagi berada di 
dunia ini, bukan?" Dalam suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan mengeluarkan ucapan itu 
karena rasa iba diri, melainkan 
mempunyai maksud lain. 

Dia menghendaki agar puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga 
lambat laun dia akan mampu 
membersihkan hati puterinya dan 
menyadarkannya bahwa cara 
hidupnya yang lalu adalah suatu 
penyelewengan dari pada kebenaran. 

"Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan terutama sekali aku ingin mencoba mengisi 
hidupku dengan keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan lagi dengan istana. 

Mungkinkah itu, ayah" Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan 
keluarga kaisar yang baru dan 
dapatkah ayah membantuku, seperti 
dahulu ketika aku masih gadis 
muda?"

"Aih, mana mungkin itu, anakku" 
Dahulu, ayahmu ini masih 
mempunyai kedudukan, apalagi 
ayahmu ini yang mengajarkan sastra 
kepada para pangeran dan putri 
istana. 

Sekarang aku tidak mempunyai
hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan 

pejabat di istana yang dapat 
membantu kami. Aku dan Ling Ay 
ingin bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."

"Akan tetapi, apa yang dapat 

kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya. "Ayah, dengan 

kepandaianku sekarang, aku dapat 
menjadi pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, atau dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri, sedangkan Ling Ay dapat menjadi dayang atau pelindung para puteri. 

Kalau perlu, kami bersedia diuji 
kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya 
kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia memang mempunyai
banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang membutuhkan 

nasihatnya sebagai seorang
sasterawan yang berpengalaman 

dengan urusan istana, maka diapun berhasil. 

Kwan Hwe Li yang biarpun usianya 
sudah lima puluh tahun masih 
nampak cantik itu diterima sebagai 
pelatih silat dan tugasnya melatih 
para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai seorang pengawal
permaisuri dan para puteri. 


Guru dan murid ini dengan mudah lulus dalam ujiaa yang dilakukan
komandan pasukan pengawal istana.



          **********


Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih tegap dan tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua 

matanya tidak buta, tentu dia akan 
mampu melakukan perjalanan cepat sekali. 

Bekas pangeran ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, sepandai-pandainya dia, karena 
kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan perjalanan 
sambil meraba-raba dengan 
tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...

Belum lama dia berpisah dari 

muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk mencari puterinya,
Tiauw Hui Hong, dan melihat 

keadaan kerajaan Chi di Nan-king, 
baru kurang lebih dua li saja dia
melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan mereka lewat dengan cepat seperti tidak 

memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat meraba-raba jalan itu.

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong 

terkejut karena dari gerakan lari dua orang itu, dia dapat mengetahui 
bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. 

Akan tetapi karena mereka hanya 
berpapasan di jalan, diapun tidak 
memperdulikan lagi, tidak tahu 
bahwa dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari
belakang. 


Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong. "Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia" Itulah laki-laki yang kumaksudkan."


Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika 
berpapasan, ia tidak memperhatikan dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan selangkah demi 
selangkah mempergunakan
tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"


"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan aku 

tahu bahwa aku bukan 
tandingannya. 

Kau bantu aku membunuh keparat 
jahanam itu seperti yang
telah kau janjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi
dari sini."


Biarpun masih ragu karena harus 

mengeroyok seorang laki-laki tua 
yang buta, namun karena dijanjikan akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah benar-benar Kwan Im Sianli tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu. 

Kalau ternyata wanita cantik itu mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil 
mencabut pedangnya. "Laki-laki yang buta mata dan hatinya, saat ini 
engkau akan mati di tanganku!" 
bentak Kwan Im Sianli dan ia segera menyerang dengan pedangnya, 
menusuk dada pria itu dengan kuat 
dan cepat.

"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong 

menggerakkan tongkatnya dan 
tusukan pedang itu tertangkis. "Kwan Im Sianli ..." Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"

"Tidak perlu bicara lagi, 

mampuslah!?" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan 
sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong melayaninya, karena dia maklum
bahwa wanita bekas kekasihnya 

ketika masih menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat 
hebat. 

Dan dia tidak mungkin hanya 
menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi
seorang lawan sehebat Kwan Im 

Sianli yang menjadi seorang datuk 
persilatan harus balas menyerang, kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas. 

Tongkatnya bergerak cepat dan kini 
Kwan Im Sianli mulai terdesak. Dia ingin mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat,
karena kalau dia melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi 
semakin sakit hati kepadanya. 

Maka, Tiauw Sun Ong juga 
mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit lawan, sinar 
tongkatnya bergulung-gulung dan 
tongkat itu bagaikan seekor naga 
yang bermain-main di angkasa, 
membuat sinar pedang Kwan Im 
Sianli semakin menyempit. 

Melihat betapa wanita cantik itu 
benar-benar terdesak oleh si buta, 
barulah Hui Hong percaya betapa 
lihainya orang buta itu. Melihat 
jalannya pertandingan, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah. 

Ia pun mencabut siang-kiam 
(sepasang pedang) dari punggungnya dan meloncat, terjun ke dalam medan perkelahian. Sepasang pedang 
menyambar-nyambar ganas.
"Trang-tranggg ...!!" Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia terkejut sekali karena maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga yang cukup 
kuat.

"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru 

Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang 
wanita itu menyerangnya dengan 
hebat. 

Akan tetapi karena tenaga kedua 
orang itu disatukan dalam suatu 
serangan yang berbareng, 
tangkisannya membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah 
untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah 
mengambil keputusan untuk 
membunuh pria yang pernah 
membuatnya tergila-gila ini. 

Lebih baik bekas pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu 
merindukannya tanpa ada harapan 
sedikitpun. pria yang dicintanya ini 
tidak mau menjadi teman hidupnya, 
maka lebih baik melihat dia mati! 

Kwan Im Sianli memperhebat 
serangannya dan Hui Hong juga 
mengerahkan tenaga karena ia tadi 
merasakan betapa kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang pedangnya terpental.

Maklum bahwa bicara tidak ada 
gunanya terhadap Kwan Im Sianli 
yang berhati keras, terpaksa Tiauw 
Sun Ong memutar tongkat membela diri. 

Dia maklum bahwa orang yang 
membantu Bwe Si Ni itu bukan
Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti
tidak mau bekerja sama dengan 

saingannya itu. 
Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya,Kwan Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.

Hui Hong bersungguh-sungguh 
membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai
terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya. 

Bajunya robek dan pundak itu 
berdarah. Maklum bahwa akhirnya 
dia akan roboh dan tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan 
untuk melarikan diri melainkan 
mencari kesempatan untuk bicara.

"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku, 
akan tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau 
mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!

Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan 
memutar pedangnya menyerang 
dahsyat! 

Thiauw Sun Ong menangkis, akan 
tetapi tangan kiri wanita itu 
menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia 
bergulingan menjauh, dikejar oleh 
Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini 
menggerakkan pedangnya untuk 
mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat
menangkis dari samping.

"Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku 

sendiri!" bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.

Kwam Im Sianli menangkis dan 

melompat ke belakang, tertawa 
nyaring.

"Heh-heh-heh, aku memang amat 

membencinya. Aku ingin anaknya 
sendiri yang membunuhnya, hi-hik!" 

"Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im 
Sianli dan begitu pedang mereka 
bertemu Hui Hong terhuyung ke 
belakang. 

"Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu 
anakku, demi Tuhan, kubunuh 
engkau!" Tiauw Sun Ong kini 
menerjang dengan tongkatnya!" dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan 
mengerahkan tenaganya, Kwan Im Sianli terpental ke belakang! 

Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga terjadi 
perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam 
perasaan mengaduk hatinya.

Perasaan girang karena ia bertemu 
ayahnya, juga rasa haru melihat 
ayahnya buta, dan bangga karena 
ternyata ayahnya seorang yang 
berilmu tinggi. 

Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli sudah repot dan 
terdesak, apalagi setelah Hui Hong 
mengeroyoknya.

Kwan Im Sianli sudah mencari 

kesempatan untuk melarikan diri 
ketika tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. 

"Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan 
pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal 
budi orang, engkau patut dibunuh. 

Sejak kecil aku merawatmu, 
mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo 
cepat berlutut!"

Akan tetapi sebelum Hui Hong 

menjawab. Tiauw Sun Ong yang 
menegur orang itu, "Ouwyang Sek.
engkau manusia busuk. Hui Hong 

adalah anakku, anak kandung, 
engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang 
mencarimu untuk membalas atas 
kematian isteriku! Kwan Im Sianli, 
mari kita bunuh ayah dan anak 
keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya.

Nampak pedang berubah menjadi 

sinar bergulung-gulung. Memang 
datuk ini, lihai ilmu pedangnya 
sehingga dia memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu dikeroyok dua.

Sejenak Hui Hong terbelalak dengan 

muka pucat, Ibunya telah mati! Tadi 
Ouwyang Sek mengatakan bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong untuk membalas atas kematian 
isterinya. Mungkin Tiauw Sun Ong 
yang membunuh ibunya"

"Tahan ... !!" Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk melerai perkelahian itu dengan menerjang ditengah antara mereka.

"Ayah ... " Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya, "apa maksudmu dengan mengatakan kematian ibu?" Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu pedangnya ditudingkan ke arah si buta itu.

"Dia datang dan dia yang 

menyebabkan ibumu mati!"
Hui Hong memutar tubuh 

menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika ia bertanya,
"Benarkah itu" Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"

Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu 
menunjukkan pertanyaannya
kepadanya. Dia menghela napas panjang, "Hui Hong, ibumu memang tewas, ia membunuh diri setelah
bertemu denganku, karena kini ia 

tidak lagi perlu menyiksa batin 
menjadi isteri iblis ini. 

Dahulu ibumu terpaksa menjadi 
isterinya karena hendak 
menyelamatkan engkau."
"Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus di tanganku, dan
kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak mengenal 

budi, hendak membelamu. iapun
akan kubunuh!"


Ouwyang Sek menerjang lagi, 

menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan meluap, dan Kwan Im
Sianli juga menggerakkan pedang membantunya mengeroyok.

Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar 
tongkat menangkis dan membuat 
pedang kedua orang datuk itu 
terpental.

"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu 

anakku, demi Tuhan, aku tidak akan 
pantang membunuh kalian!"

Dua orang datuk itu kembali 

mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah terluka, Tiauw Sun Ong mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih. 

Sejenak Hui Hong bimbang, akan 
tetapi entah mengapa, ia merasa 
kagum dan percaya kepada orang 
buta yang ia tahu adalah ayah 
kandungnya itu,maka tanpa banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu 
ayahnya!

Kekurangan tingkat kepandaian Hui 

Hong dibandingkan kedua orang 
lawannya ditutup oleh kelebihan
tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu 

melindungi dan membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi amat serunya. 

Namun, tanpa diketahui orang lain 
karena dia tidak pernah 
mengendurkan semangatnya dan 
tidak pernah mengeluarkan keluhan, 
diam-diam Tiauw Sun Ong merasa 
khawatir karena luka dipundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi 
kekuatannya. 

Oleh karena itu,dia mengeluarkan 
suara melengking panjang ketika 
membentak dan tiba-tiba saja 
gerakannya amat dahsyat menerjang ke arah Ouwyang Sek. 

Datuk ini terkejut, mencoba untuk 
mengelak, namun tetap saja ujung 
tongkat Tiauw Sun Ong berhasil 
menotok dada kanannya dan datuk 
itupun terpelanting roboh dan 
mengerang kesakitan. 

Dia mencoba untuk bangkit, akan 
tetapi terkulai kembali.
Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong membuat ia terhuyung ke belakang. 


Kini, ayah dan anak itu berdiri 
berdampingan dan menghadap ke
arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek, 

sudah menggeletak dan tidak mampu bangkit berdiri lagi.

"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan 

ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apalagi.
Pergilah!"
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni 

mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang
penuh kebencian. 


"Tiauw Sun Ong, engkau boleh 
menganggap tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi dendam ini akan kubawa sampai mati." 

Setelah berkata demikian, ia 
membantu Ouwyang Sek bangun 
berdiri, lalu menggandeng dan 
memapah datuk yang sudah 
dikenalnya dengan baik itu pergi dari situ, diikuti pandang mata ayah dan anak itu. 

Setelah mereka pergi jauh. barulah 
Tiauw Sun Ong menghela napas, 
kemudian dia duduk bersila dan mengatur pernapasan dan nampak 
terengah lemah.

"Kau ... terluka ... " Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan 

merasa kikuk untuk menyebut ayah. 

Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia 
menghampiri orang tua buta itu, 
merobek baju di dadanya dan 
memeriksa pundak yang terluka. 

Hanya luka daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak 
darah. 

Hui Hong menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah, lalu mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di 
pundak ayahnya itu. Kemudian ia 
mengeluarkan sehelai kain ikat 
pinggang dari buntalan pakaian dan 
membalut pundak ayahnya. 

Setelah itu, ia duduk bersila di dekat ayahnya. Semua itu dilakukannya 
tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di atas tanah, 
merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.

"Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu.
"Engkau ... mau memaafkan aku?"
Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya mencinta orang ini.


Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa walaupun kedua matanya buta.
"Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti.


"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami berdua?" Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak bicara itu buta, iapun berkata, 


"Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku, bahwa aku bukan 
anak Ouwyang Sek, dan ibu hanya 
mengatakan bahwa ayah kandungku bernama Tiauw Sun Ong. 

Ibu tidak tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli 
mengajakku untuk menunjukkan di 
mana Tiauw Sun Ong, aku ikut 
dengannya, dengan janji bahwa aku akan membantunya membunuh laki-laki yang telah menghancurkan 
hidupnya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa yang hendak dibunuh itu 
adalah ... Tiauw Sun Ong yang oleh 
ibu dikatakan ayah kandungku itu. 

Apakah engkau ini yang bernama 
Tiauw Sun Ong" Apakah engkau ini 
suami ibuku, dan engkau ini 
sebenarnya ayah kandungku?"
Sebetulnya Hui Hong sudah 
mendengar cerita ibunya mengenai 
hubungan ibunya dengan Tiauw Sun
Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini untuk 

meyakinkan hatinya bahwa orang ini benar ayah kandungnya.

"Aku Tiauw Sun Ong. dahulu 

pangeran kerajaan Liu-sung, dan 
ibumu Pouw Cu Lan, selir kakakku yang menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta. 

Namun, hubungan antara kami 
diketahui, dan Kaisar memarahi kami. Aku merasa berdosa dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua mataku, diampuni dan aku 
lolos dari istana, menuntut ilmu. 

Aku mendengar bahwa ibumu 
dihukum buang oleh Kaisar, sama 
sekali aku tidak tahu bahwa ia 
ditolong oleh Ouwyang Sek dan 
diperisteri. Ia mau menjadi isteri 
Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah mengandung engkau, Hui Hong. 

Ia ingin menyelamatkanmu. 
Ah, betapa aku telah membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya, 
dan ketika aku datang kesana untuk 
meminangmu, setelah aku 
mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe Li, aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan Im Sianli untuk mencari aku. Ibumu begitu 
bertemu dengan aku, merasa malu 
dan menyesal, dan ia membunuh 
diri."

Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan kesedihan 
hatinya dan iapun meraba-raba ke 
arah puterinya dan di lain saat mereka telah saling rangkul dan bertangisan.

"Ayah ... " Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah 

anak dari hubungan gelap antara 
pangeran Tiauw Sun Ong dan selir 
kaisar, dan hubungan itu 
mengakibatkan ayah kandungnya
membutakan mata sendiri, dan kini mengakibalkan ibunya membunuh diri! 


"Ayah, kasihan sekali ibu ... "
ia meratap. Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya. "Sudah 

takdir demikikian, anakku. Aku 
membutakan mata, ibumu 
membunuh diri, dan semoga Tuhan 
mengampuni dosa-dosa kami. 

Marilah, anakku, kita kembali ke Hoa-san dan kita bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki Hoa-san. Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat luka
ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah kandungnya, dan ketika ayah
kandungnya menyatakan bahwa dia setuju menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui Hong yang mencinta Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya
menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.


*** Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai, bagaikan tanaman yang
digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai, sebuah negara akan menjadi aman tenteram
dan subur makmur seperti jalannya kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh
penguasa yang bijaksana dan pandai pula.


Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia mencintai negara dan bangsanya, mementingkan kebutuhan rakyat di atas kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan pembangunan
dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan papa, menuntun dan membimbing,
memberi modal kepada yang miskin, memberi penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan
mendidik kepada yang jahat. Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada umumnya adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman dari alat
negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah
serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha
sekuat tenaga untuk memenuhi semua ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang
pandai merangkul orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang, akan tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang menjegal kebijaksanaannya, menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan
kekuasaannya. 



          **********


TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya, Kerajaan Chi telah
mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaannya ketika
kerajaan Liu-sung masih berdiri. 


Rakyat, seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka,
membutuhkan contoh dari para pemimpin para pejabat pemerintah. 


Orang tua yang cerewet, hanya
memberi teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak kalau hanya dijejali slogan-slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato berapi-api memberi nasihat itu sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.


Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana.


Pengeluaran untuk kepentingan pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru
yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk lagi, dengan sendirinya rakyat
mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu. Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini
akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.


Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-ngejar sisa keluarga kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau bekerja membantu kerajaan baru untuk memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai
orang-orang berilmu, maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk membantu pemerintah.


Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja tidak lepas dari
pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah utara yang didirikan oleh bangsa Toba atau Tartar yang menguasai wilayah utara dari lembah Sungai Kuning ke utara.


Adapun kerajaan Chi mempunyai wilayah dari utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan Wei di antara dan kerajaan di Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya menjadi daerah penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw. 

Pemerintah daerah di wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan berkuasa.

Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu sebagai pengganti Kaisar Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan makmur dan didukung rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya
dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu mengumpulkan para
pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil keputusan untuk mengirim orang-orang pandai
untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu
dengan menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.


Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam istananya. Kaisar Thai Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah
gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah kanannya duduk seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah yang merupakan Kok-su
(Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri. Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir.


Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman.


Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi saudara-saudara
seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan penuh membantu kaisar dalam
pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian sombongnya sehingga berani menggunakan julukan
Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara) bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk Huang-ho-kwi (Setan
Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit, adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)!


Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan dalam rapat ini, Kaisar memberi tugas kepada mereka bertiga untuk 

melawat ke selatan dan membawa 
anak buah pilihan mereka untuk 
mengguncang kerajaan Chi tanpa 
melalui perang, melainkan melalui 
pengrusakan dan pengacauan. 

Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang yang tangguh,mengumpulkan seratus orang dan membentuk 
kesatuan baru yang mereka namakan Thian-te-kwi pang(Perkumpulan 
Setan Bumi Langit), nama yang 
dipakai untuk menghormati guru 
mereka, yaitu Thian-te Seng-jin. 
Bagaikan segerombolan iblis yang 
menyeramkan, seratus orang ini 
bersama tiga orang pemimpin 
mereka, melakukan perjalanan, 
menyusup ke selatan 
secara berpencar.

Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan 

penyusupan itupun dilakukan
secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota raja Nan-king tenang-tenang dan tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan manusia iblis 

menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau 
setidaknya mengacaukan ketenangan 
hidup mereka.

Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan 

tumbuh-tumbuhan sedang segar
segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil 

menikmati keindahan bumi yang 
dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang 
segar. Di dalam sebuah hutan, di
luar kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu 

binatang dengan anak panah mereka.

Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya nampak cantik sekali. Dari pakaian
mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua adalah wanita-wanita 

bangsawan, akan tetapi bukan
puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh para pengawal wanita dari istana kaisar. 


Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia lima puluhan tahun yang 
masih cantik manis seperti berusia 
tiga puluh tahun saja itu adalah Bi 
Moli Kwan Hwe Li yang kini menjadi guru yang mengajarkan silat kepada para perwira pasukan kerajaan, 
sedangkan yang muda, berusia dua 
puluh tiga tahun dan cantik manis, 
adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli, 
yang kini bekerja di istana sebagai 
pengawal pribadi permaisuri dan 
juga mengajarkan silat kepada para 
puteri istana dan para pengawal 
wanita.

Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan 

memburu binatang. Guru dan murid ini, yang telah memperoleh 
kedudukan lumayan, merasa gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li
telah merobohkan seekor kijang 

dengan panahnya, sedangkan 
muridnya, 

Cia Ling Ay, telah merobohkan dua 
ekor kelinci. Mereka 
manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di tepi hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.

Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan kuda mereka,
mereka tidak lagi milihat binatang 

buruan. Ling Ay yang merasa 
perutnya lapar karena mereka tadi 
berangkat pagi sekali dan ia belum 
makan apa-apa, teringat akan dua 
ekor kelinci hasil buruannya dan 
seekor kijang hasil buruan gurunya.

"Subo, sebaiknya kita sudahi saja 

perburuan ini. Perut teecu (murid) 
lapar sekali dan sebaiknya daging 
kelinci dan kijang itu dipanggang 
selagi masih segar."

Bi Moli tersenyum. "Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam hutan, menuju ke pohon besar di mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak
dimakan binatang hutan yang lain.


Ketika mereka tiba di tempat itu, 

mereka melihat ada tiga orang laki-
laki sedang berdiri dan mengangkat 
muka, memandang ke arah dua ekor 
kelinci dan seekor kijang yang 
tergantung di antara ranting pohon, menuding-nuding dan
membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka terbelalak heran melihat 
bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang wanita cantik. 

Di lain pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa tentu 
mereka itu juga pemburu-pemburu 
yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun terdapat 
gendewa dan anak panah.

Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput, dua
orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya. "Sobat-sobat, apa yang kalian tonton?"


Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio.


Kami adalah tiga orang pemburu 

yang hendak mencoba peruntungan 
berburu di hutan ini. Kami biasanya 
berburu di sebelah selatan, akan 
tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak pemburu sehingga  
hasil buruan hutan amatlah 
kurangnya. 

Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini dan kami merasa heran 
melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu. Siapakah yang menyimpan buruan itu di sana," 
tanya di antara mereka yang 
mukanya brewokan, suaranya 
lantang namun sikapnya tegas dan 
sopan. Mereka memandang ke arah 
gendewa dan anak panah Bi Moli.

"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli. "Kami akan 

mengambilnya sekarang dan akan memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali. Ling Ay, ambil ah kelinci dan kijang itu!"

"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis 

itu sudah melayang naik ke atas dan hinggap di cabang pohon, lalu 
mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat turun 
dengan gerakan yang ringan dan 
gesit.

Tiga orang itu saling pandang dan 

seorang di antara mereka yang 
mukanya licin halus seperti wajah 
perempuan, memuji, "Kepandaian 
nona sungguh hebat sekali. Kami 
kagum dan taluk."

Orang ke tiga, yang pendek gemuk, 

tersenyum. "Pantas saja ji-wi sepagi 
ini telah merobohkan tiga ekor 
binatang buruan yang gemuk dan 
lezat dagingnya, sedangkan kami 
bertiga belum mendapatkan apa-apa sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua 
orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"

"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu 

yang luar biasa!" kata pula si brewok. 

Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay 
mengerutkan alisnya. Ia tidak senang mendengar rayuan pria, hal yang 
dianggapnya palsu, maka ia ingin 
menghentikan rayuan mereka dan 
berkata dengan suara yang agak 
ketus.

"Kami bukanlah wanita pemburu! 

Kami hanya iseng-iseng dan kami 
tidak ingin berkenalan dengan para 
pemburu."

Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si muka halus berseru heran, "Aih, bukan pemburu" Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi 

tentulah wanita-wanita kangouw 
yang bernama besar dan berilmu 
tinggi!"

Ling Ay semakin tak senang. Diberi 

tanda untuk menghentikan 
percakapan, malah menjadi-jadi! 
Untuk membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata, "Kami adalah perwira-perwira pengawal istana!

Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"

Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan iapun memilih batu yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perwira wanita dari 

pasukan pengawal istana! Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi 
pimpinan dari tiga orang itu, segera 
mengangkat kedua tangan ke depan 
dada, di kuti dua orang kawannya. 

"Ah, mohon ji-wi sudi memberi maaf 
kepada kami yang lancang berani 
mengganggu ji-wi. 

Akan tetapi, karena jiwi...



BERSAMBUNG KE JILID 11





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12