Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 11
Di pinggir
sungai terdapat pula sebuah rumah pondok yang indah dan jauh dari pada
tetangga. Inilah tempat peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para mata-mata
Khitan apa bila melakukan tugasnya dan tiba di tempat ini. Ke rumah inilah Lin
Lin dibawa, sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah kuburan kuno
untuk mengambil kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas dari tangan
kakek sakti Bu Kek Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan ‘setengahnya’
karena yang separoh terampas oleh It-gan Kai-ong.
Memang ia
tidak berani membawa-bawa kitab yang ia tahu menjadi incaran It-gan Kai-ong,
Suling Emas dan Siang-mou Sin-ni, mungkin juga Bu Kek Siansu sendiri itu.
Ketika melawat ke selatan, ia menyimpan kitab pusaka itu di dalam terowongan
dan sekarang ia hendak mengambil dan membawanya kembali ke Khitan. Secara
kebetulan ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng memasuki tempat sembunyinya.
Lin Lin
merasa jengkel sekali. Biar pun ia selalu diperlakukan dengan hormat, dipanggil
tuan puteri, setiap kali mendapat hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam
kebutuhannya dipenuhi, segala macam perintahnya, kecuali perintah agar ia
bebas, ditaati, namun ia maklum bahwa sebenarnya ia menjadi tawanan! Ia merasa
tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo yang kosen, juga para anak buah Khitan itu
terdiri dari pada orang-orang pilihan.
Oleh karena
itu, gadis ini maklum bahwa takkan mungkin ia memberontak atau melarikan diri,
hal itu hanya akan membuat ia menderita saja. Pikiran inilah yang membuat ia
akhirnya tidak rewel minta dibebaskan lagi. Ia diam saja, malah kini memaksa
diri bergembira, akan tetapi diam-diam ia amat mengharapkan munculnya Suling
Emas! Ia merasa gemas juga mengapa sampai begitu lama Suling Emas tidak juga
muncul menolongnya? Dan di samping ini, ia merasa amat sengsara dan sedih kalau
ia mengingat Bok Liong. Kadang-kadang ia masih dapat melihat bayangan pemuda
itu di pinggir sungai, pakaiannya kotor, rambutnya kusut dan kelihatannya
sengsara. Memang pemuda yang keras hati ini sudah nekat untuk terus mengikuti
perahu yang membawa gadis pujaannya.
"Liong-twako,
sudahlah jangan mengikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia
membebaskan aku!” dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan Lie Bok
Liong yang bergerak di pinggir sungai. Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang
mendengar dan melihat ini hanya tersenyum-senyum saja.
Pemuda itu
berseru menjawab. “Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling
Emas berada di mana. Kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orarg-orang liar
itu mengganggumu? Aku akan mengadu nyawa dengan mereka! Jangan khawatir selama
aku berada di dekatmu!”
Lin Lin
menghela napas diam-diam ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa
olehnya betapa mulia dan jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan
pengorbanan pemuda itu untuk dirinya. Mulai terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok
Liong amat mencinta dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan terharu. Bukan
pemuda ini yang selalu menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan
hatinya. Hati dan perasaan cinta kasih dalam dadanya terampas oleh Suling Emas!
Ia merasa
amat khawatir melihat tingkah laku Bok Liong yang begitu nekat hendak
melindungi dan membelanya, biar pun pemuda itu sendiri tahu betul bahwa ia
tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya. Lin Lin merasa khawatir
kalau-kalau Bok Liong akan nekat dan akhirnya akan mengorbankan nyawanya, apa
lagi ketika ia diturunkan dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi
sungai itu. Dan kekhawatitannya terbukti.
Sore hari
itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok
Liong ke tempat itu. Pemuda ini tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore
baru ia dapat menyusul. Ketika melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di
pinggir, ia segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit
ia melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal
pemuda ini sebenarnya sedang tidak sehat. Tubuhnya panas dan lemas, karena
selama dalam perjalanan mengikuti perahu, ia jarang sekali makan. Pula ia masih
menderita luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo di atas perahu beberapa hari
yang lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala
derita.
Ketika
melihat pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan
depan. Ia sudah nekat, hendak mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu lari, atau
membiarkan gadis itu lari sedangkan dia akan menahan orang-orang Khitan kalau
mereka akan mengejarnya.
“Lin-moi...!”
Ia memanggil dengan suara parau.
Suaranya
menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula.
Memang perahu itu tak pernah berhenti sehingga di waktu malam sekali pun Bok
Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal jauh. Selama hampir
sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan
sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil
berjalan terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan
tidur.
“Lin-moi...!”
Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang
tertutup.
Karena tidak
juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke pintu samping, yaitu pintu yang menuju
ke taman di samping pondok. Pintu ini terbuat dari pada kayu dan tidak sekokoh
pintu depan. Sambil mengerahkan tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini
dan robohlah pintu itu! Akan tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam
keluar seorang laki-laki berkumis.
“Jahanam
liar! Berani kau datang ke sini?” teriak orang Khitan itu yang segera menerjang
ke depan dengan pukulan-pukulan keras.
Bok Liong
mengelak sambil melompat ke belakang, akan tetapi karena tubuhnya lemah dan
gemetar, ia terhuyung-huyung sampai ke ruangan depan. Lawannya yang kelihatan
kuat itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan keras. Betapa pun juga,
tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka biar pun
terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak. Setelah peningnya agak
berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena pukulannya pada
leher sehingga orang Khitan itu terpelanting.
Akan tetapi
dari pintu taman itu bermunculan orang-orang Khitan. Bok Liong cepat mencabut
pedangnya, akan tetapi karena enam orang Khitan itu serentak maju menubruknya.
Bok Liong yang sudah lemas itu tak dapat bergerak lagi dan di lain saat ia
telah ditelikung, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh dan kedua
kakinya pun diikat! Pemuda ini hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau.
Seorang Khitan mengambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di
tanah ketika terjadi pergulatan tadi.
Bok Liong
diseret masuk ke ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin
tidak muncul. Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan
tubuhnya terikat pada sebuah tiang! Memang sebelum pergi meninggalkan pondok,
Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup maklum akan
kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan gadis ini
akan cukup membahayakan, sungguh pun dua puluh orang anak buahnya merupakan
pasukan yang cukup tangguh. Iblis itu tidak mengkhawatirkan kedatangan Lie Bok
Liong karena iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda itu sudah hampir kehabisan
tenaga.
Melihat Lin
Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya ia
meronta-ronta. Namun ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu yang
mengikat kaki tangannya.
“Lepaskan
dia! Kalian binatang-binatang liar! Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak
mengganggu wanita! Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu wanita dan
boleh siksa atau bunuh aku!”
Lin Lin
memandang Bok Liong dan amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar
menderita, wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya
lecet-lecet di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini masih hendak
membelanya! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata gadis ini.
“Liong-twako,
kenapa kau menyusul ke sini?” tegurnya perlahan.
“Lin-moi,
bagaimana aku bisa meninggalkan kau yang masih menjadi tawanan?” balas tanya
Bok Liong, suaranya penuh perasaan sehingga Lin Lin makin merasa tertusuk
jantungnya. Apa lagi ketika ia melihat betapa Bok Liong diikat tiang lain di
depannya, kemudian seorang Khitan yang berkumis panjang mencambuknya.
“Tahan!
Jangan bunuh dia!” teriak Lin Lin. “Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak
aku menjadi permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman berat, akan
dikupas kulit kalian!”
Orang Khitan
yang berkumis tadi menjura, akan tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata,
“Tuan Puteri, harap Paduka jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas
yang diperintahkan Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi
harus memberi hukuman kepadanya.” Setelah berkata demikian, ia memberi aba-aba
dalam bahasa Khitan.
Majulah dua
orang Khitan tinggi besar yang membawa cambuk. Berdetar-detar dua batang ujung
cambuk lemas itu melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan
seluruh tubuh Lie Bok Liong!
“Tar-tar-tar...!”
bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.
“Boleh siksa
aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam! Akan tetapi bebaskan Lin-moi!” Biar
pun dicambuki dan bajunya robek-robek, kulitnya robek pula sampai sebentar saja
badannya berlepotan darah, namun Bok Liong masih memaki-maki dan menuntut
supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit pun ia tidak mengeluh, matanya terbelalak
dan suaranya nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat bergerak
lagi. Mukanya menjadi matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan
beberapa menit kemudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada
ikatannya. Bok Liong pingsan.
Lin Lin
meramkan mata. Tiap kali cambuk melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang
tercambuk. Air matanya mengalir membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di
antara hujan cambuk, Bok Liong selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah
bunyi cambuk terhenti, barulah ia berani membuka matanya dan dapat dibayangkan
betapa hancur dan terharu hatinya melihat Bok Liong dalam keadaan seperti itu.
Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit tubuhnya penuh jalur-jalur merah dan
biru, mukanya sukar dikenal lagi karena bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan
kasar orang-orang Khitan itu melepaskan ikatannya, menyeret ke luar pondok dan
melemparkannya ke dalam semak-semak belukar!
Lin Lin yang
tidak berdaya itu merasa tersiksa hatinya. Semalaman itu ia direbahkan di atas
pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur
karena selalu terkenang kepada Bok Liong. Tentu saja ia tidak melihat betapa
pemuda itu benar-benar mengalami derita yang hebat sekali.
Bok Liong
siuman tak lama sesudah ia dilempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh
tubuhnya sakit-sakit dan sukar sekali bangkit karena terasa amat nyeri setiap
kali menggerakkan kaki tangan,. Ia memaksa diri untuk bangkit, merangkak ke
luar dari dalam semak-semak, berjalan terhuyung-huyung menuju ke sungai dengan
maksud untuk mencuci tubuhnya yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia
jatuh tersungkur dan kembali ia pingsan di pinggir sungai. Sampai jauh malam
barulah ia sadar, akan tetapi tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga
setelah mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi.
Namun Lie
Bok Liong adalah seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus
asa. Ia lalu duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan mengerahkan
tenaga. Menjelang pagi, ia sudah merasa mendingan.
“Liong-twako...!”
Ini suara Lin Lin.
Cepat Bok
Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia memandang, ia merasa kecewa. Ternyata
Lin Lin berjalan di depan rombongan orang Khitan, agaknya keluar dari pondok
menuju ke perahu, akan tetapi di dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo!
“Aku tidak apa-apa,
Lin-moi. Kau jagalah dirimu baik-baik!” Ucapan ini tentu saja diterima dengan
hati perih oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan
cinta kasih yang luar biasa besar dan tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan
isak gadis itu menundukkan mukanya dan berjalan terus menuju ke perahu bersama
Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya
melawan.
Orang Khitan
yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan pedang
Goat-kong-kiam ke dekat pemuda itu sambil meludah dan tertawa mengejek!
Bok Liong
bukanlah orang yang sudi menerima penghinaan begitu saja tanpa membalas.
Melihat pedangnya, secepat kilat ia menyambarnya dan mengerahkan sisa
tenaganya, menggunakan pedangnya menerjang orang berkumis itu.
Si kumis
kaget sekali, cepat mengelak, namun pedang Bok Liong masih saja mencium
pundaknya. Orang Khitan itu terhuyung ke belakang dan Bok Liong cepat menambah
serangannya dengan sebuah tusukan kilat. Dada orang Khitan berkumis itu pasti
akan tertembus pedang Goat-kong-kiam kalau saja pada saat itu Hek-giam-lo tidak
cepat menggerakkan tangan kanannya sambil membalikkan tubuh. Tangan itu masih
terpisah satu meter dari Bok Liong, akan tetapi pukulan jarak jauh ini cukup
membuat Bok Liong terpental sehingga tusukannya meleset dan si kumis selamat.
Kalau saja Bok Liong tidak dalam keadaan selemah itu, kiranya belum tentu
pukulan jarak jauh ini akan dapat menggagalkan tusukannya tadi.
Bok Liong
benar-benar nekat dan keras hati. Ia terlempar ke kiri dan jatuh, akan tetapi
cepat ia meloncat bangun dan kali ini dengan pedangnya ia menyerang
Hek-giam-lo! Ia memang terluka dan lemah, namun jurus serangannya adalah jurus
serangan ilmu silat tinggi, dan pedangnya adalah pedang pusaka, maka serangan
itu tak boleh dipandang ringan. Kalau lawan biasa saja tentu sukar terlepas
dari pada bahaya serangan ini.
Akan tetapi
sayang bahwa kali ini yang diserangnya adalah Hek-giam-lo. Sambil mendengus
panjang, iblis ini menggerakkan senjatanya yang aneh, diputar menyilaukan mata.
Terdengar suara nyaring, dan entah bagaimana tahu-tahu tubuh Bok Liong
terlempar ke dalam sungai.
“Byurrrrr!”
air muncrat tinggi-tinggi dan pemuda itu gelagapan, dengan susah payah berusaha
berenang ke tepi.
Orang-orang
Khitan tertawa bergelak ketika mereka berada di atas perahu dan perahu itu
meluncur menurutkan aliran air sungai, meninggalkan Bok Liong yang masih
gelagapan dan berenang ke pinggir.
“Lin-moi...!
Jangan khawatir, aku akan menyusulmu...!” Suara Bok Liong ini terdengar oleh
Lin Lin yang berada di atas perahu, dan makin gemaslah hati Lin Lin kepada
Suling Emas, mengapa sampai begitu lama belum juga datang menolongnya sehingga
Bok Liong harus mengalami derita yang demikian hebatnya.
Tak tega
lagi hatinya, maka ia lari memasuki pondok perahu, membanting diri di atas
pembaringan yang disediakan untuknya, lalu menangis. Tiba-tiba ia melihat benda
bersinar dan ia segera meraih tongkat itu. Benda bersinar itu adalah ya-beng-cu
yang selama ini memang menjadi benda permainannya. Sebetulnya, sebentar saja ia
sudah bosan dengan tongkat itu, akan tetapi karena tongkat ini yang agaknya
akan membawa ia bertemu kembali dengan Suling Emas, maka ia selalu main-main
dengan tongkat itu. Ia merasa yakin bahwa Suling Emas pasti akan mengejar
Hek-giam-lo untuk merampas kembali tongkat ini.
Ia
meraba-raba tongkat itu. Baru sekarang ia memperhatikan tubuh tongkat, yang
ternyata diukir-ukir indah. Tongkat itu sebesar lengannya, makin ke bawah makin
kecil dan pada kepalanya terdapat mutiara-mutiara ya-beng-cu itu. Ketika Lin
Lin menekan sana-sini, tanpa sengaja ia menekan bagian bawah dan tiba-tiba
terdengar bunyi.
“Klikkk!”
dan bagian tengah tongkat itu bergerak memanjang! Lin Lin merasa heran sekali.
Ketika
diperiksanya bagian ini, ternyata bagian tengah tongkat itu bersambung, akan
tetapi sambungannya diatur demikian rupa sehingga takkan dapat diketahui begitu
saja. Agaknya tersentuh kunci pembuka sambungan itu maka otomatis sambungannya
menjadi memanjang. Lin Lin menarik kedua ujung tongkat dan benar saja, tongkat
itu kini menjadi dua potong. Bagian atas sebagai tutupnya dan bagian bawah
sebagai wadah yang ternyata berlubang sebelah dalamnya. Dengan amat hati-hati
Lin Lin memeriksa, mengetuk-ngetukkan kedua potongan tongkat yang berlubang itu
dan keluarlah gulungan-gulungan kertas tipis dari dalamnya.
Dengan hati
berdebar-debar Lin Lin memeriksa. Kiranya kertas-kertas bergulung itu ada tiga
belas lembar banyaknya, lebarnya sekaki persegi dan penuh dengan tulisan
kecil-kecil yang indah. Lin Lin cepat membacanya dan alangkah girang dan tegang
hatinya ketika membaca pelajaran ilmu silat aneh yang didahului dengan latihan
semedhi yang aneh pula, karena di situ diterangkan bahwa untuk latihan ini
orang harus bertelanjang bulat.
Memang semua
aliran menganjurkan bahwa di waktu semedhi, orang harus mengenakan pakaian yang
longgar, jangan ada yang menekan agar kedudukan tubuh menjadi enak dan jalan
darah tidak terganggu, dan memang harus diakui bahwa yang terbaik adalah
bertelanjang bulat. Lin Lin berpengharapan bahwa ilmu ini merupakan ilmu
mukjijat yang akan dapat menolong dirinya. Akan tetapi pelajaran ini
mengharuskan orang bertelanjang bulat dalam latihan ini, sungguh merupakan hal
yang aneh dan luar biasa. Akan tetapi, karena hatinya amat ingin dapat
membebaskan diri dari tangan Hek-giam-lo, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka
semua pakaiannya, lalu berjungkir balik dan bersemedhi dalam keadaan aneh ini,
kepala di bawah kaki di atas seperti yang dianjurkan di dalam gulungan kertas
pertama.
Beberapa
menit kemudian ia merasa kepalanya pening, akan tetapi ia memaksa diri,
mendesak hawa sinkang ke bagian menurut petunjuk dan... sepuluh menit kemudian
kakinya yang berada di atas itu terbanting ke bawah karena gadis ini sudah
menjadi pingsan! Kebetulan sekali tubuhnya yang tak berpakaian lagi itu menimpa
tongkat dan gulungan kertas sehingga tidak tampak dari luar.
Kalau saja
keadaannya tidak seaneh itu, agaknya Lin Lin akan menimbulkan kecurigaan
Hek-giam-lo. Dua kali anak buah Hek-giam-lo mengetuk pintu pondok untuk
mempersilakan dia keluar makan, dan dua kali itu tidak ada jawaban dari dalam
pondok. Akhirnya Hek-giam-lo sendiri mendekati pintu pondok. Dengan perlahan
didorongnya pintu dan ia menjenguk ke dalam. Dari dalam kedoknya iblis ini
mendengus, lalu menutupkan kembali pintu pondok dari luar, kemudian memesan
kepada semua anak buahnya agar jangan mengganggu tuan puteri yang sedang tidur
nyenyak.
Betapa pun
juga gadis itu akan diperisteri oleh kakaknya, Raja Khitan, maka Hek-giam-lo
tidak suka mengganggunya. Apa lagi gadis yang ia anggap liar dan gila itu kini
tidur dalam keadaan telanjang bulat, tentu saja tidak boleh dilihat anak
buahnya. Seorang gadis yang menjadi calon permaisuri mana boleh dilihat oleh
anak buahnya dalam keadaan tak berpakaian? Sama sekali Hek-giam-lo tidak
curiga, apa lagi memang hawa pada siang hari itu amat panas.
Lin Lin
siuman kembali dan cepat-cepat ia berpakaian. Ia maklum bahwa ilmu yang
tertulis di dalam gulungan kertas itu merupakan ilmu mukjijat yang luar biasa.
Ia dapat menduga bahwa mempelajari ilmu ini tidak boleh secara serampangan
belaka, maka ia mengambil keputusan untuk membacanya dengan teliti dan tidak
akan melatihnya sebelum ia mengerti benar inti sarinya. Tentu saja Lin Lin
tidak tahu kerena kertas-kertas itu dahulu ditulis oleh pendiri Beng-kauw,
yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Telah
diceritakan di bagian depan yang menyinggung sedikit akan keadaan ketua
Beng-kauw pertama itu dengan puterinya, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu
Sian. Lu Sian mencuri Sampo-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) yang menjadi pegangan
ketua Beng-kauw itu, dan karenanya semua ilmu kesaktian Pat-jiu Sin-ong boleh
dibilang telah diwarisi atau dicuri oleh anak perempuannya sendiri yang murtad.
Karena inilah maka diam-diam Pat-jiu Sin-ong lalu menciptakan ilmu pukulan
mukjijat yang seluruhnya berjumlah tiga belas macam dan secara rahasia ia tulis
dan ia sembunyikan di dalam tongkatnya. Tiga belas macam ilmu gaib ini ia
ciptakan dengan susah payah selama tiga belas tahun dan merupakan ilmu yang
berat dan dalam.
Inilah
sebabnya mengapa begitu melatih semedhi menurut petunjuk ilmu ini seketika Lin
Lin menjadi pingsan! Baiknya Lin Lin dapat mengenal ilmu sejati, dan dengan
tekun mempelajarinya secara diam-diam. Setelah hafal betul dan tahu bagaimana
harus bersikap dalam latihan semedhi yang aneh itu, kini ia hanya berlatih
semedhi di waktu malam dan sengaja ia menggelapkan kamar dan menutupi mutiara
ya-beng-cu agar tidak mengeluarkan sinar.
Baru
berlatih tiga malam saja, ia sudah mendapatkan perubahan hebat dalam dirinya.
Hawa sakti yang amat aneh dan amat kuat bergolak di dalam dadanya dan
berkali-kali ia mau muntah karena tidak dapat menahannya. Akan tetapi berkat
petunjuk dari ilmu rahasia itu yang tekun dibacanya, ia dapat mengatur dan
menyalurkan hawa sakti itu sehingga berkumpul di pusar.
Kemudian ia
mulai mempelajari jurus-jurus rahasia yang tiga belas buah banyaknya. Tidaklah
mudah untuk mempelajari ilmu yang diciptakan selama tiga belas tahun ini apa
lagi ilmu tingkat tinggi. Baiknya Lin Lin pernah menerima petunjuk dan
gemblengan kakek Kim-lun Seng-jin sehingga sedikit banyak ia telah memiliki
dasar untuk ilmu silat tingkat tinggi. Biar pun dengan susah payah dan sukar
sekali, namun kecerdikannya membuat ia lambat-laun dapat pula memetik buahnya.
Semenjak
mendapatkan kertas gulungan pelajaran rahasia yang kalau sudah baca ia simpan
kembali ke dalam tongkat, Lin Lin bersikap tenang dan tidak lagi memaki-maki
atau nekat mencari jalan pembebasan. Ia maklum bahwa untuk dapat bebas, ia
harus dapat mengalahkan Hek-giam-lo dan untuk mencapai hal ini adalah tidak
mudah. Tak mungkin ia dapat mengalahkan orang sakti itu walau pun ia sudah
mempelajari ilmu mukjijat yang baru dilatihnya beberapa hari lamanya dan masih
mentah. Ia ingin memperdalam ilmu ini, kalau perlu ia akan ikut terus sampai ke
Khitan dan akan mencari jalan ke luar agar supaya kehendak Kaisar Khitan atau
pamannya itu ditangguhkan. Setelah ilmu itu ia fahami benar-benar, nah, baru ia
akan melarikan diri menggunakan ilmu baru ini untuk menghadapi dan menghalau
penghalang.
***************
Suling Emas
terus melarikan diri, dikejar oleh tokoh-tokoh kang-ouw yang mabuk dendam itu.
Pendekar sakti ini menjadi serba bingung. Lari terus dari orang-orang yang
berkepandaian tinggi ini merupakan hal yang amat sukar, bahkan tidak mungkin
karena mereka itu rata-rata memiliki ginkang dan ilmu lari cepat yang mencapai
tingkat tinggi. Berhenti dan melawan, boleh jadi ia akan dapat mengatasi mereka
dengan mengandalkan ilmu-ilmunya, terutama ilmu kesaktian yang ia terima dari
Bu Kek Siansu.
Akan tetapi
kalau ia ingin memperoleh kemenangan dalam pertempuran sehingga ia dapat lolos,
jalan satu-satunya hanya merobohkan mereka dan justru hal ini yang tidak ia
kehendaki. Mereka itu adalah orang-orang yang dibikin sakit hati oleh mendiang
ibunya, yang kini menuntut keadilan dan menuntut balas kepadanya. Kalau ia
merobohkan mereka, melukai apa lagi membunuh, hal itu benar-benar tidak patut
dan berarti ia menambah dosa-dosa yang agaknya sudah ditumpuk oleh ibunya.
Berpikir demikian, makin sedih hatinya dan hampir saja ia menyerah, hampir
timbul pikiran untuk menebus dosa-dosa ibunya dengan menyerahkan nyawa di
tangan mereka!
Akhirnya
Suling Emas terpaksa berhenti di sebuah lapangan rumput di lereng bukit. Lari
terus tiada gunanya lagi, juga hal ini akan membuat ia makin jauh dari kedua
orang adiknya yang sudah melarikan diri ke jurusan timur karena ia sendiri lari
ke arah barat. Dengan mengangkat sulingnya tinggi-tinggi ia berseru.
“Tahan, aku
hendak bicara!”
Dalam waktu
beberapa menit saja mereka sudah tiba di depannya. Sebagian dari pada mereka
terengah-engah karena untuk beberapa lama melakukan pengejaran dengan
pengerahan ginkang sepenuhnya.
“Kau mau
bicara apa lagi, Suling Emas?” bentak tokoh Siauw-lim-pai Cheng San Hwesio
sambil melintangkan tongkat hwesio di depan dadanya. “Kau yang terkenal sebagai
seorang pendekar muda yang sakti, ternyata hanyalah seorang pengecut yang
berlari-lari menyelamatkan diri. Hemmm....”
“Buah takkan
jatuh jauh dari pohonnya, anak tidak akan jauh bedanya dari ibu kandungnya.
Ibunya pengecut, melakukan kejahatan lalu bersembunyi puluhan tahun, mana
anaknya tidak pengecut pula?” kata Kok Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai sambil
menudingkan pedangnya ke arah Suling Emas. Yang lain-lain ikut pula bicara
sehingga ramailah di situ, hiruk-pikuk.
Suling Emas
melihat betapa gadis baju hijau yang berada di barisan terdepan, yang tidak
terengah-engah tanda bahwa ginkang-nya mencapai tingkat tinggi, tidak berkata
apa-apa, malah menundukkan muka dan kadang-kadang saja mengerling ke arahnya
dengan sikap bingung dan ragu-ragu.
“Cu-wi
Locianpwe (Para Orang Tua Sakti) harap jangan terburu nafsu,” kata Suling Emas
setelah menarik napas panjang. “Sesungguhnya aku sama sekali tidak tahu akan
urusan Cu-wi (Kalian) dengan mendiang ibuku. Akan tetapi percayalah, andai kata
benar ibu telah melakukan kesalahan-kesalahan, aku sebagai puteranya takkan
mengingkarinya dan sanggup untuk mempertanggung-jawabkannya. Akan tetapi, ada
dua hal yang harus dipecahkan lebih dulu.”
“Apakah dua
hal itu? Hayo bicara yang betul, jangan plintat-plintut!” bentak Hek Bin
Hosiang, si hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai yang sudah gatal-gatal tangannya
hendak mengemplang kepala putera musuh besarnya ini dengan senjatanya. Ia
memang jujur dan galak.
“Pertama,”
sambung Suling Emas tanpa menghiraukan sikap galak ini. “Cu-wi begini banyak,
yang masing-masing hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku. Ada yang
hendak menawan, ada yang hendak membunuh. Mana mungkin hal ini dapat dilakukan?
Kedua, biar pun Cu-wi semua mempunyai cerita masing-masing yang menuduhkan
kejahatan-kejahatan kepada mendiang ibuku, bagaimana aku dapat merasa yakin
bahwa semua tuduhan itu benar belaka? Bagaimana kalau tuduhan itu hanya fitnah
dan tidak benar adanya?”
“Fitnah?
Jelas Tok-siauw-kwi adalah iblis betina yang jahat, musuh semua orang gagah di
dunia kang-ouw. Kau putera tunggalnya, kau harus menebus dosanya setelah ia
mampus, dan kita semua akan saling memperebutkan engkau, baik mati mau pun
hidup!” bentak Hek Bin Hosiang sambil menghantam dengan toya baja di tangannya.
Hantaman
toya baja ini luar biasa kerasnya karena selain toya baja itu sendiri beratnya
lebih dari seratus kati, juga tenaga hwesio muka hitam tokoh Go-bi-pai ini
melebihi gajah! Terdengar angin bersiutan ketika toya itu lenyap bentuknya
berubah menjadi sinar hitam menyambar kepala Suling Emas!
“Syuuuuur!”
pita rambut yang panjang berwarna hitam itu berkibaran ketika toya baja
menyambar lewat di atas kepala Suling Emas yang sudah merendahkan tubuh
mengelak.
Namun toya
itu membuat gerakan membelok dan meliuk panjang, lalu datang lagi menyambar
dengan lebih kuat lagi. Kini yang diterjang adalah punggung Suling Emas. Pendekar
sakti ini cepat menotolkan ujung kaki ke tanah dan tubuhnya mencelat mumbul ke
atas, membiarkan toya itu menyambar lewat di bawah kakinya. Sebelum tubuhnya
turun, Suling Emas sudah menggerakkan sulingnya ke belakang dan kipasnya ia
kebutkan ke kiri karena pada saat itu ia telah diserang dari dua pihak oleh
lawan yang lain!
Terdengar
bunyi nyaring ketika pedang di tangan Kok Seng Cu tokoh Hoasan-pai itu
tertangkis suling. Kok Seng Cu melompat ke belakang dengan kaget dan kagum. Ia
seorang tokoh Hoa-san-pai tingkat dua, lweekang-nya sudah mencapai tingkat
tinggi, akan tetapi benturan pedangnya dengan suling itu membuat telapak
tangannya panas.
Lebih kaget
lagi adalah Cheng San Hwesio tokoh Siauw-lim-pai, karena tongkat hwesionya yang
ia pukulkan ke arah kepala tiba-tiba menyeleweng ketika dikebut oleh kipas di
tangan Suling Emas. Tentu saja hwesio tua ini menjadi penasaran dan juga kaget
sekali. Tenaga pukulannya dengan tongkat itu mendekati tiga ratus kati,
bagaimana dapat dikebut begitu saja oleh sebuah kipas dan menjadi meleset?
Suling Emas
menarik napas panjang, mengumpulkan sinkang dan menggetarkan sulingnya sambil
mengebut-ngebutkan kipasnya karena pada saat itu hujan senjata menyerangnya
dari segenap penjuru. Terdengar bunyi nyaring dan semua senjata itu dapat ia
pentalkan mundur oleh getaran sulingnya, sedangkan yang lain dapat dikebut
menceng oleh kipasnya.
Ia kembali
mengeluh dalam hatinya. Sedih ia melihat sikap orang-orang kang-ouw yang amat
membencinya ini, yang ingin melihat ia roboh, melihat ia mati, memperlakukannya
seolah-olah ia seorang penjahat besar yang keji dan patut dibasmi! Mengingat
akan hal ini, melihat sinar kebencian berpancaran dari mata mereka, Suling Emas
tak dapat menahan kesedihannya, tak dapat lagi ia mengangkat senjata melawan
mereka dan setelah memutar sulingnya dengan gerakan memanjang sehingga sinar
senjata ampuh ini berubah menjadi pelangi memanjang yang membuat para
pengeroyoknya berlompatan mundur, Suling Emas lalu membalikkan tubuhnya dan
melarikan diri lagi!
“Pengecut,
jangan lari! Begitu sajakah nama besar Suling Emas? Kini merasa takut dan lari
terbirit-birit?” seru Kok Seng Cu tokoh Hoa-san-pai sambil mengejar, nada
suaranya penuh ejekan.
“Ho-ho-ho!
Putera tunggal Tok-siauw-kui yang jahat dan keji mana bisa menjadi orang gagah?
Tentu licik, curang dan pengecut!” It-gan Kai-ong tertawa sambil mengejar
paling depan.
“It-gan
Kai-ong! Kalau kau menghendaki bertempur, hayo kita mencari tempat. Jangan kira
aku takut padamu, memang aku masih ada perhitungan denganmu yang belum
diselesaikan.”
“Ha-ha-ho-ho!
Kau menantang sambil berlari! Bilang saja kau takut!”
Memang
Suling Emas terus melarikan diri, dikejar oleh banyak orang. Ejekan It-gan
Kai-ong memanaskan perutnya, akan tetapi ia cukup maklum bahwa ejekan yang
dikeluarkan oleh pengemis tua mata satu itu sekali-kali bukanlah merupakan
tantangan si pengemis sakti, melainkan merupakan akal bulus untuk mencegahnya
melarikan diri dan memaksanya menghadapi pengeroyokan begitu banyak tokoh
kang-ouw.
“Jembel
busuk, aku sama sekali tidak takut menghadapi pengeroyokan, aku hanya tidak mau
melayani mereka!”
“Ha-ha-ho-ho,
akal bulus!” It-gan Kai-ong tertawa, akan tetapi biar pun hatinya mendongkol,
Suling Emas melanjutkan larinya. Para pengejarnya juga mengerahkan ginkang dan
mulai menghujankan senjata rahasia lagi, didahului oleh It-gan Kai-ong. Suling
Emas berhasil menyelamatkan diri dengan memutar suling di belakang tubuhnya dan
berloncatan ke depan secara berbelok-belok ke kanan kiri.
Mendadak
pendekar sakti itu berseru kaget dan terpaksa menghentikan larinya. Daerah ini
belum dikenalnya dan ia sama sekali tidak mengira bahwa tadi ia melarikan diri
ke jurusan yang buntu! Kini di depannya terbentang jurang yang amat dalam dan
luas, lebarnya lebih dari seratus meter dan dalamnya tak dapat diukur lagi. Ia
telah masuk perangkap, di depannya menghalang jurang yang tak mungkin dapat
dilampaui, di belakangnya mengejar puluhan orang yang merupakan lawan-lawan
berat dan terutama sekali, merupakan lawan yang tak ingin ia hadapi, bukan
karena takut melainkan karena enggan.
“Ha-ha-ha,
sekarang tamatlah riwayatmu, Suling Emas!” It-gan Kai-ong melompat maju dan
menerjang dengan pukulan dahsyat.
Karena di
antara para tokoh kang-ouw itu boleh dibilang It-gan Kai-ong merupakan orang
yang tingkat kepandaiannya paling tinggi, maka jembel iblis ini dapat menyerang
lebih dulu dari pada orang lain. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya
melontarkan pukulan dengan hawa pukulan jarak jauh sedangkan tangan kanannya
menghantamkan tongkatnya ke arah kepala. Sukar untuk dikatakan mana yang lebih
berbahaya, karena sesungguhnya pukulan tangan kiri itu, biar pun jaraknya jauh
dan tidak akan langsung mengenai kulit lawan, namun bahayanya tidak kalah oleh
kemplangan tongkat pada kepala.
Namun Suling
Emas cepat menangkis tongkat dengan sulingnya dan mengebut hawa pukulan beracun
tangan kiri lawan itu dengan kipasnya, malah kakinya digeser ke depan, kemudian
kipas yang tadinya menghembus hawa pukulan lawan terus menyelonong ke depan dan
digetarkan sedemikian rupa sehingga kedua ujungnya berturut-turut menotok jalan
darah kin-teng-hiat di pundak kiri dan tiong-cu-hiat di leher!
It-gan
Kai-ong terkejut sekali. Hampir saja totokan pada pundak itu mengenai sasaran.
Ia cepat miringkan tubuh dan totokan kedua ke arah lehernya itu ia papaki
dengan air ludah! Sudah terkenal di dunia persilatan bahwa It-gan Kai-ong
memiliki ilmu kepandaian meludah yang amat mengerikan. Tubuh yang terkena air
ludah yang keluar dari mulutnya akan bolong-bolong dan sekali saja terkena air
ludahnya, lawan yang kurang kuat akan tewas! Tentu saja penggunaan air ludah
ini cukup kuat untuk menangkis kipas yang menotok leher.
Di lain
pihak, Suling Emas tidak sudi membiarkan kipasnya terkena ludah kakek
menjijikkan itu, maka terpaksa ia menarik sedikit kipasnya dan mengerahkan
tenaganya mengebut. Air ludah itu terkena kebutan kipas membalik dan menyambar
muka It-gan Kai-ong sendiri! Akan tetapi kakek ini membuka mulutnya dan
menerima kembali air ludahnya dengan mulut.
“Kawan-kawan,
hayo tangkap putera iblis keji Tok-siauw-kui ini sebelum ia sempat melarikan
diri!” teriak It-gan Kai-ong yang diam-diam merasa gentar juga menghadapi
pendekar yang lihai itu.
Memang para
tokoh kang-ouw itu sudah tiba pula di situ dan sudah siap menerjang, maka tanpa
menanti komando kedua lagi mereka beramai-ramai terjun ke gelanggang
pertempuran dan sibuklah Suling Emas menggerakkan sepasang senjatanya untuk
menangkis ke sana ke mari. Tentu saja ia banyak melihat lowongan-lowongan yang
kalau mau dapat dimasukinya dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Akan tetapi
justru hal ini yang tidak ia kehendaki, maka ia menjadi terdesak hebat dan
tidak melihat jalan ke luar lagi. Jalan keluar ke arah kebebasan hanya melalui
jalan darah, yaitu dengan merobohkan beberapa orang pengeroyok. Bingunglah hati
Suling Emas. Tanpa merobohkan beberapa orang di antara mereka tak mungkin ia
bisa lolos kali ini.
Hanya kepada
It-gan Kai-ong seorang ia mau balas menyerang karena ia maklum akan kejahatan
kakek itu, sedangkan yang lain adalah tokoh-tokoh yang ia dengar namanya
sebagai tokoh-tokoh terhormat yang bernama baik. Akan tetapi balasan
serangannya kepada It-gan Kai-ong tidak ada artinya lagi karena ia hanya dapat
mempergunakan sepersepuluh bagian saja dari pada perhatiannya yang harus ia
pergunakan untuk menangkis dan menghindar dari pada serbuan lawan.
Dalam
kesibukannya mempertahankan dirinya ini, teringatlah Suling Emas akan segala
pengalamannya. Mulai menyesallah hatinya mengapa semenjak dahulu ia membenci
ayah kandungnya yang ia sangka menyia-nyiakan ibunya dan kawin lagi. Mengapa
selama itu, sampai ayahnya mati, tak pernah ia pulang, tak pernah ia berbakti
kepada ayahnya yang ternyata adalah seorang satria sejati. Sedangkan ibunya...
ah, kini ia harus menebus dosa-dosa ibunya dan dosanya sendiri yang tidak
berbakti kepada ayah kandung!
Hatinya
menjadi sedih, perlawanannya mengendur karena semangatnya menurun. Kesedihan
hatinya mendorongnya untuk meloncat saja ke dalam jurang di belakangnya,
meninggalkan para pengeroyoknya, meninggaikan dunia ini, meninggalkan mereka
yang dicintanya. Siapakah orang yang dicintanya di dunia ini? Ada memang, akan
tetapi hanya lamunan kosong belaka. Orang yang dicintanya sudah menjadi isteri
orang lain!
Akan tetapi
jiwa satria di dalam dirinya melarangnya membunuh diri begitu saja. Seorang
gagah tidak boleh mati secara konyol, sedikitnya jauh lebih baik mati di ujung
senjata lawan dari pada mati menceburkan diri ke dalam jurang begitu saja! Oleh
karena ini, semangatnya timbul kembali dan Suling Emas tiba-tiba ingat akan
ilmu yang ia dapat dari Bu Kek Siansu. Ilmunya yang sakti, Hong-in-bun-hoat
jika ia pergunakan, maka akan berubah menjadi ilmu pedang yang dimainkan dengan
senjata sulingnya, dan ia tidak mau menggunakan ilmu ini karena akibatnya tentu
akan merobohkan para pengeroyoknya.
Ia teringat
akan Ilmu Kim-kong-sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang lebih menyerupai ilmu
musik! Karena sudah tidak ada jalan lain, Suling Emas meloncat jauh ke kiri
lalu menyimpan kipasnya dan menempelkan suling pada bibirnya. Terdengarlah
suara yang aneh, mengalun tinggi. Para pengeroyoknya sejenak terhenyak kaget
dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suling Emas untuk duduk bersila,
mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menutup sulingnya, menyanyikan lagu yang
indah dan aneh! Karena menghadapi orang-orang kang-ouw yang memiliki nama
besar sebagai orang-orang gagah perkasa, secara otomatis Suling Emas yang
menjadi ahli dalam soal kesusastraan dan nyanyian kuno, segera mainkan lagu
MENGABDI TANAH AIR yang bersifat menggugah semangat kebangsaan dan kepatriotan.
Memang
nyanyian itu hanyalah sebuah lagu, akan tetapi jangan dikira bahwa suara suling
yang nyaring merdu itu adalah suara biasa saja. Suara itu mengandung suara
sakti yang disalurkan dengan sinkang sepenuhnya. Mula-mula para pengeroyok itu
berdiri melongo dan sejenak menahan gerakan, akan tetapi beberapa detik
kemudian, beberapa orang di antara mereka yang kurang kuat sinkang-nya
terguling dengan tubuh lemas dan gemetaran. Suara itu mempunyai pengaruh yang
luar biasa besarnya, membuat mereka merasa terharu, malu kepada diri sendiri,
dan menghapus semangat mereka untuk bertanding melawan bangsa sendiri, malah
sekaligus melumpuhkan kaki tangan mereka.
Akan tetapi
orang-orang seperti It-gan Kai-ong, Hek Bin Hosiang, Cheng San Hwesio dan
lain-lain yang cukup kuat sinkang-nya, tentu saja tidak gampang menjadi roboh.
Betapa pun juga, mereka terpengaruh dan terpaksa mereka harus mengerahkan
sinkang untuk melawan pengaruh suara aneh yang mendebarkan jantung mereka itu.
Ada sembilan
orang tokoh kang-ouw yang tidak roboh oleh suara suling itu. Yang lain, ada
yang roboh terguling dengan lemas, ada yang terpaksa harus bersila dan mengumpulkan
tenaga untuk melawan arus hawa sakti yang mempengaruhi mereka, akan tetapi tak
seorang pun yang terluka di sebelah dalam oleh suara ini karena memang Suling
Emas tidak bermaksud melukai mereka. Hebat memang ilmu ini, dan kiranya di
dalam dunia pada masa itu, jarang ada yang memiliki ilmu sehebat ini.
Dahulu
ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong sendiri belum tentu dapat mengeluarkan
suara yang merobohkan puluhan orang sekaligus, dan membuat seorang tokoh
seperti Itgan Kai-ong sampai harus mengerahkan tenaga dan tidak bergerak
selama sepuluh menit! Inilah kehebatan Kim-kong-sin-im yang didapatkan Suling
Emas dari kakek dewa Bu Kek Siansu. Padahal ilmu ini belum lama ia dapat dan
belum matang betul ia latih.
Setelah
berdiam diri tak bergerak selama sepuluh menit, mengumpulkan sinkang untuk
melawan pengaruh suara suling yang merampas semangat dan melumpuhkan urat
syaraf, perlahan-lahan It-gan Kai-ong dan delapan orang tokoh lain mulai
menggerakkan kaki. Selangkah demi selangkah mereka maju, senjata siap di
tangan, makin mendekati Suling Emas yang masih terus meniup suling, mencurahkan
perhatiannya kepada permainan sulingnya sehingga boleh dibilang ia tidak
mengetahui bahwa ada sembilan orang yang tidak terpengaruh oleh Kim-kong-sin-im
dan yang kini makin mendekatinya dengan ancaman maut.
Makin dekat
dengan Suling Emas, pengaruh Kim-kong-sin-im makin kuat sehingga sembilan orang
tokoh itu menjadi tertahan-tahan langkahnya, bahkan tiga orang di antara mereka
terpaksa berhenti melangkah setelah berada dekat, tinggal enam langkah lagi
dari tempat Suling Emas duduk. Pengaruh Kim-kong-sin-im demikian hebatnya
sehingga tiga orang ini merasa tubuh mereka bergoyang dan kedua kaki demikian
lemas dan berat tak dapat digerakkan lagi. Terpaksa mereka tinggal berdiri dan mengerahkan
sinkang agar tidak terguling roboh.
Enam orang
lain, didahului oleh It-gan Kai-ong, masih dapat melangkah maju sungguh pun
hanya dengan lambat dan sukar. Akan tetapi, jangankan sampai ada enam orang,
baru It-gan Kai-ong seorang saja kalau pada saat itu dapat menyerang Suling
Emas, tentu akan berhasil menewaskan pendekar ini karena pada saat itu Suling
Emas seakan-akan berada dalam keadaan terbuka, tak terjaga sama sekali.
Enam orang
itu tidak melangkah lagi kini, hanya dapat menggeser kaki maju. Sedikit demi
sedikit It-gan Kai-ong dengan mata bersinar-sinar maju paling dulu, tongkatnya
sudah ia angkat ke atas, siap untuk menghantam kepala musuh lamanya itu.
Hatinya sudah merasa girang sekali karena ia akan merasa aman kalau musuh yang
paling berat ini tewas. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang
bernyanyi, mengikuti suara suling dan suara ini amatlah lembut akan tetapi
kedengaran bersemangat sekali. “Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk
rakyat dan negara, itulah paling mulia)!”
It-gan
Kai-ong yang sudah mengangkat tongkatnya terkejut sekali. Apa lagi setelah
tiba-tiba terdengar suara yangkhim yang nyaring mengiring lagu yang dimainkan
oleh Suling Emas, terjadilah hal yang luar biasa. Enam orang itu serta-merta
menjatuhkan diri dan duduk bersila, meramkan mata dan mengendalikan semangat
mereka yang terbawa melayang-layang oleh lagu yang diciptakan oleh suara suling
dan yang-khim. Tak mampu lagi mereka bergerak, apa lagi menyerang, lenyap sama
sekali nafsu bertempur.
Juga semua
orang yang tadinya berada di bawah pengaruh suara suling, kini dapat menarik
napas lega karena gabungan suara suling dan yang-khim ini, biar pun membuat
mereka terpesona dan tak dapat bergerak, namun amat enak dan menyenangkan hati
dan pikiran, membuat mereka merasa seperti melayang-layang di angkasa dan
menciptakan pandangan tentang pahlawan-pahlawan pembela tanah air. Mereka
seakan-akan mimpi tentang dongeng akan pahlawan-pahlawan yang paling mereka
kagumi!
Perlahan-lahan
gabungan suara musik itu lenyap. Keadaan menjadi sunyi kembali sungguh pun gema
suara ajaib tadi masih terngiang di dalam telinga. Semua orang membuka mata dan
meloncat berdiri, seakan-akan baru bangun dari pada tidur nyenyak. Kiranya di
dekat Suling Emas yang masih duduk bersila di atas tanah terdapat seorang kakek
tua renta yang juga duduk bersila. Seorang kakek yang berpakaian sederhana,
berambut panjang sudah putih semua, juga kumis dan jenggotnya sudah putih. Akan
tetapi di balik kesederhanaannya ini terpancar cahaya keagungan yang amat
berwibawa. Pada punggungnya tersembul ke luar sebuah alat musik yang-khim.
Wajahnya yang cerah itu membayangkan keramahan, kesabaran dan pengertian yang
mendalam dan luas, yang memaksa orang memperoleh kesan baik dan menghormatnya.
Akan tetapi
begitu It-gan Kai-ong mengenal kakek itu, ia berjingkrak marah dan berkata
kasar, “Bu Kek Siansu! Kau berat sebelah! Percuma saja kau disebut-sebut
manusia dewa yang selalu melepas budi kebaikan kepada siapa pun juga tanpa
memilih bulu dan dianggap tokoh yang tak sudi lagi terikat oleh segala urusan
duniawi. Akan tetapi apa buktinya sekarang? Kau membantu Suling Emas menghadapi
kami semua dengan ilmu sihirmu!”
Semua tokoh
yang hadir di situ terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bu Kek Siansu.
Nama ini menjadi pujaan semua tokoh kang-ouw, bahkan setiap tahun sekali semua
tokoh kang-ouw mengharapkan bertemu dengan kakek manusia dewa ini karena konon
kabarnya setiap tahun apa bila bertemu dengan orang, kakek ini berkenan
memberikan satu dua macam ilmu kesaktian yang jarang tandingannya di dunia ini.
Sekarang secara tiba-tiba kakek itu muncul dan mendengar tuduhan It-gan
Kai-ong, semua orang kini memandang kakek itu untuk mendengar jawabannya.
Kakek itu
tersenyum ramah, menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri dengan gerakan
perlahan. Suling Emas juga bangkit berdiri dan tanpa mengeluarkan kata-kata ia
berdiri di sebelah kiri kakek itu sambil menundukkan muka dan dengan sikap
menghormat.
“It-gan
Kai-ong, bersabarlah dan hembuskan semua hawa nafsu yang meracuni hatimu,” kata
Bu Kek Siansu, suaranya tetap sabar dan tenang serta ramah. “Aku tidak pilih
kasih, tidak pula melepas budi kepada siapa pun juga dan tidak mengikat diri
dengan dunia. Aku tidak membantu Suling Emas, melainkan mencegah pembunuhan
orang yang tidak berdosa. It-gan Kai-ong, andai kata kau orangnya yang kena
fitnah seperti Suling Emas dan akan dibunuh kemudian kebetulan aku lewat dan
melihatnya, sudah tentu aku pun akan berusaha mencegah pembunuhan itu.”
“Uuhhh,
pemutaran lidah! Tua bangka yang pura-pura suci!” It-gan Kai-ong memaki-maki,
akan tetapi yang dimaki malah tersenyum-senyum sehingga akhirnya kakek pengemis
itu menjadi jengah sendiri dan menghentikan makiannya, menoleh kepada orang
banyak dan berkata, “Kawan-kawan sekalian mendengar omongannya yang busuk itu.
Sudah terang Suling Emas putera tunggal Tok-siauw-kui yang telah berbuat banyak
kejahatan, sudah jelas Suling Emas yang harus menebus dosa ibu kandungnya. Kakek
sinting ini bilang Suling Emas kena fitnah dan tidak berdosa. He, Bu Kek
Siansu, tua bangka keparat, apakah kau berani bilang bahwa ibu Suling Emas, si
wanita jalang Tok-siauw-kui itu pun tidak berdosa?”
“It-gan
Kai-ong, tutup mulutmu yang busuk dan kalau memang kau mencari lawan, boleh
lawan aku sampai seribu jurus. Kau mengandalkan kesabaran Siansu lalu
melontarkan makian dan hinaan, hemmm, sungguh tak tahu malu!” Suling Emas
tiba-tiba berseru marah kepadanya.
“Ho-ho-ha-ha!
Kawan-kawan lihatlah baik-baik, tadi dia tunggang-langgang melarikan diri,
sekarang setelah ada pembelanya menjadi galak dan sombong! Suling Emas, kau
boleh menunggu giliran, sekarang kami berurusan dengan kakek tua bangka mau
mampus ini. He, Bu Kek Siansu, kau jawablah!”
Sukarlah
mencari orang yang sudah sedemikian teguh jiwanya seperti Bu Kek Siansu. Dimaki
dan dihina seperti ini, sama sekali tidak marah, bahkan sedikit pun ia tidak
berpura-pura sabar. Di bagian depan dari cerita ini sudah dituturkan betapa ia
dicurangi oleh Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, yang tidak
saja berusaha membunuhnya, akan tetapi juga merampas kitab dan yang-khim, namun
sama sekali kakek dewa ini tidak menaruh dendam atau marah. Kini pun, dimaki
oleh jembel iblis itu, ia hanya tersenyum, wajahnya tetap cerah, pandang
matanya tetap penuh kasih.
“It-gan
Kai-ong, aku tidak mau bilang bahwa selama hidupnya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian
tak pernah berbuat dosa. Akan tetapi, agaknya lebih baik sering kali kena
fitnah dari pada sungguh-sungguh berdosa. Tentu saja aku tidak tahu akan semua
urusannya, akan tetapi ada beberapa urusan yang kuketahui benar. Sebagian besar
dari pada kalian yang kini menumpahkan dendam kepada Suling Emas, ternyata
telah melontarkan fitnah yang tidak disengaja karena mungkin tidak tahu, akan
tetapi aku banyak mengetahui urusannya dan sama sekali tidak boleh terlalu
disalahkan kepada Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, apa lagi pada puteranya ini.”
Ucapan kakek
ini bukan hal aneh karena memang semua orang sudah mendengar belaka akan sepak
terjang yang aneh dan luar biasa dari kakek Bu Kek Siansu. Kalau kakek ini
mengetahui akan semua urusan di dunia kang-ouw, hal itu tidaklah mengherankan.
Semenjak puluhan tahun yang lalu, nama Bu Kek Siansu terkenal mengatasi semua
nama-nama besar seperti nama Pat-jiu Sin-ong tokoh Beng-kauw, atau pun Kim-mo
Taisu si Manusia Emas yang menggemparkan kolong langit.
Kali ini
orang tidak menjadi heran kalau kakek sakti itu tahu pula akan urusan
Tok-siauw-kui. Akan tetapi pernyataan Bu Kek Siansu bahwa Tok-siauw-kui tidak
berdosa, benar-benar mendatangkan rasa penasaran di hati banyak tokoh yang
mendendam kepada wanita itu dan yang kini hendak menumpahkan dendamnya kepada
putera Tok-siauw-kui. Karena merasa penasaran, Cheng San Hwesio segera
melangkah maju, menjura kepada Bu Kek Siansu dan berkata lantang.
“Omitohud!
Benar-benar pinceng (aku) yang sudah tua dan tak lama lagi berada di dunia
mendapat berkah besar dengan perjumpaan ini! Telah puluhan tahun mendengar nama
besar yang mulia dari Bu Kek Siansu dan pinceng hendak menggunakan kesempatan
baik ini untuk mohon petunjuk. Siansu yang dimuliakan, dua puluh tahun lebih
yang lalu, seorang janda muda telah membunuh tiga orang suheng-ku dari
Siauw-lim-pai, kemudian menculik seorang sute-ku yang kemudian lenyap tak tentu
rimbanya. Janda muda yang cantik dan berwatak iblis itu bukan lain adalah
Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, puteri dari ketua Beng-kauw. Mohon petunjuk Siansu,
apakah dalam urusannya dengan pihak Siauw-lim-pai ini Tok-siauwkui Liu Lu Sian
tidak bersalah?”
Si kakek tua
renta mengangguk-angguk, “Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali
Tok-siauw-kui pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta
petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya.” Ia menarik
napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua
keributan ini. “Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio
yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan
berdisiplin. Kematian tiga orang suheng-mu dalam pertandingan melawan
Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suheng-mu kalah pandai. Ada pun yang
menjadi sebabnya adalah sute-mu yang sama sekali bukan diculik oleh
Tok-siauw-kui, melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan
gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang suheng-mu
marah-marah dan hendak membunuh sute-mu. Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan
tiga orang suheng-mu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biar pun
dalam hal ini Tok siauw kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena berjinah
dengan sute mu, namun pihak Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan, yaitu apa
yang dilakukan oleh sute-mu. Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan
kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan
itu. Apa lagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang
yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang
menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa
balas dendam adalah buah dari pada benci yang menjadi senjata setan untuk
menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya rela maaf adalah buah dari
pada cinta kasih yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.”
“Omitohud...
kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang
kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai
oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan
mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!” Hwesio ini memberi hormat kepada
Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.
“Omitohud...
Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana,
pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh
tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai.
Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari
Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab
itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang
baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan
mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah
sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus
mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas) apakah kau mendapat
peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas
menggeleng kepalanya. “Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak
pernah mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek
Siansu mengelus jenggotnya yang putih. “Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban
Suling Emas untuk membantu pihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar
dikembalikan kepada Gobi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti
kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu
sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang
dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang
mengandung pelajaran Ikin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas
mengangguk-angguk. “Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha
mencarinya dan mengembalikannya ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam
hwesio Go-bi-pai itu berseri. “Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari
dan mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana.
Kiranya ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apa lagi setelah Bu Kek
Siansu yang mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal
di sini.” Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan
tempat itu.
Bu Kek
Siansu gembira sekali. “Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan?
Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau bertindak
dengan landasan cinta kasih?”
“Maaf...
aku....”
Suling Emas
mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju
hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis
itu sebentar pucat sebentar merah.
“Ya, apa
yang hendak kau bicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan
kata-kata halus.
“Maaf,
Siansu...,” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu
yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali
mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah... ah, ayah
meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh
Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabui
ayah sehingga ayah menurunkan ginkang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui.
Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh
ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi teecu membalas
kalau bukan kepada puteranya? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini,
bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di
dalam suara gadis ini terkandung isak.
“Nona,
siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah
Hui-kiam-eng Tan Hui...”
Mendengar
nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar
Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka
tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah
puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya
menjadi tamu di Nan-cao.
Ketika
mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong
yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera
tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan
Hui jago pedang yang memiliki ilmu ginkang luar biasa sekali sehingga kalau ia
main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia
dijuluki Pendekar Pedang Terbang.
“Ahhhhh...
dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan
Tok-siauw-kui, karena di antara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia
ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki
gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui adalah
ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan
demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan ginkang-nya kepada
Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih
kecil...”
“Teecu baru
berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman
teecu berikut warisan kitabkitab pelajaran dari ayah...,” kembali suara ini
tercampur isak.
“Begitulah.
Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami
isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup
Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan
menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan
sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah
kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan
tetapi banyak tali temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu
sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam
Tan Lian menjadi pucat. “... tapi... betulkah itu, Siansu...?”
“Begitulah
kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang
mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah
semestinya terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu
mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai
sifat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh
mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan,
melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah,
akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati,
juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan
diri dengan urusan mereka yang sudah mati?”
Wajah yang
cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah
Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali
berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah
kehebatan ginkang yang disohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.
“Wah-wah,
tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan
Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi
saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan
ilmu sihir. Kita laki-laki sejati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita
membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat
menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk
menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui!”
Memang para
tokoh kang-ouw itu merasa jeri dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek
Siansu, maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka
meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan
diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.....
Kakek ini
mengerutkan keningnya, berkata halus, “Kim-siauw-eng, ke mana perginya
keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya
tidak sesuai dengan kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun
semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang
mengganggu pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe,
teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu dari pada
bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar dari pada rasa syukur
telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang
ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan
bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat, hal inilah yang
menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi
orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau
kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain,
kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau
sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang
memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja,
seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah makhluk
yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik
atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini
orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan. Yang suka
disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin
senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan
keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu
merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat.
Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul
peri-kemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau
menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu
tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai baik atau
jahat itu didasarkan pada akibat menguntungkan atau merugikan dirinya yang
sebetulnya juga menjadi rangkaian dari pada nafsunya sendiri.”
Suling Emas
mengangguk-angguk, “Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan.
Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar
nafsu sehingga akibatnya merugikan banyak orang dan menimbulkan benci. Sekarang
mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe,
biar pun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu
belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas
kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu.
Apakah yang teecu harus lakukan?”
“Sudah
kukatakan tadi, Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi
marah dan benci. Benci menimbulkan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan
merugikan pihak lain sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya,
rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan kehabisan bahan untuk mencela,
sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji. Karena dasarnya
hanya dirugikan atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci
berubah cinta setelah yang dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda
mau pun perasaan. Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta
mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kau pusingkan siapa orangnya yang
membencimu atau mencintamu. Semua harus kau pandang sama, dengan pandangan kasih
sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu
yang dianggap dosa, kau lakukanlah sebanyak-banyaknya hal-hal yang
menguntungkan dan menyenangkan hati orang lain, atau yang lazim disebut
kebaikan. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi nama orang tua,
termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai
satria, yaitu membela si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik
dengan nasihat mau pun dengan ilmu kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan
melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, perlu disadarkan, baik dengan
jalan halus mau pun kasar. Kau mengerti maksudku, bukan?”
Suling Emas
mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.”
“Sekarang
mari kau perdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian
yang kurang sempurna.”
Kakek itu
lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-khim dan mulai mainkan
yang-khim-nya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama
kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar paduan suara yang-khim dan
suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang mengandung
pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh.
Kadang-kadang
paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keadaan
sekelilingnya menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang
berani muncul mau pun bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang
lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan
gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu
mulai ikut berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari tempat sembunyi mereka
dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai.
Lebih dua
jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum
puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas
tanah.
“Tugasmu
amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai
tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini
selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang
amat dibutuhkan orang lain.”
“Locianpwe,
setelah semua tugas teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut
ilmu bertapa dan menjauhkan diri dari pada urusan dunia.”
Kakek itu
tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang putih. “Lamunan semua orang muda yang
sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu,
ha-ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!” Maka
pergilah kakek itu.
Sepergi
kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung.
Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum
bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa
itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu
kebatinan yang dalam. Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini
lebih berkuasa dari pada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk
mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh,
pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih
sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang bahwa
wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia
cinta, ia sayang, seperti hatinya!
“Ceng
Ceng... kekasihku...,” terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung
keluar dari hatinya yang terluka.
Terbayanglah
wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah
jelita gadis pujaan hatinya, Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di
dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pegawai muda
yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat
tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu.
Masih jelas
terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan
bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran
Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan
yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malam atau
Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh
suara sulingnya.
“Ceng
Ceng...,” kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunannya.
Teringat dan
terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu. Betapa sinar mata mereka
yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata.
Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang
tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian,
Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya!
Namun betapa
cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta
bahkan ia tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan
mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam.
Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang menjadi
saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.
Akhirnya,
semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh.
Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia
dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang
kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling Emas yang amat menarik).
“Ceng
Ceng...!” Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya
semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan.
Ia kembali
memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip
dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan
menjadi wajah Lin Lin! Ia mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya
keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari pandang matanya.
Suling Emas
bangkit berdiri, sikapnya tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam
dadanya seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali, “Ceng Ceng... Ceng
Ceng...!” Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama
ini.
Makin
dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang
saja yang selalu berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang
kedua adalah Suma Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia
harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal
dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap
jahat.
Ada pun Suma
Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari
pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain! Apa lagi yang diharapkan di
dunia ini? Untuk apa lagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek
Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi
kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa
pun ia takkan mau?
Semua
renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup.
Andai kata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan
berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andai
kata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia
benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah
meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.
“Ceng
Ceng... aku harus menemuimu... sekali lagi...!”
Tubuhnya
berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana
Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di
benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah
bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan tugas-tugas itu. Merampas
kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk
menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan
orang-orang Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke
Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apa bila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu
Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu
memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk
mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar
biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam
yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.
***************
Seperti
sudah menjadi sifat orang-orang kaya mau pun pembesar-pembesar yang berkuasa,
mereka adalah orang-orang malas, yang enggan bekerja berat namun ingin
mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka
yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan. Mereka bangun siang, tidur
malam-malam karena tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang
sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan dikalahkan.
Karena
inilah agaknya, bangunan di sekitar istana yang dihuni oleh kaisar, para
pangeran dan pembesar istana, amat sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai
dan hidup kalau matahari sudah naik tinggi. Kalau orang boleh melongok ke dalam
kamar-kamar para manusia yang kebetulan dinasibkan menjadi pembesar dan
penguasa itu, akan tampaklah orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam
kasur empuk bersutera kembang, berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak
ada yang berani mengeluarkan suara keras, berjalan pun berjingkat agar tidak
menimbulkan gaduh.
Namun pada
pagi hari itu, seperti biasa pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di
belakang dan samping kiri sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara
gedung-gedung dalam lingkungan istana, terdengarlah suara suling. Suling ini
bunyinya cukup nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak dapat dibilang
merdu, bahkan ada tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak.
Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang sederhana.
“Liong-ji
(Anak Liong), suka sekalikah kau meniup suling?” terdengar suara halus seorang
wanita.
Suara suling
berhenti. Kiranya di dalam taman bunga yang indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu
penghuni gedung-gedung yang lain masih mendengkur, terdapat seorang wanita muda
yang menilik pakaian dan gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan.
Usianya masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik sekali
dan wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong
seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak
laki-laki lain berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil
tertawa-tawa, seakan-akan ia hendak mengejar burung-burung kecil yang
beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu.
Anak yang
menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh tahun.
Anak ini duduk di atas sebuah bangku dan asyik memegang sebatang suling bambu
yang tadi ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita tadi, ia berhenti meniup dan
menjawab, “Aku suka sekali, Ibu.”
Sejenak
wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa keluar sebuah senyum sambil
berkata, “Aku akan suruh mencarikan seorang guru suling untuk mengajarmu,
Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?”
Anak itu
mengangguk-angguk gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya. Ibunya memandang
dengan penuh perhatian, jantungnya serasa tertikam yang membuatnya terharu,
komat-kamit mengeluarkan kalimat yang hanya ia dengar sendiri. “... serupa
benar....”
Akan tetapi
ia segera dapat menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli melihat
puteranya yang kedua berusaha mengejar burung-burung di udara dan membuat
gerakan menangkap.
“Sun-ji
(Anak Sun), hati-hati jangan lari-lari, nanti jatuh!”
“Bu, aku
ingin bisa terbang seperti burung!” anak kedua itu berseru gembira dengan suara
pelo dan lucu, kemudian membuat gerakan dengan kedua lengannya digerakkan
seperti sepasang sayap burung, mulutnya menirukan bunyi burung bercuat-cuit.
Si ibu
gembira melihat anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka puteranya yang
ketiga, yang tertawa-tawa gembira.
Pagi yang
gembira, sehat dan menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang juga membangkitkan
kenang-kenangan lama. Hal ini dapat dilihat dari wajah cantik ibu muda ini,
sebentar ia bergembira terpengaruh oleh tiga orang anaknya, sebentar lagi ia
termenung seperti ingat akan sesuatu yang membangkitkan kenang-kenangan yang
berkesan. Anak yang dipanggil Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun
dan sungguh-sungguh ia meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling
dengan jari-jari tangannya yang kecil.
“... Ceng
Ceng...!” Suara ini tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut
yang punya suara.
Wanita itu
tersentak kaget dan serentak bangkit berdiri dari bangkunya sambil memondong
anaknya yang paling kecil. Suara itu! Seketika wajahnya berubah pucat. Hanya
ada satu orang saja di dunia ini yang memanggil namanya dengan suara seperti
itu! Kedua kakinya menggigil dan ia tidak mau menggerakkan tubuh, tidak mau
memutar tubuh menengok ke belakang ke arah suara, karena ia khawatir
kalau-kalau suara tadi hanya suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok
dan tidak melihat sesuatu, ia akan kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin
menikmati kenangan lama yang sedemikian mendalam dan menggores kalbunya
sehingga di pagi hari yang indah ini ia sampai-sampai mendengar suara orang
yang menjadi sebab lamunannya.
“Ceng
Ceng...!”
Wanita itu
mengeluarkan seruan tertahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba dan
cepat sekali, seakan-akan takut kalau orang yang bersuara itu sudah pergi lagi,
ia memutar tubuh memandang.
“Bu Song
Koko (Kanda Bu Song)...! Kau... kaukah ini...? Kau di sini...?” Ia melangkah
maju dua tindak, kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah
laki-laki itu kini menurun, berhenti pada dada di mana terdapat gambar sebatang
suling dari benang emas.
“Koko...
kau... kau Suling Emas...?”
Dua pasang
mata bertemu pandang, dua sinar mata saling belit, saling dekap, saling cumbu
dan saling menampakkan rasa rindu birahi yang ditahan-tahan selama sepuluh
tahun. Wanita itu memandang dengan mulut agak terbuka, terengah-engah dan dari
sepasang matanya yang bening itu bertitik butiran-butiran air mata seperti
mutiara.
Keduanya
mempunyai hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya
menahan gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran air
mata itu, laki-laki yang bukan lain adalah Suling Emas ini, secepat kilat
membalikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia berdongak ke atas, meramkan
kedua matanya, bibirnya agak menyeringai tanda betapa perihnya hati, seperti
ditusuk-tusuk pedang rasanya. Kemudian ia membuka pelupuk mata,
mengejap-ngejapkannya untuk menahan agar jangan sampai kedua matanya yang
terasa panas dan gemetar itu menitikkan air mata.
Kebetulan
sekali ketika ia membalikkan tubuh, ia melihat bocah yang memegang suling kini
sudah berdiri di dekatnya. Melihat anak ini, Suling Emas menggerakkan tangan
kiri dan mengelus-elus kepala yang gundul itu. Bocah ini dapat ia pergunakan
untuk landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan keharuan
yang seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.
“Kau... kau
pandai bersuling, Nak?” ia bertanya, suaranya serak, tanda bahwa hatinya penuh
gelora dan haru, dan bahwa hampir saja pendekar sakti ini tadi terisak
menangis.
Bocah itu
tertawa dan mengangguk.
“Cobalah kau
menyuling untukku. Kau mau diajar meniup suling?”
“Mau...! Mau
saja... Ibu tadi bilang hendak memanggil guru suling. Apakah kau ini gurunya,
Paman?”
Suling Emas
tersenyum dan mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi sulingnya. Suling Emas
mendengar isak tertahan di belakangnya, lalu disusul suara yang pilu dan
gemetar, penuh perasaan.
“Kau... kau
datang... apakah kehendakmu, Koko...?”
Suling Emas
menarik napas panjang, masih membelakangi wanita itu dan tangan kirinya masih
meraba-raba kepala bocah yang menyuling.
“Tadinya aku
sudah bersumpah pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng Ceng, takkan
menemuimu selama hidupku agar lukaku tidak semakin parah....” Ia berhenti dan
tidak melanjutkan kata-katanya yang tertelan oleh isak.
“Song-koko,
aku pun sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu lagi denganmu. Sama sekali
aku tidak menyangka bahwa Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan
setiap orang itu kaulah orangnya! Ahhh... siapa kira....” Dalam kalimat
terakhir ini terdengar keluhan dari hati yang merasa amat menyesal.
Suling Emas
memutar tubuhnya. Kembali mereka berpandangan, akan tetapi kali ini mereka
sudah kuat menahan. Untuk sejenak keduanya memandang penuh selidik, untuk
mengetahui keadaan masing-masing, memandang sinar mata, memandang keadaan
tubuh, kurus gemuknya, dan keduanya makin menduga-duga. Beruntungkah ia tanpa
aku? Demikian agaknya pertanyaan yang terkandung di hati masing-masing.
“Song-koko,
aku mendengar bahwa Suling Emas belum berumah tangga... apakah... betulkah ini?
Apakah kau belum juga menikah? Song-koko... mengapa begitu? Apakah kau belum
juga dapat melupakan aku...?”
“Melupakan
engkau? Ah... Ceng Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu! Sudah
kucoba-coba, sudah kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku berada
di sini!” Agak keras dan kasar kata-kata ini dan sepasang mata pendekar itu
memandang tajam, bagaikan menusuk-nusuk, membuat nyonya muda itu tertunduk.
“Dunia
serasa makin sempit bagiku, Ceng Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh
ibuku, akan tetapi ibu meninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam
gelap, tak tahu harus ke mana... betapa aku tak dapat melupakan engkau, Ceng
Ceng...! Karena itulah aku datang... untuk melihat wajahmu lagi, aku... tak
tahan aku akan rindu....”
“Song-koko...!”
Wanita itu yang bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran,
yaitu Pangeran Kiang, menjerit kecil. “Jangan begitu, Koko... aku... aku sudah
menjadi ibu dari tiga orang anak! Kau lihat mereka ini...!” Suma Ceng
cepat-cepat mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau lebih tepat
untuk pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot dan hendak
dihanyutkan oleh bekas kekasihnya. Ia maklum kalau tidak cepat-cepat ia
berpegang kepada tiga orang puteranya, bisa-bisa ia terbawa hanyut, karena
sesungguhnya, sampai mati sekali pun ia takkan mungkin dapat melupakan Bu Song.
Suling Emas
menarik napas panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar
kembali ketika anak yang meniup suling itu tiba-tiba menarik tangannya dan
bertanya, “Paman Guru, bagaimana dengan kepandaianku meniup suling?”
Suara yang
lantang dari bocah ini menariknya turun dari sorga lamunan, dan membuatnya
kaget karena hampir saja tadi ia melakukan sesuatu yang tidak patut. Melihat
wajah Suma Ceng kembali, berhadapan muka dengan wanita ini, benar-benar bisa
membuatnya lupa akan segala.
“Kau sudah
pandai, tapi harus belajar lagu-lagu yang indah!” katanya sambil meraba kepala
anak itu.
Tiba-tiba
wajahnya berubah dan jari-jari tangan kirinya tetap meraba-raba kepala yang
gundul itu. Aneh! Ajaib! Kepala anak ini sama benar dengan kepalanya! Tak salah
lagi! Jarang di dunia ini ada kepala seperti ini, kepala yang dahulu membuat
mendiang gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan mengambilnya
sebagai murid. Inilah ‘kepala pendekar’ seperti yang dulu disebut-sebut Kim-mo
Taisu. Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama dengan
kepalanya?
“Ceng
Ceng...” suaranya gemetar ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu.
Suma Ceng
tidak menjawab, hanya menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.
“Anak ini...
dia putera sulungmukah?”
Suma Ceng
mengangguk dan gerakan ini membuat dua titik air mata yang tadi bergantung pada
bulu matanya runtuh ke bawah, menimpa pipinya.
“Dia... dia
ini...!” Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak itu, menatap wajah anak
itu penuh perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal,
seperti alis matanya.
Hidung dan
mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis
itu, kepala itu! Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah maju
sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari Suma Ceng.
“Dia... dia
itu...?” suaranya serak dan lirih, “dia itu...?” tak kuasa ia melanjutkan
kata-katanya, tercekik di lehernya.
Kini Suma
Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia mengangguk-angguk. Melihat ibunya
menangis, anak kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini
menahan air mata Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang
basah air mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya
gangguan ini malah meredakan gelora hatinya.
“Betul,
Song-koko, dia... dia anak kita....”
“Ya
Tuhan...! Dan kau... kau diam saja...?”
“Aku tidak
tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku. Andai kata aku tahu
sekali pun, apa yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya
apa-apa.” Ucapan ini penuh sesal. “Andai kata kau dulu selihai sekarang... ah,
untuk apa kita melamunkan yang bukan-bukan? Andai kata aku tahu bahwa pertemuan
di malam terakhir itu... ah, andai kata aku tahu kau meninggalkan anak ini
padaku, apakah yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak
mungkin, paling-paling aku hanya dapat membunuh diri....”
“Ceng Ceng,
kau maafkan aku. Memang kau tak bersalah. Akan tetapi... ah, anak ini dia
anakku! Dia harus ikut denganku!”
“Tidak
Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang
hebatkah penderitaan batinku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua,
lebih baik kalau kau melupakan aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah
mati, dan kau... kau kawinlah dengan gadis lain, berbahagialah, aku memuji
siang malam, Koko....”
“Ceng
Ceng... Ceng Ceng..., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan
hatiku....” Hampir tak kuat Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin
memondongnya, ingin menghiburnya. Namun pandang mata wanita itu kini tidaklah
seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri Ceng Ceng-nya, kekasihnya.
“Heee,
siapakah di situ?” Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki
yang berpakaian indah berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan.
Ia ini bukan lain adalah Pangeran Kiang! Ketika ia melihat Suling Emas,
wajahnya berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia
menghampiri Suma Ceng.
“Hemmm...
jadi tidak salah omongan Kakak Suma Boan! Ternyata isteriku yang setia ini
diam-diam bermain gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu! Perempuan tak
tahu malu! Sudah punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjinah dengan
laki-laki lain? Keparat!”
“Ooohhh...
tidak..., tidak!” Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar
merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya, “Aku dan dia... kami tidak
berbuat apa-apa yang melanggar kesopanan, jangan kau menuduh yang bukan-bukan!”
“Bagus, ya?
Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina... kupukul mukamu yang tak tahu
malu...!” Pangeran itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya
melayang, menampar ke arah pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis
tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya tangan yang menampar.
Akan tetapi
tangan yang menampar itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget
dan heran, juga penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak
apa-apa, akan tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti
seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak!
“Keparat,
hayo mengaku bahwa kau telah berjinah dengan... dengan bangsat ini!” Ia
berteriak memaki untuk mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.
“Sesungguhnya,
kami tidak berbuat apa-apa... suamiku dengarlah... memang betul dia dahulu
adalah seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi... tapi... semenjak
itu... baru ini kami saling bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang
melanggar susila. Percayalah...!”
“Perempuan
rendah! Siapa tidak tahu bahwa dahulu kau berjinah dengan kekasihmu? Aku masih
berlaku murah dan sabar, akan tetapi siapa kira sekarang kau mengadakan
pertemuan gelap! Terkutuk...!” Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya
menyerang isterinya sendiri.
Dua orang
anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang memegangi gaunnya dari
belakang, menjerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan yang tidak mereka
mengerti, akan tetapi yang mendatangkan rasa takut pada mereka itu. Hanya anak
yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata terbelalak sambil memegangi
sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja
ia pun tidak mengerti apa artinya semua ini.
Biar pun
pedang itu mengancam nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan
pedang. Baginya hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan kemarahan
suaminya yang pada hakekatnya tidaklah menuduh yang bukan-bukan! Memang ia
merasa berdosa terhadap suaminya yang sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia
mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan melawan, karena adik dari Suma Boan
ini pun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi
dari pada kepandaian suaminya.
Akan tetapi,
seperti juga tadi, pedangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di
tengah jalan, malah mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan
pedangnya itu tak dapat ditahannya lagi, runtuh terlepas dari tangannya
menimbulkan suara berkerontangan. Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh
memandang. Tak salah dugaannya. Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang
pernah ia dengar namanya sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan itu,
berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan atau dorongan
jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulannya dan tusukan pedangnya.
“Manusia
berhati binatang!” Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas. “Orang
lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak takut! Orang lain boleh
menyebutmu pendekar, akan tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya
yang mengganggu isteri orang! Kau seorang laki-laki rendah berjinah dengan
perempuan ini yang juga hanya seorang isteri berwatak pelacur...!”
“Plakkk!”
Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan tangan
Suling Emas yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat,
matanya memancarkan cahaya berkilat.
“Mulutmu
busuk! Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng! Biar
pun dia sudah menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang
bersih, yang suci.”
“Dia
perempuan jalang, pelacur tak tahu malu...!” Pangeran itu dalam marahnya
melompat bangun dan memaki lagi.
“Bukkk!”
Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil
meringis kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.
“Huh,
pendekar macam apa ini? Menjinahi isteri orang, menggunakan kepandaian untuk
menghina orang dan merampas isterinya! Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau
boleh bunuh aku, akan tetapi namamu akan membusuk sampai akhir jaman! Mari kita
mengadu nyawa...!”
“Jangan...!
Suamiku, jangan... kau takkan menang...! Bu Song, kau pergilah...!”
Akan tetapi
Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu
Suma Ceng akan celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.
“Pangeran
yang tolol, kau dengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang
bukan-bukan dengan isterimu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu! Memang
dulu aku mencintainya, akan tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang.” Ia
menarik napas panjang. “Jangan kau memfitnah yang bukan-bukan.”
“Siapa
bilang fitnah? Kau datang menjumpainya, sikap kalian... dan perempuan hina ini
membelamu... hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta?
Keparat, terkutuk, benar-benar menghina sekali. Hayo kau bunuh aku lebih dulu,
baru kau bisa merampas isteriku, keparat!” Dengan kemarahan meluap karena rasa
cemburu, pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada
Suling Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu
sendiri yang terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya!
“Kau ingin
mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini
menghina kita, mengapa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biar pun kau
sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Hemmm... aku masih sanggup melindungimu
selamanya dan membunuh tikus busuk bermulut kotor ini!”
Pada saat
itu Pangeran Kiang sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biar
pun rasa nyeri hampir membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia
sanggup menahan dan terus menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah
tendangan membuat pangeran itu terlempar sampai empat meter jauhnya. Namun
kembali ia merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh
tamparan tangan Suling Emas yang kelihatannya sudah marah sekali.
“Kau ingin
mampus, ya? Nih, terima! Dan ini! Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada
isterimu, mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh
benar-benar engkau!” Suling Emas menghajar terus sampai pangeran itu
babak-belur, mukanya berdarah dan bengkak-bengkak.
“Tahan!
Suling Emas, kau berani memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam! Kau
boleh bunuh dia melalui mayatku!” Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan
anaknya dari pondongan dan telah memungut pedang suaminya, menerjang maju
bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.
“Ceng
Ceng...!” Suling Emas terbelalak heran dan kaget.
“Ceppp!”
Ujung pedang itu menusuk dadanya.
Untung ia
dapat mengatasi heran dan kagetnya, lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga
pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas
sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan pundak,
akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerahan sinkang dari Suling
Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan telapak tangannya panas dan
lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan masih menancap pada dada Suling Emas.
“Berani kau
hendak membunuh suamiku? Ahhh... dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan
membelanya dengan nyawa!” Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan
pukulan-pukulan dahsyat.
“Ceng
Ceng... aahhhh...!” dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat
dan lenyap dari tempat itu.
Suma Ceng
menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya
bengkak-bengkak itu tersenyum. “Isteriku... akhirnya aku mendapat bukti nyata,
kau memang mencinta aku seorang! Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak
sia-sia pembelaanku..., kau isteriku yang setia... maafkan semua tuduhanku
tadi.”
“Diamlah...
diamlah... kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu....”
Suma Ceng
mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya
mengeluh penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah
jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu
dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka. Kalau melihat
dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih
mudah untuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya
meninggalkan taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh
pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.
Ada pun
Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya
tak tampak, hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja
ia sudah keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk
keluar hutan. Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya,
akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah
hutan. Ia jatuh tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya
menutupi mukanya. Hanya terdengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti
orang menderita nyeri yang amat sangat. Darah masih membasahi bajunya, darah
yang keluar dari luka di dada dan pundaknya.
Pedang yang
tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia
mengerang? Tak mungkin. Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan
bagi seorang pendekar sakti seperti Suling Emas, luka macam itu tidaklah ada
artinya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada hatinya
itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat.
Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan
membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan pedang tadi!
Suling Emas
mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput,
wajahnya nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam,
yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju
dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya
peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara
kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup
sayu.
Tanpa
disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup
sulingnya. Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang
dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar
suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan
menyedihkan.
Namun
sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum
lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan
kesedihannya lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat
tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini
untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya. Seperti biasa ia hendak
memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya.
Kini
pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu
dan sayu. Suma Ceng telah mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama
artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan
cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di
dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati!
Mengapa ia
harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci
Pangeran Kiang? Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di
telinganya segala petuah, pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari
mendiang gurunya, Kimmo Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu. Apakah
artinya cinta? Pernah mendiang gurunya menguraikan tentang cinta ini.
Cinta yang
paling murni di antara manusia adalah cinta yang tidak dikotori oleh nafsu
menyenangkan diri sendiri, yakni cinta yang tulus ikhlas dan rela, yang
berlandaskan pengorbanan demi untuk kesenangan dan kebaikan dia yang dicinta.
Contohnya kasih sayang seorang ibu terhadap anak kandungnya ikhlas dan rela,
satu-satunya idaman hati seorang ibu hanyalah melihat anaknya senang, rela
berkorban, rela bersusah payah, tanpa mengharapkan upah karena melihat anak itu
senang merupakan upah yang paling berharga.
Sebaliknya
cinta kasih yang berlandaskan nafsu, selalu menghendaki agar orang yang
dicinta itu hidup berbahagia bersama dia sendiri. Menghendaki agar orang yang
dicinta itu menjadi miliknya yang mutlak, selama hidup berada di sampingnya
untuk dipuja, untuk dicinta, untuk pelepas dahaga, cinta ini penuh dengan
harapan, penuh dengan pamrih dan karenanya penuh dengan racun yang dapat duka
nestapa dan sengsara mendatangi.
Suling Emas
termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua
itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halusan budinya,
karena keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena... agaknya lebih dari
pada itu karena dahulu membalas cintanya! Sekarang wanita itu sudah menjadi
isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu,
mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan
sia-sia belaka? Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati
Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng! Tapi anak laki-laki itu, putera
sulung Suma Ceng adalah anaknya!
Kembali
Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya,
menggunakan kepandaiannya untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya?
Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu
akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu
tentu akan sakit hati kepadanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua pihak.
“Aku harus
melupakan dia! Harus...! Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau
bukan laki-laki?!”
Tiba-tiba
Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di
dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya
sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak
hanyalah sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya
kuning emas! Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari
situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan
daun-daun pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran
hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi!
********************
Bu Sin dan
adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah
tanah. Mereka tiada hentinya berusaha untuk membebaskan diri dari pada totokan,
namun totokan Hek-giam-lo ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa. Biar
pun Bu Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya, tetap saja ia tidak mampu
membebaskan diri. Apa lagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah.
Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima
nasib. Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling
Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah
orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andai kata Bu Sin
dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah,
kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka.
Sian Eng
menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya,
karena siapa lagi orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak
menolong mereka? Akan tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi
dilihatnya wajah Bu Sin yang kelihatan kaget dan gelisah. Apa lagi pada saat
itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.
“Sin-ni, tak
boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah!”
“Kai-ong
jembel menjemukan!” balas suara seorang wanita yang nyaring.
Bu Sin dan
Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan
Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni! Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin
lebih mengerikan dari pada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap,
akan tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam
ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam
sekejap mata dua bayangan ini sudah lenyap memasuki terowongan, agaknya mereka
itu sedang berlomba mencari sesuatu.
Selenyapnya
dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ketiga dan ternyata orang ini
adalah Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang
matanya. Ia terkejut sekali ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah.
“Dinda Sian
Eng... kau di sini...? Ah, kau tertotok! Jangan khawatir, aku akan
menolongmu....” Cepat pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya.
Biar pun
kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah
berbisik, “... harap kau... tolong pula Sin-ko keluar dari sini....”
“Ah, tak
mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit
dan... dan di sini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri
tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Suhu.”
Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari
keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena
tahu bahwa tempat ini adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apa lagi
tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di
sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.
Hati Bu Sin
tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak
percaya kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki
tangannya masih dalam keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah
perbuatan Suma Boan itu, karena betapa pun juga, pemuda putera pangeran itu
bermaksud menolong Sian Eng. Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya
sekali, nyawa mereka terancam bahaya.
Setidaknya
Suma Boan membebaskan Sian Eng dari pada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki
terowongan tadi. Dan... dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu
terdapat hubungan cinta kasih, sungguh pun ia tidak suka mempunyai seorang adik
ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng
kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di antara mereka
tertolong dari pada keduanya harus mati konyol di tempat mengerikan ini.
Mendadak
terdengar angin bertiup dan dua sosok bayangan sudah berkelebat memasuki
ruangan itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang
mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang
dengan mata penuh kemarahan.
“Kai-ong
jembel busuk, kau mengganggu saja kepadaku!”
“Heh-heh,
siapa mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan yang sama, mencari barang
pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa
di sini kecuali bocah menjemukan ini!”
“It-gan
Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu,
barangkali aku akan berhasil. Kau benar-benar sialan!” Sambil berkata demikian,
Siang-mou Sin-ni menerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang
dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka
bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah
di atas tanah lembab.
“Tua bangka
bosah hidup, lihat ini!”
“Aiiihhhhh...
hebat! Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?” teriak It-gan Kai-ong karena ia
memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim
yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu.
Hebat sekali
senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara
mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke belakang karena suara yang
keluar dari khim itu mengacaukan pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena
disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh tempat jalan darah yang
dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil
terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat.
Akan tetapi
tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah. Kini tongkat itu membentuk
lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti
auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan
terhuyung-huyung.
“Setan alas!
Ilmu iblis apa yang kau mainkan tadi?” bentak Siang-mou Sin-ni.
“Sayang
hanya setengahnya kudapat...!” Itgan Kai-ong terkekeh. “Kalau keseluruhannya
kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni!”
Siang-mou
Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil dari pada
perampasan kitab dari tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya
berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo.
Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu!
“Kai-ong,
sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita
boleh bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau
hendak melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai
seorang di antara kita mampus!”
“Heh-heh-heh,
Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang
remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya?
Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak
apa.”
Siang-mou
Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata,
“Bu Sin Koko yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari
padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka
sekarang bertemu kembali di sini.”
“Heh-heh,
agaknya sudah jodoh, Sin-ni! Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi?
Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku!” It-gan Kai-ong
meludah ke arah Bu Sin.
Andai kata
tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin
berlubang dan sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou
Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut,
menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala, membiarkan air
ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di
belakangnya!
“Jembel
busuk, jangan main-main! Dia ini punyaku, tak boleh kau ganggu dia. Nyawanya
berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan!”
“Ho-ho-hah!
Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai
kalian mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau bawa pergi, ia harus
menceritakan lebih dulu ke mana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau
sudah begitu saja? Jangan kau kira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri
saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo!”
“Keparat tua
bangka! Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?”
Kembali
kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu
Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir.
Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur
karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.
“Kalian
tidak perlu ribut-ribut di sini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa
robekan kitab.” Baru saja Bu Sin bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan
Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu!
Akan tetapi
kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou
Sin-ni sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia
dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia
merasa ngeri dan seram kalau mengingatnya. Tak salah dugaannya bahwa yang
datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu
tertawa genit lalu berkata.
“Anak manis,
apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?” sambil berkata
demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari ke luar
dari terowongan itu.
“Perempuan
busuk! Perempuan hina! Kau lepaskan aku!” Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya
masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni
kepadanya dahulu.
Akan tetapi
Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek, “Jembel picak itu benar juga,
kalau aku haus, darahmu akan segar juga, hi-hik!”
Bu Sin
mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat
sinar terang dan ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari
untuk beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni
membebaskan totokan Bu Sin. Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali
seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia
hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu
membelainya, bahkan menciumnya.
“Kau masih
tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh.” Ia mengusap muka
pemuda itu, “Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau
menuruti semua kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki
gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan kepandaianku kepadamu.
Senang kan?”
“Perempuan
hina! Pergi!” Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali,
menghantam sekuatnya.
“Blukkk!”
Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget.
Tadi ketika
ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia
mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak
berbahaya sama sekali. Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima
latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat
beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar,
sungguh pun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah
menjaga diri dengan lweekang-nya.
“Eh-eh...
dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?” tanyanya, masih setengah heran dan
terkejut.
Namun Bu Sin
sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia
mengerahkan tenaga sinkang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika
ia sudah berada dekat, kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan
wanita itu sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang
mengandung cengkeraman maut!
“Hayaaaaa!
Bu Sin, kau benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang! Baiklah kalau kau
sudah bosan hidup!” Dengan gerakan lincah dan mudah saja wanita ini mengelak
dari pada dua pukulan Bu Sin itu, kemudian ia berseru keras dan tubuhnya
tahu-tahu sudah mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya.
Bu Sin yang
menjadi penasaran. Ia mengejar dan kembali menerjang, akan tetapi iblis betina
itu menggoyang kepalanya dan Bu Sin merasa pandang matanya gelap ketika rambut
yang hitam panjang itu melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum
sekali baunya. Pemuda ini berusaha untuk menghindarkan diri dengan melompat ke
samping, namun tiba-tiba gerakannya tertahan dan sama sekali ia tak mampu
berkutik oleh karena bagaikan ular-ular hidup, rambut-rambut itu telah melibat
kaki tangan dan lehernya! Ia merasa seakan-akan ia diringkus oleh banyak tangan
yang halus dan harum, dan betapa pun ia mengerahkan tenaganya, ia tetap saja
tak mampu bergerak!
“Hi-hi-hi!
Orang bagus berhati baja! Kau mau bilang apa sekarang?” Wanita itu berdiri di
depan Bu Sin, kurang lebih satu meter dekatnya, matanya berkilat-kilat,
bibirnya yang merah menyeringai memperlihatkan deretan gigi putih berkilauan
dan kecil-kecil.
“Siang-mou
Sin-ni iblis betina! Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh boleh
lekas bunuh, siapa takut mampus?” bentak Bu Sin.
“Tentu
kubunuh... wah, aku memang haus dan darahmu tentu enak sekali, darah seorang keturunan
jenderal gagah perkasa dan satria utama! Mendekatlah manis, serahkan lehermu
kepadaku, biar kupilih jalan darahmu untuk kuhisap...!”...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment