Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 10
SIOK TOJIN mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!"
Ucapan ini
mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji yang
diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata
demikian, tangan kanannya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang
yang telah dicabutnya.
"Tentu
saja mulutku dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu
sembilan jurus!” Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek. Tangan kanannya
memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya
meraba-raba sanggul rambutnya, seperti sedang merapikan padahal diam-diam dia
melepas tali rambutnya yang panjang itu.
"Sebagai
nyonya rumah rasanya kurang sopan jika aku menyerang tamuku. Silakan dimulai,
Totiang,” ujar Kiam-mo Cai-li.
“Singgg...!”
Siok Tojin langsung menghunus pedangnya. Tosu ini memang lebih pandai berbicara
melalui pedang dibandingkan dengan mulutnya.
Pihak lawan
sudah memintanya membuka pertarungan, maka tanpa sungkan lagi tosu ini
menerjang ke depan, apa-lagi perutnya masih panas akibat dia tadi diremehkan.
Melihat iblis wanita yang menjadi lawannya menyandang payung di bahu kanan,
langsung pedangnya menusuk lurus ke arah pundak kiri lawan yang lebih terbuka.
Dalam pertarungan biasa, dia akan menusukkan pedangnya tepat ke jantung lawan,
tetapi karena pertarungan ini hanya untuk menguji kepandaian, maka sengaja dia
arahkan pedangnya lebih tinggi sehingga tidak mengancam jiwa lawannya.
Tidak
percuma Liok Si bergelar Cai-li (Wanita Pandai). Melihat gerakan pembuka tosu
ini dia lantas paham bahwa pihak lawan memang hanya ingin mengujinya, tidak
punya maksud mencelakakan. Sebab itu bibirnya mengembangkan senyum manis, dan
dalam hati dia pun bertekad untuk tidak menurunkan tangan berat kepada tosu
itu. Begitu pedang datang menyambar, Kiam-mo Cai-li cepat menarik kaki kiri
sedikit ke belakang, sedangkan kaki kanannya ditekuk sehingga tubuhnya merendah
dan menjauh dari pedang Siok Tojin.
Namun
gerakan pembuka tadi ternyata hanya pancingan belaka. Begitu tubuh lawan
bergerak, segera Siok Tojin menahan pedangnya, lalu membuat gerakan memutar dan
membabat lengan kiri lawan. Kiam-mo Cai-li tidak mengelak lagi, secepat kilat
tangan kanannya yang memegang payung digerakkan untuk menangkis pedang yang
mengancam lengannya. Melihat urat di dahi tosu itu menegang, tanda bahwa dia
sedang mengerahkan tenaga penuh, Kiam-mo Cai-li turut menghimpun sinkang dan
menangkis dengan sekuatnya.
“Tranggg...!”
timbul percikan api akibat benturan payung dan pedang, diikuti langkah mundur
keduanya.
Dalam sekali
gebrakan, keduanya langsung paham kemampuan lawan masing-masing. Pedang Siok
Tojin bergerak lebih dulu, namun payung Kiam-mo Cai-li yang sampai lebih awal
di tempat tujuan, padahal jarak yang ditempuh pedang lebih pendek dibandingkan
payung. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan majikan Rawa Bangkai itu masih
lebih unggul. Selain itu, ketika terjadi benturan tadi Siok Tojin dapat melihat
pedangnya sedikit terpental dan merasakan perih di telapak tangannya, sedangkan
payung di tangan wanita iblis itu hanya terlihat sedikit tergetar. Mau tidak
mau Siok Tojin harus mengakui bahwa sinkang-nya juga lebih asor.
“Hemmm...,
baik kecepatan mau pun sinkang-nya lebih unggul, tidak heran lidahnya bisa
berucap hingga menjilat langit. Melihat kenyataan ini, sebaiknya aku bertahan
saja selama sepuluh jurus, hendak kulihat apa yang bisa dia lakukan terhadap
diriku. Lewat sepuluh jurus, jika aku masih berdiri tegak, bukankah dia sendiri
yang harus mengaku kalah?” demikian jalan pikiran si tosu dalam mengatur
siasat.
Setelah
mengambil keputusan demikian, Siok Tojin tidak mau bergerak sembarangan lagi.
Dia hanya berdiri tegak dengan kuda-kuda sekokoh batu karang, kedua kaki
dipentang dengan lutut sedikit menekuk, pedang menuding diarahkan lurus ke
depan, tangan kirinya dipasang melintang di depan dada, sedangkan matanya
mengawasi lawan dengan waspada.
Mula-mula
Kiam-mo Cai-li tertegun melihat lawannya diam tak bergerak, namun dia segera
sadar akan isi benak si tosu. Semenjak sebelum pertarungan dimulai, ketika dia
menyatakan akan menundukkan lawannya di bawah sepuluh jurus, wanita cerdik ini
sudah memikirkan pula kemungkinan ini.
“Hi-hik...,
baru satu jurus Totiang sudah mematung tidak berani maju. Apakah Totiang merasa
takut kepada seorang wanita? Bukankah Totiang bermaksud mengujiku? Atau...
justru aku yang perlu menguji kepandaian Totiang?” dengan cerdik Kiam-mo Cai-li
menyindir tajam sambil tersenyum mengejek.
Walau pun
seorang tosu, agaknya Siok Tojin adalah orang yang lebih mengutamakan hati
dibandingkan otak. Mendengar sindiran lawan, dia lupa pada siasat yang sudah
ditanam dalam pikirannya. “Siapa yang takut?!” bentaknya sambil kembali
menerjang.
Kiam-mo
Cai-li tahu An-goanswe tidak mungkin mengirim orang lemah untuk menguji
dirinya. Bisa melewati rawa maut hingga kakinya menginjak istana kediamannya
saja sudah menunjukkan bahwa tosu ini bukan lawan yang mudah dikalahkan begitu
saja. Bila Siok Tojin hanya bertahan saja, dia khawatir hingga lewat sepuluh
jurus dirinya belum mampu mengalahkan tosu ini. Karena itu dia memang sengaja
memancing kemarahan lawan agar mau menyerang, dengan demikian akan timbul
lubang-lubang yang dapat diterobos payung, kuku, atau rambutnya yang seperti
cambuk.
Segera kedua
orang itu saling serang dengan dahsyat. Walau pun Siok Tojin tidak bertahan
sama sekali, namun pada kenyataannya dia ada di pihak yang lebih banyak bertahan.
Dalam empat gerakan, dia hanya menyerang satu kali, sisa tiga gerakan lainnya
berupa tangkisan atau gerakan mengelak untuk mempertahankan diri. Selain dia
kalah cepat, niatnya untuk bertahan tidak terhapus hilang dari otaknya.
Tidak
demikian dengan Kiam-mo Cai-li. Wanita ini harus menjatuhkan lawan sebelum
jurus ke sepuluh dimainkan, karena itu dia langsung mengembangkan jurus-jurus
pilihan. Payungnya berkelebat cepat, kadang tertutup lain kali terbuka, sekali
menusuk dua kali membabat. Di samping itu tangan kirinya tidak tinggal diam,
akan tetapi turut menyerang dengan kuku-kukunya yang beracun.
Setelah
lewat empat lima jurus kedudukan Siok Tojin sudah sangat payah. Seluruh ruang
geraknya seakan-akan tertutup tanpa jalan lolos, terkepung oleh kelebatan sinar
payung dan cengkeraman kuku jari Kiam-mo Cai-li. Hingga suatu saat, pada jurus
kelima, tubuh tosu itu terhuyung setelah pedangnya terpaksa menangkis payung
lawan yang menyabet lengan atasnya dengan tenaga penuh.
Tiba-tiba
Kiam-mo Cai-li mengeluarkan suara lengking yang membuat telinga semua orang
mendengung. Mendadak tangan kiri wanita iblis ini menyerang ulu hati lawan
dengan gerakan mencengkeram, mengandalkan kuku jarinya yang panjang dan
mengandung racun. Dalam waktu yang bersamaan, payung di tangan kanannya
berkelebat secepat kilat membabat pinggang kiri si tosu.
Walau pun
dalam keadaan terhuyung, Siok Tojin masih dapat melihat dua serangan sekaligus
yang sama berbahaya ini. Cepat tangan kirinya bergerak menangkap pergelangan
tangan Kiam-mo Cai-li, sementara pedangnya diayun menangkis payung yang
mengarah pada pinggangnya. Kiam-mo Cai-li mendengus, dia biarkan tangan lawan
menangkap pergelangan kirinya, namun tanpa mengurangi tenaga, cakar kiri itu
tetap mendorong dan mengancam ulu hati Siok Tojin. Di saat itu pula dia
kerahkan sinkang pada payungnya sehingga pedang lawan menempel tanpa dapat
dilepaskan.
Sekejap itu
pula terjadilah adu tenaga antara kedua orang ini, majikan Rawa Bangkai berada
pada kedudukan menyerang, sedangkan utusan An Lu Shan berjuang untuk
mempertahankan diri. Pada saat itu, hanya sekejap saja, Siok Tojin sempat
melihat senyum di bibir Kiam-mo Cai-li tanpa tahu apa maksudnya. Dia baru
tersentak keget ketika kepala wanita itu tiba-tiba menghentak ke depan, diikuti
oleh serangkum bayangan hitam yang panjang bagaikan ular menyambar ke arahnya.
"Ehhh...
celaka...!!" Siok Tojin berseru.
Akan tetapi
bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua
tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak...!!"
seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua
kali, membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya
telah dirampas oleh ujung rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas,
membawa pedang itu berputaran di atas kepala.
"Bagaimana,
Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
Sambil
menundukkan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku
kalah."
Memang dia
tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah
dikalahkan dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak
mencelakakannya, kalau tidak, tentu ujung rambut itu dapat melakukan totokan
maut yang akan menewaskannya.
Rambut itu
membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki
Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga
terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok Tojin menghela napas, mengambil pedangnya,
menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia melangkah mundur ke tempat
teman-temannya.
"Ha-ha-ha,
bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya berbahaya,
rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang
memancing kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan
dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan kecerdikan seperti yang
dimiliki Kiam-mo Cai-li. Kionghi (Selamat)! An-goanswe tentu akan girang sekali
mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-li!"
Kiam-mo
Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. “Aihh, Lo-enghiong Pat-jiu
Mo-kai terlalu memuji!” katanya dengan bangga dan girang.
"Sekarang
untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An-goanswe, kuharap The-toanio
suka memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah
maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang
harus maju melayani Toanio."
The Kwat Lin
masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata tajam
penuh selidik, kemudian dengan suara tenang dia berkata, "Siapa-lagi yang
diutus oleh An-goanswe untuk menguji kami?"
"Hanya
kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....."
"Maka
tinggal engkau dan Tan-lo-enghiong itu. Nah, kau lihat Tan-lo-enghiong juga
telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau kalian
berdua maju dan mengeroyokku!"
Pat-jiu
Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak
menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk
memancing kemarahanku!"
The Kwat Lin
mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat?
Tanpa siasat pun aku masih sanggup menghadapi kalian berdua."
Tiba-tiba
terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang
menandingi pengemis tua itu!"
Pat-jiu
Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani
menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali.
Akan tetapi
The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak
sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian
saja. Jangan kau ikut-ikut!"
Han Bu Ong
cemberut, lalu berkata, "Apa-lagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima
maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali
Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak boleh dianggap
seperti bocah biasa. Dia tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka
kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah keraguannya dan dia
berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan
Kok merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami
boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"
Dengan sikap
tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakkan tangan kirinya,
"Majulah, jangan sungkan-sungkan!"
Tan Goan Kok
yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah
memiliki kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu
Mo-kai!"
Pat-jiu
Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu."
Mereka
berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan-kiri The Kwat Lin. Pat-jiu
Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang
pedang. Tongkat itu menuding lurus ke depan dari dadanya, sedangkan tangan
kirinya menjaga di depan pusar. Kedua kakinya ditekuk sedikit, agak merapat di
depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan.
Kuda-kudanya kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya
itu sedikit pun tidak bergoyang.
Melihat dua
orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu
Ang-bwe-kiam dan melangkah maju sambil berkata, “Nah silakan kalian
mulai!"
"Kami
adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silakan Toanio
mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia
ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan
pertahanan lawan dengan serangan mendadak.
The Kwat Lin
tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!"
teriaknya.
Pat-jiu
Mo-kai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya, karena tiba-tiba pedang itu
lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti
kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang mereka
berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan
cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis.
"Trang...!
Cringggg...!!"
Pat-jiu
Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari
Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan
hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat
Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu
kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari
kanan-kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas.
Kwat Lin
sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek
jembel itulah yang lebih lihai, maka dia selalu mendahulukan tangkisannya
terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa
kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah mengandalkan tenaga gwakang yang
besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia menghadapinya
karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup
membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat
sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran tenaga kedua orang lawannya,
tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua
lawan itu dengan tangan kosong.
Tentu saja
dua orang lawannya cepat menahan senjata dan Pat-jiu Mo-kai berseru, “Heiii,
The-toanio. Kami belum kalah, mengapa engkau mengakhiri pertandingan?"
"Siapa
mengakhiri? Lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut
rusak."
"Huhhh,
dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!"
Mendengar
teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakkan senjata
mereka untuk menyerang. Tongkat Pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam
kepala, sedangkan toya Tan Goan Kok menyambar dari samping menghantam lambung!
Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali tidak mengelak,
hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit.
"Bukk!
Bukkk!!" tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu
menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh
terguling dalam keadaan lemas tertotok!
"Horeeee...!!"
Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya
menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan.
Sementara
itu The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya sehingga dua orang kakek itu
dapat bangkit sambil memungut senjata mereka dan memandang dengan mata
terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa
mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang
demikian. Mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum sekali.
Ternyata
ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di
mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan
sengaja menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher
dan pinggulnya. Kemudian pada saat kedua senjata itu tiba di tubuhnya, dia
menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan
tidak mengelak dan menerima pukulan. Cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat
Lin bergerak dan berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak
menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan menotok mereka!
"Bukan
Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum
pernah selama hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku
kalah! Kiranya The-toanio memiliki kelihaian yang amat luar biasa dan kami akan
melaporkan semua ini kelak kepada An-goanswe," kata Pat-jiu Mo-kai.
The Kwat Lin
dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukkan para utusan itu,
maka pesta lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan An Lu Shan. Sambil makan
minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja sama.
Dalam
kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan
menyerahkannya kepada The Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka
menerima hadiah tanda persahabatan dari An-goanswe ini."
The Kwat Lin
menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang berisi
emas dan perak dalam jumlah yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan
rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai sambil berkata,
"Kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An-goanswe
sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima dan menyampaikan
kepada beliau."
Pat-jiu
Mo-kai menerima kalung itu. Mereka berlima terbelalak kagum melihat mata kalung
yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa. Biar pun
mereka bukanlah ahli, namun pengalaman membuat mereka, terutama tiga orang
kakek itu, dapat menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan
peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
"Hendaknya
di antara pelaporan Cuwi, diberi-tahukan kepada An-goanswe bahwa kami sama
sekali tidak membutuhkan harta benda, melainkan hendaknya An-goanswe mengingat
bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran.
Sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau
perjuangan kita berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang
setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan kami."
Mengertilah
tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi
untuk kedudukan tinggi bagi puteranya.
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Liu Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara,
ibu dari Swat Hong itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee
meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han
Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak
menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atas diri Liu Bwee.
Sambil
menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung
perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biar pun semenjak kecil
berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah
orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum
buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan, Liu Bwee menjadi
bingung, apa-lagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.
Dia adalah
puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu. Akan tetapi
karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan
meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es
sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta,
dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya.
Setelah
sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau
Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia
tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau
kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee
terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan untuk
memenuhi tuntutan perutnya yang lapar. Melihat bahwa pulau ini cukup subur dan
baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama
hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang
hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Mulailah Liu
Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih
kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai
hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketenteraman batin, melupakan
segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya
menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah
yang membasmi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu
Bwee bertapa itu.
Badai itu
hebat bukan main! Biar pun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia
diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan
kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya
diseret oleh arus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak
pohon kecil yang menyelamatkannya. Akan tetapi air terus datang bergelombang
dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap
kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini
berlangsung berjam-jam.
Betapa pun
kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah
tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap
kali ombak datang bergulung, setiap kali pula hampir menenggelamkan pohon itu.
Selain dia harus berpegangan kuat-kuat mengerahkan sinkang-nya agar jangan
sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena air menghantam
seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...!"
pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan
dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat
lagi bertahan...."
Liu Bwee
melihat ke kanan-kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri.
Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang
dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu di sana dia akan
aman karena air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air.
Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegangan erat-erat, maklum bahwa
yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.
"Haiii...!
Yang di sana itu...! Berpeganglah kuat-kuat! Aku akan berusaha
menolongmu!" suara teriakan laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi
tadi.
Liu Bwee
membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu. Akan
tetapi pada saat itu air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat
dahsyat.
"Oughhh...!"
Betapa pun
kuat kedua tangan Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu
lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut
terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan.
"Matilah aku...," bisiknya.
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke
pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai
tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi
menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang
menolongnya, maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, untuk
mempertahankan hidupnya.
Liu Bwee
mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam. Dia
membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi
itu. Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis
dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi. Kalau
saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya yang selain menariknya ke
arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang
ke pohon itu. Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja.
Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali itu dan diam-diam dia
berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak
olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee
berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah...
sebentar lagi...," terdengar suara laki-laki tadi dari pohon.
Liu Bwee
merasa betapa tubuhnya ditarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut
sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan
gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah
seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.
"Cepat...
cepatlah!" dia merintih.
Dalam
keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya
diseret ke arah pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan
yang kuat menyambarnya. Tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat
gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!
"Aneh...!"
lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata ‘aneh’ itu.
Akan tetapi
seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis, maka dia
tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada telapak tangan
hangat menyentuh tengkuknya. Dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang
hangat dan membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya
secara perlahan-lahan.
"Aneh
sekali...!"
Kini Liu
Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang
menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakkan tubuhnya hendak bangkit
duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau
laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling
dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air
laut yang masih berguncang.
"Ahhh...!"
keluh Liu Bwee, lalu mengangkat muka memandang.
Seorang
laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, duduk di atas dahan di
depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali. Alisnya tebal, matanya lebar dan
air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan
penuh ketulusan hati. Tubuhnya tegap, pakaiannya bersih dan rapi, dan di
punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan
air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi
berkali-kali menyerukan kata-kata ‘aneh’ dan tentu laki-laki ini pula yang
telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka
berdua.
"Engkaukah
yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih
atas budi pertolonganmu," Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang
gagah dan sederhana itu.
Laki-laki
itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee, lalu berkata,
"Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat
ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia mana pun, sudah
sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh
sekali...!"
"In-kong
(Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu
tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa
sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum
pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun
sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik
jelita."
Liu Bwee
merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya
menjadi merah sekali. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri. “Huh, apa artinya
kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang
laki-laki kau lantas merasa berdebar dan girang?” demikian dia memaki dalam
hatinya.
Untuk
menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya,
"Bagaimana In-kong bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau ini tidak
ada orang lain kecuali aku seorang."
"Memang
aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."
Kembali
wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan ‘nyonya besar’ ini. Laki-laki
itu terlalu merendahkan diri.
"Aku
adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini,
akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini
ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku
melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."
"Untung
bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."
"Aku
girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di
antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air
laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang
mengherankan aku. Seorang wanita muda....."
"Aku tidak
muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."
"Itu
masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...," dan mata
laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi,
"cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas
sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa
heran?"
"Aku
sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!"
laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya
dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya," dia bicara dengan
suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang nampak jelas sekali
sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya
bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguh pun
kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak
aneh.
"Dia
sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhh?!"
kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak
memandang Liu Bwee. "She Han...? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"
"Dia
anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur
bicara, maka dia menahan kata-katanya.
Laki-laki
itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali
tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh
selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah
anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."
Liu Bwee
menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula, orang yang
telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui semuanya.
Apa-lagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa
penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan jalan ke luar. Selain ini, sebutan
‘paduka’ amat menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas panjang.
"Itu sudah lalu... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang
buangan....."
"Apa...?!
Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?"
Liu Bwee
lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah
mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah
selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka!
"Puteriku,
Han Swat Hong menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku
menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak
berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini. Karena merasa putus harapan, aku
lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya
penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang
hukumanku makanya aku dapat kau selamatkan...," tak tertahankan lagi, Liu
Bwee menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak.
"Krekkk!
Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping
karena diremasnya dengan tangan kanan. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang
merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan
semua raja di Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau
Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, si
penghukum itu, melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa
dirinya benar! Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang
kejahatan dan kepalsuan macam ini!"
Liu Bwee
mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya.
"In-kong, engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan
dengan Pulau Es?"
"Aku
bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."
"Ohhh...!!"
kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira
bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
"Harap
Paduka jangan khawatir...."
"In-kong,
jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi, melainkan
seorang buangan seperti engkau pula. Kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang
biasa anak nelayan, hanya bekas ratu yang sekarang menjadi orang buangan."
"Hem,
baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut In-kong. Aku lebih tua
dari-padamu, sebut saja aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari
Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang
buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka karena sudah
lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah
menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong
ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram.
"Eh,
kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi
demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya.
Ouw Sian Kok
menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu
yang telah merubah jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak
senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di
situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu.
Akan tetapi sebagai putera ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama
karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang
anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan
menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku... aku lalu pergi
meninggalkan ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis
bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas
panjang.
Liu Bwee
memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat
berkata-kata. Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun
kehilangan suami. Sungguh pun suaminya masih hidup, akan tetapi apa bedanya
dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan
anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan
anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini
sengaja meninggalkan puterinya.
"Kasihan
engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah
menolongnya itu.
Ouw Sian Kok
menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum.
"Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan
kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa
mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang
lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan
yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan
bahaya. Lihat, badai mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan
kembali ke laut, cuaca sudah terang dan tidak segelap tadi!"
Liu Bwee
memandang ke bawah lalu ke kanan-kiri. Benar saja, badai telah berhenti.
Seketika lupalah dia akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu,
betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah cantik dengan
air mata yang masih menempel di pipi itu kini tersenyum dan berseri-seri.
"Mari
kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air
telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke
rumah dipanggil ibunya.
Mereka
meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya.
Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk,
dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini
perahunya itu masih berada di situ. Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak
meninggalkan bekas.
"Liu-toanio,
mari kita berangkat."
"Eh, ke
mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.
"Ke
Pulau Es."
"Apa...?
Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak
mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."
"Liu-toanio,
seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han
Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan
menegur dan mengingatkan akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat
Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup
sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan
lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain
itu. Akulah yang bertanggung-jawab, dan aku pertaruhkan nyawaku untuk
itu."
Liu Bwee
memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona
sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok.
Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako... mengapa
kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian?
Mengapa engkau begini baik kepadaku?"
Sambil
mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu
melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang,
setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini
kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu
Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada
isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu
membutuhkan bantuan. Siapa-lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?"
Liu Bwee
memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan
beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu
menjawab. Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa-lagi di dunia ini, hanya
Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang
pun yang menemaninya, apa-lagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah
perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan
sikap keharuan hatinya. Apa-lagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat
dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya
menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.
Di samping
itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia
seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati
kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia
merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih
seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga
pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali
untuk membuka mulut.
Beberapa jam
berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata,
"Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah
menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee
menggigit bibirnya. Laki-laki yang gagah perkasa dan budiman ini, harus
diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada yang harus
dimaafkan," katanya lirih.
"Toanio
marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini
dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap
wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang
kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu.
Akan tetapi
Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan
kepalanya menggeleng.
Jawaban ini
cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata,
"Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."
Perahu
didayungnya kuat-kuat sehingga meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu
Pulau Es. Biar pun tidak pernah mendatangi pulau itu, namun dia sudah tahu di
mana letaknya karena sering-kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu
dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima
belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau
saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai
peluapan rasa gembiaranya.
Dua hari dua
malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas
perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya
tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau
itu yang amat mengherankan Liu Bwee.
"Mengapa
begitu sunyi? Mengapa begitu bersih licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa
telah terjadi apa-apa di sana," Liu Bwee berkata dengan jantung berdebar,
tidak saja karena melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu, akan
tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan
selir suaminya.
Setelah
perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar
tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main.
Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw
Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran, mengapa
pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini
sunyi senyap?
Ketika
mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan
seruan tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali. "Apa... apa yang
terjadi...? Dan bangunan-bangunan mereka... mengapa lenyap? Hanya tinggal
istana yang kosong dan rusak... ahhh...."
Terhuyung-huyung
Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa
khawatir sekali. Seperti seorang mabuk, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil
orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw
Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga
apa yang telah terjadi.
"Ke
mana...? Mereka semua ke mana...?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan
istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu.
Melihat
wajah yang pucat dengan mata yang terbelalak liar itu, Ouw Sian Kok cepat
meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya ke luar dari istana. Setelah
tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata, suaranya tegas dan penuh rasa iba,
"Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di
pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah
mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh, dan melihat
hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."
Bagaikan
kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikkan tubuh memandang pria
itu, matanya terbelalak. "Ahhh...! Kau benar...! Badai itu! Pulau Es
diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan...!" Liu Bwee mendekap
mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis
sesenggukan.
"Aku
khawatir sekali, Toanio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari
permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau ada penghuninya yang
selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan
kedahsyatan badai seperti itu?"
"Kau
benar... ah... suamiku... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian
tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" seperti orang kehilangan
ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan
berbisik-bisik.
Melihat ini
Sian Kok merasa kasihan sekali. Akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran
hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga,
mendiamkannya saja.
"Ohhh...
mereka semua tewas? Semua tewas...? Siapa percaya... suamiku begitu gagah
perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee
berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan
mencari keterangan kepada dinding batu itu.
Tiba-tiba
jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak
memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan
suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya!
‘Sin Liong
dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es.
Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu
Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong.’
"Ohhh...!!"
Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang
matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar
jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap
menolongnya.
Pria ini
membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum
sekali, Raja Pulau Es benar-benar hebat. Dalam saat terakhir melawan badai
masih sempat menuliskan huruf secara itu!
"Jelas
bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya
hati-hati.
Liu Bwee
tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman
jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia
sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi.
"Duhai
suamiku... betapa hebat kau menderita...," bisiknya di antara isak
tangisnya.
Sian Kok
memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han
Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu
dinding. Namun kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang, dan tentu
Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan.
Liu Bwee
menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba
huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan
di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah
mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca
lagi, ‘Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat
tinggal.’
Selesai
membaca ini Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit, lalu tergelimpang dan roboh
pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai
terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya
menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan
itu ke dalam istana dan meletakkannya ke dalam sebuah kamar. Ketika
memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin
yang hebat sehingga keadaannya amat gawat.
Dengan
tergesa-gesa Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat
mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang
dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan
mencekokkan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu
dengan penyaluran sinkang-nya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di
dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap
hangat.
Pada
keesokan harinya Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian
Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya
pucat sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan,
dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab.
Setelah tangisnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam
kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke
tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan
memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah
sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.
"Berapa
lamakah aku pingsan di sini, Toako?"
"Hemm,
semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah."
"Dan
selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"
"Hemmm...,
tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap
kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan
berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah
dia?"
"Sin
Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee
berkata sambil menghapus sisa air matanya.
"Kalau
begitu, legakan hatimu, Toanio. Biar pun sangat boleh jadi suamimu, seperti
semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat
dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong ini."
Liu Bwee
memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Aku
melihat bekas tapak kaki mereka masih jelas membekas di bagian es yang membeku
di atas sana, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria. Dan aku juga
menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai sapu-tangan hijau dan
memberikannya kepada Liu Bwee.
Liu Bwee
menyambar sapu-tangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan
air mata. Dia mendekap sapu-tangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah
sapu-tangan pengikat rambut anakku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin
aku melihatnya!"
Mereka lalu
meninggalkan istana menuju ke bagian atas. Benar saja, tampak jelas bekas tapak
kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama
kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang
wanita. Siapa-lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong?
"Tidak
salah lagi, tentu anakku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang?
Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."
Ouw Sian Kok
mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang
lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan
suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama
The Kwat Lin itu."
"Kalau
begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke
daratan besar."
Ouw Sian Kok
mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah
Toanio ke daratan besar di barat sana?"
Liu Bwee
menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa
bingung dan khawatir. Ke mana dia harus mencari puterinya? Padahal menurut
penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas
lautan yang tiada tepi.
Melihat
wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh
semangat dia berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku,
pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari
puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."
Berseri
wajah Liu Bwee. Dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan rasa
terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan
Twako saja...."
"Jangan
berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah
seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus
hidup bersunyi diri? Apa-lagi engkau hendak mencari puterimu di daratan besar,
mana mungkin aku berpeluk tangan? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau
Toanio sudi kutemani."
"Tentu
saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang
berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu
karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?" Dia menjadi terharu
sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun
penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah.
Ouw Sian Kok
tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah
merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah
kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar.
Biar pun bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang
bermain-main dengan perahu, maka dia tidaklah amat menderita. Bahkan dia dapat
membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan
lancar.
***************
"Ha-ha-ha,
kalian ini kaki tangan An Lu Shan si pemberontak laknat, apakah tidak mendengar
siapa adanya Cap-pwe Eng-hiong (Delapan Belas Pendekar) dari Bu-tong-pai? Kami
adalah patriot-patriot sejati, dan kalian menghendaki supaya kami menyerah?
Sampai titik darah terakhir akan kami lawan kalian para pemberontak
laknat!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang laki-laki berusia tiga puluh
lebih yang bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah perkasa, mewakili tujuh
belas orang adik-adik seperguruannya yang kesemuanya bersikap gagah perkasa.
Sedikit pun
delapan belas orang itu tidak memperlihatkan rasa takut biar pun mereka itu
dikurung oleh sedikitnya lima puluh orang prajurit yang berpakaian seragam dan
bersenjata lengkap. Mereka bahkan mengejek dan menantang komandan pasukan yang
tadinya membujuk agar mereka menyerah dan membantu pergerakan An Lu Shan.
Mereka terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya laki-laki yang bersikap
gagah perkasa, berpakaian sederhana dan rambut mereka digelung ke atas. Dengan
pedang di tangan, mereka siap menghadapi pengeroyokan lima puluh lebih pasukan
pemberontak An Lu Shan itu.
Cap-pwe
Eng-hiong atau Delapan Belas Pendekar dari Bu-tong-san ini adalah murid-murid
dari Kui Tek Tojin, ketua Bu-tong-pai. Mereka termasuk para anggota Bu-tong-pai
yang meninggalkan Bu-tong-pai ketika The Kwat Lin merebut kekuasaan. Biar pun
mereka merupakan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi, namun pada waktu
The Kwat Lin merebut kekuasaan di Bu-tong-pai, mereka pun tidak dapat berbuat
sesuatu. The Kwat Lin adalah termasuk kakak seperguruan mereka, akan tetapi
wanita itu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang bahkan melebihi guru mereka
sendiri, di samping kenyataan bahwa wanita itu telah merampas tongkat pusaka
Bu-tong-pai sehingga guru mereka dan para tokoh lain di Bu-tong-pai tidak dapat
berkutik lagi.
Setelah The
Kwat Lin melarikan diri karena gagalnya Swi Liang di istana, para tokoh
Bu-tong-pai dipimpin oleh Kui Tek Tojin kembali ke Bu-tong-san. Kedatangan
pasukan pemerintah yang menyerbu Bu-tong-pai mereka sambut dengan penjelasan
yang menyadarkan pihak pemerintah. Namun sebagai akibatnya, Bu-tong-pai
sekarang mau tidak mau harus memperlihatkan ‘kebersihannya’ dengan jalan
membantu pemerintah menentang para pemberontak. Hanya dengan cara inilah
Bu-tong-pai dapat membuktikan kesetian mereka kepada pemerintah dan karena itu
pula, delapan belas orang murid Kui Tek Tojin itu mulai turun tangan menentang
pasukan-pasukan An Lu Shan setiap kali terdapat kesempatan.
An Lu Shan
menjadi marah mendengar betapa Bu-tong-pai yang dahulu merupakan perkumpulan
yang bebas, tidak membantu mana-mana dalam perang pemberontakan, kini mulai
membantu pemerintah. Maka dia lalu mengirim pasukan untuk membasmi Delapan
Belas Pendekar Bu-tong itu. Demikianlah pada hari itu, selagi delapan belas
orang itu menyelidiki kedudukan An Lu Shan di utara, mereka dikepung oleh
pasukan itu dan disuruh menyerah. Akan tetapi tentu saja delapan belas orang
pendekar Bu-tong-pai itu tidak sudi menyerah, bahkan siap untuk melawan
mati-matian.
Ucapan Song
Kiat, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama) dari delapan belas orang pendekar
itu, mendatangkan kemarahan di hati komandan pasukan yang segera mengeluarkan
aba-aba dan menyerbulah hampir enam puluh orang pasukan itu mengeroyok Cap-pwe
Eng-hiong. Terjadilah perang kecil yang amat hebat dan segera delapan belas
orang pendekar itu terkejut sekali memperoleh kenyataan bahwa pasukan yang
mengeroyok mereka itu bukanlah pasukan biasa, melainkan pasukan pilihan yang
dipimpin oleh komandan yang memiliki kepandaian tinggi dan para prajuritnya
rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan.
Mereka
melawan dengan mati-matian, bantu-membantu dan memutar pedang mereka dengan
pengerahan seluruh tenaga dan kepandaian mereka. Tidak percuma delapan belas
orang ini dijuluki Cap-pwe Eng-hiong karena gerakan mereka memang cepat dan
tangkas serta kuat sekali, sehingga biar pun dikeroyok oleh lawan yang jauh
lebih banyak jumlahnya, yaitu setiap orang dikeroyok oleh tiga empat orang
lawan, mereka mampu mempertahankan diri dengan baik. Bahkan lewat tiga puluh
jurus, mulailah ada lawan yang berjatuhan dan terluka parah oleh pedang Cap-pwe
Eng-hiong yang mengamuk itu.
Dengan gagah
perkasa ke delapan belas orang itu mengamuk dan mendesak pasukan An Lu Shan.
Berturut-turut robohlah pihak lawan sehingga tempat itu mulai ternoda darah
merah dan tubuh para prajurit yang terluka malang melintang menghalangi kaki
mereka yang masih bertempur. Di antara lebih lima puluh orang prajurit itu,
sudah ada dua puluh lebih yang roboh, bahkan komandannya juga sudah terluka
oleh sambaran pedang di tangan Song Kiat. Kemenangan yang sudah tampak di depan
mata ini menambah semangat Cap-pwe Eng-hiong. Mereka bergerak makin ganas dan
cepat dengan niat membasmi semua musuh dan tidak membiarkan seorang pun
meloloskan diri.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah kurang lebih seratus orang anak
buah pasukan An Lu Shan yang baru tiba. Serta merta mereka itu menerima aba-aba
untuk menyerbu dan membantu kawan-kawan mereka. Kedatangan pasukan baru yang
lebih besar lagi jumlahnya ini mengejutkan hati Cap-pwe Eng-hiong yang tidak
menyangka-nyangkanya, namun bukan berarti bahwa mereka menjadi gentar, bahkan
menambah kegembiraan. Mereka mengamuk sungguh pun sekali ini mereka segera
terkurung dan terdesak hebat karena jumlah musuh jauh lebih besar.
Pertempuran
yang berat sebelah itu terjadi di daerah pegunungan yang amat sunyi, jauh dari
perkampungan, jauh dari dunia ramai. Akan tetapi pada saat pasukan kedua datang
menyerbu, di tempat itu muncul pula dua orang yang menonton pertempuran itu
dengan alis berkerut dan pandang mata ngeri. Mereka itu adalah seorang
laki-laki dan seorang wanita yang bukan lain adalah Ouw Sian Kok dan Liu Bwee!
Mereka berdua meninggalkan Pulau Es, telah mendarat di daratan besar dan telah
melakukan perjalanan berhari-hari sehingga pada hari itu mereka tiba di
pegunungan utara ini. Sebagai orang-orang yang sejak kecil tidak pernah
menyaksikan perang, kini penglihatan di depan itu sungguh amat tidak
menyenangkan, juga amat mengherankan hati mereka.
"Betapa
buasnya mereka...!" Liu Bwee berkata lirih.
"Hemm,
memang sudah banyak kudengar bahwa manusia di dunia ramai, di daratan besar
ini, lebih buas dari-pada binatang-binatang hutan. Manusia-manusia saling bunuh
antara sesamanya, dan sekarang kita melihat perang yang begini ganas dan
kejam...."
"...dan
licik sekali!" Liu Bwee menyambung. "Jumlah yang amat banyak
mengeroyok jumlah sedikit, benar-benar tidak mengenal arti kegagahan sama
sekali."
"Jika
tidak keliru dugaanku, yang berjumlah banyak itu tentulah anggota pasukan,
lihat pakaian mereka yang seragam. Sedangkan delapan belas orang itu
benar-benar harus dipuji kegagahan mereka, biar pun dikeroyok banyak dan
didesak hebat, melawan terus dan sedikit pun tidak kelihatan gentar."
"Pikiranmu
cocok dengan pikiranku, Toako. Memang mereka itu mengagumkan dan karena itu,
mari kita bantu mereka."
"Cocok,
Toanio. Yang lemah harus kita bantu. Mari...!"
Ouw Sian Kok
dan Liu Bwee lalu meloncat ke depan dan terdengarlah suara melengking tinggi
keluar dari mulut kedua orang ini. Begitu mereka menyerbu, dalam segebrakan
saja Liu Bwee merobohkan empat orang dengan kaki tangannya sedangkan Ouw Sian
Kok merobohkan enam orang yang dilempar-lemparkan seperti orang membuang
rumput-rumput kering saja!
Pasukan menjadi
geger. Sedangkan delapan belas orang pendekar itu melirik dan menjadi kagum dan
girang sekali karena sekilas pandang saja maklumlah mereka bahwa laki-laki dan
wanita asing yang tiba-tiba membantu mereka itu adalah orang-orang yang luar
biasa lihainya!
Seorang
komandan pasukan menerjang Ouw Sian Kok dengan tombaknya, sebatang tombak
bergagang panjang dan dihias ronce merah, sebuah tombak pusaka yang baik
sekali. Tombak itu meluncur dan berdesing, menusuk perut Ouw Sian Kok.
Laki-laki ini kagum melihat mata tombak yang mengeluarkan cahaya. Cepat ia
miringkan tubuh sambil mengayun kaki dan tangannya merobohkan dua orang
pengeroyok lain. Secepat kilat kemudian dia menangkap tombak itu dengan kedua
tangan, lalu mengerahkan sinkang membetot dan membalikkan tombak sehingga
gagang tombak terlepas dari pegangan pemiliknya. Gagang tombak itu meluncur
terus menghantam tengkuk sang komandan hingga membuatnya terjungkal!
Liu Bwee
yang juga dikeroyok banyak sekali orang sudah berhasil merampas sebatang pedang
yang dianggapnya cukup baik. Dengan pedang ini dia mengamuk. Setiap senjata
lawan yang bertemu dengan pedangnya tentu patah atau terlempar dari pegangan
pemiliknya, dan tangan kiri serta kedua kakinya merobohkan setiap lawan yang
berani menyerangnya.
Amukan kedua
orang dari Pulau Es dan Pulau Neraka ini amat hebat, dalam belasan gebrakan
saja tidak kurang dari tiga puluh orang anggota pasukan telah roboh. Hal ini
tentu saja menimbulkan kegemparan, membesarkan hati delapan belas orang
pendekar, akan tetapi membuat jeri sisa anggota pasukan. Akhirnya, sisa pasukan
merasa tidak kuat dan melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang
terluka!
Delapan
belas orang pendekar itu berdiri berjajar. Beberapa orang di antara mereka
menderita luka-luka ringan dan kelihatanlah betapa gagahnya mereka, sedikit pun
tidak kelihatan menderita ketika mereka berdiri berjajar di depan kedua orang
itu. Song Kiat mewakili saudara-saudaranya, menjura kepada Ouw Sian Kok dan Liu
Bwee, diturut oleh tujuh belas orang saudara seperguruannya.
"Kami
delapan belas orang seperguruan dari Bu-tong-pai menghaturkan banyak terima
kasih kepada Ji-wi Taihiap dan Lihiap yang telah menyelamatkan kami dari
pengeroyokan anjing-anjing pemberontak itu. Bolehkan kami mengetahui nama Ji-wi
yang mulia?" kata Song Kiat sang Twa-suheng.
Liu Bwee
hanya memandang dan menyerahkan jawabannya kepada Ouw Sian Kok yang sudah
mengelus jenggotnya dan tertawa. "Cuwi amat gagah perkasa, dan bantuan
kami berdua tadi tidak ada artinya. Melihat Cuwi dikeroyok, kami berdua menjadi
gatal tangan dan maafkan kalau kami mencampuri. Hal ini tidak perlu dibicarakan
lagi dan tidak perlu kami memperkenalkan nama. Hanya ingin kami ketahui,
siapakah pasukan itu dan mengapa Cuwi bentrok dengan mereka?"
Delapan
belas orang itu saling pandang, kemudian memandang Ouw Sian Kok dengan mata
terbelalak heran. Bagaimana mereka tidak akan merasa heran mendengar kata-kata
Ouw Sian Kok yang menunjukkan bahwa dua orang perkasa ini sama sekali tidak
mengenal keadaan sehingga tidak tahu bahwa pasukan itu adalah pasukan
pemberontak An Lu Shan?
Melihat
kehebatan ilmu silat mereka, Song Kiat dan para sutenya menduga bahwa tentu
kedua orang ini adalah pertapa-pertapa sakti yang baru saja turun gunung
sehingga sama sekali tidak mengerti akan keadaan dunia. Timbul keinginan mereka
untuk mengajak dua orang sakti ini membantu perjuangan mereka, selain
mengangkat kembali nama Bu-tong-pai yang telah dirusak oleh The Kwat Lin, juga
berbakti kepada negara menentang pemberontakan.
"Agaknya
Ji-wi tidak tahu akan keadaan di kota raja," Song Kiat berkata. "Kami
adalah murid-murid Bu-tong-pai yang membantu pemerintah untuk menghadapi para
pemberontak. Pasukan tadi adalah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh
Jenderal An Lu Shan. Kami bertugas menyelidiki kedudukan An Lu Shan yang
kabarnya kini berpusat di Telaga Utara, akan tetapi baru tiba di sini kami
telah dikeroyok oleh pasukan itu. Melihat kesaktian Ji-wi, demi keselamatan
negara dan bangsa, kami mohon sudilah kiranya Ji-wi membantu usaha penyelidikan
kami itu."
Ouw Sian Kok
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Kami berdua tidak ingin
terlibat ke dalam permusuhan dan kami sama sekali tidak mengerti dan tidak
mengenal siapa itu An Lu Shan dan pemberontakannya. Kalau tadi kami turun
tangan membantu adalah karena kami tidak senang melihat jumlah kecil dikeroyok
oleh jumlah banyak. Selain itu, kami pun mempunyai sedikit keperluan untuk
bertanya kepada Cuwi."
Kecewa rasa
hati Song Kiat mendengar bahwa dua orang sakti itu tidak mau mencampuri urusan
pemerintah, akan tetapi karena kedua orang ini sudah menyelamatkan mereka semua
dari bahaya maut, dia menyembunyikan kekecewaannya itu dan menjawab dengan
ramah, "Silakan Taihiap kalau hendak bertanya sesuatu tentu kami akan
berusaha memberi keterangan sejelasnya dan sedapatnya."
"Kami
hanya ingin menanyakan kalau-kalau Cuwi pernah bertemu dengan seorang pemuda
dan seorang pemudi yang bernama Han Swat Hong. Kami berdua sedang mencari
mereka itu dan kami akan merasa berterima kasih sekali andai kata di antara
Cuwi ada yang pernah melihat mereka itu."
Delapan
belas orang pendekar itu saling pandang dan masing-masing mengangkat pundaknya.
Tak seorang pun di antara mereka pernah mendengar dua nama yang ditanyakan itu.
"Maaf, Taihiap. Agaknya di antara kami tidak ada yang pernah mendengar
nama itu. Akan tetapi nama-nama itu telah kami catat dalam hati dan kami akan
mencarinya. Hanya kalau sudah kami dapat, ke manakah kami harus melapor kepada
Ji-wi?"
Liu Bwee
menarik napas panjang. "Sudahlah, kalau tidak mengenal sudah saja. Akan
tetapi kalian adalah orang-orang Bu-tong-pai, apakah kalian mengenal seorang
tokoh Bu-tong-pai yang bernama The Kwat Lin?"
Seketika
wajah delapan belas orang itu berubah mendengar ini. Mereka terkejut bukan main
karena tidak menyangka-nyangka bahwa wanita perkasa itu akan menyebut nama
iblis betina yang menjadi musuh besar Bu-tong-pai itu! Timbul kekhawatiran di
hati mereka. Dua orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa, sama dengan The
Kwat Lin dan wanita ini mengenal The Kwat Lin, tentulah segolongan dengan The
Kwat Lin!
Akan tetapi,
Song Kiat memiliki pendapat lain. Dua orang ini terang sekali berbeda dengan
The Kwat Lin dan mereka berdua telah membuktikan kegagahan mereka dengan
membantu yang lemah tertindas, biar pun belum mengenal. Maka dengan berani,
berbeda dengan sute-sute-nya yang berpendapat untuk tidak mengaku kenal The
Kwat Lin, Song Kiat melangkah maju, menjura kepada Liu Bwee sambil bertanya,
"Sebelum saya menjawab, bolehkah saya bertanya apakah Lihiap sahabat dari
wanita bernama The Kwat Lin itu?"
Liu Bwee
membelalakkan matanya dan sinar matanya berapi-api. "Sahabat? Apa kau
gila? Kalau bertemu, aku akan membunuh iblis betina itu!"
Mendengar
ini serta merta Song Kiat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh tujuh belas
orang sute-nya sehingga Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menjadi terkejut dan
terheran-heran.
"Apa...
apa artinya ini?!" Liu Bwee membentak.
"Maafkan,
kami berlutut saking girang dan terharunya hati kami mendengar ucapan Lihiap
tadi. Kami sudah merasa khawatir sekali kalau-kalau Jiwi mempunyai hubungan
baik dengan The Kwat Lin. Kiranya iblis betina itu adalah musuh Jiwi dan kami
merasa mendapatkan bantuan untuk menghadapinya karena iblis betina itu adalah
musuh besar Bu-tong-pai."
"Ahhh...!
Bukankah dia dahulu anak murid Bu-tong-pai? Bagaimana kalian bisa mengatakan
bahwa dia musuh besar Bu-tong-pai?" Liu Bwee yang dahulu sudah mendengar
riwayat The Kwat Lin bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Benar
ucapan Lihiap. The Kwat Lin sebenarnya masih terhitung Suci (Kakak Perempuan
Seperguruan) kami sendiri karena dia adalah seorang di antara Cap-sha Sin-hiap
(Tiga Belas Pendekar), murid-murid dari Supek kami almarhum Kui Bhok Sianjin.
Akan tetapi setelah selama belasan tahun dia menghilang, beberapa bulan yang
lalu pada suatu hari dia muncul bersama seorang puteranya dan dia menggunakan
kepandaiannya yang luar biasa menundukkan Suhu kami, ketua Bu-tong-pai yang
sah, bahkan telah merampas tongkat pusaka lambang kekuasaan ketua Bu-tong-pai.
Iblis betina itu merampas Bu-tong-pai dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua
Bu-tong-pai....."
"Ahhh...!
Benar-benar iblis dia!" Liu Bwee memaki.
"Dia
becita-cita untuk merampas kerajaan, lalu mengirim muridnya menyelundup ke
istana, akan tetapi ketahuan dan muridnya itu dihukum mati. Karena kegagalan
ini, The Kwat Lin menjadi buruan pemerintah dan dia kini telah melarikan diri
dari Bu-tong-pai yang kini telah dikuasai pula oleh Suhu kami. Karena perbuatan
The Kwat Lin itulah, hampir saja Bu-tong-pai dibasmi oleh pemerintah dan untuk
membuktikan kesetiaan kami terhadap pemerintah, kini Bu-tong-pai membantu
pemerintah menghadapi pemberontak An Lu Shan."
Ouw Sian Kok
mengangguk-angguk. "Hemmm, kiranya itulah yang menyebabkan kalian bentrok
dengan pasukan An Lu Shan hari ini."
"Di
manakah adanya The Kwat Lin sekarang?" Liu Bwee bertanya.
Dia ingin
segera bertemu dengan The Kwat Lin, membalas kejahatan madunya itu dan merampas
kembali pusaka Pulau Es seperti dipesan oleh suaminya dengan huruf ukiran di
dinding istana Pulau Es itu. Apa-lagi dengan bantuan Ouw Sian Kok, dia yakin
akan dapat membalas dendam kepada madunya yang jahat itu.
"Kami
rasa dia bersembunyi di Rawa Bangkai. Kalau saja kami sudah selesai dengan
tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami menemani Jiwi
menyerbu ke sana."
"Rawa
Bangkai? Di manakah itu? Tempat apakah itu?" Liu Bwee mendesak penuh
semangat karena dia merasa girang bisa memperoleh keterangan di mana adanya
musuh besarnya itu.
"Rawa
Bangkai adalah sebuah tempat yang amat berbahaya dan tidak ada orang berani
mengunjunginya karena banyak sudah binatang dan manusia tewas secara mengerikan
ketika berada di dekat tempat itu. Konon kabarnya dahulu banyak terdapat
bangkai binatang dan mayat manusia di rawa itu sehingga diberi nama Rawa
Bangkai. Majikan tempat itu adalah seorang di antara datuk-datuk kaum sesat
yang berjuluk Kiam-mo Cai-li, seorang wanita yang amat lihai dan merupakan
iblis betina yang ditakuti. Kiam-mo Cai-li telah menjadi sekutu The Kwat Lin
dan agaknya sebagai orang buruan dia melarikan diri bersama puteranya ke tempat
itu. Akan tetapi, amatlah berbahaya bagi orang-orang asing seperti Jiwi untuk
mendatangi tempat berbahaya itu. Kalau Jiwi sudi bersabar sampai kami
menyelesaikan tugas kami di Telaga Utara, tentu dengan senang hati kami akan
membantu Jiwi, karena The Kwat Lin juga merupakan musuh besar kami."
Liu Bwe dan
Ouw Sian Kok saling pandang. Ternyata di antara kedua orang ini sudah terdapat
saling pengeritan yang mendalam sehingga bentrokan pandang mata mereka saja
sudah cukup menjadi pengganti kata-kata perundingan. Liu Bwee mengangguk dan
terdengar Ouw Sian Kok berkata, "Baiklah kami berdua akan membantu Cuwi
menyelidiki Telaga Utara. Biar pun kami tidak mempunyai urusan dengan
pemberontakan An Lu Shan, setelah tadi kami membantu Cuwi, tentu saja berarti
kami juga dimusuhi oleh mereka. Setelah kami membantu Cuwi ke Telaga Utara,
harap kelak Cuwi suka membantu menjadi petunjuk jalan kami ke Rawa
Bangkai."
Berseri
wajah delapan belas orang itu dan mereka segera menyatakan setuju. Tentu saja
hati mereka girang bukan main. Tempat yang dijadikan markas rahasia oleh An Lu
Shan merupakan tempat yang amat sulit dikunjungi, merupakan tempat yang
berbahaya sekali dan kabarnya amat sukar memasuki daerah Telaga Utara itu. Kini
dengan bantuan kedua orang sakti ini, hati mereka menjadi besar karena bantuan
mereka berdua akan mempermudah penyelesaian tugas mereka.
Berangkatlah
delapan belas orang itu mengiringkan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menuju ke Telaga
Utara yang terletak di dekat tembok besar di utara dan tempat ini merupakan
tempat rahasia dari An Lu Shan di mana An Lu Shan mengumpulkan orang-orang
gagah untuk membantunya. Di sepanjang jalan, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
mendengar banyak penuturan delapan belas pendekar Bu-tong-pai itu tentang
orang-orang kang-ouw dan tentang pemberontakan An Lu Shan yang mengancam
keamanan hidup rakyat jelata. Melihat semangat kepahlawanan delapan belas orang
ini, tergeraklah hati Liu Bwee mengingat bahwa dia adalah permaisuri Han Ti Ong
dan suaminya juga berdarah keluarga Kaisar di daratan besar, maka dia pun mulai
bersemangat untuk membantu mereka menghadapi An Lu Shan.
Telaga Utara
merupakan telaga yang kecil saja, bergaris tengah paling banyak dua li dan
tengahnya terdapat sebuah pulau yang dihubungkan ke pinggir telaga dengan
jembatan buatan. Di atas pulau inilah berdiri sebuah gedung yang menjadi tempat
pertemuan bagi An Lu Shan dan para pembantunya jika dia hendak mengadakan
perundingan dengan para tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi untuk membagi-bagi
tugas kerja. Biar pun telaga itu tidak berapa besar, namun letaknya di antara
puncak-puncak gunung sehingga amat sukar dikunjungi orang, apa-lagi puncak di
mana telaga itu berada, merupakan puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat
curam sehingga bagi orang luar yang tidak mengenal jalan, merupakan suatu
ketidak-mungkinan untuk datang ke telaga itu.
Berbeda
dengan pertempuran-pertempuran resmi, jika mengunjungi telaga ini, An Lu Shan
berpakaian seperti rakyat biasa dan tidak dikawal oleh pasukan pengawal,
melainkan oleh belasan orang pengawal yang berpakaian preman pula sehingga
kelihatannya seperti sedang berpesiar. Akan tetapi, pengawal-pengawal itu
adalah orang-orang pilihan yang berilmu tinggi.
Orang-orang
kang-ouw yang mengadakan pertemuan di Telaga Utara itu adalah rata-rata orang
lihai, baik dari golongan sesat mau pun dari golongan bersih yang membantu An
Lu Shan dengan pamrih masing-masing. Sebagian besar yang datang dari golongan
besih adalah orang-orang kang-ouw yang menaruh dendam kepada kerajaan. Ada pula
yang menganggap bahwa pemberontakan An Lu Shan adalah benar karena menentang
raja lalim yang hanya tahu bersenang-senang dengan selir Yang Kui Hui saja
tanpa menghiraukan kesengsaraan rakyat. Mereka menganggap pemberontakan itu
sebagai perjuangan para patriot yang membela bangsa, kebenaran dan keadilan.
Tentu saja
yang datang dari golongan sesat lain lagi pamrih atau dasar tindakan mereka
yang membantu An Lu Shan. Ada yang ingin memperoleh keuntungan harta benda, ada
yang menginginkan kedudukan dan kemuliaan. Walau pun An Lu Shan kelihatannya
kasar, namun selain merupakan seorang jenderal yang ahli dalam ilmu perang,
juga merupakan seorang yang amat cerdik. Tentu saja dia pun tahu akan dasar dan
pamrih yang terkandung di hati para orang pandai yang membantunya, namun dia
pura-pura tidak tahu karena pada waktu itu dia amat membutuhkan tenaga mereka.
Tentu saja dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi semua pamrih mereka itu
dan siapa pun yang merasa dapat mengelabui An Lu Shan akan kecelik sekali!
Biar pun dia
merasa aman kalau berada di Telaga Utara, akan tetapi kesukaran mencapai puncak
ini bukan merupakan hal yang membuat An Lu Shan menjadi lengah. Diam-diam dia
menaruh mata-mata dan penjaga yang melakukan penjagaan di sekitar pegunungan
itu secara sembunyi untuk mengikuti setiap gerak-gerik orang yang menuju ke
Telaga Utara, juga membayangi gerak-gerik para tokoh kang-ouw yang katanya
menjadi pembantu An Lu Shan. Apa-lagi kalau dia sendiri sedang berada di gedung
di telaga itu, penjagaan secara sembunyi dilakukan dengan ketat sekali.
Demikianlah,
ketika delapan belas orang pendekar Bu-tong bersama Liu Bwee dan Ouw Sian Kok
pada pagi hari itu tiba dipegunungan ini, gerak-gerik mereka telah diamat-amati
para penjaga rahasia itu dari jauh dan bahkan sudah ada penjaga yang cepat lari
ke telaga untuk memberi laporan. An Lu Shan yang mendengar bahwa ada dua puluh
orang yang gerak-geriknya lincah dan merupakan orang-orang asing menuju ke
telaga, memberi perintah kepada komandan pengawal agar membayangi saja dua
puluh orang itu.
"Hendak
kulihat bagaimana mereka akan dapat mengunjungi telaga tanpa mengetahui jalan rahasia
kita," katanya. "Dan kalau pun mereka bisa memasuki telaga, setelah
mereka masuk, potong jalannya agar mereka tidak dapat keluar pula,"
demikian perintahnya.
Dia sama
sekali tidak merasa gentar karena barisan terpendam yang melindungi berjumlah
tidak kurang dari seratus orang, sedangkan lima belas orang pengawal pilihan
selalu mendapinginya, belum lagi dua puluh lebih orang kang-ouw yang menjadi
sekutunya dan yang tentu akan siap membantunya jika ada bahaya mengancam. Apa
artinya dua puluh orang itu? Akan tetapi dia tidak mau memerintahkan membasmi
mereka karena dia harus tahu lebih dulu siapa mereka dan apa kehendak mereka
mengunjungi Telaga Utara.
"Bagaimana
mungkin menuju ke dataran di depan itu kalau dikelilingi jurang selebar dan
securam ini?" Liu Bwee bertanya dengan penuh keraguan ketika mereka semua
berdiri di depan jurang yang ternganga lebar di depan mereka.
Jurang itu
lebarnya kurang lebih dua puluh lima meter dan curam sehingga melompati jurang
ini mendatangkan ancaman bahaya maut yang mengerikan. Tanpa bersayap, mana
mungkin orang melompatinya begitu saja?
Ouw Sian Kok
mengerutkan alisnya. "Apakah semua keliling gunung ini di halangi jurang
seperti ini?"
Song Kiat,
orang tertua dari Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong mengangguk. "Kami sudah menyelidiki
tempat ini dengan seksama dan memang telaga di gunung ini dikelilingi oleh
jurang-jurang. Bagian yang paling sempit hanya bagian ini, maka kita harus
menyeberang melalui tempat ini."
"Hemm,
bagaimana caranya kalian hendak menyeberang?" tanya Ouw Sian Kok penuh
keraguan. Dia sendiri yang memiliki kepandaian jauh melampaui mereka merasa
ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa meloncati jurang selebar ini.
"Rintangan
ini telah kami pelajari dan perhitungkan masak-masak sebelum kami berangkat ke
sini, Taihiap. Harap jangan khawatir karena kami telah memperoleh akal untuk
menyeberang. Kalau kita turun ke jurang, kemudian merayap naik, amat sukar dan
lebih berbahaya. Maka jalan satu-satunya adalah membuat jembatan manusia dari
sini ke seberang jurang."
"Jembatan
manusia? Apa maksudmu dan bagaimana caranya?" tanya Liu Bwee.
"Harap
Lihiap jangan khawatir karena kami sudah melatih diri dan berhasil baik. Kalau
jembatan sudah terbentuk, harap Taihiap dan Lihiap suka menyeberang lebih dulu
dan melindungi kami di seberang sana."
"Baik,
lekas kerjakan sebelum tampak ada penjaga di seberang!" kata Ouw Sian Kok.
Dengan hati
kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar
itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas
membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan
mengerahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah
berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apa-lagi orang
berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak
akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari tanah!
Dia berdiri
memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari
dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu.
Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri di atas pundaknya. Disusul
pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun,
masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak
bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh! Setelah itu, orang
ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di
atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang
berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh
belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak
bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming,
seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat
baginya!
Kemudian
atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki masing-masing yang tadinya
menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua
betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan
orang itu mendoyong ke depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan
runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini
membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang
terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi.
Melihat ini
Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana
cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh
amat berbahaya. Selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan
yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar. Sekali saja meleset atau
sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan belas orang
itu terjerumus kedalam jurang!
Kini susunan
orang itu telah melintang, dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan
menyambar akar pohon yang amat kuat yang berdiri di seberang. Maka jadilah
‘jembatan’ istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar
biasa dan berbahaya bukan main! Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengang,
penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang
memegangi kaki orang terbawah tadi.
"Taihiap
dan Lihiap, silakan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di
seberang sana!" Kata-kata ini menyadarkan kedua orang itu.
Ketika Liu
Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk.
Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu
melangkah dan ‘menyeberang’ melalui jembatan manusia yang sambung-menyambung
dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkang-nya. Dia melangkah dengan
cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di
seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan
kagum.
Setelah
melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang, Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan
temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil
mengerahkan ginkang-nya, Liu Bwee mulai menyeberangi ‘jembatan’ istimewa itu
dan melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya.
Betapa pun
lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga!
Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat
Ouw Sian Kok.
"Mereka
benar-benar merupakan pendekar-pendekar yang mengagumkan," kata Liu Bwee.
Ouw Sian Kok
mengangguk dan merasa girang bahwa dia dan Liu Bwee telah mengambil keputusan
untuk membantu delapan belas orang gagah ini.
Setelah dua
orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling
belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada
saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke
tujuh belas dan melompat ke bawah jurang! Liu Bwee hampir menjerit karena
ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung
sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak
orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada
di atasnya. Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas
banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting
hancur pada dinding karang di seberang sini.
Namun dengan
cekatan dan terlatih, masing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di
atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk
mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terayun dekat
dinding. Akhirnya selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang
dinding karang. Kini yang paling berat bagiannya adalah Song Kiat karena dia
merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya,
bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya yang
bergantung pada kakinya! Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama,
karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua)
dari delapan belas orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si
Tinggi Besar tadi.
Ouw Sian Kok
mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang
bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke
dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang
itu telah dapat meloncat ke tepi jurang dengan selamat!
"Bagus!
Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok
memuji.
"Taihiap
terlalu memuji. Kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat
jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan. Baru hari ini kami berani
mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan
bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat
lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini Telaga Utara kosong sehingga
kita boleh menyelidiki dengan aman. Kalau jenderal pemberontak itu tidak berada
di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat."
Ouw Sian Kok
menoleh ke kanan-kiri, lalu menghela napas dan berkata, "Kuharap saja Cuwi
(Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut
penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga
ketat. Tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong
saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."
"Apa
pun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama.
Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir," Liu Bwee menghibur.
Mereka lalu
begerak maju memasuki daerah itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga
dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu tidak
nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan
curiga.
"Hemm,
hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini,
atau kita masuk perangkap!" baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata
ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah
puluhan orang dari jembatan telaga mau pun dari belakang pohon dan semak-semak.
"Celaka,
kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali
saja!"
Tergesa-gesa
delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di
mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan
tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke
depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sute-nya. Ternyata di tempat
penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan
busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi
bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti
tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.
Melihat
betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata
dengan suara agak kecewa, "Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan
dengan musuh?"
"Taihiap
tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam
perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh
orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini,
lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."
"Berbahaya
atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya
akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui,
berbahaya mau pun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya
seperti pengecut?"
Mendengar
ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang
murid Bu-tong-pai itu. "Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi
kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga. Apalagi kami
telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya
pula."
"Hidup
memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita
menghadapinya," Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami
banyak kesengsaraan, apa-lagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah
apa-apa dan merupakan hal yang wajar.
"Kalau
begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah
menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan
kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh
semangat sambil mencabut pedangnya.
Gerakan ini
diikuti oleh tujuh belas orang sute-nya. Dengan berlari cepat mereka kembali ke
telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi
mereka tercengang ketika tiba ditempat itu. Mereka melihat An Lu Shan berdiri
diiringi oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti
dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Akan
tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali
orang-orang yang bersenjata lengkap! Delapan belas orang itu tidak tahu harus
berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan
mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.
Ternyata
memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar laporan dari
anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri, betapa delapan belas orang
pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu
diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa,
An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk
menyambut mereka.
"Mereka
tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka
menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku.
Aku ingin bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka
untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu."
Demikianlah,
karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid
Bu-tong-pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh
jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu
membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka.
"Hemm,
Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An
Lu Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak
memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi
tempat kami ini?"
Karena tidak
mungkin lagi berpura-pura atau berbohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai
pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang, "Kami datang untuk
membunuh Jenderal pemberontak An Lu Shan!"
Tentu saja
jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan
gatal tangan untuk membasmi musuh. Akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan
ke atas untuk mencegah. Dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang
pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh
selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik
yang memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu.
"Sungguh
kami merasa heran sekali mengapa para orang gagah di Bu-tong-pai masih juga
belum sadar? Pemerintah yang dikuasai Kaisar lalim selain menyia-nyiakan sebuah
perkumpulan besar seperti Bu-tong-pai, juga telah menghinanya, menganggap
Bu-tong-pai sebagai perkumpulan orang jahat. Sekarang Cuwi malah membela
Kaisar, bukankah itu namanya penjilatan? Apakah orang-orang gagah demikian
rendah dirinya, menjilat-jilat kalau dihina oleh pihak yang lebih tinggi?"
"Kami
bukan membela Kaisar atau pemerintah, kami membela rakyat dan negara dari
gangguan pemberontak!" Song Kiat berteriak lantang.
An Lu Shan
tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Demikianlah semestinya watak seorang
pendekar yang berjiwa pahlawan. Kalau begitu antara Cuwi dan kami terdapat
kecocokan. Kami bukanlah pemberontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan
nasib rakyat kecil yang tertindas oleh kelaliman Kaisar yang hanya tahu
bersenang-senang belaka. Marilah kita bersama-sama mengenyahkan pemerintahan
lalim ini untuk membangun sebuah pemerintahan yang akan dapat mendatangkan
kemakmuran kepada rakyat jelata. Dengan demikian, barulah tidak percuma kita
hidup sebagai manusia, terutama sebagai manusia yang berjiwa gagah."
Ucapan yang
keluar dari mulut An Lu Shan terdengar penuh semangat kepahlawanan. Memang
jenderal ini merupakan seorang ahli bicara yang amat pandai sehingga sejenak
delapan belas orang itu saling pandang dengan bingung.
Tiba-tiba
Liu Bwee yang biar pun hanya seorang wanita namun pernah menjadi Permaisuri
Raja Pulau Es, yang merasa masih sedarah dengan Kaisar daratan besar, dan sudah
banyak pula membaca kitab sejarah sehingga mengerti sedikit akan politik,
berkata yang ditujukan kepada delapan belas orang gagah itu, "Orang gagah
harus memiliki pendirian. Sifat suka berbalik pikiran dan mudah terbawa angin
adalah sifat ular kepala dua dan merupakan sifat yang paling rendah dan
berbahaya."
Mendengar
ucapan ini, sadarlah pendekar dari Bu-tong-pai itu dan Song Kiat berteriak,
"Jenderal An Lu Shan! Tidak ada gunanya engkau mencoba untuk membujuk
kami! Kami tidak membutuhkan pangkat, tidak membutuhkan harta, tidak
membutuhkan nama besar sebagai pemberontak! Kami harus mempertahankan pendirian
kami, harus membela dan mematuhi perintah ketua dan guru kami dengan darah dan
nyawa!"
Kedua pihak
sudah ‘panas’, akan tetapi An Lu Shan masih bersabar. Ia mengangkat tangannya,
menahan anak buahnya, lalu berkata, "Terserah pemilihan Cuwi dari
Bu-tong-pai. Akan tetapi karena Jiwi yang datang bersama Bu-tong Cap-pwe
Eng-hiong merupakan manusia-manusia sakti yang cerdik pandai, ingin kami
mengenal mereka, dan mengapa pula Jiwi mencampuri urusan Bu-tong-pai yang
memusuhi kami?"
"Kami
berdua hanyalah orang-orang yang kebetulan lewat dan melihat kegagahan Bu-tong
Cap-pwe Enghiong, kami berdua sudah mengambil keputusan untuk membantu mereka.
Tentu saja ini adalah tanggung-jawab kami dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kalian," kata Ouw Siang Kok.
"Harap
Jiwi suka mempertimbangkan, dan kami menjamin bahwa Jiwi kelak akan menerima
penghargaan dari kekuasaan yang memerintah negara, dari rakyat dan dari dunia
kang-ouw yang banyak membantu kami. Jiwi tidak perlu membantu kami menghadapi
orang-orang Bu-tong-pai. Asal Jiwi suka lepas tangan, kami sudah amat berterima
kasih dengan Jiwi." An Lu Shan yang bermata tajam dapat menduga bahwa dua
orang itu amat lihai, maka dia berusaha membujuk Ouw Sian Kok dan Liu Bwee.
"Jenderal
An Lu Shan," tiba-tiba Liu Bwee berkata, suaranya penuh wibawa dan
sikapnya agung seperti seorang ratu bicara kepada seorang bawahannya.
"Engkau tentu maklum, bagi seorang yang gagah perkasa dan budiman, janji
adalah lebih berharga dari-pada nyawa, dan bagi seorang gagah, nyawa bukan
merupakan benda yang terlalu disayangkan, sedikitnya tidaklah melebihi
kehormatan dan nama. Kematian bukan apa-apa. Kami yang sudah berjanji kepada
Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong tentu tidak mungkin dapat mundur lagi. Nah, kami
semua telah siap. Apa pun yang akan kau lakukan, kami akan hadapi dengan
pertaruhan nyawa."
An Lu Shan
tercengang dan sampai lama tak mampu menjawab, memandang kepada Liu Bwee dengan
penuh penyesalan. Mana hatinya tidak akan menyesal melihat seorang wanita
sehebat itu berdiri di pihak musuh? Terpaksa dia menggerakkan tangannya dan
bergeraklah para pengawalnya menerjang maju!
Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok yang sudah bersatu hati itu seperti mengerti isi hati
masing-masing, maka hampir berbareng mereka berdua menggerakkan kaki meloncat
ke arah An Lu Shan. Mereka maklum bahwa menghadapi lawan yang jauh lebih besar
jumlahnya, mereka harus berlaku cerdik dan sedapat mungkin mereka harus lebih
dulu merobohkan pimpinan lawan. Kalau pemimpin seperti An Lu Shan itu dapat
ditangkap, tentu yang lain akan tunduk, atau kalau sampai dapat dibunuh, hal
ini tentu akan melumpuhkan semangat lawan.
An Lu Shan terkejut
melihat gerakan mereka berdua. Memang dia sudah mendengar laporan anak buahnya
bahwa dua orang ini lihai sekali. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa mereka
akan dapat bergerak secepat itu, seperti dua sinar halilintar saja menyambar ke
arahnya. Dia berteriak dan cepat menjatuhkan diri ke belakang sehingga dua
orang penyerang itu langsung dihadapi oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang berdiri di
kanan-kiri dan belakangnya.
"Trang-cringgg-cringgg...!!"
Para tokoh
kang-ouw itu terkejut bukan main. Sekaligus ada empat orang yang melindungi An
Lu Shan dan menangkis pedang dan tombak di tangan Liu Bwee dan Ouw Sian Kok,
akan tetapi empat orang itu terhuyung ke belakang karena mereka bertemu dengan
tenaga yang amat dahsyat!
Ouw Sian Kok
yang ingin agar penyerbuan delapan belas orang pendekar itu berhasil dalam
waktu singkat dan tidak perlu terjadi pembunuhan besar-besaran, sudah
mengunakan ginkang-nya yang amat hebat. Tubuhnya melucur ke depan mengejar An
Lu Shan yang hendak menyelamatkan diri ke belakang para pembantu dan para
pengawalnya.
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati An Lu Shan ketika melihat tiba-tiba dia
diancam oleh sebatang tombak yang dipegang oleh orang yang seperti ‘terbang’ di
atasnya! Dia pun bukanlah seorang biasa, melainkan seorang panglima yang sudah
banyak pengalamannya bertempur, memiliki pula ilmu silat campuran yang lihai
dan tenaganya kuat bukan main. Melihat betapa dia terancam, secepat kilat
tangan kanannya bergerak dan begitu pedangnya tercabut, tampak sinar terang
yang menyilaukan mata. Kemudian pedangnya menangkis ke arah tombak yang
mengurungnya dengan sinar tombak.
"Trakkkk!"
tombak di tangan Ouw Sian Kok itu patah-patah! Tentu saja tombak biasa itu
tidak mampu melawan pedang Tiong-gi-kiam hadiah dari Kaisar kepada An Lu Shan ini,
yang merupakan sebatang pedang pusaka kuno yang amat ampuh.
Akan tetapi
Ouw Sian Kok yang berilmu tinggi itu tidak menjadi gugup. Dia bahkan mampu
menggerakkan sisa gagang tombaknya menotok pergelangan tangan kanan An Lu Shan
dengan kecepatan sedemikian rupa sehingga serangan ini tidak tampak dan
tahu-tahu tangan Jenderal itu telah tertotok dan pedangnya terampas oleh Ouw
Sian Kok! Kini para pengawal dan orang-orang kang-ouw telah mengurungnya dan
berhasil melindungi An Lu Shan yang cepat menyelinap ke belakang.
Jenderal ini
menjadi marah. Selain pedangnya terampas, hampir saja dia celaka. "Serbu
mereka! Basmi mereka semua, jangan beri ampun seorang pun juga!" dia
berteriak memberi perintah.
An Lu Shan
adalah seorang yang cerdik dan pandai memikat hati orang untuk membantunya.
Akan tetapi, di waktu marah dia berubah menjadi seorang yang amat kejam dan
tidak mengenal ampun, sesuai dengan latar belakang hidupnya yang liar dan
ganas.
Terjadilah
pertempuran yang amat seru di tepi telaga itu. Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong, Liu
Bwee, dan Ouw Sian Kok, mengamuk dengan hebatnya sungguh pun Liu Bwee dan Ouw
Sian Kok selalu merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Di antara mereka berdua
dan An Lu Shan sama sekali tidak terdapat permusuhan, apa-lagi dengan para anak
buah Jenderal itu, sama sekali tidak ada urusan dengan mereka. Maka tentu saja
mereka tidak sampai hati untuk melakukan pembunuhan dan hanya merobohkan mereka
dengan tendangan, dorongan tangan kiri, totokan atau ada juga yang tersambar
pedang akan tetapi tidak terluka parah yang membahayakan nyawa mereka.
Berbeda
dengan sepak terjang Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang biar pun mengiriskan namun
tidak pernah membunuh, sebaliknya delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai
itu mengamuk dengan mengerikan. Mereka seperti segerombolan harimau yang haus
darah. Pedang mereka berkelebatan. Kalau ada pihak lawan yang roboh, tentu
roboh dalam keadaan yang mengerikan sekali, terobek perut mereka atau tersayat
leher mereka hampir putus, atau tertembus dada mereka oleh pedang sehingga
begitu roboh mereka berkelojotan dan nyawa mereka melayang tidak lama kemudian.
Delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai itu seolah-olah menyebar maut di
antara para pengawal An Lu Shan.
Hal ini
membuat An Lu Shan marah sekali. Cepat dia memerintahkan pengawal-pengawal
pribadinya untuk meninggalkannya dan menyerbu lawan. Juga para tokoh kang-ouw
tidak ada yang menganggur, sebagian menghadapi Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang
amat lhai, sebagian pula kini menghadapi delapan belas orang pendekar
Bu-tong-pai itu. Kini pasukan pengawal yang menjaga di sekitar tempat itu sudah
berkumpul semua sehingga lebih dari seratus orang anak buah An Lu Shan
mengurung dan mengeroyok musuh.
Betapa pun
gagahnya delapan belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, menghadapi pengeroyokan
lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak, apa-lagi setelah para pengawal pribadi
An Lu Shan dan orang-orang kangouw maju akhirnya mereka roboh juga seorang demi
seorang! Tak lama kemudian, Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa itu
tewas seorang demi seorang setelah melakukan perlawanan sampai titik darah
terakhir dan setelah masing-masing merobohkan sedikitnya dua orang lawan!
Tempat itu yang biasanya menjadi tempat pertemuan dan peristirahatan bagi An Lu
Shan, hari itu berubah menjadi tempat yang penuh dengan noda darah dan penuh
dengan mayat manusia yang malang melintang. Mengerikan!
Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok juga terdesak hebat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
tingkat ilmu silat lebih tinggi dari-pada tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di
situ, bahkan ilmu silat mereka termasuk ilmu yang aneh dan tidak dikenal oleh
para lawan. Biar pun banyak sudah, sedikitnya ada dua puluh orang yang roboh
tak berdaya oleh mereka, namun mereka seperti dua ekor belalang dikeroyok semut
yang banyak dan dekat.
Akhirnya
sebuah hantaman dengan toya yang mengenai lutut kanan Liu Bwee membuat nyonya
perkasa ini terjungkal dan dia lalu ditubruk oleh empat orang lawan, ditotok dan
dibelenggu, lalu diseret pergi sebagai seorang tawanan. Betapa pun juga
orang-orang kang-ouw itu masih merasa segan untuk membunuh wanita yang amat
mereka kagumi ini.
Melihat Liu
Bwee tertawan, Ouw Sian Kok mengeluarkan pekik melengking dan pekik ini saja
sudah cukup untuk merobohkan beberapa orang pengeroyok yang kurang kuat
sinkang-nya. Tiong-gi-kiam di tangannya menyusul berkelebat, membuat belasan
batang senjata lawan beterbangan dan robohlah lima enam orang lagi! Bukan main
hebatnya sepak terjang Ouw Sian Kok yang sudah marah itu.
"An Lu
Shan, bebaskan Liu-toanio atau... akan kubasmi kalian semua! Aku Ouw Sian Kok
dari Pulau Neraka tidak biasa mengeluarkan ancaman kosong belaka!" Saking
marah dan khawatir melihat Liu Bwee ditawan, Ouw Sian Kok lupa diri dan
menyebut-nyebut Pulau Neraka.
Terkejutlah
semua orang mendengar ini. Mereka tidak pernah tahu di mana adanya Pulau
Neraka, akan tetapi di dalam dongeng mereka mendengar bahwa Pulau Es dan Pulau
Neraka merupakan pulau-pulau tempat tinggal para dewata dan siluman yang
memiliki ilmu yang amat luar biasa!
"Kalian
tidak tahu dia itu adalah bekas Permaisuri dari Pulau Es! Bebaskan dia!"
teriaknya lagi sambil menendang dengan kedua kakinya secara berantai,
merobohkan empat orang di antara para pengeroyoknya.
Kembali
semua orang terkejut, termasuk An Lu Shan. Pulau Es? Benarkah apa yang
dikatakan laki-laki gagah perkasa itu? Ataukah hanya gertak sambal saja agar
wanita yang tertawan itu dibebaskan?
Selagi semua
orang ragu-ragu, terdengarlah suara ketawa, "Heh-heh-heh, anak-anak nakal,
kiranya masih ada yang tinggal di antara penghuni Pulau Es dan Pulau Neraka!
Hemmm, hayo kalian berdua ikut saja bersamaku karena bukan di sinilah tempat
kalian!" Suara ini halus dan perlahan saja, namun anehnya mengatasi semua
suara dan terdengar dengan jelas oleh mereka semua.
Ketika An Lu
Shan dan anak buahnya memandang, ternyata yang muncul adalah seorang kakek
bercaping lebar yang mereka kenal sebagai kakek nelayan yang suka memancing
ikan di telaga. Karena kakek itu bersikap halus dan tidak pernah bicara, maka
An Lu Shan hanya menyuruh anak buahnya mengamat-amati saja. Kakek itu sudah
berbulan-bulan memancing ikan di telaga dan sama sekali tidak mengganggu, juga
sama sekali tidak mencurigakan, maka kini kemunculannya dalam keadaan yang
menegangkan itu benar-benar amat mengherankan hati orang.
Ouw Sian Kok
yang mendengar ucapan itu menjadi terkejut sekali. Cepat dia memandang.
Terlihat olehnya seorang kakek berpakaian sederhana tambal-tambalan, bertopi
caping lebar seperti yang biasa digunakan para nelayan, memegang tangkai
pancing dari bambu dan dipinggangnya tergantung sebuah kipas bambu. Dia cepat
memandang wajah kakek itu dan melihat wajah yang sudah tua akan tetapi dengan
sepasang mata yang tajam penuh wibawa. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan
seorang kakek yang lihai. Otomatis dia mengira bahwa tentu ini merupakan
seorang tokoh kang-ouw yang menjadi kaki tanan An Lu Shan pula. Maka lebih baik
turun tangan lebih dulu sebelum lawan tangguh ini mendahuluinya, pikir Ouw Sian
Kok.
"Sudah
tua bangka masih banyak pamrih mencampuri urusan pemberontakan!"
bentaknya. Pedangnya mengeluarkan sinar, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar
bergulung-gulung ketika dia meloncat dan memutar senjata itu menyerang.
Dengan
tenang kakek itu menghadapi penyerangan ini, sikapnya seperti seorang tua
menghadapi seorang anak yang nakal. Karena menduga bahwa kakek itu tentu amat
lihai, maka sekali ini Ouw Sian Kok tidak bersikap tanggung-tanggung, pedangnya
meluncur dengan amat cepatnya dan dia membuka serangan. Akan tetapi tiba-tiba
kakek itu memutar pancingnya dan terdengarlah suara bersuitan nyaring sekali.
Ouw Sian Kok
bersikap waspada. Ketika tangkai yang terbuat dari bambu panjang itu menyambar
ke depan menyambutnya, dia cepat menggerakkan pedangnya yang ampuh dengan
mengerahkan tenaga sinkang untuk membabat putus bambu itu. Namun bambu itu
seperti hidup bergerak mengikuti sinar pedangnya, berkejaran dengan sinar
pedangnya tetapi tidak pernah tersentuh, dan tahu-tahu Ouw Sian Kok merasa
betapa tubuhnya terangkat ke atas. Ternyata bahwa ketika kakek itu memutar
bambu yang menjadi tangkai pancing, tali pancingnya berputaran sedemikian
cepatnya sampai tidak tampak karena tali itu kecil saja. Tahu-tahu mata pancing
itu telah mengait punggung baju Ouw Sian Kok sehingga seolah-olah Ouw Sian Kok
dijadikan ‘ikan’ yang terkena pancing!
Ouw Sian Kok
terkejut dan marah. Dia bergerak hendak membabat tali pancing di atas
punggungnya, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang tergantung itu berputar cepat
sekali. Dia diputar-putar di atas kepala kakek itu sehingga kalau sampai tali
itu diputuskan dengan tangannya, tentu tubuhnya akan terlempar dan terbanting
keras tanpa dia mampu mencegahnya karena tubuhnya sudah berputaran seperti
kitiran di udara.
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, kaget dan kagum melihat
betapa mudahnya kakek tua itu membuat Ouw Sian Kok yang sakti itu tidak berdaya
sama sekali!
Ouw Sian Kok
merasa malu dan marah. Dikerahkannya sinkang-nya dan dia telah menggunakan ilmu
memberatkan tubuhnya. Seketika tubuhnya yang masih berputar-putar itu agak
menurun dan bambu itu melengkung seolah-olah tidak kuat menahan tubuhnya.
"Tidak
buruk...!" kakek itu berseru kagum juga.
Akan tetapi
karena dia masih memutar-mutar hasil pancingannya itu dengan amat cepatnya, Ouw
Sian Kok tidak dapat melepaskan diri. Ia hanya melirik ke arah kakek itu dengan
pandang mata penuh kemarahan dan kadang-kadang mencoba untuk menggerakkan
pedang membacok ke arah tubuh kakek itu.
Tiba-tiba
terdengar suara Liu Bwee, "Ouw-toako, jangan melawan...! Lo-cianpwe, mohon
Lo-cianpwe sudi mengampuninya...!!"
Mendengar
seruan Liu Bwee ini Ouw Sian Kok terkejut. Dia menghentikan usahanya untuk
menyerang atau membebaskan diri, lalu berkata, "Harap Lo-cianpwe sudi
memaafkan kalau saya bersikap kurang ajar!"
"Heh-heh-heh,
ternyata Pulau Neraka belum merusakmu, orang muda!" Tali pancing itu
mengendur dan tahu-tahu Ouw Sian kok telah mendapatkan dirinya berada di atas
tanah. Dia berdiri tak bergerak, hanya menoleh ke arah Liu Bwee yang kini sudah
terbelenggu dan dijaga ketat.
Kakek itu
lalu menghadap ke arah An Lu Shan yang berdiri di tempat aman, kemudian berkata
halus, "An-goanswe harap suka memenuhi permintaan seorang tua seperti aku
agar suka membebaskan wanita itu."
Sudah kita
ketahui bahwa An Lu Shan adalah seorang yang amat cerdik. Melihat keadaan kekek
itu, dia pun maklum bahwa orang tua itu amat sakti dan menghadapi seorang kakek
seperti itu, lebih baik bersahabat dari-pada memusuhinya. Kalau ingin berhasil
dalam mengejar cita-cita, berbaiklah dengan sebanyak mungkin orang pandai,
demikian pedoman hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia memberi isyarat kepada
orang-orangnya untuk membebaskan Liu Bwee.
Tentu saja
isyarat ini tidak ada yang berani membantahnya sungguh pun para anak buah dan
pembantunya merasa khawatir akan sikap An Lu Shan ini. Di situ terdapat tiga
orang lawan tangguh, yang seorang sudah tertawan, mengapa dibebaskan lagi?
Bukankah ini merupakan perbuatan bodoh dan berbahaya?
Liu Bwee
yang sudah terbebas dari totokan dan belenggu segera menghampiri kakek itu dan
menjatuhkan diri berlutut. "Lo-cianpwe...," katanya dan melanjutkan
katanya dengan tangis yang menyedihkan.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Sudahlah, sudahlah, aku sudah tahu semua yang menimpa
dirimu dan Pulau Es. Sudah semestinya demikian, ditangisi pun tidak akan ada
gunanya."
Liu Bwee
tersadar setelah mendengar ucapan ini. Cepat ia menghapus air matanya, lalu
berkata kepada Ouw Sian Kok, "Ouw-twako, beliau ini adalah kakek dari
suamiku yang telah lama meninggalkan pulau dan mengasingkan diri sebagai
seorang pertapa. Baru sekarang aku dapat bertemu dengan beliau...."
Mendengar
ini, terkejutlah hati Ouw Sian Kok. Kalau orang tua ini kakek dari Han Ti Ong,
berarti kakek ini dahulunya adalah Raja Pulau Es atau setidaknya tentu
pangeran! Dan tentu ilmunya sudah amat tinggi, karena dia tadi sudah merasakan
kelihaian kakek ini. Hatinya makin tunduk dan dia pun menjatuhkan diri berlutut
di depan kakek itu di samping Liu Bwee. "Teecu Ouw Sian Kok mohon maaf
sebesarnya kepada Lo- cianpwe," katanya.
Kakek itu
terkekeh, "Heh-heh-heh, kalian ini dua orang muda memang tidak pernah
bertobat! Sudah puluhan tahun hidup menghadapi bermacam penderitaan, masih saja
tidak mau merubah dan mencari keributan pula di sini. Kalian berdua mempunyai
bakat baik sekali untuk mempelajari hidup dan marilah kalian ikut bersamaku!
Kalau kalian tidak mau, aku pun tidak akan memaksa, akan tetapi kelak kalian
hanya akan menemui kekecewaan dan kesengsaraan belaka. Sebaliknya, kalau kalian
suka ikut bersamaku, segala hal mungkin saja terjadi.”
Liu Bwee dan
Ouw Sian Kok saling pandang. Biar pun mulut mereka tidak saling bicara, namun
hati mereka sudah saling menerima getaran. Mereka tahu bahwa ke mana pun mereka
pergi, asal mereka tidak berpisah, mereka akan merasa cukup kuat, berani, tabah
dan bahagia! Maka keduanya lalu mengangguk-angguk tanpa bicara lagi.
Kakek itu
merasa girang, lalu menoleh ke arah An Lu Shan. "An-goanswe, telah
berbulan-bulan aku menyaksikan gerakanmu dan engkau memang pantas menjadi
penggempur kelemahan kerajaan. Bukan urusanku untuk mencampuri. Nah,
perkenankan kami bertiga pergi dari sini."
An Lu Shan
cepat melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada,
"Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk Lo-cianpwe mengenai perjuangan
kami!" Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah
sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasehat dari kakek
sakti itu.
Mendengar
ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan
dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti
suling dan berlagu! Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi
suara seperti suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu.
"Yang
lama akan terguling yang baru menggantikannya, yang baru akan menjadi lama dan
ada yang lebih baru pula! Yang tua akan mati diganti yang muda, yang muda akan
menjadi tua, mati dan diganti pula! Apakah yang kekal di dunia ini? Yang
menyebabkan kematian dan kesengsaraan akan dilanda kematian dan kesengsaraan.
Ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula!”
Suara
melengking dan nyanyian terhenti. Semua orang tercengang dan diam, pikiran
bekerja memecahkan arti nyanyian itu. Ketika mereka memandang, tiga orang itu
telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan
tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!"
Para
pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa
kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang
amat lebar, kemudian lenyap di balik gunung!
An Lu Shan
menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian
itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika
orang-orangnya yang terkenal ahli sastra menguraikan nyanyian yang merupakan
ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling, yang baru akan menggantikannya.
Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulingkan pemerintahan
lama pasti akan berhasil.
Apa-lagi
bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan
menjadi korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah
Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut
tahta kerajaan.
Memang
demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan
dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia
ini khusus diperuntukkan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti,
bahwa biar pun An Lu Shan behasil merampas tahta kerajaan, namun dia tidak
dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan
itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh
kaki tangannya sendiri!
Orang memang
selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama
juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal,
selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan,
menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya.
Manusia
tidak mau melihat apa adanya, tidak mau mempedulikan ‘yang begini’ melainkan
selalu mengarahkan pandang matanya kepada ‘yang begitu’, yaitu sesuatu yang
belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa
bahwa ‘yang begitu’ tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan
berada di tangannya akan menjadi ‘yang begini’ pula dan mata akan tidak
mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada ‘yang begitu’, ialah hal
lain yang belum dimilikinya.
Betapa akan
berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukkan pandang mata kita kepada
‘yang begini’, kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah
perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan
sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti
sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apa
pun juga, di mana pun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat
diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang
dan susah, untung dan rugi, aku dan engkau. Kalau sudah begini, baru kita tahu
apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa
artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka.
Kita
tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan
sakti yang bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang
telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di
tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita
mengikuti perjalanan dua orang itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment