Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga
Jilid 06
antara para pejabat tinggi yang hanya mementingkan diri sendiri dengan cara melakukan korupsi, pemerasan, kecurangan dan lain-lain.
Aku merasa muak maka aku lebih senang meninggalkan kota raja dan hidup dengan tenang tenteram mempelajari ilmu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin."
Li Ai menghela napas panjang dan perasaan sukanya kepada pemuda itu bertambah. Bouw Cu An ini tidak seperti para pemuda bangsawan yang pernah dia jumpai dan kenal di kota raja. Sama sekali berbeda!
"Aih, memang sukar dipercaya kalau kita ceritakan kepada orang lain, Bouw Kongcu. Semua orang tentu akan menganggap bahwa kehidupan seorang anggauta keluarga para bangsawan yang berpangkat tinggi dan kaya raya di kotaraja pasti enak dan menyenangkan.
Akan tetapi apa yang telah kita alami" Kepahitan dan ketidak-tenteraman, sungguh menyedihkan."
Dua orang muda itu saling tertarik, bahkan mungkin saja mereka itu telah jatuh cinta pada pertemuan pertama ini.
Akan tetapi diam-diam keduanya merasa tidak berharga bagi yang lain. Bouw Cu An merasa tidak berharga untuk menjadi pasangan Li Ai mengingat bahwa kalau Li Ai puteri seorang perwira tinggi yang jelas amat setia kepada negara dan sudah banyak dan besar jasanya, maka
sebaliknya dia adalah putera seorang pangeran yang hendak mengkhianati dan memberontak kepada pemerintah!
Sebaliknya, Li Ai sendiri juga merasa tidak pantas menjadi pasangan Cu An mengingat bahwa kalau Cu An putera seorang pangeran, bahkan masih keponakan kaisar, ia sendiri hanya puteri seorang perwira yang dianggap pengkhianat dan dirinya sendiri telah ternoda, bukan perawan lagi! Hampir saja ia tidak dapat menahan runtuhnya air matanya ketika ia ingat akan hal ini.
Pada saat itu, tiba-tiba Bwe Kiok Hwa memasuki ruangan tamu itu dengan muka pucat dan suaranya terdengar gemetar.
"Nona, celaka, Nona! Dari bagian utara datang segerombolan orang bekas anak buah Ban-hwa-pang yang lama menyerbu dan mereka sudah membakar tanaman di sana dan merobohkan beberapa orang anak buah!
Tentu orang ini yang menjadi mata-mata mereka!" Bwe Kiok Hwa dengan marah lalu menerjang Cu An dengan pedangnya!
Tentu saja Cu An cepat mengelak dan dari samping dia menendang lutut kiri Bwe Kiok Hwa. Hampir saja tendangannya mengenai sasaran, akan tetapi Bwe Kiok Hwa yang sudah
memperoleh latihan yang lumayan dari Hwe-thian Mo-li dapat melompat ke belakang walaupun tubuhnya terhuyung.
Sebelum ia nekat menyerang lagi, Li Ai sudah membentaknya.
"Enci Bwe, hentikan itu! Jangan menyerang orang secara sembarangan dan menuduh membabi-buta!
Bouw Kongcu adalah adik seperguruan Enci Siang Lan, dan engkau berani menyerangnya?" Ditegur begitu, Bwe Kiok Hwa menghentikan serangannya dan
memandang bingung.
Tadi ia memang memiliki kecurigaan dan dugaan keras bahwa kedatangan pemuda itu tentu ada hubungannya dengan gerombolan Ban-hwa-pang lama yang tibatiba pagi itu datang menyerbu, membakari tanaman untuk menghalau semua jebakan yang dipasang di bagian itu.
"Mari, Kongcu, kita lihat keadaannya!" Li Ai mengajak Cu An dan mereka berdua lalu berlari cepat keluar dari bangunan induk itu,diikuti oleh Bwe Kiok Hwa yang masih memegang pedang. Tidak sukar mencari tempat yang dimaksudkan karena dari atas sudah tampak lereng di bagian utara yang mengepulkan asap tanda kebakaran.
Semua anak buah Ban-hwa-pang tampak berlari-larian ke arah itu.
"Bawa peralatan untuk memadamkan kebakaran!" teriak Li Ai. .
"Bawa kayu-kayu pemukul dan air!" teriak pula Cu An.
Para anggauta Ban-hwa-pang itu mentaati perintah ini dan ramai-ramai mereka lari ke lereng utara sambil membawa alat-alat untuk
memadamkan kebakaran.
Setelah mereka berdua menuruni lereng itu, Li Ai dan Cu An melihat sekitar duapuluh orang laki-laki, dipimpin seorang laki-laki tua bermuka penuh berewok yang memegang sepasang golok,sedang berkelahi melawan puluhan orang wanita anggauta Banhwa-pang.
Karena para anggauta wanita Ban-hwa-pang baru sekitar setahun lebih belajar ilmu silat, mereka tampak kewalahan menghadapi serbuaan gerombolan laki-laki yang tampak buas itu.
Namun, karena yang menggembleng mereka adalah Hwe-thian Mo-li, maka dalam setahun itu mereka telah memperoleh tenaga dan kegesitan yang lumayan sehingga walaupun terdesak hebat,mereka masih mampu melakukan perlawanan.
Sementara itu,para anggauta lain sibuk memadamkan api agar jangan menjalar ke atas. "Kongcu, mari kita hajar mereka!" kata Li Ai dan tanpa menanti jawaban gadis ini sudah mencabut pedangnya dan menerjang para penyerbu, diikuti Cu An yang juga sudah mencabut pedangnya.
Dua orang muda ini menerjang dan mengamuk dengan hebatnya.
Biarpun Li Ai tidaklah sehebat Cu An ilmu pedangnya, namun karena marah dan penuh semangat, gerakan Li Ai amat ganas.
Pedangnya berkelebatan seperti halilintar menyambar-nyambar.
Juga gerakan pedang Cu An amat kuat sehingga sebentar saja enam orang penyerbu telah roboh oleh pedang sepasang orang muda ini. Hal ini membakar semangat para anggauta wanita Ban-hwa-pang dan mereka melawan dengan lebih gigih.
Sebaliknya, para penyerbu menjadi terkejut bukan main.
Memang sebagian besar dari mereka sudah jerih terhadap nama Hwe-thian Mo-li. Mereka baru berani diajak menyerbu oleh pemimpin baru mereka setelah mendengar bahwa Hwe-thian Moli sedang tidak berada di Ban-hwa-kok.
Akan tetapi ternyata sekarang muncul sepasang orang muda yang demikian ganas dan lihai ilmu pedangnya! Hal ini membuat nyali mereka menjadi
semakin mengecil. Li Ai dan Cu An kini menerjang ke arah pemimpin gerombolan yang mukanya penuh berewok itu.
Dia ini dahulunya merupakan pembantu utama Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang telah terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li.
Semua anggauta Ban-hwapang berikut ketuanya telah dibasmi dan dibunuh habis oleh Hwethian Mo-li yang menjadi seperti gila dan mengamuk setelah merasa dirinya dinodai dan Si Berewok ini adalah salah satu di antara beberapa orang saja yang sempat melarikan diri, walaupun terluka parah. Kini, dia mengumpulkan teman-teman para perampok untuk membalas dendam, membakar dan mencoba untuk menguasai kembali Ban-hwa-pang.
Akan tetapi tidak disangkanya bahwa di situ terdapat Li Ai dan Cu An yang cukup lihai sehingga pihak mereka yang kini terdesak hebat.
Si Berewok cukup lihai. Andaikata yang melawannya hanya Li Ai atau Cu An sendiri, kiranya dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi kini dua orang muda itu maju bersama dan mereka saling melindungi dan saling bantu karena memang ada perasaan yang dekat dan saling menyayang di antara keduanya, maka
pertahanan maupun penyerangan mereka dapat disatukan dan menjadi terlalu kuat bagi Si Berewok.
Setelah melawan mati-matian selama duapuluh jurus, akhirnya Si Berewok roboh terkena sabetan pedang Li Ai dan tusukan pedang Cu An. Dia roboh dan tewas.
Melihat ini, sisa para gerombolan menjadi panik, sebaliknya para
wanita anggauta Ban-hwa-pang menjadi semakin bersemangat.
Bagaikan harimau-harimau betina mereka berteriak-teriak menerjang sisa gerombolan, dipimpin Li Ai dan Cu An sehingga akhirnya semua anggauta gerombolan yang menyerbu telah dapat dirobohkan dan ditewaskan!
Para wanita itu bersorak gembira karena kemenangan ini,kemenangan dalam pertempuran yang pertama kali mempertahankan tempat kediaman mereka!
Hanya ada enam orang wanita rekan mereka yang terluka. Mereka segera dirawat dan atas perintah Li Ai, semua mayat para gerombolan itu dikubur dalam beberapa lubang, jauh di kaki bukit Ban-hwa-san.
Li Ai dan Cu An berjalan berdampingan naik kembali ke puncak Ban-hwa-kok. Sejak itu, mereka merasa semakin dekat satu
kepada yang lain. Terasa suatu kemesraan yang amat membahagiakan hati mereka.
Wajah mereka cerah penuh senyum, terutama setiap kali pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut. Walaupun mulut mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun sinar mata mereka telah mengutarakan seluruh isi hati mereka yang dapat mereka tangkap dan mengerti sedalam-dalamnya.
Mereka saling jatuh cinta! Ada perasaan bahagia yang mendalam, namun kebahagiaan yang mendatangkan duka apabila mereka
mengingat akan keadaan diri masing-masing.
Li Ai teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda, dan Cu An teringat akan keadaan dirinya sebagai putera seorang pengkhianat dan
pemberontak!
Akan tetapi peristiwa penyerbuan gerombolan itu membuat Cu An
mendapatkan alasan dan kesempatan untuk bermalam satu malam lagi di Ban-hwa-kok, dalam waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk saling memperlihatkan perasaan hati masingmasing, walaupun hanya melalui pandang mata dan senyum
penuh madu.
Tanpa bicara pun mereka yakin bahwa mereka saling mencinta. Mereka makan siang, lalu makan malam bersama.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan makan pagi,suasananya diliputi keharuan dan kesedihan karena saatnya telah tiba bagi mereka untuk saling berpisah. Pagi itu setelah sarapan,Cu An harus meninggalkan Ban-hwa-pang, menyusul gurunya ke
kota raja!
Mereka berdua sarapan, akan tetapi tidaklah senikmat biasanya. Bahkan rasanya sukar menelan makanan menghadapi perpisahan di depan mata.
Setelah selesai makan, Cu An berkata lirih. "Sekarang aku harus berkemas......" "...... Kongcu...... mengapa tergesa-gesa"
Hari masih amat pagi."
Cu An memandang wajah gadis itu dengan sinar mata tajam.
"Nona Kui, setelah apa yang kita alami bersama, rasanya kaku dan tidak enak mendengar engkau masih menyebut aku Kongcu."
"Engkau pun menyebut aku Siocia......" bantah Li Ai.
Cu An tersenyum dan gadis itu pun ikut tersenyum pula. Tanpa bicara lagi mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing yang ingin mendapatkan sebutan yang lebih akrab lagi, bukan sebutan bersopan-sopan seperti dua orang yang asing satu sama lain.
"Baiklah mulai sekarang, aku akan menyebutmu Moi-moi (Adik Perempuan), bolehkah, Ai-moi?"
"Tentu saja, dan aku akan senang kalau boleh menyebutmu An-ko
(Kakak Laki-laki An)."
Keduanya saling tersenyum lagi dan kini pandang mata mereka lebih leluasa mengirim sinar-sinar kasih.
"Sekarang aku harus berkemas dan siap untuk turun dari sini, Aimoi."
"Baiklah, silakan An-ko."
Cu An lalu memasuki kamarnya dan mengemasi buntalan pakaiannya. Setelah dia keluar, dia melihat Li Ai sudah menunggunya dan ketika dia menuruni puncak bukit itu, Li Ai
mengantarnya dan berjalan di sampingnya, sebagai pengantar dan
penunjuk jalan karena jalan menurun itu penuh jebakan dan perangkap.
Mereka berjalan berdampingan sambil bercakapcakap.
"Aku merasa senang dan berbahagia sekali dapat berkenalan denganmu, Ai-moi."
"Aku pun merasa senang dan terhormat dapat bertemu dan berkenalan denganmu, An-ko. Engkau seorang putera pangeran yang terhormat dan berkedudukan tinggi, sedangkan aku......"
"Hushh, jangan berkata begitu, Ai-moi," kata Cu An sambil memegang tangan kiri gadis itu yang berjalan di samping kanannya. Merasa betapa tangan kirinya dipegang erat, Li Ai terkejut akan tetapi biarpun hatinya menolak, jari-jari tangannya dengan hangat membalas genggaman tangan pemuda yang kokoh kuat itu.
"Aku bicara sejujurya, An-ko. Bahkan berjalan berdua begini saja sebetulnya tidak pantas bagiku......"
"Ai-moi......!" Cu An berhenti melangkah dan menarik gadis itu
sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat sekali dan ketika mereka saling pandang, Cu An agak menunduk dan Li Ai agak berdongak, mereka dapat merasakan hembusan napas masingmasing di muka mereka.
"Jangan engkau sekali lagi berkata seperti itu, Ai-moi. Ucapan itu amat menyakitkan hatiku. Engkau lebih dari pantas berjalan dalam kehidupan ini di sampingku, akulah yang tidak pantas bagimu.
Aimoi, aku...... aku sayang kamu, aku cinta kamu......"
"An-ko......!" Kini kedua tangan mereka saling bertemu dan jari-jari tangan mereka saling remas. Sejenak Li Ai yang, merasa tubuhnya lunglai, menyandarkan mukanya di dada pemuda itu yang merangkul pundaknya.
Biarpun tidak lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, namun rasanya hati mereka telah menjadi satu dan sukar untuk dipisahkan lagi.
Akan tetapi Li Ai segera menyadari keadaan dirinya. Ia menjauhkan diri dan berkata lirih.
"Dari sini ke bawah sudah tidak ada perangkap lagi, An-ko.
Selamat jalan, An-ko dan terima kasih, engkau baik sekali. Nanti kalau Enci Siang Lan kembali, akan kuceritakan padanya tentang kunjunganmu."
Li Ai menguatkan hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar agak gemetar karena haru dan sedih akan
berpisah dari pemuda itu.
"Baik, Ai-moi. Kurasa aku akan dapat bertemu dengannya di kota raja. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan pembelaanmu kepada Ban-hwa-pang dari serbuan pengacau."
Cu An mengambil sebuah kantung kecil yang biasa dia pergunakan untuk menyimpan uang emas, sebuah kantung kecil dari kain disulam indah dengan gambar sepasang kupu-kupu dan memberikannya kepada Li Ai.
"Ai-moi, aku tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap engkau suka menerima hadiah dariku ini sebagai tanda mata atas persahabatan kita." Li Ai menerimanya dengan tangan gemetar, lalu berkata, "Aku pun tidak mempunyai apa-apa, An-ko, akan tetapi silakan ambil apa saja yang kausuka."
Cu An mengamati gadis itu, lalu mengelus rambutnya yang hitam
panjang lebat dan agak berikal itu. "Bolehkah aku mengambil
hiasan rambutmu ini, Ai-moi?"
"Tentu saja boleh, An-ko," jawab gadis itu dengan muka berubah kemerahan. Cu An mengambil tusuk sanggul yang berupa bunga teratai itu dan begitu dicabut sanggulnya terlepas dan rambut yang panjang itu
terurai menutupi kedua pundak Li Ai.
"Alangkah indah rambutmu, Ai-moi," Cu An mengelus rambut itu dengan mesra. Selama hidupnya baru sekali ini Li Ai merasa dicinta pria,sebaliknya juga Cu An baru sekali ini merasa dekat sekali dengan wanita.
Keduanya salah tingkah dan merasa canggung, jantung
berdebar tegang dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
"Nah, selamat tinggal, Adikku sayang."
"Selamat jalan, An-ko."
Kedua tangan yang saling berpegang itu merenggang dan perlahan-lahan terlepas ketika Cu An mulai melangkah meninggalkan Li Ai. Setelah mengikuti bayangan pemuda yang menuruni lereng terakhir itu sampai bayangan itu lenyap barulah Li Ai tidak dapat menahan tangisnya.
Ia menangis sedih, berjalan mendaki bukit sambil menangis. Ia teringat akan keadaan dirinya,yakin bahwa ia tidak akan mungkin dapat hidup berjodoh dengan Cu An, pemuda yang telah merebut cintanya.
Ia teringat akan Bong Kim atau Bong Kongcu, putera Hartawan Bong di kota raja, pria pertama yang mengaku cinta dan melamarnya sebagai isteri.
Mula-mula ia memang tertarik, akan
tetapi setelah pemuda itu diberitahu bahwa ia bukan perawan lagi,Bong Kim malah menghinanya dan memandang rendah kepadanya dan hanya ingin mengambilnya sebagai seorang selir.
Karena ia tidak mencinta Bong Kim, maka sikap Bong Kim itu tidak begitu menyakitkan hatinya, apalagi pemuda hartawan itu telah menerima hajaran keras dari Hwe-thian Mo-li.
Akan tetapi ia benar-benar jatuh cinta kepada Bouw Cu An. Kalau sampai Bouw Cu An nanti memperlihatkan sikap seperti Bong Kim,ia tidak akan kuat menerimanya. Lebih baik mati saja!
Karena itu,sebaiknya kalau ia tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Bouw Cu An. Bahkan, sebaiknya kalau ia tidak saling mencinta dengan pria manapun juga agar jangan sampai tersiksa hatinya
kelak.
Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang gadis yang bukan perawan lagi" Ah, betapa tololnya dan tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena kesalahannya, bukan karena kehendaknya, melainkan karena terpaksa!
Orang bernasib buru sepertinya bukannya dikasihani, malah dihina, direndahkan,dan diejek! Bagaimana sebaliknya kalau pria" Berapa banyaknya laki-laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan hal itu pun terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan karena ada yang memaksa, akan tetapi kalau laki-laki tidak ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak adilnya ini.
Pikiran seperti ini mengganggu kepalanya ketika ia mendaki pulang ke perkampungan Ban-hwa-pang sehingga setelah tiba di rumah, ia merasa pening dan segera merebahkan diri tidur dengan muka
masih ada bekas air mata.
Sementara itu, Bouw Cu An yang menuruni bukit itu pun dilanda perasaan campur aduk. Ada rasa gembira dan bahagia karena dia
merasa benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Li Ai dan dia merasa bahwa gadis itu pun membalas cintanya.
Mereka berdua saling mencinta dan alangkah akan bahagianya kalau kelak dia dapat menjadi jodoh, menjadi suami gadis yang baginya paling cantik menarik di antara semua wanita di dunia ini. Akan tetapi perasaan bahagia ini dinodai ingatannya akan ayahnya.
Ayahnya mempunyai niat memberontak berarti ayahnya mempunyai watak khianat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Kui Li Ai adalah puteri tunggal mendiang Kui Ciangkun, seorang perwira tinggi yang patriotik, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan dihormati karena setianya kepada pemerintah.
Kalau kemudian Li Ai mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat, apakah gadis itu sudi menjadi mantu pengkhianat"
Ingatan ini membuat hati Cu An merasa berat dan sedih sekali.
Dia mengambil keputusan untuk menentang ayahnya sendiri, untuk
berusaha sekuatnya menyadarkan keinginan ayahnya yang hendak memberontak itu. Bagaimanapun juga, ayahnya telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi dari kaisar, diangkat menjadi penasihat Kaisar dalam urusan hubungan dengan para suku lain di luar daerah kekuasaan kerajaan Beng. Dengan
keputusan hati yang tetap, pemuda itu lalu mempercepat perjalanannya menuju ke kota raja.
**********
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memasuki kota raja. Jantungnya berdebar juga ketika ia memasuki kota raja yang sudah dikenalnya
dengan baik itu.
Sudah lama ia merasa rindu sekali kepada Ong Lian Hong, adik seperguruan atau adik angkatnya sendiri, puteri dari gurunya.
Dulu, ia tidak jadi singgah di rumah adiknya itu karena bagaimanapun juga, ia masih merasa tidak enak untuk bertemu dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong yang
pendekar Kun-lun-pai dan kini menjadi suami Ong Lian Hong itu.
Ia pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu.
Sim Tek Kun merupakan pria pertama yang dicintanya, akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa Sim Tek Kun adalah pemuda yang sudah dijodohkan dengan Ong Lian Hong sejak mereka kecil dan ternyata keduanya juga jatuh cinta setelah bertemu pada saat mereka telah dewasa. Bahkan ia sendiri yang mendorong keduanya dapat saling bertemu dan berjodoh!
Biarpun ia melepas cinta pertamanya itu dengan rela, namun tetap saja ada bekas luka dalam hatinya, walau kini luka itu sudah mengering. Ia merasa amat rindu kepada Ong Lian Hong dan kini ia tidak dapat menahan lagi rasa rindunya.
Ia menekan perasaan tegangnya, lalu setelah mengambil keputusan, pada siang hari itu ia melanjutkan langkahnya langsung saja ke istana Pangeran Sim Liok Ong, di mana tentu saja Ong Lian Hong tinggal bersama suaminya, putera pangeran itu.
Penjaga istana Pangeran Sim tentu saja tidak mengenalnya. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri sebagai Hwe-thian Mo-li dan ingin bertemu dengan suami isteri Sim Tek Kun, dua orang perajurit itu terkejut dan cepat memberi hormat lalu mempersilakan Siang Lan duduk menanti di dalam gardu penjagaan karena mereka hendak melaporkan ke dalam istana.
Tak lama kemudian, Siang Lan melihat Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun berlari-larian keluar dari dalam istana menuju ke gardu penjagaan dekat pintu gerbang. Ia bangkit berdiri dan keluar dari gardu menyambut mereka.
Hatinya terharu sekali ketika ia melihat Lian Hong masih tetap cantik dan anggun, akan tetapi agak gemuk
dan setelah dekat, ia gembira sekali melihat bahwa adiknya itu ternyata agak gendut, tanda bahwa Ong Lian Hong telah mengandung! Mungkin baru beberapa bulan sehingga tidak
tampak terlalu besar, namun ia dapat menduga bahwa adiknya itu telah hamil!
"Enci Lan......!!" Lian Hong berlari dan mengembangkan kedua lengannya. "Hong-moi!" Siang Lan juga menyambut dan berangkulan, dan Lian Hong menangis terisak-isak.
keduanya "Hushh......! Lian Hong, kenapa pertemuan menggembirakan ini kausambut dengan tangis?" kata Siang Lan tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah.
"Enci...... maafkan aku......"
Tiba-tiba Lian Hong merasa lengannya dipegang suaminya dan
tahulah ia bahwa suaminya melarang ia membicarakan urusan lama yang hanya akan menimbulkan singgungan dalam hati, maka ia melanjutkan dengan maksud lain.
"......maafkan kami tidak tahu akan kunjunganmu sehingga lambat menyambutmu."
"Aih, tidak apa-apa, Adikku. Aku pun tidak memberi kabar lebih dulu, bagaimana kalian bisa tahu?"
"Hwe-thian Mo-li, sungguh kami merasa bahagia sekali dapat menerima kunjunganmu!" kata Sim Tek Kun dengan ramah dan gembira.
"Kun-lun Siauw-hiap, bagaimana keadaan kalian" Engkau menjaga Adikku dengan baik-baik, bukan?" kata pula Hwe-thian Mo-li dan suaranya terdengar biasa karena hatinya kini sudah tenteram melihat bahwa mereka berdua agaknya juga tidak ingin bicara tentang masa lalu.
"Kami dalam keadaan baik, terima kasih. Mari kita bicara di dalam saja. Hong-moi, ajak Encimu masuk ke dalam."
"Mari, Enci Lan!" Lian Hong lalu menggandeng tangan Siang Lan
dan mereka berdua lalu berjalan menuju ke istana Pangeran Sim, diikuti oleh Sim Tek Kun dari belakang.
Setelah oleh Lian Hong encinya itu dipertemukan dengan Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Lian Hong dan Sim Tek Kun lalu mengajak Siang Lan masuk ke dalam dan di ruangan dalam mereka bertiga bercakapcakap dengan gembira.
"Sudah berapa bulan kandunganmu, Lian Hong?"
Lian Hong menundukkan muka memandang ke arah perutnya, mukanya berubah kemerahan dan tangan kirinya mengelus perut,
mengerling sambil tersenyum kepada suaminya lalu menjawab,
"Dua bulan lebih, Enci Lan."
"Mudah-mudahan anakmu yang pertama laki-laki, Adik Hong!"
"Nona Nyo Siang Lan, sungguh kami berdua merasa beruntung
sekali dapat menerima kunjunganmu ini. Akan tetapi kalau boleh kami mengetahui, apakah selain kunjungan persaudaraan,kedatanganmu ini ada hubungannya dengan undangan Jenderal Chang Ku Cing?"
"Aih, benar sekali! Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Sim Kongcu?"
"Wah, kenapa sih kalian menggunakan sebutan seperti orang
asing begitu" Aku jadi merasa tidak enak mendengarnya.
Kun-ko,dan Lan-ci, kenapa kalian tidak menyebut seperti kakak dan adik saja?" tegur Lian Hong sambil tertawa.
Wanita muda ini maklum bahwa terdapat kecanggungan di antara dua orang yang dulu saling memiliki hubungan batin itu, maka ia lalu mencairkan kekakuan dan kecanggungan itu. Sim Tek Kun dan
Nyo Siang Lan tertawa mendengar ini.
"Nah, kalau engkau sudah ditegur oleh isterimu yang galak ini, lalu bagaimana sikapmu, Kun-ko?" kata Siang Lan, menyebut Kun-ko (Kakak kun) tanpa canggung karena memang ia sudah lama mengenal Sim Tek Kun, bahkan sebelum Lian Hong mengenal
putera pangeran itu.
Sim Tek Kun tertawa. "Ha-ha, memang aku yang bersalah, Lanmoi. Sepantasnya memang kita tidak bersikap sungkan dan asing satu sama lain. Bukankah kita telah menjadi lebih akrab daripada sekadar teman, kini dapat dibilang menjadi keluarga" Isteriku adalah adik angkatmu, maka aku pun berarti saudaramu pula."
Percakapan menjadi lebih ramah dan akrab. Siang Lan lalu menceritakan maksud kunjungannya ke kota raja, menjawab pertanyaan Tek Kun tadi.
"Sesungguhnya memang benar bahwa Paman Jenderal Chang Ku Cing mengutus Saudara Chang Hong Bu berkunjung ke Ban-hwakok dan mengundangku agar aku membantu dia melakukan penyelidikan dan menangkap para pembunuh yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat
tinggi yang setia kepada Kaisar.
Karena kami di Ban-hwa-kok sedang membangun, maka aku minta Bu-ko, maksudku saudara Chang Hong Bu untuk kembali dulu ke kota raja, kemudian aku menyusul setelah pekerjaan di sana selesai.
"Setelah memasuki kota raja, sebelum menghadap Paman Jenderal Chang Ku Cing, aku ingat kepada kalian, maka aku langsung saja berkunjung ke sini lebih dulu. Kalian tentu lebih tahu
apa yang telah terjadi di kota raja sehingga Paman Jenderal Chang perlu untuk mengundang dan minta bantuanku."
Ong Lian Hong menjawab, "Paman Jenderal Chang Ku Cing juga sudah mengundang kami berdua dan minta bantuan kami, juga menanyakan alamatmu kepada kami. Kami hanya mengira-ngira saja di mana adanya dirimu, Enci Lan, karena kami telah
mendengar tentang engkau yang membasmi gerombolan Banhwa-kok dan memimpin perkumpulan itu.
Ada pun tentang pembunuhan-pembunuhan itu, memang aneh, dan agaknya suamiku dapat bercerita lebih banyak."
Siang Lan memandang Tek Kun. "Apakah yang telah terjadi, Kunko?"
Tek Kun menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Telah terjadi pembunuhan atas diri enam orang pejabat tinggi yang setia
kepada Kaisar dan melihat cacat yang diderita enam orang itu mudah diketahui bahwa pembunuhnya tentu ada tiga orang.
Penyebab kematian itu ada tiga macam, jadi mungkin setiap orang
pembunuh telah membunuh dua orang pejabat tinggi. Melihat dari
cacat yang menyebabkan kematian, dan cara mereka membunuh tanpa diketahui seorang pun petugas jaga, padahal yang dibunuh adalah pejabat-pejabat tinggi yang rumahnya dijaga, maka jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi."
"Hemm, apakah bukan orang-orang Pek-lian-kauw dan Ngo-liankauw yang melakukannya" Ingat, dulu pun yang melakukan pemberontakan adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak sekali tokoh lihai."
"Jenderal Chang juga menduga demikian. Akan tetapi anehnya,begitu diadakan pembersihan dan seluruh kota raja digeledah,tidak dapat ditemukan jejak para pembunuh itu.
Padahal kalau ada orang-orang Pek-lian-kauw bersembunyi di kota raja, sudah pasti dapat diketahui dan ditangkap karena penggeledahan dilakukan sampai ke pelosok-pelosok.
Mereka itu seolah menghilang dan
setelah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan pemerintah
mengadakan pembersihan dan pencarian, pembunuhan itu pun
berhenti tiba-tiba.
"Kami berdua juga sudah membantu sedapat kami, menyelidiki seluruh tempat, bahkan beberapa malam kami bergadang dan meronda secara diam-diam, namun tidak menemukan apapun.
Melihat penjagaan yang dilakukan atas perintah Jenderal Chang,tidak mungkin ada orang asing dapat keluar masuk pintu gerbang kota raja seenaknya saja."
"Hemm, kalau begitu, apakah tidak mungkin kalau ada pengkhianatan di dalam kota raja yang sengaja menyembunyikan para pembunuh itu?" tanya Hwe-thian Mo-li.
"Persis, itu pun telah kami pikirkan. Dan mengingat bahwa hanya rumah-rumah pejabat yang amat tinggi kedudukannya saja yang terbebas dari penggeledahan, maka andaikata ada pengkhianat,dia pasti seorang pejabat tinggi. Akan tetapi siapa" Siapakah pejabat tinggi yang hendak mengkhianati kaisar dan bersekutu
dengan pihak pemberontak?"
"Seorang pengkhianat yang bergerak dengan diam-diam dan rahasia jauh lebih berbahaya daripada pemberontakan yang bergerak dengan terang-terangan," kata Siang Lan. "Apakah setelah pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu, lalu berhenti dan tidak terjadi pembunuhan lagi?"
"Itulah masalahnya maka amat sukar menyelidiki siapa dalang pembunuhan-pembunuhan itu.
.Setelah terjadi pembunuhan enam
orang pejabat tinggi itu dan Jenderal Chang melakukan penyelidikan dengan ketat, pembunuhan itu berhenti dan tidak pernah terjadi lagi kerusuhan apalagi pembunuhan," kata Sim Tek Kun.
"Hemm, agaknya dalangnya memang cerdik. Kalau menurut aku,sebaiknya kalau kita pancing dia keluar, dengan jalan memperlemah penjagaan dan penyelidikan. Kalau para pembunuh
itu menganggap penjagaan menjadi lemah kemungkinan besar mereka akan bergerak lagi dan itulah kesempatan bagi kita untuk menangkapnya."
"Akan tetapi hal itu membahayakan keselamatan para pejabat tinggi!" seru Ong Lian Hong.
"Sebaiknya kalau engkau menghadap Jenderal Chang dan membicarakan hal ini dengan dia, Lan-moi. Hanya dialah yang berhak mengambil keputusan," kata Tek Kun.
"Akan tetapi nanti dulu, Enci Lan. Jangan tergesa-gesa meninggalkan aku. Aku masih rindu. Biarlah engkau tinggal dulu barang sehari dua hari di sini. Aku ingin mengadakan pesta
keluarga untuk menyambutmu.
Setelah itu baru engkau pergi
menemui Jenderal Chang dan mulai bekerja!" kata Lian Hong dan atas permintaan adik angkatnya ini tentu saja Siang Lan tidak mampu menolak.
Ketika berada berdua saja di dalam kamar mereka, Lian Hong berkata kepada suaminya. "Kun-ko, aku ingin mengadakan pesta keluarga dan mengundang Chang Hong Bu untuk datang dan ikut dalam pesta makan untuk menyambut kunjungan Enci Lan."
Mendengar sesuatu yang agak aneh dalam nada suara isterinya,
Tek Kun memandang wajah Lian Hong dan alisnya berkerut.
"Eh,Hong-moi, apa artinya ini" Apa maksudmu mengundang Chang
Hong Bu ke dalam pesta keluarga kita" Dia itu tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kita atau dengan Siang Lan!"
Isterinya tersenyum manis. "Aih, suamiku! Apakah engkau tidak
dapat menduga apa maksudku" Kita sudah tahu bahwa Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa.
Dia keponakan Jenderal Chang, murid Siauw-lim-pai yang tinggi ilmu silatnya, juga seorang pemuda terpelajar dan baik budi, tampan pula. Tidakkah engkau pikir dia itu cocok sekali kalau menjadi
pasangan hidup Enci Lan?"
"Oh-oh......! Maksudmu, engkau hendak main menjadi comblang"
Isteriku, jangan kau gegabah. Bagaimana kalau Siang Lan tidak
setuju" Ingat, ia galak sekali, jangan-jangan ia akan marah kepadamu karena ulahmu yang nakal ini!"
"Kun-ko, apakah engkau tidak melihat wajah Enci Lan ketika ia bercerita tentang pertemuannya dengan Chang Hong Bu di Lembah Selaksa Bunga" Kemudian ia menceritakan betapa
bersama Chang Hong Bu ia dikeroyok orang-orang lihai dari Peklian-kauw.
Ketika menceritakan tentang kegagahan Chang Hong Bu, kulihat wajahnya berseri dan sinar matanya masih membayangkan kekaguman terhadap pemuda pendekar Siauwlim-pai itu!
"Nah, berdasarkan kenyataan ini, salahkah aku kalau aku sekarang berusaha untuk saling mendekatkan mereka" Siapa tahu mereka akan dapat menjadi jodoh yang serasi dan bahagia, seperti kita, suamiku!"
Melihat pandang mata Lian Hong membayangkan keharuan dan kesedihan hati, Tek Kun maklum apa yang dipikirkan isterinya.
Isterinya sudah dia beritahu bahwa dahulu, sebelum dia bertemu dengannya, dia telah mempunyai hubungan batin dengan Siang Lan.
Hwe-thian Mo-li mencintanya, akan tetapi sengaja mengalah ketika mengetahui bahwa selain dia tunangan Lian Hong, juga saling mencinta dengan tunangannya itu.
Mendengar itu, hati Lian Hong terharu dan sedih sekali. Ia merasa
iba kepada Siang Lan yang amat dikasihinya seperti kakaknya sendiri.
Maka kalau kini ia berusaha untuk membahagiakan hati Siang Lan dan mencoba mencarikan jodohnya yang setimpal, apa salahnya hal itu dicobanya"
Dia merangkul isterinya. "Baiklah, isteriku, lakukanlah semua rencana baikmu itu."
Lian Hong merasa girang dan mencium pipi suaminya. "Engkau
memang suami yang paling baik, Kun-ko!"
Demikianlah, malam itu diadakan pesta makan keluarga. Karena yang berpesta itu orang-orang muda dan di situ hadir pula Chang Hong Bu, maka Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya setelah selesai makan lalu masuk ke dalam, tidak ingin mengganggu kegembiraan pertemuan orang-orang muda itu.
Kini tinggal Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu, dan Nyo Siang Lan berempat yang bercakap-cakap. Setelah makan selesai mereka pindah duduk di ruangan tamu dan melanjutkan percakapan di situ.
Siang Lan juga terkejut namun gembira ketika melihat kedatangan
Hong Bu yang diundang untuk ikut berpesta. Akan tetapi ia tidak berprasangka karena ia tahu bahwa hubungan antara keponakan Jenderal Chang dan Sim Tek Kun tentu akrab, maka undangan itu pun dianggapnya wajar saja.
Sebaliknya, Hong Bu gembira sekali
karena memang dia telah jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sejak pertama kali berjumpa. "Wah, kalau aku tahu engkau sudah berada di kota raja, Lan-moi,aku tentu segera menemuinya di sini!
Paman Jenderal Chang sudah amat menanti-nanti kedatanganmu," demikian Hong Bu berkata sambil menatap wajah yang jelita itu.
"Sebetulnya begitu tiba di kota raja, aku ingin segera menghadap Paman Jenderal Chang, Bu-ko, akan tetapi ini, Hong-moi dan Kunko menahan aku."
"Habis, kami sudah amat kangen sih!" kata Lian Hong dan mereka berempat bercakap-cakap tentang keadaan di kota raja.
"Keadaan di kota raja memang aman-aman saja akan tetapi paman Jenderal Chang masih tetap merasa penasaran. Setelah melakukan penggeledahan dengan cermat di kota raja dan hasilnya tidak ada, kini penyelidikan mulai diarahkan keluar kota raja dan agaknya Paman Chang telah mempunyai rencana untuk melakukan gerakan pembersihan di tempat-tempat tertentu.
Agaknya Paman Chang hanya menanti kedatanganmu, Lan-moi,
untuk mulai dengan gerakan pembersihan itu. Oleh karena itu,
sebaiknya kalau engkau segera menghadap ke sana."
Mereka lalu memutuskan untuk besok pagi pergi menghadap Jenderal Chang. Hong Bu berjanji untuk menyampaikan dulu kepada pamannya akan kedatangan Siang Lan dan besok pagi dia akan datang menjemput dan mereka berempat akan bersama-sama menghadap Jenderal Chang.
Pertemuan ramah tamah dan akrab itu membuat hati Chang Hong Bu semakin tertarik kepada Siang Lan. Hal ini diketahui oleh Lian Hong dan suaminya yang menjadi girang sekali, juga dirasakan oleh Siang Lan sendiri.
Sebetulnya ia merasa bersyukur bahwa seorang pemuda perkasa seperti Chang Hong Bu menaruh
perhatian terhadap dirinya, akan tetapi ia masih sangsi. Dapatkah ia menjalin asmara dengan seorang pria"
Sesungguhnya, pada saat itu hatinya sudah lebih condong kepada Paman Bu-beng-cu, laki-laki yang telah melepas banyak sekali budi kebaikan kepadanya, laki-laki yang telah menumbuhkan semangat hidupnya, dan satu-satunya laki-laki yang amat
dikaguminya. Akan tetapi, kalau mengingat keadaan dirinya yang
sudah ternoda, ia takut untuk menyatakan cinta kepada seorang
pria.
Bagaimana kalau laki-laki seperti Chang Hong Bu mengetahui bahwa ia bukan perawan lagi" Akan berubahkan sikapnya,berbalik merasa jijik dan tidak cinta lagi"
Ah, betapa dia akan merasa terhina, marah, dan mungkin saja ia berbalik menjadi amat benci kepada Hong Bu!
**********
Panglima besar Jenderal Chang Ku Cing menerima kedatangan Nyo Siang Lan yang ditemani Chang Hong Bu, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong dengan wajah berseri gembira.
Jenderal yang usianya sudah limapuluh dua tahun itu masih tampak gagah perkasa, dengan tubuh tinggi tegap, wajahnya penuh wibawa
dengan kumis dan jenggot pendek dibentuk rapi, sepasang matanya yang tajam mengandung keteguhan seorang pemimpin.
Akan tetapi dia tampak ramah ketika menyambut kedatangan Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan yang memang dia kagumi.
"Selamat datang, Hwe-thian Mo-li! Kami sudah lama menunggu kedatanganmu!" "Maafkan saya, Paman. Karena masih harus membenahi Lembah Selaksa Bunga, maka kedatangan saya agak terlambat," kata Siang Lan.
"Kami kira, kalian tentu sudah mendengar dengan jelas akan peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi kerajaan sekitar sebulan lebih yang lalu.
Sejak terjadinya pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu, sampai kini tidak ada lagi pembunuhan. Kami sudah mengerahkan semua tenaga untuk membongkar dan mencari pembunuhnya, namun selama ini kami gagal dan belum dapat menangkap para pembunuhnya.
"Tiga orang pembunuh itu jelas merupakan orang-orang yang amat
tinggi ilmu silatnya, dan tentu mereka itu mempunyai hubungan dengan pihak yang berkhianat terhadap kerajaan. Sayang sampai sekarang kami belum berhasil membongkar rahasia itu.
Agaknya pihak mereka juga ketakutan dan berdiam diri tidak membuat
gerakan sehingga sulit untuk dilacak."
"Paman, seperti telah saya laporkan kemarin, bagaimana pendapat Paman tentang usul Hwe-thian Mo-li untuk
mengendurkan penjagaan dan memberi kesempatan serta memancing para pembunuh agar mereka berani beraksi kembali"
Dengan demikian kita dapat melacaknya," kata Hong Bu kepada pamannya. Jenderal Chang mengangguk-angguk.
"Usul yang dikemukakan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memang cukup baik. Akan tetapi kami kira hasilnya tidaklah sepadan dengan resikonya.
Kalau kita menggunakan siasat mengendurkan penjagaan, hal ini mungkin saja mudah diketahui mereka karena seperti kami katakan tadi, para pembunuh itu tentu mempunyai hubungan persekutuan dengan orang dalam yang akan mengetahui pula tentang siasat kita mengendurkan penjagaan.
"Padahal resikonya cukup berat. Bagaimana kalau mereka itu serentak bergerak melakukan pernbunuhan-pembunuhan lagi"
Tidak, kami kira siasat itu terlalu berbahaya untuk dilakukan. Akan tetapi kami telah mendapatkan titik-titik terang.
"Penyelidikan kami telah dapat menemukan tempat persembunyian gerombolan yang mencurigakan.
Mungkin saja mereka itu adalah gerombolan Pek-lian-kauw atau Ngo-lian-kauw yang memperkuat diri dan siap di dalam hutan luar kota raja untuk sewaktu-waktu apabila saatnya tiba, akan mengadakan penyerbuan besar-besaran ke kota raja.
"Nah, penemuan inilah yang lebih penting! Kita harus mendahului
mereka, memukul mereka dan menghancurkan mereka sebelum
mereka sempat bergerak. Dan untuk membantu para perwira tinggi
memimpin pasukannya menyerbu dan membasmi gerombolan itu,kami minta agar kalian berempat membantu."
Tentu saja empat orang muda itu menyatakan kesanggupan mereka untuk membantu. Mereka berlima lalu mempelajari kedudukan gerombolan yang diketahui bermarkas dalam hutan di sebelah barat kota raja, di sebuah bukit yang berhutan lebat.
Mereka mempelajari gambaran peta yang telah dipersiapkan oleh Jenderal Chang dan menurut Jenderal Chang, para penyelidiknya menaksir bahwa kekuatan gerombolan itu terdiri dari sekitar empatratus orang yang telah terlatih dengan baik dan rata-rata
menguasai ilmu silat.
"Mereka adalah sisa-sisa para anggauta Ngo-lian-kauw. Para pemimpin Ngo-lian-kauw, yaitu Ngo-lian Heng-te yang dahulu berkedudukan di Poa-teng, Hopak, telah dibasmi oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan!
Kini agaknya sisa para anggauta dan
pimpinan Ngo-lian-kauw mengadakan gerakan pemberontakan,bergabung dan diperkuat oleh Pek-lian-kauw."
Setelah mereka mempelajari peta itu dengan seksama, Jenderal Chang Ku Cing lalu memanggil para perwira tinggi yang menjadi pembantunya.
Mereka semua juga sudah diberi penjelasan tentang rencana penyerbuan itu dan semua perwira merasa gembira sekali dan berbesar hati ketika mendengar bahwa mereka, dalam penyerbuan itu akan dibantu oleh dua pasang orang muda yang sudah mereka ketahui kehebatannya.
Terutama sekali dengan adanya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dipihak mereka, hati mereka menjadi lega dan bersemangat.
Tadinya mereka memang agak merasa khawatir mendengar bahwa gerombolan yang akan mereka serbu dipimpin oleh orang-orang Ngo-lian-kauw dan terutama Pek-lian-kauw yang sudah terkenal amat lihai itu.
Siang Lan membantu Sim Tek Kun membujuk Lian Hong agar wanita yang sedang mengandung, walaupun baru dua bulan lebih itu, tidak usah ikut membantu penyerbuan pasukan ke hutan tempat bermarkas gerombolan.
Akhirnya Lian Hong mau mengalah dan tinggal di rumah, sedangkan mereka bertiga, Siang Lan, Tek Kun, dan Hong Bu, menemani lima orang perwira tinggi memimpin sekitar tujuhratus orang perajurit melakukan
penyerbuan ke hutan itu pada pagi-pagi sekali.
Setelah berhasil melakukan pembunuhan terhadap enam orang
pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar, Pangeran Bouw Ji Kong
menghentikan aksi itu, bahkan segera menyelundupkan tiga orang sakti yang menjadi sekutunya dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu keluar dari kota raja.
Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, dan Tarmalan, datuk atau dukun bangsa Hui yang menjadi utusan bangsa Hui yang mendukung gerakan Pangeran Bouw Ji Kong yang ibunya juga puteri kepala suku bangsa Hui.
Pangeran Bouw Ji Kong tidak mengadakan gerakan, maklum
bahwa Jenderal Chang yang diserahi tugas menangkap para pembunuh mengadakan penjagaan yang amat ketat.
Akan tetapi diam-diam Pangeran Bouw masih mengadakan hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dan persekutuan ini mengadakan pemusatan kekuatan baru di dalam hutan di Bukit Cemara yang terletak di sebelah barat kota raja.
Bukit Cemara itu penuh dengan hutan lebat, maka amat baik dijadikan markas dan tempat persembunyian. Apalagi di bukit itu terdapat banyak guha-guha yang oleh para anggauta Pek-liankauw telah dibuat terowongan-terowongan.
Juga di situ dibuat perangkap dan jebakan yang berbahaya karena para anggauta Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw memang ahli dalam membuat
jebakan-jebakan dan penyebaran racun.
Menurut Pangeran Bouw Ji Kong, pihak Pek-lian-kauw sudah dipesan agar jangan membuat gerakan lebih dulu karena pertahanan di kota raja amat kuat. Dianjurkan agar pihak
pemberontak itu menanti tanda darinya karena dia hendak menyusun siasat baru agar keadaan di kota raja kacau dan dalam keadaan kacau di mana pertahanannya melemah, barulah pasukan Pek-lian-kauw akan melakukan penyerbuan.
Akan tetapi pangeran Bouw Ji kong terlalu memandang remeh kecerdikan Jenderal Chang Ku Cing.
Secara diam-diam jenderal yang pandai dan berpengalaman ini mengalihkan perhatiannya keluar kota raja, menyebar para penyelidik yang pilihan sehingga akhirnya dia mendapatkan keterangan bahwa bukit Cemara menjadi sarang para gerombolan pemberontak. Bahkan tanpa adanya kebocoran gerakan pembersihan yang dilakukan pagi hari itu berjalan dengan sempurna.
Para pemberontak baru tahu
setelah bukit itu dikepung pasukan kerajaan!
Bukit Cemara itupun geger! Terjadi pertempuran di seluruh permukaan bukit. Pertempuran mati-matian yang amat dahsyat,campur aduk sehingga kedua pihak tidak mungkin dapat
mempergunakan senjata anak panah karena besar kemungkinan akan mengenai kawan sendiri.
Banyak perajurit kerajaan terjebak perangkap dan berjatuhan, ada pula yang terkena ledakan dari alat-alat peledak yang dipasang orang-orang Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi karena jumlah pasukan kerajaan hampir dua kali lipat besarnya maka di pihak pemberontak lebih banyak lagi yang jatuh korban.
Apalagi di situ ada Hwe-thian Mo-li, Sim Tek Kun, Chang Hong Bu yang
membantu para perwira, mengamuk seperti tiga ekor naga sakti.
Pangeran Bouw Ji Kong terkejut mendengar bahwa pasukan kerajaan menyerbu tempat yang dijadikan sarang kaum Pek-liankauw dan Ngo-lian-kauw di Bukit Cemara. Dia tentu saja mengetahui bahwa mereka itu adalah sisa para anak buah Peklian-kauw cabang Liauw-ning yang berada di sebelah timur Peking,dan sebagian lagi sisa anak buah Ngo-lian-kauw di Po-teng.
Dia cukup cerdik sehingga pangeran itu tidak menaruh orangorangnya di hutan itu, sehingga tidak perlu khawatir rahasianya bersekutu dengan mereka akan diketahui pemerintah. Kang-lam Jit-sian yang menjadi para jagoannya hanya dikenal sebagai para pengawal pribadinya.
Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw Ji Kong masih mengharapkan pertempuran itu akan merugikan pasukan kerajaan karena dia tahu bahwa di antara para pimpinan Pek-lian-kauw,terdapat beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw yang sakti, di
antaranya terdapat dua orang tokoh yang dikirim dari pusat Peklian-kauw, yang berjuluk Thian-te Lo-mo (Iblis Tua langit dan Bumi) terdiri dari dua orang kakek pendeta Pek-lian-kauw.
Seorang berjuluk Thian Lo-mo (Iblis Tua langit) yang bermuka putih
seperti kapur dan Tee Lo-mo (Iblis Tua bumi) yang bermuka hitam seperti arang. Sepasang kakek berusia sekitar enampuluh tahun ini merupakan pasangan yang amat hebat, selain memiliki ilmu silat tinggi juga mereka berdua mahir menggunakan ilmu sihir.
Memang dua orang pendeta Pek-lian-kauw ini lihai bukan main.
Ketika pasukan kerajaan datang menyerbu, mereka berdua mengamuk dan sepak terjang mereka menggiriskan semua orang.
Bukan saja golok besar mereka itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di angkasa, akan tetapi juga mereka berdua dapat mengadakan awan dan halilintar dari sihir mereka yang membuat para perajurit gentar dan banyak yang roboh oleh mereka.
Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang muda itu! Hwethian Mo-li sudah berkelebat dan pedang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar bagaikan halilintar, menangkis golok besar di tangan Thian Lo-mo.
"Tranggg......!" Thian Lo-mo yang sedang mengamuk dan sudah membunuh delapan orang perajurit itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada halilintar menyambar dan goloknya terpental, tangan kanannya terasa panas sehingga hampir saja dia melepaskan gagang golok yang dipegangnya itu.
Ketika dia melompat kesamping dan cepat memutar tubuh, dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang gagah perkasa.
Gadis berusia sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya padat ramping dan indah menggairahkan, rambutnya hitam panjang ikal mayang dengan anak rambut berjuntai lembut di dahi dan kedua pelipisnya.
Matanya bagaikan sepasang bintang kejora. Hidungnya mancung kecil dan mulutnya merupakan daya tarik yang amat menggairahkan. Seorang gadis yang benar-benar jelita namun juga tampak gagah berwibawa.
Thian Lo-mo sudah mendengar akan nama besar Hwe-thian Mo-li,maka begitu berhadapan dengan Siang Lan dan merasakan tangkisan pedang Lui-kong-kiam tadi, dia membentak.
"Engkaukah yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?"
"Benar, aku Hwe-thian Mo-li yang telah datang untuk membasmi pemberontak jahat macam kalian!"
"Perempuan hina! Engkau telah membunuh sahabat-sahabat kami
Ngo-lian Heng-te dan beberapa orang saudara kami dari Pek-liankauw sekarang rasakan pembalasan kami! Tee Lo-mo, ini musuh kita Hwe-thian Mo-li!" teriak Thian Lo-mo dengan marah sekali.
Pada saat itu, seorang kakek lain yang bermuka hitam arang datang menerjang dengan golok besarnya. Hwe-thian Mo-li cepat mengelak dan ia pun segera menggerakkan pedangnya,menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu.
Ternyata mereka berdua itu tangguh sekali setelah maju bersama.
Bukan hanya ilmu golok mereka yang amat kuat, namun juga tangan kiri mereka seringkali melancarkan pukulan dorongan jarak jauh yang mendatangkan angin kuat dan menghembuskan uap.
Uap putih keluar dari telapak tangan Thian Lo-mo dan uap hitam keluar dari tangan Tee Lo-mo! Betapa pun lihainya, Siang Lan terdesak oleh pengeroyokan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua orang
pemuda sudah menerjang maju membantu Siang Lan. Mereka adalah Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu yang tadi mengamuk merobohkan banyak anak buah Pek-lian-kauw dan melihat betapa Siang Lan menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Peklian-kauw yang lihai, mereka berdua menerjang maju dan menyerang Thian Lo-mo!
"Trang-cringgg......!" Thian Lo-mo terhuyung ke belakang ketika dia
menangkis dua sinar pedang itu dengan goloknya. Dia terkejut sekali akan tetapi segera menghadapi serangan dua orang pemuda yang memiliki gerakan pedang amat hebat.
Diam-diam dia mengeluh karena dia benar-benar menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh. Melawan seorang saja dari mereka sudah
cukup berat apalagi mereka itu maju bersama.
Sim Tek Kun adalah seorang murid Kun-lun-pai, sedangkan Chang Hong Bu adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai! Tentu saja Thian Lo-mo terdesak hebat dan hanya dapat melindungi diri dengan putaran golok besarnya sambil terus bergerak mundur.
Sementara itu, ditinggalkan seorang diri melawan Hwe-thian Mo-li yang memiliki ilmu pedang amat dahsyat itu, Tee Lo-mo juga segera terdesak hebat. Pengerahan tenaga sihir dan permainan goloknya semua dikeluarkan namun sia-sia belaka, dia tidak mampu menghindarkan semua sambaran kilat halilintar dari pedang gadis itu dan setelah lewat duapuluh jurus, pedang Siang Lan menyambar lehernya dan Tee Lo-mo roboh dan tewas seketika!
Siang Lan tidak mempedulikannya lagi dan cepat ia mencari dua orang pemuda yang tadi bertanding mengeroyok Thian Lo-mo. Tak jauh dari situ ia melihat dua orang itu baru saja merobohkan Thian Lo-mo yang tewas terkena sambaran pedang jago-jago muda dari Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai itu.
Pertempuran berlangsung seru, akan tetapi setelah dua orang tokoh besar Pek-lian-kauw itu tewas, semangat para pemberontak menjadi lemah. Mereka masih melawan mati-matian dan bertahan sampai tengah hari, akan tetapi ketika satu demi satu para
pimpinan mereka roboh dan banyak rekan-rekan mereka berjatuhan, mereka menjadi panik.
Akhirnya, tak dapat mereka pertahankan lagi dan mulailah mereka melarikan diri cerai-berai. Ada yang mencoba untuk bertahan
dalam terowongan-terowongan, ada pula yang melarikan diri menggunakan alat peledak yang mengeluarkan asap tebal.
Akan tetapi, akhirnya paling banyak hanya seratus orang saja dari mereka yang berhasil lolos dan melarikan diri. Lainnya roboh tewas atau luka dan tertawan. Biarpun di pihak pasukan pemerintah ada pula yang gugur, namun pasukan pemerintah memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu dan mereka bersorak gembira ketika membakar
bekas-bekas sarang gerombolan di Bukit Cemara itu.
Hampir semua pemimpin gerombolan tewas dalam pertempuran itu.
Akan tetapi, diam-diam Hwe-thian Mo-li dan dua orang pemuda perkasa, Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu, tiga para perwira tinggi yang memimpin pasukan pemerintah, kecewa karena mereka tidak menemukan para pembunuh yang dicari-cari oleh Jenderal Chang.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa dua orang Thian-te Lo-mo adalah pembunuh-pembunuh itu, akan tetapi setelah ia bersama Tek Kun dan Hong Bu menewaskan mereka, ia menduga bahwa para pembunuh itu bukan mereka dan agaknya tidak ikut dalam
gerombolan yang telah dibasmi itu.
Biarpun demikian, Jenderal Chang Ku Cing merasa gembira akan keberhasilan operasi pembasmian gerombolan pemberontak itu.
Hal ini setidaknya membuat para pemberontak menjadi jerih dan tidak berani main-main di kota raja. Dan dia pun tetap meningkatkan penjagaan karena siapa tahu, para pemberontak akan melakukan kekacauan seperti itu pula, ialah membunuhi para pejabat tinggi.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ditahan oleh Ong Lian Hong untuk
sementara agar tinggal di rumah mereka. Selain Lian Hong merasa rindu kepada enci angkatnya itu, iapun mempunyai niat yang kuat untuk mendekatkan dan menjodohkan Nyo Siang Lan dengan
Chang Hong Bu.
Ia merasa bahwa pemuda keponakan Jenderal Chang itu merupakan jodoh yang tepat sekali bagi Nyo Siang Lan.
Maka ia membujuk suaminya untuk menyetujui kalau mereka mengundang Hong Bu untuk datang bertamu dan bermain di rumah mereka agar memberi kesempatan sebanyaknya kepada dua orang muda itu untuk saling berkenalan lebih akrab lagi.
Bahkan Sim Tek Kun terpaksa memenuhi permintaan yang sangat berat dari isterinya untuk diam-diam menghubungi Jenderal Chang Ku Cing dan mengajukan usul mereka untuk menjodohkan Chang Hong Bu dengan Nyo Siang Lan.
Jenderal Chang Ku Cing dengan sendirinya merasa setuju sekali karena dia memang pengagum
Aku merasa muak maka aku lebih senang meninggalkan kota raja dan hidup dengan tenang tenteram mempelajari ilmu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin."
Li Ai menghela napas panjang dan perasaan sukanya kepada pemuda itu bertambah. Bouw Cu An ini tidak seperti para pemuda bangsawan yang pernah dia jumpai dan kenal di kota raja. Sama sekali berbeda!
"Aih, memang sukar dipercaya kalau kita ceritakan kepada orang lain, Bouw Kongcu. Semua orang tentu akan menganggap bahwa kehidupan seorang anggauta keluarga para bangsawan yang berpangkat tinggi dan kaya raya di kotaraja pasti enak dan menyenangkan.
Akan tetapi apa yang telah kita alami" Kepahitan dan ketidak-tenteraman, sungguh menyedihkan."
Dua orang muda itu saling tertarik, bahkan mungkin saja mereka itu telah jatuh cinta pada pertemuan pertama ini.
Akan tetapi diam-diam keduanya merasa tidak berharga bagi yang lain. Bouw Cu An merasa tidak berharga untuk menjadi pasangan Li Ai mengingat bahwa kalau Li Ai puteri seorang perwira tinggi yang jelas amat setia kepada negara dan sudah banyak dan besar jasanya, maka
sebaliknya dia adalah putera seorang pangeran yang hendak mengkhianati dan memberontak kepada pemerintah!
Sebaliknya, Li Ai sendiri juga merasa tidak pantas menjadi pasangan Cu An mengingat bahwa kalau Cu An putera seorang pangeran, bahkan masih keponakan kaisar, ia sendiri hanya puteri seorang perwira yang dianggap pengkhianat dan dirinya sendiri telah ternoda, bukan perawan lagi! Hampir saja ia tidak dapat menahan runtuhnya air matanya ketika ia ingat akan hal ini.
Pada saat itu, tiba-tiba Bwe Kiok Hwa memasuki ruangan tamu itu dengan muka pucat dan suaranya terdengar gemetar.
"Nona, celaka, Nona! Dari bagian utara datang segerombolan orang bekas anak buah Ban-hwa-pang yang lama menyerbu dan mereka sudah membakar tanaman di sana dan merobohkan beberapa orang anak buah!
Tentu orang ini yang menjadi mata-mata mereka!" Bwe Kiok Hwa dengan marah lalu menerjang Cu An dengan pedangnya!
Tentu saja Cu An cepat mengelak dan dari samping dia menendang lutut kiri Bwe Kiok Hwa. Hampir saja tendangannya mengenai sasaran, akan tetapi Bwe Kiok Hwa yang sudah
memperoleh latihan yang lumayan dari Hwe-thian Mo-li dapat melompat ke belakang walaupun tubuhnya terhuyung.
Sebelum ia nekat menyerang lagi, Li Ai sudah membentaknya.
"Enci Bwe, hentikan itu! Jangan menyerang orang secara sembarangan dan menuduh membabi-buta!
Bouw Kongcu adalah adik seperguruan Enci Siang Lan, dan engkau berani menyerangnya?" Ditegur begitu, Bwe Kiok Hwa menghentikan serangannya dan
memandang bingung.
Tadi ia memang memiliki kecurigaan dan dugaan keras bahwa kedatangan pemuda itu tentu ada hubungannya dengan gerombolan Ban-hwa-pang lama yang tibatiba pagi itu datang menyerbu, membakari tanaman untuk menghalau semua jebakan yang dipasang di bagian itu.
"Mari, Kongcu, kita lihat keadaannya!" Li Ai mengajak Cu An dan mereka berdua lalu berlari cepat keluar dari bangunan induk itu,diikuti oleh Bwe Kiok Hwa yang masih memegang pedang. Tidak sukar mencari tempat yang dimaksudkan karena dari atas sudah tampak lereng di bagian utara yang mengepulkan asap tanda kebakaran.
Semua anak buah Ban-hwa-pang tampak berlari-larian ke arah itu.
"Bawa peralatan untuk memadamkan kebakaran!" teriak Li Ai. .
"Bawa kayu-kayu pemukul dan air!" teriak pula Cu An.
Para anggauta Ban-hwa-pang itu mentaati perintah ini dan ramai-ramai mereka lari ke lereng utara sambil membawa alat-alat untuk
memadamkan kebakaran.
Setelah mereka berdua menuruni lereng itu, Li Ai dan Cu An melihat sekitar duapuluh orang laki-laki, dipimpin seorang laki-laki tua bermuka penuh berewok yang memegang sepasang golok,sedang berkelahi melawan puluhan orang wanita anggauta Banhwa-pang.
Karena para anggauta wanita Ban-hwa-pang baru sekitar setahun lebih belajar ilmu silat, mereka tampak kewalahan menghadapi serbuaan gerombolan laki-laki yang tampak buas itu.
Namun, karena yang menggembleng mereka adalah Hwe-thian Mo-li, maka dalam setahun itu mereka telah memperoleh tenaga dan kegesitan yang lumayan sehingga walaupun terdesak hebat,mereka masih mampu melakukan perlawanan.
Sementara itu,para anggauta lain sibuk memadamkan api agar jangan menjalar ke atas. "Kongcu, mari kita hajar mereka!" kata Li Ai dan tanpa menanti jawaban gadis ini sudah mencabut pedangnya dan menerjang para penyerbu, diikuti Cu An yang juga sudah mencabut pedangnya.
Dua orang muda ini menerjang dan mengamuk dengan hebatnya.
Biarpun Li Ai tidaklah sehebat Cu An ilmu pedangnya, namun karena marah dan penuh semangat, gerakan Li Ai amat ganas.
Pedangnya berkelebatan seperti halilintar menyambar-nyambar.
Juga gerakan pedang Cu An amat kuat sehingga sebentar saja enam orang penyerbu telah roboh oleh pedang sepasang orang muda ini. Hal ini membakar semangat para anggauta wanita Ban-hwa-pang dan mereka melawan dengan lebih gigih.
Sebaliknya, para penyerbu menjadi terkejut bukan main.
Memang sebagian besar dari mereka sudah jerih terhadap nama Hwe-thian Mo-li. Mereka baru berani diajak menyerbu oleh pemimpin baru mereka setelah mendengar bahwa Hwe-thian Moli sedang tidak berada di Ban-hwa-kok.
Akan tetapi ternyata sekarang muncul sepasang orang muda yang demikian ganas dan lihai ilmu pedangnya! Hal ini membuat nyali mereka menjadi
semakin mengecil. Li Ai dan Cu An kini menerjang ke arah pemimpin gerombolan yang mukanya penuh berewok itu.
Dia ini dahulunya merupakan pembantu utama Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang telah terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li.
Semua anggauta Ban-hwapang berikut ketuanya telah dibasmi dan dibunuh habis oleh Hwethian Mo-li yang menjadi seperti gila dan mengamuk setelah merasa dirinya dinodai dan Si Berewok ini adalah salah satu di antara beberapa orang saja yang sempat melarikan diri, walaupun terluka parah. Kini, dia mengumpulkan teman-teman para perampok untuk membalas dendam, membakar dan mencoba untuk menguasai kembali Ban-hwa-pang.
Akan tetapi tidak disangkanya bahwa di situ terdapat Li Ai dan Cu An yang cukup lihai sehingga pihak mereka yang kini terdesak hebat.
Si Berewok cukup lihai. Andaikata yang melawannya hanya Li Ai atau Cu An sendiri, kiranya dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi kini dua orang muda itu maju bersama dan mereka saling melindungi dan saling bantu karena memang ada perasaan yang dekat dan saling menyayang di antara keduanya, maka
pertahanan maupun penyerangan mereka dapat disatukan dan menjadi terlalu kuat bagi Si Berewok.
Setelah melawan mati-matian selama duapuluh jurus, akhirnya Si Berewok roboh terkena sabetan pedang Li Ai dan tusukan pedang Cu An. Dia roboh dan tewas.
Melihat ini, sisa para gerombolan menjadi panik, sebaliknya para
wanita anggauta Ban-hwa-pang menjadi semakin bersemangat.
Bagaikan harimau-harimau betina mereka berteriak-teriak menerjang sisa gerombolan, dipimpin Li Ai dan Cu An sehingga akhirnya semua anggauta gerombolan yang menyerbu telah dapat dirobohkan dan ditewaskan!
Para wanita itu bersorak gembira karena kemenangan ini,kemenangan dalam pertempuran yang pertama kali mempertahankan tempat kediaman mereka!
Hanya ada enam orang wanita rekan mereka yang terluka. Mereka segera dirawat dan atas perintah Li Ai, semua mayat para gerombolan itu dikubur dalam beberapa lubang, jauh di kaki bukit Ban-hwa-san.
Li Ai dan Cu An berjalan berdampingan naik kembali ke puncak Ban-hwa-kok. Sejak itu, mereka merasa semakin dekat satu
kepada yang lain. Terasa suatu kemesraan yang amat membahagiakan hati mereka.
Wajah mereka cerah penuh senyum, terutama setiap kali pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut. Walaupun mulut mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun sinar mata mereka telah mengutarakan seluruh isi hati mereka yang dapat mereka tangkap dan mengerti sedalam-dalamnya.
Mereka saling jatuh cinta! Ada perasaan bahagia yang mendalam, namun kebahagiaan yang mendatangkan duka apabila mereka
mengingat akan keadaan diri masing-masing.
Li Ai teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda, dan Cu An teringat akan keadaan dirinya sebagai putera seorang pengkhianat dan
pemberontak!
Akan tetapi peristiwa penyerbuan gerombolan itu membuat Cu An
mendapatkan alasan dan kesempatan untuk bermalam satu malam lagi di Ban-hwa-kok, dalam waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk saling memperlihatkan perasaan hati masingmasing, walaupun hanya melalui pandang mata dan senyum
penuh madu.
Tanpa bicara pun mereka yakin bahwa mereka saling mencinta. Mereka makan siang, lalu makan malam bersama.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan makan pagi,suasananya diliputi keharuan dan kesedihan karena saatnya telah tiba bagi mereka untuk saling berpisah. Pagi itu setelah sarapan,Cu An harus meninggalkan Ban-hwa-pang, menyusul gurunya ke
kota raja!
Mereka berdua sarapan, akan tetapi tidaklah senikmat biasanya. Bahkan rasanya sukar menelan makanan menghadapi perpisahan di depan mata.
Setelah selesai makan, Cu An berkata lirih. "Sekarang aku harus berkemas......" "...... Kongcu...... mengapa tergesa-gesa"
Hari masih amat pagi."
Cu An memandang wajah gadis itu dengan sinar mata tajam.
"Nona Kui, setelah apa yang kita alami bersama, rasanya kaku dan tidak enak mendengar engkau masih menyebut aku Kongcu."
"Engkau pun menyebut aku Siocia......" bantah Li Ai.
Cu An tersenyum dan gadis itu pun ikut tersenyum pula. Tanpa bicara lagi mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing yang ingin mendapatkan sebutan yang lebih akrab lagi, bukan sebutan bersopan-sopan seperti dua orang yang asing satu sama lain.
"Baiklah mulai sekarang, aku akan menyebutmu Moi-moi (Adik Perempuan), bolehkah, Ai-moi?"
"Tentu saja, dan aku akan senang kalau boleh menyebutmu An-ko
(Kakak Laki-laki An)."
Keduanya saling tersenyum lagi dan kini pandang mata mereka lebih leluasa mengirim sinar-sinar kasih.
"Sekarang aku harus berkemas dan siap untuk turun dari sini, Aimoi."
"Baiklah, silakan An-ko."
Cu An lalu memasuki kamarnya dan mengemasi buntalan pakaiannya. Setelah dia keluar, dia melihat Li Ai sudah menunggunya dan ketika dia menuruni puncak bukit itu, Li Ai
mengantarnya dan berjalan di sampingnya, sebagai pengantar dan
penunjuk jalan karena jalan menurun itu penuh jebakan dan perangkap.
Mereka berjalan berdampingan sambil bercakapcakap.
"Aku merasa senang dan berbahagia sekali dapat berkenalan denganmu, Ai-moi."
"Aku pun merasa senang dan terhormat dapat bertemu dan berkenalan denganmu, An-ko. Engkau seorang putera pangeran yang terhormat dan berkedudukan tinggi, sedangkan aku......"
"Hushh, jangan berkata begitu, Ai-moi," kata Cu An sambil memegang tangan kiri gadis itu yang berjalan di samping kanannya. Merasa betapa tangan kirinya dipegang erat, Li Ai terkejut akan tetapi biarpun hatinya menolak, jari-jari tangannya dengan hangat membalas genggaman tangan pemuda yang kokoh kuat itu.
"Aku bicara sejujurya, An-ko. Bahkan berjalan berdua begini saja sebetulnya tidak pantas bagiku......"
"Ai-moi......!" Cu An berhenti melangkah dan menarik gadis itu
sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat sekali dan ketika mereka saling pandang, Cu An agak menunduk dan Li Ai agak berdongak, mereka dapat merasakan hembusan napas masingmasing di muka mereka.
"Jangan engkau sekali lagi berkata seperti itu, Ai-moi. Ucapan itu amat menyakitkan hatiku. Engkau lebih dari pantas berjalan dalam kehidupan ini di sampingku, akulah yang tidak pantas bagimu.
Aimoi, aku...... aku sayang kamu, aku cinta kamu......"
"An-ko......!" Kini kedua tangan mereka saling bertemu dan jari-jari tangan mereka saling remas. Sejenak Li Ai yang, merasa tubuhnya lunglai, menyandarkan mukanya di dada pemuda itu yang merangkul pundaknya.
Biarpun tidak lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, namun rasanya hati mereka telah menjadi satu dan sukar untuk dipisahkan lagi.
Akan tetapi Li Ai segera menyadari keadaan dirinya. Ia menjauhkan diri dan berkata lirih.
"Dari sini ke bawah sudah tidak ada perangkap lagi, An-ko.
Selamat jalan, An-ko dan terima kasih, engkau baik sekali. Nanti kalau Enci Siang Lan kembali, akan kuceritakan padanya tentang kunjunganmu."
Li Ai menguatkan hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar agak gemetar karena haru dan sedih akan
berpisah dari pemuda itu.
"Baik, Ai-moi. Kurasa aku akan dapat bertemu dengannya di kota raja. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan pembelaanmu kepada Ban-hwa-pang dari serbuan pengacau."
Cu An mengambil sebuah kantung kecil yang biasa dia pergunakan untuk menyimpan uang emas, sebuah kantung kecil dari kain disulam indah dengan gambar sepasang kupu-kupu dan memberikannya kepada Li Ai.
"Ai-moi, aku tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap engkau suka menerima hadiah dariku ini sebagai tanda mata atas persahabatan kita." Li Ai menerimanya dengan tangan gemetar, lalu berkata, "Aku pun tidak mempunyai apa-apa, An-ko, akan tetapi silakan ambil apa saja yang kausuka."
Cu An mengamati gadis itu, lalu mengelus rambutnya yang hitam
panjang lebat dan agak berikal itu. "Bolehkah aku mengambil
hiasan rambutmu ini, Ai-moi?"
"Tentu saja boleh, An-ko," jawab gadis itu dengan muka berubah kemerahan. Cu An mengambil tusuk sanggul yang berupa bunga teratai itu dan begitu dicabut sanggulnya terlepas dan rambut yang panjang itu
terurai menutupi kedua pundak Li Ai.
"Alangkah indah rambutmu, Ai-moi," Cu An mengelus rambut itu dengan mesra. Selama hidupnya baru sekali ini Li Ai merasa dicinta pria,sebaliknya juga Cu An baru sekali ini merasa dekat sekali dengan wanita.
Keduanya salah tingkah dan merasa canggung, jantung
berdebar tegang dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.
"Nah, selamat tinggal, Adikku sayang."
"Selamat jalan, An-ko."
Kedua tangan yang saling berpegang itu merenggang dan perlahan-lahan terlepas ketika Cu An mulai melangkah meninggalkan Li Ai. Setelah mengikuti bayangan pemuda yang menuruni lereng terakhir itu sampai bayangan itu lenyap barulah Li Ai tidak dapat menahan tangisnya.
Ia menangis sedih, berjalan mendaki bukit sambil menangis. Ia teringat akan keadaan dirinya,yakin bahwa ia tidak akan mungkin dapat hidup berjodoh dengan Cu An, pemuda yang telah merebut cintanya.
Ia teringat akan Bong Kim atau Bong Kongcu, putera Hartawan Bong di kota raja, pria pertama yang mengaku cinta dan melamarnya sebagai isteri.
Mula-mula ia memang tertarik, akan
tetapi setelah pemuda itu diberitahu bahwa ia bukan perawan lagi,Bong Kim malah menghinanya dan memandang rendah kepadanya dan hanya ingin mengambilnya sebagai seorang selir.
Karena ia tidak mencinta Bong Kim, maka sikap Bong Kim itu tidak begitu menyakitkan hatinya, apalagi pemuda hartawan itu telah menerima hajaran keras dari Hwe-thian Mo-li.
Akan tetapi ia benar-benar jatuh cinta kepada Bouw Cu An. Kalau sampai Bouw Cu An nanti memperlihatkan sikap seperti Bong Kim,ia tidak akan kuat menerimanya. Lebih baik mati saja!
Karena itu,sebaiknya kalau ia tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Bouw Cu An. Bahkan, sebaiknya kalau ia tidak saling mencinta dengan pria manapun juga agar jangan sampai tersiksa hatinya
kelak.
Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang gadis yang bukan perawan lagi" Ah, betapa tololnya dan tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena kesalahannya, bukan karena kehendaknya, melainkan karena terpaksa!
Orang bernasib buru sepertinya bukannya dikasihani, malah dihina, direndahkan,dan diejek! Bagaimana sebaliknya kalau pria" Berapa banyaknya laki-laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan hal itu pun terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan karena ada yang memaksa, akan tetapi kalau laki-laki tidak ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak adilnya ini.
Pikiran seperti ini mengganggu kepalanya ketika ia mendaki pulang ke perkampungan Ban-hwa-pang sehingga setelah tiba di rumah, ia merasa pening dan segera merebahkan diri tidur dengan muka
masih ada bekas air mata.
Sementara itu, Bouw Cu An yang menuruni bukit itu pun dilanda perasaan campur aduk. Ada rasa gembira dan bahagia karena dia
merasa benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Li Ai dan dia merasa bahwa gadis itu pun membalas cintanya.
Mereka berdua saling mencinta dan alangkah akan bahagianya kalau kelak dia dapat menjadi jodoh, menjadi suami gadis yang baginya paling cantik menarik di antara semua wanita di dunia ini. Akan tetapi perasaan bahagia ini dinodai ingatannya akan ayahnya.
Ayahnya mempunyai niat memberontak berarti ayahnya mempunyai watak khianat terhadap pemerintah.
Sebaliknya, Kui Li Ai adalah puteri tunggal mendiang Kui Ciangkun, seorang perwira tinggi yang patriotik, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan dihormati karena setianya kepada pemerintah.
Kalau kemudian Li Ai mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat, apakah gadis itu sudi menjadi mantu pengkhianat"
Ingatan ini membuat hati Cu An merasa berat dan sedih sekali.
Dia mengambil keputusan untuk menentang ayahnya sendiri, untuk
berusaha sekuatnya menyadarkan keinginan ayahnya yang hendak memberontak itu. Bagaimanapun juga, ayahnya telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi dari kaisar, diangkat menjadi penasihat Kaisar dalam urusan hubungan dengan para suku lain di luar daerah kekuasaan kerajaan Beng. Dengan
keputusan hati yang tetap, pemuda itu lalu mempercepat perjalanannya menuju ke kota raja.
**********
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memasuki kota raja. Jantungnya berdebar juga ketika ia memasuki kota raja yang sudah dikenalnya
dengan baik itu.
Sudah lama ia merasa rindu sekali kepada Ong Lian Hong, adik seperguruan atau adik angkatnya sendiri, puteri dari gurunya.
Dulu, ia tidak jadi singgah di rumah adiknya itu karena bagaimanapun juga, ia masih merasa tidak enak untuk bertemu dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong yang
pendekar Kun-lun-pai dan kini menjadi suami Ong Lian Hong itu.
Ia pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu.
Sim Tek Kun merupakan pria pertama yang dicintanya, akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa Sim Tek Kun adalah pemuda yang sudah dijodohkan dengan Ong Lian Hong sejak mereka kecil dan ternyata keduanya juga jatuh cinta setelah bertemu pada saat mereka telah dewasa. Bahkan ia sendiri yang mendorong keduanya dapat saling bertemu dan berjodoh!
Biarpun ia melepas cinta pertamanya itu dengan rela, namun tetap saja ada bekas luka dalam hatinya, walau kini luka itu sudah mengering. Ia merasa amat rindu kepada Ong Lian Hong dan kini ia tidak dapat menahan lagi rasa rindunya.
Ia menekan perasaan tegangnya, lalu setelah mengambil keputusan, pada siang hari itu ia melanjutkan langkahnya langsung saja ke istana Pangeran Sim Liok Ong, di mana tentu saja Ong Lian Hong tinggal bersama suaminya, putera pangeran itu.
Penjaga istana Pangeran Sim tentu saja tidak mengenalnya. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri sebagai Hwe-thian Mo-li dan ingin bertemu dengan suami isteri Sim Tek Kun, dua orang perajurit itu terkejut dan cepat memberi hormat lalu mempersilakan Siang Lan duduk menanti di dalam gardu penjagaan karena mereka hendak melaporkan ke dalam istana.
Tak lama kemudian, Siang Lan melihat Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun berlari-larian keluar dari dalam istana menuju ke gardu penjagaan dekat pintu gerbang. Ia bangkit berdiri dan keluar dari gardu menyambut mereka.
Hatinya terharu sekali ketika ia melihat Lian Hong masih tetap cantik dan anggun, akan tetapi agak gemuk
dan setelah dekat, ia gembira sekali melihat bahwa adiknya itu ternyata agak gendut, tanda bahwa Ong Lian Hong telah mengandung! Mungkin baru beberapa bulan sehingga tidak
tampak terlalu besar, namun ia dapat menduga bahwa adiknya itu telah hamil!
"Enci Lan......!!" Lian Hong berlari dan mengembangkan kedua lengannya. "Hong-moi!" Siang Lan juga menyambut dan berangkulan, dan Lian Hong menangis terisak-isak.
keduanya "Hushh......! Lian Hong, kenapa pertemuan menggembirakan ini kausambut dengan tangis?" kata Siang Lan tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah.
"Enci...... maafkan aku......"
Tiba-tiba Lian Hong merasa lengannya dipegang suaminya dan
tahulah ia bahwa suaminya melarang ia membicarakan urusan lama yang hanya akan menimbulkan singgungan dalam hati, maka ia melanjutkan dengan maksud lain.
"......maafkan kami tidak tahu akan kunjunganmu sehingga lambat menyambutmu."
"Aih, tidak apa-apa, Adikku. Aku pun tidak memberi kabar lebih dulu, bagaimana kalian bisa tahu?"
"Hwe-thian Mo-li, sungguh kami merasa bahagia sekali dapat menerima kunjunganmu!" kata Sim Tek Kun dengan ramah dan gembira.
"Kun-lun Siauw-hiap, bagaimana keadaan kalian" Engkau menjaga Adikku dengan baik-baik, bukan?" kata pula Hwe-thian Mo-li dan suaranya terdengar biasa karena hatinya kini sudah tenteram melihat bahwa mereka berdua agaknya juga tidak ingin bicara tentang masa lalu.
"Kami dalam keadaan baik, terima kasih. Mari kita bicara di dalam saja. Hong-moi, ajak Encimu masuk ke dalam."
"Mari, Enci Lan!" Lian Hong lalu menggandeng tangan Siang Lan
dan mereka berdua lalu berjalan menuju ke istana Pangeran Sim, diikuti oleh Sim Tek Kun dari belakang.
Setelah oleh Lian Hong encinya itu dipertemukan dengan Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Lian Hong dan Sim Tek Kun lalu mengajak Siang Lan masuk ke dalam dan di ruangan dalam mereka bertiga bercakapcakap dengan gembira.
"Sudah berapa bulan kandunganmu, Lian Hong?"
Lian Hong menundukkan muka memandang ke arah perutnya, mukanya berubah kemerahan dan tangan kirinya mengelus perut,
mengerling sambil tersenyum kepada suaminya lalu menjawab,
"Dua bulan lebih, Enci Lan."
"Mudah-mudahan anakmu yang pertama laki-laki, Adik Hong!"
"Nona Nyo Siang Lan, sungguh kami berdua merasa beruntung
sekali dapat menerima kunjunganmu ini. Akan tetapi kalau boleh kami mengetahui, apakah selain kunjungan persaudaraan,kedatanganmu ini ada hubungannya dengan undangan Jenderal Chang Ku Cing?"
"Aih, benar sekali! Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Sim Kongcu?"
"Wah, kenapa sih kalian menggunakan sebutan seperti orang
asing begitu" Aku jadi merasa tidak enak mendengarnya.
Kun-ko,dan Lan-ci, kenapa kalian tidak menyebut seperti kakak dan adik saja?" tegur Lian Hong sambil tertawa.
Wanita muda ini maklum bahwa terdapat kecanggungan di antara dua orang yang dulu saling memiliki hubungan batin itu, maka ia lalu mencairkan kekakuan dan kecanggungan itu. Sim Tek Kun dan
Nyo Siang Lan tertawa mendengar ini.
"Nah, kalau engkau sudah ditegur oleh isterimu yang galak ini, lalu bagaimana sikapmu, Kun-ko?" kata Siang Lan, menyebut Kun-ko (Kakak kun) tanpa canggung karena memang ia sudah lama mengenal Sim Tek Kun, bahkan sebelum Lian Hong mengenal
putera pangeran itu.
Sim Tek Kun tertawa. "Ha-ha, memang aku yang bersalah, Lanmoi. Sepantasnya memang kita tidak bersikap sungkan dan asing satu sama lain. Bukankah kita telah menjadi lebih akrab daripada sekadar teman, kini dapat dibilang menjadi keluarga" Isteriku adalah adik angkatmu, maka aku pun berarti saudaramu pula."
Percakapan menjadi lebih ramah dan akrab. Siang Lan lalu menceritakan maksud kunjungannya ke kota raja, menjawab pertanyaan Tek Kun tadi.
"Sesungguhnya memang benar bahwa Paman Jenderal Chang Ku Cing mengutus Saudara Chang Hong Bu berkunjung ke Ban-hwakok dan mengundangku agar aku membantu dia melakukan penyelidikan dan menangkap para pembunuh yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat
tinggi yang setia kepada Kaisar.
Karena kami di Ban-hwa-kok sedang membangun, maka aku minta Bu-ko, maksudku saudara Chang Hong Bu untuk kembali dulu ke kota raja, kemudian aku menyusul setelah pekerjaan di sana selesai.
"Setelah memasuki kota raja, sebelum menghadap Paman Jenderal Chang Ku Cing, aku ingat kepada kalian, maka aku langsung saja berkunjung ke sini lebih dulu. Kalian tentu lebih tahu
apa yang telah terjadi di kota raja sehingga Paman Jenderal Chang perlu untuk mengundang dan minta bantuanku."
Ong Lian Hong menjawab, "Paman Jenderal Chang Ku Cing juga sudah mengundang kami berdua dan minta bantuan kami, juga menanyakan alamatmu kepada kami. Kami hanya mengira-ngira saja di mana adanya dirimu, Enci Lan, karena kami telah
mendengar tentang engkau yang membasmi gerombolan Banhwa-kok dan memimpin perkumpulan itu.
Ada pun tentang pembunuhan-pembunuhan itu, memang aneh, dan agaknya suamiku dapat bercerita lebih banyak."
Siang Lan memandang Tek Kun. "Apakah yang telah terjadi, Kunko?"
Tek Kun menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Telah terjadi pembunuhan atas diri enam orang pejabat tinggi yang setia
kepada Kaisar dan melihat cacat yang diderita enam orang itu mudah diketahui bahwa pembunuhnya tentu ada tiga orang.
Penyebab kematian itu ada tiga macam, jadi mungkin setiap orang
pembunuh telah membunuh dua orang pejabat tinggi. Melihat dari
cacat yang menyebabkan kematian, dan cara mereka membunuh tanpa diketahui seorang pun petugas jaga, padahal yang dibunuh adalah pejabat-pejabat tinggi yang rumahnya dijaga, maka jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi."
"Hemm, apakah bukan orang-orang Pek-lian-kauw dan Ngo-liankauw yang melakukannya" Ingat, dulu pun yang melakukan pemberontakan adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak sekali tokoh lihai."
"Jenderal Chang juga menduga demikian. Akan tetapi anehnya,begitu diadakan pembersihan dan seluruh kota raja digeledah,tidak dapat ditemukan jejak para pembunuh itu.
Padahal kalau ada orang-orang Pek-lian-kauw bersembunyi di kota raja, sudah pasti dapat diketahui dan ditangkap karena penggeledahan dilakukan sampai ke pelosok-pelosok.
Mereka itu seolah menghilang dan
setelah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan pemerintah
mengadakan pembersihan dan pencarian, pembunuhan itu pun
berhenti tiba-tiba.
"Kami berdua juga sudah membantu sedapat kami, menyelidiki seluruh tempat, bahkan beberapa malam kami bergadang dan meronda secara diam-diam, namun tidak menemukan apapun.
Melihat penjagaan yang dilakukan atas perintah Jenderal Chang,tidak mungkin ada orang asing dapat keluar masuk pintu gerbang kota raja seenaknya saja."
"Hemm, kalau begitu, apakah tidak mungkin kalau ada pengkhianatan di dalam kota raja yang sengaja menyembunyikan para pembunuh itu?" tanya Hwe-thian Mo-li.
"Persis, itu pun telah kami pikirkan. Dan mengingat bahwa hanya rumah-rumah pejabat yang amat tinggi kedudukannya saja yang terbebas dari penggeledahan, maka andaikata ada pengkhianat,dia pasti seorang pejabat tinggi. Akan tetapi siapa" Siapakah pejabat tinggi yang hendak mengkhianati kaisar dan bersekutu
dengan pihak pemberontak?"
"Seorang pengkhianat yang bergerak dengan diam-diam dan rahasia jauh lebih berbahaya daripada pemberontakan yang bergerak dengan terang-terangan," kata Siang Lan. "Apakah setelah pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu, lalu berhenti dan tidak terjadi pembunuhan lagi?"
"Itulah masalahnya maka amat sukar menyelidiki siapa dalang pembunuhan-pembunuhan itu.
.Setelah terjadi pembunuhan enam
orang pejabat tinggi itu dan Jenderal Chang melakukan penyelidikan dengan ketat, pembunuhan itu berhenti dan tidak pernah terjadi lagi kerusuhan apalagi pembunuhan," kata Sim Tek Kun.
"Hemm, agaknya dalangnya memang cerdik. Kalau menurut aku,sebaiknya kalau kita pancing dia keluar, dengan jalan memperlemah penjagaan dan penyelidikan. Kalau para pembunuh
itu menganggap penjagaan menjadi lemah kemungkinan besar mereka akan bergerak lagi dan itulah kesempatan bagi kita untuk menangkapnya."
"Akan tetapi hal itu membahayakan keselamatan para pejabat tinggi!" seru Ong Lian Hong.
"Sebaiknya kalau engkau menghadap Jenderal Chang dan membicarakan hal ini dengan dia, Lan-moi. Hanya dialah yang berhak mengambil keputusan," kata Tek Kun.
"Akan tetapi nanti dulu, Enci Lan. Jangan tergesa-gesa meninggalkan aku. Aku masih rindu. Biarlah engkau tinggal dulu barang sehari dua hari di sini. Aku ingin mengadakan pesta
keluarga untuk menyambutmu.
Setelah itu baru engkau pergi
menemui Jenderal Chang dan mulai bekerja!" kata Lian Hong dan atas permintaan adik angkatnya ini tentu saja Siang Lan tidak mampu menolak.
Ketika berada berdua saja di dalam kamar mereka, Lian Hong berkata kepada suaminya. "Kun-ko, aku ingin mengadakan pesta keluarga dan mengundang Chang Hong Bu untuk datang dan ikut dalam pesta makan untuk menyambut kunjungan Enci Lan."
Mendengar sesuatu yang agak aneh dalam nada suara isterinya,
Tek Kun memandang wajah Lian Hong dan alisnya berkerut.
"Eh,Hong-moi, apa artinya ini" Apa maksudmu mengundang Chang
Hong Bu ke dalam pesta keluarga kita" Dia itu tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kita atau dengan Siang Lan!"
Isterinya tersenyum manis. "Aih, suamiku! Apakah engkau tidak
dapat menduga apa maksudku" Kita sudah tahu bahwa Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa.
Dia keponakan Jenderal Chang, murid Siauw-lim-pai yang tinggi ilmu silatnya, juga seorang pemuda terpelajar dan baik budi, tampan pula. Tidakkah engkau pikir dia itu cocok sekali kalau menjadi
pasangan hidup Enci Lan?"
"Oh-oh......! Maksudmu, engkau hendak main menjadi comblang"
Isteriku, jangan kau gegabah. Bagaimana kalau Siang Lan tidak
setuju" Ingat, ia galak sekali, jangan-jangan ia akan marah kepadamu karena ulahmu yang nakal ini!"
"Kun-ko, apakah engkau tidak melihat wajah Enci Lan ketika ia bercerita tentang pertemuannya dengan Chang Hong Bu di Lembah Selaksa Bunga" Kemudian ia menceritakan betapa
bersama Chang Hong Bu ia dikeroyok orang-orang lihai dari Peklian-kauw.
Ketika menceritakan tentang kegagahan Chang Hong Bu, kulihat wajahnya berseri dan sinar matanya masih membayangkan kekaguman terhadap pemuda pendekar Siauwlim-pai itu!
"Nah, berdasarkan kenyataan ini, salahkah aku kalau aku sekarang berusaha untuk saling mendekatkan mereka" Siapa tahu mereka akan dapat menjadi jodoh yang serasi dan bahagia, seperti kita, suamiku!"
Melihat pandang mata Lian Hong membayangkan keharuan dan kesedihan hati, Tek Kun maklum apa yang dipikirkan isterinya.
Isterinya sudah dia beritahu bahwa dahulu, sebelum dia bertemu dengannya, dia telah mempunyai hubungan batin dengan Siang Lan.
Hwe-thian Mo-li mencintanya, akan tetapi sengaja mengalah ketika mengetahui bahwa selain dia tunangan Lian Hong, juga saling mencinta dengan tunangannya itu.
Mendengar itu, hati Lian Hong terharu dan sedih sekali. Ia merasa
iba kepada Siang Lan yang amat dikasihinya seperti kakaknya sendiri.
Maka kalau kini ia berusaha untuk membahagiakan hati Siang Lan dan mencoba mencarikan jodohnya yang setimpal, apa salahnya hal itu dicobanya"
Dia merangkul isterinya. "Baiklah, isteriku, lakukanlah semua rencana baikmu itu."
Lian Hong merasa girang dan mencium pipi suaminya. "Engkau
memang suami yang paling baik, Kun-ko!"
Demikianlah, malam itu diadakan pesta makan keluarga. Karena yang berpesta itu orang-orang muda dan di situ hadir pula Chang Hong Bu, maka Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya setelah selesai makan lalu masuk ke dalam, tidak ingin mengganggu kegembiraan pertemuan orang-orang muda itu.
Kini tinggal Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu, dan Nyo Siang Lan berempat yang bercakap-cakap. Setelah makan selesai mereka pindah duduk di ruangan tamu dan melanjutkan percakapan di situ.
Siang Lan juga terkejut namun gembira ketika melihat kedatangan
Hong Bu yang diundang untuk ikut berpesta. Akan tetapi ia tidak berprasangka karena ia tahu bahwa hubungan antara keponakan Jenderal Chang dan Sim Tek Kun tentu akrab, maka undangan itu pun dianggapnya wajar saja.
Sebaliknya, Hong Bu gembira sekali
karena memang dia telah jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sejak pertama kali berjumpa. "Wah, kalau aku tahu engkau sudah berada di kota raja, Lan-moi,aku tentu segera menemuinya di sini!
Paman Jenderal Chang sudah amat menanti-nanti kedatanganmu," demikian Hong Bu berkata sambil menatap wajah yang jelita itu.
"Sebetulnya begitu tiba di kota raja, aku ingin segera menghadap Paman Jenderal Chang, Bu-ko, akan tetapi ini, Hong-moi dan Kunko menahan aku."
"Habis, kami sudah amat kangen sih!" kata Lian Hong dan mereka berempat bercakap-cakap tentang keadaan di kota raja.
"Keadaan di kota raja memang aman-aman saja akan tetapi paman Jenderal Chang masih tetap merasa penasaran. Setelah melakukan penggeledahan dengan cermat di kota raja dan hasilnya tidak ada, kini penyelidikan mulai diarahkan keluar kota raja dan agaknya Paman Chang telah mempunyai rencana untuk melakukan gerakan pembersihan di tempat-tempat tertentu.
Agaknya Paman Chang hanya menanti kedatanganmu, Lan-moi,
untuk mulai dengan gerakan pembersihan itu. Oleh karena itu,
sebaiknya kalau engkau segera menghadap ke sana."
Mereka lalu memutuskan untuk besok pagi pergi menghadap Jenderal Chang. Hong Bu berjanji untuk menyampaikan dulu kepada pamannya akan kedatangan Siang Lan dan besok pagi dia akan datang menjemput dan mereka berempat akan bersama-sama menghadap Jenderal Chang.
Pertemuan ramah tamah dan akrab itu membuat hati Chang Hong Bu semakin tertarik kepada Siang Lan. Hal ini diketahui oleh Lian Hong dan suaminya yang menjadi girang sekali, juga dirasakan oleh Siang Lan sendiri.
Sebetulnya ia merasa bersyukur bahwa seorang pemuda perkasa seperti Chang Hong Bu menaruh
perhatian terhadap dirinya, akan tetapi ia masih sangsi. Dapatkah ia menjalin asmara dengan seorang pria"
Sesungguhnya, pada saat itu hatinya sudah lebih condong kepada Paman Bu-beng-cu, laki-laki yang telah melepas banyak sekali budi kebaikan kepadanya, laki-laki yang telah menumbuhkan semangat hidupnya, dan satu-satunya laki-laki yang amat
dikaguminya. Akan tetapi, kalau mengingat keadaan dirinya yang
sudah ternoda, ia takut untuk menyatakan cinta kepada seorang
pria.
Bagaimana kalau laki-laki seperti Chang Hong Bu mengetahui bahwa ia bukan perawan lagi" Akan berubahkan sikapnya,berbalik merasa jijik dan tidak cinta lagi"
Ah, betapa dia akan merasa terhina, marah, dan mungkin saja ia berbalik menjadi amat benci kepada Hong Bu!
**********
Panglima besar Jenderal Chang Ku Cing menerima kedatangan Nyo Siang Lan yang ditemani Chang Hong Bu, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong dengan wajah berseri gembira.
Jenderal yang usianya sudah limapuluh dua tahun itu masih tampak gagah perkasa, dengan tubuh tinggi tegap, wajahnya penuh wibawa
dengan kumis dan jenggot pendek dibentuk rapi, sepasang matanya yang tajam mengandung keteguhan seorang pemimpin.
Akan tetapi dia tampak ramah ketika menyambut kedatangan Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan yang memang dia kagumi.
"Selamat datang, Hwe-thian Mo-li! Kami sudah lama menunggu kedatanganmu!" "Maafkan saya, Paman. Karena masih harus membenahi Lembah Selaksa Bunga, maka kedatangan saya agak terlambat," kata Siang Lan.
"Kami kira, kalian tentu sudah mendengar dengan jelas akan peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi kerajaan sekitar sebulan lebih yang lalu.
Sejak terjadinya pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu, sampai kini tidak ada lagi pembunuhan. Kami sudah mengerahkan semua tenaga untuk membongkar dan mencari pembunuhnya, namun selama ini kami gagal dan belum dapat menangkap para pembunuhnya.
"Tiga orang pembunuh itu jelas merupakan orang-orang yang amat
tinggi ilmu silatnya, dan tentu mereka itu mempunyai hubungan dengan pihak yang berkhianat terhadap kerajaan. Sayang sampai sekarang kami belum berhasil membongkar rahasia itu.
Agaknya pihak mereka juga ketakutan dan berdiam diri tidak membuat
gerakan sehingga sulit untuk dilacak."
"Paman, seperti telah saya laporkan kemarin, bagaimana pendapat Paman tentang usul Hwe-thian Mo-li untuk
mengendurkan penjagaan dan memberi kesempatan serta memancing para pembunuh agar mereka berani beraksi kembali"
Dengan demikian kita dapat melacaknya," kata Hong Bu kepada pamannya. Jenderal Chang mengangguk-angguk.
"Usul yang dikemukakan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memang cukup baik. Akan tetapi kami kira hasilnya tidaklah sepadan dengan resikonya.
Kalau kita menggunakan siasat mengendurkan penjagaan, hal ini mungkin saja mudah diketahui mereka karena seperti kami katakan tadi, para pembunuh itu tentu mempunyai hubungan persekutuan dengan orang dalam yang akan mengetahui pula tentang siasat kita mengendurkan penjagaan.
"Padahal resikonya cukup berat. Bagaimana kalau mereka itu serentak bergerak melakukan pernbunuhan-pembunuhan lagi"
Tidak, kami kira siasat itu terlalu berbahaya untuk dilakukan. Akan tetapi kami telah mendapatkan titik-titik terang.
"Penyelidikan kami telah dapat menemukan tempat persembunyian gerombolan yang mencurigakan.
Mungkin saja mereka itu adalah gerombolan Pek-lian-kauw atau Ngo-lian-kauw yang memperkuat diri dan siap di dalam hutan luar kota raja untuk sewaktu-waktu apabila saatnya tiba, akan mengadakan penyerbuan besar-besaran ke kota raja.
"Nah, penemuan inilah yang lebih penting! Kita harus mendahului
mereka, memukul mereka dan menghancurkan mereka sebelum
mereka sempat bergerak. Dan untuk membantu para perwira tinggi
memimpin pasukannya menyerbu dan membasmi gerombolan itu,kami minta agar kalian berempat membantu."
Tentu saja empat orang muda itu menyatakan kesanggupan mereka untuk membantu. Mereka berlima lalu mempelajari kedudukan gerombolan yang diketahui bermarkas dalam hutan di sebelah barat kota raja, di sebuah bukit yang berhutan lebat.
Mereka mempelajari gambaran peta yang telah dipersiapkan oleh Jenderal Chang dan menurut Jenderal Chang, para penyelidiknya menaksir bahwa kekuatan gerombolan itu terdiri dari sekitar empatratus orang yang telah terlatih dengan baik dan rata-rata
menguasai ilmu silat.
"Mereka adalah sisa-sisa para anggauta Ngo-lian-kauw. Para pemimpin Ngo-lian-kauw, yaitu Ngo-lian Heng-te yang dahulu berkedudukan di Poa-teng, Hopak, telah dibasmi oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan!
Kini agaknya sisa para anggauta dan
pimpinan Ngo-lian-kauw mengadakan gerakan pemberontakan,bergabung dan diperkuat oleh Pek-lian-kauw."
Setelah mereka mempelajari peta itu dengan seksama, Jenderal Chang Ku Cing lalu memanggil para perwira tinggi yang menjadi pembantunya.
Mereka semua juga sudah diberi penjelasan tentang rencana penyerbuan itu dan semua perwira merasa gembira sekali dan berbesar hati ketika mendengar bahwa mereka, dalam penyerbuan itu akan dibantu oleh dua pasang orang muda yang sudah mereka ketahui kehebatannya.
Terutama sekali dengan adanya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dipihak mereka, hati mereka menjadi lega dan bersemangat.
Tadinya mereka memang agak merasa khawatir mendengar bahwa gerombolan yang akan mereka serbu dipimpin oleh orang-orang Ngo-lian-kauw dan terutama Pek-lian-kauw yang sudah terkenal amat lihai itu.
Siang Lan membantu Sim Tek Kun membujuk Lian Hong agar wanita yang sedang mengandung, walaupun baru dua bulan lebih itu, tidak usah ikut membantu penyerbuan pasukan ke hutan tempat bermarkas gerombolan.
Akhirnya Lian Hong mau mengalah dan tinggal di rumah, sedangkan mereka bertiga, Siang Lan, Tek Kun, dan Hong Bu, menemani lima orang perwira tinggi memimpin sekitar tujuhratus orang perajurit melakukan
penyerbuan ke hutan itu pada pagi-pagi sekali.
Setelah berhasil melakukan pembunuhan terhadap enam orang
pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar, Pangeran Bouw Ji Kong
menghentikan aksi itu, bahkan segera menyelundupkan tiga orang sakti yang menjadi sekutunya dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu keluar dari kota raja.
Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, dan Tarmalan, datuk atau dukun bangsa Hui yang menjadi utusan bangsa Hui yang mendukung gerakan Pangeran Bouw Ji Kong yang ibunya juga puteri kepala suku bangsa Hui.
Pangeran Bouw Ji Kong tidak mengadakan gerakan, maklum
bahwa Jenderal Chang yang diserahi tugas menangkap para pembunuh mengadakan penjagaan yang amat ketat.
Akan tetapi diam-diam Pangeran Bouw masih mengadakan hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dan persekutuan ini mengadakan pemusatan kekuatan baru di dalam hutan di Bukit Cemara yang terletak di sebelah barat kota raja.
Bukit Cemara itu penuh dengan hutan lebat, maka amat baik dijadikan markas dan tempat persembunyian. Apalagi di bukit itu terdapat banyak guha-guha yang oleh para anggauta Pek-liankauw telah dibuat terowongan-terowongan.
Juga di situ dibuat perangkap dan jebakan yang berbahaya karena para anggauta Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw memang ahli dalam membuat
jebakan-jebakan dan penyebaran racun.
Menurut Pangeran Bouw Ji Kong, pihak Pek-lian-kauw sudah dipesan agar jangan membuat gerakan lebih dulu karena pertahanan di kota raja amat kuat. Dianjurkan agar pihak
pemberontak itu menanti tanda darinya karena dia hendak menyusun siasat baru agar keadaan di kota raja kacau dan dalam keadaan kacau di mana pertahanannya melemah, barulah pasukan Pek-lian-kauw akan melakukan penyerbuan.
Akan tetapi pangeran Bouw Ji kong terlalu memandang remeh kecerdikan Jenderal Chang Ku Cing.
Secara diam-diam jenderal yang pandai dan berpengalaman ini mengalihkan perhatiannya keluar kota raja, menyebar para penyelidik yang pilihan sehingga akhirnya dia mendapatkan keterangan bahwa bukit Cemara menjadi sarang para gerombolan pemberontak. Bahkan tanpa adanya kebocoran gerakan pembersihan yang dilakukan pagi hari itu berjalan dengan sempurna.
Para pemberontak baru tahu
setelah bukit itu dikepung pasukan kerajaan!
Bukit Cemara itupun geger! Terjadi pertempuran di seluruh permukaan bukit. Pertempuran mati-matian yang amat dahsyat,campur aduk sehingga kedua pihak tidak mungkin dapat
mempergunakan senjata anak panah karena besar kemungkinan akan mengenai kawan sendiri.
Banyak perajurit kerajaan terjebak perangkap dan berjatuhan, ada pula yang terkena ledakan dari alat-alat peledak yang dipasang orang-orang Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi karena jumlah pasukan kerajaan hampir dua kali lipat besarnya maka di pihak pemberontak lebih banyak lagi yang jatuh korban.
Apalagi di situ ada Hwe-thian Mo-li, Sim Tek Kun, Chang Hong Bu yang
membantu para perwira, mengamuk seperti tiga ekor naga sakti.
Pangeran Bouw Ji Kong terkejut mendengar bahwa pasukan kerajaan menyerbu tempat yang dijadikan sarang kaum Pek-liankauw dan Ngo-lian-kauw di Bukit Cemara. Dia tentu saja mengetahui bahwa mereka itu adalah sisa para anak buah Peklian-kauw cabang Liauw-ning yang berada di sebelah timur Peking,dan sebagian lagi sisa anak buah Ngo-lian-kauw di Po-teng.
Dia cukup cerdik sehingga pangeran itu tidak menaruh orangorangnya di hutan itu, sehingga tidak perlu khawatir rahasianya bersekutu dengan mereka akan diketahui pemerintah. Kang-lam Jit-sian yang menjadi para jagoannya hanya dikenal sebagai para pengawal pribadinya.
Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw Ji Kong masih mengharapkan pertempuran itu akan merugikan pasukan kerajaan karena dia tahu bahwa di antara para pimpinan Pek-lian-kauw,terdapat beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw yang sakti, di
antaranya terdapat dua orang tokoh yang dikirim dari pusat Peklian-kauw, yang berjuluk Thian-te Lo-mo (Iblis Tua langit dan Bumi) terdiri dari dua orang kakek pendeta Pek-lian-kauw.
Seorang berjuluk Thian Lo-mo (Iblis Tua langit) yang bermuka putih
seperti kapur dan Tee Lo-mo (Iblis Tua bumi) yang bermuka hitam seperti arang. Sepasang kakek berusia sekitar enampuluh tahun ini merupakan pasangan yang amat hebat, selain memiliki ilmu silat tinggi juga mereka berdua mahir menggunakan ilmu sihir.
Memang dua orang pendeta Pek-lian-kauw ini lihai bukan main.
Ketika pasukan kerajaan datang menyerbu, mereka berdua mengamuk dan sepak terjang mereka menggiriskan semua orang.
Bukan saja golok besar mereka itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di angkasa, akan tetapi juga mereka berdua dapat mengadakan awan dan halilintar dari sihir mereka yang membuat para perajurit gentar dan banyak yang roboh oleh mereka.
Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang muda itu! Hwethian Mo-li sudah berkelebat dan pedang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar bagaikan halilintar, menangkis golok besar di tangan Thian Lo-mo.
"Tranggg......!" Thian Lo-mo yang sedang mengamuk dan sudah membunuh delapan orang perajurit itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada halilintar menyambar dan goloknya terpental, tangan kanannya terasa panas sehingga hampir saja dia melepaskan gagang golok yang dipegangnya itu.
Ketika dia melompat kesamping dan cepat memutar tubuh, dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang gagah perkasa.
Gadis berusia sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya padat ramping dan indah menggairahkan, rambutnya hitam panjang ikal mayang dengan anak rambut berjuntai lembut di dahi dan kedua pelipisnya.
Matanya bagaikan sepasang bintang kejora. Hidungnya mancung kecil dan mulutnya merupakan daya tarik yang amat menggairahkan. Seorang gadis yang benar-benar jelita namun juga tampak gagah berwibawa.
Thian Lo-mo sudah mendengar akan nama besar Hwe-thian Mo-li,maka begitu berhadapan dengan Siang Lan dan merasakan tangkisan pedang Lui-kong-kiam tadi, dia membentak.
"Engkaukah yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?"
"Benar, aku Hwe-thian Mo-li yang telah datang untuk membasmi pemberontak jahat macam kalian!"
"Perempuan hina! Engkau telah membunuh sahabat-sahabat kami
Ngo-lian Heng-te dan beberapa orang saudara kami dari Pek-liankauw sekarang rasakan pembalasan kami! Tee Lo-mo, ini musuh kita Hwe-thian Mo-li!" teriak Thian Lo-mo dengan marah sekali.
Pada saat itu, seorang kakek lain yang bermuka hitam arang datang menerjang dengan golok besarnya. Hwe-thian Mo-li cepat mengelak dan ia pun segera menggerakkan pedangnya,menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu.
Ternyata mereka berdua itu tangguh sekali setelah maju bersama.
Bukan hanya ilmu golok mereka yang amat kuat, namun juga tangan kiri mereka seringkali melancarkan pukulan dorongan jarak jauh yang mendatangkan angin kuat dan menghembuskan uap.
Uap putih keluar dari telapak tangan Thian Lo-mo dan uap hitam keluar dari tangan Tee Lo-mo! Betapa pun lihainya, Siang Lan terdesak oleh pengeroyokan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua orang
pemuda sudah menerjang maju membantu Siang Lan. Mereka adalah Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu yang tadi mengamuk merobohkan banyak anak buah Pek-lian-kauw dan melihat betapa Siang Lan menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Peklian-kauw yang lihai, mereka berdua menerjang maju dan menyerang Thian Lo-mo!
"Trang-cringgg......!" Thian Lo-mo terhuyung ke belakang ketika dia
menangkis dua sinar pedang itu dengan goloknya. Dia terkejut sekali akan tetapi segera menghadapi serangan dua orang pemuda yang memiliki gerakan pedang amat hebat.
Diam-diam dia mengeluh karena dia benar-benar menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh. Melawan seorang saja dari mereka sudah
cukup berat apalagi mereka itu maju bersama.
Sim Tek Kun adalah seorang murid Kun-lun-pai, sedangkan Chang Hong Bu adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai! Tentu saja Thian Lo-mo terdesak hebat dan hanya dapat melindungi diri dengan putaran golok besarnya sambil terus bergerak mundur.
Sementara itu, ditinggalkan seorang diri melawan Hwe-thian Mo-li yang memiliki ilmu pedang amat dahsyat itu, Tee Lo-mo juga segera terdesak hebat. Pengerahan tenaga sihir dan permainan goloknya semua dikeluarkan namun sia-sia belaka, dia tidak mampu menghindarkan semua sambaran kilat halilintar dari pedang gadis itu dan setelah lewat duapuluh jurus, pedang Siang Lan menyambar lehernya dan Tee Lo-mo roboh dan tewas seketika!
Siang Lan tidak mempedulikannya lagi dan cepat ia mencari dua orang pemuda yang tadi bertanding mengeroyok Thian Lo-mo. Tak jauh dari situ ia melihat dua orang itu baru saja merobohkan Thian Lo-mo yang tewas terkena sambaran pedang jago-jago muda dari Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai itu.
Pertempuran berlangsung seru, akan tetapi setelah dua orang tokoh besar Pek-lian-kauw itu tewas, semangat para pemberontak menjadi lemah. Mereka masih melawan mati-matian dan bertahan sampai tengah hari, akan tetapi ketika satu demi satu para
pimpinan mereka roboh dan banyak rekan-rekan mereka berjatuhan, mereka menjadi panik.
Akhirnya, tak dapat mereka pertahankan lagi dan mulailah mereka melarikan diri cerai-berai. Ada yang mencoba untuk bertahan
dalam terowongan-terowongan, ada pula yang melarikan diri menggunakan alat peledak yang mengeluarkan asap tebal.
Akan tetapi, akhirnya paling banyak hanya seratus orang saja dari mereka yang berhasil lolos dan melarikan diri. Lainnya roboh tewas atau luka dan tertawan. Biarpun di pihak pasukan pemerintah ada pula yang gugur, namun pasukan pemerintah memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu dan mereka bersorak gembira ketika membakar
bekas-bekas sarang gerombolan di Bukit Cemara itu.
Hampir semua pemimpin gerombolan tewas dalam pertempuran itu.
Akan tetapi, diam-diam Hwe-thian Mo-li dan dua orang pemuda perkasa, Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu, tiga para perwira tinggi yang memimpin pasukan pemerintah, kecewa karena mereka tidak menemukan para pembunuh yang dicari-cari oleh Jenderal Chang.
Tadinya Siang Lan menduga bahwa dua orang Thian-te Lo-mo adalah pembunuh-pembunuh itu, akan tetapi setelah ia bersama Tek Kun dan Hong Bu menewaskan mereka, ia menduga bahwa para pembunuh itu bukan mereka dan agaknya tidak ikut dalam
gerombolan yang telah dibasmi itu.
Biarpun demikian, Jenderal Chang Ku Cing merasa gembira akan keberhasilan operasi pembasmian gerombolan pemberontak itu.
Hal ini setidaknya membuat para pemberontak menjadi jerih dan tidak berani main-main di kota raja. Dan dia pun tetap meningkatkan penjagaan karena siapa tahu, para pemberontak akan melakukan kekacauan seperti itu pula, ialah membunuhi para pejabat tinggi.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ditahan oleh Ong Lian Hong untuk
sementara agar tinggal di rumah mereka. Selain Lian Hong merasa rindu kepada enci angkatnya itu, iapun mempunyai niat yang kuat untuk mendekatkan dan menjodohkan Nyo Siang Lan dengan
Chang Hong Bu.
Ia merasa bahwa pemuda keponakan Jenderal Chang itu merupakan jodoh yang tepat sekali bagi Nyo Siang Lan.
Maka ia membujuk suaminya untuk menyetujui kalau mereka mengundang Hong Bu untuk datang bertamu dan bermain di rumah mereka agar memberi kesempatan sebanyaknya kepada dua orang muda itu untuk saling berkenalan lebih akrab lagi.
Bahkan Sim Tek Kun terpaksa memenuhi permintaan yang sangat berat dari isterinya untuk diam-diam menghubungi Jenderal Chang Ku Cing dan mengajukan usul mereka untuk menjodohkan Chang Hong Bu dengan Nyo Siang Lan.
Jenderal Chang Ku Cing dengan sendirinya merasa setuju sekali karena dia memang pengagum
besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Dia menyatakan persetujuannya dan berjanji untuk membicarakan hal itu kepada keponakannya.
**********
"Enci Lan, aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi Ibu kandungku dan kakek serta Nenekku. Maukah engkau?"
Pada pagi hari itu Lian Hong berkata kepada Siang Lan setelah mereka
sarapan pagi. "Kalian berdua pergilah, aku sendiri harus menghadap Paman
Jenderal Chang yang kemarin memesan agar aku pagi ini berkunjung kepadanya karena ada urusan penting yang akan dibicarakan."
Lian Hong tersenyum, maklum bahwa yang akan dibicarakan suaminya dan Jenderal Chang Ku Cing adalah urusan perjodohan antara Chang Hong Bu dan Nyo Siang Lan seperti yang mereka rencanakan. Akan tetapi ia diam saja karena hal itu masih mereka rahasiakan terhadap Siang Lan sendiri.
Mereka masih khawatir kalau-kalau Siang Lan akan merasa tersinggung dan marah.
Mereka menghendaki agar hubungan antara Siang Lan dan Hong Bu terjadi secara wajar dan timbul keakraban dan kasih sayang diantara mereka.
Kalau sudah begitu keadaannya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengusulkan perjodohan tanpa menyinggung perasaan gadis yang keras hati itu.
Siang Lan terkejut akan tetapi juga gembira dan tegang hatinya
mendengar disebutnya ibu kandung Lian Hong. Ibu kandung Lian Hong berarti isteri mendiang gurunya, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri!
"Ah, aku akan merasa senang dan terhormat sekali bertemu dengan ibu kandungmu atau isteri mendiang Guruku, Hong-moi!" katanya. "Di mana beliau tinggal ?"
**********
"Enci Lan, aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi Ibu kandungku dan kakek serta Nenekku. Maukah engkau?"
Pada pagi hari itu Lian Hong berkata kepada Siang Lan setelah mereka
sarapan pagi. "Kalian berdua pergilah, aku sendiri harus menghadap Paman
Jenderal Chang yang kemarin memesan agar aku pagi ini berkunjung kepadanya karena ada urusan penting yang akan dibicarakan."
Lian Hong tersenyum, maklum bahwa yang akan dibicarakan suaminya dan Jenderal Chang Ku Cing adalah urusan perjodohan antara Chang Hong Bu dan Nyo Siang Lan seperti yang mereka rencanakan. Akan tetapi ia diam saja karena hal itu masih mereka rahasiakan terhadap Siang Lan sendiri.
Mereka masih khawatir kalau-kalau Siang Lan akan merasa tersinggung dan marah.
Mereka menghendaki agar hubungan antara Siang Lan dan Hong Bu terjadi secara wajar dan timbul keakraban dan kasih sayang diantara mereka.
Kalau sudah begitu keadaannya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengusulkan perjodohan tanpa menyinggung perasaan gadis yang keras hati itu.
Siang Lan terkejut akan tetapi juga gembira dan tegang hatinya
mendengar disebutnya ibu kandung Lian Hong. Ibu kandung Lian Hong berarti isteri mendiang gurunya, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri!
"Ah, aku akan merasa senang dan terhormat sekali bertemu dengan ibu kandungmu atau isteri mendiang Guruku, Hong-moi!" katanya. "Di mana beliau tinggal ?"
"Ibuku tinggal di rumah Kakekku, yaitu Jaksa Ciok Gun. Dahulu Kakekku adalah Jaksa di Hun-lam, akan tetapi sudah lama beliau pindah ke kota raja dan menjadi jaksa di daerah bagian selatan kota raja."
Demikianlah, dengan gembira dua orang wanita itu lalu menuju ke
bagian selatan kota raja, ke rumah Jaksa Ciok yang menjadi kakek
Ong Lian Hong. Seperti kita ketahui, Ciok Bwe Kim, yaitu ibu kandung Ong Lian Hong, kini tinggal bersama ayahnya, Jaksa Ciok Gun itu.
Mereka naik kereta karena Ong Lian Hong adalah mantu Pangeran Sim Liok Ong, jadi ia kini termasuk seorang wanita bangsawan yang tentu saja tidak pantas kalau melakukan perjalanan dengan jalan kaki!
Dua orang wanita cantik itu disambut dengan gembira bukan main oleh keluarga Ciok. Jaksa Ciok sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, apalagi gadis perkasa itu adalah murid mantunya, mendiang Ong Han Cu.
Juga Nyonya Ciok Bwe Kim yang kini telah berusia empatpuluh tahun lebih dan masih tampak cantik itu, merasa girang dan terharu sekali. Ia pun sudah banyak mendengar tentang Nyo Siang Lan,sebagai murid tersayang mendiang suaminya.
Siang Lan dihormati dan disanjung, diterima dengan pesta makan keluarga sehingga gadis itu merasa senang dan berterima kasih.
Ternyata bukan hanya mendiang gurunya saja yang baik terhadap dirinya, melainkan juga isteri gurunya dan keluarganya. Baru lewat
tengah hari mereka berdua naik kereta meninggalkan gedung tempat tinggal Jaksa Ciok Gun untuk kembali ke rumah Pangeran Sim Liok Ong.
Ketika kereta tiba di dekat lapangan terbuka di depan pasar, diseberang jembatan besar, Siang Lan melihat banyak orang berkerumun dan terdengar suara tambur dan canang dipukul seperti biasa dilakukan para penjual obat yang biasa mendemonstrasikan ilmu silat untuk menarik minat penonton agar suka membeli obat yang mereka tawarkan.
Mendengar pukulan tambur dan canang yang berirama gagah dan mengandung tenaga, Siang Lan tertarik dan menyuruh kusir kereta
menghentikan keretanya. Lian Hong tertawa melihat encinya seperti kanak-kanak hendak menonton penjual obat, akan tetapi ia pun ikut turun dan bergembira bersama Siang Lan menghampiri kerumunan orang banyak itu.
Beberapa orang penonton memberi tempat kepada dua orang gadis itu di depan. Mereka menyingkir dengan sopan ketika melihat bahwa dua orang gadis jelita yang hendak menonton itu turun dari kereta dan melihat sikap mereka seperti gadis-gadis bangsawan.
Siang Lan dan Lian Hong kini melihat dengan hati tertarik. Ternyata yang dijadikan tontonan itu adalah seorang gadis muda belia dan seorang kakek yang rambutnya sudah putih.
Gadis itu cantikm anis, usianya sekitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun,pakaiannya sederhana dan rapi serba ketat sehingga menonjolkan
lekuk lengkung tubuhnya yang laksana bunga sedang mulai mekar.
Adapun kakek tentu sudah berusia sekitar enampuluh tiga tahun,wajahnya tampak ada garis-garis penderitaan, rambutnya putih
semua, tampaknya lemah dan pakaiannya juga sederhana seperti
pakaian petani.
Kakek itulah yang menabuh canang, sedangkan gadis itu dengan gerakan gagah dan mengandung tenaga,menabuh tambur yang bunyinya seperti derap kaki pasukan atau seperti permainan barong-sai.
Setelah melihat betapa banyak orang mengerumuninya, kakek itu memberi isyarat kepada si Gadis dan mereka menghentikan bunyi-bunyian itu.
Kakek itu lalu memberi hormat sambil membungkuk ke empat penjuru. Mulailah orang-orang ramai bicara sendiri dan terdengar suara,
"Mana obat yang dijualnya?"
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, terdengar suara kakek itu, suaranya lemah dan tidak lantang. "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat.
Sebelumnya kami berdua kakek dan cucu mohon maaf kepada Cu-wi. Kami bukan penjual obat, kami tidak
mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan dijual.
Akan tetapi karena dalam melakukan perjalanan ini kami kehabisan bekal,
maka kami hanya mohon kedermawanan Cu-wi untuk memberi
sumbangan dan kami hanya dapat menyuguhkan beberapa permainan silat dari cucu kami yang masih bodoh.
Sekali lagi,kalau pertunjukan cucu kami tidak berharga, mohon Cu-wi
memaafkan kami." Setelah berkata demikian, kakek itu mengambil tambur dari tangan cucunya, lalu mulai menabuh tambur itu dengan pukulan yang lemah.
Siang Lan dan Lian Hong melihat bahwa pukulan tambur kakek itu sama sekali berbeda dengan pukulan cucunya yang mengandung tenaga cukup kuat sehingga mereka berdua sudah mengetahui bahwa agaknya hanya Sang Cucu itu yang mahir ilmu
silat sedangkan sang Kakek adalah seorang petani biasa yang lemah.
Kini gadis manis itu berdiri tegak lalu memberi hormat keempat penjuru dengan merangkap kedua tangan depan dada. Setelah itu ia mulai bersilat.
Gerakannya cukup ringan, cepat dan mengandung tenaga. Bagi Siang Lan dan Lian Hong, gerakan silat gadis itu biasa saja dan belum cukup tinggi, akan tetapi keduanya terkejut dan tertarik sekali karena mengenal bahwa ilmu silat yang dimainkan gadis itu adalah ilmu silat Kun-lun-pai!
Gadis itu memiliki ilmu silat aliran
Kun-lun-pai, satu perguruan dengan Sim Tek Kun!
Tentu saja hal ini amat menarik perhatian mereka, terutama sekali
perhatian Lian Hong karena gadis itu masih memiliki hubungan seperguruan dengan suaminya. Akan tetapi ketika ia hendak menyapa, lengannya dipegang Siang Lan dan Hwe-thian Mo-li memberi isyarat agar adik angkatnya itu diam dan melihat saja perkembangannya.
Setelah gadis itu selesai bersilat selama belasan jurus dan berhenti
bergerak, terdengar tepuk tangan memuji dari para penonton. Bagi para penonton, terutama yang tidak mahir ilmu silat, permainan silat itu cukup mengagumkan, apalagi karena memang gadis itu cukup cantik dan terutama sekali memiliki bentuk tubuh yang denok menggairahkan hati pria, terutama yang memiliki watak mata keranjang.
Pada saat itu Sang Kakek membawa sebuah caping lebar yang ditelentangkan dan dia berjalan menghampiri para penonton dan
mengelilingi tempat itu sambil mengacungkan caping mohon sumbangan.
Hampir semua orang melemparkan sepotong atau sekeping uang ke dalam caping, yang diterima dengan wajah berseri dan muka mengangguk-angguk oleh kakek itu.
Setelah berputar sekeliling dan sudah cukup banyak uang terkumpul dalam
caping, kakek itu lalu melangkah ke tengah lapangan, meletakkan capingnya di atas tanah lalu dia memberi hormat lagi ke empat penjuru.
"Banyak terima kasih atas sumbangan Cu-wi. Sudah sering kami mendengar bahwa para penghuni kota raja adalah orang-orang dermawan, dan baru siang hari ini kami melihat buktinya.
Terima kasih banyak, sumbangan Cu-wi dapat menyambung hidup kami
selama beberapa hari."
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dari kerumunan penonton. Dia seorang laki-laki berusia sedikitnya tigapuluh lima tahun, wajahnya bopeng (bekas cacar) dan matanya lebar, tubuhnya kokoh kuat dan wajahnya bengis.
Dia sudah berdiri dekat kakek itu dan berkata dengan suaranya yang lantang.
"Enak saja engkau orang tua mengumpulkan uang orang tanpa
memberi sesuatu!
Ini namanya penipuan! Orang menerima uang harus memberi sesuatu, akan tetapi kalian tidak memberi apa-apa,obat juga tidak. Bagaimana mau enaknya saja mengambil uang orang-orang" Engkau penipu!"
Kakek itu memandang dengan kaget.
"Tuan, maaf, kami memang tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan.
Akan tetapi cucu saya tadi sudah menghibur dengan permainan silatnya......"
"Huh, apa artinya menonton gerakan silat yang begitu saja"
Biasanya untuk menghibur orang-orang diadakan pertunjukan yang lebih ramai, setidaknya untuk permainan silat diadakan pertunjukan pi-bu (adu ilmu silat).
Kalau ada pi-bu, nah, itu baru
namanya pertunjukan dan kami semua akan senang mengeluarkan uang. Akan tetapi kalian ini tidak memberi pertunjukan apa-apa.
Kalau mau mengemis, lakukan saja seperti biasa, duduk berjongkok di tepi jalan dan mengacungkan tangan
mohon sedekah!"
Di antara para penonton, terdapat pula banyak orang muda yang
biasa bersikap berandalan. Mendengar ucapan itu mereka
bersorak dan mentertawakan kakek yang tampak bengong ketakutan itu.
Lian Hong sudah hendak maju, akan tetapi kembali Siang Lan menahan lengannya can menggelengkan kepalanya.
Kini gadis manis itu menghampiri kakeknya dan berkata. "Kongkong, minggirlah, biarkan aku yang bicara dengan Tuan ini."
Mendengar ini, kakek itu minggir dengan wajah pucat dan tampaknya dia gelisah sekali akan keselamatan cucunya.
"Tuan, kami tidak mengenal Tuan, juga kami tidak mempunyai urusan denganmu, apalagi mengganggumu. Akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak mengganggu kami yang hanya sekedar minta bantuan kepada para budiman ini karena bekal kami telah habis. Apa sih kesalahan kami kepadamu?"
Si Tinggi Besar muka bopeng itu kini memandang kepada gadis itu sambil menyeringai. Mulutnya yang lebar terbuka dan dia memperlihatkan giginya yang besar-besar dan banyak yang rusak hitam, seperti seekor orang utan menyeringai.
"Nona, engkau seorang gadis yang masih muda dan begini cantik,sungguh sayang Kakekmu membiarkan engkau mencari uang
dengan menjadi tontonan. Akan tetapi karena engkau sudah memperlihatkan ilmu silatmu, aku menjadi tertarik dan aku menantangmu untuk melakukan pi-bu."
"Tuan, kami datang di sini bukan untuk mencari permusuhan, juga
bukan untuk pamer kepandaian apalagi untuk pi-bu. Aku tidak mau
melakukan pi-bu dengan siapapun juga," jawab gadis itu dengan sikap tenang.
"Ha-ha, kalau engkau yang sudah berani memperlihatkan ilmu silat
menolak pi-bu, maka berarti engkau mengaku kalah. Sekarang begini saja, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri.
Disaksikan oleh semua penonton di sini, mari kita membuat pertaruhan begini. Kita bertanding pi-bu dengan tangan kosong.
"Kalau aku kalah, maka uang sumbangan dalam caping itu akan
kutambah lagi dengan lima tail perak dan engkau boleh bebas mencari sumbangan di sini.
Akan tetapi kalau engkau kalah, uang
dan ditambah lima tail perak tetap kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus mau menjadi kekasihku selama satu bulan!
Ha-ha, adil sekali, bukan?"
Wajah gadis itu berubah merah sekali, akan tetapi ia masih tenang walaupun kakeknya tampak pucat dan gemetaran.
"Hemm, begitukah keinginanmu" Dan bagaimana tandanya kalah atau menang?" tanya Si Gadis, sedangkan para penonton menjadi tegang dan memandang penuh perhatian.
Sudah biasa bagi penonton, suka sekali mereka menyaksikan ketegangan, apalagi akan menyaksikan pi-bu dan di antara mereka bahkan sudah banyak yang diam-diam ikut bertaruh!
"Tentu saja siapa yang roboh dianggap kalah!" kata laki-laki itu.
"Ha-ha-ha, aku Si Tinju Maut Koan Sek kalau sampai kalah oleh Nona manis ini, mau mencium kakimu yang mungil, Nona!" Dia tertawa diikuti banyak pemuda yang tertawa secara kurang ajar.
Melihat Lian Hong marah-marah, Siang Lan berbisik. "Kita lihat saja dulu. Simpan marahmu, kalau engkau marah dan benci,jangan-jangan anakmu kelak bisa seperti dia."
Diingatkan demikian, Lian Hong terkejut dan segera menenangkan
diri karena ia merasa ngeri kalau sampai anaknya kelak keluar seperti si Bopeng itu. Diam-diam ia mengelus perutnya!
Gadis itu memberi isyarat kepada kakeknya untuk menyingkirkan
caping itu ke pinggir, kemudian ia mengikat sabuknya sehingga ketat melingkari pinggangnya yang ramping, menggulung lengan bajunya sampai ke siku. Kemudian ia berdiri dengan tenang,menanti lawannya dan setelah berhadapan, ia lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
"Koan Sek, buka telingamu dan dengarkan baik-baik, disaksikan oleh semua penonton di sini, nonamu she Siauw akan mengucapkan pendirianku!
Boleh jadi kakekku dan aku adalah
orang-orang miskin berasal dari dusun, tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki kepandaian, melainkan orang-orang sederhana
dan bodoh.
Akan tetapi, ketahuilah, hai orang yang menjadi budak nafsu, kami adalah manusia-manusia yang masih memiliki kesusilaan, kesopanan, jalan kebenaran, yang menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan, tidak sudi melakukan hal-hal yang rendah dan hina! "Engkau memaksa aku untuk pi-bu, kalau aku menolak tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, aku tidak menolak.
Guruku mengajarkan aku selain ilmu silat juga tentang kegagahan dan
harga diri. Kalau aku bisa menangkan pertandingan ini, aku tidak butuh uangmu, tidak butuh apa-apa darimu.
Akan tetapi kalau aku kalah darimu, aku pun tidak sudi menuruti semua keinginanmu yang hina dan rendah. Kalau kau hendak bunuh aku, silakan, aku tidak takut mati membela kehormatan diriku!"
Ucapan itu membuat Siang Lan dan Lian Hong tertegun dan terkagum-kagum. Bukan main gadis remaja ini.
Demikian gagahnya seolah ia seorang pendekar besar saja! Dan agaknya banyak pula para penonton yang merasa kagum karena tepuk tangan riuh menyambut ucapan itu, membuat Koan Sek yang berjuluk Si Tinju Maut itu menjadi salah tingkah dan mukanya yang bopeng tampak hitam karena semua darah berkumpul di sana.
"Gadis sombong, rasakan pukulan mautku!" Dia berseru dan mulai menyerang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada yang membusung itu. Baru pukulan ke arah dada gadis itu saja sudah merupakan cara serangan yang tidak mengenal sopan, padahal pertandingan itu hanyalah sebuah pi-bu. Jelas bahwa Koan Sek ini adalah golongan orang yang kasar dan kejam.
"Wuuttt......!" Pukulan itu luput ketika gadis yang mengaku she Siauw itu mengelak dengan gerakannya yang cukup ringan. Akan tetapi tamparan ke arah dada yang luput itu dilanjutkan oleh Koan Sek dengan mencengkeram ke arah dada!
Gadis itu menggerakkan tangan kanan dari luar dan menangkis.
"Plakk!" Ia berhasil menangkis walaupun ia merasa betapa kuatnya
lengan besar laki-laki itu sehingga tubuhnya agak condong kesamping ketika lengan mereka bertemu. Akan tetapi gadis itu dengan sigapnya lalu menggerakkan kakinya menendang ke arah lambung lawan.
"Wuuuttt...... plakk!" Koan Sek dapat, menangkis tendangan ini dan mereka segera saling serang dengan seru.
Siang Lan dan Lian Hong melihat betapa gerakan gadis itu sudah
baik dan aseli merupakan ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi agaknya ia masih belum menguasai ilmu silatnya dengan matang.
Gerakannya cukup lincah dan tubuhnya ringan, akan tetapi tenaganya masih kurang kuat sehingga tiap kali tangan atau kaki
mereka berbenturan, tubuh gadis itu terhuyung mundur.
Melihat ini, Koan Sek sudah tertawa-tawa mengejek. Sikap sombong dan memandang rendah lawan merupakan sikap yang dipantang oleh seorang ahli silat yang sudah mendalami ilmunya karena sikap ini mendatangkan kelengahan kepada dirinya sendiri.
Hal ini terbukti ketika perkelahian itu telah berlangsung belasan jurus di mana Koan Sek terus mendesak gadis itu sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh.
Pada saat dia berhenti menyerang untuk tertawa bergelak, tiba-tiba tubuh gadis itu menyambar dengan cepat sekali sambil menendang dengan tubuh melompat tinggi! Koan Sek terkejut dan cepat ia menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya.
"Plakk!" Dia berhasil menangkap pergelangan kaki kiri gadis itu,akan tetapi tiba-tiba kaki kanan gadis itu menendang dengan pengerahan seluruh tenaganya bertekankan kepada kaki kirinya yang ditangkap.
"Wuuttt...... desss......!" Sepatu kaki kanan gadis itu tepat mengenai ulu hati Koan Sek sehingga tubuhnya terjengkang dan dia terbanting jatuh demikian kuatnya sehingga sejenak dia menjadi nanar dan matanya melihat segala sesuatu berputar-putar.
Ketika mendengar sorak-sorai dan tepuk tangan penonton, dia menyadari keadaannya. Cepat dia melompat berdiri, menggoyang
kepalanya mengusir kepeningan dan di lain saat dia telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya!
Para penonton ada yang menjerit-jerit ketika melihat Koan Sek dengan golok telanjang kini menerjang dan menyerang gadis itu membabi buta!
Gadis itu mencoba untuk berloncatan ke kanan kiri mengelak dari sambaran golok, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Koan Sek menendang, mengenai pahanya dan gadis itu pun
terpelanting.
Bagaikan binatang buas, Koan Sek yang marah dan malu karena tadi dirobohkan gadis itu, mengejar dengan loncatan dan mengayun goloknya ke atas untuk dibacokkan ke arah gadis itu.
Gadis itu sudah terjatuh miring dan agaknya ia tidak akan mampu
menghindarkan dirinya dari bacokan, akan tetapi ia sama sekali tidak tampak takut, bahkan memandang kepada penyerangnya dengan mata mencorong penuh kemarahan!
Golok di tangan Koan Sek terayun turun dan......
"Desss......!!" tubuh Koan Sek terpental dan dia terbanting jatuh diatas tanah. Dia hanya merasa dirinya disambar halilintar sehingga tidak dapat melihat jelas bahwa sesungguhnya tadi ada seorang pemuda gagah perkasa melompat dan menendangnya sambil melompat.
Pemuda itu bukan lain adalah Chang Hong Bu. Pemuda yang kebetulan sedang lewat di situ dan melihat rame-rame itu lalu datang menonton dan melihat Koan Sek hendak menyerang seorang gadis dengan goloknya, dia menjadi marah dan sekali terjang, tubuh Koan Sek terlempar!
Pada saat itu, muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Mereka ini adalah kakak-kakak seperguruan dari Koan Sek.
Mereka bertiga pada hari itu memasuki kota raja untuk pelesir dan bersenang-senang. Karena mereka adalah tiga orang seperguruan yang biasa memaksakan kehendak melakukan kekerasan dan merasa diri mereka jagoan, maka tadi melihat gadis manis itu, Koan Sek menjadi iseng dan ingin memamerkan
kepandaiannya, juga ingin mempermainkannya karena dia
termasuk seorang laki-laki hidung belang yang suka mempermainkan wanita.
Kini, melihat adik seperguruan mereka ditendang seorang pemuda, dua orang kakak seperguruan Koan Sek menjadi marah dan mereka sudah melompat memasuki kalangan sambil mencabut golok masing-masing.
"Keparat, jangan main keroyokan!" bentak orang yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi orang kedua, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya sipit sekali seperti terpejam, sudah menyerang Chang Hong Bu dengan goloknya.
Permainan golok Si pendek Gendut itu ternyata cepat dan kuat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan Koan Sek. Akan tetapi dengan mudah saja Hong Bu mengelak.
Sementara itu, Si Tinggi kurus muka pucat juga sudah menggerakkan goloknya hendak mengeroyok, akan tetapi Lian Hong sudah melompat ke
dalam lapangan itu dan membentak.
"Jahanam-jahanam busuk dari mana berani mengacau di sini?"
Melihat wanita yang cantik jelita muncul di depannya, Si Tinggi kurus menyeringai.
"Ah, kalau harus melukaimu, aku tidak tega,Nona manis! Minggirlah jangan sampai golokku melukai kulitmu yang lembut dan mulus!"
Lian Hong marah sekali. "Keparat busuk!" Dan ia pun sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya yang mendatangkan angin dahsyat sehingga Si Tinggi kurus terkejut bukan main dan melompat ke belakang.
Kini Koan Sek yang melihat kedua suhengnya maju, mendapat hati
dan dia pun sudah bangkit berdiri lalu melangkah lebar menghampiri gadis pemain silat tadi dengan golok masih di tangan.
Akan, tetapi tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan sudah berada didepannya. Koan Sek yang mata keranjang sampai bengong
melihat gadis yang cantik ini berdiri di depannya.
"Manusia busuk, mampuslah kau!" Siang Lan berseru, tubuhnya berputar dan kaki kirinya mencuat dalam tendangan berputar.
"Syuuttt...... desss......!!" Tubuh Koan Sek terkena tendangan tepat di dadanya sehingga tubuhnya terlempar dan dia jatuh terbanting
dengan keras!
Sebelum dia dapat merangkak bangun, sekali tubuh Siang Lan melayang ia sudah tiba di depan laki-laki muka bopeng itu dan kembali kakinya menendang. Kini yang menjadi sasaran adalah pergelangan tangan kanan Koan Sek yang memegang golok.
"Wuuttt...... krekk!" Tulang pergelangan tangan itu patah-patah dan goloknya terlempar jauh.
"Aduhh......!" Koan Sek menjerit dan memegangi pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya.
Sementara itu, pertandingan antara si Tinggi kurus melawan Lian Hong juga berat sebelah. Baru tiga kali membacok dan selalu luput,tangan kiri Lian Hong menampar dan tepat mengenai pipi kanan si Tinggi kurus.
"Wuutt...... krekk......!" Tulang rahang pipi kanan si Tinggi kurus patah-patah dan tendangan kedua membuat goloknya terlempar.
Si Tinggi kurus menjerit kesakitan dan terpelanting keras,memegangi rahangnya yang pecah-pecah berdarah.
Demikian pula, si Gendut Pendek bukan lawan Hong Bu. Baru dua
gebrakan saja dia pun sudah roboh tertendang dan goloknya juga
terpental jauh. Si Tinggi kurus yang mencoba bangun, kembali harus terbanting oleh tendangan susulan Lian Hong. Demikian pula Si pendek Gendut dijadikan bola ditendang ke sana sini oleh Hong Bu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan.
Pada saat itu, banyak orang mengenal tiga orang muda perkasa ini. Melihat Siang Lan, ada yang berteriak.
"Ah, ia adalah Hwe-thian Mo-li! Mampuslah orang-orang jahat ini!"
Mendengar disebutnya nama Hwe-thian Mo-li, Koan Sek dan dua orang suhengnya terkejut setengah mampus. Nyali mereka terbang dan mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadapi tiga orang itu, menyembah-nyembah dan membenturkan dahi mereka ke atas tanah berulang-ulang seperti tiga ekor ayam sedang makan beras.
"Ampunkan hamba...... ampunkan hamba...... ampunkan hamba......" berulang-ulang mereka bergumam dan tentu saja suara si Tinggi kurus muka pucat itu tidak karuan karena
rahangnya yang pecah-pecah membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara dengan jelas.
Si Pendek Gendut saking takutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi gendut disembelih dan yang lucu dan mengherankan adalah Koan Sek
sendiri.
Orang tinggi besar berwajah menyeramkan ini saking takutnya kini menangis, mengguguk seperti anak kecil dan melihat betapa di
bawah tubuh mereka basah, sukar diketahui siapa di antara mereka yang mengompol saking takutnya. Mungkin ke tiganya!
Para penonton melihat betapa jauh bedanya sikap tiga orang ini dengan sikap gadis manis tadi. Dalam keadaan terancam maut,gadis tadi bersikap gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman maut, sedangkan tiga orang yang sombong dan tampak gagah ini, begitu terancam maut menjadi ketakutan seperti orang-orang yang berjiwa pengecut!
Kini Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan telah dapat mengenal gadis manis itu. Melihat kakek itu dan gadis ini, ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah Siauw Kim, gadis yang pernah ditolongnya dari tangan Hartawan Siong Tat yang hendak memaksa gadis itu menjadi pemainannya.
Ia berhasil membunuh Siong Tat dan
menghajar para jagoannya, membebaskan Siauw Kim dan
kakeknya itu yang bernama Lim Bun, seorang petani dari dusun Kang-leng.
Siang Lan masih sangsi karena setahunya, tiga-empat tahun yang
lalu Siauw Kim adalah gadis remaja yang lemah dan tidak pandai silat.
Sekarang, walaupun ilmu silatnya belum matang, namun jelas ia memiliki dasar ilmu silat aliran Kun-lun-pai! Mengingat akan nasib Siauw Kim dan melihat kegagahannya, hati Siang Lan menjadi panas sekali kepada tiga orang laki-laki jahat itu.
Diambilnya golok mereka yang tergeletak di atas tanah, lalu ia berseru. "Sebetulnya tiga orang jahanam macam kalian tidak berhak hidup di dunia ini karena hanya akan menimbulkan kekacauan dan kejahatan.
Akan tetapi aku, Hwe-thian Mo-li tak pernah memberi ampun kepada jahanam laki-laki yang memandang rendah wanita tanpa memberi hukuman yang setimpal."
Setelah berkata demikian, golok di tangannya berkelebat tiga kali
bagaikan halilintar menyambar dan tiga orang penjahat itu menjerit
kesakitan, bukit hidung mereka terbabat buntung dan darah muncrat membasahi muka mereka!
"Nah, pergilah kalian anjing-anjing keparat! Kalau aku melihat muka kalian muncul di kota raja lagi, kepalamu yang akan kubuntungi!"
Setelah berkata demikian, kaki Siang Lan menendang tiga kali dan tubuh mereka terpental dan jatuh bergulingan.
Sambil menangis kesakitan tiga orang itu lalu terhuyung-huyung setengah merangkak, melarikan diri dari tempat itu.
Para penonton merasa senang akan tetapi juga merasa ngeri sehingga satu demi satu mereka membubarkan diri meninggalkan tempat itu.
Ketika Siang Lan memandang dan mencari gadis tadi, ternyata gadis itu bersama kakeknya kini sedang berlutut di depan kaki Chang Hong Bu. Agaknya gadis itu menangis dan terdengar suaranya yang penuh keharuan.
"Kalau tidak ada Tai-hiap yang menolong saya dan kong-kong,kami berdua tentu telah tewas di tangan orang-orang jahat itu.
Kami berhutang budi dan nyawa kepada Tai-hiap, dan kami bersedia mengorbankan jiwa raga kami untuk membalas kebaikan Tai-hiap. Kalau kami tidak mampu membalasnya, kami akan bersembahyang setiap hari mohon kepada Thian (Tuhan) agar Dia yang membalas budi kebaikan Tai-hiap kepada kami."
Melihat gadis itu dan kakeknya berlutut di depan kakinya, Hong Bu
menjadi serba salah. Untuk membangunkan gadis itu, dia harus
menyentuhnya dan hal ini dia tidak mau melakukannya karena tentu dianggap kurang sopan. Kalau tidak dibangunkan, dia merasa rikuh sekali dua orang kakek dan cucu itu berlutut seperti itu di depan kakinya.
"Nona dan engkau, Kakek yang baik, bangkitlah dan jangan berlutut seperti ini!" katanya, akan tetapi gadis itu tidak mau bangkit dan kakeknya pun agaknya hanya ikut-ikutan tidak mau bangkit berdiri.
Melihat Siang Lan dan Lian Hong memandang ke arah mereka, Hong Bu lalu berseru kepada Siang Lan.
"Lan-moi, tolonglah, bangkitkan mereka......"
Siang Lan menghampiri dua orang yang masih berlutut itu sedangkan Hong Bu sudah mundur menjauhkan diri sehingga mereka tidak lagi berlutut di depan kakinya.
"Siauw Kim, engkaukah ini" Dan bukankah ini kakek Lim Bun yang
dulu tinggal di Kang-leng?"
Gadis itu memang Siauw Kim adanya dan kakeknya adalah Kakek Lim Bun.
Tiga empat tahun yang lalu ketika dalam keadaan miskin,terpaksa untuk mengobati cucunya Kakek Lim Bun menggadaikan cucunya, Siauw Kim, kepada Hartawan Siong Tat, hampir saja Siauw Kim menjadi korban kejahatan Siong Tat yang mata keranjang dan hampir Kakek Lim Bun bunuh diri.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menolong mereka, bahkan membunuh Hartawan Siong Tat dan menghancurkan rumah tangga gadai, menghajar para anak buah pegadaian itu.
Ketika Siauw Kim memandang dan melihat Siang Lan, segera ia teringat maka ia pun menubruk kaki Siang Lan sambil menangis.
Juga Kakek Lim mengenal Siang Lan. "Ah, kiranya engkau juga yang menolong kami, Li-hiap!" katanya.
Siang Lan menarik bangun Siauw Kim dan memandangi gadis itu dengan kagum. Gadis remaja dahulu itu kini telah dewasa dan cukup cantik manis dan gagah.
"Bagaimana kalian dapat berada di kota raja dan mengapa kalian tadi mencari sumbangan?"
"Aih, Li-hiap. Panjang ceritanya......" kata Siauw Kim.
"Enci Lan, tidak baik bicara di sini. Mari kita ajak Adik ini dan kakeknya ke rumah dan kita bicara di sana! Kakak Chang Hong Bu, karena sudah saling bertemu di sini secara kebetulan, mari engkau ikut dengan kami."
Ajakan Lian Hong ini diterima senang oleh Hong Bu karena memang tadinya Hong Bu bermaksud pergi mengunjungi Siang Lan, gadis yang telah memikat hatinya.
Setelah tiba di rumah Pangeran Sim Liok Ong, mereka disambut oleh Sim Tek Kun dan mereka semua mengajak Siauw Kim dan kakeknya ke dalam ruangan tamu.
Lian Hong menceritakan dengan singkat kepada suaminya tentang Siauw Kim dan kakeknya. Kemudian tiba giliran Siang Lan untuk bercerita kepada mereka tentang Siauw Kim dan Lim Bun yang ditolongnya sekitar tiga tahun lebih yang lalu di Kang-leng.
Setelah itu, Siang Lan memegang
tangan Siauw Kim dan bertanya.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, Siauw Kim. Ceritakan keadaan dirimu sejak kita saling berpisah. Bagaimana engkau kini dapat menjadi murid Kun-lun-pai dan bagaimana pula engkau sampai tiba di kota raja."
Siauw Kim lalu menceritakan riwayatnya. Setelah dulu ditolong
Siang Lan, gadis remaja itu masih mengalami banyak kesengsaraan lagi. Ibunya dan tiga orang adiknya mati satu demi satu karena wabah penyakit yang mengamuk.
Kakek Lim Bun terpaksa membawa cucunya yang tinggal seorang itu pergi meninggalkan dusun Kang-leng yang diserang wabah.
Akan tetapi di tengah perjalanan yang sengsara itu, tiba-tiba Kakek Lim Bun jatuh sakit pula. Agaknya wabah itu telah menular kepadanya juga. Mujur baginya, dalam keadaan setengah mati di lereng sebuah bukit, mereka berdua bertemu dengan seorang pertapa miskin sederhana yang dapat mengobati kakek Lim Bun sampai sembuh.
Mendengar riwayat Siauw Kim yang penuh kesengsaraan, pertapa itu lalu mengijinkan Siauw Kim dan kakeknya tinggal di bukit tempat
dia bertapa, hidup sederhana dan Siauw Kim lalu dilatih ilmu silat
olehnya. "Akan tetapi sungguh nasib kami amatlah buruknya, Li-hiap," kata Siauw Kim dan tiba-tiba gadis itu menangis. Lim Bun juga menundukkan mukanya yang telah keriputan dan menghela napas
berulang-ulang.
"Nanti dulu, Nona!" tiba-tiba Sim Tek Kun berkata. "Siapakah pertapa yang melatih silat kepadamu itu" Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?" Dia tadi sudah mendengar dari isterinya
bahwa Siauw Kim tadi memperlihatkan ilmu silat Kun-lun-pai.
Siauw Kim menyusut air matanya. "Nama Suhu hanya saya ketahui
julukannya saja karena beliau tidak pernah menceritakan nama aselinya.
Julukannya Kim-gan-liong......"
Tentu saja Tek Kun, Lian Hong, dan Siang Lan terkejut sekali mendengar ini.
"Ah, kiranya gurumu itu adalah Susiok Kim-gan-liong!" seru Tek Kun, "Dan di mana beliau sekarang?"
Siauw Kim menangis lagi. "Itulah, nasib kami sungguh selalu buruk.
Setelah hidup tenang dan tenteram bersama Suhu, walaupun dalam keadaan sederhana sekali, selama hampir tiga tahun,Suhu...... meninggal dunia......"
"Beliau meninggal......?" Tek Kun berseru kaget. "Akan tetapi kenapa" Bagaimana beliau yang belum tua benar sampai meninggal?" Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih.
"Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali
tampak gelisah dan berduka, dan kesehatannya sering terganggu.
Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan...... kalau batuk
terkadang mengeluarkan darah...... dan pada suatu malam, sekitar
empat bulan yang lalu, Suhu meninggal dunia......"
"Aih, kasihan susiok......" Sim Tek Kun menghela napas panjang.
Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka.
Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-gan-liong merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong. Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong.
Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang.
Hal itu meracuni hatinya sehingga dia
sakit-sakitan, menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua,baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!
"Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu
pergi ke kota raja?" Siang Lan bertanya.
Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!
"Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain kecuali kong-kong,Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja.
Kami orangmiskin, Suhu juga tidak mempunyai apa-apa. Setiap hari kami
hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.
"Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami......minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini.
Saya dan kong-kong tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas kasihan dan kedermawanan orang.
"Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada...... In-kong (Tuan Penolong) ini...... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban......"
"Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja" Apa tujuan kalian datang ke kota raja
ini?" tanya Siang Lan.
"Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami kakek dan Cucu."
"Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?" tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek Kun.
Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.
"Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun," kata Siauw Kim yang sama
sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di depannya.
"Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid
keponakan Gurumu itu?" desak Siang Lan.
Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut mendengarkan.
"Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang
bernama Sim Tek Kun dan ini adalah isterinya, Ong Lian Hong adikku," kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun.
Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.
"Ah...... kiranya Paduka......"
"Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim,"
kata Lian Hong.
"Bagaimanapun juga, engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan, sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah
Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan suamiku adalah
Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu)."
"Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau......?" bantah Siauw Kim dengan sungkan.
"Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar,bagaimanapun juga engkau adalah murid mendiang Susiok Kimgan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah
Suhengmu."
Siauw Kim merasa terharu bukan main. Sambil mengusap air matanya, ia berkata. "Ah, engkau sungguh seorang yang berbudi mulia dan isterimu juga seorang yang baik sekali, Suheng.
Ternyata benar seperti yang diceritakan mendiang Suhu, bahwa
Suheng seorang bangsawan tinggi akan tetapi berwatak seorang pendekar sejati."
"Pangeran...... terimalah hormat dan terima kasih kami!" kata Kakek Lim Bun sambil menjura dengan hormat.
"Cukup, Kakek Lim Bun, tidak perlu memakai banyak peradatan,"kata Sim Tek Kun.
"Akan tetapi, Sumoi, aku masih merasa heran dan tidak mengerti, apa maksud mendiang Susiok Kim-gan-liong menyuruh engkau dan kakekmu datang kepadaku. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?"
Mendengar pertanyaan ini, Siauw Kim tampak bingung dan ia saling berpandangan dengan kakeknya, lalu dengan suara lirih ia berkata.
"Suheng...... Suhu hanya berpesan agar kami menghadap suheng dan...... dan mohon petunjuk dan menolong kami...... ah,saya...... saya tidak tahu harus bilang apa......"
Kakek Lim Bun segera membantu cucunya. "Pangeran, saya mohon dapat diberi pekerjaan. Pekerjaan apa saja, yang penting kami berdua mendapatkan tempat tinggal dan dapat makan setiap hari......" Siauw Kim memotong ucapan kakeknya.
"Suheng, kami berdua tidak membutuhkan yang berlebihan. Kami hanya butuh pekerjaan yang tetap agar kami berdua tidak perlu lagi merantau tanpa tempat tinggal yang tetap dan minta-minta sumbangan untuk biaya hidup kami sehari-hari.
Saya siap untuk membantu keluarga dan rumah tangga Suheng, menjadi pelayan misalnya...... dan kakek saya juga dapat membantu, menjadi tukang kebun atau apa saja.
Kami tidak takut bekerja keras......"
Semua orang terharu mendengar ucapan gadis yang lugu dan bersemangat itu. Chang Hong Bu yang sejak tadi mendengarkan
dengan penuh perhatian merasa kasihan akan tetapi juga kagum.
Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis dusun sederhana yang demikian gagah berani, jujur dan bersemangat tinggi menjaga nama dan kehormatannya, juga tidak segan untuk bekerja keras agar dapat menghidupi dirinya sendiri dan kakeknya.
Benar-benar seorang gadis yang walaupun belum terlalu tinggi ilmunya, namun sudah memiliki jiwa pendekar!
"Aih, kebetulan sekali!" tiba-tiba Siang Lan berseru. "Hong-moi,sebentar lagi engkau akan membutuhkan bantuan orang yang dapat kaupercaya sepenuhnya.
Tiga-empat bulan lagi saja engkau sudah harus menjaga dirimu baik-baik. Bagaimana kalau kalian menerima Siauw Kim membantumu di sini" Adapun kakek Lim Bun tentu saja dapat membantu mengawasi para pelayan di gedung ini!"
Lian Hong tersenyum dan memandang suaminya. "Bagaimana
pendapatmu dengan usul Enci Siang Lan, Kun-ko?"
Sim Tek Kun tersenyum. "Terserah kepadamu, aku sih setuju saja dan kurasa Ayah dan Ibu akan menyetujuinya pula."
Mendengar ini, Siauw Kim dengan girang menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Tek Kun dan isterinya.
"Terima kasih, Suheng berdua sungguh telah membangkitkan gairah hidup baru kepada kami!
Kakek Lim Bun juga berlutut, akan tetapi Tek Kun cepat membangunkannya dan Lian Hong juga mengangkat bangun Siauw Kim yang berlutut di depannya.
"Sumoi, kami menerima bantuanmu untuk mengatur rumah tangga di sini dan membantu pekerjaan isteriku, akan tetapi kami tidak suka kalau engkau bersikap sebagai seorang pelayan.
Engkau kuterima sebagai Sumoiku, maka kalau engkau bersikap merendahkan diri sebagai seorang pelayan, hal itu berarti merendahkan kehormatanku sebagai Suhengmu. Mengertikah engkau?" kata Sim Tek Kun dengan suara tegas.
"Baik Suheng dan maafkan sikap kami tadi," kata Siauw Kim.
"Bagus, urusan ini sudah dapat diselesaikan dengan baik. Engkau
bekerjalah dengan baik, Siauw Kim, dan kakek Lim Bun, kalian berdua menerima budi kebaikan adikku Ong Lian Hong dan suaminya, maka kuharap kalian berdua mampu membalas budi kebaikan mereka itu dengan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya dan setia.
Seandainya kelak engkau tidak ingin bekerja di sini, engkau boleh ikut denganku ke Lembah Selaksa Bunga dan membantu aku di sana. Akan tetapi karena lembah Selaksa Bunga
merupakan tempat tinggal khusus untuk wanita, maka tentu saja Kakekmu tidak mungkin dapat ikut tinggal di sana."
Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan ia berkata kepada Siauw Kim. "Siauw Kim, tahukah engkau siapa penolongmu ini?" Ia menuding
kepada Chang Hong Bu. Siauw Kim memandang wajah Hong Bu dan menggelengkan kepalanya. "Saya tidak berani menanyakan nama In-kong," katanya lirih.
"Ketahuilah bahwa dia ini bernama Chang Hong Bu, pendekar muda murid Siauw-lim-pai yang amat lihai dan dia adalah keponakan dari Jenderal Chang Ku Cing yang terkenal."
Mendengar ini, Siauw Kim terkejut sekali dan cepat ia memberi hormat sambil menjura kepada pemuda yang amat dikaguminya itu.
"Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepadamu, Chang Inkong!"
Disebut Chang In-kong (Tuan Penolong Chang) Hong Bu menjadi
merah mukanya dan dia cepat berkata.
"Nona, jangan sebut aku In-kong karena bukan aku saja yang tadi
mengusir tiga orang jahat itu, akan tetapi terutama sekali Hwe-thian
Mo-li Nyo Siang Lan dan Adik Ong Lian Hong.
Pula tentu sebagai murid Kun-lun-pai engkau juga mengetahui bahwa menentang orang-orang jahat merupakan kewajiban bagi seorang murid perguruan silat yang baik. Jadi, dalam peristiwa tadi tidak ada hutang budi maupun tuan penolong."
"Terima kasih dan maafkan saya, Chang Tai-hiap," kata Siauw Kim. Dengan hati merasa bahagia sekali Siauw Kim lalu dengan rajin mulai membantu pekerjaan rumah tangga di gedung Pangeran Sim Liok Ong.
Pangeran itu dan isterinya menerima Siauw Kim dan kakeknya dengan senang hati karena dua orang itu sungguh merupakan orang-orang yang tahu diri dan rajin bekerja.
Malam itu, Nyo Siang Lan tak dapat tidur. Ia gelisah rebah di atas pembaringan dalam kamarnya, memikirkan tentang dirinya.
Ia sungguh merasa bingung dan gelisah. Keadaan dirinya sendiri sudah ternoda dan ia merasa dirinya tidak berharga dan membawa aib. Ia merasa benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya.
Rasanya tidak akan sukar untuk jatuh cinta kepada seorang pendekar muda seperti Chang Hong Bu. Masih muda, gagah dan tampan, keponakan seorang jenderal besar yang terkenal
bijaksana dan pandai, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Ah,tidak banyak pemuda sehebat Hong Bu.
Ia merasa kagum dan suka kepada pemuda yang sopan itu. Akan tetapi cinta" Ia meragukan dirinya sendiri. Rasanya sulit ia dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelah ia menjadi korban kebuasan dan kekejian laki-laki, yaitu Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba wajah Bu-beng-cu terbayang depan matanya. Wajah seorang laki-laki yang matang dan sudah dewasa benar. Usia Bubeng-cu tentu sudah sekitar empatpuluh empat tahun. Wajah yang lembut penuh pengertian, sinar mata yang mengandung kebijaksanaan dan senyumnya yang penuh kesabaran.
Kepada Bu-beng-cu ia menaruh kepercayaan besar sekali, bahkan
Bu-beng-cu merupakan satu-satunya orang di samping Kui Li Ai yang telah ia ceritakan tentang dirinya yang sudah dinodai orang.
Dan apa kata Bu-beng-cu" Bahwa kalau dapat ia harus memaafkan pemerkosanya atau kalau tidak dapat mengampuninya, bunuh saja!
Siang Lan terkenang akan pengalamannya yang aneh. Ketika dia
ditangkap Hoat Hwa Cin-jin dan nyaris diperkosa orang lagi,muncul Bu-beng-cu menyelamatkannya bahkan ia berhasil membunuh Hoat Hwa Cin-jin.
Pada saat itu, rasa haru dan juga lega karena terhindar dari nasib diperkosa orang lagi, ia merangkul gurunya dan pada saat itulah ia merasa betapa perasaan hatinya dekat sekali dengan Bu-beng-cu.
Baru ia menyadari bahwa tanpa ia ketahui ia telah jatuh cinta kepada Bu-beng-cu. Sungguh aneh dan mengherankan hatinya.
Mengapa bertemu dengan pemuda-pemuda yang tampan dan gagah perkasa ia tidak jatuh cinta" Bahkan cintanya kepada Sim Tek Kun dahulu tidaklah sedalam apa yang ia rasakan terhadap Bu-beng-cu!
Apakah karena laki-laki itu teramat baik kepadanya,berkali-kali membela dan menolongnya, melindunginya bahkan dengan sungguh-sungguh menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya agar kelak dapat membalas dendam sakit hatinya kepada Thian-te Mo-ong" Ia sendiri tidak tahu.
Akan tetapi awan gelap menyelubungi hati gadis itu ketika ia teringat betapa sikap Bu-beng-cu seolah tidak menyambut cintanya!
Hal ini memang juga dapat diterimanya karena bagaimana mungkin seorang gadis yang sudah ternoda seperti dirinya pantas menjadi pasangan hidup seorang pendekar besar yang bijaksana seperti Bu-beng-cu"
Siang Lan teringat lagi kepada Chang Hong Bu. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya terjerat cinta dengan pemuda itu! Tidak mungkin!
Kalau ia menerima dan membalas cinta pemuda itu, ia harus bersikap jujur, harus berani mengaku kepadanya bahwa dirinya bukan perawan lagi, bahwa ia telah diperkosa seorang penjahat.
Dan ia sudah dapat membayangkan. Bibir pemuda yang murah senyum itu akan berjebi mengejeknya, sedangkan matanya yang bersinar tajam berwibawa itu tentu akan memandang rendah!
Ah,kalau sampai demikian, ia tentu akan berubah amat membenci pemuda itu!
Ah, tidak! Lebih baik ia tidak melibatkan diri dalam cinta dengan seorang laki-laki. Ia sudah tidak layak untuk menjadi isteri orang karena tidak akan tahan melihat suaminya kelak memandang rendah dan hina kepadanya!
Ia lalu teringat akan Siauw Kim! Gadis itu jauh lebih layak menjadi jodoh Chang Hong Bu. Biarpun gadis itu seorang gadis dusun namun ia memiliki watak gagah seorang pendekar tabah dan berani menjaga kehormatannya yang lebih dihargainya daripada nyawa.
Dan ia melihat sinar mata penuh kagum dari sepasang mata gadis itu kepada Chang Hong Bu!
Lebih baik ia segera kembali ke Lembah Selaksa Bunga.
Mendadak saja hatinya merasa rindu kepada gurunya" Bu-bengcu, gurunya pernah mengatakan bahwa setahun lagi belajar dengan tekun, ia pasti akan mampu menandingi Thian-te Mo-ong!
Baru sekarang ia merasa betapa setelah berada di kota raja, jauh dari Bu-beng-cu, ia merasa kehilangan dan hidupnya terasa tidak lengkap!
Dengan pikiran mengambil keputusan ini akhirnya Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan dapat tidur pulas.
**********
Malam hari itu terjadi peristiwa yang penting di istana Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu telah menyuruh para datuk yang membantunya, yaitu Hongbacu tokoh Mancu, Tarmalan tokoh suku bangsa Hui, dan Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw, untuk
sementara keluar dari kota raja dan bersembunyi.
Sejak malam itu, Pangeran Bouw Ji Kong lebih banyak termenung dalam kamarnya dalam keadaan murung. Dia melihat betapa perkembangan usahanya untuk merebut tahta kerajaan tidak berjalan mulus.
Pihak pemerintah terlampau kuat, bukan saja di sana ada Jenderal Chang Ku Cing yang gagah perkasa dan pandai, juga masih ada Menteri Yang Ting Ho yang bijaksana dan yang merupakan pembantu terpercaya dari kaisar Wan Li selain itu juga dihormati dan disegani para pejabat tinggi.
Bukan kenyataan ini saja yang membuat hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi risau, akan tetapi juga melihat betapa para sekutunya dari Mancu dan Pek-lian-kauw, terutama sekali para pendukungnya, merupakan orang-orang yang memerasnya.
Banyak sekali permintaan mereka berupa uang dan harta benda lain sehingga dia sudah mengeluarkan banyak harta simpanannya untuk menyenangkan hati mereka agar mereka tetap mendukungnya.
Adapun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah lenyapnya putera tunggalnya, Bouw Cu An! Puteranya hanya seorang itu,anak-anaknya yang lain adalah perempuan.
Tentu saja dia merasa amat sayang kepada puteranya itu yang sejak kecil sudah dia panggilkan ahli-ahli sastra dan tata negara, dia persiapkan agar
kelak puteranya itu pantas menjadi seorang pangeran mahkota calon kaisar!
Bahkan juga puteranya telah dilatih ilmu silat yang cukup memadai. Biarpun akhirnya Bouw Cu An memperlihatkan sikap menentangnya dalam urusan melaksanakan rencananya merebut tahta kerajaan, namun kemarahannya kepada puteranya hanyalah di luarnya saja agar terlihat oleh para pendukungnya.
Di dalam hatinya, tetap saja ayah ini amat sayang kepada puteranya. Maka,
mendengar laporan Hongbacu bahwa puteranya telah diculik Ouwyang Sianjin dan sampai sekarang belum juga dapat ditemukan,hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi gelisah sekali.
Dia melihat rencana
pemberontakannya, selain
perkembangannya, juga amat
merugikannyakurang maju,tentu saja selama ini, tindakan dan rencana pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong dia anggap sebagai "perjuangan", demi rakyat demi mengubah pemerintah sang korup menjadi pemerintah yang bersih, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi.
Akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Bouw Ji Kong mempunyai jiwa dan
watak pedagang! Watak pedagang membuat dia dalam segala tindakannya mendasari dengan untung rugi.
Kalau tindakannya itu menguntungkan, hal ini memperkuat
semangatnya untuk melanjutkan apa yang dia perjuangkan, akan tetapi kalau kenyataannya merugikan, dia kehilangan semangat dan mulai memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari kerugian.
Pemimpin seperti ini, dan sebagian terbesar seperti yang tercatat dalam sejarah memang demikian, selalu akan mabok kemenangan dan menyelam ke dalam lautan kesenangan kalau usahanya berhasil, melupakan rakyat yang tadinya dijadikan tulang punggung untuk mendukung "perjuangannya".
Malam yang dingin itu Pangeran Bouw Ji Kong duduk termenung
seorang diri di dalam kamarnya, tidak dapat tidur memikirkan kegagalannya, terutama sekali dengan hati rindu dan sedih memikirkan puteranya yang hilang.
Semua penghiburan yang diberikan isteri dan para selir ditolaknya dan dia malam itu tidak mau diganggu, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya yang besar.
Angin malam yang berhembus memasuki kamar melalui celah-celah dinding bagian atas membawa hawa dingin menyusup tulang.
Tiba-tiba daun jendela kamar itu terkuak dari luar, menimbulkan suara berderit. Pangeran Bouw Ji Kong terkejut dari lamunannya, menoleh ke arah jendela dan cepat dia melompat berdiri sambil menyambar pedang yang diletakkan di atas mejanya.
Pangeran ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan ilmu silatnya itulah yang pernah dia ajarkan pula kepada Bouw Cu An, putera tunggalnya.
Jendela itu terbuka dan sesosok tubuh melayang memasuki kamar....
Demikianlah, dengan gembira dua orang wanita itu lalu menuju ke
bagian selatan kota raja, ke rumah Jaksa Ciok yang menjadi kakek
Ong Lian Hong. Seperti kita ketahui, Ciok Bwe Kim, yaitu ibu kandung Ong Lian Hong, kini tinggal bersama ayahnya, Jaksa Ciok Gun itu.
Mereka naik kereta karena Ong Lian Hong adalah mantu Pangeran Sim Liok Ong, jadi ia kini termasuk seorang wanita bangsawan yang tentu saja tidak pantas kalau melakukan perjalanan dengan jalan kaki!
Dua orang wanita cantik itu disambut dengan gembira bukan main oleh keluarga Ciok. Jaksa Ciok sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, apalagi gadis perkasa itu adalah murid mantunya, mendiang Ong Han Cu.
Juga Nyonya Ciok Bwe Kim yang kini telah berusia empatpuluh tahun lebih dan masih tampak cantik itu, merasa girang dan terharu sekali. Ia pun sudah banyak mendengar tentang Nyo Siang Lan,sebagai murid tersayang mendiang suaminya.
Siang Lan dihormati dan disanjung, diterima dengan pesta makan keluarga sehingga gadis itu merasa senang dan berterima kasih.
Ternyata bukan hanya mendiang gurunya saja yang baik terhadap dirinya, melainkan juga isteri gurunya dan keluarganya. Baru lewat
tengah hari mereka berdua naik kereta meninggalkan gedung tempat tinggal Jaksa Ciok Gun untuk kembali ke rumah Pangeran Sim Liok Ong.
Ketika kereta tiba di dekat lapangan terbuka di depan pasar, diseberang jembatan besar, Siang Lan melihat banyak orang berkerumun dan terdengar suara tambur dan canang dipukul seperti biasa dilakukan para penjual obat yang biasa mendemonstrasikan ilmu silat untuk menarik minat penonton agar suka membeli obat yang mereka tawarkan.
Mendengar pukulan tambur dan canang yang berirama gagah dan mengandung tenaga, Siang Lan tertarik dan menyuruh kusir kereta
menghentikan keretanya. Lian Hong tertawa melihat encinya seperti kanak-kanak hendak menonton penjual obat, akan tetapi ia pun ikut turun dan bergembira bersama Siang Lan menghampiri kerumunan orang banyak itu.
Beberapa orang penonton memberi tempat kepada dua orang gadis itu di depan. Mereka menyingkir dengan sopan ketika melihat bahwa dua orang gadis jelita yang hendak menonton itu turun dari kereta dan melihat sikap mereka seperti gadis-gadis bangsawan.
Siang Lan dan Lian Hong kini melihat dengan hati tertarik. Ternyata yang dijadikan tontonan itu adalah seorang gadis muda belia dan seorang kakek yang rambutnya sudah putih.
Gadis itu cantikm anis, usianya sekitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun,pakaiannya sederhana dan rapi serba ketat sehingga menonjolkan
lekuk lengkung tubuhnya yang laksana bunga sedang mulai mekar.
Adapun kakek tentu sudah berusia sekitar enampuluh tiga tahun,wajahnya tampak ada garis-garis penderitaan, rambutnya putih
semua, tampaknya lemah dan pakaiannya juga sederhana seperti
pakaian petani.
Kakek itulah yang menabuh canang, sedangkan gadis itu dengan gerakan gagah dan mengandung tenaga,menabuh tambur yang bunyinya seperti derap kaki pasukan atau seperti permainan barong-sai.
Setelah melihat betapa banyak orang mengerumuninya, kakek itu memberi isyarat kepada si Gadis dan mereka menghentikan bunyi-bunyian itu.
Kakek itu lalu memberi hormat sambil membungkuk ke empat penjuru. Mulailah orang-orang ramai bicara sendiri dan terdengar suara,
"Mana obat yang dijualnya?"
Setelah memberi hormat ke empat penjuru, terdengar suara kakek itu, suaranya lemah dan tidak lantang. "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat.
Sebelumnya kami berdua kakek dan cucu mohon maaf kepada Cu-wi. Kami bukan penjual obat, kami tidak
mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan dijual.
Akan tetapi karena dalam melakukan perjalanan ini kami kehabisan bekal,
maka kami hanya mohon kedermawanan Cu-wi untuk memberi
sumbangan dan kami hanya dapat menyuguhkan beberapa permainan silat dari cucu kami yang masih bodoh.
Sekali lagi,kalau pertunjukan cucu kami tidak berharga, mohon Cu-wi
memaafkan kami." Setelah berkata demikian, kakek itu mengambil tambur dari tangan cucunya, lalu mulai menabuh tambur itu dengan pukulan yang lemah.
Siang Lan dan Lian Hong melihat bahwa pukulan tambur kakek itu sama sekali berbeda dengan pukulan cucunya yang mengandung tenaga cukup kuat sehingga mereka berdua sudah mengetahui bahwa agaknya hanya Sang Cucu itu yang mahir ilmu
silat sedangkan sang Kakek adalah seorang petani biasa yang lemah.
Kini gadis manis itu berdiri tegak lalu memberi hormat keempat penjuru dengan merangkap kedua tangan depan dada. Setelah itu ia mulai bersilat.
Gerakannya cukup ringan, cepat dan mengandung tenaga. Bagi Siang Lan dan Lian Hong, gerakan silat gadis itu biasa saja dan belum cukup tinggi, akan tetapi keduanya terkejut dan tertarik sekali karena mengenal bahwa ilmu silat yang dimainkan gadis itu adalah ilmu silat Kun-lun-pai!
Gadis itu memiliki ilmu silat aliran
Kun-lun-pai, satu perguruan dengan Sim Tek Kun!
Tentu saja hal ini amat menarik perhatian mereka, terutama sekali
perhatian Lian Hong karena gadis itu masih memiliki hubungan seperguruan dengan suaminya. Akan tetapi ketika ia hendak menyapa, lengannya dipegang Siang Lan dan Hwe-thian Mo-li memberi isyarat agar adik angkatnya itu diam dan melihat saja perkembangannya.
Setelah gadis itu selesai bersilat selama belasan jurus dan berhenti
bergerak, terdengar tepuk tangan memuji dari para penonton. Bagi para penonton, terutama yang tidak mahir ilmu silat, permainan silat itu cukup mengagumkan, apalagi karena memang gadis itu cukup cantik dan terutama sekali memiliki bentuk tubuh yang denok menggairahkan hati pria, terutama yang memiliki watak mata keranjang.
Pada saat itu Sang Kakek membawa sebuah caping lebar yang ditelentangkan dan dia berjalan menghampiri para penonton dan
mengelilingi tempat itu sambil mengacungkan caping mohon sumbangan.
Hampir semua orang melemparkan sepotong atau sekeping uang ke dalam caping, yang diterima dengan wajah berseri dan muka mengangguk-angguk oleh kakek itu.
Setelah berputar sekeliling dan sudah cukup banyak uang terkumpul dalam
caping, kakek itu lalu melangkah ke tengah lapangan, meletakkan capingnya di atas tanah lalu dia memberi hormat lagi ke empat penjuru.
"Banyak terima kasih atas sumbangan Cu-wi. Sudah sering kami mendengar bahwa para penghuni kota raja adalah orang-orang dermawan, dan baru siang hari ini kami melihat buktinya.
Terima kasih banyak, sumbangan Cu-wi dapat menyambung hidup kami
selama beberapa hari."
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dari kerumunan penonton. Dia seorang laki-laki berusia sedikitnya tigapuluh lima tahun, wajahnya bopeng (bekas cacar) dan matanya lebar, tubuhnya kokoh kuat dan wajahnya bengis.
Dia sudah berdiri dekat kakek itu dan berkata dengan suaranya yang lantang.
"Enak saja engkau orang tua mengumpulkan uang orang tanpa
memberi sesuatu!
Ini namanya penipuan! Orang menerima uang harus memberi sesuatu, akan tetapi kalian tidak memberi apa-apa,obat juga tidak. Bagaimana mau enaknya saja mengambil uang orang-orang" Engkau penipu!"
Kakek itu memandang dengan kaget.
"Tuan, maaf, kami memang tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan.
Akan tetapi cucu saya tadi sudah menghibur dengan permainan silatnya......"
"Huh, apa artinya menonton gerakan silat yang begitu saja"
Biasanya untuk menghibur orang-orang diadakan pertunjukan yang lebih ramai, setidaknya untuk permainan silat diadakan pertunjukan pi-bu (adu ilmu silat).
Kalau ada pi-bu, nah, itu baru
namanya pertunjukan dan kami semua akan senang mengeluarkan uang. Akan tetapi kalian ini tidak memberi pertunjukan apa-apa.
Kalau mau mengemis, lakukan saja seperti biasa, duduk berjongkok di tepi jalan dan mengacungkan tangan
mohon sedekah!"
Di antara para penonton, terdapat pula banyak orang muda yang
biasa bersikap berandalan. Mendengar ucapan itu mereka
bersorak dan mentertawakan kakek yang tampak bengong ketakutan itu.
Lian Hong sudah hendak maju, akan tetapi kembali Siang Lan menahan lengannya can menggelengkan kepalanya.
Kini gadis manis itu menghampiri kakeknya dan berkata. "Kongkong, minggirlah, biarkan aku yang bicara dengan Tuan ini."
Mendengar ini, kakek itu minggir dengan wajah pucat dan tampaknya dia gelisah sekali akan keselamatan cucunya.
"Tuan, kami tidak mengenal Tuan, juga kami tidak mempunyai urusan denganmu, apalagi mengganggumu. Akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak mengganggu kami yang hanya sekedar minta bantuan kepada para budiman ini karena bekal kami telah habis. Apa sih kesalahan kami kepadamu?"
Si Tinggi Besar muka bopeng itu kini memandang kepada gadis itu sambil menyeringai. Mulutnya yang lebar terbuka dan dia memperlihatkan giginya yang besar-besar dan banyak yang rusak hitam, seperti seekor orang utan menyeringai.
"Nona, engkau seorang gadis yang masih muda dan begini cantik,sungguh sayang Kakekmu membiarkan engkau mencari uang
dengan menjadi tontonan. Akan tetapi karena engkau sudah memperlihatkan ilmu silatmu, aku menjadi tertarik dan aku menantangmu untuk melakukan pi-bu."
"Tuan, kami datang di sini bukan untuk mencari permusuhan, juga
bukan untuk pamer kepandaian apalagi untuk pi-bu. Aku tidak mau
melakukan pi-bu dengan siapapun juga," jawab gadis itu dengan sikap tenang.
"Ha-ha, kalau engkau yang sudah berani memperlihatkan ilmu silat
menolak pi-bu, maka berarti engkau mengaku kalah. Sekarang begini saja, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri.
Disaksikan oleh semua penonton di sini, mari kita membuat pertaruhan begini. Kita bertanding pi-bu dengan tangan kosong.
"Kalau aku kalah, maka uang sumbangan dalam caping itu akan
kutambah lagi dengan lima tail perak dan engkau boleh bebas mencari sumbangan di sini.
Akan tetapi kalau engkau kalah, uang
dan ditambah lima tail perak tetap kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus mau menjadi kekasihku selama satu bulan!
Ha-ha, adil sekali, bukan?"
Wajah gadis itu berubah merah sekali, akan tetapi ia masih tenang walaupun kakeknya tampak pucat dan gemetaran.
"Hemm, begitukah keinginanmu" Dan bagaimana tandanya kalah atau menang?" tanya Si Gadis, sedangkan para penonton menjadi tegang dan memandang penuh perhatian.
Sudah biasa bagi penonton, suka sekali mereka menyaksikan ketegangan, apalagi akan menyaksikan pi-bu dan di antara mereka bahkan sudah banyak yang diam-diam ikut bertaruh!
"Tentu saja siapa yang roboh dianggap kalah!" kata laki-laki itu.
"Ha-ha-ha, aku Si Tinju Maut Koan Sek kalau sampai kalah oleh Nona manis ini, mau mencium kakimu yang mungil, Nona!" Dia tertawa diikuti banyak pemuda yang tertawa secara kurang ajar.
Melihat Lian Hong marah-marah, Siang Lan berbisik. "Kita lihat saja dulu. Simpan marahmu, kalau engkau marah dan benci,jangan-jangan anakmu kelak bisa seperti dia."
Diingatkan demikian, Lian Hong terkejut dan segera menenangkan
diri karena ia merasa ngeri kalau sampai anaknya kelak keluar seperti si Bopeng itu. Diam-diam ia mengelus perutnya!
Gadis itu memberi isyarat kepada kakeknya untuk menyingkirkan
caping itu ke pinggir, kemudian ia mengikat sabuknya sehingga ketat melingkari pinggangnya yang ramping, menggulung lengan bajunya sampai ke siku. Kemudian ia berdiri dengan tenang,menanti lawannya dan setelah berhadapan, ia lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan berkata dengan suara lantang dan tegas.
"Koan Sek, buka telingamu dan dengarkan baik-baik, disaksikan oleh semua penonton di sini, nonamu she Siauw akan mengucapkan pendirianku!
Boleh jadi kakekku dan aku adalah
orang-orang miskin berasal dari dusun, tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki kepandaian, melainkan orang-orang sederhana
dan bodoh.
Akan tetapi, ketahuilah, hai orang yang menjadi budak nafsu, kami adalah manusia-manusia yang masih memiliki kesusilaan, kesopanan, jalan kebenaran, yang menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan, tidak sudi melakukan hal-hal yang rendah dan hina! "Engkau memaksa aku untuk pi-bu, kalau aku menolak tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, aku tidak menolak.
Guruku mengajarkan aku selain ilmu silat juga tentang kegagahan dan
harga diri. Kalau aku bisa menangkan pertandingan ini, aku tidak butuh uangmu, tidak butuh apa-apa darimu.
Akan tetapi kalau aku kalah darimu, aku pun tidak sudi menuruti semua keinginanmu yang hina dan rendah. Kalau kau hendak bunuh aku, silakan, aku tidak takut mati membela kehormatan diriku!"
Ucapan itu membuat Siang Lan dan Lian Hong tertegun dan terkagum-kagum. Bukan main gadis remaja ini.
Demikian gagahnya seolah ia seorang pendekar besar saja! Dan agaknya banyak pula para penonton yang merasa kagum karena tepuk tangan riuh menyambut ucapan itu, membuat Koan Sek yang berjuluk Si Tinju Maut itu menjadi salah tingkah dan mukanya yang bopeng tampak hitam karena semua darah berkumpul di sana.
"Gadis sombong, rasakan pukulan mautku!" Dia berseru dan mulai menyerang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada yang membusung itu. Baru pukulan ke arah dada gadis itu saja sudah merupakan cara serangan yang tidak mengenal sopan, padahal pertandingan itu hanyalah sebuah pi-bu. Jelas bahwa Koan Sek ini adalah golongan orang yang kasar dan kejam.
"Wuuttt......!" Pukulan itu luput ketika gadis yang mengaku she Siauw itu mengelak dengan gerakannya yang cukup ringan. Akan tetapi tamparan ke arah dada yang luput itu dilanjutkan oleh Koan Sek dengan mencengkeram ke arah dada!
Gadis itu menggerakkan tangan kanan dari luar dan menangkis.
"Plakk!" Ia berhasil menangkis walaupun ia merasa betapa kuatnya
lengan besar laki-laki itu sehingga tubuhnya agak condong kesamping ketika lengan mereka bertemu. Akan tetapi gadis itu dengan sigapnya lalu menggerakkan kakinya menendang ke arah lambung lawan.
"Wuuuttt...... plakk!" Koan Sek dapat, menangkis tendangan ini dan mereka segera saling serang dengan seru.
Siang Lan dan Lian Hong melihat betapa gerakan gadis itu sudah
baik dan aseli merupakan ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi agaknya ia masih belum menguasai ilmu silatnya dengan matang.
Gerakannya cukup lincah dan tubuhnya ringan, akan tetapi tenaganya masih kurang kuat sehingga tiap kali tangan atau kaki
mereka berbenturan, tubuh gadis itu terhuyung mundur.
Melihat ini, Koan Sek sudah tertawa-tawa mengejek. Sikap sombong dan memandang rendah lawan merupakan sikap yang dipantang oleh seorang ahli silat yang sudah mendalami ilmunya karena sikap ini mendatangkan kelengahan kepada dirinya sendiri.
Hal ini terbukti ketika perkelahian itu telah berlangsung belasan jurus di mana Koan Sek terus mendesak gadis itu sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh.
Pada saat dia berhenti menyerang untuk tertawa bergelak, tiba-tiba tubuh gadis itu menyambar dengan cepat sekali sambil menendang dengan tubuh melompat tinggi! Koan Sek terkejut dan cepat ia menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya.
"Plakk!" Dia berhasil menangkap pergelangan kaki kiri gadis itu,akan tetapi tiba-tiba kaki kanan gadis itu menendang dengan pengerahan seluruh tenaganya bertekankan kepada kaki kirinya yang ditangkap.
"Wuuttt...... desss......!" Sepatu kaki kanan gadis itu tepat mengenai ulu hati Koan Sek sehingga tubuhnya terjengkang dan dia terbanting jatuh demikian kuatnya sehingga sejenak dia menjadi nanar dan matanya melihat segala sesuatu berputar-putar.
Ketika mendengar sorak-sorai dan tepuk tangan penonton, dia menyadari keadaannya. Cepat dia melompat berdiri, menggoyang
kepalanya mengusir kepeningan dan di lain saat dia telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya!
Para penonton ada yang menjerit-jerit ketika melihat Koan Sek dengan golok telanjang kini menerjang dan menyerang gadis itu membabi buta!
Gadis itu mencoba untuk berloncatan ke kanan kiri mengelak dari sambaran golok, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Koan Sek menendang, mengenai pahanya dan gadis itu pun
terpelanting.
Bagaikan binatang buas, Koan Sek yang marah dan malu karena tadi dirobohkan gadis itu, mengejar dengan loncatan dan mengayun goloknya ke atas untuk dibacokkan ke arah gadis itu.
Gadis itu sudah terjatuh miring dan agaknya ia tidak akan mampu
menghindarkan dirinya dari bacokan, akan tetapi ia sama sekali tidak tampak takut, bahkan memandang kepada penyerangnya dengan mata mencorong penuh kemarahan!
Golok di tangan Koan Sek terayun turun dan......
"Desss......!!" tubuh Koan Sek terpental dan dia terbanting jatuh diatas tanah. Dia hanya merasa dirinya disambar halilintar sehingga tidak dapat melihat jelas bahwa sesungguhnya tadi ada seorang pemuda gagah perkasa melompat dan menendangnya sambil melompat.
Pemuda itu bukan lain adalah Chang Hong Bu. Pemuda yang kebetulan sedang lewat di situ dan melihat rame-rame itu lalu datang menonton dan melihat Koan Sek hendak menyerang seorang gadis dengan goloknya, dia menjadi marah dan sekali terjang, tubuh Koan Sek terlempar!
Pada saat itu, muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Mereka ini adalah kakak-kakak seperguruan dari Koan Sek.
Mereka bertiga pada hari itu memasuki kota raja untuk pelesir dan bersenang-senang. Karena mereka adalah tiga orang seperguruan yang biasa memaksakan kehendak melakukan kekerasan dan merasa diri mereka jagoan, maka tadi melihat gadis manis itu, Koan Sek menjadi iseng dan ingin memamerkan
kepandaiannya, juga ingin mempermainkannya karena dia
termasuk seorang laki-laki hidung belang yang suka mempermainkan wanita.
Kini, melihat adik seperguruan mereka ditendang seorang pemuda, dua orang kakak seperguruan Koan Sek menjadi marah dan mereka sudah melompat memasuki kalangan sambil mencabut golok masing-masing.
"Keparat, jangan main keroyokan!" bentak orang yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi orang kedua, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya sipit sekali seperti terpejam, sudah menyerang Chang Hong Bu dengan goloknya.
Permainan golok Si pendek Gendut itu ternyata cepat dan kuat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan Koan Sek. Akan tetapi dengan mudah saja Hong Bu mengelak.
Sementara itu, Si Tinggi kurus muka pucat juga sudah menggerakkan goloknya hendak mengeroyok, akan tetapi Lian Hong sudah melompat ke
dalam lapangan itu dan membentak.
"Jahanam-jahanam busuk dari mana berani mengacau di sini?"
Melihat wanita yang cantik jelita muncul di depannya, Si Tinggi kurus menyeringai.
"Ah, kalau harus melukaimu, aku tidak tega,Nona manis! Minggirlah jangan sampai golokku melukai kulitmu yang lembut dan mulus!"
Lian Hong marah sekali. "Keparat busuk!" Dan ia pun sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya yang mendatangkan angin dahsyat sehingga Si Tinggi kurus terkejut bukan main dan melompat ke belakang.
Kini Koan Sek yang melihat kedua suhengnya maju, mendapat hati
dan dia pun sudah bangkit berdiri lalu melangkah lebar menghampiri gadis pemain silat tadi dengan golok masih di tangan.
Akan, tetapi tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan sudah berada didepannya. Koan Sek yang mata keranjang sampai bengong
melihat gadis yang cantik ini berdiri di depannya.
"Manusia busuk, mampuslah kau!" Siang Lan berseru, tubuhnya berputar dan kaki kirinya mencuat dalam tendangan berputar.
"Syuuttt...... desss......!!" Tubuh Koan Sek terkena tendangan tepat di dadanya sehingga tubuhnya terlempar dan dia jatuh terbanting
dengan keras!
Sebelum dia dapat merangkak bangun, sekali tubuh Siang Lan melayang ia sudah tiba di depan laki-laki muka bopeng itu dan kembali kakinya menendang. Kini yang menjadi sasaran adalah pergelangan tangan kanan Koan Sek yang memegang golok.
"Wuuttt...... krekk!" Tulang pergelangan tangan itu patah-patah dan goloknya terlempar jauh.
"Aduhh......!" Koan Sek menjerit dan memegangi pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya.
Sementara itu, pertandingan antara si Tinggi kurus melawan Lian Hong juga berat sebelah. Baru tiga kali membacok dan selalu luput,tangan kiri Lian Hong menampar dan tepat mengenai pipi kanan si Tinggi kurus.
"Wuutt...... krekk......!" Tulang rahang pipi kanan si Tinggi kurus patah-patah dan tendangan kedua membuat goloknya terlempar.
Si Tinggi kurus menjerit kesakitan dan terpelanting keras,memegangi rahangnya yang pecah-pecah berdarah.
Demikian pula, si Gendut Pendek bukan lawan Hong Bu. Baru dua
gebrakan saja dia pun sudah roboh tertendang dan goloknya juga
terpental jauh. Si Tinggi kurus yang mencoba bangun, kembali harus terbanting oleh tendangan susulan Lian Hong. Demikian pula Si pendek Gendut dijadikan bola ditendang ke sana sini oleh Hong Bu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan.
Pada saat itu, banyak orang mengenal tiga orang muda perkasa ini. Melihat Siang Lan, ada yang berteriak.
"Ah, ia adalah Hwe-thian Mo-li! Mampuslah orang-orang jahat ini!"
Mendengar disebutnya nama Hwe-thian Mo-li, Koan Sek dan dua orang suhengnya terkejut setengah mampus. Nyali mereka terbang dan mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadapi tiga orang itu, menyembah-nyembah dan membenturkan dahi mereka ke atas tanah berulang-ulang seperti tiga ekor ayam sedang makan beras.
"Ampunkan hamba...... ampunkan hamba...... ampunkan hamba......" berulang-ulang mereka bergumam dan tentu saja suara si Tinggi kurus muka pucat itu tidak karuan karena
rahangnya yang pecah-pecah membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara dengan jelas.
Si Pendek Gendut saking takutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi gendut disembelih dan yang lucu dan mengherankan adalah Koan Sek
sendiri.
Orang tinggi besar berwajah menyeramkan ini saking takutnya kini menangis, mengguguk seperti anak kecil dan melihat betapa di
bawah tubuh mereka basah, sukar diketahui siapa di antara mereka yang mengompol saking takutnya. Mungkin ke tiganya!
Para penonton melihat betapa jauh bedanya sikap tiga orang ini dengan sikap gadis manis tadi. Dalam keadaan terancam maut,gadis tadi bersikap gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman maut, sedangkan tiga orang yang sombong dan tampak gagah ini, begitu terancam maut menjadi ketakutan seperti orang-orang yang berjiwa pengecut!
Kini Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan telah dapat mengenal gadis manis itu. Melihat kakek itu dan gadis ini, ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah Siauw Kim, gadis yang pernah ditolongnya dari tangan Hartawan Siong Tat yang hendak memaksa gadis itu menjadi pemainannya.
Ia berhasil membunuh Siong Tat dan
menghajar para jagoannya, membebaskan Siauw Kim dan
kakeknya itu yang bernama Lim Bun, seorang petani dari dusun Kang-leng.
Siang Lan masih sangsi karena setahunya, tiga-empat tahun yang
lalu Siauw Kim adalah gadis remaja yang lemah dan tidak pandai silat.
Sekarang, walaupun ilmu silatnya belum matang, namun jelas ia memiliki dasar ilmu silat aliran Kun-lun-pai! Mengingat akan nasib Siauw Kim dan melihat kegagahannya, hati Siang Lan menjadi panas sekali kepada tiga orang laki-laki jahat itu.
Diambilnya golok mereka yang tergeletak di atas tanah, lalu ia berseru. "Sebetulnya tiga orang jahanam macam kalian tidak berhak hidup di dunia ini karena hanya akan menimbulkan kekacauan dan kejahatan.
Akan tetapi aku, Hwe-thian Mo-li tak pernah memberi ampun kepada jahanam laki-laki yang memandang rendah wanita tanpa memberi hukuman yang setimpal."
Setelah berkata demikian, golok di tangannya berkelebat tiga kali
bagaikan halilintar menyambar dan tiga orang penjahat itu menjerit
kesakitan, bukit hidung mereka terbabat buntung dan darah muncrat membasahi muka mereka!
"Nah, pergilah kalian anjing-anjing keparat! Kalau aku melihat muka kalian muncul di kota raja lagi, kepalamu yang akan kubuntungi!"
Setelah berkata demikian, kaki Siang Lan menendang tiga kali dan tubuh mereka terpental dan jatuh bergulingan.
Sambil menangis kesakitan tiga orang itu lalu terhuyung-huyung setengah merangkak, melarikan diri dari tempat itu.
Para penonton merasa senang akan tetapi juga merasa ngeri sehingga satu demi satu mereka membubarkan diri meninggalkan tempat itu.
Ketika Siang Lan memandang dan mencari gadis tadi, ternyata gadis itu bersama kakeknya kini sedang berlutut di depan kaki Chang Hong Bu. Agaknya gadis itu menangis dan terdengar suaranya yang penuh keharuan.
"Kalau tidak ada Tai-hiap yang menolong saya dan kong-kong,kami berdua tentu telah tewas di tangan orang-orang jahat itu.
Kami berhutang budi dan nyawa kepada Tai-hiap, dan kami bersedia mengorbankan jiwa raga kami untuk membalas kebaikan Tai-hiap. Kalau kami tidak mampu membalasnya, kami akan bersembahyang setiap hari mohon kepada Thian (Tuhan) agar Dia yang membalas budi kebaikan Tai-hiap kepada kami."
Melihat gadis itu dan kakeknya berlutut di depan kakinya, Hong Bu
menjadi serba salah. Untuk membangunkan gadis itu, dia harus
menyentuhnya dan hal ini dia tidak mau melakukannya karena tentu dianggap kurang sopan. Kalau tidak dibangunkan, dia merasa rikuh sekali dua orang kakek dan cucu itu berlutut seperti itu di depan kakinya.
"Nona dan engkau, Kakek yang baik, bangkitlah dan jangan berlutut seperti ini!" katanya, akan tetapi gadis itu tidak mau bangkit dan kakeknya pun agaknya hanya ikut-ikutan tidak mau bangkit berdiri.
Melihat Siang Lan dan Lian Hong memandang ke arah mereka, Hong Bu lalu berseru kepada Siang Lan.
"Lan-moi, tolonglah, bangkitkan mereka......"
Siang Lan menghampiri dua orang yang masih berlutut itu sedangkan Hong Bu sudah mundur menjauhkan diri sehingga mereka tidak lagi berlutut di depan kakinya.
"Siauw Kim, engkaukah ini" Dan bukankah ini kakek Lim Bun yang
dulu tinggal di Kang-leng?"
Gadis itu memang Siauw Kim adanya dan kakeknya adalah Kakek Lim Bun.
Tiga empat tahun yang lalu ketika dalam keadaan miskin,terpaksa untuk mengobati cucunya Kakek Lim Bun menggadaikan cucunya, Siauw Kim, kepada Hartawan Siong Tat, hampir saja Siauw Kim menjadi korban kejahatan Siong Tat yang mata keranjang dan hampir Kakek Lim Bun bunuh diri.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menolong mereka, bahkan membunuh Hartawan Siong Tat dan menghancurkan rumah tangga gadai, menghajar para anak buah pegadaian itu.
Ketika Siauw Kim memandang dan melihat Siang Lan, segera ia teringat maka ia pun menubruk kaki Siang Lan sambil menangis.
Juga Kakek Lim mengenal Siang Lan. "Ah, kiranya engkau juga yang menolong kami, Li-hiap!" katanya.
Siang Lan menarik bangun Siauw Kim dan memandangi gadis itu dengan kagum. Gadis remaja dahulu itu kini telah dewasa dan cukup cantik manis dan gagah.
"Bagaimana kalian dapat berada di kota raja dan mengapa kalian tadi mencari sumbangan?"
"Aih, Li-hiap. Panjang ceritanya......" kata Siauw Kim.
"Enci Lan, tidak baik bicara di sini. Mari kita ajak Adik ini dan kakeknya ke rumah dan kita bicara di sana! Kakak Chang Hong Bu, karena sudah saling bertemu di sini secara kebetulan, mari engkau ikut dengan kami."
Ajakan Lian Hong ini diterima senang oleh Hong Bu karena memang tadinya Hong Bu bermaksud pergi mengunjungi Siang Lan, gadis yang telah memikat hatinya.
Setelah tiba di rumah Pangeran Sim Liok Ong, mereka disambut oleh Sim Tek Kun dan mereka semua mengajak Siauw Kim dan kakeknya ke dalam ruangan tamu.
Lian Hong menceritakan dengan singkat kepada suaminya tentang Siauw Kim dan kakeknya. Kemudian tiba giliran Siang Lan untuk bercerita kepada mereka tentang Siauw Kim dan Lim Bun yang ditolongnya sekitar tiga tahun lebih yang lalu di Kang-leng.
Setelah itu, Siang Lan memegang
tangan Siauw Kim dan bertanya.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, Siauw Kim. Ceritakan keadaan dirimu sejak kita saling berpisah. Bagaimana engkau kini dapat menjadi murid Kun-lun-pai dan bagaimana pula engkau sampai tiba di kota raja."
Siauw Kim lalu menceritakan riwayatnya. Setelah dulu ditolong
Siang Lan, gadis remaja itu masih mengalami banyak kesengsaraan lagi. Ibunya dan tiga orang adiknya mati satu demi satu karena wabah penyakit yang mengamuk.
Kakek Lim Bun terpaksa membawa cucunya yang tinggal seorang itu pergi meninggalkan dusun Kang-leng yang diserang wabah.
Akan tetapi di tengah perjalanan yang sengsara itu, tiba-tiba Kakek Lim Bun jatuh sakit pula. Agaknya wabah itu telah menular kepadanya juga. Mujur baginya, dalam keadaan setengah mati di lereng sebuah bukit, mereka berdua bertemu dengan seorang pertapa miskin sederhana yang dapat mengobati kakek Lim Bun sampai sembuh.
Mendengar riwayat Siauw Kim yang penuh kesengsaraan, pertapa itu lalu mengijinkan Siauw Kim dan kakeknya tinggal di bukit tempat
dia bertapa, hidup sederhana dan Siauw Kim lalu dilatih ilmu silat
olehnya. "Akan tetapi sungguh nasib kami amatlah buruknya, Li-hiap," kata Siauw Kim dan tiba-tiba gadis itu menangis. Lim Bun juga menundukkan mukanya yang telah keriputan dan menghela napas
berulang-ulang.
"Nanti dulu, Nona!" tiba-tiba Sim Tek Kun berkata. "Siapakah pertapa yang melatih silat kepadamu itu" Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?" Dia tadi sudah mendengar dari isterinya
bahwa Siauw Kim tadi memperlihatkan ilmu silat Kun-lun-pai.
Siauw Kim menyusut air matanya. "Nama Suhu hanya saya ketahui
julukannya saja karena beliau tidak pernah menceritakan nama aselinya.
Julukannya Kim-gan-liong......"
Tentu saja Tek Kun, Lian Hong, dan Siang Lan terkejut sekali mendengar ini.
"Ah, kiranya gurumu itu adalah Susiok Kim-gan-liong!" seru Tek Kun, "Dan di mana beliau sekarang?"
Siauw Kim menangis lagi. "Itulah, nasib kami sungguh selalu buruk.
Setelah hidup tenang dan tenteram bersama Suhu, walaupun dalam keadaan sederhana sekali, selama hampir tiga tahun,Suhu...... meninggal dunia......"
"Beliau meninggal......?" Tek Kun berseru kaget. "Akan tetapi kenapa" Bagaimana beliau yang belum tua benar sampai meninggal?" Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih.
"Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali
tampak gelisah dan berduka, dan kesehatannya sering terganggu.
Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan...... kalau batuk
terkadang mengeluarkan darah...... dan pada suatu malam, sekitar
empat bulan yang lalu, Suhu meninggal dunia......"
"Aih, kasihan susiok......" Sim Tek Kun menghela napas panjang.
Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka.
Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-gan-liong merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong. Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong.
Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang.
Hal itu meracuni hatinya sehingga dia
sakit-sakitan, menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua,baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!
"Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu
pergi ke kota raja?" Siang Lan bertanya.
Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!
"Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain kecuali kong-kong,Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja.
Kami orangmiskin, Suhu juga tidak mempunyai apa-apa. Setiap hari kami
hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.
"Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami......minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini.
Saya dan kong-kong tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas kasihan dan kedermawanan orang.
"Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada...... In-kong (Tuan Penolong) ini...... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban......"
"Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja" Apa tujuan kalian datang ke kota raja
ini?" tanya Siang Lan.
"Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami kakek dan Cucu."
"Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?" tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek Kun.
Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.
"Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun," kata Siauw Kim yang sama
sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di depannya.
"Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid
keponakan Gurumu itu?" desak Siang Lan.
Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut mendengarkan.
"Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang
bernama Sim Tek Kun dan ini adalah isterinya, Ong Lian Hong adikku," kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun.
Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.
"Ah...... kiranya Paduka......"
"Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim,"
kata Lian Hong.
"Bagaimanapun juga, engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan, sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah
Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan suamiku adalah
Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu)."
"Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau......?" bantah Siauw Kim dengan sungkan.
"Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar,bagaimanapun juga engkau adalah murid mendiang Susiok Kimgan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah
Suhengmu."
Siauw Kim merasa terharu bukan main. Sambil mengusap air matanya, ia berkata. "Ah, engkau sungguh seorang yang berbudi mulia dan isterimu juga seorang yang baik sekali, Suheng.
Ternyata benar seperti yang diceritakan mendiang Suhu, bahwa
Suheng seorang bangsawan tinggi akan tetapi berwatak seorang pendekar sejati."
"Pangeran...... terimalah hormat dan terima kasih kami!" kata Kakek Lim Bun sambil menjura dengan hormat.
"Cukup, Kakek Lim Bun, tidak perlu memakai banyak peradatan,"kata Sim Tek Kun.
"Akan tetapi, Sumoi, aku masih merasa heran dan tidak mengerti, apa maksud mendiang Susiok Kim-gan-liong menyuruh engkau dan kakekmu datang kepadaku. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?"
Mendengar pertanyaan ini, Siauw Kim tampak bingung dan ia saling berpandangan dengan kakeknya, lalu dengan suara lirih ia berkata.
"Suheng...... Suhu hanya berpesan agar kami menghadap suheng dan...... dan mohon petunjuk dan menolong kami...... ah,saya...... saya tidak tahu harus bilang apa......"
Kakek Lim Bun segera membantu cucunya. "Pangeran, saya mohon dapat diberi pekerjaan. Pekerjaan apa saja, yang penting kami berdua mendapatkan tempat tinggal dan dapat makan setiap hari......" Siauw Kim memotong ucapan kakeknya.
"Suheng, kami berdua tidak membutuhkan yang berlebihan. Kami hanya butuh pekerjaan yang tetap agar kami berdua tidak perlu lagi merantau tanpa tempat tinggal yang tetap dan minta-minta sumbangan untuk biaya hidup kami sehari-hari.
Saya siap untuk membantu keluarga dan rumah tangga Suheng, menjadi pelayan misalnya...... dan kakek saya juga dapat membantu, menjadi tukang kebun atau apa saja.
Kami tidak takut bekerja keras......"
Semua orang terharu mendengar ucapan gadis yang lugu dan bersemangat itu. Chang Hong Bu yang sejak tadi mendengarkan
dengan penuh perhatian merasa kasihan akan tetapi juga kagum.
Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis dusun sederhana yang demikian gagah berani, jujur dan bersemangat tinggi menjaga nama dan kehormatannya, juga tidak segan untuk bekerja keras agar dapat menghidupi dirinya sendiri dan kakeknya.
Benar-benar seorang gadis yang walaupun belum terlalu tinggi ilmunya, namun sudah memiliki jiwa pendekar!
"Aih, kebetulan sekali!" tiba-tiba Siang Lan berseru. "Hong-moi,sebentar lagi engkau akan membutuhkan bantuan orang yang dapat kaupercaya sepenuhnya.
Tiga-empat bulan lagi saja engkau sudah harus menjaga dirimu baik-baik. Bagaimana kalau kalian menerima Siauw Kim membantumu di sini" Adapun kakek Lim Bun tentu saja dapat membantu mengawasi para pelayan di gedung ini!"
Lian Hong tersenyum dan memandang suaminya. "Bagaimana
pendapatmu dengan usul Enci Siang Lan, Kun-ko?"
Sim Tek Kun tersenyum. "Terserah kepadamu, aku sih setuju saja dan kurasa Ayah dan Ibu akan menyetujuinya pula."
Mendengar ini, Siauw Kim dengan girang menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Tek Kun dan isterinya.
"Terima kasih, Suheng berdua sungguh telah membangkitkan gairah hidup baru kepada kami!
Kakek Lim Bun juga berlutut, akan tetapi Tek Kun cepat membangunkannya dan Lian Hong juga mengangkat bangun Siauw Kim yang berlutut di depannya.
"Sumoi, kami menerima bantuanmu untuk mengatur rumah tangga di sini dan membantu pekerjaan isteriku, akan tetapi kami tidak suka kalau engkau bersikap sebagai seorang pelayan.
Engkau kuterima sebagai Sumoiku, maka kalau engkau bersikap merendahkan diri sebagai seorang pelayan, hal itu berarti merendahkan kehormatanku sebagai Suhengmu. Mengertikah engkau?" kata Sim Tek Kun dengan suara tegas.
"Baik Suheng dan maafkan sikap kami tadi," kata Siauw Kim.
"Bagus, urusan ini sudah dapat diselesaikan dengan baik. Engkau
bekerjalah dengan baik, Siauw Kim, dan kakek Lim Bun, kalian berdua menerima budi kebaikan adikku Ong Lian Hong dan suaminya, maka kuharap kalian berdua mampu membalas budi kebaikan mereka itu dengan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya dan setia.
Seandainya kelak engkau tidak ingin bekerja di sini, engkau boleh ikut denganku ke Lembah Selaksa Bunga dan membantu aku di sana. Akan tetapi karena lembah Selaksa Bunga
merupakan tempat tinggal khusus untuk wanita, maka tentu saja Kakekmu tidak mungkin dapat ikut tinggal di sana."
Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan ia berkata kepada Siauw Kim. "Siauw Kim, tahukah engkau siapa penolongmu ini?" Ia menuding
kepada Chang Hong Bu. Siauw Kim memandang wajah Hong Bu dan menggelengkan kepalanya. "Saya tidak berani menanyakan nama In-kong," katanya lirih.
"Ketahuilah bahwa dia ini bernama Chang Hong Bu, pendekar muda murid Siauw-lim-pai yang amat lihai dan dia adalah keponakan dari Jenderal Chang Ku Cing yang terkenal."
Mendengar ini, Siauw Kim terkejut sekali dan cepat ia memberi hormat sambil menjura kepada pemuda yang amat dikaguminya itu.
"Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepadamu, Chang Inkong!"
Disebut Chang In-kong (Tuan Penolong Chang) Hong Bu menjadi
merah mukanya dan dia cepat berkata.
"Nona, jangan sebut aku In-kong karena bukan aku saja yang tadi
mengusir tiga orang jahat itu, akan tetapi terutama sekali Hwe-thian
Mo-li Nyo Siang Lan dan Adik Ong Lian Hong.
Pula tentu sebagai murid Kun-lun-pai engkau juga mengetahui bahwa menentang orang-orang jahat merupakan kewajiban bagi seorang murid perguruan silat yang baik. Jadi, dalam peristiwa tadi tidak ada hutang budi maupun tuan penolong."
"Terima kasih dan maafkan saya, Chang Tai-hiap," kata Siauw Kim. Dengan hati merasa bahagia sekali Siauw Kim lalu dengan rajin mulai membantu pekerjaan rumah tangga di gedung Pangeran Sim Liok Ong.
Pangeran itu dan isterinya menerima Siauw Kim dan kakeknya dengan senang hati karena dua orang itu sungguh merupakan orang-orang yang tahu diri dan rajin bekerja.
Malam itu, Nyo Siang Lan tak dapat tidur. Ia gelisah rebah di atas pembaringan dalam kamarnya, memikirkan tentang dirinya.
Ia sungguh merasa bingung dan gelisah. Keadaan dirinya sendiri sudah ternoda dan ia merasa dirinya tidak berharga dan membawa aib. Ia merasa benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya.
Rasanya tidak akan sukar untuk jatuh cinta kepada seorang pendekar muda seperti Chang Hong Bu. Masih muda, gagah dan tampan, keponakan seorang jenderal besar yang terkenal
bijaksana dan pandai, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
Ah,tidak banyak pemuda sehebat Hong Bu.
Ia merasa kagum dan suka kepada pemuda yang sopan itu. Akan tetapi cinta" Ia meragukan dirinya sendiri. Rasanya sulit ia dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelah ia menjadi korban kebuasan dan kekejian laki-laki, yaitu Thian-te Mo-ong!
Tiba-tiba wajah Bu-beng-cu terbayang depan matanya. Wajah seorang laki-laki yang matang dan sudah dewasa benar. Usia Bubeng-cu tentu sudah sekitar empatpuluh empat tahun. Wajah yang lembut penuh pengertian, sinar mata yang mengandung kebijaksanaan dan senyumnya yang penuh kesabaran.
Kepada Bu-beng-cu ia menaruh kepercayaan besar sekali, bahkan
Bu-beng-cu merupakan satu-satunya orang di samping Kui Li Ai yang telah ia ceritakan tentang dirinya yang sudah dinodai orang.
Dan apa kata Bu-beng-cu" Bahwa kalau dapat ia harus memaafkan pemerkosanya atau kalau tidak dapat mengampuninya, bunuh saja!
Siang Lan terkenang akan pengalamannya yang aneh. Ketika dia
ditangkap Hoat Hwa Cin-jin dan nyaris diperkosa orang lagi,muncul Bu-beng-cu menyelamatkannya bahkan ia berhasil membunuh Hoat Hwa Cin-jin.
Pada saat itu, rasa haru dan juga lega karena terhindar dari nasib diperkosa orang lagi, ia merangkul gurunya dan pada saat itulah ia merasa betapa perasaan hatinya dekat sekali dengan Bu-beng-cu.
Baru ia menyadari bahwa tanpa ia ketahui ia telah jatuh cinta kepada Bu-beng-cu. Sungguh aneh dan mengherankan hatinya.
Mengapa bertemu dengan pemuda-pemuda yang tampan dan gagah perkasa ia tidak jatuh cinta" Bahkan cintanya kepada Sim Tek Kun dahulu tidaklah sedalam apa yang ia rasakan terhadap Bu-beng-cu!
Apakah karena laki-laki itu teramat baik kepadanya,berkali-kali membela dan menolongnya, melindunginya bahkan dengan sungguh-sungguh menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya agar kelak dapat membalas dendam sakit hatinya kepada Thian-te Mo-ong" Ia sendiri tidak tahu.
Akan tetapi awan gelap menyelubungi hati gadis itu ketika ia teringat betapa sikap Bu-beng-cu seolah tidak menyambut cintanya!
Hal ini memang juga dapat diterimanya karena bagaimana mungkin seorang gadis yang sudah ternoda seperti dirinya pantas menjadi pasangan hidup seorang pendekar besar yang bijaksana seperti Bu-beng-cu"
Siang Lan teringat lagi kepada Chang Hong Bu. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya terjerat cinta dengan pemuda itu! Tidak mungkin!
Kalau ia menerima dan membalas cinta pemuda itu, ia harus bersikap jujur, harus berani mengaku kepadanya bahwa dirinya bukan perawan lagi, bahwa ia telah diperkosa seorang penjahat.
Dan ia sudah dapat membayangkan. Bibir pemuda yang murah senyum itu akan berjebi mengejeknya, sedangkan matanya yang bersinar tajam berwibawa itu tentu akan memandang rendah!
Ah,kalau sampai demikian, ia tentu akan berubah amat membenci pemuda itu!
Ah, tidak! Lebih baik ia tidak melibatkan diri dalam cinta dengan seorang laki-laki. Ia sudah tidak layak untuk menjadi isteri orang karena tidak akan tahan melihat suaminya kelak memandang rendah dan hina kepadanya!
Ia lalu teringat akan Siauw Kim! Gadis itu jauh lebih layak menjadi jodoh Chang Hong Bu. Biarpun gadis itu seorang gadis dusun namun ia memiliki watak gagah seorang pendekar tabah dan berani menjaga kehormatannya yang lebih dihargainya daripada nyawa.
Dan ia melihat sinar mata penuh kagum dari sepasang mata gadis itu kepada Chang Hong Bu!
Lebih baik ia segera kembali ke Lembah Selaksa Bunga.
Mendadak saja hatinya merasa rindu kepada gurunya" Bu-bengcu, gurunya pernah mengatakan bahwa setahun lagi belajar dengan tekun, ia pasti akan mampu menandingi Thian-te Mo-ong!
Baru sekarang ia merasa betapa setelah berada di kota raja, jauh dari Bu-beng-cu, ia merasa kehilangan dan hidupnya terasa tidak lengkap!
Dengan pikiran mengambil keputusan ini akhirnya Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan dapat tidur pulas.
**********
Malam hari itu terjadi peristiwa yang penting di istana Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu telah menyuruh para datuk yang membantunya, yaitu Hongbacu tokoh Mancu, Tarmalan tokoh suku bangsa Hui, dan Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw, untuk
sementara keluar dari kota raja dan bersembunyi.
Sejak malam itu, Pangeran Bouw Ji Kong lebih banyak termenung dalam kamarnya dalam keadaan murung. Dia melihat betapa perkembangan usahanya untuk merebut tahta kerajaan tidak berjalan mulus.
Pihak pemerintah terlampau kuat, bukan saja di sana ada Jenderal Chang Ku Cing yang gagah perkasa dan pandai, juga masih ada Menteri Yang Ting Ho yang bijaksana dan yang merupakan pembantu terpercaya dari kaisar Wan Li selain itu juga dihormati dan disegani para pejabat tinggi.
Bukan kenyataan ini saja yang membuat hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi risau, akan tetapi juga melihat betapa para sekutunya dari Mancu dan Pek-lian-kauw, terutama sekali para pendukungnya, merupakan orang-orang yang memerasnya.
Banyak sekali permintaan mereka berupa uang dan harta benda lain sehingga dia sudah mengeluarkan banyak harta simpanannya untuk menyenangkan hati mereka agar mereka tetap mendukungnya.
Adapun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah lenyapnya putera tunggalnya, Bouw Cu An! Puteranya hanya seorang itu,anak-anaknya yang lain adalah perempuan.
Tentu saja dia merasa amat sayang kepada puteranya itu yang sejak kecil sudah dia panggilkan ahli-ahli sastra dan tata negara, dia persiapkan agar
kelak puteranya itu pantas menjadi seorang pangeran mahkota calon kaisar!
Bahkan juga puteranya telah dilatih ilmu silat yang cukup memadai. Biarpun akhirnya Bouw Cu An memperlihatkan sikap menentangnya dalam urusan melaksanakan rencananya merebut tahta kerajaan, namun kemarahannya kepada puteranya hanyalah di luarnya saja agar terlihat oleh para pendukungnya.
Di dalam hatinya, tetap saja ayah ini amat sayang kepada puteranya. Maka,
mendengar laporan Hongbacu bahwa puteranya telah diculik Ouwyang Sianjin dan sampai sekarang belum juga dapat ditemukan,hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi gelisah sekali.
Dia melihat rencana
pemberontakannya, selain
perkembangannya, juga amat
merugikannyakurang maju,tentu saja selama ini, tindakan dan rencana pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong dia anggap sebagai "perjuangan", demi rakyat demi mengubah pemerintah sang korup menjadi pemerintah yang bersih, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi.
Akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Bouw Ji Kong mempunyai jiwa dan
watak pedagang! Watak pedagang membuat dia dalam segala tindakannya mendasari dengan untung rugi.
Kalau tindakannya itu menguntungkan, hal ini memperkuat
semangatnya untuk melanjutkan apa yang dia perjuangkan, akan tetapi kalau kenyataannya merugikan, dia kehilangan semangat dan mulai memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari kerugian.
Pemimpin seperti ini, dan sebagian terbesar seperti yang tercatat dalam sejarah memang demikian, selalu akan mabok kemenangan dan menyelam ke dalam lautan kesenangan kalau usahanya berhasil, melupakan rakyat yang tadinya dijadikan tulang punggung untuk mendukung "perjuangannya".
Malam yang dingin itu Pangeran Bouw Ji Kong duduk termenung
seorang diri di dalam kamarnya, tidak dapat tidur memikirkan kegagalannya, terutama sekali dengan hati rindu dan sedih memikirkan puteranya yang hilang.
Semua penghiburan yang diberikan isteri dan para selir ditolaknya dan dia malam itu tidak mau diganggu, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya yang besar.
Angin malam yang berhembus memasuki kamar melalui celah-celah dinding bagian atas membawa hawa dingin menyusup tulang.
Tiba-tiba daun jendela kamar itu terkuak dari luar, menimbulkan suara berderit. Pangeran Bouw Ji Kong terkejut dari lamunannya, menoleh ke arah jendela dan cepat dia melompat berdiri sambil menyambar pedang yang diletakkan di atas mejanya.
Pangeran ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan ilmu silatnya itulah yang pernah dia ajarkan pula kepada Bouw Cu An, putera tunggalnya.
Jendela itu terbuka dan sesosok tubuh melayang memasuki kamar....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment