Thursday, May 17, 2018

Cerita Silat Serial Istana Pulau Es Jilid 07



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Istana Pulau Es

                     Jilid 07


DENGAN HATI berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong!

Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.

Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.

“Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia menyusul ayahku di Gobi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Ada pun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda.”

Tek San kaget sekali. “Akan tetapi... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?”

“Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.”

“Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!”

Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.

“Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.”

“Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apa lagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.”

“Akan tetapi... keluargamu?”

“Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.”

“Tapi... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...”

“Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biar pun kekuasaan Suhu lebih besar dari pada teecu karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima dari pada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti.”

Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apa lagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya. Wajah isterinya pucat dan matanya merah karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka.

Hari itu juga, menjelang senja nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!

Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam. Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk, namun dia mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa. Laki-laki bongkok ini pendiam, namun cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!

“Gu Toan,” kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. “Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.”

“Hamba mengerti, Taijin.”

“Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Gobi-san. Kau carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?”

Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. “Nah, kau berkemaslah,” kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.

Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersemedhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.

Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat ke luar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu.

Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.

Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka. Kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas, sungguh pun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka.

Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biar pun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana, ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw!

Ada pun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, lengan, dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!

Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi, dan kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apa lagi dengan pakaiannya yang berat itu. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.

Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas, sebagian lagi melenggut saking mengantuk. Hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sambil main kartu. Mereka terkejut melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.

“Maaf... hamba... hamba tidak tahu...” Kepala pengawal berkata gugup karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.

“Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.

“Bu... buka pintu... tapi... hamba tak boleh...” Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.

“Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?” Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.

“Maaf... hamba tidak membantah, Ciangkun... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....”

“Bukalah!” kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap dari pada suara Khu-ciangkun. “Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.”

Mendengar ini penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, segera tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.

Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh ‘pulas’ di tempatnya.

Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!

Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget. Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.

“Plakkk...!”

Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.

“Tek San! Cepat kau pondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!” Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sigapnya meloncat ke depan.

Sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, lalu ia mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya yang kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas, dan pada saat itu terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.

“Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!” Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana.

Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan, dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!

“Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga! Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!”

“Tek San, ikuti aku!” Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.

Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!

Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata. Di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya!

Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.

“Trangggg, tringg... cringggg...!”

Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.

“Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang!” Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya, menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.

Mereka maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya. Jika mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota raja tentu mereka terancam bahaya hebat. Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan. Tek San mengerti benar bahwa apa bila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar dari kota raja!

Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak. Demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.

Melihat betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos ke luar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu ke luar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pasukan, juga memerintahkan agar pasukan-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan ke luar dari kota raja! Sementara itu dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar mengamuk, bukan hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.

“Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!” bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.

“Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!” Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.

Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.

“Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kau bebaskan!” teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat mau pun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan ketat.

“Tek San! Lari...!” Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat.

Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesempatan ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.

“Wirrr... wirrr...!” Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.

Namun pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri ke luar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.

Akan tetapi dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.

“Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!” Kam Liong berkata kepada muridnya. “Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.

“Suhu...!” Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.

“Hemm, bicaralah!” Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.

“Cet-cet cettt...!” belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.

“Keparat!” Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka ‘termakan’ piauw mereka sendiri.

“Suhu... kalau sampai gagal... harap Suhu maafkan teecu...!”

Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.

“Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong membentak.

Akan tetapi biar pun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.

“Kejar...”

“Tangkap...!”

“Bunuh mereka semua...!” Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!


Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.

“Tring-tranggg...!”

Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.

“Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormati!” Tek San membentak marah dan memutar pedangnya.

Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.

“Cringgg...!” dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.

Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biar pun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.

“Khu Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan dari pada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!”

“Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati dari pada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!” Khu Tek San berseru marah dan menyerang.

Sambil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdik.

Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.

Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.

“Tranggg...!”

Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental, maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.

“Cett!” Darahnya muncrat ke luar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat.

Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.

“Keparat, hendak lari ke mana kau?!” Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San.

Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, jarum-jarum ini meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!

“Trik-trik!” dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.

“Suhu, awas...!” Siangkoan Lee berseru.

Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini membantu muridnya.

“Tek San, lari...!” Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.

Biar pun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya.

Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong merasa berduka dan gelisah sekali.

Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan mala-petaka besar akan menimpa keluarga mereka.

Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orang prajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!

“Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!”

Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima, lalu memasuki terowongan pintu gerbang.

Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang prajurit pengawal. Akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan daun kipasnya robek ketika menangkis lima pedang sekaligus mematahkan semua pedang itu. Biar pun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan ‘tercuci’ darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.

Akan tetapi karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki.

Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi muridnya belum begitu tua, mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.

Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Ada pun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan.

Apa lagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling hebat ini, biar pun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.

Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut.

Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan hingga membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.

Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apa lagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.

Akan tetapi Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biar pun sudah terluka dan merasa jeri untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang. Di bawah pimpinannya sendiri, Suma Kiat menanti saat baik. Selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.

Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.

“Tek, San awas anak panah...!” Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya.

Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.

Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!

“Suhu...!” Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.

Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentang lebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh.

Puluhan orang prajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri, ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!

Pada saat itu Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.

“Ayahhhh...!” Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.

“Pek-hu...!” Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.

Akan tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dan Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.

“Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini...!” Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mukjizat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, lalu berkata lirih.

“Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?” Sungguh mengherankan, dua orang perempuan yang dilanda duka itu, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.

Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang. Masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.

Kakek tua renta itu mengangguk-angguk. “Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka.”

Gu Toan menengok. Begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata, “Hamba mohon petunjuk.”

Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya.

Tentu saja ia menjadi girang sekali dan ‘membuka’ semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi. Maklum bahwa dalam saat yang penuh mukjizat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.

Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah perkuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan. Sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.

Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya ‘besar’, namun sesungguhnya yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.

Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu.

Akan tetapi memang sesungguhnyalah kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti, Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat merobohkannya!

Dengan langkah tenang Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak. Yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka.

Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.

Biar pun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apa lagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee.

Dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat. Betapa pun juga Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.

Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya. Mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.

Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus, “Han Ki...”

Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu kesehatannya cepat pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya dan Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini. Dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.

“Suhu...!” Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee.

Kedua orang anak perempuan ini tidak berani banyak bertanya selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.

“Han Ki, dangarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.”

“Suhu...! Apa... apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.

Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. “Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki. Hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua orang anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu....”

“Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan... engkau hati-hatilah karena bukan hal ringan yang kau hadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoi mu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan....”


 Cerita silat serial Bu Kek Siansu episode istana pulau es

“Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat di dalam goa batu karang di tebing laut. Bawalah kedua sumoi mu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.”

“Pulau Es...?” Han Ki berdebar tegang.

“Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri...,” kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.

Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.

“Suhu hendak ke manakah?” tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.

Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Kuberi tahu juga engkau tidak mengerti, Siauw Bwee.”

“Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?” Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.

“Bertanyalah selagi ada kesempatan, Maya.”

“Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?”

Kakek itu tersenyum dan memandang kepada Han Ki. “Jawabannya boleh kau dengar dari Suheng-mu. Mulai saat ini, segala hal dapat kau tanyakan kepada Suheng-mu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.”

Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. “Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”

Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biar pun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.

“Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap... Cinta...!” Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke... laut di bawah tebing!

“Suhu...!” Han Ki berteriak kaget

“Suhu...!” Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ke timur.

“Suhu...!!” mereka berteriak.

Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak.

Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar menggetar. “Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu.”

Maya dan Siauw Bwee mengangguk, lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, “Suheng... Suhu pergi ke manakah?”

Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. “Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?"

Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee.

Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata, ”Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!”

Han Ki tersenyum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa kelak bila sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.

“Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan beres,” katanya perlahan.

“Engkau adalah Suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi Khu sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku suci-nya.”

Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoi nya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu. “Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.”

“Tentu saja!” jawab Maya cepat. “Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.”

“Hemm..., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?”

“Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua.”

Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, “Siauw Bwee Sumoi, bagaimana pendapatmu?”

Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, “Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci, terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.”

Mendengar ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya.


Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Ada pun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee.

Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.

“Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoi-ku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.”

“Mari kita lari cepat. Sumoi, mari kita berlomba!” Maya berkata dan menantang Siauw Bwee.

“Baik, marilah, Suci!” Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin.

Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlombaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil memperhatikan cara mereka berlari cepat.

Ke dua orang gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat berlari dengan seenaknya.

Han Ki melihat betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.

“Wah, kalau kalian berlari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan kalian, Sumoi!” Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan ginkangnya dan berlari cepat sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main sehingga mereka melupakan perlombaan mereka tadi.

“Suheng, larimu cepat sekali!” Maya berseru kagum.

“Seperti Suhu ketika membawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?” Siauw Bwee juga berkata.

“Inilah yang disebut Cio-siang-hui!” jawab Han Ki.

“Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku!” Maya berseru dengan kagum karena ilmu ‘terbang di atas rumput’ ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.

“Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua. Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri.”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadinya menaati pesan suheng-nya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.

“Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!”

Melihat betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapa pun pandai seseorang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.

“Bersabarlah engkau, Maya moi. Lihat, di depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!”

Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun ginkang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi. Biar pun menggandeng dua orang sumoinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat.

Tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak goa yang tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara goa-goa ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil itu cukup untuk tempat berteduh dari terik matahari.

“Ini perahu Suhu!” Han Ki berseru girang. “Marilah!”

Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik ke luar perahu dari dalam goa dan mendorongnya ke atas air laut.

Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.

Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.

“Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.”

Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk. “Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kelak kita menyelidiki ke kota raja, akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.”

“Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!”

Kini Han Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. “Hemmm... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?”

“Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!”

Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan tiga negara, bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam perang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoi-nya yang seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apa lagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan saudara sepupunya pula, maka ia hanya berkata tenang, “Cita-citamu itu amat sukar dilaksanakan, akan tetapi kau belajarlah yang tekun, Sumoi.”

“Dan engkau sendiri, bagaimana urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu, Suheng?” tiba-tiba Maya bertanya.

Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apa lagi yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.

Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan sucinya. Ketika sucinya memandang, ia berkedip dan menggerakkan muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanyaannya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, hanya mengangkat sedikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung. Mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menyanyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengarkan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali, apa lagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesona, dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu.

Ketika mendengar nyanyian ini, Han Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba tadi merasa makin nelangsa. Pikirannya melayang-layang dan teringatlah ia akan segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan Sung Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian dibawa pergi suhunya.

Teringatlah dia akan nasehat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya membuat ia terkejut dan terpukul. Terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas oleh orang lain!

“Hong Kwi...!” Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. “Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian selamanya jangan menyebut-nyebut lagi namanya....”

Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu. “Baik, Suheng,” jawabnya.

“Baik, Suheng,” kata pula Siauw Bwee.

Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan, maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air laut, mengumandangkan nasehat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoi-nya. Kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan.

Kini Han Ki dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasehat itu. Dia masih muda dan berdarah panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat menahan diri dan akan menimbulkan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain, dan dia harus dapat melupakannya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.

“Hei...! Ikan banyak sekali...!” tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki cepat memandang, dan memang benar.

Di dalam air, bersinar bagai matahari tampak ikan sebesar paha berenang ke sana ke mari banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati. Ketiganya tak menggerakkan dayung, membuat perahu terhenti dan mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah mempesonakan.

“Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini,” kata Siauw Bwee.

“Itu ada perahu datang!” Han Ki berkata.

Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali. Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang laki-laki yang berkepala gundul.

“Seperti seorang hwesio!” kata Siauw Bwee.

“Bukan,” bantah Maya. “Lihat, biar pun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio tidak berjubah?”

Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. “Bukan hwesio, akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya kecil melintang. Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik.”

Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sampai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk di luar bibir perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.

“Wah, dia gila...!” Maya berseru.

“Dia bisa celaka...!” Siauw Bwee berkata penuh keheranan.

“Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?”

Pertanyaan Han Ki itu segera mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali. Tiba-tiba air bergelombang dan... dari dalam air tadi meloncatlah orang tadi ke dalam perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar.

Ketika untuk ketiga kalinya ia meloncat ke air, Han Ki berkata, “Bukan main! Selama hidupku, mendengar pun belum apa lagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan dia!” Han Ki berseru dan mendayung perahu mendekat.

Pada saat itu air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke bawah, “Lihat...!”

Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi. Ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar dari pada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat.

“Suheng, bantulah dia...!” Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.

“Tidak perlu, Sumoi. Lihat!”

Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya, mengempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu melempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya, akhirnya hanya dapat menggelepar lemah.

“Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali!” Han Ki berseru ke arah orang gundul itu, dan ketika orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya di depan dada memberi hormat.

Akan tetapi orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han. “Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus?” Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.

“Celaka! Orangnya sombong seperti setan!” Maya memaki marah. “Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?”

“Lopek, awas...! Ikan hiu...!” Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.

“Suheng... dia bisa celaka...!” Siauw Bwee berseru.

“Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa!” Maya juga berseru.

Seekor ikan hiu yang ganas dan liar sebesar manusia menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan mencengkeram sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan kedua tangan, membetot dan... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu berkelojotan sekarat, air di sekitarnya menjadi merah oleh darahnya.

“Lopek, naiklah ke perahu. Banyak ikan hiu...!” Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang.

Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air, mereka berdatangan seperti berlomba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang besar-besar. Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!

Siauw Bwee menjerit ngeri menyaksikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri, agaknya ia girang melihat orang sombong itu terancam bahaya.

Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biar pun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.

“Desss!” Pukulan itu amat hebat. Biar pun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.

“Pukulan Pek-lek Sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?” Han Ki makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!

Akan tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas, dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan lain yang menerjang dari kanan kiri. Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan.

Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.

“Kau... kau siapa?” Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.

Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri! “Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoi-ku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tempat tinggal lopek?”

Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak kuat itu, memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata, “Sungguh tak kusangka di dunia ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoi mu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.”

“Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.” Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya.

Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.

“Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?” Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.

“Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada hubungannya antara mereka dengan Suhu,” Han Ki berkata lirih.

“Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!” Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki.

Melihat ini Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara. Kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang curam. Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.

Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, ia berkata, “Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.

“Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat,” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya.”

Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoi-nya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.

Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana. Yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju, sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan ‘mode’ bagi mereka!

Ketika melihat Han Ki dan dua orang sumoi-nya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apa lagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.

“Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,” demikian Si Nelayan Gundul menutup ceritanya.

Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoi-nya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata, “Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?”

“Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini,” jawab Si Nelayan Gundul.

“Kumaksudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.”

Orang-orang yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, “Kami sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?”

Han Ki terheran-heran. “Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun temurun terus berada di sini?”

Si Nelayan Gundul mengangkat pundak, kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak. “Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.”

Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.

“Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!”

Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga di antara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki!

Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerakan asli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.

“Srattt!” tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru. “Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!”

Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan pedang pemuda itu. Kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh!

Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai ilmu pedang itu, bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri. Juga sinkang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.

Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru, “Pemuda ini adalah keluarga sendiri!”
























Terima kasih telah membaca Serial ini

                 



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12