Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Bu Kek Siansu
Jilid 09
PANGERAN TANG SIN ONG adalah seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula. Saingan besar dari An Lu San ini merupakan pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin. Baru saja dia mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang hendak berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. Saat inilah yang dinanti-nanti oleh The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat yang telah lama mereka rencanakan.
Beberapa
hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di
dalam hutan di kaki pegunungan Fu niu san, tidak jauh dari kota raja. Seperti
biasa, di waktu mengadakan perburuan tempat itu dijaga oleh para pengawal. Ada
pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring binatang hutan agar
binatang-binatang yang ketakutan itu berlarian menuju ke dekat tempat Kaisar
dan Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak
panah ke arah binatang-binatang itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar
penting, Kaisar juga ditemani oleh Pangeran Tang Sin Ong....
Seperti
biasa Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang
tersedia di situ, di tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin
Ong menanti di luar pondok sambil bercakap-cakap. Mereka menanti sampai
datangnya binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan yang sudah
menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat di depan. Para pengawal menjaga di
sekeliling tempat itu, terdiri dari pengawal Kaisar dan pengawal Pangeran Tang
Sin Ong karena pangeran ini mempunyai pasukan pengawal sendiri.
Mereka tidak
usah lama menanti. Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin
mendekat. Itulah suara pasukan yang bertugas menggiring binatang hutan menuju
ke tempat penyembelihan itu, di mana para pembesar telah menanti dengan gendewa
bersama dengan anak panahnya siap di tangan.
Mendengar
suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil tersenyum-senyum gembira
membawa sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan
pelayannya mengikuti Kaisar sambil membawa tempat anak panah. Tak lama
kemudian, mulailah bermunculan binatang-binatang hutan yang panik ketakutan
karena dikejar-kejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai
itu. Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar
lainnya menghujankan anak panah mereka ke arah binatang-binatang itu.
Tidak ada
seorang pun melihat ketika dari rombongan pengawal Pangeran Tang Sin Ong,
tiba-tiba seorang pengawal menyelinap ke dalam semak-semak. Orang ini lalu
menanggalkan pakaian dan menyelinap memasuki pondok Kaisar dari samping,
meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan kecepatan kilat, laki-laki
setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang
pintu depan. Terdengar selir cantik itu menjerit, akan tetapi tubuhnya menjadi
lemas ketika dia tertotok. Pada saat semua orang menoleh karena mendengar
jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari oleh laki-laki itu.
"Penculik...!"
"Penjahat...!"
"Jangan
lepas anak panah, bisa salah sasaran...!!" tiba-tiba Pangeran Tang Sin Ong
berseru keras.
Mendengar
ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas
anak panah. Kejar dan tangkap! Selamatkan dia...!"
Semua orang,
pengawal, pembesar, pangeran Tang Sin Ong, bahkan Kaisar sediri, segera
mengejar penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa
loncatan saja penculik itu telah lari jauh sekali.
"Cepat
kejar... tolong dia.... Ahhh, Kui Hui...!!" kaisar berteriak dengan muka
pucat.
Tiba-tiba
tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh
kelihatan jelas bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya
cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua sudah menerjang maju dan dengan
serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas Yang Kui Hui,
disusul kemudian wanita ke dua yang muda dan cantik menggerakkan pedangnya
menusuk. Terdengar jerit melengking yang nyaring sekali ketika pedang itu
menembus dada penculik itu yang berkelojotan, terbelalak dan menudingkan
telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak berkata sesuatu, akan
tetapi sebuah tendangan yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat
bergerak lagi dan tewas seketika!
Kaisar dan
rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang
lebih tua itu membebaskan totokan Yang Kui Hui. Selir ini mengeluh dan menangis
sambil menubruk Kaisar yang memeluknya. Kaisar memandang kepada dua orang
wanita cantik yang sudah berlutut di depan kakinya dengan perasaan bersyukur
dan berterima kasih.
"Untung
sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar
dengan penuh rasa syukur, suaranya masih gemetar karena ketegangan hebat yang
baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?"
"Hamba
adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu,
lalu menuding kepada dara muda yang cantik jelita dan tinggi semampai di
sebelahnya. "Dan ini adalah Bu Liang Cu murid hamba."
"Ahhh,
kiranya ketua Bu-tong-pai yang terkenal!" kata Kaisar sambil tersenyum
lebar. "Pantas saja demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah
menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat. Kalian pantas diberi
hadiah besar."
Yang Kui Hui
sudah menghentikan tangisnya, dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu
dengan mata berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan memberi hadiah
kepada kalian."
The Kwat Lin
menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai
rakyat yang setia kepada junjungannya. Hamba berdua tidak mengharapkan balas
jasa, hanya apabila Paduka sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja
sebagai pengawal pribadi Paduka. Sekarang banyak orang jahat, tanpa pengawalan yang
kuat tentu membahayakan Paduka.”
Girang bukan
main hati Yang Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyanya
kepada gadis cantik yang menunduk sejak tadi.
Gadis itu
kini mengangkat mukanya, dan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dia
menjawab, "Nama hamba Bu Liang Cu.”
Saking
girangnya, Yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan
menghadiahkan benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid
Bu-tong-pai itu sebagai pengawal pribadinya. Mulai saat ini gadis yang bernama
Bu Liang Cu itu ikut bersama rombongan Kaisar, selalu mengawal di belakang Yang
Kui Hui, kembali ke istana.
Ada pun The
Kwat Lin segera kembali ke Bu-tong-san dengan hati girang karena siasatnya
berjalan dengan baik sekali, sungguh pun untuk itu dia terpaksa harus
mengorbankan nyawa seorang anggotanya. Penculik itu bukan lain adalah seorang
anggotanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang tinggi.
Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya
kalau sampai mengalami bahaya. Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia
dikhianati oleh ketuanya sendiri setelah dia roboh dengan pedang menembus
dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu siasat licik dari The
Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum
dapat mengeluarkan suara.
Siapakah
gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini
The Kwat Lin menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi betapa marahnya ketua
Bu-tong-pai ini ketika dia menghadapi penolakan muridnya!
"Teecu
tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukan hal lainnya. Biar disuruh
membasmi penjahat yang bagaimana pun, biar harus mempertaruhkan nyawa, teecu
tidak akan mundur dan pasti akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah,
teecu tidak mau terlibat dalam... pemberontakan...," jawab Swi Nio sambil
berlutut dan menundukkan mukanya.
Hampir saja
Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat
itu, Swi Liang yang melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subonya, cepat
maju dan berkata, "Subo, kalau Moi-moi tidak berani, biarlah teecu yang
melakukannya."
"Kau
seorang pria... mana mungkin...?"
"Teecu
bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil sering-kali
teecu mengenakan pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak
perempuan."
Mendengar
ini Kwat Lin termenung. Betapa pun juga dia lebih percaya kepada muridnya
sekaligus kekasihnya ini. Selama ini Swi Nio selalu memperlihatkan sikap dingin
dan kadang-kadang menentang. Berbeda dengan Swi Liang yang selalu menuruti
kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani nafsu birahinya! Pekerjaan
yang direncanakan ini amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya kalau
dilakukan oleh orang yang paling dipercayainya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya
karena siapa tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak.
"Hemm,
kita coba saja!" katanya.
Setelah
melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi girang
sekali. Agaknya murid itu memang mempunyai bakat bermain sandiwara, maka ketika
berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri hampir pangling dan mengira bahwa
Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikianlah rencana siasat itu dijalankan dengan
baik. Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik bernama Bu Liang Cu
berhasil menyusup ke dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui!
Memang
itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui.
Pemikatan dengan cara menolong selir itu dari bahaya telah berjalan cukup baik,
akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau muridnya itu berhasil menjatuhkan
hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau sampai berhasil Swi Liang menjadi
kekasih Yang Kui Hui, akan mudah saja melakukan gerakan pemberontakan dari
dalam! Inilah sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita.
Dia rela memberikan kekasihnya ini kepada Yang Kui Hui demi tercapainya
cita-citanya.
Berbeda
dengan kakaknya yang telah mabuk bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa
makin tidak enak tinggal di Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan
hatinya menentang menyaksikan semua perbuatan subonya. Tadinya memang dia rela
menjadi murid subonya karena wanita sakti itu yang menolong dia dan kakaknya,
juga yang telah membunuh Pat-jiu Kai-ong, musuh besar yang telah membunuh ayah
mereka.
Akan tetapi
semenjak menyaksikan betapa subonya itu menguasai Bu-tong-pai dengan kekerasan,
melihat subonya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat para tokoh
Bu-tong-pai mengundurkan diri dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang.
Apa-lagi melihat masuknya anggota-anggota baru Bu-tong-pai yang terdiri dari
orang-orang kasar yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat, dia merasa
penasaran.
Semua itu
masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat
kakaknya menjadi kekasih subonya. Sering-kali secara diam-diam Swi Nio
menasehati kakaknya, bahkan menganjurkan kakaknya untuk bersama dia melarikan
diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak diacuhkan oleh Swi Liang. Swi
Nio menderita batin seorang diri, sering-kali menangis di dalam kamarnya.
Melihat
munculnya Kiam-mo Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah
mendengar dari mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah seorang datuk kaum
sesat yang amat kejam. Namun kenyataannya, subonya menjadi sekutu iblis itu,
bahkan diakui sebagai pemimpin!
Pagi hari
itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tanpa pamit bersama subonya,
dan kemudian melihat subonya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat
menahan kegelisahan hatinya lagi. Dia memberanikan diri memasuki kamar subonya
di mana subonya sedang bercakap-cakap dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan
datang ke Bu-tong-san.
"Subo,
teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi bersama Subo
selama beberapa hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan
kakakku itu?" tanyanya dengan wajah agak pucat karena beberapa malam dia
kurang tidur memikirkan kakaknya.
mengerutkan
alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apa-lagi ketika
Swi Nio terang-terangan berani menolak perintahnya sehingga tugas itu
digantikan oleh Swi Liang. Biar pun pemuda itu berhasil baik, betapa pun juga
The Kwat Lin merasa kehilangan, apa-lagi di waktu malam yang sunyi dan dingin!
"Kau
tidak perlu tahu!" jawabnya membentak.
"Tapi...
Subo, dia adalah kakak teecu...," Swi Nio membantah.
"Hemm,
dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang
sedang bicara!"
Swi Nio
bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan mata terbelalak
dan muka pucat. "Jadi... dia... dia telah menyelundup ke dalam
istana...?"
The Kwat Lin
bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio sambil membentak
marah. "Gara-gara engkaulah! Apa kau kira kalau tidak terpaksa aku suka
membiarkan dia melakukan tugas berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas,
akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang murid yang amat baik, tidak
seperti engkau yang tak mengenal budi!"
Swi Nio
membalikkan tubuhnya, menutupi muka dan menangis sambil mengeluh,
"Liang-koko... ah, Koko...!"
Setelah dara
itu berlari pergi, Kwat Lin lalu duduk kembali. Dengan wajah keruh dia
mengomel, "Murid yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"
Kiam-mo-Cai-li
tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu?
Kalau dibiarkan saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak
akan membahayakan perjuangan kita. Dia harus ditundukkan!"
"Hemm,
maksudmu menggunakan kekerasan?"
"Ah,
aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan,
sampai mati pun dia tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik
bagi kakaknya yang kita butuhkan tenaganya. Dia harus dilawan dengan cara
halus."
"Bagaimana
maksudmu? Membujuknya?"
Kiam-mo Cai-li
menggelengkan kepalanya. "Dibujuk pun takkan berhasil. Akan tetapi sekali
dia telah jadi isteri orang, tentu dia akan menurut segala kehendak
suaminya."
"Ihhh!
Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?"
"Kita
harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat
atau menggunakan pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus
menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku tahu memiliki watak mata
keranjang. Dia tentu akan berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela
memberikan muridmu yang cantik manis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya
yang tercinta dan dapat diandalkan. Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi
selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak banyak membantah lagi!"
The Kwat Lin
mengangguk-angguk. Diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu
memang baik sekali, Cai-li! Akan tetapi... biar pun sudah pasti sekali Pangeran
akan menerima penawaran ini dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi
Nio akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia menolak, lalu
bagaimana?"
Kiam-mo
Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang
tanggung-jawab dia tentu tidak akan menolak...." dia lalu mendekatkan
mulutnya ke telinga The Kwat Lin berbisik-bisik.
Kwat Lin
mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan
taat, tentu aku tidak tega. Akan tetapi... demi suksesnya perjuangan kita, agar
dia tidak menjadi penghalang malah kelak mungkin dapat membantu, biarlah...
kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini."
"Tentu
mudah saja dan tidak akan menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan
itu membuat nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan? Kalau
seorang Pangeran berkunjung ke sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal
itu sudah semestinya! Hi-hi-hik."
"Kau
memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita
berkepandaian tinggi itu sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada
di dalam cawan-cawan perak mereka.
Beberapa
hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datanglah rombongan tamu agung
dari kota raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The
Kwat Lin menolong Yang Kui Hui. Sebelum peristiwa itu, hubungannya dengan pangeran
itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, itu pun berupa pertemuan rahasia yang
diadakan hanya melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah siasat di
hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani
datang secara berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan
bingkisan hadiah yang dikirim oleh Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu.
Tentu saja
keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tong-pai
mengenakan pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah
seperti sambutan terhadap seorang pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu
agung dijamu di ruangan yang lebar dari Bu-tong-pai, dan pesta pora diadakan di
ruangan yang biasa dipergunakan sebagai Lian-bu-thia (ruang belajar silat).
Sambutan resmi dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui
serta menyerahkan pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai.
Malam
harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu
oleh The Kwat Lin di ruangan dalam. Kali ini sang ketua hanya ditemani oleh
Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Sebenarnya dara ini hadir karena setengah
dipaksa oleh subonya untuk menemaninya menjamu pangeran itu. Biar pun di dalam
hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di
dalam hatinya dia ingin sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan
menyangkut pula keadaan kakaknya di kota raja.
Ketika
pengeran ini dipersilakan duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The
Kwat Lin memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa
Bangkai. Setelah itu baru dia memperkenalkan Bu Swi Nio pula sebagai muridnya
yang terkasih.
Pangeran itu
memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata,
"Sungguh beruntung sekali Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok
Toanio ini yang saya yakin tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu
ini... aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya, suasana menjadi makin gembira
dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa berbahagia
sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus
menghaturkan arak penghormatan sebanyak tiga cawan!"
Pangeran itu
tentu saja tadinya sudah diberi-tahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak
menghadiahkan muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat
muda dan cantik jelita itu, hati Sang Pangeran sudah jatuh dan gairahnya sudah
bernyala-nyala.
Wajah Swi
Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar
kata-kata yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti
ini. Hatinya berdebar tegang dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu
saja dia tidak berani. Sambil menunduk dan membisikan kata-kata terima kasih
dia menerima tiga cawan arak berturut-turut. Biar pun dia tidak biasa minum
banyak arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak
membantah.
Melihat ini
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang. Dari seberang meja, The Kwat
Lin mengedipkan sebelah matanya kepada Tang Sin Ong. Sang Pangeran mengerti
akan isyarat ini, maka dia lalu melepas seuntai kalung emas bertaburan permata
yang tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan mengulurkan kedua tangan yang
memegang kalung itu kepada Swi Nio.
"Nona
Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi
karena pada saat ini yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona
menerimanya sebagai tanda penghormatan saya kepada seorang Nona secantik
dewi!" kata Pangeran itu.
Bu Swi Nio
terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subonya. Menurutkan kata hatinya,
ingin dia menolak keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani itu.
Akan tetapi
dia melihat subonya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah
bermurah hati kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima
kasih?"
Bu Swi Nio
merasa terdesak. Dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba... hamba...
tidak berani menerimanya...."
"Swi
Nio...!" The Kwat Lin menegur.
"Bu Swi
Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga
ikut menegur.
Pangeran
Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak
seperti gadis-gadis yang haus akan harta benda. Hal ini malah menonjolkan
kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa! Nona,
biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu."
Berkata
demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalungkan kalung emas itu
melingkari leher Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat menolak
lagi maka kalung yang lebar itu dalam sekejap sudah mengalungi lehernya.
Dengan muka
sebentar pucat sebentar merah Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba
haturkan..."
"Aahhh,
jangan sungkan-sungkan," Pangeran itu tertawa, kedua orang wanita sakti
itu pun tertawa. Secara bergantian mereka kemudian menyuguhkan arak kepada Sang
Pangeran dan juga Bu Swi Nio.
"Muridku,
karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak
tetapi juga menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang
muridku yang tahu aturan dan mengenal budi? Hayo cepat suguhkan tiga cawan
kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!"
Muka Swi Nio
menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini, maka secara terpaksa
dia bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus
jenggotnya. Swi Nio menghampiri pangeran dan menuangkan arak ke cawan Sang
Pangeran dari guci emas.
"Silakan
Paduka minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio
dengan malu-malu.
"Ha-ha-ha,
terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak kau temani.
Hayo untukmu juga secawan!"
Kembali Kwat
Lin dan Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali
minum tiga cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena tidak biasa minum arak,
kini diloloh banyak arak yang diam-diam telah dicampuri bubuk putih yang
dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu, akhirnya Swi
Nio menjadi mabuk. Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan
gigi yang putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang
pandai bicara itu.
"Ha-ha-ha,
setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku!
Hemm, bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu.
Mendengar
ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan
pandang matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa
kata-kata itu tidak pada tempatnya dan dia hanya tersenyum!
"Bu Swi
Nio, muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan
diambilnya sebagai selir yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan terima
kasih, muridku."
Sepasang
mata dara itu terbelalak. "Tidak...! Ah, tidak...!"
Terdengar
suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali... kau gagah perkasa, aku cinta
padamu dan marilah kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi
selirku yang paling tercinta, menjadi pengawal pribadiku...."
"Tidak...!
Ahhh, tidak mau... oughh....!"
Swi Nio yang
tadinya bangkit berdiri serentak itu tiba-tiba terhuyung. Dia kembali
menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu berputar-putar
dan dirinya merasa seperti terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio
merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya
menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara
gurunya.
"Jangan
bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yang terhormat, dan
di kota raja kau dapat bekerja sama dengan kakakmu...."
"Aku
tidak mau... ah, tidak mau...." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah
yang dekat sekali dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah
seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya
lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat
apa-apa-lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di araknya oleh Kiam-mo Cai-li telah
bekerja dengan baik, dia tertidur dan tidak merasa apa-apa-lagi.
Swi Nio
mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam sebuah
perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang
badai, terguling dan dia meronta-ronta hendak melawan gulungan ombak yang
menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret, tenggelam,
gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar
dia timbul, lalu tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran
Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya.
Jauh lewat
tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka matanya.
Mimpi itu teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri. “Untung hanya
mimpi,” pikirnya.
Ketika
membuka mata, dia mendapatkan dirinya telah rebah di atas pembaringannya
sendiri di dalam kamarnya. "Oughhh...!" kepalanya masih pening
sekali.
Dia bangkit
duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian
sama sekali! Dia teringat bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan
Pangeran Tang Sin Ong makan minum. Teringat betapa dia terlalu banyak minum dan
mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya tanpa pakaian? Dia
memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya,
dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas dirinya!
"Keparat...!"
dia bangkit akan tetapi terguling lagi. Selain kepalanya pening sekali,
tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu
bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang
membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang Sin Ong
membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya.
Tiba-tiba
pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk
mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa
dirinya diperkosa Pangeran itu.
"Selamat,
muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan
menjemputmu secara resmi dan membawamu ke kota raja sebagai selirnya
terkasih...."
"Tidak
sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan
tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tangannya dikepal.
"Plak!"
Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena
tamparan tangan gurunya.
"Swi
Nio, apa yang kau ucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau
menerima kalungnya, engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia
bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku
sayang kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi
isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak? Hendak
membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal
budi! Kalau tidak aku rubah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu!
Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran
Tang Sin Ong!" The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting
keras-keras daun pintu kamar.
Swi Nio
menutupi mukanya dan menangis mengguguk, tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia mengenakan
pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan
tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri.
Tentu akan mudah tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan pun tidak mampu,
apa-lagi dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa-lagi hendak
membunuh pangeran itu yang selalu terkawal kuat!
"Ya
Tuhan...!" dia menangis sesenggukan lagi. "Ayah... Koko..., apa yang
harus aku lakukan...?"
Dia sudah
ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak sudi!
Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang
ruwet itu mengambil keputusan. Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang
gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri seperti
wanita-wanita lemah. Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biar
pun tangannya gemetar dan tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut
pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang itu ke lehernya.
"Plakkk!!"
lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya.
Tadinya dia
mengira bahwa subonya yang mencegahnya membunuh diri, maka dia terisak dan
membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh
diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya.
Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan.
"Membunuh
diri bukan perbuatan seorang gagah," bisik laki-laki itu. "Kalau
sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup,
selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!"
Ucapan ini
menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau...?"
"Sssttt...,”
bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh
Jenderal An Lu San. Nona, dari-pada engkau membunuh diri, mari kubantu kau
keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja untuk An-goanswe,
kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah
mendatangkan mala-petaka ini kepadamu."
Seperti
kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan
merupakan jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran
itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat
dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang
racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh
wanita iblis itu, seperti seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa
serigala, Si Pangeran itu! Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya,
perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri?
"Baik,
mari ikut aku...," bisiknya.
Dengan
berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia. Akhirnya,
menjelang pagi mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Bu-tong-pai.
"Haiii...!!"
tiba-tiba terdengar bentakan.
Lima orang
anggota Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi
mereka terheran-heran ketika melihat Swi Nio, memandang kepada gadis itu lalu
kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia bersama murid utama ketua
mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam
rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggota
rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan dilakukan
tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?
Tiba-tiba
terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika.
Mereka hanya mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan
mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat kuat dari mata-mata itu yang
bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu,
Swi Nio tercengang. Dia makin kagum, kiranya mata-mata ini bukan orang biasa.
Andai kata pelarian mereka ketahuan pun, orang ini akan menjadi lawan tangguh,
sungguh pun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau
Kiam-mo Cai-li dan subonya turun tangan.
"Mari
cepat...!" orang laki-laki itu berkata.
Melihat
keadaan Swi Nio yang masih lemas, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menyambar tubuh
gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan
tempat yang berbahaya baginya itu....
***************
Gadis
bernama Liang Cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang kini bekerja di
dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati
selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati
pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat
selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain
di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa
hati orang muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan
Yang Kui Hui.
Di istana
bagian puteri ini tidak ada prianya. Walau pun terlihat sebagai pria, namun
para thaikam yang bertugas di situ sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai
pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar nafsunya karena di
Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu birahi oleh subonya sendiri.
Sebagai seorang pemuda yang baru gila birahi, kini berada ditengah-tengah para
wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat bertahan terlalu lama.
Dia belum
berani melakukan tugasnya untuk memikat Yang Kui Hui karena kesempatannya belum
tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu
saja. Sekali gagal, dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih
lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup! Akan tetapi, Swi Liang menahan
gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik.
Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya, sama sekali tidak boleh gagal
karena taruhannya adalah nyawanya.
Pada suatu
senja belasan hari kemudian, Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu
kaisar akan mengunjungi selirnya yang tercinta. Tempat itu penuh dengan
pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu mengundurkan diri ke
dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para
pelayan utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu.
Selagi duduk
melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai
tugasnya merayu dan memikat hati Yang Kui Hui, tanpa sengaja dia membayangkan
keadaan selir itu sehingga jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir
itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar pakaian, dia dapat
menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggairahkan itu. Pernah
dia membantu pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi. Jari-jari
tangannya menyentuh kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium pula
olehnya bau semerbak harum dari tubuh selir itu. Keharuman yang khas dan
alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan
dengan subonya!
"Enci
Liang Cu! kenapa melamun saja?" seorang gadis cantik berbaju hijau
menegurnya sambil tertawa-tawa, di belakangnya masuk pula seorang gadis cantik
berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua
orang gadis cantik jelita yang genit-genit.
"Ah,
Enci Liang Cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersenda-gurau dengan kami.”
Swi Liang
tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar
jangan terlalu melotot melahap kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku
lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat seperti
ini...," kata Swi Liang.
"Mari
temani kami main thioki (kartu) di kamarku, Enci Liang Cu!" kata Si Baju
Hijau.
"Ya,
marilah, Enci Liang Cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita
berkenalan lebih erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang
berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik tangan Swi Liang.
Tak dapat
lagi Swi Liang menolak karena hal ini akan mendatangkan kecurigaan. Apa-lagi
memang dia sudah rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah
belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis itu tertawa-tawa,
menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau
yang berbau harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah
kamar, di dekat pembaringan. Di sekeliling meja itu terdapat tikar yang
ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat
seguci arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kue kering.
"Duduklah,
Enci Liang Cu. Mari kita main-main. Eh, kau bermalam saja di sini malam ini,
ya?" Si Baju Hijau berkata sambil merangkul.
"Dan
tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang Cu," kata Si Baju
Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan Enci Liang Cu kuat
dan kasar!" kata Si Baju Merah sambil mengelus telapak tangan pemuda itu.
Swi Liang
menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku
seorang gadis yang kasar, mana bisa dibandingkan dengan kalian yang halus
mungil?"
"Hi-hik,
kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi
Liang.
"Kalau
engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang Cu!"
kata Si Baju Hilau.
Dapat
dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan
ini. Cepat-cepat dia mengajak mereka bermain kartu, karena kalau godaan mereka
itu dilanjutkan, tentu dia takkan kuat lagi bertahan! Sudah timbul keinginan
keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang merah
dan lincah itu!
"Eh,
untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak
yang berbau wangi.
"Hi-hik,
bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus
kekalahannya dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau.
Mereka mulai
bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat
lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan
Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak
ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain
sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum arak adalah
kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam
dan akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!
"Ahhh,
hawanya panas sekali...!" kata Si Baju Hijau.
"Bukan
panas, hanya engkau terlalu banyak minum, maka terasa panas," kata Swi
Liang.
"Hemm,
mungkin... aihhh, gerahnya," Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan
mengebut-ngebut dengan kipas.
Swi Liang
menelan ludah. Matanya memandang ke arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam
yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena
pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi
Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis!
"Wah,
Enci Liang Cu jarang kalah, ketika sekarang kalah araknya justru terlanjur
habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut.
"Hi-hik,
kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau.
"Hi-hi-hik,
benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirubah.
Karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju
Merah.
Kedua orang
gadis itu dari kanan-kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan
hidung mereka. Swi Liang memejamkan kedua matanya!
"Eh...
eh..., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan...?" katanya gelagapan.
"Enci
Liang Cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini
dan hanya dapat menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun
merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di antara kita saling
menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu...," kata Si
Baju Merah.
Permainan
dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu birahinya
sendiri. Ketika dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa
dengan hidung ke pipi, melainkan mencium mulut dua orang gadis itu dengan
mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa
diperintah lagi permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan
saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara tiga orang itu!
"Aihh,
Enci Liang Cu... kau hebat sekali...," keluh Si Baju Hijau.
"Enci
Liang Cu... kalau saja engkau seorang pria...," bisik Si Baju Merah.
"Kalian
senang?" Swi Liang berkata, sedikit terengah-engah. "Matikanlah
lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa)
menjadi pria, siapa tahu?"
Sambil
terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga
pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan yang mengasyikkan hati mereka itu.
Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap,
mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi. Tak lama
kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih
menyerupai bisikan kaget bercampur girang.
"Eh...
kau...?"
"Hemm,
diamlah sayang...," terdengar suara Swi Liang.
Selanjutnya
kamar itu sunyi, tidak terdengar suara keras lagi sehingga kalau didengar dari
luar kamar, seolah-olah tiga orang ‘gadis’ itu sedang tidur pulas. Padahal
tentu saja keadaannya jauh dari-pada itu, bahkan sebaliknya.
Menjelang
pagi terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena
semalam tidak tidur rupanya, "Engkau... setiap malam harus menemani
kami... ya, koko yang baik?"
"Harus,
kalau tidak... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria
sejati...," bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam.
Sunyi
mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama
kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti Liang Cu meloncat ke luar dari
dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat!
Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang,
mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh
keringat dan muka pucat. Akan tetapi hatinya lega.
Diam-diam
dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak
dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia
terpaksa membunuh mereka, sungguh pun hal itu dilakukannya dengan perasaan
penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan
tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu,
keadaannya tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah
‘memerasnya’ untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka
rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan
dirinya sendiri.
Lenyapnya
dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian
puteri. Betapa pun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan. Akhirnya Yang
Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena
dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap
agar supaya dijatuhi hukuman berat.
Mengertilah
kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi
gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui. Setiap kali ada
kesempatan, dia membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu,
menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya. Bahkan
pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata
merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan
menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan,
meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu. Jantungnya berdebar
keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali. Dia merasa betapa api
birahi telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya
yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.
"Ehhmmm...,"
Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk
melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum.
"Aihhh, kiranya engkau, Liang Cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhh,
tanganmu kuat sekali. Nah, kau lanjutkanlah, tubuhku memang sedang
pegal-pegal....."
Selir itu
sudah memejamkan matanya, kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda
itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan
pandang matanya melahap wajah yang menengadah itu. Betapa cantik jelitanya,
demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu terurai di
atas bantal, anak rambutnya melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai
ke bawah telinga. Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut,
berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias anak rambut yang
menghitam. Sepasang alis yang hitam sekali, melengkung seperti dilukis,
melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan
bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna kemerahan yang
menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak
bergerak terdorong napas yang keluar masuk. Di bawah hidung itu, sepasang bibir
yang kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir
itu tersenyum. Sebuah lesung pipit menghias di ujung mulut sebelah kiri. Manis
dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu...!
Swi Liang
menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu
agak menggigil. Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini,
maka dia membuka sedikit matanya.
"Ada
apakah Liang Cu? Tanganmu gemetar...," tanyanya.
"Ahhh...
tidak apa-apa, hanya... Paduka demikian cantik jelita... hamba sampai merasa
terharu memandangi Paduka....."
"Aihhh....,
hi-hik, kau aneh, Liang Cu. Coba kau tutup dan kunci pintu kamar itu, dan
beri-tahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini,
hendak beristirahat. Oya, suruh penghubung laporkan kepada Sri Baginda agar
tidak datang ke kamarku. Setelah itu, kau temani aku di sini, pijati tubuhku
sampai aku tidur."
Dengan
jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah itu.
Setelah itu dia menutup dan memalang daun pintu sehingga mereka hanya berdua
saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu. Swi Liang segera berlutut lagi di
depan pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging
gempal, lunak, halus dan hangat itu.
"Nanti
dulu, Liang Cu. Coba kau bantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu
ditutup, kamar ini menjadi agak panas...," kata Yang Kui Hui sambil
bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang.
Swi Liang
tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari
tangan gemetar dia membantu puteri itu membuka pakaian luarnya. Kini Yang Kui
Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga
terbayanglah lekuk lengkung tubuh yang amat menggairahkan. Begitu pakaian
luarnya dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas
panjang. Tercium olehnya bau harum yang memabukan, keharuman yang membuat selir
Kaisar itu terkenal sekali di samping kecantikannya yang sukar dicari
bandingannya.
"Hi-hik...
mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liang Cu?" suara
terkekeh halus dan teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka
matanya.
"Ampunkan
hamba... hamba... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari
langit...."
Selir Kaisar
itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang laki-laki saja!
Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang gila!"
Swi Liang
segera melakukan perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali
memijit betis dan paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apa-lagi
mendengar puteri itu terkekeh kegelian.
"Hi-hi-hik,
kau begitu kuat, jari tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki
membelai...!"
Yang Kui Hui
membalikkan tubuhnya dan kini rebah terlentang. Karena pakaian dalam yang tipis
itu tersingkap, Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi. Cahaya kemerahan dari
lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis
itu seolah-olah telanjang bulat di depannya!
"Nah
kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat, perlahan
saja, Liang Cu."
Dapat
dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi lemah karena
dikuasai nafsu birahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa
disengaja telah menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan
hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani bertindak sembrono. Sambil
menguatkan hatinya dan menundukkan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan
dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu,
dia memijit paha yang gempal itu.
Jari-jari
tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup
sutera tipis. Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa
panas yang menjalar naik ke dada dan kepala melalui lengannya. Makin lama dia
makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani memandang
wajah puteri itu karena takut kalau-kalau Sang Puteri marah.
Betapa pun
nafsu birahi telah menyundul sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah
demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan
langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri. Dia sangat maklum,
bahwa sekali keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan
tugasnya.
"Kau
memang aneh, Liang Cu. Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini
tidak kau perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau seorang gadis yang
aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu
berubah sifatnya, menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang
laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku, tanganmu kuat dan kasar, dan
pandang matamu... hemmm..., engkau seolah-olah hendak menelanku bulat-bulat
setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!"
Swi Liang
terkejut sekali. Sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya
untuk meninggikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan
hamba."
"Ah,
tidak apa-apa, Liang Cu. Engkau sudah berjasa besar, dan... hemm... keadaanmu
yang kejantan-jantanan itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali,
kau seorang wanita dan sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis
kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. Kalau engkau seorang pria sejati,
hi-hik, betapa lucunya... tentu akan lebih menyenangkan hatiku...."
Seketika
terhenti jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu.
Jantung Swi Liang seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Sang Puteri,
kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya
memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring.
Kesempatan
baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka rahasia hatinya! Begitu
menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur
tangan dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang
telah membuat tergila-gila ini dan sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat
hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh subonya!
Tiba-tiba
Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan.
"Hamba... hamba rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia
melakukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka. Akan hamba lakukan dengan
taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...."
“Hi-hik,
Liang Cu. Engkau memang aneh. Betapa pun juga, mana mungkin engkau menjadi
laki-laki sejati?"
"Kalau
Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi
hamba, seperti perintah dari langit."
Yang Kui Hui
menjadi terheran-heran. Dia bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya
tersingkap lebar, tidak hanya pada pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya
sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung.
"Apa....,apa maksudmu, Liang Cu?"
"Hamba
telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka menghendaki,
hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati."
“Ehhh...?!"
mata yang bening indah itu terbelalak. Mulut yang kecil itu ternganga sehingga
bibir merah membasah itu membentuk lingkaran memperlihatkan lidah yang
meruncing merah, dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi
seperti mutiara.
Sinar mata
Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia
dapat berkata, "Benarkah itu? Sungguh aneh dan luar biasa! Coba kau
buktikan omonganmu, Liang Cu. Coba kau pian-hoa menjadi seorang pria!"
Swi Liang
menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata,
"Hamba... hamba... mana berani kurang ajar...?"
"Lakukanlah,
ini merupakan perintah! Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang Kui Hui berkata
penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat
pian-hoa menjadi pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja.
"Kalau
Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu
bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...."
Dia lalu
melepas gelung rambutnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian
dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba telah berubah menjadi
seorang pria," suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen!
Yang Kui Hui
memandang terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang
berubah. Mukamu tanpa bedak dan yanci memang seperti muka pria, akan tetapi
mana buktinya bahwa kau pria?"
Swi Liang
mengerutkan alisnya. "Paduka ingin bukti? Baiklah, maafkan kelancangan
hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga
tanggal kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan
bidang, tidak berbuah, dada seorang laki-laki tulen!
Wajah Yang
Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang
bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi,
tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang pria. Akan tetapi aku belum puas,
Liang Cu. Buka semua pakaianmu!"
Perintah ini
sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biar pun sudah lama dia
menghendaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini, namun sebagai seorang
laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang
bulat seperti itu! Akan tetapi gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya
mengusir semua rasa malu. Dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan
semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan
bahwa dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu.
"Ahhh...
Liang Cu..., ke sinilah kau! Sungguh hebat... tak kusangka sama sekali.
Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!"
Tanpa
diperitah kedua kalinya, karena memang itulah yang diinginkannya selama ini,
Swi Liang lalu naik ke pembaringan dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik
itu. Yang Kui Hui terkekeh genit, lalu menyambutnya dengan peluk cium ganas,
menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang
memagutnya dan membelit-belitnya.
Manusia,
baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun
jembel terlantar, sekali dikuasai nafsu birahi akan menjadi lupa diri dan lupa
segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala
pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan nafsu
birahi yang minta dilampiaskan....
Hebatnya,
makin dipenuhi dorongan nafsu, makin berkobarlah birahi, seperti nyala api,
makin dibiarkan makin membesar dan takkan padam sebelum habis bahan bakarnya!
Hanya manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan gerak-gerik dirinya
lahir mau pun batin, yang takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, yang
takkan dapat dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun.
Hal ini
bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup yang didatangkan
oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang
benar-benar akan dapat menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah
pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak harus dikejar-kejarnya. Dialah
orang yang menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu
dengan kewaspadaan dan mengenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya,
lahir mau pun batinnya, bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan
penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran,
pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka
nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi.
Sebaliknya,
menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu tidak akan ada gunanya.
Boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, namun sewaktu-waktu nafsu
yang masih menguasai diri itu dapat meluap. Bagaikan api dalam sekam,
sewaktu-waktu akan dapat menyala lagi, demikianlah kalau orang menguasai nafsu
dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan.
Dengan
pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya.
Namun dengan pengekangan, api itu hanya membara dan tidak tampak, akan tetapi
sewaktu-waktu dapat menyala lagi, karena yang mengekang nafsu adalah nafsu
juga. Mengekang berarti menggunakan kekerasan menuruti keinginan!
Menjelang
pagi, Yang Kui Hui yang kekenyangan melampiaskan nafsu birahinya, terlena di
pembaringan. Wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas
di sampingnya, lalu wanita cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus
itu bergerak membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali
tangannya dan dia menghela napas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia
dapat berpikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia
membiarkan dirinya terseret oleh nafsu birahi.
Pemuda ini
tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai wanita. Hal ini sudah jelas!
Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini
mengejutkan hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya. Dia adalah selir yang
cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk. Dengan perlahan-lahan dia mengenakan
pakaiannya, agar jangan membangunkan pemuda itu. Matanya tak pernah berpindah
dari wajah Swi Liang. Sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang
mereka lakukan semalam ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai
akhirnya tertidur kelelahan.
Betapa pun
juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah
banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang
memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu Shan! An Lu Shan
barulah boleh disebut seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi
dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya yang
seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan
kejantanan yang amat hebat!
Sedangkan
pemuda ini terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih
berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui
bergidik ngeri. Betapa bodohnya dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya
sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata ini belum
bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya?
Yang Kui Hui
bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil
pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas tumpukan
pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar,
membuka pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan.
Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal
pribadinya, kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para
pengawalnya yang kini telah berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan
baik.
Swi Liang
terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia
teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia rebah dan hidungnya
kembang kempis, masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja
terbangun dari tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar lagi nafsunya,
lenyap semua kelelahan tubuhnya. Dia membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki
kirinya merangkul memeluk. Dia membuka matanya ketika tangan dan kakinya
bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan-kiri,
mencari-cari. Yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu!
Swi Liang
merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam hatinya.
“Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini?” pikirnya.
Karena
khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaannya,
bergegas dia menyambar dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita
penyamarannya. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui,
menggunakan bedak dan yanci untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi
muka pria aslinya sedangkan sisa-sisa bedak di mukanya telah terhapus sama
sekali oleh ciuman-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan
betapa heran dan terkejut hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya
tidak berada di dalam kamar itu!
Akan tetapi
dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang Kui Hui sengaja
hendak main-main dengan dia! Tak mungkin wanita itu melakukan hal yang
bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam!
Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan
kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia
lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu.
Sunyi di
luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang
pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi.
Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan suara biasa lalu menanyakan di mana
adanya majikan mereka yang cantik itu.
"Beliau
tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi
menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana."
Mendengar
kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak
salah dugaannya. Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang
angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta kepadanya sehingga kini selir itu ingin
melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar jangan
sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain!
"Ha-ha-ha,
kau cerdik sekali, manis," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk
kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!"
Sambil
tersenyum-senyum Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas
itu. Dia membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di
dalam pondok taman. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi. Memang
biasanya pun taman itu hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari
naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan tidak
tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan
taman.
Ketika
melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat
dua orang pelayan wanita, Swi Liang menggerakkan pundaknya untuk menenteramkan
hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya. Dan untuk menekan
perasaannya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tak dikenal
orang lain kecuali dia itu.
Dia kini
sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata
dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang
cantik jelita, bidadari dari sorga. Manis, bukalah pintu, aku sudah amat rindu
kepadamu...!"
Daun pintu
pondok merah itu terbuka dari dalam dan... Swi Liang meloncat ke belakang
sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu
keluar dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan!
"Menyerahlah engkau, Liang Cu. Kami mendapat perintah untuk
menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren.
Seketika
pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba pinggang, hanya untuk
diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa...
apa... dosaku..?" dia bertanya gagap. Saking bingungnya dia lupa
menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya.
Dua puluh
lebih pengawal itu tertawa dan sang komandan membentak, "Lekas berlutut
dan menyerah!"Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia
tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah membuka rahasianya. Sampai
saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah
mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia
akan celaka.
"Mampuslah!"
bentaknya sambil menerjang ke depan.
Swi Liang
menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri
menghantam pengawal ke dua yang berdiri di dekatnya. Komandan itu memiliki
kepandaian silat yang cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biar pun dia
menjadi terhuyung-huyung. Akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan
kiri Swi Liang mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah
darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat.
Segera Swi
Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata-rata
memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Karena mereka semua bersenjata, repot
jugalah Swi Liang yang harus membela diri dengan tangan kosong!
"Jangan
bunuh dia! Kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan
berteriak.
Swi Liang
mengamuk sekuatnya. Namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan
tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan
setengah pingsan dia diseret ke dalam kamar tahanan. Sementara itu, Yang Kui
Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu menolongnya
itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja
menyelundup.
Mendengar
ini, Kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui
keadaannya. Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi
Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa
macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik
sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan
kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua
itu, hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa
sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia merasa
yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran
seseorang yang tentu saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang
pahlawan atau ‘tempat baik’ di alam baka! Betapapun juga, lepas dari-pada tepat
tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang
bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan
berani dan gagah.
Tidaklah
demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subo-nya yang
juga menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan
tinggi jika cita-cita subo-nya terlaksana. Kalau putera subo-nya sampai bisa
menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subo-nya, dia tentu setidaknya akan
menjadi seorang menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang,
maka begitu gagal patahlah semangatnya.
Begitu dia
disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan
subo-nya, The Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi ketua Bu-tong-pai dan
yang bersekutu dengan Pangeran Tang Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati
Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan
ini tentu saja menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa
hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal
kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak
memberontak.
Kaisar lalu
mengirim pasukan untuk menangkap ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah
riwayat hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san Lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa
itu. Memang patut disayangkan karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah
seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya sejak
kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Memang keadaan sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Tapi hal ini
tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke
jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang. Sebetulnya, yang bersalah adalah
dirinya sendiri!
Orang yang
mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga
berada di dalam lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku
sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin terseret atau ternoda. Seperti
emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih!
Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan
mudah lupa diri karena terlalu menonjolkan ‘akunya’. Si Aku ini memang selalu
ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi
segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang
penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan
lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.
Hari itu di
Bu-tong-san telah tiba pasukan yang kuat dan dipimpin seorang perwira tinggi
yang membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri. Namun mereka terlambat.
The Kwat Lin, ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu telah
melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya.
Tentu saja
hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka rahasia
pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah
gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan
bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan pemerintah menyerang
Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu.
Maka diam-diam dia lalu meloloskan diri dari Bu-tong-san. Bersama anak buahnya
yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua
dari komplotan ini.
Seperti di
ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah
ditaklukkannya sehingga menjadi sekutunya. Tempat tinggal datuk wanita ini,
Rawa Bangkai di kaki pengunungan Luliang-san, kemudian menjadi markas ke dua.
Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat Lin lalu
melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah rahasia dan berbahaya itu.
Pelarian
dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang
memperoleh kesempatan untuk menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga
dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya.
"Aku
hanya merasa kecewa sekali mengenangkan murid-muridku," kata The Kwat Lin
dengan suara gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang
mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi
Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai
suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia
Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun dihukum mati? Dengan matinya
Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin menghela napas
panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas.
"Aihhh,
seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali
putus asa?" Liok Si mencela.
"Hem,
Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi ketua Bu-tong-pai
setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan
itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Cita-cita kita kandas setengah jalan.
Betapa pun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan
laksa banyaknya, kita dapat berbuat apa?"
Kiam-mo
Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki
cita-cita yang besar sekali. "The-pangcu... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian
seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah sekali."
"Hemm,
mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan
selalu menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas
ratu. Oleh karena itu cita-citaku hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat
tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah
keturunannya."
Kiam-mo
Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya... sudah sepatutnya..., dan
aku bersedia membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku."
The Kwat Lin
memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li,
kita bukan anak-anak kecil lagi. Kita sama-sama wanita dan kita saling
mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah
engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan
kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup-semati?"
Kiam-mo
Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang
wanita yang selain berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita
tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan muridmu. Masih
ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita."
"Bagaimana?"
"Bersekutu
dengan An Lu Shan!"
The Kwat Lin
memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu
tersenyum dan diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya
sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih
cantik.
Kata-kata
Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya.
Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat
bersekutu dengan Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam
dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa iri hati kepada An Lu Shan yang
disuka oleh Kaisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya
ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan!
"Cai-li,
apa maksudmu?" tanyanya. Suaranya membentak dan matanya memandang tajam
menyelidik.
"Aih,
The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik
pandai jaman dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih
kawan? Demi tercapainya cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan
berbalik menjadi kawan!"
Berseri
wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum. "Kau benar, Cai-li. Kau benar
dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"
"Jangan
khawatir. Aku sudah lama mengenal baik panglima kasar itu. Di balik semua
langkahnya menjilat Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan
Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai,
tentu saja dia akan menerima kita dengan tangan terbuka."
The Kwat Lin
berdebar-debar dan menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan
tangannya. Tampaknya wanita ini ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana kita
dapat mengadakan hubungan?"
"Aku
akan menyuruh anak buahku. Harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada
An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya...."
Wanita
cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan tangan kepada
An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan
halus The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik
dari-pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li
Liok Si.
Sebulan
kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini terdiri
dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa
dan tangkas.
Rawa ini
amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya,
hanya merupakan genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu
tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan kecil sehingga kadang-kadang tidak
nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan inilah
yang berbahaya sekali. Manusia mau pun binatang yang berani mendekati rawa dan
salah injak, mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam
air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, akan
disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi.
Air
berlumpur itu dalam sekali. Karena amat lembek, maka seolah-olah menyedot kaki,
padahal kaki orang atau binatang itu yang terus tenggelam secara
perlahan-lahan. Lumpur di rawa ini memang mempunyai daya lekat sehingga kaki
seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik kembali ke atas. Selain
bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di situ
terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara
rumput-rumput dan tetumbuhan lain. Karena sering-kali terdapat bangkai-bangkai
binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga
bahkan kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan
lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Jauh dari
rawa, tampak di tengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat
bangunan-bangunan yang tampak dari jauh. Namun tidak ada orang dari luar rawa
yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini. Selain jalan menuju ke situ
harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan
itu adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo
Cai-li.
Karena
Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu
rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah
untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk menentang iblis
betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan tenteram di
kaki pegunungan Lu-liang-san itu, dan tempat ini menjadi tempat pesembunyian
yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.
Kita kembali
kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara
mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang
lagi adalah laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan
bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling
banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang
matanya mengandung sinar keras.
Wanita itu
bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah
penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa
oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga
orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?
***************
Malam itu,
setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabuk dan tidak
sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang. Akan tetapi dia dicegah oleh
laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat
diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk
membalas sakit hati. Maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi
petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi
Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai.
Kedua orang
ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai matahari naik
tinggi. Ketika tiba di kaki pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti
mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan
lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia
menangis mengguguk.
Laki-laki
itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya
mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam
keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu
kecuali tangis dan air mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi
Nio, dia berkata, "Nona, seperti aku katakan pagi tadi, tidak perlulah hal
yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting,
kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan
kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan
melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada
orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata
yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang
pucat dan basah. Mereka berdua saling pandang sejenak, keduanya baru melihat
nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati
Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan
tertarik.
"Kau
siapakah?" akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah
kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal
An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah
mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi
Liang engkau adalah murid dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku pun telah
mengetahui akan nasibmu semalam...."
"Ahhh...!
Si Jahanam Tang Sin Ong...!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa,
aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas
semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" gadis itu
mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan.
"Nah,
itu baru gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang
Pangeran, apa-lagi dia sahabat baik gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya,
marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya
sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam."
"Kau...
kau seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"
Toan Ki
menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan prajurit. Aku orang luar yang
telah menggabungkan diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk
menyelidiki Bu-tong-pai. Aku disuruh menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh
Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat
cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun
dia harus tahu segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar mau pun
pemberontak lain. Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan
Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil
penyelidikanku kepada An-goanswe. Kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau
tentu akan diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang lumayan di samping
dendammu kepada Tang Sin Ong."
"Aku...
aku tidak suka menjadi pemberontak."
"Hemm,
apakah kau kira aku suka menjadi pemberontak, Nona? Tidak! Aku membantu An Lu
Shan bukan karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit
hati terhadap pemerintah."
"Eh?"
Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang gagah itu. "Mengapa?"
"Hampir
sama nasib kita, Nona, hanya berbeda jalannya saja. Ketahuilah, dahulu aku
adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan
politik dan pemberontakan, bahkan condong untuk setia kepada pemerintah. Akan
tetapi pada suatu hari terjadilah hal yang amat hebat... yang merubah seluruh
jalan hidupku...."
Swi Nio
teringat akan nasibnya sendiri. Dia mendekat lalu berkata, "Liem-twako,
kau ceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan
riwayatnya secara singkat.
Dia tinggal
di kota Ma-kiu-bun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho.
Hidupnya tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga
bulan. Dengan membuka toko obat dan mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan.
Namun isterinya merasa kecewa karena setelah tiga bulan menikah, belum juga ada
tanda-tanda mengandung. Maka Toan Ki mengijinkan isterinya untuk bersembahyang
ke kelenteng untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan
secepatnya.
Akan tetapi
mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja, setelah
pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan
payah, mukanya pucat dan basah air mata. Sambil menangis sesenggukan isterinya
lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan berlutut di depan kakinya sambil
menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan di
kelenteng itu terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur dengan para
hwesio. Melihat dia, putera bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng
dan memperkosanya!
Setelah
mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil
menangis sesenggukan. Hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia termangu-mangu
seperti patung saking marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga
dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat dia mengejar, dan melihat pintu
kamar isterinya dipalang dari dalam, ia lalu menendang pecah daun pintu! Dia
berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya?
"Isteriku
telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri,
menusuk dadanya hampir tembus!" dia mengakhiri ceritanya sambil menutupkan
kedua tangan di depan mukanya.
"Ohhh...!!"
Swi Nio menjadi pucat sekali. Dia menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh
perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus
dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!"
Toan Ki
menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling
berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya
ada kecocokan di antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan
tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan membantumu kelak kalau
saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri
sudah kubalas impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh
bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena itu aku menjadi buronan dan aku
terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia
membutuhkan bantuan kepandaianku."
"Ahhh,
engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku
merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah, aku akan
ikut bersamamu menghadap Jenderal An Lu Shan."
Demikianlah,
Swi Nio ikut bersama Toan Ki. Benar saja seperti dikatakan laki-laki gagah itu,
dia diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah, bukan prajurit
yang menjadi pembantu-pembantu An Lu Shan.
Persahabatan
Bu Swi Nio dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh
benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan
Ki kehilangan isterinya yang dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi
Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang pangeran. Akhirnya
keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa
dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah
terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang
saling mencinta, apa-lagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan
yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat
dibutuhkan bantuannya.
Pada suatu
hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio bersama tiga orang tokoh
lain yang merupakan orang-orang berkepandaian tinggi di antara para pembantu An
Lu Shan.
Yang seorang
bernama Tan Goan Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara
sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya Tan Goan Kok ini biar pun
usianya sudah lima puluh tahun lebih, tapi dapat menggunakan kekuatan otot
tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau bunting. Di samping tenaganya yang
besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya.
Kakek kedua
adalah Pat-jiu Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang
berusia enam puluh tahun. Pakaiannya penuh tambalan biar pun bersih dan baru
dan selalu memegang sebatang tongkat butut. Semua orang bahkan termasuk An Lu
Shan sendiri menyebutnya Pangcu (Ketua), padahal kakek jembel ini hanyalah
seorang ketua yang tidak mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin
suatu perkumpulan pengemis, namun nama besarnya sedemikian terkenal sehingga
setiap orang pengemis di mana pun juga akan selalu menyebutnya Pangcu! Sampai
ketua para perkumpulan pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat
tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam
perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan.
Orang ke
tiga berusia lima puluh tahun lebih dan berpakaian tosu. Dia memang seorang
penganut Agama To, seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda
dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal,
namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu
bahkan mampu menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai!
Setelah Liem
Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang
memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The
Kwat Lin, bekas ketua Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang
Kaisar.
"Aku sengaja
mengutus Ngo-wi (kalian berlima) untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi
ini, apakah benar-benar dia hendak bersekutu? Bu Swi Nio adalah muridnya, maka
aku mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak
bersekutu, tentu dia tidak akan marah kepada muridnya yang telah melarikan diri
dan menjadi pembantuku. Kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan
Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang
hendak bersekutu, di samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam
bahaya."
***************
Demikianlah
maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di
tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang
tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh, kemudian memandang
permukaan rawa dengan wajah membayangkan kengerian. Sudah banyak mereka
mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu.
"Saya
hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi
Nio menerangkan ketika dia ditanya oleh teman-temannya. "Ketika itu kami
mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat ini ke pulau
itu. Setiap lompatannya membawanya ke tanah keras dan aman. Akan tetapi tentu
saja aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke kanan kiri,
kadang-kadang membalik lagi."
"Hemmm,
tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata
Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.
"Menurut
Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di
sepanjang jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami
meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya merasa ngeri, akan tetapi
ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki. Sedangkan tanah yang kelihatan
kering di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya
sekali. Ketika pulang ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak
akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak
dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu."
"Bagaimana
kalau kita menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu,
setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita
berempat mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu
sehingga andai kata kau salah jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu
dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitu
pun boleh. Aku akan coba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang
memegang ujung tali, Koko, karena aku ngeri!"
"Ah,
aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" tiba-tiba Tan Goan Kok
berkata dengan suaranya yang parau dan nyaring.
"Akan
tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula,
kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andai
kata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi."
"Bukan
tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka,
tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan
rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih
gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan maling."
Bu Swi Nio
mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa
sambil mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi
pulau di tengah rawa itu sebagai tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena
kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi
Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka
memandang rendah saja. Akan tetapi, betapa pun banyak pengalaman mereka dan
betapa pun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi
kesukaran seperti sekarang ini.
Siok Tojin
yang sejak tadi tidak ikut bicara, akhirnya mengeluarkan suara mengomel, kemudian
berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan
akal mencari ikan di rawa-rawa seperti ini!"
Empat orang
kawannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan.
"Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok
bertanya.
"Mereka
menggunakan bambu-bambu sebagai perahu."
"Ahh,
mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di
tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput,"
bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang ke rawa dengan alis berkerut.
"Kita
jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing
menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok
Tojin singkat, akan tetapi maksudnya sudah dapat ditangkap oleh teman-temannya.
"Bagus
sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui
apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang.
"Hemm,
kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan
ginkang dan sinkang. Kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin
berbahaya bila kemudian tertawan pula. Betapa pun juga, akal itu baik sekali.
Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang
bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya.
Tak lama
kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal
sukar dilalui orang itu. Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu terbang
meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat barulah
tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya
telah diperuncing dan mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang
mereka injak itu meluncur ke tengah.
Orang yang
tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk menyebrang
menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak kaki itu tentu saja
amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat
terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah-olah
melekat pada batang bambu sehingga tidak dapat berputar lagi, dan dengan
ginkang mereka dapat memperingan tubuh mereka sehingga bambu yang mereka injak
itu meluncur cepat ke tengah rawa.
Mereka
adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah
tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat
lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The
Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari berbagai tempat persembunyian,
banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu
meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu
menggunakan sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan
kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain yang menghadang di tengah
perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan
kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu.
Kedua orang
wanita sakti ini segera berunding sambil menanti kedatangan mereka. Melihat
bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah sekali.
"Keparat,"
desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"
"Ahhh,
The-lihiap, mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang
dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk
memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu
Shan," kata Kiam-mo Cai-li.
The Kwat Lin
tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus
di kesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk
putranya itu akan dapat terlaksana. Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li
berunding bagaimana cara untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu
Shan di mana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu
memberi nasehat-nasehat sehingga keduanya dapat mengatur siasat.
Biar pun
penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak ular
berbisa, saling bantu-membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak
halangan, akhirnya lima orang itu berhasil juga melompat ke atas pulau di mana
telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut mereka. Melihat dua
puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai
segera tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An
Goan-swe!" kata Pat-jiu Mo-kai.
Seorang di
antara anggota pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit,
melangkah maju dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena
kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang berkunjung, maka kami tidak
mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan
kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silakan Cuwi semua ikut
dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)."
Diam-diam
lima orang itu terkejut juga sungguh pun mereka tahu siapa yang dimaksudkan
dengan sebutan ratu itu. Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang
wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi
karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap
melainkan mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau, di mana terdapat
bangunan- bangunan yang kuat dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu
diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The
Kwat Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas.
Muka Swi Nio
agak pucat dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan
genggaman seolah-olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu
saja Swi Nio merasa takut karena dia sudah mengenal watak subo-nya yang keras
dan kejam, juga maklum betapa lihainya subo-nya itu. Dia tahu bahwa andai kata
subo-nya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.
"Ibu,
itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong
berkata sambil menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio.
Swi Nio
tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Dia maju menjatuhkan diri berlutut
sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."
The Kwat Lin
memandang tajam sejenak, lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia
cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang laki laki yang
datang bersama Swi Nio itu bersikap siap siaga. Kalau dia menurutkan hati
panas, lalu turun tangan mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An
Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati-matian. Hal ini sama sekali tidak
diharapkannya dan sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li.
Maka The
Kwat Lin menekan perasaannya dan berkata, "Bangkitlah, engkau pergi dan
menjadi kepercayaan An-goanswe, tidak terlalu mengecewakan."
Lega bukan
main hati Swi Nio. Dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute
engkau baik baik saja, bukan?"
Han Bu Ong
yang biar pun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu
mencibirkan bibirnya. Ia mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata,
"Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu sampai lari
ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!"
"Bu
Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi
Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?"
Swi Nio
mengangguk. Air matanya yang bercucuran segera diusapnya. "Teecu sudah
mendengar akan hal itu, Subo."
"Kalau
begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua
urusan lama, Swi Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya
engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An-goanswe, ya?"
Swi Nio
cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi
pembantu dan penunjuk jalan saja bersama... dia ini...." Swi Nio menunjuk
kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah.
"Siapa
dia?" The Kwat Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki.
Toan Ki
cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...."
"Aku
bukan ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!" jawab Kwat
Lin ketus.
"Maaf,
saya bernama Liem Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya."
"Ibu,
dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa
minggat Suci!" tiba-tiba Bu Ong berkata.
Toan Ki
diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia terkejut sekali.
"Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An-goanswe menyelidiki
Bu-tong-pai dan kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon
istri saya."
The Kwat Lin
mengerutkan alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas
ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio. Akan tetapi diam-diam dia menerima
isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
"Benarkah kau menjadi calon isterinya?"
Muka Swi Nio
menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi
teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya
terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An-goanswe."
"Hemm,
sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi
utusan An-goanswe menghadap padaku?"
"Mereka
inilah," Swi Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. “Dia adalah
Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiong itu adalah Tan
Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An-goanswe.”
The Kwat Lin
memandang tajam kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka
dengan matanya.
Pat-jiu
Mo-kai adalah orang tertua di antara ketiga utusan An-goanswe. Selain itu dia
juga memiliki kemampuan bicara yang lebih pandai bila dibandingkan dengan Tan
Goan Kok yang kasar dan jujur, apa-lagi terhadap Siok Tojin yang jarang sekali
membuka mulut. Tak heran An Lu Shan menunjuknya sebagai pemimpin rombongan ini
sekaligus juga sebagai juru bicara.
Melihat
pandangan tajam The Kwat Lin, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa. "Ha-ha-ha,
kami bertiga pun hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An-goanswe, akan
tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi utusan beliau menghadap Toanio
The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan ketua Bu-tong-pai,
juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai
seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat
dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini."
Kiam-mo
Cai-li Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata,
"Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami
kepada An-goanswe?"
"Dugaan
Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An-goanswe untuk menghadap dan
bicara dengan Jiwi. An-goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An-goanswe
mengutus kami untuk bicara."
"Lalu
bagaimana keputusan An-goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?"
The Kwat Lin bertanya.
"An-goanswe
merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An-goanswe menerima
dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An-goanswe
merasa kagum, terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil baik
sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang menjadi kepercayaan Yang Kui
Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan
karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu birahinya. Kami diutus
oleh An-goanswe untuk menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari
dalam, yaitu berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di dalam kota raja, dan kalau
mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila
saatnya yang tepat tiba, maka An-goanswe akan berterima kasih sekali."
Mendengar
pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang
wanita itu menjadi girang sekali sungguh pun kegirangan itu tidak terbaca di
wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri
dan tentu saja hanya akan membantu dari dalam seperti yang diusulkan
An-goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita rencanakan
siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin berkata.
"Sebelum
kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan kepada An-goanswe,
terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan beliau untuk Jiwi. Selain
usul itu juga An-goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu
merupakan pekerjaan yang amat rumit, sulit, dan berbahaya. Hanya orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat berhasil
dan An-goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan
gagal."
Mendengar
kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan
hatinya menjadi panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian hendak
menguji kepandaian kami?"
Sambil
tertawa Kiam-mo Cai-li yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan
meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil berkata, "Memang sudah
seharusnya demikian! An-goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik
pandai, tentu akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah
aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima
yang hendak menguji?" dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri
dan memandang ke arah lima orang utusan itu.
Tentu saja
Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan
kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu, mengerti bahwa dia
bukanlah tandingannya.
Melihat
wanita yang usianya lima puluh tahun namun masih cantik menarik itu memegang
sebatang payung dan berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang
sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi
terutama ilmu pedangnya. Di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua yang
terpandai.
"Biarlah
pinto yang akan menguji," katanya.
Pat-jiu
Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang
wanita itu adalah mereka bertiga. Dia sudah mendengar bahwa kepandaian bekas
Ratu Pulau Es itu lebih hebat dari-pada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang
sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam-mo Cai-li, sedangkan dia nanti
yang akan menghadapi The Kwat Lin.
Kiam-mo
Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia
berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah
patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan
An-goanswe. Akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan
totiang dalam sepuluh jurus. Kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu
mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan
diri!"
Ucapan ini
mengejutkan semua utusan itu. Biar pun mereka sudah lama mendengar nama besar
datuk wanita yang merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang
sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu
berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus?
Namun The
Kwat Lin tenang-tenang saja. Dengan pandang matanya yang tajam dia dapat
menilai orang. Juga Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara ngawur,
melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari gerakannya, maka
dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus.
No comments:
Post a Comment