Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Cinta Bernoda Darah
Jilid 08
PAK SIN TUNG
mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin
lama makin tajam sehingga kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo
tadi memanggil Pak-sin-tung, merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan
mata dan mengerahkan sinkang untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat
jam suara itu mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti.
Lin Lin
mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ
sudah berkumpul dua puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya.
Ada yang berpakaian seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan
tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan
hormat di depannya dengan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung!
“Hamba
sekalian sudah berkumpul dan siap menanti perintah Tuan Puteri Yalina!” kata
Pak-sin-tung.
Tak dapat
dicegah oleh Lin Lin rasa bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat,
pikirnya dan yang luar biasa adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh,
malah seperti sudah sewajarnya dan sudah seharusnya demikian!
“Kalian
semua dengarlah baik-baik,” katanya sambil memasukkan Pedang Besi Kuning ke
dalam sarungnya. “Untuk menjunjung nama besar Khitan dan memberi peringatan
kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak berani memandang rendah
kepada kita, aku telah memerintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas
tongkat ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian
membantuku untuk dua urusan lain. Pertama, menangkap dan menawan Suling Emas
hidup-hidup, kita bawa dia ke Khitan.”
Lin Lin
tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling pandang dengan muka kaget, malah
ia melanjutkan kata-katanya, “Kedua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan
putera pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya
orang yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia
menunjukkan di mana adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi
tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti?”
“Hamba
mengerti, Tuan Puteri,” jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya. “Biarlah
hamba yang menemani Paduka, ada pun saudara-saudara ini siap secara
bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba panggil.”
“Baiklah,
Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota raja.” Dua puluh empat orang itu
tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu
gerbang dari mana tadi mereka keluar.
***************
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang
berpengaruh itu untuk menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita
tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja?
Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi
seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi
racun perampas semangat?
Memang demikianlah,
Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin tidak
membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda
itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa Bu Sin ikut
dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai bukti kelihaiannya
bahwa ia telah dapat menundukkan putera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan
tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan
di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia
kaget dan heran sekali, apa lagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia
sendiri merasa dadanya tergetar hebat.
Cepat
Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari
tangan Bu Kek Siansu, kemudian ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang
diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan
terjadilah ‘perang’ antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan
Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita
rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu
Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar
biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke
dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk
menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh
sekali.
Banyak sudah
lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa
sehingga merupakan ‘jurus-jurus’ yang dapat merusak semangat, membikin putus
urat syaraf mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan!
Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun
kejahatan, tergantung dari pada si pemakai.
Akan tetapi
alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang
menerjang dan menyerang ganas itu mental kembali oleh suara khim yang halus
lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia
mengerahkan semangat dan sinkang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan
lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba....
“Cringgg!”
sebatang kawat khimnya putus!
“Keparat...!”
Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah
suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk
lawan.
Akan tetapi
tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang
duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil
menundukkan kepala adalah Bu Kek Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah
terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang
tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia
menjadi pucat ketakutan.
“Kau...
kau... setan...!” teriaknya, membalikkan tubuh dan... lari meninggalkan kakek
itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya
yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih
menggeletak pingsan.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan... Siang-mou Sin-ni
terjungkal seperti didorong tenaga mukjijat dari samping. Ia berteriak marah,
menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin.
Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh
terjengkang.
“Kurang
ajar...!” Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun,
rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak
siuman dari pingsannya.
Kembali
terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar
ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin
keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita
ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali,
kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah
menangis seperti kuntilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim
berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua
kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat
sederhana dan tua tersembul ke luar dari balik punggungnya yang agak bongkok.
Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak
perlahan dan mulai bangkit. “Kasihan...,” bibir itu berbisik, “anak baik,
putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”
Bu Sin menengok,
sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu. “Mana... mana
dia...?” bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung
takut dan mesra.
Bu Kek
Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum
sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak menyentuh
tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi. “Belum terlambat... anak
baik, kau ikutilah aku....”
Seperti
linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biar pun ia telah menjadi korban racun
perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut
dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil
bertanya, “Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya
berada di mana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya,
mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu
Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu menyembuhkannya sama
sekali.
“Kau menjadi
korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek
itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin
menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya.
Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa panas seperti terbakar dan
pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran
sehingga ia menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh.
Entah berapa lamanya ia dalam keadaan seperti ini ia sendiri tidak tahu.
Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.
“Iblis
betina, boleh kau bunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”
Akan tetapi
terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika
ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang
memandang dengan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini
telah memberi obat kepadanya, dan dia... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou
Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat
menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou
Sin-ni, sungguh pun ia tidak tahu bagaimana caranya.
“Locianpwe
tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan
terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya
agak sakit.
“Anak baik,
mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.” Kakek itu mengulurkan
tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ.
Bu Sin hanya
merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali. Kedua telinganya
mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya sukar
bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan muka agar dapat
membelakangi angin.
“Kita sudah
sampai!” Suara halus kakek itu menyadarkannya.
Bu Sin
merasa seperti baru bangun tidur dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia
sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu
seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang
memiliki kesaktian luar biasa.
“Locianpwe,
teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti
mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe
membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk...”
“Orang muda,
kau telah menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun
perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya.
Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai
perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak dikotori nafsu, maka
masih dapat tertolong. Hanya sinkang di dalam tubuh yang menjadi lemah. Orang
muda, sekarang katakan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin
diam-diam terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou
Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya ‘menjadi permainannya’ dan ia merasa malu,
juga gemas terhadap iblis wanita itu. “Locianpwe, mohon Locianpwe sudi menolong
teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu
ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat menemukan musuh besar yang
telah membunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak
teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan
Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang
begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon
Locianpwe sudi menolong.”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan
ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa. Akan tetapi hal
demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang
muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidak seluruhnya
tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup
keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar
cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas
batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan
curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”
Bu Sin sudah
membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya
dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai.
Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja
terbebas dari pada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa
artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu
besar yang tengahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun.
Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk
mendengarkan.
Akan tetapi,
air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua
telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum.
Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin
hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa palu godam
ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya. Wajahnya pucat sekali dan
hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.
Dalam
keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali
suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya, “Orang muda, kerahkan sisa
tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus
salurkan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin
melakukan perintah ini. Akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya
untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher.
Mendadak belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah
kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek
sakti itu membantunya.
“Lindungi
tiong-cu-hiat dengan sisa sinkang itu agar kuat menahan serangan air. Kini
mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa
pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas,” dengan
kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua telinga
Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan
dengan amat tekun.
Seluruh
perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala
hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi
dengannya, dan dia tidak lagi merasakan pukulan air yang menimpa di atas
kepalanya.
Begitu tekun
Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali
mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan
sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan malam berganti
siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak membisikkan
pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya sekarang hanyalah
gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisik-bisik di dekat
telinganya mengulang pelajaran gaib tentang siulan dan membentuk sinkang di
tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.
Setelah
suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu
tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan
keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia
terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa
bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing!
Cepat ia
mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa
sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke
dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai berbunyi, perutnya
serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi pelajarannya itu, karena itu ia
berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena ia belum pandai
benar menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat
luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api
neraka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak.
Kembali dengan mengingat pelajaran tadi ia berhasil menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin
dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia
terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya
menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak
memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan,
ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya
pulih kembali, malah kini lebih kuat dari pada biasa. Yang terasa olehnya hanya
kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya, kelemahan yang wajar.
Karena
khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa
kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk
diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air
tawar itu. Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah
menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia
membuka lipatan tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan
lunglai tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya
badan menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau
ia tidak cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas
batu, kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!
Bu Sin
bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, memandang ke
arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi menjadi tempat
duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi,
pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi
tawanan Siang-mou Sin-ni, dan menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas
semangat dan dijadikan permainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti
itu yang menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian
yang ajaib sehingga ia tahan bersemedhi di bawah air terjun sampai berhari-hari
lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam
bersemedhi sambil mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan
melatih diri dengan ilmu itu.
Tak perlu
bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat bertemu. Sayang ia
tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri
tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan sekarang yang
paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati
kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut,
buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!
Tak lama
kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan
manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal
kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya,
mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya
sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan
hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia.
Cepat reaksi
Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia buang dan tubuhnya sudah
berlari cepat sekali ke arah utara. Untung tidak terlalu jauh tempat itu, atau
mungkin karena lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan
dan tidak disadari oleh orangnya sendiri.
Ia melihat
seorang laki-laki berpakaian ringkas seperti seorang pemburu sedang bergulat
mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi
namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat,
untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah
sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan
kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau. Perlawanan yang sia-sia.
Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa
pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga binatang itu tidak roboh,
sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih
dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.
Bu Sin
lompat mendekat, tangannya diayun dan....
“Krakkk!”
tubuh harimau terguling, kepalanya pecah.
Laki-laki
itu merangkak ke luar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu
Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia
berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk
di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri
berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang.
“Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe....”
Si pemburu
yang sudah bangkit duduk makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia
mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya
seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi
melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan
terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak
baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru
sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu
itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bangkit dan menghampiri.
Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi
darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk
membalut luka di pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram
muka pemburu itu yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil
bangkit duduk. Saat pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, ia bergidik
dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh
pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
“Tidak ada
bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati.”
“Kau...
kau... manusiakah kau...?”
Mau tidak
mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kau gagah sekali sobat. Sudah
berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu,
bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu,” kata Bu Sin merendah karena
ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya.
Pemburu itu
segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya
bangun. “Tak perlu segala kekosongan ini!” katanya. “Marilah kita bicara secara
sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya, tempat
apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku... aku tersesat jalan,
harap kau sudi memberi petunjuk.”
Orang itu
kelihatan tertegun. “Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke kota
raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak
cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke
kota raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!”
Kaget hati
Bu Sin. Ia sudah berada di dekat kota raja Nan-cao di selatan? Hebat! Kiranya
iblis betina itu membawanya ke Nan-cao! Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik
ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia mengangguk dan berkata, “Betul, aku hendak
ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kau tunjukan jalannya agar aku
tidak tersesat lagi.” Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda
gunung dan sungai di atas tanah.
“Terima
kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia bangkit
berdiri.
“Nanti dulu,
Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya mengetahui nama besar
Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan....,” akan tetapi ia
tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi
dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata
terbelalak kagum sampai bayangan Bu Sin lenyap di antara pohon-pohon.
Bu Sin
benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan
dirinya jauh berbeda dari pada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala
harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini. Sekarang
ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik
dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa semua ini adalah hasil
dari pada ilmu siulian ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama
itu.
Dengan
melakukan perjalanan cepat tanpa pernah mengaso, pada keesokan harinya
menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan,
maka tanpa sadar ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan
yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan
atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan
keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu
Sin menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di
pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat
sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka memperlambat jalan
dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan
matanya juling, menggendong sebuah karung hitam di punggungnya, memegangi mulut
karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang
dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan
kekejaman, apa lagi orang ketiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh
penyakit cacar. Orang kedua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas
dahinya. Yang menyolok adalah bahwa ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian
pengemis.
“Ha, di
sinilah tempatnya. Pangcu (Ketua) berpesan agar kita menanti di sini sampai
datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga!”
kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung,
kemudian meletakkannya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya
tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus
peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apa lagi si penggendong
karung, peluhnya membasahi leher dan mukanya.
“Loheng
(Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang
elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan
yang menyegarkan semangat, heh-heh!” kata pengemis bermuka bopeng, yang paling
muda di antara mereka.
“Sam-te,
jangan main-main kau!” cela si kepala besar, “Kau tentu maklum apa maunya
Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak
mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari
leher?”
“Wah, Suheng
(Kakak Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya?
Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling
orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa
oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah... berabe, baru tiga hari dia
bunuh diri!” kata lagi si bopeng.
“Ha-ha,
agaknya takut melihat bopengmu!” kata si juling.
“Loheng, kau
sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti
kumis monyet...!”
“Tapi tidak
bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap...!”
“Sttt,
sudahlah!” tegur si kepala besar. “Kalian ini kalau ada perempuan cantik,
selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka
karung, biar pun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita,
akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu,
kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya.”
“Takut apa,
Loheng? Biar pun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya
terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar
pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada
apa-apa, aku yang tanggung,” sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan
membuka tali pengikat mulut karung. “Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan
karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat
marah dari Kongcu!” ketika mendengar ucapan terakhir ini, kedua temannya yang
tadinya hendak melarangnya saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda
setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah
isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka
menarik ke luar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang
meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan,
rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas,
sebagian menutupi pipi kiri.
Pakaian
gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya
lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang
kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak
begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang
ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
“Coba lihat,
alangkah manisnya!” kata si juling.
“Hebat,
memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.
“Suheng,
suheng..., a... aku... kan boleh ya aku... menciumnya satu kali saja?” kata si
bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap
wajah yang cantik itu.
“Sam-te,
jangan gila kau!” seru si kepala besar.
Si juling
tertawa menyeringai. “Mencium sih tidak ada halangannya, biar pun kita bertiga
melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia
belum sadar?”
Bu Sin tak
dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat ke luar dari tempat sembunyinya
sambil membentak. “Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis,
benar-benar sudah bosan hidup!”
Tiga orang
itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan
tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan
kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan. Ketika dapat merangkak bangun,
matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia
terbatuk-batuk.
Akan tetapi
dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan
sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu. Si kepala besar sudah menyambar
tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
“Bocah
jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-coa (Ular Tanduk
Besi)?” seru si kepala besar yang mempunyai ‘tanduk’ daging di jidatnya.
“Tak perlu
tahu aku siapa! Lekas kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar
kalian ke neraka!” bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.
Si kepala
besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada
temannya yang bermuka bopeng. “Sam-te, kau masukkan lagi dia ke dalam karung
agar leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini.” Setelah berkata
demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran
helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.
Mendengar
perintah ini, si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok,
mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia
menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan, “Heh-heh... pipimu begini
halus...!” Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada
kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka
gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.
“Plakk!
Ngekkk...!” si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis
itu meronta dan melompat ke samping.
Kiranya
gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok
ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan
tanpa dapat mengeluarkan suara. Agaknya genjotan pada leher merusak alat
suaranya!
“Siluman
betina, berani kau memukuli temanku?” teriak si mata juling yang sekarang sudah
mencabut sebatang pedang dan langsung menusukkan senjatanya ke arah dada si
gadis.
Dengan
gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri. Namun
ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis
ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari
kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat
mengeroyok biar pun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah
bangkit duduk. Tapi orang ini belum dapat berdiri, masih menekan ulu hati dan
meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit
ayan!
Sementara
itu Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan
gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya
besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi.
Ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun
dengan ilmunya yang baru ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian
rupa sehingga sekaligus ginkang-nya juga mengalami kemajuan pesat dan
gerakannya menjadi amat ringan karenanya.
Dengan gesit
bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat.
Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata
telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang
berkepandaian tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan
indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke
atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke
depan, kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.
Melihat
datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser
kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak
dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja,
yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat
tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan.
Tiat-kak-coa
cepat menggerakkan tenaga membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan
tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah
pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali
meloncat mundur dan untuk melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya
yang kini pindah ke tangan Bu Sin!
Akan tetapi
pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor
naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras. Bu Sin kaget
bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular
besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya.
“Dukkk!”
pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya
hancur, tangannya pedas dan panas sekali. Sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua
jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi.
Kekagetannya bertambah ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang
mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!
Gadis jelita
itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran
pedang.
“Bocah tiada
guna, minggir!” tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti
seekor kucing ditendang saja.
Gadis itu
melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia
tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan
ilmunya yang tinggi. Namun lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti,
maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun bernasib seperti
Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.
“Huh, kalian
ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan
ikuti aku!” kata It-gan Kai-ong.
Tiga orang
pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan
gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong.
Kakek pengemis mata satu yang sakti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk
menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno.
Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan... tiba-tiba batu nisan itu terbuka.
It-gan
Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau
murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini
sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri. Setelah mereka semua
memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari
dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat
menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di
bawah tanah.
Bu Sin dan
gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah
tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua
besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya
lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu
saja mendapat perlakukan yang lebih halus, diletakkan di atas lantai ruangan
kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang
penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.
“Kalian jaga
baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona
ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu?” Terdengar It-gan Kai-ong
meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.
Sunyi di
ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah
ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan
seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya
dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan
yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia
segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan
tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu
pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Gerakannya
terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis
itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, “Terima kasih
atas pertolonganmu....”
“Ah, tak
perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua
sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri.”
“Yang
kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat dari pada perbuatan. Kau telah
menolongku dan karenanya, berhasil mau pun tidak, aku amat berterima kasih
kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara
ini seorang tamu dari golongan mana?”
Bu Sin tidak
menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis
yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.
“Eh,
bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.”
“Ehhhhh...
ap... apa...?” Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar
akan sikapnya yang linglung.
Gadis itu
tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun
rapi berkilau menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata
yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi
Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.
“Kau pelamun
benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia
dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?”
“Oh...
aku... namaku Kam Bu Sin, aku... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan
tamu, aku... aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu
dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai
teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan....”
Bu Sin
berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya
dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan
main manisnya, bisik hati Bu Sin.
“Kau...
namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”
Kini giliran
Bu Sin yang melengak kaget dan heran. “Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah
kau dengan mendiang Ayah?”
Gadis itu
tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang. “Wah, kalau begitu, kita
bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan... eh, pertalian keluarga, biar
pun amat jauh. Kau masih terhitung... keponakanku!” Begitu terbuka dan jujur
sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa
disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!
“Ah, tidak
mungkin!” tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia
merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona,
mana mungkin kau menjadi... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru
dua puluh tahun?”
“Sembilan
belas!” dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia
itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
“Nah,
sembilan belas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa
menjadi keponakanmu?”
Dara itu
tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya
menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu. “Keponakanku
yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan
Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah
anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan
keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu?”
Pening
kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu. “Mana bisa? Kalau
Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau...”
Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu
itu bernama Kam Bu Song?”
Nona itu
mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan dia?”
Dapat
dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini.
Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari
kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh
orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya mengalami
suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia
berpisah dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya
mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia
melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan
sambil berkata penuh gairah.
“Di mana
dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”
Mula-mula
gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya
terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali.
Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata,
malah setengah menggoda. “Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat,
baru aku mau bicara!”
Mendengar
ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga
menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat. “Maaf... maklumlah, selamanya
aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justru kepergianku dari
kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu
keponakanmu... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya.”
“Sebut dulu
bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku
juga.”
Bu Sin maklum
bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak
marah. “Nona, kau lebih muda dariku. Biar pun Kakak Bu Song adalah keponakanmu,
akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan
apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih
muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu
pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di
samping jantung berdebar tidak karuan, “Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko,
Bu Sin Koko.”
Bu Sin
tertawa. “Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku
sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.”
“Aku she
Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”
“Ah,
benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat
karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat
dan....”
“Hishhh,
apa-apaan ini? Bu Sin Koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin
berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak
suka bersahabat denganku?”
“Ti... tidak
begitu, tapi kau...”
“Sudahlah.
Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel
itu cukup menghormat kita sehingga di sini tersedia makan minum dan bangku
untuk duduk.”
Keduanya
duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat
lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua
Bengkauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai
keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik
dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.
“Hwee-moi,
aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai
puteri Beng-kauw malah berada di sini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita
sekarang ini berada di mana?”
“Bagus, Bu
Sin Koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut
tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu
sendiri yang menjadi tawanan orang! Ketahuiah bahwa kita berada di wilayah
Nan-cao, dan tempat ini adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan
keluarga kami....”
“Tapi,
bagaimana It-gan Kai-ong....”
“Sabar dan
dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal
aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap di antara para
tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para
tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku...”
“Kau
maksudkan Kakak Bu Song...?”
Liu Hwee
mengangguk. “Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua
menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau
mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”
“Wah, dia
hadir juga dan dia... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”
Liu Hwee
membelalakkan matanya lalu tertawa merdu. “Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini.
Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku... aku tidak selihai dia! Nah, kami
berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan
mencurigakan.”
“Hal apakah
yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”
“Hal-hal
yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara
kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga
dari kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima
sepeti penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum
dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku
memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas
saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga!”
“Wah,
alangkah menghinanya Kaisar Sung!”
“Bukan
demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun
tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan
agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing
keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”
“Hemmm, dan
para tamu tahu akan hal itu?”
“Tidak.
Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan
penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah.
Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan
Kai-ong, Siang-mou Sin-ni..., eh kau kenapa?”
Tentu saja
Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu
tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang
Bu Sin amat marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia
dapat mengendalikan perasaannya.
“Tidak
apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali...”
“Memang
jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim
Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi
kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga
Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh
yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi....”
“Bagaimana
dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan
Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”
Lim Hwee
termenung sejenak. “Tentang dia... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja
keadaannya tidak mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi,
di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja
seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa
Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah
orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja
untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang
melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan
Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, di
sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu,
Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula.
Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan
untuk berlomba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena
kabarnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek
Siansu. Bu Sin Koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”
“Ah,
tidak... tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan
itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh
sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”
“Wah, Koko!
Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut
seorang diri. “... hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas...
apakah tidak gila ini...?”
“Hwee-moi,
apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama
Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari
semua penjuru hadir dan....”
“Sin-koko,
benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan
lucu dari pada ini....”
“Maksudmu?”
“Keponakanku
itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas...!”
Bu Sin
melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak lebar, keheranan memenuhi
dada dan kepalanya. “Kau bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu
kakak kami sendiri...? Wah, pantas, pantas... dia selalu menolong kami! Ah,
memang patut ditampar kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok.
Ha-ha-ha-ha!” Bu Sin tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya
sendiri. “Ha-ha-ha, benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar! Wah,
kakakku demikian gagah perkasa... ah, alangkah akan girangnya hati Ayah kalau
mengetahul hal itu... sayang, Ayah... takkan pernah tahu...” Dengan kepalan
tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air mata dari
pelupuk matanya.
Sadar akan
keadaannya yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil
tersenyum malu. “Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah sekali.
Kau harus tahu, selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan kakakku itu, dan
yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah menyangka bahwa
Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak mencari Kakak Bu
Song dan mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa
tahu dan siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah
kakak sulung kami!”
Liu Hwee
menarik napas paniang. “Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas
semenjak kecilnya telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang
membingungkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak
tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang
tahu, hanya dapat menduga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat
menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh.”
“Pertemuanku
denganmu benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena rahasia kakakku telah
dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan
dapat berlangsung terus. Bagaimana aku akan dapat bertemu dengan kakakku itu
kalau sekarang kita berada dalam tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan ke
luar? Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak berhasil menyelamatkanmu, malah aku
sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai
dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan
pingsan?”
“Belum
kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas
melakukan penyelidikan. Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas
menyelidiki para tamu yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku
menyelidiki ke tempat para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung
tempat-tempat pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat
dua orang pengemis yang mengempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri.
Aku tertarik sekali, mengira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan. Karena
mereka berada di negeriku, aku harus mencegah orang berbuat kejahatan, maka aku
lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba dua orang
itu melepaskan orang-orang yang dikempitnya dan... ternyata dua orang yang
dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga berpakaian pengemis dan tertawa-tawa,
lalu empat orang itu mengeroyokku! Mereka tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan mereka tidak
ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud menculikku.
Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka
bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku
sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi
seorang, muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan
tetapi dia bukan tandinganku, terlampau kuat. Akhirnya aku roboh pingsan dan
selanjutnya kau menolongku.”
“Agaknya
mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?”
“Mungkin
karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong hendak
mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin berani
menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan berhadapan dengan
Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi demikian, biar di dunia ini ada
seratus It-gan Kai-ong, mereka akan dibasmi semua!”
“Atau dia
mempunyai rencana yang amat jahat! Ah, Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar
dari sini dan mendapat bantuan Kakak Bu Song....” Bu Sin lalu berjalan
memeriksa ruangan itu. Akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa tak
mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan ini tertutup semua oleh dinding batu
karang yang amat kuat, ada pun pintu satu-satunya adalah pintu terbuat dari
pada besi yang agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin dibuka dari
sebelah dalam.
“Sin-koko,
tak usah dicari jalan ke luar, tempat ini memang dahulu dipergunakan untuk
tempat tahanan tawanan penting dan rahasia. Hanya ada satu cara....”
“Bagaimana
caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar
dari sini!”
“Kita makan
dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu memulihkan tenaga
untuk menghadapi terjangan ke luar.” Gadis itu lalu meraih panci dan memilih
roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan
tetapi ia melihat Liu Hwee menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis
itu kemudian berkata, “Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak
beracun.”
Bu Sin
tersenyum dan ia pun segera makan roti itu. Karena selama ini ia hanya makan
buah-buah saja, maka roti sederhana itu terasa enak sekali. “Bagaimana kau bisa
begitu yakin bahwa makanan dan minuman ini tidak beracun?”
“Mudah saja.
Kalau lawan hendak membunuh kita, apa sukarnya? Masa harus bersusah payah
menaruh racun pada makanan atau minuman yang belum tentu kita sentuh?”
Bu Sin
mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kecerdikan dan ketenangan dara muda itu.
Setelah mereka kenyang mengisi perut, Bu Sin yang sudah tidak sabar bertanya.
“Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka ini?”
Liu Hwee
tersenyum. “Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di dalam neraka,
Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini.”
Tiba-tiba
jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita ini senang berada di situ bersama
dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri merasa senang di tempat seperti
itu? Tak mungkin.
“Adikku yang
baik. Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau bersamaku di sini, akan
tetapi alangkah lebih menyenangkan sekali kalau kita berada di luar tempat
tahanan.”
Liu Hwee
mengangkat muka memandang tajam. Kembali mereka saling berpandangan. Biar pun
mulut mereka tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa
sinar mata tampak nyata dan terasa oleh kedua pihak sehingga kembali kulit pipi
menjadi merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang mata yang
saling peluk.
“Ruangan ini
tidak mempunyai jalan ke luar lain kecuali pintu itu. Pintu terkunci dan di
luar pintu tentu dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada
It-gan Kai-ong di situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari
ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini yang
belum tentu dikenal pula oleh mereka.”
“Kalau
begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan ini?”
“Kau
seranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling serang, akan tetapi jangan
ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku....”
“Apa kau
bilang? Mana bisa... apa artinya itu, Moi-moi?”
Melihat
kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli, juga besar hati karena pemuda
yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja bingung dan menolak untuk
memukulnya roboh! “Hanya ada satu cara untuk memancing mereka membuka pintu
ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka
tidak mengganggu aku, ini hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki
aku mengalami malapetaka atau terganggu di sini karena dia tidak berani
menghadapi kemarahan Ayah dan Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur,
tentu mereka merasa khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apa lagi kalau
mereka membuka pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka
menyerbu masuk untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat
itulah kita pergunakan untuk menerjang ke luar. Mengertikah engkau?”
Bu Sin
mengangguk-angguk, tapi alisnya berkerut. “Tapi... Moi-moi, aku hanya akan
memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana bisa
aku memukulmu sungguh-sungguh?”
Kembali Liu
Hwee tersenyum senang. “Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau
orang-orang bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah
ahli-ahli sitat yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah
sungguh-sungguh, biar keras asal jangan kau pergunakan lweekang. Percayalah,
hanya dengan cara itu usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung
kananku, akan kuberi lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kau
desak aku dan aku mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan... kau pukullah
punggung kanan ini sampai aku terjungkal....” Sambil berkata demikian Liu Hwee
memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biar pun hatinya
merasa tidak enak sekali.
Setelah
mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang orang muda ini mulai
berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan pecahan batu pada pintu,
membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka membuat suara gaduh orang
sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan hal ini dan beberapa kali
mereka menendang daun pintu.
Akhirnya
daun pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan
sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh! Begitu bertanding, kagetlah Bu Sin
karena dara jelita itu benar-benar hebat kepandaiannya. Pertemuan lengan
membuat tubuhnya kesemutan, dan gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat
cepatnya. Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, ia bukan lawan
gadis perkasa ini.
“Jahanam,
berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?” Liu Hwee berseru nyaring sambil
memperhebat terjangannya.
“Nona manis,
kalau tidak mau menyerah kepadaku lebih baik kau mampus!” teriak Bu Sin dengan
kata-kata dibuat kurang ajar.
Daun pintu
terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang bopeng mengintai ke dalam.
Kiranya itu adalah muka pengemis bopeng tadi. Agaknya mereka yang berada di
luar masih menaruh curiga, maka si bopeng tidak segera membuka pintu melainkan
mengintai ke dalam. Melihat itu, Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan
dengan jurus yang berbahaya, sambil mengerahkan sinkang yang ia pelajari dari
kakek sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin.
Liu Hwee
mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan tubuh dan
terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan oleh Bu
Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat menghantam
punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan tetapi menyimpan
tenaga lweekang, hanya mempergunakan gwakang atau tenaga kasar, yaitu tenaga
gerakan otot.
“Bukkkkk...!”
kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa
ditusuk.
“Aduhhhh...!”
Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke belakang, menumbuk dinding
batu dan terjungkal roboh.
Bu Sin
sampai menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar
itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan
permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia meloncat ke dekat Liu
Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, merangkulnya untuk
memeriksa keadaannya.
“Setan
kurang ajar, kau sudah bosan hidup!” teriak si muka bopeng yang sekarang
membuka daun pintu dan menerjang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala
besar. Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata mereka.
Akan tetapi
Bu Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan bagaikan
kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki rongga perut si juling.
“Ngekkk!”
demikian si juling mengeluarkan suara tertahan, napasnya terengah-engah,
matanya yang juling itu berputaran sebelum ia roboh pingsan.
Akan tetapi
keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang
lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala
besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga
Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan! Bu Sin
terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya
mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang
yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok,
akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.
“Blukkk!
Aduhhhh...!” tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang
mengucur kecap. Ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah
retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu Hwee!
Dalam
keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di
tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng
berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.
“Cepat, ikut
aku!” Liu Hwee berbisik.
Dengan
pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa
gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui lorong sempit
dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.
“Ssttt, di
depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”
“Kita
terjang saja, membuka jalan darah!” kata Bu Sin gagah.
“Sia-sia,
apa lagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan rahasia.
Mari...!” Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin, ditariknya pemuda itu berlari
memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap.
Berdebar
jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit halus dan
lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan serasa ada
getaran di antara jari-jari mereka.
Kembali Liu
Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, kemudian melepaskan tangannya dan
berbisik. “Sin-ko, kau pegang batu yang kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan
alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita tarik batu ke
kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kau raba karena agak gelap.”
“Ah, inikah?
Sudah siap, Moi-moi.”
Liu Hwee
memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang terdapat dalam celah
antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia menekan, terdengar suara
berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu, “Nah mari mulai menarik.
Geser batu itu ke kiri, Koko!”
Mereka
menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan. Setelah mengerahkan sinkang,
barulah kedua batu itu bergerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu!
“Cukup,
lekas masuk!” Liu Hwee berbisik sambil menarik tangan Bu Sin.
Pintu itu
hanya dapat dimasuki Bu Sin dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee
mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis
menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali
lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cabaya masuk ke dalamnya.
“Selamat!”
bisik Liu Hwee sambil tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita,
Sin-koko.”
Muka Bu Sin
menjadi merah. “Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justru aku tadi telah membuka rahasia
kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau
betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu....”
Wajah gadis
itu berseri-seri. “Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu
tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau
betul-betul hendak... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak
bersandiwara... ah, kau baik sekali, Koko.”
“Sudahlah
Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit!
Sekarang bagaimana kita dapat keluar?”
“Mari ikut
aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan
mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena
sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu
berbuat apa-apa untuk menolongmu.”
Bu Sin kaget
dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh
mengerikan, dan tempat yang seram seperti ini tentu saja mempunyai
rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apa lagi
setelah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan
Liu Hwee yang menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi
makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan
tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya.
Tiba-tiba
tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee menghentikan langkahnya, tangannya
mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak
kalau ia tidak segera ingat akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera
menariknya dan mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan
basah!
“Cici yang
mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan suara
aneh.
Hening
sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap.
“Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan pemuda tampan
sehingga kau membawanya ke sini?”
Bu Sin
diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa
benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu
yang mengerikan, apa lagi kata-katanya begitu tak tahu malu!
“Tidak,
Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam
terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu
rahasia dan dengan lancang lewat di sini.”
“Hemmm, kau
tahu siapa pun dia yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku
masih bisa mengampuni, tapi dia ini!”
“Ampunkan
dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat di sini, melainkan aku yang mengajaknya
karena dia telah menolongku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang
seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia
menolong nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau
kau membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici.”
Terdengar
suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya
suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya
serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni!
“Aku tidak
bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil
keputusan sebelum memeriksa dia orang apa!” Tiba-tiba terdengar angin menyambar
dan bau harum menyengat hidung.
Bu Sin kaget
setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus
sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak!
Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan
terdengar suara yang tadi.
“Tampan dan
muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”
“Cici...!”
Liu Hwee memprotes.
“Cerewet!
Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak
patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak
ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?”
Bukan main
mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa siapa pun juga adanya wanita iblis
itu, bicaranya keterlaluan dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut
dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia
tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan
erat.
“Dia orang
biasa saja, Cici.”
“Hemmm,
adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”
“Cici yang
mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat mau pun tingkat,
tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya tidak mengenal usia. Cici
sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan melarang orang lain?”
“Sudah,
sudah...! Kau cerewet seperti Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku
sendiri, ya? Cerewet! Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin
bolong-bolong yang bagus di kepalanya!”
“Terima
kasih, Cici, selamat tinggal,” kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan
Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi dari situ melalui lorong gelap
tanpa mengeluarkan suara.
Ada
seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah goa
yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil! Setelah melompat ke
luar, barulah Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan... ia menjatuhkan diri ke
atas rumput sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak
dan pundaknya bergoyang-goyang!
Kagetlah Bu
Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee, “Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau
menangis?”
Dengan
megap-megap gadis itu berkata di antara sedu-sedan, “Aku malu... aku malu
setengah mati....”
Perlahan Bu
Sin bangkit berdiri. “Memang kurang ajar dia! Menghinamu sesuka hatinya. Biar
kuhajar dia, Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat memasuki goa itu.
“Sin-koko,
jangan...!” Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun.
Akan tetapi
ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang
ke luar dari dalam goa. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang
rampasannya yang kini sudah patah menjadi tiga potong!
“Hi-hi-hik,
sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus
sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera lenyap lagi.
“Sin-ko...”
Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan, “Cici!
Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan
tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin.
Tak lama
kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa
ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting keras.
Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya, pipinya menjadi
merah sekali dan cepat ia bangkit.
“Waaahhhhh...
bukan main... aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia
mendorong aku terlempar melayang ke luar goa dan tidak ingat apa-apa lagi.
Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici...,”
tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya pucat. “Dia kau sebut Cici...
kalau begitu... dia itu....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi
pandang matanya bicara banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang
mengangguk-angguk.
“Betul.
Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”
“Dia
Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik)... ibu tiriku....”
“Sssttttt,
sudahlah. Aku pesan padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kau ceritakan
kepada siapa pun juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar
diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di
sana!”
***************
Memang
banyak hal luar biasa terjadi di kota raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama
tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta
perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.
Apa lagi
dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin
Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan
yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan
menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia
jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang
akan menimbulkan geger di Nan-cao!
Telah
dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah
berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari
Hek-giam-lo. Dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota
raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara
sembunyi. Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang
waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan.
Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang
dapat bekerja cepat itu.
Pada saat
itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya, pondok darurat yang
cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apa lagi seorang putera pangeran
Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok
berkamar satu untuk dirinya sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang
tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya,
berani membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok
diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal
untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya berjalan
dengan baik.
Biar pun ia
seorang pemuda bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan
lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal.
Hal ini adalah karena biar pun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda
ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang
seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala
ikatan dan pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun ia berada di pondok
seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya.
Ia mempunyai
banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah
pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
“Tok-tok-tok...!”
“Siapa...?”
tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani
mengetuk pintu depan seperti itu.
“Suma-kongcu,
aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.
Suma-kongcu
adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan
seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya
serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun
seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu
banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan
curiga.
“Siapa di
luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,” jawabnya dan diam-diam
ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Suma-kongcu,
aku... Lin Lin, aku datang membawa pesan enci-ku Sian Eng!” Dari enci-nya, Lin
Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka
sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama enci-nya itu yang ia duga mempunyai
hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini dari pada dia.
Benar saja
dugaan Lin Lin, mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan,
apa lagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biar pun yang
sudah-sudah gadis ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi
gadis cantik itu.
“Wah,
mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir
kesunyianku malam ini,” pikirnya sambil tersenyum, lalu membuka pintu.
Benar saja,
gadis jelita itu berdiri di depan pondok. Biar pun keadaan remang-remang, Suma
Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak
seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung
kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya
mendatangkan rasa kecewa.
“Silakan
masuk, Nona,” katanya menahan rasa kecewanya.
Lin Lin
tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung. “Mari kita masuk, tuan rumah
mengundang kita.”
“Maaf,
Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”
“Dia? Dia
pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.
“Ah, aku
hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku... ngeri melihat kakinya. Silakan kau
masuk, Nona.”
Lin Lin
sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk.
Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata
berminyak. Cepat-cepat ia berkata, “Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk
bertanya kepadamu, di mana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kau janjikan
kepada Enci Sian Eng?”
Dengan
pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat
ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya, “Siapa yang mengutusmu
ke sini?”
“Enci Sian
Eng.”
Suma Boan
mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup
maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biar pun gadis itu tetap
mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut.
“Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datang sendiri
ke sini baru aku mau bicara.”
“Dia tidak
mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya,” kata Lin Lin, menahan hatinya yang
makin marah.
Senyum Suma
Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti. “Betulkah begitu? Ahai, adik
manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia
bermalam di sini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau
mau mewakili enci-mu tidur di sini semalam bersamaku...?”
Suma Boan
cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin
tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak
dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua
pipinya merah, matanya bersinar-sinar.
“Wahai,
jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan
atas kehendakmu sendiri, bukan?” Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat
mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah
menerjangnya dengan hebat.
“Agaknya
harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara
baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya.
Namun biar
pun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan
tenaga sakti Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih
lebih tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biar
pun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan
angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk
menghindarinya.
Pada saat
itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma
Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat
ia menggunakan lengan baju menangkis.
“Plak-plak!”
Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke
belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang
buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek
ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kiranya
kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!
Pedang di
tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari
kesempatan untuk melompat ke luar dari pondok dan memanggil teman-temannya,
akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik.
Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya
yang menghalangi jalan ke luar. Ketika pedang bersinar emas itu menusuk
dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan
tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali
pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma
Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak dari sambaran pedang Lin Lin,
akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki
tangan lagi.
Lin Lin
segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan. “Hayo lekas mengaku di
mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”
Suma Boan
tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah dipundaknya membasahi
bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar. “Nona manis, mati di tanganmu
amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang
tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik
dan manis, atau kalau enci-mu sendiri datang ke sini.”
Bukan main
gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apa lagi bicaranya
begitu kurang ajar. “Kalau begitu kau mampus saja....”
“Tok-tok-tok...!”
Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung
siap.
Suma Boan
tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini?
“Siapa di luar?” tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang
datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.
“Aku...!
Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara...!”
Berubah
wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, enci-nya! Cepat ia memberi tanda kepada
Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke
bagian belakang rumah untuk bersembunyi.
“Ha,
kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku... aku tak dapat bergerak....”
Hening
sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng
muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika pandang matanya
melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya
mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan
berlutut dekat Suma Boan.
“Suma...
Koko! Kau kenapakah? Kau terluka... parah...?”
Suma Boan
tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih
menahan sakit. “Aku diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau bebaskan totokan
pada jalan darah thian-hu-hiat....”
Sian Eng
membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan tekanan. Akhirnya
Suma Boan dapat bergerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil
memegangi pundak kirinya yang terluka.
“Bagaimana?
Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut...,” kata Sian Eng yang
timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka.
Dengan
bantuan Sian Eng, Suma Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya
mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan
kakek buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia
merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci
luka dan membalutnya.
“Penjahat
siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?”
“Tidak tahu,
aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi...
tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Engmoi? Apakah kau
tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon
maaf kepadamu....” Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri
berlutut di depan gadis itu!
Sian Eng
terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan. “Sudahlah, aku datang ini
sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan Kakak Kam
Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku melihatmu, aku
menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk menanyakan hal ini....”
Suma Boan
mengerutkan keningnya. “Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin
menanyakan hal ini kepadaku?”
Sian Eng
menggeleng kepala. “Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu ke mana perginya
anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku
itu biar pun anak perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani!”
Suma Boan
mengangguk-angguk. “Aku percaya... dia... dia gadis yang aneh dan gagah.
Eng-moi, terus terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih
adik perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak...
semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya
mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar
bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau
bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya.”
Sian Eng
mengangguk. “Aku pun pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu
kandung Kakak Bu Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”
“Apa...?”
Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya. “Kalau begitu... dia... dia...
Suling Emas! Sudah kuduga, ada persamaan... tapi Suling Emas jarang
memperlihatkan diri lama-lama dan... dan Bu Song seorang lemah sebaliknya
Suling Emas demikian sakti...!”
Sian Eng
menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo. “Suling Emas...? Kakakku...
Kam Bu Song... Suling Emas...?” bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali
seakan-akan ia tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua
peristiwa ketika Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata
pendekar itu dan maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling
Emas selalu menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum
percaya benar.
“Suma-koko,
bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”
Suma Boan
dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng, ditariknya ke dekat
meja. “Adikku, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi
sekarang. Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali
aku melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk
tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song
seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling
Emas...! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera
dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal
dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah... Suling Emas! Kalau begitu, tidak bisa
lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri!”
“Wah... dan
kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”
“Memang dia
orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara
tentang diri kita....”
Sian Eng
mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik. “Bicara tentang diri kita? Apa
yang hendak kau bicarakan?” Kedua pipinya mendadak berubah merah.
Suma Boan
memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik
lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.
“Moi-moi,
kita saling mencinta... tapi aku... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau
marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta
kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”
Tubuh Sian
Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata, “Aku adalah
seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan
selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan... dan kalau memang kau suka
kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku
sudah meninggal, maka kau bisa kirim utusan meminangku kepada bibi guruku Kui
Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada di lereng puncak Cin-ling-san,” suara
Sian Eng makin lirih, agaknya ia bicara dengan malu-malu.
Di luar
pondok makin gelap, dan dari luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar,
bisik-bisik mesra sepasang orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.
***************
“Tuanku
puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak
usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan sekali!” Pak-sin-tung
memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan
setelah ia mendengar munculnya Sian Eng. Akan tetapi Lin Lin menggelengkan
kepala dan terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil
bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali
Pak-sin-tung memprotes.
“Tuanku
puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu
tidak lebih pandai dari pada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak
kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”
“Diam kau!”
Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan
peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain
cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan
perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku
bukannya takut kepada gadis itu, aku... aku... hanya mengubah niatku. Sekarang
kita mencari Suling Emas!”
Pak-sin-tung
kini kelihatan ragu-ragu. “Tuan Puteri... hal ini... hamba rasa kita
membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”
Diam-diam
Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini
ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk
menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan.
Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu
membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan
tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.
“Pak-sin-tung!
Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau
kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm... ingin kulihat ke
mana kau hendak menyembunyikan kepalamu?!”
Wajah kakek
buntung itu menjadi pucat. “Maaf, Tuan Puteri... bukan maksud hamba membangkang...”
“Cukup! Kau
takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut
terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu
atau tidak?”
“Baiklah,
Tuan Puteri, baiklah...!” Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di
kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang
pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin
Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti
bayangan-bayangan setan di dalam gelap.
“Hamba telah
siap,” kata si buntung.
“Mari kita
mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan
baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan
sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”
Ruangan
sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari
tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat
sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong masih
berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak
Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya
dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang
rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar semedhinya.
Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur!
Permintaan
yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat
aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya. Demikianlah,
tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan
sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan
dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara
besar-besaran.
Ketika
mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh
pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung
menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah. “Dia di sana, akan tetapi
harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di
ruangan itu.”
Lin Lin
merengut. “Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka
mengajak Hek-giam-lo... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo
rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan
Khitan! Pak-sin-tung, kau tunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam
melalui bangunan belakang. Kau lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri
Khitan lebih berani dari pada jago-jago Khitan! Kalau kalian yang memalukan
nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya!”
“Tuan
Puteri... ini berbahaya...!” Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin
sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.
Terpaksa
Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat
muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang
ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.
“Celaka...
dia memasuki bagian terlarang... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati
keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw...!”
Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia
lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke
arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa
pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan!
Dengan hati
tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu,
lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat
tempat hio yang terisi hio (dupa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat
pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat
tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman
hukuman mati!
Sebetulnya,
tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap
Suling Emas, walau pun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk
melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan. Namun
sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri dari pada pengawasan
Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling
Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk
di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura
hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita
meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat
hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan
Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari
tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw.
Seperti kita
ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan
Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima
ini berikut belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya
Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang
panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang
sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang
pilihan di Hou-han.
Malam hari
itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi
meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar
dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat
tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan
orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat
‘terhormat’.
“Sam-wi
(Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka
monyet itu berkata sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan
hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu
secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa
keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata mau pun kedudukan
mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan
dapat termakan api.” Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang
sukar ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang
kukuh.
“Akan tetapi
menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw
yang paling muda di antara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita
harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan
hal-hal yang tidak sewajarnya.”
“Ucapan
Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi
hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini
sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biar pun Sri
Baginda yang menjadi raja di sini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan
Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan
kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan mana pun, tidak berniat
memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari
mana pun.”
Gak Houw
mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata.
“Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni.
Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu
dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian
mencuri bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam
pondok penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan
dengan mudah?”
“Sukar bagi
orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su
Ban Ki. “Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang
sumbangan, mudah saja baginya untuk....”
“Braaakkkk!”
tiba-tiba terdengar suara genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas
menerobos turun sebuah benda hitam besar.
Mereka
berempat kaget sekali, apa lagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu
disusul meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat
sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang
yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas
genteng.
“Keparat,
siapa berani main gila?!” Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga
orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat ke luar, terus
melayang ke atas genteng.
Akan tetapi
sunyi di atas genteng tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah
rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan
orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun sia-sia
hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka
sendiri.
Ketiga orang
jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri
dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata
terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka,
menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi
tidak dapat mengeluarkan suara.
Tiga orang
jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak
juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka
terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh
kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.
“Saudara Su
Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu
Bin, suaranya kereng.
Su Ban Ki
membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering. “Ini... ini...
peti mati... istana... entah apa artinya...” Ia tergagap.
Gak Houw
maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua
lengannya yang kuat membuka tutup peti.
“Krrriittt!”
tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah
menjadi mayat.
“Suheng...!”
Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka... suheng dibunuh... tentu
rahasia bocor atau... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera
pergi, lari keluar kota....” Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari
dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi
segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.
Tiga orang
jagoan Hou-han cepat melompat ke luar dan di dalam gelap mereka masih sempat
melihat Su Ban Ki roboh terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan
yang membuat tiga orang ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti
mati bergerak-gerak pergi, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang
berloncatan. Saking kaget dan ngeri hati, mereka tidak mengejar. Akan tetapi Lu
Bin cepat meloncat ke dalam rumah dan melihat bahwa peti mati yang tadi masih
menggeletak di atas meja, terbuka dan kosong. Dengan demikian, berarti bahwa
peti mati di luar yang ‘hidup’ itu adalah peti mati lain, walau pun bentuk dan
modelnya sama, yaitu di bagian kepala terdapat ukir-ukiran kepala siluman
seperti naga atau harimau.
Ia cepat
melompat ke luar lagi. “Kejar...!” serunya sambil lari cepat diikuti kedua
orang sutenya.
Akan tetapi
dalam sekejap mata saja peti mati ‘hidup’ itu sudah lenyap! Dengan penuh
keheranan dan penasaran, tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget
dan herannya hati mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak
melihat lagi mayat Su Ban Ki dan suhengnya.
Ketika
mereka memasuki rumah, anak buah mereka masih berdiri saling pandang dengan
muka pucat, memandang peti mati yang masih terbuka kosong di atas meja!
“Hemmm, apa
artinya ini semua?” Gak Houw berseru marah. “Orang sakti mempermainkan kita.
Sayang tidak ada Sin-ni, kalau ada jangan harap dia dapat bermain gila seperti
ini!”
Lu Bin
mengelus jenggotnya. “Betapa pun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak
mengganggu kita. Siapa lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana
kalau bukan orang sini juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin
dianggap sebagai pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa
pembunuhnya tentulah orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak buah
mereka menggeletak di luar. Juga agaknya mereka itu hendak memperingatkan
kita.” Memang Lu Bin seorang yang berpemandangan luas dan sudah berpengalaman
dalam dunia kang-ouw yang serba aneh.
“Habis,
bagaimana baiknya?” kata Giam Song. “Apakah kita harus melaporkan hal ini
kepada Sin-ni?”
“Tidak
perlu,” kata Lu Bin. “Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas kita hanya untuk
menghubungi Nan-cao dan untuk mengadakan persekutuan guna memperkuat pertahanan
bersama. Soal-soal yang busuk tadi datangnya dari pihak Nan-cao sendiri sebagai
usul, bukan hasil pemikiran kita. Dan inilah sebabnya kita tidak diganggu.
Hebat benar orang sakti itu, dan sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa
kita tidak mempunyai maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita
kembalikan.”
“Kembalikan?
Ke mana?” Gak Houw berseru kaget.
Lu Bin
tertawa. “Datangnya dari atas genteng, tentu saja harus kita kembalikan ke atas
genteng pula!” Sambil berkata demikian, ia menghampiri meja, mengempit peti
mati itu dengan lengan kiri, membawanya ke luar kemudian sekali menggerakkan
tangan, peti mati itu melayang naik ke atas genteng, jatuh di atas genteng
tanpa membikin pecah genteng dan terletak di situ seperti diletakkan
perlahan-lahan oleh tangan yang amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lweekang
dari orang she Lu ini sudah cukup kuat.
Lu Bin lalu
mengajak temantemannya masuk ke dalam pondok dan memesan anak buahnya agar
supaya jangan lengah, biar pun berada di dalam kamar masing-masing agar supaya
malam itu jangan tidur, melainkan berjaga-jaga.
Tidak hanya
di tempat penginapan orang-orang Hou-han yang terjadi peristiwa aneh. Juga di
tempat lain terjadi keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat
kediaman para utusan Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada
waktu itu, rombongan utusan Kerajaan Sung Utara sedang sarapan. Di kepala meja
duduklah ketua rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang panglima tua
bernama Ouwyang Swan yang pada saat itu mengenakan pakaian biasa. Ia semeja
dengan tiga orang panglima lain yang lebih muda. Tentu saja dalam percakapan
mereka bicara tentang peristiwa dalam perjamuan kemarin, dan membicarakan
Gan-lopek dan Suma Boan. Mereka tertawa-tawa geli. Sebagian besar panglima yang
setia kepada Kerajaan Sung, tidak senang belaka kepada Suma Boan, putera dari
Pangeran Suma yang korup.
Tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar dan ketika mereka menengok, dengan heran mereka
melihat seorang kakek tua yang telanjang bulat memegangi sehelai kain
berlari-lari ke arah mereka sambil berteriak-teriak.
“Waduhhh...
walaaahhh... ular... hiiiii... ular, ular...!”
Sambil
berteriak-teriak dengan mata terbelalak ketakutan, kakek itu berlari memasuki
ruangan dan terus saja meloncat ke atas meja di depan Panglima Ouwyang Swan,
kakinya yang juga telanjang itu menginjak-injak hidangan dan menendang cawan-cawan
arak sehingga hidangan dan minuman itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia
terus berloncat-loncatan dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan.
Tentu saja
para panglima dan rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah sekali.
Apa lagi ketika mereka melihat seorang kakek lain yang muncul dengan seekor
ular besar membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukan lain adalah Tok-sim
Lo-tong, seorang di antara keenam Thian-te Liok-koai, kakek yang hanya bercawat
saja dan tubuhnya tinggi kurus kering seperti tiang lampu! Melihat munculnya
iblis ini, barulah panglima Ouwyang Swan teringat dan kini ia memandang kepada
kakek pendek telanjang bulat yang masih menari-nari di atas meja,
menginjak-injak semua hidangan sambil berteriak, “Ular... ular!”.
Kini ia
mengenal kakek telanjang itu, bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang
sakti dan yang sejak pagi tadi menjadi bahan percakapan mereka.
Kagetlah
hati Ouwyang Swan. Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam keadaan begitu aneh,
benar-benar hal yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak yang marah
sekali, akan tetapi sebagai anak buah yang taat, mereka belum berani bergerak
sebelum mendapat komando dari Ouwyang Swan sendiri.
“Tikus busuk
she Gan, jangan lari, hayo ke sini lawan aku!” suara kecil dan berbunyi
ngik-ngik seperti orang sakit napas itu menantang.
“Memang aku
tikus, paling takut melihat ular!” Empek Gan menggigil. “Tapi engkau bocah
cacingan kurang ajar! Engkau cacing busuk. Kalau mengajak berkelahi, pakailah
aturan. Masa orang lagi enak-enak mandi kau ganggu dan takut-takuti dengan
ular? Aku paling jijik melihat ular yang kotor!”
Orang-orang
yang tadinya sarapan kini sudah berdiri semua, ada yang menahan ketawa, ada
yang memandang tegang. Peristiwa itu tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek
yang disohorkan sakti terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari
bertelanjang, akan tetapi sebetulnya amatlah menengangkan karena kakek sakti
ini kini berhadapan dengan seorang di antara Enam Iblis.
“Orang she
Gan, mari... mari... kita main-main sejenak...!” kembali Tok-sim Lo-tong
menantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok.
Akan tetapi
Empek Gan tidak mempedulikan dia lagi. Entah dari mana dapatnya, tahu-tahu
kakek ini sudah mengeluarkan puluhan butir obat bundar sebesar kelingking. Kain
yang tadi dibawanya sudah ia libatkan menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa
lebar ia berkata.
“Kalian ini
jagoan-jagoan dari Kerajaan Sung mengapa begini goblok?”
Ouwyang Swan
mengerutkan alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya sudah terkenal, ilmu
kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula di Kota Raja Sung. Biar pun
ia maklum akan kesaktian Gan-lopek, namun ia merasa bahwa orang sakti ini
keterlaluan, sama sekali tidak memandang mata kepadanya.
“Gan-locianpwe,
kami mengerti bahwa kau adalah seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang
bodoh saja, akan tetapi tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di
antara kita tidak ada....”
“Aduhhh...!”
Dua orang anak buahnya terguling dan merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka
memegangi perut yang terasa amat sakit.
Ouwyang Swan
kaget sekali, mengira bahwa kakek sakti itu turun tangan jahat, akan tetapi
tiba-tiba tiga orang temannya yang menjadi pembantu-pembantunya juga mengerang
kesakitan dan menekan-nekan perut.
Empek Gan
tertawa bergelak. “Salahkah kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya
sehingga tahi busuk dimakannya! Sekarang setelah keracunan, masih berlagak
lagi! Nih, telanlah seorang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang
rakus, mau makan sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku tidak
bisa menolong lagi!” Setelah melempar puluhan butir obat itu ke atas meja, ia
berlari-lari ke luar.
“Eh, kau masih
di sini? Tok-sim Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan
ular, ya? Lebih baik kau main tari-tarian ular biar nanti kuberi hadiah!”
“Hadiah
kepalamu!” Tok-sim Lo-tong menerjang maju, ular itu telah ia pegang perutnya
dan kini binatang ini ia pergunakan sebagai senjata, menyambar ke arah kepala
Gan-lopek.
“Hiiiii...
jijik aku...!” Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatannya tidak
mengelak hanya menggerakkan pantat megal-megol, tapi serangan-serangan Tok-sim
Lo-tong mengenai tempat kosong melulu! Ketika iblis itu marah dan mendesak,
Gan-lopek sudah lari pergi sambil berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong
juga lari mengejar.
Ada pun
Ouwyang Swan cepat membagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan obat itu karena
tiba-tiba perutnya juga terasa panas dan sakit. Ajaib. Begitu ditelan, rasa
panas dan sakit lenyap seketika. Anak buahnya juga mengalami hal serupa.
“Hemmm, ada
yang menaruh racun pada makanan kita...!” Ouwyang Swan berkata marah. “Heran
sekali, apakah pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni
tamu-tamunya yang datang memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai
tanda persahabatan?”
“Tuan rumah
memperlihatkan sikap bermusuhan, tak perlu kita tinggal lebih lama di sini,
Ouwyang-twako!” kata Tan Hun, panglima lainnya yang menjadi pembantunya.
“Memang,
hendak kulaporkan hal ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil berpamit.” Cepat
Ouwyang Swan memasuki kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi pada
saat itu terdengar pekik kesakitan di sebelah belakang rumah...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment