Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 07
DENGAN HATI
berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara
bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya
ditawan, dan gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri
tidak berdaya menolong!
Lebih
gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di
antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua
orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan
bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia
langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika
gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat.
Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.
“Tek San,
aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati
untuk Han Ki yang dilaksanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang
membakar hati Kaisar sehingga Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah
kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama
baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini,
menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil,
aku akan pergi bersama dia menyusul ayahku di Gobi-san. Aku hidup seorang diri,
perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang
menderita akibatnya. Ada pun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri
saja setelah keributan yang kusebabkan mereda.”
Tek San
kaget sekali. “Akan tetapi... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?”
“Aku sudah
mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri
urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa orang-orang
Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya
dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan
dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han
Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang
hadir pada malam hari itu.”
“Suhu, teecu
akan membantu Suhu menolong Susiok!”
Kam Liong
terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia
tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini
mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu
memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu
saja amat jauh bedanya.
“Jangan, Tek
San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat
engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah
kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.”
“Maaf, Suhu.
Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu,
bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat
pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul
Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok
membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apa lagi melihat
Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu
mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan
lebih mudah menolong Kam-susiok.”
“Akan
tetapi... keluargamu?”
“Siauw Bwee
telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini
juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri
teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.”
“Tapi... ah,
tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan
menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...”
“Justeru
karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biar pun kekuasaan Suhu
lebih besar dari pada teecu karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan
tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal
yang akan lebih taat pada seorang panglima dari pada seorang menteri seperti
Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota
raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu
akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti.”
Karena
maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga
makin dilarang tentu makin penasaran, apa lagi memang dia amat membutuhkan
tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui.
Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik
mengatur kepergian isterinya. Wajah isterinya pucat dan matanya merah karena
terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka.
Hari itu
juga, menjelang senja nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal
oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San keluar kota raja menuju ke
selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung
itu sendiri tidak tahu!
Malam itu
Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam. Menteri Kam memanggil
pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena
pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali
Menteri Kam mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah
cacat tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk, namun dia
mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa. Laki-laki bongkok ini pendiam, namun
cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya
dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap
perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
“Gu Toan,”
kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum
bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang
menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. “Engkau sudah
mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan
rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan
peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang
kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke
tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan
dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.”
“Hamba
mengerti, Taijin.”
“Dan
sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku
di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana,
menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han
Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi
bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal
dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Gobi-san. Kau carilah tempat
pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini.
Mengertikah?”
Pelayan
setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia
menggerakkan kepala. “Nah, kau berkemaslah,” kata Menteri Kam, diam-diam
berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian
setia.
Malam itu,
guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk
bersemedhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka
tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena
para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk
berjaga sampai hampir pagi.
Menjelang
pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak
tiga bayangan orang berkelebat ke luar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka
itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si
bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan
bongkok itu.
Setelah
memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan
diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi
dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena
ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang
memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan
berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di
luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam
Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan
sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka. Kalau kebetulan
ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu
adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas, sungguh pun sengaja
memakai pakaian kebesaran mereka.
Menteri Kam
Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar
akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit
yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala
ringkas sehingga biar pun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena
ringkas sederhana, ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw!
Ada pun Khu
Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung
kulit tebal di bagian bahu, lengan, dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang
panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke
atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang
meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka
berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat
tinggi, dan kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah
agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apa lagi dengan pakaiannya yang
berat itu. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah
mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga
ketat.
Tepat
seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga
tertidur pulas, sebagian lagi melenggut saking mengantuk. Hanya ada belasan
orang saja yang dapat bertahan, menjaga sambil main kartu. Mereka terkejut
melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, akan tetapi mereka tidak jadi
menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah
Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau
mengantuk cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang
berpangkat itu.
“Maaf...
hamba... hamba tidak tahu...” Kepala pengawal berkata gugup karena munculnya
dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
“Tak perlu
ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh
wibawa.
“Bu... buka
pintu... tapi... hamba tak boleh...” Kepala pengawal menjadi bingung memandang
kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
“Aku
memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan,
engkau masih berani banyak cerewet?” Panglima Khu membentak dan melangkah maju
dengan sikap mengancam.
“Maaf...
hamba tidak membantah, Ciangkun... hanya hamba telah dipesan oleh
Suma-goanswe....”
“Bukalah!”
kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap dari pada suara
Khu-ciangkun. “Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung
jawab.”
Mendengar
ini penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi
yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan
Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, segera tubuh mereka
bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik
saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga
dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur
pulas.
Guru dan
murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan
serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan
tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi
tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga
kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh
‘pulas’ di tempatnya.
Setelah
melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di
depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas
pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata
bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum,
akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu
pingsan!
Di depan
pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para
penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma
Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang
itu meloncat kaget. Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri
Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
“Plakkk...!”
Panglima
muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan
pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke
dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ,
cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi
terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia
dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera
disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga
sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.
“Tek San!
Cepat kau pondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!” Menteri Kam yang
biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sigapnya meloncat ke depan.
Sekali
renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, lalu ia mendorong daun pintu
dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong
kembali menggunakan jari-jari tangannya yang kuat, mematahkan belenggu kaki
tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh
Han Ki yang lemas, dan pada saat itu terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul
gencar di luar pintu kamar tahanan.
“Suma Kiat,
engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!” Menteri Kam Liong membentak marah
ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat
yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana.
Kiranya
Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan
sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal
biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima
pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang
dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua
orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan, dan begitu
ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal
Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga
menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan
menyerbu ke tempat tahanan!
“Ha-ha-ha,
Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga! Kalian
terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!”
“Tek San,
ikuti aku!” Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh
dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah
kipas! Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan,
diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya,
sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan
dirinya sendiri.
Setibanya di
luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh
Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh
pengawal Kaisar. Melihat ini makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya
pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah
direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!
Dia tahu
bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang
memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat
kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali.
Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata
disusul bunyi nyaring beradunya senjata. Di antara tujuh buah senjata lawan
yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan
pemiliknya!
Kam Liong
membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka.
Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang
pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur
dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar
kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
“Trangggg,
tringg... cringggg...!”
Kembali para
pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu
mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima
pengawal lainnya terhuyung ke belakang.
“Tek San,
bawa dia lari, aku menjaga di belakang!” Menteri Kam Liong berteriak sambil
memutar suling emasnya, menangkis datangnya sinar bekeredepan dari
senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.
Mereka
maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya. Jika mereka
tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota raja tentu mereka terancam bahaya
hebat. Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat
sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu
masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan. Tek San
mengerti benar bahwa apa bila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut
melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan
diri lari keluar dari kota raja!
Sepak
terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam
Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi
gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka
tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan
hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak. Demi keselamatan
Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah
keturunan keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan
hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang
menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat
betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos ke luar dari penjara, bahkan
kini telah menyerbu ke luar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali
dan menambah jumlah pasukan, juga memerintahkan agar pasukan-pasukan keamanan
dikerahkan untuk memblokir semua jalan ke luar dari kota raja! Sementara itu
dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap
mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di
angkasa, mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling
emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari.
Karena kini Kam Liong benar-benar mengamuk, bukan hanya untuk membela diri
namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk
menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para
pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.
“Suma Kiat!
Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!”
bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua
ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan
hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
“Pengkhianat
dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan
tubuh bernyawa!” Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong
berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat
dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan
kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.
“Aku dan
muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kau bebaskan!” teriaknya pula. Akan
tetapi, baik Suma Kiat mau pun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada
menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar,
malah mengurungnya dengan ketat.
“Tek San!
Lari...!” Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat.
Suma Kiat
yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia
tentu menjadi korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan
tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang
dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas
yang amat kuat itu. Kesempatan ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke
dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya
sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu
mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
“Wirrr...
wirrr...!” Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan
dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.
Namun pedang
di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan
semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah
terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari
terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri ke luar dari
pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi
dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul
pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut
banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu
terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
“Kita harus
dapat keluar sebelum terang cuaca!” Kam Liong berkata kepada muridnya. “Larilah
cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil
melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh
muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan
bagi murid-muridnya.
“Suhu...!”
Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang
pengeroyok.
“Hemm,
bicaralah!” Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua
yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara
muridnya yang amat dikenalnya itu.
“Cet-cet
cettt...!” belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
“Keparat!”
Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap
atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga
sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit
mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka
‘termakan’ piauw mereka sendiri.
“Suhu...
kalau sampai gagal... harap Suhu maafkan teecu...!”
Kam Liong
merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang
jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan
seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang
terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga
dia akan mengecewakan hati gurunya.
“Jangan
cerewet! Cepat lari!” Kam Liong membentak.
Akan tetapi
biar pun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan
bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal,
gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun
berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di
depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui
kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang
pingsan.
“Kejar...”
“Tangkap...!”
“Bunuh
mereka semua...!” Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang
meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San
sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari
sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis
ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
“Tring-tranggg...!”
Khu Tek San
terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia
membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
“Suma Kiat,
engkau orang tua yang tidak patut dihormati!” Tek San membentak marah dan
memutar pedangnya.
Suma Kiat
adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini
selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur
pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
“Cringgg...!”
dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.
Jangankan
sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus
dikeroyok, biar pun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun,
tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma
Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh
sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya.
Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
“Khu Tek
San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan dari pada mampus dan menjadi setan
penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!”
“Suma Kiat,
lebih baik seribu kali mati dari pada berlutut dan menyerah kepada saorang
seperti engkau!” Khu Tek San berseru marah dan menyerang.
Sambil
tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa
jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu
selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang
membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat
balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdik.
Dia maklum
bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan
istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi
akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
menyelamatkan Han Ki. Maka kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San
sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika
pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang
pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
“Tranggg...!”
Pedang Suma
Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang
tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis
tadi pedangnya sendiri yang terpental, maka kini tidak ada kesempatan lagi
baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam
bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar
ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih
menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
“Cett!”
Darahnya muncrat ke luar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek
San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat.
Ketika Suma
Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali,
Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya,
akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua
orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
“Keparat,
hendak lari ke mana kau?!” Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar
merah meluncur ke arah Tek San.
Panglima
perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum
Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat,
yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Kalau dilepas oleh tangan yang ahli
seperti tangan Suma Kiat, jarum-jarum ini meluncur cepat tanpa mengeluarkan
suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa
oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang
sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam
bahaya maut!
“Trik-trik!”
dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah
Suma Kiat.
“Suhu,
awas...!” Siangkoan Lee berseru.
Suma Kiat
cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan
Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh.
Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan
pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima,
menghadang menteri sakti ini membantu muridnya.
“Tek San,
lari...!” Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil
lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi
muridnya itu.
Biar pun
dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan
orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan,
merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger
seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya.
Ketika para
penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan
Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak
berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk
keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat!
Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong merasa
berduka dan gelisah sekali.
Mereka
bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba
menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri?
Mereka dapat dicap pemberontak dan mala-petaka besar akan menimpa keluarga
mereka.
Sinar
matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang
berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah
berjaga seratus orang prajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan
orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di
pintu gerbang ini!
“Tek San,
saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini!
Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang
dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki
terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang
mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!”
Tek San
terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk
tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil
mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang
panglima, lalu memasuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam
Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan
belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan
puluhan orang prajurit pengawal. Akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok,
dan daun kipasnya robek ketika menangkis lima pedang sekaligus mematahkan semua
pedang itu. Biar pun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini
masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan.
Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan ‘tercuci’ darah
puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu
seolah-olah menjadi makin lihai.
Akan tetapi
karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi
pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di
dalam hatinya Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan
mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk
memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki.
Dia sudah
tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya,
juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi muridnya belum begitu
tua, mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja.
Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang
disayangnya itu.
Setelah
merobohkan tiga orang penjaga lagi yang merupakan orang-orang terakhir penjaga
pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang.
Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya
terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Ada pun
Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat
memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya
seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadap
pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi
benar-benar amat melelahkan.
Apa lagi
setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan
pengepungan paling hebat ini, biar pun ia telah berhasil melukai pangkal lengan
Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang
pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain,
namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak,
membuat ia terluka di beberapa tempat dan seluruh tenaganya diperas hampir
habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San
dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia
mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa
kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang
terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut.
Memang
palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan
tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya kekuatannya
melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah
hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan hingga
membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam
sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan
murid itu tidak pernah putus asa, apa lagi sekarang setelah mereka tiba di
pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka
untuk melarikan diri. dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang
saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak
ada artinya bagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah
malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi
lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos
dengan selamat.
Akan tetapi
Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biar pun
sudah terluka dan merasa jeri untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang
benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat
betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi
gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka
berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang
yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan
pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang. Di bawah pimpinannya
sendiri, Suma Kiat menanti saat baik. Selagi Khu Tek San berkutetan membuka
palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah
bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas
menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.
“Tek, San
awas anak panah...!” Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih
sempat memperingatkan muridnya.
Tek San terkejut
sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh
perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar
suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil menangkis runtuh semua anak
panah yang menyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi,
begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan
gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur
datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu
sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat
sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!
“Suhu...!”
Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan
maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu
menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun
memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar
dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentang lebar dan tampaklah
pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh.
Puluhan
orang prajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri,
ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot
memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang
itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak
itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat
itu Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk
perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima,
menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan
hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya
kakek tua renta yang amat aneh itu.
“Ayahhhh...!”
Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk
ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas
tanah.
“Pek-hu...!”
Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang
tombak menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan tetapi
guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat
Maya dan Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir
berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua
orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak
dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar
kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.
“Cukuplah
pembunuhan-pembunuhan ini...!” Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan
tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya
dikembangkan dan pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah.
Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga
semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri,
ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mukjizat yang
mendorong mereka mundur. Dengan tenang kakek itu menghampiri Maya dan Siauw
Bwee, lalu berkata lirih.
“Orang hidup
mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?” Sungguh
mengherankan, dua orang perempuan yang dilanda duka itu, terutama sekali Siauw
Bwee yang melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan
bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk,
mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.
Pada saat
itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang.
Masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam
Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan
juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua
renta itu mengangguk-angguk. “Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti
engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu
dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka.”
Gu Toan
menengok. Begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata, “Hamba
mohon petunjuk.”
Kakek itu
tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan.
Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki
kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang
dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan
ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar
biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti
yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya.
Tentu saja
ia menjadi girang sekali dan ‘membuka’ semua pintu jalan darahnya untuk
menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu
Toan merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima
kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka
ia tidak mau membuang waktu lagi. Maklum bahwa dalam saat yang penuh mukjizat
itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah
Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang
itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia
bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan
ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah
itu di tanah perkuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga
kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan. Sementara itu,
ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula
disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang
diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua
renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang
pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang
yang merasa dirinya ‘besar’, namun sesungguhnya yang besar hanyalah pangkatnya
atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan
rendahnya.
Siapa kakek
tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang
di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa
Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu telah
ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek
Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam
pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk
dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa
Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu.
Akan tetapi
memang sesungguhnyalah kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti, Bu Kek
Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya.
Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan
pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam,
memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek
itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang
bagaimana sakti pun dapat merobohkannya!
Dengan
langkah tenang Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki,
menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu
seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang
seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak. Yang dapat bergerak pun tidak berani
berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar
biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka.
Setelah
kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah
keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah
dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar,
tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia
tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.
Biar pun
hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa
arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau
teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat
akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apa lagi karena
semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat tidak pernah mengabarkan
diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang
ia percaya, yaitu Siangkoan Lee.
Dalam
keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang
paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu
Ci Goat. Betapa pun juga Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa
persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh
orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu
pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek
Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan
yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari
tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan purnama, sedikit demi
sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin
lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi
matahari muncul, makin terang sinarnya. Mula-mula sinar merah, makin lama makin
kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan
tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak
dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek
Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput
emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas
panjang dan berkata halus, “Han Ki...”
Pemuda itu
memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan
mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam
suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah
suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh.
Semenjak dibawa pergi kakek itu kesehatannya cepat pulih kembali dan ia
melakukan perjalanan bersama Maya dan Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke
pantai ini. Dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar
matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar
biasa.
“Suhu...!”
Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu
Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee.
Kedua orang
anak perempuan ini tidak berani banyak bertanya selama melakukan perjalanan
bersama Bu Kek Siansu. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu
yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang
menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya
amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi
pendiam dan tidak banyak bicara.
“Han Ki,
dangarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau
mendengar pesanku.”
“Suhu...!
Apa... apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu
menoleh dan menunduk, tersenyum. “Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini
sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan
saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya
bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki. Hanya ada satu hal yang
kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau
memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua orang anak itu, dia kini
sepenuhnya menjadi tanggunganmu....”
“Engkaulah
yang harus memimpin mereka, dan... engkau hati-hatilah karena bukan hal ringan
yang kau hadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi... biarlah
Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri.
Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang
penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es,
tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoi mu ini. Yaaa, mereka adalah
sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula dengan
meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam
ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan....”
“Kurang
lebih lima li dari sini, di sebelah utara, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat
di dalam goa batu karang di tebing laut. Bawalah kedua sumoi mu itu ke sana,
kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau
berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es.
Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang
sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat, dalam waktu setengah hari engkau akan
tiba di Pulau Es.”
“Pulau
Es...?” Han Ki berdebar tegang.
“Pulau
tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana
Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap
ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang
mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana,
pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau
ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan
menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi... yang
paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri...,” kakek itu berhenti
bicara dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba
Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut
pula oleh Siauw Bwee.
“Suhu hendak
ke manakah?” tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia
dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu
tersenyum dan menggeleng kepala. “Kuberi tahu juga engkau tidak mengerti, Siauw
Bwee.”
“Suhu,
setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?” Maya berkata,
suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang
gurunya.
“Bertanyalah
selagi ada kesempatan, Maya.”
“Suhu tadi
mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu
maksudkan?”
Kakek itu
tersenyum dan memandang kepada Han Ki. “Jawabannya boleh kau dengar dari
Suheng-mu. Mulai saat ini, segala hal dapat kau tanyakan kepada Suheng-mu,
karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah
pertanyaan Maya tadi.”
Dengan suara
tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan
itu. “Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain
hanya membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya
melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat
dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan.
Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat
atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin.
Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”
Pelajaran
ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti
Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu
sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka
mempelajari kesusastraan, maka biar pun belum jelas benar, Maya dapat menangkap
maksudnya dan ia terdiam.
“Maya dan
Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu
silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan
nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku,
saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga
Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki,
hati-hatilah muridku, terutama terhadap... Cinta...!” Kakek itu tidak
melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke... laut di bawah tebing!
“Suhu...!”
Han Ki berteriak kaget
“Suhu...!”
Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah
tebing dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang
dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat
kakek itu... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas
tanah saja, terus ke timur.
“Suhu...!!”
mereka berteriak.
Bu Kek
Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh
tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan
selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama
kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak.
Sampai lama
ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan
suaranya yang terdengar menggetar. “Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari
perahu seperti yang dipesankan Suhu.”
Maya dan
Siauw Bwee mengangguk, lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke
arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki
dan bertanya lirih, “Suheng... Suhu pergi ke manakah?”
Han Ki tidak
dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. “Sumoi, mengapa
engkau bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana
siapa yang tahu?"
Siauw Bwee
tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di
sebelah kirinya. Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu
cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk
menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang
dan menggandeng tangan Siauw Bwee.
Akan tetapi
tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata, ”Suheng, aku bukan
anak kecil yang harus digandeng-gandeng!”
Han Ki
tersenyum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul
kekhawatiran bahwa kelak bila sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu
dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda
dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.
“Kuharap
saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua
berjalan beres,” katanya perlahan.
“Engkau
adalah Suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng.
Akan tetapi Khu sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku
suci-nya.”
Han Ki
mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia
melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoi nya ini hanya menunduk dan
wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada
Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu. “Sumoi, seorang
saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga
harus melindunginya.”
“Tentu
saja!” jawab Maya cepat. “Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu
sudah semestinya.”
“Hemm...,
melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?”
“Melindungi
dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau
ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada
Suheng yang melindungi kami berdua.”
Han Ki
mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw
Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya,
“Siauw Bwee Sumoi, bagaimana pendapatmu?”
Siauw Bwee
menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil
hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, “Aku adalah seorang saudara
muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk
Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci, terutama dari
Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.”
Mendengar
ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban
itu dia dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah,
tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang
tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik
sekali kepada dua orang sumoinya.
Keduanya
merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah
puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu Raja Talibu putera
supeknya, Suling Emas. Ada pun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan,
melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk
menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan
kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee.
Anak ini
telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana.
Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya
membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw
Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee
seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
“Kalian
berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti
tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita
mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa
Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya
terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoi-ku yang baik,
mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan
Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.”
“Mari kita
lari cepat. Sumoi, mari kita berlomba!” Maya berkata dan menantang Siauw Bwee.
“Baik,
marilah, Suci!” Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik
itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin.
Melihat ini
Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti
anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlombaan lari itu
merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah
terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam
hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua
orang sumoinya dari belakang sambil memperhatikan cara mereka berlari cepat.
Ke dua orang
gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han
Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka
adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi
jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan
itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw
Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat berlari dengan seenaknya.
Han Ki
melihat betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat
mengimbangi kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi
Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat
gerakan kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.
“Wah, kalau
kalian berlari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari
kugandeng tangan kalian, Sumoi!” Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee
dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan ginkangnya dan berlari cepat
sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main sehingga mereka melupakan
perlombaan mereka tadi.
“Suheng,
larimu cepat sekali!” Maya berseru kagum.
“Seperti
Suhu ketika membawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?” Siauw Bwee
juga berkata.
“Inilah yang
disebut Cio-siang-hui!” jawab Han Ki.
“Suheng, kau
harus ajarkan ilmu ini kepadaku!” Maya berseru dengan kagum karena ilmu
‘terbang di atas rumput’ ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia
melihatnya.
“Tunggu
sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan
kepada kalian berdua. Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa
ngeri.”
Setelah
berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat
karena tidak seperti tadi hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat
jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee
tadinya menaati pesan suheng-nya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin
berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat
sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya
menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu
membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum,
bahkan Maya berteriak girang.
“Suheng,
ajarkan ilmu ini kepadaku!”
Melihat
betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata
dan kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya
untuk mengambil murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya
memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki
ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat.
Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapa pun pandai seseorang dalam ilmu
silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang,
berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.
“Bersabarlah
engkau, Maya moi. Lihat, di depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu.
Mari kita mencari perahu itu!”
Ucapan ini
membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni
tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya
karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun
ginkang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi. Biar pun
menggandeng dua orang sumoinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat.
Tak lama
kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak
goa yang tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan
di sebuah di antara goa-goa ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek
Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya
meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil itu cukup
untuk tempat berteduh dari terik matahari.
“Ini perahu
Suhu!” Han Ki berseru girang. “Marilah!”
Maya dan
Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki
melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik ke
luar perahu dari dalam goa dan mendorongnya ke atas air laut.
Setelah
kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki
mulai mendayung perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya
runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa
nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat
ke depan seperti terbang.
Maya dan
Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan
tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung.
Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
“Suheng,
kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.”
Han Ki
memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu
memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia
mengangguk. “Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat.
Kurasa kalau kelak kita menyelidiki ke kota raja, akan ada kenalan orang tuamu
yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan
sembunyi.”
“Suheng,
kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu
Khitan!”
Kini Han Ki
mengerutkan alis ketika memandang Maya. “Hemmm... orang tuamu gugur dalam
perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?”
“Kepada
siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!”
Diam-diam
Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan
tiga negara, bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu,
yaitu dalam perang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya
lagi karena maklum bahwa sumoi-nya yang seorang ini amat keras hati dan mudah
tersinggung, apa lagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini
merupakan saudara sepupunya pula, maka ia hanya berkata tenang, “Cita-citamu
itu amat sukar dilaksanakan, akan tetapi kau belajarlah yang tekun, Sumoi.”
“Dan engkau
sendiri, bagaimana urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja
Yucen itu, Suheng?” tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki
tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa
sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita-berita tentang
hubungan-hubungan gelap, apa lagi yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan
berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee
diam-diam menyentuh tangan sucinya. Ketika sucinya memandang, ia berkedip dan
menggerakkan muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa
pertanyaannya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, hanya
mengangkat sedikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung.
Mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menyanyikan sebuah lagu Khitan dengan
lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengarkan dengan kagum karena suara Maya
memang merdu sekali, apa lagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar
makin aneh mempesona, dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan
dan dalam keadaan seperti itu.
Ketika
mendengar nyanyian ini, Han Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh
pertanyaan tiba-tiba tadi merasa makin nelangsa. Pikirannya melayang-layang dan
teringatlah ia akan segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan
Sung Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong
dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian dibawa pergi
suhunya.
Teringatlah
dia akan nasehat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya
sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita.
Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya membuat ia terkejut dan terpukul.
Terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak
tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas oleh
orang lain!
“Hong
Kwi...!” Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin
seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung
semangat kehidupan. “Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian selamanya jangan
menyebut-nyebut lagi namanya....”
Melihat
keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia
bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu. “Baik, Suheng,” jawabnya.
“Baik,
Suheng,” kata pula Siauw Bwee.
Dengan
kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya
yang tertekan, maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke
timur. Suara ujung perahu memecah air laut, mengumandangkan nasehat Bu Kek
Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es
bersama dua orang sumoi-nya. Kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan
teringat terus akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi
seorang buronan.
Kini Han Ki
dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasehat itu. Dia masih muda dan berdarah
panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi,
agaknya tidak akan dapat menahan diri dan akan menimbulkan
kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak
semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain,
dan dia harus dapat melupakannya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara
baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan
ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
“Hei...!
Ikan banyak sekali...!” tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw
Bwee dan Han Ki cepat memandang, dan memang benar.
Di dalam
air, bersinar bagai matahari tampak ikan sebesar paha berenang ke sana ke mari
banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati. Ketiganya tak menggerakkan
dayung, membuat perahu terhenti dan mereka menikmati pemandangan yang memang
indah itu. Matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut
tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar
perahu amatlah mempesonakan.
“Ah, kalau
ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini,” kata Siauw
Bwee.
“Itu ada
perahu datang!” Han Ki berkata.
Mereka
memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat
sekali. Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang
laki-laki yang berkepala gundul.
“Seperti
seorang hwesio!” kata Siauw Bwee.
“Bukan,”
bantah Maya. “Lihat, biar pun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio
tidak berjubah?”
Han Ki sudah
berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. “Bukan
hwesio, akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat,
kumisnya kecil melintang. Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu
perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang
sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik.”
Perahu itu
kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak
mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan.
Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang
jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke
air penuh perhatian sampai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk di luar
bibir perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah.
Air hanya muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
“Wah, dia
gila...!” Maya berseru.
“Dia bisa
celaka...!” Siauw Bwee berkata penuh keheranan.
“Hemm,
kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air
dan loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia
dapat bertahan menyelam sampai begini lama?”
Pertanyaan
Han Ki itu segera mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali.
Tiba-tiba air bergelombang dan... dari dalam air tadi meloncatlah orang tadi ke
dalam perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan
itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar
biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia
meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar.
Ketika untuk
ketiga kalinya ia meloncat ke air, Han Ki berkata, “Bukan main! Selama hidupku,
mendengar pun belum apa lagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara
itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan
dengan dia!” Han Ki berseru dan mendayung perahu mendekat.
Pada saat
itu air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak
sambil menuding ke bawah, “Lihat...!”
Mereka
terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam
lagi. Ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang
besar, lebih besar dari pada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan
yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh
kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin
keras berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat.
“Suheng,
bantulah dia...!” Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh
kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan
amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.
“Tidak
perlu, Sumoi. Lihat!”
Ketika Siauw
Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke
atas perahunya, mengempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan
ekornya. Begitu melempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin
pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya, akhirnya
hanya dapat menggelepar lemah.
“Lopek,
kepandaianmu mengagumkan sekali!” Han Ki berseru ke arah orang gundul itu, dan
ketika orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan
kedua tangannya di depan dada memberi hormat.
Akan tetapi
orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata
dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai
menggunakan bahasa Han. “Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak
mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus?” Setelah
berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
“Celaka!
Orangnya sombong seperti setan!” Maya memaki marah. “Hayo kita pergi saja,
Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?”
“Lopek,
awas...! Ikan hiu...!” Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih
berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.
“Suheng...
dia bisa celaka...!” Siauw Bwee berseru.
“Biarkan
saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa!” Maya juga berseru.
Seekor ikan
hiu yang ganas dan liar sebesar manusia menyambar dari belakang orang gundul
itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri
ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor
ikan dan mencengkeram sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa
sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan
dengan kedua tangan, membetot dan... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah
dilepas lalu berkelojotan sekarat, air di sekitarnya menjadi merah oleh
darahnya.
“Lopek,
naiklah ke perahu. Banyak ikan hiu...!” Han Ki berteriak lagi ketika melihat
banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang.
Ikan-ikan
hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air, mereka
berdatangan seperti berlomba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah
dikurung belasan ekor ikan hiu yang besar-besar. Sebagian ikan ini menyerbu
bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee
menjerit ngeri menyaksikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek,
ngeri karena tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi
ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri, agaknya ia
girang melihat orang sombong itu terancam bahaya.
Akan tetapi
orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biar pun diserang oleh tiga ekor ikan
buas, ia tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah
tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.
“Desss!”
Pukulan itu amat hebat. Biar pun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan
ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
“Pukulan
Pek-lek Sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?” Han Ki
makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang
pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi
tidak ada yang dapat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut
yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas, dan
sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan lain yang menerjang dari
kanan kiri. Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan
ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan.
Melihat ini
Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan
kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang
menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala
ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke
perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke
perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan
mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
“Kau... kau
siapa?” Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan
sinar mata penuh heran dan kagum.
Han Ki
tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil
memperkenalkan diri! “Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoi-ku,
Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tempat
tinggal lopek?”
Laki-laki
tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak
kuat itu, memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas
panjang dan berkata, “Sungguh tak kusangka di dunia ini ada seorang pemuda yang
begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya
menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa
dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor
ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoi mu suka,
aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati
daging ikan.”
“Baiklah dan
terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.” Han Ki
amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia
menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu
pukulan gurunya.
Ia
mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan
ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu
makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
“Suheng,
buat apa kita mengunjungi pulaunya?” Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
“Sumoi, dia
memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali
mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada hubungannya antara mereka dengan
Suhu,” Han Ki berkata lirih.
“Orang muda
she Kam! Marilah ikut perahuku!” Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia
sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan
tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki.
Melihat ini
Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula
mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara. Kurang lebih dua jam kemudian
perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan
sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang curam. Nelayan itu mendaratkan
perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia
menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu,
ia berkata, “Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari
ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai
mendaki tebing.
“Benar-benar
seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat,” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah
pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya.”
Han Ki
menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan
Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian
ia menuntun kedua orang sumoi-nya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu.
Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan
yang amat berat itu.
Ketika tiba
di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua
puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian
sederhana. Yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang
sudah robek-robek tanpa baju, sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit
batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang
laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan
‘mode’ bagi mereka!
Ketika
melihat Han Ki dan dua orang sumoi-nya, mereka menjadi gempar dan mengurung
tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang
mainan baru! Apa lagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki
menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu
makin tertarik dan memuji-muji.
“Karena
kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama
kita,” demikian Si Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah
membiarkan dia dan kedua orang sumoi-nya menjadi barang tontonan beberapa lama
sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki
lalu berkata, “Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?”
“Apa Tocu?
Tidak ada tocu di sini,” jawab Si Nelayan Gundul.
“Kumaksudkan
ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan
hormatku dan ingin bicara.”
Orang-orang
yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, “Kami sekeluarga
tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa
membutuhkan pemimpin?”
Han Ki
terheran-heran. “Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun
temurun terus berada di sini?”
Si Nelayan
Gundul mengangkat pundak, kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang
berkepala botak. “Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.”
Laki-laki
berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han
Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat itu
lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini
terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak disangka-sangka itu,
melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan
ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga
merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia
mengelak dan berseru.
“Apakah
kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!”
Akan tetapi
kakek bertongkat tidak menjawab, juga di antara dua puluh orang lebih itu tidak
ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka
mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat
menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki!
Han Ki cepat
mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te
It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena
gerakan asli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan
serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya
menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
“Srattt!”
tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar
pedangnya sambil berseru. “Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu
Pedang Thian-te It-kiam!”
Ia lalu
mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga
semua orang yang berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan
pedang pemuda itu. Kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu
pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan
jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh!
Han Ki
menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah
menguasai ilmu pedang itu, bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri. Juga
sinkang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang yang mengaku
penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini ternyata bukanlah
orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus
jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru,
“Pemuda ini adalah keluarga sendiri!”
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment