Tuesday, February 19, 2019

Cerita Silat Serial Kisah Si Pedang Kilat Jilid 05


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
  Serial Kisah Si Pedang Kilat

            Jilid 05



beberapa jurus saja dia terdesak 
mundur terus.

Pada saat Pek I Mo-ko terdesak, tiba-tiba terdengar bunyi suling ditiup orang. Suaranya melengking, naik turun tinggi rendah dan merdu sekali. 


Biarpun mungkin bagi orang lain suara ini biasa saja, suara sebatang 
suling yang dimainkan orang, namun bagi Pek I Mo-ko maupun Hui Hong terkejut sekali dan otomatis keduanya menahan senjata dan meloncat ke belakang. 

Mereka berdua menyangka bahwa
yang datang adalah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk besar majikan Bukit Bayangan Iblis! 


Kalau datuk itu yang datang, 
celakalah, demikian pikir Pek I Mo-ko maupun Hui Hong. Suma Koan adalah
seorang datuk sakti yang kepandaiannya setingkat dengan ayah Hui Hong. maka tentu saja kedua orang itu merasa jerih. 


Akan tetapi, ketika keduanya 
menoleh, ternyata yang muncul dan yang kini sudah menurunkan 
sulingnya dan tidak meniupnya lagi adalah seorang pemuda yang tampan sekali.

"Tok-siauw-kwi Suma Hok!" seru Pek I Mo-ko yang mengenal pemuda itu sebagai putera tunggal Suma Koan.
Suma Hok tersenyum dan deretan giginya berkilat. 


"Aha, kiranya Pek I Mo-ko masih 
mengenal aku" Bagaimana kabarnya, Moko?" kata pemuda itu dengan sikap seorang yang kedudukannya lebih tinggi.

"Baik-baik, Suma Kongcu," kata Pek I Mo-ko yang mengharapkan bantuan pemuda putera datuk besar itu. "Dan bagaimana dengan kongcu sendiri" Apa yang kongcu kehendaki maka datang ke tempat ini?"


Mendengar pertanyaan itu, Suma Hok tertawa dan mengerling ke arah Hui Hong. Gadis itupun memandang kepadanya dan diam-diam ia harus mengakui bahwa pemuda putera datuk Kui-siauw Giam-ong itu memang tampan dan gagah sekali, walaupun senyum dan pandang matanya membuat ia merasa tidak sedap di hati.


"Ha ha-ha, pertanyaan yang aneh dan lucu, Moko. Biarlah kujawab begini saja. 


Aku kebetulan lewat dan melihat engkau bertanding ... eh, maksudku terdesak oleh gadis cantik ini. 

Bukankah adik yang manis ini puteri dari Paman Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang terkenal itu, yang pernah menjadi guru dan majikanmu, Moko?"

Pek I Mo-ko dan Hui Hong diam-diam harus memuji kecerdikan Suma Hok, akan tetapi Hui Hong hanya
tersenyum mengejek tanpa 

mengatakan sesuatu.

"Bagaimana kongcu bisa menebak dengan tepat" Pernahkah kongcu 

bertemu dengan nona Ouwyang
Hui Hong ini?" 


Di dalam benak Pek I Mo-ko sedang bekerja keras untuk mencari jalan keluar yang baik dari ancaman ini. 

Dia harus dapat menarik putera datuk besar ini di pihaknya. Kalau terjadi kebalikannya dan dia dikeroyok dua, jelas itu berarti bencana baginya.
Kembali Suma Hok tersenyum dan menggerak-gerakkan sulingnya
dengan sikap gagah untuk berlagak.

"Ha-ha, apa sukarnya! Biarpun aku belum pernah bertemu dengan nona Ouwyang, aku sudah mendengar tentang namanya, dan melihat gaya permainan siang-kiam tadi, mudah diduga siapa ia.

Juga, kalau ia mencarimu lalu 
menyerangmu, siapalagi kalau ia 
bukan puteri Paman Ouwyang Sek yang tentunya hendak minta kembali Akar Bunga Gurun Pasir yang telah kaularikan dari Lembah Bukit
Siluman. 


Bukankah benar begitu, adik 
Ouwyang Hui Hong yang baik?"
Hui Hong cemberut. 


"Hemm, biarpun tebakkanmu benar, apa anehnya tebakan itu. Semua orang juga bisa menebaknya. 

Dan akupun bukan adikmu, dan tidak suka kau sebut adik yang baik! Tak perlu kau merayuku, karena kata-katamu tentu sama beracunnya dengan sulingmu, Suma Hok!"
Suma Hok tidak menjadi marah, bahkan tertawa bergelak mendengar ucapan galak ini, 

"Ha-ha-ha-ha, engkau memang manis sekali. Hong-moi (adik Hong) yang baik! Ha-ha-ha!"

Melihat sikap pemuda itu demikian manis dan akrab, tentu saja Pek I Mo-ko menjadi khawatir bukan main. 


"Suma Kongcu, bantulah aku menghadapi gadis ini. Kalau kita berdua melawannya, tentu kita dapat menangkapnya. Ia begitu cantik, apakah kongcu tidak ingi memilikinya! 

Nah, kaubantu aku, dan ia menjadi milikmu. Juga, aku akan memintakan hadiah yang besar untuk kongcu kepada Kaisar Wei Ta Ong!" Suma Hok memandang kepadanya dengan alis berkerut. 

"Pek I Mo-ko, apa kaukira aku ini seorang yang tolol dan suka mengabdi kepada orang Tartar macam engkau" 

Aku memang telah jatuh cinta kepada
adik Ouwyang Hui Hong ini, akan tetapi aku akan melamarnya dengan resmi. 


Nah, berikan Akar Bunga Gurun Pasir itu kepadaku, baru kuampuni nyawamu. 

Mustika itu akan kukembalikan kepada Paman Ouwyang ketika aku dan ayah datang melamar adik manis ini. 

Untuk membalas budi, tentu Paman
Ouwyang akan suka menerima aku sebagai mantu!"


Celaka, pikir Pek I Mo-ko dengan muka pucat. Akan tetapi karena dia bukan berhadapan dengan datuk besar Kui-siauw Giam-ong, melainkan hanya puteranya yang masih muda, diapun tidak gentar.


"Bocah sombong, kaukira aku takut padamu" Diajak kerja sama tidak mau, baik, mari kita lihat siapa di antara kita lebih lihai!" 


Diapun segera menyerang dengan pedang dan kipasnya.
Suma Hok yang maklum akan kelihatan Pek I Mo-ko, segera mengerahkan tenaga sin-kang pada
sulingnya dan menangkis, lalu balas menyerang. 


Setelah terjadi serang menyerang beberapa gebrakan, masing-masing mendapat kenyataan bahwa 
kepandaian mereka berimbang.
"Nona Ouwyang. daripada mustika terjatuh di tangan bocah ini, lebih baik kukembalikan kepada ayahmu. 

Nah, kau bantulah aku!" kata Pek I Mo-ko bukan karena dia takut kalah, melainkan dia maklum bahwa untuk mengalahkan pemuda ini bukan soal mudah dan yang dia takuti adalah kalau para jagoan istana dari Liu-sung datang ke tempat itu.

Tiba-tiba Hui Hong menggerakkan 

sepasang pedangnya dan ia 
menyerang Suma Hok! 

Tentu saja Pek I Mo-ko menjadi girang, sebaliknya Suma Hok terkejut bukan main.
"Trang-tranggg ...!" Dua kali sulingnya menangkis dan dia mendapat 
kenyataan bahwa puteri Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek itu memiliki sin-kang yang tak kalah kuat olehnya! 

Dia semakin kagum akan tetapi juga merasa penasasan sekali.
"Hong-moi ...!"
"Aku bukan apa-apamu, tak usah menyebut Hong-moi (dinda Hong), Hong-moi segala!" bentak Hui Hong sambil menyerang lagi dengan 

pedangnya.

Suma Hok meloncat ke belakang. "Nona Ouwyang, apakah engkau percaya kepada omongan orang yang telah berkhianat kepada ayahmu ini! 


Dia menipumu! Dia tidak akan mengembalikan mustika itu. Mari kita bunuh si Jahanam itu!"

Akan tetapi mana pemuda itu tahu akan isi hati Ouwyang Hui Hong" 


Gadis ini khawatir kalau benar-benar benda pusaka itu terjatuh ke tangan Suma Hok, kemudian Suma Hok dan ayahnya, datuk Suma Koan datang melamarnya kepada ayahnya sambil mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir tentu ayahnya akan merasa sungkan untuk menolaknya! 

Dari pada hal yang membuatnya khawatir itu benar terjadi, lebih baik benda langka itu tetap berada di tangan Pek I Mo-ko dan kelak ia akan dapat mencarinya dan merampasnya lagi. 

Itulah sebabnya mengapa ia 
menyerang Suma Hok, sehingga 
seolah-olah ia setuju dengan ajakan bekas pembantu dan murid ayahnya itu.

Melihat gadis itu benar-benar 

menyerang Suma Hok dengan 
dahsyat, tentu saja Pek I Moko 
menjadi girang. 

Tak disangkanya bahwa "siasatnya" berhasil. Dia sendiri tidak tahu bahwa penyerangan gadis itu terhadap Suma Hok sama sekali bukan karena 
keberhasilan siasatnya, Diapun cepat menggerakkan pedang dan kipasnya membantu Ouwyang Hui Hong mengeroyok Suma Hok.

Tingkat kepandaian tiga orang ini dapat dikata seimbang, maka kini menghadapi dua orang, tentu saja Suma Hok menjadi terdesak hebat. 


Untung pada saat itu, Pek I Mo-ko segera teringat bahwa andai kata dia dan Hui Hong berhasil merobohkan Suma Hok, tetap saja dia harus kembali menghadapi Hui Hong
yang tentu menuntut 

dikembalikannya akar itu! 

Teringat akan hal ini, juga karena khawatir para jagoan istana Liu-sung akan datang ke situ. 

Pek I Mo-ko pura-pura terhuyung ketika suling di tangan pemuda itu menangkis pedangnya. Akan tetapi dia bukan terhuyung begitu saja, bahkan sempat terjengkang lalu bergulingan sampai jauh, kemudian meloncat dan melarikan diri!"

Baik Hui Hong maupun Suma Hok melihat akal bulus Pek I Mo-ko ini.
"Keparat. Jangan lari!" bentak Hui Hong akan tetapi ia tidak sempat 
melakukan pengejaran karena Suma Hok memperhebat serangan 
sulingnya kepada gadis itu sambil tertawa-tawa. 

Suma Hok dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu merampas Akar Bunga Gurun Pasir atau menawan Hui Hong. Dan agaknya dia memilih yang kedua!
"Ha-ha, sekarang aku tahu mengapa engkau menyerangku. Engkau tidak ingin akar itu terjatuh ke tanganku, ya" 

Baik, ada cara lain yang akan 
memaksa engkau menerima 
pinanganku kelak. Kalau engkau 
sudah menjadi milikku, mustahil engkau akan berani menolak lamaran ayahku untuk menjadi isteriku, ha ha-ha!"

Wajah Hui Hong berubah merah sekali saking marahnya. 


"Jahanam busuk, lebih baik aku mati dari pada menerima lamaran Iblis macam engkau! Dan jangan harap engkan akan dapat mengalahkan aku." 

Gadis itu memperhebat gerakan 
sepasang pedangnya. Suma Hok 
terkejut dan cepat dia memutar 
sulingnya.

Namun, gerakan gadis itu sungguh luar biasa cepatnya sehingga nyaris lengan kirinya terbacok. Terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan jatuh terjengkang! 


Kiranya pemuda yang amat cerdik ini tadi melihat contoh yang dilakukan Pek I Mo-ko dan meniru kelicikan orang itu. 

Begitu terjengkang, dia bergulingan dan Hui Hong yang kini sudah "naik darah" oleh ucapan penuda tadi, melilat kesempatan baik ini segera mengejar, menubruk untuk memberi tusukan tusukan maut dengan kedua pedangnya.

Pada saat dia bengulingan. Suma Hok menggunakan tangan kiri 

dimasukkan ke saku dalam bajunya dan pada saat Hui Hong menubruk ke depan, tangan kirinya bergerak cepat ke arah muka gadis itu. 

Yang nampak hanya sinar merah dari sehelai saputangan merah yang 
dikebutkan oleh Suma Hok.
Hui Hong sama sekali tidak 
menyangka akan kecurangan ini. 

Apalagi melihat bahwa yang 
menyambar ke arah mukanya hanya ujung sehelai saputangan. Maka ia hanya miringkan kepalanya dan 
melanjutkans erangan pedangnya 
yang menusuk ke arah dada. Suma 
Hok menggulingkan tubuhnya dan 
tusukan itu luput. 

Suma Hok meloncat dan menjauh. Ketika Hui Hong hendak mengejar, tiba-tiba gadis itu terhuyung, 
memegangi kepalanya yang tiba-tiba menjadi pening, matanya gelap dan tahulah ia bahwa saputangan tadi mengandung bubuk pembius yang amat kuat.

"Jahanam kau ...!" Ia memaki, hendak menyerang sambil mengerahkan 
tenaga, akan tetapi ia terpelanting 
dan tentu akan terbanting jatuh kalau saja Suma Hok tidak cepat 
menerimanya dalam rangkulan 
sambil tersenyum penuh 
kemenangan.

Ketika ia membuka kedua matanya, Hui Hong mendapatkan dirinya terlentang di dalam sebuah guha,
bertilamkan rumput dan daun kering. 


Ia teringat, kaget dan mencoba untuk bangun. Akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia tahu bahwa ia dalam keadaan tertotok!

"Ha, engkau sudah sadar, sayang?"
Hui Hong menoleh ke kanan dan melihat Suma Hok duduk di dalam guha itu, tersenyum kepadanya.

"Jahanam, lepaskan totokan ini!" kata Hui Hong dan dengan mata terbelalak ia melihat ke arah pakaiannya. Ia merasa lega karena pakaiannya masih lengkap dan ia tahu bahwa pemuda itu belum melakukan hal yang baginya amat mengerikan, lebih hebat dari pada maut. 
Pemuda itu belum memperkosanya. 

"Ha.ha, tenanglah, Hong-moi. Kalau aku mau, alangkah mudahnya tadi memperkosamu selagi engkau pingsan. 

Akan tetapi aku tidak mau. aku ingin engkau menyerahkan diri kepadaku dalam keadaan sadar dan suka rela."
"Cih! Tidak sudi! Bebaskan aku dan mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati. Engkau jahanam yang curang, pengecut, engkau menggunakan racun pembius!"

"Ha-ha-ha, memang sudah lupakah engkau bahwa aku ini Tok-siauw-kwi (Iblis suling Beracun). Racun adalah permainanku sejak kecil, manis. Dan aku ingin menundukkanmu dalam keadaan utuh, tidak terluka, maka 
terpaksa aku menggunakan bubuk 
racun pembius. 

Ha-ha, sebentar lagi akan kubebaskan engkau agar dapat menyerah 
kepadaku dengan penuh kesadaran, ha-ha-ha!"

"Apa yang akan kaulakukan, keparat!" Wajah Hui Hong menjadi pucat dan matanya terbelalak. Pemuda itu 

menghampirinya, lalu mengikat 
kedua pergelangan tangan dan kakinya dengan tali kulit yang amat kuat, dan mengikatkan ujung tali-tali itu pada empat batang besi yang dia tanam kuat-kuat di lantai guha. 

Keadaan gadis itu sama sekali tidak berdaya. Kedua lengannya 
terpentang, juga kedua kakinya.
Setelah merasa yakin bahwa kedua kaki dan tangan gadis itu tidak akan dapat lepas dari ikatan, Suma Hok membebaskan totokannya, "Jahanam kau! Kalau engkau berani menodaiku, ayahku tentu akan menghancurkan kepalamu!" dalam ketakutan yang amat sangat namun ditahan-
tahannya, Hui Hong berteriak. 

Namun, Suma Hok tersenyum. "Hong-moi, ayahmu adalah seorang datuk, seperti juga ayahku. Dia tidak akan marah, Apalagi kalau ayah datang sendiri meminang dan mengantarkan akar itu."

"Goblok kau! Akar itu dilarikan Pek I Moko! Cepat kejar dia!" teriak Hui 

Hong penuh harapan untuk 
mengalihkan perhatian Suma Hok.
"Ha.ha, kalau engkau lepas, sukar untuk menangkapmu kembali, Hong-moi. Kalau hanya Pek I Mo-ko yang lari, apa sih sukarnya mencari dia dan merampas akar itu" 

Andaikan aku tidak berhasil, aku akan minta bantuan ayah dan pasti kami berhasil. 

Nah, sekarang engkau harus 
menyerah kepadaku, Hongmoi, 

Terpaksa kulakukan ini agar kelak engkau tidak mungkin lagi dapat menolak pinanganku.
Hui Hong meronta-ronta, akan tetapi karena kedua kaki dan tangannya terpentang dan terikat kuat sekali, yang dapat ia lakukan hanyalah mengangkat-angkat tubuh di bagian perut dan dada saja!"
"Brettt! beetttt!" Dengan beberapa kali renggutan saja Suma Hok sudah berhasil merenggut lepas pakaian Hui Hong. 

Gadis itu demikian marah dan malunya sehingga hampir ia jatuh pingsan. 

Ia tidak melihat harapan untuk dapat 
lolos dari ancaman yang lebih 
mengerikan dari pada maut ini. Ia akan diperkosa! 

Ia akan diperhina! Lebih baik mati dan jalan satu-satunya untuk dapat membunuh diri hanya menggigit lidahnya sendiri saja sampai putus!
Pada saat ia hendak melakukan 
bunuh diri yang mengerikan itu, tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dari luar guha. 

Suma Hok yang dengan sikap mengejek dan tenang sudah mulai membuka kancing bajunya, juga melihat berkelebatnya bayangan itu dan diapun maloncat berdiri dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda yang memandang kepadanya dengan mata mencorong bagaikan sepasang mata seekor naga!"

Hui Hong juga melihat pemuda yang baru masuk ke dalam guha itu, dan hampir ia berteriak saking girangnya akan tetapi juga malunya. Ia hampir telanjang bulat! 


Pemuda itu Kwa Bun Houw!"
Seperti telah kita ketahui, Bun Houw tak pernah menghentikan 

pencariannya terhadap Hui Hong yang melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. 

Dan diapun melihat rombongan Pek I Mo-ko dan duabelas orang jagoan Kerajaan Wei atau Tartar itu mendaki Bukit Merpati Hitam. 

Dia hanya mengintai. Yang ia cari adalah Hui Hong. Dari tempat pengintaiannya ia mengharapkan Hui Hong akan-muncul dan tentu saja dia siap membantu kalau sampai Hui Hong kemudian dikeroyok oleh Pek I Moko dan kawan-kawannya. 

Tapi yang muncul bukanlah Ouwyang Hui Hong, melainkan limabelas orang jagoan istana Kerajaan Liu-sun! 

Ketika terjadi pertempuran untuk memperebutkan akar itu, diapun 
diam saja dan tidak perduli. 

Dia tidak ingin mencampari urusan itu. Baginya, apa yang disebut Akar Bunga Gurun Pasir itu tidak ada artinya sama sekali. 

Dia hanya mencari Ouwyang Hui Hong, mengharapkan agar gadis itu dapat ditemukannya dalam keadaan selamat. 

Kemudian, dia, melihat Pek I Mo-ko menyelinap pergi meninggalkan 
pertempuran dan lenyap ke dalam 
sebuah guha.

Cepat Bun Houw melakukan 

pengejaran dan memasuki guha yang ternyata merupakan sebuah
terowongan itu. 

Akan tetapi, terowongan itu 
mempunyai banyak cabang dia 
menyusup ke sana sini dengan 
bingung, kehilangan jejak Pek I Moko. 

Dia harus dapat membayangi Pek I Mo-ko, karena dia tahu bahwa yang dikejar oleh Hui Hong adalah orang ini, Dia akan menangkap Pek I Mo-ko dan akan memaksanya mengaku di mana adanya nona itu. 

Jangan-jangan Hui Hong telah berhasil mengejar Pek I Mo-ko dan celaka di tangan penjahat ini.
Setelah melalui lorong yang berliku-liku itu, akhirnya Bun Houw 
menemukan pintu sempit yang 
tadinya tertutup batu besar. 

Dia memasukinya dan melakukan 
pencarian terus sampai tiba di luar, di samping puncak yang berlawanan 
dengan tempat terjadinya 
pertempuran. 

Akan tetapi di situ sunyi saja. Terlalu lama waktu dia pengunakan untuk berputar-putar di lorong tadi 
sehingga dia terlambat, tidak melihat perkelahian antara Pek I Mo-ko dan Hui Hong, juga tidak melihat munculnya Suma Hok yang berhasil menawan Hui Hong. 

Tiba-tiba dia mendengar caci maki dari dalam guha di ujung dinding batu kapur itu.
Suara wanita! Suara Hui Hong! Cepat dia lari ke dalam guha itu dan hampir meledak rasa dadanya melihat betapa seorang pemuda tengah berusaha memperkosa Hui Hong yang sudah dibelenggu kaki tangannya dan dalam keadaan setengah telanjang!

Kini, dua orang muda itu saling berhadapan, berdiri dalam jarak lima meter, keduanya memiliki pandang mata yang tajam mencorong, 
keduanya saling pandang dengan 
penuh kemarahan, karena Suma Hok
juga marah sekali bahwa keasyikan 

yang hampir dinikmatinya itu 
diganggu orang.

"Engkau calon bangkai yang sudah bosan hidup!" bentak Suma Hok dan tiba-tiba saja dia melompat ke depan, kedua tangannya membentuk cakar dan agaknya dia bendak meremukkan kepala dan mengoyak dada 

pengganggu itu. 

Serangannya dimaksudkan untuk 
membunuh, maka dia sudah 
menggerakkan seluruh tenaga sin-kangnya.

Melihat pemuda tampan pesolek itu 

menerjangnya dengan terkaman yang merupakan serangan maut itu, Bun Houw segera mengerahkan tenaga pula dan mendorong dengan kedua telapak tangannya,menyambut dua tangan lawan.

"Dessssss ...!" Tubuh Suma Hok yang sedang meloncat itu terdorong ke belakang dan tentu dia akan terbanting keras kalau saja dia tidak cepat berjungkir balik dengan lincah dan ringan sekali. 


Keduanya terkejut. Suma Hok terkejut setengah mati karena sama sekali 
tidak mengira bahwa lawannya 
memiliki tenaga sin-kang sekuat itu. 

Bun Houw juga terkejut melihat betapa dorongannya yang amat kuat itu tidak dapat merobohkan lawan yang dapat berjungkir balik seperti gerakan seekor burung walet saja.
Masing-masing mengetahui bahwa lawan merupakan orang yang lihai.
"Sobat," kata Suma Hok. "Kulihat 
engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi. 

Tentu engkau telah mengenal namaku dan sebaiknya kalau engkau tidak mencampuri urusanku."

Bun Houw tersenyum dan di dalam hatinya merasa sayang sekali, karena dalam pandangannya, pemuda
itu demikian tampan dan halus, juga cara bicaranya kali ini menunjukkan bahwa dia terpelajar, juga memiliki ilmu silat yang hebat. 


Akan tetapi kenapa hendak 
melakukan perbuatan yang demikian rendah dan hina terhadap Hui Hong"

"Sayang aku tidak mengenal siapa engkau, sobat, hanya tahu bahwa 
hampir saja engkau melakukan 
perbuatan yang amat jahat dan hina!"

"Hmm, tidak perlu mencampuri 
urusanku. Kalau engkau belum 
mengenalku, ketahuilah bahwa aku
bernama Suma Hok berjuluk Tok-siauw-kwi dan aku putera tunggal dari Kui-Siauw Giam-ong Suma Koan.


Nah, sebaiknya engkau cepat pergi dari pada mencari penyakit."
Dari gurunya, yaitu Tiauw Sun Ong bekas pangeran yang buta dan sakti itu, Bun Houw telah diberitahu tentang nama-nama para tokoh dan datuk besar dunia kang-ouw, maka mendengar nama ini, diam-diam dia terkejut. 

Pantas saja demikian lihai, tidak tahunya putera seorang di antara para datuk persilatan yang amat tersohor.

"Aku pernah mendengar nama Suma Hok sebagai seorang laki-laki jantan yang gagah, bukan seorang laki-laki tak mengenal susila dan seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau tukang memperkosa)!"


Marahlah Suma Hok. Wajahnya yang tampan berubah kemerahan dan dia menudingkan telunjuk kirinya ke muka Bun Houw. 


"Keparat, siapa engkau jangan mati tanpa meninggalkan nama!"
Nah, keluar sekarang belangnya, pikir Bun Houw. Lenyap sudah sikap halus dan kata-kata yang sopan, yang muncul kini ucapan orang yang biasa suka memandang rendah orang lain, seperti seorang penjahat tulen. 

"Aku Kwa Bun Houw dan ... "
Suma Hok yang curang  

mempengunakan saat Bun Houw sedang bicara itu untuk meniupkan jarum dari sulingnya. 

Namun, Bun Houw justeru memiliki kelebihan dalam menghadapi serangan mendadak seperti itu. 

Walaupun cuaca di dalam guha itu tidak begitu terang, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara luncuran jarum-jarun mengikuti suara tiupun pada suling itu. 

Jangankan hanyar emang-remang, 
biar gelap gulita atau dia 
memejamkan mata sekalipun, 
pendengarannya akan mampu
menangkap serangannya itu. Dia dilatih oleh seorang guru yang buta, dan dia-pun dibiasakan untuk 
berlatih dengan mata terpejam 
sehingga tumbuh kepekaan dan 
ketajaman luar biara pada bagian 
indra yang lain. 

Dengan mudah, Bun Houw meloncat ke kiri dan jarum-jarum itu lewat, tak sebatang pun mengenai tubuhnya, 
bahkan kini tongkat butut di 
tangannya menyambar cepat 
menotok ke arah tiga jalan darah di dada dan kedua pundak Suma Hok. 

Gerakan ini amat cepatnya sehingga nyaris pundak kiri Suma Hok tertotok walaupun pemuda ini sudah berusaha untuk menangkis. 

Terpaksa dia melempar tubuhnya ke belakang, lalu membalas dengan serangan sulingnya yang ujungnya beracun, Bun Houw dapat mengelak dan memutar tongkatnya. 

Terjadilah pertandingan yang dahsyat antara suling dan tongkat butut. Akan tetapi lewat belasan jurus saja Suma Hok terdesak hebat. 

Gerakan tongkat lawan itu terlampau cepat baginya, Apalagi dalam keadaan remang-remang begitu Suma Hok merasa tidak leluasa memainkan sulingnya. 

Dia semakin kaget dan penasaran, akan tetapi diapun tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia yang akan rugi. 

Setelah berhasil menghalau sambaran tongkat ke arah kepalanya dengan tangkisan suling yang kembali membuat seluruh lengannya sampai ke pundak tergetar hebat,Suma Hok meloncat keluar dari dalam guha.
"Keluarlah dan kita bertanding di luar," teriaknya.
Akan tetapi Kwa Bun Houw tidak memperdulikannya lagi. 


Cepat dia meloncat ke dalam guha di mana Hui Hong masih rebah terlentang dengan kaki tangan terbelenggu dan setengah telanjang! 

Dengan memalingkan mukanya, Bun Houw menggerakkan tangannya ke arah belenggu-belenggu dari tali kulit
yang mengikat kaki tangan gadis itu. 


Putuslah semua tali itu dan Bun Houw menanggalkan jubahnya, 
menjatuhkannya di lantai, kemudian sekali meloncat diapun sudah keluar dari dalam gua, tanpa menengok sedikitpun ke arah gadis itu!
Hui Hong dapat melihat semua ini dan kedua matanya menjadi basah. Di dalam hatinya ia berterima kasih sekali kepada pemuda itu. 

Bun Houw bukan saja telah 
menyelamatkannya dari ancaman 
bahaya maut dan penghinaan, akan tetapi yang membuat ia merasa terharu sekali adalah sikap Bun Houw
ketika membebaskannya dari 

belenggu tadi. 

Pemuda itu membuang muka, 
sedikitpun tidak pernah melirik, 
apalagi melihat kepadanya. 

Kalau hal itu dilakukan Bun Houw, betapa akan malunya dan agaknya selamanya ia tidak akan kuasa untuk dapat menentang pandang mata Bun Houw lagi. 

Kini ia cepat mengenakan kembali pakaiannya! 

Untung bahwa renggutan tangan Suma Hok tadi hanya membuat 
kancing-kancing bajunya tanggal saja, dan sedikit yang robek sehingga 
pakaian itu masih dapat menutupi tubuhnya, dan setelah ia 
menutupinya dengan jubah yang 
ditinggalkan Bun Houw,maka 
keadaannya menjadi sopan lagi.

Ia menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula ke dalam guha itu oleh Suma Hok, dan dengan hati dipenuhi amarah ia meloncat keluar dari dalam guha. 

Akan tetapi, yang didapatkannya dua orang yang berkelahi di luar guha, yang tadi sudah didengarnya, bukanlah Bun Houw melawan Suma
Hok, melainkan Bun Houw melawan seorang pemuda tinggi besar dan 

gagah yang menggunakan pedang
dengan gerakan yang cepat bukan main. 


Hui Hong terkejut sekali karena hal ini sama sekali tidak pernah 
diduganya. 

Apalagi ketika ia mengenal pemuda 
tinggi besar itu yang bukan lain 
adalah kakaknya sendiri, yaitu 
Ouwyang, Toan!"


          **********


OUWYANG TOAN adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, anak tunggal yang lahir dari isterinya yang pertama, yang telah lama meninggal dunia. 


Karena itu, bagi Hui Hong. Ouwyang Toan adalah seorang kakak tiri, seayah berlainan ibu. 

Akan tetapi, pemuda berusia duapuluh lima tahun itu tahu benar bahwa sesungguhnya, gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu sama sekali bukan adik tirinya karena Hui Hong
adalah anak ibu tirinya bersama pria lain. 


Hanya ayahnya dan Ouwyang Toan yang tahu selain ibu tirinya tentu saja, bahwa ketika ibu tirinya menjadi isteri ayahnya. Ibu tirinya telah mengandung.

Ouwyang Toan
 disuruh ayahnya menyusul Hui Hong yang diberi tugas mencari Pek I Mo-ko dan merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir setelah terdengar berita bahwa benda mustika itu kini dijadikan rebutan. 

Ouwyang Toan juga mendengar 
bahwa Pek I Mo-ko dan 
rombongannya pergi ke Bukit Merpati Hitam, maka diapun bengegas menuju ke puncak bukit itu. diapun melihat pertempuran hebat antara belasan orang jagoan istana Kerajaan Wei melawan para Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung.

Akan tetapi dia tidak melihat Pek I Mo-ko, juga tidak melihat adiknya. 

Maka, dia meninggalkan tempat pertempuran itu dan mencari-cari di sekitar puncak. 

Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda tampan sedang lari. Dihadangnya 
pemuda itu ketika mereka 
berhadapan, keduanya terkejut 
karena mereka saling mengenal.
"Hemm, kiranya Suma Hok! Agaknya engkau juga ingin ikut 
memperebutkan akar bunga milik ayah itu!"

Ouwyang Toan bertanya dengan suara menegur dan mengejek.
"Ouwyang Toan, jangan sembarangan menuduh! Untuk apa akar itu bagiku" 


Aku sudah cukup kuat, tidak 
membutuhkan obat kuat! Kebetulan aku bertemu denganmu di sini. Baru saja aku melihat adikmu!" 

"Hui Hong" Di mana ia?"
Suma Hok tersenyum mengejek. 

"Huh. sekarang membutuhkan bantuanku, bukan" Bah. cepat-cepatlah!

Atau engkau akan terlambat. Adikmu terjatuh ke tangan seorang jai-hwa-cat yang akan memperkosanya di sebuah guha itu di sana, guha paling kiri yang di atasnya terdapat batu berhentuk tengkorak besar!"


Setelah berkata demikian, Suma Hok lalu melanjutkan larinya 

meninggalkan tempat itu.
Tentu saja Ouwyang Toan terkejut bukan-main. Namun dia masih regu ragu. 

Dia mengenal siapa Suma Hok, 
seorang yang cabul dan licik, 
walaupun kepandaiannya tinggi. 

Akan tetapi, betapapun juga,
keterangan itu membuat hatinya terbakar. Bagaimana kalau benar adiknya akan diperkosa orang"

Diapun cepat lari menuju ke guha yang ditunjukkan Suma Hok itu dan pada saat dia tiba di depan guha itu, Bun Houw meloncat keluar dari dalam guha. 

Melihat pemuda yang tidak 
dikenalnya ini, yang tidak 
mengenakan jubah luar dalam udara dingin itu, hal yang tidak wajar karena setiap orang tentu mengenakan jubah luar, diapun yakin bahwa tentu ini si jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang dimaksudkan Suma Hok.

"Di mana Hui Hong?" Diapun 
bertanya dengan hati yang panas.
Bun Houw tidak tahu siapa orang ini. 


Tentu saja timbul kecurigaannya ketika orang itu menyebut nama Hui Hong begitu saja. Yang Jelas, pemuda tinggi besar ini bukanlah pemuda yang tadi hendak memperkosa Hui Hong, karena yang tadi menggunakan senjata suling dan tubuhnya tidak setinggi yang ini. 

Mungkin pemuda pemerkosa tadi lari dan kini muncul temannya yang lebih lihai.

"Ia di dalam." jawabnya singkat pula.
Mendengar jawaban ini, Ouwyang Toan tidak ragu lagi. Tentu ini jai-hwa-cat itu! 


Akan tetapi dia harus melihat dulu keadaan adiknya di dalam guna, maka tanpa banyak cakap legi, diapun melengketi hendak memasuki guha. 

Akan tetapi melihat ini, Bun Houw juga melangkah menghadangnya.
"Tidak boleh masuki," katanya singkat.

Marahlah Ouwyang Toan. Tidak perlu diragukan lagi, tentu ini jahanam itu, pikirnya. 


Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat dibarengi bunyi berdesing ketika dia sudah mencabut pedangnya dari pinggang dan langsung saja ujung pedang itu meluncur ke arah dada Bun Houw! 

Bun Houw kagum bukan main cepatnya gerakan orang ini dan diapun semakin yakin bahwa tentu pemuda ini merupakan teman si pemerkosa tadi. 

Diapun tidak berani main-main. Dia mengerahkan tenaganya pada tongkatnya dan menangkis.
"Trangggg ...!" Keduanya mundur selangkah dan saling pandang. Ouwyang Toan terkejut dan tahulah dia mengapa Suma Hok tadi tidak mau mencampuri. 

Kiranya jai-hwa-cat ini lihai dan tongkatnya itu pasti 
menyembunyikan logam keras, 
sedangkan tenaga orang ini juga kuat sekali. 

Maka dia memutar pedangnya dan cepat menyerang bertubi-tubi. 
Ouwyang Toan adalah putera tunggal Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, datuk besar ahli pedang, dan pemuda tinggi besar itu sudah mewarisi ilmu pedang
ayahnya, maka permainan pedangnya hebat dan cepat bukan main, menyambar-nyambar dengan
dahsyatnya. 


Namun Bun Houw menghadapinya dengan tenang. Dia sendiri adalah seorang ahli pedang, bahkan permainan pedangnya merupakan Ilmu pedang kilat yang amat cepat. 

Pedang yang tersembunyi didalam tongkatnya pun adalah pedang yang disebut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), maka ketika dia balas menyerang, Ouwyang Toan terdesak mundur dan pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main. 

Ayahnya dikenal sebagai Pedang 
Tanpa Bayangan, membuktikan 
betapa ilmu pedang ayahnya memiliki gerakan yang amat cepat seolah-olah tidak nampak bayangannya. 

Namun lawannya ini memiliki gerakan tongkat yang tidak kalah cepatnya sehingga tadi, selama belasan jurus saja ujung tongkat hampir berhasil menotok dadanya! 

Dia memutar pedangnya dan 
pertandingan itu berlangsung 
semakin seru.

Tiba-tiba terdengar seruan suara 

wanita, "Toan-ko ...! Hong-ko! Tahan 
senjata, jangan berkelahi!"
Mendengar suara Hui Hong, Ouwyang Toan dan Bun Houw menghentikan gerakan senjata mereka dan 
keduanya melompat ke belakang, 
terbelalak memandang heran 
mengapa Hui Hong menyuruh 
mereka berhenti. 

Melihat dua orang pemuda itu masih marah dan setiap saat dapat saling serang lagi, tahulah Hui Hong bahwa tentu telah timbul kesalahpahaman antara mereka, maka iapun 
menghampiri kakaknya dan cepat 
memperkenalkan.

"Houw-ko, ini adalah kakakku, 

Ouwyang Toan. Dan Toan-ko, dia 
adalah Kwa Bun Houw seorang 
sahabat yang tadi baru saja 
menyelamatkan aku dari bencana 
dan maut!"

Kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar ucapan Hui Hong itu, apalagi Ouwyang Toan! 


Dia adalah seorang pemuda yang memiliki watak angkuh, keras dan merasa diri tidak pernah salah. 

Dan baru saja dia hampir membunuh 
seorang yang bukan saja tidak 
mengganggu adiknya, bahkan 
menjadi penyelamat adiknya. 

Dia memandang adiknya, matanya yang tajam melihat betapa pakaian adiknya tidak beres, dan adiknya mengenakan jubah pria, sedangkan pemuda yang baru saja diserangnya itupun tidak mengenakan jubah. 

Alisnya berkerut dan pandang 
matanya kembali dibayangi keraguan 
dan kecurigaan. 

"Adik Hong, apa artinya semua ini" Kalau ia menolongmu, kenapa ia lari keluar guha dan kenapa pula engkau memakai jubahnya?" 

Dia yakin bahwa jubah yang dipakai adiknya itu tentu milik pria ini.
Hui Hong tentu saja mengenal watak kakaknya. 

Kakaknya ini teramat sayang 
kepadanya, bahkan memanjakannya, dan kakaknya ini keras hati dan juga cerdik dan angkuh. 

Hui Hong tersenyum, menoleh kepada Bun Houw dan berkata sambil 
tersenyum. 

"Houw-koko, kaulihat. Kakakku ini cerdik sekali, bukan" Dia tahu saja 
bahwa jubah ini milikmu!" 

Ketika Hui Hong memandang 
kakaknya dan melihat Ouwyang Toan mengerutkan alis dan 
memandangnya dengan keras, 
senyumnya melebar.

"Tenanglah, toako, dan jangan 
berpikir yang bukan-bukan. Di tempat ini aku sudah beruntung 
dapat berhadapan dengan 
Pek I Mo-ko untuk merampas akar 
yang kuyakin tentu telah berada padanya. 

Kami bertanding mati-matian dan tadinya aku yakin sudah mulai dapat mendesaknya. 

Tiba-tiba muncul sikeparat jahanam curang busuk itu! Dia membantu Pek I Mo-ko!"
"Siapa dia?" Ouwyang Toan berseru, 
suaranya mengandung penuh 
ancaman.

Hmm, aku akan menjaga jangan sampai bermusuhan dengan kakak beradik ini, pikir Bun Houw.
Mengerikan! Mereka itu kelihatan 

begitu galak dan sadis!
"Siapalagi" Tentu saja Si Suling 
Beracun Suma Hok itu."
"Keparat dia!"

"Ketika kami berkelahi, Pek I Moko melarikan diri. Si jahanam Suma Hok tetap menyerangku dan akupun tidak akan kalah kalau saja dia tidak 
bertindak curang, mengebutkan kain yang mengandung debu pembius 
sehingga aku ditawannya. 

Ia membawaku ke guha ini dan nyaris aku bunuh diri menggigit putus lidahku sendiri dari pada diperkosa, ketika tiba-tiba muncul Houw-koko ini yang segera menyerangnya. 

Mereka bertanding dan Suma Hok yang licik dan curang pengecut itu melarikan diri.
Houw-koko melepaskan ikatan kaki tanganku dan meninggalkan 
jubahnya untukku, lalu mengejar
keluar. Ketika aku mengejarnya, 

ternyata dia malah berkelahi 
denganmu dan ... untung aku ... "
"Jahanam suma Hok!" Ouwyang Toan memotong keterangan adiknya dan diapun sudah meloncat pergi dan lari cepat meninggalkan tempat itu. Bun Houw memandang dengan bengong.
"Agaknya kakakmu akan mengejar dan mencari Suma Hok," katanya.
Hui Hong tertawa kecil. 


"Kakakku Ouw-yang Toan memang keras hati dan galak sekali. Mana mungkin dia dapat menangkap Suma Hok yang begitu licik" 

Tentu jahanam itu sudah lari jauh. Lebih baik mari kita kejar Pek I Mo-ko. Engkau mau membantuku, bukan" Aku harus merampas kembali akar itu dari tangannya."
"Tapi kakakmu ..." Apakah tidak lebih baik kita menunggu dia dulu" Atau membantunya menghadapi Suma Hok?"
"Tidak, koko."
Entah mengapa, hati Bun Houw berdebar girang mendengar sebutan koko (kakak atau kakanda) yang
memasuki telinganya dengan merdu dan mesra itu.

"Kalau dia kembali, pasti dia melarang kita melakukan perjalanan bersama. Dia lebih galak dan keras dari pada ayah sendiri. 


Dan aku juga tidak mau terlambat. Kalau sampai akar itu didahului Suma Hok yang mendapatkannya celakalah aku!"
"Ehh" Kenapa begitu?" Bun Houw bertanya heran.
Hui Hong membanting kakinya tak sabar. 


"Aih, kalau kita banyak mengobrol saja, berarti membuang waktu dan kalau tidak kakakku keburu datang lagi, juga tentu aku kedahuluan Suma Hok! Marilah,
Houw-koko, apakah engkau tidak 
suka lagi membantu aku?" Hui Hong 
cemberut, yang dalam pandangan 
Bun Houw menjadi semakin manis saja. 

"Kalau tidak mau, katakan saja terus terang dan aku akan pergi sendiri mengejar Pek I Mo-ko. Kalau engkau mau menunggu kakakku di sini, silakan!" 

Dan Hui Hong meloncat pergi, benar cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Nona Ouwyang Hui Hong ...!" Bun Houw memanggil sambil cepat mengejar. Akan tetapi gadis itu bahkan mempercepat larinya sehingga Bun Houw juga harus mengerahkan tenaga untuk berlari lebih cepat. 

"Nona Ouwyang, tunggu aku ...!" Teriaknya dan teriakan ini dia ulangi sampai lima kali, akan tetapi Hui Hong berlari terus, dan panggilan yang terakhir dijawabnya tanpa menoleh.
"Tuan Kwa Bun Houw, tak usah engkau mengejarku!"
Jawaban ini membuat Bun Houw mengangkat kedua alisnya ke atas karena matanya dilebarkan saking
herannya. 


Mengapa gadis itu tiba-tiba saja menyebut dia tuan" Padahal tadi telah menyebutnya koko dengan demikian mesranya! Dan diapun teringat. 

Dasar tolol kau! Dia mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan terbang dia mengejar, sekali ini dia berseru dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring melengking.

"Hoog-moi ...! Adinda Hui Hong... kau tunggulah aku ...!"


Dan benar saja. Ga
dis itu tiba-tiba 
berhenti dan membalikkan tubuh, 
wajahnya berseri dan mulutnya 
tersenyum manis sekali. Bun Houw 
tiba di depannya. 

Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan keduanya berkeringat, 
keduanya agak terengah-engah 
karena tadi mereka telah 
mengerahkan seluruht enaga untuk 
berlari cepat dan tahu-tahu kini
mereka telah tiba di bawah bukit!"

"Hong-moi, kenapa kau panggil aku tuan!"
'Hemm, cobalah bercermin! Kau 

sendiri memanggil aku nona!"
Bun Houw tertawa. Hui Hong juga tertawa.


"Houw-koko, aku belum 

mengucapkan terima kasih atas 
pertolonganmu di guha tadi. 

Nah sekarang terimalah ucapan 
terima kasihku."
Gadis aneh! Berterima kasih sesudah kejar-kejaran dan marah-marahan.
"Sudahlah, Hong-moi. Di antara kita, mana ada yang disebut tolong-tolongan segala" Kita sudah menjadi sahabat baik, sudah seharusnya kita saling bantu, bukan!"
"Benarkah" Engkau selamanya mau membantuku" Selamanya sampai aku ... sampai rambut kepalaku ini menjadi putih semua?"

Wah, makin aneh saja gadis ini. Saling bantu antara sahabat memang sudah sewajarnya. Akan tetapi mana 

menuntut saling bantu sampai 
mereka menjadi kakek-kakek dan 
nenek-nenek" 

Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda itu berseri dan kulit mukanya 
menjadi kemerahan. Dia mengangguk serius.

"Tentu! Akan kubantu engkau sampai selama hidupku."


Agaknya jawaban ini memuaskan hati Hui Hong. "Mari kita lanjutkan perjalanan mencari Pek I Mo-ko dan nanti kuceritakan mengapa aku tidak ingin akar itu didapatkan lebih dulu oleh Suma Hok." 


Setelah berkata demikian, tanpa 
sungkan tanpa ragu, seperti mereka masih kanak-kanak saja, Hui Hong
menggunakan tangan kanan 

memegang tangan kiri Bun Houw dan menggandengnya sambil melangkah
melanjutkan perjalanan.

Tangan kiri Bun Houw merasakan kulit tangan gadis itu yang halus dan hangat, dan jantungnya berdebar 
tidak karuan. 

Saking tegangnya dan karena tidak ingin disangka yang bukan-bukan, maka dia tidak berani menggerakkan jari tangan kirinya yang digandeng itu. bahkan bukan hanya jari tangan, seluruh lengan, kirinya dia biarkan tengantung dan terkulai mati!"
Tiba-tiba Hui Hong menahan langkahnya, melepaskan tangannya yang memegang tangan Bun Houw,
mengangkat muka memandangnya dengan alis berkerut.

"Ihhhh ...!"
"Ehh" Kenapa?" Bun Houw kaget melihat sikap gadis itu seolah tangannya dipagut ular.


"Tanganmu itu ... seperti tangan mayat saja! Engkau kenapa sih, Houw-ko" Apakah engkau sakit"

Tanganmu dingin dan gemetar dan seperti tidak hidup lagi!"
Tentu saja Bun Houw menjadi gugup karena pertanyaan itu seperti serangan yang langsung mengenai
jantungnya. 


"Tidak ... eh, aku ... hanya ... hanya ... " Dia menggagap.

"Hanya apa" Engkau begini gugup!"
Bun Houw memang berwatak jujur, walaupun tidak dapat dikata bodoh. 


Dia merasa sukar kalau harus
berbohong, maka dalam keadaan terhimpit itu, dia mengaku terus terang. 


"Ketika tanganmu menggandeng 
tanganku, aku ... ah, entahlah Hong-
moi. Aku merasa takut akan 
kausangka yang bukan-bukan kalau aku menggerakkan tanganku."
"Apa itu yang bukan-bukan?"
"Misalnya engkau menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar ... "

"Ihhh, engkau ini aneh sekali. Belum pernah aku bertemu laki-laki seaneh engkau."

"Dan engkau lebih aneh lagi, Hong-moi, biarpun aku belum pernah bergaul dengan banyak wanita seperti kita sekarang ini."


"Hemmm, bohongnya! Dan engkau bahkan sudah pernah bertunangan!"
Bun Houw mengerutkan alirnya. 


"Hong-moi, harap jangan sebut-sebut lagi hal itu Sudah kuceritakan bahwa Cia Ling Ay menjadi sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. Ia seperti adik saja bagiku.

Kemudian hubungan perjodohan yang di ikat oleh orang tua kami itu dibikin putus setelah orang tuaku meninggal dunia, dan ia dinikahkan dengan orang lain. 


Tidak ada apa-apalagi antara kami, tidak ada apa-apalagi ... " Bun Houw merasa sedih sekali.
Bukan sedih karena putusnya hubungan jodoh itu, melainkan sedih teringat dan membayangkan nasib
Ling Ay yang demikian buruk, dijodohkan dengan seorang suami seperti putera pembesar pemberontak itu. 


Bahkan tidak hanya sampai sekian nasib buruk yang menimpa diri bekas tunangannya yang juga merupakan sahabatnya terbaik di waktu mereka masih remaja itu. 

Ketika ia gagal memperoleh jejak Hui Hong, dia merasa tidak enak karena dia telah meninggalkan keluarga Cia Kun Ti dengan janji bahwa dia akan mengantar dan mengawal mereka 
untuk pindah ke tempat aman di 
dusun. 

Maka, sebelum melanjutkan 
pencariannya terhadap Hiu Hong, dia kembali dulu ke Nan-ping untuk 
memberitaku kepada keluarga Cia agar mereka itu berangkat lebih dulu dan dia akan melanjutkan pencariannya. 

Akan tetapi, ketika tiba di rumah keluarga Cia, dia terkejut setengah 
mari mendengar bahwa Cia Kun Ti 
dan isterinya tewas terbunuh, 
sedangkan Ling Ay sendiri lenyap
diculik penjahat!

Dengan marah dan khawatir akan keselamatan Ling Ay, Bun Houw lalu berusaha mencari jejak penculik Ling Ay. Dia lalu menyelidiki dan menemukan jejaknya, terus melakukan pengejaran. 


Akhirnya dia tiba di kuil kosong di mana Ling Ay hampir diperkosa penculiknya. Akan tetapi, ketika Bun Houw tiba di situ, dia tidak menemukan Ling Ay dan penculiknya hanya menemukan sebuah tusuk sanggul perak di lantai.

Dipungutnya tusuk sanggul itu. Dia tidak tahu apakah itu tusuk sanggul milik Ling Ay, akan tetapi dia menyimpannya dalam saku bajunya.
Bun Houw melakukan penyelidikan terus dan akhirnya dia mendapat keterangan dari penduduk dusun
bahwa ada wanita muda yang menurut keterangan itu tentu Ling Ay adanya, melakukan perjalanan
bersama seorang wanita lain yang cantik sekali. 


Mendengar bahwa Ling Ay nampak akrab dengan wanita itu, hatinya merasa lega. Ayah ibu Ling Ay telah tewas, akan tetapi Ling Ay masih dalam keadaan selamat. 

Dia lebih mengkhawatirkan Hui Hong yang mengejar Pek I Mo-ko, penjahat 
yang lihai itu. Maka diapun 
melanjutkan usahanya mencari jejak Hui Hong. 

Ketika dia mendapat jejak itu menuju ke utara, diapun cepat melakukan perjalanan ke utara. Kebetulan sekali 
dia melihat rombongan Pek I Mo-ko dan membayanginya. 

Demikianiah, ketika percakapannya dengan Hui Hong menyangkut nama Ling Ay, dia teringat lagi kepada bekas tunangannya itu merasa bersedih mengingat akan nasibnya yang amat buruk.
"Tapi engkau kelihatan seperti orang berduka. Houw-ko. Ada apakah?"
Bun Houw teringat bahwa gadis ini pernah menggodanya dan 
mengatakan bahwa dia masih 
mencinta.Ling Ay. Oleh karena itu, diapun tidak berani berterus terang.
"Aku tidak berduka, Hong-moi, hanya kecewa karena bukan saja engkau tidak berhasil merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, bahkan engkau nyaris celaka di tangan Suma Hok yang jahat itu."
Ucapan itu seperti menggugah Hui Hong dari tidurnya. Ia menyambar tangan Bun Houw dan menariknya, diajak lari cepat. 

"Celaka aku sampai lupa. Mari kita kejar Pek I Mo-ko sebelum jahanam itu lari jauh!"

Bun Houw mengikuti saja, bahkan dia menunjukkan ke arah mana larinya Suma Hok yang tadi dikejar
pula oleh Ouwyang Toan. 


Hui Hong mengejar ke sana, karena ia tahu bahwa Suma Hok bekerja sama
dengan Pek I Mo-ko, maka mencari Suma Hok tentu akan dapat bertemu pula dengan Pek I Mo-ko.


Dugaan Hui Hong memang benar. Ketika tadi Pek I Mo-ko melihat betapa Suma Hok telah bertanding
melawan Hui Hong, dia lalu mempengunakan akal dan berhasil melarikan diri, membiarkan Suma Hok yang melewan gadis itu. 


Dia sendiri cepat lari ke arah di mana dia dan rombongannya meninggalkan kuda, dengan maksud untuk melepas panah api memberi isarat kepada kawan-kawannya dan melarikan
diri dari tempat berbahaya itu.


Akan tetapi baru saja dia tiba di situ, dari balik semak belukar dan pohon-pohon, berlompatan keluar banyak orang dan Pek I Moko terbelalak memandang kepada mereka. 


Kiranya mereka adalah tujuh
orang tokoh dunia persilatan yang rata-rata memiliki Ilmu kepandaian silat yang sudah tinggi tingkatnya!

Biarpun dia tidak takut melawan mereka karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaianaya masih lebih tinggi dari mereka, namun 
munculnya orang-orang ini jelas 
hendak memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir yang kini berada di saku jubahnya sebelah dalam. 

Ini berarti bahwa perjalanannya menyerahkan mustika itu kepada Kaisar Wei Ta Oag tidak akan lancar dan selalu akan terancam bahaya. Apalagi kalau muncul empat orang yang amat ditakutinya, yaitu Empat Datuk Besar! 

Di antara mereka adalah bekas majikan dan gurunya sendiri, pemilik aseli dari mustika yang dicurinya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek Si Pedang Tanpa Bayangan! 

Puteri datuk itu, Ouwyang Hui Hong telah muncul mengejar-ngejarnya. Juga putera dari datuk besar ke dua yang ditakuti telah muncul, yaitu Suma Hok. 

Untung bahwa ayah
pemuda itu, datuk besar Kui-siauw Giam-ong Suma Koan (Raja Maut Suling Setan) tidak ikut muncul!
Masih ada dua orang datuk besar lagi yang amat ditakutinya, keduanya wanita namun kelihaian mereka tidak kalah dibandingkan dua orang datuk besar yang pria itu. 


Kalau dia bertemu dengan seorang saja dari mereka, berarti celaka baginya dan akan sukarlah baginya mempertahankan mustika yang sudah berada di saku jubahnya, dan berarti lenyap pula harapannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di Kerajaan Wei di utara.
Dengan lagak angkuh dia menghadapi tujuh orang itu, mengangkat dada lalu bertanya dengan suara menantang, "Kalian menghadang perjalananku mempunyai maksud apakah" Aku Pek I Mo-ko tidak mempunyai banyak 
waktu untuk berurusan dengan 
kalian. 

Oleh karena itu, mengingat akan hubungan
kita sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, harap kalian mundur dan biarlah lain kali kalau ada waktu, aku Pek I Mo-ko Ciong Kui Le akan berkunjung kepada kalian sambil membawa oleh-oleh!"

"Ha-ha-ha, Moko. Tidak perlu lagi berpnra-pura bodoh dan bersih!" kata seorang pria hitam penuh beewok berusia limapuluhan tahun. Dia adalah Yang-ce Hek-kwi (Iblis Hitam Sungai Yang-ce), seorang kepala bajak sungai yang amat ditakuti karena selain berkepandaian tinggi, dia juga mempunyai banyak-anak buah dan wataknya kejam sekali.

"Kami-semua sudah tahu bahwa engkau telah mencuri mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Nah, mengingat bahwa kita adalah orang-orang kang-ouw yang setia kawan, maka kaukeluarkan mustika itu, kita bagi rata agar masing-masing dari kita dapat memperoleh manfaat dari mustika itu. Kami pasti tidak akan melupakan kebaikanmu ini!"


Enam orang yang lain mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan usul atau tuntutan Iblis Hitam itu.
Akan tetapi Pek I Mo-ko mengerutkan alisnya.


"Kalian semua adalah orang-orang tolol yang rakus. Aku tidak mempunyai akar itu!" Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi seorang dari mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat
tertawa. 


Suara ketawanya seperti ringkik kuda dan mengandung getaran khi-kang kuat. 

"Hi-hi-hihhh e Kalau benar engkau tidak membawa mustika itu, biarkan kami menggeledah pakaianmu Moko. Baru kami percaya!"

"Pek-bio-go (Buaya Muka Putih), berani engkau menghinaku" Kalau engkau sekarang sudah begitu lihai, hendak kuilhat apakah engkau berani menggeledah tubuhku. Lakukanlah kalau engkau bosan hidup!"
bentak Pek I Mo-ko marah.

"Hi-hi-hiehhh, Ingat, kami bertujuh, Moko. Bukan aku sendiri yang membutuhkan mustika itu. Kami hanya minta bagian yang adil darimu. Kalau engkau berkeras, terpaksa kami bertujuh akan menggeledahmu. Kami sudah bersepakat untuk merampas mustika itu. dan kami bagi menjadi tujuh!"

Kini marahlah Pek I Mo-ko. Kedua tangannya bergerak dan tangan kanannya sudah memegang pedang,
tangan kirinya memegang kipas mautnya. "Bagus, kalian semua sudah bosan hidup!" bentaknya dan diapun indah menerjang ke depan dengan marah. 


Tujuh orang itu maklum akan kelihaiannya, maka mereka pun berloncatan ke belakang sambil mencabut senjata masing-masing dan mengeroyok Pek I Moko. Tujuh orang kang-ouw ini memang sudah bersepakat untuk bekerja sama. 

Mereka maklum bahwa yang
memperebutkan mustika itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi,
tokoh-tokoh besar itu biasanya bertindak sendiri-sendiri, bahkan saling bertentangan. 


Maka, kalau mereka bertujuh dapat bersatu dengan janji kelak hasilnya akan dibagi rata, yaitu akar itu akan mereka bagi rata, tentu mereka tidak takut menghadapi lawan yang lebih lihai.

Pertempuran antara Pek I Mo-ko yang dikeroyok tujuh orang itu berlangsung seru dan mati-matian.
Melihat betapa Pek I Mo-ko tidak mau digeledah, tujuh orang kang-ouw itu makin bersemangat. 


Mereka yakin bahwa benda mustika yang diperebutkan tentu ada pada diri kakek rambut putih dan pakaian
pulih itu, maka mereka mengepung dan mendesak dengan ganas, Pek I Mo-ko yang marah juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun, karena dikeroyok oleh tujuh orang yang tingkat kepandaian 

masing-masing hanya sedikit di 
bawah tingkatnya, dan karena tnjuh orang itu menyerang penuh 
semangat, setelah lewat empatpuluh jurus, Pek I Mo-ko terdesak sekali.

Bahkan tiga kali bajunya robek terkena senjata pengeroyok. Robekan yang ke tiga tepat mengenai saku jubah di sebelah kanan di mana tersimpan benda mustika itu. Dia terkejut dan merasa tidak perlu
menyembunyikan lagi. 


Karena khawatir Akar Bunga Gurun Pasir itu akan terjatuh dari saku bajunya, dia mengeluarkannya dan menggigit kantung sutera kuning terisi mustika itu sambil terus mengamuk dengan pedang dan sulingnya. 

Sementara itu, tujuh orang kang-ouw yang mengeroyok, begitu melihat Pek I Mo-ko mengeluarkan sebuah kantong sutera dan menggigitnya, semangat mereka bertambah
besar. Kini mereka yakin bahwa kantung itu terisi akar yang mereka perebutkan!"


Pada saat itu, sepasang mata mengintai dari balik semak belukar yang tebal dan penuh duri. Sudah sejak tadi orang ini mengintai. Dia seorang laki-laki berusia tigapuluk tahun lebih, bertubuh kekar dan terbakar sinar matahari. Akan tetapi dia bukan seorang di antara para tokoh kang-ouw yang
memperebutkan mustika. Sama sekali bukan! 


Dia hanya seorang pemburu binatang hutan dan biarpun
dia bertenaga besar, namun tidak ada artinya, bila dibandingkan dengan para tokoh kang-ouw. Maka, ketika dia dalam tempat pengintaiannya menyaksikan perkelahian antara para tokoh kang-ouw, dia
memandang ketakutan.

Orang ini bernama So Kian, pemburu yang tinggal di dusun tak jauh dari puncak Bukit Merpati Hitam bersama isterinya. Dia dan isterinya hidup sederhana dari penghasilannya sebagai pemburu dan juga bertani di kebun belakang rumah mereka.
Ketika pada pagi hari itu So Kian 
sedang mengintai kijang atau 
binatang apa saja yang dapat 
dijadikan uang untuk biaya hidupnya, dia melihat rombongan tujuh orang kang-ouw itu. Dia menjadi curiga, juga takut, lalu bersembunyi di dalam semak belukar itu. 

Dan dia kini menjadi saksi 
pertempuran hebat yang membuat tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa kalau dia memperlihatkan diri, 
nyawanya tentu takkan dapat 
tertolong lagi! 

Maka, diapun bersembunyi dan tidak berani berkutik. Dia juga tidak tahu mengapa orang-orang yang berilmu tinggi itu bertempur mati-matian.
Kini Pek I Mo-ko terdesak dan berada dalam bahaya! Dia bahkan tidak sempat melepas panah api untuk memberitahn kepada para jagoan Kerajaan Wei yang menjadi 
rombongannya dan yang ia 
tinggalkan ketika pasukan jagoan liu bertanding melawan para jagoan dari Kaisar Cang Bu Kerajaan Liu-sung di selatan.
Pada saat yang amat berbahaya 
baginya itu. nampak lagi beberapa 
orang bermunculan. Mereka adalah orang-orang dari partai-partai 
persilatan yang juga bertualang untuk memperebutkan benda mustika itu. 

Jumlah para pendatang ini tidak kurang dari limabelas orang, terdiri dari beberapa rombongan yang agaknya tertarik oleh perkelahian itu. 

Akan tetapi, di samping rasa kagetnya, Pek I Mo-ko juga girang ketika melihat Suma Hok berada di antara orang-orang yang datang itu dan pemuda tampan putera
datuk besar majikan Bukit Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis) itu 

sendirian saja, Pek I Mo-ko hanya melihat satu jalan untuk 
menyelamatkan diri dan 
menyelamatkan benda mustika Akar Bunga Gurun Pasir. 

Kalau akar itu tidak ada lagi padanya, tentu tidak akan ada orang yang menyerangnya lagi. Dan akar itu akan aman kalau berada di tangan Suma Hok. pemuda yang dikenalnya, dan yang juga dapat diharapkan bisa bekerja sama dengannya itu. Tidak ada pilihan lain.

"Suma Kongcu, simpanlah benda ini untuk-ku!" teriaknya dan diapun melemparkan kantung sutera ke atas, ke arah Suma Hok. Pemuda yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Suling Beracun) itu cerdik sekali. Dia segera mengerti apa benda yang dilontarkan itu, maka sekali dia mengenjot tubuh, dia melayang ke atas untuk 

menangkap benda yang terlempar di udara itu.

"Suma Hok, engkau layak mampus!" terdengar bentakan dan sesosok tubuh lain melayang ke atas.
bukan untuk menangkap kantung sutera, melainkan untuk menangkap Suma Hok. 


Bayangan ini bukan lain adalah 
Ouwyang Toan. Seperti diketahui, 
putera Bu-eng-kiam Ouwyang Cek ini marah sekali ketika mendengar bahwa Suma Hok nyaris memperkosa adik tirinya. 

Kini begilu melihat pemuda tampan itu,Ouwyang Toan yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras 
sudah meloncat dan menyerang 
tubuh Suma Hok yang masih melayang di udara! Melihat serangan Ouwyang Toan ini, tentu saja Suma Hok terkejut dan terpaksa dia tidak dapat menyambar kantung sutera yang dilemparkan Pek I Mo-ko tadi, melainkan menggunakan kedua 
tangannya untuk menangkis serangan Ouwyang Toan.

"Desssss ...!" Hebat sekali pertemuan tenaga melalui dua pasang tangan putera-putera datuk besar itu sehingga keduanya terpental dan melayang ke bawah. 


Sedangkan kantung sutera itu melayang lenyap, tak dapat dilihat siapapun. Pek I Mo-ko tidak dapat melihatnya karena dia sedang dihimpit serangan tujuh orang lawannya. 

Suma Hok maupun Ouwyang Toan juga tidak melihatnya.




Begitu mereka turun ke atas tanah, Ouwyang Toan sudah menerjang lagi. 

Suma Hok maklum bahwa tentu 
Ouwyang Toan telah tahu akan 
perbuatannya tadi yang nyaris memperkosa Ouwyang Hui Hong,
adik Ouwyang Toan. 


Maka diapun tidak banyak cakap, menangkis dan membalas seningga terjadilah
perkelahian seru antara dua orang muda perkasa itu.


Pada saat itu, sebelum belasan orang tokoh dunia persilatan yang tadi 

muncul tahu siapa yang memegang Akar Bunga Gurun Pasir dan siapa yang harus mereka serang, terdengar suara gaduh danb ermunculan rombongan jagoan Kerajaan Liu-sung dan rombongan jagoan Kerajaan Wei yang tadis aling serang. 

Para jagoan Liu-sung akhirnya tahu bahwa Pek I Mo-ko tidak berada di antara para jagoan Wei, maka merekapan dapat menduga bahwa Pek I Mo-ko tentu telah melarikan diri membawa mustikay ang 
diperebutkan itu. 

Maka, dengan sendirinya mereka meninggalkan lawan dan melakukan
pengejaran. Para Jagoan Wei juga Ikut mengejar. Di antara kedua 
rombongan sudah ada beberapa 
orang yang terluka dalam 
pertempuran tadi.

Setelah dua rombongan itu tiba, keadaan menjadi semakin kacau. Melihat betapa dia tidak akan mampu mengalahkan Ouwyang Toan dengan mudah, suma Hok mendapat akal dan diapun berteriak.


"Cuwi (saudara sekalian) harap hentikan perkelahian!" teriaknya sambil melompat ke belakang.
Ouwyang Toan yang keras hati itu mendelik. "Suma Hok, aku harus membunuh atas perbuatanmu
terhadap adikku!"


"Ouwyang Toan, urusan pribadi yang tidak ada artinya perlukah diperpanjang di sini" Semua orang ribut mencari Akar Bunga Gurun Pasir, dan engkau ribut urusan tetek-bengek!"


Mendengar ini, Ouwyang Toan seperti diingatkan akan tugasnya. Dia di suruh ayahnya menyelidiki hasil tugas adiknya, Ouwyang Hui Hong yang ditugaskan mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir dan menghukum bekas pelayan dan murid yang murtad itu! 


Mendengar ucapan yang 
mengingatkan dia akan tugasnya itu, dia lalu menghadapi Pek I Mo-ko yang juga sudah tidak dikeroyok oleh tujuh orang kang-ouw karena mereka tadi melihat betapa Pek I Mo-ko yang tadinya menggigit kantung sutera, telah melemparkan kantung sutera itu.

"Pek I Mo-ko, cepat berlutut! Engkau harus mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir milik ayah dan menerima hukuman buntung lengan!"


Pek I Mo-ko memandang Ouwyang Toan dengan senynm mengejek. "Ouwyang Toan, orang menuduh
seseorang mencuri haruslah disertai buktinya. Kalau ada buktinya bahwa Akar Bunga Gnrun Pasir berada di tanganku, barulah tuduhan itu berisi. Kalan tidak, bukan kah itu hanya fitnah saja" Aku tidak membawa mustika itu, Kalau tidak percaya, siapa saja boleh menggeledahku!"

"Kami melihat dia melemparkan benda mustika itu ketika kami desak tadi!" Tiba-tiba Yang-ce Hek kwi berseru.

"Dia melemparkannya kepada pemuda bersuling itu!" kala orang ke dua sambil menuding ke arah Suma Hok. Dia tidak mengenal Suma Hok, yang dikiranya hanya seorang di antara mereka yang memperebutkan benda mustika itu atau juga kawan Pek I Mo-ko. 


Mendengar ini semua orang
mamandang kepada Suma Hok dengan sinar mata penuh selidik dan juga mengancam. Banyak di antara
mereka yang mengenal Tok-siauw-kui Suma Hok dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena di situ berkumpul banyak tokoh kang-ouw yang memperebutkan, maka mereka yang mengenalnya juga tidak
merasa takut. Siapa yang memegang mustika itu tentu akan dikeroyok banyak orang!"


Suma Hok juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi dia tersenyum, dan menggeleng kepalanya. "Aku memang meloncat untuk menangkap benda yang melayang tadi, akan
tetapi Ouwyang Toan muncul dan menyerangku. Aku terpaksa 

melayaninya dan benda tadi entah
melayang ke mana?"


"Kalau begitu benda itu tentu masih berada di sekitar sini! Mari kita cari!" kata Yang-ce Hek-kwi dan tujuh orang kang-ouw yang sudah bersekutu itu lalu mulai mencari. Melihat ini, tentu saja semua orang juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mencari, bahkan termasuk Pek I Mo-ko, Suma Hok, dan Ouwyang Toan! Semua semak belukar dibabat bersih dan semua orang bekerja keras sambil saling memperhatikan. Agar kalau ada yang menemukan dapat saling mengetahui. 


Dalam keadaan seperti itu, andaikata ada yang berhasil menemukan, tentu dia akan celaka, akan diserang oleh semua orang! Hal ini mereka sama mengetahui, maka tentu saja mereka mencari dengan hati tegang dan gelisah. Bahkan tujuh orang kang-ouw yang sudah bergabung itupun menjadi gelisah karena bagaimana mungkin mereka bertujuh dapat menghadapi lawan yang demikian banyak dan lihai"

Akan tetapi, sampai habis semak belukar di sekeliling tempat itu dibabat, kantung sutera itu tidak juga dapat ditemukan! Semua orang merasa heran, juga Pek I Mo-ko memandang dengan wajah pucat. 


Suma Hok juga terheran-heran, demikian pula tujuh orang yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko. Hanya mereka sembilan orang itulah yang tahu benar akan melayangnya kantung sutera tadi.

"Kita ditipu!" teriak seorang jagoan Liu-sung. "Mustika itu tentu masih disimpan Pek I Mo-ko!"


Mendengar ucapan ini, semua orang memandang kepada Pek I Mo-ko dengan pandang mata
mengancam. Bahkan para jagoan Wei sendiri juga mengerutkan alisnya memandang kepada Pek I Mo-ko. Si kembar raksasa Liauw Gu dan Liauw Bu saling pandang. Mereka telah menerima tugas rahasia dari Kaisar Wei Ta Ong, bahwa kalau Pek I Mo-ko menipu mereka dan hendak melarikan mustika itu, boleh dikeroyok dan dibunuh saja!"


"Kalau mustika itu dilemparkan lalu tidak diterima orang, mengapa tidak berada di sekitar tempat ini?"
tanya Liauw Bu.


"Sungguh telah kulemparkan kepada Suma Hok ...!" kata Pek I Mo-ko bingung dan gelisah!


"Dia bohong! Pek I Mo-ko bohong! Tentu mustika itu disembunyikan!" orang-orang mulai berteriak-teriak.
"Hukum dia! Bunuh dia kalau tidak mau menyerahkan mustika itu!" terdengar teriakan orang-orang lain.

Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berat, mengandung getaran amat kuat. "Siapa-pun tidak berhak 
menghukum dan membnnuh Ciong Kui Le kecuali aku!"

Semua orang menengok ke arah orang yang bicara itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang pria yang gagah perkasa penuh wibawa. 


Usianya sekitar limapuluh tahun,tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, mukanya hitam seperti arang, akan tetapi muka itu tidak buruk, bahkan ganteng dan gagah. 

Pakaiannya dari sutera halus dan nampak bersih, dan di punggungnya tengantung sebatang pedang yang sarungnya dibuat dari emas murni berukir naga yang amat indah, dan gagang pedang itu dihias ronce merah kuning.

Mereka yang mengenal pria ini nampak gemetar dan gentar karena pria ini bukan lain adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, majikan Lembab Bukit Siluman, seorang di antara Empat Datuk Besar yang aneh dan ditakuti orang! 


Setelah melempar pandang matanya yang mencorong, menyapu semua orang yang
berada di situ dengan sinar mata merendahkan, dia berkata lagi.


"Akar Bunga Gurun Pasir adalah benda mustika yang tidak boleh dimiliki orang lain! Pek I Mo-ko harus menyerahkannya kepadaku dan yang lain boleh pergi dari sini!"


Mendengar ucapan ini, tujuh orang kang-ouw yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko dan yang belum
pernah bertemu dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, menjadi marah sekali. 


Mereka bertujuh mengandalkan diri sebagai sekelompok orang yang 
tangguh karena mereka bekerja sama. 
Dengan maju bertujuh, mereka tidak takut menghadapi siapapun juga. 

Dengan dipimpin Yang-ce Hek-kwi, mereka kini maju dan mengepung Ouwyang Sek, Si Iblis Hitam itu berdiri di depan Ouwyang Sek dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk besar itu, "Dari 
mana datangnya manusia sombong 
ini" Akar Bunga Gurun Pasir dimiliki siapa saja yang menang dalam 
perebutan! 

Kami bertujuh yang akan membunuh Pek I Mo-ko kalau dia tidak mau menyerahkan mustika itu, dan kalau engkau ini manusia sombong hendak menghalangi, kau akan kami bunuh pula!"

Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"'Kalian bertujuh sudah bosan hidup agaknya," katanya perlahan.


"Engkaulah yang bosan hidup dan sekarang juga akan kuantar engkau ke alam baka!" Yang-ce Hek-kwi yang sudah marah sekali dan pemberani karena mengandalkan 

gerombolannya, sudah menggerakkan
goloknya membacok ke arah muka Bu-eng kiam Ouwyang Sek. 


Melihat ini, semua orang kang-ouw yang sudah mengenal datuk besar itu memandang dengan hati tegang dan mereka semua maklum bahwa
tujuh orang tokoh kang-ouw tingkat pertengahan itu sungguh mencari penyakit!


Melihat golok menyambar ke arah mukanya. Ouwyang Sek sana sekali tidak mengelak, bahkan tangan
kirinya bergerak, dengan tangan terbuka dia menyambut golok itu! 


Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat. namun tertahan dan tertangkap tangan itu bagaikan terjepit catut baja yang amat kuat.
Tentu saja Yang-ce Hek-kwi terkejut dan marah. Dia mengerahkan tenaga untuk membuat tangan itu
terbuka, juga ingin menarik lepas goloknya sekuat tenaga. 


Akan tetapi, golok itu seperti melekat pada tangan itu dan pada saat Yang-ce Hek-kwi mengerahkan tenaga terakhir, tiba-tiba Ouwyang Sek
mendorong golok itu sehingga membalik dan meluncur ke arah muka pemiliknya. Yang-ce Hek-kwi
terbelalak, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi ketika golok yang ditariknya itu meluncur ke arah mukanya.


"Crakkk ...!" Golok itu tepat membacok di tengah-tengah mukanya sehingga kepala bagian depan itu terbelah karena golok itu masuk sampai ke tengah kepala. Tubuh Yang-ce Hek-kwi terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka terbelah!


Seorang temannya menyerang Ouwyang Sek dari belakang dengan menusukkan pedang kanan ke arah
punggung dan pedang kiri mengikuti dengan bacokan ke arah kepala datuk besar itu. Ouwyang Sek miringkan tubuh, mengangkat lengan kanan sehingga pedang itu terjepit di bawah ketiaknya, lalu tubuhnya membalik ke kiri, tangan kirinya membuat gerakan menampar kepala penyerangnya lalu
merampas pedang kirinya.


Penyerang itu mengeluarkan pekik dan roboh terjengkang. Sepasang pedangnya tertinggal di jepitan ketiak kanan Ouwyang Sek dan di tangan kiri datuk itu. Kepala orang itu retak dan diapun tewas seketika!"


Lima orang kawanan kang-ouw itu terkejut dan marah. Mereka serentak menyerang dari lima penjuru.


Akan tetapi, begitu Bu-eng-kiam 

Ouwyang Sek menggerakkan 
sepasang pedang rampasan, tiga 
orang pengeroyok yang berada di depan, kanan dan kiri roboh mandi darah dan lewat dengan leher hampir
putus. 


Melihat ini, dua orang yang tersisa menjadi gentar dan mereka 
melarikan diri. Akan tetapi, belum 
sepuluh langkah mereka melarikan diri, terdengar suara berciut nyaring dan dua batang pedang rampasan itu telah menembus tubuh mereka dari punggung sampai ke dada dan 
merekapun roboh menelungkup dan tewas seketika!"

Suasana menjadi sunyi melengang! Semua orang menahan napas, tegang dan kagum bukan main.


Biarpun tujuh orang kang-ouw tadi hanya memiliki ilmu kepandaian pertengahan saja, namun mereka
maju bertujuh dan sungguh 

membutuhkan ketangkasan luar biasa untuk membunuh mereka dalam
beberapa gerakan saja. Pek I Mo-ko 

sudah seperti lumpuh saking 
takutnya. 

Tadipun dia tidak berani 
menggunakan kesempatan untuk 
melarikan diri, dan dia terpukau di tempatnya, memandang dengan
muka pucat sekali.


"Ciong Kui Le, ke sini kau!" Tiba-tiba Bu-eng-kiam Oowyang Sek membentak. Suaranya penuh wibawa, terasa getaran kuat dalam suara itu oleh semua orang.


Pek I Mo-ko menghampiri bekas guru dan majikannya, lalu menjatuhkan diri berlutut.


"Hamba Ciong Kui Le menerima kesalahan hamba dan mohon pengampunan." katanya merendah.
"Serahkan Akar Bunga Gurun Pasir kepadaku!"


Tubuh Pek I Mo-ko menggigil dan mukanya menjadi semakin pucat. "Mohon maaf, suhu ... "


"Lancang! Siapa sudi mempunyai murid macam engkau" Aku bukan gurumu!" bentak Bu eng-kiam
Ouwyang Sek dan mukanya yang berkulit hitam itu nampak semakin hitam!


"Maaf, ... lo cian-pwe ... akan tetapi akar itu ... tadi hamba lemparkan kepada Suma Kongcu ...! Banyak yang melihatnya ... hamba tidak berani berbohong ... "


Ouwyang Sek mencari dengan pandang matanya rampai pandang mata itu berhenti pada wajah Suma
Hok. Pemuda putera Kui-siauw Giam ong Suma Koan ini tersenyum, melangkah maju dan memberi
hormat kepada Ouwyang Sek dengan kedua tangan di depan dada.
"Paman Ouwyang, selamat datang, paman."


Terhadap pemuda itu. Ouwyang Sek bersikap ramah, karena ayah pemuda itu merupakan seorang yang
setingkat dengan kedudukannya. "Hemm, kiranya engkau pun barada di sini! Di mana ayahmu?"


"Ayah mengutus saya untuk mencoba merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, dan tentu akan kami serahkan kepada paman kalau saya berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah ayah
sendiri juga akan datang."


"Benarkah engkau menerima akar itu dari Pek I Mo-ko seperti diceritakannya tadi.?"


"Ketika Pek I Mo-ko dikeroyok tujuh orang tak tahu diri itu," dia menunjuk mayat tujuh orang yang tewas di tangan Ouwyang Sek, "dia terdesak dan dia melemparkan sebuah kantung sutera kepada saya.


Ketika saya meloncat untuk menyambutnya, tiba-tiba saya diserang oleh saudara Ouwyang Toan!
Terpaksa saya menangkis dan kantung sutera itu lenyap entah ke mana. Sudah kami cari sampai ke
seluruh tempat di sekitar ini, namun tidak berhasil."


Ouwyang Sek memandang puteranya yang sudah mendekat. "Benarkah itu. Toan-ji (anak Toan)?"


"Memang benar, ayah. Aku tidak tahu bahwa kantung sutera itu berisi akar yang kita cari. Setelah kami semua tahu, kami mencarinya namun tidak berhasil. Sudah pasti bahwa akar dalam kantung sutera itu dibawa pergi orang lain."
"Kenapa kau menyerang Suma Hok?"

"Dia telah berbuat kurang ajar terhadap adik Hui Hong, ayah."
"Paman, saya mencinta adik Hui Hong, bagaimana berani berbuat kurang ajar" Kelak saya dan ayah akan berkunjung dan melamar adik Hui Hong." kata Suma Hok cepat.
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya. Urusan itu tidak penting baginya.

"Sudahlah, aku ingin mendapatkan kembali akar itu." Dia lalu memandang ke sekeliling. "Kalau di antera saudara ada yang menemukan akar itu dan mengembalikannya kepadaku, tentu akan kuberi hadiah
besar. 


Sebaliknya, siapa saja yang 
menemukannya dan tidak mau mengembalikan, biar dia 
bersembunyi di manapun akan dapat kutemukan dan kubunuh! Nah, aku sudah bicara dan harap saudara sekalian pergi dari sini meninggalkan kami sendiri!"

Orang-orang kang-ouw itu merasa jerih, bahkan para pendekar dari partai persilatan yang hadir di situ, tidak ingin bermusuhan dengan datuk besar yang lihai itu. Akar yang diperebutkan sudah lenyap, apalagi pemilik aselinya sudah berada di situ. 

Tidak perlu lagi memperebutkan benda yang tidak tentu ke mana lenyapnya. 

Maka, pergilah mereka meninggalkan tempat itu.
Rombongan para jagoan dari 

Kerajaan Wei melangkah maju 
menghadapi Ouwyang Sek.
Pemimpin rombongan, yaitu Liauw Gu dan Liauw Bu, raksasa kembar itu, mewakili rombongannya.

Liauw Gu. berkata, "Lo-cian-pwe, kami adalah utusan Kerajaan Wei. Kami tidak ingin bermusuhan dengan lo-cian-pwe. 
Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa Pek I Mo-ko Ciong Kui Le ini sekarang telah menjadi seorang ponggawa Kerajaan Wei dan merupakan anggauta rombongan kami. 

Oleh karena itu,kami harap dapatlah kiranya lo-cian-pwe memandang 
kaisar kami dan membiarkan dia pergi bersama kami." Berkerut sepasang alis yang tebal itu. "Hemm, urusan antara Ciong Kui Le dan aku adalah urusan pribadi kami berdua saja, dan terjadi sebelum dia menjadi orangnya kaisar Kerajaan Wei. Aku tidak mempunyai urusan dengan Kerajaan Wei. 

Kalian kembalilah ke utara dan 
sampaikan kepada Kaisar Wei Ta Ong
bahwa setelah aku selesai membuat perhitungan dengan orang ini, baru kulepaskan dan untuk pergi
menghadap beliau. 


Kalau sekarang ada yang melindungi dia dariku, siapapun juga, termasuk kalian, maka contohnya adalah tujuh orang itu!" Ouwyang Sek menunjuk ke arah mayat tujuh orang yang tadi dibunuhnya.

Para jagoan Kerajaan Wei tidak berani nekat menentangnya. Pula, sudah jelas bahwa mustika itu tidak ada lagi kepada Pek I Mo-ko sudah lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana lenyapnya. 


Untuk apa mempertaruhkan nyawa membela Pek I Mo-ko" Bahkan Sribaginda Kaisar sendiri tentu akan
menjatuhkan hukuman berat kepada Pek I Mo-ko apa bila dia pulang tanpa membawa mustika itu, dan
dianggap sebagai pembohong dan penipu yang berani mempermainkan kaisar. 


Mereka lalu saling memberi isarat dengan pandang mata dan pergilah mereka tanpa bicara apa-apalagi. 

Akhirnya, yang tinggal di situ 
hanyalah Ouwyang Sek. Ouwyang
Toan, dan Pek I Mo-ko yang masih berlutut, di antara tujuh mayat yang berserakan.

"Toan-ji, kau geledah dia!" Ouwyang Sek berkata, Ouwyang Toan 

mengangguk dan begitu tubuhnya bergerak, terdengar suara kain robek dan pakaian luar yang membungkus tubuh Pek I Mo-ko sudah menjadi koyak-koyak, tinggal pakaian dalam saja. 

Akan tetapi, mereka tidak 
menemukan Akar Bunga Gurun Pasir 
yang mereka cari, Ouwyang Sek 
menjadi kecewa dan dia memandang ke sekeliling, seolah-olah hendak mencari mustika itu.

"Kami semua tadi sudah mencari dan aku memperhatikan kalau-kalau 

mustika itu di temukan orang, akan 
tetapi tidak berhasil, ayah. Benda itu hilang. Tentu sudah diambil orang lain yang tadinya bersembunyi."
"Kui Le," kata Ouwyang Sek kepada bekas murid dan pelayannya, 
"Katakan siapa yang kini menguasai mustika milikku itu! Baru akan kupertimbangkan nyawamu!"
Pek I Mo-ko yang kini hanya 
mengenakan celana dalam sebatas lutut dan tubuh atasnya tidak
berpakaian, memberi hormat sambil berlutut, "Lo-cian-pwe, hamba tidak berbohong. Tadinya memang berada pada hamba. 


Hamba ditekan oleh Kaisar Wei Ta Ong untuk menyerahkan benda itu kepadanya.

Ketika tadi hamba dikeroyok dan terdesak, dari pada benda itu dirampas penjahat, maka hamba
lemparkan kepada Suma Hok karena hamba tahu bahwa dia hendak 

mengembalikan kepada lo-cian-pwe kalau nanti dia meminang 
Ouwyang Siocia. 

Akan tetapi Ouwyang Kongcu 
menyerangnya pada saat
dia hendak menyambut benda itu sehingga benda itu melayang dan entah jatuh ke mana. 


Anehnya,ketika semua orang mencari, benda itu tidak dapat ditemukan. Hamba kira pengambilnya tentulah
orang yang berkepandaian tinggi 

sehingga tak seorangpun di antara 
kami semua dapat melihatnya. Dan yang memiliki kepandaian tinggi itu, 
selain lo-cian-pwe, hanya ada tiga 
orang lain lagi."

"Hmm, kaumaksudkan, tiga orang datuk besar lainnya! Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik), atau Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im)?"


"Siapalagi kalau bukan mereka yang memiliki ilmu kepandaian setinggi lo-cian-pwe?"


Ouwyang Sek mengangguk-angguk, 

kemudian dia memandang kepada 
bekas pelayan itu dan suaranya
terdengar tegas. "Baik, kuampunkan nyawamu, akan tetapi karena perbuatanmu, mustika milikku itu lenyap. Hayo cepat kaubuntungi sendiri tangan kirimu!"


"Lo-cian-pwe, ampunkan hamba ... " Pek I Moko meratap.


"Jahanam busuk!" Ouwyang Toan membentak. "Apa kau ingin ayah atau aku yang membuntunginya"


Kalau aku yang diperintahkan 

membuntungi, bukan hanya 
tanganmu, juga kedua kakimu!"
Ouwyang Sek tersenyum mendengar ucapan puteranya. 


Pek I Mo-ko maklum bahwa tidak mungkin ada pengampunan baginya dan ucapan Ouwyang Toan tadi 
memang ada benarnya. Perintah 
bekas majikannya hanya 
membuntungi tangan kiri. 

Hal itu masih ringan dari padat dibuntungi lengan kanannya, atau bahkan kedua lengannya dan kakinya! 

Cepat dia menyambar sebatang golok yang banyak berserakan di situ, senjata tujuh orang yang tewas, dan sekali tabas, buntunglah pengelangan tagan kirinya. 

Darah mengucur deras dan Pek I Mo-ko cepat menotok jalan darah di lengan kirinya untuk menghentikan keluarnya darah dari luka di pergelangan tangannya.
Ouwyang Sek mengangguk-anggnk. "Toan-ji, mari kita pergi! Kita cari Hui Hong!"

Ayah dan anak itu berkelebat lenyap meninggalkan Pek I Mo-ko di antara mayat-mayat itu. Pek I Mo-ko menggigit bibir menahan rasa nyeri, dan dengan tangan kanannya dia mengambil obat luka dari pakaiannya yang terkoyak-koyak tadi, mengobati luka dan membalut pergelangan tangan kiri yang buntung itu dengan robekan kain pakaiannya. 


Kemudian, tertatih-tatih dia 
meninggalkan tempat itu.


          **********


"Mari, Hong-moi, kita harus cepat dapat menangkap Pek I Mo-ko!" kata Bun Houw yang berlari cepat di samping Hui Hong.


"Houw-ko, tentu saja aku ingin cepat menangkapnya, agar benda mustika milik ayah itu tidak sampai dia serahkan kepada orang lain."


"Dan dia harus memberitahu siapa yang membunuh keluarga Cia dan menculik Ling Ay." kata pula Bun Houw yang masih penasaran karena dia teringat akan nasib Ling Ay.


Tiba-tiba Hui Hong menghentikan langkahnya. Tentu saja Bun Houw merasa heran dan diapun berhenti, lalu menghampiri gadis itu. "Hong-moi, kenapa engkau berhenti?"


Hui Hong menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Sudah sejak pertemuannya dengan Bun Houw. hatinya merasa tidak senang melihat Bun Houw mencampuri urusan rumah tangga wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.


"Kwa Bun Houw," katanya dengan suara dingin. "Sebagai seorang pendekar, engkau sungguh tidak pantas sekali mencampuri urusan pribadi dan rumah tangga seorang wanita yang bukan apa-apamu!"


"Eihhh?" Bun Houw membelalakkan matanya memandang, "Apa 

maksudmu, Hong-moi dan kenapa engkau tiba-tiba marah kepadaku?"
"Engkau masih pura-pura tidak 
mengerti" Aku muak melihat sikapmu itu, mengingat bahwa kita telah bersahabat. Engkau tidak berhak 
mencampuri urusan perempuan 
bernama Cia Ling Ay itu!

Ingat, ia telah menjadi isteri orang 
lain. Kenapa engkau masih 
memperhatikan dan mengurus 
dirinya" Tidak malukah engkau kalau diketahui orang bahwa engkau, 
seorang pendekar yang 
berkepandaian lumayan,
memperhatikan isteri orang lain?"
Bun Houw menjadi semakin heran, akan tetapi juga penasaran. Kenapa begitu dia menyebut nama Ling Ay, Hui Hong berubah sikap, menjadi marah dan galak" Tiba-tiba Bun Houw teringat akan sesuatu dan diapun tersenyum memandang wajah gadis itu.

"Kwa Bun Houw, mengapa engkau cengar-cengir seperti itu" Aku tidak main-main! Aku marah dan jengkel, engkau tahu?"


Bun Houw tertawa. "Ha ha, aku tahu, Hongmoi. Engkau ... cemburu kepada Ling Ay! Benarkah?"


Wajah Hui Hong menjadi merah sekali dan matanya melotot. "Aku" Cemburu" Kalau bukan engkau yang mengeluarkan ucapan itu, tentu akan kutampar mulutmu sampai hancur! Kenapa aku mesti cemburu"


Huh, Bun Houw, engkau tidak patut menjadi sahabatku!" Dan iapun menggerakkan tubuhnya, lari
meninggalkan Bun Houw.


Kini pemuda itu, terkejut. "Hei i..! 

Hong-moi, jangan begitu! Jangan 
marah dan meninggalkan aku.
Maafkan ucapanku tadi!" teriak Bun Houw sambil mengerahkan tenaga 

mengejar.

Karena ilmu berlari cepat Bun Houw tidak berada di bawah tingkat Hui Hong, maka gadis itu tetap tidak mampu meninggalkannya. Hal ini membuat Hui Hong menjadi semakin marah. 


Gadis ini marah kepada diri sendiri karena ia merasakan benar bahwa ia memang cemburu! Ia merasa tidak senang karena Bun Houw begitu memperhatikan Ling Ay yang sudah menjadi isteri orang lain. 

Hal ini membuat ia merasa seolah ia sama sekali tidak menarik hati, kalah oleh seorang wanita lain yang sudah menjadi isteri orang.

Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa ia cemburu, bahkan perasaan ini membuat ia merasa 

malu dan bahkan menambah 
kemarahannya. Marah kepada diri 
sendiri yang semua ia tumpahkan kepada Bun Houw yang ia anggap sebagai biang keladinya!

Melihat ia tidak mampu 

meninggalkan Bun Houw, ia pun tiba-tiba berhenti, "Mau apa engkau
mengejarku?"


"Hong-moi, Jangan begitu. Jangan 

engkau marah kepadaku. Aku ... aku 
minta maaf kalau ucapanku 
menyinggung hatimu."

"Tidak ada yang menyinggung, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya ingin engkau jangan mendekati aku, jangan mengikuti aku!" kata Hui Hong ketus.


"Tapi, Hong-moi. Tadi kita begitu 

akrab, engkau bersikap demikian ramah dan baik kepadaku dan ... "
"Cukup. pergilah! pergi dan jangan ikut aku lagi!" kata Hui Hong dan iapun lari lagi. Tentu saja Bun Houw 
masih merasa penasaran dan diapun 
mengejar lagi. Terjadi lagi kejar-kejaran sampai Hui Hong berhenti lagi dan membalik.

"Kalau engkau masih mengejar, akan kuhajar kau!"
"Hong-moi, ...!" Bun Houw terkejnt karena tidak menyangka bahwa Hui Hong benar-benar marah sekali dan seperti membencinya.


"Cukup! Aku tidak mau lagi 

berkenalan denganmu, tidak mau lagi bicara denganmu!"

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Hong-moi. apakah dia kurang ajar kepadamu?" Dan muncul ah Ouwyang Toan dan Ouwyang Sek.
"Ayah ...!" Hui Hong lari menghampiri ayahnya.


"Hong-moi, apa yang dilakukan orang ini kepadamu?" Ouwyang Toan 

kembali bertanya sikapnya marah.

"Dia ... dia menjengkelkan, dia menuduh aku cemburu!" kata Hui Hong yang masih marah dan jengkel.

Ouwyang Toan menghampiri Bun 
Houw dengan sikap menantang. 
Pemuda tinggi besar ini memang
berwatak keras, pencemburu, dan memandang rendah orang lain.

"Hemmm, siapapun yang 
mengganggu adikku, harus dihajar!"
Bun Houw mengerutkan alisnya. "Aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun."


"Engkau pengecut! Hanya berani mengganggu perempuan, tidak berani bertanggung jawab dan takut menerima tantanganku?" Ouwyang Toan tersenyum mengejek.
Wajah Bun Houw berubah merah. 


"Sobat, harap jangan keterlaluan dan jangan mendesakku. Aku tidak 
mempunyai alasan untuk berkelahi denganmu."

"Kalau aku mendesak, kau mau apa" Aku mempunyai alasan cukup kuat untuk menantangmu, kalau engkau berani. Kalau engkau takut. cepat berlutut dan minta ampun kepada kami!"


Sepasang mata Bun Houw berkilat, "Engkau terlalu sombong!"
"Kau berani" Nah, sambutlah ini!" Ouwyang Toan menyerang dengan dahsyat sekali.


Tangan kanannya yang dikepal 

menghantam ke arah kepala Bun 
Houw, di kuti tangan kiri yang
menyusut dan mencengkeram ke arah dada.


Bun Houw mengelak dan ketika 

tangan kiri lawan mencengkeram, 
diapun menangkis dengan 
pengerahan tenaga. Tangan kirinya 
berputar di depan dada ketika 
menangkis sambil miringkan
tubuhnya ke kanan.


"Dukkk!" Pertemuan kedua lengan kiri itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Ouwyang Toan merasa penasaran dan diapun menyerang 

kalang kabut, gerakannya bengis dan ganas sekali.

Biarpun dia tidak ingin bermusuhan dengan kakak Hui Hong, namun karena dihina dan didesak, timbul kemarahan di hati Bun Houw dan diapun mulai membalas serangan lawan. 


Terjadilah perkelahian yang seru. Karena maklum bahwa lawan lihai dan memiliki tenaga yang kuat, Bun Houw segera menggunakan ilmu silatnya yang menggunakan jari-jari tangan untuk menotok.

"Ihhh ...!" Ouwyang Toan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan totokan jari tangan lawan. Dia menjadi semakin marah karena terhuyungnya itu menunjukkan bahwa dia terdesak walaupun belum
roboh. Diapun cepat mencabut pedangnya.


"Kalau engkau benar laki-laki, keluarkan senjatamu!" tantang Ouwyang Toan, pedangnya melintang di depan dada.


Karena tantangan itu juga merupakan penghinaan, Bun Houw mencabut tongkat bututnya dari pinggang. 


"Hemm. engkau terlalu mendesakku, Ouwyang Toan. Jangan salahkan aku kalau sampai engkau terluka." 

Dia memperingatkan, merasa tidak enak sekali ketika dia melihat ke arah Hui Hong gadis itu tetap
 memandangnya dengan marah.

"Lihat pedang!" Ouwyang Toan 
membentak, dan nampak sinar 
berkilat ketika pedangnya 
menyambar-nyambar. 

Bun Houw seperti tidak melihat 
datangnya bahaya, bersikap acuh dan tetap memandang ke arah Hui Hong, akan tetapi begitu pedang lawan menyambar, dia sudah mengelak dengan ringan.

Memang bagi pemuda murid Tiauw Sun Ong ini, tidak perlu 

mempergunakan matanya ketika
bertanding. Dia biasa berlatih tanpa menggunakan penglihatan matanya, berlatih di dalam kegelapan yang pekat, bahkan berlatih dengan mata terpejam, seperti gurunya yang buta. 


Karena latihan-latihan itu, seluruh bagian tubuhnya memiliki kepekaan seolah-olah di semua bagian 
tubuhnya terdapat mata.
Gerakannya demikian otomatis tanpa melihat lagi.


Setiap kali pedang di tangan Ouwyang Toan bertemu tongkat, terdengar suara nyaring seolah-olahtongkat butut itu merupakan sebuah benda logam yang amat kuat. Mudah diduga bahwa tongkat butut itu 
menyembunyikan senjata yang 
terbuat dari pada baja. 

Permainan tongkat Bun Houw demikian aneh, cepat dan kuat sehingga setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar pedang Ouwyang Toan makin menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia terdesak.

"Toan-ji, mundur, biar aku bermain-main sebentar dengan bocah ini!" terdengar suara yang dalam dan berwibawa.


Mendengar suara ayahnya, Ouwyang Toan terkejut dan heran, akan tetapi dia meloncat keluar dari perkelahian itu, ke dekat ayah dan adiknya. Tentu saja dia merasa heran. Ayahnya adalah seorang datuk besar yang tidak mau sembarangan melayani orang-orang yang rendah tingkatnya, 


Apalagi seorang pemuda! Dan bagaimana mungkin pemuda ini akan mampu menandingi ayahnya" Tingkat
kepandaiannya hanya setinggi 

tingkatnya, tidak banyak selisihnya!"
Sementara itu, ketika kakek berusia lima-puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu menghampirinya, Bun Houw merasa jantungnya berdebar tegang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa tidak enak sekali. pria ini adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang sudah banyak didengar namanya. 

Gurunya sendiri pernah 
menceritakan kepadanya tentang 
Empat Datuk Besar. Biarpun gurunya yang buta belum pernah melihat mereka, namun gurunya mendengar banyak tentang mereka.

Hal ini masih belum banyak artinya bagi Bun Houw. Yang membuat dia tidak enak dan gelisah adalah karena Bu eng-kiam ini adalah ayah kandung Hui Hong! Tadipun dia sudah merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak gadis itu, Apalagi sekarang dia berhadapan dengan ayahnya. 


Maka, cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada orang tua itu.

"Lo-cian-pwe, harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya tidak ingin bermusuhan atau berkelahi dengan siapapun apa lagi dengan lo-cian-pwe yang saya hormati. Tidak ada alasan bagi kita untuk bertanding dan saya tidak berani kurang ajar melawan lo-cian-pwe yang berkedudukan tinggi dalam dunia persilatan."


"Orang muda, siapa namamu?"
"Nama saya Kwa Bun Houw, 

locianpwee."

"Kwa Bun Houw, engkan sudah berani menentang kedua orang anakku, dan kulihat tadi ilmu pedangmu cukup baik sehingga Toan-ji tidak mampu mengalahkanmu. Sudah sepatutnya kalau aku mengukur sampai di mana kehebatan Ilmu pedangmu yang tersembunyi dalam tongkat. 


Biarlah aku melawan pedangmu itu dengan tangan kosong, agar jangan dikatakan aku yang tua menghina yang muda. Hayo maju dan seranglah aku."

"Saya tidak berani, lo-cian-pwe." Alis yang tebal itu berkerut.
"Berani atau tidak, tidak perduli! Engkau harus menyerangku, atau aku akan tutun tangan membunuhmu. Aku membenci seorang penakut!"

"Kalan begitu, biar lo-cian-pwe yang menghajar dan membunuh saya, dan saya akan mencoba untuk membela diri," kata Bun Houw yang tetap tidak mau mendahului menyerang.
Ouwyang Sek mendengus. 


"Huh, memang kau sudah bosan hidup. Kalau engkau menyerang dulu, paling banyak aku hanya akan menjatuhkanmu. Akan tetapi, kalau sekali aku menyerang, aku tidak akan
berhenti sebelum orang yang 

kuserang mampus!"

"Terserah kepada lo-cian-pwe. Saya tidak akan berani menyerang lebih dulu." kata Bun Houw sambil memandang ke arah Hui Hong. Dia melihat betapa Hui Hong berdiri dengan alis berkerut dan muka
berubah agak pucat. 


Jelas gadis itu nampak gelisah sekali dan diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Bun Houw. Gadis itu mengkhawatirkan 
keselamatannya! ini saja sudah cukup mengobati semua kegelisahannya! 
Hui Hong mengkhawatirkan dirinya. 

Hal ini hanya berarti bahwa gadis itu diam-diam suka kepadanya dan tidak membencinya seperti diperlihatkan dalam sikapnya tadi. Sungguh membuat dia semakin bingung karena dia tidak dapat mengetahui bagaimana sebenarnya isi hati gadis itu.

Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. 


Dia aneh, wataknya keras dan kadang amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah seperti pasang surutnya air laut.

Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul perasaan benci terhadap pemuda itu.


"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!" bentak datuk itu dan begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw.


Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah menyambar. Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. 


Maka, mengandalkan kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.
Kembali Bun Houw berhasil 
menghindarkan diri dengan elakan.
Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. 


Serangan susulannya semakin ganas
sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa 

kewalahan, terdesak dan terhimpit oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak berani 
mempergunakan senjata untuk 
melindungi dirinya, karena 
mempergunakan senjata berarti balas menyerang. 

Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap 
menghindar tanpa membalas
merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh
lebih kuat. 


"Hyaanattt ...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu bergerak secara beruntun, saling susul 
menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak terus. 

Terpaksa dia lalu mengerahkan 
tenaga pada telunjuknya dan 
menyambut serangan talapak
tangan kiri lawan itu dengan totokan. 


Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari sambaran telapak tangan yang ampuh itu.
"Tukk ...!" Ouwyang Sek 
mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, 
sedangkan Bun Houw meloncat ke 
samping dan merasa betapa 
tangannya tergetar hebat saking 
kuatnya telapak tangan lawan yang ditotoknya tadi.

"It-sin-ci (Satu Jari Sakti) ...!" 
Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah.

"Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat, bagaikan 
gelombang dahsyat yang hendak 
menelan dirinya.

Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya
untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali membuat dia terjengkang dan terguling-guling.


"Mampuslah!" Ouwyang Sek 

membentak dan menyusulkan 
serangan maut. Karena tubuh Bun 
Houw bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar 
mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.

"Dukk ...!" Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya
sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena
tongkat itu menotok pula lutut kirinya!


Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan. "Lo-cian-pwe,

bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya.
Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."

Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. 


Kini tangan kanan memegang pedang dan tangan kirinya memegang 
tongkat.
Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu, "Orang muda, apa hubunganmu dengan Tiauw Sun Ong" tiba-tiba dia bertanya.

Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena
tidak mau berurusan dengan dunia ramai.

"Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebut-nyebut tentang beliau."

Tiba tiba datuk besar itu tertawa. "Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat
menyelamatkan nyawamu! 


Hari ini engkau akan mati di 
tanganku dan nyawamu boleh 
memberitahu kepada Tiauw Sun Ong!" Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan seperti seekor beruang.
Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat
terhindar dari malapetaka, satu-

satunya jalan adalah balas 
menyerang. 

Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.

Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk besar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw, maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah lewat limabelas jurus. 


Sebuah tendangan mengenai 
pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia dapat sempat mengatur 
keseimbangan dirinya, tiba-tiba 
pergelangan tangan kanannya 
terpukul. 

Pedang itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw
terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.


"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!" Ouwyang Sek berseru sambil tertawa-tawa, lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak akan mampu 

menghindarkan diri dari maut.

"Ayah, jangan bunuh dia!" Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di 

depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.

"Hong-moi, jangan lancang kau!" Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.


Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus, "Toan-koko, ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!" 


Kemudian dia menoleh kepada
ayahnya dan suaranya terdengar tegas, "Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!"

"Hui Hong, apakah engkau sudah gila" Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan ini?" 
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya 
dengan bengis.


          **********



"AYAH, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?"


"Ehh" Apa maksudmu?"


"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan 

menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa 
kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta ayah jangan membunuhuya."

"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi dengan adanya pedang ini!"

"Ada apa dengan pedang itu, ayah '!"
"Kau tak perlu tahu!" Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah. "Minggirlah dan aku akan membunuhnya!"


"Hong-moi. minggirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.

Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang. "Ayah, kalau ayah memaksa hendak membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa mampu membalas. 
Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!"

Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali
pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya ke lubang kubur juga. 

Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh yang hebat, tentu sudah mati seketika.

"Baiklah, biar dia pergi!" akhirnya dia berkata. "Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha-ha!"


"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw ...


"Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan perasaan iba. 


Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan perasaan senang yang membuat dia lupa akan 
kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan mempertaruhkan nyawanya!"

"Sampai ... jumpa ... " Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.

"Ha ha ha-ha!" Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan pohon-pohon. "Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. 


Biar belum dapat menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu. Hatiku puas, ha-ha ha!"

"Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.
"Tak perlu kautahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.


Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. 


Dia dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang 
pemberian gurunya juga disita. Ayah Hui Hong membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri" Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga mencintanya, tentu takkan 
membiarkan dia dihajar seperti itu. 

Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.

Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. 

Begitu dia menyusup ke dalam semak-semak,Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang baik-baik.

"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. 


Hemm, gadis itupun tentu sekejam ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.
"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan kurampas dengan kekerasan!" suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap sama sekali. 

Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan
menuruni lembah. Dia harus mencari obat. 

Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba 
menyembuhkan atau mengurangi lukanya.

Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu karena matahari telah condong jauh ke barat. 


Dia harus mendapatkan tempat 
berlindung melewati malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia 
melewatkan malam di tempat 
terbuka. Apalagi kalau sampai 
diserang binatang buas atau orang 
jahat. 

Dia takkan mampu membela diri sama sekali. Sedikit saja dia 
mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan mungkin 
nyawanya akan melayang saat itu juga.

Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pria berusia limapuluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda tampan. Pemuda 

inilah yang mengejutkan hatinya 
karena dia mengenalnya sebagai 
pemuda yang lihai, yang nyaris 
memperkosa Hui Hong.

Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria
kecil kurus yang ternyata adalah 

ayahnya. "Ayah, orang ini pasti tahu 
siapa yang mengambil mustika itu!
Mungkin dia sendiri yang 

mengambilnya!"

Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. 


Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak 
mengesankan, akan membuat 
siapapun memandang rendah 
kepadanya. 

Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya karena 
memandang rendah datuk itu!"
Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. 


Sudah beberapa orang dibunuhnya 
tadi karena dia dan puteranya 
mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang 
diperebutkan dan yang lenyap ketika diperebutkan.....



BERSAMBUNG KE JILID 06





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12