Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 03
PADA MASA
itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te Liok-koai dan para ketua partai
persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini
muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini
diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan
diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh
lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya
dikenal dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat
paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah
terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya dari pada kakek ini.
Lin Lin
boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti
yang aneh ini selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis
ini menerima latihan ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin
yang sekaligus merupakan lweekang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek
aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong
Mengurung Gunung).
daging
binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti
dalam dunia persilatan.Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang. Ia membawa
Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka
berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis
remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu
membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya
dengan wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya
dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu
dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal
pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Ternyata
Kim-lun Seng-jin amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal
semua tokoh, malah ia mengenal pula ayah Lin Lin. Beberapa kali Lin Lin
bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci
yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.
“Kam-goanswe?
Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang prajurit sejati yang
jujur dan setia. Kejujuran dan kesetiaannya ditambah kekerasan hatinya itulah
yang membuat ia dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan
tetapi ia pernah menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri
hati Liu Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik
Beracun).”
“Lalu
bagaimana, Kek?” tanya Lin Lin yang dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu
Sian ini tentulah ibu Bu Song yang oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari
golongan hitam dan telah bercerai dari ayah angkatnya.
“Entah
bagaimana selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka
menggemparkan. Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang
amat sakti, seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga
dengan raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak
setuju puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian
amat keras hati dan nekat, orang tua itu pun tak dapat berbuat apa-apa. Akan
tetapi kudengar hubungan antara ayah dan puterinya ini menjadi putus.
Selanjutnya entah.”
Lin Lin tahu
selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama Kam Bu
Song dan yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah bercerai dari ayah
angkatnya.
“Di mana
sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”
“Heh, mana
aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”
“Bukan. Dia
sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera yang sekarang pergi
pula entah ke mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan itu,
Kek. Di mana dia sekarang?”
“Mana aku
tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia menghilang, tidak
ada kabarnya lagi. Pula aku tidak ada hubungan dengannya, aku pun tidak sudi
menyelidiki. Dia orang... hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua tanganku
menjadi hitam juga kalau berhubungan dengannya.”
Daging itu
sudah matang. Kim-lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia
menyambar daging paha kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang
panas-panas.
“Wah, kau
hebat! Heran aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan
gurih? Tanganmu memang luar biasa!” katanya sambil menikmati daging panas.
Lin Lin
tersenyum. Bukan tangannya yang membikin daging itu menjadi sedap dan gurih,
melainkan garam dan bumbu, terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan
di hutan itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan
ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.
“Aku sudah
masak seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?”
“Ihhh,
bukankah aku setiap hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”
“Segala Ilmu
Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa artinya kalau dipakai
menghadapi musuh besarku, si Suling Emas?”
Kakek itu
mencak-mencak, tapi masih menggerogoti daging, “Kau pandang rendah sekali, ya?
Hendak kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan
kedua mataku! Jangan kau main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah
terlatih sempurna, biar It-gan Kai-ong takkan mampu mengejarmu, tahu?”
“Jadi, aku
hanya akan mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari
menyelamatkan diri kalau bertemu orang sakti?”
“Heh, apa
kau kira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri
lebih dulu. Apa artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul
mampus? Ilmu pukulan Khong-in-liu-san itu, jangan kau pandang ringan. Dengan
mempelajari ini, sekarang kepandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali dari
pada yang sudah-sudah, kau tahu?”
Tentu saja
Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga. “Apa
kau kira sekarang aku sudah dapat melawan Suling Emas?”
Kim-lun
Seng-jin membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat. “Enak saja bicara!
Melawan segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kau kira orang
macam apa Suling Emas itu?”
“Orang apa
sih dia? Bagaimana kepandaiannya?”
“Dia sih
orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar dipegang ekornya. Dia
orang yang seperti juga aku, tidak mau berdekatan dengan keramaian. Selalu
bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya
sebagai Suling Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya
tidak ada orang tahu. Entah dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw
mengenalnya selama tujuh delapan tahun ini.”
“Kenapa kau
mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”
“Orang macam
dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan andai
kata mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas membunuh Kaisar, atau membunuh
ketua Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang
tuamu dibunuhnya karena ada kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap
Ayahmu terhadap kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?”
“Kek apakah
dia benar-benar lihai?”
“Dia hebat.”
“Kau takut
terhadap Suling Emas?”
Kakek itu
mencak-mencak lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah
dan disedot sumsumnya. “Takut apa? Kim-lun Seng-jin tidak pernah mengenal
takut.”
“Kalau
begitu kau berani melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa
menangkan dia?”
Kakek itu
duduk kembali, menarik napas. “Jangan kau kira bisa mengadu aku dengan Suling
Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu, aku akan turun tangan. Akan tetapi aku
tidak bisa memastikan apakah aku akan menang. Betapa pun juga saat ini ingin
aku mencoba kepandaiannya.”
Girang hati
Lin lin. “Kalau begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau
bilang dia berada di sana, bukan?”
“Kira-kira
begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita
lihat saja nanti, di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia.
Sebaiknya kau melatih lagi ilmu pukulan itu.”
Demikianlah,
sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus dilatih ilmu
silat oleh Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin
meningkat dengan cepat. Gadis ini sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun
Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan
sehingga waktu yang mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima
kali lebih panjang, perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja
berbuat demikian karena ia ingin melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai
matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat terjaga. Sering
kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah
Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan
menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar... serupa benar...”
***************
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan
mari kita menengok keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat
meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang
selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.
Dua orang
ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah
kegembiraan mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka.
Malah keduanya agak muram wajahnya, karena biar pun Lin Lin hanya seorang adik
angkat, namun mereka amat mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut
keningnya.
Dia adalah
saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan Lin
Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke mana. Kalau sampai terjadi
sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang bertanggung jawab dan pula dia yang
kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song, mau pun oleh bibi
gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang
ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri
Hou-han itu yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti,
hatinya menjadi agak lega.
Kota raja
Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam
waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih
tinggal bersama ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum
ayahnya tewas, bekas Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang
anaknya tentang keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu,
Jenderal Kam Si Ek biar pun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang
pejabat pemerintah Kerajaan Sung karena pada masa itu Kerajaan Hou-han belum
bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung.
Oleh karena
pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota raja Bu Sin dan
adiknya merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti
orang-orang desa yang baru pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang
besar. Mereka berdua mencari rumah penginapan, kemudian mulailah mereka dengan
penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke mari tentang diri seorang pemuda
bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi
guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan
menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.
Orang
pertama yang mereka tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi
calon-calon pengikut ujian, seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh
tahun lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai
mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan
tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain
seorang guru sastra yang sudah tua.
Akan tetapi
guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh menyesal
aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang banyaknya she
Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, entah sudah ada berapa
ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”
Bu Sin dan
Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian Eng hampir menangis
kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia belaka, juga mereka
malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat ditemukan,
sekarang malah kehilangan seorang adik. Mendengar jawaban guru tua ini, agaknya
memang tak mungkin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi
penempuh ujian pada empat belas tahun yang lalu!
Pada saat
mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih
ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang
menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal
di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena
kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa
tahu beliau akan dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu.”
Wajah kakak
beradik itu berubah dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini.
Pangeran Suma di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di
sana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda
lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat mereka
merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan minta
diri.
Setelah
keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang. “Apakah kita
harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau
mereka yang berada di sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah
itu sama halnya dengan memasuki goa naga dan harimau?”
“Sin-ko,
dengan mereka kita tidak mempunyai permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang
satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita
mencoba, siapa tahu pangeran tua itu mengerti di mana adanya Kakak Bu Song.
Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong
kita, apa lagi orang lain?”
“Dengan
keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada permusuhan, akan tetapi kau harus
ingat It-gan Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut dengan para
pengemis.”
“Bukankah
dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau memang
dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”
Akhirnya Bu
Sin mengambil keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan
minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apa pun yang akan terjadi, harus kita
hadapi karena ini menjadi kewajiban kita memenuhi pesan terakhir dari Ayah
untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”
Hanya
semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan
perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian
di waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah
mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka
berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan
kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap, memasuki pintu depan
yang besar.
Akhirnya
pintu terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar
bukanlah seorang pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan
berhidung bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang
mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng
tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu memandangmya
seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang membayangkan kelicikan
itu tersenyum-senyum.
Di belakang
pemuda ini keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat
saja dapat menduga bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pengawal karena
pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang pengawal
itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas penghormatan kedua
orang tamunya dengan menjura dan berkata.
“Menurut
laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan
sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi
(Kalian) bicarakan dengan saya, karena semua urusan Ayah telah diwakilkan
kepada saya. Apakah keperluan Ji-wi datang menghadap Ayah?”
Karena bagi
Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma mau pun puteranya asal dapat memberi
keterangan tentang kakaknya, maka ia segera berkata dengan hormat. “Maafkan
kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon
menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk
urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”
Wajah Suma
Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi,
sekilas ia memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang dan punggung
kedua orang muda itu. “Heran sekali, kami tidak pernah mengenal Ji-wi,
pertolongan apakah yang dapat kami lakukan?”
“Begini,
Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan
mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada waktu itu kami
mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang menjabat kepala penguji, maka kiranya
sudi memberi keterangan kepada kami, apakah beliau mengetahui di mana adanya
pelajar itu sekarang.”
“Siapakah
namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat
dalam buku catatan tentang pelajar.”
“Pada waktu
itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song...”
“Bu
Song...?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah
merah, matanya terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?” pertanyaannya kini tidak
halus lagi.
Bu Sin dan
Sian Eng kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga
apa yang menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya,
“Dia adalah kakak kami...”
“Bagus!”
Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Bu Song! Kau
telah mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan
hukumanmu, adik perempuan hemmm... cukup cantik membayar penghinaanmu.
Ha-ha-ha!” Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan
cepat sekali. “Tangkap mereka!”
Bukan main
kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah
ini. Tanpa menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil
mencabut pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor
burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya
bergerak melakukan serangan.
Bu Sin dan
Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan
ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan
tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian Eng
terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak meloncat
bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai
jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil
tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng dan memondongnya.
“Lepaskan
adikku!” Bu Sin membentak, pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke
arah Suma Boan. Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur
cepat dan Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping.
Akan tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.
Pada saat
itu para pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi
menolong adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya
melayani belasan orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biar pun
dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang
pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya menjadi gentar juga. Tak
mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka tidak berani
mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh
Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan
pertandingan sambil membentak.
“Mundur
kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”
Para
pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil menolong tiga
orang kawan mereka yang terluka. Ada pun Bu Sin ketika melihat Suma Boan,
segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia bermaksud merobohkan kongcu itu
untuk dapat menolong adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat
bergerak.
“Orang jahat
she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”
“Ha-ha-ha,
Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”
“Sebelum
mati takkan menyerah. Lihat pedang.”
Suma Boan
tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua
tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai penyerangan balasan.
Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia
seorang ciang-hoat (silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat
tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin bukanlah lawannya, karena dibandingkan
dengan putera pangeran ini, ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalah
beberapa tingkat!
Tidaklah
mengherankan apa bila dalam beberapa belas jurus saja, pergelangan tangan kanan
Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga pedangnya terpental jauh,
kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan
segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang
marah karena pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan
pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak menghardik
orang-orangnya.
“Jangan
sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna,
kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin
tidak mati, hanya pingsan saja.
Suma Boan
menengok ke arah dipan dan alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong.
Sian Eng si cantik manis yang tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah
di atas dipan, kini tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!
“Keparat, di
mana dia...?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat dipan dan
sepasang matanya melotot. Mukanya pucat ketika ia melihat sebuah benda
tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu. Benda yang menancap
pada dipan ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam,
benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si
malaikat maut yang memegang sabit, tersulam dengan benang warna kuning emas!
“Hek-giam-lo...!”
bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi. “Lagi-lagi Hek-giam-lo
mengganggu, keparat...!”
Akan tetapi
ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik
tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu Sin. “Seret ia ke dalam kebun
belakang!”
Para
pengawal menyeret tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak
berdaya lagi itu ke belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua
batang balok yang dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas
balok bersilang itu.
Bu Sin sudah
siuman, maklum akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang
pemuda gagah perkasa, sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia
menatap Suma Boan yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para
pengawal.
“Orang she
Suma!” Kata Bu Sin dengan suara ketus dan nyaring. “Antara kau dan aku tidak
ada permusuhan, akan tetapi kau katakan bahwa kakakku Bu Song adalah musuh
besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima hukuman apa saja. Sayang
kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku akan mewakili kakakku itu
memberi hajaran kepadamu, manusia rendah.”
“Ha-ha,
kematian sudah di depan mata dan masih berlagak!” dengus Suma Boan. Sekali
merogoh saku, ia telah mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau
mampus.”
“Siapa takut
mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi kematian, asal saja
ia mati dalam kebenaran! Akan tetapi, ceritakan mengapa kakakku memusuhi orang
macam kau, agar aku tahu untuk apa aku mati.”
“Bu Song
seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah, ujiannya diberi angka baik
agar ia lulus, kemudian karena tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya
kedudukan baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu
tidak tahu akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik
perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami cambukan
seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu
dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan
sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku
ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas diri adikku akan kubalas
impas. Hemmm... kalau saja perempuan itu tidak lenyap....”
“Di mana
adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas,
silakan, aku akan menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku.
Dia wanita, tidak bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”
“Ha-ha-ha,
adikmu akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini
harus dibayar sampai habis, berikut bunganya.”
Pucat wajah
Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja
membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang menyakitkan hati.
Apa pun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia
percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk
meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor
itu.
“Pengecut,
siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.
Tangan kiri
Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah, menancap ke paha kiri
Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin tetap memandang dengan mata marah,
pemuda perkasa ini berkedip pun tidak.
“Kalian
lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya. Dan
hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua
harus bergiliran menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti
belasan tahun yang lalu. Besok pagi akan kulihat bangkainya tetap tergantung di
sini.”
“Baik,
Kongcu. Hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.” Serempak
para pengawal menjawab sambil memberi hormat.
Dengan
senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan anak
panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan dengan
tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat
dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan dan
pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun
keluhan tidak ada yang keluar dari mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar
amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki
dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan
tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi
tontonan, benar-benar menyakitkan hati sekali.
Suma Boan
tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi meninggalkan
tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan tetapi tak dapat
mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas dan
sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera pangeran ini yang
memiliki lweekang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat.
“Jaga
baik-baik! Awas, jangan sampai ada yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma
Boan kepada anak buahnya. Mereka memberi hormat lagi dengan sikap
menjilat-jilat, menyatakan kesanggupan mereka.
Setelah
kongcu itu pergi, para pengawal yang dua belas orang banyaknya itu duduk
mengelilingi balok bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka
bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan
golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan
sewaktu-waktu.
Bu Sin
merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak panah terasa
panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri ini, malah ia
tidak mendengarkan percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan
kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat
ditemukan ayahnya.
Kiranya
kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya, kemudian
kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap
lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada
malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong
setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia
sendiri sekarang ini, siapa yang mau menolongnya?
Tiba-tiba
matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan dengan
matanya, namun tetap saja matanya silau dan tak dapat melihat apa yang
berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap
sudah rebah malang-melintang tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup.
Dan tahu-tahu, seperti main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan
dalam sedetik ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang
enam buah banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak
ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu
Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di sebuah hutan,
dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun
yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin
cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya
sudah diobati orang dan dibalut dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman
tidak nyeri lagi. Cepat ia melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di
dekat api, segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya
bertemu dengan tanah yang dicoret-coret merupakan huruf-huruf.
Adiikuti di
bawa Hek Giam Lo, Aku berusaha mengejarnya.
Bu Sin
terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di
situ dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi sambil meninggalkan tulisan di
dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu? Kepandaiannya hebat, tidak
seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan penuturan
Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong
kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melakukan
ini secara bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa
gerangan penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan
bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo.
Tiba-tiba ia
teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu
terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika
mereka bertiga bersembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar kemudian mereka
terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi
yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang
mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut nama
Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang
disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia
tidak tahu, akan tetapi melihat namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!
Bu Sin
termenung, bingung karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari
seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari
Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan berada
di mana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya mendengar nasibnya
yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Dengan
pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu,
menyusup-nyusup hutan karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu
dan sekali lagi terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya...
***************
Ke mana
lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya,
tak dapat bergerak terbaring di atas dipan? Gadis ini biar pun sudah tak dapat
bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat tertotok membuatnya lemas kehilangan
tenaga, namun ingatannya masih berjalan baik dan panca inderanya tidak
terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lweekang
untuk membebaskan diri dari totokan, namun usahanya belum juga berhasil.
Hatinya gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba
sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya diterbangkan
dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan bayangan hitam yang menolongnya
sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya itu. Ia
dipondong masih dalam keadaan tertotok, karena itu ia tidak dapat menggerakkan
kepala untuk memandang pemondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia
mengingat-ingat.
Tiba-tiba
jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar It-gan
Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang
membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pembunuh orang
tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, musuh besar ini yang
sekarang menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke
jurusan mana, tapi larinya cepat sekali seperti terbang saja. Menjelang senja
mereka tiba di lereng gunung.
Sian Eng
sekarang sudah mampu menggerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai
terbebas dari totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi
biar pun ia menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang
muka pemondongnya yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung
orang itu. Ketika ia memandang ke sekitarnya melalui kedua pundak pemondongnya,
ia terkejut dan merasa ngeri.
Kiranya
mereka telah berada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya
kuburan orang besar, karena selain luas juga amat indah. Bongpai (batu nisan)
besar-besar dan megah berdiri di sana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di
sana sini berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan
itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu. Akan
tetapi ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui sebuah
pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali.
Tak lama
kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan
tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng
dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan tetapi ia tidak terbanting,
melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa penolong atau
penculiknya itu adalah seorang yang amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng
yang sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan... gadis itu hampir saja
menjerit kalau tidak lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia
hanya duduk dengan mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang
memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan gadis ini
hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang memondongnya tadi
bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai kepalanya,
yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang
hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan!
Di tempat seperti itu, yakni di bawah tanah kuburan bertemu dengan makhluk
seperti ini, benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit
ketakutan.
Kemudian
makhluk yang berdiri tak bergerak seperti patung itu, mengeluarkan suaranya
yang terdengar bergema namun seperti datang dari jauh, suara yang tidak pantas
menjadi suara manusia hidup, “Nona datang dari Ting-chun di kaki gunung
Cin-ling-san, puteri Jenderal Kam Si Ek?”
Karena masih
dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk
dan sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar. Beberapa kali ia menelan
ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak
terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Makhluk itu, yang kini dapat
diduganya tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak, tiba-tiba
menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, di mana Sian Eng sudah
bangkit berdiri!
“Aduhai Sang
Puteri... bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka
Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya
hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka sudah
pergi... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di sini. Rakyat telah
menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....” Sampai di sini si kedok
tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat
dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena
ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah seorang yang miring otaknya! Akan
tetapi suara tangisan kedok iblis itu demikian mengharukan hati sehingga dalam
takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air
matanya. Ia ikut pula menangis!
Kedok iblis
itu segera membentur-benturkan jidat tengkoraknya ke atas lantai sambil
berkata, “Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba..., betapa bahagianya hati
hamba, betapa bahagianya rakyat kita setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang
tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan sang matahari muncul untuk
mengusir awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo
yang akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang
menjadi hak Paduka....”
Tentu saja
Sian Eng makin tidak mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini
sedang kambuh gilanya, maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu
terdengar suara mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke
ruangan di bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama
Hek-giam-lo disusul maki-makian.
Hek-giam-lo
mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata
halus, “Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar
istana.”
Mau tak mau
Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan
ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk membantah, ia tidak
berani karena maklum bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian
yang luar biasa tingginya. Ia hanya mengangguk, dan agar orang gila itu tidak
kecewa dan marah ia berkata lirih, “Pergilah...”
Tampak
bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya.
Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia?
Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya si
kedok tadi bukan manusia, jangan-jangan memang benar tengkorak hidup. Kalau
manusia, masa pandai menghilang seperti itu?
Di sebelah
atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu, berdiri seorang
wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wanita cantik
sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang mewakili taman
bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun
menyeramkan. Sukar mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus, mata jeli dan
bibir merah itu orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap,
gerak-gerik dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping watak
yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut Harum)! Telah
kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati batas pada
permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil
memaki-maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang
menangis.
“Hek-giam-lo,
tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah!
Kalau kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini
kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja
ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari sebuah lubang di
depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu dari bawah. Orang biasa
tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing ketakutan kalau
melihat makhluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu
nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera
menyambut munculnya Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya
yang runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo
tengkorak busuk! Hayo lekas kau serahkan padaku surat yang kau curi dari
gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo
tidak menjawab akan tetapi segera melompat ke luar dan menghadapi Siang-mou
Sin-ni dengan marah. “Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian,
karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela
negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi
Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu,
surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung,
tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak
busuk! Kau kira hanya kau seorang yang mau mengambil peran sebagai patriot
pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya,
berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan
Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah
pembela Hou-han. Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali
kepada yang berhak, yaitu Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya.
Biar pun untuk itu aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku
tidak akan undur setapak pun!”
“Hemmm, kau
perempuan mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal
sebagai seorang di antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kau pertahankan nama
itu dan jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet!
Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau perempuan atau
laki-laki? Hayo kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak dan rambut-rambut
hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang.
Rambutnya
merupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang amat
ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam,
panjang, halus dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak
orang, terutama kaum pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini
merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa berapa
banyak orang!
“Sin-ni, kau
tahu aturan antara kita. Surat ini kudapatkan dengan jalan menggunakan
kepandaian, tentu saja tidak mungkin kuberikan kepadamu begini saja.” Sambil
berkata demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya
mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa diketahui
orangnya.
Melihat
surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis
yang menggetarkan kalbu. Rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas
surat, sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan
darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain
merobohkan lawan juga merampas sabit!
“Uhhh!”
Hek-giam-lo membentak. Surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya
hilang, berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi
bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya.
Pada
detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang
dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan
ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah
yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai
depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya
berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan), melayang di antara
pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan pertandingan yang amat
hebatnya.
Namun
keduanya sama kuat. Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga
sukar bagi mereka untuk mencari lubang dan memasukkan serangan mematikan.
“Hi-hik,
tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk apa kau rampas
setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu adalah yang dulu-dulu
juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo
mendengus dan memutar sabitnya. “Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa
pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu kalau kau memang becus!”
“Keparat,
hari ini Hek-giam-lo mampus di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat
gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan
dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan.
Sementara
itu, keberanian Sian Eng segera timbul ketika melihat dirinya ditinggalkan
sendirian oleh Hek-giam-lo. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat
ia melompat turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang agaknya
tadi dibawa pula oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui lorong di bawah
tanah yang gelap.
Beberapa
kali ia salah jalan. Kiranya lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang
menyesatkan. Setelah meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil
melihat sinar matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat
ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang cukup
besar. Ia mengerahkan ginkang dan melompat ke luar dari lubang.
Sejenak
kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru saja
keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat menyilaukan mata, hampir
ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu
nisan besar dan di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan
hebat dan aneh. Yang seorang adalah Hek-giam-lo yang mempergunakan sebuah sabit
yang mengerikan. Orang kedua adalah seorang wanita cantik sekali, akan tetapi
cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu menggunakan rambutnya
yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata!
Sian Eng
tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo
dianggapnya seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri
calon ratu, akan tetapi ia masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung
niat baik ataukah buruk terhadap dirinya. Ada pun wanita cantik yang bertempur
melawan Hek-giam-lo itu pun ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan
Hek-giam-lo. Oleh karena ini Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan
mendapatkan kesempatan baik ini ia segera melarikan diri.
Akan tetapi
Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak
melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang itu adalah
orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari lubang tadi. Belum
jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.
“Sin-ni,
lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”
“Hik-hik,
tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu!”
Sabit di
tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan mudah Siang-mou
Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran rambutnya.
“Keparat
kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta
pertandingan dihentikan.
“Aku pun
perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kau serahkan kepadaku, jangan harap kau
bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”
Kewalahan
Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai
berdebat ini. “Nah, kau makanlah suratmu!” Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat
itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk
mengejar Sian Eng.
Ada pun
Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia
terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan surat
persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum
manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya, kemudian bersenandung
lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu. Akan tetapi ketika ia
membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara jajaran patung
yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang
sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup
saja.
“Ih, tampan
juga kau!” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya batu, tidak punya
darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan
sebelum aku pergi.” Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut
panjang menyambar ke arah leher patung.
“Plakkk!”
rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan patah,
gempil pun tidak.
Sepasang
mata jeli bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu
memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak kuat?
Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua menyambar,
merupakan gumpalan yang cukup besar.
“Plakkk!”
kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan
tadi lebih besar sehingga ketika terpental, terasa lebih hebat pula olehnya.
Wanita ini
berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu, lalu kepada patung-patung
lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki
kesaktian, hiiiiih! Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia
cepat-cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti
iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi
iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak
akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan
menghadapi dua kali hantaman rambutnya, benar-benar melewati batas
ketabahannya.
Kalau saja
Siang-mou Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat
bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari, malah patung itu akan diserang mati-matian!
Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi, ‘patung’ itu menarik napas
panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah seorang pemuda tinggi
besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hitam. Suling Emas!
Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu
berkelebat lenyap ke arah perginya Hek-giam-lo.
Sian Eng
sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan memasuki hutan
besar. Napasnya terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap,
merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan
mengatur napas. Akan tetapi dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai
mukanya menjadi pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya
berdiri... Hek-giam-lo!
“Paduka
hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi,
sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh
kita,” terdengar Hek-giam-lo berkata dengan suaranya yang menyeramkan.
“Tidak...
tidak... biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang
ketakutan, dan ia hendak lari.
Akan tetapi
iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat
dan menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti
bertemu benda keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah
dibawa lari seperti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng
menggigil ketakutan dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
***************
Lin Lin
membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil yang permintaannya tidak
dituruti. “Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota raja, mana
dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di sini, setiap
malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti
kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak
batang hidungnya!”
Kim-lun
Seng-jin, kakek gundul pelontos itu duduk di atas lantai kuil tua yang kotor,
bersandar dinding yang sudah retak-retak dan tertawa lebar memperlihatkan
giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya
sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu menjadi terang.
“Heh-heh-heh,
Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar
dipegang buntutnya.”
“Apa dia
bukan manusia, Kek?”
“Heh?
Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara
remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa
Kim-lun Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa
yang kumaksudkan? Sukar dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana
perginya.”
“Wah, kalau
begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek.” Lin Lin kembali
timbul marahnya dan membanting kaki.
“Tidak ada
yang sia-sia di dunia ini. Semuanya berguna dan ada manfaatnya asal saja kita
tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di
kota raja, bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau menemui keadaan yang baru
bagimu? Tidakkah kau ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah
di istana kalau datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh,
sudah lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika
kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat
dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari kita
ke sana, Kek. Ada masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali!”
Kakek itu
tertawa terpingkal-pingkal, agaknya senang sekali melihat watak yang mudah
berubah dan aneh dari gadis remaja itu. “Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa
benar....”
“Serupa
siapa, Kek?”
“Serupa
dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin. Kau boleh ikut aku ke istana dan
menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah kau makan atau lihat.
Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya yang pandai.”
“Aku tidak
takut!”
“Bukan soal
berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau
mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek. Bukankah kau sudah memberi
pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu
tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat
memandang rendah. Disebutnya ‘serba kosong’, memang nama ilmu yang ia turunkan
adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biar pun
kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau
sudah berlatih sampai matang betul.”
Marah Lin
Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang sore malam kau
suruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa
tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum berlatih matang, Kek? Kau
benar-benar seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka, dapat seorang teman
satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!”
Kakek itu terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu
kesaktian, eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang
memberi sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar
memutar-balikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras selama
ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana, harus
benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kau perlihatkan padaku sekali lagi
ilmu Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan ginkang.
Kalau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar,
pesta-pora tanpa bayar!”
Lin Lin
girang sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi
pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sinkang dan....
“Krakkk!”
pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong!
Gadis itu
terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan kanannya
hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke bawah. Akan
tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari
kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah,
mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus,
bagus...! Kau lihat sendiri, cucuku. Dengan tenaga Khong-in-ban-kin, pedangmu
yang buruk itu patah menjadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya
belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup
dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa
memilih sendiri sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika
lenyap kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat
kakek itu, kemudian merangkul pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita
berangkat kalau begitu!”
Sambil
tertawa riang keduanya lalu berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun
Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota
raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang kesukaan kakek
ini hanya makan, makan enak, apa lagi masakan-masakan lezat mahal di dapur
istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu
membuktikan omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk
istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih
dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi ‘langganan’ tempat terlarang itu.
Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi.
Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam
gubuk penjagaan. Ada pula yang meronda di pagar tembok, membawa tombak dan
pedang.
Jengkel juga
Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok
yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak
kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat
di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya
dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin,
tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja.
Diambilnya
sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di
sebelah kiri. Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu
gerbang terkena sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat
ia meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium
batu. Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka yang meronda.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin. Ia memberi isyarat kepada Lin Lin untuk
melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon
terdekat dengan tembok, baru kemudian ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak
ngeri juga melihat ke arah tempat yang tinggi itu.
Akan tetapi
ia mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat
kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang
bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka diam-diam ia amat
berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah
mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah
istana. “Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek,” kata
Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka
warna.
“Boleh jadi,
boleh jadi...,” kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada
di mana pun juga.”
“Apa dia itu
hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu
menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa
tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan
tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku... aku tidak suka membuat nama besar,
bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari!”
Kim-lun
Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng.
Tanpa mengeluarkan suara, seperti dua ekor kucing saja kakek dan dara remaja
itu berloncatan di atas genteng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng
yang agak rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu
menyusup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas
langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka
langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.
“Ini pintu
rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil tersenyum lebar.
Lin Lin
menjadi geli juga hatinya. Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak
mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau
yang sedap masuk melalui lubang itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm,
waaahhhhh, sedapnya...!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya.
Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa
hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu dan
melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu
tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih
bersih dari pada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut
dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih, lemari-lemarinya
yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan panci-panci dan
mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak berada di sebelah kiri.
Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok itu masih nampak mengebulkan
uap, tanda bahwa isinya masih panas.
Kakek itu
sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi karena ia sudah
sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di tangannya sudah terdapat
sepasang sumpit gading yang ia ambil dari sebuah lemari. Sekarang tangan yang
memegang sumpit ini kewalahan melayani mulutnya yang melahap dan cepat
menghabiskan segala yang dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke
lemari sana, kemudian ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora!
Tangan kirinya menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau
arak wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya
mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan, bibirnya
mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga
ikut berpesta-pora sungguh pun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira
bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di situ.
Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit masakan yang disebut
oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
“Ini sop
sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap, dan ini... wah,
ini panggang ikan lele!” Tiada hentinya ia menyebut nama-nama masakan dan Lin
Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek itu memang benar nikmat dan lezat.
Saking
gembiranya, Lin Lin juga ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras,
namun hangat di perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang
perut yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih
dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara remaja
yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu untuk
mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh,
puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan? Dasar
rejekimu besar, Lin Lin!”
Kakek itu
pun tak mampu lagi mengisi perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya
sampai ke leher sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia
menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras sedikit demi
sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar
suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaikan maling konangan
(ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos ke dalam lubang di atas
langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil terkekeh dan seraya mengintai dari
atas ia berbisik, “Ihhh, kenapa kau begini penakut?”
Lin Lin
tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak menjadi malu kalau
mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya berdebar-debar gelisah. Selama
hidupnya, baru kali ini ia melakukan pencurian. Menjadi maling makanan,
alangkah rendahnya dan memalukan! Dengan muka masih merah ia ikut mengintai,
hendak melihat siapakah mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri?
Ataukah permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang
memasuki dapur istana itu. Melihat pakaian mereka, kiranya hanyalah
tukang-tukang dapur saja. Begitu memasuki dapur ketiganya berhenti bicara dan
memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara mereka lari
mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka,
masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di
lantai!”
“Wah-wah,
celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”
Tiga orang
itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu berdongak ke atas.
Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa seakan-akan tiga orang itu telah
mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya
kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana?”
“Masa kucing
bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu
kucing siluman?”
Ribut-ribut
tiga orang tukang masak itu. “Lekas laporkan kepada penjaga, eh... ke komandan
jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal menangkap kucing laknat. Kalau yang
makan masakan-masakan ini tidak tertangkap, celakalah kita, tentu mendapat
hukuman dari Sri Baginda!”
Seorang di
antara mereka lari keluar, agaknya hendak melapor. Lin Lin makin gelisah, akan
tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin malah tidur mendengkur perlahan di bawah
genteng! Agaknya kakek ini kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan
keributan di dalam dapur.
“Tentu
kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri masakan,” kata lagi tukang
masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau tertangkap, akan kusembelih dia,
kutarik keluar jantungnya, kumasak dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk
menguatkan jantung dan menambah darah.”
Pucat muka
Lin Lin mendengar ancaman ini. Saking gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat
ke arah lubang untuk mengintai lebih jelas, kepalanya terantuk genteng
mengeluarkan bunyi. Dua tukang masak di bawah mendengar ini dan mereka
berdongak memandang penuh curiga.
“Wah,
kucingnya di atas sana!” seorang menuding.
“Mana bisa?
Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu
kucing siluman?”
Si gendut
menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu membentak, “He!
Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada
jawaban.
“Agaknya
pencuri!” kata temannya.
“Lebih baik
panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu,
siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia memandang ke arah Lin Lin
sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas langit-langit? Kalau setan atau
manusia, jangan jawab. Kalau kucing, jawablah!”
Lin Lin
mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh perasaan, menegang dan jantung
berdebar. Mendengar pertanyaan ini otomatis mulutnya menjawab, “Kucing... eh,
meeooonggg...!” Ia gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing
bisa bicara! Wah, celaka... setan...!” Dua orang tukang masak itu lari
tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh bangun.
“Heh-heh-heh!”
Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke
atas genteng. “Kau lucu sekali, masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka
Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau
enak-enak ngorok sih, Kek!”
“Mari kita
ke gudang pusaka!”
Gudang
pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga siang malam karena di
dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan bendera-bendera milik
istana. “Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima orang penjaga itu, dan
sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar. Lekas pilih pedang yang kau
sukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di sana. Aku percaya kau mampu menjaga
diri.”
Lin Lin
mengangguk dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu
melayang turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan
mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama seorang
wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira bahwa mereka dikunjungi
sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain mereka sudah bergerak
hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua tangan kakek itu bergerak dan
lima orang itu roboh tertotok tak berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya,
Kim-lun Seng-jin berhasil membuka daun pintu yang terkunci.
Lin Lin
cepat melompat masuk, akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah
dalam gedung itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara
ini sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga ginkang-nya sudah jauh
lebih tinggi dari pada dahulu, sudah lipat entah berapa kali. Anak-anak panah
itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi. Dengan gerakan gesit ia telah
melompat maju di antara sambaran anak panah, terus ke depan sehingga anak-anak
panah dari kanan kiri itu meluncur lewat di belakang punggungnya!
Tanpa
menghiraukan lagi anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang
senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan main
indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok, pedang, toya dan
banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata pilihan, kuno dan terbuat
dari pada besi aji yang mempunyai cahaya dan hawa yang ampuh.
Akan tetapi
pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang pedang tipis yang tergantung di
dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil dan tipis, sarungnya dari kulit harimau,
gagangnya kecil dan dihias ronce-ronce merah. Seperti dalam mimpi, kedua
kakinya bergerak menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan
kanan, merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang
ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas melayang
turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan menghantam dirinya!
Karena benda
itu cepat sekali datangnya, Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan,
tak sempat mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin,
tangan kirinya menangkis dan... terdengar suara keras, batu besar yang meluncur
turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga Khong-in-ban-kin!
Saking kagetnya karena pecahnya batu itu menerbitkan suara keras dan berisik,
Lin Lin cepat melompat keluar lagi dari gudang itu dan di lain detik ia sudah
tiba di luar kamar.
“Kek, aku
pilih pedang ini...” katanya terengah-engah.
Kim-lun
Seng-jin membelalakan kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang ini? Inilah Pedang
Besi Kuning, pedang rampasan dari bangsa Khitan ratusan tahun yang lalu!
Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak tahu lagi aku harus disebut
bagaimana.”
Pada saat
itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita
pergi!” Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau para jagoan istana ke
luar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya menyambar pergelangan tangan
Lin Lin dan mereka melesat lari secepat terbang menuju ke pagar tembok,
melompati pagar tembok dan melayang ke luar. Kiranya di luar sudah berkumpul
para penjaga yang melakukan pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu
menggerakkan tangan, banyak penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang
dalam gelap. Beberapa menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno
kembali.
Mereka duduk
dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak sinar kuning
menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek itu berlinang air
mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin memandang dengan heran.
“Kek, kau
pernah mengatakan bahwa aku seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang
bahwa aku mempunyai gigi dan hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kau
katakan dahulu berasal dari bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini
semua? Bangsa apakah Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”
Kakek itu
mengusap dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam
sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini dan
sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kau dengarkan ceritaku. Bangsa Khitan
adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau karena ingin
menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun juga. Mereka adalah
bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak oleh harta dunia dan
kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapa pun juga masih saja nafsu setan
menguasai hati dan timbullah perebutan kekuasaan, yang kuat ingin menjadi
pemimpin. Dahulu, puteri kepala suku bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah,
dia anak baik, gagah perkasa dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia.
Dia itu puteri tunggal raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau
tunduk kepada raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih
sayang, membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai
banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin merebut
kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku sendiri tidak sudi
terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu hendak menjadi penguasa dan
mencari kemuliaan kedudukan. Pernah kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku
itu untuk mengalah saja, memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat
ingin menjadi raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di
sini kakek itu menarik napas panjang.
“Lalu
bagaimana, Kek?”
“Aku masih
terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi meninggalkan suku
bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan persoalan dunia ramai
lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa bangsaku masih saling gasak
sehingga pertumpahan darah sering kali terjadi antara para penguasa. Akhirnya
terjadi perang antara suku bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar
terjadi di Shan-si. Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja
kami gugur, juga puterinya, Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia,
suaminya, seorang prajurit pilihan Khitan yang gagah juga gugur. Kabarnya
Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong puterinya
yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan dia, sehingga
tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu hilang.” Kakek itu
memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam penuh selidik.
Meremang
bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada
apa, Kek?”
“Kau...!
Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu, watakmu, serupa benar
dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan langsung.”
Lin Lin
meloncat berdiri. “Tak mungkin, Kek!”
“Siapa
bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada waktu terjadi
perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan komandan di Shan-si,
yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan bangsa Khitan. Dia seorang
laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia melihat kau dalam gendongan Ibumu
yang berjuang dengan gigih, merasa tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu
sebagai puterinya. Tak salah lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga
Lin Lin, dan wajahmu serupa dia. Juga pedang itu... bukanlah terlalu kebetulan
kalau di antara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin
Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai
sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu, mendiang raja
Kulukan.”
“Dicari-cari?
Untuk apa, Kek?”
Kim-lun
Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu terlalu
kukuh. Karena kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang menyedihkan, perebutan
kursi, saling mendukung pilihan mereka. Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan
diri. Lin Lin, kau dicari oleh mereka yang tidak suka kepada raja sekarang,
untuk mengangkatmu sebagai ratu dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu
pamanmu, Kubakan, Raja Khitan yang sekarang.”
“Apa...?”
Lin Lin terbelalak memandang Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku
masih tidak percaya, Kek. Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena
sepatah kata pun bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek.
Hal ini harus ada buktinya. Ahhhhh... satu-satunya orang yang akan dapat
memberi keterangan tentu dia!”
“Dia siapa?”
“Putera
sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kau bantulah aku mencari Kakak Kam Bu
Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah angkatku, juga
kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan dapat bercerita, anak siapa
sebenarnya aku ini.”
Lin Lin lalu
menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin
mengangguk-angguk. “Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan tetapi Lin
Lin, jangan kau kira bahwa andai kata kau benar Puteri Khitan seperti
persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan memerangi
pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti sekarang ini,
menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang hanya akan menimbulkan
pertumpahan darah di antara saudara dan bangsa sendiri.”
“Kalau aku
betul keturunan Raja Khitan, tentu saja akan kujungkalkan pengkhianat yang
telah merampas tahta Kerajaan Khitan, Kek!”
Jawaban
tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin sehingga ia duduk melongo memandang
Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku
bukanlah puteri raja, aku orang biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak
bertemu, aku akan mencari Kakak Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua
orang kakakku, Sin-ko dan Enci Eng.”
Mendadak
kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari ke luar kota
raja. Berbahaya di sini!”
Lin Lin
kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan-bayangan
yang amat gesit, lalu terdengar bentakan, “Maling keparat, kembalikan pedang
pusaka!”
Mendengar
ini, maklumlah Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang
berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?
“Kek, kita
lawan saja...!” serunya sambil berusaha melepaskan tangannya.
Akan tetapi
Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk diajak lari cepat sekali menuju ke
pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat melepaskan diri. Dengan gerakan yang
luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah membawa Lin Lin melompati dinding tembok
yang mengelilingi kota raja sehingga para pengejar tadi makin tertinggal jauh.
“Kek, kenapa
kita mesti lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan sekali!”
Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota raja dan
tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin.
Kakek itu
tertawa. “Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan.
Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka mengetahui
akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya kau takkan dapat
hidup dengan tenteram. Pergilah, lanjutkan usahamu mencari kakakmu. Kita
berpisah di sini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin dan Khong-in-liu-san, dan
kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas jangan khawatir. Kalau aku
kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai dia apakah betul dia membunuh orang
tua angkatmu. Kalau betul, percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh
ribu jurus! Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah datang!”
“Dan
tinggalkan kau seorang diri menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek?
Tidak nanti!” Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.
“Wah, keras
kepala, seperti Tayami!” Kakek itu bersungut-sungut, lalu tiba-tiba tangannya
bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok pundak kiri Lin Lin.
Karena dara
ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek itu akan menyerangnya tentu
saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan seketika ia merasa tubuhnya lemas
sekali. Kakek itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut
datangnya para pengejar. Lin Lin tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi
tubuhnya lemas dan ia maklum, kalau bertempur dalam keadaan seperti ini, baru
sejurus saja melawan orang biasa tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya
berdiri diam saja dan mendengar betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh
para musuh yang berteriak-teriak.
Agaknya
kakek itu sengaja mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari membiarkan
dirinya dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi.
Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk
mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia menarik
napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun Seng-jin
terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali cekcok dan
berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin menahan dua air
matanya menitik turun.
Tak sampai
seperempat jam, totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin
lalu menggerakkan pedang curian, mainkan ilmu silat Khong-in-liu-san. Pedang
itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di malam
buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang tipis dan kecil ringan itu
terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang yang ia warisi dari
Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat setelah fajar berada di ambang
pintu langit timur. Kegelapan malam sudah terusir, terganti cuaca remang-remang
berkabut, berwarna kelabu, ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah,
terbuat dari pada logam yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.
“Hemmm,
Pedang Besi Kuning, pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi
pedangnya. “Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!”
Melihat
bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang itu,
Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya dalam saku
jubahnya. Betapa pun juga, pedang ini adalah pedang curian, pikirnya. Kalau
terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang jalan hanya akan
menimbulkan keributan belaka.
Dengan hati
bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti munculnya
kedua orang kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja pula. Untuk kembali
ke kota raja sekarang terlalu berbahaya. Memang tidak ada seorang pun yang
melihat dia memasuki istana, akan tetapi keadaan di kota raja tentu sedang
kacau, penjagaan diperkuat dan orang-orang yang datang dari luar tentu
dicurigai. Jangan-jangan pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran
kalau masuk kota raja. Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di
luar kota.
Di sebelah
barat kota raja terdapat sebuah hutan yang kecil tapi amat indah. Pohon-pohon
di situ tampak subur dan seakan-akan teratur. Memang hutan ini adalah hutan
tempat para anggota istana menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu
akan hal ini dan girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan
seenaknya memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya
pagi.
Lin Lin
memang memiliki watak periang. Kegembiraannya timbul melihat suasana indah dan
mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang dan ranting-ranting
pohon. Kadang-kadang ia terkekeh ketawa melihat seekor kelinci muncul dari
belukar, menggerak-gerakkan sepasang telinga yang panjang dan mainkan bola mata
yang bening lebar. Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru burung kecil yang
berloncatan di daun-daun sambil berkicau.
Tiba-tiba
Lin Lin terkejut mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan
memperhatikan burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi
ada dua orang laki-laki memperhatikannya. Dua orang laki-laki itu kini
menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya mereka
adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio yang masih
muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang bersih, karena sudah
mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan wajah mereka berseri
gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah pendeta yang biasanya serius dan
alim. Lin Lin tersenyum melihat bahwa yang tertawa adalah dua orang pendeta.
Pendeta-pendeta tidak perlu ditakuti, dan kegembiraannya timbul kembali.
“Selamat
pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah
sekali, bukan?”
Dua orang
hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar. Seorang di antara mereka, yang
alis matanya tebal, maju selangkah. “Selamat pagi. Memang pagi yang indah
sekali, agaknya karena ada Nona yang cantik manis maka suasana begini
menyenangkan. Siapakah nama Nona? Kami berdua senang sekali dapat berkenalan
dengan Nona cantik jelita. Bukankah begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”
Hwesio kedua
mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi besar-besar
berwarna kuning. “Memang betul, dan hari ini kita tidak perlu tergesa-gesa
kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan Nona ini di sini.”
Seketika
keriangan Lin Lin lenyap, terganti oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya
menjadi merah. Sepasang matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar
berapi. “Ihhh, kalian ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta,
ataukah pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul
berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku tidak
sudi bicara dengan kalian lagi!”
“Ho-ho-hooo,
nanti dulu, Manis!” Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya
menghadang di tengah jalan. “Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini,
agaknya memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau
pergi juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali. Bukankah
begitu, Suheng?”
“Ya-ya,
betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi
Kuning.
“Jahanam
bermulut busuk!” Lin Lin membentak. Tubuhnya berkelebat dan sekali kedua
tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya Khong-in-liu-san, dua orang
hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri. Kini Lin Lin yang mendapat giliran
tertawa nyaring bernada penuh ejekan. “Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor
monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”
Dua orang
hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah mengira bahwa dara
remaja itu dapat melakukan penyerangan yang sedemikian dahsyat dan tiba-tiba.
Mereka marah sekali dan lenyaplah keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin
Lin. Kini dengan mata merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis
ini. Gerakan mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari
ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di tangan,
dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang mahir sekali.
“Bocah
setan, berani kau main gila terhadap pinceng (aku)?” seru si Alis Tebal.
“Sute, kita
cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat!” kata si Gigi Kuning dengan nada
gemas.
“Tar-tar-tar-tar!”
dari depan dan belakang dua batang cambuk itu mengeluarkan bunyi dan
menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun seujung rambut pun gadis ini
tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya memuncak.
“Hemmm,
monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran tadi masih belum cukup bagi kalian,
ya? Manusia-manusia berwatak kotor macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan
mengotorkan dunia dan mengganggu wanita saja!” Setelah berkata demikian Lin Lin
menggerakkan tangan kanan dan....
“Srattt!” tampak
sinar kuning menyilaukan mata karena Pedang Besi Kuning sudah berada di
tangannya.
“Bagus, kau
berani melawan? Rasakan cambukan ini!”
Cambuk dari
depan menyambar, disusul cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin
sudah terkurung dua batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular
hidup. Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan
cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali.
Namun kali
ini mereka bertemu dengan Lin Lin yang baru saja mewarisi Ilmu
Khong-in-ban-kin, ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan ginkang yang hebat
sehingga tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet.
Betapa pun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh Lin Lin
lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk diselimuti
gulungan sinar kuning dari pedangnya.
Memang hebat
sekali Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apa lagi di
tangannya sekarang ada sebatang pedang pusaka terbuat dari pada besi aji yang
amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata pedangnya berkelebat dan... dua
orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika cambuk-cambuk di tangan mereka
itu putus semua berikut ujung lengan baju dan sebagian dari kulit dan daging
lengan mereka, semua terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa
dingin itu! Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri
sambil memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka
pun akan terbabat putus!
“Bagus
sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”
Lin Lin
cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu tampak seorang
laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini berusia dua puluh
tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar. Sepasang matanya lebar dan
menyinarkan kejujuran, alisnya tebal, hidungnya agak pesek, mulutnya
membayangkan keramahan.
Biar pun
bukan wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan
wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun sederhana
dan bersih, rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sutera berkembang. Gagang
sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun seorang yang tidak asing akan
senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang kekar membayangkan tenaga besar.
Lin Lin
masih marah. Sehabis bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor
dan lancang tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau
laki-laki yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya, apa
lagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka merah dan mulut cemberut ia
membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik. “Memang kiam-hoatku
indah dan lihai, juga pedangku ini cukup tajam untuk memenggal leher setiap
orang laki-laki ceriwis dan kurang ajar! Kau mau apa ikut campur?”
Ada semenit
pemuda itu melongo. Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang
Lin Lin. Pada matanya terbayang kekaguman luar biasa dan sesungguhnya. Ia
memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin Lin
seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan kepalanya puyeng,
matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama hidupnya ia melihat seorang dara
seperti ini, dan belum pernah ia mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi
seorang gadis.
Lin Lin
makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula, duduk di atas
punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa, memandangnya tanpa
berkedip. Ia membanting kaki dan memaki, “Apa kau kira aku ini barang tontonan
maka matamu melotot terus memandangku?”
Pemuda itu
tersenyum. “Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak ada tontonan yang
lebih indah, lebih mempesona, lebih....”
“Kau lebih
kurang ajar lagi!” bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil
mengirim serangan dengan pedangnya.
“Uiiihhhhh,
ganas...!” pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas punggung kuda,
berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya sudah berdiri di atas
tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang berkilauan seperti perak.
“Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau
murid orang pandai dan patut menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan
tangan kiri menantang.
Gerakan
pemuda tadi amat mengagumkan hati Lin Lin. Gadis ini pun maklum bahwa lawannya
kali ini bukanlah seorang sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan
tetapi ia tidak takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang
merah, “Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”
“Ha-ha-ha,
ada satu saja orang macam aku sudah terlalu repot bagimu, apa lagi ada sepuluh
orang!” pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan
pedangnya menangkis karena gadis itu sudah menerjangnya dengan gerakan seperti
seekor burung walet.
“Trang-trang-tranggggg...!”
tiga kali pedang mereka saling beradu, menimbulkan bunga api yang muncrat ke
sana-sini.
Keduanya
cepat menarik pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat
kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras
tadi. Masing-masing kagum dan juga kaget. Apa lagi Lin Lin. Tadi ia sudah
mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang terdapat
dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit saja untuk
menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk itu putus semua.
Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu pedang, sedangkan di
tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang lawannya tidak menjadi
rusak dan tidak terpental?
Ini hanya
menjadi bukti bahwa pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga
memiliki kepandaian tinggi, dapat melawan terjangan tenaga Khong-in-ban-kin.
Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun Seng-jin yang membohonginya dan membual
tentang kelihaian Khong-in-ban-kin? Kakek itu bilang bahwa jarang ada lawan
yang akan dapat mengimbangi kecepatan dan kekuatan tenaga dalamnya kalau ia
mengerahkan Khong-in-ban-kin. Akan tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan
seorang pemuda pesek, ilmunya itu seakan-akan tiada artinya lagi.
Di lain
pihak, si Pemuda juga kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang
menjadi-jadi. Tadinya ia mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan
yang amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat
mengalahkan dua orang hwesio kurang ajar tadi. Siapa kira dalam pertemuan
pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga gadis itu tidak usah
mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di tangannya itu adalah pedang ampuh
yang dapat menahan pusakanya sendiri. Padahal pusakanya ini adalah pedang
Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) yang jarang bandingannya, pedang pusaka
pemberian suhunya.
“Wah karena
pedangmu ampuh kau jadi sombong, ya? Awas lehermu!” Lin Lin membentak dan
segera gadis ini mainkan Khong-in-liu-san untuk menerjang lawannya. Hebat
terjangannya ini, pedangnya berubah menjadi sinar kuning bergulung-gulung,
makin lama makin tebal merupakan segunduk awan bergerak perlahan mengurung diri
pemuda itu dari segala jurusan.
Pemuda itu
mengeluarkan seruan tertahan. Benar-benar tak disangkanya gadis ini sedemikian
lihainya. Ia pun lalu bersilat dengan pedangnya, ilmu silat yang aneh,
gerakan-gerakannya lucu dengan tubuh megal-megol seperti seorang pelawak
beraksi di atas panggung wayang. Hampir saja Lin Lin tak dapat menahan
ketawanya menyaksikan gerakan aneh dan lucu ini. Akan tetapi ia pun
terheran-heran karena ke mana pun juga pedangnya menyambar, selalu dapat dielakkan
atau ditangkis oleh pemuda yang gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak
tahu bahwa pemuda itu banyak mengalah, hanya mempertahankan diri dari pada
serangan-serangannya yang dahsyat, tidak berusaha membalas sungguh-sungguh.
Memang pemuda itu tidak ingin merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis
itu membuat ia mengalah dan hanya ingin menguji kepandaian orang.
“Hebat...,
hebat... kiam-hoat yang luar biasa!” berkali-kali pemuda itu memuji.
Akan tetapi,
makin dipuji makin marahlah Lin Lin karena pujian itu ia anggap sebagai ejekan.
Mana bisa ilmu pedangnya dipuji kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan?
“Balaslah! Seranglah! Kau kira aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru
kau laki-laki sejati!” Ia menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki ilmu
Khong-in-ban-kin dan dengan ilmu ini ia dapat menggunakan ginkang yang sempurna
sehingga ia tidak khawatir akan termakan pedang lawan.
Seperempat
jam sudah mereka bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu menjadi gelisah,
berkali-kali meringkik ketakutan. Pemuda itu gemas juga. Gadis ini amat menarik
hatinya, dan ia tidak tega untuk merobohkan atau mengalahkannya. Akan tetapi
kalau tidak ‘diberi rasa’, tentu tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia
pikir. Bangkit harga dirinya sebagai seorang laki-laki.
“Baiklah,
Nona, lihat pedangku!” Ia memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga
untuk mendesak dan menindih gulungan sinar pedang lawan.
Memang hebat
pemuda ini. Amat kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati
Lin Lin. Namun cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin. Tubuhnya bergerak
begitu cepat seakan-akan serupa sebuah bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap
di antara sinar pedang. Sungguh pun harus ia akui bahwa semua serangannya
sekarang gagal dan buyar, tidak ada kesempatan lagi, namun ia tetap dapat
mempertahankan diri dari pada desakan lawan. Makin keras pemuda itu menekan,
makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda itu selain kaget juga heran dan
bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah ini adalah murid seorang sakti,
karena hanya beberapa orang saja di dunia kang-ouw, boleh dihitung dengan jari
jumlahnya, yang akan dapat menghindarkan diri dari tekanan pedangnya seperti
ini.
Pada saat
itu, terdengar bentakan keras, “Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar
itu!”
“Hemmm,
hemmm, agaknya mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”
“Mari kita
berlomba, Sute, aku pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!”
sambung suara kedua.
“Hee, Sicu
(Orang Gagah), harap mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak
ini!”
Biar pun
masih saling gempur, pemuda itu dan Lin Lin kini otomatis mengendurkan gerakan
dan melirik. Kiranya yang datang adalah dua orang hwesio muda yang tadi, yang
berdiri agak jauh. Akan tetapi kini mereka datang bersama dua orang hwesio
setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan keduanya memegang sebatang tongkat
hwesio yang panjang dan terbuat dari pada baja. Kedua orang hwesio ini sombong
sekali lagaknya dan agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin
Lin.
Tanpa
memberi kesempatan lagi, dua orang hwesio setengah tua itu menerjang maju dari
kanan kiri mengeroyok Lin Lin! Benar-benar tak tahu malu, pikir Lin Lin. Suaranya
saja hendak berlomba untuk menangkapnya, kiranya mereka itu hanya ingin
mengeroyok mengandalkan senjata yang panjang dan berat. Mana ada orang yang
hendak ‘menangkap’ menggunakan tongkat yang begitu panjang dan berat?
Akan tetapi
ketika ia mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang
tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin merasa
betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia mengeluh. Kiranya
di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini memiliki tenaga lweekang
yang hebat! Cepat ia menggerakkan tubuh dan dengan mengandalkan kelincahannya,
kini ia menghadapi dua orang pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda
itu, kini berdiri menonton dan tidak menyerangnya lagi.
“Tahan senjata!
Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”
Dua orang
hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat mereka lalu memandang
pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia pun tidak sudi menyerang orang
yang menarik senjatanya, maka dengan pedang melintang di depan dada, ia hanya
memandang, sikapnya gagah.
“Kami memang
betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kau
katakan kepada kami?”
Pemuda itu
mengerutkan keningnya. “Siauw-lim-pai adalah partai persilatan yang selalu
menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu bersih dan terkenal sebagai
pusat orang-orang beribadat yang berilmu tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu
datang-datang menyerang seorang wanita?”
“Gadis liar
ini menghina murid-murid keponakan kami!”
“Hemmm,
pemutar-balikan fakta yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio itulah yang
kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan terhadap wanita terhormat.
Dari pada menyerang orang yang tidak berdosa, Ji-wi Suhu justru akan
membersihkan nama partai kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid
sendiri.”
“Orang muda,
kau siapakah berani bicara lancang memberi kuliah kepada kami?”
Pemuda itu
tersenyum. “Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja. Akan tetapi aku
mengenal baik Cheng Han Lo-suhu, dan pedangku Goat-kong-kiam ini selalu
menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang gagah.”
Cheng Han
Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka mendengar disebutnya nama ini, kedua
orang hwesio itu menjadi kaget sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini
akan mengadu. Memang akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang
tersesat, mabuk oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi
negara kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka
mengumbar nafsu jahatnya.
Keadaan
memalukan dan buruk ini terutama sekali ditimbulkan oleh para penjahat dan
pelarian yang menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai
jubah pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng. Merekalah yang
menjadi ‘guru’ dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya dan
masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya merupakan kepala
dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama berkecimpung di dalam
keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti pendeta, namun batinnya sudah
menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu buruk.
“Keparat,
kau benar-benar kurang ajar! Kau kira kami takut padamu? Sute, kau hajar dia
ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau tidak diberi hajaran, tidak akan
kapok orang-orang muda kepala batu ini!”
Dua orang
hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang rendah orang muda. Mereka
mengandalkan kepandaian yang tinggi dan senjata tongkat yang berat, pula,
memang ilmu tongkat atau ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun
pemuda itu adalah murid orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan
dari seorang sakti yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai pusat
sendiri! Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih
jauh di bawah.
“Aku tidak
ingin kau bantu!” seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan
seorang hwesio.
“Siapa
membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini!” jawab pemuda yang
bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula menandingi lawannya.
Pertempuran
seru terjadi, terpecah menjadi dua. “Nona, adu ilmu antara kita boleh
ditentukan sekarang. Siapa yang lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih
unggul antara kita!” pemuda itu berseru.
“Baik,
seorang laki-laki tidak melanggar janjinya!” seru Lin Lin girang.
Gadis ini
sebentar saja dapat melihat kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat
merobohkannya dalam waktu cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan
girang. Melihat tongkat itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku
lambat, membiarkan lawan lengah dan kegirangan. Beberapa senti meter sebelum
ujung tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya, menggunakan
jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat ayahnya,
tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan pedangnya bergerak cepat
ke depan. Inilah gerakan susulan dari Khong-in-liu-san yang tidak terduga dan amat
cepat datangnya. Hwesio lawannya itu menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas
dan pangkal lengannya terobek pedang sampai kelihatan tulangnya.
Sambil
tersenyum manis tapi penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah
pemuda pesek itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan
tetapi tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda itu
ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda itu sudah
rebah dengan pundak berdarah!
Akan tetapi
pemuda itu berkata, “Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita
berlomba merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu!”
Lin Lin
melihat betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri
tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah roboh!
Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi pertempuran, dan dua
orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar, Lin Lin menjadi marah sekali
dan tubuhnya berkelebat melakukan pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan
cepat juga berkelebat di sampingnya.
Tahu bahwa
pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin mengerahkan ginkang-nya dan di lain
saat ia sudah tiba di belakang dua orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan
dua orang hwesio itu menjerit, roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu
terluka pahanya. Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin
Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.
“Tranggg!”
bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok
Liong.
“Nona, harap
jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”
“Hwesio
Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini jahat, kalau
hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti mereka pun jahat!”
“Omitohud...
kasar akan tetapi harus diakui kebenarannya...,” terdengar seruan suara halus
dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua
jenggotnya, akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda.
Hwesio ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya
berpengaruh penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera mengangkat
kedua tangan ke depan dada memberi hormat.
“Cheng Hie
Lo-suhu! Kebetulan sekali Lo-suhu datang. Kami dua orang muda telah berselisih
faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap Lo-suhu memberi
kebijaksanaan.”
Hwesio tua
itu tertawa perlahan. “Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang
tua sudah melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan
empat orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat
buktinya.” Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan berkata,
“Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang pantas sekali Pedang
Besi Kuning berada di tanganmu! Dua orang anak murid Siauw-lim-pai yang durhaka
ini telah melakukan kesalahan kepadamu, harap Nona sudi memberi maaf, biar
pinceng nanti yang akan menghukum mereka.”
Lin Lin
kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat mengetahui segalanya, bahkan tahu pula
tentang pedangnya, pedang curian dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu
tinggi, pikirnya. Ia memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu,
akan tetapi sekarang hatinya puas karena sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang
mengurus dan hendak menghukum.
“Terserah
kepada Lo-suhu. Aku percaya Lo-suhu akan benar-benar memberi hukuman berat,
kalau tidak, berarti Losuhu membantu orang jahat!”
Muka hwesio
tua itu berubah agak pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok
Liong lalu mengajak Lin Lin pergi, “Marilah, setelah ada Cheng Hie Lo-suhu,
tentu mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Lo-suhu terkenal sebagai
pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak murid Siauw-lim-pai dan
dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya. Lo-suhu,
perkenankan kami pergi.”
Cheng Hie
Hwesio menggerakkan tangannya, mengangguk-angguk. “Pergilah... pergilah dengan
hati-hati, orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian
berdua...”
Lin Lin
tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja, pikirnya,
ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal pun tidak! Akan
tetapi melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik itu, tak enak hatinya
menimbulkan ribut di depannya. Ia pun mengangguk dan berjalan pergi bersama Lie
Bok Liong yang menuntun kudanya.
Sampai lama
mereka jalan berendeng, diam saja tidak berkata-kata, juga saling lirik saja
tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi bahwa di sebelah mereka berjalan
seorang lain. Tentu saja tidak demikian hal yang sebetulnya. Bok Liong
sekaligus terbetot semangatnya oleh gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil
merenung, terheran-heran atas perubahan di dalam hatinya sendiri. Mengapa ia
merasakan hal yang aneh ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasakan?
Ada pun Lin Lin, ia sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang
pemuda pesek lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.
Setelah
mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi sekali, tiba-tiba
Lin Lin berhenti dan berkata ketus, “Nah, sekarang tidak ada siapa-siapa yang
akan menghalangi kita membuat perhitungan!”
Pemuda itu
seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan memandang dengan kaget.
“Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?”
“Perhitungan
apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat berlomba merobohkan dua
orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku! Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai
tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku!
Tapi kau memerintah aku ikut denganmu! Sombong!”
Bok Liong
cepat menjura, sikapnya sungguh-sungguh. “Nona, harap kau tidak main-main lagi.
Maafkanlah kalau sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong
adalah seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa
kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu terimalah
hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani mengangkat senjata
terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”
Watak Lin
Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah. Kalau orang
bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau orang galak, ia
akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah dan mengalah dengan
suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak mau kalah!
“Nah, kau
sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga tidak mempunyai permusuhan apa-apa
dengan orang seperti kau ini. Aku tahu kau bukan orang jahat, tapi kalau aku
tidak bersikap keras, orang takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta
maklum saja kalau tadi aku bersikap kaku. Betapa pun juga, kau telah membantuku
menghadapi hwesio-hwesio kotor tadi.”
Jantung Bok
Liong berdebar-debar. Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak
ini kiranya dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata
lagi. “Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang
amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis di
hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biar pun bukan seorang tokoh
besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua tokoh kang-ouw,
kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau. Bolehkah aku mengetahui
nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang banyak mengenal ilmu silat,
tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai,
Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak partai persilatan lain lagi, tapi sama
sekali buta akan ilmu silatmu yang luar biasa tadi, Nona.”
Lin Lin
merasa diayun-ayun di atas awan saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata
pujian yang keluar sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia
pandang-pandang, pemuda berhidung pesek ini wajahnya menarik dan menyenangkan
hati juga, sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat,
sikap sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya.
Timbul rasa
suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apa lagi tadi ia mendengar bahwa
Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw. Siapa tahu pemuda ini bisa
memberitahu kepadanya tentang Suling Emas, atau mungkin juga tentang kakaknya,
Bu Song. Wajahnya seketika berseri, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis
itu tersenyum sehingga pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya
lemas dan gemetar!
Memang hebat
daya pengaruh asmara yang mulai menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si
pemuda yang bersangkutan sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda
sedang bercinta, terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada
diri dara yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam
melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum sepasang
bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang memabukkan dan
membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata berkunang-kunang! Kilauan
gigi putih berderet rapi yang hanya tampak sekilas di balik sepasang bibir
segar, lebih ampuh dari pada sinar petir yang langsung menyambar kepala
memasuki tubuh menyelusup ke seluruh tulang sumsum! Tidaklah terlalu
mengherankan apabila Bok Lieng berdiri dengan kedua lutut gemetar ketika ia
menghadapi wajah Lin Lin yang berseri-seri itu.
“Kau kira
aku seorang yang buta?” demikian Lin Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar
manis, hilang sama sekali ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau
bukan orang jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako... ya, lebih baik
kusebut kau Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua dari pada Sin-ko (Kakak
Sin). Eh, berapa sih usiamu?”
Mau tak mau
Bok Liong tersenyum. Setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa
betapa sinar matahari menjadi lebih terang dari pada tadi. “Usiaku hampir dua
puluh dua tahun.”
“Nah, betul
dugaanku. Sin-ko baru dua puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di
mana aku tadi? Oya, tentang nama. Namaku Lin Lin, she... Kam.”
“Kam Lin
Lin... indah benar namamu, Nona.”
“Wah, kalau
kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan menyebutmu dengan
tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?”
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment