Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 08
Diam-diam
Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah
memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di
dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka
ia cepat menyimpan pedangnya, kembali dan menjura.
“Locianpwe,
maafkan kekurang-ajaranku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu
Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoi-ku itu. Locianpwe yang memiliki
Ilmu Pedang Thian-te It-kiam dan saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek
Sin-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu guruku.”
“Kami tidak
mengenal Bu Kek Siansu,” kata kakek itu.
Han Ki makin
terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong. “Kalau begitu,
dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?”
Kakek itu
mengangkat pundak. “Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.”
“Locianpwe,
sukakah Locianpwe menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana
dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?”
Wajah kakek
itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
“Aku tidak
tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu.
Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama
turun-temurun menjadi nelayan dan tidak mau mencampuri urusan manusia-manusia
lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu
kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya. Kau boleh tinggal di
sini selama kau dan sumoi-sumoi-mu menyukai, dan boleh pergi ke mana saja.
Hanya pesanku, engkau dan sumoi-mu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak
batu karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang
pun boleh mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?”
Han Ki
mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan
hati penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh
didatangi orang.
Tiba-tiba
Maya berkata kepada kakek itu, “Kakek, tempat apakah itu yang kau sebut tempat
keramat?”
Han Ki
terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan
keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi kakek itu agaknya berwatak
sabar sekali, malah menjawab halus, “Anak perempuan yang cantik jelita, kalau
engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami. Sudahlah, aku
sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula
mengenai tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!”
Orang-orang
itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka
mengajak Han Ki dan dua orang sumoi-nya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau
di mana terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana
pula. Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut kedatangan mereka
sambil bersorak-sorak gembira.
Tak lama
kemudian anak-anak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang
terheran-heran dan tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa
suka kepada mereka. Biar pun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana,
namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping itu,
semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga
gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah
daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu
ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni
pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah
dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini merasa senang di pulau
itu. Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu adalah
bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya keluarga yang terasing dari
dunia ramai ini telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang
baru lahir sehingga sampai tua mereka tidak bernama.
Keadaan
mereka yang aneh, kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu
yang diajarkan Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka
rahasia yang menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia
bersama kedua orang sumoi-nya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu.
Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia menduga bahwa letak
rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu.
Karena ia
menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan
suhu-nya, Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat
itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah karena keluarga
nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya. Sedangkan Maya dan Siauw
Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu, menangkap ikan
di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai berenang....
*************
SUDAH lama
kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi
Lan Si Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam,
pendekar wanita yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang
muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, yaitu Raja
Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam perang
melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram
lagi. Bayangan Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya,
menuntut dibalaskan kematiannya.
Dengan hati
hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan
meninggalkan suami yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang menyiksa
jiwanya. Maka berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas
kematian saudara kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat
dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol!
Sungguh
sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya.
Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak
pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia
ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap dari hatinya ketika
Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung
Merak di daerah Khitan bersama dua orang muridnya.
Pendekar
yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka
ini kehilangan gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini
berubah menjadi seorang pendiam dan murung, bahkan keras terhadap dua orang
muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan
isterinya.
Berbulan-bulan
ia menunggu. Di lubuk hatinya Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kalau
dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya dari pada menunggu
kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah seorang yang akan mampu
membunuh seorang raja, apa lagi Raja Mongol yang pada waktu itu sedang
kuat-kuatnya?
Gunung Merak
merupakan bukit kecil dan tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit
itu. Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai
dengan pesan isterinya. Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan
yang setia sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat itu pula. Pendekar ini
membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan dan hidup sebagai
pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya.
Kurang lebih
lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk
bersemedhi, dia disadarkan teriakan dua orang muridnya.
“Suhu! Ada
orang membongkar kuburan!”
Tang Hauw
Lam membuka matanya yang kini tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali
karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu
diterimanya dengan tenang.
“Ceritakan
yang betul, apa yang terjadi?” katanya kepada dua orang muridnya yang sudah
berlutut di depannya.
“Teecu dan
Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat
seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan.
Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,”
kata Can Ji Kun.
“Dia pasti
orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu
seperti anjing saja!” Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang Hauw
Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil
memandang tajam. “Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah
dia tidak memberitahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?”
Melihat
sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu
menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoi-nya....
*************
MEREKA
melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah
cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik
terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo
mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu
sambil membentak.
“Haii!
Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!”
“Mau apa kau
membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki
bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka
dengan mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua
orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring. “Kalian
anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat
ini!”
Dan dia
melanjutkan pekerjaannya menggali tanah. Tiap kali cangkulnya menghunjam tanah,
sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar
sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak
melihat kenyataan ini.
Merasa tidak
dihiraukan, Can Ji Kun lalu membentak, “Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu
menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok.
“Dukk!”
Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia
terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang
dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.
Melihat
suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, “Maling hina! Berani kau
merobohkan Suheng-ku?” anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan
miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah
tanpa mempedulikan mereka.
“Plakk!
Aduh...!” Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk
laki-laki itu, Ok Yan Hwa terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas
dan nyeri.
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan
kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu
dengan batu di tangan.
“Hemm...
anak-anak nakal!” Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas
dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur
lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian
membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka....
“Demikianlah,
Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!”
“Agaknya dia
bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar
kuburan?” kata Ok Yan Hwa.
Hati Tang
Hauw Lam tertarik sekali. Kalau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang
masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu
bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya
yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah
kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan.
Maka ia
bangkit berdiri dan berkata, “Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh
menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri.”
Dua orang
murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si
Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau
memikirkan kekalahan mereka tadi.
Ketika Tang
Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah
sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu
tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama
sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong,
sungguh pun tidak jauh dari kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu.
Seorang
laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan,
wajahnya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja
Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang
Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini
sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat
lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan
keluarga Raja Khitan?
“Sobat, apa
yang kau lakukan di sini?” Ia menegur.
Si Bongkok
itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia
tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu
terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang
tampan dan gagah, biar pun kurus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya,
membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan
Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, ia
menjawab singkat.
“Kalau
engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan
nasehati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang
kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergilah,
aku sedang sibuk!”
Tang Hauw
Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan
bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga
Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah
kepadanya.
“Kalau
begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang
sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!”
Orang
bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar
penuh kemarahan. “Hemm... siapa yang melarangnya?”
“Aku yang
melarangnya!” Hauw Lam berkata tegas.
Si Bongkok
menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. “Kalau aku tetap hendak mengubur
abu jenazah di sini, engkau mau apa?”
Tang Hauw
Lam juga menjadi marah sekali. “Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”
“Hemm, kau
kira akan gampang saja? Cobalah!”
Kalau
isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si
Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian
bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka
kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat
merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak.
“Manusia
sombong! Pergilah!” Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan
menggunakan tangan kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena
itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang amat ampuh dan kuat, mengandung tenaga
sinkang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bongkok
itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula
sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya.
“Desss...!”
“Ahhh...!”
Keduanya
meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat
tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada
waktu itu ilmu kepandaiannya telah meningkat hebat, karena selama perantauannya
dengan isterinya ke negeri barat ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan
ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sinkang-nya bertambah kuat sehingga
untuk masa itu jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kong-to Tang
Hauw Lam, suami Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi,
dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu
amat kuatnya dan mengandung tenaga mukjizat, tenaga sinkang yang sudah mencapai
tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat
memiliki ke pandaian sehebat ini?
Di lain
pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali dan baru tahu bahwa orang
yang dilawannya bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh
perhatian. Karena maklum bahwa orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu
tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan
salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya
menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang muridnya
tadi.
“Orang
gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan
mengubur abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapa pun juga
tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!” dengan ucapan ini,
Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia
bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw
Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin
bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab, “Dan aku pun
mempertaruhkan nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan
siapa pun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat
ini!”
Gu Toan
tercengang dan penasaran, lalu bertanya. “Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu
ini? Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”
“Aku adalah
Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku,
bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”
Gu Toan
terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, “Mutiara Hitam...?”
Hauw Lam
mengangguk. “Isteriku!”
Tiba-tiba
terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian
pula kedua orang muridnya. Di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu
menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis
sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya
dan berkata terisak-isak.
“Hamba Gu
Toan mohon ampun... harap Tang-taihiap ketahui... ini... abu jenazah dari...
majikan hamba... mendiang Menteri Kam Liong...!”
Wajah Hauw
Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi
abu jenazah. “Apa?! Kanda Kam Liong... mati...? Benarkah...?”
“Hamba
adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan...
dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid majikan hamba...
Mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki Taihiap...”
“Ahhh...!”
Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih,
“Tidak dinyana... Kam Liong Twako...!”
Sambil
berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga
majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan
Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi
jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata,
kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke
tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.
Tang Hauw
Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan
main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya.
Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga
berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya tewas
dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam
terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib
keturunan Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya? Dan
sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya!
“Aihhh. Gu
Toan... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu,
dan kau maafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti
berita tentang isteriku...”
Karena tidak
menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi
Tang Hauw Lam menceritakan kepergian isterinya. Mendengar ini Gu Toan terkejut
dan ikut prihatin. Kemudian Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang
kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana
mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya menyembahyangi
kuburan baru itu.
Dua hari
kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang berkabung
menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan
bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap.
Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya lalu menyuruh kedua orang
muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan
bicara atau bergerak.
Tak lama
kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang
berkuda. Sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa
matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa,
mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali. Sebatang golok besar
targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang
tinggi besar.
Ketika
komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu
Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan
memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring
bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
“Kami adalah
pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk
mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!”
Jantung Tang
Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan. Wajahnya berubah ketika ia
berkata, “Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol
mencari aku?”
Semua anak
buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dan komandan itu lalu memberi hormat
secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, “Kami melaksanakan
perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami
yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa
Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang
pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!”
Hati
pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke
Mongol dengan maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena
dia memang selalu berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat
menahan kesabarannya lagi dan berteriak, “Apa yang terjadi dengan isteriku?
Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa
yang telah terjadi?”
“Kami hanya
utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan
salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!”
Panglima
Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang
pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap, kemudian dengan penuh
hormat dan membungkuk menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam.
Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima
bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak
membukanya.
“Tang-taihiap,
kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke
Mongol.”
“Tunggu
dulu!” Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, tetapi ia melompat
berdiri dan berkata, “Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!”
“Tang-taihiap,
kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami
lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari
raja kami yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!” Panglima itu
meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat. Kuda
mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak
debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw
Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, “Taihiap, hidup
memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya,
penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna.”
Tang Hauw
Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir
tidak berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca
indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni. Setelah hatinya tenang, dengan
jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning...
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang
tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu
apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada
suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah
penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah
terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat
menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat
bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh
tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya
bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan
duga-duga.
Ternyata
bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali,
tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap
Kerajaan Mongol, dan... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena
itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi,
berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapa pun
kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia
membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan
semula. Terdengar keluhnya, “Lan-moi... isteriku...!”
Ia menyambar
pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan
pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu. Tak tertahan lagi ia
terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah.
Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa,
kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.
“Kwi
Lan...!” Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan
tidak menggelapkan kesadarannya.
“Subo...!”
Can Ji Kun berseru sambil menangis.
“Subo...!”
Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat
orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!”
“Aku juga!”
Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar
rombongan pasukan Mongol.
“Ji Kun, Yan
Hwa! Berhenti...!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua
orang muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”
Kedua orang
anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis
sesenggukan. “Subo telah mereka bunuh...!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
“Subomu
gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari
Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”
Kelemahan
dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam. Dengan wajah pucat,
pipi basah air mata, namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini
membuka sampul surat dan membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya
menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu.
Surat yang
menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan
penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam yang seorang diri
menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara
Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang prajurit Raja Mongol yang
menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan
tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang
masih di tangan!
‘Kami amat
kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam.’
Demikian penutup surat yang panjang lebar itu. ‘Tak dapat kami menganggap orang
segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami.
Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami
memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim
salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat
menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.’
“Kwi
Lan...!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu.
Wajahnya
menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram. Tanpa
banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang
muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali-kali menarik napas
panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan
dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya Tang Hauw Lam berkabung di dekat
kuburan isterinya.
Setelah
lewat sebulan dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada
Gu Toan sambil berkata, “Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat
menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan
Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk
disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling
Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang
muridku.”
“Jangan
khawatir, Taihiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah
kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan
ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka
peninggalan keluarga majikan hamba.”
“Engkau
seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat
dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu
Toan.”
“Selamat
jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasehat kepada
Taihiap. Hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang
mempunyai tugas hidup, melainkan juga Taihiap mempunyai tugas suci, yaitu
mendidik kedua orang murid Taihiap.”
Kedua mata
pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika
hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “Andai
kata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang
murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang
akhirat, suamiku.”
Biar pun dua
titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum
penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan.
Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan
menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!” Sambil menggandeng tangan
kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata
Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
*************
Berlindung
di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang
dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri goa besar yang dianggap
tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau
itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan
terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan
Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat
itu. Ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan
yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu itu, akan
dapat ia temukan di dalam goa keramat yang terlarang itu.
Biar pun
kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati
sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu
memiliki kepandaian hebat, sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan
terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia
menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau
menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang
menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah
terlarang itu. Kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia
akan merasa malu sekali?
Goa itu
sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya
dari lemak ikan. Setelah memasuki goa itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah
ia dengan penyelidikannya. Goa itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya,
goa itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika
ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding
batunya banyak yang longsor.
Akan tetapi
di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian
tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah
amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis
dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka
kitab.
“Inilah yang
kucari!” serunya girang.
Ia duduk di
atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf
yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap
artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang
menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab
itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di
antara mereka dapat membaca.
Dengan penuh
perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia
menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa
penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu!
Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di
jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan
kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang
gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut
catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang
pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan
membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para
pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman
tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu. Para pengikutnya membentuk
keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena
kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani
mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun
dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari
anak cucunya.
Akan tetapi,
pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es
sudah mulai berkembang, terjadilah mala-petaka yang amat dahsyat di pulau itu.
Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun,
menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan
para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua!
Hanya
beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang
berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu
mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan
badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita,
dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua
belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!
Di antara
mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima
pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apa
bila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para
penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena
makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis,
bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguh pun ilmu
silat mereka amat lihai!
Han Ki
tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para
penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini
adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu
Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari
maut.
Mendadak
terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika
ada angin menyambar ke arah kepalanya. Sebuah tangan berkuku panjang
mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki
berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia
mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan
bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi
suara menggereng seperti binatang buas.
Han Ki tersedak
dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling.
Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang.
Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan
berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya.
Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan
menakut-nakuti.
“Trik-cringgg...!”
“Ayaaa...!”
Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh
lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang
itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar
pedang.
Kini di
antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak,
Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang
kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang
bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu
hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat
kepandaian yang lebih tinggi dari pada para penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki
mengerahkan seluruh kepandaiannya karena berbeda dengan kakek botak yang
menguji kepandaiannya, orang kembar itu kini menyerangnya dengan niat membunuh.
Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud
membunuhnya! Han Ki tidak dapat bergerak leluasa di dalam goa yang gelap karena
lilin di atas peti terguling, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat,
agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
“Heii, nanti
dulu! Aku bukan musuh...!” Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke
sana ke mari.
Namun orang
dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin
hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han
Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat
sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat
bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di
belakang pundak.
Tiba-tiba
seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, “Mataku... ahhh...
silaunya...!”
Han Ki
terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak
terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin
bingung, serangannya ngawur bahkan sering kali menggunakan tangan melindungi
mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang,
tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin
tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang
tadi dibacanya!
“Aduh...
silau...!”
“Tak dapat
melihat...!”
Tiba-tiba
sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari
tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan
pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang
tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api! Ia dapat
menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat
gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan
api itulah yang menolongnya.
Ia harus
lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan
menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit
di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri.
Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han
Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar
di tempat pertempuran tadi.
Akan tetapi
ketika ia tiba di luar goa, tempat di luar goa itu sudah terang sekali oleh
obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah
berkumpul di depan goa. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan
tetapi kedua orang sumoi-nya itu dibelenggu!
“Eh...
aku... aku tidak melakukan apa-apa...,” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu
sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap
untuk membela kedua orang sumoi-nya kalau mereka itu berniat buruk.
“Engkau
telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak
berkata suaranya dingin sekali.
“Akan
tetapi... dia... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul
kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk.... Dan aku telah berhasil
mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!”
Orang-orang
itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami
tidak mengerti apa yang kau katakan itu. Si Dampit adalah keturunan kami, karena
mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa
mereka akan mendatangkan mala-petaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran
mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar
merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”
“Akan tetapi
mereka... lihai sekali!”
“Kami
mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka
merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih
tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang
juga engkau dan dua orang sumoi-mu harus meninggalkan pulau ini!”
“Akan
tetapi...!” Han Ki membantah.
“Apakah
engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk
mencegah kemarahan penghuni pulau?”
Han Ki tak
dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak
mungkin di bantah. “Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”
“Sekarang
juga!”
“Suheng,
mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku
muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”
Han Ki
mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!”
Han Ki lalu
menghampiri kedua orang sumoi-nya, menggunakan tenaga saktinya untuk sekali
renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, kemudian
menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke
pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum menyaksikan betapa
mereka semua, laki-laki, perempuan, juga kanak-kanak menuruni tebing membawa
obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu melepaskan ikatan perahunya, mengajak
kedua orang sumoi-nya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua
dan berkata kepada kakek botak.
“Kalian
ketahuilah bahwa menurut buku catatan di goa yang kubaca, kalian adalah
keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es
di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari
raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada
seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai
manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa
aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam goa. Ada pun sepasang
manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai
menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kepandaian mereka itu hebat sekali.
Kalau kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah,
selamat tinggal!”
Dengan
hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan
karena malam amat gelap. Dia menanti sampai orang-orang itu pergi meninggalkan
pantai. Obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar
panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular merayap naik. Setelah
sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia
melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar
menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang
mulai muncul di permukaan air.
Dua orang
gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apa lagi
ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es,
hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja
mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau
Nelayan, apa lagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan
Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat
yang dituju.
Setelah
memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari melewati
sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna
putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah
pulau itu.
”Tak salah
lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya dan
Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati
berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain dari pada pulau-pulau lain.
Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah
merupakan sebuah pulau perak! Dan kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di
tengah pulau terdapat sebuah istana, ujung bangunan itu tentu disangka puncak
sebuah bukit karang.
“Apakah ada
yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.
“Jangan-jangan
kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
“Tidak
mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita
ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”
Perahu
meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang tiga orang
itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi
mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia
ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar
jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang, dan menyembunyikan perahu di
tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat
di dalam mimpi saja.
Pulau itu
penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang
kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu
kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat besar. Atau
sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguh pun mereka tidak
merasakan guncangan sama sekali.
“Pulau Es
ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!”
Han Ki berseru, gembira dan kagum.
“Bagaimana
kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan
sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!”
“Aduh,
dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil
kedinginan.
Han Ki
merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke
tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk
melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya tentu
akan menderita sekali, karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya
kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sinkang yang kuat.
“Mari kita
berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”
Mereka
berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini darah mereka mengalir
cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang
akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di
antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang
amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak
gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga
kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang
paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw
Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
“Mari kita
masuk!” Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoi-nya.
Kedua orang
anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di
depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan
bertanya, “ Suheng... jangan-jangan ada orangnya di....”
“Aihhh,
Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andai kata ada penghuninya sekali pun
kita takut apa?” Maya mencela dengan suara nyaring.
“Jangan
khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada
orang yang akan berani mengganggu. Marilah!” Han Ki menggandeng tangan Siauw
Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan
mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki
merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua orang
sumoi-nya itu.
Pintu yang
besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran.
Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali. Selain bersih dan
perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno
yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga
tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.
Ruangan yang
lebar, lantainya dari batu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno
berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat dari pada kayu besi
terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga
menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar
menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah
kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju
kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan
delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi
senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata
pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan
runcingnya!
Han Ki
menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan
ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi
girang sekali karena mereka tidak lagi benar-benar menderita oleh hawa yang
makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian
terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam.
Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana.
Semua
perabot rumah serba lengkap dan indah, dan di situ terdapat banyak sekali kamar
yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan
belakang terdapat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh
buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan
betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan
mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.
Ruangan
belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat,
bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat
indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu
terbuat dari pada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya
arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi-nya lebih baik dan lebih
mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah
lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han
Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur
kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhu-nya yang agaknya telah lebih
dulu mengatur persediaan secukupnya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke
Pulau Es.
“Nah, engkau
tidak akan kelaparan lagi, Suci,” Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan
suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek
kepada suci-nya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.
“Hemm, semua
bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau
sudah habis, ke mana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan
kehkhawatirannya.
“Kita bisa
mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.
“Hemm, kalau
engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan,
tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali hawa di sini amat dinginnya sehingga sekali
menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan
sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan
tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu
bertahun-tahun di tempat ini.”
Melihat
betapa kedua orang sumoi-nya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
“Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang
benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan
Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat
hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat.
Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau
yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang
buruan dan buah-buahan serta sayur-sayuran. Kelak aku akan melakukan
penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang lebih
baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan
Suhu untuk mengisi perut,” dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang
sumoi-nya melupakan perbantahan mereka.
Kemudian
mereka berdua kembali berlomba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya.
Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah,
atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoi-nya dalam hal apa
pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga
diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoi-nya. Maya keras
hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguh pun di dasari kejujuran dan juga
mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki
kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya
tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah
terhadap suci-nya.
Ada satu hal
yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah dan saling lomba antara
kedua orang anak perempuan itu, yaitu ketika mempelajari ilmu silat. Dalam hal
ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan
sehingga amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoi-nya merupakan
‘murid-murid’ yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena
sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapa pun lelahnya seorang di antara
mereka, kalau melihat yang lain berlatih, maka akan terus melanjutkan
latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh.
Keduanya
sama tekun dan sama cerdik. Kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka
pelajari di bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka ‘sikat’ satu demi
satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki
sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoi-nya sehingga dia
pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih
tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu-nya. Dengan dasar
yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan
ilmu yang lebih tinggi.
Akan tetapi,
di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoi-nya yang
membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki
menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan
hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti
dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang
manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apa lagi menghadapi Maya yang makin lama
makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
“Aku akan
mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada
suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam
seadanya. “Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”
Karena
maklum bahwa sumoi-nya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan
berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk. “Lebih baik sekarang mempelajari ilmu
dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunia ini banyak sekali
terdapat orang pandai, Sumoi.”
Akan tetapi,
Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat
suci-nya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, “Eh,
Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingga hendak kau basmi
semua?”
“Musuh-musuhku?”
Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki
memandang kagum.
Di bawah
sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang
yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah
sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan
hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam
namun seolah-olah mengeluarkan api!
“Siapa lagi
kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan
kubasmi mereka semua kelak!”
Diam-diam
Han Ki terkejut. Bukan main sumoi-nya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati
yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang
tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia
maklum bahwa kalau dibantah, sumoi-nya ini akan lebih ‘ngotot’ lagi, maka dia
diam saja.
Akan tetapi
seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau ‘kalah’ begitu saja dan ia langsung
mencela, “Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!”
“Apa? Keliru
katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan
kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak
kekeliruannya, Sumoi yang manis?” Biar pun Maya menyebut ‘sumoi yang manis’,
namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk
berdebat.
Han Ki
maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoi-nya akan menyala, dan
seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak
mengetahui bagaimana pandangan kedua orang sumoi-nya mengenai urusan itu, dia
diam saja mendengarkan penuh perhatian.
“Suci,”
jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoi-nya yang kecil ini
karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang
mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban.
Ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak
mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang
mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada
biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kaki-tangannya.”
“Itu
tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan
Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian
Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam keluarga dan juga dendam
kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau
bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah
dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak pasti akan kubalas.”
Sebelum
Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah
benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan
kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi, dan aku tidak akan mencampuri
cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?”
Seperti
biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suheng-nya itu sengaja memasuki
perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia yang selalu patuh kepada
suheng-nya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan
mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku,
terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat
kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku
akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka!”
Han Ki
mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau
sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau
mendendam pula kepadanya?” Pertanyaan itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar
keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai
cita-cita yang sama!
Akan tetapi,
betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar
jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab. “Masih
bergema di telingaku nasehat dan wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang
menyebut Suhu-nya ‘Siansu’. “Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan
hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu
memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak
mendendam kepada siapa pun juga. Kalau toh ada mala-petaka dan kesengsaraan
yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai
hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah
bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Di luar kehendak-Nya,
takkan ada terjadi sesuatu!”
“Akan
tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada
sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh
Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia. Dalam hal
mala-petaka yang menimpamu, sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!”
Han Ki
menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. “Sungguh pun demikian,
Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah
merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan
perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia
sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa
kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah
kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.”
Maya
mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan
sikap suheng-nya itu. “Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu
membayangkan keputus-asaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup
saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja
yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan
binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang
hal-hal yang mencelakakan kita!”
Han Ki
tersenyum memandang sumoi-nya yang penuh semangat itu. “Ucapanmu benar, Sumoi.
Memang manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar.
Betapa pun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup
saja, ada pun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”
“Suheng,
kenapa Tuhan menjatuhkan mala-petaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya,
suaranya mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa mala-petaka sehingga
menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang panglima
yang setia! Aku sendiri tertimpa mala-petaka. Ayahku yang setia terhadap
kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan
Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita
begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita
bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau
kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”
Kembali Han
Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya ini masih remaja dan
penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup
yang sederhana. “Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri,
melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas
kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh
hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang
menentukan segalanya, sungguh pun segala akibat itu bersebab dari sumber
perbuatan manusia sendiri....”
“Hukum Tuhan
adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, merupakan hukum
yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita
harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa
Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi
sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan
mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai
kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah
menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang
hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting
lagi.”
“Ah, mana
mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa mala-petaka yang disebabkan
oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita
harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah
kehinaan dan kedukaan?”
Han Ki
menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh
nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andai kata Tuhan
sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang
berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah
yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang
penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biar pun seseorang
diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya,
dia akan tercela. Sebaliknya, biar pun Sang Sutradara memberi peran kecil tak
berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya
dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa
artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya
tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan
hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata
Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan
kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak
terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis
kebenaran dan keadilan.”
Dua orang
anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan
alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh
nafsu dan gairah hidup.
“Ahh, engkau
terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.
“Maaf,
Suheng. Betapa pun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki
tangannya!” Siauw Bwee berkata.
Han Ki
tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang
sumoi-nya akan sia-sia belaka....
Kesadaran
datang bukan oleh pelajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan
pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh
hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai
kesadaran, dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak
pahitnya dari pada manisnya. Namun semua ini berguna, karena apakah artinya
pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit
akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat
berguna.
Diam-diam
dia hanya mengharapkan semoga pengalaman yang akan menimpa kedua orang
sumoi-nya ini tidak terlalu pahit.
“Sudahlah,
dari pada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat
sinkang sehingga dapat bertahan bersemedhi di atas salju sampai semalam suntuk.
Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih
sinkang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat
sinkang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu
menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di
kamar bawah untuk berlatih.”
Dua orang
anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima
pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut
bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu
menotok yang bertingkat tinggi. Untuk pelajaran ini, mereka telah menerima
pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah
sehingga kini mereka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama
sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu
ini dia dapat mengatasi suci-nya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biar
pun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk
belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda.
Dalam hal
mempelajari sinkang, jelas bahwa Maya melampaui sumoi-nya, juga dalam ilmu
pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju
dibandingkan dengan sumoi-nya. Akan tetapi dalam hal ginkang, yaitu ilmu
meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari
cepat. Siauw Bwee jauh melampaui suci-nya. Juga dalam hal pelajaran
tiam-hiat-hoat ini.
Dan seperti
biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlomba
saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah
pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu
berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah
di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu
silat ini.
Bergeraklah
Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor
kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia
telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi.
Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee.
Setelah
selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang
cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau
menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah
tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah.
Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kau latih setiap hari dengan
tekun. Maya-sumoi.”
Maya
mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk
itu membayangkan ketidak-puasan hatinya.
“Sekarang
engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoi-nya yang ke dua.
”Baik,
Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu
kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal
kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan
sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca. Jari tangannya yang
kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya
kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih
cepat lagi.
Setelah ia
selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh
arca itu, Han Ki berkata, “Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan
benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai
mengumpulkan tenaga sinkang di ujung jarimu agar setiap totokan pada tubuh
manusia akan berhasil baik.”
Melihat
betapa Han Ki, memuji sumoi-nya, Maya meloncat ke depan dan berkata, “Suheng,
aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!” Tanpa menanti jawaban Han Ki,
Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat
dan serangannya amat kuat
“Krakkk!”
Dada arca itu retak-retak dan Maya menyusulkan sebuah pukulan lagi dari
punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.
“Ahhh,
Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!” Han Ki berseru marah.
Karena dalam
kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki
memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan
totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka
sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl
Mendengar
teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh
kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata, ”Salahku, Suheng. Aku bersalah
dan siap menerima hukuman....”
Han Ki
menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima
kesalahan dan siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang?
Siauw Bwee
melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak
bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh?
Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apa lagi arca ini
setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah.”
Han Ki
tersenyum. Kedua orang sumoi-nya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlomba
dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap
membela dan melindunginya!
“Arca ini
peninggalan Suhu, kini telah menjadi rusak. Kita harus dapat membuatkan
penggantinya.”
Han Ki lalu
mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar
manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh
seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya.
Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali!
Maya dan
Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa
arca buatan Han Ki ternyata amat baik. Bentuknya menyerupai manusia benar dan
biar pun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya.
Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini, Han Ki menemukan bakatnya
dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir
untuk memperdalam kemahiran tangannya.
Demikianlah,
Han Ki dan dua orang sumoi-nya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang
amat tinggi peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang
luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang
yang amat lihai, apa lagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan
seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apa lagi sekarang! Namun
di samping ketekunan mereka yang bercita-cita dan melatih diri menjadi
orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang
gadis remaja yang berangkat dewasa.
Han Ki
adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang
dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang
terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh
tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua
orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu
bersaing, apa lagi di depan Han Ki!
Mereka
bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan
mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu.
Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah
dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan
yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?
Han Ki
selalu merasa kagum ketika sedang melatih silat kepada dua orang sumoi-nya.
Selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoi-nya itu merupakan dua orang
gadis remaja yang cantik jelita. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang
lebih cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai
bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi daya
tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw
Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam.
Sama sekali
Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak
bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita,
tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan
menjadi akibat dari pada serangkaian peristiwa yang amat hebat.....
"Bagus
sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah
sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!" Siauw Bwee bersorak girang
ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya.
Han Ki
memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang
kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil,
begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang
putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di
belakang istana...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment