Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Si Pedang Kilat
Jilid 10
Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda bahwa gadis itu mulai tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan bahwa mau atau tidak mau, bekas puteri istana ini akan menjadi isterinya!
Bagaikan seekor laba-laba
yang memasang jerat, dia telah
melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!
"Akan tetapi, bagaimana caranya,
nona" Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat
marah dari Kongcu."
"Jangan takut, aku yang tanggung
kalau sampai koko mengetahui dan
memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah
saja.
Kita tentukan waktunya, kemudian
setelah semua orang tidur dan
keadaan sunyi, kita ketemu di
pondok dan melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"
"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang
akan bertanggung jawab kalau
sampai kakakmu mengetahui dan
marah?"
"Tentu saja. Dan pula, kita berdua
hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir
Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih
sukar ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain,
tentu tidak sesukar itu dia
menundukkannya, Liu Kiok Lan ini
seorang gadis yang tegas, berani,
memiliki harga diri yang tinggi.
Seorang gadis seperti ini, walau
misalnya sudah tertarik dan jatuh
cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan,
amat menghargai kehormatannya
sebagai seorang bekas puteri istana.
Buktinya, gadis itu begitu benci
kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong
adalah pamannya sendiri.
Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan
sebaik mungkin agar tidak sampai
gagal.
Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu
untuk melaksanakan latihan itu.
Suma Hok memilih waktu tiga malam
lagi.
Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya
bulan sedikitpun sehingga tentu
malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan
mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan
akan dibiarkan tidak terkunci daun
pintunya.
Tiga malam kemudian. Malam itu
memang gelap seperti sudah
diperhitungkan Suma Hok. Agaknya
keadaan malam itu membantu
rencana siasatnya.
Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam
gelap pekat dan udara dingin,
membuat orang segan untuk keluar pintu.
Taman rumah besar bekas kaisar
itupun sunyi sekali. Yang terdengar
hanya bunyi kerik jangkerik dan
belalang malam.
Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat
terhenti sejenak dua kali karena
adanya orang yang lewat memasuki
taman menuju ke pondok dalam
waktu yang sebentar saja selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik
terganggu dan terhenti.
"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu
pondok. Dia sudah berada di situ
lebih dahulu.
Ruangan pondok itu cukup luas,
dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di
ruangan itu karena memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.
Melihat pemuda yang menjadi guru
tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia
mereka malam itu!
"Selamat malam, toako. Sukurlah,
engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako."
Bagaimanapun juga, berada berdua
saja dengan pemuda itu di dalam
pondok yang hanya diterangi lampu
gantung dari luar sehingga keadaan
ruangan itu remang-remang, pada
malam hari pula, mendatangkan
perasaan rikuh di hatinya, maka ia
pun hendak menutupi perasaan itu
dengan cepat-cepat melaksanakan
latihan yang dijanjikan Suma Hok
kepadanya.
"Nanti dulu, nona. Seperti telah
kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau
simpanan yang biasanya hanya
diajarkan kepada anggauta keluarga
turun temurun, dan yang melatih
ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti
lajimnya, lalu minum ramuan obat
yang sudah kupersiapkan."
"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah
cawan dan sebungkus obat bubuk.
Dia menuangkan isi guci yang
menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian
memasukkan bubuk putih dari
bungkusan.
"Nona, mari kita berlutut untuk
mengucapkan janji seperti yang
diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.
"Nah, peganglah cawan ini dan
tirukan ucapanku, nona." katanya.
Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.
"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji
akan merahasiakan ilmu Lui-kong
ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain
kecuali anggauta keluarga Suma.
Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga
Suma!" Lalu Suma Hok memberi
isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.
Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan keras,
membuat ia tersedak, akan tetapi isi
cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima kembali cawan kosong dan berkata lembut.
"Engkau akan merasa pening sedikit,
akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau
peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam
samadhi harus seperti ini, dan
pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk
itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening maka
cepat ia bangkit dan menghampiri
dipan, lalu duduk bersila di atas
dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok juga
bangkit dan pemuda itu agaknya
duduk di kursi.
Tak lama kemudian, pemuda itu
bertanya, "Apakah peningnya sudah
hilang, nona?"
"Susudah ... toako ... " kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu
berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya!
Dia tahu benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah
mempengaruhi seluruh tubuh dan
juga hati dan pikiran gadis itu,
membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat
tanpa penolakan sedikitpun!
"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya,
dan kedua telapak tangannya dia
tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata, "Sekarang, tariklah napas
perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran
hawa dari kedua tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah
menghimpun tenaga sakti Lui-kong-
ciang!"
Kiok Lan yang sudah tidak merasa
pening kini merasa seperti dalam
mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti
terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main,
seperti diayun-ayun, kemudian ia
merasa betapa dua telapak tangan
yang menempel di punggungnya,
mengeluarkan hawa yang hangat
dan mendatangkan getaran yang
menggetarkan seluruh tubuhnya,
membuat ia merasa seperti digelitik
dan mula-mula bulu tengkuknya
meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan.
Sedikit demi sedikit, bagaikan api
yang mulai membakar, ia merasakan
suatu rangsangan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya
panas, makin lama semakin panas
seperti dibakar.
"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ... " ia mulai mengeluh, napasnya
memburu dan suaranya seperti
merintih.
Dan suara yang halus lembut itu
terdengar dekat sekali dengan
telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus,
"Kalau panas dan gerah
mengganggumu engkau boleh
membuka pakaianmu, agar terasa
nyaman, agar tidak mengganggu
latihanmu ... "
Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi keinginan
hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang
membuat ia berkeringat.
Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan
melepaskan pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam
pondok itu terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar
teriakan, "Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin.
Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir balik.
Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-goyang dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga.
Gadis itu terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan,gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan.
Kemudian Pouw Cin membalikkan
tubuh karena dia mendengar angin
menyambar dahsyat. Dia cepat
membuat gerakan menangkis,namun terlambat.
Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari
belakang terbuka dan perhatiannya
masih tercurah kepada Kiok Lan
sehingga tangkisannya agak
terlambat.
"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.
"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat.
Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri, matanya
terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.
"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali,
perlawanannya tidak berarti bagi
Suma Hok.
Berulang kali ujung sulingnya
menemui sasaran dan tubuh Pouw
Cin kembali terjengkang atau
terpelanting beberapa kali.
Akhirnya, sebuah hantaman suling
yang mengenai kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu
bangkit kembali. Mukanya berubah
kehitaman karena keracunan, dari
mata, telinga, mulut dan hidungnya
keluar darah.
Akan tetapi matanya masih melotot
memandang kepada Suma Hok, dan
bibirnya masih bergerak-gerak, "kau ... kau ... terkutuk kau ... " dan diapun terkulai, seorang jenderal atau
panglima besar yang amat setia
kepada rajanya, menemui kematian secara menyedihkan sekali.
Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis!
Dia masih tersenyum ketika
menghampiri dipan sambil kedua
tangannya membuka kancing
bajunya, matanya berkilat dan
senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh
penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok
berteriak-teriak, "Ada pembunuh ...!
Ada penjahat keji ...!!"
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang
yang bertugas menjadi pengawalnya.
Mereka melihat Suma Hok berdiri di
depan pondok dengan suling di
tangan dan muka babak belur,
pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan.
Begitu melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.
"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"
Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi mereka.
"Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!"
Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur tangis dia berkata, "Kongcu malapetaka
telah menimpa orang yang paling
Kongcu percaya ... "
"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan
mengguncangnya tidak sabar.
Guncangan ini agaknya membuat
Suma Hok menjadi tenang.
"Kongcu, harap perintahkan semua
orang mundur, dan marilah kongcu
bersama saya saja yang masuk melihat ... "
Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua
pembantunya untuk menjauh,
kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.
Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu
penerangan dari luar masuk,
membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh.
Suma Hok cepat memegang
lengannya.
"Kuatkan hati paduka, Kongcu ... " katanya hormat, "dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua
orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang
mengetahuinya ... "
Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah!
Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh.
Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan
pakaian.setengah telanjang pula,
telentang di atas dipan dan sekilas
pandang saja tahulah dia bahwa
adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan
atau tidur.
"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.
"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan
orang lain sebelum ia sadar dari
pingsannya."
"Ia ... ia tidak mati ... ?"
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.
Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggil-manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.
Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut,
memandang kepada Suma Hok. "Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.
"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan
yang masih agak nanar itu
memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok. "Toako, apa yang telah terjadi" Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?"
Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan.
Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!
"Ihhh ... aku ... kenapa ..." Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya,
wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.
"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas
karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw
mempunyai ilmu silat tinggi dan
bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan
percaya kalau dikabarkan bahwa
yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi.
Dengan demikian, tidak akan
terjadi banyak dugaan dan
kecurigaan."
Kakak beradik itu hanya dapat
mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi
Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal
mengerikan pada dirinya!"
Suma Hok lalu membuka pintu
pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam
rumah. Di dalam ruangan sebelah
dalam yang tertutup, dimana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak beradik itu
mendesak agar Suma Hok
menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara
tenang. "Kongcu, sebelumnya saya
harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi.
Nona Liu sedang berlatih semacam
ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui
jendela.
Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak
dapat menjaga diri dan sayapun
roboh tertotok dan tidak mampu
bergerak sama sekali." Dia
memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak.
"Ketika itu, saya sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu
Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan
merobohkan saya dengan totokan."
**********
MELIHAT Suma Hok berhenti
bercerita dan kelihatan sedih dan
bingung Kiok Lan yang sudah
menduga hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya, "Lalu bagaimana, toako" Teruskan ...!!"
Kembali Suma Hok nampak
kebingungan, sebentar memandang
kepada gadis itu, lalu kepada Siauw Tek, dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.
"Toako, ceritakan, apa yang
selanjutnya terjadi?" Siauw Tek
mendesak pula.
"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak berhasil
karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur.
Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ...
saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya
memejamkan mata ... "
"Apa yang dia lakukan" Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu
pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Kiok Lan membentak, mukanya
sebentar merah, sebentar pucat, "Dia menggunakan kesempatan selagi saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ... dia ... binatang itu telah melakukan hal keji terhadap dirimu nona ... "
Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis. " ... jahanam busuk, keparat terkutuk ...?" ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.
Kakaknya cepat bangkit dan
merangkulnya, mencoba untuk
menghiburnya. Namun sia-sia, Kiok Lan terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu membiarkannya melepas kedukaannya melalui
tangisnya dan setelah agak mereda. Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya menundukkan mukanya.
"Suma-toako, lalu apa yang terjadi" Bagaimana jahanam terkutuk itu
dapat mampus?" Mendengar
pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok Lan ikut mendengarkan.
"Saya berusaha keras untuk
membebaskan diri dari pengaruh
totokan, Kongcu. Akan tetapi memang totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong Nona Liu.
Kemudian, jahanam busuk itu
mengakhiri perbuatannya yang
terkutuk dan agaknya hendak
membunuh saya agar rahasianya
tidak sampai bocor. Akan tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh
saya dengan totokan maut, saya dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan
menyerangnya.
Kami berkelahi dan akhirnya saya
dapat merobohkan dan menewaskan
manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara
mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, iapun berlari keluar
dari ruangan itu.
"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu, memalangnya dari dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.
"Kongcu, saya kira lebih baik kalau
sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan
kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini menyentuh lengan bekas kaisar itu.
Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh. "Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami sekeluarga" Aih, aku dapat membayangkan
betapa hancurnya hati adikku. Kini ia ternoda, lalu bagaimana nanti masa depannya"
Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya
nampak bersedih sekali.
"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur.
Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek
menutupkan daun pintu dan kini
mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui orang lain.
"Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih" Tanpa kusangka, malapetaka hebat menimpa diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa
orang, dan pembantuku yang paling
baik, ternyata seorang jahanam dan
kini telah tewas!
Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang setia." "Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri.
Kongcu kehilangan pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk
membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah besar, dan saya rela mengorbankan jiwa raga untuk
membantu Kongcu sampai tercapai
cita-cita Kongcu menumbangkan
kerajaan Chi dan membangun
kembali kerajaan Liu-sung!"
Wajah Siauw Tek yang tadinya
muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam wajah Suma Hok.
"Terima kasih, Suma-toako. Agak
terhibur hatiku dengan kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu suka pula untuk bekerja sama. Akan tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang menimpa adikku! Bagaimana aku tidak akan bersedih?"
"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari jalan keluarnya, memang sudah menjadi
kenyataan, walaupun hanya kita
bertiga yang mengetahuinya, bahwa Nona Liu tertimpa aib yang akan menghancurkan masa depannya,
akan tetapi hal itupun kiranya masih dapat ditemukan jalan keluarnya."
Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Bagaimana
mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"
"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
"Menikah" Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian" Justeru di situlah letak persoalannya.
Adikku, juga aku, tentu akan
menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ... "
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada."
"Hemm, siapa yang akan mau" pria mana. yang akan suka berkorban
seperti itu, menikahi seorang gai s
yang sudah ... "
"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ..."! !" Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam pandang matanya. "Engkau, toako" Tapi ... engkau sendiri tahu. bahkan menjadi saksi tunggal ... "
"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia
untuk menutupi aib itu, dengan
segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi
menerima saya dan kalau paduka
menyetujui. ... "
"Aku" Tentu saja aku setuju
sepenuhnya, bahkan aku akan
berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan tentang adikku,
bagaimana mungkin ia akan
menolak"
Pengorbananmu ini akan
menolongnya,melepaskannya dari aib dan mendatangkan sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan
segera menyampaikan kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui
adiknya di dalam kamar adiknya.
Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya
memasuki kamar. ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas kaisar itu dan menangis.
Siauw Tek mengangkat bangun
adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan dan dia duduk di
tepi pembaringan. "Tenangkahatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan menchindarkan engkau dari aib ini."
Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah, memandang kakaknya. Ia masih
belum dapat mengeluarkan kata-kata
akan tetapi pandang matanya sudah mengajukan pertanyaan apa yang
dimaksudkan kakaknya dengan
ucapan itu.
"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah mendapatkan bintang penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia untuk
menikah denganmu, menjadi
suamimu yang sah."
"Koko! Bagaimana mungkin aku ... "
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan semua itu. Dia adalah Suma Hok ... "
"Ahh ...!" Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya ketika, ia dalam keadaan pingsan,
diperkosa oleh Pouw Cin!"
"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu, bukankah dia pula yang telah membalaskan
sakit hatimu, telah membunuh
jahanam yang berbuat keji terhadap
dirimu?"
"Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk
menolongku?" Ia meragu karena
masih bimbang, tidak tahu harus
mengambil keputusan bagaimana
semua peristiwa ini terjadi demikian tiba-tiba dan mengejutkan.
Tadinya, ia sebagai seorang gadis
yang lincah gembira, yang masih
remaja karena usianya baru tujuh
belas tahun, tiba-tiba saja telah
dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa yang dihadapkan pada
pernikahan!
"Dia merasa iba kepadaku, dan
kepadamu, siauw-moi, dan dia
menawarkan diri selain untuk
menggantikan Pouw Cin menjadi,
pembantuku yang setia, dia juga
bersedia untuk menutupi aibmu dan menjadi suamimu.
Bukankah itu hebat sekali, siauw-moi" Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua menjadi beres, melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang ama tbaik. dan engkau
mendapatkan seorang suami yang
baik pula."
"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum
mempunyai keinginan untuk
berumah tangga, koko, usiaku juga baru tujuh belas tahun ... "
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...!
Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan" Aku harus memberi
keputusan kepada Suma-toako
sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam membantuku."
"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."
"Baiklah, adikku. Aku menunggu
dengan sabar, dan engkau harus ingat juga keadaanku, karena aku amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau menolak, mungkin dia akan merasa tersinggung. Dia
menawarkan diri untuk menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah kepadanya."
"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."
Demikianlah, baru dua hari
kemudian, setelah mata gadis itu
tidak lagi membengkak dan merah, setelah lenyap bekas-bekas tangis
dukanya, ia memberi kesempatan
kepada Suma Hok untuk bertemu
dengannya di ruangan tamu. Ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi Kiok Lan.
Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega dan juga kagum melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka.
Namun ada suatu perubahan terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira, bahkan masih agak kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang pendiam dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.
"Nona Liu ... " kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua pasang mata
bertemu pandang,bertaut dan
akhirnya Kiok Lan lebih dahulu
menundukkan mukanya, kedua
pipinya agak kemerahan karena
kembali ia teringat akan peristiwa,
yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda didepannya ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika
dengan suara lirih.
"Suma-toako, aku telah mendengar
dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ... " Ia berhenti, sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau
menganggap aku lancang.
Sesungguhnya, aku memang tidak
cukup berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ... " Suma Hok dengan cerdik mengambil sikap
rendah hati.
"Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan
itu karena engkau merasa iba
kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib. Benarkah itu?"
"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok
cepat. "Aku merasa amat iba
kepadamu, aku ingin membebaskan engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin melenyapkan aib
yang kauderita."
Hening sebentar dan setelah
menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan mengangkat muka menatap
wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik.
"Hanya itu saja alasannya" Engkau
hendak menikahiku hanya karena
ingin menolongku, hanya karena
engkau merasa iba kepadaku?"
Sepasang mata itu memandang tanpa berkedip. "Tidak ada alasan lain?"
Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan utamanya bukan menutup aib,
bukan pula iba, melainkan sama
sekali berlainan.
Dia ingin memperisteri gadis itu
selain untuk mendapatkan seorang
isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat derajatnya dan akan memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi!
Sama sekali dia tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau gadis yang manapun juga di
dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun
pertanyaan itu diam-diam
mengejutkan hatinya, hanya sebentar saja dia tertegun. Segera dia
tersenyum malu-malu dan berkata dengan suara lirih menggetar.
"Nona. sebetulnya aku tidak berani
mengatakan hal yang sejak dulu
menjadi bisikan hatiku ini, akan tetapi ... karena sekarang engkau
bertanya, terpaksa aku
memberanikan diri untuk mengaku terus terang.
Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya
maafkan aku, akan tetapi ... sejak
pertama kali kita berjumpa, sejak aku membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu!
Nah, lega hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini" Nona adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas, kaisar, seorang puteri bangsawan,
dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai
matipun aku tidak akan berani
menyatakan cintaku kepadamu.
Kemudian, sungguh jahanam Pouw Cin itu! Kemudian terjadilah
malapetaka itu menimpa dirimu, nona. Karena tidak melihat jalan
keluar lain untuk menolongmu, maka aku memberanikan diri untuk
menyatakan kesediaanku
menikahimu tentu saja kalau nona
sudi menerimaku."
Terjadi perubahan sedikit demi
sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan, mata itu bersinar dan wajahnya
berseri, mulutnya dihias senyum yang ditahan-tahan.
Pengakuan cinta Suma Hok sungguh merupakan obat amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih di hati gadis itu. Kalau
pemuda itu hendak menikahinya
hanya karena iba, hanya untuk
menolongnya, maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar dan seperti permainan
sandiwara belaka.
Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi! Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda itu, yang memang sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan adanya kasih sayang itu.
Melihat gadis itu hanya
menundukkan mukanya yang kini kemerahan, mata itu tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga tersenyum senang dan
bangga, penuh kemenangan. Dia
menanti sampai beberapa saat
lamanya, dan melihat gadis itu
agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona"
Percayalah andaikata nona merasa
terlalu tinggi untuk menjadi
jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah selamanya
tidak akan menikah dengan wanita
lain.
Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan membahagiakanmu, nona, dan aku akan membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama,
yaitu membangun kembali kerajaan Liu-sung.'
Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan memejamkan mata sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat
betapa pandang mata kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!
"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku
berterima kasih kepadamu. Akan
tetapi, aku minta agar urusan
perjodohan ini ditunda sampai
setahun lagi.
Setahun kemudian, barulah aku
bersedia untuk melangsungkan
pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan
kecewa.
"Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti sampai satu tahun lagi" Apa yang menjadi
halangannya?"
"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu, walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau aku sekarang menerima, hal itu
kulakukan penuh kesadaran dan
keikhlasan.
Akan tetapi, aku pernah mengambil keputusan bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam waktu itu, aku juga ingin dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun,
karena bukan gairah berahi yang
mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah, kalau dia sudah menjadi tunangan gadis ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat.
Apalagi kalau dia menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu baginya!
"Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda") Lan-moi?" Dia tersenyum.
Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan kegembiraan hati. "Tentu saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko. Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu silat, ya, koko?"
Bagaikan seekor laba-laba
yang memasang jerat, dia telah
melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah mulai mendekati jeratnya!
"Akan tetapi, bagaimana caranya,
nona" Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak mendapat
marah dari Kongcu."
"Jangan takut, aku yang tanggung
kalau sampai koko mengetahui dan
memarahimu, akan kukatakan bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah
saja.
Kita tentukan waktunya, kemudian
setelah semua orang tidur dan
keadaan sunyi, kita ketemu di
pondok dan melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"
"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang
akan bertanggung jawab kalau
sampai kakakmu mengetahui dan
marah?"
"Tentu saja. Dan pula, kita berdua
hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir
Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih
sukar ditundukkan dari pada yang dia kira. Kalau menghadapi gadis lain,
tentu tidak sesukar itu dia
menundukkannya, Liu Kiok Lan ini
seorang gadis yang tegas, berani,
memiliki harga diri yang tinggi.
Seorang gadis seperti ini, walau
misalnya sudah tertarik dan jatuh
cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan,
amat menghargai kehormatannya
sebagai seorang bekas puteri istana.
Buktinya, gadis itu begitu benci
kepada Tiauw Sun Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong
adalah pamannya sendiri.
Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan
sebaik mungkin agar tidak sampai
gagal.
Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu
untuk melaksanakan latihan itu.
Suma Hok memilih waktu tiga malam
lagi.
Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya
bulan sedikitpun sehingga tentu
malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan
mereka berjanji akan saling bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan
akan dibiarkan tidak terkunci daun
pintunya.
Tiga malam kemudian. Malam itu
memang gelap seperti sudah
diperhitungkan Suma Hok. Agaknya
keadaan malam itu membantu
rencana siasatnya.
Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam
gelap pekat dan udara dingin,
membuat orang segan untuk keluar pintu.
Taman rumah besar bekas kaisar
itupun sunyi sekali. Yang terdengar
hanya bunyi kerik jangkerik dan
belalang malam.
Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat
terhenti sejenak dua kali karena
adanya orang yang lewat memasuki
taman menuju ke pondok dalam
waktu yang sebentar saja selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik
terganggu dan terhenti.
"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki pintu
pondok. Dia sudah berada di situ
lebih dahulu.
Ruangan pondok itu cukup luas,
dengan sebuah meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di
ruangan itu karena memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau terik.
Melihat pemuda yang menjadi guru
tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan tidak ada seorangpun mengetahui rahasia
mereka malam itu!
"Selamat malam, toako. Sukurlah,
engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan latihan kita, toako."
Bagaimanapun juga, berada berdua
saja dengan pemuda itu di dalam
pondok yang hanya diterangi lampu
gantung dari luar sehingga keadaan
ruangan itu remang-remang, pada
malam hari pula, mendatangkan
perasaan rikuh di hatinya, maka ia
pun hendak menutupi perasaan itu
dengan cepat-cepat melaksanakan
latihan yang dijanjikan Suma Hok
kepadanya.
"Nanti dulu, nona. Seperti telah
kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau
simpanan yang biasanya hanya
diajarkan kepada anggauta keluarga
turun temurun, dan yang melatih
ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti
lajimnya, lalu minum ramuan obat
yang sudah kupersiapkan."
"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah
cawan dan sebungkus obat bubuk.
Dia menuangkan isi guci yang
menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian
memasukkan bubuk putih dari
bungkusan.
"Nona, mari kita berlutut untuk
mengucapkan janji seperti yang
diharuskan bagi anggauta keluarga yang melatih ilmu ini." Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.
"Nah, peganglah cawan ini dan
tirukan ucapanku, nona." katanya.
Kiok Lan menerima cawan itu dan sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.
"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji
akan merahasiakan ilmu Lui-kong
ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain
kecuali anggauta keluarga Suma.
Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga
Suma!" Lalu Suma Hok memberi
isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.
Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan keras,
membuat ia tersedak, akan tetapi isi
cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima kembali cawan kosong dan berkata lembut.
"Engkau akan merasa pening sedikit,
akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau
peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam
samadhi harus seperti ini, dan
pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk
itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening maka
cepat ia bangkit dan menghampiri
dipan, lalu duduk bersila di atas
dipan, menghadap ke dalam. Ia masih mendengar betapa Suma Hok juga
bangkit dan pemuda itu agaknya
duduk di kursi.
Tak lama kemudian, pemuda itu
bertanya, "Apakah peningnya sudah
hilang, nona?"
"Susudah ... toako ... " kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu
berbisik dan tersendat, dengan napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya!
Dia tahu benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah
mempengaruhi seluruh tubuh dan
juga hati dan pikiran gadis itu,
membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat
tanpa penolakan sedikitpun!
"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua lengannya,
dan kedua telapak tangannya dia
tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata, "Sekarang, tariklah napas
perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran
hawa dari kedua tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah
menghimpun tenaga sakti Lui-kong-
ciang!"
Kiok Lan yang sudah tidak merasa
pening kini merasa seperti dalam
mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti
terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main,
seperti diayun-ayun, kemudian ia
merasa betapa dua telapak tangan
yang menempel di punggungnya,
mengeluarkan hawa yang hangat
dan mendatangkan getaran yang
menggetarkan seluruh tubuhnya,
membuat ia merasa seperti digelitik
dan mula-mula bulu tengkuknya
meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak dapat dikendalikan.
Sedikit demi sedikit, bagaikan api
yang mulai membakar, ia merasakan
suatu rangsangan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya
panas, makin lama semakin panas
seperti dibakar.
"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ... " ia mulai mengeluh, napasnya
memburu dan suaranya seperti
merintih.
Dan suara yang halus lembut itu
terdengar dekat sekali dengan
telinganya, berbisik lembut. Ia tidak ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus,
"Kalau panas dan gerah
mengganggumu engkau boleh
membuka pakaianmu, agar terasa
nyaman, agar tidak mengganggu
latihanmu ... "
Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi keinginan
hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang
membuat ia berkeringat.
Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan
melepaskan pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam
pondok itu terbuka dan sesosok tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar
teriakan, "Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin.
Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir balik.
Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyang-goyang dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga.
Gadis itu terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan,gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan.
Kemudian Pouw Cin membalikkan
tubuh karena dia mendengar angin
menyambar dahsyat. Dia cepat
membuat gerakan menangkis,namun terlambat.
Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari
belakang terbuka dan perhatiannya
masih tercurah kepada Kiok Lan
sehingga tangkisannya agak
terlambat.
"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.
"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling itu memang mengandung racun yang amat hebat.
Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaug-ouw dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu melompat berdiri, matanya
terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.
"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali,
perlawanannya tidak berarti bagi
Suma Hok.
Berulang kali ujung sulingnya
menemui sasaran dan tubuh Pouw
Cin kembali terjengkang atau
terpelanting beberapa kali.
Akhirnya, sebuah hantaman suling
yang mengenai kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu
bangkit kembali. Mukanya berubah
kehitaman karena keracunan, dari
mata, telinga, mulut dan hidungnya
keluar darah.
Akan tetapi matanya masih melotot
memandang kepada Suma Hok, dan
bibirnya masih bergerak-gerak, "kau ... kau ... terkutuk kau ... " dan diapun terkulai, seorang jenderal atau
panglima besar yang amat setia
kepada rajanya, menemui kematian secara menyedihkan sekali.
Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan mulutnya tersenyum. Senyum iblis!
Dia masih tersenyum ketika
menghampiri dipan sambil kedua
tangannya membuka kancing
bajunya, matanya berkilat dan
senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh
penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok
berteriak-teriak, "Ada pembunuh ...!
Ada penjahat keji ...!!"
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang
yang bertugas menjadi pengawalnya.
Mereka melihat Suma Hok berdiri di
depan pondok dengan suling di
tangan dan muka babak belur,
pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan.
Begitu melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.
"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"
Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi mereka.
"Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!"
Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur tangis dia berkata, "Kongcu malapetaka
telah menimpa orang yang paling
Kongcu percaya ... "
"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan
mengguncangnya tidak sabar.
Guncangan ini agaknya membuat
Suma Hok menjadi tenang.
"Kongcu, harap perintahkan semua
orang mundur, dan marilah kongcu
bersama saya saja yang masuk melihat ... "
Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua
pembantunya untuk menjauh,
kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.
Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu
penerangan dari luar masuk,
membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh.
Suma Hok cepat memegang
lengannya.
"Kuatkan hati paduka, Kongcu ... " katanya hormat, "dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak semua
orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang
mengetahuinya ... "
Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga, mata, hidung dan mulut keluar darah!
Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh.
Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan
pakaian.setengah telanjang pula,
telentang di atas dipan dan sekilas
pandang saja tahulah dia bahwa
adiknya telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan
atau tidur.
"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.
"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan letak pakaiannya agar tidak kelihatan
orang lain sebelum ia sadar dari
pingsannya."
"Ia ... ia tidak mati ... ?"
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.
Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggil-manggil namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.
Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut,
memandang kepada Suma Hok. "Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.
"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan
yang masih agak nanar itu
memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok. "Toako, apa yang telah terjadi" Kuingat tadi dia meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?"
Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan.
Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!
"Ihhh ... aku ... kenapa ..." Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya,
wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.
"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas
karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw
mempunyai ilmu silat tinggi dan
bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan
percaya kalau dikabarkan bahwa
yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi.
Dengan demikian, tidak akan
terjadi banyak dugaan dan
kecurigaan."
Kakak beradik itu hanya dapat
mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi
Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal
mengerikan pada dirinya!"
Suma Hok lalu membuka pintu
pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Dia sendiri lalu mengajak Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam
rumah. Di dalam ruangan sebelah
dalam yang tertutup, dimana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak beradik itu
mendesak agar Suma Hok
menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara
tenang. "Kongcu, sebelumnya saya
harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi.
Nona Liu sedang berlatih semacam
ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan, tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui
jendela.
Dia menotok roboh Nona Liu dan saya demikian terkejut sehingga tidak
dapat menjaga diri dan sayapun
roboh tertotok dan tidak mampu
bergerak sama sekali." Dia
memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak.
"Ketika itu, saya sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu
Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan
merobohkan saya dengan totokan."
**********
MELIHAT Suma Hok berhenti
bercerita dan kelihatan sedih dan
bingung Kiok Lan yang sudah
menduga hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya, "Lalu bagaimana, toako" Teruskan ...!!"
Kembali Suma Hok nampak
kebingungan, sebentar memandang
kepada gadis itu, lalu kepada Siauw Tek, dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.
"Toako, ceritakan, apa yang
selanjutnya terjadi?" Siauw Tek
mendesak pula.
"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak berhasil
karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur.
Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ...
saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya
memejamkan mata ... "
"Apa yang dia lakukan" Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu
pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Kiok Lan membentak, mukanya
sebentar merah, sebentar pucat, "Dia menggunakan kesempatan selagi saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ... dia ... binatang itu telah melakukan hal keji terhadap dirimu nona ... "
Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis. " ... jahanam busuk, keparat terkutuk ...?" ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.
Kakaknya cepat bangkit dan
merangkulnya, mencoba untuk
menghiburnya. Namun sia-sia, Kiok Lan terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu membiarkannya melepas kedukaannya melalui
tangisnya dan setelah agak mereda. Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya menundukkan mukanya.
"Suma-toako, lalu apa yang terjadi" Bagaimana jahanam terkutuk itu
dapat mampus?" Mendengar
pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok Lan ikut mendengarkan.
"Saya berusaha keras untuk
membebaskan diri dari pengaruh
totokan, Kongcu. Akan tetapi memang totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong Nona Liu.
Kemudian, jahanam busuk itu
mengakhiri perbuatannya yang
terkutuk dan agaknya hendak
membunuh saya agar rahasianya
tidak sampai bocor. Akan tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh
saya dengan totokan maut, saya dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan
menyerangnya.
Kami berkelahi dan akhirnya saya
dapat merobohkan dan menewaskan
manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara
mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil menutupi muka dengan kedua tangan, iapun berlari keluar
dari ruangan itu.
"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu, memalangnya dari dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.
"Kongcu, saya kira lebih baik kalau
sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan
kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini menyentuh lengan bekas kaisar itu.
Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh. "Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami sekeluarga" Aih, aku dapat membayangkan
betapa hancurnya hati adikku. Kini ia ternoda, lalu bagaimana nanti masa depannya"
Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya
nampak bersedih sekali.
"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur.
Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek
menutupkan daun pintu dan kini
mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui orang lain.
"Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih" Tanpa kusangka, malapetaka hebat menimpa diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa
orang, dan pembantuku yang paling
baik, ternyata seorang jahanam dan
kini telah tewas!
Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang setia." "Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri.
Kongcu kehilangan pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk
membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah besar, dan saya rela mengorbankan jiwa raga untuk
membantu Kongcu sampai tercapai
cita-cita Kongcu menumbangkan
kerajaan Chi dan membangun
kembali kerajaan Liu-sung!"
Wajah Siauw Tek yang tadinya
muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam wajah Suma Hok.
"Terima kasih, Suma-toako. Agak
terhibur hatiku dengan kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu suka pula untuk bekerja sama. Akan tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang menimpa adikku! Bagaimana aku tidak akan bersedih?"
"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari jalan keluarnya, memang sudah menjadi
kenyataan, walaupun hanya kita
bertiga yang mengetahuinya, bahwa Nona Liu tertimpa aib yang akan menghancurkan masa depannya,
akan tetapi hal itupun kiranya masih dapat ditemukan jalan keluarnya."
Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Bagaimana
mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"
"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
"Menikah" Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian" Justeru di situlah letak persoalannya.
Adikku, juga aku, tentu akan
menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ... "
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada."
"Hemm, siapa yang akan mau" pria mana. yang akan suka berkorban
seperti itu, menikahi seorang gai s
yang sudah ... "
"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ..."! !" Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam pandang matanya. "Engkau, toako" Tapi ... engkau sendiri tahu. bahkan menjadi saksi tunggal ... "
"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia
untuk menutupi aib itu, dengan
segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi
menerima saya dan kalau paduka
menyetujui. ... "
"Aku" Tentu saja aku setuju
sepenuhnya, bahkan aku akan
berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan tentang adikku,
bagaimana mungkin ia akan
menolak"
Pengorbananmu ini akan
menolongnya,melepaskannya dari aib dan mendatangkan sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan
segera menyampaikan kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui
adiknya di dalam kamar adiknya.
Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya
memasuki kamar. ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas kaisar itu dan menangis.
Siauw Tek mengangkat bangun
adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan dan dia duduk di
tepi pembaringan. "Tenangkahatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan menchindarkan engkau dari aib ini."
Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah, memandang kakaknya. Ia masih
belum dapat mengeluarkan kata-kata
akan tetapi pandang matanya sudah mengajukan pertanyaan apa yang
dimaksudkan kakaknya dengan
ucapan itu.
"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah mendapatkan bintang penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia untuk
menikah denganmu, menjadi
suamimu yang sah."
"Koko! Bagaimana mungkin aku ... "
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan semua itu. Dia adalah Suma Hok ... "
"Ahh ...!" Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya ketika, ia dalam keadaan pingsan,
diperkosa oleh Pouw Cin!"
"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu, bukankah dia pula yang telah membalaskan
sakit hatimu, telah membunuh
jahanam yang berbuat keji terhadap
dirimu?"
"Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk
menolongku?" Ia meragu karena
masih bimbang, tidak tahu harus
mengambil keputusan bagaimana
semua peristiwa ini terjadi demikian tiba-tiba dan mengejutkan.
Tadinya, ia sebagai seorang gadis
yang lincah gembira, yang masih
remaja karena usianya baru tujuh
belas tahun, tiba-tiba saja telah
dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa yang dihadapkan pada
pernikahan!
"Dia merasa iba kepadaku, dan
kepadamu, siauw-moi, dan dia
menawarkan diri selain untuk
menggantikan Pouw Cin menjadi,
pembantuku yang setia, dia juga
bersedia untuk menutupi aibmu dan menjadi suamimu.
Bukankah itu hebat sekali, siauw-moi" Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua menjadi beres, melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang ama tbaik. dan engkau
mendapatkan seorang suami yang
baik pula."
"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum
mempunyai keinginan untuk
berumah tangga, koko, usiaku juga baru tujuh belas tahun ... "
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...!
Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan" Aku harus memberi
keputusan kepada Suma-toako
sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam membantuku."
"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."
"Baiklah, adikku. Aku menunggu
dengan sabar, dan engkau harus ingat juga keadaanku, karena aku amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau menolak, mungkin dia akan merasa tersinggung. Dia
menawarkan diri untuk menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah kepadanya."
"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."
Demikianlah, baru dua hari
kemudian, setelah mata gadis itu
tidak lagi membengkak dan merah, setelah lenyap bekas-bekas tangis
dukanya, ia memberi kesempatan
kepada Suma Hok untuk bertemu
dengannya di ruangan tamu. Ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi Kiok Lan.
Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega dan juga kagum melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka.
Namun ada suatu perubahan terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira, bahkan masih agak kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang pendiam dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.
"Nona Liu ... " kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua pasang mata
bertemu pandang,bertaut dan
akhirnya Kiok Lan lebih dahulu
menundukkan mukanya, kedua
pipinya agak kemerahan karena
kembali ia teringat akan peristiwa,
yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda didepannya ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika
dengan suara lirih.
"Suma-toako, aku telah mendengar
dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ... " Ia berhenti, sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau
menganggap aku lancang.
Sesungguhnya, aku memang tidak
cukup berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ... " Suma Hok dengan cerdik mengambil sikap
rendah hati.
"Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan
itu karena engkau merasa iba
kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib. Benarkah itu?"
"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok
cepat. "Aku merasa amat iba
kepadamu, aku ingin membebaskan engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin melenyapkan aib
yang kauderita."
Hening sebentar dan setelah
menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan mengangkat muka menatap
wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik.
"Hanya itu saja alasannya" Engkau
hendak menikahiku hanya karena
ingin menolongku, hanya karena
engkau merasa iba kepadaku?"
Sepasang mata itu memandang tanpa berkedip. "Tidak ada alasan lain?"
Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan utamanya bukan menutup aib,
bukan pula iba, melainkan sama
sekali berlainan.
Dia ingin memperisteri gadis itu
selain untuk mendapatkan seorang
isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat derajatnya dan akan memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi!
Sama sekali dia tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau gadis yang manapun juga di
dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun
pertanyaan itu diam-diam
mengejutkan hatinya, hanya sebentar saja dia tertegun. Segera dia
tersenyum malu-malu dan berkata dengan suara lirih menggetar.
"Nona. sebetulnya aku tidak berani
mengatakan hal yang sejak dulu
menjadi bisikan hatiku ini, akan tetapi ... karena sekarang engkau
bertanya, terpaksa aku
memberanikan diri untuk mengaku terus terang.
Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya
maafkan aku, akan tetapi ... sejak
pertama kali kita berjumpa, sejak aku membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu!
Nah, lega hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini" Nona adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas, kaisar, seorang puteri bangsawan,
dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai
matipun aku tidak akan berani
menyatakan cintaku kepadamu.
Kemudian, sungguh jahanam Pouw Cin itu! Kemudian terjadilah
malapetaka itu menimpa dirimu, nona. Karena tidak melihat jalan
keluar lain untuk menolongmu, maka aku memberanikan diri untuk
menyatakan kesediaanku
menikahimu tentu saja kalau nona
sudi menerimaku."
Terjadi perubahan sedikit demi
sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan, mata itu bersinar dan wajahnya
berseri, mulutnya dihias senyum yang ditahan-tahan.
Pengakuan cinta Suma Hok sungguh merupakan obat amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih di hati gadis itu. Kalau
pemuda itu hendak menikahinya
hanya karena iba, hanya untuk
menolongnya, maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar dan seperti permainan
sandiwara belaka.
Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi! Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta pemuda itu, yang memang sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan adanya kasih sayang itu.
Melihat gadis itu hanya
menundukkan mukanya yang kini kemerahan, mata itu tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga tersenyum senang dan
bangga, penuh kemenangan. Dia
menanti sampai beberapa saat
lamanya, dan melihat gadis itu
agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona"
Percayalah andaikata nona merasa
terlalu tinggi untuk menjadi
jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah selamanya
tidak akan menikah dengan wanita
lain.
Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan membahagiakanmu, nona, dan aku akan membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama,
yaitu membangun kembali kerajaan Liu-sung.'
Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan memejamkan mata sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat
betapa pandang mata kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!
"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku
berterima kasih kepadamu. Akan
tetapi, aku minta agar urusan
perjodohan ini ditunda sampai
setahun lagi.
Setahun kemudian, barulah aku
bersedia untuk melangsungkan
pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan
kecewa.
"Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti sampai satu tahun lagi" Apa yang menjadi
halangannya?"
"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu, walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau aku sekarang menerima, hal itu
kulakukan penuh kesadaran dan
keikhlasan.
Akan tetapi, aku pernah mengambil keputusan bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam waktu itu, aku juga ingin dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun,
karena bukan gairah berahi yang
mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah, kalau dia sudah menjadi tunangan gadis ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat.
Apalagi kalau dia menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu baginya!
"Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda") Lan-moi?" Dia tersenyum.
Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan kegembiraan hati. "Tentu saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko. Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu silat, ya, koko?"
"Tentu saja. Lan-moi. Aku akan mengajarkan seluruh apa saja yang kumiliki kepadamu. Bukankah
engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek, menggantikan kedudukan Pouw Cin.
Semua perwira diperkenalkan
kepadanya, bahkan seluruh pasukan
yang jumlahnya tidak kurang dari
lima ribu orang besarnya itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin telah tewas oleh mata-mata
musuh, dan kini yang menjadi
panglima adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang terkenal sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan).
Para perwia juga sudah diberitahu
bahwa panglima atau komandan
mereka adalah calon suami nona Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini
membuat mereka lebih tunduk dan hormat kepada Suma Hok.
Pemuda yang amat cerdik inipun dapat bertahan, mengekang
gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi.
Dia tidak berani main-main dan tidak pernah dia mencoba untuk
membujuk calon isterinya itu
menyerahkan diri kepadanya. Dia akan bersabar sampai waktu setahun lewat, sampai mereka dinikahkan
secara resmi.
Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia
bahkan mengajarkan ilmu silat
tambahan kepada para perwira dan
memerintahkan agar semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga setiap orang
perajurit merupakan tenaga yang
tangguh.
Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar kepada ayahnya yang menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh lima tahun yang lalu.
Dengan senang hati diapun
menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek
semakin gembira dan bersemangat.
**********
Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja dari kerajaan baru, yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong.
Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong memihak Agama To dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan dari Agama Buddha yang memiliki banyak
pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong
membuka pintu lebar-lebar bagi
kedua agama itu.
Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap
memusuhi para hwesio (pendeta
Buddha) yang dianggap sebagai
orang-oran gasing.
Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke selatan,
menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi. Di selatan ini.
Agama Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar
Siauw Bian Ong membuat
permusuhan yang terjadi antara para pengikut Agama To dan pengikut
Agama Buddha tidak terbawa ke
selatan.
DI kerajaan ini, kedua pengikut
agama itu dihargai dan dihormati,
penyebaran agama mereka diterima
secara bebas oleh rakyat.
Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai. Keamanan jauh lebih baik dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja menumbuhkan
perdagangan.
Pedagang keluar masuk kota raja
Nan-king. dan tentu saja akibatnya
banyak dibangun rumah-rumah
penginapan dan rumah-rumah
makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu.
Pasukan keamanan kota raja
Nan-king juga. terkenal dengan
jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan
untuk menjaga ketertiban dan
keamanan di kota raja itu.
Tidak ada penjahat berani banyak
lagak di kota raja ini, dan suasana
yang terjamin keamanannya itulah
yang membuat para pedagang
menjadi semakin bersemangat
melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan
gembira.
Apalagi golongan penjahat kecil,
bahkan para tokoh kang-ouw, baik
golongan hitam atau putih, baik para
penjahat maupun pendekar, tidak ada yang berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja Nanking.
Kaisar Siauw Bian Ong adalah
seorang kaisar yang bijaksana dan
pandai, tidak seperti bekas Kaisar
Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang
hanya mementingkan kesenangan
diri pribadi belaka, kurang
memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga pemerintahannya
dicengkeram oleh para pembesar
yang korup.
Para pembesar seperti itu, bukan
hanya tidak memperhatikan nasib
rakyat, bahkan lebih celaka lagi,
sebaliknya dari pada mengayomi
rakyat, mereka bahkan menekan
rakyat dengan berbagai cara
untuk memenuhi gudang harta
mereka sendiri.
Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi
baik" Kalau para penjahat tinggi
korup, bagaimana mungkin
mengharapkan para penjahat
rendahan akan bersikap jujur" Dan
pembesar tinggi yang menjadi
pengawas sendiri bertindak korup,
bagaimana mungkin dia berani
meindak bawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil"
Kalau yang di atasan jujur, sudah,
pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya tentu akan menghantamnya.
Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai keturunan keluarga Siauw
yang besar yang terkenal sejak nenek moyang mereka yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan
Han (tahun 206 S.M. - 8 A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan
kokoh kuat kalau mendapatkan
dukungan rakyat jelata.
Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat. kalau tidak
mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat,
maka kekuatan pasukan itu tidak
akan banyak manfaatnya.
Dan satu-satunya cara untuk
memperoleh dukungan rakyat
hanyalah kalau pemerintah dapat
mendatangkan kemakmuran bagi
rakyat jelata.
Kalau rakyat merasa
puas.dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari pohon tanaman
pemerintah, kalau rakyat dapat
ditingkatkan taraf hidupnya, maka
rakyat tentu akan mencintai
pemerintah dan akan membela mati-matian kalau pemerintah yang
mendatangkan kebahagiaan itu
sampai terancam oleh kekuasaan lain.
Dan satu-satunya cara untuk
mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat jelata hanyalah dengan
pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan pekerjaan,
menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja dengan gembira karena merasa aman
dan tenteram, mengatur sedemikian rupa dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat jelata terpenuhi semua kebutuhan pokok hidup mereka.
Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang memegang kemudi
pemerintahan, terdiri dari orang-
orang bijaksana yang tidak
memetingkan diri sendiri, tidak
melakukan korupsi, tidak menekan
rakyat, maka cita-cita untuk
memakmurkan kehidupan rakyat
bukan sekedar menjadi slogan dan
mimpi kosong belaka.
Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke
arah itu. Maka, tidaklah
mengherankan apabila kini, setelah lima tahun dia mendirikan dinasti
Chi, kota raja Nan-king menjadi
sebuah kota kerajaan yang besar,
ramai dan perdagangan maju dalam
segala bidang.
Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para bangsawan, bahkan keluarga
dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang sering kali melakukan pembersihan,
membunuhi seluruh keluarga raja
yang ditaklukkan, bahkan
membunuhi para pejabat tinggi
kerajaan yang kalah karena takut
kalau-kalau mereka akan
mengadakan pembalasan dan
pemberontakan.
Hal ini mungkin karena memang
masih ada hubungan keluarga antara keluarga Siauw dan keluarga Liu,
yaitu keturunan raja-raja yang
memerintah kerajaan Liu-sung.
Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar Siauw Bian Ong ingin agar para cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu
pemerintahannya, dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah kerajaan yang telah jatuh itu.
Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang
baru adalah keluarga bangsawan
Kwan yang telah turun temurun menjadi bangsawan yang memegang
jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun
memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah
seorang sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut.
Karena dia seorang yang mencintai pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak pernah menjadi seorang pembesar
yang korup dan sewenang-wenang seperti banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan
kekuasaannya, apalagi karena
jabatannya mengurus kebudayaan,
maka jabatannya sendiri tidak
memberi banyak kesempatan
kepadanya untuk melakukan
tindakan yang menyimpang dari
kebenaran.
Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan penyelewengan.
Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya
melarikan diri seperti banyak
pembesar lainnya.
Akan tetapi, diapun tidak lalu
menyerah kepada penguasa baru. Dia bukan seorang pengkhianat, bukan
pula penakut. Kalau dia tidak
mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi, hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu
ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bu, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi yang hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa
memperdulikan keadaan rakyat,
bahkan lengah terhadap
gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan tetapi protes ini bahkan membuat kaisar
marah-marah kepadanya.
Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah bersama keluarganya. Dia
sama sekali tidak merasa takut,
karena dia tidak pernah merasa
bersalah.
Kalau penguasa baru akan
membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin ken mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri bernama Kwan Hwe Li,
akan tetapi keluarga itu telah
kehilangan puteri ini sejak kurang
lebih tiga puluh tahun yang lalu!
Sampai sekarang, keluarga itu belum pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah.
Kwan-taijin dan isterinya merasa
prihatin bukan main, apalagi ketika
mereka mendengar bahwa puteri
mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!
Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan tahun dan telah menjadi
seorang hakim di kota Bi-ciu, dan
setelah pergantian pemerintahan, di
kerajaan Chi diapun masih tetap
menjadi hakim, karena dia terkenal
sebagai seorang hakim yang
bijaksana dan adil sehingga
pemerintah yang baru tetap
mengangkat Kwan Hwe TJn ini
menjadi hakim di Bi-ciu.
Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita
inipun jatuh sakit karena kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua
kekhawatirannya bahwa
keluarganya akan tertimpa
malapetaka sebetulnya tidak terjadi.
Suaminya tidak diganggu oleh
penguasa baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan
untuk tetap memegang jabatan
lamanya.
Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu tua untuk bekerja, apalagi semenjak
kematian isterinya, dia sudah tidak
mempunyai semangat lagi, dan hanya ingin menghabiskan sisa usianya
untuk bersamadhi dan melepaskan
diri dari semua ikatan
keduniawian.
Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia kepadanya,
dan empat orang pembantu rumah
tangga.
Hanya kadang saja, beberapa bulan atau setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang
berkunjung, rumah gedung itu
menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang
terdengar bunyi yang-kim (kecapi)
yang dimainkan oleh seorang di
antara selirnya.
Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung tua yang sunyi itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut.
Adapun wanita yang ke dua
nampaknya berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya juga cantik,
pesolek dengan pakaian indah,
mulutnya selalu tersenyum mengejek dan sikapnya anggun dan angkuh.
Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang cantik itu bersama
gurunya. Bi Moli Kwan Hwe Li yang usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan
cantik.
Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana dalam rumah itu sudah
jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di situ sebagai seorang gadis.
Tidak lagi seperti rumah bangsawan dengan pengawal dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat
suasana rumah itu, melihat pakaian
pelayan wanita yang keluar
menyambut, tiada bedanya dengan
ramah orang biasa.
engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek, menggantikan kedudukan Pouw Cin.
Semua perwira diperkenalkan
kepadanya, bahkan seluruh pasukan
yang jumlahnya tidak kurang dari
lima ribu orang besarnya itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin telah tewas oleh mata-mata
musuh, dan kini yang menjadi
panglima adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang terkenal sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan).
Para perwia juga sudah diberitahu
bahwa panglima atau komandan
mereka adalah calon suami nona Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini
membuat mereka lebih tunduk dan hormat kepada Suma Hok.
Pemuda yang amat cerdik inipun dapat bertahan, mengekang
gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi.
Dia tidak berani main-main dan tidak pernah dia mencoba untuk
membujuk calon isterinya itu
menyerahkan diri kepadanya. Dia akan bersabar sampai waktu setahun lewat, sampai mereka dinikahkan
secara resmi.
Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia
bahkan mengajarkan ilmu silat
tambahan kepada para perwira dan
memerintahkan agar semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga setiap orang
perajurit merupakan tenaga yang
tangguh.
Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar kepada ayahnya yang menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh lima tahun yang lalu.
Dengan senang hati diapun
menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek
semakin gembira dan bersemangat.
**********
Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja dari kerajaan baru, yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong.
Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong memihak Agama To dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan dari Agama Buddha yang memiliki banyak
pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong
membuka pintu lebar-lebar bagi
kedua agama itu.
Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap
memusuhi para hwesio (pendeta
Buddha) yang dianggap sebagai
orang-oran gasing.
Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke selatan,
menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi. Di selatan ini.
Agama Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar
Siauw Bian Ong membuat
permusuhan yang terjadi antara para pengikut Agama To dan pengikut
Agama Buddha tidak terbawa ke
selatan.
DI kerajaan ini, kedua pengikut
agama itu dihargai dan dihormati,
penyebaran agama mereka diterima
secara bebas oleh rakyat.
Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai. Keamanan jauh lebih baik dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja menumbuhkan
perdagangan.
Pedagang keluar masuk kota raja
Nan-king. dan tentu saja akibatnya
banyak dibangun rumah-rumah
penginapan dan rumah-rumah
makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu.
Pasukan keamanan kota raja
Nan-king juga. terkenal dengan
jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan
untuk menjaga ketertiban dan
keamanan di kota raja itu.
Tidak ada penjahat berani banyak
lagak di kota raja ini, dan suasana
yang terjamin keamanannya itulah
yang membuat para pedagang
menjadi semakin bersemangat
melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan
gembira.
Apalagi golongan penjahat kecil,
bahkan para tokoh kang-ouw, baik
golongan hitam atau putih, baik para
penjahat maupun pendekar, tidak ada yang berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja Nanking.
Kaisar Siauw Bian Ong adalah
seorang kaisar yang bijaksana dan
pandai, tidak seperti bekas Kaisar
Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang
hanya mementingkan kesenangan
diri pribadi belaka, kurang
memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga pemerintahannya
dicengkeram oleh para pembesar
yang korup.
Para pembesar seperti itu, bukan
hanya tidak memperhatikan nasib
rakyat, bahkan lebih celaka lagi,
sebaliknya dari pada mengayomi
rakyat, mereka bahkan menekan
rakyat dengan berbagai cara
untuk memenuhi gudang harta
mereka sendiri.
Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi
baik" Kalau para penjahat tinggi
korup, bagaimana mungkin
mengharapkan para penjahat
rendahan akan bersikap jujur" Dan
pembesar tinggi yang menjadi
pengawas sendiri bertindak korup,
bagaimana mungkin dia berani
meindak bawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil"
Kalau yang di atasan jujur, sudah,
pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya tentu akan menghantamnya.
Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai keturunan keluarga Siauw
yang besar yang terkenal sejak nenek moyang mereka yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan
Han (tahun 206 S.M. - 8 A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan
kokoh kuat kalau mendapatkan
dukungan rakyat jelata.
Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat. kalau tidak
mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat,
maka kekuatan pasukan itu tidak
akan banyak manfaatnya.
Dan satu-satunya cara untuk
memperoleh dukungan rakyat
hanyalah kalau pemerintah dapat
mendatangkan kemakmuran bagi
rakyat jelata.
Kalau rakyat merasa
puas.dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari pohon tanaman
pemerintah, kalau rakyat dapat
ditingkatkan taraf hidupnya, maka
rakyat tentu akan mencintai
pemerintah dan akan membela mati-matian kalau pemerintah yang
mendatangkan kebahagiaan itu
sampai terancam oleh kekuasaan lain.
Dan satu-satunya cara untuk
mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat jelata hanyalah dengan
pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan pekerjaan,
menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja dengan gembira karena merasa aman
dan tenteram, mengatur sedemikian rupa dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat jelata terpenuhi semua kebutuhan pokok hidup mereka.
Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang memegang kemudi
pemerintahan, terdiri dari orang-
orang bijaksana yang tidak
memetingkan diri sendiri, tidak
melakukan korupsi, tidak menekan
rakyat, maka cita-cita untuk
memakmurkan kehidupan rakyat
bukan sekedar menjadi slogan dan
mimpi kosong belaka.
Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke
arah itu. Maka, tidaklah
mengherankan apabila kini, setelah lima tahun dia mendirikan dinasti
Chi, kota raja Nan-king menjadi
sebuah kota kerajaan yang besar,
ramai dan perdagangan maju dalam
segala bidang.
Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para bangsawan, bahkan keluarga
dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang sering kali melakukan pembersihan,
membunuhi seluruh keluarga raja
yang ditaklukkan, bahkan
membunuhi para pejabat tinggi
kerajaan yang kalah karena takut
kalau-kalau mereka akan
mengadakan pembalasan dan
pemberontakan.
Hal ini mungkin karena memang
masih ada hubungan keluarga antara keluarga Siauw dan keluarga Liu,
yaitu keturunan raja-raja yang
memerintah kerajaan Liu-sung.
Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar Siauw Bian Ong ingin agar para cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu
pemerintahannya, dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah kerajaan yang telah jatuh itu.
Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang
baru adalah keluarga bangsawan
Kwan yang telah turun temurun menjadi bangsawan yang memegang
jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun
memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah
seorang sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut.
Karena dia seorang yang mencintai pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak pernah menjadi seorang pembesar
yang korup dan sewenang-wenang seperti banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan
kekuasaannya, apalagi karena
jabatannya mengurus kebudayaan,
maka jabatannya sendiri tidak
memberi banyak kesempatan
kepadanya untuk melakukan
tindakan yang menyimpang dari
kebenaran.
Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan penyelewengan.
Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya
melarikan diri seperti banyak
pembesar lainnya.
Akan tetapi, diapun tidak lalu
menyerah kepada penguasa baru. Dia bukan seorang pengkhianat, bukan
pula penakut. Kalau dia tidak
mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi, hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu
ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bu, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi yang hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa
memperdulikan keadaan rakyat,
bahkan lengah terhadap
gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan tetapi protes ini bahkan membuat kaisar
marah-marah kepadanya.
Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah bersama keluarganya. Dia
sama sekali tidak merasa takut,
karena dia tidak pernah merasa
bersalah.
Kalau penguasa baru akan
membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin ken mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri bernama Kwan Hwe Li,
akan tetapi keluarga itu telah
kehilangan puteri ini sejak kurang
lebih tiga puluh tahun yang lalu!
Sampai sekarang, keluarga itu belum pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah.
Kwan-taijin dan isterinya merasa
prihatin bukan main, apalagi ketika
mereka mendengar bahwa puteri
mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!
Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan tahun dan telah menjadi
seorang hakim di kota Bi-ciu, dan
setelah pergantian pemerintahan, di
kerajaan Chi diapun masih tetap
menjadi hakim, karena dia terkenal
sebagai seorang hakim yang
bijaksana dan adil sehingga
pemerintah yang baru tetap
mengangkat Kwan Hwe TJn ini
menjadi hakim di Bi-ciu.
Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah meninggal dunia lima tahun yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita
inipun jatuh sakit karena kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua
kekhawatirannya bahwa
keluarganya akan tertimpa
malapetaka sebetulnya tidak terjadi.
Suaminya tidak diganggu oleh
penguasa baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan
untuk tetap memegang jabatan
lamanya.
Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu tua untuk bekerja, apalagi semenjak
kematian isterinya, dia sudah tidak
mempunyai semangat lagi, dan hanya ingin menghabiskan sisa usianya
untuk bersamadhi dan melepaskan
diri dari semua ikatan
keduniawian.
Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia kepadanya,
dan empat orang pembantu rumah
tangga.
Hanya kadang saja, beberapa bulan atau setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang
berkunjung, rumah gedung itu
menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang
terdengar bunyi yang-kim (kecapi)
yang dimainkan oleh seorang di
antara selirnya.
Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung tua yang sunyi itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut.
Adapun wanita yang ke dua
nampaknya berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya juga cantik,
pesolek dengan pakaian indah,
mulutnya selalu tersenyum mengejek dan sikapnya anggun dan angkuh.
Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang cantik itu bersama
gurunya. Bi Moli Kwan Hwe Li yang usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan
cantik.
Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana dalam rumah itu sudah
jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di situ sebagai seorang gadis.
Tidak lagi seperti rumah bangsawan dengan pengawal dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat
suasana rumah itu, melihat pakaian
pelayan wanita yang keluar
menyambut, tiada bedanya dengan
ramah orang biasa.
Pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk menanyakan keperluan
kedua orang wanita cantik itu datang
berkunjung. "Ji-wi sio-cia (Nona
berdua) hendak mencari siapakah?" tanyanya dengan sikap hormat.
Kwan Hwe Li tidak mengenal pelayan itu, tentu seorang pelayan baru. Dan memang, ketika ia meninggalkan
rumah ini, hal itu telah lewat kurang lebih tiga puluh tahun, dan ketika kerajaan Liu-sung jatuh, semua
pelayan dari keluarga Kwan ikut pula lari mengungsi bersama banyak
penduduk Nan-king yang lain,
meninggalkan keluarga majikan
mereka.
"Aku ingin bertemu dengan Kwan-loya (tuan tua Kwan)," kata Hwe Li, menahan getaran hatinya. Biarpun selama ini ia telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan telah menjadi
datuk kang-ouw yang terkenal sekali, keras hati dan berwibawa, tidak
urung hatinya tergetar ketika ia
berada di rumah keluarga orang tuanya di mana ia dibesarkan, dan akan bertemu dengan ayah
kandungnya.
Ia sudah mendengar bahwa
ibu kandungnya meninggal dunia ketika terjadi perang saudara dan bahwa kini yang tinggal di rumah itu tinggal ayahnya seorang diri. Ia tahu pula dari keterangan anak buahnya bahwa kakak tunggalnya kini masih menjadi hakim di Bi-ciu.
"Maaf, nona. Saya tidak berani
menggangu lo-ya, karena pada saat sepagi ini, lo-ya masih duduk
bersamadhi dalam kamarnya dan tak seorangpun dari kami diperbolehkan mengganggunya."

Hwe Li teringat bahwa menurut
keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus melakukan
penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi seingatnya, ayahnya dahulu
mempunyai empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang
sekarang masih menemani ayahnya tinggal di situ.
"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin
bicara." katanya tak sabar.
"Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian)
menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang
tamunya duduk di ruangan tamu
yang berada di samping kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay
memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang
bentuknya kran.
Diam-diam Kwan Hwe Li terharu
melihat keadaan kamar itu. Semua
perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai nampak tua dan
butut.
Ruangan itu, yang dahulu nampak
mewah, kini kehilangan
kemewahannya dan
bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang
semestinya minta ganti yang baru
dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang tua dan buruk.
Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu menengok, memandang ke arah pintu sebelah dalam yang terbuka.
Seorang wanita berusia enam
puluhan tahun muncul di ambang
pintu dan biarpun wanita itu sudah kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengenalnya.
Inilah ibu tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit!
Namun, di antara para ibu tirinya,
wanita inilah yang sikapnya paling
ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.
"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh keraguan.
Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun yang lalu!
"Kau ... kau ... Hwe Li ...!" Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak dari Hwe Li!
Bagaimana ibumu sekarang, nak"
Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan ramahnya menghampiri
dan merangkul pundak Hwe Li.
Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa terharu.
Wanita ini, biarpun sekarang sudah
tua dan keluarganya jatuh miskin,
masih tetap ramah dan periang
seperti dahulu. Pantas saja ayahnya
masih mempertahankannya untuk
menemanimu di situ.
"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.
"Ehh ...?"" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin!
Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana
mungkin engkau Hwe Li?"
"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah. Bagaimana dengan ayah" Aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li" Kami sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang wanita sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi tua?"
Hwe Li tersenyum, merangkul
pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab seperti sahabat baik
dengannya. "Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan" Oh, aku sampai lupa, Ibu, ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke Tiga."
Ling Ay cepat membungkuk dan
memberi hormat. Wanita tua itu
memandang, terheran-heran. "Kalau engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali! Engkau masih
secantik dan semuda dahulu, dan
engkau bahkan seperti kakak beradik
saja dengan muridmu ini."
"Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak jauh dari ruangan tengah. Setelah mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik, "Hwe Li, biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani mengganggunya."
"Ibu, biarlah aku yang memangil
ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk
daun pintu, lalu mengerahkan khi
kang sehingga biar suaranya hanya
lirih, namun suara itu menembus ke
dalam kamar dan akan terdengar
dengan jelas sekali oleh orang yang berada di dalam kamar.
"Ayah, aku Kwan Hwe Li datang untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan
terdengar suara kaget dari dalam.
Suara Hwe Li yang didorong kekuatan khi-kang itu terdengar jelas sekali
oleh kakek Kwan yang bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ... " Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun
pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas
karena terharu melihat ayahnya kini
telah menjadi seorang kakek tua
renta!
Biarpun dahulu, tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya seorang laki-laki yang lemah dan tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun
ayahnya yang lemah lembut itu
memiliki gairah hidup yang timbul
karena jiwa seninya.
Kini, hanya sepasang mata itu yang masih nampak hidup bersemangat,
akan tetapi tubuhnya sudah lemah
dan gemetaran!
"Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua
lengannya merangkul, ia merasakan
betapa kedua lengannya memeluk
kerangka, seolah tubuh itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.
"Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya
yang ke tiga tadi, dia mendorong
tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan
penuh keheranan.
"Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"
Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan kebiasaan kaum wanita.
Biasanya, perasaan wanita amatlah
halus dan peka, dan hal ini membuat
mereka emosionil dan air mata
mereka selalu siap untuk dicucurkan
dalam tangis.
Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li
bukan wanita biasa lagi. Hatinya
sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit. Hatinya tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi
tangis.
Namun kini, hampir ia tidak dapat
menahan untuk tidak terisak
menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada sebutir dua air mata yang sempat meloncat keluar.
"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."
"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke ruangan tengah di mana mereka duduk
dengan penuh kegembiraan.
Kakek Kwan meneriaki para
pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu menyuruh mereka
mempersiapkan pesta seadanya
untuk merayakan pulangnya puteri itu.
"Ayah, ini adalah Cia Ling Ay,
muridku. Ling Ay, inilah ayahku,
sekarang telah tua sekali." Ling Ay
cepat memberi hormat kepada orang tua itu.
Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada
hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia berkata, "Hwe Li, ketika kami mendengar berita bahwa
engkau telah menjadi seorang tokoh
dunia persilatan, dan kabar itu amat
menggelisahkan hatiku karena
engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang berwatak iblis.
Aku membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita
setengah tua yang menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang membenci keluarga kita.
Engkau ternyata masih tetap Hwe Li yang dahulu, dan engkau tidak seperti iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi meninggalkan rumah itu.
"Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, bahkan aku harus mengakui dia lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu.
Beliau juga menawarkan kedudukan
lama kepadaku, akan tetapi aku
sudah merasa terlalu tua untuk
bekerja, Hwe Li.
Aku lebih suka menghabiskan sisa
hidupku dengan mempelajari kitab-
kitab agama dan bersamadhi. Aku
tidak bersemangat lagi untuk
mencampuri urusan dunia yang
penuh dengan pertentangan. Lalu
sekarang ceritakan semua
pengalamanmu setelah engkau pergi meninggalkan rumah ini, anakku."
Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay
juga ingin sekali mendengarkan
karena selama ini, gurunya belum
pernah menceritakan dengan jelas
tentang latar belakang
kehidupannya.
Pada saat itu, selir ke dua dari kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia
pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia
segera mengenali Hwe Li.
Segera iapun ikut pula duduk di
ruangan itu dan mereka semua kini
menanti Hwe Li menceritakan
pengalamannya yang tentu akan
menarik sekali.
"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?" Setelah menghela napas
panjang Hwe Li bertanya dan
memandang kepada ayahnya dan kedua orang ibu tirinya.
Ayahnya mengangguk dan diapun
menarik napas panjang. "Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa itu" Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong,melakukan perbuatan yang memalukan itu, engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi
meninggalkan keluargamu tanpa
pamit!"
"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang sudah lolos dari sebagai seorang buta.
Tekadku untuk membunuhnya
karena ia telah menghancurkan
kebahagiaan hatiku, telah
mengkhianatiku, dan kami saling
mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak
senonoh dengan selir kaisar.
Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw, aku mempelajari ilmu silat
dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan
menghela napas panjang. "Eehhh,
kenapa engkau menuruti nafsu
amarah" Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan dendam sakit hati, anakku"
Sekali kita membiarkan nafsu
merajalela di hati, nama kita akan
diperhamba dan nafsu akan menjadi
pembimbing kita yang akan
menyelewengkan jalan hidup kita."
Kwan Hwe Li tersenyum simpul
mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang dengan segala macam
petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara macam pelajaran tentang kebatinan dan
agama.
Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya hancur oleh
perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia kang-ouw. ia makin
jauh meninggalkan segala yang
berbau pelajaran kebatinan itu.
Kini ia mendengar lagi petuah
ayahnya, dan betapa hambarnya
semua itu. ia maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu
banyak perbuatan dilakukan tanpa
memperhitungkan baik buruknya.
Kalau perbuatannya dianggap kotor, maka kotoran itu telah sedemikian
tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan
pengetahuan kebatinan, tidak akan dapat membersihkannya!
Bukannya ia tidak tahu bahwa ia
telah menjadi seorang datuk sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua
perbuatannya selama ini oleh umum dianggap jahat,berdosa dan
sebagainya.
Akan tetapi ia tidak mampu
meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.
"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu
kepada Pangeran Tiauw Sun Ong?"
tanya ibu tirinya yang ke dua.
Wajah Hwe Li berubah muram dan
menggeleng kepala. "Berkali-kali aku mencobanya, akan tetapi jahanam itu ternyata setelah menjadi buta,
memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga semua
percobaanku gagal.
Aku tidak pernah dapat menang
dalam pertandingan melawannya. Dia
memang lihai bukan main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan bahwa kalau aku menyerangnya
dengan niat membunuh, sebaliknya
dia yang selalu mengalahkan aku,
tidak pernah mencoba untuk
membunuhku, bahkan melukaikupun belum pernah!"
"Siancai ...!" Kakek Kwan berseru
dengan suara pujian. "Itu
menandakan bahwa dia masih sayang kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya sehingga
tidak mau melukaimu, anakku.
Engkau seharusnya berterima kasih karena ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan telah
menjadi buta matanya itu ternyata
tidak buta hatinya."
"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia mencintaku, karena aku telah membujuknya
untuk hidup bersama akan tetapi dia selalu menolak.
Tidak, dia sengaja memamerkan
kepandaiannya untuk mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi.
Akan tetapi sekarang aku merasa
puas, ayah.
Aku telah menemukan jalan untuk
membuat dia menderita seperti aku, tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara tawanya merdu,
namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik karena dalam suara
tawa itu terkandung sesuatu yang
mengerikan.
"Siancai ... semoga Tuhan akan
menyadarkanmu, anakku. Dan
setelah engkau pulang, kami harap
engkau dan muridmu akan terus
tinggal di sini.
Engkau mau menemaniku ayahmu
yang tidak akan lama lagi berada di
dunia ini, bukan?" Dalam suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan mengeluarkan ucapan itu
karena rasa iba diri, melainkan
mempunyai maksud lain.
Dia menghendaki agar puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga
lambat laun dia akan mampu
membersihkan hati puterinya dan
menyadarkannya bahwa cara
hidupnya yang lalu adalah suatu
penyelewengan dari pada kebenaran.
"Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan terutama sekali aku ingin mencoba mengisi
hidupku dengan keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan lagi dengan istana.
Mungkinkah itu, ayah" Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan
keluarga kaisar yang baru dan
dapatkah ayah membantuku, seperti
dahulu ketika aku masih gadis
muda?"
"Aih, mana mungkin itu, anakku"
Dahulu, ayahmu ini masih
mempunyai kedudukan, apalagi
ayahmu ini yang mengajarkan sastra
kepada para pangeran dan putri
istana.
Sekarang aku tidak mempunyai
hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan
pejabat di istana yang dapat
membantu kami. Aku dan Ling Ay
ingin bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."
"Akan tetapi, apa yang dapat
kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya. "Ayah, dengan
kepandaianku sekarang, aku dapat
menjadi pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, atau dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri, sedangkan Ling Ay dapat menjadi dayang atau pelindung para puteri.
Kalau perlu, kami bersedia diuji
kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya
kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia memang mempunyai
banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang membutuhkan
nasihatnya sebagai seorang
sasterawan yang berpengalaman
dengan urusan istana, maka diapun berhasil.
Kwan Hwe Li yang biarpun usianya
sudah lima puluh tahun masih
nampak cantik itu diterima sebagai
pelatih silat dan tugasnya melatih
para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai seorang pengawal
permaisuri dan para puteri.
Guru dan murid ini dengan mudah lulus dalam ujiaa yang dilakukan
komandan pasukan pengawal istana.
**********
Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih tegap dan tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua
matanya tidak buta, tentu dia akan
mampu melakukan perjalanan cepat sekali.
Bekas pangeran ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, sepandai-pandainya dia, karena
kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan perjalanan
sambil meraba-raba dengan
tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...
Belum lama dia berpisah dari
muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk mencari puterinya,
Tiauw Hui Hong, dan melihat
keadaan kerajaan Chi di Nan-king,
baru kurang lebih dua li saja dia
melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan mereka lewat dengan cepat seperti tidak
memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat meraba-raba jalan itu.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong
terkejut karena dari gerakan lari dua orang itu, dia dapat mengetahui
bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Akan tetapi karena mereka hanya
berpapasan di jalan, diapun tidak
memperdulikan lagi, tidak tahu
bahwa dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari
belakang.
Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong. "Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia" Itulah laki-laki yang kumaksudkan."
Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika
berpapasan, ia tidak memperhatikan dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan selangkah demi
selangkah mempergunakan
tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"
"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan aku
tahu bahwa aku bukan
tandingannya.
Kau bantu aku membunuh keparat
jahanam itu seperti yang
telah kau janjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi
dari sini."
Biarpun masih ragu karena harus
mengeroyok seorang laki-laki tua
yang buta, namun karena dijanjikan akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah benar-benar Kwan Im Sianli tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu.
Kalau ternyata wanita cantik itu mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil
mencabut pedangnya. "Laki-laki yang buta mata dan hatinya, saat ini
engkau akan mati di tanganku!"
bentak Kwan Im Sianli dan ia segera menyerang dengan pedangnya,
menusuk dada pria itu dengan kuat
dan cepat.
"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong
menggerakkan tongkatnya dan
tusukan pedang itu tertangkis. "Kwan Im Sianli ..." Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"
"Tidak perlu bicara lagi,
mampuslah!?" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan
sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong melayaninya, karena dia maklum
bahwa wanita bekas kekasihnya
ketika masih menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat
hebat.
Dan dia tidak mungkin hanya
menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi
seorang lawan sehebat Kwan Im
Sianli yang menjadi seorang datuk
persilatan harus balas menyerang, kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas.
Tongkatnya bergerak cepat dan kini
Kwan Im Sianli mulai terdesak. Dia ingin mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat,
karena kalau dia melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi
semakin sakit hati kepadanya.
Maka, Tiauw Sun Ong juga
mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit lawan, sinar
tongkatnya bergulung-gulung dan
tongkat itu bagaikan seekor naga
yang bermain-main di angkasa,
membuat sinar pedang Kwan Im
Sianli semakin menyempit.
Melihat betapa wanita cantik itu
benar-benar terdesak oleh si buta,
barulah Hui Hong percaya betapa
lihainya orang buta itu. Melihat
jalannya pertandingan, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah.
Ia pun mencabut siang-kiam
(sepasang pedang) dari punggungnya dan meloncat, terjun ke dalam medan perkelahian. Sepasang pedang
menyambar-nyambar ganas.
"Trang-tranggg ...!!" Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia terkejut sekali karena maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga yang cukup
kuat.
"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru
Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang
wanita itu menyerangnya dengan
hebat.
Akan tetapi karena tenaga kedua
orang itu disatukan dalam suatu
serangan yang berbareng,
tangkisannya membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah
untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah
mengambil keputusan untuk
membunuh pria yang pernah
membuatnya tergila-gila ini.
Lebih baik bekas pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu
merindukannya tanpa ada harapan
sedikitpun. pria yang dicintanya ini
tidak mau menjadi teman hidupnya,
maka lebih baik melihat dia mati!
Kwan Im Sianli memperhebat
serangannya dan Hui Hong juga
mengerahkan tenaga karena ia tadi
merasakan betapa kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang pedangnya terpental.
Maklum bahwa bicara tidak ada
gunanya terhadap Kwan Im Sianli
yang berhati keras, terpaksa Tiauw
Sun Ong memutar tongkat membela diri.
Dia maklum bahwa orang yang
membantu Bwe Si Ni itu bukan
Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti
tidak mau bekerja sama dengan
saingannya itu.
Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya,Kwan Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.
Hui Hong bersungguh-sungguh
membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai
terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya.
Bajunya robek dan pundak itu
berdarah. Maklum bahwa akhirnya
dia akan roboh dan tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan
untuk melarikan diri melainkan
mencari kesempatan untuk bicara.
"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku,
akan tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau
mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!
Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan
memutar pedangnya menyerang
dahsyat!
Thiauw Sun Ong menangkis, akan
tetapi tangan kiri wanita itu
menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia
bergulingan menjauh, dikejar oleh
Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini
menggerakkan pedangnya untuk
mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat
menangkis dari samping.
"Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku
sendiri!" bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.
Kwam Im Sianli menangkis dan
melompat ke belakang, tertawa
nyaring.
"Heh-heh-heh, aku memang amat
membencinya. Aku ingin anaknya
sendiri yang membunuhnya, hi-hik!"
"Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im
Sianli dan begitu pedang mereka
bertemu Hui Hong terhuyung ke
belakang.
"Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu
anakku, demi Tuhan, kubunuh
engkau!" Tiauw Sun Ong kini
menerjang dengan tongkatnya!" dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan
mengerahkan tenaganya, Kwan Im Sianli terpental ke belakang!
Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga terjadi
perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam
perasaan mengaduk hatinya.
Perasaan girang karena ia bertemu
ayahnya, juga rasa haru melihat
ayahnya buta, dan bangga karena
ternyata ayahnya seorang yang
berilmu tinggi.
Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli sudah repot dan
terdesak, apalagi setelah Hui Hong
mengeroyoknya.
Kwan Im Sianli sudah mencari
kesempatan untuk melarikan diri
ketika tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan
pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal
budi orang, engkau patut dibunuh.
Sejak kecil aku merawatmu,
mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo
cepat berlutut!"
Akan tetapi sebelum Hui Hong
menjawab. Tiauw Sun Ong yang
menegur orang itu, "Ouwyang Sek.
engkau manusia busuk. Hui Hong
adalah anakku, anak kandung,
engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang
mencarimu untuk membalas atas
kematian isteriku! Kwan Im Sianli,
mari kita bunuh ayah dan anak
keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya.
keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus melakukan
penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi seingatnya, ayahnya dahulu
mempunyai empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang
sekarang masih menemani ayahnya tinggal di situ.
"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin
bicara." katanya tak sabar.
"Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian)
menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang
tamunya duduk di ruangan tamu
yang berada di samping kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay
memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang
bentuknya kran.
Diam-diam Kwan Hwe Li terharu
melihat keadaan kamar itu. Semua
perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai nampak tua dan
butut.
Ruangan itu, yang dahulu nampak
mewah, kini kehilangan
kemewahannya dan
bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang
semestinya minta ganti yang baru
dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang tua dan buruk.
Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu menengok, memandang ke arah pintu sebelah dalam yang terbuka.
Seorang wanita berusia enam
puluhan tahun muncul di ambang
pintu dan biarpun wanita itu sudah kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengenalnya.
Inilah ibu tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit!
Namun, di antara para ibu tirinya,
wanita inilah yang sikapnya paling
ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.
"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh keraguan.
Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun yang lalu!
"Kau ... kau ... Hwe Li ...!" Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak dari Hwe Li!
Bagaimana ibumu sekarang, nak"
Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan ramahnya menghampiri
dan merangkul pundak Hwe Li.
Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa terharu.
Wanita ini, biarpun sekarang sudah
tua dan keluarganya jatuh miskin,
masih tetap ramah dan periang
seperti dahulu. Pantas saja ayahnya
masih mempertahankannya untuk
menemanimu di situ.
"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.
"Ehh ...?"" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin!
Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana
mungkin engkau Hwe Li?"
"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah. Bagaimana dengan ayah" Aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li" Kami sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang wanita sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi tua?"
Hwe Li tersenyum, merangkul
pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab seperti sahabat baik
dengannya. "Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan" Oh, aku sampai lupa, Ibu, ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke Tiga."
Ling Ay cepat membungkuk dan
memberi hormat. Wanita tua itu
memandang, terheran-heran. "Kalau engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali! Engkau masih
secantik dan semuda dahulu, dan
engkau bahkan seperti kakak beradik
saja dengan muridmu ini."
"Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak jauh dari ruangan tengah. Setelah mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik, "Hwe Li, biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani mengganggunya."
"Ibu, biarlah aku yang memangil
ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk
daun pintu, lalu mengerahkan khi
kang sehingga biar suaranya hanya
lirih, namun suara itu menembus ke
dalam kamar dan akan terdengar
dengan jelas sekali oleh orang yang berada di dalam kamar.
"Ayah, aku Kwan Hwe Li datang untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan
terdengar suara kaget dari dalam.
Suara Hwe Li yang didorong kekuatan khi-kang itu terdengar jelas sekali
oleh kakek Kwan yang bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ... " Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun
pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas
karena terharu melihat ayahnya kini
telah menjadi seorang kakek tua
renta!
Biarpun dahulu, tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya seorang laki-laki yang lemah dan tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun
ayahnya yang lemah lembut itu
memiliki gairah hidup yang timbul
karena jiwa seninya.
Kini, hanya sepasang mata itu yang masih nampak hidup bersemangat,
akan tetapi tubuhnya sudah lemah
dan gemetaran!
"Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua
lengannya merangkul, ia merasakan
betapa kedua lengannya memeluk
kerangka, seolah tubuh itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.
"Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya
yang ke tiga tadi, dia mendorong
tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan
penuh keheranan.
"Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"
Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan kebiasaan kaum wanita.
Biasanya, perasaan wanita amatlah
halus dan peka, dan hal ini membuat
mereka emosionil dan air mata
mereka selalu siap untuk dicucurkan
dalam tangis.
Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li
bukan wanita biasa lagi. Hatinya
sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit. Hatinya tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi
tangis.
Namun kini, hampir ia tidak dapat
menahan untuk tidak terisak
menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada sebutir dua air mata yang sempat meloncat keluar.
"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."
"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke ruangan tengah di mana mereka duduk
dengan penuh kegembiraan.
Kakek Kwan meneriaki para
pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu menyuruh mereka
mempersiapkan pesta seadanya
untuk merayakan pulangnya puteri itu.
"Ayah, ini adalah Cia Ling Ay,
muridku. Ling Ay, inilah ayahku,
sekarang telah tua sekali." Ling Ay
cepat memberi hormat kepada orang tua itu.
Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada
hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia berkata, "Hwe Li, ketika kami mendengar berita bahwa
engkau telah menjadi seorang tokoh
dunia persilatan, dan kabar itu amat
menggelisahkan hatiku karena
engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang berwatak iblis.
Aku membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita
setengah tua yang menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang membenci keluarga kita.
Engkau ternyata masih tetap Hwe Li yang dahulu, dan engkau tidak seperti iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi meninggalkan rumah itu.
"Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, bahkan aku harus mengakui dia lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu.
Beliau juga menawarkan kedudukan
lama kepadaku, akan tetapi aku
sudah merasa terlalu tua untuk
bekerja, Hwe Li.
Aku lebih suka menghabiskan sisa
hidupku dengan mempelajari kitab-
kitab agama dan bersamadhi. Aku
tidak bersemangat lagi untuk
mencampuri urusan dunia yang
penuh dengan pertentangan. Lalu
sekarang ceritakan semua
pengalamanmu setelah engkau pergi meninggalkan rumah ini, anakku."
Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay
juga ingin sekali mendengarkan
karena selama ini, gurunya belum
pernah menceritakan dengan jelas
tentang latar belakang
kehidupannya.
Pada saat itu, selir ke dua dari kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia
pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia
segera mengenali Hwe Li.
Segera iapun ikut pula duduk di
ruangan itu dan mereka semua kini
menanti Hwe Li menceritakan
pengalamannya yang tentu akan
menarik sekali.
"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?" Setelah menghela napas
panjang Hwe Li bertanya dan
memandang kepada ayahnya dan kedua orang ibu tirinya.
Ayahnya mengangguk dan diapun
menarik napas panjang. "Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa itu" Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong,melakukan perbuatan yang memalukan itu, engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi
meninggalkan keluargamu tanpa
pamit!"
"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang sudah lolos dari sebagai seorang buta.
Tekadku untuk membunuhnya
karena ia telah menghancurkan
kebahagiaan hatiku, telah
mengkhianatiku, dan kami saling
mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak
senonoh dengan selir kaisar.
Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw, aku mempelajari ilmu silat
dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan
menghela napas panjang. "Eehhh,
kenapa engkau menuruti nafsu
amarah" Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan dendam sakit hati, anakku"
Sekali kita membiarkan nafsu
merajalela di hati, nama kita akan
diperhamba dan nafsu akan menjadi
pembimbing kita yang akan
menyelewengkan jalan hidup kita."
Kwan Hwe Li tersenyum simpul
mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang dengan segala macam
petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara macam pelajaran tentang kebatinan dan
agama.
Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya hancur oleh
perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia kang-ouw. ia makin
jauh meninggalkan segala yang
berbau pelajaran kebatinan itu.
Kini ia mendengar lagi petuah
ayahnya, dan betapa hambarnya
semua itu. ia maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu
banyak perbuatan dilakukan tanpa
memperhitungkan baik buruknya.
Kalau perbuatannya dianggap kotor, maka kotoran itu telah sedemikian
tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan
pengetahuan kebatinan, tidak akan dapat membersihkannya!
Bukannya ia tidak tahu bahwa ia
telah menjadi seorang datuk sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua
perbuatannya selama ini oleh umum dianggap jahat,berdosa dan
sebagainya.
Akan tetapi ia tidak mampu
meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.
"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu
kepada Pangeran Tiauw Sun Ong?"
tanya ibu tirinya yang ke dua.
Wajah Hwe Li berubah muram dan
menggeleng kepala. "Berkali-kali aku mencobanya, akan tetapi jahanam itu ternyata setelah menjadi buta,
memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga semua
percobaanku gagal.
Aku tidak pernah dapat menang
dalam pertandingan melawannya. Dia
memang lihai bukan main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan bahwa kalau aku menyerangnya
dengan niat membunuh, sebaliknya
dia yang selalu mengalahkan aku,
tidak pernah mencoba untuk
membunuhku, bahkan melukaikupun belum pernah!"
"Siancai ...!" Kakek Kwan berseru
dengan suara pujian. "Itu
menandakan bahwa dia masih sayang kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya sehingga
tidak mau melukaimu, anakku.
Engkau seharusnya berterima kasih karena ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan telah
menjadi buta matanya itu ternyata
tidak buta hatinya."
"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia mencintaku, karena aku telah membujuknya
untuk hidup bersama akan tetapi dia selalu menolak.
Tidak, dia sengaja memamerkan
kepandaiannya untuk mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi.
Akan tetapi sekarang aku merasa
puas, ayah.
Aku telah menemukan jalan untuk
membuat dia menderita seperti aku, tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara tawanya merdu,
namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik karena dalam suara
tawa itu terkandung sesuatu yang
mengerikan.
"Siancai ... semoga Tuhan akan
menyadarkanmu, anakku. Dan
setelah engkau pulang, kami harap
engkau dan muridmu akan terus
tinggal di sini.
Engkau mau menemaniku ayahmu
yang tidak akan lama lagi berada di
dunia ini, bukan?" Dalam suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan mengeluarkan ucapan itu
karena rasa iba diri, melainkan
mempunyai maksud lain.
Dia menghendaki agar puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga
lambat laun dia akan mampu
membersihkan hati puterinya dan
menyadarkannya bahwa cara
hidupnya yang lalu adalah suatu
penyelewengan dari pada kebenaran.
"Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan terutama sekali aku ingin mencoba mengisi
hidupku dengan keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan lagi dengan istana.
Mungkinkah itu, ayah" Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan
keluarga kaisar yang baru dan
dapatkah ayah membantuku, seperti
dahulu ketika aku masih gadis
muda?"
"Aih, mana mungkin itu, anakku"
Dahulu, ayahmu ini masih
mempunyai kedudukan, apalagi
ayahmu ini yang mengajarkan sastra
kepada para pangeran dan putri
istana.
Sekarang aku tidak mempunyai
hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan
pejabat di istana yang dapat
membantu kami. Aku dan Ling Ay
ingin bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."
"Akan tetapi, apa yang dapat
kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya. "Ayah, dengan
kepandaianku sekarang, aku dapat
menjadi pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, atau dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri, sedangkan Ling Ay dapat menjadi dayang atau pelindung para puteri.
Kalau perlu, kami bersedia diuji
kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya
kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia memang mempunyai
banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang membutuhkan
nasihatnya sebagai seorang
sasterawan yang berpengalaman
dengan urusan istana, maka diapun berhasil.
Kwan Hwe Li yang biarpun usianya
sudah lima puluh tahun masih
nampak cantik itu diterima sebagai
pelatih silat dan tugasnya melatih
para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai seorang pengawal
permaisuri dan para puteri.
Guru dan murid ini dengan mudah lulus dalam ujiaa yang dilakukan
komandan pasukan pengawal istana.
**********
Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih tegap dan tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua
matanya tidak buta, tentu dia akan
mampu melakukan perjalanan cepat sekali.
Bekas pangeran ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi, sepandai-pandainya dia, karena
kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan perjalanan
sambil meraba-raba dengan
tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...
Belum lama dia berpisah dari
muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk mencari puterinya,
Tiauw Hui Hong, dan melihat
keadaan kerajaan Chi di Nan-king,
baru kurang lebih dua li saja dia
melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan mereka lewat dengan cepat seperti tidak
memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat meraba-raba jalan itu.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong
terkejut karena dari gerakan lari dua orang itu, dia dapat mengetahui
bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Akan tetapi karena mereka hanya
berpapasan di jalan, diapun tidak
memperdulikan lagi, tidak tahu
bahwa dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari
belakang.
Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong. "Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia" Itulah laki-laki yang kumaksudkan."
Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika
berpapasan, ia tidak memperhatikan dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan selangkah demi
selangkah mempergunakan
tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"
"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan aku
tahu bahwa aku bukan
tandingannya.
Kau bantu aku membunuh keparat
jahanam itu seperti yang
telah kau janjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi
dari sini."
Biarpun masih ragu karena harus
mengeroyok seorang laki-laki tua
yang buta, namun karena dijanjikan akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah benar-benar Kwan Im Sianli tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu.
Kalau ternyata wanita cantik itu mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil
mencabut pedangnya. "Laki-laki yang buta mata dan hatinya, saat ini
engkau akan mati di tanganku!"
bentak Kwan Im Sianli dan ia segera menyerang dengan pedangnya,
menusuk dada pria itu dengan kuat
dan cepat.
"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong
menggerakkan tongkatnya dan
tusukan pedang itu tertangkis. "Kwan Im Sianli ..." Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"
"Tidak perlu bicara lagi,
mampuslah!?" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan
sepenuh tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong melayaninya, karena dia maklum
bahwa wanita bekas kekasihnya
ketika masih menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat
hebat.
Dan dia tidak mungkin hanya
menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi
seorang lawan sehebat Kwan Im
Sianli yang menjadi seorang datuk
persilatan harus balas menyerang, kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas.
Tongkatnya bergerak cepat dan kini
Kwan Im Sianli mulai terdesak. Dia ingin mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat,
karena kalau dia melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi
semakin sakit hati kepadanya.
Maka, Tiauw Sun Ong juga
mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit lawan, sinar
tongkatnya bergulung-gulung dan
tongkat itu bagaikan seekor naga
yang bermain-main di angkasa,
membuat sinar pedang Kwan Im
Sianli semakin menyempit.
Melihat betapa wanita cantik itu
benar-benar terdesak oleh si buta,
barulah Hui Hong percaya betapa
lihainya orang buta itu. Melihat
jalannya pertandingan, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah.
Ia pun mencabut siang-kiam
(sepasang pedang) dari punggungnya dan meloncat, terjun ke dalam medan perkelahian. Sepasang pedang
menyambar-nyambar ganas.
"Trang-tranggg ...!!" Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia terkejut sekali karena maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga yang cukup
kuat.
"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru
Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang
wanita itu menyerangnya dengan
hebat.
Akan tetapi karena tenaga kedua
orang itu disatukan dalam suatu
serangan yang berbareng,
tangkisannya membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah
untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah
mengambil keputusan untuk
membunuh pria yang pernah
membuatnya tergila-gila ini.
Lebih baik bekas pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu
merindukannya tanpa ada harapan
sedikitpun. pria yang dicintanya ini
tidak mau menjadi teman hidupnya,
maka lebih baik melihat dia mati!
Kwan Im Sianli memperhebat
serangannya dan Hui Hong juga
mengerahkan tenaga karena ia tadi
merasakan betapa kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang pedangnya terpental.
Maklum bahwa bicara tidak ada
gunanya terhadap Kwan Im Sianli
yang berhati keras, terpaksa Tiauw
Sun Ong memutar tongkat membela diri.
Dia maklum bahwa orang yang
membantu Bwe Si Ni itu bukan
Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti
tidak mau bekerja sama dengan
saingannya itu.
Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya,Kwan Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.
Hui Hong bersungguh-sungguh
membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai
terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya.
Bajunya robek dan pundak itu
berdarah. Maklum bahwa akhirnya
dia akan roboh dan tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan
untuk melarikan diri melainkan
mencari kesempatan untuk bicara.
"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku,
akan tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau
mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!
Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan
memutar pedangnya menyerang
dahsyat!
Thiauw Sun Ong menangkis, akan
tetapi tangan kiri wanita itu
menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia
bergulingan menjauh, dikejar oleh
Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini
menggerakkan pedangnya untuk
mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat
menangkis dari samping.
"Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku
sendiri!" bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.
Kwam Im Sianli menangkis dan
melompat ke belakang, tertawa
nyaring.
"Heh-heh-heh, aku memang amat
membencinya. Aku ingin anaknya
sendiri yang membunuhnya, hi-hik!"
"Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im
Sianli dan begitu pedang mereka
bertemu Hui Hong terhuyung ke
belakang.
"Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu
anakku, demi Tuhan, kubunuh
engkau!" Tiauw Sun Ong kini
menerjang dengan tongkatnya!" dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan
mengerahkan tenaganya, Kwan Im Sianli terpental ke belakang!
Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga terjadi
perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam
perasaan mengaduk hatinya.
Perasaan girang karena ia bertemu
ayahnya, juga rasa haru melihat
ayahnya buta, dan bangga karena
ternyata ayahnya seorang yang
berilmu tinggi.
Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli sudah repot dan
terdesak, apalagi setelah Hui Hong
mengeroyoknya.
Kwan Im Sianli sudah mencari
kesempatan untuk melarikan diri
ketika tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan
pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal
budi orang, engkau patut dibunuh.
Sejak kecil aku merawatmu,
mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo
cepat berlutut!"
Akan tetapi sebelum Hui Hong
menjawab. Tiauw Sun Ong yang
menegur orang itu, "Ouwyang Sek.
engkau manusia busuk. Hui Hong
adalah anakku, anak kandung,
engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang
mencarimu untuk membalas atas
kematian isteriku! Kwan Im Sianli,
mari kita bunuh ayah dan anak
keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya.
Nampak pedang berubah menjadi
sinar bergulung-gulung. Memang
datuk ini, lihai ilmu pedangnya
sehingga dia memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu dikeroyok dua.
Sejenak Hui Hong terbelalak dengan
muka pucat, Ibunya telah mati! Tadi
Ouwyang Sek mengatakan bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong untuk membalas atas kematian
isterinya. Mungkin Tiauw Sun Ong
yang membunuh ibunya"
"Tahan ... !!" Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk melerai perkelahian itu dengan menerjang ditengah antara mereka.
"Ayah ... " Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya, "apa maksudmu dengan mengatakan kematian ibu?" Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu pedangnya ditudingkan ke arah si buta itu.
"Dia datang dan dia yang
menyebabkan ibumu mati!"
Hui Hong memutar tubuh
menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika ia bertanya,
"Benarkah itu" Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"
Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu
menunjukkan pertanyaannya
kepadanya. Dia menghela napas panjang, "Hui Hong, ibumu memang tewas, ia membunuh diri setelah
bertemu denganku, karena kini ia
tidak lagi perlu menyiksa batin
menjadi isteri iblis ini.
Dahulu ibumu terpaksa menjadi
isterinya karena hendak
menyelamatkan engkau."
"Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus di tanganku, dan
kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak mengenal
budi, hendak membelamu. iapun
akan kubunuh!"
Ouwyang Sek menerjang lagi,
menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan meluap, dan Kwan Im
Sianli juga menggerakkan pedang membantunya mengeroyok.
Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar
tongkat menangkis dan membuat
pedang kedua orang datuk itu
terpental.
"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu
anakku, demi Tuhan, aku tidak akan
pantang membunuh kalian!"
Dua orang datuk itu kembali
mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah terluka, Tiauw Sun Ong mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih.
Sejenak Hui Hong bimbang, akan
tetapi entah mengapa, ia merasa
kagum dan percaya kepada orang
buta yang ia tahu adalah ayah
kandungnya itu,maka tanpa banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu
ayahnya!
Kekurangan tingkat kepandaian Hui
Hong dibandingkan kedua orang
lawannya ditutup oleh kelebihan
tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu
melindungi dan membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi amat serunya.
Namun, tanpa diketahui orang lain
karena dia tidak pernah
mengendurkan semangatnya dan
tidak pernah mengeluarkan keluhan,
diam-diam Tiauw Sun Ong merasa
khawatir karena luka dipundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi
kekuatannya.
Oleh karena itu,dia mengeluarkan
suara melengking panjang ketika
membentak dan tiba-tiba saja
gerakannya amat dahsyat menerjang ke arah Ouwyang Sek.
Datuk ini terkejut, mencoba untuk
mengelak, namun tetap saja ujung
tongkat Tiauw Sun Ong berhasil
menotok dada kanannya dan datuk
itupun terpelanting roboh dan
mengerang kesakitan.
Dia mencoba untuk bangkit, akan
tetapi terkulai kembali.
Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong membuat ia terhuyung ke belakang.
Kini, ayah dan anak itu berdiri
berdampingan dan menghadap ke
arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek,
sudah menggeletak dan tidak mampu bangkit berdiri lagi.
"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan
ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apalagi.
Pergilah!"
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni
mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang
penuh kebencian.
"Tiauw Sun Ong, engkau boleh
menganggap tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi dendam ini akan kubawa sampai mati."
Setelah berkata demikian, ia
membantu Ouwyang Sek bangun
berdiri, lalu menggandeng dan
memapah datuk yang sudah
dikenalnya dengan baik itu pergi dari situ, diikuti pandang mata ayah dan anak itu.
Setelah mereka pergi jauh. barulah
Tiauw Sun Ong menghela napas,
kemudian dia duduk bersila dan mengatur pernapasan dan nampak
terengah lemah.
"Kau ... terluka ... " Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan
merasa kikuk untuk menyebut ayah.
Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia
menghampiri orang tua buta itu,
merobek baju di dadanya dan
memeriksa pundak yang terluka.
Hanya luka daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak
darah.
Hui Hong menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah, lalu mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di
pundak ayahnya itu. Kemudian ia
mengeluarkan sehelai kain ikat
pinggang dari buntalan pakaian dan
membalut pundak ayahnya.
Setelah itu, ia duduk bersila di dekat ayahnya. Semua itu dilakukannya
tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di atas tanah,
merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.
"Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu.
"Engkau ... mau memaafkan aku?"
Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya mencinta orang ini.
Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa walaupun kedua matanya buta.
"Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami berdua?" Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak bicara itu buta, iapun berkata,
"Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku, bahwa aku bukan
anak Ouwyang Sek, dan ibu hanya
mengatakan bahwa ayah kandungku bernama Tiauw Sun Ong.
Ibu tidak tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli
mengajakku untuk menunjukkan di
mana Tiauw Sun Ong, aku ikut
dengannya, dengan janji bahwa aku akan membantunya membunuh laki-laki yang telah menghancurkan
hidupnya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa yang hendak dibunuh itu
adalah ... Tiauw Sun Ong yang oleh
ibu dikatakan ayah kandungku itu.
Apakah engkau ini yang bernama
Tiauw Sun Ong" Apakah engkau ini
suami ibuku, dan engkau ini
sebenarnya ayah kandungku?"
Sebetulnya Hui Hong sudah
mendengar cerita ibunya mengenai
hubungan ibunya dengan Tiauw Sun
Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini untuk
meyakinkan hatinya bahwa orang ini benar ayah kandungnya.
"Aku Tiauw Sun Ong. dahulu
pangeran kerajaan Liu-sung, dan
ibumu Pouw Cu Lan, selir kakakku yang menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta.
Namun, hubungan antara kami
diketahui, dan Kaisar memarahi kami. Aku merasa berdosa dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua mataku, diampuni dan aku
lolos dari istana, menuntut ilmu.
Aku mendengar bahwa ibumu
dihukum buang oleh Kaisar, sama
sekali aku tidak tahu bahwa ia
ditolong oleh Ouwyang Sek dan
diperisteri. Ia mau menjadi isteri
Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah mengandung engkau, Hui Hong.
Ia ingin menyelamatkanmu.
Ah, betapa aku telah membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya,
dan ketika aku datang kesana untuk
meminangmu, setelah aku
mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe Li, aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan Im Sianli untuk mencari aku. Ibumu begitu
bertemu dengan aku, merasa malu
dan menyesal, dan ia membunuh
diri."
Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan kesedihan
hatinya dan iapun meraba-raba ke
arah puterinya dan di lain saat mereka telah saling rangkul dan bertangisan.
"Ayah ... " Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah
anak dari hubungan gelap antara
pangeran Tiauw Sun Ong dan selir
kaisar, dan hubungan itu
mengakibatkan ayah kandungnya
membutakan mata sendiri, dan kini mengakibalkan ibunya membunuh diri!
"Ayah, kasihan sekali ibu ... "
ia meratap. Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya. "Sudah
takdir demikikian, anakku. Aku
membutakan mata, ibumu
membunuh diri, dan semoga Tuhan
mengampuni dosa-dosa kami.
Marilah, anakku, kita kembali ke Hoa-san dan kita bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki Hoa-san. Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat luka
ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah kandungnya, dan ketika ayah
kandungnya menyatakan bahwa dia setuju menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui Hong yang mencinta Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya
menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.
*** Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai, bagaikan tanaman yang
digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai, sebuah negara akan menjadi aman tenteram
dan subur makmur seperti jalannya kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh
penguasa yang bijaksana dan pandai pula.
Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia mencintai negara dan bangsanya, mementingkan kebutuhan rakyat di atas kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan pembangunan
dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan papa, menuntun dan membimbing,
memberi modal kepada yang miskin, memberi penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan
mendidik kepada yang jahat. Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada umumnya adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman dari alat
negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah
serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha
sekuat tenaga untuk memenuhi semua ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang
pandai merangkul orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang, akan tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang menjegal kebijaksanaannya, menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan
kekuasaannya.
**********
TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya, Kerajaan Chi telah
mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaannya ketika
kerajaan Liu-sung masih berdiri.
Rakyat, seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka,
membutuhkan contoh dari para pemimpin para pejabat pemerintah.
Orang tua yang cerewet, hanya
memberi teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak kalau hanya dijejali slogan-slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato berapi-api memberi nasihat itu sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.
Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana.
Pengeluaran untuk kepentingan pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru
yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk lagi, dengan sendirinya rakyat
mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu. Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini
akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.
Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-ngejar sisa keluarga kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau bekerja membantu kerajaan baru untuk memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai
orang-orang berilmu, maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk membantu pemerintah.
Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja tidak lepas dari
pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah utara yang didirikan oleh bangsa Toba atau Tartar yang menguasai wilayah utara dari lembah Sungai Kuning ke utara.
Adapun kerajaan Chi mempunyai wilayah dari utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan Wei di antara dan kerajaan di Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya menjadi daerah penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw.
Pemerintah daerah di wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan berkuasa.
Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu sebagai pengganti Kaisar Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan makmur dan didukung rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya
dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu mengumpulkan para
pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil keputusan untuk mengirim orang-orang pandai
untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu
dengan menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.
Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam istananya. Kaisar Thai Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah
gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah kanannya duduk seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah yang merupakan Kok-su
(Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri. Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir.
Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman.
Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi saudara-saudara
seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan penuh membantu kaisar dalam
pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian sombongnya sehingga berani menggunakan julukan
Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara) bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk Huang-ho-kwi (Setan
Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit, adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)!
Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan dalam rapat ini, Kaisar memberi tugas kepada mereka bertiga untuk
melawat ke selatan dan membawa
anak buah pilihan mereka untuk
mengguncang kerajaan Chi tanpa
melalui perang, melainkan melalui
pengrusakan dan pengacauan.
Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang yang tangguh,mengumpulkan seratus orang dan membentuk
kesatuan baru yang mereka namakan Thian-te-kwi pang(Perkumpulan
Setan Bumi Langit), nama yang
dipakai untuk menghormati guru
mereka, yaitu Thian-te Seng-jin.
Bagaikan segerombolan iblis yang
menyeramkan, seratus orang ini
bersama tiga orang pemimpin
mereka, melakukan perjalanan,
menyusup ke selatan
secara berpencar.
Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan
penyusupan itupun dilakukan
secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota raja Nan-king tenang-tenang dan tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan manusia iblis
menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau
setidaknya mengacaukan ketenangan
hidup mereka.
Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan
tumbuh-tumbuhan sedang segar
segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil
menikmati keindahan bumi yang
dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang
segar. Di dalam sebuah hutan, di
luar kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu
binatang dengan anak panah mereka.
Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya nampak cantik sekali. Dari pakaian
mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua adalah wanita-wanita
bangsawan, akan tetapi bukan
puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh para pengawal wanita dari istana kaisar.
Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia lima puluhan tahun yang
masih cantik manis seperti berusia
tiga puluh tahun saja itu adalah Bi
Moli Kwan Hwe Li yang kini menjadi guru yang mengajarkan silat kepada para perwira pasukan kerajaan,
sedangkan yang muda, berusia dua
puluh tiga tahun dan cantik manis,
adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli,
yang kini bekerja di istana sebagai
pengawal pribadi permaisuri dan
juga mengajarkan silat kepada para
puteri istana dan para pengawal
wanita.
Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan
memburu binatang. Guru dan murid ini, yang telah memperoleh
kedudukan lumayan, merasa gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li
telah merobohkan seekor kijang
dengan panahnya, sedangkan
muridnya,
Cia Ling Ay, telah merobohkan dua
ekor kelinci. Mereka
manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di tepi hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.
Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan kuda mereka,
mereka tidak lagi milihat binatang
buruan. Ling Ay yang merasa
perutnya lapar karena mereka tadi
berangkat pagi sekali dan ia belum
makan apa-apa, teringat akan dua
ekor kelinci hasil buruannya dan
seekor kijang hasil buruan gurunya.
"Subo, sebaiknya kita sudahi saja
perburuan ini. Perut teecu (murid)
lapar sekali dan sebaiknya daging
kelinci dan kijang itu dipanggang
selagi masih segar."
Bi Moli tersenyum. "Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam hutan, menuju ke pohon besar di mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak
dimakan binatang hutan yang lain.
Ketika mereka tiba di tempat itu,
mereka melihat ada tiga orang laki-
laki sedang berdiri dan mengangkat
muka, memandang ke arah dua ekor
kelinci dan seekor kijang yang
tergantung di antara ranting pohon, menuding-nuding dan
membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka terbelalak heran melihat
bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang wanita cantik.
Di lain pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa tentu
mereka itu juga pemburu-pemburu
yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun terdapat
gendewa dan anak panah.
Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput, dua
orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya. "Sobat-sobat, apa yang kalian tonton?"
Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio.
Kami adalah tiga orang pemburu
yang hendak mencoba peruntungan
berburu di hutan ini. Kami biasanya
berburu di sebelah selatan, akan
tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak pemburu sehingga
hasil buruan hutan amatlah
kurangnya.
Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini dan kami merasa heran
melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu. Siapakah yang menyimpan buruan itu di sana,"
tanya di antara mereka yang
mukanya brewokan, suaranya
lantang namun sikapnya tegas dan
sopan. Mereka memandang ke arah
gendewa dan anak panah Bi Moli.
"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli. "Kami akan
mengambilnya sekarang dan akan memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali. Ling Ay, ambil ah kelinci dan kijang itu!"
"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis
itu sudah melayang naik ke atas dan hinggap di cabang pohon, lalu
mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat turun
dengan gerakan yang ringan dan
gesit.
Tiga orang itu saling pandang dan
seorang di antara mereka yang
mukanya licin halus seperti wajah
perempuan, memuji, "Kepandaian
nona sungguh hebat sekali. Kami
kagum dan taluk."
Orang ke tiga, yang pendek gemuk,
tersenyum. "Pantas saja ji-wi sepagi
ini telah merobohkan tiga ekor
binatang buruan yang gemuk dan
lezat dagingnya, sedangkan kami
bertiga belum mendapatkan apa-apa sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua
orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"
"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu
yang luar biasa!" kata pula si brewok.
Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay
mengerutkan alisnya. Ia tidak senang mendengar rayuan pria, hal yang
dianggapnya palsu, maka ia ingin
menghentikan rayuan mereka dan
berkata dengan suara yang agak
ketus.
"Kami bukanlah wanita pemburu!
Kami hanya iseng-iseng dan kami
tidak ingin berkenalan dengan para
pemburu."
Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si muka halus berseru heran, "Aih, bukan pemburu" Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi
tentulah wanita-wanita kangouw
yang bernama besar dan berilmu
tinggi!"
Ling Ay semakin tak senang. Diberi
tanda untuk menghentikan
percakapan, malah menjadi-jadi!
Untuk membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata, "Kami adalah perwira-perwira pengawal istana!
Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"
Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan iapun memilih batu yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perwira wanita dari
pasukan pengawal istana! Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi
pimpinan dari tiga orang itu, segera
mengangkat kedua tangan ke depan
dada, di kuti dua orang kawannya.
"Ah, mohon ji-wi sudi memberi maaf
kepada kami yang lancang berani
mengganggu ji-wi.
Akan tetapi, karena jiwi...
BERSAMBUNG KE JILID 11
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment