Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 09
Mereka cepat
berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak
tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap
gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang
senjata pecut. Dialah Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas
menyambut tamu!
“Maaf, Cu-wi
enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara
pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu
menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan
maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.
Panglima tua
ini cepat balas menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya
apakah yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami,
Cinjin?”
Kakek
Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh,
Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw.
Kami sedang melakukan penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia.
Akan tetapi percayalah, semua ketidak-wajaran yang terjadi, pasti bukan dari
kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak
ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan
ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw
Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali.
“Tarrr!”
maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah
itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada
para tamu dan berjalan pergi.
Ouwyang Seng
dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya
membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang
untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima
Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian
bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah
mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..
Kita kembali
mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua
puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah
mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu
bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana
terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa
Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang
mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa
Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia
melihat kesempatan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung
karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk
melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan
besar, megah dan seram.
Pak-sin-tung
kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang
ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang.
Jangankan orang luar, bahkan para anggota Beng-kauw sendiri ia dengar tidak
berani memasukinya. Sekarang Lin Lin masuk melalui pintu kecil itu!
Tadinya ia
hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap
membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak
muncul, maka kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati,
meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak
mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya
ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang
berani memasuki pintu itu.
Betapa pun
gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia
mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi
dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.
Lin Lin
memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus,
meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa seram
ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin
menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah
ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia
teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan
siap untuk memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan
melangkah maju terus.
Tiba-tiba ia
tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula
terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu
tengkuknya meremang. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin
mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang
kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya
menginjak sesuatu dan.....
“Cuittttt!”
terdengar suara keras.
Lin Lin
meloncat ke atas, semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia
tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi menginjak tikus.
Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena di antara segala benda dan makhluk di
dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan
dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus? Menggigil ia
dibuatnya.
Saking jijik
dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan pulang balik setengah berlari. Akan
tetapi anehnya, sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah
salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin
Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.
Kegelisahan
tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di
jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat
melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega.
Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan ke luar. Benar
saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil
menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat
ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.
“Crakkk!”
Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya
adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan
menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya
melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah
maju dengan hati-hati.
Setelah
berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah
ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah
cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja
dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu
terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke
bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah.
Peti-peti
mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang
yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan
hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah
persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget
karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama
benar dengan peti mati yang berada di ruangan sembahyang.
“Ah, benda
mati, hanya terbuat dari pada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati
menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan
peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan ke luar.
Ia bingung
dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan tetapi dari balik ruji jendela itu
ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir
dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan
semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang
demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah
untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang
berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian
gelapnya? Tak masuk akal!
Ia melangkah
maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.
“Kriiittttt...!”
Lin Lin
menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah
pintu karatan dibuka, atau... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti
mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit.
Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari
melalui bawah kakinya.
Dengan hati
berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus! Ia
menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan
gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya tikus takut melihat
manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah
tumpukan peti mati itu malah ke luar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri
lewat dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga
takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!
“Ah, tidak
ada setan di siang hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh
kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.
Ia
tersenyum. “Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang
harus ditakuti?” katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling
atas.
Setelah
kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak
memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas
tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk
menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.
Peti mati
itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena
engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat
sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke
dalam peti mati dan... Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur,
terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin. Matanya terbelalak
lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa
dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti,
muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi... tangan mayat yang hanya
tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu
bergerak dan hidup!
Dapat
dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu
bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat,
kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan
menjenguk ke luar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.
Lin Lin
menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu
terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut
itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut
pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia
akan sesuatu.
“Kau...
kau...,” suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian
gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia
berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan
suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.
Suara
lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas,
kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti
mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus. Dengan gerakan perlahan
mengerikan, ‘setan’ itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki
tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit. Kepalanya gundul,
matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah,
mulutnya seperti orang menangis. Tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang
robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak
bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut
menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan
bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!
Mayat hidup
itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah
muka gadis itu. Mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang
setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah
tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati
yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu... memasukkan tubuh Lin
Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali!
Setelah
melakukan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya
bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam
peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati.
Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan
di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.
***************
Di ruangan
sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi
penghormatan. Mereka itu seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat
adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja
sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri
Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang
peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya
tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang
pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat
mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di
tengah ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan,
membawa bau harum.
Di sebelah
kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan
membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di
sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu
pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang
berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain.
Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya.
Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di
sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum
dan wajahnya berseri-seri.
“Sungguh,
Song-koko (Kakak Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara
hebat! Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan
berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling
Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?”
Suling Emas
menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama
seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”
Bu Sin
mengeluarkan sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biar pun kau sudah
melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat
kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau
meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini
kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?” Ia
menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.
Melihat
benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia
membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil
itu. Ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk
membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia
membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah,
dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua
tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias
lengan tangannya.
“Bu Sin...,”
katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau
menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biar pun
harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan
menikah lagi. Juga... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi...
Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian,
belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”
Pada saat
itu Suling Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang ke
luar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak
ke arah makhluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya
terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.
“Pat-jiu
Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku
merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati
dengan mata terbelalaknya.
Menyeramkan
sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia
tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan
tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkorak yang
menyeramkan.
“Hek-giam-lo,
terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau
datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”
“Khitan
tidak ada urusan mau pun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada
permusuhan dengan Beng-kauw, apa lagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam
pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah
mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di
sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang
sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Beng-kauwcu
Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis dan aneh sekali.
Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia
terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan
kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak
melakukan perbuatan yang lancang ini.
“Hek-giam-lo,
mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari
peti mati dan jangan mengganggunya.”
Akan tetapi
secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan... kedua tangannya
memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah
pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga
dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw
itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya dari gangguan
Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya.
Kalau saja
bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini,
tentu dia yang diserang Hek-giam-lo akan kalah. Para tamu dan para pimpinan
Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan
tetapi, biar pun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap
tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan,
secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.
Kiranya
pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini
sudah menubruk dari samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu
itu telah dirampasnya. Ia melompat ke luar dari ruangan itu sambil tertawa
bergelak.
“Manusia
curang...!” Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah
dari tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang
marah.
“Hek-giam-lo,
kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang ke
luar mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang
tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera
mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya.
Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.
“Kauwcu,
tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuiah, tongkatmu itu
hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri
kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”
Pada saat
itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah
Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu
pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini
seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu
otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani
oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka.
Seperti kita
ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang
memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di
situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh empat
orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing sehingga
melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam
orang di antara mereka muncul mengawaninya.
“Siapa kau?”
Beng-kauwcu Liu Mo menegur, memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas
sepasang tongkat dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak
gagah bersemangat.
Memang,
Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo suka
merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di
Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan.
Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.
Pak-sin-tung
menjura. “Kauwcu, saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo
adalah suheng-ku, karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu
mengejar suheng.”
Merah muka
ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih
mau turun tangan. Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti
Pak-sin-tung ini, betapa pun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua
Beng-kauw ini bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring
seperti diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget
bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga
dalam ketua Beng-kauw itu.
Beberapa detik
kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah
berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu sambil berkata penuh hormat,
“Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat
kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan
siauwte membereskan si buntung ini.”
Seperti
biasa, sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam
ketenangannya, kakek berpakaian sederhana bertopi caping yang memegang pecut
ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikap yang berwibawa.
Memang terkenallah di Nan-cao, apa lagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw
bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu
mengenai Beng-kauw.
Biar pun
kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suheng-nya, yaitu Liu Mo sendiri,
namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andai kata ia tidak
sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat
itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya
Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tongkat. Tadi pun ia
hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan
diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.
Dengan sikap
angker Kauw Bian Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum.
“Pak-sin-tung, kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari
Khitan kau datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suheng-mu merencanakan
perampasan tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus
mempertanggung-jawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan Hek-giam-lo,
ataukah Kerajaan Khitan?”
Tak enak
juga hati Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apa lagi nama Kerajaan
Khitan dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak
tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan
Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang
ingin meminjam tongkat itu.”
“Wah, adikmu
yang bikin gara-gara...!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada
di sampingnya. Pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari ke luar
dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kau tunggu di sini, biar
kucari dia!” Sebelum Bu Sin dapat mengerti apa yang dimaksudkan Suling Emas,
pendekar aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.
Sementara
itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak
lantang. “Kami mohon dengan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil
dari Khitan!”
Semua orang
memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap
gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kauw Bian Cinjin dengan sikap
gagah seorang perwira tinggi peperangan yang memberi hormat dan berkata,
suaranya lantang dan agak kaku karena memang ia seorang Khitan asli, “Semua
ucapan Pak-sin-tung benar belaka. Urusan pagi hari ini sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab
Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”
“Bagus, kami
pun memang tidak ingin membawa-bawa pihak yang tidak bersalah.
Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa
sekali-kali bukan kami pihak Beng-kauw mau pun Kerajaan Nan-cao tidak
menghormat tamu apa lagi wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah
berbuat keterlaluan terpaksa kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat
duduk.” Setelah wakil Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin
menggerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung,
karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian
bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum.
Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Jika
melawan, maka kami akan menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha,
Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung
tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang
menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani
menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas
perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk
membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja,
untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian
Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan
sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan
tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata
perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati
mendiang twa-suheng yang mulia. Kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita,
Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”
“Tar-tar-tar!”
cambuk atau pecut panjang di tangan Kauw Bian Cinjin berbunyi tiga kali. Kakek
ini sudah melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman
Beng-kauw!”
Pak-sin-tung
tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan
suara bercuitan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya
menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu,
disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan
tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung
terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan
tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang
serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan
tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya
tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh
gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa
pukulan dahsyat sehingga para penonton deretan terdepan merasa betapa angin
pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja
sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Paksin-tung (Tongkat Sakti dari Utara)
tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi
ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang
setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik
seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang. Ilmu
silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan
penting kepadanya. Pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah
pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau
menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka
menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.
Akan tetapi
ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja pecutnya juga bukan pecut biasa,
melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar yang hanya
terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh
senjata tajam mana pun juga dan mengandung hawa panas seperti api ketika
digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis,
mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan
lawan.
Betapapun
pandai nya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan
tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling
sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut
nyawa apa bila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi
sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya
makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga
sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!”
Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar
mengitari dua pasang tongkat.
Baiknya
Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau
sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia
akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah
terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung
mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia
telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas
tongkatnya dan... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian
Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak
terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya.
Kiranya
ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas,
Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga
renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat.
Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian
Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa
pun juga!
Pak-sin-tung
yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau
mengelak lagi karena tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika
tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke
belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang
menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar. Ia mati seketika,
tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari
punggungnya mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.
Enam orang
Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu
Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya dan....
“Tar-tar-tar...!”
terdengar bunyi enam kali dan... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi
karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di
sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu
roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di
atas tanah. Kauw Bian Cinjin menghela napas panjang sambil mengikatkan
cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan
caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang
tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak
alim seperti seorang pertapa.
Belasan
orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini
adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua
tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas,
pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun
menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama
sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin,
Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap
Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka
mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami
akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan
pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau
perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas
penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di
sini.” Ia menjura dengan hormat.
Kauw Bian
Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang
gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua
peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw
saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun
memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang
semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini
memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.
Seperginya
rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apa lagi ketika mereka melihat
munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis
ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara
mengejek. “Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali,
sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dulu
haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah
tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”
Sirap semua
suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apa lagi ketika di
belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di
antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan
Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri
sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa.
Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat
menyeramkan.
Melihat
munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian
Cinjin, apa lagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan
muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil
memandang sekeliling.
“It-gan
Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya
akan kami rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku
menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biar pun mereka melakukan kesalahan
terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia
jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami
sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong
dan sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya
melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw.
It-gan Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin
memandang tajam, berdiri tegak dan gagah.
It-gan
Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar
Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia
menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri. “Cuhhh, anak
kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian
Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk
bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte membuka sekalian semua rahasia agar
didengar oleh para tamu yang terhormat?”
Beng-kauwcu
Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian
keduanya mengangguk.
Kauw Bian
Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para
tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu
terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang
dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba
kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan
Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah
hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan
kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang
Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi
sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk
lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua
wakil dari Kerajaan Sung!”
Semua tamu
menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang
demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini
membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan
rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan
kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si
pembicara.
“Baiknya
usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang
tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.
“Siapakah
yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong!
Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur
tangan Empek Gan!”
Semua orang
memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telanjang tapi iblis ini
tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Ada pun It-gan
Kai-ong kembali menotokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan
sembarangan membuka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal
sebelah itu mengeluarkan sinar kemarahan.
Kauw Bian
Cinjin tersenyum. “Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh
orang-orang kami sendiri yang berkhianat dan dapat kau pikat untuk bersekutu.
Akan tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat
dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”
Orang-orang
menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu,
yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya
hitam putih dan aneh.
Akan tetapi
It-gan Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan
bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh
dan memfitnah tanpa bukti?”
Tiba-tiba
terdengar suara merdu nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak
menyangkal lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu
Sin, menuju ke pekarangan itu.
Kiranya tadi
ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat mencari Bu Sin dan memberi isyarat
kepada pemuda ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul
membantu paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis
itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri memandang
dengan mulut bengong.
Tiba-tiba
kakek pengemis itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada
hubungannya! Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku.
Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah
mabuk? Aku orang dari Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak
dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku
berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Kerajaan Sung
memberi penjelasan!” Matanya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.
Dua orang
panglima dari Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi
Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah
It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.
“Cinjin,
memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa
bukan It-gan Kai-ong yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau
mencampuri urusan busuk ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus
terang saja, secara diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan
melindungi barang sumbangan kami, dari utara ke sini.”
It-gan
Kai-ong tertawa lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa
Beng-kauw memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho,
bagi orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw
merupakan tuan rumah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua
telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan
Sung itu sebetulnya dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah
mendengar tentang peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri,
keributan yang terjadi di rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw,
kabarnya bernama Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup!
Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui
(Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui
adalah orang Beng-kauw! Kemudian terdengar lagi dua orang pelayan yang melayani
utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw
Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah
akal busuk orang-orang Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”
Hening di
situ setelah mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu.
Keadaan diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek
mata satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada
Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan kepada
Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban wakil ketua
Beng-kauw itu.
“It-gan
Kai-ong, tidak percuma kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!”
jawab Kauw Bian Cinjin. “Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan
fakta belaka, tanpa dasar dan bukti...”
“Ho-ho-ho,
dengar baik-baik, Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para
tamu yang jauh-jauh datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini
bukan buatan Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba
yang mencuri barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh,
tentu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi
Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri
membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk
mengadu domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling
bermusuhan. Kalau kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw
akan menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”
Para tamu
menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang
membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin
yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja pengemis.
Tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian
sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan
berkata. “It-gan Kai-ong, di mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada
orang lain kau boleh memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku
sudah mengenal isi perutmu!”
“Suling
Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah
sekarang pendekar gagah perkasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw
pula?” ejek It-gan Kai-ong.
Toat-beng
Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika melihat campur tangannya Suling
Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada perhitungan denganku!”
Suling Emas
tidak mempedulikan kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan
Kai-ong, melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi
tempat itu sambil berkata, “Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak jahat
iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada hakekatnya, dia
diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak mengenal putera
pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan bantuan gurunya ini,
berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan
Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia berkesempatan merebut tahta
kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung,
tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru
dan murid pengkhianat ini....”
“Suling
Emas, tutup mulutmu! Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di
sini. Kau ini seorang jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah
diperalat pula oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau
dan Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”
“Kau tadi
bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang
sunyi, jangan di tempat suci ini.”
“Tempat
suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang
kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan
Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan
keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang
puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu,
yang menjatuhkan hati banyak laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”
Tiba-tiba
semua orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu
terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati
yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat
itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi
melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang
tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan menusuk
hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sinkangnya sudah
kuat, cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi jantung dan menahan
getaran yang melumpuhkan ini.
“Cui-beng-kui...
ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang.
“Nah, sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat
sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”
Peti mati
itu kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara
melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya terdengar dari dunia lain,
bergema menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong! Mulut kotormu
menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya di dunia ini, tak mungkin aku
mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu,
bersiaplah!”
It-gan Kai-ong
adalah seorang di antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar
menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal, menotok-notokkan
tongkatnya ke tanah, lalu berkata sambil meludah. “Cui-beng-kui, bukan aku yang
akan mati, akan tetapi peti matimu kini betul-betul akan terisi mayat.
Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti mati, akan tetapi tiga kali
pula ludahnya menyeleweng, tidak mengenai peti mati melainkan mengenai tanah
yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.
“Krrriiiiittttt!”
tutup peti mati terbuka perlahan dari dalam.
Semua tamu,
terutama yang muda-muda dan bukan jago kawakan menjadi pucat memandang ke arah
peti mati. Juga para jagoan tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui
memandang penuh perhatian, hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini
keluar dari peti mati, selalu kalau ‘beraksi’ tentu dari peti matinya. Sekarang
peti mati terbuka, Cui-beng-kui akan tampak wujudnya, siapa yang tidak akan
tegang hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang
penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati
para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini tidak mereka
duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang
tahu di mana ia bersembunyi.
Tutup peti
mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula
tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan
kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini menutup peti, terus
menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua. Semua mata
memandang, leher memanjang dan... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari
dalam peti mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan
cukup membuat ia roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.
Cui-beng-kui
kiranya seorang laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka
mayat, pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh,
dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali
seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan tipis.
Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing
melengkung.
Yang menarik
adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat
berdiri, mata terbelalak dan muka berubah.
“Kau... Thai
Kun...!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.
“Ma-ciangkun
(Panglima) Ma...!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.
Manusia yang
seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua
Beng-kauw lalu mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis
Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya
iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu
dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih
terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!
Panglima she
Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara
banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari
suheng-nya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan
Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun tahu di mana ia
berada. Siapa nyana sekarang panglima itu muncul kembali dalam keadaan yang
begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu
adalah bekas panglima ini.
Kauw Bian
Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian
Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati
hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui
mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biar pun Ma Thai Kun kini
sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap
Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.
“Ma-suheng,
biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin.
Ia terhitung
adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan.
Yang pertama adalah mendiang Liu Gan, kedua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo
yang masih adik kandung Liu Gan, ketiga adalah Ma Thai Kun dan keempat Kauw
Bian Cinjin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya
sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian
Cinjin meragukan apakah suheng-nya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu
menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih
ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya
masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.
“Mundurlah!”
Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan
Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”
It-gan
Kai-ong tertawa bergelak, “Hoho-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa
bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh
Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau
terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun
tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”
“Majulah
jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar
dengan aku!” kata mayat hidup itu.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis
yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar
kuning telanjang di tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah
pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah,
Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan
menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya
berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan
kanannya menggetar.
“Kau siapa?
Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”
“Iblis
busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan,
bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya
setahun yang lalu di Ting-chun?”
“Ho-ho,
heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil
merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil
mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini,
Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”
Muka yang
pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin,
membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam
ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin
memasuki ruangan peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati
yang mendadak dapat ‘hidup’ sehingga ia roboh pingsan, lalu ia telah dimasukkan
ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!
Untung tidak
lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan
dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di
tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan
sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya
tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di
dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan
dimasukkan peti mati.
Dengan
menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat
sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat
seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki,
melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di
mana ia rebah. Muka itu pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua
ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.....
Akan tetapi
Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak
salah lagi kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas
terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara
seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.
“Iblis
jahat, kau pembunuh ayah ibuku...!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak
melompat ke luar dari dalam peti.
Akan tetapi
iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini
seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi
lumpuh.
“Hemmm,
bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau
harus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku,
sampai kau atau aku mampus...,” suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis
mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya
menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.
Saking ngeri
dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari
jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu
kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya,
membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi.
Dalam keadaan setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras
karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat
kuat, memondongnya ke luar dari dalam peti.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa
dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara
yang sama dinginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”
Iblis itu
yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya,
dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu
sudah berada di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih,
akan tetapi yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang
seperti mata burung hong. Rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya
serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin
putih.
Sejenak
iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar
sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan
bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas
sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.
“... Lu...
Lu Sian...!” dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.
Jantung Lin
Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan
wanita itu. Cantik memang, biar pun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih
cantik dari pada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama
ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap?
Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua
Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?
“Hemmm,
Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap
mengaku bahwa kau mencintaiku sampai kau mati? Huh, katanya kau pun sama saja
dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”
“Tidak...
tidak... Lu Sian, aku... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu... aku
bersetia padamu... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya
aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini?
Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu
murni?”
“Huh, tak
perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”
“Eh...
aku... terus-terang saja... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini...
melihat gadis itu tadi... hampir saja... tapi untung kau segera datang, Lu
Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar
seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”
“Sudahlah,
tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di
luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan
jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”
“Lu Sian,
aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui
kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku... aku malu
bertemu dengan orang-orang....”
“Hemmm,
tentang permintaanmu mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau
mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap! Malah aku akan mengusir kau dari
tempat ini!”
Terdengar
iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini
telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang
demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biar pun sudah tua, tetap tidak
melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan
melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah
perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.
Namun hanya
sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu
adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam
yang harus ia balas, apa lagi tadi telah menghinanya dan hampir saja
mencelakainya.
Iblis yang
bukan lain adalah Ma Thai Kun, bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang
terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini, dengan suara keluhan yang kemudian
melengking seperti suara suling memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu
bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di
ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul
dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis
tengah satu meter.
“Lu Sian,
aku mentaati permintaanmu...,” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur
cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali
dengan sendirinya.
Wanita
berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin.
Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia
cepat meloncat bangun, menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati
yang tadi menjadi ‘tempat tidurnya’.
“Bibi,
terima kasih atas pertolongan Bibi...,” Lin Lin berkata dengan suara perlahan,
karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek
adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu
angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja
bibi.
“Kau anak
Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”
“Bukan,
Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku. Bersama dua orang saudara angkat, aku
pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song...?”
Akan tetapi
wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya.
“Bukankah cintanya amat besar kepadaku? Biar pun sudah menjadi mayat hidup, ia
masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.
“Cinta
bernoda darah!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.
“Apa kau
bilang...?” Wanita itu agaknya heran.
“Cintanya
bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”
“Hemmm,
bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta
kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu
selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku.
Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini
seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”
“Betapa pun
juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”
Wanita itu
mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau...? Membalas padanya? Hik-hik, lucu
sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan
lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.
Lin Lin
tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat
rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri
bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu
jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil
mengerahkan tenaga dan... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding
itu berlubang.
Lin Lin
menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman
dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan
setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam
sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan
sembahyang!
Demikianlah,
pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba
Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan
memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang
iblis yang berkepandaian tinggi. Selain terkenal sebagai seorang di antara Enam
Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.
Tentu saja
ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di
depan orang banyak, apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini
adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian.
“Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah
lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”
“Cui-beng-kui!
Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu
angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.
“Cringgg!”
Lin Lin
terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak
mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi
telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku
jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?
“Lin-moi,
jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis
lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.
“Enci Eng,
hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan
membantunya, akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia
maklum bahwa kepandaian enci-nya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut
menghadapi iblis yang sakti ini.
“Eng-moi!
Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan
pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu
adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil
mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua
orang adiknya sudah berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja
Bu Sin tak dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan
pertempuran menemani kedua orang adiknya.
“Heh, bagus
sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul
orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara
melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak
ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.
Pukulan ini
mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin
bersiutan menyambar-nyambar. Bu Sin cepat mengerahkan sinkang-nya namun ia tetap
terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan
Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biar pun sudah
mengerahkan sinkang, tetap saja ia terguling roboh!
“Keparat,
rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat
menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san.
Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api
melayang ke arah Cui-beng-kui.
“Kiam-hoat
(ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji.
Pujian ini
sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang
bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan
tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika
pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang
dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah
perutnya!
Lin Lin
terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia
tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan
kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak
terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin
menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia
melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan... Cui-beng-kui meloncat
mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri
ke belakang dan bergulingan.
“Keparat,
siapa main gila...?!” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari
mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi
pergelangan tangannya tadi.
Akan tetapi
pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung
menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru.
“Keparat, berani kau menyerang Tuan Puteri kami yang mulia?”
Cui-beng-kui
tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang
menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.
“Trang-tring-trang-tring...!”
terdengar bunyi nyaring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian
disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua
orang Khitan.
Terdengar
suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada
dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biar pun senjata mereka
sudah terpental, menyaksikan dua orang kawannya tewas, empat orang Khitan yang
lain dengan nekat menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia
kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.
Enam orang
yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat
orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok, masing-masing
terdiri dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela
Pak-sin-tung, kini kelompok kedua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama
sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan
dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut
berantakan.
Mendadak dua
belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang
Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana
ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan
mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka
berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.
Cui-beng-kui
sendiri dan para tamu merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan
‘upacara’ macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya
bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan
memanjang dan lari ke luar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula.
Setelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian
mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam
orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!
Mula-mula
tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan
kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin
dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan
barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang
Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak
nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas
sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.
“Bu Sin,
Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”
“Twako,
dia... dia pembunuh ayah ibu...!” Bu Sin membantah.
Sian Eng
terharu mendengar kakaknya menyebut ‘twako’ kepada Suling Emas. Kini semua
keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang
selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan
terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata
perlahan. “Kau... kau Kakak Bu Song?”
Suling Emas
tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut
kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua
jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”
“Song-koko,
kau majulah, balaskan kematian ayah kita...!” Sian Eng berkata.
Suling Emas
tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya memandang ke arah depan. “Tenanglah
dan lihat, dia bertemu tanding.”
Ketika
mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi
berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
“Hemmm,
jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang
liar ini maju membantumu!” kata Cui-bengkui, nadanya mengejek.
“Ho-ho-heh-heh,
aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu
benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam
Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang
penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam kelima belas kita
main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan
bertemu dan saling menguji kepandaian di sana.”
“Hemmm, kau
masih berani memaki Liu Lu Sian?”
“Ho-ho-ho,
aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita
Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya
Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa
persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan
tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan
merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni
orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa
kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk
menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama
Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil dari pada
ancaman Sung Utara!”
Ucapan
It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang
mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan
Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka
terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong sebagai tokoh
sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah
guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira di tempat ini,
disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan
kata-kata seperti itu!
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit
sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan.
Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai
ini tersebar bau harum semerbak.
“Aku setuju
dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan
pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap
uluran menghadapi Sung!”
Makin tegang
keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam
memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak
banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong
terhadap Sung itu.
“Ho-ho-heh-heh!
Bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah,
Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada
empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang kelima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan
setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung
Utara!”
Hati Ouwyang
Swan, Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan
gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima
dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan
terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia
tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu pihak lawan, akan berbahaya sekali.
Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti
ini amat baik hubungannya dengan Kerajaan Sung.
“It-gan Kai-ong,
jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara
nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua
tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang
bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!”
Kemudian
pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata,
“Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong.
Semua itu adalah rencana jembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan yang
mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan.
Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan
rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi
rencana busuk seperti itu.”
Hening
sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar
It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-heh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te
Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak bertulang?
Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah
sombong yang mengandalkan kepandaian beberapa ilmu yang diwarisinya dari Kim-mo
Tai-su. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu
Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek.
Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah dari pada percintaan antara
kekasihmu dan jenderal itu.”
Mendadak
Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk
Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas
sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya.
Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama
Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata
oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya.
Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang
merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak
jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.
Namun Suling
Emas bukanlah seorang lemah. Jauh dari pada itu, ia malah seorang sakti yang
memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia
berlaku tenang. Cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang
menghindari terjangan hebat.
“Locianpwe,
sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia
menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk
dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari
terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan
ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu
yang kurang kuat roboh lemas!
Suling Emas
terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan
maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati
telah mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mukjijat dalam bentakan mayat
hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga
sinkang-nya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi
mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil
mencabut sulingnya.
Begitu ia
menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking kedua yang jauh bedanya.
Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar
kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah
lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus lembut
dan merdu, namun juga mengandung tenaga mukjijat yang seakan-akan mencopoti
semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh,
merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.
“... karena
kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua
suara melengking. “Kedua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela
hidup menderita....”
Kembali ia
menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan
kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan
semua jalan ke luar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa
pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan
tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan
tangan kanan lawan.
Lengking
suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan
kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan
kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan
kiri Suling Emas.
“Desssss...!”
telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui.
Pertemuan
dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak
keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan
tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak
dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui
terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.
Bu Sin dan
Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas
meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan
menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah kalian... aku tidak apa-apa...,”
katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas.
Dengan wajah
penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan
kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak
tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan
karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang
sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya
mengapa ia masih berlaku sabar sungguh pun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh
ayahnya.
Ia sudah
banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi
ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat
menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan
Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi
dengan hati kagum karena selama ini belum pernah ada yang sanggup mengatasi
pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya
menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan
pukulan ini terhadapnya!
“Iblis tua,
kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk
memberi hajaran kepada Cui-beng-kui.
Akan tetapi
tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang
tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena
telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat
ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak
banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang
berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran
yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang
tamu menggeletak pingsan. Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di
situ.
Ketua
Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan
mengerahkan tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini.
Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena
timbul dugaan di dalam hatinya. Nyata dari pandang matanya, kiranya Kauw Bian
Cinjin juga merasakan hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula.
Mereka itu
sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu
Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki
kesaktian sebagai dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata
Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah
ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas
semangat.
Ilmu ini
merupakan cabang dari pada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas
semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama
menggunakan khikang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk
mempengaruhi orang lain, sedangkan yang kedua lebih menggantungkan kepada
kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan
Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat
meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan
memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka
mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu
saja timbul dugaan, apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to? Kalau
benar demikian, siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu
Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh
bagian saja. Suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya
serangnya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu
sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh
pingsan!
Kalau dua
orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk
orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong,
Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan
terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sinkang yang amat kuat, mereka
tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.
Tiba-tiba
terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman
Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”
Suling Emas sedang
sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng
yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng
duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari
dari kakek sakti sehingga ia terbebas dari pada pengaruh Coan-im-i-hun-to.
Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya. Cepat ia
melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan... kedua kaki
pendekar ini menggigil!
Kini semua
mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu
keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak
menginjak lantai. Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi.
Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang
bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih
cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah
dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir
merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya
menyaingi mata burung hong yang sedang birahi, dihias bulu mata panjang hitam
melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian
ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput.
Hanya pada rambutnya terdapat tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang
terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi
rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di
sana-sini.
Hanya tiga
orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita
ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa
keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun
yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang
merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw,
tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan
diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana
bersembunyi wanita itu. Orang ketiga yang tahu akan wanita ini adalah
Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya
orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada
seorang lagi yang hanya menduga-duga dengan ragu-ragu dan dengan jantung
berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah
ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan
tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak
ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah
ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika
pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua
orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah lagi,
inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan,
bau ibunya dulu.
Akan tetapi
ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang
sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang
sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.
Wanita itu
memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun
yang lalu menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas,
dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa.
Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar
lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan
dapat melupakan wanita hebat ini.
Kini semua
orang memandangnya. Yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya
menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian
hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu
Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang
amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah
gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan
tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.
Iblis yang
biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki
menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya
membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah
tersendat-sendat, “Tidak... tidak... Lu Sian... jangan kau benci padaku... ah,
ampunkanlah aku... jangan benci....”
“Berani kau
menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata
lirih, terus melangkah mendekati.
“Ti... tidak...
Lu Sian... aku benci karena dia... dia putera Si Ek. Jangan... jangan pandang
aku seperti itu... Lu Sian... kau ampunkan aku... kau bunuhlah aku... tapi
jangan benci...!”
Semua orang
melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya
iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita
yang dicintanya itu membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa
besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian!
Cui-beng-kui
mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri
berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang
tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih
utuh. Akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang
tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma,
seperti senyum seorang siluman!
“Tidak, Ma
Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena
kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci
karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah,
dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu
semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu
aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit
getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua
menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang
suci murni!”
Semua orang
melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua
menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak
romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak
ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka
makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!
Iblis itu
menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian. Di antara tangisnya
terdengar ia berkata, “Terima kasih... terima kasih Lu Sian, aku cinta
padamu....”
Wanita
cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman
mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta
kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu
anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman
maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku.
Ketika
wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot.
Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari
lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua
tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari,
jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan
seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah!
“Wah,
Thian-te Liok-koai kurang seorang!” terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan
membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh
menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup
berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat
Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”
Memang
seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga
cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan
kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama
besar Thian-te Liok-koai, apa lagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh
oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu
sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggota Liok-koai lainnya,
kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!
“Tikus
busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil
menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong.
Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat
diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak
kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam
kepala dan punggung!
Hebat bukan
main serangan ini. Itgan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak
dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan,
tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke
atas menangkis kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam
kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biar pun dapat ia elakkan
sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja
menyerempetnya.
“Plakkk...
brettt!!”
Keduanya
melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang
mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya
sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat
tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya.
Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh!
Untung sinkang-nya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut
tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di
pundaknya sudah terdapat ‘cap’ lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!
Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak
membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua
lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
“Bagus, kau
memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu
kepandaian di antara Liok-koai bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa
lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam kelima belas di
puncak Thaisan. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling
rendah. Ho-ho-heh-heh!”
“Kai-ong,
apakah dia tidak diberi hajaran sedikit agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim
Lo-tong berkata sambil ‘sentrap-sentrup’ menyedot isi hidungnya yang mau keluar
saja.
“Jangan,
Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita
sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi,
kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang,
berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata
demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari
tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut
para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis
yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat
lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.
Bu Sin
merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat
mereka dan berkata kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan
pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”
Betapa
herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah
Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah
berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa
artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi
Sukouw (Bibi Guru)?”
Merah sekali
muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya
ia berkata juga, “Dia... dia hendak melamarku....”
Bu Sin
meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa...?!” Wajahnya jelas membayangkan
tidak percaya.
“Mengapa kau
kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”
“Kau bilang
biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah... agaknya kau telah
menyetujuinya...?”
“Sudahlah,
Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”
“Tidak! Kau
tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia... dia... ah, Eng-moi,
bagaimana kau...?”
“Sssttttt,
Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi...,” Sian Eng
mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal
hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.
Bu Sin
menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan
beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan
rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali.
“Kita akan
bicara tentang ini nanti...,” kata Sian Eng perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh
terpaksa mengalihkan perhatiannya.
Apakah yang
terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata
ketus. “Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”
Siang-mou
Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian.
Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya
sama cantiknya, biar pun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda dari pada Liu
Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut
di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat,
Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
“Beruntung
sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling
berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang
terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang
pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou
Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian?.
“Kim Bwee, sejak
kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu
itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan
dapat membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu
cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”
Muka
Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba
menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap
menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan
bertolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata, “Karena
menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih,
menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar
kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”
Liu Lu Sian
tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni.
“Bocah! Sekali menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan
tetapi mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau
mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!” Tantangan yang
menghina sekali.
“Wanita tak
kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan
pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau
membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh
tahun yang lalu. Terimalah ini!”
Tiba-tiba
Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan
panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan
lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut
itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!
Perlu
diketahui bahwa meski pun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri
dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu
Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biar pun amat berbahaya bagi orang lain, namun
bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya,
dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak
ke depan dan... pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam
Siang-mou Sin-ni sendiri!
“Ayaaaaa!”
Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik
beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di
atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan
berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, dan
matanya mendelik.
“Liu Lu
Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andai kata aku dapat
mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan
orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!”
Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari
situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat
itu pula tanpa sempat berpamit lagi.
“Bu Song! Ke
sini kau...!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan
suara halus lembut.
Suling Emas
berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan
teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah
ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali,
karena betapa pun juga, ia lebih cinta ibunya dari pada ayahnya. Oleh karena
itulah ketika ayahnya menikah lagi timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa
sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan
bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah. Oleh karena itu ia minggat
meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.
Pada waktu
ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti
sebab-sebabnya. Sekarang setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku
ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang
menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak tahu malu? Apa lagi
kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di
Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan,
jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni
diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan
ibunya tidak membantahnya!
“Bu Song,
anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”
Ucapan ini
mengagetkan hatinya, menyeret ia turun dari lamunannya. Hatinya seperti
diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua
kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua
cantik jelita yang bertahun-tahun menjadi lamunannya ini, menjadi bayangan yang
dirindukannya.
Liu Lu Sian
memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku... ah, kau sudah begini gagah
perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia.
Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan
aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai
Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”
“Ahhhhh...!”
Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya
terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian
menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda
itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling
Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh
sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya
yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan
bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.
“Hi-hik,
anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut
menjadi Kaisar Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar
menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan
kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.
“Paman Liu
Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar
keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan
Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw,
bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”
Muka
Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak
di atas lengan kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas
panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang
penuh kesabaran ia berkata.
“Lu Sian,
tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah
dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapa
pun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak
berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan
kedudukan Kauwcu, sama sekali bukan merampas. Kalau sekarang kau
menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu
Sian.”
Liu Lu Sian
tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka mau pun tidak.
Andai kata tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau
orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat
puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao!”
“Enci Lu
Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu
Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya
yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.
“Hi-hik,
bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika
kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!”
teriak Liu Lu Sian.
Tubuhnya
berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara
sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan sikap
mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk kedua
menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik.
Liu Hwee
mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil
tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari, dan ke mana
pun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis
ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana cambuk itu sudah
melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika
cambuknya ditarik-tarik.
“Lepaskan
dia, wanita jahat!” terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan
pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak
dapat menahan kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah
merampas hatinya itu dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya
keselamatannya terancam bahaya.
“Hi-hik,
laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang
itu terkekeh dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
“Ihhhh...!”
Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil
menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga
sakti yang ia pelajari dari kakek di air terjun.
Kita kembali
mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua
puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah
mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu
bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana
terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa
Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang
mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa
Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia
melihat kesempatan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung
karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk
melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan
besar, megah dan seram.
Pak-sin-tung
kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang
ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang.
Jangankan orang luar, bahkan para anggota Beng-kauw sendiri ia dengar tidak
berani memasukinya. Sekarang Lin Lin masuk melalui pintu kecil itu!
Tadinya ia
hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap
membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak
muncul, maka kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati,
meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak
mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya
ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang
berani memasuki pintu itu.
Betapa pun
gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia
mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi
dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.
Lin Lin
memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus,
meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa seram
ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin
menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es.
Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan
tetapi ia teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang
Khitan siap untuk memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan
melangkah maju terus.
Tiba-tiba ia
tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula
terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu
tengkuknya meremang. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin
mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang
kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya
menginjak sesuatu dan.....
“Cuittttt!”
terdengar suara keras.
Lin Lin
meloncat ke atas, semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia
tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi menginjak tikus.
Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena di antara segala benda dan makhluk di
dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis
akan dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus? Menggigil ia
dibuatnya.
Saking jijik
dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan pulang balik setengah berlari. Akan
tetapi anehnya, sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah
salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin
Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.
Kegelisahan
tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di
jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat
melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega.
Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan ke luar. Benar
saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil
menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat
ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.
“Crakkk!”
Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya
adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan
menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya
melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah
maju dengan hati-hati.
Setelah
berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah
ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah
cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja
dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu
terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke
bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah.
Peti-peti
mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang
yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan
hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah
persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget
karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama
benar dengan peti mati yang berada di ruangan sembahyang.
“Ah, benda
mati, hanya terbuat dari pada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati
menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan
peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan ke luar.
Ia bingung
dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan tetapi dari balik ruji jendela itu
ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir
dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan
semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang
demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah
untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang
berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian
gelapnya? Tak masuk akal!
Ia melangkah
maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.
“Kriiittttt...!”
Lin Lin
menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah
pintu karatan dibuka, atau... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti
mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit.
Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari
melalui bawah kakinya.
Dengan hati
berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus! Ia
menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan
gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya tikus takut melihat
manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah
tumpukan peti mati itu malah ke luar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri
lewat dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga
takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!
“Ah, tidak
ada setan di siang hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh
kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.
Ia
tersenyum. “Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang
harus ditakuti?” katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling
atas.
Setelah
kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak
memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas
tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk
menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.
Peti mati
itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena
engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat
sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke
dalam peti mati dan... Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur,
terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin. Matanya terbelalak
lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa
dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti,
muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi... tangan mayat yang hanya
tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu
bergerak dan hidup!
Dapat
dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu
bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat,
kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan
menjenguk ke luar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.
Lin Lin
menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu
terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut
itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut
pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia
akan sesuatu.
“Kau...
kau...,” suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian
gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia
berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan
suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.
Suara
lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas,
kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti
mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus. Dengan gerakan perlahan
mengerikan, ‘setan’ itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki
tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit. Kepalanya gundul,
matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah,
mulutnya seperti orang menangis. Tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang
robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak
bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut
menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan
bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!
Mayat hidup
itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah
muka gadis itu. Mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang
setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah
tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati
yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu... memasukkan tubuh Lin
Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali!
Setelah
melakukan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya
bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam
peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati.
Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan
di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.
***************
Di ruangan
sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi
penghormatan. Mereka itu seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat
adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja
sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri
Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang
peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya
tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang
pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat
mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah
ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan, membawa bau
harum.
Di sebelah
kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan
membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah
kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu
pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang
berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain.
Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya.
Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di
sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum
dan wajahnya berseri-seri.
“Sungguh,
Song-koko (Kakak Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara
hebat! Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan
berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling
Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?”
Suling Emas
menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan
kepala dan berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama
seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”
Bu Sin
mengeluarkan sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biar pun kau sudah
melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat
kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau
meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini
kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?” Ia
menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.
Melihat
benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia
membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil
itu. Ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk
membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia
membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah,
dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua
tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias
lengan tangannya.
“Bu Sin...,”
katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau
menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biar pun
harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan
menikah lagi. Juga... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi...
Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian,
belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”
Pada saat
itu Suling Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang ke
luar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak
ke arah makhluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya
terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.
“Pat-jiu
Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku
merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati
dengan mata terbelalaknya.
Menyeramkan
sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia
tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan
tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkorak yang
menyeramkan.
“Hek-giam-lo,
terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau
datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”
“Khitan
tidak ada urusan mau pun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada
permusuhan dengan Beng-kauw, apa lagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam
pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah
mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di
sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang
sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Beng-kauwcu
Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis dan aneh sekali.
Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia
terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan
kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak
melakukan perbuatan yang lancang ini.
“Hek-giam-lo,
mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari
peti mati dan jangan mengganggunya.”
Akan tetapi
secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan... kedua tangannya
memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah
pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga
dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw
itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya dari gangguan
Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya.
Kalau saja
bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini,
tentu dia yang diserang Hek-giam-lo akan kalah. Para tamu dan para pimpinan
Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan
tetapi, biar pun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap
tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan,
secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.
Kiranya
pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini
sudah menubruk dari samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu
itu telah dirampasnya. Ia melompat ke luar dari ruangan itu sambil tertawa
bergelak.
“Manusia curang...!”
Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan
rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.
“Hek-giam-lo,
kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang ke
luar mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang
tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera
mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya.
Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.
“Kauwcu,
tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuiah, tongkatmu itu
hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri
kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”
Pada saat
itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah
Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu
pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini
seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu
otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani
oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka.
Seperti kita
ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu
yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai
di situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh
empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing
sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua
Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.
“Siapa kau?”
Beng-kauwcu Liu Mo menegur, memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas
sepasang tongkat dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak
gagah bersemangat.
Memang,
Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo suka
merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di
Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan.
Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.
Pak-sin-tung
menjura. “Kauwcu, saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo
adalah suheng-ku, karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu
mengejar suheng.”
Merah muka
ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih
mau turun tangan. Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti
Pak-sin-tung ini, betapa pun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua
Beng-kauw ini bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring
seperti diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget
bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga
dalam ketua Beng-kauw itu.
Beberapa
detik kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin
sudah berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu sambil berkata penuh hormat,
“Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat
kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan
siauwte membereskan si buntung ini.”
Seperti
biasa, sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam
ketenangannya, kakek berpakaian sederhana bertopi caping yang memegang pecut
ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikap yang berwibawa.
Memang terkenallah di Nan-cao, apa lagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw
bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu
mengenai Beng-kauw.
Biar pun
kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suheng-nya, yaitu Liu Mo sendiri,
namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andai kata ia tidak
sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat
itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya
Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tongkat. Tadi pun ia
hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan
diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.
Dengan sikap
angker Kauw Bian Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum.
“Pak-sin-tung, kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari
Khitan kau datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suheng-mu merencanakan
perampasan tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus
mempertanggung-jawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan Hek-giam-lo,
ataukah Kerajaan Khitan?”
Tak enak
juga hati Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apa lagi nama Kerajaan
Khitan dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak
tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan
Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang
ingin meminjam tongkat itu.”
“Wah, adikmu
yang bikin gara-gara...!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada
di sampingnya. Pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari ke luar
dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kau tunggu di sini, biar
kucari dia!” Sebelum Bu Sin dapat mengerti apa yang dimaksudkan Suling Emas,
pendekar aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.
Sementara
itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak
lantang. “Kami mohon dengan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil
dari Khitan!”
Semua orang
memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap
gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kauw Bian Cinjin dengan sikap
gagah seorang perwira tinggi peperangan yang memberi hormat dan berkata,
suaranya lantang dan agak kaku karena memang ia seorang Khitan asli, “Semua
ucapan Pak-sin-tung benar belaka. Urusan pagi hari ini sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab
Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”
“Bagus, kami
pun memang tidak ingin membawa-bawa pihak yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun,
sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan
kami pihak Beng-kauw mau pun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apa lagi
wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa
kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil Khitan
itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi
Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung,
karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian
bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum.
Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Jika
melawan, maka kami akan menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha,
Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung
tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang
menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani
menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas
perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk
membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja,
untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian
Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan
sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan
tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata
perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati
mendiang twa-suheng yang mulia. Kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita,
Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”
“Tar-tar-tar!”
cambuk atau pecut panjang di tangan Kauw Bian Cinjin berbunyi tiga kali. Kakek
ini sudah melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman
Beng-kauw!”
Pak-sin-tung
tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang
mengeluarkan suara bercuitan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat
kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini
beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut
dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung
terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan
tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang
serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan
tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya
tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh
gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa
pukulan dahsyat sehingga para penonton deretan terdepan merasa betapa angin
pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja
sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Paksin-tung (Tongkat Sakti dari Utara)
tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi
ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang
setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik
seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang. Ilmu
silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting
kepadanya. Pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa
yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring
ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka
menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.
Akan tetapi
ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja pecutnya juga bukan pecut biasa,
melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar yang hanya
terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh
senjata tajam mana pun juga dan mengandung hawa panas seperti api ketika
digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis,
mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan
lawan.
Betapapun
pandai nya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan
tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling
sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut
nyawa apa bila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi
sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya
makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga
sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!”
Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar
mengitari dua pasang tongkat.
Baiknya
Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau
sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia
akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah
terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung
mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia
telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas
tongkatnya dan... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian
Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak
terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya.
Kiranya
ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas,
Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga
renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat.
Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian
Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa
pun juga!
Pak-sin-tung
yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau
mengelak lagi karena tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika
tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke
belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang
menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar. Ia mati seketika,
tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya
mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.
Enam orang
Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu
Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya dan....
“Tar-tar-tar...!”
terdengar bunyi enam kali dan... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi
karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di
sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu
roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di
atas tanah. Kauw Bian Cinjin menghela napas panjang sambil mengikatkan
cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan
caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang
tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak
alim seperti seorang pertapa.
Belasan orang
telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah
Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu
makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas,
pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun
menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama
sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin,
Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap
Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka
mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami
akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan
pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau
perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas
penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di
sini.” Ia menjura dengan hormat.
Kauw Bian
Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang
gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua
peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw
saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun
memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang
semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini
memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.
Seperginya
rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apa lagi ketika mereka melihat
munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis
ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara
mengejek. “Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali,
sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dulu
haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah
tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”
Sirap semua
suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apa lagi ketika di
belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di
antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan
Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri
sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa.
Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat
menyeramkan.
Melihat
munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian
Cinjin, apa lagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan
muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil
memandang sekeliling.
“It-gan Kai-ong,
kami tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami
rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu.
Orang-orang dari Khitan, biar pun mereka melakukan kesalahan terhadap
Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan
yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama
sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan
sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan
usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan
Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin memandang
tajam, berdiri tegak dan gagah.
It-gan
Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar
Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia
menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri. “Cuhhh, anak
kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian
Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk
bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte membuka sekalian semua rahasia agar
didengar oleh para tamu yang terhormat?”
Beng-kauwcu
Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian
keduanya mengangguk.
Kauw Bian
Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para
tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu
terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang
dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba
kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan
Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah
hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan
kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang
Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi
sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk
lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua
wakil dari Kerajaan Sung!”
Semua tamu
menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang
demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini
membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan
rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan
kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si
pembicara.
“Baiknya
usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang
tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.
“Siapakah
yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong!
Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur
tangan Empek Gan!”
Semua orang
memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telanjang tapi iblis ini
tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Ada pun It-gan
Kai-ong kembali menotokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan
sembarangan membuka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal
sebelah itu mengeluarkan sinar kemarahan.
Kauw Bian
Cinjin tersenyum. “Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh
orang-orang kami sendiri yang berkhianat dan dapat kau pikat untuk bersekutu.
Akan tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat
dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”
Orang-orang
menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu,
yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya
hitam putih dan aneh.
Akan tetapi
It-gan Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan
bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh
dan memfitnah tanpa bukti?”
Tiba-tiba
terdengar suara merdu nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak
menyangkal lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu
Sin, menuju ke pekarangan itu.
Kiranya tadi
ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat mencari Bu Sin dan memberi isyarat
kepada pemuda ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul
membantu paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis
itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri memandang
dengan mulut bengong.
Tiba-tiba
kakek pengemis itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada
hubungannya! Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku.
Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah
mabuk? Aku orang dari Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak
dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku
berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Kerajaan Sung
memberi penjelasan!” Matanya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.
Dua orang
panglima dari Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi
Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah
It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.
“Cinjin,
memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa
bukan It-gan Kai-ong yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau
mencampuri urusan busuk ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus
terang saja, secara diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan
melindungi barang sumbangan kami, dari utara ke sini.”
It-gan
Kai-ong tertawa lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa
Beng-kauw memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho,
bagi orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw
merupakan tuan rumah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua
telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan
Sung itu sebetulnya dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah
mendengar tentang peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri,
keributan yang terjadi di rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw,
kabarnya bernama Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup!
Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui
(Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui
adalah orang Beng-kauw! Kemudian terdengar lagi dua orang pelayan yang melayani
utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw
Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah
akal busuk orang-orang Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”
Hening di
situ setelah mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu.
Keadaan diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek
mata satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada
Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan kepada
Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban wakil ketua
Beng-kauw itu.
“It-gan
Kai-ong, tidak percuma kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!”
jawab Kauw Bian Cinjin. “Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan
fakta belaka, tanpa dasar dan bukti...”
“Ho-ho-ho,
dengar baik-baik, Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para
tamu yang jauh-jauh datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini
bukan buatan Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba
yang mencuri barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh,
tentu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi
Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri
membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk
mengadu domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling
bermusuhan. Kalau kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw
akan menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”
Para tamu
menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang
membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin
yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja pengemis.
Tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian
sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan
berkata. “It-gan Kai-ong, di mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada
orang lain kau boleh memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku
sudah mengenal isi perutmu!”
“Suling
Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah
sekarang pendekar gagah perkasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw
pula?” ejek It-gan Kai-ong.
Toat-beng
Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika melihat campur tangannya Suling
Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada perhitungan denganku!”
Suling Emas
tidak mempedulikan kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan
Kai-ong, melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi
tempat itu sambil berkata, “Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak jahat
iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada hakekatnya, dia
diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak mengenal putera
pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan bantuan gurunya ini,
berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan
Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia berkesempatan merebut tahta
kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung,
tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru
dan murid pengkhianat ini....”
“Suling
Emas, tutup mulutmu! Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di
sini. Kau ini seorang jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah
diperalat pula oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau
dan Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”
“Kau tadi
bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang
sunyi, jangan di tempat suci ini.”
“Tempat
suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang
kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan
Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan
keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang
puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu,
yang menjatuhkan hati banyak laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”
Tiba-tiba
semua orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu
terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati
yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat
itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi
melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang
tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan menusuk
hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sinkangnya sudah
kuat, cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi jantung dan menahan
getaran yang melumpuhkan ini.
“Cui-beng-kui...
ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang.
“Nah, sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat
sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”
Peti mati
itu kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara
melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya terdengar dari dunia lain,
bergema menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong! Mulut kotormu
menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya di dunia ini, tak mungkin aku
mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu,
bersiaplah!”
It-gan
Kai-ong adalah seorang di antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak
gentar menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal,
menotok-notokkan tongkatnya ke tanah, lalu berkata sambil meludah.
“Cui-beng-kui, bukan aku yang akan mati, akan tetapi peti matimu kini
betul-betul akan terisi mayat. Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti
mati, akan tetapi tiga kali pula ludahnya menyeleweng, tidak mengenai peti mati
melainkan mengenai tanah yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.
“Krrriiiiittttt!”
tutup peti mati terbuka perlahan dari dalam.
Semua tamu,
terutama yang muda-muda dan bukan jago kawakan menjadi pucat memandang ke arah
peti mati. Juga para jagoan tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui
memandang penuh perhatian, hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini
keluar dari peti mati, selalu kalau ‘beraksi’ tentu dari peti matinya. Sekarang
peti mati terbuka, Cui-beng-kui akan tampak wujudnya, siapa yang tidak akan
tegang hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang
penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati
para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini tidak mereka
duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang
tahu di mana ia bersembunyi.
Tutup peti
mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula
tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan
kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini menutup peti, terus
menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua. Semua mata
memandang, leher memanjang dan... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari
dalam peti mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan
cukup membuat ia roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.
Cui-beng-kui
kiranya seorang laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka
mayat, pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh,
dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali
seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan tipis.
Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing
melengkung.
Yang menarik
adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat
berdiri, mata terbelalak dan muka berubah.
“Kau... Thai
Kun...!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.
“Ma-ciangkun
(Panglima) Ma...!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.
Manusia yang
seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua
Beng-kauw lalu mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis
Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya
iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu
dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih
terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!
Panglima she
Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara
banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari
suheng-nya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan
Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun tahu di mana ia
berada. Siapa nyana sekarang panglima itu muncul kembali dalam keadaan yang
begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu
adalah bekas panglima ini.
Kauw Bian
Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian
Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati
hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa
Cui-beng-kui mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biar pun Ma
Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki
kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat
itu.
“Ma-suheng,
biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin.
Ia terhitung
adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan.
Yang pertama adalah mendiang Liu Gan, kedua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo
yang masih adik kandung Liu Gan, ketiga adalah Ma Thai Kun dan keempat Kauw
Bian Cinjin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya
sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian
Cinjin meragukan apakah suheng-nya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu
menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih
ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya
masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.
“Mundurlah!”
Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan
Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”
It-gan
Kai-ong tertawa bergelak, “Hoho-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa
bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh
Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau
terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun
tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”
“Majulah
jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar
dengan aku!” kata mayat hidup itu.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis
yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar
kuning telanjang di tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah
pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah,
Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan
menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya
berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan
kanannya menggetar.
“Kau siapa?
Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”
“Iblis
busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan,
bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya
setahun yang lalu di Ting-chun?”
“Ho-ho,
heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil
merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil
mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini,
Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”
Muka yang
pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin,
membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam
ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin
memasuki ruangan peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati
yang mendadak dapat ‘hidup’ sehingga ia roboh pingsan, lalu ia telah dimasukkan
ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!
Untung tidak
lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan
dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di
tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan
sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya
tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di
dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan
dimasukkan peti mati.
Dengan
menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat
sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat
seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki,
melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di
mana ia rebah. Muka itu pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua
ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.....
Akan tetapi
Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak
salah lagi kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas
terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara
seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.
“Iblis
jahat, kau pembunuh ayah ibuku...!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak
melompat ke luar dari dalam peti.
Akan tetapi
iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini
seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi
lumpuh.
“Hemmm,
bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau
harus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku,
sampai kau atau aku mampus...,” suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis
mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya
menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.
Saking ngeri
dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari
jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu
kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya,
membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi.
Dalam keadaan setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras
karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat
kuat, memondongnya ke luar dari dalam peti.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa
dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara
yang sama dinginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”
Iblis itu
yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya,
dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu
sudah berada di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih,
akan tetapi yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang
seperti mata burung hong. Rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul,
pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan
makin putih.
Sejenak
iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar
sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan
bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas
sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.
“... Lu...
Lu Sian...!” dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.
Jantung Lin
Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan
wanita itu. Cantik memang, biar pun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih
cantik dari pada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama
ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap?
Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua
Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?
“Hemmm,
Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap
mengaku bahwa kau mencintaiku sampai kau mati? Huh, katanya kau pun sama saja
dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”
“Tidak...
tidak... Lu Sian, aku... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu... aku
bersetia padamu... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya
aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini?
Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu
murni?”
“Huh, tak
perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”
“Eh...
aku... terus-terang saja... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini...
melihat gadis itu tadi... hampir saja... tapi untung kau segera datang, Lu
Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar
seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”
“Sudahlah,
tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di
luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan
jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”
“Lu Sian,
aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui
kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku... aku malu
bertemu dengan orang-orang....”
“Hemmm,
tentang permintaanmu mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau
mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap! Malah aku akan mengusir kau dari tempat
ini!”
Terdengar
iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini
telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang
demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biar pun sudah tua, tetap tidak
melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan
melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah
perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.
Namun hanya
sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu
adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam
yang harus ia balas, apa lagi tadi telah menghinanya dan hampir saja
mencelakainya.
Iblis yang
bukan lain adalah Ma Thai Kun, bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang
terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini, dengan suara keluhan yang kemudian
melengking seperti suara suling memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu
bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di
ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul
dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis
tengah satu meter.
“Lu Sian,
aku mentaati permintaanmu...,” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur
cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali
dengan sendirinya.
Wanita
berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin.
Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia
cepat meloncat bangun, menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati
yang tadi menjadi ‘tempat tidurnya’.
“Bibi,
terima kasih atas pertolongan Bibi...,” Lin Lin berkata dengan suara perlahan,
karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek
adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu
angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja
bibi.
“Kau anak
Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”
“Bukan,
Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku. Bersama dua orang saudara angkat, aku
pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song...?”
Akan tetapi
wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya.
“Bukankah cintanya amat besar kepadaku? Biar pun sudah menjadi mayat hidup, ia
masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.
“Cinta
bernoda darah!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.
“Apa kau
bilang...?” Wanita itu agaknya heran.
“Cintanya bernoda
darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”
“Hemmm,
bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta
kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu
selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih
mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah
mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”
“Betapa pun
juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”
Wanita itu
mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau...? Membalas padanya? Hik-hik, lucu
sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan
lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.
Lin Lin
tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat
rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri
bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu
jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil
mengerahkan tenaga dan... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding
itu berlubang.
Lin Lin
menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman
dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan
setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam
sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan
sembahyang!
Demikianlah,
pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba
Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan
memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang
iblis yang berkepandaian tinggi. Selain terkenal sebagai seorang di antara Enam
Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.
Tentu saja
ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di
depan orang banyak, apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini
adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian.
“Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah
lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”
“Cui-beng-kui!
Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu
angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.
“Cringgg!”
Lin Lin
terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak
mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi
telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku
jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?
“Lin-moi,
jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis
lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.
“Enci Eng,
hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan
membantunya, akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia
maklum bahwa kepandaian enci-nya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut
menghadapi iblis yang sakti ini.
“Eng-moi!
Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula.
Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya,
akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa
Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah
berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat
tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran
menemani kedua orang adiknya.
“Heh, bagus
sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul
orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara
melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak
ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.
Pukulan ini
mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin
bersiutan menyambar-nyambar. Bu Sin cepat mengerahkan sinkang-nya namun ia
tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat
mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biar
pun sudah mengerahkan sinkang, tetap saja ia terguling roboh!
“Keparat,
rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat
menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san.
Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api
melayang ke arah Cui-beng-kui.
“Kiam-hoat
(ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji.
Pujian ini
sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang
bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan
tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika
pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang
dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah
perutnya!
Lin Lin
terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia
tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan
kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak
terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin
menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia
melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan... Cui-beng-kui meloncat
mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri
ke belakang dan bergulingan.
“Keparat,
siapa main gila...?!” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari
mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan
tangannya tadi.
Akan tetapi
pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung
menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru.
“Keparat, berani kau menyerang Tuan Puteri kami yang mulia?”
Cui-beng-kui
tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang
menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.
“Trang-tring-trang-tring...!”
terdengar bunyi nyaring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian
disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua
orang Khitan.
Terdengar
suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada
dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biar pun senjata mereka
sudah terpental, menyaksikan dua orang kawannya tewas, empat orang Khitan yang
lain dengan nekat menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia
kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.
Enam orang
yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat
orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok, masing-masing
terdiri dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela
Pak-sin-tung, kini kelompok kedua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama
sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan
dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut
berantakan.
Mendadak dua
belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang
Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana
ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan
mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka
berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.
Cui-beng-kui
sendiri dan para tamu merasa terheran-heran karena belum pernah mereka
menyaksikan ‘upacara’ macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya
bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan
memanjang dan lari ke luar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula.
Setelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian
mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam
orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!
Mula-mula
tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan
kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin
dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan
barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang
Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak
nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas
sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.
“Bu Sin,
Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”
“Twako,
dia... dia pembunuh ayah ibu...!” Bu Sin membantah.
Sian Eng
terharu mendengar kakaknya menyebut ‘twako’ kepada Suling Emas. Kini semua
keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang
selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan
terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata
perlahan. “Kau... kau Kakak Bu Song?”
Suling Emas
tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut
kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua
jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”
“Song-koko,
kau majulah, balaskan kematian ayah kita...!” Sian Eng berkata.
Suling Emas
tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya memandang ke arah depan. “Tenanglah
dan lihat, dia bertemu tanding.”
Ketika
mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi
berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
“Hemmm,
jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang
liar ini maju membantumu!” kata Cui-bengkui, nadanya mengejek.
“Ho-ho-heh-heh,
aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu
benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam
Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang
penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam kelima belas kita
main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan
bertemu dan saling menguji kepandaian di sana.”
“Hemmm, kau
masih berani memaki Liu Lu Sian?”
“Ho-ho-ho,
aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita
Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya
Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa
persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan
tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan
merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni
orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa
kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk
menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama
Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil dari pada
ancaman Sung Utara!”
Ucapan
It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang
mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan
Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka
terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong sebagai tokoh
sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah
guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira di tempat ini,
disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan
kata-kata seperti itu!
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit
sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan.
Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai
ini tersebar bau harum semerbak.
“Aku setuju
dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan
pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap
uluran menghadapi Sung!”
Makin tegang
keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam
memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak
banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong
terhadap Sung itu.
“Ho-ho-heh-heh!
Bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah,
Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada
empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang kelima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan
setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung
Utara!”
Hati Ouwyang
Swan, Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan
gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima
dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan
terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia
tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu pihak lawan, akan berbahaya sekali.
Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti
ini amat baik hubungannya dengan Kerajaan Sung.
“It-gan
Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata
dengan suara nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan
mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan
Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!”
Kemudian
pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata,
“Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong.
Semua itu adalah rencana jembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan yang
mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan.
Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan
rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi
rencana busuk seperti itu.”
Hening
sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar
It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-heh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te
Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak bertulang?
Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah
sombong yang mengandalkan kepandaian beberapa ilmu yang diwarisinya dari Kim-mo
Tai-su. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu
Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek.
Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah dari pada percintaan antara
kekasihmu dan jenderal itu.”
Mendadak
Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk
Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas
sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya.
Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama
Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan
senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah
usahanya. Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek
yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah
anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.
Namun Suling
Emas bukanlah seorang lemah. Jauh dari pada itu, ia malah seorang sakti yang
memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia
berlaku tenang. Cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang
menghindari terjangan hebat.
“Locianpwe,
sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia
menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk
dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari
terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan
ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu
yang kurang kuat roboh lemas!
Suling Emas
terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan
maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati
telah mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mukjijat dalam bentakan mayat
hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sinkang-nya
akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi mengerikan itu.
Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya.
Begitu ia
menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking kedua yang jauh bedanya.
Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar
kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah
lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus
lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mukjijat yang seakan-akan
mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh,
merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.
“... karena
kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua
suara melengking. “Kedua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela
hidup menderita....”
Kembali ia
menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan
kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan
semua jalan ke luar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa
pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan
kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan
lawan.
Lengking
suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan
kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan
besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri
Suling Emas.
“Desssss...!”
telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui.
Pertemuan
dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak
keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan
tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak
dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui
terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.
Bu Sin dan
Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas
meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan
menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah kalian... aku tidak apa-apa...,”
katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas.
Dengan wajah
penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan
kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak
tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan
karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang
sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya
mengapa ia masih berlaku sabar sungguh pun ia tahu bahwa orang ini adalah
pembunuh ayahnya.
Ia sudah
banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi
ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat
menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan
Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi
dengan hati kagum karena selama ini belum pernah ada yang sanggup mengatasi
pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya
menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan
pukulan ini terhadapnya!
“Iblis tua,
kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk
memberi hajaran kepada Cui-beng-kui.
Akan tetapi
tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang
tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena
telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat
ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak
banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang
berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran
yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang
tamu menggeletak pingsan. Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di
situ.
Ketua
Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan
mengerahkan tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini.
Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena
timbul dugaan di dalam hatinya. Nyata dari pandang matanya, kiranya Kauw Bian
Cinjin juga merasakan hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula.
Mereka itu
sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu
Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki
kesaktian sebagai dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata
Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah
ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas
semangat.
Ilmu ini
merupakan cabang dari pada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas
semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama
menggunakan khikang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk
mempengaruhi orang lain, sedangkan yang kedua lebih menggantungkan kepada
kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan
Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat
meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan
memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka
mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu
saja timbul dugaan, apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to? Kalau
benar demikian, siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu
Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh
bagian saja. Suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya
serangnya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu
sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh
pingsan!
Kalau dua
orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk
orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong,
Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan
terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sinkang yang amat kuat, mereka
tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.
Tiba-tiba
terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman
Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”
Suling Emas
sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk
Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat
Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia
pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas dari pada pengaruh
Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat
mukanya. Cepat ia melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan...
kedua kaki pendekar ini menggigil!
Kini semua
mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu
keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak
menginjak lantai. Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi.
Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang
bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih
cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah
dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir
merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya
menyaingi mata burung hong yang sedang birahi, dihias bulu mata panjang hitam
melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian
ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput.
Hanya pada rambutnya terdapat tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang
terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi
rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di
sana-sini.
Hanya tiga
orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita
ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa
keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun
yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang
merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw,
tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika
melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana
bersembunyi wanita itu. Orang ketiga yang tahu akan wanita ini adalah
Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya
orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada
seorang lagi yang hanya menduga-duga dengan ragu-ragu dan dengan jantung
berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah
ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan
tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak
ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah
ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita.
Ketika pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh
semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah
lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia
lupakan, bau ibunya dulu.
Akan tetapi
ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang
sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang
sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.
Wanita itu
memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun
yang lalu menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas,
dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa.
Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar
lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan
dapat melupakan wanita hebat ini.
Kini semua
orang memandangnya. Yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya
menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian
hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu
Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang
amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah
gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan
tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.
Iblis yang
biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki
menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya
membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah
tersendat-sendat, “Tidak... tidak... Lu Sian... jangan kau benci padaku... ah,
ampunkanlah aku... jangan benci....”
“Berani kau
menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih,
terus melangkah mendekati.
“Ti...
tidak... Lu Sian... aku benci karena dia... dia putera Si Ek. Jangan... jangan
pandang aku seperti itu... Lu Sian... kau ampunkan aku... kau bunuhlah aku...
tapi jangan benci...!”
Semua orang
melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya
iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita
yang dicintanya itu membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa
besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian!
Cui-beng-kui
mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri
berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang
tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih
utuh. Akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang
tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma,
seperti senyum seorang siluman!
“Tidak, Ma
Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena
kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci
karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah,
dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua
palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku
memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir
dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua
menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu
yang suci murni!”
Semua orang
melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua
menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak
romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak
ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka
makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!
Iblis itu
menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian. Di antara tangisnya
terdengar ia berkata, “Terima kasih... terima kasih Lu Sian, aku cinta
padamu....”
Wanita
cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman
mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta
kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu
anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman
maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku.
Ketika
wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata
melotot. Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan
keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana
tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan
sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung,
meninggalkan cap tangan seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar
tangan besi dibakar merah!
“Wah,
Thian-te Liok-koai kurang seorang!” terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan
membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh
menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup
berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat
Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”
Memang
seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga
cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan
kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama
besar Thian-te Liok-koai, apa lagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh
oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu
sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggota Liok-koai lainnya,
kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!
“Tikus
busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil
menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong.
Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat
diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak
kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam
kepala dan punggung!
Hebat bukan
main serangan ini. Itgan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak
dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan,
tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke
atas menangkis kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam
kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biar pun dapat ia elakkan
sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja
menyerempetnya.
“Plakkk...
brettt!!”
Keduanya
melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang
mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya
sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat
tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya.
Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh!
Untung sinkang-nya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut
tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di
pundaknya sudah terdapat ‘cap’ lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!
Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak
membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua
lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
“Bagus, kau
memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu
kepandaian di antara Liok-koai bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa
lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam kelima belas di
puncak Thaisan. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling
rendah. Ho-ho-heh-heh!”
“Kai-ong,
apakah dia tidak diberi hajaran sedikit agar jangan sombong terhadap kita?”
Tok-sim Lo-tong berkata sambil ‘sentrap-sentrup’ menyedot isi hidungnya yang
mau keluar saja.
“Jangan,
Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita
sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi,
kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang,
berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata
demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari
tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut
para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis
yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat
lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.
Bu Sin
merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat
mereka dan berkata kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan
pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”
Betapa
herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah
Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah
berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa
artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi
Sukouw (Bibi Guru)?”
Merah sekali
muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya
ia berkata juga, “Dia... dia hendak melamarku....”
Bu Sin
meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa...?!” Wajahnya jelas membayangkan
tidak percaya.
“Mengapa kau
kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”
“Kau bilang
biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah... agaknya kau telah
menyetujuinya...?”
“Sudahlah,
Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”
“Tidak! Kau
tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia... dia... ah, Eng-moi,
bagaimana kau...?”
“Sssttttt,
Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi...,” Sian Eng
mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal
hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.
Bu Sin
menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan
beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan
rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali.
“Kita akan
bicara tentang ini nanti...,” kata Sian Eng perlahan dan Bu Sin dengan muka
keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.
Apakah yang
terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata
ketus. “Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”
Siang-mou
Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian.
Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya
sama cantiknya, biar pun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda dari pada Liu
Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai
rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat
menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
“Beruntung
sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling
berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang
terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang
pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou
Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian?.
“Kim Bwee,
sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan
kepadamu itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau
akan dapat membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu
cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”
Muka
Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba
menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap
menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan
bertolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata, “Karena
menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih,
menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm,
benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”
Liu Lu Sian
tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni.
“Bocah! Sekali menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan
tetapi mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau
mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!” Tantangan yang
menghina sekali.
“Wanita tak
kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan
pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau
membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh
tahun yang lalu. Terimalah ini!”
Tiba-tiba
Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan
panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan
lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut
itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!
Perlu
diketahui bahwa meski pun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri
dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu
Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biar pun amat berbahaya bagi orang lain, namun
bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya,
dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak
ke depan dan... pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam
Siang-mou Sin-ni sendiri!
“Ayaaaaa!”
Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik
beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di
atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan
berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, dan
matanya mendelik.
“Liu Lu
Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andai kata aku dapat
mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan
orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!”
Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari
situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat
itu pula tanpa sempat berpamit lagi.
“Bu Song! Ke
sini kau...!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan
suara halus lembut.
Suling Emas
berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan
teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah
ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali,
karena betapa pun juga, ia lebih cinta ibunya dari pada ayahnya. Oleh karena
itulah ketika ayahnya menikah lagi timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa
sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan
bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah. Oleh karena itu ia minggat
meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.
Pada waktu
ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti
sebab-sebabnya. Sekarang setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku
ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang
menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak tahu malu? Apa lagi
kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di
Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan,
jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni
diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan
ibunya tidak membantahnya!
“Bu Song,
anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”
Ucapan ini
mengagetkan hatinya, menyeret ia turun dari lamunannya. Hatinya seperti
diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua
kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua
cantik jelita yang bertahun-tahun menjadi lamunannya ini, menjadi bayangan yang
dirindukannya.
Liu Lu Sian
memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku... ah, kau sudah begini gagah
perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia.
Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan
aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai
Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”
“Ahhhhh...!”
Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya
terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian
menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda
itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling
Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh
sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya
yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan
bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.
“Hi-hik,
anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut
menjadi Kaisar Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar
menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan
kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.
“Paman Liu
Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar
keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan
Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw,
bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”
Muka
Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak
di atas lengan kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas
panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang
penuh kesabaran ia berkata.
“Lu Sian,
tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah
dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapa
pun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak
berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan
kedudukan Kauwcu, sama sekali bukan merampas. Kalau sekarang kau
menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu
Sian.”
Liu Lu Sian
tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka mau pun tidak.
Andai kata tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau
orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat
puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao!”
“Enci Lu
Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu
Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya
yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.
“Hi-hik,
bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika
kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!”
teriak Liu Lu Sian.
Tubuhnya
berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara
sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan sikap
mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk kedua
menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik.
Liu Hwee
mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil
tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari, dan ke mana
pun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis
ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana cambuk itu sudah
melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika
cambuknya ditarik-tarik.
“Lepaskan
dia, wanita jahat!” terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan
pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak
dapat menahan kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah
merampas hatinya itu dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya
terancam bahaya.
“Hi-hik,
laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang
itu terkekeh dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
“Ihhhh...!”
Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil
menangkap lengan Bu Sin....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment