Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kilat Pembasmi Iblis
Jilid 01
Pria itu usianya sudah kurang lebih enam puluh tahun, namun tubuhnya masih gagah dan ramping kokoh, tidak seperti orang seusia dia yang biasanya kalau tidak kurus kering, tentu gendut dan gembrot dengan kulit bergantungan penuh lemak,
muka penuh keriput dan garis-garis ketuaan tanda derita hidup.
Wajahnya masih nampak tampan dan anggun walaupun kedua matanya buta, terpejam dan tidak berbiji lagi. Dia melangkah perlahan dengan tongkat butut di tangan pada saat ada belasan orang berdatangan dari depan.
Pada hal tadi, ketika tidak ada orang lain, pria ini berjalan dengan cepat seperti orang berlari saja, akan tetapi begitu muncul rombongan terdiri dari belasan orang itu, tiba-tiba saja langkahnya menjadi perlahan dan biasa.
Hal ini saja membuktikan bahwa biarpun kedua matanya buta,
orang ini dapat mengetahui akan munculnya belasan orang itu.
BELASAN orang itu rata-rata nampak gagah dan kuat. berusia dari tigapuluh sampai limapuluh tahun, dipimpin seorang laki-laki tinggi besar berusia limapuluh tahun yang sikapnya gagah sekali.
Begitu melihat pria buta itu, belasan orang ini saling berbisik dan mereka sengaja lari menghadang pria itu. Pria buta itu maklum bahwa belasan orang itu menghadang di depannya. Dia menahan langkahnya, berdiri
bersandar tongkat bututnya dan menundukkan muka.
Nampak acuh, namun sesungguhnya, sepasang telinganya menangkap semua gerakan belasan orang itu,
sampai gerakan yang sekecil-kecilnya.
Setelah berhadapan. pemimpin rombongan itu, yang tinggi besar dan gagah, segera maju dan berlutut dengan sebelah kakinya, memberi hormat dengan mengangkat
kedua tangan depan dada. Empat belas orang pengikutnya. Ikut pula berlutut ketika si tinggi besar berlutut dan semua orang memberi hormat.
Akan tetapi, pria buta itu bersikap seolah tidak tahu akan, apa yang terjadi di depannya.
"Pangeran, hamba bekas Jenderal Yap Lok, maafkan hamba dan empat belas orang pengikut hamba yang tardiri dari bekas para perwira menengah Kerajaan Liu-sung kalau hamba sekalian menghadang dan mengganggu ketenteraman paduka."
Pria buta itu memang bekas Pangeran Tiauw Sun Ong. Dia tersenyum, senyum lembut dan suaranya juga lembut ketika dia berkata, "Seperti juga kalian ini bekas jenderal dan bekas perwira, akupun hanya bekas pangeran saja.
Saudara Yap, kita sekarang menjadi orang-orang biasa, harap jangan memakai segala macam
peradatan dan kesungkanan. Marilah kita bicara seperti kanalan dan sahabat saja.
Bangkitlah kalian dan kalau aku boleh bertanya, kalian hendak ke mana?"
"Maaf, pangeran. Kami tidak dapat menghapus sebutan pangeran karena bagi kami, paduka satu-satunya pangeran yang masih ada, dan padukalah harapan kami satu-satunya. Kami sengaja mendaki Bukit Hwa-san untuk mencari dan menghadap paduka.
" Pria buta itu mengerutkan alisnya. Sudah puluhan tahun dia meninggalkan Kerajaan Liu-sung, sampai beberapa tahun yang lalu kerajaan itu hancur dan runtuh, kini
digantikan oleh Kerajaan Chi. Dia sudah tidak menganggap dirinya sebagai pangeran, Apalagi berhubungan dengan bekas pembesar militer kerajaan keluarganya yang sudah jatuh itu.
"Saudara Yap, ada urusan apakah engkau dan teman-temanmu mencari aku" Sudah puluhan tahun aku mengasingkan diri dan tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia.
"Biarpun mulutnya berkata demikian, namun diam-diam Tiauw Sun Ong merasa hatinya pedih. Baru saja dia terpaksa meninggalkan puncak Hwa-san setelah mendengar bahwa dia mempunyai keturunan, mempunyai seorang anak kandung yang terlahir dari Pouw Cu Lan, hasil hubungan gelapnya dengan selir kaisar duapuluhan tahun yang lalu.
Dan kini, keselamatan Pouw Cu Lan dan.puterinya itu diancam oleh Kwan Im Sianli Bwe Si Ni yang hendak membalas dendam kepadanya karena dia tidak mau diajak hidup bersama!
Dia terpaksa terjun ke dunia ramai untuk melindungi anak kandungnya, akan tetapi di depan bekas
Jenderal Yap Lok, dia mengatakan bahwa dia tidak ingin lagi berurusan dengan keributan dunia!"
"Pangeran, bagaimana mungkin kita mendiamkan saja para pemberontak dari keluarga siauw yang hina itu merampas tahta kerajaan, menghancurkan Kerajaan
Liu-Sung kita yang jaya dan mendirikan kerajaan baru" Selama kita masih hidup, kita harus berusaha untuk merebut kembali kekuasaan itu dan menegakkan kembali Kerajaan Liu-sung"
Selama ini, kami tidak berdaya karena tidak ada lagi seorangpun pangeran dari Kerajaan Liu-sung. Kami telah berusaha mencari paduka, namun sia-sia belaka. Baru sekarang kami dapat menemukan jejak paduka, dan kami sengaja menghadap untuk mohon agar paduka suka memimpin kami, menyusun barisan untuk merebut kenbali kekuasaan dari raja pemberontak Chi itu."
Tiauw Sun Ong tertawa, tertawa karena geli mendengar usul yang penuh semangat itu. "Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar kata-katamu itu, seperti bermain
sandiwara di panggung saja, maaf saudara Yap Lok, cita-citamu itu seperti membangun benteng di awang-awang saja.
Aku hanya seorang buta, apalagi sudah tidak menginginkan segala kemuliaan duniawi, bagaimana kini kalian menganjurkan aku untuk menjadi pemimpin pemberontak terhadap Kerajaan Chi" Tidak, selain
aku tidak mampu, juga aku tidak mau terlibat dalam perang dan keributan."
"Harap paduka tidak berpura-pura lagi. Kami telah melakukan penyelidikan dengan seksama dan kami tahu bahwa paduka sekarang, biarpun tidak dapat melihat lagi,
namun telah menjadi seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pangeran, demi kejayaan Kerajaan Liu-sung, demi nama dan kehormatan keluarga paduka sendiri, marilah kita bangkit dan rampas kembali
kerajaan ... "
"Cukup! Aku tidak mau dengar lagi dan harap kalian memilih orang lain saja. Jangan ganggu aku lagi." kata bekas pangeran itu, nada dan suaranya tegas.
Wajah bekas jendral itu berubah merah dan dengan matanya dia memberi isarat kepada kawan-kawannya. Limabelas orang itu kelihatan marah dan garang, bahkan
sudah meraba gagang senjata masing-masing.
"Hemmm, sungguh tidak kami sangka bahwa Pangeran Tiauw Sun Ong hanya seorang penakut dan pengecut."
"Yap Lok, tahan mulutmu!" bentak pria buta itu.
"Pangeran, kalau paduka tidak takut dan bukan pengecut, maka paduka lebih rendah lagi, karena paduka akan menjadi seorang pengkhianat yang menaruh dendam terhadap kerajaan keluarga sendiri karena peristiwa dengan selir yang
sangat memalukan itu. Paduka dendam dan karena itu tidak perduli kerajaan sendiri dirampas orang lain."
"Yap Lok. aku tidak mau bekerja sama denganmu. Tidak perlu engkau menghinaku dan memanaskan hatiku. Pergilah kalian dan jangan ganggu aku lagi."
"Kalau paduka tidak mau, terpaksa kami paksa. Lebih baik kami melihat paduka tewas di tangan kami dari pada melihat paduka berkeliaran sebagai seorang pengkhianat," kata Yap Lok sambil mencabut pedangnya.
Perbuatannya ini di kuti empatbelas orang pengikutnya dan nampaklah senjata berkilauan di tangan mereka dan otomatis merekapun membuat gerakan mengepung pangeran itu.
Lima belas orang itu adalah bekas para perwira kerajaan, masing-masing memiliki Ilmu silat yang tangguh dan merupakan Jagoan-Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh.
Biarpun dia masih berdiri dengan kepala menunduk, namun bekas pangeran yang buta matanya itu dapat mengikuti gerak-gerik lima belas orang itu dengan pendengarannya yang amat peka dan tajam.
Dia tahu bahwa limabelas orang itu
telah mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap membunuh atau
menawannya. Dia tersenyum getir. Tak di sangkanya bahwa setelah
menyembunyikan diri dan hidup tenteram di tempat-tempat sunyi, hari ini dia terpaksa turun gunung dan begitu turun, dia sudah bertemu dengan belasan orang yang hendak menawan atau membunuhnya!
Seolah makin terasa olehnya betapa
dunia ini menjadi panas dan kotor oleh nafsu yang telah menguasai diri manusia. Di mana terdapat manusianya, di mana terdapat kekerasan, nafsu bergelora dan
manusia menjadi hamba setan yang merajalela dalam hati dan akal pikiran.
Nafsu iblis mengendalikan manusia. menyeret manusia dalam segala macam perbuatan yang keras, kejam, kotor dan menyimpang dari sifat manusia pada saat dia dilahirkan.
Panas bumi semakin panas, dunia semakin kacau. Di tempat-tempat
yang tidak ada manusianya, segala sesuatu nampak penuh damai dan tenteram,margasatwa, bahkan pohon-pohon, hidup bebas dan begitu wajar.
Namun, begitu dia tiba di tempat di mana ada manusianya, kebebasan sirna, persaingan,perebutan kekuasaan, pengejaran kesenangan, pemaksaan kehendak terhadap
orang lain, penindasan, permusuhan, tiada hentinya menjadi permainan manusia.
"Kalian mau apa" Sadarlah, Yap Lok, engkau dan kawan-kawanmu telah
menyimpang dari kebenaran. Jangan biarkan nafsu setan menyeret kalian ke jalan sesat!" Bekas pangeran itu masih mencoba untuk menyadarkan mereka.
"Engkau yang menyimpang dari kebenaran, engkau yang tersesat, Tiauw Sun Ong!"bentak Yap Lok. "Menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!"
"Hemm, seekor semutpun akan menggigit kalau di njak. Aku manusia. tentu akan membela diri kalau hendak dibunuh!" kata pangeran itu dengan sikap tenang.
Yap Lok memberi Isarat dengan pandang matanya dan seorang di antara pengikutnya, yang berdiri di belakang pangeran itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan menusukkan pedangnya ke arah punggung Tiauw Sun Ong.
"Hai i litttt ...!"
Pedang meluncur bagaikan kilat menyambar dan agaknya tidak mungkin bekas pangeran itu akan mampu menyelamatkan diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan dari belakangnya dan amat cepat dan kuat itu. Namun, baru saja orang itu bergerak, Tiauw Sun Ong sudah dapat mengetahui dan menangkap gerakannya
dengan pendengaran.
Dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, memutar tubuh atas ke belakang didahului sinar hitam menyambar dan tahu-tahu tongkat bututnya yang hitam sudah bergerak ke belakang dan memakai pergelangan tangan yang menusukkan pedang.
Gerakan memutar tubuh itu membuat pedang yang menusuk lewat di samping tubuhnya dan pukulan tongkatnya dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
"Dukkk! Aughhh ...!" Orang itu melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang sambil menggosok pergelangan tangan kanan yang menjadi matang biru dan terasa
nyeri bukan main. Masih untung bahwa Tiauw Sun Ong tidak menggunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, tentu tulang lengan itu telah menjadi patah!"
Melihat ini, empat belas orang yang lain dipimpin Yap Lok segera menggerakkan senjata menyerang. Hujan senjata menyambar dari segala jurusan ke arah tubuh Tiauw Sun Ong.
Bekas pangeran ini dengan amat lincahnya berloncatan ke sana-sini,didahului gulungan sinar hitam tongkatnya dan diapun tenggelam dalam pengeroyokan yang amat ketat.
Biarpun lima belas orang itu merupakan bekas
jagoan-jagoan Istana, namun kalau dibandingkan, tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi tingkat kepandaian Tiauw Sun Ong.
Akan tetapi karena
mereka berjumlah banyak, rata-rata lihai dan memiliki pengalaman bertempur, di lain pihak Tiauw Sun Ong tidak tega untuk membunuh atau melukai berat, hanya membela diri, maka sebentar saja bekas pangeran itu terdesak hebat! Tiauw Sun Ong menganggap mereka itu tidak jahat, walaupun dia tahu benar akan watak manusia yang selalu berbuat dengan bimbingan nafsu.
Mereka ini banya akan memperalat dia, karena kalau dia mau memimpin
"perjuangan" mereka itu, karena dia seorang bekas pangeran, tentu banyak bekas pasukan Liu-sung yang suka bergabung. Di balik semua ini, tentu mereka ini mempunyai suatu cita-cita yang pada hakekatnya mementingkan diri sendiri.
Disebut dengan kata yang muluk bagaimanapun juga, pada dasarnya, mereka itu nekat karena mengejar sesuatu hasil yang mereka bayangkan akan dapat membuat mereka hidup mulia dan senang.
Dan dia tahu bahwa ini memang kelemahan manusia. Nafsu yang menguasai diri membuat manusia selalu mengejar sesuatu yang dianggap akan menyenangkan dirinya, dan dalam pengejaran ini, manusia lupa diri, lupa akan kebenaran.
Cara apapun yang dipergunakan, dianggap benar demi mencapai cita-cita yang dikejarnya. Tujuan menghalalkan segala cara selalu akan terjadi, lambat maupun cepat, disadari maupun tidak. Tiauw Sun Ong tidak menyalahkan mereka.
Mereka ini hanya manusia-manusia lemah, seperti yang lain. Karena itu, dia tidak tega untuk membunuh atau melukai mereka, dan hal ini membuat dia sendiri menjadi repot dan terdesak hebat, bahkan terancam bahaya maut!
Pada saat itu, tiba-tiba bagaikan ada badai mengamuk, sesosok bayangan tubuh orang terjun ke dalam pertempuran.
Dia menggerakkan kedua tangannya dan hanya dengan mendorong saja, para pengeroyok itu terpelanting, terjengkang dan terlempar bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin.
"Suhu ... !" Bayangan itu berteriak girang.
"Ehh ... " Kaukah itu, Bun Houw?"
"Suhu, biar tcecu (murid) yang mengusir anjing-anjing serigala yang jahat ini!" teriak pula Kwa Bun Houw yang baru datang.
"Jangan lukai mereka, jangan bunuh. Mereka bukan perampok, bukan penjahat.
Mereka bekas para perwira Liu-sung." kata Tiauw Sun Ong.
Bun Houw terkejut dan juga merasa heran.
Gurunya bekas pangeran kerajaan Liu-sung, berarti para perwira Liu-sung adalah bawahannya. Kenapa menyerang bekas pangeran atasan mereka sendiri" Dan melihat gerakan mereka, penyerangan itu bukan main-main, melainkan dimaksudkan untuk membunuh.
Lebih aneh lagi gurunya melarang dia untuk melukai mereka, apalagi membunuh. Akan tetapi, Bun Houw amat menghormati dan mentaati gurunya, maka diapun berseru, "Baik, suhu.
Harap suhu mundur dan biar teecu sendiri menghadapi mereka."
Bun Houw mengamuk. Ketika bekas panglima Yap lok mendengar percakapan itu,dia tahu bahwa pemuda itu adalah murid bekas pangeran itu.
Dan memang pernah mendengar bahwa pangeran yang menjadi buta dan meninggalkan istana sebelum kerajaan Liu-sung jatuh itu kabarnya telah menjadi seorang yang lihai.
Tadinya dia dan kawan-kawannya memandang rendah karena betapapun lihainya,bekas pangeran itu telah menjadi seorang buta. Siapa kira, pangeran itu benar-benar lihai, buktinya tadi pengeroyokan mereka tidak mampu merobohkan sang pangeran.
Kini muncul muridnya, tentu tidak selihai gurunya. Maka dengan marah karena putus harapan ditolak permintaannya oleh bekas pangeran itu, Yap Lok berseru menyuruh anak buahnya untuk menyerang dan diapun memelopori mereka dengan menusukkan pedangnya. di kuti oleh empat belas orang anak buahnya.
Akan tetapi Bun Houw menghadapi mereka dengan amat mudahnya.
Pemuda ini hanya berdiri tegak dan nampak dia menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang menangkis dan mendorong. Akan tetapi akibatnya sungguh luar biasa.
Lima belas orang itu tidak mampu mendekat dan mereka terpental atau terpelanting seperti dilanda badai yang dahsyat dan setiap kali mereka menyerang, dalam jarak dua meter mereka seperti bertemu dengan dinding yang tidak nampak, yang membuat mereka terpental kembali.
Akhirnya, setelah jatuh bangun tanpa tersentuh langsung oleh kedua tangan Bun Houw. Yap Lok maklum bahwa kepandaian pemuda ini bahkan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan ilmu Pangeran Tiauw Sun Ong! Maka, diapun memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka melarikan diri dari tempat itu.
Bun Houw membalik, menghadapi gurunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. "Suhu, apakah selama ini suhu baik-baik saja?"
Akan tetapi kakek buta itu berdiri tegak, alisnya berkerut dan dia tidak segera menjawab, mukanya terangkat ke atas seperti tidak perduli kepada pemuda yang berlutut di depan kakinya.
"Suhu ... " Bun Houw merasa akan sikap yang dingin itu.
"Bun Houw, katakan, ilmu iblis apa yang kau pergunakan tadi?"
Kini mengertilah Bun Houw. Gurunya yang buta ini lebih waspada dibandingkan orang yang melek. Sehingga gurunya tadi dapat mengikuti semua gerakannya ketika dia melawan empat belas orang itu.
"Suhu, tcecu mentaati perintah Suhu, tidak melukai mereka, bahkan tidak
menyentuh mereka, hanya mendorong dari jauh saja."
"Itulah yang kumaksudkan. Tenaga doronganmu itu. Ilmu apa yang kaupergunakan dan dari mana engkau mempelajari ilmu itu" Hayo katakan! Apakah selama ini
engkau berguru kepada orang lain tanpa minta ijin dariku?"
"Suhu, bagaimana teecu berani berguru kepada orang lain" Pula, di dunia ini mana ada guru lain yang lebih baik dari pada suhu suhu"
Tidak, teecu tidak berguru
kepada orang, akan tetapi teecu telah mengalami banyak hal yang aneh yang suhu tidak akan pernah mimpikan. Di antaranya, teecu telah menelan habis mustika Akar Bunga Gurun Pasir."
Kini sepasang mata yang buta itu terbelalak. kedua tangan itu kini meraba-raba kepala pemuda yang berlutut di depannya. "Apa ..." Kau ... kau makan seluruh Akar Bunga Gurun Pasir dan kau masih hidup ..." Muridku, apa yang telah terjadi"
Ceritakan semua kepadaku!"
Gembira sekali rasa hati Bun Houw melihat sikap gurunya yang sudah berubah ramah itu. Dia memegang tangan gurunya, bangkit dan menuntun gurunya untuk duduk di atas batu besar di bawah pohon yang teduh.
Setelah keduanya duduk, Bun Houw berkata, "Panjang sekali ceritanya, suhu. Selama ini teecu telah mengalami banyak hal yang hebat dan aneh.
"Pemuda itu lalu menceritakan semua
pengalamannya, betapa dia menerima pukulan yang dahsyat dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang bahkan telah merampas pedangnya, Lui-kong-kiam dan membiarkan dia pergi dengan menderita luka parah.
Betapa kemudian dia bertemu dengan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan karena tidak tahu di mana adanya Akar Bunga Gurun Pasir, datuk majikan Bukit Kui-eng-san itu memukul punggungnya,membuat dia semakin payah karena menerima dua kali pukulan beracun dari dua orang datuk sakti.
"Dalam keadaan hampir mati, teecu yang hampir telanjang karena semua pakaian dan bekal emas pemberian suhu dirampas Suma Koan, teecu menerima pertolongan suami isteri pemburu ketika teecu jatuh pingsan di depan pondok mereka.
Dan entah bagaimana teecu sendiri tidak tahu, isteri pemburu itu di luar pengetahuannya, telah memberi teecu obat minum. Teecu sendiri tadinya tidak tahu obat apa yang diminumkan kepada teecu itu. Teecu merasa seperti terbakar dari dalam, akan tetapi selanjutnya ternyata teecu telah mendapatkan tenaga sinkang yang dahsyat luar biasa.
Dan tanpa disengaja, tanpa diketahui pula oleh suami isteri itu, teecu telah menelan habis seluruh Akar Bunga Gurun Pasir!'
"Hemm, menarik sekali! Bagaimana pemburu itu dapat menemukan Akar Bunga Gurun Pasir?"
"Teecu tidak tahu bagaimana mustika yang dibuat perebutan oleh semua orang sakti di dunia itu terjatuh ke tangan seorang pemburu yang lemah saja. Dan tanpa disengaja, mustika itu telah memasuki perut teecu!"
"Teruskan ceritamu yang amat menarik itu, Bun Houw."
"Setelah teecu minum mustika aneh itu, terjadi keanehan dalam tubuh teecu.
Agaknya hawa beracun dari kedua orang datuk itu bercampur dengan mustika Akar Bunga Gurun Pasir, mendatangkan semacam hawa yang dahsyat dan sukar dikendalikan.
"Bun Houw lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan perampok-perampok yang kemudian memberi tahu kepadanya tentang adanya
guha siluman yang telah menjatuhkan banyak korban.
"Banyak terdapat kerangka manusia dan senjata-senjata di depan guha itu, dan pada saat teecu datang ke sana, teecu sempat melihat seorang korban terakhir. Dia seperti orang gila, menyerang teecu ketika teecu melihat dia bersilat aneh dan terhuyung.
Teecu menangkis dan diapun roboh tewas. Kemudian teecu mendengar
suara orang-orang di luar guha ketika teecu sudah berada di dalam bahwa yang batu saja tewas itu adalah Toat-beng Kiam-ong."
"Hemm, Toat-beng Kiam-ong" Dia seorang tokoh sesat yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Kalau dia sampai tewas, tentu ada yang amat hebat di dalam guha itu dan engkau memasukinya, Bun Houw" Manusia macam apakah yang
berada di dalam guha dan telah membunuh banyak tokoh persilatan tu?"
"Tidak ada seorangpun manusia di sana, suhu. Yang ada hanyalah pelajaran Ilmu silat dan ilmu itulah yang telah membunuh banyak orang itu!"
"Ehh" Apa maksudmu" Ceritakan yang jelas!" Kakek buta itu semakin tertarik mendengar cerita muridnya.
Bun Houw lalu menceritakan dengan jelas tentang isi guha, tentang pelajaran ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tentang peringatan akan bahayanya mempelajari ilmu
yang mujijat itu.
Kemudian Bun Houw menceritakan bahwa karena tertarik, dan
karena ingin menguasai kekuatan dahsyat yang menggelora dan meliar di dalam tubuhnya, dia lalu mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng sampai berhasil baik dan dia mampu menguasai dan mengendalikan hawa sakti yang meliar di dalam tubuhnya.
"Ahh, kiranya begitu" Engkau telah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng" Akan tetapi, aku sendiri hanya pernah mendengar Ilmu itu yang dikabarkan telah musnah dari dunia ini. siapa tahu engkau malah yang telah mewarisi, Bun Houw.
Pantas saja engkau tadi menggunakan tenaga yang demikian dahsyat, kiranya engkau telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tadinya kukira hanya dongeng belaka.
Muridku yang baik. bersiaplah engkau!"
"Tapi, suhu ... " Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Tiauw Sun Ong telah
menyerangnya dengan ganas sekali, menggunakan tongkatnya dengan jurus maut dan bahkan menggunakan seluruh tenaganya sehingga nampak kilat berkelebat dan bunyi berciutan ketika tongkat itu sudah melakukan totokan yang bertubi-tubi terhadap jalan darah di bagian depan tubuh Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gurunya tidak main-main dan ingin mengujinya, maka dia pun tahu bahwa kalau dia mempergunakan Ilmu yang dia dapat dari gurunya, dia
tidak akan mampu bertahan.
Gurunya menyerang dengan sepenuh tenaga dan kecepatan. Juga menggunakan jurus-jurus yang paling lihai.
Maka, diapun tidak ragu lagi, segera mengerahkan tenaga sakti dan bergerak menurut ilmu barunya, yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Bagaikan air samudera digerakkan badai, datanglah tenaga yang bergelombang dahsyat menyambut serangan Tiauw Sun Ong.
Terjadi benturan-benturan tanaga jarak jauh yang membuat semua serangan kakek buta itu membalik. Tiauw Sun Ong terkejut akan tetapi juga girang sekali.
Kini dia membuktikan sendiri bahwa Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah ilmu yang amat hebat dan yang membuat dia girang dan bangga adalah bahwa muridnya yang menjadi pewaris Ilmu itu! Dia menyerang lagi semakin hebat.
Akan tetapi, makin keras dia menyerang, semakin keras pula dia terpental dan akhirnya. ketika sarangan terakhir yang amat dahsyatnya dia lakukan, ditangkis oleh Bun Houw. tubuh kakek itu
terlempar dan terbanting keras.
"Suhu ... !" Bun Houw berteriak dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat suhunya dan membantu kakek itu bangkit berdiri.
"Suhu. maafkan teecu ... "
Tiauw Sun Ong tertawa girang dan menyusut keringat dari dahi dan lehernya. "Ha-ha-ha, bukan main! Sungguh aku merasa girang dan bangga sekali, Bun Hoaw.
Engkau kini lebih hebat dariku, jauh lebih kuat dan aku bukanlah tandinganmu lagi!
Ha-ha-ha!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan. "Aih, suhu! Tadi suhu hanya menguji tenaga teecu saja dan mungkin karena teecu telah menelan
Akar Bunga Gurun Pasir, dan karena suhu sudah tua, maka teecu unggul dalam hal tenaga.
Kalau suhu menggunakan tongkat pedang dan menyerang teecu tanpa mengandalkan tenaga,mungkin teecu tidak akan mampu melawan."
"Hemm, memang baik sekali sikapmu merendahkan diri itu, tanda bahwa biar engkau telah mewarisi ilmu yang dahsyat, engkau tidak menjadi sombong. Akan tetapi, sesungguhnya, Bun Houw.
Ilmu pedang kilat kita tidak akan mampu menandingi Im-yang Bu-tek Cin-keng. Apalagi kalau engkau sudah melatihnya sampai matang. Aku yakin semua datuk di empat penjuru tidak akan mudah mengalahkanmu kalau engkan menggunakan ilmu itu dan mengerahkan tenagamu yang timbul dari Akar Bunga Gurun Pasir.
Hemm, bagaimanapun juga, engkau harus berterima kasih kepada dua datuk itu, Ouwyang Sek dan Suma Koan."
"Suhu, mereka berdua sudah memukul dan menyiksa teecu dengan pukulan beracun yang tentu akan mematikan teecu kalau saja tidak secara kebetulan teecu diberi minum Akar Bunga Gurun Pasir!" Bun Houw merasa penasaran.
"Justeru pukulan itulah yang membantu mustika itu bekerja dalam tubuhmu. Kalau hanya meminum air masakan mustika itu saja, kuyakin tidak akan sehebat itu khasiatnya.
Ingat, mustika itu adalah milik Ouwyang Sek. Kalau mustika itu
mendatangkan kekuatan sehebat itu. tentu sudah sejak dahulu dia minum sendiri!
Mustika itu tadinya hanya dikenal sebagai obat penyembuh saja. Baru setelah bertemu dengan dua macam hawa beracun dalam tubuhmu, terjadi akibat yang luar biasa, yaitu menimbulkan tenaga mujijat yang kini menjadi milikmu.
Nah,bukankah mereka telah berjasa besar, walaupun mereka melakukan tanpa sengaja,bahkan beriktikad buruk, yaitu untuk membunuhmu secara perlahan-lahan?"
Bun Houw mengangguk-angguk. "Sekarang barulah teecu mengerti akan kata-kata dan nasehat suhu dahulu bahwa cara yang dipergunakan Tuhan untuk memberkahi manusia kadang berselubung rahasia besar. Kini teecu mengerti apa artinya berkah terselubung.
Dalam suatu peristiwa yang nampaknya buruk merugikan, mungkin tersembunyi berkah yang amat besar seperti yang teecu alami sendiri."
Kakek buta itu mengangguk sagguk. "Benar sekali, muridku. Aku sendiri, kalau tidak terjadi peristiwa dengan selir kaisar sehingga akan membutakan mataku, yang membuat aku hampir tewas, tentu tidak akau dapat menguasai ilmu seperti
sekarang ini dan tidak akan berjumpa denganmu.
Oleh karena itu, seorang bijaksana pantang mengeluh apabila mengalami hal-hal yang tampaknya merugikan dan mengecewakan, karena dalam setiap peristiwa itu selalu terdapat hikmatnya yang
terselubung,"
"Suhu benar, akan tetapi teecu hanya seorang manusia biasa, bagaimana mungkin teecu. dapat terbebas dari permainan rasa puas kecewa dan suka duka" Seperti kehilangan Lui-kong-kiam, hal itu tetap saja membuat teecu merasa kecewa dan menyesal sekali.
Sekarang teecu harus mengunjungi Bu-eng-kiam Ouwyang Sek.
untuk minta kembali pedang itu."
"Bun Houw, engkau tadi belum bercerita jelas tentang terampasnya Lui-kong-kiam dari tanganmu oleh Ouwyang Sek. Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu
yang sejelasnya tentang itu."
Bun Houw mengulang ceritanya tentang pertemuannya dengan Ouwyang Hui Hong,kemudian pertemuannya dengan Ouwyang Sek dan betapa nyaris dia dibunuh
Ouwyang Sek kalau tidak ada Hui Hong yang menyelamatkannya dan mencegah ayahnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri!
Kakek buta itu mendengarkan dengan asyik dan wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah sehingga Bun Houw khawatir kalau-kalau suhunya terluka ketika bertanding dengan dia tadi.
"Kau kenapakah, suhu" Apakah suhu sakit?" tanyanya, menghentikan ceritanya yang sudah berakhir.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Bun Houw, ceritakan kepadaku, bagaimana keadaan gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu" Bagaimana bentuk wajahnya,bentuk tubuhnya dan terutama bagaimana watak dan perangainya ketika engkau
bersamanya?"
Tentu saja Bun Hoiw merasa heran sekali kenapa gurunya bertanya tentang gadis yang tidak dikenalnya itu. "Ia ... ia seorang gadis yang gagah perkasa, suhu, dan menurut pendapat teecu, wataknya baik sekali, berbudi dan sederhana walaupun ia dapat bersikap keras dan galak."
"Wajahnya ... wajahnya bagaimana?"
Bun Houw menahan keheranannya, "Wajahnya! Ia cantik dan agung, suhu, dan bentuk tubuhnya, ramping indah ... " Bun Houw teringat ketika sekilas dia melihat tubuh Hui Hong yang telanjang di dalam guha.
"Usianya berapa?"
"Sekitar dua puluh satu tahun ... "
"Ceritakan bagaimana bentuk matanya, hidungnya, mulutnya dan bentuk wajahnya, satu demi satu, yang jelas. ... " Kakek itu nampak tegang dan bergairah sekali sehingga Bun Houw merasa semakin heran. Akan tetapi, merasa kasihan karena
teringat bahwa gurunya tidak mampu melihat, dia lalu menggambarkan keadaan Hui Hong sejelasnya dan dia semakin bingung mendengar mulut gurunya berbisik-bisik.
"Mirip ia ... ah, mirip ia ... "
Kamudian tiba-tiba Tiauw Sun Ong menangkap kedua tangan muridnya dan kedua mata yang hanya putih itu seperti hendak menatap wajah Bun Houw ketika mulutnya bertanya dengan suara gemetar, "Bun Houw, bilang terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Hui Hong?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi, dia amat sayang dan taat kepada gurunya, dan tidak pernah berkata yang tidak benar. Dia menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya, maka mendengar pertanyaan itu, dia menjenguk isi hatinya sendiri.
Dia memang tak pernah dapat melupakan Hui Hong,hanya dia sendiri tidak yakin apakah dia mencinta Hui Hong, Dia pernah mencinta seorang wanita, yaitu Ling Ay. mungkin cintanya terhadap Ling Ay hanyalah cinta remaja, hanya karena ada ikatan perjodohan di antara mereka.
Setelah perjodohan itu putus, dia tidak lagi memikirkan Ling Ay, Ketika dia bertemu lagi dengan Ling Ay yang telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan melihat penderitaan wanita itu, yang ada dalam hatinya hanyalah iba. Dan sekarang, perasaannya terhadap Hui Hong membuat dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan suhunya.
"Bagaimana, Bun Houw" Katakan terus terang, apakah eugkau mencinta Hui Hong?""
"Suhu, Justeru teecu masih bingung untuk menjawab yang sebenarnya kepada suhu. Teecu juga bingung mengapa suhu menanyakan hal itu. Akan tetapi, suhu,terus terang saja, teecu merasa kagum, suka dan iba kepadanya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan teecu.
Bagaimana mungkin teecu dapat melupakannya" Akan tetapi, teecu tidak berani memastikan bahwa teecu
mencintanya karena terus terang saja, teecu sendiri tidak mengerti, bagaimana dan apa cinta itu?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, cinta antar pria dan wanita penuh pengaruh nafsu berahi, cinta seperti itu mementingkan kesenangan hati sendiri, karenanya hanya mendatangkan lebih banyak tangis dari pada tawanya. Akan tetapi, cinta seperti itu mungkin diperlukan oleh manusia.
Begini saja, apakah engkau ingin selain berdekatan dengan Hui Hong, ingin melihat ia berada di sampingmu selalu ingin hidup bersamanya, membagi susah dan senang berdua" Nah, jawablah sejujurnya."
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. "Aih, suhu, siapa yang tidak mau" Ia pandai dan cantik jelita, berbudi dan ... ah, apa gunanya semua itu" Seorang gadis seperti Hu Hong, mana mungkin mau menjadi ... eh, maksud teecu, mana mungkin mau dekat dengan orang seperti teecu"
Dari pada mengharapkan lamunan kosong, lebih baik teecu melihat kenyataan. Ayahnya dan kakaknya amat membenci teecu,bahkan menganggap teecu sebagai musuh,"
Akan tetapi, Tiauw Sun Ong tertawa, "Ha-ha-ha, Bun Houw, engkau seorang laki-laki yang bodoh. Kautahu, Hui Hong itu amat mencintamu!"
"Eh-eh" Bagaimana mungkin suhu dapat mengetahuinya" Bakankah suhu belum pernah jumpa dengannya" Bagaimana suhu dapat mengatakan demikian?"
"Bodoh! Seorang gadis yang sudah membela seorang laki-laki dengan taruhan nyawa, itu berarti bahwa ia mencintamu. Bun Houw, mencintamu dengan tulus,bahkan lebih dari pada nyawanya sendiri."
"Akan tetapi, hal itu ia lakukau hanya untuk membalas budi, suhu. Teecu pernah menghindarkan ia dari pada malapetaka diperkosa oleh Suma Hok!"
"Tidak ada balas budi dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aku yakin. Bun Houw, gadis itu mencintamu. Dan akupun yakin bahwa engkau juga mencintanya! Tidak perlu kau membantah lagi, aku dapat menjenguk isi hatimu dari suara dan kata-katamu.
Nah, sekarang, bagaimana kalau kita pergi menemui keluarga Ouwyang
dan aku melamarkan Hui Hong untuk menjadi jodohmu?"
Berbagai macam perasaan mencengkeram hati Bun Houw. Dia merasa girang, akan tetapi juga terharu dan diapun menjatuhan diri di depan kaki gurunya, "Suhu ... "
Tiauw Sun Ong meraba kepala muridnya.
"Eh! Kau kenapa" Tidak girangkah hatimu kalau kulamarkan Hui Hong untuk menjadi Jodohmu!"
"Suhu. tentu saja teecu gembira sekali dan terima kasih atas budi kecintaan suhu terhadap teecu.
Akan tetapi, suhu. keluarga Ouwyang amat membenci teecu, Teecu
khawatir kalau lamaran suhu hanya akan mendatangkan kemarahan kepada mereka dan akan menyusahkan suhu saja. Mengingat akan sikap Bu-eng-kiam Ouwyang Sek
kepada teecu, teecu hampir yakin bahwa dia tentu akan menolak lamaran itu."
Bun Houw merasa betapa jari-jari tangan gurunya yang kini berada di pundaknya itu mengeras dan menegang. "Dia berani menolaknya, akan kubunuh dia! Perhitungan antara aku dan dia masih belum lunas dan dia harus
mempertanggungjawabkan
perbuatannya!"
"Suhu, kenapa suhu marah kepadanya" Apakah karena dia telah menganiaya teecu dan merampas Lui-kong-kiam! Harap subu jangan membunuhnya, teecu kasihan
kepada Hui Hong dan ... "
"Justeru karena Hui Hong aku hendak membunuhnya! Karena Hui Hong dan
Ibunya!" "Suhu ...!"
"Bun Houw, dengar baik-baik. Kalau engkau mencinta Hui Hong, dan Hui Hong mencintamu, tidak ada seorang manusia atau iblis pun di dunia ini yang akan menghalangi kalian berjodoh.
Cintamu terhadap Hui Hong kuterima dan engkau kutarima menjadi calon suami Hui Hong. Ingin aku melihat siapa yang akan berani mencampuri!"
"Akan tetapi, yang berhak menentukan tentu saja ayahnya, suhu."
"Tepat sekali! Ayahnya yang harus menentukan tentang pernikahan anaknya, dan ayah Hui Hong adalah aku!"
Bun Houw hampir terjengkang saking kagetnya. Dia memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak dan bingung, khawatir lagi kalau-kalau suhunya terluka oleh pertandingan tadi dan mengalami gangguan pada pikirannya karena terguncang
hebat.
"Sudahlah, suhu, harap jangan pikirkan lagi urusan itu. Mari, suhu, silakan suhu beristirahat. Sebetulnya, kenapa suhu meninggalkan pondok dan mengapa suhu berada di sini" Suhu hendak pergi ke manakah?"
Tiauw Sun Ong tertawa, maklum apa yang dikhawatirkan muridnya.
"Ha-ha-ha,engkau mengira aku gila" Bun Houw, justeru aku pergi untuk mengunjungi Ouwyang Sek, dan kebetulan bertemu denganmu di sini. Tidak ada berita yang lebih menggembirakan dari pada kenyataan bahwa engkau saling mencinta dengan Hui Hong, saling mencinta dengan anakku."
"Anak suhu" Siapakah anak suhu ...?"
"Hui Hong itu adalah puteriku, Bun Houw."
"Akan tetapi bagaimana mungkin ...?"
"Bun Houw, ingatkah engkau akan ceritaku dahulu tentang sebab butanya kedua mataku?"
Bun Houw mengangguk, lupa bahwa gurunya tidak dapat melihatnya. Ketika ingat akan hal itu, dia cepat berkata, "Teecu ingat, suhu. Bukankah karena suhu membutakan diri sendiri karena urusan ... eh, selir kaisar itu?"
"Benar. Nah, selir itu bernama Pouw Co Lan dan setelah aku pergi meninggalkan Istana, kemudian aku mendengar bahwa selir itu dihukum buang oleh kaisar, akan tetapi di dalam perjalanan ia dibebaskan oleh seorang tokoh kang-ouw yang
kemudian terkenal dengan julukannya Bu-eng-kiam ... "
"Ouwyang Sek ... ?"
"Benar. Pouw Cu Lan dibebaskan Ouwyang Sek dari tangan para perajurit pengawal, dan dia membunuh semua perajurit dan membawa pergi wanita itu yang kemudian dia jadikan isterinya."
"Ibunya Hui Hong ...?" Bun Houw bertanya terkejut dan heran.
"Benar lekali. Pouw Cu Lan menjadi isteri Ouwyang Sek dan kemudian ia melahirkan Hui Hong, anakku!"
"Bagaimana ini, suhu" ia menjadi isteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek lalu melahirkan seorang anak, akan tetapi suhu mengatakan bahwa anak itu, Ouwyang Hui Hong,adalah puteri suhu?"
"Karena kemudian kuketahui bahwa setelah enam bulan menikah dengan Ouwyang Sek, Pouw Cu Lan melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti bahwa ketika menjadi Isteri datuk itu, ia telah mengandung kurang lebih tiga bulan.
Jelas bahwa Hui Hong adalah keturunanku, anakku, bukan keturunan Ouwyang Sek.
Maka,akulah yang berhak menentukan jodohnya, jodoh anakku.
Nah, mari kita berkunjung ke Lembah Bukit Siluman!"
Bun Houw masih bingung. Kiranya Hui Hong adalah puteri gurunya, walaupun sejak anak itu berada dalam perut ibunya, sudah ditinggalkan ayah kandung.
Bagaimana mungkin Hui Hong akan dapat mengakui Tiauw Sun ong sebagai ayahnya kalau sejak
lahir ia berada di rumah Ouwyang Sek yang tentu dianggap ayahnya sendiri" Akan tetapi, kini dia berbesar hati.
Kiranya gadis yang dikasihinya itu malah puteri gurunya sendiri! Kalau begitu, bukan hal penting mengenai pendapat Ouwyang Sek tentang hubungan batin antara dia dan gadis itu.
Dengan hati dan langkah ringan, Bun Houw lalu berangkat bersama gurunya, menuju ke Lembah Bukit Siluman,tempat tinggal datuk yang ditakuti orang itu.
**********
Dengan sikap jengkel Ouwyang Sek melangkah ke arah kamar puterinya dan sekali ini dia bertekad untuk memaksa Hui Hong keluar menemui kedua orang tamunya.
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Tok-siauw-kui suma Hok yang hendak pamit. Akan tetapi ketika dengan kasar dia mendorong daun pintu kamar itu terbuka, dia hanya mendapatkan isterinya yang sedang menangis di atas pembaringan Hui Hong.
"Hem, kenapa engkau menangis di sini dan di mana Hui Hong?" tanya datuk itu dengan suara yang ketus karena dia masih marah kepada isterinya yang membuka rahasia tentang ayah kandung Hui Hong.
Dia telah banyak mengalah terhadap
wanita ini, yang memang amat dicintanya. Dia memenuhi permintaan Pouw Cu Lan dan tidak mengganggunya sama tekali sebelum Hui Hong terlahir, kemudian, dia
menyayang Hui Hong seperti anak kandungnya sendiri walaupun dia tahu bahwa anak itu bukan keturunannya.
Dan kini tahu-tahu wanita itu sendiri yang membuka rahasia berkata di depan Hui Hong bahwa gadis itu bukan anaknya!
Mendengar suara suaminya, Pouw Cu Lan bangkit duduk dan menghadapi
suaminya. Kedua matanya merah membengkak karena tangis. Kedua pipinya yang menjadi pucat basah air mata dan kedua mata itu mengeluarkan sinar marah.
Melihat pria tinggi besar bermuka hitam itu berdiri di situ dan teringat akan kepergian Hui Hong, timbul sakit hati dan kemarahan yang hebat di dalam hati wanita itu.
Teringat ia betapa selama bertahun-tahun, demi keselamatan Hui Hong, ia rela dijadikan benda permainan oleh pria yang sebetulnya amat dibencinya ini.
Kini baru ia menyadari sepenuhnya betapa ia amat muak dan benci kepada wajah yang kasar hitam dan bengis itu.
Maka, Pouw Cu Lan lalu bangkit berdiri dan dengan tangan gametar ia menudingkan telunjuknya ke arah muka itu dan suaranya terdengar lantang, "Ouwyang Sek, engkau manusia jahat!
Engkaulah yang membuat anakku pergi, tak dapat kucegah lagi! Engkau hendak memaksanya menikah dengan seorang pemuda yang tidak disukainya!"
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya yang tebal. "Apa Hui Hong pergi" ia berani minggat" Anak bedebah itu!"
"Engkau yang bedebah! Engkau tidak berhak menentukan jodohnya akan tetapi engkau memaksanya menjadi calon Isteri orang yang tidak
disukainya!"
"Cu Lan, engkau tidak tahu diri! Bulankah selama ini aku selalu baik dan mencintamu" Bukankah selama ini aku amat menyayang Hui Hong seperti anakku sendiri".
Akan tetapi engkau malah yang membuka rahasia itu, tentu membuat Hui Hong menjadi bingung. Dan aku memilihkan jodoh yang amat baik, kenapa kau ribut-ribut" Suma Hok adalah seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan kaya raya.
Kurang apalagi" Ayahnya juga seorang sahabatku, seorang yang memiliki tingkat yang sama
denganku!"
"Huh, pemuda jahat itu kaupuji-puji" Padahal, dia nyaris memperkosa Hui Hong!
Sepatutnya engkau marah dan membunuh pemuda itu, bukannya malah hendak menariknya sebagai mantu."
"Perbuatannya itu wajar saja, karena cintanya kepada Hui Hong ... "
"Busuk! Jahat! Tentu saja engkau tidak menyalahkan dia yang hendak memperkosa anakku, karena engkau sendiri juga jahat seperti dia, karena engkau juga telah memperkosaku!"
"Cu Lan ... !" Wajah yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah. "Engkau perempuan tak mengenal budi! Kalau tidak ada aku, kini tentu engkau telah mati bersama anak dalam kandunganmu, atau menjadi seorang nenek terlantar,
mungkin menjadi jembel, minta-minta bersama anakmu, mungkin anak perempuanmu menjadi pelacur karena tidak ada yang menjamin kehidupannya.
Engkau kini menjadi wanita terhormat dan hidup mewah, anakmu menjadi seorang gadis yang berilmu dan dihormati temua orang. Semua itu berkat jasaku, mengerti"
Dan engkau berani bersikap seperti ini kepadaku?"
Cu Lan merasa terpukul karena apa yang diucapkan pria itu memang tidak bohong.
Karena mengingat akan budi itulah ia rela menyerahkan hati dan tubuhnya kepada Ouwyang Sek, sekedar membalas budi, demi kebahagiaan putrinya.
Kalau kini ia marah adalah karena melihat anaknya dipaksa untuk berjodoh dengan orang yang
tidak disukai anaknya sehingga anaknya sekarang nekat pergi untuk mencari ayah kandungnya.
"Bagaimanapun juga, engkau yang memaksa ia menerima laki-laki yang bahkan dibencinya dan sekarang ia melarikan diri, ia pergi tanpa dapat kucegah." Cu Lan menangis dengan sedihnya, Ouwyang Sek mengepal tinju, dia marah sekali. "Anak itu sungguh tak tahu diri!
Sejak kecil kusayang dan kurawat, kudidik akan tatapi sekarang bukan saja berani membantahku bahkan pergi tanpa pamit. Tentang
perjodohannya, bukan aku memaksanya! Bukankah ia telah mengajukan syarat yang cukup berat, yaitu pertama agar yang menjadi calon suaminya menemukan
kembali mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dan kedua agar calon suaminya dapat mengalahkannya dalam pertandingan"
Nah, dengan adanya syarat itu, apakah itu berarti aku memaksanya?"
Cu Lan juga tarpaksa membenarkan ucapan suaminya ini. Ia tahu bahwa suaminya memang sungguh menyayang Hui Hong seperti anak sendiri, dan syarat yang diajukan Hui Hong itupun diterima, kecuali syarat ke tiga, yaitu agar calon jodohnya dapat mempertemukannya dengan Bun Houw untuk minta maaf tidak dipenuhi oleh Ouwyang Sek.
Dilain hal itu, berarti suaminya memang sudah memberi
kelonggaran kepada Hui Hong, "Syarat itu harus ditambah, sekarang syarat dari aku sendiri! Kalau syaratku itu tidak dipenuhi, sampai mati aku akan menentang perjodohan anakku!"
"Hemm, syarat apalagi" Dua syarat Hui Hong itu sudah cukup berat!" Ouwyang Sek mengomel.
"Syaratku adalah bahwa siapa yang dapat mengembalikan Hui Hong kepadaku, ialah yang patut menjadi mantuku!"
Ouwyang Sek dapat menerima syarat isterinya, karena diapun maklum betapa akan duka hati isterinya kalau Hui Hong tidak kembali lagi
kepadanya.
Akan tetapi tentu saja dia merasa sungkan kepada rekannya, datuk dari Bukit Bayangan Iblis (Kui-eng-san). "Baik, kau katakan sendiri kepada ayah dan anak itu agar tidak disangka aku yang sengaja mempersulit mereka."
"Huh, di mana kegagahanmu yang selama ini kau sombongkan" Demi membela anak, kenapa engkau tidak berani menentang mereka" Baik, aku akan menemui mereka dan mengatakannya sendiri!" kata Pouw Cu Lan dan diam-diam Ouwyang
Sek memandang heran dan kagum, isterinya ini, bekas selir kaisar dan bekas kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong, selama ini bersikap sebagai seorang wanita lemah yang
suka melakukan segala perintahnya dengan patuh.
Akan tetapi saat ini telah berubah menjadi seorang wanita pemberani, bahkan berani untuk menentang
keluarga Suma. Dan diapun menyadari bahwa semua kelemahan dan kepatuhan Cu Lan ternyata hanya demi puterinya.
Kini begitu puterinya terganggu, iapun dapat berubah sebagai seekor harimau betina yang melindungi anaknya!"
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Tok-siauw-kwi suma Hok telah siap untuk pergi dan mereka berdua menanti di ruangan depan untuk berpamit dari keluarga Ouwyang, terutama sekali Suma Hok ingin bertemu lagi dengan Hui Hong
dan pamit kepada gadis yang dianggapnya sebagai tunangan atau calon isterinya itu.
Tentu saja mereka merasa heran, dan terutama Suma Hok merasa kecewa
ketika mereka melihat Ouwyang Sek muncul kembali hanya bersama isterinya.
Tidak nampak Hui Hong bersama mereka, juga tidak nampak Ouwyang Toan!
Tidak munculnya Ouwyang Toan tidak diambil pusing oleh Suma Hok, akan tetapi tidak adanya Hui Hong membuat dia merasa kecewa sekali dan saking tidak dapat menahan kekecewaan hatinya, diapun menyambut Ouwang Sek dengan pertanyaan tanpa sungkan lagi, "Paman Ouwyang, mana Hui Hong" Aku ingin berpamit kepada tunanganku yang tercinta itu!"
Sebelum Ouwyang Sek yang merasa malu dapat menjawab, isterinya telah
mendahului dan dengan suara lantang Pouw Cu Lan berkata, "Orang muda,dengarlah baik-baik. Anakku Hui Hong telah pergi tanpa pamit, entah ke mana kamipun tidak tahu, aku sebagai ibunya, kini
menambahkan syarat sebagai
sayembara untuk menjadi calon suami anakku.
Anakku Hui Hong sudah mengajukan
syarat bahwa calon suami harus dapat menemukan kembali mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dan harus pula dapat mengalahkan ia dalam pertandingan.
Sekarang kutambah dengan sebuah syarat lagi, yaitu siapa yang dapat menemukan Hui Hong dan dapat mengajaknya pulang ke sini, dialah calon suami anakku, calon mantuku!"
Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar, "Bagus sekali! Syarat yang tiga itu cukup adil dan kami sanggup memenuhi ketiganya!"
Tentu saja semua orang terkejut, terutama Ouwyang Sek dan Suma Koan karena kedua orang datuk ini tidak dapat mengetahui atau mendengar kedatangan orang
yang mengeluarkan suara itu.
Tahu-tahu orang itu telah berada di situ dan ketika mereka menengok, ternyata di pekarangan itu telah berdiri seorang pemuda dan
seorang kakek buta! Mereka itu bukan lain adalah Bun Houw dan gurunya, bekas Pangeran Tiauw Sun Ong.
Sejenak semua orang memandang ke arah guru dan murid itu dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akan tetapi tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh isak tangis dari Pouw Cu Lan sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepada Tiauw Sun Ong dan terdengar di antara isaknya ia berkata lemah.
"Pangeran ...!" Dapat dibayangkan betapa hancur hati wanita itu. Dahulu, ketika ia menjadi selir terkasih kaisar, ia telah saling jatuh cinta dengan Pangeran Tiauw Sun Ong. Adik suaminya. Mereka berdua telah lupa diri, berdua sehingga akhirnya tertangkap basah dan biarpun kaisar tidak menghukum adiknya, namun Pangeran Tiauw Sun Ong yang merasa berdosa dan malu, membutakan matanya sendiri di
depannya.
Pangeran itu telah menjadi seorang buta karena iapun ketika itu tidak mengharapkan hidup lagi, dihukum buang dan akhirnya dirampas oleh Ouwyang Sek. Andaikata Ia tidak mengandung, tentu ia akan membunuh diri!
Kini, setelah kesemuanya itu hanya tinggal kenangan belaka, tiba-tiba ia berhadapan dengan Pangeran Tiauw Sun Ong, satu-satunya pria yang dicintanya, akan tetapi juga yang menderita sengsara karenanya!"
"Pangeran ...!" Kembali ia memanggil dengan suara merintih, di iringi tangis mengguguk.
"Ha-ha-ha-ha!" Kui-siauw Giam-ong tertawa bergelak. "Saudara Ouwyang Sek,sungguh pertunjukan ini lucu sekali, seperti di atas panggung wayang dan engkau membiarkan saja badut ini datang disambut sembah dan tangis isterimu".
Kalau perlu, aku dapat membantumu mengirimnya ke neraka!"
Ouwyang Sek yang mukanya hitam itu kini memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah.
"Tiauw Sun Ong, mau apa engkau datang ke sini?"
Sungguh sama sekali tidak ramah ucapannya itu, namun Tiauw Sun Ong
menyambutnya dengan senyum. Kakek buta ini juga sama sekali tidak
memperdulikan bekas kekasihnya yang kini telah menjadi isteri datuk Bukit Siluman itu. Seperti orang yang dapat melihat saja, dia mengangkat muka ke arah dua orang datuk itu dan suaranya terdengar lembut namun berwibawa.
"Suma Koan, kebetulan sekati aku bertemu denganmu di sini. Dan Ouwyang Sek, aku juga girang bahwa engkau berada di rumah sehingga aku dapat bertemu dengan kalian dua orang datuk besar. Aku ingin menyampaikan terima kasih kepada kalian yang telah memukul muridku dengan pukulan beracun, karena perbuatan kalian itu mendatangkan untung yang teramat besar dan tak ternilai harganya bagi muridku."
Mendengar ucapan itu wajah kadua orang datuk itu berubah kemerahan karena tentu saja mereka mengira bahwa ucapan bekas pangeran itu merupakan ejekan atau sindiran, sama sekali mereka tidak tahu bahwa ucapan itu memang sungguh-sungguh!
"Tiauw Sun Ong, tidak perlu banyak cakap. Cepat katakan mau apa kau ke sini sebelum kuusir engkau yang tidak kuundang!" bentak Ouwyang Sek yang menjadi semakin marah karena mara ia diejek.
Bekas pangeran itu tetap tersenyum.
"Ouwyang Sek, kami telah mendengar
sayembara untuk pencalonan suami bagi anakmu Hui Hong. Nah, aku datang bersama muridku untuk mengajukan pinangan agar Hui Hong dapat menjadi jodoh muridku Bun Houw ... "
"Tidak boleh!" bentak Ouwyang Sek memotong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bercakap begitu. Dengarkan dulu apa yang dikatakan pangeran!" bentak Cu Lan dan kembali Ouwyang Sek merasa heran.
Wanita ini sekarang sungguh amat berani! "Hui Hong adalah anakku dan aku berhak pula memutuskan!" sambung pula Pouw Cu Lan.
"Kami sudah mendengar tentang tiga macam syarat itu.
Pertama, menemukan Akar Bunga Gurun Pasir, ke dua menandingi Hui Hong dalam ilmu silat, dan ke tiga,
membawa kembali Hui Hong yang sekarang pergi entah ke mana. Dan juga pedang Lui-kong-kiam milik muridku telah berada di tanganmu, Ouwyang Sek, biarlah kami menganggap itu sebagal Ikatan jodoh!"
"Tidak, aku tidak menerima pinangan itu! Hui Hong telah kujodohkan dengan putera saudara Suma Koan! Andaikata belum juga, aku tidak akan menjodohkan anakku dengan murid seorang buta!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bicara seperti itu!" Pouw Cu Lan berteriak, lalu ia bangkit, lari ke depan kaki Tiauw Sun Ong, menjatuhkan diri berlutut lagi dan berkata, "Pangeran, Hui Hong adalah puteri pangeran, anak kita, dan saya setuju kalau ia dijodohkan dengan muridmu ... ,"
"Diam kau, perempuan binal!" bentak Ouwyang Sek marah, kemudian dia berkata kepada bekas pangeran itu dengan pandang mata penuh kebencian karena cemburu.
"Tiauw Sun Ong, pergilah engkau dari sini atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!"
Akan tetapi bekas pangeran itu kini
tidak memperdulikannya lagi. Dia
menunduk dan memalingkan muka
ke arah bekas kekasihnya.
"Cu Lan, aku menyesal sekali telah
menyebabkan engkau menderita
dalam hidupmu. Aku pun cukup
menderita dan agaknya
memang Tuhan telah menghukum
kita berdua karena perbuatan kita
yang tidak benar.
Cu Lan, aku telah tahu tentang anak
kita Hui Hong, sekarang katakan, ke mana ia pergi?"
"Pangeran, saya menceritakan
kepadanya tentang kita, dan ia ... ia
pergi bersama seorang wanita yang
katanya mengetahui di mana engkau
berada.
Saya tidak dapat mencegahnya ... "
"Siapa wanita itu?" tanya Tiauw Sun Ong, sedangkan Ouwyang Sek juga
mendengarkan dengan penuh
perhatian karena baru sekarang dia mendengar bahwa anaknya pergi
bersama seorang wanita.
"Saya tidak melihatnya. hanya
mendengar suaranya, dan menurut
Hui Hong, ia seorang wanita cantik
yang usianya sekitar tiga puluhan.
Pangeran, tolong carikan ia, carilah
anakku, cari anak kita karena aku
merasa khawatir sekali ... "
"Ha-ha-ha, saudara Ouwyang,
sebetulnya bagaimanakah ini" Hui
Hong yang hendak diperisteri putraku itu anak siapa! Anakmu, anak si buta ini, ataukah anak haram?"
Suma Toan yang tidak sabar kini
berseru dengan suara mengejek.
"Tiauw Sun Ong, dengar baik-baik!"
Ouwyang Sek kini membentak marah. "Engkau dan perempuan binal ini
sama sekali tidak berhak atas diri Hui Hong!
Lihat perempuan ini. Ia selir kaisar
yang telah memberi segala galanya,
kedudukan dan kemewahan, akan
tetapi apa yang ia lakukan" Ia
melakukan penyelewengan,
berkhianat dan berjina denganmu,
adik suaminya sendiri.
Setelah tertangkap basah, kalian
berpisah dan apa yang ia lakukaa" Ia
mau menjadi isteriku dan ?a
melayaniku dengan sepenuh hati
sampai sekarang. Perempuan macam
ini apakah berhak untuk menjadi
seorang ibu yang berhak penuh atas
diri Hui Hong"
Dan lihat dirimu sendiri! Engkau
telah mengkhianati kakak sendiri,
berjina dengan isteri kakakmu.
Setelah ketahuan, engkau tidak
bertanggung jawab, malah melarikan diri, tidak perduli kekasih gelapmu
telah mengandung. Orang macam
engkan ini apakah pantas menjadi
ayah Hui Hong"
Sebaliknya, sejak kecil, sejak lahir,
Hui Hong kupelihara, kudidik sampai
menjadi seorang gadis seporti
sekarang keadaannya.
Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku yang berhak menentukan jodohnya"
Hayo jawab!
"Terdengar rintihan dan tangis keluar dari mulut Pouw Cu Lan. Wanita ini
merasa betapa ucapan suaminya itu
seperti pedang beracun menancap di
ulu hatinya. Ia tidak mampu
membantahnya walaupun semua itu
ia lakukan demi Hui Hong!
Juga bekas pangeran itu berdiri
menunduk dan berulang kali
menghela napas panjang.
Biarpun kasar dan keji, ucapan dari
datuk sesat itu memang benar. diapun
mempunyai alasan, yaitu bahwa dia tidak tahu bahwa kekasihnya itu telah
mengandung ketika dia
meninggalkannya.
Andaikata dia tahu, mnngkin tidak
akan begini jadinya. Akan tetapi
alasan itupun amat lemah dan dia
tidak mau mengeluarkannya.
"Ouwyang Sek, aku datang bukan
untuk merampas hakmu sebagai ayah atas diri Hui Hong. Bahkan aku mengakui engkan sebagai ayahnya.
Buktinya, aku datang sebagai wakil
muridku ini untuk melakukan
pinangan atas diri Hui Hong sebagai
puterimu. Dan kami akan memenuhi tiga syarat tadi, juga pedang Lui-kong-kiam itu boleh kausimpan sebagai
tanda ikatan jodoh atau tanda bahwa kami telah meminang puterimu."
"Pedang Lui-kong-kiam ini kuambil
dari tangan muridmu dengan
kekerasan. Kalau memang dia
mempunyai kemampuan, boleh
merampasnya kembali dari
tanganku!"kata Ouwyang Sek sambil menepuk pedang dengan sarungnya yang seperti tongkat dan yang
tergantung di punggungnya itu.
Sementara itu Suma Koan juga
melangkah maju menghampiri Tiauw Sun Ong dan tertawa dengan nada
mengejek. "Hei , orang buta. Sungguh
lancang sekali engkau, berani
meminang Ouwyang Hui Hong. Anak perempuan itu telah menjadi calon
mantuku, tahu" Siapa yang meminang calon mantuku, berarti menghinaku.
Engkau boleh mengajukan
pinanganmu kalau mampu
menghadapi suling mautku!"
Ditantang olah kedua orang datuk itu, Tiauw Sun Ong menoleh ke arah muridnya.
"Bun Houw, tidak ada jalan lain lagi. Kau rampaslah kembali Lui-kong-
kiam dari Ouwyang Sek, dan biar aku yang akan melayani Iblis Suling Maut ini."
Bun Houw yang merasa kasihan
sekali kepada ibu kandung Hui Hong, mengangguk,lalu diapun melangkah maju mengbampiri Ouwyang Sek.
Bagaimaupun juga, dia tetap
memandang kakek tinggi besar muka hitam ini sebagai ayah Hui Hong.
maka diapun bersikap sopan.
"Lo-cian-pwe, aku menerima
tantanganmu untuk mencoba
mengambil kembali Lui-kong-kiam
yang kaudapat."
"Heh, bocah yang bosan hidup.
Kebetulan sekali karena akupun ingin
tidak memperdulikannya lagi. Dia
menunduk dan memalingkan muka
ke arah bekas kekasihnya.
"Cu Lan, aku menyesal sekali telah
menyebabkan engkau menderita
dalam hidupmu. Aku pun cukup
menderita dan agaknya
memang Tuhan telah menghukum
kita berdua karena perbuatan kita
yang tidak benar.
Cu Lan, aku telah tahu tentang anak
kita Hui Hong, sekarang katakan, ke mana ia pergi?"
"Pangeran, saya menceritakan
kepadanya tentang kita, dan ia ... ia
pergi bersama seorang wanita yang
katanya mengetahui di mana engkau
berada.
Saya tidak dapat mencegahnya ... "
"Siapa wanita itu?" tanya Tiauw Sun Ong, sedangkan Ouwyang Sek juga
mendengarkan dengan penuh
perhatian karena baru sekarang dia mendengar bahwa anaknya pergi
bersama seorang wanita.
"Saya tidak melihatnya. hanya
mendengar suaranya, dan menurut
Hui Hong, ia seorang wanita cantik
yang usianya sekitar tiga puluhan.
Pangeran, tolong carikan ia, carilah
anakku, cari anak kita karena aku
merasa khawatir sekali ... "
"Ha-ha-ha, saudara Ouwyang,
sebetulnya bagaimanakah ini" Hui
Hong yang hendak diperisteri putraku itu anak siapa! Anakmu, anak si buta ini, ataukah anak haram?"
Suma Toan yang tidak sabar kini
berseru dengan suara mengejek.
"Tiauw Sun Ong, dengar baik-baik!"
Ouwyang Sek kini membentak marah. "Engkau dan perempuan binal ini
sama sekali tidak berhak atas diri Hui Hong!
Lihat perempuan ini. Ia selir kaisar
yang telah memberi segala galanya,
kedudukan dan kemewahan, akan
tetapi apa yang ia lakukan" Ia
melakukan penyelewengan,
berkhianat dan berjina denganmu,
adik suaminya sendiri.
Setelah tertangkap basah, kalian
berpisah dan apa yang ia lakukaa" Ia
mau menjadi isteriku dan ?a
melayaniku dengan sepenuh hati
sampai sekarang. Perempuan macam
ini apakah berhak untuk menjadi
seorang ibu yang berhak penuh atas
diri Hui Hong"
Dan lihat dirimu sendiri! Engkau
telah mengkhianati kakak sendiri,
berjina dengan isteri kakakmu.
Setelah ketahuan, engkau tidak
bertanggung jawab, malah melarikan diri, tidak perduli kekasih gelapmu
telah mengandung. Orang macam
engkan ini apakah pantas menjadi
ayah Hui Hong"
Sebaliknya, sejak kecil, sejak lahir,
Hui Hong kupelihara, kudidik sampai
menjadi seorang gadis seporti
sekarang keadaannya.
Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku yang berhak menentukan jodohnya"
Hayo jawab!
"Terdengar rintihan dan tangis keluar dari mulut Pouw Cu Lan. Wanita ini
merasa betapa ucapan suaminya itu
seperti pedang beracun menancap di
ulu hatinya. Ia tidak mampu
membantahnya walaupun semua itu
ia lakukan demi Hui Hong!
Juga bekas pangeran itu berdiri
menunduk dan berulang kali
menghela napas panjang.
Biarpun kasar dan keji, ucapan dari
datuk sesat itu memang benar. diapun
mempunyai alasan, yaitu bahwa dia tidak tahu bahwa kekasihnya itu telah
mengandung ketika dia
meninggalkannya.
Andaikata dia tahu, mnngkin tidak
akan begini jadinya. Akan tetapi
alasan itupun amat lemah dan dia
tidak mau mengeluarkannya.
"Ouwyang Sek, aku datang bukan
untuk merampas hakmu sebagai ayah atas diri Hui Hong. Bahkan aku mengakui engkan sebagai ayahnya.
Buktinya, aku datang sebagai wakil
muridku ini untuk melakukan
pinangan atas diri Hui Hong sebagai
puterimu. Dan kami akan memenuhi tiga syarat tadi, juga pedang Lui-kong-kiam itu boleh kausimpan sebagai
tanda ikatan jodoh atau tanda bahwa kami telah meminang puterimu."
"Pedang Lui-kong-kiam ini kuambil
dari tangan muridmu dengan
kekerasan. Kalau memang dia
mempunyai kemampuan, boleh
merampasnya kembali dari
tanganku!"kata Ouwyang Sek sambil menepuk pedang dengan sarungnya yang seperti tongkat dan yang
tergantung di punggungnya itu.
Sementara itu Suma Koan juga
melangkah maju menghampiri Tiauw Sun Ong dan tertawa dengan nada
mengejek. "Hei , orang buta. Sungguh
lancang sekali engkau, berani
meminang Ouwyang Hui Hong. Anak perempuan itu telah menjadi calon
mantuku, tahu" Siapa yang meminang calon mantuku, berarti menghinaku.
Engkau boleh mengajukan
pinanganmu kalau mampu
menghadapi suling mautku!"
Ditantang olah kedua orang datuk itu, Tiauw Sun Ong menoleh ke arah muridnya.
"Bun Houw, tidak ada jalan lain lagi. Kau rampaslah kembali Lui-kong-
kiam dari Ouwyang Sek, dan biar aku yang akan melayani Iblis Suling Maut ini."
Bun Houw yang merasa kasihan
sekali kepada ibu kandung Hui Hong, mengangguk,lalu diapun melangkah maju mengbampiri Ouwyang Sek.
Bagaimaupun juga, dia tetap
memandang kakek tinggi besar muka hitam ini sebagai ayah Hui Hong.
maka diapun bersikap sopan.
"Lo-cian-pwe, aku menerima
tantanganmu untuk mencoba
mengambil kembali Lui-kong-kiam
yang kaudapat."
"Heh, bocah yang bosan hidup.
Kebetulan sekali karena akupun ingin
Nah,majulah untuk menerima kematian!" Kakek itu menggerakkan tangannya dan dia sudah menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri
sehingga mendatangkan suara
menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Houw.
Pemuda ini sudah maklum akan
kelihaian lawan, maka dia pun sudah
bersikap waspada, cepat dia
meloncat ke belakang untuk
mengelak dan mencari tempat
yang lebih luat agar jangan
mengganggu gurunya.
Juga agar tidak terlalu dekat
dengan ibu Hui Hong yang masih
berlutut sambil menangis sedih.
Sementara itu, Suma Koan sudah
menggunakan sulingnya untuk
menyerang Tiauw Sun Ong Datuk dari Bukit Bayangan Iblis ini berjuluk Kui-siauw Giam-ong (Iblis Suling Maut),
tentu saja senjata sulingnya itu
dahsyat bukan main.
Suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata yang kokoh kuat
karena terbuat dari baja yang
pilihan, juga ujungnya mengandung
racun, dan suling itupun dapat
dipergunakan untuk meniupkan
jarum-jarum beracun ke arah lawan.
Senjata inilah yang mengangkat
Suma Koan dan membuat dia dijuluki Suling Maut.
Namun sekali ini, majikan Kui-eng-san itu berhadapan dengan Tiauw
Sun Ong.
Tadinya dia memang memandang rendah kepada kakek buta itu karena diapun baru pernah mendengar saja
nama bekas pangeran ini. namun
belum membuktikan sendiri
kelihaiannya.
Bagaimanapun juga, dia hanya
seorang buta," demikian pikir Suma Koan dan serangan-serangannya yang dahsyat itu, dia mengira akan mampu
merobohkan lawan buta itu dalam
beberapa gebrakan saja. Akan tetapi, begitu Tiauw Sun Ong menggerakkan
tangannya, sebatang pedang
berkilauan telah berada di tangannya dan dia melemparkan tongkat yang
menjadi sarung pedang itu kepada
muridnya sambil berseru, "Bun Houw, kau pergunakan ini!"
Tiauw Sun Ong menggerakkan
pedangnya dan nampak sinar
bergulung-gulung,menangkis suling
dan begitu kedua senjata itu bertemu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan
terkejut bukan main karena dia
merasa betapa retapak tangannya
yang memegang suling tergetar hebat, tanda bahwa lawan buta itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, tidak berada di sebelah bawahnya!
Maka, diapun berseru keras dan
sulingnya melakukan serangkaian
serangan yang lebih dahsyat lagi.
disambut dengan tenang oleh Tiauw
Sun Ong yang juga maklum bahwa
dia melawan seorang datuk yang
lihai.
Bun Houw menyambut sarung
pedang berbentuk tongkat butut yang dilemparkan suhunya, akan tetapi
melihat betapa Ouwyang Sek
menyerangnya dengan tangan
kosong, diapun hanya menyelipkan tongkat itu di ikat pinggangnya dan
menghadapi serangan datuk Bukit
Siluman itu dengan tangan kosong
pula.
Sampai belasan jurus dia hanya
mengelak dengan berloncatan dan
dengan menggeser kedua kakinya
secara ringan dan lincah sekali
sehingga semua serangan kakek itu
hanya mengenai tempat kosong.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menjadi
penasaran bukan main, rasa
penasaran yang mendatangkan
kemarahan. Belasan jurus dia
menyerang dan pemuda itu hanya
mengelak, akan tetapi tidak pernah pukulannya mengenai sasaran. Diam-diam dia terkejut di samping
kemarahannya.
Pemuda ini dahulu telah dia pukul
dengan pukulan yang mengandung
hawa beracun mematikan. Akan
tetapi, kini bukan saja pemuda itu
sama sekali tidak kelihatan menderita oleh pukulannya, bahkan kini
pemuda itu sedemikian mudahnya
menghindarkan diri dari belasan kali
serangannya yang dahsyat.
"Bocah sombong, mampuslah!" Tiba-
tiba dia membentak dan dia
mengirim serangan dengan kedua
tangannya yang menghadang dari
kanan kiri dengan cepat dan kuat.
tidak memungkinkan pemuda itu
untuk mengelak lagi.
Andaikata lawannya meloncat ke
belakangpun tentu akan dilanda
hawa pukulan jarak jauh yang
mengandung tenaga sin-kang dan
hawa beracun itu.
Melihat serangan maut ini. Bun Houw tidak mau mengelak lagi. Diapun
diam-diam mengerahkan tenaga yang didapatnya dari latihan Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya dia mengatur dan membatasi tenaganya, hanya untuk
melindungi dirinya saja,tanpa niat
untuk menyerang atau mencelakai
lawan.
"Wuuuuttt, desss ...!" Kedua telapak tangan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek
bertemu dengan dinding yang tidak
nampak dan demikian kuatnya
benturan pada dinding tak nampak
itu sehingga tubuh datuk itu
terdorong ke belakang.
Dia tidak mampu menguasai kuda-
kudanya lagi sehingga terpaksa
kakinya terhuyung melangkah ke
belakang sampai lima langkah! Dan yang membuat dia terbelalak adalah
melihat pemuda itu masih berdiri
tegak dengan sikap tenang!
Ilmu apa ini, pikirnya kaget dan
karena maklum bahwa dengan
tangan kosong dia tidak akan mampu
menandingi pemuda yang memiliki
tenaga mujijat yang tidak dikenalnya itu, Ouwyang Sek lalu menggerakkan tangan kanan ke punggungnya dan
di lain saat, nampak kilat berkelebat menyambar ketika dia telah
mencabut Lui-kong-kiam (Pedang
Kilat) yang dahulu dirampasnya dari tangan Bun Houw!"
Melihat pedangnya sendiri kini
dipergunakan lawan untuk
menyerangnya, Bun Houw segera
mencabut tongkat sarung pedang
gurunya yang dia selipkan di
pinggang. Dia tentu saja mengenal
keampuhan Lui-kong-kiam, dan
biarpun dia belum pernah melihat
ilmu pedang datuk itu, namun
mengingat bahwa datuk itu
berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), dia dapat menduga bahwa
Ouwyang Sek tentu seorang ahli pedang yang amat lihai.
"Singgg ... wuuuut, singgg ...!" Lui-kong-kiam di tangan Ouwyang Sek diputar-putar di atas kepalanya membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. "Bocah
sombong, biar pedangmu sendiri
menghirup darahmu!"
Pedang yang kalau digerakkan
menimbulkan sinar berkilat itu
menyambar ke arah leher Bun Houw. Memang pantas Ouwyang Sek dijuluki Bu-eng-kiam karena dia memang
seorang ahli pedang yang mampu
menggerakkan pedang dengan
kecepatan luar biasa sehingga seolah-olah pedang itu tidak mempunyai
bayangan,tahu-tahu telah tiba
disasaran yang dituju.
Namun Bun Houw adalah murid
tersayang dari Tiauw Sun Ong yang
memiliki ilmu pedang yang ampuh,
yaitu ilmu pedang yang
mengandalkan ketajaman
pendengaran dan perasaan naluri
seorang buta.
Gerakan pedang yang betapapun
dapat ditangkap oleh pendengaran
dan perasaan itu, maka begitu pedang itu menyambar ke arah lehernya, Bun Houw,sudah dapat menangkisnya dengan tongkat sarung pedang
gurunya.
"Trangg ... !" Pedang terpental lalu menukik ke bawah, menusuk ke arah perut Bun Houw.
"Trangg ...!" Kembali pedang yang terpental itu membuat gerakan
membalik dan kini sudah menyambar lagi menusuk dada.
"Trangg ...!" Dan kini Bun Houw
melanjutkan tangkisannya dengan
serangan balasan yang meubuat
Ouwyang Sek harus cepat memutar
pedangnya untuk membuat perisai
gulungan sinar melindungi dirinya
karena dia dapat merasakan
sambaran angin dahsyat ketika
tongkat itu menyambar-nyambar ke arah dirinya.
Terjadi perkelahian yang amat hebat antara Ouwyang Sek dan Bun Houw, dan makin lama, Ouwyang Sek
menjadi semakin terkejut dan
terheran-heran. Belum lama, ketika
dia untuk pertama kalinya bertemu
dengan pemuda ini, Bun Houw
belumlah sepandai ini walaupun
tingkat pemuda ini sudah sedikit lebih tinggi dari pada tingkat Ouwyang
Toan dan Hui Hong.
Akan tetapi sekarang, bagaimana
mungkin pemuda ini sudah menjadi
sedemikian lihainya sehingga dia
sendiri selalu kalah kalau beradu
tenaga, dan ilmu pedangnyapun tidak mampu mendesak pemuda yang
hanya bersenjatakan tongkat pendek
ini"
Sementara itu. perkelahian antara
Tiauw Siauw Ong dan Suma Koan
juga terjadi dengan hebatnya. Namun, setelah beberapa kali meniupkan
jarum beracun tanpa hasil karena
selalu dapat dipukul runtuh oleh
gulungan sinar pedang di tangan
lawan yang buta itu.
Mulailah Suma Koan terdesak oleh
gulungan sinar pedang yang
dimainkan Tiauw Sun Ong. Melihat
betapa ayahnya tidak mampu menang bahkan terdesak oleh orang buta yang tadinya mereka pandang rendah itu. Suma Hok juga mencabut sulingnya
dan dia tanpa banyak cakap lagi
sudah terjun ke dalam perkelahian
membantu ayahnya mengeroyok
Tiauw Sun Ong!
Sang ayah juga diam saja dan
agaknya mereka tidak merasa malu
harus mengeroyok seorang lawan
yang buta! Mengelahui bahwa dia
dikeroyok oleh dua orang lawan
tangguh. Tiauw Sun Ong memutar
pedangnya semakin cepat dan
membentuk benteng pertahanan dari
gulungan sinar pedang yang
berkilauan untuk melindungi dirinya.
Bun Houw hanya mengimbangi
permainan Ouwyang Sek karena
bagaimanapun juga, dia tidak ingin
membuat datuk yang menjadi ayah
tiri Hui Hong ini merasa terhina
kalau dia kalahkan.
Akan tetapi, kini dia melihat keadaan gurunya yang dikeroyok secara
curang oleh ayah dan anak Suma, dia harus membantu gurunya,"pikir Bun Houw dan untuk dapat melakukan
itu. dia harus menyudahi
perkelahiannya melawan Ouwyang
Sek.
Tiba-tiba Bun Bouw mengeluarkan
bentakan nyaring, bentakan yang
membuat Ouwyang Sek merasa
betapa jantungnya terguncang dan
saat itu, pedang Lui-kong-kiam di
tangannya bertemu dengan tongkat di tangan Bun Houw dan melekat!
Dia berusaha menarik kembali
pedang itu, namun tidak dapat dan
karena marah dia lalu
menghantamkan tangan
kirinya dengan telapak tangan
terbuka ke arah muka Bun Houw.
Hantaman ini dilakukan sekuat
tenaga dengan kandungan hawa
beracun dan kalau sampai
terkena pukulan ini. betapapun
lihainya, tentu pemuda itu akan
roboh dan tewas.
Melihat pukulan tangan kiri ini, Bun Houw maklum betapa besar
bahayanya, maka diapun
mengerahkan tenaga dari Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan
tangan kiri menyambut hantaman ke arah mukanya itu.
"Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, Ouwyang Sek
mengeluarkan seruan kaget dan
tubuhnya gemetar, terhuyung ke
belakang. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Bun Houw untuk secepat kilat melepaskan lekatan
tongkatnya dari pedang, dan ujung
tongkatnya sudah menotok
pergelangan tangan kanan
Ouwyang Sek sehingga pedang itu terlepas dan dilain detik, Lui-kong-
kiam telah kembali kepada
pemiliknya!"
Ouwyang Sek yang terhuyung ke
belakang, terbelalak melihat pedang
itu sudah terampas oleh Bun Houw. Dia merata malu, penasaran dan
kemarahannya memuncak. Dengan
mengeluarkan gerengan seperti
seekor binatang buas dia
menyambar sarung pedang yang
masih tergantung di punggungnya,
lalu dia meloncat ke depan, dengan
buas menerkam dan menggerakkan
sarung pedang berbentuk tongkat itu ke arah Bun Houw, menyerang
dengan membabi-buta.
Bun Houw menyambut serangan
sarung pedang itu. Melihat betapa
Ouwyang Sek memegang ujung
sarung pedang sehingga bagian yang berlubang menghadap ke
arahnya, diapun mengelebatkan Lui-kong-kiam yang sudah dirampasnya, menarik ke depan dan tepat sekali Lui-kong-kiam masuk ke dalam
sarung pedang itu!
Dan pada saat itu, sarung pedang
milik gurunya yang masih dipegang
tangan kirinya,membuat gerakan
menyerang ke arah leher Ouwyang
Sek. Datuk ini terkejut,
berusaha menarik sarung pedang itu, namun sia-sia dan kalau dia tidak
cepat mengelak, serangan sarung
pedang lawan tentu akan mengenai
lehernya.
Diapun dengan nekat menggunakan
tangan kiri menangkap sarung
pedang itu.
"Desss!" pada saat itu, Bun Houw
sudah menendang, tepat mengenai
perutnya dan biar pun dalam
menendang ini Bun Houw membatasi tenaganya, tetap saja Ouwyang Sek
terlempar ke belakang dan terpaksa
melepaskan kedua sarung
pedang tadi. Dia terbanting jatuh dan
sakit di hatinya lebih hebat dari pada
rasa nyeri di pinggulnya yang
terbanting.
Sementara itu, Bun Houw sudah
meloncat ke arah gurunya dan sekali
pedang Lui-kong-kiam menyambar
suling di tangan Suma Hok patah
menjadi dua! Pemuda tampan pesolek itu tentu saja terkejut bukan main,
akan tetapi juga jerih. Dia
meloncat ke belakang dan ayahnya
yang bukan orang bodoh, maklum
bahwa kalau dilanjutkan dia akan
kalah, cepat meloncat ke belakang
pula, dekat puteranya.
Ayah dan anak ini selamat dari
keadaan yang lebih memalukan, yaitu jatuh di tangan si buta dan muridnya, Suma Koan memberi hormat ke arah Ouwyang Sek dan berkata.
"Saudara Ouwyang, kami berpamit.
Kalau kami sudah memenuhi tiga
syarat puterimu, kami akan kembali
membicarakan urusan perjodohan."
Setelah berkata demikian, ayah dan
anak itu pergi tanpa menengok lagi
kepada Tiauw Sun Ong dan Bun
Houw yang juga tidak
memperdulikan mereka.
Dengan tenang Tiauw Sun Ong
mengangkat mukanya ke arah
Ouwyang Sek dan diapun berkata
dengan nada tegas.
"Nah, muridku telah memenuhi
tantanganmu dan berhasil
mendapatkan kembali Lui-kong-kiam dari tanganmu. Kami berdua
menyanggupi sayembara itu dan
kalau kami yang dapat memenuhinya, maka Bun Houw yang berhak untuk
menjadi suami Hui Hong. Harap
engkau sebagai seorang datuk tidak
akan menjilat ludah sendiri, Ouwyang Sek."
Ouwyang Sek yang sudah bangkit
berdiri dengan kedua kaki gemetar
saking marah dan tak berdaya, kini
melotot dan wajahnya yang hitam itu menyeramkan sekali,
"Tidak! Lebih baik melihat Hui Hong mati dari pada harus menjadi isteri muridmu!
Lebih baik aku kawinkan Hui Hong
dengan seorang jembel busuk tanpa
nama dari pada harus menikah
dengan muridmu! Engkau tidak patut dan tidak berhak menjadi ayahnya,
dan Cu Lan juga hanya seorang
perempuan hina, tidak berhak
menentukan nasibnya.
Hanya aku seorang yang berhak, dan
aku akan mempertahankan Hui Hong dengan nyawaku!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak
berbicara demikian!" tiba-tiba
terdengar suara Cu Lan memekik.
Wanita ini sudah berdiri dengan
marah sekali.
Wajahnya yang biasanya segar
kemerahan, kini menjadi pucat,
rambutnya awut-awutan, matanya
merah membengkak, pipinya masih
basah air mata dan mulutnya
membayangkan kedukaan dan
kemarahan yang teramat besar.
"Aku rela menjadi isterimu, rela
menjadi barang permainanmu hanya untuk Hui Hong! Engkau tentu masih ingat bahwa aku mengancam akan
membunuh diri kalau engkau
menjamah tubuhku sebelum Hui
Hong terlahir.
Kemudian, akupun menyerahkan diri
hanya dengan syarat bahwa engkau
akan memperlakukan Hui Hong
sebagai anak sendiri dan
bersikap baik kepadanya. Semua
derita itu kupertahankan demi Hui
Hong.
Sekarang, engkau hendak
memaksakan kehendakmu atas diri
Hui Hong, hendak kau jodohkan
dengan orang yang tidak disukainya. Akupun tidak sudi lagi menjadi
isterimu, dan sekarang karena Hui
Hong telah mengetahui siapa ayah
kandungnya yang sebenarnya, maka
aku menyerahkan Hui Hong kepada
ayah kandungnya.
Aku rela meninggalkannya karena
ada ayah kandungnya yang akan
melindungi dan membelanya.
Pangeran, aku pasrahkan anak kita
kepadamu dan aku setuju kalau akan
kaujodohkan dengan muridmu.
Selamat tinggal ...!"
"Cu Lan ... !" Tiauw Sun Ong berseru.
"Cu Lan ... !" Ouwyang Sek juga berteriak sambil meloncat ke arah
isterinya.
Namun terlambat, karena Cu Lan
sudah menusukkan pisau yang tajam
runcing itu ke dadanya, di bawah iga kiri dan iapun roboh dalam
rangkulan Ouwong Sek.
"Cu Lan ...! Cu Lan isteriku ...! Aihh, Cu Lan ...!" Ouwyang Sek mengguncang-guncang tubuh isterinya dalam
pelukannya, namun Cu Lan tidak
dapat menjawab lagi karena ia sudah
tewas seketika.
Mengingat ini,Pangeran Tiauw Sun
Ong menghela napas panjang. Dia
tahu bahwa bagaimanapun juga,
Ouwyang Sek mencinta isterinya, dan kini tentu Ouwyang Sek akan
menderita tekanan batin dan
kedukaan besar yang akan menyiksa
hidupnya.
Diapun merasa iba kepada datuk itu
yang akan kehilangan pula anak tiri yang dianggap anaknya sendiri dan disayangnya, telah kehilangan pula isterinya, walaupun kesayangan dan
kecintaan datuk ini penuh dengan
nafsu mementingkan diri sendiri.
"Ouwyang Sek, engkau memetik buah dari hasil tanamanmu sendiri,"
katanya lirih.
Ouwyang Sek menghentikan
keluhannya dan mengangkat muka
memandang kepada bekas pangeran
itu dengan sinar mata penuh
kebencian.
"Tiauw Sun Ong aku akan membalas
semua ini! Aku bersumpah akan
membalas semua ini kepada
kalian berdua!"
Akan tetapi Tiauw Sun Ong tidak
memperdulikannya. "Bun Houw, mari kita pergi."
Guru dan murid itupun pergi
meninggalkan Lembah Bukit Siluman. Biarpun di situ terdapat banyak anak buah Ouwyang Sek, namun tidak ada seorangpun berani bergerak untuk
menentang mereka karena selain
mereka tidak berani, Juga tidak
ada perintah dari majikan mereka. Ouwyang Sek dengan sedih
memondong jenazah isterinya,
dibawa masuk ke dalam rumah dan
keluarga itu berkabung.
Akan tetapi, Hui Hong tidak berada di situ, bahkan Ouwyang Toan juga tidak ada karena pemuda ini setelah
mengetahui bahwa Hui Hong pergi
tanpa pamit, segera pergi pula untuk
mencarinya.
**********
Semua orang yang berada di dalam rumah makan itu, terutama yang pria,
memandang kepada dua orang
wanita yang baru memasuki rumah makan dengan pandang mata kagum. Lucu melihat gaya setiap orang pria
yang berada di situ. Ada 27
yang memandang langsung dan
menyeringai, ada yang mengerling
lalu membereskan letak pakaian dan
rambut, ada yang melirik dengan
sikap acuh namun sesungguhnya
perhatiannya tercurah kepada dua
orang wanita itu.
Bahkan tiga orang pelayan rumah
makan seperti berebut dulu
menyambut mereka, dengan
sikap hormat dan manis, dan
mempersilakan, mereka ke meja yang masih kosong,yang kebetulan berada di sudut sebelah dalam sehingga
banyak tamu yang dapat
melihat mereka.
Peristiwa seperti ini. datangnya tamu wanita-wanita cantik, amat
menguntungkan rumah makan dan
hal ini diketahui benar oleh para
pelayan, maka dua orang wanita itu
dipersilakan duduk di tempat yang
mudah dilihat oleh para tamu di meja lain.
Dengan adanya "tontonan" gratis ini. para tamu akan lebih betah tinggal di situ dan pesanan makanan dan
minuman akan bertambah banyak.
DUA orang wanita yang mamasuki
rumah makan An-lok (Selamat
Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang
amat menarik hati, terutama kaum
pria, karena keduanya amat
cantik jelita.
Orang pertama adalah seorang wanita yang telah matang karena ia
nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih.
Pada hal sesungguhnya wanita ini
sudah berusia empat puluh delapan
tahun! Dalam usia mendekati
setengah abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik. Wajahnya
yang berkulit putih halus kemerahan itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan
sama sekali.
Juga bentuk tubuhnya masih padat
dan ramping. Rambutnya digelung
indah seperti sanggol rambut seorang puteri bangsawan saja, dan
pakaiannya juga indah dan mahal.
Hal ini tidaklah mengherankan
karena wanita ini adalah Bwe Si Ni
yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi
Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang
istana kerajaan Liu-sung yang telah
jatuh, dan setelah kini keluar dari
istana, ia meniru gaya dan dandanan
seorang pateri istana, bukan seorang
dayang lagi!"
Wanita yang ke dua lebih menarik
lagi walaupun pakaian dan
dandanannya tidak semewah wanita
pertama. Ia seorang gadis yang juga
berkulit putih mulus, namun
pakaian dan dandanannya sederhana sehingga ia nampak cantik manis dan agung,juga gagah karena di
punggungnya terdapat gendongan
sebuah bantalan kain kuning dan di
bawah buntalan itu terdapat pula
sepasang pedang yang sarung dan
gagangnya terukir indah.
Gadis berusia dua puluh satu tahun
ini adalah Hui Hong. Seperti kita
ketahui, Hui Hong mendengar
pengakuan ibu kandungnya bahwa ia
bukanlah puteri Ouwyang Sek,
melainkan puteri bekas Pangeran
Tiauw Sun Ong,ketika ia bertanya kepada ibunya di mana ayah
kandungnya itu berada, ibunya tidak
mampu menjawab, dan Kwan-im
Sian-li Bwe Si Ni yang menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong.
Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan
perjalanan jauh sampai pada pagi
hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan
An-lok, menjadi pusat perhatian para tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali
tidak perduli akan sikap dan gaya
para pria yang berada di rumah
makan itu. Hui Hong sendiri sudah
sering melakukan perjalanan
dan ia tahu benar bahwa semua pria
di manapun juga sama saja, selalu
bergaya dan beraksi kalau melihat
wanita cantik dan ia tahu bahwa
sahabat barunya ini yang
mengaku bernama Bwe Si Ni dan
mengetahui di mana adanya ayah
kandungnya,adalah seorang wanita
yang amat cantik.
Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat
berlari cepat bukan main. Biarpun
belum pernah ia menguji ilmu
silatnya dan mereka berdua
dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat
menduga bahwa wanita ini tentu
lihai.
Setelah mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat
bertanya makanan dan minuman
apa yang mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya. "Engkau ingin makan apa"
Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan
nampaknya acuh saja terhadap
dirinya. Akan tetapi pagi ini
kelihatan lebih ramah dari pada
biasanya, "Apa saja sesukamu, enci.
Aku tidak ingin sesuatu yang
istimewa, juga tidak menolak macam makanan." jawabnya, ramah
pula. Biarpun di lubuk hatinya, Hui
Hong belum percaya sepenuhnya
kepada wanita ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia membutuhkan bantuannya untuk
dapat bertemu dengan ayah
kandungnya maka iapun berusaha
untuk bersikap baik dan ramah.
Bwe Si Ni tersenyum.
"Aku ingin makan bebek panggang
dan goreng burung dara.
Minumnya ringan saja sari buah,
tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan
masakan itu kepada kepala pelayan
yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya jelas
menatap tajam dan penuh kagum
kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan suaranya
mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang
ajar, hayo cepat sediakan pesanan
kami!"
Kepala pelayan itu terkejut,
membungkuk-bungkuk dan segera
pergi. Sudah beberapa kali dalam
perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya
itu terhadap pria. ia sendiri juga
membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni.
Baru melihat saja sudah dapat
membuat ia marah-marah. Sikapnya
seolah wanita cantik ini amat
membenci kaum pria. Diam-diam ia
merasa heran. Seorang wanita
sehebat ini, mustahil kalau belum
berumah tangga dan ia menduga-
duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana asalnya.
Akan tetapi ia belum sempat
mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa
menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan
minum tanpa memperdulikan
puluhan pasang mata yang seolah
mengikuti setiap gerak-gerik mereka.
Hui Hong yang diam-diam
memperhatikan temannya, melihat
betapa cara makan Bwe Si Ni juga
anggun, seperti dibuat-buat dan
diatur.
Pernah ia mendengar dari ayahnya,
atau ayah tirinya, bahwa kehidupan
para bangsawan tinggi lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal
bicara atau makan saja mereka
mempunyai cara sendiri, seperti
diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan"
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka
melihat para pelayan nampak
ketakutan, dan kepala pelayan
bersama pimpinan rumah makan
itu yang tadinya hanya duduk di
dekat kasir, dengan membungkuk-
bungkuk dan senyum dibuat-buat
menyongsong ke luar, seperti
menyambut datangnya tamu
agung.
Bahkan para tamu yang tadinya
nampak gembira mengamati dua
orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tergesa-gesa
membayar harga makanan dan
meninggalkan meja mereka.
"Sediakan meja besar untuk kami!
Yang di tengah itu, dan keluarkan
hidangan yang kami sukai, seperti
biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya
sampai mengkilap!" terdengar suara
dengan logat selatan, dan suara itu
mengandung keangkuhan yang
memuakkan hati Bwe Si Ni dan Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari
meja bukan mereka, keduanya diam
saja dan tidak ambil perduli.
Sekeluarga yang tadinya makan
minum di meja itu, tanpa berani
membantah lalu pindah ke meja lain dan makanan mereka diusungi para
palayan.
Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan
keluarkan dulu arak yang paling
baik!" kembali terdengar suara
orang, sekali ini bukan suara yang
tadi, kemudian terdengar bangku
diseret dan terdengar pula orang yang
membesihkan hidung dan
tenggorokan dengan suara yang
menjijikkan sekali.
"Jahanam!" Bwe Si Ni mendesis dan
melepaskan sepasang sumpitnya di
atas meja.
Juga Hui Hong merasa muak dan
tidak melanjutkan makan. Untung
mereka sudah kenyang. Kini dengan
sinar mata marah, ketuanya menoleh
untuk melihat orang-orang macam
apa yang demikian sombong dan
tidak mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang
yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, potongan pakaian mereka ringkas
seperti yang biasa dipakai orang-
orang dari dunia persilatan, dan di
punggung mereka terselip golok
telanjang yang berkilauan. Dari
dandanan, senjata, dan sikap mereka
jelas dan mudah diketahui bahwa
mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang suka
mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan
kehendak kepada orang lain.
Hal inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni 30
kalau saja tiga orang itu tidak mencari penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda,
berusia tiga puluh tahun dan
mukanya kekuning-kuningan seperti
penderita penyakit dan tubuhnya
tinggi kurus, memandang kepada
mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu
amatlah cantiknya.
"Heiii i ! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!"
Serunya gembira. "Siapa kira di sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik s
egerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka melihat dua orang wanita secantik yang
ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali,
sute (adik seperguruan)!" kata yang
bertubuh pendek gendut berperut
besar sambil terkekeh. "Mereka
memang cantik manis dan sekali ini
aku tidak ingin pura-pura alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona.
Akan tetapi dia lebih berhati-hati
dibandingkan dua orang sutenya
karena dia melihat sepasang pedang
yang tergantung di pinggang Hui
Hong. Bwe Si Ni sendiri
menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan.
Sebaiknya kalau kita mengundang
mereka baik-baik untuk berkenalan."
katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan saputangan.
Mereka memutari meja itu dan
berdiri berjejer, menghadapi dua
orang wanita itu dengan muka
cengar-cengir. Si kumis lebat, yaitu
orang tertua yang bertubuh sedang
dan nampak kokoh kuat. mengangkat kedua tangan dan memberi hormat
kepada Si Ni dan Hui Hong, di kuti dua orang sutenya yang masih
menyeringai senang karena setelah
kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu,semakin jelas
nampak betapa cantik menariknya
dua orang wanita di depan mereka
itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan
kami,oleh karena itu, kami ingin
berkenalan dengan ji-wi (anda
berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima
Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai
daerah ini.
Kami mengundang ji-wi untuk
berkenalan sambil makan minum di
meja kami.
Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si
kumis lebat itu mempersilakan dua
orang wanita itu untuk pindah ke
meja mereka dengan keyakinan
bahwa dua orang wanita itu akan
pasti suka menerima undangannya
karena nama besar Ki-ciu Ngo-houw ditakuti semua orang didaerah itu ... "
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan
matanya mencorong ketika ia
menyapu tiga orang itu dengan
pandang matanya. "Tidak perduli
kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum. "Hi-hik. kami
sudah makan kenyang. Andaikata
belum makanpun, kami tidak sudi
makan bersama kalian yang jorok
dan menjijikkan!"
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu
menghampiri meja kasir dan
membayar harga makanan dan
minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar
dari rumah makan. Semua tamu yang kebetulan melihat semua ini,
terbelalak dan terheran-heran
bagaimana ada dua orang, wanita
lagi, berani bersikap saperti itu
terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak membikin ribut di sini ... " pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru kami akan makan!" kata si kumis tebal dengan
marah dan bersama dua orang
sutenya, dia lalu melangkah lebar
keluar dari rumah makan
melakukan pengejaran.
Tiga orang ini memang merupakan
tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan
dan pengaruh besar di daerah Ki-
ciu.
Merekapun berhubungan baik
dengan para pejabat setempat
sehingga ada kerja sama diantara
mereka. Mereka tidak dimusuhi para
pejabat, akan tetapi merekapun
berjanji tidak akan membuat kacau
dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi
masih menahan sabar walaupun
marah sekali dengan sikap dua orang
gadis di rumah makan An-lok. Ketika
mereka membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau
membikin ribut di dalam kota.
Setelah Hui Hong dan Si Ni tiba di
luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan
perjalanan, barulah tiga orang itu
dengan cepat mengejar, kemudian
mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu.
Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang
yang menjemukan itu membayangi
mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan
sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi
mereka," kata Hui Hong mendahului
karena ia dapat menduga bahwa
kalau wanita cantik itu yang turun
tangan mungkin saja ia akan
membunuh ketiganya. Biarpun sejak
kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam
Ouwyang Sek, seorang datuk besar
yang tadinya ia anggap sebagai
ayahnya, bukan saja dididik dengan
ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi
juga melihat kekerasan dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi
nasehat oleh ibunya agar ia tidak
berwatak kejam dan tidak
sembarangan membunuh orang.
Karena itu, dalam hati Hui Hong
terbentuk watak yang tidak kejam
seperti ayahnya walaupun ia keras
dan galak, dan tidak mau membunuh
orang sembarangan saja.
Sekarangpun ia menganggap bahwa
tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak
seharusnya dibunuh seperti orang-
orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin
menonton dan melihat sampai di
mana kehebatan puteri kandung
Tiauw Sun Ong atau juga murid
dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi
mereka adalah gadis yang lebih
muda, sedangkan wanita yang ke dua enak-enak duduk menonton, tiga
orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si kumis
tebal sudah melangkah maju dan
menudingkan telunjuknya ke arah
hidung Hui Hong sambil berkata,
"Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka kami
menahan sabar.
Sekarang, kami akan menghajar
kalian dan menyeret kalian
kembali ke rumah makan An-lok
untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian
lakukan tadi yang telah membikin
malu kepada kami di depan orang
banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang
itu menelan ludah. Gadis yang
mereka hadapi ini manis luar biasa!
"Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar
karena kalian pandai menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak
menggonggong tidak menggigit.
Pergilah, sekali ini biar kuampuni.
Pergi sebelum kalian menerima
penghinaan lebih parah lagi!"
Tentu saja tiga orang itu menjadi
marah bukan main. "Tangkap gadis
liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk
yang seorang lagi!" teriak si kumis
tebal.
Tiga orang itu menerjang ke depan
dan mereka memang memiliki
gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman!
Tingkat kepandaian Hui Hong
jauh lebih tinggi dibandingkan
mereka, maka melihat mereka bertiga sudah menerjang untuk
menangkapnya, dengan ringan dan
mudah saja Hui Hong menyelinap di antara tangan-tangan mereka dan
lolos dari terkaman. Tiga orang itu
terkejut melihat gadis itu menjadi
bayangan berkelebat dan lenyap.
Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang mereka
dan menggunakan tangan menggapai
dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan pukulan!"
Kembali Hui Hong menggunakan
kelincahannya untuk mengelak ke
sana-sini.
kemudian ketika lengan si tinggi
kurus muka kuning menyentuh
pundaknya dari belakang, ia
menangkap pergelangan tangan itu,
mengerahkan tenaga dan
membungkuk, menarik tangan itu
dan tubuh si tinggi kurus berputar
dengan kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk ... !" Si muka kuning
mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi
punggungnya yang rasanya seperti
patah-patah tulangnya dan
pinggulnya yang tipis tak berdaging
itu nyeri bukan main. Dia
melangkah menjauh dengan
terpincang, pincang, untuk sementara tidak mampu menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja
marah sekali melihat si muka kuning roboh.
Mereka, menyerang semakin nekat
dan kini mereka bukan hanya ingin
menghajar,bahkan kalau perlu
membunuh karena serangan-
serangan mereka kini merupakan
serangan maut yang dapat
mematikan lawan. Melihat ini, Hui
Hong juga tidak mau membuang
banyak waktu lagi. Ketika si perut
gendut menerjang dari samping. ia
mundur dua langkah dan ketika
tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong
mencuat dan ujung sepatunya
memasuki perut yang bergajih itu
dengan kerasnya.
"Ngekk ...!" Tubuh gendut itu
terjengkang dan terbanting keras
sampai bergulingan.
Si gendut berteriak-teriak kesakitan
dan seperti juga sutenya tadi, dia
merangkak dan dengan susah payah mencoba bangkit sambil menekan
perutnya yang tiba-tiba menjadi
mulas.
Orang pertama yang selain marah
juga terkejut melihat akibat
perkelahian ini,mencabut goloknya
yang terselip di punggung, lalu
menyerang Hui Hong dengan
bacokan-bacokan goloknya.
Terdengar suara berdesing-desing
ketika golok yang lebar dan tajam itu
membelah udara kosong karena tidak
pernah dapat menyentuh
sasarannya. Hui Hong menjadi
marah.
Mungkin saja tiga orang ini bukan
orang-orang yang suka berbuat jahat, akan tetapi sudah jelas bahwa
mereka, terutama si kumis tebal ini
mempunyai hati yang kejam.
Buktinya mereka mengeroyok
seorang lawan wanita,
bahkan melakukan serangan untuk
mematikan, pada hal sebab
perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan
segan menggunakan golok
menyerang lawan yang tidak
bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok
itu menyambar, Hui Hong
membiarkan golok itu lewat dengan
sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan
kirinya bergerak menotok
pergelangan tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu
terlepas dan ia sudah merampasnya!
Pada detik yang lain, Hui
Hong sudah menggerakkan lagi
tangan kirinya, sekarang ke arah
muka si kumis tebal.
Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat dan si
kumis tebal mengeluarkan pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan. Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan
berdarah karena kumisnya telah
dicabut oleh tangan Hui Hong.
Kini kumis yang tebal itu tinggal
sebelah saja, dan kulit di bagian
kumis yang dijebol itu terluka
berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua
tangannya menekuk golok rampasan
itu sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua
potong. Ia melemparkannya ke atas tanah sambil tersenyum mengejek.
"Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, ekan tetapi juga penasaran dan marah.
Peristiwa yang amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka
alami selama hidup.
"Kau ... kau ... kalau memang gagah, tunggu saja ... kami mengundang twa-suheng dan jisuheng ... " kata si kumis dengan suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya.
Kamudian mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya, "Hui Hong, kenapa engkau bermain-main dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
"Enci, orang-orang sombong itu
memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang, akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri. "Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!"
"Masa bodoh, biar mereka mencari
kita kalau memang sudah bosan
hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui
ayah kandungnya, Hui Hong tidak
dapat membantah lagi dan ia pun
mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ
melanjutkan perjalanan.
Belum jauh mereka pergi, mereka
mendengar derap kaki kuda dari
belakang.
Setelah beberapa ekor kuda itu
datang dekat, Hui Hong dan Si Ni
minggir dan menanti untuk
membiarkan mereka lewat.
Akan tetapi, segera mereka melihat
bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang
penunggangnya. Tiga di antara
mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong. Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang tinggi besar
bermuka hitam dan yang ke dua,
tegap dan berwajah tampan yang
lelalu tersenyum memikat. Wajah
seorang penaluk wanita!
Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah
sudah Ki ciu Ngo-houw,
lima harimau yang mengaku
berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan
rumput di tepi jalan, lima orang itu
menghadapi Hui Hong yang
tersenyum mengejek. "Mau apa kalian datang mengejar kami" Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan
semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelehnya
sehingga wajahnya yang tidak
berkumis itu kini nampak lucu.
Akan tetapi yang menjawab
pertanyaan Hui Hong bukan dia
melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah
dua orang wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah
menghajar tiga orang suteku" Bagus, ternyata engkau selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan
menjadi pasanganku yang cocok
sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja.
kalau perlu bunuh untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan
Hui Hong dan menariknya ke
belakang sambil berkata, suaranya
lirih mendesis seperti desis seekor
ular cobra yang marah.
"Mundurlah, Hui Hong. Sekarang
giliranku!"
Hui Hong mundur karena ia
sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu.
Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang
duduk di atas sebuah akar pohon
yang menonjol keluar dari tanah.
Kini, Bwe Si Ni yang berdiri
menghadapi lima orang itu. Ia sudah tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu
nampak anggun dan dingin
angkuh, seperti sikap seorang putri
menghadapi para abdi yang siap
menaati semua perintahnya. Agaknya wanita ini ingin menyesuaikan
sikapnya dengan julukannya.
Julukannya adalah Dewi Kwan Im,
seorang dewi yang dipuja orang
karena terkenal sebagai Dewi Welas
Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang
gendut dan yang tadi perutnya
menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong. "Sejak semula bertemu di
rumah makan, aku sudah jatuh cinta padanya!"
"Singgg ... crattt ...!" Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua alis matanya tertntuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya.
Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut satengah mati. Terutama
orang ketiga dan kelima yang selalu bertiga dengan si gendut, merasa
terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat kakak
pertama dan ke dua mereka,
membuat hati mereka bertambah
berani.
Dengan teriakan-teriakan marah,
keduanya sudah mencabut golok
masing-masing dan menerjang ke
arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis,
melainkan nampak tangan kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang
menyilaukan mata ke arah dua orang penyerangnya dan merekapun
menjerit dan terjengkang roboh
dengan golok masih di tangan.
Kiranya sebelum golok mereka
mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan secepat kilat menyambar dan menusuk dada
kedua orang itu tanpa mereka
mampu mengelak atau menangkis
lagi. Mereka roboh dan berkelojotan
di dekat tubuh sigendut yang kini
sudah tidak bergerak lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang
tampan itu terbelalak dan muka
mereka berubah pucat.
Di samping kemarahan yang hebat,
merekapun terkejut dan gentar
karena sebagai ahli-ahli silat pandai
merekapun dapat mengenal orang
yang memiliki kesaktian, yang
kiranya tidak mungkin dapat mereka
lawan. Cara wanita cantik itu
membunuh tiga orang sute mereka
sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu,membuat mereka
mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Mereka
mulai mengamati Si Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan
rambut berupa teratai di sanggul
rambut yang tinggi itu, mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona ... nona ... Kwan Im Sianli ... ?" tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat dengus lirih dari hidungnya, "Huh, kalau
sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke
depan dada dan membungkuk-
bungkuk memberi hormat kepada
Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah Kwan-im sianli,
datuk besar golongan sesat yeng
amal ditakuti, mereka seperti mati
kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap
kurang hormat." kata si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik
seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena
belum pernah berjumpa, hari ini
kami telah berlaku kurang hormat.
Mohon Sian-li sudi memberi ampun
kepada kami berdua." kata pula yang
tampan dan kini dia sudah
kehilangan gayanya sebagai pemikat hati wanita,bersikap sedemikian
rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat
kalian bunuh diri, atau menanti aku
yang membunuh kalian?" suara Si Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejeman orang-orang dunia sesat, merasa ngeri.
Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh
merupakan Iblis betina yang amat
kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-
tiba mereka sudah mencabut golok
dan menyerang dengan gerakan
dahsyat, dengan serangan yang
mematikan. Si tinggi besar
menyerangkan goloknya ke arah
leher Si Ni sedangkan adik
seperguruannya membabatkan golok ke arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak
bayangannya berkelebat ke atas
kepala mereka.
Keduanya cepat membalikkan tubuh karena maklum, bahwa wanita itu
tadi meloncati kepala mereka dan
berada di belakang. Akan tetapi
mereka kalah cepat.
Baru saja memutar tubuh, dua kali
sinar berkilauan menyambar dan
keduanya roboh tanpa dapat
mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat
sebatang pedang yang tadi dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali
secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni!
Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang
biasanya merajalela di daerah itu,
mati konyol di tangan seorang datuk
wanita tanpa dapat melawan
sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan
perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa
terlalu melelahkan diri. Ketika
matahari sudah naik tinggi, udara
panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan,
mereka berdua menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar
dan membiarkan dua ekor
kuda itu mengaso dan makan
rumput.
Dua ekor kuda itu nampak senang
sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang
tumbuh di tepi sungai. Dun orang
wanita itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw" Kesalahan mereka tidak terlalu besar, hanya
bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak
dibunuh. Semua laki-laki, terutama
yang tidak menghargai wanita, harus dibunuh!" jawab Si Ni dan dari
suaranya dapat diketahui bahwa ia
memang bersungguh-sungguh dan
nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat
membenci pria!"
"Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!"
"Ehh" Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu ... mereka juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki ... "
"Aku tidak mempunyai semua itu!
Aku selamanya tidak pernah
bersuami, dan semua ini kulakukan
karena kekejaman pria!"
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali
dan hatinya amat tertarik. Agaknya
wanita cantik ini pernah mengalami hal-hal yang amat mengecewakan
atau mendukakan hatinya, akibat
ulah seorang pria, maka sampai
sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria,
bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda,
enci, masih banyak harapan untuk
kelak bertemu dengan seorang pria yang cocok untuk menjadi suamimu "
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau
terpaksa aku akan menyerangmu!"
Hui Hong menghela napas panjang.
"Enci, aku pernah mendengar
namamu disebut oleh ayah ...
maksudku, oleh Bueng-kiam
Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai, dan
menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li
adalah seorang wanita tua. Akan
tetapi, sekarang aku bertemu
engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang
tinggi, akan tetapi engkau masih
muda ... "
"Hemm, siapa bilang aku masih muda" Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku
sudah mendekati setengah abad,
bagaimana bisa dibilang muda?" Hui
Hong terbelalak, "Setengah abad" Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau
nampak berusia tiga puluhan tahun lebih sedikit!"
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang
selalu amat memperhatikan riasan
dan dandanannya, maka tentu saja ia
merasa senang mendengar pujian
bahwa ia awet muda, apalagi pujian
itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan,
Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui
Hong berseru, terkejut dan juga
kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan
sebut enci (kakak) kepadaku,
melainkan bibi."
Bwe Si Ni tersenyum. Baru sekarang
Hui Hong melihat senyum yang
bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu. Manis sekali.
Ia merasa yakin bahwa ketika
mudanya, wanita ini amatlah
cantiknya.
"Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan
keberanianku bertanya karena aku
merasa amat tertarik dan ingin tahu
sekali, bibi. Bibi adalah seorang
wanita yang selain pandai, juga
teramat cantik. Kalau wanita biasa
yang bodoh dan tidak cantik saja
mendapatkan jodoh, kenapa bibi
tidak pernah menikah" Maafkan
pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang
mengajukan pertanyaan itu, tentu
sudah kubunuh seketika. Akan tetapi engkau justeru merupakan satu-
satunya orang yang harus
mengetahui riwayatku.
Nah, aku menjadi pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu
merenung dan beberapa kali menarik napas panjang seolah undangan
semua kenangan lama itu
mendatangkan pula kedukaan
yang mendalam di hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda
dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri,
pikirnya.
Kalau dayang, kenapa sekarang
dandanan pakaian dan rambutnya
seperti seorang puteri saja" Akan
tetapi tentu saja ia diam dan tidak
berkata apa-apa, hanya menanti
wanita itu melanjutkan ceritanya
yang tentu akan menarik sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria
dan kami saling mencinta. Akan
tetapi, laki-laki itu seorang yang mata keranjang. Bukan aku saja yang
menjadi kekasihnya,melainkan
banyak! Dan akhirnya dia
meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!"
Si Ni menggeleng kepalanya dan
wajahnya nampak muram, sedih,
"Ada dua hal yang membuat hal itu
tidak mungkin kulakukan, Hui Hong.
Pertama, aku ... aku masih
mencintanya dan aku mengharapkan dapat menghabiskan sisa hidupku di
samping orang yang selamanya
kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku
hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh ...!" Hui Hong terkejut, dan
kagum pula. Ia merasa kasihan
kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar
engkau menanyakan ayah
kandungmu, aku yang mengetahui di
mana dia, segera menawarkan diri
untuk menjadi penunjuk jalan
agar engkau dapat bertemu dengan
ayahmu. Akan tetapi, aku mempunyai syarat,yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan
ayahmu, aku ingin minta
bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi" Kalau
memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau
bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria yang
kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan
aku hidup di sampingnya,
melayaninya, merawatnya.
Kemudian,kalau dia berkeras
menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku minta engkau membantuku
untuk mengalahkan dan
membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar.
Permintaan itu cukup pantas dan
kalau pria yang tidak setia itu benar-
benar menolak dan mengandalkan
kepandaiannya untuk merusak
kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah selayaknya kalau dibasmi.
"Baik, bibi, aku berjanji untuk
membantumu melakukan dua hal
itu."
Wajah wanita itu berseri. "Engkau ... engkau tidak akan melanggar
janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut.
"Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil
aku dididik oleh Ouwyang Sek,
namun Ibuku selalu menanamkan
watak bertanggung jawab, adil dan
dapat dipercaya. Kalau aku sudah
berjanji, pasti akan kupenuhi, dan
kalau perlu mempertaruhkan
nyawaku. Aku Juga mempunyai
kebanggaan dan harga diri, bibi.
Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah
membuat bibi merana selama
puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia
memang pantas untuk dihukum!"
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia
merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong,membuat gadis ini
termangu dan terheran. Sungguh
sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya dingin
dan kaku, seperti mayat hidup. Dan
kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh
gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih ... " bisiknya. Memang wanita ini
merasa gembira bukan main. Ia
sudah berhasil membuat puteri
kekasihnya berjanji untuk
membujuk ayah gadis itu sendiri
untuk menerimanya, dan kalau perlu
membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi.
Akulah yang harus berterima kasih
sebelumnya bahwa bibi mau
mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu
berhasil membujuk pria pujaan hati bibi itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah
pegunungan yang memiliki banyak
bukit dan puncak yang tinggi. Sikap
kedua orang wanita itu memang
tidaklah aneh.
Setiap orang manusia di dunia ini,
seperti juga merekab erdua, selalu
bertindak atau berbuat menurut
pikiran masing-masing. Dan hati
akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri pribadi,mementingkan kesenangan
diri sendiri.
Memang beginilah ulah nafsu dan
dalam hati akal pikiran kita semua
sudah bergelimang nafsu yang
memang disertakan kepada kita
sebagai peserta yang membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan
ini.
Akan tetapi, karena sejak kecil kita
membiarkan nafsu makin lama
semakin berkuasa dan merajalela,
sehingga akhirnya mencengkeram
dan menguasai hati akal pikiran
sepenuhnya, maka kehidupan ini
sepenuhnya dikemudikan nafsu.
Nafsu membentuk aku yang ingin
menang, ingin senang sendiri. Karena itu, munculah segala macam
kemunafikan, yaitu yang pada
luarnya nampak baik, namun......
menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Houw.
Pemuda ini sudah maklum akan
kelihaian lawan, maka dia pun sudah
bersikap waspada, cepat dia
meloncat ke belakang untuk
mengelak dan mencari tempat
yang lebih luat agar jangan
mengganggu gurunya.
Juga agar tidak terlalu dekat
dengan ibu Hui Hong yang masih
berlutut sambil menangis sedih.
Sementara itu, Suma Koan sudah
menggunakan sulingnya untuk
menyerang Tiauw Sun Ong Datuk dari Bukit Bayangan Iblis ini berjuluk Kui-siauw Giam-ong (Iblis Suling Maut),
tentu saja senjata sulingnya itu
dahsyat bukan main.
Suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata yang kokoh kuat
karena terbuat dari baja yang
pilihan, juga ujungnya mengandung
racun, dan suling itupun dapat
dipergunakan untuk meniupkan
jarum-jarum beracun ke arah lawan.
Senjata inilah yang mengangkat
Suma Koan dan membuat dia dijuluki Suling Maut.
Namun sekali ini, majikan Kui-eng-san itu berhadapan dengan Tiauw
Sun Ong.
Tadinya dia memang memandang rendah kepada kakek buta itu karena diapun baru pernah mendengar saja
nama bekas pangeran ini. namun
belum membuktikan sendiri
kelihaiannya.
Bagaimanapun juga, dia hanya
seorang buta," demikian pikir Suma Koan dan serangan-serangannya yang dahsyat itu, dia mengira akan mampu
merobohkan lawan buta itu dalam
beberapa gebrakan saja. Akan tetapi, begitu Tiauw Sun Ong menggerakkan
tangannya, sebatang pedang
berkilauan telah berada di tangannya dan dia melemparkan tongkat yang
menjadi sarung pedang itu kepada
muridnya sambil berseru, "Bun Houw, kau pergunakan ini!"
Tiauw Sun Ong menggerakkan
pedangnya dan nampak sinar
bergulung-gulung,menangkis suling
dan begitu kedua senjata itu bertemu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan
terkejut bukan main karena dia
merasa betapa retapak tangannya
yang memegang suling tergetar hebat, tanda bahwa lawan buta itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, tidak berada di sebelah bawahnya!
Maka, diapun berseru keras dan
sulingnya melakukan serangkaian
serangan yang lebih dahsyat lagi.
disambut dengan tenang oleh Tiauw
Sun Ong yang juga maklum bahwa
dia melawan seorang datuk yang
lihai.
Bun Houw menyambut sarung
pedang berbentuk tongkat butut yang dilemparkan suhunya, akan tetapi
melihat betapa Ouwyang Sek
menyerangnya dengan tangan
kosong, diapun hanya menyelipkan tongkat itu di ikat pinggangnya dan
menghadapi serangan datuk Bukit
Siluman itu dengan tangan kosong
pula.
Sampai belasan jurus dia hanya
mengelak dengan berloncatan dan
dengan menggeser kedua kakinya
secara ringan dan lincah sekali
sehingga semua serangan kakek itu
hanya mengenai tempat kosong.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menjadi
penasaran bukan main, rasa
penasaran yang mendatangkan
kemarahan. Belasan jurus dia
menyerang dan pemuda itu hanya
mengelak, akan tetapi tidak pernah pukulannya mengenai sasaran. Diam-diam dia terkejut di samping
kemarahannya.
Pemuda ini dahulu telah dia pukul
dengan pukulan yang mengandung
hawa beracun mematikan. Akan
tetapi, kini bukan saja pemuda itu
sama sekali tidak kelihatan menderita oleh pukulannya, bahkan kini
pemuda itu sedemikian mudahnya
menghindarkan diri dari belasan kali
serangannya yang dahsyat.
"Bocah sombong, mampuslah!" Tiba-
tiba dia membentak dan dia
mengirim serangan dengan kedua
tangannya yang menghadang dari
kanan kiri dengan cepat dan kuat.
tidak memungkinkan pemuda itu
untuk mengelak lagi.
Andaikata lawannya meloncat ke
belakangpun tentu akan dilanda
hawa pukulan jarak jauh yang
mengandung tenaga sin-kang dan
hawa beracun itu.
Melihat serangan maut ini. Bun Houw tidak mau mengelak lagi. Diapun
diam-diam mengerahkan tenaga yang didapatnya dari latihan Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya dia mengatur dan membatasi tenaganya, hanya untuk
melindungi dirinya saja,tanpa niat
untuk menyerang atau mencelakai
lawan.
"Wuuuuttt, desss ...!" Kedua telapak tangan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek
bertemu dengan dinding yang tidak
nampak dan demikian kuatnya
benturan pada dinding tak nampak
itu sehingga tubuh datuk itu
terdorong ke belakang.
Dia tidak mampu menguasai kuda-
kudanya lagi sehingga terpaksa
kakinya terhuyung melangkah ke
belakang sampai lima langkah! Dan yang membuat dia terbelalak adalah
melihat pemuda itu masih berdiri
tegak dengan sikap tenang!
Ilmu apa ini, pikirnya kaget dan
karena maklum bahwa dengan
tangan kosong dia tidak akan mampu
menandingi pemuda yang memiliki
tenaga mujijat yang tidak dikenalnya itu, Ouwyang Sek lalu menggerakkan tangan kanan ke punggungnya dan
di lain saat, nampak kilat berkelebat menyambar ketika dia telah
mencabut Lui-kong-kiam (Pedang
Kilat) yang dahulu dirampasnya dari tangan Bun Houw!"
Melihat pedangnya sendiri kini
dipergunakan lawan untuk
menyerangnya, Bun Houw segera
mencabut tongkat sarung pedang
gurunya yang dia selipkan di
pinggang. Dia tentu saja mengenal
keampuhan Lui-kong-kiam, dan
biarpun dia belum pernah melihat
ilmu pedang datuk itu, namun
mengingat bahwa datuk itu
berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), dia dapat menduga bahwa
Ouwyang Sek tentu seorang ahli pedang yang amat lihai.
"Singgg ... wuuuut, singgg ...!" Lui-kong-kiam di tangan Ouwyang Sek diputar-putar di atas kepalanya membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. "Bocah
sombong, biar pedangmu sendiri
menghirup darahmu!"
Pedang yang kalau digerakkan
menimbulkan sinar berkilat itu
menyambar ke arah leher Bun Houw. Memang pantas Ouwyang Sek dijuluki Bu-eng-kiam karena dia memang
seorang ahli pedang yang mampu
menggerakkan pedang dengan
kecepatan luar biasa sehingga seolah-olah pedang itu tidak mempunyai
bayangan,tahu-tahu telah tiba
disasaran yang dituju.
Namun Bun Houw adalah murid
tersayang dari Tiauw Sun Ong yang
memiliki ilmu pedang yang ampuh,
yaitu ilmu pedang yang
mengandalkan ketajaman
pendengaran dan perasaan naluri
seorang buta.
Gerakan pedang yang betapapun
dapat ditangkap oleh pendengaran
dan perasaan itu, maka begitu pedang itu menyambar ke arah lehernya, Bun Houw,sudah dapat menangkisnya dengan tongkat sarung pedang
gurunya.
"Trangg ... !" Pedang terpental lalu menukik ke bawah, menusuk ke arah perut Bun Houw.
"Trangg ...!" Kembali pedang yang terpental itu membuat gerakan
membalik dan kini sudah menyambar lagi menusuk dada.
"Trangg ...!" Dan kini Bun Houw
melanjutkan tangkisannya dengan
serangan balasan yang meubuat
Ouwyang Sek harus cepat memutar
pedangnya untuk membuat perisai
gulungan sinar melindungi dirinya
karena dia dapat merasakan
sambaran angin dahsyat ketika
tongkat itu menyambar-nyambar ke arah dirinya.
Terjadi perkelahian yang amat hebat antara Ouwyang Sek dan Bun Houw, dan makin lama, Ouwyang Sek
menjadi semakin terkejut dan
terheran-heran. Belum lama, ketika
dia untuk pertama kalinya bertemu
dengan pemuda ini, Bun Houw
belumlah sepandai ini walaupun
tingkat pemuda ini sudah sedikit lebih tinggi dari pada tingkat Ouwyang
Toan dan Hui Hong.
Akan tetapi sekarang, bagaimana
mungkin pemuda ini sudah menjadi
sedemikian lihainya sehingga dia
sendiri selalu kalah kalau beradu
tenaga, dan ilmu pedangnyapun tidak mampu mendesak pemuda yang
hanya bersenjatakan tongkat pendek
ini"
Sementara itu. perkelahian antara
Tiauw Siauw Ong dan Suma Koan
juga terjadi dengan hebatnya. Namun, setelah beberapa kali meniupkan
jarum beracun tanpa hasil karena
selalu dapat dipukul runtuh oleh
gulungan sinar pedang di tangan
lawan yang buta itu.
Mulailah Suma Koan terdesak oleh
gulungan sinar pedang yang
dimainkan Tiauw Sun Ong. Melihat
betapa ayahnya tidak mampu menang bahkan terdesak oleh orang buta yang tadinya mereka pandang rendah itu. Suma Hok juga mencabut sulingnya
dan dia tanpa banyak cakap lagi
sudah terjun ke dalam perkelahian
membantu ayahnya mengeroyok
Tiauw Sun Ong!
Sang ayah juga diam saja dan
agaknya mereka tidak merasa malu
harus mengeroyok seorang lawan
yang buta! Mengelahui bahwa dia
dikeroyok oleh dua orang lawan
tangguh. Tiauw Sun Ong memutar
pedangnya semakin cepat dan
membentuk benteng pertahanan dari
gulungan sinar pedang yang
berkilauan untuk melindungi dirinya.
Bun Houw hanya mengimbangi
permainan Ouwyang Sek karena
bagaimanapun juga, dia tidak ingin
membuat datuk yang menjadi ayah
tiri Hui Hong ini merasa terhina
kalau dia kalahkan.
Akan tetapi, kini dia melihat keadaan gurunya yang dikeroyok secara
curang oleh ayah dan anak Suma, dia harus membantu gurunya,"pikir Bun Houw dan untuk dapat melakukan
itu. dia harus menyudahi
perkelahiannya melawan Ouwyang
Sek.
Tiba-tiba Bun Bouw mengeluarkan
bentakan nyaring, bentakan yang
membuat Ouwyang Sek merasa
betapa jantungnya terguncang dan
saat itu, pedang Lui-kong-kiam di
tangannya bertemu dengan tongkat di tangan Bun Houw dan melekat!
Dia berusaha menarik kembali
pedang itu, namun tidak dapat dan
karena marah dia lalu
menghantamkan tangan
kirinya dengan telapak tangan
terbuka ke arah muka Bun Houw.
Hantaman ini dilakukan sekuat
tenaga dengan kandungan hawa
beracun dan kalau sampai
terkena pukulan ini. betapapun
lihainya, tentu pemuda itu akan
roboh dan tewas.
Melihat pukulan tangan kiri ini, Bun Houw maklum betapa besar
bahayanya, maka diapun
mengerahkan tenaga dari Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan
tangan kiri menyambut hantaman ke arah mukanya itu.
"Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, Ouwyang Sek
mengeluarkan seruan kaget dan
tubuhnya gemetar, terhuyung ke
belakang. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Bun Houw untuk secepat kilat melepaskan lekatan
tongkatnya dari pedang, dan ujung
tongkatnya sudah menotok
pergelangan tangan kanan
Ouwyang Sek sehingga pedang itu terlepas dan dilain detik, Lui-kong-
kiam telah kembali kepada
pemiliknya!"
Ouwyang Sek yang terhuyung ke
belakang, terbelalak melihat pedang
itu sudah terampas oleh Bun Houw. Dia merata malu, penasaran dan
kemarahannya memuncak. Dengan
mengeluarkan gerengan seperti
seekor binatang buas dia
menyambar sarung pedang yang
masih tergantung di punggungnya,
lalu dia meloncat ke depan, dengan
buas menerkam dan menggerakkan
sarung pedang berbentuk tongkat itu ke arah Bun Houw, menyerang
dengan membabi-buta.
Bun Houw menyambut serangan
sarung pedang itu. Melihat betapa
Ouwyang Sek memegang ujung
sarung pedang sehingga bagian yang berlubang menghadap ke
arahnya, diapun mengelebatkan Lui-kong-kiam yang sudah dirampasnya, menarik ke depan dan tepat sekali Lui-kong-kiam masuk ke dalam
sarung pedang itu!
Dan pada saat itu, sarung pedang
milik gurunya yang masih dipegang
tangan kirinya,membuat gerakan
menyerang ke arah leher Ouwyang
Sek. Datuk ini terkejut,
berusaha menarik sarung pedang itu, namun sia-sia dan kalau dia tidak
cepat mengelak, serangan sarung
pedang lawan tentu akan mengenai
lehernya.
Diapun dengan nekat menggunakan
tangan kiri menangkap sarung
pedang itu.
"Desss!" pada saat itu, Bun Houw
sudah menendang, tepat mengenai
perutnya dan biar pun dalam
menendang ini Bun Houw membatasi tenaganya, tetap saja Ouwyang Sek
terlempar ke belakang dan terpaksa
melepaskan kedua sarung
pedang tadi. Dia terbanting jatuh dan
sakit di hatinya lebih hebat dari pada
rasa nyeri di pinggulnya yang
terbanting.
Sementara itu, Bun Houw sudah
meloncat ke arah gurunya dan sekali
pedang Lui-kong-kiam menyambar
suling di tangan Suma Hok patah
menjadi dua! Pemuda tampan pesolek itu tentu saja terkejut bukan main,
akan tetapi juga jerih. Dia
meloncat ke belakang dan ayahnya
yang bukan orang bodoh, maklum
bahwa kalau dilanjutkan dia akan
kalah, cepat meloncat ke belakang
pula, dekat puteranya.
Ayah dan anak ini selamat dari
keadaan yang lebih memalukan, yaitu jatuh di tangan si buta dan muridnya, Suma Koan memberi hormat ke arah Ouwyang Sek dan berkata.
"Saudara Ouwyang, kami berpamit.
Kalau kami sudah memenuhi tiga
syarat puterimu, kami akan kembali
membicarakan urusan perjodohan."
Setelah berkata demikian, ayah dan
anak itu pergi tanpa menengok lagi
kepada Tiauw Sun Ong dan Bun
Houw yang juga tidak
memperdulikan mereka.
Dengan tenang Tiauw Sun Ong
mengangkat mukanya ke arah
Ouwyang Sek dan diapun berkata
dengan nada tegas.
"Nah, muridku telah memenuhi
tantanganmu dan berhasil
mendapatkan kembali Lui-kong-kiam dari tanganmu. Kami berdua
menyanggupi sayembara itu dan
kalau kami yang dapat memenuhinya, maka Bun Houw yang berhak untuk
menjadi suami Hui Hong. Harap
engkau sebagai seorang datuk tidak
akan menjilat ludah sendiri, Ouwyang Sek."
Ouwyang Sek yang sudah bangkit
berdiri dengan kedua kaki gemetar
saking marah dan tak berdaya, kini
melotot dan wajahnya yang hitam itu menyeramkan sekali,
"Tidak! Lebih baik melihat Hui Hong mati dari pada harus menjadi isteri muridmu!
Lebih baik aku kawinkan Hui Hong
dengan seorang jembel busuk tanpa
nama dari pada harus menikah
dengan muridmu! Engkau tidak patut dan tidak berhak menjadi ayahnya,
dan Cu Lan juga hanya seorang
perempuan hina, tidak berhak
menentukan nasibnya.
Hanya aku seorang yang berhak, dan
aku akan mempertahankan Hui Hong dengan nyawaku!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak
berbicara demikian!" tiba-tiba
terdengar suara Cu Lan memekik.
Wanita ini sudah berdiri dengan
marah sekali.
Wajahnya yang biasanya segar
kemerahan, kini menjadi pucat,
rambutnya awut-awutan, matanya
merah membengkak, pipinya masih
basah air mata dan mulutnya
membayangkan kedukaan dan
kemarahan yang teramat besar.
"Aku rela menjadi isterimu, rela
menjadi barang permainanmu hanya untuk Hui Hong! Engkau tentu masih ingat bahwa aku mengancam akan
membunuh diri kalau engkau
menjamah tubuhku sebelum Hui
Hong terlahir.
Kemudian, akupun menyerahkan diri
hanya dengan syarat bahwa engkau
akan memperlakukan Hui Hong
sebagai anak sendiri dan
bersikap baik kepadanya. Semua
derita itu kupertahankan demi Hui
Hong.
Sekarang, engkau hendak
memaksakan kehendakmu atas diri
Hui Hong, hendak kau jodohkan
dengan orang yang tidak disukainya. Akupun tidak sudi lagi menjadi
isterimu, dan sekarang karena Hui
Hong telah mengetahui siapa ayah
kandungnya yang sebenarnya, maka
aku menyerahkan Hui Hong kepada
ayah kandungnya.
Aku rela meninggalkannya karena
ada ayah kandungnya yang akan
melindungi dan membelanya.
Pangeran, aku pasrahkan anak kita
kepadamu dan aku setuju kalau akan
kaujodohkan dengan muridmu.
Selamat tinggal ...!"
"Cu Lan ... !" Tiauw Sun Ong berseru.
"Cu Lan ... !" Ouwyang Sek juga berteriak sambil meloncat ke arah
isterinya.
Namun terlambat, karena Cu Lan
sudah menusukkan pisau yang tajam
runcing itu ke dadanya, di bawah iga kiri dan iapun roboh dalam
rangkulan Ouwong Sek.
"Cu Lan ...! Cu Lan isteriku ...! Aihh, Cu Lan ...!" Ouwyang Sek mengguncang-guncang tubuh isterinya dalam
pelukannya, namun Cu Lan tidak
dapat menjawab lagi karena ia sudah
tewas seketika.
Mengingat ini,Pangeran Tiauw Sun
Ong menghela napas panjang. Dia
tahu bahwa bagaimanapun juga,
Ouwyang Sek mencinta isterinya, dan kini tentu Ouwyang Sek akan
menderita tekanan batin dan
kedukaan besar yang akan menyiksa
hidupnya.
Diapun merasa iba kepada datuk itu
yang akan kehilangan pula anak tiri yang dianggap anaknya sendiri dan disayangnya, telah kehilangan pula isterinya, walaupun kesayangan dan
kecintaan datuk ini penuh dengan
nafsu mementingkan diri sendiri.
"Ouwyang Sek, engkau memetik buah dari hasil tanamanmu sendiri,"
katanya lirih.
Ouwyang Sek menghentikan
keluhannya dan mengangkat muka
memandang kepada bekas pangeran
itu dengan sinar mata penuh
kebencian.
"Tiauw Sun Ong aku akan membalas
semua ini! Aku bersumpah akan
membalas semua ini kepada
kalian berdua!"
Akan tetapi Tiauw Sun Ong tidak
memperdulikannya. "Bun Houw, mari kita pergi."
Guru dan murid itupun pergi
meninggalkan Lembah Bukit Siluman. Biarpun di situ terdapat banyak anak buah Ouwyang Sek, namun tidak ada seorangpun berani bergerak untuk
menentang mereka karena selain
mereka tidak berani, Juga tidak
ada perintah dari majikan mereka. Ouwyang Sek dengan sedih
memondong jenazah isterinya,
dibawa masuk ke dalam rumah dan
keluarga itu berkabung.
Akan tetapi, Hui Hong tidak berada di situ, bahkan Ouwyang Toan juga tidak ada karena pemuda ini setelah
mengetahui bahwa Hui Hong pergi
tanpa pamit, segera pergi pula untuk
mencarinya.
**********
Semua orang yang berada di dalam rumah makan itu, terutama yang pria,
memandang kepada dua orang
wanita yang baru memasuki rumah makan dengan pandang mata kagum. Lucu melihat gaya setiap orang pria
yang berada di situ. Ada 27
yang memandang langsung dan
menyeringai, ada yang mengerling
lalu membereskan letak pakaian dan
rambut, ada yang melirik dengan
sikap acuh namun sesungguhnya
perhatiannya tercurah kepada dua
orang wanita itu.
Bahkan tiga orang pelayan rumah
makan seperti berebut dulu
menyambut mereka, dengan
sikap hormat dan manis, dan
mempersilakan, mereka ke meja yang masih kosong,yang kebetulan berada di sudut sebelah dalam sehingga
banyak tamu yang dapat
melihat mereka.
Peristiwa seperti ini. datangnya tamu wanita-wanita cantik, amat
menguntungkan rumah makan dan
hal ini diketahui benar oleh para
pelayan, maka dua orang wanita itu
dipersilakan duduk di tempat yang
mudah dilihat oleh para tamu di meja lain.
Dengan adanya "tontonan" gratis ini. para tamu akan lebih betah tinggal di situ dan pesanan makanan dan
minuman akan bertambah banyak.
DUA orang wanita yang mamasuki
rumah makan An-lok (Selamat
Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang
amat menarik hati, terutama kaum
pria, karena keduanya amat
cantik jelita.
Orang pertama adalah seorang wanita yang telah matang karena ia
nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih.
Pada hal sesungguhnya wanita ini
sudah berusia empat puluh delapan
tahun! Dalam usia mendekati
setengah abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik. Wajahnya
yang berkulit putih halus kemerahan itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan
sama sekali.
Juga bentuk tubuhnya masih padat
dan ramping. Rambutnya digelung
indah seperti sanggol rambut seorang puteri bangsawan saja, dan
pakaiannya juga indah dan mahal.
Hal ini tidaklah mengherankan
karena wanita ini adalah Bwe Si Ni
yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi
Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang
istana kerajaan Liu-sung yang telah
jatuh, dan setelah kini keluar dari
istana, ia meniru gaya dan dandanan
seorang pateri istana, bukan seorang
dayang lagi!"
Wanita yang ke dua lebih menarik
lagi walaupun pakaian dan
dandanannya tidak semewah wanita
pertama. Ia seorang gadis yang juga
berkulit putih mulus, namun
pakaian dan dandanannya sederhana sehingga ia nampak cantik manis dan agung,juga gagah karena di
punggungnya terdapat gendongan
sebuah bantalan kain kuning dan di
bawah buntalan itu terdapat pula
sepasang pedang yang sarung dan
gagangnya terukir indah.
Gadis berusia dua puluh satu tahun
ini adalah Hui Hong. Seperti kita
ketahui, Hui Hong mendengar
pengakuan ibu kandungnya bahwa ia
bukanlah puteri Ouwyang Sek,
melainkan puteri bekas Pangeran
Tiauw Sun Ong,ketika ia bertanya kepada ibunya di mana ayah
kandungnya itu berada, ibunya tidak
mampu menjawab, dan Kwan-im
Sian-li Bwe Si Ni yang menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong.
Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan
perjalanan jauh sampai pada pagi
hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan
An-lok, menjadi pusat perhatian para tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali
tidak perduli akan sikap dan gaya
para pria yang berada di rumah
makan itu. Hui Hong sendiri sudah
sering melakukan perjalanan
dan ia tahu benar bahwa semua pria
di manapun juga sama saja, selalu
bergaya dan beraksi kalau melihat
wanita cantik dan ia tahu bahwa
sahabat barunya ini yang
mengaku bernama Bwe Si Ni dan
mengetahui di mana adanya ayah
kandungnya,adalah seorang wanita
yang amat cantik.
Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat
berlari cepat bukan main. Biarpun
belum pernah ia menguji ilmu
silatnya dan mereka berdua
dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat
menduga bahwa wanita ini tentu
lihai.
Setelah mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat
bertanya makanan dan minuman
apa yang mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya. "Engkau ingin makan apa"
Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan
nampaknya acuh saja terhadap
dirinya. Akan tetapi pagi ini
kelihatan lebih ramah dari pada
biasanya, "Apa saja sesukamu, enci.
Aku tidak ingin sesuatu yang
istimewa, juga tidak menolak macam makanan." jawabnya, ramah
pula. Biarpun di lubuk hatinya, Hui
Hong belum percaya sepenuhnya
kepada wanita ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia membutuhkan bantuannya untuk
dapat bertemu dengan ayah
kandungnya maka iapun berusaha
untuk bersikap baik dan ramah.
Bwe Si Ni tersenyum.
"Aku ingin makan bebek panggang
dan goreng burung dara.
Minumnya ringan saja sari buah,
tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan
masakan itu kepada kepala pelayan
yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya jelas
menatap tajam dan penuh kagum
kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan suaranya
mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang
ajar, hayo cepat sediakan pesanan
kami!"
Kepala pelayan itu terkejut,
membungkuk-bungkuk dan segera
pergi. Sudah beberapa kali dalam
perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya
itu terhadap pria. ia sendiri juga
membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni.
Baru melihat saja sudah dapat
membuat ia marah-marah. Sikapnya
seolah wanita cantik ini amat
membenci kaum pria. Diam-diam ia
merasa heran. Seorang wanita
sehebat ini, mustahil kalau belum
berumah tangga dan ia menduga-
duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana asalnya.
Akan tetapi ia belum sempat
mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa
menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan
minum tanpa memperdulikan
puluhan pasang mata yang seolah
mengikuti setiap gerak-gerik mereka.
Hui Hong yang diam-diam
memperhatikan temannya, melihat
betapa cara makan Bwe Si Ni juga
anggun, seperti dibuat-buat dan
diatur.
Pernah ia mendengar dari ayahnya,
atau ayah tirinya, bahwa kehidupan
para bangsawan tinggi lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal
bicara atau makan saja mereka
mempunyai cara sendiri, seperti
diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan"
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka
melihat para pelayan nampak
ketakutan, dan kepala pelayan
bersama pimpinan rumah makan
itu yang tadinya hanya duduk di
dekat kasir, dengan membungkuk-
bungkuk dan senyum dibuat-buat
menyongsong ke luar, seperti
menyambut datangnya tamu
agung.
Bahkan para tamu yang tadinya
nampak gembira mengamati dua
orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tergesa-gesa
membayar harga makanan dan
meninggalkan meja mereka.
"Sediakan meja besar untuk kami!
Yang di tengah itu, dan keluarkan
hidangan yang kami sukai, seperti
biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya
sampai mengkilap!" terdengar suara
dengan logat selatan, dan suara itu
mengandung keangkuhan yang
memuakkan hati Bwe Si Ni dan Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari
meja bukan mereka, keduanya diam
saja dan tidak ambil perduli.
Sekeluarga yang tadinya makan
minum di meja itu, tanpa berani
membantah lalu pindah ke meja lain dan makanan mereka diusungi para
palayan.
Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan
keluarkan dulu arak yang paling
baik!" kembali terdengar suara
orang, sekali ini bukan suara yang
tadi, kemudian terdengar bangku
diseret dan terdengar pula orang yang
membesihkan hidung dan
tenggorokan dengan suara yang
menjijikkan sekali.
"Jahanam!" Bwe Si Ni mendesis dan
melepaskan sepasang sumpitnya di
atas meja.
Juga Hui Hong merasa muak dan
tidak melanjutkan makan. Untung
mereka sudah kenyang. Kini dengan
sinar mata marah, ketuanya menoleh
untuk melihat orang-orang macam
apa yang demikian sombong dan
tidak mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang
yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, potongan pakaian mereka ringkas
seperti yang biasa dipakai orang-
orang dari dunia persilatan, dan di
punggung mereka terselip golok
telanjang yang berkilauan. Dari
dandanan, senjata, dan sikap mereka
jelas dan mudah diketahui bahwa
mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang suka
mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan
kehendak kepada orang lain.
Hal inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni 30
kalau saja tiga orang itu tidak mencari penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda,
berusia tiga puluh tahun dan
mukanya kekuning-kuningan seperti
penderita penyakit dan tubuhnya
tinggi kurus, memandang kepada
mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu
amatlah cantiknya.
"Heiii i ! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!"
Serunya gembira. "Siapa kira di sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik s
egerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka melihat dua orang wanita secantik yang
ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali,
sute (adik seperguruan)!" kata yang
bertubuh pendek gendut berperut
besar sambil terkekeh. "Mereka
memang cantik manis dan sekali ini
aku tidak ingin pura-pura alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona.
Akan tetapi dia lebih berhati-hati
dibandingkan dua orang sutenya
karena dia melihat sepasang pedang
yang tergantung di pinggang Hui
Hong. Bwe Si Ni sendiri
menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan.
Sebaiknya kalau kita mengundang
mereka baik-baik untuk berkenalan."
katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan saputangan.
Mereka memutari meja itu dan
berdiri berjejer, menghadapi dua
orang wanita itu dengan muka
cengar-cengir. Si kumis lebat, yaitu
orang tertua yang bertubuh sedang
dan nampak kokoh kuat. mengangkat kedua tangan dan memberi hormat
kepada Si Ni dan Hui Hong, di kuti dua orang sutenya yang masih
menyeringai senang karena setelah
kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu,semakin jelas
nampak betapa cantik menariknya
dua orang wanita di depan mereka
itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan
kami,oleh karena itu, kami ingin
berkenalan dengan ji-wi (anda
berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima
Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai
daerah ini.
Kami mengundang ji-wi untuk
berkenalan sambil makan minum di
meja kami.
Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si
kumis lebat itu mempersilakan dua
orang wanita itu untuk pindah ke
meja mereka dengan keyakinan
bahwa dua orang wanita itu akan
pasti suka menerima undangannya
karena nama besar Ki-ciu Ngo-houw ditakuti semua orang didaerah itu ... "
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan
matanya mencorong ketika ia
menyapu tiga orang itu dengan
pandang matanya. "Tidak perduli
kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum. "Hi-hik. kami
sudah makan kenyang. Andaikata
belum makanpun, kami tidak sudi
makan bersama kalian yang jorok
dan menjijikkan!"
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu
menghampiri meja kasir dan
membayar harga makanan dan
minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar
dari rumah makan. Semua tamu yang kebetulan melihat semua ini,
terbelalak dan terheran-heran
bagaimana ada dua orang, wanita
lagi, berani bersikap saperti itu
terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak membikin ribut di sini ... " pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru kami akan makan!" kata si kumis tebal dengan
marah dan bersama dua orang
sutenya, dia lalu melangkah lebar
keluar dari rumah makan
melakukan pengejaran.
Tiga orang ini memang merupakan
tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan
dan pengaruh besar di daerah Ki-
ciu.
Merekapun berhubungan baik
dengan para pejabat setempat
sehingga ada kerja sama diantara
mereka. Mereka tidak dimusuhi para
pejabat, akan tetapi merekapun
berjanji tidak akan membuat kacau
dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi
masih menahan sabar walaupun
marah sekali dengan sikap dua orang
gadis di rumah makan An-lok. Ketika
mereka membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau
membikin ribut di dalam kota.
Setelah Hui Hong dan Si Ni tiba di
luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan
perjalanan, barulah tiga orang itu
dengan cepat mengejar, kemudian
mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu.
Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang
yang menjemukan itu membayangi
mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan
sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi
mereka," kata Hui Hong mendahului
karena ia dapat menduga bahwa
kalau wanita cantik itu yang turun
tangan mungkin saja ia akan
membunuh ketiganya. Biarpun sejak
kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam
Ouwyang Sek, seorang datuk besar
yang tadinya ia anggap sebagai
ayahnya, bukan saja dididik dengan
ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi
juga melihat kekerasan dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi
nasehat oleh ibunya agar ia tidak
berwatak kejam dan tidak
sembarangan membunuh orang.
Karena itu, dalam hati Hui Hong
terbentuk watak yang tidak kejam
seperti ayahnya walaupun ia keras
dan galak, dan tidak mau membunuh
orang sembarangan saja.
Sekarangpun ia menganggap bahwa
tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak
seharusnya dibunuh seperti orang-
orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin
menonton dan melihat sampai di
mana kehebatan puteri kandung
Tiauw Sun Ong atau juga murid
dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi
mereka adalah gadis yang lebih
muda, sedangkan wanita yang ke dua enak-enak duduk menonton, tiga
orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si kumis
tebal sudah melangkah maju dan
menudingkan telunjuknya ke arah
hidung Hui Hong sambil berkata,
"Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka kami
menahan sabar.
Sekarang, kami akan menghajar
kalian dan menyeret kalian
kembali ke rumah makan An-lok
untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian
lakukan tadi yang telah membikin
malu kepada kami di depan orang
banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang
itu menelan ludah. Gadis yang
mereka hadapi ini manis luar biasa!
"Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar
karena kalian pandai menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak
menggonggong tidak menggigit.
Pergilah, sekali ini biar kuampuni.
Pergi sebelum kalian menerima
penghinaan lebih parah lagi!"
Tentu saja tiga orang itu menjadi
marah bukan main. "Tangkap gadis
liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk
yang seorang lagi!" teriak si kumis
tebal.
Tiga orang itu menerjang ke depan
dan mereka memang memiliki
gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman!
Tingkat kepandaian Hui Hong
jauh lebih tinggi dibandingkan
mereka, maka melihat mereka bertiga sudah menerjang untuk
menangkapnya, dengan ringan dan
mudah saja Hui Hong menyelinap di antara tangan-tangan mereka dan
lolos dari terkaman. Tiga orang itu
terkejut melihat gadis itu menjadi
bayangan berkelebat dan lenyap.
Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang mereka
dan menggunakan tangan menggapai
dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan pukulan!"
Kembali Hui Hong menggunakan
kelincahannya untuk mengelak ke
sana-sini.
kemudian ketika lengan si tinggi
kurus muka kuning menyentuh
pundaknya dari belakang, ia
menangkap pergelangan tangan itu,
mengerahkan tenaga dan
membungkuk, menarik tangan itu
dan tubuh si tinggi kurus berputar
dengan kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk ... !" Si muka kuning
mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi
punggungnya yang rasanya seperti
patah-patah tulangnya dan
pinggulnya yang tipis tak berdaging
itu nyeri bukan main. Dia
melangkah menjauh dengan
terpincang, pincang, untuk sementara tidak mampu menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja
marah sekali melihat si muka kuning roboh.
Mereka, menyerang semakin nekat
dan kini mereka bukan hanya ingin
menghajar,bahkan kalau perlu
membunuh karena serangan-
serangan mereka kini merupakan
serangan maut yang dapat
mematikan lawan. Melihat ini, Hui
Hong juga tidak mau membuang
banyak waktu lagi. Ketika si perut
gendut menerjang dari samping. ia
mundur dua langkah dan ketika
tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong
mencuat dan ujung sepatunya
memasuki perut yang bergajih itu
dengan kerasnya.
"Ngekk ...!" Tubuh gendut itu
terjengkang dan terbanting keras
sampai bergulingan.
Si gendut berteriak-teriak kesakitan
dan seperti juga sutenya tadi, dia
merangkak dan dengan susah payah mencoba bangkit sambil menekan
perutnya yang tiba-tiba menjadi
mulas.
Orang pertama yang selain marah
juga terkejut melihat akibat
perkelahian ini,mencabut goloknya
yang terselip di punggung, lalu
menyerang Hui Hong dengan
bacokan-bacokan goloknya.
Terdengar suara berdesing-desing
ketika golok yang lebar dan tajam itu
membelah udara kosong karena tidak
pernah dapat menyentuh
sasarannya. Hui Hong menjadi
marah.
Mungkin saja tiga orang ini bukan
orang-orang yang suka berbuat jahat, akan tetapi sudah jelas bahwa
mereka, terutama si kumis tebal ini
mempunyai hati yang kejam.
Buktinya mereka mengeroyok
seorang lawan wanita,
bahkan melakukan serangan untuk
mematikan, pada hal sebab
perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan
segan menggunakan golok
menyerang lawan yang tidak
bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok
itu menyambar, Hui Hong
membiarkan golok itu lewat dengan
sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan
kirinya bergerak menotok
pergelangan tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu
terlepas dan ia sudah merampasnya!
Pada detik yang lain, Hui
Hong sudah menggerakkan lagi
tangan kirinya, sekarang ke arah
muka si kumis tebal.
Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat dan si
kumis tebal mengeluarkan pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan. Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan
berdarah karena kumisnya telah
dicabut oleh tangan Hui Hong.
Kini kumis yang tebal itu tinggal
sebelah saja, dan kulit di bagian
kumis yang dijebol itu terluka
berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua
tangannya menekuk golok rampasan
itu sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua
potong. Ia melemparkannya ke atas tanah sambil tersenyum mengejek.
"Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, ekan tetapi juga penasaran dan marah.
Peristiwa yang amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka
alami selama hidup.
"Kau ... kau ... kalau memang gagah, tunggu saja ... kami mengundang twa-suheng dan jisuheng ... " kata si kumis dengan suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya.
Kamudian mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya, "Hui Hong, kenapa engkau bermain-main dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
"Enci, orang-orang sombong itu
memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang, akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri. "Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!"
"Masa bodoh, biar mereka mencari
kita kalau memang sudah bosan
hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui
ayah kandungnya, Hui Hong tidak
dapat membantah lagi dan ia pun
mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ
melanjutkan perjalanan.
Belum jauh mereka pergi, mereka
mendengar derap kaki kuda dari
belakang.
Setelah beberapa ekor kuda itu
datang dekat, Hui Hong dan Si Ni
minggir dan menanti untuk
membiarkan mereka lewat.
Akan tetapi, segera mereka melihat
bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang
penunggangnya. Tiga di antara
mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong. Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang tinggi besar
bermuka hitam dan yang ke dua,
tegap dan berwajah tampan yang
lelalu tersenyum memikat. Wajah
seorang penaluk wanita!
Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah
sudah Ki ciu Ngo-houw,
lima harimau yang mengaku
berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan
rumput di tepi jalan, lima orang itu
menghadapi Hui Hong yang
tersenyum mengejek. "Mau apa kalian datang mengejar kami" Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan
semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelehnya
sehingga wajahnya yang tidak
berkumis itu kini nampak lucu.
Akan tetapi yang menjawab
pertanyaan Hui Hong bukan dia
melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah
dua orang wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah
menghajar tiga orang suteku" Bagus, ternyata engkau selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan
menjadi pasanganku yang cocok
sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja.
kalau perlu bunuh untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan
Hui Hong dan menariknya ke
belakang sambil berkata, suaranya
lirih mendesis seperti desis seekor
ular cobra yang marah.
"Mundurlah, Hui Hong. Sekarang
giliranku!"
Hui Hong mundur karena ia
sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu.
Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang
duduk di atas sebuah akar pohon
yang menonjol keluar dari tanah.
Kini, Bwe Si Ni yang berdiri
menghadapi lima orang itu. Ia sudah tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu
nampak anggun dan dingin
angkuh, seperti sikap seorang putri
menghadapi para abdi yang siap
menaati semua perintahnya. Agaknya wanita ini ingin menyesuaikan
sikapnya dengan julukannya.
Julukannya adalah Dewi Kwan Im,
seorang dewi yang dipuja orang
karena terkenal sebagai Dewi Welas
Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang
gendut dan yang tadi perutnya
menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong. "Sejak semula bertemu di
rumah makan, aku sudah jatuh cinta padanya!"
"Singgg ... crattt ...!" Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua alis matanya tertntuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya.
Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut satengah mati. Terutama
orang ketiga dan kelima yang selalu bertiga dengan si gendut, merasa
terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat kakak
pertama dan ke dua mereka,
membuat hati mereka bertambah
berani.
Dengan teriakan-teriakan marah,
keduanya sudah mencabut golok
masing-masing dan menerjang ke
arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis,
melainkan nampak tangan kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang
menyilaukan mata ke arah dua orang penyerangnya dan merekapun
menjerit dan terjengkang roboh
dengan golok masih di tangan.
Kiranya sebelum golok mereka
mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan secepat kilat menyambar dan menusuk dada
kedua orang itu tanpa mereka
mampu mengelak atau menangkis
lagi. Mereka roboh dan berkelojotan
di dekat tubuh sigendut yang kini
sudah tidak bergerak lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang
tampan itu terbelalak dan muka
mereka berubah pucat.
Di samping kemarahan yang hebat,
merekapun terkejut dan gentar
karena sebagai ahli-ahli silat pandai
merekapun dapat mengenal orang
yang memiliki kesaktian, yang
kiranya tidak mungkin dapat mereka
lawan. Cara wanita cantik itu
membunuh tiga orang sute mereka
sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu,membuat mereka
mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Mereka
mulai mengamati Si Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan
rambut berupa teratai di sanggul
rambut yang tinggi itu, mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona ... nona ... Kwan Im Sianli ... ?" tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat dengus lirih dari hidungnya, "Huh, kalau
sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke
depan dada dan membungkuk-
bungkuk memberi hormat kepada
Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah Kwan-im sianli,
datuk besar golongan sesat yeng
amal ditakuti, mereka seperti mati
kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap
kurang hormat." kata si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik
seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena
belum pernah berjumpa, hari ini
kami telah berlaku kurang hormat.
Mohon Sian-li sudi memberi ampun
kepada kami berdua." kata pula yang
tampan dan kini dia sudah
kehilangan gayanya sebagai pemikat hati wanita,bersikap sedemikian
rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat
kalian bunuh diri, atau menanti aku
yang membunuh kalian?" suara Si Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejeman orang-orang dunia sesat, merasa ngeri.
Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh
merupakan Iblis betina yang amat
kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-
tiba mereka sudah mencabut golok
dan menyerang dengan gerakan
dahsyat, dengan serangan yang
mematikan. Si tinggi besar
menyerangkan goloknya ke arah
leher Si Ni sedangkan adik
seperguruannya membabatkan golok ke arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak
bayangannya berkelebat ke atas
kepala mereka.
Keduanya cepat membalikkan tubuh karena maklum, bahwa wanita itu
tadi meloncati kepala mereka dan
berada di belakang. Akan tetapi
mereka kalah cepat.
Baru saja memutar tubuh, dua kali
sinar berkilauan menyambar dan
keduanya roboh tanpa dapat
mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat
sebatang pedang yang tadi dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali
secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni!
Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang
biasanya merajalela di daerah itu,
mati konyol di tangan seorang datuk
wanita tanpa dapat melawan
sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan
perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa
terlalu melelahkan diri. Ketika
matahari sudah naik tinggi, udara
panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan,
mereka berdua menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar
dan membiarkan dua ekor
kuda itu mengaso dan makan
rumput.
Dua ekor kuda itu nampak senang
sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang
tumbuh di tepi sungai. Dun orang
wanita itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw" Kesalahan mereka tidak terlalu besar, hanya
bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak
dibunuh. Semua laki-laki, terutama
yang tidak menghargai wanita, harus dibunuh!" jawab Si Ni dan dari
suaranya dapat diketahui bahwa ia
memang bersungguh-sungguh dan
nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat
membenci pria!"
"Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!"
"Ehh" Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu ... mereka juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki ... "
"Aku tidak mempunyai semua itu!
Aku selamanya tidak pernah
bersuami, dan semua ini kulakukan
karena kekejaman pria!"
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali
dan hatinya amat tertarik. Agaknya
wanita cantik ini pernah mengalami hal-hal yang amat mengecewakan
atau mendukakan hatinya, akibat
ulah seorang pria, maka sampai
sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria,
bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda,
enci, masih banyak harapan untuk
kelak bertemu dengan seorang pria yang cocok untuk menjadi suamimu "
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau
terpaksa aku akan menyerangmu!"
Hui Hong menghela napas panjang.
"Enci, aku pernah mendengar
namamu disebut oleh ayah ...
maksudku, oleh Bueng-kiam
Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai, dan
menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li
adalah seorang wanita tua. Akan
tetapi, sekarang aku bertemu
engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang
tinggi, akan tetapi engkau masih
muda ... "
"Hemm, siapa bilang aku masih muda" Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku
sudah mendekati setengah abad,
bagaimana bisa dibilang muda?" Hui
Hong terbelalak, "Setengah abad" Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau
nampak berusia tiga puluhan tahun lebih sedikit!"
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang
selalu amat memperhatikan riasan
dan dandanannya, maka tentu saja ia
merasa senang mendengar pujian
bahwa ia awet muda, apalagi pujian
itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan,
Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui
Hong berseru, terkejut dan juga
kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan
sebut enci (kakak) kepadaku,
melainkan bibi."
Bwe Si Ni tersenyum. Baru sekarang
Hui Hong melihat senyum yang
bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu. Manis sekali.
Ia merasa yakin bahwa ketika
mudanya, wanita ini amatlah
cantiknya.
"Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan
keberanianku bertanya karena aku
merasa amat tertarik dan ingin tahu
sekali, bibi. Bibi adalah seorang
wanita yang selain pandai, juga
teramat cantik. Kalau wanita biasa
yang bodoh dan tidak cantik saja
mendapatkan jodoh, kenapa bibi
tidak pernah menikah" Maafkan
pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang
mengajukan pertanyaan itu, tentu
sudah kubunuh seketika. Akan tetapi engkau justeru merupakan satu-
satunya orang yang harus
mengetahui riwayatku.
Nah, aku menjadi pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu
merenung dan beberapa kali menarik napas panjang seolah undangan
semua kenangan lama itu
mendatangkan pula kedukaan
yang mendalam di hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda
dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri,
pikirnya.
Kalau dayang, kenapa sekarang
dandanan pakaian dan rambutnya
seperti seorang puteri saja" Akan
tetapi tentu saja ia diam dan tidak
berkata apa-apa, hanya menanti
wanita itu melanjutkan ceritanya
yang tentu akan menarik sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria
dan kami saling mencinta. Akan
tetapi, laki-laki itu seorang yang mata keranjang. Bukan aku saja yang
menjadi kekasihnya,melainkan
banyak! Dan akhirnya dia
meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!"
Si Ni menggeleng kepalanya dan
wajahnya nampak muram, sedih,
"Ada dua hal yang membuat hal itu
tidak mungkin kulakukan, Hui Hong.
Pertama, aku ... aku masih
mencintanya dan aku mengharapkan dapat menghabiskan sisa hidupku di
samping orang yang selamanya
kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku
hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh ...!" Hui Hong terkejut, dan
kagum pula. Ia merasa kasihan
kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar
engkau menanyakan ayah
kandungmu, aku yang mengetahui di
mana dia, segera menawarkan diri
untuk menjadi penunjuk jalan
agar engkau dapat bertemu dengan
ayahmu. Akan tetapi, aku mempunyai syarat,yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan
ayahmu, aku ingin minta
bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi" Kalau
memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau
bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria yang
kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan
aku hidup di sampingnya,
melayaninya, merawatnya.
Kemudian,kalau dia berkeras
menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku minta engkau membantuku
untuk mengalahkan dan
membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar.
Permintaan itu cukup pantas dan
kalau pria yang tidak setia itu benar-
benar menolak dan mengandalkan
kepandaiannya untuk merusak
kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah selayaknya kalau dibasmi.
"Baik, bibi, aku berjanji untuk
membantumu melakukan dua hal
itu."
Wajah wanita itu berseri. "Engkau ... engkau tidak akan melanggar
janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut.
"Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil
aku dididik oleh Ouwyang Sek,
namun Ibuku selalu menanamkan
watak bertanggung jawab, adil dan
dapat dipercaya. Kalau aku sudah
berjanji, pasti akan kupenuhi, dan
kalau perlu mempertaruhkan
nyawaku. Aku Juga mempunyai
kebanggaan dan harga diri, bibi.
Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah
membuat bibi merana selama
puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia
memang pantas untuk dihukum!"
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia
merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong,membuat gadis ini
termangu dan terheran. Sungguh
sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya dingin
dan kaku, seperti mayat hidup. Dan
kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh
gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih ... " bisiknya. Memang wanita ini
merasa gembira bukan main. Ia
sudah berhasil membuat puteri
kekasihnya berjanji untuk
membujuk ayah gadis itu sendiri
untuk menerimanya, dan kalau perlu
membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi.
Akulah yang harus berterima kasih
sebelumnya bahwa bibi mau
mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu
berhasil membujuk pria pujaan hati bibi itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah
pegunungan yang memiliki banyak
bukit dan puncak yang tinggi. Sikap
kedua orang wanita itu memang
tidaklah aneh.
Setiap orang manusia di dunia ini,
seperti juga merekab erdua, selalu
bertindak atau berbuat menurut
pikiran masing-masing. Dan hati
akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri pribadi,mementingkan kesenangan
diri sendiri.
Memang beginilah ulah nafsu dan
dalam hati akal pikiran kita semua
sudah bergelimang nafsu yang
memang disertakan kepada kita
sebagai peserta yang membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan
ini.
Akan tetapi, karena sejak kecil kita
membiarkan nafsu makin lama
semakin berkuasa dan merajalela,
sehingga akhirnya mencengkeram
dan menguasai hati akal pikiran
sepenuhnya, maka kehidupan ini
sepenuhnya dikemudikan nafsu.
Nafsu membentuk aku yang ingin
menang, ingin senang sendiri. Karena itu, munculah segala macam
kemunafikan, yaitu yang pada
luarnya nampak baik, namun......
BERSAMBUNG KE JILID 02
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment