Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 10
Namun hanya
segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian, karena di lain
saat, segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa
seakan-akan terpukul sebatang toya yang terbuat dari pada baja. Pinggangnya
sakit dan ia terpelanting roboh.
“Kau kejam!”
Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu
Siang. Namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu
Hwee terjungkal di dekat Bu Sin.
“Hi-hi-hik,
bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar
menjadi dewa-dewi di kahyangan!”
Akan tetapi
pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah
menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin
keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di
depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus!
Kau hebat sekali, anakku!”
“Ibu,” kata
Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya
serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan
membunuhi orang.”
“Ha-ha-hi-hi-hik!
Paman Liu Mo, kau dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu
tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku
ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini
biarlah menjadi perdana menteri anakku!”
Hebat ucapan
ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang dan
gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para
anggota Beng-kauw memandang bingung. Mereka merasa serba susah. Betapa pun
juga, wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan,
pendiri dan tokoh utama Beng-kauw.
"Ibu,
tidak boleh kau bilang begitu...!” Suling Emas berseru dengan suara penuh
kesedihan.
“Eh, apa kau
bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening
tajam.
Ketika
bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka.
Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat
bening dan indah, bukanlah sinar mata manusia yang sehat jiwanya!
“Ibu, harap
kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku... aku tidak mau menjadi
kaisar. Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan
tepat....”
“Apa? Jangan
kau ikut-ikut! Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat
gerakan mengancam, seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya
yang masih kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir
dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh
tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang
mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan
kedua matanya.
Bu Sin tidak
berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama
Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut
pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu
datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di tangan
wanita iblis itu.
Kini semua
mata memandang ke tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan
pecut di tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa,
namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan
kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata,
suaranya lantang berpengaruh.
“Liu Lu
Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa
perlunya dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita
bereskan urusan pribadi kita!”
Liu Lu Sian
memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti
dahulu senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia
betapa dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis
cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong!
“Hi-hik, kau
Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang
kepadamu. Memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi
pengurus utama di Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini
harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok,
kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai
pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem
seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan
menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”
“Lu Sian!”
Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara.
“Tar-tar-tar!”
Sesaat ia
tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata,
“Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun
kepada Suheng, kepada Beng-kauwcu kita. Kalau tidak, aku sebagai paman gurumu
terpaksa akan memberi hajaran kepadamu.”
Sejenak Liu
Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahnya
menjadi muram dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak
menghalangi niatku, terpaksa akan kubunuh.”
“Aaahhhhh...!”
Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut
dan sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah
kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi,
bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon ampun, hari ini
siauwte terpaksa melawan puterimu!”
Setelah
berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan
tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi
sambil tersenyum-senyum.
Suasana
menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling
tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran
ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu
kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin ia
membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat.
Saking bingungnya, ia hanya berdiri dengan muka pucat.
“Liu Lu
Sian, biar pun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang
kuhormati, akan tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan
dan perkumpulan agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di
hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti
akan membenarkan sikapku ini.”
“Orang tua
keras kepala! Kau kira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah
Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”
“Kalah
menang bukan soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan
taruhan nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di
depan dada.
Liu Lu Sian
tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali
pengaruhnya. Kalau saja Kam Bian Cinjin yang ‘diserang’ suara ini bukan tokoh
besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian
Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga terdengar angin bersuitan
yang melawan pengaruh suara lengking itu.
“Serahkan
nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang
cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung
tubuh Kauw Bian Cinjin.
Kakek ini
kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat
hebat. Lebih hebat dari pada pertempuran-pertempuran tadi karena sekarang yang
bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw. Betapa pun juga, masing-masing
sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat menandinginya. Ilmu cambuk di
tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mudanya ia mendapat
julukan Cambuk Halilintar. Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat
orang yang kurang tinggi kepandaiannya menjadi ngeri dan jeri. Cambuk itu
berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan
meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyambar-nyambar. Hebatnya,
tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan!
Betapa pun
juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu
kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari
ilmu cambuk ini. Apa lagi sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara
hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab
pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam
ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan
penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan ‘ilmu cambuk’ yang mukjijat
karena rambut itu dapat dipakai menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak
secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.
Kauw Bian
Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu
Sian dalam menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak
tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri
suheng-nya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum
tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi ia menjadi nekat untuk membela
Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau oleh Liu Lu Sian. Apa lagi kalau
diingat bahwa suheng-nya, Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya
dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena
kalau ia biarkan dan suheng-nya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian,
tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti
orang yang tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.
Setelah
saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar
lengking tinggi dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian
Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi. Tadi semua mata menjadi
kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat. Setelah kini keduanya tidak
bergerak, semua mata dapat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian
Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu
Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan
kanan, pundak dan leher kakek Bengkauw itu.
“Kauw Bian
Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah
dan menjadi pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.
“Liu Lu
Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau
menjadi murid keponakanku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku...,”
jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.
“Tua bangka
keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu
dihajar...!” Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat
tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan
kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak
tangan merah!
“Liu Lu
Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!”
Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Hemmm,
Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang
merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw
Bian Cinjin kepadamu!”
Wajah Liu Mo
tetap terang dan bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali
tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu,
karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu
yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta
ijin ayahmu lebih dulu!” berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Kalau aku
sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”
“Tentu saja,
kalau Suheng mengijinkan!”
Ucapan ini
tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang
mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati
ayahnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para
tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua
merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian
seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu
Sian tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat
dinilai betapa kasar dan berandalannya watak wanita itu.
“Ayah, aku
minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita
Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan
terdengar semua orang yang hadir.
Suasana
menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak
seorang pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk
menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah
demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian
sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan ‘dicopot’ dan diganti
begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan
Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti
Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih patut disebut Tok-kui-bo
(Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena
tadi wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan
dengan ilmu kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan
bahaya besar.
Tiba-tiba
kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi
pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak
meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan... sesosok tubuh yang
tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi
besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai
muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari
pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang
seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.
“Tiga tahun
aku menanti datangnya saat ini... Lu Sian... aku dapat menduga akan hal ini
setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat... hanya
aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak
penderitaan ini...!”
Sejenak Liu
Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan
tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang
terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang.
Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti
terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mukjijat
Coan-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.
“Tidak,
Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin mengembangkan
Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut
Beng-kauw semua!”
“Bodoh!
Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para
penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”
“Ayah,
kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”
Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa,
suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih
separuh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa
bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka
roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak
roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sinkang dan
tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.
“Kau hendak
memaksa, Ayah? Aku melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan,
melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena
maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat,
maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan
ayahnya yang disangkanya telah mati itu.
Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke
depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot
keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara....
“Uhhhhh!”
dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.
Akan tetapi
dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh
ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut
meja sembahyang. Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan masih saling
menempel, akan tetapi ketika Beng-kauwcu Liu Mo dan yang lain-lain mendekati,
mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus
napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak
puterinya bersama-sama meninggalkan dunia.
Sebetulnya
hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suheng-nya itu tiga tahun yang lalu belum
mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena
sesungguhnya, suheng-nya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti
munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya
yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti
akan menggegerkan dunia.
Suling Emas
sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi
hatinya lega. Ia pikir lebih baik begini dari pada melihat ibunya hidup membuat
kekacauan di dunia. Liu Hwee juga berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw
Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah
diangkut ke dalam untuk dirawat. Para anggota Beng-kauw nampak berkabung dan
berduka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara
mereka berani bersuara.
Beng-kauwcu
Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apa lagi
mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman kembali. “Cu-wi sekalian yang
terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja
ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka
kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan
keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw. Kami sebagai ketua
Beng-kauw di sini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud
memaksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud
untuk mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian,
mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian
kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih
serta permintaan maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”
Maka
bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar
dari kota raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan
peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa
mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa, ketegangan yang
mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka
saksikan lagi.
Suling Emas
ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui.
Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara
sedih. “Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang telah mengacau
Beng-kauw.”
Liu Mo
menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak
apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya.
Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam
Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang
mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji
(Anak Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh.
Aku serahkan urusan ini kepadamu.”
Suling Emas
mengangguk-angguk, “Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul
Hek-giam-lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”
Setelah
berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin dan Sian Eng, pergi
dari Nan-cao untuk mencari dan menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas
kembali tongkat Beng-kauw dan untuk mewakili Ibunya menghadapi lima orang
Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan yang sederhana, akan tetapi
mendatangkan kedukaan dan kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang
mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa.
Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.
***************
Mari kita
ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat
Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah
bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah
dibantu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan
Cui-beng-kui yang sakti.
Sebagaimana
telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang
secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat
orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan
gerakan ilmu barisan yang mereka sebut ‘mengacau atau mengail ikan’, berhasil
membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat
membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu
merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua
belas orang saja telah berhasil ‘mencuri’ Lin Lin dari depan banyak orang.
Lin Lin
sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara
sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas. Hanya ketika melihat orang-orang
Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuat Lin Lin pening dan entah
bagaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh
meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!
Rombongan
orang Khitan itu tiada henti-hentinya berlari. Menjelang senja mereka baru
berhenti, saat telah tiba jauh di daerah perbatasan kota raja. Lin Lin
terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut
berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.
“He, kalian
ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke kota raja Nan-cao. Aku harus
bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”
Seorang di
antara dua belas prajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di
depan Lin Lin lalu berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil
menyelamatkan Paduka dari bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau
Paduka kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”
“Huh, tidak
gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia
membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”
“Tuan
puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang
Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas
orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya
Paduka bicara dengan beliau....”
“Siapa
Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.
“Paduka
sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat...”
“Ohhh, kau
maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui!
Mana dia? Suruh dia ke sini!” Lin Lin membentak-bentak mereka dengan sikap yang
agung seakan-akan memang semenjak kecil dia sudah biasa memerintah orang-orang
Khitan.
“Hek-lo-ciangkun
sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah
bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”
Lin Lin
menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”
Maka
berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan
berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh
yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah
mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walau pun baru saja
kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi
dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara
lantang dan gagah!
Mula-mula
Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia
merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa
dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur
langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang,
beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka!
Kata-katanya asing baginya, namun dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa
dapat mengerti maksud kata-katanya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini
sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian
mereka makin keras dan makin bersemangat.
Tak lama
kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang,
sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari
sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk,
agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi
suara yang aneh seperti suara binatang, tidak keras akan tetapi suara itu
membawa getaran yang kuat.
Sepuluh
menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah
perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang
berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!
Sebentar
kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh
dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah
berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka
sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya
hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.
Lin Lin
cepat menghampiri Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah
kau lakukan? Mana tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap
memerintah.
Hek-giam-lo
membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat
bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas,
sekarang berada di dalam bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan
beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”
“Berangkat?”
Lin Lin terkejut. “Ke mana?”
“Ke mana
lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”
“Tidak! Aku
perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus
membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”
Sejenak
tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung.
Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang
asli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan
kemarahannya.
“Tuan Puteri
Yalin, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai
tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak
dapat memenuhi permintaan Paduka lagi. Kita harus berangkat kembali ke Khitan
di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”
“Tidak! Kau
harus menurut perintahku, Hek-giam-lo!”
Si Tengkorak
Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.
“Kau lihat
apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning
dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu
serta-merta menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi
Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap
maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah
terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah
dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba
melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan
mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka
melepaskan Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang
tubuh.
Lin Lin
terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo
akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki.
“Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu
kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat
hukuman penggal leher!”
Hek-giam-lo
mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh
pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang
ke dalam dan ke balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin
yang berdiri dengan tegak walau pun kedua tangannya terbelenggu.
“Yalin,
ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal
leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah,
tengoklah baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan....
Lin Lin
menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya
tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena... tidak berkulit lagi!
Daging muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis
licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi
mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah.
Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut.
Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan dari pada wajah
Cui-beng-kui!
“Kau... kau
siapa...?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.
Secepat tadi
ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok
tengkorak itu agaknya tidak mengerikan lagi dibandingkan dengan muka yang
bersembunyi di balik kedok.
“Hemmm, kau
telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah. Karena aku berdosa
mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku,
kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih seorang prajurit biasa
menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!” Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan
kemarahannya.
Lin Lin teringat
akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami,
yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu
bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang prajurit gagah perkasa
dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada saudara-saudara ibunya
yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke kepalanya dan
mulutnya menyerang dengan ejekan.
“Jadi kaukah
orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bangsaku
dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin
menyebut ‘bangsaku’ dan ‘ayah ibuku’, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu
lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi
kematian ayah bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.
“Heh-heh,
kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini
tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh
Ibumu.”
“Aku tidak
percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal
yang jahat, untuk membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”
“Hemmm, kau
memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku
tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau
begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan
nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya
antara pria dan wanita. Tapi dia... dia... ah, semenjak itu aku benci
kepadanya!”
Lin Lin
dapat membayangkan semua itu, biar pun ia tidak mendapat cerita yang jelas,
namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di
dunia itu.
“Hek-giam-lo,
kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”
Secara tidak
terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!
“Ih, tak
perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.
“Tuan Puteri
Yalin, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri
Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana
Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri
Baginda kakak hamba.”
“Apa...?”
Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti
kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak
memperisteriku? Gila kau!”
“Heh-heh,
tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Banyak laki-laki beristerikan wanita muda
lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi
berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi
ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri Baginda, karena itulah hamba
juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke
Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.”
“Gila...!
Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja
Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras
hendak menawanku dan mengambilku sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada
peristiwa yang lebih gila dari pada ini?”
“Paduka akan
menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri
Baginda mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa.
Mengingat bahwa Paduka masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak
panglima tua yang mengharapkan Paduka duduk menjadi yang dipertuan di Khitan,
kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri.
Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”
“Tidak! Aku
tidak sudi, tidak mau...! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”
Pada saat
itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong
sudah ada di belakang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk
sutera yang mengikat tangan gadis itu, sedangkan tangan kanannya menodongkan
pedangnya ke dada Hek-giam-lo!
“Jangan
takut, Lin-moi, aku membelamu,” bisik pemuda itu sambil mengerahkan tenaga tangan
kirinya untuk melepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.
Gadis itu
terkejut sekali. Andai kata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu
ia akan merasa bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup
mengenal sahabat ini dan tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh
selisihnya dengan kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang menghadapi
Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan
sia-sia usaha pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak
akan tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya pula.
Para anak
buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri tertegun, tidak
berani turun tangan sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak
tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini sengaja membiarkan Bok Liong
melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya berdiri bertolak
pinggang seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.
Akhirnya
terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin
supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap
menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap
sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang telah merampas hatinya.
Tiba-tiba
Lin Lin teringat akan sesuatu dan wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya.
Tentu, pikirnya, tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong
akan seberani ini menghadapi Hek-giam-lo?
“Liong-koko,
mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.
Bok Liong
tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah
Khitan yang bermunculan dan mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu
mulai bergoyang sedikit karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab
karena memang ia datang tidak bersama suhu-nya. Pemuda ini merasa khawatir
sekali ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan.
Hatinya sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin.
Lie Bok
Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin.
Karena itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan
yang terjadi di ruangan sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat
kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus membayangi mereka sampai
mereka tiba di pinggir sungai dan melihat kekasih hatinya itu dihadapkan
Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa
segala, menjadi nekat dan cepat ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja
ia cukup maklum betapa lihainya Hek-giamlo, akan tetapi untuk membela Lin Lin
yang dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo,
biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekali pun, ia tidak akan mundur
selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!
Melihat cara
Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo
mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut
gila itu? Suruh dia yang keluar menghadapi aku!”
Diam-diam
Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini
sudah mengenal ilmu silatnya, terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang
seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar dan tidak menjawab ucapan
Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.
“Lin-moi,
jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju,
cukup dengan aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.
“Hek-giam-lo,
kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharusnya kau memaksa Nona
ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka
Suhu-ku dan membebaskannya, biarkan dia pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak
kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima
kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh
kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk
akan ‘sopan santun’ kang-ouw seperti ini.
Akan tetapi
Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol
gurumu, aku mau ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan
mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan ucapan ini,
Hek-giam-lo menggerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam
menyambar ke arah dada Lie Bok Liong.
Tenaga sakti
yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekali menyambar ke depan. Bok Liong
sudah siap sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping. Tubuhnya
bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah
menyelinap di antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan ke arah lambung
si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Jarang sekali
terdapat di dunia kang-ouw seorang muda yang dapat menghindarkan serangannya
dan seketika dapat balas menyerang. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek
ini sudah lumayan kepandaiannya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis
tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.
Ketika
pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas
dari tangannya. Bok Liong kaget bukan main, namun ia tetap melanjutkan
serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran lebar yang makin lama makin
sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat serangan ini, dan kuat sekali.
Namun dengan
mudah pula Hek-giam-lo menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan
ujung lengan baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang
anak buah Khitan. Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau
menyerang, dan ini merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa
perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan
bergerak. Dan mereka memang betul, karena andai kata ada yang bergerak, hal itu
berarti membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina
tokoh besar itu yang mungkin hukumannya adalah maut!
Lin Lin
menjadi kagum melihat perlawanan gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo.
Tiba-tiba ia lari menerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan
mendiamkannya saja, apa lagi gadis itu adalah ‘tuan puteri’ bagi mereka, tanpa
ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan berani mengganggunya sedikit pun
juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari ke luar lagi, di tangannya
memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu! Kiranya
gadis ini memasuki bilik untuk mencari senjata karena pedangnya sudah terampas
oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia melihat Bok Liong terkurung sinar
hitam yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia
lalu menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala
Hek-giam-lo!
“Werrrrr!”
Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali
lompat iblis tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri
digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan kanan mengirim pukulan dari atas ke
bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah seketika.
“Hayaaaaa...!”
Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar
lewat dan....
“Brakkk!”
papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang
besar!
Biar pun Bok
Liong sudah terhindar dari pada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka
Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak!
Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak
dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah
menyambarnya lagi.
“Traaanggggg!”
Biar pun pedang itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya
membuat Lin Lin mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya
tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah
ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat menghindar agar jangan sampai
kakinya terbabat pedangnya sendiri.
“Cappp!”
pedang Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas papan perahu.
“Bocah gila,
lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil
menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh
Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik
lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar... keluar
perahu!
“Byurrrrr...!”
tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.
“Tolong...
auppp...!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak
dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.
Sesosok
bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong yang cepat menyelam dan
menyambar tubuh Lin Lin yang sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan
membawanya berenang ke pinggir perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan
gadis itu yang tidak mau melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar
pinggiran perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi
terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan
kembali mencabut pedangnya.
“Hek-giam-lo,
kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan
Lin-moi dan aku. Kalau kau mau berkelahi, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan
tetapi kalau kau tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa
denganmu!”
“Heh, bocah
edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau
ini bocah gila berani jatuh hati kepadanya?”
Marahlah Bok
Liong. Ia melompat maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat
ujung pedang lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan... tubuh
Bok Liong terbanting ke atas papan perahu. Seketika tubuh Bok Liong amblas
sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang telah bolong
terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia berusaha melepaskan
diri, namun sia-sia karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor
tikus masuk perangkap. Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kau bunuhlah
aku, tapi bebaskan Lin-moi!”
“Tidak
dibunuh buat apa?” berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tubuh Bok Liong
yang masih terjepit papan perahu.
Pemuda ini
biar pun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia
dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya
sebelum tewas, sedikit pun tidak terbayang rasa takut di wajahnya.
“Hek-giam-lo,
jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.
Hek-giam-lo
menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu
mendengus, lalu menggumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani
mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya...!” Setelah
berkata demikian Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.
“Hek-giam-lo,
kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.
Tanpa
menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa
Paduka!”
Karena
Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit
membuat ia tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja.
Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan
baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerak mencengkeram
ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik
dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.
“Hek-giam-lo,
kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah
kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang
untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya
terancam kematian yang mengerikan.
Cengkeramen
ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada
punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan
papan dan sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar
dari perahu dan....
“Byuuurrrrr...!”
untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.
Hanya
sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan
menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan
kanannya dan dengan mata mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil
memaki.
“Hek-giam-lo
iblis tukang menakuti anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, aku akan
mengadu jiwa denganmu!”
Melihat
kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat
ia berlari ke pinggir perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi!
Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”
“Lin-moi,
tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan
mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau
kau mengalami bencana!” Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang
sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!
Merah
seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat,
gagah perkasa dan cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji.
Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan
dirinya sendiri.
“Jangan,
Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa,
percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan
kau kembali ke perahu!”
Bok Liong
meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin
yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam-diam ia merasa
bahagia sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala
kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani
mengganggu, aku pasti akan menjungkir-balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!”
Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang kepinggir.
Setelah
mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil
kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran
sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah
mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan
orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biar pun ia harus
berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke
neraka!
Dapat
dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu,
karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong
harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih
betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus
menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas
dek. Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang
saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak
di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan
hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali
kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong.
Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh sebuah suling yang terbuat dari pada
emas.....
***************
Kita
tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang
Khitan yang menawan Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini,
biar pun hakekatnya amat dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah
calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti
perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.
“Twako,
kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan?
Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?” di tengah perjalanan Sian Eng
menegur Suling Emas.
Suling Emas
diam saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya,
Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng
dan Bu Sin berjalan di belakang.
“Eng-moi,
bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa
hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin.
Terang bahwa
Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata
seorang iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu
saja Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin Lin.
Kembali
Suling Emas menarik napas panjang. “Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada
di tangan suku bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apa lagi
mengingat akan pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan,
agaknya Lin Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapa pun
juga, kita akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian
mencari Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke
Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia
menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”
“Kalau ia
mau? Apa maksudmu, Twako?” tanya Sian Eng heran.
Suling Emas
tersenyum. “Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali kepada
bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke
Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya, bukan?”
“Aku ikut,
Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia tinggal bersama suku bangsa liar
itu!” seru Sian Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.
“Betul,
Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”
Kembali
Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui
rahasia bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka
berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir mereka.
“Baiklah,
akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak
rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang
Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya perjalananku tidak akan aman lagi.”
“Mengapa,
Twako?”
Suling Emas
menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh, “Mendiang ibuku...
ah tak perlu dibicarakan lagi.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika
Sian Eng hendak bertanya dari belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi
tanda supaya adiknya ini tidak banyak bertanya.
“Orang-orang
Khitan itu tentu berangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan
tercepat ke utara hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga
hari. Aku tahu jalan tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak bukit
Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan
turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang. Jurang ini
tidak lebar, hanya sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi
amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai tambang untuk penyeberangan di atas
jurang itu. Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”
Dua orang
adiknya menurut dan mulailah mereka mendaki bukit Pek-kee-san. Memang betul
seperti yang dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak
terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah yang sukar
sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang kecil, melalui daerah batu
karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang
bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya. Akan
tetapi karena mereka bertiga adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka
mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang kadang-kadang
harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian
Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan
hebat sekali semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.
Matahari
telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang
dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa mereka ke tepi Sungai
Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan tiba di bukit kecil di
seberang. Ngeri keadaan di situ karena tepi jurang itu membuka lubang menganga
seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah
yang membuat Sian Eng memandang dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun.
Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti
kutukan di dalam tenggorokannya. Memang tambang besar dan kuat itu masih
melintang di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi
‘jembatan’ ini tidak kosong!
Di
tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek tinggi kurus
gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas tambang! Posisi
yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk ‘berdiri’ jungkir-balik
dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua kaki menjulang
ke atas, apa lagi tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya ratusan
meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram melek dan dari
mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil ompong itu keluar dengkur
yang keras.
Suling Emas
tampak marah. “Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan
dengan kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.
“Lo-tong
(Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku di sini dan menjual kepandaian
secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku
menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar jurang!”
Bu Sin dan
Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau
terjadi pertandingan di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan
lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah
mengerikan! Mereka maklum dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan
tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang melintang di atas jurang
seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah mau pun bagi
yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki
terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan nyawa, kecuali
kalau orang itu mempunyai sayap seperti burung!
“Heh-heh,
Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul
Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”
Merah wajah
Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya. “Tok-sim Lo-tong tak
perlu kau bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari
kulayani kau. Untuk apa bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua
bangka begini?”
“Heh-heh,
berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”
“Takut apa?”
Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu
menoleh dan berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang
sebelum aku beri isyarat dari sana.”
Sehabis
memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil
mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biar pun kelihatan
seperti orang tolol, kekanak-kanakan, namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang
sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga untuk menjadi seorang di
antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia
mengeluarkan sulingnya.
“Heh-heh-heh!”
Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran
beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang.
Hebat sekali
demonstrasinya ini, seakan-akan tambang itu merupakan tanah keras biasa
baginya. Begitu kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu
lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari
kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang
itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat
sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.
Bu Sin dan
Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua
kakinya telanjang, tentu saja ia lebih leluasa ‘main-main’ di atas tambang dari
pada Suling Emas yang memakai sepatu kulit dengan sol dipasangi baja. Suling
Emas dengan sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang
dapat mencengkeram tambang dengan jari-jari kakinya!
“Heh-heh-heh,
terjunlah... terjunlah... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan
guncangannya pada tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi
Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.
Namun Suling
Emas bukanlah pendekar sembarangan saja. Biar pun usianya belum tua, namun ia
seorang yang selain memiliki kesaktian tinggi, juga ia cerdik sekali di samping
wataknya yang tenang dan waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang
dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lweekang-nya ia dapat membuat
kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biar pun tubuhnya
tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, namun ia sama
sekali tidak dapat terjatuh dari atas tambang.
“Tua bangka
curang, cukup permainanmu ini!” tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya
melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari tambang!
Hampir Sian
Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya. Betapa pun saktinya, Suling
Emas tidak dapat terbang, bagaimana begitu sembrono berani melepaskan tambang?
Tubuhnya tentu akan turun lagi dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak
tambang lagi?
“Heh-heh-heh,
kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat
kesempatan baik.
Guncangan
pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan
mampu turun lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan
melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia berloncatan
terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar bagaikan patuk
burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya. Sekali saja ia
terkena totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah
yang akan jatuh ke bawah.
Karena
Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak terguncang-guncang
lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan
mudahnya dapat turun lagi di atas tambang. Kini dialah yang menyerang, terus
mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu berseru-seru marah,
akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati
tepi seberang jurang.
Mendadak
Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia
sudah berada di seberang dan kedua tangannya yang kurus itu telah mengangkat
sebuah batu karang sebesar kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah
Suling Emas yang masih berada di atas tambang! Serangan hebat dan berbahaya
sekali dan sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar
biasa karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang yang
demikian besarnya.
Namun Suling
Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir
berjongkok, sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu
dari bawah. Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu
meluncur ke bawah. Sampai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah
bawah, akan tetapi Suling Emas sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat
sedikit pun ke bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil
melangkah maju.
Di seberang
lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri sekali.
Mereka melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah
dan hancur berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur
lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.
Tok-sim
Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia
menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas
dapat menduga niat jahat ini, maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan
sulingnya berkelebat merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim
Lo-tong. Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia
menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya
tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah
Suling Emas bagaikan hujan derasnya.
Hebat memang
iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak
ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk
mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang. Serangan
yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu besar kecil
menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang sambar!
Suling Emas
sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata
kedua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biar pun serangan itu
hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya. “Kalian
menyeberanglah!”
Bu Sin dan
Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati
jembatan tambang.
“Kau
menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.
Menyeberang
tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat
dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang,
wajahnya agak pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua
kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.
“Jangan
takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak
jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”
Sian Eng
mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang
muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri
untuk mengatur keseimbangan tubuh.
Ketika
mereka tiba di tengah-tengah ‘jembatan’, mendadak terdengar suara orang tertawa
di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan
alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang
tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka
injak!
“Twako...
tolong...!” Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir
putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi
Tok-sim Lo-tong.
Dua batang
golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik
berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar
jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang hebat.
Suling Emas
mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan
kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu
kecil telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja.
Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking
cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka
terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak
dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya terdengar
raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan
terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak
terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.
Sejenak Sian
Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang,
kedua kakinya menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah
hatinya. Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika
melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.
“Eng-moi,
bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan
mendorong.
Sian Eng
sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang
tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi
penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa
bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini
subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air
sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang.
Tentu saja
mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena
perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur
melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian
mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka
mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.
Kakek tinggi
kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan
kosong saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya
merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan,
kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai
senjata!
Memang
demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suheng-nya, Toat-beng
Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena
sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas seperti orang hutan
dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun karena gerakan-gerakan
mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja
kepandaian mereka hebat.
Suling Emas
sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat
kali sulingnya mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan
hantaman suling yang kenanya memang tidak tepat benar.
“Bu Sin,
Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera!
Kalau aku belum datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu
menurutkan aliran sungai. Lekas!”
Bu Sin dan
adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu.
Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir
mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas
mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main
kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke
penyeberangan.
Bahkan yang
terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim
Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan
kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin!
Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya
mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak
orang pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi
kedua adiknya.
“Tapi... kau
sendiri... Twako?” Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega
untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan
tangguh.
“Pergilah...!”
Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak
berlari cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.
Jalan
menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan
karena sungai itu sudah tampak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan
Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan
tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa
baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di
tempat itu. Memang jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan
jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai
yang berbelok-belok.
“Kita
menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana
kalau... kalau dia....”
“Dia tidak
akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari
kita mencari perahu.”
“Tapi di
sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi
sebelum Song-twako datang.”
“Twako tadi
berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari
ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu
ada alasannya.”
Tanpa
memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya
dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sungai itu ke hilir dengan
langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li
di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti
perahu besar yang menawan Lin Lin!
Sebetulnya
kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar
rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat
menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan
kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera dapat tersusul Suling Emas
karena betapa pun juga, mereka merasa tidak enak berpisah dari kakak yang sakti
ini. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti
munculnya Suling Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan
rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena kadang-kadang
perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang
mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.
Setelah melihat
kedua orang adiknya pergi dengan cepat, Suling Emas menjadi lega hatinya. Ia
tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek
berpunuk itu yang gerakan-gerakannya cukup membayangkan kepandaian tinggi. Oleh
karena inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua adiknya pergi lebih dulu,
karena ia maklum bahwa menghadapi lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin
dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum
mengejek ia berkata.
“Tok-sim
Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu
pribadi tidak ada dendam mendendam, mengapa kau bersikeras dan tidak mau
membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku murah dan mengalah? Sekarang suheng
dan teman-temanmu datang, aku tidak bisa bersikap mengalah lagi!”
Tiba-tiba
Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu
Silat Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini
adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama
ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan sembarangan ia
keluarkan kalau tidak perlu.
Dengan ilmu
silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun
Suling Emas jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat
keadaan mendesak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia
harus menyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas
kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan ilmu
simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan
tangguh itu.
Tok-sim
Lo-tong terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi
silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan
yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain indah gayanya,
juga mengandung tenaga mukjijat yang sukar ia lawan. Selama hidupnya kakek ini
belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari mana pun juga, akan tetapi ia benar-benar
kaget sekali menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran mukjijat ini.
Cepat ia
mengerahkan tenaga sinkang-nya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata
tajam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas
suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak meleset seperti
mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan suling
seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat gerakan
jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai sepuluh meter lebih
jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong dirinya, kalau tidak
tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.
Kehebatan
jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi
mengeluarkan jurus ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf
TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat.
Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli
kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi
Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu
mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO inilah!
Demikian
dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu
disindirkan bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada
bernama, saking kecilnya tidak tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta,
lebih gaib dari pada yang gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua
rahasia! Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik
pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.
Nah, dengan
mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong
menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri
ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan
mengalami celaka besar!
Pada saat
Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu,
bersama tiga orang temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong.
Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong
dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang anak
buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang perjalanan
Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka
tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng
Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah, dan mengajak tiga orang pembantu
itu memasuki hutan mencari daging binatang.
Toat-beng
Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara
khawatir bertanya, “Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah,
adikku sayang?” Ia merangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang
gundul, sikapnya seperti seorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim
Lo-tong menangis dalam rangkulan suheng-nya! Tangis manja seorang anak kecil!
Ada pun tiga
orang pembantu It-gan Kai-ong itu segera menyerbu dengan golok di tangan ketika
melihat Suling Emas. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan
tetapi karena di situ ada Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, tentu saja
mereka berbesar hati dan berani menyerbu.
Pada saat
itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari
huruf To, hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena
terdengar tiga orang itu memekik keras, tubuh mereka terpental didahului golok
yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun
kembali! Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda
perjalanannya dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa
menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.
“He,
Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu Sute-ku, beraninya hanya
pada anak-anak, hayo kau lawan aku!” bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat
berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar.
Suling Emas
tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa
pohon yang tumbang seketika. “Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha,
anak-anak tua bangka, seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat
tinggal!” Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada
Toat-beng Koai-jin yang memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.
Karena
ginkang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia
dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah
Sungai Kan-kiang. Ada pun tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat
bangun, biar pun tidak tewas namun masih ‘ngorok’ seperti babi disembelih.
Kalau tadi
Sian Eng dan Bu Sin menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi
Suling Emas hanya membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget
dan herannya ketika ia melihat banyak sekali orang menghadangnya di tepi Sungai
Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada di situ, dan ia heran
menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya
berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang
lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula
hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan
Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap kereng dan bermusuh!
“Para
sahabat yang baik, nah itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia
yang harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar
It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek.
Kini Suling
Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap
mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil berkata.
“Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya menjadi tamu-tamu terhormat di
Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat masing-masing dan menghadangku
di sini? Ada urusan apakah?”
Orang banyak
itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau mereka menjawab dengan
ucapan masingmasing. Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas
masih sempat mendengar betapa mereka itu menaruh dendam atas
perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian melihat
seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur
hwesio itu.
“Cheng San
Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya
tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi
pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku
terhadap Siauw-lim-pai?”
“Hemmm,
Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik
dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau
dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang suheng-ku tewas dua
puluh tahun yang lalu dan seorang sute-ku diculik ibumu, kemudian tewas pula
tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu kandungmu. Dosa itu
tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar
hutangnya! Harap saja kau suka menyerahkan agar pinceng (aku) bawa kau
menghadap ketua kami di Siauw-lim!”
“Mana bisa,
Cheng San Hwesio!” bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas
sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto (aku) juga mempunyai
urusan dengan Suling Emas karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang
lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh lima orang suheng-ku, mencuri pedang
pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia
bersembunyi dan sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum
dilunaskan, tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu
tewas oleh Siang-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm,
siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus mempertanggung-jawabkan? Suling
Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke Hoa-san!”
“Tidak
bisa!” kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang
tokoh Go-bi-pai. “Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan
kepada puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau
pergi!” Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain
lalu melangkah maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.
Masih banyak
yang bicara dan rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan
Tok-siauw-kui dan ingin menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi
kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang
selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela meninggalkan ayahnya,
hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya
dan yang telah melakukan banyak perbuatan jahat!
Rasa sesal
di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan
dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin menebus dosa ibunya dengan cucuran darah
dan melayangnya nyawa. Akan tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia
ini. Apa lagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang
jahat terhadap ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang
agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula.
Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin,
ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula
semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu.
Dengan sudut
matanya Suling Emas melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat
orang, belum terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan
selain di situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang masih
datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau mereka semua maju,
biar pun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi
mereka!
“Kalian
terburu nafsu! Andai kata mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya
dengan aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk
dendam!” Setelah berkata demikian, Suling Emas memutar sulingnya dan melompat
jauh, lalu melarikan diri.
Tentu saja
ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat
adik-adiknya dan kalau hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya.
Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai,
berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan
pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.
Suling Emas
menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu
silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya.
Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu
saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu
akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan
membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini
justru sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti
ia menambah dosadosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat
larinya.
Akan tetapi
para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan
besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini
dapat terus melakukan pengejaran dan tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling
Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya,
bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.
“Kau harus
menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”
Suling Emas
kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang
putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya
ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang
menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah kereng, pakaiannya sederhana
dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang
bersinar putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini
tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli sinkang
yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang,
dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas
terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk
mengebut pedang itu tiap kali sinarnya menyambar.
“Kau
siapakah, Nona?”
“Aku
Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur.
Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia
mengelabui ayah sehingga berhasil mewarisi ginkang dari ayah. Ibumu jahat dan
palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak wanita itu sambil menyerang lagi.
Suling Emas
kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu
yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”
“Betul dan
sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu!”
Diam-diam
Suling Emas mengeluh. Apa lagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah
datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng
terkenal sebagai pendekar yang berbudi. Kalau pendekar itu tewas di tangan ibu
kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega
merobohkan Tan Lian ini?
“Ibuku yang
berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut pergi pedang yang
kembali telah menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi
sedikit darahku!” Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling
Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga
baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi
baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena
secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas
pada jalan darah di dekat siku.
“Maafkan
aku!” setelah berkata demikian, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari
secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.
Hanya
sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas
sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa
menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum
bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum
pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya
terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah
yang berada di mata pedangnya.
“Ayah,
cukupkah darah ini...?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang
cepat diusapnya.
“Dia sudah
terluka!”
“Hayo kejar,
dia sudah terluka!”
Demikian
teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya,
Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para
pengejar itu yang dipanaskan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng
Koai-jin yang juga sudah ikut mengejar.
Para
pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap
dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja
berhamburan menyambar ke arah Suling Emas. Mendengar suara angin
senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan memutar
suling, juga mengibaskan kipasnya.
Ia maklum
bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak
boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri dari
pada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah ‘senjata
rahasia’ yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan
Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!
Karena
maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan
dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan,
tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia
menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan
kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti
berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia
dihujani serangan.
Masih untung
baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut
menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah
menjadi penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang
kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis
dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi.
Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak.
Tidak
terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar
Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit
pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya
memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya
lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi
ginkang gadis itu, karena biar pun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat
berbahaya baginya, namun dengan ginkang seperti itu, pedang di tangan si gadis
menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.
Heran ia
memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang
Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh
kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya.
Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka,
mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang
didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan
hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang
amat buruk.
***************
Kita
tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua
puluh orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan
Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas disuruh melanjutkan perjalanan lebih
dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah mereka melakukan
perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum
juga menyusul mereka.
“Sin-ko,
mengapa Bu Song Koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih
baik kita kembali menengok....”
“Ah, Song-ko
seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin dengan kening berkerut
karena ia sendiri pun merasa gelisah. “Betapa pun juga, dia sudah menyuruh kita
berjalan lebih dulu, tak boleh kita tidak mentaati perintahnya.”
“Kalau
begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya!”
“Jangan,
Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tampak sungai
membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong
jalan melalui puncak bukit di sana. Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat
sampai di kaki gunung seberang sana. Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku
yang mencari perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”
Sian Eng
tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka berdiri, tampak dari
tempat tinggi ini sungai Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak
bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong bukit itu melalui puncaknya, tentu
perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi orang biasa, biar pun jarak
lebih dekat, akan tetapi mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan
memakan waktu lebih lama.
Kakak
beradik itu lari mempergunakan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak.
Matahari telah mulai condong ke arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit
itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.
“Sin-ko,
itulah tempatnya....”
Bu Sin
berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang
ditunjuk.
“Tempat apa,
Eng-moi?”
“Itu...
kuburan tua itu... di sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo
dahulu...! Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga berada di lereng
seperti itu...”
“Hemmm,
kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita
ke sana. Bukankah kakak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat
pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya!”
“Tapi....”
“Eng-moi,
takutkah kau?”
“Iblis itu
lihai sekali, Sin-ko.”
“Aku tahu,
akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita,
juga kita bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa.
Kita hanya menyelidiki tempat itu, Adikku. Sungguh mengecewakan kalau kita
sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus menyerahkan segala
tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja
sebagai orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”
Bangkit semangat
Sian Eng. “Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek
sakti seperti yang kau ceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah.
Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tempatnya!”
Berlarilah
kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah
mereka di sebuah kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara)
berukir. Setelah mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di
depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar
manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.
“Di
situlah...,” bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah
lantai depan makam, “Di situ terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus
ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.”
“Dahulu
ketika kau dibawa masuk, kau tidak melihat orang lain?” tanya Bu Sin. Adiknya
menggelengkan kepala.
“Kalau
begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu disembunyikan
di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan
mudah-mudahan saja begitu. Kita bisa mengambil tongkatnya kalau benda keramat
itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau dapat membantu
Song-twako.”
Sian Eng
mengangguk setuju dan mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah
menyelidiki tempat itu, benar saja mereka melihat ada batu lantai yang
merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu meter persegi. Ketika
mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di
bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu
Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan
ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu
gelap bukan main.
“Kenapa
berhenti?” tanya Sian Eng.
“Gelap
sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari
obor.”
Mereka
mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan kulit pohon yang dapat terbakar
lama, membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu.
Bu Sin berjalan di depan, obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di
belakangnya, mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak
basah dan licin, juga makin lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu
Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak membungkuk.
Setelah
bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik, “Seingatku dahulu
terdapat ruangan yang lebar seperti kamar....”
Mereka maju
terus, mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan
menyempit dan Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.
“Agak terang
di sini...,” katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap
tadi. “Entah dari mana datangnya sinar terang ini....”
Akan tetapi
Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak
jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia
merasa seperti ada sesuatu di belakangnya. Ketika ia menengok... hampir Sian
Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya
keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak
memandang Hek-giam-lo yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si
iblis muka tengkorak berpakaian hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang
obor dan tangan kiri memegang senjatanya yang mengerikan. Kiranya obor di
tangannya itulah yang membuat terowongan itu menjadi terang!
“Eng-moi kau
kenapa...?” Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan
alangkah herannya ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan
matanya terbelalak menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan... dapat
dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan
adiknya takut.
“Hek-giam-lo...!”
katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut. “Kalau kau
memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari
belakang?”
Iblis
bertopeng tengkorak itu mendengus. “Hemmm, maju terus atau... hemmm,
kurobek-robek badan kalian di sini juga!”
Tiba-tiba
Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang melayang ke arah muka
dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat menenangkan hatinya dan
dengan nekat lalu meraih dua buah batu di dekatnya, kemudian menyambitkannya
ketika iblis itu sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu
pertama lewat di pinggir kepala, ada pun batu kedua ia terima begitu saja
dengan dadanya.
“Brakkk!”
batu itu pecah berantakan.
“Gadis
lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan
dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling
Emas. Ha-ha-ha!”
Ketika
melihat iblis itu dengan langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di
belakangnya, Bu Sin segera berkata dengan nada penuh ejekan, “Hek-giam-lo,
seorang tokoh besar seperti engkau ini, sungguh tak tahu malu melayani seorang
wanita seperti adikku! Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat lapang
dan kita bertanding secara laki-laki!”
“Heh-heh,
orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kau buktikan
betapa kesombonganmu tidak ada isinya!”
Memang bukan
maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk
mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini
terjadi, sukarlah baginya untuk melindungi adiknya terhadap iblis yang luar
biasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng untuk sementara akan
bebas dari pada ancaman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan
akal bagaimana harus melawan iblis ini.
“Marilah,
Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini...”
Sian Eng
sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima
sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu hancur! Dengan muka pucat
ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik yang sudah tak berdaya ini
lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan, merangkak maju melalui terowongan
yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo
melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di bagian yang sempit itu di
belakang Bu Sin.
Benar saja
seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian terowongan sempit itu
berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter kemudian tibalah mereka di
sebuah ruangan di bawah tanah yang luas. Selain luas, juga di situ tidak gelap.
Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke tempat itu.
Sejenak
timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan
membalik dan menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di
hatinya mencegahnya. Serangan seperti itu amat rendah, apa lagi kalau dipikir
usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini. Dengan
tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir,
kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.
“Nah,
Hek-giam-lo,” katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi
masih memegangi gagang obor, “Terus terang saja, kami berdua telah lancang
memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah berada di sini, apa yang hendak kau
lakukan terhadap kami?”
“Orang-orang
muda lancang! Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”
“Adikku ini
mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kau culik dan
kau bawa ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan
mata sendiri tempat rahasia ini.”
“Hanya itu?”
Hek-giam-lo mendesak.
“Tentu saja
kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi
kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw,” jawab Bu Sin
sejujurnya.
“Hemmm,
tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian
berani masuk ke sini, bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw?
Hu-huh, tak tahu diri. Biar pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira
aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini.
Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik. Biar dia datang, hendak
kulihat!”
“Sombong!
Aku pun tidak takut padamu, iblis busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup
menghadapimu!” Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan
menusukkan benda ini ke arah kedok tengkorak itu.
“Huh, bocah
bosan hidup!” Si iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan
perlahan.
“Dukkk!”
gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu,
sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus
bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini biar pun dilakukan dengan
perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahu-tahu kepala
pemuda itu sudah kena pukul.
“Prakkk!”
kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika
beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.
“Bocah sombong,
keras juga kepalamu!” katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya.
Tentu saja
iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang
dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya
ini boleh dibilang menjadi sumber dari pada tenaga mukjijat yang dimilikinya
akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh
lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin
tidak sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja
menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa
pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti
Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan
itu sudah ia angkat ke atas kepala!
Tiba-tiba
terdengar suara “singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak
di depan iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun
tidak memperlihatkan rasa takut. “Iblis sombong, aku pun berani melawan
kejahatanmu!”
“Eng-moi,
mundur! Dia bukan musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi
nekat.
“Aku tahu,
Koko, akan tetapi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku
ingin mati lebih dulu dari padamu.”
Diam-diam
jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa
ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri
menghadapi lawan yang demikian sakti dan ganas mengerikan.
“Jangan
khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan iblis ini!” katanya dan mencabut
pedangnya. “Akan tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah
agar dapat memanggil kalau Song-koko lewat di atas!”
Mendengar
ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini
telah putus harapan karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis
itu. Satu-satunya orang yang boleh diharapkan dapat menolong mereka hanyalah
kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah benar-benar
menyusul dan sampai di atas sana.
“Sin-ko, kau
pertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat meloncat untuk
berlari keluar melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg
ketika Hek-giam-lo menggerakkan lengan baju ke arahnya sambil mendengus.
“Huh, kau
takkan dapat pergi ke mana-mana!”
“Setan,
berani kau mengganggu adikku?” Bu Sin sudah memerjang maju dengan pedangnya. Ia
mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan
yang luar biasa lihainya.
“Tranggg!”
pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang,
tubuhnya sampai ikut terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya
serasa terkupas kulitnya, perih dan panas.
Sian Eng
membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi sekali tangan kiri
Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul patah menjadi tiga potong,
terpukul oleh ujung lengan baju hitam. Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari
tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak
dapat berkutik lagi.
“Ibils
keparat!” bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat.
Ia mengambil
keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau
mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk
menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih
rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo yang terkenal
sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.
Ketika tadi
memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo
mengira bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang
membuat pemuda itu terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawannya ini merupakan
lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya
menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng
bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah pasti
keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong lagi.
Menghadapi
terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang
aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian
Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki pedang dan seperti seekor ular hidup
ujung lengan itu seketika menggulung dan membelit pedang.
“Aihhhhh!”
Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan....
“Brettttt!”
putuslah ujung lengan baju hitam itu.
Hek-giam-lo
mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat
mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis.
“Trangggg...!”
kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan
terlepas dari tangannya!
Melihat
sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerahkan ginkang
berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda
ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di antara sinar hitam untuk
menyelamatkan diri. Walau pun gerakannya itu cepat bukan main, akan tetapi ia
masih terlambat.
Memang
gerakannya tadi menyelamatkan dadanya dari kehancuran ketika ujung lengan baju
Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat
menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu
Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia
terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga Bu Sin
roboh dan tak dapat bergerak pula!
“Hu-huh,
bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling Emas kiranya hanya begini saja! Mana dia
Suling Emas? Biar dia datang, kurobohkan sekalian!”
“Hek-giam-lo,
kalau kakak kami datang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.
Hek-giam-lo
tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdampingan dengan ruangan
itu. Tak lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal
sepotong.
“Kutinggalkan
kalian di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan
membusuk dan menjadi setan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang tiada
gunanya macam kalian, dibunuh juga percuma. Sampaikan salamku kepada Suling
Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta kembali tongkat
Beng-kauw ke Khitan, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat
Hek-giam-lo lenyap dari tempat itu.
Bu Sin dan
Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka,
malah makin hebat mereka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang
dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat aneh, membuat seluruh urat
mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan sinkang, tubuh serasa dibakar
dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah tak
berkutik di atas tanah yang lembab.
Bagaimanakah
Hek-giam-lo bisa berada di terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini
berada dalam perahu bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin
menjadi tuan terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini,
Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat ini
memang menjadi sarangnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment