Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 07
Toat-beng
Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya
muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal, dan giginya yang
besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah
Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbelalak lebar. Yang terikat seperti babi
kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi
memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan
pemuda itu, biar pun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong
melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram
melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!
Agaknya
sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini
menarik perhatian Toat-beng Koai-jin. Kakek ini segera menengok ke arah
‘panggangannya’ dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang
meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek,
bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!
Kakek yang
menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata,
“Ahhhhh... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah
begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras?
Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kau panggang
seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”
“Demi Iblis!
Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan
siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya
gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia
menghadapi lawan yang tangguh.
"Hua-ha-hah,
Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa. Tak perlu tanya
namaku, tapi kau sudah melakukan dosa besar terhadapku. Kau tua bangka yang tak
lama lagi mampus, tidak tahu malu, beraninya hanya mengganggu orang-orang muda
yang masih hijau. He, pemakan bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kau
panggang hidup-hidup tadi adalah muridku?”
Toat-beng
Koai-jin menggereng seperti seekor singa kelaparan. “Bagus! Mari tua sama tua
mengadu kepandaian!” serunya sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang
runcing tajam itu mencengkeram.
“Tak tahu
malu!” Empek Gan, kakek lucu itu, berseru.
Benar-benar
sepak terjang Toat-beng Koai-jin kali ini amat licik, masa menerjang lawan yang
masih terikat dan terpanggang di atas api? Empek Gan cepat menggulingkan
dirinya dan kaki tangannya bergerak, kayu-kayu dan daun-daun yang masih
terbakar itu kini terbang berhamburan ke arah Toat-beng Koai-jin!
Si kakek
liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biar pun
serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak
terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya. Ketika kayu dan daun
yang menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah
memakai pakaiannya dengan lengkap.
“Benar-benar
kakek yang luar biasa,” pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan
hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru
Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya
sendiri. Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu
tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apa
lagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang
lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali
pakaiannya, ia makin heran dan kagum.
Segera kedua
orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana dapatnya, Gan-lopek atau
Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil bulu hitam) di tangan kanan dan
pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan kirinya, dan ketika kedua tangannya
bergerak yang tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil
panjang dan kuat, saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng
Koai-jin.
“Ho-ho,
tahan dulu! Kiranya kau ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng
Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.
“Hi-hi-hik,
setan bangkotan pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai
tua bangka gila. Hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu,
selagi aku ada kegembiraan untuk melayanimu!” Sepasang senjatanya, pensil butu
hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan
tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke sana ke mari,
malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus
mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya
menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar
terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya terkekeh-kekeh.
“Lin-moi,
kau mengalami banyak kaget?”
Lin Lin
terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya
itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi
masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan
Lin Lin dari ikatan kaki tangan dan mulut.
“Berbahaya
sekali...,” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”
“Suhu...”
“Wah,
Suhu-mu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”
Muka Bok
Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab, “Memang Suhu paling suka
main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia
ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara
yang paling menyenangkan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai
tertawa dan mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis.
Lihat, setelah Suhu menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan
Toat-beng Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!” Dalam kata-katanya
ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya.
Lin Lin
memandang dan ia menjulurkan lidahnya ke luar saking kagumnya. Memang hebat
Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk
membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak
mengagumkan? Di atas batu karang di mana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur
membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan
Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aslinya, punuknya,
gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!
“Wah,
Suhu-mu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”
“Ah,
kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak
pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya
melukis ini. Katanya, kalau diturunkan kepada murid tiada artinya, malah
merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya, bukankah itu meremehkan
dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”
“Twako,
apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”
Bok Liong
mengangguk. “Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki,
ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi menuju ke Nan-cao pula, dan....”
“Apa?
Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”
Bok Liong
menggeleng kepala. “Aku pun masih heran, tapi kenyataannya enci-mu itu
melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua dikawani Tok-sim
Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah
terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar
dan sampai di sini, Suhu turun tangan mengajak pergi enci-mu dari samping Suma
Boan.”
“Di mana
sekarang Enci Sian Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak
mengerti mengapa enci-nya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran
itu.
“Baru saja
Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan
perjalanan ke Nan-cao.”
“Kalau
begitu mari kita cepat menyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya kuharapkan kau
dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan bersamanya, siapa kira,
sekarang malah aku yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng
kembali bersama... eh, dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan
pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan
kakek ibils yang gila tadi!”
“Kalau perlu
kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau
kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”
Berangkatlah
dua orang muda ini menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin
menjadi pendiam kali ini. Tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan
bagaimana enci-nya dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam
ia merasa penasaran karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin
dan tidak acuh. Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas dan sikap Lie
Bok Liong terhadapnya. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap
Bok Liong, ah...! Andai kata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya... alangkah
akan senang hatinya!
***************
Tiongkok
pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi banyak sekali
kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan besar. Kerajaan Sung
setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang batasnya di utara sampai ke
tembok besar, di selatan sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, di barat sampai ke
Propinsi Kan-su dan ke timur sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar.
Seperti
diketahui, pendiri Kerajaan Sung Cao Kuang Yin, hanya berhasil menyatukan lima
kerajaan utara itu. Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai
Yang-ce-kiang masih amat banyak. Di luar tembok besar sebelah utara terus ke
timur masih dalam kekuasaan bangsa Khitan yang amat kuat. Di Se-cuan terdapat
Kerajaan Shu, di sebelah timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping
sebelah timur lagi Kerajaan Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai
timur. Di sebelah selatan Kerajaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat
Kerajaan Nan-cao, di sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.
Cao Kuang
Ying atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil
menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini. Biar pun Kerajaan Sung tidak lagi
melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali terjadi bentrok hingga
di antara mereka terjadilah ‘perang dingin’.
Akan tetapi
kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat bijaksana. Pada
tahun pertama dari pemerintahannya, pada suatu pagi yang cerah ia mengumpulkan
semua jenderal-jenderalnya yang telah berjasa dalam membantunya mendirikan
Kerajaan Sung. Berkatalah sang Kaisar ini. “Para panglimaku, setiap malam aku
tidak dapat tidur nyenyak.”
Tentu saja
para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.
“Jelas
sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara kalian yang
tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”
Para
panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang tertua
mewakili teman-temannya, “Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan
Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di
antara hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?”
“Aku percaya
akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andai kata
pada suatu pagi yang buruk seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan
dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja), betapa pun hatimu tidak
setuju, tapi bagaimana kamu akan dapat menghindarkan pemberontakan?”
Sibuklah
para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka
memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga
untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah. “Ampun, Sri
Baginda yang mulia. Apa bila hal itu mengganggu ketenteraman hati Paduka, mohon
Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka anggap terbaik untuk mencegah
terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat dan tetap setia kepada
Paduka yang mulia.”
Kaisar Sung
Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya
nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih
dahulu. “Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah
memiliki harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan
kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia,
pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian
panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat tinggal
yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh ketenteraman.
Bukankah ini jauh lebih baik dari pada hidup tak berketentuan nasibnya dan
selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di antara kita tidaklah terdapat
bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita
akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara keturunan kita
sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang
kokoh kuat.”
Mendengar
ini, tentu saja para jenderal dan panglima segera menyatakan persetujuan
mereka, dan pada hari-hari berikutnya mereka mengajukan surat permohonan
pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini, membagi-bagi tanah dan
jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.
Demikian,
dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersihkan istana dari
pada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan kekuasaan dan
pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang dijalankan kaisar pertama
Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil yang
berkuasa di luar daerah yang dikuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan
memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang
agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap
Kerajaan Sung!
Sungguh pun
Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera,
namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati perintah yang
dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang diangkat menjadi pangeran
mahkota, yaitu calon pengganti kaisar adalah adik kaisar sendiri yang kelak
terkenal dengan sebutan Sung Thai Cung, kaisar kedua Ahala Sung. Peristiwa ini
pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar
khususnya dan para pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai
kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam
kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang kematian karena usia
tua.
“Puteraku
Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”
Sebagai
seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar
leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab, “Ibunda yang mulia, ananda menerima
anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan
budi kebaikan yang sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena
kebijaksanaan Ibunda.”
Senang juga
hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu.
“Anak baik selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua...! Puteranda sayang,
bukan... bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkinkan puteranda berhasil
menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari
ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan
kaisar terakhir dari Kerajaan Cou! Puteranda harus dapat belajar dari sejarah,
harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai
mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou
telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih
kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan
puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda
akan mengulangi kebodohan seperti itu.”
Inilah
ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan
termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah
Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya
bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima
perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya,
hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua
belas tahun umurnya. Kerajaan keempat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han
Muda, kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali,
lahirlah Kerajaan Cou yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya. Demikianlah
sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung
Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu adalah panglima-panglima perang
belaka, yang memperebutkan kedudukan dan saling menggulingkan.
Memang tepat
ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya
kepada puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang
memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kuang Ying, melakukan pemberontakan
dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kuang Ying
setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya
kepada para panglimanya. Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena
dia ‘terpaksa’ pula. Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur
dan ‘memaksanya’ mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai
raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan Kerajaan Cou yang
dirajai seorang anak-anak itu.
Dan ini
sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera kaisar,
melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Kerajaan Sung ini
dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau
keturunan sendiri.
Cukup
kiranya sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang mempunyai ibu kota
atau kota raja di Kai-feng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita
meninjau keadaan kota raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi
perayaan besar itu.
Kerajaan
kecil yang wilayahnya meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram dari
pada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk
kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini
sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang
menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw,
akan tetapi lebih dari pada itu, malah terhitung keponakan dari ketua Beng-kauw
dan juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini.
Ketua
Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai kedudukan tinggi
di dalam istana karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara). Ketua
Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan
Delapan) Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan
diperingati kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo
ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh
nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh semua
orang.
Usia Liu Mo
sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan
tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh
semangat, biar pun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara
seperlunya saja. Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus
tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata
ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai
empat orang isteri yang cantik-cantik!
Hanya
seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang,
Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang
cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan
dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya. Untuk memperkuat
kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di istana, Liu Hwee telah membentuk
sepasukan pengawal wanita yang terdiri dari pada seratus orang gadis-gadis muda
dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah
dan menunggang kuda!
Kerajaan-kerajaan
tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang
lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga pernah mencoba untuk memusuhi
kerajaan kecil ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu
dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu,
melakukan perlawanan dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak
ada yang berani mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama
Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil yang kuat.
Mendiang
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk
Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang
pangeran yang lebih suka mengejar ilmu dari pada mengejar kemuliaan dan
kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kembali, ia telah
menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan agama ini ke
dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia ditentang, akan tetapi segera
para penentangnya itu roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat.
Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya
diterima, ia menjadi kauwcu (ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu
oleh raja yang masih keponakannya sendiri.
Pernah
diceritakan sedikit dalam cerita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti
juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang
juga amat sakti dan terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik
Beracun). Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh
tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja
berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta
asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang
bertugas di Shan-si.
Mula-mula
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu
bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan
nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek.
Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat
terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang
memilih suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya
tidak banyak artinya?
Namun tak
seorang pun berani menyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apa lagi
menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh
melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur
suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya
kehidupan mereka penuh bahagia, saling mencinta.
Akan tetapi,
siapa saja yang mengira bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal
abadi, dia akan kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasaan belaka dan
semua ‘permainan’ ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah
senang tergantung yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan
penerimaannya sendiri. Baik buruknya keadaan rumah tangga, tergantung dari pada
si suami dan isteri sendiri karena rumah tangga ibarat bangunan yang dibangun
oleh suami isteri.
Pembangunan
yang gawat ini membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada, membutuhkan
pengertian dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi kokoh kuat,
tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang nan kokoh,
kuat menahan hantaman ombak samudera kehidupan. Sebaliknya, kalau suami isteri
membangun benteng rumah tangganya secara ‘sambil lalu’ saja, hanya dengan
kegairahan dan semangat pada permulaannya saja, buta oleh nafsu yang selalu
dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan indah-indah namun segera padam oleh
kenyataan yang kadang-kadang berlawanan dengan renungan muluk, maka rumah
tangganya, umpama batu karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat. Rumah
tangganya akan mudah pecah, seperti batu karang pasir yang mudah digerogoti air
laut sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!
Alangkah
bahagianya suami isteri yang membentuk rumah tangganya dengan berhasil tadi.
Ada suka dinikmati bersama, ada duka dipikul berdua. Suka dibagi makin
bertambah, duka dibagi serasa ringan. Suka si isteri suka si suami, duka si
suami duka isteri. Kalau sudah begini, barulah rumah tangga bahagia namanya dan
dari rumah tangga inilah lahirnya anak-anak yang baik, calon-calon manusia yang
jiwanya berlandaskan cinta kasih penuh pengorbanan.
Sayang tidak
demikian dengan Jenderal Kam Si Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling
mencinta, saling tergila-gila. Hal yang lumrah. Kam Si Ek seorang pemuda tampan
dan gagah perkasa, perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu
Sian terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila? Inilah
yang disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang berdasarkan kecantikan atau
ketampanan muka, berdasarkan nafsu birahi yang timbul di kala orang menyaksikan
keindahan muka dan tubuh lain jenis.
Dan cinta
yang dibutakan oleh nafsu ini, seperti menjadi sifat nafsu sendiri,
dikobar-kobarkan oleh renungan muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah menjadi
kenyataan. Jika nafsu masih menyala, berkobar-kobar oleh renungan muluk dan
indah, yang tampak hanya yang indah-indah saja, seperti api yang berkobar selalu
indah dipandang, kalau tangan sudah tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik
yang indah itu belum tentu menyenangkan!
Dalam buaian
cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si dia hanya indah semata, segi
buruknya tersembunyi atau disembunyikan, tak tampak atau sengaja tidak dilihat.
Kalau tujuan cinta nafsu sudah tercapai dalam pernikahan, baru tampak segi-segi
buruknya dan kagetlah si perenung, ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang
disebut cinta buta, sebetulnya cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi
buta!
Bumi langit
bedanya dengan cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat kebaikan, juga
keburukan dari pada yang dicinta, biar baik biar buruk tetap dicinta dan
berusaha memperbaiki segala keburukan yang dicinta. Inilah cinta, siap sedia
berkorban, demi kebahagiaan yang dicinta, bukan semata cinta karena cantik atau
tampan. Melihat setangkai kembang mawar harum, tangan memetik hidung menciumi,
membelai-belai, kemudian si kembang layu dan si pemetik membuangnya dengan rasa
jijik. Inilah sifat cinta nafsu, cinta buta, cinta birahi!
Setelah Liu
Lu Sian melahirkan seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka
melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang
segera berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah
cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak.
Isteri secantik bidadari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan
menyenangkan berubah menjadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa
bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang,
cinta dan benci saudara kembar, bersifat Im dan Yang!
Memang pada
dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama,
semenjak kanak-kanak, berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan
tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas,
sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek
adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil hanya
melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang menentang
kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga mereka. Memang
sesungguhnya persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan rumah
tangga dari pada cinta nafsu yang membuta.
Percekcokan
antara Kam Si Ek dan isterinya berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu
Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera demi
untuk kebebasan dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti
seekor kuda liar di lereng bukit itu merasa seperti diikat hidungnya oleh
kendali pernikahan, seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga.
Sekarang setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda
liar lagi, terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya
selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan nyawa.
Seperti
telah kita ketahui di bagian depan, putera yang ditinggalkan itu adalah Kam Bu
Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini.
Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi Kam
Si Ek menikah lagi dan seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat
anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng.
Setelah
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal dunia tiga tahun yang lalu, maka kedudukan
ketua Beng-kauw dan sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya,
Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya.
Sesungguhnya Liu Mo malah lebih tekun dari pada kakaknya dalam hal kebatinan
dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di
waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah
menikah dengan Kam Si Ek, adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw justru
berusaha untuk mencari keponakannya itu.
Demikianlah
keadaan para tokoh pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling
berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap
menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan
juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan darurat disediakan untuk tempat
penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah
kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama
yang dipimpin oleh tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang
ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh
utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta
partai-partai persilatan besar.
Di depan
pintu gerbang dibangun sebuah gedung penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan
memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat
penginapan di lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan
untuk melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup
penting.
Sebagai
kepala rombongan penyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta
Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw.
Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya
lebar dan terlalu besar. Rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat
dengan tali serat, sepatunya dari rumput, dipunggungnya tampak sebuah topi
caping lebar yang tergantung dari leher.
Ujung
sebatang cambuk tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah cambuk tukang
gembala kerbau. Kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah
sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan pendeta
Beng-kauw itu. Sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya
tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut
tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.
Ada pun
penyambut tamu wanita dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai
oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik
gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat, rambutnya dibungkus sapu
tangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada
keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan bajunya biasa saja, akan
tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam yang kanan putih! Juga
sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar
warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang, warna berlawanan
ini sama sekali tidak mendatangkan pemandangan janggal, malah menambah
keluwesan gadis itu!
Memang betul
kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik
menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang
aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu,
tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas pandang orang
akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang
ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda
itu adalah senjata ampuh dari si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas
yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau si Gadis manis sudah mainkan
senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu
Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!
Banyak sudah
tamu-tamu yang datang biar pun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian.
Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah.
Harus diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah
semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah
yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan
dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang
sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.
Kerajaan
Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh
emas permata. Petinya saja terbuat dari pada kayu cendana yang diukir indah,
ukiran gambar naga dan burung dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim
sumbangan berupa bulu biruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh
seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan
ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia
bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan! Kerajaan Wu-yue di pantai
mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar,
sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan
rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah
kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti halnya dengan Kerajaan
Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan
masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han
tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.
Banyak juga
di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan
tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan
bingkisan di depan Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan
selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran
dari kota An-sui itu. Biar pun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera
pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang
atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya,
maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping Suma Boan, banyak pula
tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan
‘kecil’ sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu
sendiri.
Seperti
dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar
persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan
pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi
sebagai tamu dari pada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka
pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang
memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar
tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.
Betapa pun
juga, karena memang di dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang
lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua
orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling
menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang
muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan
kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan
nanti setelah keluar dari Nan-cao!
Pada hari
yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana
pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi
juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa.
Tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah
yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu
beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat dari pada Agama Beng-kauw.
Di istana
sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung
penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat
menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya
telah hadir, duduk di tempat kehormatan. Wajah raja yang sudah berusia lima
puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut
dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil
negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang
terpandang tinggi.
Di sebelah
kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan
terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam
dan berpengaruh. Sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang
duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang
bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa.
Pakaiannya
serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada
gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya
yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang
bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini
tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di
waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya.
Dua
perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan,
melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama
Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia
kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal
karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.
Ruangan tamu
telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak
kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari
Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan
persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam
Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan
Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua
tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan
bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya.
Banyak di
antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang
yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan
Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh! Biar pun kini di antara yang enam itu baru
hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu.
Tok-sim
Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang,
It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biar
pun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis
bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apa lagi
kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah
berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati
lemas kehabisan darah!
Seakan-akan
tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua
Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk
itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan
itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk
sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.
Liu Hwee
yang bertugas menerima tamu wanita memandang kagum kepada Lin Lin yang datang
bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin
Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin
Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda
yang kelihatan gagah ini.
Akan tetapi
sambil tertawa Lin Lin berkata, “Enci yang baik, tak usah repot-repot, aku
bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku
dan...,” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu
disambungnya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu dia... merekalah yang
kucari....”
Tanpa
mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin
Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan
kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng! Tentu saja
sikap Lin Lin yang lancang dan ‘blusukan’ tanpa aturan ini menarik perhatian
para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang
duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti
berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu.
Sementara
itu Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil
bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih. “Lin Lin, harap tahu aturan
sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”
Sian Eng
yang lebih mengenal aturan dari pada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya
itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh
mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek
berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia
melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.
“Kauwcu,
apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”
Sian Eng
hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas
menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak
Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya
menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas
dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin
Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin
berani.
“Kauwcu,
bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya
mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu!”
Raja Nan-cao
tidak dapat menahan ketawanya. “Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini,
hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada
di sini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”
Wajah Lin
Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut. “Wah, senang sekali... tapi,
selamanya di sini? Tidak mungkin!”
“Lin Lin,
jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok
kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja
Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
“Terima
kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!” Ia lalu melangkah lebar mendekati
Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Bagaimana
kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik
orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah
matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat.
Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci
Eng...”
“Hush,
Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir
tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain.”
Lin Lin
menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya. “Betulkah? Ah, kalau
begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau
banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama
apakah itu?”
“Sssttt, kau
lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu,
Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”
Lin Lin
teringat akan kakaknya, lalu menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang
namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang.
Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biar pun bebas
riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan asli.
Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu
Sin?
“Aku akan
tanya kepadanya!” Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung
menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya.
Melihat ini
Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng
maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik
dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya. “Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita
ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah
yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita
serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku
sembrono.”
Lin Lin
dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak
berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma
Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di
tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!
Lin Lin
gembira sekali. “Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling
ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di
sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti
sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apa lagi kalau Kakak Bu Sin selamat
dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”
“Karena itu,
kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono.
Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”
Pada saat
itu dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul
mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini
adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang
lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya.
Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain
putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya
mengoceh. “Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah
tiada bandingnya di seluruh dunia!” Sambil berkata demikian ia
mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di
tangan kiri.
Kauw Bian
Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biar pun kakek pendek itu kelihatannya
tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri
sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.
Sambil
tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada
para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana
para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan
Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Akan tetapi
ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan
sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak
tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel. “Di
mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu
jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu!”
Mendengar
ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut, “Gan-sicu, hari ini
sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang
Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuil istana.”
“Ohhhhh,
begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan
aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku
orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat
sekarang juga.”
“Gan-sicu,
keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang
tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak,
karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.
Akan tetapi
Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak
dan lukis, dengan wajah berseri segera berkata, “Silakan... silakan...”
Empek Gan
tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai,
kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak
yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan
kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar
semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu
makin melotot lebar.
Di sana-sini
sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu
seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah
mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis,
menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka
mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya
melukis.
Empek Gan
mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya
menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak
cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot,
menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini.
Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan
berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan
jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sinkang sepenuhnya sehingga jari-jari
tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil
coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu
yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari
situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan
tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang
memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan
berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup
dan indah luar biasa dari seekor harimau!
Mata harimau
yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan
taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek
seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang
hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua
warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan.
Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!
“Bagus...
indah sekali...!” Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang
berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih
jelas.
Gan-lopek
tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang
isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu
saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang
bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang
sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.
Gan-lopek
berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap
hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga
istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di
sebelah atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biar pun
hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan
itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang!
Gan-lopek
kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan
tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya!
Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada
Beng-kauwcu sambil berkata.
“Kauwcu yang
baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini!”
“Terima
kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan
itu.
“Indah
sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menikmati
keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.
Beng-kauwcu
memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju menerima
lukisan, lalu digantungkan pada dinding di tempat yang agak tinggi sehingga
semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut
mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini
menjadi keheran-heranan.
Lukisan itu
merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang
menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan
lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari
yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu
dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!
Selagi
orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda
melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik
sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao
dan Ketua Beng-kauw.
“Hamba Suma
Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat
antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma
yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara menghaturkan selamat kepada
Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan
harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.”
Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu
mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu
berpidato.
“Kami
sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya,
melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi
penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami
menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan.”
Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya,
memperlihatkan kepada tuan rumah.
“Wah, ini
lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja
Nan-cao.
Sambil
tersenyum Suma Boan berkata, “Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali,
dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki
pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba
mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di
tempat yang layak.”
Kini raja
sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan
lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang
terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di
sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat
lukisan itu dan semua orang berseru kagum.
Lukisan itu
melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat
sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan
para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga
mendengar derap dari jauh! Ukuran lukisan kuda ini lebih besar dari pada
lukisan harimau dan biar pun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi
dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan
warna asli.
Dengan gaya
angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata.
“Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”
Raja yang
suka akan lukisan dan sajak, segera berseru, “Silakan, orang muda yang pintar,
silakan.”
Suma Boan
berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng
yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring.
“Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di
bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti!”
“Bagus!”
Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji
sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin
membusung.
Ketika tepuk
tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang
menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah
suara... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini karena perbuatan
Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurang-ajaran yang melewati
batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena
marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan
bunyi kentut oleh Gan-lopek!
“Gan-lopek,
apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu
yang masih duduk di lantai.
Kakek itu
bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali,
kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian
terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang
rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia
pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.
Gan-lopek
tertawa bergelak. “Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya
memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap
seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan
Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu
Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan,
akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.
“Gan-sicu,
lukisan ini adalah lukisan asli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan
pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw
biar pun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja
ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apa lagi dibandingkan dengan Empek Gan
yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan
oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang. Sekarang mendengar
kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia
tidak setuju.
“Heh-heh-heh,
penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”
“Gan-lopek,
jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang
terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah
kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.
“Melepas
kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir
di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah
mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar
jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya.
Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin
hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka
kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku
memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan
dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao
dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu
binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi
binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat
berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak
berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh
ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat
kalau diserang musuh?”
Beng-kauwcu
Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius
seperti patung itu dapat tertawa. “Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan
berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini
menghina kami. Kau pandai memutar-balikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah
artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya?”
“Nan-cao dan
Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan berseru,
tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga akibat mendengar
kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget
mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.
Kini
Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal
sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberaniannya,
tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut
dimiliki oleh Nan-cao, biar pun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun
kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat
di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang dari
pada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang
Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk,
Kauwcu!”
Tepukan
tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa
kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia
berkata mengejek. “Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi
pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang
Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani
bertanding dengan dia!”
Inilah
sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang
suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan
tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang
amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biar pun pandai melukis, Empek Gan ini
bukanlah seorang ahli sastra, apa lagi ahli sajak!
Biar pun
tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan
tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya
lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas!
Sebaliknya dalam mengadu ilmu sastra, biar pun yang kalah tidak akan terluka
apa lagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan
dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi
Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biar
pun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti
pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali
menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga
pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping
ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia
dapat menyelamatkan diri dari pada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan
Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti
kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia
akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang ‘mati
kutu’ terhadap Suma Boan!
“Ho-hah,
omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam
engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan
sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kau panggil ke sini, aku tidak takut menghadapi
mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apa lagi merangkai
kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku
mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah
huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung
kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”
Suma Boan
bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguh
pun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun
ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apa lagi merangkai empat buah huruf
saja menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur
bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat
yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat
itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia
menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.
“Mohon maaf
sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar
ini.”
Setelah raja
dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang
lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke
arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi.
Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai
empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan
mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”
“Betul,
betul!” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu
oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan
kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”
“Gan-lopek,
mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah
kata-kata!” Suma Boan menantang.
Hening di
tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik.
Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga
untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan
oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun
(silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan
tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir
karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi
Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena
keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata,
“Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan
kepalaku jika kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau
kau kalah?”
Suma Boan
tersenyurn mengejek. “Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini
mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang
minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah
kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau
sebagai guru!”
“Ho-hah,
boleh... boleh... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai
murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma
Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah
huruf TAHI!”
Pecah suara
ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula,
terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek
she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw
yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu
hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak
mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan
kata-kata ‘tahi’ ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!
Akan tetapi
Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan
akal. Biar pun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam
sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi
sebuah kalimat.
Setelah
suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah
jari tangan. “Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”
Kembali
orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi
dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya ‘makan tahi’!
Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi
keningnya berkerut, seperti halnya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena
mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak
tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah
menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA
dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kau putar-putarlah
otakmu, kau rangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan
mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu
berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau
menerimamu, hoh-hoh!”
Suma Boan
tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir.
Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN
KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biar pun dapat dibolak-balik
sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat
yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN
TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah
mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit
ia berpikir, ia sudah membolak-balik empat huruf itu menjadi dua puluh empat
kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
“Ha-ha,
Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan
kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan dan para tamu
menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari
jawabannya.
Empek Gan
mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!”
Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat
semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di
situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan dalam
ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak
boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah
membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi
sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana
jawabanmu?”
Dengan suara
nyaring Suma Boan menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah
sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat
macam kalimat.” Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak
di antara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara
ini akan menang, pikir mereka. “Akan tetapi di antara yang dua puluh empat
macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu
tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI
KUDA!”
Hening di
ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini
suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan. “Ha-ha-ha, kau
benar-benar lucu. Yang kedua bagaimana?”
“Yang kedua
adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”
Kini Empek
Gan terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. “Hoah-hah-hah, siapa
pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau?
Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu
itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi.
“Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan
tahi harimau? Hoa-ha-ha!”
“Empek Gan
tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul,
dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”
Empek Gan
menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. “Apa
kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah
kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang
berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biar pun
kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali
karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi
kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu
mengandung kebenaran?” Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali
terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan
benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi merdu
suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin
yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali
lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
“Jawaban
Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau,
sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju,
harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir
tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua
tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda
yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira,
“Betul...! Ucapan Nona betul!”
Memang
sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan
jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa
Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang
sesungguhnya, dua kalimat itu biar pun ada artinya, namun memang tidak benar.
Empek Gan
berkata lagi setelah semua orang diam, “Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang
kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku
sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”
Suma Boan
melotot ke arah Lin Ling, kemudian ia merengut dan menjawab. “Empek Gan, kau
orang tua penuh tipu muslihat! Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus
terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai
kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau
menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kalau kau
bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab, aku pun bisa! Misalnya,
berapa banyaknya ikan di laut?”
“Hoah!
Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang
satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau
menyelam dan hitung sendiri!”
Meledak
suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
“Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu
sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku
mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!” Saking
marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata
karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin
merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali
keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan
jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab,
bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang
mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga
menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri
sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
“Betulkah?
Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan
penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat
yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu
berbunyi begini...” Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang
ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu
tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
“HARIMAU
MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan
yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah,
apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul,
juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah,
termasuk kuda!”
“Tidak
betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap
itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”
“Sudah
betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”
“TAHI-nya
bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan!”
Orang-orang
berteriak-teriak, “Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan
mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak
mengejek, “Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan
benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”
Empek Gan
tertawa, “Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini,
Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, ada pun TAHI-nya...
kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu!”
Sejenak
hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah
suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh
terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Sungguh
tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang
tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan
dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi
telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu
kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan.
Tidaklah
aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir
hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara
ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang
menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan
menerjang Empek Gan dengan pedangnya.
Hebat
serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas,
memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus
berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki
pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja,
disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang
menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apa lagi kakek itu
enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencongkel
pergi nyawanya dari badan!
Mendadak
kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah
Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin
tertawa-tawa terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa,
perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke
sini?”
Lin Lin yang
tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga
banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak
mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek
berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke
kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di
tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya!
Mula-mula
Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat
Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit
daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan
mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga
orang-orang mulai tertawa lagi.
“Hi-hik,
pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata
sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas
juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang
menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan
bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk asli pulau ini
suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga
menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki mau pun perempuan, dalam
menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari
Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat
yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian
itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau
disertai pantat megal-megol!
Suma Boan
penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu
makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana,
tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga
ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!
“Ho-ho,
manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?” tiba-tiba terdengar
suara nyaring menggetarkan anak telinga, biar pun suara itu parau dan tak enak
didengar.
“Heh-heh!
It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat
menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh...,” kata Empek Gan sambil memandang ke
arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat
bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan
tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan
menjura sambil berkata, “Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini
diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi
menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan
menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan
pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek
Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!
“Wah, kau
jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas
Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun
begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek
melenggang?”
Empek Gan
tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar
berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa
girang dan puas sekali!
Sementara
itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka
terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan
sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan
Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk
merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman
masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin
setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini
teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas
sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton
para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang
sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak
bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada
Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu
saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia
memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut ‘Suling Emas’ begitu saja,
sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang
punggung yang bidang itu.
“Kim-siauw
Koko (Kakak Suling Emas)...,” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas
terkejut seperti baru sadar dari pada lamunannya, lalu menengok ke belakang.
“Kau? Kau bilang apa tadi?”
Lin Lin
tersenyum. “Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil
karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada
apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih
janji!”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa
kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku
dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan
menjilat... eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas
tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri.
Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat
dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan
pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang.
Gadis itu
bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang
bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya
panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu,
menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya
melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke
sinilah...!”
Lin Lin
tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir
saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini
menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri
enci-nya.
“Lin-moi,
kau sudah tahu, kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma
Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku
percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang
macam itu kau percaya, Enci Eng?”
“Hush, bukan
tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak
ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita,
isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua
Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu
harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu
dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang.
Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat
ibunya!”
“Wah, betul
juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya
langsung saja kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba Lin Lin menghentikan
kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di
tempatnya lagi.
“Jangan,
Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa
tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang... eh, Lin-moi, kau ke mana...?”
Kiranya Lin
Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari
meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri
ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin
Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus
pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee
puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin
keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke
sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian
ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan
penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke
mari, mencari-cari.
Tidak ada
bayangan Suling Emas mau pun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa
buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik
raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik,
mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin,
karena gadis ini lalu berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah
dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apa lagi ketika ia
melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin
lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas
berada di belakang pondok kedua... dadanya makin panas seperti terbakar ketika
ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan
keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan
tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah
kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya ia mendengar ucapan Liu Hwee
lapat-lapat.
“... ah, kau
terlalu lemah...”
“... cintaku
takkan kunodai darah...,” terdengar jawaban Suling Emas, kemudian mereka
berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat
persembunyiannya Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar
karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka
yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di
hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan
salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat.
“Dan dia
demikian dinginnya terhadap aku,” pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin
Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan
kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas
tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang
diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua
Beng-kauw itu?
Setelah dua
orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu
membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya
terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang...
iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki
dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri
saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak
seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biar pun
baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau makhluk ini
tentulah Hek-giam-lo yang pernah menawan enci-nya.
“Harap
jangan berteriak...,” suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang
tidak bergerak.
“Hemmm, apa
perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,” kata Lin Lin, malah
dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.
“Kau kenal
padaku...?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.
“Siapa tidak
mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku
sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keadaan Khitan di waktu ibuku
masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau
secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga
gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau
berani berbuat seperti itu jahatnya?”
Tercenganglah
Hek-giam-lo, biar pun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam
tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun. “Kau... kau... betulkah kau orang yang
kucari-cari...? Sudah berkali-kali aku keliru....”
“Hek-giam-lo,
kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku
adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalina!”
Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh,
sikap seorang puteri raja asli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan
tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap seperti ini, sikap
seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!
Seluruh
tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang
yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan
tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata. “Be... betulkah
ini...? Tidak tertipu lagikah... tidak keliru lagikah...?”
“Hek-giam-lo!
Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Raja Khitan sekarang.
Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang
sebetulnya menjadi puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku
memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku
seperti itu?” Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat
ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyaksikan sikapnya dan
mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan
terheran-heran.
“Ampun, Tuan
Puteri! Ampunkan hamba, Tuan Puteri Yalina yang mulia! Alangkah bahagia hati
hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari.
Marilah hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman
Paduka.”
Diam-diam
Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia
bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takkan mungkin dapat ia
pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita enci-nya
tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau atau pun tidak, ia pasti akan dibawa ke
Khitan oleh si tengkorak hidup.
Bukannya ia
tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia
ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang
secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa
berat untuk... berpisah dari Suling Emas! Menolak permintaan Hek-giam-lo,
berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik,
berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini
terhadapnya.
“Tentu saja,
Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung
halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak
kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu
Paman...”
“Tidak bisa,
Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan
saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu,
marilah sekarang juga kita berangkat.”
Lin Lin
berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya
berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal....
“Sekarang?
Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu... perayaan Beng-kauw masih belum
habis...”
“Ampun, Tuan
Puteri. Urusan kita jauh lebih penting dari pada urusan negara Nan-cao dan
Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha
penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apa lagi
urusan negara lain..., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalina!” Tubuh yang
mengerikan itu bergerak maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan
dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.”
Lin Lin
bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata menghormat ini
tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba
salah. Untuk melawan berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri
mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini
kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.
“Hek-giam-lo,
aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di
Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana
bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?”
Sepasang
mata di balik kedok tengkorak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk
Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.
“Tuan Puteri
Yalina, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan khawatir, hamba
Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa
si bedebah itu?”
“Ada dua
orang yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao
ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada
di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menyatakan bahwa kalau aku mau
tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kau
pikir, apakah ini bukan penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan
bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya?
Bukankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo,
kau rampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku
mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu
dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh
dipermainkan bangsa lain.”
“Tongkat
Beng-kauwcu...?” Biar pun dia seorang tokoh besar, malah seorang di antara enam
iblis, terang bahwa Hek-giam-lo kaget juga mendengar perintah ini.
“Kenapa?
Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Bengkauw?”
“Hamba tidak
takut terhadap siapa pun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan
ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao.
Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan
Nan-cao?”
“Khitan
tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi
menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke
Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka
yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyatakan maaf. Dengan
demikian, baru kejayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana
kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk
Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?”
Kena juga
akhirnya tokoh iblis ini ‘dibakar’ oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil
pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian
berkata singkat. “Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”
“Bagus! Sekarang
musuhku yang kedua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh
besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun
yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biar pun ia
menyangkal. Kau tangkap dia, jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.”
Suara
ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata
Lin Lin lebih lanjut.
“Kenapa,
Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”
“Hamba juga
tidak takut, akan tetapi... urusan ini... tidaklah begitu mudah, malah agaknya
lebih sukar dari pada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut
Paduka yang terbunuh itu?”
“Ayah
angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di...”
Tiba-tiba
tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana tarikan muka di
belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terdengar amat ketus,
“Kam Si Ek? Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalina, Kam Si Ek itulah pembunuh
banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!”
Sejenak Lin
Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah
ia dengar, baik dari bibi gurunya mau pun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa
mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan
dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana
ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.
“Sudahlah
kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti
di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia
hanya ingin supaya makhluk yang mengerikan ini pergi meninggalkannya.
“Paduka akan
berangkat sekarang juga....”
Ucapan Si
Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat. “Apa kau
bilang? Lebih dulu ambil tongkat...”
Akan tetapi
Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan
tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar
terus-menerus dan sambung-menyambung.
“Mau apa
kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini...?” berkali-kali Lin Lin bertanya.
Akan tetapi
Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari
balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya
seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah
bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas,
telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi.
Terkejutlah
Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan
suara yang mengandung penuh tenaga khikang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman)
yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin
Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan panca indera,
mengerahkan sinkang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya
dari serangan tak langsung tapi cukup hebat itu.
Benar saja,
segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat mendengar suara
mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh
oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendahan dari sebelah
barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.
Lewat
sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka
kedua matanya dan... bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan
seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam
puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu
tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi
sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua
ketiaknya.
“Kau... kau
siapa?” Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari
Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan
selubung hitamnya dan menjadi kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”
Kakek itu
membungkukkan tubuhnya. “Tuan Puteri Yalina, hambamu ini adalah Pak-sin-tung
(Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Ada pun
Suheng (Kakak Seperguruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan perintah
Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini. Suheng memesan
agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga.”
Sejenak Lin
Lin tertegun. Ah, kiranya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo
memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak
disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mempunyai pembantu. Dengan sinar
mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek
yang kedua kakinya buntung, agaknya di atas lutut. Mengerikan dan juga
menimbulkan kasihan.
Kakek begini
disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri,
meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini
memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat.
Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki dapat bersilat dengan baik?
Agaknya terhadap orang ini tidak perlu dikhawatirkan.
“Baiklah,
Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil
keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada
Hek-giam-lo yang akan merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si
buntung ini. Akan tetapi, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali melihat senyum
mengejek pada wajah kakek ini.
“Mari, Tuan
Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”
Berangkatlah
kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga
merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki
perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang
menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang
menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili
fungsi kaki demikian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan
serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu ‘berjalan’
agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat
cepat.
Setelah tiba
di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak
saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!
Ketika ia
menoleh, kakek itu tersenyum lebar dan berkata, “Untung sekali Paduka dapat
berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka
agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”
Lin Lin
tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang
tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para penjaga maklum akan
banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung
dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot
penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing
keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah
ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Kerajaan Nan-cao. Sebentar saja
mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya
Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.
“Heiiiii!
Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali...!” seru si buntung kaki itu,
akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu
tetap saja dapat mengikutinya.
“Pak-sin-tung,
aku tidak mau berangkat sekarang!” tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah
jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
“Apa maksud
Paduka?”
“Kau
pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak
urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke
Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”
Akan tetapi
senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata
dengan suara tenang. “Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah menerima tugas, harus
membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”
“Kalau aku
tidak mau?” bentak Lin Lin.
“Terpaksa
akan hamba dukung sampai ke Khitan.”
“Srattt!”
Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling
Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan
Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya
pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.
“Pak-sin-tung,
kau boleh coba kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.
“Pedang
pusaka Besi Kuning...!” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua
tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak... hamba tidak berani... tidak
berani...”
Besar hati
Lin Lin dan sekarang tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong
ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan.
Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan.
Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang
pusaka itu, maka ia membentak.
“Kau masih
berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin
Lin menerjang dengan pedangnya.
“Ti... tidak,
hamba tidak berani...,” kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya
bergerak-gerak dan ke mana pun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau
tongkat.
Hebat sekali
kakek ini. Biar pun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak
kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu
saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini benar-benar tak
boleh dipandang rendah, karena setiap kali senjata bertemu, tangannya menjadi
tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan Khong-in-ban-kin!
“Ampun, Tuan
Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah....”
Lin Lin
seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam
pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apa lagi kalau
datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini
lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan dari pada didesak menjadi lawan. Ia
membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk... menawan
Suling Emas!
Hasrat hati
ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus
timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan
benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu
mencinta orang lain. Ia ingin memberi ‘hajaran’ kepada Suling Emas, ingin
menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan
jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda
angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.
“Pak-sin-tung,
kalau kau menurut perintahku dan tidak melawan aku pun mana suka bertentangan
dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman
Baginda di Khitan. Akan tetapi aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini
selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan Hek-giam-lo dan
saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah
selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di
sini?”
Kini kakek
buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri
tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin.
“Ajaib...,” katanya perlahan, “... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di
tangan Paduka pula... ajaib... agaknya inilah isyarat dan tanda dari
langit....”
“Apa
maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”
“Maaf, Tuan
Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua
perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka
Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil
menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal
secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang
prajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati
perintah Paduka.”
“Bagus!
Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang
rencanaku,supaya jangan gagal.”....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment