Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 14
Perutnya
mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu ia akan
memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak melihat dua orang
wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran yang masih sunyi itu.
Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali melihat dua orang wanita itu
yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik yang masih muda dan bertubuh kuat
sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi!
Suma Hoat
memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja yang menghadap ke arah dua
orang gadis itu sehingga dia dapat memandang dan memperhatikan mereka dengan
leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm dua orang gadis kang-ouw, pikirnya.
Pedang mereka diletakkan di atas meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak
menunjukkan bahwa dua orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yang lumayan.
Ia makin tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu
memiliki daya tarik yang berbeda.
Yang
seorang, kira-kira berusia dua puluh tahun, berwajah bundar seperti bulan
purnama, pandang matanya tenang dan dalam, sikapnya pendiam, membayangkan
kecantikan lautan di kala senja diterangi matahari senja yang merah, begitu
indah mempesona dan menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang
gemuk dan hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya.
Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak mengambang
di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang, indah tidak
membosankan.
Ada pun
gadis kedua paling tinggi berusia delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan
gadis pertama. Gadis ini pakaiannya merah muda, wajahnya agak lonjong dengan
dagu meruncing manis. Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya
yang bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti kilat,
membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora, seperti kecantikan
lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai memanas dan ombak-ombak mulai
menggelora membuih di pantai.
Rambutnya
digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan kedua
telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis itu lincah
jenaka dan periang, ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam yang liar
berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas tangkainya, tidak takut
serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma Hoat yang memandang mereka
bergantian untuk mengatakan siapa di antara kedua orang gadis yang lebih
menarik hatinya. Keduanya sama cantik jelita, sama manis dan sama kuat daya
tariknya sungguh pun sifat mereka berlawanan.
Melihat
seorang pemuda tampan dan gagah memandang mereka penuh perhatian, gadis baju
biru membuang muka dengan alis berkerut, akan tetapi gadis baju merah membalas
pandang mata Suma Hoat dengan berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma
Hoat memanggil pelayan karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu
berdarah panas itu memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan
minuman.
Kedua orang
gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi diam-diam Suma Hoat
tersenyum dalam hatinya. Biar pun bisikan itu tidak akan terdengar orang lain
yang berdiri hanya satu meter jauhnya dari mereka, namun dapat terdengar
olehnya yang duduk dalam jarak lima meter dari mereka. Tidak percuma dia
memiliki sinkang yang kuat dan bersusah payah melatih diri untuk mempertajam
pendengarannya yang merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
“Suci,
kulihat orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang
berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...,” bisik gadis baju
merah kepada gadis baju biru.
“Hemm,
melihat pandangan matanya, dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus
waspada, dan kalau betul dia seorang penjahat, kita harus membasminya!” bisik
Si Kakak Seperguruan.
Suma Hoat
tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia mengambil sikap seolah-olah tidak
mendengar dan berteriak kepada pelayan, “Hee, pelayan! Minta tambah araknya,
aku suka sekali yang hangat dan manis!” Ia lalu menoleh ke arah gadis baju
merah yang kebetulan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu
menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga memandangnya
membuang muka lagi.
Hati Suma
Hoat makin tertarik. Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan
tetapi keduanya benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan
kehangatan dan kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju Biru
itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang, sikap yang akan lebih menggairahkan
kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan dapat menundukkan
mereka. Pasti!
“Jangan
pandang dia, Sumoi. Aku mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar
mau pun penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang
melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan
membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan makan dan
melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati Pegunungan Kwi-hwa-san.”
“Baiklah,
Suci.”
Kedua orang
gadis itu melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan.
Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid
Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat
main-main! Namun selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang lemah, maka
munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang ternyata adalah
murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah mengusik nafsu birahinya.
“Setelah
makan, kita mengambil bekal pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti
kering untuk bekal di perjalanan,” kata pula gadis baju biru.
“Apakah
tidak perlu membeli kuda, Suci?”
“Ahh, mana
bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang murah. Pula,
kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya dengan menunggang
kuda.”
“Akan tetapi
tidak melelahkan, Suci...”
“Hemm,
Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor kuda?
Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis bagaimana kita
akan membeli makanan? Sudahlah, jangan rewel...”
Suma Hoat
bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran, berbisik-bisik dan
mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya, kemudian pergi meninggalkan
restoran diikuti pandang mata dua orang murid perempuan Siauw-lim-pai, akan
tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah menengok.
“Agaknya
engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat. Kelihatannya lebih pantas
menjadi seorang pendekar, begitu halus gerak-geriknya seperti seorang pelajar,
dan wajahnya...”
“Sumoi!”
Sumoi-nya
tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. “Suci, kalau tidak salah tahun ini
usiamu sudah dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan belas tahun. Kita
sudah dewasa, dan selama bertahun-tahun kita selalu tekun mempelajari ilmu
silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa, sekali-kali kita memandang
dan memperhatikan seorang pemuda yang menarik hati? Betapa pun juga, kelak kita
tentu akan bertemu jodoh, Suci...”
“Hush!
Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!”
Gadis baju
merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang suci-nya dengan mata berseri.
“Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa merasa tertarik dan
membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan, mengapa kau katakan
melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan terjadi makin banyak lagi
peristiwa yang menyedihkan seperti dalam dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki
boleh memilih jodoh, apakah kita kaum wanita hanya dijadikan budak belian,
diberikan siapa saja di luar kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak,
Suci. Kuanggap sudah wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi
selera hati kita dan...”
“Cukup,
Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!”
“Tergila-gila
sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan
dan halus gerak-geriknya...”
“Sudahlah.
Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!” Si Gadis Baju Biru
lalu bangkit berdiri, diikuti sumoi-nya yang tersenyum-senyum memanggii pelayan.
“Hitung
semua berapa!” kata Sang Suci dengan suara agak keras karena hatinya mengkal
terhadap sumoi-nya. Dia mengenal sumoi-nya yang berwatak jenaka, riang dan
lincah, akan tetapi memuji-muji seorang pemuda tampan benar-benar hal ini
dianggap keterlaluan dan tak tahu malu!
Betapa heran
hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,
“Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat
Ji-wi tadi.”
“Sudah
dibayar? Oleh sahabat yang mana?” gadis baju biru bertanya.
Pelayan itu
membungkuk-bungkuk tersenyum. “Oleh Kongcu tadi yang mengaku sahabat Ji-wi. Dia
baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan tetapi dihadiahkan kepada
kami...”
Gadis baju
biru mengepal tinju, matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan
tetapi sumoi-nya menyentuh lengannya dari belakang dan berkata, Ah, sungguh
sahabat kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah
saja.” Ia menarik tangan suci-nya keluar dari restoran itu.
“Setan! Dia
benar-benar kurang ajar dan berani mati!” Gadis baju biru mengomel setelah
mereka keluar dari restoran.
“Aihhh,
mengapa Suci marah-marah? Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur
dan berterima kasih malah dimaki-maki?” Sumoi-nya mencela.
“Sumoi!”
Suci-nya membentak marah dan melototkan matanya yang bening. “Apakah harga diri
kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?” <
“Eh-eh...
mengapa Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit
pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana Suci
menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?”
Suci-nya
menghela napas panjang. “Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun
engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu betapa
bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah Sumoi, kalau engkau
tidak membentuk benteng baja di luar hati dan perasaanmu, engkau akan mudah
tergelincir oleh licinnya sikap manis pria.”
“Suci...”
“Sudahlah!
Mari kita ke hotel!”
Akan tetapi
ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan kedua yang
membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin girang. Di
hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh ‘sahabat’ itu, malah telah
tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh ‘sahabat’ itu kepada mereka!
Gadis baju biru hendak marah-marah, akan tetapi sumoi-nya membisikkan bahwa kalau
Sang Suci marah-marah, maka tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal
itu akan lebih memalukan lagi?
“Kita terima
dengan wajar dan semua orang akan menganggap hal itu wajar pula, karena apakah
anehnya kalau seorang sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah
perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak mengandung niat
buruk?”
“Hemm...
malah makin curiga aku kepadanya, Sumoi.”
Seorang
pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat. “Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat
Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat kepada Ji-wi.” Ia menyerahkan sebuah
sampul kepada mereka. Gadis baju biru menerima sampul dengan alis berkerut.
“Wah,
sampulnya berbau harum!” bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan
hati suci-nya yang merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut ke
luar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah, dan hanya
merupakan surat yang singkat:
Sebaiknya
menunggang kuda agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Lihiap
berhati-hati kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan
perampok yang lihai.
Teriring
homatnya Sahabat Ji-wi.
Gadis baju
biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan wajahnya
menjadi merah. “Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya. Hemm, hendak kulihat
saja sampai di mana puncak kekurang-ajarannya!”
Biar pun
berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoi-nya mengajak dia melanjutkan
perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat itu. Setelah
membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda keluar kota menuju di
mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup awan.
Kedua orang
gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang berbaju biru, sang suci,
bernama Liang Bi, sedangkan sumoi-nya bernama Kim Cui Leng. Keduanya adalah
murid-murid pilihan dari Ketua Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti
Hosiang yang amat lihai! Biar pun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh
Kian Ti Hosiang, namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai, maka
mereka mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan
pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.
Tujuan
mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan
Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan mereka
sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di tempat tujuan. Akan
tetapi, peristiwa pertemuan dengan pemuda tampan gagah itu membuat hati Liang
Bi merasa tidak enak sungguh pun sumoi-nya kelihatan gembira dan selalu
memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan itu.
Menjelang
senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.
”Untung kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus
berhati-hati,” kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.
“Huh, siapa
percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu dialah
orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya terhadap kita!” jawab
Liang Bi marah.
“Eh, eh...!
Kalau engkau hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan,
hotel dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?”
Muka Liang
Bi menjadi merah. “Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya dan
kekurang-ajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!”
“Awas,
Suci...!” Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang anak
panah yang meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa diperingatkan pun,
Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya sudah pula berhasil menangkap
sebatang anak panah yang menyambarnya.
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah menyambar ke
arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan, kedua orang dara
perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak panah yang menancap di
perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan melompat ke atas,
berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil mencabut pedang. Dua ekor kuda
itu roboh dan berkelojotan. Dari depan terdengar sorakan dan muncullah dua
puluh orang lebih, berlari-lari ke arah mereka.
“Kau masih
tidak percaya, Suci?” Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.
Namun
suci-nya menjawab kaku, “Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul
gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!”
Akan tetapi
gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan orang ternyata bukan
dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan dikepalai oleh dua orang
laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar, bersenjata
golok besar di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Ada pun semua anggota
perampok bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam.
Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.
“Ha-ha-ha-ha!
Suheng! Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya
mereka adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini
kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu,
ha-ha-ha!” Perampok kedua yang bertahi lalat di ujung hidungnya tertawa.
“Kau benar,
Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua orang nona ini patut menjadi isteri
kita. Eh, dua orang nona yang jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana?
Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat
kalian menjadi isteri yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san,”
kata perampok kesatu yang matanya merah.
“Keparat
yang bosan hidup!” Cui Leng membentak dan menudingkan pedangnya.
“Jangan
sembarangan membuka mulut besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua
mata dan telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai!
Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan kedua
telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan mengampuni jiwa
anjing kalian!”
“Ha-ha-ha-ha!
Yang galak ini tentu sumoi-nya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang
liar dan panas. Biar suci-nya itu untukmu, lebih cocok.”
“Benar,
Sute. Aku lebih suka yang tenang. Hemm..., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!”
”Monyet
busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!” bentak Cui Leng.
“Sumoi,
perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!” kata
Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoi-nya yang sudah marah sekali.
Akan tetapi
sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu meloncat ke belakang, jauh dari
mereka dan memberi aba-aba dengan suara nyaring kepada anak buahnya yang cepat
mengurung dua orang gadis itu, dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng
memasang kuda-kuda dan memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang
sudah membuat lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan
dada, tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung,
kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat berbahaya,
dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok maka mereka tidak
berani melayani secara langsung melainkan menyuruh anak buah mereka mengeroyok.
Andai kata
dua puluh delapan orang anak buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan
senjata mereka itu, Liang Bi dan Cui Leng akan mudah membasmi mereka. Akan
tetapi kiranya dua orang kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang
memiliki kepandaian tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan
pandai membentuk barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa
itu.
Atas
perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos gulungan tali
hitam. Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah dan tiba-tiba tampak
sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang gadis itu. Kiranya para anak
buah perampok itu telah melontarkan tali hitam ke arah mereka dan tali-tali itu
akan melibat tubuh mereka berdua. Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar
dan cepat mereka memutar pedang menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat
putus, akan tetapi ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga
terpaksa keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang.
Biar pun
tidak ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah
dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan, masing-masing
empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai tali melibat kaki
Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan tetapi suara ketawanya berubah
pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke udara karena dara ini menggerakkan
kakinya yang terbelit tali sedemikian kuatnya sehingga pemegangnya terbawa
melayang ke atas dan terlempar ke arah dara ini yang menyambut dengan babatan
pedangnya.
“Crokkk!”
Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah
para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara perkasa itu
menggerakkan pedang mengamuk. Biar pun para perampok itu rata-rata pandai
mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng, sebentar saja enam orang
roboh tak dapat bangun kembali sedangkan beberapa orang lagi terlempar kena
tendangan dan merangkak bangun lagi sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah
keadaan para pengeroyok, namun mereka masih mengeroyok penuh semangat karena
kini dua orang pimpinan mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok.
Perampok
mata merah melawan Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan
sute-nya, yaitu perampok bertahi lalat, menghadapi Cui Leng, juga dibantu
belasan orang. Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa
dua orang kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali
cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua orang gadis
itu harus bersilat dengan hati-hati.
Selain
kelihaian cambuk mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat
sekali, ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar
wanita Siauw-lim-pai mempergunakan ginkang untuk mengelak ke sana ke mari
sambil menggerakkan pedang merobohkan lagi beberapa orang anak buah perampok.
Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua orang dara perkasa
itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum membasmi semua perampok
itu.
Setelah
mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap
hidup-hidup itu amat lihai, nafsu birahi kedua orang kepala rampok berubah
menjadi kemarahan meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun
Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar. Pedang mereka berubah menjadi sinar
bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena setiap orang
pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh disambar pedang.
Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani menyerang dari jauh,
bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari depan, kecuali dua orang
kepala rampok yang memutar-mutar cambuk mengeluarkan angin yang berbunyi
nyaring bercuitan.
Tiba-tiba
dua orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan pundak
kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan ronce merah.
Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara demikian lihai,
datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga mereka yang datang
menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak lagi. Liang Bi yang terluka
pahanya kini melawan sambil agak terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa
memindahkan pedang ke tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku!
Para perampok tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua
orang gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil
berteriak-teriak.
“Tangkap
mereka hidup-hidup!” teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang Bi dan
Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas senjata rahasia
demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk mencegah dua orang kepala
rampok itu menyerang dengan senjata rahasia lagi, mereka memaksa diri bergerak
cepat meloncat ke sana-sini di antara para pengeroyok sehingga membahayakan
penyerangan senjata rahasia mengenai kawan sendiri. Biar pun sudah terluka,
namun mereka masih sempat merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok
lagi. Namun keadaan mereka makin payah, karena luka jarum itu benar-benar
menimbulkan rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka. Sebagai
ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka dapat menduga bahwa tentu saja senjata
rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai merasa
khawatir sekali.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking seperti suling dengan lagu yang amat aneh, makin
lama makin keras. Tak lama kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya
beberapa orang anggota perampok.
"Ular...!
Ular...!"...
DUA ORANG
kepala rampok itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat
puluhan ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak
buah mereka! Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang pemuda
tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang bentuknya aneh.
Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang menggerakkan ular-ular itu
dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah keduanya meloncat ke arah
laki-laki itu dengan cambuk dan golok di tangan.
“Tar! Tar!”
Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki itu, namun dengan tenang
laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap kedua ujung cambuk dan sekali
renpgut kedua batang cambuk itu putus tengahnya!
Dua orang
kepala rampok makin marah. Golok mereka membacok, namun pemuda itu hanya
menggeser kaki dan dua batang golok itu luput, lalu tiba-tiba tampak sinar
berkelebat dua kali dan robohlah dua orang kepala rampok dengan dada terbuka
mengucurkan darah. Pemuda itu melakukan semua itu dengan tangan kiri, sedangkan
tangan kanan tetap memegang suling yang ditiup. Kini dengan tenangnya ia
menyimpan kembali pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala
rampok itu.
Liang Bi dan
Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si Pemuda Tampan
yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru girang, akan tetapi Liang
Bi mengerutkan alisnya. Betapa pun juga, kedua orang dara perkasa ini mengamuk
lebih hebat sehingga dalam waktu sebentar saja robohlah semua gerombolan
perampok, tidak ada seorang pun yang dapat lolos. Sebagian roboh oleh pedang
kedua pendekar wanita ini, sebagian lagi oleh ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang
bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan ‘lagu’ sulingnya dan meniup
suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu merayap pergi
seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan sebentar saja tidak tampak
seekor pun ular di situ.
Ada pun
Liang Bi dan Cui Leng cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk
bersila dan mengerahkan sinkang untuk melawan racun yang menjalar ke tubuh
mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.
“Syukur bahwa
Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya,” terdengar Suma
Hoat berkata.
Liang Bi dan
Cui Leng membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua
dengan mata berseri.
“Kalau tidak
cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami telah tewas,
sobat baik!” kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir menahan rasa sakit.
Liang Bi
makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata, “Terima kasih atas
pertolongan Kongcu.”
Suma Hoat
tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum yang khas
dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia melihat sinar kagum
dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi tetap memandang dingin.
“Perampok-perampok
ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi
beristirahat di sana.”
Cui Leng
sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, “Terima kasih, tidak
usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan luka...”
“Aihhh...!
Ji-wi terluka? Aduh celaka...” Itu adalah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!
Berbahaya sekali!” tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Liang Bi
menjawab dingin, “Tidak mengapa, Kongcu. Kami sanggup mengobatinya dengan
sinkang...”
“Wah, mana
bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun Ang-tok-ciam amat
lihai. Biar pun dapat dilawan dengan sinkang dan tidak sampai merampas nyawa,
namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng dengan totol merah yang tidak
dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan, benar tidak. Bukankah di tempat yang
terkena luka itu terasa gatal-gatal dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa
panas menjalar naik perlahan dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar
naik? Bagi orang yang tidak mempunyai sinkang, tentu akan tewas dalam waktu dua
belas jam. Ji-wi yang memiliki sinkang tinggi akan dapat menyelamatkan nyawa,
akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari lubang-lubang
kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut bersamaku ke sarang
perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi.”
“Suci...,”
Cui Leng memandang suci-nya dengan wajah membayangkan kengerian mendengar
betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya yang cantik menjadi
bopeng dengan totol-totol merah!
Akan tetapi,
dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma Hoat,
“Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami akan beristirahat di
sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami.”
Suma Hoat
menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata, “Agaknya Ji-wi
Lihiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud baikku. Maafkan kalau
aku telah berlaku lancang dengan melakukan pembayaran dan membelikan kuda yang
tidak ada artinya dan yang kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja
aku tidak dapat memaksa, akan tetapi... aku akan menanti di dalam hutan, di
bekas rumah perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati
agar racun itu tidak mengakibatkan cacat pada muka Ji-wi. Selamat berpisah.” Ia
lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu. Sebentar saja ia
sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya menyelinap ke dalam hutan
tak jauh di depan.
“Suci,
engkau sungguh keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu
menolak. Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?” Cui Leng segera menegur
kakak seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi
menoleh ke arah adiknya. “Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang
gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan cacat
hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu. Sinar matanya mengandung
kepalsuan.”
“Suci,
aku...!”
“Cukup,
Sumoi! Mengapa sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku?
Kita mesti cepat bersemedhi menghimpun hawa murni dan menggunakan sinkang untuk
melawan racun!” Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah melanjutkan semedhinya
dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia sudah tenggelam ke alam semedhi,
napasnya panjang-panjang teratur seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng
berusaha untuk meniru suci-nya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang.
Sukar baginya untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala
perasaan untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu
tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacat bopeng yang mengancam mukanya
dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan terbebas dari
ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam
kemudian, setelah merasa yakin bahwa suci-nya telah ‘pulas’ dalam semedhi, Cui
Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng, maka diam-diam ia
meninggalkan suci-nya memasuki hutan dengan maksud menjelang pagi, sebelum
suci-nya sadar kembali dari semedhi, dia akan kembali ke situ sehingga
kepergiannya tidak diketahui suci-nya.
Mudah saja
bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala rampok itu
karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak cahaya penerangan dari
rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat ke depan pintu yang segera
terbuka dan muncullah pemuda itu sambil tersenyum amat tampannya.
“Ah, selamat
malam, Nona. Syukur bahwa Lihiap suka datang...”
Berhadapan
dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu. “Aku... aku
hendak minta obat... aku tidak mau menjadi bopeng...”
“Tentu saja!
Sayang, sekali kalau Lihiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana suci-mu, mengapa
tidak datang?”
“Dia... dia
tidak mau, dia... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau suka
menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan segera
kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia galak sekali.”
“Masuklah
Lihiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang
sisa perampok telah kuusir pergi.”
Cui Leng
memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah lengkap. Dia
dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata, “Lihiap, orang yang
terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum itu dicabut ke
luar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang mengeram di bawah kulit
dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?”
Wajah Cui
Leng mendadak menjadi merah sekali. “Di... sedot...? Akan tetapi aku... aku
terluka di sini...” dia menuding ke arah dada kanan, sedikit di bawah pundak,
kemudian menyambung cepat, “Biarlah kucabut dan kusedot sendiri lukanya, baru
kau obati.”
Suma Hoat
memandang ke arah dada itu dan tersenyum. “Lihiap, mana mungkin engkau menyedot
luka di tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan... ah, sungguh aku
orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Lihiap juga masih tidak
percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah menggunakan rasa
sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati, tidak mempunyai niat
buruk yang lain. Terserah kepada Lihiap, kalau tidak mau, aku pun tentu saja
tidak berani memaksa.”
Pemuda itu
membalikkan tubuh, membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat perapian
sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi hangat. Memang dia
sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk mengambil keputusan.
Ia mendengar
gadis itu menghela napas panjang berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya
lirih agak gemetar, “Baiklah... Kongcu... biar engkau yang menyedot dan
mengobatinya. Apa boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng.”
Suma Hoat
tersenyum, senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka
menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia berkata,
”Engkau tidak usah khawatir, Lihiap. Dengan kepandaianmu yang tinggi, aku bisa
berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang pelajar yang mengerti sedikit ilmu
pengobatan dan yang mengandung maksud baik.”
Ia lalu
menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak dan cawannya. Sambil
menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan, “Harap kau suka membuka bagian
yang terluka. Setelah minum obat penawar racun ini, baru akan kucabut jarum dan
kusedot darahnya yang terkena racun.”
Ia menanti
sampai Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya, melepaskan kancing
tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju dalamnya yang juga berwarna
merah sehingga tampaklah dada bagian atasnya yang berkulit putih kemerahan dan
di bawah pundak kanan itu tampak ujung gagang jarum yang beronce merah,
terhujam dalam-dalam di kulit dan daging.
“Aku sudah
siap, Kongcu,” kata gadis itu perlahan.
“Baik,
sekarang minumlah dulu obat ini.” Suma Hoat menyerahkan cawan yang penuh arak
obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis itu
terbatuk. “Ughh-ughh...! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis akan tetapi
keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!” serunya sambil memandang arak
dalam cawan yang berwarna merah.
“Memang obat
itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan, Lihiap. Sudah
disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat hebat. Jangan ragu-ragu
minumlah!”
Cui Leng
duduk di atas bangku pendek dan Suma, Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan
kuku jari tangan yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit
ujung gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia
mencabut jarum itu.
“Aihhh!” Cui
Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.
“Sakit
sedikit, Lihiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak keberatan
bukan?” Sambil bertanya demikian Suma Hoat mengangkat muka dan memandang.
Cui Leng
menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka terpisah tidak jauh. Wajah
itu demikian tampan, sepasang mata itu demikian bagus dan bibir itu tersenyum
amat ramah sehingga Cui Leng menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua
kecurigaan dan keraguan, dan jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat
aneh yang membuat jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang
luar biasa tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?
Ia tersenyum
malu-malu dan mengangguk, “Lakukanlah...”
Seluruh bulu
dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa betapa bibir yang
basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas. Jantungnya berdebar makin
keras ketika bibir itu menyedot luka di dadanya. Ia merasakan sesuatu yang
sebelumnya tidak pernah dialaminya, perasaan yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata, campur baur penuh rasa senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia
ingin menjatuhkan kepalanya di atas pundak pemuda itu.
Tubuhnya
seperti tak bertulang lagi, lemas dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa
cinta kasih yang menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah
yang disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot tiga
kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang menggelora di hatinya.
Tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah terpejam, mulutnya agak terbuka,
terengah memberi jalan ke luar pada hawa yang mendesak dan menyesakkan dadanya
yang bergelombang.
Melihat
tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. ‘Arak obat’ yang diberikannya tadi
sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman matang, dia maklum
bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu mempunyai daya
melumpuhkan semua pertahanan susila di hati wanita dan tentu saja seperti
obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap wanita yang memang sudah
mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini perlahan-lahan bibirnya bergeser,
bukan lagi luka itu yang dikecupnya, melainkan naik ke leher.
Cui Leng
merasakan hal ini, dan ia terkejut sekali, namun apa daya, semua kemauannya
telah lenyap, bahkan dia merasa dirinya seperti terapung di angkasa, demikian
menyenangkan. Dia hanya dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan
kini kedua matanya bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika
pemuda itu merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua
lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah lupa dan
mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu amat baik, amat
tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi jodohnya!
Seperti
dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa saja yang dikehendaki pemuda
itu. Satu-satunya percakapan di antara mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
“Kekasihku,
siapakah namamu?”
Pertanyaan
yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun pada
saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak merasai keanehan
ini dan menjawab lirih, “Namaku Kim Cui Leng... dan kau, Koko...?”
“Panggil
saja aku Hoat.”
“Hoat-ko...
aku cinta padamu...”
Dengan
ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa raganya
kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan keadaannya!
Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf ‘Hoat’ saja! Dia seorang
gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali, masih hijau, dan yang
mempermainkannya adalah seorang ‘Jai-hwa-sian’ yang pandai merayu, tentu saja
Cui Leng benar-benar jatuh!
Barulah pada
keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang nyenyak berbantal lengan dan
dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit, teringat akan segala yang terjadi dan ia
menangis tersedu-sedu.
Suma Hoat
memeluknya. “Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis?
Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?”
“Tidak...!
Tidak...! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...”
Suma Hoat
menciuminya. “Mengapa menangis?”
“Aku takut!
Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan
pelanggaran kami!”
Suma Hoat
tertawa, “Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia, biar seluruh
tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini, Leng-moi.
Percayalah, aku tidaklah selemah yang kau kira. Lihat ini!” Suma Hoat
menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai.
“Plak!
Plak!” terdengar suara dan Cui Leng memandang lantai dengan mata terbelalak,
melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang amat dalam dan
begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.
“Eh...
itu... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!” serunya kagum.
“Dan lihat
ini!” Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak di atas meja
dan...
“Wuuuuttt!”
guci arak itu terbang melayang ke arah tangannya, disambut dan pemuda itu
menenggak araknya!
“Wah,
Koko...! Sinkang-mu hebat bukan main!”
“Nah, masih
takutkah engkau? Biar suci-mu datang, dia tidak dapat mengganggumu, apa lagi
membunuhmu.”
“Akan
tetapi, namaku akan ternoda, Koko, bagaimana baiknya...?” Wajah gadis itu
menjadi pucat.
“Karena
ketahuan suci-mu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya hanyalah
mengusahakan agar suci-mu mau bermain cinta denganku, mau melayaniku. dengan
demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling menyimpan rahasia!”
“Kau...!”
Tangan Cui Leng menyambar hendak menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda
itu menangkap tangan itu sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta
sambil mengerahkan tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
“Leng-moi,
jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka sama
suka, bukan? Tidak ada yang memaksa! Aku adalah seorang laki-laki yang takkan
menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar suci-mu suka bermain
cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu agar rahasiamu tetap aman
tersimpan. Bagaimana?”
Cui Leng
terisak. “Kau... kau... mata keranjang!”
“Ha-ha-ha!”
Suma Hoat tertawa. “Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata keranjang? Asal
diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak kasih sayang wanita
cantik! Dan suci-mu juga cantik jelita, sungguh pun tidak sepanas engkau.
Bagaimana?”
Cui Leng
memang merasa menyesal dan khawatir. Kalau sampai diketahui suci-nya bahwa dia
telah menyerahkan kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan
selama hidupnya takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau suci-nya juga ‘terjun’
dan ikut basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan
dapat saling menjaga rahasia masing-masing.
“Jadi kau...
kau tidak akan memperisteri aku?”
“Moi-moi?
Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita melakukannya
karena suka sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya, bukan? Tadinya pun
aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai isteri.”
“Mengapa?”
dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.
“Mengapa?
Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah! Sekarang
bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk suci-mu agar keadaannya sama
denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?”
“Tidak,
jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kau kehendaki kepada suci
kalau... kalau... itu merupakan satu-satunya jalan...”
Melihat
betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda susah,
Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng. “Leng-moi, hidup satu kali
mengapa berduka dan berkhawatir? Tidak pantas wajahmu yang cantik berduka. Mari
kita bergembira!”
Dia membawa
Cui Leng lari ke luar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian,
kedua orang itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai
itu, saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan
cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali menjadi
gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai mabok dalam rayuan
Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan tubuhnya.
“Sumoi...!”
Bentakan
Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan ia menengok dengan wajah pucat ke arah
suci-nya yang sudah berdiri di tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah
tersenyum-senyum. Kekagetan Cui Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan
dengan rasa kaget yang memukul hati Liang Bi ketika ia mencari sumoi-nya dan
mendapatkan sumoi-nya sedang mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan
telanjang bulat seperti itu.
“Ha-ha,
kebetulan sekali engkau datang Lihiap. Marilah ikut bersama kami, di sini segar
dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!” kata Suma Hoat.
Saking
bingung dan takutnya melihat suci-nya penuh kemarahan, Cui Leng berkata di luar
kesadarannya, “Benar suci! Mari kita mandi bersama Hoat-koko...!”
“Sumoi,
engkau murid yang murtad! Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk!” dengan
kemarahan meluap Liang Bi mencabut pedangnya. “Manusia-manusia macam kalian
harus kubunuh!”
“Suci...!”
“Tenanglah,
Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!” Setelah berkata demikian, sekali
melompat tubuh Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat, ke depan Liang
Bi.
Selama
hidupnya yang dua puluh tahun lamanya, dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi
melihat seorang laki-laki dewasa telanjang. Kini ada seorang laki-laki dewasa
bertelanjang bulat berdiri di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman
yang amat hebat, yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan
saking malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan
teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu penuh
kebencian.
Akan tetapi,
selain tingkat ilmu kepandaian Suma Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi
seorang pria yang telanjang bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga
gerakannya terganggu dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari
serangan pedang yang bertubi-tubi.
“Ah, Nona
yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku yang tidak berdosa? Sumoi-mu dan
aku sama-sama menikmati cinta kasih dan marilah, engkau ikut pula menikmatinya.
Tegakah engkau membunuh aku yang tidak berdosa?” Suma Hoat membujuk sambil
mengelak dengan mempergunakan ginkang-nya yang tinggi.
“Manusia
hina! Terkutuk! Mampuslah!”
Liang Bi
menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan menyaksikan
tubuh yang telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.
Kembali Suma
Hoat mengelak. “Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku tidak tega
untuk mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!”
Ucapan
merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Liang Bi makin
berkobar. Kalau pria ini mencinta sumoi-nya, bagaimana sekarang di depan
sumoi-nya berani mengeluarkan kata-kata mencintanya?
“Keparat
biadab!” Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali menjadi
segulung sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar.
“Aduh,
cantik dan gagah sekali engkau!” Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia
mengelak.
Tiba-tiba
Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang mengelak masih diserempet ujung
sepatu. Suma Hoat terguling!
“Mampuslah
engkau!” Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya
mengelak dari tusukan yang bertubi-tubi.
“Suci...!”
Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun Liang
Bi tidak peduli, terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang bergulingan itu.
Makin panas hatinya karena tusukannya tidak pernah mengenai orang yang
dibencinya.
Tiba-tiba
Suma Hoat tertawa dan ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan
tiba-tiba, pada saat ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh Suma Hoat
mencelat ke atas dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh
itu dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis itu. Liang Bi
menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu memeluknya
begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka ia pun roboh
terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah berumput, pedang
terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir pingsan ketika merasa betapa
lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh pemuda yang telanjang bulat itu!
“Aku cinta
padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau...!” Suma Hoat berbisik-bisik.
“Bunuh
aku...! Bunuh saja aku...!” Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak ingat diri,
pingsan oleh rasa jijik dan ngeri ketika merasa betapa tangan pemuda itu
menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja
Suma Hoat tidak ingat bahwa Liang Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama
sekali tidak ingat untuk menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau
membunuh Liang Bi di saat dan di tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak ingin
menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya!
Kalau dia
memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan membunuh
diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari akal untuk
menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan sehingga gadis itu akan berada
dalam keadaan yang sama dengan sumoi-nya, sehingga mereka akan dapat saling
menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah demikian, dia akan dapat
meninggalkan mereka berdua sebagai seorang sahabat dan bekas kekasih! Dan dia
tidak perlu bermusuhan dengan pihak Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh
dipandang ringan!
Melihat
Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan berkata
kepada Cui Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran. “Suci-mu keras
hati, akan tetapi aku harus menundukkannya, demi menjaga nama baikmu. Aku akan
membuat dia suka melayaniku, akan tetapi engkau harus membantuku. Semua ini
kita lakukan demi kebaikanmu.”
Cui Leng tak
dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk. Diam-diam ia
menyesali perbuatannya, akan tetapi betapa pun juga harus dia akui bahwa belum
pernah selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan kesenangan seperti
sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau suci-nya sudah terjun pula
seperti yang telah dia lakukan, rahasianya tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika
siuman dari pingsannya, Liang Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah
rumah yang cukup bersih dan megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki
tangannya. Suma Hoat yang berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali
duduk di pinggir pembaringan. Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum
memandangnya ketika ia membuka mata.
“Jahanam...!”
Kata-kata yang pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya
agak lega bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma Hoat
tersenyum. “Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku cinta
padamu, Bi-moi,” Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus itu.
Liang Bi
membuang muka dengan gerakan kasar. “Jangan sentuh aku! Lebih baik kau bunuh
saja!” teriaknya dan dua butir air mata meloncat ke luar dari sepasang matanya.
“Aihh,
sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan
mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku hanya
ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau seorang gadis
jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti aku saling mencinta?”
“Phuih!
Manusia terkutuk! Jangan mengira bahwa semua wanita akan semudah itu kau
permainkan! Aku lebih baik mati dari pada melakukan perbuatan terkutuk!”
Akan tetapi
Suma Hoat tertawa dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi.
Liang Bi meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama
sekali tidak tergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan
perbuatannya.
“Hemm,
engkau benar keras hati dan keras kepala. Hendak kulihat sampai di mana
kekerasanmu!” Pemuda yang kalau berhadapan dengan wanita menjadi keji dan ganas
seperti iblis itu lalu mengambil secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah
dipersiapkan. “Kau minumlah arak obat ini, manis!”
“Tidak sudi!
Engkau telah menipu, menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum
itu sama sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan
lenyap sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi. Engkau
katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng, buktinya aku tidak
apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!” Liang Bi membuang muka ke
samping.
Akan tetapi
sambil tertawa Suma Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan
jari-jari tangannya yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia
menuangkan isi cawan ke dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa
menelan arak obat itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.
“Binatang!
Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid
Siauw-lim-pai!” ia meronta-ronta dan memandang penuh kebencian kepada Suma Hoat
yang tertawa-tawa.
Suma Hoat
hanya duduk dan memandang sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai
bekerja. Liang Bi menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya
berdegup kencang, pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin
panas rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia
akan mati. Akan tetapi ia tidak peduli.
Yang amat
mengganggu hatinya adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan
rangsangan birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah,
untuk menerima pemuda itu yang kelihatan amat tampan dan menggairahkan. Namun
karena pada dasarnya dia tidak sudi melakukan perbuatan yang dianggapnya
terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia memejamkan mata agar
tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis itu.
“Suci,
mengapa Suci tidak mau menurut? Hoat-koko orangnya amat baik, Suci. Aku... aku
cinta padanya dan kalau Suci menurut, Suci pun akan jatuh cinta padanya!”
Mendengar
suara sumoi-nya ini, Liang Bi membuka mata dan menoleh. “Perempuan hina!
Perempuan rendah! Orang macam engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri
saja, tidak ada harganya untuk hidup!”
Muka Cui
Leng menjadi merah, akan tetapi Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa,
“Leng-moi, suci-mu lebih suka mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua
lebih senang untuk memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!”
Suma Hoat
lalu menarik tangan Cui Leng ke atas pembaringan di mana Liang Bi terbelenggu,
kemudian ia mulai membelai Cui Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi
dia mengajak Cui Leng bermain cinta! Biar pun Cui Leng merasa sungkan dan malu
sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini dilakukan oleh
kekasihnya untuk menggerakkan hati suci-nya dan dia amat memerlukan suci-nya
ikut terjun dalam permainan yang akan menyelamatkan rahasianya, maka ia pun
menurut saja.
Dapat
dibayangkan betapa tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan
yang dianggap terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata
dan membuang muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali karena
rangsangan di dalam tubuhnya makin menghebat, nafsu birahinya menggelora dengan
disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia memaksa batinnya sekuat tenaga
untuk melawan godaan yang datangnya dari dalam.
Di luar
kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa kali ia menoleh,
membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak kuat, ia mengeluh dan
memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia merintih-rintih dan berkali-kali
bersambat, “Bunuhlah aku... bunuhlah... ahhh, terkutuk kalian... bunuhlah
aku...!” Lalu diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di
atas kedua pipinya.
Suma Hoat
melakukan perbuatan tak tahu malu itu dengan niat untuk menggerakkan hati Liang
Bi. Ia turun dari pembaringan, menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap
air matanya. “Bimoi... aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi... kau
menurutlah sayang dan kita bertiga hidup bahagia...”
Jari
tangannya membelai dan hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh
batinnya. Namun dia menggigit bibir dan menggeleng kepala dengan mata
dipejamkan, tak kuasa menjawab. Suma Hoat menjadi jengkel. Belum pernah ia
menjumpai seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak obatnya
tidak mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak!
“Hemmm, kau
berkeras, ya? Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!” Ia lalu menotok tubuh Liang
Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
“Hoat-ko...!”
Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu hendak
membunuh suci-nya. “Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai di mana
keteguhan dan kekerasan hatinya!”
Pemuda itu
membawa tubuh Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput.
Kemudian ia mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng
memandang penuh perhatian dengan mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking
yang aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan rumput.
Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun, merayap
mendekati Liang Bi!
“Hoat-ko...!”
Cui Leng menjerit.
Akan tetapi
Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan melanjutkan tiupan
sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya hanya hendak menakut-nakuti
Liang Bi. Yang menyiksa dan mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa suci-nya
itu paling jijik dan takut melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap
mendekatinya, tentu saja suci-nya menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi
terbelalak, melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.
Suma Hoat
menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular itu
datang terlalu dekat. “Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau menyerah,
ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu akan
bengkak-bengkak!”
Liang Bi
sudah tertotok, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata
ketus, “Bunuhlah aku! Aku tidak sudi!”
Suma Hoat
makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular itu mendekati
tubuh Liang Bi yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah ular yang merah dan
bergerak-gerak keluar masuk itu, taring yang putih mengkilap dan melengkung ke
dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar membuat ia hampir pingsan saking
takutnya. Betapa mudahnya untuk mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan
terbebas dari ancaman ular-ular ini!
Dia
menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi dinikmati sumoi-nya. Akan
tetapi dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih baik mati dari pada menyerah dan
terperosok ke dalam pecomberan yang berupa perbuatan melanggar susila yang
terkutuk dan menjijikkan. Tidak, dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah,
kehormatan seribu kali lebih berharga dari pada nyawa! Seribu kali lebih baik
mati sebagai seorang pendekar wanita yang bersih dari pada hidup sebagai
seorang perempuan ternoda!
“Bunuhlah!
Aku tidak takut mati!” ia berteriak.
Sinar yang
buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah dan dia lupa
akan janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup sulingnya dengan nada makin
tinggi. Tiga ekor ular itu mendesis-desis, siap menerjang dan menggigit tubuh
wanita yang terbujur di atas tanah.
“Crat-crat-crat!”
Sinar putih
menyilaukan mata itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang wanita dengan
pedang di tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus kepalanya, tinggal
tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
Cui Leng dan
Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat mengangkat kepala
memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular dengan pedang itu adalah dua
orang wanita yang usianya antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun,
keduanya bersikap gagah perkasa dan masih nampak cantik. Melihat persamaan
wajah mereka, mudah diduga bahwa mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita
yang lebih tua menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
“Penjahat
keji, perbuatanmu melampaui batas peri-kemanusiaan. Sekarang setelah kami
datang, bersiaplah untuk mati!” Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke
depan, menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.
“Dan engkau
wanita kejam patut mampus, juga!” teriak wanita kedua yang juga cepat sekali
gerakannya menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini mencabut pedang menangkis.
“Cringgg...,
tranggg...!”
Pertemuan
pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang Cui Leng
menimbulkan bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita yang lebih tua
terkejut bukan main karena tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, tanda
bahwa pemuda tampan yang memegang suling itu memiliki sinkang yang amat kuat.
Ada pun wanita kedua juga merasa bahwa dara cantik yang menjadi teman pemuda
itu pun memiliki gerakan yang tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan
cepat menyerang dengan dahsyat.
Namun Suma
Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat mengimbangi permainan pedang
lawan sehingga mereka telah bertanding dengan seru. Diam-diam ia kagum karena
ternyata wanita baju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki
kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan balas
menyerang.
Di lain
pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng
mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai
yang mempunyai daya tahan kokoh kuat.
“Tahan...!”
Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng berteriak dan melompat mundur diikuti
enci-nya. Wanita ini memandang Cui Leng dan bertanya, “Bukankah engkau murid
Siauw-lim-pai? Ilmu pedangmu adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!”
Cui Leng
menjadi bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan
seperti sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam
keadaan seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah murid
Siauw-lim-pai. Namun Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa sambil memandang
kedua wanita itu.
“Tidak salah
dugaan Ji-wi Toanio yang cantik dan gagah! Dia dan suci-nya itu adalah
murid-murid Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang
main-main, mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?”
Kedua orang
wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa
mempedulikan ucapan Suma Hoat yang main-main, juga panggilan dengan embel-embel
‘yang cantik dan gagah’ yang pada saat lain tentu akan menimbulkan kemarahan
mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan bertanya.
“Engkau...
dan suci-mu... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan
Beng-kauw?”
Cui Leng
menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita itu, akan tetapi
dia menduga bahwa mereka tentulah orang-orang Beng-kauw, maka dia menjadi makin
bingung. “Aku... aku...” Sukar sekali dia melanjutkan kata-katanya.
“Kembali
Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah wakil
Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku tercinta ini
untuk berunding. Mari kita ke rumah kami.” Suma Hoat berkata dan senyumnya amat
menarik.
“Aihhh...,
bagaimana ini? “Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan
bingung.
“Hui-moi,
mari kita pergi!” kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya mengangguk dan
keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Cui Leng
membanting-bantingkan kakinya. “Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku bahwa kami
berdua adalah orang-orang Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu mereka itu siapa!”
Suma Hoat
tertawa, “Takut apa, Moi-moi? Ada aku di sini, mengapa takut?”
Cui Leng
memandang suci-nya yang masih rebah telentang, dan ternyata suci-nya telah
pingsan saking ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.
“Wah,
bagaimana ini? Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada dua orang
wanita itu. Rahasia tentu akan terbongkar...!”
“Ha-ha-ha,
jangan khawatir, Suci-mu takut ular, aku masih ada jalan lain.”
Setelah
berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke dalam rumah
diikuti oleh Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan menduga-duga siapa gerangan
kedua orang wanita yang lihai itu. Mereka itu lihai dan kalau mereka bertempur
terus, belum tentu dia dan Suma Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi
mengapa mereka berdua tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah
murid dan wakil Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?
Ya, siapakah
mereka? Dua orang wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan
tahun bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw
yang selama hampir dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san, menggembleng
diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek mereka, yaitu Kauw Bian
Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw. Kakak beradik ini bernama Kam Siang Kui
dan Kam Siang Hui, dan mereka ini bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam
Han Ki! Mereka adalah puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan
ibu mereka adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw!
Kedua orang
kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar ternama di
selatan, akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika berjuang melawan
musuh-musuh Beng-kauw. Mereka belum mempunyai keturunan dan selama ini hidup
sebagai janda-janda yang tekun melatih diri di puncak Ta-liang-san dan menanti
kesempatan untuk membangun kembali Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa
prihatin sekali ketika anak buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman
seorang pendeta dari Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di
Pegunungan Heng-toan di lembah Sungai Ci-sha.
Pendeta
Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama, seorang pendeta berjubah merah yang amat
lihai, yang melanjutkan perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah
Beng-kauw menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya
Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang jahat.
Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw mendiang
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu, selalu gagal.
Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama! Juga Kauw Bian Cinjin
yang sudah amat tua, paman kakek guru mereka, juga tewas di tangan Hoat Bhok
Lama!
Demikianlah,
dalam usaha mereka untuk menentang Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas
dendam kematian suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk
merampas kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan,
Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon
pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.
Tentu saja
mereka segera turun tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan
dibunuh dengan ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa
gadis-gadis itu adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh
Ketua Siauw-lim-pai sebagai wakil, dan yang kini malah membantu pemuda tampan
itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka
mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan murid Siauw-lim-pai,
apa jadinya? Maka mereka bergegas pergi mencari Ketua Siauw-lim-pai untuk
melaporkan peristiwa yang mereka lihat di hutan itu.
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk yang menimpa keluarga
keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan tetapi mereka hanya dapat
menangis mendengar akan kematian Raja Talibu, Mutiara Hitam dan Kam Liong yang
menjadi saudara-saudara misan mereka. Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu
karena mereka sendiri pun mengalami nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur,
Beng-kauw dirampas orang dan diselewengkan.
Mereka tidak
dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara lain karena mereka menganggap bahwa
adik mereka, Kam Han Ki, telah tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu
masih hidup. Maka satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka
tahu memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran. Apa
lagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak hal ini
akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi Agama Buddha.
Demikianlah,
mereka bergegas mencari ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan
dan sekalian untuk berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka
menghadapi Hoat Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu
itu, Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Cing-lai, di
dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai tidak jauh dari situ.
Kian Ti
Hosiang menerima kedatangan mereka, dengan sabar dan tenang hwesio ini
mendengarkan penuturan mereka. Biar pun di dalam hatinya hwesio yang berwajah
tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang muridnya, namun
dengan sikap tenang ia berkata, “Omitohud... Ji-wi Toanio telah bertindak tepat
dengan memberitahukan kepada pinceng. Mereka masih muda dan belum berpengalaman.
Pinceng tak dapat menduga apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu.
Biarlah pinceng sendiri yang akan menengok mereka.”
“Sebaiknya
begitu Locianpwe. Mari kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu,” kata
Kam Siang Kui yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua
orang murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan keji,
penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biar pun
Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapa pun dua orang tokoh Bengkauw itu
menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan melangkah
seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini menlmbulkan rasa hormat
dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka harus mengakui bahwa dalam hal
ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian Cinjin guru dan paman kakek mereka
sendiri tidak akan dapat menandingi Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam
perjalanan ini, kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan
Beng-kauw dan kembali mereka mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu
suka membantu mereka untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti
Hosiang mendengarkan dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu
akan mereka bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai, dan akan
dirundingkan dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.
“Saya rasa
bahwa Locianpwe seorang saja yang akan mampu menolong kami,” Kam Siang Kui
berkata penuh permohonan. “Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya
Locianpwe seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya.”
Ketua
Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang. “Nanti kita lihat sajalah, Toanio.
Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus diakhiri dengan
kekerasan dan pembunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah yang lebih jahat antara
penjahat yang dibunuh dengan orang yang membunuhnya!”
Mendengar
ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui saling pandang penuh keheranan dan
tidak berani lagi bicara tentang permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai
menolong murid-muridnya. Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi,
seolah-olah mereka bertiga tenggelam dalam lamunan masing-masing yang
dibangkitkan oleh ucapan terakhir hwesio itu.
Liang Bi
terikat kaki tangannya pada sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok.
Ia memandang dengan sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui
Leng. Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi meninggalkannya
setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan darah di pundaknya sehingga
tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu menggunakan sinkang untuk melepaskan
diri.
Cui Leng
memandang kepada suci-nya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran.
Kemudian ia melangkah maju, membujuk, “Suci, mengapa engkau berkeras? Suci,
Hoat-koko benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia mencinta
kita dan dia baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu dengan seorang
pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati dan... dan... engkau
tentu akan merasa bahagia sekali kalau suka melayani dan membalas cinta
kasihnya. Suci, ke mana-mana kita berdua, kita mengalami suka-duka berdua,
mengalami bahaya maut berdua. Sekarang... aku menikmati kebahagiaan, aku pun
ingin agar kita menikmatinya berdua...”
“Cihh!
Perempuan rendah! Cui Leng, tidak malukah engkau? Apakah sudah hilang harga
dirimu? Engkau menyeret nama dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana
engkau sampai dapat terperosok serendah ini?”
“Suci,
apakah artinya malu? Kalau kita suka melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan
orang lain, mengapa mesti malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang
lain yang akan mengetahuinya! Suci, kau sambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga
akan hidup bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada
siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki
sinkang yang amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti Tiat-ciang-kang
dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik kepadanya kita dapat belajar
ilmu dari dia, alangkah senangnya!”
“Sumoi! Aku
masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kau lepaskan aku, mari
kita pergi dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi dia tidak ada.
Engkau belum tersesat terlalu jauh...”
Akan tetapi
Cui Leng menggeleng kepala. “Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur lagi.
Kalau engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan kita menikmati
kebahagiaan bersama, setelah itu... tentu Hoat-koko tidak akan mengganggumu
lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau meninggalkannya dengan hati aman...”
Liang Bi
membelalakkan matanya. Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoi-nya bersikeras
minta agar dia melayani niat keji pemuda itu!
Senja telah
mendatang ketika dari jauh terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk
Liang Bi berdiri meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu
adalah suara suling Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya.
Padahal, di antara segala makhluk di dunia ini, ular adalah binatang yang
paling ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga
biar pun kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tetap saja dia
merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya menjadi pucat dan napasnya
terengah.
Cui Leng
juga mendengar suara ini dan ia melangkah mundur, memandang dengan sinar mata
aneh dan bibirnya tersenyum. “Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku
melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!”
Makin pucat
wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan perlahan sambil
meniup sulingnya dan... di depan pemuda itu tampak seekor ular besar dan
panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih dari dua meter panjangnya,
sebesar betis orang, kulitnya mengkilap berwarna hijau kekuningan, matanya
merah. Setelah tiba di ruangan itu, Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular
itu pun berhenti, mengangkat kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung
mengapa suara suling itu lenyap.
“Bi-moi, bagaimana?
Apakah engkau masih keras kepala? Sekali lagi kuminta engkau suka menerima
cintaku seperti yang dilakukan sumoi-mu, dan kita bertiga hidup bahagia.”
“Tidak sudi.
Lebih baik mati!”
“Begitukah?
Hemm... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau engkau sudah
merasa cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja bahwa engkau menyerah.
Akan tetapi kalau engkau lebih suka memilih mati, engkau akan mati dengan nyawa
masih penuh rasa takut dan jijik sehingga rohmu akan berkeliaran dikejar
ketakutan hebat!”
Suma Hoat
lalu meniup sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu
mengangkat tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari
dan perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah bergerak-gerak
keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi
memandang ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil
dan dadanya bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit. Ia
berusaha menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai merayap dari
kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya, perutnya... Liang Bi hampir
pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi
seorang gagah seperti dia kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan
mata terbuka. Akan tetapi bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular,
melainkan rasa geli dan jijik.
Namun celaka
baginya. Suma Hoat meniup sulingnya terus dan ular itu sama sekali tidak
menggigitnya, melainkan melingkari tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa
tubuh ular itu berdanyut-danyut dingin sekali, licin dan menggelikan,
menjijikkan, kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya
keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan tetapi
ia masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya, pipinya,
bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang menciumnya penuh
nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
“Bunuh
aku... iihhhh... bunuh aku... uhu-hu-huu... suruh dia pergi...!” Akhirnya ia
merintih.
Akan tetapi
Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus menggerayangi
muka dan leher Liang Bi dengan moncongnya yang menjijikkan. Liang Bi
menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia pingsan atau mati seperti yang ia
harapkan dia akan terbebas. Akan tetapi celaka, dia masih sadar dan harus
merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya. Kalau dia disiksa dengan rasa
nyeri, disayat sedikit demi sedikit kulit dagingnya, dia akan menghadapinya dengan
tabah. Akan tetapi perasaan jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia
menahannya.
“Suci,
menyerahlah...!” Terdengar suara Cui Leng membujuk.
Gadis ini
berdiri di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan
bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba kepada
suci-nya. Akan tetapi karena ia maklum bahwa sebelum suci-nya menyerah dia
takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia menguatkan hatanya. Dia pun tidak
menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa suci-nya seperti itu, karena dia
menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu untuk membujuk suci-nya agar suka
menerima cintanya, dan Si Pemuda ini terpaksa melakukan hal ini atas
permintaannya, dengan maksud untuk menyelamatkannya!
Yah, apa
saja yang takkan dilakukan oleh makhluk yang disebut manusia kalau dia sudah
tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di
antara sikap-sikap keji yang banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh
nafsu birahi dan didasari rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan
kawan kalau dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini sebuah di antara banyak
sekali sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri, hampir
mencengkeram watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang sukar
diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita!
Dari
anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang anak kecil
yang jatuh dan menangis akan berhenti tangisnya, bahkan bisa tertawa kalau kita
pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh kesakitan! Menyaksikan
penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan semacam hiburan bagi seorang
yang sedang menderita. Memang amatlah buruk sekali sifat ini, namun tanpa
disadarinya, penyakit ini telah diderita oleh banyak sekali manusia di dunia
ini
Perbuatan
Suma Hoat amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri.
Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul dari rasa bencinya terhadap
wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya itu dengan menggunakan nafsu
birahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin! Karena bencinya timbul sifat
kejam dan dia merasa gembira melihat korbannya tersiksa, terutama sekali
tersiksa batinnya! Dia menganggap bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur
karena wanita! Bahkan, melihat wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi
sekarang ini membuat nafsu birahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita
tersiksa, makin menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment