Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 13
"Baik!"
jawab Can Ji Kun yang segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa
surat laporan Maya dan berangkat pada hari itu juga ke timur. Maya lalu
mengatur rencana pengejaran ke barat.
"Sayang
kita tidak tahu pasti ke mana mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak
ada yang mengenal baik daerah ini."
"Li-ciangkun,
harap jangan khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak
akan keliru kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke
selatan."
Maya
tercengang. Banyak hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas
penggembala domba ini! "Mengapa kau berpendapat demikian, Cia-huciang?
Bukankah di selatan banyak terdapat barisan Sung?"
"Jalan
mundur satu-satunya yang paling lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke
timur berhadapan dengan barisan Yucen yang kuat, demikian pula ke utara.
Sedangkan di sebelah barat terdapat pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan
hanya terjaga oleh pasukan Sung, akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin
lemah dari pada menghadapi barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi
pasukan Sung. Maka kiranya tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa
barisan Mancu itu tentu mengundurkan diri ke selatan.”
Maya
mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si Penggembala
domba ini memiliki pemandangan yang luas dan cerdik. “Baiklah, kalau begitu
kita mengejar ke selatan.”
Pada
keesokan harinya berangkatlah pasukan itu menuju ke selatan dan ketika para
penyelidik memberi pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa
pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke selatan, Maya makin kagum terhadap
pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat sunyi, karena
sebagian besar penduduk mengungsi dari daerah yang dilanda perang itu.
KITA kembali
mengikuti perjalanan dan pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita
tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu
mempelajari ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dari kakek yang kedua
kakinya buntung dan lengan kirinya juga buntung. Kedua ilmu silat yang amat
aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung.
Ilmu silat
ini memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek
itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee
menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan
oleh orang-orang cacat saja sudah begitu hebat, apa lagi dimainkan oleh Siauw
Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu
silat yang tingkatnya jauh lebih tinggi pula. Di samping ini masih mendapat
ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu itu!
“Bagus!
Lihiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna! Andai kata aku sendiri
yang melatih dengan kaki tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!” Lu
Gak, demikian nama kakek itu tertawa puas.
Akan tetapi
Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali ia minta agar kakek
itu beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras, siang malam mengajarnya
padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk sekali! Kini biar pun kakek itu
tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya memburu.
“Lu-locianpwe,
engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat.”
“Baiklah...
baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa
mengambil tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang
kami kedua pihak di mana terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau
wakililah aku Lihiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau
berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata terpejam.”
“Baik,
Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan lancar,” jawab Siauw Bwee dan
hatinya lega menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok.
Kakek ini
sebenarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, biar pun tidak berkaki dan hanya
berlengan satu, namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan
tangannya ke atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti
itu dan mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum
kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan
harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan telah berkumpul seluruh anggota
kaum kaki buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung
sebanyak tiga puluh orang. Mereka dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu
Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung. Seperti biasa
setiap tahun masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai
mati! Pihak yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan
dilanjutkan tahun depan, akan tetapi ada kalanya pertempuran terjadi dengan
hebat sehingga semua anggota saling serang merupakan perang kecil yang akan
merobohkan banyak korban di kedua pihak.
Kedua pihak
telah mengajukan lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi
sebelum pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah
meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan
tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu
besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya
akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan
tugas hidupnya!
Melihat
munculnya Siauw Bwee yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya
dara ini pernah bentrok, kedua kaum cacat itu menjadi terkejut dan marah.
“Bocah
pengecut!” bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa
menyesal telah ‘membunuh’ gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali
tidak mati malah membikin kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini
orang she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama
bertahun-tahun itu pun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu
sekarang dara yang ilmunya tinggi itu berada di situ!
“Mau apa
engkau?” bentak The Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega
hatinya karena teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai
itu tidak berpihak kepada siapa pun.
Siauw Bwee
memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum
mengejek dan suara bernada dingin, “Kalian ini orang-orang tua, sudah bercacat
tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian
seperti hidup di neraka dan selalu haus darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa
sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara seperguruan dan
kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini
masih juga dilanjutkan?”
“Eh, bocah
setan. Mau apa engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan dirimu?” bentak Liong Ki Bok.
“Pergilah!
Kami tidak mempunyai urusan denganmu!” bentak pula The Bian Le.
Siauw Bwee
tertawa, “Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak
semestinya saling bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian besikap
seperti hendak bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat
bersatu, yang satu memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup
berdampingan secara damai kalian dapat saling tolong-menolong?”
“Banyak
cerewet!” The Bian Le berteriak, “Urusan kami adalah urusan dendam
turun-menurun, siapa juga tidak boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya!
Kalau salah satu kaum di antara kami musnah, barulah akan terhenti!”
“Wah, wah!
Memang aku tahu bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik.
Banyak orang baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru
masuk menjadi murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki!
Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat
hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara
sendiri!”
“Engkau
terlalu menghina kami!” teriak Liong Ki Bok.
“Perempuan
keparat!” The Bian Le membentak.
Siauw Bwee
mengangkat kedua tangan ke atas. “Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi,
memang seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan
betapa kalian ini sia-sia saja mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu
kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan
kalian dua orang ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh
melanjutkan permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian
dengan ilmu kanak-kanak kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan
permusuhan ini dan merubah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu
kalian untuk bersatu mengalahkan aku kalau bisa!”
Dua orang
ketua itu tertegun. Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi
melawan mereka berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu
isi-mengisi sehingga memperlengkap kekurangan mereka.
“Nona,
jangan main-main!” teriak Liong Ki Bok.
“Engkau
mencari mampus!” teriak pula The Bian Le.
“Gertak
sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jeri mengeroyok aku?”
“Keparat!
Siapa takut?” Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
“Kalau
begitu, kalian menerima taruhanku?” tanya Siauw Bwee dengan girang.
Kedua orang
ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi
marah sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa
saling benci mereka.
“Aku
terima!” kata Liong KI Bok.
“Marilah!”
kata The Bian Le.
“Bagus! Nah,
seranglah!” Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi
mereka di kanan kiri.
Liong Ki Bok
sudah menggerakkan kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan
tongkat. Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak
tangan kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan
tangan kanan disusul tendangan yang dahsyat!
Namun,
karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka dan perkembangannya,
tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek.
Makin diserang, makin cepat ia mengelak dan makin keras suara ketawanya
sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah.
Gerakan
mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok seperti
hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking cepatnya.
Demikian pula The Bian Le seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang
menghujankan tendangan dengan gerak kaki yang indah dan rapi.
“Dukk!”
Kedua orang ketua itu terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu
pangkal paha kaki tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee,
sedangkan pangkal lengan satu The Bian Le sudah kena ditepuk!
“Nah,
bukankah ilmu kalian seperti ilmu kanak-kanak?” Siauw Bwee mengejek dan cepat
mengelak karena kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh
kemarahan.
Kini Siauw Bwee
bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang
merupakan pemecahan rahasia kedua ilmu mereka.
Mulailah
keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka
sendiri, dan kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa
lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah
melumpuhkan semua perkembangan gerakan mereka! Setelah bertanding selama
seratus, jurus, akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil
menotok thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan
seketika kedua orang ketua itu mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan
lumpuh!
Siauw Bwee
bertolak pinggang. “Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk
memenuhi janji?”
Liong Ki Bok
dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut.
Siauw Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun.
Anak buah kedua kaum cacat itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak
mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.
“Aku mengaku
kalah. Nona lihai sekali, akan tetapi... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu
gerak tangan kilat kami?” kata Liong Ki Bok.
“Hal itu
tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus
memenuhi janji untuk menghentikan permusuhan!”
Tiba-tiba
The Bian Le berseru, “Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan
satu mengaku kalah. Sampai lain tahun!” Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua
puluh sembilan orang anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!
“Kami
memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk kali ini!” kata pula Liong Ki
Bok, yang juga berloncatan pergi diikuti semua anak buahnya.
Siauw Bwee
tercengang dan diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak
berhasil. Hanya berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali
tidak berhasil menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil
menghapus dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras
dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan
melihat Lu Gak roboh dengan mata mendelik!
“Lu-locianpwe!”
Siauw Bwee cepat memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa kakek
itu terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh
yang hanya berlengan satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek
itu setelah sadar lalu mengeluh panjang dan menggeleng kepalanya.
“Keras
kepala... keras kepala mereka itu... Lihiap...!”
“Aku akan
menghajar mereka, Locianpwe. Akan kupaksa mereka!” Siauw Bwee berkata gemas,
maklum bahwa kakek ini merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa
kedua kaum itu masih saja tidak mau menghentikan permusuhan mereka, berarti
bahwa tugasnya telah gagal!
Akan tetapi,
dengan napas terengah-engah kakek itu berkata, “Percuma, Lihiap... Ahh...!
Kiranya hanya Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka
mata mereka bahwa semua permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik...”
“Tenanglah,
Locianpwe. Yang paling penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti
perlahan-lahan kita mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu.”
“Aihh, kau
baik sekali, Lihiap. Akan tetapi mereka, aahhh...” Dan kakek itu lalu menangis
terisak-isak! Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan
kakek itu yang telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Dengan
sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu.
Tiga hari
kemudian, selagi Siauw Bwee menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat ke luar
dan tampaklah semua anggota kedua kaum bercacat itu berkumpul di luar pondok
dan saling memaki.
“Sudah jelas
betapa rendah dan curangnya Si Lengan Buntung!” teriak seorang nenek berkaki
buntung sambil menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang
memandang marah. “Siapa lagi kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan
bantuan gadis setan itu? Orang she Lu adalah seorang di antara kaummu, tentu
membantu kalian!”
“Tutup
mulutmu yang kotor!” bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan
telunjuk lengan tunggalnya kepada rombongan kaki buntung, “Gadis itu pernah berada
di tempat kalian, tentu dia telah membantu kalian menculik ketua kami!”
Mendengar
ini Siauw Bwee yang baru keluar berseru, “Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa
aku?”
Semua orang
menengok dan ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando saja mereka
kedua pihak telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee.
Dara perkasa
ini terkejut dan heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan,
menyambar-nyambar laksana burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga
terdengarlah orang-orang mengaduh disusul robohnya belasan orang
berturut-turut! Untung bagi mereka bahwa Siauw Bwee masih menaruh kasihan,
menganggap mereka itu orang-orang keras kepala yang bodoh dan dimabok dendam,
maka dia masih menahan tenaganya dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
“Tahan...
Apakah kalian telah gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua...!”
Siauw Bwee
melompat ke dekat pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan
pintu, menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum
cacat itu memandang Lu Gak dan seorang kakek lengan buntung berkata,
“Lu-supek,
Suhu The Bian Le telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau
bukan Nona ini?”
“Juga ketua
kami diculik oleh Nona ini!” berkata seorang tokoh kaki buntung.
Lu Gak
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Hemm... kalian sudah gila semua, gila oleh
dendam permusuhan sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta.
Apakah kalian melihat sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?”
“Kemarin
pagi ketua kami menyatakan hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam
di dekat rawa melawan ketua lengan buntung,” demikian kakek yang berkaki
buntung bercerita, “Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu
perorangan di antara kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui
oleh Nona ini yang melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak
pulang, maka terpaksa kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami
tiba di dekat rawa, kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga mencari
ketua mereka. Akan tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan lengan baju yang
buntung dari ketua lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak
kelihatan mayat di situ, berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup
menculiknya kalau bukan Nona ini?”
Tiba-tiba
Siauw Bwee melangkah maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah
mundur. Mereka jeri terhadap Siauw Bwee yang luar biasa lihainya. “Permusuhan
di antara kalian telah menimbulkan banyak mala-petaka. Lihat Lu-locianpwe ini,
karena dialah satu-satunya orang yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia
berusaha mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua
kakinya! Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah
jalan yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan
kalian datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa
besar rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang gila, agaknya aku akan
senang untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalat-lalat busuk yang
hanya mengotori dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian
sehingga ketua kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar?
Kalau aku berjanji untuk membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian
suka bersumpah untuk menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari
mereka?”
Orang-orang
kedua rombongan saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.
“Ingat,
orang yang dapat menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku
akan berusaha mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua kalian. Akan
tetapi bersumpahlah lebih dulu bahwa semenjak saat ini, semua dendam di antara
kalian telah habis dan kalian tidak akan saling bermusuhan lagi, bagaimana,
sanggupkah?”
Hening
sejenak dan terdengar mereka semua berbisik-bisik. Kemudian, kakek kaki buntung
memelopori teman-temannya, “Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup
asal ketua kami diselamatkan!”
Siauw Bwee
tersenyum. Memang pihak kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia
bertanya, “Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan
mencari dan menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!”
“Kami...
kami sanggup dan bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami
diselamatkan!” Akhirnya nenek lengan buntung berseru.
Siauw Bwee
masih belum puas. Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan di antara
mereka dan siapa tahu kalau nanti ketua mereka telah berada di tengah mereka,
permusuhan akan dilanjutkan.
“Bagaimana
kalau kelak ternyata bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan
melanjutkan permusuhan?”
Hening pula
sejenak dan tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan
penuh perhatian berkata, “Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian
menaati kehendak ketua kalian yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih
nekat saling bermusuhan dan tidak menaati janji dengan Khu-lihiap, kita
hancurkan saja mereka yang menjadi sarang dan bibit permusuhan.”
“Akurr...!”
Kini semua anggota kedua kaum itu berteriak.
Wajah Siauw
Bwee berseri, “Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap
meninggalkan lengan baju dan tongkat!”
Berangkatlah
mereka menuju ke rawa di mana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok
burung-burung liar. Ketika mereka tiba di tepi rawa di mana mereka menemukan
tongkat Liong Ki Bok dan lengan baju The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke
sekitarnya dan dia mengerutkan kening. Rawa itu amat luas dan tidak tampak tempat
yang kiranya dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal orang yang menculik
kedua orang ketua itu. Dia merasa heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang
itu diculik, tentu tidak disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain
tempat. Tempat terbuka luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan
orang?
Dia
memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan
tempat sarang maut dan teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang
juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok burung, yaitu Cia Cen Thok si
bekas ‘mayat hidup’ dan pemuda Gobi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu
mereka itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau...
dikeroyok ular. Siauw Bwee bergidik.
“Lihiap, ke
mana sekarang kita mencari mereka?” Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan
semua orang kini memandang kepada Siauw Bwee.
Siauw Bwee
menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba
Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka, yang sejak tadi mengerutkan alisnya
dan memandangi daerah rawa yang luas, berkata, “Ahh, aku tahu! Tidak salah
lagi...!”
Semua orang
kini memandang kakek itu dan Siauw Bwee bertanya, “Di mana mereka menurut
pendapatmu, Locianpwe?”
Semua orang
diam mendengarkan jawaban kakek itu, “Kedua orang sute itu kalau diculik orang
tentu disembunyikan di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk
maksud itu dan satu-satunya tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!”
Orang-orang
kedua kaum cacat itu saling pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan
mulai kelihatan murung dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang
ke tempat itu, kecuali jika diadakan pibu! Namun melihat Siauw Bwee dan Kakek
Lu Gak pergi menuju ke kuil tua, mereka mengikuti dari belakang.
“Lihat
itu...” Siauw Bwee berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah
benda-benda beterbangan di atas kuil.
“Kelelawar-kelelawar
siang!” Anggota kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan
langkah. Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah
kuil. Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah
takut-takut.
Siauw Bwee
lebih dulu tiba di kuil dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang
yang menembus ke halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan
yang mengejutkan hatinya. Liong Ki Bok dan The Bian Le rebah telentang di atas
rumput, agaknya terluka dan tertotok. Dua orang kakek itu terbelalak memandang
ke arah ratusan kelelawar yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara
seperti sekumpulan anjing dan kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang
kakek yang tidak berdaya itu!
Melihat ini,
Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat mengeluarkan
suara melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini Siauw Bwee segera
teringat. Melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan tenaga khikang, ia
lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan mengandung getaran hebat.
Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri dengan
terbang membubung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu
makin bingung, bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara
melengking yang begitu dahsyatnya.
Tiba-tiba di
luar kuil terdengar suara tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan
kesakitan dan suara gedebak-gedebuk orang berkelahi.
“Locianpwe,
harap menjaga agar binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi
tidak perlu memaksa diri. Aku akan melihat keluar!” Tubuh dara perkasa itu
sudah berkelebat ke luar kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak
keheranan.
Puluhan
orang-orang anggota kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua
orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah
belasan orang anggota kedua kaum itu roboh tewas, banyak pula yang terluka dan
kedua orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha!
Aku adalah raja rawa! Lebih banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa
kelelawar!” teriak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan
hanya bercawat saja, tubuhnya penuh lumpur.
“Ha-ha-ha!
Benar, lebih banyak lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah
pangeran rawa-rawa!”
Siauw Bwee
menahan napas melihat orang ke dua yang pakaiannya robek-robek tidak karuan
hampir telanjang itu. Seperti orang pertama, rambutnya riap-riapan, tubuhnya
penuh lumpur dan mata mereka itu merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu
kepandaian mereka luar biasa sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja
akan tetapi setiap tangan mereka bertemu dengan anggota-anggota kedua kaum yang
mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!
“Cia Cen
Thok, Liem Hok Sun...!” Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah
pertempuran. “Semua orang mundur, jangan melawan mereka!”
Mendengar
seruan ini dan karena memang takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang
gila itu, anak buah kedua kaum cacat itu cepat mengundurkan diri sehingga kini
hanya Siauw Bwee saja yang berhadapan dengan dua orang gila. Ia menoleh dan
berkata kepada orang-orang itu. “Ketua kalian selamat, di halaman belakang!”
Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.
“Cia Cen
Thok, Liem Hok Sun, apa yang kalian lakukan ini?” Siauw Bwee memberanikan diri
menegur dengan hati gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang
ini sudah tidak waras lagi dan tidak normal.
“Ha-ha-ha!”
Kedua orang itu tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw
Bwee.
“Cia Cen
Thok! Liem Hok Sun! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!”
“Ha-ha-ha!
Korban lunak untuk para dewa kelelawar!” Tiba-tiba Cia Cen Thok yang
tertawa-tawa itu menyerang hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak.
Dari tangan
Si Bekas Mayat Hidup itu tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka
semua beracun! Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah
berhasil menyelamatkan diri dari pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya
menjadi korban gigitan kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain
gila, tubuh mereka menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini
dua orang gila itu telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat
sekali!
Pada saat
Siauw Bwee mengelak dan mengandalkan ginkang-nya agar jangan sampai kulit
tubuhnya tersentuh tangan-tangan beracun itu, para anggota kedua kaum telah
memapah ke luar ketua mereka, mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua
berdiri di luar kuil menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka
tidak membantu karena ketua mereka berkata, “Dua orang itu korban kelelawar,
tubuh mereka beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan
mereka!”
Siauw Bwee
harus menggunakan seluruh kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat
itu. Yang menyulitkannya adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut
karena maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar.
Betapa mungkin dia tega untuk membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena
kedua orang itu menyerangnya dengan nafsu membunuh. Setelah menjadi korban
gigitan kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga
gerakan mereka menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai dari
pada sebelum gila.
Bukan main
ramai dan serunya pertandingan itu. Biar pun Siauw Bwee memiliki gerakan yang
ringan dan cepat sekali, akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah
membuat beberapa bagian pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah
terserempet cakaran tangan Hok Sun sehingga mengeluarkan darah. Rasa gatal dan
panas pada pundaknya membuat Siauw Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun.
Terpaksa dia harus mengerahkan sinkang-nya dan dengan hawa murni itu dia
mendesak hawa beracun di pundaknya sehingga tidak menjalar lebih luas.
Ketika ia agak
lengah karena melirik ke arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia
Cen Thok dengan tendangan yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha
kanannya.
“Desss!”
tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah!
Dua orang
gila itu terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan
seperti dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa
pahanya panas sekali, maka cepat ia menggunakan sinkang melindungi darahnya.
Melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas. Gila atau tidak, mereka
itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia robohkan tentu
akhirnya dia sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka menubruk maju
Siauw Bwee mengerahkan sinkang-nya dan menyambut tubuh mereka dengan tendangan
kedua kakinya!
“Bukk!
Bukk!”
Dua orang
gila itu berteriak seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar ke belakang
dan mereka bergulingan menekan perut yang rasanya seperti diremas-remas! Mereka
kini meringis dan Siauw Bwee sudah melompat bangun, kepalanya pening akibat bau
racun dan tubuhnya agak terhuyung. Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali
melihat dua bekas kawan yang gila itu meraung-raung kesakitan. Namun kedua
orang itu kini sudah bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya.
Siauw Bwee
terkejut. Kalau dilanjutkan tentu dia akan celaka. Dia harus membagi sinkang
untuk melindungi tubuhnya dari kedua lukanya, luka di kulit pundak dan kulit
pahanya. Tendangan Cen Thok tadi merobek celananya di paha sahingga kulit
pahanya terkoyak dan keracunan pula bertemu dengan kaki Cen Thok! Kini melihat
kedua orang gila itu sudah menyerbu lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan
Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan.
Tubuh kedua
orang gila itu seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi
biru, tubuh mereka menggigil dan mereka bergulingan sampai jauh, kemudian
berhasil merangkak bangun dan melarikan diri sambil berteriak-teriak! Siauw
Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki buntung dan seorang anggota lengan
buntung cepat menolongnya, memegang kedua lengannya menuntunnya memasuki kuil
tua.
“Lepaskan
aku...,” Siauw Bwee berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil,
memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.
Para anggota
kedua kaum itu mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersemedhi menghimpun tenaga
dan hawa murni untuk mengobati luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki
Bok dan The Bian Le memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk
meninggalkan Siauw Bwee. Mereka pergi ke ruangan depan di mana mereka
bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa bersatu dan lenyaplah rasa permusuhan
di antara mereka setelah kedua pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang
sakti itu sampai hampir mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan demi untuk
mendamaikan mereka!
Mereka tidak
mau meninggalkan Siauw Bwee dan beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk
dan pergi lagi ketika melihat Siauw Bwee masih tetap bersemedhi. Malam tiba dan
para anggota kedua kaum itu menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua
yang dahulu menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan.
Kini tampaklah suasana yang mengharukan di mana seorang kaki buntung dan
seorang lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu halaman
kuil! Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling
membicarakan kedua ilmu mereka, membuka rahasia gerak kilat masing-masing!
Setelah
malam tiba dan lampu penerangan dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun
dari luka di pundak dan pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi
tubuhnya menjadi lemah karena ia terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk
usaha pengusiran racun-racun berbahaya itu, sehingga ketika bangkit ia mengeluh
dan terhuyung. Kemudian dengan terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggota
kaki buntung dan lengan buntung.
“Mana kedua
ketua kalian?” tanyanya ketika ia dipapah ke luar.
Kedua orang
kakek itu sudah menyambutnya dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw
Bwee, mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu!
“Terima kasih kami haturkan kepada Lihiap yang sudah menolong kami!” kata The
Bian Le yang berlutut dan mengangkat sebelah tangannya ke depan dada sebagai
tanda penghormatan.
“Terima
kasih sekali, terutama karena Lihiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami
telah bersumpah untuk mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini,
kedua kaum kami bersatu sebagai saudara-saudara seperguruan,” kata Liong Ki
Bok.
Bukan main
girangnya hati Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini biar pun
ditebusnya dengan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang karena
mengingat betapa akan bahagianya rasa hati Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan
kiri dan bertanya, “Mana dia?”
Dua orang
ketua itu saling pandang, “Siapakah yang Lihiap cari?” tanya Liong Ki Bok.
”Hemmm,
betapa kalian telah melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan
kalian! Mana Locianpwe Lu Gak?”
“Ahh...!”
Barulah semua orang teringat, akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.
”Lekas,
jemput dia di pondoknya!” Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu
menyuruh mereka karena dia sendiri masih terlalu lemah.
Dua orang
kakek itu cepat pergi sendiri dan tak lama kemudian mereka datang dengan wajah
berduka sambil memanggul tubuh yang hanya berlengan satu dan yang sudah tak
bernyawa itu!
Hati yang
duka dari Siauw Bwee berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah
jenazah Kakek Lu Gak. Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya
terpejam. Agaknya saking girangnya menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek
ini pulang dengan hati girang dan rasa girang yang berlebihan menyerang
jantungnya dan membuatnya mati dalam keadaan penuh bahagia! Jenazah Kakek Lu
dikubur di halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah.
Siauw Bwee
berkata dalam pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh, “Kuharap
saja kalian akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk
permusuhan dan membuntungi kaki dan lengan orang. Anggaplah kuburan
Lu-locianpwe sebagai lambang perdamaian abadi.”
Siauw Bwee
diantar oleh semua anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu itu, diberi
pakaian, kuda dan bekal secukupnya. Kedua ketua itu berlinang air mata ketika
Siauw Bwee melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal, meninggalkan
tempat yang takkan dapat ia lupakan itu karena di situ dia telah mengalami
hal-hal yang hebat.
Setelah
meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan mencari
ibunya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar
berita dari seorang perwira Sung bekas sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu
melarikan diri mengungsi itu telah meninggal dunia karena sakit sesudah
mendengar bahwa suaminya gugur. Siauw Bwee sempat mengunjungi kuburan ibunya,
bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan ibunya di dusun sunyi sampai
beberapa hari.
Karena
mendengar keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin
barisan besar ke utara untuk melawan para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu
di perbatasan utara, dia lalu melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara.
Kebenciannya terhadap musuh besar itu meningkat karena dia menganggap bahwa
kematian ibunya pun disebabkan oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan
setiap saat teringat dengan hati penuh rindu kepada suheng-nya, Kam Han Ki,
kini melakukan perjalanan dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya
menjadi pendiam dan kurang gembira.
*************
Kota-kota
dan dusun-dusun daerah utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari
mengungsi menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi
karena selain tidak tahu harus pergi ke mana, juga mereka merasa sayang untuk
meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Ada pula yang menyuruh
keluarganya saja pergi mengungsi. Karena banyak warung, toko dan restoran
tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan toko merupakan usaha
yang amat baik dan menguntungkan.
Warung-warung
nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat itu
sewaktu-waktu kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan bangkunya
butut, tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan yang disediakan pun
amat sederhana, walau pun harganya sama sekali tidak sederhana, melainkan harga
pukulan!
Bagi
restoran-restoran di dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah
tentara-tentara yang kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat
perkemahan dekat dusun itu. Para prajurit yang makan-makan di restoran tidak
berani berbuat sewenang-wenang dan selalu membayar karena pemilik-pemilik
restoran itu dengan cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan mengirim
hidangan-hidangan yang lezat. Selama ini, juga dengan adanya rumah-rumah makan
itu mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak
bayar dan semua restoran tutup, tentu mereka akan kehilangan.
Pada suatu
pagi, Panglima Maya dan sebelas orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang
cukup besar di kota dekat tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera
menyambutnya dan Maya beserta para perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan
segera mereka itu dilayani penuh hormat. Para pengawal cukup duduk di ruangan
bawah saja dan mereka menghadapi meja sambil bersendau-gurau. Karena para
pemimpin mereka berada di loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk
bersenang-senang dan bersendau-gurau saling menggoda.
Tiba-tiba
delapan orang prajurit pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu
menghentikan sendau-gurau mereka dan semua mata memandang ke arah pintu
restoran, mulut mereka tersenyum-senyum. Siapa orangnya yang tidak akan
terpesona menyaksikan seorang dara jelita memasuki restoran itu dengan langkah
tegap dan lenggangnya menggiurkan itu?
Dara itu
masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning dengan leher
baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh debu dapat
diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh. Wajah dara ini cantik
sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk indah,
kerlingnya tajam dan menyentuh birahi. Ketika seorang pelayan menghampirinya,
dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh lengan Si
Pelayan sambil berkata, “Cepat sediakan nasi, lauk-pauk seadanya dan minuman
teh panas!”
Para
prajurit tertawa-tawa gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani
dan ramah, berani memegang lengan seorang pelayan laki-laki tanpa
sungkan-sungkan lagi.
“Wah, sayang
bukan lenganku...!” terdengar seorang prajurit berkata sambil mengelus-elus
tangannya sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya.
Dara itu
tidak peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng.
Para prajurit itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh
oleh dara baju kuning itu seketika menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan setelah
dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan yang dipesan,
sikapnya amat hormat dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang prajurit
dari meja yang telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang
belum dilayani.
Seorang
prajurit dari meja kosong menggebrak meja, “Apa ini? Pelayan, kami memesan
lebih dulu, kenapa melayani orang yang datangnya belakangan? Apa kau kira kami
tidak membayar?”
“Ha-ha-ha!”
Seorang prajurit dari meja yang sudah dilayani tertawa, “Kenapa mencak-mencak?
Kalau mukamu cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih
dulu! Ha-ha-ha!” Teman-temannya tertawa dan empat orang prajurit yang belum
dilayani itu makin marah.
“He!
Pelayan! Ke sini kau kalau mau tahu rasanya pukulan perajurlt-prajurit Pasukan
Maut!”
Pelayan itu
berdiri dengan kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja telah
menuangkan teh ke dalam cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si
Pelayan, “Pelayan, jangan layani anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak
baik, terutama sekali yang menggunakan nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak
baik lagi!”
Mendengar
ini, empat orang prajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja
gadis itu, mengurung dari empat penjuru. Seorang di antara mereka yang berada
di belakang gadis itu mencabut golok dan berkata, “Eh, engkau perempuan
kang-ouw merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam
dari mulutmu yang manis!”
Gadis itu
masih memegang cawan teh panas, menunda minumnya dan, matanya yang indah
bergerak melirik ke kanan kiri dan depan.
Prajurit
yang berada di depannya sudah membentak, “Engkau sungguh kurang ajar,
datang-datang minta dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda
cantik, kami masih mengalah dan hanya ingin menegur pelayan. Kenapa kau memaki
kami? Penghinaan itu baru lunas kalau kau membayar dengan sebuah ciuman dari
bibirmu yang ma... oughhh...!” Prajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena mukanya sudah kena siraman air teh panas yang telah ‘meloncat’ dari
cawan yang dipegangi dara itu.
Tiga orang
temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan tetapi dari dalam
cawan itu kini air teh ‘meloncat’ ke tiga penjuru, ke kiri kanan dan belakang,
tepat mengenai muka tiga orang prajurit yang menjadi gelagapan, bukan hanya
karena air teh itu panas sekali, akan tetapi juga karena percikan air yang
mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum menusuk!
Empat orang
prajurit lain menjadi marah menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan
mengusap-usap mata seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.
“Tentu dia
mata-mata musuh! Serang! Bunuh...!”
Dara itu
bangkit berdiri, tangannya meraih ke depan dan sebuah piring melayang-layang
terbang menyambar empat orang prajurit itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan
empat orang prajurit itu roboh dengan lengan mereka berdarah karena ketika
mereka menangkis, lengan mereka tergores piring yang karena berpusing itu
menjadi tajam melebihi pisau!
Akan tetapi
tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara, kemudian berdesing turun
menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget, menangkap
piring, dan meletakkannya di atas meja. Dia lalu menoleh ke arah anak tangga
menuju loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang wanita cantik dan
gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu memandang tajam dan
kakinya menendang meja di depannya sehingga meja itu terlempar jauh. Agaknya
dia tahu bahwa dia kedatangan lawan tangguh, maka ingin mencari tempat yang
luas untuk menghadapi pengeroyokan.
Ketika para
perwira lari-lari turun dari loteng dan para pengawal siap untuk mengeroyok,
Maya berseru, “Tahan! Mundur semua! Aku mau bicara... dengan dia!”
Dara itu
telah siap, berdiri dengan tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak
langkah Maya yang juga tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu
sampai mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya terkejut dan
mengingat-ingat karena masing-masing seperti telah mengenal.
Ketika Maya
melihat gagang pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan
segera menegur, “Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?”
Dara itu
kelihatan kaget sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya,
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
Maya
tersenyum lebar, “Kalau benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau
telah lupa kepadaku!”
Dara perkasa
itu memang benar Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan
teringat, lalu berkata, “Dan engkau agaknya Maya...”
“Benar, Yan
Hwa, kebetulan sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak
mengenal wanita perkasa! Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari
Can-huciang! Hayo lekas kalian minta maaf!”
Mendengar
bahwa dara baju kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun,
delapan orang prajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara
mereka berkata, “Lihiap, mohon sudi mengampuni kami yang bermata tapi seperti
buta!”
Akan tetapi
Ok Yan Hwa yang berwatak angkuh tidak mempedulikan mereka, apa lagi karena ia
tertarik dan terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai
sumoi dari ‘Can-huciang!’
“Apa maksudmu,
Maya? Benarkah Suheng berada di sini?”
“Benar, Yan
Hwa. Dia adalah seorang di antara pembantu-pembantuku yang utama.”
“Suheng? Ah,
mana mungkin Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?”
Maya
mengerti bahwa dalam hal keangkuhan gadis itu tidak kalah oleh suheng-nya. Maka
ia pun berterus terang dan tersenyum, “Dia menjadi perwira pembantuku karena
kalah taruhan.”
Yan Hwa
mengerutkan alisnya, memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan
sinar mata marah karena mengira bahwa Maya bicara main-main, “Maksudmu?”
“Dia telah
mengadu kepandaian melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan
meninggalkan kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut, dan kalau dia yang
kalah dia akan membantuku dan menjadi perwiraku.”
Yan Hwa
membelalakkan matanya yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang.
Ketidak-percayaan membayang jelas di wajahnya, “Aku tidak percaya. Mana dia?”
“Dia sedang
bertugas ke pantai timur, menjalankan perintahku.”
“Hemmm...,
aku lebih tidak percaya lagi.”
“Bahwa dia
menjadi perwira pembantuku?”
“Aku tidak
percaya bahwa dia telah kalah olehmu!”
“Namun
kenyataannya demikianlah, Yan Hwa. Karena suheng-mu sudah menjadi pembantuku,
bagaimana kalau engkau juga membantu aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung
yang telah menewaskan Menteri Kam Liong kakak subo-mu, kita membasmi tentara
Yucen, dan terutama sekali kita membasmi bangsa Mongol yang telah membunuh
subo-mu. Bagaimana?”
Sejenak Yan
Hwa diam memutar pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suheng-nya, karena
rindu dan juga karena ingin melihat apakah sekarang, setelah merantau sekian
lamanya, dia sudah dapat menundukkan suheng-nya itu.
“Aku tetap
tidak percaya bahwa Suheng telah kalah olehmu.” Ia mengamati wajah Maya yang
amat cantik jelita itu. Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia
bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia
mulai merasa cemburu! “Kalau benar Suheng menjadi perwira pembantumu, aku lebih
percaya kalau dia lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu.”
Wajah Maya
menjadi merah, akan tetapi ia tetap tersenyum dan berkata dengan ejekan yang
disengaja, “Yan Hwa, engkau tetap angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak
percaya, bagaimana kalau kita pun mengadakan pertaruhan seperti yang telah
dilakukan suheng-mu?”
“Engkau
menantangku?” Sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
“Bukan
menantang, murid bibiku yang manis, melainkan aku mengajak engkau berjuang
bahu-membahu, dan untuk meyakinkan hatimu maka marilah kita mencoba kepandaian,
tentu saja kalau kau berani.”
“Singggg...!”
Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut
pedangnya.
Jantung Maya
berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa terheran-heran. Mengapa mendiang
bibinya yang terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang sakti dan gagah
perkasa suka memiliki dua buah pedang seperti yang diwariskan kepada Ji Kun dan
Yan Hwa ini? Pedang di tangan Yan Hwa mempunyai wibawa yang sama dengan Pedang
Iblis Jantan milik Ji Kun.
“Engkau
menerima pertaruhan ini?” dia bertanya.
Yan Hwa
mengangkat pedangnya, tegak lurus di depan dahinya. “Maya, aku telah bersumpah
demi kehormatan nama suhu dan subo, pedangku ini hanya akan menghirup darah
orang-orang jahat. Baru sekarang tercabut ke luar dari sarungnya bukan untuk
membasmi penjahat. Akan tetapi ketahuilah, sekali pedang ini tercabut, dia
tidak akan kembali ke sarungnya sebelum menghirup darah. Karena itu, katakan
bahwa engkau membohong, bahwa Suheng tidak pernah kau kalahkan, dan aku akan
menyimpannya kembali dan pergi dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah
penjahat di lain tempat yang kudapatkan.”
Maya
tersenyum. “Yan Hwa, engkau tidak memalukan menjadi murid mendiang Bibi Mutiara
Hitam. Engkau seorang pendekar, akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam
hatimu. Aku tidak pernah membohong, dan biar pun aku tidak memiliki sebatang
pedang pusaka sekeji pedangmu itu, namun aku tidak takut menghadapinya.” Sambil
berkata demikian perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan membuka jubah
luarnya yang ia lemparkan kepada Cia Kim Seng.
Bekas
penggembala domba ini menerima jubah dan dia bersama para perwira lain kini
mencari tempat yang enak buat menonton pertandingan yang akan terjadi. Para
prajurit pengawal sudah menjauh-jauhkan meja kursi di dalam restoran itu
sehingga ruangan restoran yang cukup luas itu kini menjadi sebuah arena
pertandingan yang dapat diduga akan terjadi dengan dahsyat dan seru.
“Maya,
bersiaplah engkau!” Sebelum gema suara ini habis, tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah
berkelebat ke depan didahului sinar putih berkilat yang menyilaukan mata.
Diam-diam
Maya kagum. Kiranya Yan Hwa memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan dari
pada Ji Kun, maka ia bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas
dengan tusukan pedangnya dari samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang
pusakanya, maka dia menyabetkan pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan
tenaga sinkang-nya dengan maksud merusak pedang lawan.
“Bagus!”
Maya memuji dan meloncat tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah
kakinya. Dari atas, jubah Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya
mengancam ubun-ubun kepala lawan. Hebat bukan main gerakan Maya ini, selain
indah juga amat sukar dilakukan sehingga para perwira pembantunya memuji.
Juga Yan Hwa
kagum sekali, akan tetapi watak dara ini tidak ada bedanya dengan watak
suheng-nya. Dia tahu bahwa Maya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan
tetapi dia tetap tidak dapat percaya kalau Maya dapat mengalahkan suheng-nya,
atau dia dengan Pedang Iblis Betina di tangannya!
Maka
serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan dengan merendahkan tubuh
lalu menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika serangan Maya itu luput dan
panglima wanita ini sudah berjungkir balik lagi membuat salto dan kakinya
menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan Hwa sudah berkelebat lagi, sinar
pedangnya berubah seperti payung, merupakan gulungan yang bundar dan dari gulungan
sinar putih itu menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang dan mengandung
hawa panas!
Maya makin
kagum. Harus ia akui bahwa dalam hal kecepatan gerak dan ilmu pedang, ternyata
Yan Hwa ini tidak kalah oleh suheng-nya, bahkan mungkin lebih berbahaya
serangan-serangannya. Maka dengan hati kagum, gembira namun juga waspada dia
mengimbangi permainan lawan dengan gerakannya yang lebih cepat lagi. Dia
berlaku hati-hati, tidak pernah pedang mereka bentrok secara langsung.
Paling-paling hanya bersentuhan sedikit dan bergeseran, namun itu pun sudah
membuat pedangnya mengeluarkan api dan kadang-kadang hampir dapat tersedot dan
menempel! Hanya dengan sinkang-nya yang kuat saja dia dapat mencegah pedangnya
melekat pada pedang lawan.
Mata para
perwira, apa lagi para prajurit sudah berkunang-kunang karena silau menyaksikan
sinar kilat pedang Yan Hwa berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah
lewat tanpa ada yang tampak terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh
Maya. Kalau ia mau, dengan sinkang-nya yang amat tinggi dan kuat, tentu saja
dia dapat merobohkan lawannya dengan pukulan yang membahayakan bagi keselamatan
Yan Hwa, namun dia tahu bahwa jika dia mengalahkan Yan Hwa dalam waktu singkat,
tentu hati dara yang angkuh ini akan tersinggung.
“Yan Hwa,
inikah Siang-bhok Kiam-sut dari mendiang Bibi? Hebat bukan main...!” Maya cepat
mengelak karena kembali ada sinar kilat menyambar ke arah lehernya.
“Singggg!
Wuuuusssshhhh!”
Diam-diam
Yan Hwa terkejut dan juga kagum sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar
amat hebat kepandaiannya. Ilmu pedangnya aneh dan dalam hal ginkang, Maya
bahkan melampaui tingkatnya! Seperti juga Ji Kun, dia terheran-heran mengapa
bocah yang dahulu ikut bersama Panglima Khu Tek San itu kini telah menjadi
seorang yang begini lihai. Tentu Menteri Kam Liong, kakak subo-nya yang
kabarnya lebih lihai dari subo-nya itu yang menjadi gurunya.
“Maya,
engkau pun hebat! Agak berkurang ketidak-percayaanku. Akan tetapi aku belum
kalah!” kata Yan Hwa yang sudah menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak
menguras semua kepandaiannya untuk mencapai kemenangan.
Maya maklum
bahwa untuk menundukkan orang seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia
lalu mengeluarkan suara melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan
sedemikian cepatnya sehingga Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan pandang
matanya berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar pedang pusakanya sehingga
tubuhnya terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat.
Menghadapi
pertahanan seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya hanyalah memancing
agar pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi kecepatannya dan menahan serangannya.
Melihat bahwa gerakan Maya tidak secepat tadi, Yan Hwa juga berhenti melindungi
tubuh dan ia mendapat kesempatan untuk menyerang lagi dengan tusukan kilat ke
dada Maya.
“Bagus!”
Maya memuji, pedangnya menangkis dari samping.
“Trakk!
Pedangnya menempel dan tersedot oleh Li-mo-kiam.
Melihat kini
lawan berani mengadu pedang sehingga tertempel oleh pedang pusakanya, Yang Hwa
menjadi girang sekali dan melanjutkan pedangnya yang sudah membikin tak berdaya
pedang lawan itu untuk menusuk ke perut. Kesempatan ini yang dipergunakan Maya.
Ia melepaskan pedangnya, membanting diri ke kiri dan sebelum tubuhnya menyentuh
tanah ia mengirim pukulan sinkang ke arah lengan tangan Yan Hwa yang memegang
pedang.
“Aiiihhh...!”
Yan Hwa memekik.
Pedangnya
yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh dan tubuhnya menggigil
kedinginan, rasa dingin yang terus menjalar ke dalam dadanya. Ia maklum bahwa
dia telah terkena pukulan sinkang yang amat kuat dan berbahaya, maka tanpa
mempedulikan sesuatu ia lalu duduk bersila dan mengatur napas.
Maya telah
melompat dan sekaligus menyambar dua buah pedang yang saling menempel itu.
Dengan tenaga sinkang ia melepaskan pedangnya yang tersedot dan menempel pada
Li-mo-kiam, menyarungkan pedangnya dan mengamat-amati pedang Yan Hwa dengan
penuh kengerian.
Yan Hwa
membuka matanya, lega bahwa lukanya tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena
pukulan seperti itu, agaknya dia akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya
menghendaki dan menggunakan pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak
mungkin dia dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh.
Jangankan baru dia atau suhengnya, bahkan mendiang suhunya atau subonya sekali
pun agaknya belum tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian
hebatnya...
MAYA
menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang,
menerima dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. “Maafkan aku,
kini aku percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu.”
Mendengar
ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata, “Tidak perlu penasaran, Yan Hwa.
Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek
Siansu.”
Terbelalak
mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan
sikap takluk. “Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat
ini aku menjadi pembantumu.”
Maya
tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua
menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira,
mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka
sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan
berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar
menimbulkan rasa pedih dan nyeri.
Maya
menghela napas, “Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu
dan pedang Ji Kun adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang
hati-hati atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan mala-petaka hebat.”
Yan Hwa
mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis
itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat
khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka
seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata
apa-apa, baik terhadap Yan Hwa mau pun terhadap Ji Kun kelak.
Para perwira
dan prajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena
pasukan mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya
sehingga tentu saja hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan
mereka.
Pasukan Maut
terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati
batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar
pelaporan dari para penyelidik bahwa di depan, kurang lebih tiga puluh li dari
situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana,
Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim
Seng untuk pergi melakukan penyelidikan.
Berangkatlah
Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan
penyelidikan ke depan. “Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini,
biarlah engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu,” kata Yan
Hwa di tengah jalan.
Cia Kim Seng
memandang dengan wajah berseri. Biar pun dalam ilmu silat wanita ini amat
angkuh dan keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur
dan berwatak gagah, maka ia menjawab, “Baiklah, akan tetapi tentang
keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu.”
“Jangan
khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga.”
Mereka
membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka
tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka
menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang
ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang
sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke
sini itu.
Tiba-tiba
Yan Hwa berseru keras, “Awas belakangmu!”
Cia Kim Seng
membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang
riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang
rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu
meringkik-ringkik ketakutan.
“Kita
lari...!” Cia Kim Seng berteriak.
“Jangan!
Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!” Yan Hwa berseru karena
ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, tampak
merangkak paling depan seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana
hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak
seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia
memimpin barisan serigala itu!
“Pergunakan
cambuk melindungi diri, Cia-huciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu.
Tentu dia pemimpinnya!” Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas
kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.
Manusia
serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya
tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk
menggigit! Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi
takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun
menendang dari samping.
”Desss!”
tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu.
Akan tetapi
ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya
terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras.
Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan
mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu
sehingga terlempar jauh.
Yan Hwa
sempat melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot
mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan.
Keadaannya benar terancam bahaya. Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat
bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk
menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ketika
laki-laki gundul itu menerjangnya, ia lalu miringkan tubuh, dari samping ia
mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang.
Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.
“Cepat
perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!” Ia
mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti
sepasang jepitan baja!
“Aduhhh...,
ampun... lepaskan aku...!”
“Lekas
perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!”
Tiba-tiba
laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing
ketakutan dan... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur
meninggalkan Cia Kim Seng!
Dengan muka
berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. “Bunuh saja manusia serigala
itu!” katanya marah.
“Ampun...!”
Si Laki-laki gundul berkata.
“Aku mau
mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan
kami kalau kami butuhkan!” bentak Yan Hwa.
“Baik...
baik..., aku berjanji...!”
Yan Hwa
melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus
tengkuknya dan memandang dengan gentar. “Ceritakan, siapa kau?”
“Aku bernama
Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku... sejak kecil
bermain-main dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...”
“Hemm, Theng
Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan
tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!” Yan Hwa mengayun tangannya ke arah
sepotong batu dan hancurlah batu itu.
Muka Theng
Kok menjadi pucat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. “Aku
menurut... menurut...!”
Yan Hwa lalu
menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu
yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah
debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu
yang bergerak mengundurkan diri.
Terjadilah
hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua
bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin
oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta
menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata, Pangeran...!”
Lenyaplah
sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika
bertanya, “Siapa yang memimpin barisan ini?”
“Panglima
Durbana, Pangeran!” jawab perwira itu penuh hormat.
“Mengapa
mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?”
“Ketika kami
hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen
sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan
besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami
mundur...”
“Memalukan!
Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya
mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!”
“Baik,
Pangeran!” Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.
Ok Yan Hwa
memandang ‘rekannya’ itu penuh takjub. “Jadi kau... kau... seorang Pangeran
Mancu...?”
Cia Kim Seng
menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata,
“Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk
melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara
panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun.”
Seorang
panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut
dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.
“Lekas
katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung?!” Pangeran itu menegur
dengan suara marah.
“Maaf,
Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu
kuat, apa lagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantu-pembantunya
yang berkepandaian tinggi.”
Pangeran
Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa. ”Ok-li-huciang.
Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan
kami yang memerlukan bantuan segera.”
“Baik,
Cia... eh, Pangeran Bharigan.” Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap
meninggalkan tempat itu.
Ketika tiba
di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada
Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh
barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang
ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu
Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat,
berada di depan!
“Bagus! Kita
akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa
penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!”
Pada saat
Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala
tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah
pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika
mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang
dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor
kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.
Hati Maya
menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun,
suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling
pandang itu.
“Hemm...,
kiranya engkau di sini?” terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak
pernah melepaskan wajah sumoi-nya.
“Kalau
engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?” Ok Yan Hwa
menjawab pula. Suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya
yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa
rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu.
Dua orang
ini aneh, pikir Maya. Untung saat itu mereka sedang sibuk menghadapi serbuan ke
tempat musuh, maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu
berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi
Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi
biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara
menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan
kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu.
Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap
kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama
pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas
kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus
mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai
isyarat.”
Kedua orang
suheng dan sumoi itu mengangguk.
“Jangan
khawatir, Si Tua Bangka keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!”
kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.
“Belum
tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!”
Yan Hwa tidak mau kalah.
Maya
tersenyum. “Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian aku tidak
akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk
lolos.”
Setelah
melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada
mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata, “Ji Kun, engkau baru datang,
beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita
berangkat.”
Ji Kun
mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling
pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka,
tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya
berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua
orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa!
Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta!
Memasuki
perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm... diam-diam Maya makin
terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang
sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam,
telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan
sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan
seperti seorang pria dan wanita. Hemmm... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya
panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji
Kun saling mencinta?
Mereka
adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah
perkasa. Sedangkan dia sendiri... dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki,
Suheng-nya! Ah, betapa pun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara
terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut!
Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di
depan mata semua anggota pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara!
Benar-benar tidak pantas!
Akan
tetapi... apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan
kedua orang itu dari dalam kepalanya, lalu menyibukkan diri untuk mengatur
barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu
menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.
Barisan
Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa
dan kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apa lagi
ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat
terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai.
Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya menyusun
barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk
bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.
Bala tentara
Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap
peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh
Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur
barisan dalam perang. Apa lagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya
yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya
sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak
pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila
dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya.
Bu Ci Goat
yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang
lebih tinggi dari pada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi
pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat
menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir
mudanya ini, tentu saja orang kedua yang dapat ia andalkan adalah muridnya
sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Semenjak
Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat
dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama
muridnya karena dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak
tenang dan tidak tenteram lagi.
Kebenciannya
terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian
yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu
mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu
memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya
sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia
tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya,
menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah
orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia
selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat.
(baca cerita MUTIARA HITAM, episode 4 dari serial BU KEK SIANSU).
Memang
demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, sukar sekali untuk dapat
mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi
hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang
terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali ‘ter’ lagi karena dia
mempunyai perasaan lebih dari pada siapa pun di dunia ini. Mereka paling
pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling
patut dikasihani, dan lain-lain.
Orang yang
belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia
menjadi terbiasa dan mabok, tanpa disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu
keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya,
manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak
terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi
agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya
demi keuntungan diri sendiri.
Menilai diri
sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting dari pada menilai diri
orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG
MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar
batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan mau pun yang
menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab
musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya.
Ketika
menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki
kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara
misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan
bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas,
merasa tidak ada musuhnya lagi.
Akan tetapi,
setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh hubungan cinta
antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri
Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya,
melainkan sebaliknya!
Kematian
Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan
terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah
dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan
biar pun dengan kepandaian dan kedudukannya dia berhasil mengalahkan mereka,
namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.
Pemberontakan-pemberontakan
yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong
membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan
kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di
mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para
pemerontak.
Di dalam
melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta
dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua
orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman
sungguh pun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya,
kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam
Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.
Ketika tiba
di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat
segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu
ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta
dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya. Sehari itu pula dia
sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi
kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap
dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di
sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh.
Tentu saja
Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang
telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan
Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada
di tengah mereka. Apa lagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan
Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah
mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu. Yang didengar oleh
Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi
melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya
sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit.
Mendengar
itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya, “Biarkan
mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga
kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan
banyak prajurit. Biarkan prajurit-prajurit kita beristirahat. Tentu mereka
malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita siap untuk menyambut dan
menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!”
Setelah
memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah
menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat
penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.
Akan tetapi
Ci Goat melepaskan diri dan berkata, “Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya
mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan
waktunya untuk kita bersenang-senang.”
Suma Kiat
memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa. “Ah, mengapa engkau
pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul
mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan
mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk
menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!” Ia memeluk dan
menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian
yang dapat memabokkan jenderal tua itu.
Akan tetapi
sepasang alis wanita itu agak mengerut. Dia tidak melayani pencurahan kasih
sayang suaminya dengan sepenuh hati karena hanya tubuhnya saja yang melayani,
akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan
seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk
menjadi temannya melewatkan malam dingin!
Memang, di
samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki
kelemahan. Menghadapi selir mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat
kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang
jauh lebih tua, akan tetapi sebenarnya secara diam-diam dia cerdik. Setiap ada
kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam
dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan dari
pada suaminya!
Penyelewengan
Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi
orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam
hal seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat
berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati
cinta kasih birahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka
kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba
nafsu birahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti
kuda itu?
Dia sengaja
menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini
telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi
kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani
mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, sebab dia sendiri merupakan
seorang di antara mereka yang berani mencemarkan kehormatan Sang Panglima!
Suma Kiat
adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu
silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita
seperti Ci Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya
itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga
bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu birahinya yang
tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi
dia tidak mau peduli, yang penting tidak menyolok di depan matanya!
Memang,
seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya
orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia
bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan
pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan
lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu
Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah
menjadi rekan Khu Tek San. Mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri
Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan
mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti
saat itu untuk mereka pergunakan apa bila keadaan memungkinkan.
*************
KITA
TINGGALKAN dulu dua pasukan yang sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu
dan marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama
kita tinggalkan.....
Di dalam
hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap tubuhnya, seorang pria muda yang
memiliki segala-galanya untuk dengan mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita
ini terdapat watak-watak yang saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya
tidak ada pukulan batin karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu
ketika dia mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan
melihat kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan
menjadi lain sekali.
Mungkin dia
hanya akan menjadi seorang yang memiliki nafsu birahi besar dan seorang pria
yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang
wanita cantik yang suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia
perlihatkan sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi
kegagalan cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya
setelah ia melayani rayuan ibu tirinya, membentuk watak yang mengerikan dalam
hati pemuda tampan ini.
Dalam urusan
lain, Suma Hoat memiliki watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang
lemah tertindas. Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah
semua kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan
senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya mati di
tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita yang dibunuhnya
mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama dengan kalau wanita itu
suka melayani cintanya!
Dia akan
tertawa terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu
benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar jangan
ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu menangis, bahkan
dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis yang patah hati dan
tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung diri, minum racun, atau menusuk
perut dengan gunting untuk membunuh diri. Kekejaman yang melebihi iblis inilah
yang membuat ia di juluki Jai-hwa-sian!
Suma Hoat
merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan selatan. Dia sendiri tidak sadar
bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi, bahwa dia sebetulnya menderita
penyakit! Penyakit jiwa yang timbul karena pengalaman-pengalamannya dengan
wanita yang menekan batinnya! Kepatahan hatinya karena cintanya putus. Cinta
murni yang pertama kali menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian
pengalamannya yang kedua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya mendatangkan rasa
kebencian hebat kepada kaum wanita!
Dia sendiri
tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya yang keji, yang membuat dia dijuluki
Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu akan dianggap orang sebagai perbuatan yang
semata-mata terdorong oleh nafsu birahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah
perbuatan yang terdorong oleh dendam dan benci!
Dia
memperkosa wanita, menyakiti hati mereka, membiarkan mereka patah hati dan
membunuh diri, bahkan ada kalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya
kepada kaum wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa
yang telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang
melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan
ditinggalkannya!
Pada waktu
Suma Hoat merantau ke barat ia mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan
aneh-aneh sehingga dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya,
tingkat kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara
ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India menaklukkan
ular dengan suling, mempelajari pula penggunaan obat-obat dan racun-racun dari
sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita, untuk membuat korbannya mabok
dan bangkit gairah birahinya.
Pendeknya,
Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam ilmu
yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang ada
hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari seorang wanita
India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga menjadi kekasihnya, dia
mempelajari cara-cara untuk merayu dan menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia
kembali dari perantauannya ke barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang
pria tampan yang sudah matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai
Jai-hwa-sian, seorang ‘play boy’ besar yang tiada tandingannya.
Pandang mata
Suma Hoat amatlah tajamnya terhadap wanita. Biar pun dari jarak jauh, dia dapat
menentukan berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan
cacat celanya hanya dengan melihat dari belakang saja! Demikianlah, ketika pada
suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran, ia segera
melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete