Friday, February 22, 2019

Cerita Silat Serial Pedang Kilat Pembasmi Iblis Jilid 02


























    Cerita Silat Kho Ping Hoo
 Serial Kilat Pedang Pembasmi Iblis
            Jilid 02


sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu yang berpamrih berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk
mendapatkan imbalan yang menyenangkan.


Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik.
Kalau sudah terjadi benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka
bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan kepentingan, atau lebih tepat lagi benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan, kebencian
dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu atau si aku yang ingin menang sendiri.


Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing-masing. Mereka seolah saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri, Si Ni hendak mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong menolongnya membujuk ayah gadis
itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya mengeroyoknya. 


Di lain fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya, menemukan
dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini,kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling
mempergunakan dan saling memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau kesenangan kita! 


Terhadap keluarga, terhadap teman, masyarakat, negara dan
bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi merenungkan apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa
yang dapat kita lakukan demi kebaikan mereka".


Pernahkah" Demi kebaikan mereka, sepenuhnya, bukan hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita
yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh perbuatan atau hasil perbuatan itu"



          **********


Hujan turun dengan lebatnya, dan air yang segar sejuk itu disambut dengan penuh syukur dan terima kasih oleh pohon-pohon dengan daun-daunnya di pegunungan itu. Tanah yang bercampur batu kapar juga menyambut dengan bahagia. 


Seluruh permukaan bumi yang disiram air hujan setelah selama beberapa hari kekeringan,
berpesta pora dengan bahagianya sehingga membubunglah segala hawa kotor ke angkasa, dan bumi kembali segar dan bersih. 


Tanah menguap, bau tanah tersebar di mana-mana. Daun-daun menari-nari tertimpa tetesan hujan, nampak berkilauan hijau segar. Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah permukaan, menyambut air dengan gembira dan sibuk. 

Namun, dua orang wanita
itu bergegas memasuki sebuah guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki guha, Ling Ay cepat membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus
pakaian di lantai dan mempersilakan gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai guha bertilamkan kain kuning itu.

Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis! Muridnya, Ling Ay,memandang saja dengan terbelalak. Selama tiga tahun ia menjadi murid wanita
cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan penjahat. 


Juga gurunya telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia
merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia menyayang, menghormat dan amat
patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau gurunya bertindak keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya. Sudah sering kali ia melihat gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda mereka. 


Gurunya dapat membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah
gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas nampak betapa
kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi!"


Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu cepat-cepat menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis?"


Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala.
Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga seorang wanita cantik, akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadi janda tanpa anak, usianya baru dua puluh empat tahun. 


Akan tetapi subonya pernah
mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah abad. Akan tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun menyangkal bahwa mereka itu seperti enci adik.

Dari senyum, merekahlah tawa kecil. "Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong, saat ini engkau pasti merana,berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu merasakan hukumanmu, hi-hik."

"Subo. mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudahmenderita
karena buta itu. Hati teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia,seorang pria setengah tua yang buta, hidup terasing seorang diri di pegunungan sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin membunuhnya. 

Aih,subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"

"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, tentang hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam hatiku."

"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo.
Ingatlah, subo, teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu juga pernah merasakan bagaimana hancurnya
hati yang menderita karena kasih tak sampai,""Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang bernama ... eh, siapa lagi namanya?"


"Kwa Bun Houw ... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang
pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."


Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar. "Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau dilatih" Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak. 


Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau
mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw itu, apakah engkau tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup di sampingnya?"


"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu
bahwa teecu tidak pantas untuk menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah menjadi isteri orang.


Teecu hanya seorang janda yang pemah menyakiti hatinya, dan dia seorang pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan dia?" Suara Ling Ay mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda, dan Bun Houw entah berada di mana.

Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu dengan Bun Houw,apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya.
Kwan Hwe Li menghela napas panjang. "Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita memang tidak jauh berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu
Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang aku masih mencintanya dan satu-satunya keinginanku adalah sama dengan yang di nginkan Kwan-im sian-li, yaitu ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar sendiri penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. 


Aku tidak ingin mendengar dia
manolak ajakanku, maka akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im Sianli akan mengajaknya mati bersama!" Ling Ay menggeleng-geleng kepala. "Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli. Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan kalau dia menolak akan diajak mati bersama" Apakah dua orang tidak bisa hidup dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling mencinta" 


Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman hidup, dan
teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan dapat hidup berbahagia selamanya."

Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli. "Heh-keh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!"

"Ehhh" Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?"
"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau mendoakan dia hidup berbahagia dengan
wanita lain. Bukankah itu munafik?"

"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan terapi, kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan memaksanya atau menyalahkannya, apalagi membencinya. Dia berada di samping
teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat dia hidup berbahagia."


"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping wanita lain, engkau akan merasa betapa hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan penuh iba diri.


Tidakkah begitu" Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya perasaan hati dengan perbuatan,"
"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup berbabagia dengan wanita lain. melihat dia bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam hati, akan menangis
penuh iba diri. 


Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan" Di samping itu. teecu akan selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak
memenuhi keinginan hati. Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang,keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan keinginan yang bagaimana yang
harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua dengan teecu,keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-keinginan yang harus teecu kekang."

"Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah! Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kaualami. Engkau menurut saja dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai,engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang orang tuamu. 

Kemudian,engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kaucinta. Kalau yang pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian engkau mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau bertemu dengan bekas tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia
lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid yang begini lemah!"
Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut.


Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal sekali. Ia belum dapat membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu
kepadanya, dan sekarang ia malah membuat gurunya kecewa dan marah. Ia segera berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.


"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan" Teecu tetap mentaati semua perintah subo."
Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak,muridnya. Ia menyayang Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi sahabat baiknya, menjadi pelayannya
dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang sekali kepada murid yang juga amat berbakat ini.


"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati, bukan" Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus bertindak sesuai dengan perasaan kita. Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan menghancurkannya kalau
dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw. Engkau dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya kalau sekarang engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi
isterinya. Bukankah itu harapan dan idaman hatimu?"


"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."
"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau belum menjadi muridku. Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus menerimamu kembali dan engkau akan menjadi isterinya, hidup berbahagia, dan akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. 


Kalau dia menolak dan memilih
wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita cinta terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!"

"Tapi, subo ... " Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal dan tidak berani membantah lagi atau menolak, "bagaimana teecu akan dapat mencari dan menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia
berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."


"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king.
Sejak terjadinya keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. 


Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan baru itu menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah
pulih kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga bangsawan yang menjadi kerabatku."


Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya
mengenai sikapnya terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal ini tidak disangkalnya. Ia memang mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. 


Akan tetapi andaikata Bun Houw menolak,bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya" Bun Houw telah berbuat banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya itu. Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan menolaknya sekalipun" 

Akan tetapi ia tidak berani membantah, dan girang
mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king. Setidaknya, urusan baru di Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam saja,tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.



          **********


Guru dan murid itu berhenti di persimpangan jalan. "Suhu," kata Bun Houw,"biarlah teecu mengantar suhu kembali dulu ke Hwa-san, sebelum teecu mulai mencari adik Tiauw Hui Hong sampai dapat. Teecu berjanji akan mengajak puteri suhu itu menghadap suhu."


Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan tahun itu masih nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah,walaupun dia nampak lemah dengan kebutaannya, "Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. 


Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san dan sebaiknya kalau engkau sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kauceritakan semuanya tentang dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan.

Aih, ulah nafsu selalu mendatangkan akibat yang menyedihkan."
Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil keputusan tidak akan mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela napas panjang. 


Dia merasa iba kepada suhunya. Biarpun suhunya tidak
mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia tahu benar betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang pernah dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri.


Akan tetapi suhunya tidak pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki sejati!


"Baiklah, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."


"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Perubahan ini hanya merupakan perebutan kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap masih keluarga sendiri.


Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan

menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di Nan-king karena kita di selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba Tartar. 

Memang tidak perlu engkau
memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam bangsat Tartar,sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. 


Nah,tugas yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di sana. Kuberi waktu dua tahun kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah dua tahun, bertemu Hui Hong
atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan tentang semua hasil usahamu."
"Baik, suhu."


Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun On melanjutkan perjalanan dengan langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya
terasa ringan. "Pouw Cu Lan, yang dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar bahwa wanita yang pernah
menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah meninggal dunia. 


Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari penyiksaan diri berkorban demi puteri mereka. Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong, dalam keadaan selamat dan sehat.

Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut keterangan mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk mencarinya bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak
masih muda. Kwan Im sianli Bwe Si Ni! Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu"


Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli tentu bermaksud untuk membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan telah
48 membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya berada dalam bahaya!

Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati tenang kalau Hui Hong belum ditemukan" Dan biarpun dia yakin akan kemampuan
muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak tahu ke mana harus mencari Hui Hong!


Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja.
Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan arah yang dituju Bun Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia
sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.

Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw melanjutkan perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun
Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk menyewa perahu. Dengan perahu melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan, karena perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk
mendayung, hanya

mengemudikannya saja.

Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat menyewakan perahu kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king yang akan makan waktu berhari-hari.
Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak mampu. Emas permata yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh Suma Koan dan puteranya. 


Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk
bekal dalam perjalanan. Juga pemberian gurunya.
Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana tujuan perahu itu berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. 


Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu yang melakukan
pelayaran ke timur.


Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang ditumpangi Bun Houw berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di situ merupakan pusat perdagangan yang menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang mendirikan toko, rumah makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah dan
kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang dagangan mereka.


Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi pemilik perahu mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari baru dapat berangkat. Karena perahu itu merupakau perahu pertama yang akan berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun mencari kamar di rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.

Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota Kui-cu karena penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang-banya banyak tamu pedagang yang berjual-beli di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu
dengan membuka bermacam tempat hiburan. 


Para pedagang itu mempunyai
banyak uang, apalagi di tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan dan mereka itu. segera nencari
hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. 


Tempat-tempat pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.
Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik oleh bau sedap masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang
sudah berada di situ dan Bun Houw bingung juga memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar itu. 


Tidak ada meja kosong, akan tetapi di sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang
menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.


"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar," katanya.
Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun memandangnya, lalu pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu.


"Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."
Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi
mejanya dengan tamu lain yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu. "Terima kasih atas kebaikanmu,sobat." katanya.

"Ah, tidak, mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!" kata orang itu dengan ramah. Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja
sehingga mau tidak mau mereka saling pandang.


Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu
lebih condong tubuh wanita yang termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya cerdik, senyumnya manis. 


Akan tetapi wajah itu adalah wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan anggun.
Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda
ini agaknya seorang pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-
raya. Walaupun pakaiannya cukup baik, akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam rumah makan dengan menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia tidak melihat sesuatu yeng mencurigakan pada pemuda ini, 

"Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil lalu saja.

"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan
dirinya. Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karena memang dia telah memesan sebelum Bun Houw masuk. 


Dia memesan nasi dengan dua macam sayur dan daging, juga air teh. Tidak memesan arak. hal ini
mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga biasanya orang akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur
yang di sukainya.


"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya tanpa menyentuh masakan di depannya. Pemuda itu mengangguk, kemudian makan, cara dia makanpun sopan dan dengan hati-hati menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa mengeluarkan suara,
bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan perlahan-lahan, sopan sekali. 


Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, dengan mata melotot memandang ke arah makanannya, kemudian
mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi
berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi seperti seekor babi sedang makan.


Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan mengangguk tanpa bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw makan pula dan tentu saja dia makan lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada biasanya!"

Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar.

Mula-mula kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di antara mereka berdiri di depan pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu menolak masuknya tamu-tamu baru dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! 


Adapun tiga orang lainnya,
dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang
memaksa pemilik rumah makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para tamu untuk menyerahkan uang mereka!


Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah,
seorang diantara mereka yang mukanya hitam membentak. "Hayo serahkan uang kalian kepada kami. Kalau ada yang membantah, kepalanya akan kubikin seperti
ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.


"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berentakan. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan mengamangkan golok, mereka menjadi semakin ketakutan. SI pemilik rumah makan terpaksa membiarkan semua uang pendapat di
laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua orang lain mulai menguras isi saku para tamu. 


Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk menolak dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya
dan beberapa buah giginya rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah. Ketika si muka hitam menghampiri meja di mana
Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda itu sedikitpun tidak nampak khawatir. 


Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada
uang bekalnya sendiri. Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali kepada lima orang yang berani melakukan perampokan di siang hari di tempat umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di rumah makan,tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu mengganti kerugian. 


Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu mengamuk, dia khawatir ada tamu yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka,
dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang bekalnya dan meletakkannya di atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang pemuda itu dari
atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan sebelumnya. 


Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang sudah ahli dalam pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ,mereka pergi dan si muka hitam yang menjadi pimpinan meninggalkan ancaman.

"Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!" Goloknya berkelebat dan sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi
pucat dan mereka berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw
cepat menghampiri pemilik rumah makan.


"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali semua uang yang dirampok!" Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan pengejaran. Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan bertubuh kuat. 


Dan mereka itu menyediakan 
pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima belas orang itu sedang duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!"


"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.
Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi. "Penuh uang, cukup untuk kita pesta beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak gembira. Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar 
dan menghampiri mereka.

Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh orang itu memandang heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw sebagai seorang di antara para korban di rumah makan. Si muka hitam sudah
meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang tingginya hanya sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang
tinggi besar. 


"Mau apa kau" Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi" Sudah kukatakan, siapapun tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani mengejar kami ke sini" Mau apa kau?"

"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang, "hanya ingin minta kembali semua uang yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan kepada pemilik masing-masing."


Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw dengan mata terbelalak. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang pemuda seperti itu berani bicara demikian kepada mereka! Sungpuh sukar untuk
dipercaya. 


Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua puluh orang itu tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar terpaksa memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat perutnya sakit dan terguncang keras.

"Hei , booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi. "Kalau sekarang engkau berlaku begini, kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah menyerahkan pula uangmu tanpa melawan sedikitpun?"


"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di sinilah kita membuat perhitungan."


"Ha-ha-ha-ha!" Si muka hitam tertawa bergelak. "Kalau kami tidak mau
mengembalikan uang itu, habis engkau mau apa?"


"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan uutuk merampasnya kembali dari tangan kalian." kata Bun Houw tenang dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu.
Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu bicara seperti itu. 


Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang
mata mereka mulai marah, tak seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya
orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan hanya menanti perintah. Dia ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka hitam itu
pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.


Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata, "Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar kubereskan pemuda nekat ini!"


Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti suara perempuan, akan tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak. "Tunggu! Pemuda ini sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah bersama menghadapinya!"


Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan,tersenyum masam. Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu, apalagi pemuda itu tidak memegang
senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu dapat dikatakan senjata! 


Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan merasa rendah mengeroyoknya" Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang mentaati perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan menghadapi Bun Houw. Cara mereka menghadapi Bun Houw. semua di depannya
dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan bahwa mereka memandang rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. 


Hal ini diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin gerombolan ini adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasan-kekerasan otot mereka, pemimpin mereka itu juga mengandalkan otak.

"BOCAH gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas kembali uang itu?" tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.


"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian."kata Bun Houw dengan sikap tenang.


"Haii i tt, mampuslah kau!" bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan gaya petinju, agaknya dia ingin memukul roboh Bun Houw dengan sekali tonjok.


Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali terkena tonjokan ini pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!


Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat menarik kembali kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.


Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang perampok lain terkejut dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju,bahkan orang yang tadi terkena tendangan, untuk menebus malunya, melupakan
perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut mengeroyok! 


Akan tetapi,semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada sepuluh
jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan tendangan, akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. 


Melihat ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan
suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah menyerang Bun Houw dan memang dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia memiliki tenaga sinksng sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor
burung menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat. 


Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan yang memukulnya dan sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan terjengkang. 

Kasihan dia, karena kurus maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba, "Bunuh dia!
Dia! berbahaya bagi kita!"


Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan
mengeroyok dengan senjata tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat.


Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang membuat semua pengetoyok terkejut. 


Segera disusul suara berkerontangan disana-sini. Ke manapun sinar kilat itu menyambar, tentu terdengar suaraberkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh orang itu,termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang
tangan kanan mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut sedikit sisa potongan senjaia mereka. 


Dua puluh batang senjata tajam telah
terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!


Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Kalian semua mundur !" Dua puluh orang itu terkejut dan nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur.
Bentakan itu amat berwibawa dan menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. 


Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun Houw tercengang yaitu pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan.
Pemuda yang duduk semeja dengan dia!


Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang matanya kagum. "Aih sejak pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan seorang pemuda biasa, sobat! 


Ternyata engkau hebat, pedangmu bergerak seperti kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!"

Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan pula. Dia sudah menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu
sudah dapat memberi nama yang amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)! 


Akan tetapi Bun Houw mengerutkan alisnya. Pemuda yang ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan perampok ini!
Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.


"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan perampok ini" Engkau tadi hanya berpura pura?"
Pemuda itu tersenyum, "Ha, apa bedanya denganmu, sobat" Engkau tadipun berpura-pura, menyerahkan uangmu kepada mereka. 


Kiranya engkau membayangi
mereka dan menghajar mereka di sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba kau tandingi Si Pedang Kilat ini!" 


"Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali. Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.
"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan mentaati perintah kongcu, aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"


Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun ingin tahu sampai di mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati dan disebut tuan muda itu telah mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan memperlihatkan
kepandaiannya. 


"Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw
semakin penasaran, Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan perampok" Ayah kandungnya sendiri, mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang
pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. 


Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.
Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu
mengeluarkan suara tertahan dan pandang matanya terbelalak, "Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.

"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!" kata Bun Houw menyindir.
"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti engkau bicara dengan Kongcu." kata orang itu. "Lihat serangan!" dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat. 


Melihat gerakannya,tahulah Bun Houw bahwa lawannyamenggunakan ilmu Lo-han kun (Silat Kakek
Gagah), satu di antara l mu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini, maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan
ilmu yang sama, maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!


"Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-pai, dia masih kalah jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandingi tingkat lawan ini! 


Kalau dia bertahan dengan jurus-
jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari
Tiauw Sun Ong! 


"Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan dirinya dan terhuyung ke belakang.

"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci ...?" Orang itu berseru kaget dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin memperlihatkan kepandaiannya, maklum bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu mengimbangi it-sin-ci,walaupun agak terhuyung.


"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?" Dan kini Bun Houw memainkan jurus-jurus rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melawan ilmu aneh itu.


Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum sampai sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat
meloncat bangun dengan muka merah dan mata terbelalak.


"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi" Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda,
aku mengaku kalah."

Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan senyumnya cerah, dia nampak girang sekali. "Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat mengalahkan Paman Pouw. Bukan main!

Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari ikut ke tempat kami."
Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa mempunyai anak buah yang melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu. 


Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu, menuntun tiga ekor kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian dengannya. Dua puluh orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.

Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga tiba di pekarangan sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya,
akan tetapi cukup besar dan pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang itu. Mereka memberi hormat kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.


"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."
Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di belakangnya. Mereka memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar nampak bercahaya itu, di sebelah dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! 


Dan begitu memasuki ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas
sampai dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong pemuda itu dengan sikap mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi,
kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap yang alim dan pendiam ketika mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain yang asing bagi mereka. 


Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima
untuk masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang untuk dia dan tamunya. Sambil tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki rumah bagian dalam, dan pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu yang
berada di bagian kiri.


Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah dan enak diduduki, juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-
tulisan dengan huruf indah dan beberapa buah lukisan alam. Jendela-jendelanya terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman sekali.


"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang telah dikatakannya tadi, kami suka sekali berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu merupakan kebahagiaan besar bagi kami. 


Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa
kedudukanmu?"
"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun. "

Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihaian semakin gembira mendengar keterangan singkat Bun Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai
kedudukan dan tidak terikat aliran apapun. 


Akan tetapi orang yang nama
lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya, "Maaf, Kwa-enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?"


Bun Houw menggelengkan kepalanya, "Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-pai, dan ketika masih kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu darmendiang ayahku. 


Akan tetapi aku bukan murid langsung dari Siauw-li m-pai."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.
"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."


Pouw Cin terbelalak girang. "Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa, seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah, ... usianya sebaya denganku, belum tua benar."

"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang menbalas dendam kepada ayah." kata Bun Houw singkat. "Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia menatap wajah Siauw Tek dengan pandang mata tajam.

"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan perampok. Engkau tadi sudah mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-
lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu. Apakah orang seperti dia ini pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala perampok?"

"Akan tetapi di rumah makan tadi ... "
"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek. "Sebaiknya aku menyebutmu toako saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan
anak buah kami melakukan perampokan secara menyolok."

"Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok,Hemm ... Kongcu, harap jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang biasa. 

"Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?"
"Kami adalah pejuang!"
"Ehh" Pejuang" Berjuang untuk apa?"
"Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil mengepal tinju dan tiba-tiba saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.


"Ehh" Aku ... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya perjuangan dengan perampokan" Siapa pula pemberontak dan
pengkhianat itu?"


Siauw Tek menghela napas panjang. "Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh anak buah kami melakukan perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama
untuk menarik perhatian para pendekar dan orang gagah agar dapat berhadapan dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan-perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk
mengenai keamanan terhadap pemerintah pemberontak."


"Pemerintah pemberontak?"
"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah mengkhianati dan menggulingkan kerajaan yang sah" Pemerintah yang sah adalah
kerajaan Liu-sung!"


Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung.
"Akan tetapi ... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu ... eh, aku sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu. Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang. anti kerajaan Chi yang baru dan menentangr pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"


"Tentu saja! Kami ... "
Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu. "Kwa-enghiong,harap jangan salah paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku akan. mengajakmu untuk melihat-lihat keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan mengumpulkan orang-orang
gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan kami, nanti engkau tentu akan mengerti."


"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami, dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami
gerombolan penjahat. 


Nah, sekarang kupersilakan engkau untuk makan siang bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan bersahabat, harap engkau tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kaulihat apakah sudah siap makan siang di dalam."






Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan 
tamu itu,membawa suguhan anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan ketika meminum anggur itu, diam-diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap dan halus sekali. 

Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan 
siang telah siap. Biarpun merasa 
sungkan, Bun Houw tidak menolak. 
Dia merasa semakin tertarik
dan ingin sekali mengenal tuan 

rumah lebih dekat. Banyak rahasia 
menyelubungi tuan rumah dan dia 
tentu selamanya akan merasa 
menyesal dan penasaran kalau
tidak dapat mengetahui dengan benar siapa sebenarnya Siauw Tek ini dan apa maunya. 


Ruangan makan itu lebih mewah 
daripada ruangan tamu. Meja yang 
terukir indah penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap yang sedap. Kursi-kursinya juga berukir dan Siauw Tek duduk di kepala meja. 

Pouw Cin duduk di sebelah kanannya, dan Bun Houw dipersilakan duduk di sebelah kirinya. Lima orang wanita 
muda yang cantik jelita dan yang tadi menyambut kedatangan mereka, juga berada di situ dengan sikap yang 
genit dan ramah, penuh senyum 
manis dan kerling memikat. 

Mereka berlima inilah yang melayani Siauw Tek makan minum, dan atas
isarat Siauw Tek dua orang di antara mereka kini melayani Bun Houw, 
menuangkan arak, mengambilkan 
dan menambahkan lauk pada 
mangkok Bun Houw, Pouw Cin
tidak dilayani mereka, dan hal ini 

membuat Bun Houw merasa sungkan bukan main!

Hidangan itu sungguh merupakan 

hidangan mewah yang lezat, yang 
belum pernah dimakan oleh Bun Houw, tentu amat mahal harganya. Seperti makanan yang dihidangkan 
kepada raja-raja. Tiba-tiba Bun Houw tertegun dan jantungnya berdebar. 

Apa hubungan Siauw Tek ini dengan raja" Dengan kaisar " Seorang
pangerankah dia" Ah, sekarang dia 

dapat menduga. Siauw Tek tentulah 
seorang pangeran atau setidaknya 
seorang bangsawan tinggi dari 
kerajaan Liu-sung yang telah jatuh 
dan dia bercita-cita untuk merampas 
kembali tahta kerajaan dari
pemerintah atau kerajaan Chi yang 

baru. 

Dan Pouw Cin tentu juga seorang 
yang setia kepada kerajaan Liu-sung yang telah jatuh.
Selagi mereka makan minum, tiba-tiba terdengar suara merdu dan 

nyaring seorang wanita dari luar 
pintu ruangan itu. "Aihh sedapnya! 
Ada pesta apa sih" Kenapa koko 
(kakanda) tidak memberi tahu apa-
apa" Kenapa aku ditinggal, tidak 
diajak ikut pesta" Tidak lucu, ah!" Dan muncul ah orangnya di ambang pintu.
Bun Houw yang duduknya tepat 

menghadap pintu itu, memandang 
dan terpesona.

Gadis itu bukan main! Lima orang 
wanita yang melayani mereka makan juga cantik jelita, akan tetapi 
dibandingkan dengan gadis yang kini 
berdiri di ambang pintu, sungguh 
nampak sekali perbedaannya. Kalau lima orang wanita itu hanya cantik dan lembut, namun gadis yang kini berdiri di depan pintu itu masih amat muda, dan memiliki kesegaran yang tidak dimiliki wanita lain. Begitu segar, bebas dan gagah perkasa! 

Pakaiannya ringkas, serba hitam, tidak mewah namun serasi dengan
bentuk tubuhnya yang ramping padat. Wajahnya manis sekali, dengan rambut digelung ke atas, di kat saputangan kuning dan agak awut-awutan. mungkin baru pulang dari perjalanan sehingga pakaian itu agak berdebu dan rambut itu diusik
angin. 


Tangan kirinya masih memegang 
sebatang cambuk kuda dari kulit, dan
sikapnya begitu anggun, begitu gagah berwibawa, bahkan sedikit angkuh. Ia tidak pemalu seperti gadis lain, 
bahkan pandang matanya langsung menatap wajah Bun Houw dan 
pemuda inilah yang akhirnya 
menundukkan pandang matanya, seolah silau oleh sinar mata yang 
mencorong itu, atau setidaknya 
khawatir kalau disangka tidak tahu 
susila.

Sepasang alis Siauw Tek berkerut 

ketika dia melihat gadis itu, akan 
tetapi dia tersenyum. "Aha, kebetulan engkau pulang, siauw-moi! Pesta ini diadakan secara mendadak, jadi tidak keburu memberitahu engkau yang sejak pagi sudah pergi.
Hayo, ikutlah makan dan kenalkan, tamu kehormatan kita ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat hebat sekali. 


Namanya Kwa Bun Houw dan
kujuluki dia Si Pedang Kilat!" Siauw Tek bangkit dan menarik tangan adiknya yang sudah mendekat, lalu memperkenalkannya kepada Bun Houw, "Kwa-toako, ini adalah adikku yang bengal dan manja, namanya 

Kiok Lan."

Bun Houw cepat bangkit dan 

memberi hormat kepada gadis yang lincah itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Akan tetapi, gadis itu agaknya tidak perduli akan segala upacara perkenalan itu, lalu bertanya kepada Pouw Cin, "Paman Pouw, 
benarkah, kepandaiannya hebat" 
Bagaimana kalau dibanding dengan kepandaian paman?" Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dam hampir saja dia tersedak. 

Dia minum araknya, lalu menjawab, "Kepandaian Kwa-enghiong jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat saya. Siocia (nona)."
"Aih, kalau begitu hebat! Aku harus belajar silat darimu, Kwa-enghiong!" seru gadis itu dan tanpa banyak ribut lagi iapun mengambil tempat duduk di sebelah Bun Houw. 


Pemuda ini merasa seperti ada bunga mawar setaman mendekatinya, 
membuat jantungnya berdebar. 
Padahal, ketika dua orang pelayan 
cantik tadi melayaninya, demikian 
dekat bahkan disengaja atau tidak 
beberapa kali ujung lengan baju
mereka menyentuhnya, dia sama 

sekali tidak merasa apa-apa, bahkan 
merasa tidak enak sekali. Ketika 
seorang pelayan menghampirinya 
untuk menuangkan arak, Kiok Lan 
menolak halus dan berkata, ditujukan kepada Siauw Tek. 

"Koko, kurasa Kwa-enghiong dan 
Paman Pouw tidak perlu dilayani, 
dapat menuangkan arak dan 
mengambil lauk sendiri. Kenapa 
harus dilayani" Sebaiknya koko tidak menyusahkan kelima enci ini.
Harap enci sekalian kembali saja ke dalam. Bukankah begitu. Kwa-

enghiong dan kau, Paman Pouw?"
Lima orang wanita cantik itu saling 
pandang dan agak tersipu, akan tetapi Siauw Tek tertawa. "Ha-ha-ha, engkau selalu jujur dan kasar, siauw-moi. 
Baiklah, kalian mengasolah. Nanti 
saja kalau sudah selesai perintahkan para pelayan membersihkan meja."
Lima orang wanita cantik itu lalu 

berlari kecil meninggalkan ruangan 
makan itu.

"Nah, begini lebih leluasa, bukan" Kita dapat bicarakan apa saja, tentu saja kalau Kwa-enghiong ini telah menjadi sahabat yang dapat dipercaya."
Tanpa sungkan lagi Kiok Lan 

mengambil masakan dengan 
sumpitnya, dan mulai makan. 

Sungguh jauh bedanya dalam hal 
sopan santun antara gadis ini dan
kakaknya. Siauw Tek makan dengan sikap yang amat hati-hati dan selalu menjaga kesopananya cara makan 

seorang bangsawan tinggi yang tidak mau tercela sedikitpun. 

Sebaliknya, gadis itu makan seperti seorang gadis kang-ouw, makan dengan enaknya tanpa rikuh. Juga ia menuangkan dan minum arak 
bagaikan minum air saja! "Apakah 
engkau membawa kabar penting 
siauw-moi" Kalau urusan negara,
sebaiknya dibicarakan nanti saja 
denganku. 

Kalau urusan pribadi, boleh saja
dibicarakan sekarang."
"Tidak ada urusan negara. itu kan urusanmu, koko. Dengar baik-baik, 

bukan hanya engkau yang 
menemukan Kwa-enghiong ini 
sebagai seorang pendekar sakti.
Akupun membawa seorang tamu, 
seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi,koko!" "Ehh" Siapa dia" 
Bagaimana engkau bertemu dengan dia dan di mana dia sekarang?" Siauw Tek yang agaknya amat penuh 
perhatian itu bertanya dan jelaslah bahwa pemuda ini memang ingin 
sekali berkenalan dengan orang-
orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Nanti dulu, koko. Biar dia menanti di ruangan tamu. Aku sudah menyuruh 

pelayan menghidangkan minuman. 
Pertemuanku dengan dia 
menegangkan, koko. Aku dihadang 
orang-orang jembel menjemukan itu. 

Akan tetapi ilmu silat para
pimpinannya lihai dan aku hampir 
celaka. Untung tiba-tiba muncul 
pendekar yang hebat ini sehingga aku tertolong."
Siauw Tek tertarik sekali. "Siauw-moi. ceritakanlah yang jelas. Apa yang 

telah terjadi" Jangan sepotong-
sepotong membuat kami jadi 
penasaran sekali." tegur kakaknya.

Gadis itu tertawa, nampaknya puas 
sekali dapat membuat para 
pendengarnya tertarik. Kemudian, 
tanpa menghentikan makan, sambil makan ia bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya pagi hari itu.
Gadis itu memang merupakan adik kandung seayah berlainan ibu dengan Siauw Tek. Sejak kecil, Kiok Lan 
memang memiliki watak yang lincah jenaka dan pemberani, apalagi karena sejak kecil ia suka berlatih silat 
sehingga kini, dalam usia tujuh belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang lihai. 

Banyak sekali gurunya, yaitu para 
jagoan istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Dan, yang terakhir, Pouw Cin yang lihai juga melatihnya 
sehingga ia menjadi semakin lihai.
Pagi hari itu, ia berpamit kepada 
kakaknya untuk pergi berburu ke hutan di Bukit Hijau yang dihuni 
banyak binatang buruan. Siauw Tek yang mengetahui keberandalan 
adiknya, tidak dapat melarang, akan tetapi dia percaya penuh akan
kelihaian adiknya sehingga 

berkeliaran seorang diripun takkan 
ada yang mampu mengganggunya. 

Adiknya itu tidak akan dapat 
dikalahkan oleh sepuluh orang pria
kasar dan kuat sekalipun!
Dengan bersenjatakan busur kecil 

dan banyak anak panah, Kiok Lan 
memasuki hutan di lereng Bukit 
Hijau. 

Akan tetapi di tepi hutan itu, ia 
bertemu dengan tiga orang pengemis yang menghadang perjalanannya. 
Mereka memandang kepadanya
dan ketiganya menyodorkan tangan kanan minta sedekah.


"Nona. tolonglah kami orang-orang 

miskin dan kelaparan!" kata mereka 
senada.
Kiok Lan berhenti melangkah dan berdiri di depan mereka, memandang penuh perhatian. Alisnya berkerut 

dan mulutnya senyum mengejek. 

Hatinya merasa tak senang sekali. 
Tiga orang itu adalah laki-laki 
bertubuh cukup sehat dan kuat, usia mereka antara tiga puluh-sampai 
empat puluh tahun. "lhhh, apakah 
kalian ini tidak malu" Tiga orang laki-laki sehat dan kuat, belum kakek-
kakek lagi, menjadi pengemis yang 
minta-minta" 

Orang-orang macam kalian ini hanya membikin malu bangsa saja dan tidak layak hidup! Pergilah, aku tidak sudi memberi apapun kepada kalian!"
Berubah sikap tiga orang laki-laki itu. Kalau tadi mereka memasang wajah
menyedihkan, dengan suara yang 

mohon belas kasihan, kini mereka 
melotot dengan muka berubah 
kemerahan. 

Mereka memandang ke kanan kiri, 
dan kesunyian tempat itu agaknya 
menambah semangat dan keberanian mereka. Yang termuda di antara 
mereka, matanya sipit hampir 
terpejam dan hidungnya pesek,
melangkah maju dan tersenyum 

mengejek.

"Nona manis, kalau engkau tidak 

mempunyai uang untuk diberikan 
kepada kami, berikan saja apa yang kaumiliki. Kecantikanmu, heh-heh-
heh, cukup untuk kami bertiga. 
Bukankah begitu, heh-heh, kawan-
kawan?"

"Benar sekali!" kata dua orang 

kawannya.
Sepasang mata yang indah itu 

terbelalak, dan muka itu berubah 
kemerahan.
"Memang kalian tidak patut hidup! Jahanam busuk kalian, anjing kotor!"
"Ha-ha-ha, ia cantik dan galak pula!" kata si mata sipit dan diapun sudah menerjang ke depan untuk meringkus dan memeluk gadis yang dianggapnya amat menggairahkannya itu.


Kiok Lan menyambutnya dengan 

sebuah tendangan yang ditujukan ke 
arah perutnya. Orang itu mengenal 
gerakan silat yang dahsyat, dan 
agaknya si mata sipit juga ahli silat. maka dia cepat menangkis dengan kedua tangannya yang disabetkan ke bawah, tidak jadi merangkul.

"Dukkk!!" dan akibat tangkisan ini, si mata sipit terjengkang dan terbanting sampai tiga meter jauhnya!
Dua orang temannya menjadi terkejut dan marah. Tahulah mereka mengapa gadis itu berani bersikap kasar dan menghina mereka. 


Kiranya seorang gadis kang-ouw
yang pandai silat! Mereka segera 

mencabut tongkat besi yang terselip di pinggang, lalu menyerang, sekali ini bukan untuk berbuat mesum, 
melainkan untuk melukai gadis yang dianggap lawan berbahaya itu, Juga yang terjengkang tadi, setelah
mengerang sebentar lalu bangkit, mencabut tongkat besinya dan tiga orang itu kini mengeroyok Kiok Lan! 


Akan tetapi, segera mereka 
mendapatkan kenyataan pahit.
Mereka telah bertemu batu keras! Biarpun hanya bersenjatakan 

busurnya, Kiok Lan mampu 
menghajar tiga orang itu sampai 
babak belur dan akhirnya mereka 
bertiga lari tunggang-langgang 
dengan kepala benjol dan luka-luka kecil yang merobek baju dan kulit.

"Huh, belum bertemu binatang 
buruan, Bertemu tiga orang yang 
lebih jahat dari pada binatang!" kata Kiok Lan sambil tersenyum mengejek. Karena mereka merupakan lawan 
yang lunak saja baginya, Kiok Lan 
sudah melupakan peristiwa itu dan 
memasuki hutan. Dalam waktu 
kurang dari satu jam, ia telah berhasil memanah roboh seekor kijang muda yang gemuk.

"Heh-heh, koko tentu akan senang 

sekali. Dia paling suka makan daging paha kijang dipanggang!" katanya 
seorang diri sambil berlari 
menghampiri kijang yang roboh itu.
Akan tetapi, ia tiba di bawah pohon 

dekat semak belukar itu, ia 
mengerutkan alisnya. 

Kijang itu telah dipanggul seorang 
yang dikenalnya sebagai si mata sipit 
tadi, yang tertawa-tawa membawa 
pergi bangkai kijang itu.
"Hei, berhenti, kau anjing busuk! Kembalikan kijangku!" teriak Kiok Lan dan ia bergerak hendak 

mengejar. 

Akan tetapi tiba-tiba ada angin 
menyambar dari samping. Suara 
senjata berdesing membuat ia 
terkejut dan cepat melompat untuk
mengelak. Kiranya yang 
menyerangnya adalah seorang laki-
laki berusia lima puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat besi 
pula. 

Dan kakek inipun berpakaian 
pengemis. Selain dia, di situ masih 
terdapat empat orang pengemis
setengah tua lain lagi dan mereka semua memandang kepadanya 

dengan sikap marah. "Hei ! Kalian ini lima orang pengemis tua, mengapa 
tiba-tiba saja menyerangku"

Aku hendak mengejar pencuri 

kijangku itu!" bentak Kiok Lan marah.
"Hemm, engkau seorang gadis yang masih, muda sekali, masih remaja 

akan tetapi sudah memiliki watak 
yang keras dan kejam. Engkau telah 
mengandalkan kepandaianmu untuk menghina dan memukuli tiga orang murid kami! 

Kalau engkau tidak mempunyai apa-
apa untuk memberi sedekah kepada 
mereka sudah saja jangan beri apa-
apa. Kenapa engkau tidak mau 
memberi malah menghina mereka,
kemudian memukuli mereka?"


Baru sekarang Kiok Lan tahu bahwa 

ia berhadapan dengan lima orang 
jembel-jembel jagoan yang menjadi 
guru dari para pengemis, kurang ajar tadi dan timbul ah kemarahannya.
"Aha, kiranya kalian adalah guru-guru para pengemis busuk yang kurang ajar tadi.


Bagus, bagus! Kalau murid-muridnya jahat guru-gurunya tentu lebih jahat lagi!
Kalian telah mengajarkan orang-

orang yang masih sehat dan kuat 
untuk mengemis,bahkan untuk 
bersikap kurang ajar. Kalau kalian mengajar orang-orang untuk
mengemis, tentu kalian sendiri juga pengemis-pengemis besar!"


"Hemm, engkau memiliki mata akan tetapi seperti buta. Kami adalah Ngo-liong Sin-kai (Pengemis Sakti Lima Naga), tentu saja pekerjaan kami 

mengemis. Para murid kami tadi juga adalah anggauta-anggauta Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis 
Tongkat Besi). 

Engkau berani mati hendak 
menentang Tiat-tung Kai-
pang?" "Orang masih sehat dan kuat 

mengemis, akhirnya tentu menjadi 
perampok. Kalau tidak diberi 
sedekah, tentu akan mengandalkan 
kekuatannya untuk memaksa.

Kalian ini orang-orang jahat, pergilah sebelum kuhajar seperti tiga orang 

pengemis busuk tadi!"
"Bocah ingusan sombong! Makan 

tongkatku!" bentak pengemis 
setengah tua yang bertubuh kecil 
kurus itu. Biarpun dia nampak kecil 
kurus, akan tetapi ketika tongkat 66
besinya menyambar, terdengar angin pukulan dahsyat sehingga Kiok Lan harus cepat melompat ke belakang 

untuk menghindarkan diri. Ia tahu 
bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi 
Kiok Lan adalah seorang gadis yang 
tak pernah mengenal takut.

Bahkan ia marah sekali dan begitu 

pukulan tongkat lawan itu luput, 
iapun langsung membalas dengan 
serangan pedangnya. Ia telah 
mencabut pedangnya. Dengan
pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri, gadis itu bukan hanya membalas dengan serangan satu kali, melainkan secara bertubi-tubi dan iapun mendesak lawan dengan penuh kemarahan. 


Akan tetapi pada saat itu, empat-
arang pengemis lainnya sudah 
menerjang dengan tongkat mereka 
dan ternyata setelah mereka
maju berlima, gerakan tongkat 

mereka menjadi lain. Mereka 
bergerak bagaikan barisan tongkat 
saling tunjang dan saling melindungi 
sehingga dikeroyok barisan tongkat ini, Kiok Lan menjadi bingung dan 
terdesak. 

Sebetulnya, tingkat kepandaian lima orang itu, kalau maju seorang demi 
seorang, masih belum mampu 
menandingi Kiok Lan. Akan tetapi 
begitu maju bersama, apalagi mereka memiliki ilmu barisan tongkat yang amat lihai, Kiok Lan menjadi 
kewalahan dan nyawanya terancam
bahaya maut. Ia kini hanya, mampu 

memutar pedang dan gendewanya 
untuk melindungi diri, namun kalau hal seperti itu dilanjutkan, akhirnya ia tentu akan terpukul roboh.

Pada saat keadaan Kiok Lan amat 

gawat itu, tiba-tiba terdengar suara 
suling melengking yang semakin lama semakin dekat. Dan tiba-tiba saja, 
terdengar bentakan setelah suara 
suling berhenti.

"Lima orang laki-laki mengeroyok 

seorang, gadis remaja! Sungguh tak 
tahu malu!"
Lima orang pengemis itu melihat 

munculnya seorang pemuda yang 
berusia dua puluh lima tahun, 
bertubuh sedang dan gerak-geriknya 
halus dengan pakaian sasterawan 
yang indah dan mewah, seorang 
pemuda tampan pesolek yang
memegang sebatang suling yang 

panjangnya seperti pedang, dan 
suling itu berkilauan putih seperti 
terbuat dari perak.

"Nona, mundurlah, biar aku yang 
menghajar orang-orang kotor itu!" 
kata si pemuda.
Kiok Lan yang sudah kewalahan dan napasnya terengah-engah, 

menggunakan kesempatan selagi lima orang itu memandang si pemuda, 
melompat ke belakang dan iapun 
berdiri memandang dengan kagum. 

Sikap pemuda itu yang
mengagumkan hatinya, begitu tenang begitu penuh kepercayaan kepada 

diri sendiri dan berani memandang 
rendah lima orang jagoan pengemis 
yang lihai itu.

"Keparat, jangan mencampuri urusan Tiat-tung Kai-pang!" bentak seorang 

pengemis, dan empat orang 
kawannya sudah bergerak 
mengepung pemuda yang
memegang suling itu. Melihat ini, 

diam-diam Kiok Lan merasa khawatir. 

Jangan-jangan pemuda ini akan 
menjadi korban, pikirnya, ia merasa tidak enak. Pemuda ini hendak 
menolongnya, akan tetapi ia 
meragukan apakah pemuda yang 
tampan halus ini akan mampu 
mengalahkan Ngo-liong Sin-kai yang 
demikian lihai. 

Akan tetapi,kalau ia turun tangan 
membantu, ia merasa tidak enak pula 
kepada penolongnya,seolah ia 
memandang rendah. Biarlah, 
pikirnya, ia akan melihat 
perkembangannya dan kalau 
penolongnya itu terdesak dan 
terancam, baru ia akan turun tangan
membantunya. 


Kini lima orang pengepung itu mulai menggerakkan tongkat besi mereka,
mengeroyok dan menyerang secara bertubi, Pemuda itu masih nampak 

tenang saja,dan tiba-tiba nampak 
gulungan sinar perak berkilauan 
ketika dia menggerakkan sulingnya. 

Lenyaplah tubuh pemuda itu 
terbungkus gulungan sinar senjatanya dan terdengar bunyi berdencingan 
ketika lima batang tongkat besi itu 
disambar sinar suling, disusul 
serangan aneh yang membuat lima 
orang pengeroyok itu berturut-turut terjengkang ke belakang! Kiok Lan sampai terbelalak saking heran dan
kagumnya. 


Ternyata pemuda itu seorang 
pendekar sakti yang amat hebat ilmu
kepandaiannya! Ketika lima orang 
tokoh pengemis itu merangkak 
bangun, seorang di antara mereka 
berseru cemas, "Tok-siauw-kwi (Setan 
Suling Beracun)!"

Pemuda itu tersenyum mengejek, 

"Untuk membuktikan bahwa dugaan kalian itu benar, dalam waktu 
setengah hari, kalian akan mati 
keracunan."
Lima orang itu terkejut dan 

memeriksa tubuh masing-masing! 

Ada yang tadi terkena pukulan suling pada lengannya dan di situ nampak noda menghitam sebesar ibu jari 
tangan, kalau disentuh nyeri bukan 
main dan terasa panas di bagian 
dalamnya.

Demikian pula dengan yang lain. Di bagian yang tadi terpukul ujung 

suling, terdapat tanda menghitam itu. Keracunan! Tanpa mengenal malu 
lagi, mereka lalu melempar
tongkat besi dan menjatuhkan diri 

berlutut, berjajar menghadap pemuda itu.

"Kongcu, kami mohon kongcu sudi 

mengampuni nyawa kami ... " mereka meratap ketakutan.
Pemuda itu bukan lain adalah Suma 

Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi. 
Setelah menyanggupi syarat yang 
diajukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek 
ketika dia dan ayahnya datang 
melamar Hui Hong, dia lalu pergi 
untuk mencari gadis yang
membuatnya tergila-gila itu. 


Juga dia akan menyelidiki tentang 
Akar Bunga Gurun Pasir yang 
menjadi satu di antara syarat yang 
diajukan Ouwyang Sek. Ketika dia
kebetulan lewat di tempat itu, dia melihat Kiok Lan yang dikeroyok lima orang tokoh kai-pang itu.


Melihat betapa lima orang itu berlutut dan meratap minta ampun, Suma Hok
tersenyum mengejek, "Yang kajian 

ganggu adalah nona ini, maka 
kepadanyalah kalian harus mohon 
ampun." Suma Hok adalah seorang 
mata keranjang yang selalu haus akan wanita cantik. 

Begitu melihat Kiok Lan dikeroyok 
tadi, yang mendorong dia turun 
tangan menolong dan menentang 
lima orang pengemis adalah karena 
dia melihat betapa cantik manisnya 
gadis yang dikeroyok itu. Andaikata 
gadis itu berwajah buruk, belum 
tentu dia akan suka membantu 
perkelahian yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan dirinya.

Kini lima orang pengemis itu 
memberi hormat dan berlutut 
menghadap Kiok Lan.
"Nona, ampunkanlah kami ... 
ampunkanlah kami ... " mereka 
meratap.
Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah dan galak, juga keras, akan 

tetapi dara ini sama sekali tidak 
memiliki hati yang kejam. 

Memang lima orang ini bersalah 
karena membela murid-murid 
mereka yang kurang ajar terhadap 
dirinya. Akan tetapi kesalahan itu 
tidaklah sedemikian besarnya 
sehingga mereka perlu dihukum mati!
Maka, iapun berkata kepada Suma 
Hok.

"Tai-hiap (pendekar besar), 

ampunilah mereka, tidak perlu 
dibunuh. Mereka tentu sudah 
bertaubat dan tidak akan berani 
sewenang-wenang lagi. Harap kau suka memberi obat penawarnya."
Suma Hok tersenyum, lalu merogoh 

saku bajunya, mengambil lima butir pel dari bungkusan. 

"Angkat muka kalian dan buka mulut kalian!" katanya kepada lima orang 
pimpinan pengemis itu.
Lima orang itu mentaati perintah ini dan lima kali Suma Hok 

menggerakkan tangan dan setiap 
orang menerima sebutir pel yang meluncur masuk ke dalam mulut.
Mereka menelan pil itu dengan hati merasa lega dan girang sekali. Suma 
Hok lalu menggerakkan kakinya, 
menendangi mereka berlima, tepat di tempat yang terluka sambil berkata, 

"Sekarang, pergilah kalian!"
Lima orang itu terguling-guling, akan tetapi mereka merasa girang sekali karena tendangan itu agaknya 

merupakan cara pengobatan pula. 
Mereka menjura dengan
hormat ke arah Suma Hok, kemudian pergi melarikan diri dari tempat itu, di ringi suara tawa Suma Hok.
Dengan girang dan kagum sekali Kiok Lan kini berhadapan dengan Suma Hok.


Sejenak mereka saling pandang dan saling mengamati, kemudian Kiok Lan bertanya,"Siapakah engkau yang 

begini lihai" Benarkah bahwa 
julukanmu adalah Tok-siauw-kwi?"
Suma Hok mengangguk dan 

tersenyum, "Saya yang bodoh 
bernama Suma Hok dan memang 
orang di dunia kang-ouw memberi 
julukan Tok-siauw kwi kepadaku. 
Kalau boleh aku mengetahui, 
siapakah nama nona yang mulia?"
Sikap dan ucapan Suma Hok amat 

manis dan merendah.

Memang pemuda ini terkenal sebagai seorang pemuda yang pandai merayu dan mengambil hati wanita
cantik, sikapnya lemah lembut.
Kiok Lan terbelalak kagum. "Aihh. kalau begitu, tentu engkau putera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, bukan?"


Diam-diam Suma Hok heran. Gadis ini mengenal nama besar ayahnya! Kalau begitu bukan gadis sembarangan 

pula. "Bagaimana engkau dapat 
menduga sedemikian tepat, nona" 
Bolehkah aku mengetahui siapa 
namamu dan mengapa pula nona
berada di sini dikeroyok lima orang jembel busuk tadi?"


"Namaku Kiok Lan, dan kakakku 

pernah menerima ayahmu sebagai 
tamunya!
Pernah kakakku menceritakan hal itu kepadaku dan mengatakan bahwa 

ayahmu adalah seorang di antara 
para datuk persilatan yang amat sakti. Siapa kira, hari ini aku bertemu 
dengan puteranya. 

Suma Taihiap, kalau begitu, marilah ikut denganku agar engkau dapat 
bertemu dengan kakakku. Dia tentu akan senang sekali bertemu
putera Suma lo-cian pwe (orang tua gagah Suma)! Marilah, taihiap!"

"Siapakah kakakmu itu, nona!"
Akan tetapi gadis itu sudah 

memegang tangannya dan 
menariknya pergi dari situ.

"Kuberitahu juga engkau tidak akan tahu. Namanya Siauw Tek. Nah, 

engkau tidak mengenal nama itu, 
bukan" Marilah. Kakakku adalah 
seorang yang suka sekali
berkenalan dengan orang pandai, dan dapat menghargainya. Mari kita 

menghadap kakakku!" Suma Hok tersenyum dan timbul keinginan 
tahunya, siapa dan orang macam apa
adanya kakak dari gadis cantik jelita ini. 


Dia pun lalu mengikuti saja ketika gadis itu mengajaknya keluar dari dalam hutan dan mendaki sebuah 
bukit yang subur dan kehijauan. 
Akhirnya, gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah terpencil yang berada di lereng bukit itu. Rumah besar yang sederhana, akan tetapi ketika gadis itu mengajaknya masuk ke dalam 
ruangan tamu, dia tercengang 
keheranan. perabot ruangan itu 
seperti perabot ruangan rumah 
seorang bangsawan tinggi! Kiok lan
menyuruh dia menunggu di situ.


"Aku akan memberitahu kakakku. 
Akan tetapi mungkin sekarang dia 
sedang makan siang. Kau tunggulah 
di sini, taihiap, dan nikmatilah 
sekedar hidangan yarg, akan 
dikeluarkan pelayan nanti." Iapun memasuki rumah itu dan Suma Hok menjadi semakin heran dan ingin 
tahu sekali. Dia menanti dengan 
sabar sambil minum anggur sedap 
yang disuguhkan seorang pelayan.

Demikianlah. Kiok Lan menceritakan pengalamannya kepada Siauw Tek. Pouw Cin dan Bun Houw juga ikut 
mendengarkan kisah yang 
diceritakan secara menarik sekali 
oleh gadis yang pandai bicara dan 
lincah itu. 

Di dalam hatinya Bun Houw tentu 
saja kaget bukan main mendengar 
nama Suma Hok, akan tetapi dia 
menahan perasaannya dan tidak 
memperlihatkan perasaan hatinya 
pada wajahnya.

"Tok-siauw-kui Suma Hok?" kata 

Pouw Cin setelah mendengar 
penuturan Kiok Lan.
Ketika terjadi perebutan Akar Bunga 

Gurun Pasir dan saya memimpin 
rombongan untuk merampasnya, 
saya melihat pula ayah dan putera 
Suma itu ikut pula berlumba untuk 
mendapatkan mustika itu. Kongcu."
Siauw Tek mengangguk-angguk, 


"Akupun masih ingat kepada datuk besar Suma Koan dan puteranya itu. 
Sekarang puteranya telah berada di 
sini, kalau dia dapat bekerja sama 
dengan kita, alangkah baiknya, 
paman Pouw. Mari kita ke ruangan
tamu menyambutnya, dan sebaiknya engkau ikut pula, Kwa-toako. 

Ketahuilah bahwa keluarga Suma 
merupakan keluarga datuk besar 
yang lihai sekali ilmunya."
"Koko, kalau Kwa-enghiong ini 

demikian hebat kepandaiannya dan 
merupakan ahli silat yang dapat 
menandingi Paman Pouw, tentu akan 
menarik sekali kalau dia bertemu 
dengan pendekar Suma Hok!"

Mendengar ini, Bun Houw tersenyum saja dan diapun merasa tegang 

hatinya karena tidak dapat 
membayangkan bagaimana nanti 
sikap Suma Hok kalau berhadapan 
muka dengan dia! Baru beberapa 
bulan yang lalu dia bertemu dengan
Suma Hok di rumah Bu-eng-kiam 

Ouwyang Sek. 

ketika mereka berdua mempunyai
maksud yang sama, yaitu meminang Hui Hong! Dalam pertemuan itu, dia bahkan sempat bertanding 

dan mematahkan suling Suma Hok.
Suma Hok yang duduk seorang diri 
minum arak di ruangan tamu yang indah itu,segera bangkit berdiri ketika mendengar langkah kaki beberapa 
orang menuju ke ruangan itu. 

Dia tersenyum ketika melihat Kiok 
Lan menggandeng tangan seorang
laki-laki yang usianya kurang lebih 

dua puluh tahun, tampan anggun dan
berwibawa. Kemudian dia melihat 

Pouw Cin dan terkejut karena 
mengenal laki-laki setengah tua itu 
sebagai seorang bekas panglima 
kerajaan Liu-sung yang telah
jatuh, panglima yang terkenal karena dahulu pernah memimpin 

rombongan utusun kerajaan Liu-sung untuk ikut berlumba memperebutkan mustika Akar Bunga Gurun Pasir! 

Kemudian, wajahnya berobah 
kemerahan dan matanya terbelalak 
ketika dia melihat orang yang 
muncul paling akhir. Hatinya saja 
yang berteriak kaget.

"Kwa Bun Houw ...!" akan tetapi 
mulutnya diam saja dan diapun 
kembali memandang kepada pemuda yang digandeng Kiok Lan itu.
"Suma-taihiap, inilah kakakku," kata gadis itu.


Andaikata di situ tidak hadir Pouw 

Cin agaknya Suma Hok tidak akan 
mengenal pemuda kakak Kiok Lan 
itu. Akan tetapi, kehadiran Pouw Cin 
mengingatkan dia akan sesuatu dan 
ketika dia memandang wajah pemuda itu penuh perhatian, tiba-tiba
dia teringat dan diapun segera 

menjatuhkan diri berlutut 
menghadap pemuda itu.

"Sribaginda, mohon ampun karena 

hamba tidak tahu bahwa hamba akan
menghadap paduka di sini ... "
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Suma Hok, Bun Houw 

sendiripun terkejut bukan main. Dia 
belum pernah bertemu dengan Kaisar Cang Bu yang nama kecilnya
Liu Tek dari kerajaan Liu-sung yang 
telah jatuh, maka dia sama sekali 
tidak mengenalnya. 

Tentu saja dia terkejut ketika melihat 
sikap Suma Hok, dan baru
sekarang dia mengerti akan sikap 
pemuda yang mengaku bernama 
Siauw Tek itu.
Melihat sikap Suma Hok, wajah 

pemuda itu berseri akan tetapi hanya 
sebentar saja.

Dia menghela napas, melangkah maju dan memegang kedua pundak Suma Hok,menariknya agar bangun berdiri.
"Cukup, Suma-toako, jangan bersikap begitu. Saat ini, aku bukanlah kaisar 

dan tidak perlu engkau bersikap 
begitu. Aku adalah seorang pemuda 
bernama Siauw Tek, dan
engkau boleh menyebutku Kongcu 

saja. 

Nah, duduklah, dan engkau juga, 
Kwa-toako!" Mereka semua duduk 
mengelilingi meja besar dan sesaat 
pandang mata Bun Houw bertemu 
dengan pandang mata Suma Hok. 
Kalau pandang mata Suma Hok 
nampak gelisah, Bun Houw bersikap 
tenang saja. Tentu saja hati Suma Hok merasa gelisah.

Pertama karena dia tahu benar 

betapa Bun Houw kini telah menjadi 
seorang yang amat lihai, bahkan 
sedemikian lihainya sehingga pemuda itu mampu mengalahkan
Ouwyang Sek, juga mampu 
menandiugi ayahnya! Dan yang lebih menggelisahkan adalah bahwa 
pemuda saingannya itu adalah murid Tiauw Sun Ong, seorang bekas
pangeran yang tentu saja masih ada 

hubungan keluarga dengan bekas 
Kaisar Cang Bu yang kini menjadi 
pemuda bernama Siauw Tek itu. 

Tentu saja Suma Hok sama
sekali tidak menduga bahwa 

saingannya itu bahkan sama sekali 
belum tahu bahwa Siauw Tek adalah bekas Kaisar Cang Bu! Dan baru 
sekarang Bun Houw mengetahuinya. 

"Kwa-toako, engkau tidak kelihatan 
heran mendengar bahwa aku adalah 
bekas Kaisar kerajaan Liu-sung. 
Apakah engkau sudah dapat menduga sebelumnya?"
bekas kaisar itu bertanya kepada Bun Houw.


Bun Houw menggeleng kepala. "Tidak sama sekali, Kongcu. Baru sekarang 

aku mengetahui. Baru sekarang aku tahu bahwa Kongcu adalah seorang bekas kaisar,dan tentu nona ini 
seorang puteri dan Paman Pouw 
seorang bekas panglima."

Kini Suma Hok juga kelihatan heran, juga dia merasa lega. Setidaknya, kini dia menjadi jelas bahwa tidak 

terdapat hubungan yang erat antara 
Bun Houw dan bekas kaisar itu yang 
dapat membahayakan dia. Kembali 
dua orang pemuda yang bersaingan 
itu saling pandang tanpa 
mengeluarkan sepatah katapun.

"Apakah kalian berdua sudah saling mengenai?" tiba-tiba Kiok Lan 

bertanya dengan suara riang.
Bun Houw mengangguk. "Saya sudah mendapat kehormatan beberapa kali bertemu dengan saudara Suma Hok," dalam suaranya, tidak terkandung 

sesuatu.

Suma Hok adalah seorang pemuda 
yang cerdik. Kalau tadi dia banyak berdiam diri adalah karena dia 
khawatir kalau-kalau Bun Houw 
mempunyai hubungan dekat
dengan tuan rumah. Sekarang, setelah dia mengerti bahwa Bun Houw 

agaknya juga hanya seorang tamu 
baru, bahkan agaknya baru mengenal Kiok Lan sekarang,hatinya merasa 
lega dan dia cepat dapat membawa 
diri. Dia bangkit berdiri dan
memberi hormat kepada Bun Houw.


"Ah, sungguh merupakan kejutan 
yang menggembirakan bahwa di sini aku dapat bertemu denganmu, 
saudara Kwa Bun Houw! Saking 
kagetku, sampai beberapa lamanya 
aku kehilangan suara! Memang benar apa yang telah dikatakan saudara
Kwa Bun Houw tadi, kami memang pernah beberapa kali bertemu, akan tetapi kami mempunyai jalan masing-masing. 


Eh, hampir aku lupa, Saudara Kwa 
Bun Houw,sudah terlalu lama aku menyimpan benda yang pernah 
kautitipkan kepadaku harap
kau suka menerimanya kembali 

sekarang!" Dia mengambil sesuatu 
dari balik jubahnya dan ketika dia 
menyerahkan benda itu kepada Bun 
Houw, diam-diam Bun Houw 
tersenyum geli dan juga kagum akan kecerdikan orang ini. 

Yang dikeluarkan dan diserahkan 
kepadanya adalah pundi-pundi uang, bekalnya dalam kantung pemberian 
gurunya tempo hari yang pernah 
dirampas oleh Suma Hok! Ternyata
pundi-pundi itu masih utuh!

Karena diapun tidak ingin melibatkan urusan pribadinya dengan keluarga bekas kaisar ini, maka diapun 

menerima pundi-pundi itu dan 
berkata, "Terima kasih, saudara Suma Hok." dan menyimpan pundi-pundi 
itu ke balik bajunya.

Biarpun kedua orang pemuda itu 

bersikap ramah dan saling merendah,
namun sesuatu yang dirasakan tidak wajar tertangkap oleh Kiok Lan yang 
memang amat cerdik dan 
berpemandangan tajam. Ia 
memandang berganti-ganti kepada 
dua orang pemuda itu seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati mereka dengan mulut tersenyum 
penuh arti sehingga Suma Hok dan 
Bun Houw yang bertemu pandang 
dengannya, terpaksa menundukkan 
mata. 

Tiba-tiba gadis itu berkata dengan 
suara nyaring, mengejutkan hati 
kedua orang pemuda itu.
"Koko, bagaimana kalau kedua orang jago kita ini kita adukan" Aku berani bertaruh bahwa jagoku, Suma-taihiap, akan menang melawan jagomu, yaitu Kwa-enghiong itu." 

"Ah. jangan bicara yang bukan-bukan, siauw moi!" Siauw Tek berseru, kaget juga dengan gagasan adiknya ini, walaupun hal itu sebenarnya menarik baginya. Akan tetapi, dia tidak, ingin 
kehilangan kedua orang ini ingin 
menarik mereka untuk bekerja 
dengan dia, memperkuat posisinya. 

Sebaiknya, bersama Paman Pouw,
engkau mengantarkan dua orang 
tamu kita untuk melihat-lihat 
kekuatan kita.
Malam nanti baru aku ingin bicara dan berbincang-bincang dengan 

mereka."
Bun Houw merasa tidak enak. "Maaf Kongcu. Aku tidak dapat tinggal lebih lama."


"Kwa-twako! Kami mengharap 

dengan hormat dan sangat agar 
engkau suka tinggal beberapa hari di sini, setidaknya malam ini engkau 
bermalam di rumah kami!" kata 
Siauw Tek dengan suara mengharap.
"Aih, kenapa Kwa-enghiong mau tergesa-gesa pergi saja setelah aku pulang"

Apakah engkau tidak suka dengan 

kehadiranku" Kalai begitu, aku akan menjauhkan diri darirnu ...
"Ah, sama sekali tidak, nona." Bun 

Houy cepat-cepat berseru, tidak tahu bahwa dia kena diakali oleh gadis itu yang sengaja mengeluarkan ucapan 
itu untuk membuat dia menjadi serba salah dan tidak dapat menolak lagi.
"Kalau begitu, tidak ada halangannya bagimu untuk bermalam di sini, 
toako." Siauw Tek mendesak pula. 

"Kami ingin memperlihatkan keadaan kami padamu."
"Tapi, aku sudah memesan sebuah 
kamar di penginapan, di sudut kota, pakaianku juga masih kutinggalkan di sana dan ... "

"Ah. jangan khawatir Kwa-enghiong. Kami akan menyuruh orang 

mengambilnya dan semua akan 
beres!" kata Pouw Cin. "Marilah, 
Siocia, kita mengajak kedua orang 
tamu dan sahabat kita untuk melihat-lihat keadaan dan kedudukan kita."
Terpaksa Bun Houw tak dapat 

menolak lagi. Bagaimanapun juga. dia memang ingin mengetahui apa yarg sedang dilakukan oleb bekas kaisar 
itu, dan apa pula niatnya maka 
berkeras menahannya. Dan gadis 
bekas puteri itu demikian cantik dan lincah, mengingatkan dia kepada Hui Hong! 

Banyak persamaan antara kedua 
orang radis itu, keduanya berdarah 
bangsawan pula dan mengingat 
bahwa Hui Hong adalah puteri 
kandung gurunya, seorang bekas 
pangeran kerajaan Liu-sung pula, 
maka tidak akan mengherankan 
kalau di antara kedua orang gadis itu 
masih ada hubungan darah atau 
keluarga. Selain itu, keadaan bekas 
kaisar ini amat menarik dan tentu 
akan merupakan, berita yang amat 
penting bagi gurunya.

Mereka berempat menunggang kuda mendaki bukit-bukit di sepanjang 

Sungai Yang-ce dan dari puncak bukit, Pouw Cin menunjuk ke arah 
bangunan seperti benteng. Ada empat tempat seperti itu dan Pouw Cin 
menerangkan bahwa di setiap
benteng terdapat pasukan yang tidak 

kurang dari seribu orang jumlahnya! Pimpinan pasukan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat dan ilmu perang.

Kongcu masih terus menarik dan 

mengumpulkan orang-orang gagah 
untuk memperkuat pasukan kami 
itu." demikian Pouw Cin memberi 
keterangan. Dua orang pemuda itu 
diam-diam terkejut. Tak mereka 
sangka bahwa bekas kaisar yang
muda itu dapat menyusun kekuatan seperti itu.


"Akan tetapi, untuk apa menyusun 

pasukan di perbentengan itu?" Bun 
Houw bertanya, walaupun di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa bekas kaisar itu tentu mengusahakan pemberontakan untuk merampas 
kembali tahta kerajaan yang sudah 
lepas dari tangannya. Dia hendak 
membangun kembali kerajaan Liu-
sung yang telah jatuh, untuk  menundukkan kerajaan baru Chi  yang berkuasa.

"Nanti Kongcu akan memberi 

penjelasan serdiri kepada ji wi (kalian berdua) kalau kita sudah kembali ke sana," Pouw Cin menjawab dengan  singkat. Jelas bahwa dia tidak berani 
dan merasa tidak berwenang untuk bicara tentang cita-cita bekas
kaisar kerajaan Liu-sung itu.

Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal Siauw Tek, Suma Hok telah mengambil keputusan. Inilah jalan 
yang amat luas baginya, kesempatan 
untuk mencapai apa yang dia 
inginkan. Kalau dia dapat menjadi 
pembantu yang dipercaya oleh bekas
kaisar itu, banyak sekali 
keuntungan
yang akan diperolehnya. Sebelum 
bekas kaisar itu berhasil dengan cita-citanya, dia tentu telah mendapatkan kekuasaan atas pasukan, kalau dia 
menjadi pembantu utama. 

Apalagi kalau sampai bekas kaisar itu berhasil dalam perjuangannya 
merampas kembali singgasana. Tentu dia akan menjadi seorang pejabat 
tinggi, mungkin menteri, atau 
setidaknya panglima besar.
Dia akan memegang, kekuasaan 
begitu diterima menjadi pembantu 
bekas kaisar itu.

Keuntungan ke dua, dia dapat 

berdekatan dengan Pouw Kiok Lan, gadis bekas puteri istana yang cantik jelita itu. Kalau dia dapat 
memperisterinya, berarti dia menjadi adik ipar bekas kaisar, ataukah calon kaisar baru" Puteri ini akan dikawini 
demi memperoleh pangkat dan 
kekuasaan, sedangkan cintanya 
terhadap Hui Hong tidak akan 
berubah, bahkan pernikahannya 
dengan Hui Hong semakin banyak
harapan terlaksana. 


Dengan adanya pasukan, tentu tidak 
sukar untuk mendapatkan
Akar Bunga Gurun Pasir, dan dia-pun 
nanti dapat minta keterangan Pouw 
Cin dimana akar itu sekarang. Diapun dapat menyebar anak buah pasukan itu untuk mencari Hui Hong sampai dapat!

Sungguh berbeda sekali isi hati Suma Hok dengan isi hati Bun Houw. Dia tahu bahwa jatuhnya kerajaan Liu-sung yang kemudian diganti kerajaan Chi merupakan perang saudara. Kini, bekas kaisar Liu-sung yang kalah itu menyusun kekuatan. Perang saudara akan berlarut-larut, menimbulkan 

banyak korban di antara anak buah
pasukan dan rakyat. Dia tidak mau terlibat perang saudara, tidak ingin menjadi satu di antara boneka-

boneka yang disuruh saling bunuh 
demi kepentingan anggauta
keluarga yang saling berebutan 

kekuasaan itu. 

Apalagi, gurunya berkata bahwa
penggantian kaisar yang terjadi itu bahkan baik, karena menurut 

gurunya. Kaisar Cang Bu yang telah 
jatuh itu bukanlah kaisar yang cakap dan bijaksana, terlalu muda dan 
mudah terpengaruh oleh menteri-
menteri yang palsu dan korup. Juga gurunya berkata bahwa penggantian kaisar itu bahkan lebih baik. Kalau kini dia melibatkan diri dalam usaha perjuangan atau pemberontakan 
bekas kaisar itu, berarti dia ikut saling bunuh dengan saudara sebangsa, 
demi kepentingan kaisar yang udah jatuh itu. 

Selain itu, menurut pendapatnya, 
usaha yang lebih merupakan 
pembatasan atau perebutan 
kekuasaan yang diadakan bekas 
kaisar ini, tidak akan berhasil. Apa artinya beberapa ribu orang pasukan dibandingkan dengan balatentara 
kerajaan Chi yang tentu amat besar 
jumlahnya" Selain itu, perjuangan 
menentang kekuasaan yang ada baru akan berhasil kalau dibantu oleh 
rakyat, dan rakyat baru akan mau 
membantu kalau kekuasaan itu 
dirasakan menindas dan jahat bagi 
rakyat. 

Tanpa bantuan rakyat, usaha 
perjuangan tak mungkin berhasil. 
Dan Bun Houw tidak melihat adanya 
dukungan rakyat jelata terhadap 
gerakan Siauw Tek ini, bahkan
rakyat tidak mengetahuinya karena 

gerakan itu dilakukan secara rahasia.
Perjalanan meninjau perbentengan 

itu cukup jauh sehingga ketika 
mereka kembali ke rumah besar itu, matahari telah tenggelam ke barat dan cuaca sudah remang-remang, malam menjelang tiba. 

Rumah itu telah diterangi banyak 
lampu, seolah dalam keadaan pesta menyambut dua orang tamu agung itu. Suma Hok dan Bun Houw 
dipersilakan ke kamar masing-
masing, dua buah kamar yang 
terpisah dan Bun Houw mendapatkan bahwa buntalan pakaian yang 
tadinya dia tinggalkan di rumah
penginapan itu telah berada di dalam kamar itu. Seorang pelayan pria 
melayani keperluan Bun Houw, 
mempersiapkan air untuk mandi dan 
setelah mandi dan berganti pakaian, Bun Houw menerima undangan tuan rumah untuk makan malam
di ruangan makan. 


Bun Houw memasuki ruangan itu dan ternyata Suma Hok telah berada di 
situ. Seperti siang tadi, Pouw Cin 
menemani mereka yang dijamu oleh
Siauw Tek dan Kiok Lan. Wanita-
wanita muda yang cantik kini 
diperkenankan melayani mereka 
makan minum dan suasana makan 
malam itu cukup gembira.

Apalagi karena Suma Hok sudah 
kelihatan akrab dengan Siauw Tek 
dan terutama sekali dengan Kiok Lan. Pemuda, putera majikan Bukit 
Bayangan Iblis ini memang
pandai merayu, halus tutur sapanya, dan selain ilmu silat tinggi, juga dia 

mengenal baik kesusasteraan dan 
pandai bermain suling dengan lagu-lagu merdu. Maka dengan mudah dia 
dapat menarik perhatian kakak 
beradik bangsawan itu dan
menjadi akrab dengan mereka.

Dengan caranya yang halus dan 
cerdik, tadi Suma Hok dapat 
mendahului Bun Houw
menemui Siauw Tek dan Kiok Lan, 

dan dengan pandai sekali dia 
memancing mereka untuk 
mendengar pendapat mereka tentang aib yang terjadi di istana ketika
Pangeran Tiauw Sun Ong berjina 

dengan seorang selir kaisar. Dia 
mengatakan bahwa dia pernah 
mendengar peristiwa itu di luaran, 
dan apakah bekas kaisar itu tahu 
akan hal itu"

Mendengar ini, kakak beradik itu 
saling pandang, kemudian Siauw Tek mengerutkan alis dan berseru, "Ahh, jadi peristiwa itu sudah pula tersiar di luar istana" Memang aib yang amat memalukan. Terjadi ketika aku masih kecil, berusia tiga tahun kurang lebih. Aku mendengar peristiwa aib itu dari cerita para orang tua di istana."
"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu" 


Tadinya saya kira hanya berita 
bohong belaka, karena di dunia kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai.
Akan tetapi dia buta, bagaimana 

mungkin seorang selir kaisar ... maaf, 
dapat tertarik kepada seorang 
pangeran buta?" 

Sebetulnya Suma Hok sudah tahu 
akan persoalannya, akan tetapi dia 
pura-pura tidak tahu untuk 
memancing dan melihat bagaimana 
sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.

"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir ... eh, selir 
mendiang ayahku itu tergila-gila 
kepadanya. Setelah perbuatan 
mereka ketahuan, Paman Tiauw Sun 
Ong membutakan mata sendiri dan
meninggalkan istana. Adapun selir 
ayah itu dihukum buang, Ah, tidak 
perlu kita bicara tentang aib yang 
menjengkelkan itu!"

"Akan tetapi, kenapa yang melakukan 

aib menodai nama yang mulia dari 
Kaisar, tidak dihukum mati?" Suma 
Hok memancing.
Siauw Tek mengepal tinju. 

"Sepatutnya memang dia dihukum 
mati! Akan tetapi dia adalah adik 
mendiang ayah, dan dia sudah 
membutakan kedua matanya, ayah
mengampuninya."


"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan. "Dosa itu 

teramat besar, menodai nama dan 
kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka sampai 
sekarang dia masih hidup dan tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng 
dan diketahui banyak orang. Coba 
andaikata ketika itu dia dan 
perempuan itu dihukum mati, 
mungkin berita itu tidak sampai 
tersebar."

"Engkau benar, adikku. Memang 

mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang menyeleweng 
itupun tidak sampai mati. di dalam 
perjalanan, para pengawalnya 
dibunuh orang dan ia lenyap entah ke mana."

Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka 

kepada Tiauw Sun Ong dan hal ini 
menyenangkan hatinya. Setidaknya 
dia memiliki senjata ampuh untuk 
menarik kedua orang ini berpihak 
kepadanya kalau dia bentrok
dengan Bun Houw. 


Pada saat itulah, Bun Houw 
memasuki ruangan makan dan tentu
saja percakapan itu terhenti.
Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka 

bercakap-cakap di ruangan dalam, 
tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini 
saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua orang tamunya.

Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw 

Tek bertanya kepada kedua orang 
tamunya. "Bagaimana, apakah kalian 
berdua sudah menyaksikan keadaan 
kami dan apa pendapat kalian?"
Suma Hok cepat menjawab. 


"Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-
pasukan dengan empat benteng itu 
amat kuat, dan kalau mendapat 
pimpinan seorang ahli, tentu
dapat menjadi kekuatan yang 

dahsyat!"
Siauw Tek senang dengan pendapat 

ini dan dia tersenyum bangga, akan 
tetapi melihat Bun Houw diam saja, 
dia bertanya. 

Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako"
Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami himpun?"
Bun Houw menjawab dengan tenang, "Saya kira, tergantung dari 

penggunaannya, Kongcu."
"Apa maksudmu, toako?"
"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur di 

medan perang."

Siauw Tek mengangguk dan 

tersenyum. "Jawabanmu memang 
tepat akan tetapi terlalu berhati-hati, 
Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian 
berdua dengarkan dulu tentang 
keadaan diriku semenjak kerajaan 
Liu-sung dikhianati para 
pemberontak yang kini membangun kerajaan Chi itu."

Bekas kaisar itu lalu bercerita. 

Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawan-
kawannya, yaitu juga anggauta 
keluarga kaisar dari pihak wanita,
menimbulkan perang saudara selama tiga tahun, dimulai dari tahun 476 

dan berakhir tiga tahun kemudian, 
yaitu pada tahun 479 dengan 
jatuhnya kerajaan Liusung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang
mendirikan dinasti atau kerajaan Chi. 


Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui 
Kong dan sekutunya masih memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri.
Akan tetapi mereka yang melakukan perlawanan, semua tertumpas dan binasa.
Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. 


Dalam pelarian ini terbawa pula 
beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas 
tahun ikut pula lari mengungsi 
bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan
ibu, karena Kiok Lan beribu dari 
seorang selir. 

Sesungguhnya, kalau pihak lawan, 
yaitu pihak keluarga Siauw yang 
memberontak, menghendaki pelarian bekas kaisar itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya 
rombongan pengungsi ini.

Akan tetapi karena memang masih 
ada hubungan keluarga, agaknya 
pihak yang menang memang sengaja 
bersikap longgar, membiarkan pihak 
yang kalah untuk mengungsi. 

"Demikianlah, ji-wi tahu bahwa 
setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku menyamar sebagai orang biasa, 
menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak dikenal orang, juga 
aku sengaja menggunakan nama 
keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, setema lima tahun ini, sejak 
keluar dari istana, aku tidak pernah 
melupakan kekalahan ini. 

Aku, dibantu oleh Paman Pouw, 
mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk
merampas kembali singgasana dan 
mendirikan kembali kerajaan Liu-
sung yang telah dikhianati oleh 
keluarga Siauw yang kini mendirikan dinasti Chi. Kamimengundang 
sebanyaknya orang-orang pandai 
seluruh negeri untuk membantu
kami. 

Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar suka membantu kami. 
Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat 
mendirikan lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima
anugerah kedudukan yang tinggi 

dalam kerajaan kami. Kami tidak 
minta jawaban sekarang. 

Sebaiknya, ji-wi (kalian) 
mempertimbangkan permintaan 
kami itu semalam ini sambil 
beristirahat dalam kamar ji-wi 
masing-masing. Besok pagi kami 
mengharapkan jawabandan
keputusan yang pasti."

Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu menolak tawaran bekas kaisar 

itu untuk membantu gerakannya 
hendak memberontak. Akan tetapi 
karena Siauw Tek memberi waktu 
semalam untuk mengambil 
keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa
dipertimbangkan dulu.


Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, 

termenung. Dia dapat menduga 
bahwa orang yang berjiwa petualang 
seperti Suma Hok, yang hendak 
mencari keuntungan bagi diri sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran 
bekas kaisar itu. 

Apalagi dia melihat sinar mata 
pemuda pesolek itu ketika
memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan 

menerima penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia 
akan menolak dengan halus. Dia 
masih mempunyai tugas, yaitu 
mencari Hui Hong. 

Dan pengalamannya dengan bekas kaisar ini sudah merupakan suatu 
berita yang amat menarik bagi
gurunya, selain itu, diapun akan 
melaksanakan pesan gurunya 
menyelidiki keadaan pemerintahan 
Kerajaan Chi yang baru itu.

Daun pintu terketuk. Bun Houw 
merasa heran. Malam telah larut, 
mungkin sudah hampir tengah 
malam. Siapa yang mengetuk pintu 
kamarnya" Ketukan itu lirih dan
pendengarannya yang tajam 

menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. 

Seorang wanita di depan pintu 
kamarnya! Siapa" Mau apa" Dia 
memang mengunci daun
pintu dari dalam. Dia berada di 

bawah satu atap dengan seorang 
seperti Suma Hok, maka dia harus 
berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh
pemuda yang kejam dan licik 

bagaikan iblis itu.

"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya 

sambil menghampiri pintu.
"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka 

membuka pintu, saya mempunyai 
kepentingan untuk dibicarakan 
denganmu." terdengar suara wanita 
yang merdu. 

Bukan suara Kiok Lan, 
pikir Bun Houw yang menjadi 
semakin heran. Dia membuka kunci daun pintu dan masuklah seorang 
wanita muda yang cantik manis. 
Begitu ia masuk,tercium bau yang 
harum dari pakaiannya. Bun Houw 
mengenal wanita ini sebagai
seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah makan, lalu muncul Kiok Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak 

melayani mereka lagi. 

Wanita ini usianya tidak akan lebih 
dari dua puluh tahun, cantik manis 
dan di balik kerling mata dan 
senyumnya tersembunyi
kegenitan dan gairah.
"Eh, kenapa nona masuk ke sini" Ada urusan penting apa yang akan 

dibicarakan?"tanya Bun Houw, 
alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita
muda memasuki kamarnya. Kalau 

kelihatan tuan rumah, tentu akan 
menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya untuk mengusir begitu saja. 

Gadis itu menundukkan mukanya, 
akan tetapi matanya mengerling ke 
samping atas,ke arah wajah Bun 
Houw dan senyumnya dikulum. 
Memang gaya ini membuat ia
nampak manis dan menarik sekali, sikap jinak-jinak merpati! 

"Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, 
berusia sembilan belas tahun ... "
"Ya, ya ... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini" Ada kepentingan 
apa ... ?"

Bun Houw memotong tak sabar.
Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal 

rambut jatuh berderai di leher yang 
panjang dan berkulit putih mulus itu. "Kongcu, malam begini dingin dan 
sunyi dan kongcu berada seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya ... saya dapat menemani kongcu, 
menghibur kongcu dan melakukan 
apa saja untuk melayani kongcu." 
katanya dengan suara setengah 
berbisik, dan kata-katanya berlagu 
seperti orang bersenandung.

Wajah Bun Houw berubah 
kemerahan. Tentu saja dia mengerti 
apa yang dimaksudkan wanita ini. 
Wanita muda cantik genit ini 
merayunya. Akan tetapi dia menahan 
kemarahannya dan tidak
menghardiknya karena tiba-tiba 
timbul kecurigaan dalam hatinya. 

Dia baru pertama kali bertemu 
wanita ini, di antara
empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak 

mungkin kalau dalam pertemuan 
singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! 

Dan kiranya, tidak akan mungkin 
wanita ini berani begitu merayunya. 
Bukankah dia seorang tamu 
dihormati" Dan gadis ini juga bukan pelayan" Ada pelayan lain dan
agaknya orang itu mempunyai 

kedudukan yang cukup terhormat di rumah itu.

Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka 

berlima itu dengan sebutan enci" Dia menduga bahwa gadis ini, seperti 
empat yang lain tentulah semacam 
dayang atau lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. 

Dan kini, kalau ia berani memasuki 
kamarnya, menawarkan diri untuk 
melayani dan menghiburnya, jelas 
bahwa hal ini tentu merupakan tugas baginya. Tentu ada yang 
memerintahnya"

TIBA-TIBA sinar matanya mencorong ketika dia berkata, "Nona, coba angkat
mukamu dan kau pandang aku!!"
Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri 

memandang.
Dua pasang mata bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang 

mencorong penuh kekuatan itu. Ia ingin menundukkan kembali 
mukanya, akan tetapi tidak
mampu, serasa ada kekuatan dari 

sepasang mata yang mencorong itu yang mengikat dan menahan 
pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.

"Nona, engkau tentulah seorang selir 

dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?"tanya Bun Houw.
"Benar, kongcu," jawab Leng Leng 

dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi khawatir.
"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini
berusaha menggodaku" Apakah 

engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain?"

Wajah yang cantik itu tiba-tiba 

berubah merah dan mata itu 
mengeluarkan sinar merah. "Kwa-
kongcu, jangan menuduh 
sembarangan! Aku adalah seorang 
isteri yang setia dan taat kepada 
suami. Andaikata suamiku menyuruh aku menyerahkan nyawa sekalipun 
akan kutaati, apalagi hanya 
menyerahkan badan. Aku hanya
meliksanakan tugas, mentaati 

perintah."

Diam-diam Bun Houw merasa iba 

kepada gadis ini. Tahulah dia bahwa ini merupakan satu di antara cara dan akal bekas kaisar itu untuk 
membujuk dan menarik seseorang 
menjadi pembantunya. Agaknya 
bekas kaisar itu tahu bahwa dia
tidak akan tergiur kedudukan atau 

harta, maka dipergunakanlah seorang di antara selirnya untuk membujuk rayu. Dan dia percaya bahwa tentu 
banyak pria perkasa
yang jatuh oleh kecantikan selir-selir itu.


"Kalau begitu, kembalilah engkau 

kepada suamimu dan katakan 
kepadanya bahwa engkau adalah 
seorang isteri yang baik dan mencinta suami, bahwa dia tidak
sepatutnya menyuruh engkau 

membujuk rayu seorang tamu. 
Katakan bahwa aku berterima kasih, akan tetapi aku tidak suka 
menghancurkan martabat dan 
perasaan hati seorang wanita yang terpaksa demi cinta dan kesetiaannya kepada suami, mau melakukan apa saja yang diperintahkan suami, 
bahkan menyerahkan diri dan
kehormatannya kepada laki-laki lain. 


Pergilah, nona."Selir yang cantik itu menatapnya dengan sepasang 
matanya yang indah, kemudian
kedua mata yang tadinya bengong 

memandang heran, perlahan-lahan 
menjadi basah air mata.
"Baik. dan maafkan saya, kongcu." 

katanya dengan suara gemetar 
mengandung isak, lalu wanita itupun keluar dari kamar dengan langkah-
langkah gontai.

Seorang wanita yang memiliki daya tarik kuat sekali pada wajah dan 

bentuk tubuhnya, Bun Houw 
menggumam sambil menutupkan 
daun pintu dan menguncinya 
kembali. Dia duduk bersila kembali ke atas pembaringan dan tersenyum. 

Yang jelas, kalau tidak ada dua hal 
yang menolongnya, yang
mendatangkan kekuatan di batinnya, bukan hal aneh kalau tadi diapun 

bertekuk lutut dan terlena dalam 
pelukan wanita cantik tadi. Dua hal 
itu pertama-tama adalah pengalaman gurunya yang pernah berjina dengan seorang selir kakaknya dan yang kemudian mendatangkan akibat yang amat hebat dan pahit dalam
kehidupan gurunya. 


Selain itu juga pengalamannya sendiri dengan Cia Ling Ay yang 
mendatangkan akibat pahit pula. Adapun hal kedua adalah cintanya 
terhadap Hui Hong membuat dia 
tidak ingin dimiliki dan memiliki 
wanita lain.


          **********


Perasaan tidak enak dalam hati Bun 

Houw bahwa dia berada di bawah 
satu atap dengan Suma Hok, ternyata bukan perasaan kosong belaka. Dia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda licik itu. Di 
luar tahunya, setelah mereka tadi 
saling berpisah dari ruangan dalam, Suma Hok juga menerima
kunjungan seorang selir bekas kaisar itu yang datang hendak 

membujuknya. 

Dan pemuda yang amat cerdik ini, 
walaupun melihat selir itu seperti 
seekor kucing melihat dendeng yang 
membuatnya mengilar, namun demi 
pengejaran yang lebih tinggi, dia 
bersikap sopan dan menolak wanita 
yang disuguhkan kepadanya itu! 

Dan dia bahkan mengikuti wanita itu kembali ke kamar Siauw Tek 
kemudian dia membisikkan hal yang penting bagi bekas kaisar itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Kongcu," katanya sambil mengantarkan kembali selir itu. "Akan tetapi harap Kongcu 

maafkan, saya tidak suka berganti 
dengan wanita yang bukan milik saya. 

Selain itu, saya ingin menyampaikan hal yang saya kira amat penting bagi 
kongcu, mengenai diri Kwa Bun 
Houw."
Diam-diam Siauw Tek memuji 

pemuda ini. Seorang pemuda yang 
tidak lemah terhadap godaan wanita. "Suma toako, ada urusan apakah" 
Apa yang hendak kau sampaikan 
mengenai diri Kwa-toako?"

"Hendaknya kongcu bersikap 
waspada karena Kwa Bun Houw itu adalah seorang yang berbahaya 
sekali."
"Kaumaksudkan dia lihai" Hal itu 

kami sudah tahu, toako. Kami sudah 
menguji kepandaiannya dan dia 
mampu mengalahkan Paman Pouw dengan mudah."

"Bukan itu saja, Kongcu. Akan tetapi 

ada satu hal yang Kongcu belum 
ketahui sehingga tidak melihat 
bahaya yang mengancam diri kongcu sekarang. Ketahuilah.......



BERSAMBUNG KE JILID 03





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12