Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 14
KEMBALI SIAN
ENG menjadi korban gigitan, akan tetapi anehnya gerakan-gerakannya lebih
tangkas dan lebih ganas dari pada kemarin. Kini lebih banyak lagi kelelawar
yang mati, dan lebih banyak lagi yang darah dan dagingnya memasuki perut Sian
Eng! Kembali semalam suntuk terjadi perang kecil yang ganas mengerikan di dalam
ruangan gelap, akan tetapi kali ini Sian Eng kelihatannya makin kuat saja
sehingga menjelang pagi, binatang-binatang itu mulai gentar dan hanya satu dua
ekor yang berani menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng menangkapnya,
merobeknya menjadi dua dan mengisap darah yang menyembur ke luar. Agaknya rasa
darah, sakit hati, dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng berubah seperti
seorang kuntilanak! Anehnya, begitu sinar matahari menerangi ruangan, Sian Eng
baru merasa lemas dan letih, lalu terguling dan menggeletak telentang setengah
telanjang di atas ‘kasur’ yang terbuat dari bangkai kelelawar yang
bertumpuk-tumpuk.
Seperti juga
kemarin, sehari penuh Sian Eng tidur setengah pingsan. Luka-luka kecil di
kulitnya yang putih kuning dan halus, yang kemarin tampak berbintik-bintik
merah, kini mulai menghilang, akan tetapi tubuhnya sebentar terasa panas
membara, sebentar kemudian dingin seperti salju!
Memang
terjadi sesuatu yang hebat pada diri gadis ini. Kelelawar-kelelawar itu
ternyata adalah sebangsa kelelawar yang beracun, yang biasanya sekali menggigit
orang tentu meninggalkan racun yang akan cukup merampas nyawa orang itu dalam
waktu dua tiga hari. Sedangkan Sian Eng telah menerima gigitan yang
bertubi-tubi dari kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas yang disertai
kemarahan sehingga racun yang jahat dan berbahaya banyak sekali memasuki tubuh
dan meracuni darahnya.
Akan tetapi,
secara kebetulan sekali keadaan yang mengerikan itu membuat Sian Eng menggila
dan mengganas, membuat ia marah dan makan daging kelelawar serta minum
darahnya. Justru inilah yang menjadi obat penawar, obat penawar yang tiada
keduanya di dunia ini! Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri, selain
dapat mengisi perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah mengobati
dirinya sendiri. Tidak saja mengobati dan menghalau bahaya dari racun gigitan
kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah memasukkan sumber
tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung hawa panas yang
biasanya akan menghanguskan jantung, mengeringkan darah, sebaliknya, racun
penawar yang terdapat dalam daging dan darah kelelawar itu mengandung hawa
dingin.
Kini
mulailah kedua racun yang bertentangan itu bekerja, bertempur mati-matian di
dalam tubuh Sian Eng, membuat gadis ini dalam keadaan tidak sadar, sebentar
kepanasan sebentar kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki
seseorang harus masih hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapa pun aneh dan
tak mungkin tampaknya jalan itu di mata manusia. Demikian pula dengan halnya
Sian Eng. Nyawanya tergantung di ujung sehelai rambut. Hanya Tuhan saja yang
mampu menolongnya, hanya Tuhan yang memutuskan mati hidupnya.
Dua macam
racun yang memasuki tubuhnya, yang satu lewat luka-luka gigitan yang kedua
lewat mulut, adalah racun-racun yang amat berbahaya dan terlalu banyak masuk ke
tubuhnya. Kini kedua macam racun yang mempunyai kekuatan bertentangan itu
saling bertanding, saling dorong untuk menguasai tubuh Sian Eng yang akan
berakhir dengan maut jika satu di antara kedua racun itu kalah! Hawa panas dan
dingin saling desak, kuasa-menguasai. Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa
ini, akan tamatlah riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang ini.
Namun,
seperti sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki riwayat gadis ini tamat,
karenanya secara ajaib sekali, kedua macam racun itu kebetulan memiliki
kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur dan lenyaplah daya merusak, bahkan
sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng, kedua macam racun itu bercampur dan
lahirlah semacam daya tenaga mukjijat yang membuat sinkang (hawa sakti) di
tubuh gadis ini naik beberapa puluh kali lipat!
Tidaklah
mengherankan apa bila saat gadis itu bergerak bangun setelah hari kembali
menjadi gelap, yaitu pada malam ketiga, gadis itu merasa tubuhnya ringan dan
nyaman sekali, sama sekali tidak ada rasa sakit lagi, yang ada hanya rasa
hangat yang menyenangkan. Selain ini lenyap pula rasa takut dan rasa ngeri.
Bahkan ia tertawa-tawa ketika mendengar sambaran kelelawar-kelelawar yang untuk
ketiga kalinya kini mulai hendak menyerbu musuh yang ulet itu.
Sian Eng
merasa betapa sambaran binatang-binatang itu amat lambat dan lemah. Dengan
mudahnya ia menyentil dengan kuku-kuku jarinya. Sekali sentil saja remuklah
kepala kelelawar yang menyambar ke arahnya. Ketika banyak sekali binatang itu
mulai menyerbu, Sian Eng kewalahan juga dan terpaksa membiarkan satu dua ekor
menggigit tubuhnya yang setengah telanjang itu.
Akan tetapi
terjadilah keanehan. Gadis ini sama sekali tidak merasakan nyeri ketika
tergigit, sebaliknya, kelelawar yang menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh
dan berkelojotan terus mati! Tentu saja hal ini tidak tampak oleh Sian Eng,
akan tetapi sejam kemudian, tidak ada seekor pun kelelawar yang menyerangnya
lagi. Binatang-binatang itu hanya beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan,
seakan-akan mereka kini mengakui bahwa manusia yang tiga malam berturut-turut
dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan patut menjadi ratu mereka.
Sian Eng
terbebas dari ancaman maut oleh racun-racun berbahaya itu. Akan tetapi agaknya
pengaruh racun-racun itu mempengaruhi juga otaknya. Setidaknya tentu mengubah
kesempurnaannya, mengganggu dan membuat Sian Eng menjadi orang aneh.
Kadang-kadang ia tertawa sendiri kalau menangkap kelelawar untuk dimakan,
kadang-kadang ia menangis karena teringat akan Suma Boan. Malam ketiga itu
diisi dengan tawa dan tangis berganti-ganti.
Pada
keesokan harinya, Sian Eng dapat bergerak dengan gesit dan pikirannya juga menjadi
terang. Teringatlah ia bahwa ia terkurung di situ, terkubur hidup-hidup.
Pikiran ini menggerakkan semangatnya dan ia menghampiri batu penutup lubang.
Dicobanya tenaganya untuk membongkar batu itu, untuk mondorongnya kembali. Ia
merasa betapa dalam tubuhnya bergolak hawa yang amat kuat, yang terasa panas
sekali. Ia mengerahkan tenaga, hawa panas meningkat, batu bergoyang, akan
tetapi tiba-tiba hawa panas itu berubah menjadi hawa dingin dan... Sian Eng
roboh pingsan dan batu itu kembali menutup lubang!
Setelah
siuman kembali, Sian Eng mencoba dan berkali-kali ia pingsan hanya karena
perubahan hawa di dalam tubuhnya. Akhirnya ia maklum bahwa di dalam tubuhnya
terdapat hawa yang aneh, yang kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, akan
tetapi yang demikian hebat sehingga ia tidak mampu menguasainya dan kalau ia
memaksa terus mengerahkan tenaga yang aneh itu, tentu akhirnya ia akan mati
terpukul sendiri. Karena inilah Sian Eng lalu mencari jalan lain. Ia memeriksa
seluruh dinding, seinci demi seinci, diperiksanya teliti sekali. Namun hasilnya
sia-sia dan sementara itu, karena ia belum dapat menguasai dua macam hawa di
tubuhnya, berkali-kali Sian Eng roboh pingsan.
Akan tetapi
pada suatu hari, kurang lebih lima hari semenjak ia terkurung di situ, usahanya
berhasil. Ia mulai memeriksa lantai. Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya
dan akhirnya ketika ia mendongkel sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah
lubang yang lebarnya ada dua kaki persegi. Mendadak dari dalam lubang itu
meluncur keluar seekor ular yang kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar,
ular itu menerjang ke atas dan tanpa dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian Eng
kena digigit.
Sian Eng
menjerit dan mengerahkan tenaga. Karena ia belum menguasai dua macam tenaga di
tubuhnya, ia mengerahkan sekenanya saja dan kebetulan pada saat itu hawa dingin
di tubuhnya yang lebih kuat, maka seketika pengerahan tenaga ini membuat
lengannya yang tergigit ular itu terasa seperti berubah menjadi es! Dan
hebatnya, ular itu lalu melepaskan gigitannya, melingkar-lingkar
menggeliat-geliat dan tak bergerak lagi, mati! Sian Eng menjadi tertarik
sekali. Inikah tempat persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui?
Tanpa
ragu-ragu lagi ia memasuki lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat turun,
ia berada di sebuah ruangan lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah
ruangan yang penuh bangkai kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui
lubang dua kaki tadi, cukup membuat ruangan itu menjadi terang. Di sudut
ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih tepat sebuah bangku batu yang
permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan bentuk pantat dan kaki orang yang
bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai duduk bersila orang yang bertapa
di sini. Benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali, bagaimanakah sebuah
bangku batu sampai cekung seperti itu hanya karena diduduki orang saja. Hanya
bangku itulah yang terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada apa-apa lagi.
Saking
besarnya rasa kecewa dan menyesalnya, Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan bangku itu dan menangis. Ia melihat betapa tapak kaki bersila itu
kecil mungil, menggambarkan kaki seorang wanita, maka ia merasa yakin bahwa
tentu bangku ini menjadi tempat bersila dan bertapa semedhi Tok-siauw-kui Liu
Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia menangis karena teringat akan hubungannya
dengan Tok-siauw-kui.
Tok-siauw-kui
dahulunya adalah isteri ayahnya, Jenderal Kam Si Ek, yang kemudian pergi
meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu menikah lagi dengan ibunya. Agaknya
Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya sehingga kini biar pun sudah
meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan sakit hatinya dan menghukum anak
dari wanita yang merebut suaminya!
“Bibi Liu Lu
Sian... mengapa kau begini kejam? Mengapa aku yang kau siksa, padahal aku tidak
berdosa kepadamu? Bibi... betapa pun juga aku adalah anak tirimu... kau pernah
mencinta ayah kandungku.... Demi mendiang ayahku... harap kau tunjukkan jalan
ke luar bagiku, Bibi...!” Ia menangis dan masih berlutut di depan bangku batu
itu. Kemudian ia teringat akan ayahnya dan menangis makin sedih.
“Ayah...
Ayah, kau tentu sudah berkumpul dengan Bibi Liu Lu Sian... bujuklah dia agar
supaya anakmu ini diberi petunjuk keluar dari neraka ini!” sambil menangis Sian
Eng membentur-benturkan kepalanya di atas lantai depan bangku.
Tiba-tiba
terdengar bunyi perlahan. Ternyata setiap kali Sian Eng membenturkan jidatnya
di atas lantai, bangku batu itu bergeser ke kiri, makin lama makin ke kiri
sehingga akhirnya tampaklah sebuah lubang di bawah bangku batu itu. Sian Eng
terkejut dan memandang dengan heran karena di situ terdapat sehelai kain kuning
yang menutupi sesuatu dan ditulisi dengan huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT
PENINGGALAN LIU LU SIAN.
Jantungnya
berdebar keras dan tangannya sudah digerakkan untuk meraih dan membuka kain
kuning itu, untuk segera melihat wasiat dari wanita sakti itu. Akan tetapi ia
segera ingat bahwa benda-benda di bawah kain kuning itu adalah milik Liu Lu
Sian, dan bahwa wasiat wanita ini mustahil ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak
berani melanjutkan niatnya. Ia tidak berhak! Akan tetapi selagi ia termenung,
ia teringat akan tugasnya, teringat akan kekasihnya, Suma Boan. Timbullah
pertentangan dalam batinnya.
Ia adalah
keturunan seorang gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal sebagai
seorang satria utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi melakukan
sesuatu yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayahnya sudah menjejalinya
dengan budi pekerti orang gagah. Akan tetapi di lain pihak, cinta kasihnya
terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.
Akhirnya
kembali Sian Eng berlutut di depan bangku batu tempat bersemedhi Tok-siauw-kui,
membenturkan jidatnya di lantai sambil berkata, “Bibi Liu Lu Sian, mohon
perkenan bibi untuk mengambil sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi
kehendak kekasih. Mohon bibi sudi memberi ampun....” Tiba-tiba Sian Eng
menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, dari dalam lubang tadi melayang
keluar tiga batang anak panah yang menyambar ke atas.
Anak-anak
panah itu lewat di depan mukanya dan peninglah kepala Sian Eng mencium bau yang
wangi memabukkan. Terang bahwa anak-anak panah itu mengandung racun yang
dahsyat dan andai kata ia tadi melanjutkan niatnya membuka kain kuning, tentu
anak-anak panah itu akan tepat mengenai muka dan lehernya. Ia mendongak ke atas
dan melihat anak-anak panah itu menancap pada dinding batu, gagangnya
bergoyang-goyang.
Sian Eng
bergidik ngeri dan ketika ia memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain
kuningnya telah tersingkap dan di bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia
yang tadi menggerakkan tiga anak panah. Kiranya ketika ia membenturkan kepala
di lantai depan bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat rahasia
yang menggerakkan anak-anak panah itu sehingga ia selamat. Seorang yang begitu
saja membuka kain kuning tadi karena bernafsu memiliki wasiat, betapa pun
pandainya, pasti akan menjadi korban anak panah karena anak-anak panah itu
menyambar tak terduga-duga dan jaraknya amat dekat.
Sian Eng
memandang lebih teliti dan ternyata selain alat-alat yang menggerakkan anak
panah, juga di situ terdapat tulisan yang terukir pada dasar lubang. Seperti
tulisan di atas kain kuning, tulisan yang terukir pada batu di dasar itu pun
besar-besar, dan jelas, berbunyi : YANG TAHU AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI
MURIDKU. DUDUKLAH BERSEMEDHI DI ATAS BANGKU, HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.
Sian Eng
bukan bermaksud hendak menjadi murid Tok-siauw-kui, melainkan bermaksud untuk
mencari kitab peninggalan wanita sakti itu, untuk diberikan kepada kekasihnya.
Karena bukankah kitab-kitab ini akan menyenangkan Suma Boan dan seperti
dijanjikan oleh kekasihnya itu, setelah ia berhasil menemukan kitab-kitab itu
mereka akan pergi ke Cin-ling-san untuk merundingkan urusan perjodohan mereka
dengan bibi gurunya? Selain itu tadinya ia tidak memiliki keinginan lain.
Akan tetapi
setelah kini ia terkurung dan tidak mampu keluar, timbullah keinginannya untuk
mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Tok-siauw-kwi, sungguh pun hal ini hanya
dimaksudkan untuk membuat ia mampu keluar dari neraka ini. Karena itulah maka
tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu naik ke atas bangku batu dan duduk bersila.
Alangkah
herannya ketika ia mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas permukaan batu
cocok benar dengan ukuran tubuh belakang dan kakinya, seakan-akan sudah dicetak
untuk dirinya. Kemudian ia teringat akan Tok-siauw-kui yang muncul dan
menggemparkan perayaan Beng-kauw. Memang ada persesuaian dalam bentuk tubuh
wanita sakti itu dengan dirinya. Mulailah Sian Eng mengheningkan cipta,
bersiulian (bersemedhi) di atas bangku itu yang ternyata amat enak diduduki.
Akan tetapi
sama sekali di luar dugaannya bahwa hal ini akan membawa ia kepada hal-hal baru
yang akan mengubahnya menjadi seorang manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti
yang diajarkan ayahnya, duduk diam tak bergerak sedikit pun juga, mematikan
raga. Tanpa ia sadari, ia sudah duduk seperti itu selama setengah hari!
Tiba-tiba
terdengar suara keras dan kagetlah Sian Eng karena ia merasa tubuhnya terjatuh
ke bawah. Ketika ia membuka matanya, benar saja, bangku batu itu sudah nyeplos
ke bawah dan ia sudah berada di dalam ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi.
Ia segera turun dan melihat betapa di ruangan ini terdapat dipan untuk tidur,
terdapat meja dan bangku, sedangkan di atas meja terdapat akar-akar dan
buah-buah obat, juga di sana-sini bertumpuk kitab-kitab kuno. Sedangkan di
sudut kiri terdapat sebatang pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang
telanjang yang menancap pada dinding batu karang sampai setengahnya!
Dengan hati
berdebar-debar tidak karuan Sian Eng memperhatikan cara bagaimana ia tadi dapat
merosot ke bawah bersama bangku yang didudukinya. Setelah mengadakan
pemeriksaan, kiranya bangku tadi dipasangi alat-alat yang halus sekali dan
ternyata kehangatan tubuhnya melepaskan minyak-minyak beku dan menggerakkan
alat-alat yang bergerak otomatis. Kalau saja tubuh orang yang bersemedhi tidak
cocok dengan lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kiranya alat itu takkan dapat
berjalan. Terang bahwa Tok-siauw-kui memang menghendaki seorang yang bentuk
tubuhnya menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk menjadi ahli
warisnya! Dan kini kitab-kitab pelajaran yang serba rahasia, yang dicari penuh
kerinduan oleh orang-orang di seluruh dunia kang-ouw, terletak di depan Sian
Eng, tinggal memilih saja!
Akan tetapi
Sian Eng tidak membutuhkan semua ilmu itu! Ia hanya ingin mempelajari ilmu
untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat menggerakkan batu-batu penutup
lubang, agar ia dapat keluar dan ia akan membawa sebuah dua buah kitab ilmu
untuk diberikan kepada kekasihnya yang berada di luar goa. Karena kitab-kitab
itu banyak sekali macamnya, akhirnya ia dapat juga menemukan sebuah kitab yang
mengajarkan ilmu Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan Tangan Selaksa Kati) dan
I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum). Ilmu ini mengajarkan cara bersemedhi
dan bernapas, menghimpun tenaga sakti dan menguasainya.
Segera Sian
Eng bersemedhi dan berlatih menurut petunjuk kitab ini. Sama sekali ia tidak
mengira bahwa kalau bagi orang lain harus memakan waktu berbulan-bulan untuk
memetik buah latihan ilmu ini, baginya hanya membutuhkan beberapa hari saja
oleh karena di dalam tubuhnya sudah terdapat dua macam hawa panas dan dingin
yang amat hebat berkat racun dari kelelawar.
Berhari-hari
Sian Eng tekun berlatih dan apa bila ia merasa lapar, ia menangkapi kelelawar
untuk dimakan dagingnya. Untuk minum tidaklah sukar karena dinding batu-batu
karang itu mengandung air, dan di sana-sini terdapat air jernih menetes-netes
dari atas. Tentang akar-akar dan buah-buah obat di atas meja, tidak ia
perhatikan ketika ia membaca keterangan di sampingnya bahwa obat-obat itu
adalah obat untuk pelbagai luka pukulan dan korban racun.
Demikianlah,
tidak mengherankan apa bila dua pekan kemudian semenjak ia memasuki goa, Sian
Eng sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan Suma Boan yang menyusulnya
dan berteriak-teriak dari luar batu penutup lubang. Di waktu itu ia sedang
tekun bersemedhi menyempurnakan sinkang yang sudah terasa memenuhi tubuhnya. Dengan
girang Sian Eng mendapat kenyataan bahwa tenaga panas dan dingin yang
kadang-kadang menguasainya, yang membuatnya berkali-kali pingsan, kini dapat ia
kuasai sepenuhnya dengan cara yang diberikan oleh kitab itu.
Sian Eng
menghentikan latihannya setelah merasa bahwa ia dapat menguasai tenaga mukjijat
itu, dan pada saat itu barulah ia melihat gambaran di dinding, gambaran yang
ada tanda-tanda huruf kecil terukir. Ia segera memperhatikan dan bukan main
girang hatinya karena gambaran-gambaran itu merupakan tanda-tanda rahasia cara
membuka dan menutup pintu-pintu rahasia dan alat-alat rahasia lain yang
dipasang di dalam istana di bawah tanah ini. Cepat ia mencari rahasia batu
besar yang menutup terowongan dan kiranya rahasianya terletak pada batu itu
sendiri. Di ujung kanan atas dari batu itu terdapat bagian yang menonjol dan
bagian inilah yang harus dipukul tiga kali ke dalam.
Dengan hati
amat girang Sian Eng melompat melalui lubang itu ke bagian atas, kemudian
sekali lagi ia menerobos ke bagian paling atas melalui lubang. Ia tidak sadar
bahwa gerakannya melompat melalui lubang ini hebat dan ringan sekali, jauh
bedanya dengan keadaan dirinya sebelum memasuki tempat ini. Begitu memasuki
ruangan paling atas, hidungnya disambut bau yang amat busuk dari bangkai-bangkai
kelelawar yang bertumpuk-tumpuk di situ selama beberapa hari. Sian Eng menutupi
hidungnya dan dengan menahan napas ia lalu menghampiri batu penutup terowongan.
Betul saja, di bagian atas ujung kanan batu itu terdapat bagian yang menonjol.
Ia mengepal tangannya dan menghantam tiga kali.
Terdengarlah
suara berkerotokan dan... dapat dibayangkan rasa gembira hati gadis itu melihat
batu besar itu bergerak dan masuk ke dalam dinding membuka jalan terowongan itu
seperti sedia kala! Saking girangnya Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut
dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia teringat kembali kepada Suma Boan, maka
cepat ia melompat dan berlari-lari ke luar melalui terowongan sambil
tertawa-tawa gembira. Tadi ketika keluar dari dalam kamar rahasia, ia telah
mengambil dua buah kitab kuno yang ia kira tentu akan memuaskan hati
kekasihnya, karena kitab-kitab itu adalah kitab ilmu pedang dan ilmu silat.
Kini dua buah kitab kuno itu berada di balik baju dalamnya.
Akan tetapi
ketika ia tiba di luar goa, di situ sunyi sekali tidak kelihatan bayangan Suma
Boan. Pada waktu itu hari telah berganti malam, keadaan di luar goa gelap
gulita.
“Suma-koko!”
Sian Eng memanggil, menyangka bahwa kekasihnya tentu sedang beristirahat di
suatu tempat setelah menanti-nanti dirinya keluar dengan hati kesal. Tentu
kekasihnya itu merasa khawatir sekali, mungkin sudah putus asa.
“Suma-koko!”
berkali-kali ia memanggil sambil melangkah ke luar, namun tidak ada yang
menjawab.
Tiba-tiba ia
mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Sian Eng cepat menggerakkan kakinya
mengejar. Juga kali ini ia tidak sadar bahwa gerakan kakinya cepat dan ringan
bukan main, dan bahwa ia telah berlari cepat sekali! Ini adalah berkat hawa
sakti di tubuhnya yang kini mulai dapat ia kuasai setelah ia memiliki Ilmu
Ban-kin Pek-ko-chiu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa Suma Boan baru saja keluar
dari dalam goa, dan bahwa pemuda itu hampir celaka oleh Liu Hwee dan Kauw Bian
Cinjin.
Setelah
melakukan pengejaran dengan kecepatan mengagumkan, akhirnya ia dapat menyusul
dua bayangan yang berkejaran itu. Segera ia mengenal Liu Hwee yang mengejar
Suma Boan! Ia tidak mengenal apa sebabnya, maka diam-diam ia hanya mengikuti
mereka.
Ketika tiba
di luar hutan, Liu Hwee mulai menyerang Suma Boan dengan senjata rahasia jarum
perak, kemudian karena pemuda itu terhalang larinya ketika mengelak, gadis
puteri ketua Beng-kauw ini cepat menerjangnya dengan senjatanya yang hebat,
yaitu sepasang cambuknya yang diganduli dua buah bola baja.
“Suma Boan
manusia busuk, kau hendak lari ke mana?!” bentak Liu Hwee.
Melihat
bahwa gadis ini hanya mengejar sendirian saja, Suma Boan menjadi marah dan
timbul kembali keberaniannya. Tadi ia melarikan diri karena gadis itu berdua
dengan Kauw Bian Cinjin, merupakan lawan yang amat berat. Sekarang melihat
gadis itu sendirian saja, ia lalu membalikkan tubuh dan melawan sambil memaki.
“Bocah
sombong, kau bosan hidup!”
Seperti
biasa, pemuda bangsawan ini melawan dengan tangan kosong saja. Menghadapi lawan
muda, biar pun lawan bersenjata, biasanya ia selalu mendapatkan kemenangan
karena sebagai murid It-gan Kai-ong tentu saja ia memiliki tingkat ilmu silat
yang tinggi. Akan tetapi kali ini ia berhadapan dengan puteri Beng-kauw! Pula
Liu Hwee memegang senjata aneh yang amat berbahaya. Di samping ini, baru saja
Suma Boan mengalami hal-hal yang melelahkan dan menakutkan, sedangkan betisnya
yang ia potong dagingnya juga masih terasa sakit. Oleh karena semua inilah maka
sebentar saja ia terdesak hebat dalam pertandingan mati-matian itu.
Cuaca
remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit, dan dua orang
ini bertanding mengandalkan ketajaman telinga, karena ketajaman pandangan mata
tidaklah dapat dipercaya dalam keadaan setengah gelap itu.
Betapa pun
Suma Boan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi
kecepatan senjata cambuk di tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara
bola-bola baja itu menyambar pundaknya, Suma Boan mengeluh panjang dan
terhuyung-huyung. Ia sudah mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun
tetap saja karena yang diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka
yang biar pun tidak parah namun cukup membuat kedudukannya menjadi makin lemah.
“Siapa
berani mengotori tempat suci Beng-kauw, harus mati!” seru Liu Hwee dan
senjatanya kembali menyambar, kini mengarah kepala dan yang sebuah lagi menotok
pusar. Serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan
yang sudah terhuyung-huyung.
Akan tetapi
tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat dari samping, yang membuat
sepasang bola di ujung cambuk itu meleset arahnya, bahkan tampak bayangan orang
yang cepat menyambar cambuk itu dan sekali merenggut, cambuk itu terampas dari
tangan Liu Hwee! Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak
menyangka-nyangka sehingga senjatanya kena dirampas orang. Ia mengira bahwa
yang datang tentulah It-gan Kai-ong, atau setidaknya tentu kawan Suma Boan yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur dan siap-siap
menghadapi lawan tangguh dengan tangan kosong.
Akan tetapi
bayangan itu sudah menyambar tubuh Suma Boan dan dibawa lari dari tempat itu!
Lie Hwee menjadi penasaran sekali. Biar pun ia maklum bahwa lawan amat tangguh
dan ia harus berhati-hati, namun ia diam-diam mengikuti dan mengejar ke arah
lenyapnya bayangan yang membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan
itu. Sayang baginya, malam yang gelap membuat ia kehilangan jejak lawannya
sehingga akhirnya Lie Hwee hanya melanjutkan pengejarannya dengan kira-kira
saja, untung-untungan.
Sementara
itu, bayangan tadi membuang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa
lari Suma Boan. “Suma-koko... kau terluka...?” katanya sambil lari.
Sejenak Suma
Boan tak mampu menjawab. Tadi ketika ia sudah terancam bahaya maut di tangan
Liu Hwee, ia merasa girang dan heran karena tertolong oleh bayangan yang belum
ia ketahui siapa dia. Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia
tahu bahwa orang ini adalah seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak
karuan, akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat sekali.
Karena
kehebatan gerak inilah maka ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin
Sian Eng memiliki kepandaian sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia
tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis
itu membuka mulut bicara, ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian Eng!
Tentu saja ia menjadi bengong dan tak mampu menjawab. Pikirannya bekerja. Tentu
terjadi sesuatu yang hebat kepada diri Sian Eng, dan tentu selama dua pekan
itu, Sian Eng telah mempelajari ilmu yang sakti.
Suma Boan
memang seorang yang cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor oleh syakwasangka
dan penuh tipu muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis ini mengkhianatinya,
setelah mendapatkan ilmu lalu dimilikinya sendiri!
“Suma-koko...
hebatkah lukamu?” kembali Sian Eng bertanya sambil melanjutkan larinya, karena
gadis ini merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka.
Suma Boan
pura-pura mengeluh panjang, “Cukup hebat... mengapa kau begitu lama baru
muncul, Moi-moi? Dan bagaimana hasilnya, dapatkah kau menemukan kitab-kitab
itu?”
“Dapat...
dapat... jangan khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah kitab untukmu.”
Tiba-tiba gadis ini tertawa dan berdirilah bulu tengkuk Suma Boan. Suara
ketawa ini tidak sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi diam-diam ia girang bukan
main.
“Mana
kitab-kitab itu? Biarlah aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar
tidak gemetar.
“Nanti saja,
kita lari dulu, takut kalau-kalau dikejar musuh.”
“Katakan
saja di mana, aku yang akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.
Kembali Sian
Eng tertawa geli, “Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di balik... baju dalam
dan....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan gadis itu roboh lemas.
Kiranya Suma
Boan telah menotoknya dengan tiba-tiba. Karena yang ditotok adalah tong-cu-hiat
di belakang leher dan thian-hu-hiat, maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak
dapat mengeluarkan suara lagi. Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa
betapa Suma Boan meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang
disimpannya di situ. Terdengar pemuda itu berseru girang, mengantongi dua buah
kitab itu lalu menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari
oleh Suma Boan, dipondong di atas pundak!
Sian Eng
menjadi kecewa dan juga bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa
kekasihnya akan melakukan perbuatan seperti ini. Saking marahnya, ketika ia
berusaha untuk mengerahkan tenaga, jalan darahnya yang berhenti itu membuat
hawa sakti menyerang dirinya sendiri dan ia pingsan seketika!
Ketika Sian
Eng siuman dari pingsannya, ia mengerang perlahan dan tubuhnya tidak karuan
rasanya. Ia memandang ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya berbaring telentang
di atas sebuah dipan di dalam kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya
sebuah perahu besar yang berlabuh di pinggir. Melihat kamar yang bersih dan
indah ini, tentu ia berada di sebuah perahu yang mewah.
Sinar
matahari yang memasuki jendela kamar perahu menandakan bahwa malam telah
berganti pagi dan hawa pagi itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa
segar bahkan merasa tidak enak sekali. Kagetlah ia ketika menengok dirinya.
Ternyata pakaiannya yang robek-robek semalam telah diganti pakaian indah
bersih, pakaiannya sendiri yang buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia memasuki
goa. Seketika wajahnya menjadi merah. Ia dapat menduga bahwa tentu Suma Boan
yang mengganti pakaiannya. Serentak ia bangkit dan ia menyeringai. Badannya
terasa sakit-sakit. Kemarahannya bangkit ketika ia teringat akan kelakuan Suma
Boan semalam, yang secara khianat telah menotoknya. Kemudian kecurigaannya
timbul ketika ia menyaksikan keadaan dirinya di pagi ini.
Tiba-tiba
pintu kamar itu terbuka dari luar dan masuklah Suma Boan. Pemuda ini berpakaian
indah bersih pula, wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng
dengan senyum lebar yang menambah ketampanan wajahnya. “Isteriku yang manis,
kau sudah bangun?”
Bagaikan
disambar petir Sian Eng memandang terbelalak. Ucapan ini memperkuat
kekhawatiran hatinya. “Apa... apa kau bilang...?”
Kemudian,
pandang mata Suma Boan seakan-akan menceritakan semuanya, membuat Sian Eng
gemetar seluruh tubuhnya. “Kau... kau telah melakukan....”
Suma Boan
melangkah maju dan memeluknya mesra. “Isteriku, kau isteriku yang tercinta.
Sian Eng, kita telah menjadi suami isteri dan... aduhhh...!”
Suma Boan
terlempar ke sudut kamar karena dengan tenaga yang dahsyat sekali Sian Eng
telah mendorongnya. Sian Eng kini bangkit berdiri, matanya merah menyala-nyala,
pipinya seperti terbakar rasanya. “Keparat biadab! Kau... kau berani....”
Suma Boan
terkejut bukan main, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi ia
tidak terluka. Ia melangkah maju lagi dan membujuk dengan suara manis.
“Eng-moi-moi,
kau kenapakah? Bukankah kau mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu
dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga
kelak? Aku... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu
sehingga kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak tahan
lagi. Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”
“Keparat
busuk!” Sian Eng memaki dan bagaikan seekor singa betina ia menerjang maju.
Suma Boan
tentu saja tidak mau membiarkan dirinya diserang, cepat ia mengelak, malah
kemarahannya kini bangkit. Memang sesungguhnya di hati putera pangeran ini
tidak ada cinta kasih murni terhadap Sian Eng, yang ada hanya cinta berdasarkan
nafsu binatang belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya
terhadap Sian Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia menafsir
bahwa Sian Eng telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah menjadi
‘isterinya’ tentu Sian Eng akan membuka rahasia ilmu itu kepadanya. Tentu saja
di samping ini, juga kelemahan batinnya terhadap kecantikan Sian Eng merupakan
sebab yang kuat pula sehingga di malam itu ia melakukan perbuatan biadab
seperti binatang.
Kini dalam
marahnya, Suma Boan balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi dari pada
kepandaian Sian Eng, maka sekali ia mengeluarkan jurus yang sulit, tangannya
berhasil memukul pundak Sian Eng, membuat gadis itu terjungkal.
“Kau hendak
berlagak, ya? Mulai sekarang kau harus mentaati segala perintahku, kalau tidak,
kau akan kusiksa sampai mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik
kau tidak mau terima!” Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah
berhasil merobohkan Sian Eng, Suma Boan melangkah maju.
Sian Eng
rebah miring dan menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini hampir membuatnya
menjadi gila. Rasa menyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati memenuhi
kepalanya, membuat kepalanya berdenyut-denyut, membuat tubuhnya sebentar panas
sebentar dingin. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang dicintanya, yang
dipujanya, yang diharapkan menjadi suaminya kelak, memperlakukan dia seperti
ini.
Tiba-tiba
kemarahannya memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika
Suma Boan sudah melangkah dekat, ia siap-siap. Benar saja, Suma Boan yang
bermaksud hendak ‘menundukkan’ Sian Eng mengangkat kakinya menendang. Pada saat
itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat berdiri. Suma Boan tidak bisa
berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian Eng mengayun-ayun tubuh itu,
diputar-putarnya di atas kepala!
“Kuhancurkan
kepalamu! Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam keparat!” Sian Eng memaki-maki
sambil menangis dan air matanya bercucuran.
Suma Boan
takut setengah mampus. Ia berusaha untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan
diri, namun kakinya yang dicengkeram tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia
tidak mampu meronta. Ia mulai merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya
meluncur keluar dua buah kitab kuno. Melihat ini Sian Eng mendadak
tertawa-tawa!
“Hi-hi-hi-hik!
Untuk dua kitab ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau tega menghancurkan
harapan hidupku, membuyarkan cita-citaku, membanting remuk kasih sayangku.
Hanya untuk dua buah kitab kuno, hi-hi-hik!”
Makin
takutlah Suma Boan. “Sian Eng... Moi-moi... kau ampunkanlah diriku... Eng-moi,
ingatlah... aku cinta kepadamu, sungguh mati, biar aku bersumpah...!” Akan
tetapi kata-katanya tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.
Pada saat
itu terdengar suara wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang
menantang, “Bangsat Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”
Sian Eng
terkekeh makin geli. “Dia memang laki-laki, akan tetapi laki-laki seperti
anjing. Nah, terimalah!” Ia mengayun tubuh Suma Boan dan melemparkannya ke luar
dari pintu.
Baiknya Suma
Boan dapat mengerahkan ginkang-nya sehingga ia dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya dan dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika ia
melihat Liu Hwee yang berdiri di situ dengan sikap menantang. Mula-mula ia
khawatir kalau-kalau Liu Hwee datang bersama orang lain. Akan tetapi setelah
mendapat kepastian bahwa gadis puteri Beng-kauw ini hanya seorang diri, apa
lagi tidak bersenjata, melainkan bertangan kosong dan bertolak pinggang di
situ, hatinya menjadi besar. Ia merasa malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau
orang lain menyaksikan keadaannya, benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan
merasa terhina oleh Sian Eng. Karena itulah maka kini kemarahannya ia tumpahkan
kepada Liu Hwee.
“Perempuan
keparat! Kau mau apa?!” bentaknya.
“Suma Boan
mata-mata busuk. Mau menghukummu, apa lagi?!”
Suma Boan
berseru keras dan cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah Liu Hwee mengelak
dan balas menyerang. Suma Boan menyeringai karena merasa betapa kakinya yang
tadi dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan kaku, membuat gerakannya kacau.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, dalam hal kematangan ilmu silat, kiranya
Suma Boan lebih tinggi sedikit dari pada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi banyak
macam ilmu dan sudah lebih banyak pengalamannya bertempur.
Akan tetapi
pada saat itu Suma Boan sedang merasa gelisah memikirkan keadaan Sian Eng.
Selain itu ia pun masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih,
ditambah lagi cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa
meremukkan tulang kakinya. Oleh karena merasa kakinya kaku dan sakit-sakit,
segera Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu
Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Beracun).
Ilmu silat
ini ia warisi dari It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Untuk mainkan ilmu
silat ini, ia hanya menggunakan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua
tangannya, dipakai menyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang remeh
jari-jari ini, karena ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung hawa pukulan
beracun yang sekali mengenai tubuh lawan dapat mengakibatkan maut datang
menjemput.
Melihat
datangnya serangan yang mengeluarkan angin berciutan serta melihat uap hitam
yang mengepul dari jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw yang
sakti maklum dan dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu pukulan jahat
dan ganas. Ia tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji ini, cepat
menggunakan ginkang dan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari
mencari kesempatan membalas. Ia maklum bahwa kalau tangannya sampai terbentur
jari-jari itu, ia akan terluka oleh racun berbahaya.
Suma Boan
menjadi makin penasaran. Melihat lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya,
ia menjadi makin ganas. Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke mana
pun juga Liu Hwee mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka
sehingga pemuda itu kehilangan kegesitannya. Andai kata tidak demikian, agaknya
tidak mudah bagi Liu Hwee untuk dapat menyelamatkan diri.
Pertandingan
ini berjalan setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak lelah. Memang ia
sudah lelah sekali, dan kakinya makin sakit. Namun berkat ilmu pukulannya yang
dahsyat dan keji, Liu Hwee belum sempat membalas dan selalu menyelamatkan diri.
Hal ini dimengerti oleh Suma Boan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan
seperti harimau ia mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak
mempedulikan rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali. Ia betul-betul
terdesak dan hanya mampu mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak
sampai di ujung perahu dan agaknya tidak ada jalan ke luar lagi baginya.
“Ha-ha-ha,
bocah sombong. Ke mana lagi kau akan lari?” Suma Boan mengejek, lalu menerjang
maju dengan tusukan kedua jari tangan kanannya sambil memekik.
“Hiaaaaattttt!”
Hebat bukan main serangan ini.
Liu Hwee
sudah berada di pinggir perahu, kalau ia melompat ke belakang tentu ia akan
jatuh ke dalam air. Namun gadis yang tenang dan gesit gerakannya ini dapat
melihat bahwa betapa pun hebat dan berbahayanya serangan lawan ini, ia dapat
melihat bahwa Suma Boan sudah kehilangan kecepatannya. Maka dengan tenang dan
tabah ia miringkan tubuh secepat kilat setelah ujung kedua jari berbahaya itu
sudah mendekati dadanya.
Kedua ujung
jari itu lewat hampir mengenai bajunya dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan
kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan
hilang kagetnya menyaksikan gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang
perkasa itu telah mengerahkan tenaga, serentak menarik dengan lweekang
sepenuhnya sambil menggerakkan dan melepaskan lengan itu.
Suma Boan
memang sudah lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apa lagi ia tidak mengira
sama sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan melakukan perbuatan
ini. Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat, tubuhnya tak dapat
ia pertahankan lagi. Tubuh yang ketika menusukkan jari tadi memang sudah
condong ke depan dengan kaki kanan yang juga terangkat ke depan itu terlempar
dan....
“Byurrrrr!”
air sungai muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh Suma Boan yang cukup berat.
Liu Hwee
yang memang curiga bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw,
cepat memasuki bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak seorang
pun manusia. Ia memeriksa cepat dengan pandang matanya, namun tidak mendapatkan
sesuatu yang penting. Lalu ia melompat ke luar lagi, juga tidak melihat Suma
Boan. Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam ke dalam sungai. Gadis ini lalu
menggerakkan kedua kakinya melompat ke darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun
merasa lelah sekali karena semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan
pertandingan tadi sudah memeras banyak tenaganya.
Tentu saja
tidak benar dugaan Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai.
Pemuda bangsawan ini terlalu cerdik dan licin untuk dapat ditewaskan secara
begitu mudah. Karena maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah seperti itu
tak mungkin ia dapat melakukan perlawanan lagi, pula karena khawatir
kalau-kalau Liu Hwee menanti di pinggir perahu dan siap menyerangnya dengan
serangan maut apa bila ia hendak kembali ke perahu, Suma Boan lalu menyelam dan
bersembunyi di bawah perahu dengan hanya mengeluarkan hidung dan mulutnya di
permukaan air.
Dari bawah
ia melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya terdapat
orang berginkang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap Sian Eng
membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi goyangan perahu itu hanya
sebentar saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka Suma Boan lalu
naik ke perahu melalui tambang yang tergantung ke bawah. Dengan hati-hati ia
melompat naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada bahaya mengancam. Terhadap
Liu Hwee ia tidak begitu takut, akan tetapi ia ngeri memikirkan sepak terjang
Sian Eng.
Namun di
perahu itu sunyi saja, tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan
berindap-indap memasuki kamar perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya
serasa tertusuk, penuh kekecewaan, penasaran, dan kemarahan. Tak perlu ia
mencari lagi. Terang bahwa dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan
kemudian ia rampas, ketika tadi jatuh dari dalam saku bajunya, telah diambil
kembali oleh Sian Eng yang sekarang telah pergi entah ke mana!
“Perempuan
laknat!” Suma Boan menyumpah-nyumpah sambil menanggalkan pakaiannya yang basah
untuk diganti dengan yang kering. Kemudian ia duduk di atas dipan dan
termenung.
Sian Eng
telah ia nodai dan ada dua akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini.
Pertama, gadis itu akan merasa menjadi isterinya walau pun tidak sah dan inilah
yang ia harapkan ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apa bila begini
akibatnya, tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang
menyerahkan diri. Kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya
dengan sah agar kitab-kitab itu, dan terutama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng
dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi akibat kedua
mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama sekali, dan gadis
itu akan merasa sakit hati kepadanya lalu memelihara dendam kesumat yang tiada
habisnya terhadap dirinya. Suma Boan bergidik memikirkan akibat kedua ini.
“Dua buah
kitab itu telah kulihat sepintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan
yang sebuah lagi ilmu pedang. Akan tetapi Sian Eng telah memiliki tenaga
kecepatan dan gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mungkin ia pelajari dari
dua buah kitab itu, apa lagi hanya dalam waktu dua pekan. Agaknya banyak
rahasia aneh di dalam goa itu. Aku harus memberi tahu suhu... ah, tidak, kalau
suhu yang menemukan semua itu, tentu takkan diberikan kepadaku....”
Demikianlah, Suma Boan melamun dan memeras pikirannya.
Akhirnya ia
mengambil keputusan untuk mencari kesempatan baik dan kalau kesempatan ini
terbuka, ia sendiri yang akan menyelidiki ke dalam goa. Akan tetapi untuk itu
ia harus membuat persiapan. Sebelum melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia
harus menemui gurunya dan kebetulan gurunya akan membuat pertemuan di puncak
Thai-san. Maka berangkatlah Suma Boan ke arah Thai-san.
Ada pun Sian
Eng, setelah melempar ke luar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar dua
buah kitab. Selagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia mempergunakan
kesempatan itu untuk melesat ke luar dari jendela bilik perahu, terus melompat
ke darat dan melarikan diri sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Akan
tetapi kadang-kadang ia tertawa dan memaki-maki diri sendiri.
Mulai saat
itu, apa bila teringat akan nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian
Eng menjadi berubah tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa
berganti-ganti. Akan tetapi apa bila ia dalam keadaan tenang, ia hanya menangis
perlahan dan termenung-menung, akan tetapi sifat liar itu lenyap. Kini tujuan
hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal
ihwalnya ini, untuk mengadukan penasarannya dan mohon kepada kakak tirinya
untuk membalaskan dendamnya. Dengan cepat Sian Eng yang pernah mendengar
tentang niat Suling Emas mewakili ibunya ke Thai-san juga menyusul ke Thai-san
untuk bertemu dengan Suling Emas.
Demikianlah,
setelah tiba di lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia yang berada di
bawah jurang melihat orang jatuh meluncur dari atas. Betapa pun berubahnya
watak Sian Eng, tak dapat ia berpeluk tangan melihat orang terancam maut ini,
timbul sifat satria keturunan ayahnya. Ia lalu mempergunakan tenaga
Ban-kin-pek-ko-chiu dan ternyata ia berhasil menolong Bok Liong. Ketika melihat
bahwa yang ia tolong adalah Lie Bok Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya
karena ia merasa bahwa ia telah menjadi seorang yang terhina, maka tanpa banyak
cakap ia lari meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki
puncak dengan kecepatan luar biasa.
***************
"Bagus,
bagus sekali! Heh-heh-heh-heh!” Suara ini disusul ketawa bergelak yang
mengumandang di lain bagian dari lereng gunung Thai-san, keluar dari sebuah
hutan yang penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya
akan tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.
“Bagus,
wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul
tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!” Suara itu
berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang
kakek yang pendek lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek.
Dia berdiri
menari-nari kegirangan, mengangkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil
memandang ke arah Lin Lin yang sedang bermain-main di atas sebatang balok yang
melintang diikatkan pada dua batang pohon di kanan kiri. Tadinya Lin Lin
berloncat-loncatan dan bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih
itu, bersilat dengan gesit dan dengan pengerahan ginkang yang luar biasa. Kini
gadis itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya
berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!
Mendengar
ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bangga dan girang
akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di
depan Gan-lopek sambil bertolak pinggang dan mulutnya cemberut.
“Apa kau
bilang, Kek? Kau mau anggap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!”
Tiba-tiba gadis ini memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya jinjit sambil
berkata lagi, “Hayo kau layani hasil latihanku, Kek!” Setelah berkata demikian,
dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua tangannya
diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan,
mengarah dada Gan-lopek.
“Ehhh,
jangan...!” Gan-lopek kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke
belakang dan bergulingan ketika mendengar desir angin yang dahsyat keluar dari
pukulan gadis itu. Hawa pukulan yang amat berbahaya itu menyambar terus ke
depan dan....
“Kraaakkkkk!”
patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!
“Eh, ganas!
Eh, keji!” Gan-lopek melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuh diriku, bocah
liar?”
Sejenak Lin
Lin sendiri tertegun menyaksikan betapa hebat akibat pukulannya, akan tetapi
kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri dan merangkul pundak si kakek
sambil tertawa-tawa.
“Masa aku
hendak membunuhmu, Kek? Andai kata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”
“Heh-heh-heh-heh,
kaulah yang main-main. Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar
biasa dan kau sudah berhasil. Selamat, selamat....”
“Kek, banyak
terima kasih. Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat
menguasai tenaga sinkang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku
melatih ilmu-ilmu pukulan ini.”
“Hemmm,
entah iblis mana yang sudah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biar pun kau
tidak memberi tahu dan aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun
jurus-jurus yang kau latih ini adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar
dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!” Tiba-tiba empek
ini meloncat dan memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Wah-wah-wah,
keenakan bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa
waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak, jangan-jangan kita akan terlambat
menonton pertunjukan yang terhebat di kolong langit!” Setelah berkata demikian,
ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak lari cepat.
Akan tetapi
sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas tangannya dan berkata, “Kakek Gan,
hayo kita berlomba lari cepat ke puncak!”
Maka
berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat
bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum
bukan main, mulailah ia meragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia
melihat sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan
muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.
Sementara
itu dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain dari pada yang dipikirkan
Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia selalu
memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah
dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan seperti marah-marah
kepadanya, padahal ia memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar
Suling Emas.
Mengapa
Suling Emas marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan yang
hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu bersumpah
hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan yang keji
itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas? Perempuan
macam itu harus dibunuh! Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah
hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada
tentu... dirinya!
Berpikir
sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia menarik napas panjang.
Pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung perpustakaan kaisar
ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi wajahnya menjadi muram
karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena
salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.
Selain marah
dan penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir dan
gelisah. Oleh karena itu ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling
Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak
terbang agar dapat cepatcepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan
hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te
Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong
langit itu.
********************
Baik kita
tinggalkan dulu Lin Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat menuju puncak
itu untuk sejenak menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama kita tinggalkan.
Ketika
Suling Emas menyaksikan dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh
Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan kuburan mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia
sampai pucat saking tergetarnya perasaannya. Benar-benar hidupnya telah
menimbulkan banyak hal-hal yang merupakan mala-petaka besar. Persoalan antara
ayah gadis itu dan ibunya sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan
persoalan antara mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya
dengan Tan Lian dan dia.
Akan tetapi
agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit
bahwa gadis baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka
dua belas! Dan Tan Lian bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh
isteri dan anak-anaknya!
Dapat
dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas, betapa duka dan menyesalnya. Akan
tetapi percobaan yang menimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin
tiba-tiba muncul dan menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya. Pukulan
yang dahsyat itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan
peninggalan Pat-jiu Sin-ong, hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja
tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian.
Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja di Raja Obat di
lereng Thai-san.
Maka tanpa
banyak cakap lagi ia lalu memondong tubuh Tan Lian. Setelah menegur Lin Lin, ia
melesat pergi meninggalkan gadis itu. Ada tiga hal yang membuat ia sengaja
meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat, yaitu
pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng Thai-san, kedua
untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan para anggota
Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ketiga adalah karena ia sengaja hendak
menjauhi Lin Lin! Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus melakukan
perjalanan bersama gadis itu.
Gadis remaja
itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang kepadanya, membayangkan cinta
birahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin
Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan. Dekat dengan Lin Lin sama dengan
dekat dengan setangkai bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang
mendatangkan rasa suka di hati, mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya
untuk mempertahankan hati. Lebih berat dari pada menghadapi seratus orang lawan
tangguh.
Ia maklum
bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal
takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu cantik jelita,
dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak
yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak
ternoda sedikit pun kekotoran duniawi. Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan
Lin Lin, akhirnya sifat ego-nya akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi
demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin Lin,
sebagai pengganti Suma Ceng.
Akan tetapi
bukanlah demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin
Lin. Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu
tua untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apa lagi
setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menyeret orang
lain, apa lagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang mengerikan
itu.
Demikianlah,
dengan batin menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san.
Harus ia akui bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia
kini merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya
kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi. Suling Emas yang
berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian
secara demikian ganas.
Sebagai
seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu
dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya!
Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula
mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian mencinta Suling
Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya mengapa Lin Lin
memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena... cemburu pula.....
Ketika
berhenti sebentar di pinggir sebuah sungai kecil di luar hutan, untuk sekedar
menyegarkan tubuh dan minum, Tan Lian mengerang perlahan dan membuka matanya.
Gadis itu dibaringkan oleh Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera
menghampiri.
“...
kau...?” Tan Lian terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok kedua matanya
dengan tangan, seakan-akan meragukan pandang matanya, serasa dalam mimpi.
Suling Emas
menggerakkan tangannya, mencegah gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak
perlu ia lakukan ini karena begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan
tidak kuat bangun.
“Kau terluka
hebat, harap jangan bergerak! Aku sedang membawamu ke Thai-san, untuk minta
pertolongan Kim-sim Yok-ong (Raja Obat Berhati Emas). Kau tenanglah, Tan-siocia
(Nona Tan), kurasa Yok-ong akan mampu menyembuhkanmu.”
Tan Lian
nampak gelisah. “Kau... kau mendengar semua...?”
Suling Emas
dapat menduga apa yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik napas panjang,
mengangguk dan berkata halus. “Aku mendengar semua, akan tetapi sekarang juga
sudah lupa lagi apa yang kudengar,” jawabannya ini berarti bahwa hal-hal yang
ia dengar diucapkan gadis itu tidak dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia
ceritakan kepada orang lain.
Biar pun Tan
Lian maklum akan arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah lagi, ia merasa
berduka dan malu. Air matanya mengucur ke luar dan ia menangis terisak-isak.
Suling Emas
menarik napas panjang lagi. Ia tahu apa yang menyebabkan gadis ini menangis,
maka ia tak dapat bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada
gadis baju hijau yang gagah perkasa ini. Ia maklum bahwa Tan Lian adalah
seorang pendekar wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi dari pada
Lin Lin. Kalau saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat dalam
tongkat pusaka Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan Lian, apa
lagi hanya dengan sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu benar-benar
hebat dan berbahaya sekali, lagi ganas dan dahsyat. Kalau ilmu itu sudah
terlatih baik oleh Lin Lin, jangankan Tan Lian, dia sendiri tidak akan mudah
dapat mengalahkannya.
Pat-jiu
Sin-ong tidak percuma terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu.
Ilmu yang ia ciptakan itu merupakan inti sari dari pada semua kepandaian yang
menjadi ilmu pusaka Beng-kauw!
“Tenanglah,
Nona. Memang nasib kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan
oleh orang-orang tua kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik
ayahmu mau pun ibuku sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur riwayat
mereka bersama jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan
riwayat dan urusan mereka? Ah, Nona Tan, kuharap kau tidak berpandangan
sesempit itu....”
Tan Lian
menghentikan tangisnya, memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika
berkata, “Berpandangan sempit? Kau... kau tidak merasakan, tentu saja pandai
mencela! Di dunia aku hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian ayah karena
dibunuh ibumu membuat aku sebatang-kara. Kau salahkan aku kalau aku bersumpah
mendendam dan hendak membalas kematian ayah? Akan tetapi Thian tidak menaruh
kasihan kepadaku. Aku terlambat!” Suaranya terisak.
“Setelah aku
berlatih dengan susah payah selama bertahun-tahun, setelah aku rela tinggal
seorang diri..., tidak mau menikah... menjadi perawan tua... semua ini hanya
untuk satu tujuan, yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup
kuat dan hendak mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan
tentang keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain
menimpakan dendam kepadamu? Tapi... aku tidak becus... aku... aku tidak mampu
mengalahkanmu...” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.
Suling Emas
mengerutkan keningnya. Ia dapat membayangkan penderitaan batin yang selama ini
menimpa diri Tan Lian. Memang benar hebat dan berat sekali. Diam-diam ia memuji
kebaktian Tan Lian yang demi untuk berbakti kepada ayahnya sampai berkorban
sedemikian rupa, menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi
seorang gadis yang sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun.
Padahal gadis ini cantik dan gagah, kalau saja ayahnya tidak meninggal terbunuh
oleh ibunya, tentu dalam usia tujuh belas atau delapan belas sudah menjadi
isteri orang!
“Tan-siocia
harap kau jangan berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur
sampai di mana puncaknya. Siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai tingkat
yang lebih tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang lebih tinggi
lagi. Andai kata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan mampu menandinginya,
karena biar pun kau telah menggembleng dirimu belasan tahun lamanya, ibuku pun
terus memperdalam ilmunya selama puluhan tahun!”
“Lebih baik
kalau aku tewas dalam usahaku membalas ibumu, dari pada seperti sekarang
ini...,” ia terisak. “... tidak saja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau...
kau tidak membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan
ini, lebih baik kau bunuh aku!”
“Nona, di
antara kita tidak ada permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak,
aku, tidak akan berpemandangan begitu picik. Dan kuharap kau pun dapat sadar
akan hal ini, bahwa di antara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita
saling benci dan saling bermusuhan.”
“Akan
tetapi..., aku sudah bersumpah... untuk membunuh isterimu....”
“Jangan
khawatir, aku tidak beristeri,” kata Suling Emas tersenyum.
“Tapi wanita
yang memukulku itu? Ah, dia tentu tunanganmu!”
Suling Emas kembali
menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.
“Tapi, jelas
dia mencintamu!”
Suling Emas
kaget bukan main mendengar pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa
Lin Lin mencintanya?
“Hemmm,
mengapa kau berkata demikian?” katanya, suaranya tenang saja padahal jantungnya
berdebar keras.
“Dia cemburu
kepadaku... eh, kumaksudkan....” Tan Lian menjadi gugup sekali karena tanpa ia
sengaja atau sadari, ia sendiri sudah membuka rahasia hatinya.
“Tak
mungkin, Nona. Dia adalah adik tiriku!”
Tan Lian
tercengang dan entah mengapa, tiba-tiba wajahnya berseri gembira! Akan tetapi
hanya sebentar, karena ia lalu menghela napas dan berkata dengan lirih dan
berat, “Aku sudah bersumpah memusuhimu, tak perlu kau berlaku baik kepadaku,
tiada gunanya. Lebih baik aku mati saja, tak perlu kau carikan orang pandai
untuk berobat.”
“Hemmm,
mengapa kau begini putus harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup...”
“Muda,
katamu? Seorang wanita sudah berusia... seperti aku, kau bilang masih muda? Aku
adalah perawan tua. Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup hanya menjadi bahan
ejekan? Sebatang-kara, tiada keluarga, tugas pun terbengkalai tak terpenuhi,
apa artinya hidup? Aku sudah tua!” kembali air matanya mengalir turun.
“Kau masih
muda, Nona Tan. Muda dan cantik jelita lagi gagah perkasa. Kurasa, dia yang
merasa dirinya pandai dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan
berebutan untuk mendapatkan perhatianmu, dan akan merasa bahagia sekali kalau
menjadi pilihanmu.”
Sepasang
pipi gadis itu tiba-tiba menjadi merah, matanya memandang lebar-lebar ke arah
Suling Emas seakan-akan hendak menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati
yang jujur. Melihat sepasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan
kejujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap. “Be...
betulkah...?”
Suling Emas
lega hatinya. Ia mengangguk meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan
Lian lagi sambil berkata, “Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera
sampai di Thai-san. Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti
ini.”
Di dalam
pondongan pemuda itu, Tan Lian termenung-menung. Dia masih belum beristeri,
usianya sudah lanjut pula, tentu lebih tua beberapa tahun dari pada dia sendiri!
Permusuhan antara orang tua tentu saja akan hapus kalau mereka menjadi suami
isteri! Dia begitu baik, begini gagah perkasa, dan bukankah dia tadi
memuji-muji bahwa aku cantik jelita dan gagah? Bukankah pujian yang keluar dari
mulut seorang laki-laki, pujian yang bukan hanya kosong, yang keluar dari hati
sejujurnya, menjadi bayangan dari pada cinta kasih? Makin muluk-muluk lamunan
Tan Lian sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak di dalam pondongan Suling Emas.
Di lereng
Thai-san yang agak tersembunyi, di bagian yang paling sunyi karena hanya penuh
dengan hutan-hutan belukar, terdapat sebuah pondok sederhana dan bersih,
mempunyai banyak jendela sehingga di dalam pondok itu hawanya sejuk segar.
Inilah tempat tinggal Kim-sim Yok-ong, seorang kakek yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua akan tetapi wajahnya tetap segar berseri dan kemerahan
seperti wajah seorang pemuda remaja.
Sepasang
matanya bersinar-sinar dan bentuknya indah seperti mata wanita cantik.
Jari-jari tangannya halus dan runcing seperti tangan seorang terpelajar.
Gerak-geriknya halus, tutur sapanya ramah dan sopan, pakaiannya sederhana dan
dari kain murah, akan tetapi bersih sekali, sebersih kuku-kukunya dan
rambutnya. Inilah dia Kim-sim Yok-ong yang namanya terkenal di seluruh jagat,
yaitu nama sebutannya, bukan nama aslinya karena nama aslinya tidak ada yang
tahu. Ia dijuluki Kim-sim (Hati Emas) karena kakek ini menolong kepada siapa
saja yang perlu ditolong, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, tanpa pamrih,
tanpa syarat, seolah-olah hatinya terbuat dari pada emas yang amat berharga
penuh dengan cinta kasih akan sesamanya.
Di samping
ini ia disebut Yok-ong (Raja Obat) karena ilmu pengobatan yang ia miliki
benar-benar luar biasa sekali sehingga banyak orang bilang bahwa tidak ada
penyakit di dunia ini yang tidak bisa diobati dan disembuhkan oleh Kim-sim
Yok-ong! Karena kebaikan hatinya yang tidak pandang bulu dan tidak pilih kasih
inilah agaknya maka semua orang di dunia ini, termasuk mereka yang memiliki
watak kasar dan buruk, semua segan dan tidak berani mengganggunya. Bukan tidak
berani terhadap Kim-sim Yok-ong sendiri yang tak pernah dilihat orang bermain
silat, akan tetapi tidak berani karena sekali dia mengganggu Kim-sim Yok-ong,
tentu ia akan berhadapan dengan seluruh tokoh di dunia kang-ouw, baik tokoh
kanan mau pun kiri, tokoh putih mau pun hitam, para pendekar mau pun penjahat!
Agaknya Kim-sim Yok-ong sudah menjadi ‘milik’ semua orang yang akan membelanya
mati-matian!
Akan tetapi,
tidaklah sering raja obat ini dikunjungi orang yang hendak berobat. Pertama
karena tempat tinggalnya sering kali berpindah-pindah dan selalu ia memilih
lereng-lereng gunung yang tinggi dan mempunyai tetumbuhan yang mengandung obat.
Kedua, kepandaiannya yang istimewa adalah khusus untuk mengobati orang-orang
terluka oleh pukulan-pukulan, oleh senjata-senjata rahasia atau oleh
racun-racun. Dalam hal inilah ia memang memiliki kepandaian istimewa. Ada pun
kepandaiannya mengobati orang-orang sakit biasa tidaklah istimewa, sama dengan
tabib-tabib yang banyak terdapat di kota-kota. Oleh karena itu pula maka hanya
para anggota dunia kang-ouw saja yang selalu mencari dan minta tolong kepada
Kim-sim Yok-ong. Dan justru ini pula yang membuat namanya terkenal di antara
para tokoh kang-ouw.
Bahkan tak
boleh disangkal lagi, enam iblis Thian-te Liok-kai yang kini tinggal lima orang
saja itu sengaja memilih puncak Thai-san sebagai tempat mengadu ilmu karena
pada waktu itu Kim-sim Yok-ong berada di gunung itulah. Hal ini penting sekali
karena mereka maklum bahwa pertandingan adu ilmu di antara mereka tentu
sedikitnya akan mengakibatkan luka-luka yang parah dan mengerikan, dan hanya
Kim-sim Yok-ong saja yang akan mampu mengobati.
Pada pagi
hari itu, selagi Kim-sim Yok-ong mengatur akar-akar obat di atas genteng depan
rumah untuk dijemur, datanglah Suling Emas yang memondong tubuh Tan Lian. Sudah
dua hari dua malam gadis itu berada dalam keadaan pingsan, maka Suling Emas
tidak pernah berhenti, berlari cepat siang malam sehingga ketika ia tiba di situ
keadaan pendekar ini lesu dan lemah, tubuhnya lelah sekali, tangannya kaku-kaku
dan kakinya gemetar.
“Ayaaaaa...!
Kiranya Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) yang datang! Ah, lagi-lagi kau
melupakan kesehatan sendiri, sedikitnya dua hari dua malam tak pernah berhenti
berlari untuk menolong seseorang. Kim-siauw-eng, orang seperti engkau ini amat
diperlukan dunia, dan berbahagialah engkau karena hidupmu telah kau isi dengan
kemanfaatan bagi dunia. Bawalah dia masuk, sebentar aku menyusul!”
Suling Emas
mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.” Lalu ia melangkah memasuki pondok dan
merebahkan tubuh Tan Lian di atas sebuah pembaringan di sudut ruangan.
Sedikit
gelisah juga hati Suling Emas menyaksikan keadaan Tan Lian yang sudah pucat
sekali mukanya, tubuhnya dingin dan kaku seakan-akan sudah mati. Hanya napasnya
yang lemah saja yang membuktikan bahwa gadis itu masih hidup. Diam-diam Suling
Emas berdoa semoga gadis itu tidak mati oleh pukulan maut Lin Lin, karena kalau
hal ini terjadi, ia akan merasa berdosa dan makin menyesal mengingat bahwa
semua ini adalah akibat dari pada perbuatan ibu kandungnya yang lalu.
Tak lama
kemudian Raja Obat itu memasuki pondok dengan langkah perlahan dan tenang
sekali. Suling Emas sudah mengenal watak Raja Obat ini, maka ia pun diam saja
dan menanti sampai orang tua itu melakukan pemeriksaan.
Kim-sim
Yok-ong menghampiri sebuah tempayan air di sudut luar, mencuci kedua tangannya,
kemudian menyusutnya dengan kain bersih. Barulah ia menghampiri Tan Lian tanpa
menoleh ke arah Suling Emas yang masih berdiri di dekat pembaringan. Tabib
sakti itu membungkuk, memandangi Tan Lian dengan kening berkerut, mengulur
tangan kiri menekan nadi tangan gadis itu dan tangan kanannya meraba-raba
pundak dan leher.
“Uhhhhh...!”
katanya, agak tercengang. “Aku mendengar berita bahwa Pat-jiu Sin-ong sudah
meninggal dunia! Bagaimana nona ini bisa terkena pukulannya beberapa hari yang
lalu?”
Suling Emas
tidak merasa heran mendengar ini, sungguh pun ia menjadi makin kagum saja.
Tidak ada akibat pukulan yang bagaimana hebat pun di dunia ini yang tidak
dikenal oleh Kim-sim Yok-ong!
“Bukan,
Locianpwe. Pat-jiu Sin-ong memang sudah meninggal dunia dan tidak melakukan
pukulan terhadap nona ini.”
Kakek itu
memandang dan tahulah ia bahwa Suling Emas tidak ingin bicara tentang pemukul
nona ini. Ia menarik napas panjang dan berkata, “Siapa pun juga pemukulnya,
sudah pasti bukan Beng-kauwcu Liu Mo, juga bukan Kauw Bian Cinjin. Kalau bukan
Pat-jiu Sin-ong, entah siapa yang mampu melakukan pukulan ini. Hemmm, siapa pun
juga, dia menggunakan pukulan Beng-kauw dan aneh sekali bahwa kau yang
membawanya ke sini untuk kuobati.”
Ucapan ini
tidak langsung, namun diam-diam Suling Emas mengerti bahwa kakek itu sudah tahu
segalanya, sudah mendengar bahwa dia adalah putera Tok-siauw-kui dan cucu
Pat-jiu Sin-ong. Alangkah cepatnya berita tersiar, tidak heran bahwa
tokoh-tokoh kang-ouw mencari dan hendak mengeroyoknya. Apa lagi kalau diingat
bahwa banyak tokoh kang-ouw mengunjungi kakek ini untuk minta obat.
“Kau
keluarlah dulu, Kim-siauw-eng, biar kucoba untuk mengobati nona ini.”
Suling Emas
mengangguk, lalu melangkah keluar dan duduk di atas sebuah batu hitam yang
terdapat di depan pondok itu. Memang di depan pondok terdapat sekumpulan
batu-batu besar yang beraneka warna. Inilah sebuah di antara kesukaan Kim-sim
Yok-ong, yaitu mengumpulkan batu-batu yang licin halus dan aneh-aneh macam
serta warnanya.
Lebih dua
jam Suling Emas menanti, belum juga ada berita dari dalam. Ia melamun dan
bermacam pikiran menggodanya, terutama sekali pikiran tentang diri Lin Lin! Ia
merasa amat sayang dan kasihan kepada gadis remaja itu, malah hampir ia jatuh
cinta! Berulang kali Suling Emas menarik napas panjang, bukan sekali-kali
menyesali nasibnya, melainkan menyesal mengapa setelah ibunya menjadi sebab
kegegeran dunia, kini dia pula menjadi sebab kegegeran hati gadis-gadis cantik.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa seperti suara katak di musim hujan. Suling Emas cepat
mengangkat muka dan kaget serta herannya bukan main ketika ia melihat dua orang
kakek sudah berdiri dalam jarak lima meter di depannya, masing-masing kakek itu
memegang leher baju seorang penduduk gunung. Yang membuat Suling Emas kaget dan
heran adalah betapa kedua orang kakek itu dapat datang tanpa ia ketahui sama
sekali, tahu-tahu sudah berada di situ. Terlalu dalamkah ia tadi tenggelam
dalam lamunannya sehingga ia tidak mendengar kedatangan mereka? Ataukah mungkin
mereka itu luar biasa saktinya? Akan tetapi sepanjang ingatannya, hanya Bu Kek
Siansu saja yang pandai datang dan pergi tanpa ia ketahui!
Ia memandang
penuh perhatian. Seorang di antara dua kakek itu rambut dan jenggotnya panjang
berwarna putih seperti perak, bahkan alis matanya juga putih, jubahnya panjang
dan putih pula. Pendeknya, tidak ada warna lain terdapat pada diri kakek ini,
malah kulitnya kalau diperhatikan juga luar biasa putihnya, seakan-akan tidak
ada darah di bawah kulit itu. Diam-diam Suling Emas kaget. Orang ini
membayangkan tenaga sinkang yang mukjijat, akan tetapi bagaimana seorang dengan
kepandaian sehebat ini belum pernah ia jumpai dan tidak ia kenal sama sekali?
Kemudian
perhatiannya teralih kepada orang kedua. Dia ini juga seorang kakek tua,
rambutnya awut-awutan, kumis dan jenggotnya tebal panjang. Akan tetapi berbeda
dengan kakek pertama yang rambutnya serba putih, kakek ini rambut dan
jenggotnya kemerah-merahan, juga pakaiannya serba merah, sepatu rumputnya
merah, kulit badannya juga kemerahan seakan-akan setiap hari dibakar matahari!
Yang membuat
Suling Emas diam-diam terkesiap hatinya adalah ketika ia melihat mata kedua
orang kakek itu. Kakek pertama matanya putih hampir tidak kelihatan bagian
hitamnya, akan tetapi kakek kedua matanya merah dan hampir tidak tampak bagian
putihnya. Benar-benar dua orang kakek yang luar biasa sekali. Jangankan bertemu
mereka, mendengar tentang mereka pun belum pernah!
Kedua orang
kakek itu masih tertawa-tawa, dan kedua orang penduduk gunung yang dicengkeram
leher bajunya itu kelihatan ketakutan sekali.
“Hah,
beruang busuk, benar inikah rumah Kim-sim Yok-ong?” tiba-tiba si kakek putih
bertanya kepada orang yang dicengkeramnya.
Orang itu
mengangguk-angguk dengan tubuh gemetar. Biar pun mulutnya bergerak-gerak, namun
tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Huah-hah-hah,
si tabib memelihara anjing untuk menjaga pondok agaknya!” kata si kakek merah
sambil menudingkan telunjuk ke arah Suling Emas. “Biar kuusir dulu anjing itu,
menyebalkan benar!” Setelah berkata demikian, kakek merah ini tiba-tiba
menggerakkan tangan kanannya seperti orang mendorong ke arah Suling Emas yang
masih duduk di atas batu hitam.
Terdengar
suara bercuitan menyambar ke arah Suling Emas. Pendekar ini kaget dan kagum juga
menyaksikan pukulan jarak jauh yang demikian dahsyat, akan tetapi ia tidak
menjadi gentar. Dengan tenang Suling Emas yang biasa menghormat kaum tua
sengaja tidak mau menangkis, melainkan dalam keadaan tubuhnya masih bersila, ia
melayang ke atas, mengelak pukulan dan seperti seekor burung, tubuhnya yang
masih duduk bersila itu hinggap pada batu lain di sebelah kiri.
Pukulan
jarak jauh itu tidak mengenai dirinya, akan tetapi terdengar suara keras dan...
batu hitam tempat duduk Suling Emas tadi pecah-pecah dan di antara muncratnya
batu itu tampak cahaya berapi yang panas luar biasa!
“Anjing
penjaga yang baik...!” seru kakek putih dan dengan mulut menyeringai
memperlihatkan deretan giginya yang putih berkilauan, kakek ini pun
menggerakkan tangan kanannya mendorong ke arah Suling Emas.
Pendekar ini
masih belum hilang kagetnya menyaksikan akibat pukulan jarak jauh si kakek
merah yang benar-benar dahsyat itu, pukulan yang mengandung tenaga raksasa
penuh hawa panas membakar yang sekali mengenai tubuh manusia akan membuat tubuh
itu tidak hanya remuk akan tetapi juga terbakar! Kini melihat datangnya pukulan
jarak jauh yang sama sekali tidak bersuara namun membuat rumput-rumput di atas
tanah yang dilalui seketika menjadi layu, ia cepat-cepat menggerakkan tubuhnya melompat
tinggi dan kemudian turun berdiri dengan keadaan siap siaga.
Ia melihat
betapa batu yang didudukinya bergoyang-goyang sedikit, akan tetapi tidak pecah
seperti tadi, malah tampaknya tidak apa-apa. Tadinya ia mengira bahwa
kepandaian kakek putih itu kalah jauh oleh kakek merah, akan tetapi tiba-tiba
si kakek merah berseru.
“Wah-wah,
agaknya kau berusaha keras mengalahkan aku. Huah-hah-hah!”
Suling Emas
kaget dan melihat lagi. Matanya terbelalak ketika ia melihat batu besar yang
disangkanya tidak apa-apa itu kini mulai bergerak-gerak, tak lama kemudian
runtuh dan kiranya sudah hancur menjadi debu! Diam-diam ia kaget sekali. Dua
orang kakek ini benar-benar merupakan orang-orang paling sakti yang pernah ia
jumpai atau dengar, kecuali tentu saja Bu Kek Siansu yang memang tidak boleh
disejajarkan dengan manusia biasa.
Cepat ia
menjura penuh penghormatan sambil berkata, “Mohon maaf sebesarnya bahwa karena
teecu (murid) tidak mengenal siapa adanya Ji-wi Locianpwe (Dua Kakek Sakti),
maka terlambat untuk mengadakan penyambutan. Teecu juga hanya seorang tamu dari
tuan rumah Kim-sim Yok-ong yang kini sedang sibuk mengobati orang sakit. Harap
Ji-wi (Tuan berdua) sudi menunggu, biarlah teecu menyingkir kalau kehadiran
teecu tidak menyenangkan hati Ji-wi.”
Biar pun
maklum bahwa dua orang kakek itu sakti luar biasa, akan tetapi tentu saja
Suling Emas tidak merasa takut. Ucapannya yang sopan dan mengalah bukanlah
bayangan dari pada rasa takut, melainkan bayangan dari pada sikapnya yang
menghormat orang asing yang lebih tua. Apa lagi karena ia juga sedang
menghadapi tugas penting mewakili ibunya menghadapi anggota-anggota Thian-te
Liok-koai, maka dia tidak mau mencari perkara lain yang akan mengacaukan
tugasnya.
“Huah-hah-hah,
orang muda ini boleh juga. Heh, orang muda, kami datang karena mendengar nama
besar Kim-sim Yok-ong yang menjulang tinggi sampai ke langit. Akan tetapi kami
tidak percaya kalau tidak membuktikan sendiri sampai di mana kepandaiannya.
Kata orang, tabib sombong ini dapat menghidupkan lagi orang mati terkena
racun!”
Diam-diam
Suling Emas mendongkol. Dua orang kakek ini boleh jadi sakti, akan tetapi sikap
mereka berandalan. “Saya rasa berita itu tidak benar, Locianpwe.
Sepandai-pandainya orang, bagaimana bisa menghidupkan orang yang sudah mati?
Akan tetapi memang benar bahwa Kim-sim Yok-ong pandai sekali mengobati
korban-korban segala macam pukulan dan senjata beracun yang bagaimana parah sekali
pun!”
“Huh, huh!”
si kakek putih bersungut. Berbeda dengan si kakek merah yang selalu tertawa
mengejek, kalau bicara si kakek putih selalu bersungut-sungut. “Siapa mau
percaya? Coba dia sembuhkan akibat pukulanku ini!” Setelah berkata demikian
kakek putih ini melemparkan tawanannya ke atas tanah dan tangan kirinya
bergerak. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh orang gunung itu tidak berkutik
lagi, kaku kejang seperti sebatang balok.
“Huah-hah-hah,
bagus! Memang tanpa diuji mana mau percaya? Andai kata dia bisa menyembuhkan
dia itu, tak mungkin dia bisa menyembuhkan orang ini!” Ia pun mendorong
tawanannya ke depan dan memukul. Kembali terdengar jerit keras dan orang gunung
kedua ini berkelojotan di atas tanah.
Suling Emas
kaget dan marah, akan tetapi dua orang kakek itu sudah berkelebat dan lenyap
dari situ. Hanya gema suara ketawa kakek merah yang masih terdengar. Ingin
Suling Emas mengejar dan menegur kakek itu, bahkan ia pun siap untuk mengadu
kepandaian dengan dua orang kakek yang kejam itu. Akan tetapi karena kedua
orang penduduk gunung yang tak berdosa itu berada dalam keadaan luka hebat dan
maut mengancam nyawa mereka, Suling Emas membatalkan niatnya mengejar, kemudian
cepat ia menghampiri dua orang korban untuk memeriksa keadaannya.
Tercenganglah
Suling Emas ketika menyaksikan keadaan dua orang itu. Mereka sama sekali tidak
terluka, akan tetapi keadaan mereka sungguh mengerikan. Korban kakek putih
masih tetap kaku kejang, seluruh tubuhnya mulai berubah warna menjadi
keputih-putihan dan biar pun masih bernapas, namun ketika diraba terasa dingin
seperti salju! Sebaliknya, korban kakek merah berkelojotan, tubuhnya mulai
kemerahan-merahan, bahkan dari lubang-lubang tubuhnya mulai keluar asap tipis
dan kalau diraba darahnya panas seperti api!
Melihat keadaan
mereka ini, cepat-cepat Suling Emas lari memasuki pondok untuk memanggil
Kim-sim Yok-ong. Ia maklum bahwa kakek itu sedang mengobati Tan Lian dan
biasanya ia pun tidak berani mendesak atau mengganggu si raja obat. Namun
karena keadaan memaksa, terdorong rasa kasihan terhadap dua orang penduduk
gunung yang tak berdosa ini, Suling Emas segera berseru dari pintu.
“Locianpwe,
harap lekas keluar, di sini ada dua orang korban yang membutuhkan pertolongan
Locianpwe!”
Akan tetapi
sebetulnya tidak perlu dia berteriak-teriak karena pada saat itu kebetulan
sekali Kim-sim Yok-ong keluar dari dalam ruangan pengobatan sambil tersenyum.
Begitu melihat kakek ini, teringatlah Suling Emas akan keadaan Tan Lian maka
cepat ia bertanya, “Bagaimana dengan keadaan nona itu, Locianpwe?”
“Nona itu
terluka amat parah..., tapi kau tak perlu khawatir, dia akan sembuh....”
Lega hati
Suling Emas. Setelah mendengar bahwa Tan Lian tertolong, ia teringat kembali
kepada dua orang korban di luar. “Locianpwe, di luar ada dua orang korban yang
keadaannya amat berbahaya, harap Locianpwe sudi monolong orang-orang yang tak
berdosa itu.”
Tanpa banyak
cakap lagi Kim-sim Yok-ong lalu melangkah cepat ke luar pondok. Melihat dua
orang menggeletak di pekarangan rumahnya, yang seorang berkelojotan dan yang
kedua diam tak bergerak kaku, ia cepat menghampiri dan memeriksa. Keningnya
berkerut-kerut dan ia menggeleng-gelengkan kepala, kadang-kadang mulutnya
mengeluarkan seruan-seruan heran dan kaget.
“Kim-siauw-eng,
apakah yang terjadi di sini tadi?” tanpa menoleh kepada Suling Emas ia bertanya
sambil memeriksa tubuh korban kakek putih yang makin lama makin dingin tubuhnya
itu.
Dengan
singkat Suling Emas menuturkan tentang dua orang kakek aneh yang tadi datang.
Mendengar ini, tabib sakti itu mengeluarkan seruan aneh, bangkit berdiri dan
memandang Suling Emas dengan mata terbelalak.
“Agaknya
mereka itu bukan manusia!” serunya kaget. “Kalau mereka manusia, tokoh dari
golongan mana pun juga, tentu pernah kulihat atau setidaknya kudengar nama dan
keadaannya. Akan tetapi selama puluhan tahun aku hidup, belum pernah mendengar
tentang seorang kakek putih dan seorang kakek merah. Lebih hebat lagi, aku
tidak mengenal pula pukulan-pukulannya terhadap dua orang ini!” Ia menarik
napas panjang. “Gunung Thai-san ini boleh dibilang tinggi, namun puncaknya
masih kalah tinggi oleh awan. Sungguh segala sesuatu di dunia ini tak dapat
diukur batasnya. Mereka itu agaknya sengaja menantangku dan hendak menguji.
Hemmm, orang-orang sesat, nyawa manusia dibuat main-main! Butakah mereka
sehingga tidak melihat bahwa mati hidupnya seseorang bukan sekali-kali
tergantung dari pada kepandaianku mengobati, melainkan tergantung sepenuhnya
pada kehendak Thian? Kim-siauw-eng, bawalah mereka masuk. Aku akan coba
menolong sungguh pun aku merasa ragu-ragu untuk dapat menyelamatkan mereka.”
Suling Emas
cepat mengempit dua orang itu dan membawanya masuk ke dalam pondok. Atas
permintaan tabib sakti itu, ia membaringkan mereka di atas bangku-bangku kayu
yang berada di ruangan belakang. Kemudian seperti yang diminta oleh Kim-sim
Yok-ong, Suling Emas menanggalkan pakaian kedua orang itu, pakaian bagian atas
sehingga tubuh mereka bagian atas telanjang. Ngeri sekali keadaan mereka. Tubuh
mereka itu kini yang seorang sudah berubah putih, yang kedua menjadi merah,
persis warna kulit kedua orang kakek aneh itu.
Sementara
itu, Kim-sim Yok-ong sibuk membakar ujung jarum-jarum perak dan emas di atas
api lilin. Kemudian ia menghampiri korban kakek putih yang tubuhnya kaku dan
berwarna putih itu. Dengan gerakan hati-hati sekali namun tidak ragu-ragu, ia
menancapkan jarum-jarum emas pada jalan-jalan darah tertentu di dada, leher dan
pusar! Kemudian ia menggunakan jarum-jarum perak untuk menusuk jalan-jalan
darah pada tubuh orang kedua yang menjadi korban kakek merah. Setelah pada
masing-masing tubuh kedua orang korban itu tertancap tujuh batang jarum, Kim-sim
Yok-ong mengeluarkan sebatang pisau yang tajam lalu melukai kedua telapak
tangan mereka dengan ujung pisau.
Aneh! Dari
luka di telapak tangan korban kakek putih segera mengucur keluar darah yang
keputih-putihan sedangkan dari luka di telapak tangan korban kakek merah
mengucur darah yang kehitaman! Lambat laun berubahlah warna pada wajah kedua
orang itu, kembali menjadi normal dan napas mereka pun mulai tenang. Akhirnya
mereka bergerak-gerak mengeluh panjang. Kim-sim Yok-ong menarik napas panjang,
kelihatan lega hatinya. Akan tetapi agaknya ia tadi telah mengerahkan tenaga
dan mencurahkan seluruh perhatiannya sehingga ia tampak lelah, dan sambil
menghapus keringatnya, ia mulai mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh
kedua orang itu.
“Siapa pun
kedua iblis itu, dia tidak mungkin dapat mengalahkan kekuasaan Thian,” kata
Kim-sim Yok-ong perlahan. “Inilah buktinya! Karena agaknya Thian belum
menghendaki kedua orang tak bersalah ini tewas, kebetulan sekali aku dapat
menyembuhkan luka-luka mereka yang hebat, akibat pukulan aneh yang belum pernah
kusaksikan sebelumnya. Betapa pun juga, pukulan kakek merah itu mengandung
unsur panas sedangkan pukulan kakek putih mengandung pukulan dingin. Di dunia
ini hanya terdapat dua macam unsur tenaga, Im dan Yang, sungguh pun berbeda
ragam dan caranya, namun bersumber sama.”
Suling Emas
menyaksikan dan mendengarkan dengan hati penuh kekaguman. Akan tetapi pada saat
itu terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya.
“Huah-hah-hah,
Kim-sim Yok-ong! Jangan bergembira dulu dan merasa senang! Cobalah kau punahkan
akibat pukulan-pukulan kami ini!”
Bagaikan
kilat menyambar, Suling Emas sudah berkelebat keluar pondok, siap untuk
menghadapi dua orang iblis asing yang hendak menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong
dengan cara buas, yaitu melukai orang-orang tak bersalah itu, main-main dengan
nyawa orang seakan-akan mereka itu hanya binatang-binatang kelinci saja. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika tiba di pekarangan depan, ia tidak melihat dua
orang kakek itu melainkan empat orang dusun lain yang sudah menggeletak tak
bergerak di atas tanah.
“Celaka!
Keji benar mereka!” serunya sambil membungkuk untuk memeriksa.
“Jangan
pegang mereka! Biarkan aku memeriksa lebih dulu!” seru Kim-sim Yok-ong sambil
berlari-lari ke luar.
Hebat sekali
keadaan empat orang itu. Mereka adalah korban baru. Ada yang tulangnya
patah-patah sampai menjadi puluhan potong! Ada yang tulangnya remuk-remuk. Ada
yang seluruh tubuhnya keluar bintik-bintik merah dan orang keempat mengeluarkan
darah dari semua lubang di tubuhnya!
“Kejam...!”
Seru Yok-ong. “Kim-siauw-eng, bantulah aku. Mereka harus cepat-cepat ditolong!”
Maka
bekerjalah Suling Emas mengangkat orang-orang itu ke dalam pondok dan ia girang
melihat dua orang dusun pertama sudah dapat bangun. Segera Yok-ong menyuruh
mereka pulang sanibil membawa obat-obat minum kepada kedua orang itu. Akan
tetapi selanjutnya ia sibuk mengobati empat orang yang menderita luka-luka
hebat sekali. Suling Emas hanya membantu, memasakkan obat, mengambilkan daun
ini dan akar itu, sambil mengagumi cara tabib sakti itu menolong para korban.
Cekatan dan terampil, hati-hati dan tepat sehingga kembali empat orang itu
dapat diselamatkan nyawanya.
Akan tetapi,
secara berturut-turut pekarangan depan pondok itu kebanjiran para korban dua
orang kakek iblis yang aneh itu, yang selalu meninggalkan korban mereka di
pekarangan pondok sehingga dalam waktu setengah hari saja di situ berkumpul
tiga puluh orang lebih yang terancam nyawanya dengan pelbagai macam luka-luka
hebat, dari racun-racun yang paling ganas sampai pukulan-pukulan yang paling
keji yang selamanya belum pernah terbayangkan oleh Suling Emas, bahkan banyak
di antaranya yang membuat si tabib sakti agak bingung! Akhirnya si tabib sakti
terpaksa mengakui kehebatan dua orang kakek itu karena menjelang senja, sudah
ada empat orang yang tewas, karena ia tak mampu menyembuhkannya!
Hebatnya, malam
itu masih bertambah lagi jumlah korban sehingga seluruhnya menjadi lima puluh
orang korban tangan maut kakek merah dan kakek putih yang luar biasa ini!
Suling Emas memuncak kemarahannya, namun ia tidak dapat melakukan pencegahan
atau pun pengejaran karena tenaganya amat dibutuhkan untuk membantu Kim-sim
Yok-ong. Baiknya Tan Lian siuman menjelang malam dan keadaannya sedemikian
baiknya sehingga gadis ini mampu bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri
dengan keheran-heranan karena ia melihat seorang kakek tua dibantu oleh Suling
Emas sibuk mengurus dan mengobati puluhan orang. Biar pun yang sembuh telah
disuruh pulang oleh tabib sakti itu, namun di dalam rumah masih terkumpul tiga
puluh orang dan enam orang mayat!
“Ahhh... apa
yang terjadi? Di mana aku...?” Gadis itu bertanya, penuh kengerian hati.
Suling Emas
segera menghampiri dan giranglah hatinya melihat gadis itu sudah sembuh sama
sekali, tampak dari wajahnya yang segar.
“Syukur kau
telah tertolong, Nona. Akan tetapi kau harus beristirahat di sini barang tiga
hari menurut pesan Yok-ong Locianpwe. Akan tetapi celaka, hari ini terjadi hal
hebat. Dua orang iblis yang tidak terkenal mengamuk dan melukai banyak orang
hanya untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong.” Secara singkat Suling Emas
menceritakan keadaan itu, sedangkan Yok-ong sama sekali tidak ambil peduli dan
tetap sibuk mengurusi mereka yang luka.
Tan Lian
menjadi heran dan terharu menyaksikan kebaikan hati tabib itu. “Apa? Aku harus
beristirahat saja melihat begini banyaknya orang yang perlu ditolong? Tidak,
Locianpwe, aku siap membantumu!” Ia meloncat turun dari pembaringan dan biar
pun kepalanya masih agak pening, namun gadis ini dengan cekatan lalu mulai
membantu dengan masak air dan lain-lain.
Kim-sim
Yok-ong mengangguk-angguk dan memandang sebentar. “Boleh, kau boleh membantu.
Yang tak boleh kau lakukan hanya pengerahan tenaga dalam. Bagus hari ini aku
bersusah-payah menolongmu bukan tiada gunanya. Nona kau ambilkan bungkusan dari
atas lemari itu, kemudian kau bakar ujung semua jarum ini sampai terasa
panasnya pada ujung gagangnya.”
Demikianlah,
tiga orang itu semalam suntuk sibuk menolong orang dan baiknya dua orang iblis
tua itu agaknya sudah cukup ‘menguji kepandaian’ Kim-sim Yok-ong, buktinya
tidak ada lagi orang terluka mereka antarkan.
Pada
keesokan harinya, menjelang tengah hari barulah selesai pekerjaan itu. Sebanyak
empat puluh lebih orang telah sembuh dan boleh pulang, akan tetapi ada delapan
orang yang tak dapat tertolong dan kini rebah menjadi mayat di dalam pondok.
Kim-sim Yok-ong tampak lelah sekali, jauh lebih lelah dari Tan Lian yang juga
bekerja keras dalam keadaan belum pulih tenaganya. Kakek ini tampak duduk di
atas bangku, bersila dan wajahnya keruh, keningnya berkerut-kerut dan agak
pucat. Ia berkali-kali menarik napas panjang dan memandangi mayat-mayat yang
berjajar di situ.
“Locianpwe,
harap Locianpwe tidak merasa berduka. Sudah cukup hebat kepandaian Locianpwe
dan delapan orang korban ini agaknya memang sudah dikehendaki Thian untuk mati.
Apakah yang harus disesalkan? Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini!”
Kim-sim
Yok-ong menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang, “Bukan itu yang
menyusahkan hatiku, orang muda. Kau tidak mengerti, apa kehendak dua orang aneh
itu dengan perbuatan mereka?”
“Apa lagi
kalau tidak hendak menguji kepandaian Locianpwe? Kalau memang mereka itu
orang-orang yang mempunyai sedikit saja peri-kemanusiaan, tentu mereka akan
menyesali perbuatan mereka dan akan mengakui keunggulan Locianpwe dalam hal
melawan dan memunahkan akibat pukulan-pukulan beracun mereka!”
“Bukan...,
bukan demikian. Ketahuilah, Kim-siauw-eng, mereka itu sengaja melakukan
bermacam-macam pukulan dengan penggunaan racun yang berbahaya, tak lain hendak
mempelajari caraku memberi obat. Mereka memaksaku mengeluarkan ilmu pengobatan
dan agaknya mereka memang sengaja hendak mempelajarinya. Ilmu pengobatan memang
amat baik dan boleh saja diketahui semua orang, akan tetapi kurasa bukan dengan
niat baik kedua orang itu mempelajarinya, buktinya cara mereka mempelajari
sudah cukup ganas dan keji. Aku khawatir sekali....”
“Siapakah
iblis-iblis itu?” Tan Lian berseru. “Kalau sudah pulih kembali kesehatanku,
akan kucari mereka dan kuajak mereka bertanding. Membasmi mereka atau mati di
tangan mereka merupakan tugas seorang yang menjunjung kegagahan!”
Suling Emas
memandang kagum dan kakek itu menghela napas. “Nona, bukan sekali-kali aku
memandang rendah kepadamu. Akan tetapi kepandaian dua orang itu, biar pun
Thian-te Liok-koai sendiri belum tentu dapat menandinginya!”
Suling Emas
kaget. Ia harus percaya omongan tabib dewa ini yang tentu dapat menilai
kepandaian orang melihat akibat pukulan-pukulannya. Diam-diam ia bergidik dan
makin kuat niatnya untuk menggempur dua orang kakek itu.
“Biarlah
saya mengubur mayat-mayat ini dan setelah itu, aku akan mencari mereka berdua
untuk minta pertanggungan jawab mereka!”
Dengan
dibantu oleh Tan Lian, Suling Emas mengubur delapan mayat itu disaksikan oleh
Kim-sim Yok-ong yang merasa prihatin sekali. Baru kali ini selama ia mendapat
julukan Raja Obat, ia gagal menyembuhkan delapan orang yang meninggal dunia di
depan matanya. Ia merasa terhina sekali.
Setelah
delapan buah mayat itu dimasukkan lubang di tanah dan mereka mulai menguruk
dengan tanah, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari arah barat, suara ketawa
kakek merah bersama suara ejekan kakek putih yang sudah dikenal baik oleh
Suling Emas.
“Huah-hah-hah,
kiranya hanya begini saja kepandaian si Raja Obat!” terdengar suara kakek
merah.
“Kau tidak
patut dan tidak berhak menggunakan sebutan Yok-ong (Raja Obat) lagi!” seru
suara kakek putih.
“Locianpwe,
biarkan saya memberi hajaran kepada mereka!” Suling Emas berseru marah, dan
hendak lari ke barat dari mana suara-suara itu datang. Akan tetapi tiba-tiba
tangannya dipegang orang. Ia menoleh dan ternyata Tan Lian yang memegang
tangannya, wajah gadis itu pucat dan memandang dengan penuh kekhawatiran.
“Ada apa,
Nona Tan?” tanya Suling Emas merasa terganggu.
Merah wajah
Tan Lian dan gadis ini segera melepaskan pegangannya. “Tidak apa-apa, hanya...
mereka itu benar-benar sakti, mari kubantu engkau....”
“Terima
kasih. Tidak perlu, karena kau sendiri masih belum boleh mengeluarkan tenaga,
harus beristirahat sampai sembuh.” Suling Emas lalu berkelebat dan lari untuk
mencari dua orang kakek iblis itu.
“Kau...
berhati-hatilah...!” seru Tan Lian dan sampai lama gadis ini berdiri bengong
memandang ke arah barat, ke arah perginya pendekar yang sudah menundukkan
hatinya itu. Sampai lama ia berdiri seperti patung, tidak tahu bahwa pekerjaan
menguruk kuburan masih menanti dan juga bahwa si kakek tabib memandanginya
dengan tarikan napas panjang.
“Anak yang
baik, mayat-mayat itu menunggu untuk diuruk selekasnya!” Tiba-tiba tabib itu
berkata.
Sadarlah Tan
Lian dari lamunannya dan segera ia mengerjakan tanah galian untuk menguruk
lubang-lubang kuburan itu bersama Kim-sim Yok-ong. Kemudian tabib itu mengajak
Tan Lian ke pondok dan mereka membersihkan pondok dari darah yang berceceran.
Kim-sim Yok-ong menyiram-nyiramkan obat pemunah hawa beracun dan membakar akar
wangi, kemudian ia memanggil gadis itu untuk duduk di depannya.
“Tak usah
kau merasa khawatir. Biar pun kedua orang iblis itu lihai sekali, namun biar
pun masih muda Suling Emas adalah seorang pendekar yang sakti dan waspada.
Kurasa tidak akan mudah mencelakakan Suling Emas,” kata kakek itu dengan suara
menghibur.
“Mudah-mudahan
begitulah, Locianpwe,” jawab Tan Lian yang kemudian menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kakek itu. “Saya berhutang nyawa kepada Locianpwe, apa bila
dalam hidup ini saya tidak mampu membalas, biarlah dalam penjelmaan lain saya
akan menjadi binatang peliharaan Locianpwe untuk membalas budi.” Dan tiba-tiba
dengan sedih nona ini menangis.
Kim-sim
Yok-ong tertawa, mengelus-elus jenggotnya dan membangunkan gadis itu. “Jangan
begitu, kau duduklah. Jangan kau ikat aku dengan belenggu karma. Semua yang
kulakukan bukanlah untuk menanam budi, juga bukan bermaksud menolong, melainkan
karena sudah menjadi kewajibanku. Anak yang baik, kalau orang sudah setua aku
ini, seharusnya melakukan segala sesuatu tanpa pamrih, hanya berdasarkan
kewajiban dan sebagai pujaan kepada kebesaran Thian. Nona, kau telah terpukul
oleh seorang yang memiliki pukulan dasar dari ilmu silat Beng-kauw, pukulan
dahsyat dan yang tadinya kuanggap hanya mampu dilakukan oleh Pat-jiu Sin-ong
seorang. Siapakah yang memukulmu dan mengapa? Bagaimana pula Suling Emas yang
membawamu ke sini? Kalau kau tidak keberatan, harap kau ceritakan kepadaku
karena aku merasa kasihan kepadamu dan ingin memberi sekedar nasehat.”
Makin sedih
tangis Tan Lian mendengar pertanyaan ini. Ia hidup sebatang-kara, selama ini
tidak ada orang lain yang memperhatikan nasibnya kecuali, tentu saja, Thio San.
Thio San adalah seorang pemuda, tunangannya sejak kecil. Akan tetapi ia telah
menyia-nyiakan pertunangannya dengan Thio San dan selalu menghindari pemuda itu
karena besarnya tekad dan cita-citanya selama ini untuk membalas dendam. Selain
ini, di lubuk hatinya, ia pun tidak puas dengan tunangan ini, tunangan yang
dipilih ayahnya semenjak ia masih kecil karena Thio San adalah putera sahabat
baik ayahnya.
Ia tidak
puas karena Thio San, sungguh pun merupakan seorang pemuda yang tampan dan
baik, dan yang ternyata amat setia dan amat mencintanya pula, hanya seorang
pemuda terpelajar yang lebih tekun mempelajari kesusastraan sehingga dalam
pandangannya Thio San adalah seorang pemuda lemah yang tidak mengerti ilmu
silat. Tidak sesuai dengan keadaannya sendiri sebagai puteri mendiang
Hui-kiam-eng Tan Hui yang terkenal sebagai seorang pendekar besar.
“Locianpwe,
banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe terhadap diri saya yang bernasib
malang ini. Sesungguhnya secara terus terang saya mengakui bahwa yang memukul
saya adalah adik tiri Suling Emas, sedangkan Suling Emas adalah... adalah musuh
besar saya.”
“Apa? Musuh
besarmu? Akan tetapi dengan susah payah dia membawamu ke sini!”
“Itulah yang
memberatkan hati saya, Locianpwe, dan saya mohon petunjuk. Sebetulnya bukan dia
musuh saya, melainkan ibunya, Tok-siauw-kui yang sudah membunuh ayah saya.”
“Siapakah
ayahmu?”
“Mendiang
ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui...”
“Ahhh...!
Tentu saja aku kenal dia. Lalu bagaimana? Teruskanlah dan jangan ragu-ragu,
mendiang ayahmu dahulu adalah sahabat baikku, dia seorang pendekar besar.”
Mendengar
ini, makin deras air mata mengucur keluar dari sepasang mata gadis itu. Setelah
dapat meredakan tangisnya ia menyambung ceritanya, “Kematian ayah membuat saya
menjadi seorang yang hidup sebatang-kara, tidak ada cita-cita lain di hati
kecuali mencari Tok-siauw-kui dan membalas dendam. Akan tetapi karena
Tok-siauw-kui amat lihai sehingga ayah sendiri kalah olehnya, saya melewatkan
waktu sampai belasan tahun untuk memperdalam ilmu silat. Akan tetapi,
Locianpwe, alangkah malang nasib saya. Begitu saya merasa bahwa sudah tiba
saatnya saya pergi mencari Tok-siauw-kui yang kabarnya berada di Nan-cao,
bersembunyi di sana dan saya segera berangkat, di tengah jalan saya mendengar
berita bahwa Tok-siauw-kui baru saja tewas! Ah, hancur hati saya karena saya
tidak berhasil membalas dendam....” Tan Lian berhenti sejenak, mengambil napas
panjang baru kemudian melanjutkan.
“Akan
tetapi, kemudian saya mendengar dari It-gan Kai-ong bahwa Tok-siauw-kwi adalah
ibu dari Suling Emas. Tentu saja saya ikut bersama tokoh-tokoh kang-ouw lain
untuk membalaskan sakit hati itu kepada putera musuh besar saya. Kembali saya
kecewa, Locianpwe, karena... karena... saya tidak mampu mengalahkan Suling
Emas, malah... malah... ketika saya bersumpah di depan makam ayah untuk
membalaskan dendam itu kepada isteri dan anak-anak Suling Emas, saya dipukul
roboh oleh adik tirinya dan... dia malah menolong saya....” Gadis itu kembali
menangis sedih.
“Hemmm...
hemmm... tidak hanya kau kalah oleh Suling Emas, malah hatimu pun roboh oleh
asmara. Kau mencinta Suling Emas?”
Seketika
berhenti tangis Tan Lian dan ia melonjak kaget, memandang kakek itu dengan muka
pucat dan mata terbelalak. Kakek itu tetap tersenyum sabar.
“Bagaimana...
bagaimana... Locianpwe bisa tahu...?” Akhirnya Tan Lian bertanya dengan suara
gagap.
Senyum kakek
itu melebar, “Aku pernah muda, anak baik, dan sudah banyak kusaksikan di dunia
ini. Sudah banyak dongeng dan peristiwa terjadi karena cinta. Kalau tidak
karena cinta, agaknya tidak akan terjadi urusanmu dengan Suling Emas, tidak
akan terjadi permusuhan yang terpendam di hatimu. Ayahmu pun menjadi korban
cinta. Karena itu, kau percayalah kepadaku, anak baik. Buang jauh-jauh perasaan
itu karena kulihat bahwa kau berbakat untuk menjadi muridku. Tadinya aku tidak
ada niat memiliki murid, akan tetapi setelah dua iblis itu mengakaliku dan
mencuri banyak pengetahuanku, aku harus menurunkan kepandaianku. Kaulah yang
cocok untuk menjadi muridku, tidak saja kau berbakat, akan tetapi kau pun anak
sahabatku.”
Tan Lian
menjatuhkan diri lagi berlutut di depan kakek itu. “Ohhh, Locianpwe, saya
merasa seakan-akan bertemu dengan ayah saya. Locianpwe, tolonglah saya. Saya
sudah bersumpah hendak membunuh isteri dan anak-anak Suling Emas, akan
tetapi... dia tidak punya isteri dan... dan memang betul saya jatuh cinta kepadanya.
Locianpwe, sudilah Locianpwe menolong saya, mewakili orang tua saya yang sudah
tiada, harap suka usahakan perjodohan saya dengan Suling Emas. Kalau hal ini
tidak terjadi, saya merasa sia-sia hidup di dunia, dendam ayah tak terbalas,
hasrat hati hendak memunahkan dendam dengan ikatan jodoh tak tercapai....”
Kakek itu
termenung sejenak. “Suling Emas termasuk seorang di antara tokoh-tokoh aneh di
dunia ini. Aku khawatir kalau-kalau maksud hatimu akan gagal, Nak. Mengapa
tidak kau batalkan saja dan hidup mencapai kebahagiaan penuh damai dari pada
kesunyian seperti aku? Aku tanggung bahwa kebahagiaan itu akan jauh lebih
sempurna dari pada kebahagiaan duniawi.”
“Cobalah
dulu, Locianpwe. Belum tentu dia tidak setuju, agaknya... agaknya dia pun bukan
tak suka kepada saya...”
Akhirnya
kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiklah... baiklah, akan
tetapi jangan kau lalu membunuh diri kalau dia menolak. Berjanjilah dulu, tanpa
janjimu aku takkan mau menerima permintaanmu.”
“Saya
berjanji takkan membunuh diri kalau... dia menolak.”
“Dan akan
suka menjadi muridku,” sambung kakek itu.
“... dan
akan suka menjadi murid Locianpwe....”
“Bagus!”
Kakek itu tampak girang, “Nah, kau beristirahatlah, kita menanti sampai dia
kembali.”
Akan tetapi
pada saat itu di luar pondok terdengar langkah kaki orang. Tergopoh-gopoh Tan
Lian berlari ketuar, hatinya sudah tak sabar lagi untuk menyambut kedatangan
Suling Emas. Ia harus cepat melihat dengan mata sendiri bahwa pendekar itu
kembali dalam keadaan selamat. Ketika ia melangkah ke luar dari pintu pondok,
tiba-tiba ia tercengang dan berdiri seperti patung, memandang laki-laki muda
yang berdiri di pekarangan rumah itu dengan mata terbelalak. Pemuda itu, yang
berpakaian sederhana seperti seorang pelajar, kelihatan lelah sekali, berwajah
tampan dan keningnya lebar, juga memandang kepadanya, mata yang sayu kelelahan
itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri.
“Lian-moi
(Adik Lian)...!” Akhirnya ia berseru dan tersaruk-saruk ia melangkah maju.
“Kau...?
Kenapa kau datang ke sini?”
“Kenapa?
Lian-moi, tentu saja hendak mencarimu, menyusulmu! Lian-moi, hampir gila aku
mencarimu, mengikuti jejakmu. Lian-moi, mengapa kau di sini dan dengan siapakah
kau....” Orang muda yang bukan lain adalah Thio San itu tiba-tiba berhenti
karena melihat munculnya seorang kakek yang bersikap tenang dan bermata tajam
muncul di pintu, di belakang tunangannya.
“Thio San!
Sudah berapa kali kujelaskan kepadamu bahwa di antara kita sudah tidak ada
ikatan dan tidak ada urusan apa-apa lagi. Kenapa kau begini tak tahu malu dan
masih berani menyusulku dan mengikutiku selalu? Pergilah!”
“Tapi....”
“Pergilah,
sebelum aku habis sabar dan terpaksa bertindak kasar!”
“Tapi,
Lian-moi, kita bertunangan....”
“Hemmm,
kalau tidak ingat akan hubungan itu, sudah dulu-dulu aku mengenyahkanmu dengan
kekerasan. Thio San, sejak dua belas tahun yang lalu, di depan engkau dan orang
tuamu, bukankah aku sudah menyatakan pembatalan ikatan itu? Bukankah sudah
kujelaskan secara terang-terangan apa yang menjadi sebabnya? Thio San, antara
kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Nah, cukup, kau pergilah!” Karena hampir
tidak kuat menahan air matanya, Tan Lian lalu membalikkan tubuhnya dan lari
memasuki pondok.
Pemuda itu
berdiri dengan muka pucat, sinar matanya menjadi makin sayu, wajahnya makin
muram, tubuhnya bergoyang-goyang seperti sebatang pohon terlanda angin, agaknya
ia mengerahkan seluruh tenaganya agar tidak roboh.
“Orang
muda,” Kim-sim Yok-ong berkata, suaranya halus menghibur. “Aku tidak berhak
mencampuri urusanmu, akan tetapi biarlah kuperingatkan kau bahwa perjodohan
yang dipaksakan oleh sepihak takkan membentuk rumah tangga yang berbahagia.
Syarat utama perjodohan adalah kesediaan, kerelaan dan cinta kasih kedua pihak.
Karena itu, seorang laki-laki harus dapat menguatkan hati dan rela berkorban
perasaan demi mencegah dirinya sendiri terperosok ke dalam neraka rumah tangga
yang tidak bahagia.”
Suara orang
lain yang memasuki telinganya menyadarkan pemuda itu dari keadaan yang memelas
(menimbulkan iba) itu. Ia mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya,
memandang tajam kepada kakek itu ketika menjawab.
“Orang tua,
aku tidak mengenal siapakah engkau, akan tetapi karena ucapanmu bermaksud baik,
aku berterima kasih sekali kepadamu. Namun, kalau aku harus membenarkan
pendapatmu itu, lalu ke mana nanti perginya kesetiaan dan kebaktian? Jodoh yang
sudah dipilihkan orang tua semenjak kecil, harus diterima dengan rela, itu
bakti namanya! Satu kali orang bertunangan, harus ditunggu sampai mati, itu
setia namanya! Betapa pun juga, kau betul, orang tua. Dia tidak suka kepadaku
dan aku tidak dapat memaksanya. Dia seorang ahli silat yang lihai, hatinya
penuh dendam yang belum terbalaskan, hidupnya bagaikan seekor naga yang
melayang-layang di angkasa dengan bebas beterbangan di antara awan dan petir!
Sedangkan aku... aku....”
“Dan kau
seorang muda yang penuh filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup
menurunkan garis-garis dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapa pun
mengecewakannya, manusia yang belum mau melepaskan diri dari kehidupan ramai,
berarti belum mungkin terlepas dari pada nafsu-nafsu duniawi! Kau tidak mau
mengerti bahwa orang seperti Tan Lian hanya tunduk kepada nafsu yang menguasai
hatinya, sebaliknya kau hanya tunduk kepada peraturan tanpa mau menjenguk
keadaan orang lain. Orang muda, aku kasihan kepadamu. Kau seorang yang baik,
berbakti dan setia, akan tetapi kau lemah! Bukan lemah jasmani saja, juga lemah
batinmu karena kau malu akan kenyataan bahwa juga engkau telah dikuasai nafsu
yang mendorong cinta nafsumu terhadap Tan Lian, akan tetapi kau tidak berterus
terang, malah kau hendak menutupi cintamu dengan dalih setia dan berbakti!
Sayang....”
Tiba-tiba
dua titik air mata membasahi pipi pemuda itu yang menundukkan mukanya dan
berkata, “Orang tua, kau betul. Aku cinta padanya, tapi dia menolakku. Namun,
aku akan menanti dengan sabar, seperti yang sudah kulakukan belasan tahun
lamanya, karena kulihat dia masih sendiri. Kalau dia sudah bersuamikan orang
lain, barulah aku akan mundur. Maafkan aku, orang tua.” Setelah berkata
demikian, pemuda itu menjura dan membalikkan tubuh, lalu berjalan dengan
langkah-langkah gontai meninggalkan pondok.
Sampai lama
Kim-sim Yok-ong berdiri memandang dari depan pintu pondoknya sambil
menggoyang-goyang kepala dan menghela napas. “Sampai sekarang, entah sudah
berapa juta orang muda menjadi korban penyakit asmara ini. Sungguh memalukan,
aku yang berjuluk Yok-ong belum juga dapat menemukan obatnya!” Sambil
menggeleng-geleng kepala ia memasuki pondoknya dan melihat Tan Lian menangis
terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangan, kakek ini tidak mau
bertanya-tanya lagi. Ia maklum bahwa gadis ini tentu merasa menyesal, berduka,
dan malu karena urusan pribadinya telah terdengar orang lain.
“Locianpwe...,
aku... aku malu sekali. Ah, Locianpwe tentu akan memandang rendah kepadaku...
seorang gadis yang sudah ditunangkan sejak kecil akan tetapi berani minta
tolong kepada Locianpwe untuk menguruskan perjodohan dengan pria lain...! Kalau
Locianpwe merasa bahwa aku terlalu hina dan rendah, biarlah aku pergi dari sini
dan tidak berani mengganggumu lagi....”
“Hemmm, aku
tahu keadaan hatimu, Nak, dan tidak biasanya aku mencampuri urusan pribadi
orang lain. Aku tidak memandang rendah dan aku tetap akan memegang janjiku.”
Mendengar ucapan ini, Tan Lian berlutut dan merangkul kaki Yok-ong sambil
menangis.
***************
Dengan
gerakan yang cepat sekali sehingga dari jauh terlihat bagaikan terbang saja,
pendekar sakti Suling Emas lari mendaki puncak Thai-san. Ia sengaja mencari
tempat-tempat tinggi, bahkan kadang-kadang ia meloncat naik ke atas pohon untuk
melihat keadaan sekitar pegunungan itu dalam usahanya mencari jejak dua orang
iblis tua yang telah mengacau pondok Kim-sim Yok-ong. Namun sudah sehari
semalam ia mencari, hasilnya sia-sia belaka.
Pada hari
kedua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di puncak paling tinggi dan selagi ia
meneliti keadaan sekelilingnya, tiba-tiba ia mendengar tetabuhan khim yang
nyaring, merdu dan halus. Sejenak kagetlah Suling Emas karena ingatannya
melayang-layang, mengira bahwa Bu Kek Siansu berada di tempat ini. Akan tetapi
ketika ia memperhatikan, ia segera mengerutkan keningnya. Suara alat musik
yang-khim yang ditabuh ini, sungguh pun cukup nyaring dan merdu, namun memiliki
gaya yang liar dan iramanya merangsang. Betapa pun juga harus ia akui bahwa
tenaga yang keluar dari suara khim ini cukup hebat, menimbulkan rangsang yang
mendebarkan jantung dan bagi orang yang kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan
roboh di bawah pengaruh suara itu.
Kemudian
Suling Emas tersenyum dan teringatlah ia akan Siang-mou Sin-ni, seorang di
antara Thian-te Liok-koai yang dapat mainkan yang-khim seganas ini. Ia ingat
bahwa dahulu wanita iblis ini telah merampas alat musik yang-khim dari tangan
Bu Kek Siansu dan agaknya ia telah mempelajari alat musik itu, disesuaikan
dengan ilmu untuk menyerang orang, baik melalui suara yang-khim mau pun dengan
cara mempergunakan alat musik itu sebagai senjata.
Diam-diam
Suling Emas menghitung-hitung dan memang hari itu sudah tiba saatnya perjanjian
para anggota Thian-te Liok-koai mengadakan pertemuan untuk mengadu ilmu di
puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari Siang-mou Sin-ni itu merupakan
panggilan atau tantangan, untuk sementara Suling Emas menunda urusannya mencari
dua orang asing dan kini ia mencabut sulingnya, meniup dan melagukannya sambil
melangkah lebar ke arah datangnya suara.
Sungguh
ajaib suara yang terdengar di hutan-hutan gunung Thai-san pada saat itu. Kalau
ada orang mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa suara itu bukan
sewajarnya, mungkin para iblis hutan sedang berpesta. Suara suling mengalun,
bergelombang turun naik mengelus perasaan, menyegarkan akan tetapi juga
memabukkan karena memiliki daya seret yang menghanyutkan. Suara ini mengiringi
atau diiringi suara berkencringnya yang-khim yang diseling dengan ‘melody’ yang
jelas satu-satu dan nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap
bunyi denting dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya
untuk membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema
di seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar jurang
yang paling dalam.
Pertandingan
jarak jauh yang dilakukan dengan ‘suara’ itu benar-benar amat menarik. Kini
Suling Emas tidak melangkah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya
agak merah dan dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan
bahwa Siang-mou Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk
menghadapi suara yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap sembarangan dan
harus pula mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga sinkang.
Akan tetapi,
begitu pendekar sakti ini memusatkan tenaganya, suara yang-khim makin menjadi
lemah seakan-akan terdesak suara suling yang makin melengking tinggi itu.
Anehnya, daun-daun pohon yang masih hijau segar, yang tumbuh di atas kepala dan
di dekat Suling Emas meniup sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu,
melayang-layang ke bawah dengan gerakan aneh dan lucu seakan-akan daun-daun itu
menari-nari mengikuti bunyi irama suling!
Akhirnya
suara yang-khim itu berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara
Siang-mou Sin-ni dari jauh. Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup
jelas. “Suling Emas, saat mengadu kepandaian adalah malam nanti, kalau bulan
sudah muncul. Aku hanya main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment