Cerita Cilat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 04
BOK LIONG
tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya baru kali inilah ia dapat
tertawa sampai begitu keras sampai basah kedua matanya. Benar-benar
mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?
“Habis, aku
harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau
adikku, Moi-moi.”
“Nah, begitu
baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi mengobrol begini? Lain
lagi kalau terhadap seorang kakak....”
“Maksudmu,
terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.
“Sama saja,
apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah
gurumu?”
Kalau orang
lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau menerangkannya. Selama
ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa orang tokoh besar saja yang
tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus
sudah merobohkan jantung menawan hatinya, ia tidak berani berbohong, apa lagi
tidak menjawab. Ia takut kalau-kalau gadis yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik
kepadanya ini akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya
di saat itu yang akan lebih besar dan hebat dari pada dimusuhi Lin Lin.
"Nona...
eh, Lin-moi (Adik Lin). Guruku terkenal dengan namanya yang sederhana sekali,
malah sesungguhnya, orang lain termasuk aku sendiri tak pernah mengenal namanya
karena ia hanya memperkenalkan she (nama keturunan) yaitu she Gan. Karena
inilah maka di dunia kang-ouw ia dikenal sebagai Gan-lopek (Empek Tua Gan)!”
Senyum di
bibir Lin Lin melebar. “Gan-lopek? Hi-hik! Badut tak pernah mandi yang
pantatnya besar, kumis dan jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut
melihat cacing dan ular? Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia!” Lin
Lin menutupi mulut dengan tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya.
Bok Liong
membelalakkan kedua matanya yang lebar, “Apa? Kau pernah melihat Suhu?”
Lin Lin
menggeleng kepala, menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat bicara. “Aku
hanya mendengar ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah, kakek dan aku
tertawa-tawa sampai perutku menjadi keras dan kakek jatuh terguling dari atas
cabang pohon,” kembali Lin Lin tertawa terkekeh-kekeh.
Diam-diam
Bok Liong menjadi tak senang hatinya karena merasa betapa suhu-nya, orang yang
ia anggap paling hebat di dunia ini, menjadi buah tertawaan, sungguh pun ia
cukup mengenal suhu-nya sebagai orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang
membuat lelucon yang luar biasa.
“Hemmm, kau
pernah mendengar cerita tentang Suhu? Dan kakek gundul pacul yang menceritakan
itu, apakah dia jatuh dari cabang pohon terus mati?”
Tiba-tiba
suara ketawa Lin Lin terhenti. “Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau
benar-benar tidak mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu Serba Kosong
kepadaku. Dia orang sakti seperti dewa, mana bisa mati jatuh dari cabang?”
Bok Liong
benar-benar tidak mengerti. Luar biasa sekali dara ini, pikirnya. Kalau kakek
gundul pacul itu mengajar ilmu, berarti kakek itu guru si nona. Akan tetapi
kenapa nona ini menyebutnya gundul pacul, sebutan yang seakan-akan mengejek dan
memandang rendah?
“Ah, kalau
begitu beliau seorang sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu
namanya?”
“Tentu saja
aku tahu. Dia disebut Kim-lun Seng-jin... eh, kenapa kau, Liong-twako (Kakak
Liong)?” Lin Lin heran melihat pemuda itu meloncat seperti dipagut ular dan
matanya menjadi amat bundar dan lebar.
“Kim-lun
Seng-jin? Beliau itu gurumukah?” tanya Bok Liong.
Kembali Lin
Lin menggeleng kepala. “Bukan! Bukan guruku. Dia sahabat baikku.”
Makin
heranlah Bok Liong. Masa kakek sakti yang amat terkenal di dunia ini, yang
tingkatnya sekelas dengan gurunya, menjadi sahabat baik gadis ini?
“Tapi kau
bilang tadi bahwa kau menerima ilmu darinya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu.”
“Bukan!
Hanya kenalan biasa saja. Tapi ilmunya Serba Kosong memang boleh juga.” Lin Lin
bersikap seakan-akan hal itu merupakan hal yang ‘bukan apa-apa’ baginya, sikap
ini sengaja ia ‘pasang’ karena melihat betapa Bok Liong terheran-heran dan
agaknya amat menjunjung tinggi Kim-lun Seng-jin!
“Serba
kosong! Aneh sekali nama ilmu itu. Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang
diturunkan oleh Kim-lun Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau
tadi aku bersikap kurang hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur... eh,
sahabat baik Kim-lun Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau
bisa bercerita tentang Suhu-ku.”
Senang
sekali hati Lin Lin, kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya
yang sudah membusung. Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada
Bok Liong dengan kata-kata manis. “Tapi kakek berkata bahwa biar pun Gan-lopek
itu orangnya lucu dan merupakan seorang badut besar, namun kepandaiannya hebat.
Maka sekarang, melihat kepandaianmu, aku percaya akan kesaktiannya.”
Sekarang Bok
Liong teringat akan matanya menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang
Lin Lin. Tadi ia amat terkejut ketika mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang
Pedang Besi Kuning. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari
gudang pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang itu
bisa terjatuh ke tangan Lin Lin.
Betapa pun
pandainya Lin Lin, kiranya bukanlah hal yang mudah untuk dapat memasuki istana
dan mencuri sebuah pedang pusaka. Akan tetapi sekarang terbukalah rahasia itu.
Kalau gadis itu pergi bersama seorang sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal
memasuki istana dan mencuri pedang pusaka bukanlah merupakan hal yang aneh
lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin Lin dan karenanya ia tidak mau
bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut kalau-kalau Lin Lin akan menjadi curiga
dan marah kepadanya. Sebaliknya ia lalu bertanya.
“Lin-moi,
setelah kita menjadi sahabat dan kenalan sekarang, bolehkah aku mengetahui apa
yang kau kehendaki sehingga kau seorang diri sampai berada di tempat ini?
Hendak pergi ke manakah kau?”
Ini memang
merupakan pertanyaan yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini sudah mengambil
keputusan untuk minta bantuan Bok Liong. Kakek gundul Kim-lun Seng-jin biar pun
telah mewariskan ilmu dan mengajaknya ke kota raja, malah ke dalam istana dan
mencuri pedang, namun tidak berhasil menolong dia mendapatkan musuh besarnya,
juga kakak angkatnya.
Setelah
mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya dengan bangsa
Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu Song, karena
dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menceritakan
asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal Kam, tentu Bu Song
sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa di waktu itu.
“Liong-twako,
sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kau jawablah. Apakah
kau akan suka membantuku?”
“Tentu saja!
Dengan segala senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan
untukmu, Moi-moi?”
“Tanpa
syarat?”
“Eh... tanpa
syarat bagaimana? Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa
yang harus kulakukan.”
Bibir manis
itu cemberut, tapi bagi Bok Liong malah tampak makin manis.
“Kalau
begitu, tak usah kau membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa tidak sepenuh
hatimu kau berniat membantuku. Kalau sepenuh hati suka membantu, tentu tidak
akan bertanya-tanya lagi, apa saja urusannya, tetap akan suka membantu.”
Merah muka
Bok Liong mendengar celaan ini, dan diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis
ini, biar pun terdengar seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya
juga. “Baiklah, aku akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa
biar pun untuk kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan kebenaran. Ringkasnya, aku tidak mau membantu pihak yang
melakukan kejahatan....”
Bok Liong
terpaksa menghentikan kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah
sekali. Gadis ini berdiri tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang,
pandang matanya keras. “Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi
bersahabat dengan orang yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat percaya
kepadamu!” Tubuhnya membalik dan berkelebat pergi.
Bukan main
kagetnya hati Bok Liong. Ia pun cepat mengerahkan ginkang-nya untuk mengejar,
“Nanti dulu, Non... eh, Moi-moi. Tunggu...! Mari kita bicara...!”
Akan tetapi
Lin Lin tidak mempedulikannya, terus lari kencang. Karena ia mempergunakan
ginkang dari Khong-in-ban-kin, tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan
kuda betina yang kabur dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat
karena harus mengerahkan seluruh tenaga mengejar.
“Lin-moi...
tunggu dulu...! Aku percaya padamu...!”
Lin Lin
mendengar derap kaki kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat betapa gerakan Lin
Lin amat gesit dan cepat kembali ke tempat tadi, meloncat ke atas punggung
kudanya dan membalapkan kuda tunggangnya itu, melakukan pengejaran. Tapi ilmu
lari cepat yang dipergunakan Lin Lin benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis
itu sudah matang dalam melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biar pun
berkuda takkan mampu menyusulnya. Sekarang pun sukar sekali Bok Liong dapat
menyusul.
Setelah
berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng sebelah selatan
kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal ini pun hanya karena gadis itu
kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas memburu. Sepasang pipinya
menjadi merah seperti buah tomat karena darahnya bergerak cepat setelah berlari
selama itu.
Bok Liong
cepat-cepat melompat turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang
berdiri cemberut. Bok Liong kembali mengangkat kedua tangan memberi hormat dan
suaranya benar-benar penuh bujuk rayu, “Adikku yang baik, Moi-moi yang baik
budi, maafkanlah aku yang tolol. Aku sungguh tidak mengerti mangapa kau
marah-marah kepadaku. Kalau kau suka menjelaskan, biarlah aku akan membunuh
diri kalau memang aku berbuat dosa terhadapmu.”
Di dalam
hatinya Lin Lin tertawa geli dan mengira pemuda itu membadut. Akan tetapi
karena ia masih mendongkol, ia menjawab ketus, “Kau sudah tidak percaya
kepadaku, mengapa masih memperlihatkan sikap bersahabat?”
“Siapa
bilang aku tidak percaya, Lin-moi? Aku percaya seribu prosen kepadamu. Percaya
mati-matian dan bulat-bulat!” Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja,
dara yang memang pada dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah
hilang marahnya.
“Kau bilang
percaya hanya di mulut tapi di hati kau menyangka aku akan melakukan hal-hal
jahat dan akan menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan
kebenaran. Bagus, ya? Lain di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani
mati!”
Kini tiba
giliran Bok Liong yang tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari mana dara ini
memungut kata-kata sindiran yang merupakan istilah dalam panggung sandiwara itu
untuk mengukur watak laki-laki.
“Wah, benar
aku telah bersalah, Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk
tidak percaya kepadamu.”
“Nah,
sekarang bunuh dirilah. Aku ingin sekali lihat!” kata Lin Lin sambil duduk di
atas tanah, dibawah pohon. Peluhnya yang membasahi jidat dan leher diusapnya
dengan sapu tangan sutera.
“Bunuh
diri...? Apa maksudmu...?”
“Eh, pakai
tanya lagi! Kan kau sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh diri kalau berdosa
kepadaku. Nah, kau bunuh dirilah. Atau memang kau pun termasuk golongan yang
berani sumpah tak berani mati?”
“Waduh-waduh,
masa kesalahan begitu saja dianggap dosa besar yang harus ditebus dengan nyawa?
Lin-moi, harap jangan main-main. Biarlah, aku mengaku salah dan tidak akan
banyak tanya lagi. Aku akan membantumu tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi.
Sekarang katakan, apa yang dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?”
kata Bok Liong sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin.
Kudanya yang juga tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau
di pinggir jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat,
kelihatan girang dan lega kuda itu setelah tadi berlomba lari.
Kini wajah
Lin Lin tampak sungguh-sungguh. Memang ia tadi mendongkol, akan tetapi tidak
mendalam dan puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok Liong. Kini dengan suara
serius ia berkata. “Liong-twako, sebetulnya pikiranku amat bingung. Aku mencari
musuh besar tidak bertemu, mencari kakak angkatku juga tidak berhasil,
malah-malah Kakak Bu Sin dan Enci Sian Eng pun sampai sekarang tidak bertemu
kembali denganku, entah lenyap ke mana mereka itu!”
Tahulah
sekarang Bok Liong bahwa gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam
arti kata terpisah dari dua orang kakaknya. Ia tidak memotong, melainkan
menanti gadis itu melanjutkan penuturannya.
“Kami
bertiga pergi meninggalkan dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san dengan niat
mencari musuh besar kami, juga mencari kakak angkatku yang semenjak kami lahir
tak pernah kami temui. Celakanya, kami bercerai-berai dan aku mencari sendiri,
dibantu oleh kakek gundul Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Kakek gundul itu ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada
kakak angkatku, juga tidak tahu di mana adanya musuh besarku. Nah, sekarang aku
minta bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu.”
Bok Liong
tertawa. Hatinya lega bukan main. “Ah, Lin-moi, kau ini memang suka bikin orang
bingung. Kalau tadi-tadi kau bilang hanya bantuan seperti ini saja, tentu aku
seribu kali setuju. Akan kubantu engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku
harus tahu lebih dulu siapakah gerangan mereka yang kau cari. Siapakah musuh
besarmu itu?”
“Aku sendiri
juga tidak tahu, akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah si Suling Emas.”
Tiba-tiba
Bok Liong meloncat sampai satu meter lebih. Mukanya berubah dan ia memandang
kepada Lin Lin dengan bengong. Lin Lin juga meloncat dan membanting kakinya.
“Nah-nah-nah,
kau kumat lagi! Apakah semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu
mendengar nama Suling Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek
gundul sama saja. Menjemukan benar!”
“Wah, kau
yang kumat, bukan aku,” demikian suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya
segera berkata, “Jangan salah sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya
terheran-heran. Kau agaknya tidak tahu orang macam apa dia itu maka begitu
mudah kau menuduh dia sebagai musuh besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah
seorang pendekar sakti yang dipandang tinggi oleh para tokoh bersih di dunia
kang-ouw. Masa dia membunuh ayah bundamu?”
Lin Lin
cemberut. “Biar dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi
oleh para dewa sekali pun, aku tidak takut! Ihhh, semua orang takut kepada
Suling Emas. Sampai bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu dengan dia
dan mengajak dia duel (adu ilmu) sampai selaksa jurus!”
Bok Liong
meraba-raba bawah hidungnya yang tidak berkumis untuk menahan tawa. “Baiklah,
Lin-moi. Aku akan membantumu dan kurasa kalau diusahakan benar, bukan tidak
mungkin aku akan dapat memperjumpakan kau dengan Suling Emas.”
Wajah yang
cemberut itu seketika berseri dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar.
Sekarang demikian hebat ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya
berloncatan ke atas kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik!
Mulutnya sampai ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar matanya sayu
penuh keharuan. Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang demikian indahnya
sampai mengharukan.
Akan tetapi
Lin Lin mana memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang. Cepat ia
menyambar tangan Bok Liong, di guncang-guncangnya. “Betul, Liong-twako? Kau
bisa mencari dia? Ah, kakek gundul itu saja tidak becus. Di mana adanya Suling
Emas, Liong-ko? Jauh atau dekat? Hayo kita segera pergi ke sana, ingin kupaksa
dia mengaku tentang pembunuhan itu!”
Kembali Bok
Liong tersenyum. Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan tawanya
mendengar kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar seorang dara
lincah jenaka yang seperti seekor burung baru belajar terbang, tidak tahu
tingginya gunung lebarnya lautan!
“Tidak
begitu mudah, Lin-moi. Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat tinggal yang
tetap. Akan tetapi aku akan bertanya-tanya kepada tokoh kang-ouw. Aku mempunyai
banyak kenalan di dunia kang-ouw, dan dari mereka kurasa akhirnya kita akan
dapat berjumpa dengan Suling Emas. Sekarang soal kedua, tentang kakakmu itu.
Siapa dia dan bagaimana mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan
adik-adiknya selamanya?”
“Kakak
angkatku itu bernama Kam Bu Song, akan tetapi ketika ia mengikuti ujian di kota
raja empat belas tahun yang lalu, ia memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari
keterangan tentang dia?”
“Kam... Liu
Bu Song? Tak pernah aku mendengar nama ini, akan tetapi kalau empat belas tahun
yang lalu dia di kota raja, tentu saja aku tidak ingat lagi. Tentu aku masih
kanak-kanak waktu itu. Akan tetapi aku dapat mencari keterangan di kota raja
tentang dia. Sekarang, kau hendak mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari
kakakmu lebih dulu, kita kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak
perlu kita ke kota raja.”
Lin Lin
termenung. Kedua orang itu sama pentingnya. Akan tetapi pertemuan dengan
Kim-lun Seng-jin dan cerita tentang ‘Puteri Khitan’ amat menarik hatinya dan
membuat ia ingin sekali segera mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia
mencari Bu Song di kota raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya
Bu Sin dan Sian Eng. Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.
“Biar kita
ke kota raja mencari Kakak Bu Song lebih dulu,” akhirnya ia berkata. “Sekalian
menanti munculnya Sin-ko dan Enci Sian Eng. Liong-twako, kau baik sekali. Perlu
kau kuperkenalkan dengan Sin-ko dan terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu
gagah perkasa, ilmu pedangnya hebat dan dia cantik sekali, Twako!” Setelah
berkata demikian ia tertawa-tawa gembira.
Merah muka
Bok Liong. “Hush, kau bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang
Cici-mu? Apa perlunya?”
“Ihhh, kalau
aku memuji kecantikan Enci-ku di depanmu, apa sih salahnya?” Ia tertawa-tawa
lagi dan matanya menggoda.
Bok Liong
tersenyum masam, hatinya mengeluh. “Engkaulah yang cantik, tidak ada wanita
kedua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan hatiku seperti engkau,”
demikian suara hatinya.
“Baiklah,
kita kembali ke kota raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar
nanti kucarikan gantinya.”
“Sarung
pedang? Mengapa?” Lin Lin meraba pedangnya.
“Moi-moi,
tadi aku mendengar dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning
yang hilang dari istana dan berada di tanganmu. Lebih baik sarungnya yang
istimewa itu diganti, sehingga tidak akan dikenal orang.”
Lin Lin
tersenyum. “Memang inilah pedang itu, kakek gundul dan aku yang mengambilnya.
Wah, kalau kau ikut tentu senang sekali, Liong-twako. Kami berdua menyikat
habis semua masakan di dalam dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama
hidup belum pernah kau merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan
perut kakek itu menjadi busung. Dan kami... kami menyamar seperti kucing...”
Lin Lin terkekeh gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus
diseling tawa ia menceritakan pengalamannya di istana.
Bok Liong
kagum bukan main. Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum akan
manisnya mulut yang bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka berdua memasuki
kota Pao-teng dan di sebuah toko senjata, Bok Liong membeli sebuah sarung
pedang untuk pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa
ronce-ronce dan dengan sarung lain, tiada bedanya dengan pedang biasa, maka
tentu tidak akan ada yang tahu bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka
rampasan dari bangsa Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.
Di kota
Pao-teng, Bok Liong mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang cukup
besar dan bersih. Hari menjelang senja dan perut mereka telah lapar. Tanpa
sungkan-sungkan Lin Lin menyetujui dan seorang pelayan segera menyambut mereka
dengan hormat, apalagi ketika melihat pedang yang tergantung di punggung Bok
Liong dan di punggung Lin Lin.
Bok Liong
bertanya, “Kau hendak makan apa, Moi-moi?”
“Apa
sajalah. Setelah makan eh... anu... semua itu, kiranya tidak ada makanan yang
cukup enak bagiku.” Ia mengernyitkan hidung. Bok Liong maklum bahwa yang
dimaksudkan Lin Lin tentu masakan-masakan di dapur istana itu. Pelayan yang
menanti pesanan mereka tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona
yang cantik jelita dan gagah perkasa ini.
Bok Liong
memesan arak wangi, nasi putih, bakmi, bakso dan beberapa macam sayur-mayur
lagi. Pesanan itu dilayani dengan cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka
telah mulai makan minum. Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar
itu membuat Lin Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya
dengan masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah
masakannya yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut lapar.
Perut lapar menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana seakali pun!
Suara orang
bercakap-cakap riuhrendah memasuki restoran itu tidak menarik perhatian Lin
Lin dan Bok Liong yang sedang enak makan, juga ketika beberapa orang tamu
memesan masakan dengan suara parau, mereka tidak menengok dan terus makan. Akan
tetapi karena tiga orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang
berhadapan dengan Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak
gadis ini meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat
duduk dengan mata berapi. Bok Liong melihat keadaan gadis ini sambil menghirup
kuah dari mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya. Kiranya yang bercakap-cakap
dan duduk mengelilingi meja itu adalah tiga orang laki-laki yang pakaiannya
ditambal-tambal, pakaian pengemis jembel!
“Sssttttt,
Lin-moi, tenang dan duduklah. Tak baik membuat ribut di restoran orang, bikin
kacau dan rusak barang orang saja,” bisiknya.
Lin Lin
sadar, menekan perasaannya dan duduk kembali. Seorang pelayan yang sedang
bersiap untuk mengambilkan pesanan tiga orang pengemis itu memandang penuh
kekhawatiran dan curiga kepada Lin Lin. Akan tetapi ketika melihat gadis ini
duduk kembali, ia cepat-cepat pergi ke dapur. Tidak mengherankan apa bila Lin
Lin kaget dan marah melihat tiga orang laki-laki itu, karena mereka ini adalah
tiga orang di antara para pengemis yang malam-malam mengeroyok dia dan dua
orang saudaranya.
Sebaliknya
tiga orang pengemis itu agaknya tidak mengenal Lin Lin, dan hal ini pun tidak
aneh. Mereka baru satu kali saja melihat Lin Lin, ini pun di waktu malam dan
dalam pertempuran. Apa lagi ketika itu Lin Lin ditemani oleh Bu Sin dan Sian
Eng, sedangkan sekarang hanya berdua dengan Bok Liong.
“Mereka
adalah pengemis-pengemis yang dulu ikut mengeroyok kami,” bisik Lin Lin.
Bok Liong
mengangguk-angguk. Gadis itu sudah bercerita tentang perselisihannya dengan
para pengemis yang dipimpin oleh si Raja Pengemis It-gan Kai-ong.
“Mereka itu
tokoh-tokoh Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang) dan
agaknya mereka datang sebagai tamu. Wilayah mereka bukanlah di Pao-teng sini.
Lin-moi, mari kita ke luar.” Bok Liong memanggil pelayan, membayar dan mengajak
Lin Lin keluar dari restoran.
“Lin-moi,
malam ini kita sebaiknya bermalam di sini. Pengemis-pengemis itu mencurigakan.
Pengemis-pengemis Hui-houw-kai-pang merupakan orang-orang kepercayaan It-gan
Kai-ong, mereka itu bekerja untuk Kerajaan Wu-yue. Kalau datang ke dekat kota
raja tentu ada maksud-maksud tertentu, sebagai matamata. Aku akan membayangi
mereka.”
“Liong-ko,
kenapa kau akan lakukan hal ini? Apa hubunganmu dengan urusan itu?”
Bok Liong
memandang dengan sinar mata penuh perasaan ketika ia berkata. “Lin-moi, seorang
warga negara harus setia kepada negaranya. Demikian pula aku, harus setia
kepada Kerajaan Sung. Kalau aku melihat persekutuan yang membahayakan negara
dan aku diamkan saja bukankah itu berarti bahwa aku menjadi seorang
pengkhianat? Tidak Moi-moi, takkan kudiamkan saja kalau orang-orang
Hui-houw-kai-pang ini mempunyai niat melakukan sesuatu yang membahayakan
negara.”
Kagum hati
Lin Lin. Sebagai anak angkat Jenderal Kam, seorang patriot sejati yang rela
mengorbankan diri dan kebahagiaan demi negara, tentu saja ia tahu akan hal ini,
dan ia dapat menghormati sikap ini.
Malam hari
itu Bok Liong dan Lin Lin membayangi tiga orang pengemis yang memasuki sebuah
rumah gedung kecil di sebelah timur kota Pao-teng. Rumah ini jauh dari
tetangga, pekarangannya lebar dan kelihatannya sunyi. Sebuah rumah kuno yang
modelnya seperti rumah pesanggrahan bangsawan yang hanya ditinggali
sewaktu-waktu saja. Bagi para penduduk Pao-teng, rumah gedung mungil ini
terkenal dengan sebutan ‘Gedung Merah’ karena memang cat rumah itu serba merah.
Orang-orang
hanya tahu bahwa rumah itu milik seorang bangsawan muda dari An-sui yang
kadang-kadang saja datang ke rumah ini, di mana ia mempunyai beberapa orang
wanita penghibur yang menjadi selir-selirnya. Kalau bangsawan muda itu datang,
barulah tampak kesibukan di gedung merah ini. Tukang-tukang masak pandai
dipanggil, rombongan penghibur, penari dan penyanyi, diundang dan sering kali
diadakan pesta oleh bangsawan itu bersama selir-selirnya, kadang-kadang
ditemani beberapa orang tamu.
Bangsawan
muda itu bukan lain adalah Suma Boan, putera Pangeran Suma Kong. Memang dia
seorang pemuda penghambur nafsu dan uang. Sebetulnya hanya kelihatannya saja
Suma Boan merupakan seorang kongcu hidung belang yang menghabiskan waktunya
dengan pelesir dan bersenang-senang. Padahal sebetulnya dia seorang muda yang
penuh cita-cita. Tidak sia-sia ia menjadi murid orang sakti It-gan Kai-ong,
karena tidak saja ia memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun juga memiliki
cita-cita setinggi langit.
Sudah banyak
tokoh-tokoh kang-ouw ia hubungi, dan ia menghimpun tenaga untuk sewaktu-waktu
bergerak melaksanakan tujuan dan cita-citanya, yaitu menggulingkan kedudukan
kaisar dan mengangkat diri sendiri menjadi penggantinya! Tentu saja
cita-citanya ini masih merupakan rahasia dalam hatinya dan kiranya hanya
gurunya dan pembantu-pembantunya yang paling setia saja yang tahu. Orang lain
hanya menganggap bahwa Suma Boan adalah seorang bangsawan, putera pangeran,
masih sanak dengan kaisar, kaya raya dan royal di samping memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi.
Maka dari
itu Bok Liong menjadi heran sekali ketika ia mengintai dari atas genteng gedung
merah bersama Lin Lin, ia melihat bahwa tiga orang pengemis itu mengadakan
pertemuan dengan Suma Boan. Hal ini sama sekali tak pernah diduganya. Suma Boan
putera pangeran yang tinggai di An-sui itu berada di sini? Benar-benar di luar
dugaannya yang sejak dahulu berkelana. Bok Liong mengenal siapa adanya Suma
Boan, murid It-gan Kai-ong yang lihai.
Akan tetapi
ia sama sekali tidak tahu akan rahasia putera pangeran ini. Ia tidak menjadi
heran karena Suma Boan berhubungan dengan pengemis, karena guru pemuda
bangsawan itu adalah raja pengemis sendiri! Akan tetapi yang membuat ia
terheran-heran adalah munculnya pemuda bangsawan itu di gedung merah, karena
tadinya ia mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak mengadakan persekutuan
atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung. Maka ia kecewa dan
memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ.
Akan tetapi,
sebaliknya wajah Lin Lin menegang ketika ia mengenal Suma Boan. Ia malah
memberi isyarat kepada Bok Liong untuk mendengarkan percakapan mereka di bawah,
lalu mendekatkan mulut pada telinga Bok Liong sambil berbisik. “Di rumah dia
itulah aku berpisah dengan kedua kakakku.”
Mendengar
ini hati Bok Liong tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan
empat orang itu.
Terdengar
Suma Boan bertanya. “Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya
dengan surat yang dirampas Hek-giam-lo?”
“Kai-ong-ya
tidak berhasil merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa surat itu agaknya
sudah terampas kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari tangan Hek-giam-lo. Sekarang
Ong-ya berkenan pergi sendiri menyelidik ke Yu-nan.”
“Apa? Suhu
mendatangi wilayah Nan-cao?”
“Betul,
Kongcu. Pada pertengahan bulan depan, tepat pada bulan purnama, di sana
diadakan pesta menyambut hari raya kaum Agama Beng-kauw, sekalian memperingati
hari wafat ke seribu dari Kauw-cu (Ketua Agama) yang telah meninggal dunia.
Dalam kesempatan ini tentu saja Kai-ong-ya dapat menghadiri karena para tokoh
hitam dan putih semua diterima dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw.”
“Bagus!”
Suma Boan kelihatan girang sekali. “Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi
tahu, tentu aku akan ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman.”
“Kai-ong-ya
berpesan agar Kongcu suka menanti kedatangan Tok-sim Lo-tong yang sudah
berjanji akan datang mengunjungi dan sudah siap memberi bantuan untuk
menghadapi Suling Emas.”
“Hemmm, si
keparat itu apakah sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang
ke kota raja?”
“Menurut
Kai-ong-ya, sering kali ia berada di dalam gedung perpustakaan istana.”
“Heeeee! Apa
itu?” Tubuh Suma Boan berkelebat, diikuti tiga orang pengemis itu yang sudah
melompat ke luar dan langsung melayang ke atas genteng.
Kiranya tadi
ketika mendengar percakapan di bawah, Bok Liong dan Lin Lin menjadi tertarik
sekali. Apa lagi ketika nama Suling Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu
bernafsu sehingga ia bergerak untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang
hati-hati dan hatinya tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh
telinga Suma Boan yang tajam.
“Keparat,
berani kalian main-main di depan Lui-kong-sian?!” bentak Suma Boan sambil
menerjang maju. Lui-kong-sian atau Dewa Geledek adalah julukannya.
Bok Liong
maklum akan lihainya lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua
lengan yang sama kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental melayang dan
tentu akan roboh terguling di atas genteng kalau tidak cepat-cepat mereka
meloncat turun.
Lin Lin yang
tahu bahaya juga mendahului meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Baru saja
kakinya menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah menerjangnya dengan
tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah memutar pedangnya,
tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu menyambut datangnya tiga
bayangan tongkat.
Ada pun Suma
Boan ketika tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia
menjadi penasaran. “Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang seperti
pencuri?” bentaknya ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya di atas tanah.
Sayang, keadaan agak gelap sehingga ia tidak dapat mengenal siapa pemuda yang
lihai di depannya ini.
“Suma-kongcu,
suruh orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi, tidak akan mengganggumu
lagi,” kata Bok Liong sambil memandang ke arah pertempuran. Akan tetapi ia
tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin karena tiga orang pengemis itu telah
terdesak hebat oleh sinar pedang kuning yang bergulung-gulung dahsyat.
“Enak saja
bicara, berani kau datang untuk memerintahku? Ke neraka kau!” Suma Boan cepat
menerjang dengan pukulan-pukulan maut.
Keistimewaan
pemuda bangsawan ini adalah ilmu pukulan tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia
memiliki banyak tipu muslihat, juga memiliki beberapa pukulan yang mengandung
tenaga beracun. Namun kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh, murid seorang
sakti pula, maka semua pukulannya dapat dihalau oleh Bok Liong. Karena dia
seorang pendekar yang gagah dan memang suka mengadu ilmu, apa lagi sudah lama
mendengar akan nama besar Lui-kong-sian Suma Boan, Bok Liong juga tidak mau
mencabut pedangnya dan melayani lawannya dengan tangan kosong pula. Keduanya
sama kuat, sama cepat dan masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.
Keadaan Lin
Lin dan para pengeroyoknya tidak seramai dua orang jago muda ini. Dalam sekejap
mata saja, pedangnya telah merobohkan dua orang pengeroyok dan pengemis yang
ketiga lari ketakutan menjauhkan diri! Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan
juga bangga. Ia pernah dikeroyok orang-orang seperti ini ketika bersama Bu Sin
dan Sian Eng dahulu, dan mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan
banyak pengemis. Akan tetapi sekarang, biar pun yang mengeroyoknya hanya
bertiga, namun dengan pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun
Seng-jin, terasa betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia
merobohkan mereka! Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat
dengan pemuda jangkung yang sombong itu.
“Liong-twako,
jangan takut, pedangku akan mencabut nyawanya!” seru Lin Lin dan cepat ia
menerjang.
Sinar kuning
berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil membuang diri ke kiri lalu berjungkir
balik. Pucat wajahnya karena hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang
mengandung hawa dingin seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya
selain pemuda lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu
pedangnya.
Lin Lin
hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok Liong, lalu ditarik
dan pemuda itu berkata, “Moi-moi, mari kita pergi, jangan bikin kacau rumah
orang!”
Lin Lin baru
teringat bahwa sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan
orang-orang itu. Tadi ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok.
Sekarang, apa perlunya bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda
bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut Suling Emas
tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas, musuh besarnya. Ke
kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana! Hatinya girang mengingat akan
hal ini dan ia cepat meloncat pergi bersama Bok Liong, menghilang ke dalam
gelap.
Suma Boan
tidak mengejar. Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu
lihai, dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia
harus mengejar tanpa bantuan yang kuat?
Setelah
berlari jauh meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk
mengatur napas. “Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di sana
bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali tidak kuduga
bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,” kata Bok Liong.
“Aku tidak
takut! Biar ada jembel tua bangka setengah buta itu aku tidak takut dan akan
melawannya mati-matian!” seru Lin Lin dengan suara gagah.
“Kau memang
hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung menjadi satu, belum tentu si tua
dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi Suma Boan itu pun tak boleh dipandang
ringan. Dia lihai....” Bok Liong menggeleng-geleng kepala.
Ia maklum
bahwa kata-katanya ini hanya untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah.
Padahal ia tahu benar bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong.
Melawan Suma Boan saja kepandaiannya baru seimbang. Pemuda bangsawan itu harus
ia akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir
mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.
“Liong-ko,
sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas berada di sana, di dalam
gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia tidak akan dapat terlepas dari
tanganku!”
Bok Liong
mengangguk-angguk. “Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu dengannya.
Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan kau terburu nafsu dan
lancang menyerangnya kalau kita bertemu dengannya. Aku yang akan bicara
dengannya, dan aku dapat mengajukan pertanyaan yang akan memaksanya mengaku
apakah dia membunuh orang tua angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan
lancang terhadap seorang seperti dia.”
“Aku tidak
takut!”
“Memang kau
tidak takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah
alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau menyerang
orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian maka berarti
kaulah yang bersalah kepadanya.”
“Baiklah,
baiklah. Aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu. Asal aku
segera bertemu dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas, Twako.”
Bok Liong
tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat barunya ini marah dan mengambul.
“Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan perjalanan malam begini?”
“Biar malam
tapi udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh!”
Akan tetapi
Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan memandang wajah yang tengadah, wajah
yang baginya lebih indah dari pada bulan sendiri!
“Kau tidak
lelah dan ngantuk nanti?”
Lin Lin
menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang muda itu, berjalan kaki di bawah
sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi Lin Lin, hal ini adalah biasa saja
dan tidak mendatangkan perasaan apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping
Bu Sin. Terhadap Bok Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan
menganggap pemuda ini seperti kakaknya sendiri.
Tentu saja
tidak demikian apa yang berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana
romantis ini mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar
darahnya, membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin
menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya. Ingin ia
memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia mendekap kepala dengan
wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke dadanya, ingin membisikkan
sumpah cinta, ingin ia... ingin....
“Plakkk!”
“Eh, ada
apa, Twako?” Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping, memandang heran kepada
pemuda yang baru saja menempeleng kepalanya sendiri itu.
Bok Liong
sadar, kaget dan gugup. “Oh... eh... tidak ada apa-apa, ada nyamuk tadi
menggigit pelipisku,” jawabnya. Untung bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar
bulan dari mukanya yang menjadi merah sekali.
“Kau bikin
kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk di pelipis sendiri begitu kerasnya?” Lin
Lin mengomel karena tadi ia dikagetkan dari lamunannya.
Sambil
berjalan ia pun melamun, teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan
dirinya. Betulkah ia seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan
langsung dari Raja Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat
dirinya dengan pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung istana
seperti yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan
orang! Apa lagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia akan... akan
apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan dalam alam
lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempeleng kepala sendiri dan
mengagetkannya serta menariknya turun dari angkasa ke alam sadar.
“Sayang
tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik kuda dan tidak terlalu
lelah, Lin-moi.”
“Kenapa kau
jual kudamu kalau begitu?”
Bok Liong
menghela napas. “Perlu dijual... perlu sekali... saku sudah kosong, apa daya?”
Lin Lin
menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda itu. “Aku tahu. Kau
terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini dan untuk makan dan
sewa kamar, untuk biaya-biaya perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik.”
Hati Bok
Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus. “Ah, yang
begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan perjalanan hanya
dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah sejak kecil berlatih
ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau, kita tidak akan kalah oleh larinya
seekor kuda.” Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
***************
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam
menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera
dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas.
Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang
amat menyeramkan hatinya itu.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari
tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu
pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu
untuk minta dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya. Di dalam
sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas dari pada
cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya.
Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan
sengaja menanti kedatangannya.
Ia berusaha
menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti? Di lain detik ia
sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian dibawa lari secepat terbang!
Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan
sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan diri dari pengawasannya.
Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan
tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat
dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati segala
permintaannya.
Akhirnya
gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga
tidak lagi mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya
dengan sikap menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat
apa yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
“Hek-giam-lo,
sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau
sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap
jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi.” Berkali-kali gadis itu mencoba dengan
bujukannya ketika mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi.
Hek-giam-lo
memang pendiam dan ia tak banyak bicara selama dalam perjalanan, sungguh pun ia
amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan
makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng
hanya dijawabnya singkat, “Paduka puteri raja kami memang sejak kecil diambil
anak oleh Jenderal Kam.” Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau
bicara lagi.
Melalui
perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya
lari seperti terbang setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur
laut dan pada suatu hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah
penuh hutan yang amat liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah
mereka di sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru.
Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak
dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-hutan kecil di antara gunung-gunung
di perbatasan Mancuria!
Dapat
dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo
berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, lebih heran lagi ketika
melihat para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka
lalui.
“Tengoklah,
Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada
suaranya gembira.
Sian Eng
melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik
tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut
di pinggir jalan itu.
“Kita
sekarang ke mana, Hek-giam-lo?”
“Mari
menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.”
“Pamanku?”
Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo
yang menuju ke sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu.
Di depan
rumah besar ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan
gagah dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka
berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng
lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal.
Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah
dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar di mana-mana,
bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan
pengawal berganti, kini pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta
bersinar mata tajam! Namun baik pasukan laki-laki mau pun wanita, semua
kelihatannya amat takut dan menghormat Hek-giam-lo.
Melalui
pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka
diperkenankan memasuki ruangan besar di mana telah menanti seorang laki-laki
tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat
dari pada gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun,
berwajah tampan bermata tajam.
Hek-giam-lo
yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat, “Tuan Puteri, harap memberi
hormat kepada Sri Baginda, Paman Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri
berlutut dan terdengar suaranya nyaring.
“Hamba
datang menghadap. Dengan berkah Sri Baginda hamba berhasil mendapatkan Tuan
Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri Baginda.”
Laki-laki
itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan yang bernama Kubukan. Ia memandang
wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut mengira bahwa
raja yang tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan
tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang
ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang
cukup lancar.
“Nona,
marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku
ataukah palsu.”
Sian Eng
melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil berkata, “Hek-giam-lo
tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia
nekat saja membawaku ke sini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku
murah dan bebaskan aku.”
Raja itu
memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya
berhamburan bau arak yang keras. “Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku,
ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang
halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha,
untung...!” Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua
tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya.
Akan tetapi
pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang
Eng, “Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal
Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai di sana.
Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki
dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri
mendiang Tuan Puteri Tayami.”
“Hek-giam-lo,
apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku?
Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang
membawanya bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau
boleh lihat mereka. Biar pun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan
yang kucari-cari dari pada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!”
Raja memberi
tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring
masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di
kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja
dan menundukkan muka.
“Ha-ha-ha,
mereka ini keponakanku? Akan tetapi biar pun bukan, kedatangan mereka sedikit
banyak menyenangkan hatiku, biar pun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo,
gadis yang kau bawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami.”
“Tapi Sri
Baginda....”
“Kau mau
bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada
punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa bersama!” Ia memberi
isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah
memegang senjatanya yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar
berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa
tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika
mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar
itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!
Dapat
dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan
menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang
itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan
setengah bertiarap di atas lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja
dengan berbuat demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo
melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!
“Ha-ha-ha-ha,
kau lihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu kali sayang. Tapi
lumayan juga, dia cantik manis!”
“Ampun, Sri
Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.” terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya
gemetar penuh sesal.
“Tidak apa,
kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau
berdirilah.”
Sian Eng
terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak
menariknya berdiri. Ia mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang
sudah turun dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh
nafsu. Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi.
Bagaikan seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul
dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut raja itu!
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja itu
sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir
saja ia celaka kalau tidak ada Hek-giam-lo yang cepat menolongnya tadi.
Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti
rasa benci yang meluap-luap.
“Hek-giam-lo,
kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini. Muak aku
kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan, biar rakyatku
melihat dan berkesempatan menghina mereka yang menyebalkan hati rajanya!”
Setelah berkata demikian, raja itu mendengus marah, lalu pergi memasuki
kamarnya, diiringi oleh dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.
Sian Eng
sudah bangun kembali dan cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa
potong. Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung
bahwa pakaiannya terbuat dari pada kain yang lebar dan panjang sehingga biar
pun robek-robek namun masih cukup untuk menutupi tubuhnya yang telanjang.
Akan tetapi
Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan pekik mengerikan,
iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap Sian Eng dan dua orang
gadis pucat itu, membawa mereka bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam
saja, kemudian melangkah lebar ke luar dari gedung itu.
Malam itu
terang bulan, namun di luar perkampungan itu, di pinggir hutan, keadaan amat
menyeramkan. Apa lagi kalau orang melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat
terbuka dan sinar bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang
itu pasti akan bergidik melihat apa yang tampak di sana.
Tiga buah
kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup!
Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan terdengar
mereka ini menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran. Akan tetapi,
kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng, biar pun tampak agak pucat juga,
namun sama sekali tidak menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh
kemarahan.
Memang hebat
dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis yang mentaati
perintah rajanya itu. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang sempit dan dalam
macam sumur kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan
mengubur mereka sebatas leher. Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak,
hanya kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini
memasang benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini,
tidak ada seorang pun manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong
gadis-gadis bernasib malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang
menjadi tangan kanan raja?
Setelah
Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata Raja Khitan
terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung
ayah bundanya, melainkan anak angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang
tua Lin Lin, akan tetapi adik angkatnya itu wataknya aneh sekali. Ketika ia
tadi melihat pengawal-pengawal dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja
Khitan, alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali
bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah
ambil, mengira dia adalah Lin Lin. Dan besar kemungkinan Hek-giam-lo menduga
bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah ini?
Tangis kedua
orang gadis di sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia
menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang
tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa
keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia
dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dan penuh sengsara.
Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima
penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba
terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan
Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum
dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka?
Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa
harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau
pun melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga yang lebih dulu akan
digerogoti harimau?
“Hu-hu-huk,
Ayah... Ibu... tolong...!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng
menjerit-jerit.
“Aku...
aku... takut... ya Tuhan cabutlah nyawaku...!” Gadis cantik di sebelah depan
Sian Eng mengeluh dan menangis.
Sian Eng
mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu.
Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah. Oh,
alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.
“Enci
berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi
kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa
takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”
Dua orang
gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak
menangis dan sama sekali tidak nampak takut.
"Aku...
aku tidak takut mati... aku... aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah
kengerian ini dan... dan penghinaan... ah, lebih baik aku mati, tapi jangan...
jangan mati dimakan harimau...,” kata gadis di depannya terisak-isak.
“Sebelum
hayat meninggalkan badan, tak boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci
berdua harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita
takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita,
kanak-kanak pun bisa saja mati.”
Hiburan dan
kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada
hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman
binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman ‘senasib
sependeritaan’ itu untuk bercakap-cakap.
Dari mereka
dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh
tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di
depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya
puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian
Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah
puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu
bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian Eng
menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia
mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Ia tidak dapat
bicara banyak menghadapi penderitaan dua orang gadis itu. Akan tetapi
setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk
melewatkan malam yang mengerikan ini. Tentu saja semalam suntuk mereka tak
mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para
penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji,
dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur
mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu
kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati!
Terdengar
derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh
ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.
“Adik Sian
Eng, selamat berpisah...,” kata gadis di depan Sian Eng.
“Mudah-mudahan
kematian segera datang menjemputku...,” kata gadis di belakang Sian Eng,
menyambut ucapan gadis di depan.
Sian Eng
terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum, “Enci, kalau seorang di
antara kita mati, tentu yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat
berpisah? Kita takkan pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama.
Bukankah itu menyenangkan sekali? Kita akan selalu ada teman, biar di alam sana
pun.”
Derap kaki
kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu
dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke
belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat
digerakkan. Oleh karena itu, biar pun hati mereka ingin sekali, namun mereka
tidak dapat memandang dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang
ini.
Tak lama
kemudian seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat
mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang
gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi.
Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.
Akan tetapi
Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut.
Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak
sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang
laki-laki muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata
yang sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk
panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar.
Yang membuat
Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia
akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan
topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang
melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada itu. Suling Emas! Celaka,
pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah
membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap
dirinya.
Dan orang itu
semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang
tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya
mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling! Tak salah lagi,
dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apa lagi kalau bukan suling
terbuat dari pada emas?
Dengan
gerakan cepat ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja
tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan
kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke
atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena
pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya
saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka
cepat-cepat ia menggerakkan kedua lengan menutupi dada!
Pemuda itu
menyumpah, “Keparat...!”
Cepat ia
membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya ke arah Sian Eng. Kain jubah
itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki!
Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih
gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki
itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dari menggali
tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua
orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang
bulat.
“Benar-benar
setan!” ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda
Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis
itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerobongkan robekan
kain hitam itu ke atas tubuh mereka.
“Lekas,
kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya di sini.” Ia
menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata, “Nona, kau yang terkuat
di antara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar
wilayah Khitan.”
Semenjak
tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa. “Kau... kau...
Suling Emas...?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.
Wajah tampan
dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk. “Bukan waktunya
bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling.
Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan... kulit tubuh yang putih
bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang
tadinya merah segar kini menjadi kering membiru!
“Ah,
gobloknya aku...!” Suling Emas menarik napas panjang.
“Ihhh,
mereka kenapa?” Sian Eng berseru, cemas dan ngeri.
Suling Emas
menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo. “Kain itu mengandung
racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita
pergi.”
Sian Eng tak
sempat menjawab apa lagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena
dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan
olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda! Pada detik berikutnya,
kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian
Eng.
“Tapi...
jenazah mereka itu...?” Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang
gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
“Mereka
sudah mati, mau diapakan lagi?” jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan
kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu
membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan
rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas dari pada ancaman bahaya maut di
tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas
dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh
ke dalam tangan Suling Emas! Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya
mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong,
akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis
itu dibiarkan begitu saja!
Ingin ia
dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu
duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan
laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya
terhadap wanita. Sekarang pun biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda,
namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya.
Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi
kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di
belakangnya lagi.
Ketika ia
diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang
amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang
mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya.
Sekarang dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas,
Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh
ini jarang sekali membuka mulut. Biar pun wajah yang tampan itu kelihatan
selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian
Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu.
Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah
memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung
hidup!
Malam itu
Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak
mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di
pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas
begitu saja. Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api
unggun di bawah pohon besar.
Kemudian ia
mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung
kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh
ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati
api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun.
Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum.
Sian Eng
menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu karena perutnya
terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti
sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah
menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa
kaku dan seluruh badan sakit-sakit!
Mereka makan
roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat
betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala,
duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang
tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api
itukah yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia
melihat atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari
samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan
penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biar pun
tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya.
Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.
“Kau hendak
membawaku ke mana?”
Suling Emas
agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah
lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti
menyeretnya turun dari dunia lamunan dan ia menoleh sambil gagap bertanya,
“Apa...?”
Mendongkol
juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya.
Dengan ketus ia bertanya. “Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau
hendak membawaku pergi?”
“Dengan
maksud apa?” Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun
sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia
menjawab, “Tentu saja agar kau bebas dari ancaman bahaya, dan tentu saja
membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan.”
Sian Eng tak
dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu
saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia
mengerti. Akan tetapi Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh
besarnya! Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah
menoleh dan kembali menatap api unggun.
“Kurasa
bukan itu maksudmu,” ia berkata dengan suara tegas dan ketus. “Suling Emas, kau
telah membunuh ayah bundaku! Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan
maksud tertentu yang... yang tidak baik!”
Suling Emas
mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya
berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini. “Hemmm... itukah sebabnya
mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian
menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu....”
Sian Eng
terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya
mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu!
Benar-benar orang aneh dan lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut.
“Memang
betul. Biar pun kau berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami,
kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk
bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang
akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam!” Sian Eng meloncat bangun
dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh
besarnya walau pun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada
artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini.
Suling Emas
tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api
unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang
kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.
“Hemmm,
kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa
mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak
kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?”
Sian Eng
ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur,
“Tapi... tapi... sebelum meninggal, Ibu bilang... tentang pembunuh itu...
menyebut-nyebut tentang suling....”
“Jangan
bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapa pun
dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal
perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat harus berani
bertanggung jawab.”
Biar pun
Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api, namun terasa oleh Sian Eng
bahwa ucapannya itu ke luar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu
duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.
“Kalau bukan
engkau, siapa...?” pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari,
seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.
“Bukan aku!”
jawab Suling Emas pasti. “Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng
percaya. Andai kata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu
menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat
apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan
Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali
membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas dari pada bahaya maut di
tangan orang-orang Khitan. Ketiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia
bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan dari pada bahaya maut di
tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua
mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal
yang amat membingungkan?
“Ah, kalau
begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau
begitu benar dugaan Lin-moi....”
“Lin-moi?
Siapa?”
“Adikku...”
“Ahhh,
begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu.”
Sian Eng
berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang
sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari
tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.
“Kami adalah
keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah
kami....”
“Jenderal
Kam.”
Sian Eng
terkejut dan kembali ia menjadi curiga. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Masih tetap
merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh. “Banyak tokoh
kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah.”
Sian Eng
melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan
terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan
mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang
harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya,
memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama
itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh
kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng
meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang
pohon atau kepada sebuah patung!
“Begitulah,
kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja
untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi,
belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat,
kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka.”
Dengan
ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung
keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin,
yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan
ditangkap oleh Suma Boan.
“Tak tahu
aku bagaimana akan nasib Sin-ko.” Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh
kegelisahan.
“Tak perlu
gelisah. Dia selamat.”
“Bagaimana
kau tahu?” Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main.
Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera
pangeran yang jahat dan lihai itu. “Ah, tentu kau telah menolongnya pula,
bukan?”
Suling Emas
menunduk, lalu berkata perlahan, “Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia
diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati
begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas dari bahaya. Kalian bertiga
sungguh tak tahu diri....”
Sian Eng
mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah
menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali.
Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah,
bahkan menghina.
“Kau sudah
menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau
melakukan semua ini? Mengapa kau menolong kami? Apa pula maksud kata-katamu
tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?”
Suling Emas
bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia
membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya
seperti orang marah, “Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti
begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum
diketahui siapa! Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat
lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu
dengan orang yang membunuh ayah bundamu?”
Sian Eng
maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga
memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh
besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan
perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak
pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan
orang jahat. Betapa pun juga, ia tetap tidak menjadi jeri.
“Kalau
bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan
mengajaknya bertanding mati-matian!” Sian Eng menjawab dengan suara lantang.
Suling Emas
mendengus. “Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil...”
Sian Eng mau
marah, tapi tidak dapat. Betapa pun juga ia memang merasa seperti anak kecil di
depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.
“Memang aku
anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,” kata-kata ini untuk
melampiaskan kemendongkolan hatinya.
Suling Emas
menoleh, agak tersenyum. Dan aneh sekali, mendadak saja kemarahan Sian Eng
lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering
kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi!
“Dan kenapa
kau menolongku, menolong Sin-ko?”
“Siapa
menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban
sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang
paling kecil itu hilang. Kau bilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan
bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin.
Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan),
apakah tidak celaka sekali?”
Sian Eng
memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh,
tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali,
membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau
akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai
sekali bicara, pandai berdebat dan andai kata di situ ada Lin Lin, agaknya
keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap
gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
“Tak perlu
kau marah-marah kepadaku,” akhirnya ia berkata. “Kau mau menolong atau tidak,
terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa
adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song,
terserah.”
Suling Emas
kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan
tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah
patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api,
ia berkata. “Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah
aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha
mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku
dia sudah mampus!”
Kaget sekali
hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apa lagi Suling Emas kelihatannya
tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song. “Bagaimana kau bisa tahu?
Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka
bercerita kepadaku.”
Suling Emas
menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol
itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau
memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi.
Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?”
Sian Eng
tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu
telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak.
Suling Emas
membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
“Sudahlah, ditangisi air mata darah sekali pun tiada gunanya. Lebih baik kau
memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan
tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan
aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu
dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu
yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke
Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah.” Setelah berkata
demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api
unggun.
Sian Eng
maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan
tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi
kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah
herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit
duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat
api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu
sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu perlahan
untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang
menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus
membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang
sepotong besar daging.
“Daging
hangus...!” Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di
bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya.
Suara
senandung menghilang. “Wah, aku lupa...! Rusakkah dagingnya?” Suling Emas sudah
mendekat.
“Tidak,
hanya hangus sedikit. Pakaian itu... punya siapa?”
“Kau
pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana.”
Setelah
berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan
melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian
Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini
disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan
seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya.
Tak mungkin!
Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh.
Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang
sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah
bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia
menghampiri daging panggang yang sudah masak.
“Dagingnya
sudah matang!” ia berteriak pada punggung yang lebar itu.
Suling Emas
membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah
berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut
Suling Emas kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
“Ini
jubahmu, terima kasih,” Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas
menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
“Kita
sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,” katanya singkat. Sian Eng
hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang
menjadi bekal Suling Emas.
Setelah
selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius, “Jangan menyangka yang
bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat
dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat
bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan!”
Kalau saja
kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan
itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia
berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin
segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan
ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu
melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang.
Sian Eng
terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas
tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan... hampir saja dia
beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya! Kiranya Suling Emas sudah
duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan.
Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu
bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi.
Cepat Sian
Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum
akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biar pun ia
duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas
benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang.
Memang benar
ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan
andai kata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan,
juga lambat. Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya
berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan
perjalanan.
Makin lama,
Sian Eng makin percaya kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa
aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini
sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling
Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan
pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng
karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang
mengagumkan hatinya ini.
Ketika
memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka
dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi
sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak
menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai sapu tangan untuk
menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap
beberapa orang di pinggir jalan berbisik, “Dia... Suling Emas...”
Suling Emas
menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian
Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio (pendeta
Buddha) yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.
“Harap para
Lo-suhu (Bapak Pendeta) sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan
membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja.”
“Omitohud...
tentu saja, Taihiap (Pendekar Besar)! Silakan masuk, Nona, dan... anggaplah di
sini sebagai tempat tinggalmu sendiri,” kata hwesio tua itu dengan ramah tamah.
“Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?”
Suling Emas
menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Lo-suhu. Saya masih mempunyai banyak
urusan.” Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata. “Di kelenteng ini, kau
berada di tempat yang aman. Dengan bantuan para Lo-suhu di sini, kalau
saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau
kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik
bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah.” Suling Emas
memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya
yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian Eng
berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan?
Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah
membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga
keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu
yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak
pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu
tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala,
hwesio yang gendut peramah itu.
“Lo-suhu,
dia itu... Suling Emas itu... orang macam apakah dia?” pertanyaan yang aneh ini
keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya.
Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu
akan memalukan sekali.
Hwesio itu
hanya tertawa, kemudian menjawab, “Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan
seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng (aku) sendiri! Tapi,
siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini, dia itu seorang
pendekar besar yang berwatak aneh. Kalau sedang menolong orang, dia bijaksana
seperti dewa, kalau menghadapi lawan, dia ganas seperti iblis. Itulah Suling
Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi
kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu
berpihak kepada yang benar biar pun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti.
Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk,
Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita
bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau
betul dia itu berada di dalam kota raja.”
Lega hati
Sian Eng, sungguh pun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya
makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para
hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak
ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang
berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan
memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera
memberi tahu kepadanya.
Para hwesio
itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa
semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu
Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya! Makin kagumlah hatinya terhadap
orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini
demikian tunduk dan setia. Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu,
juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada
Suling Emas.
********************
Di bagian
depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan
penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena
ia memang amat ingin bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh
dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara
Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di
gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua.
Mereka telah
berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota
raja dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan
seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan
tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.
Memang Lin
Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia
pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong.
Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam.
Ada pun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang
pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh,
berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya
rusak, kacau-balau oleh juwita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempeleng
jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin.
Malam
terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik
jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut
(berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri
menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia
menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan
bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.
Biar pun
Suma Boan atau Suma-kongcu sendiri tidak mengejar karena ia maklum bahwa
menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan
menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi
di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk
menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan
pengemis yang kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur
rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis
lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa
teman-temannya melakukan pengejaran.
Yang pertama
adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang).
Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya
sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja. Selain lihai sekali
ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut
bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi
racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yang menjalar ke seluruh tubuh
dan berakhir dengan kematian yang mengerikan.
Hui-houw-pangcu
pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu
Hui-houw-tin (Barisan Macan Terbang). Barisan ini terdiri dari tiga belas
orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk
membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini.
Biar pun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia
yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka
seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Lewat tengah
malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan
mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah
ini tahu, bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak
terpakai lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat
mengaso di tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong
segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih
setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.
“Kau mengaso
dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini.”
“Mana bisa
aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak
sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau
kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur.”
Bok Liong
tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini memiliki watak yang
demikian baik. Memang, kalau orang sedang bercinta, segala yang dilakukan orang
yang dicintanya selalu baik, setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa
kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau
tidur.
“Baiklah,
aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun
melanjutkan perjalanan ke kota raja.”
“Nah, begitu
baru adil namanya,” kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang
dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun
yang menyilaukan mata, berbantal tangan. Melihat ini Bok Liong lalu melempar bungkusan
pakaiannya.
“Nih,
pakailah untuk bantal, lumayan.”
Lin Lin
tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu meramkan matanya. Bok
Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di
tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena
ada beberapa macam ular yang tidak takut akan api. Juga kalau api unggun padam
tidak ada yang tahu. Ia tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin
Lin agar nona itu mau tidur. Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan
leluasa ia dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh,
mata dan bibirnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah
yang menjauhkannya dari pada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata
sedang mengintai dari tempat gelap!
Tiba-tiba,
selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih
berkelebatan menyambar. Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan
sudah banyak makan asam garamnya pengalaman di dunia kang-ouw, terkejut bukan
main. Bukan sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan,
melainkan sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas!
Tanpa
berpikir panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu dari pada
bahaya maut, ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua
lengan bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa
batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan
menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi
dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal
lengannya sebelah kiri.
“Twako...
ada apa...?” Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi
mendahului Bok Liong.
Sebagai
seorang ahil silat tinggi, begitu sadar dari pada tidurnya Lin Lin sudah berada
dalam keadaan siap siaga dan sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang
ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedangnya
tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk pangkal
lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar pula.
Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh lawan dengan senjata rahasia, maka
cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan sinar kuning
pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran
itu.
“Jangan
gerak, cabut jarum gosokkan ini!” tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya
gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil
melayang jatuh dekat Bok Liong. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan
kecil.
Bok Liong
tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biar pun
ia tahu bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak
kuat menahan. Mendengar suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat
datangnya bungkusan. Apa lagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis
ini sekarang berdiri melindunginya.
Cepat ia
merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang
masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua
ke dalam daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning.
Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada kedua
luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat! Seketika lenyap rasa gatal-gatal.
Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat berdiri di
samping Lin Lin dan berseru.
“Penjahat
berhati binatang berwatak pengecut! Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan
mari kita bertempur secara orang gagah!”
Terdengar
suara ketawa mengejek. “Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik,
pemuda sombong!”
Bok Liong
dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah
tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan
betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang
dengan jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya?
Jarum-jarum
itu demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar
api unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi
dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja,
melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka
bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin
di gedung Suma-kongcu.
“Hemmm,
kiranya kalian adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan
mengaku kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian
untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani,
lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan
Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah.”
Diam-diam
Bok Liong dan Lin Lin terkejut dan heran sekali. Bagaimana pengemis tua ini
bicara begitu aneh, menyatakan kagum dan mengaku kalah dalam ilmu senjata
rahasia? Padahal mereka itu sama sekali tidak melepaskan senjata, juga dalam
menghadapi penyerangan jarum-jarum tadi, biar pun Bok Liong berhasil menyampok
runtuh dan Lin Lin juga berhasil menggunakan pedang menggagalkan penyerangan
kedua, namun Bok Liong telah terluka. Hal ini tentu saja sama sekali tak boleh
dianggap bahwa mereka berdua telah menang bertanding senjata rahasia!
Tentu saja
kedua orang ini tidak tahu bahwa di dalam gelap tadi, setelah Lin Lin memutar
pedang menyampok runtuh jarum-jarum itu, masih beterbangan lagi jarum-jarum
bertubi-tubi dan susul-menyusul dengan cara berpindah-pindah dari pelbagai
jurusan, sering kali dari arah belakang kedua orang muda itu. Ini adalah akal
Hui-houw-pangcu yang menyerang mereka dari tempat gelap secara
berpindah-pindah. Akan tetapi semua jarum-jarum yang menyambar dari tempat
tersembunyi itu runtuh semua bertemu dengan benda-benda kecil yang
melayang-layang dari segala jurusan dan ternyata bahwa yang meruntuhkan
jarum-jarum itu adalah daun-daunan, bunga dan buah-buahan kecil yang secara
aneh datang dari jurusan yang berlawanan sehingga Hui-houw-pangcu tentu saja
mengira bahwa benda-benda itu dilepas oleh dua orang muda yang diserangnya!
Akan tetapi,
sudah tentu Bok Liong dan Lin Lin tidak mau menyatakan keheranan ini. Dengan
marah mereka lalu melangkah maju menghadapi barisan yang sudah tersusun di
depan kuil kuno yang ruangan depannya terbuka itu.
Tiga belas
orang pengemis dengan tongkat-tongkat baja di tangan telah memasang Barisan
Harimau Terbang. Tiga orang sebagai kepala, masing-masing dua orang sebagai
sayap kanan kiri, empat orang sebagai empat buah kaki dan dua orang sebagai
ekor.
Bok Liong
dan Lin Lin yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tidak merasa gentar.
“Saling membelakangi menghadapi mereka, mencegah penyerangan gelap dari
belakang,” bisik Bok Liong. Lin Lin kagum dan segera menurut nasihat ini karena
memang itulah cara terbaik bagi mereka sehingga dalam pengeroyokan mereka dapat
mengerahkan seluruh perhatian ke depan tanpa takut penyergapan gelap.
Akan tetapi
dugaan ini keliru dan terpaksa rencana Bok Liong ini tak mungkin dipertahankan.
Kiranya tiga belas orang itu sama sekali tidak mengurung mereka sebagaimana
biasanya barisan kalau mengepung lawan yang sedikit jumlahnya. Mereka itu
langsung menerjang dari depan dengan teratur seperti gerakan seekor harimau
terbang, sehingga ketika mereka menerjang maju hanya Lin Lin yang dihujani
serangan sedangkan Bok Liong tidak menghadapi seorang pun lawan.
Lin Lin
tidak gentar dan cepat memutar Pedang Besi Kuning di tangannya, akan tetapi ia
kaget sekali karena senjata tongkat lawan yang terbuat dari baja tulen itu
datangnya susul-menyusul dengan teratur, sehingga ia sama sekali tidak sempat
melakukan serangan balasan karena repot melayani datangnya bayangan tongkat
yang seperti hujan menimpanya dari atas, kanan, kiri dan bawah!
Melihat cara
penyerangan mereka ini, tentu saja Bok Liong khawatir kalau-kalau Lin Lin
celaka di tangan barisan aneh itu. Apa lagi hatinya amat tidak enak kalau
barisan itu hanya menerjang Lin Lin dan membiarkan ia menganggur menjadi
penjaga punggung Lin Lin belaka. Ia berseru keras dan membalik lalu menerjang,
membantu Lin Lin. Akan tetapi ia masih tetap waspada, menjaga agar mereka
jangan terlena dan tertipu.
Memang Bok
Liong sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran. Ia cukup maklum akan
kelihaian pedang Lin Lin, juga ia mengerti bahwa gadis ini kalau marah kepada
lawan bisa menjadi ganas sekali. Secara langsung mereka berdua tidak mempunyai
permusuhan pribadi dengan para pengemis, maka ia pun menganggap tiada perlunya
menurunkan tangan besi kepada mereka.
“Lin-moi,
kau menahan serangan mereka, biarkan aku yang membalas!”
“Baik!”
jawab Lin Lin, kembali kagum karena maklum bahwa hanya cara itulah yang
memungkinkan mereka dapat balas menyerang, yaitu yang seorang bertahan, yang
seorang pula menyerang.
Segera ia
memutar pedangnya menjadi segulung sinar kuning yang berkilauan membungkus
dirinya. Di lain pihak Bok Liong melompat ke belakang Lin Lin, membiarkan semua
tongkat menyerang gadis itu, kemudian dari samping ia menerjang. Hasilnya baik
sekali, terdengar teriakan kesakitan dan seorang di antara tiga orang yang
merupakan bagian kepala, roboh terguling terluka pahanya oleh ujung pedang Bok
Liong.
Akan tetapi
tiba-tiba pada saat itu sinar putih bersambaran dari belakang. Inilah yang
dikhawatirkan Bok Liong. Baiknya pemuda ini sudah waspada sejak tadi. Melihat
sinar putih menyambar, cepat ia memutar pedang sambil melompat ke belakang Lin
Lin dan runtuhlah semua jarum tersampok sinar pedangnya. Hati Bok Liong menjadi
khawatir juga.
Berabe juga
kalau begini caranya mereka melakukan pengeroyokan. Ia melirik dan melihat
betapa pertahanan Lin Lin amat kuat dan kokoh seperti benteng baja. Biar pun
gadis itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerang, namun dengan
pertahanan macam itu, biar ada dua barisan Hui-houw-tin, kiranya belum tentu
akan dapat membobol pertahanannya dalam waktu satu dua jam!
“Lin-moi,
tahan terus, aku menangkap kepalanya!” bisiknya kembali.
Lin Lin
sudah percaya betul akan kecerdikan kawannya. “Baik,” jawabnya tanpa ragu-ragu
lagi.
Bok Liong
melompat dengan tiba-tiba, gerakannya cepat sekali. Dengan hanya beberapa
lompatan ia sudah tiba di balik gerombolan pohon dari mana jarum-jarum itu tadi
menyambar. Dan... apa yang dilihatnya? Ia berdiri bengong memandang
Hui-houw-pangcu yang roboh terlentang dengan tubuh kaku, kedua tangan masih
menggenggam jarum-jarum beracun! Ternyata pengemis tua ini telah ditotok jalan
darahnya yang membuat tubuhnya kaku tak dapat bergerak untuk beberapa jam
lamanya. Siapa yang melakukan hal ini? Tak salah lagi, pikir Bok Liong, tentu
dia yang tadi telah menolongnya dengan pemberian obat pemunah racun!
Akan tetapi
ia tidak ada waktu untuk mengherankan soal ini karena di sana Lin Lin masih
menghadapi pengeroyokan barisan Hui-houw-tin yang biar pun sudah roboh seorang,
masih amat kuat dan cukup berbahaya. Hatinya lega karena dengan robohnya ketua
Hui-houw-pang yang suka main jarum beracun ini, ia tidak khawatir lagi akan
serangan gelap dari belakang. Cepat ia membalikkan tubuh dan melompat ke tempat
pertempuran, serta merta menerjang dari samping. Karena kegembiraan dan
kelegaan hati melihat penyerang gelap itu tak berdaya lagi, pemuda ini
menyerang penuh semangat dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok!
Akan tetapi,
biar pun berkurang tiga orang, ternyata barisan Hui-houw-tin ini malah mengamuk
lebih hebat. Inilah keistimewaan Hui-houw-tin, seperti seekor harimau kalau
terluka akan lebih hebat sepak terjangnya. Hal ini adalah karena kalau barisan
itu masih lengkap tiga belas orang, ruang gerak penyerangan mereka amat sempit
dan terbatas. Makin berkurang jumlahnya, makin leluasa mereka bergerak sehingga
tampaknya makin buas. Namun malang bagi mereka, kini yang mereka keroyok adalah
murid-murid orang sakti yang telah mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi,
jauh melebihi tingkat mereka.
Setelah kini
merasa yakin bahwa dari belakang takkan ada yang menyerang dengan senjata
rahasia, dengan enaknya Bok Liong membabati lawan seorang demi seorang secara
cepat sehingga tak sampai seperempat jam, para pengeroyok itu tinggal empat
orang lagi yang cepat melempar tongkat dan berlutut mohon diampuni! Lin Lin
gemas sekali, lengannya bergerak hendak membabat dengan pedangnya, akan tetapi
lengannya disentuh Bok Liong.
“Sudahlah,
Lin-moi. Mereka hanya menjalankan perintah. Kita tidak mempunyai permusuhan
pribadi dengan mereka. Mari kita pergi!”
Pengalaman
dalam pertempuran ini membuka mata Lin Lin bahwa kawannya adalah seorang pemuda
yang selain lihai ilmu silatnya, juga cerdik dan berpengalaman. Kalau saja ia
tadi seorang diri menghadapi para pengemis ini, agaknya ia akan terancam bahaya
hebat. Mengingat ini, biar pun hatinya tidak puas karena tidak boleh membunuh
para pengeroyoknya, namun ia tidak membantah dan bersama Bok Liong mereka
melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bulan purnama sudah
condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih menerangi jagat. Peristiwa tadi
mengusir kantuk dan mereka berjalan terus memasuki hutan.
Malam telah
menjelang fajar ketika bulan yang sudah turun itu tertutup puncak gunung dan
sinarnya menjadi suram. Keadaan yang gelap ditambah hawa yang amat dingin
memaksa dua orang muda itu kembali berhenti di dalam hutan, memilih tempat
terbuka di antara pohon-pohon besar dan mereka berjongkok menghadapi api unggun
yang mendatangkan hawa hangat nyaman.
“Liok-twako,
kau tadi meninggalkan aku untuk menangkap Hui-houw-pangcu, bagaimana hasilnya?
Belum kau ceritakan padaku.”
Bok Liong
menarik napas panjang. Tadi ia memang sengaja tidak bercerita, karena khawatir
kalau-kalau gadis yang aneh ini bersikeras hendak mencari penolong itu. Seorang
penolong yang tidak mau memperlihatkan diri tak perlu dipaksa muncul, dan
biasanya hanya orang-orang sakti yang bersikap seperti itu.
“Lin-moi,
dalam pertempuran tadi, kita berdua hanya dapat keluar dengan selamat berkat
pertolongan seorang sakti.”
Lin Lin
mengangguk-angguk. “Sudah kuduga, malah tadinya kusangka gurumu yang melempar
obat kepadamu, Twako.”
“Bukan Suhu,
melainkan orang lain, entah siapa. Obat pemunah racunnya amat manjur, dan ilmu
kepandaiannya hebat sekali.”
“Bagaimana
kau bisa tahu, Twako?”
“Tak ingatkah
kau akan ucapan Hui-houw-pangcu yang mengaku kalah bertanding senjata rahasia
dengan kita? Padahal kita sama sekali tidak pernah melepaskan senjata rahasia.
Bagaimana dia bisa mengaku kalah bertanding am-gi (senjata gelap)? Tidak bisa
lain, tentu penolong kita yang telah menundukkanya, mungkin dengan cara
menggempur jarum-jarumnya dengan am-gi lain yang amat lihai. Dan tahukah kau
apa yang terjadi ketika aku meninggalkanmu untuk menghajar ketua Hui-houw-pang
yang curang itu? Ia telah roboh kaku, siapa lagi kalau bukan penolong kita yang
menotoknya. Di kedua tangannya masih penuh jarum-jarum beracun yang belum
sempat ia sambitkan kepada kita.”
Benar saja,
Lin Lin amat tertarik hatinya. “Siapakah dia Twako? Ah, setelah ia menolong
kita, kenapa tadi kau diam saja? Mengapa tidak memanggil-manggil supaya dia
muncul? Aku ingin sekali berkenalan dengan dia, Twako, ingin...”
“Ingin apa?”
Bok Liong sendiri terheran mendengar suaranya yang berbeda dari biasa, dan
lebih heran lagi merasa betapa dadanya sesak dan perasaannya tidak senang.
Cemburu! Tapi ia tidak sadar akan hal ini.
“Ingin
mengajak ia bertanding, menguji kepandaiannya!”
Jawaban ini
membuat Bok Liong melengak heran, akhirnya ia tertawa. Gadis pujaan hatinya ini
benar-benar aneh, lucu, manis dan hebat!
“Lin-moi,
kalau seorang sakti tidak menghendaki dilihat orang, jangan harap akan dapat
bertemu dengannya. Terang bahwa dia membantu kita dengan sembunyi, itu hanya
berarti bahwa dia tidak mau kita melihatnya, maka jalan terbaik hanya
membiarkan dia melanjutkan sikap itu. Memaksa dia muncul sama dengan menentang
kehendaknya dan ini bukanlah pernyataan terima kasih yang baik.”
Lin Lin
tidak suka akan keangkuhan. “Huh, siapa memaksa dia menolong kita? Aku sendiri
sih tidak butuh akan pertolongannya. Kalau memang dia merasa diri begitu tinggi
dan begitu mulia sehingga menganggap tidak berharga mengadakan pertemuan dengan
kita, mengapa dia menolong kita tanpa kita minta? Uh, aku belum percaya apakah
benar-benar dia itu seorang sakti, lebih tidak percaya lagi apakah dia
bermaksud baik dengan pertolongannya itu.”
“Ssstttt...
Lin-moi, kenapa kau bilang begitu...?”
Lin Lin
melompat berdiri. “Biar ! Aku tetap tidak percaya bahwa dia bermaksud baik. Kau
boleh takut kepadanya, Liong-twako, akan tetapi aku tidak takut. Kalau dia
betul orang baik-baik, kenapa main rahasia-rahasiaan ? Siapa sudi main
kucing-kucingan dengan orang yang tidak kita kenal ? Orang begitu hanya menonjolkan keangkuhan dan
kesombongannya, merasa lebih tinggi dari pada orang lain!”...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment