Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 07
THE KWAT LIN menengok kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kau tunggu di sini sebentar!"
Tubuh The
Kwat Lin berkelebat meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat dia telah datang
kembali sambil menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai
ruangan itu penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh
Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.
"Nah,
nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!"
The Kwat Lin
lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi meninggalkan gedung itu.
Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio
menyambut mereka dengan mata penuh harapan.
"Mana
Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya.
"Bagaimana
dengan dia?" Swi Nio juga bertanya.
"Ayah
kalian telah tewas...."
Dua orang
muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal tinjunya dan berkata,
"Si jahanam Pat-jiu Kai-ong! Aku harus membalas kematian Ayah!"
"Subo,
bantulah kami...," kata pula Swi Nio. "Kami harus menuntut
balas!"
"Heh-heh,
Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu Kai-ong telah di balas dan
sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat
bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari
tangannya. Menyenangkan sekali!"
Swi Liang
dan Swi Nio terbelalak memandang ‘sute’ ini. Ucapan anak itu benar-benar
membuat mereka merasa seram. Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa
keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu Kai-ong, mereka pun
merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan
oleh sute mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali.
Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari tangannya, dan perbuatan itu
dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!
"Musuhmu
sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi.
Ayahmu telah tewas, dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku. Akulah
pengganti ayah kalian."
Swi Liang
dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil
bercucuran air mata. "Terima kasih Subo...," kata mereka di antara
tangis mereka.
"Perkenankan
kami mengubur jenazah Ayah," kata pula Swi Liang.
"Tidak
perlu. Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar
gedung itu."
Biar pun
merasa heran dan kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah
merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak membantah. Mereka tentu
saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula dilempar oleh The Kwat
Lin di dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!
Memang
Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan main. Ketika tadi anaknya membuntungi
jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi muka
banyak anak laki-laki yang menjadi korbannya. Puluhan, bahkan ratusan anak
laki-laki yang menjadi korbannya itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan
mengejeknya. Kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri merasuk sampai
menusuk-nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka
baginya, tubuhnya yang terlatih memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia
tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat pingsan atau
mati sekalian, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu.
Mayat-mayat
itu mulai mengeluarkan bau yang memuakkan pada hari ke dua. Bau darah yang
mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya, masih diganggu
lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbannya, membuat Pat-jiu
Kai-ong menangis di dalam hatinya. Ia amat menyesali perbuatannya yang
mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu.
Tiga hari
kemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa bergelak melihat musuh
besarnya masih belum mati. Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan
dipermainkan di antara mayat-mayat suheng-nya selama tiga hari tiga malam, dan
kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali.
"Hi-hik,
kau sudah puas sekarang?" ejeknya. "Nah, mampuslah kau. Pat-jiu
Kai-ong!"
Pedangnya
berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu dicincang hancur
oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh
besarnya, barulah dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari ke
luar.
Dengan air
mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio memandang nyala api yang membakar
gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar.
"Ayahmu
telah sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo
kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin mempelajari ilmu, kelak kalian tidak
akan mengalami penghinaan orang lagi."
Dengan hati
berat namun karena tidak ada orang lain yang mereka pandang setelah ayah mereka
meninggal, dua orang muda itu terpaksa mengikuti The Kwat Lin bersama Han Bu
Ong pergi meninggalkan Heng-san.
Bu-tong-pai
adalah sebuah perkumpulan silat yang besar, merupakan sebuah di antara
‘partai-partai’ persilatan yang terkenal. Akan tetapi pada saat ini Bu-tong-pai
sedang berkabung. Di markas perkumpulan itu yang letaknya di lereng pegunungan
Bu-tong-san, dari pintu gerbang sampai rumah-rumah para tokoh dan murid kepala,
tampak kibaran kain-kain putih menghias pintu, tanda bahwa Bu-tong-pai sedang
berkabung. Siapakah yang meninggal dunia? Bukan lain adalah ketua Bu-tong-pai
yang sudah berusia lanjut, yaitu Kiu Bhok Sianjin yang meninggal dunia dalam
usia delapan puluh tahun.
Baru saja
upacara penguburan selesai dilakukan oleh para anak murid Bu-tong-pai. Para
tamu telah meninggalkan pegunungan Bu-tong-san, akan tetapi semua anak murid
Bu-tong-pai masih berkumpul di sekitar kuburan baru itu. Suasana penuh
perkabungan dan masih tampak beberapa orang murid yang mengusap air mata. Kui
Bhok Sianjin terkenal sebagai seorang ketua dan guru yang baik dan yang
dicintai oleh para anak murid Bu-tong-pai.
"Suhu...!"
seruan ini membuat semua orang menengok.
Tampaklah
seorang wanita cantik berlari mendatangi, diikuti oleh sepasang muda-mudi
remaja dan seorang anak laki-laki. Wanita itu tidak menoleh ke kanan-kiri,
melainkan langsung berlari menghampiri kuburan baru itu dan menjatuhkan diri
berlutut di depan batu nisan sambil menangis.
"Ahh,
bukankah dia Sumoi The Kwat Lin...?" seorang murid Kui Bhok Sianjin yang
usianya lima puluhan berseru.
Semua orang
memandang dan kini mereka pun mengenal wanita yang berpakaian indah seperti
seorang nyonya bangsawan itu. The Kwat Lin! Tentu saja mereka semua kini
teringat. Bukankah The Kwat Lin merupakan seorang anak murid Bu-tong-pai yang
amat terkenal sebagai orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap yang sudah
bertahun-tahun lenyap tanpa meninggalkan jejak?
"Benar,
dia orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap!" terdengar seruan-seruan setelah
mereka mengenal wanita cantik itu.
Mendengar
suara-suara itu, wanita ini lalu bangkit berdiri, menyusuti air matanya,
kemudian memandang kepada mereka sambil berkata, "Benar, aku adalah The
Kwat Lin, orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap. Masih baik kalian mengenalku!
Sekarang Suhu telah meninggal dunia, siapakah yang akan menggantikannya sebagai
ketua Bu-tong-pai?"
Para tokoh
Bu-tong-pai terkejut menyaksikan sikap angkuh ini. Di antara mereka, terdapat
delapan orang yang terhitung suheng-suheng dari The Kwat Lin, dan orang tertua
di antara mereka adalah seorang kakek berpakaian seperti pendeta tosu. Sejak
tadi kakek tosu ini mengerutkan alisnya setelah mendengar bahwa wanita itu
adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, maka kini mendengar pertanyaan Kwat
Lin, dia melangkah maju.
"Sian-cai...,
tak pernah pinto sangka bahwa anggota termuda dari Cap-sha Sin-hiap akan muncul
hari ini. Berarti engkau adalah murid termuda dari mendiang Suheng, dan kalau
engkau ingin mengetahui, pinto yang dipilih oleh anak murid Bu-tong-pai, juga
telah ditunjuk oleh mendiang Suheng menjadi ketua di Bu-tong-pai," ujar
kakek yang berpakaian tosu ini.
Kwat Lin
mengangkat mukanya memandang. Tosu itu bertubuh kecil sedang. Biar pun mukanya
penuh keriput, namun matanya bersinar terang. Jenggotnya yang terpelihara baik
dan mengitari mulutnya itu masih hitam semua, demikian pula rambutnya yang
diikat dan diberi tusuk konde dari perak. Pakaiannya sederhana saja, pakaian
seorang pendeta To yang longgar.
"Siapakah
Totiang?"
"Ha-ha-ha-ha,
sungguh lucu kalau seorang murid keponakan tidak mengenal susiok-nya sendiri.
Ketahuilah bahwa pinto adalah Kui Tek Tojin, satu-satunya saudara seperguruan
dari mendiang Kui Bhok Sianjin yang masih hidup."
Kwat Lin
sudah pernah mendengar nama susioknya (paman gurunya) ini, seorang tosu
perantau, sute termuda dan satu-satunya yang masih hidup dari mendiang
Suhu-nya. Dia mencibirkan bibirnya yang merah dengan gaya mengejek, kemudian
berkata dengan suara lantang, "Ah, kiranya Susiok Kui Tek Tojin yang
menggantikan Suhu menjadi ketua Bu-tong-pai? Sungguh keputusan yang sama sekali
tidak tepat! Aku tidak setuju sama sekali kalau Susiok yang menjadi
ketua!"
Tosu itu
membelalakkan matanya dan memandang kaget, heran dan penasaran. Akan tetapi
sebelum dia mengeluarkan kata-kata, seorang tosu lain yang bernama Souw Cin Cu,
murid tertua dari Kui Bhok Sianjin, melangkah maju dan berkata, "Sumoi,
apa yang kau katakan ini? Betapa beraninya engkau mengatakan demikian!
Keputusan ini tidak saja sesuai dengan petunjuk Suhu, juga telah menjadi
keputusan kami semua. Pula, Susiok merupakan satu-satunya saudara seperguruan
mendiang Suhu, sehingga kedudukannya paling tinggi dan usianya paling tua di
antara kita. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menggantikan Suhu menjadi ketua
kita?"
"Siancai,
kedatangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka, juga pendapat yang
mengejutkan. Betapa pun juga, sebagai murid mendiang Suheng, dia berhak
berbicara untuk kepentingan dan kebaikan Bu-tong-pai. The Kwat Lin, bukankah
demikian namamu tadi? Kalau menurut pendapatmu, siapa gerangan yang patut
dijadikan ketua Bu-tong-pai menggantikan Suheng yang telah tidak ada?"
"Harap
maafkan aku, Susiok. Bukan sekali-kali aku memandang rendah kepada Susiok, akan
tetapi penolakanku itu berdasarkan perhitungan yang matang," Kwat Lin
berkata kepada calon ketua Bu-tong-pai itu.
Tentu saja
semua orang yang mendengar dan melihat sikap tidak menghormat dari wanita itu
menjadi terkejut dan heran. Kwat Lin melihat perubahan wajah orang-orang itu,
namun dia tidak mempedulikan, seakan-akan semuanya dalam keadaan wajar saja.
The Kwat Lin
berkata lagi, "Pertama-tama sejak dahulu Susiok selalu merantau, tidak
pernah mempedulikan keadaan Bu-tong-pai, apalagi Susiok adalah seorang tosu
sehingga kalau Susiok yang menjadi ketua Bu-tong-pai, ada bahayanya Bu-tong-pai
akan berubah menjadi perkumpulan Agama To! Berbeda sekali dengan pendirian mendiang
Suhu yang bebas sehingga murid suhu pun terdiri dari bermacam-macam golongan.
Selain itu, selama ini Bu-tong-pai makin kehilangan sinarnya, menjadi bahan
ejekan dan bahan penghinaan orang lain."
"Ahhhh...!"
terdengar suara memprotes dari sana-sini.
Souw Cin Cu
kembali berkata penasaran, "Sumoi, aku benar-benar merasa heran mendengar
kata-katamu dan melihat sikapmu. Sepuluh tahun engkau dan para suheng-mu
menghilang dan kini engkau muncul seperti seorang yang lain. Seperti langit
dengan bumi bedanya antara engkau dahulu dan engkau sekarang! Sumoi, kau
mengatakan bahwa Bu-tong-pai menjadi lemah dan menjadi bahan ejekan dan
penghinaan orang lain. Apa artinya ini?"
"Souw
Cin Cu Suheng, selama bertahun-tahun ini Cap-sha Sin-hiap telah lenyap, tahukah
engkau apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami
telah berusaha menyelidiki namun tidak dapat menemukan kalian."
"Hemm,
itulah tandanya bahwa Bu-tong-pai amat lemah, sehingga semua Suheng-ku,
tokoh-tokoh Cap-sha Sin-hiap, dibunuh orang tanpa diketahui oleh Bu-tong-pai!"
Semua orang
terkejut sekali mendengar bahwa dua belas orang dari Cap-sha Sin-hiap telah
dibunuh orang!
"Siapa
yang membunuh mereka?" Souw Cin Cu bertanya dengan suara marah sekali.
Hati siapa yang takkan menjadi panas dan marah mendengar bahwa dua belas orang
saudara seperguruannya dibunuh orang!
"Hemm,
terlambat sudah! Dua belas orang Suheng dibunuh oleh Pat-jiu Kai-ong ketua
Pat-jiu Kai-pang di Heng-san."
"Ohhh...!"
kini Kui Tek Tojin berseru kaget. "Pat-jiu Kai-ong...? Mengapa...?"
Kwat Lin tersenyum
mengejek. "Ahhh, tentu Susiok pernah mendengar nama besarnya dan menjadi
gentar, bukan? Memang dialah datuk sesat yang terkenal itu, yang telah membunuh
dua belas orang Suheng-ku, dan peristiwa itu berlalu begitu saja! Tiga belas
orang tokoh Bu-tong-pai mengalami penghinaan, dan Bu-tong-pai sendiri diam
saja. Jangankan berusaha membalas dendam, bahkan tahu pun tidak akan peristiwa
itu! Ini tandanya bahwa Bu-tong-pai lemah! Kini Bu-tong-pai hendak diketuai
oleh Susiok, apakah akan dijadikan markas kaum pendeta Tosu dan menjadi makin
lemah lagi? Aku sendirilah yang harus turun tangan membunuh musuh-musuh besar
kami, membunuh Pat-jiu Kai-ong dan membasmi Pat-jiu Kai-pang di Heng-san.
Melihat kelemahan Bu-tong-pai, aku tidak setuju kalau mendiang Suhu digantikan
kedudukannya oleh Susiok Kui Tek To-jin, harus diganti oleh orang yang memiliki
kepandaian tinggi dan dapat memajukan dan memperkuat Bu-tong-pai, barulah
tepat!" Kwat Lin bicara penuh semangat, mukanya yang cantik dan berkulit
halus itu kemerahan, sepasang matanya bersinar-sinar dan dengan tajamnya
menyapu wajah semua anak murid Bu-tong-pai yang hadir di situ.
Pandang mata
bekas orang termuda Cap-sha Sin-hiap ini membuat banyak anak murid Bu-tong-pai
merasa gentar. Mereka hanya menunduk untuk menghindarkan pandang mata Kwat Lin.
Akan tetapi, delapan orang suheng dari Kwat Lin memandang dengan marah dan
penasaran. Ada pun Kui Tek Tojin hanya tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil
mengangguk-angguk, matanya memandang wajah wanita itu penuh selidik.
"The
Kwat Lin, omonganmu penuh semangat terhadap kedudukan Bu-tong-pai. Andai kata
benar semua kata-katamu itu, habis siapakah yang kau pandang tepat untuk
menjadi ketua Bu-tong-pai?" Kui Tek Tojin berkata lagi dengan sikap
tenang.
"Untuk
waktu ini, kiranya tidak ada orang lain lagi dari Bu-tong-pai kecuali aku
sendiri!"
Kini
benar-benar terkejut dan terheran-heranlah semua anak murid Bu-tong-pai yang
berada di situ. Begitu beraninya wanita ini. Biar pun tak dapat disangkal lagi
bahwa The Kwat Lin merupakan murid utama pula dari mendiang Kui Bhok Sianjin
dan orang termuda Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi pada waktu itu dia bukanlah
orang yang memiliki tingkat tertinggi di Bu-tong-pai. Sama sekali bukan! Di
atas dia masih ada delapan orang suheng-nya, murid-murid Kui Bhok Sianjin yang
lebih tua, dan lebih lagi di situ masih ada Kui Tek Tojin yang tentu saja
memiliki tingkat jauh lebih tinggi karena tosu ini adalah paman gurunya!
"Murid
murtad!!" tiba-tiba Souw Cin Cu membentak garang dan meloncat maju,
diikuti pula oleh sute-sutenya. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka The Kwat
Lin. "The Kwat Lin, engkau sungguh tidak patut menjadi murid Bu-tong-pai!
Kiranya engkau menghilang sepuluh tahun hanya untuk pulang sebagai iblis wanita
yang murtad terhadap perguruanya sendiri. Dan kami berkewajiban untuk menghajar
seorang murid murtad!"
Sambil
berkata demikian, Souw Cin Cu menerjang ke depan dengan dahsyat. Souw Cin Cu
merupakan murid pertama atau paling tua dari Kui Bhok Sianjin. Sungguh pun
tidak dapat dikatakan bahwa dia memiliki tingkat ilmu silat paling tinggi, akan
tetapi setidaknya tingkatnya sejajar dengan orang-orang tertua dari Cap-sha
Sin-hiap dan sebenarnya masih lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan
ilmu kepandaian The Kwat Lin ketika masih menjadi orang termuda Cap-sha
Sin-hiap dahulu.
Akan tetapi,
Kwat Lin sekarang sama sekali tidak bisa disamakan dengan Kwat Lin sepuluh
tahun yang lalu. Dia telah mewarisi ilmu silat tinggi dan mukjijat dari Pulau
Es. Tingkatnya sudah tinggi sekali! Dengan tenang saja dia memandang ketika
suheng-nya itu menerjangnya. Apalagi karena dia mengenal benar jurus yang
dipergunakan oleh suheng-nya, jurus dari ilmu silat Ngo-heng-kun.
Ketika
tangan kiri Souw Cin Cu mencengkeram ke arah lehernya dan tangan kanan tosu itu
menampar pelipis, dia diam saja seolah-olah dia hendak menerima dua serangan
ini tanpa melawan. Akan tetapi setelah hawa sambaran pukulan itu sudah terasa
olehnya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dari bawah ke atas.
"Plak-plak-plak!!"
kedua lengan Souw Cin Cu telah terpental, bahkan tubuh tosu ini terpelanting
ketika tangan Kwat Lin yang tadi sekaligus menangkis kedua lengan itu
melanjutkan gerakannya dengan tamparan pada pundaknya. Tamparan yang perlahan
saja, akan tetapi sudah cukup murid pertama mendiang Kui Bhok Sianjin
terpelanting!
Diam-diam
Kui Tek Tojin terkejut. Ia heran menyaksikan gerakan tangan wanita itu, gerakan
yang amat cepat dan aneh, gerakan yang sama sekali tidak dikenalnya dan tentu
saja bukan jurus ilmu silat Bu-tong-pai! Akan tetapi tujuh orang sute dari Souw
Cin Cu sudah menjadi marah dan tanpa dikomando lagi mereka menerjang maju.
Akan tetapi
The Kwat Lin tertawa, tubuhnya bergerak sedemikian cepatnya dan berturut-turut
tujuh orang ini pun terguling roboh di dekat Suow Cin Cu! Mereka sendiri tidak
tahu bagaimana mereka dirobohkan, akan tetapi tahu-tahu terpelanting dan bagian
yang tertampar tangan Kwat Lin, biar pun tidak sampai patah tulang, akan tetapi
amat nyeri. Padahal tamparan itu perlahan saja. Bagaimana andai kata wanita itu
menampar dengan pengerahan tenaga sekuatnya? Sukar dibayangkan akibatnya.
Betapa pun
juga, delapan orang murid utama dari Bu-tong-pai ini tentu saja tidak sudi
menyerah begitu mudah. Mereka sudah meloncat bangun dan mencabut senjata
masing-masing!
"Ibu,
mengapa tidak dibunuh saja tikus-tikus menjemukan ini?" tiba-tiba Bu Ong
berteriak.
Anak ini
sudah bertolak pinggang dan memandang marah kepada para pengeroyok ibunya.
Kalau saja tangannya tidak dipegang erat-erat oleh Swi Liang dan Swi Nio,
suheng dan suci-nya, tentu dia sudah menerjang maju membantu ibunya. Akan
tetapi memang sebelumnya, Swi Liang dan Swi Nio sudah dipesan oleh subo mereka
untuk menjaga Bu Ong, dan terutama sekali mencegah bocah ini mencampuri
urusannya dengan orang-orang Bu-tong-pai.
Kwat Lin
tersenyum mengejek melihat delapan orang suheng-nya itu mengeluarkan senjata.
"Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak melihat
bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan andai kata Suhu
masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi aku."
"Keparat...!"
Souw Cin Cu
dan tujuh orang sute-nya menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba Kui Tek Tojin
berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!"
Mendengar
teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati perintah calon ketua
mereka.
Kui Tek
Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang tersenyum-senyum itu.
"Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani
menentang Bu-tong-pai! The Kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari ilmu
silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan manakah?"
"Memang
benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada siapa
pun juga."
"Hei,
tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?"
"Bu
Ong...!" Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah
terlanjur bicara.
Bukan main
kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai mendengar ini. Pulau Es
hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh Pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di
dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga
merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan berkata,
"The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai,
betapa pun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan
Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat dari
golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak
berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai."
Kwat Lin
tersenyum mengejek. "Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah
mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh
lebih tinggi dari-pada semua tokoh Bu-tong-pai. Akan tetapi aku bukan saja
masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tongpai menjadi
perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat
Bu-tong-pai agar tidak ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah
Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi
kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu."
"Hemm,
kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan menentang
kehendakmu, The Kwat Lin."
"Dengan
cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"
"Dengan
mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari-pada nyawa
seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan kepandaian
kita."
The Kwat Lin
tersenyum. "Susiok, betapa mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para
suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin
menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan
mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu."
Ucapan ini
malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali. Mengalahkan lawan tanpa
membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang
yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari lawannya! Merah
muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid keponakannya sendiri! Bukan
hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai, sebagai calon ketua
Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggota muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu,
tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini
dipandangnya bukan sebagai anggota Bu-tong-pai lagi, melainkan sebagai seorang
musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.
"The
Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk
mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapa pun juga, dan saat ini
pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata
demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan
kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang.
Kwat Lin
mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam saking
tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak
dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua
belaka, namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh
lebih barbahaya dari-pada tongkatnya.
Dia dapat
menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari
Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung
lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang dapat menghadapi
senjata apa pun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan
lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut keseluruh
jalan darah di tubuh lawan!
Karena itu,
dia tidak berani memandang rendah. Cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan
tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan dorongan dengan
telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im Sin-jiu. Hawa yang
amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah
tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan
main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang mendatangkan
rasa dingin.
"Siancai...!!"
Tosu itu berseru kaget.
Kui Tek
Tojin merasa betapa hawa yang menyambar dari depan amat dinginnya, membuat
tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu menggerakan
tongkat di tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang
panjang, menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping.
"Wuuttt...
plakkk!"
Dengan
berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki
sambaran tongkat dari samping, terus mencengkeram tongkat itu dan mengerahkan
sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat. Kembali tosu itu berseru kaget
ketika merasa betapa lengan kanannya yang memegang tongkat terasa dingin dan
lumpuh! Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih terkejut
dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan
menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan
tangan kanannya, kini sambil mengerahkan tenaga sinkang yang berhawa panas!
"Ouhhh...!"
Kui Tek Tojin berteriak.
Cepat dia
meloncat ke belakang, tapi tentu saja tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah
mengerahkan sinkang melawan getaran melalui tongkat dengan niat merampasnya
kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan
kanan ternyata luar biasa kuat dan panasnya. Kui Tek Tojin terkejut karena
perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak disangka-sangkanya. Maka untuk
menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan
tongkatnya.
Kwat Lin
sudah melompat ke belakang pula. Ia memegang tongkat itu dengan kedua tangan di
atas kepala sambil tertawa dan berkata, "Hi-hik, tongkat pusaka telah
berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai!”
"Kembalikan
tongkat!" Kui Tek Tojin berteriak marah.
Kedua lengan
Kui Tek Tojin bergerak ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya
kedua ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam
segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat
berbahaya! Sukarlah membebaskan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan
andai kata Kwat Lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak
mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi.
Kwat Lin
menggunakan ginkang-nya berloncatan menghindar. Akan tetapi sebuah totokan yang
meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu
terlepas dari peganganya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya,
yaitu pedang Ang-bwe-kiam. Tampak sinar merah berkeredepan dan
menyambar-nyambar secara dahsyat.
"Bret-brettt...!!"
Kui Tek
Tojin berteriak kaget. Ia meloncat mundur dan ternyata bahwa ujung lengan
bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin. Sekarang wanita
itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh
tangannya yang tertotok.
"Susiok!
Dan kalian para Suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan
mematahkan tongkat pusaka ini, kemudian akan membunuh kalian dan merampas
Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi.
"Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat
tinggi dan memegang tongkat wasiat ini. Hak untuk menjadi ketua dengan niat
hendak mempertinggi tingkat Bu-tong-pai!"
Delapan
orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke depan, akan
tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan berkata, "Mundurlah
kalian! Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!"
Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah. Melihat tongkat pusaka di
tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi, betapa pun juga kami tidak
dapat menerima engkau menjadi ketua kami. Kami harap engkau tidak memaksa anak
murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk kepadamu dan ingin meninggalkan tempat
ini."
Kwat Lin
tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak murid Bu-tong-pai. Dia
tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan kemuliaan bagi
puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusahakan
agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan paling besar.
"Terserah
kepadamu, Susiok." Dia lalu memandang ke sekeliling, kepada para anak
murid Bu-tong-pai. "Haiii, semua anggota dan murid Bu-tong-pai, dengarlah
baik-baik! Betapa pun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di
dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan
para Suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku ingin menyebarkan
ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan
Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada
kalian, apakah hendak bersetia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi
murid-muridku, ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan
orang Suheng-ku ini yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!"
Berisiklah
keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini. Para anak murid
Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan. Akhirnya hanya ada dua
puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan tempat itu, menuruni bukit
dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit. Tempat ini dipilih oleh Kui Tek Tojin
untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan
selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka
setelah mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin
memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi.
Demikianlah,
mulai hari itu The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari Bu-tong-pai yang
dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula. Dengan harta benda berupa
emas permata yang amat mahal yang didapatkan dan dilarikannya dari Pulau Es,
dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan yang megah, mewah dan kuat.
Karena hatinya ingin lekas-lekas melihat Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang
kuat dan banyak anggotanya, dia pun menerima anggota-anggota baru.
Anggota baru
diterima dari golongan apa pun juga. Syaratnya hanya satu, bahwa mereka itu
haruslah memiliki kepandaian sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia
sampai mati kepada Bu-tongpai. Karena mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang
baru adalah seorang wanita cantik yang memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya
raya, maka banyaklah orang-orang berdatangan dan masuk menjadi anggota
Bu-tong-pai. Mereka terdiri dari orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat
yang tadinya hidup sebagai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu
penghasilannya!
Mulai
pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk puteranya.
Dengan kerja sama antara dia dan para anggota baru yang berpengalaman, mulailah
dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari kesempatan untuk menghubungi para
pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia untuk memberontak terhadap
kaisar.
Inilah
cita-cita The Kwat Lin! Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang raja,
biar pun hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau Es. Karena itu dia
menganggap bahwa puteranya, Han Bu Ong, adalah seorang pangeran! Seorang
pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja. Bukan raja kecil yang hanya
menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan satu-satunya jalan untuk
dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar sehingga kelak ada kesempatan
bagi puteranya untuk menjadi kaisar!
Tentu saja
untuk memberontak sendiri dengan mengandalkan kekuatan Bu-tong-pai merupakan
hal yang tak masuk di akal dan hanya merupakan usaha bunuh diri. Maka dia
mencari kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi
seperti dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang
dapat dikuasai untuk mencapai cita-cita mereka itu.
Memang
sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawi atau alam benda merupakan keadaan yang
amat berbahaya. Tak dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan
kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang
dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya. Akan tetapi, akan
celakalah dan hanya akan menimbulkan mala-petaka bagi diri sendiri dan bagi
orang lain kalau manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta
benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain sebagainya.
Alam
kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan
pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan
menjadi minuman yang memabokkan. Dan sekali orang mabok oleh duniawi, akan
timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala. Yang ada
hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apa pun juga tanpa
mengharamkan segala cara.
Demikian
pula terjadi dengan The Kwat Lin. Dahulu, belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin
merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, penentang kejahatan yang
gigih sehingga namanya bersama dua belas orang suheng-nya sebagai Cap-sha
Sin-hiap amatlah terkenal. Akan tetapi setelah mala-petaka menimpa Cap-sha
Sin-hiap, dendam menaburkan bibit yang merubah seluruh pandangan hidupnya.
Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji dan kejam sekali, bibit itu
masih berkembang biak dan merubah sifat, dari dendam kepada pengejaran
kemuliaan yang tanpa batas.
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong, puteri dari Raja Han Ti Ong.
Sebaiknya kita mengikuti pengalamannya agar tidak tertinggal terlampau jauh.
Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu marah-marah ketika
melihat betapa Sin Liong menolong seekor beruang dan tidak mempedulikan dia.
Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan.
Padahal dia ingin sekali segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia
ketahui ke mana perginya dan bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat
mengamuk di sekitar lautan itu.
Akan tetapi
tentu saja dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu bukan dengan
hati yang sesungguhnya, melainkan hanya untuk sekedar menunjukkan kemarahan
hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu,
sehingga pulau di mana Sin Liong mengobati beruang itu tidak nampak lagi, dara
itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong. Sudah
dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya
itu akan minta maaf dan menyatakan penyesalan hatinya, dan dia yang akan
memaafkannya! Saat-saat seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggaan dan
kemenangan di dalam hatinya.
Betapa
bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat
jalan dan tidak tahu lagi di mana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian
banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es
yang datang dan pergi seperti hidup saja! Setelah berputar putar tanpa hasil
dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada,
setelah berteriak-teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada
jawabannya, akhirnya dia memutar perahu ke luar dari daerah penuh pulau kecil
yang membingungkan itu.
Biarlah, dia
akan pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri mencari ibunya. Dia merasa
yakin bahwa suheng-nya itu tentu akan dapat menyelamatkan diri. Suheng-nya
memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya
menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya
untuk mencari ibunya, dara ini seolah-olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan
saja ke mana perahu yang terdorong angin itu membawanya.
Pada suatu
hari, tampak olehnya garis hitam di sebelah kanan. Garis itu masih jauh sekali,
akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa garis hitam yang amat
panjang membujur dari kanan ke kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya
tiada bertepi.
“Aha! Itulah
daratan besar,” pikirnya dengan girang.
Dia segera
membelokan perahunya menuju ke garis hitam itu. Ketika perahunya sudah tiba di
dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat
dari sebelah kirinya. Perahu itu kecil, dan di dalamnya ada seorang laki-laki
muda yang kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya
sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak. Akan tetapi Swat Hong membuang
muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja
mendayung perahunya ke tepi.
Begitu
perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan
perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan
berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong. Dia akan mencari
ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya
tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu
berada di daratan besar, dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan
bahwa ibunya masih hidup dan dapat bertemu lagi dengannya. Andai kata tidak,
dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali ke laut.
Dia tahu
bahwa demikian pula agaknya pendapat suheng-nya. Sebelum berpisah mereka sudah
membicarakan hal ini berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja
di Pulau Es juga berasal dari daratan besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es
terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris
satu-satunya kembali pula ke daratan besar!
"Heiii...
Nona! Tunggu...!!"
Swat Hong
mengerutkan alisnya dan berhenti melangkahkan kakinya. Ia membalik dan melihat
betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan
juga perahu yang ditinggalkannya tadi di pantai. Kini pemuda itu berlari
mengejarnya.
"Mau
apa engkau mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya
memandang penuh selidik.
Pemuda itu
usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang
berwajah tampan dan gagah. Perawakannya tinggi besar, matanya menyorotkan
kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak
tersembul ke luar dari lengan baju pendek itu kekar berotot, membayangkan
tenaga yang hebat. Bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang
bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat sekali. Melihat bahan
pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang. Namun melihat
dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan
berat.
“Kalau bukan
seorang petani, tentu seorang nelayan,” pikir Swat Hong, kagum juga memandang
tubuh yang kokoh kuat itu.
Pemuda itu
tersenyum. Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula,
senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya
ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan
bahwa dia pernah ‘makan sekolahan’ alias terpelajar, terbukti pula dari
kata-katanya yang biar pun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan.
"Maafkanlah
aku. Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu
meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona
berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal," ujarnya.
Swat Hong
mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya
mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa
gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang amat lancang ingin ‘belajar kenal’,
sungguh menggemaskan.
"Aku
tidak membutuhkan perahu itu lagi, dan aku tidak peduli apakah kau
meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang
belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki saja
yang mau belajar kenal dengan orang asing yang lancang!"
Sepasang
mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun
membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong
sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di
dalam hati pemuda ini. Watak pemuda ini memang mengagumi sikap orang yang
terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura, seperti sikap Swat Hong yang baru
saja diperlihatkan.
"Ha-ha-ha-ha!"
pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini
pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis.
Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus air matanya.
"Nona
hebat sekali! Ha-ha-ha, aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang ini bertemu
dengan seorang Nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu
ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Kwee Lun. Biar pun jelek dan
kasar, bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan sudah
meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku
sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam-hai
Seng-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kami berdua tinggal
di Pulau Kura-kura di Laut Selatan."
Melihat
sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa
pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasaran
yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan
sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas
menjadi sahabatnya, sungguh pun menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa
yang namanya terkenal di dunia kang-ouw!
Swat Hong
tersenyum. "Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu!
Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku, dengan maksud
apakah engkau seorang pria minta berkenalan dengan seorang wanita?"
Kwee Lun
mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang
di dahinya itu. Dia lalu menggeleng-geleng kepalanya. "Memang, sebelum aku
berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku tidak boleh
mendekati wanita cantik yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan
tetapi, biar pun Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi
dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini
baru pertama kali aku merantau seorang diri. Aku membutuhkan seorang sahabat
yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini,
tentu aku akan berusaha menyenangkan hatimu."
Swat Hong
makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya
terbuka, kata-katanya teratur, akan tetapi ada bayangan ketololan. "Hemm,
kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan hatiku?" dia menyelidik.
"Aku?
Wah, aku bodoh, akan tetapi kalau ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa
Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka!” dia melonjorkan kedua
lengannya yang kekar berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada
lima puluh orang, aku masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu
dengan senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal
sajak kuno yang indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona
dengan nyanyian! Aku suka sekali bernyanyi."
Hampir saja
Swat Hong tertawa geli. Orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca
sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh,
akan tetapi tentu saja dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam
dia berkata, "Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata,
akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa."
“Ahh, tunggu
dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkannya di perahu!"
Setelah
berkata demikian, Kwee Lun membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke
perahunya. Ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah
membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang
perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!
"Mengapa
baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?"
"Aih,
kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan.
Untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa senjata?
Tentu disangka perampok atau bajak!"
Mau atau
tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh
ini. "Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria,
mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang."
Mata yang
lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan.
"Apa peduli kata-kata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang
bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang manusia,
pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan bersahabat? Nona, aku
Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan
memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap
memperkenalkan diri."
Swat Hong
makin tertarik. Akan tetapi dia masih ragu-ragu, apakah orang ini patut
dijadikan seorang teman? Biar pun lagaknya seperti jagoan, siapa tahu kalau
kosong belaka?
"Kau
bilang tadi kau adalah murid seorang tosu yang terkenal?"
"Ya,
Suhu Lam-hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah
selatan!"
"Kalau
begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai dari-pada bicaramu yang sepeti penjual
jamu, bukan?"
"Ihhh,
harap jangan mentertawakan! Biar pun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari
gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu banyak orang
di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!"
"Tidak
ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku
juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan
apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi
pedangku!" sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya
perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya.
"Akan
tetapi, Nona...," Kwee Lun meragu. Biar pun dia tadi menyaksikan betapa
gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya
apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya!
"Tidak
usah banyak ragu. Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih
lama lagi!"
"Srat...!!"
pedang terhunus sudah berada di tangan kanan Kwee Lun. Sarung pedangnya
dilempar ke atas tanah, sedangkan tangan kirinya sudah mencabut kipas gagang
perak yang telah dikembangkan dan melindungi dadanya, ada pun pedang itu
dilonjorkan ke depan. "Aku telah siap, Nona."
Swat Hong
memang ingin sekali melihat sampai di mana kepandaian pemuda yang aneh ini,
maka tanpa banyak kata lagi dia sudah meloncat ke depan dan menggerakkan
pedangnya dengan hebat sekali. Pedang di tangannya itu adalah pedang biasa
saja, akan tetapi karena yang menggerakkan adalah tangan yang mengandung tenaga
sinkang istimewa dari Pulau Es, maka pedang itu lenyap bentuknya berubah
menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh dara itu juga tertutup
oleh gulungan sinar pedang saking cepatnya tubuh itu berloncatan.
"Aihhh...!!"
Kwee Lun berseru keras.
Cepat dia
menggerakkan pedang dan kipas. Memang sudah diduganya bahwa dara itu lihai
sekali, akan tetapi menyaksikan gerakan pedang yang demikian luar biasa, dia
menjadi kaget, kagum, heran dan juga gembira. Tanpa ragu-ragu dia lalu
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menandingi dara
yang mengagumkan hatinya ini.
Seperti
telah kita kenal di permulaan cerita ini, ketika para tokoh kang-ouw
memperebutkan Sin Liong yang ketika itu dikenal sebagai Sin-tong (bocah ajaib),
guru pemuda itu, Lam-hai Seng-jin, adalah seorang tosu yang selain ahli dalam
Agama To, juga pandai bernyanyi, dan lihai sekali ilmu silatnya. Tosu ini
terkenal sebagai pertapa atau pemilik Pulau Kura-kura di Lam-hai, dan
senjatanya yang berupa hudtim dan kipas telah mengangkat tinggi namanya di
dunia kang-ouw.
Agaknya
kepandaian itu telah diturunkan semua kepada murid tunggalnya ini. Namun tentu
saja karena muridnya bukanlah seorang tosu, senjata hudtim diganti dengan
pedang. Pedang dan kipas adalah senjata yang ringan, kini dimainkan oleh kedua
lengan Kwee Lun yang mengandung tenaga gajah, tentu saja dapat dibayangkan
betapa cepatnya kedua senjata itu bergerak sampai tidak tampak lagi sebagai
senjata kipas dan pedang, melainkan tampak hanya gulungan sinar yang berkelebatan
dan saling belit dengan sinar pedang di tangan Swat Hong.
"Cringgg...!"
tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan pedangnya mencelat ke atas terlepas dari
tangannya.
Swat Hong
tersenyum. Dia tadi sudah menyaksikan bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup lihai,
bahkan dalam hal kecepatan dan tenaga tidaklah kalah banyak dibandingkan dengan
kepandaiannya sendiri. Adanya dia dapat membuat pedang pemuda itu terlepas
dalam waktu tiga puluh jurus, hanyalah karena selain dasar ilmu silatnya lebih
tinggi dari-pada pemuda itu, juga kenyataan bahwa pemuda itu tidak mau
menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan mendasarkan permainannya pada tingkat
penguji dan berlatih saja. Kalau pemuda itu melawan dengan sungguh-sungguh, dia
sendiri sangsi apakah akan dapat merobohkannya dalam waktu seratus jurus.
"Wah,
kau hebat sekali, Nona! Aku mengaku kalah!" Kwee Lun menjura dan menyimpan
kipasnya. Suaranya bersungguh-sungguh, karena memang pemuda ini walau pun tadi
tidak mau menyerang sungguh-sungguh, namun dari gerakan lawannya dia sudah
dapat melihat bahwa dara itu benar-benar memiliki ilmu silat yang amat aneh dan
amat kuat. "Aku terlalu rendah untuk menjadi sahabatmu," ujarnya.
"Kwee-twako,
kau terlalu merendah. Ilmu kepandaianmu hebat! Perkenalkanlah, aku bernama Han
Swat Hong...," sampai di sini dara itu meragu karena dia masih sangsi
apakah dia akan memperkenalkan diri sebagai seorang puteri dari Kerajaan Pulau
Es yang asing dan yang telah terbasmi habis oleh badai itu.
"Ilmu
pedang Nona hebat bukan main, juga amat aneh gerakannya. Selama melakukan
perantauan dengan Suhu dan mendengar penjelasan Suhu, sudah banyak aku mengenal
dasar ilmu silat perkumpulan besar di dunia kang-ouw. Akan tetapi melihat
gerakan pedang Nona tadi, aku benar-benar tidak tahu lagi, sedikit pun tidak
mengenalnya. Maukah Nona Han Swat Hong memperkenalkannya kepadaku?"
"Kwee-twako,
sebenarnya aku akan merahasiakan keadaanku. Baru pertama kali ini aku menginjak
daratan besar dan aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan di dunia
kang-ouw, apa lagi memperkenalkan diriku. Akan tetapi memang sudah nasib,
begitu mendarat bertemu dengan engkau, dan sikapmu menarik hatiku, membuat aku
tidak dapat menyembunyikan diri lagi. Aku akan menceritakan keadaanku hanya
dengan satu janji darimu, Twako."
Kwee Lun memungut
pedangnya, mengikatkan sarung pedang di punggung, lalu membusungkan dadanya
yang sudah membusung tegap itu sambil menepuk dada dan berkata, "Nona
Han...."
"Kwee-twako,
sekali mau mengenal orang, aku tidak mau bersikap kepalang. Aku menyebutmu
Twako (kakak), berarti aku sudah percaya kepadamu. Maka janganlah kau masih
bersikap sungkan menyebutku Nona. Namaku Swat Hong dan tak perlu kau menyebutku
Nona seperti orang asing."
"Hemm,
bagus sekali!" Kwee Lun bertepuk tangan dan memandang ke langit.
"Bukan main! Aku benar-benar berbahagia dapat memperoleh adik seperti
engkau! Nah, Hong-moi (adik Hong), kau ceritakanlah kepada kakakmu ini.
Ceritakan semuanya, kalau ada penasaran, akulah yang akan membereskan untukmu!
Kakakmu ini sekali bicara tentu akan dipertahankan sampai mati!"
Diam-diam
Swat Hong merasa girang dan kagum. Inilah seorang laki-laki sejati! Seorang
jantan! Sekaligus dia memperoleh seorang sahabat yang boleh dipercaya, seorang
kakak, dan sebagai pengganti seorang keluarga setelah dia kehilangan
segala-galanya. Dia telah kehilangan ibunya, ayahnya, keluarga ayahnya, bahkan
akhirnya dia kehilangan suheng-nya. Namun dalam keadaan seperti itu tiba-tiba
muncul seorang seperti Kwee Lun!
"Kwee-twako
aku baru saja meninggalkan tempat tinggalku di tengah-tengah laut di sekitar
sana!" dia menuding ke arah laut bebas.
"Di
manakah tempat tinggalmu itu? Di sebuah pulau?"
Swat Hong
mengangguk, masih agak ragu-ragu.
"Pulau
apa, Hong-moi?"
"Pulau
Es..."
"Hah...?!"
Benar saja
seperti dugaan Swat Hong, nama Pulau Es mendatangkan kekagetan luar biasa,
bahkan wajah pemuda itu berubah menjadi agak pucat dan dia memandang dara itu
seperti orang melihat iblis di tengah hari!
"Pulau...
Pulau Es...??"
Seperti juga
semua orang di dunia kang-ouw, Pulau Es hanya didengarnya seperti dalam dongeng
saja, dan pangeran Han Ti Ong yang pernah menggegerkan dunia kang-ouw disebut
sebagai seorang dari Pulau Es, seorang yang memiliki kepandaian seperti dewa!
Dan kini pemuda itu mendengar bahwa dara itu dari Pulau Es.
"Kwee-twako!
Jangan memandangku seperti memandang siluman begitu...!"
"Ohh...
eh...., maafkan aku, Moi-moi! Hati siapa yang mau percaya? Akan tetapi aku
percaya padamu, Moimoi! Wah, aku percaya sekarang! Kau pantas kalau dari Pulau
Es. Ilmu kepandaianmu luar biasa, bukan seperti manusia lumrah. Mana ada gadis
biasa mampu mengalahkan Kwee Lun dalam beberapa jurus saja? Aku malah bangga!
Seorang penghuni Pulau Es menyebutku twako dan kusebut Moi-moi! Ha-ha-ha-ha,
Suhu tentu akan tercengang saking kagetnya kalau mendengar ini!"
Melihat
pemuda itu petantang-petenteng mengangkat dada seperti orang membanggakan diri
sebagai seorang sahabat baik penghuni Pulau Es, Swat Hong menjadi geli hatinya.
"Hong-moi,
engkau tidak tahu betapa bangga dan besarnya hatiku. Aihh, sekali ini, baru
saja meninggalkan Suhu untuk merantau seorang diri, aku telah bertemu dan dapat
bersahabat denganmu. Betapa bangga hatiku!"
Swat Hong
terkejut. Baru teringat olehnya bahwa dia tadi belum melanjutkan syaratnya,
maka cepat dia berkata, "Kalau begitu, berjanjilah bahwa engkau tidak akan
menceritakan kepada siapa pun juga tentang keadaan diriku, kecuali namaku saja.
Berjanjilah Twako!"
Kwee Lun
memandang kecewa. "Tidak menceritakan kepada siapa pun juga bahwa engkau
adalah penghuni Pulau Es? Wahhh... ini...," tentu saja hatinya kecewa
karena hal yang amat dibanggakan itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain.
Kalau begitu, mana bisa dia berbangga?
"Kwee
Lun," tiba-tiba Swat Hong berkata dengan lantang. "Hanya ada dua
pilihan bagimu. Berjanji memenuhi permintaanku dan selanjutnya menjadi sahabat
baikku, atau kau tidak mau berjanji akan tetapi kuanggap sebagai seorang
musuh!"
"Wah-wah...
aku berjanji! Aku berjanji! Bukan karena takut kepadamu, Hong-moi. Aku bukan
seorang penakut dan juga tidak takut mati, akan tetapi karena memang aku merasa
suka sekali kepadamu. Aku tidak sudi menjadi musuh! Nah, aku berjanji, biarlah
aku bersumpah bahwa aku tidak akan menceritakan kepada siapa pun juga tentang
asal-usulmu, kecuali... hemm, tentu saja kalau... kalau kau sudah mengijinkan
aku. Siapa tahu...," sambungnya penuh harap.
Swat Hong
tersenyum lega. "Baiklah, Kwee-twako. Aku percaya bahwa engkau akan
memegang teguh janjimu. Sekarang dengarlah cerita singkatku dan kuharap kau
suka membantuku. Aku adalah puteri dari Raja Pulau Es..."
"Aduhhh...."
kembali mata itu terbelalak dan kwee Lun segera membungkuk, agaknya malah akan
berlutut!
"Twako,
kalau kau berlutut atau melakukan hal yang bukan-bukan lagi, aku takan sudi
bicara lagi kepadamu!"
Kwee Lun
berdiri tegak lagi. "Hayaaa... siapa bisa menahan datangnya hal-hal yang
mengejutkan secara bertubi-tubi ini? Baiklah, aku taat... eh, benarkah aku
boleh menyebutmu Moi-moi?"
"Siapa
bilang tidak boleh? Aku hanya bekas puteri raja! Ayahku telah meninggal dunia
dan Ibuku..., ah, aku sedang mencari Ibuku yang pergi entah ke mana.
Kwee-twako, aku tidak bisa menceritakan lebih banyak lagi. Yang penting kau
ketahui hanya bahwa Ibuku telah berbulan-bulan meninggalkan Pulau Es, entah ke
mana perginya dan aku sedang mencarinya. Juga aku telah saling berpisah dengan
Suheng-ku. aku sedang pergi merantau dan sekalian mencari Ibuku dan
Suheng-ku."
"Aku
akan membantumu!" Kwee Lun menggulung lengan bajunya yang memang sudah
pendek sampai ke bawah siku itu. "Jangan khawatir!"
"Terima
kasih, Twako. Dan sekarang, engkau hendak ke manakah?"
"Sudah
kukatakan tadi bahwa aku meninggalkan Pulau Kura-kura untuk pergi merantau
meluaskan pengalaman, sekalian memenuhi permintaan penduduk kota Leng-sia-bun
yang berada tak jauh dari pantai ini."
"Permintaan
apa, Twako?"
"Beberapa
orang penduduk bersusah payah mencari Suhu di Pulau Kura-kura, dan mereka mohon
pertolongan Suhu untuk menghancurkan komplotan busuk yang merajalela di kota
ini. Suhu lalu memerintahkan aku pergi, dan sekalian aku diberi waktu setahun
untuk merantau sendirian. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini.
Marilah kau ikut bersamaku ke Leng-sia-bun, tentu kau akan gembira melihat
keramaian ketika aku menghadapi komplotan itu. Setelah selesai urusanku di
sana,aku menemanimu mencari Suheng-mu dan Ibumu."
Swat Hong
mengangguk setuju. Lega juga hatinya, karena kini ada seorang teman yang
setidaknya lebih banyak mengenal keadaan daratan besar dari-pada dia yang asing
sama sekali. "Baik, Twako. Akan tetapi perutku...."
"Eh,
perutmu mengapa? Sakit...?"
"Sakit...
lapar...!"
Kwee Lun
tertawa-tawa bergelak dan Swat Hong juga tertawa. Keduanya merasa lucu dan
gembira karena mendapatkan seorang teman yang cocok wataknya!
"Kalau
begitu, tidak jauh bedanya dengan perutku! Mari kita cepat pergi. Leng-sia-bun
terdapat banyak makanan enak!"
"Tapi
.... perahumu itu? Bagaimana kalau ada yang curi nanti ?"
"Hemm,
siapa berani mencurinya? Lihat, bentuk perahuku itu. Bentuknya seperti seekor
kura-kura, lengkap dengan kepalanya dan ekornya. Melihat itu, semua orang tahu
bahwa itu milik Pulau Kura-kura, siapa berani mengganggunya? Perahumu yang
berada di dekat perahuku juga aman."
"Wah,
kalau begitu nama Suhumu sudah terkenal sekali!"
“Memang, dan
sekarang aku akan membuat nama agar sama terkenalnya dengan nama suhu!"
Berangkatlah
kedua orang muda itu menuju ke utara, melalui sepanjang pantai itu, lalu
mendekati sebuah daerah pegunungan. Mereka menuju ke kota Leng-sia-bun yang
letaknya tidak jauh dari pantai laut, tak jauh dari muara sungai Huai. Kota
Leng-sia-bun merupakan kota pantai yang ramai dan padat penduduknya. Karena
daerah ini merupakan daerah perdagangan yang menampung datangnya hasil bumi
dari pedalaman untuk dibawa oleh perahu-perahu ke pantai laut yang lain, juga
merupakan pasar besar pagi para nelayan, maka penduduknya cukup makmur.
Rumah-rumah besar, toko-toko, hotel-hotel dan restoran-restoran membuktikan
kemakmuran kota itu.
Akan tetapi,
seperti biasa terjadi dimana pun juga di penjuru dunia dan di jaman apa pun, di
kota Leng-sia-bun muncul juga manusia-manusia yang mempergunakan kesempatan
untuk mencari keuntungan dan menumpuk harta benda dengan cara yang tidak layak,
tidak halal, bahkan tidak mempedulikan lagi nilai-nilai kemanusiaan.Telah
bertahun-tahun, di kota itu merajalela komplotan yang dipimpin oleh seorang
hartawan bernama Ciu Bo jin dan terkenal dengan sebutan Ciu-wangwe (Hartawan Ciu).
Sebenarnya,
tanpa diketahui oleh siapa pun di kota itu, Ciu-wangwe adalah bekas seorang
perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah rambutnya mulai putih
dan dia berhasil mengumpulkan kekayaan, tinggallah dia di kota Leng-sia-bun
menjadi seorang pedagang. Mula-mula dia mendirikan sebuah rumah makan. Setelah
rumah makannya maju, dia membuka rumah judi dan rumah penginapan.
Tentu saja
dia mengumpulkan bekas teman-temannya dari kalangan hitam untuk bekerja
kepadanya dan merangkap menjadi tukang pukul. Akan tetapi Ciu-wangwe melarang
keras kepada anak buahnya untuk memperlihatkan sikap kasar dan sewenang-wenang
karena dia maklum bahwa itu bukan merupakan cara untuk mengumpulkan kekayaan di
sebuah kota.
Dengan licin
sekali Ciu-wangwe mempengaruhi para pembesar kota itu dengan jalan sering-kali
mengirimkan hadiah kepada mereka. Bahkan bukan uang saja yang dijadikan umpan
untuk memancing ikan besar dan menjinakan haimau, akan tetapi dia juga
mempergunakan wanita-wanita muda! Terkenallah hotel dan rumah judi yang
didirikan Ciu-wangwe karena kedua tempat ini juga merupakan tempat berpelesir
di mana disediakan perempuan muda sebagai pelacur-pelacur kelas tinggi! Bahkan
restorannya juga amat laris karena di situ bercokol pula beberapa orang pelacur
cantik yang melayani para tamu makan minum dan memberi kesempatan kepada para
tamu sambil makan minum untuk colek sana-sini!
Biar pun
banyak penduduk Leng-sia-bun yang menjadi korban judi, banyak rumah tangga
berantakan, namun tidak ada orang yang mampu menyalahkan Ciu-wangwe. Rumah
judi, hotel dan restoran yang dibukanya adalah sah dan mendapat restu serta
perlindungan dari para pembesar setempat. Bahkan secara terang-terangan, hampir
semua pembesar di kota itu menjadi langganan Ciu-wangwe.
Mereka yang
gemar berjudi menjadi langganan pokoan (tempat judi) di mana mereka dapat
berjudi apa saja sepuasnya. Tentu saja dalam melayani para pembesar berjudi,
orang-orang kepercayaan Ciu-wangwe tidak berani main curang, tidak seperti jika
melayani kalangan umum, di situ dilakukan kecurangan-kecurangan yang menjamin
kemenangan bagi si bandar judi.
Bagi para
pembesar yang senang pelesir dengan wanita, mereka mendatangi likoan (hotel) di
mana tersedia kamar yang mewah berikut pelacurnya yang tinggal pilih dan mereka
memperoleh pelayanan istimewa! Bagi yang mengutamakan lidah dan mulut, tersedia
restoran yang menyediakan atau mengirim arak wangi dan masakan lezat!
Kesewenang-wenangan
Ciu-wangwe tidaklah tampak atau terasa secara langsung oleh penduduk. Hanya
apabila ada orang berani mendirikan tempat judi, restoran atau hotel baru yang
menyaingi perusahannya, maka diam-diam tukang pukulnya akan bertindak dan
memaksa si pemilik perusahan itu untuk menutup pintu dan menurunkan papan nama
perusahan! Boleh orang lain membuka, akan tetapi harus kecil-kecilan dan
mengirim ‘pajak’ sebagai penghormatan kepada Ciu-wangwe!
Akan tetapi,
beberapa bulan belakangan ini terjadilah kegemparan-kegemparan di daerah kota
Leng-sia-bun. Kegemparan yang terasa oleh kaum pria yang doyan pelesir di
restoran dan hotel milik Ciu-wangwe. Hanya bedanya, kalau kegemparan para
penduduk dusun disertai tangis, adalah kegemparan di hotel-hotel itu diiringi
suara ketawa gembira, sungguh pun di malam hari juga mengakibatkan tangis
mnyedihkan. Apakah yang terjadi di kedua tempat itu?
Di kota
Leng-sia-bun, di dalam hotel milik Ciu-wangwe, kini sering-kali terdapat
‘barang baru’, yaitu pelacur-pelacur muda yang baru. Daun-daun muda seperti ini
paling disuka oleh bandot-bandot tua yang tidak segan-segan membuang uang
sebanyaknya untuk memetik daun-daun muda itu!
Di dalam
tempat-tempat rahasia di belakang hotel, di dalam kamar-kamar gelap sering-kali
terjadi hal yang mengerikan di mana seorang gadis remaja dipaksa dan dicambuki,
disiksa sampai mereka itu terpaksa menyanggupi untuk dijadikan pelacur dan
melayani kaum pria! Dan sekali dara remaja ini melayani seorang tamu, segalanya
akan berjalan lancar dan beberapa bulan kemudian perempuan remaja itu akan
menjadi seorang pelacur kelas tinggi yang dijadikan rebutan!
Pada waktu
yang bersamaan, terjadi geger di dusun-dusun di sekitar daerah itu. Banyak
terjadi pembelian gadis-gadis muda, bahkan banyak terjadi penculikan dan
perampokan secara terang-terangan dilakukan oleh gerombolan perampok ganas!
Keluarga gadis ini melakukan penyelidikan dan mereka akhirnya dapat menemukan
anak gadis mereka di Leng-sia-bun, dalam keadaan yang menyedihkan karena sudah
menjadi pelacur-pelacur!
Ada pula
yang lenyap sama sekali, bahkan ada yang terlunta-lunta sebagai seorang wanita
gila! Mereka ini adalah gadis-gadis yang berkeras tidak mau menjadi pelacur.
Ada yang disiksa sampai mati, dan ada yang diperkosa dan akhirnya menjadi gila!
Tentu saja banyak di antara mereka yang melapor kepada pembesar di
Leng-sia-bun, akan tetapi mereka itu malah dimaki-maki karena dianggap menghina
Ciu-wangwe.
Dikatakan
bahwa anak mereka menjadi pelacur, hal ini adalah orang-tua mereka yang tidak
tahu malu dan tak dapat mendidik anak, sekarang ada Ciu-wangwe yang menampung
mereka sehingga tidak kelaparan, mengapa mereka itu malah melapor dan menuntut
Ciu-wangwe? Mereka yang melaporkan bahwa anak gadisnya di culik orang, dan
ternyata anak gadis mereka itu tahu-tahu telah menjadi pelacur di hotel milik
Ciu-wangwe, malah dijatuhi hukuman rangket karena menghina Ciu-wangwe.
Laporan mereka
itu dianggap fitnah karena tidak ada bukti bahwa anak mereka diculik! Memang
ada saja jalan dan alasan para penegak hukum yang telah diperbudak oleh harta
yang mereka terima dari Ciu-wangwe itu, di samping suguhan anak-anak perawan
hasil penculikan! Untuk melakukan penculikan sendiri, tentu saja para pembesar
ini merasa malu. Kini ada yang menculikkan untuk mereka, hati siapa yang takkan
senang?
Karena sudah
merasa tersudut dan tidak berdaya lagi, akhirnya mereka teringat akan nama
besar Lam-hai Seng-jin, Majikan Pulau Kura-kura yang terkenal sebagai seorang
pertapa yang suka menolong kesukaran orang lain yang memerlukan pertolongan.
Terutama sekali mereka yang mempunyai anak perempuan dan yang merasa gelisah
kalau-kalau pada suatu malam akan tiba giliran mereka didatangi penculik yang
akan melarikan anaknya. Mereka segera bermufakat untuk minta pertolongan
pertapa itu, dan akhirnya berangkatlah serombongan orang menuju ke Pulau
Kura-kura.
Lam-hai
Seng-jin menerima pelaporan mereka dan merasa kasihan, maka dia mengutus murid
tunggalnya yang sudah mewarisi ilmu kepandaiannya untuk mewakilinya menyelidiki
dan memberi hajaran kepada komplotan penjahat itu. Juga dia memberi ijin kepada
muridnya untuk merantau selama satu tahun. Setelah mendapat banyak nasehat,
berangkatlah Kwee Lun seorang diri naik perahu menuju ke daratan besar. Tanpa
disangkanya, dia telah berjumpa dengan Han Swat Hong, puteri kerajaan Pulau Es!
Pada hari
itu, kota Leng-sia-bun sibuk seperti biasa. Keadaan tetap ramai dan biasa
seperti tidak terjadi sesuatu dan seperti tidak akan terjadi sesuatu. Di antara
sebagian besar penduduk yang memang sudah tidak memikirkan lagi, tidak ada
seorang pun yang tahu, bahwa malam tadi seperti biasa telah terjadi pemerkosaan
dara-dara culikan baru seperti sekelompok domba disembelih. Tidak ada pula yang
tahu bahwa pagi hari itu muncul dua orang yang akan mendatangkan perubahan
besar di kota itu, menimbulkan geger yang akan menggemparkan kota dan akan
menjadi bahan cerita sampai bertahun-tahun lamanya.
Setelah
menyelidiki di mana letaknya rumah makan milik Ciu-wangwe, Kwee Lun mengajak
Swat Hong mendatangi rumah makan itu. Sebuah rumah makan yang bangunannya indah
dan besar, dengan cat baru dan di depan rumah makan terdapat tulisan dengan
huruf besar ‘Ciu Lau' (Rumah Arak) yang berarti restoran.
"Hong-moi,
engkau lapar bukan? Mari kita makan dan minum di sini."
Swat Hong
memandang heran. Bukankah ini rumah makan milik Hartawan Ciu yang menjadi
pemimpin komplotan penjahat di kota ini yang akan dibasmi Kwee Lun? Dia
memandang dan melihat mata pemuda itu bersinar, kemudian Kwee Lun memejamkan
sebelah mata penuh arti. Swat Hong tersenyum geli. Mengertilah dia kini. Pemuda
itu hendak mengajaknya makan sampai kenyang lebih dulu sebelum turun tangan.
Dan memang dia merasa lapar sekali!
"Aku
tidak bisa bekerja tanpa makan lebih dulu," pemuda itu berkata lirih
ketika mereka memasuki rumah makan dan Swat Hong tersenyum-senyum.
Sepagi itu
rumah makan sudah terisi setengahnya oleh mereka yang beruang, karena rumah
makan ini terkenal sebagai rumah makan mahal. Dua orang pelayan pria dan wanita
menyambut mereka dengan sikap manis. Yang wanita masih muda dan genit, dengan
wajah yang ditutup warna putih dan merah yang tebal seperti tembok dikapur dan
digambar.
Kwee Lun dan
Swat Hong diantar ke sebuah meja kosong di sudut. Dengan suara lantang Kwee Lun
memesan makanan dan minuman yang paling lezat dalam jumlah banyak sekali. Para
pelayan menjadi terheran-heran mendengar pesanan masakan yang pantasnya untuk
menjamu sepuluh orang! Akan tetapi melihat sikap kasar dari pemuda tinggi besar
itu, pula melihat dua batang pedang dan kipas yang diletakan di atas meja,
mereka tidak berani banyak cakap dan melayani mereka.
Diam-diam
seorang pelayan memberi tahu kepada kepala tukang pukul yang berada di dalam.
Dua orang tukang pukul yang berpakaian biasa, dan dengan sikap biasa pula,
keluar dari dalam dan berjalan lewat dekat meja Kwee Lun dan Swat Hong. Kedua
orang tidak peduli dan berpura-pura tidak melihat.
Swat Hong
juga melanjutkan makan sambil kadang-kadang tersenyum geli menyaksikan betapa
temannya itu makan dengan lahapnya. Dia belum menghabiskan setengah mangkok,
Kwee Lun sudah menyapu bersih lima mangkok. Ketika dua orang itu lewat, Swat
Hong hanya melirik sebentar. Ia mengerahkan ilmu sehingga telinganya terbuka
dan dapat menangkap dengan ketajaman luar biasa ke arah kedua orang yang masih
berjalan-jalan di ruangan itu, seolah-olah sedang memeriksa dan kadang-kadang
membenarkan letak kursi dan meja yang kosong.
"Aku
tidak mengenal mereka," terdengar yang kurus pucat berkata.
"Tapi
gadis itu hebat...," kata orang ke dua yang pendek dan berperut gendut.
"Kalau dia bisa didapatkan, tentu Loya (Tuan Tu) akan memberi banyak
hadiah kepada kita."
"Hushh...
apa kau mau menyaingi pekerjaan Tiat-ci-kwi (Setan Berjari Besi)?"
"Ah,
siapa tahu dengan cara halus bisa mendapatkan dia...?"
"Tapi
pemuda itu kelihatan jantan!"
"Huh,
takut apa? Orang kasar seperti itu...."
"Tapi
jangan memancing keributan, Lote, kita nanti tentu dimarahi Loya."
"Aku
tidak bodoh, mari kita pergunakan cara halus. Lihat, mereka telah selesai
makan. Raksasa itu makannya melebihi babi!"
Swat Hong
yang sedang minum hampir tersedak karena geli hatinya mendengar temannya yang
gembul itu dimaki seperti babi. Akan tetapi Kwee Lun agaknya tidak mempedulikan
apa pun. Ia tidak melakukan penyelidikan seperti Swat Hong, tidak mendengar
makian itu, maka ia hanya mengelus-elus perutnya yang kenyang. Dia kelihatan
puas sekali telah dapat makan minum secukupnya di dalam restoran itu.
Pada saat
itu dua orang tukang pukul tadi sudah menghampiri mereka. Yang kurus pucat
sudah menjura sambil berkata, "Kami mewakili Ciu-wangwe pemilik restoran
ini menghaturkan selamat datang kepada Jiwi."
Sebelum Kwee
Lun yang terheran-heran menjawab, si gendut pendek sudah menyambung sambil
menyeringai dalam usahanya untuk tersenyum ramah. "Tentu Jiwi datang dari
jauh dan lelah. Majikan kami juga memiliki hotel yang paling besar, paling
bersih dan paling baik di kota ini, letaknya di sebelah kiri rumah makan ini.
Jiwi akan dapat mengaso dengan enak di hotel kami, dan kalau Loya kami
mendengar bahwa Jiwi adalah tamu dari jauh, tentu biayanya akan diberi potongan
separuhnya."
Kwee Lun
sudah mengerutkan alisnya, mukanya merah dan dia seakan-akan memperoleh
kesempatan mulai beraksi. "Kalian berani mengganggu kami yang sedang
makan...?"
Mendadak
kakinya tertendang ujung kaki Swat Hong. Ketika dia memandang, dia melihat
isyarat dalam sinar mata gadis itu, maka dia hanya mengerutkan alis dan tidak
melanjutkan kata-katanya. Swat Hong sendiri segera berkata kepada dua orang itu
dengan suara ramah dan sikap manis, "Kalian sungguh ramah, tentu majikan
kalian adalah seorang yang mengenal pribudi. Baik, kami memang hendak bermalam
barang dua hari di kota ini. Akan tetapi melihat keramahan kalian, aku ingin
bertemu dengan majikan kalian untuk menghaturkan terima kasih."
Dua orang
itu saling pandang. "Marilah kami antarkan Nona dan Tuan agar memperoleh
kamar yang paling baik di hotel, kemudian kami akan melapor kepada majikan
kami...."
"Tidak
usah repot-repot!" Swat Hong berkata cepat. "Temanku ini masih hendak
melanjutkan makan minum.... Heiii, pelayan! Tambah araknya! Biarlah saya yang
menemui majikan kalian dan memilih kamar di hotel sebelah. Kami sudah mendengar
tentang kebaikan hati majikan kalian dari pembesar-pembesar di kota ini, dan
kami memang ingin minta pekerjaan. Aku ingin bekerja apa saja yang pantas dan
temanku itu..., dia tentu bisa menjadi seorang penjaga keselamatan.”
Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati kedua orang itu. Sudah terbayang di depan
mata betapa mereka akan menerima pujian berikut hadiah dari Ciu-wangwe. Seorang
nona begini cantik jelita seperti bidadari, tanpa susah payah datang sendiri ke
depan mulut, tinggal membuka mulut dan mencaplok saja! Ciu-wangwe tentu senang
sekali, bukan untuk hartawan itu sendiri yang kesenangannya bukan memeluk
wanita cantik, melainkan untuk menyenang hati para pembesar setempat.
Ciu-wangwe sendiri kesenangannya hanya satu, yaitu uang dan kedudukan!
"Bagus
sekali kalau begitu, Nona! Kebetulan pada saat ini Ciu-wangwe sedang menjamu
pembesar yang paling terhormat di kota ini. Mereka sedang berpesta di ruangan
belakang hotel kami. Mari kami antar Nona ke sana!"
"Tidak
usah, kalian di sini saja melayani temanku!" sambil berkata demikian Swat
Hong sudah bangkit berdiri.
Cepat
laksana kilat kedua tangannya bergerak seperti seorang wanita yang
menepuk-nepuk pundak kedua orang itu dengan ramahnya. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang tukang pukul itu ketika
tiba-tiba tubuh mereka menjadi lemas dan kaki tangan mereka tak dapat
digerakkan lagi.
"Ha-ha,
duduklah kalian, mari temani aku minum arak!"
Kwee Lun
yang dapat melihat gerakan temannya itu cepat bangkit berdiri. Kakinya bergerak
dan kedua lutut mereka telah terkena tendangan ujung sepatunya sehingga
terlepas sambungannya. Sambil tersenyum Kwee Lun sudah mendudukkan mereka di
atas bangku di kanan-kirinya!
Para tamu
hanya melihat empat orang itu seperti beramah tamah, maka mereka tidak tertarik
lagi, hanya tertarik kepada Swat Hong yang memang sejak tadi telah menjadi
perhatian pandang mata para tamu pria yang berada di dalam restoran. Mereka
menahan napas melihat dara cantik jelita itu dengan langkah gontai meninggalkan
restoran, membawa dua batang pedang dan sebuah kipas.
"Aku
pinjam dulu ini!" kata Swat Hong tadi kepada Kwee Lun yang hanya memandang
dengan terheran-heran melihat kedua senjatanya dibawa pergi oleh Swat Hong.
"Agar kau tidak kesalahan membunuh orang!" kata pula Swat Hong
sehingga Kwee Lun tersenyum.
Kiranya
gadis itu tidak ingin melihat dia membunuh orang, maka sengaja membawa pergi
kedua senjatanya. Di dalam hatinya dia mentertawakan Swat Hong. Apakah tanpa
kedua senjata itu kaki dan tanganku tidak mampu membunuh orang? Pula, apakah
dia seekor harimau yang haus darah? Biarlah, pikirnya. Gadis itu masih belum
percaya kepadanya, dan dia akan memperlihatkan kelihaiannya tanpa bantuan
senjata.
Sambil
tertawa-tawa kepada dua orang tukang pukul yang duduk seperti boneka dan tak
mampu bergerak itu, Kwee Lun melanjutkan minum arak. Karena hawa mulai panas
disebabkan oleh hawa arak, pemuda perkasa ini melepaskan kancing bajunya
sehingga tampak rambut halus di tengah dadanya yang bidang dan kokoh kuat itu.
Tiba-tiba
seorang pelayan menghampiri meja Kwee Lun. Pelayan ini tadi melihat
ketidak-wajaran pada kedua tukang pukul yang duduk berhadapan dengan pemuda
itu. Mengapa mereka tidak bergerak-gerak dan duduk dengan lemas? Ketika dia
bertemu pandang, tukang pukul yang gendut pendek itu mengejapkan mata
kepadanya, sedangkan dari kedua mata tukang pukul kurus pucat itu keluar dua
titik air mata. Maka dia cepat menghampiri dan melihat dari dekat.
"Mau
apa kau? Pergi!" Kwee Lun membentak.
Pelayan itu
kaget sekali, lalu lari pergi masuk ke dalam untuk melaporkan keanehan itu
kepada kepala tukang pukul yang lain.
Kwee Lun
bukanlah seorang yang bodoh. Dia maklum bahwa pelayan itu telah melihat keadaan
dan tentu akan melapor ke dalam. Maka dia memandang ke sekeliling dan mencari
akal. Ketika dia melihat segulung tambang yang besar dan kuat, timbullah
akalnya. Dia bangkit berdiri, melangkah lebar ke dekat meja pengurus, menyambar
gulungan tambang itu dan berkata dengan suara lantang yang ditujukan kepada
para tamu yang duduk di ruangan restoran itu, "Semua orang yang berada di
dalam restoran ini harap lekas pergi! Restoran ini akan ambruk!"
Kemudian
sekali melompat tubuhnya telah berada di luar restoran. Dia ikatkan ujung
tambang ke pilar di depan, pilar yang ikut menyangga atap, kemudian dia membawa
ujung tambang yang lain ke jalan depan restoran. Dengan memegang ujung tambang,
mulailah pemuda raksasa ini menarik tambang, melalui atas pundak kanannya yang
menonjolkan otot besarnya yang amat kuat.
Tambang
besar itu menegang, kemudian terdengar suara berkerotok. Orang-orang sudah
mulai lari ke luar rumah makan itu dan mereka ada yang ketawa geli menyaksikan
pemuda itu menarik tambang. Tentu pemuda itu sudah mabok, pikir mereka. Mana
mungkin merobohkan bangunan yang besar itu dengan cara demikian? Menarik
tambang yang diikatkan pada pilar yang demikian besar dan kuatnya, kalau tidak
mabok tentu sudah gila!
Memang
membutuhkan tenaga gajah untuk dapat menumbangkan pilar yang sedemikian
kokohnya. Kwee Lun mengerahkan tenaga, matanya terbelalak, dahinya penuh
keringat dan mulutnya mengeluarkan gerengan yang langsung keluar dari dalam
pusarnya. Seluruh tubuhnya menarik tambang dengan pemusatan perhatian dan
tenaga.
"Krakkk...!"
pilar yang kokoh kuat itu patah tengahnya!
Orang-orang
berteriak kaget dan mulai berlari-lari ketakutan. Terdengar bunyi hiruk-pikuk
ketika akhirnya atap rumah makan itu runtuh ke bawah, dan menyusul debu
mengebul tinggi dibarengi teriakan-teriakan mengerikan dari dalam, di mana
masih banyak pekerja restoran itu yang teruruk. Di antara suara hiruk-pikuk ini
terdengar suara ketawa dari Kwee Lun yang masih memegang tambang besar itu di
kedua tangannya. Tali besar itu sudah terlepas dari pilar dan kini menjadi
senjata di kedua lengan yang dilingkari otot itu.
Tempat itu
menjadi sunyi. Biar pun banyak sekali penduduk kota yang berlari-larian datang,
mereka hanya menonton dari jauh saja, tidak ada yang berani mendekati restoran
yang sudah runtuh itu. Belasan orang tukang pukul datang berlarian. Mereka
muncul dari belakang restoran yang roboh dan dari rumah judi yang berada di
sebelah kanan restoran.
"Itu
orangnya..!" seorang pelayan restoran yang berhasil menyelamatkan diri
menuding ke arah Kwee Lun.
"Tangkap
penjahat...!"
"Serbu...!"
"Bunuh...!"
Lima belas
orang tukang pukul dengan bermacam senjata di tangan mereka belari-lari datang
menyerbu dan mengurung Kwee Lun. Pemuda ini masih tersenyum lebar. Tali tambang
tadi masih melingkar-lingkar di kedua lengan, kedua kakinya terpentang lebar
dan sikapnya gagah sekali, membuat lima belas orang tukang pukul itu merasa
gentar dan ragu-ragu untuk mendahului maju menyerang. Seorang yang telah
meruntuhkan sebuah bangunan seperti restoran itu, sudah jelas memiliki tenaga
gajah! Apalagi melihat sikap yang demikian gagah.
"Ha-ha-ha,
hayo majulah! Mengapa ragu-ragu? Hayo keroyoklah aku! Memang aku datang untuk
membasmi komplotan yang merajalela di Leng-sia-bun. Kalian ini anak buah si
keparat Ciu Bo Jin, bukan? Mana itu hartawan Ciu jahanam, si penculik gadis
orang! Suruh dia keluar, biar kuhancurkan kepalanya!"
"Serbu...!!"
seru kepala tukang pukul, seorang she Ma yang juga memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan menjadi tangan kanan Ciu-wangwe. Sebelumnya diam-diam dia mengutus
seorang anak buahnya untuk melaporkan kepada Ciu-wangwe di hotel, dan seorang
anak buah lagi disuruh minta bala bantuan di markas keamanan!
Tiga belas
orang tukang pukul, dipimpin oleh Ma Siu menyerbu dengan senjata mereka. Akan
tetapi Kwee Lun tertawa bergelak dan begitu kedua lengannya bergerak, tali
besar yang panjang menyambar dan menjadi gulungan sinar yang besar panjang.
Setiap senjata pengeroyok yang terbentur tali itu terlepas dari pegangan
pemiliknya sehingga terdengarlah teriakan-teriakan kaget. Dalam segebrakan
saja, lima orang tukang pukul kehilangan senjata mereka dan dua orang lagi
terpelanting roboh dan tak dapat bangun kembali karena tulang punggung dan
tulang iga mereka patah oleh hantaman tambang!
Ma Siu
menjadi marah sekali. Dengan nekat dia bersama sisa anak buahnya menyerbu dan
menghujankan senjata mereka kepada Kwee Lun. Namun pemuda Pulau Kura-kura ini
sambil tertawa melakukan perlawanan seenaknya. Teringat dia oleh perbuatan Swat
Hong yang menyingkirkan pedang dan kipasnya. Andai kata dia menggunakan dua
senjata itu, agaknya sekarang semua tukang pukul sudah roboh kehilangan nyawa
mereka!
Dia tahu
bahwa biang keladi semua kejahatan adalah orang She Ciu, ada pun para tukang
pukul ini hanya orang-orang yang mencari nafkah mengandalkan ilmu silat mereka!
Biar pun cara mencari nafkah dengan menjadi tukang pukul adalah perbuatan sesat
yang menimbulkan kekejaman, namun andai kata tidak ada Hartawan Ciu yang
menjadi sumber maksiat, agaknya mereka tidak akan berani mengacaukan sebuah
kota besar seperti Leng-sia-bun. Diam-diam dia membenarkan tindakan Swat Hong
dan teringat dia akan nasehat Suhu-nya, bahwa di dalam perantauannya dia tidak
boleh sembarangan membunuh orang!
Sementara
itu, di dalam hotel juga terjadi keributan hebat. Dengan dua batang pedang
tergantung di punggung dan kipas gagang perak di tangan, Swat Hong memasuki
hotel besar di sebelah kiri restoran. Gedung ini lebih megah dan besar
dari-pada restoran itu. Dengan sikap tenang dia berjalan menaiki anak tangga di
depan hotel. Beberapa orang pelayan segera menyambutnya dengan wajah berseri.
Biar pun dara ini membawa pedang di punggung namun kecantikannya yang luar biasa
menyenangkan hati para pelayan.
"Apakah
Nona mencari kamar?" tanya seorang pelayan dengan senyum manis.
"Bukan
mencari kamar, akan tetapi aku mencari Ciu-wangwe," jawab Swat Hong tanpa
mempedulikan senyum itu.
Wajah para
pelayan itu berubah dan pandang mata mereka membayangkan kecurigaan.
"Tidak semudah itu mencari Loya, Nona. Pula kami tidak tahu di mana adanya
Ciu-wangwe sekarang ini...," kata seorang di antara mereka dengan suara
hati-hati.
"Aihhh,
kalian tidak perlu membohong lagi. Aku mengenal Ciu-wangwe dan kedatanganku
adalah atas undangannya. Aku tahu bahwa dia sedang menjamu kepala daerah di
ruangan belakang hotel ini, bukan? Kalau kalian tidak membawaku menemuinya
sekarang juga, bukan hanya dia yang akan marah kepada kalian, akan tetapi aku pun
akan kehabisan sabar!"
Mendengar
ini para pelayan itu saling pandang, lalu seorang di antara mereka memanggil
tukang pukul.
Dua orang
tukang pukul datang berlari. Mereka adalah bekas-bekas perampok yang tentu saja
dapat menduga bahwa wanita ini tentulah seorang kang-ouw. Maka mereka segera
memberi hormat dan bertanya, "Ada urusan apakah Lihiap hendak bertemu
dengan Ciu-wangwe?"
Swat Hong
memandang tajam dan mengambil sikap marah. “Eh, pangkat kalian di sini apa sih
berani bertanya-tanya urusan antara aku dan Ciu-wangwe? Lekas bawa aku
menemuinya!"
"Tapi...
tapi.... Loya sedang menjamu Taijin, tidak boleh diganggu!"
"Siapa
mau mengganggu? Aku justru datang memenuhi panggilannya untuk meramaikan pesta!
Kalau dia marah, biar aku yang tanggung-jawab, akan tetapi kalau kalian berani
menolak aku, dia akan marah kepada kalian!"
Dua orang
tukang pukul itu saling pandang, kemudian mereka berkata, "Baiklah mari
kami antarkan Lihiap ke dalam."
Mereka telah
mengambil keputusan dengan isyarat mata untuk mengawal dan menjaga wanita
cantik ini. Kalau wanita ini mempunyai niat buruk, masih belum terlambat untuk
merobohkannya. Melihat kecantikannya yang luar biasa, sangat boleh jadi kalau
dia ini adalah seorang yang dikenal oleh Ciu-wangwe dan benar-benar dipesan
datang untuk menghibur pembesar!
Dengan
langkah tenang sambil mengipasi lehernya dengan kipas gagang perak, Swat Hong
diiringkan dua orang tukang pukul itu melalui gang yang berliku-liku, melalui
kamar-kamar di mana terdapat wanita-wanita cantik yang rata-rata berwajah layu
dan bermata sayu. Di antara para wanita ini ada yang duduk sendiri, ada pula
yang sedang berduaan dengan seorang tamu pria karena terdengar suara ketawa
laki-laki di dalam kamar itu.
Kemudian
tibalah mereka di ruangan belakang yang luas dan terjaga oleh belasan orang
prajurit pengawal yang bercampur dengan para tukang pukul. Ketika mereka
bertiga muncul, tentu saja para penjaga dan pengawal itu memandang Swat Hong
dengan penuh perhatian.
Dua orang
tukang pukul itu agaknya bangga dapat mengawal nona cantik jelita ini, maka
sambil mengacungkan ibu jari mereka berkata, "Barang baru! Pesanan
khusus!"
Maka
tertawa-tawalah para pengawal dan tukang pukul itu memasuki pintu besar yang
menembus ke ruangan dalam. Karena mereka yang duduk mengitari meja besar
terdiri dari belasan orang berpakaian serba indah, dan masing-masing dilayani
dan dirubung wanita-wanita muda dan cantik, Swat Hong tidak mau bertindak
sembrono. Dia tidak tahu siapa Ciu-wangwe dan yang mana pula kepala daerah,
maka dia menanti dan membiarkan dua orang tukang pukul itu melapor. Akan tetapi
sebelum kedua orang yang sudah menjura penuh hormat itu sempat membuka mulut,
seorang yang berpakaian serba biru, berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi
kurus dan matanya besar sebelah, telah bangkit berdiri dan membentak.
"Haii!
Mengapa kalian lancang...?" dia tidak melanjutkan ucapannya karena matanya
telah dapat melihat Swat Hong dan kini dia memandang heran.
Swat Hong sudah
melangkah ke dalam, mendekati meja, lalu bertanya kepada laki-laki berpakaian
biru itu, "Apakah aku berhadapan dengan Ciu-wangwe?"
Laki-laki
itu memang benar Ciu Bo Jin. Dia merasa curiga sekali. Akan tetapi karena dia
mengandalkan ilmu kepandaiannya sendiri, pula dia berada di tempatnya sendiri
yang terjaga oleh para anak buahnya, bahkan di situ terdapat pula pasukan
pengawal Gu-taijin, maka sambil tersenyum lebar dia melangkah maju dan berkata,
"Benar, aku adalah orang she Ciu yang kau cari. Nona siapakah dan...
heiittt...!"
Dia cepat
mengelak ke kiri ketika melihat nona cantik itu sudah menerjang maju,
menggunakan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundaknya. Gerakan Ciu-wangwe
cukup cekatan dan memang dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi
sekali ini dia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang luar biasa lihainya,
maka baru saja dia mengelak, tahu-tahu ujung gagang kipas yang terbuat dari
perak itu telah menotok jalan darah di punggungnya dan dia terpelanting roboh
dengan tubuh lemas! Peristiwa ini terjadi sedemikian cepatnya sehingga tidak
terduga sama sekali, maka terjadilah keributan hebat.
Seorang yang
tubuhnya gendut dan mukanya merah sekali, agaknya sudah mabok, bangkit berdiri
dengan tiba-tiba sehingga dua orang pelacur cantik yang tadinya duduk di atas
kedua pahanya terpelanting jatuh sambil menjerit. Orang ini berpakaian mewah
dan sikapnya agung-agungan. Sambil berdiri dia berseru, "Hai...
pengawal...! Tangkap pengacau...!!"
Pintu depan
terbuka dan para pengawal serta tukang pukul berlompatan masuk.
Swat Hong
girang sekali karena dia dapat menduga bahwa Si Gendut itulah tentu yang
menjadi kepala daerah, orang she Gu yang diperalat oleh Ciu-wangwe. Maka dia
sudah meloncat ke dekat orang itu, mencabut pedangnya dan menempelkan pedang
telanjang di leher Gu-taijin sambil menghardik, "Gu-taijin! Cepat kau
menyuruh mundur semua orangmu! Kalau tidak, pedang ini akan menyembelih
lehermu!"
Swat Hong
menahan geli hatinya melihat tubuh yang gendut itu menggigil semua dan dia
menahan jijiknya karena terpaksa menggunakan tangan kanan mencengkeram leher
baju. Apalagi ketika melihat betapa lantai di bawah pembesar gendut ini
tiba-tiba menjadi basah, tersiram air yang membasahi celana, dia makin jijik.
Ingin dia membacokkan pedangnya saja agar manusia tiada guna ini tewas
seketika. Tetapi dia teringat bahwa jalan satu-satunya untuk membantu Kwee Lun
membereskan urusannya hanyalah menangkap pembesar ini hidup-hidup, biar pun
manusia gendut ini tidak ada gunanya.
Akan tetapi
manusia yang bagaimana pun pengecut dan lemahnya, sekali menduduki pangkat
besar akan menjadi seorang yang sewenang-wenang dan jahat! Makin pengecut dan
makin rendah watak orang itu, makin celakalah kalau dia memperoleh kedudukan
tinggi. Kerendahan akalnya akan membuat dia makin jahat, mempergunakan
kekuasaannya yang kebetulan melindunginya.
"Am...
ampun...!" Gu-taijin dengan sukar sekali mengeluarkan suara.
Hampir saja
dia pingsan mendengar betapa lehernya akan disembelih, apalagi disembelih
perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit, membayangkan betapa lehernya akan
terasa perih dan nyeri, berlepotan darah, betapa dia akan mati dan meninggalkan
semua kemewahan dan kesenangan hidupnya!
"Suruh
mereka mundur...!" kembali Swat Hong membentak dan tangan kirinya
mencengkeram tengkuk.
"Oughhh...!"
pembesar itu menjerit, mengira tengkuknya disembelih, padahal hanya jari-jari
saja yang mencengkeramnya. "Heii, mundur kalian! Tolol semua! Mundur
kataku, dan jangan membantah... Li... Lihiap...!"
Para
pengawal menjadi bingung. Dengan muka pucat dan mata terbelalak lebar mereka
mundur sambil memandang penuh kesiap-siagaan.
Pada saat
itu seorang tukang pukul telah berhasil membebaskan totokan Ciu-wangwe dan kini
hartawan itu dengan marahnya berteriak kepada tukang pukulnya, "Cepat
serbu iblis betina itu...!"
Swat Hong
kembali mencengkeram tengkuk Gu-taijin. "Suruh jahanam Ciu itu
menyerah!"
"Oughhh...
Ciu-wangwe... jangan...! Jangan melawan...!"
Ciu-wangwe
yang melihat betapa kepala daerah itu telah ditangkap, sejenak menjadi bingung
sekali. Akan tetapi tentu saja dia tidak sudi menyerah.
Pada saat
itu terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah luar hotel. Tahulah Swat Hong bahwa
Kwee Lun tentu telah turun tangan dan pula beraksi pula. Maka dia berkata,
"Orang she Ciu! Kejahatanmu berakhir di hari ini juga!"
Selagi
Ciu-wangwe kebingungan, tiba-tiba datang seorang tukang pukulnya dari luar dan
berteriak-teriak, "Celaka... Loya... ada orang merobohkan restoran
kita...!"
Akan tetapi
orang ini terbelalak memandang ke dalam dengan muka pucat. Dia melihat kepala
daerah berada dalam cengkeraman wanita cantik itu dan melihat Ciu-wangwe
berdiri bingung.
Mendengar
ini Ciu-wangwe menjadi kaget dan mengira bahwa tentu banyak musuh yang datang
menyerbunya. Dia tidak mau mempedulikan Gu-taijin lagi. Dalam keadaan seperti
itu, yang terbaik baginya adalah berada di luar dan berusaha mengerahkan
seluruh anak buahnya untuk menghadapi para penyerbu. Keselamatan Gu-taijin
tentu saja tidak dipedulikannya lagi. Maka tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu
berlari hendak keluar dari ruangan besar itu.
"Hendak
kemana engkau?" Swat Hong cepat menotok roboh Gu-taijin dan meloncat ke
depan. Tubuhnya melayang dan Ciu-wangwe hanya melihat sesosok bayangan
berkelebat dan tahu-tahu wanita cantik itu telah berdiri di depannya!
"Serbu...!"
bentak Ciu-wangwe, dan dia sendiri sudah mencabut goloknya, lalu membacok
dengan cepat sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Sing-sing-singgg...!!"
bertubi-tubi golok itu menyambar, dan kini anak buahnya juga sudah membantunya.
Swat Hong
cepat memutar pedangnya dan mengerahkan sinkang yang disalurkan pada pedang
itu.
"Cring-cring-trang-trang-trang...!!"
sebatang golok di tangan Ciu-wangwe dan empat batang pedang terlepas dari
pegangan pemiliknya. Tiga orang pengeroyok roboh terkena totokan kipas perak di
tangan kiri Swat Hong!
Melihat
kelihaian wanita ini, bukan main kagetnya hati Ciu-wangwe. Dia sudah
berpengalaman dan tahulah dia bahwa kalau dia melanjutkan, dia sendiri akan
roboh di tangan wanita lihai ini. Maka jalan terbaik baginya adalah lari ke
luar untuk mengerahkan anak buahnya, dan kalau perlu melarikan diri!
Melihat
orang yang hendak ditangkapnya itu lari, Swat Hong segera bermaksud mengejar.
Akan tetapi pada saat itu dia melihat tubuh gendut Gu-taijin sedang dibantu
oleh beberapa orang meninggalkan tempat itu.
“Celaka,”
pikirnya.
Dia harus
dapat menangkap pembesar itu, kalau tidak, tentu akan sukar menundukkan semua
orang. Maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanan, yang kemudian
digerakkan sehingga pedangnya meluncur seperti kilat menyambar ke depan.
Terdengar jerit mengerikan. Tubuh Ciu-wangwe terjungkal ke depan, pedang
menembus dari punggung hingga dadanya, dan dia tewas seketika!
Swat Hong
telah melompat. Tangan kanannya kembali sudah mencabut pedang, kini pedang
milik Kwee Lun yang dicabutnya. Kipas di tangan kirinya merobohkan empat orang
pengawal yang tadi membantu Gu-taijin dan mereka roboh tertotok. Sebelum
pembesar itu sempat bergerak, dia sudah mencengkeramnya lagi, bahkan yang
dicengkeram adalah pundaknya sambil mengerahkan tenaga.
"Aughhh...
add... duh... duh... duhhh... ampun, Lihiap...!" Gu-taijin
berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih.
"Hayo
cepat suruh mereka semua mundur!" bentak Swat Hong, kembali pedang
telanjang ditekankan di tengkuk pembesar itu.
"Mundur
kalian semua! Keparat! Kurang ajar kalian! Disuruh mundur tidak cepat mentaati
perintah! Apa minta dihukum gantung semua?!"
Mendengar
pembesar ini membentak-bentak dengan suara galak sekali, semua pengawal dan
anak buah Ciu-wangwe terbelalak ketakutan dan mundur. Apalagi mereka melihat
betapa Ciu-wangwe sudah tewas. Para pelacur yang tadi melayani perjamuan itu,
menjerit-jerit dan lari pontang-panting, kemudian bersembunyi di kolong-kolong
meja dan belakang-belakang lemari.
Swat Hong
mendengar suara ribut-ribut di luar, suara pertempuran. Tahulah dia bahwa Kwee
Lun sedang dikeroyok. Cepat dia menarik tubuh pembesar Gu keluar dari hotel,
kemudian dengan mencengkeram punggung baju, dia membawa pembesar gendut itu
meloncat ke atas genteng. Semua orang memandang heran melihat betapa seorang
gadis cantik dan muda seperti itu mampu meloncat sambil mencengkeram tubuh
seorang laki-laki bertubuh gendut dan berat seperti pembesar itu! Swat Hong
masih terus mencengkeram punggung Gu-taijin yang pucat sekali wajahnya,
menggigil kedua kakinya.
Tentu saja
pembesar ini merasa ngeri berada di atas genteng, apalagi dia berdiri di
pinggir sekali. Terpeleset sedikit saja dia tentu akan melayang jatuh ke bawah,
tubuhnya akan remuk! Selama hidupnya tentu saja belum pernah dia naik ke atas
genteng. Akan tetapi karena dia ditodong dan merasa takut sekali kepada wanita
perkasa yang mencengkeram punggungnya, dia mentaati perintah Swat Hong.
Dengan suara
lantang Gu-taijin berteriak-teriak dari atas, "Haiii..., mundur
semua...!"
Dia melihat
pasukan keamanan sudah berada di situ, dipimpin oleh Bhong-ciangkun, perwira
yang mengepalai pasukan keamanan. "Bhong-ciangkun, suruh semua pasukan
mudur!"
Pada saat
itu Kwee Lun sedang mengamuk. Tadinya yang mengeroyoknya hanyalah para tukang
pukul anak buah Ciu-wangwe dan dia sudah berhasil merobokan belasan orang
dengan tambang di tangannya yang kini sudah berlepotan darah. Akan tetapi dia
kewalahan juga ketika pasukan keamanan datang. Pasukan yang jumlahnya hampir
seratus orang itu tentu saja tidak mungkin dapat dia lawan seorang diri hanya
mengandalkan segulung tambang! Maka dalam amukannya itu, dia sudah menerima
pula beberapa bacokan senjata tajam yang melukai pinggul dan punggungnya,
membuat pakaiannya berlepotan darah pula. Namun sedikit pun semangatnya tidak
menjadi kendur, bahkan darah dipakaiannya itu seolah-olah membuat dia makin
bersemangat lagi!
Melihat
betapa atasannya berada di atas genteng dan mengeluarkan perintah itu,
Bhong-ciangkun terkejut dan cepat dia mengeluarkan aba-aba menyuruh pasukannya
mundur. Kwee Lun ditinggalkan seorang diri, berdiri dengan kedua kakinya
terpentang lebar, pakaian dan tambangnya berlumuran darah, gagah bukan main
sikapnya. Sisa anak buah Ciu-wangwe tidak ada lagi yang berani maju setelah
para pasukan itu diperintahkan mundur. Apalagi ketika mereka itu mendengar
bisikan teman-teman bahwa Ciu-wangwe telah tewas oleh dara di atas genteng itu!
Ketika Kwee
Lun melihat betapa Swat Hong telah berdiri di atas genteng sambil membawa
Gu-taijin, diam-diam dia menjadi kagum bukan main. Kiranya gadis itu amat
cerdiknya. Tahulah dia bahwa dara perkasa itu hendak menggunakan kekuasaan
Gu-taijin untuk membasmi kejahatan yang merajalela di Leng-sia-bun! Maka sambil
tertawa bergelak dia pun melompat. Tubuhnya melayang ke atas genteng, lalu
hinggap berdiri di samping Swat Hong.
"Hong-moi,
bagaimana kalau kita dorong tong kotoran ini ke bawah saja dan melihat perutnya
berhamburan di bawah sana?" serunya mengejek.
"Jangan...
jangan... aduh, ampunkan saya...." Gu-taijin berkata memohon dengan rasa
takut menghimpit hatinya.
"Kalau
begitu, hayo kau membuat pengumunan dan perintah menurutkan kata-kataku,"
Swat Hong berbisik di belakang pembesar itu.
Gu-taijin
mengangguk-angguk, kemudian terdengarlah suaranya lantang mengikuti perintah
yang dibisiki oleh Swat Hong. "Hai, dengarlah baik-baik semua pembantuku
dan semua penduduk Leng-sia-bun! Hari ini, dengan bantuan Kwee-taihiap dari
Pulau Kura-kura, aku baru mengetahui bahwa di kota ini terdapat komplotan
penjahat yang diketuai oleh Hartawan Ciu Bo Jin! Mereka mendirikan rumah judi,
hotel pelacuran, dan rumah makan di mana terjadi segala macam kejahatan
perjudian curang, pemaksaan terhadap gadis-gadis yang diculik untuk dijadikan
pelacur dan penyogokan terhadap para petugas pemerintah! Sekarang Ciu-wangwe
telah tewas! Anak buahnya akan diampuni asal saja mulai sekarang mau merubah
watak dan tidak lagi melakukan kejahatan! Dan semua wanita yang dipaksa menjadi
pelacur, akan dibebaskan dan dikirim pulang ke rumah masing-masing dengan
mendapat bekal masing-masing seratus tail perak! Semua ini harus dijalankan
sebaiknya. Kalau ada yang melanggar dia akan dihukum sesuai dengan hukuman
pemerintah. Selain itu, juga Kwee-taihiap sendiri akan selalu mengawasi dan
memberi hukuman terhadap mereka yang tidak mentaati perintah kami ini!"
Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai penduduk dan sekaligus terjadi keributan karena beberapa
tukang pukul yang pernah berbuat sewenang-wenang tiba-tiba dikeroyok oleh
penduduk! Sekali ini para pasukan pemerintah tidak ada yang berani melindungi
para tukang pukul itu sehingga mereka mengaduh-aduh dan tidak berani melawan.
Semua tukang pukul itu mendapat hajaran dari penduduk sampai babak belur!
Sementara itu para wanita pelacur yang berasal dari keluarga baik-baik dan yang
dipaksa menjadi pelacur dengan berbagai ancaman dan siksaan sudah menangis
riuh-rendah. Menangis saking girang, terharu, dan juga duka.
"Awas
kau, Gu-taihiap. Kalau sampai semua ucapanmu tadi tidak kau laksanakan, kami
akan melaporkan bahwa engkau sebagai seorang kepala daerah telah diperalat oleh
orang jahat dengan jalan sogokan. Selain itu, kami akan datang kembali khusus
untuk menyembelih lehermu!" Swat Hong berbisik dengan nada penuh ancaman.
Pembesar itu
mengangguk-anggukkan kepalanya seperti seekor ayam mematuki gabah. Ketika dia
mengangkat muka memandang, ternyata kedua orang itu telah lenyap dan dia hanya
berdiri sendiri saja di atas genteng yang begitu tinggi. Tentu saja dia menjadi
ngeri sekali. "Bhong-ciangkun... tolong... tolong saya turun...!"
Bhong-ciangkun
telah melihat bayangan kedua orang itu berkelebat, maka dia lalu meloncat naik
ke atas genteng dan membawa pembesar itu turun. "Bagaimana, apakah hamba
harus mengejar mereka?" Bhong-ciangkun berbisik.
"Hushhh...!
Bodoh! Masih untung kita...." pembesar itu berbisik kembali, kemudian
berkata lantang. "Hayo laksanakan perintahku tadi!"
Demikianlah,
peristiwa itu menjadi semacam dongeng sampai bertahun-tahun di kalangan
penduduk Leng-sia-bun. Betapa pun mereka mencari, tak pernah lagi ada penduduk
kota ini yang melihat kedua orang pendekar itu. Memang Swat Hong dan Kwee Lun
telah melarikan diri dari kota itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan
hati puas.
“Hebat kau,
Hong-moi!" Kwee Lun memuji. "Luar biasa sekali! Kalau tidak ada
engkau yang membantuku dengan siasat yang cerdik itu, tentu akan lain jadinya!
Aku masih sangsi, apakah aku akan mampu menaklukkan mereka! Tentu akan terjadi
banjir darah, dan mungkin aku sendiri akhirnya mati dikeroyok."
"Ah,
sudahlah, Kwee-twako. Kau yang hebat, menggunakan tali merobohkan restoran dan
dengan hanya bersenjatakan tambang dapat menghadapi pengeroyokan puluhan
orang!"
"Tidak
ada artinya dibandingkan dengan sepak terjangmu, Moi-moi. Engkau telah
membantuku sehingga tugasku selesai dengan hasil baik. Tak pernah aku akan
dapat melupakan ini! Dan sebagai balasannya, aku akan membantumu mencari Ibumu
dan Suheng-mu sampai berhasil pula!"
Wajah Swat
Hong menjadi suram. Dia menarik napas panjang. "Hemm... Ibu dan Suheng
pergi tanpa meninggalkan jejak. Ke mana aku harus mencarinya?"
"Jangan
khawatir, Moi-moi. Kalau memang Ibumu dan Suheng-mu mendarat tentu kita akan
dapat mencari mereka. Tempat yang paling tepat untuk mencari seseorang adalah
kota raja. Memang belum tentu mereka berada di sana, akan tetapi setidaknya
kota raja merupakan sumber segala keterangan sehingga kita dapat
mendengar-dengar kalau-kalau ada berita dari dunia Kang-ouw tentang
mereka."
Swat Hong
menyetujui pendapat ini. Memang dia pun bermaksud mengunjungi kota raja, karena
bukankah nenek moyangnya dahulunya juga seorang anggota keluarga raja? Mereka
pun melanjutkan perjalanan dari luar kota Leng-sia-bun menuju kota raja.
Makin lama
melakukan perjalanan bersama Kwee Lun, setelah lewat sebulan kurang lebih,
makin sukalah Swat Hong kepada pemuda itu. Dia makin mengenal Kwee Lun sebagai
seorang yang benar-benar jantan, keras hati, teguh dan tidak mempunyai sedikit
pun pikiran menyeleweng. Pemuda ini juga suka bergurau, walau pun kasar akan
tetapi kekasaran yang bukan bersifat kurang ajar, melainkan karena terbawa oleh
kejujurannya yang wajar dan tak pernah mau menyembunyikan sesuatu. Pendeknya,
pemuda itu benar-benar seorang laki-laki yang gagah perkasa lahir bathinnya.
Di lain
pihak, Kwee Lun juga merasa kagum kepada Swat Hong setelah dia mengenal
sifat-sifat temannya ini yang amat cerdik, periang, jenaka namun keras hati dan
kadang-kadang tampak keagungan sikapnya sebagai seorang puteri kerajaan! Namun
dara itu sama sekali tidak angkuh atau sombong, sungguh pun kini dia harus
mengakui bahwa ilmu kepandaiannya sedikitnya kalah dua tingkat dibandingkan
dengan dara Pulau Es ini! Oleh karena inilah maka ada keseganan di dalam
hatinya. Biar pun dia yang selalu memimpin perjalanan dan menjadi petunjuk
jalan, namun dalam segala hal, sampai dalam memilih makanan dan penginapan yang
selalu dibayar oleh Kwee Lun, pemuda ini selalu minta pendapat dan keputusan
Swat Hong!
Pada suatu
hari tibalah kedua orang ini di kaki Pegunungan Tai-hang-san yang amat luas dan
memanjang dari selatan ke utara. Tujuan mereka adalah Tiang-an ibu kota
Kerajaan Tang. Di dusun ini mereka berhenti untuk makan di sebuah warung nasi
sederhana. Mereka memesan nasi, mi, dan arak. Tak lupa Kwee Lun minta air
hangat untuk Swat Hong agar nona ini dapat mencuci muka setelah melakukan
perjalanan yang panas berdebu. Ketika Swat Hong sedang bercuci muka dengan air
hangat, menggosok mukanya dengan air bersih sampai kedua pipinya kemerahan, dia
mendengar percakapan menarik dari arah dapur warung itu.
"Bukan
main ramainya!" terdengar suara seorang laki-laki, agaknya pekerja di
dapur itu.
"Lebih
ramai dari-pada kalau melihat dua orang jago silat berkelahi! Bayangkan saja!
Harimau mengaum sampai bumi tergetar, lalu menubruk dan mencakar ke arah
beruang itu. Akan tetapi si beruang juga tidak kalah lihainya, dia menggereng
dan aku yakin engkau sendiri tentu akan terkencing-kencing mendengar gerengan
itu! Dia dapat menangkis dengan kaki depannya dan balas menggigit. Mereka
saling cakar, saling gigit, mula-mula saling menangkis lalu bergumul! Bukan
main!"
"Ahhh,
sudahlah. Siapa percaya omonganmu? Paling-paling kau melihat orang mengadu
jangkerik dan kau kalah bertaruh lagi! Lebih baik lekas masak air, tehnya hampir
habis."
Swat Hong
cepat menghampiri Kwee Lun dan berbisik, "Agaknya di sini ada jejak
Suheng-ku!"
"Ehhh...?
Kwee Lun bertanya heran.
"Ada
orang di dapur tadi bercerita tentang pertandingan antara harimau dan beruang.
Kalau tidak salah perasaan hatiku, itu beruang kepunyaan suheng."
"Eh?
Suheng-mu memelihara beruang?" Kwee Lun bertanya makin heran lagi.
"Belum
kuceritakan kepadamu, Twako. Ketika aku berpisah dari suheng, dia sedang
mengobati seekor beruang terluka. Tentu beruang itu menjadi jinak dan sekarang
menjadi binatang peliharaannya."
"Aduh!
Suheng-mu tentu hebat sekali, berani mengobati seekor beruang!"
"Sudahlah,
Twako. Kalau kelak dapat bertemu, engkau dapat berkenalan dengan Suheng
sendiri. Sekarang harap kau suka tanyakan kepada pekerja di dapur tentang
beruang yang diceritakannya tadi."
"Mengapa
tidak panggil saja dia ke sini? Hei, Bung pelayan!"
Pelayan itu
segera menghampiri.
"Tolong
kau panggilkan sahabat yang tadi berbicara tentang beruang, dia bekerja di
dapur. Cepat!"
Pelayan itu
terheran-heran, akan tetapi dia masuk juga ke dalam. Tak lama kemudian dia
kembali ke situ bersama seorang laki-laki muda yang kelihatan takut-takut.
Laki-laki ini kurus kecil dan memakai pakaian koki, agaknya dialah tukang atau
pembantu tukang masak di warung itu.
"Saya...
saya tidak tahu apa-apa...," orang itu berkata begitu tiba di dekat meja.
Kwee Lun menggerakkan
tangannya tak sabar. "Aahh, mengapa takut? Kami hanya tertarik mendengar
cerita beruang bertanding dengan harimau. Di manakah kejadian itu dan bagaimana
asal mulanya?” Kwee Lun mengeluarkan sepotong uang dan memberikan kepada orang
itu. "Nah, ceritakanlah! Jangan takut-takut, ini hadiahnya."
Orang itu
menerima hadiah. Setelah memandang ke kanan-kiri dia bercerita, "Pagi
tadi, sebelum masuk bekerja saya menemani saudara misan saya mengantar
segerobak kayu bakar ke atas sana...." dia menuding ke luar warung.
"Ke
atas mana?"
"Di
Puncak Awan Merah, tempat tinggal Siangkoan Lo-enghiong. Kami berdua
mengantarkan kayu bakar dan melihat ribut-ribut di sana. Mendengar
gerengan-gerengan dahsyat, saya lalu menyelinap dan mendahului saudara saya
untuk mengintai. Ternyata di sana sedang diadakan permainan yang luar biasa,
yaitu adu harimau dan beruang! Entah milik siapa beruang itu, akan tetapi
harimau itu saya kenal sebagai harimau peliharaan Siangkoan Lo-enghiong yang
biasanya di dalam kerangkeng. Bukan main ramainya dan saya takut sekali.
Agaknya di tempat Siangkoan Lo-enghiong ada tamu yang membawa beruang...."
"Siapa
tamunya? Bagaimana macam orangnya?" Swat Hong mendesak penuh ketegangan
hati.
Akan tetapi
orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di atas sana
banyak murid-murid Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami tidak mempunyai
hubungan dengan Puncak Awan Merah. Kami tidak diperbolehkan naik kecuali kalau
ada pesanan dari sana, hanya kadang-kadang saja Siocia atau murid Lo-enghiong
yang turun ke sini. Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan
dan cepat lari turun lagi...."
Swat Hong
mengerutkan alisnya. Mungkinkah suheng-nya ‘kesasar’ sampai di tempat ini?
Tiba-tiba
Kwee Lun bertanya, "Yang kau sebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia
bernama Siang-koan Houw?"
“Nama
lengkapnya mana saya tahu?" orang itu menggeleng kepala, kelihatannya
takut-takut.
"Julukannya
Tee-tok (Racun Bumi), bukan?"
Orang itu
makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar
muridnya bicara menyebut julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya masih banyak
pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti jawaban tapi langsung kembali ke
dapur dengan sikap ketakutan.
"Aihh,
kiranya Tee-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun.
"Twako,
siapakah Racun Bumi itu?"
"Hemm,
seorang yang luar biasa, dapat dikatakan saingan Suhu. Menurut cerita Suhu,
sukar dikatakan siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh
dunia kang-ouw yang sudah terkenal sekali. Aku sendiri baru mendengar namanya
dari Suhu saja. Menurut Suhu, dia adalah seorang yang gagah perkasa dan jujur.
Akan tetapi sayang sekali, hatinya ganas dan kejam terhadap orang yang tak
disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang ahli racun yang
mengerikan. Karena itu julukannya adalah Racun Bumi. Sungguh tidak dinyana
bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti dia!"
"Hemm...
kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah,
Twako?"
"Tidak
begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi beruang itu milik Suheng-mu,
Hong-moi, karena di tempat tinggal seorang seperti Tee-tok, segala apa mungkin
saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan dan hatiku tidak akan merasa puas
kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata Suheng-mu tidak berada di sana
kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan Tee-tok."
Swat Hong
mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa,
betapa pun sedikit kemungkinannya bahwa Suheng berada di sana, akan tetapi
hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita harus menyelidiki ke sana."
Setelah
membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ke Puncak Awan Merah, tentu
saja diikuti pandang mata penuh keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung
yang mereka tanyai di mana adanya puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit
dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di puncak yang dimaksudkan
itu. Mereka tidak mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah,
padahal ketika mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna
merah melainkan biru dan putih seperti biasa.
"Twako,
kedatangan kita hanya menyelidiki apakah Suheng berada di sana. Oleh karena itu
tidak baik kalau kita datang berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang,
padahal kita tidak berniat mencari perkara dengan tokoh kang-ouw itu, bukan?
Maka sebaiknya kita berpencar. Kau menyelidiki dengan memutar dari kiri, aku
dari kanan, sampai kita saling bertemu. Kalau Suheng tidak ada di sana, dan
beruang itu bukan beruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan bermain
saja di sana."
"Baik,
Hong-moi. Dengan cara demikian penyelidikan memang dapat dilakukan lebih
leluasa dan lebih cepat."
Mereka
mendaki terus, dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu
mereka berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas
pohon-pohon dan batu gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang. Cepat
dia menghampiri dan mengintai, dan apa yang dilihatnya membuat dia hampir
berteriak saking kagetnya!
Dapat
dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat suheng-nya, Kwa Sin
Liong, terbelenggu kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada
pohon! Tubuh atas suheng-nya itu telanjang dan hanya celana dan sepatunya saja
yang menutupi tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja, biar pun dahinya
berpeluh. Agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu.
Swat Hong yakin sekali, bahwa apabila dikehendaki oleh suheng-nya itu, apa
sukarnya membebaskan diri dari belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang
aneh telah terjadi di sini!
Swat Hong
menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada
orang-orang di sana. Dua orang yang berpakaian seragam, memakai topi aneh,
menjaga di belakang pohon dan tangan mereka meraba gagang golok. Seorang kakek
yang tinggi besar, brewok dan matanya lebar, dengan marah-marah menghampiri Sin
Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh. Bukan senjata, pikir Swat
Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak dipakai sebagai senjata. Tanduk
rusa seperti itu saja apa artinya bagi suheng-nya? Yang membuat dia
terheran-heran adalah melihat suheng-nya berada di tempat itu dan mudah saja
dibelenggu dan dihina! Apa yang telah terjadi?
**************
Seperti
telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu,
gadis Pulau Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya, mencari ayahnya ini
hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau
Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu, telah menghilang selama
belasan tahun, tak pernah kembali dan tidak pula ada kabarnya sehingga
menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian Kok telah meninggal dunia. Selain itu,
andai kata masih hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya.
Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak bayi, bagaimana mungkin dia dapat
mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke mana perginya
itu?
Kalau Ouw
Kong Ek menggunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar membawa dara
itu bersama keluar dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin agar
cucunya itu dapat berjodoh dengan Sin Liong. Dia sering-kali mengingat akan
nasib cucu yang dicintanya itu. Karena jauh dari dunia ramai, akhirnya cucunya
itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang penghuni Pulau Neraka! Maka
munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk
menjodohkan cucunya dengan pemuda itu.
No comments:
Post a Comment