Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 06
DIAM-DIAM Sin Liong kagum bukan main. Tenaga beruang ini luar biasa besarnya, dan kiranya dia hanya akan dapat menandingi tenaga raksasa ini kalau dia menggerakkan sinkang sekuatnya! Akan tetapi tiba-tiba dia mendapat firasat tidak baik melihat sikap beruang itu, maka disambarnya tangan sumoi-nya dan dia berteriak. "Awas, Sumoi. Mari kita lekas pergi. Dia menghendaki demikian, entah mengapa?"
Sin Liong
memegang erat-erat lengan sumoi-nya dan membiarkan dirinya diseret oleh beruang
itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke
gunung es lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke atas gunung es
lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es di mana mereka berada
tadi telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu
ditabrak oleh gunung es yang lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si
beruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dari situ. Ternyata
binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia!
Sin Liong
berdiri dengan muka pucat, kemudian dia merangkul beruang itu. "Terima
kasih, Kakak Beruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan kami berdua."
Akan tetapi
Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari sini.
Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu perahu kita
kelihatan dari sini. Untung tidak hilang. Marilah, Suheng."
"Nanti
dulu, Sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh
beruang ini."
"Ah,
perlu apa? Kita bisa celaka di sini..."
"Sumoi,
dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm,
begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir
burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas
semua budi, bukan? Marilah, Suheng."
"Tidak,
Sumoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai mengobatinya."
Swat Hong
menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang beruang betina ini dari-pada
aku!"
"Sumoi...!"
Akan tetapi
Swat Hong sudah berlari pergi. Ia berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke
perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari
situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi
dia membatalkan niatnya karena maklum bahwa hal itu percuma saja.
"Ngukkk...
nguuukkk...." beruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya.
"Ahhh,
Enci (Kakak Perempuan) beruang, betapa sukarnya menyelami watak wanita. Aku
telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega
meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh lukamu?"
Sin Liong
lalu mengajak beruang itu mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat
Hong, maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan
berloncatan dari batu es lainnya. Kalau jaraknya terlalu jauh, beruang itu
menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainya atau kadang-kadang Sin
Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai perahu, didayung dengan
tangannya yang kuat. Akhirnya setelah melalui perjalanan yang amat sukar, dapat
juga dia menemukan pulau yang masih ada tetumbuhannya. Di pulau kecil itu dia
mulai mengobati luka-luka beruang itu sampai sembuh.
Pada suatu
hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak jauh dari
pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh beruang mengambilnya dan
hatinya terharu ketika mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu
Pulau Es.
“Tentu
penumpangnya telah lenyap ditelan badai,” pikirnya.
Dia lalu
membuat dayung dari cabang pohon. Setelah beruang hitam itu sembuh benar, dia
lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi
tiba-tiba beruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya.
"Heii,
Kakak Beruang, kembalilah. Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi mencari
sumoi!"
"Nguuuk...
nguukk...!" beruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya
seperti orang menangis!
Sin Liong
tersenyum. "Hmm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!"
Seolah-olah
mengerti arti kata-kata Sin Liong, beruang itu lalu meloncat ke dalam perahu.
Kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur ke
luar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau
boleh ikut sampai aku dapat menemukan kembali sumoi!" kata Sin Liong.
"Kalau sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau
telah sembuh."
Demikianlah
Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari puncak sebuah
gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di mana letaknya Pulau
Neraka. Beruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong menjadi temannya
berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur. Binatang ini telah
jinak benar-benar.
Setelah kini dia mengenal kembali keadaan dan tahu di
mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Setelah
dekat dengan Pulau Neraka, dia menyaksikan sesuatu yang membuatnya terheran dan
merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas
bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu besar sekali, perahu
layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam
keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya patah,
layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali, berdiri
miring di pantai Pulau Neraka. Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka?
Ternyata
bahwa seperti juga pulau lain, Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai.
Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka penderitaannya
tidak sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik tinggi dan
menenggelamkan setengah bagian pulau ini. Banyak pula penghuninya yang tidak
keburu lari ke tempat tinggi lalu diseret dan ditelan badai. Perahu-perahu
lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai
mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi pantai. Perahu itu adalah perahu
bajak laut!
Setelah air
menyurut, para bajak laut yang terdiri-dari dua puluh lima orang itu segera
mendarat. Mereka itu kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara
mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua
puluh lima orang itulah. Mereka mendarat dikepalai oleh raja bajak yang
memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muara-muara sungai
Huangho dan Yangce.
Kepala bajak
ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri
yang buta karena tusukan pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh
sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi
besar, dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu dia dikenal
sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu), sedangkan nama aslinya adalah
Koan Sek.
Mereka sama
sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yang diamuk oleh badai dahsyat itu telah
mendarat di Pulau Neraka! Andai kata tahu juga, mereka tentu tidak merasa takut
karena pada waktu itu nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh orang-orang Pulau
Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai
tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapa pun juga, Pulau Es
merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akan tetapi
karena pulau di mana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkan pulau
yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani.
Setelah
badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ke tengah pulau. Untung
bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan
mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun menjadi panik
dan ketakutan, lari bersembuyi dan belum berani keluar. Andai kata mereka itu
berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa, tentu mereka akan menjadi korban
binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali
tidak ada di antara mereka yang akan dapat lolos betapa pun liar, ganas dan
lihai mereka itu.
Dapat
dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat
kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang dibuat oleh
manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat
ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa
peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah biasa berkelahi
dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka itu mereka sambut
dengan gembira. Mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah orang-orang
biasa saja. Maka besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan betapa
kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak
dibasmi oleh badai, yang berani menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata
memiliki kepandaian hebat!
Terjadilah
perang tanding yang seru dan mati-matian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong
itu pun bukan orang-orang biasa melainkan penjahat-penjahat pilihan yang selain
kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu silat. Tok-gan-hai-liong Koan Sek
sendiri sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya
merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras. Ia memiliki seorang pembantu
yang sebetulnya adalah sute-nya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa
Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali.
Para
penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka,
Ouw Kong Ek sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es
yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena dia
merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua.
Penyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan
juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih
mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah
dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih
ada beberapa macam obat yang masih dihafal olehnya, akan tetapi sebagian besar
telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang marah itu.
Pada saat
bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia
dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat dibayangkan betapa
kaget hati kakek ini ketika ada anak buahnya yang datang melapor bahwa pulau
yang baru saja diamuk badai itu kini disebu oleh sepasukan bajak laut yang
ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat...!"
kakek itu meloncat bangun, akan tetapi terguling kembali.
Soan Cu
segera memegang lengan kakeknya, membantunya untuk rebah kembali.
"Tenanglah, Kongkong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu teman-teman
membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu."
Ouw Kong Ek
terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri masih tidak kuat untuk bangun,
apalagi bertempur. "Hati-hatilah, Soan Cu..."
Dia percaya
akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir bajak-bajak laut yang
biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu. Dengan pedang di tangan Soan Cu
lalu berlari ke luar. Ia melihat anak buahnya sudah bertanding mati-matian
melawan bajak-bajak yang ganas. Di sebelah sana terlihat seorang wanita Pulau
Neraka digeluti oleh dua orang laki-laki kasar sampai wanita itu
menjerit-jerit, namun dua orang laki-laki itu malah tertawa-tawa dan
merobek-robek pakaian wanita itu.
Soan Cu
menjadi marah sekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping
mencelat ke depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang
memperkosa wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita
itu cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau
kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi.
Melihat sepak
terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak,
Tok-gan-hai-liong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak
lain cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan
pedangnya berubah menjadi segulung sinar terang yang menyambar dahsyat, membuat
dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata dengan
hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar
pedang yang dimainkan oleh dara itu.
"Lepas
tulang ikan!" tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sute-nya
dan mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat
orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan. Mereka berdua lalu mengayun tangan
berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan
Cu dari depan dan belakang.
Dara ini
memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah seorang dara Pulau Neraka,
sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti
racun, maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia
lawan yang lembut itu mengenai pahanya. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia
merasa kakinya itu setengah lumpuh dan begitu dia menggerakkan pedang, tubuhnya
terhuyung, kepalanya pening.
"Aihhh...!"
dia berseru nyaring, lebih banyak heran dari-pada khawatir.
Dara ini
tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang
berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut
ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa
yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya.
"Sute,
tangkap nona manis ini...!" teriak Koan Sek dengan girang.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget
bukan main. Dua orang bajak mendengar suara itu dekat sekali di belakang.
Mereka segera menengok dan... mereka lantas pula terjengkang dan merangkak
untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang mengerang itu adalah seekor
binatang raksasa hitam yang menakutkan. Seekor beruang yang lebar moncongnya
cukup untuk mencaplok kepala mereka sekaligus!
Sin Liong
yang datang bersama beruang itu cepat meloncat mendekati Soan Cu. Ia merampas
pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan tangan kiri, kemudian
sekali meloncat dia telah berada di punggung beruang. Lengan kirinya memeluk
dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu telah pingsan,
sedangkan tangan kanan menggerakkan pedang dara itu sambil berseru.
"Kakak
Beruang, lawan mereka yang berani mendekat!"
Beruang itu
menggereng-gereng. Ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar
pedang yang digerakkan oleh Coa Liok Gu, sute dari kepala bajak, tiba-tiba kaki
depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan
menangkis pedang melainkan mencengkeram kepala Coa Liok Gu.
Tentu saja
orang ini sangat kaget. Cepat ia merendahkan tubuh, membalikkan pedang dan siap
untuk menyerang lagi. Begitu lengan beruang itu kembali menyambarnya, dia
meloncat ke atas dan menusukan pedangnya mengarah bagian antara kedua mata
beruang itu.
"Cringgg...!!"
pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau tidak
ingin dadanya robek oleh cakar beruang setelah pedangnya ditangkis oleh Sin
Liong tadi.
"Siuuut...!!"
Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar dengan
ganas, menghantam punggung beruang hitam dengan kecepatan kilat dan dengan
tenaga dahsyat.
"Cringgg...!
Tranggg...!!" dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua
kali pula kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir
terkupas kulitnya dan terasa panas serta perih.
Pada saat
Koan Sek terbelalak dan terheran, beruang itu sudah membalikkan tubuh sambil
kaki depannya yang kanan menampar. Kepala bajak itu mencoba menangkis, namun
senjatanya terlepas dari pegangannya dan beruang itu sudah menubruknya, bahkan
siap mencengkeram ke arah lehernya.
"Kakak
Beruang, jangan ...!" Sin Liong membentak.
Beruang itu
terkejut dan ragu-ragu, sehingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan
Sek untuk meloncat jauh ke belakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu
berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang menunggang beruang itu membawa
pergi tubuh dara jelita yang pingsan. Biar pun pedang masih berada di
tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang. Dia maklum bahwa selain
beruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki kepandaian yang luar
biasa sekali.
Sin Liong
merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan
pertempuran...!" dia berseru berkali-kali, namun percuma saja. Para bajak
laut dan penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu
sedang marah, maka sukar untuk dibujuk.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking tinggi dan panjang. Suara itu segera disusul suara
berdengung-dengung dan berdesis-desis. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati
Sin Liong ketika dia melihat datangnya binatang-binatang kecil yang berbisa.
Ular, kelabang, kalajengking dan sebangsanya berdatangan dari semua penjuru,
merayap cepat seolah-olah digerakan oleh suara melengking itu, dan yang lebih
mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan!
Saking
kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung beruang. Kini beruang itu pun
terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa
bahaya maut datang mengancamnya.
"Uhhh...
apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan siuman dari pingsannya.
Sin Liong agak
lega melihat dara itu sudah siuman. "Bagaimana lukamu?" tanyanya.
"Nyeri
sekali, panas... eh, siapa yang memimpin binatang-binatang berbisa itu?"
Soan Cu segera turun dari pondongan Sin Liong. "Cepat pergunakan obat
penolak ini..."
Dia
mengeluarkan sebungkus obat penolak dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan
obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan beruang
betina, Soan Cu berkata lagi, "Sin Liong tolong... kau tangkap Si Mata
Satu itu... Aku membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya (senjata
gelapnya)...."
Melihat
betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong
maklum bahwa tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar
biasa sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya mencelat kearah Koan Sek yang masih
bengong memandang ke depan.
Mata Koan
Sek terbelalak ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi korban
pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Maka ketika tubuh Sin Liong menyambar,
dia terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi sudah
mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun
senjatanya menghantam ke arah Sin Liong.
Pemuda ini
tadi telah melepaskan pedangnya. Melihat betapa dia disambut serangan dahsyat,
cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat. Secepat kilat
kedua tangannya lalu menyambar. Sebelum Koan Sek tahu apa yang terjadi,
senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah
diangkat dan dipanggul seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta,
karena pemuda itu sudah meloncat seperti terbang, kembali ke dalam lingkaran
obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
Koan Sek
menggigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri
sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu. Terdengar
jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan menonton
sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu menghadapi
penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak berdaya.
Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan sekali
melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis menggerung-gerung
karena tidak tahan menderita rasa nyeri yang menyengati sekujur tubuh.
"Cepat
bertindak, halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut.
Biar pun yang dikeroyok binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia
tidak dapat menyaksikan peristiwa mengerikan itu.
Soan Cu
menggeleng kepala. "Tidak mungkin. Mereka digerakkan oleh suara melengking
itu."
"Suara
apa itu? Siapa yang membunyikan?"
Soan Cu
tersenyum dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar
dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang
dapat melakukannya hanyalah Kongkong. Augghh...!" dara itu roboh pingsan
lagi dalam rangkulan Sin Liong.
"Aduh
celaka..., binatang-binatang itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek
menggigil. Dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana
pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha mengusir
lebah-lebah putih yang mengeroyoknya.
"Kalau
keluar dari sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," kata Sin
Liong menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak.
"Binatang-binatang itu tidak berani memasuki lingkaran ini."
Koan Sek
memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa ular-ular beracun yang
bermacam-macam warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis
lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau
penolak itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para
bajak yang berada di luar lingkaran. Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok Gu
menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa
pembantunya yang juga merupakan sute-nya melolong-lolong dan bergulingan
dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat
lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut!
Sin Liong
sendiri merasa ngeri menyaksikan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Kalau
saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan meloncat dan memaksa kakek
itu menghentikan pekerjaannya yang kejam, membunuh para bajak seperti itu. Akat
tetapi celakanya, suara itu melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana
datangnya, bahkan kakek itu pun tidak tampak. Pula, mana mungkin dia berani
meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala bajak?
Maka pemuda
ini merasa jantungnya seperti disayat-sayat menyaksikan pembunuhan yang amat
kejam itu. Melihat betapa dua puluh empat orang bajak menemui kematian secara
mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya suara jeritan mereka
makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya
tidak berkelojotan lagi dan binatang-binatang kecil berbisa yang kelaparan itu
masih menggerogoti kulit dan daging mereka!
Kemudian
tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini datang ke tempat itu sambil
merangkak dengan susah payah. Tubuhnya kelihatan lemah dan kurus, mukanya pucat
dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang alat tiup terbuat dari-pada batang
alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas saja suaranya melengking tinggi
dan aneh. Beberapa orang anggota Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua
mereka, memapahnya datang.
Kini
binatang-binatang itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw Kong Ek
merubah suara tiupan sulingnya. Akhirnya yang tinggal hanya mayat-mayat dua
puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang
penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran.
"Ahhh,
engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?" Ouw Kong Ek dituntun anak
buahnya datang mendekat.
Sin Liong
mengerutkan alisnya. "Tocu, sungguh kejam engkau membunuh mereka seperti
itu."
Kakek itu
terbelalak. "Aku? kejam? Dan mereka ini...?" dia menuding ke arah
mayat-mayat para bajak laut. "Dan...hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia
ini pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan
Sek yang berdiri dengan muka pucat.
"Tahan
dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada di dalam
tangannya!"
"Soan
Cu...!" Ouw Kong Ek memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan
berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa dia?"
"Terkena
senjata beracun," jawab Sin Liong, kemudian dia memandang Koan Sek dan
membentak. "Hayo kau berikan obat penawar senjata gelapmu!"
Tok-gan-hai-liong
Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang kenyang
menjelajah di dunia kang-ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika
menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sute-nya, tewas secara mengerikan,
dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan tetapi sekarang
setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul kembali
keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya
kita telah salah masuk. Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?"
tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa jeri sekali menghadapi pemuda yang
dia tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu.
"Kau
belum tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia itu adalah ketuanya," jawab
Sin Liong sambil menuding kepada Ouw Kong Ek. "Sedangkan nona ini adalah
cucunya. Maka kau harus cepat memberikan obat penawarnya."
"Ha-ha,
mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya. Aihh, kiranya kami telah
memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya yang seperti iblis
pula! Benar-benar kami telah membuat kesalahan besar! Orang muda, mudah saja
mengobati luka nona ini, akan tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku
telah tewas semua dan aku dalam cengkeraman kalian!"
"Engkau...
engkau akan kusiksa, kucincang sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha,
boleh! Lakukan sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa
aku mempunyai banyak teman, terutama sekali cucumu. Kalau orang tidak lagi
menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi
kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha-ha-ha! Biarlah aku mati ditemani
oleh dara remaja ini!"
Ouw Kong Ek
sudah marah sekali, kedua tangannya dikepal sehingga suling batang alang-alang
itu hancur di tangannya.
Melihat
kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong berkata, "Ouw-tocu apa yang
dikatakannya benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan ternyata dia terkena racun
yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya. Maka biarlah kita menukar
keselamatannya dengan keselamatan Soan Cu. Betapa pun juga, nyawa Soan Cu jauh
lebih berharga dari-pada kehidupan seorang sesat seperti dia."
"Ha-ha-ha,
itu baru omongan yang tepat!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa
‘mendapat angin’ berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi
sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau Neraka berada di tangannya. Apalagi yang
ditakutinya?
"Iblis
keparat! Hayo kau berikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari
sini!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha,
aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang tolol," dia lalu menoleh
kepada Sin Liong. "Orang muda apakah kedudukanmu di Pulau Neraka
ini?"
Dia memang
tidak dapat menduga karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut
taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dia percaya di
situ, maka satu-satunya orang adalah pemuda ini.
"Aku
bukan penghuni Pulau Neraka, aku adalah seorang dari Pulau Es...."
"Kalau
begitu, aku hanya mau memberikan obat penawarnya jika engkau yang mengantarku
sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam,
kau tidak percaya kepadaku?!" Ouw Kong Ek membentak dan para pembantunya
sudah mengangkat senjata mengancam.
"Terserah,
bunuhlah. Aku toh akan mati bersama dia ini."
Sin Liong
menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata,
"Ouw-tocu, biarlah kita memenuhi permintaannya. Harap sediakan perahu
untuknya."
Terpaksa Ouw
Kong Ek menggerakkan kepalanya, memberi isyarat kepada anak buahnya, kemudian
memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik. Koan Sek lalu berjalan
bersama Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju ke tepi laut. Setelah
sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari
dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari
tangan yang sudah kering.
"Nona
itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat diobati
kecuali dengan ini. Tumbuklah hingga menjadi bubuk dan masak, lalu minumkan
airnya, tentu dia akan sembuh."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi
tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam
lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni
Pulau Neraka sambil berkata, "Berikan ini kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk
halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya
supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang
itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong
lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang.
"Kau
tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir.
"Jangan
tergesa-gesa," jawab Sin Liong. "Aku harus yakin dulu bahwa obatmu
benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil
namanya?"
Koan Sek
menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa
kalau melawan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh. Dalam
keadaan seperti ini, mana aku berani main-main?"
Sin Liong
diam saja.
Kepala bajak
itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda itu penuh selidik,
kemudian bertanya, "Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?"
Sin Liong
mengangguk.
"Dan
siapa namamu?"
"Kwa
Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya
aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah dongeng..."
"Hemm..,
memang sekarang hanya tinggal dongeng...." Sin Liong berkata sambil
merenung jauh membayangkan keadaan Pulau Es yang telah terbasmi oleh badai dan
kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan.
"Ngukk...
nguukkk..."
Sin Liong
menoleh dan tersenyum. "Eh, Enci Beruang. Kau menyusulku?"
Beruang itu
menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di atas
perahu di depan pemuda itu.
"Binatang
yang hebat!" Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini
seperti bukan manusia biasa, bahkan mempunyai binatang peliharaan seperti itu!
"Kau
bilang tadi... tinggal dongeng apa maksudmu?"
"Tidak
apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus beruang yang sudah
bertiarap di depannya.
"Orang
muda she Kwa... eh, Tai-hiap... kenapa kau mau membebaskan aku?"
Sin Liong
mengangkat mukanya memandang. Kepala bajak itu menjadi lebih heran lagi melihat
betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau
permusuhan dengannya.
"Mengapa
tidak? Engkau pun membebaskan Soan Cu." Sin Liong menengok dan tampaklah
dua orang tadi datang berlari-lari.
"Kwa-taihiap,
Nona sudah sembuh!"
Sin Liong
mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan
harap kau jangan sekali-kali mendekati pulau ini."
Koan Sek
menjawab, "Terima kasih. Satu kali pun sudah cukuplah!" dia
mengkirik. "Pulau Iblis seperti ini siapa yang ingin melihatnya
lagi?" dia lalu menggerakkan dayungnya dan perahu meluncur cepat
meninggalkan Pulau Neraka.
Ketika Sin
Liong bersama beruangnya tiba kembali ke tengah pulau, benar saja bahwa Soan Cu
telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang
tinggal dan luka itu sudah diobati oleh kongkong-nya. Para penghuni Pulau
Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan
itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknya oleh Ouw Kong Ek dan Soan Cu.
"Taihiap,
lagi-lagi engkau yang datang menolong kami," kata Ouw Kong Ek.
"Kalau
engkau tidak segera datang, entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin
Liong," kata Soan Cu dengan mata bersinar-sinar penuh kagum dan terima
kasih.
"Ahh,
mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah kita ini
sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud yang
sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke
sini?"
Soan Cu dan
kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek
terkandung rasa hati tidak senang. Sin Liong maklum akan ketidak-senangan hati
kakek itu, maka dia menarik napas panjang.
"Harap
saja Tocu tidak menyangka yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan
oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi,"
kata Sin Liong.
"Jadi
Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?"
Sin Liong
mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya
pernah ditahan di sini."
"Bukan
hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong
sekali! Dia menghina kakek. Biar pun tidak melakukan pembunuhan tapi dia
memukul semua orang!"
"Kau
juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya,
melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memukulku. Akan tetapi
karena melihat kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia
memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan!
Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!"
Sin Liong
menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga
tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah
musnah."
"Hei...?
Apa maksudmu, Taihiap...?" kakek itu bertanya sambil terbelalak.
"Apa
yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda
badai... habis seluruhnya! Semua penghuninya termasuk Suhu dan seluruh benda di
sana habis terbasmi kecuali bangunan istana yang telah kosong sama
sekali..." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat mala-petaka yang
penimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan Sumoi-nya
terluput dari bencana.
Kakek dan
cucu itu mendengarkan dengan melongo, kemudian kakek itu bertepuk tangan dan
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap
dalam sekejap mata! Kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, dianggap
dikutuk Tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat. Sedangkan penghuni
Pulau Es yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja
musnah! Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi Tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami
bergerak, engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" kakek itu tertawa-tawa
sampai air matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa,
ataukah menangis.
“Mengapa
Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang terjadi dengan
dia?"
Sin Liong
lalu menceritakan niat perjalanannya bersama Swat Hong, yaitu untuk mencari ibu
Swat Hong yang sampai kini tidak diketahui berada di mana. Dan betapa di jalan
mereka menjadi bingung dan tersesat karena badai telah menciptakan pemandangan
yang berbeda di permukaan laut sehingga mereka mendarat di gunung es dan betapa
dia menemukan beruang hitam.
"Sumoi
berangkat melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka karena disangkanya ibunya
berada di sini, sedangkan aku mengobati beruang...." Sin Liong menutup
ceritanya, tentu saja dia tidak menceritakan kemarahan Swat Hong kepadanya.
"Apakah
dalam beberapa hari ini dia tidak datang ke sini?"
Soan Cu
menjawab, "Untung saja dia tidak datang, Sin... eh, Taihiap."
"Soan
Cu mengapa engkau meniru kakekmu yang bersungkan kepadaku dan menyebut Taihiap
segala?"
"Biarlah,
Taihiap," kata Ouw Kong Ek. "Tidak pantas kalau dia menyebut namamu
begitu saja. Dan engkau memang menolong kami dan pantas disebut Taihiap karena
kepandaianmu tinggi sekali."
"Heeehhh...?!"
mata Tok-gan-hai-liong yang tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia
merasa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh
dan mengerikan di mana semua anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan
seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebutan yang
tadinya dikiranya hanya terdapat dalam dongeng tahayul belaka. Mimpikah dia?
Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman dari
rohnya?
"Pulau...
Pulau... Es...?" dia berkata lirih.
Sin Liong
mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa mengira malah membuat
kepala bajak ini menjadi termangu-mangu seperti orang sinting.
"Kau
katakan tadi untung Sumoi tidak datang ke sini, mengapa?" tanya Sin Liong
kepada Soan Cu.
"Andai
kata dia datang, tentu akan terjadi apa-apa yang tidak baik antara dia dan
Kongkong. Ketahuilah, semenjak Raja Pulau Es datang mengacau di sini, Kongkong
jatuh sakit, dan kebencian kami semua terhadap Pulau Es makin mendalam. Maka
kalau Sumoi mu, Swat Hong datang, tentu akan terjadi hal yang tidak baik,"
jawab Soan Cu.
Sin Liong
mengangguk-angguk. Ia merasa lega bahwa sumoi nya tidak mendahului datang ke
Pulau Neraka, akan tetapi juga menimbulkan kegelisahannya karena dia jadi tidak
tahu di mana sumoinya yang pemarah itu kini berada!
“Bajak-bajak
laut itu, dari mana datangnya dan mengapa mengacau ke sini?" tanyanya.
"Entah.
Tahu-tahu mereka muncul dan perahu besar mereka terdampar di tepi pulau."
"Agaknya
mereka juga diamuk badai."
"Mungkin,"
jawab Soan Cu bimbang, kemudian ia melanjutkan, "Kami diserang selagi
Kongkong sakit. Kongkong tidak dapat turun dari pembaringan, maka aku yang
menggantikannya. Aku keluar menyambut mereka, akan tetapi karena kurang
hati-hati, karena memandang rendah am-gi mereka, aku hampir celaka kalau tidak
ada engkau yang datang di waktu yang tepat, Taihiap."
"Akan
tetapi, akhirnya biar pun sakit Kongkong-mu dapat membunuh semua bajak laut
itu," Sin Liong bergidik ngeri mengenangkan kematian para bajak itu.
"Ugh-ugh...!"
kakek itu terbatuk-batuk. "Bajak-bajak macam itu saja kalau aku tidak
sakit, kalau Soan Cu tidak memandang rendah dan kalau para penghuni tidak baru
saja diamuk badai, tidak ada artinya bagi kami. Kalau binatang-binatang Pulau
Neraka tidak bersembunyi ketakutan sehabis diamuk badai, mana mereka mampu
masuk? Sudahlah, sekarang saya hendak menyampaikan permohonan yang amat penting
bagi Taihiap."
"Ah,
Tocu, Di antara kita yang sudah menjadi sahabat, perlu apa banyak sungkan lagi?
Kalau ada sesuatu, katakan saja, mana perlu menggunakan permohonan lagi?"
jawab Sin Liong.
Akan tetapi
tiba-tiba kakek itu turun dari bangkunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Sin Liong!
Tentu saja
pemuda ini menjadi sibuk sekali. Cepat ia membangunkan kakek itu dan berkata,
"Tocu, harap jangan begini. Aku yang muda mana berani menerimanya? Ada
keperluan apakah? Katakan saja, aku tentu akan membantumu sedapat
mungkin," Sin Liong berkata dengan hati tidak enak, menduga akan
menghadapi hal yang sulit.
Setelah
duduk kembali dan mengatur napasnya yang terengah-engah karena kesehatannya
belum pulih kembali dan tubuhnya terasa amat lelah, kakek itu berkata,
"Kwa-taihiap, aku sudah tua dan tidak mempunyai keturunan lain kecuali
Soan Cu. Taihiap sudah melihat sendiri keadaan di Pulau Neraka yang merupakan
tempat tidak baik untuk seorang dara seperti Soan Cu. Oleh karena itu, setelah
kini kerajaan Pulau Es tidak ada, berarti bahwa Pulau Neraka telah bebas dan
kami bukanlah orang-orang buangan lagi. Soan Cu juga bukan keturunan orang
buangan lagi dan sewaktu-waktu kami boleh meninggalkan pulau ini. Karena itu,
aku mohon dengan sepenuh hatiku, sudilah Taihiap membawa Soan Cu bersama
Taihiap untuk mengenal dunia ramai, dan syukur kalau Taihiap dapat mengatur agar
cucuku ini tidak usah lagi kembali dan tinggal di Pulau Neraka ini. Kuharap
permohonan ini tidak akan ditolak oleh Taihiap."
Sin Liong
mengerutkan alisnya. Permintaan yang sama sekali tidak pernah disangkanya!
"Akan tetapi, Ouw-tocu, hendaknya diingat bahwa aku sendiri adalah seorang
sebatang kara yang tidak mempunyai apa-apa, tidak mempunyai tempat tinggal dan
masih belum kuketahui apa akan jadinya dengan diriku ini."
"Kalau
Taihiap merantau, bawalah dia merantau, ke mana saja aku sudah pasrah
sepenuhnya. Baik dia akan Taihiap anggap sebagai sahabat, sebagai saudara, atau
kalau mungkin... dari lubuk hatiku kuharap sebagai calon jodoh, aku sudah
merasa lega dan senang, asal dia tidak tersiksa tinggal di neraka ini."
Sin Liong
merasa sukar untuk menolak, akan tetapi juga berat untuk menerima, maka dia
menoleh kepada Soan Cu dan berkata, "Soal ini sebaiknya kita serahkan
kepada Soan Cu sendiri. Kalau memang dia suka merantau meninggalkan pulau ini,
tentu saja aku tidak keberatan mengadakan perjalanan bersama. Akan tetapi hal
ini bukan berarti bahwa aku menerima usul perjodohan Tocu, dan sewaktu-waktu
dia boleh pergi ke mana saja. Jadi aku tidak terikat oleh perjanjian apa pun
juga."
"Taihiap,
jangan khawatir. Memang aku sejak dulu tidak kerasan tinggal di sini. Hanya
karena kedudukanku sebagai seorang keluarga buangan saja yang mencegah aku
meninggalkan Pulau Neraka. Sekarang aku telah bebas, dan betapa pun juga, aku
akan pergi dari sini. Hanya kalau bersama Taihiap, tentu hati Kongkong akan
merasa lebih aman, dan juga untukku sendiri yang tidak ada pengalaman,
melakukan perjalanan bersamamu merupakan hal yang menyenangkan sekali. Aku
hendak pergi mencari ayahku, Taihiap."
"Dan
aku hendak mencari Swat Hong dan ibunya."
"Kalau
begitu, mari kita mencari berdua, siapa tahu dalam mencari Sumoi mu itu , aku
dapat bertemu dengan ayahku."
Setelah
mendapat banyak pesan dan melihat Kongkong-nya membawa pula bekal berupa
pakaian dan sekantung emas simpanan Kongkong-nya, berangkatlah Soan Cu bersama
Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka dengan sebuah perahu. Selama hidupnya yang
lima belas tahun itu, belum pernah Soan Cu meninggalkan pulau. Maka setelah
perahu meluncur jauh, dan dia hampir tidak dapat melihat lagi Kongkong-nya
bersama semua sisa penghuni Pulau Neraka yang mengantarnya sampai ke pantai,
Soan Cu tak dapat menahan bercucurannya air matanya.
"Soan
Cu, mengapa kau menangis? Kalau kau tidak tega meninggalkan kakekmu, masih
belum terlambat untuk kembali," kata Sin Liong yang sebetulnya merasa
tidak enak sekali memikul kewajiban ini. Biar pun dia tidak terikat sesuatu,
namun sedikit banyak dia dibebani keselamatan dara ini. Kalau dara ini wataknya
seaneh Swat Hong, dia tentu akan menjadi lebih pusing lagi!
"Ah,
tidak, Taihiap. Aku hanya merasa hatiku perih meninggalkan tempat yang sejak
lahir menjadi tempat tinggalku itu. Orang sedunia boleh menyebutnya Pulau
Neraka, akan tetapi setelah aku berangkat meninggalkan pulau itu, terasa olehku
bahwa di situ adalah surga."
Sin Loing
tersenyum dan mendayung perahunya lebih cepat lagi. Pernyataan yang keluar dari
mulut dara ini merupakan pelajaran yang amat penting baginya, membuka matanya
melihat kenyataan bahwa sorga mau pun neraka itu berada dalam hati manusia itu
sendiri!
Betapa pun
indahnya suatu tempat, kalau tidak berkenan di hati akan merupakan neraka.
Sebaliknya betapa pun buruknya suatu tempat, kalau berkenan di hati akan
menjadi sorga! Jadi, baik buruk, senang susah, puas kecewa, semua ini bukan
ditentukan oleh keadaan di luar, melainkan ditentukan oleh keadaan hati dan
pikiran sendiri. Keadaan di luar merupakan kenyataan yang wajar, dan hanya
pikiranlah yang menentukan dengan menilai, membandingkan, maka lahirlah puas,
kecewa, senang, susah, baik, buruk, dan lain-lain hal yang saling bertentangan
itu.
Bahagialah
orang yang dapat menghadapi segala sesuatu dengan mata terbuka, memandang segala
sesuatu seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan. Orang bahagia
tidak mengenal susah senang, karena bahagia bukan susah bukan pula senang,
bukan puas bukan pula kecewa, melainkan suatu keadaan di atas itu semua, sama
sekali tidak terganggu oleh pertentangan-pertentangan itu.
Perahu yang
ditumpangi Sin Liong dan Soan Cu meluncur terus. Ujung depannya yang meruncing
membelah air yang tenang seperti sebuah pisau membelah agar-agar biru. Soan Cu
sudah melupakan kesedihan hatinya. Kini dara itu memandang ke depan dengan
wajah berseri dan mata bersinar-sinar penuh harapan akan masa depan yang
berlainan sama sekali dengan keadaan di Pulau Neraka. Banyak sudah dia
mendengar dongeng kakeknya yang juga hanya mendengar dari nenek moyangnya tentang
keadaan di dunia ramai, dan sekarang dia sedang menuju kepada kenyataan yang
akan dilihatnya dengan mata sendiri!
Pusat
perkumpulan Pat-jiu Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tangan Delapan) berada di
lereng Pegunungan Heng-san. Dari luar tempat itu memang pantas disebut pusat
perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang
dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi orang. Pagar yang
butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa dibawa
oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia
akan terheran-heran menyaksikan sebuah rumah gedung yang pantas juga disebut
sebuah istana kecil yang berdiri megah dan mewah sekali! Inilah tempat tinggal
Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang di lereng
Heng-san!
Pat-jiu
kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia masih
kelihatan tangkas dan belum begitu tua. Sungguh pun pakaiannya selalu butut,
sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya
kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja pengemis ini.
Pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai seorang pangeran!
Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu siang,
berbeda jauh seperti bumi dan langit.
Di waktu
siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaparan yang berkeliaran di
sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan
tubuh bersih, dia bersenang-senang makan minum dengan hidangan serba lezat dan
mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda, cantik dan genit.
Pat-jiu Kai-ong tinggal di dalam istananya yang mewah, akan tetapi dikelilingi
pagar bambu yang tinggi sehingga tidak tampak dari luar. Ia tinggal bersama
lima orang selirnya, lima orang pelayan dan selosin anak buahnya yang merupakan
pengawal-pengawalnya.
Selosin
orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam Pat-jiu Kai-pang, karena
mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat
satu dari raja pengemis itu. Para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam
secara bergilir dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan-kiri istana
ketua mereka. Ada pun Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggota yang banyak dan yang
tersebar luas di kota-kota.
Dengan
mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong,
para anggota itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian
dari-pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong. Inilah
yang membuat raja pengemis ini menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali.
Selosin
orang pembantunya, selain pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk
turun tangan mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam memberi
setoran! Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan
istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi
meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu.
Kurang lebih
sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib. Pada
waktu itu dia ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan dan
dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada
waktu itu dia berhasil merebut Sin-tong, tentu dalam waktu satu tahun saja
ilmunya akan sempurna.
Akan tetapi
karena seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi
oleh pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan
orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya. Kini dia
telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya,
setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa meninggalkan
kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis
berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat
butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba seorang
pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang
ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis.
"Hemm,
siapakah pagi-pagi begini sudah datang menggangguku?" Pat-jiu Kai-ong
berkata dengan alis berkerut.
Akan tetapi
karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang
itu. Terutama sekali setelah mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah
seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda
tampan. Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku
sebagai seorang ‘sahabat lama’.
Ketika dia
keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat-jiu
Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat pemuda yang amat tampan dan pemudi
yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain menunjukan
bahwa mereka adalah kakak beradik. Pemudanya berusia kurang lebih enam belas
tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai lama pandang mata
Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu, keduanya membuat hatinya
terguncang penuh kagum dan andai kata dia tidak menahan perasaannya, tentu
mulutnya akan mengeluarkan air liur! Barulah dia terkejut ketika mendengar
kakek itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha!
Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang
anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha!”
Akan tetapi
Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal kedua nama ini.
Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya,
seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana
berwarna kuning. Kepalanya yang beruban itu terlindung kain pembungkus rambut
yang berwarna kuning pula.
Kakek itu
tertawa lagi. "Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada
kami? Lupa kepada sahabatmu di Lu-san ini?"
"Ahhhh...!"
Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi
hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang? Maaf, maaf, mataku sudah lamur
saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh
tahun tak pernah kujumpai. Jadi ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru
berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta berani. Kalau tidak salah, bahkan
anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"
Dara berusia
lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah
merah. "Harap Pangcu sudi memaafkan saya."
"Aih-aih...!
Ini tentu orang tua Lu-san ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu
segala!"
"Ha-ha-ha,
Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau
disebut Pangcu oleh puteriku?" kakek itu berkata.
"Wah,
jangan berkelakar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman. Marilah masuk,
kita bicara di dalam." Pat-jiu Kai-ong lalu bertepuk tangan dan para
pengawalnya muncul. "Lekas beritahukan para pelayan agar mempersiapkan
hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang
Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!"
Para
pengawal itu mundur dan Pat-jiu Kai-ong menggandeng tangan kakek itu. Sambil
tertawa-tawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja
dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah.
Sambil
memandang ke kanan-kiri mengagumi keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata
memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong
tinggal di sebuah istana yang megah, kiranya keadaan di sini melampau segalanya
yang telah kudengar. Hebat sekali!"
Sejak tadi
Pat-jiu Kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan matanya.
Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan
gagah itu.
"Ha-ha,
kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang
buruk akan menerima kehormatan kedatangan seorang tamu agung, seorang
penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok."
Kedua orang
tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau. Siapakah
kakek ini? Dia adalah Lu-san Lojin, seorang ahli silat dan ahli pengobatan yang
semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak
dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san. Di sana dia bertapa
sambil mendidik dan menggembleng putera-puterinya.
Sepuluh
tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu
Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah
yang dianggapnya cukup sehat. Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu-san, dia
berada dalam keadaan keracunan hebat. Hal ini terjadi karena dia terlampau
banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta
sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri
dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut.
Hatinya amat
penasaran karena dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong,
maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dalam melatih diri dengan ilmu hitam
itu. Dia terlampau terburu-buru, dan akibatnya hawa mukjijat dari ilmu itu
membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia
terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki pegunungan Lu-san. Dia
maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam bahaya maut maka hatinya
menjadi khawatir sekali.
Kebetulan
baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lu-san Lojin yang sedang turun
gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima
tahun. Sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong
Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa
Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke
puncak Lu-san. Di situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh.
Selama satu
bulan berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik
dari Lu-san Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap
pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang
bocah yang mungil itu. Karena kebaikan hati Lu-san Lojin, biar pun dia melihat
Swi Liang sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia
tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu.
Di lain
pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu Kai-ong ketua
Pat-jiu Kai-pang, Lu-san Lojin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga
bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat
baik. Maka setelah sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk
saling mengunjungi dan saling membantu.
"Sungguh
aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum Pat-jiu
Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi
kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauh-jauh datang mengunjungi aku."
"Ahhh,
mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban
masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kami pun hanya
kebetulan saja lewat di kaki pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu
dan mengajak kedua anakku untuk mendekati pegunungan Heng-san mencarimu."
"Terima
kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku
mengetahui, kalian datang dari manakah?"
Lu-san Lojin
menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya, lalu memandang puterinya
seolah-olah minta ijinnya. Swi Liang menganggukkan kepalanya kepada ayahnya,
kemudian menunduk. Pemuda ini menganggap bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang
sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya
kalau raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu
justru dapat membantunya.
"Kami
baru saja datang dari Lok-yang. Setelah melakukan perjalanan sejauh itu
ternyata sia-sia belaka usaha kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."
"Tee-tok
Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah engkau mencari Racun Bumi itu, Lu-san
Lojin?"
"Sebetulnya
urusan lama, urusan perjodohan semenjak kecil. Antara Tee-tok dan aku telah
terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan
puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi
dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali.
Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku
mendengar bahwa dia berada di Lok-yang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami
bertiga mencarinya ke sana, ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap
orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia." "Ha-ha-ha, Itu
salahmu sendiri! Mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti
Tee-tok?"
"Pat-jiu
Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu kami
mengharap bantuanmu yang mempunyai banyak anak buah, agar suka menyelidiki di
mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik,
baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya. Kalian
bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang."
Lu-san Lojin
menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok. Kami
hanya dapat bermalam untuk satu malam saja, besok pagi-pagi kami harus
melanjutkan perjalanan."
"Semalaman
cukuplah, biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba
terdengar suara hiruk-pikuk di luar istana Raja Pengemis itu. Tak lama kemudian
dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan takut.
"Ada
apa? Mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan
menurunkan cawan araknya keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar.
"Pangcu...
ampunkan kami berdua... terpaksa kami mengganggu karena ada peristiwa yang amat
aneh dan mengkhawatirkan kami semua."
"Apa
yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!"
Dengan wajah
ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang
baru saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para
pengawal menjaga di luar dan mereka sedang mengagumi seekor ayam jago
kesayangan Pat-jiu Kai-ong. Raja Pengemis itu memang suka sekali memelihara
ayam jago dan kadang-kadang mengadunya.
Pagi hari
itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan ayam jago itu,
dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik.
Tiba-tiba ayam jago itu menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan
ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut yang kemudian ternyata
adalah sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada
tulisannya.
"Kami telah
meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun
manusia, Pangcu. Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun
untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!"
Raja Pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian
tolol semua! Mana kain yang ada tulisan itu?!"
Kepala
pengawal yang mukanya penuh brewok itu menyerahkan sehelai kain putih kepada
ketuanya dengan kedua tangan gemetar. Kain itu ada tulisannya dengan
huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada noda-noda darah, darah ayam
jago tadi. Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu sejenak menjadi
bingung, dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf!
Dengan jengkel dan agak malu dia lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin.
"Harap
kau bacakan ini untukku!" katanya.
Lu-san Lojin
menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan.
Mukanya berubah, matanya terbelalak. "Wah... apa artinya ini?"
"Lojin!
Bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya membentak.
Lu-san Lojin
lalu membaca huruf-huruf itu. “Malam ini, semua makhluk hidup yang tinggal di
rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai manusia akan kubasmi habis! Ratu
Pulau Es.”
"Ratu
Pulau Es...?" Pat-jiu Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak
mengenalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini? Ha-ha-ha,
biar dia datang hendak kulihat bagaimana macamnya!"
"Kai-ong,
harap jangan main-main. Biar pun hanya seperti dalam dongeng, nama Pulau Es
amat terkenal. Katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa, apalagi
dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha,
siapa peduli? Aku tidak ada permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang
pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak membunuhku
dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal! Apakah kalian
tahu akan isi surat?"
Dua orang
pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu."
"Apa
kalian takut?"
"Ti...
tidak, Pangcu, Hanya... hanya amat aneh itu..."
"Sudahlah.
Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan
yang ketat, terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut!
Biarkan dia datang, kita tangkap dia dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!"
"Kai-ong
harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu keluar
dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha,
mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang
datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?"
Kakek dari
Lu-san itu kelihatan ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia takut,
tentu saja dia tidak mau. Dengan hati berat dia bersama dua orang anaknya
menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari.
Kemudian mereka dipersilakan mengaso sejenak dalam kamar tamu, akan tetapi
menjelang senja, mereka sudah dipersilakan makan minum lagi.
Sekali ini
mereka benar-benar takjub melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian,
pakaian malam yang indah dan mewah! Mengingat betapa siang tadi Kai-ong
merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan kini seperti seorang
raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampir tertawa, seperti melihat seorang
badut pemain lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh
lebih lengkap dari-pada siang tadi!
"Ha-ha,
ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu
mempersilakan tamu-tamunya.
Setelah
hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong
mengusap-ngusap bibirnya yang berminyak dan perutnya yang gendut. Matanya
memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu dia berkata,
kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang
membuat mereka terkejut setengah mati.
"Lu-san
Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak
mengganggu. Ada pun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan tampan gagah,
biarlah mereka berdua besenang-senang dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"
"Kai-ong!"
Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?"
Pat-jiu
Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi
Liang begini tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka
sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua bersama dengan aku dalam kamarku,
tentu mereka akan terlindung dan... hemmm, aku ingin sekali bersenang-senang
dengan mereka, tidur-tiduran dengan mereka sejenak."
"Kai-ong,
apa kau gila?!" Lu-san Lojin hampir tak dapat percaya akan pendengarannya
sendiri.
"Eh,
mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak
tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik segar, juga puteramu yang
tampan dan ganteng ini. Anak-anak baik, marilah kalian layani pamanmu...."
"Keparat!"
Lu-san Lojin melompat ke depan. Dua orang anaknya yang berada di belakangnya
pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan
main gila dan jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau apa engkau
dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha!
Siapa main gila? Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di
sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula orang aneh yang membunuh
ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki
tanganmu? Dan kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah
menyia-nyiakan kecantikan seorang dara remaja seperti puterimu ini dan puteramu
yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum
yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin
kuat menghadapi lawan kalau malam ini ada yang berani datang!"
"Iblis
jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san Lojin
sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya.
Kakek ini
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sebagai bekas murid Hoa-san-pai yang
sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaannya sendiri, hasil renungannya di waktu
bertapa, maka dapat dibayangkan tingginya kemampuan Lu-san Lojin. Kepalan
tangannya menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan
tetapi kiranya hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan
dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia tidak mampu menandingi
Kai-ong yang amat lihai.
Sambil
tertawa Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dua kali. Kakek
Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya sehingga dari
kedudukan menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena pergelangan kedua
tangannya terancam totokan ujung lengan baju itu! Dua orang anaknya yang sudah
marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan pedang
mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu,
sedangkan dari kanan Swi Nio membabatkan pedangnya ke arah leher.
"Ha-ha,
bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan dia bersikap
seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang.
Akan tetapi
setelah kedua pedang itu menyambar dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar
dan.... dua batang pedang itu telah dicengkeramnya dengan telapak tangan! Swi
Liang dan Swi Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang
pedang mereka itu dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakkan
tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak tangan Pat-jiu Kai-ong.
Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut,
seolah-olah dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.
"Manusia
tak kenal budi!"
"Wirrrr...
tar-tar!"
Pat-jiu
Kai-ong merasa terkejut melihat sinar kuning menyambar. Ternyata bahwa Lu-san
Lojin melolos sabuknya yang berwarna kuning dan kini menggunakan sabuk itu
sebagai senjata. Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan
memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di
tangannya itu dapat bergerak seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata
yang kaku dengan pengerahkan sinkang-nya.
"Krekk-krekkk!"
dua batang pedang itu patah-patah dalam cengkeraman Pat-jiu Kai-ong. Sambil
melompat mundur menghindarkan sambaran ujung sabuk, Raja Pengemis ini
menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin.
"Trang-tranggg!"
dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung
sabuk (ikat pinggang).
Kini Lu-san
Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan
kedua orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di pinggir karena mereka
terkejut menyaksikan pedang mereka dipatahkan begitu saja oleh kedua tangan
lawan. Mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu ayah mereka.
Pada saat
itu, muncullah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut.
Melihat
mereka, Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini. Akan tetapi
awas, jangan lukai mereka!"
Empat orang
pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu
saja kakak beradik ini melawan sekuat tenaga. Akan tetapi biar pun keduanya
memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun merupakan
murid-murid terpandai dari Pat-jiu Kai-ong. Ketika dua orang di antara mereka
menggunakan tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat
ditotok roboh dan lumpuh.
“Ha-ha-ha,
belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke atas tempat
tidurku... ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa sambil menyambar tongkatnya.
Setelah
bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih leluasa. Kakek
dari Lu-san itu marah bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi
dari ruang itu. Dia mengejar dan menggerakkan ikat pinggangnya, namun Pat-jiu
Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan menyerangnya dengan tongkatnya
sehingga terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding. Pertandingan yang
amat seru dan diam-diam Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepandaian
kakek yang pernah menolongnya ini memang hebat.
"Pat-jiu
Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan
nyawamu, apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san Lojin
berkata membujuk karena khawatir melihat nasib puterinya.
"Ha-ha-ha,
dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang
dengan niat buruk!"
"Tidak!
Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"
"Ha-ha-ha,
Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan
setan itu bergerak dari luar. Begitukah?" Tongkat di tangan Pat-jiu
Kai-ong menyambar ganas.
"Plak-plakk!"
ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali akan tetapi dia merasa betapa
telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar
amat kuat.
"Pat-jiu
Kai-ong, kau salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang.
Lepaskan kedua anakku dan aku berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap
itu."
"Wah,
berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengar baik-baik. Aku
tergila-gila melihat anak-anakmu. Pinjamkan mereka kepadaku untuk satu dua
malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan
kalian."
"Iblis
busuk!" Lu-san Lojin marah sekali.
Dengan nekat
dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan Raja Pengemis ini. Dia maklum
bahwa betapa pun juga hati yang kotor dari Raja Pengemis itu tidak mudah
dibujuk. Satu-satunya jalan untuk menolong anak-anaknya ialah melawan mati-matian.
"Plakkk!"
tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat, keduanya saling betot untuk merampas
senjata.
Tidak mudah
bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata lawan dan kesempatan ini
dipergunakan oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakkan tangan kirinya dengan
telapak tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat telapak
tangan yang menjadi merah seperti tangan berlumuran darah itu. Dia belum pernah
mengenal ilmu Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis itu, namun dia pernah mendengar
akan hal ini, tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi
untuk mengelak dia harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya.
Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan Pat-jiu Kai-ong, apalagi
tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakkan tangan pula menyambut
pukulan itu.
"Dessss...!
Aduhhh...!!" dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin
terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah segar
dan matanya mendelik. Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat
parah!
"Lempar
dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa.
Setelah
tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu
Kai-ong menghampiri meja di mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar guci
arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa dia memasuki
kamarnya. Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang di atas
pembaringan Pat-jiu Kai-ong yang lebar dalam keadaan terbelenggu kaki
tangannya. Lima orang selirnya menjaga di situ.
Ketika
Pat-jiu Kai-ong masuk sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan
mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio memandang dengan mata
terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri
pembaringan, menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio
dan Swi Liang.
"Manis,
jangan menangis dan kau jangan marah. Aku akan menemani kalian dan
bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan musuh gelap yang
mengancam," kata Raja Pengemis.
Dia menengok
ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga
baik-baik jangan sampai ada yang lolos. Kalau ada apa-apa, cepat berteriak
memanggil para pengawal. Mengerti?"
Lima orang
selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi.
Sebelum
orang yang membunuh ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat
ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu untuk bersenang-senang
dengan dua orang muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi
seorang pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi
dia harus berhati-hati dan ikut melakukan penjagaan sendiri. Setelah keadaan
benar-benar aman barulah dia boleh bersenag-senang.
Dia belum
yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin dan
kedua orang anaknya. Akan tetapi ada hubungan atau tidak, setelah tiga orang
itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati,
maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang
termasuk golongan putih itu juga memusuhi. Andai kata tidak sekali pun, mana
bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita dan tampan itu?
Pat-jiu
Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum
bahwa malam ini dua belas orang pengawalnya pasti menjaga dengan tertib dan
penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian malam yang
mendatangkan perasaan tidak enak.
“Hemmm, Ratu
Pulau Es? Hanya dongeng!” dengusnya.
Pembunuh
ayam itu tidak perlu ditakuti. Andai kata dia mampu mengalahkan dua belas orang
pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia sendiri. Hiat-ciang
Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadi
pun ilmu itu telah merobohkan Lu-san Lojin, padahal ia hanya menggunakan
sebagian kecil tenaganya saja. Dia tidak takut!
"Aku
tidak takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat!
Ha-ha-ha!"
Para pelayan
sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah para pengawal,
pelayan-pelayan ini menambah jumlah lampu sehingga keadaan di seluruh gedung
itu menjadi terang. Setelah menyuruh para pelayan membersihkan meja di ruangan
itu, dan sekali lagi memanggil kepala pengawal dan menekankan agar penjagaan
diperketat dan selalu diadakan perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong lalu duduk
bersila di dalam ruangan itu untuk mengumpulkan tenaga dan mempertajam
pendengarannya. Biar pun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula
menjaga dan meronda mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap
semua suara yang tidak wajar di luar istana.
Malam makin
larut dan keadaan sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang
sudah mendengar dari para pengawal, dengan muka pucat tinggal berkelompok di
kamar seseorang di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya saling
pandang dengan mata penuh rasa takut. Para selir juga berkelompok di dalam
kamar Pat-jiu Kai-ong. Mereka agak terhibur dengan adanya Swi Liang, pemuda
yang tampan itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa-malu-malu membelai
pemuda itu, memegang tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya. Akan
tetapi mereka tidak berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani
mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan penjagaan dengan
teliti dan hati-hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka melakukan
penjagaan tentu diisi dengan sendau gurau dan mengobrol.
Kesunyian
yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong. Akan tetapi dia
amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan lebih tertib dan rapi
pula. Dia merasa tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh gelap itu. Kalau
sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya seberat mungkin!
Tiba-tiba
terdengar suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari dalam kamarnya!
Pat-jiu Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan beberapa kali lompatan saja dia
sudah menerjang masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya kelima orang selirnya
menangis dan kelihatan gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang muda yang
tadi terbelenggu di atas pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang
dihidangkan di atas meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap
tanpa bekas!
"Apa
yang terjadi? Keparat, diam semua! Jangan menangis, apa yang terjadi?"
Lima orang
selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka bercerita
dengan suara gagap, "Ada... ada... setan...., hanya tampak bayangan
berkelebat ke atas ranjang dan... dan mereka berdua... tahu-tahu telah
lenyap..."
"Tolol!!"
Pat-jiu Kai-ong berkelebat ke luar melalui jendela kamar yang terbuka, terus
berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para pengawal di luar istana,
namun dia tidak melihat jejak dua orang tawanan yang lenyap itu.
"Kalian
tidak melihat orang masuk?" bentaknya kepada para pengawal.
"Tidak
ada, Pangcu."
"Bodoh!
Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?"
Kagetlah
para pengawal itu. Pat-jiu Kai-ong dibantu oleh para pengawalnya lalu
mengadakan pemeriksaan di dalam istana. Mula-mula timbul dugaannya bahwa tentu
Lu-san Lojin dan dua orang anaknya itu benar-benar mempunyai kawan-kawan di
luar, buktinya kedua orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia
menjenguk kedalam kamar tahanan, Lu-san Lojin masih mengeletak pingsan di atas
lantai!
"Cepat
lakukan penjagaan seperti tadi. Tutup semua jalan masuk! Bagi-bagi
tenaga!" Pat-jiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak parau. Harus
diakuinya bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak
terjang musuh gelap yang aneh dan amat luar biasa itu.
Setelah
sekali lagi memeriksa sendiri dengan teliti, sampai tidak ada lubang yang tidak
dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya, dan mendapatkan keyakinan bahwa
tidak ada orang bersembunyi di dalam gedung, akhirnya Pat-jiu Kai-ong kembali
ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung berdebar.
Malam telah
makin larut. Musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa musuh itu
memang ada dengan menculik dua orang tawanan itu secara aneh. Biar pun lima
orang selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi, namun lima pasang mata tidak dapat
melihat orang yang menculik pemuda-pemudi itu di depan hidung mereka, sungguh
merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik
gudang ingatan di dalam otaknya.
Siapakah
Ratu Pulau Es? Jangankan dengan ratunya, dengan penghuni Pulau Es dia tidak
pernah bertemu, kecuali satu kali dengan Han Ti Ong ketika memperebutkan
Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun tidak tahu. Pertemuannya
dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap permusuhan, dan adaikata ada yang sakit
hati, kiranya sakit hati itu seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau
Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil memenangkan perebutan atas diri
Sin-tong! Mengapa kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es?
Siapakah yang bermain-main dengan dia?
Melihat
sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat dipastikan bahwa
orang itu kejam dan aneh, ciri seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan
putih yang selalu datang secara berterang. Siapakah tokoh golongan hitam yang
memusuhinya? Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang paling menonjol
adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya?
"Ha-ha-ha!"
dia tertawa keras-keras, hatinya menjadi besar.
Mengapa dia
takut? Andai kata Kiam-mo Cai-li sendiri yang datang, dia pun tidak takut! Dan
siapakah lain wanita di dunia kang-ouw yang lebih mengerikan dari-pada Kiam-mo
Cai-li?
"Iblis
atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat persembunyian! Hayo
serbulah, aku Pat-jiu Kai-ong tidak takut kepada siapa pun juga! Kalau kau diam
saja, berarti kau pengecut hina dan penakut, ha-ha-ha-ha!"
Karena
merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong
berusaha mengusir rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang tentu saja
didengar oleh semua penghuni gedung itu. Dan agaknya, sebagai sambutan atas
tantangannya, tiba-tiba terdengar suara ayam jagonya yang berada di belakang,
di kandang ayam, berkeruyuk keras sekali!
"Ha-ha-ha!"
Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab, akan tetapi
tiba-tiba dia terkejut dan mukanya berubah.
“Kok!” suara
ayam kesakitan ini memutus keruyuk ayamnya setengah jalan! Suara ini disusul
dengan suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di dalam kandang, seolah-olah
ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini pun selalu
berhenti setengah jalan.
“Kok...!”
berkali-kali terdengar ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!
"Keparat...!!"
Pat-jiu
Kai-ong yang mukanya merah saking marahnya itu sudah meloncat ke luar dan
langsung lari ke kandang. Hampir dia bertubrukan dengan dua orang pengawal yang
juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini dengan sebuah obor yang dipegang
oleh pengawal, mereka bertiga memeriksa kandang. Di bawah sinar obor tampaklah
oleh mereka bahwa dua puluh ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina,
semua telah tewas dengan leher putus! Darah merah muncrat ke mana-mana, membuat
lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan.
"Jahanam...!"
Pat-jiu Kai-ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca
memandang ke dalam kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin berkelisik,
membuat suasana menjadi menyeramkan.
"Ngeoonggg...!"
suara kucing yang tiba-tiba terdengar ini membuat mereka tersentak kaget dan
memandang ke atas genting.
Si Putih,
satu-satunya kucing peliharaan di gedung itu berkelebat melompat sambil
menggereng, seolah-olah menghadapi musuh dan marah. Akan tetapi gerengannya
terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat melompat ke kiri ketika ada benda
jatuh dari atas genteng menimpanya.
"Bukkk!"
ketika pengawal yang membawa obor mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah
bangkai kucing Si Putih yang baru saja mengeong tadi!
"Jahanam...!"
Pat-jiu Kai-ong memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas
genting, diikuti oleh dua orang pengawalnya.
Melihat
betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam ketika dia meloncat ke atas
genting, membuktikan bahwa pengawal itu sudah memiliki ginkang yang hebat. Akan
tetapi kembali ketiganya termangu-mangu di atas genting karena tidak tampak
bayangan seorang manusia pun. Keadaan sunyi. Sunyi sekali, bahkan terlampau
sunyi seolah-olah gedung itu telah berubah menjadi tanah kuburan!
"Hung-hung!
Huk-huk-huk...!!" kini giliran tiga ekor anjing peliharaan gedung itu riuh
menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung. Suara ini mengejutkan
mereka, apalagi suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup
dengan suara....
"Kaing...!
nguik... nguikkk... nguikkkkk!" dan suasana menjadi sunyi kembali, lebih
sunyi dari tadi sebelum terdengar gonggongan anjing-anjing itu.
"Bedebah...!"
Raja Pengemis memaki.
Pat-jiu
Kai-ong segera melompat dari atas genting. Saking cepatnya, dia tidak dapat
disusul oleh dua orang pengawalnya itu dan sebentar saja sudah tiba di sebelah
kanan gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah dikhawatirkannya, tiga ekor
anjing itu sudah menggeletak mati dengan leher hampir putus dan darah mengalir
di bawah bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah tiba pula dan
mereka saling pandang dengan muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga
Pat-jiu Kai-ong suara Lu-san Lojin ketika membacakan isi surat, “Malam ini,
semua makhluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu Kai-ong, dari binatang sampai
manusia, akan kubasmi habis!”
Semua
binatang peliharaannya, ayam, kucing, dan anjing, sudah mati semua dan sekarang
tentu tiba gilirannya manusianya! Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong cepat
berkata, suaranya sudah mulai gemetar. "Cepat, semua berkumpul denganku di
dalam gedung...!"
Tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan di sebelah luar dan di depan gedung itu.
Mereka cepat berlari menuju ke depan gedung dan tampaklah oleh mereka dua orang
pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah.
Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat
bahwa dua orang pengawalnya yang terlentang itu telah tewas. Mata mereka
melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut keluar darah hitam sedangkan
di dahi mereka tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah
banyaknya. Mudah dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan
jari manis. Begitu dalam gambar jari itu sampai garis-garisnya tampak!
"Kurang
ajar! Mari kita berkumpul semua...!"
Akan tetapi
kembali terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka kembali
berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga orang pengawal lain sudah menjadi
mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama. Segera tersusul
pula pekik-pekik mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga
orang pengawalnya ini, termasuk pengawal kepala Si Brewok, mengejar ke belakang
dan empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam keadaan mengerikan,
persis seperti yang lain.
Dalam
sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas. Mereka itu berada di
depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan tetapi kematian mereka
susul-menyusul begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuh yang datang dari
berbagai jurusan. Biar pun mulutnya tidak menyatakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong
maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama, dan
bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa sehingga para pengawal itu agaknya sama sekali tidak
mampu melakukan perlawanan.
Tiga orang
pengawal saling pandang dengan muka pucat. Melihat muka mereka, Pat-jiu Kai-ong
menjadi penasaran dan marah sehingga timbul kembali keberaniannya yang tadi
agak berkurang karena jeri.
Pat-jiu
Kai-ong lantas berteriak memaki, "Jahanan pengecut! Hayo keluarlah dan
lawan aku Pat-jiu Kai ong!"
Setelah dia
mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan menjadi sunyi sekali,
sunyi yang amat menggelisahkan dan menyeramkan. Dalam kegelapan dan kesunyian
malam itu seolah-olah tampak mulut iblis menyeringai dan menanti saat untuk
menerkam dan mencabut nyawa!
Pat-jiu
Kai-ong makin penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal
sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti banyak orang dari semua
golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu
Kai-pang yang terkenal, memiliki anggota ratusan orang banyaknya, seorang di
antara datuk kaum sesat atau golongan hitam yang ditakuti orang, dia
dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah
seorang wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para
korban itu pun jari tangan wanita yang kecil meruncing!
"Hem,
pengecut benar dia," katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam
telah kehilangan separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan
pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian berjalan-jalan di sini. kalau
dia muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun.
Bersiaplah kalian!"
Setelah
berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu
Kai-ong melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia
melihat tiga orang pengawalnya itu masing-masing telah mencabut senjata mereka.
Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya berkait, orang ke
dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri
saling membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka
memperhatikan setiap suara. Akan tetapi sunyi saja sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba
Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas pohon!
“Celaka!”
pikirnya. “Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di
depan gedung.”
Bayangan itu
sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada
di depan Si Brewok. Tiga orang pengawal itu menggerakkan senjata, akan tetapi
anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah senjata mereka itu telah
berpindah tangan! Entah bagaimana caranya, karena dari atas genteng itu dia
tidak dapat melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang
pengawalnya itu kini lari ketakutan!
"Hik-hik-hik!"
Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat
sinar-sinar menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka
roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi karena punggung mereka ditembus
oleh senjata mereka masing-masing!
"Keparat,
jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong sudah melayang turun dan tongkatnya
sudah diputar-putar, akan tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari tempat
itu!
Pat-jiu
Kai-ong menoleh ke kanan-kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia
makin penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan
hanya mereka bertiga yang tidak dicap dahinya dengan tiga buah jari tangan
hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan pedang itu
menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati!
Sambitan
tiga buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari
jarak yang cukup jauh, tapi tepat mengenai tiga sasarannya yang sedang berlari.
Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu. Mendadak
Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua
pengawalnya yang berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang
musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh orang-orang di dalam gedung.
Secepat
kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekikan
susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para
pelayannya telah menjadi mayat dan berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke
dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang selirnya telah
mati semua. Pada dahi mereka juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan
semua lubang di muka mereka mengalirkan darah hitam!
Sunyi sekali
di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia. Lu-san Lo-jin! Pat-jiu
Kai-ong mendadak teringat dan dia cepat lari ke dalam tempat tahanan. Ketika
tiba di sana dia hanya melihat bahwa kakek itu pun telah tewas dan di dahinya
terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan, serta semua lubang di muka kakek
itu mengalirkan darah hitam! Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh
ini bukanlah kawan Lu-san Lojin seperti yang disangkanya semula!
Makin
bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi makan
minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya
musuh rahasia. Dan begitu memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini
terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan. Ketika dia melihat,
benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya
semua lampu penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas
kursinya yang tadi ditinggalkan kosong, kini tampak duduk seorang wanita! Di
depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki
berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik.
Wanita itu
cantik, pakaiannya mewah dan indah. Anak itu pun tampan dan bersih serta mewah
pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di gedungnya? Tak mungkin
agaknya. Wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan
kelihatan halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengeluarkan sinar yang
aneh dan dingin sekali.
"Ibu,
dia inikah orangnya?" tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring
memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
"Benar,
dialah si bedebah Pat-jiu Kai-ong," wanita itu berkata, suaranya halus
akan tetapi dingin menyeramkan.
"Kalau
begitu, mengapa Ibu tidak lekas membunuhnya?"
Wanita itu
tersenyum dan wajah yang cantik itu makin cantik, akan tetapi juga makin dingin
menyeramkan. Wanita cantik itu kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan.
"Kau lihat sajalah Ibumu menundukkan si jembel busuk ini."
Wanita itu
ternyata bertubuh tinggi ramping, dan ketika melangkah maju tampak gerakan
kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan
timbul keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia
biasa, wanita yang kelihatan lemah pula, bukan seorang iblis yang menyeramkan
sama sekali.
"Siapakah
engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa hubunganmu dengan Ratu Pulau Es
yang mengancamku?"
Wanita itu
kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga Raja Pengemis ini dapat mencium bau
harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu.
"Akulah
Ratu Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua makhluk hidup di dalam
gedungmu. Semua telah kubunuh kecuali engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus
membunuhmu perlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."
Mendengar
ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu menjadi
berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya melenyapkan semua rasa jeri dan dia
membentak, "Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi
Pat-jiu Kai-ong?"
“Pat-jiu
Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau
tidak dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan
kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang terjadi di kaki pegunungan
Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?"
Pat-jiu
Kai-ong memandang dan terbayanglah peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia naik
ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal wajah ini,
wajah cantik yang pernah merintih-rintih dan memohon pembebasan, namun yang dia
permainkan secara kejam. "Kau... kau... Cap-sha Sin-hiap...?"
tanyanya ragu-ragu.
"Benar.
Aku adalah anggota paling muda dari Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang Suheng-ku
telah kau bunuh. Ingatkah kau sekarang?"
Pat-jiu
Kai-ong tertawa. Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah
diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas dari Cap-sha Sin-hiap,
perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam ilmunya
selama sepuluh tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut?
"Ha-ha-ha,
kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat kepadamu, siapa bisa
melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa
mesranya!"
“Jahanam!
Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah
datang dan rasakanlah pembalasanku. Aku akan membuat kau menyesal mengapa kau
pernah dilahirkan ibumu!"
"Perempuan
sombong, mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya.
Dia
melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukkan tongkatnya yang tentu akan
menembus dada wanita itu kalau tidak cepat wanita itu mengebutkan ujung lengan
bajunya menangkis.
"Trakk!"
tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong.
Ternyata
lawannya ini benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki
sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu saja! Wanita itu bukan lain
adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri
Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah
menggembleng diri di bawah petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan
suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk menghadapi ilmu tongkat
Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mukjijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini
atas permintaan The Kwat Lin. Karena itu, biar pun memiliki sebatang pedang
yang menempel di punggungnya, The Kwat Lin tidak menggunakan senjata, melainkan
ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat karena memang kedua ujung lengan
baju ini merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi
tongkat Raja Pengemis itu.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi
Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau Neraka untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini
sudah bertahun-tahun dia cita-citakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong hanya
karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi
permaisuri, dia pun ingin memiliki pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga
lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau, tentu saja
meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di
pulau itu. Siapa suka tinggal di Pulau Es yang membosankan dan jauh dari dunia
ramai itu?
Pergilah dia
mengajak puteranya, Han Bu Hong, meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak
ada, tentu saja sambil membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul
suaminya yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi
kepergiannya dan akhirnya, dengan kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil
mendarat.
Berbulan-bulan
setelah menyelidiki akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya
di lereng Heng-san. Dia kemudian mengajak puteranya, dan setelah menyembunyikan
puteranya, dia menyelidiki keadaan istana Raja Pengemis itu. Hatinya amat
tertarik saat melihat Swi Liang dan Swi Nio, maka dia menculik mereka dan
membawa mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya.
"Kalian
kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi
muridku," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal kalian
pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian
berada di gedung Pat-jiu Kai-ong. Karena sekarang belum malam, maka kalian
belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan dari sana. Kalau
kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?"
Tentu saja
dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu
guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...," kata Swi
Liang.
"Kalian
tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja
nanti."
The Kwat Lin
meninggalkan dua orang murid itu bersama puteranya. Setelah itu mulailah dia
turun tangan membunuh semua binatang peliharaan di gedung Raja Pengemis itu,
lalu membunuh semua pengawal, pelayan, dan para selir. Lu-san Lojin juga
dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua makhluk hidup di dalam
gedung itu, apalagi dia tahu bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan
menjadi penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi Nio yang menarik
hatinya. Setelah makhluk hidup yang tersisa tinggal Pat-jiu Kai-ong, dia lalu
keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan. Akhirnya
bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu.
Han Bu Ong,
anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak
merasa takut atau khawatir. Dia percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan
memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan kekerasan hati
yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang
terjadi, dia tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira!
Hati Pat-jiu
kai-ong terkejut sekali setelah selama lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya
namun tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju lawannya,
bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya. Walau pun sang lawan hanya mainkan
ujung lengan baju, namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama
sekali tidak berdaya!
"Keparat,
mampuslah!" tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan
gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Han Bu Ong
terpelanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan
mengatur pernapasan, menutup pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah
digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar latihan sinkang Inti Salju,
dia kini mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu
Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu kuat sinkang-nya, mendengar auman
Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan khikang yang amat kuat ini, sudah pasti akan
roboh.
Sementara
itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat menyelamatkan diri, sudah
mengeluarkan suara terkekeh-kekeh. Lawannya terkejut bukan main karena dari
suara ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan
hebat. Terpaksa dia menghentikan auman Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan
tongkatnya dengan Ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan Iblis)
yang dahsyat.
The Kwat Lin
memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak.
Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk
meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan akan roboh olehnya sehingga lawannya yang
amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya ini
berhasil.
Keringat
dingin membasahi muka Pat-jiu Kai-ong dan tahulah kakek ini bahwa mengandalkan
ilmu silat saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah
dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga malam itu. Maka dia lalu
mengerahkan tenaganya, mengerahkan sinkang, lalu tiba-tiba dia memekik dan
menghantamkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka.
The Kwat Lin
sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan menggunakan ilmu Hiat-ciang
Hoatsut ini. Dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mukjijat ini, maka dia
bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Bahkan dia amat terkejut
ketika menyaksikan cahaya merah menyambar ke luar, merasakan getaran mukjijat
dan mencium bau amis darah yang memuakkan. Cepat dia menekuk kedua lututnya
sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari
tangan diluruskan. Hawa dingin meluncur ke luar dari telapak tangannya
menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut.
"Dess!"
benturan dua tenaga mukjijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat!
Kiranya
tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan
tenaga ini Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat Lin. Kalau kakek
itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat
Lin merasa tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan
berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat telapak tangan mereka.
Tiba-tiba
ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar ke arah ubun-ubun kepala kakek
itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan
baju melibat dan tangan The Kwat Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju
itu untuk menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan tangan kirinya
lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun
hal ini sudah diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat
yang dicengkeramnya untuk menangkis.
"Krekkkk!"
tongkat Raja Pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri.
Selagi dia
terkejut bukan main, tahu-tahu ujung lengan baju kanan wanita itu sudah
menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan tetapi
ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke
bawah dan menotok lehernya.
"Auggghh...!"
Kalau orang lain terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan
roboh dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan
yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung ke belakang.
Melihat ini
The Kwat Lin tertawa terkekeh. Kembali kedua tangannya bergerak dengan cepat
sekali dan biar pun Raja Pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri,
namun karena totokan pertama membuat pandangan matanya berkunang sehingga
gerakannya menjadi kurang cepat. Dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan
dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!
Ketika dia
siuman. Pat-jiu Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas
lantai dan tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu
mengeluarkan suara. Selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi lumpuh,
juga urat gagu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya
lagi dan nyawanya berada di tangan lawan. Dia pun maklum bahwa wanita ini tidak
akan mungkin mengampuni kesalahannya. Maka dia hanya memejamkan mata menanti
datangnya kematian.
"Bret-bret-brettt...!”
“Hi-hi-hik!
Lihatlah, Bu Ong. Lihat binatang ini!"
Pat-jiu
Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya
direnggut lepas semua sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat
sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jeri sebab seorang datuk macam
Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakkan pelupuk mata dan
mengintai dari balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki itu turun dari
kursinya, memandanginya dan tertawa.
"Heh-heh,
ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!"
The Kwat Lin
tertawa-tawa. Sekali ujung lengan bajunya bergerak menyambar ke arah leher
Pat-jiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat gagunya dan dapat
mengeluarkan suara.
"Perempuan
hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah.
"Hi-hik,
enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulu pun minta-minta mati kepadamu? Tidak,
engkau harus mengalami siksaan, mati sekerat demi sekerat! Bu Ong, dia inilah
yang membunuh dua belas orang Supek-mu secara kejam. Maukah kau membalaskan
sakit hati dan kematian para Supek-mu?"
"Tentu
saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong sudah melangkah maju dan anak
ini memandang dengan muka bengis.
"Nanti
dulu, Bu Ong. Terlampau enak baginya kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk
setiap orang dari Suheng-ku, dia harus menderita satu macam siksaan. Jari
tangannya. Hi-hik, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh
orang Suheng! Dan dua buah daun telinganya itu untuk kedua Suheng yang
lain."
The Kwat Lin
mencabut pedangnya, menyerahkan kepada puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian
dia mengerahkan khikang-nya, ‘mengirim suara’ dengan ilmunya yang tinggi ini
sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali
tidak terdengar oleh anaknya.
"Pat-jiu
Kai-ong, tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu!
Hasil kotor dari perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kau lihatlah anakmu,
darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"
Sepasang
mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia
ingin sekali memperoleh keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi Biar
pun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali, tetap saja para selir
itu tidak pernah memperoleh keturunannya. Sekarang secara tidak sengaja dia telah
memperoleh seorang putera! Dan puteranya itu dengan pedang di tangan
menghampirinya, siap untuk menyiksanya!
Tadi dia
terheran melihat betapa bekas anggota Cap-sha Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang
terkenal gagah itu menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan
kekejaman. Kiranya wanita itu memang sengaja hendak menyiksanya dengan
menggunakan tangan keturunannya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak
itu seperti juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan
membunuh ayah sendiri!
"Anak...
jangan... dengarkanlah...."
"Pratttt...!"
Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya hendak
mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat gagunya di leher telah ditotok
oleh lengan baju The Kwat Lin.
Bekas Ratu
Pulau Es itu terkekeh menyeringai. "Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah
engkau? Haiii... di mana kegagahanmu sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baik
dan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu. Pertama
buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supek-mu!"
"Baik,
Ibu!" Bu Ong lalu melangkah maju.
Ternyata
anak itu sudah pandai menggunakan pedang. Dua kali pedang itu berkelebat,
buntunglah kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri,
perih dan pedih rasa badan dan hati kakek itu. Air matanya meloncat ke luar
membasahi pipinya!
"Ha-ha,
Ibu! Lihat, dia menangis!" anak itu bersorak dan mengambil dua buah daun
telinga itu. "He-he, seperti telinga babi!"
Memang
Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi bukan menangis karena rasa nyeri dan
pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang lebih
hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu
dirindukannya, kini bersorak girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut
mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia menghadapi siksaan dan
kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang
hampir tak kuat dia menanggungnya.
"Teruskan,
Bu Ong. Masih ada sepuluh orang Supek-mu yang belum dibalaskan sakit hatinya.
Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu
buntungkan!"
Mulailah
penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah
telah menjadi gila. Dengan tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek
itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia bersorak kegirangan.
Memang sejak
dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap
Pat-jiu Kai-ong. Diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas
orang suheng-nya dan betapa Raja Pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak
harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu sama sekali tidak menaruh rasa
kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu.
Dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali
nasibnya. Dia maklum bahwa dirinya pun telah melakukan perbuatan
sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak.
Hanya satu hal yang membuat air matanya bercucuran, yaitu melihat betapa dia
disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri. Dia menangis melihat
darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi
seorang iblis cilik yang demikian kejam!
Kini The
Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu kaki
tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong
dengan ke dua tangan yang sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah.
Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak tidak dijadikan iblis
cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang
dilakukan oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung
tangannya membuat kakek itu menggeliat-geliat.
"Mundurlah,
Bu-ong. Lihat sekarang Ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri
perbuatannya kepadaku dahulu!"
The Kwat Lin
menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong, ingatlah
engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah, hi-hik. Bayangkanlah betapa
nikmatnya bagimu dan betapa tersiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang
menikmati dan kau yang menderita. Sudah adil bukan? Nah, terimalah ini...
ini... ini...!"
Bertubi-tubi
pedang di tangan The Kwat Lin bergerak. Tubuh kakek itu bergulingan,
berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat
ke seluruh tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya,
hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai ujung sedikit, tidak
membahayakan keselamatan nyawa, namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
Seluruh tubuh kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh
kerut-merut menahan nyeri.
"Hi-hik,
bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!"
Kembali
pedang itu digerakkan, kini menusuk-nusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki ujung
pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga
menembus kulit daging, akan tetapi tidak membunuh. Darah keluar makin banyak
lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu berkelojotan seperti
dalam keadaan sekarat.
"Ini
yang terakhir!" The Kwat Lin berkata.
Ujung
pedangnya membabat ke bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelak, tertawa puas.
Wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa sambil berdongak ke atas.
"Suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah
kalian?!" Dan dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu. "Akan
tetapi aku belum puas! Kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara
mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!".........
Terima Kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment