Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 09
Han Ki lalu
pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan
kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia
gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab.
Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitab-kitab yang
ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
“Kitab-kitab
pelajaran ilmu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu
silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang
baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap
tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan
kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”
Karena
inilah maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu
Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan
ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu
yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba
Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw
Bwee seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke
belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih!
Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha
merampas burung batu itu dari tangan Siauw Bwee yang mempertahankan. Keduanya
memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
“Prakkk!”
burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas
tanah!
“Ohhh...!
Burungku... aiihh, burungku pecah...!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang
burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.
Melihat
munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,
“Ahh, begitu saja menangis. Cengeng...!”
“Maya-sumoi!”
Apa yang kau lakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan
kepada Siauw Bwee.
“Aku hanya ingin
meminjam dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!”
“Tidak! Dia
memang hendak merampasnya!” Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
“Maya-sumoi,
tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur,
tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw
Bwee.
“Suheng,
engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan
tetapi tidak kepadaku.”
Han Ki
mengerutkan keningnya. “Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan
Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga
menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan malah merampas
kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf kepada
Khu-sumoi!”
“Sudahlah,
Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.” Siauw Bwee bangun berdiri dan
mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahi Han Ki, timbul rasa kasihan
di hati Siauw Bwee.
“Lihat,
Khu-sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,”
Han Ki kembali menegur.
Sejenak
sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada
Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. “Memang aku selalu
nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan
mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya membalikkan tubuhnya dan lari
meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
“Suci, kau
hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang
lengannya mencegah.
“Kalau dia
sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah
mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri.” Karena di dalam hatinya Han Ki
masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke
mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
Akan tetapi,
setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi
gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai
mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi mereka bertemu
kembali dengan tangan hampa.
“Kucari
kemana-mana tidak ada. Suheng, jangan-jangan dia....”
“Tidak bisa
pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah di mana anak nakal itu!”
“Suheng,
Suci tidak nakal! Ahh... dia harus dapat ditemukan kembali. Bagaimana kalau
terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....”
“Tenanglah.
Kau persiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya sampai dapat.”
Han Ki pergi
lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai
berteriak-teriak nyaring memanggil nama Maya.
“Mayaaaaa...!
Sumoi..., keluarlah...! Di mana engkau...?”
Suara Han Ki
bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam
perutnya, mempergunakan khikang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw
Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam
untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
“Maya...!
Maya...! Maya...!”
Tidak ada
orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu
saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi
bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar
lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suheng-nya dan sumoi-nya cemas
memikirkannya, terutama sekali suheng-nya!
Ia tersenyum
mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suheng-nya
tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh
bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan
disangka-sangka oleh suheng dan sumoi-nya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Biar dia
tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han
Ki membuatkan mainan untuk sumoi-nya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa
suheng-nya membela sumoi-nya, bahkan memarahinya di depan sumoi-nya. Hatinya
sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali
kepada mereka!
Akan tetapi,
ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu,
tentu suheng dan sumoi-nya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat
sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih
tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja
yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam
latihan itu pun ia dimarahi suheng-nya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan
arca itu masih berada di situ.
Kalau dia
tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu
di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu
menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk
kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Namun arca itu sama
sekali tidak dapat ia gerakkan!
Ia berdiri
memandang penuh penasaran. Sinkang-nya sudah kuat, masa dia tidak dapat
mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekali pun
pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat
sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca
dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
Sisa arca
itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika
melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu lantainya berlubang. Akan tetapi
keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata, “Inilah tempat sembunyi yang
baik!”
Tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran
karena di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan,
lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas
lubang, dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah.
Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan
hati-hati akan tetapi sedikit pun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan
perjalanannya menuruni lorong kecil. Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang
sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari
adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melainkan
mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui
lubang-lubang rahasia.
Akan tetapi
karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di
atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka
makin ia turun ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso.
Teringatlah
ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang
baik dan tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan
tetapi mulai merasa ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap
sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur yang letaknya di atas tempat
itu dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
“Dia tidak
ada!” Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
“Begini
gelap, tentu sukar mencarinya,” kata Siauw Bwee.
“Besok akan
kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?”
“Dia tidak
nakal, Suheng...”
Kembali
pemuda itu menghela napas, “Hemm, dia sering kali mengganggumu dan kau selalu
melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi.”
“Marilah,
Suheng.”
“Makanlah,
aku tidak lapar.”
“Suheng
mengkhawatirkan keselamatan Suci?”
“Tentu saja.
Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap,
bagaimana aku tidak khawatir?”
“Kalau
Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan.”
“Makanlah,
Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya.” Han Ki berkelebat ke luar untuk mencari
lagi sumoi-nya yang hilang.
Siauw Bwee
berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut. “Dia... dia mencintai Suci!”
Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal
lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu
Siauw Bwee tidak tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya
dan disediakan di ruangan belakang di atas meja tidak tersentuh. Juga Han Ki
tidak tidur, bahkan semalaman itu ia tidak kembali ke istana karena dia terus
mencari Maya di seluruh Pulau Es. Beberapa kali mengelilingi pulau sehingga
setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoi-nya itu dijenguknya
sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
Setelah
matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk
kepalanya sendiri. Ah, ke mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat
meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh
ia mencari di luar istana, tentu sumoi-nya itu bersembunyi di dalam istana!
Mengapa dia begini bodoh?
Bergegas ia
lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan
akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat.
Begitu masuk, ia mencium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak
olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran,
kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
Maya yang
tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa
tempat yang gelap itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam
telah terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari.
Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus
berjalan turun, menuruni anak tangga batu.
Dari jauh ia
sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir
anak tangga batu dan melihat ke depan, ternyata bahwa anak tangga itu berakhir
di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul
memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat.
Tiba-tiba ia
menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah
biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah.
Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit merah berdesis-desis
saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular
itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat
keluar masuk mulut yang kebiruan.
Dengan hati
penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari
tempat yang menyeramkan itu. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing,
pandang matanya berkunang dan seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan
akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak tangga.
Ratusan ekor
ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu
terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru
sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi uap
putih harum amis yang keluar dari mulut mereka makin tebal memenuhi ruangan.
Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terlentang di
atas anak tangga.
“Maya...!”
Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas
anak tangga, sedangkan di bawahnya ratusan ekor ular merah berusaha untuk
merayap naik.
Cepat pemuda
yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa
beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi
gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang
rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah
sumoi-nya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan
mungkin sumoi-nya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah
di tengkuk dan pundak Maya.
Maya
mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah!
Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk
tubuh sumoi-nya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
“Maya-sumoi...!”
Maya
memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini
mengandung sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api. Wajah yang
jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu,
yaitu puteri Sung Hong Kwi di waktu berlomba asmara dengan dia!
“Maya...”
Han Ki tidak
dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul
lehernya dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke
dadanya, didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, “Suheng... ah, Suheng...!”
Kemudian gadis cilik itu menangis! “Suheng... apakah kau sayang kepadaku...?”
Hati Han Ki
menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan
tetapi sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh.
“Tentu saja
aku sayang padamu, Sumoi,” jawabnya dengan cepat karena memang tentu saja dia
sayang kepada sumoi-nya, baik Maya mau pun Siauw Bwee.
Jawaban ini
dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak
sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu
merangkul makin ketat dan mulut Maya berbisik, “Peluklah aku erat-erat...
Suheng..., jangan lepaskan lagi...!”
“Maya...!”
Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
“Suheng...
aku cinta padamu, Suheng... ahhh...!” Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat
gerakan hendak mencium pipi Han Ki.
Pemuda itu
terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari
sumoi-nya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun
aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis
cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu birahi! Cepat ia
menotok tubuh sumoi-nya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia
memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng...,
Suci kenapa...?” Siauw Bwee ternyata mencari suci-nya dan berhasil menemukan
lubang rahasia, lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari
bawah memondong tubuh suci-nya yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi,
lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
Ucapan ini
mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang
di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar
lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki.
Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di
sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah
banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari
mulut ular-ular itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh
Maya. Gadis itu segera tertidur pulas. “Dia perlu beristirahat, biarkan dia
tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari
semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee
menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk
bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan
sinkang-nya untuk ‘membersihkan’ tubuh sumoi-nya dari pengaruh hawa beracun.
Pada keesokan harinya Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap
matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular...
banyak sekali... ular merah...!” katanya gugup.
Siauw Bwee
merangkulnya dengan hati lega. “Engkau sudah aman, Suci. Suheng
menyelamatkanmu.”
“Aku di
sini, Sumoi.” Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya
tidak terlihat di wajahnya. Dia pun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya
yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
“Ahhh, kini
aku teringat... lubang rahasia di bawah arca... lorong di bawah tanah... dan
ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu
berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut,
Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku juga
ikut!” kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya
telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti
biasa.
“Memang aku
akan mengajak kalian, akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan
malam tadi?”
“Aku belum!”
jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam,
sudah dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga
belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh!
Mengapa Sumoi?” Maya bertanya.
“Dia gelisah
memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya
memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoi-nya. Melihat ini
Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika
Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau
baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bwee
balas memeluk. “Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan
tidur kalau kau pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba
Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung Han
Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari
biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang
gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar
jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab, “Aku setengah mati mencarimu,
mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku
membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!”
Maya berlari ke dapur.
Siauw Bwee
tertawa, menoleh kepada Han Ki dan berkata, “Lihat! Suci begitu baik, mana bisa
dibilang nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan
makanan.
Setelah
makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah.
Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud
untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki
yang berkata,
“Ular-ular
itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat
berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk
membunuhnya.”
“Habis,
bagaimana baiknya, Suheng?” tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris
menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu
masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada
sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan
rangsangan birahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum
matang.
“Aku akan
menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu
tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular
itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah
tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.”
Dengan
hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka
ular-ular itu dengan uap yang harum.
“Kita
nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah,
kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera
naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. Uap itu berbahaya
sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di
dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut
ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar.
Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana.”
Tiga orang
itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya
ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja
mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua
orang sumoi-nya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali
ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api,
binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta.
Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya.
Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan
berlomba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga
kali Maya dan Siauw Bwee meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk
bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat,
mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus
ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati
penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak
pergi dan tak lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular
yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan
bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana
sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang
sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
“Heii, di
lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun.
Akan tetapi,
Han Ki memegang lengannya mencegah. “Hati-hati, Sumoi. Biar pun ular-ular telah
pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas
ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa
kitab-kitab.”
Setelah
berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan
kakinya melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari
lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong
dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi
lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
Dengan
pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu
sebagai penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia
menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa
jilid kitab tua. Akan tetapi baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa
lemari itu tadinya tertutup dan ‘disegel’ dengan sepotong kain sutera yang ada
tulisannya.
Agaknya
karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun
pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan
tangan suhu-nya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak
berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali
baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhu-nya itu!
‘Ilmu-ilmu
silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau
Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.’
Membaca
tulisan suhu-nya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari,
kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoi-nya yang memandang
dengan heran.
“Suheng,
kitab-kitab apakah itu?” Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga suci-nya,
dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab
yang berada di istana itu.
“Kenapa
tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari kita
kembali ke atas, nanti kuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang sumoi-nya
tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka. Setelah
tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata. “Memang ruangan
di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih
berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah,
kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
“Kitab-kitab
itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu
tadinya dipasangi tulisan Suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang
katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut
dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan.”
“Orang
buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri
pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang
kubaca di tempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau
Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang
yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan
neraka dunia, yang amat sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut
Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji
saja yang dibuang di sana. Melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat
lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para
penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang
yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan
tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita
melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini
kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa
penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya!
Akan tetapi ia takut untuk membantah, apa lagi mengingat bahwa terdapat
larangan oleh suhu-nya sendiri.
Semenjak
peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan
yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata
Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi,
kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu bahwa diam-diam,
sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya
seperti itu.
Cinta kasih
bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng
mereka. Dan perlombaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng
mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlombaan mencinta pemuda
itu!
Hal ini
terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu
mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti
bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap
suheng-nya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria.
Biar pun
keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya
saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada
lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke
dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan
tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang
diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoi-nya itu belajar ilmu
dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini
membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas
yang dibebankan suhu-nya dengan baik.
Waktu
berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga
telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun. Kini Maya telah menjadi
seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi
seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biar pun mereka bertiga tinggal
di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi
menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka
selalu dapat berpakaian dengan baik.
Seperti telah
dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang
sumoi-nya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki ginkang yang luar biasa
sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai
pula menggerakkan tenaga sinkang-nya menjadi tenaga halus yang memungkinkan
dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras
dan tajam.
Di lain
pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa. Tenaga sinkang-nya
mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya
memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya
menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan
gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar
biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki
sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang
pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga
puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali
bersemedhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu
memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang
sumoi-nya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu
karang yang seperti batu pualam putih dan amat indah. Mulailah ia mengukir
batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan
hati-hati.
*************
"Jangan
tinggalkan aku... ohhh, Koko... jangan tinggalkan aku..., bawalah aku
pergi...!" Rintihan ini keluar dari mulut seorang wanita muda, seorang
gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah
telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan
menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat
pintu kamar.
Kamar itu
mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum
semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju,
halus seperti sutera. Rambutnya terurai lepas, hitam dan panjang agak berombak,
berbau harum sari bunga. Pakaian yang dipakainya, yang sedang dibetulkan
letaknya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat
pembaringan tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut dari pada emas
dan batu kumala, serba indah, dan mahal.
Mudah diduga
bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau
seorang hartawan. Ada pun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap
tidak acuh itu adalah seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa,
berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek
sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
“Aku harus
pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat
aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu,
tidak ada apa-apa lagi di antara kita.”
Dara itu
memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang
membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang
sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
Ah, tidak
mungkin! Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul
pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut, “Koko..., jangan
tinggalkan aku..., ahhh, tidakkah engkau mencintaku? Bukankah tadi telah kau
bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu
tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!”
“Hemm, cinta
telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.”
“Koko...
aku... aku cinta padamu... uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku...!” Dara itu
menangis.
“Engkau?
Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!” Laki-laki itu tertawa,
akan tetapi suara tawanya mengandung kepahitan.
“Koko...,
sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu
tubuhku, cintaku, segala-galanya...?”
“Ha-ha-ha,
itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu,
bukti cinta adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku
pergi!
”Tidak...!
Tidak...! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan
semua ini, aku mau ikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!”
Tiba-tiba
laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke
atas pembaringan. Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi
bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan
menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil
berkata,
“Tidak ada
cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu,
kebutuhan tubuh. Yang kau berikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling
berjumpa, saling memberi dan meminta untuk mernuaskan nafsu, dan habis perkara.
Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
“Engkau
seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta...!”
“Ha-ha-ha!
Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang,
yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya?
Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik,
akan tetapi bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan si
bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga) dan
engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau ikut? Mencintaku? Ha-ha,
menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis. Apa yang terjadi semalam itu
hanya menjadi kenangan manis.”
Sekali
berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya
bayangan saja tampak melayang ke luar dari jendela kamar yang seketika menjadi
sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu.
Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu.....
Tiga hari
yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga,
perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang
menumbuknya itu meloncat ke luar seorang pemuda tampan dan gagah yang menyambar
dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus, dan menurunkan mereka di
atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang berada
di perahu lain cepat memberi pertolongan. Akan tetapi andai kata tidak ada
pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup
sebelum tertolong.
Setelah
menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke
perahunya sendiri yang didayung pergi dengan cepat, tidak mempedulikan teriakan
ayahnya. Akan tetapi ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar
bisikan pemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku menerima terima kasihmu di
dalam kamarmu, Nona manis.”
Sehari itu
Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan
jantungnya berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan,
bentuk tubuh yang gagah dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak
berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda
itu membisikkan kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapa pun juga, hatinya
menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya.
Setelah
merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi
juga kecewa, lega karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga
kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi,
belum lama pulas ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika
mendapat kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas
tadi kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan
tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut
hendak menjerit.
Akan tetapi
sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya
membuat dia tak dapat mengeluarkan suara. Kemudian dengan halus dan menarik
pemuda itu mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika
totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan.
Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah
menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati
rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan
meminangnya.
“Aahhh...!”
Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia
menjadi korban seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar
suara aneh dari dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan
menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari kerongkongan
dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki
itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan,
karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun
Hwa, kemudian ditambah lagi dengan peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia
diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki yang suka
mempermainkan cinta wanita.
Mula-mula
dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi
lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia
berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor burung elang
yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam! Karena ilmu
kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang
gagah yang roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan
Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), bahkan nama aslinya dilupakan orang.
Nona
hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke
berapa ratus. Begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang
terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu bahwa banyak di
antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada pula yang
diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli
dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di
antara dia dan korbannya sudah tidak ada sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan
atau urusan apa-apa lagi.
Sudah lebih
dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama
perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri
sepak terjang orang-orang gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh
orang-orang golongan hitam. Biar pun dia sendiri tidak berani menganggap
dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia
selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan
tokoh-tokoh dunia hitam.
Mulailah
terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan
sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman
tuanya yang amat ia takuti itu. Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha
menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena
itu pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan
menentang golongan dunia hitam, sungguh pun ia tidak dapat meninggalkan
kesukaannya merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu
menggunakan kekerasan!
Ia maklum
bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak
dapat menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah
hatinya. Inilah sebabnya, di samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun
sering kali menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia di samping
julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
Pada masa
itu terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama
sekali oleh Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan
Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang
berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan Yucen boleh dibilang
tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa
bangsa Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang
membangun dan menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di
antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini
mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
Namun segera
menjadi kenyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini
ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang dari pada Kerajaan Khitan yang sudah
runtuh. Biar pun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang
selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan setiap tahun Kerajaan Sung
mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan
Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han tidak terlalu
mendesak dan selalu memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat.
Kini bangsa Cin yang tahu akan kelemahan Sung menuntut upeti yang lebih besar
dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus dlberikan sebagai tanda
pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu
bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai
memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan
sedikit demi sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas
dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan selalu
didesak mundur ke selatan.
Melihat
keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang
gagah, menjadi cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama
mereka tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada
dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup. Hidup Kaisar dan keluarganya
terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja,
seolah-olah tidak mempedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas,
dirampok, ditawan dan dipaksa oleh bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan
Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang, melakukan pemilihan
dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara
cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu
adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh kaisar
dan keluarganya setiap saat.
Di luar
istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa
ada pengawasan. Masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di
daerah masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi
kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan
peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasehat dianggap
melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman
serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di sebelah
dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam
pelukan dara-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat,
mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok menari, terbuai suara musik dan
nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat.
Kekuasaan yang sesungguhnya tidak lagi terletak di tangan Kaisar, melainkan
dipegang oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh
menggairahkan para selir.
Sedemikian
besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh
dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan
pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil mau pun militer tergantung kepada
mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya begitu saja. Karena ini,
timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa
apa saja, benda mati mau pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan
sutera-sutera halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan
semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh
kang-ouw, para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah
merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka mulai membenci
kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka ini lalu
terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda
yang menguasai daerah-daerah, dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui
kedaulatan pemerintah Kerajaan Sung pusat.
Yang paling
dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara
para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma
Kiat. Kebencian mereka memuncak ketika pera pembesar daerah ini mendengar akan
perbuatan Suma Kiat terhadap Menteri Kam yang mereka hormati, mereka percaya
sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar yang paling
berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri. Bukan
hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para
tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu menjadi sakit
hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah
terjadi kesimpang-siuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah
ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan
para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat mereka terancam
oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw dan juga
mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua
partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung, kecuali
Siauw-lim-pai. Pada waktu itu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang
hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Hosiang. Ketika para muridnya
menyatakan pendapat menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketua mereka, Kian
Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
“Omitohud....
Segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat dari pada
sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah
orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah
dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi kita sama saja,
mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi kewajiban kita
untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan,
berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan
dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai tidak boleh terbawa-bawa dan kalian
semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar
daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf,
Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasehat Supek
benar belaka,” kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San
Hwesio yang dianggap sebagai seorang hwesio yang paling ‘maju’ dan yang
diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua
sekarang yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri. “Akan tetapi apa bila
badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang
kecil seperti burung sekali pun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita
harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?”
Dengan
ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para
pembesar daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan
mendatangkan perang dan mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti
Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, di samping
menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian,
penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman
merajalela.
“Pohon akan
tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa
perlawanan. Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau
kalian tidak dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu
mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak lain.
Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini.”
Setelah
berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan
tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai
bersemedhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian
sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh
semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar di mana-mana. Sikap ini adalah
tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan,
tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan, namun hanya boleh
bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang
Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio
Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam
kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar pelajaran tentang kasih sayang
dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka didatangi
tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas
pembesar pusat untuk menarik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak,
namun semua permintaan ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua
kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
Pada waktu
itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan
kecil antara kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di
Lo-kiu, terdapat pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua
pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang
akan pertentangan itu masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolah-olah
tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan
restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum sambil
bercakap-cakap.
Di
tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara
teman golongan masing-masing sehingga tidak jarang pula terjadi
bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan kematian. Akan tetapi hal
yang amat mengherankan dan mengagumkan adalah, pihak yang melakukan bentrokan
selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi
akibat bentrokan-bentrokan itu.
Hal ini
adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi
juga berlomba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya.
Karena itulah maka pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya
bentrokan-bentrokan, bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap terjadi
bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan menarik keuntungan
dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat
selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena
sekali mereka ini mencampuri dan berat sebelah, berarti mereka akan menanam
permusuhan!
Pada suatu pagi,
restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Seorang
pemuda tampan yang gagah sekali sikapnya, dan pakaiannya indah dengan pedang
bergantung di punggung memasuki restoran. Pelayan menyambutnya dengan ramah dan
mempersilakan duduk di meja sudut sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan
lain adalah Suma Hoat.
Semenjak
meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri dua hari yang lalu, dia belum
bertemu dengan wanita yang menggerakkan birahinya sehingga hatinya menjadi
kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu juga dengan niat mencari calon korbannya, akan
tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
Ia
menanggalkan pedang dan buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan
memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya,
pemuda ini menyapu ruangan restoran dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi
tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan ramailah mereka itu
bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang
menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang
dan pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi
restoran sambil bercakap-cakap dan bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang
tenteram dan damai.
Akan tetapi
ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik
sekali. Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya,
paling tinggi dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan
yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama sekali!
Laki-laki
ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain
kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya,
dan tidak ada keanehan menonjol pada dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan
sinar matanya yang tajam, serta senyumnya yang seolah-olah mengejek pada
keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang
tosu perantau, hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To),
melainkan seperti seorang petani yang bangkrut!
Tidaklah
mengherankan apa bila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis
berkerut, hati curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian
sederhana dan kaki telanjang.
Laki-laki
itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata, “Bung Pelayan, engkau tidak
melayani pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya,
melainkan uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu
melayani uangku!” Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk
bungkusan di ujung tongkatnya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak.
Pelayan itu
cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu duduk tidak jauh dari meja
Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang
terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum
dan membungkuk. Akan tetapi betapa pun tertarik hatinya, Suma Hoat pura-pura
tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa
tepatnya ucapan orang aneh itu.
Memang tidak
dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh
bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka
merupakan pengabdian terhadap harta dunia!
Orang
menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan
kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat
mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang menilai! Buktinya tersebar di
mana-mana.
Datanglah ke
rumah seseorang dengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan
disambut dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan
Rumah menganggap bahwa engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan
ketidak-senangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba
indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar
serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan
tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau
kesenangan! Hal ini tak mungkin dapat dibantah lagi karena memang kenyataannya
demikianlah
Maka biar
pun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperhatikan laki-laki itu dan
menduga bahwa orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguh pun tak
tampak sebatang pun senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya karena ada
sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa
munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan
peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih
muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak jarang orang
berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar dianggap orang aneh, atau
setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain dari pada yang lain!
Si Pelayan
yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap
laki-laki itu sebangsa pengemis yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa
orang aneh itu tentulah seorang kang-ouw, maka ia bertanya dengan sikap hormat.
“Sicu hendak memesan apakah?”
Akah tetapi
orang itu tidak menjawab, hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan
menoleh ke arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan
serta-merta ia meninggalkan orang itu dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut
datangnya serombongan tamu yang tiba. Melihat ini Suma Hoat memandang pula dan
diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan
sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mereka itu
terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula
berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang
lagi adalah hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu
sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan
penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan
tertawa-tawa.
Si Pelayan
yang menyambut segera berkata, “Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang
terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah
tempat terhormat Ngo-wi!”
Pelayan itu
dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan
di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki.
Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja,
dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja
laki-laki berkaki telanjang.
Suma Hoat
mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga
memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan
pelayan yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti
pesanan makanan mereka yang amat banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma
Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap percakapan mereka.
“Sungguh
menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!” kata seorang perwira yang
bertubuh tinggi besar.
“Akan
tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!” kata
perwira kurus sambil tertawa.
“Kabarnya
mereka lihai,” kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna
biru.
“Aahh, yang
lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,” kata Si Tosu dengan suara
rendah. “Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan...”
“Sstt, harap
Totiang hati-hati,” perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
“Takut apa?”
Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan
berpura-pura tidak mendengar. “Semua sudah diatur baik.”
“Memang
Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka
terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua
pusatnya akan tetap dingin saja,” kata pula perwira kurus.
Percakapan
mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang
mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit
ketika mereka dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,
“He, Bung
Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu,
mengapa orang-orang lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh
menjemukan!”
“Sicu, harap
bersabar...!” Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si
Kaki Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia
membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil menggumam, “Ciangkun,
maafkan...!”
Melihat ini
Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata, “Pelayan, tugasmu melayani
tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!”
Pelayan itu
makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa
lima orang itu pelototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan
berkata, “Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu
makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!” katanya dan menyambar kain lap dari
pundak seorang pelayan. Kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan...
belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin
pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si Kaki
Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah
suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak, “Ha-ha-ha!” Si Perwira Kurus yang
memperlihatkan kepandaiannya itu tertawa. “Kalau sudah amat kelaparan, lalat
pun merupakan hidangan yang lumayan!”
“Ha-ha-ha-ha!”
Lima orang itu bertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira
Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang. Perwira kurus ini
lalu menoleh dan mengerling ke arah Si Kaki Telanjang, masih sambil tertawa.
“Ha-ha-ha-hauuup...!”
tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya.
Matanya
mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang
menyambar masuk mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke
tenggorokannya.
“Haaak-agghh...
haaakk-huaaakkk!”
“Eh, kau
kenapa?” temannya, Si Perwira Gemuk bertanya. Juga tiga orang lainnya memandang
heran, menghentikan ketawa mereka.
“Ughh-ughh...
lalat... masuk mulut..., si bedebah!” Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan
empat orang temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi
terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman mereka.
“Tiga
ekor... ihh, huakk..., si keparat!” Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa
menelan tiga ekor lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang
temannya makin terheran.
Suma Hoat
memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu
menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas
mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira
Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya.
“Ha-ha-ha,
bagi yang kelaparan memang tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan
lumayan!”
Lima orang
itu semua menengok kepada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya
setelah berkata, “Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!”
Setelah
minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah
lalat-lalat yang beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan
berikut percikan araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma
Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti
halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga
sinkang yang kuat.
Dengan
tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama
bangkai-bangkai lalat itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah
dan semua percikan arak berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua
masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ.
Suma Hoat
memandang kepada Si Gemuk dan berkata, “Kalau orang gemar kuah daging lalat,
silakan minum!” Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.
”Setan...!”
Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan
tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga
kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biar pun ia
gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil
menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
“Ha-ha-ha!
Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka
mandi kuah lalat, ha-ha-ha!” Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan
bertepuk tangan. Diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda
pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
“Makanlah!”
Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan
sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang.
Akan tetapi
orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas
sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada
setetes pun kuahnya tumpah.
“Ha-ha-ha,
lagi! Lagi...!” katanya gembira.
Dua orang
kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar
mangkok-mangkok masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali
sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima
mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan
mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja
lima orang itu kini pindah ke mejanya.
“Singggg...!”
tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main
ke arah Si Kaki Telanjang.
Melihat ini
Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan
adalah sebuah piring sehingga ‘senjata rahasia’ itu menyambar cepat bukan main,
padahal saat itu Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sambaran
mangkok-mangkok terakhir.
“Ke
sini...!” Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan
sinkang-nya yang kuat dan... piring yang berubah menjadi sinar putih itu
seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke arah tangan Suma Hoat yang
menerimanya dan dengan tenang meletakkannya ke atas meja.
Lima orang
itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat
dua orang yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki
kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan
hormat.
”Maafkan
pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang
tinggi di depan mata.” Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw
yang mengakui keunggulan orang pandai.
Empat orang
temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si
Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.
“Mohon
tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?” tiba-tiba Si Kurus, perwira yang
tadi mengganyang tiga ekor lalat bertanya.
“Aku bukan
dari aliran apa pun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapa pun juga,”
kata Suma Hoat acuh.
“Heh-heh,
dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai sandaran, seorang
manusia biasa biar pun bukan tergolong lalat hijau,” kata Si Kaki Telanjang
sambil tertawa.
“Kalau
begitu, sekali lagi maaf,” kata Si Perwira Kurus. “Karena belum mengenal, kami
telah bersikap lancang dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”
“Ha-ha-ha,
sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan
hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal
kami? Terima kasih, ya?”
Perwira
Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki
Telanjang sambil berkata, “Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong
suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu
menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
“Eh, eh,
sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan
menggapai. “Harap jangan mempermainkan aku orang miskin, dan jangan
akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa membayar,
tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!”
“Sahabat,
biarlah aku yang membayarnya!” Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang
itu keterlaluan sekali.
“Tidak,
mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang
berkata membantah.
Perwira
gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang
membungkuk-bungkuk, “Ini bayaran hidangan!” kata Si Perwira mengeluarkan
beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si Pelayan.
Si Pelayan
menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia
bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama
empat temannya meninggalkan restoran.
“Heii!
Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?” Si Kaki Telanjang menegur
pelayan. “Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!”
”Tidak...,
tidak kurang malah lebih..., akan tetapi...” Pelayan itu memperlihatkan perak
yang berada di telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang
perak itu kini telah menjadi satu seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat!
Si Kaki
Telanjang tertawa, “Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah
arak!”
Pelayan ini
pergi tanpa berani membantah. Kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan
gentar terhadap dua orang aneh ini, apa lagi dia!
“Mari,
sahabat yang tampan. Kita makan bersama!”
Suma Hoat
menjawab, “Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!”
Si Kaki Telanjang
terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk. “Aihh... dasar aku si
tukang rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang
sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu.”
Suma Hoat
terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak
pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah
menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu
adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap ‘murtad’, menjadi seorang
perantau yang ilmunya tinggi. Wataknya aneh dan gila-gilaan, akan tetapi selalu
menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata, “Aku pun tidak mempunyai nama,
dan orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!”
“Haiii!”
Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan
menggoyang-goyangkan tangannya, “Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau
ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!”
“Akan tetapi
memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk
berdekatan dengan....”
“Wah-wah,
stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang
penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali.
Kupersilakan engkau sudi menemaniku. Makanan di mejamu tentu sudah kotor kena
percikan arak bau dari mulut orang tadi!”
Suma Hoat
memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat
sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk,
menghadapi meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang
Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata
sesuatu.
“Benarkah
engkau Jai-hwa-sian?” tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
“Kalau benar
mengapa?” Suma Hoat balas bertanya.
Im-yang
Seng-cu tertawa. “Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya.
Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang
tersohor itu.”
“Kalau
engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-yang Seng-cu
yang terkenal.”
“Ha-ha-ha!
Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku
cocok sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh,
sahabat, bagaimana pendapatmu tentang lima orang tadi?”
“Mereka
lihai, akan tetapi sombong.”
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk. “Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si
tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang
mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sinkang-nya tinggi. Eh, apa yang
hendak kau lakukan terhadap rencana mereka?”
“Rencana
yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak
peduli,” jawab Suma Hoat.
“Aihhh!
Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di
sana dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah
kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!”
Biar pun
Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan
sikap dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
“Tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku,” jawabnya.
“Apa?”
Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya. “Jai-hwa-sian, kalau benar kau
Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping... eh...
kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap
mengulurkan tangan menentang kejahatan?”
Mendengar
ini Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. “Im-yang Seng-cu, tentang
kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan
seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri
urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa
yang benar.”
Im-yang
Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aih-aihh..., sampai begitu jauhkah
engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?”
“Aku tidak
ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw.”
“Kalau
begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik....”
Im-yang
Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang
pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar
daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia menambahkan, “Nah, siapakah
yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang
sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak
pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu
Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak
mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian dua orang perwira
tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini
hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah
engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak
sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?”
Suma Hoat
tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar,
kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya
dapat disejajarkan dengan paman tuanya, Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar
pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan
ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
“Im-yang
Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para
hwesio kelenteng Siauw-lim-si ?”
Yang ditanya
tertawa, “Biar pun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan
denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka
bicara tentang keledai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu
ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng
Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan
keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan
biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”
Suma Hoat
tersenyum dingin. “Silakan!”
Im-yang
Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah. “Sebaiknya
mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga)
saja! Selamat tinggal!”
Im-yang
Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat
dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan
restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.
Im-yang
Seng-cu maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi
lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia langsung pergi ke
kuil itu yang berada di sebelah barat, di ujung kota.
“Saya mohon
bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini,” katanya kepada penjaga
kuil.
Penjaga kuil
itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan
menjawab, “Suhu sedang bersemedhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak
bersembahyang, siauwceng dapat melayani Sicu.”
Im-yang
Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung
kecurigaan, maka katanya keras, “Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin
Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini,
dan juga termasuk urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas
minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!”
Alis hwesio
itu berkerut. Tamu ini biar pun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya
dengan dia, mengapa sikapnya begini angkuh?
“Maaf Sicu,”
jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras. “Urusan jatuh bangunnya
Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, ada pun urusan mati hidup
siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di
sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya melayani orang-orang
yang ingin menikmati sinar kasih Sang Buddha dan bersembahyang.”
Bukan main
jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu.
Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia
keliru dan Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan berkata lagi, “Engkau
sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku
Im-yang Seng-cu mohon bertemu!”
Sepasang
mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah
pendeta-pendeta sembarangan. Telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka
tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia
kang-ouw.
Sambil
menjura hwesio itu berkata, “Omitohud... kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu
yang datang? Maafkan Sicu, Siauwceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai
urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai.”
“Aku tidak
datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang
hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan
Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai
seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum terlambat.”
Tiba-tiba
dari sebelah dalam terdengar suara halus, “Siapakah yang ingin berjumpa dengan
pinceng?”
Im-yang
Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi kurus yang
usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya
membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan bertanya. “Apakah aku berhadapan
dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?”
“Benar,
Sicu,” Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
“Aku adalah
Im-yang Seng-cu. Ada urusan penting mengenai kuil ini yang hendak kusampaikan
kepada Losuhu.”
“Omitohud...
! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang
pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara
di ruangan dalam.”
Setelah
mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali dan duduk
berhadapan, Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, “Gin Sim Hwesio,
Siauw-lim-pai terancam bahaya besar. Malam nanti kuil ini akan diserbu, semua
penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!”
Hwesio
tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguh
pun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya. “Omitohud!
Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini. Siapakah yang begitu gatal
tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak bermusuhan
dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua golongan...”
“Aku
mengerti Losuhu!” Im-yang Seng-cu memotong tak sabar. “Aku tahu sikap bijaksana
yang menjadi pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang
diambil oleh ketua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan
tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa
itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti.”
Mulailah
hwesio itu tertarik. “Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan
kenapa?”
“Aku tidak
tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan
membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira
Kerajaan Sung.” Dengan singkat namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan
tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan mereka di dalam restoran
pagi hari itu.
Gin Sim
Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suheng-nya di
pusat, yaitu Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang
memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar
penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit berdiri dan
menjura kepada tamunya.
“Banyak
terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang
yang berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andai kata benar demikian,
pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu.”
Im-yang
Seng-cu membelalakkan mata, “Losuhu, aku akan membantumu!”
“Tidak baik
kalau pihak luar mencampuri. Kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin
menarik orang luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan,
Sicu!”
Im-yang
Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati
mengkal Im-yang Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan
mengomel, “Dasar si bodoh yang ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar
sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! Selamat tinggal, Losuhu!” Ia membalikkan
tubuhnya hendak pergi.
“Tunggu
dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan
tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng
perluas permusuhan dengan orang-orang yang belum kita ketahui dari golongan
mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka,
pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka sehingga
perdamaian dapat dijaga dan dipertahankan.”
Akan tetapi,
Im-yang Seng-cu mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya
penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biar pun
penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin
menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia tahu
bersih hatinya, namun juga amat keras kepalanya itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment