Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 12
“Benar, dan
aku tadinya adalah seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi,
sejak dahulu aku tidak menyetujui permusuhan antara saudara sendiri, karena
kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung sebenarnya adalah saudara-saudara
seperguruan. Apa lagi cara mereka menerima murid-murid yang harus dibuntungi
kaki atau lengannya seperti kaum mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang
amat keji. Aku adalah suheng dari The Bian Le dan aku berusaha membujuk sute-ku
yang menjadi ketua kaum lengan buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak
kaki buntung. Pada waktu itu akulah yang menjadi ketua kaum lengan buntung.
Usul itu diterima dengan penuh kemarahan dan mereka memberontak. Aku yang
menjadi ketua mereka malah mereka anggap pengkhianat sumpah leluhur dan aku
dikeroyok, kemudian kaki kananku mereka buntungkan dan aku diusir dengan
kata-kata menghina bahwa aku berpihak kepada kaum kaki buntung.”
Kakek itu
menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya
dan berkata, “Betapa kejamnya!”
Kakek itu
menggeleng kepala, “Mereka patut dikasihani, Nona. Aku tidak menyesal karena
kakiku dibuntungi sebelah, melainkan menyesal bahwa usahaku itu gagal sama
sekali. Aku lalu pergi ke tempat kaum kaki buntung. Biar pun kaki kananku sudah
buntung seperti lengan kiriku, aku tidak putus harapan dan berusaha menghubungi
Liong Ki Bok, ketua mereka yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah sute-ku
sendiri pula. Akan tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung,
aku dicurigai dan malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi pula.”
“Ahhh...
Biadab! Jahat benar mereka itu!”
Kembali
kakek itu menggeleng kepala. “Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh
dendam permusuhan. Akulah orangnya yang patut disesalkan karena berusaha
mendamaikan mereka. Akan tetapi aku malah tetap penasaran dan aku takkan dapat
mati dengan meram kalau belum berhasil mendamaikan mereka.” Kakek itu kelihatan
berduka sekali dan diam-diam Siauw Bwee merasa terharu dan kasihan, juga kagum
menyaksikan iktikad baik yang tak kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya
sudah cacat seperti itu.
“Apa
hubungannya semua itu dengan aku, Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang tadinya
adalah ketua kaum lengan buntung sama sekali tidak dapat mendamaikan mereka
bahkan dianggap pengkhianat, bagaimana aku akan dapat mengusahakannya?”
“Dengan
jalan lain pasti dapat, Khu-lihiap. Akan tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku
terasing di antara mereka kedua pihak. Dengan tekad untuk tetap hidup dan terus
berusaha mendamaikan mereka, aku dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan
kanan ini sampai ke tempat ini, terpencil dan terasing. Sepuluh tahun lamanya
aku berdiam di sini, menggembleng diri dan terutama sekali mempelajari rahasia
ilmu-ilmu kedua pihak yang sesungguhnya memang sesumber. Dan ketekunanku selama
sepuluh tahun ini berhasil baik, Nona! Aku telah memecahkan kedua ilmu mereka,
maksudku aku telah menemukan cara pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu
gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung dan ilmu gerak kaki kilat dari kaum
lengan buntung. Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau perlu
dengan kekerasan!”
Wajah Siauw
Bwee berseri, dia ikut merasa gembira akan hasil kakek itu yang akan dapat
memenuhi cita-cita hidupnya, yaitu menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang
bersaudara akan tetapi permusuhan itu. “Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu,
Locianpwe pergunakan saja ilmu itu untuk menghajar orang-orang keras kepala
itu!” serunya.
“Nona,
lihatlah keadaanku. Aku hanya mempunyai sebuah lengan dan aku... karena terlalu
tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu, aku menderita sakit jantung yang
hebat dan takkan terobati lagi. Biar pun semua teori silat mereka sudah berada
di telapak tanganku kalau aku hanya mempunyai satu lengan saja, bagaimana
mungkin aku dapat menghadapi mereka?”
“Ohhh...
Maafkan aku, Locianpwe,” Siauw Bwee berkata dengan muka merah karena dalam
kegembiraannya tadi ia sampai lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.
“Tidak apa,
Nona. Bahkan akulah yang minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang
luar untuk mewakili aku...”
“Maksudmu...?”
“Ilmu
kepandaianmu hebat, Nona. Baik Liong Ki Bok mau pun The Bian Le, malah aku
sendiri tidak akan dapat menandingimu. Engkau tentu murid seorang yang amat
sakti. Akan tetapi, kalau engkau dikeroyok dan menghadapi ilmu silat gerak
tangan sakti dan gerak kaki sakti, engkau yang masih kurang pengalaman tentu
akan menjadi bingung sehingga keadaanmu akan berbahaya. Akan tetapi kalau
engkau kuberi pelajaran rahasia tentang kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan
mudah engkau akan dapat mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi
permintaan seorang tua yang sudah hampir mati dan sudikah engkau membiarkan aku
mati dalam keadaan meram dan tenang karena menyaksikan kedua kaum itu telah
dapat dipaksa berdamai?” Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan
disambungnya dengan suara parau. “Andai kata aku memiliki dua buah kaki, aku
akan berlutut memohon kepadamu, Khu-lihiap!”
Siauw Bwee
merasa terharu sekali. Dia memiliki watak yang halus dan perasa, penuh welas
asih, bagaimana mungkin ia dapat menolak permintaan itu? “Aihh, Locianpwe harap
jangan terlalu sungkan. Aku sudah Locianpwe tolong dari ancaman maut dikeroyok
burung-burung liar dan aku belum dapat membalas budi itu. Tentu saja aku akan
berusaha untuk memenuhi permintaanmu.”
“Terima
kasih, Lihiap! Semoga Tuhan memberkatimu! Dan jangan bicara tentang budi
pertolongan dariku, karena aku tahu bahwa tanpa kunasehatkan untuk menyelam
juga, burung-burung gila itu mana mungkin dapat menjatuhkan seorang seperti
Lihiap? Nah, marilah kita mulai dengan latihan ilmu-ilmu tangan kilat dan kaki
kilat, Nona. Waktu untuk pibu (mengadu ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi,
cukup lama bagimu untuk menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan
pibu Nona dapat maju dan mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu,
tentu mereka tidak berani membantah dan akan memenuhi permintaan Lihiap untuk
berdamai dan bersumpah mengubur semua permusuhan di antara kedua kaum!”
Waktu tiga
bulan bukanlah waktu yang sebentar dan berarti bahwa perjalanan akan tertunda
selama tiga bulan. Akan tetapi waktu itu tidak dibuang sia-sia, dan sebagai
seorang ahli silat seperti Siauw Bwee, tentu saja akan girang sekali menerima
pelajaran dua macam ilmu yang demikian hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa dia
sedang melakukan tugas yang mulia, yaitu berusaha mendamaikan permusuhan semua
saudara sehingga kalau berhasil berarti dia telah menyelamatkan entah berapa
banyak nyawa yang setiap tahun pasti ada yang jatuh menjadi korban pibu.
Demikianlah,
mulai hari itu, Siauw Bwee menerima petunjuk-petunjuk kakek cacat itu, melatih
diri dengan ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat. Karena dasar ilmu
silatnya malah lebih tinggi tingkatnya dari pada kedua ilmu itu, dia dapat
melatih diri dengan mudah dan hasilnya amat hebat, lebih hebat dari pada kalau
kedua ilmu itu dilatih oleh tubuh Si Kakek sendiri andai kata dia tidak
bercacat!
******************
Terpaksa
kita tinggalkan dulu Siauw Bwee yang setiap hari tekun berlatih kedua macam
ilmu silat istimewa itu dan sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki,
karena hal ini untuk memperlancar jalannya cerita.
Telah kita
ketahui betapa Kam Han Ki merana hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan
gairah hidup ketika kedua orang sumoi-nya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga
dia tinggal seorang diri di Pulau Es. Karena tidak dapat menahan kesepian yang
menggerogoti hatinya, juga karena khawatir akan keadaan kedua orang sumoi-nya,
Han Ki lalu membuat sebuah perahu dan berlayarlah dia meninggalkan Pulau Es
dengan maksud hendak mencari kedua orang sumoi-nya, atau setidaknya, seorang di
antara mereka.
Setelah
mendarat di tepi pantai daratan Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia
tidak tahu di sebelah mana kedua orang sumoi-nya mendarat dan ke mana pula
mereka pergi. Akan tetapi dia berjalan terus ke barat dan di sepanjang jalan
dia berusaha menemukan jejak kedua orang sumoi-nya dengan bertanya-tanya kepada
orang-orang yang dijumpainya di jalan.
Akan tetapi
sampai berpekan-pekan ia melakukan perjalanan, belum juga ia mendapatkan jejak
kedua orang sumoi-nya. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang ditanyainya
pernah melihat dua orang gadis itu, sebaliknya, Han Ki mendengar akan keadaan
kerajaan baru yang makin luas saja wilayahnya, yaitu Kerajaan Cin yang dibangun
oleh bangsa Yucen.
Kini di
daerah utara hampir seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke tangan
Kerajaan Cin. Dan dia mendengar pula tentang pergolakan di Kerajaan Sung,
tentang para pembesar yang memberontak dan berdiri sendiri-sendiri menguasai
wilayah masing-masing. Mendengar pula akan pergerakan bangsa Mancu di samping
bangsa Yucen.
Ketika ia
mendengar bahwa dia memasuki daerah yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai
mengangkat pejabat-pejabat daerah sebagai pegawai Kerajaan Cin, teringatlah Han
Ki akan kekasihnya, Sung Hong Kwi yang dahulu akan dikawinkan dengan Raja Yucen.
Timbul hasrat hatinya untuk mendengar berita tentang kekasihnya itu, dan kalau
mungkin... menjumpainya! Masih hidupkah Hong Kwi kekasihnya itu? Apakah kini
telah menjadi seorang yang mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir
rendahan saja?
Hatinya
terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa raja-raja yang berkuasa,
seperti halnya Kaisar Kerajaan Sung, paling suka mempermainkan wanita dan
setiap hari berganti wanita, yang lama dicampakkan begitu saja. Jangan-jangan
seperti itu pula nasib Hong Kwi. Kekhawatiran ini mendorong hasratnya untuk
menyelidiki keadaan Hong Kwi.
Akhirnya
karena dorongan hasrat ingin bertemu bekas kekasihnya tak dapat ditahannya
lagi, Han Ki mendatangi kota raja Yucen dan pada suatu malam berhasil
menyelundup masuk ke taman Istana Raja Yucen! Dilihatnya bahwa dia telah
memasuki harem (keputren, tempat selir-selir raja) dan ketika ia melihat
beberapa orang wanita cantik berpakaian indah bersendau-gurau di dekat kolam
ikan, ia lalu melompat ke dekat mereka. Wanita-wanita itu terkejut dan
menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat tangannya dan berkata halus,
“Harap
kalian jangan takut. Aku datang tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan
Sung Hong Kwi. Adakah dia di sini?”
Ketika
melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah seorang pemuda yang tampan
dan gagah, lenyaplah rasa takut wanita-wanita itu dan di antara mereka bahkan
ada yang tersenyum-senyum dan melirik-lirik tajam. Mereka adalah wanita-wanita
yang selalu dikurung dan hanya kadang-kadang melayani Raja Yucen yang sudah
tua, tentu saja jantung mereka berdebar tegang dan aneh ketika berhadapan
dengan seorang pemuda tampan dan gagah seperti itu.
Seorang di
antara mereka yang paling berani segera berkata, “Engkau sungguh berani mati
memasuki tempat ini. Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para
pengawal yang menjaga di luar?”
“Hal itu
tidak penting. Yang penting, adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa
dengan dia.”
“Siapa itu
Sung Hong Kwi? Kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya.”
Han Ki
mengerutkan kening. Salahkah dugaannya bahwa kekasihnya itu diboyong oleh Raja
Yucen? “Lima tahun yang lalu, ada seorang puteri Kerajaan Sung dikawinkan
dengan Raja Yucen...”
“Ohhh! Kau
maksudkan dia?” Seorang selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh
tahun akan tetapi masih amat cantik segera berkata, “Puteri yang rewel itu? Dia
tidak menjadi selir sribaginda, akan tetapi diberikan kepada Pangeran Dhanu
yang tergila-gila kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran Dhanu yang tampan, rela
tidak memelihara selir akan tetapi isterinya itu selalu merongrongnya!”
Han Ki
terkejut. “Pangeran Dhanu? Di mana istananya?”
Wanita itu
tertawa. “Mana ada waktu beristirahat dengan tenang di istana? Isterinya,
Puteri Sung itu terlalu rewel, bahkan kini kabarnya sakit sehingga diajak
tetirah ke Hutan Bunga Bwee di tepi sungai.”
“Di mana
tempat itu?”
“Ihh, mau
apa sih engkau mencari puteri yang sakit-sakitan? Di sini banyak...”
“Lekas
katakan!” Han Ki membentak marah ketika mendengar wanita-wanita itu mulai
tertawa memikat. “Kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!” Ia sengaja
mengancam dan berhasillah dia karena wanita-wanita itu menjadi pucat dan
ketakutan.
“Di luar
kota raja, di sebelah utara, dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah
beberapa hari mereka di sana... aihhh...!” Wanita itu dan teman-temannya
menjerit ketika tiba-tiba tubuh Han Ki berkelebat dan pemuda gagah itu sudah
lenyap dari depan mereka.
“Setan...!
Siluman...!” Mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri. Ada yang
terkencing-kencing ketakutan dan bahkan ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak
malam itu sampai beberapa lama pemuda itu menjadi bahan percakapan para selir
dengan penuh rasa ngeri dan juga rindu!
Akan tetapi
ketika Han Ki tiba di hutan yang dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas
pertempuran dan mendapat kabar bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh
gerombolan pasukan Mancu yang memang telah bermusuhan dengan pihak Yucen. Di
sana tergeletak banyak mayat-mayat bangsa Mancu dan Yucen, dan ketika dia tiba
di situ, pasukan Yucen sedang mengangkuti mayat-mayat itu dan melakukan
penjagaan ketat. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi Han Ki berhasil
mendekati sampai di luar perkemahan yang ditinggali Pangeran Dhanu dan
isterinya. Di luar perkemahan dia dihadang oleh para pengawal.
“Berhenti!
Siapa engkau dan ada keperluan apa?” bentak pengawal-pengawal itu. ”Aku hendak
berjumpa dengan Pangeran Dhanu. Aku adalah... seorang saudara dari isterinya,
hendak menengoknya karena kabarnya ia sedang sakit.”
Para
pengawal mengepungnya dengan pandang mata curiga. “Sang Pangeran sedang sibuk,
Sang Puteri sakit keras...”
Tiba-tiba
Han Ki meloncat ke dalam kemah, gerakannya amat cepat sehingga para pengawal
itu sejenak melongo karena kehilangan pemuda itu. Baru mereka tahu bahwa pemuda
itu menerobos masuk ketika mendengar pemuda itu menjerit, “Hong-Kwi...!”
Mendengar
kekasihnya sakit keras, pemuda itu seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil
nama kekasihnya.
“Han Ki
Koko...? Ohhh...”
Suara ini
cukup bagi Han Ki. Dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat memasuki
sebuah kamar di dalam perkemahan besar itu dan dia berdiri pucat dengan mata
terbelalak memandang tubuh kekasihnya yang rebah telentang seperti mati di atas
pembaringan. Di kepala pembaringan itu duduk seorang laki-laki yang berkumis
tipis berpakaian indah dan bersikap gagah namun wajahnya diliputi kedukaan
besar. Laki-laki ini meloncat bangun dan tangannya meraba gagang pedangnya.
Seorang pelayan wanita mundur-mundur ketakutan memandang Han Ki.
Wajah Hong
Kwi pucat sekali, matanya sayu dan rambutnya yang hitam itu terurai lepas,
tubuhnya kelihatan lemah. Dia memandang Han Ki, beberapa kali bibirnya bergerak
namun tidak ada suara keluar. Air mata seperti butiran-butiran mutiara menetes
turun dan akhirnya dia dapat juga bersuara,
“Han Ki
Koko... kau datang...? Ahh, Koko... bawalah aku pergi... bawalah...!” Kedua
lengannya diangkat lemah, diulurkan ke arah Han Ki, akan tetapi tiba-tiba kedua
lengannya terkulai kembali di atas pembaringan. Mukanya yang tadinya menghadap
ke Han Ki itu tergolek ke kiri, matanya terpejam, hanya mulutnya yang masih
agak terbuka seolah-olah dia belum selesai bicara.
“Hong
Kwi...!” Han Ki tidak mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di
kerongkongannya.
“Isteriku...!”
Pangeran Dhanu, laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Ia kemudian meloncat
bangun, memandang Han Ki dan berkata dengan air mata masih menetes-netes, “Jadi
engkaukah Kam Han Ki, laki-laki kejam yang menghancurkan hati isteriku? Engkau
datang hanya untuk menyaksikan kematiannya? Betapa kejam engkau!”
Ucapan ini
bagaikan petir menyambar karena seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya
telah meninggal dunia. Dia menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong
Kwi, diguncang-guncangnya pundak mayat itu. “Hong Kwi... Hong Kwi...! Ini aku
Kam Han Ki! Aku telah datang. Hong Kwi...! Hong Kwi, bukalah matamu, pandanglah
aku, bicaralah...!”
Menyaksikan
sikap pemuda itu, Pangeran Dhanu agak berkurang kemarahannya dan memandang
dengan kening berkerut. Di belakang Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan
di luar kamar itu, seorang pengawal berdiri tegak menjaga dalam keadaan siap
seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, sungguh pun alisnya
berkerut menandakan bahwa dia ikut prihatin terharu.
“Hong Kwi...
kekasihku... Hong Kwi, aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau bawalah aku...!”
Han Ki yang biasanya tenang itu kini tidak dapat menahan pukulan batin yang
amat hebat itu. Dia masih mencinta Hong Kwi, bahkan belum pernah dia berhenti
mencintanya. Kini melihat kekasihnya mati setelah bertemu dengannya, dia merasa
berdosa dan berduka.
“Hemm, dia
sudah mati baru engkau datang dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan
seorang laki-laki yang patut dipuji!”
Ucapan yang
bernada keras ini membuat Han Ki sadar bahwa dia telah berada di tempat orang,
bahkan sadar bahwa mayat yang dipeluknya itu adalah mayat isteri orang lain.
Dia bangkit, menekan perasaannya, berdiri lemas dan dengan mata merah dan pipi
basah, lalu ia memandang Pangeran Dhanu. Sejenak kedua orang laki-laki itu
saling berpandangan.
“Engkau
tentu Pangeran Dhanu...,” katanya perlahan.
“Benar!
Akulah Pangeran Dhanu, laki-laki yang mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku,
yang selama bertahun-tahun ikut menderita bersamanya, yang berusaha
menghiburnya, yang memenuhi segala permintaannya. Akan tetapi, pada saat
terakhir, namamulah yang diucapkannya!” Di dalam ucapan pangeran itu terdapat
kegetiran yang hebat sehingga diam-diam Han Ki merasa kasihan dan bersalah.
“Pangeran,
selama bertahun-tahun aku berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan
tetapi engkau... selama itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita
dari pada engkau.”
“Aku sudah
mendengar akan namamu, dia bercerita tentang dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia
asal dia dapat membalas dan menerima cintaku. Akan tetapi... dia selalu
berduka, teringat kepadamu, selalu sakit-sakitan... kuajak tetirah ke mana-mana
untuk menghiburnya, kukorbankan tugas-tugasku. Semalam anjing-anjing Mancu
menyerbu perkemahan, biar pun dapat dipukul mundur akan tetapi isteriku
menderita kaget yang hebat. Jantungnya lemah... dan... kemudian kau datang...
ah, isteriku...!” Pangeran itu mengusap air matanya.
“Pangeran,
maafkan aku. Betapa pun juga, engkau yang mencintanya telah menjadi suaminya
selama lima tahun. Engkau telah memiliki dia sebagai isteri yang tercinta...”
“Memang aku
memiliki tubuhnya akan tetapi tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas
hatinya, keparat!”
“Dan
orang-orang Mancu telah merampas nyawanya. Aku akan membalas ini!”
“Orang she
Kam! Tidak perlu menimpakan kesalahan kepada orang lain. Engkaulah yang telah
membunuh isteriku! Engkaulah yang menghancurkan hidupnya, dan engkau pula yang
merampas kebahagiaan hidupku! Pengawal, tangkap orang ini!”
Belasan
orang pengawal menerjang masuk dengan tombak di tangan. Han Ki berseru, “Hong
Kwi, kalau rohmu masih di sini, dengarlah sumpahku. Aku tidak akan menikah
dengan wanita lain di dunia ini!” Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat
ke luar dan robohlah enam orang pengawal yang menghadangnya.
Dia tidak
membunuh karena dia maklum betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa
pangeran itu betul-betul mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang
Mancu karena andai kata malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga
tidak mengagetkan hati Hong Kwi yang jantungnya lemah karena sakit, tentu
pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu tidak berakhir dengan kematian Hong
Kwi!
Biar pun
Pangeran Dhanu yang marah, berduka dan sakit hati itu mengerahkan semua sisa
pasukannya, namun mereka tidak dapat mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar
dari hutan itu dengan gerakan cepat seperti menghilang.
Han Ki
berlari cepat meninggalkan Kerajaan Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan
diri dengan barisan Kerajaan Sung, melupakan semua peristiwa yang membuat ia
menjadi orang buruan. Ingin ia membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya.
Akan tetapi, tentu dia akan ditangkap begitu muncul di kota raja! Ah, biar pun
tanpa pasukan, dia tetap berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi kepada bala
tentara Mancu! dengan keputusan bulat, Han Ki melanjutkan perjalanannya,
hatinya makin merana.
Dia tidak
saja kehilangan Maya dan Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi yang
sampai detik terakhir masih mencintanya! Kenyataan ini makin memberatkan
hatinya, dan ia selalu merasa telah berbuat dosa yang amat besar kepada Hong
Kwi. Cinta kasih di antara mereka yang terenggut putus, yang disangkanya hanya
membuat dia seorang menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa lagi bagi Hong
Kwi sampai dibawanya mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan ia merasa dirinya
sudah tua sekali. Padahal pada waktu itu, usia Han Ki baru tiga puluh satu atau
tiga puluh dua tahun.
*************
MAYA membuka
matanya. Sudah matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah
bahwa dia terseret ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi.
Tentu sudah mati. Akan tetapi mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam
orang prajurit di perahu itu, perahu yang didayung cepat. Tidak! Dia tentu
belum mati.
Ataukah
perahu ini perahu yang akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu
malaikat-malaikat? Tak mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti prajurit
dunia! Keparat, tentu mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka
yang menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan tertawan. Dia menjadi
marah dan menggerakkan tangan... akan tetapi kedua tangan dan kedua kakinya
tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia
lelah sekali sehingga tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu,
dan ketika ia memandang, kiranya belenggu itu terbuat dari pada baja yang tebal
dan kuat sekali! Maya pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak, diam-diam
mengumpulkan hawa murni ke lengannya.
Perahu itu
kini menempel pada sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.
“Wah, dia
sudah sadar!” kata seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat
Maya membuka mata.
Karena sudah
ketahuan, Maya tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuhnya, ia berhasil
bangun duduk. “Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?” Akan tetapi ketika
melihat pakaian seragam mereka adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu
berkata, “Hemm... kalian tentu anjing-anjing Kerajaan Sung!”
“Perempuan
liar. Bangunlah dan ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami
seret ke atas perahu?”
Karena belum
mendapat kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba
kedua kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang
prajurit terlempar ke dalam air!
“Wah! Wah!
Awas... betina ini liar sekali!” Seru seorang di antara mereka dan kini dari
atas perahu besar meloncat turun banyak prajurit.
Tubuh Maya
diringkus dan dia dipaksa naik ke atas perahu besar. Dua orang prajurit yang
bertubuh kuat memegang ujung rantai yang membelenggu kedua tangannya, dan
setengah diseret Maya dibawa memasuki ruangan besar di atas perahu. Biarlah,
pikirnya, biar aku dihadapkan panglima mereka. Kalau nanti ada kesempatan, dia
akan membasmi anjing-anjing ini!
Dengan dada
membusung dan kepala tegak Maya berjalan memasuki ruangan dengan
terpincang-pincang karena kedua kakinya dibelenggu. Matanya terbelalak ketika
ia melihat dua orang panglima duduk di atas kursi dalam ruangan itu. Ia
mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu besar yang telah
ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit berdiri adalah
panglima muda yang ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai.
Juga
panglima besar yang berjenggot itu memandang dengan kaget. "Engkau...?
Engkau pendekar wanita penolong kami...!" Ia lalu membentak anak buahnya,
"Apakah kalian ini buta dan gila semua? Hayo cepat lepaskan
belenggunya!"
"Krek!
Krekkk!" Sekali mengerahkan tenaga yang telah berhasil dikumpulkan
kembali, Maya telah mematahkan belenggu kaki tangannya! Sambil tersenyum dia
melangkah maju. "Cangkun, selamat berjumpa!"
PANGLIMA
BESAR itu meloncat dari tempat duduknya dan cepat menjura. "Selamat
datang, Lihiap!" Dan kepada anak buahnya ia membentak, "Lihat apakah
yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol! Menawan dan membelenggu penolong
kami! Seolah-olah belenggu kalian itu ada artinya bagi Lihiap yang
sakti?!" Kemudian ia membentak makin nyaring, "Hayo cepat berlutut,
minta ampun kepada Lihiap!"
Enam orang
itu, yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan
seperti burung-burung saling sahut mereka berseru, "Mohon maaf kepada
Lihiap, karena kami tidak tahu maka..."
Maya
menggerakkan tangannya. "Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai
berenang sehingga mudah kalian bekuk!"
"Lihiap,
silakan duduk!" Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan
ia memandang kagum. Ketika ditolong dari tangan Si Dampit yang lihai, dia tidak
dapat melihat jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa
penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik
jelita seperti bidadari!
"Lekas
ambil pakaian bersih dan kering untuk Lihiap! Dan sediakan meja
perjamuan!" Panglima besar itu memberi perintah. Sibuklah anak buahnya
mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan itu.
"Lihiap,
silakan berganti pakaian kering dulu. Nanti kita bicara," Panglima tua itu
mempersilakan. Tanpa sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang
ditunjuk dan berganti pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah
serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.
"Wah,
betapa lucunya aku berpakaian seperti ini!" Maya yang sudah selesai
berganti pakaian dan keluar dari kamar tertawa memandangi pakaian panglima yang
dipakainya.
"Engkau
gagah sekali dan patut dalam pakaian itu, Lihiap. Hanya kurang pedangnya.
Silakan memakai pedangku." Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk
pedangnya kemudian menghampiri Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung
Maya sehingga dara itu tampak makin gagah perkasa.
Atas ajakan
penuh hormat dari kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan
minum mereka bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab,
“Namaku Maya dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana
asal-usulku karena hal itu takkan dapat kuterangkan. Seandainya aku tidak
melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung,
tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan
mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi
musuhku?”
Wajah
panglima tua itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya
ini menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak,
dan setelah arak yang disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata,
“Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya
aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada
menjaga pantai timur. Kini kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram
dan penuh kelaliman.”
“Hemm...
jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?”
Panglima she
Bu itu menarik napas panjang. “Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah
pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi sekarang ini
Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang
dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima
jahat macam Suma-goanswe. Karena itu banyak sekali panglima yang memberontak,
pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal
diam, apa lagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan
tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki
tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas dari pada
penindasan para pembesar korup.”
Maya
mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan
untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apa lagi karena jelas
bahwa panglima ini bersetia kawan dengan pek-hu-nya, Menteri Kam. Tanpa
ragu-ragu lagi ia berkata, “Kalau begitu, aku siap membantumu, Ciangkun!”
Bukan main
girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum
kemudian berkata, “Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan
Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim
Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani mengutarakan maksud hatiku
minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima kasih, Lihiap,
terima kasih!”
“Ah, engkau
terlalu sungkan, Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang
kubenci sehingga kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju,
berilah aku pasukan yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan
membawa pasukan itu menyerbu ke kota raja Sung!”
Hampir saja
kedua orang panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa
dangkalnya pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa
pasukan menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus
lunak tanpa rintangan. Sebelum perjalanan ribuan li ditempuh seper-sepuluhnya
sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya.
Dara ini
bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan
tetapi karena maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak
mengerti tentang perang, dan agar jangan menyinggung perasaan, kedua orang
panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.
“Lihiap,
serahkan urusan perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah
semudah itu. Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya.
Akan tetapi, kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang
hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami
hanya mengandalkan kegagahan Lihiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak
musuh di garis depan.”
Maya
mengangguk. “Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan
membasmi pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik.”
“Bagus!
Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau
sebagai pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping
Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan dan siasat kita.”
Dengan
panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini
bahwa dia telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat
agar bersama-sama mereka dapat menyerang ke selatan. Mendengar ini Maya tidak
ambil peduli. Baginya bersekutu dengan Mancu pun tidak menjadi soal asal dia
dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!
“Boleh saja
bersekutu dengan orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan
orang-orang Mongol dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!”
Bu-ciangkun
tertawa bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa
sekali, akan tetapi tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki
sifat kekanak-kanakan dan jujur, “Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun
(Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol!
Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga
merupakan musuh kita karena dia merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan
negara. Di dalam pertempuran yang akan kau hadapi, engkau bahkan akan melawan
Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan Sung.”
“Bagus!”
Maya, girang sekali. “Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih
mereka!”
Demikianlah,
mulai hari itu Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang
perwira pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah
sering kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan
melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di
bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan
beberapa jurus yang lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia
latih sendiri dengan beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi
lihai.
Mula-mula
Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya
melatih pasukannya. Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama
kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak
ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama Menteri Kam Liong yang tewas
dikeroyok oleh tentara Sung.
Diam-diam ia
menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya,
Maya yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja
Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara
itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun diam-diam saja,
bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapa pun juga.
Setelah
selesai menggembleng pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada
suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang.
“Barisan
Mancu yang menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk
bergabung kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat
dan kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan,
maka sebaiknya seorang di antara kalian harus membawa pasukan untuk menghubungi
mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalanan itu jauh, melalui
daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan
pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di
antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?”
Seperti
telah diduganya, dan juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya
pasukan Mongol dan Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab, “Aku
sanggup!”
Empat orang
panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak
berani berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati
panglimanya segera berkata, “Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh
Li-ciangkun dengan pasukan mautnya.”
Bu-ciangkun
mengangguk-angguk. “Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang
berada di perbatasan. Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya
dengan nyawa.”
“Baiklah,
Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan
khawatir.”
“Selain
mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan
harap Li-ciangkun mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat
memperkuat kedudukan kita dan dapat membantu perjuangan kita.”
“Baik!”
jawab Maya yang teringat akan rakyat Khitan.
Kalau dia bisa
bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka masuk menjadi prajurit di
bawah pimpinannya, betapa akan senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan
hatinya melihat rakyatnya bangkit di bawah pimpinannya untuk membangun kembali
Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!
Karena
persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus
orang itu hanya membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya
tentu saja mempunyai masing-masing seekor kuda, ada pun seratus ekor kuda itu
akan ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang prajurit untuk
setiap kuda seekor.
Maka
berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang
menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa bendera.
Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di depan,
seratus orang yang berkuda di belakang. Bu-ciangkun sendiri mengantar
berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan.
Dua buah
bendera itu berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi
oleh Bu-ciangkun sendiri, yaitu ‘Pasukan Maut’. Dan bendera yang sebuah lagi
bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!
Perjalanan
ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh
anak buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa
bangga menjadi prajurit Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka
tahu amat sakti, melebihi kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga
betina.
Belasan hari
kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini
mereka melalui padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di
daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu
oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena daerah itu sebagian telah
dikuasai oleh tentara Yucen.
“Basmi
anjing-anjing Yucen!” Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi
semua kegaduhan dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur
seperti harimau-harimau kelaparan.
Pasukan
Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka
serbu adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah menjadi kewalahan.
Apa lagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk, pedangnya
membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan Yucen
menjadi makin gentar saja.
Komandan
Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat Maya
melompat. Pedangnya memenggal leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya
mencengkeram leher baju Panglima Yucen itu, terus menariknya dari atas kuda.
Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan kaget melihat bahwa yang
menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya
mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis, “Engkau Panglima
Yucen keparat. Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?”
Wajah
panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala, “Aku... aku tidak...!”
Akan tetapi
kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara
perkasa ini melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil
berseru, “Heii... anjing-anjing Yucen! Lihat kepala siapa ini?”
Suaranya
yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin
paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka. Sebaliknya
makin bersemangatlah Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh
yang kocar-kacir dan lari berserabutan.
“Hidup Maya
Li-ciangkun!” Sorak para prajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan
diri.
Hanya
setelah ada perintah Maya saja para prajurit berhenti mengejar. Ketika Maya
memerintahkan para perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya
kehilangan dua puluh orang akan tetapi membunuh lebih dari seratus orang musuh.
Ini merupakan kemenangan besar dan prajurit yang terluka dirawat baik-baik,
sedangkan yang tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para prajurit Yucen dibiarkan
saja berserakan. Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi dan
beristirahat serta bermalam di atas bukit, di sebelah hutan.
Biar pun
baru saja Maya mendapatkan kemenangan yang gemilang, namun dia tidak menjadi
lengah. Teringat ia akan nasehat ayahnya dahulu kepada para panglimanya bahwa
saat-saat sehabis mendapat kemenangan adalah saat-saat yang berbahaya. Anak
buah menjadi mabuk kemenangan, bangga dan terlalu percaya kepada kekuatan
sendiri, dan menimbulkan kelengahan dan biasanya musuh menggunakan kesempatan
itu untuk menyerang.
Karena itu
dia mengatur penjagaan ketat, penjaga-penjaga yang bersembunyi disebar sampai
jauh di lereng bukit itu secara bergilir. Juga ia tidak melupakan para penjaga
ini yang dikirimi ransum, bahkan mereka ini menerima pesan Maya pribadi agar
tidak lengah dan tetap waspada menjaga kemungkinan musuh menyergap selagi
mereka beristirahat.
Perhitungan
Maya memang tepat. Benar saja, menjelang tengah malam, datanglah para penjaga
lereng utara yang mengabarkan bahwa ia menyaksikan gerakan barisan besar yang
datang dari utara. Mereka datang dengan jalan kaki dan memasang obor, bahkan
tidak menimbulkan suara berisik, tanda bahwa mereka hendak menyergap tempat
istirahat mereka secara mendadak. Berita itu diterima dengan kaget oleh para
perwira dan anak buah mereka yang berada di situ. Mereka sudah meloncat bangun
menyambar senjata tajam masing-masing.
Maya
membentak, “Mengapa kalian? Panik? Lupakah akan nasehatku bahwa kepanikan ini
merupakan jalan menuju kekalahan? Dengarkan siasatku!”
Ia menuding
kepada empat orang pembantu berturut-turut. “Kalian berempat, cepat membawa
pasukan diam-diam meninggalkan puncak dari jurusan selatan, barat dan timur,
lalu bersembunyi dan menanti sampai ada tanda keleneng segera mengepung puncak!
Dan kelian berempat,” ia menuding kepada empat orang perwira lain. “Dalam jarak
tiga ratus meter dari sini, pasanglah tali-tali atas di tanah satu kaki
tingginya, hubungkan tali itu dengan keleneng-keleneng kuda yang dipasang di
atas pohon. Cepat kalian delapan orang lakukan perintahku ini.”
Delapan
orang perwira itu memberi hormat dan berlari ke luar. Maya memandang kepada dua
orang perwiranya. Ia tersenyum dengan sepasang matanya berkilat tertimpa sinar
api unggun. “Dan kalian berdua kumpulkan pasukan pengawalku ke sini, buat api
unggun yang besar, nyalakan semua lampu penerangan, bawa dua guci arak wangi,
guci besar itu, dan suruh para pengawal membawa alat tetabuhan dan mainkan
musik di sini!”
Perintah itu
terdengar aneh sekali sehingga beberapa detik lamanya kedua orang perwira itu
memandang pimpinan mereka sambil melongo.
“Cepat!”
Maya membentak, dan berulah dua orang itu bergegas pergi melakukan perintah.
Tak lama kemudian
tampak api unggun yang besar dan terdengarlah bunyi musik yang-khim, gembreng
dan suling memecahkan kesunyian puncak bukit itu, dan bau arak wangi memenuhi
udara. Para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang itu bermain musik sambil
bernyanyi-nyanyi, akan tetapi hati mereka berdebar-debar tegang dan mata mereka
melotot ketika melihat Maya menyiram-nyiramkan arak wangi di tempat itu
sehingga bau arak itu menyengat hidung!
Pasukan Maut
diam-diam telah melakukan gerakan cepat, dan tanpa mengeluarkan suara
meninggalkan puncak bukit seperti yang diperintahkan Maya. Ketika mereka
mendengar suara musik dan nyanyian, mencium bau arak wangi dari puncak, mereka
melongo dan saling pandang. Sudah gilakah pemimpin yang hebat itu?
Pasukan
disuruh lari turun puncak, hal ini dapat dimengerti untuk menghindarkan
sergapan pihak musuh yang besar jumlahnya. Akan tetapi, pemimpin mereka tinggal
di puncak, hanya ditemani oleh dua puluh orang pengawal, dua orang perwira dan
prajurit-prajurit yang terluka siang tadi, kini berpesta pora minum arak wangi
dan bernyanyi-nyanyi bermain musik! Akan tetapi delapan orang perwira itu,
setelah empat orang selesai memimpin pasukan memasang tali dan kelenengan,
percaya penuh kepada panglima mereka dan dengan diam-diam mereka siap melakukan
gerakan mengurung puncak.
Kalau
prajurit Pasukan Maut terheran-heran mendengar bunyi musik nyanyian dan mencium
bau arak wangi, sebaliknya para panglima, perwira dan prajurit Yucen menjadi
girang sekali. “Bersenang-senanglah, berpestalah karena kemenanganmu siang
tadi,” pikir mereka puas, “dan berpestalah untuk kematian kalian karena
sebentar lagi kalian akan terbasmi habis,” demikian pikir mereka sambil
melakukan gerakan mengurung puncak, merayap dengan hati-hati.
Pasukan
mereka terdiri dari lima ratus orang pilihan dan mereka sudah memperhitungkan
bahwa lima ratus orang tentara musuh tentu telah berkurang dalam perang tadi,
dan selain kelelahan juga mereka itu mabuk kemenangan dan lengah.
Pengurungan
mereka telah dekat dengan puncak. Perintah berbisik telah dikeluarkan panglima
yang membagi-bagi pasukan kubu-kubu lawan. Dari tempat mereka sudah tampak api
unggun besar di depan kemah panglima, tampak bendera panglima musuh berkibar di
atas kemah besar dan ketika mereka merayap maju lagi, tampak bayangan orang
bermain musik, bernyanyi-nyanyi, bahkan ada yang menari-nari.
Mereka tidak
mau menyerang dengan anak panah karena keadaan terlalu gelap, dan itu hanya
akan membikin musuh sempat mempersiapkan diri. Mereka hendak menyerbu diam-diam
dan tinggal menyembelihi saja musuh yang sedang enak-enak tidur atau yang sudah
mabuk arak wangi! Hal ini sudah diperhitungkan Maya ketika dara perkasa ini
mengatur siasatnya.
Tiba-tiba
para prajurit Yucen yang berjalan di depan mengeluarkan suara perlahan dan
disusullah oleh bunyi kelenengan riuh rendah. Kaget dan paniklah para prajurit
Yucen karena mengira ada banyak kuda datang menyerang mereka. Dan pada saat
itu, semua lampu penerangan di puncak padam, bahkan api unggun juga padam.
Selagi para prajurit Yucen bingung dan masih belum tahu mengapa tiba-tiba
banyak kelenengan berbunyi dan mengira bahwa musuh menyerang dengan naik kuda,
Pasukan Maut sudah mengurung dari bawah dan pada saat itu melengkinglah suara
merdu seorang wanita, melengking nyaring seperti datang dari langit.
”Pasukan
Maut yang gagah perkasa. Serbu...!!”
Barulah
pasukan Yucen itu menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang dari
atas puncak dan mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita
yang menurut cerita prajurit Yucen yang melarikan diri memiliki ilmu kepandaian
yang mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari puncak,
melainkan dari bawah, dari belakang mereka!
Terjadilah
perang tanding yang jauh lebih hebat mengerikan dari pada tadi, akan tetapi
lebih celaka lagi akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka berada dalam
keadaan panik dan siasat mereka hancur sehingga mereka berada di pihak yang
diserang. Keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka ini, yang membuat
keadaan menjadi berbalik secara tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu
tidak sempat lagi memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan
mempertahankan diri secara kacau-balau dan mencari selamat sendiri-sendiri!
Di lain
pihak, tentara Pasukan Maut yang bergerak secara terpimpin dan teratur,
ditambah kegembiraan mereka karena baru sekarang mereka tahu akan kelihaian
siasat pimpinan mereka, tumbuh semangatnya dan terjadilah penyembelihan besar-besaran
seperti yang semula direncanakan pasukan Yucen, akan tetapi sekarang merekalah
yang menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di
antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga
yang terjun ke jurang dan tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan
hanya ada dua ratus orang saja yang sempat melarikan diri menerobos kepungan
musuh dan terus lari sipat-kuping ke bawah bukit!
Pertempuran
yang berat sebelah itu berlangsung sampai pagi dan dengan hati penuh
kegembiraan Maya mendapat kenyataan bahwa dalam perang kedua kalinya ini
pasukannya membasmi hampir tiga ratus orang musuh sedangkan dia hanya
kehilangan tiga puluh orang, itu pun tidak semua tewas dan masih ada yang dapat
tertolong karena hanya menderita luka-luka saja! Kemenangan yang membesarkan
hatinya dan hati anak buahnya itu sekali ini benar-benar dirayakan mereka
dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau menceritakan pengalaman masing-masing
dalam pertempuran semalam!
Maya membawa
pasukannya turun bukit dan beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput
yang luas sehingga mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke
barat dilanjutkan dengan semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di
depan pasukannya, kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia
mengucapkan kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga semua anak
buahnya merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka
yang ketika panglima di atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata
terang-terangan,
“Hidup Maya
Li-ciangkun! Kami siap mati membelamu!”
Maya
tersenyum mengangguk dan berkata dengan suara merdu, “Aku pun siap mati membela
Pasukan Maut! Setiap orang dari Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku
sendiri!” Tentu saja ucapan panglima wanita remaja yang cantik jelita ini
disambut sorak-sorai gembira.
Ketika
pasukan pada beberapa hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan
berhenti. Maya yang sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju ke
depan. Kiranya di depan pasukannya menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan
keningnya dan memerintahkan perwiranya mengurus hal itu. Akan tetapi sampai
agak lama pasukan masih belum bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan
cepat ia menuju ke bagian depan.
Seorang
perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan para
penggembala domba, bahkan terjadi perkelahian. Maya terkejut, cepat ia
menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira roboh dan terluka, dia
marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan lari ke depan.
Dilihatnya
bahwa para perwiranya sedang berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia
tertarik sekali menyaksikan kelihaian seorang di antara para penggembala itu.
Agaknya dia itu pemimpinnya, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun,
bertubuh tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan
kiri memondong seekor anak domba.
Gerakan
penggembala muda ini hebat dan cepat sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar
ganas, merobohkan dua orang perwira sekaligus dan yang masih menandinginya
adalah Kwa-huciang, seorang di antara perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang
bersenjata pedang dan kini terjadilah pertandingan antara kedua orang itu.
Maya
menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan
kegagahan pemuda penggembala muda itu. Setelah bertanding belasan jurus,
tiba-tiba penggembala yang melawan Kwa-huciang sambil memondong domba itu
berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang, lalu dibetot hingga perwira
itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh terpelanting dan
kini penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas dada Kwa-huciang sambil
berkata nyaring,
“Hayo lekas
perintahkan pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur
dadamu!”
“Eh, galak
amat!” Maya berseru sambil melompat maju. “Penggembala berbau domba, kau
sombong sekali. Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para
perwiraku?”
Penggembala
domba itu menengok dan kelihatan tercengang lalu menjawab, “Domba kami banyak
yang terinjak mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami
sedang makan rumput, mengapa pasukan kalian mengganggu? Mengapa tidak mengambil
jalan memutar? Lihat, domba kecil ini sampai patah kakinya!” Ia menoleh ke arah
domba yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada Maya sambil
bertanya, “Eh, engkau ini prajurit wanita, mau apa?”
Maya
tersenyum. “Orang kasar, agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba dari
pada dengan manusia.”
“Tentu saja!
Apa sih baiknya manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi
serigala. Domba-domba adalah makhluk yang lemah, selalu mengalah dan...”
“Dan engkau
lupa bahwa kau sendiri juga seorang manusia!” Maya memotong. “Ataukah barang
kali engkau ini pun seekor domba yang menyamar manusia?”
Pemuda itu
gelagapan, merasa kalah bicara maka ia membentak, “Kau siapa dan mau apa?”
“Aku adalah
panglima Pasukan Maut ini!” jawab Maya dengan sikap kereng.
Tiba-tiba
penggembala domba yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang
mampu bernapas lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya
berguncang-guncang dan mukanya memandang langit.
“Ha-ha-ha-ha!
Panglimanya seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan cantik!
Pasukan macam apa ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah dari pada
domba!”
Kwa-huciang
marah sekali. Dia sudah bangkit duduk dan kini ia bangun sambil membentak,
“Penggembala kurang ajar! Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina
Li-ciangkun?”
Akan tetapi
Maya menggoyang tangan berkata, “Kwa-huciang, kau mundurlah dan biar aku
sendiri yang memberi hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah!
Engkau kira bahwa engkau sudah paling jempolan setelah mengalahkan beberapa
orang perwiraku yang memang sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Coba kau
melawan aku! Lihat, aku akan tetap berdiri di sini, sedikit pun tidak akan
memindahkan kedua kakiku. Kau boleh menyerangku, kalau sampai aku merubah
kedudukan kedua kakiku, aku mengaku kalah padamu!”
“Kalau hanya
mengaku kalah saja apa gunanya bagiku?” Pemuda itu membantah dan memandang Maya
penuh selidik, seolah-olah ia dapat merasa bahwa biar pun hanya seorang wanita
muda, panglima itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak
berkepandaian tinggi, mana mungkin bersikap demikian takabur?
Kembali Maya
tersenyum. “Eh, pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merubah kedudukan kakiku,
selain aku mengaku kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan
memutar dan akan kuganti harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan
tetapi bagaimana kalau kau tidak mampu merubah kedudukan kakiku malah kau akan
roboh olehku kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kau pertaruhkan?”
Mata yang
lebar penuh kepolosan itu terbelalak. “Aku? Roboh dalam waktu kurang dari
sepuluh jurus olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut
dan menyembah seratus kali kepadamu!”
“Kalau hanya
disembah seratus kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?” Maya
membalas bantahan pemuda penggembala itu.
Pemuda itu
kembali merasa kalah bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan
tandingan gadis jelita yang perkasa itu. “Habis, kau minta apa? Aku seorang
miskin, hanya menjadi buruh menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya
sebulan dimakan dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan!”
Maya mengangguk-angguk.
“Engkau punya banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran,
kesetiaan. He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku
merobohkan engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka
menjadi seorang perwira Pasukan Mautku!”
Pemuda
penggembala itu mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit
pun hasrat hatinya menjadi perwira atau prajurit. Akan tetapi, ditantang
seperti itu, dia menjadi penasaran. Pula, kalau benar panglima wanita muda ini
dapat merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua kaki, berarti
panglima ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali
menjadi pembantu panglima dewa atau dewi!
“Baiklah!
Nah, rasakan lihainya pecutku!” Penggembala itu melangkah maju menghampiri
Maya, pecutnya ia gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar
suara ledakan-ledakan kecil yang nyaring.
Ketika sinar
hitam pecut itu melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan
gerakan ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri dan... pecut itu sudah berada
di tangannya, yaitu ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran
melihat betapa ujung pecutnya tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga
terbang ke arah tangan panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum
dipakai menyerang sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha
melepaskan dengan membetot keras.
Maya
tersenyum. “Aku hanya menahan sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan
padamu melepaskan dombamu. Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi
leluasa!”
Bukan main
heran hati penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang
yang dapat bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian
yang boleh diandalkan. Maka ia pun tidak menjadi sungkan-sungkan lagi,
dilepaskannya perlahan domba yang dipondong lengan kirinya. Maya juga
melepaskan ujung pecut itu dan memandang tersenyum melihat pemuda itu mulai
menghampirinya, dengan gerak langkah satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah
seperti seekor harimau menghampiri calon mangsanya.
Maya
memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini. Pakaiannya kasar
sederhana, kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan kuda-kudanya kokoh
kuat, tangan yang memegang pecut melintang di depan dada, tangan kiri diangkat
ke atas kepala dengan jari terbuka dan telapak tangan menghadap langit,
sepasang matanya yang lebar memandang tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap
seorang ahli silat yang kuat!
Sementara
itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan
di tempat yang liar sehingga untuk menjaga keselamatan banyak mengandalkan
kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa
orang pertapa di pegunungan utara, bersikap hati-hati. Dari para gurunya ia
pernah mendengar bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada justeru adalah
lawan yang kelihatannya lemah. Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah
lembut, dan wanita-wanita.
Orang-orang
lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki
ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka
yang lemah. Pula, karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi
lengah dan memandang rendah. Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur, apa
lagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka
setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar.
Mengingat
pula akan janji wanita muda itu tidak akan merubah kedudukan kedua kakinya,
maka Si Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan
maksud menyerang dari belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau
lawannya itu tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merubah
kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki.
Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!
Ia lalu
menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang adalah
kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar
dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke sepuluh, akan tetapi juga dalam
jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau mengelak atau
menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis,
tentu tangan dara itu tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan
itu mana bisa mengelak!
Akan tetapi
Maya sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima saja
sabetan itu sambil mengerahkan sinkang ke arah kedua kakinya, kemudian
pinggangnya berputar, tangan kanannya mendorong dengan pukulan jarak jauh.
“Brettt...
dessss...! Auggghhh...!” Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat
kaki, akan tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan
Maya yang mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak
dapat ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia
menggigil!
Para perwira
dan prajurit bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi
Maya mengangkat tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada
penggembala itu, “Engkau sudah kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku.
Kerugian domba akan kuganti agar diberikan oleh kawan-kawanmu kepada pemilik
domba.”
Di dalam
hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu
berlutut di depan Maya sambil berkata, “Saya Cia Kim Seng adalah seorang
laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan
membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!”
Wajah Maya
berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan prajurit. “Para perwira
dan prajurit Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng
sebagai seorang perwira pembantuku, sebagai seorang anggota pasukan kita yang
jaya!”
Terdengar
sorak-sorai riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng
menghampiri pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan
keramahan seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia
merasa beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan
seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.
Tiba-tiba
semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng,
menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan
membentak mereka, “Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?”
“Kalau
engkau masuk menjadi anggota Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan
kami? Kami mohon diterima pula menjadi anggota pasukan di bawah pimpinan
Li-ciangkun yang sakti!” kata seorang di antara mereka.
Maya tertawa
gembira, “Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka
membantuku. Aku menerima kalian!”
Para
penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh
kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan
ganti kerugian kepada dua orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian
pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut
berbaris dengan langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari penggembala
menjadi prajurit Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?
Di sepanjang
jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya
melihat betapa ‘muridnya’ ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di
samping kekuatan besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga
para penggembala itu ternyata menjadi prajurit-prajurit yang baik dan kuat. Di
sepanjang perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela
terdiri dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian
pasukan yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi
lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat.
Pada suatu
hari, pasukan telah tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun
perkemahan di tempat itu karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam
di situ, menanti beberapa orang utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan
mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu.
Beberapa
hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para prajurit setiap hari berlatih olah
yuda (perang) di bawah pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri
berlatih silat di bawah petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim
Seng, karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan
dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya!
Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai
panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan
dicintainya!
Akan tetapi
pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,
“Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada
mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan.
Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor.”
Sepasang
alis Maya berkerut. “Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia
sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup
karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita.”
Karena tidak
ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan di antara para pasukan, diam-diam
Maya bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua
kemah dimasukinya, dan para prajurit yang mengira bahwa panglima mereka
melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena
ke mana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua
prajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi,
biar pun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para
pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya.
Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga
dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para
prajurit yang demikian banyaknya? Kalau dia mencampurkan diri dengan para
prajurit, hal itu tidaklah mungkin karena para prajuritnya tentu akan mengenal
orang asing yang menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di
antara para prajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui
sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.
“Cia-ciangkun,
jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja,” kata Kwa-huciang,
kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
“Tak mungkin
salah penglihatan Cia Kim Seng,” bantah Maya mendahului sebelum pembantu
mudanya yang keras hati itu tersinggung. “Mata-mata itu tentu amat cerdik dan
kalau tidak salah dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku
sendiri.”
“Hahhh...?”
Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
“Bagaimanakah
Li-ciangkun menduga begitu?” tanya Kim Seng.
Maya
tersenyum, “Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang.
Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena
pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan.
Mari kita ke sana!”
Akan tetapi
ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal
Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal
yang bertugas menjaga di luar pintu kemah masih berdiri tegak dengan tombak di
tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.
Selagi para
perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita
itu menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara keningnya
berkerut tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya. Tiba-tiba
wanita sakti ini berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi
isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas.
Bekas
penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh
panglimanya, tentu dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda di
bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing
di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga, tentu
Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang
tersenyum mengangguk.
Isyarat ini
cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring, “Mata-mata keparat, turunlah!”
bentakan ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
“Brettt!”
Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas
melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih
berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang
melayang turun.
“Cringgg...!”
Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar.
Laki-laki
yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis
serangan Kim Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah
sekali, meluncur cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di
depan Maya. Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh
disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandaian Kim Seng
sekali pun.
Karena itu,
ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia
memberi isyarat dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan,
mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah
cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan.
Laki-laki
itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang
hendak menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak
pernah terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
“Engkaukah yang bernama Maya?”
Maya sudah
menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu
kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat
dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya
kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab,
suaranya dingin, “Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!”
Tiba-tiba
laki-laki itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar
tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu
tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi.
Maya..., Maya..., tadinya kukira mengenal nama ini... hemm, apakah engkau
puteri...”
Maya
memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar, “Seorang gagah tidak
mengandalkan kepandaian bicara! Engkau siapakah dan mengapa engkau menyelundup
seperti maling ke sini?”
“Ha-ha-ha!
Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut
yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak
menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai di mana
kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai seperti dewi!”
Hampir saja
Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu
saja dia mengenal seorang di antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda
itu masih ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah
menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa
perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau
diketahui bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang
memberontak terhadap Kerajaan Sung.
“Can Ji Kun,
kiranya engkau yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?”
Mata Can Ji
Kun terbelalak dan ia berseru, “Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu
itu? Ahhh...”
“Can Ji Kun,
bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?”
Wajah yang
tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka, “Subo...
Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian
ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit
Merak, di samping kuburan Suhu...”
Wajah Maya
berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya
kepada orang Mongol. “Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...”
Wajah Ji Kun
menunduk dan ia mengangguk. “Suhu... Suhu... meninggal dunia karena duka dan...
sakit...”
Maya mengira
bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas.
Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata
terbelalak penuh pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apa
lagi ketika mendengar pemimpin mereka menyebut ‘bibi’ kepada pendekar wanita
sakti Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar.
Melihat ini,
Maya memandang mereka dan berkata, “Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah
Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku
memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Ada pun
dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam.”
Sebelas
orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh
hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya,
puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!
“Maya,
engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm... betapa aneh
dan mengagumkan.”
Maya
mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut
dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja di sana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa
yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang
ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
“Can Ji Kun,
setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu... engkau
mau apa?”
“Heh-heh-heh,
tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan
ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah
sebenarnya orang itu, hemmm..., baiklah aku pergi saja!”
“Tahan!”
Maya membentak, menahan kemarahannya.
Dia marah
sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapa pun juga, Ji Kun adalah
murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia
tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi
pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya.
Ji Kun yang
sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh. “Engkau mau apa?” tanyanya,
sikapnya congkak sekali.
“Can Ji Kun,
tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak
patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin
sekali melihat sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat
hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku
akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian
sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang
kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang
di antara pembantu-pembantuku. Bagaimana?”
“Li-ciangkun!
Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan
Pasukan Maut!” Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi
gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,
“Mengapa
Li-ciangkun melayani pengacau ini?”
Melihat para
perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan
percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa,
“Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau
sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!”
“Sombong!”
bentak Kim Seng dan bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.
“Menggelindinglah
kalian!” tiba-tiba Can Ji Kun membentak.
Tubuhnya
berputaran seperti gasing, kedua tangannya mendorong dengan tenaga sinkang-nya
yang ampuh. Kim Seng kena disambar pukulan sinkang, terhuyung-huyung ke
belakang sedangkan sepuluh orang perwira lainnya terguling roboh! Kesombongan
Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak.
“Ji Kun,
ternyata engkau hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang
gagah!” bentak Maya. “Majulah!”
Ji Kun
berseru nyaring, kini kedua lengannya dilonjorkan mengirim pukulan sinkang ke
arah Maya. Maya mengerahkan sinkang-nya, tangan kiri masih bertolak pinggang
dan dia hanya menyambut dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.
“Desss!” dua
tenaga sinkang raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun terdorong ke
belakang sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat menahan napas mengerahkan
sinkang melawan hawa dingin yang menyesak dada sambil memandang dengan mata
terbelalak.
Maya masih
berdiri bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang maklum
bahwa yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri mepet
pada kemah dan menonton dengan mata di buka lebar-lebar, tentu saja dengan
hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.
Can Ji Kun
merasa penasaran sekali. Sinkang-nya amat kuat dan semenjak ia berpisah dari
sumoi-nya, turun gunung dan malang-melintang di dunia kang-ouw menggegerkan
dunia penjahat karena kelihaian dan kekerasannya yang tidak mengenal ampun.
Tidak pernah ada lawan yang mampu menandingi kekuatan sinkang-nya, apa lagi
ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan kedua tangannya hanya dilawan dengan
sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah
dan penasaran dia lalu menerjang maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat,
tulang-tulang lengannya mengeluarkan bunyi berkerotakan ketika sinkang-nya
bekerja.
“Wut-wut...
plak-plak...!” Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang, kini
malah sampai lima langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua lengannya yang
bergerak cepat melakukan pukulan-pukulan dahsyat tadi kena ditangkis oleh
sepasang lengan yang lunak halus itu namun yang mengandung tenaga mukjizat yang
membuatnya tergetar, kedinginan dan terhuyung ke belakang hampir jatuh.
Rasa
penasaran dan malu membuat Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan
dia mengeluarkan suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan
cepat, menerjang maju dan menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum.
Biar pun mulutnya tersenyum, akan tetapi Maya bersikap tenang dan hati-hati
sekali menyaksikan gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus serangan yang
dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh buah jari tangan pemuda
itu bergerak-gerak melakukan totokan dan cengkeraman.
Itulah jurus
yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah Melepaskan Tulang) dari ilmu
silat yang paling luar biasa dari Mutiara Hitam, yaitu Cap-sha Sin-kun (Tiga
Belas Jurus Sakti)! Menghadapi serangan ini, Maya maklum bahwa dia tidak boleh
lengah. Dia lalu mempergunakan ginkang-nya, tubuhnya berkelebat cepat sekali,
mengelak ke sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga
tampak gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung yang
menolak dan menangkis semua serangan lawan.
Ji Kun makin
marah dan tiba-tiba ia merubah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti
tadi ketika ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya berputar
seperti gasing mengejar lawan dan dari putaran itu kadang-kadang kedua
tangannya mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang tak tersangka-sangka. Inilah
jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di
antara Tiga Belas Jurus Sakti!
Maya
terkejut sekali. Akan tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah
digembleng secara tekun dan hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus aneh
ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri tegak, tidak menghiraukan bayangan
tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada waktu tampak berkelebatnya lengan
tangan dari putaran itu menyambar, dia memapaki dengan telapak tangannya,
menggunakan dorongan dengan tenaga saktinya.
Ketika Ji
Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak mempan terhadap lawannya yang
lihai, tiba-tiba tubuh Maya berkelebat lenyap dari depannya. Sebagai murid
seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa lawannya menggunakan ginkang yang amat
hebat, yang lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, maka cepat ia
membalikkan tubuh. Dan memang benar, tahu-tahu Maya telah berada di
belakangnya.
Cepat Ji Kun
melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan menggeledek
yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang perwiranya seketika
merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan Ji Kun yang menangkis tadi
terdorong ke belakang dan hampir saja ia roboh terbanting kalau tidak
cepat-cepat meloncat ke atas dan berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan tetapi
wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat
menyilaukan mata ketika murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya!
Melihat ini
Maya terkejut sekali dan menegur, “Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan
senjata? Belum terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini takkan
terlawan olehmu dan mungkin hanya mendiang Bibi Mutiara Hitam saja yang akan
dapat menandingiku?”
“Kalau kau
belum mengalahkan pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!” jawab Can Ji
Kun dengan keras kepala.
Maya
menghela napas. Untuk mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak mudah. Dia
maklum bahwa biar pun kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun ilmu silatnya masih
berada di atas tingkat Ji Kun, demikian pula ginkang dan sinkang-nya. Hanya
melihat pedang itu, dia merasa ngeri.
“Pedangmu
dahsyat dan mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira bahwa aku
takut menghadapi pedangmu. Marilah!” Maya menggerakkan tangan kanannya dan dia
sudah mencabut pedang panjangnya, pedang panglima yang ia terima sebagai
pemberian Bu-tai-ciangkun sendiri. Sebuah pedang yang amat baik, terbuat dari
pada baja biru, akan tetapi bukanlah pedang pusaka seperti yang berada di
tangan Ji Kun.
“Awaslah
terhadap seranganku ini, Maya!” Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju,
didahului oleh sinar putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.
Maya tidak
menjawab, melainkan mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya
menusuk mata kaki lawan. Serangan seperti ini hanya dilakukan oleh seorang ahli
pedang yang sudah tinggi tingkatnya sehingga Ji Kun cepat-cepat meloncat dan
pedangnya sudah meluncur ke dada Maya.
Ji Kun
mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin sekali Menteri Kam
Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari Mutiara
Hitam, maka dia pun mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Lan-mo
Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang merupakan perpaduan dari
Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw Lam.
Dia sama
sekali tidak pernah mimpi bahwa biar pun dalam hal pengalaman masih kalah jauh
oleh Menteri Kam Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat Maya malah lebih
tinggi dari pada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena dara ini adalah
penghuni Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek Siansu!
Menghadapi
ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya kagum
sekali dan memuji kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang. Terutama sekali
pedang pusaka di tangan Ji Kun membuat ia ngeri. Pedang itu mengeluarkan hawa
maut yang menggetar dan dingin sekali. Kalau saja sinkang-nya tidak sudah amat
kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh getaran itu yang akan mengacaukan
permainan pedangnya. Dia pun tak berani mengadukan pedangnya dengan pedang
lawan, dan ketika Ji Kun mendesaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali
Maya mengelebatkan pedang menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.
“Takkk!”
Maya terkejut bukan main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang
seolah-olah mempunyai daya tarik atau daya sedot yang mukjizat! Dan kesempatan
ini dipergunakan Ji Kun untuk menggerakkan pedang ke bawah, membacok kepala
Maya! Maya mengelak cepat.
“Breet!”
Robek dan putuslah ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur,
Ji Kun tersenyum girang dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang
pusaka itu selain mempunyai wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot.
Pengetahuan ini membuat dia memutar otak mencari akal.
Ketika untuk
kesekian kalinya sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan mengirim
tusukan, kembali ia menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani menangkis karena
pertemuan langsung itu mungkin sekali akan merusakkan pedangnya. Akan tetapi
kalau hanya tusukan, dia berani menangkis dari samping. Dia sengaja menangkis
dari atas sehingga ketika pedangnya tersedot dan menempel, pedangnya berada di
atas pedang lawan dan sebelum Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim
serangan mendadak, Maya telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan
tenaga sinkang yang membentuk hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang
hebatnya bukan kepalang, yang oleh Han Ki disebut pukulan Swat-im Sin-jiu!
Tubuh Ji Kun
seperti terkena aliran halilintar, menggigil dan pedangnya terlepas dari
tangannya. Dia berusaha mempertahankan diri namun ia hanya dapat mencegah
tubuhnya terguling, dan hanya jatuh duduk dengan muka pucat! Cepat ia bersila
dan memejamkan matanya, mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dadanya yang
terserang hawa dingin luar biasa. Semua perwira bengong terlongong dan tidak
ada yang bergerak, semua terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya,
yang belum pernah mereka saksikan selama hidup mereka.
Maya
menyimpan pedangnya, membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati
pedang itu dan tangannya menggigil. “Bukan main...!” serunya sambil menggeleng
kepala. Memegang pedang itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan
mengeluarkan hawa maut yang amat kejam!
Can Ji Kun
membuka matanya dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang
matanya bahwa ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini
Maya lalu melangkah maju dan menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil
berkata, “Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah perkasa tidak patut
memiliki pedang seganas ini.”
Bayangan
khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima
pedangnya. Ia bangkit berdiri, menyimpan pedangnya dan berkata, “Pedang ini
adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo.”
“Ahhh...
sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu,” kata Maya perlahan,
kemudian sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya, “Bagaimana
sekarang, Ji Kun? Apakah engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?”
Ji Kun
membusungkan dadanya dan menjawab, “Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan
seorang murid yang baik dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah
seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku
menjadi pembantumu.”
Sebelas orang
perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu
saking girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum
sekali kepada Maya dan harus ia akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi
dara itu!
“Ji Kun,
mulai sekarang engkau menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu
Kwa-huciang. Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat
akan sumoimu, Ok Yan Hwa. Di manakah dia sekarang?”
Diingatkan
kepada Ok Yan Hwa, sumoi-nya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga
musuhnya (betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram. “Aku tidak
tahu. Kami saling berpisah setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung.”
Mungkin
karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat
menjenguk isi hati orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada
apa-apa antara kedua murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa
tidak menyenangkan hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih
banyak.
Pada
keesokan harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan
yang menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal
batas, yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan
Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih
dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala
tentara Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya
terjepit oleh pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari
selatan.
Mendengar
ini, Maya mengumpulkan dua belas orang pembantunya. "Karena sudah jelas
bahwa barisan Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan
Sung, terpaksa aku akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu
mereka. Akan tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang
masih menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh
orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete