Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 04
PERISTIWA seperti inilah yang membuat hati Sin Liong memberontak. Dia amat cinta dan kagum kepada suhunya, akan tetapi peraturan hukum di Pulau Es ini dianggapnya terlalu kejam. Sebaliknya Han Ti Ong yang maklum akan kekecewaan hati muridnya yang dia kagumi dan cintai, berusaha menyenangkan hati muridnya itu dengan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya sehingga dalam waktu setahun lagi saja ilmu kepandaian pemuda yang berusia lima belas tahun itu menjadi makin hebat. Boleh dibilang dialah orang satu-satunya yang menjadi pewaris ilmu-ilmu Pulau Es.
Biar pun
Permaisuri juga mewarisi banyak ilmu dahsyat, namun dibandingkan dengan Sin
Liong dia kalah bakat sehingga kalah sempurna gerakannya. Apa lagi dalam hal
tenaga sinkang, dia kalah jauh. Hal ini adalah karena Sin Liong adalah seorang
yang pada dasarnya memiliki batin kuat dan tidak pernah terseret oleh nafsu,
sebaliknya The Kwat Lin adalah seorang wanita yang dibangkitkan nafsunya
semenjak dia diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong.
Dan pada
suatu hari terjadilah suatu hal yang sudah lama diduga-duga akan terjadi. Hal
yang menjadi akibat daripada keadaan yang ditekan-tekan di dalam istana yang
dimulai dengan masuknya The Kwat Lin ke Pulau Es dan kini telah menjadi
permaisuri itu....
Pagi hari
itu, Sin Liong tengah duduk seorang diri di tempat yang menjadi tempat
kesukaannya bersama Swat Hong, yaitu di tepi pantai yang paling sunyi. Pantai
yang tak pernah tertutup salju karena pasir berwana putih yang terjadi dari
pecahan batu karang dan segala macam kulit kerang dan kepompong itu seolah-olah
selalu mengeluarkan hawa hangat. Selagi dia duduk termenung itu terdengarlah
olehnya suara tambur dipukul gencar, tanda bahwa pagi hari itu diadakan
persidangan pengadilan yang amat penting. Sidang ini diadakan kurang lebih tiga
bulan semenjak tiga orang pesakitan terakhir itu di buang ke Pulau Neraka.
Suara tambur
itu seolah-olah menghantami isi dada Sin Liong, karena suara itu suara yang
paling tidak disukainya. Suara ini menandakan bahwa akan ada orang lagi yang
dihukum! Maka dia tidak bergerak, mengambil keputusan tidak akan menonton
karena menonton berarti hanya akan menghadapi hal yang menyakitkan hatinya.
Akan tetapi dia meloncat bangun ketika mendengar suara panggilan Swat Hong,
suara panggilan yang lain dari biasanya karena suara dara itu mengandung isak
tangis yang mengejutkan.
"Kwa-suheng...!!"
Sin Liong
terkejut melihat dara itu berlari-lari kepadanya sambil menangis dan dengan
wajah yang pucat sekali.
"Ada
apakah, Sumoi?" tegurnya sebelum dara itu tiba di depannya.
"Suheng...,
celaka... Ibuku...."
Biar pun
hatinya berdebar penuh kaget dan kejut, Sin Liong bersikap tenang ketika di
memegang kedua pundak Sumoi-nya dan bertanya, "Ada apakah dengan Ibumu?
Tenanglah, Sumoi."
Swat Hong
menahan isaknya. "Mereka... mereka menangkap Ibuku dan membawanya ke
sidang pengadilan...."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. “Sudah keterlaluan ini,” pikirnya.
Rasa
penasaran membuat dia berlaku agak kasar. Digandengnya tangan Sumoi-nya, lalu
ditariknya dara itu sambil berkata, "Mari kita lihat!"
Ketika dua
orang itu tiba di ruangan pengadilan, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan
berlainan sekali dengan sidang pengadilan yang sudah-sudah karena suasana amat
sunyi. Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati ruangan pengadilan, bahkan
ketika Sin Liong dan Swat Hong tiba di situ, mereka dihadang oleh beberapa
orang penjaga.
"Maaf,
atas perintah Sri Baginda, tidak ada yang boleh memasuki ruang sidang
pengadilan hari ini," kata mereka.
Dengan kedua
tangan di kepal, Swat Hong melompat maju. Matanya melotot dan mukanya merah
sekali, "Apa kalian bilang?! Kalian berani melarang aku memasuki ruangan?
Apakah kalian sudah bosan hidup?!"
Sin Liong
cepat memegang lengan sumoi-nya karena dia maklum bahwa kalau sumoi-nya ini
sudah marah, tentu akan hebat akibatnya. Juga para penjaga itu mundur ketakutan
karena mereka mengerti betapa lihainya Sang Puteri ini.
"Harap
Saudara sekalian melaporkan kepada atasan Saudara bahwa kami akan memasuki
ruang sidang," kata Sin Liong dengan tenang kepada para penjaga.
"Akan
tetapi kami hanya mentaati perintah. Bagaimana kami berani melanggar?"
jawab kepala penjaga dengan muka bingung.
"Aku
tahu. Ibuku yang diadili, bukan? Nah, dengar kalian! Apa pun yang akan terjadi
dengan ibuku, aku harus hadir. Kalau perlu aku akan bunuh kalian semua agar
dapat masuk!" kembali Swat Hong membentak.
"Saudara
sekalian harap mundur dan biarkan kami masuk. Akibatnya biarkan kami berdua
yang menanggungnya," kembali Sin Liong berkata dan keduanya memaksa masuk.
Para penjaga
tidak ada yang berani melarang, akan tetapi mereka cepat-cepat lari untuk
melapor ke dalam. Han Ti Ong mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong dan
Swat Hong memasuki ruang sidang, akan tetapi dia hanya mengangguk kepada para
penjaga yang kebingungan. Hal ini melegakan hati para penjaga dan mereka
cepat-cepat meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar, karena mereka pun
tidak boleh mendengarkan sidang yang sedang mengadili isteri raja!
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Swat Hong melihat ibunya dengan tenang berlutut
di depan meja pengadilan bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sebagai
pelayan dalam istana. Hatinya menduga-duga dan dia merasa ngeri karena melihat
ibunya dan pemuda itu berlutut di situ. Dia seolah-olah melihat Sia Gin Hwa dan
Lu Kiat, dua orang pesakitan yang saling berjinah itu! Akan tetapi dia tidak
percaya! Tak mungkin ibunya...!
Akan tetapi
Swat Hong menjadi lemas dan menurut saja ketika Sin Liong menariknya dan
mengajaknya duduk di deretan kursi pinggiran yang sekali ini sama sekali
kosong. Di belakang meja panjang hanya duduk jaksa, hakim, Raja Han Ti Ong,
permaisurinya, dan Han Bu Ong, bocah berusia delapan tahun yang mengenakan
pakaian indah dan duduk dengan agungnya di dekat ibunya. Mata Han Bu Ong
memandang kearah Sin Liong dan Swat Hong dengan angkuh.
Kemudian
terdengarlah suara nyaring Sang Jaksa, suara yang bagi telinga Swat Hong
terdengar seperti sambaran pedang yang menusuk-nusuk hatinya dan bagi Sin Liong
seperti guntur di tengah hari!
"Liu
Bwee, sebagai bekas istri Sri Baginda, dari seorang anak nelayan biasa menjadi
seorang mulia terhormat, ternyata kau membalas budi Sri Baginda dengan aib dan
noda yang hina. Dia telah ditangkap karena melakukan perjinahan dengan seorang
pelayan muda. Dosa ini amat besar, karena selain menimbulkan aib dan malu
kepada Sri Baginda, juga kalau diketahui dunia luar akan mencemarkan nama
Kerajaan Pulau Es. Oleh karena itu, sepatutnya dia dijatuhi hukuman yang
seberat mungkin."
"Bohong...!
Ibu tidak mungkin...." Swat Hong menjerit dan hendak melompat maju
menyerang jaksa yang berani mengeluarkan ucapan menuduh ibunya seperti itu,
akan tetapi Sin Liong menangkap lengannya untuk mencegah sumoi-nya bergerak.
"Swat
Hong! Berani engkau kurang ajar di depan Ayah?!" terdengar Han Ti Ong
membentak dengan penuh wibawa.
"Ayah,
tuduhan itu fitnah belaka! Tidak mungkin Ibu melakukan hal yang kotor itu. Mana
buktinya? Siapa saksinya?" kembali Swat Hong menjerit-jerit.
"Hong-ji,
jangan begitu. Ibumu tidak berdosa, akan tetapi kita harus tunduk kepada
peraturan dan hukum, anakku. Tenanglah." Ucapan ini keluar dari mulut Liu
Bwee yang menoleh kearah Swat Hong, suaranya lirih dan jelas, namun mengandung
kedukaan yang merobek hati.
"Liu
Bwee, engkau telah mendengar tuduhan atas dirimu. Apakah pembelaanmu?"
terdengar suara hakim tua itu dengan halus dan lirih seperti biasanya, namun
penuh wibawa karena dalam sidang ini dialah orang yang paling berkuasa.
"Saya
tidak akan membela diri. Hanya seperti dikatakan anakku tadi, agar tidak
mendatangkan penasaran, harap suka disebutkan siapa saksinya dan apa buktinya
yang memperkuat tuduhan terhadap diriku," kata Liu Bwee dengan tenang dan
suara halus.
Jaksa ini
termasuk orang di antara anggota keluarga raja yang tidak senang kepada Liu
Bwee karena dia dahulu pun mengharapkan agar Han Ti Ong memilih anak
perempuannya. Segera ia berkata lantang, "Buktinya? Engkau ditangkap
ketika berada di dalam kamar dengan A Kiu, padahal dia bukanlah pelayanmu.
Apalagi yang kalian kerjakan kalau bukan berjinah? Seorang wanita dan seorang
laki-laki yang tidak ada hubungan apa-apa berada di dalam kamar berdua saja!
Selain itu, perjinahan kalian juga telah ada yang menyaksikan."
Wajah Swat
Hong sebentar pucat dan sebentar merah. Tak dapat dia menahan kemarahannya.
Ibunya dituduh berjinah dengan seorang pelayan!
"Bohong!
itu bukan bukti!! Kalau memang ada yang menyaksikan, hayo siapa yang
menyaksikan?" teriaknya tanpa memperdulikan cegahan Sin Liong yang masih
memegang lengannya karena khawatir kalau-kalau dara ini mengamuk.
"Akulah
saksinya!" tiba-tiba terdengar suara kecil merdu dan Han Bu Hong telah
bangkit berdiri dengan sikap menantang. Mulut anak ini tersenyum mengejek dan
matanya bersinar-sinar. "Enci Hong, akulah yang telah melihat ibumu dan
pelayan itu di atas ranjang...."
"Ssttt,
diam...!" Permaisuri menarik puteranya.
Akan tetapi
hakim telah berkata lagi, "Sudah terbukti kesalahan besar yang dilakukan
Liu Bwee. Kesalahan paling besar yang dapat dilakukan oleh seorang
wanita...."
"Nanti
dulu!" dengan muka pucat sekali Swat Hong memotong kata-kata hakim.
"Tidak adil kalau begini! Kita belum mendengar keterangan A Kiu. Hai, A
Kiu, aku percaya bahwa engkau seorang manusia yang menjunjung kegagahan. Tidak
mungkin seorang pria penghuni Pulau Es seperti engkau menjatuhkan fitnah
sebagai seorang pengecut hina dina. Hayo ceritakan, sesungguhnya apa yang
terjadi?!" suara Swat Hong ini nyaring sekali.
Muka A Kiu
menjadi pucat, kepalanya makin menunduk. Suasana menjadi hening dan akhirnya
terpecah oleh suara Raja.
"A Kiu,
kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu
menggigil. Muka yang tampan itu pucat sekali ketika diangkat memandang Raja,
kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut
di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap
angkuh memandang kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan
berkata dengan suara mengandung isak.
"Hamba
tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti
kesaksian Pangeran Kecil... hamba terpaksa karena...."
"Berani
kau mengatakan puteraku bohong?" jeritan ini keluar dari mulut permaisuri
dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakkan
tangan kirinya ke arah A Kiu.
"Desss...!
Aughhh...!" tubuh A Kiu terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi,
dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah.
Hebat sekali
pukulan jarak jauh yang di lakukan permaisuri itu, tepat mengenai kepala A Kiu
yang tentu saja tidak kuat menahannya. Hakim dan jaksa saling pandang,
sedangkan Raja menegur Permaisurinya, "Kau terlalu lancang...."
"Apakah
aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?"
Permaisuri membantah dengan suara agak ketus.
Raja diam
saja dan menarik napas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus
menghadapi perkara ini. Akhirnya Raja memberi isyarat kepada hakim sambil
berkata, "Lanjutkan."
Hakim
menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang, "Saksi utama yang
menjadi pelaku perjinahan telah terbunuh karena berani menghina Pangeran. Akan
tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang
dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu sudah adil kalau dia harus dijatuhi hukuman
berat. Liu Bwee, pengadilan memutuskan hukuman buang ke Pulau Neraka
kepadamu!"
"Ibuuu...!!"
Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya.
"Ssstt...,
tenanglah, Hong-ji...," ibunya terbisik dengan sikap masih tenang saja,
sungguh pun wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang?
Tidak! ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit
berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang, "Ibuku telah dijatuhi
hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah
dijatuhkan dan saya tidak rela melihat Ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya
sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya
yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan menjadi penggantinya
ke Pulau Neraka, maka harap Sri Baginda bersikap bijaksana, membiarkan ibu yang
sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat
tinggal!"
"Hong-ji...!"
ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari ke luar dari
tempat itu dengan cepat.
Sin Liong
memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya hal yang sudah dikhawatirkannya
akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu yang ternyata akan meledak
sehebat ini.
"Hong-ji...
ah, Hong-ji, Anakku...!" Liu Bwee tak dapat menahan tangisnya lagi.
Dia maklum
tidak mungkin dapat mengejar anaknya karena kepandaian puterinya itu sudah
tinggi sekali. Sebagai seorang pesakitan, dia juga tentu saja tidak berani
melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong...
Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hati
ini meratap.
Hakim
menjadi bingung dan beberapa kali menoleh kearah Raja, seolah-olah hendak minta
keputusan Han Ti Ong. Raja ini menggigit bibir, jengkel dan marah karena tak
disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika menerima
laporan tentang Liu Bwee, istri pertamanya, yang berjinah dengan seorang
pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak
membawa perkara ini ke pengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya.
Siapa
mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh
pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan
ibunya ‘membuang diri’ ke Pulau Neraka. Maka kini melihat betapa hakim menjadi
bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri
sambil berkata, "Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong.
Anak yang keras kepala itu sudah menggantikan ibunya ke Pulau Neraka. Sudah
saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus di sini!"
Setelah
berkata demikian, dia menggandeng tangan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit
berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi
Liu Bwee juga bangkit berdiri.
Wanita ini
berkata lantang sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam. "Biar pun
anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan
tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup di sini bagiku setelah anakku
pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai
saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi
dari sini!"
Setelah
berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan
lagi, setelah dia bukan lagi terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap
tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya
selama bertahun-tahun itu.
"Hmm,
sesukamulah!' kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki
istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan
persidangan itu kosong dan mayat A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk di
situ. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong,
gurunya yang dicintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu
terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi
permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang
dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau
Es?
Mula-mula
wanita itu menjadi selir gurunya. Setelah itu The Kwat Lin menjadi permaisuri,
maka kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musnah! Bahkan kini berekor seperti ini,
dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka, sedang ibu dara
itu sendiri pergi entah ke mana! Dialah yang bertanggung-jawab, langsung atau
tidak langsung. Akan tetapi tidak mungkin dia menegur gurunya, juga permaisuri
tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan
tanggung-jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkan
saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak
itu.
"Pulau
Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harus menyusul Swat Hong
dan melindunginya," demikian dia mengambil keputusan dalam hatinya.
Dia tidak lagi
berpamit kepada gurunya karena maklum gurunya sedang berada dalam kedukaan dan
kepusingan. Pula Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari
tetumbuhan obat, maka kepergiannya meninggalkan Pulau Es dengan sebuah perahu
tidak ada yang menaruh curiga. Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong
mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau
Neraka.
Dia sudah
tahu di mana letaknya pulau itu dari keterangan yang diperolehnya ketika dia
bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es. Bahkan diam-diam pernah pula
seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini, akan tetapi hanya
melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak
kehitaman seperti pulau yang pantas di huni oleh setan dan iblis. Pantainya
penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi
kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya.
Ketika itu
Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es,
jika tidak tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang
keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan
diputuskan hukuman buang ke Pulau Neraka. Baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama
dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke
pulau itu atau setelah berhasil mendarat.
Kini Swat
Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khawatir. Kagum
akan keberanian dan kebaktian sumoi-nya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir
sekali akan keselamatan sumoi-nya yang belum dewasa benar itu. Sumoi-nya baru
berusia empat belas tahun! Biar pun dia tahu bahwa ilmu kepandaian sumoi-nya
sudah hebat dan cukup untuk dipakai menjaga diri, namun betapa pun juga
sumoi-nya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa
usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat Hong!
Perjalanan
dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh dengan
gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut. Gumpalan es itu kadang-kadang
sebesar gunung, dan celakalah kalau sampai perahu tertumbuk oleh gumpalan es
menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, karena digerakkan oleh angin.
Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es, yang begitu saling
menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan
tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu pula caranya
menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya,
melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar.
Kemudian dia
tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya
tampak siripnya itu berenang di kanan-kiri dan belakang perahunya. Betapa pun
tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali
perahunya terguling, kepandaiannya tidak akan berguna banyak dalam melawan
ratusan ikan buas itu di dalam air!
Cepat ia
mengeluarkan bungkusan yang sudah dibawanya sebagai bekal, membuka bungkusan
dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan-kiri, serta depan belakang
perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu berenang pergi dengan cepat
seperti ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin
Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah
membawa bekal racun bubukan hitam yang sering kali dipergunakan oleh para
penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam
kemudian kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak sekali
jumlahnya, mungkin laksaan. Ikan-ikan sebesar ibu jari kaki, akan tetapi
keganasannya melebihi ikan hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di
atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi
runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit
terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air.
Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya akibat
dikeroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat menyebar obat
bubuk hitam beracun itu. Ikan-ikan kecil itu pun lari cerai-berai tidak berani
lagi mendekat sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya itu.
Setelah
melalui perjalanan yang amat sulit, menjelang senja akhirnya sampai juga perahu
Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tetapi seperti dugaannya, pulau itu memang
mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar.
Pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatannya sunyi
dan mati. Namun dibalik kesunyian itu, Sin Liong merasakan seolah-olah banyak
mata mengamatinya dan maut tersembunyi di sana-sini, siap untuk mencengkeram
siapa pun yang berani mendarat! Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati
Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu
sudah berasil mendarat?
Tentu Swat
Hong dapat mencapai pulau ini karena dara itu pun tahu jalan ke situ, dan
mengerti pula tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti
juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi
dengan cukup. Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau
Neraka. Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena
racun yang kabarnya memenuhi pulau ini? Karena khawatir kemalaman sebelum dapat
menemukan Swat Hong, Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke
atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan.
Baru saja
dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan entah
dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar
dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa
lebah-lebah itu mengandung racun yang amat jahat, maka tentu saja dia terkejut
sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus,
beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong
cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya.
Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat sehingga lebah-lebah itu
terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah. Sin Liong tidak
tega untuk membunuh lebah-lebah itu, maka dia hanya menggunakan hawa putaran
jubahnya untuk mengusir. Namun binatang-binatang kecil itu hanya tidak mampu
mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir,
bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh
sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah.
Melihat ini,
Sin Liong kaget. Betapa pun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ
sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu
terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan
tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu
mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan
tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang
membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting
ini. Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya menyala ini dipegang tinggi di
atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya.
Sin Liong
melanjutkan perjalanan dan terus menerus menyalakan api di ujung ranting yang
dikumpulkan dan dibawanya. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika
melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil,
kalajengking, lebah-lebah dan sebangsanya merayap-rayap lari ketika dia datang
dengan obor di tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang
berbisa itu takut terhadap api. Andai kata dia tidak membawa api tentu dia
telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari
atas dan bawah!
Lebah-lebah
itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari suara yang
berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya. Tiba-tiba terdengar
suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali
mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan ada beberapa ekor yang
meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan
api di ujung ranting untuk mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan
lebah-lebah itu makin marah dan mengamuk. Tampak pula oleh Sin Liong betapa
binatang kecil lainnya yang banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya,
namun masih takut-takut oleh api di ujung ranting.
"Siuuut...!"
tiba-tiba tampak benda hitam menyambar kearah ujung rantingnya.
Maklumlah
Sin Liong bawa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung
ranting. Tentu saja dia tidak mau hal ini terjadi. Maka cepat ia menarik
ranting terbakar itu ke bawah, lalu menggunakan tangan kirinya menyambar benda
yang dilontarkan. Kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang
yang membokongnya dan orang itu agaknya yang besuit-suit tadi. Suitan yang
agaknya merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiii,
saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang
dengan maksud baik! Aku hanya mau mencari Sumoi ku di sini!"
Hening
sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali
menjauh, demikian pula ular, kelabang dan binatang kecil lainnya. Terdengar
bunyi tapak kaki menginjak daun-daun kering, dan tak lama kemudian muncullah
belasan orang yang bertelanjang kaki dan berpakaian tidak karuan. Muka mereka
menyeramkan, kotor dan tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar
seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan dan pandang mata penuh
curiga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong.
Pemuda itu
tersenyum ramah dan bersikap tenang. Ranting menyala diangkatnya tinggi-tinggi
untuk memperhatikan wajah mereka. "Harap Cuwi (Anda Sekalian) sudi memaafkan
kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sesungguhnya aku, Kwa Sin Liong,
tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka, apalagi terhadap penghuninya. Aku
datang untuk mencari sumoi-ku yang bernama Han Swat Hong, yang mungkin sudah
mendarat di pulau ini."
Seorang di
antara mereka melangkah maju, mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya
matanya dan sedikit hidungnya. Orang ini lalu menegur dengan suaranya parau dan
kasar, "Kau dari mana?"
"Dari
Pulau Es...."
Belasan
orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok mengangkat tinggi
senjata golok besarnya dan membentak, "Kalau begitu kau harus
mampus!"
"Nanti
dulu, harap Cuwi bersabar," Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan
kirinya ke atas, "Aku bukan musuh dari Cuwi. Sudah kukatakan bahwa aku
datang bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?"
Pada saat
itu muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara
mereka yang bertubuh tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari
Pulau Es?"
Sin Liong
memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain
adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka
karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lopek!"
serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang juga sudah
dibuang ke sini!"
"Apa?!"
Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi
pemimpin rombongan itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela
Lu Kiat dan Sia Gin Hwa ketika dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang
tak setuju dengan hukum di Pulau Es, biar pun dia adalah murid Raja Han Ti Ong
sendiri."
"Apa...?!"
mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"
"Benar,"
jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawannya."
Si Brewok
meragu. "Kalau begitu, kita bawa dia kepada Tocu (Majikan Pulau)!"
Bouw Tang
Kui melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada Tocu
sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya."
Sin Liong
terdiam sejenak sambil berpikir. Memang berbahaya sekali menghadapi orang-orang
kasar ini karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan
Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh yang paling pandai, dia akan dapat
minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu.
Akhirnya Sin
Liong mengangguk dan beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor.
Sin Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti
rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat
tempat-tempat berbahaya. Lumpur-lumpur yang tertutup rumput tinggi, pasir-pasir
berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh
dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu
mengandung racun jahat, dan lain-lain.
“Benar-benar
pulau yang amat aneh dan berbahaya,” pikirnya. “Pantas tempat ini disebut Pulau
Neraka.”
Diam-diam
dia mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es yang membuang orang-orang bersalah ke
tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw
Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksaksa
ini baru beberapa bulan saja dibuang ke sini. Sedangkan yang lain-lain, biar
pun dapat mempertahankan hidupnya namun telah berubah menjadi orang-orang liar
yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatannya!
Selain
menjadi orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang
dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau
itu. Buktinya, biar pun mereka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu
tanpa sepatu, tapi tidak ada seekor pun yang berani menyerang mereka. Akhirnya
dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya, Sin Liong
maklum bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya
digosok-gosokan ke seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu
mereka mendekat.
Tak
disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat
tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah besar yang dikelilingi
pondok-pondok kayu sederhana. Lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong
dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang
disebut Tocu (Majikan Pulau).
Ruangan itu
luasnya lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang
memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan,
kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum
lama dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti
Ong yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang pernah
diobati oleh pemuda ini.
"Hayo berlutut
di depan Tocu!" kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan.
Akan tetapi
Sin Liong dengan tenang berdiri di depan Tocu itu dan memandang penuh
perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.
Kepalanya besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti
seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar,
mulutnya menyeringai.
Sebetulnya
wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas itu membuat wajahnya
kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaiannya tidak seperti pakaian sebagian
besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru
dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang berukir, dan di kedua lengan
kursinya dihiasi dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga lebar
memperlihatkan gigi yang runcing melengkung.
Di sebelah
kanan ketua Pulau Neraka ini duduk seorang anak perempuan yang tadinya hampir
membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang
anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatan gembira.
Mungkin karena sebaya maka kelihatannya mirip dengan Swat Hong. Hampir saja Sin
Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula memasuki ruangan. Ketika melihat
betapa pemuda tawanan itu memandangnya penuh perhatian, anak perempuan itu
tersenyum-senyum.
Melihat Sin
Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudian
berkata perlahan dengan suara rendah, "Hemmm, kau tidak mau berlutut, ya?
Hendak kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?"
Selesai
berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari
tangan seorang penjaga. Ia menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali
dia menggerakkan tangan, sepasang potong toya itu menyambar ke arah kedua kaki
Sin Liong!
Pemuda itu
terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu
bermaksud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin sambungan lututnya
terlepas. Maka dia cepat menggerakkan kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian
setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan kedua
kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan
pemuda itu berdiri di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap
seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu!
"Waduhhh,
dia hebat sekali, Kongkong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi
tersenyum-senyum itu bersorak penuh kagum, padahal anak buah Pulau Neraka
memandang marah karena mengangap bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka.
"Hebat
apa?! Permainan kanak-kanak seperti itu!" kakek berkepala besar itu
mendengus marah.
"Kongkong
juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak prempuan itu berkata dengan
sikap dan suara manja.
"Hushh!
Diamlah kau!" kakek itu membentak. Sejak tadi matanya tidak pernah
berpindah dari Sin Liong.
Dibentak
seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah menahan tangis.
Sin Liong
merasa kasihan, lalu meloncat turun dan berkata menghibur, "Adik yang
manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan mengajarkannya
kepadamu."
Anak
perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah
kemuraman wajahnya yang manja menjadi berseri-seri kembali.
"Orang
muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit
kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?" kakek itu membentak, menahan
kemarahannya karena dia merasa direndahkan sekali ketika serangan sepasang
tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong
cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan
suara tenang, "Harap Tocu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini.
Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka, kedatanganku sama
sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin
Liong dan...."
"Dia
murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata lantang.
Ucapan ini
disambut dengan suara berisik dari semua oang yang berada di situ karena mereka
sudah menjadi marah sekali. Semua orang yang berada di situ adalah orang-orang
buangan dari Pulau Es semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal di situ
selama tiga keturunan. Ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan
turunan dari orang-orang buangan lama, akan tetapi kesemuanya mempunyai rasa
benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es!
Maka begitu
mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong, raja terakhir
dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka. Pandang mata mereka
yang liar seolah hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda yang dianggapnya
seorang musuh besar itu. Andai kata mereka tidak takut kepada ketua mereka,
tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang dalam
pandang mata mereka itu.
"Akan
tetapi dia selalu menentang Han Ti Ong, menentang pembuangan ke Pulau
Neraka!" terdengar suara beberapa orang membela, yaitu suara Bouw Tang
Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain.
"Bunuh
saja dia!"
"Seret
murid Han Ti Ong!"
"Jadikan
dia mangsa ular!"
Kakek
bekepala besar itu mengangkat kedua lengannya ke atas dan membentak,
"Diam...!!"
Sin Liong
kembali terkejut. Ketika mengeluarkan suara bentakan tadi, ketua Pulau Neraka
agaknya telah mengerahkan khikangnya sehingga dia sendiri yang berdiri di depan
kakek itu merasa betapa kedua kakinya tergetar! Mengertilah dia bahwa ketua
Pulau Neraka ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tahulah dia
bahwa dia telah memasuki sarang naga dan berada dalam keadaan terancam. Namun
Sin Liong tidak merasa takut sedikit pun juga karena dia merasa bahwa dia tidak
melakukan suatu kesalahan terhadap mereka ini.
Maka kembali
dia menjura kepada ketua Pulau Neraka sambil berkata, "Tocu, sekali lagi
kujelaskan bahwa kedatanganku ini sama sekali tidak mengandung niat buruk.
Kalau tidak ada keperluan mendesak pasti aku tidak akan berani menginjakkan
kaki ke pulau ini. Aku datang untuk mencari sumoi-ku yang bernama Han Swat Hong
puteri Suhu...." Sin Liong menghentikan kata-katanya karena teringat bahwa
dia telah kelepasan bicara, akan tetapi karena sudah terlanjur maka tak mungkin
kata-kata itu ditariknya kembali.
"Putera
Han Ti Ong...?!" ketua Pulau Neraka berseru keras sekali sampai
mengagetkan semua orang. "Kau mencari puteri Han Ti Ong di sini?!"
Sin Liong
berkata, "Benar, Tocu. Karena aku menduga bahwa dia berada di sini maka
aku menyusul ke sini."
"Tangkap
puteri Han Ti Ong!"
"Bunuh
dia!"
"Gantung
puterinya!"
Kini Sin
Liong mengangkat kedua lengannya, dan sambil mengerahkan khikang-nya dia
beseru, "Harap Cuwi diam!"
Dan diamlah
semua orang. Di antara mereka yang memiliki kepandaian tinggi, termasuk ketua
Pulau Neraka, kagum sekali karena orang muda yang belum dewasa benar ini
ternyata memiliki kekuatan khikang yang amat hebat!
"Harap
Tocu tidak salah sangka. Puteri Han Ti Ong itu juga menjadi orang
buangan."
Ucapan Sin
Liong ini tentu saja mengejutkan dan mengherankan hati semua orang sehingga
mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata, melainkan hanya memandang kepada Sin
Liong dengan mata terbelalak.
"Kau
bohong!" kakek berkepala besar itu menghardik. "Mana mungkin Han Ti
Ong membuang puterinya sendiri ke Pulau Neraka?"
"Agaknya
Tocu telah mengerti akan kerasnya peraturan hukum di Pulau Es. Sebetulnya yang
dianggap melanggar hukum adalah istri suhu sendiri, istri tua, yang aku yakin
hanyalah karena fitnah belaka. Suhu telah menjatuhkan hukuman kepada Subo, dan
Sumoi lalu mewakili ibunya untuk membuang diri ke Pulau Neraka, maka aku
menyusul ke sini untuk mengajaknya pulang ke Pulau Es."
Tiba-tiba
ketua Pulau Neraka tertawa bergelak, tertawa penuh kegembiraan sampai kedua
matanya mengeluarkan air mata. "Huah-ha-ha-ha! Ha-ha-ha, betapa lucunya!
Rasakan kau sekarang Han Ti Ong, Raja keparat! Rasakan kau betapa perihnya
orang tertimpa kesengsaraan karena keluarga berantakan. Ha ha ha!"
Semua orang
yang melihat dan mendengar kata-kata ketua Pulau Neraka ini, kontan
tertawa-tawa semua, mentertawakan Raja Pulau Es! Biar pun mereka belum sempat
membalas dendam kepada Raja Pulau Es, mendengar nasib buruk Raja itu sudah
merupakan hiburan besar yang amat menyenangkan hati mereka. Hanya anak
perempuan itu saja yang tidak ikut tertawa karena dia agaknya tidak mengerti
apa-apa, dan pada saat itu dia hanya saling pandang dengan Sin Liong yang juga
terheran-heran.
"Hei,
Kwa Sin Liong! Betapa baiknya ceritamu, akan tetapi aku masih belum percaya
kalau tidak melihat sendiri puteri Han Ti Ong datang ke pulau ini. Kita tunggu
dan lihat saja. Setelah aku melihat puteri Han Ti Ong berada di pulau ini,
barulah kita akan bicara lagi. Tangkap dia dan masukan dalam kamar tahanan
sambil menanti munculnya puteri Han Ti Ong!"
Si Brewok
dan beberapa orang yang agaknya menjadi pembantu utama ketua Pulau Neraka sudah
melangkah menghampiri Sin Liong dengan sikap mengancam. Pemuda ini maklum,
bahwa tidak ada jalan lain kecuali menyerah sambil menanti munculnya sumoi-nya,
karena sebelum dia bertemu dengan sumoi-nya, melawan hanya akan menimbulkan
permusuhan yang tidak ada artinya saja.
Maka Sin
Liong mengangkat kedua tangannya dan berkata, "Aku tidak akan melawan,
kecuali kalau kalian menggunakan kekerasan. Aku menyerah dan mau menanti di
kamar tahanan sampai sumoi ku muncul."
Melihat
sikap tenang dan ucapan yang berwibawa ini, belasan orang yang mengurung Sin
Liong dengan sikap mengancam tadi kelihatan ragu-ragu.
Akan tetapi
Sin Long lalu melangkah ke depan dan berkata, "Marilah bawa aku ke kamar
tahanan."
"Jangan
ganggu dia. Biar dia mengaso di kamar tahanan dan layani baik-baik sampai
puteri Han Ti Ong mucul. Kalau dia membohong, hemm, baru kita akan berpesta
membunuhnya!" ketua Pulau Neraka berkata sambil terkekeh-kekeh.
Hati ketua
Pulau Neraka senang sekali mendengar betapa Han Ti Ong sampai membuang istrinya
sendiri ke Pulau Neraka, kemudian puterinya malah membuang diri ke Pulau
Neraka. Biar pun dia belum percaya benar akan cerita ini sebelum dia
menyaksikan buktinya, namun berita itu saja sudah mendatangkan rasa senang di
dalam hatinya.
Dengan sikap
gagah dan tenang sekali Sin Liong digiring ke dalam kamar tahanan, diikuti oleh
pandang mata penuh khawatir dari anak perempuan tadi.
Setelah
rombongan itu lenyap, anak perempuan itu mencela ketua Pulau Neraka,
"Kongkong kenapa dia ditahan? Dia luar biasa, berani dan pandai
sekali!"
"Hushh!
Dia orang Pulau Es, dia murid Han Ti Ong, karena itu dia adalah musuh kita.
Mengerti?"
Anak
perempuan itu cemberut, lalu meninggalkan kakek itu sambil bersungut-sungut,
sedangkan kakeknya tertawa bergelak dengan hati senang. Dia lalu memberi isyarat
memanggil seorang kepercayaannya, lalu berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum.
Pembantunya juga tertawa, mengangguk-angguk lalu pergi. Kakek ini, ketua Pulau
Neraka yang memiliki kepandaian tinggi, sama sekali tidak curiga kepada cucunya
sendiri. Ia tidak tahu bahwa cucunya itu tadi menyelinap dan mendengarkan
perintah yang dia berikan kepada orang kepercayaannya.
Sin Liong
adalah seorang pemuda yang tidak pernah mempunyai prasangka buruk terhadap
orang lain. Dia belum banyak mengenal kepalsuan watak manusia, maka biar pun
terhadap orang-orang Pulau Neraka, dia tetap menaruh kepercayaan. Sebab itu dia
pun percaya penuh akan kata-kata ketua Pulau Neraka dan dengan suka rela dia
menyerahkan diri, tidak melawan ketika digiring memasuki kamar tahanan!
Setelah
berada di dalam kamar bawah tanah yang sempit itu, dengan jendela dari besi,
dan ruji baja yang kuat memenuhi jendela sebagai jalan hawa, dia segera duduk
besila. Dia tak menaruh khawatir akan keadaan dirinya, akan tetapi dia merasa
gelisah mengapa sumoi-nya belum tiba di Pulau Neraka? Dia percaya bahwa ketua
Pulau Neraka tidak membohonginya. Kalau benar bahwa Swat Hong telah berada di
Pulau Neraka, tentu tidak seperti ini sikap mereka terhadap dirinya. Kalau
begitu, jelas bahwa Sumoi-nya belum tiba di Pulau Neraka, padahal telah
berangkat lebih dahulu. Ke manakah perginya sumoi-nya itu?
Tengah malam
telah lewat dan keadaan sunyi sekali dalam kamar tahanan itu. Tidak ada penjaga
di luar pintu atau jendela, akan tetapi dia tahu bahwa di pintu masuk lorong
tahanan itu terdapat beberapa orang penjaga yang selalu siap dengan senjata di
tangan.
Tiba-tiba
dia mendengar suara wanita yang marah-marah di sebelah luar dan suara para
penjaga ketakutan. "Kalian berani melarangku masuk?" terdengar suara
wanita itu.
"Nona,
tahanan ini adalah orang penting! Dan...."
"Dan
kau anggap aku bukan orang penting? Kau kira aku mau apa? Aku mau mengejek dan
memakinya, dia adalah musuh besarku. Apakah kau berani melarangku? Coba kau
melarang dan aku akan mengatakan kepada Kongkong bahwa kalian berani kurang
ajar kepadaku hendak menggodaku. Aku mau melihat apakah kepala kalian masih
akan menempel di leher?!"
"Ah,
tidak... bukan begitu...."
"Maafkan,
Nona...."
"Silakan
masuk, silakan...."
"Awas
kalau ada yang mengikuti aku dan mengintai, berarti dia mau kurang ajar dan
akan kuberitahukan kepada Kongkong!"
Sin Liong
sudah menduga siapa wanita yang bicara di luar dan ribut-ribut dengan para
penjaga itu, akan tetapi begitu dara itu muncul di bawah sinar lampu di luar
ruji jendelanya, hampir saja dia berteriak memanggil karena mengira bahwa Swat
Hong yang muncul itu. Di bawah sinar lampu yang tidak begitu terang memang
gadis cucu ketua Pulau Neraka ini hampir sama dengan Swat Hong. Setelah melihat
jelas bahwa yang datang adalah cucu ketua Pulau Neraka dan mengingat akan
kata-kata gadis ini di luar tadi bahwa kedatangannya dengan niat mengejek dan
memakinya, Sin Liong tetap duduk bersila dan bahkan memejamkan matanya,
pura-pura tidur.
"Sssttt..."
Sin Liong
tidak menjawab, bergerak sedikit pun tidak. Perlu apa melayani seorang bocah
yang hanya datang hendak mengejek dan memakinya? Demikian pikirnya, sungguh pun
hatinya terasa tidak enak juga harus mendiamkan saja orang yang susah payah
datang sampai ribut mulut dengan para penjaga. Tentu akan kecewa hatinya, pikir
Sin Liong dan diam-diam dia mengintai dari balik bulu matanya yang
direnggangkanya sedikit.
"Psssttt...
kau tidak tidur, bulu matamu bergerak-gerak, jangan kau tipu aku...," anak
perempuan itu berkata lagi dengan suara bisik-bisik dan meruncingkan bibirnya
di antara ruji-ruji jendela.
Sin Liong
menarik napas panjang dan membuka matanya. "Hah, kau boleh mengejek dan
memaki sesukamu, kemudian pergilah agar aku dapat mengaso benar-benar," katanya.
"Hi-hik!"
Gadis itu menahan ketawanya, menutupi mulutnya yang kecil. "Kiranya engkau
sama bodohnya dengan para penjaga itu, percaya saja apa yang kukatakan di luar
tadi!"
Sin Liong
bangkit berdiri dan menghampiri jendela kamar tahanan. Mereka saling berhadapan
dan saling pandang melalui ruji-ruji jendela.
"Apa
yang kau maksudkan, Nona?"
Mulut yang
tersenyum itu kini cemberut dan terdengar suaranya manja, "Kau tadi
menyebutkan Adik yang manis. Mengapa sekarang menjadi Nona? kau benar pandai
mengecewakan hati orang!"
Mau tidak
mau Sin Liong tersenyum. Bocah ini manja dan lincah, mengingatkan dia kepada
Han Swat Hong. Banyak persamaan antara kedua orang perempuan itu. “Baiklah,
Adik yang manis. Sebenarnya, mau apa kau datang ke sini kalau bukan untuk
mengejek dan memaki aku yang dianggap musuh oleh kakekmu?"
"Aku
datang untuk bercakap-cakap."
"Hemm,
waktu dan tempatnya tidak tepat untuk bercakap-cakap. Aku adalah seorang
tahanan dan engkau adalah cucu Tocu di sini. Tempat ini pun kamar tahanan yang
kotor dan sempit, sedangkan sekarang sudah lewat tengah malam. Harap engkau
kembali ke kamarmu dan tidur yang nyenyak. jangan-jangan kau akan dimarahi
Kongkong mu."
"Aku
tidak takut! Aku sengaja datang ke sini untuk bercakap-cakap denganmu. Siapa
berani melarangku?" sikapnya menjadi galak, matanya bersinar-sinar.
Sin Liong
menarik napas panjang. Sejak lama dia memperoleh kenyataan betapa ganjilnya
watak wanita. Dia melihat watak-watak yang aneh dan sukar dimengerti yang
dilihatnya pada diri Sia Gin Hwa yang menyeleweng dari suaminya, berjinah
dengan Lu Kiat, pada diri Liu Bwee ibu Swat Hong yang tadinya periang lalu
berubah pemurung dan berhati begitu sabar dan mengalah terhadap suaminya yang
menyakitkan hatinya, pada diri The Kwat Lin yang juga amat berubah setelah
menjadi istri raja, pada diri Swat Hong yang telah nekad membuang diri ke Pulau
Neraka, dan kini dia berhadapan dengan seorang gadis yang juga berwatak aneh
sekali.
"Baiklah,
jangan marah karena tidak ada yang melarangmu di sini. Kalau kau ingin
bercakap-cakap, nah, bercakaplah dan aku akan mendengarkan."
Gadis itu
melongo. "Bercakap apa?"
Diam-diam
Sin Liong merasa geli. Benar-benar seorang gadis yang masih seperti kanak-kanak
dan mungkin semua sikapnya tadi, ketika bergembira dan ketika marah, tidaklah
setulus hatinya, maka demikian mudah berubah.
"Bercakap
apa saja sesukamu, misalnya siapa namamu, siapa pula nama Kongkong-mu dan
keadaan di pulau ini dan lain-lain."
Wajah itu
berseri kembali, gembira setelah ingat bahwa sesungguhnya banyak sekali bahan
untuk dibicarakan.
"Namaku
Soan Cu, Ouw Soan Cu...."
"Namamu
indah." Sin Liong memuji untuk menyenangkan hatinya si nona kecil.
Dan memang
hati Soan Cu senang sekali mendengar pujian ini. "Benarkah? Benarkah
namaku indah?" Dengan penuh gairah dia lalu menceritakan riwayatnya secara
singkat.
Ketua atau
Majikan Pulau Neraka itu bernama Ouw Kong Ek, bukanlah seorang buangan dari
Pulau Es, melainkan keturunan orang buangan yang semenjak ratusan tahun menjadi
ketua di situ karena memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kakek dari Ouw Kong Ek,
seorang buangan dari Pulau Es yang berilmu tinggi, adalah seorang pertama yang
menjadi ‘Ketua’ di Pulau Neraka, kemudian menurunkan kedudukan ini kepada
anaknya sampai kepada Ouw Kong Ek.
Ouw Kong Ek
sendiri mengambil seorang buangan dari Pulau Es, seorang bekas pelayan
permaisuri Raja Pulau Es yang dijatuhi hukuman buang karena difitnah akibat dia
tidak mau melayani seorang pangeran yang tergila-gila kepadanya, menjadi
istrinya dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Ouw Sian Kok. Akan
tetapi istrinya meninggal dunia ketika Ouw Sian Kok menikah dengan seorang
gadis Pulau Neraka dan Ketua Pulau Neraka ini tinggal menduda. Dia mencurahkan
pengharapanya kepada putera tunggalnya yang mewarisi semua ilmunya dan kelak
diharapkan akan menggantikan kedudukannya kalau dia sudah mengundurkan diri.
Namun nasib
buruk menimpa keluarga Ouw. Ketika istri Ouw Sian Kok melahirkan seorang anak,
yaitu Soan Cu, ibu muda ini meninggal dunia. Ouw Sian Kok demikian berduka
sehingga ingatannya terganggu, menjadi gila dan melarikan diri dari Pulau
Neraka. Tak seorang pun tahu kemana perginya orang gila itu....
"Demikianlah
riwayatku yang tidak menggembirakan," Soan Cu mengakhiri ceritanya. “Sejak
kecil aku tidak pernah melihat wajah ibu dan ayahku. Ayah sampai sekarang tidak
pulang dan tidak ada yang tahu berada di mana. Aku dipelihara dan dididik oleh
Kongkong yang mengharapkan kelak aku menggantikan kedudukan ketua di sini. Akan
tetapi aku tidak sudi!"
"Mengapa
tidak sudi, Soan Cu?"
"Siapa
sudi mengurusi orang-orang gila itu! Mereka semua gila dan jahat, karena itu
aku suka kepadamu Sin Liong. Engkau lain dari pada mereka, engkau berani dan
baik. Maka aku datang untuk menolongmu. Ketahuilah, sebentar lagi kalau kau
dikira sudah tidur, engkau akan dibunuh!"
Sin Liong
terkejut akan tetapi tetap bersikap tenang. "Benarkah? Mengapa aku
dibunuh? Bukankah Kongkong-mu berjanji bahwa kita akan menunggu sampai sumoi-ku
tiba di Pulau Neraka?"
"Uhh,
kau percaya kepada Kongkong! Hmm, dia hanya membohong."
"Ah,
mengapa begitu? Sebagai seorang ketua tidak sepatutnya kalau dia menipu."
"Membohong
dan menipu merupakan pebuatan yang menguntungkan dan bahkan dianggap baik dan
layak di sini! Itu adalah tanda dari kecerdikan seseorang!"
"Pantas
kau tadi pun membohongi penjaga." Sin Liong mencela.
"Memang!
Kalau tidak membohong, mana bisa aku masuk dengan mudah? Dan kau tentu akan
celaka kalau aku tidak membohong."
"Hmmm...,
alasan yang dicari-cari dan ngawur. Jadi mereka hendak membunuhku? Enak saja,
apa dikira aku begitu mudah dibunuh?"
"Kau
tidak tahu kecerdikan Kongkong, Sin Liong. Kalau mereka gunakan kekerasan,
agaknya kau akan melawan dan aku sudah melihat kau tadi begitu lihai. Akan
tetapi, mereka akan mengerahkan binatang-binatang berbisa untuk mengeroyokmu
dan membunuhmu di kamar sempit ini! Kalau segala macam ular, kalajengking,
kelabang, lebah dan lain binatang berbisa itu datang memenuhi tempat ini dan
mengeroyokmu, apa yang akan dapat kau lakukan untuk menyelamatkan diri?"
"Hemm,
aku akan berusaha membela diri. Kalau aku gagal, aku akan mati dan habis
perkara. Tidak ada hal yang menggelisahkan hatiku."
"Kau
sombong! Kau tidak mau minta tolong kepadaku?"
"Andai
kata aku minta tolong juga, kalau kau tidak mau menolong, apa artinya? Tanpa kuminta
sekali pun, kalau kau mau menolong, bagaimana caranya? Sudahlah, kau hanya akan
menyusahkan dirimu sendiri saja, Soan Cu. Betapa pun juga terima kasih atas
kedatanganmu dan kebaikan hatimu. Kau seorang dara yang cantik dan baik budi,
sayang kau berada di antara orang-orang liar itu. Pergilah, jangan sampai
kakekmu melihat engkau berada di sini."
Soan Cu
mengeluarkan sebuah bungkusan. "Inilah yang akan menyelamatkanmu. Kau
pergunakan obat bubuk ini untuk menggosok semua kulit tubuhmu yang tampak, dan
sebarkan sebagian di sekelilingmu. Tidak akan ada seekor pun binatang berbisa
yang berani datang mendekat, apalagi menggigitmu. Nah, sebetulnya kedatanganku
hanya untuk menyerahkan ini, akan tetapi kita terlanjur ngobrol panjang lebar.
Selamat tinggal, Sin Liong."
Sin Liong
menerima bungkusan itu, mengulurkan tangan dari antara ruji jendela dan
memegang lengan dara itu. "Nanti dulu, Soan Cu."
“Ada apa
lagi?" gadis itu membalikkan tubuh dan mereka saling berpegangan tangan.
Hal ini
dilakukan oleh Sin Liong karena dia merasa terharu juga oleh pertolongan yang
sama sekali tidak disangka-sangka itu. "Soan Cu, tahukah engkau apa yang
akan terjadi padamu kalau sampai Kongkong-mu mengetahui akan perbuatanmu
ini?"
"Menolong
engkau? Ah, paling-paling dia akan membunuhku!"
"Hemm,
begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau melakukan ini
untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?"
"Sudah
kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku
suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi melihat engkau mati.
Sudahlah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat lalu
berlari ke luar.
Sin Liong
berdiri temenung sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk
bersila menenangkan hatinya. Andai kata tidak ada Soan Cu yang datang
memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak akan
gentar dan belum tentu akan celaka oleh binatang-binatang itu, sungguh pun dia
sendiri belum mau membayangkan apa yang akan dilakukannya kalau serangan itu
tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu.
Dia teringat
betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang
berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya
inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk berwarna
kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya. Sin
Liong bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (semedi) lagi.
Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam sehingga dia dapat menangkap suara
mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari jauh,
makin lama makin mendekat.
Tahulah dia
bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya
anak itu tidak berbohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit
tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher,
tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan
yang terisi sisa obat itu, dia menanti. Tak lama kemudian, suara itu menjadi
makin dekat dan tiba-tiba saja munculah mereka!
Diam-diam
Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan melompat kalau saja dia tidak mempunyai
obat penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar,
kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki
kamar, berlomba dengan lebah-lebah putih yang beterbangan masuk melalui
jendela. Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas lantai,
dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang berterbangan.
Dia
tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling
kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak membalik saling terjang dan
saling timpa, lari cerai-berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga
terbang dengan kacau, menabrak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat
terbang ke luar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar saja suara
binatang-binatang itu sudah menjauh.
Akan tetapi
mendadak Sin Liong meloncat berdiri ketika medengar suara lain yang membuat
jantungnya berdebar, yaitu suara seorang wanita memaki-maki,
"Iblis
kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan
sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong
meloncat ke arah jendela. Kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras
ketika ruji-ruji jendela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya,
terus berlari ke luar melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat
Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. Dua orang anggota
Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah, sedangkan belasan orang lain
mengurung gadis itu. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak
dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh orang-orang Pulau Neraka itu
masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang
mengurungnya memegang senjata.
No comments:
Post a Comment