Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 03
KETIKA TUBUHNYA melayang turun, ibunya sudah siap menyambutnya. Akan tetapi dasar anak nakal, dia menggunakan kesempatan ini untuk berlatih! Dia cepat membalikkan tubuh sehingga kedua kakinya di atas dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang ibunya, mencengkram ke arah ubun-ubun. Itulah jurus terakhir yang dilatihnya dari ayahnya yang seharusnya dilakukan dengan loncatan ke atas dan menyerang ubun-ubun kepala lawan, akan tetapi kini dilakukannya ketika dia melayang turun!
"Haiiit...!!"
Untuk memperingatkan ibunya, Swat Hong menjerit sebelum menyerang.
Tentu saja
Liu Bwee tidak perlu diperingatkannya lagi. Semenjak menjadi isteri Pangeran
Han Ti Ong, wanita puteri nelayan yang tentu saja seperti semua penghuni Pulau
Es telah memiliki dasar ilmu silat tinggi, telah digembleng oleh suaminya
dengan ilmu-ilmu simpanan yang tinggi sehingga dia menjadi seorang yang sakti
seperti semua keluarga kerajaan itu.
Melihat
kegembiraan puterinya, dia pun cepat mengelak. Dari samping dia menyambar kedua
lengan anaknya dan dengan bentakan nyaring kembali tubuh anaknya dilemparkan ke
atas! Tubuh itu melayang tinggi dan tiba-tiba dari atas Swat Hong berteriak
girang, "Heiii, Ibu... itu Ayah datang...!!"
Mendengar
ini, Liu Bwee cepat lari ke pinggir tebing tinggi dan memandang ke laut.
Wajahnya berseri-seri, jantungnya berdebar karena penuh rindu kepada suaminya.
Benar saja. Tampak sebuah perahu dan dia mudah mengenal suaminya yang mendayung
perahu itu dengan kekuatan dahsyat sehingga perahu kecil meluncur seperti
seekor ikan hiu yang marah.
Akan tetapi
alis wanita ini berkerut ketika dia melihat dua orang lain di dalam perahu.
Seorang wanita muda yang cantik! Hatinya terasa tidak enak. Dia tidak akan
mengikat suaminya, dan sebagai seorang isteri pangeran calon raja tentu saja
dia maklum bahwa suaminya berhak mengambil selir sebanyak-banyaknya. Akan
tetapi entah mengapa, kedatangan suaminya dengan dua orang itu, terutama
seorang wanita cantik, mendatangkan rasa gelisah yang aneh didalam hatinya.
"Ibuuu...!
Tolong dulu aku...!"
Teriakan
Swat Hong ini mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya
meluncur turun. Dia kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya
pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguh pun Swat Hong telah memiliki
ginkang yang cukup baik, akan tetapi meluncur turun dari tempat tinggi seperti
itu ada bahaya kaki patah atau setidaknya salah urat.
Untuk
meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar sebuah ranting
kayu di dekat kakinya, lalu melontarkan kayu itu dengan tepat melayang di bawah
kaki Swat Hong. Anak ini juga tidak menyia-nyiakan pertolongan ibunya. Dia
menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan dan mengurangi
tenaga luncuran tubuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat meloncat ke bawah
dengan aman.
Seperti
tidak pernah mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan
berteriak girang, "Ayah datang, Ibu?"
Ibunya hanya
mengangguk tanpa menoleh, tetapi memandang ke arah perahu yang makin mendekat
pantai.
"Heii,
Ayah bukan datang sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama ayah
di dalam perahu!"
Liu Bwe
tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh selidik ke arah perahu.
"Wah,
jangan-jangan itu selir dan putera ayah!" Swat Hong yang memang berwatak
terbuka itu berkata mengomel.
Anak ini
sudah tahu akan kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia tidak
akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir di luar Pulau Es,
biar pun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada anak
laki-laki di dalam perahu itu.
Mendengar
ucapan Swat Hong yang tanpa disengaja merupakan benda tajam menusuk hatinya
itu, Liu Bwee menjawab, “Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu
anak laki-laki itu, sungguh pun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu
karena dia memang cantik."
Jawaban ini
keluar dari lubuk hati Liu Bwee sehingga keluar melalui mulutnya seperti tidak
disadarinya. Barulah dia kaget ketika kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia
menoleh ke arah puterinya dan merasa menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang
penuh cemburu tadi. Segera digandengnya tangan anaknya dan untuk mengapus
kata-katanya dari hati anaknya dia berkata riang, "Ehh, kenapa kita di
sini saja? Hayo kita sambut Ayahmu!"
Berlari-larianlah
mereka menuruni tebing untuk menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai
pasir. Sikap wanita yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaanya
sehingga Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi. Sebenarnya hati Liu
Bwee memang amatlah girang melihat kembalinya suaminya, sungguh pun
kegembiraanya itu akan lebih besar andai kata suaminya pulang sendirian saja.
Semenjak
suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami penderitaan batin yang
hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan,
karena dianggap seorang wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu
menjadi-jadi ketika mendapat kenyataan betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil
selir. Hal ini dianggap oleh mereka bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk
mengikat suaminya! Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunya anak laki-laki, maka
kebencian mereka makin bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci
adalah mereka yang mengharap agar Han Tiong, pangeran calon raja itu memperistrikan
puteri mereka!
Pada waktu
itu, raja yang sudah tua menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa
usianya takan bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya
puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu pangeran Han Ti Ong untuk
mewariskan singgasana kepada puteranya ini.
Akan tetapi,
karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau,
isterinya orang rendah dan hanya satu, tidak punya selir, tidak punya putera,
maka Liu Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja terdapat persekutuan yang
menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang mendukakan
hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang bagi suaminya dan hal
inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat dibayangkan betapa gembira
hatinya melihat suaminya pulang!
Ketika ibu
dan anak ini tiba dipantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan siap
menyambut pulangnya pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat
Hong mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika akhirnya perahu itu
menempel dipantai dan Han Ti Ong melompat ke luar sambil tersenyum lebar, Swat
Hong menjadi orang pertama yang berlari menyambut.
"Ayah...!!"
"Ha-ha,
Hong-ji, kau makin cantik saja!" Han Ti Ong menerima puterinya itu dan
mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya ke udara.
Sambil
tertawa-tawa Swat Hong melayang turun dan langsung menyerang ayahnya dengan
jurus Kak-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut) seperti yang
dilakukannya kepada ibunya tadi.
"Ha-ha-ha,
bagus juga!"
Ayahnya
tertawa, menyambar kedua lengan yang mencengkram ubun-ubunnya, lalu memondong
puterinya, dan mencium dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong
menghampiri istrinya yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan
dan berkata halus, “Harap kau baik-baik saja selama aku pergi."
Liu Bwee
memandang suaminya sambil tersenyum, akan tetapi di balik senyum itu tampak
oleh Han Ti Ong ada sesuatu yang menggelisahkan hati istrinya, apalagi ketika
mendengar suara istrinya yang lirih. "Ayahanda raja sedang menderita sakit
parah."
Han Ti Ong
mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati istrinya. Dia
sudah mengenal hati istrinya yang tercinta itu dan dia tahu pula bahwa
menjelang kematian ayahnya, ada hal-hal yang menggelisahkan istrinya. Tentu
saja tentang warisan tahta kerajaan dan asal-usul istrinya yang datang dari
keluarga berdarah ‘rendah’ itu. Dikhawatirkan bahwa keturunan istrinya itu
kelak akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja!
Maka dia
memandang isterinya dengan sinar mata menghibur, kemudian seperti teringat dia
berkata, "Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama seorang muridku,
namanya Sing Liong akan tetapi di daratan besar sana dia dikenal sebagai
Sin-tong."
"Hai, seorang
sin-tong (anak ajaib)? Hemm, ingin aku tahu sampai di mana keajaibannya!"
"Hong-ji,
jangan!" ibunya menegur.
Akan tetapi
anak itu telah meloncat ke depan, dan pada saat itu Sin Liong pun sudah turun
dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri gurunya, tiba-tiba ada
bayangan berkelebat. Tahu-tahu seorang gadis cilik dengan gerakan seperti
seekor burung garuda menyambar telah menyerangnya dari depan, sebuah kaki kecil
telah menghantam dadanya.
"Bukk!!"
tanpa dapat ditanyakan lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri
dan napasnya sesak.
Akan tetapi
dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang menjadi kotor, lalu memandang
anak perempuan yang lebih muda daripada dia itu. Sin Liong menggeleng kepala
dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali, seorang anak-anak yang masih
bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan kekerasan untuk memukul orang
tanpa sebab."
"Aihhh...,"
Swat Hong tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa keras.
"Ayah, dia tidak bisa apa-apa, mengapa disebut Sin-tong? Serangan biasa
saja membuatnya roboh terjengkang!"
"Ha-ha-ha,
kau lihat dia roboh, akan tetapi apakah kau tidak lihat sesuatu yang ajaib? Dia
tidak marah, malah menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?"
"Anak
yang luar biasa dia...," terdengar Liu Bwee berkata lirih.
Kini Swat
Hong juga memandang Sin Liong. Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan
berkata, "Dia tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!"
"He,
Sin Liong, apakah engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak
kepada Sin Liong.
Anak ini
menggeleng kepala. "Suhu pasti mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap
apa pun dan siapa pun."
Swat Hong
membusungkan dadanya yang masih gepeng itu, kemudian menegakkan kepalanya dan
menantang, "Bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo kau lawan
aku!" Selesai bicara dia langsung bersiap memasang kuda-kuda.
Sin Liong
menggeleng kepalanya. "Adik yang baik, aku tidak akan menggunakan
kepandaian apa pun juga untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain, apalagi
terhadap seorang anak-anak seperti engkau."
Gadis cilik
itu sudah menerjang maju, namun Sin Liong hanya memandang dengan sikap tenang
saja, berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba-tiba
tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah ditangkap
oleh ibunya dan ditarik ke belakang.
"Swat
Hong, kau terlalu sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suheng-mu itu!"
Swat Hong
menoleh. Ia melihat ayahnya tersenyum, ia pun melihat pandang mata semua orang
dari prajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia ingat
bahwa dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua
penghuni pulau bahwa ilmu silat Pulau Es tidak boleh sembarangan dikeluarkan
untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia telah menyerang Sin Liong tanpa
sebab apa-apa, padahal Sin Liong adalah murid ayahnya atau suheng-nya (kakak
seperguruan).
Biar pun dia
berwatak keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan
mudah berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran. Sambil
tersenyum dan dengan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil berkata,
"Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar tehadap murid Ayah."
Sin Liong
terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata, “Tidak
ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang hebat, tentu saja aku
bukan tandinganmu."
"Hi-hik,
wah, dia baik sekali, Ayah!"
Swat Hong
lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng tangannya dan diajak lari ke
pinggir di mana dia menghujani Sin Liong dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari mana kau datang? Bagaimana kau dapat
menjadi murid Ayah? Apa saja yang sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau
disebut Sin-tong?"
Payah juga
Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja
menyerangnya seperti seekor burung garuda, akan tetapi kini sudah bersikap
demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru saja dia
memperkenalkan namanya, yaitu Kwan Sin Liong dan belum sempat menjawab
pertanyaan yang lain, perhatiannya, juga Swat Hong dan semua orang yang berada
di situ tertarik oleh keributan yang terjadi ketika Kwat Lin turun dari atas
perahu.
Begitu Kwat
Lin turun dari perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari gangguan
ingatannya karena malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian
semua orang. Wanita ini memang berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun
dari perahu itu. Rambutnya yang awut-awutan berkibar tertiup angin, pakaiannya
yang terlalu longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia.
Kwat Lin turun dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu
semua orang yang memandangnya, kemudian mata itu berhenti memandang kepada Liu
Bwee yang telah melangkah menghampirinya.
"Dia
ini siapakah?" Liu Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari
wajah pucat itu sambil didalam hatinya menduga-duga dan menanti jawaban yang
diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya diajukan kepada
suaminya.
Akan tetapi
sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba-tiba Kwat Lin membentak,
"Manusia-manusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan dia sudah meloncat ke
depan dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat.
"He,
Toanio! Jangan begitu...!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat
karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya.
Sedangkan
para penghuni Pulau Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri,
hanya memandang dengan tenang-tenang saja!
"Wuutttt...!
Plak-plak...!" tubuh Kwat Lin terpelanting ketika pukulannya tertangkis
oleh Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan balasan.
Hal ini
membuat Kwat Lin yang memang belum sadar benar itu makin marah. Dengan nekat
dia melompat bangun dan menerjang lagi, namun Pangeran Han Ti Ong sudah
mendahuluinya menotok pundaknya sambil berkata, "Tenanglah, Nona,"
Kwat Lin
kembali roboh, akan tetapi tubuhnya disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia
telah ditotok lemas. Dengan lambaian tangan, Pangeran itu memanggil empat orang
wanita pelayan yang kelihatan tangkas-tangkas.
"Dia
sedang sakit, ingatannya tidak sewajarnya." Ucapan ini ditujukan kepada
istrinya yang memandang marah.
Mendengar
ini Liu Bwee mengangguk-angguk dan kemarahan di wajahnya berubah menjadi iba.
"Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia baik-baik," kata Liu Bwee
kepada empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari
situ.
Barulah
Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan
pasukan penghormatan. Tadi dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti
patung belaka. Dengan megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar
ayahnya, Sang Raja yang sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan
puteranya ini. Sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian
istana di mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di bagian kiri istana besar.
Tepat
seperti telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari setelah pulangnya
Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti
Ong dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam upacara yang amat
sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas dan penasaran rasa hati para
pangeran yang membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang
ayah mereka tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu.
Untuk
memberontak secara terang-terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di
dalam pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti.
Maka, mereka itu hanya diam saja, biar pun tidak pernah lengah barang sehari
pun untuk mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan Han Ti
Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Lui Bwee yang mereka anggap sebagai
biang keladi dari ‘penyelewengan’ Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga raja di
Pulau Es!
Setengah
bulan kemudian, berkat perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga
dengan pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah
obat-obatan berupa daun-daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk
Sin Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.
Pada suatu
pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana,
taman yang bukan berisi bunga-bunga hidup, melainkan terisi ukir-ukiran bunga
dari batu-batu beraneka warna, dihias salju dan patung patung kayu. Sudah
berhari-hari dia duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han
Ti Ong, wanita malang ini harus dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak
boleh diganggu. Namun, diam-diam dia sendiri melakukan pengawasan karena entah
bagaimana, makin lama dia menjadi tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada
gadis ini!
Tiba-tiba
Kwat Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai
seorang hali silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap
waspada. Ketika dia membalik, dia melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ
sambil memandangnya dengan senyum ramah. The Kwat Lin yang kini sudah sembuh
sama sekali, memandang penuh keheranan lalu menegur, "Siapakah engkau? Dan
mengapa engkau bisa berada di tempat aneh ini?"
Melihat
sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han
Ti Ong. Sikap dan kata-kata itu sudah cukup membuktikan bahwa Kwat Lin telah
sembuh sama sekali, telah kembali kepada keadaan sebelum mengalami tekanan
batin hebat, maka tentu saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan
bagaimana bisa berada di pulau itu.
"Nona,
girang hatiku mendapat kenyataan bahwa Nona telah sembuh dari lupa ingatan yang
Nona derita belasan hari ini."
"Lupa
ingatan? Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau
dan tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini."
"Memang
begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar sehingga
Nona lupa lagi apa yang Nona telah alami selama belasan hari ini. Sungguh aku
ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-siap yang amat
malang...."
Tiba-tiba
wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat. "Kau... kau
tahu apa yang terjadi kepada kami...?"
Raja Han Ti
Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan senyum
mesra. “Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua belas
orang suheng-mu. Aku dan muridku pula yang menolong membawamu ke sini kemudian
mengobatimu sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau
ini dan kau berada di Pulau Es."
Mata yang
indah ini terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau Es...? Dan aku telah
mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong...."
"Sekarang
telah menjadi Raja Han Ti Ong, raja sebuah pulau kecil tak berarti, Nona. Aku
belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu."
Kwat Lin
menjatuhkan diri berlutut dan menahan isaknya. “Saya menghaturkan banyak terima
kasih atas pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong
saya. Saya bernama The Kwat Lin, orang termuda Cap-sha Sin-hiap, dan... kalau
paduka menaruh kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini...,
sekarang juga...."
"Nona
The, aku adalah seorang yang tidak bisa menyimpan rahasia hati. Ketahuilah,
semenjak pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan
sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka, aku akan merasa
berbahagia sekali kalau Nona mau tinggal di dalam istanaku ini sebagai seorang
istriku, istri yang ke dua."
Kwat Lin
terkejut sekali. Dia telah berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja
ini secara demikian terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia
sebagai isteri! Dia menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat-jiu
Kai-ong?
"Tidak!
Maaf... saya... saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya, dan
Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu Kai-ong."
Han Ti Ong
mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara
perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan mau menerima tawaranku dan tidak
mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti Nona akan jatuh cinta begitu saja
kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh
cinta kepadamu, Nona. Adanya aku berani meminangmu secara terang-terangan,
karena aku yakin Nona akan menerimanya berdasarkan cita-cita tunggal Nona
itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong,
sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak mampu mengalahkannya? Akan tetapi kalau
engkau menjadi istriku, hemmm...soal membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong
sama mudahnya dengan membalikan telapak tangan."
Ucapan ini
berkesan mendalam, membuat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan
tidak mungkin dia menjadi istri orang. Setelah berhasil membalas dendam, hanya
kematianlah yang akan mengakhiri noda yang dideritanya. Akan tetapi, menjadi
istri kedua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya. Apa lagi kalau orang
sakti itu sendiri sudah tahu akan keadaanya.
"Apakah...
apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya?” tanyanya dan kini dia
mengangkat muka, memandang raja itu. Diam-diam ia harus mengakui bahwa
laki-laki ini gagah dan tampan, sungguh pun usianya tentu tidak kurang dari
empat puluh tahun.
"Terserah
kepadamu. Kalau engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu,
maka kau memiliki dua pilihan. Kau boleh menghendaki dalam waktu pendek saja
aku dapat menangkap musuhmu itu dan menyeretnya kedepan kakimu, atau engkau
boleh mempelajari ilmu dan aku berani tanggung bahwa selama setahun saja engkau
akan mengalahkan musuhmu itu."
"Be...benarkah
itu?"
"Nona
The Kwat Lin, Han Ti Ong bukan orang yang biasa membohong, pula aku tidak ingin
mendapatkan dirimu dengan jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan
andai kata engkau menolak sekali pun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga,
kalau engkau menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang
memutuskan."
Tentu saja
timbul keraguan hebat didalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya
Pat-jiu Kai-ong. Tentu saja ia dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan
malapetaka yang menimpa Cap-sha Sinhiap itu kepada gurunya, ketua Bu-tong-pai,
Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya
mau mencampuri urusan dunia, biar pun murid-muridnya terbunuh sekali pun.
Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya juga akan sukar mengalahkan
Pat-jiu Kai-ong.
Yang
terutama sekali memperberat hatinya adalah, kalau dia pergi ke Bu-tong-pai,
tentu semua orang akan tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia
telah diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong. Ke mana dia akan menaruh mukanya kalau
semua orang mengetahuinya akan hal itu? Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau
Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal yang memalukan itu, juga dia
akan mempunyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu!
Akan tetapi,
benarkah pria di depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu
setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak akan puas kalau
tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sediri. Biar pun dia
sudah banyak mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja
itu, namun bagaimana dia dapat membuktikan kesaktiannya? Apakah orang ini lebih
lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
Perlahan-lahan
Kwat Lin bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga
sedang memandangnya. Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat Lin berkata,
"Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan saya sendiri. Akan
tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di
sini dan menangkan iblis itu?"
Han Ti Ong
tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah
pedang yang kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu."
Kwat Lin
menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik, akan tetapi segera
dihapusnya. Itulah Ang-bwe-kiam, pedang dari twa-suheng-nya!
"Engkau
meragu, baiklah. Sekarang kau pergunakan pedangmu dan kau serang aku untuk
menguji apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga kau lebih lihai
daripada Pat-jiu Kai-ong."
Kwat Lin
menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu Kai-ong telah
dikeroyok oleh dia dan dua belas orang suheng-nya. Mereka telah mainkan
Ngo-heng-kiam, bahkan telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok
kakek iblis itu, namun akhirnya mereka semua kalah, sungguh pun sejenak kakek
itu sempat terdesak. Kini kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana
bisa dipakai ukuran apakah dia lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?
"Nona,
jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar rajin belajar, dalam waktu
setahun engkau pasti akan dapat mengalahkan dia. Hiat-ciang Hoat-sut dan
Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu sebetulnya kosong saja," kata raja itu,
seolah-olah dapat membaca isi hati Kwat-lin.
Dara itu
terkejut, kemudian mengambil keputusan untuk menguji orang ini sebelum dia
menyerahkan dirinya yang sudah ternoda itu menjadi istrinya sebagai penebus
latihan ilmu untuk membalas dendam. "Baiklah, saya akan menguji kepandaian
Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan senjata."
"Ha-ha-ha,
Pat-jiu Kai-ong membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunnya untuk mengalahkan
Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi aku cukup menggunakan ini." Dia meraih ke
bawah dan tangannya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu
karang itu berbentuk panjang seperti pedang!
"Harap
Paduka siap!" Kwat Lin berseru. Pedangnya menyambar dengan cepat,
melakukan tusukan ke arah leher, sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah
dada. Serangan berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan
jurus ampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.
Sekali tubuh
raja itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada detik
berikutnya, leher dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga
tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit lirih karena maklum
bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia
telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya
adalah gerakan raja itu.
"Paduka...
Paduka mengunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung)
dari Ngo-heng-kiam-sut Bu-tong-pai!"
Han Ti Ong
tersenyum, "Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih
lihai karena sekali serang berhasil, bukan? Nah, kalau engkau memiliki
kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau mengalahkan musuhmu?”
Kwat Lin
tertegun, akan tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba
lagi!"
"Boleh,
boleh. Kau seranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa
engkau akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama."
Dengan
pengerahan tenaga dan memilih jurus-jurus terampuh, Kwat Lin menyerang lagi.
Akan tetapi setiap kali selesai menyerang satu jurus, dia lantas menjerit lirih
karena benar saja, dia selalu dikalahkan oleh jurusnya sendiri. Jurus itu
digerakkan oleh Han Ti Ong sedemikian aneh dan sempurnanya, demikian cepat dan
mengandung tenaga mukjijat sehingga biar pun dia mengenal jurusnya sendiri, dia
tidak sempat lagi mengelak atau menangkis!
Setelah
sepuluh kali dia terkena sentuhan ujung batu atau usapan tangan kiri lawan yang
lihai ini dia menjadi yakin, lalu menjatuhkan diri berlutut. "Saya
menerima penawaran Paduka!"
Ha Ti Ong
memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya bangun berdiri. Mereka berdiri
berhadapan dan saling pandang. Wajah raja itu berseri melihat betapa wajah Kwat
Lin menjadi merah sekali dan ada kedukaan hebat tersembunyi di balik kemerahan
wajah karena malu itu.
Dengan mesra
Han Ti Ong mengusap pipi halus kemerahan itu dan berkata lirih, "Aku tahu,
Kwat Lin. Peristiwa terkutuk menimpa dirimu membuat kau jijik terhadap pria dan
muak terhadap hubungan antara pria dan wanita. Akan tetapi, aku bukanlah pria
yang mengutamakan hubungan badani saja, Kwat Lin. Aku akan menghapus kejijikan
dan kemuakan itu. Percayalah, aku cinta dan iba kepadamu. Keputusan yang kau
ambil ini tepat sekali dan tidak akan mendatangkan sesal di kemudian hari.
Mari, mari kita mengumumkan pernikahan kita. Semoga engkau berbahagia."
Han Ti Ong
mencium dan mengecup mesra dan halus pinggir mata Kwat Lin, kemudian
menggandeng tangannya dan mengajaknya berjalan memasuki istana dari pintu
belakang yang menembus ke ‘taman’ itu. Tentu saja tidak ada kehebohan terjadi
ketika Han Ti Ong mengumumkan keputusannya mengambil The Kwat Lin sebagai istri
kedua, sungguhpun hal ini mendatangkan bermacam-macam tanggapan dalam hati para
penghuni Pulau Es.
Pesta
diadakan secara sederhana saja, tetapi cukup meriah. Sebagian besar penghuni
Pulau Es bersuka-cita dan mengharapkan bahwa dari pernikahan ini raja akan
dikaruniai seorang putera. Juga terjadi bermacam tanggapan di kalangan keluarga
raja. Ada kekecewaan, akan tetapi ada pula harapan. Kecewa karena sekali lagi
Raja Han Ti Ong mengambil ‘orang luar’ sebagai selir, akan tetapi timbul
harapan karena mungkin melalui istri kedua ini mereka dapat ‘memukul’ Liu Bwee
yang mereka benci.
Ternyata
kemudian oleh Kwat Lin bahwa semua ucapan yang dikeluarkan oleh Raja Pulau Es
itu ketika meminangnya bukan hanya bujukan kosong belaka. Raja itu benar-benar
jatuh cinta kepadanya dan hal ini terasa olehnya setelah dia menyerahkan
dirinya menjadi selir Raja Han Ti Ong. Dengan sepenuh jiwa raganya Han Ti Ong
mencurahkan kasih sayang kepadanya, sedemikian besarnya sehingga lambat laun
dia pun jatuh cinta kepada suaminya ini.
Dan dia yang
tadinya hendak belajar ilmu silat sebagai dorongan utama dengan mengorbankan
dan menyerahkan diri sebagai selir, setelah menerima pencurahan cinta kasih
yang amat mesra dan mendalam, mulailah berbalik pikir. Apalagi setelah sembilan
bulan kemudian semenjak dia menjadi selir, dia melahirkan seorang anak
laki-laki. Kwat Lin merasa betapa hidupnya berubah sama sekali.
Kalau dulu
dia hanya seorang pendekar wanita yang seringkali menghadapi banyak
kesengsaraan hidup, kini menjadi seorang yang mulia dan terhormat, bahkan dia
mendapat kenyataan bahwa suaminya benar-benar memiliki ilmu kepandaian yang
luar biasa tingginya! Timbullah keinginan hatinya untuk mengangkat diri menjadi
permaisuri. Dia merasa berhak, karena bukankah dia yang mempunyai keturunan
laki-laki?
Selain
menjadi permaisuri, ia juga ingin menjadi pewaris semua ilmu kesaktian dari
Pulau Es. Kalau sudah demikian, baru dia akan mencari dan membunuh Pat-jiu
Kai-ong. Kebenciannya terhadap kakek iblis jembel itu kini menjadi tipis
sekali. Memang kalau dipikir betapa selama tiga hari tiga malam kakek itu
mempermainkannya, merengut kehormatan dengan memperkosa secara amat menghina,
akan tetapi ada segi lain yang membuat dia diam-diam berterima kasih kepada
kakek itu. Kalau tidak ada peristiwa hebat itu, agaknya selama hidupnya dia
tidak akan dapat bertemu dengan Han Ti Ong, apalagi menjadi istrinya dan
sekaligus pewaris ilmu-ilmunya!
Sin Liong
belajar ilmu silat dengan tekun bersama sumoi-nya, Swat Hong yang lincah
jenaka. Dan mulai tampaklah bakatnya yang luar biasa. Tidak mengherankan kalau
para tokoh kang-ouw ingin memiliki bocah ini dan menjadikan Sin Liong sebagai
bahan perebutan, karena dia memang pantas disebut Sin-tong.
Han Ti Ong
sendiri yang merupakan manusia luar biasa dan memiliki kecerdasan yang disebut
Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tidak bisa lupa lagi), diam-diam menjadi
kagum sekali karena dia harus akui bahwa dalam hal kecerdasan dan kekuatan
pikiran, dia masih kalah oleh muridnya ini! Yang amat mengagumkan hatinya
adalah betapa di balik semua bakat yang luar biasa ini terpendam watak yang
amat luar biasa, watak yang penuh kehalusan, kelembutan dan kasih sayang dan
iba terhadap orang lain yang amat mendalam, di samping watak yang wajar
seadanya. Benar-benar seorang bocah yang ajaib!
Diam-diam
Sin Liong mengerti bahwa diangkatnya Kwat Lin menjadi istri Han Ti Ong, biar
pun hal ini merupakan hal yang lumrah bagi seorang raja, namun akan
mendatangkan banyak ketidak-baikan, terutama di pihak ibu sumoi-nya. Apalagi
ketika dia melihat sikap dan perubahan pada diri bekas pendekar wanita
Bu-tong-pai itu. Akan tetapi karena dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak
tahu apa-apa dan yang sama sekali tidak berhak mencampuri ‘urusan dalam’
suhunya, maka tentu saja dia hanya berdiam diri, hanya mengikuti perkembangan
keadaan dengan hati tidak enak.
Yang
dikhawatirkan oleh anak yang belum tahu apa-apa ini memang sungguh terjadi.
Semenjak mengambil Kwat Lin sebagai isteri kedua, Liu Bwee menderita tekanan
batin yang amat hebat. Mula-mula tidak terasa olehnya ketika suaminya makin
jarang bermalam di dalam kamarnya karena hal ini dianggapnya lumrah setelah
suaminya memiliki isteri lain yang baru. Akan tetapi perasaan kewanitaannya
yang halus segera dapat menangkap kehambaran cinta kasih yang dicurahkan
suaminya kepadanya.
Setelah The
Kwat Lin mengandung, suaminya tidak pernah datang lagi menginap dikamarnya, dan
kalau sekali-sekali datang, tidak ada cumbu rayu dan kemesraan sama sekali.
Kedatangan Han Ti Ong hanya untuk menanyakan kesehatan dan agaknya suaminya
datang hanya demi kesopanan belaka! Hati seorang wanita amatlah halusnya, mudah
tersinggung, mudah gembira, mudah marah, mudah berduka, mudah jatuh cinta dan
mudah pula membenci!
Setelah Kwat
Lin melahirkan seorang anak laki-laki, mulailah hati Liu Bwee digerogoti iri
dan hal ini mendatangkan kebencian hebat. Dia mulai merasa tersiksa batinnya,
merasa kesepian. Rasa rindu yang makin menghimpit terhadap belaian kasih sayang
suaminya membuat Liu Bwee makin tersiksa, menambah kebenciannya terhadap Kwat
Lin yang makin dipuja suaminya itu. Liu Bwee bukan seorang wanita yang gila
akan kedudukan. Dia tidak mengejar kedudukan dan dia sama sekali tidak khawatir
akan menurunnya derajatnya apabila madunya itu diangkat menjadi permaisuri
karena mempunyai seorang putera. Akan tetapi Liu Bwee adalah seorang wanita
yang haus akan kasih sayang, maka dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan
batinnya setelah cintanya disiasiakan oleh suaminya yang telah jatuh di bawah
telapak kaki Kwat Lin.
Melihat
penderitaan batin yang dialami oleh Liu Bwee ini, diam-diam bersoraklah para
keluarga raja. Bagi mereka, biar pun putera raja bukan keturunan dari seorang
ibu yang masih berdarah ‘agung’ seperti mereka, namun masih lebih baik dari
pada kalau dilahirkan oleh seorang ibu seperti Liu Bwee, hanya anak seorang
nelayan Pulau Es dari kelas rendah! Pula kebencian mereka yang terdorong oleh
iri hati terhadap Liu Bwee membuat mereka condong kepada Kwat Lin sehingga
kelahiran Han Bu Ong, nama putera itu, disambut dengan penuh kegembiraan oleh
keluarga raja dan juga oleh semua penghuni Pulau Es sebagai penyambutan
terhadap lahirnya seorang putera raja yang akan menjadi pangeran mahkota!
Tujuh tahun
telah lewat semenjak Sin Liong berada di Pulau Es. Dipandang begitu saja,
agaknya keadaan Pulau Es dan kerajaan kecilnya selama tujuh tahun itu tidak
terjadi perubahan sesuatu. Para penghuninya masih hidup dengan tenang dan
tentram penuh kedamaian seperti puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Raja
Han Ti Ong tidak kalah bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan kecilnya
sehingga para penghuni Pulau Es hidup bahagia, sedangkan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya sedikit sekali.
Namun
sesungguhnya terjadi perubahan yang amat besar dan banyak! The Kwat Lin kini
menjadi permaisuri, diangkat secara resmi oleh Han Ti Ong sehingga kedudukan
Liu Bwee tergeser menjadi istri selir. The Kwat Lin bukan hanya menjadi wanita
pertama yang paling tinggi tingkat kedudukannya, namun juga telah menjadi
seorang wanita yang memiliki kesaktian hebat, hanya kalah oleh suaminya dan
beberapa tokoh lain di Pulau Es. Namun, hasratnya untuk membalas dendam
terhadap Pat-jiu Kai-ong agaknya telah lenyap sama sekali!
Dia
kelihatan hidup bahagia, tenggelam dalam belaian penuh kasih sayang dari
suaminya, dan melihat puteranya yang kini telah berusia enam tahun menjadi
seorang anak laki-laki yang tampan dan sehat. Biar pun tubuhnya agak kecil,
sebagai pangeran tentu saja Bu Ong digembleng oleh ayahnya sendiri sejak
kanak-kanak.
Sin Liong
telah memperoleh kemajuan yang menakjubkan dan mengagumkan Han Ti Ong sendiri.
Semua ilmu yang diajarkan oleh raja itu, sekali dilatih dapat dilakukan dengan
hampir sempurna! Tentu saja dalam waktu beberapa tahun dia telah jauh melampaui
tingkat kepandaian sumoi-nya, dan setelah dia berusia empat belas tahun, Sin
Liong telah jauh meninggalkan tingkat sumoi-nya. Bukan hanya dalam hal ilmu
silat, akan tetapi juga dalam ilmu sinkang dia maju pesat karena tanpa
diperintah oleh suhunya, dengan tekun Sin Liong berlatih seorang diri di bawah
hujan salju yang amat dingin sehingga dia dapat menampung inti sari tenaga
im-kang yang amat hebat.
Selain tekun
mempelajari ilmu silat yang diturunkan oleh suhunya tanpa ada yang
disembunyikan itu, Sin Liong juga rajin sekali membaca kitab-kitab yang banyak
terdapat di dalam kamar perpustakaan istana. Dia dikenal oleh semua ahli sastra
di Pulau Es, dan mereka ini amat kagum dan suka kepada Sin Liong karena
ketekunan bocah ajaib ini. Tidak ada bosannya Sin Liong membaca kitab-kitab
kuno, dan setiap bertemu huruf baru yang tidak dikenalnya, dia akan mencatatnya
untuk kemudian ditanyakan kepada para ahli itu.
Dengan cara
demikian, biar pun tidak dibimbing langsung, namun Sin Liong telah dapat
memperkaya perbendaharaan kata-kata sehingga dia mampu membaca kitab-kitab yang
paling kuno di dalam perpustakaan itu. Kitab kuno tidaklah seperti kitab biasa,
karena selain huruf-hurufnya kuno, juga huruf-huruf itu mengandung arti yang
amat mendalam. Karena inilah, maka kitab-kitab yang amat kuno di pulau itu
jarang atau hampir tidak pernah dibaca orang.
Han Ti Ong
sendiri segan membaca kitab-kitab itu. Selain sukar, juga isinya hanyalah
sajak-sajak kuno yang dianggapnya tidak ada gunanya dan melelahkan otaknya.
Namun semua kitab itu ‘dilalap’ semua oleh Sin Liong! Bukan ini saja, namun
anak ajaib ini dapat menemukan sesuatu yang tersembunyi di dalam sajak-sajak
itu! Dia menemukan rangkaian ilmu silat sakti yang masih merupakan ‘rangka’
terselubung di dalam huruf-huruf kuno yang sukar dimengerti itu.
Bahkan dia
menemukan pula ilmu yang masih dirahasiakan oleh Han Ti Ong, ilmu yang selama
ratusan tahun mengangkat nama Pulau Es, yaitu ilmu inti sari dasar gerakan
semua ilmu silat. Dengan ilmu ini yang sudah dikuasainya, maka Han Ti Ong dapat
mengalahkan tujuh orang tokoh sakti dengan jurus-jurus ilmu silat mereka
sendiri ketika Han Ti Ong menolong Sin Long di Jeng-hoa-san. Kini secara tidak
disengaja, bahkan di luar kesadaran Sin Liong sendiri, bocah ajaib ini telah
menemukan ilmu itu ‘terselip’ dan terselubung di antara sajak-sajak kuno yang
kelihatannya tidak ada gunanya itu.
Selain
memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silat, selama berada di Pulau Es, Sin
Liong juga memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya mengenai daun dan tumbuhan
obat dengan jalan menyelidikinya di pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Es. Dia
memang mendapat tugas untuk mencari bahan-bahan obat di pulau-pulau itu untuk
kepentingan para penghuni Pulau Es. Dalam kesempatan melaksanakan tugasnya ini,
Sin Liong tidak menyia-nyiakan waktu untuk menyelidiki lebih banyak lagi
tetumbuhan dan khasiatnya untuk kesehatan tubuh manusia.
Dengan
adanya Sin Liong di Pulau Es, banyak sudah penghuni yang terhindar dari bahaya
penyakit. Untuk ini Han Ti Ong merasa berterima kasih sekali sehingga dia tidak
segan-segan menurunkan ilmu pengobatan tusuk jarum kepada muridnya itu. Selain
Sin Liong, tentu saja Swat Hong sebagai puteri raja, juga memperoleh kemajuan
pesat dan dalam usia tiga belas tahun itu dia telah memiliki ilmu kepandaian
yang sukar dicari tandingannya. Dengan demikian, hampir semua orang di Pulau Es
memperoleh kemajuan masing-masing.
Raja Han Ti
Ong memperoleh kebahagiaan cinta kasih dalam diri Kwat Lin yang telah menjadi
permaisurinya. The Kwat Lin sendiri yang tadinya mengalami malapetaka yang
dianggapnya lebih hebat daripada kematian sendiri, telah memperoleh banyak
keuntungan, memperoleh cinta kasih yang mesra, kedudukan tinggi sekali, dan
ilmu kepandaian yang amat hebat pula.
Hanya
seorang saja yang sama sekali tidak memperoleh kemajuan lahir mau pun batin,
yaitu Liu Bwee! Dia menderita makin hebat, terutama batinnya karena semenjak
beberapa tahun ini, suaminya sama sekali tidak pernah lagi mendekatinya!
Lenyaplah wataknya yang periang dan kini Liu Bwee lebih banyak mengurung dirinya
di dalam kamar, menyulam atau membaca kitab. Dia seolah-olah menjadi seorang
pertapa dan biar pun wajahnya tidak membayangkan sesuatu, masih tetap cantik
manis dan pakaiannya selalu bersih, namun sesungguhnya hatinya terluka dan
selalu meneteskan darah, batinnya terhimpit dan terbakar oleh rindu yang tak
kunjung henti, kehausan akan belaian kasih sayang seorang pria yang tak pernah
terpuaskan.
Keadaan di
dalam istana dengan adanya penderitaan Liu Bwee, dengan adanya para anggota
keluarga istana yang masih menaruh benci kepadanya dan tidak melihat kesempatan
untuk menjatuhkan wanita ini karena Liu Bwee selalu bersikap diam dan tidak
memperlihatkan sesuatu, merupakan api dalam sekam yang setiap saat tentu akan
berkobar atau meledak. Hal ini tidak saja dirasakan oleh semua anggota keluarga
raja, bahkan dirasakan pula oleh Sin Liong dan Swat Hong.
Sering kali
Sin Liong kehilangan kejenakaan Swat Hong yang merupakan ciri khas dara ini.
Ketika melihat dara itu termenung seorang diri, dia menarik napas panjang dan
sekali waktu dia menegur, "Eh, Sumoi. Kenapa kau termenung dan wajahmu
suram? lihat, hari tidak sesuram wajahmu. Sinar matahari mencairkan salju
dengan cahaya yang keemasan!"
Swat Hong
memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. "Betapa aku tidak akan
muram menyaksikan keadaan yang begini dingin di dalam istana, Suheng? Ayah
memang masih biasa dan baik kepadaku, juga ibu baik kepadaku. Akan tetapi
antara Ayah dan Ibu seolah-olah terdapat jurang pemisah yang amat dalam. Tidak
pernah lagi aku menyaksikan keduanya beramah-tamah dan bersendau-gurau seperti
dahulu lagi. Apakah karena Ibu Permaisuri...?"
"Ssst,
Sumoi. Kita tidak mempunayi hak untuk bicara mengenai orang-orang tua itu. Hal
itu adalah urusan mereka sendiri."
"Aku
mengerti, Suheng. Akan tetapi aku melihat kedukaan hebat bersembunyi di balik
senyum Ibu kepadaku. Aku tahu betapa dia rindu kepada Ayah, rindu yang
membuatnya seperti gila...."
"Hushh...."
"Aku
tidak membohong, Suheng. Seringkali aku mendengar Ibuku mengigau memanggil nama
Ayah dan menangis dalam tidur. Ibu selalu gelisah kalau tidur dan biar pun dia
hendak menyembunyikannya dariku, namun aku tahu betapa Ibu menderita sengsara
batin yang hebat, menderita rindu yang menghancurkan batinnya...." Dara
itu kelihatan berduka sekali, kemudian berkata lagi, "Suheng, apa sih
perlunya orang saling mencinta kalau akibatnya hanya mendatangkan rindu dan
kecewa?"
"Itu
bukan cinta, Sumoi. Ahh, kau takkan mengerti dan semua orang takkan mengerti
karena sudah lajim menganggap hawa nafsu sama dengan cinta. Hawa nafsu menuntut
pemuasan, menuntut kesenangan dan ingin memilikinya untuk diri sendiri. Dan
semua inilah yang menimbulkan kecewa dan duka, Sumoi."
Sumoinya
terbelalak. "Aihh, kau bicara seperti kakek-kakek saja! Dari mana
memperoleh filsafat macam itu, Suheng?" Karena tertarik, dara ini sudah
melupakan kedukaannya dan menjadi riang gembira lagi. Matanya memandang
suheng-nya dengan berseri penuh godaan.
"Dari...
hemm, kukira dari kesadaran, Sumoi. Bukan filsafat. Aku sudah kenyang membaca
filsafat, dan apa artinya filsafat kalau hanya untuk dihafal? Tidak ada bedanya
dengan benda mati yang hanya diulang-ulang, dipakai perhiasan, dijadikan alat
untuk terbang melayang diawang-awang yang kosong. Terlalu banyak kitab sudah
kubaca, dan mungkin juga karena memperhatikan keadaan mendatangkan
kesadaran." Sin Liong menarik napas panjang.
"Suheng,
kau tadi mencela aku yang kau katakan murung. Akan tetapi aku juga seringkali
melihat engkau seperti orang berduka. Apakah kau tidak senang tinggal di Pulau
Es?"
"Aku
suka sekali tinggal di sini, Sumoi. Kurasa jarang terdapat tempat seindah ini,
masyarakat setenteram ini. Akan tetapi, kalau aku melihat para terhukum yang
dibuang ke Pulau Neraka...."
"Aih,
hal itu bukan urusan kita, Suheng. Bukankah kau tadi juga mengatakan bahwa
urusan antara Ayah dan Ibu bukan urusanku? Maka urusan hukuman itu pun sama
sekali bukan urusan kita."
“Kau keliru,
Sumoi. Urusan Ayah-bundamu memang merupakan urusan pribadi mereka. Akan tetapi
urusan orang-orang terhukum adalah urusan umum, urusan kita juga. Aku sama
sekali merasa tidak senang dengan adanya peraturan itu. Aku akan berusaha untuk
mengingatkan Suhu...."
"Tapi
Ayah seorang Raja, Suheng!"
"Raja
pun manusia juga."
"Tapi
Raja hanyalah menjalankan hukum yang berlaku, Suheng."
"Hukum
pun buatan manusia. Benda mati!"
Tiba-tiba
terdengar suara tambur dipukul. Sejenak dua orang muda-mudi itu memperhatikan
dan wajah Sin Liong menjadi muram.
"Nah,
ada lagi sidang pengadilan yang akan menjatuhkan hukuman. Entah siapa lagi
sekarang yang melakukan pelanggaran. Mari kita lihat, Suheng!"
Tangan Sin
Liong digandeng oleh Swat Hong yang menariknya ke arah bangunan di samping
istana. Bangunan ini dijadikan ruang sidang pengadilan di mana dijatuhkan
hukuman terhadap mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran. Ketika mereka
tiba di situ, telah banyak penghuni Pulau Es yang menonton di luar ruangan, dan
tentu saja dua orang muda-mudi itu mudah untuk memasuki ruang sidang dan duduk
di atas kursi yang berderet di pinggiran.
Ruangan itu
luas sekali, lantainya halus dan bersih. Isi ruang hanyalah sebuah meja panjang
dan di belakang meja panjang ini terdapat lima buah kursi. Di kanan-kiri pada
bagian pinggir juga terdapat kursi-kursi, sedangkan di depan meja, di bagian
tengah tetap kosong.
Pada saat
Sin Liong dan Swat Hong tiba di ruangan itu, di belakang meja telah duduk
hakim, yaitu seorang kakek tua keluarga kerajaan yang biasa bertugas sebagai
hakim. Di kursi kebesaran di sebelah kanannya tampak duduk Han Ti Ong sendiri
bersama permaisurinya. Hal ini merupakan keanehan karena biasanya raja hanya
datang tanpa permaisurinya dan duduk bersama dengan para pangeran lain. Agaknya
permaisuri Raja Han Ti Ong sekarang ini ingin pula melihat pengadilan dilakukan
di Pulau Es.
Para
pesakitan sudah berlutut di atas lantai di depan meja, jumlahnya ada tiga
orang. Seorang adalah laki-laki tinggi besar penuh brewok yang matanya lebar
dan gerak-geriknya kasar, seorang lagi laki-laki muda yang tampan, dan terakhir
ialah seorang wanita yang usianya empat puluhan. Wanita yang masih cantik ini
berlutut di samping laki-laki muda yang kelihatan ketakutan, tidak seperti
laki-laki tinggi besar dan si wanita yang kelihatan tenang-tenang saja.
Dengan suara
lantang jaksa penuntut membacakan tuntutan kepada laki-laki tinggi besar yang
sudah berlutut di depan setelah namanya dipanggil, yaitu Bouw Tang Kui. “Bouw
Tang Kui telah berkali-kali diperingatkan karena sikapnya yang kasar, suka
menggunakan kepandaian menghina yang lemah dan suka mencuri. Terakhir ditangkap
karena melakukan pencurian, mengambil batu hijau mustika penyedot racun ular
milik orang lain. Karena kejahatannya membahayakan Pulau Es, dapat menimbulkan
kekacauan dan permusuhan, maka hukuman yang paling berat patut dijatuhkan atas
dirinya. Selain untuk memberantas kejahatan dari permukaan pulau juga sebagai
contoh kepada semua penghuni pulau."
Hening
sejenak, kemudian terdengar suara hakim tua yang lemah dan agak gemetar,
"Bouw Tang Kui, kau sudah mendengar tuduhan atas dirimu. Kau diperkenankan
membela diri."
Bouw Tang
Kui yang berlutut itu memberi hormat kepada raja, kemudian dengan suaranya yang
kasar dan nyaring berkata, "Hamba mengaku telah melakukan perbuatan itu karena
hamba ingin memiliki mustika batu hijau. Hamba telah menerima banyak budi dari
Sri Baginda. Kalau sekarang dianggap berdosa, hamba siap menerima segala macam
hukuman yang dijatuhkan kepada hamba."
Hakim
berpikir sejenak, kemudian sambil mengetok meja dia berkata, "Pengadilan
memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Bouw Tang Kui."
Suasana
menjadi hening. Keputusan hukuman ini merupakan yang lebih hebat dari pada
penggal kepala. Di antara mereka yang mendengarkan banyak yang menahan napas
dengan muka pucat, dan ada pula yang menaruh hati kasihan kepada Bouw Tang Kui.
Akan tetapi
pesakitan itu sendiri setelah memandang kepada raja, lalu berkata dengan suara
penuh pahit getir, "Hukuman apa pun bagi hamba tidak terasa berat, yang
terasa berat adalah bahwa hamba dipaksa untuk memusuhi Pulau Es yang hamba
cintai!"
"Jadi
engkau menerima keputusan hukuman?" hakim bertanya.
"Hamba
mene...."
"Nanti
dulu!!" tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Han Ti Ong
sendiri mengangkat muka memandang tajam ketika melihat Sin Liong telah berdiri
dari kursinya dan mengeluarkan seruan itu. "Harap Suhu dan para Cu-wi
sekalian maafkan saya. Akan tetapi pesakitan berhak untuk dibela dan saya
hendak membelanya. Saudara Bouw Tang Kui ini dianggap berdosa dan memang dia
telah melakukan pelanggaran. Akan tetapi patutkah kalau kesalahannya itu lalu
dijadikan tanda bahwa dia seorang jahat yang tidak bisa diampuni lagi? Saya
hendak bertanya, siapakah di antara Cu-wi sekalian yang tidak pernah melakukan
kesalahan?...."
"Semua
manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan karena kita semua manusia, maka
kita pun tentu pernah melakukan kesalahan. Siapakah yang mau kalau kesalahan
yang dilakukannya itu lalu dijadikan tanda bahwa selamanya dia akan bersalah
atau berdosa, dan patut dihukum tanpa ampun lagi? Kesalahan yang dilakukan oleh
Bouw Tang Kui adalah sebuah penyelewengan biasa yang dilakukan oleh manusia
yang berbatin lemah. Manusia yang berbatin lemah dan melakukan penyelewengan
sama saja dengan seorang yang sedang menderita semacam penyakit, hanya bedanya,
yang sakit bukan tubuhnya melainkan hatinya. Akan tetapi, setiap orang sakit
bisa sembuh! Maka, menghukumnya dengan hukuman keji itu sama dengan
membunuhnya!"
Hening sekali
keadaan di situ setelah pemuda tanggung ini mengeluarkan pembelaannya.
"Akan
tetapi di sini sudah diadakan hukum sejak ratusan tahun dan kita semua harus
tunduk kepada hukum!" kata Han Ti Ong ketika melihat betapa hakim
ragu-ragu untuk menjawab. Dia maklum bahwa Sin Liong disuka banyak orang di
situ, dan selain ini, agaknya para pejabat itu juga sungkan mendebat karena
pemuda itu adalah murid raja. Karena inilah maka Han Ti Ong sendiri yang
mengeluarkan suara membantah.
"Harap
Suhu memaafkan teecu kalau teecu terpaksa mendebat. Saudara Bouw melanggar
hukum yang dianggap berdosa, lalu menurut hukum harus dibuang ke Pulau Neraka.
Dari manakah timbulnya pelanggaran yang disebut dosa? Kalau tidak ada hukum,
mana mungkin ada dosa? Kalau tidak ada larangan, mana mungkin ada pelanggaran?
Hukum itulah yang menciptakan dosa dan pelanggaran. Hukum itulah yang keji
karena hukuman yang dijatuhkan sebetulnya lebih kotor daripada dosa itu
sendiri! Kalau dia dianggap bersalah lalu dibuang ke Pulau Neraka, bukankah hal
itu membuat dia menjadi makin jahat dan mendendam? Andai kata seorang penderita
sakit, penyakitnya menjadi makin parah! Apakah hukuman pembuangan ke Pulau
Neraka itu akan menginsafkannya? Suhu, sudah berkali-kali teecu menyatakan
bahwa hukuman seperti ini tidak patut dilakukan. Lebih baik menuntut mereka
yang tersesat agar kembali ke jalan benar dari pada menghukum mereka dengan
kekerasan yang akan membuat mereka menjadi lebih jahat lagi."
“Kwa Sin
Liong, kau tak berhak untuk mencela hukum yang sudah menjadi tradisi kami!
Hakim, lanjutkan persidangan dan pembelaan yang dilakukan atas diri Bouw Tang
Kui tidak dapat diterima!" bentak Han Ti Ong yang merasa tersinggung juga
mendengar betapa peraturan yang dijunjung tinggi selama ratusan tahun oleh nenek
moyangnya itu kini disangkal dan dicela oleh seorang bocah yang menjadi
muridnya!
Sin Liong
menghela napas dan terpaksa dia duduk kembali.
"Ssttt,
kau terlampau berani...." Swat Hong berbisik.
"Hemmm...
tiada gunanya...." Sin Liong balas berbisik.
Suara jaksa
yang lantang sudah memanggil nama dua orang pesakitan yang lain, yaitu
laki-laki tampan dan wanita cantik itu. Mereka maju dan berlutut di depan
pengadilan.
"Sia
Gin Hwa dan Lu Kiat telah ditangkap karena melakukan perjinahan. Karena Sin Gin
Hwa telah menjadi istri syah dari Ji Hoat, maka perbuatan itu merupakan
perbuatan hina yang amat berdosa, melanggar larangan keras yang telah disyahkan
hukum. Karena itu tidak ada pengampunan baginya dan mohon pengadilan
menjatuhkan hukuman terberat kepadanya. Ada pun Lu Kiat, biar pun masih muda
dan belum beristri, namun dia telah berjinah dengan istri orang, maka dia pun
harus dijatuhi hukuman yang layak. Kemudian terserah kepada hakim."
Wanita itu
menundukan mukanya yang menjadi merah sekali ketika mendengar suara mengejek
dari mereka yang menonton di luar ruangan sidang, akan tetapi sikapnya masih
tenang-tenang saja. Ada pun Lu Kiat, pemuda itu menjadi pucat wajahnya, akan
tetapi dia juga menundukkan mukanya, kelihatan gelisah sekali.
"Pengadilan
memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka kepada Sia Gin Hwa dan hukuman rangket
seratus kali kepada Lu Kiat!"
"Hamba
tidak menerima!" Tiba-tiba Sia Gin Hwa berteriak. "Yang melakukan
perjinahan adalah hamba berdua, maka kalau dibuang pun harus hamba
berdua!"
"Tidak,
hamba menerima hukuman rangket seratus kali!" teriak pula Lu Kiat.
"Laki-laki
apa kau ini? Ketika merayuku, kau berjanji akan bersama-sama menderita andai
kata dibuang ke Pulau Neraka!" Sia Gin Hwa memaki dan terjadilah ribut
mulut antara mereka.
"Diam!!"
Teriakan menggetarkan dari Han Ti Ong membuat mereka berdua menjatuhkan diri
mohon pengampunan.
"Karena
kalian melakukan perbuatan yang memalukan sekali, menodakan nama baik Pulau Es,
maka sepatutnya kalian berdua sama-sama dibuang ke Pulau Neraka!" kata
Raja itu dengan suara tenang namun penuh wibawa.
Sia Gin Hwa
memegang tangan kekasihnya dan menangis sambil menciumi tangan itu, akan tetapi
wajah Lu Kiat menjadi makin pucat.
Kembali Sin
Liong bangkit berdiri. "Maaf, Suhu. Teecu terpaksa membantah lagi! Mereka
memang telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang ada, akan tetapi
apakah perbuatan mereka itu sudah demikian jahatnya maka sampai mereka dihukum
buang? Teecu kira di balik perbuatan mereka itu tentu ada sebab dan alasannya.
Mereka menjadi korban nafsu, akan tetapi kalau seorang istri sampai melakukan
penyelewengan, tentu pihak suami juga ada kesalahannya. Tidak perlukah
diselidiki mengapa wanita yang telah bersuami ini sampai berjinah dengan pria
lain? Mengapa dia sampai tidak dapat menahan dorongan nafsu berahi? Tentu ada
sebab-sebabnya."
"Sin
Liong, engkau seorang bocah belum dewasa, tahu apa tentang nafsu berahi?!"
bentak gurunya.
Han Ti Ong
agak tertegun juga karena mendapatkan kebenaran tersembunyi di balik bantahan
muridnya itu. Terdengar suara ketawa ditahan di sana-sini, bahkan permaisuri
sendiri menahan senyumnya.
"Teecu...
teecu... mengerti dari kitab...."
"Pembelaan
seorang anak yang belum dewasa terhadap perjinahan yang dilakukan orang dewasa
tidak dapat diterima. Laksanakan hukumannya dan buang mereka bertiga sekarang
juga ke Pulau Neraka!" kata Han Ti Ong.
Persidangan
dibubarkan dan tiga orang pesakitan itu lalu digiring ke luar untuk
dilaksanakan hukuman atas diri mereka, yaitu dibuang ke Pulau Neraka. Hukuman
ini paling mengerikan dan paling di takuti oleh semua penghuni Pulau Es, karena
mereka semua tahu bahwa di buang ke Pulau Neraka berarti hidup tersiksa dan
sengsara, lebih hebat dari kematian
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment