Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 06
Suling Emas
tampak terkejut sekali, akan tetapi ia segera mengangkat telunjuknya ke atas
dan berkata ketus, “Anak nakal, sekali ini aku takkan menyanggupi apa-apa lagi.
Kau minta aku memegang teguh kata-kata yang sudah keluar, akan tetapi kau
sendiri mengapa hendak melanggar omongan sendiri?”
“Aku?
Melanggar omonganku sendiri? Mana bisa...?”
“Kau tadi
bilang hendak mengajukan tiga macam permintaan. Pertama, aku tidak boleh
bercerita kepada orang lain bahwa aku sudah memeluk dan menciummu. Kedua, aku
akan membantumu mencari kakakmu dan musuh besarmu. Ketiga, aku akan membawamu
serta ke Nan-cao. Nah, sudah cukup tiga, bukan? Tak boleh diberi embel-embel
lagi!”
Lin Lin
menyesal bukan main. “Wah, aku salah. Kalau begitu boleh ditukar. Permintaan
pertama itu kutukar dengan permintaan ini dan....”
“Cukup! Aku
tidak mau bicara lagi. Sekarang kau kembali ke kuil dan besok aku akan
menjemputmu, kita bersama berangkat ke Nan-cao!” Setelah berkata demikian,
kedua tangannya bergerak dan... tiba-tiba semua lampu penerangan di dalam
ruangan itu padam.
“Ikuti aku
keluar...” Bayangan hitam itu berkata perlahan.
Lin Lin
terpaksa mengikuti dan ternyata mereka keluar dari pintu samping yang ditutup
kembali oleh Suling Emas dari luar. Orang aneh itu sekali bergerak sudah
melompat tinggi dan ternyata ia menyambar benderanya di atas genteng, lalu
melayang turun lagi. Gerakannya demikian ringan dan cepat laksana seekor burung
garuda terbang melayang saja, membuat Lin Lin kagum bukan main. Suling Emas
bergerak lagi dan Lin Lin mengikuti terus.
Dapat
dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Lin Lin ketika Suling Emas membawanya
keluar dari lingkungan istana itu dengan enak saja, berjalan melalui jalan di
antara gedung-gedung besar, kemudian menerobos ke luar dari pintu gerbang. Para
penjaga yang berada di situ, terang melihat mereka berdua, akan tetapi
jangankan mengganggu, berkata sepatah pun tidak seakan-akan Suling Emas dan Lin
Lin merupakan dua sosok bayangan yang tidak tampak oleh mereka!
Setibanya di
luar, Suling Emas berkata, “Nah, selamat malam. Besok kujemput di kuil,” Begitu
habis kata-katanya orangnya pun lenyap!
Bukan main,
pikir Lin Lin. Lebih hebat lagi, ia sudah berhasil ‘menundukkan’ orang luar
biasa macam itu! Mulai besok, dia akan melakukan perjalanan jauh bersama Suling
Emas! Lin Lin berjingkrak-jingkrak dan berlari-lari cepat sekali. Ingin ia
lekas-lekas sampai di kuil untuk menceritakan hal yang amat membanggakan
hatinya itu kepada encinya. Betapa akan terlongong heran enci Sian Eng, bisik
debar jantung Lin Lin.
Akan tetapi
alangkah heran dan kemudian bingung hatinya ketika ia tiba di kuil, Sian Eng
ternyata tidak berada di situ. Para hwesio yang ditanyainya menerangkan bahwa
enci-nya itu pergi meninggalkan kuil tidak lama setelah Lin Lin pergi petang
tadi.
“Pinceng
semua tidak tahu ke mana perginya, dia tidak meninggalkan pesan dan pinceng
(saya) tidak berani bertanya.” Memang para hwesio di kuil itu amat menghormati
Sian Eng dan hal ini adalah karena yang membawa datang gadis itu adalah Suling
Emas.
Tergesa-gesa
Lin Lin memasuki kamar di sebelah belakang kuil itu. Kamar itu kosong dan
hatinya tidak enak sekali rasanya ketika melihat bahwa bukan hanya Sian Eng
yang lenyap dari kamar itu, melainkan bungkusan pakaian encinya, juga
pedangnya, turut lenyap. Hal ini hanya berarti bahwa enci-nya memang sengaja
pergi dari situ. Bukan pergi dekat-dekatan saja, melainkan pergi melakukan
perjalanan jauh, karena kalau tidak demikian, apa perlunya membawa-bawa bekal
pakaian? Akan tetapi, kalau benar demikian, mana bisa jadi? Masa enci-nya pergi
jauh tanpa memberi tahu kepadanya? Hanya satu hal yang melegakan hatinya.
Agaknya enci-nya itu tidak diculik orang atau dibawa pergi orang dengan
kekerasan, karena kalau demikian hainya, tentu enci-nya tidak membawa serta
pakaiannya.
Semalaman
Lin Lin tak dapat tidur. Baru saja bertemu dengan enci-nya, sekarang ia ditinggal
pergi lagi dengan aneh. Sekali lagi ia berpisah dari Bu Sin dan Sian Eng, tanpa
mengetahui di mana adanya mereka berdua. Diam-diam Lin Lin mendongkol sekali.
Mengapa Sian Eng meninggalkannya begitu saja? Ada rahasia apakah di balik
perbuatan yang amat ganjil ini? Hatinya baru tenteram dan kebingungannya
berkurang banyak kalau ia teringat akan Suling Emas.
Orang itu
hebat, kepandaiannya seperti setan. Sekarang ia sudah dapat ‘bersahabat’ dengan
Suling Emas, tentang lenyapnya Sian Eng, apa sih sukarnya bagi Suling Emas?
Besok aku akan minta dia mencari Sian Eng lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi
segera ia teringat betapa aneh dan sukar watak Suling Emas. Belum tentu ia mau
menuruti permintaannya, buktinya, ditanya nama sesungguhnya saja tidak mau
memberi tahu. Lin Lin bersungut-sungut dan duduk termenung di dalam kamarnya
tak dapat tidur.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang hwesio pelayan memberi tahu bahwa
ada seorang tamu mencarinya. Lin Lin meloncat dari pembaringan, langsung keluar
dari dalam kamar. Dengan rambut kusut dan wajah gelisah ia berlari ke luar
untuk menyambut Suling Emas dan cepat bercerita tentang lenyapnya Sian Eng.
Akan tetapi wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa laki-laki yang duduk di
ruangan depan itu sama sekali bukan Suling Emas yang diharap-harap
kedatangannya, melainkan Lie Bok Liong! Akan tetapi, hanya sebentar saja rasa
kecewa ini menekan hatinya, karena ia segera meraih harapan bahwa sahabat ini
berhasil mendapat tahu tentang di mana adanya Bu Sin kakaknya.
“Liong-twako,
bagaimana dengan Sin-ko? Sudah tahukah kau di mana adanya Sin-ko?”
Sejenak Bok
Liong menatap wajah dengan rambut kusut itu dengan hati berguncang. Selama dua
hari berpisah dari Lin Lin, makin terasalah ia betapa ia tak mungkin dapat
terpisah dari gadis ini. Yang dua hari itu ia merasakan siksaan batin yang
kosong dan sunyi, akibat dari pada kebahagiaan yang selama ini ia rasai di
dekat Lin Lin telah direnggutkan dari padanya. Betapa rindunya kepada dara itu,
akan tetapi ia menguatkan hati dan dengan tekun ia mencari keterangan tentang
diri kakak nona itu sampai ke luar kota raja.
***************
Harus diakui
bahwa pemuda ini mempunyai hubungan yang amat luas dan di sekitar kota raja,
boleh dibilang di setiap dusun dan kota ia tentu mengenal seorang tokoh. Inilah
sebabnya mengapa dalam waktu dua hari saja ia telah berhasil dalam
penyelidikannya dan dengan hati girang pagi-pagi itu ia menuju ke kuil. Selama
dua hari ini ia tidak pernah beristirahat dan dalam hal wajah dan rambut kusut
agaknya ia tidak usah kalah oleh Lin Lin! Mendengar pertanyaan membanjir keluar
dari mulut dara pujaan hatinya itu, ia tersenyum girang. Namun hanya sebentar
saja ia tersenyum karena ia segera teringat bahwa biar pun ia sudah berhasil
mendapatkan berita tentang Bu Sin, namun bukanlah berita baik yang dapat
disampaikan kepada Lin Lin dengan senyum gembira!
“Lin-moi,
aku sudah berhasil mendengar berita tentang kakakmu itu, akan tetapi sebelumnya
kuharap kau akan tenang dan percayalah kepadaku bahwa aku selalu akan
membantumu mencari dan menyusul kakakmu, biar pun untuk itu aku harus
menyeberangi samudera api....”
“Aku tahu
kau akan membantuku, tapi bukan itu yang ingin kudengar. Lekas katakan,
bagaimana dengan Sin-ko?” Lin Lin memotong, habis sabar.
Dengan muka
duka Bok Liong berkata. “Menurut kabar yang kudapat, agaknya kakakmu itu
terjatuh ke dalam tangan Siang-mou Sin-ni, si Iblis Betina yang amat lihai.
Tapi percayalah, kakakmu tidak dibunuh. Aku sudah cukup mengenal watak iblis
betina itu. Dia sedang meyakinkan sebuah ilmu hitam yang amat ganas dan
syaratnya adalah menghisap darah jejaka hidup-hidup. Banyak sudah yang menjadi
korbannya dan aku yakin bahwa kakakmu tidak menjadi korbannya karena biasanya
ia meninggalkan mayat laki-laki yang dihisapnya sampai mati. Kakakmu lenyap dan
jejaknya menyatakan bahwa dia dijadikan tawanan Siangmou Sin-ni. Menurut keterangan
yang kukumpulkan, aku tahu bahwa iblis itu pergi ke Nan-cao untuk menghadiri
perayaan Agama Beng-kauw. Maka, tenanglah dan mari kau ikut denganku ke
Nan-cao, kita kejar siluman itu dan dengan tenaga kita berdua, kiraku kita akan
dapat merampas kembali kakakmu.”
Mendengar
cerita Bok Liong, Lin Lin terkejut sekali. Akan tetapi otaknya bekerja dan ia
segera menjawab, “Liong-twako, kau benar-benar baik sekali. Terima kasih atas
pertolonganmu. Karena sudah jelas bahwa Sin-ko ditawan Siangmou Sin-ni dan
dibawa ke Nan-cao, biarlah aku sendiri yang akan mengejar iblis itu dan
merampas Sin-ko.”
“Wah, kau
tidak tahu! Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai,
seorang di antara Enam Iblis yang kepandaiannya luar biasa sekali, tidak di sebelah
bawah tingkat It-gan Kai-ong!”
“Apakah
lebih sakti dari pada Suling Emas?” tanya Lin Lin dengan sikap dingin,
seakan-akan ucapan Bok Liong tadi ‘bukan apa-apa’ baginya.
“Kalau
dengan dia... ah... sukar dikatakan...”
“Nah,
menghadapi Suling Emas saja aku tidak takut. Apa lagi segala macam manusia
iblis seperti Siang-mou Sin-ni? Liong-twako, harap kau jangan banyak membantah.
Bukankah kau sudah bilang bahwa kau suka sekali membantu dan menolongku?”
“Tentu saja!
Karena itulah aku akan mengantarmu mengejarnya.”
“Tidak,
Twako. Kau tidak tahu. Kita membagi tugas sekarang. Ketahuilah bahwa Enci Sian
Eng juga lenyap! Baru malam tadi ia lenyap.”
“Apa...?!”
Bok Liong berseru kaget dan memandang dengan mata terbelalak, lalu
menggaruk-garuk belakang telinga yang tidak gatal. Benar-benar tiga saudara ini
orang-orang yang aneh sekali, selalu lenyap seperti barang kecil berharga saja.
Apakah mereka itu tidak mampu menjaga diri sendiri sehingga mudah hilang?
“Karena
itulah, Twako. Aku minta bantuanmu sekarang, kuminta sungguh-sungguh agar
supaya kau suka mencari jejak Enci Sian Eng. Kalau kau sudah dapat menemukannya
dan dia dalam keadaan selamat, barulah kau boleh menyusulku. Aku akan mengejar
jejak Sin-ko yang diculik iblis betina itu.”
Sebenarnya
Bok Liong kecewa sekali, akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menolak, apa
lagi dara pujaan hatinya itu mengajukan permintaan dengan suara penuh
permohonan dan sinar mata mengharap. “Baiklah, aku akan cepat mencari dan
menemukannya, kemudian aku akan menyusulmu ke Nan-cao. Kuharap saja kau tidak
akan berjumpa dengan Siang-mou Sin-ni sebelum aku berada di dekatmu untuk
membantu.”
Bok Liong
berpamit dan keluar dari situ, akan tetapi sampai di pintu ia menengok dan
suaranya menggetar ketika ia berkata, “Lin-moi, kau melakukan perjalanan
seorang diri mengejar orang sejahat iblis, kau berhati-hatilah, jaga dirimu
baik-baik.”
Lin Lin
tersenyum. Ia menganggap pemuda ini baik sekali kepadanya, seperti kakak
sendiri. Tentu saja ia tidak dapat menduga bahwa suara tadi keluar dari lubuk
hati dan mengandung rasa kasih yang besar dan mendalam.
“Oya, Twako,
kau lupa. Kalau kau bertemu dengan Enci Sian Eng, kau harus ajak dia sekalian
menyusulku. Sekali lagi terima kasih, Liong-twako. Kau seorang yang amat baik
dan aku takkan melupakan budimu.”
Tentu saja
hati Bok Liong menjadi girang bukan main. Dara pujaannya itu takkan melupakan
budinya! Bukankah ini merupakan sebuah janji tersembunyi! Sama sekali pemuda
yang jujur ini tidak tahu bahwa di dalam hati Lin Lin, gadis ini mengharapkan
terangkapnya hati encinya dengan pemuda yang amat baik dan gagah ini!
Baru saja
Bok Liong pergi, terdengar suara, “Dia telah bersikap baik sekali, tapi yang
dibaiki tidak tahu diri!”
Lin Lin
cepat menengok dan... Suling Emas telah berdiri di situ. Seketika kegelisahan
yang membayangi wajah cantik itu lenyap terganti cahaya berseri pada matanya
dan warna merah pada kedua pipinya.
“Apa kau
bilang? Liong-twako memang baik sekali orangnya dan siapa bilang aku tidak tahu
diri?”
Suling Emas
menarik napas panjang, menyembunyikan gelora dadanya yang aneh sekali baginya.
Mengapa melihat wajah gadis cilik ini di waktu pagi, mengingatkan ia akan
setangkai bunga mawar dalam hutan yang masih basah oleh embun pagi dan yang
selalu mendatangkan rasa aman tenteram di hatinya? Lalu katanya acuh tak acuh
agar gelora hatinya terselimut, “Dia cinta padamu dan menghendaki kau pergi
bersamanya. Ah, kau suka menyiksa hati orang....”
Sepasang
pipi itu menjadi makin merah dan jantung Lin Lin berdebar. Seperti dibuka kedua
matanya oleh ucapan Suling Emas ini. Lie Bok Liong mencintanya? Ucapan tentang
cinta ini membuat ia memandang Suling Emas lebih teliti lagi, karena perasaan
wanitanya membuka rahasia hatinya sendiri. Bok Liong boleh seribu kali
mencintanya, akan tetapi ia hanya dapat mencinta seorang saja, yaitu... Suling
Emas! Lin Lin terkejut dan sekuat tenaga batinnya menolak perasaan ini,
membantah, namun ia hanya berhasil melawannya pada lahirnya belaka, ada pun
hatinya makin erat terpikat dan terikat, makin hebat terlihat jaring cinta
kasih!
“Siapa
peduli tentang... cin... cinta? Bagaimana kau menuduh secara buta tuli bahwa aku
menyiksa hati orang? Hanya Liong-twako yang kupercaya penuh untuk mencari Enci
Sian Eng yang lenyap....”
“Lenyap...?”
Suling Emas memandang tajam.
“Hemmm, kau
tidak tahu. Enci Eng pergi tanpa pamit, entah ke mana. Pakaian dan pedangnya
dibawa, tentu pergi jauh. Aku minta tolong kepada Liongtwako untuk pergi
mencarinya karena aku sendiri hendak pergi mengejar jejak Bu Sin Koko yang
diculik oleh Siang-mou Sin-ni.”
“Apa...?”
Kali ini Suling Emas mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“Liong-twako
memang baik dan hebat!” Lin Lin sengaja memuji-muji di depan Suling Emas.
“Dalam dua hari saja ia berhasil mendapat keterangan bahwa Sin-ko telah dibawa
pergi oleh seorang iblis betina berjuluk Siang-mou Sin-ni dan dibawa ke
Nan-cao. Karena itu, kebetulan sekali bahwa kita pun akan pergi ke Nan-cao
sehingga kita dapat mengejar iblis itu dan sekalian mencari tahu tentang Kakak
Bu Song dan musuh besarku.”
Wajah Suling
Emas kelihatan serius sekali, “Non...”
“Wah, kau
canggung benar. Repot aku kau sebut nona-nona segala macam. Sebut saja namaku,
kau kan sudah tahu namaku? Aku sendiri karena tidak tahu siapa namamu, akan
menyebut kau Suling Emas begitu saja, atau... si Suling saja karena kau memang
tinggi janggung seperti suling.”
Kembali
sepasang mata itu berkilat dan untuk beberapa detik wajah yang serius itu
berseri. Akan tetapi hanya sebentar dan kembali wajahnya muram. “Lin Lin, kali
ini kau jangan main-main. Kau tidak tahu, tidak mengenal Siang-mou Sin-ni. Dia
benar-benar iblis yang jahat, malah dia seorang di antara Thiante Liok-koai.
Kakakmu terjatuh di dalam tangannya, berbahaya sekali....”
“Maka kita
harus lekas mengejarnya. Hayo kita berangkat... eh, nanti dulu, aku belum
berganti pakaian dan cuci muka... bersisir....”
“Apa kau
kira kita akan pergi ke pesta? Begitu saja sudah cukup. Ambil bekalmu dan kita
berangkat!”
“Tapi...
tapi....” Lin Lin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah
memutar tubuh dan keluar dari kuil itu.
Terpaksa ia
tergesa-gesa memasuki kamarnya, menyambar buntalan pakaian yang sudah ia
persiapkan, membawa pedangnya dan berjalan cepat ke luar. Ia berpamit kepada
pimpinan kuil sambil menghaturkan terima kasih, kemudian ia berlari ke luar.
Kiranya Suling Emas tidak menantinya dan sudah berjalan pergi beberapa ratus
meter jauhnya.
“Heeeiiiii,
tunggu...!” teriaknya sambil berlari mengejar.
Suling Emas
berjalan terus tanpa menengok. Dari belakang tampaknya orang aneh itu hanya
berjalan biasa, kedua kakinya bergerak melangkah lambat-lambat. Akan tetapi
anehnya, betapa pun cepatnya kedua kaki kecil Lin Lin bergerak lari sipat
kuping, tetap saja jarak antara mereka tiada perubahan, kira-kira tiga ratus
meter jauhnya!
“Hemmm, kini
kau akan menguji ilmu lari cepat?” Lin Lin mengomel gemas, lalu ia mengerahkan
seluruh tenaga ginkang dan menggunakan tenaga kesaktiannya, yaitu
Khong-in-ban-kin yang dapat membuat ia bergerak laksana burung walet terbang
cepatnya.
Diam-diam
Suling Emas terkejut dan juga kagum. Kemudian ia pun mempercepat gerakannya.
Lin Lin terus mengejar, penasaran bukan main ketika dari belakang Suling Emas
tetap saja kelihatannya seperti orang berjalan biasa. Lebih dua jam mereka
berkejaran ini sampai lewat puluhan li jauhnya. Setelah Lin Lin bermandi
keringat dan napasnya mulai memburu barulah ia dapat menyusul. Suling Emas
berhenti dan memandangnya, pandang mata yang jelas membayangkan kekaguman.
“Huh...
huh... kau kira aku tidak mampu mengejarmu? Huh... huh... semua orang boleh
menganggapmu hebat... tapi... huh... huh... bagiku biasa saja...” Di antara
napasnya yang senin-kemis itu Lin Lin mengejek dan menyombong.
Suling Emas
memandang tajam. Dia ini sama sekali tidak nampak lelah. Wajahnya biasa saja,
tidak tampak setetes pun peluh dan napasnya juga panjang-panjang biasa, “Lin
Lin, ilmu yang kau warisi dari Kim-lun Seng-jin ini hebat. Sayang sekali....”
“Sayang?
Apanya yang sayang?”
“Sayang kau
tidak menghargainya sehingga kau menjadi tolol dan sombong!”
Lin Lin
menggigit bibirnya, kedua tangannya dikepal dan sudah gatal-gatal tangannya
untuk menerjang dan menyerang untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.
Sepasang matanya bersinar-sinar seakan hendak menelan orang di depannya itu
hidup-hidup. Akan tetapi ia menahan perasaannya karena ingin sekali ia
mendengar arti pernyataan yang tak dimengertinya itu.
“Kalau benar
aku tolol dan sombong, mengapa sayang? Apa pedulimu dan apa hubungannya dengan
ilmu yang kupelajari dari Kim-lun Seng-jin?”
“Seorang
anak-anak yang goblok tidak akan tahu akan harganya sebuah mustika dan akan
menganggapnya batu biasa saja dan dipakai main-main. Kau pun tidak dapat
menghargai ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin sehingga kau main-main dengan
ilmu itu, maka kau tolol. Orang yang menganggap diri sendiri sudah hebat tiada
bandingnya, dia adalah seorang sombong dan kau juga selalu mau menang sendiri,
tidak menghargai orang lain maka kau sombong juga. Sayang ilmu yang hebat itu
jatuh ke tangan orang tolol dan sombong. Kalau tidak, dengan melatihnya secara
tekun dan mendalam, agaknya takkan mudah lagi kau mengalami penghinaan dari
orang lain.”
“Siapa
berani menghina aku kecuali kau? Putera Mahkota sendiri menganggap aku
sederajat dan setingkat dengannya, mengajak aku bercakap-cakap seperti sahabat.
Tapi kau... huh, kaulah yang sombong!”
“Putera
Mahkota? Betulkah kau bertemu dengan Putera Mahkota? Yang mana, jangan-jangan
hanya dengan seorang bangsawan muda macam Suma Boan.”
“Huh, apa
aku tidak bisa membedakan mana Pangeran Mahkota dan Pangeran Brengsek biasa?
Aku memasuki taman bunganya ketika mencari gedung perpustakaan, dan aku
bercakap-cakap dengannya. Dia suka sekali akan ikan emas, mempunyai sebuah
pagoda yang penuh dengan tempat-tempat ikan dari kaca! Bagus bukan main!”
Sepasang
mata Suling Emas terbelalak. Makin heranlah ia menghadapi dara remaja ini, “Kau
benar-benar telah bertemu dengan Pangeran? Tahukah kau bahwa beliau itu adalah
adik Sri Baginda dan merupakan calon pengganti Sri Baginda?”
“Tentu saja
aku tahu, aku sudah mengobrol dengan dia seperti sahabat, tapi kusangka dia itu
tadinya putera Kaisar.”
Suling Emas
menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal. Benar-benar hampir tak mungkin
dapat dipercaya seorang gadis liar seperti ini bercakap-cakap seperti sahabat
dengan pangeran mahkota! Akan tetapi biar pun ia belum lama bertemu dengan Lin
Lin, sudah dapat merasa yakin bahwa bocah seperti ini tidak bicara bohong, dan
percaya pula bahwa di depan pangeran mahkota, malah di depan kaisar sendiri
agaknya tidak mau bersikap merendah dan menganggap mereka itu orang-orang biasa
seperti dia!
“Kau
benar-benar seorang gadis hebat!” Inilah suara hatinya, akan tetapi tanpa
disadari keluar pula dari mulutnya.
Berkembang
lubang hidung Lin Lin mendengar ini dan sekaligus kemengkalan hatinya karena
dimaki tolol dan sombong tadi lenyap seperti embun terusir sinar matahari. Ia
tersenyum manis sekali dan berkata dengan mata tajam mengerling. “Kau pun
seorang laki-laki yang hebat!”
Terkejutlah
Suling Emas, seakan-akan ditampar mukanya. Pipinya menjadi merah dan ia cepat
memalingkan muka, menghindarkan diri dari sambaran kerling setajam gunting dan
senyum semanis madu. Tapi jantungnya berdenyut aneh dan dengan batinnya yang
sudah terlatih, matang dan teguh itu ia cepat dapat mengusir perasaan yang
tidak semestinya itu.
“Marilah
kita lanjutkan perjalanan. Perjalanan ini masih jauh, di samping itu kita harus
berusaha menyusul Siang-mou Sin-ni, kalau saja belum terlambat....”
Ucapan ini
sekaligus menyadarkan Lin Lin yang tadinya terayun kebungahan hati yang
ditimbulkan oleh pujian Suling Emas yang mengatakan dia gadis hebat.
“Apa...
apakah kau anggap Bu Sin Koko berada dalam bahaya?”
“Hemmm,
sukar dikatakan. Akan tetapi yang jelas, Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita
yang kejam seperti iblis.”
“Akan
kubunuh dia! Kalau Sin-ko dia ganggu, akan kubunuh dia!” Lin Lin berteriak
marah dengan semangat menggelora.
Biar pun
diam-diam Suling Emas menganggap pernyataan ini amat menggelikan mengingat
lihainya Siang-mou Sin-ni dan ‘mentahnya’ Lin Lin, namun ia maklum bahwa
pernyataan ini terdorong oleh keberanian yang luar biasa. Ia percaya bahwa Lin
Lin pasti akan membuktikan ancamannya, biar pun untuk itu harus berkorban
nyawa. Ia sudah menyaksikan ketabahan hati Sian Eng ketika dikubur hidup-hidup
oleh Hek-giam-lo, akan tetapi agaknya adiknya ini lebih tabah dan berani lagi,
mendekati nekat!
“Kita lihat
saja nanti, mudah-mudahan kakakmu masih selamat. Mari!”
Tanpa
mengenal kasihan Suling Emas mengajak Lin Lin berlari lagi cepat-cepat, agaknya
ia tidak peduli bahwa gadis itu sudah kelihatan amat telah. Lin Lin juga tidak
sudi menyerah mentah-mentah, malu untuk mengaku bahwa ia lelah dan kehabisan
napas tadi. Kini setelah lelahnya berkurang karena sudah mengaso, ia
mengerahkan Khong-in-ban-kin lagi dan berlari secepat terbang. Ia sama sekali
tidak sadar bahwa perbuatan Suling Emas ini sama sekali bukan karena kejam, melainkan
karena disengaja, yaitu bahwa orang sakti itu hendak memaksa ia melatih
Khong-in-ban-kin tanpa sengaja.
Dengan
berlari-lari seperti itu, perjalanan dilakukan cepat sekali. Lin Lin ingin
sekali mengajak teman seperjalanan ini bercakap-cakap, ingin ia tahu lebih
banyak tentang diri Suling Emas, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan dan ia
pun seorang gadis yang berhati keras. Malu dan pantang mundur, dengan nekat ia
berlari terus mengimbangi kecepatan Suling Emas.
***************
Pada malam
hari itu setelah Lin Lin pergi meninggalkannya seorang diri di dalam kuil, Sian
Eng duduk termenung. Adiknya telah membayangkan tuduhan bahwa dia cinta kepada
Suling Emas. Alangkah jauh menyimpang tuduhan itu. Memang ia merasa amat kagum
terhadap pendekar sakti yang aneh itu, akan tetapi pribadi Suling Emas sama
sekali tidak menarik cinta kasihnya, melainkan menimbulkan rasa seram, enggan,
dan segan. Berpikir tentang cinta kasih dan pria mana yang menarik hatinya,
Sian Eng termenung dan terkenang kepada... Suma Boan! Jantungnya berdebar,
mukanya terasa panas dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil
menangis!
Memang aneh
dan tak masuk di akal agaknya kalau asmara sudah main-main dengan hati manusia
muda. Dewi Asmara yang ganas dan kadang-kadang kejam itu menyebar anak panah
berbisa secara membabi-buta agaknya sehingga banyak peristiwa terjadi dan
cerita terlahir sebagai akibat dari pada bisa anak panah asmara yang menjadi
sumber segala kebahagiaan atau sebaliknya sumber kesengsaraan bagi orang-orang
muda.
Sian Eng
adalah seorang gadis puteri seorang jenderal. Sedikit banyak hatinya
terpengaruh oleh perbedaan antara orang biasa dan bangsawan, dan biar pun tidak
berterang, ia menganggap diri sendiri sebagai seorang yang berdarah bangsawan.
Atau, mungkin juga di dalam hatinya terdapat cita-cita untuk mengangkat kembali
derajat keluarganya yang sudah runtuh ketika ayahnya meninggalkan kedudukan
sebagai seorang bangsawan tinggi. Atau juga memang karena kejahilan asmara
sehingga begitu bertemu dengan putera Pangeran Suma itu, seketika ia merasa
tertarik sekali.
Tentu saja
ia tidak dapat melupakan kenyataan betapa Suma Boan pernah menawannya dan
menurut penuturan Suling Emas, hampir membunuh Bu Sin. Akan tetapi hati
kecilnya membisikkan alasan bahwa untuk perbuatan itu tentu Suma Boan mempunyai
sebab-sebab yang kuat. Agaknya putera bangsawan itu pernah dibikin sakit hati
oleh kakaknya, Bu Song, sehingga ketika bertemu dengan mereka timbul
kemarahannya dan berusaha membalas dendam. Aku akan bertanya kepadanya, hal ini
harus dibikin terang, pikirnya dalam hati. Akan tetapi bagaimana ia dapat
berjumpa dengan Suma Boan?
Tiba-tiba ia
mendengar suara orang bercakap-cakap di ruangan tengah kuli itu. Lapat-lapat ia
mendengar suara hwesio kepala yang menjawab dengan suara lemah ketakutan atas
pertanyaan orang yang suaranya nyaring dan galak. Sian Eng tertarik, juga
curiga. Cepat ia menyambar pedangnya dan keluar dari kamar. Dari balik pintu
yang menembus ke ruangan itu, ia mendengarkan dan jantungnya berdebar ketika ia
mengenal suara Suma Boan!
“Pinceng
tidak berani membohong, Kongcu. Sesungguhnya mereka telah pergi lagi, entah ke
mana pinceng tidak berani bertanya dan tidak diberi tahu.”
“Bukankah
Suling Emas sering kali datang ke kuil ini?” terdengar pula Suma Boan bertanya.
“Jarang
sekali dia datang, sungguh pun pinceng mengenalnya baik, tapi dia tidak pernah
bermalam di sini. Siapakah bisa mengetahui di mana adanya?”
“Hemmm, aku
percaya semua keterangan Lo-suhu. Akan tetapi ketahuilah dua orang yang kucari
itu adalah orang-orang berbahaya yang belum lama ini mengacau rumahku, maka
terpaksa aku akan melakukan penggeledahan, siapa tahu mereka itu sudah kembali
lagi ke dalam kuil tanpa setahu Lo-suhu.”
“Silakan,
silakan...”
Mendengar
ini Sian Eng terkejut dan tak terasa lagi ia bergerak. Suara kakinya cukup bagi
pendengaran Suma Boan yang tajam. Pemuda bangsawan ini melompat, mendorong daun
pintu dan... ia berhadapan dengan Sian Eng!
Dengan kedua
alis terangkat Suma Boan berseru, “Eh, kau di sini pula...?” Lalu ia
melanjutkan kata-katanya dengan nada girang. “Syukur kau telah bebas dari
cengkeraman iblis Hek-giam-lo, Nona!”
Merah muka
Sian Eng. Ia balas memandang, lalu menjawab marah. “Karena gara-gara kau
menawanku, maka aku terjatuh ke tangan Hek-giam-lo. Baiknya ada dia yang
menolongku dan membawaku ke kuil ini....”
“Suling
Emas? Kau ditolong olehnya...?”
“Siapa lagi
kalau bukan dia yang menolongku? Suma-kongcu, kami dulu itu dengan maksud baik
datang kepadamu untuk bertanya tentang kakakku yang hilang, mengapa kau lalu
menawanku dan hampir membunuh kakakku Bu Sin? Mengapa kau membenci kakakku Kam
Bu Song yang lenyap? Permusuhan apakah yang membuat kau membencinya?”
Suma Boan
tersenyum, lalu menoleh kepada hwesio kepala dan menjura. “Maaf, Lo-suhu, bahwa
aku tadi menaruh curiga kepadamu. Kiranya semua ceritamu benar belaka dan kedua
orang muda itu tidak berada di sini. Akan tetapi siapa kira, aku bertemu dengan
Nona kenalanku ini. Harap kau orang tua suka memberi kesempatan kami bicara
berdua saja.”
Hwesio tua
itu mengangguk dan mengundurkan diri dengan sikap tenang dan sabar. Suma Boan
lalu menghadapi Sian Eng. Pemuda yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita
ini sekali pandang saja dapat menjenguk isi hati Sian Eng, bahwa sedikitnya
gadis ini tidak marah dan tidak benci kepadanya. Dan memang ia pernah amat
tertarik hatinya oleh gadis ini, maka pertemuan yang tak sengaja dan tak
tersangka-sangka ini tentu saja mendatangkan rasa girang di hatinya.
Tadi ia
menyelidik tentang pemuda dan pemudi yang mengacau rumahnya dan yang jejaknya
menuju ke kuil ini. Ia telah menyiapkan orang-orangnya di sekeliling kuil,
bahkan Tok-sim Lo-tong, seorang tokoh kang-ouw sahabat baik It-gan Kai-ong,
sudah datang pula dan kini ikut menjaga di luar kuil untuk menghadapi dua orang
muda yang amat lihai itu, juga kalau sekiranya perlu, menghadapi Suling Emas!
Suma Boan
maklum bahwa Suling Emas takkan mau mengganggunya, hal ini ada rahasianya, akan
tetapi dia sendiri selalu berusaha untuk menangkap dan kalau mungkin membunuh
orang yang amat dibencinya itu. Karena adanya Tok-sim Lo-tong inilah maka Suma
Boan berbesar hati dan berani memasuki kuil di kota raja. Sahabat suhu-nya yang
berjuluk Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun) memiliki kepandaian yang amat
tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
“Nona
Liu...”
“Aku bukan
she Liu, melainkan she Kam,” bantah Sian Eng.
Suma Boan
tercengang. “Lho, dahulu kau dan kakakmu mengaku sebagai adik-adik dari Liu Bu
Song....”
Mengertilah
sekarang Sian Eng mengapa tadi pemuda bangsawan ini menyebutnya nona Liu. Ia
tersenyum manis dan hati Suma Boan makin berdebar. Tak salah lagi, bocah ini
bukan saja tidak membenciku, malah agaknya... ah, manis sekali wajah itu!
“Sesungguhnya
dia kakakku, kakak sulung. Akan tetapi bukan aku yang berganti nama keturunan,
melainkan dia. Sebetulnya dia bernama Kam Bu Song. Suma-kongcu, kau agaknya
kenal baik dengan kakakku, bolehkah aku mendengar di mana adanya Kakak Bu Song
sekarang ini dan apakah urusannya maka kau agaknya bermusuhan dengan dia?”
“Apakah kau
betul-betul hendak bertemu dengan dia, Nona? Sayang bahwa pertemuan pertama
antara kita ternoda oleh permusuhan sehingga aku khawatir kalau-kalau kau
takkan dapat percaya kepadaku lagi.” Suma Boan menarik napas panjang penuh
penyesalan.
“Aku... aku
percaya kepadamu. Ayahmu seorang pangeran. Sebagai puteri seorang bekas
jenderal besar, aku tahu bahwa kita menjaga nama baik leluhur kita yang sudah
banyak membuat jasa kepada negara.”
Suma Boan membelalakkan
kedua matanya. “Ah, kiranya kau seorang gadis bangsawan, Nona? Ayahmu seorang
jenderal? Mengapa... mengapa Bu Song memakai she Liu dan tidak pernah bilang
bahwa dia putera seorang jenderal besar? Ah, kalau saja ia dahulu mengaku
secara terus terang, kiraku takkan timbul permusuhan ini....”
“Apakah yang
telah terjadi? Dan di mana dia sekarang?”
“Nona,
kurasa bukan di sini tempat kita bicara. Ceritanya panjang dan agaknya perlu
kuperlihatkan bukti-buktinya kepadamu agar kau dapat percaya. Ada pun untuk
dapat bertemu dengan kakak sulungmu itu, kurasa membutuhkan perjalanan jauh
yaitu ke negara Nan-cao. Maukah kau ikut denganku ke Nan-cao? Kutanggung kau
akan dapat bertemu dengan kakakmu di sana karena dia pasti akan hadir pada
pesta yang diadakan oleh Agama Beng-kauw.”
Sian Eng
menjadi bingung. Ia tahu bahwa antara Lin Lin dan Suma Boan terdapat permusuhan
seperti yang telah diceritakan oleh Lin Lin kepadanya. Dan agaknya Suma Boan
sekarang ini pun datang untuk mencari Lin Lin dan Bok Liong. Kalau Lin Lin
pulang dan bertemu dengan Suma Boan, agaknya tentu akan terjadi hal yang hebat
karena Lin Lin sukar diurus. Ia harus dapat mengambil keputusan tepat.
“Baiklah,
Suma-kongcu. Aku percaya kepadamu. Tunggu kuambil buntalan pakaianku sebentar.”
Sian Eng cepat memasuki kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa
buntalan pakaiannya.
Ia tidak
meninggalkan pesanan sesuatu untuk Lin Lin karena ia maklum bahwa kalau ia
meninggalkan pesan, tentu Lin Lin akan mengejarnya. Karena ini pula, sengaja ia
tidak berpesan sesuatu kepada para hwesio, dan Suma Boan sudah memberi ingat
kepada para hwesio agar tidak memberitahukan siapa pun juga tentang
kedatangannya malam hari itu.
Di luar
kuil, para anak buah Suma Boan menjaga sambil bersembunyi. Hanya Tok-sim
Lo-tong yang muncul menjumpainya. Sian Eng memandang dengan mata terbelalak dan
hatinya merasa ngeri. Orang yang muncul seperti bayangan setan ini, tidak dapat
ia mengikuti gerakannya dan dari mana datangnya, adalah seorang laki-laki yang
bentuknya seperti anak kecil bodoh, tapi tubuhnya sudah tinggi melebihi
tingginya orang biasa. Kepalanya gundul plontos, tubuhnya kurus sekali.
Laki-laki ini sudah tua, buktinya wajahnya yang kurus penuh keriput dan
mulutnya yang selalu terbuka itu dihias gigi-gigi ompong. Hebatnya, orang ini
tidak berpakaian, atau lebih tepat, hanya memakai cawat, yaitu kain panjang
yang dilibatkan di sekeliling pinggang dan paha untuk menyembunyikan anggota
rahasia saja. Kakinya pun tidak bersepatu.
Akan tetapi,
biar pun orang ini lebih pantas disebut orang gila yang terlepas dari neraka,
atau sebangsa siluman yang tersesat keluar dari neraka, ternyata Suma Boan
bersikap amat hormat. Dengan suara seperti orang sakit napas, orang yang
seperti bocah cacingan ini bertanya tak acuh, “Mana Suling Emas?” Belum habis
pertanyaannya ia sudah menguap dengan suara memuakkan!
“Harap
Locianpwe sudi maafkan. Dugaan teecu keliru, ternyata dia tidak berada di sini,
malah dua orang musuh teecu juga sudah kabur. Teecu persilakan Locianpwe
bersama teecu malam ini mengaso di rumah adik teecu di kota raja. Besok
pagi-pagi kita berangkat ke Nan-cao.”
“Suruh aku
tidur di rumah gedung? Huh-huh, tak sudi! Aku tidur di kolong jembatan di luar
kota, besok kita bertemu di luar tembok kota!” Setelah berkata demikian, tanpa
memberi kesempatan kepada Suma Boan untuk menjawab, ia menoleh ke kiri dan
mulutnya mengeluarkan suara seperti cecak.
Hampir Sian
Eng meloncat kaget dan jijik ketika tiba-tiba terdengar suara mendesis dan
seekor ular sebesar paha dan panjangnya dua meter lebih merayap dari tempat
gelap, langsung merayap melalui kaki yang kurus panjang itu, terus melingkar
dengan enaknya pada pinggang, dada dan leher. Kemudian, alangkah kaget dan
herannya Sian Eng ketika sekali menggerakkan kaki-kakinya yang panjang, si
Jangkung itu telah lenyap seperti amblas ke dalam bumi saja! Sian Eng menjadi
kagum, heran, ngeri, jijik dan takut. Ia merasa seperti berhadapan dengan
seorang iblis lain, yaitu Hek-giam-lo!
Suma Boan
tersenyum melihat Sian Eng berdiri dengan muka pucat dan mulut setengah terbuka
itu. “Nona Kam, tidak aneh melihat kau terheran-heran. Beliau tadi bukanlah
seorang biasa, melainkan seorang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw.
Julukannya adalah Tok-sim Lo-tong dan nama besarnya tidak kalah oleh Suhu
It-gan Kai-ong sendiri. Beliau adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai,
kesaktiannya tak perlu dibicarakan lagi. Dengan beliau sebagai teman
seperjalanan, aku tidak takut kepada siapa pun juga, dan kita akan melakukan
perjalanan dengan aman ke Nan-cao.”
“Kau
maksudkan kita kita akan melakukan perjalanan bersama... dia tadi?”
Suma Boan
tertawa dan giginya yang putih berkilau tertimpa sinar bulan, “Tidak usah kau
takut, Nona. Dia tidak akan mengganggumu, malah menjadi pelindung kita. Pula
eh, perlu kunyatakan bahwa dengan adanya aku di sampingmu, tak perlu kau takut
apa pun juga!” Biar pun tidak secara langsung agar tidak membuat kaget gadis
yang masih hijau ini, Suma Boan mulai dengan rayuannya.
Kemudian ia
mengajak Sian Eng berjalan menuju ke tengah kota di mana terdapat sebuah gedung
yang mentereng dan bagus, gedung seorang pangeran! Sambil berjalan, mulailah
Suma Boan bercerita. Secara singkat ia telah menceritakan hal ini kepada Bu
Sin, akan tetapi kalau kepada Bu Sin ia bercerita dengan penuh kebencian,
tidaklah demikian kali ini.
“Kakakmu Liu
Bu Song itu dahulu adalah seorang pelajar miskin yang datang ke kota raja untuk
mengikuti ujian. Melihat wajahnya yang tampan dan bakatnya yang baik dalam
kesusastraan, Ayahku yang pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh kasihan.
Apa lagi karena kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu menolongnya, memberi
pekerjaan sebagai tata usaha di gedung perpustakaan yang juga menjadi pegangan
Ayah. Ia rajin dan pekerjaannya dilakukan dengan baik sehingga Ayah makin
sayang dan percaya kepadanya. Kadang kala kakakmu itu disuruh melakukan
pekerjaan tulis-menulis di gedung kami. Malah ia bersahabat baik denganku,
karena usia kami memang sebaya dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran
sastra. Ia banyak membantuku dalam hal itu.” Pemuda bangsawan itu berhenti dan
menarik napas panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya
dia ini sahabat baik kakakku?
“Ceritamu
itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?”
“Nona,
amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku
Kongcu...”
“Akan
tetapi, kau seorang putera pangeran....”
“Dan kau pun
puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu
Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan?
Apa lagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya
kalau kau menyebut Kongcu (Tuan Muda) dan aku menyebut Siocia (Nona).”
Jantung
dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biar pun mereka
berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga
mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat wajahnya yang
membayangkan gelora hatinya. “Habis... bagaimana...?” katanya setengah
berbisik.
Suma Boan
menatap wajah yang tunduk itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik
manis, biar pun kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani,
dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song!
“Karena kau
terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku
mengetahui namamu dan selanjuthya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku
kakak?”
Makin panas
kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling.
Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh.
“Hati-hati...!” serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali.
Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh
hanya karena tersandung batu kakinya! Hal ini keduanya cukup maklum.
“Namaku Kam
Sian Eng...”
“Nama yang
indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?”
Dengan suara
lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab. “Tentu saja, akan tetapi, kita
baru saja berkenalan... dan... aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung
sahabat ataukah musuh...”
“Ha-ha-ha-ha,
kau lucu...! Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum selesai. Nah, kau
dengarlah. Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu
malam... ah, malam celaka itu... kakakmu tertangkap basah sedang berduaan
dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng....”
Hening
sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes, “Ah... tapi... tapi tentu adikmu...
eh, suka kepadanya.”
Suma Boan
menarik napas panjang. “Itulah soalnya! Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih
setahun, mereka itu saling mencinta di luar tahu semua orang. Akan tetapi kau
tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah
ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Kedua, kakakmu yang mengaku she Liu itu
memperkenalkan diri sebagai seorang sebatang-kara yang tak berayah ibu lagi,
bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah
bangsawan. Maka tadi kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera
seorang jenderal!”
“Kemudian
bagaimana? Lalu kakakku itu... diapakan dia?” Suara Sian Eng mengandung
was-was, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang
yang cukup berpengalaman macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah
berhati-hati.
“Aku tidak
dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau
tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya
dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam
penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah
sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan
nama baik keluarga. Ayah tak dapat mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku
untuk membunuh Bu Song....”
“Ahhhhh...!”
Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan
mata berapi.
Suma Boan
menggelengkan kepalanya. “Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau
begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku.
Tidak! Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun
dapat menyelami perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman
itu. Namun betapa pun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku
lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak
menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga
hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal
demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena
memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda bangsawan itu
berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian
bagaimana... Koko?” Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya
telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya
koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan
berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk
memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ketiganya, di depan Ayah aku
mencambuki Bu Song dan mengikatnya pada balok bersilang....”
“Seperti
yang kau lakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu
Song dengan anak panahmu?”
Bukan main
kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat
menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang
menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya
pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai perasaannya dan berkata.
“Dari mana
kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan
tetapi aku mendengar dari Suling Emas....”
“Ahhh!
Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali...!”
“Mengapa
heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”
“Aneh
sekali... dia benar-benar orang aneh...” Suma Boan berkata lirih kepada diri
sendiri.
“Memang dia
aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin
tentu telah tewas.”
“Kau tidak
tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti
mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu
Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku
menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku
hanya mencambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu
Song terikat di taman dan aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu
teman-temanku yang sudah siap akan datang menyerbu dan membawanya lari keluar
kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan
tetapi... Bu Song sudah tidak ada lagi di sana! Kegagalan ini membuka rahasiaku
sehingga Ayah marah bukan main kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu
tidak turut campur. Nah, karena melanggar janji dalam rencana itulah aku
menjadi benci kepada Bu Song. Apa lagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku
sudah menikah dengan pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi
dan bahkan berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan di sana!”
“Apa...?!”
Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu
sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga
kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri
orang lain?
Suma Boan
mengangguk-angguk. “Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi
ketika melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apa
lagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya
sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak
membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur
kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”
“Kalau
begitu... agaknya... Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu
itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya.
Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia
di Nan-cao?”
Suma Boan
tersenyum penuh rahasia. “Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita
pasti akan bertemu dengannya di sana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku
tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka
memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju
menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan
membuka pintu depan dan seorang di antara mereka berlari-lari ke dalam untuk
melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah
dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.
Di ruangan
tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan
pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua
beberapa tahun dari padanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan
keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata
mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan
tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi, tentu
saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan
wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat
menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan
gerak-gerik yang lemah gemulai.
“Twako
(Kakak), malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada
keperluan apa? Dan adik ini, siapakah?”
Sian Eng
kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa
inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak
sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh
kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini yang ternyata telah gagal dalam
percintaan.
“Ceng-moi
(Adik Ceng) aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang ke
sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama
Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu,
tapi mana suamimu?”
Pandang mata
Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang
halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan, “Ah... dia
tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya...,”
kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri
melupakan hal itu dan mengubah percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu
pedangnya. Adik, kau murid siapakah? Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar
kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan
kuperintahkan pelayan membereskannya.”
Suma Boan
tersenyum. “Baiklah.” Ia lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi
sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya. “Asal kau tahu saja bahwa
Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng
menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak
memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin kasihan melihat ini
dan maklumlah ia bahwa biar pun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun
tetap mencinta kakaknya.
Sian Eng
cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata, “Enci, harap kau jangan kaget.
Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar
tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak
Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau
aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu
Song di sana.”
Suma Ceng
menarik tangan Sian Eng. “Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam
kamarku...!” Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak,
agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar
karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar
banyak tentang diri kakaknya.....
***************
"Heeeiiiii!
Dengar kalian semua! Aku si Suling Emas selamanya tidak pernah bermusuhan
dengan orang-orang Nan-ping mau pun Nan-han dan kerajaan-kerajaan di selatan
lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat, kami sedang menuju ke Nan-cao untuk
menghadiri perayaan Beng-kauw di sana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian!”
Biar pun
teriakan Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya digerakkan menjadi
segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat Lin Lin
yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning yang lebih muda
menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam para pengurung, namun
puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin
hebat.
“Jangan kira
aku takut, tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah
bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan
golok yang malang-melintang di depannya. “Lin Lin, serang dan robohkan mereka,
tapi jangan bunuh!”
Akan tetapi
jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak, “Bunuh anjing
pengkhianat! Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”
Dalam
perjalanan mereka ke Nan-cao, Suling Emas dan Lin Lin tiba di luar kota Ban-in
di pinggir Sungai Yang-ce-kiang. Di tempat inilah mereka dihadang kemudian
dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa
senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga
di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah
diatur lebih dulu.
Biar pun
puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat
gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah
lawan Lin Ling apa lagi Suling Emas. Sebentar saja golok-golok dan
pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih.
Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini
merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian
muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat.
Mereka
adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan celana
yang menutupi tubuh mereka. Biar pun keduanya sama menjijikkan seperti binatang
atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh berbeda. Yang seorang
bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk
di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali,
sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor. Kepalanya gundul,
mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang mengerikan.
Orang kedua
tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama
buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena
ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang
melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Ada pun yang gendut itu juga bukan
tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng
Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng
Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat.
Melihat
munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun
menjadi marah sekali. “Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua
manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”
“Heh-heh,
Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu!” Toat-beng Koai-jin menggeram, air
liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.
“Suling
Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat!” si Tinggi Kurus Tok-sim
Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar.
Tiba-tiba
Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong.
Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali,
kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya
dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu!
“Kalian kira
aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”
“Heh-heh,
aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa
pulang!” Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin.
Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah
bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat
mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya,
merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula
akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan
menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah!
Sementara
itu Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senjata istimewa, yaitu seekor ular
yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri
memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling
Emas. Biar pun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti
itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa si Tinggi Kurus ini
amat hebat kepandaiannya. Justru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah
terletak kekuatannya, apa lagi ‘senjata’ ular hidup itu bisa mulur dan
mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang
menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan tenaga sinkang
yang mukjijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping
ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan
belakangnya.
Mendapat
lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali
tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir
sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin
dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum
cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin,
seorang di antara Thian-te Liok-koai.
“He,
Toat-beng si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo
kau sekalian maju mengeroyokku!” bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya
sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok.
Akan tetapi
kiranya malah Lin Lin yang menjawab, “Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak
lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kau layani
pedangku kalau memang berani! Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang
gendut kebanyakan makan itu!” Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya
dan dengan hati-hati. Karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya
Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu
Khong-in-ban-kin.....
Toat-beng
Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil
tertawa-tawa, diam-diam kaget juga ketika melihat jurus-jurus yang dimainkan
Lin Lin. Biar pun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun
sebagian besar ilmu silat di dunia kang-ouw telah dikenalnya, maka ia mengenal
pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.
“Heh, kau
murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang.
Heh-heh!” Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok Suling Emas,
memegang pada kakinya dan menggunakan dua ‘senjata hidup’ ini menerjang Lin
Lin.
Lin Lin
kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.
“Crak!
Crak!” darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh
pedangnya!
Kakek itu
tertawa-tawa dan... menggelogok darah yang tersembur ke luar itu ke dalam
mulutnya, seperti orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua
mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.
Lin Lin
meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan
kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjangnya dengan
dua ‘senjata hidup’. Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan
kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah. Tangan Lin
Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi,
tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan
tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi
lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh
sambil membawa lari tubuh Lin Lin yang lemas.
“Toat-beng
Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan
memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat!” bentakan Suling Emas ini keras
sekali. Tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus
akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata
enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri
terdorong mundur sampai lima langkah.
“Ihhhhh...
ilmu apakah ini...?” Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak
lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar
Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan
kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat
yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya melihat hasil ini, dan
tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim
Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik.
Cepat
sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung
gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang
melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas
melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari
pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng
Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.
Suling Emas
memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat
di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat
munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri
ia berkata. “Wahai, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar
dengan kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”
“Ouw-kauwsu,
ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat
menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”
Berubah
wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan. “Memang... memang kulihat
dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di... di dalam kuil...”
“Heh-heh-heh,
Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini!” tiba-tiba
terdengar suara keras dan parau.
Suling Emas
dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan... kiranya manusia iblis yang dijadikan
bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang
melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang
paha, entah paha apa!
Dan pada
saat itu juga, terdengar suara orang mengomel, “Nanti dulu... tenanglah, kau
ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apakah? Mau suruh dia
tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau
nyonya rumah, ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong....”
Muncullah
orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan
jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan
seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan
itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke
atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.
“Eh, eh,
anak nakal... kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas... wah, kalau jatuh
bisa pecah punukmu. Turun... turun...!” Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh
turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan
melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.
Kakek pendek
itu makin gugup. “Kau tidak turun? Celaka... wah, aku paling ngeri melihat
orang jatuh dari tempat tinggi... hayo turunlah...!” Ia lalu menghampiri tiang
dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon
kelapa! Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana
Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
“Kau makan
apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah! Lihat ada darahnya, wah-wah, kau
memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal
Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu! Ihhh, tentu daging manusia yang
kau makan. Wah, seram... seram...!”
***************
Bagaimanakah
Sian Eng bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan
kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke
gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga
oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih
kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia
dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma
Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa
nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.
“Dia
meninggalkan aku...” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air
matanya. “Tapi... untung Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia tidak sampai
tewas. Aku dipaksa kawin... sekarang sudah tiga orang anakku... suamiku baik
terhadapku... aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi... tapi....”
kembali ia menangis perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu
bagaimana nasibnya sekarang, di mana ia berada... kalau saja dia sudah menikah
dengan gadis lain dan hidup bahagia... akan terobatilah hatiku....”
Sian Eng
ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara
gagal yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya. “Betapa pun juga, kau sudah
berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,” kata
Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu....”
“Tak
mungkin! Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat
melupakan aku! Kami... kami... ah...!” kembali nyonya muda itu menangis sedih.
“Siapa tahu... ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....”
terisak-isak ia kini. “Kalau aku tahu... ah, aku pun lebih baik mati....”
Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main! Kiranya cinta
kasih antara mereka itu sudah demikian hebat. “Enci yang baik, harap kau
tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh
Suma-kongcu menyusulnya.
Kalau aku
bertemu dengan kakakku, aku akan sampaikan pesanmu kepadanya, akan kubujuk dia
supaya menikah dengan gadis lain.”
Mata yang
agak merah karena tangis itu memandangnya. “Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu
di mana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng... dia... kakakku itu....”
Melihat
keraguan ini, Sian Eng timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”
“Dia baik,
baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara
dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi... tapi... ah, bagaimana aku bisa membiarkan
adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapa pun
sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu... dia mudah
terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik.
Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak
gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku
harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya. Kecuali...” wajahnya
menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta
kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar! Ini bagus sekali. Aku
gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodoh
dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?”
Merah wajah
Sian Eng. “Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?”
Sampai di sini percakapan mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat
tidur nyenyak biar pun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang
mewah. Hatinya merasa tidak enak.
Akan tetapi
Suma Boan ternyata pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan
dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma
Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguh pun ia selalu masih
berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh itu dilakukan
dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah
Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran
ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.
Akhirnya
tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini.
Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh
seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang dijaga oleh
prajurit-prajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.
Yang membuat
Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si
raja pengemis yang mengerikan itu! Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja.
Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan langsung membaringkan tubuh di tempat
tidur, karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di
belakang rumah. Selama ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan
makin lama makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini
mendengar suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya
bercakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat
itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Sungguh kau
sembrono sekali!” kata suara parau itu. “Dia hanya berada beberapa puluh li di
belakangmu dan kau masih tidak tahu!”
“Tapi, Suhu,
Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara
Suma Boan membantah.
“Uh, dasar
sembrono! Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini.
Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk
menundukkannya!”
Sian Eng
cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru,
tak lama kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan
terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang
suram muram itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya yang
berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan
mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar.
Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan Kai-ong,
Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis Siang-mou Sin-ni!
Munculnya
It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan
niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu
mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng
kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang.
Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma
Boan yang berdiri di situ sambil tersenyum! Bukan main lega hati Sian Eng,
karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan
berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum
manisnya.
“Sian Eng
moi-moi, kau belum tidur?”
Sian Eng
menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir,
akan tetapi ia tahan.
“Apakah
kedatanganku ini mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan suara halus.
“Tidak sama
sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”
Senyum Suma
Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab. “Tidak apa-apa...
hanya aku... ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”
“Kenapa?
Sakitkah engkau?” tanya Sian Eng memandang tajam.
Suma Boan
mengangguk-angguk. “Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan
hatiku. Moi-moi... Sian Eng... hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur
karena selalu terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dan
aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu....”
Seketika
kedua kaki Sian Eng menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa
dingin, jantungnya berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar
berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir
memecahkan urat-urat di pelipisnya. Ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya
setengah tersenyum setengah menangis.
Sian Eng
masih dalam keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul
orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya
sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya. Sejenak Sian Eng
memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia
dan napasnya terengah-engah sesak. “Aku juga cinta padamu,” bisik suara
hatinya.
Akan tetapi
tiba-tiba telinganya mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika
bicara kepadanya di dalam kamar. “... aku khawatir kalau-kalau kau menjadi
korbannya... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak
kandungku...”
Dan
tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta
dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke
belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu
berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali,
Sian Eng menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.
“... kenapa
Moi-moi...? Kenapa kau menamparku? Bukankah... bukankah kau juga cinta kepadaku
seperti cintaku kepadamu?”
Dengan mata
berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya
terputus-putus, “... cintaku bukan untuk... untuk... menjadi permainanmu... aku
bukan... bukan perempuan... yang boleh kau perlakukan sesukamu... yang boleh
kau hina...”
Suma Boan
menarik napas panjang, “Eng-moi, kau aneh..., biarlah kau pikir dan
pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh
hati...,” setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil
menutupkan daun pintunya.
Sian Eng tak
kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas
pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin
lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan
menangis di atas bantal.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para
penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang. “Kalian tikus-tikus
goblok! Apa kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?”
“Ampun,
Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”
“Bohong!”
Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh tersungkur. “Orang
luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur?
Pemalas! Goblok!”
“Eh, eh,
apakah yang terjadi?” Suara serak ini disusul munculnya It-gan Kai-ong.
Melihat
gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi kemurungan masih membayangi
mukanya yang tampan. “Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa
pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid) tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi
dia meninggalkan tanda tapak kaki di tembok!”
“Apa katamu?
Tapak kaki di tembok?” si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa
keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?
“Mari, harap
Suhu periksa sendiri!” Pemuda itu mendahului suhu-nya menuju ke ruangan tengah.
Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil terdapat
beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.
“Inilah
tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah tapak kaki
siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.
Beberapa
orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boan memandang juga dengan muka pucat.
Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan
jejak di atas tembok. Akan tetapi jejak yang tampak jelas di atas tembok itu
adalah jejak kaki manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti
biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu
kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan langkah
pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang manusia berjalan di atas
tembok seperti cecak?
Mata tunggal
It-gan Kai-ong melotot sebentar memandang tapak kaki itu. “Hu-huh,
Pek-houw-yu-chong (ilmu merayap di tembok seperti cecak) tingkat tinggi.
Manusia sombong bermaksud menakut-nakutimu atau memang hendak memamerkan
kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek, tak pernah pakai
sepatu....” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara, matanya bersinar-sinar.
“Pendek tak
bersepatu? Hanya Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah
bersepatu!” Suma Boan berkata.
Gurunya
mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya berkerut. “Sudah tentu
dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biar
pun suka bergurau, akan tetapi tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki
di sini. Tentu seorang tokoh lain yang gila....” It-gan Kai-ong kelihatan marah
dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah
perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya,
tiba-tiba ia mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian
di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya
ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki
tua pendek tersenyum-senyum memandangnya di tengah kamar. Sian Eng merasa
seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk.
Bayangan itu masih ada, malah kini ia dapat memandang jelas di bawah sinar
lampu meja.
Benar
seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang
jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang terurai ke
bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan seperti It-gan Kai-ong,
namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan tetapi,
sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.
“Siapakah...
kau...? Bagaimana bisa masuk...?” Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya
yang masih tertutup.
“Heh-heh,
Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau
mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya,
marilah ikut denganku.”
“Kau siapa?
Apa artinya semua ini?”
Kakek itu
tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum
seorang badut. “Aku siapa? Panggil saja Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku.
Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak
waktu lagi,” sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis
ini merasa tubuhnya melayang ke luar dari jendela kamar yang ditendang terbuka
oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya.
Ia terkejut
bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi
hatinya lega mendengar bahwa kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik
adiknya itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebih tepat,
meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi ia menggigil kalau ia teringat akan
peristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya.
Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi
korban! Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Siapa
tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu!
Tanpa ia
ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka
memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat
menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut dijadikan tempat
tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak
merasa seram seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata
telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan
di situ tidak ada sarang laba-laba.
“Nah, kita
melewatkan malam di sini. Nona. Ketahuilah, muridku ditangisi adikmu yang
nakal, yang minta supaya muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku
mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Boan dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia
mencari aku dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti
perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa besarnya
bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan perjalanan, malam ini kau
boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan
tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana
cantik mana buruk, heh-heh!”
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia
hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya
kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia
mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan
tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi
kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu,
dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga
bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.
“Empek
Gan... Empek Gan...! Bangunlah!” Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu.
Kakek itu
kaget, lalu gelagapan bangun. “Ada apa...? Kebakaran...? Dunia kiamat?
Celaka... aku masih ingin hidup!” Ia melompat dan lari ke sana ke mari,
kelihatan bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.
“Tidak ada
apa-apa, Lopek,” katanya membantah.
Kakek itu
menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan
mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil
kalau bangun tidur. “Aduh ampuuuuun... sampai kaget setengah mampus hatiku.
Puluhan tahun hidupku ayem tenteram, sekali dekat wanita, tidur saja tidak
nyenyak lagi! Beratnya orang membela murid... heeeiiii! Mana Bok Liong? Bocah
tolol itu belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?”
Sian Eng
mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita, akan tetapi
maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan
pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.
“Wah-wah,
betul-betul dia tidak muncul? Celaka... tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia
berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo
kita pergi!”
Kali ini
Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan ke
luar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar
ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.
“Suling
Emas...! Dia Suling Emas... mari kejar dia!” Sian Eng lalu lari mengejar.
Kakek Gan
mengomel, “Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kau ajak balapan lari. Dengar
perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar...” Akan tetapi kedua kakinya
yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat
mengejar Suling Emas.
“Dia Suling
Emas, aku mau bertanya tentang kakakku...!” Sian Eng tidak pedulikan omelan
kakek itu dan terus mengejar.
Ketika
melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang
sunyi, Sian Eng berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak
cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos
pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan
berteriak-teriak mencela.
Seperti
sudah diceritakan di bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata
adalah rumah guru silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang
cukup terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu
berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke atas di
mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di atas balok tiang
melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang digerogoti. Melihat
ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat tiang itu seperti seekor
kera memanjat kelapa, berteriak-teriak menyuruh turun kakek seperti orang hutan
itu.
“Wah, aku kenal
kau sekarang. Tak salah lagil! Gundul pacul, punuknya seperti lembu jantan,
mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti babi, telanjang hanya
pakai cawat, pemakan daging manusia. Betul, biar selamanya belum pernah
bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Kau Toat-beng
Koai-jin!” Empek Gan berteriak-teriak sambil memandang dengan wajah
memperlihatkan kengerian.
Memang betul
ucapan Empek Gan yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah Toat-beng
Koai-jin si Orang Aneh Pencabut Nyawa! Biar pun dia kelihatan seperti orang
hutan, namun seperti juga adiknya Tok-sim Lo-tong, kakek ini memiliki
kepandaian yang hebat sekali. Dia termasuk seorang di antara Thian-te
Liok-koai, dan julukan sebagai seorang di antara si Enam Jahat itu memang patut
baginya mengingat bahwa ada kalanya kakek liar ini betul-betul makan daging
manusia seperti yang dituduhkan Empek Gan tadi.
Biar pun ia
hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng Koai-jin mendengar
maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit saja orang berani
menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa orang itu, apa lagi
sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani memaki-makinya seperti itu.
Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah menjadi tanda bahwa dia sedang
marah besar!
“Cacing
perut! Makanlah ini!” Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha
yang sudah tak berdaging lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang masih
memeluk tiang dengan kaki tangannya. Tulang itu menghantam pinggir tiang, terdengar
suara keras dan balok itu somplak seperti dihantam kapak! Tidak hanya membelah
kayu, tulang itu terus menghantam pundak Empek Gan dan... tubuh Empek Gan
melorot turun, akhirnya pantatnya terbanting menghantam lantai sampai
mengeluarkan suara seperti kasur digebuk.
Empek Gan
meringis kesakitan, bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk
menghilangkan rasa sakit. Debu mengebul ketika celana belakangnya itu ia
tepuk-tepuk. Karena kebetulan sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini
melangkah mundur dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah
sangka. Kakek ini sama sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari
cepat saja. Buktinya, sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu
malu!
Empek Gan
sudah mengomel. “Celaka! Cocok dengan wujudnya!” Ia menoleh kepada Suling Emas
dan berkata menyeringai, “Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan
liar itu!”
Toat-beng
Koai-jin menyumpah-nyumpah. “Cacing busuk, jangan lari kau!”
Empek Gan
tertawa, membalikkan tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin sambil
menggoyang-goyang kibul dan berkata, “Beginikah gerakan cacing? Ho-ho, sebentar
lagi mau mampus masih suka maki-maki orang!” Setelah berkata demikian, kakek
ini menggerakkan kedua kakinya lari ke luar dari rumah itu sambil menoleh ke
arah Suling Emas dan berkata, “Jaga Nona ini baik-baik, jangan sampai dia
dirayu palsu oleh Suma Boan lagi!”
Sian Eng
menjadi makin mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak pedulikan kakek itu,
juga agaknya tidak peduli kepadanya, buktinya menengok pun tidak. Suling Emas
menghadapi kakek liar di atas itu sambil berkata, suaranya serius penuh
ancaman.
“Toat-beng
Koai-jin, biar pun di antara kau dan aku tidak pernah terjadi pertentangan
karena kita masing-masing mengikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau
telah melanggarnya. Lekas kau bebaskan dan kembalikan nona yang kau culik,
kalau tidak, aku Suling Emas tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi. Dengar
baik-baik, kalau kau mengganggu nona itu, aku bersumpah takkan berhenti sebelum
dapat merobek tubuhmu menjadi empat potong!”
Toat-beng
Koai-jin mendengus marah. “Suling Emas, kau bocah kemarin sore yang masih
ingusan, sombong amat ucapanmu. Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan
hari ini adalah hari baikku. Aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku
menangkapmu untuk kupanggang bersama, heh-heh!”
“Ouw-kauwsu,
aku minta tolong kepadamu, bawa ke luar nona ini ke tempat aman!” kata Suling
Emas, maklum bahwa ia akan menghadapi lawan-lawan tangguh sehingga kehadiran
Sian Eng hanya akan merupakan gangguan belaka. “Kau ikutlah bersama Ouw-kauwsu,
tunggu aku selamatkan adikmu.”
Sian Eng
diam-diam terkejut dan dapat menduga bahwa yang diculik oleh manusia liar itu
tentulah Lin Lin. Maka tanpa banyak cakap lagi ia mengangguk dan bergerak
mengikuti guru silat yang wajahnya sudah pucat karena gelisah itu. Akan tetapi
begitu keduanya keluar pintu, terdengar pekik mengerikan dan tubuh Sian Eng
terhuyung ke belakang, masuk kembali ke ruangan itu disusul tubuh Ouw-kauwsu
yang terlempar dan roboh di atas lantai dalam keadaan tak bernyawa lagi, pada
pipinya terdapat luka kehitaman!
Toat-beng
Koai-jin tertawa bergelak dan tubuhnya yang besar gendut itu melayang turun
dengan amat ringannya. Biar pun tubuhnya gendut dan gerakannya kelihatan kaku,
akan tetapi ternyata ia gesit dan cepat sekali. Begitu kedua kaki menyentuh
lantai, kedua tangannya sudah bergerak menerjang Suling Emas, dari kuku-kuku
jarinya yang panjang itu terdengar bunyi bercuitan!
“Sian Eng,
jangan keluar, di sini saja!” pesan Suling Emas dan tubuhnya berkelebat lenyap,
berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di sekeliling tubuh Toat-beng
Koai-jin.
Kiranya dua
orang sakti itu sudah saling terjang dengan hebatnya! Sian Eng menyelinap ke
sudut ruangan itu, memandang penuh kekhawatiran. Ia cemas sekali, takut
kalau-kalau Suling Emas kalah sedangkan dia sendiri tidak berdaya membantu
karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh ketinggalan dan kalau ia
membantu, hal itu malah akan membikin repot Suling Emas saja.
Suling Emas
adalah seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kegagahan. Ia merasa
khawatir sekali akan keselamatan Lin Lin, juga kini harus menjaga keselamatan
Sian Eng, sedangkan Toat-beng Koai-jin, lawannya yang sakti ini masih dibantu
oleh orang-orang jahat dan sakti lain yang berada di luar pintu rumah! Tentu
saja ia tahu bahwa tewasnya Ouw-kauwsu adalah karena serangan dari luar rumah,
dan melihat luka hitam di mukanya itu, agaknya itulah hasil kerja Tok-sim
Lo-tong, yaitu gigitan ular berbisa. Namun melihat betapa Toat-beng Koai-jin
hanya seorang diri saja menghadapinya dengan tangan kosong, ia tidak sudi
menggunakan senjata yang paling ia andalkan, yaitu sulingnya. Ia pun menghadapi
lawan ini dengan tangan kosong pula.
Toat-beng
Koai-jin dan adiknya, Tok-sim Lo-tong, sebetulnya adalah dua orang penghuni
pulau kosong di Lam-hai (Laut Selatan). Tadinya mereka berdua adalah kacung
atau pelayan-pelayan cilik seorang tokoh besar di jaman Tang, seorang panglima
yang tidak sudi menghambakan diri kepada musuh setelah Kerajaan Tang jatuh. Ia
melarikan diri ke selatan dan mengasingkan diri di pulau kosong, hanya ditemani
dua orang kacungnya. Panglima ini berilmu tinggi dan sampai mati ia tinggal di
dalam pulau itu, tak pernah meninggalkan pulau. Semua ilmunya ia turunkan
kepada dua orang kacungnya yang mendapat kemajuan sesuai dengan bakatnya
masing-masing.
Akan tetapi
agaknya karena mereka tak pernah bergaul dengan dunia ramai, juga karena di
pulau itu banyak terdapat binatang-binatang berbisa, kedua orang bersaudara ini
hidup seperti tidak normal lagi. Mereka menjadi korban gigitan
serangga-serangga berbisa yang meracuni otak mereka sehingga hidup mereka
menjadi liar seperti binatang-binatang hutan. Puluhan tahun kedua orang kakak
beradik ini hidup di pulau setelah majikan dan guru mereka meninggal dunia.
Usia mereka
sudah lima puluhan tahun lebih ketika pada suatu hari secara kebetulan ada
sebuah perahu dagang yang terdampar ke pulau itu setelah dipermainkan ombak dan
badai. Dapat dibayangkan betapa ngeri hati para penumpang perahu yang tiga
puluh orang lebih jumlahnya itu ketika mereka melihat dua orang kakek gila yang
telanjang bulat itu. Dua orang kakek itu segera menyerang mereka dan dalam
waktu singkat saja, tiga puluh orang lebih telah tewas oleh mereka berdua!
Kemudian
mereka secara ngawur mengembangkan layar dan berlayarlah mereka ke tengah
samudera. Karena tidak biasa, mereka mabuk laut, mengamuk dan merusak isi
perahu, kemudian roboh telentang di dalam perahu, pingsan! Angin dan ombak yang
kini mengemudikan perahu dan akhirnya mereka terdampar ke darat. Saat itulah
mulai muncul dua orang sakti yang aneh di dunia kang-ouw. Sepuluh tahun lebih
mereka berdua berkeliaran dan kemudian dunia persilatan mengenal mereka sebagai
dua orang sakti jahat dan menggolongkan mereka dengan pentolan-pentolan dunia hitam
lainnya sehingga terkenallah nama Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong
sebagai dua orang di antara si enam jahat!
Ilmu silat
yang menjadi dasar dari kepandaian mereka adalah ilmu silat campuran dari barat
dan utara. Akan tetapi karena mereka hidup puluhan tahun sebagai orang liar, di
antara binatang-binatang dan serangga-serangga beracun, maka hawa pukulan dari
sinkang mereka bercampur dengan hawa beracun yang amat jahat. Apa lagi
Toat-beng Koai-jin mempunyai kesukaan liar, yaitu makan daging manusia. Ini
menambah hawa beracun di dalam tubuhnya dan membuat ia makin ganas dan
berbahaya sekali. Sedangkan adiknya, Tok-sim Lo-tong, terkenal hebat
permainannya yang mengerikan, yaitu dengan ular-ular beracun yang menjadi
sahabat-sahabat baiknya, bahkan senjatanya pun seekor ular.
Suling Emas
sudah banyak mendengar tentang dua orang liar ini, akan tetapi baru kali ini ia
berkesempatan mengadu ilmu. Oleh karena ia harus memikirkan keselamatan Sian
Eng dan juga harus menolong Lin Lin yang belum diketahui bagaimana nasibnya, ia
tidak mau berlaku lambat. Begitu merasa betapa tenaga yang dipergunakan
lawannya mengeluarkan hawa panas dan bau amis menjijikkan, ia cepat mengerahkan
seluruh sinkang di tubuhnya, lalu ia mainkan ilmu silat yang ia dapat dari
suhu-nya, yaitu mendiang Kim-mo Taisu. Sebetulnya ilmu ini adalah ilmu yang
harus dimainkan dengan sebatang kipas pelajar, yaitu ilmu silat yang disebut
Lo-hai-san-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan). Akan tetapi karena lawannya
bertangan kosong, maka Suling Emas juga bertangan kosong mainkan Ilmu Silat
Pengacau Lautan ini.
Hebat memang
kepandaian Toat-beng Koai-jin. Yang amat berbahaya adalah kuku-kuku jari
tangannya. Biar pun ia tidak bersenjata, namun memiliki kuku-kuku panjang
seperti itu, sama saja dengan memegang atau menggunakan sepuluh buah
pedang-pedang kecil! Setiap buah jari mempunyai kuku panjang dan bukan hanya
kuku runcing, melainkan kuku yang mengandung hawa beracun sehingga sekali saja
kulit terkena guratan sebuah di antara kuku-kuku ini, akan melepuh kulit itu
dan akan keracunan darahnya! Semua ini dipergunakan dengan gerakan cepat dan
lincah, ditambah lagi dengan gerengan-gerengan seperti seekor singa dan
muncratnya air ludah serta peluh yang memuakkan baunya!
Hampir
Suling Emas tidak tahan menghadapi ini, terutama bau itu. Beberapa kali ia
terpaksa melompat mundur untuk menyedot hawa segar. Akhirnya ia berseru keras,
“Toat-beng Koai-jin, lekas kau kembalikan nona yang kau culik. Kalau tidak,
terpaksa aku membunuhmu. Aku tiada waktu lebih lama lagi untuk bermain-main
denganmu!” Sambil berkata demikian, Suling Emas mengeluarkan sebuah kipas yang
dipegangnya dengan tangan kiri. Hanya kipasnya yang akan dapat membantunya
mengusir bau memuakkan itu. Ia masih sungkan mengeluarkan sulingnya, melihat betapa
lawannya tetap bertangan kosong.
Melihat
bahwa lawannya hanya mengeluarkan kipas kain sutera yang halus dan kecil saja,
Toat-beng Koai-jin tertawa ha-hah-he-heh, kemudian menubruk lagi melancarkan
serangan-serangan dahsyat. Akan tetapi, sekarang Suling Emas bersilat
Lo-hai-san-hoat dengan kipas di tangan, dan karena ilmu silat itu memang ilmu
silat kipas, tentu saja kehebatannya lipat dua kali dari pada tadi ketika ia
mainkan dengan tangan kosong.
Seketika
tampak gulungan sinar putih yang kadang-kadang menutupi pandangan mata
Toat-beng Koai-jin, malah kakek liar ini merasa sesak napasnya oleh tiupan
angin dari kipas itu. Tidak saja semua bau busuk dikembalikan ke hidungnya
sendiri, akan tetapi ditambah pula dengan angin kebutan kipas yang dilakukan dengan
tenaga sinkang seorang ahli. Dua kali sudah pundak Toat-beng Koai-jin kena
disentuh ujung gagang kipas, sakitnya bukan kepalang.
Diam-diam
Suling Emas terkejut dan kagum. ‘Sentuhannya’ dengan ujung gagang kipas itu
sebetulnya adalah totokan yang pasti akan merobohkan lawan. Akan tetapi kakek
liar ini hanya menyeringai kesakitan saja, sama sekali tidak roboh malah maju
makin nekat! Kiranya kakek ini telah kebal kulitnya dan agaknya pandai pula
memindahkan jalan darah.
Betapa pun
juga, setelah Suling Emas mainkan kipasnya, Toat-beng Koai-jin terdesak hebat.
Berkali-kali ia menggereng marah, namun semua tubrukan, cakaran hantaman dan
tendangannya hanya mengenai angin belaka.
“Manusia
liar, robohlah!” Secepat kilat kipas itu bergulung-gulung sinarnya menutupi
pandang mata lawan dan tangan kiri Suling Emas sudah menyerang dengan jari
tangan terbuka ke arah ulu hati yang telanjang itu.
Akan tetapi
Toat-beng Koai-jin benar-benar hebat kepandaiannya. Begitu jari tangan Suling
Emas yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu menyentuh kulit dadanya,
tubuh bagian ini secara tiba-tiba dapat ditarik masuk dan mulutnya menyemburkan
uap ke depan, disusul pukulan kedua tangan!
“Ihhhhh!”
Suling Emas terpaksa mengipaskan kipasnya ke depan untuk mengebut pergi semburan
uap bacin itu, lengannya dengan mudah menangkis pukulan lawan dan sebelum lawan
mendesak terus, gerakan Suling Emas berubah.
Ia telah
menggunakan gerakan ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat yaitu jurus ilmu silat
huruf yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Dengan gerakan jurus ilmu silat sakti
ini, yang ia lakukan dengan menuliskan huruf THIAN (Langit), sekaligus ia telah
menyerang sampai empat kali. Serangan terakhir merupakan gerakan bertentangan
karena baru saja ia menyerang dengan arah ke kiri bawah, sekarang tiba-tiba
kipasnya menerjang dari atas ke bawah kanan.
“Auuuhhhhh...!”
Perubahan-perubahan
yang amat cepat dan aneh dari jurus ini tak dapat diikuti dan diduga oleh
Toat-beng Koai-jin, maka biar pun ia sudah mengelak dan menangkis tidak urung
pahanya terpukul gagang kipas. Kelihatannya perlahan saja, akan tetapi kalau
saja bukan Toat-beng Koai-jin yang menerima hantaman ini, tentu tulang pahanya
akan remuk. Kakek liar ini hanya mengeluh dan tubuhnya bergulingan, akan tetapi
ia sudah dapat melompat berdiri lagi lalu meloncat ke atas, membobol genteng
melarikan diri.
“Iblis jahat,
lari ke mana kau?”
Suling Emas
mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng. Selagi ia ragu-ragu,
tak tega meninggalkan Sian Eng seorang diri, dari pintu muncullah Tok-sim
Lo-tong dan beberapa orang pengeroyoknya tadi.
“Keparat
pengecut!” Suling Emas marah sekali. “Jangan anggap aku keterlaluan kalau
sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!” Setelah berkata demikian tangannya
bergerak dan tampaklah sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar
kuning adalah sinar sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya.
Ia tidak
memberi kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan
sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak.
Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi. Juga para
pengikutnya pergi dengan cepat. Sebentar saja tidak tampak lagi lawan di situ.
“Mari kita
kejar kakek liar tadi untuk menolong adikmu!” kata Suling Emas, menyambar
lengan tangan Sian Eng untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti dulu,
aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini...” kata Sian Eng, membungkuk dan
hendak mengambil sebuah sampul surat.
Akan tetapi
tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan... tubuh Sian Eng terdorong
mundur sampai terhuyung-huyung. “Kau... kau...!” Gadis itu berseru marah.
“Hemmm, lupa
lagikah akan pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu
membungkuk dan mengambil sampul surat itu.
Sian Eng
terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia merasa ngeri sekali ketika
melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur leher seekor ular hitam
yang keluar dari sampul itu! Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya,
karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang
ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu.
Setelah
melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik ke luar sehelai
kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika
matanya menari-nari membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya
makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar
itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.
“Tak mungkin
mencari di mana adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk
menolongnya, jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang
ceritakan bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan,” kata-katanya terdengar
ketus dan marah.
Sian Eng
mendongkol sekali. Apa pedulimu, bisik hatinya, kau seperti seorang ayah atau
kakak saja. Namun ia tidak berani membantah dan sambil berjalan di samping
Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan mencari Lin Lin dan Lie Bok
Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan berjanji kepadanya akan
mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi bersamanya ke
Nan-cao.
“Bagaimana
dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling
Emas sambil lalu.
“Dia bilang
bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti
akan dapat bertemu dengannya di sana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai di
sini.”
“Kemudian,
mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan
itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”
Tiba-tiba
Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian
Eng. “Kau bilang Empek Gan? Dia...? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga
siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa lihainya itu... ah, kiranya Empek
Gan. Dia muncul pula di sini, aha, akan ramai di Nan-cao.”
Agaknya
saking gembira dan herannya mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya,
Suling Emas tidak mendesak lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan
Suma Boan dan gadis ini menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka
bercerita tentang rahasia asmara itu.
“Kenapa kita
tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak,
percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku...” Suling Emas menarik
napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Mereka?
Siapa? Surat itu dari siapakah?”
“Siapa lagi?
Dari Suma Boan tentu!”
Wajah Sian
Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidungnya. Jantungnya
berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat menekan perasaannya.
Kiranya Lin Lin diculik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi... tapi dia
selama dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi...!
“Kau
kenapa?”
Sian Eng
menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu
akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan
agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya
sehingga sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.
***************
Lin Lin
berusaha meronta dan melepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan
tangannya, namun sia-sia belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang
terikat seperti seekor babi di atas sebatang balok melintang, tingginya kurang
lebih satu meter dari tanah. Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia
karena mulutnya ditutup sapu tangan yang diikatkan erat sekali ke belakang
kepalanya sehingga untuk bernapas saja amatlah sukar.
Seperti
diketahui, ketika ia dan Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim Lo-tong, Toat-beng
Koai-jin, dan banyak lagi orang-orang yang kepandaiannya cukup kuat, ia telah
kena ditawan oleh Toat-beng Koai-jin dan dibawa lari pergi dari gelanggang
pertandingan. Ia berusaha untuk melepaskan diri atau memukul, akan tetapi
tubuhnya lemas semua, kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi. Hampir ia
pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh kakek liar itu.
Karena ia
tidak dapat bergerak, terpaksa ia menahan penderitaan luar biasa ketika mukanya
terletak di atas punggung yang ada dagingnya menonjol besar (punuk),
berkeringatan dan baunya apek bukan buatan itu! Kalau saja ia tidak tertotok
lumpuh, tentu Lin Lin sudah muntah-muntah. Baiknya kakek itu larinya cepat
sekali seperti terbang, sebetulnya bukan lari lagi melainkan melayang dari
pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit. Kecepatan ini mempersingkat
penderitaannya karena selain angin yang bertiup mengurangi bau kecut, juga
tentu akan segera sampai di tempat tujuan.
Mereka
memasuki hutan dan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang membentak dengan suara
nyaring, “Iblis tua, lepaskan gadis itu!”
Lin Lin
girang bukan main ketiika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan Lie Bok
Liong, sahabat baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak berlangsung lama,
segera terganti kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok Liong sebanding dengan
tingkatnya, mana mampu menghadapi kakek sakti yang seperti ibils ini? Benar
saja dugaannya, biar pun Bok Liong sudah menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam
yang berhawa dingin, kakek itu enak saja melayaninya dengan tangan kosong,
bahkan dengan tubuh Lin Lin tak pernah terlepas dari atas pundaknya!
Seperti juga
Lin Lin, pemuda itu tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apa
lagi karena Bok Liong amat terbatas gerakannya, terbatas oleh kekhawatirannya
kalau-kalau ujung pedangnya mengenai tubuh Lin Lin. Tiba-tiba ia berseru keras
dan mundur dengan muka pucat. Kakek itu telah menyodorkan tubuh Lin Lin untuk
menangkis sambaran pedangnya. Bok Liong cepat menarik pedangnya dan pada saat
itu, tangan kiri Toat-beng Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang
membuat Bok Liong terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali,
tubuhnya sudah lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di
sepanjang jalan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh Lin
Lin. Kakek itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.
Di bagian
hutan yang gelap dan penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin Lin ke atas
tanah, mengambil akar lemas dari sebatang pohon dan mengikat kaki tangan gadis
itu ke belakang. Kemudian ia pun merenggut sehelai sapu tangan dari baju Bok
Liong, menggunakan sapu tangan ini menutup dan mengikat mulut Lin Lin.
Setelah ini
selesai, tangannya bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika baju dan
celana luar pemuda itu ia renggut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada
dalam keadaan setengah telanjang, hanya sebuah celana dalam saja yang masih
menutupi tubuhnya. Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dari gelisah, juga
menjadi jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya mengerling-ngerling
untuk melihat apa yang akan dilakukan kakek gila itu.
“Heh-heh-heh,
kau masih muda, jejaka tulen, dagingmu tentu masih gurih!” Kakek ini lalu
mematahkan batang pohon dengan kedua lengannya yang kuat, mengikat tubuh Bok
Liong pada batang pohon atau balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian
balok berikut tubuh Bok Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua
batang pohon lain sehingga tubuh Bok Liong tergantung.
Kemudian
kakek itu mengumpulkan daun dan kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andai
kata mulut Lin Lin tidak diikat, tentu gadis ini sudah menjerit-jerit memanggil
Suling Emas karena ia sekarang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh
kakek gila ini. Agaknya kakek gila ini membuat masakan yang paling aneh di
dunia ini, bukan panggang bebek, panggang ayam, atau panggang babi, melainkan
panggang daging manusia hidup! Bok Liong akan dipanggang hidup-hidup!
Tiba-tiba
dari jauh terdengar suara seperti anjing hutan menggonggong. Kakek itu
menyumpah-nyumpah, “Jahanam, mengganggu saja. Ah, terpaksa ditunda dulu
sebentar.”
Ia bangkit
berdiri, menepuk-nepuk tubuh bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging,
mengecap-ngecapkan mulutnya yang mengeluarkan air liur. “Sayang-sayang..., biar
ditunda sebentar, heh-heh!” Tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja
kakek itu sudah lenyap dari situ.
Lin Lin
takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi penonton? Menonton
Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya diganyang kakek liar itu?
Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama sekali tidak bergerak, tubuhnya
tergantung di atas balok seperti telah mati, agaknya pingsan. Lin Lin kembali
berusaha mati-matian untuk membebaskan diri dari pada belenggu akar pohon. Akan
tetapi ternyata akar pohon itu istimewa kuatnya. Matanya melirik ke sana ke
mari, mencari-cari. Ia harus bertindak cepat, harus dapat membebaskan diri
sebelum siluman itu kembali, harus mencegah siluman itu memanggang tubuh Bok
Liong.
Dengan hati
penuh kengerian dan ketegangan, Lin Lin menggulingkan tubuhnya ke arah sebuah
batu besar tak jauh dari situ. Ia melihat batu itu mempunyai bagian-bagian yang
tajam. Karena kaki tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara
menggulingkan tubuh, lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan
kedua pergelangan tangan yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian
batu yang tajam. Ia menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil
mengerahkan tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia
tidak melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia
berusaha mematahkan pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya
bercucuran dan hatinya makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan
membebaskan Bok Liong dan mengajaknya melarikan diri.
Akan tetapi
tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia
melihat bayangan Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin
terbelalak, harapannya lenyap bagaikan embun terbakar matahari. Tentu saja ia
tidak melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia
bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan karena dia
sendiri sudah tak berdaya.
Dilihatnya
kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua tangannya membawa dua
potong kayu kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan api! Setelah api
menyala dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan
daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun kering
itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan, dan tanpa dapat
ditahannya lagi matanya mengucurkan air mata. Kasihan Liong-twako, pikirnya.
“Heh-heh,
kau hendak lari ke mana?” tiba-tiba suara kakek itu terdengar dekat dan Lin Lin
merasa pundaknya dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke
tempat semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil
terkekeh-kekeh berkata.
“Ha-ha, kau
mau melarikan diri? Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu
itu berlumur racun kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kau
lihat baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya makin lama makin merah
diciumi api, makin lama makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah
masak nanti, boleh kau pilih bagian mana yang paling gurih untukmu... ha-ha!”......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment