Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 05
Bok Liong
kebat-kebit hatinya. Celaka, pikirnya. Gadis ini sudah kumat, dan ia dapat
menyelami perasaan gadis ini yang membuatnya mau tak mau hanya makin
mengaguminya. Terang bahwa Lin Lin wataknya aneh, tapi polos, tidak takut
kepada siapa pun juga, tidak suka akan orang yang plin-plan dan palsu-palsuan.
Akan tetapi betapa pun juga, hatinya merasa amat tidak enak terhadap
penolongnya. Bagaimana kalau penolong itu mendengar ucapan Lin Lin ini?
“Ahhhhhh...!”
Bok Liong
melompat bangun, memandang ke kanan kiri.
“Eh, kau
mengapa, Twako?”
“Lin-moi,
apakah kau tidak mendengar tadi? Terang ada orang yang menghela napas panjang,
dekat sekali....”
Lin Lin ikut
memandang ke kanan kiri, terheran-heran. “Aku tidak mendengar apa-apa. Ah,
Twako, kau jadi seperti anak kecil mendengar dongeng mengerikan sehingga
menjadi ketakutan dan di mana-mana kelihatan setan. Hi-hik!”
Merah muka
Bok Liong, lalu ia duduk kembali. “Lin-moi, belum lama kau terjun di dunia
kang-ouw, kau belum tahu banyak tentang orang-orang sakti...”
Sebelum Lin
Lin sempat menjawab, tiba-tiba terdengar desis keras dan Lin Lin menjerit,
“Ular...!” Ia seperti sebagian banyak wanita, merasa jijik dan geli melihat
ular, akan tetapi, sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja ia tidak takut.
Cepat sinar kuning berkelebat dan di lain saat tubuh ular telah buntung menjadi
dua potong!
Mata Bok
Liong terbelalak ketika ia memandang bangkai ular itu. “Wah, celaka, kita
agaknya berhenti di daerah ular api! Ular macam ini tidak takut api dan amat
beracun. Racunnya panas dan membuat tubuh korbannya hangus seperti dimakan api,
maka ia disebut ular api. Eh... awas Lin-moi...!” Bok Liong sudah mencabut pedangnya.
Dua kali ia mengelebatkan pedangnya dan dua ekor ular roboh dengan leher putus.
Ternyata itu adalah dua ekor ular yang menyambar dari atas ke arah Lin Lin.
"Wah...
ular api tak mungkin dapat melayang, tentu ada yang melemparkannya...! Lin-moi,
awas, agaknya ada musuh menyerang...”
“Aku tidak
takut! Segala pengecut curang, kalau berani muncul akan kupenggal batang
lehernya!” teriak Lin Lin dengan marah sekali karena semalam itu selalu
diganggu orang-orang yang tidak mau menyerang atau membantu dengan
terang-terangan.
Jawaban
teriakan Lin Lin ini adalah suara ketawa yang disusul munculnya seorang
laki-laki tua berpakaian pengemis. Kaki kiri kakek pengemis ini buntung,
sebagai penggantinya ia memegang sebatang tongkat panjang, tongkat yang
bengkak-bengkok seperti tubuh ular. Pakaiannya yang penuh tambalan itu serba
lorek dan belang-belang seperti kulit ular. Ketika Lin Lin memandang penuh
perhatian, baginya muka orang itu pun mirip muka ular!
“Hemmm,
kiranya Sin-coa-kai (Pengemis Ular Sakti) yang main-main dengan kami!” kata Bok
Liong dengan suara mengejek.
Ia sudah
mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari
serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular dan menjualnya pada
toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja pengemis ini
amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti! Akan tetapi, ia pun
sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan pengemis ini dan
rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada penjahat-penjahat untuk
maksud-maksud keji. Maka ia memandang rendah dan mengejek.
Pengemis
buntung itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya
mengenal pula Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui
kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu.
Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada
bidadari ini yang begini denok dan can....”
“Swinggggg...!”
Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah
ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning
yang secepat kilat membabat leher pengemis itu.
“Lin-moi,
awas belakang...!” Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu
bernafsu dan marah mengejar si Pengemis Buntung.
Betul saja
dugaannya, si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama tujuh orang
pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap melompat bayangan orang
dan terdengar suara mendesis-desis dari semua penjuru. Lin Lin kaget dan terpaksa
menunda pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu
terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan
belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.
“Lin-moi,
serbu...!” Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju.
Lin Lin
mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah
menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat
perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular
bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.
Akan tetapi
kini Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan,
menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok
Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi
sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap
mengerikan.
“Lin-moi,
ikuti aku, ke atas pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu temannya.
Sambil
memutar pedang untuk menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka
mengerahkan ginkang dan melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara
ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat
melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular
daun yang biar pun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!
“Ha-ha-ha-ha,
apakah kalian tidak menyerah saja?”
“Menyerah
kakimu!” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah. Terjangannya hebat
sekali, biar pun si Buntung berhasil menghindarkan bahaya dengan jalan
menggulingkan diri, namun seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus
lengan kirinya!
Sin-coa-kai
memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti
menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas dari pada tadi.
Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apa lagi
tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam dan mencari kesempatan
baik.
Pada saat
itu tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin
dan Bok Liong mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas
oleh Sin-coa-kai! Terbuat dari pada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar.
Asap dari pada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang
lawan mengeluarkan air mata, semacam ‘gas air mata’ model kuno! Para pengemis
sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah sehingga mereka tidak
terpengaruh.
“Celaka...!”
teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan darah!”
Mereka
berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air
mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi,
teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu
menjadi bingung, tidak berani melangkah ke luar dari tempat itu.
Tiba-tiba
terdengar pekik Sin-coa-kai marah, “Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main
dengan ular-ularku?” Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan si Buntung itu.
Asap yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.
Lin Lin dan
Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak
pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan
mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk
di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang!
Muka Bok
Liong menjadi merah sekali. “Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti
menolong, ular-ular mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus
main pedang seperti wayang tanpa penonton!”
Lin Lin
membanting-banting kakinya. “Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang
sudah menolong, kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan
yang mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah!”
“Eh,
Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah
marah-marah? Mana bisa kita menjadi tontonan kalau di sini tidak ada
siapa-siapa yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus berterima kasih
kepada pendekar sakti dan menol....”
“Siapa
bilang tidak ada penonton? Apa kau kira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh
mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol
dan dapat dipermainkan orang, Twako!”
Bok Liong
tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim,
tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala! “Jadi kau tidak berterima kasih
kepadanya, Moi-moi?”
“Tidak! Aku
tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”
“Habis,
andai kata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya?”
“Mau apa?
Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”
“Penghinaan?”
“Dia
menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan
kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan
penghinaan?”
Tiba-tiba
Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru, “Harap
Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudi menjumpai kami...!” Akan tetapi ia kecewa
karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.
“Eh, apa kau
masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako?
Siapa yang kau ajak bicara?”
Bok Liong
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jelas benar tadi kulihat bayangan orang di
sini! Malah ketika aku melompat sampai di sini, masih kudengar helaan napasnya!
Heran benar....”
“Sudahlah,
Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”
“Benar,
Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita
lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan
yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik.
Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi.”
Keduanya
lalu berlari meninggalkan tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak
ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu
pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak
mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher.
Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan
tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.
Dugaan Bok
Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap
dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan
Hui-houw-kai-pang, rombongan kedua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Ada pun
ketiga hanya terdiri dari seorang saja. Orang ini adalah seorang tokoh
perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua
Baju Hitam).
Kepandaian
ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biar pun ia cukup lihai dibandingkan
dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah
kelicikan dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain
ini ia pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan
oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun
dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model
kuno! Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja,
tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia
tergesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu
lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua
rombongan yang telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan
menanti di luar tembok kota raja.
Demikianlah,
ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang
siang. Di luar pintu gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk
bersila di atas tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya
buta, kedua tangannya ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya
minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga
telah diperolehnya, bertebaran di depannya.
Melihat
seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi
isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum. “Twako, kau benar-benar
seperti seekor burung yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada
bayangan sendiri. Masa setelah gangguan para pengemis itu, sekarang kalau
melihat setiap orang pengemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu
benar-benar seorang jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat
matanya buta. Eh... lihat... dia sakit, Twako...!”
Benar
kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih,
memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik
tampak putihnya saja. “Ahhh... auuuhhhhh... aduh, mati aku...,” keluhnya
perlahan, keringat besar-besar memenuhi mukanya.
Seorang
pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan
sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu,
memandang penuh iba. “Lopek, kau kenapakah?”
Pengemis itu
mengeluh dan meringis kesakitan, nyata amat sukar ia mengeluarkan suara
menjawab. “Aduhhh... napasku... sesak... terpukul... kumat lagi... sesak...
auuughhh!” Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan
makin iba.
“Wah, kau
sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?” Beberapa orang yang kebetulan
lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan
nasib seorang jembel tua? Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri
pun seorang miskin, tentu saja ia dapat merasakan penderitaan jembel ini.
Sebagai
ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa
artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaannya amat
berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya
kalau tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah
di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.
Lin Lin
adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah
tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah
membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan
pencegahan Bok Liong.
“Kakek, kau
terluka di dalam, biar kutolong kau...” kata Lin Lin.
“Auhhhhh...
oohhh... terima kasih....”
Lin Lin
segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya.
Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok
saja ia berhasil. Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah
sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba
leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan
perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah
mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!”
Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan,
sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera
membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik. Tendangan Bok Liong keras
sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai
sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah ke mana. Akan tetapi
kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah
benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat
itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda
berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih.
Tepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah
Hek-i Lo-kai itu melontarkan
dua buah
granatnya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap
semua...!” Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu
menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya
itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh
Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu
berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri
dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
“Am...
pun... ampunkan...”
“Hek-i
Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!” Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan
penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan
robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara
sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu
gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan
Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan
mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat
betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis
melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak
tulangnya!
“Aduh...
ampun... Suling Emas....”
Mendengar
ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda
yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia
tadi Suling Emas?
“Jembel tua
jahat, kau bilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul...
Suling Emas... tak kenal... ampun....” Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan
tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat
terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat
pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu, juga mereka yang menyaksikan
peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling
Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta
dan mengemis tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya...”
kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi
adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu
menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat...!”
Tiba-tiba
seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah
satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin.
“Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang
bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin
menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal,
siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu ia menaruh curiga
kepada setiap orang.
“Maaf,” kata
hwesio itu lagi. “Tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap
atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama
Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin...”
Lenyap
kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil
bertanya, “Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan
Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana
dia? Selamatkah? Dan di mana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di
kelentengmu?”
Diberondong
pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab. “Tidak
leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi
akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka
bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah
tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua
yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan
mulutnya bersungut-sungut, “Omitohud... cantik liar, jangan-jangan siluman
musang...!”
Pada saat
itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang
berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Di
lain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling cium sambil
tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin,
bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng,
kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan
dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah
Suling Emas!”
Akan tetapi
Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan
terkejut, hanya menggumam perlahan, “Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat
seorang pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci
adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu
saja Sian Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
“Hi-hik,
bukan... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai,
tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong Koko. Oya Liong-twako, mari sini!
Mari kuperkenalkan dengan Enci-ku yang lihai dan cantik!”
Bok Liong
menjadi merah wajahnya, apa lagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi
kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal.
Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu
memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung
berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat
sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa
sungkan dan malu.
“Liong-twako,
betul tidak kataku? Enciku cantik jelita dan... aduhhh! Galaknya yang tidak
nguati (tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng,
“Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku
sampai di sini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat.
Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan...”
“Hushhh,
terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan
di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie
Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka
menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap
adikku...”
“Wah-wah-wah,
apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung
Liong-twako kau sebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat
baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”
“Eh... oh...
maaf, Nona... eh, saya...”
“Nah-nah-nah,
Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini
Enci Siang Eng, Enciku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi,
Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona?
Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan
Besar. Hayo, bagaimana?”
Memang nakal
sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu
yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap
korban kenakalan adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan
baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh
wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai
jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia
teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah
serius.
“Lin Lin,
jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang
belum juga datang.”
Lin Lin
sadar lalu menoleh kepada Bok Liong. “Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga
berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku
sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih
belum kami ketahui berada di mana. Apakah kau suka menolongku mencarinya,
Twako?”
“Aku akan
girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan
kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau
begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti di sini beberapa hari, menanti
berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin,
Lie Bok Liong Ta...”
“...
Twako...!” Lin Lin memotong.
Siang Eng
merah mukanya dan memandang tamunya, kebetulan Bok Liong juga memandang.
Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika
suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah!
Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kau serahi tugas lagi.
Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu
menekan.”
“Ah,
tidak... sama sekali tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik
Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti
akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap
saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andai
kata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Lo-suhu di sini sehingga
kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk
menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian. Sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok
Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru.
“Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?”
Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih
mesra terlepas dari pada pandang mata yang awas.
“Aku
pesan... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu
bagaimana?”
“Aku titip
tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”
Bok Liong
tertawa dan mengangguk-angguk.
“Dan jangan
lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan...”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi
kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan
sampaikan tantanganku kepadanya!”
Sian Eng
terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu
membayangkan ketidaksenangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali
mengangguk-angguk, lalu berkata, “Baiklah, Lin-moi, dan kau... kau yang
baik-baik menjaga diri... selamat berpisah sampai jumpa lagi.” Ia melompat dan
pergi dari situ.
Sian Eng
memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian
mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian
Eng menegur adiknya. “Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak
tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau selalu mempermainkan dia.
Terlalu!”
“Liong-ko?
Mencintaku? Tentu saja! Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri.”
“Hush, bukan
begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau... ah, kau masih anak-anak,
adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu
dengan Suling Emas. Betulkah itu? Di mana?”
“Di dekat
pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar,
tampan dan gagah, tapi sombong!”
“Sombong?”
“Ya,
sombongnya setengah mati! Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan
Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami.
Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan
tampannya!”
Tiba-tiba
Siang Eng memegang lengan Lin Lin. “Adikku, kau bilang dia telah menolongmu
berkali-kali, akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya
berkelahi? Adakah yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula... kau
menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kau
andalkan? Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki
kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita
miliki tidak ada artinya sama sekali.”
“Wah-wah,
jangan merendah, Enci Eng! Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan
mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah.
Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang dahulu lagi!” Lin Lin menggerakkan
tangan kirinya seperti melambai ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia
mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan jurus pukulan jarak jauh dan...
patung itu terjengkang ke belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang
tidak tampak.
“Lihat,
Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?”
Sian Eng
melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa menyentuhnya, dan menjadi
makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar
yang luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar
kuning yang bergulung-gulung! Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan
kata-kata ketika Lin Lin sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan
encinya sambil tersenyum bangga.
“Kau
lihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas,
biar pun ia berkepala tiga berlengan enam!”
“Astaga, Lin
Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?”
Lin Lin
merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah
Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul
pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya
bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh
kekaguman, kemudian merangkul Lin Lin sambil berkata.
“Ah, aku
girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan
ilmu kepandaian hebat kepadamu! Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang
setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih
tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh
kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko
dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan
Liong-twako.”
“Dia
menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba ceritakan semua,
Eng-cici!”
Sian Eng
lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung
Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang
Hek-giam-lo dan ‘istana’ di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua
matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar
pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri
Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.
“Apa yang
kau alami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang jelas!” desaknya dengan suara
gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantungnya mengeras dan
membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata
Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.
“Mereka itu
orang-orang yang kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku.
Dan anehnya... banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya,
mirip... mirip dengan kau! Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan... dan
aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mempunyai
tanda di pung.... astaga, Lin Lin!” Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat
berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak. “Kau... kau...
punggungmu...”
“Tenanglah,
Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelasnya. Memang ada
tanda tahi lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan
yang mereka cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi
sengaja tidak kuceritakan kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia.
Akan tetapi, setelah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan
dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan,
agaknya Ibuku Puteri Mahkota Khitan yang tewas dalam perang melawan Ayah, lalu
aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah.”
Untuk
beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian
dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air mata. “Kau bukan
seorang di antara mereka. Kau adikku! Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan
liar....”
Lin Lin
tertawa. “Kau lihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga
kasar dan liar, seringkali kau katakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu.
Jangan khawatir dan teruskan ceritamu.”
Sian Eng
melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong
oleh Suling Emas, melakukan perjalanan dengan Suling Emas sampai ke kelenteng
di kota raja ini.
Lin Lin amat
tertarik dan beberapa kali ia menarik napas panjang. “Ah, alangkah senangnya
melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng?
Ramahkah dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang kusangka? Dan
kepandaiannya bagaimana?”
Diam-diam
Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah
gerangan? Ia merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling
Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.
“Dia memang
orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali dan sepak terjangnya tidak seperti manusia
biasa. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak
dapat mengikuti gerak-geriknya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak
menjawab pertanyaan, itu pun singkat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering
kali suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali
tidak ramah. Aku tak pernah melihat ia tersenyum, apa lagi tertawa. Ada satu
kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia
tidak pernah mengajak aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan
bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki.”
Lin Lin amat
tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada
diri sendiri, “Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh... seperti raja saja
dia....”
“Kau bilang
apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?”
Lin Lin
sadar dan tersenyum, “Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga ditolong
Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?”
“Menurut
Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari tangan Suma Boan
yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di
kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang
muncul lebih dulu.”
“Mudah-mudahan
Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang
kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau sudah mendengar tentang dia?”
Sian Eng
mengerutkan kening dan menarik napas panjang. “Berita yang kudengar tentang Kakak
Bu Song tidak baik. Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera
pangeran itu agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan
kemarahannya kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan
menurut Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah... sudah mati, katanya. Akan
tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang
yang membenci Kakak Bu Song.”
Lin Lin
mengerutkan keningnya. “Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimana pun
juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu Song. Kalau Suma Boan membenci
kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak
tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa
mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu
Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana
kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng.”
“Apa? Kau
hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang
memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa
mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak
menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya.”
“Wah-wah,
apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh
mendewa-dewakan siapa pun juga. Biar seribu kali dia menolong kita kalau dia
menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau
dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya!”
Sian Eng merasa
khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki
kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi dari pada dia atau Bu Sin sekali pun, akan
tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas,
timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh
dan angin-anginan. Bagaimana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal
yang bukan-bukan andai kata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu
Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya! Akan tetapi, mencegah pun ia tahu
akan sia-sia belaka, apa lagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.
“Enci Eng,
jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan
kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti dewa! Dan pesanku,
kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak
ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik dari pada
Suling Emas.”
“Ihhhhh, kau
bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang
laki-laki itu? Cih, tak bermalu!”
“Hik-hik,
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu! Tapi aku tahu, Enci-ku yang manis
ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa!”
“Idihhhhh,
genit kau!” Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat
Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di
atas.
“Enci Sian
Eng, aku pergi dulu!”
Siang Eng
menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang
menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah,
bocah itu terlalu lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum,
dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena
pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat
betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa
dia... eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan
Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada
Suling Emas. Gila benar!
Bukan
laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria
idamannya. Suling Emas terlalu tinggi, seperti manusia setengah dewa, bukan...
bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian
Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan
adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan... dan tiba-tiba
Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu!
********************
Kita
tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari
kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang
tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa
yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan istana,
seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau
berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung
perpustakaan istana.
Pengalamannya
dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka
merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia
telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh
di luar pagar tembok. Berkat latihan yang tak kenal lelah kini ia telah
memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin.
Oleh karena itu dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada
di daerah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu
menyusup di antara bangunan-bangunan besar.
Beberapa
lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung.
Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung
perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur
dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup
lagi, sudah lupa! Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya
gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap gedung! Apa lagi
kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali
pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari
Kim-lun Seng-jin.
Karena
kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang
tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakang
tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana
tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari
raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak
baunya dan lampu-lampu itu diatur secara nyeni (artistik) sekali. Ada yang
menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang,
ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak
sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga
terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang
menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena
tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi!
Lin Lin
berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di
alam mimpi. Melihat taman itu sunyi tanpa ada seorang pun manusia di situ, ia
berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa
ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan
kecil di taman, semua merupakan hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan
ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu
duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat
tingkah polah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan
megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar
seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu
berkejaran dengan megal-megol.
“Hi-hik,
renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?” Ia tertawa-tawa menggunakan
jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga
bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang.
Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.
“Kau...
siapakah?”
Teguran ini
halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan
membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh
lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil
memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria
berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah
ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung.
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar.
Agaknya orang ini kaisar!
Laki-laki
itu menjadi makin kagum melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang
lebar terbelalak. Senyumnya melebar dan kembali ia bertanya. “Kau siapakah?
Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?”
“Kau...
kau...?” Lin Lin balas bertanya dengan gagap.
Laki-laki
itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening. “Bukan, aku bukan Kaisar,
hanya Thaicu (Putera Mahkota).”
“Ahhhhh...!”
Lin Lin mundur selangkah.
“Kenapa
kaget? Kau siapa?” kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin
terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah
mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali!
“Kau... kau
Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?” Sepasang mata jeli itu
menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur.
Pangeran itu
tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh
ini.
“Ohhh...!”
“Kenapa?”
Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar
mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
“Aku... aku
salah masuk... aku... apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan,
lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku
berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang... yang sudah tiada...”
Sepasang
mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama
hidupnya ada orang bersikap begini ‘biasa’ kepadanya, dan hal ini
menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap
menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan
terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis
remaja cantik jelita dan betul-betul masih asli belum bau kepalsuan tata krama
istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.
“Ah, tak
usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dan
dari mana datangmu?”
Lin Lin
menggeleng-geleng kepalanya. “Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu.”
Pangeran itu
tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya.
“Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?”
“Namaku Lin
Lin.”
“Wah, nama
yang indah sekali! Kau datang dari mana? Mencari siapa di sini?”
“Sebetulnya
aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu,
aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini
tamanmu, Pargeran?”
Bukan main!
Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar
dan menyenangkan sekali. “Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan
emas? Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat
melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas
sekali. Mari, mau lihat?”
Sikap dan
suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih
mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan
tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon
kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.
Dengan
langkah tenang perlahan pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan
pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan, seakan-akan berjalan di
dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya
sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang
merupakan sahabatnya yang bebas dari pada segala aturan protokol. Pangeran
mahkota memang mempunyai ‘hobby’ taman bunga yang indah berikut peliharaan
ikan-ikan emasnya. Kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik
siang mau pun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia
jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya
bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu
pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.
Begitu
memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut ‘Pagoda Ikan’, Lin Lin
membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Pangeran
itu tersenyum gembira karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh,
sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ,
yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan
kebanggaan hati pangeran mahkota.
Memang indah
di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan
terbuat dari pada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna
sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada
pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil
merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan. Adapun ikan-ikan emas dengan
sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan
tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua.
Pangeran itu
menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati
pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya dari pada ikan-ikan di dalam
kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja,
masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan
isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri
yang pada saatnya akan lebih menggairahkan dari pada isi pagoda.
Setelah Lin
Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari
satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas
panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata, “Hebat sekali! Aku merasa
seakan-akan berada di dasar lautan!”
Pangeran itu
tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak! Dan
teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan,
tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia
bertanya, “Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung
perpustakaan istana! Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk
seorang kutu buku?”
Lin Lin
cemberut. “Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja besarnya seperti aku,
bukunya sebesar apa?”
“Ha-ha-ha-ha-ha!
Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah
sebutan bagi seorang yang hobby-nya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau
buta huruf.”
“Tentu saja
aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu
lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca
buku, melainkan....” Lin Lin menjadi ragu-ragu.
“Melainkan
apa? Hendak mencari kitab rahasia?”
Lin Lin
menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada
salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini
kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan
istana kalau berada di kota raja. “Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak
mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana.”
Betul saja
dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar
bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis
ini mencari tokoh aneh itu. “Kau mencari... dia? Ah, kiranya kau seorang gadis
petualang dari dunia kang-ouw! Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau
lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu
diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan
kelihaianmu....”
Tiba-tiba
terdengar bentakan keras, “Thaicu, saat kematianmu tiba!” tampak sinar
menyilaukan mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju
dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota!
“Jangan
takut!” Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang
orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan
orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi
Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin!
Pangeran itu
membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan,
“Menjemukan benar....” Ia melangkah ke luar dan saat tangannya bergerak,
buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga.
Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu.
Lin Lin
terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang
dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi,
sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang
disambitkan oleh pangeran mahkota!
Ketika Lin
Lin kembali ke dalam pagoda, pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut.
“Tidak enaknya menjadi keluarga istana,” katanya ketika melihat Lin Lin
kembali, “sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan,
selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam
ini. Uhhh, menjemukan sekali!”
“Tapi dengan
kepandaian seperti yang kau miliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya
kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka!” Lin Lin memuji.
Pangeran
mahkota memandang tajam. “Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian
pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka!”
Lin Lin
kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat,
dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan
tetapi senyumnya mengandung kepahitan.
“Nona Lin
Lin, terus terang saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum
pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan
yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat
menjadi sahabatku selamanya. Tapi... aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di
sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini
saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan
masih dapat bertemu seperti sekarang ini.”
Lin Lin
mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak
mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah
pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.
“Lin Lin,
pertemuan ini telah menjalin persahabatan kita. Sebagai sahabat yang akan
sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang
dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu! Akan
tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku
tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak dari pada ini. Kau harus
dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan
harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu
akan kehadiranmu. Nah, selamat malam.”
“Tapi...
tapi... aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu...?”
Pangeran itu
tersenyum. “Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan
berada di sebelah kiri taman ini, melalui tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi
berwarna putih, kau cari saja, tentu dapat.”
Lin Lin
menyarungkan pedangnya. “Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang
berubah pendapatku bahwa semua pangeran adalah jahat belaka model Suma
Boan....”
“Kau kenal
Suma Boan?”
“Pedangku
yang akan mengenalnya, dia musuhku!”
Pangeran itu
mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap
di balik pagar tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik.
“Mudah-mudahan ia selamat!”
Pertemuan
antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di sini
karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak setelah
pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan antara pemerintahnya dan Kerajaan
Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan.
Lin Lin
melompati pagar tembok taman itu dan menyelinap ke dalam gelap. Ia segera
mendekam di balik sebatang pohon ketika melihat berkelebatnya dua bayangan
orang.
“Ke mana
mereka...?” bisik sesosok bayangan.
“Memasuki
taman Putera Mahkota...!”
“Ha-ha,
mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum begitu tinggi, berani
mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat mereka.”
“Hush,
jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda panggilan Thaicu, siapa berani masuk
taman? Minta mampus? Biar kita menanti di sini saja.”
Lin Lin
bergerak menjauhi dua orang pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata
pangeran, banyak pengawal pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan
adanya dua orang pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja membiarkan dua orang
penjahat memasuki gua harimau! Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat
bangunan atap putih. Hatinya berdebar, apakah Suling Emas berada di dalam
gedung ini? Kelihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat lagi.
“Berhenti!
Siapa kau berani mencuri masuk taman Thaicu dan berkeliaran di istana? Hayo
menyerah!”
Lin Lin
sudah mendahului orang itu, menerjang dan berhasil mendorongnya roboh. Orang
itu lihai dan cepat sudah melompat bangun. Tadi ia dapat dirobohkan karena sama
sekali tidak mengira akan diserang, apa lagi ketika ia terlongong keheranan
melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang gadis remaja yang cantik dan cara
gadis itu menerjang adalah luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena
memang Lin Lin tadi menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.
“Gadis liar,
jangan lari!” pengawal itu membentak dan menubruk.
Akan tetapi
cepat seperti seekor burung walet membalik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri
dan begitu tangannya bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah
dengan terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah
urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi tanda
bahaya.
Lin Lin
cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat gedung perpustakaan. Ia tidak ingin
melibatkan diri ke dalam pertempuran dengan para pengawal sebelum ia bertemu
dengan Suling Emas, karena memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi
tiba-tiba berkelebatan bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh
lima orang pengawal istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing
memegang sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di pihak para pengawal, mereka
sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan
mengurung seorang gadis jelita! Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu karena
pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti mereka, masa harus mengeroyok
seorang gadis muda?
Melihat
betapa lima orang pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin
Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang
pengawal itu terkejut.
“Eh, kiranya
kau pencuri pedang? Nona cilik, lebih baik kau menyerah saja dari pada kami
harus menggunakan kekerasan. Malu kami kalau harus....”
“Banyak
cerewet!” Lin Lin sudah menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung
seperti awan kuning. Para pengawal kaget dan cepat menangkis. Di lain saat Lin
Lin sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para pengawal
itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka terdesak hebat oleh
pedang yang dimainkan secara dahsyat itu.
Khong-in-lui-san
adalah ilmu silat yang sakti, apa lagi sekarang dimainkan dengan menggunakan
pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan main. Segera Lin Lin berhasil melukai
leher seorang pengeroyok, akan tetapi pada saat seorang lawan ini roboh,
terdengar suara berkali-kali dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain!
Lin Lin
bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak rendah,
apa lagi kalau mereka melakukan pengeroyokan. Bisa-bisa tenaganya habis dan
akhirnya ia tentu akan tertawan. Ia pikir lebih baik melarikan diri dulu,
keluar dari istana ini. Urusan dengan Suling Emas dapat dilakukan besok atau
lusa malam. Ia berseru keras, pedangnya meluncur, merupakan sinar yang panjang
mengancam. Empat orang lawannya kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke
belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lin Lin untuk lompat menjauh. Akan
tetapi kini para pengawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ
dan kembali Lin Lin dihadang dan dikurung.
Gemaslah Lin
Lin. Ia menggigit bibirnya lalu memaki. “Aku datang bukan bermaksud bikin
kacau. Aku tidak ingin berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mundur semua,
tinggalkan aku! Awas jangan bikin aku hilang sabar!”
Biar pun
maklum akan kelihaian nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para
pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan sekarang di situ telah
berkumpul belasan orang pengawal, bagaimana gadis liar ini masih berani membuka
mulut besar?
“Dia pencuri
pedang pusaka! Tangkap!”
Melihat
dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia mengerahkan tenaga,
memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri. Pengurungan di sebelah ini segera
terdesak mundur dan kesempatah ini ia pergunakan untuk melompat ke atas atap
putih dari gedung perpustakaan. Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang
pengawal tua yang bertubuh tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak
sebagai sinar hitam melayang-layang ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget
bukan main ketika melihat bahwa benda itu adalah sehelai tali yang dapat
bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam hendak melibat tubuhnya! Ia maklum
bahwa penggeraknya tentu bukan seorang biasa, maka ia segera membabat dengan
pedangnya.
“Iiihhhhh!”
Lin Lin berseru kaget.
Pedangnya
yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia mengerahkan
tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu tentu akan
jatuh ke bawah! Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia melepaskan
pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu. Akan
tetapi, begitu kakinya menginjak atap putih tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya
melayang ke bawah, ke dalam gedung itu!
Para
pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus yang lihai tadi, mereka melompat
ke atas atap. Akan tetapi tiba-tiba mereka berdiri tertegun dan tidak berani
bergerak, memandang kepada sebuah sapu tangan hitam yang berkibar seperti
bendera di ujung atap. Sapu tangan hitam yang ada gambarnya suling berwarna
kuning!
“Dia... dia
di sini...” bisik seorang pengawal dan kini para pengawal itu memandang penuh
pertanyaan, menanti komando pengawal kurus yang menjadi pimpinan pasukan.
“Dia di
sini, tak boleh kita mengganggu. Mundur! Lakukan saja penjagaan sekeliling ini
dan baru bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap dia!”
Para
pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi
sunyi kembali.
***************
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung perpustakaan. Agar
jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah
terlalu lama kita tinggalkan.
Telah kita
ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan digantung di atas
kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya.
Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan
telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di
luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan
lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu
dan beberapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani
menampakkan diri di tempat ramai.
Sepekan
kemudian, menjelang senja ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi
menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga
tidak tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini
di waktu malam karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu! Akan tetapi Bu
Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa
aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di
bawah pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar
kokok ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak
menyambut sang bulan?
Malam itu
bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik
di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur,
tampak besar bundar kemerahan, amat indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira,
ia malah berduka teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui
bagaimana nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya, Kam Bu Song. Amatlah tipis
harapan untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya
kakaknya itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya
itu masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai
musuh seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu
silat, tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih
mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.
Tiba-tiba
napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan.
Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian digosok-gosoknya, akan tetapi
tetap saja pemandangan di depan itu tidak berubah. Bulu tengkuknya berdiri
satu-satu. Jantung berdebar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang
penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa
ngeri melihat betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak
di depan batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang
riap-riapan sampai ke kaki?
Wanita itu
berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing,
kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan
jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa
wanita itu masih muda. Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia
datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu?
Kuntilanak!
Siluman! Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis
tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat kenyataan bahwa
tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka kuntilanak ini tentulah
mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata terbelalak tinggal putihnya
saja, mulut bertaring. Iiihhhhh! Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan
ini, pikirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu
melangkah pergi dari tempat itu.
Akan tetapi
baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyambar dan terdengar
bentakan yang merdu, nyaring dan halus, “Berhenti! Siapa itu?”
Tengkuk dan
punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di
belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung.
Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi
wajah yang mengerikan.
Ia membalik
tiba-tiba dan... Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang
amat manis dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan
mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh
langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung,
pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung
membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andai kata
siluman juga, inilah siluman cantik!
Siluman!
Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita
muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang
pedangnya.
Wanita itu
tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya
mengerikan, hampir seperti tangis! “Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?”
“Nama saya
Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona... eh, Nyonya siapakah?”
Wanita itu
tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taringnya! “Bagus
sekali! Kau she Kam? Suaramu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si
Ek?”
Bu Sin
terkejut dan memandang heran. “Dia... dia adalah mendiang Ayahku.”
Sepasang
mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi. “Hi-hi-hik,
pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat persamaannya. Kau
jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku? Aku
Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Karena kau
puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku!”
Bu Sin makin
kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau
tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya? Ia
merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut
pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan
mengganggunya lagi.
Akan tetapi
wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu bergerak, melibat
pedang dan tubuhnya dan....
“Krak!
krak!” pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki
dan pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum, membuat ia tak
dapat berkutik sama sekali! Bu Sin berusaha meronta dan mengerahkan
lweekangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena rambut-rambut
itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya!
“Hi-hi-hik!
Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik. Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah
dibikin sakit hati oleh Ayahmu, jenderal yang angkuh dan sombong itu.
Mentang-mentang dia seorang jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani
menolak aku! Hi-hik, dan sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang
akan kulakukan denganmu? Kau akan kujadikan korban yang keempat puluh! Aku sedang
menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk
keperluan itu aku membutuhkan hawa murni dan darah hidup jejaka-jejaka murni
sebanyak-banyaknya! Dan kau masih muda remaja dan murni. Hi-hik, kau menjadi
orang keempat puluh, dan kau putera Kam Si Ek. Bagus sekali, tentu darahmu
bersih, darah satria. Inilah yang kucari!” Wanita itu tertawa-tawa.
Bu Sin
bergidik. Terang wanita ini gila. Ataukah dia bukan manusia? “Pergi kau!
Lepaskan aku!” teriaknya. “Kau bohong! Usiamu takkan lebih tua dari pada aku,
mana bisa kau mengenal Ayah.”
Siang-mou
Sin-ni menggunakan telapak tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang
tak berambut. “Terima kasih, orang bagus! Pujianmu bikin aku tak tega
membunuhmu. Kau betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku
hampir dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang
Hoat-lek! Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan... takkan bisa mati! Nah,
kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan
hangat!” Setelah berkata demikian wanita itu mendekatkan mukanya ke muka Bu
Sin.
Pemuda ini
bergidik dan meremang bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira
hendak dicium, akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan...
hidung dan mulut yang basah hangat itu menempel pada tenggorokannya! Bu Sin
merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia meramkan mata
menahan sakit, siap menanti maut karena sama sekali tidak dapat berkutik.
Akan tetapi
tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu
Sin, membelai-belainya. “Kau tampan... gagah, seperti Ayahmu... sayang kalau
dibunuh!”
Sejenak Bu
Sin merasa betapa wajah yang halus kulitnya itu menempel pada pipinya. Ia tak
berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang mengikat kaki tangan
dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata.
Siang-mou
Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum
manis sekali. “Kau tampan dan ganteng, kau pemberani seperti Ayahmu. Bu Sin...
eh, Kanda... kau sembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu dahulu. Kau
perbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Koko (Kanda) yang
ganteng?” Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet dengan lagak genit dan
mengambil hati.
Bu Sin
merasa tenggorokannya tercekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak
karuan. “Apa maksudmu? Apa kehendakmu?”
Siang-mou
Sin-ni mengangkat muka, lalu dengan lagak genit mencubit dagu Bu Sin. “Hi-hik,
kau benar-benar masih hijau! Tentu saja maksudku agar kau suka menjadi
suamiku!”
Kalau saja
pada saat itu ada gunung meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika
mendengar kata-kata ini. Wajahnya menjadi pucat dan seketika ia membentak, “Kau
perempuan gila! Pergi, jangan dekat-dekat denganku! Aku tidak sudi menjadi
suamimu. Huh, tak bermalu, lebih baik kau bunuh aku!” Sambil berkata demikian
Bu Sin mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu dengan pukulan. Ia
mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat benci dan hendak
membunuh wanita itu.
“Bukkk!”
kepalan tangan Bu Sin tepat menghantam dada, bertemu dengan daging lunak, akan
tetapi akibatnya, tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang! Sebelum pemuda ini
tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya
tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan dibawa
pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu!
Sambil
berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni bernyanyi-nyanyi,
kadang-kadang mengomel panjang pendek, “Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada
bocah ini? Lebih celaka lagi. Dia menolak dan memaki-maki, keparat!”
Ia berhenti
di sebuah anak sungai yang jernih airnya dalam sebuah hutan, menurunkan tubuh
Bu Sin yang ia lempar ke atas rumput. “He, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang?
Maukah kau?”
“Tidak sudi
dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina dan gila!”
“Hi-hik,
seperti Ayahnya!” tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah
dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu terlempar ke dalam air di depan Siang-mou
Sin-ni!
Bu Sin
gelagapan, akan tetapi tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya
dibelenggu rambut. Ia gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil
kedinginan. Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi
tubuhnya masih terendam.
“Jawab, mau
tidak kau?!”
“Tidak
sudi!” Bu Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, berkali-kali
sampai sukar bernapas dan perutnya kembung kemasukan banyak air.
“Apakah kau
masih bandel tidak mau?” Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda
itu diangkat agar dapat bernapas.
Bu Sin tak
dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih cukup
kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak sudi!
“Bandel!”
Siang-mou Sin-ni berteriak marah dan melelapkan kepala Bu Sin sampai pemuda ini
menjadi pingsan, baru ia angkat tubuh itu ke atas daratan, memegangi
punggungnya dan membalikkan kepala Bu Sin ke bawah, menepuk perutnya sehingga
dari mulut pemuda itu keluar banyak air!
Ketika Bu
Sin sadar dari pingsannya, ternyata ia telah berada di tempat yang amat tinggi,
di atas pohon yang tingginya lebih dari sepuluh meter! Pakaiannya sudah kering
kembali dan ternyata ia digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung
dari belakang sehingga tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar. Ia
berusaha menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah tertotok
pula, tak mampu bergerak. Baju dalamnya sudah tidak ada, agaknya disobek oleh
perempuan iblis itu sehingga ketika bajunya tergantung pada cabang pohon, perut
dada serta lehernya telanjang.
Perempuan
itu duduk di atas sebatang dahan kecil di depannya. Luar biasa sekali.
Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak di atas ranting demikian
kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau ranting itu patah?
Siang-mou Sin-ni duduk merangkapkan jari-jari tangan, kakinya bergoyang-goyang
tergantung. Rambutnya riap-riapan, hitam halus mengkilap, matanya meram melek
ketika ia menatap wajah Bu Sin. Nampaknya wanita itu terheran-heran, kagum,
juga jengkel dan kehilangan akal.
“Bu Sin
koko, kau buka matamu dan pandang baik-baik. Apakah aku tidak cantik molek?
Lihat kulitku begini putih kemerahan dan halus, lihat rambutku begini panjang
hitam, halus dan harum. Tubuhku padat dan denok. Semua orang bilang wajahku
cantik seperti bidadari. Apakah kau menganggap aku kurang cantik?”
Bu Sin
mendongkol sekali. Benar-benar wanita iblis dan ia lebih senang seribu kali
mati dari pada harus menjadi suami iblis macam ini. “Huh, Siang-mou Sin-ni, kau
kira aku Kam Bu Sin seorang laki-laki macam apakah? Kau memang cantik jelita,
akan tetapi apa artinya cantik jelita kalau wataknya busuk dan jahat seperti
iblis? Apa artinya buah yang tampak indah dan lezat kalau di dalamnya tersembunyi
banyak ulatnya yang menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka,
di bawahnya hanya daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri
hanya tengkorak yang menjijikkan! Aku tidak butuh kecantikanmu, dan aku muak
melihat kejahatanmu!”
“Ck-ck-ck...
semuda ini sudah bisa bicara tentang jahat dan baik! Hi-hik, kau seperti anak
kecil yang muntah-muntah melihat tahi, tidak tahu bahwa di dalam perutnya
sendiri penuh tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak dapat menundukkanmu? Masih
banyak jalan.” Ia lalu berkelebat pergi, tapi belum lebih lima menit ia telah
kembali, membawa daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu memercik-mercikkan madu
itu pada muka, leher, dada, perut dan kedua lengannya, kemudian sambil
tertawa-tawa ia melempar daun itu dan duduk kembali seperti tadi.
Bu Sin tidak
mengerti apa kehendak wanita ini. Ia maklum bahwa wanita ini kejam sekali dan
ia sudah siap menanti datangnya siksaan, akan tetapi apa maksudnya
memercik-mercikkan madu kepadanya? Apakah madu ini mengandung racun sehingga
sebentar lagi aku akan merasakan akibatnya? Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan
tetapi baru sepuluh menit kemudian ia mengerti apa artinya madu dipercikkan itu
dan ia bergidik penuh kengerian.
Kiranya
semut-semut besar mulai berdatangan melalui batang, cabang, ranting dan
daun-daun, dan tak lama kemudian semut-semut itu telah merayap di seluruh
tubuhnya, menggigitnya! Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan gatal. Bukan main
hebatnya siksaan ini. Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air yang dingin,
sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak ada derita lagi,
tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi. Semut-semut ini menggigit,
mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang bukan main hebat penderitaannya.
Akan tetapi yang paling hebat di antara segala adalah kenyataan bahwa ia tidak
akan menjadi pingsan karenanya! Ia akan terus sadar untuk merasakan penderitaan
ini, yang membuat seluruh urat syarafnya tegang dan terganggu, membuat
perasaannya tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak tertahankan lagi oleh Bu
Sin, ia mulai berteriak-teriak menahan perasaan yang tak dapat dilukiskan lagi
penderitaannya!
“Hayo bilang
bahwa kau mau menjadi suamiku dan aku akan membebaskanmu!” Berkali-kali
Siang-mou Sin-ni berkata membujuk.
Hanya
kata-kata inilah yang kadang-kadang menjadi penguat semangat Bu Sin, karena ia
lalu memaki-makinya dan untuk sementara melupakan penderitaannya. Akan tetapi
kalau wanita itu diam saja dan duduk menonton, ia tersiksa lagi. Akhirnya Bu
Sin tertawa-tawa, lalu menangis, tertawa lagi seperti orang gila karena
penderitaannya yang tak tertahankan. Kalau diteruskan beberapa jam lagi, ia
tentu akan menjadi gila benar-benar.
Agaknya
Siang-mou Sin-ni memaklumi hal ini, maka ia lalu mengusir semut-semut itu,
memanggul tubuh Bu Sin dan melompat turun dari atas pohon, lalu berlari cepat
sekali pergi dari situ. Bu Sin meramkan matanya, merasa seperti dibawa terbang
oleh wanita sakti yang berhati iblis ini. Ia tidak putus asa selama nyawanya
belum melayang, akan tetapi ia bertekad lebih baik mati dari pada dijadikan
suami seorang iblis betina yang demikian keji dan jahatnya. Ia seorang
laki-laki sejati dan nama baik serta kehormatannya jauh lebih berharga dari
pada selembar nyawanya. Demikianlah tekad hati pemuda jantan ini.
Akan tetapi
Bu Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dan belum berpengalaman. Ia sama
sekali tidak tahu sampai di mana jahat, keji, dan lihainya seorang tokoh besar
dunia hitam seperti Siang-mou Sin-ni yang terkenal sebagai seorang di antara
enam tokoh Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia)!
Selama
menjadi tawanan wanita iblis ini, beberapa hari kemudian, ia telah berubah
menjadi seorang yang kehilangan semangat, menjadi seorang yang tak ingat
apa-apa lagi, menjadi penurut seperti binatang peliharaan, disuruh apa saja
oleh Siang-mou Sin-ni, akan ditaatinya tanpa mempedulikan nyawanya sendiri,
tidak ingat lagi akan nama dan kehormatan, bahkan nama sendiri pun ia tak ingat
lagi. Bu Sin telah menjadi korban kekejian Siang-mou Sin-ni setelah diberi
minum racun yang disebut racun perampas semangat! Dan iblis betina itu tercapai
maksud hatinya yang kotor, menjadikan Bu Sin sebagai seorang kekasihnya, suatu
hal yang hanya merupakan siksaan dan hukuman karena ia tetap tidak dapat
merampas cinta kasih Bu Sin, tidak dapat memiliki Bu Sin yang sebenarnya,
seperti yang diinginkannya.
Bersama Bu
Sin yang menjadi tawanan dan kekasihnya, yang menuruti segala kehendaknya
seperti patung hidup, Siang-mou Sin-ni pergi ke selatan. Ia hendak mengunjungi
Nan-cao negeri di selatan yang mengadakan persekutuan dengan Hou-han. Biar pun
Siang-mou Sin-ni seorang tokoh dunia hitam, namun bagi Kerajaan Hou-han yang
kecil itu ia merupakan seorang tokoh yang patriotik dan ia bekerja untuk
kerajaan ini. Oleh karena itu, tentang persekutuan dengan Kerajaan Nan-cao,
Siang-mou Sin-ni sudah mendapat wewenang dan tugas untuk mengurusnya. Kini ia
pergi mengunjungi, selain untuk tugas ini, juga untuk menghadiri perayaan yang
diadakan di Nan-cao berhubung dengan peringatan seribu hari wafatnya kauwcu
(ketua agama) dari Beng-kauw yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan
Nan-cao, juga bertepatan dengan hari ulang tahun berdirinya perkumpulan Agama
Beng-kauw.
Siang-mou
Sin-ni di dunia persilatan terkenal sebagai seorang di antara keenam iblis
Thian-te Liok-koai, akan tetapi di negerinya sendiri, yaitu daerah Kerajaan
Hou-han, orang akan menjadi terheran-heran melihat ia dihormati semua orang,
juga ditakuti dan ia keluar masuk istana seperti keluar masuk rumahnya sendiri
saja! Dia merupakan seorang tokoh yang selain keji dan kejam, juga amat luar
biasa anehnya, penuh diliputi rahasia dan kepandaiannya luar biasa hebatnya.
Inilah yang membuat dia menjadi seorang di antara keenam Liok-koai (Enam
Iblis), sifat-sifat yang harus dimiliki seorang tokoh untuk disebut iblis
dunia. Banyak orang jahat, akan tetapi ia tidak sakti dan tidak luar biasa
anehnya, maka ia tidak bisa disamakan dengan Thian-te Liok-koai. Keenam orang
tokoh ini disebut Iblis Dunia karena memang mereka terlalu amat jahat, kejam
dan tinggi ilmunya.
Alangkah
buruk nasib Bu Sin, terjatuh ke dalam cengkeraman seorang iblis betina seperti
Siang-mou Sin-ni. Agaknya akan lebih baik kalau ia dibunuh, karena nasib yang
menimpa dirinya memang lebih hebat dari pada kematian. Ia menjadi seorang
manusia yang kehilangan segala-galanya. Bu Sin sama sekali tidak ingat lagi
akan diri sendiri, juga ia tidak tahu ke mana ia dibawa pergi oleh Siang-mou
Sin-ni. Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa ia harus taat kepada segala
kehendak Siang-mou Sin-ni!
***************
Nan-cao
adalah sebuah negeri kecil, atau lebih tepat lagi sebuah kerajaan kecil yang
berada di daerah Yu-nan. Di antara kerajaan-kerajaan di daerah selatan dan
barat, Kerajaan Nan-cao yang kecil ini terhitung kerajaan yang paling kuat dan
paling gigih menentang dan tidak mau tunduk kepada Kerajaan Sung. Lain-lain
kerajaan seperti Kerajaan Nan-ping di Hu-pei dan Kerajaan Su di Se-cuan, suka
mengakui Kerajaan Sung dan pemimpin mereka oleh Kaisar Sung malah diganjar
pangkat dan kedudukan. Akan tetapi Nan-cao tidak mengakui kedaulatan Kaisar
Sung.
Yang
memperkuat kedudukan Kerajaan Nan-cao sesungguhnya adalah Agama Beng-kauw.
Agama ini dipimpin oleh orang-orang sakti dan karena kaisarnya sendiri juga
termasuk pemeluk Agama Beng-kauw, maka boleh dibilang para pemimpin agama ini
adalah keluarga raja di istana.
Apakah
sebetulnya yang disebut Agama Beng-kauw? Mari kita mengenalnya dari catatan
sejarah. Beng-kauw yang berarti Agama Terang aslinya disebut Manicheism, yaitu
menurut nama penemunya yang bernama Mani. Mani seorang berbangsa Persia (Iran),
putera seorang bangsawan. Pada hahekatnya, Agama Manicheism atau Beng-kauw ini
merupakan perkawinan antara Agama Kristen dan Agama Zoroastrianism yang dianut
oleh sebagian besar bangsa Persia.
Agama ini
mendasarkan filsafatnya pada filsafat kuno tentang Im Yang (Positive &
Negative). Menurut ajaran agama ini, segala kejahatan lahir dari pada kegelapan
yang merupakan sebuah Kerajaan Gelap yang dirajai setan. Oleh karena inilah,
Mani menamakan diri sendiri sebagai Duta Terang, dan ini pula yang menyebabkan
mengapa agama ini disebut Agama Terang atau Beng-kauw. Segala macam kotoran
harus dibersihkan, segala macam kegelapan harus dikalahkan dan diusir oleh
Terang.
Agaknya
karena banyak orang berilmu tinggi dan memiliki kesaktian mendukung lahirnya
agama ini, maka sebentar saja Beng-kauw menjadi sebuah agama yang besar dan
dianut manusia secara luas. Seperti juga dengan agama-agama lain, Agama
Beng-kauw tersebar luas setelah penemunya, Mani meninggal dunia (dihukum mati
pada tahun 274 Masehi). Agama ini meluas sampai jauh ke barat, menurut catatan
sampai ke Perancis, dan pada tahun 694 Masehi mulailah agama ini masuk ke
Tiongkok yang oleh para penganutnya lalu disebut Beng-kauw (Agama Terang). Dua
abad lebih kemudian, biar pun di Tiongkok Agama Beng-kauw sudah amat menurun
pengaruhnya, namun masih berpusat dan bersisa di selatan, di negara Nan-cao.
Puluhan
tahun ketua Beng-kauw adalah seorang tokoh yang amat terkenal akan
kesaktiannya, bernama Liu Gan yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan
Delapan). Hebat kepandaian ketua Beng-kauw ini dan orang-orang, terutama para
pemeluk agama itu, percaya bahwa tokoh ini adalah seorang yang tidak bisa mati!
Usianya pun katanya lebih dari seratus lima puluh tahun. Agaknya hal kedua ini
mungkin sekali karena semua tokoh kang-ouw yang paling tua tidak ada yang tidak
mendengar nama besarnya yang berarti bahwa Pat-jiu Sin-ong ini sudah amat lama
tersohor di dunia kang-ouw. Akan tetapi agaknya tidak benarlah desas-desus yang
mengatakan bahwa ia tidak bisa mati karena buktinya bulan depan ini di sana
akan diadakan sembahyangan untuk memperingati dan menghormati seribu hari
wafatnya Pat-jiu Sin-ong!
Pernah
disebut dalam cerita ini bahwa Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mempunyai seorang puteri
bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Berbisa)! Tiga
puluh tahun yang lalu, Liu Lu Sian merupakan seorang tokoh besar pula di dunia
kang-ouw, amat tersohor karena kecantikannya yang seperti bidadari, kecantikan
yang aneh dan asing karena darahnya adalah darah campuran antara Tiongkok dan
Persia. Matanya agak kebiruan, kulitnya yang putih agak kemerah-merahan. Tidak
hanya kecantikannya yang luar biasa itu saja yang membuat ia terkenal, akan
tetapi juga kepandaiannya yang tinggi, yang ia warisi dari ayahnya dan terutama
sekali ia tersohor karena keganasannya. Inilah agaknya yang membuat ia
dihadiahi julukan Setan Cilik Berbisa!
Seperti
banyak sekali wanita di waktu itu, Liu Lu Sian juga tergila-gila kepada
jenderal muda Kam Si Ek yang terkenal tampan dan gagah perkasa. Sebaliknya,
Jenderal Kam juga jatuh hati terhadap puteri ketua Beng-kauw ini. Sungguh pun
Jenderal Kam cukup sadar akan keadaan gadis ini yang terkenal ganas dan
merupakan seorang tokoh yang bernama buruk, namun cinta selalu mengalahkan
perasaan dan kesadaran hati manusia muda. Ia menikah dengan Liu Lu Sian, hal
yang amat menggemparkan dunia kang-ouw di waktu itu. Perkawinan ini
mendatangkan seorang putera, yaitu Kam Bu Song.
Sayang
sekali, mungkin karena perbedaan watak, pernikahan itu tak dapat dipertahankan
terlalu lama dan jiwa petualang Liu Lu Sian tak dapat dikekang lagi. Akhirnya
wanita ini pergi meninggalkan suaminya setelah mereka bercekcok. Bu Song yang
ditinggalkan ibunya itu baru berusia empat tahun dan selanjutnya telah kita
ketahui bahwa anak ini pun akhirnya meninggalkan ayahnya, agakya darah ibunya
mengalir di tubuhnya mewariskan jiwa petualang yang besar.
Pengganti
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang telah wafat adalah adiknya sendiri, bernama Liu Mo
yang usianya juga sudah amat tua. Sukar diketahui berapa usia ketua baru ini.
Tubuhnya sama dengan kakaknya, tinggi besar dengan kulit hitam dan mata agak
biru. Ia pendiam, namun kabarnya juga amat sakti. Beng-kauwcu (Ketua Agama
Beng) Liu Mo ini tidak mempunyai julukan yang menyeramkan, namun seperti juga
kakaknya, ia mempunyai pengaruh yang amat besar di negara Nan-cao dan menjabat
kedudukan sebagai koksu (guru/penasehat kerajaan) yang agaknya menentukan
keputusan yang diambil oleh raja. Seperti juga mendiang kakaknya, biar pun dia
sendiri sudah tua dan usianya tak ada yang mengetahui berapa, namun ia masih
kuat dan mempunyai empat orang isteri muda-muda dan cantik! Akan tetapi, hanya
seorang saja di antara isterinya itu yang mempunyai anak, seorang anak perempuan
yang pada saat itu sudah berusia dewasa, sedikitnya sembilan belas tahun. Gadis
remaja ini diberi nama Liu Hwee.
Demikianlah
sedikit tentang keadaan negara Nan-cao dan Agama Beng-kauw yang selain
berpengaruh besar di sana, juga agaknya yang membuat negara ini angkuh dan biar
pun kecil merupakan negara yang kuat juga. Para penghuni istana, dari raja
sampai para pengawal semua merupakan pemeluk dan penganut Agama Beng-kauw yang
setia.
Pada waktu
itu semua penghuni Kerajaan Nan-cao sibuk dengan persiapan mengadakan pesta
besar-besaran untuk merayakan tujuh abad lahirnya Beng-kauw, juga untuk
memperingati seribu hari wafatnya mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Semua orang
bergembira, kota raja dihias indah dan di dekat istana dibangun ruangan besar
untuk menyambut para tamu agung yang pasti akan memenuhi tempat itu.
Seperti
biasa di waktu menghadapi perayaan besar, para pimpinan Beng-kauw dan keluarga
raja bekerja sama karena sebetulnya para pimpinan Beng-kauw adalah keluarga
raja juga. Malah kedua orang saudara Liu yang berturut-turut menjadi ketua
Beng-kauw adalah paman dari Raja Nan-cao. Akan tetapi, seperti telah terjadi
belasan tahun sampai saat itu, keluarga bangsawan ini dalam kegembiraan
persiapan pesta merasa kecewa kalau teringat akan Tok-siauw-kui Liu Lu Sian
yang belum pernah pulang ke Nan-cao. Bahkan semenjak wanita ini meninggalkan
suaminya, Jenderal Kam, ia tak pernah muncul lagi, dan tak seorang pun tahu di
mana adanya Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, tak tahu pula apakah ia masih hidup.
***************
Kita
tinggalkan dulu Kerajaan Nan-cao yang sedang sibuk membuat persiapan untuk
menyambut datangnya para tamu dari empat penjuru untuk menghadiri perayaan
kerajaan dan Agama Beng-kauw. Perlu kita kembali dan ikuti pengalaman Lin Lin agar
jalan cerita menjadi lancar.
Dengan hati
ngeri, Lin Lin merasa betapa tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah, ke dalam
gedung perpustakaan yang amat gelap itu. Cepat ia mengerahkan ginkang-nya, akan
tetapi karena ia tidak tahu berapa tingginya tempat itu, tetap saja ia berada
dalam ancaman bahaya terbanting keras. Akan tetapi tiba-tiba ada tenaga yang
mendorongnya dari bawah, mengurangi kecepatan tubuhnya yang meluncur ke bawah
bahkan kemudian tenaga yang sama pula mendorongnya sedemikian rupa sehingga ia
tahu-tahu telah berdiri di atas lantai yang halus licin! Lin Lin membuka
matanya yang tadi ia tutup saking ngeri.
Kiranya ia
berada di ruangan yang amat lebar dan di balik tikungan ada sinar penerangan
menyorot sehingga ruangan itu menjadi remang-remang. Di depannya berdiri
seseorang, entah laki-laki entah wanita karena hanya tampak bayangannya yang
hitam.
Bayangan itu
mengeluarkan seruan kaget dan heran, kemudian melangkah maju, berbisik dengan
suara menggetar, “Aahhh... kaukah ini...? Kau datang menyusulku...? Dan
tikus-tikus itu berani mengganggumu...? Jangan takut, Kanda akan
melindungimu... ah, betapa rinduku kepadamu....”
Saking
bingung dan herannya Lin Lin sampai tak dapat berkutik ketika tiba-tiba
bayangan itu merangkul dan memeluknya. Baru setelah bayangan itu menciumnya,
yang membuat ia merasa seakan-akan lantai yang diinjaknya amblong ke bawah dan
membuat matanya melihat ribuan bintang berjoget di depannya, ia meronta dan
tangannya melayang ke depan.
“Plak-plak!”
kedua telapak tangan Lin Lin bertemu dengan pipi yang keras.
“Kurang ajar
kau... monyet celeng keparat kau! Kubunuh kau, binatang kurang ajar! Berani kau
me... me...!” Seperti hiu betina mencium darah, Lin Lin menerjang maju, memukul
mencakar menendang!
Semua
pukulan dan tendangannya tepat mengenai sasaran seperti tamparannya tadi.
Bayangan itu sama sekali tidak mengelak, akan tetapi sedikit pun tidak tampak
bahwa pukulan dan tendangan itu terasa olehnya. Hanya terdengar ia menggumam.
“Ah, celaka... aku sudah gila... maaf Nona...”
Lin Lin
penasaran setengah mati. Pukulan dan tendangannya tadi bukan main-main akan
tetapi mengapa yang dipukul dan ditendang tidak apa-apa, sebaliknya malah
telapak tangannya panas-panas dan gares (tulang kering) kakinya linu dan
seperti mau patah-patah? Ia marah sekali, kini mengerahkan tenaga sakti
Khong-in-ban-kin dan menyerang lagi. Kalau tadi ia tidak mengeluarkan tenaga
ini adalah karena ia masih belum begitu marah, hanya terlalu kaget saja.
Sekarang kemarahannya memuncak. Biar pun, andai kata orang ini telah
menolongnya tidak terbanting jatuh, akan tetapi dosanya terlalu besar. Dosa tak
berampun. Memeluk dan menciumnya, kemudian menerima pukulan tendangan dan
tamparan tanpa merasakan sakit sedikit pun juga.
“Uhhh, apa
ini? Dari mana kau dapatkan ini?” Bayangan itu agaknya terkejut menghadapi
jurus lihai dan tenaga sakti itu, cepat ia mengelak dan sekali melompat ia
telah lenyap di tikungan depan.
Lin Lin
mengejar, matanya silau karena kini ia berada di sebuah ruangan yang terang
sekali, diterangi lampu besar yang tergantung di setiap ujung dan di
tengah-tengah ruangan. Dinding tertutup lemari yang penuh dengan buku. Dan di
tengah-tengah ruangan, di bawah lampu berdirilah seorang laki-laki tampan
berjubah hitam dengan gambar suling di depan dada.
Sejenak
kedua orang itu berdiri terpaku, saling pandang. Wajah laki-laki itu penuh
ketegangan, matanya tak berkedip menatap wajah Lin Lin. Sukar menduga apa yang
berada di balik sinar mata itu. Ada kagum, ada gembira, tapi juga kecewa, duka,
dan terharu. Di lain pihak, Lin Lin merasa seakan-akan sudah terlalu sering ia
melihat wajah seperti ini. Di alam mimpi. Ya, di dalam mimpi yang menjadi
rahasia hatinya. Wajah ini! Ia tahu bahwa orang ini tentulah Suling Emas, dan
tahu pula bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia bertemu muka. Akan tetapi
wajah ini... dan tadi ia diciumnya. Mendadak wajahnya menjadi merah dan terasa
panas, matanya mengembang air mata, jantungnya berdenyar-denyar seakan-akan
hendak meledak, dadanya bergelora dan... kedua kakinya gemetar.
“Kau...? Kau
tentu Suling Emas...! Biar pun kau Suling Emas, suling bambu mau pun suling
bobrok, aku tidak takut. Kau harus mampus!” Lin Lin sudah mencelat ke depan,
menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat dari jurus Ilmu Silat
Khong-in-liu-san!
“Eh, eh,
nanti dulu... salah faham... salah duga, maafkan. Kita bicara.”
“Bicara
apa?” Lin Lin makin ‘menyala’ karena pukulan-pukulannya yang bertubi-tubi itu
hanya mengenai angin belaka, agaknya amat mudah Suling Emas mengelak.
“Kau... kau
kurang ajar...!”
Suling Emas
kembali mengelak. “Aku salah mengenal orang... tentu saja kau jauh lebih muda.
Kau masih kanak-kanak, tapi... tapi... wah hebat. Dari mana kau mendapatkan
jurus-jurus sehebat ini?”
Makin cepat
Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji
jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran akan
perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu, akan tetapi
di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol. Jurus-jurusnya dipuji
lihai, akan tetapi tidak sekali pun mengenai sasaran!
“Huh, kalau
pedangku berada di tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan
diri, sayang terampas pengawal curang!” katanya sambil menyerang lagi.
“Inikah
pedangmu?” Suling Emas tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik
jubahnya, dipegang dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin
Lin.
Dara ini
memandang dan terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang
tadi terampas pengawal kurus!
“Eh, betul
bagaimana bisa berada padamu?”
Suling Emas
berkilat pandang matanya. “Bukan soal, coba pergunakan pedangmu!”
Kata-kata
ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi
menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan
kelihaiannya. Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas
akan mempermainkannya dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia
terjengkang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekaii tidak
dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia
terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.
“Lihat
pedang!” teriaknya, lebih mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang.
Sinar kuning berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang
menerjang diri Suling Emas.
“Bagus!”
Suling Emas berkelebat lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput
dari pada bacokan mau pun tusukan pedang. “Wah, jadi kau yang mencuri Pedang
Besi Kuning? Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini,
apakah kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?”
Makin
marahlah Lin Lin, karena biar pun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat
merobohkan bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan?
“Aku bukan
murid si Gundul Pacul! Hayo kau keluarkan kepandaianmu, hayo kau pergunakan
pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi
darahnya sendiri!” tantangnya.
Akan tetapi
tiba-tiba Suling Emas menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah,
muram dan tak acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar,
wajahnya berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang ‘tidak
wajar’ itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung
dan dingin. Ia membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab
yang sudah sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau
mempedulikan lagi kepada Lin Lin.
“Heeiiiii,
hayo bangkit. Kita bertanding!” Lin Lin membentak. Akan tetapi Suling Emas
seakan-akan tidak mendengar bentakannya dan terus saja membaca kitab. Bibirnya
umak-umik (komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.
“Tak sempat
dan tiada nafsu bertanding...,” tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan
mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.
“Monyet,
celeng, kadal, bunglon, tikus...!” Lin Lin menyebut semua binatang yang
dianggapnya paling menjijikkan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada
Suling Emas untuk memancing perhatian dan kemarahannya. “Kau bunuh Ayahku, hayo
kita bikin perhitungan sampai lunas!”
Tanpa
menoleh Suling Emas berkata lagi, “Sialan, semua orang bilang aku membunuh
Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh.”
“Apa kau
bilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku!” Lin Lin
mengayun-ayun pedangnya di belakang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam
tak bergerak dan Lin Lin bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak
melawan.
“Kau bocah
kecil banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!” Biar pun kata-katanya
mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali
tidak mau menoleh.
“Iblis,
setan, siluman...!” Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan
setan dan jin, “Hadapi aku! Aku mau bicara denganmu!”
Akan tetapi
Suling Emas tetap diam saja, melirik pun tidak. Lin Lin makin marah dan
jengkel, mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga
Khong-in-ban-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang
kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling
Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk menunduk, membenamkan
matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja, namun sia-sia.
“Betul kata
Enci Sian Eng, kau seperti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku
tidak mau kau perlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan
melawanku!” Sambil berkata demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan
membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di
depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca!
Akan tetapi
bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan memandang heran,
melainkan kata-kata Lin Lin. “Apa kau bilang? Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi
kau... kau ini... ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau
bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin!”
Lin Lin
merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat.
“Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh,
laki-laki kurang ajar, penghina kaum wanita. Memangnya aku ini apamu...
berani... berani mencium...” Muka Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak
berani mengangkat muka!
“Hemmm,
maafkan, aku tidak sengaja. Tapi... ah, hal itu tidak apa, tak usah kau sebut-sebut
lagi. Percayalah, aku menyesal sekali...”
Tiba-tiba
Lin Lin mengangkat muka, mereka berpandangan dan... Lin Lin menangis. Aneh
memang! Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi kali
ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?
“Lin... eh,
Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh
Ayahmu. Mengapa kau datang ke sini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan
bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada di gedung perpustakaan?”
“Aku... aku
tahu kau bukan pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya
kau di sini. Aku... aku mencarimu hanya untuk bertanya di mana adanya Kakak Kam
Bu Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Kakak
Bu Song sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan di mana kuburnya? Akan
tetapi... sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang
hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu.”
“Dosa...?”
“Tadi
itu...!”
“Eh...? Oh,
itu...? Dengar, Lin... eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah
tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan
anggap saja ciuman itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya.
Bagaimana?”
Seperti
seorang anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng
kepalanya dengan keras. “Tidak bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman
atau kakak mencium... di sini...?” Ia menuding bibirnya.
Suling Emas
menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati,
keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat
ini, “Habis, bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali....”
“Tarik
kembali hidungmu!” Lin Lin memaki-maki. Suling Emas memandang dengan mata
terbelalak dan otomatis ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh
dara nakal itu. “Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari
lawan aku sampai mampus seorang di antara kita! Penghinaan yang memalukan ini
harus ditebus dengan nyawa!”
Suling Emas
merasa bohwat (kehabisan akal) benar-benar. “Masa begitu saja dianggap
penghinaan yang memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan
bagaimana bisa disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona cilik, sekali
lagi aku minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal
jangan... bertanding sampai mati.”
Lin Lin
menahan senyumnya. Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar)
saking bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar.
Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya?
Bukankah itu
berarti Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap
seorang pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji
setinggi langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang
amat ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong.
Sekarang memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya?
Kalau tidak takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu
saja ia sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar
biasa itu ‘ngeri’ terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.
“Suling
Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?”
Pertanyaan
yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke jantung ini membuat
pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak.
Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung dan tak dapat menebak apa
gerangan maksud di balik kata-kata pertanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat
wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak bermaksud menghina.
“Apa
maksudmu?” Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.
“Apakah kau
tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”
Sepasang
mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi sehingga Lin Lin
menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.
“Nona kecil,
apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau...!”
Lin Lin
cemberut. “Siapa main-main? Awas... awas... tentu saja aku awas, kalau tidak
mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?”
“Kalau kau
tidak main-main, apa maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja
aku laki-laki sejati. Suling Emas lebih menghargai nama baik dari pada selembar
nyawanya!”
“Dan sekali
keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”
“Jangankan
empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekali pun takkan dapat menarik kembali
kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku!” Panas perut Suling Emas dan ia
terheran-heran karena belum pernah ia bisa ‘dibakar’ orang selama ini.
“Bagus,
kalau begitu nyata kau seorang Enghiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen
tidak campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan
dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati denganmu, karena aku juga
maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding
sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melakukan apa saja asal jangan
bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan kepadamu.”
Hemmm,
celaka aku sekali ini, pikir Suling Emas dan ia sudah menyesal mengapa tadi ia
memberi janji segala macam. Jangan-jangan gadis liar ini akan menyeretnya untuk
melakukan hal yang bukan-bukan. Diam-diam ia gemas sekali dan ingin rasanya ia
menangkap bocah ini, menelungkupkannya di atas pangkuan dan menghajar pantatnya
sampai matang biru!
Akan tetapi
Lin Lin yang cerdik pura-pura tidak melihat mata yang melotot kepadanya itu,
melainkan ia cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Pertama, kau tidak boleh
bercerita kepada siapa pun juga di dunia ini, kepada isterimu pun tidak...”
“Aku tidak
punya isteri!”
“Masa...?”
Lin Lin duduk menunjang dagu dengan kedua tangan dan memandang tajam. Mereka
sudah sejak tadi duduk berhadapan lagi, terhalang meja. “Kenapa sih? Usiamu
sudah lebih dari pada cukup. Kurasa tiga puluh tahun sudah ada....”
Suling Emas
menarik napas panjang, sejenak memandang wajah Lin Lin, kemudian menunduk dan
menggerakkan kedua pundaknya yang bidang. “Aku takkan punya isteri... siapa
akan sudi padaku...?” Tiba-tiba pandang mata Suling Emas merenung dan tampak
sedih sekali.
“Akan tetapi
kelak kau tentu akan mengubah pendirian ini dan kelak kau tentu akan punya
seorang isteri yang cantik jelita dan baik....”
Suling Emas
menggebrak meja dan... keempat kaki meja itu amblas sampai belasan sentimeter
ke dalam lantai yang keras. Tiba-tiba meja menjadi pendek. “Apa-apaan semua
ini? Melantur-lantur urusan isteri dan pernikahan segala macam?”
Lin Lin
sadar, menurunkan kedua tangannya, keningnya berkerut-kerut, mengingat-ingat,
“Ah, oh... sampai di mana aku tadi? Oya, permintaan pertama, kepada siapa pun
juga di dunia ini, juga tidak kepada... calon isterimu, kau tidak boleh
bercerita tentang yang tadi itu. Sanggupkah?”
Lega bukan
main hati Suling Emas. Kiranya hanya macam begini saja permintaan dara gila
ini. Saking gembiranya dan lega hatinya mendengar bahwa permintaan yang belum
apa-apa sudah ia janji menyanggupi itu ternyata bukan permintaan yang
bukan-bukan, timbul kegembiraannya untuk menggoda. Ia pura-pura tidak mengerti
dan bertanya, “Tentu saja aku sanggup kalau hanya untuk tutup mulut, tapi harus
dijelaskan, tidak boleh bercerita tentang apa?”
“Tentang
tadi itu, lho.”
“Tentang
tadi? Ada apa sih tadi? Tentang kau datang ke istana dan bertempur melawan para
penjaga?”
“Bukan...
bukan...! Kalau tentang itu saja boleh kau ceritakan kepada setiap orang yang
kau jumpai. Bukan itu, tapi tentang... eh, tentang antara kita tadi itu.”
Suling Emas
menarik muka bodoh, longang-longong seakan-akan ia benar-benar tidak mengerti.
“Eh, tentang pertandingan kita tadi? Baik, aku akan tutup mul...”
“Kau buka
sehari semalam juga peduli amat kalau tentang itu. Wah, tidak nyana bahwa
Suling Emas yang namanya lebih tinggi dari puncak Thai-san, kiranya hanya
seorang laki-laki yang amat bodoh. Itu lho, tentang kekurang-ajaranmu tadi, kau
peluk aku dan kau... kau....”
Melihat
betapa wajah itu di bawah sinar lampu yang terang menjadi amat merah, Suling
Emas merasa kasihan juga. Ia mengangguk-angguk. “Baik-baik, aku mengerti sudah.
Aku sanggup untuk tutup mulut tentang hal itu.”
Lin Lin
menarik napas panjang. Ia merasa lega dan hal itu akan merupakan rahasia antara
mereka berdua saja. “Dan kau akan membantu usaha kami mencari Kakak Kam Bu Song
dan pembunuh ayah bunda kami.”
“Sanggup!”
tanpa banyak pikir lagi Suling Emas menjawab sambil mengangguk.
“Dan kau
akan membawa aku bersamamu dalam usaha mencari Kakak Kam Bu Song dan musuh
besarku. Sanggup?”
“Wah... ini...
ini...” Suling Emas meragu.
Lin Lin
tersenyum mengejek dan menudingkan telunjuk kanannya ke arah hidung Suling
Emas. “Nah... nah, janjinya menyanggupi segala macam permintaan, baru begitu
saja sudah menolak...”
“Menolak sih
tidak, tapi... mencari orang yang tidak tentu tempatnya membutuhkan waktu yang
tidak dapat diduga berapa lamanya. Pula, besok aku akan pergi ke Nan-cao
mengunjungi perayaan Agama Beng-kauw....” tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
“Ah, di sana berkumpul semua tokoh kang-ouw, kurasa akan dapat bertemu dengan
pembunuh ayah bundamu di sana.”
“Nah, kalau
begitu bawalah aku ke sana.”
“Tapi...
pembunuh ayah bundamu tentulah seorang yang amat lihai lagi jahat!”
“Takut apa?
Kau kira aku takut? Lagi pula, aku tidak minta perlindunganmu! Aku hanya minta
kau mengajak aku dalam usaha mencarinya. Nah, bagaimana jawabnya?”
Suling Emas
mengerutkan kening, berpikir-pikir, lalu mengangguk-angguk. “Perlu juga seorang
bocah seperti kau ini menghadapi banyak pengalaman. Di Nan-cao kau akan melihat
dan mendengar banyak. Baiklah, aku sanggup. Besok aku akan menjemputmu di
kelenteng itu.”
Bukan main
girangnya hati Lin Lin. Ia dapat membayangkan sudah betapa encinya akan membuka
matanya yang jeli itu lebar-lebar memandangnya kalau mendengar akan janji-janji
Suling Emas kepadanya!
“Sebuah
permintaan lagi, kau harus memperkenalkan nama aslimu kepadaku dan aku pasti
akan merahasiakannya kalau memang kau kehendaki itu.”..
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment