Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 13
BEBERAPA
hari kemudian, pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua
orang muda yang berjalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan
Suling Emas yang melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di
tanah pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh
yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh
Pat-jiu Sin-ong.
Keadaan di
situ menyeramkan. Matahari belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin
merasa seakan-akan ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya
terdiri dari orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun,
masih tidur di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu
nisan itu.
“Di mana
makamnya...?” tanya Lin Lin, suaranya agak gemetar.
Hatinya
gentar juga setelah tiba di tempat pekuburan itu. Harus diakui bahwa
sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk bersumpah menjadi murid Pat-jiu
Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan
disengaja, tapi secara kebetulan dan ia sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa
ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw.
Kalau dulu
ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal
itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling
Emas! Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan
di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan
rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga
mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!
“Di sana
makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kau lihat, masih baru!” jawab Suling Emas
sambil menudingkan telunjuknya.
Mereka
berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin
tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya
adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid penghuni makam! Amat heran hati
Lin Lin melihat betapa Suling Emas serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi
hormat di depan makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw
yang sudah meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar
dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.
“Lin-moi,
lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi,” terdengar
Suling Emas berkata.
Akan tetapi
Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan
kata-kata.
“Lin-moi,
mau tunggu apa lagi?”
Lin Lin
tetap diam saja.
“Lin-moi,
mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”
“Ah, aku...
aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau
bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya?
Kalau beliau tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi
penasaran?”
Suling Emas
tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu
ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya
berdebar karena ia mengenal laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian
Cinjin! Celaka, pikirnya. Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu
akan bertanya dan kalau kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah
pasti kakek itu takkan membiarkan Lin Lin hidup!
“Lin-moi,
lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang
tangan gadis itu.
“Tidak, aku
tidak bisa lakukan itu... masih ada jalan lain...”
Suling Emas
hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat
sekali sudah tiba di situ dan kakek ini biar pun terheran melihat Suling Emas
dan Lin Lin berada di makam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan
ini. Malah ia segera berseru.
“Kim-siauw-eng
(Suling Emas)! Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak Hwee)?” Pertanyaan ini
yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas
tercengang.
“Bukankah
dia sudah pulang bersama Bu Sin?” Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran
karena ia sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou
Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri
pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng.
Kauw Bian
Cinjin kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita.
“Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu ke
Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan
mengapa, kelihatan di sini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan,
berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila! Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi
sampai sekarang keduanya tidak tampak bayangannya, kami menjadi khawatir
sekali.”
“Ahhh...!”
Suling Emas terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia
menyambar tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar
mereka!”
Lin Lin
tidak diberi kesempatan bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan
lega bahwa ada urusan lain yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu
Sin-ong tertunda. Ia tadi sudah bingung dan khawatir kalau-kalau Suling Emas
menjadi kecewa dan marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi,
tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum
kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis
liar ini di sini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu
bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya
lagi.
“Kim-siauw-eng,
kau mencari ke timur aku ke utara!” teriaknya. Suaranya terbawa angin dan
karena kakek ini mengerahkan khikang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai
ke telinga Suling Emas.
“Baik!”
jawab Suling Emas sambil mengerahkan khikang pula karena keduanya sudah
terpisah amat jauh, tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua
orang ini masih dapat saling menyampaikan pesan!
***************
Apakah sebenarnya
yang terjadi? Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada
di Nan-cao, dan kata Kauw Bian Cinjin berkeliaran seperti orang gila sehingga
kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan
Hek-giam-lo di dalam terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni
sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh
Suling Emas. Ada pun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan
dibawa pergi oleh Suma Boan!
Cinta memang
dapat meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah
berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan seorang
korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya seluruh orang di
dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau
gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang
berwatak buruk macam Suma Boan. Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan
pertama Sian Eng memang sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun
yang akan dikatakan orang lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah
jatuh cinta.
Demikianlah,
ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa
terharu dan girang sekali, sungguh pun ada perasaan kecewa dan khawatir di
hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan
karena ia berada dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa. Baru
beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan
totokannya.
Sian Eng
segera menegur, “Suma-koko, kenapa baru sekarang kau bebaskan aku? Kalau
tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin Koko? Ah, bagaimana nasibnya
sekarang?”
Suma Boan
merangkul pundaknya. “Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sendiri, tempat itu
adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku bisa sekaligus menolong dua
orang? Dan saking takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja
membawamu lari dan baru sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru
sekarang kita dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita
berpisah di Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat
sembunyi Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”
Dengan halus
Sian Eng melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biar pun di hutan itu sunyi tidak
ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap terlalu
mesra kepada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan! Akan
tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha
mereka mencari Lin Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan
kena tangkap Hek-giam-lo.
“Kau agaknya
sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa
dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?” tegur Sian Eng.
Suma Boan
tersenyum dan memegang tangan gadis itu. “Aku belum yakin, hanya baru menduga.
Kakakmu itu saling mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal
karena ayah tidak setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti
setuju mempunyai mantu seperti kau.” Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba
untuk merangkul lagi.
“Ihhh,
jangan begitu...!” Sian Eng melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagaimana aku
dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku
di Cin-ling-san.”
“Aku akan
pergi ke sana, akan kulamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada
urusan penting sekali. Maukah kau membantuku?”
“Lihat-lihat
urusannya!”
“Begini,
adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang
semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya muncul pada ulang
tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan
ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat persembunyian di
Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui
telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia ilmu kesaktian yang jarang
bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah mati, akan tetapi aku percaya bahwa
kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di tempat di mana ia tadinya sembunyi
sebelum ia muncul dan tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan
sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan
manusia, melainkan iblis-iblis yang luar biasa.”
Sian Eng
mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda
itu. “Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapa pun juga, dia adalah
kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.”
Suma Boan
mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng
menariknya kembali.
“Gila!” cela
gadis itu dengan muka menjadi merah. “Kau ceritakan semua itu kepadaku, dengan
maksud apakah?”
“Begini,
kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui
itu dan kuharap kau suka membantuku....”
“Ihhh!” Sian
Eng mengkirik karena merasa seram. “Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid
It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk
apa?”
“Ah, siapa
bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku yang bilang begitu, Eng-moi. Akan
tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu
lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu dari
pada segala macam bahaya, dan kelak kalau kiia mempunyai anak, aku mampu
menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar
nomor satu di dunia.”
Sian Eng
adalah seorang gadis gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan
muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat
sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan bingung.
“Bagaimana
kau bisa menemukan tempatnya? Andai kata bisa... hiiihh, mengerikan sekali!”
Gadis ini merasa takut teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin.
“Apa yang
mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana, mengingat bahwa kau adalah
adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang
Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar
kota raja. Setelah kau mendapat keterangan, kau sampaikan kepadaku dan kita
mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”
“Aku... aku
sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”
“Apa...?”
Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan Sian Eng sehingga
gadis ini tersentak berdiri dan merasa lengannya sakit.
“Auuuhhhhh...”
keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia merangkul, mencium, Siang Eng meronta,
melepaskan diri dan bersungut-sungut.
“Jangan
sekali-kali kau berani lagi berbuat seperti ini sebelum kita menjadi suami
isteri. Kalau kau berani ulangi, aku akan membencimu!” Matanya berapi-api dan
sikapnya menantang.
Suma Boan
adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah banyak pengalamannya, maka
tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kaki gadis itu. “Maaf
Eng-moi, maafkan aku yang tak kuasa mengendalikan diri saking besarnya cintaku.
Mari kita duduk dan ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”
Melihat
pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan memohon
dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng yang masih
hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang buta, melainkan orang yang
sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti kata lengah kehilangan
kewaspadaan. Pertimbangannya menjadi miring karena orang yang jatuh cinta
selalu melihat kebaikan memancar ke luar dari orang yang dicinta, tiada tampak
cacad celanya sehingga ada perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun,
kalau tahi kekasih, harum baunya!
Demikian
pula Sian Eng yang sudah tercengkeram asmara, segala gerak-gerik pemuda
bangsawan ini selalu menarik, selalu menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan
berlutut di depannya, ia lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata halus.
“Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan sekasar tadi.”
Girang hati
Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang mudah dan lunak baginya. Ia lalu
menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di bawah pohon besar, diminta
menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.
“Aku sendiri
belum melihat tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu Sin.” Ia lalu
menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu Sin ketika bersama Liu Hwee
melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui lorong rahasia dan bertemu
dengan Tok-siauw-kui.
“Bagus!”
Suma Boan berseru girang. “Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun
menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam lorong di bawah tanah?
Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika ia keluar dan tewas, ia
tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan ke luar lorong itu menurut
cerita kakakmu?”
“Dia bilang
jalan keluar itu merupakan sebuah goa kecil yang tertutup alang-alang dan tidak
tampak dari luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan para
pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko
melihat ada serumpun bambu kuning tumbuh di atas goa.”
Suma Boan
mengerutkan keningnya, memutar otaknya, “Tok-siauw-kui muncul dari dalam gedung
sembahyang, tentu lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita
bisa menyelidik ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik
tanpa dicurigai.”
Sian Eng
tidak setuju. “Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat bagi
Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi orang luar.
Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil dan berusaha mendapatkan goa
yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu.”
Suma Boan
menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda bangsawan ini
berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia sampai bisa menemukan
kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang hebat!
“Mari
kekasihku, mari kita mencari tempat itu! Aku akan berterima kasih selama
hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan tempat itu. Mari!”
Berlari-larilah
mereka menuju ke tanah pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang
cerdik sengaja mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh
orang-orang Beng-kauw. Ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biar pun di
situ ada Sian Eng, mereka tetap akan mencurigainya dan kalau sampai terjadi
bentrok dengan mereka, biar pun ia tidak takut, namun usahanya ini tentu akan
gagal. Ia sengaja memilih waktu malam untuk menyelundup masuk dan mencari hutan
itu yang akhinya dapat mereka temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara
tanah pekuburan pimpinan Bengkauw.
“Agaknya
itulah tempatnya!” akhirnya Sian Eng berseru girang ketika mereka berdiri di
depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk gunung-gunungan kecil terdapat
pohon-pohon bambu kuning yang indah.
Waktu itu
menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap alang-alang itu dan...
betapa girang hati Suma Boan ketika melihat bahwa di balik alang-alang tebal
itu betul saja terdapat sebuah goa yang setinggi dua meter lebih, gelap dan
menyeramkan seperti mulut seekor naga terbuka lebar.
Suma Boan
seorang yang cerdik dan licik. Betapa pun besar nafsunya untuk mendapatkan
kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko
terlalu besar untuk memasuki goa terowongan yang menyeramkan dan belum
diketahui benar keamanannya itu. Ia maklum bahwa goa itu merupakan tempat
keramat bagi orangorang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat
tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.
“Eng-moi,
kekasihku, kau tentu suka membantu aku, bukan? Sebetulnya memang aku yang
seharusnya memasuki goa ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu
sendiri, kalau ada yang melihatku, tentu terjadi pertempuran matimatian dan
tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup. Oleh karena itu, demi cinta
kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat sukalah kiranya kau yang mencari ke
dalam dan aku menjaga di luar. Andai kata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa
saja kau menggunakan alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan
dalih bahwa kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau
ingin sekali menyaksikan sendiri, maka kau memasukinya.”
Dengan
bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang masuk akal, terutama dengan
janji bahwa setelah mereka menemukan kitab itu, Suma Boan akan membawa Sian Eng
pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk memibicarakan urusan
perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat membantah lagi.
“Baiklah,
Suma-koko, akan tetapi apa pun yang akan terjadi dengan diriku di dalam
terowongan ini, kau jangan meninggalkan tempat ini, dan andai kata aku berhasil
kelak mendapatkan kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk
mempelajari ilmunya.”
Suma Boan
merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum lebar. “Tentu saja, manisku, masa
kau tidak percaya kepadaku?”
Girang hati
Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan memasuki goa itu
dengan hati-hati sekali. Setelah melihat gadis itu menghilang di dalam
kegelapan goa itu Suma Boan lalu menutup dan merapikan kembali rumpun
alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak akan tampak dari luar dan dia
sendiri duduk menanti di mulut goa dengan hati berdebar-debar.
Sian Eng
terus melangkah ke depan dengan hati-hati sekali karena di dalam terowongan goa
itu amat gelap. Kakinya melangkah dengan pasangan kuda-kuda untuk menjaga
segala kemungkinan, pedangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa
lantai yang diinjaknya kering dan tidak licin, juga rata seakan-akan diratakan
oleh manusia. Ia maju terus menyusuri terowongan yang agaknya tidak ada ujungnya
itu.
Beberapa
kali terowongan itu berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan
di depannya mulai terang. Tak lama kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan
sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat dinding batu karang yang agak basah.
Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter.
Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat
meter persegi yang cuacanya terang sekali.
Berbeda
dengan terowongan tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat
dalam dan cahaya matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang
dalamnya lebih dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan
celah-celah di antara batu-batu besar inilah yang diterobosi sinar matahari
sehingga tidak hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian
lorong juga mendapatkan cahaya.
Tiba-tiba
terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan hitam kecil menyambar dari depan
ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget sekali, mengira bahwa bayangan itu
adalah senjata rahasia karena anginnya halus dan cepat. Ia miringkan tubuhnya
dan melompat ke tengah ruangan. Akan tetapi segera ternyata olehnya bahwa
sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena benda itu ternyata adalah seekor
kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika melalui ruangan terang itu dan
hampir menabrak kepalanya. Betapa pun juga, karena tubuhnya sudah meloncat,
Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dan dapat
memandang keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun
ke atas lantai.
Akan tetapi
begitu kedua kakinya menginjak lantai tepat di tengah-tengah ruangan itu,
terdengar suara hiruk-pikuk di depan dan belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan
cepat ia memandang. Kiranya pada saat itu, jalan terowongan di depan dan
belakang, mulai tertutup oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam
dinding!
“Celaka...!”
Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menerobos keluar
kembali dari ruangan itu.
Akan tetapi
terlambat. Batu itu sudah hampir menutup seluruh jalan terowongan. Gadis ini
segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu,
mengerahkan sinkang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar ia dapat
menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika mendapat kenyataan bahwa
batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia menahan sehingga batu itu terus
bergerak sampai terowongan itu tertutup seluruhnya.
Sian Eng
membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah seberang, juga dengan maksud menahan
batu yang di sebelah sana masih belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan
tetapi kembali ia terlambat dan tidak kuasa mendorong kembali batu penutup yang
dapat bergerak secara aneh itu.
Sian Eng
kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia telah terkurung kini. Kanan kirinya
hanya dinding kasar batu karang yang agak basah, bawahnya lantai batu karang
pula, di depan dan belakang kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan
demikian beratnya sehingga ia tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh
meter tingginya, tertutup batu-batu besar pula dan hanya celah-celahnya yang
cukup lebar saja dapat diterobos sinar matahari.
Sian Eng
bukan seorang gadis penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga.
Kembali ia mendekati batubatu yang menutup lorong itu, bergantian ia memeriksa
dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit sehingga terdapat
lubang untuk diterobosnya. Memang betul di antara dua batu penutup dan dinding
karang terdapat celah-celah yang cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah
lengannya, karena di antara dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang
tidak rata, akan tetapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena
terlampau kecil.
Sian Eng
cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada celahnya dengan maksud
berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi pedangnya membalik dan tidak ada
sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya! Ketika ia memeriksa, ternyata
batu hitam itu luar biasa kerasnya, seperti baja! Setengah hari lebih Sian Eng
berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah
dan menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan yang mulai gelap, telapak
tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya menjadi rusak-rusak ujungnya.
Sian Eng
menangis! Kemudian ia berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma
Boan yang ia tahu menanti di luar goa.
“Suma-koko!
Suma-koko...! Ke sinilah dan tolong aku...!”
Ia
menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari
sudah lenyap dari angkasa, dan ia berhenti setelah suaranya menjadi serak dan
habis. Dengan lelah dan lemah lahir batin, Sian Eng kini duduk bersandar
dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan memperhatikan sekeliling yang
kini menjadi gelap sekali itu.
Setelah
dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar
berseliweran di dalam ruangan itu. Mulamula ia merasa heran, dari mana
datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara
batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubang yang cukup lebar untuk
diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia
menjadi seekor kelelawar!
Semalam
suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian
Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi
gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar
yang makin memenuhi ruangan itu dan menyambarnya dari segenap penjuru, juga
tersiksa oleh rasa seram dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan
jalan ke luar sama sekali. Andai kata Suma Boan datang pula menyusulnya,
bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari kurungan batubatu yang kokoh
kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.
Akhirnya,
menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba
sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.
“Aku harus
hidup! Aku harus hidup!” terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit,
kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk
menangkap kelelawar itu, namun sia-sia.
Binatang
kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang
ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera
rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan
Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa
tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.
“Kurang
ajar!” bentaknya.
Cepat ia
mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah
terbang pergi lagi. Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan
tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas
dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari
segala jurusan.
Sian Eng
menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar ke sana-sini, mencengkeram ke
sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar, akan tetapi
gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki.
Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini
terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika
ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya,
menghisap darahnya!
Suma Boan
yang menunggu di luar goa tanpa mengetahui keadaan gadis itu menjadi amat
gelisah. Sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul ke
luar! Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut goa, di belakang rumpun alang-alang
karena ia khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di
waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapa
pun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.
Akan tetapi
setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan
habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan
keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama
sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka
karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah
penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan
kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah
gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia
pikirkan.
Karena
khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari
ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki
goa itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju
dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang
membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian
Eng memasuki lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau
sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan
hanya remang-remang saja.
Betapa kaget
dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup
lorong. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun
sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau
celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai
batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur
itu.
“Eng-moi!”
Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar
menggereng seperti suara dari alam lain.
“Sian Eng!
Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.
Ah, tentu
Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak
mampu mendorong batu ini, apa lagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri
gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain.
Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah ini, pikirnya. Suma Boan lalu
memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu.
Ia kembali
dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu
mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan
simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di
situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena
lebarnya hanya setengah meter saja.
Lorong kecil
ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil
memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah
ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan seram. Lorong itu
diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa
ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi
ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seramnya.
Ruangan itu
lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri
sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak
berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua
memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok,
sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang
tombak!
Suma Boan
bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di
antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan dari pada
empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan
dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula,
melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah
disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah
hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.
Tetapi
alangkah kagetnya ketika ia sampai di tengah ruangan. Tiba-tiba terdengar suara
berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari
empat penjuru! Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia
memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah. Jangankan hanya empat buah
rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak menyerangnya,
sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang
mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang
menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata dan tulang-tulang
lengan mereka.
Terkejutlah
Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh
sekali. Senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar,
ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke
mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat
yang amat tinggi dan aneh! Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil
menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat
mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya!
Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan
lagi ia terguling roboh di atas lantai!
Kiranya
empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara
otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu
di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan
muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang
langsung merayap menghampiri Suma Boan.
Sebagai
seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma
Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang
gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan
pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan
menggerakkan rangkarangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan
satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak
perlahan-lahan.
Akan tetapi
kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan
menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang
cepat. Kalau ia menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya
belum tentu terjamin. Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi
lalu menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya.
Karena
pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri
ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke
tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk
memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan
kesempatan ini untuk merangkak pergi, dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia
menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.
Baru
sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya.
Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya
setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia
berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian Eng.
Mulai gelisah
hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan
besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini
pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat
berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah
tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat
melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan
mayat seseorang apa lagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa
berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.
Dengan tubuh
sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu.
Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di
tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sinkang-nya. Sebagai murid
orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai
mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan
pandang matanya kabur.
Hatinya lega
ketika ia melihat sinar terang dari luar goa. Ia telah tiba di mulut goa dan
tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan goa itu.
“Moi-moi...!
Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga...!” teriaknya girang sambil mengerahkan
seluruh tenaganya untuk mengejar ke luar. Pandang matanya agak berkunang dan
kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar
alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?
“Kekasihku...!”
“Tutup
mulutmu yang kotor!” tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras
menyambar muka Suma Boan. Biar pun kepalanya pening, namun Suma Boan belum
kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram
lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.
“Moi-moi...
kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?”
bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.
Dengan
teriakan tertahan gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di
tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam goa oleh Suma Boan
tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan
waktu itu telah mulai gelap! Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia
menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan... padamlah obor itu.
Keadaan sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca
remang-remang.
Tampak
bayangan lain berkelebat datang, “Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar
bayangan yang datang ini bertanya.
“Susiok
(Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar dari goa rahasia!
Mari tangkap! Dia kelihatan seperti gila!” jawab Liu Hwee, gadis itu.
Sementara
itu, ketika Suma Boan mendengar percakapan pendek ini, sadarlah ia bahwa ia
telah keliru sangka. Gadis itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang
dikiranya, melainkan Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang
adalah Kauw Bian Cinjin, orang kedua dari Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia
lalu lari tunggang langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga
melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar di malam buta.
Kauw Bian
Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia kembali lagi. Ia pikir
bahwa seorang lawan macam Suma Boan cukup ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir
kalau-kalau kedatangan Suma Boan itu hanya pancingan belaka agar ia ikut pula
mengejar, sedangkan siapa tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang
akan datang beraksi! Karena itu Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan
pengejarannya, melainkan melakukan perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw
yang berada di atas lorong-lorong rahasia.
Demikian,
seperti kita ketahui di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cinjin bertemu
dengan Suling Emas dan Lin Lin yang berada di depan kuburan mendiang Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas untuk
mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali. Suling Emas mengejar ke
timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara.
***************
SULING EMAS
dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat. Tanpa disadari sendiri oleh gadis
itu, kini ia dapat mengimbangi kecepatan Suling Emas, kemajuan yang luar biasa
semenjak ia mempelajari ilmu peninggalan Pat-jiu Sinong, terutama sekali
petunjuk-petunjuk cara bersemedhi dan mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari
hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat menduganya karena dahulu gerakan Lin Lin
tidaklah sehebat ini. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir.
Ilmu ciptaan
Patjiu Sin-ong ini hebat sekali, baru satu jurus Soan-hong-ci-tian (Angin
Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan Lin Lin ketika ia mencobanya
itu saja sudah luar biasa sekali saktinya. Kalau sudah terlatih matang, agaknya
gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di dunia persilatan. Ia hanya
khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu pada diri seorang gadis seperti Lin
Lin akan menimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa sesungguhnya kepandaian
sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri manusia, menimbulkan
dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung dari pada si
manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang amat aneh,
sukar sekali dimengerti.
Sampai
sepekan mereka mengejar, belum juga mereka mendapatkan jejak Suma Boan mau pun
Liu Hwee. Pada hari ke tujuh mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan
Wu-yue dan berhentilah Suling Emas.
“Tiada
guna,” katanya ketika mereka mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah
pohon dalam hutan. “Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur
mereka menuju. Pula Kauw Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan
dapat menyusul dan menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andai kata tidak dapat
menyusulnya, Suma Boan akan bisa berbuat apakah? Kepandaiannya tidak ada
artinya kalau dibandingkan dengan kesombongannya.”
“Apakah
kepandaian Liu Hwee itu hebat?” Lin Lin bertanya sambil memandang wajah tampan
di sebelah kanannya. Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya karena ia
menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara Suling Emas dan Liu Hwee.
“Puteri
tunggal ketua Beng-kauw tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu
tinggi, juga pandangannya luas dan ia selalu hati-hati dan waspada,” Suling
Emas memuji-muji sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seketika
bibir Lin Lin cemberut. “Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa
yang lebih lihai antara dia dan aku!”
Suling Emas
yang tadinya duduk seperti melamun menjadi kaget, dan cepat menoleh memandang
wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut dan mata gadis itu jelas
membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada Lin Lin. Suling Emas
tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia menarik napas panjang. Melihat
wajah yang begitu mirip dengan wajah kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja
pertahanan hatinya bobol.
Bagaimana ia
tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya begini mirip Suma Ceng, yang wataknya
begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali akan mendatangkan cahaya
bahagia di ruang dadanya yang gelap muram? Bagaimana takkan terobati luka-luka
di hatinya, luka yang diakibatkan kegagalan cinta kasih, apa bila ia menerima
uluran hati gadis ini? Namun tidak! Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin
Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini mencintanya, semenjak... semenjak peristiwa
di dalam gelap di malam hari dalam kamar perpustakaan istana dulu!
Semenjak ia
memeluk dan mencium gadis itu tanpa disengaja karena mengira Lin Lin adalah
Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih
itu betapa pun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini
sungguh pun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang.
Kedua, gadis ini masih amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin
baru delapan belas tahun, sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak,
ia harus tahu diri!
“He, mengapa
kau diam saja? Bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling
Emas yang menjadi kaget dan sadar dari lamunannya.
“Apa?
Pendapat apa?” tanyanya tersenyum.
“Aku bilang
tadi, ingin aku menandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya!”
“Hemmm,
ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu untuk mencari
perkara dengan puteri Bengkauwcu (ketua Beng-kauw).”
“Siapa
bilang tidak ada?” Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar.
“Banyak sekali alasannya!”
“Hemmm,
apakah kesalahannya? Apa alasannya?” Suling Emas membantah, mengerutkan kening.
“Banyak,
terutama sekali karena aku tidak mau kalah olehnya!”
Suling Emas
melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak makan asam garam dunia kang-ouw,
sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh seperti iblis-iblis Thian-te
Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum banyak pengalamannya dengan wanita,
karena semenjak hatinya terluka oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai dari
padanya dan menikah dengan orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi
Suling Emas untuk mendekati wanita. Karena itu ia sama sekali tidak mengenal
watak-watak wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi
melihat pandang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang
mengandung sinar kemesraan seperti kalau sepasang mata Suma Ceng memandangnya,
Suling Emas segera menundukkan muka.
“Sudahlah,”
katanya kemudian setelah menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang
berdebar tidak karuan. “Mari kita bicarakan urusan lain yang lebih penting.
Lin-moi, kurasa di sini kita harus berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi
murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau
tidak boleh mempergunakan jurus-jurus ilmu yang kau dapatkan dari dalam tongkat
Beng-kauw, karena kalau hal itu diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan
dimusuhi, dianggap sebagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.”
Akan tetapi
Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat terakhir.
Matanya terbelalak dan wajahnya berubah, karena kata-kata ‘berpisah’ itulah
yang menggores hatinya.
“Berpisah?”
ia tergagap. “Kenapa...?”
Suling Emas
tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa
Lin Lin tidak ingin berpisah dari padanya. Sama dengan Suma Ceng. Hanya
bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah dan menerima keadaan, sebaliknya gadis
ini bersikap keras, agaknya takkan mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang
menghendaki.
“Tentu saja
kita harus berpisah, karena jalan kita memang tidak sama. Kau kembalilah ke
Cin-ling-san menyusul kakakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri mencari Sian Eng.
Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh menyusul ke Cin-ling-san.”
“Aku ikut!
Aku juga hendak mencari Enci Sian Eng sampai dapat. Kita mencari bersama,
bukankah lebih baik? Aku tidak akan menyusahkanmu, biar... biarlah aku mencari
makan minumku sendiri!”
Mau tak mau
Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan
jalan pikiran seperti kanak-kanak.
“Bukan
begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus kuhadapi. Bahkan pertandingan
puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san sudah dekat waktunya, aku pun
harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat sendiri bahwa banyak orang
kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku terancam bahaya....”
“Aku tidak
takut! Kalau mereka mengganggumu, aku akan hajar mereka! Apa kau kira aku ini
seorang manusia yang tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san!”
“Wah, kau
mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?”
“Aku tidak
takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan.”
“Hemmm, baru
saja kupesan supaya kau tidak menggunakan ilmu peninggalan....”
“Kan mereka
bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong?
Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka dengan ilmu ini, bukankah berarti aku
mengangkat nama Beng-kauw dan terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu
Sin-ong tentu akan tertawa melihat betapa ilmunya di tangan seorang gadis
seperti aku dapat mengalahkan iblis-iblis jahat!”
Suling Emas
merasa kalah berdebat. “Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak
bisa, kita harus berpisah. Atau... kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar
sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat menemukan
Sian Eng, baru kau dan enci-mu pulang bersama.”
“Tidak!
Sekali lagi ti....”
Tiba-tiba
tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan
telapak tangannya. Lin Lin memandang dengan mata terbelalak kaget dan heran,
akan tetapi baru ia mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan
mulut dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara.
Kini baru
Lin Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat cepat
sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang itu, hanya
jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya ramping. Akan
tetapi mukanya tidak tampak karena ketika lari menghadapkan muka ke sebelah
sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan larinya, seakan-akan kedua kakinya
tidak menginjak tanah.
“Seperti
Enci Sian Eng...,” bisik Lin Lin terheran-heran.
Memang
bentuk tubuh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan pakaian
seorang ahli silat yang serba ringkas, melainkan pakaian seorang wanita dusun
atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambutnya panjang terurai. Sungguh
pun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, namun terurai sampai ke lutut
belakang.
“Bukan, mari
kita ikuti dia, mencurigakan sekali...!” kata Suling Emas yang sudah melompat
dan mengejar.
Lin Lin
terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan ginkang dan
berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali ini ia
tertinggal karena kini Suling Emas betul-betul berlari cepat. Baru ia tahu
bahwa kepandaiannya dalam berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh
pendekar yang dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum
matang dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun
sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu itu.
Tiba-tiba
Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu
sudah datang dekat, ia berkata. “Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kau
pegang tanganku!”
Tak usah
menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar tangan kiri Suling Emas. Kalau
boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk selamanya! Akan tetapi tak sempat
ia bermimpi muluk karena segera tubuhnya tersentak keras ke depan dan di lain
saat ia terpaksa harus mengerahkan ginkang-nya lagi karena Suling Emas sudah
membawanya lari seperti terbang cepatnya!
Namun,
bayangan wanita di depan itu tetap tak dapat tersusul. Hal ini saja membuktikan
betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu betul-betul sudah mencapai tingkat
yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali dan ia pun ingin segera melihat siapa
sebenarnya wanita itu.
Wanita di
depan itu lari menuju ke timur. Setelah tiba di daerah pegunungan yang tandus
dan sunyi, mulailah ia mengurangi kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan
kaki. Suling Emas mengajak Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.
“Kenapa
tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,”
bisik Lin Lin.
“Sssttt, apa
perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya bukan main, tentu dia seorang sakti.
Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal
orang itu, akan tetapi lupa lagi...,” kata Suling Emas.
Akan tetapi
wanita itu benar-benar kuat sekali. Tak pernah ia berhenti berjalan sampai
senja berganti malam! Lin Lin sudah merasa lelah sekali.
“Aku... aku
tidak kuat lagi berjalan...” ia mengeluh. “Kakiku serasa hendak copot sambungan
tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat
lagi...” Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan diri duduk di atas tanah.
“Mari
kupondong!” Suling Emas yang betul-betul tertarik oleh wanita di depan itu yang
luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa ragu-ragu membungkuk dan memondong tubuh
Lin Lin.
Gadis ini
segera merangkul lehernya dan merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati
penuh bahagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan melanjutkan
perjalanan mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin,
gadis aneh yang kadang-kadang menyebut ‘kanda’, ada kalanya menyebut ‘Suling
Emas’ begitu saja kepadanya. Gadis yang bukan sedarah daging dengannya, lain
ayah ibu, gadis berdarah bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.
Malam itu
bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan wanita
yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut bahagia dan
mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana menjadi romantis sekali. Tidak
salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa sinar bulan purnama mendorong dan
merangsang hati muda ke arah kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara.
Lin Lin
masih merangkul leher Suling Emas, kepalanya rebah miring di atas pundak
pendekar itu dan matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu
penuh cinta kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah banyak
berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini.
Dirasanya baru sebentar ia dipondong!
“Koko...,”
bisiknya di dekat telinga Suling Emas.
“Hemmm...?”
Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya tertuju ke depan. Wanita
itu mendaki sebuah bukit kecil di mana terdapat tanah kuburan yang penuh dengan
gundukan-gundukan tanah dan batu nisan!
“... ingin
sekali aku selamanya berada di dalam pondonganmu...”
“Huh, kau
bukan bayi! Sudah terlalu lama kau kupondong. Turun!” Suling Emas menurunkan
Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna kemerahan sehingga menyembunyikan muka
pendekar ini yang menjadi merah sekali.
“Koko....”
“Hushhhhh...
lihat itu....” Suling Emas menuding ke depan.
Teringatlah
Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di dalam pondongan
Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa segala, yang
teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada mereka berdua, ada
urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada lagi! Sekarang ia teringat
dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin ketika mendapat kenyataan bahwa
mereka telah berada di daerah kuburan, bahkan Suling Emas dan dia sudah
mengintai dari balik sebuah batu nisan, di bawah sebatang pohon kecil.
Dengan
lenggang yang menunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan
bagus sekali, wanita itu berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan
diri berlutut memeluk batu nisan sambil menangis tersedu-sedu!
“Ayah...,
Ayah yang baik... ampunilah anakmu...,” ratap tangis wanita itu.
Sejenak Lin
Lin tercengang, kemudian tak terasa lagi air matanya jatuh berderai di atas
kedua pipinya. Teringatlah ia akan dirinya sendiri yang sudah yatim piatu,
tiada ayah bunda lagi, bahkan dibandingkan dengan wanita di sana itu, dia lebih
sengsara. Setidaknya wanita itu dapat menangisi kuburan ayahnya, sedangkan dia,
di mana kuburan ayah bundanya saja tidak tahu!
Timbul rasa
simpati dan kasihan kepada wanita yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa
senasib dan ia ingin mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan
kakinya dan Lin Lin sudah bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi
tiba-tiba Suling Emas memegang lengannya dan menahannya. Pendekar ini memberi
isyarat dengan telunjuk di depan mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka sedang
mengintai, maka ia membatalkan niatnya dan menghapus air mata dari pipi, lalu
mengintai dan mendengarkan.
“Ayah... ampunkan
aku, Ayah. Anakmu telah gagal membalaskan dendam untukmu... dia terlalu sakti,
bukan lawanku. Banyak tokoh kang-ouw bersamaku mengeroyoknya, tapi tanpa hasil.
Ayah... tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hatimu, tak mungkin aku dapat
mengalahkan dia, pula... ampunkan aku, Ayah... anakmu ini... yang hina dina...
tidak akan tega membunuhnya. Mungkin dapat aku memperdalam ilmu untuk
mengalahkannya, akan tetapi... aku... aku cinta padanya. Aku mencinta Suling
Emas putera musuh besarmu...,” kembali gadis itu tersedu menangis, kemudian
tiba-tiba bangkit berdiri mengembangkan kedua lengannya berdongak memandang
bulan purnama dan bersumpah.
“Ayah,
semoga rohmu mendengarkan sumpahku, disaksikan oleh Dewa Bulan! Biar pun aku
tidak akan dapat membunuh Suling Emas, namun aku bersumpah untuk membunuh semua
isterinya kalau dia beristeri, dan semua anaknya kalau dia mempunyai anak!”
Sampai pucat
wajah Suling Emas ketika ia mengenal suara dan wanita ini yang bukan lain
adalah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian, puteri tunggal almarhum Hui-kiam-eng Tan Hui
yang tewas di tangan ibunya! Bukan main hebatnya sumpah ini sehingga biar pun
hati Suling Emas sekuat baja, namun ia menjadi pucat dan gemetar juga karena
maklum bahwa malapetaka akan menimpa keturunannya.
Sementara
itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali mendengar ini, akan tetapi timbul
kemarahannya mendengar pengakuan wanita itu yang mencinta Suling Emas dan
bersumpah untuk membunuh anak dan isteri kekasihnya ini, membuat ia tak kuat
menahan lagi. Dengan seruan yang merupakan lengking tinggi, hasil yang tak
disadarinya dari pada ilmunya yang baru, ia telah melompat ke depan dan selagi
wanita itu membalikkan tubuh dengan kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis
sudah melancarkan serangan berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan
tangannya yang kecil halus saling bertumbukan, namun tepat menghantam tubuh
wanita itu secara berbareng.
Wanita itu
menjerit dan terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi
pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak
mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apa lagi kalau diingat betapa wanita
ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.
“Lin-moi,
jangan...!” Suling Emas berseru namun terlambat.
Andai kata
Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar
sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu sudah
membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata meram
dan muka pucat, mulut mengalirkan darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia
mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat dari pada
pukulan Lin Lin, karena setelah memeriksa ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian
parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi.
Pukulan itu
telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya
sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pukulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang
disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas
maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang hebat dan satu-satunya
jalan untuk menolong Tan Lian hanya membawanya secepat mungkin kepada tabib
yang sakti, karena tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu menolongnya.
“Bocah
lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?”
Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya
lari berkelebat lenyap dari tempat itu.
“Koko...
tunggu...!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Suling Emas
tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi.
Lin Lin
memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di
pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.
“Dia marah
kepadaku...,” pikirnya. “Mengapa marah? Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus
mencarinya, dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san,
aku pun akan ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati
Lin Lin dan menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat
itu.
Perjalanan
ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada
masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan
penuh keberanian. Apa lagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan
seorang yang lihai, seperti wanita di kuburan itu, timbul kepercayaan besar
pada dirinya sendiri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapa pun juga
karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti.
Pikiran ini
pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang
hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka
Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga
sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri dari pada
tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas
Jurus Sakti).
Berpekan-pekan
Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para
penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia
di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan
megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di
puncak itu? Bagaimana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi
Suling Emas itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas?
Hatinya
tidak enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu
ternyata masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia
teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa
lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas
yang marah-marah kepadanya dan memakinya sebagai bocah lancang. Dia lancang? Memukul
seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah
itu?
“Ah, Suling
Emas, aku cinta kepadamu... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak
kukenal.” Ia menghela napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya
dengan sapu tangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak
rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di
atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.
Tiba-tiba
perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian
itu, maka penunggang kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan
melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh
tegap, memakai caping lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik
pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak
bergoyang-goyang biar pun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang
kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat
melihat muka yang tertutup caping itu.
Kuda makin
mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....
“Liong-twako...!”
Lin Lin berseru sambil melompat bangun.
“Lin-moi...!”
Penunggang
kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas punggung kudanya, lari menghampiri
Lin Lin dan serta merta memeluknya dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya.
Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu.
Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda
ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada
dada Bok Liong.
“Lin-moi...
ah, Lin-moi... alangkah bahagia hatiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada
Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas dari pada tangan Hek-giam-lo dan
orang-orang Khitan yang jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika
Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa
pipi pemuda itu basah oleh air mata!
Dengan
gerakan halus Lin Lin melepaskan diri dari pelukan itu. Ia tidak marah, tidak
merasa terhina, bahkan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar
amat gembira dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas
kesopanan.
“Twako,
tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekali melihat kau
selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira kau tentu tewas oleh
kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.”
Lin Lin
menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat
demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang
melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi,
tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak makhluk lain kecuali kuda Bok Liong
yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa
kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.
Bok Liong
tertawa, menghapus air matanya. “Ah, maafkan aku, saking girangku sampai tak
tahan mengeluarkan air mata seperti bocah cengeng,” katanya.
“Bukan
begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk
menolongku tanpa menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika
melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi, bagaimana kau
dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhu-mu yang lucu itu.”
“Betul,
Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku
diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang
sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak
menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana
kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”
“Aku
ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan
pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di
dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.
“Tapi
mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba
tangan Lin Lin terus digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te
Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan
Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu
kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara
mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang yang sudah
bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”
Lin Lin
tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi
runcingnya pedang.
“Twako,
justru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai
sekali!”
Bok Liong
melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya. “Nonton?
Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah
tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara
begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang,
apa lagi dalam marah atau duka. Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk
mereka jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan agaknya mereka berlomba
untuk dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te
Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia!
Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok
Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.
Lin Lin
kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi
mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab,
“Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau
bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali
dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa
sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andai
kata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke manakah?”
“Ah,
Lin-moi, sudah kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo,
mengira bahwa kau tentu celaka di tangan iblis itu. Oleh karena inilah setelah
aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan
janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo
di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa
mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan
tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi
setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini
terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin
penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu
dengan mesra.
“Hemmm, kau
selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu
sendiri, Twako. Andai kata aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak
untuk nonton pertandingan hebat, lalu kau hendak mengajakku ke mana?”
Tiba-tiba
Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam
dan suaranya gemetar, “Lin Lin, Moi-moi... aku... aku akan mengajakmu ke
Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku... aku akan meminangmu untuk menjadi
isteriku....”
Bukan main
kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pemuda ini mencintanya,
akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi
gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia
menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.
“Tidak...
tidak... Liong-twako, aku... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak
yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara... tapi aku tidak...
tidak....”
Bok Liong
yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan,
“Lin Lin, dewi pujaan hatiku... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini
kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang pertama, aku rela
mati untukmu... sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan
sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan membahagiakan hidupmu
selamanya Moi-moi....”
Air mata
bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa
andai kata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin
dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan
matanya, membayang di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan
pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu
bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa
yang berhati emas, satria sejati. Namun hatinya telah terampas oleh Suling Emas
dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.
“Tidak,
Liong-twako...!”
Setelah
berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas dari pelukan Bok Liong
dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang
mendaki gunung Thai-san!
Sejenak Lie
Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti
bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik
pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir
kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa
hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah
menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena
malu, mungkin karena kaget dan gelisah. Hal ini memang mungkin sekali, sebagai
seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang
muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar.
Akan tetapi
hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia
tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia
harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin
dari pada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada
hari-hari pertandingan para iblis di puncak Thai-san, gurunya itu akan datang
untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki
kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton
pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya menjadi besar dan dengan tabah Lie Bok
Liong terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu.
Baru
sekarang teringat olehnya betapa cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin
ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian
gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah
malah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung
sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus
bergerak dengan hati-hati dan lambat!
Ketika Lie
Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di
punggung gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa.
Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang, mengapa tahu-tahu
ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke
mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya.
Bulu tengkuk
pemuda ini berdiri. Biar pun ia tidak percaya akan setan yang dapat muncul di
siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih
untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu
bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang
iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri!
Kini kakek
ini muncul dari balik sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk dari pada dulu.
Punggungnya makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh
lumpur dan debu. Mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya
yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air
lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya
memegang sebatang tongkat butut.
“Heh-heh-ho-hah!
Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa
kebisaanmu?”
Di dalam hatinya
Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan
seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera
menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan. “Kai-ong (Raja Pengemis)
yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah)
berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”
“Hua-hah-hah,
kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”
“Mana
mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi
saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”
“Heh-heh,
tak perlu kau perkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba
tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah
maut di dada kiri Bok Liong dengan totokannya!
“Aaaiiihhhhh!”
Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi,
jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak
otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak dari totokan ini.
Melihat
gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan
Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya. “Heh-heh, kau murid si
tukang gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”
“Maaf,
Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak berkenan muncul
atas kehendak sendiri,” jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya.
Ia tidak
tahu apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong
dan menyombong bahwa gurunya akan melindunginya. Akan tetapi jawaban itu
membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong
akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek
berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!
Akan tetapi
It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar digertak. “Heh-heh-heh,
kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak
membekuk mampus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang
biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa orang she Gan
si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan
tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus
mampus!”
Kaget sekali
Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok
Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak
membunuhku?” Biar pun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, namun suara
pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut dan tidak gemetar.
“Huah-ha-ha!
Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya,
besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan
dan menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”
Dua gumpal
ludah menyambar bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong.
Pemuda ini sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil
mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah
itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas masuk ke dalam
batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh,
Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali
kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun
setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan kekuatan yang cukup untuk
mematikan lawan.
Bok Liong
memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung
bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu. Akan
tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar
seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah
kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap
kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga
sinkang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah,
menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong
sibuk sekali dan ia mengerahkan sinkang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya
dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau
terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari samping
sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke samping.
“Biar sampai
habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini,” pikir Bok Liong dan
menangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapa pun juga, hanya diserang oleh
ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak
mampu balas menyerang!
Namun
kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya membuat
It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya
serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau
boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba
tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong
sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang ke arah
dirinya.
Pemuda ini
terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu
sambil bergerak mundur dengan loncatanloncatan lincah. Namun akhirnya ia
terpaksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan
menganga lebar, siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh,
kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh, dan
tongkat bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapa pun
dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga
saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid
terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan
akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi
desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan
pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh
tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri,
malah kini ia balas menyerang dengan nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan
mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.
It-gan
Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapa pun juga, balasan serangan pemuda
yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau
mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat
sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya
seakan-akan serasa patah.
Namun dengan
gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyambar seperti kilat ke
depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi
bahwa dalam serangan nekat ini, ia membiarkan dirinya ‘terbuka’ dan tidak
terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah
menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang
ditusukkan dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi
tiba-tiba pedang itu terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat
butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali
pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu
ternyata membuat dia celaka karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti
menempel dan ‘menyedot’ sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.
Dalam
kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa
tenaga yang ada. Tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan
kedudukan kakinya berubah, melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang
kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi karena
memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan
Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya
mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.
“Heh-heh-heh,
mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhkan
pukulan maut.
Melihat ini,
Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke
belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia terlepas dari pada pukulan
tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang
yang menganga lebar!
Pada saat
itu sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang
kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.
“He,
pengemis iblis picak! Kau apakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh,
tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?”
Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.
Berubah
wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar
bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah
kemarahannya. “Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau,
beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu,
tua sama tua!”
“Wah, tutup
mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina muridku. Sekarang aku
menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”
“Tak perlu
banyak bicara, It-gan Kai-ong. Kau telah membunuh muridku, kau harus dapat
membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah,
siapa takut kepadamu?”
Kedua orang
kakek ini memasang kuda-kuda. Keduanya tidak main-main lagi, maklum bahwa lawan
yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh. It-gan Kai-ong
melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya
dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan
ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan
tajamnya. Ada pun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu
senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang
hitam di tangan kanan sedangkan, yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri
dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan
bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada lima
menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan.
Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan
masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh
aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat bututnya. Tongkat ini
mengandung tenaga dahsyat dan angin pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun
pohon di sekitar tempat itu.
“Wesssss!”
tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek.
Pelukis
sakti ini mengerjakan senjatanya, melakukan dua kali totokan maut selagi
serangan lawan lewat. Akan tetapi dengan gerakan tubuh yang tepat raja pengemis
itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka sekarang
bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan
seluruh urat syaraf di tubuh menegang.
Bagi orang
yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan
penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa
dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang
kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan
Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih
lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan
sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah
‘lubang’ dan hal ini berbahaya.
Inilah
sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan
untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah
menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap
takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya
bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar
putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh
It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.
Biar pun
sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah,
It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi
gulungan sinar melingkarlingkar dan seperti seekor ular yang melindungi
seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babatan ke
bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek.
Tubuh kakek
ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba
mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya.
Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher,
ketika lawan menangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah
pusar! Hebat bukan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong
harus menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan Empek
Gan gesit dan aneh, apa lagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol
ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan
Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya
sudah amat tinggi dan betapa pun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat
mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja.
Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga setelah saling serang
dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, belum juga ada
yang tampak terdesak.
Memang harus
diakui bahwa pihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya
yang lihai selalu gagal! Di lain pihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran
sekali. Ia telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah
mengerahkan sinkang-nya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek
pelukis itu, apa lagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan
tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka
Empek Gan.
“Heh, jembel
busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan... air itu menyambar balik,
kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi
It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan ‘ilmu’ meludah ini yang ia
tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi
meludah hanya untuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring,
suaranya melengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama
sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin
puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa...!”
Gan-lopek berseru terkejut.
Baru kali
ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia memaksa diri untuk
menangkis dan mengerahkan lweekang-nya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh
daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga
tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang
telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek
Siansu, yaitu kitab yang separuh terampas olehnya sedangkan separuhnya lagi
terampas oleh Hek-giam-lo.
Tadinya
It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak
Thai-san dan berhadapan dengan anggota-anggota Thian-te Liok-koai yang lain,
hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi
karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking
mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!
Sayang bagi
It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain
berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut,
tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah ‘tertawan’ oleh daya serangannya,
sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan
ilmunya dan merobohkan lawan. Betapa pun juga, dalam keadaan berpusing seperti
itu banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek. Dengan terkekeh-kekeh
beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut
kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!
“Trakkkkk...!”
tiba-tiba segulung sinar kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong
yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek, jangan
takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kau coret-coret mukanya dengan
tinta hitam putih!”
It-gan
Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser.
Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya
benar-benar luar biasa sekali. Ia terbelalak heran dan matanya yang tinggal
satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang
menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain
adalah Lin Lin.
Lebih-lebih
kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya, Pedang Besi
Kuning menerjang dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya
ia memandang rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu yang tidak
seberapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu
kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan
gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu
ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan
serangan yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk!
Baiknya
It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya
ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan... air ludahnya
muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata
sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya
menangkis pedang yang datang agak terlambat karena tangkisan air ludah tadi.
“Wah, kotor!
Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka...!” Lin Lin
melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk
menghapus air ludah yang menempel di situ!
Ada pun
It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikan gerakan pedang Lin Lin,
maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, akan
tetapi sebagai seorang manusia iblis tentu saja ia tidak segan-segan
menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya berada di
pihak lemah, selagi Lin Lin ribut membersihkan pedang, ia cepat menggunakan
kesempatan untuk melesat pergi sambil berseru.
“Gan-lopek,
kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita
lanjutkan!”
“Dia curang,
dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek
dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan
para iblis itu?”
Sejenak,
seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang
menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha,
si iblis mata satu itu kiranya jeri menghadapi seorang nona!” Lalu
kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.
“Nona yang
baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari
bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”
Bukan main
kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut
kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati melalui jalan memutar yang tidak
begitu terjal. Jurang itu amat curam dan betapa pun pandainya seorang manusia
biasa yang tidak pandai terbang seperti burung tak mungkin dapat menuruninya
tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih
kemudian baru mereka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai
mencari-cari. Namun tidak ada jejak mau pun bayangan Lie Bok Liong!
Ke manakah
pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah
hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada
bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan
dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.....
Ketika
tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan kecepatan mengerikan, Bok Liong
sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai seorang yang berjiwa
gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan.
Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu
saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia
hanya melihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat
memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan
batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu adalah
pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa
kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi
gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.
Ia tidak
tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia
akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena
kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan
dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas,
lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.
Hanya
sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala
dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat
bahwa ia tadi melayang jatuh. Ketika ia bangun, kiranya ia sudah duduk di atas
batu. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi.
Melihat tubuhnya tidak hancur, biar pun ada luka-luka sedikit dan pundaknya
sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah
neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.
“Heeeiii,
Nona, tunggu...!”
Gadis itu
menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.
“Eh, kau
Sian Eng...!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak
mempedulikan rasa nyeri di pundaknya dan melompat lari mengejar. Biar pun hanya
sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam
sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa
ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.
“Aku tentu
sudah mati... dan agaknya Sian Eng juga sudah mati... tentu ini alam baka...,”
pikirnya sambil kembali duduk di atas batu.
Akan tetapi
sedikit demi sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa,
tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di
dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah
yang membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana ia tidak terbanting
remuk. Agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini
terjadi.
Sian Eng
cukup ia kenal. Tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak
lebih tinggi dari pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu
mau menolongnya? Bagaimana caranya? Dan andai kata benar Sian Eng gadis itu
tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada
bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?
Ketika
teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin sekali kakek itu
akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan
diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak
patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging di bahu saja.
Inilah
sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong,
bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi
Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.
“Eh-eh,
mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.
Lin Lin
tidak menjawab, tetapi terus menangis keras dan akhirnya dengan kata-kata
bercampur isak ia berkata, “Kasihan... Liong-twako... tentu telah hancur
lebur... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik... mengapa mengalami nasib
begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya... ah, Liong-twako...!” Lin Lin
menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.
“Hush, bocah
tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”
Seketika
terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata
merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul
menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta
muridnya.
Melihat
pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya
tadi, Gan-lopek segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan
hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya terbanting ke
dasar ini, biar pun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan
menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan
tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok
Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang
membela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti
masih hidup dan selamat di saat itu.”
Bukan main
girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika
ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan... menangis lagi.
“Eh-eh,
bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek
mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau muridnya
berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong
terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak
sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan
Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak
bertepuk sebelah tangan, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada
terbalas.
Tiba-tiba
Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi
kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon ‘mantu murid’
ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti
dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di panggung. Akan tetapi
kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah
menjadi gila atau mungkin juga mereka disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti
dulu. Kenapa kau tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena
merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa
seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin
akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air
matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata, “Banyak sekali hal yang
patut membikin aku tertawa, Kek,” tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada
Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira
kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang
pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar
sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako tertolong secara ajaib dan
belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang
amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu
hal apa lagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kau sebutkan tadi?”
Kembali Lin
Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli terpingkal-pingkal sambil
menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan,
memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang
menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati
Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa
menandingi Lin Lin.
Gadis ini
terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara
ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa
yang mengandung khikang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu
mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal
ini tidak menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khikang
dan sinkang-nya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi
Gan-lopek.
Maka
terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang
satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari dasar
jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap
orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak
sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang
bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk seperti
orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti orang kegirangan,
melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang mengerahkan tenaga ketika sedang
buang air dan sukar keluar!
“Stop...!
Stop...!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin
hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah mengerahkan
seluruh tenaganya untuk ‘mendorong’ gadis itu dalam ‘pergulatan’ tenaga suara
yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah berhasil mendorong, ia
melompat dan terbebaslah mereka dari pada pertandingan khikang yang hebat itu.
Kini Gan-lopek memandang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak
tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga
mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan
berkata, “Kau hebat, Kek!”
Si tua
menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk. “Siapa
bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan
tetapi engkau... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang
begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi
bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biar pun jelek-jelek masih guru Bok
Liong?”
Lin Lin
kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andai kata ada maksud yang
buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini,
Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”
“Huh-huh,
kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka
mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah mendengar dari Bok
Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang kau perlihatkan tadi. Anak
nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin
benar-benar merasa heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia
dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw
itulah agaknya yang tadi mendatangkan khikang luar biasa yang membuat Empek Gan
kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan nasihat Suling
Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.
“Kakek Gan,
kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandaian apa yang kupunyai?
Dari pada mengejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang
tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang
dan berguna!”
Empek Gan
tertawa. “Wah, boleh... boleh... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah
matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut
panas, tidak demikian dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba
terdengar ‘ayam berkokok’ dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa
geli.
“Tunggulah,
Kek. Betapa pun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu bagaimana caranya
menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki
hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk
sekali.
Di dalam
hatinya, Lin Lin girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk
menyempurnakan ilmu yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk
Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia
segera menggunakan kecerdikannya untuk ‘mengambil hati’ melalui perut lapar
Kakek Gan.
***************
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan
gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok
Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti
ketika ia dipanggil.
Siapakah
gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah.
Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng
tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang
jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki
kesaktian luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan
dan pengalaman Sian Eng.
Telah kita
ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma
Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi
Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini.
Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh
alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang sehingga ia terkurung oleh
empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan ke luar karena jalan ke luar
satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu
beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak
mampu menggerakkan batu ini!
Di bagian
depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok
oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu
menyedot darahnya. Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu
menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan
sakit di seluruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan
rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit
seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu
timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat
ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru.
Sian Eng
meloncat bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih
menempel di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit kepala
binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan menghisap darahnya. Rasa
sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan
sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!
Pergulatan
menyeramkan di gelap ini, seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan
orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah
tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan.
Juga tingkah lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat
berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena
penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi
tiada hentinya ia membunuh kelelawar dan bahkan mulai makan dagingnya dan minum
darahnya.
Semalam
suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan
entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya.
Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya
memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar.
Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di
atas bangkai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh
bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.
Sehari penuh
Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di
bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan
tetapi setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap,
kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian Eng
seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang
hanya ‘hidup’ di waktu malam, ia bangkit lagi dan seperti malam kemarin,
kembali terjadi pertandingan dengan kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang
dan mengeroyoknya secara ganas sekali...
Terima kasih telah membaca Serial ini
Saya sangat senang sekali bisa membaca cersil ini, apalagi full episode, puas, sdh beberapa judul dari cersil kho ping hoo yg saya baca, trm kasih sahabat karib.com
ReplyDelete