Monday, February 4, 2019

Cerita Silat Serial Lembah Selaksa Bunga Jilid 07


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga 
          Jilid 07



Pangeran Bouw Ji Kong siap untuk menyerang, akan tetapi pemuda yang telah berada di depannya itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.

"Ayah......!" Pedang yang sudah diangkatnya itu turun kembali dan bahkan dilemparnya di atas meja. 


Dalam suaranya terkandung kemarahan dan kerinduan serta kegembiraan sekaligus.

"Cu An......! Ke mana saja selama ini engkau pergi?"


"Maafkan saya, Ayah. Selama ini saya memperdalam ilmu silat saya. Maafkan saya yang pergi tanpa pamit kepada Ayah."


"Tidak perlu minta maaf, Anakku. Bangkit dan duduklah, dan ceritakan apa yang terjadi! Apakah pendeta jahanam itu yang telah menculikmu, tidak mengganggumu?"

Bouw Cu An bangkit, duduk di depan ayahnya dan memandang dengan mata terbelalak heran. "Pendeta jahanam yang menculik saya, Ayah" Apa dan siapa yang Ayah maksudkan?"

"Siapa lagi kalau bukan pendeta jahat Ouw-yang Sianjin yang telah menculikmu!" Cu An menjadi semakin heran. "Ayah, darimana Ayah mendengar bahwa saya diculik oleh Ouw-yang Sianjin?"


"Ketika malam itu engkau pergi, Hongbacu datuk Mancu itu mengejarmu dan dialah yang melaporkan bahwa engkau diculik
Ouw-yang Sianjin dan dia tidak berhasil menolongmu."


"Aduh! Makin ketahuan sekarang betapa Ayah telah bekerja sama dengan orang-orang jahat. Hongbacu menolong saya" Ayah telah dibohongi dan ditipu. Hongbacu bukan menolong saya melainkan mencoba untuk membunuh saya!"


"Hahh......?" Pangeran Bouw Ji Kong terbelalak. "Benarkah"


Apa...... apa yang terjadi, Cu An......?"
"Ayah agaknya telah mendengarkan fakta yang diputarbalikkan.


Begini kejadiannya, Ayah. Malam itu saya merasa kesal dan terus terang saya tidak dapat menyetujui rencana Ayah hendak merebut tahta kerajaan, apalagi Ayah bersekutu dengan orang-orang Mancu dan perkumpulan-perkumpulan pemberontak jahat seperti Pek-lian-kauw, Ngo-lian-kauw dan lain-lain. 


Karena hati saya kesal dan tidak setuju, maka malam itu saya meninggalkan rumah ini dengan hati sedih. 

"Tiba-tiba muncul Hongbacu yang hendak membunuh saya karena saya dianggap merintangi niat Mancu untuk memanfaatkan Ayah dan merebut tahta kerajaan. 

Saya tentu sudah mati karena tidak
mampu melawan Hongbacu, kalau saja pada saat itu tidak muncul Suhu Ouw-yang Sianjin. Dialah yang telah menyelamatkan saya,mengalahkan dan membuat Hongbacu melarikan diri. Sungguh saya tidak mengerti, mengapa Ayah begitu tega untuk menyuruh Hongbacu membunuh saya, Ayah......" Suara pemuda itu
mengandung isak kesedihan.


"Ah, tidak......! Sama sekali tidak, Cu An! Aku sama sekali tidak menyuruh untuk membunuhmu, hanya menyuruh dia memanggilmu kembali. 


Dia kembali dan mengatakan bahwa
engkau diculik Ouw-yang Sianjin......"

"Karena saya mengira bahwa Ayah benar-benar tega untuk menyuruh membunuh saya, maka saya tidak berani pulang dan saya lalu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin, memperdalam ilmu silat saya." 

Pangeran Bouw Ji Kong mengepal tangan kanannya. "Keparat busuk Hongbacu! Dia membohongiku! Berani dia hendak membunuh puteraku!" Sang Pangeran yang marah itu merasa tidak berdaya karena pada saat itu Hongbacu tidak berada di situ,sudah menyembunyikan diri keluar kota raja menanti berita darinya. 

"Sekarang engkau pulang, lalu apa kehendakmu, Cu An?"

"Ayah, setelah saya menjadi murid Ouw-yang Sianjin, saya semakin menyadari bahwa Ayah telah mengambil jalan yang keliru sama sekali. 


Saya pulang ini untuk menyadarkan Ayah. Orang-orang yang mendukung niat Ayah memberontak itu semua bukan orang baik-baik dan mereka itu hanya ingin membonceng dan memanfaatkan Ayah demi keuntungan mereka sendiri. Harap
Ayah menyadari benar hal ini."


Tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar kamar itu, suara lembut namun beribawa dan terdengar jelas seolah pembicaranya berada di dalam kamar itu. 


"Semua yang diucapkan Bouw Cu An itu benar dan bijaksana. Masih belum terlambat bagi orang yang bertindak
salah untuk memperbaiki tindakannya! Mengubah langkah dan
bertaubat sebelum terlambat, itulah tindakan yang bijaksana."


"Suhu......" kata Bouw Cu An lirih.
Pangeran Bouw Ji Kong menoleh ke arah jendela yang masih terbuka. Wajahnya agak pucat ketika mendengar bahwa Ouwyang Sianjin berada di luar kamarnya. 


Tentu saja anggapan bahwa Ouw-yang Sianjin merupakan seorang musuh yang berbahaya masih menguasai perasaannya. Akan tetapi dia percaya kepada puteranya, maka dia berseru ke arah jendela.

"Ouw-yang Sianjin, kalau engkau sudah berada di sini, masuklah dan beri penjelasan kepada kami!"


Sesosok bayangan yang ringan dan cepat berkelebat. Ouw-yang Sianjin sudah berada dalam kamar itu, berdiri menghadap Pangeran Bouw Ji Kong dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.

Pangeran Bouw melihat seorang berpakaian sebagai tosu, pakaian
sederhana serba kuning, usianya sekitar empatpuluh delapan tahun, bertubuh tinggi kurus dan punggungnya tergantung sebatang pedang terbuat dari bambu! 


Tosu sederhana namun sikapnya lembut dan berwibawa. Dia segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan tosu itu.
"Pangeran, maafkan kalau pinto datang tanpa diundang karena pinto memenuhi permintaan puteramu, Bouw Cu An." kata Ouwyang Sianjin.
"Duduklah, Totiang. Kami senang Totiang suka datang ke sini karena pada saat ini kami membutuhkan penjelasan. Semua orang sudah mengetahui bahwa jalan yang kita ambil masing-masing tidak sama bahkan berlawanan, akan tetapi mengapa Totiang menolong putera kami dan suka datang ke sini malam ini?"

Ouw-yang Sianjin duduk berhadapan dengan Pangeran Bouw dan Bouw Cu An. "Pangeran, pinto menjadi saksi akan kebenaran apa yang diceritakan puteramu Bouw Cu An tadi. 

Secara kebetulan dan agaknya Yang Maha Kuasa sudah menentukan demikian. Pada malam itu pinto (saya) melihat puteramu sedang diserang dan akan dibunuh oleh Hongbacu tokoh Mancu itu. Pinto segera turun tangan membelanya dan berhasil menggagalkan usaha Hongbacu yang jahat itu dan mengusirnya.

"Pada waktu itu juga, pinto minta kepada Bouw Cu An untuk kembali ke rumah orang tuanya, akan tetapi dia tidak mau pulang dan ingin memperdalam ilmu silatnya, juga menceritakan tentang cita-cita Pangeran yang ditentangnya. 


Nah, hari ini, dia pulang dan minta kepada pinto untuk membantu dia menyadarkan Pangeran agar kembali ke jalan benar."
Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya mengalami kekecewaan,bahkan kemerosotan semangat itu kini menatap wajah tosu itu dengan penuh selidik. 

"Totiang, engkau mengatakan hendak menyadarkan kami agar kami kembali ke ja1an benar" 

Hemm, dalam hal apakah totiang
menganggap kami melalui jalan yang salah" Anak kami mungkin belum mengetahui benar akan keadaan pemerintah dan bangsa,maka dia bisa menyalahkan kami. Akan tetapi Totiang adalah seorang yang berpengalaman. 
Bagaimana totiang dapat
menganggap bahwa kami salah jalan?"

"Siancai, agaknya Pangeran mendasarkan sikap dan perbuatan
Pangeran kepada apa yang dianggap benar! Pangeran, dipandang dari sudut mana pun, perbuatan kekerasan dengan maksud untuk
mengadakan pemberontakan jelas perbuatan yang salah sama sekali. Yang sudah jelas Pangeran adalah anggauta keluarga dekat Sribaginda Kaisar, bahkan telah diberi kedudukan tinggi dan terhormat sebagai penasihat Kaisar di bidang hubungan dengan luar negeri. 


Maka, pemberontakan yang Paduka lakukan itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap pemerintah dan keluarga sendiri. Pinto yakin Paduka tidak mau disebut sebagai
seorang pengkhianat, bukan?"


Wajah Pangeran Bouw berubah merah dan alisnya yang tebal dikerutkan. "Ouw-yang Sianjin, tahu apa engkau tentang perjuangan" Siapa orang-orang yang telah berkhianat terhadap nusa dan bangsa" 


Mereka itulah, para penguasa, para pembesar dan pejabat tinggi, yang melakukan kecurangan, korupsi, mencuri uang negara, menindas rakyat untuk memperkaya diri sendiri,mereka adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa dan negara.
"Kalau sekarang ada orang yang berusaha untuk menghancurkan
mereka dan mengubah keadaan, mendirikan pemerintahan yang sehat dan bersih, yang dikelola para pejabat yang benar-benar berjiwa patriot yang lebih mementingkan kesejahteraan bangsa daripada kemakmuran diri sendiri dan keluarganya, bukankah hal itu merupakan perbuatan yang gagah perkasa dan mulia" 


Orangorang yang memegang kekuasaan boleh menamakannya
pemberontak dan pengkhianat, namun sesungguhnya mereka itu
pejuang sejati demi kesejahteraan rakyat dan menentang kelaliman para penguasa!"


Ouw-yang Sianjin tersenyum tenang dan sabar, membiarkan Pangeran itu menumpahkan segala kemarahan hatinya. Setelah Pangeran Bouw Ji Kong berhenti bicara, dia bertanya.

"Sudah cukupkah Pangeran bicara" Pinto akan menjawab semua pernyataan Paduka tadi. Agaknya Paduka hanya memandang dari segi baiknya dan untungnya, akan tetapi lengah bahkan mengabaikan segi buruknya dan kerugiannya bagi rakyat.

"Mari kita telaah bersama. Kita mulai dari segi baik dan untungnya sebuah pemberontakan. Kebaikan dan keuntungannya itu hanya baru bayangan dan harapan belaka, yaitu akan terjadi kesejahteraan bagi rakyat kalau: 


Satu, kalau pemberontakan itu
berhasil seperti yang diidamkan, dan dua, kalau kelak para pejabat dari pemerintahan baru benar-benar terdiri dari orang-orang bijaksana yang patriotik dan tidak suka korupsi atau menyelewen atau lalim mengandalkan kekuasaan mereka! 


Hanya dua itu keuntungannya, itupun kalau keduanya berhasil seperti yang
diharapkan. "Padahal untuk dapat berhasil bukanlah hal semudah dibicarakan.

Pertama, amat sukar untuk mengalahkan pemerintah yang
memiliki balatentara kuat, memiliki panglima-panglima lihai seperti
Jenderal Chang Ku Cing dan lain-lain, masih dukung para pendekar pula. 


Harapan menang dalam perebutan tahta kerajaan amatlah tipis. "Kemudian yang kedua, andaikata pemberontakan berhasil dan dibentuk pemerintahan baru, apakah Paduka kira sudah pasti akan
menemukan orang-orang bijaksana yang akan menduduki kursi jabatan" 


Bagaimana kalau mereka malah lebih berengsek daripada pejabat yang sekarang" Nah, dua segi baik dan
untungnya itu masih amat diragukan.

"Sekarang segi buruk dan ruginya yang tidak dapat diraguan lagi pasti timbul. 

Pertama, kelak nama Paduka akan tercatat dalam sejarah sebagai seorang pemberontak dan anggauta keluarga yang mengkhianati keluarga sendiri. 

Kedua, dalam perang pemberontakan sudah pasti akan jatuh banyak sekali korban orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, perajurit-perajurit
biasa yang kalau kalah mereka tewas kalau menangpun mungkin hanya mendapat sekadar pujian kosong belaka.


"Ketiga, kalau terjadi perang maka kehidupan rakyat akan menjadi kacau, para penjahat akan bermunculan untuk mengail di air keruh,melakukan kejahatan tanpa ada yang merintangi karena semua
petugas pemerintah sibuk dengan perang. 


Keempat, Paduka akan menanam bibit permusuhan, dendam-mendendam dan balas-membalas yang tiada hentinya.

"Dan bukan hanya itu, sekarang orang-orang yang mendukung Paduka itu sudah bertindak keji, diam-diam hendak membunuh putera Paduka tanpa setahu Paduka. 


Nah, pikirkanlah baik-baik,Pangeran, sebelum mengambil keputusan apakah Paduka hendak melanjutkan langkah yang keliru atau tidak."

"Ouw-yang Sianjin, ingin sekali kami mengetahui, bagaimana sikap para pendeta, pendekar atau tokoh kang-ouw yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, bersikap kalau melihat para pimpinan pemerintahan, dari kaisar sampai pejabat tinggi dan rendah, bertindak sewenang-wenang, curang dan korup, tidak adil dan hanya mementingkan kekayaan diri dan keluarganya sendiri"

Bagaimana kalian akan bersikap"
"Memberontak tidak baik katamu, lalu apakah kita rakyat ini harus
tinggal diam saja, menerima keadaan dengan segala penderitaannya, hanya mengeluh kepada Tuhan dan sama sekali tidak berusaha untuk memperbaiki keadaan" Coba jawab
pertanyaanku itu dengan jelas. 


Totiang!" Suara Pangeran Bouw Ji
Kong penuh teguran dan sekaligus tantangan.


Ouw-yang Sianjing tersenyum dan memandang kepada Bouw Cu An. "Cu An. kita sudah membicarakan urusan yang ditanyakan Ayahmu itu secara panjang lebar. Harap engkau saja yang menjawab pertanyaan Ayahmu itu."


Pangeran Bouw Ji Kong kini menatap wajah puteranya dengan alis berkerut. Dia merasa penasaran akan tetapi juga ingin sekali mengetahui pendapat puteranya yang dianggapnya masih kanak-kanak dan kurang pengalaman.

"Ayah, harap Ayah memaafkan saya kalau jawaban saya dianggap tidak benar dan lancang, akan tetapi sesungguhnya pengertian akan hal ini telah saya bicarakan dengan semasak-masaknya dengan suhu Ouw-yang Sianjin dan saya merasa yakin bahwa
semua pendapatnya itu benar. 


Begini, Ayah, Suhu dan saya, tentu tidak dapat membenarkan kalau para pejabat dari kaisar sampai bawahannya melakukan penindasan, bertindak sewenangwenang, korup dan bersaing memperkaya diri dan keluarganya sendiri. 

Juga adalah tidak benar kalau kami sebagai warganegara,terutama para pejabat yang menyadari akan ketidakbenaran itu tinggal diam dan tidak ada usaha untuk mengubahnya.

"Tidak, kita memang harus bertindak! Akan tetapi bukan dengan cara memberontak! "Kita dapat saja melakukan kritik dan protes, sebagai wakil rakyat yang tidak berani bicara sendiri, dan kita himpun kekuatan suara kita melalui persatuan para pejabat pemerintah yang setia kepada
bangsa dan negara. 


Kalau kita dapat memperlihatkan dengan bukti-bukti bahwa tindakan para pejabat tinggi, terutama Kaisar itu tidak benar, akhirnya Kaisar dan para pembantunya pasti lambat laun akan merasa malu dan sadar.

"Kita patut mencontoh sikap Menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing yang bijaksana, adil dan jujur, yang tangannya bersih dari kotoran korupsi dan menyalah-gunakan kekuasaan.


Siapakah yang meraguan kesetiaan dan kebijaksanaan mereka"


"Nama mereka kelak pasti akan tercatat dalam sejarah dengan tinta emas, akan menjadi pujaan bangsa sebagai patriot-patriot sejati yang berjuang benar-benar demi kesejahteraan rakyat,bukan untuk menumpuk harta bagi keluarga sendiri atau untuk mengangkat nama dan kekuasaan mereka sendiri. 


Kalau saja Ayah mau bertindak mencontoh kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana itu, saya siap membantu ayah dan rela berkorban nyawa sekalipun." 

Pangeran Bouw Ji Kong termenung, diam-diam dia terharu karena jalan pikiran puteranya itu ternyata membayangkan budi pekerti yang luhur. 

"Hemm, kau kira begitu mudahnya" Kurang bagaimana pemerintah mengadakan peraturan dan hukum untuk menjadikan para pembesar itu setia kepada negara dan bangsa, akan tetapi apa buktinya" 

Mereka bukan berlumba membuat jasa yang baik untuk negara dan bangsa, melainkan berlumba menumpuk kekayaan pribadi!" 

"Suhu dan saya mengerti, Ayah. Akan tetapi apa artinya diadakan seribu satu macam peraturan dan hukum kalau semua itu tidak dilaksanakan dengan tertib, bahkan dilanggar sendiri oleh si pembuat hukum" 

Seolah hukum itu dibuat demi kepentingan mereka yang berkuasa dan diberlakukan kepada rakyat kecil.

"Suhu mengingatkan saya akan apa yang diajarkan Guru Besar Khong Cu dalam Kitab Tiong-yong Pasal 21 ayat 12: Ada sembilan syarat untuk dapat memimpin negara dan
bangsa, yaitu: 

1. Memperbaiki diri sendiri lahir batin.
 2. Menghargai orang-orang bijaksana dan pandai. 
3. Mencinta sanak saudara dan keluarga. 
4. Menghargai pejabat-pejabat tinggi. 5. Tenggang rasa terhadap para pejabat biasa. 
6. Mencinta rakyat seperti anak sendiri. 
7. Mengkaryakan sebanyak mungkin ahli pembangunan. 
8. Ramah tamah terhadap para tamu negara. 
9. Mengikat hubungan baik dengan negara lain."

"Hemm, apakah semua itu akan menjamin para pejabat dari yang tinggi sampai yang rendah akan dapat mentaati apa yang dikehendaki pemimpin besar mereka, yaitu Kaisar" 


Bicara memang mudah, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah itu!" "Suhu dan saya menyadari akan hal itu, Ayah. Memang semua teori itu mudah dan sama sekali tidak ada gunanya kalau tidak dipraktekkan. 

Akan tetapi kita benar-benar jujur dan ingin menjadi hamba Tuhan, menjadi manusia yang utama, dan kita laksanakan semua teori itu, sudah pasti akan berhasil.

"Sekarang bukan jamannya lagi untuk menjejali rakyat dengan slogan-slogan, dengan pelajaran-pelajaran, dengan hukum-hukum kalau semua itu hanya omongan kosong belaka dan tidak dilaksanakan dengan tertib dari yang paling atas sampai yang
paling bawah. 


Rakyat tidak butuh nasihat tentang kebaikan lagi,melainkan membutuhkan TAULADAN, membutuhkan CONTOH dari mereka yang mengeluarkan slogan, pelajaran, dan nasihat itu.
"Para pimpinan negara merupakan Bapak bagi rakyat dan menjadi suri tauladan. Apa artinya Sang Bapak menasihatkan anak-anaknya untuk hidup sederhana dan hemat kalau Si Bapak sendiri hidupnya serba mewah, royal dan menghamburkan uang" 

Akan tetapi rakyat sebagai anak melihat Pemimpinnya sebagai
bapaknya hidup sederhana, tidak usah disuruh lagi mereka tentu akan hidup sederhana pula! Jadilah tauladan, jangan hanya penasihat tanpa tanggung jawab.


"Kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, para bawahannya
otomatis tidak berani bertangan kotor karena atasannya yang bertangan bersih tentu akan menindaknya. Sang bawahan ini setelah dia sendiri mencontoh atasan bertangan bersih, tentu akan menjaga agar bawahannya sendiri juga bertangan bersih.

Demikian pula seterusnya, terus dari atas memberi contoh dan menindak bawahan sehingga petugas yang paling bawah pun disegani rakyat karena bertangan bersih.

"Otomatis rakyat pun akan patuh dan taat karena semua yang dikerjakan pemerintah demi kesejahteraan rakyat, termasuk diri dan keluarga mereka sendiri yang juga sebagian dari rakyat. 


Akan tetapi kalau atasannya bertangan kotor, bagaimana mungkin dia dapat mencegah bawahannya bermain kotor pula" Bahkan dia akan dijadikan tauladan, tauladan berbuat buruk dan korupsi, oleh bawahannya tanpa dia berani menegur karena dia sendiri bertangan kotor, kemudian bawahannya juga "bertoleransi"
kepada bawahannya lagi, demikian terus menurun menjadi budaya
korupsi yang turun menurun sampai rakyat menjadi terbiasa dengan keadaan semacam itu.


"Maafkan saya, Ayah, pandangan ini bukan sekadar teori, akan tetapi dapat dibuktikan dan dipraktekkan dalam kelompok yang paling kecil seperti sebuah keluarga dalam sebuah rumah tangga.

Kalau Sang Ayah menghendaki anak-anaknya tidak menjadi penjudi, apa artinya kalau dia hanya menegur dan marah akan tetapi dia sendiri menjadi penjudi" Bukan teguran atau nasihat
yang dibutuhkan sang Anak dari orang tuanya, atau rakyat dan bawahan dari atasannya, melainkan tauladan yang baik!


"Rakyat sudah kenyang bahkan muak dengan slogan-slogan dan petuah-petuah, akan tetapi rakyat rindu akan para pemimpin rakyat yang bersih dan patut dijadikan panutan. 


Kalau para pemimpin kerajaan bersih dan bijaksana, maka kekayaan negara tidak akan bocor dan digerogoti tikus-tikus berpakaian pembesar sehingga
negara menjadi kaya dan kekayaan ini dapat dimanfaatkan demi
kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, di mana dicukupkan sandang pangan papan dari setiap warga negara kerajaan ini. 


"Alat-alat negara yang bersih dapat bertindak tertib dan melaksanakan semua hukum tanpa pandang bulu, tidak dapat dipengaruhi suap dan hubungan sahabat atau keluarga. 

Kalau sudah begini, kami kira para pejabat akan kehilangan keberaniannya, apalagi karena mencari sandang pangan papan
menjadi mudah. 


Rakyat akan menjadi senang dan taat kepada pemerintah, dan tidak mungkin lagi ada rakyat yang mau diajak memberontak terhadap pemerintah yang dicinta rakyat karena keadilan dan kebijaksanaannya."

Mendengar ucapan yang panjang lebar penuh semangat dari puteranya itu, Pangeran Bouw Ji Kong terkagum-kagum dan terheran-heran, akan tetapi dia mulai dapat menangkap intinya yang berlandaskan kepada kebenaran. 

Ucapan puteranya itu sama sekali bukan didasari perasaan iri, dengki ataupun benci,melainkan membuka kenyataan bukan sekedar teori yang mulukmuluk. Melihat pangeran itu termenung, dengan harapan bahwa
pangeran itu akan dapat menyadari kesalahannya, Ouw-yang Sianjin segera berkata dengan suaranya yang lembut penuh kesabaran. 


"Pangeran, maafkan puteramu kalau bicaranya terlampau tegas,akan tetapi di jaman seperti ini kita seluruh rakyat hanya menggantungkan harapan kepada kaum mudanya. Hanya para mudanya yang memiliki semangat dan keberanian, memiliki
pandangan yang kritis, untuk membawa kita semua keluar dari
kemelut keadaan yang tidak sehat ini. 


Kalau kita orang-orang tua masih berpegang kepada peraturan lama, menjadi lemah dan tidak berdaya, lalu para mudanya juga kehilangan semangat dan hanya mengejar kesenangan dan foya-foya belaka, apa akan jadinya dengan tanah air dan bangsa kita tercinta ini!

"Para arif bijaksana di jaman dahulu berkata bahwa pembangunan di atas segala bidang tidak akan berhasil kecuali kalau pembangunan dasar manusia, yaitu pembangunan jiwanya
dilaksanakan lebih dulu sampai berhasil. 


Manusia yang sudah terbangun jiwanya berarti manusia yang mengenal jati dirinya sebagai mahluk hamba Tuhan yang memiliki tugas di dunia ini,yaitu menyejahterakan dunia dan semua isinya. Jiwanya
terbangun kalau seorang manusia selalu dekat dengan Tuhannya, taat dan cinta akan perbuatan bajik dan takut serta pantang akan perbuatan jahat. 


"Hanya manusia-manusia yang sudah terbangun jiwanya sajalah yang akan mampu menjadi pemimpin-pemimpin rakyat karena kebajikannya akan menjadi tauladan bagi rakyat. Kalau sudah begitu, kemakmuran bagi suatu bangsa bukan hal yang langka lagi
karena bangsa yang sudah terbangun jiwanya pasti dikasihi Tuhan dan apa yang dinamakan kemakmuran adalah suatu keadaan dan perasaan yang merupakan karunia dari Tuhan, tidak mungkin dibuat manusia." 


Mendengar semua ini, tanpa disadarinya kedua mata Pangeran
Bouw Ji Kong menjadi kemerahan dan basah air mata. Teringat dia akan semua nafsu keinginan dan perbuatannya, betapa dia sudah
bersekutu dengan para golongan sesat pemberontak seperti Peklian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dengan suku ibunya, yaitu suku Hui,dan bahkan dengan bangsa Mancu yang jelas merupakan musuh dan ancaman bagi kerajaan Beng.


Dia teringat pula betapa dia telah menyuruh bunuh enam orang
pejabat tinggi yang sama sekali tidak bersalah, hanya karena mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang setia kepada Kaisar! 


Dan yang lebih lagi, dia tidak tahu bahwa puteranya sendiri, nyaris dibunuh seorang sekutunya, yaitu Hongbacu datuk Mancu. Belum tercapai keinginannya, dalam keadaan masih berjuang saja
sekutunya dari Mancu sudah tega untuk membohonginya dan hampir membunuh puteranya! 


Apalagi kalau mereka sudah berhasil, dapat dia bayangkan betapa para sekutunya itu tak dapat diragukan lagi akan saling berebut, memperebutkan hasil pemberontakan mereka! 

Teringat pula dia bahwa sekarang,
kedudukannya sudah terhormat sebagai penasihat Kaisar. Kalau
perjuangannya memberontak yang penuh resiko itu gagal, bukan hanya dia yang celaka, melainkan seluruh keluarganya!


Makin dikenang dan dipikir, makin jelas Pangeran Bouw Ji Kong dapat melihat segala isi hati, pikiran, dan semua yang mendorong perbuatannya. 


Kini dia mulai melihat bahwa semua apa yang dia anggap sebagai "perjuangan" untuk menyejahterakan rakyat dengan mengambil alih tahta kerajaan itu sesungguhnya hanyalah
merupakan ambisi pribadi belaka. 


Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih daripada apa yang dimilikinya sekarang,ya kekuasaan, ya kemuliaan, ya harta kekayaan.
Semua ambisi pribadi itu tertutup oleh apa yang dianggapnya sebagai perjuangan suci demi kemakmuran rakyat! 


Kini dia merasa dirinya seperti ditelanjangi oleh ucapan puteranya sendiri dan Ouw-yang Sianjin. Maka dia teringat akan seorang hwesio yang pernah mengajarkan ilmu silat dan juga tentang budi pekerti
kepada dia dan para murid lain. 


"Pinceng (aku) tidak ingin melihat murid-muridku menjadi orang-orang pintar, berkuasa, atau kaya raya kalau kalian tidak memiliki kebenaran! 

Orang pintar yang jiwanya tersesat
dan jahat hanya akan menggunakan kepintarannya untuk menipu orang-orang yang bodoh. Orang kuat berkuasa yang tidak benar hanya akan menggunakan kekuatan dam
kekuasaannya untuk menindas orang-orang yang lemah.


Orang kaya raya yang jahat dan tidak benar hanya akan menggunakan kekayaannya untuk memuaskan nafsu-nafsunya mengejar kesenangan dan menghina orang yang miskin. 

"Pinceng hanya menginginkan murid-murid yang menjadi orang-orang benar! Orang-orang yang benar, berjiwa bersih,baik budi, hatinya penuh dengan rasa cinta sesama dan
berbelas kasihan, baik dia itu miskin atau kaya, bodoh atau pintar, kuat kuasa atau lemah, orang yang begini adalah kekasih Yang Maha Kuasa. 


Semua prilaku dan tindakannya
mendatangkan berkas bagi sesama dan dialah yang pantas menjadi pembantu dan penyalur berkat Tuhan, dan hanya orang-orang begini yang berhasil sebagai manusia dan selalu disinari kebahagiaan."


Demikianlah antara lain hwesio yang menjadi gurunya itu berkata.
Dan dia telah membuktikan bahwa dia sama sekali tidak termasuk orang-orang yang seperti dikehendaki gurunya itu! 


Dia penuh keinginan, penuh ambisi dan untuk mencapai keinginan itu, dia tidak pantang menggunakan cara apa pun, bahkan cara yang jahat! Bouw Cu An diam saja dan hanya memandang ayahnya yang
menutupi muka dengan kedua tangan itu. Ayahnya menangis! 


Dia merasa terharu akan tetapi juga lega. Tangis ayahnya itu mungkin
sekali timbul dari penyesalan dan mudah-mudahan ayahnya akan
sadar bahwa pemberontakan itu adalah salah!


Ouw-yang Sianjin tersenyum dan dia duduk bersila di atas kursi sambil memejamkan kedua mata. Tosu ini melakukan samadhi sambil menanti tuan rumah memulihkan gejolak hatinya.

Baru setelah menjelang pagi, Pangeran Bouw Ji Kong menurunkan
kedua tangannya. Dia menggunakan ujung lengan baju mengusap sisa air mata yang membasahi kedua pipinya, lalu dia menoleh dan memandang Bouw Cu An yang masih duduk menunggui ayahnya.


"Ayah!" Pemuda itu memanggil dengan lirih. Mendengar ini, Ouwyang Sianjin juga membuka matanya dan memandang kepada
pangeran itu. Pangeran Bouw Ji Kong kini berkata kepada mereka dengan suara serak dan lirih. 


.."Ouw-yang Sianjin dan Cu An, sekarang aku menyadari akan semua kekeliruanku dan aku merasa menyesal sekali telah menuruti hati yang dipenuhi iri dan nafsu kemurkaan. Sekarang,beritahu aku, apa yang seharusnya kulakukan?"

"Ayah, saya tidak berani memberi nasihat kepada Ayah. Sebaiknya Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjawab pertanyaan Ayah itu......" kata pemuda itu dengan suara terharu karena dia merasa lega dan girang bahwa akhirnya ayahnya dapat menyadari kesalahannya.

"Siancai! Apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang yang telah
menyadari akan kekeliruannya" Pinto kira hanya dua, yaitu pertama menghentikan perbuatan yang keliru itu dan bertaubat."

"Bertaubat dengan cara bagaimana?" tanya Pangeran Bouw Ji Kong. 

"Pangeran, Paduka bersalah terhadap Sribaginda Kaisar, maka sewajarnyalah kalau Paduka bertaubat dengan pengakuan kesalahan di depan Sribaginda dan mohon pengampunan," kata pula pendeta itu. Pangeran Bouw Ji Kong mengerutkan alisnya lalu menggelengkan kepalanya. 

"Tidak, Totiang, itu terlalu mudah bagiku, terlalu ringan
bagi kesalahanku yang besar. Kalau aku hanya mohon pengampunan, andaikata Kaisar mengampuniku, juga namaku akan tercoreng dalam sejarah dan rakyat akan mengutuk namaku.


Aku harus melakukan aksi balik yang tepat untuk menebus
kesalahanku dan aku hanya dapat mengharapkan Totiang untuk
membantu rencanaku sehingga akan berhasil baik."


"Apa yang Paduka maksudkan, Pangeran?"


"Begini, Totiang. Kesesatanku telah mengakibatkan jatuhnya
korban. Aku harus membalas semua kejahatan yang dilakukan
para sekutuku itu atas rencanaku yang jahat. 


Maka, aku ingin
menjebak mereka, mengundang mereka berkumpul kemudian
engkau dan Cu An mengatur dan mengumpulkan para pendekar,
juga para panglima dan pasukannya dan tentu saja engkau dapat
minta bantuan Panglima Chang Ku Cing untuk keperluan itu.

"Nah, setelah aku berhasil membasmi mereka yang tadinya bersekutu denganku, para pengkhianat yang sama dengan aku, orang-orang Pek-lian-kauw, wakil Mancu, dan suku Hui, barulah aku akan menyerah dan akan menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan kaisar kepadaku. 

Dengan demikian, setidaknya aku
telah melakukan sesuatu untuk menghancurkan mereka yang
memusuhi kerajaan. Aku tidak takut namaku sendiri kotor karena
memang apa yang kulakukan itu salah, akan tetapi aku merasa
sedih kalau sampai nama keturunanku menjadi ternoda
karenanya." 


Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk dan dapat menerima usul
itu. 


Demikianlah, Pangeran Bouw Ji Kong mengajak Ouw-yang Sianjin berunding dan mengatur rencana untuk menjebak mereka yang tadinya mendukungnya untuk memberontak. 

Baru setelah pagi, Ouw-yang Sianjin meninggalkan istana Pangeran Bouw Ji Kong, Cu An sendiri tetap berada di rumah orang tuanya karena
dia akan membantu ayahnya dalam rencana menjebak dan membasmi para pemberontak.


          **********


Sepekan kemudian, di sebuah bukit kecil yang penuh hutan, berdatanganlah banyak orang. Karena bukit di sebelah timur kota
raja itu berada di daerah yang tandus dan sunyi dan di daerah itu tidak terdapat dusun, maka mereka yang berdatangan di situ tidak diketahui umum. 


Sejak pagi, tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, berdatangan di
tempat tersembunyi itu, di mana telah dibangun tenda-tenda besar
yang disediakan oleh Pangeran Bouw Ji Kong. 


Di antara mereka yang datang berkumpul di situ terdapat Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan istimewa Nurhacu pemimpin besar Mancu, Tarmalan datuk suku Hui yang dukun ahli sihir. 

Selain tiga orang sakti yang dulu melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi, juga tampak beberapa orang panglima yang sudah dipengaruhi pangeran Bouw Ji Kong dan mendukung rencana pemberontakan dengan janji imbalan kedudukan yang lebih tinggi apabila pemberontakan itu berhasil.
Pangeran Bouw Ji Kong memang hanya mengundang para komandannya saja dan mereka diminta agar tidak mengerahkan pasukan. 

Setelah semua undangan berkumpul di tempat itu, muncul Pangeran Bouw Ji Kong. 

Sekitar tigapuluh orang, para pendukung pemberontakan yang lengkap, telah berkumpul dan setelah
Pangeran Bouw Ji Kong datang, semua berkumpul di tenda besar di mana telah dipersiapkan meja yang disambung-sambung memanjang dan kursi-kursi berhadapan terhalang meja. 


Pangeran Bouw Ji Kong menempati kursi kehormatan yang berada di ujung deretan meja sehingga semua orang duduk di depannya di kanan
kiri meja dan memandang kepadanya.
Wajah Pangeran Bouw Ji Kong tidak cerah seperti biasa,melainkan tampak seperti orang marah. Semua orang yang hadir memandang heran, apalagi ketika pangeran Bouw Ji Kong bangkit berdiri dan berkata nyaring, tangannya menuding ke arah
Hongbacu, tokoh Mancu yang duduk di deretan terdepan bersama
Tarmalan dukun suku Hui dan Hwa Hwa Hoat-su tokoh Pek-liankauw.

"Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita telah dikhianati
oleh orang-orang yang datang dari luar dan mengaku sebagai
pendukung kita! 


Hongbacu orang Mancu ini telah berusaha hendak membunuh puteraku! Kita telah disesatkan oleh golongan Mancu,suku Hui, dan golongan Pek-lian-kauw. 

Mereka itu masing-masing
hendak menguasai kita dan kalau gerakan berhasil, mereka tentu
akan berusaha menyingkirkan kita dan menguasai negara!"


Hongbacu terkejut dan marah, demikian pula Tarmalan dan Hwa
Hwa Hoat-su. "Pangeran!!" bentak mereka bertiga.

"Pangeran, bukan aku yang berkhianat, melainkan puteramu
sendiri! Dia menentang gerakan dan perjuangan kita, tentu saja
seorang pengkhianat yang berada di antara kita amat berbahaya.

Akan tetapi dia melarikan diri dan diculik Ouw-yang Sianjin......"
"Bohong!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncul Bouw
Cu An. "Hongbacu berusaha membunuhku, dan suhu Ouw-yang
Sianjin bahkan yang menyelamatkan aku dari tangan keji Hongbacu!" 


"Nah, Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita selama ini
telah bertindak keliru. Kita dipengaruhi oleh gerombolan bangsa
Mancu, gerombolan Hui, dan gerombolan pemberontak Pek-liankauw. 


Padahal mereka itu hanya akan memanfaatkan kita dan
kalau pemberontakan berhasil, pasti mereka itu akan saling
memperebutkan kekuasaan seperti tiga anjing kelaparan
memperebutkan tulang. Dan kita yang menjadi korban berikutnya.

"Cita-cita kita adalah untuk mendirikan pemerintahan yang sehat
dan adil, kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kalau ada pejabat tinggi
yang bertindak sewenang-wenang, kita dapat mengajukan protes
keras. 


Bukan dengan cara memberontak, karena kalau begitu kita
tidak ada bedanya dengan tiga gerombolan itu!"


Tempat itu menjadi gaduh karena semua orang, terutama para panglima dan pejabat, terkejut bukan main mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong. 


"Pangeran Bouw Ji Kong sudah menjadi gila!" teriak Hwa Hwa
Hoat-su. 


"Saudara-saudara, kita maju terus! Tanpa Pangeran Bouw Ji Kong kita masih dapat merebut tahta kerajaan ini.

Pangeran pengkhianat ini dan puteranya sudah sepatutnya
dihukum mati!" 


Setelah berkata demikian, Hwa Hwa Hoat-su maju menyerang Pangeran Bouw Ji Kong dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.

Hongbacu tokoh Mancu juga sudah menggunakan golok gergajinya untuk menyerang Bouw Cu An.

"Tranggg......!" Pangeran Bouw Ji Kong menangkis serangan pedang Hwa Hwa Hoat-su dan cepat mengelak dari sambaran kebutan. 

Akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su terus mendesaknya dengan serangan yang gencar dan dahsyat. 

Sebentar saja pangeran itu terdesak karena memang tingkat kepandaian dan tenaganya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
"Cringg......!" Bouw Cu An juga menangkis golok gergaji dengan
pedangnya. Hongbacu tokoh Mancu ini memang lihai sekali sehingga sekali menangkis saja Bouw Cu An sudah terhuyung ke belakang. 


Ketika Hongbacu melompat dan menerjangnya kembali, tiba-tiba
berkelebat bayangan kuning.

"Trakk!" Golok gergaji di tangan Hongbacu terpental ketika bertemu dengan pedang bambu di tangan Ouw-yang Sianjin yang melindungi muridnya. 

Sementara itu, ketika Pangeran Bouw Ji Kong terdesak, tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar dan menangkis pedang tokoh Peklian-kauw itu.

"Cringg......!" Hwa Hwa Hoat-su terkejut sekali dan melihat bahwa
yang membuat pedangnya terpental adalah tangkisan Lui-kongkiam (Pedang halilintar) di tangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan!

Dia terkejut dan melangkah ke belakang untuk siap siaga menghadapi lawan tangguh.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring. "Tahan senjata!" dan kini
muncullah seorang panglima yang berusia sekitar limapuluh dua tahun, tinggi tetap dengan kumis jenggot pendek rapi dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang panglima besar.

Semua panglima dan pejabat yang berada di situ terkejut mengenal bahwa dia adalah Panglima Besar Chang Ku Cing dan bersama panglima ini tampak pula Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu dan di belakang mereka tampak ratusan orang perajurit dengan belasan orang perwira tinggi.

"Para pemberontak, kalian sudah terkepung rapat! Menyerahlah atau terpaksa kami akan membasmi kalian semua!"

Para panglima dan pejabat tinggi yang tadinya mendukung
pemberontakan, segera melepaskan senjata mereka dan membuangnya sebagai tanda menaluk karena mereka tahu akan percuma saja melakukan perlawanan. 


Apalagi tadi mereka sudah mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong yang jelas menghentikan pemberontakannya, bahkan menentang para wakil dari Mancu, Hui, dan Pek-lian-kauw.
Sementara itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan yang melihat betapa tempat itu sudah dikepung ratusan orang perajurit
dan di situ terdapat pula pendekar-pendekar muda yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, terutama sekali Hwethian Mo-li, mereka merasa bahwa melawan sama saja dengan membunuh diri. 


Hwa Hwa Hoat-su yang tampak tenang, tidak seperti wakil suku Hui dan Mancu yang agak pucat, segera membuang senjata tanda takluk. 

Dia bahkan tersenyum karena dia merasa yakin bahwa Peklian-kauw tidak akan membiarkan dia dihukum mati. Melihat Hwa Hwa Hoat-su menyerah, Tarmalan dan Hongbacu juga merasa percuma saja kalau melawan, maka mereka juga menyerah.
Demikianlah, para gembong pemberontak itu menyerah tanpa
perlawanan. Mereka semua digiring sebagai tawanan dan dijebloskan penjara. 


Kalau para panglima dan pejabat tinggi menjadi tawanan biasa, adalah tiga orang pimpinan itu, ialah Hwa
Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan, dimasukan dalam tempat
tahanan istimewa. 


Pangeran Bouw Ji Kong yang sebelumnya sudah melepaskan
pemberontakannya, atas jaminan puteranya, Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin, oleh Panglima Besar Chang Ku Cing diperbolehkan pulang. 


Akan tetapi bukan berarti dia bebas dari tuntutan. Panglima besar yang tegas dan adil itu tetap saja akan
menuntutnya di depan pengadilan kelak, dan dia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya.


          **********


Malam itu gelap dan sunyi. Seminggu sudah lewat sejak pemberontak-pemberontak itu ditangkapi dan ditahan oleh Panglima besar Chang Ku Cing dengan bantuan yang diatur oleh Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya menjadi pimpinan pemberontak namun kemudian dapat disadarkan oleh puteranya sendiri, Bouw Cu An. 

Penduduk kota raja, terutama sekali para pejabat pemerintah dapat bernapas lega setelah tadinya mereka dicekam ketakutan karena adanya banyak pembunuhan terhadap para pejabat tinggi.
Para pejabat, juga para penduduk, seolah berpesta atas dibasminya pemberontak. 

Selama seminggu mereka berpesta dan bergembira ria, dapat tidur nyenyak kalau malam.

Malam ini, semua orang tidur setelah seminggu lamanya berpesta dan bersenang-senang. Bahkan para perajurit yang bertugas jaga di istana malam itu lengah karena mereka semua yakin bahwa setelah semua pimpinan pemberontak ditangkap, tidak ada lagi bahaya yang mengancam. "Siapa berani mengganggu istana?"

Malam yang gelap dan sunyi. Setelah lewat tengah malam, tidak ada lagi suara orang di istana. 

Para petugas jaga juga duduk
mengantuk di tempat penjagaan, malas meronda.


Apalagi malam itu mendung tebal menutupi langit. Sebuah pun bintang tidak tampak dan udara teramat dingin. Setelah lewat tengah malam, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di lingkungan istana. 


"Kebakaran! Kebakaran!"
Teriakan itu berulang-ulang dan segera disambut teriakan banyak
orang. 


"Kebakaran! Kebakaran!"
Anehnya, api yang berkobar dengan asap tebal yang mengepul ke angkasa bukan terjadi di satu tempat saja, melainkan di empat penjuru sekeliling bangunan induk istana! 

Berkobarnya api susul-menyusul dan seisi istana menjadi gempar. Semua orang terbangun dan segera berlari-larian, ada yang karena panik berlari-lari kebingungan, akan tetapi sebagian besar lari ke arah kebakaran untuk membantu memadamkan api. 

Ada yang menggunakan air, ada pula yang menggunakan tongkat panjang.
Teriakan mereka semakin menggegerkan seluruh istana.

Sesungguhnya empat tempat kebakaran itu tidaklah seberapa besar, akan tetapi karena kegaduhan dan teriakan-teriakan panik
itu menimbulkan kegemparan. Semua perajurit pengawal membantu untuk memadamkan api. 


Tiga tempat yang terbakar
tidak begitu sukar dipadamkan, akan tetapi gudang dekat istal di
mana terdapat banyak jerami kering dan tumpukan kayu berkobar besar dan agak lama baru dapat dipadamkan.

Sebelum semua kebakaran dapat dipadamkan, Panglima Chang Ku Cing yang menerima laporan, malam itu juga sudah tiba di istana. 

Juga Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Nyo Siang Lan, dan Chang Hong Bu bermunculan di istana setelah mendengar berita bahwa istana kebakaran. Ouw-yang Cin-jin tidak tampak karena setelah pemberontakan diatasi, dia segera meninggalkan kota raja.
Melihat bahwa empat tempat kebakaran itu sudah hampir dapat
dipadamkan, tinggal bagian gudang yang masih berkobar,Panglima besar Chang Ku Cing lalu memerintahkan para pendekar muda dan para perwira yang berada di situ untuk tenang.


"Hati-hati, mungkin ini siasat orang jahat. Mari kita cepat memeriksa ke dalam istana!"


Ketika mereka semua memasuki istana, mereka terkejut bukan main. Tidak kurang dari duapuluh orang perajurit pengawal yang bertugas di dalam istana, juga para Thai-kam (sida-sida) menggeletak malang-melintang dalam keadaan tewas! 


Ada yang tewas tanpa luka, dan ternyata mereka itu ada yang mengisap hawa beracun semacam gas, ada yang terluka dalam karena
pukulan sakti, ada yang retak kepalanya. 


.Pendeknya mereka semua tewas oleh orang atau orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi. 

Didahului oleh Hwe-thian Mo-li, para pendekar muda cepat berlari ke bagian paling dalam, ke tempat di mana terdapat kamar-kamar
pribadi kaisar dan keluarganya. Panglima Chang Ku Cing yang berlari di samping Siang Lan, menemukan lagi beberapa orang Thai-kam penjaga di bagian itu sudah menggeletak tewas.


Padahal, para Thai-kam ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu
silat yang lumayan. Jelas bahwa pembunuhan dilakukan orang-orang yang lihai sekali.

Mereka memasuki kamar tidur Kaisar dan melihat beberapa dayang dan pelayan wanita yang menggeletak malang-melintang,akan tetapi mereka itu ternyata hanya tertotok, tidak dibunuh seperti para penjaga. 

Mungkin karena mereka tidak melakukan perlawanan. 

Ketika Siang Lan membebaskan totokan mereka,mereka menangis dan mengatakan bahwa Kaisar telah diculik orang! 

"Cepat katakan, apa yang telah terjadi!" bentak Panglima Chang Ku Cing, terkejut dan marah sekali mendengar bahwa Kaisar diculik orang. 

Dengan tubuh dan suara gemetar, seorang pelayan wanita setengah tua sambil berlutut memberi laporan.
"Tadi hamba para dayang dan pelayan terkejut dan terbangun dari
tidur ketika mendengar ribut-ribut orang berteriak kebakaran dan
sebagian dari para perajurit pengawal berlari keluar. 


Tiba-tiba hamba melihat beberapa orang Thai-kam penjaga berkelahi
melawan seorang bertubuh kurus yang berpakaian serba hitam
dan mukanya ditutupi kain. Akan tetapi para Thai-kam itu roboh
satu demi satu. 


"Orang bertopeng itu lalu memasuki kamar tidur Sri Baginda Kaisar
dan keluar lagi sambil memondong Sribaginda. Kami berteriak akan tetapi penjahat itu lalu menepuk kami satu demi satu dan kami tak mampu bergerak lagi. Dia lalu melompat keluar dengan amat cepat seperti terbang. 


Demikianlah apa yang hamba ketahui,Thai-ciangkun!" Panglima besar Chang Ku Cing cepat memerintahkan para komandan pasukan untuk mengerahkan pasukan masing-masing,melakukan penjagaan di empat penjuru kota raja, memeriksa semua orang-orang keluar masuk melalui pintu-pintu gerbang kota raja dan melakukan penggeledahan ke dalam setiap rumah di kota raja! 

Juga dia minta bantuan para pendekar muda, yaitu Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, Sim Kun Tek, dan Chang Hong Bu untuk bantu mencari jejak penculik yang melarikan kaisar.
Putera Bouw Ji Kong, pangeran yang memberontak kemudian sadar itu, tidak ikut karena pemuda itu yang merasa terpukul dan malu atas perbuatan ayahnya, setelah pemberontakan gagal dan dia berhasil menyadarkan ayahnya, lalu nekat meninggalkan kota raja dan ikut dengan gurunya, Ouw-yang Sianjin.
Bagi Bouw Cu An memang serba salah. Kalau dia tidak membela ayahnya di pengadilan tidaklah pantas karena dia putera tunggal
Pangeran Bouw Ji Kong. 


Kalau membelanya, apanya yang harus dibela karena jelas ayahnya telah melakukan kesalahan besar,
yaitu pemberontakan. 


Maka dia memilih lebih baik pergi dan dia hanya mengharapkan kebijaksanaan Panglima Chang Ku Cing untuk meringankan hukuman terhadap ayahnya yang pada akhirnya menyadari akan kesalahannya dan membantu pemerintah menjebak para pemberontak.
Penjagaan yang dilakukan para komandan dengan pasukan mereka amat ketat. Bukan hanya di pintu gerbang saja diadakan penjagaan dan penggeledahan pada setiap orang yang keluar masuk, akan tetapi juga di sekeliling tembok kota raja diadakan perondaan yang ketat sehingga agaknya tidak mungkin ada orang dapat membawa Kaisar yang terculik keluar dari kota raja!
Juga para pendekar muda mencari dengan teliti, akan tetapi sampai beberapa hari lamanya tidak ada jejak ditinggalkan penculik itu. 

Penculik dan kaisar yang diculiknya bagaikan lenyap ditelan bumi! Ketika Panglima Chang Ku Cing sendiri, ditemani Nyo Siang Lan, mengunjungi gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Ji Kong untuk bertanya kepada pangeran bekas pemberontak itu, mereka disambut wajah duka dari Nyonya Bouw.

"Thai-ciangkun, kami sekeluarga di sini sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Sribaginda Kaisar karena suami saya sendiri juga menghilang dan kami tidak tahu ke mana perginya."


Panglima Chang Ku Cing mengerutkan alisnya. "Pangeran Bouw Ji Kong menghilang" Sejak kapan dia menghilang?"

"Sudah tiga hari."
"Tiga hari" Kalau begitu bersamaan waktunya dengan diculiknya Sribaginda Kaisar?" 

"Begitulah, Thai-ciangkun. Kami khawatir sekali......"
"Hemmm......!" Panglima Chang Ku Cing tentu saja menjadi curiga
dan menduga bahwa tentu terculiknya Kaisar itu merupakan
perbuatan pangeran itu pula.

Agaknya Nyonya Bouw memaklumi isi hati panglima itu karena ia sambil menangis berkata, "Thai-ciangkun, mohon jangan curigai suami saya. 

Sungguh, saya berani bersumpah bahwa suami saya pasti tidak terlibat dalam penculikan Sribaginda Kaisar itu! 

Suami saya sudah benar-benar menyadari kesalahannya. Ahh, saya
bingung sekali, Thai-ciangkun. 
Kalau saja Cu An berada di sini......"
Nyonya itu menangis sedih.

Tiga orang wanita pelayan yang berada di situ ikut menangis walaupun tanpa suara melihat nyonya majikan mereka menangis
sedih. 


Terdengar suara batuk-batuk dan ketika Panglima Chang Ku Cing dan Siang Lan menengok, mereka melihat di sudut ruangan itu seorang kakek sedang membersihkan perabot dalam
ruangan itu dengan sehelai kain. 


Melihat panglima itu menoleh kepadanya, kakek yang usianya sudah sekitar tujuhpuluh tahun itu segera membungkuk. 

"Mohon maaf, Thai-ciangkun, hamba sekalian para pelayan merasa ikut berduka dengan Hu-jin...... ugh-ugh......" 

Dia kembali terbatuk-batuk kecil. Panglima Chang Ku Cing memandang kakek itu pernuh perhatian,demikian pula Siang Lan. Kakek yang sudah tua itu bertubuh kurus dan lemah, akan tetapi bekerja dengan teliti, dan sikapnya menghormat. 

"Bouw Hujin, siapakah dia?" tanya Panglima Chang kepada Nyonya rumah sambil menunjuk ke arah kakek itu.

"Dia itu Kakek A-kui, pelayan kami yang setia," jawab Nyonya Bouw lirih namun suaranya jelas mendukung sehingga kecurigaan panglima itu dan Siang Lan lenyap.


"Apakah tidak ada tanda-tanda akan hilangnya Pangeran Bouw"
Apakah sebelumnya dia mengatakan sesuatu kepadamu?"


"Tidak ada yang aneh, Chang Thai-ciangkun. Semua biasa-biasa saja dan tiba-tiba, ketika saya bangun pagi, dia sudah lenyap dan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, sampai sekarang tidak ada beritanya. 


Akan tetapi sekali lagi, mohon jangan menyangka bahwa dia terlibat dengan terculiknya Sribaginda Kaisar, Thaiciangkun. Saya yakin bahwa dia 
tidak bersalah......"

Panglima Chang yang tadinya mencurigai pangeran Bouw Ji Kong,
percaya kepada nyonya itu. Pula, apa perlunya Pangeran Bouw melakukan penculikan terhadap kaisar setelah dia sadar akan kesalahannya, bahkan telah membantu pemerintah membasmi para pemberontak" 


Kalau dia melakukannya, sama sekali tidak.ada untungnya baginya, yang ada hanya kerugian besar karena
selain dia menjadi buronan dan kalau tertangkap akan dihukum berat, juga keluarganya akan ikut menderita karena dihukum.

Bukan, pasti bukan Pangeran Bouw Ji Kong yang melakukannya atau yang mendalangi diculiknya kaisar.
Panglima Chang dan Siang Lan pamit dan pergi. 


Setelah mereka pergi, Nyonya Bouw Ji Kong menjatuhkan diri di atas kursinya dan menangis. Tiga orang pelayan wanita itu mencoba menghiburnya.

Kakek A-kui, pelayan tua itu, berkata lirih.


"Bagus, Hujin. Sikap dan tindakan Hujin tepat dan bagus sekali."


Setelah berkata demikian, karena semua perabot di situ sudah dibersihkannya, dia meninggalkan ruangan tamu untuk bekerja di
ruangan lain.


Biarpun Panglima Chang Ku Cing sudah melarang mereka yang berada dalam istana agar jangan menceritakan tentang terculiknya
kaisar, tetap saja berita itu bocor dan membuat rakyat menjadi gempar, khawatir dan ketakutan.


Hal ini dapat dirasakan ketika Panglima Chang dan Siang Lan berjalan keluar dari gedung Pangeran Bouw. Di jalan raya dia melihat sikap rakyat yang rata-rata berwajah muram dan gelisah.

Dia tidak dapat menyalahkan siapa-siapa karena berita seperti itu
tentu segera tersiar, bahkan mungkin sampai jauh di luar kota raja.
Kaisar diculik orang! Berita ini tentu amat mengguncangkan hati
rakyat. 


Mengingat belum diperolehnya hasil dari semua penjagaan ketat
dan pencarian yang amat teliti, wajah Panglima Chang Ku Cing menjadi murung. Biarpun pencarian terhadap kaisar yang hilang itu menjadi tanggung jawab semua pejabat, namun dia merupakan pucuk pimpinan sehingga di tangannyalah terletak pertanggungan jawab itu. 



          **********


"Paman Bu-beng-cu......!"
Tiba-tiba Siang Lan berseru girang ketika seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, wajahnya bersih dan tampan, sepasang matanya mencorong namun senyumnya penuh kelembutan, berada di depannya. 


Laki-laki itu adalah Bubeng-cu, yang menggembleng Siang Lan dengan ilmu-ilmu yang lihai. Panglima Chang Ku Cing memandang penuh perhatian dan Siang Lan segera memperkenalkan. 

"Paman, ini adalah Panglima Chang
Ku Cing! Paman Chang ini adalah Paman Bu-beng-cu yang membimbing saya untuk memperdalam ilmu silat."

Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) segera memberi hormat kepada panglima yang sudah lama dia kenal namanya dan amat dikaguminya itu. 

Panglima Chang membalas penghormatan itu.
"Paman Panglima, kebetulan sekali paman Bu-beng-cu berada di sini. Kalau dia membantu kita, tentu lebih besar harapan kita untuk dapat menemukan Sribaginda Kaisar!"
Panglima Chang menatap wajah Bu-beng-cu penuh perhatian.
"Saudara Bu-beng-cu, apakah engkau sudah mendengar peristiwa itu?" 

"Tentang hilangnya Sribaginda Kaisar" Saya sudah mendengarnya, Thai-ciangkun. 

Justeru karena itulah saya berada
di sini karena saya tahu bahwa Nona Nyo Siang Lan ini pasti sedang sibuk untuk ikut mencari. Saya ingin membantunya sedapat mungkin." 


"Bagus! Marilah ikut dengan kami dan di sana kita bicarakan bersama apa yang harus kita lakukan."
"Maaf, Thai-ciangkun. Saya lebih suka bekerja sendiri karena dengan cara diam-diam si penculik tidak akan mengenal saya dan tidak akan tahu bahwa saya juga ikut mencari Sribaginda. 

Saya akan minta penjelasan dari Hwe-thian Mo-li saja."
Panglima Chang mengangguk-angguk setelah dia memandang
Siang Lan dan melihat gadis itu mengangguk kepadanya.


"Hemm, kami kira gagasan itu baik sekali. Selama ini kami mencari
beramai-ramai dan tentu saja si penculik, kalau memang dia masih
berada di dalam kota raja, akan mudah melihat gerak gerik kami.
Baiklah, kalau begitu, engkau yang memberi keterangan 
kepadanya, Siang Lan. Aku akan mengadakan rapat dengan para perwira pembantuku." Panglima itu lalu meninggalkan mereka berdua. 

Siang Lan merasa gembira bukan main melihat Bu-beng-cu
muncul di kota raja. Semua kekecewaan dan kemurungannya
karena tidak berhasil menemukan kaisar yang diculik orang, lenyap
terganti harapan dan kegembiraan.  


Diam-diam ia merasakan perubahan pada perasaannya ini dan kembali hampir merasa yakin bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada orang yang selama ini bersikap demikian baik, membelanya dan bahkan mau menggemblengnya dengan sungguh-sungguh agar ia kelak dapat membalas dendamnya kepada musuh besarnya yaitu Thian-te Moong!

"Paman, mari kucarikan tempat menginap untukmu."
"Tadi begitu memasuki kota saja aku langsung mencari rumah
penginapan dan sudah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Hok An di ujung selatan kota, Siang Lan," kata Bubeng-cu.

"Kalau begitu, mari kita ke sana dan kita bicara di sana agar lebih
leluasa, Paman." Mereka berdua lalu pergi ke rumah penginapan yang tidak berapa besar itu. 


Bu-beng-cu membuka pintu kamarnya dan membiarkan pintu itu terbuka lebar sehingga tidak akan tampak janggal atau tidak sopan kalau seorang gadis seperti Siang Lan memasuki kamarnya. 

Melihat daun pintu dibuka lebar sehingga tampak dari luar, Siang Lan juga tidak ragu ragu lagi memasuki kamar itu bersama Bu-beng-cu. Di atas meja terdapat buntalan pakaian dan juga segulung kain seperti sebuah lukisan. 

Karena ingin tahu, Siang Lan menghampiri meja. "Ini lukisan apakah, Paman?" Ia merasa heran sekali karena tiba-tiba laki-laki itu menyambar gulungan lukisan itu dan melemparkannya ke atas pembaringannya. "Jangan, Siang Lan. Gambar itu tidak kuperlihatkan kepada orang lain!" Siang Lan menjadi penasaran. 
Aneh, sebuah lukisan saja
mengapa dirahasiakan"
 .

"Aih, lukisan apakah itu maka aku tidak boleh melihatnya, Paman?"
"Lukisan...... seorang wanita!"
Siang Lan merasa seolah-olah ada batu besar menghimpit hatinya
dan ia merasa betapa mukanya menjadi panas. Hatinya merasa
tidak enak sekali. 


"Seorang perempuan, Paman?" tanya Siang Lan sambil mengerling ke arah gulungan kain bergambar itu. "Akan tetapi paman pernah bilang bahwa Paman tidak mempunyai isteri, tidak
mempunyai keluarga. Apakah itu gambar isteri paman?"


Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku belum pernah
beristeri." Kembali Siang Lan merasakan suatu perasaan lega yang baginya kini tidak aneh lagi karena ia hampir yakin bahwa ia sesungguhnya
mencinta laki-laki ini dan tentu saja merasa cemburu.




"Lalu siapakah yang berada di gambar Paman" Kalau gambarnya
Paman bawa ke mana-mana, tentu ia seorang yang...... penting bagimu." 


"Ya...... ia memang seorang yang amat penting bagiku."

"Siapakah ia, Paman?" Siang Lan bertanya penuh ingin tahu, akan tetapi ia menyadari bahwa tidak sepantasnya ia mendesak karena
hal itu sama saja dengan memperlihatkan kecemburuannya, maka cepat-cepat disambungnya. 


"Ah, sudahlah, kalau engkau tidak ingin mengatakan dan ingin merahasiakannya dariku, Paman."
"Siang Lan, lebih baik sekarang kauceritakan yang jelas tentang penculikan atas diri Sribaginda Kaisar itu."

Siang Lan teringat akan tugasnya, lalu ia menceritakan tentang kebakaran di istana sehingga menggegerkan seisi istana lalu setelah api dapat diatasi ternyata para pengawal dalam istana dan seberapa orang Thai-kam terbunuh dan Sribaginda Kaisar lenyap.


"Menurut para pelayan wanita yang pingsan, mereka hanya melihat seorang berpakaian serba hitam dengan muka tertutup kain, bertubuh tinggi kurus, menculik kaisar dan seperti terbang meninggalkan istana."

"Bagaimana ciri-ciri para perajurit yang terbunuh?"

"Pada mayat-mayat itu tampak bekas tangan seorang yang memiliki kesaktian tinggi. 


Mereka semua tewas tanpa luka senjata tajam, agaknya semua terbunuh oleh pukulan jarak jauh yang amat kuat." 

"Mungkinkah penculik itu membawa lari kaisar ke luar kota raja?"
"Agaknya tidak mungkin, Paman, karena selain penjagaan di pintu
gerbang ketat, malam itu juga Panglima Chang memerintahkan
para komandan untuk mengerahkan pasukannya melakukan penjagaan dan perondaan sehingga betapa pun tinggi ilmu kepandaian penculik itu, rasanya tidak mungkin kalau dia dapat membawa Kaisar keluar dari kota raja."

"Dan apakah ada tanda-tanda berapa kiranya jumlah mereka dan apakah meninggalkan tanda bahwa mereka itu terdiri dari pria atau wanita?" 

"Menurut pelayan istana, penculik itu hanya seorang saja. Akan tetapi mereka tidak dapat mengatakan apakah penculik itu pria atau wanita karena memakai pakaian hitam dan penutup muka hitam, tubuhnya kurus, mungkin pria dan mungkin juga wanita."

"Hemm, kalau dia dapat melakukan pembakaran di empat penjuru
lalu melakukan penculikan, membunuh banyak perajurit, jelas dia
memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tentu dia mengenal keadaan dalam istana. 


Jadi menurut pendapat Panglima Chang dan pendapatmu, penculik itu masih berada di dalam kota raja dan menyembunyikan Sribaginda Kaisar di suatu tempat?"

"Kami memang mengira demikian, Paman. Akan tetapi selama tiga hari ini kami menggeledah hampir semua rumah dan hasilnya nihil.
Kami tidak menemukan jejak penculik itu. 


Sribaginda Kaisar seolah lenyap ditelan bumi. Kami khawatir sekali kalau-kalau, entah dengan cara bagaimana, penculik itu berhasil membawa Kaisar keluar dari kota raja. Kalau benar demikian, maka akan sulit untuk dilacak." Bu-beng-cu mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku kira dia belum membawa Kaisar keluar dari kota, Siang Lan.

Resikonya ketahuan besar sekali kalau dia melakukan hal itu.
Tentu dia mempunyai tempat persembunyian rahasia yang amat
baik dan sukar ditemukan. Dan aku hampir yakin orang itu menyamar seperti orang biasa sehingga tidak dicurigai.


"Dan agaknya dia melakukan pekerjaan amat berbahaya bagi
dirinya itu sudah pasti dia mempunyai pamrih. menculik dan
membunuh Kaisar sekalipun, apa untungnya bagi dia" Tentu ada
apa-apanya di balik perbuatannya yang nekat ini. 


Bagaimana dengan Pangeran Bouw Ji Kong" Apakah Panglima Chang tidak
mencurigainya?" "Inilah yang aneh, Paman. Panglima Chang dan aku memang mencurigainya karena dia merupakan bekas pemberontak yang
menunggu diadili. Kami pergi ke sana dan apa yang kami temukan" Keluarganya menangis dan mengatakan bahwa Pangeran Bouw lenyap pada saat terjadinya penculikan terhadap Kaisar itu." 


"Hemm, mencurigakan sekali! Pasti ada hubungannya antara terculiknya Kaisar dan hilangnya Pangeran Bouw!" kata Bu-bengcu.
"Kami juga berpikir demikian, akan tetapi Nyonya Bouw merasa yakin bahwa suaminya tidak terlibat dalam penculikan itu dan wanita itu tampak khawatir sekali. Entah ke mana hilangnya Pangeran Bouw, Paman, diliputi rahasia seperti juga terculiknya Kaisar." 

"Hemm, aku juga berpendapat bahwa Kaisar tentu disembunyikan di suatu tempat dalam kota raja. Sekarang kita berbagi tugas.

Sebaiknya engkau menyelidiki ke gedung Pangeran Bouw......"
"Akan tetapi panglima Chang dan aku sudah ke sana tadi, Paman."
"Maksudku, kau datangi tempat itu malam ini secara rahasia. Kau tadi mengatakan bahwa Nyonya Bouw tampak khawatir atau ketakutan, mungkin ia berbohong atau karena tertekan dan terancam maka ia terpaksa berbohong. 

Selidiki malam nanti, siapa tahu akan ada kebocoran kalau keluarga itu menyimpan rahasia.
Sedangkan aku sendiri, tolong mintakan surat dari panglima Chang
untukku agar aku dapat memasuki tempat di mana mereka ditawan. Aku akan menanyai mereka dan aku punya cara untuk memaksa mereka mengaku kalau mereka tersangkut dan mengetahui akan penculikan ini."


"Baiklah, Paman. Sekarang juga akan kumintakan surat itu. Paman tunggu saja di sini, sehingga sebentar akan kuantarkan ke sini."
Siang Lan lalu pergi ke kantor Panglima Chang dan segera mendapatkan surat yang diinginkan Bu-beng-cu, kemudian menyerahkan surat itu kepada Bu-beng-cu yang menanti di rumah penginapan Hok An. 

Bu-beng-cu menanti sampai malam tiba, baru dia pergi ke penjara di mana Hwa Hwa Hoat-su ditahan. Dia tidak ingin mengunjungi para tawanan lain seperti Kang-lam Jit-sian bekas pengawal Pangeran Bouw yang juga ditawan, atau Hongbacu tokoh Mancu dan Tarmalan dukun suku Hui. 

Dia menduga bahwa kalau ada kawan-kawan dari para pemberontak yang menculik kaisar, tentu datang dari golongan Pek-lian-kauw yang memiliki banyak orang
sakti. 

Maka dia sengaja malam itu mengunjungi Hwa Hwa Hoat-su.
Karena berbekal surat perintah Panglima besar Chang Ku Cing,
dengan mudah saja tanpa dihalangi Bu-beng-cu dapat memasuki penjara dan langsung menuju ke kamar tahanan Hwa Hwa Hoatsu yang kokoh kuat. 


Atas permintaannya, para perajurit penjaga menjauhkan diri dan tidak ada yang dapat melihat atau mendengarkan percakapannya dengan Hwa Hwa Hoat-su.
Hwa Hwa Hoat-su sedang duduk bersamadhi dalam kamar tahanan itu. Sebuah lampu yang cukup terang tergantung dalam kamar yang tidak memiliki perabotan lain kecuali sebuah bangku panjang yang menjadi tempat duduk dan tempat tidur. 

Dindingnya tebal dan dilapisi baja, bagian depannya merupakan jeruji baja yang sebesar lengan orang, amat kokoh.
Biasanya, di depan kamar tahanan ini masih terdapat lima orang perajurit jaga yang menjaga secara bergiliran, siap dengan senjata tombak dan panah. 


Akan tetapi malam ini, para penjaga itu pun menjauhkan diri atas permintaan Bu-beng-cu.
Suara terbukanya pintu membuat Hwa Hwa Hoat-su membuka mata dan memandang ke arah pintu. Pintu kamar tahanannya terbuka dan di ambang pintu tampak seorang laki-laki yang dengan sinar mata mencorong menatapnya.

Mula-mula Hwa Hwa Hoat-su merasa girang sekali karena dia mengira bahwa tentu Pek-lian-kauw telah mengirim seseorang untuk membebaskannya dari tahanan. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya karena tidak mengenal laki-laki itu.
Bagaimanapun dia melihat kesempatan meloloskan diri. 

Kalau yang datang ini bukan kawan yang hendak membebaskannya,
mudah saja baginya untuk membunuhnya dan menggunakan kesempatan selagi kamar tahanan terbuka dan tidak tampak ada penjaga, untuk melarikan diri. Maka dia cepat melompat turun dari atas bangku panjang dan kini berdiri berhadapan dengan Bu-bengcu yang sudah melangkah masuk. 

Sejenak kedua orang ini saling
berpandangan dan Bu-beng-cu berkata tenang.
"Hwa Hwa Hoat-su, apakah keadaanmu baik-baik saja di tempat ini?" Hwa Hwa Hoat-su memandang penuh selidik, lalu bertanya.

"Siapakah engkau dan apa perlumu memasuki kamar tahanan ini?"
"Siapa adanya aku tidaklah penting, Hwa Hwa Hoat-su. Aku datang
mewakili panglima besar Chang Ku Cing dan minta agar engkau mau berterus terang mengaku siapa yang melakukan penculikan atas diri Sribaginda Kaisar!"


Sepasang mata Hwa Hwa Hoat-su, terbelalak, lalu dia tertawa bergelak. "Kaisar diculik" 


Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali!"
"Hwa Hwa Hoat-su, dengarlah baik-baik. Kalau penculikan itu dilakukan seorang temanmu, hal itu sama sekali tidak menguntungkan engkau atau Pek-lian-kauw. 


Seratus orang kaisar boleh kalian culik dan binasakan, akan tetapi seratus orang kaisar lain akan bermunculan dan pemerintah Kerajaan Beng akan masih tetap berdiri teguh. 

Akibatnya, engkau dan teman-temanmu tidak mungkin akan mendapatkan pengampunan lagi, bahkan pemerintah pasti akan berusaha keras untuk membasmi Pek-liankauw. Karena itu, katakan saja siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar!" 

"Ha-ha-ha, orang macam engkau dapat memaksa aku mengaku?"
Tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya. 

Sejak tadi dia memang diam-diam sudah mengumpulkan sin-kang (tenaga sakti) dan kini dia bermaksud sekali serang membuat orang di depannya itu tewas agar dia dapat melarikan diri keluar dari tempat tahanan. 

Angin bagaikan badai menyambar ketika dia menyerang Bu-beng-cu dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Akan tetapi tentu saja Bu-beng-cu bukan seorang yang bodoh dan lengah. 

Sejak semula dia sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang selain lihai, juga terkenal licik. Maka sejak masuk kamar tahanan itu, dia sudah membekali dirinya dengan
pengerahan sin-kang. 


Maka begitu lawan menyerang, dia sudah siap dan dia pun mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut serangan dahsyat itu.

"Syuuuuttt...... blaarrrr......!" Tubuh Hwa Hwa Hoat-su terlempar ke belakang dan membentur dinding lalu terjatuh. Dia terbelalak dan cepat bangkit berdiri, heran dan terkejut bukan main.

Dipandangnya lawannya. Hanya seorang laki-laki yang belum tua
benar, baru sekitar empatpuluh dua tahun usianya, akan tetapi bagaimana mungkin dia bukan hanya mampu menandingi tenaga saktinya, bahkan membuat dia terlempar" Kemudian teringatlah Hwa Hwa Hoat-su. 


"Keparat! Kiranya engkau yang dulu membantu dan melindungi Hwe-thian Mo-li!" Dia merasa penasaran sekali dan menyesal bahwa kedua senjatanya, yaitu pedang dan kebutan putih, telah dirampas sehingga dia tidak dapat menggunakan senjata untuk melawan orang yang dia tahu amat tangguh ini. 

"Siapakah engkau?" Bu-beng-cu tersenyum. "Hwa Hwa Hoat-su, bukan baru sekali itu saja kita bertemu. Lupakah engkau ketika sekitar enam-tujuh tahun yang lalu kita saling bertemu di See-ouw dan ketika itu engkau tidak kubunuh dan kubebaskan setelah engkau bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi?"

Tiba-tiba wajah Hwa Hwa Hoat-su yang biasanya pucat itu menjadi
semakin pucat sehingga kehijauan dan sinar matanya menjadi redup kehilangan semangat.


"Kau...... kau...... Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar) Sie Bun Liong?" Sie Bun Liong atau Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) mengangguk.

"Sekarang terserah kepadamu, Hwa Hwa Hoat-su. Kaukatakan siapa penculik Sribaginda Kaisar dan aku tidak akan mengganggumu, atau kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku tidak akan mengampunimu lagi."

Terbayanglah dalam benak Hwa Hwa Hoat-su akan peristiwa enam tahun lebih yang lalu. Ketika itu dia atas nama Pek-lian-kauw bersama belasan orang anak buahnya mengadakan kegiatan di sekitar See-ouw (Telaga barat), seperti biasa membujuk rakyat
untuk mendukung gerakan Pek-lian-kauw, lalu minta kepada rakyat di dusun-dusun untuk menyerahkan sumbangan untuk biaya "perjuangan". 


Mereka yang membantah atau tidak menaati lalu disiksa, bahkan ada yang dibunuh.

Pada waktu itu, Sie Bu Liong yang mendengar akan hal ini, apalagi
mendengar betapa beberapa orang pendekar yang mencoba menentang Hwa Hwa Hoat-su semua dikalahkan datuk Pek-liankauw itu, segera datang ke tempat itu. Dia mengobrak-abrik semua anak buah Pek-lian-kauw dan akhirnya bertanding dengan Hwa
Hwa Hoat-su. 


Akhirnya Hwa Hwa Hoat-su roboh dan dia tertotok dengan Ilmu Penghancur Tulang yang membuat dia menderita kesakitan yang amat hebat. Seluruh isi tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau, nyeri, panas dan pedih yang hampir tak tertahankan. Celakanya, dia tidak pingsan atau tewas sehingga siksaan itu membuat dia mohon ampun dan bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi.

Demikianlah kenangan itu dan kini kembali dia berhadapan dengan
Thai-lek-sian Sie Bun Liong yang tadi sudah membuktikan bahwa
tingkat kepandaian pendekar itu masih tetap lebih tinggi daripada
tingkatnya. Dia merasa ngeri sekali.

"Thai-lek-sian, aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu,
lebih baik kaubunuh saja aku!" katanya.

Bu-beng-cu menggelengkan kepala. 

"Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan memukulmu dengan Ilmu Penghancur Tulang lalu meninggalkanmu di sini. Engkau akan
tersiksa selama empatpuluh hari baru akan mati."


Ancaman itu membuat Hwa Hwa Hoat-su mati kutu. Dia merasa ngeri sekali dan akhirnya dia mengaku setelah menghela napas berulang-ulang. "Biarpun aku sendiri tidak dapat membuktikan, namun aku yakin bahwa satu-satunya orang yang mampu melakukan penculikan
terhadap Kaisar, kalau orang itu dari Pek-lian-kauw, adalah suhengku (kakak seperguruanku) Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Arwah). 


Dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara kami."
"Hemm, bagus engkau mau mengaku. Sekarang katakan di mana dia berada dan di mana pula dia menyembunyikan Sribaginda Kaisar!" Hwa Hwa Hoat-su menggelengkan kepalanya. 


"Thai-lek-sian, aku telah tertawan dan ditahan di sini, sama sekali tidak mendapatkan hubungan luar penjara. Bagaimana aku dapat mengetahui di mana dia berada dan di mana pula Kaisar disembunyikan" 

Tadinya pun aku hanya menduga saja bahwa Suhengku yang melakukannya.
Biar engkau paksa bagaimana pun, mana mungkin aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya?"


Bu-beng-cu berpikir sejenak. Alasan Hwa Hwa Hoat-su ini tak dapat disangkal kebenarannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dia berada dalam tahanan" Tentu sebelum dia tertawan, tidak ada rencana untuk menculik kaisar karena Pek-lian-kauw tadinya
hanya mendukung dan membantu pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong!  


Pangeran Bouw! Agaknya dia mengetahui akan rahasia ini maka
dia menghilang! Mudah-mudahan Siang Lan dapat menemukan
sesuatu, demikian Bu-beng-cu berpikir.


"Baiklah, Hwa Hwa Hoat-su. Aku percaya keteranganmu!" Setelah
berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan mengunci
lagi pintu tahanan lalu memanggil para penjaga. Dia pun keluar dari
penjara itu. 


Bagaimanapun juga, dia tidak gagal sama sekali. Dia dapat
mengetahui siapa kiranya yang menculik kaisar. Cui-beng Kui-ong,
datuk terbesar Pek-lian-kauw. Dia belum pernah bertemu dengan
datuk itu, akan tetapi pernah mendengar kebesaran namanya dan
kehebatan ilmu kepandaiannya.

Dia harus segera lapor kepada Panglima Chang Ku Cing. Dia
kembali ke rumah penginapan menanti datangnya pagi. Dia akan
menanti sampai Siang Lan datang berkunjung, baru bersama gadis
itu akan mengunjungi panglima Chang.


Malam itu, sesuai dengan hasil perundingan dengan Bu-beng-cu,
Siang Lan mengunjungi gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ia
menanti sampai lewat tengah malam. Setelah suasana amat sepi
ia melompati pagar tembok gedung yang mewah seperti istana itu,
lalu dengan gerakan ringan ia melompat ke wuwungan rumah. Ia
mulai mengintai dari atas genteng, berpindah-pindah,mendengarkan mereka yang masih belum tidur bicara. 

Akan tetapi ia hanya dapat mendengar mereka yang sedang melakukan penjagaan saja, dan para penjaga itu tidak membicarakan sesuatu yang penting mengenai Pangeran Bouw Ji Kong, juga tidak ada yang bicara tentang hilangnya kaisar yang terculik orang.
Sampai menjelang fajar ia menyelidiki namun tidak berhasil
menemukan sesuatu yang penting. 


Ketika ia mengambil keputusan
untuk meninggalkan atap gedung itu, tiba-tiba ia mendengar suara
wanita menangis. Cepat ia melayang turun dan menghampiri
kamar dari mana terdengar suara tangis itu.


Cuaca masih gelap sehingga ia dapat bersembunyi di balik jendela, melubangi daun jendela dan mengintai ke dalam kamar. Ia melihat
Nyonya Bouw, isteri pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk di kursi dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertarik sekali. 


Pasti nyonya ini mengetahui sesuatu, mungkin mengetahui di mana
suaminya berada dan mengapa suaminya menghilang. Ia ingin masuk dan mendesak agar nyonya itu mau mengaku. Akan tetapi ia menahan gerakannya karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dengan suara keras, agaknya didorong dari luar dan
masuklah seorang kakek tua yang kurus berpakaian pelayan.

Kakek tua itu adalah kakek pelayan yang pernah ia lihat dan menurut Nyonya Bouw bernama A-kui, seorang kakek yang tampak lemah. Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak tampak sebagai pelayan yang taat dan lembut karena ia membentak dengan suara bengis. 

"Sudah berapa kali aku melarang engkau menangis! Apa kau ingin
melihat kepala suamimu kupenggal dan kubawa di depanmu?"

Wanita itu menahan jeritnya dan ia meratap. "Ampuni aku......
ampuni suamiku...... ah, jangan bunuh suamiku......!"


"Kalau begitu, diam dan jangan menangis. Sekali lagi aku mendengar engkau menangis, kepala suamimu akan kulempar didepan kakimu!" 

Setelah berkata demikian, "pelayan" itu keluar dari kamar meninggalkan Nyonya Bouw yang menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya di bantal untuk menahan suara tangisnya. 

Cepat sekali Siang Lan lalu melompat
dan memasuki kamar itu melalui pintu yang terbuka tanpa mengeluarkan suara. 


Ia menepuk tengkuk Nyonya Bouw sehingga wanita itu terkejut dan
mengangkat mukanya memandang Siang Lan akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara karena Siang Lan telah menotoknya. Ia memberi isyarat agar wanita itu tidak terkejut dan mengeluarkan suara, kemudian setelah membantu wanita itu duduk, ia membebaskan totokannya dan berkata lirih.

"Bouw Hujin, cepat katakan di mana suamimu berada?"

Dengan tubuh gemetar nyonya itu menuding ke arah bagian belakang rumah. 

"Di ruangan bawah tanah...... ruangan rahasia suamiku......" "Di mana letaknya?"

"Di kamar suamiku, dua pintu dari sini...... akan tetapi ruangan itu
tersembunyi...... putar arca singa di sudut kamar dan ada pintu rahasia di belakang almari terbuka......"


"Jangan khawatir, aku akan menolong suamimu. Apakah Sribaginda Kaisar juga berada di situ?"

Wanita itu mengangguk dan Siang Lan segera meninggalkan kamar itu. Hatinya berdebar tegang karena selain merasa girang sekali telah menemukan di mana Kaisar disembunyikan, juga amat khawatir akan keselamatan Sribaginda Kaisar. 


Ia segera mencari kamar Pangeran Bouw Ji Kong seperti yang ditunjukkan Nyonya Bouw tadi dan mudah saja menemukan kamar yang besar itu.
Melihat pintunya saja sudah lain karena pintunya terhias ukir-ukiran indah. Akan tetapi tiba-tiba daun pintu itu terbuka dari dalam.
Secepat kilat Siang Lan menyusup ke belakang pot tanaman yang besar dan bersembunyi sambil mengintai. Ia melihat kakek kurus tadi memegang sapu dan di pundaknya tersampir sehelai kain yang biasa dipergunakan untuk membersihkan perabotan rumah.
Kakek itu berjalan dengan langkah terseok lemah menuju ke bagian depan sambil menyeret sapunya.


"Jahanam busuk!" Siang Lan 

mengutuk dalam hatinya. Siapa dapat
menyangka kakek yang tampak seperti seorang pelayan tua lemah
itu yang telah menculik kaisar, bahkan telah menyekap Pangeran
Bouw Ji Kong ke dalam ruangan bawah tanah!


Kalau menurutkan kemarahannya, ingin Siang Lan langsung menyerangnya. Akan tetapi ia bukan seorang gadis yang bodoh.
Sebelum menghajar penculik itu, ia harus lebih dulu melihat keadaan kaisar dan menolongnya. 


Menyelamatkan Sribaginda Kaisar harus didahulukan dan ini lebih penting daripada menghajarpenculik itu. 
Maka ia diam saja sampai kakek itu memasuki ruangan lain yang cukup jauh dan tidak tampak lagi. Baru ia
memasuki kamar tidur Pangeran Bouw.


Mudah saja menemukan arca singa di atas meja di sudut kamar.
Cepat didekati meja itu lalu diputarnya arca itu. Terdengar bunyi
berderit perlahan dan sebuah almari yang menempel pada dinding tiba-tiba bergerak dan bergeser. Di belakang almari itu kini terbuka
pintu menuju tangga ke bawah!

Dengan jantung berdebar tegang namun penuh kewaspadaan Siang Lan menuruni tangga itu. Setelah tiba di bawah ia memasuki lorong dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Dilihatnya Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw Ji Kong duduk di atas lantai dalam keadaan terikat kaki tangan mereka. 

Mereka berdua tampak pucat namun dalam keadaan sehat dan masih hidup!

"Yang Mulia!" Siang Lan berseru dengan gembira dan terharu.
Cepat ia melepaskan ikatan kaki tangan kaisar, lalu melepaskan pula ikatan kaki tangan Pangeran Bouw karena kini ia yakin bahwa pangeran itu tidak bersalah dalam hal penculikan kaisar, bahkan dia sendiri juga ditawan.


Sementara itu, setelah Siang Lan meninggalkannya, Nyonya Bouw
Ji Kong menjadi khawatir sekali. Ia lalu menyelinap keluar gedung
melalui pintu belakang, membangunkan kusir dan memerintahkan kusir cepat menyiapkan kereta. Kemudian, Nyonya ini menunggang kereta dan minta kusirnya membalapkan kereta
keluar halaman gedung. 


"Bawa aku cepat ke rumah Panglima Chang Ku Cing!" perintahnya dengan tubuh dan suara gemetar.
Para pelayan yang terbangun tidak ada yang berani bertanya dan kusir itu biarpun menjadi keheranan tidak berani bertanya pula.

Setelah tiba di pintu gerbang halaman gedung Panglima Chang, para penjaga menghentikan kereta itu. Akan tetapi mereka mengenal Nyonya Bouw dan ketika wanita itu mengatakan hendak
menghadap Panglima Chang karena urusan penting sekali mereka
membuka jalan. 


Pada waktu itu, hari masih pagi sekali. Akan tetapi sepagi itu, Panglima Chang Ku Cing sudah bangun dan bahkan pada saat itu
sudah menerima seorang pengunjung yang diterima di kamar tamunya. Pengunjung itu bukan lain adalah Bu-beng-cu.


Seperti kita ketahui, Bu-beng-cu berhasil memaksa Hwa Hwa Hoat-su mengaku bahwa mungkin sekali yang menculik kaisar adalah seorang datuk Pek-lian-kauw bernama julukan Cui-beng Kui-ong, akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su tidak tahu di mana datuk itu
menyembuyikan kaisar. Bu-beng-cu menceritakan kepada Panglima Chang betapa lihai dan berbahayanya datuk berjuluk Cui-beng Kui-ong itu. 


Dia juga menceritakan bahwa dia berbagi tugas dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang kini menyelidiki
gedung Pangeran Bouw. 


Tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika seorang pengawal melaporkan bahwa Nyonya Bouw datang berkunjung. Ketika wanita itu diijinkan masuk, ia lari memasuki ruangan tamu dan menjatuhkan diri di atas lantai sambil terengah-engah dan tubuhnya menggigil saking tegang dan takutnya.

Panglima Chang segera menghampiri dan membantu nyonya itu bangkit dan dipersilakan duduk.
"Bouw Hujin, apakah yang terjadi:......?" tanyanya.
"Celaka, Chang Thai-ciangkun...... celaka......" Nyonya Bouw bicara gemetar dan bercampur tangis. "...... suamiku......

Sribaginda Kaisar...... mereka...... mereka ditawan......" Wanita itu
tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya mengguguk. 


Panglima Chang berkata penuh wibawa. "Tenanglah, Nyonya.
Katakan, di mana Sribaginda Kaisar ditahan" Dan oleh siapa?"

"Yang menculik Sribaginda...... dan menawan suamiku...... dia
adalah...... pelayan kami...... kakek A-kui...... mereka ditawan dalam ruangan bawah tanah...... di bawah...... kamar suamiku......" suaranya semakin lemah dan nyonya itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terus memberi keterangan. "...... tadi...... tadi...... ada seorang nona...... ia hendak menolong...... akan
tetapi...... ahh, saya...... saya...... khawatir sekali......"


Ia pun terkulai lemas dan pingsan! "Thai-ciangkun, saya pergi menyusul Hwe-thian Mo-li!" Bu-beng-cu berpamit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari ruangan tamu itu. 

Panglima Chang cepat memanggil perwira pembantu dan memerintahkannya agar segera mempersiapkan pasukan dan mengepung rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Perwira itu
cepat melaksanakan perintah dan sebentar saja sepasukan perajurit terdiri dari duaratus orang sudah berlari-larian dalam barisan menuju rumah Pangeran Bouw.


Panglima Chang Ku Cing memanggil pelayan setelah mereka menyadarkan kembali Nyonya Bouw, wanita itu diminta untuk bercerita kepada Panglima Chang.

Nyonya Bouw bercerita dengan suara gemetar. Ternyata tiga hari yang lalu, pada suatu malam A-kui, pelayan tua mereka itu memasuki kamar tidur suami isteri ini. Ketika Pangeran Bouw terbangun dan melihat A-kui dalam kamar memutar arca singa sehingga pintu rahasia terbuka, dia terkejut. 

Apalagi ketika melihat A-kui memanggul tubuh Kaisar di pundak kirinya. Tentu saja dia merasa heran dan terkejut bukan main.
"Mengapa Pangeran Bouw terkejut dan heran" Apakah dia tidak tahu bahwa kakek itu seorang yang lihai dan telah menculik kaisar?" tanya Panglima Chang.
"Dia tidak tahu, Panglima, kami semua dahulu menerima A-kui
sebagai pelayan, sama sekali tidak tahu bahwa dia seorang yang demikian sakti dan jahat. 


Suamiku mencoba untuk merampas
Sribaginda Kaisar, akan tetapi dengan sebelah tangan saja A-kui telah mendorong dan memukul suamiku sehingga roboh dan pingsan. 


"Kemudian dia membawa Sribaginda Kaisar dan suamiku ke dalam ruangan bawah tanah dan mengancam bahwa kalau saya
membuka rahasianya, dia akan membunuh Kaisar dan suamiku.


Karena itulah, Thai-ciangkun, saya sama sekali tidak berani menceritakan hal itu kepada siapapun juga, bahkan seisi rumah selain saya tidak ada yang mengetahuinya.
"Akan tetapi ketika Nona pendekar tadi datang dan bilang hendak menolong, saya memberitahu kepadanya di mana Sribaginda
Kaisar disembunyikan.. 


Setelah ia pergi, saya menjadi ketakutan.
Bagaimana ia, seorang gadis muda, akan dapat mengalahkan Akui" Sedangkan suami saya sendiri begitu mudah dirobohkan!"


Panglima Chang lalu menyuruh isteri dan para pelayan untuk mengurus Nyonya Bouw dan menghiburnya, sedangkan dia sendiri segera membawa pasukan pengawal menyusul ke gedung Pangeran Bouw Ji Kong. 

"Yang Mulia, harap Paduka tenang dan menanti di sini dulu.
Pangeran Bouw Ji Kong, harap engkau suka menjaga Sribaginda Kaisar di sini, aku akan mencari dan menangkap penculik jahanam
itu!" kata Siang Lan.

Kaisar mengangguk, akan tetapi pangeran Bouw berkata.

"Nona, berhati-hatilah. A-kui itu ternyata adalah seorang yang amat
sakti sekali." "Jangan khawatir!" kata Siang Lan. Tidak bisa terlalu disalahkan kalau Siang Lan memandang ringan A-kui karena memang penampilan kakek itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan sebaliknya,dia tampak lemah dan lugu.


Setelah mencabut Lui-kong-kiam, Siang Lan lalu berlari keluar dari
ruangan bawah tanah melalui tangga yang menembus kamar tidur
Pangeran Bouw Ji Kong. 


Akan tetapi begitu keluar dari pintu
rahasia di balik almari yang terbuka sejak tadi, dia melihat A-kui memasuki kamar itu dan sekali ini wajah A-kui tidak lagi lemah dan lugu, melainkan beringas dan sepasang matanya mencorong seperti mata setan, mengeluarkan sinar yang mengejutkan.


"Jahanam busuk!!" Siang Lan memaki dan tanpa banyak bicara lagi ia sudah menyerang dengan dahsyat, menusukkan Lui-kong-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu ke dada kakek yang hanya dikenalnya sebagai A-kui. 

Serangan Siang Lan ini hebat sekali,serangan mematikan karena ia langsung menyerang dengan jurus Kiam-sian-sia-ciok (Dewa Pedang Memanah Batu).

Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju ulu hati kakek itu.
Akan tetapi kakek yang tampak lemah itu ternyata lihai bukan main.
Dia memutar tubuh, mengelak sambil membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya bergerak memutar dari samping, dengan jari terbuka menangkis pedang dengan jurus Sin-liong-kian-wi (Naga Sakti Sabetkan Ekor). 


Tangkisan dengan tangan kosong seperti ini terhadap sebatang pedang pusaka seperti Lui-kong-kiam, apalagi yang dimainkan oleh seorang gadis yang memiliki sin-kang luar biasa kuatnya seperti Siang Lan, amatlah berbahaya. 

Kalau Si penangkis tidak
memiliki tenaga amat dahsyat, mungkin saja tangannya akan terbabat putus. 


"Tinggg......!" Pedang Lui-kong-kiam itu berbunyi seperti dipukul baja. Siang Lan terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar hebat. 

Namun, gadis yang tak mengenal takut ini sudah siap menyerang lagi. "Tahan, agaknya engkau ini yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?" tibatiba A-kui berseru.
Siang Lan menahan pedangnya. 


"Benar, aku orangnya!"
"Jadi, engkau yang telah membunuh murid keponakanku Hoat Hwa Cin-jin?" 


"Benar pula! Dan kalau engkau tidak menyerah, engkau pun akan kupenggal batang lehermu!"

"Heh-heh, gadis sombong dan liar! Justeru engkau yang akan kutawan menambah jumlah sandera!"
"Kalau begitu mampuslah kau!" Siang Lan menyerang lagi dengan bacokan dari samping ke arah leher lawan dengan jurus Hun-intoan-san (Awan Melintang Memotong Gunung). 

Pedangnya yang menjadi sinar kilat saking cepatnya digerakkan itu menyambar dahsyat. Akan tetapi tahu-tahu di tangan kiri kakek itu telah terpegang seuntai tasbeh hitam dan tasbeh itu berubah menjadi gulungan sinar hitam ketika menangkis sabetan pedang Lui-kong-kiam yang mengarah lehernya. 495 

"Cringgg!" Kembali Siang Lan merasa tangannya tergetar ketika
tasbeh hitam itu menangkis pedangnya.


Tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari depan ke arah matanya. Itu adalah sehelai kain merah di tangan kakek itu yang
meluncur ke arah mukanya sehingga membuat pandang matanya
silau. 


Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gugup. Gerakannya yang amat ringan karena kini gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasainya sudah mencapai tingkat tinggi berkat bimbingan Bu-beng-cu, membuat gadis itu dapat menghindar dengan lompatan ke belakang. 

Kemudian tanpa melewatkan sedetik pun, tubuhnya sudah
berkelebat lagi ke depan, pedangnya menyerang dengan gerakan
Liu-seng-kan-goat (Bintang Cemara Mengejar Bulan). Jurus ini
amat dahsyat karena terdapat serangan beruntun enam kali yang
amat berbahaya dan susul-menyusul.


Namun kakek itu benar-benar sakti. Kini bukan hanya tasbehnya
yang menangkis sehingga mengeluarkan bunyi berkencringan
berulang-ulang, akan tetapi juga sabuk merahnya menangkis dan
sekaligus berusaha membelit pedang Lui-kong-kiam. 


Siang Lan tentu saja tidak membiarkan pedangnya terampas, maka ia membantu pedangnya dengan pukulan telapak tangannya yang membuat sabuk merah itu tertiup dan tidak dapat membelit
pedang. Serang menyerang terjadi dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang luas itu. 


Meja kursi terlempar oleh tendangan kedua orang yang sedang bertanding. Ternyata dalam hal ilmu silat, kedua orang ini memiliki tingkat berimbang. Siang Lan memang sedikit lebih
menang dalam hal kecepatan gerakan, namun ia kalah kuat dalam
penggunaan tenaga sakti. 


Apalagi karena kakek itu mencampur
sin-kang dengan Hoat-sut (sihir), maka sering kali Siang Lan terhuyung oleh pengaruh sihir melalui bentakan kakek itu.


Bagaimanapun juga, kakek itu merasa penasaran sekali. Dia adalah datuk nomor satu di Pek-lian-kauw dan mungkin tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan para pemimpin jajaran tingkat atas dari Pek-lian-kauw pusat. Masa kini melawan seorang gadis saja dia tidak mampu mengalahkannya"


Setelah bertanding lebih dari tigapuluh jurus dan mereka saling
menyerang dan belum ada yang tampak terdesak, tiba-tiba kakek
itu berteriak seperti bunyi seekor burung gagak dan kain merah di
tangan kanannya melayang dan ujungnya menyambar ke arah
ubun-ubun kepala Siang Lan. 


Serangan ini berbahaya sekali karena kalau sampai ubun-ubun kepala terkena patukan atau totokan ujung kain merah, Siang Lan pasti akan tewas. Gadis ini cepat mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya ke arah ujung kain merah itu. 

"Pratt!" Ujung kain merah itu putus, akan tetapi tiba-tiba ujung itu
mengeluarkan uap berwarna merah yang menyerang dan mengenai muka Siang Lan. Gadis itu tidak keburu menahan napasnya sehingga ada uap
merah yang terhisap olehnya. 


Seketika kepalanya pening,pandang matanya kabur dan ia pun terhuyung ke belakang, ke arah pintu rahasia terbuka!

Cui-beng Kui-ong atau A-kui, kakek itu, tertawa dan dia sudah menyambar tubuh Siang Lan yang pingsan, lalu membawanya turun ke ruangan bawah tanah. Dia marah sekali karena rahasianya ketahuan. 

Dia teringat kepada Nyonya Bouw dan
memaki. "Anjing perempuan itu pasti yang membocorkannya. Ia pantas
mampus!" 


Dia lalu menotok punggung Siang Lan dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas lantai, tidak mempedulikan pedang Lui-kong-kiam yang ikut terlempar, dan seolah tidak melihat bahwa Kaisar dan Pangeran Bouw telah lepas dari ikat mereka. 

Dia terlalu memandang rendah tiga orang tawanannya, apalagi setelah Siang Lan dia buat tidak berdaya dengan totokannya.

Nafsu amarah membuat dia lengah dan kakek itu cepat melompat keluar dari ruangan bawah tanah, lalu menutupkan kembali pintu rahasia yang hanya dapat dibuka dengan memutar arca singa itu.
Setelah pintu tertutup, dia lari mencari Nyonya Bouw. Akan tetapi
dia tidak dapat menemukannya, maka bagaikan gila dengan kejam
dia membunuhi siapa saja yang ditemukannya. 


Kegilaannya itu membuat tujuh orang pelayan, lima wanita dan dua pria, yang bertahan di situ ketika yang lainnya sudah pergi meninggalkan
keluarga Pangeran Bouw, dibantai Cui-beng Kui-ong!


Dengan kemarahan masih meluap-luap, kini Cui-beng Kui-ong yang kedua tangannya berlepotan darah karena membantai para pelayan dengan tangan kosong, memecahkan kepala, menusuk dada dengan tangan dan jarinya, berlari memasuki kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. 


Sementara itu, melihat Siang Lan roboh dan tidak mampu bergerak, Pangeran Bouw Ji Kong yang memiliki tingkat ilmu silat cukup tinggi, segera memeriksanya. Dia tahu bahwa gadis itu masih pingsan dan dalam keadaan tertotok. 

Cepat ia mengambil air yang disediakan untuk minum di ruangan itu dan membasahi muka Siang Lan dengan air. Gadis itu mengeluh dan siuman, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
Pangeran Bouw berusaha untuk membuka totokan itu, akan tetapi
dia selalu gagal. 


"Nona, tahukah engkau bagaimana membuka totokan pada tubuhmu ini?" "Totokan ini rasanya aneh, aku sendiri tidak tahu," jawab Siang Lan
lirih. 


Pada saat itu, terdengar suara gerengan dan kakek A-kui yang kini
tampak menyeramkan seperti orang gila, sudah menuruni tangga.

Melihat ini, Pangeran Bouw cepat memungut pedang Lui-kongkiam milik Siang Lan yang ikut terlempar ke lantai dan dia sudah berdiri melindungi kaisar.

Dengan pedang di tangan Pangeran Bouw menghadang lalu berkata dengan suara garang. "Kakek A-kui, siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau menculik Sribaginda Kaisar?"

"Heh-heh-heh, mau tahu aku siapa" Aku adalah Cui-beng Kui-ong,
datuk dari Pek-lian-kauw! Aku memang diselundupkan menjadi
pelayanmu untuk bertindak kalau-kalau pemberontakanmu gagal.

Siapa kira, engkau malah mengkhianati perjuangan sendiri
sehingga suteku Hwa Hwa Hoat-su terjebak dan tertawan. Kalian
semua akan kubunuh, kucincang agar dendam kami Pek-lian-kauw
terbalas......" 


Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring memasuki ruangan
bawah tanah itu. "Cui-beng Kui-ong......!" Suara itu terdengar jelas sekali,menandakan bahwa suara itu diteriakkan orang yang
menggunakan tenaga khi-kang sehingga mengandung getaran
yang amat kuat, dapat terdengar dari jauh. 


"Rumah ini sudah
terkepung ratusan perajurit! Engkau menyerahlah dan bebaskan
Sribaginda Kaisar!!"

Kakek itu terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah
meluncur seperti terbang keluar dari ruangan bawah tanah, kemudian dari dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong dia menjawab dengan suara yang sama nyaringnya karena dia juga mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya.


"Hai kalian yang berada di luar! Bebaskan dulu Hwa Hwa Hoat-su
dan semua kawan kami yang tertawan, baru kami akan
membebaskan kaisar!"

Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban karena Bu-bengcu yang tadi mengeluarkan teriakan itu berunding dengan Panglima Chang Ku Cing lebih dulu sebelum menjawab. 

Kemudian dia mengerahkan khi-kang dan melengking. menjawab dengan suara "Cui-beng Kui-ong, dengar baik-baik! Kalau engkau sekarang
membebaskan Sribaginda Kaisar dan mempersilakan beliau keluar
menemui kami, maka kami berjanji akan membebaskan Hwa Hwa
Hoat-su dan teman-temannya yang kami tawan."


"Tidak" Harus kalian yang lebih dulu membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya, baru Kaisar akan kubebaskan!"terdengar jawaban kakek itu.


"Dengar, Cui-beng Kui-ong! Syarat kami tidak dapat ditawar lagi!
Kalau engkau mengganggu Sribaginda Kaisar apalagi sampai membunuhnya, kami akan menyiksa semua temanmu di penjara
sampai mati dan engkau juga akan kami hukum mati dan kepalamu
akan kami gantung di depan pintu gerbang agar semua orang dapat melihat dan menghinamu!"

"Ha-ha-ha" Kalian kira aku takut akan ancaman itu" Aku akan membawa Kaisar keluar dan siapa berani menentangku dan tidak mau membebaskan kawan-kawanku, aku akan membunuh Kaisar di depan hidung kalian!!"

Setelah berkata demikian, Cui-beng Kui-ong lalu memasuki pintu
rahasia dengan niat membawa Kaisar keluar sebagai sandera. Dia percaya bahwa kalau dia mengancam nyawa kaisar di depan semua panglima itu, pasti tidak ada yang berani menyerangnya dan dia dapat memaksa mereka membebaskan semua tawanan.

Akan tetapi begitu dia menuruni anak tangga untuk membawa
kaisar keluar, Pangeran Bouw Ji Kong sudah menghadangnya
dengan pedang Lui-kong-kiam di tangannya! Siang Lan masih
dalam keadaan tertotok dan ia merasa lemah sekali. 


Gadis perkasa ini maklum bahwa ia telah keracunan berat oleh uap merah dan juga totokan yang dilakukan kakek itu bukan totokan biasa,
melainkan sejenis pukulan yang membuat ia terluka oleh hawa
beracun yang amat berbahaya.

"Hemm, Pangeran Bouw, aku hendak membawa Kaisar keluar.
Engkau berani mencegah aku?" seru Cui-beng Kui-ong dengan
marah dan juga heran akan sikap pangeran ini. 


Seorang yang tadinya hendak memberontak, hendak membunuh kaisar dan merampas tahta kerajaan, kini berbalik malah hendak melindungi kaisar! 

"Jangan engkau berani menyentuh Sribaginda Kaisar! Aku siap
membelanya dengan taruhan nyawaku untuk menebus dosa-dosaku!" kata Pangeran Bouw Ji Kong dengan sikap tegas. 


Siang Lan hanya dapat memandang dengan hati panas dan khawatir,
akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.

"Heh-heh-heh, pangeran tolol, memang engkau akan mampus
lebih dulu!" 


"Hyaaatt!!" Pangeran Bouw Ji Kong menyerang dengan pedang
Lui-kong-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus paling ampuh. Begitu menyerang, dia menggunakan ilmu silat pedang simpanannya, yaitu Kan-seng-sinkiam-hoat (Ilmu Pedang Sakti mengejar Bintang).

Namun, tingkat ilmu pedangnya masih jauh di bawah tingkat
kepandaian kakek itu. Cui-beng Kui-ong hanya mengelak dan menangkis dengan tangan dari samping sambil berusaha menangkap pedang dan merampasnya. 


Akan tetapi dia tahu bahwa pedang Lui-kong-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka dia juga berhati-hati agar tangannya jangan sampai terluka. Hal ini membuat Pangeran Bouw dapat bertahan sampai belasan jurus. 

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan tasbehnya dan melontarkan ke
atas. Tasbeh itu bagaikan hidup berputar-putar dan melayang di
udara, mengeluarkan suara berkeritikan dan menyambar ke arah
kepala Pangeran Bouw. 


Pangeran ini berusaha membacok dengan pedangnya, akan tetapi tasbeh itu seperti seekor burung hidup,
dapat mengelak dan menyambar-nyambar, membuat Pangeran
Bouw mencurahkan perhatiannya ke atas untuk menangkis
serangan tasbeh. 


Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mengeluarkan sabuk merahnya
dan sekali sabuk itu meluncur seperti sinar merah, leher Pangeran
Bouw tepat tertotok oleh ujung sabuk. Pangeran itu roboh seketika,
pedangnya terlepas dari tangannya dan dia tewas karena totokan ujung kain merah itu selain dahsyat sekali mengenai tenggorokannya, juga dari ujungnya keluar hawa atau uap
beracun. 


Kaisar yang juga melihat perkelahian itu duduk dengan sikap tenang di atas lantai sambil bersila. Agaknya dia memang pantas menjadi seorang kaisar, sama sekali tidak tampak takut biarpun dia tahu bahwa kini dirinya tidak mempunyai pelindung lagi.

Sementara itu, Siang Lan sudah hampir tidak dapat menahan rasa
nyeri di dadanya dan pernapasannya juga sesak terengah-engah.
Ia menyadari bahwa semakin ia berusaha untuk mengerahkan sinkang (tenaga sakti), rasa nyeri dalam dadanya makin menghebat.

Maka kini ia hanya diam menahan diri menenangkan hatinya namun ia masih dapat melihat sikap kaisar dan diam-diam ia merasa kagum dan juga terharu.

"Hayo, engkau ikut denganku keluar dan perintahkan mereka untuk
membebaskan semua temanku yang ditawan!" kata Cui-beng Kuiong sambil melangkah menghampiri kaisar.

Siang Lan memaksa diri berseru. 

"Keparat busuk, jangan ganggu Sribaginda!" "Heh-heh, engkau iblis betina Hwe-thian Mo-li! Engkau juga harus mati untuk menebus dosamu membunuhi banyak orang Pek-liankauw. Terimalah ini!"

Kakek itu melemparkan tasbehya yang berputar dan melayang ke arah kepala Siang Lan. "Wirrr...... pyarrrr......!!" Tiba-tiba sebuah benda sebesar kepala orang menyambar ke arah tasbeh dan begitu bertemu dengan tasbeh, benda itu pecah berkeping-keping, akan tetapi tasbeh itu sendiri juga putus untaiannya dan biji-biji tasbeh jatuh berhamburan di atas lantai.

"Paman......!" Sian Lan berseru gembira akan tetapi segera terkulai
pingsan lagi. Ia tadi menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga
lukanya di dalam dada semakin parah.

Sementara itu, Cui-beng Kui-ong marah dan terkejut bukan main
melihat tasbehnya putus berhamburan. Dia melihat bahwa benda yang dilontarkan orang menangkis tasbehnya adalah arca singa di dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang kalau diputar menjadi
pembuka pintu rahasia ruangan bawah tanah itu. Cepat dia memutar tubuhnya dan berhadapan dengan Bu-beng-cu.


"Keparat, siapa engkau?" Cui-beng Kui-ong bertanya dengan suara galak karena dia marah sekali telah kehilangan tasbehnya.


"Cui-beng Kui-ong, engkau tidak perlu tahu aku siapa. Yang jelas aku adalah orang yang menentang perbuatanmu yang kejam dan jahat! Karena itu, engkau lebih baik menyerah agar diadili, daripada engkau mati konyol. 


Engkau tidak mungkin dapat melarikan diri keluar dari gedung ini!"
Diam-diam Bu-beng-cu menjadi terkejut dan merasa khawatir sekali ketika dia melihat Siang Lan rebah di atas lantai, dekat tubuh Pangeran Bouw Ji Kong yang biarpun tidak kelihatan terluka namun melihat keadaan wajahnya jelas sudah tewas. 


Dia melihat Siang Lan masih bernapas, akan tetapi pernapasannya tersendat-sendat dan wajahnya pucat sekali. Bu-beng-cu yang sudah lama
dapat menguasai nafsu-nafsunya itu, melihat keadaan Siang Lan,
tidak dapat menahan kemarahannya.

"Jahanam busuk engkau, Cui-beng Kui-ong!" bentaknya dan
bagaikan seekor naga mengamuk, Bu-beng-cu menerjang dengan
pukulan tangan kanannya. Angin menyambar seperti badai ke arah
Cui-beng Kui-ong, membuat kakek itu terkejut bukan main karena
dari pukulan ini saja maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan
seorang yang lihai bukan main, yang memiliki pukulan seperti halilintar menyambar dan mengandung tenaga yang amat kuat.


Dia tidak berani menyambut pukulan dahsyat ini dan cepat melompat ke belakang mengelak.


"Blarrr......!" Dinding di belakangnya yang disambar angin pukulan
itu tergetar hebat dan kalau tidak dilapisi baja, tentu akan jebol.

Demikian hebatnya pukulan yang dilontarkan Bu-beng-cu! Karena ruangan bawah tanah itu kurang luas, Cui-beng Kui-ong yang mulai merasa gentar, cepat melompat ke anak tangga dan melesat keluar, ke dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong yang lebih luas. 

Niatnya kalau ada kesempatan, dia akan meloloskan diri. Akan tetapi begitu tiba di dalam kamar, dari daun pintu dan jendela yang telah terbuka, dia melihat ratusan orang perajurit dipimpin belasan orang perwira tinggi sudah mengepung kamar itu. Tidak mungkin dapat melewati barisan yang demikian banyak. Maka dia menjadi nekat. 

Ketika mendengar gerakan Bu-beng-cu yang sudah mengejarnya, dia membalik dan sinar merah meluncur dari tangannya ketika dia menggerakkan kain merah yang ujungnya sudah terbabat putus oleh pedang Siang Lan tadi.

Bu-beng-cu dapat menduga bahwa seorang datuk besar golongan sesat seperti Cui-beng Kui-ong pasti tidak menggunakan senjata sembarangan seperti sehelai kain merah biasa. 

Tentu kain itu mengandung racun. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan dia bahkan menyambut serangan itu dengan menggerakkan tangannya secepat kilat dan tahu-tahu kain merah itu telah dapatd ia cengkeram! 

Bu-beng-cu mempertahankan ketika Cui-beng Kui-ong berusaham enarik lepas kain itu. Terjadi tarik menarik dan adu tenaga sakti melalui kain merah yang panjangnya tinggal sekitar lima kaki itu.

"Prettt......!!" Tiba-tiba kain merah itu putus bagian tengahnya dan
uap merah mengepul. Akan tetapi Bu-beng-cu yang sudah waspada meniup dengan mulutnya sehingga uap merah itu menyambar ke arah muka Cui-beng Kui-ong sendiri! 


Akan tetapi tentu saja Raja Iblis ini sudah menggunakan obat anti racun
sehingga uap merah yang mengenai mukanya tidak
mempengaruhinya. Dia semakin marah. Kedua senjatanya telah rusak. 


Setelah membuang potongan kain merah itu, dia lalu menerjang ke
arah lawan dengan kedua tangan kosong. Bu-beng-cu menyambut
dan kini kedua orang yang sama-sama lihainya itu bertanding dengan tangan kosong. 


Seru dan hebat bukan main perkelahian di antara mereka. Para perwira tinggi yang nonton dari luar, termasuk Panglima besar Chang Ku Cing yang datang kemudian, terbelalak menyaksikan perkelahian tingkat tinggi yang membuat gedung itu seolah tergetar hebat. 

Biarpun kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sama,
Cui-beng Kui-ong memiliki kelemahan dibandingkan dengan lawannya. Dia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun sedangkan lawannya baru berusia empatpuluh dua tahun, dan selama ini, Cuibeng Kui-ong hidup lebih banyak menuruti hawa nafsunya,berbeda dengan Bu-beng-cu yang hidup bersih mengendalikan
nafsunya sehingga keadaan jiwanya lebih bersih daripada Cuibeng Kui-ong.


Hal ini didukung oleh tenaga saktinya yang murni dan datang dari kekuasaan Tuhan, tidak seperti Cui-beng Kui-ong yang telah banyak mengandalkan tenaga sihir atau ilmu hitam yang datang dari kekuasaan setan atau daya-daya rendah yang
memperhambanya. 


Kekejaman dan pembunuhan yang sering dia lakukan membuat jiwanya semakin bergelimang kekotoran.

Maka, setelah mereka bertanding sekitar limapuluh jurus, Cui-beng
Kui-ong semakin panik. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan
mampu mengalahkan lawannya, maka timbul akalnya yang
memang selalu siap untuk bertindak curang dan licik.


"Tahan dulu, aku mau bicara!" Cui-beng Kui-ong berseru.
Mendengar ini, untuk tidak melanggar etika dunia persilatan, Bubeng-cu menahan gerakannya, siap mendengarkan. 


Akan tetapi tiba-tiba, begitu dia menghentikan gerakan dan menahan tenaga saktinya, tanpa diduganya, Cui-beng Kui-ong menerjang dengan
amat cepat dan kuat! Bu-beng-cu terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebuah pukulan telapak tangan kiri Cui-beng Kui-ong tetap mengenai
pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang. 


Dia masih dapat mencegah tubuhnya terbanting, dengan berjungkir balik dan dia dapat berdiri, walaupun terhuyung ke belakang. Cui-beng Kui-ong tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. 

Lawannya sudah terluka,
maka dia pun menubruk maju sambil mendorongkan kedua telapak
tangannya. "Mampus kau!" Bu-beng-cu menyambut dengan kedua telapak tangannya dan kini kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat. 


Mereka saling dorong dan saling serang melalui kedua tangan mereka dengan mengerahkan tenaga sakti mereka.

Kalau dilihat begitu, seolah-olah dua orang itu sedang main-main.
Mereka berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk, kedua tangan...
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12