Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 08
Apalagi ketika Sin
Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan
menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat
memaksa pemuda itu untuk menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan
kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap akan timbul cinta di dalam
hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang
cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik....
Demikianlah,
Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga beruang raksasa
yang menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek,
berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau-pulau di
daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang dicari-carinya,
juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu,
Sin Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar.
"Besar
kemungkinan Sumoi mendarat. Kalau sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah
pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di
sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di
daratan besar."
Soan Cu
tidak membantah. Demikianlah akhirnya mereka mendarat, hanya beberapa hari
lebih dulu dari pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan
dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun. Karena dari
pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka
adanya beruang bersama mereka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang
itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai
pula mencari air di dalam hutan yang lebat.
Pada suatu
hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka
tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka
memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras
sehingga suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, beruang itu menjadi
marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir
kalau-kalau beruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum
itu.
"Hai......!
Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa
senjatanya yang aneh dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi
senjata kesayangannya di samping pedang. Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin
Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat
kanak-kanak dan hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya.
Sin Liong
maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka
itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal
dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira,
juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi sekali, cukup
tinggi untuk melindungi diri sendiri.
Soan Cu
berlari cepat sekali, dan ketika berlari ini timbullah kegembiraan yang luar
biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong dia selalu harus menekan perasaannya
karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan
hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi
sesunguhnya sejak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang
disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan
kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak
takut terdengar oleh Sin Liong! Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat
kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah suara harimau
yang mengaum.
Karena auman
harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke tempat itu.
Akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah
sekali, loreng-loreng hitam kuning sedang berdiri memandang ke arah seorang
laki-laki tua yang berdiri ketakutan. Harimau itu membuka-buka moncongnya,
seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu, menakut-nakutinya,
kadang-kadang mengaum. Tiap kali harimau itu mengaum, kedua kaki orang itu
menggigil.
Kakek itu mencoba
untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon sambil berkata dengan suara yang
terputus-putus, "Kakak harimau yang baik... saya... saya... A-siong
pedagang kayu bakar... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong..., harap
jangan mengganggu saya...."
Harimau itu
sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok. Biasanya dia dikurung dalam
kerangkeng dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di
hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu terlupa sehingga harimau itu tetap
berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan Merah.
A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual
kayu bakar di tempat itu.
Melihat
harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!"
Harimau itu
menggereng dan menoleh. Dia menggereng ketika melihat seorang wanita memegang
cambuk. Cepat sekali dia sudah membalik dan menubruk, gerakannya sungguh gesit,
berlawanan dengan tubuhnya yang besar.
"Celaka...!"
A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan
matanya.
Akan tetapi
tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya.
"Tar-tar!"
ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu, dan
sekali tarik, tubuh harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.
Harimau itu
menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali
ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri. Melihat tubuh harimau itu
menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang,
dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau! Sambil
tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda, Soan Cu
menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu.
Tentu saja
harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan
meluap harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin
dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil, bahkan bagaikan
buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai
berdarah!
"Hayooo...
kucing binal! Hayo jalan baik-baik!"
Seperti
seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggangi harimau itu. Tangan
kirinya mencengkeram kulit leher, tangan kanannya mempermainkan cambuknya.
Sedangkan harimau itu melangkah perlahan-lahan, mengejar ujung cambuk yang
digerak-gerakkan.
A-siong yang
menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak
dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya
menggosok kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia
sedang dalam mimpi. Akan tetapi tetap saja penglihatan yang luar biasa itu
masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan
Cu, turunlah...!" tiba-tiba terdengar suara teguran.
Mendengar
dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis
itu. Dia masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api
dan liar tadi. "Liong-koko, dia... dia hendak menerkam orang...."
ujarnya. Ucapannya ini bersifat membela diri. Dia ketakutan terhadap pemuda itu
karena kedapatan sedang mengganggu harimau.
"Turunlah.
Berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu
meloncat turun, dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan
kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong karena gerakan
Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan
mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi,
"Hiii....! Hiiiiii...!!"
Sementara
itu, beruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan diajak
menyusul Soan Cu, timbul kembali kemarahannya setelah kini melihat harimau itu,
bahkan lebih hebat dari-pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur
gadis itu, tiba-tiba beruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil
memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu
agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini, dia pun menggereng dan
menubruk. Akan tetapi beruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk
dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia menggerakkan kaki depan kanan yang amat
kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau. Karena tubuh
harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar
ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan
serangannya.
"Hushhh...!
Beruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan
beruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak
sukar karena beruang itu marah sekali, meronta-ronta, apa-lagi melihat harimau
itu masih menggereng hendak menyerangnya.
"Ihh,
kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan
cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu.
"Tar-tar-tarr....!!"
Sang harimau
merasa jeri menghadapi cambuk Soan Cu, akan tetapi bukan berarti dia takut. Dia
masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya, dan matanya merah
bersinar-sinar.
"Hayo
pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.
"Siapa
dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau kami?!" tiba-tiba
terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat itu.
Serombongan
orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu. Orang yang
berseru tadi adalah seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas,
tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat. Matanya lebar membayangkan kekerasan
dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman.
Di
sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali dengan pakaian yang mewah
dan indah. Rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera
merah, dihias dengan bunga emas permata. Pakaian yang indah itu membungkus
ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan
ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah.
Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang berwarna hijau, menambah
kemanisan wajahnya yang bentuknya mendaun sirih itu.
Sin Liong
cepat menjura dengan hormat. "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami yang
secara tidak sengaja memasuki daerah ini," kata Sin Liong dengan halus
sambil memegangi kaki depan beruangnya.
Kakek itu
memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa
rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini
masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku.
Apakah karena mempunyai beruang itu maka kalian menjadi sombong?"
"Kami
tidak menggangu, Lo-cianpwe. Hanya karena harimau itu dan beruang kami akan
berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm...
dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau manusia sudah
mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah dari-pada binatang!"
"Eh,
tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah
mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan hatinya
mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa
kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh beruang kami.
Engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata
menghina!"
Sepasang
mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek
ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa-lagi seorang dara muda
seperti Soan Cu yang pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah,
dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang terkenal dengan
julukan Tee-tok (Racun Bumi)! Ia seorang gagah yang jujur dan bersikap terbuka,
maka perangainya kasar sekali, dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi
harimau peliharaannya.
Tee-tok
terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar.
Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tenteram bersama puteri tunggalnya,
yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diam saja.
Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang
bernama Siangkoan Hui.
Ada pun
orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga
menjadi anak buahnya, kurang lebih lima belas orang banyaknya. Salah satu di
antaranya adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya
sudah putih semua. Kakek ini merupakan murid kepala dan telah memiliki
kepandaian tinggi pula, namanya Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan
Merah).
"Bagus
sekali!" kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kita adukan kedua
binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar beruangmu dapat mengalahkan
harimauku?!"
"Boleh!"
Soan Cu menjawab.
"Jangan!
Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sin Liong berseru, kemudian dia berkata
kepada kakek itu, "Harap Lo-cianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami
pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami untuk mengganggu siapa
pun."
"Kucing
belang macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh beruang kami!"
Soan Cu masih marah-marah. "Kakek sombong mengandalkan harimaunya
menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang, agaknya harimau itu sudah
makan orang tadi! Dia memang perlu diberi hajaran!"
"Hayo
kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking
marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan
harap kalian akan dapat pergi dari sini!"
"Kami
tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan
kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan beruang
diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu
pergi dan akibatnya pasti lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan
berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka
memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko,
lepaskan beruang kita, biar dia hancur-lumatkan kucing keparat itu.”
“Tar-tar-tarrr...!!"
Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali.
Sin Liong
melepaskan beruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan
berbisik, "Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan marah-marah. Ingat,
kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapa pun juga, bukan?"
Dipegang
lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala
dalam hati Soan Cu padam seperti tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas
dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar
yang tiba-tiba menjadi jinak!
Sementara
itu, setelah keduanya kini dilepas dan tidak ada yang menghalangi, dua ekor
binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan
menggetarkan. Mula-mula mereka saling pandang dan masing-masing hendak
menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian harimau yang ganas itulah
yang mulai menerjang maju!
Dengan
berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan
tetapi dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali,
beruang menangkis terkaman itu. Beruang lalu balas mencengkeram dengan kuku
jari kakinya yang biar pun tidak seruncing kuku harimau, namun tidak kalah
kuatnya. Segera harimau terguling-guling akibat terkena tamparan beruang yang
amat kuat itu!
Sepasang
mata Soan Cu bersinar-sinar girang, akan tetapi dara ini tidak berani berkutik
di dekat Sin Liong. Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata
mengejek melihat betapa harimau itu terguling-guling, namun dia merasa segan
terhadap Sin Liong.
Harimau itu
meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat
dahsyat ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada
saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar
mendapat kesempatan menonton harimau bertanding melawan beruang, akan tetapi
karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan berlari
turun lagi.
Perkelahian
yang dahsyat, seru dan mati-matian. Beruang itu sudah menderita banyak luka di
tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau. Akan tetapi akhirnya dia berhasil
mencengkeram kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau sampai
robek, terus luka di leher itu dirobeknya sampai ke perut! Tentu saja harimau
itu berkelojotan dan mati tak lama kemudian.
"Heiii...!"
Soan Cu berteriak, namun terlambat.
Selarik
sinar hitam menyambar ke arah leher beruang. Pada detik itu pula binatang ini
mengeluarkan pekik mengerikan, lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati di atas
bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau
membunuh beruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada
kakek yang tadi menyerang beruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).
"Dia
pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking
marahnya.
"Manusia
curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara
meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg....!!"
bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
bersinar hitam, itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa
Racun) yang ampuh dari Tee-tok.
Akan tetapi
bukan main kagetnya Tee-tok ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri. Dia
merasakan lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang
amat kuat.
"Heii,
jangan bertempur....!" Sin Liong cepat menegur.
Akan tetapi
sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apa-lagi kakek itu pun sudah
marah dan sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi
pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok.
Melihat
gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada hawa yang kuat menyambar
dari lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan, dan tangan kanannya sudah
mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian kakeknya, ketua
Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali.
Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan namanya pun Coa-kut-kiam
(Pedang Tulang Ular), terbuat dari-pada tulang ular beracun yang telah
dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras
seperti baja.
Sedangkan
cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena terbuat dari ekor ikan hiu yang
istimewa dan hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya,
cambuk itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia
sendiri yang selalu membawa obat penolaknya!
Sin Liong
sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, tapi dia memang tadinya tidak mau
memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek yang
dahulu pernah pula membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para
tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di lereng pegunungan Jeng-hoa-san.
Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu,
dia menjadi khawatir sekali. Cepat dia berkata, "Lo-cianpwe, seorang tokoh
besar yang berjuluk Tee-tok dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar
mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang melayani bertanding
melawan seorang dara remaja!"
Mendengar
ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat
tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, lalu melompat
mudur dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku,
kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!"
Sin Liong
menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Lo-cianpwe.
Saya hanya hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk
bertanding."
"Tapi
kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak
datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?"
"Dia
mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan
tetapi menjadi tenang kembali karena Sin Liong mendekatinya dan minta gadis itu
menyimpan pedang dan cambuknya kembali.
"Siangkoan
Lo-cianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Lo-cianpwe mati karena
beruang kami, akan tetapi Lo-cianpwe telah membalas kematian itu dengan
membunuh beruang kami. Bukankah itu artinya sudah lunas?"
"Tidak!"
Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biar pun beruangnya sudah mati,
akan tetapi pemiliknya belum dihukum!"
Soan Cu tak
dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh
kami?"
"Tak
perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan
matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian beruang. Pemiliknya harus
dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan
Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu
menelan kembali kata-katanya. "Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau
sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan
Siangkoan Lo-cianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu.
Mengerti?"
Soan Cu
mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu. Akan tetapi melihat sinar mata
Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan akhirnya
kepalanya mengangguk.
"Berangkatlah,
dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum.
Soan Cu
membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw. Setelah itu baru dia
meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan.
Semua orang
memandang dengan kagum akan keberanian dara itu, yang sekali meloncat lenyap
dari situ. Akan tetapi terutama sekali mereka kagum kepada Sin Liong yang
bersikap demikian tenang dan halus, namun memiliki wibawa demikian besarnya
sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan
Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu menyodorkan
kedua lengannya. Sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Lo-cianpwe.
Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki
tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangket
seratus kali agar hatimu puas."
Sikap yang
tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak
lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu
kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang
muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka,
kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang
pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah...!"
tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu
memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah
tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang
sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir
apa-lagi? Kita telah dihina orang. Kalau tidak memperlihatkan kekuatan,
bukankah akan menjadi bahan tetawaan orang sedunia?"
Mendengar
kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah
Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima
kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap
menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan
marah lagi."
"Diam
kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang
bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu
berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang
cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid
tinggi besar ini mengayun cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk
itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas Sin Liong yang telanjang itu.
"Tar...!
Tar...! Tarrr...!"
Semua orang
terbelalak memandang penuh heran. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti
tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama
sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang
berkeringat, akan tetapi dahi si pemegang cambuk lebih banyak lagi peluhnya!
Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah
pecah-pecah. Namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin
Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada, seolah-olah cambuk itu bukan melecut
kulit pembungkus daging, melainkan melecut baja saja!
Setelah
menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya
terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa
panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan
kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat.
Akan tetapi
muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu adalah
seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan
sinkang-nya sehingga tubuhnya kebal, tentu saja lecutan cambuk itu tidak
membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang.
Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang
kering itu.
Tanduk rusa
itu bukanlah sebuah senjata sembarangan. Tee-tok merupakan seorang ahli racun.
Dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh untuk melawan
kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan
yang bagaimana kuat pun. Kini dalam kemarahannya dia hendak menghajar pemuda
ini dengan tanduk rusa ini!
***************
Pada saat
itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh
urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat ke luar
untuk menolong suheng-nya. Namun tiba-tiba dia melihat seorang gadis datang
berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu.
Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah,
jangan... jangan pukul dia dengan ini...!"
"Hui-ji
(Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan
memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekebalannya kalau
dia merasai pukulanku dengan ini!" dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan,
Ayah! Jangan...! Aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah,
dia... dia orang gagah yang budiman, luar biasa.... Mengapa Ayah tak bisa
melihat orang...?"
Siangkoan
Houw menundukkan mukanya. Ia melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu
dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan
terheran-heran, kemudian marah sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada
pemuda itu!
"Hemm..."
suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lu-san Lojin...?!"
"Ayahhh...!"
Siangkoan Hui berseru dan menangis terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya.
Betapa pun
bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa
tidak tega kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia melihat puterinya
menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia menghela napas panjang. Pandang
matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini?
“Hemm....,
seorang pemuda yang amat tampan,” pikirnya.
Harus
diakuinya bahwa biar pun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah,
namun pemuda itu gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan
kekebalannya itu pun membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia
belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang.
Apakah sebaik pemuda ini?
"Hai,
orang muda. Siapakah namamu?"
Sin Liong
memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong,
Lo-cianpwe."
"Bagaimana
engkau bisa mengenal aku?"
"Siapa
yang tidak mengenal Lo-cianpwe yang terkenal di dunia kang-ouw? Lo-cianpwe
adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya
pernah bertemu dengan Lo-cianpwe...." tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara
karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut
hal itu.
"Bertemu?
Di mana?"
Karena sudah
terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi. Maka dia
berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san. Bahkan Lo-cianpwe pernah membujuk saya
menjadi murid...."
"Astaga...!
Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong...?" Tee-tok berseru
dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh.... maafkan
kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!"
Dia cepat
meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan
cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong.
Sin Liong
tersenyum. "Tidak mengapa, Lo-cianpwe. Memang saya mengaku salah, telah
menimbulkan keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu."
"Aihh...
hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik
saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia
Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba muncul di sini!"
Dengan
girang Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke
rumah kami, kita bicara!"
"Tapi,
Lo-cianpwe. Saya ingin melanjutkan...."
"Nanti
dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh... eh, di mana dia
sekarang...?" kakek itu menengok kekanan-kiri, seolah-olah merasa ngeri
karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu pangeran
yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.
"Lo-cianpwe
maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu."
"Mari
kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!"
Melihat
sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus.
Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di
kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa dari-pada memaksa menolak dan
menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini.
Siangkoan
Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh
kekaguman. Ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian
tangan kiri ayahnya menggandeng dirinya, dia pun tersenyum dan meronta
melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha!
Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang
pemuda hebat!"
Dengan penuh
kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.
"Siapakah
Nona yang lihai dan berani itu?"
"Dia
adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Lo-cianpwe. Dia sedang mencari
ayahnya dan saya membantunya."
"Mana
dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang
mengundangnya."
"Tidak
usah, Lo-cianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan
salah paham."
"Ha-ha-ha,
aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras,
aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."
"Lo-cianpwe,
nama saya Kwa Sin Liong."
"Tidak
apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa
sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?”
Sin Liong
mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk
bicara tentang Suhu...."
"Ha-ha-ha,
aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya,
apa-lagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur
dengan kekecewaan sebesar gunung!"
Tiba-tiba
kakek itu meremas cawan araknya. Cawan arak yang terbuat dari-pada perak itu
seperti tanah lihat saja, di dalam kepalannya berubah menjadi perak yang
pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong
terkejut, namun tidak berani bertanya.
Kakek itu
melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak kepada
muridnya minta diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa
tidak kecewa? Anakku hanya seorang, perempuan lagi. Celakanya, dia sudah
ditunangkan sejak kecil!" kakek ini memang selalu bicara keras, kasar dan
jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu!
Sin Liong
menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali,
mengapa celaka, Lo-cianpwe?”
"Kalau
ditunangkan dengan engkau, tentu saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu,
dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu,
mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu,
Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya
tajam sekali."
Tentu saja
Sin Liong menjadi terkejut dan malu. Ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.
"Engkau
tentu belum bertunangan, bukan?"
Sin Liong
hanya menggeleng kepalanya.
"Kalau
begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan
Hui-ji..."
"Lo-cianpwe,
ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan. Ada pun aku... aku sama sekali tidak
mempunyai pikiran untuk menikah."
Kakek itu
menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan
begitu saja dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin. Engkau tua bangka sekali ini
benar-benar membuat hatiku kesal! Baru-baru ini aku telah pergi ke sana dan dia
bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut penuturan
penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal
hatiku...."
"Harap
Lo-cianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Lo-cianpwe. Kalau
sudah jodoh, tentu kelak akan dipertemukan."
Kembali
kakek itu mengangguk-angguk. Memang dia tertarik dan terkejut sekali setelah
mendengar bahwa pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah
Sin-tong, yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es. Bukan
hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga untuk
keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan
ini, maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak
manakah pemuda ini berdiri.
Sementara
itu, Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya
yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda
itu, ayahnya akan bicara yang bukan-bukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia
merasa malu dan... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia
memang telah jatuh cinta kepada pemuda itu!
Pemuda yang
amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat
hebat. Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu
budiman, begitu tabah dan mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga
seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya yang
putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh
cinta! Dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara
terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
Teringat
akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan
termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya
sabuk itu hanya sabuk tambahan dan dapat dipergunakan sebagai sapu-tangan,
karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning. Sambil
menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya
sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh
jalan pikirannya.
Dara ini
sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya,
bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api
penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! Tadinya Swat Hong
mengintai dan hampir saja dia melompat ke luar untuk menolong suheng-nya. Akan
tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya menggunakan tanduk rusa
memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apa-lagi
melihat betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu
berhasil!
Hatinya
terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada
Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti dara itu dengan
niat untuk membunuhnya! Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu
marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan
mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu bahwa hatinya diamuk cemburu!
Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi
itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah,
melamun dan kadang-kadang tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti
dibakar!
"Perempuan
tak tahu malu!" bentaknya
Dia sudah
melompat ke luar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan
kanan dan sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan kembali
membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"
Siangkoan
Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh
ayahnya, maka begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat
bangun. Kini melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu adalah
seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah
kau ini orang gila?"
Tentu saja
pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah
seperti udang direbus dan sepasang matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar
berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang lebih
menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama
marahnya!
"Kau...
kau... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada
Suheng-ku?!" Swat Hong memaki.
Siangkoan
Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan
mendengar dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoi-nya?
Sungguh tidak patut! Seekor naga mana bisa mempunyai Sumoi seekor cacing?"
Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong
mendengar ini. Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit,
akan tetapi dia tak pandai cekcok dengan suara. Dia hanya mengeluarkan suara
melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui!
"Singgg...
Wuuttt.....!"
Siangkoan
Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan
dari atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu
menyambar ke bawah dengan serangan balasannya yang tidak kalah berbahaya.
"Plakkk!!"
sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu.
Swat Hong
terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya
tak boleh dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia
memutar pedangnya dengan kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi
permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu.
Sebetulnya
tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukar dicari
tandingannya. Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu
simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk sutera, juga dara
ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah seorang tokoh
yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan
racun-racun yang ampuh.
Setelah
mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan
berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari tangan kirinya menyambar
sinar-sinar merah. Swat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan
mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulung-gulung sehingga
jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat
dipukul runtuh.
"Haiittt...!!"
Swat Hong
meluncur ke depan. Didahului sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung
membabat ke kanan-kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam
dari atas. Semua jalan ke luar seolah-olah telah ditutupnya dan tidak
memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!"
Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras
yang diputar-putar melindungi tubuhnya.
Pada saat
pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua batang
paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali
meluncur ke arah tenggorokan Swat Hong!
"Aihhh...!!"
Swat Hong menjerit.
Tidak ada
jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan ‘menangkap’ dua
batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih
berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main. Pada saat itu,
Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke arah tubuh lawan. Tentu saja
Siangkoan Hui dapat mengelakkan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah.
Akan tetapi
kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus
terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak
hebat. Ujung sabuk Siangkoan Hui sudah robek dicium ujung pedang Swat Hong!
"Sumoi,
jangan...!!!" tiba-tiba terdengar seruan.
Sin Liong
melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan sumoi-nya dengan tangan
kiri. "Sumoi...! Syukur kita dapat saling bertemu di sini...!" Sin
Liong berseru girang bukan main.
Akan tetapi
perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya. Tadi dia sudah berhasil
mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa tahu
suheng-nya muncul dan lawannya itu dapat meloncat ke luar dan kini berdiri di
belakang kakek yang menjadi ayahnya!
"Aku
harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan
Hui.
"Sumoi,
jangan serang orang!"
"Kalau
begitu, serang kau saja!" dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang
kabut dengan pedangnya!
"Eh-eh...!
Ohhh...! Sumoi, mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa mengelak
dengan berlompatan ke sana-sini karena sambaran pedang di tangan sumoi-nya itu
bukan main-main!
"Kenapa
kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata perlahan dan menyerang terus
tanpa mempedulikan seruan suheng-nya.
Pada saat
itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri
Kwee Lun dan Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama?
***************
Telah kita
ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong. Karena gadis ini amat taat
kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke
dusun kembali. Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun
melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan mereka berpencar. Kwee Lun
mengambil jalan dari kiri.
Kebetulan
sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia
melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu
saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya
untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di
sebelah dalam. Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, dari-pada
menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba
meloncat ke luar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk
Soan Cu!
Dapat
dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki
keluar dari semak-semak dan dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya,
tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak
menangkapnya atau hendak berkurang ajar.
"Setan
keparat jahanam terkutuk!!" bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya,
meronta dan menggerakkan kaki tangannya, menyepak dan menampar.
"Plak-plak-plak...!”
“Wah-wah...
galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya
karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya
ditampar!
Kini mereka
berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena sama-sama
tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya
tadi, dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah
seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat
seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya saling
pandang.
Sesaat
kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah
mendongkol disuruh pergi oleh Sin Liong. Hatinya gelisah memikirkan Sin Liong,
biar pun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya. Kini ada orang yang
betapa gagahnya pun, namun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas! Siapa
kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam!
Engkau sudah bosan hidup!"
"Tar-tar-tar...!!"
cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun.
Soan Cu
mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah.
Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa herannya
ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya,
bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang
cambuk.
"Plakkk!"
Pemuda itu
terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh... nanti
dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau racun mana pun
juga!"
Namun Soan
Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya
berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara
meledak-ledak. Akan tetapi Kwee Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke
sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan telapak
tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dia tidak tahu bahwa
pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung
sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti
kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!
"Nona
cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika
melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah dulu dan
kita bicara!"
"Iblis
raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia
sudah mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia
menyerang kalang kabut!
"Wah,
runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia
pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan
kirinya memegang kipas gagang perak.
"Tringgg...!
Cringgg-tranggg...!" bunga api berpijar.
Keduanya
terdorong ke belakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu
dengan cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan
terheran. Tenaga sinkang mereka seimbang!
"Bagus!
Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Tranggg...!
Tranggg...!!"
Kembali Kwee
Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia
mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu
dulu, mengapa kau marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco!
Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh,
ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah
begini? Dan kau lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!"
“Cerewet!"
Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran
bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini.
"Nanti
dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh, seratus jurus
saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!"
"Menghina
kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos!
Atau jagal babi!"
"Maafkanlah.
Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki.... Wah, celaka! Kau tentu
puteri Tee-tok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia
tidak menduganya lebih dulu? Siapa-lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini
lihai?
"Aku
bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!"
"Wah,
benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku
mendengar ada beruang diadu dengan harimau. Pemilik beruang itu adalah
sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"
Soan Cu
menjadi bingung. "Bicaramu seperti orang sinting!”
"Memang
betul, sahabatnya, eh, malah Suheng-nya sahabatku. Kau siapa?"
"Aku
baru saja meninggalkan pemilik beruang itu yang menjadi sahabat baikku."
Dengan
singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia
pergi dan ingin menerima hukuman!
"Wah,
kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"
"Siapa?
Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah
menggetar di tangannya.
"Siapa-lagi
kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman?
Kau tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah
mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejamnya bukan main. Sahabatmu itu, Suheng
sahabatku, pemilik beruang, tentu akan dibunuhnya!"
"Apa...?!"
Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali. "Celaka...!"
"Hayo
cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah,
kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak.
Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana mereka melihat Swat Hong sedang
menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini.
***************
Ketika itu
Kwee Lun melihat sahabatnya menerjang seorang pemuda dengan mati-matian. Dia
mendapat kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biar pun bertangan
kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya.
Dia sudah menggerakkan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak,
"Berani kau menghina Hong-moi?"
"Trangg-cringgg...!!"
Kwee Lun
terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya
adalah sepasang senjata di tangan... Soan Cu yang mendelik dan memaki,
"Kerbau tolol! Berani kau mencampuri urusan Liong-koko?"
Setelah
berkata demikian Soan Cu menyerang kalang kabut, dan kembali mereka saling
serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya
dan Sin Liong juga sudah meloncat ke belakang.
"Jangan
bertempur! Soan Cu, mundurlah...!" seru Sin Liong.
"Liong-ko,
biarkan aku bertempur dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus
jurus!"
"Kwee-koko,
mundur! Orang sendiri...!"
"Hehhh...?
Orang sendiri...? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran,
sebentar memandang kepada Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.
"Kwee-koko,
inilah Suheng-ku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan.
"Eh...
akan tetapi, mengapa kau menyerangnya...??"
Sin Liong
cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoi-ku ini memang kalau lama tidak
bertemu lalu ingin mengajakku berlatih."
Mendengar
ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang betapa dia
marah-marah dan menyerang suheng-nya sendiri, baru dia teringat dan menjadi
malu.
Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong, dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah Sumoi dari Kwa-taihiap...."
"Hemmm....
sudahlah!" Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada
suheng-nya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam-hai
Sengjin."
"Ha-ha-ha!
Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi
dari Kwa-taihiap? Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh
besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih cemberut. "Baik
sekali Nona sudah datang kembali. Mari... mari orang-orang muda yang gagah
perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam."
Tee-tok
Siangkoan Houw lalu mempersilakan mereka semua memasuki gedungnya. Dia menjamu
mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa
kagum sekali kepada Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka.
Tidaklah
demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis
Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai
seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi,
selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda
itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih
mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya. Pula, dia melihat bahwa
sesungguhnya Swat Hong, sumoi pemuda itu, juga mencintai suheng-nya. Soan Cu
maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap Sin Liong
berlarut-larut.
Pertemuannya
dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini
amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan
seorang pemuda yang jujur, terus terang, gagah perkasa dan biar pun baru sekali
bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali! Oleh karena itu,
ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu
lebih banyak tertuju kepada pemuda perkasa itu.
Setelah
mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya sungguh-sungguh
dan kata-katanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong. "Saya tidak
tahu dengan jelas apakah Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau Es. Akan tetapi
mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran Han Ti Ong dari Pulau
Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian
Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw,
saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"
"Ah,
mengapa Lo cianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada
urusan apakah yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama
Pulau Es."
"Justru
karena urusan ini menyangkut Pulau Es."
"Heiii...?
Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh
semangat.
Mendengar
ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu
Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat bukan
main...."
“Siapa pun
tidak perlu tahu, apakah aku dari Pulau Es atau tidak,” jawab Swat Hong tegas.
“Tapi kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar.”
"Lo-cianpwe,
harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan
singkat. Perlu saya beritahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami
kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es."
Tee-tok
menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat orang menjadi
penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama besar
Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk
menentang Bu-tong-pai mati-matian."
"Haiii...?
Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran
sekali mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid
Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang dihormati oleh dunia kang-ouw?
Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya
terbelalak lebar karena penasaran.
"Ha-ha-ha,
agaknya gurumu, si tua bangka Lam-hai Sengjin masih belum mendengar berita ini.
Dia selalu bertapa di pulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang
gagah, Bu-tong-pai telah beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua
baru!"
"Soal
pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai
sendiri!" kata pula Kwee Lun.
"Memang
demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. Akan tetapi ketua
baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan perbuatan
sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh
kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan pemberontak!"
"Ihhh...!"
Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana...!"
Ketika Swat
Hong berseru tadi, Sin Liong juga ikut berseru kaget.
Mendengar
seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh
selidik. "Ji-wi mengenal wanita itu?"
Sin Liong
mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta
diri karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."
"Tapi
biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberi-tahukan teman-teman di
dunia kang-ouw agar...."
"Tidak
usah, Lo-cianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu,
Sumoi?"
"Benar!
Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih atas
bantuanmu mencari Suheng. Setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan
yang amat penting, terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di
sini, Kwee-koko."
Kwee Lun
mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang.
"Aku mengerti, Hong-moi."
"Soan
Cu, aku harap engkau suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong
melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari
sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai."
"Tentu
saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu ditemani oleh
anakku."
"Tidak,
Liong-koko! Aku... aku... akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kau
pergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong...," kata Soan Cu sambil
menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku
pergi lebih dulu!" setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri
dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.
Kwee Lun
juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu
dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil berseru, "Nona....,
tunggu dulu...!!"
Namun Soan
Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus
mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang
berkejaran itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Sin Liong
dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya yang
mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi
dan tidak nampak lagi, terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya
dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas dan merangkulnya.
Dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya.
Tee-tok
menepuk-nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak
Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta kepadanya, Hui-ji.
Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang
aneh pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia
itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian pula
Sumoi-nya. Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan
putera Lu-san Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu
Swi Liang. Biarlah aku akan mencari mereka lagi!"
Siangkoan
Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh
ayahnya yang amat menyayanginya. Sebetulnya sukar dikatakan apakah Siangkoan
Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan
kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi
itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi!
***************
Keadaan di
Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua
partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas
karena adanya banyak anggota perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang
mereka yang kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang
siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak
diketahui oleh orang luar.
Terjadi hal
yang membuat Swi Nio sering-kali menangis seorang diri di dalam kamarnya!
Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa
kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari subo mereka sendiri! Tadinya
tentu saja hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi kini dia
melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara
terang-terangan, tidak bersembunyi lagi. Biar pun pada siang hari di mana
banyak mata para anggota Bu-tong-pai menyaksikannya, dengan seenaknya ketua
Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang, atau sebaliknya pemuda itu
memasuki kamar subonya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio
memberontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kecuali menangis?
Dan memang
sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang
kini terjebak oleh nafsu birahi dan menjadi hamba nafsu birahi, juga menjadi
hamba subonya sendiri yang membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat
mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang masih hijau.
Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan
seorang wanita yang sudah matang seperti The Kwat Lin pula.
Memang rasa
kagum seorang muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua dengan mudah menyeretnya
ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat
diartikan bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau
gila birahi. Sama sekali tidak. Dia adalah seorang yang normal, dan hanya
keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar.
The Kwat Lin
adalah seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya,
berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya
menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangatan
rasa sayang seorang pria. Ada pun pria yang sudah dewasa dan yang dekat
dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula mengherankan apa bila dia
tertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini.
Karena
pemuda ini masih hijau, tentu saja dia tidak berani mulai dengan langkah
pertama. Maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan kewanitaannya untuk
membuka pintu dan menggerakkan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat
dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok. Sekali saja hubungan
jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang pertama kali segera
disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudian mereka menjadi ketagihan dan
seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka!
Tentu saja
hal ini dapat terjadi karena keadaan hidup Kwat Lin. Andai kata dia masih
seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini
sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaannya lain. Dia
menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak
peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang
yang bercita-cita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya.
Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk
bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan orang lain lagi.
Akan tetapi,
selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai
dengan langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat
Bu-tong-pai dengan mengadakan hubungan dengan para pembesar di kota raja
melalui anggota-anggota barunya, yaitu para pembesar yang mempunyai cita-cita
yang sama, para pembesar calon pemberontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat
setelah terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu....
Pada
beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai gempar dengan
munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang
pun anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar
dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia
persilatan.
Ketika
seorang di antara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan
jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua
Bu-tong-pai yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada
The Kwat Lin yang pada saat itu masih enak-enak pulas dalam pelukan muridnya,
sekaligus juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya diketuk
dan mendengar laporan seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua
orang tamu, ayah dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan
Bu-tong-san yang minta bertemu dengan sang ketua!
"Suruh
mereka menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah.
Tak lama
kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han
Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua
orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu.
Semenjak dia
merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi
tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena permintaan para tosu
Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela
para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut
itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang terpaksa pergi
membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan
tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya.
Swi Liang
dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan membiarkan subo
mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah
dan indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai
seorang wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia
melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum.
Kedua orang
itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak
kegagahan mereka sebagai pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biar
pun sudah tua, namun masih kelihatan sehat dan kuat. Jenggot dan kumisnya yang
putih menambah keangkeran wajahnya. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang
dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik.
Orang ke dua
masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan berwajah
tampan gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laki-laki ini karena memang
mereka itu adalah ayah dan anak yang terkenal sekali namanya sebagai
pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabat-sahabat baik dari
para tosu Bu-tong-pai.
Kakek Coa
Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai, dan ilmu pedang
ini sudah diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika
ayah dan anak ini mendengar akan mala-petaka yang menimpa para pemimpin
Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap, seorang
wanita yang merampas kedudukan ketua, kemudian mendengar betapa banyak
sahabat-sahabat kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu,
mereka berdua menjadi marah sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang
kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang kesaktian wanita itu. Berangkatlah
mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan kebenaran, naik ke
Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu.
The Kwat Lin
bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak
menantangnya, dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama.
Selama cita-citanya belum tercapai, dia membutuhkan bantuan sebanyak mungkin
orang pandai. Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan maksud
menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka
dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu
berkeras, terpaksa dia turun tangan menerima tantangan mereka.
Memang
demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang
sesungguhnya hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi
tercapainya cita-cita yang merupakan pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak
segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk membantunya demi
tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan
perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya. Sebaliknya, mereka
yang mati-matian membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar
dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat pun, hanya diberi pahala
sekedarnya karena yang dipentingkan bukan orang-orang yang membantunya,
melainkan dirinya sendiri!
Begitu
berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke
depan dada sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she
Coa) yang datang. Sudah lama kami mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa,
maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu. Apa-lagi mendengar
bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai...."
"The
Kwat Lin!" kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka
ketua baru Bu-tongpai itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara
Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang
selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat
dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa
setelah menghilang bertahun-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang
murid murtad? Mengapa engkau merampas kedudukan ketua mengandalkan kekerasan
dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai tentu saja tidak
mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin
tersenyum manis dan melirik ke arah Coa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi
Coa Khi mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan.
"Coa-lo-enghiong
agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan
tetapi hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada
Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Bu-tong-pai perkumpulan terbesar dan terkuat
di dunia kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah menjadi sahabat
yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata
melihat kenyataan dan saya persilakan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan
untuk minum arak persahabatan bersama kami."
"Perempuan
murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" kakek
itu membentak marah.
Kedua alis
yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak. Biar pun mulut yang berbibir
tipis itu masih tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin,
"Habis apa yang kalian akan lakukan?"
"Sing!
Singgg!!" ayah dan anak itu telah mencabut pedang.
Kakek Coa
lalu berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau
pergi meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu yang
mengembalikan Bu-tong-pai kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau
berkeras, terpaksa kami ayah dan anak turun tangan menggunakan pedang membela
kehormatan sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai!"
"Hi-hik!
Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut sehebat
sikap mereka, perlu ditonton terlebih dulu!" tiba-tiba terdengar suara
yang lantang dan merdu ini, jelas suara seorang wanita.
Semua orang
menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang
tanpa diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul ini
memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ayah dan anak itu juga menengok dengan
kaget, apa-lagi mendengar nama ilmu pedang turunan mereka disebut-sebut.
Wanita itu
pakaiannya mentereng. Biar pun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun
harus diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan
panjang, dibiarkan terurai sampai ke pinggulnya yang menonjol di balik celana
yang ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang payung hitam dan wanita itu
tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita
yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat, akan tetapi ada sesuatu yang
dingin mengerikan keluar dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang
amat tajam itu karena mata itu terbelalak memandang hampir tak pernah berkejap!
Melihat
wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras.
"Kiam-mo Cai-li...!!"
Puteranya,
Coa Khi juga terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama
seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang
selain kejam dan ganas, juga amat tinggi ilmu kepandaiannya.
Kakek Coa
merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak pernah
muncul di dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya,
yaitu di Rawa Bangkai di kaki pegunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul
di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul, tentu akan terjadi
mala-petaka hebat!
The Kwat Lin
juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih
menjadi seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li
(Wanita Cerdik Berpedang Payung) sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum
pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia melirik ke arah wanita
itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia
tidak perlu takut menghadapi iblis yang mana pun juga!
"Kiam-mo
Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai
ketua Bu-tong-pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau
bersama kedua orang She Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!"
Ucapan yang
keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua
orang ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini menantang Kiam-mo
Cai-li seperti itu! Menyuruh datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok!
Akan tetapi
Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan
rapi, "Hi-hi-hik, hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau
disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya memang memilki keberanian yang hebat!
Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es, maka aku terpaksa
meninggalkan tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar
siapa pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak
kulihat bagaimana kau menghadapi pewaris-pewaris Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut
yang terkenal ini. Kalau kau memang berharga untuk melawanku, barulah kita
nanti bicara lagi!"
The Kwat Lin
tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa
terlalu tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku
membereskan dua orang ini. Di sini tidak ada bangku, duduklah di sini!"
Setelah
berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon. Sekali tangan kirinya
bergerak menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon
itu tumbang. Hebatnya, batang pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam
saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah bangku!
"Hi-hi-hik,
memang hebat sinkang-mu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo
Cai-li Liok Si. Sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon
yang merupakan bangku bermuka halus itu. Dia duduk bertumpang kaki dan
menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan menikmati suatu
tontonan yang menarik.
Ayah dan
anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka
seperti sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat
lihai. Akan tetapi, jiwa pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali
tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela sahabat-sahabat mereka Kui Tek
Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas kematian
dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela
Bu-tong-pai.
Selain itu
mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran. Kalau sekarang mereka
harus mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi
pengecut. Bagi dua orang pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal
harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati sebagai orang gagah dari-pada
hidup menjadi pengecut hina!
"Kalau
begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa.
Pedang di
tangan kanan kakek Coa sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh
Coa Khi, lalu kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang
kuat.
Kwat Lin
menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu
dipegangnya itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya
diperlukan untuk menghadapi orang-orang Bu-tong-pai yang menghormati tongkat
itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang kedudukan tertinggi di
Bu-tong-pai. Kini menghadapi dua orang luar, sengaja dia tidak mau
mempergunakannya, sekaligus untuk memamerkan kepandaiannya. Dia hendak
menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong!
"Ceppp!"
tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah.
Sekali Kwat
Lin menggerakkan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah She
Coa itu. "Mulailah!" katanya.
"Sing-singgg...
wut-wut-wut-wutttt...!!" bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan
kekuatan dan kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi
suara bersiutan ketika kedua pedang membelah udara.
Diam-diam
Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang
mereka itu. Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es,
gerakannya lebih cepat lagi. Dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini,
menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan gerakan yang
cepat dan indah.
Tiba-tiba
Kwat Lin tersenyum manis. Kini dia telah merasa yakin, bahwa betapa pun indah
dan lihainya ilmu pedang mereka, namun dia masih memiliki tingkat yang jauh
lebih tinggi dalam hal sinkang. Bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor
tikus, dia sengaja selalu mengelak ke sana ke mari memamerkan kegesitan
tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada
wanita yang dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo
Cai-li yang menonton pertandingan itu.
Mendadak
Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan. Ketika matanya melirik, segera dia
maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka
itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu
terjadi cepat sekali, tetapi Kwat Lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil
kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yang
berpura-pura takluk kepadanya, namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri
tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek
Tojin!
Pada saat
itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan
cepatnya. Gerakan Kwat Lin tentu saja agak terlambat karena perhatian yang
terpecah tadi. Maka dia cepat menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan
pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya
di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringgg...!!"
Coa Khi
terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan
hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di
pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya
memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar jerit-jerit
mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah
merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua
orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah disambar jari-jari tangan Kwat
Lin yang marah.
Setelah
membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua
orang lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan
terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil
melindungi tubuhnya dengan pedang.
Seru dan
indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang
saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia
seolah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya,
seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang
sepintas lalu seperti dua helai selendang yang dimainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba
kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi. Tampak
mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas
dan membacok sambil meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang yang
mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hok-liong- kiam-sut (Ilmu
Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan
lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup
dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.
Akan tetapi,
sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali. Ia tidak
mengelak, bahkan menubruk ke depan! Tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang
meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah
kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah. Dalam kedudukan berjongkok kedua
tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.
"Hyaaaattt...!!"
pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua
tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah
menyambar perut kedua orang laawannya.
"Plak!
Plak!" tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mukjijat
ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang
berada di depan.
Ayah dan
anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh
mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan
anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka
membiru. Darah mereka telah membeku terkena pukulan yang mengandung
Swat-im-sinkang yang hebat dari Pulau Es!
"Bagus
sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas
batang pohon, kemudian berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu.
Keduanya
sama cantik dan sama mewah pakaiannya. Sejenak mereka saling pandang seperti
hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat
kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku
bertanding. Mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!"
The Kwat Lin
mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, di antara kita tidak
pernah ada urusan sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu
Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan diri?"
"Hi-hi-hik!"
wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh.
"Aku membela tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun
yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa bodoh! Akan tetapi hatiku tertarik
mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es. Sekarang
melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan
bertanya, apakah benar engkau Ratu Pulau Es?"
Kwat Lin
mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau
engkau tidak membela tosu-tosu Bu-tong-pai, perlu apa kita bertanding?
Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tong-pai dan aku membutuhkan kerja sama
dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah seorang dengan
kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai
matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di
tempat pertapaanmu di Rawa Bangkai?"
"Hi-hi-hik,
aku sudah mendengar pula akan usahamu yang bercita-cita luhur! Karena itu pula
aku tertarik dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja
sama dan cita-cita, kita harus menentukan dulu siapa di antara kita yang patut
memimpin dan siapa pula yang harus taat."
"Maksudmu?"
The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut.
"Kita
bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan
kita kaum wanita, tentu segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di
istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan seluruh kendali pemerintahan!
Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di antara
kita, perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus!
Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya?
Kiam-mo Cai-li, engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat
Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat
yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti didorong dari
bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya.
Kiam-mo
Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkang-mu, Pangcu. Akan tetapi
jangan kau salah sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku
sudah makin tua dan aku perlu memperoleh kedudukan yang akan menjamin masa
tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan bertanding sebagai musuh,
hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita
berdua."
Mendengar
kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapa
pun juga, dia membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai
datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat menarik wanita ini sebagai pembantu,
tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk membantu
tercapainya cita-citanya.
"Baiklah
kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu,
awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru.
Belum
selesai ucapannya, tubuh Kiam-mo Cai-li sudah menerjang ke depan, didahului
oleh bayangan hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan
gerakannya. Ujung payung berbentuk pedang itu menusuk, sedang payung itu
sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan.
Namun dengan
tenang saja Kwat Lin menggerakkan tangan kirinya. Dengan telapak tangan terbuka
dia mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan
membuat payung itu seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung
payung yang seperti pedang, kemudian disusul dengan gerakan tongkat pusaka di
tangan Kwat Lin yang menyambar dari samping dengan dahsyatnya.
"Plakk...!
Cringg-cringgg...!!"
Tongkat itu
mula-mula ditangkis dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang tadinya hendak
mencengkeram dan merampas tongkat. Namun tongkat sudah ditarik kembali dan
langsung mengirim hantaman dua kali berturut-turut yang dapat ditangkis
kembali, kali ini oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan lawannya,
Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang
luar biasa, yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).
Kalau saja
Kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es,
tentu dia bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi,
karena The Kwat Lin kini telah menjadi seorang yang berilmu tinggi, maka dia
dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah pertandingan yang amat seru
dan seimbang.
Kiam-mo
Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum
sesat, seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina
yang kejam dan berilmu tinggi. Tidak hanya ilmu pedangnya yang lain dari-pada
yang lain. Permainan pedang dengan gerakan tangan yang terlindung dan
tersembunyi oleh payung hitam itu jauh lebih praktis dan berbahaya dari-pada
menggunakan perisai.
Di samping
ilmu pedangnya, tangan kirinya juga merupakan senjata yang amat berbahaya
dengan kuku-kukunya yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih
dilengkapi lagi dengan rambutnya yang hitam panjang, karena rambutnya ini
seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut, atau
melibat!
Akan tetapi,
tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang
disohorkan seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi
tingkat kepandaiannya. Tidak percuma selama sepuluh tahun bekas murid
Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apa-lagi telah mewarisi kitab-kitab
pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya.
Yang jelas,
dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setingkat dibandingkan dengan
Kiam-mo Cai-li. Tenaga sinkang-nya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia
telah dapat menyedot tenaga inti salju, yaitu Swat-im Sinkang. Tenaga sinkang
ini mengandung hawa dingin, sehingga dapat membekukan darah lawan yang kurang
kuat ketika beradu tenaga dalam. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar
ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang
sesungguhnya merupakan gabungan ilmu silat campur-aduk.
Demikianlah,
pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan amat serunya.
Kiam-mo Cai-li menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding.
Akan tetapi kelebihannya ini menjadi tidak berarti karena dia kalah tenaga
sinkang, sehingga setiap serangan dan desakannya dapat dibuyarkan oleh hawa
sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya iblis betina ini harus
mengakui keunggulan lawan. Sebagai seorang ahli dia maklum, bahwa kalau
dilanjutkan, salah-salah dia akan menjadi korban hawa Swat-im Sinkang yang
mukjijat.
Maka dia
meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat,
engkau pantas menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan
biarlah aku membantumu dalam kerja sama kita!"
Dapat
dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri
Kiam-mo Cai-li, menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi
Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong. Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki
gedungnya, dan sambil menghadapi hidangan lezat kedua orang wanita lihai ini
bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama.
Ternyata
mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan
terhormat, maka dalam perundingan ini Kiam-mo Cai-li dianggap sebagai pembantu
utama dan tangan kanan Kwat Lin. Bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki
pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua, di mana kelak akan
dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia.
Benar saja
seperti yang diharapkan. Setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah
kaum sesat yang bergabung dan menyatakan suka bekerja sama. Biar pun tidak
resmi, mulai saat itu The Kwat Lin bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan
tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomor satu!
Hubungan
rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi
makin luas. Diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan
untuk menggulingkan Kaisar! Dari para pembesar yang mengharapkan bantuan
orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan keuangan sehingga
Bu-tong-pai menjadi makin kuat, dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga
bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.
***************
Keadaan
kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Saat itu yang
duduk berkuasa di singgasana adalah Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan
sebutan Kaisar Hian Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan
Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami perkembangan yang amat pesat sehingga
menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman pemerintahannya
inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan
pelukis-pelukis yang menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po,
Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain.
Namun
disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan
ini mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti sering-kali
telah terjadi, di jaman apa pun dan di negara mana pun juga, Beng Ong yang
hatinya teguh menghadapi godaan segala macam keduniawian, ternyata lumpuh
ketika menghadapi seorang wanita! Sudah banyak dibuktikan oleh sejarah, betapa
pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan
tak berdaya begitu bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di hatinya.
Peristiwa
itu terjadi pada tahun 745. Ketika itu Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh
tahun lebih, sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek. Namun seperti telah
terbukti dari jaman dahulu sampai sekarang, laki-laki betapa pun tuanya, ketika
menghadapi wanita akan menjadi seperti seorang kanak-kanak yang hijau dan lemah.
Salah
seorang di antara begitu banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir
dari banyak selirnya, adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunyai seorang isteri
yang amat cantik jelita, bahkan menurut kabar angin, wanita ini cantiknya
melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, yang memang
memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru
dunia.
Ketika
Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui,
seketika hati Kaisar tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan
pelayan-pelayan muda yang masih perawan tidak lagi menarik hatinya. Setiap saat
yang tampak di depan matanya hanyalah bayangan wajah Yang Kui Hui yang cantik
jelita. Akhirnya Kaisar tidak dapat lagi menahan nafsu hatinya. Dengan
kekerasan dia memaksa puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan
isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan seorang wanita lain. Ada pun Yang
Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam kumpulan harem
(rombongan selir) di istana.
Setelah Yang
Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya,
sejak saat itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng
Ong yang tadinya giat mengurus pemerintahan, memperhatikan segala urusan
pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, kini mulai tidak acuh dan
menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri Kepercayaan Raja)
dan para pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak
pernah meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh
kemesraan.
Dalam
beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar
seluruhnya sehingga apa pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan
apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang ditolak oleh Kaisar tua
yang sudah dimabok cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama
sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena
dia dipisahkan dari suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani
semua nafsu birahi Kaisar tua itu, ada tersembunyi niat yang lain lagi, bukan
semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah tua itu. Dia
tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu.
Setelah
membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya
yang kecil mungil, mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan
hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya terhadap Kaisar, menarik keluarganya
menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan kakaknya yang
bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang
setelah menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja
atas bujukan Yang Kui Hui! Dan masih banyak lagi anggota keluarga selir yang
cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali yang sebelumnya tak
pernah termimpikan oleh mereka.
Pada jaman
itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok.
Orang ini bukan lain adalah An Lu San, seorang yang tadinya dari keturunan tak
berarti. An Lu San dilahirkan di Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu
di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa Khitan, keturunan
keluarga yang bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu San menjadi seorang
pemuda remaja, sebagai seorang budak belian, dia dijual kepada seorang perwira
Kerajaan Tang yang bertugas di utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah
bintangnya menjadi terang.
Sebagai
kacung seorang perwira, dia ikut pula ke medan perang. Ternyata bocah ini
membuktikan dirinya sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali,
memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga beberapa kali dia membuat jasa
pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia menjadi
prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia
diangkat terus, lalu dinaikkan menjadi perwira. Beberapa tahun kemudian,
setelah dia memenangkan beberapa peperangan melawan musuh dari luar sehingga
berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia akhirnya diangkat menjadi jenderal!
Mulailah
jenderal An Lu San ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu
saja terbuka kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu
sedang tergila-gila kepada Yang Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi.
An Lu San memang seorang yang amat cerdik. Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan
selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan baik
sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan
sikapnya yang lucu dan ugal-ugalan, pembawaan watak liarnya, dia berhasil
menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan Yang Kui Hui sendiri.
Selir yang
setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu
saja bangkit gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu!
Terjadilah ‘main mata’ antara kedua insan ini. Akhirnya, dengan bujukan dan
rayuannya, Yang Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An Lu San sehingga
Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya
yang licik telah mengangkat An Lu San sebagai ‘putera angkatnya’.
Hal ini
tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar. Bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai
seorang selir yang cerdik, selir yang mencinta dan yang setia. Perbuatan Yang
Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik untuk menyenangkan hati seorang pahlawan
sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar Beng Ong yang
terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama
lemahnya dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat
dapat dipermainkan oleh jari-jari tangan halus dari selir yang cantik jelita
itu.
Tentu saja
setiap sukses dari seseorang, baik didapatkan dengan jalan apa pun juga, akan
melahirkan iri hati kepada orang-orang lain. Biar pun tidak ada yang berani
secara terang-terangan menentang selir cantik yang amat dikasihi Kaisar tua
itu, namun diam-diam banyak anggota keluarga kerajaan yang merasa iri hati dan
membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah
diabaikan oleh Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui
Hui.
Pada suatu
malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapa pun dia
tergila-gila kepada Yang Kui Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya
tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi selirnya yang masih muda, penuh
nafsu dan panas itu. Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia tidak
mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia
berpesta makan minum dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan
jenderal An Lu San yang datang berkunjung ke istana. Setelah mengijinkan
jenderal perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan, Kaisar
yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia
ingin beristirahat karena merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya
sendiri.
Menjelang
tengah malam, Kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah
seorang selir muda belia yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini
bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan termasuk selir termuda sebelum
Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir.
"Hemmm,
apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata tanpa marah karena dia pun
pernah mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk
membelai dagu yang berkulit putih halus itu.
"Hamba
mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak
gemetar. "Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu Paduka yang sedang
beristirahat, akan tetapi...."
Kaisar yang
tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini merindukan
curahan kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan
tidak pula memerintahkan selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis,
naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku...," katanya sebagai uluran
tangan. Karena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula birahinya.
Yauw Cui
tidak berani membantah. Segera ia bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan
jari-jari tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung tua yang
pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini berkata lagi, "Rasa penasaran
memaksa hamba memberanikan diri mengunjungi Paduka. Hamba tidak ingin melihat
Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!"
Tangan
Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti. Dengan
pandang mata penuh selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa
yang berani menipu dan menghinaku?"
Yauw Cui
menangis, dan dengan suara terisak-isak dia berkata, "Hamba... secara
tidak sengaja... mendengar... An-goanswe (jenderal An) berada di dalam kamar...
Yang Kui Hui...."
Seketika
Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang
selirnya yang masih menangis itu. Hatinya tidak percaya sama sekali karena
memang sudah sering-kali Yang Kui Hui difitnah orang lain yang merasa iri hati.
"Hemmm, jangan bicara sembarangan saja karena terdorong iri hati."
"Tidak...
hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membohong....
Tidak berani hamba menjatuhkan fitnah.... Hamba hanya merasa penasaran melihat
Paduka dihina, maka hamba memberanikan diri melapor...."
"Pengawal...!!"
Kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan.
Pintu
terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk. Mereka langsung
berlutut setelah melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya.
Kaisar
menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar Yang Kui Hui," kata
Kaisar singkat sambil memberi isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula
bersamanya.
Pada saat
Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yang Kui Hui sudah gelap remang-remang,
dan pada saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu San.
Mereka seperti mabok nafsu birahi. Tentu saja segala pertahanan di hati Yang
Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan gagah perkasa ini, yang masih
memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun
Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah.
Kini bertemu dengan An Lu San dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang
jantan dan jauh lebih muda dari Kaisar ini, tentu saja dia terbuai dan lupa
segalanya.
Tiba-tiba
sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berbisik di luar kelambu
pembaringan. Bisikan itu merubah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan
An Lu San dalam waktu beberapa menit saja telah memakai pakaian yang rapi,
duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa batang lilin, dan di atas
meja terdapat gambar peta daerah utara. Di ujung-ujung kamar itu terdapat
pengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu
San dengan suara lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan
pertahanan di perbatasan utara.
Demikianlah,
ketika Kaisar yang diiringi Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu
dengan sikap kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk
berdua dengan An Lu San, akan tetapi bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw
Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan!
"Hamba
sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu
San," antara lain Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan
kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut seorang wanita yang
cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba."
Karena semua
pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa
selir tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya, tentu saja
Kaisar menjadi marah kepada Yauw Cui.
Selir muda
ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka
maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya. Dia menudingkan telunjuknya kepada
Yang Kui Hui sambil berteriak nyaring, "Kau wanita Iblis! Karena engkaulah
kerajaan ini akan hancur!" dan sebelum para pengawal yang diperintah oleh
Kaisar yang marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan
kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas di saat
itu juga!
Tentu saja
pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima hadiah banyak sekali
dari Yang Kui Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga
menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu, kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui
Hui dan An Lu San makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini tidak dibiarkan
lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu San yang mengadakan hubungan gelap
sepuas hati mereka.
Karena
pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu San memperoleh kehormatan
yang besar, bahkan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Liao Tung. Dengan
demikian, An Lu San menguasai pasukan-pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga
di propinsi yang merupakan perbatasan timur. Kehormatan ke dua diterimanya tak
lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui, yaitu ketika
dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena
biasanya, gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah
bangsawan!
Memang An Lu
San seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi
dengan kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan
kedua kaki yang mungil dari selir kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua
kepandaian untuk mengambil hati selir ini. Ternyata semua muslihatnya berhasil
baik sehingga dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi tentu
saja banyak pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu San. Di
antara mereka ini adalah kakak kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok
Tiong yang menjadi Menteri Pertama.
Dengan
kedudukannya yang tinggi, Yang Kok Tiong lalu melakukan penyelidikan. Saat dia
memperoleh berita bahwa An Lu San mempersiapkan pemberontakan, segera dia
berunding dengan Putera Mahkota dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya
dan menganggap pelaporan ini omong kosong belaka. Tetapi atas desakan para
pangeran, akhirnya Kaisar memanggil An Lu San.
Jenderal ini
memang benar telah mempersiapkan suatu pemberontakan, namun belum dijalankan
karena merasa keadaannya belum cukup kuat. Dia menghadap Kaisar dan dengan air
mata bercucuran. Dia memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan
dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui membantunya. Selir ini pun mencela
Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati, bahkan Yang Kui
Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang iri hati kepadanya.
"Hendaknya
Paduka ingat bahwa An Lu San adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya
sudah amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andai kata dia benar
mempunyai niat memberontak tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan
Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan kebersihan dan
kesetiaannya! Kabar tentang niat pemberontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh
mereka yang merasa iri hati kepadanya."
Seperti
biasa, hati Kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya, dia
malah menjamu An Lu San. Malam itu pula, dengan amat pandainya An Lu San
‘membalas budi’ Yang Kui Hui, dengan sepenuh hatinya, di dalam kamar selir
Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan mereka.
Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi, An Lu San sudah kembali ke utara
dengan penuh kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat
persiapannya untuk memberontak!
Dan demikian
pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh
di bawah telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidak-puasan pada
banyak pembesar sehingga di sana-sini timbul niat untuk memberontak. Keadaan
yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan oleh The Kwat Lin untuk mulai
dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan kedudukan tinggi
untuk puteranya!
Pada suatu
hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san,
menghadap ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari
Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja, Kwat Lin cepat menerimanya di kamar
rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi lagi
meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai.......
No comments:
Post a Comment