Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 12
BU SIN tetap
hendak mempertahankan diri terhadap tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti
seekor lalat terlibat dalam sarang laba-laba. Ia bisa meronta namun tak dapat
melepaskan diri. Tarikan rambut-rambut itu makin kuat, dan tenaganya sendiri
makin lemah sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser maju mendekati
bibir merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu wanita iblis itu
terkekeh senang, agaknya senang sekali dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin.
“Hi-hik,
cobalah, berontaklah kalau mampu lolos, hi-hik. Hayo kerahkan tenagamu, baik
sekali... darahmu menjadi kencang jalannya!”
Bu Sin
meronta-ronta dan memaki-maki, namun sia-sia belaka. Kini ia sudah dekat sekali
dengan Siang-mou Sin-ni, dan ketika wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya,
diam-diam Bu Sin merasa ngeri sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada
lehernya, kemudian bibir yang lunak basah dan panas itu menempel kulit leher.
Bu Sin hanya dapat meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia
maklum bahwa terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba
bibir yang menempel lehernya itu merenggang dan... Siang-mou Sin-ni terisak!
“Tidak...
tidak... aku tidak bisa membunuhmu! Aku terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin,
mengapa kau tidak mau membalas cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku
mencinta laki-laki seperti kepadamu! Bu Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan
menjadi isterimu, akan melayanimu, akan menurunkan kepandaian kepadamu.”
“Iblis!
Bunuhlah aku, tak perlu kau merayu dengan kata-katamu yang berbisa!”
Siang-mou
Sin-ni memeluknya, menciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata. Ngeri dan jijik
hatinya. Perasaannya seperti seorang yang dibelit dan dibelai seekor ular!
“Dengar, Bu
Sin. Kalau kau menjadi suamiku, aku akan membawamu ke Hou-han, aku akan
merampas kedudukan kaisar untukmu. Dengar ini! Kau akan kujadikan kaisar!”
Bu Sin terkejut
dan sejenak pikirannya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas jenderal,
tentu saja ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita muluk. Menjadi
kaisar merupakan tawaran yang mendebarkan jantungnya dan hampir melemahkan
pertahanan hatinya. Alangkah akan mulia dan senang hatinya. Menjadi kaisar,
disembah dan ditaati orang senegara, nama ayahnya akan terjunjung tinggi!
Akan tetapi
segera ia ingat akan wanita iblis di sampingnya, dan kegembiraannya lenyap.
Biar pun ia menjadi kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan
menjadi kaisar yang hanya akan mencelakakan rakyat. Wanita ini bukan manusia,
melainkan iblis bertubuh manusia. Teringat ia akan dongeng tentang Kaisar Tiu
Ong yang biar pun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya menjadi seorang
kaisar lalim karena godaan Tiat Ki, seorang wanita cantik yang kemasukan iblis,
seekor siluman rase yang menjelma menjadi wanita cantik jelita yang keji dan
ganas. Bu Sin mengkirik saking jijiknya dan semua lamunan tadi lenyap,
kemarahannya memuncak.
“Siluman
hina! Bunuh saja aku!” bentaknya.
Tangis
Siang-mou Sin-ni terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia juga marah.
“Tentu kau akan kubunuh,” katanya dengan suara dingin, “akan tetapi kubunuh
perlahan-lahan, biar kau tahu rasa! Aku akan membunuhmu sekerat demi sekarat,
akan kusiksa kau sampai kau merasa menyesal mengapa kau pernah dilahirkan
ibumu! Darahmu kuhisap sedikit demi sedikit!” Dengan suara makin kejam wanita
ini kembali mendekatkan mukanya.
Kilauan gigi
putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya merasakan sentuhan bibir lunak basah
dan panas, kemudian terasa leher itu dikecup, terasa nyeri ketika gigi-gigi
kecil meruncing itu menggigit dan.
"Tar-tar-tar!"
terdengar suara keras di udara dan sepasang bola baja kecil menyambar kepala
Siang-mou Sin-ni. Iblis betina ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari
leher Bu Sin, menoleh.
“Siang-mou
Sin-ni iblis jahanam! Keji sungguh kau!” terdengar bentakan wanita yang marah
sekali. “Bu Sin Koko, jangan takut, aku datang!”
Kembali
sepasang bola baja yang berada di ujung cambuk itu menyambar, mengarah jalan
darah di punggung Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke arah kepala tadi tidak
dilanjutkan karena agaknya Liu Hwee, gadis yang baru datang itu, takut
kalau-kalau membahayakan kepala Bu Sin.
Melihat
datangnya serangan yang amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni tidak berani
memandang rendah. Dari sambaran sepasang bola baja itu ia cukup maklum bahwa
gadis aneh ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Apa lagi diingat bahwa
gadis ini adalah puteri ketua Beng-kauw, tentu saja lihai. Siang-mou Sin-ni
marah sekali, memekik liar dan tiba-tiba rambutnya yang tadi membelit-belit
tubuh Bu Sin melepaskan pemuda itu menyambar ke belakang, sebagian menangkis
senjata lawan, sebagian lagi menyambar ke arah jalan darah membalas serangan!
Ada pun Bu
Sin yang dilepas oleh libatan rambut-rambut itu, berdiri terhuyung-huyung. Akan
tetapi hanya sebentar, karena ia segera dapat memulihkan tenaganya. Tangannya
meraba leher dan ternyata lehernya berdarah sedikit. Untung Liu Hwee datang,
kalau tidak...!
“Adik Liu
Hwee, mari kita basmi siluman betina jahat ini!” bentaknya.
Pada saat
itu, Liu Hwee sudah memutar senjatanya merupakan bentuk payung hitam yang
menangkis semua serangan rambut Siang-mou Sin-ni. Begitu bertemu dengan
gulungan sinar senjata berupa payung ini, rambut Siang-mou Sin-ni kena dikebut
bertebaran sehingga iblis itu terkejut sekali. Hebat juga puteri Beng-kauw ini!
“Bu Sin
Koko, kau pakailah ini!” Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan
sebatang pedang.
Tentu saja
Bu Sin girang bukan main. Dalam menerima pedang itu, jari-jari tangannya
bersentuhan dengan jari-jari tangan Liu Hwee. Keduanya saling pandang sejenak,
dan dalam waktu beberapa detik ini saja, pandang mata mereka sudah penuh dengan
pernyataan hati masing-masing. Pandang mata mesra, dan dalam pandang mata ini
tersimpul semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa mereka akan
sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.
“Terima
kasih, Moi-moi. Mari kita gempur dia!”
Siang-mou
Sin-ni berdiri memandang. Ia dapat melihat dan dapat merasakan apa yang
terkandung dalam sikap kegembiraan mereka dan pandang mata yang mesra itu.
Kemarahannya memuncak dan ia begitu terserang panas hati sehingga ia hanya
berdiri tegak, seakan-akan lupa bahwa ia berhadapan dengan dua orang lawan yang
harus segera ia terjang.
“Kalian...
ah, keparat. Bocah she Liu kau... kau mencinta Bu Sin...?!”
Seketika
wajah Liu Hwee menjadi merah, matanya berkilat menyambar.
“Siang-mou
Sin-ni, kami pihak Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi dengan dirimu! Dan
mengingat bahwa kau pernah menjadi murid mendiang enci Lu Sian, biarlah
kumaafkan kata-katamu. Harap kau suka pergi meninggalkan kami!” Biar pun Liu
Hwee baru berusia sembilan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri tunggal
ketua Beng-kauw ia mempunyai sikap agung dan berwibawa.
Akan tetapi
Siang-mou Sin-ni tidak memperhatikan dia, melainkan memandang ke arah Bu Sin
sambil membentak. “Dan kau... kau manusia tak kenal budi, kau... kau mencinta
bocah Beng-kauw ini!”
Seperti juga
Liu Hwee, wajah Bu Sin menjadi merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah
dua kali ada orang mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama
adalah wanita iblis yang lebih dahsyat dari pada Siang-mou Sin-ni yang berkata
demikian, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu Suling Emas. Kedua
kalinya adalah si iblis wanita ini!
“Siluman
jahat, kami saling mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak
ada harganya untuk menyebut-nyebut hal itu!” bentak Bu Sin marah.
Siang-mou
Sin-ni menjerit keras, jeritan melengking tinggi dan hampir saja Bu Sin tak
kuat mempertahankan karena isi dadanya berguncang hebat. Cepat-cepat ia
mengerahkan sinkang yang ia latih dari kakek sakti, dan sebentar saja pengaruh
jeritan itu lenyap.
“Kalian
harus mampus, akan kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling mencintai,
ya? Memang betul, kalian akan menjadi satu, akan tetapi setelah menjadi daging
hancur, hi-hik!” Wanita itu kini mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu
yang-khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu. Sambil memekik keras
ia menerjang maju, rambut kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim
yang digerakkan secara dahsyat sekali.
“Bu Sin
Koko, hati-hati...!” Liu Hwee berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis
ini merasa gelisah dan ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis
ini yang luar biasa saktinya.
Sebagai
puteri tunggal ketua Beng-kauw, tentu saja ilmu kepandaian Liu Hwee sudah
hebat. Ginkang-nya tinggi, gerakannya cepat sekali, tenaga dalamnya juga sudah
mencapai tingkat tinggi sehingga senjatanya yang berupa cambuk yang kedua
ujungnya dipasang bola baja itu digerakkan dengan kecepatan yang sukar dilawan.
Senjata macam ini merupakan senjata yang paling sukar dipelajari, akan tetapi
apa bila sudah matang gerakannya, senjata ini bergerak otomatis seakan-akan
menjadi satu dengan kedua tangan, dan karena itu amat berbahaya.
Betapa pun
juga, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni, ia masih kalah beberapa tingkat.
Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Enam Iblis, kepandaiannya aneh dan
tinggi. Selain itu iblis betina ini telah hampir berhasil dalam menciptakan
ilmunya yang mukjijat dan keji, yaitu Ilmu Tok-hiat-hoat-lek (Ilmu Gaib Darah
Beracun) yang diciptakan dengan cara menyedot habis darah seorang korban. Entah
sudah berapa puluh orang korban yang disedot habis darahnya oleh iblis wanita
ini! Selain memiliki ilmu setan yang hampir selesai dipelajarinya ini, ia pun
memiliki ilmu menggunakan rambut panjang yang ampuhnya melebihi segala macam
senjata. Di samping ini, ia berhasil merampas yang-khim dari tangan Bu Kek
Siansu dan senjata aneh ini merupakan tambahan kesaktian baginya.
Karena
perbedaan tingkat kepandaian ini, dalam pertempuran itu Liu Hwee selalu
tertindih dan terdesak. Sepasang bola bajanya yang menyambar-nyambar itu selalu
terbentur kembali, bahkan kini yang-khim dan rambut lawan mulai mengurung dan
mendesaknya. Bantuan Bu Sin tidak ada artinya bagi Liu Hwee. Pemuda ini memang
benar memiliki tenaga sakti yang murni, hasil latihan kakek sakti, akan tetapi
tenaga itu hanya dapat dipergunakan untuk menjaga diri. Dalam menyerang, karena
ilmu silat yang dimiliki Bu Sin adalah ilmu silat biasa saja, maka serangan-serangannya
tidak diacuhkan oleh Siang-mou Sin-ni, selalu terbentur dan gagal oleh rambut
yang hitam panjang.
Siang-mou
Sin-ni adalah seorang wanita yang berwatak kejam. Wataknya ini mungkin hampir
sama dengan watak seekor kucing yang suka sekali mempermainkan dan menyiksa
tikus sebelum memakannya, atau seekor laba-laba yang suka menikmati korbannya
yang meronta-ronta hendak membebaskan diri dengan sia-sia. Demikian pula, dalam
menghadapi Liu Hwee dan Bu Sin. Wanita iblis itu mempermainkan mereka, mengejek
dan tidak segera merobohkan mereka, karena dalam mengejek dan mempermainkan ini
ia mengalami kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa.
“Kalian
saling mencinta, ya? Hu-huh, ingin menjadi suami isteri dan membangun rumah
tangga bahagia, memiliki banyak putera-puteri? Hi-hik, takkan tercapai maksud
kalian!”
“Keparat,
tutup mulutmu yang kotor!” Liu Hwee membentak, sepasang bolanya menyambar.
Siang-mou
Sin-ni tertawa, rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena
dilibat rambut. Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia
memukulkan tangannya ke depan dengan pengerahan tenaga sakti. Inilah pukulan
jarak jauh yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.
“Wuuuuuttttt!”
Angin pukulan dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat
mengenai sasaran.
“Uuugghhh!”
dari mulut iblis betina itu tersembur darah segar yang langsung menyambar ke
arah muka Liu Hwee!
Tadinya Liu
Hwee girang, mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira darah yang
tersembur ke luar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat sekali. Ia
sudah berusaha mengelak, namun tiba-tiba ia menjadi pening. Biar pun darah itu
tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir kepala, namun cukup
membuat gadis ini terhuyung-huyung, pandang matanya gelap. Ia tidak tahu bahwa
itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang tidak tahu mengira
bahwa Siang-mou Sin-ni terkena pukulan sampai muntah darah, padahal ilmu
mukjijat ini selain dipergunakan untuk menahan pukulan, juga sekaligus dipergunakan
untuk menyerang lawan dengan darah yang langsung keluar dari dalam mulut, darah
yang mengandung racun berbahaya!
“Ibils
keji!” Bu Sin menerjang maju menusukkan pedangnya.
Kembali
Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia menerima tusukan pedang itu dengan
perutnya!
“Cappppp!”
Bu Sin girang karena mengira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang
dibencinya.
Akan tetapi
mendadak wanita itu terkekeh, rambutnya bergerak menangkap tubuh Bu Sin,
diangkat ke atas lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri Liu Hwee yang sedang
terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi, kedua orang muda itu terbanting dan
roboh tumpang tindih!
“Eh...
maaf... Moi-moi...,” Bu Sin mengeluh.
“Tidak apa,
Koko... siluman ini memang lihai....”
Bu Sin sudah
kehilangan pedang yang ‘menancap’ di perut Siang-mou Sin-ni. Namun ia menjadi
nekat. Bersama dengan Liu Hwee ia melompat bangun, siap menerjang dengan tangan
kosong. Akan tetapi tiba-tiba Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan... pedang
yang dikira menancap di perutnya itu melayang bagaikan anak panah cepatnya
menuju dada Bu Sin!
“Koko,
awas...!” Liu Hwee mendorong Bu Sin dari samping.
Terdengar
kain terobek dan pedang itu ternyata telah merobek baju Bu Sin di bagian
lambungnya. Kurang cepat sedikit saja Liu Hwee mendorong, bukan baju yang akan
terobek, melainkan dada atau lambung!
“Iblis
keji...!” Dengan wajah pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia menyerang lagi
dengan sepasang bola bajanya. Ada pun Bu Sin cepat lari dan mencabut pedangnya
yang menancap pada sebatang pohon. Kemudian ia menghampiri tempat pertempuran
dan membantu Liu Hwee lagi dengan mati-matian.
“Hi-hik,
saling mencinta berarti bodoh, boleh mati bersama!”
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu Hwee telah lekat
dengan kawat-kawat alat musik yang-khim. Betapa pun Liu Hwee coba membetotnya,
namun hasilnya sia-sia saja karena dengan tenaga ‘menyedot’ Siang-mou Sin-ni
telah membuat bola-bola itu melibat-libat kawat, kemudian rambutnya bergerak seperti
puluhan cambuk ke depan!
Bu Sin
berusaha menolong temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya rambut-rambut
itu dengan maksud membabatnya sambil mengerahkan tenaga sakti. Namun Siang-mou
Sin-ni sekarang telah tahu bahwa pemuda ini entah bagaimana caranya telah
memiliki tenaga sakti yang hebat, maka ia tidak melawan keras dengan keras
karena khawatir kalau-kalau rambutnya akan terbabat putus. Ia menggunakan
tenaga lemas, rambutnya bertemu pedang terus membelit, bahkan membelit juga
pergelangan tangan Bu Sin.
Pemuda ini
berseru keras karena merasa betapa pergelangan tangannya seakan-akan hendak
patah. Pedangnya terlepas dari pegangan dan di lain saat ia telah dilucuti,
seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini berdiri tanpa senjata, menghadapi lawan
yang terkekeh dan menggerak-gerakkan kepala sehingga rambutnya
menyambar-nyambar mengerikan.
“Hi-hik,
kalian saling mencinta, ya? Hi-hik, sehidup semati, senasib sependeritaan!”
Siang-mou Sin-ni terus mengejek dengan suaranya yang nyaring diselingi kekehnya
yang menyeramkan.
Kini rambut
kepalanya menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu.
Kasihan sekali Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak dari
hujan serangan ini karena rambut kepala yang hitam panjang dan gemuk itu
berubah menjadi puluhan batang cambuk yang kuat. Mereka dapat mengerahkan
sinkang untuk menjaga diri, namun mereka tak mungkin dapat menjaga pakaian
mereka yang mulai robek-robek! Liu Hwee maklum bahwa ia akan terhina kalau
sampai pakaiannya robek semua dan membuatnya menjadi telanjang bulat, maka
dengan nekat ia berusaha untuk menyambar rambut-rambut itu. Akhirnya ia
berhasil mencengkeram segenggam rambut, mengerahkan tenaganya dan menarik
sekuatnya.
Siang-mou
Sin-ni menjerit karena segenggam rambutnya telah jebol dari kulit kepala. Ia
seperti setan sekarang. Rasa nyeri membuatnya marah sekali dan di lain saat
kedua tangan Liu Hwee telah dibelit rambut sampai tak dapat bergerak lagi, lalu
cambuk-cambuk rambut itu melecut-lecut tubuhnya dari segenap penjuru! Gadis ini
hanya dapat meramkan mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut, akan
tetapi pakaiannya mulai robek-robek tidak karuan.
Betapa
hancur hati Bu Sin menyaksikan gadis yang merampas kasih sayangnya itu
mengalami siksaan itu. Namun apa dayanya? Ia sendiri juga tidak terlepas dari
pada siksaan cambuk-cambuk rambut yang halus dan harum itu, tetapi yang melecut
dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan sedikit saja ia mengurangi
pengerahan sinkang, kulitnya tentu akan robek-robek pula.
“Bocah she
Liu, bersiaplah untuk mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.
“Siang-mou
Sin-ni, aku tidak takut mampus! Akan tetapi, sekali kau berani mengganggu kami,
ayah pasti akan mencarimu dan mencabuti semua urat dari dalam tubuhmu!”
“Hi-hi-hik,
siapa takut terhadap Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja datang, kubikin
mampus sekalian!”
Gugup sekali
hati Bu Sin sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek kulitnya karena
saking gugup dan bingung melihat gadis yang dicintanya terancam, pengerahan
tenaganya mengendur. “Siang-mou Sin-ni, kalau kau berani mengganggu dia,
kakakku Suling Emas tentu akan menghancurkan kepalamu!”
Siang-mou
Sin-ni mendengus, “Huh, siapa takut Suling Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh
sekarang juga bocah she Liu kekasihmu ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis
betina itu mengangkat tangan kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.
Akan tetapi
tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini
tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya ada
orang yang tadi menariknya ke atas dengan cara mencengkeram rambut-rambutnya,
dan kini orang telah mengikatkan ujung rambutnya pada batang pohon yang tinggi
di atasnya! Ketika ia melirik ke atas dengan heran, ternyata yang melakukan
perbuatan ini bukan lain adalah... Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni
hendak melepaskan diri, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar kuning dan
punggungnya telah tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!
“Siang-mou
Sin-ni, dimana-mana kau hanya membikin onar!” seru Suling Emas dengan suara
dingin dan marah ketika ia melirik ke arah Liu Hwee yang kini berlutut di tanah
dengan muka merah sambil berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang,
dan Bu Sin yang juga robek-robek pakaiannya, bahkan mandi darah oleh
lecutan-lecutan tadi.
“Twako...!”
seru Bu Sin dengan girang sekali.
Suling Emas
tidak dapat menjawab karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni sudah
memaki-makinya. “Suling Emas, kau pengecut hina-dina! Kau menyerangku dengan
cara pengecut! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus! Cih,
kau laki-laki apa? Pengecut tak tahu malu!”
Akan tetapi
Suling Emas tidak melayaninya, bahkan tangannya meraih dan... seketika pakaian
luar Siang-mou Sin-ni terlepas dari tubuhnya, membuat iblis betina ini menjadi
setengah telanjang karena yang menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!
“Heee, setan
neraka! Mau apa kau dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus dan
ragu-ragu, “Suling Emas... kalau kau... suka kepadaku, kenapa tidak menanti
sampai kita berdua saja...? Mau apa kau melepaskan pakaianku!”
“Huh,
perempuan hina!” Suling Emas mendengus marah, lalu melompat dari atas pohon,
menyerahkan pakaian itu kepada Bu Sin sambil berkata, “Kau berikan ini kepada
Bibi Kecil Liu Hwee, kemudian kau bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”
Bu Sin
menerima pakaian itu lalu menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah
yang memegang kesopanan, ia membuang muka tidak mau memandang Liu Hwee yang
setengah telanjang itu, hanya menyodorkan pakaian sambil berkata, “Hwee-moi,
cepat pakailah ini!”
Dengan cepat
dan lega hati Liu Hwee lalu menyambar pakaian itu dan sebentar saja ia sudah
memakai pakaian Siang-mou Sin-ni yang serba hitam. Untung baginya, bentuk tubuh
iblis betina itu ramping dan sama dengan tubuhnya sehingga pakaian itu pas
betul.
“Bu Song,
kau bunuh saja perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling
Emas.
“Hi-hik, kau
yang pengecut tak tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian
akan kubunuh mampus semua!”
“Bibi Kecil
Liu Hwee, harap kau dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat kembali ke Nan-cao. Iblis
ini biar aku yang menghadapinya. Setelah aku dapat menolong Lin Lin, tentu aku
akan kembali ke Nan-cao pula. Eh, Bu Sin, di mana adanya Sian Eng? Kenapa tidak
bersamamu?”
Dengan
kening berkerut Bu Sin menceritakan pengalamannya di dalam terowongan rahasia,
betapa mereka menjadi tawanan Hek-giam-lo, kemudian betapa Siang Eng dibawa
lari oleh Suma Boan dan dia sendiri diculik Siang-mou Sin-ni.
“Hemmm,
sudahlah. Agaknya kali ini aku takkan bisa mengampunkannya lagi!” kata Suling
Emas dengan suara gemas. “Kalian lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku di
sana. Terlalu banyak orang jahat memusuhi kita dan tak mungkin dapat membagi
diri untuk mengamati kalian. Aku pasti akan dapat mencari Sian Eng, Lin Lin,
dan membawa kembali tongkat Beng-kauw.”
“Paman Guru
Kauw Bian Cinjin juga sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali
tongkat pusaka,” kata Liu Hwee menerangkan.
Suling Emas
mengangguk-angguk, “Bagus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan.
Sekarang kalian lekaslah kembali ke Nan-cao.”
Liu Hwee dan
Bu Sin tidak membantah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat
itu. Akan tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee
berhenti dan berkata.
“Bu Sin
Koko, cukup jauh kita berlari. Mari sekarang kita kembali.”
Bu Sin
memandang heran. “Hwee-moi, apa maksudmu?”
Gadis itu
tersenyum dan dunia ini serasa lebih cemerlang dan indah bagi Bu Sin. Semenjak
jaman purba sampai jaman sekarang, senyum seorang gadis selalu mendatangkan
keajaiban bagi pria yang mencintanya, keajaiban yang indah, seindah bunga mekar
tersiram embun di waktu pagi, atau matahari mengintai di ufuk timur mengusir
kemuraman subuh. Untuk senyum inilah seorang yang mabuk cinta siap sedia
mengorbankan apa saja!
“Koko,
betulkah hatimu rela begitu saja kalau kita berdua kembali ke Nan-cao sedangkan
tugas sedemikian banyaknya yang harus diurus oleh kakakmu? Kedua orang adikmu
terancam bahaya, tongkat pusaka terampas musuh, bagaimana mungkin kita pulang
begitu saja tanpa memberi bantuan sedikit pun juga?”
“Cocok
dengan isi hatiku, Moi-moi. Aku pun merasa tidak enak sekali kalau harus pergi
begitu saja berpeluk tangan, bukanlah sikap seorang yang menjunjung tinggi
kegagahan. Akan tetapi Song-twako yang memerintah, bagaimana aku dapat
membantah?”
Kembali Liu
Hwee tersenyum. “Kakakmu itu memang lihai sekali, agaknya dengan orang seperti
dia turun tangan, semua urusan pasti akan beres. Akan tetapi aku sama sekali
tidak setuju kalau harus tinggal diam saja. Tadi pun aku hendak membantahnya,
akan tetapi tidak baik di depan iblis betina itu kalau kita saling bantah.
Karena itu aku tadi diam saja. Sekarang mari kita kembali dan mengambil jalan
kita sendiri, mencari kedua orang adikmu. Biarlah kita berlomba dengan Suling
Emas!”
Gembira
sekali hati Bu Sin, kegembiraan bertumpuk-tumpuk karena tidak saja ia gembira dapat
membantu untuk menolong kedua orang adiknya, juga ia senang sekali dapat
melakukan perjalanan ini bersama Liu Hwee, dapat sama-sama menempuh bahaya!
“Bagus! Mari
kita berangkat, Moi-moi!”
Mereka kini
berlari ke arah timur, akan tetapi belum lama mereka berlari kembali Liu Hwee
berhenti.
“Perempuan
tadi, dia... dia agaknya amat mencintamu, Koko!”
“Huh, iblis
betina itu!” Bu Sin mendengus, mukanya berubah merah sekali.
“Tapi...
tapi dia cantik sekali, Sin-ko, dan di dunia ini, entah berapa banyaknya pria
yang tergila-gila dan jatuh hati kepadanya.”
“Uhhh,
kecantikan iblis seperti keindahan warna kulit seekor ular beracun. Sudahlah,
kita tak perlu bicara tentang dia, aku jijik kalau mengingat dia!” kata Bu Sin.
Liu Hwee
tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Aku sudah khawatir sekali. Sin-ko, di dunia
ini hanya ada dua orang wanita yang benar-benar hebat dan sukar dapat dilawan
oleh laki-laki yang bagaimana gagah pun. Pertama adalah mendiang enci Lu Sian,
kedua adalah Coa Kim Bwee atau Siang-mou Sin-ni itulah. Senjata mereka yang
paling mengerikan adalah kecantikan mereka.”
“Kurasa
terdapat perbedaan besar antara enci-mu yang menjadi ibu kandung Bu Song Twako
itu dengan iblis betina Siang-mou Sin-ni. Hwee-moi, mari kita lanjutkan
perjalanan dan kalau boleh, aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang
riwayat hidup mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang hebat itu.”
Liu Hwee
tersenyum lalu menggerakkan kaki, dan mereka berdua kini melanjutkan perjalanan
biasa. Liu Hwee mulai menuturkan riwayat mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian
yang luar biasa dan hebat, akan tetapi yang hanya diketahui sebagian saja oleh
Liu Hwee (riwayat ini dituturkan dengan jelas dalam cerita SULING EMAS).
Sementara
itu, setelah kedua orang muda itu pergi, Suling Emas lalu menggunakan sulingnya
membebaskan totokannya pada tubuh Siang-mou Sin-ni. Setelah jalan darahnya
bebas, dengan mudah saja wanita itu dapat melepaskan diri dari atas cabang
pohon di mana rambutnya yang panjang tadi diikatkan oleh Suling Emas.
Dapat
dibayangkan betapa hebat kemarahan wanita ini yang sekarang berdiri di depan
Suling Emas hanya dengan pakaian dalam yang serba ringkas, pendek, dan terbuat
dari pada sutera merah! Kalau saja sepasang matanya tidak menyala-nyala liar,
mukanya tidak membayangkan kemarahan yang tak dapat dikendalikannya lagi,
agaknya Siang-mou Sin-ni akan kelihatan amat menggairahkan dalam pakaian
seperti itu. Masih untung baginya, rambut yang hitam panjang riap-riapan
membantu pakaian dalam yang kurang cukup menutupi bagian-bagian tubuhnya itu.
“Keparat...!
Jahanam...! Kau... kau... terlalu menghinaku... kau harus mampus...!”
Kata-katanya sukar sekali keluar di antara dengus napasnya yang panas, kedua
kakinya bergerak maju perlahan-lahan, kedua tangannya berkembang, jari-jari
tangannya seperti kuku harimau hendak mencengkeram, ujung rambutnya yang
terlalu panjang terseret di atas tanah.
Suling Emas
mengerutkan keningnya dan melangkah mundur. “Siang-mou Sin-ni, ingat! Kini
belum waktunya kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih
unggul. Tunggu nanti tiba saatnya di puncak Thai-san, aku akan mewakili
mendiang ibu kandungku. Kita lihat siapa yang lebih kuat.”
“Tidak
peduli! Kau harus mampus sekarang juga. Kau terlalu menghinaku!”
“Hemmm, kau
sombong. Dengan apa kau hendak membunuhku? Dengan rambutmu? Ataukah dengan alat
khim yang kau curi dari Bu Kek Siansu? Ah, tidak akan ada gunanya, Siang-mou
Sin-ni. Lebih baik kau bertapa lagi memperdalam ilmumu agar kelak di puncak
Thai-san kau dapat melayaniku sedikitnya seratus jurus!”
“Suling
Emas, kaulah yang sombong! Kau kira aku tidak memiliki ilmu untuk membunuhmu?
Nah, kau terimalah ini!”
Tiba-tiba
sekali wanita itu membuka mulutnya dan sinar merah yang panjang kecil bagaikan
seekor ular merah menyambar dari dalam mulut itu ke arah Suling Emas. Pendekar
ini terkejut juga, tidak mengira bahwa wanita iblis ini memiliki kepandaian
seaneh ini yang selamanya belum pernah ia lihat atau dengar. Cepat ia miringkan
kepala, tidak berani menyambut benda yang menyambar ke arah mukanya itu.
Benda itu
menyambar lewat kepalanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba
pandang matanya berkunang dan napasnya menjadi sesak. Kiranya benda berupa
sinar merah itu adalah darah. Darah hidup! Darah yang mempunyai pengaruh hebat
sekali, yang membuatnya tiba-tiba menjadi pening. Sebelum Suling Emas dapat
mengusir kepeningannya, tiba-tiba angin bertiup dari depan, alat musik khim
sudah menghantam ke arah kepalanya dibarengi suara kekeh tertawa yang seram.
“Aiiihhhhh...!”
Suling Emas mengumpulkan semangat, menjatuhkan diri ke kiri sehingga sambaran
alat khim itu tidak mengenai dirinya. Akan tetapi pada saat itu, selagi ia
masih nanar, tahu-tahu tubuhnya sudah terlibat oleh rambut yang amat kuat, yang
melibat kaki tangan dan lehernya bagaikan puluhan ekor ular yang mengeroyoknya!
Suling Emas
maklum bahwa nyawanya berada dalam bahaya maut. Cepat ia mengerahkan seluruh
sinkang di tubuhnya dan seketika lenyaplah kepeningan kepalanya. Dengan gerakan
menggoyang tubuh sambil mengembangkan tangan dan kaki, terdengar Siang-mou
Sin-ni memekik penuh kekecewaan melihat calon korbannya dapat terlepas begitu
cepatnya. Di lain saat Suling Emas sudah memegang suling dan kipasnya.
“Iblis
betina, kiranya kau mempunyai ilmu setan yang jahat. Akan tetapi jangan harap
kau dapat mengakali aku lagi. Hayo majulah!”
Dengan sikap
tenang penuh wibawa Suling Emas berdiri tegak dengan sepasang senjatanya yang
amat terkenal itu di kedua tangan, matanya menatap tajam. Siang-mou Sin-ni
ragu-ragu, maklum bahwa ilmunya Tok-hiat-hoat-lek masih belum cukup kuat untuk
merobohkan Suling Emas. Tetapi ia merasa gembira sekali karena biar pun ilmunya
belum matang betul, namun ia tadi sudah hampir dapat mengalahkan Suling Emas.
Andai kata ilmunya sudah matang, tentu tidak semudah itu Suling Emas
menyadarkan diri dan tentu sudah mampus di tangannya. Ia tertawa dan sekali
berkelebat tubuhnya mencelat jauh pergi dari tempat itu. Suara ketawanya masih
terdengar jelas seperti suara kuntilanak, disusul kata-katanya mengejek,
“Suling Emas, kau tunggu saja, di puncak Thai-san aku takkan gagal lagi seperti
tadi!”
Sejenak
Suling Emas termenung. Ia teringat betapa dahsyat ilmu yang dipergunakan
Siang-mou Sin-ni tadi. Hampir saja ia menjadi korban. Kalau tadi ia tidak
lekas-lekas dapat menguasai dirinya dan melenyapkan kepeningannya, tentu ia
sudah menjadi korban. Diam-diam ia bergidik. Ilmu semburan darah segar tadi
benar-benar mengerikan dan kelak ia harus berlaku hati-hati sekali apa bila
berhadapan dengan iblis betina itu.
***************
Dengan amat
tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai
kertas tipis yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. Memang
segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan. Ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang
merupakan inti sari dari pada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng,
bahkan dipilih jurus-jurus yang dapat mengatasi isi kitab itu karena ketika
menciptakan ilmu ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk
menurunkannya kepada ketua Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad.
Dengan demikian, ilmu ini ia tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biar pun
sudah lama tongkat pusaka yang dijadikan tempat penyimpanan wasiat ini berada
di tangan Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan
oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja sama
sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini
jodoh namanya?
Karena ia
termasuk seorang anak yang cerdas, Lin Lin segera dapat menghafal wasiat ini di
luar kepala, dan ia dapat menduga bahwa ilmu mukjijat ini tak boleh sekali-kali
diketahui orang lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu selama lima belas hari
di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis itu dan
menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.
“He, apakah
itu?” bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin.
Betapa pun juga, iblis hitam ini merasa curiga karena selama setengah bulan
ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak pernah memperdengarkan protes atau
memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan menebarkan
potongan-potongan kertas banyak sekali ke sungai.
Akan tetapi
ia terlambat mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat
kecil-kecil itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu
terbang melayang lalu hinggap di atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran,
tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke
permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh itu
membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.
Diam-diam
Lin Lin kagum bukan main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan
yang berat sekali. Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono, biar pun
sudah memiliki hafalan ilmu mukjijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka
Beng-kauw. Dengan sepasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang Hek-giam-lo
yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu.
Lin Lin tadi
sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya
merupakan potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan
kertas, akan tetapi apa artinya? Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan
kertas itu serta memasangnya kembali seperti semula, tak mungkin dapat
dilakukan orang!
“Apa
ini...?” Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin
Lin dengan perasaan ingin tahu sekali.
“Kenapa kau
tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai
seorang di antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa
adanya surat yang kurobek-robek menjadi potongan-potongan kecil itu?” Suara Lin
Lin mengejek dan mempermainkan karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul
kembali kejenakaan dan kelincahannya.
“Tuan
Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk
menjaga Tuan Puteri dan membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai
calon ratu, Tuan Puteri harus hamba jaga secara teliti dan tidak boleh sama
sekali ada rahasia. Surat apakah tadi?”
Lin Lin
tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan. “Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal
cerdik itu tidak dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui,
bolehlah kuberi tahu. Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari...
kekasihku. Nah, puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!”
Lin Lin bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo
mendongkol juga.
“Paduka
maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?”
Lin Lin
menghela napas panjang dan seketika ia menghampiri pinggir perahu dan pandang
matanya mencari-cari ke tepi pantai. Disebutnya nama pemuda itu mengingatkan ia
akan penderitaan Bok Liong yang mati-matian membelanya.
“Bukan,
bukan dia. Liong-twako adalah seorang yang amat baik, gagah perkasa dan ia amat
mencintaku. Akan tetapi bukan dia....” Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya,
akan tetapi hatinya berbisik, “Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia
orang yang kucinta....”
“Kau mencari
dia?” kini suara Hek-giam-lo yang penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut
sekali. Selama setengah bulan ia bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana
jadinya dengan Bok Liong? Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan
dibunuh oleh Hek-giam-lo.
“Di mana
dia? Kau apakan Lie Bok Liong Twako?” bentaknya dengan mata terbuka lebar.
“Paduka
cukup cerdik, mengapa tidak menduga sendiri?” Kini Hek-giam-lo yang
mengejeknya.
Lin Lin
membanting-banting kakinya. “Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang iblis yang tidak
segan-segan melakukan segala macam kejahatan di dunia ini, akan tetapi aku pun
tahu bahwa kau terlalu sombong untuk bersikap pengecut dan membohong terhadap
seorang gadis cilik macam aku! Nah, apakah kau telah membunuh Lie Bok Liong?”
Hek-giam-lo
menggeleng kepalanya. “Orang macam dia, perlu apa kubunuh? Dia sudah mau mampus
dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya, pelukis sinting itu tidak
datang dan membawanya pergi.”
Berseri
wajah Lin Lin. “Apa kau bilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya?
Mengapa dia tidak membunuhmu?”
Hek-giam-lo
mendengus marah. “Badut tolol itu mana berani? Dia datang membawa pergi
muridnya, tergesa-gesa dan ketakutan.”
“Kau bohong,
aku tidak percaya!”
Hek-giam-lo
hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan Lin Lin ke kepala
perahu. Lin Lin menoleh ke sana ke mari, akan tetapi pandang mata para anak
buah perahu yang mentertawakannya membuat ia gemas dan dengan marah ia kembali
memasuki bilik perahu. Hatinya panas dan ingin ia memberontak dan pergi dari
perahu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih
masak-masak, pula di atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali
perahu digulingkan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan
pula. Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.
Dengan makin
tekun Lin Lin mulai melatih diri, siang malam ia melatih diri. Bukan main
girang hatinya ketika pada setiap gerakan pukulan terasa ada angin pukulan yang
antep dan dahsyat menyambar keluar dari tangannya yang terbuka. Dinding bilik
perahu sampai berguncang dan hal inilah yang membuat Hek-giam-lo menjadi curiga
sekali.
Malam itu,
menjelang subuh, mendadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan menerobos masuk.
Baiknya ketika itu Lin Lin sudah melatih jurus yang ke sembilan. Jurus ini
dilakukan dengan duduk, merupakan pukulan jarak jauh yang dilakukan sambil
duduk. Pukulan kedua tangan itu merupakan gerakan lingkaran sehingga angin
pukulannya memutari tubuhnya dapat menghantam lawan yang berada di mana pun
juga tanpa mengubah kedudukan tubuh yang duduk. Untuk melatih jurus ini, Lin
Lin duduk di atas pembaringannya. Maka ketika tiba-tiba pintu biliknya terbuka,
ia tidak menjadi gugup, melainkan menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap
seperti orang bersemedhi, sikap yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat
tinggi, apa lagi waktu menjelang subuh adalah waktu terbaik untuk bersemedhi.
Melihat
‘tuan puteri’ itu duduk bersemedhi, sama sekali tidak bergerak, Hek-giam-lo
tidak berani mengganggu. Akan tetapi getaran-getaran pada dinding bilik
sekarang berhenti. Makin curigalah iblis itu. Ia menutup pintu bilik dan
melompat ke luar, menyelidik di sekeliling perahu, bahkan ia menyelidiki ke
darat. Akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu.
Kecurigaan
Hek-giam-lo ini yang mengganggu latihan Lin Lin. Pada keesokan harinya, secara
mendadak Hek-giam-lo menghentikan perahu, lalu mengambil keputusan untuk
melakukan perjalanan ke utara melalui darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga,
tidak hanya pada diri Lin Lin, melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai
yang hendak merampas Lin Lin dan tongkat pusaka Beng-kauw dari padanya. Hal ini
mungkin saja, apa lagi setelah muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari
pantai.
“Aku tidak
mau melakukan perjalanan di darat!” Lin Lin membentak marah. “Lebih enak
melalui air, tidak lelah dan dapat tidur nyenyak!”
“Tidak bisa,
Tuan Puteri. Air sungai ini akan membawa kita ke laut, sedangkan Khitan
letaknya bukan di laut. Kita harus mendarat sekarang juga. Jangan khawatir,
untuk Paduka hamba akan menyediakan seekor kuda yang baik.”
Tentu saja
keberatan yang diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya
ia ingin melakukan perjalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya.
Dengan perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah pengawasan
Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk berlatih.
Namun Lin
Lin cukup cerdik untuk membantah terus karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan.
Selain itu, biar pun ia kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah
kesempatan baginya untuk melarikan diri, sungguh pun ia takkan sembrono
melakukan hal ini kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.
Kesempatan
ini tak pernah ia dapatkan karena Hek-giam-lo selalu mengawalnya sendiri dengan
hati-hati dan teliti sekali. Ia diberi seekor kuda pilihan yang baik sedangkan
Hek-giam-lo berjalan cepat di belakangnya. Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan
kudanya itu akan percuma, tidak saja di situ terdapat banyak kuda-kuda yang
cepat, akan tetapi juga orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat
ditinggal lari di atas kuda. Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan
sia-sia belaka dan akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang
baik. Kini biar pun ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan
Hek-giam-lo sendiri, selalu bersikap menghormat. Ia selalu diberi hidangan yang
lezat dan selalu diperhatikan keperluannya.
Beberapa
pekan kemudian, pada suatu sore, tibalah mereka di perbatasan yang menjadi
wilayah bangsa Khitan. Suku bangsa Khitan adalah bangsa perantauan di sebelah
utara, sering kali berpindah wilayah sesuai dengan keadaan dan musim. Mereka
terkenal sebagai bangsa yang gagah berani dan pandai menunggang kuda, pandai
melakukan perang.
Hek-giam-lo
menghentikan rombongannya dan menyuruh orang-orangnya mendirikan kemah di
tempat itu, yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Ia sendiri lalu menunggang
kuda untuk mengabarkan kepada rajanya tentang kedatangan Puteri Yalin! Pada
waktu itu, karena tekun mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin
sudah pandai berbahasa Khitan. Karena memang ada hubungan darah, maka bahasa
ini baginya amat mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo
dan terbukalah kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggaikan
rombongan itu!
Akan tetapi
pada saat Hek-giam-lo pergi, datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata
adalah dayang-dayang yang serta-merta melayaninya. Mereka ini terdiri dari selosin
orang wanita muda yang cantik, mereka datang membawa makanan asing yang enak,
membawa pakaian-pakaian indah dan perhiasan untuk Sang Puteri Yalin, calon
permaisuri!
Memang watak
Lin Lin nakal dan ingin sekali ia mencoba pakaian itu. Maka ia hanya menurut
saja ketika didandani. Akhirnya ia tertawa cekikikan sendiri ketika melihat
bayangannya di cermin. Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang
pakaiannya aneh beraneka warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat dari
pada emas penuh batu permata!
“Pantaskah
aku memakai ini?” tanyanya dalam bahasa Khitan kepada para dayang yang
tertawa-tawa gembira melihat puteri itu cekikikan di depan cermin.
Mereka serentak
menjatuhkan diri berlutut dan menghujani Lin Lin dengan pelbagai pujian. Lin
Lin merasa bangga sekali. Alangkah senangnya menjadi ratu, pikirnya. Dilayani,
dihormati, dan menjadi orang terpenting di antara bangsa yang mempunyai
laki-laki gagah dan wanita cantik ini. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia
akan dijadikan permaisuri oleh paman tirinya sendiri yang bernama Kubakan dan
kini menjadi Raja Khitan, ia bergidik dan cepat-cepat ia melepaskan pakaian
asing itu, mengenakan pakaian sendiri. Ia tidak mempedulikan protes para dayang
itu, bahkan lalu meloncat ke luar dari perkemahan dengan maksud hendak lari.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika selosin orang dayang yang muda-muda dan cantik itu
tiba-tiba mengejar dan mengurungnya dengan pedang di tangan. Mereka ternyata
bukanlah dayang biasa, melainkan gadis-gadis yang terlatih baik dan kini mereka
membentuk barisan pedang yang mengurung Lin Lin dengan gerakan yang cekatan dan
sigap.
“Harap Tuan
Puteri jangan pergi meninggalkan perkemahan ini. Hamba semua telah menerima
perintah Sri Baginda untuk menjaga Paduka, Lo-ciangkun (Panglima Tua) tadi
memesan bahwa kalau perlu hamba semua harus mempergunakan kekerasan mencegah
Paduka pergi,” kata seorang di antara mereka.
“Perempuan
rendah! Bukankah aku ini ratumu? Berani kau menghalangi kehendakku?” gertak Lin
Lin dengan marah.
“Ampun, Tuan
Puteri. Paduka adalah calon ratu dan hamba sekalian tentu saja mentaati semua
perintah Paduka. Akan tetapi lebih dulu hamba harus mentaati Sri Baginda,
kemudian Lo-ciangkun, baru Paduka.”
“Kalian
berani? Hemmm, agaknya sudah bosan hidup. Majulah!” tantang Lin Lin, akan
tetapi selosin dayang itu tidak bergerak, hanya tetap mengurung.
“Mana hamba
berani menyerang Paduka? Hanya kalau Paduka hendak melarikan diri, terpaksa
hamba sekalian harus mencegah.”
“Oh,
begitukah? Nah, aku mau pergi, hendak kulihat kalian bisa berbuat apa!” Sambil
berkata demikian Lin Lin meloncat ke kiri, menerjang dua orang dayang yang
menjaga di situ.
Akan tetapi
dengan gerakan cepat sekali mereka menggerakkan pedang, merupakan dinding
pedang yang menghalangi perginya. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa dua
belas orang dayang ini merupakan tenaga-tenaga yang terlatih baik dan agaknya
mereka betul-betul akan menyerangnya kalau ia bersikeras melarikan diri dari
tempat itu. Dan pada saat itu sudah datang pula para orang Khitan berlari-lari,
jumlah mereka lebih dari dua puluh orang!
Bangkit
kemarahan di hati Lin Lin. Sebetulnya ia tidak mempunyai rasa benci kepada
orang-orang Khitan karena setelah ia menjadi tawanan Hek-giam-lo beberapa
lamanya, ia mendapat kesan yang amat baik terhadap orang-orang Khitan. Mereka
adalah orang-orang yang berani, jujur, dan amat setia. Mereka hanya melakukan
perintah atasan mereka dan semua tugas mereka jalankan dengan taruhan nyawa.
“He,
dengarlah kalian semua!” serunya sambil mencabut pedang dengan tangan kanan
sedangkan tongkat Beng-kauw berada di tangan kirinya. “Aku Puteri Yalina amat
suka kepada bangsaku, akan tetapi aku benci kepada paman tiriku Kubakan yang menjadi
raja lalim dan hendak memperisteri aku, keponakannya sendiri! Aku juga benci
kepada Lo-ciangkun Hek-giam-lo yang kejam! Dengarlah, aku bersedia menjadi ratu
kalian kalau kedua orang itu sudah tidak ada. Demi arwah ibuku, Puteri Tayami
yang gagah perkasa, dan demi arwah kakekku, Raja Kulukan yang bijaksana, aku
suka menjadi Ratu Khitan asalkan kedua orang jahat itu sudah tewas! Sekarang
terserah kepada kalian, adakah yang masih hendak menangkap aku? Boleh maju!”
Beberapa
orang dayang dan beberapa orang penjaga ketika menyaksikan Lin Lin berdiri
sambil mengucapkan kata-kata ini penuh wibawa, serta-merta menjatuhkan diri
berlutut. Bahkan disebutnya nama-nama mendiang Kulukan dan Tayami membuat
beberapa orang dayang menangis.
“Hamba setia
kepada Puteri Yalin!” teriakan-teriakan ini terdengar riuh-rendah.
Akan tetapi
tidak semua dayang dan tidak semua penjaga berlutut dan menyatakan setianya,
bahkan sebagian besar merasa lebih taat kepada Raja Kubakan dan lebih takut
kepada Hek-giam-lo. Jumlah mereka yang menentang Lin Lin ini ada dua pertiga
bagian dan kini sembilan orang dayang menerjang maju dengan pedang-pedang
mereka menyerang Lin Lin!
“Trang-cring-trangggg...!”
terdengar jerit kesakitan dan pedang-pedang beterbangan ketika Lin Lin
menggerakkan pedang dan tongkat Beng-kauw, diputar untuk menangkis disertai
pengerahan tenaga sinkang.
Tidak hanya
pedang sembilan orang dayang itu runtuh beterbangan, juga sebagian ada yang
terguling roboh karena hebatnya tenaga tangkisan Lin Lin, sebagian sisanya
meloncat mundur dengan muka pucat. Lin Lin sendiri terheran-heran. Bagaimana
tangkisannya bisa begitu hebat? Sama sekali ia tidak menduga bahwa semua ini
adalah berkat ilmu baru yang didapatkannya, yaitu ilmu dari lembaran-lembaran rahasia
di dalam tongkat Beng-kauw.
Namun
seperti juga para petugas lain, sembilan orang dayang itu amat setia kepada
tugasnya. Biar pun pedang mereka sudah hilang dan mereka semua maklum bahwa
tuan puteri yang harus mereka cegah perginya ini memiliki ilmu kepandaian yang
jauh lebih tinggi dari pada mereka. Mereka tidak mundur dan kini dengan tangan
kosong mereka menubruk maju dengan maksud menangkap Lin Lin.
Lin Lin
tidak tega untuk menggunakan senjata menghadapi mereka, maka ia cepat menyimpan
pedangnya yang tadi membuat banyak orang Khitan berlutut karena pedang itu
adalah Pedang Besi Kuning yang dahulu menjadi pusaka keramat Kerajaan Khitan,
kemudian dengan dorongan tangan kanannya ia menerima serangan para dayang itu.
“Wuuuttttt...!”
Dari tangan kanan Lin Lin menyambar angin pukulan dahsyat karena gadis ini
sudah menggunakan tenaga dari ilmunya yang baru, yang pernah dilatihnya dalam
perahu, dan yang angin pukulannya menggetarkan dinding sehingga pernah membuat
Hek-giam-lo menjadi curiga.
Hebat
akibatnya. Sembilan orang dayang itu seperti daun-daun kering tertiup angin,
mereka terlempar dan menjerit kesakitan. Ketika mereka terbanting roboh, hanya
enam orang saja yang mampu merangkak bangun dengan muka pucat dan lemah,
sedangkan yang tiga orang lagi, yang paling depan, tak dapat bangun lagi karena
mereka telah tewas dengan mulut, hidung dan telinga mengeluarkan darah!
Alangkah
kagetnya hati Lin Lin. Ia sampai berdiri melongo dan tercengang, hatinya
dipenuhi rasa menyesal dan rasa girang. Ia menyesal karena tanpa ia sengaja ia
telah melukai para dayang, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka, akan
tetapi juga girang karena mendapat kenyataan bahwa ilmu mukjijat yang ia dapat
dari dalam tongkat Beng-kauw itu ternyata merupakan ilmu yang ampuh! Hatinya menjadi
besar sekali dan ia kini menghadapi para penjaga yang belasan orang banyaknya
itu dengan bentakan nyaring.
“Yang berani
kurang ajar terhadapku sudah terhukum! Mundur kalian semua, kalau tidak, calon
ratumu akan turunkan tangan besi. Aku sayang kepada mereka yang taat, akan
tetapi aku harus membasmi mereka yang mencoba menahan kepergianku!”
Sejenak para
prajurit Khitan itu tertegun. Mereka terheran-heran melihat betapa gadis yang
biar pun tadinya cukup lihai namun masih dapat mereka atasi ini, kini mendadak
memiliki ilmu pukulan yang demikian dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat yang
mengerti akan ilmu silat tinggi, belasan orang Khitan itu mengenal ilmu pukulan
dahsyat.
Diam-diam
mereka menyesal sekali mengapa Hek-giam-lo sudah pergi dari situ. Biar pun
mereka dapat mengandalkan tenaga banyak teman, namun dengan ilmu pukulan sakti
seperti itu, agaknya sukar mencegah gadis ini melarikan diri. Mereka tidak
takut terhadap Lin Lin biar pun gadis itu memiliki ilmu dahsyat, mereka jauh
lebih takut dan ngeri kalau sampai gadis ini lenyap, takut akan kemarahan dan
hukuman yang akan dijatuhkan Hek-giam-lo terhadap mereka!
“Tuan
Puteri, hamba sekalian harus mencegah kepergian Paduka dengan taruhan nyawa!”
teriak seorang penjaga dan mereka lalu maju mengurung Lin Lin, merupakan pagar
manusia yang tak dapat dilalui begitu saja tanpa membuka jalan berdarah!
Lin Lin
menarik napas panjang. “Kalian keras kepala!”
Setelah
berkata demikian Lin Lin kembali mengayun tangan kanannya mengirim pukulan
jarak jauh. Kali ini dua orang laki-laki terguling roboh dan beberapa orang
lagi terhuyung-huyung. Akan tetapi dari kanan, kiri dan belakang mereka
mendesak maju, siap untuk merobohkan Lin Lin atau kalau mungkin menangkapnya.
Kembali Lin Lin mengirim pukulan, kini malah tongkat Beng-kauw di tangan kiri
ia pergunakan untuk menyapu kaki mereka. Ada beberapa orang lagi roboh, dan dua
orang malah patah tulang kaki mereka terbabat tongkat pusaka Beng-kauw.
“Mundur
kalian! Hemmm, apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak Lin Lin karena mereka
demikian nekat sudah menyerbu lagi sehingga ia tidak melihat jalan ke luar.
Kembali beberapa orang ia robohkan dan ia sudah menggerakkan kaki meloncat
keluar dari kepungan melalui tempat mereka yang sudah roboh ketika tiba-tiba
para pengeroyoknya terpelanting dan terdengar suara orang mendengus marah.
Lin Lin
berdiri tegak dan memandang kepada Hek-giam-lo yang sudah berdiri di depannya!
Berdebar jantung gadis ini, akan tetapi ia sama sekali tidak takut, malah ia
menentang pandang mata Hek-giam-lo dengan pandangan menantang.
“Tuan
Puteri, Sri Baginda sudah mengirim joli untuk menjemput Paduka, kenapa Paduka
membikin ribut di sini? Apa yang Paduka kehendaki?” Kini suara Hek-giam-lo
malah lebih hormat dari pada yang sudah-sudah, agaknya hal ini karena mereka
sudah dekat dengan Raja Khitan, akan tetapi di dalam suara ini pun terkandung
kemarahan tertahan.
“Aku mau
pergi dari sini! Aku tidak sudi dijadikan isteri paman tiriku! Tua bangka tak
tahu malu dia. Dan kau tidak tahu diri, hendak memaksa aku menjadi isteri
seorang kakek. Hemmm, andai kata kakekku masih hidup, atau ibuku, kau tentu
akan dihajar, Hek-giam-lo!”
Kembali
iblis hitam itu mendengus. “Tangkap dia!” bentaknya kepada para pembantunya.
Karena
Hek-giam-lo sudah hadir di situ, orang-orang itu menjadi lega hatinya. Kalau
sebelum iblis itu datang Lin Lin sampai terlepas dari tangan mereka, pasti
mereka akan mengalami hukuman siksa sampai mati yang amat mengerikan, akan
tetapi sekarang Hek-giam-lo berada di situ, berarti iblis itulah yang
bertanggung jawab sepenuhnya. Pula, kehadiran iblis ini membesarkan hati
mereka, membuat mereka tidak takut akan kelihaian sang puteri. Serentak mereka
maju mendesak hendak menangkap Lin Lin.
Lin Lin
kembali mengayun tangannya, kini ia tidak hendak menyembunyikan lagi ilmunya.
Terdengar Hek-giam-lo mendengus keras dan iblis ini pun menggerakkan tangannya
sehingga angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lin Lin, bertemu dengan
angin pukulan Lin Lin. Akibatnya, Lin Lin terdorong dan terjengkang ke
belakang, akan tetapi Hek-giam-lo juga terhuyung-huyung.
Hal ini
membuat Hek-giam-lo kaget setengah mati. Dari mana tiba-tiba gadis itu memiliki
sinkang yang sedemikian hebatnya? Ia berseru keras dan melompat maju. Ketika
itu Lin Lin juga sudah bangkit kembali dan memutar kedua senjatanya, yaitu
Pedang Besi Kuning dan tongkat Beng-kauw.
“Semua
mundur, biarkan aku menghadapinya!” Hek-giam-lo membentak ketika tiga orang
pembantunya dalam sekejap mata saja roboh oleh kedua senjata Lin Lin.
Kini
Hek-giam-lo sendiri yang maju dan berhadapan dengan Lin Lin yang memandangnya
penuh ketabahan. Lin Lin sama sekali tidak jeri. Kalau sebelum ia mendapatkan
ilmu mukjijat saja ia sama sekali tidak takut, apa lagi sekarang. Ilmu itu
membuat ia laksana seekor harimau betina mendapat sayap.
“Hek-giam-lo,
kau kira aku takut kepadamu?” katanya dan kini ia menggerakkan kedua senjatanya
dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam gulungan-gulungan kertas.
Dua sinar
berkilauan menyambar, bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi bersuitan.
Hek-giam-lo terkejut dan melompat mundur, kedua lengan bajunya bergerak ke
depan untuk menangkis.
“Heh, dari
mana kau mendapatkan ilmu ini?” bentaknya.
Lin Lin tidak
menjawab, hanya tertawa mengejek sambil menerjang maju lagi. Sayang sekali
bahwa dia kurang latihan sehingga biar pun kedua senjatanya mengeluarkan hawa
pukulan yang berdesir-desir, namun ia belum mampu mengerahkan tenaga sepenuhnya
dan gerakan-gerakannya masih kaku. Namun tak dapat disangkal lagi bahwa
terjangannya ini dahsyat sekali sehingga diam-diam Hek-giam-lo menjadi kaget
dan kagum. Tokoh sakti ini pun mengerti bahwa jika ilmu gadis ini terlatih
baik, tentu gadis ini akan merupakan lawan yang berat dan sedikitnya setingkat
dengan kepandaiannya!
Hek-giam-lo
adalah seorang yang cerdik. Ia dapat menduga bahwa ilmu aneh ini tentu
didapatkan oleh Lin Lin selama menjadi tawanan di dalam perahu dan ia teringat
akan desir angin pukulan pada tengah malam itu di perahu. Kini ia mengerti
bahwa pada waktu itu, tentu Lin Lin yang sedang berlatih. Dari mana gadis ini
mendapatkan ilmu itu? Gadis itu tidak bertemu siapa pun juga, tidak pernah
meninggalkan perahu. Tongkat itu? Tongkat pusaka Beng-kauw! Tentu di situlah
rahasia ilmu itu.
Dengan
gembira karena ingin sekali mendapatkan ilmu aneh ini yang pasti akan dapat
menambah kelihaiannya, Hek-giam-lo mempergunakan ginkang-nya menyelinap di
antara sambaran sinar senjata, lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan,
yaitu sabit bergagang panjang yang amat tajam.
“Serahkan
tongkat pusaka Beng-kauw!” bentaknya sambil menyerang dengan sabitnya.
Gerakannya
hebat, tenaganya mukjijat sekali sehingga Lin Lin terpaksa meloncat mundur
karena silau menyaksikan kelebatan sinar senjata lawan. Namun ia berhasil
menangkis senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang membuatnya kembali
terhuyung-huyung dan telapak tangannya terasa sakit sekali. Namun hal ini saja
sudah membuat Hek-giam-lo terheran-heran. Hanya ahli silat kelas tinggi saja
yang mampu mempertahankan terjangannya tadi dengan akibat hanya
terhuyung-huyung. Tadinya ia memperhitungkan bahwa sedikitnya gadis itu akan
melepaskan sepasang senjatanya!
Karena
penasaran, kembali ia menerjang dengan sabitnya. Dalam pertandingan, apa lagi
kalau menemui lawan tangguh, Hek-giam-lo lupa segala. Karena Lin Lin dapat
menangkis terjangannya tadi membuat ia lupa dan bersemangat sehingga kini ia
menerjang dengan serangan maut tanpa mempedulikan apakah gadis calon ratu,
calon permaisuri rajanya itu akan mampu menangkisnya.
“Tranggg...!”
Lin Lin kembali berhasil menangkis dengan pedangnya, dibantu pula dengan
tongkat, namun kini ia terguling.
Alangkah
heran hati Hek-giam-lo karena begitu terguling gadis itu sudah meloncat lagi,
malah kini membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah ganasnya. Ia sampai
memekik kaget dan memutar senjatanya untuk menangkis. Ada pun Lin Lin yang
bangkit semangatnya karena hawa sinkang-nya kini ternyata mampu bertahan
terhadap kekuatan lawan yang tersalur dalam setiap serangannya, kini menerjang
dengan tabah dan penuh tenaga.
Namun betapa
pun juga, karena ilmu barunya itu baru ia kuasai beberapa bagian saja, sama
sekali belum terlatih, mana ia mampu mengimbangi seorang jago kawakan seperti
Hek-giam-lo yang menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Sebentar saja ia
sudah sibuk sekali, hanya mampu menangkis ke sana ke mari tanpa mampu membalas
kembali.
Hek-giam-lo
mendengus. Setelah sekarang Lin Lin tak dapat menandinginya, ia teringat lagi
bahwa gadis ini adalah calon permaisuri raja, maka gerakan senjatanya tidak
lagi merupakan ancaman maut, melainkan kini ia berusaha menangkap gadis itu.
“Lepaskan
tongkat!” bentaknya, senjatanya menyambar ke arah dada.
Lin Lin
kaget sekali karena sambaran itu cepat bukan main. Ia menangkis dengan
pedangnya dan... pedangnya menempel pada senjata lawan, lekat tak dapat ditarik
kembali. Dengan gemas ia menggunakan tongkatnya mengemplang kepala lawan, namun
tangan kiri Hek-giam-lo menyambut tongkat itu, menangkap dan membetot. Lin Lin
tak kuasa bertahan dan terpaksa tongkatnya berpindah tangan. Akan tetapi karena
Hek-giam-lo membagi tenaga untuk merampas tongkat, gadis itu berhasil
mempertahankankan pedangnya.
“Kembalikan
tongkat itu!” Lin Lin berseru keras sambil menusukkan pedangnya.
Akan tetapi
kini Hek-giam-lo seperti tidak pedulikan dia lagi. Senjata sabitnya ia
pergunakan untuk menangkis, sedangkan matanya memeriksa tongkat Beng-kauw,
mencari rahasianya. Tiba-tiba ia teringat akan kertas yang dirobek-robek oleh
Lin Lin dan disebar di sungai. Ia menggeram keras dan membentak.
“Kertas yang
kau robek-robek dahulu itu... surat rahasia apakah itu?” suaranya terdengar
penuh kemarahan dan kini ia hanya menyebut Lin Lin dengan ‘kau’ saja.
“Peduli apa
kau?” Lin Lin balas membentak sambil menyerang lagi. Akan tetapi sebuah
tangkisan membuat ia terhuyung ke belakang. Kini Hek-giam-lo yang mendesak
maju.
“Serahkan
rahasia tongkat Beng-kauw kepadaku!”
“Rahasia
apa?” Lin Lin menjawab, kaget.
“Rahasia
ilmu yang kau pelajari. Cepat!”
“Tidak...
tidak ada...!” Lin Lin gugup karena rahasianya diketahui.
“Jangan
bohong! Aku perlu sekali ilmu itu, berikan!” Hek-giam-lo mendesak dan menerjang
dengan sabitnya. Serangan ini kuat sekali sehingga ketika Lin Lin menangkis,
pedangnya terlepas dari pegangan tangannya dan mencelat.
“Ho-ho-ho,
Bayisan, aku bisa membiarkan kau merajalela di dunia akan tetapi kalau kau
mengganggu puteri dari Tayami, aku yang akan menghalangimu!” Tiba-tiba
terdengar suara orang dan Pedang Besi Kuning yang mencelat dari tangan Lin Lin
tadi telah disambar dan berada di tangan orang ini. Ketika semua orang
memandang, kiranya yang datang adalah seorang laki-laki tua berkepala botak,
bertubuh pendek gemuk, kakinya tidak bersepatu, jenggotnya panjang sampai ke
dada.
“Kim-lun
Seng-jin...!” Lin Lin berseru girang sekali melihat munculnya kakek ini.
Kim-lun Seng-jin mengedip-ngedipkan matanya kepada Lin Lin dengan cara yang
lucu, kemudian mengangsurkan Pedang Besi Kuning.
“Anak baik,
Tuan Puteri Yalina yang mulia, kau terimalah pedang ini. Pedang ini memang
hakmu. Lekas kau pergi dari sini, belum saatnya kau kembali kepada bangsamu.
Biar aku yang menandingi Bayisan yang dahulu mengganggu ibumu dan sekarang
hendak mengganggumu lagi.”
“Kakek yang
baik, terima kasih,” kata Lin Lin sambil menerima pedangnya. “Tapi aku tidak
mau pergi, aku mau membantumu menghadapi iblis tengkorak ini.”
“Heh-heh-heh,
bukan saatnya. Ilmumu tadi memang aneh, mukjijat dan hebat, akan tetapi masih
mentah, kurang terlatih. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Kim-lun Seng-jin
menendang dan... karena tidak menyangka-nyangka, tubuh belakang Lin Lin kena
ditendang, membuat tubuh gadis itu terlempar dan melayang jauh!
Anehnya, Lin
Lin tidak merasa sakit dan tahulah ia bahwa kakek itu tidak main-main, melainkan
melihat bahwa perlu sekali ia segera melarikan diri. Karena tadinya memang
ingin membebaskan diri dari tangan orang-orang Khitan, Lin Lin lalu lari
secepatnya sambil berseru.
“Kakek
botak, terima kasih! Kelak kalau aku menjadi ratu, kau kuangkat menjadi Koksu
(Guru Negara)!”
“Heh-he-he!
He, Bayisan, tak boleh kau mengejarnya. Akulah lawanmu, tua sama tua, heh-heh!”
kata Kim-lun Seng-jin sambil menerjang maju ketika melihat betapa Tengkorak
Hitam itu sudah menggerakkan kaki hendak mengejar Lin Lin. Terjangan kakek
botak itu hebat sekali karena ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu
sepasang roda emas yang gemilang dan berputar-putar di tangannya.
Hek-giam-lo
mendengus dan meloncat ke kiri menghindarkan diri, lalu berkata nyaring,
“Kim-lun Seng-jin, kau orang buangan dari Khitan, pengkhianat dan orang yang
tak tahu malu. Raja sendiri sudah tidak mengakui kau, mau apa kau turut
campur?”
“Hueh-heh-heh-heh!
Bayisan, kita dahulu sama-sama prajurit, sama-sama berjuang untuk membela suku
bangsa Khitan yang selamanya menjadi bangsa perantau yang disia-siakan dan tak
tentu tempat tinggalnya! Akan tetapi sekarang setelah kau menjadi antek nomor satu
dari Kubakan yang berkhianat, kau banyak tingkah dan membuka mulut besar! Siapa
tidak tahu bahwa sebetulnya kedudukan raja atas suku bangsa Khitan berada dalam
hak keturunan Puteri Tayami? Sekarang Puteri Yalin, keturunan Tayami sudah
dapat ditemukan, akan tetapi bukan dia diangkat menjadi ratu, malah akan
dikawini oleh paman tirinya sendiri, si Kubakan? Dan kau berani bilang aku
seorang pengkhianat? Heh-heh-heh, tidak lucu!”
“Tutup
mulutmu! Kau kira aku takut padamu?”
“Bayisan,
dahulu pun antara kita sudah sering terjadi perselisihan faham, dan biar pun
kau lebih muda, tingkat kepandaian kita seimbang. Sekarang setelah kau menjadi
seorang di antara Thian-te Liok-koai, agaknya kepandaianmu sudah banyak maju,
sebaliknya aku makin tua dan makin lemah. Akan tetapi, jika kau hendak
mengganggu Puteri Yalin, aku mempersiapkan tulangku yang sudah rapuh dan kulit
dagingku yang sudah lembek untuk melawanmu.”
“Tua bangka
bosan hidup!” Hek-giam-lo berseru keras dan senjatanya yang menyeramkan itu
menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang diselingi sinar kilat seperti
halilintar menyambar.
Kim-lun
Seng-jin maklum akan kesaktian Hek-giam-lo, maka dia pun tidak banyak cakap
lagi, segera menggerakkan kedua tangannya dan sepasang roda emas itu
berputar-putar dengan indahnya melindungi seluruh tubuh. Berkali-kali terdengar
suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata apa bila senjata kedua
orang jagoan Khitan ini bertemu.
Orang-orang
Khitan yang berada di situ melongo, kagum dan tegang. Mereka semua tahu siapa
adanya Kim-lun Seng-jin, seorang tokoh tua bangsa Khitan yang dikabarkan
meninggalkan kelompok bangsanya dan merantau, dianggap musuh oleh raja yang
sekarang, akan tetapi merupakan seorang tokoh besar di masa lalu. Mereka tidak
berani membantu karena membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah berarti mencari
kematian sendiri karena dianggap menghina Hek-giam-lo. Selain ini, mereka pun
berarti mencari mati kalau mencampuri pertandingan itu karena gerakan kedua
orang sakti itu terlalu cepat bagi mereka. Sukar bagi mereka untuk dapat
mengikuti jalannya pertandingan dengan pandang mata. Yang tampak oleh mereka
hanyalah gulungan sinar hitam menyambar-nyambar di antara dua gulung sinar
emas, sedangkan dua orang tokoh itu tidak tampak bayangannya lagi.
Biar pun
usianya sudah sangat tua dan kalah tenaga, namun Kim-lun Seng-jin termasuk
seorang tokoh sakti yang berkepandaian tinggi. Dahulu sewaktu Hek-giam-lo yang
masih bernama Panglima Bayisan masih kecil, Kim-lun Seng-jin sudah menjadi
Panglima Khitan yang sukar dicari bandingnya. Bahkan ketika Bayisan sudah
menjadi panglima yang jagoan, Kim-lun Seng-jin masih menjadi tokoh di Khitan
sampai akhirnya kakek ini pergi dari Khitan karena tidak suka melihat perebutan
kekuasaan, sedangkan raja sendiri, ketika itu adalah Raja Kulukan ayah Puteri
Tayami (kakek Lin Lin), malah menaruh curiga ketika Kim-lun Seng-jin memberi
nasihat. Ketika itu Kim-lun Seng-jin masih bernama Kalisani.
Namun kini
kakek itu makin lama makin repot juga menandingi Hek-giam-lo. Hek-giam-lo
selama ini memang memperoleh kemajuan hebat, apa lagi belum lama ini ia telah
berhasil merampas setengahnya dari kitab simpanan Bu Kek Siansu, yang
setengahnya lagi dirampas oleh It-gan Kai-ong. Dengan separuh kitab ini ia
telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali sehingga setelah bertempur
selama seratus jurus, mulailah Kim-lun Seng-jin terdesak hebat. Kini sinar
senjata sabit berkilat-kilat menyambar dan setiap gerakan merupakan jangkauan
maut yang mengerikan.
Namun
anehnya, Kim-lun Seng-jin terdengar tertawa-tawa bergelak, seakan-akan ia
merasa gembira sekali dengan pertandingan ini. Kakek ini memang selalu merasa
khawatir kalau-kalau ia sebagai seorang Khitan, akan tewas di perantauan di
tangan jago silat yang banyak terdapat di seluruh penjuru bumi. Akan tetapi
sekarang, nasib membawanya kembali ke perbatasan Khitan dan bahkan bertanding
dengan seorang tokoh Khitan nomor satu di waktu itu. Lebih-lebih kegembiraannya
bahwa ia dapat bertahan sampai seratus jurus lebih, ini saja sudah merupakan
kenyataan yang amat menggembirakan hatinya.
“Hueh-heh-heh,
Hek-giam-lo. Ternyata namamu kosong melompong! Mana patut bersombong menjadi
seorang di antara Enam Iblis Dunia? Ha-hah, menghadapi seorang kakek yang
sebelah kakinya sudah masuk lubang kubur macam aku saja, sekian lamanya belum
juga dapat mengalahkan!”
“Ciuuuuuttttt!”
sabit itu menyambar dengan gerakan seperti halilintar.
Saking
marahnya, Hek-giam-lo mempergunakan seluruh tenaga. Kim-lun Seng-jin cepat
menangkis dengan roda emas kiri.
“Cringgggg!”
Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata ini, tapi Kim-lun Seng-jin yang
cerdik membarengi pertemuan senjata ini dengan melontarkan roda emas kanan ke
arah lawan.
Karena
pembagian tenaga ini, apa lagi memang ia sudah amat lemah dan tenaganya kalah
kuat, maka roda emas kiri yang bertemu dengan sabit secara hebat menjadi patah,
bahkan tangan kirinya terluka oleh sabit yang sempat menyerempetnya. Akan
tetapi di lain pihak, Hek-giam-lo tidak menyangka akan serangan kilat dari roda
emas kanan yang dilontarkan, sebab itu ia tak sempat mengelak dan dadanya
terpukul.
“Desss...!”
Sekiranya
bukan Hek-giam-lo yang dihantam lontaran roda emas, tentu sudah pecah dadanya.
Akan tetapi Hek-giam-lo sempat mengerahkan sinkang-nya sambil menjerit keras
sekali. Roda emas menghantam sebagian dada dan pundak kirinya, terpental
kembali dengan keras dan diterima tangan kanan Kim-lun Seng-jin yang juga
terluka tangan kirinya, mengucurkan darah dan mukanya pucat. Akan tetapi kakek
ini tertawa-tawa gembira sekali.
“Heh-heh-heh,
Hek-giam-lo, pecahlah dadamu! Mampuslah, heh-heh-heh!”
Hek-giam-lo
muntahkan darah segar, kemudian ia mengeluarkan suara menggereng seperti seekor
binatang buas, lalu menubruk maju dengan gerakan senjata sabitnya. Tampak sinar
berkelebat. Kim-lun Seng-jin berusaha menangkis.
“Tranggggg!”
roda emasnya patah lagi, akan tetapi sabit di tangan Hek-giam-lo juga terlepas
dari pegangan.
Namun
Hek-giam-lo terus maju dan kedua tangannya seperti dua cepitan baja sudah
mencekik leher Kim-lun Seng-jin. Kakek ini tak bergerak lagi, seketika tewas
pada saat tangan yang beracun dari Hek-giam-lo menyentuhnya. Akan tetapi iblis
buas itu tidak juga mau melepaskan leher lawannya sebelum leher itu patah
tulangnya, kemudian ia membanting tubuh itu, menyambar sabitnya dan... pada
detik-detik berikutnya tubuh Kim-lun Seng-jin sudah hancur dicabik-cabik sabit!
Hanya mukanya yang tidak disentuh sabit. Dari leher ke bawah hancur sampai
kelihatan tulangnya. Anehnya, muka itu tetap saja tersenyum seakan-akan
mentertawakan kelakuan Hek-giam-lo yang seperti gila saking marahnya.
Hek-giam-lo
sendiri terluka, patah tulang pundaknya dan terluka sebelah dalam dadanya, akan
tetapi tidak berbahaya. Setelah menelan obat penawar, ia cepat melakukan
pengejaran ke arah larinya Lin Lin. Akan tetapi pertandingan melawan kakek
Kim-lun Seng-jin tadi memakan waktu cukup lama, sampai seratus jurus lebih, dan
tentu saja Lin Lin telah lenyap dari situ, sukar untuk dicari jejaknya. Apa
lagi gadis ini cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sepi, melalui
hutan-hutan dan selalu menghindarkan diri dari pada pertemuan dengan manusia
sehingga Hek-giam-lo yang mengejarnya sama sekali tidak mendapatkan keterangan
ke mana arah larinya Lin Lin.
Biar pun
hari telah terganti malam, Lin Lin tidak pernah menghentikan larinya, terus
menyusup-nyusup hutan liar. Untung baginya, malam hari itu sore-sore bulan
sudah keluar, biar pun belum bulat penuh, namun cukup untuk menerangi jalan di
dalam hutan. Dengan pedang terhunus di tangan, gadis ini terus melanjutkan
perjalanannya, mengarah selatan karena ia tahu bahwa dirinya saat itu berada di
utara. Andai kata tidak ada bulan muncul, kiranya sukar juga baginya untuk
memilih arah.
Lin Lin baru
menghentikan larinya setelah lewat tengah malam dan keadaan hutan yang
dimasukinya gelap sekali karena daun-daun pohon raksasa menutupi sinar bulan.
Ia naik ke atas sebuah pohon raksasa, duduk di atas cabang tersembunyi di balik
daun-daun, lalu beristirahat. Enak sekali rasanya duduk beristirahat setelah
setengah malam terus berlari dengan hati tegang itu. Kini ia merasa lega, bebas
dari tawanan Hek-giam-lo.
Segera ia
duduk bersila sambil melatih semedhi menurut pelajaran ilmunya yang baru dan
sebentar saja lenyaplah semua rasa lelah, tubuhnya terasa segar dan dalam
sekejap mata saja ia sudah berhasil mendiamkan panca inderanya, mengheningkan
cipta dan mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat tenaga sakti di tubuhnya.
Lin Lin baru
menyudahi semedhinya pada keesokan harinya, setelah matahari mulai mengusir
embun pagi yang membuat hawa udara amat dingin, apa lagi karena suara kicau
burung pagi yang menggembirakan itu tiba-tiba terganggu oleh suara melengking
tinggi yang menggetarkan perasaannya. Suara suling! Jantungnya berdebar tegang.
Suara melengking macam itu banyak sudah ia dengar keluar dari mulut orang-orang
sakti, di antaranya pernah pula Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti itu di
kala mengerahkan tenaga saktinya. Jangan-jangan Hek-giam-lo sudah mengejar
sampai ke situ!
Tidak takut,
pikirnya! Kalau dia datang dan benar-benar dapat menyusulku, aku harus
melawannya sampai mati! Akan tetapi kembali ia mendengarkan dengan teliti.
Mengapa suara itu berbunyi terus-menerus? Dan lengking itu membentuk lagu.
Suling! Debaran darahnya makin kencang dan dengan hati-hati ia meloncat dari
cabang ke cabang, dari pohon ke pohon seperti seekor tupai yang gesit, menuju ke
arah suara yang ia tahu tentu amat jauh.
Memang betul
dugaannya. Suara itu sebetulnya datang dari tempat yang cukup jauh dan andai
kata tidak kebetulan ia berada di pohon raksasa yang amat tinggi dan tidak
dalam waktu pagi yang sunyi dan dingin, agaknya suara itu tidak akan mencapai
pendengarannya. Sudah puluhan batang pohon ia loncati, namun belum juga ia
sampai di tempat dari mana suara suling itu melayang, akan tetapi makin dekat
makin hebatlah getaran suara suling. Lin Lin melompat terus.
“Aaaiiiihhhh...!”
tiba-tiba tubuhnya terguling ketika ia meloncat dari sebuah cabang ke cabang
lain. Untung ia masih dapat meraih cabang di bawahnya sehingga tubuhnya
tergantung, kemudian dengan hati-hati sekali ia merosot turun dan akhirnya
dapat juga ia mencapai tanah, berdiri dengan muka pucat dan cepat-cepat ia
mengerahkan sinkang di tubuhnya sambil duduk bersila!
Apa yang
terjadi? Kiranya setelah makin mendekati tempat itu suara suling mempunyai
getaran sedemikian hebatnya sehingga tanpa ia sangka-sangka dan sadari
jantungnya tergetar dan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga hampir saja
ia tadi terjungkal dari atas pohon besar yang amat tinggi. Kalau saja ia tidak
cepat dapat menangkap cabang dan terbanting jatuh, akan celakalah dia.
Setelah
mengerahkan sinkang yang disalurkan terutama ke isi dada dan ke arah sepasang
telinga, barulah Lin Lin pulih kembali keadaannya. Ia bangkit berdiri dan
maklumlah ia sekarang bahwa suara suling tadi ditiup dengan pengerahan hawa
sakti, semacam ilmu yang luar biasa sekali. Agaknya si peniup suling sedang
menghadapi lawan tangguh, maka sulingnya ditiup seperti itu.
Kini Lin Lin
menyelinap dari pohon ke pohon, mendekati arah suara suling yang terdengar amat
jelas, makin dekat, makin terasalah pengaruh suara suling. Biar pun ia sudah
menekan perasaan dan membulatkan kemauan agar jangan memperhatikan, tetap saja
ia terseret dan tanpa disadari ia memperhatikan juga. Suara suling itu amat
merdu, mengayun sukma, merayu semangat, namun amat menyedihkan karena makin
lama diperhatikan, makin mengarah suara orang menangis dengan kesedihan yang
luar biasa.
Tiba-tiba
Lin Lin merasa betapa tenaganya mulai berkurang, tubuhnya mulai lemas lagi.
Cepat-cepat ia menggerakkan kaki tangan dan mengatur napas menurut ajaran
ilmunya yang baru dan heran sekali, seketika lenyap pengaruh suara suling yang
mukjijat itu. Ia menjadi girang dan mulailah ia melangkah maju dengan
gerakan-gerakan ilmu silatnya yang baru.
Akhirnya
ketika ia keluar dari gerombolan pohon itu, tampaklah apa yang menimbulkan
suara mukjijat ini dan jantungnya berdebar keras. Hampir ia menjerit girang,
akan tetapi kembali ia terkejut karena hal ini mengguncangkan jantungnya dan
membuat ia hampir roboh. Cepat-cepat ia menguasai perasaannya dan mengerahkan
sinkang-nya kembali, berdiri memandang ke depan.
Di sana,
hanya beberapa puluh meter di depannya, di sebuah lapangan terbuka di antara
pohon-pohon itu, tampak Suling Emas berdiri tegak dengan kedua tangan memegang
dan memainkan suling yang ditiupnya. Di sekelilingnya berdiri sedikitnya lima
belas orang yang sikapnya mengancam, semua membawa senjata macam-macam, posisi
mereka dalam jurus ilmu silat dengan kedua kaki memasang kuda-kuda. Akan tetapi
anehnya, mereka itu sama sekali tidak bergerak menyerang Suling Emas, melainkan
berdiri seperti patung batu dengan mata memandang terbelalak, seolah-olah
terpesona oleh Suling Emas yang bermain suling. Wajah mereka tegang, beberapa
orang di antara mereka berhasil bergerak sedikit, akan tetapi tidak berhasil
bergerak terus melanjutkan serangan. Yang lainnya sudah persis patung batu,
wajahnya pucat dan tubuhnya seperti mati kaku!
Lin Lin
tertegun. Setelah sekarang dekat benar, ia pun merasakan pengaruh luar biasa
dari suara suling itu yang membuat tubuhnya sebentar lemas sebentar kaku
seirama dengan suara suling yang mengalun tinggi rendah! Kembali ia mengerahkan
sinkang-nya menurut ilmunya yang baru. Aneh, kini terasa betapa segar dan
nikmat tubuhnya, betapa suara itu memasuki telinganya seperti musik dari
angkasa, merdu merayu dan amat indahnya. Mungkin hal ini terjadi karena
kegembiraan hatinya melihat Suling Emas di tempat itu.
Dengan
pandang mata penuh kekaguman Lin Lin melihat betapa pendekar sakti itu dengan
tenangnya terus menyuling. Tiba-tiba suara suling berubah ketika mata Suling
Emas mengerling dan dapat melihat Lin Lin berdiri di situ. Pandang mata itu
menjadi berseri dan bersinar-sinar karena sesungguhnya bukan main girang hati
Suling Emas melihat Lin Lin berdiri di tempat itu, padahal disangkanya gadis itu
masih tertawan oleh Hek-giam-lo. Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya
dan yang tentu saja menggirangkan hatinya karena ia sampai tiba di tempat itu
bukan lain karena hendak mengejar Hek-giam-lo, menolong Lin Lin dan merampas
kembali tongkat pusaka Beng-kauw.
Kini Suling
Emas dengan masih meniup suling melangkah meninggalkan para pengepungnya yang
berubah menjadi patung hidup itu. Inilah pengaruh Ilmu Kim-kong Sin-im (Suara
Sakti Sinar Emas) yang ia pelajari dari Bu Kek Siansu, yang belum lama ini ia
perdalam latihannya bersama kakek dewa itu. Melihat Lin Lin berdiri tegak dan
bengong, Suling Emas mengira bahwa Lin Lin tentu, seperti para pengeroyoknya
itu terkena pula pengaruh ilmunya Kim-kong Sin-im, maka ia melepaskan tangan
kiri dari sulingnya, menyuling hanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya
diulur hendak menangkap Lin Lin dan dibawa pergi dari situ.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu bergerak dan gadis itu malah yang
menangkap tangan kirinya, digandeng mesra sambil berkata. “Kenapa baru sekarang
kau muncul? Hampir saja aku celaka lagi oleh si iblis Hek-giam-lo, dan kau
enak-enak di sini, mainkan suling untuk orang-orang itu. Mereka siapakah?”
Suling Emas
demikian terheran-heran sampai ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang
Lin Lin dengan melongo. Para pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang
ulung, yang berilmu tinggi, setidaknya tentu lebih tinggi dari pada ilmu yang
dimiliki Lin Lin. Rata-rata sinkang mereka tentu lebih kuat dari pada Lin Lin.
Kalau mereka itu semua terpengaruh oleh suara sulingnya, mengapa Lin Lin
enak-enak saja, agaknya sama sekali tidak merasakan pengaruh Kim-kong Sin-im?
Sebelum
Suling Emas sempat bertanya, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kiranya
belasan orang pengeroyok tadi segera pulih kembali setelah kini suara suling
lenyap. Mereka menjadi marah sekali. Tadi mereka seakan-akan dalam keadaan
tertotok oleh pengaruh Kim-kong Sin-im, sekarang mereka berteriak-teriak sambil
menyerbu dengan senjata di tangan. Mereka ini terdiri dari pada hwesio-hwesio,
tosu-tosu, dan orang-orang gagah yang berilmu tinggi, maka serbuan mereka
bukanlah hal yang boleh dipendang ringan. Gerakan mereka jelas membayangkan
tenaga yang besar dan gerakan kaki mereka amat ringan.
Ketika
menengok dan melihat ini, Suling Emas segera menyambar pinggang Lin Lin dengan
lengan kirinya, kemudian ia berkelebat dan melompat naik ke atas pohon,
berloncatan seperti burung garuda terbang, cepat sekali meninggalkan tempat
itu. Hujan senjata rahasia datang dari belakangnya. Namun Suling Emas
menggerakkan suling di tangan kanannya ke arah belakang, diputar sedemikian
rupa sehingga angin pukulannya meruntuhkan senjata-senjata rahasia yang datang
menyambar. Kembali Suling Emas tertegun melihat betapa Lin Lin juga menggerakkan
tangan, mendorong dan hawa pukulan yang bercuitan keluar dari tangan gadis yang
mendorong itu dan meruntuhkan beberapa anak panah gelap yang menyambar ke arah
mereka!
Akan tetapi
karena para pengeroyok itu kini sudah mengejar cepat, bahkan di antara mereka
ada pula yang mengambil jalan seperti Suling Emas, yaitu dengan cara meloncat
ke atas pohon dan bagaikan terbang mengejar dari pohon ke pohon, maka Suling
Emas tidak ada waktu lagi untuk bicara dengan Lin Lin. Ia mempererat
kempitannya pada pinggang Lin Lin dan mengerahkan semua tenaga dan ginkang-nya
melarikan diri. Lin Lin merasa seakan-akan tubuhnya dibawa terbang, akan tetapi
yang teringat olehnya sama sekali bukan lain hal kecuali bahwa ia dikempit atau
setengah dipondong oleh Suling Emas! Hal inilah yang mendebarkan hatinya dan
sambil meramkan mata ia menempelkan mukanya erat-erat pada dada laki-laki itu.
Ilmu
kepandaian Suling Emas memang hebat sekali. Biar pun para pengejarnya telah
mengerahkan tenaga, semua sia-sia belaka, mereka tertinggal jauh dan sejam
kemudian mereka terpaksa menghentikan pengejaran karena telah kehilangan
bayangan Suling Emas. Memang ada di antara mereka yang lebih hebat ginkang-nya
dari pada yang lain, namun untuk mengejar sendiri saja tentu amat berbahaya.
Suling Emas
berhenti berlari setelah merasa yakin bahwa para pengejarnya sudah menghentikan
pengejaran mereka. Mereka telah tiba di luar hutan dan matahari telah naik
menyinarkan sinar pagi yang hangat. Akan tetapi alangkah herannya ketika Suling
Emas melihat bahwa Lin Lin sudah tidur pulas dalam pondongan atau kempitannya!
Tadinya ia kaget, mengira bahwa ada sesuatu terjadi pada diri gadis ini, akan
tetapi setelah ia tahu betul bahwa gadis ini hanya tidur pulas, mau tak mau
Suling Emas tersenyum lebar.
“Bocah
nakal, enak-enakan tidur!” katanya, akan tetapi Lin Lin tidak bangun oleh
tegurannya ini.
Memang luar
biasa sekali. Ketika tadi berada dalam kempitan Suling Emas, Lin Lin merasa
dirinya begitu aman, begitu senang, dan begitu lega hatinya sehingga kelelahan
tubuhnya kembali menyerang dirinya. Rasa puas dan lega membuat ia mengantuk dan
tanpa ia sengaja, ia sudah tidur pulas sambil menyandarkan muka pada dada
Suling Emas!
Suling Emas
meletakkan tubuh gadis yang tidur pulas itu di atas tanah berumput sambil
tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Akan tetapi gerakan ini cukup untuk
membangunkan Lin Lin yang membuka mata dan cepat melompat berdiri sambil
mengusap-usap kedua matanya dengan punggung tangan. Agaknya hanya sejenak ia
nanar oleh tidurnya, karena segera ia celingukan dan bertanya.
“Mana
mereka? Mana orang-orang jahat itu?”
“Orang
jahat? Tidak ada orang jahat di sini.”
Gadis itu
memegang tangan Suling Emas, memandang dengan kening berkerut. “Apa kau bilang?
Orang-orang yang mengeroyokmu tadi, yang mengejar dan menyerang dengan
senjata-senjata rahasia, apakah mereka itu bukan orang-orang jahat?”
Suling Emas
menggeleng kepalanya. “Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah
perkasa, di antara mereka malah ada pendeta-pendeta dari Siauw-lim-pai,
Hoa-san-pai, dan Go-bi-pai.”
“Apa?
Mengapa keledai-keledai itu mengeroyokmu? Dan terang kau tidak akan kalah oleh
mereka, mengapa tidak melawan dan menghajar mereka, sebaliknya melarikan diri
seperti orang ketakutan?”
“Ah, panjang
ceritanya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa berada di sini? Bukankah kau
bersama-sama Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan?”
“Ah, panjang
ceritanya...” Lin Lin mengerling dan cemberut.
Suling Emas
memandang, lalu tertawa, maklum bahwa gadis ini membalasnya. Adik angkatnya ini
memang benar-benar nakal sekali. “Eh, kau pendendam sekali!”
Lin Lin juga
tertawa. “Orang bertanya baik-baik kau bilang panjang ceritanya.” Ia menegur.
Suling Emas
menarik napas panjang. “Lin Lin, kau tidak tahu. Amatlah tidak menyenangkan
hati untuk bercerita tentang mereka yang hendak mengeroyokku, yang ingin sekali
melihat aku mati. Aku tidak bisa bercerita tentang itu, harap kau tidak marah.”
“Hemmm,
rahasia, ya? Dan mengapa kau menjadi sedih? Sudahlah, aku hanya main-main.”
“Aku sendiri
tidak punya rahasia apa-apa, kau boleh dengar semua.”
Gadis itu
lalu menceritakan pengalamannya, sejak ia bertemu dengan Hek-giam-lo di
Nan-cao, tentang perintahnya merampas tongkat pusaka, tentang dirinya hendak
dijadikan Permaisuri Khitan, kemudian betapa ia berhasil melarikan diri karena
pertolongan Kim-lun Seng-jin.
Suling Emas
mendengarkan dengan terheran-heran, sampai berkali-kali ia menggeleng kepala.
Gadis ini benar-benar hebat, luar biasa keberaniannya dan agaknya hanya Lin Lin
di antara tiga orang adiknya yang belum tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song.
“Jadi kau
kah Puteri Mahkota Kerajaan Khitan? Dan kau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas
tongkat pusaka Beng-kauw? Apa maksudmu untuk merampas tongkat, untuk apa?”
Merah muka
Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Sejenak ia menundukkan muka, tidak berani
menentang pandang mata Suling Emas. Akan tetapi hanya sebentar saja ‘rasa
salah’ ini mengganggu hatinya, karena beberapa detik kemudian ia sudah
mengangkat muka lagi memandang wajah Suling Emas dengan pandang mata menantang
dan bibir tersenyum!
“Memang aku
Puteri Mahkota Khitan. Ibuku adalah Puteri Tayami yang gagah perkasa dan
kakekku adalah mendiang Sribaginda Kulukan, raja besar Khitan! Namaku sendiri
sebetulnya adalah Yalina sampai ibu yang menggendongku tewas di dalam
peperangan dan aku dipungut anak oleh ayah angkatku Jenderal Kam Si Ek dan
diberi nama Kam Lin.”
“Kalau
begitu, seharusnya aku menyebutmu Tuan Puteri,” kata Suling Emas,
sungguh-sungguh.
“Aku memang
ingin merampas kembali tahta kerajaan bangsaku yang jatuh ke tangan pamanku!
Aku ingin memimpin rakyatku menjadi bangsa yang kuat!” Ketika mengucapkan
kata-kata ini, Lin Lin berdiri tegak, sikapnya agung, sinar matanya tajam
bercahaya, penuh semangat.
Suling Emas
mengangguk seperti orang memberi hormat. “Tepat, memang begitulah seharusnya
Paduka bersikap sebagai seorang pemimpin yang mencinta bangsanya, Tuan Puteri
Yalin.”
Tiba-tiba
Lin Lin tertawa dan memegang tangan Suling Emas. “Ihhh, seperti main sandiwara
saja! Aku belum menjadi ratu dan takkan bisa selama paman tiriku dan
Hek-giam-lo masih berkuasa di Khitan. Aku tidak suka kau perlakukan sebagai
ratu, dan panggil aku Lin Lin saja seperti biasa.”
Kembali
Suling Emas tersenyum dan ia sendiri merasa aneh dan heran mengapa hatinya
selalu menjadi gembira kalau berdekatan dengan gadis ini yang membuat ia mau
tak mau menjadi gembira? Ataukah karena wajah Lin Lin ada persamaannya dengan
Suma Ceng?
“Agaknya kau
tidak suka kepada Hek-giam-lo. Akan tetapi mengapa kau menyuruh dia merampas
tongkat pusaka Beng-kauw?”
“Kau tidak
tahu. Biar kau berjuluk Suling Emas dan menjadi pendekar sakti, agaknya kau
tidaklah terlalu cerdik untuk dapat menyelami apa yang menjadi maksud hatiku.”
Ucapan ini langsung keluar dari hati Lin Lin yang selalu berbisik, “aku
mencinta kau, mengapa kau tidak tahu?” dan yang tentu saja tak mungkin
terucapkan mulut itu. “Ketika aku bertemu dengan Hek-giam-lo, biar pun sikapnya
menghormat dan ia menganggap aku junjungannya, akan tetapi aku tahu bahwa
diam-diam aku menjadi tawanannya. Karena itulah aku menyuruh dia merampas
tongkat Pusaka Beng-kauw.”
“Mengapa?”
“Masih
bertanya lagi? Tentu saja biar kau mengejarnya dan kalau kau mengejarnya,
berarti kau akan dapat menolongku bebas dari pada tawanannya!”
“Ahhh...!”
Diam-diam Suling Emas memuji kecerdikan gadis ini. “Tapi kulihat sekarang kau
sudah pandai membebaskan diri sendiri.” Kemudian ia teringat akan sesuatu dan
cepat bertanya, “Dan kulihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Dulu kau
tidak begitu. Dari mana kau memperoleh kepandaian yang aneh itu? Apakah
Hek-giam-lo mengajarmu?”
“Ihhh, orang
macam dia mana mau mengajarku? Aku dianggap musuhnya, tahukah kau? Dia... dia
buruk sekali!” Lin Lin bergidik, teringat akan muka Hek-giam-lo ketika iblis
itu membuka kedok memperlihatkan mukanya. “Tahukah kau mengapa mukanya menjadi
seperti setan? Karena dia berani mengganggu ibuku dan ibu menghajarnya dengan
bubuk racun pada mukanya! Huh, orang macam dia berani mengganggu ibuku. Tidak
dibunuh pun masih untung dia!”
Suling Emas
mengerutkan keningnya. Alangkah banyaknya rahasia penghidupan orang-orang tua
yang ia tidak sangka-sangka dan tidak ketahui. Seperti halnya ibunya yang tentu
mempunyai pengalaman hidup yang luar biasa dan menarik sekali, akan tetapi yang
ia tidak tahu sama sekali, agaknya pengalaman hidup orang tua Lin Lin ini pun
tidak kalah hebat dan menariknya (dugaan ini memang benar dan semua pengalaman
itu menjadi cerita SULING EMAS yang menarik).
“Kalau bukan
dari dia, dari mana kau mendapatkan ilmu yang aneh itu?”
Lin Lin
tersenyum bangga, akan tetapi juga terheran. Ia memang telah mempelajari ilmu
mukjijat dari tongkat pusaka Beng-kauw, akan tetapi seingatnya semenjak bertemu
dengan Suling Emas tadi, ia tak pernah mainkan ilmu baru itu. Bagaimana Suling
Emas dapat menduganya?
“Nanti dulu,
Suling Emas. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku mempunyai gerakan-gerakan
hebat. Bagaimana kau bisa tahu padahal aku tak pernah melakukan pertempuran
sejak tadi?”
“Kau tadi
dapat menahan pengaruh Kim-kong Sin-im dari suara sulingku, kemudian dengan
pukulan jarak jauh yang aneh kau meruntuhkan senjata rahasia.”
“Oh, itu?”
Diam-diam Lin Lin kagum. Kelihaian Suling Emas dapat diukur dari sini. Sebelum
ia memperlihatkan ilmunya, pendekar sakti ini sudah mengetahuinya hanya melihat
hal itu saja. Timbul kegembiraannya hendak mencoba ilmu barunya terhadap
pendekar yang menggugah kasih sayang dan kekaguman hatinya ini.
“Suling
Emas, sebelum aku memberi tahu dari mana aku mendapatkan ilmu ini, aku hendak
mengujinya kepadamu. Harap kau suka meneliti dan memberi petunjuk kepadaku.”
Kembali
Suling Emas tersenyum. Gadis ini berwatak aneh, akan tetapi jujur dan jenaka.
Sudah menjadi watak semua tokoh kang-ouw untuk menyembunyikan rahasia ilmunya,
apa lagi yang belum dilatih masak-masak, mengeluarkannya saja di depan umum
tentu segan karena khawatir kalau-kalau diketahui rahasianya oleh orang lain.
Akan tetapi gadis ini selain hendak membuka rahasia malah ingin mengujinya
terhadap dirinya dan minta petunjuk. Mengapa gadis ini amat percaya kepadanya?
Apa lagi
gadis ini belum tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song. Apa lagi mengingat betapa
dahulu telah terjadi peristiwa ‘menyeramkan’ di lingkungan istana, atau lebih
tepat di gedung perpustakaan istana ketika ia menyangka gadis ini Suma Ceng dan
memeluk serta menciumnya. Karena peristiwa itu pula maka ia sengaja tidak
memperkenalkan diri, biar gadis ini sendiri yang kelak mendengar dari Kam Bu
Sin atau Sian Eng bahwa dia, Suling Emas, laki-laki yang dulu pernah bersikap
‘kurang ajar’ kepada gadis itu, adalah kakak angkatnya!
Apa lagi,
kakak angkat bukanlah hubungan yang amat dekat, jauh bedanya dengan saudara
tiri yang masih seayah lain ibu seperti halnya dia terhadap Bu Sin dan Sian
Eng. Kakak angkat pada hakekatnya adalah orang lain dan bukan apa-apa. Terutama
sekali apa bila diingat bahwa gadis ini sebetulnya adalah seorang puteri bangsa
Khitan, semenjak dahulu musuh utama bangsanya, khususnya Kerajaan Hou-han. Akan
tetapi betapa pun juga semenjak kecil gadis ini dipelihara ayahnya, dan
mengingat betapa gadis ini bercita-cita besar sekali ingin menjadi Ratu Khitan,
tidak ada salahnya kalau ia memberi petunjuk agar Lin Lin memiliki kepandaian
yang boleh diandalkan, terutama sekali untuk menghadapi Hek-giam-lo yang sakti.
“Silakan kau
perlihatkan ilmu itu.”
Lin Lin
melompat mundur sampai dua meter, berdiri dalam jarak empat meter dari Suling
Emas, kemudian merangkap kedua tangan seperti orang menyembah, ditaruh di depan
dada kiri, kemudian terus digerakkan ke atas dengan sepasang matanya meram.
Lambat-lambat gerakan ini, namun makin lama makin tergetar dan menggigil,
kemudian kedua tangan itu mengembang ke atas kepala seperti seorang yang
memohon sesuatu dari pada Tuhan. Beberapa detik sepasang tangannya menggigil di
atas kepala, lalu diturunkannya kembali dan ia membuka matanya. Sikapnya
berubah tenang sekali, bibirnya tersenyum, kedua tangannya tidak menggigil
lagi.
“Aku sudah
siap, Suling Emas.”
Suling Emas
mengikuti semua gerakan Lin Lin itu dengan mata makin lama makin terbelalak.
Merangkap tangan di depan dada itu! Hampir ia tidak percaya. Gerakan merangkap
tangan ke depan dada lalu menggerakkan ke atas kepala dan memohon kepada Thian,
itulah gerakan sembahyang dari Beng-kauw!
Akan tetapi
ia tahu betul bahwa Lin Lin bukanlah seorang penganut Beng-kauw, dan ia pun
dapat menduga dari kedua tangan yang menggigil mengandung getaran tenaga
dahsyat itu bahwa gerakan gadis itu tadi sama sekali bukan semata-mata gerakan
upacara keagamaan, melainkan cara untuk mengerahkan semacam hawa sakti yang
hebat dan luar biasa. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap gadis itu yang
berubah begitu tenang, terlalu tenang, sebagai tanda seorang yang seluruh
tubuhnya sudah disaluri tenaga sinkang (hawa sakti) yang kuat. Ia pun bersikap
waspada dan dengan mata penuh selidik ia berkata.
“Nah, kau
mulailah menyerang,” suaranya lirih karena hatinya berguncang.
“Lihat
serangan!” Lin Lin berseru dan ia segera melompat maju dan memutar-mutar
tubuhnya bagaikan sebuah gasing!
Inilah jurus
ke tujuh dari pada ilmu yang ia pelajari. Menghadapi Suling Emas yang amat
lihai, ia tidak mau mempergunakan jurus-jurus sederhana dan sengaja ia memilih
jurus-jurus yang ia anggap paling aneh. Jurus ini memang hebat dan aneh yang
menurut catatan rahasia itu disebut sebagai jurus Soan-hong-ci-tian (Angin
Puyuh Mengeluarkan Kilat)!
Selama
tahun-tahun belakangan ini, semenjak ia mendekati Beng-kauw, sudah sering kali
Suling Emas menyaksikan jurus-jurus terlihai dari Beng-kauw. Bahkan dengan Kauw
Bian Cinjin yang menjadi sahabat baiknya sering kali ia bertukar pengalaman dan
kritik tentang jurus-jurus sakti. Akan tetapi belum pernah ia menyaksikan jurus
macam ini.
Hal ini
tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa jurus ini adalah sebuah di antara
tiga belas jurus istimewa yang khusus diciptakan oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan, diciptakan khusus untuk menghadapi semua isi tiga kitab pusaka yang
dicuri oleh puterinya sendiri. Jadi boleh dibilang tiga belas macam ilmu
pukulan sakti ini diciptakan untuk mengatasi seluruh inti sari ilmu kesaktian
Beng-kauw yang telah ada! Tidaklah mengherankan apa bila hebatnya bukan alang
kepalang, sehingga agaknya Suling Emas sendiri tentu akan menemui lawan yang mengejutkannya
kalau saja Lin Lin sudah sempurna berlatih.
Namun biar
pun baru beberapa hari Lin Lin berlatih ilmu baru ini, Suling Emas sudah
menjadi terheran-heran ketika menghadapi serangan pertama ini. Mula-mula ia
tidak terkejut, hanya terheran-heran karena melihat gerakan serangan yang
begitu aneh, bahkan menggelikan. Mana ada jurus ilmu silat yang menyerang
dengan pembukaan seperti itu? Berputar-putar seperti gasing, bagaimana dapat
menyerang dengan baik? Malah boleh dibilang memberi kesempatan kepada lawan
untuk menyerang hebat selagi tubuh berputar-putar seperti itu. Akan tetapi
tentu saja ia tidak mau mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang, karena ia
hanya ingin menguji. Ia sendiri tegak menanti sampai gadis itu mendahului
menyerang.
Dan serangan
itu datang! Bukan main aneh dan hebatnya! Tiba-tiba, dengan tubuh masih
berputaran, setelah dekat dengan Suling Emas tiba-tiba dari putaran itu
menyambar keluar dua buah tangan yang bergerak tak tersangka-sangka. Tangan
pertama, yang kiri, menghantam ke arah kepala Suling Emas, dan tangan kanan
sebagai pukulan kedua sudah menyambar ke arah dada sebelum pukulan pertama
mengenai sasaran. Dua serangan sekaligus yang susul-menyusul dan kecepatannya
cukup membahayakan.
Suling Emas
miringkan kepala menghindarkan diri dari pada pukulan pertama dan sengaja ia
mengangkat lengannya menangkis ketika pukulan kedua tiba menyambar dadanya.
“Dukkkkk!”
Tubuh Lin Lin terhuyung-huyung seperti melayang-layang, akan tetapi Suling Emas
mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika kuda-kudanya tergempur oleh
pertemuan lengan itu. Kalau saja ia tidak cepat mengerahkan sinkang-nya, tentu
ia akan terhuyung juga, biar pun tidak sehebat Lin Lin. Ia cepat meloncat untuk
menahan dan menolong Lin Lin, akan tetapi ternyata gadis itu sudah dapat
menguasai dirinya kembali dan sama sekali tidak apa-apa!
“Kenapa kau
sungguh-sungguh?” Lin Lin mengomel.
“Wah, hebat
sekali! Lin Lin, hebat sekali seranganmu tadi. Mengandung tenaga mukjijat.
Sayangnya, dengan berputaran seperti itu, sebelum kau memukul, kau dapat
diserang lawan lebih dulu dan keadaan berputaran itu tidak menguntungkan.”
Lin Lin
tertawa. “Hi-hik, boleh coba! Aku tadi justru mengharapkan kau menyerang lebih
dulu. Suling Emas, di dalam catatan ilmu ini, kelihaian jurus Soan-hong-ci-tian
terletak kepada cara berputaran itulah! Dan jangan kira bahwa berputaran
seperti itu melemahkan kedudukanku, iihh, sama sekali terbalik. Itulah gerakan
memancing, malah sengaja begitu biar lawan menyerang lebih dulu. Kehebatan daya
serangnya justru di waktu lawan menyerang, karena lawan memandang rendah dan
percaya serangannya akan berhasil. Mau coba?”
Akan tetapi
Suling Emas mengerutkan kening, memikir-mikir. “Soan-hong-ci-tian...? Tak
pernah kudengar jurus ini, melihatnya pun baru sekarang....”
“Hi-hik,
masa? Suling Emas yang tersohor sakti, pendekar jagoan itu tidak mengenal
jurusku? Lucu!”
“Lin Lin,
dari mana kau memperoleh ini? Siapa yang mengajarmu?”
“Sssttt,
nanti dulu. Belum habis kan ujian ini? Kau jaga seranganku berikutnya!” Sambil
berkata demikian Lin Lin sudah menerjang lagi mengeluarkan jurus-jurus yang
aneh dan lihai. Dari kedua tangannya yang memukul menyambar angin yang amat
kuat sehingga Suling Emas tak berani memandang rendah. Makin lama Suling Emas
makin tertarik, karena jurus-jurus itu betul-betul belum pernah ia melihatnya.
“Pergunakan
pedangmu...!” kata Suling Emas gembira. “Lekas cabut pedangmu dan mainkan
menurut jurus-jurusmu...!”
Tadinya Lin
Lin sudah merasa kecewa sekali karena biar pun ia menerjang dengan hebat, sama
sekali ia tidak mampu menyentuh bayangan Suling Emas sehingga ia merasa seperti
menyerang bayangannya sendiri dan merasa betapa ilmunya yang baru ini kalau
berhadapan dengan lawan sesakti Suling Emas atau Hek-giam-lo, benar-benar tidak
ada gunanya. Akan tetapi mendengar perintah Suling Emas ini, ia tidak mau
membantah, apa lagi dalam suara itu terkandung kegembiraan dan kekaguman.
Sinar kuning
emas berkeredepan menyilaukan mata ketika Lin Lin mencabut Pedang Besi Kuning
dan mainkan pedang pusaka ini menurut jurus-jurus ilmu baru. Tiga belas jurus
sudah ia mainkan semua dan pedangnya sama sekali tidak dapat menyentuh ujung
baju Suling Emas. Dengan perasaan sebal dan kecewa Lin Lin menghentikan
permainannya dan menyimpan pedangnya, membanting kaki dan berkata. “Sudahlah!
Perlu apa kau permainkan aku? Memang aku tidak becus, dan ilmuku, ilmu
picisan!”
“Wah, siapa
bilang begitu? Lin Lin, kau benar-benar telah mewarisi ilmu yang luar biasa
sekali. Sungguh mati, kalau kau sudah melatih ilmu itu dengan sempurna, jarang
ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingimu. Bahkan aku sendiri merasa
ragu-ragu apakah aku akan dapat bertahan begitu mudahnya menghadapimu. Ilmu
mukjijat, Lin Lin, hanya kurang terlatih dan ada bagian-bagian yang kau keliru
latihan agaknya. Kau tadi minta petunjuk, bukan? Nah, aku akan memberi
petunjuk-petunjuk kalau saja kau suka berlatih perlahan-lahan. Aku bersumpah
takkan mempelajari ilmu itu, dari mana pun datangnya.”
“Jangan
pura-pura membesarkan hatiku, padahal kau hanya mengejek. Begitu baik
hubunganmu dengan Beng-kauw, masa pura-pura tidak mengenal ilmu silat yang
kutemukan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw?” Ucapan Lin Lin ini sewajarnya
saja karena memang ia sungguh-sungguh menganggap bahwa Suling Emas
mempermainkan dan mengejeknya yang membuat hatinya mendongkol sekali.
Akan tetapi
ternyata ucapan ini mengagetkan Suling Emas yang terang-terangan membelalakkan
kedua matanya dan memandang kepada gadis itu seakan-akan Lin Lin bukan seorang
gadis jelita melainkan seorang siluman yang mengerikan.
Memang bukan
main kaget hati Suling Emas mendengar kata-kata ini. Hal ini ada sebabnya. Tadi
ketika ia melayani jurus-jurus istimewa anehnya dari Lin Lin, ia selain kaget
dan kagum, juga merasa heran mengapa jurus-jurus ini mengandung inti sari ilmu
Beng-kauw, akan tetapi lebih tinggi dan seakan-akan mengandung unsur-unsur
menekan dan mengatasi inti sari ilmu Beng-kauw. Inilah yang mengagetkan hatinya
ketika mendengar bahwa gadis itu mempelajarinya dari surat warisan yang
ditemukan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw.
Otaknya yang
cerdik segera dapat menangkap rahasianya. Takkan salah lagi, tentu mendiang
Pat-jiu Sin-ong yang menciptakan dan menyembunyikannya di dalam tongkat pusaka
Beng-kauw dengan maksud menurunkan atau mewariskannya kepada ketua Beng-kauw.
Ada pun ketua Beng-kauw adalah pamannya sendiri, Liu Mo, yang kelihatan
tenang-tenang saja ketika tongkat itu dirampas Hek-giam-lo.
Andaikata
pamannya tahu bahwa di dalam tongkat pusaka itu terdapat surat wasiat mendiang
kakeknya yang mengandung pelajaran ilmu kesaktian yang begitu hebat, sudah
tentu pamannya itu akan menjadi panik sekali dan tak mungkin menyerahkan
tongkat begitu saja kepada Hek-giam-lo. Sekali ilmu itu dipelajari orang luar,
berarti Beng-kauw terancam! Hal ini hanya berarti bahwa pamannya belum tahu
akan surat wasiat, berarti pula bahwa surat wasiat itu belum pernah terlihat
orang lain dan Lin Lin adalah orang pertama yang mempelajarinya.
Lin Lin yang
kini mendapat giliran kaget sekali ketika Suling Emas menangkap tangannya dan
memegangnya erat-erat.
“Eh-eh,
aduuuhhhhh... hendak kau patahkan lenganku?” serunya, agak dibuat-buat manja
karena sesungguhnya, seerat-eratnya Suling Emas memegang, tentu saja tidak
sampai mematahkan tulang lengannya. Apa lagi dia memiliki sinkang yang tidak
sembarangan!
“Eh, maaf,
eh... Lin Lin, di mana surat wasiat itu? Di mana sekarang?” tanya Suling Emas
agak gugup.
Siapa
orangnya tidak akan gugup? Kalau surat wasiat itu terjatuh ke tangan orang lain
seperti Hek-giam-lo, tentu Beng-kauw akan terancam bahaya. Takkan ada orang
Beng-kauw yang akan dapat melawan musuh yang memiliki ilmu itu secara mendalam,
karena ia tahu bahwa ilmu itu adalah ilmu berinti sari pelajaran Beng-kauw yang
agaknya dicipta untuk mengatasi kepandaian orang-orang Beng-kauw.
“Kenapa sih?
Kau yang sudah begitu pandai, yang tadi dengan mudah saja menghadapi ilmu ini,
apakah kau masih begitu serakah ingin mempelajari ilmu ini pula? Ingat, Suling
Emas, kau sudah bersumpah tadi takkan mempelajarinya. Bukan aku melarang kau
mempelajarinya, hanya... aku... aku tidak mau kalau kau melanggar sumpahmu.”
“Aku takkan
mempelajarinya, Lin Lin. Tapi lekas katakan, di mana adanya wasiat pelajaran
itu?” Saking tegang hatinya, penuh kekhawatiran kalau-kalau wasiat itu terampas
pula oleh Hek-giam-lo, Suling Emas sampai lupa untuk melepaskan tangan Lin Lin.
Sejak tadi ia masih memegangi tangan itu, sungguh pun kini tidak ia cengkeram
seperti tadi.
Dengan
jantung berdebar Lin Lin melirik ke arah kedua tangannya yang digenggam Suling
Emas. Ia tersenyum. “Panggil dulu namaku....”
“Lin
Lin....”
“Sebut aku
Moi-moi (Adik)....”
“Lin-moi-moi
(Adik Lin) yang baik!” kata Suling Emas, biar pun mendongkol merasa geli juga
karena memang gadis ini adik angkatnya, apa salahnya menyebutnya adik?
“Kau
menyebut dinda, aku pun menyebut kanda. Koko yang baik, surat wasiat itu sudah
kumusnahkan.”
“Kau
musnahkan?”
Mereka
bertemu pandang, sama-sama menyelidik. Melihat wajah Suling Emas agak berseri
membayangkan kegirangan hatinya, legalah hati Lin Lin.
“Sudah
kurobek-robek menjadi sekeping-keping kecil lalu kusebarkan ke dalam sungai.”
“Betul sudah
musnah? Apakah Hek-giam-lo tidak melihatnya?” kata Suling Emas agak
terburu-buru dan mukanya menjadi merah karena baru sekarang setelah hilang
kekhawatirannya, ia teringat bahwa sejak tadi ia menggenggam sepasang tangan
yang kecil halus itu.
Lin Lin
tertawa. “Lucu sekali Hek-giam-lo. Dia goblok. Ada beberapa potongan surat
wasiat itu ia ambil, akan tetapi apa artinya satu dua huruf pada
kepingan-kepingan kecil itu! Ia mendesak, curiga dan bertanya.”
“Dan apa kau
jawab?”
“Kukatakan
bahwa surat itu dari... dari kekasihku, hi-hik...”
Kembali
terpaksa Suling Emas tersenyum, perbuatan yang jarang atau tak pernah ia
lakukan. Semenjak ia terpaksa berpisah dari kekasihnya, Suma Ceng, tersenyum
merupakan hal yang sukar dapat dilakukan Suling Emas karena hatinya sudah
terluka dan ia selalu memandang penghidupan dari segi yang muram-muram. Akan
tetapi entah mengapa, berdekatan dengan Lin Lin, ia sudah beberapa kali
tersenyum seakan-akan kelincahan dan kegembiraan gadis ini merupakan cahaya
terang yang sinarnya mencapai pojok-pojok hatinya yang gelap.
“Hemmm, anak
nakal. Lalu, dia bagaimana? Percayakah?”
“Mula-mula
tidak. Ia bertanya siapakah kekasih itu.”
“Dan kau
jawab...? Tentu... murid Gan-lopek, ya?” Suling Emas sendiri merasa heran
mengapa mendadak sontak ia melayani kelakar Lin Lin, bahkan mengeluarkan godaan
ini. Benar-benar ia menjadi seperti kanak-kanak, pikirnya dengan wajah merah.
“Iiiihhhhh...!”
Tiba-tiba Lin Lin menggunakan kedua tangannya menangkap lengan tangan Suling
Emas dan sepuluh buah jari-jari tangannya mencubiti kulit lengan itu.
“Aduh-aduh...
aduh...!” Suling Emas tertawa dan menjerit-jerit karena memang sakit sekali
cubitan-cubitan jari yang berkuku runcing itu. Ia tidak tega tentu saja untuk
menggunakan tenaga melawan cubitan karena selain tak patut main-main dibalas sungguh-sungguh,
juga ia khawatir kalau-kalau kuku-kuku jari yang terpelihara itu akan rusak
oleh perlawanannya.
“Kau
menyebalkan! Siapa bilang, hayo, siapa bilang aku punya kekasih murid Gan-lopek
si badut tua itu? Memalukan, menggemaskan...!”
“Sudah...
sudah, aduh...!” Suling Emas masih tertawa-tawa. “Lepaskan!”
“Hayo bilang
dulu siapa yang mengatakan demikian?”
Kegembiraan
Suling Emas timbul, maka ia merasa belum cukup menggoda. Sambil tertawa ia
berkata, “Memang sudah sepantasnya Lie Bok Liong yang tampan dan gagah itu
menjadi anumu... ha-ha... aduhhh!”
Cubitan Lin
Lin makin keras. “Anu apa? Hayo bilang, apa yang kau maksudkan dengan
anumu...?”
“Aduh,
sakit, Lin-moi, lepaskan. Kumaksudkan kekasihmu tentu. Bukankah ia amat
mencintamu dan selalu membelamu?”
Mendadak Lin
Lin melepaskan tangannya dan... menangis!
“Eh-eh...
mengapa menangis...?” Suling Emas benar-benar terkejut dan heran sekali.
“Kau
jahat...! Kau mengejekku, kau menjengkelkan, sengaja bikin aku marah...! Kau
tidak punya hati, tak berjantung!”
“Eh... oh...
nanti dulu, Lin-moi! Aku sama sekali tidak mengejekmu, aku... aku hanya
main-main. Masa tidak boleh orang main-main? Maafkan aku, Lin-moi, sungguh mati
aku tidak bermaksud membikin kau marah dan jengkel. Sudahlah, kau maafkan aku.”
Lin Lin
mengangkat mukanya yang merah dan basah. “Betul-betul kau tidak mengejek?”
tanyanya dan Suling Emas tidak berani main-main lagi karena suara itu
mengandung kesungguhan hati yang mengherankan dan mengejutkan. Mengapa gadis
yang lincah dan suka berjenaka ini begitu sedih ketika digoda?
“Tidak, aku
tidak mengejek, hanya main-main.”
“Bagaimana
kau bisa menyangka begitu terhadap Lie Bok Liong Twako? Apa sebabnya kau
mengira dia kekasihku?”
Bingunglah
Suling Emas, akan tetapi dengan tenang ia menjawab “Lin-moi, sudahlah, aku tadi
hanya main-main. Pula, andai kata aku benar timbul persangkaan demikian,
bukankah engkau sendiri yang tadi menceritakan betapa Lie Bok Liong hampir saja
mengorbankan nyawa demi untuk membelamu? Hanya orang yang mencinta dengan
sepenuh jiwa raga dapat membela dengan pengorbanan sehebat dia.”
Dengan muka
termenung Lin Lin mengangguk-angguk. “Memang dia amat baik hati, dia... agaknya
memang betul bahwa dia amat mencintaku. Liong-twako seorang berbudi. Tapi...
tapi bukan dia... aku tidak mencintanya, aku hanya suka kepadanya sebagai
seorang kakak atau sahabat....”
“Hemmm,
kasihan dia. Sudahlah, Lin-moi, cukup tentang dia. Terang kalau begitu bahwa
bukan dia kekasihmu, maafkan aku tadi. Kemudian bagaimana dengan Hek-giam-lo
tadi? Ketika dia tanya siapa kekasihmu, bagaimana jawabmu? Apa kau bilang
kekasihmu itu ada?”
Suling Emas
tak dapat menyembunyikan keheranan yang membayang pada wajahnya ketika melihat
betapa gadis itu kini memandangnya sambil tersenyum dengan wajah cerah. Bukan
main! Baru saja menangis dan marah-marah, kini sudah tersenyum-senyum. Siapa
tidak akan heran kalau melihat udara yang gelap mendung dan hujan tiba-tiba
tampak matahari bersinar?
“Tentu saja
ada, dan dia percaya!”
“Siapa?”
Lin Lin
berdebar jantungnya. Ia seorang gadis yang tabah dan jujur, tidak pemalu, akan
tetapi pertanyaan ini sekarang amat sukar terjawab. Ia terpaksa menyembunyikan
mukanya dengan tunduk, lalu menjawab, “Suling Emas....”
Suling Emas
menjadi begitu kaget sampai ia berdiri kesima tak mampu bergerak atau
mengeluarkan kata-kata. Ia masih mengira bahwa Lin Lin gadis nakal itu sengaja
menyebut namanya untuk mempermainkannya sebagai pembalasannya tadi. Akan tetapi
melihat kepala yang ditundukkan, sikap yang malu-malu dan bersungguh-sungguh
itu, makin gelisahlah dia.
“Lin-moi,
harap kau jangan main-main yang bukan-bukan....” Ia masih mencoba untuk melawan
kekhawatirannya.
Lin Lin
mengangkat mukanya. Merah sekali muka itu, terutama sepasang pipinya,
seolah-olah ketika menunduk tadi, gadis ini memulas kedua pipinya dengan yanci
(pemerah pipi). Tapi kini suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh
tuntutan.
“Mengapa,
Koko? Aku tidak main-main! Bukankah pengakuanku itu benar-benar? Kalau kau
sekarang terheran, kaulah yang pura-pura dan main-main. Yang kau lakukan
terhadapku di perpustakaan istana itu....”
Suling Emas
gelagapan. Tentu saja ia tidak dapat melupakan peristiwa itu, pertemuannya
pertama kali dengan Lin Lin. Pada suatu malam di lingkungan istana, ketika itu
ia berada di dalam gedung perpustakaan, sedang melamunkan kekasihnya, Suma
Ceng, ketika tiba-tiba muncul Lin Lin yang di dalam cuaca remang-remang itu
bentuk tubuh dan potongan wajahnya mirip benar dengan Suma Ceng.
Pada waktu
itu, karena hatinya sedang diliputi penuh rindu dendam terhadap kekasihnya, ia
seperti orang yang sedang bermimpi, mengira Lin Lin adalah Suma Ceng,
memeluknya, menciumnya! Agaknya Lin Lin tak pernah dapat melupakan peristiwa
itu pula, hanya bedanya, kalau ia mengenang peristiwa itu, dengan perasaan
jengah dan malu serta merasa bersalah, sebaliknya gadis ini menganggap
peristiwa itu sebagai pernyataan cinta kasih Suling Emas terhadap gadis itu!
“Kenapa?
Apakah kau mempermainkan aku ketika itu?” Lin Lin mendesak ketika melihat wajah
Suling Emas menjadi pucat. Gadis ini merasa gelisah sekali, khawatir
kalau-kalau dugaan hatinya meleset. Ketika itu ia merasa yakin benar bahwa
Suling Emas mencintanya.
“Sudahlah,
Lin-moi. Apakah kau tidak bisa memaafkan kesalahanku? Lekas kau lanjutkan
ceritamu. Bagaimana dengan tongkat pusaka? Di mana tongkat itu sekarang?”
“Dirampas
Hek-giam-lo,” jawab Lin Lin pendek, masih bersungut-sungut karena ia merasa betapa
Suling Emas seperti hendak mengingkari perbuatannya di perpustakaan.
“Lin-moi,
sekarang juga kau harus ikut aku. Kalau hal ini tidak lekas kuurus, selamanya
kau akan dianggap musuh besar Beng-kauw.”
Ucapan ini
begitu mengagetkan Lin Lin sehingga ia melupakan urusan cinta kasih. “Apa?
Mengapa?”
“Lin Lin,
ketahuilah. Sudah menjadi rahasia yang belum terpecahkan oleh para pimpinan
Beng-kauw bahwa Pat-jiu Sin-ong meninggalkan warisan ilmu yang mukjijat. Mereka
mencari-cari, namun belum juga dapat menemukannya. Kini rahasia wasiat itu
terbuka olehmu, bahkan telah kau musnahkan dan kau pelajari isinya, padahal kau
sama sekali bukanlah orang Beng-kauw. Hal ini akan menimbulkan geger di
kalangan Beng-kauw dan kalau mereka tahu, tentu mereka itu akan mencarimu dan
membunuhmu. Rahasia ilmu itu sama sekali tidak boleh diketahui oleh orang luar.
Kalau sampai mereka tahu dan memusuhimu, biar aku sendiri takkan mampu
mencegahnya.”
“Aku tidak
takut! Aku tidak mencuri ilmu, hanya kebetulan...”
“Hemmm, kau
seperti anak kecil yang tidak pedulikan langit ambruk bumi terbalik, Lin-moi.
Ketahuilah, urusan ini amat besar dan gawat. Biar pun secara kebetulan kau
menemukan ilmu itu, akan tetapi bukankah engkau yang menyuruh Hek-giam-lo
merampas tongkat pusaka? Dan tahu pulakah kau mengapa Hek-giam-lo suka merampas
tongkat itu? Semata-mata karena taat kepadamu? Tak mungkin. Dia mempunyai
pamrih lain. Ketahuilah bahwa ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong itu telah terdengar
pula oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan Hek-giam-lo termasuk seorang di antara
mereka yang ingin sekali mengetahui dan memiliki ilmu itu. Tentu saja ia tidak
menduga bahwa ilmu itu disimpan di dalam tongkat pusaka, akan tetapi aku berani
bertaruh bahwa ia merampas tongkat pusaka untuk ditukar dengan wasiat ilmu
peninggalan Pat-jiu Sin-ong itu.”
“Wah-wah,
bagaimana baiknya? Aku sih tidak takut! Kalau kakek ketua Beng-kauw
marah-marah, aku dapat mengembalikan ilmu ini kepadanya dengan mengajarnya.
Bukankah beres begitu?”
Kembali mau
tak mau Suling Emas tersenyum. Bocah ini sama sekali belum tahu akan seluk
beluknya dunia kang-ouw. Kalau tahu tentu akan ketakutan sekali, karena urusan
ini berarti kematiannya yang sukar untuk dicegah pula.
“Lin-moi,
aku percaya akan ketabahanmu yang luar biasa, sungguh pun aku tahu bahwa tak
mungkin kau mampu menghadapi Beng-kauw. Andai kata ilmu ini sudah kau
sempurnakan, agaknya kau memang akan menjadi penantang Beng-kauw yang
berbahaya, akan tetapi kau seorang diri mana mampu menghadapi Beng-kauw yang
mempunyai banyak sekali orang sakti?”
“Termasuk
kau?”
“Jangan
ngacau! Lin-moi, bukan saatnya kita bicara main-main. Hanya ada satu cara untuk
membebaskanmu dari pada keadaan berbahaya ini.”
“Bagaimana?”
“Kau harus
mengunjungi makam mendiang Pat-jiu Sin-ong, bersumpah di depan makam sebagai
murid yang menemukan ilmu itu. Dengan cara demikian, maka kau boleh dibilang
sudah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong sehingga biar pun kau bukan anggota
Beng-kauw, kau berhak mewarisi ilmunya.”
Lin Lin mengerutkan
alisnya yang kecil hitam. “Pergi sendiri? Aku tidak tahu tempatnya!” Tapi
hatinya berkata, “Aku ogah!”
“Aku yang
akan membawamu ke sana.”
Seketika
wajah gadis itu berseri ketika ia memandang Suling Emas. “Dengan kau? Boleh,
mari kita berangkat!”
Suling Emas
menggeleng-geleng kepala, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Bocah
ini baginya merupakan ancaman bahaya yang jauh lebih hebat dan mengerikan dari
pada ujung senjata para pengeroyoknya tadi..
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment