Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga
Jilid 02
Panglima Kui. Ia juga gembira ketika panglima itu masih mengenalnya walaupun baru satu kali mereka bertemu.
Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini"
Kuharap dalam keadaan baik," kata Siang Lan.
Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram
karena dia teringat akan keadaannya. Dia menghela napas panjang.
"Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang
saja, kami berada dalam keadaan yang buruk sekali, tertimpa
malapetaka."
Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun
memasuki gedung itu. Mereka memasuki sebuah ruangan tertutup
dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan
semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Siang Lan
mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar
bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa KuiCiang-kun membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw, ia
bertanya dengan hati penasaran.
"Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?"
Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan
itu menghela napas panjang. "Habis, apa yang dapat kulakuan,Nona" Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya menggertak kosong belaka.
Kalau tidak kupenuhi permintaan
mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagi-pagi sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi anak buahku untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!"
Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara berat. "Kui Li Ai adalah anak satu-satunya dari keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk
menyelamatkannya.
Akan tetapi untuk itu aku terpaksa menjadi seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan
pemberontak." "Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-liankauw itu kejam dan jahat.
Setelah engkau membebaskan tiga
orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan
membebaskan puterimu, Ciang-kun?"
"Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan nyawaku. Maka, aku mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong puteriku Kui Li Ai itu dari tangan mereka...... aku mohon
kepadamu......" Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura dengan membungkuk dalam kepada Siang Lan.
Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang berlebihan itu. "Tenang dan duduklah, Ciang-kun. Tentu saja aku mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik puterimu itu, dan siapa pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw
yang telah kau bebaskan dari penjara?"
"Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan dia bersenjata sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih terselip di ikat pinggangnya. Wajahnya pucat dan, matanya sipit,rambutnya sudah putih semua.
Dia tidak mengaku siapa namanya,
akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw
yang amat lihai. Adapun tiga orang tawanan yang dibebaskan itu
adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu
kita tangkap."
"Siapa nama mereka, Ciang-kun?"
"Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama
mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu, dan Cia Kun Tosu,
tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara yang bermarkas di dusun Liauw-ning di lereng pegunungan sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin.
Nona, sekali lagi akum ohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka......"
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah belasan perajurit mengiringkan seorang yang berpakaian sebagai seorang panglima.
Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun,bertubuh tinggi tegap dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau.
Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari ruangan depan dan menyambutnya. Panglima itu melompat turun dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang memberi hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah Panglima Kui itu.
"Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam hormat saya," kata Kui Ciang-kun dengan hormat.
"Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!" bentak panglima itu yang bukan
lain adalah Panglima Besar Chang Ku Cing penasehat kaisar bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan Kui Ciang-kun.
Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.
"Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti
pelaksanaan hukuman mati?"
Kui Seng mengangguk. "Benar, Thai-ciangkun!"
"Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara,sungguh kami sebagai atasanmu merasa malu sekali!
Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!"
"Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!" kata Kui Seng dan suaranya yang terdengar lantang itu membuat hati Siang Lan merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui ini memiliki watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab terhadap
kesalahannya.
"Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu engkau akan kubawa ke pengadilan tentara untuk menentuan hukumanmu!" kata Panglima Besar Chang Ku Cing.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah maju berdiri di depan Kui Seng dengan sikap melindungi. "Ini sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui Ciang-kun membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu"
Dia terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah diculik
dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun tidak mau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu,puterinya akan dibunuh!
Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan
seorang pengkhianat. Dia
melakukannya untuk menyelamatkan
puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!"
Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis itu. "Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan ketentaraan?"
Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang
penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak merasa gentar dan ia menjawab dengan sikap gagah.
"Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan membela orang yang tidak bersalah dan menentang orang yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang!"
Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali.
Dia memperhatikan wajah gadis yang cantik dengan sepasang mata mencorong penuh keberanian itu.
"Kui Ciang-kun! bawahannya. Siapakah gadis ini?" bentaknya kepada "Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang dulu membantu menawan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga
dapat membasmi mereka dan
menangkap tujuh orang
pimpinannya," kata Kui Seng.
Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya
engkau seorang pendekar, Nona" Engkau sudah pernah berjasa
ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa
sekarang engkau berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga tokoh
Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-liankauw?"
"Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang
mempunyai anak perempuan diculik gerombolan Pek-lian-kauw
yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini,
bagaimana sikapmu" Apakah engkau akan membiarkan puterimu
dibunuh begitu saja?"
"Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh
pemerintah, juga kesejahteraan rakyat diatur oleh Pemerintah.
Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada Pemerintah dan membela kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Kalau semua orang mementingkan diri sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah direbut kekuasaannya oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw.
Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau
negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya makmur, kehidupan rakyat pun makmur."
"Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang
kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaan.
Sedangkan rakyat jelata, lihat
saja sendiri, banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka yang berpangkat dan berkuasa?" Hwe-thian Mo-li menyerang.
Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas panjang dan mukanya berubah kemerahan.
"Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang ada dan banyak terdapat pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan mengumpulkan harta benda tanpa mengingat keadaan rakyat,secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan dikumpulkan pemerintah.
Harta yang seharusnya dikembalikan
kepada rakyat melalui pembangunan yang dibutuhkan rakyat jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.
"Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup,tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak mencuri harta negara dan tidak menindas rakyat.
Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-liankauw itu merupakan musuh negara yang berbahaya."
"Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap mengorbankan
nyawanya!"
Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap membela Kui Ciang-kun. "Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya,hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini dia mengorbankan keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat!
Kalau tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu lolos, berarti negara terancam pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara rakyat yang tidak berdosa.
Apakah tindakannya itu benar?"
Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan
Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling kepada Kui Ciangkun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan tubuhnya agak gemetar, agaknya dia pun menyadari akan kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia mendesak panglima besar itu.
"Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui
Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?"
"Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang mengalami musibah, misalnya seperti yang dialami Kui Ciang-kun,jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang berwajib menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi menyelamatkan anakku.
Aku akan bertindak sendiri mengejar dan berusaha menolong anakku, biarpun harus berkorban diri misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan negara!" Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan tetapi Kui Seng berkata. "Aku telah bersalah dan sudah sepatutnya dihukum mati sebagai pengkhianat.
Biarlah aku menghukum diri
sendiri sebagai pertanggungan-jawabku terhadap negara!"
Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya
sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian Mo-li yang terkejut dan tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa panglima itu tidak mungkin dapat dipertahankan lagi.
Pedang itu hampir menembus punggungnya.
"Hwe-thian Mo-li...... tolong...... tolonglah Li Ai......!" Dia terkulai dan
tewas.
"Ah, mengapa dia putus harapan" Mungkin Sribaginda Kaisar dapat mengampuninya mengingat akan jasa-jasanya! Akan tetapi, semua telah terjadi !" kata Panglima Besar Chang dengan suara menyesal.
Setelah dia mendengar alasan mengapa bawahannya ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw,kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia sayang kepada pembantunya yang gagah dan setia ini.
Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap
dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai, ia sudah mendengar keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu tewas.
Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian keluar sambil menangis.
Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi kematian Kui Ciang-kun. Panglima Chang lalu cepat memerintah anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang dia tahu merupakan
sarang Pek-lian-kauw.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning.
Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li Ai pasti merupakan komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi ia lalu berlari cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan yang menentang pemerintah dan sering mengadakan pemberontakan. Mereka itu berkedok sebagai sebuah perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat mereka menamakan diri sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat.
Karena para pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka banyak juga rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji mereka dan membantu "perjuangan" mereka.
Akan tetapi, pihak pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di balik kedok
perkumpulan agama itu.
Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan perampokan terhadap para bangsawan dan
hartawan, dan melakukan
pemerasan.
Para pendekar mengetahui bahwa di balik kependetaan mereka, para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orangorang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian besar
berwatak cabul dan suka
mempermainkan wanita. Karena itulah,di mana pun mereka berada, selalu mereka ditentang para
pendekar.
Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu mereka, maka Pek-lian-kauw merupakan
perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di mana-mana.
**********
Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena
letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah timur antara kota raja
dan Thiang-cin.
Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauwning adalah Hoat Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam menyeramkan. Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok Tosu berusia limapuluh dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet,dan Cia Kun Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus bermuka tampan pucat.
Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw
pusat menghadap Kaisar untuk mengajak damai dengan syarat
Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para
sutenya telah siap dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan.
Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka
diketahui oleh Ouw-yang Sianjin yang melapor ke kota raja dan
Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin
pasukan menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu.
Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngolian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun.
Adapun Pek-lian-kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat ditawan hidup-hidup.
Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah
dihukum mati. Tiga orang dari mereka, yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin
Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima
Besar Chang masih ingin mengorek keterangan dari mereka
tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw.
Tiga orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka
dibebaskan atas perintah Panglima Kui Seng.
Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak buah mereka,pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu mengutus seorang tokoh yang merupakan datuk dari Pek-lian
kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para
pimpinan cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah
menuju ke Liauw-ning.
Datuk Pek-lian-kauw ini bernama
Hwa Hwa Hoat-su, berusia
enampuluh lima tahun, bertubuh
tinggi kurus,berwajah pucat, matanya sipit dan rambutnya sudah putih
semua.
Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu
sihir. Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan
penyelidikan dan dia mendapat keterangan bahwa yang memimpin
pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid
keponakannya itu adalah Panglima Kui Seng.
Dia lalu pergi mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera kalau Panglima Kui Seng tidak mau membebaskan tiga orang
keponakan seperguruan yang ditawan itu.
Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangkasangka, tentu saja tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menjadi girang sekali. Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok,agar segera membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui Ciang-kun.
Tentu saja mereka bertiga dapat menduga bahwa tentu seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu untuk ditukar dengan kebebasan mereka bertiga!
Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar
dusun Liauw-ning, mereka disambut dengan gembira oleh para anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa Hwa Hoat-su, paman guru mereka yang telah menculik puteri Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka.
Mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-liankauw berambut putih itu.
"Bagus!" kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang
pendek putih dan mengangguk-angguk.
"Ternyata Panglima Kui Seng
memenuhi permintaanku,
membebaskan kalian bertiga.
Kalau begitu kita juga harus
memegang janji. Cin Kok Tosu dan
Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai.
kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian
berdua untuk melaksanakan agar gadis itu jangan terganggu
dalam perjalanan," kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid
keponakannya itu.
"Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin
pasukan menangkap kami bertujuh. Empat orang Sute kami telah
dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?"
bantah Cin Kok Tosu yang mukanya mirip muka monyet.
Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. "Hemm, aku
Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari janji sendiri! Hayo cepat
antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang mengganggunya di perjalanan!" bentak Hwa Hwa Hoat-su yang
merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya untuk mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.
"Baiklah, Susiok," kata Cin Kok Tosu gentar melihat paman gurunya marah. "Akan tetapi di kota raja tentu kami berdua akan ditangkap pasukan kerajaan."
"Bodoh! Antar saja gadis itu sampai ke pintu gerbang lalu kalian
cepat pergi. Ia dapat pulang sendiri setelah tiba di pintu gerbang!"
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah lagi.
Mereka lalu memasuki kamar di mana gadis puteri Kui-taijin dijaga
oleh empat orang anggauta Pek-lian-kauw wanita.
Ketika melihat gadis itu, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu tertegun kagum. Gadis berusia sekitar delapanbelas tahun itu bertubuh tinggi ramping,
kulitnya putih mulus, wajahnya bundar dengan sepasang mata,
lebar dan indah jeli. Kui Li Ai, gadis itu terbelalak ketakutan melihat dua orang tosu itu memasuki kamar.
Pendeta yang menculiknya tak pernah mengganggunya, bahkan tak pernah memasuki kamar di mana ia
dijaga dan dilayani dengan baik oleh empat orang wanita. Kini,melihat dua orang tosu itu, ia bangkit berdiri dan memandang dengan sepasang mata lebar seperti mata seekor kelinci yang
melihat dua ekor serigala.
Melihat gadis itu tampak ketakutan, Cia Kun Tosu yang kecil kurus
dan berwajah tampan itu berkata ramah.
"Nona, jangan takut, kami
berdua ditugaskan untuk mengantar Nona kembali ke kota raja."
Mendengar ini, wajah ayu yang tadinya muram dan gelisah itu, kini
berseri, mulutnya membentuk senyum sehingga ia tampak semakin menarik.
"Mari kita pergi, Nona," kata Cia Kun Tosu dan bersama suhengnya, Cin Kok Tosu yang pendek gendut dan mukanya mirip muka monyet, mereka berdua lalu mengawal Kui Li Ai keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, melewati dusun Liauw-ning menuju ke kota raja.
Di dalam hutan yang mereka lalui, Cia Kun Tosu berkata kepada Cin Kok Tosu. "Suheng, kalau kuingat betapa Panglima Kui telah menggunakan kekuatan pasukannya membunuh banyak anak buah kita, juga menawan kita sehingga empat orang saudara kita tewas, sungguh aku tidak terima begitu saja kalau sekarang
puterinya dibebaskan. Sungguh terlalu enak baginya!" kata Cia
Kun Tosu kepada Cin Kok Tosu setelah mereka berhenti pada siang hari itu di tengah hutan.
"Hemm, ingat akan pesan Susiok Hwa Hwa Hoat-su bahwa kita
tidak boleh membunuhnya, Sute," kata Cin Kok Tosu memperingatkan adik seperguruannya.
"Tidak, Suheng. Bukan maksudku membunuhnya. Akan tetapi
penghinaan itu harus kita balas. Anaknya tidak akan kami serahkan
kepadanya dalam keadaan utuh!"
Cin Kok Tosu dapat mengerti akan maksud sutenya, maka dia pun
menyeringai.
Keduanya lalu mendekati Kui Li Ai dan terdengar jerit dan isak tangis gadis itu yang bagaikan seekor kelinci mendapat terkaman dan serangan dua ekor serigala yang buas!
Sementara itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan berlari dengan
cepat sekali menuju ke dusun Liauw-ning. Ketika ia memasuki
sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar tangis wanita.
Cepat ia berlari ke tempat itu dan ia melihat seorang gadis dengan pakaian
awut-awutan sedang menangis di bawah sebatang pohon,menangis tersedu-sedu dengan tubuh gemetar.
Siang Lan cepat menghampiri dan berjongkok di dekat gadis itu.
"Adik, engkau siapakah dan mengapa menangis seorang diri di sini?" tanyanya dengan lembut.
Gadis itu adalah Kui Li Ai. Ia mengangkat mukanya yang tadi
menunduk ditutupi kedua tangan, muka yang cantik dan pucat sekali, muka yang basah air mata.
Rambut yang hitam lebat itu
terlepas dari sanggulnya, riap-riapan sebagian menutupi mukanya.
Pakaiannya cabik-cabik membuat gadis itu hampir telanjang.
Melihat keadaan gadis itu, dengan hati panas karena marah Siang
Lan dapat menduga apa yang telah menimpa diri gadis itu.
"Engkau Kui Li Ai?" tanya Siang Lan melihat pakaian yang cabik-cabik itu terbuat dari sutera halus dan mahal.
Gadis itu mengangguk, sambil sesenggukan ia
"...mereka...... mereka berdua...... memperkosaku........"berkata.
"Siapa mereka"!?"
"...... dua orang tosu........"
"Di mana mereka sekarang?"
Li Ai menunjuk ke suatu arah perginya dua orang itu yang baru saja
meninggalkannya.
Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan Kui Li Ai yang bernasib malang itu. Ia marah sekali, teringat akan nasib yang menimpa dirinya. Ia dapat merasakan betapa sakit dan hancur hati gadis puteri Panglima Kui itu, maka dendamnya kepada pemerkosanya yang berjuluk Thian-te Mo-ong itu kini ia timpakan kepada dua orang tosu pemerkosa Li Ai.
Ia berlari cepat sekali dan tak lama kemudian ia melihat dua orang tosu berjalan seenaknya. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu sedang berjalan pulang secara santai setelah mereka merasa puas dapat memperkosa puteri
Panglima Kui yang mereka benci sebagai pelampiasan dendam mereka.
Tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita muda yang amat cantik jelita yang memandang mereka dengan sinar mencorong dari sepasang mata yang indah!
Hwe-thian Mo-li masih ingat bahwa dua orang tosu ini adalah dua
di antara tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dulu ditawan.
Ia merasa yakin bahwa tentu dua orang ini yang tadi memperkosa
Kui Li Ai.
"Pendeta-pendeta palsu keparat! Tentu kalian yang telah berbuat
keji terhadap Kui Li Ai tadi!" bentaknya.
Dua orang tosu itu tidak mengenal Siang Lan karena dahulu itu mereka repot menghadapi Ouw-yang Sianjin dan para perwira sehingga mereka dan lima orang rekan mereka tertawan.
Melihat seorang gadis cantik kini memaki mereka, Cia Kun Tosu yang
berwatak mata keranjang itu, setelah mendengar ucapan Siang Lan, tertawa dan berkata.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Memang benar tadi kami telah bersenang-senang dengan puteri Panglima Kui. Kami akan lebih gembira kalau sekarang kami bersenang-senang denganmu!"
"Singg......!!" Dua orang tosu itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba
saja ada sinar seperti kilat menyambar ke arah mereka! Gadis itu telah menyerang mereka dengan pedang.
Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga mereka tidak melihat kapan gadis itu mencabut pedang. Mereka bukan orang-orang lemah dan cepat mereka berlompatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar kilat itu.
Cia Kun Tosu mencabut pedangnya dan juga Cin Kok Tosu mencabut pedangnya. Keduanya siap dan Cin Kok Tosu membentak marah. "Gadis liar! Siapakah engkau yang berani menyerang kami, dua orang pemimpin Pek-lian-kauw?"
"Huh, kalian tentu penjahat-penjahat pemberontak yang dibebaskan oleh Kui Ciang-kun yang puterinya diculik oleh kawan kalian! Sungguh licik, jahat dan curang. Kalian sudah dibebaskan,bukannya memenuhi janji membebaskan puteri Kui Ciang-kun,bahkan memperkosanya! Iblis-iblis jahat macam kalian tidak
pantas dibiarkan hidup lagi!" Siang Lan membentak. "Kalian hari ini
akan mampus di tangan Hwe-thian Mo-li!"
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu bergerak cepat dan kembali pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat di musim hujan
Dua orang tosu itu terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan Hwe-thian Mo-li yang namanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat ganas dan lihai.
Cepat mereka menangkis dan
balas menyerang. Akan tetapi Hwe-thian Mo-li menggerakkan
pedangnya sedemikian dahsyatnya, pedangnya berubah menjadi
sinar kilat dan tubuhnya berubah menjadi bayangan yang cepat
sekali gerakannya sehingga dua orang tosu itu segera terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang.
Kecepatan gerakan Hwe-thian Mo-li membuat mereka berdua tidak
sempat membalas serangan. Akan tetapi dua orang tokoh Peklian-kauw itu juga merupakan orang-orang yang cukup tinggi tingkat kepandaian mereka, juga sudah memiliki banyak
pengalaman bertanding.
Maka, begitu mereka terdesak, Cin Kok Tosu berseru kepada adik seperguruannya.
"Kita gunakan Im-yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Im dan Yang)!"
Mendengar seruan suhengnya itu, Cia Kun Tosu cepat melompat
ke arah belakang Siang Lan dan kini mereka mengeroyok gadis itu
dari depan dan belakang. Gerakan pedang mereka kini saling
tunjang, kalau yang satu menangkis, yang lain membarengi menyerang sehingga dengan demikian mereka berdua mulai mampu untuk balas menyerang.
Pertandingan menjadi seru bukan
main dan mati-matian karena kedua pihak maklum bahwa hanya
dengan merobohkan lawan mereka akan mampu menang.
"Kita gunakan am-gi (senjata rahasia)!" kembali Cin Kok Tosu
berseru kepada sutenya setelah bertanding selama limapuluh jurus
mereka belum juga mampu mendesak gadis yang lihai itu.
Mereka lalu mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu Lian-hwa-ciam
(Jarum Bunga Teratai) dan mulai menyelingi permainan pedang
mereka dengan meluncurkan jarum-jarum beracun itu ke arah
tubuh Siang Lan.
Mendapat serangan jarum-jarum itu Siang Lan menjadi repot. Ia
terpaksa memutar pedangnya. Sinar kilat itu menyelimuti tubuhnya
dan semua jarum terpental ketika bertemu sinar pedang dan keadaan menjadi terbalik.
Siang Lan kini hanya dapat bertahan dan melindungi dirinya tanpa mendapat kesempatan untuk
membalas.
Dua orang tosu itu mulai tertawa mengejek karena mereka merasa
yakin bahwa sebatang jarum saja dari mereka dapat mengenai
tubuh gadis itu, maka gadis itu akan keracunan dan mereka akan
memperoleh kemenangan. Kini Siang Lan terdesak hebat.
Untung ia memiliki gin-kang (ilmu
meringankan diri) yang lebih tinggi dibandingkan dua orang
lawannya dan ia memiliki sebatang pedang pusaka.
Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya merupakan pedang yang ampuh dan amat kuat sehingga setelah bertanding hampir seratus jurus, ujung pedang kedua orang pengeroyok itu telah buntung terbabat Luikong-kiam!
Akan tetapi karena mereka berdua juga lihai, dapat menggunakan pedang mereka yang ujungnya buntung itu untuk menyerang dibantu jarum-jarum mereka, maka tetap saja Siang Lan terdesak dan keadaannya mulai gawat!
Gerakan memutar pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya itu menguras tenaganya dan gerakannya mulai melambat.
Karena kelambatan ini, tiba-tiba Siang Lan merasa pundak kirinya
nyeri seperti digigit semut.
Ia terkejut ketika melihat bahwa pundak kirinya terkena sebatang jarum yang menancap menembus baju mengenai pundak. Seketika ia merasa betapa pundak kirinya ngilu
dan lengan kirinya seperti setengah lumpuh, sukar digerakkan.
"Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hiduphidup, sayang gadis secantik ini dibunuh begitu saja!" kata Cin Kun
Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang
dan mencari kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang
sudah mulai limbung.
Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar.
"Trangg......! Tranggg......!!"
Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul
batu sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak mampu
mempertahankannya lagi.
Pedang itu terlepas dari tangan mereka dan terpental jauh! Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat kesempatan baik ini segera menerjang.
Dua kali Lui-kong-kiam berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat mengelak atau berteriak karena leher mereka sudah terbabat buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang Lan dengan sekuat tenaga!
Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari tangannya, tubuhnya terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki berpakaian sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia sekitar empatpuluh tahun.
Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa
inilah orang yang tadi telah menolongnya. Akan tetapi kepalanya
semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat
apa-apa lagi. Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh,
sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu merebahkannya
di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan
di mana terdapat dua mayat tosu yang telah terpenggal kepala
mereka.
Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat
akan perkelahiannya tadi dan cepat ia melompat bangkit berdiri.
Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata
jarum itu telah tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat tempel).
Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan lengan kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa! Juga pedang yang tadi terlepas kini telah berada kembali dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi
tidak tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang
membasahi rumput dan tanah.
Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya
sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki yang menolongnya mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya,menyimpankan kembali pedangnya, dan pergi dari situ sambil membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw! Ia merasa heran sekali.
Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua
orang tosu melepaskan pedang mereka sehingga ia dapat
membunuh mereka.
Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang
Pek-lian-kauw.
Akan tetapi mengapa ia membawa pergi dua mayat tosu Pek-lian-kauw" Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa penasaran. Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga kelak ia dapat
membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia
tinggalkan di tempat ia menemukannya, yaitu di tengah hutan.
Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata
masih berada di situ, duduk menangis di bawah pohon.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis
bangsawan dan baru saja ia mengalami musibah yang amat hebat
bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia
ditinggalkan seorang diri di tengah hutan.
Tentu saja ia tidak berani
pergi karena ia tidak mengenal jalan.
Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.
"Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah
mampus di tanganku!" kata Siang Lan sambil mendekati gadis yang malang itu. Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya dan kedua matanya
menjadi basah.
Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang mengalami musibah seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut
gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya.
Setelah tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan
nada menghibur. "Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu," katanya dan hatinya terasa seperti diremas kalau ia ingat betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri.
Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai. Gadis yang
menderita pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu, bagaimana
mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu
berita tentang kematian ayahnya"
Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk.
Siang Lan membantunya bangkit berdiri, membetulkan letak
pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai merasa lemah dan lemas hampir tidak mampu melangkahkan kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari cepat.
Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat
betapa kuatnya gadis penolongnya ini sehingga mampu memondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda!
Teringat ia akan cerita ayahnya tentang para pendekar wanita,
maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.
"Enci...... apakah engkau...... seorang pendekar wanita?"
Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia mulai dapat menguasai perasaannya yang tertekan hebat.
"Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita
karena orang menyebut aku Hwe-thian Mo-li."
"Hwe-thian Mo-li" Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu sebagai seorang di antara para pendekar yang membantu pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!"
Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja. Karena
merasa sudah kuat berjalan dan merasa tidak enak kalau
memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta
diturunkan dan mereka berdua lalu menuju ke gedung tempat
tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang
perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li
Ai, akan tetapi wajah mereka tampak muram.
Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar
ini. Biasanya para perajurit itu selain amat hormat, juga amat
ramah kepadanya. "Apa yang terjadi?" Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan matanya memandang ke arah serambi depan rumahnya di mana
terdapat banyak orang. "Apa yang terjadi di sana?" kembali ia bertanya.
Siang Lan merangkulnya. "Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan
kuatkan hatimu......"
Suara pendekar yang gagah perkasa ini tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.
"Apa......" Mengapa......?" Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru
dan ia berlari ke arah serambi depan rumahnya. Siang Lan cepat
mengikutinya. Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat banyak orang duduk diam, Li Ai melihat dengan mata terbelalak ke sebuah peti mati yang dipasang di tengah.
Wajahnya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari terhuyung-huyung
menghampiri peti mati. Ketika ia melihat nama ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk kedepan.
"Ayaaaaahhh......!" Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya
akan terbentur pada peti mati kalau Siang Lan tidak cepat menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh pingsan itu.
Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang berkumpul dekat peti mati sambil menangis. Melihat pakaian mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan di gedung panglima itu.
"Di mana kamar Nona Kui" Tolong antarkan aku ke sana," kata Siang Lan dan pelayan tua itu lalu menunjukkan Siang Lan yang memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar.
Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas
pembaringan. Dua orang pelayan yang agaknya menjadi pelayan
pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan mereka.
"Siocia...... ahh, Siocia...... ia mengapa......?" tangis mereka.
"Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya," kata Siang Lan
yang mengurut beberapa jalan darah di pusat-pusat jalan darah
seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal
lengan. Li Ai mengeluh lirih dan begitu membuka matanya, ia
menjerit.
"Ayaaah...... Ayahhh, kenapa Ayahku......" Kenapa ia, Enci"
Kenapa Ayahku mati......?" tangisnya.
"Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan hatimu, Adik Li Ai......" Siang Lan menghibur dengan hati terharu.
"...... Enci...... engkau sudah tahu......?" Ketika Siang Lan mengangguk, ia melanjutkan, "......mengapa engkau tidak memberitahu padaku tadi......?"
"Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi.
Biar engkau melihat sendiri......" kata Siang Lan terharu.
"Ayaaahhh......!" Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari
lagi. Dua orang pembantunya sambil menangis mencoba untuk
menghalanginya. "Siocia...... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja......"
Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka.
"Biarlah ia menumpahkan
kedukaannya." Dan ia sendiri lalu mengikuti Li Ai untuk menjaga hal-hal yang tidak baik.
Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil
menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia berlutut di depan peti
mati ayahnya.
Semua orang yang berada di situ menjadi terharu dan semua wanita yang melayat, juga para pembantu rumah tangga, ikut pula menangis.
Para tamu laki-laki hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang
dengan wajah muram. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih yang mengenakan pakaian berkabung namun rambutnya tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas bedak dan gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lajim bagi
keluarga yang berkabung.
Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan
jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil berdiri, memandang kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut tanda tak senang dan begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan suara lantang. "Li Ai, engkau baru pulang?"
Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia berseru. "Ibuuu......!"
Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran
Kui itu berkata dengan sikap dingin dan galak.
"Hemm, untuk apa kau tangisi Ayahmu" Kau tahu, Ayahmu mati
karena engkau!
Engkau anak put-hauw (tidak berbakti), anak durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi penyebab kematian Ayahmu!!"
Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai
lemas dalam rangkulan Siang Lan yang cepat menangkap tubuhnya. Ia pingsan lagi!
Siang Lan menjadi marah bukan main.
Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak, ia telah menotok pundak kiri Nyonya Kui.
Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba merasa tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.
"Auuuuww...... aduuuhhh...... aduuhhhh...... ia...... memukulku......! Pengawal, tangkap perempuan jahat ini......!!"
Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan menggunakan tangan kiri menjambak rambut Nyonya Kui dan mencabut pedang yang ia tempelkan ke leher nyonya itu.
"Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu
kusembelih leher perempuan ini!" Ia mengancam dan lima orang
perajurit itu mundur ketakutan.
Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu
membentak.
"Perempuan bermulut lancang dan jahat, siapa engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?"
"Aku...... aku isteri Panglima Kui......!" Nyonya Kui mencoba untuk bersikap galak berwibawa setelah tidak merasa kesakitan lagi.
Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya
itu meringis. "Tak mungkin engkau ibu Adik Ai!"
"Aku...... aku Ibu tirinya......"
"Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!" Siang Lan memaki dan memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu semakin kesakitan. Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang Panglima Kui. Seorang dari mereka maju dan berkata kepada
Siang Lan dengan sikap hormat.
"Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li,bukan" Kami dulu membantu Kui Ciang-kun ketika menangkap para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona."Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk.
"Benar, aku Hwethian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai pulang setelah kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan.
Adik Li Ai menderita setelah ditawan penjahat dan kini kematian Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah memaki dan memarahinya"
He, perempuan busuk, apa engkau
sudah bosan hidup" Aku akan membunuhmu agar rohmu menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas kejahatan mulutmu terhadap Adik Li Ai!"
Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya
semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita itu menjadi pucat sekali,
tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siang Lan, membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata dengan suara terputus-putus.
"Ampunkan saya...... ampunkan saya...... karena terlalu sedih saya
memarahi Li Ai...... ampuni saya, Li-hiap........"
Ia meratap dengan tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai dibawah tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing
saking ngerinya!
Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang
masih pingsan dan membawanya kembali ke dalam kamar gadis
itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu menghiburnya.
Dua orang pembantu pribadi Li Ai membantunya dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li Ai.
Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi
dan berganti pakaian bersih. Lalu mengajaknya makan yang telah
dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.
"Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan sadarlah bahwa semua yang telah terjadi tidak cukup untuk ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap hidup sehat agar dapat melampiaskan dendam sakit hatimu
kepada mereka yang telah membuat engkau menderita."
"Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw yang menculikku"
Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orangorang Pek-lian-kauw amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian
seperti engkau........"
"Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat."
"Benarkah, Enci?" terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini
dan ia mau diajak makan. Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang merasa dekat dengan gadis itu karena senasib, gadis itu lalu keluar bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di
depan peti jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi,
hanya air matanya saja menetes-netes ketika bersembahyang.
Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia bersembunyi di dalam kamarnya.
Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li
Ai kembali ke dalam kamarnya.
"Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan
selamat. Aku pamit hendak melanjutkan perjalanan," kata Siang
Lan. Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwe-thian Mo-li.
"Enci, jangan tinggalkan aku......!" katanya sambil merangkul kedua kaki Siang Lan. "Aku tidak mau tinggal di rumah ini, tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku."
Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali.
"Jangan begini, Adik Li Ai. Mari kita bicara baik-baik.
Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana" Jangan
khawatir kepada ibu tirimu, aku sebelum pergi akan mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan
datang memenggal kepalanya!"
"Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di
sini. Bahkan keadaanku...... sudah begini...... kalau sampai diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang.
Jangan tinggalkan aku, Enci. Kalau kautinggalkan, kukira...... lebih
baik aku bunuh diri dari pada hidup menanggung aib dan malu. Aku
ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau sahabatmu, atau...... pembantumu. Aku mau mengerjakan apapun juga untukmu asal boleh ikut denganmu.
Ingat, engkau hendak mengajarkan ilmu silat padaku seperti janjimu!"
Siang Lan tersenyum. "Ikut dengan aku" Li Ai, engkau seorang
gadis bangsawan, puteri seorang panglima. Bagaimana hendak ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh kekerasan" Apakah tidak lebih baik, kalau engkau tidak mau tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu"
Engkau tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu."
"Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang
gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda pula, tercemar, aku malu,
Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka.
Kalau engkau kelak mengetahui....... ah, betapa akan malunya aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!"
Air mata menetes-netes dari sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena terlalu banyak menangis. Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau ia memaksakan pendiriannya meninggalkan gadis ini, besar sekali kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!
"Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak
boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu dimakamkan dengan baik.
Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau
tinggal di sini sampai jenazah Ayah dimakamkan."
"Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi" Apakah tidak
lebih baik besok pagi saja?"
Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok Gun malam-malam begini.
Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih akrab.
"Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya"
Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus menyebutmu Enci Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu!
Bagiku engkau seorang dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!"
Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar tidak menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas.
Siang Lan menghela napas panjang. "Li Ai, yang menyebut aku
Iblis Betina adalah golongan sesat karena aku selalu bersikap keras terhadap mereka.
Terhadap orang-orang jahat seperti dua orang tosu yang menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun.
Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi aku
tidak peduli.
Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang tertindas dan menentang kejahatan daripada disebut Dewi akan tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?"
"Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu
yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki she (marga) dan nama
bukan"
Siapa pula Gurumu" Maukah engkau menceritakan tentang riwayatmu, orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat baikmu yang akan kau kunjungi besok?"
"Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk
ikut denganku, engkau berhak mengetahuinya. Akan tetapi
sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan
atau menyebut namaku di depan orang lain.
Bagi orang lain aku ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja."
"Baik, Enci. Aku berjanji."
"Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia
ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan."
"Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku.
Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil
membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong......"
"Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan......!"
"Huss!" Siang Lan memotong. "Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li Ai?"
"Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim
yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu
silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?"
"Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok.
Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong Han Cu.
Ah, jadi mereka sudah menikah?" Siang Lan termenung,merasa betapa hatinya hampa dan kering.
"Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?"
"Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal
bersama suaminya di rumah mertuanya itu.
Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci,karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai.
Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan pernikahan mereka." Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya.
Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia
membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu.
Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan
kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.
"Engkau kenapa, Enci?" Li Ai bertanya melihat perubahan muka
pendekar wanita itu. "Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya akut idak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka.
Aku merasa malu dan bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku."
Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini"
Kuharap dalam keadaan baik," kata Siang Lan.
Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram
karena dia teringat akan keadaannya. Dia menghela napas panjang.
"Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang
saja, kami berada dalam keadaan yang buruk sekali, tertimpa
malapetaka."
Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun
memasuki gedung itu. Mereka memasuki sebuah ruangan tertutup
dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan
semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Siang Lan
mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar
bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa KuiCiang-kun membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw, ia
bertanya dengan hati penasaran.
"Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?"
Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan
itu menghela napas panjang. "Habis, apa yang dapat kulakuan,Nona" Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya menggertak kosong belaka.
Kalau tidak kupenuhi permintaan
mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagi-pagi sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi anak buahku untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!"
Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara berat. "Kui Li Ai adalah anak satu-satunya dari keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk
menyelamatkannya.
Akan tetapi untuk itu aku terpaksa menjadi seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan
pemberontak." "Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-liankauw itu kejam dan jahat.
Setelah engkau membebaskan tiga
orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan
membebaskan puterimu, Ciang-kun?"
"Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan nyawaku. Maka, aku mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong puteriku Kui Li Ai itu dari tangan mereka...... aku mohon
kepadamu......" Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura dengan membungkuk dalam kepada Siang Lan.
Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang berlebihan itu. "Tenang dan duduklah, Ciang-kun. Tentu saja aku mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik puterimu itu, dan siapa pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw
yang telah kau bebaskan dari penjara?"
"Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan dia bersenjata sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih terselip di ikat pinggangnya. Wajahnya pucat dan, matanya sipit,rambutnya sudah putih semua.
Dia tidak mengaku siapa namanya,
akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw
yang amat lihai. Adapun tiga orang tawanan yang dibebaskan itu
adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu
kita tangkap."
"Siapa nama mereka, Ciang-kun?"
"Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama
mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu, dan Cia Kun Tosu,
tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara yang bermarkas di dusun Liauw-ning di lereng pegunungan sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin.
Nona, sekali lagi akum ohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka......"
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah belasan perajurit mengiringkan seorang yang berpakaian sebagai seorang panglima.
Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun,bertubuh tinggi tegap dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau.
Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari ruangan depan dan menyambutnya. Panglima itu melompat turun dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang memberi hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah Panglima Kui itu.
"Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam hormat saya," kata Kui Ciang-kun dengan hormat.
"Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!" bentak panglima itu yang bukan
lain adalah Panglima Besar Chang Ku Cing penasehat kaisar bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan Kui Ciang-kun.
Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.
"Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti
pelaksanaan hukuman mati?"
Kui Seng mengangguk. "Benar, Thai-ciangkun!"
"Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara,sungguh kami sebagai atasanmu merasa malu sekali!
Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!"
"Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!" kata Kui Seng dan suaranya yang terdengar lantang itu membuat hati Siang Lan merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui ini memiliki watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab terhadap
kesalahannya.
"Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu engkau akan kubawa ke pengadilan tentara untuk menentuan hukumanmu!" kata Panglima Besar Chang Ku Cing.
"Nanti dulu!" tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah maju berdiri di depan Kui Seng dengan sikap melindungi. "Ini sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui Ciang-kun membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu"
Dia terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah diculik
dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun tidak mau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu,puterinya akan dibunuh!
Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan
seorang pengkhianat. Dia
melakukannya untuk menyelamatkan
puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!"
Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis itu. "Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan ketentaraan?"
Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang
penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak merasa gentar dan ia menjawab dengan sikap gagah.
"Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan membela orang yang tidak bersalah dan menentang orang yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang!"
Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali.
Dia memperhatikan wajah gadis yang cantik dengan sepasang mata mencorong penuh keberanian itu.
"Kui Ciang-kun! bawahannya. Siapakah gadis ini?" bentaknya kepada "Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang dulu membantu menawan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga
dapat membasmi mereka dan
menangkap tujuh orang
pimpinannya," kata Kui Seng.
Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk. "Ah, kiranya
engkau seorang pendekar, Nona" Engkau sudah pernah berjasa
ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa
sekarang engkau berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga tokoh
Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-liankauw?"
"Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang
mempunyai anak perempuan diculik gerombolan Pek-lian-kauw
yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini,
bagaimana sikapmu" Apakah engkau akan membiarkan puterimu
dibunuh begitu saja?"
"Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh
pemerintah, juga kesejahteraan rakyat diatur oleh Pemerintah.
Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada Pemerintah dan membela kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Kalau semua orang mementingkan diri sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah direbut kekuasaannya oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw.
Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau
negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya makmur, kehidupan rakyat pun makmur."
"Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang
kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaan.
Sedangkan rakyat jelata, lihat
saja sendiri, banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka yang berpangkat dan berkuasa?" Hwe-thian Mo-li menyerang.
Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas panjang dan mukanya berubah kemerahan.
"Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang ada dan banyak terdapat pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan mengumpulkan harta benda tanpa mengingat keadaan rakyat,secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan dikumpulkan pemerintah.
Harta yang seharusnya dikembalikan
kepada rakyat melalui pembangunan yang dibutuhkan rakyat jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.
"Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup,tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak mencuri harta negara dan tidak menindas rakyat.
Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-liankauw itu merupakan musuh negara yang berbahaya."
"Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap mengorbankan
nyawanya!"
Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap membela Kui Ciang-kun. "Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya,hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini dia mengorbankan keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat!
Kalau tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu lolos, berarti negara terancam pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara rakyat yang tidak berdosa.
Apakah tindakannya itu benar?"
Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan
Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling kepada Kui Ciangkun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan tubuhnya agak gemetar, agaknya dia pun menyadari akan kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia mendesak panglima besar itu.
"Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui
Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?"
"Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang mengalami musibah, misalnya seperti yang dialami Kui Ciang-kun,jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang berwajib menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi menyelamatkan anakku.
Aku akan bertindak sendiri mengejar dan berusaha menolong anakku, biarpun harus berkorban diri misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan negara!" Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan tetapi Kui Seng berkata. "Aku telah bersalah dan sudah sepatutnya dihukum mati sebagai pengkhianat.
Biarlah aku menghukum diri
sendiri sebagai pertanggungan-jawabku terhadap negara!"
Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya
sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian Mo-li yang terkejut dan tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa panglima itu tidak mungkin dapat dipertahankan lagi.
Pedang itu hampir menembus punggungnya.
"Hwe-thian Mo-li...... tolong...... tolonglah Li Ai......!" Dia terkulai dan
tewas.
"Ah, mengapa dia putus harapan" Mungkin Sribaginda Kaisar dapat mengampuninya mengingat akan jasa-jasanya! Akan tetapi, semua telah terjadi !" kata Panglima Besar Chang dengan suara menyesal.
Setelah dia mendengar alasan mengapa bawahannya ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw,kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia sayang kepada pembantunya yang gagah dan setia ini.
Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap
dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai, ia sudah mendengar keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu tewas.
Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian keluar sambil menangis.
Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi kematian Kui Ciang-kun. Panglima Chang lalu cepat memerintah anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang dia tahu merupakan
sarang Pek-lian-kauw.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning.
Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li Ai pasti merupakan komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi ia lalu berlari cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw.
Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan yang menentang pemerintah dan sering mengadakan pemberontakan. Mereka itu berkedok sebagai sebuah perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat mereka menamakan diri sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat.
Karena para pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka banyak juga rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji mereka dan membantu "perjuangan" mereka.
Akan tetapi, pihak pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di balik kedok
perkumpulan agama itu.
Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan perampokan terhadap para bangsawan dan
hartawan, dan melakukan
pemerasan.
Para pendekar mengetahui bahwa di balik kependetaan mereka, para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orangorang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian besar
berwatak cabul dan suka
mempermainkan wanita. Karena itulah,di mana pun mereka berada, selalu mereka ditentang para
pendekar.
Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu mereka, maka Pek-lian-kauw merupakan
perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di mana-mana.
**********
Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena
letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah timur antara kota raja
dan Thiang-cin.
Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauwning adalah Hoat Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam menyeramkan. Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok Tosu berusia limapuluh dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet,dan Cia Kun Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus bermuka tampan pucat.
Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw
pusat menghadap Kaisar untuk mengajak damai dengan syarat
Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para
sutenya telah siap dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan.
Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka
diketahui oleh Ouw-yang Sianjin yang melapor ke kota raja dan
Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin
pasukan menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu.
Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngolian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun.
Adapun Pek-lian-kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat ditawan hidup-hidup.
Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah
dihukum mati. Tiga orang dari mereka, yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin
Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima
Besar Chang masih ingin mengorek keterangan dari mereka
tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw.
Tiga orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka
dibebaskan atas perintah Panglima Kui Seng.
Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak buah mereka,pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu mengutus seorang tokoh yang merupakan datuk dari Pek-lian
kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para
pimpinan cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah
menuju ke Liauw-ning.
Datuk Pek-lian-kauw ini bernama
Hwa Hwa Hoat-su, berusia
enampuluh lima tahun, bertubuh
tinggi kurus,berwajah pucat, matanya sipit dan rambutnya sudah putih
semua.
Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu
sihir. Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan
penyelidikan dan dia mendapat keterangan bahwa yang memimpin
pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid
keponakannya itu adalah Panglima Kui Seng.
Dia lalu pergi mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera kalau Panglima Kui Seng tidak mau membebaskan tiga orang
keponakan seperguruan yang ditawan itu.
Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangkasangka, tentu saja tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menjadi girang sekali. Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok,agar segera membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui Ciang-kun.
Tentu saja mereka bertiga dapat menduga bahwa tentu seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu untuk ditukar dengan kebebasan mereka bertiga!
Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar
dusun Liauw-ning, mereka disambut dengan gembira oleh para anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa Hwa Hoat-su, paman guru mereka yang telah menculik puteri Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka.
Mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-liankauw berambut putih itu.
"Bagus!" kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang
pendek putih dan mengangguk-angguk.
"Ternyata Panglima Kui Seng
memenuhi permintaanku,
membebaskan kalian bertiga.
Kalau begitu kita juga harus
memegang janji. Cin Kok Tosu dan
Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai.
kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian
berdua untuk melaksanakan agar gadis itu jangan terganggu
dalam perjalanan," kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid
keponakannya itu.
"Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin
pasukan menangkap kami bertujuh. Empat orang Sute kami telah
dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?"
bantah Cin Kok Tosu yang mukanya mirip muka monyet.
Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. "Hemm, aku
Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari janji sendiri! Hayo cepat
antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang mengganggunya di perjalanan!" bentak Hwa Hwa Hoat-su yang
merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya untuk mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.
"Baiklah, Susiok," kata Cin Kok Tosu gentar melihat paman gurunya marah. "Akan tetapi di kota raja tentu kami berdua akan ditangkap pasukan kerajaan."
"Bodoh! Antar saja gadis itu sampai ke pintu gerbang lalu kalian
cepat pergi. Ia dapat pulang sendiri setelah tiba di pintu gerbang!"
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah lagi.
Mereka lalu memasuki kamar di mana gadis puteri Kui-taijin dijaga
oleh empat orang anggauta Pek-lian-kauw wanita.
Ketika melihat gadis itu, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu tertegun kagum. Gadis berusia sekitar delapanbelas tahun itu bertubuh tinggi ramping,
kulitnya putih mulus, wajahnya bundar dengan sepasang mata,
lebar dan indah jeli. Kui Li Ai, gadis itu terbelalak ketakutan melihat dua orang tosu itu memasuki kamar.
Pendeta yang menculiknya tak pernah mengganggunya, bahkan tak pernah memasuki kamar di mana ia
dijaga dan dilayani dengan baik oleh empat orang wanita. Kini,melihat dua orang tosu itu, ia bangkit berdiri dan memandang dengan sepasang mata lebar seperti mata seekor kelinci yang
melihat dua ekor serigala.
Melihat gadis itu tampak ketakutan, Cia Kun Tosu yang kecil kurus
dan berwajah tampan itu berkata ramah.
"Nona, jangan takut, kami
berdua ditugaskan untuk mengantar Nona kembali ke kota raja."
Mendengar ini, wajah ayu yang tadinya muram dan gelisah itu, kini
berseri, mulutnya membentuk senyum sehingga ia tampak semakin menarik.
"Mari kita pergi, Nona," kata Cia Kun Tosu dan bersama suhengnya, Cin Kok Tosu yang pendek gendut dan mukanya mirip muka monyet, mereka berdua lalu mengawal Kui Li Ai keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, melewati dusun Liauw-ning menuju ke kota raja.
Di dalam hutan yang mereka lalui, Cia Kun Tosu berkata kepada Cin Kok Tosu. "Suheng, kalau kuingat betapa Panglima Kui telah menggunakan kekuatan pasukannya membunuh banyak anak buah kita, juga menawan kita sehingga empat orang saudara kita tewas, sungguh aku tidak terima begitu saja kalau sekarang
puterinya dibebaskan. Sungguh terlalu enak baginya!" kata Cia
Kun Tosu kepada Cin Kok Tosu setelah mereka berhenti pada siang hari itu di tengah hutan.
"Hemm, ingat akan pesan Susiok Hwa Hwa Hoat-su bahwa kita
tidak boleh membunuhnya, Sute," kata Cin Kok Tosu memperingatkan adik seperguruannya.
"Tidak, Suheng. Bukan maksudku membunuhnya. Akan tetapi
penghinaan itu harus kita balas. Anaknya tidak akan kami serahkan
kepadanya dalam keadaan utuh!"
Cin Kok Tosu dapat mengerti akan maksud sutenya, maka dia pun
menyeringai.
Keduanya lalu mendekati Kui Li Ai dan terdengar jerit dan isak tangis gadis itu yang bagaikan seekor kelinci mendapat terkaman dan serangan dua ekor serigala yang buas!
Sementara itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan berlari dengan
cepat sekali menuju ke dusun Liauw-ning. Ketika ia memasuki
sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar tangis wanita.
Cepat ia berlari ke tempat itu dan ia melihat seorang gadis dengan pakaian
awut-awutan sedang menangis di bawah sebatang pohon,menangis tersedu-sedu dengan tubuh gemetar.
Siang Lan cepat menghampiri dan berjongkok di dekat gadis itu.
"Adik, engkau siapakah dan mengapa menangis seorang diri di sini?" tanyanya dengan lembut.
Gadis itu adalah Kui Li Ai. Ia mengangkat mukanya yang tadi
menunduk ditutupi kedua tangan, muka yang cantik dan pucat sekali, muka yang basah air mata.
Rambut yang hitam lebat itu
terlepas dari sanggulnya, riap-riapan sebagian menutupi mukanya.
Pakaiannya cabik-cabik membuat gadis itu hampir telanjang.
Melihat keadaan gadis itu, dengan hati panas karena marah Siang
Lan dapat menduga apa yang telah menimpa diri gadis itu.
"Engkau Kui Li Ai?" tanya Siang Lan melihat pakaian yang cabik-cabik itu terbuat dari sutera halus dan mahal.
Gadis itu mengangguk, sambil sesenggukan ia
"...mereka...... mereka berdua...... memperkosaku........"berkata.
"Siapa mereka"!?"
"...... dua orang tosu........"
"Di mana mereka sekarang?"
Li Ai menunjuk ke suatu arah perginya dua orang itu yang baru saja
meninggalkannya.
Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan Kui Li Ai yang bernasib malang itu. Ia marah sekali, teringat akan nasib yang menimpa dirinya. Ia dapat merasakan betapa sakit dan hancur hati gadis puteri Panglima Kui itu, maka dendamnya kepada pemerkosanya yang berjuluk Thian-te Mo-ong itu kini ia timpakan kepada dua orang tosu pemerkosa Li Ai.
Ia berlari cepat sekali dan tak lama kemudian ia melihat dua orang tosu berjalan seenaknya. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu sedang berjalan pulang secara santai setelah mereka merasa puas dapat memperkosa puteri
Panglima Kui yang mereka benci sebagai pelampiasan dendam mereka.
Tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita muda yang amat cantik jelita yang memandang mereka dengan sinar mencorong dari sepasang mata yang indah!
Hwe-thian Mo-li masih ingat bahwa dua orang tosu ini adalah dua
di antara tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dulu ditawan.
Ia merasa yakin bahwa tentu dua orang ini yang tadi memperkosa
Kui Li Ai.
"Pendeta-pendeta palsu keparat! Tentu kalian yang telah berbuat
keji terhadap Kui Li Ai tadi!" bentaknya.
Dua orang tosu itu tidak mengenal Siang Lan karena dahulu itu mereka repot menghadapi Ouw-yang Sianjin dan para perwira sehingga mereka dan lima orang rekan mereka tertawan.
Melihat seorang gadis cantik kini memaki mereka, Cia Kun Tosu yang
berwatak mata keranjang itu, setelah mendengar ucapan Siang Lan, tertawa dan berkata.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Memang benar tadi kami telah bersenang-senang dengan puteri Panglima Kui. Kami akan lebih gembira kalau sekarang kami bersenang-senang denganmu!"
"Singg......!!" Dua orang tosu itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba
saja ada sinar seperti kilat menyambar ke arah mereka! Gadis itu telah menyerang mereka dengan pedang.
Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga mereka tidak melihat kapan gadis itu mencabut pedang. Mereka bukan orang-orang lemah dan cepat mereka berlompatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar kilat itu.
Cia Kun Tosu mencabut pedangnya dan juga Cin Kok Tosu mencabut pedangnya. Keduanya siap dan Cin Kok Tosu membentak marah. "Gadis liar! Siapakah engkau yang berani menyerang kami, dua orang pemimpin Pek-lian-kauw?"
"Huh, kalian tentu penjahat-penjahat pemberontak yang dibebaskan oleh Kui Ciang-kun yang puterinya diculik oleh kawan kalian! Sungguh licik, jahat dan curang. Kalian sudah dibebaskan,bukannya memenuhi janji membebaskan puteri Kui Ciang-kun,bahkan memperkosanya! Iblis-iblis jahat macam kalian tidak
pantas dibiarkan hidup lagi!" Siang Lan membentak. "Kalian hari ini
akan mampus di tangan Hwe-thian Mo-li!"
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu bergerak cepat dan kembali pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat di musim hujan
Dua orang tosu itu terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan Hwe-thian Mo-li yang namanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat ganas dan lihai.
Cepat mereka menangkis dan
balas menyerang. Akan tetapi Hwe-thian Mo-li menggerakkan
pedangnya sedemikian dahsyatnya, pedangnya berubah menjadi
sinar kilat dan tubuhnya berubah menjadi bayangan yang cepat
sekali gerakannya sehingga dua orang tosu itu segera terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang.
Kecepatan gerakan Hwe-thian Mo-li membuat mereka berdua tidak
sempat membalas serangan. Akan tetapi dua orang tokoh Peklian-kauw itu juga merupakan orang-orang yang cukup tinggi tingkat kepandaian mereka, juga sudah memiliki banyak
pengalaman bertanding.
Maka, begitu mereka terdesak, Cin Kok Tosu berseru kepada adik seperguruannya.
"Kita gunakan Im-yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Im dan Yang)!"
Mendengar seruan suhengnya itu, Cia Kun Tosu cepat melompat
ke arah belakang Siang Lan dan kini mereka mengeroyok gadis itu
dari depan dan belakang. Gerakan pedang mereka kini saling
tunjang, kalau yang satu menangkis, yang lain membarengi menyerang sehingga dengan demikian mereka berdua mulai mampu untuk balas menyerang.
Pertandingan menjadi seru bukan
main dan mati-matian karena kedua pihak maklum bahwa hanya
dengan merobohkan lawan mereka akan mampu menang.
"Kita gunakan am-gi (senjata rahasia)!" kembali Cin Kok Tosu
berseru kepada sutenya setelah bertanding selama limapuluh jurus
mereka belum juga mampu mendesak gadis yang lihai itu.
Mereka lalu mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu Lian-hwa-ciam
(Jarum Bunga Teratai) dan mulai menyelingi permainan pedang
mereka dengan meluncurkan jarum-jarum beracun itu ke arah
tubuh Siang Lan.
Mendapat serangan jarum-jarum itu Siang Lan menjadi repot. Ia
terpaksa memutar pedangnya. Sinar kilat itu menyelimuti tubuhnya
dan semua jarum terpental ketika bertemu sinar pedang dan keadaan menjadi terbalik.
Siang Lan kini hanya dapat bertahan dan melindungi dirinya tanpa mendapat kesempatan untuk
membalas.
Dua orang tosu itu mulai tertawa mengejek karena mereka merasa
yakin bahwa sebatang jarum saja dari mereka dapat mengenai
tubuh gadis itu, maka gadis itu akan keracunan dan mereka akan
memperoleh kemenangan. Kini Siang Lan terdesak hebat.
Untung ia memiliki gin-kang (ilmu
meringankan diri) yang lebih tinggi dibandingkan dua orang
lawannya dan ia memiliki sebatang pedang pusaka.
Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya merupakan pedang yang ampuh dan amat kuat sehingga setelah bertanding hampir seratus jurus, ujung pedang kedua orang pengeroyok itu telah buntung terbabat Luikong-kiam!
Akan tetapi karena mereka berdua juga lihai, dapat menggunakan pedang mereka yang ujungnya buntung itu untuk menyerang dibantu jarum-jarum mereka, maka tetap saja Siang Lan terdesak dan keadaannya mulai gawat!
Gerakan memutar pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya itu menguras tenaganya dan gerakannya mulai melambat.
Karena kelambatan ini, tiba-tiba Siang Lan merasa pundak kirinya
nyeri seperti digigit semut.
Ia terkejut ketika melihat bahwa pundak kirinya terkena sebatang jarum yang menancap menembus baju mengenai pundak. Seketika ia merasa betapa pundak kirinya ngilu
dan lengan kirinya seperti setengah lumpuh, sukar digerakkan.
"Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hiduphidup, sayang gadis secantik ini dibunuh begitu saja!" kata Cin Kun
Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang
dan mencari kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang
sudah mulai limbung.
Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar.
"Trangg......! Tranggg......!!"
Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul
batu sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak mampu
mempertahankannya lagi.
Pedang itu terlepas dari tangan mereka dan terpental jauh! Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat kesempatan baik ini segera menerjang.
Dua kali Lui-kong-kiam berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat mengelak atau berteriak karena leher mereka sudah terbabat buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang Lan dengan sekuat tenaga!
Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari tangannya, tubuhnya terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki berpakaian sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia sekitar empatpuluh tahun.
Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa
inilah orang yang tadi telah menolongnya. Akan tetapi kepalanya
semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat
apa-apa lagi. Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh,
sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu merebahkannya
di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan
di mana terdapat dua mayat tosu yang telah terpenggal kepala
mereka.
Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat
akan perkelahiannya tadi dan cepat ia melompat bangkit berdiri.
Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata
jarum itu telah tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat tempel).
Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan lengan kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa! Juga pedang yang tadi terlepas kini telah berada kembali dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi
tidak tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang
membasahi rumput dan tanah.
Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya
sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki yang menolongnya mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya,menyimpankan kembali pedangnya, dan pergi dari situ sambil membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw! Ia merasa heran sekali.
Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua
orang tosu melepaskan pedang mereka sehingga ia dapat
membunuh mereka.
Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang
Pek-lian-kauw.
Akan tetapi mengapa ia membawa pergi dua mayat tosu Pek-lian-kauw" Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa penasaran. Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga kelak ia dapat
membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia
tinggalkan di tempat ia menemukannya, yaitu di tengah hutan.
Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata
masih berada di situ, duduk menangis di bawah pohon.
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis
bangsawan dan baru saja ia mengalami musibah yang amat hebat
bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia
ditinggalkan seorang diri di tengah hutan.
Tentu saja ia tidak berani
pergi karena ia tidak mengenal jalan.
Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.
"Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah
mampus di tanganku!" kata Siang Lan sambil mendekati gadis yang malang itu. Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya dan kedua matanya
menjadi basah.
Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang mengalami musibah seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut
gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya.
Setelah tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan
nada menghibur. "Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu," katanya dan hatinya terasa seperti diremas kalau ia ingat betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri.
Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai. Gadis yang
menderita pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu, bagaimana
mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu
berita tentang kematian ayahnya"
Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk.
Siang Lan membantunya bangkit berdiri, membetulkan letak
pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai merasa lemah dan lemas hampir tidak mampu melangkahkan kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari cepat.
Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat
betapa kuatnya gadis penolongnya ini sehingga mampu memondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda!
Teringat ia akan cerita ayahnya tentang para pendekar wanita,
maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.
"Enci...... apakah engkau...... seorang pendekar wanita?"
Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia mulai dapat menguasai perasaannya yang tertekan hebat.
"Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita
karena orang menyebut aku Hwe-thian Mo-li."
"Hwe-thian Mo-li" Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu sebagai seorang di antara para pendekar yang membantu pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!"
Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja. Karena
merasa sudah kuat berjalan dan merasa tidak enak kalau
memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta
diturunkan dan mereka berdua lalu menuju ke gedung tempat
tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang
perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li
Ai, akan tetapi wajah mereka tampak muram.
Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar
ini. Biasanya para perajurit itu selain amat hormat, juga amat
ramah kepadanya. "Apa yang terjadi?" Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan matanya memandang ke arah serambi depan rumahnya di mana
terdapat banyak orang. "Apa yang terjadi di sana?" kembali ia bertanya.
Siang Lan merangkulnya. "Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan
kuatkan hatimu......"
Suara pendekar yang gagah perkasa ini tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.
"Apa......" Mengapa......?" Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru
dan ia berlari ke arah serambi depan rumahnya. Siang Lan cepat
mengikutinya. Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat banyak orang duduk diam, Li Ai melihat dengan mata terbelalak ke sebuah peti mati yang dipasang di tengah.
Wajahnya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari terhuyung-huyung
menghampiri peti mati. Ketika ia melihat nama ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk kedepan.
"Ayaaaaahhh......!" Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya
akan terbentur pada peti mati kalau Siang Lan tidak cepat menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh pingsan itu.
Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang berkumpul dekat peti mati sambil menangis. Melihat pakaian mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan di gedung panglima itu.
"Di mana kamar Nona Kui" Tolong antarkan aku ke sana," kata Siang Lan dan pelayan tua itu lalu menunjukkan Siang Lan yang memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar.
Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas
pembaringan. Dua orang pelayan yang agaknya menjadi pelayan
pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan mereka.
"Siocia...... ahh, Siocia...... ia mengapa......?" tangis mereka.
"Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya," kata Siang Lan
yang mengurut beberapa jalan darah di pusat-pusat jalan darah
seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal
lengan. Li Ai mengeluh lirih dan begitu membuka matanya, ia
menjerit.
"Ayaaah...... Ayahhh, kenapa Ayahku......" Kenapa ia, Enci"
Kenapa Ayahku mati......?" tangisnya.
"Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan hatimu, Adik Li Ai......" Siang Lan menghibur dengan hati terharu.
"...... Enci...... engkau sudah tahu......?" Ketika Siang Lan mengangguk, ia melanjutkan, "......mengapa engkau tidak memberitahu padaku tadi......?"
"Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi.
Biar engkau melihat sendiri......" kata Siang Lan terharu.
"Ayaaahhh......!" Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari
lagi. Dua orang pembantunya sambil menangis mencoba untuk
menghalanginya. "Siocia...... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja......"
Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka.
"Biarlah ia menumpahkan
kedukaannya." Dan ia sendiri lalu mengikuti Li Ai untuk menjaga hal-hal yang tidak baik.
Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil
menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia berlutut di depan peti
mati ayahnya.
Semua orang yang berada di situ menjadi terharu dan semua wanita yang melayat, juga para pembantu rumah tangga, ikut pula menangis.
Para tamu laki-laki hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang
dengan wajah muram. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih yang mengenakan pakaian berkabung namun rambutnya tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas bedak dan gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lajim bagi
keluarga yang berkabung.
Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan
jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil berdiri, memandang kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut tanda tak senang dan begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan suara lantang. "Li Ai, engkau baru pulang?"
Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia berseru. "Ibuuu......!"
Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran
Kui itu berkata dengan sikap dingin dan galak.
"Hemm, untuk apa kau tangisi Ayahmu" Kau tahu, Ayahmu mati
karena engkau!
Engkau anak put-hauw (tidak berbakti), anak durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi penyebab kematian Ayahmu!!"
Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai
lemas dalam rangkulan Siang Lan yang cepat menangkap tubuhnya. Ia pingsan lagi!
Siang Lan menjadi marah bukan main.
Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak, ia telah menotok pundak kiri Nyonya Kui.
Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba merasa tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.
"Auuuuww...... aduuuhhh...... aduuhhhh...... ia...... memukulku......! Pengawal, tangkap perempuan jahat ini......!!"
Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan menggunakan tangan kiri menjambak rambut Nyonya Kui dan mencabut pedang yang ia tempelkan ke leher nyonya itu.
"Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu
kusembelih leher perempuan ini!" Ia mengancam dan lima orang
perajurit itu mundur ketakutan.
Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu
membentak.
"Perempuan bermulut lancang dan jahat, siapa engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?"
"Aku...... aku isteri Panglima Kui......!" Nyonya Kui mencoba untuk bersikap galak berwibawa setelah tidak merasa kesakitan lagi.
Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya
itu meringis. "Tak mungkin engkau ibu Adik Ai!"
"Aku...... aku Ibu tirinya......"
"Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!" Siang Lan memaki dan memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu semakin kesakitan. Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang Panglima Kui. Seorang dari mereka maju dan berkata kepada
Siang Lan dengan sikap hormat.
"Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li,bukan" Kami dulu membantu Kui Ciang-kun ketika menangkap para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona."Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk.
"Benar, aku Hwethian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai pulang setelah kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan.
Adik Li Ai menderita setelah ditawan penjahat dan kini kematian Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah memaki dan memarahinya"
He, perempuan busuk, apa engkau
sudah bosan hidup" Aku akan membunuhmu agar rohmu menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas kejahatan mulutmu terhadap Adik Li Ai!"
Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya
semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita itu menjadi pucat sekali,
tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siang Lan, membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata dengan suara terputus-putus.
"Ampunkan saya...... ampunkan saya...... karena terlalu sedih saya
memarahi Li Ai...... ampuni saya, Li-hiap........"
Ia meratap dengan tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai dibawah tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing
saking ngerinya!
Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang
masih pingsan dan membawanya kembali ke dalam kamar gadis
itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu menghiburnya.
Dua orang pembantu pribadi Li Ai membantunya dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li Ai.
Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi
dan berganti pakaian bersih. Lalu mengajaknya makan yang telah
dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.
"Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan sadarlah bahwa semua yang telah terjadi tidak cukup untuk ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap hidup sehat agar dapat melampiaskan dendam sakit hatimu
kepada mereka yang telah membuat engkau menderita."
"Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw yang menculikku"
Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orangorang Pek-lian-kauw amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian
seperti engkau........"
"Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat."
"Benarkah, Enci?" terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini
dan ia mau diajak makan. Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang merasa dekat dengan gadis itu karena senasib, gadis itu lalu keluar bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di
depan peti jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi,
hanya air matanya saja menetes-netes ketika bersembahyang.
Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia bersembunyi di dalam kamarnya.
Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li
Ai kembali ke dalam kamarnya.
"Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan
selamat. Aku pamit hendak melanjutkan perjalanan," kata Siang
Lan. Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwe-thian Mo-li.
"Enci, jangan tinggalkan aku......!" katanya sambil merangkul kedua kaki Siang Lan. "Aku tidak mau tinggal di rumah ini, tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku."
Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali.
"Jangan begini, Adik Li Ai. Mari kita bicara baik-baik.
Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana" Jangan
khawatir kepada ibu tirimu, aku sebelum pergi akan mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan
datang memenggal kepalanya!"
"Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di
sini. Bahkan keadaanku...... sudah begini...... kalau sampai diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang.
Jangan tinggalkan aku, Enci. Kalau kautinggalkan, kukira...... lebih
baik aku bunuh diri dari pada hidup menanggung aib dan malu. Aku
ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau sahabatmu, atau...... pembantumu. Aku mau mengerjakan apapun juga untukmu asal boleh ikut denganmu.
Ingat, engkau hendak mengajarkan ilmu silat padaku seperti janjimu!"
Siang Lan tersenyum. "Ikut dengan aku" Li Ai, engkau seorang
gadis bangsawan, puteri seorang panglima. Bagaimana hendak ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh kekerasan" Apakah tidak lebih baik, kalau engkau tidak mau tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu"
Engkau tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu."
"Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang
gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda pula, tercemar, aku malu,
Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka.
Kalau engkau kelak mengetahui....... ah, betapa akan malunya aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!"
Air mata menetes-netes dari sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena terlalu banyak menangis. Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau ia memaksakan pendiriannya meninggalkan gadis ini, besar sekali kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!
"Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak
boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu dimakamkan dengan baik.
Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau
tinggal di sini sampai jenazah Ayah dimakamkan."
"Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi" Apakah tidak
lebih baik besok pagi saja?"
Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok Gun malam-malam begini.
Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih akrab.
"Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya"
Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus menyebutmu Enci Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu!
Bagiku engkau seorang dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!"
Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar tidak menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas.
Siang Lan menghela napas panjang. "Li Ai, yang menyebut aku
Iblis Betina adalah golongan sesat karena aku selalu bersikap keras terhadap mereka.
Terhadap orang-orang jahat seperti dua orang tosu yang menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun.
Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi aku
tidak peduli.
Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang tertindas dan menentang kejahatan daripada disebut Dewi akan tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?"
"Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu
yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki she (marga) dan nama
bukan"
Siapa pula Gurumu" Maukah engkau menceritakan tentang riwayatmu, orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat baikmu yang akan kau kunjungi besok?"
"Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk
ikut denganku, engkau berhak mengetahuinya. Akan tetapi
sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan
atau menyebut namaku di depan orang lain.
Bagi orang lain aku ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja."
"Baik, Enci. Aku berjanji."
"Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia
ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan."
"Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku.
Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil
membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong......"
"Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan......!"
"Huss!" Siang Lan memotong. "Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li Ai?"
"Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim
yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu
silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?"
"Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok.
Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong Han Cu.
Ah, jadi mereka sudah menikah?" Siang Lan termenung,merasa betapa hatinya hampa dan kering.
"Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?"
"Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal
bersama suaminya di rumah mertuanya itu.
Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci,karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai.
Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan pernikahan mereka." Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya.
Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia
membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu.
Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan
kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.
"Engkau kenapa, Enci?" Li Ai bertanya melihat perubahan muka
pendekar wanita itu. "Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya akut idak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka.
Aku merasa malu dan bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku."
"Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi.
Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?"
"Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah.
Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang
baru saja kudapatkan."
"Di mana itu, Enci?"
"Di Lembah Selaksa Bunga."
"Ah, alangkah indah nama itu."
"Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh
dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok
(Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga)."
"Perkumpulan wanita, Enci" Anggautanya semua wanita?"
"Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada
tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah
Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat."
"Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu,
Enci!" Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari
lamanya.
Setelah jenazah Kui Seng dimakamkan, ia mengajak Li
Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.
"Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi yang lebih berhak adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya ibu tirimu.
Maka engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau ikut denganku, engkau akan tinggal di sebuah bukit sunyi dan aku
bukanlah orang kaya."
"Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini" Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi dan tidak ingin mengajakku?" tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh
kegelisahan.
"Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah tinggal di tempatku, meninggalkan semua kemewahan ini."
"Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci" Bagaimanapun juga, aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu tiriku. Kalau andaikata engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi
meninggalkan rumah ini."
Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?"
"Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah.
Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang
baru saja kudapatkan."
"Di mana itu, Enci?"
"Di Lembah Selaksa Bunga."
"Ah, alangkah indah nama itu."
"Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh
dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok
(Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga)."
"Perkumpulan wanita, Enci" Anggautanya semua wanita?"
"Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada
tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah
Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat."
"Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu,
Enci!" Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari
lamanya.
Setelah jenazah Kui Seng dimakamkan, ia mengajak Li
Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.
"Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi yang lebih berhak adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya ibu tirimu.
Maka engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau ikut denganku, engkau akan tinggal di sebuah bukit sunyi dan aku
bukanlah orang kaya."
"Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini" Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi dan tidak ingin mengajakku?" tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh
kegelisahan.
"Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah tinggal di tempatku, meninggalkan semua kemewahan ini."
"Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci" Bagaimanapun juga, aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu tiriku. Kalau andaikata engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi
meninggalkan rumah ini."

"Aku sama sekali tidak keberatan kalau engkau ikut aku, bahkan
aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau merelakan semua harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya terhadapmu amat buruk itu. Kalau begitu, kemasi barangmu dan mari kita berangkat."
"Nanti dulu, Enci!"
"Ada apalagi, Li Ai?"
"Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu
tiriku memang selalu membenciku, biarpun hal itu ia sembunyikan
dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak
boleh semuanya jatuh ke tangannya.
Biarlah gedung ini karena gedung ini merupakan pemberian pemerintah yang tentu akan diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan Ibu kandungku, semua itu harus kubawa. Tentu kita dapat
mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!"
"Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku
mendukungmu, Li Ai."
"Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau
aku membawa harta benda Ayah."
Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata
kamar itu terkunci, "Hemm, kamar ini tentu dikunci oleh Ibu tiriku.
Enci, kita dobrak saja pintunya."
"Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau
berhak memegang kunci itu."
Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri.
Mereka melihat Nyonya Kui sedang bicara dengan seorang lakilaki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama
Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.
"Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku," kata
Li Ai. "Aku...... tidak tahu........" jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.
"Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku
yang boleh membuka kamar itu, dan aku berhak untuk memasuki
kamar Ayahku." "Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas rumah dan semua harta benda Ayahnya.
Sebaiknya engkau serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan untuk membela Adik Kui Li Ai!" kata Hwe-thian Mo-li.
Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah kunci dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Li Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.
Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka
pintu kamar mendiang Panglima Kui yang cukup luas itu. Karena sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda berupa uang emas dan juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada Siang Lan untuk membukanya dengan paksa.
Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu
mengambil harta benda yang banyak dari almari, membungkusnya
dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat,
maka Siang Lan membantu membawanya dengan menggantung
bungkusan kain itu punggungnya. Li Ai sendiri menggendong
buntalan berisi pakaiannya.
Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi
kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita pelayan yang setia dan
sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai
di luar gedung. Li Ai memberi beberapa potong uang emas kepada
mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai pergi,
mereka pun akan meninggalkan gedung itu.
Nyonya Kui adalah seorang wanita yang galak dan membenci Li Ai sehingga para pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan menghadapi gangguan dan halangan keluar dari gedung itu. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan terus menuntun dua ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung.
Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan keluar dari kota raja.
Ternyata bahwa biarpun Li Ai
tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang
puteri panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang
kuda.
Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu
gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi, mereka melihat
segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera
berkata kepada Siang Lan dengan lirih dan tampak gelisah.
"Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada
hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa mereka.....?"
"Biar aku yang menghadapi mereka!" kata Siang Lan tenang saja.
Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena
dia adalah perwira yang tadi ia lihat sedang bercakap-cakap dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai memasuki ruangan itu.
Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Yang berada di belakang Perwira Can adalah orang-orang yang dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu para perajurit yang berpakaian preman.
Biarpun mereka tidak mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas orang itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap orang-orang yang biasa berbaris dalam pasukan.
Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan melompat turun dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan orang itu. Dengan tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan berkata dengan suara tenang dan mengejek.
"Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang
perjalanan dua orang wanita?"
Perwira Can yang mempunyai sebatang pedang yang tergantung
di pinggangnya, menjawab dengan suara galak.
"Kami tidak ingin mengganggu kalian berdua, hanya minta agar kalian menyerahkan harta benda yang kalian rampas dari dalam gedung Panglima Kui agar dapat kami serahkan kembali kepada keluarganya!"
Siang Lan tersenyum. "Maksudmu diserahkan kepada keluargamu, yang menjadi isteri mendiang Panglima itu"
Ketahuilah, harta itu menjadi hak milik Nona Kui Li Ai, maka ia membawanya pergi. Kami bukan merampas, akan tetapi kulihat
kalian ini perajurit-perajurit yang agaknya ingin menjadi perampok!
Perwira Can, kalau engkau masih ingin hidup, bawa pasukanmu
pergi dan jangan ganggu kami!"
"Heh, Hwe-thian Mo-li, siapa tidak tahu bahwa engkau adalah
seorang Iblis Betina yang jahat" Nona Kui Li Ai adalah seorang gadis bangsawan yang lembut, pasti engkau yang membujuknya untuk melarikan diri dan merampas harta benda keluarga Kui!" bentak perwira itu. Siang Lan marah sekali.
Tanpa banyak cakap lagi ia sudah
mencabut pedangnya dan menyerang perwira itu dengan gerakan
cepat.
"Sing-tranggg......!" Perwira Can juga sudah mencabut pedangnya
dan menangkis. Ternyata perwira itu cukup tangguh dan Siang Lan
segera dikepung dan dikeroyok belasan orang!
"Kalian sudah bosan hidup!" bentaknya dan begitu ia mempercepat gerakan pedangnya, dua orang pengeroyok telah roboh mandi ruang darah!
Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar dua ekor kuda itu meringkik dan begitu ia menoleh, ia terkejut sekali melihat Li Ai sudah ditangkap! Dua orang anak buah Perwira Can memegangi kedua lengannya dan seorang lagi menempelkan golok di leher gadis bangsawan yang meronta-ronta itu.
"Lepaskan, kalian orang-orang jahat! Lepaskan aku!" Li Ai meronta-ronta namun apa dayanya seorang gadis lembut seperti ia menghadapi dua orang laki-laki yang kuat itu. Kedua lengannya telah ditekuk ke belakang oleh dua orang itu.
"Ha-ha, Hwe-thian Mo-li, menyerahlah kalau tidak ingin melihat Nona Kui kami bunuh lebih dulu!" bentak Perwira Can sambil
menahan serangan, diikuti oleh para anak buahnya.
Sejenak Siang Lan tertegun dan merasa tak berdaya. Jelas bahwa
kalau ia bergerak hendak menyerang tiga orang yang menawan Li
Ai itu, gadis itu pasti akan tewas karena sekali golok yang menempel di leher itu digerakkan, kematian Li Ai tak dapat dihindarkan lagi!
"Enci, jangan pedulikan mereka! Mereka hanya menggertak!
Mereka tidak berani membunuhku karena keluarga Ayah tentu akan menuntut. Perwira Can, manusia busuk, hayo bunuh aku kalau kau berani! Enci, teruskan hajar mereka, aku tidak takut mati!" teriak Li Ai.
Mendengar ini, Siang Lan tersenyum dan kembali sinar kilat pedangnya berkelebat menyambar dan dua orang lagi pengeroyok roboh dibabat pedangnya.
Tiba-tiba tampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan Siang Lan telah muncul dua orang yang berpakaian seperti tosu.
Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, kedua tangannya memegang siang-to (sepasang golok) sedangkan orang kedua yang berusia sekitar enampuluh lima, beberapa tahun lebih tua daripada tosu pertama, berwajah pucat bermata sipit,rambutnya sudah putih semua dan tubuhnya tinggi kurus,memegang pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri.
Tosu pertama yang bermuka hitam membentak, "Hwe-thian Mo-li,iblis betina, engkau harus menebus kematian dua orang suteku dengan nyawamu!" Sepasang golok di tangannya menyambar dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. Siang Lan cepat menggerakkan pedangnya menangkis ke kanan kiri.
"Trang-trangg......!" Gadis itu merasa betapa tenaga tosu muka hitam ini jauh lebih kuat dari tenaga Perwira Can sehingga akan merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.
"Awas, Enci.
Pendeta siluman muka hitam itulah yang menculikku!"
teriak Li Ai yang masih dipegangi kedua lengannya oleh dua orang
anak buah Perwira Can. Memang Li Ai benar.
Perwira Can tidak berani membunuhnya karena Li Ai mempunyai dua orang paman, adik-adik ayahnya,yang menjadi pembesar di kota raja dan kedudukan mereka lebih tinggi daripada kedudukan Perwira Can, maka kini ia hanya
dipegangi dua orang anak buah tanpa diancam golok lagi.
Melihat betapa tangkisan pedang Siang Lan dapat membuat
sepasang golok di tangan tosu muka hitam itu terpental, tosu kedua
yang bermuka pucat berseru.
"Siancai! Tenaga saktimu boleh juga, Hwe-thian Mo-li!" Dan dia
pun menyerang dengan pedang di tangan kanan yang menyambar
ke arah leher Siang Lan disusul ujung bulu kebutan yang tiba-tiba
menjadi kaku itu menotok ke arah ulu hati!
Sungguh berbahaya sekali serangan tosu bermua pucat itu. Cepat ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan
tangan kirinya dengan tenaga sin-kang menangkis bulu kebutan
berwarna putih itu.
"Cringg...... plakk!" Siang Lan berhasil menangkis pedang dan kebutan, akan tetapi ia terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuat! Tahulah ia bahwa tosu berwajah pucat ini memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main dan merupakan lawan yang amat tangguh.
Menghadapi dua orang lawan seperti itu dapat membahayakan dirinya. Akan tetapi gadis perkasa yang tidak pernah mengenal takut ini sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya untuk mengamuk melawan dua orang tosu yang lihai itu.
Sementara itu, Perwira Can dan anak buahnya yang merasa agak gentar terhadap Siang Lan, hanya mengepung dari jarak aman seolah hendak menutup jalan keluar gadis itu agar tidak mampu melarikan diri!
Siang Lan mengamuk mati-matian, namun ia segera terdesak karena kedua orang lawannya, terutama tosu muka pucat,memang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Melawan tosu muka pucat itu saja belum tentu ia dapat menang, apalagi kini
dikeroyok dua, padahal kepandaian tosu muka hitam itu juga hebat
sekali.
Biarpun terdesak hebat, Siang Lan tidak mempunyai niat sedikit
pun juga untuk melarikan diri. Tak mungkin ia melarikan diri dan meninggalkan Li Ai. Ia akan melindungi Li Ai sampai tidak mampu melawan lagi!
Tekadnya yang besar ini membuat ia masih mampu bertahan, walaupun lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebukan dan dua orang anak buah perajurit yang tadinya memegangi kedua lengan Li Ai, berteriak dan roboh tak dapat bergerak lagi!
Ternyata yang merobohkan mereka adalah seorang laki-laki setengah tua, berusia empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan lembut, pakaiannya sederhana.
Dia merobohkan dua orang yang tadi meringkus Li Ai hanya dengan tamparan dari jarak jauh dan kini dia melompat dengan ringannya
ke sebelah Siang Lan.
"Hwe-thian Mo-li, lindungi dan larikan gadis itu dari sini, biar aku
yang akan menghadapi dua orang sesat Pek-lian-kauw ini!" katanya lembut namun berwibawa.
Setelah berkata demikian, dia bergerak maju dan dengan hanya
menggunakan ujung lengan bajunya yang panjang, dia menyambut serangan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu!
Namun, tangkisan kain ujung lengan baju itu membuat senjata dua
orang tosu itu terpental dan mereka merasa betapa tangan mereka
tergetar hebat!
Siang Lan yang telah melompat mundur, memandang penuh
perhatian dan ia merasa heran sekali bagaimana orang itu dapat mengenal julukannya. Ia belum pernah melihat orang ini dan dari beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Baru tiga jurus saja dua orang tosu
itu sudah terdorong mundur! Ia menoleh dan melihat bahwa Li Ai
sudah terbebas dari pegangan dua orang anak buah Perwira Can
yang kini sudah menggeletak tak bergerak.
Perwira Can yang memang sudah gentar terhadap Siang Lan, kini mengerahkan sisa anak buahnya untuk membantu dua orang tosu mengeroyok laki-laki yang menolong Siang Lan itu.
"Mari, Li Ai!" Ia berseru dan menyambar tubuh gadis itu, dibawanya lari ke arah dua ekor kuda mereka. Tak lama kemudian mereka
berdua sudah melarikan kuda dengan cepat melanjutkan perjalanan menuju Lembah Selaksa Bunga.
Laki-laki yang menolong Siang Lan itu bukan lain adalah Sie Bun Liong! Peristiwa di malam jahanam di mana dalam keadaan setengah mabok dan terpengaruh racun perangsang, secara hampir tidak sadar dia telah melakukan perkosaan terhadap Hwethian Mo-li.
Dia merasa amat menyesal dan duka, dan dia mengambil keputusan untuk menebus dosanya dengan melindungi
Siang Lan dan menurunkan ilmunya kepada gadis itu agar kelak gadis itu dapat membalas dendam dan membunuh musuh besar yang telah menodainya, yaitu Thian-te Mo-ong atau dia sendiri!
Untuk dapat mencapai keputusannya ini dengan baik, dia harus menyamar menjadi dua orang, yaitu pertama menyamar sebagai Thian-te Mo-ong yang memakai topeng kayu dan kedua menyamar sebagai pelindung dengan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)!
Nama aselinya, Sie Bun Liong, tidak dipakainya lagi!
Melihat kehebatan lawan yang membela Hwe-thian Mo-li, dua
orang tosu Pek-lian-kauw menjadi penasaran.
"Tahan!" seru tosu berwajah pucat.
Mendengar ini, semua orang menghentikan perkelahian dan tosu
itu memandang tajam penuh selidik kepada lawannya.
"Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan
kami" Kami sedang membantu pasukan yang hendak menangkap
dua orang gadis yang mencuri harta milik keluarga Kui!"
Sie Bun Liong yang kini menggunakan nama julukan Bu-beng-cu,
tersenyum menjawab terang. "Hwa Hwa, engkau seorang datuk
masih suka memutar-balikkan fakta."
"Engkau mengenal kami?" bentak tosu berwajah pucat yang
bernama Hwa Hwa Hoat-su, datuk sesat yang jarang turun tangan
sendiri karena sudah banyak saudara dan murid yang lebih muda
mengurus semua masalah di Pek-lian-kauw.
"Tentu saja aku mengenal kalian, Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa
Cin-jin. Seperti kukatakan tadi, kalian memutar-balikkan kenyataan.
Nona Kui Li Ai membawa hartanya sendiri, peninggalan Ayahnya,
yang hendak merampok harta keluarga Kui adalah kalian orangorang Pek-lian-kauw yang agaknya bekerja sama dengan pasukan yang menyamar ini!"
"Keparat, siapa engkau?" bentak Hoat Hwa Cin-jin, marah dan terkejut karena kerja sama Pek-lian-kauw dengan Perwira Can telah diketahui.
"Namaku tidak ada, sebut saja aku Bu-beng-cu!"
"Manusia sombong!" Tiba-tiba Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan...... kebutan berbulu putih itu terbang melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu menyerang ke arah mukanya.
"Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?" bentak Bubeng-cu dan, sekali tangannya didorongkan ke arah kebutan itu,senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa Hoat-su!
Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan,seperti seekor biruang dia sudah menerjang maju, menggerakkan pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin tidak tinggal diam. Dia sudah menerjang pula dengan siang-to (sepasang golok) di tangannya.
Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah menjadi bayang-bayang yang cepat sekali gerakannya. Bayangan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua
orang pengeroyoknya yang amat lihai itu.
Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan
Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-kauw atau dengan siapapun juga.
Selama bertahun-tahun dia hanya
memperdalam ilmu dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya.
Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada
adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu
(Ketua Ban-hwa-pang) akan mendatangkan malapetaka baginya.
Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun
perangsang dia telah memperkosa Hwe-thian Mo-li yang disusul
dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang,karena dia harus melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali
tidak dikehendakinya.
Dia menyadari bahwa peristiwa malam jahanam itu akan membawa akibat panjang yang akan merusak
ketenteraman hidupnya. Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah pergi jauh dan bebas dari ancaman orang-orang ini, maka setelah melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pohon-pohon!
Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk Bu-beng-cu yang tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah terdengar di dunia kang-ouw.
Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang
dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu dua orang tokoh Pek-liankauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya tewas dan terluka!
**********
Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang gadis bangsawan yang sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat taman-taman yang indah milik para bangsawan di kota raja,bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman
bunga itu bukan apa-apa.
Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti taman-taman bunga yang terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti dalam tahanan atau penjara.
Sedangkan di Lembah Selaksa Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat jauh
ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas
lepas melayang di udara! Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita.
Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir,
mendatangkan kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan mata membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah,bentuk dan warna yang menyenangkan hati kita.
Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suara-suara merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita dapat menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan dan selanjutnya.
Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui
anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali menjerumuskan
kita.
Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang
semestinya menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu
dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan
memperbudak kita.
Kalau sudah demikian, akan celakalah kita.
Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu, seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat diinginkan.
Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu, telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan kebosanan, cepat atau lambat. Nafsu mendorong kita untuk
mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan
daripada apa yang telah kita dapatkan.
Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas sampai akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam pengejaran itu.
Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang
diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan.
Penyalur berkat Tuhan berupa kepandaian,kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan namanya sehingga orang-orang yang menerima
penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama Tuhan.
Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa
Bunga dan melihat keindahan lembah itu, juga tidak bertahan lama.
Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat taman bunga alami itu.
Karena sering melihat, maka lembah itu pun tampak "biasa" saja, tidak ada keanehannya, tidak ada
keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi.
Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung merindukan pantai laut dan orang-orang pantai laut merindukan
pegunungan.
Orang-orang kota menyukai dusun yang hening menyejukkan, dan orang-orang dusun menyukai kota yang ramai menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.
Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang dan kagum melihat Lembah Selaksa Bunga dan senang tinggal bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian ia sudah merasa bosan.
Apalagi kalau ia teringat akan penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih hidup.
Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan
diri karena peristiwa perkosaan itu selalu menghantuinya, terutama
di waktu malam.
Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu seringkali membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang, dihormati,disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak pemuda!
Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga sungguh indah sekali. Matahari senja dengan sinarnya yang lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak kemerah-merahan dan matahari sendiri sudah mulai turun
bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih.
Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam
lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari akan semua keindahan
itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang baginya merupakan seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah.
Pemuda itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya
raya, juga dekat hubungannya dengan para pejabat.
Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan
Bong datang berkunjung, ditemani puteranya, yaitu Bong Kin yang
biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong).
Karena tidak ingin mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam taman bunga yang terdapat di samping gedung Panglima Kui.
Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang
mencari angin dalam taman. Tanpa disengaja, dara dan pemuda itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan itu disambut baik dan
berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka.
Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan cinta dan pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya. Biarpun ia
belum menerima Bong Kin yang menyatakan cinta itu sebagai pria
pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin.
Pemuda itu selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh rayuan yang menggetarkan hatinya.
Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin yang menjadi sahabatnya, ia semakin terpukul dan merasa kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta kepadanya itu membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang telah ternoda.
Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai menangis tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.
Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai
terkejut dan mengangkat muka memandang. Kiranya Siang Lan
sudah berdiri di belakangnya.
"Li Ai, mengapa engkau menangis" Apakah engkau masih berduka
karena nasibmu dahulu itu?"
Li Ai menggelengkan kepala.
"Hemm, apakah engkau merasa menyesal rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?" meninggalkan Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab. "Tidak, Enci,aku senang sekali tinggal di sini bersamamu. Aku hanya...... sedih teringat kepada...... seorang sahabat baikku......"
"Sahabat baikmu" Siapakah itu, Li Ai?"
"Dia...... dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja."
"Hemm, seorang pemuda?"
Wajah ayu itu menjadi kemerahan. "Dia bernama Bong Kin dan sebelum terjadi malapetaka menimpa keluargaku, Bong Kongcu itu telah menyatakan bahwa dia...... cinta padaku dan akan meminangku......"
"Ah, dan engkau juga cinta padanya?"
Li Ai hanya mengangguk perlahan dan menundukkan mukanya.
"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan kuberitahuan bahwa engkau berada di sini. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia akan datang dan meminang ke sini."
"Tapi...... tapi, Enci, keadaanku sekarang...... aku sudah ternoda...... bagaimana mungkin aku menjadi isterinya?" Li Ai terisak sedih.
"Mengapa tidak mungkin" Kalau memang Bong Kongcu itu mencintamu, Li Ai, hal itu pasti bukan merupakan halangan. Kau tunggu saja di sini, aku akan ke kota raja mencarinya dan memberitahu padanya bahwa engkau sekarang tinggal di sini.
Kalau dia mencintamu tentu dia akan datang menjemputmu di sini."
"Akan tetapi...... kalau dia datang, apa yang harus kuperbuat" Apa yang harus kukatakan padanya" Apakah aku harus berterus terang mengatakan bahwa aku telah...... telah...... dinodai dua orang tokoh Pek-lian-kauw jahanam keji itu"
Enci aku takut......"
"Li Ai, kalau engkau memang mencintanya, engkau tidak perlu
takut dan kalau dia memang mencintamu, dia akan memaklumi
keadaanmu yang tidak berdaya dan menaruh kasihan kepadamu.
Memang sebaiknya berterus terang, karena kalau engkau sembunyikan dan kemudian dia mengetahui, hal itu sungguh tidak baik jadinya. Nah, kautunggu saja di sini!"
Siang Lan lalu pergi meninggalkan Lembah Selaksa Bunga menuju ke kota raja. Dalam perjalanan yang dilakukannya dengan cepat ini, Siang Lan banyak melamun. Ia tidak dapat melupakan pria yang telah menolongnya ketika ia dikeroyok tokoh-tokoh Pek-liankauw yang lihai.
Bagaimana mungkin ia dapat melupakan orang.itu" Tanpa pertolongannya, tentu ia dan Li Ai telah tewas atau terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw. Ia merasa
menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya itu.
Sudah dua kali ia ditolong orang tanpa mengenal penolongnya.
Yang pertama ketika ia dikeroyok oleh Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memperkosa Li Ai, ia dibantu orang yang tidak memperlihatkan diri dengan sambitan batu ke arah dua orang lawannya itu, kemudian ketika ia roboh pingsan, ada yang mengobatinya sehingga ia terbebas dari racun.
Ia tidak sempat melihat siapa penolongnya yang pertama itu.
Kemudian, untuk kedua kalinya ia ditolong, bahkan diselamatkan orang dan ia masih sempat melihat penolongnya walaupun ia tidak
sempat mengetahui siapa nama penolongnya itu. Apakah dia juga
yang dulu pernah menolongnya tanpa ia lihat orangnya" Ia tidak
dapat melupakan wajah laki-laki penolongnya itu dan ingin sekali
ia bertemu untuk sekadar mengucapkan terima kasihnya.
Bahkan ada harapan yang lebih dari sekadar mengucapkan terima kasih, yaitu ia ingin sekali memperdalam ilmu silatnya, berguru kepada laki-laki itu. Dari gerakan orang itu, ia tahu benar bahwa dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan kalau ia dapat berguru kepadanya, mungkin ia akan mampu kelak membalas dendamnya kepada Thian-te Mo-ong, jahanam berkedok setan
yang telah memperkosanya dan menghancurkan kebahagiaan
hidupnya.
Akan tetapi, ke mana ia harus mencari penolongnya itu"
Ia hanya pernah melihatnya, mengenal wajahnya akan tetapi tidak
tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya.
Teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa kecewa dan murung.
Ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat sekali menuju ke kota raja. Kalau ia sendiri tidak mungkin membangun penghidupannya yang sudah runtuh dan mustahil dapat hidup berbahagia, setidaknya ia dapat membantu Li Ai untuk mulai hidup
baru, berbahagia bersama pria yang dicintanya!
Bong Kin atau yang biasa dipanggil Bong Kongcu (Tuan Muda Bong) adalah putera tunggal Bong Wan-gwe (Hartawan Bong), seorang pedagang rempah-rempah yang kaya raya di kota raja.
Seperti sudah lajim terjadi, baik di kota-kota daerah atau di ibu kota
(kota raja), para hartawan selalu berhubungan dekat dan akrab
dengan para pembesar atau pejabat tinggi. Dua golongan masyarakat ini memang saling membutuhkan dan saling bantu.
Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu dengan harta yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan keuntungan kedua pihak. Yang kaya menjadi semakin kaya dan Sang Pembesar pun
memperoleh hasil yang ribuan kali lipat besarnya daripada gajinya
yang dia dapatkan dari pemerintah.
Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya, yaitu
berdagang rempah-rempah menjadi semakin besar karena dengan
perlindungan pembesar yang berwenang, dia memiliki monopoli
atas bermacam-macam rempah-rempah terpenting sehingga dia
dapat mengendalikan harga hasil bumi itu dan memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda.
Tentu saja sebagian keuntungan
itu lari ke dalam kantung pembesar yang melindunginya.
Siapa yang menderita rugi" Tentu saja pertama adalah rakyat akecil, terutama para petani yang menanam rempah-rempah itu karena harganya ditekan serendah-rendahnya oleh Hartawan Bong sebagai pembeli tunggalnya.
Hubungan Hartawan Bong dengan para pembesar di kota raja amat dekat. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk dapat
mengikat persahabatan dengan para pembesar. Maka, Hartawan
Bong mengenal hampir seluruh pejabat sipil maupun militer yang
berkuasa waktu itu di kota raja, termasuk mendiang Panglima Kui
Seng.
Biarpun dia tidak membutuhkan bantuan dari panglima ini, juga sebaliknya Panglima Kui tidak pernah menerima semacam "upeti" darinya, namun tetap saja Hartawan Bong mendekatinya dengan cara mengirimkan hadiah barang atau makanan pada waktu-waktu
tertentu, seperti hari raya dan sebagainya. Bahkan dia sering pula
datang berkunjung sekadar untuk bercakap-cakap.
Dalam kesempatan ini, Bong Kongcu bertemu dan berkenalan dengan Kui
Li Ai dan pemuda hartawan itu jatuh cinta kepada Li Ai.
Bong Kongcu bukan seorang pemuda alim.
Pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan gagah, pesolek dan perayu ini terkenal di rumah-rumah pelesir termahal di kota raja. Dia sudah banyak pengalaman dan bergaul dengan banyak wanita cantik.
Akan tetapi baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Kui Li Ai. Dia memang belum menikah dengan resmi walaupun sejak berusia duapuluh tahun dia telah mempunyai beberapa orang gadis simpanan sebagai selirnya.
Dia melihat keuntungan besar kalau dapat menikahi Kui Li Ai sebagai isterinya. Pertama, Kui Li Ai memiliki kecantikan yang memang menggairahkan di samping memiliki pendidikan tinggi dan juga sebagai puteri panglima tentu saja namanya terhormat.
Kedua, kalau dia menjadi mantu Panglima Kui, tentu saja diapun
memiliki perlindungan yang kuat dan martabatnya akan naik di mata penduduk kota raja. Bahkan ayahnya juga sudah merasa setuju sekali dan mendukungnya kalau dia ingin berjodoh dengan puteri Panglima Kui.
Akan tetapi walaupun dia sudah menyatakan cintanya kepada Li
Ai, gadis itu belum menjawab, maka dia belum berani mengajukan
pinangan. Kemudian, datang malapetaka menimpa keluarga Kui
dengan diculiknya Li Ai dan berakibat kematian Panglima Kui Seng. Kemudian, Bong Kongcu mendengar bahwa Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar wanita yang terkenal liar dan ganas bernama Hwe-thian Mo-li.
Tentu saja dia merasa kecewa sekali karena keinginannya untuk menikah dengan Li Ai dan menjadi mantu Panglima Kui telah gagal! Dia tidak tahu ke mana harus mencari gadis yang dicintanya itu dan biarpun dia telah menghamburkan uang untuk membiayai pencariannya terhadap Li Ai dengan mengerahkan orang-orangnya, tetap saja tidak berhasil menemukan gadis itu.
Bong Kongcu mencoba untuk menghibur hatinya dengan bersenang-senang dengan banyak gadis penghibur yang cantik,
namun tetap saja dia setiap hari murung teringat kepada Li Ai yang
membuatnya tergila-gila. Bagi seorang pemuda yang sedang kasmaran, tergila-gila seperti dia, tidak ada wanita lain yang lebih cantik menarik dan menggairahkan selain gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Pada suatu pagi, ketika Bong Kin sedang duduk termenung dan
teringat kepada Kui Li Ai, wajahnya muram dan hidangan makanan
kecil yang sejak tadi ditaruh oleh pelayan di depannya, di atas
meja, tak disentuhnya, muncullah seorang pelayan wanita.
"Kongcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu dengan Kongcu."
Bong Kongcu memandang pelayannya itu dengan mata bersinar.
"Seorang gadis" Ia...... Nona Kui Li Ai......?"
"Bukan, Kongcu. Ia seorang gadis yang cantik dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Ia tidak memperkenalkan nama,hanya bilang bahwa ia mempunyai urusan yang amat penting dan katanya Kongcu tentu akan senang mendengarnya."
Mendengar ini, Bong Kin lalu bangkit dan melangkah keluar dengan heran dan ingin sekali melihat siapa gadis itu. Setelah tiba di luar dia merasa heran sekali melihat seorang gadis yang cantik jelita dan belum pernah dilihatnya. Yang menarik hatinya, gadis ini bukan seperti gadis cantik lainnya yang pernah dikenalnya.
Gadis ini selain cantik jelita juga memiliki sikap gagah, dengan sinar mata tajam dan terutama yang membuat ia gagah berwibawa adalah
sikapnya ketika berdiri tegak memandangnya.
Sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya menambah kegagahannya. Harus dia akui bahwa selama dia bertualang di antara para gadis cantik, belum pernah dia bergaul dengan gadis cantik yang begini gagah sehingga memiliki daya
tarik yang lain daripada gadis lain yang pernah dikenalnya.
"Nona, siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Bong Kin dengan senyum ramah dan sikapnya yang sopan. Dia memang pandai membawa diri, pandai pula bersikap untuk mendatangkan kesan baik dalam hati para wanita.
"Apakah engkau yang bernama Bong Kin, putera Bong Wan-gwe?"
tanya gadis itu yang bukan lain adalah Hwe-thian Mo-li.
Pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan pula itu tidak membuat Bong Kongcu menjadi marah. Dia tetap tersenyum.
"Benar sekali, Nona. Aku bernama Bong Kin dan kalau Nona memiliki keperluan denganku, silakan masuk dan duduk di kamar tamu di mana kita dapat bicara dengan baik, tidak berdiri saja disini.
Silakan, Nona."Senang juga hati Siang Lan melihat sikap dan penyambutan yang ramah dan sopan ini. Ia mengangguk dan mengikuti pemuda itu memasuki sebuah ruangan tamu.
Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar Siang Lan berkata.
"Bong Kongcu, aku datang sebagai utusan Nona Kui Li Ai......"
Siang Lan menghentikan ucapannya ketika melihat betapa wajah pemuda itu tampak berseri, sepasang matanya terbelalak dan dia tampak girang sekali.
"Aih, berita ini sungguh membahagiakan sekali, Nona! Tolong
katakan di mana kini Nona Kui Li Ai dan berita apa yang engkau bawa darinya?" Hati Siang Lan senang melihat sikap pemuda ini yang ternyata tampak girang sekali mendengar tentang Li Ai, menandakan bahwa dia memang mencinta puteri mendiang Panglima Kui itu.
"Nona Kui Li Ai sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga, Bong Kongcu, dalam keadaan sehat dan selamat."
Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan tentang Li Ai yang
meninggalkan rumah keluarga Kui karena tidak suka tinggal bersama ibu tirinya yang galak.
Bagaimana Li Ai kini berada di
Lembah Selaksa Bunga bersamanya.
Setelah menceritakan keadaan Li Ai, Siang Lan menatap tajam wajah pemuda yang tampan itu dan bertanya. "Kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, Bong Kongcu, apakah benar seperti yang kudengar dari Adik Kui Li Ai bahwa engkau cinta padanya?"
Wajah Bong Kin berubah kemerahan, akan tetapi dengan sungguh-sungguh dia berkata, "Sesungguhnya, Nona. Aku amat mencinta Nona Kui Li Ai dan aku merasa sedih sekali akan kematian Ayahnya dan semakin sedih ketika mendengar ia pergi meninggalkan rumahnya. Aku telah bersusah payah berusaha untuk mencarinya selama ini, namun tidak berhasil.
Maka,sungguh girang sekali hatiku mendengar bahwa ia berada di
tempat tinggalmu dalam keadaan sehat dan selamat."
"Kedatanganku ini hendak menegaskan, apakah sampai sekarang
engkau masih tetap mencintanya, Kongcu?"
"Tentu saja, bahkan semakin mencintanya karena aku merasa iba
kepadanya." "Dan engkau menginginkan agar ia menjadi isterimu, Kongcu?"
"Benar, Nona." "Kalau begitu, sekarang engkau boleh meminangnya, Kongcu,karena Adik Li Ai yang merasa hidup sebatang kara telah menyatakan kepadaku bahwa kalau engkau meminangnya, ia
akan menerimanya dan kini siap untuk menjadi isterimu."
Pemuda itu tampak semakin girang. "Aih, kedatanganmu membawa berkat bagiku, Nona! Kalau boleh aku mengetahui,siapakah engkau, Nona" Aku pernah mendengar bahwa Adik Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar berjuluk Hwe-thian Mo-li.
Apakah...... apakah engkau pendekar itu, Nona?"
"Tidak salah, Kongcu. Akulah Hwe-thian Mo-li yang melindungi Nona Kui Li Ai dan ia sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga. Setelah berunding dengannya, maka hari ini aku datang untuk minta ketegasan darimu. Setelah kini engkau menyatakan masih mencintanya dan ingin meminangnya, maka
kuharap engkau suka berkunjung ke tempat kami agar dapat bertemu dan bicara sendiri dengannya."
"Wah, aku senang sekali, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Aku akan segera mengunjunginya di Lembah Selaksa Bunga. Di manakah lembah itu?" Siang Lan menerangkan di bukit mana lembah itu terletak.
Kemudian ia berpamit. "Nah, tugasku telah selesai, aku hendak kembali ke Lembah Selaksa Bunga, menceritakan hal ini kepada adik Kui Li Ai. Kami akan siap menyambut kunjunganmu, Bong Kongcu."
Bong Kin mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian Siang Lan sampai ke depan gedungnya. Setelah gadis itu pergi,dengan girang dia mengabarkan hal itu kepada ayah ibunya.
Bong Wan-gwe, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh gendut berwajah ramah mendengar pemberitahuan puteranya dan dia mengerutkan alisnya.
Dulu, hartawan ini tentu saja merasa senang dan bangga ketika puteranya menyatakan bahwa puteranya jatuh cinta dan memilih Kui Li Ai untuk menjadi calon isterinya. Pada waktu itu,Bong Wan-gwe merasa bangga kalau memiliki mantu puteri Panglima Kui itu.
Akan tetapi sekarang keadaannya sudah lain.
Panglima Kui telah tiada, bahkan dia mati dalam keadaan cemar,yaitu dikabarkan bunuh diri setelah mengkhianati negara dengan membebaskan tiga orang tawanan pemberontak Pek-lian-kauw!
Tidak ada lagi yang patut dibanggakan kalau dia mempunyai
mantu gadis she Kui itu, bahkan akan menurunkan dan merendahkan derajat dan martabatnya!
"Bong Kin, apakah sudah engkau pikir masak-masak sebelum engkau meminang Kui Li Ai" Ingat, keadaan gadis itu tidak seperti dulu lagi. Ayahnya sudah mati dan Panglima Kui yang sudah almarhum itu bukan seorang panglima terhormat lagi, bahkan dianggap pengkhianat.
Masih banyak gadis yang ayahnya memiliki kedudukan tinggi dan lebih terhormat untuk menjadi isterimu. Aku sanggup melamarkan!"
"Tidak, Ayah! Hatiku sudah bulat mengambil keputusan untuk
menikah dengan Kui Li Ai. Aku amat mencintanya, Ayah. Ia gadis
yang paling cantik di dunia ini!"
Hartawan Bong menghela napas panjang. "Jadi sekarang kita akan mengajukan pinangan" Akan tetapi kepada siapa" Siapa yang menjadi pengganti orang tuanya" Siapa yang menjadi walinya?"
"Aku akan pergi dulu mengunjungi di Lembah Selaksa Bunga untuk merundingkan hal ini dengannya, Ayah. Setelah itu baru kita mengajukan pinangan."
"Kin-ji (Anak Kin), engkau hati-hatilah kalau pergi ke sana!" kata Nyonya Bong khawatir. "Ibumu benar, Bong Kin!" kata Bong Wan-gwe. "Tempat itu asing bagimu dan aku mendengar bahwa pendekar wanita yang melindungi Nona Kui itu liar dan ganas.
Melihat julukannya Si Iblis Betina Terbang, mungkin saja ia itu memiliki watak jahat. Maka engkau harus membawa rombongan pengawal untuk melindungimu."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan menunggang kuda, Bong Kin dikawal selosin orang laki-laki yang biasa mengawal kiriman barang-barang berangkat meninggalkan kota raja menuju ke bukit yang telah ditunjukkan Siang Lan.
Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu
silat dan memang pekerjaan mereka menggunakan kekuatan dan ilmu silat untuk mengawal dan melindungi barang atau orang dalam perjalanan.
Pada tengah hari mereka tiba di kaki bukit yang dimaksudkan dan berhenti. Pimpinan rombongan pengawal, seorang laki-laki tinggi
besar bermuka berewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun bernama Gu Sam, berkata kepada Bong Kin.
"Bong Kongcu, di bukit yang disebut Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga) dulu terdapat sebuah perkumpulan bernama Ban-hwapang yang sering melakukan perampasan barang yang dibawa lewat di daerah ini. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini tidak ada lagi orang Ban-hwa-san melakukan perampasan dan kabarnya,Ban-hwa-pang telah dibasmi seorang pendekar wanita."
"Hemm, bukankah yang membasmi itu pendekar wanita berjuluk Hwe-thian Mo-li?" tanya Bong Kin.
Gu Sam tampak terkejut. "Benar sekali, Kongcu! Bagaimana Kongcu dapat mengetahuinya?"
Bong Kin tersenyum bangga. "Hwe-thian Mo-li itu sahabatku!
Kemarin ia datang berkunjung ke rumahku." Dia tidak bicara lebih
lanjut, membiarkan Gu Sam dan orang-orangnya terheran-heran.
Dengan kagum Bong Kin dan para pengawalnya kini mendaki bukit
dan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Daerah perkampungan Banhwa-pang yang baru, termasuk lembah yang indah itu kini dikelilingi pagar bambu runcing yang diatur rapi dan dicat warnawarni sehingga tampak nyeni dan indah.
Di pintu gerbang, yang berada di bawah lereng, sudah berjaga belasan orang anggauta Ban-hwa-pang yang semua terdiri dari wanita. Mereka berpakaian gagah dan terdiri dari tiga regu.
Regu pertama memegang tombak, regu kedua memegang golok dan
regu ketiga memegang pedang, masing-masing terdiri dari lima
orang. Sikap mereka gagah dan wajah mereka rata-rata manis.
Melihat sikap para wanita ini, Bong Kin memerintahkan para pengawal untuk turun dari atas kuda masing-masing. Kemudian Gu Sam melangkah maju memberi hormat kepada seorang wanita berpedang yang agaknya memimpin tiga regu itu karena ia berdiri paling depan dan sikapnya berwibawa.
"Nona, Kongcu kami Bong Kin datang memenuhi undangan Hwethian Mo-li," katanya menirukan perintah majikannya tadi.
"Ban-hwa-pang kami pantang menerima tamu laki-laki. Akan tetapi
karena Pang-cu kami sudah memesan dan kini menunggu Bong Kongcu datang menghadap, kami persilakan Bong Kongcu masuk.
Yang lain tidak boleh masuk!"
"Akan tetapi......!" Gu Sam hendak membantah.
"Tidak ada tapi! Kaum lelaki, tanpa ijin Pang-cu, dilarang masuk perkampungan Ban-hwa-pang!" bentak wanita itu dan limabelas orang rekannya siap meraba gagang senjata mereka.
Bong Kongcu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menunggu di luar dan dia lalu memasuki pintu gapura yang segera tertutup kembali oleh para penjaga wanita.
"Sialan......!" para pengawal itu mengomel.
"Entah apa yang terjadi dengan Ban-hwa-pang," kata pula Gu Sam dan dia mengajak para rekannya untuk menunggu dan mengaso di bawah pohon-pohon tidak jauh dari gapura perkampungan Banhwa-pang itu.
Sementara itu, Bong Kin diantar dua orang pengawal wanita memasuki ruangan tamu di mana Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai sudah duduk menanti. Hwe-thian Mo-li berwajah cerah gembira,akan tetapi Li Ai nampak menundukkan mukanya karena jantungnya berdebar penuh ketegangan dan juga merasa rikuh
dan tidak enak hati.
Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia memang mengharapkan untuk dapat menjadi isteri pemuda yang biasanya bersikap lembut dan sopan itu.
Begitu Bong Kin memasuki ruangan dan melihat Li Ai sudah duduk
di situ, dia segera berseru gembira.
"Nona Kui......! Ah, betapa girang hatiku dapat bertemu denganmu
di sini......!" Hwe-thian Mo-li dan Li Ai bangkit berdiri dan membalas
penghormatan Bong Kin yang sudah menjura sambil merangkap kedua tangan depan dada. "Bong Kongcu, silakan duduk," kata Hwe-thian Mo-li.
Pemuda itu mengucapkan terima kasih dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan dua orang gadis itu, dengan jarak cukup jauh dan sopan. "Aku merasa senang bahwa Bong Kongcu benar-benar datang
berkunjung, hal ini bagiku merupakan bukti akan kesungguhan hati Kongcu.
Sekarang, aku memberi kesempatan kepada Adik Kui Li Ai dan Bong Kongcu untuk membicarakan urusan kalian berdua."
Setelah berkata demikian, Hwe-thian Mo-li bangkit berdiri dan hendak meninggalkan ruangan tamu itu menuju ke dalam.
"Enci......!" Li Ai berseru menahan karena gadis ini merasa malu dan juga takut untuk menceritakan apa yang telah menimpa dirinya seperti yang telah ia sepakati dengan Hwe-thian Mo-li bahwa ia akan berterus terang kepada pemuda itu untuk menguji ketulusan cintanya.
"Li Ai, inilah kesempatan baik bagimu. Jangan sungkan dan malu,
di tanganmu sendirilah terletak nasibmu di kemudian hari."
Setelah berkata demikian dengan cepat Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan itu, menuju ke ruangan dalam di mana ia termenung dan duduk seorang diri. Gambaran topeng kayu yang menyeramkan itu selalu terbayang di depan matanya dan
terkadang tampak bayangan wajah laki-laki setengah tua sederhana dan gagah yang juga penuh rahasia itu, yang telah menolongnya dan yang ingin dia temukan kembali karena ia
mempunyai keinginan untuk berguru kepada penolong yang amat
lihai itu.
Setelah Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan tamu, suasana di situ menjadi hening sekali. Li Ai masih menundukkan mukanya,
tidak berani ia bertemu pandang dengan pemuda yang duduk di depannya, padahal pemuda ini dulu pernah menjadi kenalan baiknya dan mereka sudah sering beramah tamah dan bercakapcakap.
Bong Kongcu yang tidak dapat menahan hatinya lagi untuk berdiam diri. "Kui Siocia (Nona Kui), benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li?"
Terpaksa Li Ai mengangkat mukanya dan baru pertama kali ini sejak pemuda itu datang ia bertemu pandang yang membuat kedua pipinya berubah merah.
Ia melihat betapa sinar mata
pemuda itu masih seperti dulu, masih jelas membayangkan rasa kagum dan cinta kepadanya! Hanya sebentar saja sinar mata gadis....
aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau merelakan semua harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya terhadapmu amat buruk itu. Kalau begitu, kemasi barangmu dan mari kita berangkat."
"Nanti dulu, Enci!"
"Ada apalagi, Li Ai?"
"Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu
tiriku memang selalu membenciku, biarpun hal itu ia sembunyikan
dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak
boleh semuanya jatuh ke tangannya.
Biarlah gedung ini karena gedung ini merupakan pemberian pemerintah yang tentu akan diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan Ibu kandungku, semua itu harus kubawa. Tentu kita dapat
mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!"
"Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku
mendukungmu, Li Ai."
"Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau
aku membawa harta benda Ayah."
Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata
kamar itu terkunci, "Hemm, kamar ini tentu dikunci oleh Ibu tiriku.
Enci, kita dobrak saja pintunya."
"Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau
berhak memegang kunci itu."
Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri.
Mereka melihat Nyonya Kui sedang bicara dengan seorang lakilaki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama
Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.
"Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku," kata
Li Ai. "Aku...... tidak tahu........" jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.
"Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku
yang boleh membuka kamar itu, dan aku berhak untuk memasuki
kamar Ayahku." "Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas rumah dan semua harta benda Ayahnya.
Sebaiknya engkau serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan untuk membela Adik Kui Li Ai!" kata Hwe-thian Mo-li.
Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah kunci dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Li Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.
Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka
pintu kamar mendiang Panglima Kui yang cukup luas itu. Karena sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda berupa uang emas dan juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada Siang Lan untuk membukanya dengan paksa.
Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu
mengambil harta benda yang banyak dari almari, membungkusnya
dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat,
maka Siang Lan membantu membawanya dengan menggantung
bungkusan kain itu punggungnya. Li Ai sendiri menggendong
buntalan berisi pakaiannya.
Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi
kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita pelayan yang setia dan
sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai
di luar gedung. Li Ai memberi beberapa potong uang emas kepada
mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai pergi,
mereka pun akan meninggalkan gedung itu.
Nyonya Kui adalah seorang wanita yang galak dan membenci Li Ai sehingga para pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan menghadapi gangguan dan halangan keluar dari gedung itu. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan terus menuntun dua ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung.
Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka
perlahan-lahan keluar dari kota raja.
Ternyata bahwa biarpun Li Ai
tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang
puteri panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang
kuda.
Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu
gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi, mereka melihat
segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera
berkata kepada Siang Lan dengan lirih dan tampak gelisah.
"Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada
hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa mereka.....?"
"Biar aku yang menghadapi mereka!" kata Siang Lan tenang saja.
Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena
dia adalah perwira yang tadi ia lihat sedang bercakap-cakap dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai memasuki ruangan itu.
Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Yang berada di belakang Perwira Can adalah orang-orang yang dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu para perajurit yang berpakaian preman.
Biarpun mereka tidak mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas orang itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap orang-orang yang biasa berbaris dalam pasukan.
Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan melompat turun dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan orang itu. Dengan tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan berkata dengan suara tenang dan mengejek.
"Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang
perjalanan dua orang wanita?"
Perwira Can yang mempunyai sebatang pedang yang tergantung
di pinggangnya, menjawab dengan suara galak.
"Kami tidak ingin mengganggu kalian berdua, hanya minta agar kalian menyerahkan harta benda yang kalian rampas dari dalam gedung Panglima Kui agar dapat kami serahkan kembali kepada keluarganya!"
Siang Lan tersenyum. "Maksudmu diserahkan kepada keluargamu, yang menjadi isteri mendiang Panglima itu"
Ketahuilah, harta itu menjadi hak milik Nona Kui Li Ai, maka ia membawanya pergi. Kami bukan merampas, akan tetapi kulihat
kalian ini perajurit-perajurit yang agaknya ingin menjadi perampok!
Perwira Can, kalau engkau masih ingin hidup, bawa pasukanmu
pergi dan jangan ganggu kami!"
"Heh, Hwe-thian Mo-li, siapa tidak tahu bahwa engkau adalah
seorang Iblis Betina yang jahat" Nona Kui Li Ai adalah seorang gadis bangsawan yang lembut, pasti engkau yang membujuknya untuk melarikan diri dan merampas harta benda keluarga Kui!" bentak perwira itu. Siang Lan marah sekali.
Tanpa banyak cakap lagi ia sudah
mencabut pedangnya dan menyerang perwira itu dengan gerakan
cepat.
"Sing-tranggg......!" Perwira Can juga sudah mencabut pedangnya
dan menangkis. Ternyata perwira itu cukup tangguh dan Siang Lan
segera dikepung dan dikeroyok belasan orang!
"Kalian sudah bosan hidup!" bentaknya dan begitu ia mempercepat gerakan pedangnya, dua orang pengeroyok telah roboh mandi ruang darah!
Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar dua ekor kuda itu meringkik dan begitu ia menoleh, ia terkejut sekali melihat Li Ai sudah ditangkap! Dua orang anak buah Perwira Can memegangi kedua lengannya dan seorang lagi menempelkan golok di leher gadis bangsawan yang meronta-ronta itu.
"Lepaskan, kalian orang-orang jahat! Lepaskan aku!" Li Ai meronta-ronta namun apa dayanya seorang gadis lembut seperti ia menghadapi dua orang laki-laki yang kuat itu. Kedua lengannya telah ditekuk ke belakang oleh dua orang itu.
"Ha-ha, Hwe-thian Mo-li, menyerahlah kalau tidak ingin melihat Nona Kui kami bunuh lebih dulu!" bentak Perwira Can sambil
menahan serangan, diikuti oleh para anak buahnya.
Sejenak Siang Lan tertegun dan merasa tak berdaya. Jelas bahwa
kalau ia bergerak hendak menyerang tiga orang yang menawan Li
Ai itu, gadis itu pasti akan tewas karena sekali golok yang menempel di leher itu digerakkan, kematian Li Ai tak dapat dihindarkan lagi!
"Enci, jangan pedulikan mereka! Mereka hanya menggertak!
Mereka tidak berani membunuhku karena keluarga Ayah tentu akan menuntut. Perwira Can, manusia busuk, hayo bunuh aku kalau kau berani! Enci, teruskan hajar mereka, aku tidak takut mati!" teriak Li Ai.
Mendengar ini, Siang Lan tersenyum dan kembali sinar kilat pedangnya berkelebat menyambar dan dua orang lagi pengeroyok roboh dibabat pedangnya.
Tiba-tiba tampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan Siang Lan telah muncul dua orang yang berpakaian seperti tosu.
Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, kedua tangannya memegang siang-to (sepasang golok) sedangkan orang kedua yang berusia sekitar enampuluh lima, beberapa tahun lebih tua daripada tosu pertama, berwajah pucat bermata sipit,rambutnya sudah putih semua dan tubuhnya tinggi kurus,memegang pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri.
Tosu pertama yang bermuka hitam membentak, "Hwe-thian Mo-li,iblis betina, engkau harus menebus kematian dua orang suteku dengan nyawamu!" Sepasang golok di tangannya menyambar dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. Siang Lan cepat menggerakkan pedangnya menangkis ke kanan kiri.
"Trang-trangg......!" Gadis itu merasa betapa tenaga tosu muka hitam ini jauh lebih kuat dari tenaga Perwira Can sehingga akan merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.
"Awas, Enci.
Pendeta siluman muka hitam itulah yang menculikku!"
teriak Li Ai yang masih dipegangi kedua lengannya oleh dua orang
anak buah Perwira Can. Memang Li Ai benar.
Perwira Can tidak berani membunuhnya karena Li Ai mempunyai dua orang paman, adik-adik ayahnya,yang menjadi pembesar di kota raja dan kedudukan mereka lebih tinggi daripada kedudukan Perwira Can, maka kini ia hanya
dipegangi dua orang anak buah tanpa diancam golok lagi.
Melihat betapa tangkisan pedang Siang Lan dapat membuat
sepasang golok di tangan tosu muka hitam itu terpental, tosu kedua
yang bermuka pucat berseru.
"Siancai! Tenaga saktimu boleh juga, Hwe-thian Mo-li!" Dan dia
pun menyerang dengan pedang di tangan kanan yang menyambar
ke arah leher Siang Lan disusul ujung bulu kebutan yang tiba-tiba
menjadi kaku itu menotok ke arah ulu hati!
Sungguh berbahaya sekali serangan tosu bermua pucat itu. Cepat ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan
tangan kirinya dengan tenaga sin-kang menangkis bulu kebutan
berwarna putih itu.
"Cringg...... plakk!" Siang Lan berhasil menangkis pedang dan kebutan, akan tetapi ia terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuat! Tahulah ia bahwa tosu berwajah pucat ini memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main dan merupakan lawan yang amat tangguh.
Menghadapi dua orang lawan seperti itu dapat membahayakan dirinya. Akan tetapi gadis perkasa yang tidak pernah mengenal takut ini sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya untuk mengamuk melawan dua orang tosu yang lihai itu.
Sementara itu, Perwira Can dan anak buahnya yang merasa agak gentar terhadap Siang Lan, hanya mengepung dari jarak aman seolah hendak menutup jalan keluar gadis itu agar tidak mampu melarikan diri!
Siang Lan mengamuk mati-matian, namun ia segera terdesak karena kedua orang lawannya, terutama tosu muka pucat,memang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Melawan tosu muka pucat itu saja belum tentu ia dapat menang, apalagi kini
dikeroyok dua, padahal kepandaian tosu muka hitam itu juga hebat
sekali.
Biarpun terdesak hebat, Siang Lan tidak mempunyai niat sedikit
pun juga untuk melarikan diri. Tak mungkin ia melarikan diri dan meninggalkan Li Ai. Ia akan melindungi Li Ai sampai tidak mampu melawan lagi!
Tekadnya yang besar ini membuat ia masih mampu bertahan, walaupun lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang.
Tiba-tiba terdengar suara berdebukan dan dua orang anak buah perajurit yang tadinya memegangi kedua lengan Li Ai, berteriak dan roboh tak dapat bergerak lagi!
Ternyata yang merobohkan mereka adalah seorang laki-laki setengah tua, berusia empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan lembut, pakaiannya sederhana.
Dia merobohkan dua orang yang tadi meringkus Li Ai hanya dengan tamparan dari jarak jauh dan kini dia melompat dengan ringannya
ke sebelah Siang Lan.
"Hwe-thian Mo-li, lindungi dan larikan gadis itu dari sini, biar aku
yang akan menghadapi dua orang sesat Pek-lian-kauw ini!" katanya lembut namun berwibawa.
Setelah berkata demikian, dia bergerak maju dan dengan hanya
menggunakan ujung lengan bajunya yang panjang, dia menyambut serangan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu!
Namun, tangkisan kain ujung lengan baju itu membuat senjata dua
orang tosu itu terpental dan mereka merasa betapa tangan mereka
tergetar hebat!
Siang Lan yang telah melompat mundur, memandang penuh
perhatian dan ia merasa heran sekali bagaimana orang itu dapat mengenal julukannya. Ia belum pernah melihat orang ini dan dari beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi!
Baru tiga jurus saja dua orang tosu
itu sudah terdorong mundur! Ia menoleh dan melihat bahwa Li Ai
sudah terbebas dari pegangan dua orang anak buah Perwira Can
yang kini sudah menggeletak tak bergerak.
Perwira Can yang memang sudah gentar terhadap Siang Lan, kini mengerahkan sisa anak buahnya untuk membantu dua orang tosu mengeroyok laki-laki yang menolong Siang Lan itu.
"Mari, Li Ai!" Ia berseru dan menyambar tubuh gadis itu, dibawanya lari ke arah dua ekor kuda mereka. Tak lama kemudian mereka
berdua sudah melarikan kuda dengan cepat melanjutkan perjalanan menuju Lembah Selaksa Bunga.
Laki-laki yang menolong Siang Lan itu bukan lain adalah Sie Bun Liong! Peristiwa di malam jahanam di mana dalam keadaan setengah mabok dan terpengaruh racun perangsang, secara hampir tidak sadar dia telah melakukan perkosaan terhadap Hwethian Mo-li.
Dia merasa amat menyesal dan duka, dan dia mengambil keputusan untuk menebus dosanya dengan melindungi
Siang Lan dan menurunkan ilmunya kepada gadis itu agar kelak gadis itu dapat membalas dendam dan membunuh musuh besar yang telah menodainya, yaitu Thian-te Mo-ong atau dia sendiri!
Untuk dapat mencapai keputusannya ini dengan baik, dia harus menyamar menjadi dua orang, yaitu pertama menyamar sebagai Thian-te Mo-ong yang memakai topeng kayu dan kedua menyamar sebagai pelindung dengan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)!
Nama aselinya, Sie Bun Liong, tidak dipakainya lagi!
Melihat kehebatan lawan yang membela Hwe-thian Mo-li, dua
orang tosu Pek-lian-kauw menjadi penasaran.
"Tahan!" seru tosu berwajah pucat.
Mendengar ini, semua orang menghentikan perkelahian dan tosu
itu memandang tajam penuh selidik kepada lawannya.
"Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan
kami" Kami sedang membantu pasukan yang hendak menangkap
dua orang gadis yang mencuri harta milik keluarga Kui!"
Sie Bun Liong yang kini menggunakan nama julukan Bu-beng-cu,
tersenyum menjawab terang. "Hwa Hwa, engkau seorang datuk
masih suka memutar-balikkan fakta."
"Engkau mengenal kami?" bentak tosu berwajah pucat yang
bernama Hwa Hwa Hoat-su, datuk sesat yang jarang turun tangan
sendiri karena sudah banyak saudara dan murid yang lebih muda
mengurus semua masalah di Pek-lian-kauw.
"Tentu saja aku mengenal kalian, Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa
Cin-jin. Seperti kukatakan tadi, kalian memutar-balikkan kenyataan.
Nona Kui Li Ai membawa hartanya sendiri, peninggalan Ayahnya,
yang hendak merampok harta keluarga Kui adalah kalian orangorang Pek-lian-kauw yang agaknya bekerja sama dengan pasukan yang menyamar ini!"
"Keparat, siapa engkau?" bentak Hoat Hwa Cin-jin, marah dan terkejut karena kerja sama Pek-lian-kauw dengan Perwira Can telah diketahui.
"Namaku tidak ada, sebut saja aku Bu-beng-cu!"
"Manusia sombong!" Tiba-tiba Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan...... kebutan berbulu putih itu terbang melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu menyerang ke arah mukanya.
"Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?" bentak Bubeng-cu dan, sekali tangannya didorongkan ke arah kebutan itu,senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa Hoat-su!
Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan,seperti seekor biruang dia sudah menerjang maju, menggerakkan pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin tidak tinggal diam. Dia sudah menerjang pula dengan siang-to (sepasang golok) di tangannya.
Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah menjadi bayang-bayang yang cepat sekali gerakannya. Bayangan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua
orang pengeroyoknya yang amat lihai itu.
Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan
Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-kauw atau dengan siapapun juga.
Selama bertahun-tahun dia hanya
memperdalam ilmu dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya.
Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada
adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu
(Ketua Ban-hwa-pang) akan mendatangkan malapetaka baginya.
Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun
perangsang dia telah memperkosa Hwe-thian Mo-li yang disusul
dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang,karena dia harus melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali
tidak dikehendakinya.
Dia menyadari bahwa peristiwa malam jahanam itu akan membawa akibat panjang yang akan merusak
ketenteraman hidupnya. Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah pergi jauh dan bebas dari ancaman orang-orang ini, maka setelah melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pohon-pohon!
Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk Bu-beng-cu yang tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah terdengar di dunia kang-ouw.
Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang
dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu dua orang tokoh Pek-liankauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya tewas dan terluka!
**********
Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang gadis bangsawan yang sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat taman-taman yang indah milik para bangsawan di kota raja,bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman
bunga itu bukan apa-apa.
Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti taman-taman bunga yang terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti dalam tahanan atau penjara.
Sedangkan di Lembah Selaksa Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat jauh
ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas
lepas melayang di udara! Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita.
Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir,
mendatangkan kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan mata membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah,bentuk dan warna yang menyenangkan hati kita.
Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suara-suara merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita dapat menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan dan selanjutnya.
Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui
anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali menjerumuskan
kita.
Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang
semestinya menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu
dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan
memperbudak kita.
Kalau sudah demikian, akan celakalah kita.
Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu, seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat diinginkan.
Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu, telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan kebosanan, cepat atau lambat. Nafsu mendorong kita untuk
mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan
daripada apa yang telah kita dapatkan.
Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas sampai akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam pengejaran itu.
Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang
diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan.
Penyalur berkat Tuhan berupa kepandaian,kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan namanya sehingga orang-orang yang menerima
penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama Tuhan.
Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa
Bunga dan melihat keindahan lembah itu, juga tidak bertahan lama.
Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat taman bunga alami itu.
Karena sering melihat, maka lembah itu pun tampak "biasa" saja, tidak ada keanehannya, tidak ada
keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi.
Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung merindukan pantai laut dan orang-orang pantai laut merindukan
pegunungan.
Orang-orang kota menyukai dusun yang hening menyejukkan, dan orang-orang dusun menyukai kota yang ramai menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.
Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang dan kagum melihat Lembah Selaksa Bunga dan senang tinggal bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian ia sudah merasa bosan.
Apalagi kalau ia teringat akan penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih hidup.
Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan
diri karena peristiwa perkosaan itu selalu menghantuinya, terutama
di waktu malam.
Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu seringkali membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang, dihormati,disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak pemuda!
Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga sungguh indah sekali. Matahari senja dengan sinarnya yang lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak kemerah-merahan dan matahari sendiri sudah mulai turun
bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih.
Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam
lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari akan semua keindahan
itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang baginya merupakan seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah.
Pemuda itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya
raya, juga dekat hubungannya dengan para pejabat.
Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan
Bong datang berkunjung, ditemani puteranya, yaitu Bong Kin yang
biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong).
Karena tidak ingin mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam taman bunga yang terdapat di samping gedung Panglima Kui.
Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang
mencari angin dalam taman. Tanpa disengaja, dara dan pemuda itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan itu disambut baik dan
berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka.
Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan cinta dan pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya. Biarpun ia
belum menerima Bong Kin yang menyatakan cinta itu sebagai pria
pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin.
Pemuda itu selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh rayuan yang menggetarkan hatinya.
Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin yang menjadi sahabatnya, ia semakin terpukul dan merasa kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta kepadanya itu membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang telah ternoda.
Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai menangis tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.
Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai
terkejut dan mengangkat muka memandang. Kiranya Siang Lan
sudah berdiri di belakangnya.
"Li Ai, mengapa engkau menangis" Apakah engkau masih berduka
karena nasibmu dahulu itu?"
Li Ai menggelengkan kepala.
"Hemm, apakah engkau merasa menyesal rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?" meninggalkan Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab. "Tidak, Enci,aku senang sekali tinggal di sini bersamamu. Aku hanya...... sedih teringat kepada...... seorang sahabat baikku......"
"Sahabat baikmu" Siapakah itu, Li Ai?"
"Dia...... dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja."
"Hemm, seorang pemuda?"
Wajah ayu itu menjadi kemerahan. "Dia bernama Bong Kin dan sebelum terjadi malapetaka menimpa keluargaku, Bong Kongcu itu telah menyatakan bahwa dia...... cinta padaku dan akan meminangku......"
"Ah, dan engkau juga cinta padanya?"
Li Ai hanya mengangguk perlahan dan menundukkan mukanya.
"Kalau begitu, biar aku mencarinya dan kuberitahuan bahwa engkau berada di sini. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia akan datang dan meminang ke sini."
"Tapi...... tapi, Enci, keadaanku sekarang...... aku sudah ternoda...... bagaimana mungkin aku menjadi isterinya?" Li Ai terisak sedih.
"Mengapa tidak mungkin" Kalau memang Bong Kongcu itu mencintamu, Li Ai, hal itu pasti bukan merupakan halangan. Kau tunggu saja di sini, aku akan ke kota raja mencarinya dan memberitahu padanya bahwa engkau sekarang tinggal di sini.
Kalau dia mencintamu tentu dia akan datang menjemputmu di sini."
"Akan tetapi...... kalau dia datang, apa yang harus kuperbuat" Apa yang harus kukatakan padanya" Apakah aku harus berterus terang mengatakan bahwa aku telah...... telah...... dinodai dua orang tokoh Pek-lian-kauw jahanam keji itu"
Enci aku takut......"
"Li Ai, kalau engkau memang mencintanya, engkau tidak perlu
takut dan kalau dia memang mencintamu, dia akan memaklumi
keadaanmu yang tidak berdaya dan menaruh kasihan kepadamu.
Memang sebaiknya berterus terang, karena kalau engkau sembunyikan dan kemudian dia mengetahui, hal itu sungguh tidak baik jadinya. Nah, kautunggu saja di sini!"
Siang Lan lalu pergi meninggalkan Lembah Selaksa Bunga menuju ke kota raja. Dalam perjalanan yang dilakukannya dengan cepat ini, Siang Lan banyak melamun. Ia tidak dapat melupakan pria yang telah menolongnya ketika ia dikeroyok tokoh-tokoh Pek-liankauw yang lihai.
Bagaimana mungkin ia dapat melupakan orang.itu" Tanpa pertolongannya, tentu ia dan Li Ai telah tewas atau terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw. Ia merasa
menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya itu.
Sudah dua kali ia ditolong orang tanpa mengenal penolongnya.
Yang pertama ketika ia dikeroyok oleh Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memperkosa Li Ai, ia dibantu orang yang tidak memperlihatkan diri dengan sambitan batu ke arah dua orang lawannya itu, kemudian ketika ia roboh pingsan, ada yang mengobatinya sehingga ia terbebas dari racun.
Ia tidak sempat melihat siapa penolongnya yang pertama itu.
Kemudian, untuk kedua kalinya ia ditolong, bahkan diselamatkan orang dan ia masih sempat melihat penolongnya walaupun ia tidak
sempat mengetahui siapa nama penolongnya itu. Apakah dia juga
yang dulu pernah menolongnya tanpa ia lihat orangnya" Ia tidak
dapat melupakan wajah laki-laki penolongnya itu dan ingin sekali
ia bertemu untuk sekadar mengucapkan terima kasihnya.
Bahkan ada harapan yang lebih dari sekadar mengucapkan terima kasih, yaitu ia ingin sekali memperdalam ilmu silatnya, berguru kepada laki-laki itu. Dari gerakan orang itu, ia tahu benar bahwa dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan kalau ia dapat berguru kepadanya, mungkin ia akan mampu kelak membalas dendamnya kepada Thian-te Mo-ong, jahanam berkedok setan
yang telah memperkosanya dan menghancurkan kebahagiaan
hidupnya.
Akan tetapi, ke mana ia harus mencari penolongnya itu"
Ia hanya pernah melihatnya, mengenal wajahnya akan tetapi tidak
tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya.
Teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa kecewa dan murung.
Ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat sekali menuju ke kota raja. Kalau ia sendiri tidak mungkin membangun penghidupannya yang sudah runtuh dan mustahil dapat hidup berbahagia, setidaknya ia dapat membantu Li Ai untuk mulai hidup
baru, berbahagia bersama pria yang dicintanya!
Bong Kin atau yang biasa dipanggil Bong Kongcu (Tuan Muda Bong) adalah putera tunggal Bong Wan-gwe (Hartawan Bong), seorang pedagang rempah-rempah yang kaya raya di kota raja.
Seperti sudah lajim terjadi, baik di kota-kota daerah atau di ibu kota
(kota raja), para hartawan selalu berhubungan dekat dan akrab
dengan para pembesar atau pejabat tinggi. Dua golongan masyarakat ini memang saling membutuhkan dan saling bantu.
Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu dengan harta yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan keuntungan kedua pihak. Yang kaya menjadi semakin kaya dan Sang Pembesar pun
memperoleh hasil yang ribuan kali lipat besarnya daripada gajinya
yang dia dapatkan dari pemerintah.
Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya, yaitu
berdagang rempah-rempah menjadi semakin besar karena dengan
perlindungan pembesar yang berwenang, dia memiliki monopoli
atas bermacam-macam rempah-rempah terpenting sehingga dia
dapat mengendalikan harga hasil bumi itu dan memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda.
Tentu saja sebagian keuntungan
itu lari ke dalam kantung pembesar yang melindunginya.
Siapa yang menderita rugi" Tentu saja pertama adalah rakyat akecil, terutama para petani yang menanam rempah-rempah itu karena harganya ditekan serendah-rendahnya oleh Hartawan Bong sebagai pembeli tunggalnya.
Hubungan Hartawan Bong dengan para pembesar di kota raja amat dekat. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk dapat
mengikat persahabatan dengan para pembesar. Maka, Hartawan
Bong mengenal hampir seluruh pejabat sipil maupun militer yang
berkuasa waktu itu di kota raja, termasuk mendiang Panglima Kui
Seng.
Biarpun dia tidak membutuhkan bantuan dari panglima ini, juga sebaliknya Panglima Kui tidak pernah menerima semacam "upeti" darinya, namun tetap saja Hartawan Bong mendekatinya dengan cara mengirimkan hadiah barang atau makanan pada waktu-waktu
tertentu, seperti hari raya dan sebagainya. Bahkan dia sering pula
datang berkunjung sekadar untuk bercakap-cakap.
Dalam kesempatan ini, Bong Kongcu bertemu dan berkenalan dengan Kui
Li Ai dan pemuda hartawan itu jatuh cinta kepada Li Ai.
Bong Kongcu bukan seorang pemuda alim.
Pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan gagah, pesolek dan perayu ini terkenal di rumah-rumah pelesir termahal di kota raja. Dia sudah banyak pengalaman dan bergaul dengan banyak wanita cantik.
Akan tetapi baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Kui Li Ai. Dia memang belum menikah dengan resmi walaupun sejak berusia duapuluh tahun dia telah mempunyai beberapa orang gadis simpanan sebagai selirnya.
Dia melihat keuntungan besar kalau dapat menikahi Kui Li Ai sebagai isterinya. Pertama, Kui Li Ai memiliki kecantikan yang memang menggairahkan di samping memiliki pendidikan tinggi dan juga sebagai puteri panglima tentu saja namanya terhormat.
Kedua, kalau dia menjadi mantu Panglima Kui, tentu saja diapun
memiliki perlindungan yang kuat dan martabatnya akan naik di mata penduduk kota raja. Bahkan ayahnya juga sudah merasa setuju sekali dan mendukungnya kalau dia ingin berjodoh dengan puteri Panglima Kui.
Akan tetapi walaupun dia sudah menyatakan cintanya kepada Li
Ai, gadis itu belum menjawab, maka dia belum berani mengajukan
pinangan. Kemudian, datang malapetaka menimpa keluarga Kui
dengan diculiknya Li Ai dan berakibat kematian Panglima Kui Seng. Kemudian, Bong Kongcu mendengar bahwa Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar wanita yang terkenal liar dan ganas bernama Hwe-thian Mo-li.
Tentu saja dia merasa kecewa sekali karena keinginannya untuk menikah dengan Li Ai dan menjadi mantu Panglima Kui telah gagal! Dia tidak tahu ke mana harus mencari gadis yang dicintanya itu dan biarpun dia telah menghamburkan uang untuk membiayai pencariannya terhadap Li Ai dengan mengerahkan orang-orangnya, tetap saja tidak berhasil menemukan gadis itu.
Bong Kongcu mencoba untuk menghibur hatinya dengan bersenang-senang dengan banyak gadis penghibur yang cantik,
namun tetap saja dia setiap hari murung teringat kepada Li Ai yang
membuatnya tergila-gila. Bagi seorang pemuda yang sedang kasmaran, tergila-gila seperti dia, tidak ada wanita lain yang lebih cantik menarik dan menggairahkan selain gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Pada suatu pagi, ketika Bong Kin sedang duduk termenung dan
teringat kepada Kui Li Ai, wajahnya muram dan hidangan makanan
kecil yang sejak tadi ditaruh oleh pelayan di depannya, di atas
meja, tak disentuhnya, muncullah seorang pelayan wanita.
"Kongcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu dengan Kongcu."
Bong Kongcu memandang pelayannya itu dengan mata bersinar.
"Seorang gadis" Ia...... Nona Kui Li Ai......?"
"Bukan, Kongcu. Ia seorang gadis yang cantik dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Ia tidak memperkenalkan nama,hanya bilang bahwa ia mempunyai urusan yang amat penting dan katanya Kongcu tentu akan senang mendengarnya."
Mendengar ini, Bong Kin lalu bangkit dan melangkah keluar dengan heran dan ingin sekali melihat siapa gadis itu. Setelah tiba di luar dia merasa heran sekali melihat seorang gadis yang cantik jelita dan belum pernah dilihatnya. Yang menarik hatinya, gadis ini bukan seperti gadis cantik lainnya yang pernah dikenalnya.
Gadis ini selain cantik jelita juga memiliki sikap gagah, dengan sinar mata tajam dan terutama yang membuat ia gagah berwibawa adalah
sikapnya ketika berdiri tegak memandangnya.
Sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya menambah kegagahannya. Harus dia akui bahwa selama dia bertualang di antara para gadis cantik, belum pernah dia bergaul dengan gadis cantik yang begini gagah sehingga memiliki daya
tarik yang lain daripada gadis lain yang pernah dikenalnya.
"Nona, siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Bong Kin dengan senyum ramah dan sikapnya yang sopan. Dia memang pandai membawa diri, pandai pula bersikap untuk mendatangkan kesan baik dalam hati para wanita.
"Apakah engkau yang bernama Bong Kin, putera Bong Wan-gwe?"
tanya gadis itu yang bukan lain adalah Hwe-thian Mo-li.
Pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan pula itu tidak membuat Bong Kongcu menjadi marah. Dia tetap tersenyum.
"Benar sekali, Nona. Aku bernama Bong Kin dan kalau Nona memiliki keperluan denganku, silakan masuk dan duduk di kamar tamu di mana kita dapat bicara dengan baik, tidak berdiri saja disini.
Silakan, Nona."Senang juga hati Siang Lan melihat sikap dan penyambutan yang ramah dan sopan ini. Ia mengangguk dan mengikuti pemuda itu memasuki sebuah ruangan tamu.
Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar Siang Lan berkata.
"Bong Kongcu, aku datang sebagai utusan Nona Kui Li Ai......"
Siang Lan menghentikan ucapannya ketika melihat betapa wajah pemuda itu tampak berseri, sepasang matanya terbelalak dan dia tampak girang sekali.
"Aih, berita ini sungguh membahagiakan sekali, Nona! Tolong
katakan di mana kini Nona Kui Li Ai dan berita apa yang engkau bawa darinya?" Hati Siang Lan senang melihat sikap pemuda ini yang ternyata tampak girang sekali mendengar tentang Li Ai, menandakan bahwa dia memang mencinta puteri mendiang Panglima Kui itu.
"Nona Kui Li Ai sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga, Bong Kongcu, dalam keadaan sehat dan selamat."
Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan tentang Li Ai yang
meninggalkan rumah keluarga Kui karena tidak suka tinggal bersama ibu tirinya yang galak.
Bagaimana Li Ai kini berada di
Lembah Selaksa Bunga bersamanya.
Setelah menceritakan keadaan Li Ai, Siang Lan menatap tajam wajah pemuda yang tampan itu dan bertanya. "Kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, Bong Kongcu, apakah benar seperti yang kudengar dari Adik Kui Li Ai bahwa engkau cinta padanya?"
Wajah Bong Kin berubah kemerahan, akan tetapi dengan sungguh-sungguh dia berkata, "Sesungguhnya, Nona. Aku amat mencinta Nona Kui Li Ai dan aku merasa sedih sekali akan kematian Ayahnya dan semakin sedih ketika mendengar ia pergi meninggalkan rumahnya. Aku telah bersusah payah berusaha untuk mencarinya selama ini, namun tidak berhasil.
Maka,sungguh girang sekali hatiku mendengar bahwa ia berada di
tempat tinggalmu dalam keadaan sehat dan selamat."
"Kedatanganku ini hendak menegaskan, apakah sampai sekarang
engkau masih tetap mencintanya, Kongcu?"
"Tentu saja, bahkan semakin mencintanya karena aku merasa iba
kepadanya." "Dan engkau menginginkan agar ia menjadi isterimu, Kongcu?"
"Benar, Nona." "Kalau begitu, sekarang engkau boleh meminangnya, Kongcu,karena Adik Li Ai yang merasa hidup sebatang kara telah menyatakan kepadaku bahwa kalau engkau meminangnya, ia
akan menerimanya dan kini siap untuk menjadi isterimu."
Pemuda itu tampak semakin girang. "Aih, kedatanganmu membawa berkat bagiku, Nona! Kalau boleh aku mengetahui,siapakah engkau, Nona" Aku pernah mendengar bahwa Adik Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar berjuluk Hwe-thian Mo-li.
Apakah...... apakah engkau pendekar itu, Nona?"
"Tidak salah, Kongcu. Akulah Hwe-thian Mo-li yang melindungi Nona Kui Li Ai dan ia sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga. Setelah berunding dengannya, maka hari ini aku datang untuk minta ketegasan darimu. Setelah kini engkau menyatakan masih mencintanya dan ingin meminangnya, maka
kuharap engkau suka berkunjung ke tempat kami agar dapat bertemu dan bicara sendiri dengannya."
"Wah, aku senang sekali, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Aku akan segera mengunjunginya di Lembah Selaksa Bunga. Di manakah lembah itu?" Siang Lan menerangkan di bukit mana lembah itu terletak.
Kemudian ia berpamit. "Nah, tugasku telah selesai, aku hendak kembali ke Lembah Selaksa Bunga, menceritakan hal ini kepada adik Kui Li Ai. Kami akan siap menyambut kunjunganmu, Bong Kongcu."
Bong Kin mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian Siang Lan sampai ke depan gedungnya. Setelah gadis itu pergi,dengan girang dia mengabarkan hal itu kepada ayah ibunya.
Bong Wan-gwe, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh gendut berwajah ramah mendengar pemberitahuan puteranya dan dia mengerutkan alisnya.
Dulu, hartawan ini tentu saja merasa senang dan bangga ketika puteranya menyatakan bahwa puteranya jatuh cinta dan memilih Kui Li Ai untuk menjadi calon isterinya. Pada waktu itu,Bong Wan-gwe merasa bangga kalau memiliki mantu puteri Panglima Kui itu.
Akan tetapi sekarang keadaannya sudah lain.
Panglima Kui telah tiada, bahkan dia mati dalam keadaan cemar,yaitu dikabarkan bunuh diri setelah mengkhianati negara dengan membebaskan tiga orang tawanan pemberontak Pek-lian-kauw!
Tidak ada lagi yang patut dibanggakan kalau dia mempunyai
mantu gadis she Kui itu, bahkan akan menurunkan dan merendahkan derajat dan martabatnya!
"Bong Kin, apakah sudah engkau pikir masak-masak sebelum engkau meminang Kui Li Ai" Ingat, keadaan gadis itu tidak seperti dulu lagi. Ayahnya sudah mati dan Panglima Kui yang sudah almarhum itu bukan seorang panglima terhormat lagi, bahkan dianggap pengkhianat.
Masih banyak gadis yang ayahnya memiliki kedudukan tinggi dan lebih terhormat untuk menjadi isterimu. Aku sanggup melamarkan!"
"Tidak, Ayah! Hatiku sudah bulat mengambil keputusan untuk
menikah dengan Kui Li Ai. Aku amat mencintanya, Ayah. Ia gadis
yang paling cantik di dunia ini!"
Hartawan Bong menghela napas panjang. "Jadi sekarang kita akan mengajukan pinangan" Akan tetapi kepada siapa" Siapa yang menjadi pengganti orang tuanya" Siapa yang menjadi walinya?"
"Aku akan pergi dulu mengunjungi di Lembah Selaksa Bunga untuk merundingkan hal ini dengannya, Ayah. Setelah itu baru kita mengajukan pinangan."
"Kin-ji (Anak Kin), engkau hati-hatilah kalau pergi ke sana!" kata Nyonya Bong khawatir. "Ibumu benar, Bong Kin!" kata Bong Wan-gwe. "Tempat itu asing bagimu dan aku mendengar bahwa pendekar wanita yang melindungi Nona Kui itu liar dan ganas.
Melihat julukannya Si Iblis Betina Terbang, mungkin saja ia itu memiliki watak jahat. Maka engkau harus membawa rombongan pengawal untuk melindungimu."
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan menunggang kuda, Bong Kin dikawal selosin orang laki-laki yang biasa mengawal kiriman barang-barang berangkat meninggalkan kota raja menuju ke bukit yang telah ditunjukkan Siang Lan.
Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu
silat dan memang pekerjaan mereka menggunakan kekuatan dan ilmu silat untuk mengawal dan melindungi barang atau orang dalam perjalanan.
Pada tengah hari mereka tiba di kaki bukit yang dimaksudkan dan berhenti. Pimpinan rombongan pengawal, seorang laki-laki tinggi
besar bermuka berewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun bernama Gu Sam, berkata kepada Bong Kin.
"Bong Kongcu, di bukit yang disebut Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga) dulu terdapat sebuah perkumpulan bernama Ban-hwapang yang sering melakukan perampasan barang yang dibawa lewat di daerah ini. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini tidak ada lagi orang Ban-hwa-san melakukan perampasan dan kabarnya,Ban-hwa-pang telah dibasmi seorang pendekar wanita."
"Hemm, bukankah yang membasmi itu pendekar wanita berjuluk Hwe-thian Mo-li?" tanya Bong Kin.
Gu Sam tampak terkejut. "Benar sekali, Kongcu! Bagaimana Kongcu dapat mengetahuinya?"
Bong Kin tersenyum bangga. "Hwe-thian Mo-li itu sahabatku!
Kemarin ia datang berkunjung ke rumahku." Dia tidak bicara lebih
lanjut, membiarkan Gu Sam dan orang-orangnya terheran-heran.
Dengan kagum Bong Kin dan para pengawalnya kini mendaki bukit
dan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Daerah perkampungan Banhwa-pang yang baru, termasuk lembah yang indah itu kini dikelilingi pagar bambu runcing yang diatur rapi dan dicat warnawarni sehingga tampak nyeni dan indah.
Di pintu gerbang, yang berada di bawah lereng, sudah berjaga belasan orang anggauta Ban-hwa-pang yang semua terdiri dari wanita. Mereka berpakaian gagah dan terdiri dari tiga regu.
Regu pertama memegang tombak, regu kedua memegang golok dan
regu ketiga memegang pedang, masing-masing terdiri dari lima
orang. Sikap mereka gagah dan wajah mereka rata-rata manis.
Melihat sikap para wanita ini, Bong Kin memerintahkan para pengawal untuk turun dari atas kuda masing-masing. Kemudian Gu Sam melangkah maju memberi hormat kepada seorang wanita berpedang yang agaknya memimpin tiga regu itu karena ia berdiri paling depan dan sikapnya berwibawa.
"Nona, Kongcu kami Bong Kin datang memenuhi undangan Hwethian Mo-li," katanya menirukan perintah majikannya tadi.
"Ban-hwa-pang kami pantang menerima tamu laki-laki. Akan tetapi
karena Pang-cu kami sudah memesan dan kini menunggu Bong Kongcu datang menghadap, kami persilakan Bong Kongcu masuk.
Yang lain tidak boleh masuk!"
"Akan tetapi......!" Gu Sam hendak membantah.
"Tidak ada tapi! Kaum lelaki, tanpa ijin Pang-cu, dilarang masuk perkampungan Ban-hwa-pang!" bentak wanita itu dan limabelas orang rekannya siap meraba gagang senjata mereka.
Bong Kongcu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menunggu di luar dan dia lalu memasuki pintu gapura yang segera tertutup kembali oleh para penjaga wanita.
"Sialan......!" para pengawal itu mengomel.
"Entah apa yang terjadi dengan Ban-hwa-pang," kata pula Gu Sam dan dia mengajak para rekannya untuk menunggu dan mengaso di bawah pohon-pohon tidak jauh dari gapura perkampungan Banhwa-pang itu.
Sementara itu, Bong Kin diantar dua orang pengawal wanita memasuki ruangan tamu di mana Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai sudah duduk menanti. Hwe-thian Mo-li berwajah cerah gembira,akan tetapi Li Ai nampak menundukkan mukanya karena jantungnya berdebar penuh ketegangan dan juga merasa rikuh
dan tidak enak hati.
Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia memang mengharapkan untuk dapat menjadi isteri pemuda yang biasanya bersikap lembut dan sopan itu.
Begitu Bong Kin memasuki ruangan dan melihat Li Ai sudah duduk
di situ, dia segera berseru gembira.
"Nona Kui......! Ah, betapa girang hatiku dapat bertemu denganmu
di sini......!" Hwe-thian Mo-li dan Li Ai bangkit berdiri dan membalas
penghormatan Bong Kin yang sudah menjura sambil merangkap kedua tangan depan dada. "Bong Kongcu, silakan duduk," kata Hwe-thian Mo-li.
Pemuda itu mengucapkan terima kasih dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan dua orang gadis itu, dengan jarak cukup jauh dan sopan. "Aku merasa senang bahwa Bong Kongcu benar-benar datang
berkunjung, hal ini bagiku merupakan bukti akan kesungguhan hati Kongcu.
Sekarang, aku memberi kesempatan kepada Adik Kui Li Ai dan Bong Kongcu untuk membicarakan urusan kalian berdua."
Setelah berkata demikian, Hwe-thian Mo-li bangkit berdiri dan hendak meninggalkan ruangan tamu itu menuju ke dalam.
"Enci......!" Li Ai berseru menahan karena gadis ini merasa malu dan juga takut untuk menceritakan apa yang telah menimpa dirinya seperti yang telah ia sepakati dengan Hwe-thian Mo-li bahwa ia akan berterus terang kepada pemuda itu untuk menguji ketulusan cintanya.
"Li Ai, inilah kesempatan baik bagimu. Jangan sungkan dan malu,
di tanganmu sendirilah terletak nasibmu di kemudian hari."
Setelah berkata demikian dengan cepat Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan itu, menuju ke ruangan dalam di mana ia termenung dan duduk seorang diri. Gambaran topeng kayu yang menyeramkan itu selalu terbayang di depan matanya dan
terkadang tampak bayangan wajah laki-laki setengah tua sederhana dan gagah yang juga penuh rahasia itu, yang telah menolongnya dan yang ingin dia temukan kembali karena ia
mempunyai keinginan untuk berguru kepada penolong yang amat
lihai itu.
Setelah Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan tamu, suasana di situ menjadi hening sekali. Li Ai masih menundukkan mukanya,
tidak berani ia bertemu pandang dengan pemuda yang duduk di depannya, padahal pemuda ini dulu pernah menjadi kenalan baiknya dan mereka sudah sering beramah tamah dan bercakapcakap.
Bong Kongcu yang tidak dapat menahan hatinya lagi untuk berdiam diri. "Kui Siocia (Nona Kui), benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li?"
Terpaksa Li Ai mengangkat mukanya dan baru pertama kali ini sejak pemuda itu datang ia bertemu pandang yang membuat kedua pipinya berubah merah.
Ia melihat betapa sinar mata
pemuda itu masih seperti dulu, masih jelas membayangkan rasa kagum dan cinta kepadanya! Hanya sebentar saja sinar mata gadis....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment