Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 05
SIN LIONG meloncat ke arah jendela. Kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika ruji-ruji jendela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari ke luar melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang. Dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah, sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang mengurungnya memegang senjata.
"Heiii!
Mundur kalian, jangan ganggu dia!" Sin Liong sudah meloncat ke depan
"Kau
yang mundur! Mengapa ikut-ikut keluar?" Swat Hong membentak dan memandang
Sin Liong dengan mata mendelik.
"Ehh?
Sumoi...? Aku hanya ingin menolongmu."
"Siapa
membutuhkan pertolonganmu? Kembalilah ke kamar tahananmu itu dengan...
dengan..." Akan tetapi Swat Hong tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
kini orang-orang Pulau Neraka telah mengeroyoknya.
"Wuttt...
siuuttt!" tubuh Swat Hong sudah menyambar ke sana-sini.
Selain
mengelak dari serbuan banyak senjata itu, Swat Hong juga mengirim
serangan-serangan balasan dengan tangan dan kakinya yang bergerak cepat sekali.
Bukan main hebatnya Swat Hong yang bergerak cepat dan yang didorong oleh
perasaan marah itu. Dia memang marah, bukan marah kepada orang-orang Pulau
Neraka, melainkan marah kepada... Sin Liong!
Kiranya
tanpa diketahui oleh Sin Liong sendiri, sudah sejak tadi Swat Hong tiba di
tempat itu. Ia menggunakan kepandaiannya menyelundup sehingga tidak diketahui
para penjaga dan dia telah dapat mendengarkan percakapan antara suheng-nya dan
Soan Cu. Hatinya menjadi panas! Dia sendiri tidak tahu akan hal ini, tidak
sadar mengapa dia menjadi tidak senang mendengar betapa suheng-nya
bercakap-cakap dengan ramah bersama seorang gadis! Karena itu niatnya untuk
menolong suheng-nya menjadi buyar. Dia hanya menonton saja ketika suheng-nya diserbu
binatang berbisa dan akhirnya dapat menolong diri dengan obat penolak yang
diberikan oleh Soan Cu.
Ketika Swat
Hong yang marah menyaksikan ibunya dijatuhi hukuman buang melarikan diri dari
Pulau Es, dara ini segera berlayar menggunakan sebuah perahu Pulau Es.
Tujuannya memang hendak membuang diri ke Pulau Neraka menggantikan ibunya, dan
terutama hal ini dilakukannya sebagai protes kepada ayahnya. Akan tetapi karena
dia belum pernah pergi ke pulau tempat buangan itu, dan pula karena sudah jauh
meninggalkan Pulau Es, dia mulai merasa gelisah dan ngeri memikirkan keadaan
Pulau Neraka yang kabarnya amat berbahaya itu. Akibatnya dia tersesat jalan dan
mendarat di pulau-pulau kosong sekitar Pulau Neraka.
Akhirnya dia
melihat dari jauh perahu Sin Liong meluncur di antara gumpalan-gumpalan es yang
menggunung. Dia merasa heran sekali melihat suheng-nya dan merasa khawatir
kalau-kalau suheng-nya itu mengejarnya atas suruhan raja untuk memaksanya
kembali ke Pulau Es. Maka diam-diam ia lalu mengikuti dari jauh sampai akhirnya
dia melihat suheng-nya mendarat di Pulau Neraka. Dengan menggunakan
kepandaiannya, Swat Hong berhasil pula mendarat di Pulau Neraka. Dia tidak
khawatir akan serangan binatang-binatang berbisa, karena sebelum berangkat Swat
Hong membawa batu mustika hijau yang dia dapat dahulu dari ayahnya.
Di bagian
tertentu di dasar laut dekat Pulau Es terdapat batu mustika hijau. Batu ini
amat sukar didapat, dan hanya beberapa orang penghuni Pulau Es saja yang
berhasil mendapatkannya. Batu mustika hijau ini mengandung khasiat yang
mukjijat terhadap ular berbisa dan semua binatang berbisa, selalu ditakuti
binatang-binatang itu, juga dapat dipergunakan untuk mengobati luka terkena
gigitan binatang berbisa. Maka, dengan batu mustika di tangannya, dengan mudah
Swat Hong dapat memasuki Pulau Neraka tanpa mendapat gangguan sedikit pun dari
binatang berbisa yang hidup di pulau itu.
Ketika Swat
Hong tiba di tengah pulau, dia sempat melihat sinar. Maka dia menanti sampai
larut malam dan menyelundup ke dalam tempat tahanan, dengan maksud menolong
suheng-nya. Akan tetapi tanpa disengaja dia dapat mendengarkan percakapan
antara suheng-nya dengan Soan Cu. Inilah yang membuat hatinya menjadi panas
sehingga ketika dia ketahuan para penjaga dan dikeroyok, dia menolak keras bantuan
Sin Liong!
Tentu saja
Sin Liong menjadi terheran-heran melihat sikap sumoi-nya dan memandang dengan
alis berkerut dan hati khawatir. Sudah ada enam orang pengeroyok terguling
roboh oleh gerakan kaki tangan Swat Hong yang marah itu, padahal dara itu belum
mencabut pedangnya. Dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dara itu sudah
menggunakan senjata!
"Sumoi,
tahan...!" dia meloncat maju.
"Singgg...!
Mundur kau!"
Sin Liong
terkejut melihat sumoi-nya mencabut pedang!
Pada saat
itu terdengar pula bentakan keras, "Siapakah gadis cilik itu berani
mengacau di sini? Ahhh, Kwa Sin Liong, engkau mampu lolos dari tempat
tahanan?"
Yang datang
adalah Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka! Tentu saja ketua ini tidak mengenal
Swat Hong, sebaliknya, dara itu pun tidak mengenal kakek berkepala besar ini,
maka dia memandang rendah dan membentak.
"Siapa
kau?! Kalau sudah bosan hidup, majulah!" dengan gerakan gagah dara itu
melintangkan pedangnya di depan dada.
Sin Liong
cepat melangkah maju. Dia tahu betapa lihainya kakek ini. Maka untuk mencegah
pertempuran, dia cepat berkata, "Tocu, jangan salah sangka. Dia adalah
sumoi-ku, dia adalah puteri Suhu, Raja dari Pulau Es!"
Semua orang
terkejut mendengar ini dan para pengurung melangkah mundur dengan mata
terbelalak. Betapa pun juga, nama Raja Pulau Es masih merupakan nama ampuh dan
selain dibenci, juga amat ditakuti oleh mereka. Tentu saja sebagai puteri Raja
Pulau Es, dara itu merupakan musuh yang dibenci dan juga ditakuti. Pantas saja
dara itu demikian lihai, pikir mereka. Hati mereka gentar.
Tidak
demikian dengan Ouw Kong Ek. Dia memandang Swat Hong dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, jadi dia inikah puteri Raja Pulau Es? Puteri Han Ti Ong? Bagus,
hayo tangkap dia hidup-hidup!" perintahnya kepada para pembantunya yang
segera melompat ke depan.
"Tahan
dulu!" Sin Liong sudah mengangkat tangan kanannya ke atas.
Semua orang,
termasuk Ouw Kong Ek sendiri, memandang pemuda ini. Betapa pun juga mereka
maklum bahwa pemuda ini lihai sekali. Buktinya penyerbuan binatang-binatang
berbisa untuk membunuhnya di dalam kamar tahanan telah gagal, bahkan
binatang-binatang itu lari cerai-berai dan kini pemuda itu sudah lolos dari
dalam penjara.
"Ouw-tocu,
seperti sudah kuceritakan kepadamu, biar pun sumoi adalah puteri Raja Han Ti
Ong, akan tetapi ia menentang ayahnya dan mewakili ibunya dihukum ke Pulau
Neraka. Dia tidak memusuhi Pulau Neraka...."
"Ha-ha-ha,
apa pun yang kau katakan, dia tetap adalah puteri Han Ti Ong, musuh besar kami.
Mana kami dapat percaya kepada kalian, puteri dan murid Han Ti Ong? Tangkap
mereka!"
"Nanti
dulu, Tocu! Mengapa engkau melanggar janji? Aku sudah mengatakan bahwa
kedatanganku ke pulau ini hanya untuk mencari Sumoi dan ternyata sekarang Sumoi
telah tiba di sini, maka harap Tocu bersikap bijaksana dan membiarkan kami
pergi dari tempat ini."
"Hai,
kakek berkepala besar yang tolol! Kau mudah saja dibohongi Suheng! Kami memang
datang untuk membasmi iblis-iblis di Pulau Neraka. Nah, kau mau apa?!"
"Sumoi!"
Sin Liong membentak kaget dan cepat berkata kepada ketua Pulau Neraka,
"Tocu, jangan dengarkan dia. Agaknya dia telah mengalami tekanan batin
yang hebat sehingga mengeluarkan kata-kata kacau-balau tidak karuan."
Swat Hong
mengangkat dada, menegakan kepalanya dan menghadapi Sin Liong dengan mata
mendelik dan berkata lantang, "Apa? Kau mau bilang bahwa aku telah menjadi
gila?"
"Sumoi,
kalau kau bicara seperti tadi, membohong tidak karuan, memang agaknya kau telah
gila!"
"Kau
yang gila! Kau yang tidak waras dan berotak miring! Kalau aku membohongi
iblis-iblis ini, apa hubungannya dengan kau?"
Sin Liong
benar-benar menjadi bingung. Biasanya Swat Hong bersikap manis kepadanya dan
biar pun dia tahu bahwa dara ini berhati keras, akan tetapi belum pernah
bersikap sekeras itu kepadanya.
Tiba-tiba
muncul Soan Cu yang berkata kepada kakeknya, suaranya nyaring sehingga
terdengar oleh semua orang. "Kongkong, apa yang dikatakan Sin Liong memang
benar! Dia beriktikad baik terhadap kita, Kongkong. Malam tadi aku datang
kepadanya untuk mengejeknya, akan tetapi dia sebaliknya malah menunjukkan
bahaya maut yang mengancam diriku."
Kakek itu
terkejut. "Bahaya maut? Apa maksudmu?"
"Sin
Liong ternyata memiliki ilmu pengobatan yang lihai sekali. Begitu melihat aku,
dia mengatakan bahwa aku terserang hawa beracun dari sebelah dalam dan jika
tidak diobati dengan tepat, dalam waktu kurang dari setahun aku tentu akan
mati."
"Hahh...?!"
Kakek itu dan semua pembantunya terbelalak kaget memandang dara itu yang
bersikap sungguh-sungguh.
"Dan
dia memang benar. Dia mengatakan bahwa setiap tengah malam aku tentu merasa
pening dan di bagian punggung seperti ditusuk-tusuk jarum, kalau pagi kedua
kaki pegal-pegal dan sehabis makan tentu merasa mual hendak muntah. Semua yang
dikatakannya itu ternyata tepat sekali, Kongkong."
Berubah
wajah kakek itu. Soan Cu adalah seorang yang amat disayangnya, bahkan disayang
oleh pembantunya karena dara inilah yang akan mewarisi seluruh ilmu
kepandaiannya dan yang akan menggantikannya menjadi Ketua Pulau Neraka. Tentu
saja mendengar bahwa usia Soan Cu hanya tinggal setahun, dia terkejut bukan
main dan cepat memandang kepada Sin Liong.
Sin Liong
sendiri bengong dan terheran-heran. Akan tetapi ketika dia memandang Soan Cu
ketika kakek itu membalik dan menghadapinya, dia melihat dara itu secara lucu
telah mengejapkan mata kirinya, maka mengertilah dia bahwa dara itu kembali
membohong! Membohong dengan cerdik bukan main dalam usahanya untuk menolongnya!
"Kwa
Sin Liong, benarkah cucuku diancam hawa beracun? Benarkah?!"
Melihat
sikap Sin Liong meragu karena sukar bagi pemuda itu untuk membohong, maka Soan
Cu cepat berkata lagi, "Kongkong, dia mengatakan bahwa dia dapat
memberikan obatnya, akan tetapi dia hanya mau memberi obat kalau dia dan
sumoi-nya dibebaskan dari sini. Terserah kepada Kongkong berat aku atau berat
mereka itu."
Swat Hong
sudah hampir membuka mulutnya memaki dara itu yang dia tahu telah berbohong.
Dia sendiri mendengar percakapan mereka dan dara itu sama sekali tidak sakit,
bahkan telah memberi obat penolak binatang beracun kepada Sin Liong, dan
menyatakan betapa dara tak tahu malu itu amat suka dan kagum kepada Sin Liong,
maka datang menolongnya. Sekarang dara itu mengatakan hal yang bukan-bukan!
Akan tetapi,
ketika mendengar ucapan terakhir dari Soan Cu, tahulah dia bahwa dara itu kini
membohong untuk menolong Sin Liong dan dia terbebas dari Pulau Neraka!
Kenyataan ini membuat dia bungkam kembali. Betapa baiknya dara itu dan betapa
akan buruknya dia kalau dia membongkar rahasia gadis itu. Tentu Sin Liong akan
makin kagum kepada Soan Cu dan makin benci kepadanya. Pikiran inilah yang
membuat dia membungkam dan tidak melanjutkan niatnya untuk membantah Soan Cu.
Hati kakek
itu makin bingung. Lenyaplah semua nafsunya untuk menawan Sin Liong dan Swat
Hong. Dia memandang Sin Liong dan bertanya, "Orang muda, benarkah engkau
dapat menyelamatkan cucuku?"
Kini Sin
Liong yang menjadi bingung. Pemuda ini sama sekali tidak pernah membohong dan
hatinya tidak akan dapat membohong, namun dia tahu bahwa kalau dia menyangkal
kata-kata Soan Cu, sama saja mencelakakan gadis yang berniat baik kepadanya
itu. Maka dia lalu menjawab dengan suara ragu-ragu dan perlahan, "Aku dapat
memberi obat pembersih darah dan penguat tulang kepadanya, Tocu."
"Dan
kau menjamin bahwa cucuku tentu akan sembuh dan terhindar dari ancaman maut
hawa beracun di tubuhnya itu?" kakek itu mendesak.
"Kongkong,
mengapa tidak percaya kepadanya? Lekas minta obatnya dan engkau yang harus
menjamin bahwa dia dan sumoi-nya tidak akan diganggu," kata Soan Cu.
Kakek
berkepala besar itu meraba-raba jenggotnya. "Hemmm,harus ada buktinya
dulu. Kwa Sin Liong, mulai saat ini engkau dan sumoi mu puteri Han Ti Ong harus
tinggal di pulau ini sebagai tamu sambil menanti hasil pengobatanmu kepada
cucuku. Kalau kau gagal mengobatinya, hemmm, aku tidak akan mengampuni kalian
berdua. Kalau cucuku sembuh, barulah kita bicara lagi."
Sin Liong
mengerutkan alisnya hendak membantah peraturan yang berat sebelah ini, akan
tetapi dia melihat Soan Cu mengedipkan mata kirinya. Maka dia menarik napas
panjang dan mengangguk, lalu berkata, "Harap sediakan alat tulis, biar
kulukiskan bentuk daun yang harus dicari."
Sin Liong
lalu melukiskan beberapa macam daun yang mudah dicari dan yang mempunyai
khasiat biasa saja, yaitu sekedar penambah kekuatan tubuh. Ouw Kong Ek lalu
menyuruh seorang pembantunya untuk mencari daun-daun yang dilukis itu di pulau
sebelah Pulau Neraka di mana terdapat banyak tetumbuhan. Ada pun Sin Liong dan
Swat Hong lalu diperlakukan sebagai tamu terhormat, bahkan disediakan dua kamar
yang bersih untuk mereka, dilayani baik-baik dan tentu saja di samping
pelayanan ini, para pelayan yang terdiri dari pembantu-pembantu ketua, bertugas
pula sebagai penjaga!
"Kuperingatkan
kepada kalian agar menanti sampai cucuku sembuh. Lari pun tidak akan ada
gunanya bagi kalian karena perahu-perahu kalian telah kami simpan dan di
sekeliling Pulau Neraka tidak akan ada perahu sebuah pun. Tanpa perahu,
bagaimana kalian akan dapat meninggalkan pulau ini?" demikinan pesan Ouw
Kong Ek sebelum dia meninggalkan dua orang itu sehingga Swat Hong menjadi
mendongkol sekali dan hampir saja dia memaki-maki ketua itu kalau tidak ditahan
oleh Sin Liong yang memegang lengannya.
Setelah
ketua itu meninggalkan mereka berdua di dalam pondok di mana mereka tinggal
untuk sementara, Sin Liong menegur sumoi-nya, "Sumoi, mengapa kau bersikap
seperti itu?"
"Suheng,
aku tidak menyangka sama sekali akan menyaksikan engkau yang terkenal alim kini
bermain gila dengan gadis puteri ketua Pulau Neraka. Huhh!"
Sin Liong
mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada sumoi-nya. Hatinya bertanya,
mengapa sumoi-nya memperhatikan soal begitu, padahal sama sekali tidak ada
sangkut paut dengan sumoi-nya?
"Sumoi,
engkau tahu betul bahwa Nona Ouw Soan Cu melakukan hal itu demi menolong kita.
Siapakah yang main-main dengan dia?"
"Hemm,
apa kau kira aku tidak tahu betapa dia suka kepadamu dan sengaja mendatangi
kamar tahananmu untuk merayumu?"
"Sumoi!
Jadi sudah selama ini kau berada di sini? Dan kau diam saja? Sumoi, mengapa kau
menyangka yang bukan-bukan? Kalau kau sudah tahu akan kunjungannya itu, tentu
kau tahu juga bahwa dia datang untuk memberi obat penolak binatang-binatang
berbisa. Sumoi, kita semestinya berterima kasih kepadanya. Dia bermaksud baik,
bahkan tidak segan-segan membohong kepada Kongkong-nya demi keselamatan
kita."
"Ya,
ya, memang dia baik sekali dan cantik sekali. Siapa yang tidak tahu?"
"Sumoi...,
harap jangan marah. Dia adalah seorang gadis yang bernasib buruk sekali, ibunya
meninggal ketika melahirkan dia, ayahnya pergi entah ke mana dan sampai kini
belum kembali..."
"Memang,
dia seorang gadis bernasib buruk yang patut dikasihani, tidak seperti
aku..." dan Swat Hong lalu menelungkupkan muka di atas meja dan menangis!
Sin Liong
terkejut. Beberapa kali ia hendak memegang lengan sumoi-nya akan tetapi
ditahannya tangannya. "Aihh... Sumoi, engkau pun bernasib buruk, dan aku
merasa kasihan sekali kepadamu. Karena aku merasa kasihan, maka aku menyusulmu.
Sumoi, diamlah, jangan menangis. Apakah Sumoi telah bertemu dengan Ibumu?"
Swat Hong
seketika berhenti menangis, mengangkat mukanya yang basah air mata dan
memandang kepada Sin Liong. Pemuda itu merasa kasihan sekali, lalu mengeluarkan
sapu-tangannya dan mengapus air mata yang membasahi muka gadis itu.
"Suheng...apa
maksudmu? Apa yang terjadi dengan dia? Bukankah ibu berada di Pulau Es dan aku
sudah mewakilinya?" mendengar tentang ibunya, seketika lupalah Swat Hong
akan kemarahan dan kedukaan hatinya sendiri.
"Ibumu
juga telah pergi meninggalkan Pulau Es...," dengan singkat Sin Liong lalu
menceritakan apa yang terjadi setelah gadis itu lari pergi dari Pulau Es,
betapa ibunya juga pergi, tidak mau disuruh tinggal di Pulau Es setelah
puterinya membuang diri ke Pulau Neraka. "Sumoi, ketika aku tidak
melihatmu di sini, tadinya aku mengharapkan karena engkau sudah bertemu dengan
ibumu. Jadi engkau belum bertemu dengan ibumu?"
Gadis itu
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala, wajahnya kelihatan muram mendengar
akan kepergian ibunya.
"Ah,
kalau begitu ke manakah perginya ibumu?" Sin Liong termenung dan diam-diam
dia pun merasa prihatin sekali akan nasib wanita itu.
Tiba-tiba
Swat Hong berdiri dan mengepal tinju, mukanya agak pucat ketika dia berkata,
"Aku mau pergi dari sini sekarang juga! Aku harus mencari ibu sampai
ketemu, dan aku tidak akan kembali ke Pulau Es! Aku tidak akan sudi
menggantikan ibu di Pulau Neraka ini pula. Bukankah ibu sudah meninggalkan
Pulau Es sehingga percuma saja aku mewakilinya?"
"Nanti
dulu, Sumoi. Kau tidak bisa pergi begitu saja, tentu mereka akan
menghalangimu!"
"Aku
tidak takut! Yang menghalangi aku akan kubunuh!"
"Sabarlah,
Sumoi. Perlu apa kita mencari permusuhan dengan mereka yang berjumlah banyak?
Bukan soal takut atau tidak takut, akan tetapi mereka adalah manusia-manusia
yang bernasib buruk sekali, dipaksa tinggal di tempat seperti neraka ini.
Bahkan mereka boleh dibilang senasib dengan ibumu dan denganmu sendiri. Selain
itu ke manakah kita harus mencari ibumu? Kalau kita berbaik dengan mereka,
bukankah kemudian mereka dapat membantu kita mencari? Dengan tenaga banyak
orang kukira akan lebih mudah mencari ibumu yang tidak jelas ke mana perginya
itu."
Swat Hong
dapat dibujuk dan akhirnya dia duduk di atas bangku sambil mengerutkan alisnya
dengan wajah muram. Betapa pun juga, setelah dia sadar bahwa cemburunya
terhadap suheng-nya dan Soan Cu tidak berdasar, kini terasalah olehnya betapa
hatinya sesungguhnya merasa lega dan senang karena dapat bertemu dan berkumpul
dengan suheng-nya, apalagi di tempat yang berbahaya ini.
Beberapa
hari telah lewat dan Soan Cu setiap hari minum ‘obat’ yang terbuat dari
daun-daun seperti yang dilukiskan oleh Sin Liong. Setiap hari kakeknya bertanya
dan dia menjawab bahwa penyakit yang dideritanya, rasa nyeri seperti yang
dinyatakan Sin Liong itu berangsur-angsur sembuh! Girang bukan main hati kakek
itu, akan tetapi hati Swat Hong yang mendongkol melihat betapa Soan Cu
seolah-olah mengulur waktu ‘penyembuhannya’!
Pada hari ke
tujuh, Ouw Kong Ek dan Soan Cu mendatangi pondok tempat tinggal Sin Liong dan
Swat Hong. Dua orang muda dari Pulau Es ini memang sudah menunggu di depan
pondok dengan hati tidak sabar, menanti berita kesembuhan total Soan Cu. Maka
mereka menyambut ketua Pulau Neraka dan cucunya itu dengan penuh harapan karena
melihat betapa wajah kedua orang pendatang itu berseri.
Setelah tiba
di depan mereka, Soan Cu segera berkata, "Sin Liong, Kakek merasa
berterima kasih sekali kepadamu dan menyetujui kau melanjutkan pengobatan
dengan menggunakan sinkang!"
"Apa...?!"
Akan tetapi
kata-kata Sin Liong yang bingung dan tidak mengerti itu segera diputus oleh
Soan Cu, "Bukankah dulu kau katakan, setelah beberapa hari minum obat
penawar racun, kau akan melenyapkan sama sekali hawa beracun itu dengan
menggunakan sinkang menyedot ke luar hawa itu dari punggungku?"
Ouw Kong Ek
tertawa. "Orang muda she Kwa. Kalau bukan engkau yang sudah kupercaya
penuh, tentu aku tidak mengijinkan pengobatan ini. Akan tetapi aku sudah
percaya kepadamu, maka silakan. Mudah-mudahan saja dalam waktu singkat cucuku
akan sembuh sama sekali." Setelah berkata demikian, kakek itu membungkuk
ke arah Sin Liong dan Swat Hong, lalu meninggalkan cucunya.
"Soan
Cu, apa maksudmu?" Sin Liong segera berbisik menegur.
"Huh,
tentu ingin berduaan denganmu di dalam kamar, apa lagi?" Swat Hong
mengejek.
"Hushhh,
harap kalian jangan ribut-ribut," bisik Soan Cu. "Mari kita masuk ke
kamar dan bicara." dia menggandeng tangan Sin Liong dan diajaknya masuk.
Melihat Swat
Hong cemberut, Sin Liong berkata, "Sumoi, marilah."
"Aku
tidak sudi menggangu kalian!"
"Aih
Enci Hong, mengapa begitu? Yang hendak kubicarakan adalah kepentingan kalian
berdua. Marilah," kata Soan Cu.
Agaknya
memang dara Pulau Neraka ini tidak pernah mengerti apa yang diejekkan oleh Swat
Hong. Agaknya cara hidup di Pulau Neraka membuat dia kurang mengerti akan tata
susila sehingga tak pernah merasa melanggar sesuatu biar pun dia memasuki kamar
berdua dengan seorang pemuda. Sambil bersungut-sunggut menyembunyikan rasa
malunya bahwa dia telah menduga yang bukan-bukan, Swat Hong ikut masuk.
"Aku
memang berpura-pura, mengulur panjang waktu penyembuhan. Semua ini karena aku
mendengar bahwa Kongkong dan para pembantunya tidak ingin membebaskan kalian
setelah aku sembuh."
"Keparat!
Kongkong-mu memang bukan manusia baik-baik! pantas menjadi ketua di Pulau
Neraka! Aku akan menemuinya!"
"Hushhh,
Sumoi. Bersabarlah, dan mari kita dengar kata-kata Soan Cu."
Dengan muka
muram Swat Hong duduk lagi dan memandang wajah Soan Cu. Wajah yang manis
sekali, pikirnya, manis dan polos. Pantaslah kalau andai kata Sin Liong jatuh
cinta kepada gadis ini, pikirnya lagi dan hatinya merasa berdebar penuh
khawatir.
"Kongkong
telah berjaga-jaga dan mempersiapkan anak buahnya, menjaga kalau-kalau kalian
melarikan diri. Berbahaya sekali."
"Habis
bagaimana baiknya, Soan Cu?"
"Ada
jalan," kata dara yang lincah dan cerdik itu. "Menurut pendengaranku
ketika Kongkong merundingkan di kamar rahasia bersama para pembantunya yang
paling dipercaya, Kongkong tidak berniat buruk kepada kalian. Setelah kau dapat
menyembuhkan aku, maka Kongkong membutuhkan engkau sebagai ahli pengobatan di
pulau ini. Dia hendak menahanmu agar kau dapat mengobati setiap penghuni yang
terserang penyakit. Ada pun Enci Hong ditahan di sini sebagai sandera, untuk
menahan kekuasaan Pulau Es."
"Keparat...!"
"Jangan
marah, Enci Hong. Kurasa kita harus menghadapi Kongkong yang berwatak kasar
dengan sikap dan akal halus. Kalau aku sudah sembuh, yaitu kalau kunyatakan
bahwa aku sudah sembuh sama sekali, sedikit banyak Kongkong tentu akan
berterima kasih. Kemudian Liong-ko...heh, Sin Liong mengajarkan Kongkong
mengenal daun obat-obatan dengan janji akan membebaskan kalian. Kurasa Kongkong
akan mau menerimanya karena sebenarnya yang dibutuhkan adalah pengetahuan
tentang ilmu pengobatan itu. Dengan demikian, kalau kalian meninggalkan pulau
ini, kalian akan dianggap sebagai sahabat dan penolong. Bagaimana?"
"Kurasa
baik juga akal ini," kata Sin Liong.
"Hemm,
terserahlah. Akan tetapi jangan ada akal bulus di balik semua ini!" Swat
Hong mengancam.
Soan Cu
menarik napas panjang. "Enci Hong, harap jangan mencurigai aku. Aku sudah
menyesal sekali menjadi seorang yang terlahir di tempat ini. Aku ingin
melanjutkan cita-cita Ayah-bundaku yang kabarnya dahulu juga selalu berusaha
agar penghuni Pulau Neraka tidak menjadi orang liar yang tidak mengenal
prikemanusiaan," setelah berkata demikian, Soan Cu pergi meninggalkan
pondok itu dengan muka tunduk.
"Seorang
anak yang baik...," Sin Liong memuji sambil memandang tubuh dara itu yang
melangkah pergi meninggalkan pondok.
"Maksudmu,
seorang dara yang cantik dan berbudi!"
Tanpa
menoleh Sin Liong mengangguk. "Memang, dia cantik dan berbudi."
“Huh! Sudah
kusangka demikian!"
Sin Liong
menoleh kaget dan memandang wajah sumoinya. "Sumoi, apa maksudmu?"
Swat Hong
membuang muka. "Hemm, tidak apa-apa. Begitulah!" lalu dia lari
memasuki kamarnya, membanting daun pintu keras-keras.
Sin Liong
menggeleng kepalanya. Makin tidak mengerti dia akan sikap wanita pada umumnya,
dan saat itu sikap Swat Hong khususnya. Juga sikap Soan Cu yang amat aneh,
kalau mengingat bahwa dia adalah cucu ketua Pulau Neraka yang berwatak aneh dan
kejam.
Semua
terjadi seperti direncanakan oleh Soan Cu. Setelah dara itu mengaku sembuh sama
sekali dan Sin Liong bersama Swat Hong menghadap ketua untuk minta pembebasan,
Ouw Kong Ek malah menggelengkan kepalanya.
"Kwa
Sin Liong, kami berterima kasih sekali atas penyembuhan penyakit cucuku, dan
untuk jasamu itu, kami tidak akan menggangu kalian, bahkan menganggap kalian
sebagai orang-orang berjasa. Akan tetapi, terpaksa kami tidak dapat membebaskan
kalian karena kami amat membutuhkan engkau sebagai ahli pengobatan di pulau
ini. Maka, harap kalian suka mengerti akan kebutuhan kami ini. Tinggallah di
sini dan menjadi orang-orang terhormat, menjadi pembantuku yang paling
baik," kata Ouw Kong Ek.
"Tocu,
aku mengerti akan kebutuhan Tocu dan para penghuni Pulau Neraka. Akan tetapi
sungguh tidak adil kalau menyuruh kami tinggal di sini selamanya, apa lagi amat
tidak adil bagi Sumoi. Betapa pun juga, karena aku mengerti akan kebutuhan
kalian semua, biarlah sekarang diatur begini saja. Aku akan sementara waktu
tinggal di sini mengajarkan ilmu pengobatan kepada Tocu, akan tetapi kuminta
agar Sumoi sekarang juga dibebaskan, diberi sebuah perahu agar Sumoi dapat
pergi lebih dahulu meninggalkan Pulau Neraka. Ada pun aku sendiri, kalau Tocu
sudah mengenal semua daun dan bahan pengobatan, baru aku akan pergi dari sini.
Bagaimana?"
Ketua Pulau
Neraka itu mengerutkan alisnya, lalu melirik kearah cucunya yang duduk di
sebelahnya dan menundukan kepala saja.
"Hemmm,
boleh juga sumoi-mu pergi. Biar pun dia puteri Han Ti Ong, akan tetapi mengingat
akan jasamu, biarlah dia kami bebaskan. Akan tetapi kau... ah, aku sangat
mengharapkan agar engkau menjadi... keluarga kami, orang muda," kembali
dia mengerling ke arah Soan Cu dan gadis itu makin menundukan mukanya yang
menjadi merah sekali.
"Benar
sekali, dia amat cocok menjadi jodoh Nona Ouw!" beberapa orang pembantu
berkata sambil tertawa-tawa, sikap mereka bebas terbuka.
"Aku
tidak mau pergi!" tiba-tiba Swat Hong berkata lantang. "Kalau Suheng
tinggal di sini mengajarkan ilmu pengobatan, aku akan tinggal di sini juga
sampai pelajaran itu selesai. Dan kalau... kalau ada pengantin di sini, kalau
Suheng diambil mantu, aku pun harus menjadi saksinya!" ucapan itu
sebetulnya dikeluarkan dengan gejolak kemarahan dan kepanasan hati Swat Hong,
akan tetapi para pembantu Ouw Kong Ek menyambutnya dengan suara ketawa.
Tentu saja
Sin Liong kaget sekali mendengar ucapan sumoi-nya itu. Ada kesempatan yang amat
baik terbuka bagi Swat Hong untuk membebaskan diri dari pulau berbahaya itu,
dan kesempatan itu dibuang begitu saja oleh Swat Hong! Dia telah mengenal watak
Swat Hong. Sekali bilang tidak mau, dipaksa sampai mati pun tidak akan mau
tunduk! Maka dia menjadi bingung sekali.
"Tocu,
karena Sumoi tidak mau pergi sendiri lebih dulu, maka biarlah perjanjian kita
diubah. Aku akan memberi pelajaran ilmu pengobatan kepada Tocu. Setelah Tocu
mengenal bahan obat untuk melindungi penghuni pulau ini, aku dan Sumoi boleh
pergi dengan bebas. Bagaimana?" berkata Sin Liong.
Ketua Pulau
Neraka itu mengelus-elus dagunya dengan alis berkerut. Berkali-kali dia melirik
ke arah cucunya. Dia adalah seorang yang sudah tua. Biar pun tidak pernah
terjun ke dunia ramai, namun dia tahu bahwa cucunya jatuh hati kepada pemuda
yang hebat ini. Dan dia tidak melihat seorang pemuda lain di Pulau Neraka yang
kiranya patut menjadi suami cucunya! Tentu saja hatinya tidak rela kalau pemuda
itu pergi meninggalkan pulau, karena dia tahu bahwa hal itu tentu akan
mengecewakan hati cucunya. Maka dia hanya menggeleng-geleng kepala, tanpa dapat
menjawab.
Melihat
keraguan ketuanya, seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih melaju maju.
Orang ini kepalanya gundul botak akan tetapi mukanya penuh brewok, tubuhnya
kurus kecil dan di lehernya ada seekor ular merah melingkar. Dia adalah
pembantu utama dari Ouw Kong Ek, seorang yang lihai ilmu kepandaiannya dan
bernama Lo Thong. Berbeda dengan Majikan Pulau Neraka yang merupakan keturunan
orang buangan, maka Lo Thong sendiri adalah seorang buangan dari Pulau Es.
Tiga puluh
tahun yang lalu dia dibuang dari Pulau Es karena sebagai seorang pemuda dia
banyak melakukan kejahatan. Setelah berada di Pulau Neraka dia memperdalam
ilmu-ilmunya dan menjadi orang ke dua yang terkuat setelah Ouw Kong Ek, yaitu
sesudah putera Ouw Kong Ek yang bernama Ouw Sian Kok, ayah Soan Cu menjadi gila
dan meninggalkan pulau. Maka dia diangkat sebagai pembantu utama oleh Ouw Kong
Ek.
"Twako
(Kakak)," Lo Thong berkata. Tidak seperti lain penghuni Pulau Neraka yang
menyebut ketua mereka Tocu (majikan pulau), dia menyebutnya kakak.
"Mengapa Twako bingung menghadapi urusan dua orang anak-anak ini? Betapa
pun juga, mereka berada di pulau ini dan seharusnya mereka tunduk kepada semua
perintah Twako yang menjadi hukum di sini. Kalau mereka hendak mengambil
keputusan sendiri, boleh saja akan tetapi mereka harus lebih dulu dapat
mengalahkan kita!" kata Lo Thong.
Ouw Kong Ek
memandang pembantunya dengan muka berseri, seolah-olah dia terlepas dari
keadaan yang ruwet. "Kalau begitu, bagaimana baiknya, Lo-tee?"
"Menurut
saya, lebih baik diadakan pertandingan antara pemuda She Kwa ini dan Twako.
Kalau dalam pertandingan itu dia kalah, maka dia dan Sumoinya harus selamanya
tinggal di sini dan menjadi penghuni pulau ini seperti kita semua."
"He,
Botak! Enak saja kau bicara! Siapa bilang Suheng ku kalah oleh ketua kalian?
Habis, kalau kemudian ketua kalian yang kalah, bagaimana?" Swat Hong
berteriak nyaring.
"Twako
kalah? Ha-ha, mana mungkin?" Lo Thong menjawab. "Akan tetapi kalau
Twako kalah, biarlah pemuda She Kwa ini mengajarkan ilmu pengobatan sampai
Twako pandai, baru kalian berdua boleh pergi meninggalkan pulau ini dengan
bebas."
"Usul
yang bagus sekali!" Ouw Kong Ek berseru gembira. "Kwa Sin Liong, aku
mendengar bahwa di dunia ramai, di daratan sana, orang-orang gagah menggunakan
kepandaian untuk memutuskan sebuah perkara yang ruwet. Aku percaya bahwa engkau
tentu seorang gagah pula. Maka biarlah kita membereskan urusan ini dengan
mengukur kepandaian masing-masing seperti yang diusulkan oleh pembantuku Lo
Thong."
Sin Liong
menggeleng kepalanya. "Tocu, aku tidak suka menggunakan ilmu yang
kupelajari untuk kekerasan. Mengapa Tocu hendak menggunakan cara kekerasan
untuk menahan kami berdua selamanya di pulau ini? Aku sudah bersedia
mengajarkan ilmu pengobatan, maka sudah sepatutnya kalau Tocu membalasnya
dengan membebaskan kami.”
"Tidak
kita harus saling mengukur kepandaian dulu!" ketua itu berkeras.
Tiba-tiba
Swat Hong melompat ke tengah lapangan dan membusungkan dada menegakkan
kepalanya. "Hayolah! Kalau Suheng tidak mau, biarlah aku yang melayanimu!
Siapa sih takut kepada orang Pulau Neraka? Aku yang memasuki pertandingan itu,
dan kalau kalah, boleh kalian berbuat apa saja sesuka kalian!"
"Sumoi...!!"
Sin Liong menegur.
"Suheng,
aku tidak takut!" Swat Hong membantah.
Ouw Kong Ek
mengerutkan alisnya. "Soan Cu, kau layani bocah liar yang sombong
ini!" katanya.
"Baik
Kongkong." Soan Cu bangkit berdiri dan melangkah maju, akan tetapi segera
berhenti ketika mendengar suara Sin Liong.
"Soan
Cu harap jangan bertanding. Di antara kita tidak ada permusuhan, bukan?"
Soan Cu
meragu, memandang kepada Kongkong-nya, kemudian kepada Sin Liong, dan akhirnya
dia kembali duduk di tempatnya yang tadi.
"Soan
Cu...," kakeknya menegur.
"Kongkong,
aku tidak mau bertanding. Mereka bukan musuhku."
Mata kakek
itu terbelalak, akan tetapi dia tidak marah bahkan lalu tertawa bergelak.
"Kau... kau lebih taat kepadanya? Ha-ha-ha-ha!"
Dia tertawa
karena sikap cucunya itu jelas membuktikan betapa cucunya benar-benar telah
jatuh cinta kepada Sin Liong! Sampai-sampai berani membangkang terhadap
perintahnya hanya karena Sin Liong menghendaki demikian.
Makin
panaslah hati Swat Hong. Tadinya dia sudah siap-siap untuk menjatuhkan cucu
ketua Pulau Neraka itu, selain agar menang pertandingan juga hendak memperlihatkan
kepada Suheng-nya bahwa dia lebih pandai dari pada Soan Cu. Akan tetapi,
ternyata Suheng-nya melarang Soan Cu dan dan putri Pulau Neraka itu begitu
taat!
"Ouw
Kong Ek, kalau cucumu tidak berani maju, biarlah kau sendiri yang maju! Hayo
tandingilah aku, puteri Raja Pulau Es!" dia menantang-nantang dengan suara
penuh kemarahan.
Sin Liong
hanya menggeleng kepalanya dan bingung sekali bagaimana harus mencegah
sumoi-nya. Kembali kakek itu menjadi marah. Tantangan yang keluar dari mulut
Swat Hong membuat mukanya merah dan telinganya panas. Akan tetapi betapa
memalukan kalau dia harus menandingi seorang bocah perempuan yang usianya
sebaya dengan cucunya sendiri!
"Twako,
perkenankanlah saya menghajar bocah bermulut lancang ini" Lo Thong
berkata.
Ouw Kong Ek
mengangguk, akan tetapi masih ingat dan memesan, "Akan tetapi cukup beri
hajaran saja, jangan sampai dia terbunuh."
"Baik
saya mengerti, Twako," Lo Thong menjawab, lalu sekali kakinya bergerak,
tubuhnya sudah mencelat ke depan Swat Hong.
Menyaksikan
ginkang yang hebat ini diam-diam Sin Liong khawatir sekali. Akan tetapi dia pun
tidak dapat mencegahnya karena maklum, kalau dia melarang Sumoi-nya tentu akan
menjadi makin nekat saja. Maka dia hanya bangkit berdiri dan memandang dengan
jantung berdebar tegang.
Swat Hong
memandang kakek botak yang berdiri di depannya, lalu berkata dengan suara
mengejek, "Apakah pertandingan ini akan memutuskan perjanjian tadi, bahwa
kalau aku menang kami berdua boleh pergi dari sini?"
"Tidak,"
jawab Lo Thong. "Pertandingan ini hanya mengenai dirimu, kalau kau menang
kau boleh pergi, kalau kau kalah, kau harus tinggal di sini selamanya dan
menjadi muridku."
"Setan
alas! Siapa takut padamu?!" Swat Hong yang sudah kena dibakar hatinya itu
membentak.
"Sumoi,
tanpa pertandingan pun kau boleh pergi sekarang juga!" Sin Liong
berteriak.
"Tidak,
Suheng. Aku merasa kurang terhormat kalau pergi begitu saja. Aku tidak sudi
menerima kebaikan orang-orang Pulau Neraka. Kalau aku pergi berarti aku pergi
mengandalkan kepandaian aku sendiri, bukan karena kebaikan hati mereka. Hayo,
kakek botak, boleh kau keluarkan segala ilmumu!"
"Bocah
sombong, sambutlah ini!" Lo Thong merasa panas juga perutnya melihat sikap
dara remaja yang memandang rendah kepadanya itu. Akan tetapi dia pun maklum
bahwa dara ini tentu memiliki kepandaian tinggi sebagai puteri Raja Pulau Es,
maka sekali menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaiannya, mengeluarkan jurus
yang ampuh dan mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Wuuuttt...
sirrr...! Desss!"
Mula-mula Lo
Thong menggerakkan tubuhnya rendah ke bawah, seolah-olah lengan kirinya yang
bergerak itu hendak menangkap kaki Swat Hong. Akan tetapi tiba-tiba saja
tubuhnya meninggi, tangan kanannya meluncur dan mencengkram ke arah pinggang
dara itu.
Namun Swat
Hong yang usianya belum lima belas tahun itu telah mewarisi inti kepandaian
dari ilmu-ilmu kesaktian Pulau Es. Dengan tenang dia melihat bahwa bukan tangan
kiri lawan yang berbahaya melainkan tangan kanannya. Maka dia cepat menarik
kaki kiri dan menangkis dengan sabetan tangan miring dari samping yang mengenai
lengan lawan.
Lo Thong
mencelat ke belakang dan inilah kehebatan ginkang-nya. Gerakannya bukanlah
langkah kaki, melainkan loncatan yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini
dengan amat cepatnya dan sama sekali tidak terduga oleh lawan.
"Sumoi,
awasilah gerakannya. Ginkang-nya lihai!" Sin Liong berseru.
Diam-diam Lo
Thong mendongkol juga. Ternyata pemuda itu lihai sekali, baru segebrakan saja
sudah mengenal di mana letak keampuhannya. Maka dia lalu menggereng dan
menubruk maju, menghujani Swat Hong dengan serangan bertubi-tubi.
Swat Hong
diam-diam terkejut juga. Ternyata bahwa pembantu utama dari ketua Pulau Neraka
ini hebat bukan main. Setiap gerakan tangannya mendatangkan angin keras menyambar
dan kecepatannya membuat dia pening karena harus menggerakkan kekuatan matanya
untuk mengikuti terus gerakan lawan. Namun tentu saja dia tidak menjadi gentar.
Sejak kecil dara remaja ini tidak pernah mengenal artinya takut, dan dia pun
mengeluarkan kepandaiannya untuk membalas dengan serangan yang tidak kalah
dahsyatnya.
Semua mata
memandang pertandingan itu dengan penuh perhatian. Diam-diam Soan Cu merasa
kagum sekali kepada Swat Hong dan dia harus mengaku dalam hatinya bahwa andai
kata tadi dia yang maju, dia akan kalah menghadapi kelihaian dara Pulau Es itu,
maka dia merasa makin bersyukur kepada Sin Liong yang tadi mencegahnya maju
melawan Swat Hong. Apakah pemuda itu sudah tahu bahwa dia akan kalah kalau
melawan Swat Hong? Soan Cu melirik ke arah Sin Liong dan melihat betapa wajah
pemuda yang tampan itu diliputi kekhawatiran, maka dia kembali menyaksikan
pertandingan yang hebat itu.
Tubuh mereka
berdua yang bertanding itu sudah tidak dapat kelihatan jelas, yang tampak hanya
dua bayangan berkelebatan ke kanan-kiri dengan cepat sekali. Ginkang yang
dikuasai oleh Lo Thong memang hebat sekali, akan tetapi sekarang dia berhadapan
dengan puteri Raja Han Ti Ong dari Pulau Es! Biar pun masih kalah sedikit namun
Swat Hong dapat mengimbangi kecepatan lawan, bahkan dapat mendesak dengan ilmu
silatnya yang luar biasa dan tenaga sinkang-nya yang berdasarkan hawa murni
dari im-kang yang dingin.
Ilmu silat
yang dimainkan oleh Swat Hong adalah ilmu silat tangan kosong Jit-cap-ji-seng
(Tujuh Puluh Dua Bintang) yang mempunyai tujuh puluh dua jurus-jurus ampuh.
Sebagai bekas penghuni Pulau Es sebelum Swat Hong terlahir, tentu Lo Thong
mengenal ilmu ini, bahkan ilmu silatnya sediri pun bersumber pada ilmu silat
Pulau Es. Akan tetapi setelah dua puluh tahun lebih berada di Pulau Neraka dan
mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Neraka, maka ilmu silatnya menjadi campur aduk
dan tentu saja kalah murni oleh ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong. Pula
Lo Thong dahulu belum mempelajari Jit-cap-ji-seng sampai habis, hal yang jarang
dilakukan penghuni Pulau Es kecuali keluarga raja.
Mulailah Lo
Thong terdesak oleh serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Swat Hong.
Ingin sekali Lo Thong menggunakan senjatanya, yaitu ular hidup yang melingkar
di lehernya, namun dia takut akan pesan ketuanya tadi. Kalau dia menggunakan
senjata itu dan sekali lawan tergigit mati tentu dia akan mendapat marah besar.
Maka dia lalu berteriak keras dan mengerahkan seluruh ilmunya meringankan
tubuh.
"Aihhh...!"
Swat Hong terkejut ketika melihat betapa tubuh lawan dapat bergerak lebih cepat
lagi. Dalam serangkaian serangan yang tak terduga saking cepatnya, hampir saja
pundaknya kena dicengkeram.
Swat Hong
berseru sambil meloncat keatas tinggi sekali, kemudian bagaikan seekor burung
walet tubuhnya sudah membalik di udara, menukik kebawah dan dia sudah
melancarkan serangan dengan jurus Kak-seng-jip-hai (Bintang Terompet Memasuki
Laut), jurus terakhir yang paling ampuh dan yang dulu dilatihnya dengan ibu dan
ayahnya sehingga dia mahir sekali mainkan jurus ini. Hebat bukan main daya
serang jurus ini karena selagi tubuh meluncur turun dengan menukik kebawah,
kedua tangannya sudah bergerak mencengkram kearah ubun-ubun kepala lawan yang
botak itu!
"Hayaaa...!"
kini Lo Thong yang kaget ketika merasa ada hawa dingin menyentuh ubun-ubun
kepalanya dari atas.
Maklum bahwa
serangan itu merupakan ancaman maut bagi dirinya, dia tidak berani lengah.
Cepat dia membuang diri kebelakang sehingga dia terjengkang, kemudian
menggunakan ginkang-nya untuk berguling di atas lantai. Dengan gerakan ini,
biar pun pakaiannya kotor terkena debu, namun dia selamat dan dapat
menghindarkan diri dari serangan jurus Kak-seng-jip-hai tadi. Akan tetapi
betapa terkejutnya melihat dara itu sudah meloncat ke depan dan baru saja dia
bangkit berdiri, Swat Hong sudah menghantamnya dengan kedua tangan didorongkan
ke depan.
"Haiiittt!!"
Swat Hong berseru nyaring dan mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Sumoi,
jangan...!" Sin Liong berteriak kaget ketika melihat betapa sumoi-nya itu
menggunakan tenaga Swat-im-sin-ciang (Tenaga Pukulan Inti Salju) yang merupakan
sinkang paling ampuh dari Pulau Es!
Untuk
melatih diri agar bisa menguasai tenaga im-kang yang amat kuat ini, orang harus
bersamadhi di atas salju tanpa pakaian, dan melewati malam-malam yang dinginnya
menyusup tulang! Dan sebagai puteri Raja Han Ti Ong, tentu saja Swat Hong telah
menguasai sinkang itu yang kini dipergunakan untuk menyerang selagi lawan
terdesak.
"Ciaattt...!!"
Lo Thong juga berteriak keras dan cepat dia menolak hawa serangan itu dengan
dorongan kedua tangannya.
Dua tenaga
sinkang bertemu tanpa kedua pasang telapak tangan itu bersentuhan dan
akibatnya, Lo Thong terhuyung ke belakang dan dari ujung bibirnya mengucur
darah! Sambil menggereng keras, Lo Thong yang merasa penasaran itu melompat ke
depan menerkam, akan tetapi Swat Hong yang sudah siap menyambutnya dengan
sebuah tendangan dari samping yang tepat mengenai pantat Lo Thong dan membuat
tubuhnya terlempar jauh ke arah tempat duduk Ouw Kong Ek!
Ketua Pulau
Neraka ini marah sekali. Tangannya bergerak menyambut tubuh itu dan tahu-tahu
tubuh Lo Thong sudah melayang lagi ke arah Swat Hong. Akan tetapi ternyata
bahwa ketika menyambut tadi, Ouw Kong Ek yang lihai telah menotok dua jalan
darah di pungung pembantunya yang seketika merasa dadanya lega kembali. Begitu
dia dilontarkan ke arah Swat Hong, dengan nekat dia sudah menyerang dengan
kedua lengan dikembangkan, kedua tangan hendak mencengkram tubuh gadis itu.
Swat Hong
terkejut sekali, tidak menyangka bahwa tubuh lawan akan secepat itu melayang
kembali ke arahnya. Maka dia berteriak dan maklum akan bahaya yang mengancam
karena dia tidak sempat mengelak lagi!
Akan tetapi
tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Sin Liong telah berada di dekat
sumoi-nya. Dengan tangan kiri dia menarik tubuh sumoi-nya dan dengan tangan
kanan dia menyampok ke atas. Kedua tangan Lo Thong tertangkis, bahkan tubuh
orang botak ini terdorong miring dan cepat dia meloncat ke atas lantai dengan
mata terbelalak heran dan kagum akan kehebatan tenaga pemuda itu. Maklum bahwa
dia tak mampu menang, dia lalu mengundurkan diri di dekat ketuanya dengan muka
penuh keringat.
"Bagus!
Puteri Han Ti Ong lumayan juga kepandaiannya, boleh coba-coba dengan aku
sendiri!" Ouw Kong Ek turun dari kursinya dan melangkah ke tengah
lapangan.
"Baik,
majulah! Aku tidak takut menghadapimu!" Swat Hong menantang.
"Sumoi,
mundurlah! Biar aku menghadapi Ouw Tocu," Sin Liong mencegah sumoi-nya.
"Tidak,
aku akan menghadapi sendiri!"
Sin Liong
melangkah menghampiri Ouw Kong Ek dan berkata, "Ouw-tocu, benarkah Tocu
menantang sumoi ku ini? Harap Tocu suka melihat baik-baik. Sumoi-ku adalah
seorang anak perempuan yang usianya sebaya dengan cucumu, sehingga kalau Tocu
menantangnya sama artinya dengan Tocu menantang seorang cucu! Kalau Tocu tidak
malu bertanding dengan seorang anak perempuan yang sepatutnya menjadi cucumu,
silakan. Kalau Tocu cukup gagah, biarlah aku menerima tantanganmu tadi, mari
kita bertanding mengukur kepandaian. Kalau aku kalah, terserah kepada Tocu.
Kalau aku menang, setelah aku mengajarkan ilmu pengobatan, Tocu akan membiarkan
kami berdua pergi dari pulau ini dengan aman. Bagaimana?"
"Aku
tidak takut! Suheng, biar aku melawan dia, aku tidak takut!" Swat Hong
berteriak-teriak.
Ouw Kong Ek
memandang kepada dara muda dan mukanya berubah merah. Memang tidak keliru
omongan Sin Liong tadi. Bocah itu masih amat muda, masih kanak-kanak sebaya
Soan Cu. Seorang anak-anak dan perempuan lagi! Tentu saja akan amat merendahkan
dirinya kalau sampai dia menantang seorang anak perempuan kecil!
"Baiklah,
mari kita mengadu kepandaian, Kwa Sin Liong," katanya.
Sin Liong
menoleh kepada sumoi-nya. "Nah, kau dengar. Yang ditantang adalah aku,
bukan kau, Sumoi. Mundurlah."
Swat Hong
membanting-banting kaki, terpaksa dia mundur. Akan tetapi lebih dulu dia
berkata kepada Ouw Kong Ek, "Aku selalu masih siap untuk melayani jago
Pulau Neraka yang mana pun juga."
Ouw Kong Ek
dan Sin Liong sudah saling berhadapan. Keduanya saling pandang tanpa bergerak,
seolah-olah hendak mengukur dan menilai keadaan lawan dengan pandangan matanya.
Melihat sikap pemuda yang amat tenang itu, juga pancaran sinar matanya lembut
dan bebas dari rasa takut mau pun kebencian dan kemarahan, hati Ouw Kong Ek
menjadi makin suka. Melihat sikap pemuda ini, sukar untuk dipercaya bahwa
pemuda ini adalah murid Han Ti Ong, Raja Pulau Es yang sakti. Kelihatannya
hanya seperti seorang pemuda yang lemah, pantasnya seorang sastrawan yang
biasanya hanya membaca sajak dan menulis huruf indah atau meniup suling.
"Orang
muda, mulailah!" Ouw Kong Ek berkata. Ia ragu-ragu untuk menggunakan
kepandaiannya menyerang orang yang kelihatannya lemah ini.
"Ouw-tocu,
bukan aku yang menghendaki adu kepandaian ini, maka biarlah aku hanya menjaga
diri saja."
Jawaban yang
keluar dengan suara lembut dan sejujurnya itu setidaknya memanaskan hati Ouw
Kong Ek karena kedengarannya seolah-olah pemuda itu memandang rendah kepadanya.
Pemuda ini sama sekali tidak gentar menghadapinya, hal itu sama saja memandang
rendah!
"Kwa
Sin Liong, sambutlah seranganku!" bentaknya dan tubuhnya sudah menerjang
ke depan, gerakannya perlahan saja namun didahului sambaran angin pukulan dari
kedua telapak tangannya.
"Wuuttt...
wuuttt!!" hawa pukulan yang dahsyat dua kali menyambar ke arah leher dan
pusar Sin Liong ketika kakek itu menggerakkan kedua tangannya memukul.
Dengan tubuh
ringan sekali Sin Liong menggeser kaki dan berhasil mengelak sampai
berturut-turut enam kali. Ternyata bahwa pukulan kakek itu begitu luput dari
sasaran terus dilanjutkan dengan serangan berikutnya tanpa berhenti sedikit
pun, sehingga enam kali berturut-turut kedua tangannya menyambar dahsyat dari
segala jurusan! Barulah Sin Liong dapat membebaskan diri dari kepungan kedua
tangan itu ketika dia meloncat jauh ke belakang, dan siap lagi menghadapi
serangan berikutnya.
"Bagus!"
Ouw Kong Ek berseru kagum melihat betapa pemuda itu dengan enak saja sudah
berasil menghindarkan diri dari serangan pukulan yang dinamakan Jurus Pukulan
Badai Mengamuk. Kemudian dia menerjang lagi.
Kini dia
tidak bergerak lambat lagi, melainkan cepat sekali. Kaki tangannya bergerak
dengan cepatnya, gerakan yang aneh namun setiap gerakan mengandung daya serang
yang amat berbahaya. Kembali Sin Liong menyambut serangan-serangannya itu
dengan tenang dan hati-hati, mengelak ke sana-sini dan hanya kalau terpaksa dia
menggunakan kedua tangannya untuk menangkis atau menyampok. Perlahan saja
pemuda itu menangkis, namun selalu tangkisannya yang membawa hawa pukulan
Im-kang itu berhasil menghalau tangan lawan!
Sampai tiga
puluh jurus lebih Sin Liong selalu mengelak dan menangkis tanpa satu kalipun
membalas serangan lawan! Tentu saja hal ini membuat Ouw Kong Ek kagum sekali.
Pemuda ini sudah diserangnya dengan hebat, didesaknya sampai keadaannya
berbahaya, namun tetap tidak mau membalas.
"Eh,
Suheng, kau tidak membalas, apa kau merasa phai-seng-gi (sungkan) kepada orang
yang hendak memunggut mantu kepadamu?" Swat Hong berteriak-teriak penuh
penasaran ketika melihat suheng nya bertempur seperti orang mengalah saja.
Merah muka
Sin Liong. Memang dia tidak mau membalas karena dia selamanya belum pernah
memukul orang! Dia memang mempelajari silat yang tinggi sekali tingkatannya.
Dari kitab-kitab lama yang rahasia dan tak pernah dibaca orang di dalam
perpustakaan Pulau Es, dia menemukan ilmu-ilmu mukjijat, di antaranya ilmu
mengenal inti gerakan semua ilmu silat. Akan tetapi dia merasa sungkan dan
ngeri kalau harus memukul orang lain, apalagi kepada kakek yang sama sekali
tidak ada permusuhan apa-apa dengannya itu.
Kini
mendengar ejekan Swat Hong, dia merasa tidak enak dan hatinya terguncang.
Guncangan ini memperlambat gerakan tangannya, maka ketika dia menangkis sebuah
pukulan, tangkisannya meleset dan pukulan tangan kiri Ouw Kong Ek menyerempet
pundaknya. Tubuhnya tergetar hebat dan dia terhuyung ke belakang.
Ouw Kong Ek
yang merasa penasaran sekali kini maklum bahwa kalau pemuda itu membalas
serangannya, mungkin dia akan kalah! Maka melihat hasil pukulannya yang membuat
Sin Liong terhuyung dia cepat mendesak maju. Dia harus mengalahkan pemuda ini
karena dia ingin sekali pemuda ini menjadi penghuni Pulau Neraka, dan kalau
mungkin menjadi suami Soan Cu. Dan untuk itu, dia harus lebih dulu
merobohkannya. Maka dia cepat mendesak selagi tubuh Sin Liong terhuyung ke
belakang itu.
"Wuuut-plak-plak!
Wuuut-plak-plak!!"
Pukulan-pukulan
tangan Ouw Kong Ek hebat sekali. Setiap kali Sin Liong yang masih terhuyung itu
mengelak, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman yang amat lihai namun selalu
tangan Sin Liong masih dapat menyampoknya! Bahkan pemuda itu berseru keras,
tubuhnya melayang keatas, berjungkir balik dua kali dan sudah turun lagi ke
atas lantai dengan tubuh tegak dan sudah siap lagi!
Ouw Kong Ek
makin penasaran. Cepat dia menerjang maju, kedua kakinya bergerak cepat dengan
tendangan berantai yang cepat dan kuat sekali. Kedua kaki itu seperti kitiran
saja sehingga kelihatannya kakek ini berkaki lebih dari dua yang bergerak
susul-menyusul melakukan tendangan ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh
Sin Liong.
"Siuut-siutt...!
Dess!!" Setelah berhasil mengelak ke kanan-kiri, Sin Liong terdesak ke
sudut dan terpaksa dia menggunakan kedua lengannya menangkis sambil mengerahkan
tenaga inti salju.
Tubuh Ouw
Kong Ek menggigil, terasa dingin sekali tubuhnya, rasa dingin yang menjalar
melalui kaki yang tertangkis. Dia menggoyang tubuhnya beberapa kali dan rasa
dingin sudah terusir. Dia memandang lawannya dengan mata terbelalak lebar.
Kemudian kakek ini mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah
melayang ke atas, lalu menukik kearah Sin Liong.
Sin Liong
terkejut sekali. Dia maklum bahwa serangan terakhir ini bukan main hebatnya.
Maka dia pun lalu berteriak keras dan tubuhnya juga mencelat ke atas menyambut
tubuh lawannya, kedua lengannya digerakkan di depan tubuhnya.
"Plak-plak...
bruukkk!!" tubuh Ouw Kong Ek terbanting ke atas lantai, dan hanya setelah
dia bergulingan beberapa kali saja dia dapat bangun dengan agak pening.
“Bukan
main,” pikirnya.
Dia tadi
melakukan serangan dahsyat, serangan maut yang akan sukar disambut oleh lawan
yang sakti. Akan tetapi pemuda itu menyambutnya di udara, memapaki pukulan
dengan pukulan sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu di udara dan
akibatnya dia sendiri yang terbanting keras!
"Belum
cukupkah, Tocu?" Sin Liong bertanya dengan suara penuh penyesalan karena
dia dipaksa untuk bertempur, hal yang sama sekali tidak disukainya.
"Hmm,
aku belum mengaku kalah, orang muda!" Dan kini kakek itu menyerang lagi
dengan ilmu silat yang gerakannya cepat sekali, akan tetapi juga aneh.
Swat Hong
yang menonton di pinggir, memandang penuh perhatian dengan alis berkerut. Dia
merasa heran sekali. Ilmu silat yang dimainkan oleh kakek itu seperti pernah
dilihatnya, seperti bukan gerakan asing, namun mengapa begitu aneh dan sama
sekali tidak dikenalnya?
Memang tidak
mengherankan hal ini terjadi pada Swat Hong karena ilmu silat yang dimainkan
kakek itu memang bersumber pada ilmu silat Pulau Es, hanya sudah diubah banyak
sekali menjadi ilmu silat ciptaan nenek moyang Pulau Neraka! Bahkan kini dari
kedua telapak tangan kakek itu mengepul uap hitam, dari mulutnya juga menyembur
uap hitam yang kadang-kadang menyambar ke arah muka Sin Liong.
Sebagai
seorang ahli pengobatan, Sin Liong segera mengenal hawa beracun keluar dari uap
hitam itu, maka dia bersikap hati-hati setiap kali ada uap hitam menyambar.
Sementara itu, sambil mengelak dan menangkis dia mencurahkan seluruh
perhatiannya. Dengan ilmu mukjijat yang didapatnya dari kitab, yaitu mengenal
rahasia inti gerakan ilmu silat, dia sudah dapat mencatat dan hafal akan
jurus-jurus yang dimainkan oleh lawannya.
"Suheng,
balaslah lawanmu! Apa kau takut?" Swat Hong berteriak lagi.
Ouw Kong Ek
yang sudah merah mukanya saking penasaran dan malu karena merasa dipandang
rendah dan dipermainkan, membentak, "Orang muda, berani engkau memandang
rendah kepadaku sehingga tidak mau balas menyerang?"
Sin Liong
terkejut bukan main. Sama sekali tidak mengira bahwa sikapnya yang mengalah dan
tidak mau balas menyerang itu malah dianggap memandang rendah oleh kakek itu
dan dianggap takut oleh Swat Hong! Tadinya dia hanya mengharapkan kakek itu
akan tahu diri dan mundur sendiri. Siapa kira, kakek itu keras kepala dan tidak
akan mengaku kalah kalau tidak dirobohkan! Dalam keadaan seperti itu, tidak ada
pilihan lain bagi Sin Liong. Dia menggigit bibirnya menguatkan hati, karena
menyerang orang merupakan hal yang berlawanan dengan hatinya, lalu kaki
tangannya bergerak cepat sekali.
Terdengarlah
seruan-seruan kaget dari mulut para pembantu Ouw Kong Ek, bahkan belasan jurus
kemudian, setelah dengan susah payah Ouw Kong Ek mengelak dan menangkis, kakek
ini berseru keras dan tubuhnya terguling.
"Heiiii...
dari mana engkau mendapatkan ilmuku ini?" kakek yang sudah terguling
karena kedua lututnya tercium ujung sepatu Sin Liong itu meloncat bangun lagi
sambil bertanya dengan mata terbelalak dan penuh keheranan.
Selama
belasan jurus tadi, dia telah diserang oleh Sin Liong dengan ilmu silatnya
sendiri dan pada jurus ke lima belas, dia tidak mampu menghindar sehingga kedua
lututnya tertendang, membuat dia terguling dan kalau pemuda itu menghendaki,
ketika ia terguling tadi tentu pemuda itu dapat menyusulkan serangan maut yang
dapat menewaskannya!
Sin Liong
menjura dan melangkah mundur. "Aku hanya meniru-niru dari Tocu
sendiri...."
Ouw Kong Ek
makin terheran dan sejenak dia melongo, kemudian dia melangkah maju dan
memegang kedua tangan pemuda itu. "Kwa Sin Liong... engkau hebat sekali!
Aku mengaku kalah terhadap Kwa-taihiap (Pendekar Besar Kwa)! Aku telah
dirobohkan secara mutlak, bahkan dengan jurus-jurus ilmu silatku sendiri! Dia
ini adalah seorang pendekar besar yang memiliki kesaktian seperti dewa!"
Semua
penghuni Pulau Neraka membungkuk dan memberi hormat kepada Sin Liong!
Tentu saja
pemuda itu cepat membalas penghormatan mereka dengan memutar-mutar tubuhnya
sambil berkata tersipu-sipu, "Aahhh, harap Cuwi (Anda sekalian) jangan
berlebihan..."
"Kwa-taihiap,
aku Ouw Kong Ek sudah mengaku kalah. Harap Taihiap suka mengajarkan ilmu
pengobatan itu agar kami dapat terbebas dari hawa beracun yang banyak terdapat
di pulau ini. Setelah aku paham, kami akan mempersilakan Taihiap dan Han-lihiap
(Pendekar Wanita Han) meninggalkan pulau ini dengan aman."
"Baik,
Ouw-tocu. Aku akan melakukan penyelidikan tentang racun-racun di pulau ini dan
berusaha mencarikan obat penawanya."
Soan Cu
berlari menghampiri Sin Liong dan berkata, "Sin Liong, kau hebat sekali! Aku
sungguh kagum kepadamu," sambil berkata demikian, Soan Cu memegang kedua
tangan Sin Liong dan mengangkat muka memandang wajah Sin Liong penuh kekaguman.
"Ahhh,
engkau terlalu memuji, Soan Cu. Sebetulnya adalah Kongkong mu yang sengaja
mengalah kepadaku," kata Sin Liong, dan mukanya menjadi merah.
Dia maklum
bahwa Soan Cu seorang dara remaja yang berhati polos dan wajar, maka di depan
semua orang tanpa segan-segan menyatakan kekagumannya dan memegang kedua
tangannya begitu saja. Akan tetapi hal ini tentu saja menimbulkan anggapan
salah, dan dia sudah melihat betapa Swat Hong membuang muka dengan wajah
diselubungi kemarahan, bahkan akhirnya dara itu lalu membalikan tubuh dan berlari pergi!


Sampai tiga
bulan lamanya Sin Liong dan Swat Hong di Pulau Neraka. Dengan teliti dan
hati-hati Sin Liong melakukan penyelidikan tentang segala macam racun yang
terdapat di pulau itu. Kemudian dia mencarikan obat penawarnya dan menulis
serta melukiskan nama dan bentuk daun, akar, bunga, atau buah yang berkhasiat
sebagai penawar racun-racun itu. Sibuklah ketua Pulau Neraka, dan para
pembantunya mencarikan bahan-bahan obat itu dan setelah tiga bulan, barulah
lengkap catatan Sin Liong.
Ouw Kong Ek
dan semua penghuni Pulau Neraka merasa berterima kasih sekali kepada Sin Liong,
apalagi setelah terbukti banyak penghuni yang sembuh dari penderitaan penyakit
akibat keracunan setelah menggunakan obat-obat seperti yang ditunjuk oleh
pemuda itu. Dia dianggap sebagai seorang dewa penolong mereka dan diperlakukan
dengan sikap penuh hormat.
Setelah
‘terpaksa’ tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya Swat Hong
mendapatkan kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang benar-benar
tulus, jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin
persahabatan yang akrab. Bahkan karena dara Pulau Neraka itu dengan
terang-terangan tanpa dibuat-buat dan tanpa usaha menarik hati Sin Liong
menyatakan suka dan cintanya kepada Sin Liong, Swat Hong menyambut pernyataan
itu dengan hati terharu.
Diam-diam
Swat Hong menaruh hati kasihan kepada dara Pulau Neraka ini karena dia tahu
bahwa hati suheng nya itu jauh daripada cinta! Suheng-nya belum pernah
mengacuhkan tentang hubungan di antara mereka, juga suheng-nya sama sekali
tidak kelihatan menaruh hati kepada Soan Cu. Dianggapnya suhengnya itu terlalu
‘dingin’ dan sudah seringkali dia sendiri merasa kecewa melihat suhengnya
sebagai seorang pemuda yang tidak ada semangat!
Padahal dia
sendiri belum yakin apakah dia mencintai suhengnya. Sungguh pun dia merasa suka
sekali kepada pemuda itu, namun sebagai seorang dara remaja tentu saja dia
merasa tidak puas menyaksikan sikap pemuda yang ‘dingin’ saja terhadapnya.
Sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal, tentu saja Swat Hong juga
ingin agar semua orang, terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan suka.
Bahkan dia pun seperti semua wanita di dunia ini, agaknya akan merasa bangga
kalau semua orang laki-laki jatuh cinta kepadanya!
Hari
keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin Liong dan Swat
Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Neraka sampai ke pantai, di mana telah
tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar, dayung, dan bekal makanan.
Soan Cu mengantar dengan berlinang air mata. Semenjak tadi dara ini menangis,
bahkan rewel kepada kakeknya hendak ikut pergi bersama Sin Liong dan Swat Hong.
"Hushhh,
apakah kau gila?" demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke
Pulau Es? Tidak tahukah kau bahwa semua penghuni Pulau Neraka dilarang
menginjakkan kaki ke Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau akan dijatuhi
hukuman sebagai seorang pelanggar hukum!"
Sin Liong
dan Swat Hong juga melarang dengan alasan bahwa Swat Hong sendiri sedang
menghadapi malapetaka, bahkan dia bersama suheng-nya sedang berusaha mencari
ibunya. Selama tiga bulan ini, Ouw Kong Ek sudah mengerahkan pembantunya untuk
mencari Liu Bwee, bekas istri Raja Han Ti Ong, ke pulau-pulau kosong di sekitar
Pulau Neraka, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau
Neraka yang mencari itu tidak berani terlalu mendekat Pulau Es.
Setelah
perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Swat Hong pergi jauh, Soan Cu menjatuhkan
dirinya menangis. "Kongkong, aku pun mau pergi dari sini. Aku tidak tahan
lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya mereka berdua! Aku harus
pergi, aku harus pergi mencari ayahku, seperti Swat Hong yang pergi mencari
ibunya!"
Kongkongnya
hanya menggeleng kepala, menghela napas dan menggandeng cucunya yang tercinta
itu kembali ke tengah pulau. Hati orang tua ini khawatir sekali karena dia
tahu, bahwa cucunya telah mulai dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga
merasa tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka. Dia maklum bahwa
agaknya takan lama lagi cucunya itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan
kalau hal yang dikhawatirkan itu terjadi, apalagi artinya hidup baginya di
pulau itu? Puteranya telah lenyap dan satu-satunya orang yang selama ini
membuat hidupnya berarti hanyalah Soan Cu.
Ketika
perahu mereka mendarat di Pulau Es, Sin Liong dan Swat Hong saling pandang
dengan hati yang berdebar. Mereka sudah menjelajahi seluruh pulau di sekitar
Pulau Es untuk mencari ibu Swat Hong, namun sia-sia belaka. Akhirnya mereka
mengambil keputusan untuk kembali ke Pulau Es, dengan harapan mudah-mudahan ibu
dara itu sudah kembali ke Pulau Es.
"Bagaimana
kalau ibu tidak berada di sana? Bukankah berarti bahwa aku telah melanggar
janjiku untuk mewakili ibu yang dibuang ke Pulau Neraka?" Swat Hong
bertanya ketika perahu mereka tadi sudah mendekati Pulau Es.
"Jangan
khawatir, Sumoi. Suhu adalah ayahmu sendiri, dan betapa pun marahnya, aku
percaya bahwa Suhu akan dapat memaafkanmu. Aku percaya akan kebijaksanan Suhu,
dia bukanlah seorang yang berbudi rendah...."
"Tapi
dia telah terkena racun yang hebat, racun yang seratus kali lebih kejam
daripada racun yang paling jahat di pulau Neraka! Dia telah terkena hasutan
mulut wanita jahat itu..."
"Ssttt,
Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang bukan-bukan. Sudahlah,
kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang membayangkan hal yang belum
terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong itu dan mari kita hadapi
kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan membiarkan
engkau terancam bencana. Mari kita hadapi apa saja yang menimpa kita
berdua."
"Suheng...
betulkah? Betulkah kau akan membela dan melindungi aku?"
"Tentu
saja, Sumoi."
"Menghadapi
Ayah sekali pun?"
"Menghadapi
siapa saja, karena aku yakin bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan apa
pun."
"Kalau
begitu, aku menjadi besar hati, Suheng. Mari kita mendarat."
Hati Swat
Hong makin tegang dan juga terheran-heran ketika dia melihat betapa beberapa
orang penghuni Pulau Es yang kebetulan berada di situ segera berlari pergi
menuju ke tengah pulau, bahkan tidak berhenti ketika dia dan suhengnya
memanggil mereka. Makin tidak enak perasaan mereka, namun dengan tenang Sin
Liong mengajak sumoi-nya untuk menuju ke Istana Pulau Es di tengah pulau itu,
menemui Raja Han Ti Ong dan bertanya tentang Liu Bwee.
Tak lama
kemudian, keduanya berhenti tiba-tiba ketika melihat raja itu sendiri berlari-lari
datang bersama permaisuri dan pembantu-pembantu yang terpercaya. Tadinya Swat
Hong merasa girang, wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya datang
menyambutnya dengan girang melihat dia pulang. Akan tetapi betapa kagetnya
ketika ayahnya sudah tiba di depan mereka, langsung raja Han Ti Ong menudingkan
telujuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia-manusia rendah!
Kalian masih berani menginjakkan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini?
Keparat!"
"Ayah...!!"
“Suhu...!!"
"Plak!
Plak!!" tubuh Sin Liong dan Swat Hong terguling ketika tangan Raja itu
dengan kecepatan kilat telah menampar mereka.
Dengan alis
berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya bergantian ke arah muka dua
orang muda yang menjadi kaget setengah mati dan merangkak bangun itu.
"Jangan sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua telah minggat dengan
diam-diam, perbuatan yang tak tahu malu dan mengotorkan nama keluarga Han!
Masih berani datang dan menyebut Ayah dan Suhu kepadaku? Huh!!"
"Ayahhh...
apa... apa yang terjadi...? Mana Ibuku...?"
"Ibumu
seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda banyak!"
"Ayah...!"
"Diam!
Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"
"Ayah,
kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang berlutut
itu menangis sesenggukan.
"Bagus!
Kau minta mati?"
"Suhu...!"
suara Sin Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Han Ti Ong
sendiri sampai terkejut dan menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri
puterinya.
Sepasang
mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang luar biasa dan sejenak Ha Ti Ong
ragu-ragu. Teringatlah dia akan keadaan dahulu ketika anak ajaib ini
menyuruhnya menolong The Kwat Lin, menyuruhnya berhenti untuk menguburkan
mayat-mayat. Seperti itu pula kekuatan mukjijat yang keluar dari sepasang mata
itu. Sepasang mata yang sedikit pun tidak membayangkan takut, atau marah, atau
kekerasan, hanya membayangkan kelembutan yang mengharukan.
"Suhu,
harap suhu bersabar dulu. Sungguh tidak adil sekali menjatuhkan hukuman tanpa
memberitahu kesalahan orang, sungguh pun Sumoi adalah puteri Suhu
sendiri."
Bangkit
kembali marah Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih
berpura-pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa-apa. Akan
tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan-bulan,
pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu dan menodakan nama baik keluarga Kerajaan
Han!"
Diam-diam
Sin Liong terheran, mengapa Suhu-nya berubah seperti ini? Tentu saja dia tidak
tahu betapa para keluarga yang membenci Liu Bwee telah menggunakan kesempatan
selagi terjadi peristiwa penghukuman atas diri Liu Bwee itu untuk membakar hati
raja ini, terutama sekali melalui mulut permaisuri!
"Ayah,
jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku memang pergi dan bertemu dengan Suheng,
akan tetapi apakah salahnya dengan itu?"
"Hemm,
apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang pemuda dan seorang dara berdua
saja sampai hampir setengah tahun lamanya? Mungkinkah tidak akan terjadi
apa-apa antara kalian di tempat sunyi dan hanya berdua saja?! Hem... hemmm...
siapa percaya tidak akan terjadi apa-apa yang kotor?" ucapan ini keluar
dari mulut permaisuri The Kwat Lin yang tersenyum mengejek.
"Ibu,
kalau Enci Hong dan Suheng melakukan hubungan gelap, kawinkan saja mereka.
Mengapa ribut-ribut?" tiba-tiba Bu Ong, putera raja yang baru berusia
kurang lebih delapan tahun itu berkata dengan suara nyaring.
"Hussshhh!
Tutup mulutmu!" Kwat Lin membentak puteranya yang segera cemberut, tapi
memandang kepada Swat Hong dan Sin Liong dengan pandang mata mengejek.
Hampir saja
Swat Hong tak dapat percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu tirinya
menuduh dia berjinah dengan Sin Liong! Dengan dada sesak dan kemarahan yang
meluap-luap, Swat Hong lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata-kata
yang seperti dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji
ini? Ayah, insyaflah. Ayah telah dikelabui, Ayah telah mabuk oleh
rayuan...."
"Plak!
Desss!!" tubuh Swat Hong terlempar dan terguling-guling ketika terkena
tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri.
"Suhu,
ini tidak adil sama sekali!"
"Plak!
Desss!!!" tubuh Sin Liong juga terjungkal.
Akan teapi
pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun tidak merasa takut,
bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong. "Suhu, andai kata Suhu
memukul teecu sampai mati sekali pun, sudah sepatutnya karena teecu hanyalah
seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan teecu rela membalasnya
dengan nyawa. Akan tetapi, Sumoi adalah puteri Suhu sendiri, darah daging suhu
sendiri! Mengapa Suhu begitu tega? Di manakah rasa kasih di hati Suhu?"
"Keparat!"
Han Ti Ong memaki dengan suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Sin
Liong berani menentangnya untuk membela Swat Hong, makin besar pula
kepercayaannya akan desas-desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini.
"Kau mau memberi kuliah kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan
peduli apa yang dilakukannya. Justru karena dia anaku dan aku cinta kepada
anakku, maka aku perlu menghajarnya!"
"Hemmm,
begitukah cinta di hati Suhu? Cinta Suhu siap untuk berubah menjadi kemarahan,
kebencian yang meluap karena Suhu merasa bahwa puteri Suhu tidak menyenangkan
hati Suhu? Itu bukan cinta, Suhu! Suhu hanya mementingkan diri sendiri. Kalau
disenangkan hati Suhu, biar orang lain sekali pun akan Suhu perlakukan dengan
baik. Akan tetapi kalau hati Suhu dikecewakan, biar anak sendiri akan
dibunuh!"
"Plak-plak!
Dess...!" kembali tubuh Sin Liong terjungkal dan kini darah mengucur dari
mulut dan hidungnya.
"Suheng...!
Ahhh, Ayah... Jangan...!" Swat Hong sudah meloncat ke depan dan menubruk
suheng-nya.
"Anak
durhaka, murid murtad!”
“Dess!"
kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena tendangan ayahnya yang
sedang marah itu.
Masih untung
bagi mereka berdua bahwa Han Ti Ong hanya berniat menghajar dan menghukum,
kalau berniat membunuh, tentu mereka sudah tak benyawa lagi. Saking marahnya,
biar pun melihat murid dan puterinya sudah beberapa kali dihantam dan
ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan darah serta muka mereka
bengkak-bengkak, Han Ti Ong masih saja menghajar mereka.
"Ongya,
harap ampunkan mereka...." Tiba-tiba beberapa orang pembantu utama
berlutut di depan Raja yang marah ini dan menyabarkan hatinya.
Han Ti Ong
berdiri dengan napas terengah-engah, mata terbelalak dan muka merah sekali. Dia
menjadi hampir putus napas saking marahnya. "Hemmm, mereka ini bocah-bocah
kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya.
"Ongya,
sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih dulu.
Harap Ongya ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Es yang sudah terkenal semenjak
ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah berusia lanjut.
Han Ti Ong
menghela napas panjang dan dia teringat. Sebetulnya dia sedang berada dalam
keadaan duka dan kecewa. Duka mengingat akan istrinya, Liu Bwee, yang kini
menimbulkan penyesalan di dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan
kesalahan istrinya itu. Kecewa karena serangkaian peristiwa yang tidak
menyenangkan hatinya, mengganggu ketentraman hidupnya di Pulau Es.
"Anak
durhaka, untung engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang
masih ada yang akan kau katakan!"
Dengan tubuh
sakit-sakit dan hampir pingsan, Sin Liong masih dapat membantu Sumoinya bangkit
duduk. Bahkan tanpa mempedulikan keadaan dirinya sendiri, dia menyusuti peluh,
air mata dan darah dari muka sumoi-nya, kemudian menarik sumoi-nya untuk
berlutut di depan raja yang sedang marah itu.
"Sumoi,
laporkanlah semuanya kepada Suhu...," bisiknya.
"Apa
gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah Ibu lenyap tak berbekas dan akan
dibunuhnya... tentu akan puas hatinya... hu-hi-huuukkk...." Swat Hong
menangis terisak-isak.
Melihat
keadaan puterinya ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong. "Sin
Liong, hayo ceritakan apa yang terjadi! Kami semua menuduh kalian berdua selama
berbulan-bulan dan tentu kalian telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh.
Mengakulah! Awas, kalau kau membohong, akan kubunuh kau sekarang juga!"
"Suhu
boleh membunuh teecu kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu tidak membohong
sekali pun, teecu menyerahkan nyawa teecu kepada Suhu. Sebetulnya, ketika
melihat Sumoi pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan melihat Subo juga pergi,
teecu merasa kasihan dan berkhawatir sekali. Maka teecu diam-diam lalu mengejar
dan menyusul ke Pulau Neraka...." Kemudian dengan panjang lebar dan jelas
Sin Liong menceritakan semua pengalaman mereka di Pulau Neraka dan mengapa
mereka sampai berbulan-bulan berada di pulau itu.
Berkerut
Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya dia percaya kepada muridnya ini. Tidak ada
seorang pun di dunia ini yang dapat membohong dengan sikap seperti yang
diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya tidak berbohong. Akan tetapi
hatinya masih marah dan ia makin marah ketika mendengar betapa Pulau Neraka
telah berani menahan puterinya sebagai sandera!
"Swat
Hong! Benarkah cerita Sin Liong?!" bentaknya kepada dara yang masih
menangis sesenggukan itu.
"Apa
gunanya Ayah bertanya kepadaku? Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri ke Pulau
Neraka. Kalau aku dan Suheng berbohong, boleh bunuh seribu kali juga tidak
apa."
Memang sejak
dahulu Swat Hong bersikap manja kepada ayah bundanya. Pula dia memiliki watak
keras, tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti itu pun dia bersikap berani
dan menantang!
"Siapkan
pasukan tiga puluh orang untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!" Raja itu
memerintah kepada pembantunya dengan suara marah.
Pada hari
itu juga dia berangkat bersama tiga puluh orang pasukan menuju ke Pulau Neraka!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya para penghuni Pulau Neraka ketika diserbu
oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Raja Han Ti Ong sendiri! Ouw Kong Ek
sendiri yang maju dan berusaha melawan, tapi dalam belasan jurus saja telah
dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa yang terjadi ketika puteri Raja Pulau
Es itu berada di Pulau Neraka. Dengan kebencian dan dendam yang makin mendalam,
Ouw Kong Ek menceritakaan keadaan sebenarnya, tepat seperti yang telah didengar
oleh Han Ti Ong dari mulut Sin Liong.
Maka
mulailah raja ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu menghajar,
bahkan hampir saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang sebetulnya tidak
berdosa. Mulailah dia teringat bahwa kemarahannya itu timbul karena bujukan dan
kata-kata yang membakar dari permaisurinya. Dia menjadi marah sekali dan
kemarahannya itu dilampiaskannya di Pulau Neraka. Pulau itu diobrak-abrik,
sebagai hukuman telah berani menahan puterinya. Bahkan kitab catatan Sin Liong
tentang racun dan pengobatannya, dihancurkan dan dibakarnya!
Setelah puas
melampiaskan kemarahannya, Han Ti Ong memimpin pasukannya meninggalkan Pulau
Neraka, meninggalkan para penghuni yang banyak menderita luka lahir batin itu.
Dalam sekejap raja ini telah menanamkan dendam yang makin menghebat di dalam
hati para penghuni Pulau Neraka. Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti Ong
tiba kembali di Pulau Es.
Wajah raja
ini seketika pucat setelah dia mendengar berita yang lebih hebat dan
mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah dia dan pasukannya berangkat,
permaisuri dan pangeran telah pergi meninggalkan Pulau Es! Dan hingga kini
belum pulang. Makin terpukul lagi bathin Raja Han Ti Ong ketika dia mendapat
kenyataan bahwa kitab-kitab pusaka Pulau Es telah lenyap, berikut banyak harta
benda berupa emas dan permata yang disimpan di dalam kamarnya! Hampir saja dia
roboh pingsan mendapat kenyataan bahwa permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang
ditolongnya itu, ternyata telah berkhianat!
"Mengapa
tidak kalian larang mereka pergi? Mengapa? Sin Liong, engkau muridku, mengapa
engkau mendiamkan saja mereka pergi membawa pusaka-pusaka kita?" dalam
bingung dan marahnya dia menegur Sin Liong.
"Suhu,
Subo pergi hanya memberi tahu bahwa Subo bersama Sute hendak menyusul ke Pulau
Neraka. Siapa yang berani menghalangi Subo? Kami semua tidak ada yang mengira
bahwa Subo takkan kembali, dan tidak ada yang tahu bahwa Subo membawa sesuatu,
harap maafkan teecu."
Han Ti Ong
membanting-banting kakinya, lalu berlari memasuki kembali istana setelah tadi
dia memeriksa dan melihat kehilangan pusaka Pulau Es. Ketika dia memanggil dua
orang muda menghadap, Sin Liong dan Swat Hong melihat perubahan hebat terjadi
pada diri raja sakti ini. Wajahnya menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang
biasanya bersinar dan berpengaruh itu menjadi redup seperti lampu kekurangan
minyak. Dan rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah putih
hampir seluruhnya.
Suaranya
tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Long..., Swat Hong..., kalian
ampunkan aku..."
"Suhu...!"
Sin Liong berlutut dan menundukan muka.
"Ayah...
jangan berkata begitu, Ayah...!" Swat Hong meloncat menubruknya.
Ayah dan
anak itu saling berangkulan dan Sin Liong makin menundukkan mukanya ketika
mendengar Suhu-nya menangis mengguguk seperti anak kecil! Setelah Han Ti Ong
dapat menguasai kembali hatinya dia mencium dahi puterinya dan menyuruhnya
duduk kembali. Swat Hong menyusuti air matanya dan berlutut di dekat Sin Liong.
"Aku
telah berdosa. Sekarang baru aku tahu... aku telah berdosa. Mungkin sekali...
tidak, aku yakin sekarang, bahwa ibu Swat Hong tidak bersalah apa-apa, hanya
terkena fitnah... Aih, apa yang telah kulakukan? Dan aku hampir saja
membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat Hong anakku. Orang macam apa aku ini? Dan
aku mengaku cinta kepada anakku? Huh, huh, engkau benar, Sin Liong. Tidak ada
cinta di dalam hatiku yang kotor, yang ada hanya nafsu berahi sehingga mudah
saja aku dipermainkan oleh wanita itu. Aihhhh... kalian maafkan aku. Swat Hong,
hanya satu pesanku kepadamu, anakku. Kau... kau jadilah jodoh Sin Liong.
Jadilah kalian suami istri, baru akan terobati hatiku...."
"Suhu...!"
"Ayah...!"
"Muridku...
anakku..., maukah kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... Aku
ingin melihat kalian menjadi suami istri, kalian anak-anak malang..."
"Suhu,
teecu mohon ampun. Teecu.. tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal
jodoh...."
"Ayah,
mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja. Biarkan kami menentukannya
sendiri."
Han Ti Ong
menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri. Ia
membalikkan tubuh dan berjalan memasuki kamarnya meninggalkan dua orang muda
yang masih berlutut itu. Semenjak saat itu, sampai berhari-hari lamanya, Raja
itu tidak pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat gelisah semua
pembantunya.
Keadaan di
Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni dapat merasakan ini. Semenjak terjadinya
peristiwa yang memalukan dan menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong,
keadaan Pulau Es sunyi dan semua wajah para penghuni kelihatan muram. Bahkan
cuaca juga seolah-olah berubah suram, seringkali malah menjadi gelap oleh
mendung tebal. Hati semua orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya,
seolah-olah merupakan tanda rahasia bahwa akan terjadi hal-hal lebih hebat
lagi.
Peristiwa
menyedihkan yang menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri setiap orang, dan memang
kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa mengejar kesenangan sama
artinya dengan memanggil kesengsaraan! Kita hidup dibuai khayal akan keadaan
yang lebih baik, lebih menyenangkan dari pada keadaan seperti apa adanya. Kita
tidak pernah membuka mata, tidak pernah menghayati keadaan saat ini, tidak
dapat melihat bahwa saat ini mencakup segala keindahan.
Dengan
membandingkan keadaan kita dengan keadaan lain, kita selalu menganggap bahwa
keadaan buruk tidak menyenangkan, dan kita selalu memandang jauh kedepan,
mencari-cari dan menghayalkan yang tidak ada, keadaan yang kita anggap lebih
menyenangkan. Karena kebodohan kita inilah maka kita hidup dikejar-kejar oleh
kebutuhan setiap saat, detik demi detik kita mengejar kebutuhan.
Kebutuhan
adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita kejar-kejar. Lupa
bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, di depan masih menanti seribu hal
lain yang akan menjadi keinginan dan kebutuhan kita selanjutnya. Maka,
berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa-apa! Bukan berarti menolak segala
kesenangan, melainkan tidak mengejar apa-apa, sehingga kalau ada sesuatu yang
datang menimpa diri, bukan lagi merupakan kesenangan atau kesusahan, melainkan
dihadapi sebagai suatu yang sudah wajar dan semestinya sehingga tampaklah
keindahan yang murni!
Demikian
pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan bijaksana namun tiba
saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia menemukan kebahagiaan dalam diri
The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan hanyalah kesenangan yang timbul dari
kenikmatan badani, dari terpuaskannya nafsu. Dia seolah-olah hidup di alam
khayal, di alam mimpi. Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis
menjadi pahit bukan main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama
mudahnya dengan membalikkan telapak tangan! Dan menang kalah, suka dan duka
hanyalah dwi muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama!
Perahu kecil
itu terayun-ayun ke kanan-kiri, seperti menari-nari karena tidak dikuasai oleh
layar mau pun dayung, melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air laut yang tenang.
Dua orang yang duduk di perahu itu seperti dua buah arca, diam dan pandang mata
mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang-layang di permukaan laut seperti
mencari-cari sesuatu yang hilang.
Dan memang
pikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang mencari-cari
jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. Pulau Es hanya kelihatan sebagai sebuah
garis putih mendatar dekat kaki langit. Mereka berangkat pagi-pagi meninggalkan
Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang sunyi ini, mereka menggulung layar
dan membiarkan perahu mereka dibuai gelombang kecil. Mereka sudah lama berdiam
diri seperti itu, dibuai oleh lamunan masing-masing, lamunan yang timbul karena
keadaan di Pulau Es yang menyedihkan.
"Suheng...,"
suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka tidak
mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan ini seolah-olah mengandung
getaran hebat yang memenuhi seluruh ruang kesunyian.
Sin Liong
menoleh dan dia pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi. "Hemmm...?"
jawabannya masih ragu-ragu.
"Suheng
mengajakku meninggalkan pulau, setelah tiba di sini, mengapa suheng tidak lekas
bicara melainkan melamun saja?"
"Aku
terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku
pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi melihat batu karang menonjol di depan
itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi setua batu karang itu yang kerjanya
hanya termenung di tempat sunyi? Suheng, kau tadi bilang bahwa engkau
mengajakku ke tengah laut untuk membicarakan urusan kita. Mengapa harus ke
sini?”
"Engkau
sudah mengerti sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi
sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak kalau
mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat
menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Karena itulah maka kuajak ke sini, agar
kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada yang mendengar dan
melihat. Pula, kuharap di tempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolah-olah
berada di dalam alam lain, kita akan menemukan ilham..."
Swat Hong
tertawa. Timbul kembali kegembiraan dara ini setelah dia tidak berada di Pulau
Es yang membuat dia selama ini ikut muram dan berduka. "Wah, Suheng!
Kadang-kadang kau bicara seperti seorang pendeta saja! Apa sih yang akan
dibicarakan sampai-sampai kau membutuhkan ilham segala?"
"Mari
kita bicara tentang cinta, Sumoi."
Wajah dara
muda jelita itu terheran. Matanya memandang terbelalak dan perlahan-lahan kedua
pipinya menjadi agak kemerahan. "Aihh... apa maksudmu, Suheng?"
Sin Liong
menarik napas panjang, dan menyentuh tangan sumoinya. "Perlukah aku
menjelaskan lagi? Suhu, Ayahmu sedang dilanda duka dan kedukaannya yang
terakhir kali ini adalah menyangkut hubungan antara kita. Suhu menghendaki agar
kita berjodoh, dan kita secara jujur telah menyatakan tidak setuju akan
kehendaknya itu. Dan memang kita benar, Sumoi. Perjodohan tidak bisa ditentukan
begitu saja, karena perjodohan merupakan hal gawat bagi seseorang, akan melekat
selama hidupnya. Akan tetapi bagaimana kita tahu kalau hal ini tidak kita
bicarakan secara terus terang? Maka, agar kita dapat mengambil keputusan yang
tepat tentang kehendak Suhu ini, marilah kita bicara tentang cinta!"
"Hemm,
bicaralah. Aku tidak tahu apa-apa," kata Swat Hong yang tentu saja merasa
malu untuk bicara tentang hal yang asing baginya itu.
"Swat
Hong, apakah kau cinta kepadaku?"
Dara itu
makin merah mukanya. Tak disangkanya bahwa suhengnya akan bertanya secara
langsung seperti itu sehingga dia merasa seperti diserang dengan tusukan pedang
yang amat dahsyat! Dia mengangkat muka memandang suheng-nya dengan bingung.
"Aku... aku... ah, aku tidak tahu...," dan dia menundukan mukanya.
"Sumoi,
sudah sering aku melihat sikapmu yang aneh. Engkau marah-marah ketika kita
berada di Pulau Neraka. Engkau cemburu melihat Soan Cu berbuat baik kepadaku,
dan kau tidak senang melihat kongkong-nya hendak menjodohkan Soan Cu dengan
aku. Sumoi, aku tidak tahu apa cemburu itu tandanya cinta? Akan tetapi,
jawablah demi pemecahan persoalan yang kita hadapi ini. Cintakah kau
kepadaku?"
Disinggung-singgung
tentang sikapnya di Pulau Neraka yang jelas menandakan rasa cemburunya, Swat
Hong menjadi makin malu. Dicobanya untuk menjawab, akan tetapi begitu dia
bertemu pandang dengan suheng-nya, dia menjadi makin malu dan ditutupinya
mukanya dengan kedua tangan. Kepalanya digeleng-gelengkan dan dia berkata,
"Aku tidak tahu... aku tidak tahu...! Kau saja yang bicara, Suheng. Kau
saja yang menjawab apakah kau cinta padaku atau tidak!"
Dan kini
Swat Hong menurunkan kedua tangannya, sepasang matanya yang bening itu kini
dengan penuh selidik menatap wajah Sin Liong!
Sin Liong
menarik napas panjang. "Itulah yang membingungkan hatiku selama ini,
Sumoi. Mau bilang tidak mencintaimu, buktinya aku suka kepadamu. Akan tetapi
untuk menyatakan bahwa aku cinta padamu, sulit pula karena aku sendiri tidak
tahu bagaimana sesungguhnya cinta itu. Apakah seperti cintanya suhu terhadap
ibumu yang berakhir dengan peristiwa menyedihkan itu? Ataukah seperti cintanya
ibumu kepada Suhu? Ataukah seperti cintanya The Kwat Lin dan Suhu? Hemm,
mengapa semua cinta itu demikian palsu dan mengakibatkan hal yang amat
menyedihkan? Aku menjadi ngeri melihat cinta macam itu, Sumoi."
Swat Hong
memandang heran. "Ahhh, aku tidak pernah memikirkan cinta seperti yang kau
kemukakan ini, Suheng."
"Mudah
saja. Lihat saja apa yang terjadi antara Suhu, ibumu, dan The Kwat Lin. Seperti
itukah cinta? Hanya mendatangkan cemburu, kemarahan, kebencian, dan permusuhan
hebat. Apakah itu cinta? Kalau seperti itu, aku ngeri dan aku tidak berani
berlancang mulut menyatakan cinta kepada siapa pun, Sumoi. Karena kalau hanya
seperti itu akibatnya, maka cinta yang kunyatakan hanyalah merupakan kembang
bibir belaka, hanya cinta palsu belaka. Bayangkan saja, Sumoi. Di antara kita
berdua, sejak kecil sampai sekarang menjelang dewasa, tidak pernah ada
pertentangan dan tidak pernah ada urusan apa-apa. Akan tetapi, setelah kita
berdua mengaku cinta, lalu timbul soal-soal ceburu, kecewa dan lain-lain.
Apalagi setelah menjadi suami istri...hemm, betapa mengerikan kalau melihat
contoh yang kita saksikan di Pulau Es ini."
Swat Hong
menunduk dan tak mampu menjawab. Persoalan yang diajukan oleh Sin Liong itu
terlampau berat baginya, sulit untuk dimengerti. Baginya sebagai seorang
wanita, dia haus akan cinta kasih, akan perhatian, akan pemanjaan dari seorang
pria yang menyenangkan hatinya, seperti suheng-nya ini. Akan tetapi, setelah
mendengar uraian Sin Liong tentang cinta yang diambilnya peristiwa di Pulau Es
sebagai contoh, dia pun ngeri dan tidak berani menyatakan perasaanya itu.
"Aku
tidak tahu, Suheng..., aku tidak mengerti. Terserah kepadamu sajalah...."
Sin Liong
kembali menarik napas panjang. Dia memang sudah mengambil keputusan di dalam
hatinya bahwa dia harus membalas budi kebaikan Suhu-nya yang sudah
berlimpah-limpah diberikan kepadanya. Satu-satunya jalan untuk membalas budi
hanya dengan menyenangkan hati Suhu-nya yang sedang berduka itu. Dia harus
menerima keputusan Suhunya, yaitu menerima menjadi jodoh Swat Hong! Akan tetapi
dia tidak boleh membuat dara itu menderita dengan keputusannya ini, maka dia
harus tahu terlebih dahulu bagaimana pendirian Swat Hong. Dan sekarang dara itu
sama sekali tidak berani mengaku tentang cinta.
"Sumoi,
sekarang begini saja. Andai kata aku memenuhi permintaan Suhu, yaitu mau
menerima ikatan jodoh denganmu, menjadi calon suamimu, bagaimana dengan
pendapatmu?"
Swat Hong
menunduk dan menggigit bibirnya. Akhirnya dia dapat berbisik. "Aku tidak
tahu, terserah kepadamu dan kepada Ayah..."
"Maksudku,
apakah engkau merasa terpaksa? Apakah hal ini menyenangkan hatimu? Sumoi, harap
kau suka berterus terang. Kalau kau seperti aku, tidak bisa mengaku cinta
begitu saja, setidaknya kau katakan, apakah ikatan jodoh ini tidak menimbulkan
penyesalan bagimu?"
Swat Hong
tidak menjawab, hanya menggeleng kepala.
"Kalau
begitu, andai kata aku menerima, engkau pun akan menerimanya dengan senang
hati?"
Swat Hong
mengangguk!
"Kalau
begitu, mari kita pergi menghadap Ayahmu. Aku akan menerima permintaannya.
Betapa pun juga, kita harus menghiburnya, menyenangkan hatinya. Aku telah
berhutang banyak budi dari suhu, maka kalau dengan penerimaan ini aku dapat
sekedar membalas budinya, aku akan merasa senang." Sin Liong mengambil
dayung perahu dan mulai menggerakkan dayung itu.
"Suheng,
kau menerima karena kasihan kepada Ayah? Jadi kau... kau tidak cinta
kepadaku?"
"Sumoi
aku tidak berani berlancang mulut mengaku cinta. Aku telah banyak menyaksikan
cinta kasih yang kuragukan kemurniannya. Aku khawatir bahwa sekali cinta
diucapkan dengan mulut, maka itu bukanlah cinta lagi. Aku tidak tahu, apakah
cinta itu sesungguhnya, maka aku tidak berani lancang mengaku, Sumoi..."
"Ahhh...!!"
Jeritan Swat Hong ini adalah campuran dari rasa kecewa dan juga kekagetan
hebat. Matanya terbelalak memandang ke depan.
Melihat
wajah sumoi-nya, Sin Liong cepat menengok dan pada saat itu terdengar ledakan
dahsyat dibarengi dengan cahaya kilat yang seolah-olah membakar dunia. Sin
Liong yang sedang terbelalak memandang itu melihat air muncrat tinggi sekali,
disusul asap dan api muncul dari permukaan laut antara perahunya dan Pulau Es.
Kedua orang muda yang terbelalak dengan muka pucat itu tidak berkesempatan
untuk terheran lebih lama lagi karena tiba-tiba perahu mereka dilontarkan
keatas. Dalam saat lain perahu itu telah dipermainkan oleh gelombang yang
mendahsyat dan menggunung. Suara mengguruh memenuhi telinga mereka dan
keheningan yang baru saja mencekam lautan itu kini terisi dengan kebisingan
yang sukar dilukiskan.
Sin Liong
berteriak, "Sumoi, bantu aku! Jangan sampai perahu terguling!"
Keduanya
mengerahkan tenaga, menggunakan dayungnya untuk mengatur keseimbangan perahu.
Namun, kekuatan gelombang air laut yang amat dahsyat itu mana dapat ditahan
oleh tenaga manusia, biar pun kedua orang muda itu adalah tokoh-tokoh Pulau Es
sekali pun? Perahu mereka menjadi permainan gelombang, dilontarkan tinggi ke
atas, disambut dan diseret ke bawah. Seolah-olah ada tangan malaikat maut atau
ekor naga laut yang menyeret perahu ke dasar laut, akan tetapi tiba-tiba diayun
lagi ke atas, ditarik ke kanan, didorong ke kiri sehingga kedua orang murid
Raja Han Ti Ong itu menjadi pening dan setengah pingsan!
Mereka tidak
ingat akan waktu lagi, tidak tahu berapa lama mereka diombang-ambingkan air
laut, tidak tahu lagi berapa jauh mereka terbawa ombak. Mereka tidak sempat
menggunakan pikiran lagi, yang ada hanya naluri untuk menyelamatkan diri,
menjaga sekuat tenaga agar perahu mereka tidak sampai terguling dan tangan
mereka tidak sampai terlepas memegangi pinggiran perahu. Dengan tangan kanan memegang
pinggiran perahu, tangan kiri Sin Liong memegang lengan kanan sumoi-nya.
Betapapun juga, dia tidak akan melepaskan sumoinya!
Swat Hong
yang biasanya tabah dan tidak mengenal takut itu, sekali ini menangis dengan
muka pucat dan mata terbelalak. Terlampau hebat keganasan air laut baginya,
terlampau mengerikan melihat gelombang setinggi gunung yang seolah-olah setiap
saat hendak mencengkeram dan menelannya itu! Tiba-tiba Swat Hong menjerit.
Segulung ombak besar datang dan menelan perahu itu. Mereka gelagapan karena
ditelan air, kemudian mereka merasa betapa perahu mereka dilambungkan ke atas.
"Brukkk...!"
keduanya terpental keluar, akan tetapi masih saling bergandeng tangan.
Cepat Sin
Liong menyapu mukanya agar kedua matanya dapat memandang. Ternyata perahu
mereka telah dilontarkan ke sebuah pulau kecil yang penuh batu karang, sebuah
pulau yang menjulang tinggi akan tetapi hanya kecil-kecil sekali, merupakan
sebuah batu karang besar yang menonjol tinggi.
"Sumoi,
lekas...! Kita naik ke sana...!!"
Sin Liong
tidak mempedulikan tubuhnya yang terasa sakit semua, membantu sumoinya
merangkak bangun. Pipi kanan dan lengan kiri Swat Hong berdarah, akan tetapi
gadis itu pun agaknya tidak merasakan semua ini. Tersaruk-saruk dia dibantu
suheng-nya merangkak dan menyeret perahu ke atas, kemudian mereka melanjutkan
pendakian ke atas puncak batu karang itu dengan susah payah. Akhirnya mereka
tiba di puncak batu karang dan apa yang tampak oleh mereka dari tempat tinggi
ini benar-benar menggetarkan jantung.
Di sekeliling
mereka hanya air semata. Air yang menggila, bergerak berputaran, gelombang yang
dahsyat menggunung, suara yang gemuruh seolah-olah semua iblis dari neraka
bangkit. Batu karang besar, atau lebih tepat disebut pulau kecil dari batu itu
tergetar-getar, seolah-olah menggigil ketakutan menghadapi kedahsyatan badai
yang mengamuk. Tidak tampak apa-apa pula selain air, air dan kegelapan,
kadang-kadang diseling cahaya menyambar dari atas seperti lidah api seekor naga
yang bernyala-nyala.
"Ouhhh..!"
Swat Hong menangis dan cepat dipeluk oleh suheng-nya. Tubuh dara itu menggigil,
pakaiannya robek-robek.
"Tenanglah...
tenanglah, Sumoi...." Sin Liong berbisik dan pemuda ini mengerti bahwa
bukan hanya sumoi-nya yang disuruhnya tenang, melainkan hatinya sendiri juga!
Pengalaman
ini sungguh dahsyat dan tidak mungkin dapat terlupa selama hidupnya. Kebesaran
dan kekuasan alam nampak nyata. membuat dia merasa kecil tak berarti, kosong
dan remeh sekali! Sin Liong dan Swat Hong yang dipeluknya tidak tahu lagi
berapa lamanya mereka berada di tempat itu. Siang malam tiada bedanya, yang
tampak hanya kegelapan, air, dan kadang-kadang kilatan cahaya halilintar. Yang
terdengar hanyalah gemuruh air, angin menderu, dan kadang-kadang ledakan
guntur. Tidak memikirkan dan merasakan apa-apa, yang ada hanya takjub dan
ngeri!
Di luar
tahunya dua orang itu, mereka telah berada di pulau batu karang selama sehari
semalam! Akhirnya badai mereda, badai yang ditimbulkan oleh ledakan gunung
berapi di bawah laut! Kegelapan mulai menipis, akhirnya tampak kabut putih
bergerak perlahan meninggalkan tempat itu. Air mulai tenang dan menurun,
akhirnya tampaklah sinar matahari disusul oleh bola api itu sendiri setelah
kabut terusir pergi. Tampaklah lautan luas terbentang di bawah, dan baru
sekarang dua orang muda itu sadar bahwa mereka duduk di puncak batu karang yang
amat tinggi!
Swat Hong
mengeluh, baru terasa betapa penat tubuhnya, betapa luka-luka kecil dari
kulitnya yang lecet-lecet, dan betapa haus dan lapar menyiksa leher dan perut!
"Sumoi,
badai sudah mereda. Mari kita turun. Aihh, itu perahu kita. Untung tidak
pecah," kata Sin Liong dan dia menggandeng tangan sumoi-nya menuruni batu
karang.
Perahu
mereka tidak pecah, akan tetapi layar dan dayungnya lenyap. Sin Liong
mengangkat perahu itu, membawanya turun kebawah.
"Mari
kita lekas pulang, Sumoi. Biar kudayung dengan kedua tangan."
Swat Hong
duduk di dalam perahu, mengeluh lagi dan berkata penuh kegelisahan,
"Bagaimana dengan Pulau Es? Badai mengamuk demikian hebatnya,
Suheng."
“Aku tidak
tahu, mudah-mudahan mereka selamat. Maka dari itu, kita harus cepat
pulang," suara Sin Liong bergetar walau wajahnya terlihat tetap tenang.
Dia lalu
menggunakan kedua tangannya yang kuat sebagai dayung. Perahu bergerak, meluncur
di atas air yang tenang dan licin seperti kaca. Sama sekali tidak ada
tanda-tanda di permukaan air bahwa air itu telah mengamuk sedemikian hebatnya
baru-baru ini. Tak lama kemudian Sin Liong medapatkan dayung yang dipatahkan
dari batang pohon yang hanyut di air. Agaknya pulau-pulau kecil di sekitar
tempat itu telah diamuk badai sedemikian hebatnya sehingga pohon-pohon tumbang
dan terbawa air.
Setelah
keadaan cuaca terang kembali, Sin Liong dapat menentukan arah perahu dan tak
lama kemudian tampaklah Pulau Es dari jauh. Kelihatannya masih seperti biasa,
sebuah Pulau keputihan memanjang di kaki langit, berkilaun tertimpa sinar
matahari. Hati mereka lega. Dari jauh kelihatannya tidak terjadi perubahan di
pulau itu. Setelah agak dekat, mereka melihat pula puncak atap istana di Pulau
Es, maka legalah hati mereka. Hati Sin Liong mulai berdebar tegang ketika
perahunya sudah menempel di Pulau Es.
Keadaannya
begitu sunyi. Sunyi dan mati! Tidak kelihatan seorang pun di pantai, bahkan
tidak tampak sebuah perahu pun. Dan bukit-bukit es tidak seperti biasanya,
kacau-balau tidak karuan dan berubah bentuknya! Dengan hati tidak enak kedua
orang muda itu belari-lari ke tengah pulau. Makin ke tengah, makin pucat wajah
mereka. Tidak ada seorang pun kelihatan, dan juga pondok-pondok yang biasanya
terdapat di sana-sini, sekarang habis sama sekali. Tidak ada sebuah pun pondok
yang tampak! Seolah-olah semua telah disapu bersih, tersapu bersih dari pulau
itu.
"Auhhh...!"
Swat Hong berdiri dengan muka pucat, kedua kakinya menggigil.
"Mari
kita ke istana, Sumoi!" Sin Liong yang berkata dengan suara bergetar lalu
menyambar lengan sumoi-nya dan diajaknya dara itu lari ke dalam istana.
Beberapa
kali terdengar Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan, dan Sin Liong juga kaget
bukan main. Mereka seperti memasuki sebuah kuburan! Sunyi, kosong, dan tidak
ada bekas-bekasnya tempat itu didiami manusia! Habis sama sekali, baik
perabotan istana mau pun manusia-manusianya! Tidak tertinggal sepotong pun
benda atau seorang pun manusia. Habis semua! Ke mana pun mereka lari dan
berteriak-teriak memanggil, yang terdengar hanya gema suara mereka sendiri!
"Oughhh...!!"
Swat Hong tidak mampu menahan himpitan perasaan yang ngeri dan berduka,
tubuhnya tergelimpang dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat disambar oleh
Sin Liong.
"Sumoi...!"
akan tetapi suara ini kandas di kerongkongannya dan tanpa disadari pula, kedua
pipi Sin Liong basah oleh air matanya yang mengalir deras menuruni kanan-kiri
hidungnya ketika dia memondong tubuh sumoi-nya yang pingsan itu ke dalam kamar.
Akan tetapi
dia termangu-mangu ketika tiba di ambang pintu kamar yang terbuka. Kamar itu
kosong dan bersih, tidak ada sebuah atau sepotong pun perabotannya. Terpaksa
dia merebahkan tubuh sumoi-nya di atas lantai, dan dia sendiri merebahkan
kepala di atas kedua lututnya sambil menangis. Terlampau hebat peristiwa yang
dihadapinya, Pulau Es telah disapu bersih oleh badai! Bersih sama sekali
sehingga agaknya tidak ada seorang pun manusia yang tertolong. Tidak ada
sepotong pun barang yang tertinggal, kecuali bangunan istana yang memang amat
kuat itu.
Setelah
siuman, Swat Hong menangis, "Aih, mengapa...? Mengapa...? Ayah, kasihan
sekali Ayah...!"
Akhirnya Sin
Liong dapat menghibur dan membujuknya. Mereka berdua lalu mengadakan
pemeriksaan dan mendapat kenyataan bahwa benar-benar Pulau Es telah diamuk
badai. Agaknya air laut telah naik sedemikian tinggi sehingga pulau itu teredam
air. Mereka menemukan beberapa potong pakaian yang tersangkut di batu-batu.
Dengan hati terharu penuh kedukaan mereka mengumpulkan pakaian itu, entah punya
siapa, tapi menjadi barang peninggalan yang amat berharga.
Kemudian
mereka memeriksa istana. Memang ada beberapa benda yang masih tertinggal di
dalam kamar di bawah tanah, akan tetapi yang berada di atas, semua habis dan
lenyap.
"Suheng,
lihat ini...!" tiba-tiba Swat Hong berkata sambil menunjuk ke dinding.
Sin Liong
cepat menghampiri dan keduanya mengenal goresan tangan Han Ti Ong yang agaknya
menggunakan jari tangan yang penuh tenaga sinkang untuk menulis di dinding batu
itu!
‘Sin Liong
dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es.
Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu
Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong’.
Pendek saja
‘surat dinding’ itu, namun cukup jelas isinya. Sin Liong menarik napas panjang.
Kasihan dia kepada Suhunya yang mati meninggalkan dendam itu!
"Suheng
lihat ini...."
Tak jauh
dari tulisan itu terdapat bekas jari-jari tangan mencengkeram dinding. Mudah
saja mereka menggambarkan keadaan Han Ti Ong dan keduanya tak dapat menahan
tangis mereka. Agaknya dalam menghadapi amukan badai, Han Ti Ong berhasil
menggunakan tenaganya untuk mempertahankan diri beberapa lamanya dengan
mencengkeram dinding. Raja itu sempat pula membuat tulisan itu sebelum kekuatan
yang jauh lebih besar dari pada kekuatannya menyeret ke luar dari istana dan
bahkan dari pulau itu!
"Kasihan
sekali Suhu...." Sin Liong menghapus air matanya.
Swat Hong
mengepal tinjunya. "Aku akan mencari perempuan iblis itu. Selain merampas
kembali pusaka Pulau Es, aku juga akan menghukumnya! Dialah yang mencelakakan
Ibuku, yang mencelakakan Ayahku!"
Sin Liong
menarik napas panjang. Sudah diduganya ini, tentu akan terjadi balas-membalas,
dendam tak kunjung habis!
"Sumoi,
Suhu hanya meninggalkan pesan agar kita mencari kembali pusaka-pusaka
itu...."
"Kau
yang mencari pusaka, aku yang membunuh iblis betina itu!" Swat Hong
berseru penuh semangat. "Dan Bu Ong... hemm, apa pula artinya ini? Bukan
putera ayah?"
"Sumoi,
tenanglah dan dengarlah penuturanku. Mungkin hanya aku dan ayahmu saja yang
tahu akan nasib wanita itu, nasib yang amat buruk dan mengerikan. Tahukah kau
apa yang telah dialami oleh The Kwat Lin sebelum ditolong ayahmu?"
Sin Liong
lalu menceritakan keadaan The Kwat Lin yang menjadi gila karena dua belas orang
suhengnya dibunuh orang dan agaknya, melihat keadaannya, gadis yang tadinya
seorang pendekar wanita perkasa itu telah diperkosa di antara mayat para
suhengnya.
"Kurasa
demikianlah kejadiannya. Setelah suhu menyatakan bahwa Bu Ong adalah keturunan
Kai-ong, teringatlah aku. Jelas bahwa The Kwat Lin diperkosa oleh pembunuh dua
belas orang anak murid Bu-tongpai itu, sehingga anak yang dilahirkannya itu,
Han Bu Ong, adalah keturunan Kai-ong yang memperkosanya dan membunuh para
suheng-nya."
Mendengar
penuturan tentang nasib mengerikan yang dialami ibu tirinya, Swat Hong
bergidik. Akan tetapi dia mengomel. "Yang berbuat jahat kepadanya adalah
Raja Pengemis itu, mengapa dia membalasnya kepada ibu? Dan dia telah
menghancurkan penghidupan Ayah. Betapapun juga, aku harus mencarinya dan
membalaskan sakit hati Ibu dan Ayah."
Sin Liong
maklum bahwa membantah kehendak sumoi-nya ini percuma, hanya akan menimbulkan
pertentangan saja. Maka diam-diam dia mengambil keputusan untuk selalu
mendamping sumoi-nya, selain menjaga keselamatan dara ini, juga kalau perlu
mencegah sepak terjangnya yang terdorong oleh nafsu dan dendam. Betapa pun
juga, setelah Pulau Es dibasmi oleh badai, dara ini kehilangan ayah-bunda, tiada
sanak kadang, tiada handai taulan dan dialah satu-satunya orang yang patut
melindunginya, sebagai suheng-nya. Ataukah sebagai calon suami? Sin Liong tidak
mengerti dan tidak berani memutuskan. Biarlah hal perjodohan itu diserahkan
kepada keadaan kelak.
Dia tidak
membantah ketika sumoi-nya mengajaknya meninggalkan Pulau Es yang telah kosong
itu untuk mencari ibunya, dan kalau masih juga tidak berhasil, untuk pergi ke
daratan besar mencari The Kwat Lin. Beberapa hari kemudian, setelah yakin benar
bahwa tidak ada seorang pun di antara penghuni Pulau Es yang selamat dan
kembali ke pulau itu, Sin Liong dan Swat Hong berangkat meninggalkan Pulau Es.
Ketika
perahu kecil yang mereka dayung itu meluncur meninggalkan pulau, Swat Hong
memandang kearah pulau dengan air mata bercucuran. Juga Sin Liong merasa
terharu dan berduka mengingat akan nasib para penghuni Pulau Es yang mengerikan
itu. Mereka berdua mendayung perahu menuju ke selatan dan di sepanjang
perjalanan ini mereka menemukan bukti-bukti kedahsyatan badai dan keanehan alam
yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi di bawah laut itu.
Ada pulau
yang lenyap sama sekali, dan ada pula pulau yang baru muncul begitu saja, pulau
yang amat aneh, pulau batu karang yang masih jelas kelihatan bahwa pulau ini
tadinya merupakan dasar laut dengan segala keindahannya, dengan makhluk hidup
dan tetumbuhannya yang kini semua mengeras menjadi batu karang dengan bermacam
bentuk. Banyak pulau yang mengalami nasib serupa dengan Pulau Es, yaitu menjadi
gundul, habis sama sekali tetumbuhan atasnya.
Diam-diam
terbayang dalam pikiran Sin Liong betapa dahsyat kekuasan alam. Andai kata
semua lautan yang mengamuk seperti beberapa hari yang lalu itu, agaknya dunia
akan menjadi kiamat! Melihat keadaan pulau-pulau itu, timbul rasa khawatir
dalam hati Sin Liong tentang keadaan Pulau Neraka. Tentu pulau itu pun tidak
terluput dari amukan badai, pikirnya. Padahal baru saja pulau itu mengalami
penyerbuan Han Ti Ong dan pasukannya! Sin Liong merasa kasihan sekali terhadap
nasib para penghuni Pulau Neraka. Apakah pulau itu seperti juga Pulau Es,
disapu bersih dan seluruh penghuninya terbasmi habis?
Setelah
merasa mencari dengan sia-sia, beberapa hari kemudian Sin Liong mengemukakan
pendapat, "Agaknya ibumu tidak berada di antara pulau-pulau ini. Bagaimana
kalau kita mencari ke utara lagi. Siapa tahu kali ini kita berhasil, dan kita
dapat juga bertanya ke Pulau Neraka kalau-kalau ibumu ke sana."
"Hemm,
agaknya engkau sudah rindu kepada Soan Cu, Suheng."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. "Sumoi, kau...cemburu lagi?"
Wajah dara
itu menjadi merah. "Aku hanya berkata sewajarnya."
"Sudahlah.
Kalau kau cemburu, kita tidak usah singgah di Pulau Neraka," kata Sin
Liong menarik napas panjang.
Keadaan
menjadi hening sejenak. Mereka telah menghentikan gerakan dayung karena mereka
masih belum mendapat keputusan akan mencari ke mana.
"Kita
ke Pulau Neraka!" tiba-tiba Swat Hong berkata.
"Ehhh...??"
"Aku
harus ke sana. Aku akan menegur kakek berkepala besar itu! Pulau Neraka yang
menjadi biang keladi sehingga Ayah marah-marah kepada kita. Hampir saja kita
dibunuhnya karena Pulau Neraka telah berani menawanku."
"Hemm,
Sumoi. Mengapa kejadian yang telah lewat dipersoalkan lagi? Bukankah Ayahmu
telah menyerbu ke sana? Menurut cerita anak buah pasukan, kurasa Ayahmu telah
menghukum mereka. Kalau begitu, kita tidak perlu pergi ke sana, sumoi."
"Aku
harus pergi ke sana!" dara itu berkeras.
Sin Liong
menggeleng-geleng kepala. Sukar benar melayani sumoi-nya ini yang memiliki
watak aneh dan hati yang keras sepeti baja.
"Aku
hanya mau pergi ke Pulau Neraka kalau untuk mencari ibumu, akan tetapi kalau
kita pergi ke sana hanya untuk mencari perkara, aku tidak mau. Kau harus
berjanji tidak akan membuat kekacauan di sana, Sumoi."
"Hemmm,
agaknya kau berkeinginan keras untuk menjadi sahabat baik Pulau Neraka, ya?
Karena ada...."
"Sumoi,
harap jangan bicara yang tidak-tidak. Memang kita sahabat baik mereka! Lupakah
kau ketika mereka mengantar saat kita meninggalkan pulau itu? Karena itu, aku
hanya mau pergi ke sana kalau untuk mencari ibumu dan menjenguk mereka sebagai
sahabat, melihat keadaan mereka setelah ada badai mengamuk."
Swat Hong
cemberut, akan tetapi menjawab juga. "Baiklah, kita lihat saja
nanti."
Mereka lalu
mendayung perahu dengan cepat menuju ke Pulau Neraka. Akan tetapi, setelah
mereka tiba di daerah Pulau Neraka, mereka menjadi bingung dan pangling karena
di daerah itu telah terjadi perubahan hebat sekali. Mungkin karena akibat badai
yang mengamuk, yang ternyata terjadi di daerah yang amat luas itu, di sekitar
situ telah muncul gunung-gunung es yang amat besar. Pulau Neraka yang biasanya
tampak dari jauh sebagai raksasa yang tidur itu kini tidak kelihatan lagi
karena semua jurusan terhalang pandangannya oleh gunung-gunung es. Mereka
mendayung perahu berputar namun tidak dapat keluar dari kurungan gunung-gunung
es itu.
"Ahhh,
dahulu tidak ada gunung-gunung es besar seperti ini," kata Swat Hong.
"Ini
tentu diakibatkan oleh badai itu, Sumoi. Biarlah kita mengaso dulu dan aku akan
coba melihat keadaan dari puncak sebuah gunung. Kau tunggu saja di sini."
Perahu itu
menempel pada sebuah bukit es yang tinggi dan Sin Liong meloncat ke daratan es.
Kemudian dia menggunakan ilmunya berlari cepat, mendaki gunung es itu untuk
melihat dan mengenali daerah itu dari atas puncaknya yang tinggi. Tiba-tiba
terdengar suara gerengan keras sekali yang mengguncangkan seluruh gunung es
itu. Sin Liong terkejut dan dengan cepat dia menoleh untuk melihat apa yang
mengeluarkan suara seperti itu.
Dari jauh
tampak olehnya seekor beruang besar sedang menggerakkan kedua kaki depannya ke
arah burung-burung yang menyambar-nyambar di atasnya. Burung-burung nazar
(burung botak pemakan bangkai) yang besar-besar beterbangan di atas beruang itu
dan menyerangnya dari atas sambil mengeluarkan suara pekik mengerikan. Melihat
ini, Sin Liong cepat berlari mendekati.
Ternyata
beruang itu terluka parah juga di beberapa bagian anggota badannya, sedangkan
di bawah kakinya tampak bangkai seekor ular laut yang besar. Jelaslah bahwa
beruang itu tadi berkelahi dengan ular laut itu dan dia menang, akan tetapi dia
menderita luka-luka. Kini burung-burung nazar yang kelaparan itu hendak
mengeroyoknya dan tentu saja ingin makan bangkai ular besar.
Sin Liong
segera menggunakan salju yang digenggam untuk menyambiti burung-burung itu.
Terdengar suara plak-plok-plak-plok disusul suara burung-burung nazar
berkaok-kaok kesakitan. Mereka terbang ketakutan menjauhi tempat itu karena
setiap kali terkena sambitan salju terasa nyeri sekali. Dengan beberapa
loncatan saja Sin Liong sudah tiba di depan beruang itu. Beruang yang berkulit
hitam dan amat besar itu menyeringai dan mengerang, memperlihatkan gigi
bertaring yang amat runcing kuat dan lidah yang merah. Matanya terbelalak penuh
kecurigaan dan kemarahan kepada Sin Liong.
"Tenanglah,
aku datang untuk menolongmu," kata Sin Liong sambil maju lebih dekat.
"Aughhh..!"
beruang itu mengerang dan kaki depannya yang kiri menyambar kearah dada Sin
Liong.
Melihat
betapa telapak kaki itu berdarah, Sin Liong mengelak dan cepat menangkap
pergelangan kaki depan itu. Kiranya telapak kaki itu tertusuk tulang dan masuk
amat dalam. Agaknya dalam perkelahian melawan ular laut, beruang itu
mencengkeram tubuh ular dan sedemikian kuatnya dia mencengkeram sampai tulang
punggung ular patah dan menusuk ke dalam daging di telapak kaki depan itu.
Sin Liong
segera mencabut tulang itu. Darah mengucur deras dan dia segera membalut dengan
sapu tangannya. Beruang itu kini tidak marah lagi. Agaknya dia cerdik dan dapat
mengerti bahwa orang yang datang ini bukan musuh, bahkan menolongnya. Kaki
depan yang terluka itu kini tidak nyeri lagi, tentu saja karena tulang yang
membuat dia tersiksa rasa nyeri tadi telah tercabut.
"Coba
kuperiksa, apa lagi yang perlu kuobati," Sin Liong berkata dan dia
memeriksa luka-luka di tubuh beruang itu. Ada sebuah luka di tengkuk yang
membengkak. Tahulah Sin Liong bahwa luka ini cukup berbahaya, kalau tidak lekas
diberi obat yang cocok akan dapat membahayakan nyawa beruang itu.
"Hemmm,
aku harus mencarikan daun obat untuk luka-lukamu," katanya, lupa bahwa
beruang itu tentu saja tidak mengerti apa yang dia katakan.
"Hai,
Suheng, ada apakah?" tiba-tiba terdengar teriakan dari atas.
Sin Liong
menoleh dan melihat sumoinya turun berlari-lari cepat sekali. Setelah dekat,
beruang itu mengerang dan memandang Swat Hong dengan marah.
"Huh,
binatang buruk!" Swat Hong memaki.
"Dia
terluka cukup berat, akan tetapi dia menang berkelahi melawan ular laut itu.
Lihat, betapa besarnya ular itu, Sumoi. Beruang ini kuat sekali, aku harus
mengobatinya sampai sembuh."
Swat Hong
mengerutkan alisnya. "Perlu apa menolong binatang buas seperti itu,
Suheng? Membuang-buang waktu saja."
"Dia
tidak buas lagi, Sumoi. Lihat betapa jinaknya. Dia pun makhluk hidup yang perlu
kita tolong. Aku merasa kasihan kepadanya, Sumoi."
"Wah,
kau lebih mementingkan dia..."
"Hei...!
Ada apa engkau...?" Tiba-tiba Sin Liong berteriak melihat beruang itu
menggereng-gereng dan menarik-narik tangannya, seolah-olah hendak mengajak Sin
Liong pergi dari situ! Beruang itu makin keras menggereng dan makin kuat
menariknya
BERSAMBUNG KE JILID 06
Terima Kasih telah membaca Serial ini
BERSAMBUNG KE JILID 06
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment