Monday, February 4, 2019

Cerita Silat Serial Lembah Selaksa Bunga Jilid 01


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga 
          Jilid 01



Pagi itu masih gelap kelam, 
remangremang karena sinar 
matahari masih lemah sekali. 
Mataharinya sendiri belum tampak, agaknya masih jauh di balik bukit
itu, baru mengintai dengan sinarnya yang masih lemah. 

Dari kaki bukit tampak bayangan seorang gadis berjalan mendaki bukit memasuki hutan. Agaknya ia sakit karena jalannya mulai terhuyung, namun ia memaksa dirinya melangkah terus mendaki sampai di lereng bukit yang pertama.

Akan tetapi agaknya ia tidak kuat lagi dan akhirnya tubuhnya yang limbung itu roboh terkulai, telentang dengan lemah.


Agaknya, bau tanah dan rumput yang masih basah oleh embun,amat menyejukkan dan terasa nyaman sekali bagi tubuhnya yang lemah lunglai seperti kehabisan tenaga. 


Sambil rebah telentang,matanya yang cekung di wajahnya yang pucat itu menatap ke atas,ke daun-daun pohon yang menutupi langit di atasnya. Ia diam saja,tak bergerak, merasakan nikmatnya udara dingin yang
memeluknya, bagaikan orang tidur dengan mata terbuka.


Sinar matahari yang mulai menguat menerobos celah-celah daun pohon, menggugah burung-burung yang semalam tidur bergerombol di antara ranting dan daun. 


Mulailah burung-burung itu terbangun dan hutan itu pun mulai sibuk dengan suara kehidupan. Burung-burung berceloteh riang dan ramai, dan sinar matahari mulai menerangi daun-daun, membuat mata wanita itu dapat menangkap burung-burung yang tadinya hanya dapat didengar kicau mereka saja.

"Aku seperti mereka........" gadis itu menggumam dan wajahnya
yang tampak pucat dan kusut itu mulai agak bercahaya dan bola
matanya bergerak-gerak mengikuti burung-burung yang berceloteh sambil meloncat-loncat dari ranting ke ranting,menggerakkan daun-daun sehingga mutiara-mutiara embun yang bergantungan pada ujung daun-daun itu runtuh ke bawah.


 Ada tetesan air embun yang membasahi muka pucat itu, menimbulkan senyum lemah karena embun dingin itu sedikit banyak
mendatangkan kesegaran. 


Ketika burung-burung mulai beterbangan meninggalkan pohon,
agaknya hendak mulai dengan tugas mereka sehari-hari untuk mencari makan penyambung hidup, gadis itu menahan senyumnya. 


"Aku seperti mereka, terbang bebas seorang diri di dunia ini......"

Satu demi satu atau bergerombol tiga-empat ekor, burung-burung itu meninggalkan pohon besar di bawah mana gadis itu rebah telentang.


Kini tinggal tiga ekor burung yang berada di dahan paling bawah sehingga gadis itu dapat melihat mereka dengan jelas.

Setelah memandang dengan penuh perhatian sejenak, gadis itu
mengerutkan alisnya. Seekor burung betina hinggap di ujung dahan, menyendiri, dan tak jauh darinya seekor burung betina lainnya berkasih-kasihan dan bermesraan dengan seekor burung jantan! 


Keduanya bercumbu, seolah hendak pamer kepada burung betina yang menyendiri itu.

Selagi sepasang burung yang berkasih-kasihan itu berkicau riang
gembira, burung betina yang menyendiri itu mengeluarkan bunyi
bercicit lemah. 


Dalam pendengaran gadis itu, suara burung betina ini demikian menyedihkan dan mengharukan! 

Teringat ia akan dirinya sendiri yang nasibnya sama dengan burung betina itu! 

Ia terpaksa meninggalkan pemuda yang dicintanya karena pemuda
itu memilih gadis lain sebagai pasangannya!


Tiba-tiba sepasang matanya mencorong, tangan kanannya
meraup dan menggenggam tanah di dekatnya dan sekali tangannya bergerak melemparkan genggaman tanah itu ke atas,dua ekor burung yang sedang bermesraan itu jatuh ke bawah.


"Jahanam keparat!" Gadis itu seolah-olah mendapat tenaga baru dan ia lalu bangkit duduk, memandang kepada dua bangkai burung yang jatuh dekat di depannya. 


Mula-mula mata yang mencorong
itu memandang puas, akan tetapi lambat laun sinar yang tadi mencorong itu mulai meredup, kemudian alisnya berkerut dan
mata itu mulai terbelalak.


Dalam pandang matanya, dua ekor bangkai burung itu tampak sebagai jenazah sepasang orang muda, seorang gadis cantik jelita dan seorang pemuda tampan perkasa! 


Kemudian, gadis itu menjerit, menangis dan menjambak-jambak rambutnya yang hitam lebat sehingga sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu menjadi riap-riapan menutupi mukanya!

 "Aduh Lian Hong...... Tek Kun...... apa yang telah kulakukan ini......" Ahhh, maafkan aku...... aku...... hu-hu-huu......!"


Ia menangis tersedu-sedu sampai lama, dan tangisnya makin lama
semakin melemah dan akhirnya ia terkulai pingsan dengan tubuh telentang! 


Gadis itu adalah Nyo Siang Lan yang di dunia kang-ouw terkenal
dengan julukan Hwe-thian Mo-li (Iblis Betina Terbang), seorang tokoh kang-ouw yang selain tinggi ilmu silatnya, juga terkenal liar dan ganas sekali. 

Gadis berusia sekitar duapuluh satu tahun ini adalah murid mendiang Pat-jiu Kiam-ong. Bersama sumoinya (adik seperguruannya) Ong Liang Hong, puteri kandung gurunya itu, ia
melakukan balas dendam dan membunuh musuh-musuh besar
Pat-jiu Kiam-ong yang dibunuh secara curang oleh para musuhnya. 


Dalam usaha balas dendam ini, ia bertemu dengan Kun-lun Siauwhiap Sim Tek Kun, pendekar Kun-lun-pai yang tampan dan gagah perkasa. Baru pertama kali selama hidupnya, Nyo Siang Lan jatuh cinta kepada Sim Tek Kun.

Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pemuda putera Pangera Sim Liok Ong itu adalah tunangan dari Ong Lian Hong, sumoinya!


Maka, terpaksa ia meninggalkan mereka, dua sejoli yang saling
mencinta. Ia pergi dengan perasaan tidak karuan, setengah merasa bahagia karena keberuntungan sumoinya, dan setengah lagi sengsara karena putus cinta.


Selama hampir satu bulan berlari-lari tanpa tujuan sampai akhirnya
pada pagi hari itu ia terjatuh di dalam hutan di lereng bukit itu karena kelelahan. 


Berhari-hari ia lupa makan lupa tidur,
terombang-ambing oleh perasaan yang menekannya, membuatnya hampir menjadi gila.


Tadi, melihat sepasang burung bermesraan di samping seekor
burung betina yang kesepian, ia teringat akan diri sendiri dan timbul
amarahnya sehingga ia membunuh sepasang burung itu.


Akan tetapi sepasang burung itu dalam pandang matanya seperti
berubah menjadi seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan, yaitu Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun!


Tapi Lian Hong adik seperguruan yang disayangi dan dianggap seperti adiknya sendiri dan Sim Tek Kun satu-satunya pemuda didunia ini yang dicintanya! 


Maka begitu melihat bayangan mereka pada dua bangkai burung yang dibunuhnya itu, ia terkejut,
menyesal dan bersedih sekali, merasa seolah ia telah membunuh mereka yang ia sayangi itu karena cemburu. 


Ia menjerit-jerit minta ampun, menangis sejadi-jadinya sampai akhirnya ia terkulai pingsan saking tidak kuat menahan gelora hatinya.
Tubuh gadis itu tergolek pingsan, dengan rambut tergerai dan mukanya pucat sekali, matanya terpejam dan pernapasannya demikian lemah dan halus seperti orang mati.

Pakaiannya kusut dan wajahnya sebagian tertutup rambutnya yang terurai, namun tetap saja mudah dilihat betapa cantik wajahnya dan betapa menggairahkan tubuh gadis yang bagaikan setangkai bunga
sedang mulai mekar dengan indahnya itu.


Nyo Siang Lan yang berjuluk Hwe-thian Mo-li memang terkenal
sebagai seorang dara perkasa yang cantik jelita, berusia duapuluh satu tahun. Tubuhnya sedang ramping dengan lekuk lengkung sempurna, kulitnya putih kuning mulus dan lembut. 


Rambutnya hitam lebat dan panjang berikal mayang sehingga biarpun kini
sanggulnya terlepas sehingga tergerai, masih tampak indah. Anak rambut yang lembut melingkar di pelipis dan atas dahinya.


Sepasang matanya bagaikan bintang, bening tajam dan agak lebar, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya membuat setiap orang laki-laki yang memandangnya menjadi tergila-gila. 


Sulit setelah sekali melihat melupakan sepasang bibir yang lembut, penuh, dan kemerahan
karena sehatnya itu dan kalau tersenyum sehingga agak terbuka,
memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, rongga mulut
dan lidah yang ujungnya merah muda dan sehat.


Siang Lan yang pingsan itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu belasan orang muncul dan menghampirinya. 


Mereka itu datang dari lereng atas dan orang-orang ini mengenakan pakaian yang aneh karena pakaian mereka itu dilukis kembang-kembang
beraneka ragam dan warna sehingga nampak indah mencolok akan tetapi juga aneh. 


Biasanya hanya kaum wanita saja yang mengenakan pakaian
berkembang-kembang seperti itu. 


Seorang di antara mereka yang usianya sekitar empatpuluh tahun dan kepalanya memakai sebuah
topi yang dihias kembang-kembang hidup, berjongkok memeriksa
Siang Lan. 


Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan semua anggauta badannya tampak besar, kepalanya, matanya, hidung dan mulutnya yang menyeringai, semua tampak lebih besar daripada manusia umumnya. 

Dia tampak terkejut heran dan senang melihat gadis yang demikian cantiknya tergolek di situ dan ternyata masih hidup.

Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang pingsan itu memiliki sebatang pedang dalam sarung yang amat buruk, dia mengerutkan alisnya. 


Diambilnya pedang itu dan dicabutnya dari sarung pedang.
Bukan main kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan
bahwa pedang itu berkilauan saking tajamnya. 


Tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang biasa dan orang yang memiliki pedang pusaka seperti itu tentu bukan orang sembarangan pula. 

Maka dia menyarungkan kembali pedang itu dan menyerahkannya kepada seorang anak buahnya. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah di kedua pundak dan punggung Siang Lan.
Setelah itu dia sendiri mengangkat dan memanggul tubuh gadis uyang lemas itu dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengikutinya naik ke bukit itu. Anak buahnya tampak gembira dan tertawa-tawa mengikuti pemimpin mereka yang memanggul tubuh Siang Lan naik ke arah puncak bukit. 

Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah lembah bawah puncak yang teramat indah.

Sungguh luar biasa sekali keadaan lembah itu karena sebagian besar tanah di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk dan warna. Hampir semua bunga yang ada di negeri itu agaknya terkumpul di lembah ini! 


Lembah yang amat luas itu dipenuhi beribu-ribu tanaman bunga sehingga kalau orang berada di tempat itu dia akan merasa seperti berada di taman sorga! Beraneka keharuman bunga memenuhi udara, menyegarkan pernapasan.
Di sekeliling lembah itu terdapat belasan buah rumah mungil dan di tengah-tengah terdapat sebuah rumah besar yang dikelilingi seribu satu macam bunga. 

Laki-laki tinggi besar itu membawa
Siang Lan yang masih pingsan ke dalam rumah besar, lalu ia dibaringkan di atas sebuah pembaringan dalam kamar yang luas
indah dan mewah. 


Sampai hari menjadi gelap Siang Lan belum juga siuman dari pingsannya. Laki-laki itu mengulang dan memperkuat totokannya agar gadis itu tidak mampu bergerak kalau siuman nanti. 

Kemudian dia mengambil air dan membasahi kepala dan leher Siang Lan dengan air dingin. Gadis itu merintih dan bergerak. Ia siuman dari pingsannya akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa kaki tangannya lumpuh dan tidak dapat ia gerakkan.

Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi tahulah ia bahwa ia berada
dalam keadaan tertotok oleh seorang ahli yang lihai sekali. 


Ketika ia di bawah sinar lampu meja melihat seorang laki-laki tinggi besar
duduk di tepi pembaringan, ia mengerutkan alisnya dan sepasang
matanya mencorong. Ia marah bukan main, maklum, bahwa tentu laki-laki ini yang telah menotoknya.

"Jahanam busuk dan curang! Bebaskan aku dari totokan!" ia
berseru. Laki-laki itu tersenyum, menyeringai dan tampak buruk sekali.


Apalagi pakaiannya mewah dan berkembang-kembang sehingga
dia tampak seperti seekor kera besar berpakaian!


"Tenanglah, manis. Engkau tidak akan diganggu, bahkan engkau akan menduduki tempat tinggi dan mulia di sini. Sudah lama aku menanti datangnya seorang wanita seperti engkau, dan sekarang harapanku terkabul. 


Engkau kupilih menjadi isteriku, menjadi isteri ketua perkumpumpulan Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga) yang dimuliakan dan dihormati. 

Maka, bergembiralah engkau dan jangan marah, jangan pula bersedih!"
Siang Lan terkejut, akan tetapi ia menjadi semakin marah karena
sekarang ia tahu bahwa ia telah terjatuh ke tangan orang-orang
jahat yang berniat keji terhadap dirinya. 


Ia hendak diperisteri,dipaksa menjadi isteri laki-laki menyebalkan ini. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Bergerak pun ia tidak dapat. 

"Siapa sudi menjadi isterimu?" bentaknya. Walaupun kaki tangannya tidak dapat bergerak, namun suaranya masih lantang dan semangatnya masih tinggi karena ia sama sekali tidak merasa gentar sedikit pun. 

"Hayo cepat bebaskan totokan ini dan kalau engkau memang seorang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kita roboh dan tewas! 

Jangan bertindak pengecut
seperti ini!" "Hua-ha-hah!" Orang itu tertawa, agaknya senang melihat betapa gadis yang amat cantik itu ternyata juga amat gagah berani. Dia
bertepuk tangan dan masuklah lima orang wanita berusia sekitar tigapuluh tahun yang rata-rata memiliki wajah cantik dan pakaian
mereka mewah sekali. 


Mereka berlima membungkuk dengan hormat di depan laki-laki
tinggi besar itu dan seorang di antara mereka bertanya.


"Apa yang harus kami lakukan, Pang-cu (Ketua)?"


"Kalian jaga baik-baik gadis ini dan perlakukan ia dengan baik,jangan sampai ia tersinggung, jangan pula melakukan gangguan apa pun. Cukupi makan minumnya dan siapkan pakaian terindah untuknya. 


Ingat, gadis ini adalah calon Nyonya Ketua, calon isteriku. Aku berada di depan bersama para pembantuku untuk membicarakan tentang persiapan pernikahan.

"Awas kalau sampai ia menjadi marah karena ada yang mengganggunya, aku akan memberi hukuman berat dan tidak mengenal ampun. Kukira gadis ini tentu seorang yang amat lihai,
oleh karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, sebelum ia terbebas dari totokan, akan kubelenggu dulu kaki tangannya."

Setelah berkata demikian laki-laki yang disebut Pang-cu itu lalu mengambil tali hitam yang terbuat dari sutera dan mengikat kedua
pergelangan kaki dan tangan Siang Lan dengan erat namun tidak sampai mendatangkan rasa nyeri pada gadis itu. 


Setelah selesai baru dia keluar memesan kepada para wanita itu untuk mencuci muka dan menyisir, menata rambut Siang Lan, menukar
pakaiannya, agar gadis itu tampak rapi.


Setelah laki-laki itu keluar, lima orang wanita itu menutupkan daun pintu lalu merawat Siang Lan. Gadis itu memaki-maki, namun mereka tidak peduli. 


Mereka melucuti semua pakaian Siang Lan,memandikannya dan membersihkan tubuhnya yang penuh debu tanpa gadis itu dapat meronta, hanya memaki-maki.

Setelah membersihkan tubuh dan menyisir rambutnya, bahkan memberi minyak harum di tubuh itu dan membedaki mukanya,mereka untuk sementara membuka tali pengikat kaki tangan Siang Lan. Mereka mengenakan pakaian baru pada tubuh Siang Lan, lalu mengikat lagi pergelangan tangan dan kaki gadis itu.


Akhirnya Siang Lan diam saja karena ia tahu bahwa percuma saja ia memaki-maki lima orang wanita itu dan hal ini bahkan menghabiskan tenaganya karena dilanda kemarahan. 


Ia berdiam diri dan diam-diam mengumpulkan tenaganya karena ia tahu bahwa kalau ia sampai dapat membebaskan diri dari totokan dan
belenggu, ia membutuhkan banyak tenaga untuk melawan para penjahat. 


Demikian pula, ketika para wanita itu menyuapinya dengan makanan dan minuman, ia menerima untuk menjaga kesehatan untuk memulihkan tenaga ia yang selama berhari-hari ini ia telantarkan. 

Tentu saja para wanita itu menjadi lega dan merasa senang. "Nona yang baik, beginilah seharusnya sikapmu karena sesungguhnya engkau mendapatkan keberuntungan besar yang jarang ada gadis mendapatkannya. 

Tak lama lagi engkau menjadi Nyonya Ketua kami yang dihormati semua orang, hidup terhormat,mulia dan kaya raya. Karena itu, sambutlah ketua kami dengan manis, Nona, agar hatinya merasa senang karena kami lihat baru sekarang ini Pang-cu jatuh cinta dan tergila-gila kepada seorang
gadis." 


Di dalam hatinya Siang Lan menjadi marah sekali akan tetapi kini
gadis itu mendapatkan kembali ketenangan dan kecerdikannya. Ia
tahu bahwa kalau ia marah dan memaki-maki, hal itu tidak ada
gunanya baginya. Lebih baik ia berpura-pura menyerah agar ia dapat menyelidiki keadaan musuh. 


Setelah menahan napas untuk menenangkan dan mendinginkan hatinya, mulailah Siang Lan mengubah sikap dan bertanya. "Enci, bagaimana aku bisa berada di sini" 

Aku tidak ingat apa yang terjadi dengan diriku. Tolong ceritakan."
Dengan hati senang karena gadis cantik itu kini menjadi penurut
dan hal ini pasti akan menyenangkan hati ketua mereka sehingga
mereka akan diberi hadiah, seorang di antara lima wanita itu yang
menjadi juru bicara menjawab.

"Nona, sudah kami katakan tadi, engkau sungguh beruntung.
Pang-cu sendiri yang menemukan engkau menggeletak pingsan di
dalam hutan, lalu Pang-cu menolongmu dan memondongmu
sampai di sini." "Hemm, kalau dia menolongku dan berniat baik, mengapa aku dibelenggu?" "Nona, jangan salah mengerti dan maafkan tindakan Pang-cu kami. 


Dia sungguh tergila-gila dan amat sayang kepadamu. Akan tetapi karena dia belum mengenal betul siapa Nona yang dia sangka tentu Nona amat lihai, maka terpaksa dia menjaga
kcmungkinan Nona akan memberontak dan melawan. Karena itu,katakanlah kepada kami siapa Nona dan ceritakan keadaan Nona
agar kami dapat melapor kepada Pang-cu," bujuk wanita itu.

Siang Lan memaksa dirinya untuk tersenyum. Setelah ia menerima
makan dan minum, tenaganya mulai pulih dan tubuhnya terasa segar kembali, tidak loyo seperti sebelum ia roboh pingsan dan ditangkap penjahat. "Mudah saja menceritakan keadaan diriku, Enci, akan tetapi tidak enak terbelenggu begini. Tolong buka dulu ikatan kaki tanganku
dan kita bicara baik-baik."


Lima orang wanita itu saling pandang dengan wajah iba akan tetapi juga khawatir, lalu pembicara tadi berkata lembut. "Nona, bukan kami tidak merasa kasihan kepadamu. Akan tetapi kami tidak berani melanggar perintah Pang-cu yang akan menyiksa kami sampai mati kalau kami tidak menaati perintahnya. 


Kalau engkau sudah menceritakan keadaanmu, nanti kami melapor kepada Pang-cu bahwa engkau bersikap penurut agar ikatan tangan
kakimu dibuka." "Hemm, baiklah, aku akan sabar menanti. Akan tetapi sebelum aku memperkenalkan diri, tolong ceritakan kepadaku tentang ketua kalian dan tentang perkumpulan di sini agar aku mengetahu dengan siapa aku hendak menikah."


"Wah, engkau akan merasa gembira kalau mengenal Pang-cu,Nona. Nama Pang-cu adalah Siangkoan Leng dan dia menjadi ketua dari perkumpulan kami Ban-hwa-pang (Perkumpulan
Selaksa Bunga). 


Pang-cu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat amat tinggi dan sukar dicari jagoan yang mampu mengalahkan tombaknya. Dia dijuluki Si Tombak Maut.

"Ban-hwa-pang kami telah berdiri selama puluhan tahun,pendirinya adalah mendiang Siangkoan Lo-cianpwe, setelah beliau meninggal perkumpulan dipimpin Pang-cu Siangkoan Leng sejak belasan tahun yang lalu. 


Perkumpulan kami mempunyai anak buah sebanyak limapuluh orang lebih yang tinggal di lembah ini bersama
anak isteri mereka. Pang-cu belum pernah beristeri, maka kini memilihmu, sungguh merupakan keberuntungan besar bagimu,Nona. 


Nah, sekarang giliranmu untuk memperkenalkan diri."

Siang Lan sejak tadi harus menekan perasaan marahnya. Belum pernah ia memaksa diri bersikap lemah dan lembut terhadap orang yang dibencinya. Dengan hati mulai panas lagi ia memperkenalkan dirinya. 


"Katakan kepada ketua kalian bahwa aku bernama Nyo Siang Lan
dan di dunia kang-ouw mereka menyebut aku Hwe-thian Mo-li!

Telah banyak sekali penjahat yang mampus di ujung pedangku.
Katakan agar dia membebaskan aku dan mengembalikan pedangku kalau dia tidak ingin mampus pula di tanganku!"


Lima orang wanita itu terbelalak dan terkejut. Seorang dari mereka lalu lari keluar dari kamar untuk melapor kepada ketuanya. Tentu saja mereka terkejut dan merasa ngeri karena nama julukan Hwethian Mo-li telah terkenal sebagai Iblis Betina Terbang yang amat ganas dan liar! 


Tak lama kemudian masuklah Ketua Ban-hwa-pang yang namanya Siangkoan Leng itu. Begitu dia memasuki kamar itu, dia
memberi isyarat kepada oara wanita tadi untuk meninggalkan kamar. 


Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dia duduk di tepi
pembaringan dan menatap wajah Siang Lan yang kini tampak semakin cantik jelita dan tersenyum lebar.


"Aih, katanya engkau yang berjuluk Hwe-thian Mo-li itu, Nona"
Bagus, bagus! Makin mantap lagi hatiku untuk memperisterimu,karena kita berdua suami isteri tentu akan menjagoi dunia kangouw dan membuat Ban-hwa-pang menjadi semakin besar!"


Kini Siang Lan tak mampu menahan kemarahannya. Ia meronta sambil memaki. "Jahanam Siangkoan Leng! Lepaskan aku dan ingin kulihat sampai di mana kehebatan tombakmu. Hayo, kalau engkau memang laki-laki, kita bertanding sampai napas terakhir!"


Siangkoan Leng terkejut melihat betapa kaki tangan gadis itu mulai
bergerak-gerak. Tahulah dia bahwa pengaruh totokannya mulai memudar dan kalau gadis itu pulih kembali tenaganya, bukan tidak mungkin ia akan mampu merenggut putus tali pengikat kaki tangannya. 


Maka cepat dia menghampiri dan tiga kali jari tangannya bergerak menotok kedua pundak dan punggung Siang
Lan, membuat gadis itu tidak dapat lagi menggerakkan kaki tangannya. 


"Jahanam! Laki-laki pengecut!" Siang Lan memaki-maki dengan tidak berdaya. "Ha-ha-ha, tunggu sampai besok, sayangku. Besok engkau tentu
akan menyanyikan lagu lain kalau sudah menjadi isteriku!" kata Siangkoan Len
g sambil meninggalkan kamar itu.

Gadis itu menjerit-jerit dengan 
makiannya dan baru berhenti
setelah lima orang wanita itu memasuki kamar lagi. Siang Lan
dapat mengetahui dari pandang mata mereka bahwa lima orang wanita itu menaruh hati kasihan kepadanya, namun mereka merasa ngeri dan takut akan hukuman ketua mereka, maka mereka pun hanya berusaha untuk menghibur dan menyenangkan
hati gadis tawanan itu.  



          **********


Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua anak buah Banhwa-pang sudah bekerja dan sibuk menyambut pesta pernikahan yang akan dilaksanakan besok lusa atau tiga hari setelah Siang Lan ditawan. 

Siangkoan Leng yang cukup cerdik tidak mau mengunjungi kamar di mana Siang Lan berada karena dia tidak ingin calon isterinya itu terganggu.

Hanya kadang-kadang saja dia memeriksa apakah gadis itu masih
belum membahayakan dan masih dalam keadaan terbelenggu.
Karena dia tidak ingin kesehatan calon isterinya terganggu, maka
dia tidak lagi memperpanjang tubuh Siang Lan dalam keadaan tertotok. 


Dia hanya menggunakan pengikat kaki dan tangan gadis itu yang teramat ulet dan kuat, yang mengikat kedua pergelangan tangan Siang Lan. 

Adapun kedua kakinya terbelenggu rantai baja yang tebal dengan gelang baja longgar mengikat kedua pergelangan kakinya. 

Biarpun gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat,namun kiranya akan sulit baginya untuk dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggu ini. 

Akan tetapi karena belenggu itu panjang,diikatkan pada baja di luar tembok kamar sehingga kuat sekali,
Siang Lan kini dapat duduk, berdiri atau rebah di atas pembaringan. 


Tubuhnya masih agak lemah karena pengaruh totokan yang terlalu lama pada malam hari tadi. Gadis itu tidak mengamuk lagi,melainkan bersabar menyimpan tenaga dan menanti datangnya kesempatan untuk dapat membebaskan diri.

Ban-hwa-pang menyebar undangan, akan tetapi karena pesta pernikahan itu dilakukan mendadak, hanya ada waktu tiga hari,tentu saja mereka hanya dapat mengundang orang-orang yang tinggal tidak amat jauh dari Ban-hwa-pang.


Pada hari yang kedua, tempat itu telah dihias dan semua anggauta
Ban-hwa-pang tampak bergembira. Sang Ketua sendiri, Siangkoan
Leng, sibuk di ruangan khusus di mana dia membuat ramuan obat
dari berbagai macam bunga. Dia memang ahli membuat obat dari
bunga-bunga itu. 


Demikian banyaknya bunga tumbuh di lembah itu dan dia sudah mempelajari khasiat setiap macam bunga. 

Ada bung yang dapat menyembuhkan luka beracun, ada yang dapat mencuci darah, adayang menguatkan tubuh, melawan bermacam penyakit. Ada pulab unga yang mengandung racun mematikan, ada yang dapat
membius, bahkan ada yang dapat diramu menjadi semacam obat
perangsang yang amat kuat.

Ruangan ini merupakan kamar pribadi dan tidak ada orang lain
diperbolehkan masuk kecuali seijin Siangkoan Leng. 


Pada siang hari itu, Siangkoan Leng sibuk membuat ramuan dan dia menutup daun pintu dan jendela kamar itu agar kegiatannya jangan
terganggu orang lain. 


Dia membuat ramuan obat-obatan dan di antara lain dia meramu
obat perangsang yang amat kuat. Siangkoan Leng sudah memperhitungkan bahwa tidak akan mudah menundukkan seorang gadis seperti Hwe-thian Mo-li agar menyerahkan diri secara sukarela kepadanya. 


Maka dia hendak menggunakan obat
itu agar gadis itu mau menyerah tanpa paksaan dan sekali menyerah, gadis itu tentu akan menjadi isterinya yang boleh diandalkan memperkuat kedudukannya!


Saking senangnya membayangkan penyerahan diri Hwe-thian Moli secara sukarela kepadanya, Siangkoan Leng meramu obat
sambil tersenyum-senyum. 


Setelah selesai membuat beberapa
ramuan bunga kering itu menjadi bubuk halus, dia memasukkan bubukan obat itu ke dalam sebuah kantung kain kecil lalu mengantunginya. 


Tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara lembut. "Leng-te (Adik Leng)......!" Siangkoan Leng terkejut sekali dan begitu membalikkan tubuhnya,dia melihat daun jendela sudah terbuka dan di depannya telah
berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tampan lembut
namun rambutnya telah hampir putih seluruhnya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. 


Pakaiannya juga sederhana, berwarna kuning. Laki-laki itu berdiri memandang kepadanya sambil
tersenyum lembut dan matanya yang tajam itu memiliki pandangan
yang menembus. 


Melihat siapa yang datang, Siangkoan Leng tidak menjadi heran lagi. Bagi orang ini, tidak ada tempat yang tidak dapat dimasukinya,pikirnya dan dia berseru dengan gembira.

"Liong-ko (Kakak Liong)......!!" Dua orang laki-laki itu saling mendekati dan laki-laki yang baru datang itu menaruh kedua tangan di atas pundak Siangkoan Leng.


"Liong-ko, sudah bertahun-tahun engkau menghilang, ke mana sajakah engkau?" "Aku merantau ke barat, Leng-te dan baru sekarang kembali ke
timur. 


Baru sekarang aku datang dan begitu memasuki Lembah Selaksa Bunga aku disambut suasana pesta yang meriah.

Mendengar bahwa engkau besok pagi akan menikah, aku hampir tidak percaya dan langsung saja mencarimu ke kamar ini. 


Leng-te,benar-benarkah engkau hendak menikah?"

"Benar, Liong-ko. Mari kita duduk di ruangan dalam! Pertemuan menggembirakan ini harus kita rayakan. Ah, betapa bahagianya
hatiku bahwa engkau datang pada saat aku akan merayakan pernikahanku, Liong-ko!" kata Siangkoan Leng gembira.


Mereka keluar dari kamar itu lalu duduk menghadapi hidangan dan arak di ruangan dalam di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira sekali karena kakak dan adik ini sudah saling berpisah selama hampir duapuluh tahun!


Laki-laki itu berusia sekitar empatpuluh dua tahun dan bernama Sie Bun Liong. Ketika dia berusia lima tahun, ayahnya meninggal dunia
dan ibunya yang menjadi janda diperisteri oleh Siangkoan Kok,
Ketua Ban-hwa-pang yang juga sudah menduda dan mempunyai putera Siangkoan Leng. Jadi, hubungan antara Sie Bun Liong dan Siangkoan Leng sebetulnya jauh, tidak ada hubungan keluarga.

Mereka hanya saudara tiri berlainan ayah ibu. Akan tetapi karena sejak berusia lima tahun Sie Bun Liong ikut ibunya yang menjadi isteri Ketua Ban-hwa-pang, maka dia tumbuh besar di Lembah Selaksa Bunga itu. 

Mereka berdua belajar ilmu silat dari mendiang Siangkoan Kok, akan tetapi ternyata Sie Bun Liong memiliki bakat
yang jauh lebih baik sehingga dalam ilmu silat, dia selalu menjadi
contoh dan pembimbing adik tirinya.

Ketika Siangkoan Kok meninggal, yang menggantikannya menjadi
Ketua Ban-hwa-pang adalah Siangkoan Leng sebagai putera
kandung. Biarpun Sie Bun Liong jauh lebih lihai ilmu silatnya,namun dia yang ketika itu berusia duapuluh tahun menganjurkan.adik tirinya menjadi ketua.


Dia sendiri tidak senang menjadi ketua. Dia lebih senang memperdalam ilmu silat dan sastra, bahkan beberapa tahun sesudah adik tirinya itu menggantikan ayah tirinya menjadi Ketua Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong meninggalkan Lembah Selaksa
Bunga dan melakukan perantauan sampai bertahun-tahun dan
baru sekarang dia muncul, bertemu lagi dengan adik tirinya setelah
mereka berdua berusia lebih dari empatpuluh tahun.


Selama makan minum, Sie Bun Liong tidak bicara, agaknya dia tidak ingin mengganggu adiknya yang bergembira menyambut kedatangannya. 


Akan tetapi setelah mereka selesai makan minum,mereka duduk di ruangan depan yang hawanya lebih sejuk dan Sie Bun Liong bertanya. "Leng-te, ketika aku datang, di sini sedang dihias untuk menyambut
pesta pernikahanmu besok. 


Leng-te, gadis manakah yang telah
membuat engkau mengambil keputusan untuk menikah, padahal
sejak dulu engkau bilang bahwa engkau tidak akan mengikat diri
dengan pernikahan?" "Ah, Liong-ko, sekali ini aku benar-benar terpesona dan tergila-gila melihat calon isteriku. 


Dan ia itu adalah seorang gadis kang-ouw yang amat terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li, lihai dan
cantik jelita." "Mo-li......?" 


Sie Bun Liong mengerutkan alisnya mendengar adiknya akan menikah dengan seorang wanita yang berjuluk Mo-li (Iblis Betina)! 

Karena selama ini dia merantau dan tinggal di barat,di daerah Pegunungan Himalaya, maka tentu saja dia tidak
mengenal julukan Hwe-thian Mo-li itu.


"Ia memang seorang tokoh persilatan yang liar dan ganas, juga lihai sekali, Liong-ko. Maka aku mengambil keputusan untuk menjadikannya isteriku agar aku dapat membimbing ia meninggalkan keganasannya."

Sie Bun Liong mengangguk-angguk. "Hemm, niatmu itu tidak buruk. Akan tetapi dasar perjodohan harus ada cinta kasih kedua pihak. 

Apa engkau mencintanya?"
"Wah, aku tergila-gila padanya, Liong-ko. Aku sungguh telah jatuh cinta begitu aku bertemu dengannya," kata Siangkoan Leng gembira. 


Kakaknya mengamati wajahnya yang tidak dapat dibilang menarik itu. "Bagus kalau engkau begitu mencintanya. 

Akan tetapi bagaimana dengan gadis itu" Apakah ia juga mencintamu?"
Ditanya begini, Siangkoan Leng tak mampu menjawab. 


Di dalam hatinya dia merasa bingung. Sejak dulu dia amat takut terhadap
kakaknya ini yang selalu penyabar, mengalah, namun yang segala-galanya melebihi dirinya. 


Justeru karena kelembutan dan
kebaikan hati Sie Bun Liong itulah yang membuat dia selalu tunduk
dan menurut. 


"Aku...... aku belum tahu, Liong-ko. Maklumlah, wanita biasanya
malu-malu untuk mengaku cinta. Akan tetapi aku sedang membujuknya dan agaknya ia tidak menolak ketika kulamar untuk menjadi isteriku." 


"Hemm, calon isterimu itu gadis dari manakah dan di mana ia tinggal?" Siangkoan Leng semakin bingung. 

Dia merasa yakin benar bahwa kalau kakaknya yang selalu menuntut kebenaran ini tahu bahwa calon isterinya adalah gadis yang ditawannya dan dia hendak memaksanya menjadi isterinya, tentu kakaknya akan marah sekali
dan jelas akan melarangnya! 


Dia sudah tergila-gila kepada Hwethian Mo-li dan tidak ingin dihalangi pernikahannya dengan gadis itu. 

Dia harus menggunakan akal karena tidak mungkin dia dapat
menggunakan kekerasan terhadap kakaknya untuk mencapai
niatnya. 


Dia tahu bahwa selain dia tidak akan mampu mengalahkan Sie Bun Liong, juga sebagian anggauta Ban-hwapang terutama yang sudah lama, tentu tidak mau membelanya untuk mengeroyok Sie Bun Liong yang disegani dan dihormati semua anggautanya. 

"Liong-ko, Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis kang-ouw yang
sudah tidak berkeluarga dan bertempat tinggal tetap. Sejak kami
bertemu, ia tidak meninggalkan tempat kita ini."


"Ah, dia sudah berada di sini" Aku ingin melihat calon Adik Iparku,
Leng-te!" kata Sie Bun Liong dengan wajah berseri gembira dan agak kemerahan karena dia telah minum agak terlalu banyak arak.

Sudah beberapa tahun ini dia jarang minum arak sampai demikian banyaknya sehingga dia kini terpengaruh dan agak mabok.
Siangkoan Leng terkejut sekali. "Ah, Liong-ko, mana mungkin
engkau dapat menemuinya sekarang" Ia tentu malu sekali dan memang seorang calon mempelai wanita tidak boleh menemui seorang pria sebelum menikah, bahkan aku sendiri tidak berani menemuinya. 


Ia tentu akan merasa terhina, dan ia galak sekali,Liong-ko. Bersabarlah sampai kami menikah besok. 

Sekarang karena aku merasa rindu sekali padamu, mari kita minum
sepuasnya sambil berbincang-bincang. 


Engkau menceritakan semua pengalamanmu selama merantau!"
harus Karena alasan yang dikemukakan adiknya itu masuk akal, Sie Bun Liong tidak mau mendesak lagi untuk bertemu dengan Hwe-thian
Mo-li. 


"Leng-te, dalam perjalananku ke sini, aku mendengar kabar-kabar
yang tidak begitu menyenangkan tentang Ban-hwa-pang kita. Ada
yang mengabarkan bahwa kini Ban-hwa-pang merupakan perkumpulan yang ditakuti orang, anggautanya banyak yang bertindak kasar dan kejam terhadap rakyat. Bahkan kabarnya Banhwa-pang suka memeras para pedagang di kota-kota sekitar sini.


Benarkah engkau melakukan hal yang tidak patut itu, Leng-te?"
"Ah, itu hanya kabar bohong, disebarkan orang-orang yang tidak
suka kepada perkumpulan kita, Liong-ko. Kami memang menerima
sumbangan, namun itu diberi secara sukarela oleh para pedagang yang merasa keamanannya terlindung oleh Ban-hwa-pang. 


Kalau kami bersikap tegas dan keras, itu pun hanya terhadap para
penjahat yang mengganggu rakyat!"

"Hemm, mudah-mudahan keteranganmu benar. Biarlah, soal calon isterimu itu, biar kutemui besok. Kalau memang ia dengan sukarela mau menjadi isterimu, aku pun tidak akan menghalangimu. Akan
tetapi, aku melarang keras kalau engkau menggunakan kekerasan
dan paksaan." 


"Ah, tentu saja tidak, Liong-ko. Mari, mari minum lagi, Liong-ko!"
"Ah, sudah terlalu banyak aku minum, Adikku!"

"Liong-ko, tanpa doa restumu sebagai pengganti orang tua kita,aku tidak akan merasa tenang dan bahagia. Marilah minum, Liongko, demi mendoakan kebahagiaanku bersama calon isteriku.

Marilah, Liong-ko!" Sampai malam mereka bercakap-cakap 

membicarakan masa lalu
dan pengalaman masing-masing sejak mereka berpisah sebagai
pemuda dan kini mereka sudah sama-sama berusia empatpuluh
tahunan. 


Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan minum arak. Siangkoan Leng yang memang setiap hari suka minum banyak arak, tentu saja lebih kuat dalam hal minuman ini
dibandingkan kakaknya yang sudah bertahun-tahun tidak pernah
minum arak. 


Akhirnya, Sie Bun Liong yang ikut bergembira menghadapi pernikahan adiknya sehingga tidak tega menolak ajakan Siangkoan Leng untuk minum arak tanpa ukuran lagi, meletakkan
kepalanya berbantal lengan di atas meja dalam keadaan tidak sadar karena mabok berat. 


Sambil tertawa-tawa Siangkoan Leng
membantu dan memapah kakaknya keluar dari ruangan itu.


"Ha-ha-ha, Liong-ko, engkau sudah tidak kuat minum lagi! Ha-ha,
marilah, mari beristirahat, engkau harus membantuku, Liongko...... ha-ha-ha!" Siangkoan Leng yang hanya setengah mabok tertawa-tawa gembira. 


Dia ingin menyenangkan hati kakaknya agar kakaknya itu tidak menghalangi pernikahannya, melainkan membantunya. 

Malam telah larut, bahkan setelah tengah malam, gedung tempat
tinggal Siangkoan Leng telah menjadi sepi. Semua anggauta Banhwa-pang yang sehari penuh tadi bekerja menghias seluruh perkampungan mereka untuk mempersiapkan perayaan pernikahan ketua mereka, kini sudah tidur melepaskan lelah.
Siang Lan melihat betapa lima orang wanita yang menjaganya sudah tidur pulas di atas lantai. Ia sejak tadi berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya, namun tidak berhasil. 

Tali itu terlampau kuat, agak lentur sehingga tidak dapat putus. Juga rantai baja pada kakinya amat kuat. 

Kini ia duduk bersila di atas pembaringan untuk menghimpun tenaga. Ia pikir bahwa untuk melaksanakan upacara pernikahan besok, mau tidak mau Siangkoan Leng pasti akan melepaskan ikatan kaki
tangannya. 


Tidak mungkin ia harus melakukan upacara pernikahan dalam keadaan terbelenggu disaksikan para tamu!
Nah, kesempatan itu, walaupun sedikit dan di sana akan terdapat
banyak kaki tangan Siangkoan Leng, akan ia pergunakan untuk
mengamuk dan membebaskan diri! 


Untuk itu ia membutuhkan
banyak tenaga murni, maka malam ini ia duduk melakukan siu-lian
(samadhi) menghimpun tenaga.

Lewat tengah malam, suasananya menjadi semakin sepi. Siang Lan yang tenggelam ke dalam samadhi menjadi peka sekali. Ia bahkan dapat mendengar dengkur yang datang dari kamar-kamar sebelah, bahkan pernapasan halus dari lima orang wanita pelayan di lantai itupun terdengar dengan jelas olehnya.

Tiba-tiba, pada waktu jauh lewat tengah malam, pendengarannya
menangkap gerakan yang tidak wajar itu di luar kamar itu. Ia membuka sepasang matanya dan melihat betapa lilin yang tadi bernyala di sudut kamar telah padam. Juga lampu kecil di atas meja berkedap-kedip, apinya bergoyang.


Kemudian ada angin bertiup dan api lampu itu pun padam,membuat ruangan itu menjadi remang-remang karena hanya mendapat sedikit sinar dari lampu yang berada di luar. Sinar itu memasuki kamar lewat daun jendela yang telah terbuka!

Sesosok bayangan dalam cuaca remang-remang itu berkelebat
mendekati pembaringan. Siang Lan cepat mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya yang terikat untuk menyerang bayangan yang mendekatinya itu.

"Wuuuttt......!" Pukulan gadis itu dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membunuh bayangan yang ia yakin tentulah Siangkoan Leng yang berniat buruk terhadap dirinya.. 

"Plakk! Plakk!" Dua pukulannya itu tertangkis dan Siang Lan merasa betapa kedua tangannya bertemu tangan yang demikian lemas dan lunak sehingga menyerap semua tenaga pukulannya.
Ia terkejut sekali akan tetapi tiba-tiba dengan cepat sekali ada tangan yang menotoknya. 

Seketika ia terkulai lemas, tak mampu bergerak menggunakan kekuatan tenaga sin-kang lagi, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. 

Demikian hebatnya totokan itu, membuat ia terheran-heran.
Tubuhnya tidak terasa nyeri, juga tidak lumpuh, akan tetapi anehnya ia tidak mampu menggunakan tenaganya!

Tiba-tiba ia menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Jerit itu terjadi di dalam hatinya saking kaget dan ngerinya karena ada tangan yang dengan lembut melepaskan pakaiannya dan menanggalkan pakaian itu dari tubuhnya! 


Dan tangan-tangan yang gerakannya lembut namun kuat sekali itu
bahkan membuka ikatan kedua tangannya dan juga belenggu
pada kakinya. Ia kini bebas dari belenggu, akan tetapi tubuhnya tidak dapat meronta dan sama sekali tidak berdaya. Yang terjadi kemudian
membuat ia menjerit-jerit dalam hatinya.


Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan akhirnya ia jatuh pingsan karena tidak dapat menahan rasa ngeri,marah, benci dan perasaannya hancur lebur. 


Pada saat itu, sebelum ia jatuh pingsan, ia ingin mati saja. Ia telah diperkosa orang tanpa ia mampu bergerak atau menjerit.
Siang Lan tentu saja tidak tahu berapa lamanya ia dalam keadaan seperti itu dan pingsan. Ketika ia siuman, ia mendengar suara seperti isak tangis dan ada bayangan terhuyung meninggalkan pembaringan menuju ke jendela yang terbuka.
Pada saat itu, Siang Lan teringat apa yang telah terjadi menimpa dirinya dan tiba-tiba ia merasa betapa ia dapat lagi menggerakkan kaki tangannya yang sudah tidak terbelenggu lagi. 

Cepat ia melompat turun hendak mengejar bayangan itu, yang kini telah melompat keluar melalui lubang jendela.

Akan tetapi melihatb etapa dirinya dalam keadaan telanjang bulat, ia terkejut bukan main dan menahan gerakannya yang hendak melakukan
pengejaran. 

Dalam cuaca remang-remang itu, cepat ia menyambar pakaiannya
yang bertumpuk di atas tepi pembaringan. Cepat ia mengenakan
pakaian dengan air mata bercucuran akan tetapi menahan suara tangisnya. 

Ia menyadari benar apa yang telah terjadi. 

Tadi malam ia tertotok dan dalam keadaan tak berdaya telah diperkosa orang!

Agaknya fajar telah menyingsing dan cuaca dalam kamar itu tidak
segelap malam tadi. Ia melihat lima orang wanita penjaga masih
rebah di lantai dan ketika ia memeriksa, mereka pun bukan sedang tidur melainkan pingsan tertotok pula!


Siang Lan cepat melompat melalui lubang jendela untuk melakukan pengejaran. Hatinya menangis dan menjerit-jerit teringat akan keadaan dirinya. 


Akan tetapi ketika tiba di luar ia tidak
melihat orang yang semalam memperkosanya. Andaikata ia
melihatnya, ia pun tidak akan mengenalnya karena semalam ia
hanya melihat bayangan orang itu dalam kegelapan.


Akan tetapi hatinya merasa yakin bahwa pelakunya sudah pasti
Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang. Kalau bukan dia, siapa lagi yang berani melakukan perbuatan keji yang terkutuk itu" Kini ia merasa hatinya panas. 


Rasa panas yang menjalar ke seluruh
tubuh. Ia merasa seperti dibakar kemarahan dan kebencian.

Tiba-tiba muncul tiga orang anggauta Ban-hwa-pang. Mereka terkejut melihat calon pengantin yang tadinya menjadi tawanan itu telah bebas dan berada di luar kamar dengan rambut tergerai dan sepasang mata berkilat. 

"Hei......! Nona pengantin, telah terlepas......!" teriak seorang di antara mereka. 

"Syuutt...... dukk!" Orang itu terjengkang dan tewas seketika
karena tamparan tangan Siang Lan membuat kepalanya retak.

Dua orang rekannya terkejut dan marah. Cepat mereka mencabut
pedang akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang, kembali
kedua tangan Siang Lan berkelebat dan mereka berdua roboh dan
tewas! 


Setelah membunuh tiga orang itu, Siang Lan menjadi semakin
beringas seperti seekor harimau mencium darah. Ia menyambar
sebatang pedang milik anggauta Ban-hwa-pang yang tewas itu,lalu ia mulai mencari Siangkoan Leng dengan hati penuh dendam kebencian yang membuat ia hampir gila mengingat akan malapetaka yang menimpa dirinya semalam!


Lima orang anggauta Ban-hwa-pang muncul. Para anggauta perkumpulan itu memang mulai bangun dan siap untuk melanjutkan persiapan perayaan pernikahan ketua mereka.

Ketika lima orang itu melihat Hwe-thian Mo-li berdiri dengan pedang di tangan, tentu saja mereka terkejut. Mereka sudah mendengar bahwa calon pengantin itu adalah seorang gadis yang berjuluk Iblis Betina dan lihai sekali.
Tadinya mereka mendengar dan bahwa gadis itu menjadi tawanan,
terbelenggu dan tertotok sehingga tidak mungkin dapat lolos. Kini,
tahu-tahu gadis itu telah berada di depan mereka. 


Maka sambil berteriak-teriak memanggil teman, mereka lalu mengepungnya.
"Nona, engkau hendak ke manakah" Sebagai calon pengantin,Nona tidak boleh keluar kamar......"

"Singgg...... crakkk!" Pembicara itu roboh dengan leher hampir putus terbabat pedang! Empat orang yang lain terkejut dan marah. Mereka lalu
mengeroyok dengan pedang mereka dan para anggauta lain yang mendengar keributan itu, berdatangan berbondong-bondong. 


Akan tetapi pedang rampasan di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung. Ia mengamuk seperti Iblis Betina benar-benar dan terdengar jeritan disusul robohnya tubuh para pengeroyok. 

Darah muncrat dan membanjiri lantai! Karena ruangan itu terlalu
sempit, apalagi sudah ada enam orang malang melintang tewas disambar pedangnya. Hwe-thian Mo-li merasa tidak leluasa mengamuk. Maka ia lalu
melompat keluar dan setelah tiba di pekarangan depan rumah besar Siangkoan Leng, ia berhenti menanti sampai puluhan orang anggauta Ban-hwa-pang datang mengepungnya.

"Anjing-anjing jahanam keparat! 

Majulah kalian semua. Hari ini
kalau tidak dapat membunuh bangsat Siangkoan Leng dan kalian semua anak buahnya, jangan sebut aku Hwe-thian Mo-li!" 

Ia menjerit dan segera menyambar-nyambar. tubuhnya berkelebatan, pedangnya 

Terjadilah perkelahian yang mengerikan. Puluhan orang anggauta
Ban-hwa-pang itu bagaikan segerombolan anjing serigala mengeroyok Hwe-thian Mo-li yang mengamuk seperti seekor naga.
Jerit dan teriakan susul menyusul. Tubuh para pengeroyok 
berpelantingan dan tewas seketika, terkena sambaran pedang atau tamparan tangan, kiri gadis itu. 

Baju Hwe-thian Mo-li sudah
berlepotan darah mereka yang ia robohkan. 

Banjir darah pekarangan gedung itu. Setelah merobohkan dan membunuh lebih dari duapuluh orang pengeroyok, tiba-tiba terdengar gerengan dahsyat dan muncullah
Sang Ketua yang bertubuh tinggi besar itu.


"Perempuan iblis!" Siangkoan Leng membentak, melintangkan tombak cagaknya di depan dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah Hwe-thian Mo-li. 


"Perempuan tidak tahu diuntung! Engkau hendak kuangkat derajatmu menjadi Nyonya Ketua Ban-hwapang, sekarang malah membunuhi anggauta perkumpulanku!
Engkau harus menebus dosa ini dengan nyawamu!"

Kini Siang Lan dapat melihat laki-laki itu dengan jelas dan ia bergidik muak. Kepala yang besar itu dengan semua anggauta badan yang bulat dan besar membuat ketua itu tampak seperti
seekor kera yang menjijikkan. 


Mengingat bahwa orang ini semalam
telah melakukan penghinaan yang sebesar-besarnya kepadanya,telah memperkosanya, maka sepasang mata Siang Lan mencorong. 


Apalagi ia melihat pedangnya tergantung di pinggang orang itu,
saking marahnya ia hampir tak mampu bicara. 


"Mampuslah,jahanam!" Ia menjerit dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya. Siangkoan Leng bukan seorang lemah, akan tetapi ketika dia menggerakkan tombaknya untuk menangkis, terdengar bunyi
berdentang dan dia terhuyung ke belakang. 


Dia terkejut bukan main. Ternyata gadis ini memang lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Dia meneriaki anggauta perkumpulannya untuk mengeroyok dan kembali Siang Lan mengamuk. 

Ia sengaja selalu menjauhi Siangkoan Leng yang merupakan lawan paling tangguh.
Ia mengamuk di antara para anggauta Ban-hwa-pang.


Satu demi satu para pengeroyok itu ia robohkan. Setelah terjadi pertempuran yang lebih merupakan pembantaian itu selama hampir dua jam, akhirnya semua anggauta Ban-hwa-pang roboh dan tewas! 

Kini hanya tinggal Siangkoan Leng seorang yang menghadapi Siang Lan dengan muka pucat dan merasa ngeri.
Limapuluh lebih anak buahnya tewas di tangan Hwe-thian Mo-li!

Tadi memang sengaja gadis itu menghindari Siangkoan Leng
karena dengan cara demikian, tidak ada anak buahnya yang melarikan diri. 


Kalau ia lebih dulu merobohkan ketuanya, maka sisa anak buahnya pasti akan melarikan diri ketakutan. Memang Hwethian Mo-li sudah memperhitungkan dan mengambil keputusan untuk membunuh semua anggauta Ban-hwa-pang!

"Jahanam busuk! Sekarang tiba saatnya aku mencincang hancur
tubuhmu yang amat kotor dan jahat itu!" Hwe-thian Mo-li berseru dan ia segera menyerang dengan cepat.

Siangkoan Leng masih merasa ngeri melihat semua anak buahnya tewas. Untuk melarikan diri pun sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia pun dengan nekat melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silat tombaknya yang lihai. 

Mereka bertanding di antara puluhan mayat yang berserakan.
Terkadang mereka terpaksa menginjak mayat karena pekarangan
itu memang penuh dengan mayat. 


Sepak terjang Hwe-thian Mo-li
amat mengerikan. Ia bagaikan kesetanan, tidak mengenal ampun.
Hati dan pikirannya dipenuhi dendam kebencian yang amat hebat
karena peristiwa semalam yang merenggut kehormatannya
sebagai seorang gadis. Siangkoan Leng adalah seorang yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman berkelahi. 


Dalam hal ilmu silat dan tenaga, mungkin tingkatnya tidak berselisih jauh dari tingkat kepandaian Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi yang jelas, dia
kalah jauh dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga
ketika dalam perkelahian itu Siang Lan mengerahkan seluruh ginkangnya, pandang mata Ketua Ban-hwa-pang itu menjadi kabur
karena baginya, tubuh gadis itu seperti berubah banyak,menyerang dari berbagai jurusan dan bayangannya sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk dapat mengarahkan serangannya. 


Maka, setelah bertanding kurang lebih limapuluh jurus lamanya,
Siangkoan Leng yang memang sudah merasa jerih dan ngeri melihat betapa semua anak buahnya telah tewas, tak mampu mengelak dari tendangan Siang Lan yang mengenai bawah
perutnya. Dia berteriak mengaduh dan roboh terjengkang!


Bagaikan kesetanan Siang Lan menubruk ke depan, pedang yang
berada di pinggang Siangkoan Leng itu disambarnya dan di lain saat Lui-kong-pokiam (Pedang Pusaka Halilintar) yang bersarung buruk, pedang pusaka pemberian mendiang gurunya,menggantikan pedang rampasan yang dibuangnya. 


Tampak sinar menyilaukan mata menyambar-nyambar ke arah tubuh Siangkoan Leng. Hanya dua kali Ketua Ban-hwa-pang itu menjerit dan
selanjutnya, tubuhnya dicincang oleh Siang Lan yang sudah memegang pedangnya sendiri. 


Mengerikan sekali keadaan tubuh
Siangkoan Leng. Siang Lan terus membacoki sambil mencucurkan
air mata. 


"Mampuslah, mampuslah......!" berulang-ulang ia berseru dan
akhirnya ia berdiri setengah lunglai, lelah sekali, berdiri memegangi
pedangnya yang berlepotan darah memandang ke arah onggokan
daging di depannya, bekas tubuh Siangkoan Leng yang dicincang
berikut tulang-tulangnya itu!

Kemudian Nyo Siang Lan memerintahkan keluar semua penghuni dalam perkumpulan Ban-hwa-pang itu.

"Hayo, semua orang keluar dan berkumpul di sini! Siapa yang tidak
mematuhi perintahku ini, akan kubunuh seperti yang lain!"
bentaknya sambil mengerahkan lwee-kang (tenaga dalam) sehingga suaranya terdengar lantang menggema sampai ke 
seluruh lembah itu, bahkan menggetarkan semua pondok yang berada di situ! 

Mendengar seruan ini, berbondong-bondong keluarlah keluarga
para anggauta Ban-hwa-pang bersama anak-anak mereka. 

Para wanita dan anak-anak itu menangis karena merasa ngeri dan
ketakutan melihat banjir darah dan mayat-mayat suami dan ayah mereka berserakan! 


Juga di gedung besar tempat tinggal
Siangkoan Leng, keluar belasan orang wanita yang tadinya menjadi pelayan ketua itu. 


Mereka semua berlutut dan menggigil ketakutan. Melihat puluhan orang wanita dan kanak-kanak itu, hati Siang Lan menjadi agak lemas dan kemarahannya memudar, terganti rasa iba. 

"Hemm, mana yang laki-laki" Aku tidak melihat seorang pun laki-laki di antara kalian!"

"Semua laki-laki telah tewas terbunuh, Li-hiap (Pendekar Wanita),
dan ada beberapa orang yang melarikan diri. 


Tinggal kami para
isteri dan anak......!" jawab seorang di antara mereka yang agak tabah. Tadi sehabis berkelahi membantai para anggauta Ban-hwa-pang,Siang Lan baru melihat betapa indahnya tempat itu. 


Lembah yang penuh dengan bunga beraneka warna! Sinar matahari pagi
membuat pemandangan dari lereng itu semakin semarak dan indah sekali sehingga ia mengambil keputusan untuk memiliki lembah ini! 


"Mulai saat ini, aku yang memiliki lembah ini. Akan kubangun lembah ini. Kalian yang mempunyai anak, bawalah semua harta milik kalian dan pergilah meninggalkan lembah. 

Akan tetapi kalian yang tidak mempunyai anak, boleh tinggal di sini membantuku Aku akan mendirikan sebuah perkumpulan terdiri dari wanita semua di lembah ini!" 

Lima orang wanita yang semalam melayani Siang Lan, kemudian pingsan tertotok dan kini agaknya sudah pulih kembali dan ikutk eluar, segera maju dan berlutut di depan gadis perkasa itu.

"Lihiap, kami berlima tidak mempunyai keluarga, kami ingin ikut
dan membantu Lihiap," kata seorang di antara mereka yang usianya sekitar tigapuluh dua tahun dan berwajah manis.


Siang Lan memang suka kepada mereka karena selama melayaninya mereka bersikap amat baik, bahkan merasa kasihan kepadanya. Ia mengangguk, lalu bertanya kepada pembicara itu.


"Enci, siapa namamu:,"
"Nama saya Kiok Hwa (Bunga Seruni), Bwe Kiok Hwa, Lihiap."


"Baik, kuangkat engkau menjadi pembantu utamaku. Kuterima kalian berlima sebagai para pembantuku!" 

Lima orang wanita itu memberi hormat dengan girang.

Para wanita yang merasa tidak mempunyai anak atau keluarga,
segera berbondong maju dan berlutut di belakang lima orang wanita pelayan itu. Mereka berjumlah sekitar tigapuluh orang,berusia antara limabelas sampai tigapuluh tahun.


"Kami siap membantu dan menjadi anak buah Lihiap!" seorang di antara mereka berseru. Siang Lan merasa senang. "Bagus! Sekarang kalian semua yang ingin membantuku, kuberi tugas dengan dipimpin Bwe Kiok Hwa. Pertama, bantulah para
isteri dan anak mengurus penguburan suami dan ayah mereka.

Semua jenazah agar dikubur di luar daerah bukit ini, di kaki bukit sana. Kalian pilih saja tempat yang baik. 

Kedua, kalian bantu mereka yang harus pergi meninggalkan lembah, dan atur agar mereka membawa semua barang milik mereka, juga kalau ada simpanan harta di sini, berilah bekal secukupnya kepada keluarga yang meninggalkan lembah. 
Aku tidak ingin ada laki-laki dan kanak-kanak berada di sini!

"Ketiga, bakar gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng ini.
Aku tidak sudi melihatnya lagi, dan kita akan bangun sebuah gedung baru. Kiok Hwa, kau atur agar barang-barang berharga tidak ikut dibakar karena kita perlu untuk membiayai bangunan baru. 


Akan tetapi semua perabot dalam rumah ini harus dibakar habis. Aku tidak sudi lagi melihatnya. Nah, mengertikah kalian semua akan tiga tugas itu?"

"Kami mengerti!" terdengar para wanita itu riuh menjawab. 


Hati mereka merasa gembira karena selama ini para wanita di situ
seolah hanya dijadikan budak, melayani para laki-laki dan terkadang diperlakukan kasar. Kini, dengan seorang ketua pendekar wanita, mereka melihat kecerahan di masa depan mereka. 


"Untuk tugas pertama dan kedua, aku minta agar dapat diselesaikan dalam tiga hari. Setelah tiga hari, di sini tidak ada lagi wanita dengan anak-anak mereka, juga wanita yang tidak inginmenjadi anggauta perkumpulanku. 

Adapun tugas ketiga, yaitu membakar gedung, harus  sekarang juga. Nah, aku pergi dan tiga hari kemudian aku kembali ke sini!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Siang Lan lenyap dari depan para wanita itu yang menjadi makin takut.




Mereka ada yang sudah mendengar bahwa gadis itu berjuluk Iblis Betina Terbang dan sekarang mereka menyaksikan sendiri betapa wanita itu pandai menghilang seperti iblis!
Hwe-thian Mo-li berlari menuruni lereng di mana terdapat lembah
yang penuh dengan bunga itu. Setelah tiba di lereng bawah, ia menengok dan melihat asap membubung tinggi dan tahulah ia bahwa gedung tempat tinggal Siangkoan Leng itu mulai dibakar oleh para pembantunya. 


Ia membalik lagi dan memandang ke
depan. Melihat sebuah telaga kecil dengan airnya yang mengkilap
tertimpa sinar matahari pagi, ia cepat berlari menuju ke telaga itu.

Setelah tiba di tepi telaga kecil yang sunyi dan indah itu, Siang Lan
yang merasa betapa tubuhnya lunglai, menjatuhkan diri di atas rumput tebal di tepi telaga dan menangislah gadis itu. 


Menangis sejadi-jadinya, tersedu-sedu, terisak sampai terengah dan
merintih-rintih, bahkan tanpa ia sadari terdengar rintihannya memilukan. 


"Ibuuu...... lbu......, Ayah...... di mana kalian......" Ibu......!" 

Hatinya terasa seperti diremas-remas teringat akan peristiwa semalam. Ia
telah dihina, diperkosa seorang laki-laki macam Siangkoan Leng tanpa berdaya. Ia merasa begitu terhina, kotor dan menjijikkan.

"Ibuuu......! Suhuuu......, teecu (murid) lebih baik mati saja......!" Kini
ia merintih memanggil mendiang gurunya yang mengasihinya
seperti ayahnya sendiri. Siang Lan duduk setengah rebah menelungkup, membiarkan mukanya terbenam dalam rumput dan menjadi basah oleh air mata dan embun, tubuhnya yang terisak-isak itu bergoyang-goyang,sesenggukan seperti seorang anak kecil. Ia telah membantai puluhan orang untuk melampiaskan dendamnya, namun perbuatan itu ternyata tidak memuaskan hatinya, bahkan menambah ganjalan hatinya kalau ia teringat bahwa belum tentu
semua orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya.

Ia telah membunuhi suami orang, ayah orang, tanpa memperhitungkan apakah yang ia bunuh itu jahat atau tidak.

Sama sekali ia tidak tahu bahwa sejak ia lari meninggalkan lembah tadi, ada bayangan orang yang selalu mengikutinya dari jauh. Kini,ketika ia menangis, meratap dan merintih di tepi telaga kecil,bayangan itu bersembunyi di balik semak-semak, tidak begitu jauh darinya sehingga pengintai itu bukan saja dapat melihat semua yang ia lakukan, bahkan mendengar semua ratapan dan rintihannya. 


Dan, orang itu, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih,
wajahnya tampak pucat dan matanya muram alisnya berkerut.

Melihat Siang Lan meratap dan menangis, dia lalu menjambakjambak rambutnya sendiri yang sudah banyak ubannya itu sambil bercucuran air mata! "Sie Bun Liong, jahanam busuk kau! Apa yang telah kau lakuan......" Kau layak mampus......!" 

Sepuluh jari tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri sampai gelungnya terlepas awut-awutan, kemudian kedua tangannya menampari kedua pipinya dari kanan kiri. 

"Plak-plak-plak-plak-plak-plak! Kau layak mampus, layak mampus
huu-huu-huuhh......!" Dia menangis sambil menahan suaranya, air
matanya bercucuran, kedua pipinya bengkak-bengkak oleh tamparannya sendiri dan kedua ujung bibirnya berdarah!


Kalau orang melihat Hwe-thian Mo-li menangis mengguguk seperti anak kecil seperti itu, tentu orang yang mengenal Hwe-thian Mo-li
akan terheran-heran. 


Gadis yang dikenal dengan juluan Iblis Betina Terbang, yang terkenal pemberani, tak mengenal takut,
keras, liar dan ganas itu, bagaimana mungkin kini menangis mengguguk seperti anak kecil"


Dan orang yang mengenal laki-laki yang bersembunyi itu tentu
akan lebih heran. Dia adalah Sie Bun Liong yang telah kita kenal ketika malam tadi berkunjung ke rumah adik tiri berlainan ayah ibu
di Ban-hwa-pang. 


Sie Bun Liong adalah seorang perantau,seorang kelana yang bertahun-tahun berkelana di daerah Tibet dan Himalaya, seorang ahli sastra dan ahli silat yang amat pandai,
kini menangis, menjambak-jambak rambutnya dan menampari
pipinya sendiri! 


Sie Bun Liong maklum bahwa adiknya berlainan ayah dan ibu,
Siangkoan Leng, adalah seorang laki-laki yang lemah dan mudah diperbudak nafsu-nafsunya. Karena itu, sebelum meninggalkan Ban-hwa-pang di mana adiknya itu menjadi ketua, dia sudah meninggalkan banyak pesan dan nasihat agar adiknya tidak meninggalkan jalan kebenaran seperti seorang pendekar.

Namun, ketika kemarin dia menuju ke Ban-hwa-pang, dia mendengar keterangan yang kurang menyenangkan tentang Banhwa-pang dari para penduduk. Maka, ketika melihat Ban-hwa-pang mempersiapkan pesta pernikahan adiknya itu, dia sudah merasa
curiga dan ingin bertemu calon pengantin wanita untuk melihat
apakah wanita itu mau menikah dengan Siangkoan Leng dengan
suka rela atau dipaksa. 


Kalau dipaksa, dia akan turun tangan
mencegah dan melarang adiknya memaksa wanita untuk menjadi
isterinya! Akan tetapi Siangkoan Leng melarangnya bertemu dengan calon
pengantin dengan alasan yang kuat dan karena betapapun juga
Sie Bun Liong memiliki rasa sayang kepada adik tiri ini, maka dia
mau diajak minum bermabok-mabokan oleh adiknya. Dia minum
sampai begitu maboknya sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi.


Ketika dia sadar dari keadaan setengah pingsan itu, dia merasakan
tubuhnya panas dan tidak karuan. Kepalanya berdenyut-denyut
dan berdengung, perasaannya demikian gembira tidak wajar.

Dia membuka mata dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di dekatnya rebah pula seorang wanita dalam keadaan telanjang bulat! 

Dalam keremangan cuaca dalam kamar dia melihat kulit tubuh yang putih mulus, ketika tersentuh
merasakan kehangatan yang luar biasa dan mencium keharuman
yang tiba-tiba membuat gairahnya berkobar dan memuncak!

Sie Bun Liong bukan seorang laki-laki yang mudah tergiur wanita,
bahkan dalam usia empatpuluh dua tahun itu dia belum pernah
bergaul secara intim dengan seorang wanita. Melihat keadaan
dirinya yang juga setengah telanjang karena pakaian luarnya
bertumpuk di tepi pembaringan itu, Sie Bun Liong mencubit
lengannya sendiri karena mengira bahwa semua itu tentu hanya
mimpi. 


Akan tetapi ternyata bukan mimpi.
"Gila!" Dia berseru dalam hatinya dan berusaha sekuatnya untuk
menolak karena nalurinya mengatakan bahwa semua ini tidak
benar! Akan tetapi, semakin dilawan, gairah itu semakin kuat,seolah api yang berkobar membakar dirinya.

Dalam keadaan seperti gila dan masih setengah sadar dia tidak mampu lagi menahan gairah berahinya dan terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki hati nuraninya. 

Hatinya menolak namun badannya tidak dapat dikendalikan lagi dan
terjadilah peristiwa itu. Dia telah menggauli wanita yang tidak
dikenalnya itu, wanita yang agaknya berada dalam keadaan
setengah sadar atau pingsan.

Ketika pengaruh hawa rangsangan yang amat kuat itu mulai
melemah, pada pagi hari itu dia segera mengenakan pakaiannya
dan turun dari pembaringan. Dia hampir gila karena penyesalan,
bercampur keheranan dan penasaran mengapa sampai terjadi hal
seperti itu. 


Apa yang telah terjadi" Siapa gadis itu" Apakah adiknya,Siangkoan Leng yang sengaja menyuruh gadis itu melayaninya".
Akan tetapi ketika dia keluar dari jendela kamar itu, dia mendapat
kenyataan bahwa itu merupakan kamar terbesar dan di depan pintu kamar terdapat hiasan kamar pengantin dengan kain merah!

Gadis itu adalah gadis calon pengantin, calon isteri Siangkoan
Leng! Sie Bun Liong tidak dapat menahan lagi rasa malu, marah, dan
penyesalannya. 


Perbuatannya semalam merupakan dosa yang tak dapat diampuni, merupakan perbuatan kotor dan hina,menyeretnya menjadi manusia iblis yang merusak kehormatan
seorang gadis! 


Terkutuk! Dia lalu melarikan diri, meninggalkan Ban-hwa-pang dengan amat cepat sehingga tidak diketahui siapa pun. 

Setelah berada jauh dari Ban-hwa-pang, dia berhenti, menjatuhkan
diri di atas tanah lalu berlutut, menangis dan berdoa mohon
pengampunan atas dosa yang telah diperbuatnya! 


Akan tetapi dia juga merasa heran. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan hina seperti itu, memperkosa seorang gadis yang berada dalam keadaan tidak
berdaya" 


Sekarang baru dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah ditotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan dan tidak mampu mengeluarkan suara!

Akan tetapi, mengapa dia mau melakukan perkosaan seperti itu"
Ini sama sekali bukan dirinya. Sampai mati pun dia tidak akan sudi melakukan hal itu. 


Akan tetapi mengapa dilakuannya juga".Dia mengingat-ingat dan membayangkan apa yang terjadi kemarin sore. Dia minum-minum dengan Siangkoan Leng, minum arak
sebanyak-banyaknya karena adiknya itu membujuk dan setengah memaksanya untuk minum, demi kebahagiaan adiknya. 


Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi dan yang teringat hanya peristiwa
malam tadi. Malam jahanam yang membuat dia berubah menjadi
iblis! Mengapa begitu"


Sie Bun Liong duduk termenung, diam tak bergerak seolah telah
berubah menjadi arca. Dia memikirkan hal yang telah terjadi secara aneh dan luar biasa itu. Lalu dia teringat akan perasaannya ketika
mulai sadar dan mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan,
di dekat seorang gadis yang rebah telentang dalam keadaan telanjang bulat. 


Dia merasa tubuhnya seperti dibakar, kepalanya berdenyut, telinganya berdengung sehingga sukar baginya untuk berpikir. 

"Ah......!" Tiba-tiba dia teringat bahwa adiknya, Siangkoan Leng adalah orang yang suka sekali mempelajari tentang semua bunga di Lembah Selaksa Bunga itu dan membuat ramuan obat dari bunga-bunga itu! 

Mungkin dia telah keracunan, pikirnya! Ya, malam itu dia terpengaruh racun yang amat hebat, racun perangsang yang amat
kuat sehingga seolah melumpuhkan semua kesadaran dan pertahanan batinnya. Dia dalam pengaruh racun perangsang!


Akan tetapi, bagaimana dia dapat diracuni" Apakah ketika dia minum-minum dengan adiknya" Dan siapa yang meracuninya" Adiknya sendiri" Rasanya tidak mungkin! 


Mana mungkin Siangkoan Leng meracuni kakak sendiri agar kakaknya memperkosa gadis yang menjadi calon isterinya" Sama sekali
tidak mungkin! Lalu siapa" Apa yang sebenar telah terjadi"


Dia merasa malu, bahkan ngeri untuk kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Bagaimana dia dapat berhadapan muka dengan Siangkoan Leng setelah dia memperkosa calon isteri adiknya itu"


Lebih lagi, bagaimana dia akan dapat berhadapan dengan gadis
yang semalam telah dia perkosa"
Sampai lama sekali, setelah termenung di situ seperti orang yang
kehilangan ingatan, Sie Bun Liong baru bangkit berdiri. 


Dia tidak boleh berdiam diri saja, pikirnya. Dia harus menyelidiki bagaimana peristiwa semalam itu dapat terjadi dan apa artinya semua itu.
Laki-laki bertubuh sedang dengan pakaian sederhana itu kini melangkah menuju ke Lembah Selaksa Bunga kembali. Wajahnya
yang memiliki garis-garis kehidupan mendalam dengan bentuk yang jantan dan tampan itu kini tampak muram. 


Sepasang matanya yang biasanya lembut penuh kesabaran dan tenang itu kini tampak gugup dan bingung.
Setelah agak dekat dengan perkampungan Ban-hwa-pang dia
mendengar suara orang-orang berkelahi di perkampungan itu. Dia
terkejut dan cepat berlari menuju ke Ban-hwa-pang. 


Ketika dia tiba di sana dan memandang ke pekarangan gedung tempat tinggal adiknya, matanya terbelalak, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar. 

Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah, rambutnya awut-awutan, pakaiannya berlepotan darah, memegangi sebatang pedang yang berkilauan,berdiri di tengah pekarangan dan di sekelilinginya tampak mayatmayat puluhan orang berserakan! 

Dia mendengar Hwe-thian Mo-li
mengucapkan perintah tiga macam tugas kepada puluhan orang wanita yang berlutut menghadapnya.

Dengan hati penuh kengerian Sie Bun Liong maklum apa yang telah terjadi. Gadis yang dia gauli dalam keadaannya yang tidak wajar dan hampir tidak sadar itu adalah calon pengantin adiknya!

Agaknya gadis itu memang ditawan adiknya dan agaknya hendak dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi karena gadis itu yang disebut Hwe-thian Mo-li kabarnya amat lihai, maka gadis itu ditotok dan direbahkan dalam kamar itu.


Dan ketika dia minum-minum dengan adiknya itu, Siangkoan Leng tentu telah mencampurkan obat perangsang yang amat kuat ke dalam arak yang diminumnya, lalu sengaja membawanya ke dalam kamar di mana calon pengantin itu rebah dalam keadaan tertotok dan telah ditanggalkan semua pakaiannya. 


Ah, dia kini dapat membayangkan apa yang terjadi.
Tidak salah lagi, tentu Siangkoan Leng sengaja menjebaknya,mungkin karena tahu bahwa dia pasti akan melarang adiknya memaksa Hwe-thian Mo-li menikah dengannya, maka adiknya yang telah tersesat itu menggunakan siasat seperti itu! 


Kalau sudah ternoda, dia mengharapkan Hwe-thian Mo-li tidak menolak lagi, dan dia yang sudah menodai gadis itu tentu tidak lagi dapat melarang adiknya menikah dan memaksa gadis itu menjadi isterinya! 

"Lemah dan bodoh!"
Dia menggumam dan kembali dia melihat ke arah Hwe-thian Mo-li
yang menghadapi para wanita itu. Dia dapat menduga bahwa setelah terbebas dari totokannya, tentu Hwe-thian Mo-li mengamuk dan membunuhi semua anggauta Ban-hwa-pang.


Dia bergidik melihat puluhan mayat berserakan seperti itu, dan
hampir dia menjerit melihat onggokan daging di depan gadis itu.
Dia mengenal sisa pakaian dari bekas tubuh yang kini hancur
tercincang itu. Tak salah lagi, adiknya, Siangkoan Leng, juga telah
dibunuh dan dicincang oleh Hwe-thian Mo-li!


Hampir saja Sie Bun Liong melompat untuk menyerang gadis yang liar dan ganas, yang telah dengan kejam membasmi semua orang Ban-hwa-pang. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan dirinya. 


Apa yang hendak dia lakukan" Membalas dendam dan membunuh
gadis itu" Padahal, Hwe-thian Mo-li melakukan pembantaian itu karena merasa dirinya diperkosa. Dialah yang menjadikan gadis itu mengamuk seperti kemasukan iblis!


Teringat akan hal ini, Sie Bun Liong merasa lemas lagi, seluruh urat syarafnya seperti dilolosi dan dia menangis tanpa suara dengan sedih, menangisi kematian adiknya dan para anggauta Ban-hwa-pang, menangisi perbuatannya sendiri malam tadi.

Ketika dia melihat gadis itu lari meninggalkan Ban-hwa-pang dengan cepat setelah memberi tugas kepada bekas anggauta Banhwa-pang, Sie Bun Liong juga lari membayanginya.
Demikianlah, ketika Hwe-thian Mo-li menjatuhkan dirinya yang
lemah lunglai di tepi telaga, kemudian merintih dan meratap-ratap menangis sedih menyebut ayah dan ibunya, Sie Bun Liong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pedang. 


Dia menangis dan dengan menyesal dan perasaan benci kepada diri sendiri dia menampari semuanya sampai kedua pipinya bengkak-bengkak dan kedua ujung bibirnya berdarah.
Setelah tangisnya mereda karena kekerasan hati Siang Lan tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan, gadis itu bangkit duduk melamun. Mukanya pucat dan basah, juga kotor terkena tanah basah. 

Dirabanya mukanya dan dilihatnya telapak tangannya yang terkena kotoran dari mukanya.
"Aku kotor...... aku kotor......!"
Ia berseru dan setelah 

memperhatikan keadaan sekeliling dengan penglihatan dan pendengarannya, yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar situ, ia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan masuk ke dalam air telaga. 

Ia menyelam lama sampai terengahengah ketika muncul kembali dan ia menggunakan ilalang untuk menggosoki seluruh tubuhnya dengan kuat sehingga semua kulit
tubuhnya yang putih mulus menjadi kemerahan.


Ketika tadi Hwe-thian Mo-li mulai menanggalkan pakaiannya, Sie Bun Liong terkejut dan heran, akan tetapi segera dia memejamkan matanya. Sudah menjadi wataknya sejak dulu untuk bersikap sopan terhadap wanita dan kecabulan nafsu berahi sebetulnya sudah lama dia jauhi. 


Dia hanya mengikuti gerakan gadis itu melalui pendengarannya karena pantang baginya melihat seorang
wanita menanggalkan pakaiannya.
Setelah dia mendengar suara gadis itu masuk ke dalam telaga,baru dia membuka matanya dan dia melihat betapa gadis itu menyelam dan menggosoki badannya dengan ilalang. 


Dia merasa iba sekali karena dia seolah dapat merasakan keadaan gadis itu.
Agaknya gadis itu hendak membersihkan diri dari penghinaan yang dialaminya semalam. Kembali dia memejamkan matanya ketika gadis itu keluar dari air telaga, mengenakan pakaiannya kembali. Dia membuka mata mendengar gadis itu kembali meratap.


"Aih...... aku kotor...... kotor......! Ayah...... Ibu...... aku tidak tahan
lagi menanggung derita kecemaran ini......!" 


Gadis itu menangis sesenggukan. Sie Bun Liong juga hampir tak dapat menahan dirinya. Dia ingin sekali keluar dari tempat persembunyiannya, menemui gadis itu dan mengakui semua perbuatannya, siap menerima hukuman mati di tangannya. Akan tetapi dia merasa malu dan...... ngeri menemui gadis itu! 

Bukan ngeri menghadapi kematiannya sendiri, namun ngeri harus berhadapan muka dengan gadis yang telah diperkosanya itu, walaupun perbuatannya itu dilakukan dalam keadaan tidak sewajarnya dan tidak sadar karena pengaruh arak dan mungkin obat perangsang yang amat kuat.

Dengan jari-jari tangannya membentuk cakar garuda, Sie Bun
Liong merobek kulit batang pohon di depannya. Lalu membentuknya selebar wajahnya, melubangi bagian mata dan lubang hidung, kemudian menggunakan saputangan untuk
menalikan topeng kulit kayu itu di depan mukanya. 


Kalau dia mati di tangan gadis itu, biarlah dia mati tanpa memperlihatkan mukanya, pikirnya. Tiba-tiba dia terkejut dan tubuhnya berkelebat cepat bukan main
ke arah Siang Lan. 


Tadi, begitu dia selesai memakai topeng dan memandang kepada gadis yang tadi menangis sesenggukan, dia
mendengar Hwe-thian Mo-li meratap.

"Ayah...... Ibu...... tunggu...... aku ingin ikut kalian!" 

Dan gadis itu mencabut pedangnya! 

"Syuuuuttt...... plakk!" Pedang di tangan Siang Lan yang sudah digerakkan menuju leher sendiri itu tiba-tiba saja terpental bertemu
dengan telapak tangan yang menamparnya dari samping.

Hwe-thian Mo-li terkejut bukan main dan cepat ia membuang diri ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan kini berdiri memandang
orang yang begitu berani menangkis pedangnya. 


Ia terkejut melihat seorang laki-laki yang mengenakan topeng menutupi
mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Melihat rambutnya yang sudah banyak terhias uban, tentu bukan seorang pemuda lagi. 


Rambut itu awut-awutan, pakaiannya sederhana,juga kusut. Namun yang mengejutkan hati Hwe-thian Mo-li adalah kenyataan bahwa laki-laki itu mampu menangkis pedang pusaka Lui-kongkiam dengan tangan! Juga dalam tangkisan itu terkandung tenaga sakti yang amat kuat, yang membuat pedangnya terpental
walaupun tidak sampai terlepas dari tangannya. 


Dan yang membangkitnya kemarahan Hwe-thian Mo-li adalah keberanian
orang ini untuk menangkis pedangnya dan menggagalkan
usahanya membunuh diri! 


"Jahanam busuk! Engkau sudah bosan hidup berani mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan suara menggetar saking marahnya. Lupalah ia akan semua kesedihan dan keputusasaannya, terganti perasaan marah yang berkobar.

"Hua-ha-ha-ha! Engkau masih bisa marah padaku, berarti semangat hidupmu masih besar, kenapa mau bunuh diri?"


"Peduli apa engkau dengan urusanku" Siapa engkau"

Mengakulah sebelum kubelah dadamu dengan pedang ini!"

"Hemm, masih kurangkah engkau membunuhi puluhan orang yang
tidak bersalah kepadamu" Apakah engkau bunuh diri karena menyesal telah membunuh banyak orang yang tidak berdosa?"


"Huh, siapa menyesal! Kalau Siang-koan Leng mempunyai seribu nyawa, aku akan membunuhnya seribu kali! Dia jahat dan anak buahnya tentu jahat pula maka kubunuh mereka semua!"


"Siangkoan Leng hanya ingin memperisterimu, dan hal itu belum
terjadi. Biarpun dia bersalah, membunuh dia bersama anak
buahnya untuk kesalahan sekecil itu sungguh tidak adil namanya!"

"Kesalahan kecil" Hem, karena engkau akan mampus pula kubunuh, boleh engkau tahu agar jangan menjadi setan penasaran! Siangkoan Leng telah bertindak keji kepadaku, ia
menghinaku dan mencemarkan kehormatanku! 


Nah, sekarang bersiaplah untuk mampus menyusul arwah Si Jahanam Siangkoan Leng!" "Dan engkau setelah membunuh aku tidak akan bunuh diri lagi?"

"Peduli apa denganmu" Yang kubunuh diriku sendiri, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu! Aku pasti akan bunuh diri dan tidak
ada seorang pun lagi yang dapat mencegahku!" 


Gadis itu menyerang dengan pedangnya, gerakannya ganas, kuat dan cepat sekali. Akan tetapi dengan mudahnya orang bertopeng itu
mengelak. "Ha-ha-ha, engkau keliru! Yang memperkosamu bukan dia!"
Siang Lan menahan serangannya, memandang heran dan tidak percaya. 


"Engkau bohong! Siapa lagi kalau bukan jahanam Siangkoan Leng itu?"
"Bukan dia dan bukan orang lain! Akulah yang semalam melakukan
perkosaan padamu itu, Hwe-thian Mo-li!"


Siang Lan terbelalak, matanya mencorong penuh kemarahan akan
tetapi juga terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Dia telah salah sangka dan membunuh Ketua Ban-hwa-pang dan semua anggautanya! 


"Ha-ha-ha, aku yang melakukannya dan aku sama sekali bukan orang Ban-hwa-pang! Nah, apakah sekarang engkau mau bunuh diri karena takut kepadaku?"
"Setan keparat! Iblis jahanam, aku tidak mau mati sebelum dapat
mencincang hancur tubuhmu!" teriak Siang Lan dengan suara menjerit saking marahnya.
Bukan saja orang ini mengaku sebagai orang yang memperkosanya tadi malam, bahkan kini menghinanya dan mengatakan ia takut! Cepat seperti kilat menyambar ia menyerang dengan Lui-kong-kiam. 


Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, orang bertopeng itu
mengelak dan dengan lompatan tinggi dia menyambar sebatang.ranting pohon sebesar lengannya, melompat turun dan sudah memegang sebatang ranting yang dia pergunakan sebagai
senjata. 


Mereka bertanding mati-matian dan Hwe-thian Mo-li benar-benar
terkejut bukan main! Pedang pusakanya yang ampuh, yang
mampu mematahkan senjata lawan terbuat dari baja murni, kini
tidak berdaya menghadapi senjata lawan yang hanya merupakan
sebatang ranting pohon yang masih ada daun-daunnya!


Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya,
mengeluarkan semua ilmu silatnya yang paling lihai, namun semua
serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh orang bertopeng itu. Yang membuat ia merasa penasaran dan semakin panas hatinya adalah mendengar betapa lawan itu terkadang mengeluarkan suara tawa mengejek kalau serangannya gagal.


Hampir seratus jurus lewat dan mereka berdua masih terus
bertanding dengan serunya. Hwe-thian Mo-li menjadi semakin
penasaran karena ia merasa betul bahwa lawannya itu hanya bertahan saja, mengelak atau menangkis serangan-serangannya.dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang.

Agaknya lawannya yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu
mempermainkannya atau sengaja hendak menguji kepandaiannya. Ia menjadi marah sekali, akan tetapi juga penasaran dan jengkel, apalagi mengingat bahwa laki-laki ini yang
semalam memperkosanya. Hampir saja ia menangis karena ia kehabisan tenaga. 


Tiba-tiba laki-laki bertopeng itu mengubah gerakannya. Kini dia
menyerang dengan gerakan yang aneh dan bertubi-tubi yang membuat Siang Lan segera terdesak mundur.

"Roboh......!" Laki-laki itu membentak dan tiba-tiba beberapa helai daun yang masih menempel pada ranting pohon yang dijadikan senjata itu meluncur bagaikan senjata-senjata rahasia, menyerang ke arah leher dan kedua pundak Siang Lan!

Tentu saja gadis itu terkejut mendapat serangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka itu. Ia melompat ke samping, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lututnya dan sebelum ia dapat menghindar, ujung ranting itu menotok pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dari pegangannya! 


Ia terduduk karena lututnya terasa lumpuh. Ia melihat pedangnya
terlempar agak jauh dan kini laki-laki itu membuang ranting ditangannya. 


"Hua-ha-ha-ha! Kiranya ilmu kepandaian Hwe-thian Mo-li hanya
sebegini saja!" Siang Lan memandang dengan mata mencorong, akan tetapi
kedua matanya basah air mata. Ia khawatir kalau-kalau peristiwa
semalam terulang karena kini ia benar-benar tidak berdaya. Orang
bertopeng itu terlampau kuat baginya.


"Jahanam keparat! Aku sudah kalah! Bunuh aku!"
"Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu! Sekarang terserah
engkau. Kalau engkau seorang pengecut, kau boleh bunuh diri
karena takut padaku dan aku akan mengabarkan di seluruh dunia
kang-ouw bahwa nama besar Hwe-thian Mo-li hanya nama kosong
belaka dari seorang wanita pengecut yang tidak berani menghadapi musibah dan kesengsaraan hidup. 


Akan tetapi kalau engkau benar seorang pemberani, engkau boleh belajar ilmu silat seratus tahun lagi dan kelak boleh mencari aku untuk bertanding lagi seribu jurus! Ha-ha-ha-ha!"

Ini merupakan penghinaan yang sudah melewati batas! Siang Lan
memaksa diri bangkit dan sambil bertolak pinggang ia menatap
wajah bertopeng itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka
bertopeng kulit kayu itu.


"Jahanam, keparat, penjahat busuk! Siapa takut padamu" Kalau engkau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati! Akan tetapi kalau engkau tidak membunuhku, aku bersumpah tidak akan mati dulu sebelum aku dapat mencincang tubuhmu. 


Kelak aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam setinggi langit sedalam lautan ini!" "Bagus, ha-ha-ha! Aku akan menunggumu, Hwe-thian Mo-li!"
"Buka topengmu dan katakan siapa nama dan di mana kelak aku dapat mencarimu!" "Ha-ha-ha, topeng ini merupakan ciri khasku, dan tidak akan kubuka. Kelak kalau engkau mencariku, engkau carilah tokoh
bertopeng kulit kayu berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi)! 


Tempat tinggalku tidak tentu, akan tetapi jangan khawatir.
Akulah yang akan mencarimu. Setahun sekali aku akan
mencarimu di Lembah Selaksa Bunga. Selamat tinggal!" Orang itu berkelebat lenyap dan Siang Lan tidak dapat melakukan pengejaran, hanya mendengar suara tawanya yang bergema dan semakin jauh! 


Kembali Siang Lan menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi sekali ini ia bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena penasaran, marah,benci dan dendam bergelora di dalam hati dan akal pikirannya.

"Thian-te Mo-ong, akan kubunuh kau...... Kubunuh kau.....!!"
teriaknya, akan tetapi ia segera dapat menguasai dirinya. Tidak, ia tidak akan membunuh diri.

Sekarang, tujuan satu-satunya dalam sisa hidupnya hanyalah membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong, laki-laki bertopeng itu. Dan untuk dapat melaksanakan dendamnya, ia harus
memperdalam ilmu silatnya karena musuh besarnya itu memiliki
tingkat kepandaian silat yang amat tinggi. Ia lalu memungut Luikong-kiam (Pedang Halilintar), menyarungkannya kembali dan
melangkah perlahan mendaki bukit menuju Lembah Selaksa
Bunga. 


Ia telah bersalah membunuhi para anggauta Ban-hwa-pang yang tidak berdosa dan ia merasa menyesal. Siangkoan Leng memang sudah sepatutnya mendapat hukuman, walaupun perlakuannya kepadanya dengan mencincang tubuhnya itu juga amat keterlaluan mengingat bahwa kesalahannya hanya menawannya.

Ia harus membangun kembali Ban-hwa-pang, memakmurkan para
anggautanya dan melatih mereka dengan ilmu silat. Selain itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya sehingga kelak ia akan mampu membalas dendam musuh besar yang amat dibencinya, yaitu Thian-te Mo-ong! 


Ketika ia memasuki perkampungan Ban-hwa-pang, para wanita di situ terkejut melihat ketua baru itu sudah datang lagi. Akan tetapi Siang Lan girang melihat betapa mereka itu mematuhi semua perintahnya. 

Setelah rumah gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng dibakar habis, semua jenazah dikuburkan, dan para wanita yang mempunyai anak pergi meninggalkan Ban-hwapang dengan mendapat bekal secukupnya, mulailah Siang Lan membenahi perkumpulan itu.

Sebuah rumah untuknya dibangun dan setelah ia kumpulkan,ternyata ada tigapuluh lima orang wanita yang menjadi anggautanya. Siang Lan mengatur perkumpulan itu menjadi
sebuah perkumpulan wanita yang pantang melakukan kejahatan,akan tetapi juga para anggauta tidak boleh berhubungan dengan laki-laki selama mereka menjadi anggauta Ban-hwa-pang. Siapa yang hendak menikah tidak dilarang, melainkan harus
meninggalkan Ban-hwa-pang!




          **********

Sementara itu, laki-laki bertopeng yang telah mencegah Siang Lan
bunuh diri kemudian bertempur dan mengalahkan gadis liar itu, juga meninggalkan Siang Lan dan kini dia melangkah perlahan mendaki bukit yang bersebelahan dengan bukit di mana terdapat Lembah Selaksa Bunga yang karena adanya lembah itu, disebut pula Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga).


Dia melangkah satu-satu dengan santai. Topeng kayu telah ditanggalkannya dan dibuangnya dan orang itu bukan lain adalah Sie Bun Liong. Kini dia melangkah sambil bicara seorang diri,berbantahan sendiri seperti seorang gila!

"Kamu kejam! Tak tahu malu, melakukan perbuatan biadab
dengan memperkosa seorang gadis. Padahal selama ini kamu
belum pernah bergaul dengan wanita dan tampak alim. Huh, alim
yang pura-pura, munafik!" bisik mulutnya yang mengeluarkan
suara hatinya. 


Suara pikirannya membantah. "Aku melakukannya dalam keadaan
tidak sadar! Karena mabok arak dan dipengaruhi racun perangsang!" "Kamu kini lebih kejam lagi! Bukan hanya menghina dengan mengalahkannya, bahkan

mengejeknya dan membiarkan ia hidup merana dengan mengandung dendam kepadamu. Kamu benarbenar jahat dan kejam sekali!"
Sie Bun Liong menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku melakukannya dengan sengaja walaupun dengan perasaan pedih. Semua itu kulakukan untuk menjauhkan niat bunuh diri darinya, agar ia bersemangat tetap hidup untuk dapat membalas dendam kepadaku. Biarlah aku kelak dianggap
jahat dan kejam, semua itu kulakukan demi menyelamatkannya,untuk menebus dosa yang kulakukan kepadanya tanpa kusengaja......" 


"Huh, untuk mengakhiri penderitaannya, mengapa engkau tidak membunuhnya saja atau membiarkan ia membunuhmu dalam
perkelahian tadi" Mengapa engkau mengorbankan dirimu biar dianggap biadab, jahat dan kejam demi mencegahnya bunuh diri"

Ha-ha, aku tahu, karena engkau cinta padanya...... cinta padanya......" "Tidak......!" "Engkau jatuh cinta padanya!"

"Tidak, kamu ngaco.....!"
"Kau cinta padanya...... cinta padanya...... cinta padanya......!"

Suara itu seperti mengejek mentertawakannya.

"Plakk! Bodoh kamu!" Sie Bun Liong menampar kepalanya sendiri.
Dia lalu mendaki puncak bukit dan mengambil keputusan untuk
tinggal di situ secara diam-diam karena dia harus memantau keadaan dan perkembangan Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi Ketua Ban-hwa-pang. 




          **********


Kota raja Kerajaan Dinasti Beng (1368-1644) pada waktu itu dapat
dibilang cukup makmur. Yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan
60 Li (1572-1620) yang ketika kisah ini terjadi menghadapi banyak
masalah gangguan pemberontakan yang terjadi di daerah selatan
dan utara. 


Dari utara datang gangguan dari suku-suku bangsa,yang terbesar adalah bangsa Mancu dan dari selatan datang gangguan dari perkumpulan-perkumpulan yang ingin memberontak seperti misalnya Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi berkat kepandaian dua orang menteri yang bijaksana,
maka sebegitu jauh semua masalah itu dapat diselesaikan dan pemberontakan dapat ditindas walaupun belum dapat dipadamkan
sama sekali. 


Dua orang menteri yang bijaksana dan cekatan dalam sejarah
sebagai menteri-menteri yang setia itu adalah Menteri Yang Ting
Ho yang menjadi penasehat Kaisar Wan Li dalam urusan ketatanegaraan, dan yang kedua adalah Panglima Chang Ku Cing yang menjadi penasehat dalam urusan ketatanegaraan dan keamanan negara. 


Tentu saja kedua orang menteri ini dibantu oleh banyak pejabat dan perwira yang setia dan jujur, dua sifat pejabat negara yang sukar ditemukan pada waktu itu. Sebagian besar
pejabat itu merupakan orang-orang yang korup, mencuri uang
negara, memeras dan menekan rakyat, bertindak sewenangwenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan masingmasing.

Satu di antara perwira yang membantu Panglima Chang Ku Cing,
yang merupakan seorang perwira tangguh, jujur dan setia kepada
atasannya, dan dengan sendirinya dia juga amat setia kepada kerajaan, adalah Panglima Muda Kui Seng yang baru saja naik pangkat menjadi panglima muda setelah dia berhasil meringkus tujuh orang pimpinan pemberontak Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih). 


Kui Seng atau lebih dikenal dengan Kui Ciang-kun (Panglima Kui) adalah seorang laki-laki bertubuh sedang dan
bersikap gagah. Dia terkenal pemberani dan pandai mengatur
pasukan sehingga dipercaya oleh Panglima Besar Chang Ku Cing.

Kui Ciang-kun mempunyai seorang puteri bernama Kui Li Ai,seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita.

Isterinya, atau ibu kandung Li Ai, telah meninggal dunia karena
sakit tiga tahun yang lalu dan sebagai pengganti isteri pertama, dia mengangkat seorang selir menjadi isteri pertama.


Sayang bahwa selir yang diangkat menjadi isteri dan baru berusia
tigapuluh tahun itu, diam-diam merasa tidak suka kepada anak
tirinya, sehingga di pihak Li Ai dengan sendirinya juga timbul
perasaan tidak suka kepada ibu tiri ini. 

Akan tetapi perasaan tidak
suka ini tidak mereka perlihatkan di depan Kui Seng.

Pada suatu senja menjelang malam, setelah makan malam, Kui Ciang-kun bercakap-cakap dengan isterinya di halaman belakang yang terbuka dan menghadap ke taman bunga karena malam hari itu udara panas sehingga nyaman duduk bercakap-cakap di
tempat terbuka itu. 


Kui Ciang-kun membicarakan tentang tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dia tawan tiga bulan yang lalu
dan kini menjadi tahanan dalam penjara pemerintah.
"Aku masih khawatir kalau mengingat para pimpinan Pek-liankauw yang tertawan itu." katanya lirih seperti kepada diri sendiri.


"Eh, mengapa begitu, suamiku" Bukankah karena penangkapan
itu, engkau telah berjasa dan mendapat kenaikan pangkat?"
"Benar, akan tetapi keberhasilan itu berkat bantuan Ouw-yang Sianjin yang lihai dan berjiwa patriot. Tosu (Pendeta Agama To) dan para pendekar muda. 


Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah bagiku untuk mengalahkan tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw
yang lihai itu." "Akan tetapi mereka itu telah tertangkap dan dijatuhi hukuman,mengapa pula engkau kini mengkhawatirkannya?"


"Mereka memang sudah tertangkap dan bahkan empat orang dari mereka telah dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi yang tiga orang lagi masih ditahan dan belum dihukum mati. 


Aku merasa khawatir sekali melihat kelemahan Sribaginda Kaisar yang tidak segera menghukum mati pula tiga yang lain itu. Justeru mereka bertiga itu yang merupakan orang-orang terpenting di Pek-lian-kauw. 

Aku sudah menghadap Panglima Besar Chang, namun beliau yang
amat setia kepada kaisar malah memarahi aku, mengatakan
bahwa kami semua harus menaati perintah Sribaginda Kaisar.

Ahh, aku menjadi khawatir......" Kui Ciang-kun kembali menghela napas panjang. "Apa yang kau khawatirkan, suamiku?"

"Sribaginda Kaisar selalu bersikap lemah terhadap Pek-lian-kauw.
Bahkan beliau pernah menerima kedatangan utusan dari Pek-liankauw, padahal Pek-lian-kauw selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan kerajaan dan merampas kekuasaan. Juga Pek-liankauw, dengan berkedok agama dan perjuangan rakyat, merupakan penipu-penipu rakyat dan suka bertindak sewenang-wenang,
membodohi dan memeras rakyat. 


Menurut pendapatku, Pek-lian 
kauw harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi sekarang, tiga orang pimpinan mereka masih ditahan dan tidak segera dihukum mati."


"Aih, suamiku, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu"
Serahkan saja semua itu kepada Sribaginda Kaisar dan kepada
Panglima Chang, atasanmu. Engkau hanya tinggal melaksanakan
tugasmu," hibur isterinya.

Tiba-tiba terdengar jeritan wanita. Hanya terdengar satu kali saja
lalu suara itu terhenti seolah-olah mulut yang menjerit tadi
dibungkam. 


Biarpun jeritan itu hanya terdengar satu kali, namun Kui Ciang-kun mengenal bahwa itu adalah suara Kui Li Ai, puterinya! Maka, cepat dia melompat dan berlari ke arah datangnya suara jeritan tadi, yaitu
di dalam taman. Dia melihat bayangan seseorang memanggul
tubuh seorang gadis dan cepat dia melompat sambil mencabut pedangnya, menghadang di depan orang itu dan membentak.

"Berhenti......!"

Di bawah sinar lampu yang tergantung di tiang lampu di taman itu,di bawah mana agaknya orang itu sengaja berdiri dan menantinya,
Kui Ciang-kun melihat bahwa orang itu adalah seorang yang berpakaian sebagai seorang Tosu dan yang dipanggul itu bukan lain adalah Kui Li Ai, puteri tunggalnya! 


Tosu itu memegang sebatang pedang yang sudah ditempelkan di leher puterinya yang tidak mampu bergerak, agaknya dalam keadaan tertotok. Melihat bahwa yang ditawan tosu itu adalah puterinya, Kui Ciang-kun menjadi marah bukan main.

"Siapakah engkau" Hayo cepat bebaskan puteriku atau aku akan
memanggil pasukan pengawal dan menangkapmu!" bentaknya.
"Tenang, Kui Ciang-kun dan jangan lakukan sesuatu atau anakmu
ini akan pinto (aku) bunuh lebih dulu. 


Anakmu pinto jadikan sandera dan ia pasti akan pinto bunuh kalau engkau tidak menuruti permintaan pinto!" "Hemm, engkau seorang pendeta, mengapa bertindak begini jahat
dan curang" Kalau hendak bicara, tidak perlu menawan puteriku.
Lepaskan ia dan kita boleh bicara!"
"Pinto tidak sebodoh itu, Ciang-kun. 


Sekarang dengarlah permintaan pinto. Engkau harus menolong tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditahan di penjara dan engkau harus dapat membebaskannya. Pinto beri waktu tiga hari. Kalau engkau dapat
membebaskan mereka, puterimu ini tentu akan kembali padamu.
Kalau tidak, terpaksa puterimu pinto bunuh!"


Setelah berkata demikian, sekali melompat tosu itu telah lenyap
dalam bayangan pohon-pohon dalam taman sambil memanggul tubuh Li Ai. Baru melihat cara tosu itu melompat dan menghilang sedemikian cepatnya saja, tahulah Kui Ciang-kun bahwa dia sama sekali bukan tandingan tosu itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali. 


Dia merasa bingung akan tetapi juga tidak berdaya. Kalau dia mengejar dan mengerahkan pasukan, puteri tunggalnya tentu terancam maut.  Jelas bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia tahu bahwa orang Pek-lian-kauw tidak menggertak kosong belaka dan bagi mereka, membunuh orang merupakan hal yang kecil. 

Akan tetapi, untuk membebaskan puterinya, dia harus dapat membebaskan lebih dulu tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang kini masih ditahan di penjara! Tubuhnya menjadi lemas sekali, mukanya pucat dan ketika dia melangkah kembali ke
gedungnya, ke dua kakinya gemetar.

Isterinya menyongsong dengan pertanyaan. "Suamiku, apa yang
telah terjadi di taman" Siapa yang tadi menjerit?"


Kui Ciang-kun yang berwajah muram itu tidak menjawab,melainkan memberi isyarat kepada isterinya untuk memasuki gedung mereka. Setelah mereka berdua berada dalam kamar,barulah Kui Ciang-kun menjatuhkan diri duduk di atas kursi,
menghadapi meja dan bertopang dagu dengan wajah sedih,bingung dan gelisah. 


"Celaka........" keluhnya, "celaka sekali......"
Isterinya duduk di atas kursi dekatnya. "Ada apakah, suamiku"
Mengapa engkau tampak begini sedih dan gelisah?"


"...... Anak kita...... Li Ai...... ia diculik orang......"


Isterinya kaget, "Diculik" Jadi yang menjerit tadi Li Ai" Akan tetapi
mengapa tidak kau kejar" Kenapa tidak panggil pasukan pengawal
untuk membantumu?" 


"Percuma, orang itu amat lihai dan...... dan dia mengancam akan membunuh Li Ai kalau aku mengejarnya......"
"Akan tetapi...... siapa penculik itu dan apa maunya?"


"Begini........" Panglima itu berhenti sebentar dan memandang ke
kanan kiri, "jangan katakan kepada siapapun juga...... ini harus dirahasiakan...... Anak kita itu hanya dijadikan sandera dan tidak akan diganggu, bahkan akan dibebaskan kalau dalam waktu tiga hari aku mau memenuhi permintaannya......"

"Hemm, apa permintaannya. Uang......?"
"Apa, kalau cuma uang, berapapun, aku tidak akan sebingung ini!

Dia minta agar aku...... membebaskan tiga orang tokoh Pek-liankauw yang ditahan dalam penjara itu! Kalau dalam tiga hari aku tidak dapat membebaskan mereka, Li Ai...... ia akan dibunuh......"

Nyonya Kui terkejut dan keduanya terdiam, tenggelam ke dalam lamunan dan bayangan masing-masing yang amat menggelisahkan. 

Akhirnya Nyonya Kui bertanya.
"Suamiku, apakah engkau tidak bisa membebaskan tiga orang itu?" 


"Hemm, kepala penjara itu termasuk anak buahku, tentu saja aku bisa mengusahakan agar mereka dapat dibebaskan, akan tetapi......" "Akan tetapi apa lagi?"

"Bagaimana mungkin aku membebaskan mereka yang menjadi
tokoh-tokoh pemberontak" Berarti aku mengkhianati negara dan
aku dapat dihukum mati......"

"Aih!" Isterinya terkejut dan memandang suaminya dengan mata
terbelalak. "Kalau begitu, jangan bebaskan mereka!!"


Kui Ciang-kun menatap isterinya dan mengerutkan alisnya.
"Dengan begitu membiarkan puteriku dibunuh penculik" Kau ingin
ia dibunuh penculik?"


"Aku...... aku tidak ingin engkau dihukum mati, suamiku!"
"Huh, sudahlah! Biar urusan ini ku pikirkan sendiri!" katanya, hatinya menahan kemarahan karena kini dia menyadari bahwa isterinya ini tidak begitu peduli akan nasib Li Ai yang menjadi anak tiri isterinya itu. 


Dia lalu meninggalkan kamar isterinya, kegelisahan dan
kebingungannya bertambah dengan perasaan marah kepada isterinya yang dianggap tidak mempedulikan nasib puterinya. 


Dia.mengambil keputusan, setelah semalam suntuk tidak tidur dan
gelisah dalam kamarnya sendiri, untuk menyelamatkan puterinya,
kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga!


Menjelang fajar, diam-diam ia keluar dari gedungnya dan pergi berkunjung ke rumah Perwira Ciok, anak buahnya yang menjabat sebagai kepala penjara di mana tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu ditahan. Dengan singkat dia menceritakan persoalannya kepada
Perwira Ciok dan minta agar Sang Perwira membantunya membebaskan tiga orang tahanan itu.

"Aih, Ciang-kun, bagaimana mungkin kita melakukan hal itu?" kata
Perwira Ciok terkejut sekali.
"Apa engkau hendak mengatakan bahwa sebagai kepala penjara
engkau tidak mampu melakukannya?" tanya Kui Ciang-kun sambil menatap tajam wajah bawahannya itu.


"Bukan begitu, Ciang-kun. Maksudku, hal itu tentu akan diketahui akhirnya dan akan menerima hukuman berat!"
"Jangan khawatir! ini kuberi surat perintah untuk membebaskan
tiga orang sehingga kalau engkau dipersalahkan, engkau tinggal memperlihatkan surat perintah. 


Sebagai bawahan, engkau harus
menaati perintah atasanmu sehingga bukan engkau yang dipersalahkan, melainkan aku!"


"Akan tetapi...... Ciang-kun akan dianggap pengkhianat, membantu
pemberontak, dan akan dihukum berat sekali!"


"Aku tahu, mungkin aku akan dihukum mati. Akan tetapi aku sudah
siap mengorbankan nyawaku demi keselamatan anak tunggalku.

Cepat lakukan, Perwira Ciok, kalau engkau mau membalas budi kepadaku!" Mula-mula Perwira Ciok masih ragu, akan tetapi setelah diingatkan akan budi kebaikan yang berkali-kali dia terima dari atasannya ini,akhirnya dia mau melaksanakannya juga. Dia menerima surat perintah dari Kui Ciang-kun itu dan pergi ke penjara,membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan mengatakan kepada mereka bahwa yang membebaskan mereka adalah
Panglima Kui Seng dan agar tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu
segera membebaskan Nona Kui Li Ai yang dijadikan sandera. 


Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menyatakan sanggup dan di pagi
hari buta itu mereka bertiga meloloskan diri keluar dari penjara lalu langsung keluar dari kota raja dengan bantuan kawan-kawan
mereka yang sudah siap menyambut mereka di luar penjara!


Setelah menyampaikan surat dan perintahnya kepada Perwira Ciok, Kui Ciang-kun pulang ke rumahnya dan dia mengurung diri dalam kamar dengan hati berdebar penuh ketegangan. Dia tidak khawatir akan dirinya sendiri. Yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Li Ai! Dia menyadari benar bahwa perbuatannya itu tentu akan ketahuan karena lolosnya tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang merupakan
tahanan penting itu pasti akan menggemparkan. 


Akan tetapi, demi keselamatan puterinya, dia siap mengorbankan apa saja, termasuk dirinya sendiri. Lebih dulu puterinya harus dapat diselamatkan.
Setelah itu, baru dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap kembali tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!


Daun pintu kamarnya diketuk dari luar, ketuan yang lirih dan hatihati.
"Siapa?" tegurnya.


"Suamiku, makanan pagi telah disiapkan. Mari kita makan, ataukah
engkau menghendaki agar sarapan dibawa ke kamar?" terdengar suara isterinya yang tidak dapat membuka daun pintu yang dia palangi dari dalam. 


"Aku tidak ingin makan dan jangan ganggu aku!" kata Kui Ciangkun. Isterinya tidak berani mengganggunya lagi dan meninggalkan tempat itu. Beberapa lama kemudian, kembali daun pintunya diketuk orang dari luar. 

"Siapa itu" Aku tidak mau diganggu!" Kui Ciang-kun berseru
marah. "Thai-ya (Tuan Besar), di luar datang seorang tamu yang ingin
bertemu dengan Thai-ya." terdengar suara kepala pasukan 
pengawal yang bertugas jaga saat itu.

"Hemm, tentu utusan dari atasannya yang datang untuk memanggilnya atau langsung menangkapnya. Dia telah siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya meloloskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu dari penjara. 

Maka dia lalu mengenakan
pakaian seragam lengkap dan dengan sikap gagah dia keluar dari
kamar dan terus keluar ke serambi depan untuk menemui utusan
Panglima Besar Chang Ku Cing.

Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa
yang datang bertamu adalah seorang gadis cantik yang mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepadanya! Akan tetapi keheranan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika
dia mengenal siapa gadis itu. Ia adalah seorang di antara pendekar
muda yang membantu dia dan pasukannya ketika penyergapan
orang-orang Pek-lian-kauw di luar kota raja!


"Hwe-thian Mo-li......! Engkaukah ini, Nona?" serunya sambil membalas penghormatan gadis itu.
Gadis itu memang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dulu pernah ia diperkenalkan kepada Panglima Kui ini sebagai Hwe-thian Mo-li.

Seperti telah kita ketahui, beberapa bulan yang lalu Nyo Siang Lan
atau Hwe-thian Mo-li ini telah membasmi orang-orang Ban-hwapang. Setelah ia kemudian mendengar dari musuh besarnya,
orang berkedok yang mengaku bernama Thian-te Mo-ong, yang
telah memperkosanya, bahwa Ban-hwa-pang sebetulnya tidak bersalah besar kepadanya, Siang Lan merasa menyesal dan ia mengambil keputusan untuk membangun kembali Ban-hwa-pang,akan tetapi hanya wanita yang menjadi anggautanya.


Setelah membenahi perkumpulan itu dan membangun sebuah rumah untuknya, Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi majikan Lembah Selaksa Bunga atau ketua Ban-hwa-pang itu,
meninggalkan Lembah Selaksa Bunga karena ia merasa rindu untuk bertemu dengan Ong Lian Hong, sumoinya (adik seperguruannya). 


Ia ingin benar mengetahui apakah kini Lian Hong telah menikah dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim
Liok Ong itu. Ia tidak lagi merasa cemburu atau iri terhadap Lian
Hong yang telah lebih dulu bertunangan dengan Sim Tek Kun,
pemuda satu-satunya yang pernah dicintanya.


Sekarang, ia bukan lagi hanya mengalah kepada sumoinya yang
berjodoh dengan pemuda itu, lebih dari itu, ia merasa tidak berharga untuk menjadi isteri Sim Tek Kun, bahkan menjadi isterinya siapapun juga. Ia adalah seorang gadis yang telah ternoda dan keinginan satu-satunya hanya ingin membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang amat lihai.

Ia ingin bertemu dengan Lian Hong, selain merasa rindu, juga ia ingin bertanya kepada sumoinya itu, di mana adanya Ouw-yang Sianjin, susiok (paman guru) mereka, karena untuk dapat memperoleh kepandaian yang tinggi agar dapat membalas dendam, ia ingin memperdalam ilmu silatnya dengan petunjuk Ouw-yang Sianjin. 

Entah mengapa begitu memasuki kota raja dan tiba dekat tempat tinggal Jaksa Ciok, kakek dari sumoinya Ong Lian Hong, ia teringat akan Sim Tek Kun dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.

Bagaimana dia akan bersikap kalau bertemu mereka nanti" Ketegangan hatinya inilah yang menunda keinginannya bertemu dengan sumoinya dan sebaliknya, ia berkunjung ke gedung....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12